View
85
Download
4
Category
Preview:
DESCRIPTION
Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah
Citation preview
106 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Model Agropolitan Untuk Pengembangan
Potensi Ekonomi Daerah1
Oleh Hj. Harliani2
ABSTRACTABSTRACTABSTRACTABSTRACTABSTRACT
This study aims to examine the development strategies agropolitanin Barito Kuala District in terms of community empowerment (farmer),and analyze the factors that support the successful development ofagropolitan in the future. The results showed that the developmentagropolitan Barito Kuala District has provided benefits to society, espe-cially farmers. Most people in the region derive income from agriculturalactivities, although in fact not developed according to the conceptagropolitan. Agricultural activities have not led to industrial enterprises(processing) of agricultural products. Trading of agricultural productsdo not have a special place close to the area agropolitan as AgribusinessSub Terminal (AST) or the agricultural market. Agribusiness up streamsuch as agricultural supply business and capital facilities, agro busi-ness and underdeveloped services. To develop agropolitan regions re-quire special strategies. Strategy involves the development and improve-ment of facilities and infrastructure supporting farming, agribusinessdevelopment area, the use of agriculture technology, agricultural mecha-nization, improving quality of diversification, intensification andextensification of agricultural product processing technology, improve-ment and utilization of the institutional role of farmers, as well as im-proving the quality of advisory services to farmers.
1 Ditulis ulang dari Tesis berjudul “Strategi Pengembangan Agropolitan di KabupatenBarito Kuala” yang dibuat oleh Hj. Harliani dibawah bimbingan Prof. Dr. Suprijanto,Prof. Dr. Suprijanto,Prof. Dr. Suprijanto,Prof. Dr. Suprijanto,Prof. Dr. Suprijanto,M.EdM.EdM.EdM.EdM.Ed dan Ir. Umi Salawati, MSi.Ir. Umi Salawati, MSi.Ir. Umi Salawati, MSi.Ir. Umi Salawati, MSi.Ir. Umi Salawati, MSi.
2 Hj. HarlianiHj. HarlianiHj. HarlianiHj. HarlianiHj. Harliani adalah mahasiswa Program Magister Sains Administrasi PembangunanUniversitas Lambung Mangkurat (MSAP UNLAM) angkatan III, dan statuspekerjaannya saat itu adalah PNS di Pemkab Barito Kuala, Kalimantan Selatan.
107FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
A. PENDAHULUANA. 1. Latar Belakang Masalah
Merujuk Propenas, kerangka kebijakan pembangunan nasional
pada sektor pertanian diarahkan untuk mendukung pengembangan
agribisnis dalam upaya peningkatan kualitas dan daya saing produk
pertanian. Untuk peningkatan produksi pertanian, pemerintah
melakukan berbagai program seperti program intensifikasi dan
ekstensifikasi, dengan tujuan untuk peningkatan perekonomian rakyat,
terutama di perdesaan. Harapannya adalah, keberhasilan
pembangunan pertanian tersebut akan berimplikasi pada perekonomian
nasional.
Program pengembangan kawasan agropolitan merupakan salah
satu upaya dalam rangka merealisasikan pembangunan ekonomi
berbasis pertanian dengan pendekatan pengembangan sistem dan usaha
agribisnis. Agribisnis adalah pola pengembangan potensi pertanian
berbasis manajemen usaha tani yang mengutamakan perbaikan nilai
tambah produk hasil pertanian; dan mengasumsikan petani dapat
mengambil posisi sebagai pelaku bisnis melalui pemenfaatan
kelembagaan ekonomi berpola kemitraan bersama di tingkat desa
(Martodireso dan Suryanto, 2002).
Sebagai bagian tak terpisahkan dari kebijakan pembangunan
nasional, kebijakan pembangunan pertanian di Kalimantan Selatan
juga mengikuti pola yang sudah menjadi ketetapan perencanaan
pembangunan nasional. Dalam rangka mengupayakan perbaikan
tingkat kesejahteraan masyarakat petani, terutama dalam konteks
pengembangan ekonomi perdesaan, program pembangunan pertanian
di Kalimantan Selatan, selain untuk meningkatkan ketahanan pangan
nasional, secara khusus diarahkan untuk pengembangan kelembagaan
petani di perdesaan melalui sistem usahatani agribisnis, dan
menghasilkan berbagai produk unggulan yang mampu bersaing di
pasar dan mendukung program swasembada pangan (Anonimous,
2008). Namun demikian, kebijakan semacam itu hanya akan efektif
apabila daerah-daerah sentra pertanian atau daerah yang potensial di
bidang pertanian yang ada di Kalimantan Selatan memang mendukung
implementasi kebijakannya. Dan untuk hal tersebut kabupaten Barito
108 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Kuala adalah salah satu daerah yang mestinya memenuhi persyaratan
dimaksud.
Kabupaten Barito Kuala sebagai salah satu kabupaten di
Kalimantan Selatan memiliki keunggulan dalam bidang pertanian, dan
khususnya pada produk padi. Selama satu dekade hingga pada tahun
2008, kabupaten ini adalah salah satu penghasil beras utama di
Kalimantan Selatan (rata-rata tingkat produksi beras kabupaten Barito
Kuala mencapai 18% dari total produksi Kalimantan Selatan). Daerah
ini juga dikenal sebagai penghasil berbagai komoditas hortikultura
unggulan seperti jeruk, mangga, nenas dan rambutan. Produk-produk
pertanian ini melimpah pada saat musim panen, melampaui kebutuhan
lokal (Anonimous, 2009). Lebih dari itu, penduduk di sejumlah kawasan
daerah transmigrasi yang ada di wilayah kabupaten ini adalah para
transmigran yang dikenal handal dalam urusan budidaya pertanian
dalam arti luas. Dan antara lain karena alasan itu, Pemda Barito Kuala
berkeyakinan bahwa di daerah ini sebenarnya dapat dikembangkan
potensi pertanian berbasis model agropolitan. Kawasan agropolitan
yang kemudian terpilih dirancang menjadi kawasan agribisnis yang
berbasis pada tanaman pangan, atau berbasis hortikultura atau berbasis
perkebunan atau berbasis peternakan atau berbasis komoditas
campuran (Bappeda Batola, 2004).
Untuk mendukung rencana pengembangan model agropolitan,
Pemerintah Kabupaten Barito Kuala telah menetapkan kebijakan pro-
gram unggulan daerah terpadu sejak tahun 2003 dengan menetapkan
pengembangan kawasan rintisan agropolitan (SK Bupati Barito Kuala
Nomor 369 Tahun 2003). Kawasan dimaksud dipusatkan di kawasan
daerah pengairan Terantang dan daerah pengairan Belawang, diikuti
pengembangan beberapa kawasan sentra produksi lainnya, yaitu: (1)
Kawasan agropolitan padi berbasis jeruk seluas 39.335 ha dengan pusat
pertumbuhannya meliputi Kecamatan Mandastana, Belawang, Rantau
Badauh dan Barambai; dan (2) Kawasan agropolitan palawija berbasis
ternak seluas 31.241 ha dengan pusat pertumbuhan di Kecamatan
Wanaraya dan Barambai.
Berdasarkan Keputusan Bupati Barito Kuala Nomor 414 Tahun
2004 tentang Pembentukan Forum Koordinasi dan Kelompok Kerja
109FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten Barito Kuala, telah
dilakukan upaya-upaya strategis untuk terus melaksanakan kegiatan
penumbuhan dan pengembangan kawasan agropolitan, baik kawasan
padi berbasis jeruk maupun kawasan palawija berbasis ternak.
Tanaman padi semakin diintensifkan. Sedangkan untuk tanaman jeruk
di kawasan agropolitan ini terus dikembangkan baik dengan cara
penanaman bibit baru dan penangkaran maupun pengembangan pada
wilayah pengembangan baru. Luasan tanaman jeruk pada kawasan
agropolitan pada tahun 2003 adalah 1.300 ha, yang terus
dikembangkan tiap tahun guna mencapai tingkat produksi yang lebih
baik (dengan target rata-rata 14 ton/ha). Untuk pengembangan
populasi ternak sapi Bali dari sebanyak 5.860 ekor pada saat rintisan
kawasan ini tahun 2003, diproyeksikan menjadi 16.580 ekor pada lima
tahun berikutnya (tahun 2008).
Program pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Barito
Kuala yang dilakukan sejak tahun 2003 sebenarnya dimaksudkan
untuk memacu pembangunan bidang pertanian di kawasan tersebut,
sehingga diharapkan mampu mendorong laju pembangunan kawasan
sekitarnya. Namun demikian dalam implementasinya masih belum
berjalan secara maksimal. Contohnya, untuk pengembangan ternak
sapi misalnya, implementasi kebijakannya meliputi pengembangan sapi
potong dengan orientasi pada peningkatan produksi daging. Data
populasi ternak sapi pada kawasan utama, yaitu Kecamatan Wanaraya
dan Barambai, hingga tahun 2008 (lima tahun kemudian) ternyata baru
mencapai 8.352 ekor (Anonimous, 2009).
Merujuk pada penelitian Sarman dkk (2008), Kabupaten Barito
Kuala adalah salah satu kabupaten tertinggal di Provinsi Kalimantan
Selatan. Dalam statusnya sebagai “kabupaten tertinggal” banyak sekali
masalah struktural yang dihadapi kabupaten ini. Dari perspektif
struktur ekonomi yang menentukan PDRB kabupaten ini, disebutkan
dalam penelitian itu bahwa ketertinggalan daerah ini antara lain
disebabkan oleh dominannya sektor pertanian tradisional sebagai sektor
basis ekonomi daerah, dan hal itu menyebabkan pertumbuhan ekonomi
di daerah ini cenderung tipikal memiliki laju pertumbuhan dan
kontribusinya lebih rendah dari laju pertumbuhan dan kontribusi sektor
110 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
tersebut di tingkat atasnya (provinsi). Sebagai implikasi dari tidak
memadainya kontribusi pertumbuhan ekonomi basis itulah, diduga,
yang menyebabkan kemiskinan penduduk di kabupaten ini masih
menumpuk di pedesaan yang basis ekonominya adalah pertanian
tradisional.
Kemiskinan penduduk membutuhkan solusi, dan pemerintah
senantiasa berusaha melakukan berbagai kebijakan strategis untuk
mengatasi masalah itu. Untuk kasus kemiskinan penduduk di
pedesaan, solusi kebijakannya harus dikaitkan dengan kondisi aktual
dan syarat-syarat kultural masyarakat pedesaan yang umumnya berciri
pertanian. Penduduk miskin di Kabupaten Barito Kuala bukanlah
kekecualian dari asumsi semacam itu. Apakah program agropolitan
dapat menjawab tantangan mengatasi kemiskinan penduduk,
khususnya yang bermukim di pedesaan dan bergiat di bidang pertanian
tanaman pangan? Jawabannya mestinya dapat diperoleh dengan
melihat fakta di lapangan dan mengaitkannya dengan peluang
keberhasilan program tersebut menciptakan peluang usaha baru.
Namun, masalahnya adalah, sejak dirintis tahun 2003 hingga
pengamatan tahun 2009 (baca: 6 tahun berjalan), kegiatan agribisnis
di wilayah yang dimaksudkan untuk program agropolitan di
Kabupaten Barito Kuala praktis tidak cukup mamadai. Di lokasi
tersebut kegiatan pertanian dan usaha tani penduduk setempat praktis
masih berkutat di bidang budidaya, sedangkan aspek pemasaran hasil
pertanian masih bersifat konvensional alias tidak menggunakan tata
cara perdagangan yang mengacu pada sistem pemasaran pertanian
modern (agribisnis) yang seharusnya.
Oleh karena itu, maka dianggap penting dilakukan penelitian
untuk menelaah strategi pengembangan agropolitan yang telah
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Barito Kuala, apakah
dalam implementasinya telah menerapkan prinsip-prinsip program
yang ajeg dan terukur; paling tidak dalam konteks kerangka besar visi
dan misi pembangunan yang telah ditetapkan oleh Kepala Daerah
sebagaimana yang dimuat dalam RPJM kabupaten, dan apakah sudah
dapat dinilai manfaat riil dari pelaksanaan program tersebut bagi
kemaslahatan masyarakat yang dilibatkan dalam program.
111FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
A. 2. Pokok Permasalahan
Keberhasilan suatu program agropolitan pada dasarnya tidak
hanya membutuhkan keterlibatan petani, tetapi juga sejumlah stake-
holders pembangunan kawasan pertanian. Partisipasi masyarakat boleh
jadi cukup baik, tetapi apakah aktivitasnya sesuai dengan kerangka
dasar pengembangan kawasan agropolitan. Aktivitas petani boleh jadi
sesuai dengan prinsip-prinsip agribisnis, tetapi apakah aktivitas
dimaksud karena terpicu oleh program agropolitan yang dirancang
oleh pemerintah daerah. Bahkan, seharusnya, keberhasilan program
agropolitan itu dapat memicu pengembangan wilayah, karena pro-
gram agropolitan itu adalah hulu dari kegiatan-kegiatan agribisnis yang
sangat luas dan banyak ragamnya. Dan karena itulah penting sekali
ditelaah bagaimana perencanaan yang telah dibuat oleh pemerintah
daerah dan bagaimana implementasi dari kebijakan program yang telah
dirancang dalam rangka mengembangkan potensi daerah di bidang
pertanian dan diarahkan untuk mendukung model agropolitan di
Kabupaten Barito Kuala.
A. 3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pokok permasalahan di atas, maka
dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Sampai sejauh
mana implikasi program agropolitan di Kabupaten Barito Kuala
terhadap peluang pengembangan potensi ekonomi lokal di daerah
tersebut?
A. 4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah ingin mengetahui faktor-faktor kunci
keberhasilan (critical succes factors) kawasan agropolitan di Kabupaten
Barito Kuala dan apa manfaat praktis dari program pengembangan
agropolitan di daerah ini bagi kelompok masyarakat, dan khususnya
kaum tani, yang berada di lokasi pelaksanaan program.
B. METODOLOGIA. Teorisasi Masalah
Merujuk pada penelitian terdahulu, upaya pengembangan potensi
ekonomi lokal berbasis model agropolitan ternyata tidaklah mudah.
112 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Lembaga Penelitian
Universitas Lambung Mangkurat (2004) misalnya memberikan skenario
bahwa program pengembangan kawasan agropolitan Terantang (salah
satu lokasi kawasan agropolitan di Kabupaten Barito Kuala) mestinya
dilakukan secara bertahap dengan jangka waktu 10 tahun. Setelah
berakhirnya masa implementasi program yang dijabarkan tiap
tahunnya dengan sebaik-baiknya maka kawasan agropolitan Terantang
akan muncul sebagai kawasan pertanian andalan yang menjadi pusat
produksi dan pengolahan hasil pertanian dengan komoditas padi
berbasis jeruk untuk lingkup pasar regional dan nasional. Untuk
mewujudkan hal tersebut maka dukungan semua stakeholder yang
terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan sangat
diharapkan, sehingga kegiatan ini sesuai dengan perencanaan.
Dukungan dari petani yang menjadi aktor utama dalam pengembangan
kawasan agropolitan ini mutlak diperlukan, serta pemerintah sebagai
fasilitator kegiatan.
Skenario pengembangan kawasan pada dasarnya ditetapkan
berdasarkan beberapa pertimbangan yang sesuai dengan potensi dan
karakter kawasan, yaitu:
(1) Perlu adanya informasi lahan secara detail dalam bentuk Sistem
Informasi Geografi (SIG) dalam memandu pengembangan kawasan.
(2) Pembekalan tentang sistem agrobisnis yang berwawasan lingkungan
melalui program sumberdaya manusia.
(3) Peningkatan jaringan jalan, fasilitas perekonomian, fasilitas
pelayanan dan fasilitas umum yang mendukung pengembangan
kawasan.
(4) Memberdayakan kelembagaan sesuai derngan fungsi dan
memperkuat permodalan dengan pendampingan yang intensif
terhadap unit-unit usaha dalam masyarakat.
(5) Memberikan kemudahan bagi kemitraan dan investor yang akan
berperan dalam pengembangan kawasan.
Penelitian yang dilakukan oleh Nidya (2006), yang mengambil
kasus kawasan agropolitan Terantang, kabupaten Barito Kuala,
menguatkan saran yang dikemukakan oleh tim peneliti dari Lembaga
Penelitian Universitas Lambung Mangkurat tersebut. Dari hasil
113FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
penelitiannya, Nidya sampai pada kesimpulan bahwa pengembangan
agrobisnis pada kawasan agropolitan Terantang dapat diarahkan pada
agrobisnis hulu, proses produksi dan agrobisnis hilir yang diharapkan
dapat mewujudkan pengembangan kawasan agropolitan Terantang
di masa yang akan datang.
Bentuk arahan agrobisnis huluagrobisnis huluagrobisnis huluagrobisnis huluagrobisnis hulu untuk kawasan Agropolitan
Terantang adalah dalam bentuk:
(1) Meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam pengelolaan
kawasan dan kerjasama yang baik dalam penyediaan sarana dan
prasarana produksi, pemasaran dan permodalan.
(2)Meningkatkan pembangunan fasilitas, utilitas serta transportasi pada
kawasan agropolitan.
(3)Meningkatkan potensi sumberdaya manusia dengan penguasaan
teknologi.
(4)Meningkatkan semangat masyarakat di dalam kawasan untuk
merebut pasar.
(5)Membuka kerjasama dengan pemerintah daerah lain dan pihak
swasta sehingga dapat menguasai pasar.
Bentuk kegiatan proses produksiproses produksiproses produksiproses produksiproses produksi pertanian bagi kawasan
agropolitan di Terantang adalah:
(1)Meningkatkan produktivitas sumberdaya petani dengan cara
melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama pada kelompok
usia produktif.
(2)Membimbing petani dalam penerapan alsintan dan pengembangan
metode baru dalam penggarapan lahan pertanian.
(3)Meningkatkan produksi pertanian padi dan hortikultura sebagai
komoditas unggulan serta mengembangkan komoditas lainnya
dengan memanfaatkan sarana dan prasarana yang tersedia.
Sedangkan arahan agrobisnis hiliragrobisnis hiliragrobisnis hiliragrobisnis hiliragrobisnis hilir bagi kawasan agropolitan
Terantang adalah:
(1) Meningkatkan produktivitas unit pengolah komoditas pertanian
kawasan.
(2)Memberikan pembinaan produksi kepada masyarakat pada
kawasan dalam pemasaran dan pengolahan hasil.
114 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
(3)Mencoba membuka usaha pengolahan komoditas baru yang lebih
mendekati selera konsumen.
(4)Selalu tanggap dengan informasi persaingan pasar.
(5)Meningkatkan promosi lintas propinsi.
Dengan demikian, prospek pengembangan kawasan agropolitan
di Kabupaten Barito Kuala pada dasarnya amat tergantung pada
bagaimana keinginan politik dan bentuk kebijakan yang dibuat oleh
Pemerintah Daerah setempat. Mestinya ada kebijakan yang jelas
tentang bagaimana seharusnya tahapan-tahapan yang harus dilakukan
untuk mewujudkan berkembangnya kawasan agropolitan, dan untuk
mendukung komitmen itu apa yang telah dipersiapkan untuk
dikerjakan oleh aparat pelaksana di lapangan. Sedangkan untuk
partisipasi masyarakat, selama arah kebijakannya jelas dan manfaatnya
riil, mestinya tidak akan ada masalah. Dan manakala semua prasyarat
pelaksanaan kebijakan program itu telah dipenuhi, seharusnya pro-
gram pengembangan potensi pertanian yang diarahkan untuk
mendukung keberhasilan model agropolitan di Kabupaten Barito Kuala
dapat diproyeksikan kapan bisa dinilai tahapan capaiannya dan dapat
diprediksikan apa saja kendalanya.
B. 2. Kerangka Konseptual
Menurut Gitlin (Jayadinata, 1999) suatu pembangunan harus
diusahakan agar seluruh anggota masyarakat dapat secara efektif
menggunakan kemudahan dan pengaruh yang sama untuk mencapai
pranata sosial ekonomi. Untuk meratakan pembangunan harus
digunakan cara perwilayahan atau regionalisasi, yaitu pembagian
wilayah nasional dalam satuan wilayah geografi, sehingga setiap
bagian mempunyai sifat tertentu yang khas (dapat juga menurut satuan
daerah administrasi). Untuk pemerataan pembangunan diperlukan
pula desentralisasi, yaitu di samping kebijaksanaan yang diputuskan
oleh pemerintah nasional ada juga kebijaksanaan yang diputuskan oleh
pemerintah regional dan lokal. Merujuk pada Gitlin, keuntungan
desentralisasi dalam pembangunan adalah: (1) Meningkatnya
perkembangan desa secara umum, khususnya produksi pertanian yang
merupakan dasar bagi pertumbuhan selanjutnya; (2) Berkurangnya
115FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
gangguan sosial dan gangguan budaya; dan (3) Meratanya pembagian
hasil pembangunan.
Dalam konteks pengembangan wilayah, Jayadinata (1999)
mengemukakan bahwa aspek perencanaannya dapat memilih sejumlah
metode, seperti: (a) Pengembangan wilayah secara administratif atau
secara geografis; atau (b) Pengembangan Wilayah khusus yang terdiri
dari: (1) Pengembangan wilayah aliran sungai tertentu yang
dimanfaatkan untuk perkembangkan pertanian dan peternakan, dan
(2) Pengembangan wilayah perdesaan, yang dilakukan dengan
meningkatkan kehidupan sosial ekonomi penduduk dengan
mengembangkan pertanian yang merupakan mata pencaharian pokok
penduduk; atau (c) Pengembangan Wilayah menurut sitem perkotaan,
yang meliputi: (1) Konsep pertumbuhan kutub (growth pole), yang
terpusat dan mengambil tempat (kota) tertentu sebagai pusat
pengembangan yang diharapkan menjalarkan perkembangan ke pusat-
pusat yang tingkatannya lebih rendah. Dalam konsep ini terdapat istilah
spread dan trickling down (penjelaran dan penetesan) serta back wash
dan polarization (penarikan dan pemusatan), dan (2) Konsep
Agropolitan,Agropolitan,Agropolitan,Agropolitan,Agropolitan, yang berdasarkan pada proses difusi dalam ruang
mempunyai prinsip desentralisasi dan mengikutsertakan sebagian besar
penduduk wilayah yaitu penduduk perdesaan yang bertani, dalam
pembangunan. Konsep ini dikembangkan semenjak 1975 oleh Friedmann
Dari kedua konsep pengembangan wilayah tersebut, maka konsep
agropolitan itulah yang dirujuk untuk menjelaskan implementasi
kebijakan pembangunan pertanian di Kabupaten Barito Kuala.
Secara harafiah, “Agropolitan” berasal dari dua kata yaitu Agro
(=pertanian), dan Politan/polis (=kota), sehingga secara umum Pro-
gram Agropolitan mengandung pengertian pengembangan suatu
kawasan tertentu yang berbasis pada pertanian (Anonimous, 2005).
Karena itulah konsep agropolitan bisa multi tafsir, tergantung
konteksnya, yakni:
(1) Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang
yang mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis
sehingga dapat melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan
pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.
(2) Kawasan Agropolitan, terdiri dari kota pertanian dan desa-desa sentra
116 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
produksi pertanian yang ada di sekitarnya, dengan batasan yang
tidak ditentukan oleh batasan administrasi pemerintahan, tetapi lebih
ditentukan dengan memperhatikan skala ekonomi yang ada. Dengan
kata lain Kawasan Agropolitan adalah Kawasan Agribisnis yang
memiliki fasilitas perkotaan.
(3)Pengembangan Kawasan Agropolitan, adalah pembangunan
ekonomi berbasis pertanian di kawasan agribisnis, yang dirancang
dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagain potensi
yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha
agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan
dan terdesentralisasi, yang digerakan oleh masyarakat dan
difasilitasi oleh pemerintah..
Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa suatu kawasan
agropolitan yang sudah berkembang (mestinya) memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
(1)Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh
pendapatan dari kegiatan pertanian (agribisnis).
(2)Kegiatan di kawasan tersebut sebagian besar didonimasi oleh
kegiatan pertanian atau agribisnis, termasuk di dalamnya usaha
industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian
(termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan
agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan
jasa pelayanan.
(3)Hubungan antar kota dan daerah-daerah hinterland/ daerah-daerah
sekitarnya di kawasan agropolitan bersifat interdependensi/ timbal
balik yang harmonis, dan saling membutuhkan, di mana kawasan
pertanian mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk
olahan skala rumah tangga (off farm), sebaliknya kota menyediakan
fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti
penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi
pengolahan hasil dan penampungan (pemasaran) hasil produksi/
produk pertanian.
(4) Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan
suasana kota karena keadaan sarana yang ada di kawasan
agropolitan tidak jauh berbeda dengan di kota.
117FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Oleh karena itu tentulah tidak mudah untuk membangun dan
mengembangkan suatu kawasan pertanian tradisional (seperti yang
dicirikan oleh kawasan pertanian di Kabupaten Barito Kuala) menjadi
suatu kawasan agropolitan sebagaimana dibayangkan. Dibutuhkan
strategi yang komprehensif dan kemampuan melaksanakan strategi
itu di lapangan agar tetap sesuai dengan rencana.
Strategi adalah seni memadukan atau menginteraksikan antar
faktor kunci keberhasilan agar terjadi sinergi dalam mencapai tujuan.
Strategi merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Manfaat strategi
adalah untuk mengoptimalkan sumberdaya unggulan dalam
memaksimalkan pencapaian sasaran kinerja. Dalam konsep
manajeman cara terbaik untuk mencapai tujuan, sasaran dan kinerja
adalah dengan strategi memberdayakan sumber daya secara efektif
dan efisien (LAN-RI, 2008).
Mengutip Barney (LAN-RI, 2008), konsep operasional dari strategi
dirumuskan sebagai suatu pola alokasi sumberdaya yang memampukan
organisasi memelihara bahkan meningkatkan kinerjanya. Strategi yang
baik adalah suatu strategi yang menetralisir ancaman/ tantangan, dan
merebut peluang-peluang yang ada, dengan memanfaatkan kekuatan
yang tersedia, serta meniadakan atau memperbaiki kelemahan-
kelemahan yang masih ada.
Secara konsepsional strategi pengembangan dalam konteks
agropolitan adalah upaya untuk melakukan analisis terhadap kondisi
lingkungan kawasan baik internal yang meliputi kelemahan dan
kekuatan dan kondisi lingkungan eksternal yaitu peluang dan ancaman
yang akan dihadapi, kemudian diambil alternatif untuk menentukan
strategi yang harus dilakukan. Analisis lingkungan internal merupakan
suatu proses untuk menilai faktor-faktor keunggulan strategis
perusahaan/organisasi untuk menentukan di mana kekuatan dan
kelemahannya, sehingga penyusunan strategi dapat dimanfaatkan
secara efektif, kesempatan lingkungan dan menghadapi hambatannya,
mengembangkan profil sumberdaya dan keunggulan, membandingkan
profil tersebut dengan kunci sukses, dan mengidentifikasi kekuatan
utama di mana industri dapat membangun strategi untuk
mengeksploitasi peluang dan meminimalkan kelemahan dan mencegah
kegagalan.
118 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Kondisi lingkungan eksternal yang tidak pasti mengharuskan
perusahaan/organisasi menyusun strategi yang tepat terhadap
pengembangan investasi bisnis, karena lingkungan eksternal tersebut
sebagian besar tidak dapat dikendalikan. Reksohadiprojo (1982),
menganjurkan langkah-langkah yang perlu diambil untuk
memperkirakan peluang serta ancaman lingkungan eksternal dengan
mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan, mengamati perubahan
secara global lingkungan tersebut dan memperkirakan dampak
kumulatif terhadap karakteristik industri. Untuk menghadapi
persaingan yang semakin ketat dan perubahan lingkungan yang tidak
dapat diprediksi, pemerintah Kabupaten Barito Kuala niscaya dituntut
untuk mempunyai suatu strategi bersaing yang unggul dibanding
dengan daerah lainnya di Kalimantan Selatan terutama dalam
pengembangan implementasi kebijakan program agropolitan agar
segera tampak asas manfaatnya.
Merujuk pada Glueck dkk (LAN-RI, 2008) ada empat strategi
utama, yaitu langkah yang dilakukan setelah menganalisa proses
kondisi lingkungan internal dan eksternal adalah menetapkan strategi
yang susuai, antara lain:
(a) Stability strategy. Industri yang menggunakan strategi stabilitas
dapat melanjutkan strategi yang sebelumnya dapat dikerjakan.
Keputusan strategi utama difokuskan pada penambahan perbaikan
terhadap pelaksanaan fungsinya, alasannya karena industri atau
perusahaan telah berhasil dalam taraf kedewasaan, lingkungan
relatif stabil, tidak terlalu berisiko.
(b)Retrenchment strategy. Strategi penciutan pada umumnya
digunakan untuk mengurangi produk pasar, alasannya karena
industri atau perusahaan tidak berjalan dengan baik, lingkungan
semakin mengancam, mendapat tekanan dari konsumen, sehingga
peluang tidak dapat dimanfaatkan dengan baik.
(c) Growth strategy. Strategi pertumbuhan banyak dipertimbangkan
untuk dapat diterapkan pada industri dengan pertimbangan bahwa
keberhasilan industri adalah industri yang selalu terus berkembang.
Strategi pertumbuhan melalui ekspansi dengan memperluas daerah
pemasaran dan penjualan produk atau dapat berupa diversifikasi
produk.
119FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
(d)Combination strategy. Strategi ini tepat digunakan bila industri
banyak menghadapi perubahan lingkungan dengan kecepatan yang
tidak sama, tidak mempunyai potensi masa depan yang sama, serta
mempunyai arus kas negatif.
Untuk pengembangan agropolitan di Kabupaten Barito Kuala
strategi pertumbuhan (growth strategy) merupakan alternatif strategi
yang patut dipertimbangkan mengingat pembangunan di bidang
pertanian terus berkembang dan pemerintah daerah selalu berusaha
untuk mencari solusi dengan inovasi dan kreativitas yang tinggi untuk
meningkatkan produktivitas, pengolahan hasil yang berkualitas,
pemasaran dan penganekaragaman produk, guna meningkatkan daya
saing.
Namun demikian, kegiatan pengembangan agropolitan oleh
Pemerintah Kabupaten Barito Kuala senantiasa dipengaruhi oleh
lingkungan yang bersifat strategik yakni kondisi, situasi, keadaan dan
peristiwa yang mempengaruhi perkembangan agropolitan dari waktu
ke waktu. Secara terstruktur, lingkungan strategik yang dimaksud
berupa lingkungan internal yang terdiri atas dua faktor strategik yaitu
kekuatan (strenghts) dan kelemahan (weaknesses), dan berupa
lingkungan eksternal yang terdiri atas dua faktor strategik, yaitu peluang
(opportunities) dan ancaman (threaths). Selain juga penting sekali
diperhatikan faktor-faktor keberhasilan (critical succes factors) yang
merupakan faktor-faktor sangat penting dalam mewujudkan
keberhasilan pencapaian suatu tujuan. Mestinya, Pemda Kabupaten
Barito Kuala memperhatikan keberadaan faktor-faktor kunci
keberhasilan tersebut dalam rangka menentukan strategi
pengembangan agropolitan dengan terlebih dahulu menganalisis
lingkungan strategiknya dengan pendekatan analisis SWOT.
Merujuk pada Rustiadi dkk (2009), secara konseptual
pengembangan agropolitan merupakan sebuah pendekatan
pengembangan suatu kawasan pertanian perdesaan yang mampu
memberikan berbagai pelayanan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat di kawasan produksi pertanian di sekitarnya, baik
pelayanan yang berhubungan dengan sarana produksi, jasa distribusi,
maupun pelayanan sosial ekonomi lainnya sehingga masyarakat
120 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
setempat tidak harus menuju ke kota untuk mendapatkan pelayanan
yang dibutuhkan. Dengan kata lain, pengembangan agropolitan
merupakan suatu upaya memperpendek jarak antara masyarakat di
kawasan sentra pertanian dengan pusat-pusat pelayanan konvensional
(yang berkembang tanpa orientasi kuat pada pengembangan kegiatan
pertanian). Dengan demikian pusat-pusat pelayanan baru ini
(agropolitan) adalah pusat pelayanan dengan cakupan pelayanan
terbatas dan lebih berorientasi pada pelayanan kebutuhan masyarakat
pertanian.
Sedangkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
menyebutkan bahwa kawasan agropolitan adalah kawasan-kawasan
yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan
sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam
tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan
hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
Pendekatan semacam ini diasumsikan bisa mendorong penduduk
perdesaan tetap tinggal di perdesaan melalui investasi di wilayah
perdesaan.
Konsep agropolitan semacam itu pada akhirnya dimaksudkan
untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil
pertanian, mendukung tumbuhnya industri agro-processing skala kecil-
menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat
pasar. Secara teknis, agropolitan lalu dipahami sebagai: (1) suatu model
pembangunan yang mengandalkan desentralisasi, mengandalkan
pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah perdesaan;
dan (2) mestinya bisa menanggulangi dampak negatif pembangunan,
seperti migrasi desa kota yang tak terkendali, kehancuran sumberdaya
alam, dan pemiskinan desa.
Merujuk pada Anwar (1999), dalam konteks pembangunan
daerah yang berorientasi pada model agropolitan, disarankan agar
aspek-aspek utama pembangunan (ekonomi, sosial dan lingkungan)
seharusnya diterjemahkan sebagai ekonomi perdesaan yang
berkelanjutan. Pertumbuhan berupa peningkatan kapasitas produksi
daerah yang diakibatkan oleh aktivitas pertanian secara luas bukan
hanya peningkatan aktivitas pertanian budidaya saja. Jadi dalam hal
121FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
ini aktivitas pertanian yang mengolah bahan mentah yang dihasilkan
dari pertanian budidaya dan aktivitas pemasaran hasil menjadi bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan. Dalam hal ini konsep pembangunan ekonomi perdesaan
yang berkelanjutan mempunyai kaitan erat dengan aktifitas
pembangunan wilayah dengan agroindustri dan agrobisnis yang akan
dikembangkan.
Merujuk pada Kuswartoyo (1999), dalam kaitannya dengan model
pembangunan berkelanjutan yang bertumpu (focus) pada manusia,
ada lima segi yang harus mendapat perhatian yaitu:
(1)Pemberdayaan (empowerment): meningkatkan kemampuan untuk
memilih dan membuka kesempatan untuk memilih. Secara lebih
persisnya adalah peningkatan kemampuan untuk mengambil
keputusan dan membuka kesempatan untuk ikut serta dalam
pengambilan keputusan, terutama yang bersangkutan dengan
kehidupan mereka sendiri.
(2)Kerjasama (co-operation): membuka dan tidak menghalangi orang
untuk melakukan kerjasama, berinteraksi dan saling mengisi
kebutuhan batinnya dalam kehidupan yang bermutu dan
mempunyai arti.
(3)Keadilan (equity): meningkatkan kemampuan dan kesempatan
untuk mengakses berbagai sumberdaya dan pelayanan.
(4)Keberlanjutan (sustainability): hak generasi yang akan datang untuk
bebas dari kemiskinan dan tetap memiliki hak pribadi.
(5)Keamanan (security): terutama keamanan atas sumber
penghidupannya.
Sumberdaya yang diperlukan untuk menopang dan
mengembangkan kualitas hidup memang harus dikelola dengan baik,
dimanfaatkan dan dialokasikan secara bijaksana. Kondisi yang
demikian itu hanya dapat dicapai apabila ada kepemerintahan (gov-
ernance) yang mempunyai kemampuan yang memadai, yang mampu
memadukan kekuatan sektor pemerintah, badan usaha dan masyarakat
sipil. Oleh karena itu dapat dimengerti apabila PBB memprioritaskan
bantuannya pada pencapaian kepemerintahan yang baik ini.
Pada penyelenggaraan pemerintahan yang baik, masing-masing
pihak yang mempertaruhkan kemempuannya untuk mencapai kualitas
122 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
hidup yang lebih baik, harus memiliki sifat maupun wawasan sebagai
berikut:
(1)Partisipatif: semua anggota masyarakat dapat memberikan suaranya
dalam pengambilan keputusan, langsung ataupun melalui lembaga
perantara yang diakui mewakili kepentingannya. Partisipasi yang
luas dibangun atas kebebasan berorganisasi dan menyampaikan
pendapatnya secara konstruktif.
(2)Penegakan dan kepatuhan pada peraturan perundangan: hukum
harus ditegakkan atas dasar keadilan tanpa pandang bulu.
(3)Transparansi: adanya aliran informasi yang bebas; adanya
kelembagaan dan informasi yang langsung dapat diakses oleh
berbagai pihak yang berkepentingan, dan informasi juga harus cukup
tersedia untuk dimengerti dan dipantau.
(4)Daya tanggap (responsiveness): kemampuan kelembagaan untuk
memproses dan melayani keluhan dan pendapat semua anggota
masyarakat.
(5)Orientasi pada konsensus: kepemerintahan yang baik harus dapat
menjembatani perbedaan kepentingan untuk mencapai konsensus
yang luas, mengakomodasikan kepentingan, dan kelompok mencari
kemungkinannya dalam penentuan kebijakan dan prosedur.
(6)Bersikap adil: semua orang mempunyai kesempatan untuk
memperbaiki dan memelihara kesejahteraannya.
(7)Efektifitas dan efisiensi: kelembagaan dan prosesnya membuahkan
hasil yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dalam
pemanfaatan sumberdaya ssecara bijaksana (best use).
(8)Akuntabilitas atau pertanggungjawaban: pengambilan keputusan
di pemerintah, sektor swasta dan organisasi kemasyarakatan yang
bertanggungjawab pada publik dan para stakeholder. Akuntabilitas
ini berbeda antara organisasi dan juga tergantung pada apakah
keputusan itu diambil untuk keperluan internal atau eksternal.
(9)Visi strategik: pemimpin dan publik harus memiliki perspektif yang
luas dan jauh tentang pemerintahan yang baik, pengembangan
manusia dan kebersamaan, dan mempunyai kepekaan atas apa yang
diperlukan untuk pembangunan dan perkembangan.
Pembangunan berkelanjutan memerlukan upaya dan tindakan
yang berkelanjutan menuju kondisi yang selalu menjadi lebih baik.
123FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Pemantauan, peninjauan kembali dan perencanaan ulang, pelaksanaan
tindakan untuk kemudian dipantau lagi – ditinjau kembali apabila salah
atau diteruskan apabila benar – merupakan siklus yang berkelanjutan.
Sistem kehidupan yang kompleks menyebabkan proses itu bukan hanya
proses yang beruntun tetapi merupakan proses yang berjalan paralel,
terdiri dari kegiatan yang beraneka ragam, ada yang berkaitan satu
dengan lainnya ada yang berjalan sendiri-sendiri.
Dalam kehidupan yang demokratis, penyelenggaraan
pemerintahan merupakan upaya bersama dan terpadu antara
pemerintah, badan usaha swasta dan masyarakat sipil. Meskipun
demikian, komponen pemerintah yang merupakan komponen paling
tertata, dalam kenyataannya seringkali tidak mempunyai kemampuan
yang memadai. Hal ini dapat disebabkan antara lain karena struktur
yang sangat terpusat, kualitas serta kuantitas yang tidak mencukupi
maupun sistem imbalan yang kurang sepadan; sehingga praktis tidak
terjadi proses kemandirian pada kelompok masyarakat sipil. Namun
demikian, kemandirian ini juga berkaitan dengan perumusan masalah,
penentuan prioritas kebutuhan, perencanaan pembangunan dan juga
pengelolaan lingkungan.
Merujuk pada Kuswartoyo (1999), ada beberapa prasyarat yang
minimal harus dipenuhi apabila kemandirian tersebut ingin dicapai.
Prasyarat tersebut adalah sebagai berikut: Pertama: anggota masyarakat
mampu merumuskan permasalahan, kebutuhan dan kepentingannya
dan mampu mengartikulasikannya secara meyakinkan. Kedua:
masyarakat mampu menggalang solidaritas kemanusiaan dan mengejar
kepentingan bersama. Hal ini sering terhalang oleh kepentingan pribadi
atau solidaritas yang dipaksakan. Ketiga: tersedianya kesempatan untuk
mencerdaskan diri dari kesempatan menggalang solidaritas. Kekuatan
pemerintah atau kekuatan kapitalis atau kolusi diantara keduanya
sering menjadi penghalang bagi pencerdasan dan penggalangan
solidaritas ini.
Agropolitan sebagaimana dikemukan oleh Friedmann & Douglass
adalah sebuah strategi alternatif untuk mengembangkan daerah-daerah
yang berbasis pertanian untuk menjadi suatu kawasan yang mandiri
dalam urusan pemenuhan kebutuhan pokok warganya (Sarman, 2008).
Isu penting dalam konsep ini adalah prinsip mandiri dan berdikari.
124 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Kerjasama dan gotong royong dalam masyarakat adalah kunci utama
bagi suksesnya pendekatan agropolitan.
Untuk pengembangan kawasan agropolitan, para pihak yang
terlibat harus sepenuhnya mendukung semua kegiatan dan turut serta
baik langsung maupun tidak langsung. Para pihak dimaksud antara
lain adalah pemerintah (Pusat dan Daerah) sendiri, DPRD, Perguruan
Tinggi, Lembaga Bisnis, Lembaga Keuangan, Pengusaha. Sedangkan
kelompok dan lembaga sosial masyarakat lokal, seperti KUBE dan
sejenisnya, adalah pihak yang seharusnya mendapatkan keuntungan
dari adanya partisipasi para pihak tersebut.
Dengan demikian, ketika model agropolitan dijadikan fokus
strategi pengembangan wilayah, maka seperti terlukis pada Gambar
1, ia harus dimulai dari upaya mengidentifikasikan potensi lingkungan,
jumlah petani dan aksesibilitas wilayah, serta potensi komoditas
unggulan sebagai basis agribisnisnya. Dengan mempertimbangkan
semua faktor pendukung itu mestinya dapat dibuat strategi awal
kebijakan agropolitan. Kebijakan agropolitan mestinya dapat diarahkan
untuk pemanfaatan potensi pertanian dalam pengembangan wilayah,
peningkatan kondisi perekonomian masyarakat terutama petani seperti
berkembangnya modal sosial untuk meningkatkan kesejahteraan
petani, pemberdayaan masyarakat dan berkembangnya agribisnis,
meningkatnya komoditas unggulan yang pada akhirnya dapat
meningkatkan pendapatan asli daerah.
125FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Gambar 1. Skenario Strategi Pengembangan Agropolitan
B. 3. Metode Penelitian
Pendekatan penelitian ini merujuk pada model penelitian deskriptif
dengan menggunakan prinsip metode kasus. Pendekatan semacam ini
dianggap relevan menjadi acuan untuk menentukan strategi apa yang
patut dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Barito Kuala dalam rangka
pengembangan agropolitan, serta mencari solusi manakala hasil
penelitian membuktikan adanya kecenderungan perlunya perbaikan
agar sasaran program dapat dicapai lebih baik. Karena itu penelitian
ini menggunakan desain studi kasus berbasis survei untuk mengetahui
bagaimana capaian program pengembangan kawasan agropolitan yang
telah dirintis sejak tahun 2003, dan sampai sejauh mana manfaatnya
bagi para petani yang terlibat dalam program. Studi kasus dianggap
dapat meliput dinamika sosial yang eksklusif terjadi di lokasi penelitian.
Sedangkan metode survei dianggap relevan untuk meliput kawasan
126 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
yang cukup luas dengan sejumlah komunitas yang cenderung beragam.
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive),
yaitu di kawasan rintisan agropolitan Kabupaten Barito Kuala, yang
dipusatkan pada kawasan daerah pengairan Terantang, yang meliputi
Kecamatan Belawang, Mandastana, Rantau Badauh dan Barambai.
Pengamatan lapangan secara intensif dilakukan awal tahun 2010,
sedangkan pelaksanaan survei dilakukan pada bulan April–Juni 2010.
Untuk mendapatkan data di lapangan digunakan instrumen
penelitian yang utama berupa observasi dan wawancara untuk studi
kasus dan kuesioneri yang sengaja dibuat untuk mendukung metode
survei dan selanjutnya menjadi bahan analisis. Wawancara dilakukan
kepada mantri tani, penyuluh pertanian, kepala desa, pengurus koperasi
tani, dan pengurus kelompok usaha agribisnis (KUBA). Metode survai
ditujukan kepada anggota KUBA, dan para petani yang tergabung
dalam kelompok tani, sebagai responden penelitian. Sedangkan untuk
verifikasi berkaitan dengan data primer dan data sekunder dilakukan
kepada pejabat dan pengelola program agropolitan di kabupaten Barito
Kuala.
Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah
metode triangulasi, dengan menggunakan teknik matrik. Teknik analisis
ini secara umum dipahami sebagai suatu proses yang menggunakan
multi persepsi untuk membuat klarifikasi makna informasi yang
diperoleh di lapangan, membuat verifikasi atas pengulangan observasi
dan akhirnya melakukan interpretasi atas semua hal itu (Robert E Stake,
dalam: Sarman, 2004). Penggunaan teknik analisis triangulasi
diarahkan untuk mendapatkan informasi yang detil berdasarkan hasil
wawancara dan observasi di lapangan untuk selanjutnya menjadi data
dalam menjawab dan memecahkan masalah yang ada dengan
melakukan pemahaman dan pendalaman secara menyeluruh dan utuh
dari objek yang diteliti guna menghasilkan kesimpulan yang bersifat
diskriptif. Sedangkan untuk analisis data hasil survei digunakan metode
korelasional yang menjadi dasar analisis SWOT. Hasil analisis SWOT
tersebut mestinya dapat digambarkan dalam bentuk Matriks Analisis
Lingkungan Strategis sehingga dapat ditentukan strategi yang tepat
untuk mengembangkan agropolitan tersebut sehingga nantinya dapat
memberdayakan ekonomi masyarakat dan daerah.
127FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
C. HASIL PENELITIANC. 1. Kondisi umum Kawasan Agropolitan di Barito Kuala
Lokasi penelitian ini terbatas pada kawasan agropolitan Terantang.
Luas kawasan agropolitan Terantang adalah 12.844,9 ha (4,28% dari
luas Kabupaten Barito Kuala). Kawasan ini meliputi 12 desa, yaitu 3
desa di Kecamatan Mandastana, 6 desa di Kecamatan Belawang, 2
desa di Kecamatan Rantau Badauh, dan 1 desa di Kecamatan Barambai.
Pintu gerbang kawasan agropolitan Terantang terletak pada desa
Sungai Puntik Dalam, Kecamatan Mandastana.
Kawasan agropolitan Terantang memiliki topografi seluruhnya
datar dengan tingkat kelerengan dari 0–3% dengan elevansi 0–600
meter diatas permukaan laut. Adanya pengaruh pasang surut air laut
atau sungai maka kelas kemampuan lahan kawasan ini sangat
ditentukan oleh tipologi luasan pasang surut. Berdasarkan laporan
perkembangan Kawasan agropolitan Terantang oleh Dinas Pertanian
Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Barito Kuala, klasifikasi
kemampuan lahan (land capability) kawasan agropolitan Terantang
termasuk ke dalam kelas kemampuan V pada daerah pasang surut
tipe A dan B, kelas ini dicirikan oleh tanah yang datar, selalu basah
dan tergenang air. Namun demikian sistem pengelolaan air dan sistem
pertanian yang dikembangkan telah merubah sebagian besar kawasan
menjadi lahan kelas 1 untuk komoditas unggulan, khususnya jeruk.
Pada daerah pasang surut tipe C termasuk ke dalam kelas kemampuan
1, dicirikan oleh tanah yang datar, bahaya erosi kecil, solum dalam,
berdrainase baik, mudah diolah dapat menahan air dengan baik, dan
responsif terhadap pemupukan.
Dengan demikian kondisi lahan sangat mendukung dalam
pengembangan usaha pertanian, baik tanaman pangan terutama padi
dan hortikultura seperti jeruk, maupun tanaman rumput sebagai pakan
ternak.
Tanah pada kawasan agropolitan Terantang telah berkembang
dari bahan endapan sungai dan endapan marin tanpa endapan organik
di atasnya. Endapan liat marin berwarna kelabu kebiruan dan kelabu
kehijauan yang merupakan lapisan dasar (substrat) tanah-tanah di
kawasan. Selain itu juga berupa tanah mineral bergambut atau lapisan
gambut tipis menutupi bagian atas tanah. Secara kimiawi, jenis tanah
128 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
pada kawasan agropolitan adalah alluvial dengan Sublandform terbagi
atas rawa belakang dan jalur aliran sungai. Tanah pada Kawasan
Agropolitan Terantang mempunyai pH H2O yang keasamannya dapat
mencapai 5,0–6,0 (masam- agak masam). Hal ini mempunyai pengaruh
dalam pengembangan komoditas pertanian, serta modal usaha tani,
karena perlu adanya kapur penetralisir keasaman tanah serta
penggunaan pupuk yang spesifik lokasi (Anonimous, 2009).
Sarana dan prasarana serta jasa penunjang di dalam Kawasan
Agropolitan Terantang sebagian sudah tersedia, namun masih
membutuhkan peningkatan kualitas menyangkut perbaikan
infrastruktur dan perawatan rutin yang harus dilakukan. Di antara
prasarana vital itu antara lain adalah air bersih dan listrik. Penyediaan
air bersih dalam mendukung pengembangan agropolitan menyangkut
dua hal yaitu penyediaan air bersih untuk rumah tangga dan pencucian
hasil panen. Penyediaan bak-bak penampungan air pasang telah
membantu penduduk untuk mendapatkan air bersih yang
dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga yaitu sedikit pengolahan
dengan penambahan bahan kapur dan tawas.
Sumber air baku untuk mencuci hasil panen jeruk digunakan air
yang ada di saluran sekunder dan saluran tersier yang menjangkau
lahan petani menanam jeruk. Permasalahan utama menyangkut
penyediaan air bersih yang cenderung memiliki pH yang rendah dan
kandungan Fe yang tinggi. Dengan masih terbatasnya sarana air bersih
yang tersedia tersebut sangat mempengaruhi dalam peningkatan
kualitas pengolahan hasil pertanian, sehingga petani belum dapat
meningkatkan daya saing dalam pengolahan produk usaha taninya,
seperti hasil olahan siap saji.
Sedangkan untuk prasarana listrik, kondisi sarana listrik yang
tersedia di Kawasan Agropolitan Terantang cukup memadai, karena
penduduk di kawasan itu dapat menggunakan listrik yang berasal dari
Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai sumber yang utama.
Dari aspek sosial, kelembagaan masyarakat merupakan aspek
terpenting. Kelembagaan yang mendukung mencakup kelembagaan
pemerintah dan kelembagaan masyarakat yang terdiri dari P3A,
asosiasi, dan koperasi tani. Prasarana dan sarana fisik yang tersedia
berupa kantor/balai desa dan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) untuk
129FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
wilayah Mandastana dan Wanaraya. Sebagian besar balai desa pada
masing-masing desa sudah memadai, walaupun masih ada desa yang
memiliki balai desa dalam kondisi rusak. Peran kelembagaan ini cukup
penting bagi masyarakat petani, baik dalam upaya peningkatan
kemampuan sumberdaya petani, pemupukan modal dan pemasaran
hasil pertanian. Walaupun perannya sudah terlihat tetapi perlu lebih
intensif lagi pembinaannya, sehingga benar-benar dapat dirasakan
maanfaatnya oleh para petani.
C. 2. Faktor-Faktor Penentu Pengembangan Potensi Kawasan
(1) Faktor Lingkungan Internal
(a) Kekuatan ((a) Kekuatan ((a) Kekuatan ((a) Kekuatan ((a) Kekuatan (StrengthsStrengthsStrengthsStrengthsStrengths)))))
o Areal potensial untuk pengembangan pertanian, perkebunan dan
peternakan di Kabupaten Barito Kuala cukup tersedia. Potensi
lahan pertanian cukup luas yang terdiri atas lahan sawah seluas
120.461 ha, tegalan seluas 11.610 ha dan penggembalaan ternak
seluas 9.278 ha.
o Adanya keinginan yang kuat dari Pemerintah Kabupaten Barito
Kuala untuk mengembangkan komoditas unggulan daerah
melalui agropolitan. Ditetapkan dengan SK Bupati Barito Kuala
Nomor 369 Tahun 2003 tentang Kawasan Rintisan Agropolitan
Kabupaten Barito Kuala, tanggal 14 Agustus 2003. Dan didukung
pula dengan Keputusan Bupati Barito Kuala Nomor 414 Tahun
2004 tentang Pembentukan Forum Koordinasi dan Kelompok
Kerja Pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten Barito
Kuala, tanggal 3 Juni 2004.
o Tersedianya sumberdaya manusia potensial dan dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan agropolitan. Berdasarkan
tingkat pendidikan, pencari kerja terbanyak adalah mereka yang
berpendidikan SMA sederajat, dan Sarjana dan yang terendah
berpendidikan SMP dan SD. Keadaan yang demikian
menggambarkan bahwa tingkat pendidikan penduduk semakin
membaik yang tentunya kulaitas tenaga kerja semakin tinggi.
o Pemanfaatan Ilmu Pengetahun dan Teknologi (IPTEK) produksi
dari pengolahan hasil pertanian oleh petani secara luas dan
spesifik lokasi. Pemanfaatan IPTEK oleh masyarakat petani di
130 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Kabupaten Barito Kuala untuk penggunaan alat atau mesin
pertanian (alsintan) seperti penggunaan handtractor, powerthreeser
dan penggunaan alsintan lainnya, penggunaan benih unggul
bersertifikat dan penggunaan pupuk telah dilakukan.
o Kebijakan Pemerintah Daerah meletakkan sektor pertanian sebagai
prioritas. Sesuai dengan Visi Kabupaten Barito Kuala “yaitu
Terwujudnya Kabupaten Barito Kuala sebagai sentra produksi
pertanian yang maju dan berdaya saing tinggi menuju terciptanya
kemandirian daerah“.
o Perencanaan pembangunan pertanian dalam rangka mendukung
keberadaan Kabupaten Barito Kuala sebagai daerah penunjang
program ketahanan pangan nasional. Dan melalui sitem
pengembangan agribisnis, proses peningkatan nilai tambah
utamanya di tingkat kelompok tani. Berbagai program kegiatan
agribisnis, di antaranya pengembangan kawasan lahan jeruk
yang berada pada kawasan lahan hamparan, yaitu desa Karang
Indah, Karang Buah, Karang Dukuh dan Karang Bunga, melalui
Proyek Pengembangan Agribisnis Hortikultura atau Integrated
Horticultura Development Coorperation In Upland Area
(IHDUA), yang berasal dari dana bantuan Japan Bank Interna-
tional Coorperation (JBIC) dan dana APBN serta APBD
Kabupaten Barito Kuala.
o Adanya kerjasama lintas kawasan / propinsi. Telah terbukanya
akses pasar cukup strategis karena berada di antara Propinsi
Kalimantan Selatan dan Propinsi Kalimantan Tengah dengan
melalui jalur perhubungan darat antara Kabupaten Barito Kuala
dengan Kota Banjarmasin Propinsi Kalimantan Selatan dengan
melintasi Jembatan Alalak 2 dan Kabupaten Kapuas Kalimantan
Tengah melalui Jembatan Barito.
o Meningkatnya pengembangan hasil-hasil pertanian yang spesifik
lokasi. Produksi padi Kabupaten Barito Kuala Tahun 2007
berjumlah 2l6.312 ton. Dan pada tahun 2008 berjumlah 312.805
ton dan pada tahun 2009 berjumlah 323.353 ton. Perluasan ar-
eal tanam tanaman jeruk pada tahun 2008 berjumlah 6.716 ha
dan pada tahun 2009 berjumlah 7.094 ha. Serta potensi dan daya
131FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
dukung pengembangan bidang peternakan yaitu lahan potensi
sekitar 60 ha, dengan dukungan lahan rumput dan lahan
pengembalaan/pemeliharaan seluas 62.127 ha, yang
diproyeksikan untuk pemeliharaan Sapi bali sekitar 170.360 ekor.
o Terbukanya akses pasar melalui jalur-jalur informasi yung
semakin berkembang. Keikutsertaan Kabupaten Barito Kuala
dalam kegiatan-kegiatan regional maupun nasional, khususnya
pada kegiatan pameran dan promosi produk-produk unggulan
hasil pertanian serta berbagai kegiatan lain oleh pemerintah
Kabupaten Barito Kuala.
(b) Kelemahan ((b) Kelemahan ((b) Kelemahan ((b) Kelemahan ((b) Kelemahan (weaknessesweaknessesweaknessesweaknessesweaknesses)))))
o Tingkat kehilangan dan kerusakan panen dan pasca panen
cukup tinggi, yakni mencapai (18%–20%), hal ini disebabkan
masih banyaknya petani yang melakukan kegiatan panen dan
pasca panen secara tradisional serta masih banyaknya petani
yang kurang trampil.
o Produk pertanian masih berkualitas rendah. Karena sistem
budidaya yang masih kurang baik, yang mengakibatkan
produk pertanian masih berkualitas rendah.
o Jaringan irigasi masih yang ada, namun belum diperluas, dan
banyak mengalami kerusakan serta sarana jalan usaha tani
masih terbatas.
Masih terbatasnya jaringan irigasi dan lambatnya penanganan
atas kerusakan jaringan irigasi mengakibatkan pemenuhan air
akan tanaman tidak tersedia sesuai kebutuhan.
o Organisasi petani, kelembagaan ekonomi desa, kelembagaan
pelayanan pemerintah belum begitu optimal. Organisasi petani
yang belum tertata dengan baik dan kelembagaan ekonomi
pedesaan seperti halnya Koptan tidak berjalan sesuai yang
diharapkan, untuk itu tugas pemerintah untuk melakukan
pembinaan.
o Penyediaan bibit/benih unggul terbatas. Bibit/benih unggul
bersertifikat belum keseluruhannya dapat dimanfaatkan oleh
petani karena mereka kebanyakan menggunakan bibit/benih
lokal,
132 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
o Informasi pasar belum mencapai tingkat Kecamatan/
perdesaan/petani.
Salah satu hambatan dalam pengembangan agropolitan di
Kabupaten Barito Kuala yaitu adanya informasi pasar yang
belum mencapai tingkat kecamatan/perdesaan / sampai ke
tingkat petani .
o Sarana alat alsintan kurang tersedia dan sarana produksi tidak
tepat dan mahal.
Kurangnya penerapan teknologi pertanian sehingga produksi
hasil pertanian jauh dari yang diharapkan.
o Pengelolaan pasca panen hasil-hasil perkebunan masih belum
diterapkan secara optimal.
(2) Faktor Lingkungan Eksternal
(a) Peluang ( (a) Peluang ( (a) Peluang ( (a) Peluang ( (a) Peluang (opportunities)opportunities)opportunities)opportunities)opportunities)
o Adanya otonomi daerah membuat Pemerintah Daerah dapat
mengatur dirinya sendiri. Dengan diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
memberikan peluang bagi Pemerintah Kabupaten Barito Kuala
untuk dapat berperan secara leluasa dalam mengembangkan
seluruh potensi dan peluang yang ada.
o Tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan serta
peternakan memberikan peluang yang sangat besar untuk
dapat dikembangkan.
o Adanya komoditas andalan yang mempunyai keunggulan
komperatif dan kompetitif (padi,jeruk, jagung,sayuran dan
ternak sapi Bali). Komoditas andalan yang diharapkan dapat
memberikan hasil produksi yang lebih besar dan dapat
bersaing di pasar adalah merupakan satu keunggulan untuk
dapat terus dipertahankan dan dikembangkan.
o Masih terdapat kesenjangan produktivitas riil dengan potensial
20 %–100%. Dengan penanganan yang lebih intensif
berpeluang untuk meningkatkan produktivitas.
133FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
o Luas areal yang potensial dan lahan yang subur cukup
tersedia, dan memberikan peluang yang cukup besar untuk
diberdayakan.
o Pangsa pasar untuk komoditas pertanian khususnya
hortikultura cukup terbuka (besar). Hal ini dapat dilihat dari
adanya jalur perdagangan antar kabupaten dan antar
propinsi, dimana permintaan akan komoditas hortikultura
semakin meningkat, terutama jeruk.
o Masih meningkatnya kebutuhan produk-produk pertanian
serta jumlah maupun kualitasnya dan keanekaragamannya.
Hal ini sama dengan komoditas hortikultura, kebutuhan
produk pertanian lainnya juga semakin meningkat baik
jumlah, kualitas dan keanekaragamannya
(b) Ancaman (Threaths) (b) Ancaman (Threaths) (b) Ancaman (Threaths) (b) Ancaman (Threaths) (b) Ancaman (Threaths)
o Infrastruktur sektor pendukung pertanian di luar kawasan
kurang memadai sehingga tidak menjamin ketersediaan dan
kontinuitas harga/biaya tinggi. Minimnya infrastruktur
pendukung pertanian sangat menghambat ketersediaan dan
kontinuitas produksi yang mengakibatkan harga/biaya tinggi,
misalnya saja jalan usaha tani yang masih sangat terbatas.
o Adanya perdagangan bebas (era globalisasi). D e n g a n
dibukanya perdagangan bebas, disatu sisi merupakan
dorongan bagi Pemerintah Kabupaten Barito Kuala untuk
dapat mengintensifkan segala sumber daya dan kemampuan
yang dimilikinya agar dapat bersaing di era globalisasi, namun
di lain sisi juga merupakan satu ancaman yang cukup berat,
karena masuknya produk-produk yang berkualitas tinggi dari
daerah atau negara yang telah lebih dahulu maju dengan
segala sumberdaya dan teknologi yang dimilikinya.
o Serangan OPT dan organisme/ penyakit ternak. Adanya
serangan wereng coklat bagi tanaman padi dan lalat buah bagi
tanaman jeruk, selain itu adanya ancaman flu burung bagi
ternak.
o Beralihnya fungsi lahan dari pertanian ke bukan pertanian
dan kerusakan lingkungan hidup dan pengelolaan SDA
134 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
(hutan) yang tidak memperhatikan kaidah konservasi. Sebagai
daerah berkembang yang terus dilakukan pembangunan
infrastrukturnya khususnya perluasan daerah, maka banyak
lahan pertanian yang berubah menjadi pemukiman penduduk
dan perkebunan rakyat.
o Kurangnya dukungan aparat dinas ditingkat propinsi. Dalam
pengembangan agropolitan dukungan aparat Dinas terkait
pada tingkat propinsi masih dirasakan belum maksimal.
o Rendahnya nilai tukar produk pertanian. P r o d u k -
produk pertanian masih dinilai rendah sehingga nilai tukarnya
pun sangat rendah.
o Lemahnya modal petani dan akses terhadap perbankan
rendah. Salah satu hambatan bagi petani dalam
mengembangkan usahanya adalah tidak tersedianya modal,
hal ini diakibatkan pula oleh akses terhadap perbankan rendah
karena terlalu banyaknya administrasi yang harus dipenuhi
dan lembaga keuangan lainnya masih terbatas.
o Kondisi alam atau iklim yang tidak menentu. Kemungkinan
terjadinya perubahan musim atau iklim yang tidak menentu
yang dapat berpengaruh terhadap usaha tani masyarakat.
C. 3. Pembahasan
Faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal dalam
pengembangan agropolitan di Kabupaten Barito Kuala dapat
dilakukan identifikasi dan dievaluasi untuk mengetahui kemampuan
internal yang dimiliki guna menentukan strategi untuk memanfaatkan
peluang yang ada dan secara bersamaan menghindari ancaman,
selanjutnya dianalisis guna mengetahui posisi dan kesesuaian strategi
saat ini dengan kemampuan yang ada serta mengantisipasi persoalan
yang kemungkinan dapat muncul pada masa yang akan datang.
( a )( a )( a )( a )( a ) Lingkungan IntenalLingkungan IntenalLingkungan IntenalLingkungan IntenalLingkungan Intenal
Analisis lingkungan internal digunakan untuk mengidentifikasi
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dalam kerangka pengembangan
agropolitan oleh Pemerintah Kabupaten Barito Kuala, sehingga para
pihak yang terkait, baik pemerintah daerah maupun masyarakat serta
135FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
pelaku usaha pertaniaan (agribisnis) yang ada dapat memanfaatkan
kekuatan yang dimilikinya dan secara bersamaan mengatasi atau
memperkecil kelemahannya. Hasil analisis SWOT faktor kekuatan
(strength) pengembangan agropolitan oleh Pemerintah Kabupaten
Barito Kuala adalah seperti tergambar pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis Faktor Kekuatan PengembanganTabel 1. Analisis Faktor Kekuatan PengembanganTabel 1. Analisis Faktor Kekuatan PengembanganTabel 1. Analisis Faktor Kekuatan PengembanganTabel 1. Analisis Faktor Kekuatan Pengembangan
AgropolitanAgropolitanAgropolitanAgropolitanAgropolitan
Sumber: Analisis data primer
Ket rating: 1=sangat lemah; 2=lemah; 3= sedang; 4: Kuat;
5= Sangat kuat
Analisis ini dilakukan atas dasar kuesioner yang telah disiapkan
sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis faktor kekuatan dalam
pengembangan agropolitan di Kabupaten Barito Kuala menghasilkan
9 faktor penting dengan nilai bobot antara 0.1017 sampai dengan 0.1204
adalah luas areal potensial untuk pengembangan pertanian,
136 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
perkebunan, dan peternakan Kabupaten Barito Kuala, adanya
keinginan yang kuat dari pemerintah daerah untuk mendorong
dikembangkannya komoditas unggulan daerah serta agropolitan;
tersedianya sumber daya aparatur potensial dan dapat dimanfaatkan
untuk pengembangan agropolitan; Pemanfaatan IPTEK produksi dan
pengolahan hasil pertanian oleh petani secara luas dan spesifik lokalita;
Kebijakan Pemerintah Daerah meletakkan sektor pertanian sebagai
prioritas; Perencanaan pembangunan pertanian yang semakin mantap
(pengembangan agribisnis dan peningkatan ketahanan pangan);
Adanya kerjasama lintas kawasan/Provinsi; Meningkatnya
pengembangan hasil-hasil pertanian yang spesifik lokasi; dan
terbukanya akses pasar malalui jalur-jalur informasi yang semakin
berkembang. Pemerintah Daerah meletakkan sektor pertanian sebagai
prioritas, kekuatan yang cukup besar terhadap pengembangan
agropolitan di Kabupaten Barito Kuala dengan rating sangat kuat (5)
dan lainnya memiliki rating kuat (4).
Tabel 2. Analisis Faktor Kelemahan PengembanganTabel 2. Analisis Faktor Kelemahan PengembanganTabel 2. Analisis Faktor Kelemahan PengembanganTabel 2. Analisis Faktor Kelemahan PengembanganTabel 2. Analisis Faktor Kelemahan Pengembangan
AgropolitanAgropolitanAgropolitanAgropolitanAgropolitan
Sumber: Analisis data primer
Ket rating: 1=sangat lemah; 2=lemah; 3= sedang; 4: Kuat;
5= Sangat kuat
137FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Sedangkan analisis lingkungan internal dari faktor kelemahan
terhadap pengembangan agropolitan di Kabupaten Barito Kuala seperti
ditunjukkan pada Tabel 2. Dari hasil hasil analisis tampak bahwa
terdapat 8 faktor kelemahan dari lingkungan internal yang penting
dalam rangka pengembangan agropolitan di Kabupaten Barito Kuala
ini, dengan nilai bobot mulai dari 0.10992 sampai dengan 0.14456.
Kedelapan faktor tersebut yang merupakan faktor kelemahan dalam
pengembangan agropolitan yang perlu mendapat perhatian adalah
Jaringan irigasi belum diperluas dan banyak mengalami kerusakan serta
sarana jalan usaha tani masih terbatas; Pengelolaan pasca panen hasi-
hasil perekebunan yang belum diterapkan secara optimal.
Berdasarkan hasil perhitungan dari nilai tertimbang faktor
lingkungan internal dalam pengembangan agropolitan yaitu faktor
kekuatan dikurangi dengan faktor kelemahan diperoleh nilai X sebagai
sumbu horizontal, yaitu = 4.2710 – 3.51850=0.7525. Dengan demikian,
nilai sumbu X dalam diagram SWOT dalam pengembangan agropolitan
di Kabupaten Barito Kuala adalah sebesar 0.7525. Berdasarkan hasil
tersebut ternyata faktor kekuatan lebih besar dari faktor kelemahan
yang dimiliki, sehingga ini merupakan modal utama yang cukup besar
untuk dijadikan sebaagai langkah strategis dalam pengembangan
agropolitan di Kabupaten Barito Kuala.
(b) Lingkungan Eksterna(b) Lingkungan Eksterna(b) Lingkungan Eksterna(b) Lingkungan Eksterna(b) Lingkungan Eksternal
Melalui analisis lingkungan eksternal diharapkan akan dapat
diidentifikasi peluang dan ancaman yang berasal dari lingkungan
eksternal dalam pengembangan agropolitan di Kabupaten Barito Kuala.
Berdasarkan hasil survai faktor lingkungan eksternal yang ada,
terdapat 7 hal peluang dalam pengembangan agropolitan. Ketujuh
faktor peluang tersebut adalah: Adanya otonomi daerah membuat
Pemerintah Daerah dapat mengatur dirinya sendiri; Potensi lahan
untuk pengembangan tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan
dan peternakan; Adanya komoditas andalan yang mempunyai
keunggulan komparatif dan kompetitif (padi, jagung, sayuran, jeruk,
sapi potong); Masih terdapat kesenjangan produktivitas riil dengaan
potensial 20%–100%. Luas areal yang potensial dan lahan yang subur
138 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
cukup tersedia, dan memberikan peluang yang cukup besar untuk
diberdayakan. Pangsa pasar untuk komoditas pertanian khususnya
hortikultura cukup terbuka (besar); Masih meningkatnya kebutuhan
produk-produk pertanian serta jumlah maupun kualitasnya dan
keanekaragamannya. Hasil analisis SWOT faktor peluang dari
lingkunagn eksternal pengembangan agropolitan di Kabupaten Barito
Kuala seperti disajikan pada Tabel 3.
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel di atas, memperlihatkan
bahwa ketujuh faktor peluang yang ada memberikan nilai penting
dengan bobot antara 0.12533 sampai dengan 0.16247. Ketujuh faktor
penting tersebut yang memiliki rating paling tinggi (peluang paling
besar) adalah potensi lahan untuk pengembangan tanaman pangan
dan hortikultura, perkebunan dan peternakan, dan masih
meningkatnya kebutuhan produk-produk pertanian serta jumlah
maupun kualitasnya dan keanekaragamannya. Begitu pula dengan
indikator lainnya yang juga tergolong tetap memiliki peluang besar
dan cukup.
139FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Tabel 3 Analisis SWOT Faktor Peluang PengembanganTabel 3 Analisis SWOT Faktor Peluang PengembanganTabel 3 Analisis SWOT Faktor Peluang PengembanganTabel 3 Analisis SWOT Faktor Peluang PengembanganTabel 3 Analisis SWOT Faktor Peluang Pengembangan
AgropolitanAgropolitanAgropolitanAgropolitanAgropolitan
Sumber: Analisis data primer
Ket rating: 1=sangat lemah; 2=lemah; 3= sedang; 4: Kuat; 5=
Sangat kuat
Sedangkan hasil analisis SWOT terhadap faktor ancaman dari
lingkungan eksternal dalam pengembangan agropolitan di Kabupaten
Barito Kuala disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan hasil analisis faktor
ancaman terhadap lingkungan eksternal dalam rangka pengembangan
agropolitan di Kabupaten Barito Kuala menghasilkan 8 indikator
penting dengan nilai bobot dari 0.11011 sampai dengan 0.13258.
Infrastruktur sektor pendukung pertanian di luar kawasan kurang
memadai sehingga tidak menjamin ketesediaan dan kontinuitas harga/
biaya tinggi; Adanya perdagangan bebas (era globalisasi); Serangan
140 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
OPT dan organisme/penyakit ternak; Beralihnya fungsi lahan dari
pertanian ke bukan pertanian daan kerusakan lingkungan hidup dan
pengelolaan SDA (hutan) yang tidak memperhatikan kaaidah
konservasi; Kurangnya dukungan aparat Dinas di tingkat propinsi;
Rendahnya nilai tukar produk pertanian; Lemahnya modal petani daan
akses terhadap perbankan rendah; Kurangnya pengetahuan dan
kesadaran masyarakat tentang mutu produk-produk pertanian serta
iklim yang tidak menentu (El Nino dan La Nina). Kedelapan indikator
tersebut merupakan faktor ancaman dalam pengembangan agropolitan
yang tergolong kuat sehingga perlu dilakukan langkah-langkah
perbaikan dan antisipasi demi keberhasilan agropolitan itu sendiri.
Berdasarkan hasil perhitungan nilai tertimbang, faktor eksternal yang
dimiliki dalam upaya pengembangan agropolitan di Kabupaten Barito
Kuala adalah dari pengurangan faktor peluang dan faktor ancamana,
yaitu 3.61678–2.96603 = 0.65075, sehingga menciptakan sumbu Y
sebesar 0.65075. dengan demikian, faktor peluang yang dimiliki dalam
mengembangkan agropolitan memiliki nilai yang lebih besar daripada
faktor ancaman yang dihadapi, yaitu sebesar 0.65075. Hal ini
menunjukkan bahwa prospek pengembangan agropolitan di Kabupaten
Barito Kuala cukup baik karena peluang lebih besar dari faktor ancaman
yang dihadapi.
141FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Tabel 4 Analisis SWOT Faktor Ancaman PengembanganTabel 4 Analisis SWOT Faktor Ancaman PengembanganTabel 4 Analisis SWOT Faktor Ancaman PengembanganTabel 4 Analisis SWOT Faktor Ancaman PengembanganTabel 4 Analisis SWOT Faktor Ancaman Pengembangan
AgropolitanAgropolitanAgropolitanAgropolitanAgropolitan
Sumber: Analisis data primer
Ket rating: 1=sangat lemah; 2=lemah; 3= sedang; 4: Kuat; 5=
Sangat kuat
Berdasarkan dari hasil penghitungan pada Tabel 1 hingga Tabel 4
tersebut di atas dapat diketahui nilai sumbu X sebesar 0.7525 dan nilai
sumbu Y sebesar 0.6507. Sehingga dapat digambarkan dalam diagram
SWOT seperti tersaji dalam Gambar 2.
142 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Gambar 2. Diagram Analisis SWOT Program Agropolitan
Berdasarkan pada diagram SWOT pada Gambar 2, dapat
ditunjukkan bahwa posisi strategis pengembangan agropolitan di
Kabupaten Barito Kuala pada pemetaan analisis lingkungan strategik
(lingkungaan internal daan eksternal) berada pada kuadran I
(pertama). Pada diagram SWOT tersebut tergambar bagaimana peluang
dan ancaman eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dalam mengembangkan
agropolitan. Berdasarkan dari hasil analisis tersebut (kegiatan atau
usaha yang berada pada kuadran pertama), memberikan indikasi
bahwa peluang yang lebih besar dari ancaman yang ada juga memiliki
kekuatan yang lebih besar dari kelemahan yang dimilikinya.
Dengan kata lain, strategi pengembangan agropolitan di
Kabupaten Barito Kuala seharusnya dapat memanfaatkan peluang
yang ada dengan memaksimalkan kekuatan yang dimiliki. Dengan
143FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
demikian, strategi yang sebaiknya diterapkan dalam pengembangan
agropolitan ini adalah pertumbuhan yang agresif (Growth Oriental
Strategy) atau menggunakan strategi Strengths-Opportunities (Strategi
SO).
Strategi ini dibuat berdasarkan analisis lingkungan strategik
tentang peluang pengembangan agropolitan di Kabupaten Barito
Kuala, yaitu berdasarkan faktor-faktor lingkungan internal (kekuatan
dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman). Atas dasar
tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Barito Kuala akan dapat
memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan
peluang sebesar-sebesarnya. Strategi yang berorientasi pada
pertumbuhan agresif (Growth Oriental Strategy) diperlukan untuk
memetakan perpaduan yang menguntungkan antara kekuatan dan
peluang yang dimiliki.
(c) Strategi Pengembangan(c) Strategi Pengembangan(c) Strategi Pengembangan(c) Strategi Pengembangan(c) Strategi Pengembangan
Memperhatikan kekuatan kunci di atas dalam rangka
mewujudkan pengembangan agropolitan ke arah yang lebih maju dan
dapat bersaing dengan daerah lain, baik dalam maupun di luar Provinsi
Kalimantan Selatan, dengan peluang yang ada Pemerintah Kabupaten
Barito Kuala secara efektif dan efisien, maka harus dilakukan tindak
lanjut dengan menyusun strategi-strategi tertentu sehingga
mempermudah langkah pengembangan selanjutnya. Strategi
pengembangan yang dimaksud adalah dengan menggunakan asumsi
atau kesimpulan yang dihasilkan dalam analisis lingkungan strategik
(analisis SWOT), baik lingkungan internal (faktor kekuatan dan
kelemahan) maupun eksternal (faktor peluang dan ancaman) seta
dampaknya terhadap masa depan dari pengembangan agropolitan itu
sendiri.
Asumsi-asumsi tersebut merupakan dasar-dasar untuk
menetapkan dan menyusun perencanaan strategis sebagaimana
teridentifikasi dalam matriks analisis lingkungan strategik. Berdasarkan
asumsi-asumsi tersebut dengan menggunakan visi dan misi Pemerintah
Kabupaten Barito Kuala, maka dihasilkan pilihan strategis (strategic
choices) yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
144 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
1. Pengembangan dan perbaikan sarana dan prasarana penunjang
usaha tani.
Langkah ini sangat diperlukan seperti peningkatan infrastruktur
untuk membuka aksesibilitas wilayah, peningkatan fasilitas umum
dan transportasi serta sarana produksi pertanian dalam rangka
menunjang pengembangan agropolitan.
2. Pengembangan kawasan agribisnis.
Strategi pengembangan kawasan agribisnis ini meliputi
pemasaran dan permodalan, yaitu penyediaan pasar khusus
pertanian yang terpusat untuk kegiatan perdagangan dan jasa
yang berada dalam kawasan agropolitan. Pada pasar ini akan
terdapat kegiatan jual beli, baik jual beli alat-alat produksi,
komoditi hasil pertanian maupun produk yang telah diolah dari
hasil komoditi pertanian kawasan itu sendiri serta jasa lainnya
yang menunjang usaha masyarakat petani. Untuk penyediaan
lembaga permodalan yang dapat membantu petani lebih intensif
menjalankan usaha taninya adalah dengan membentuk Badan
Prekreditan Rakyat yang ditangani oleh pihak swasta, dimana
selain menyediakan kredit bagi masyarakat dari dana bantuan
pemerintah, pihak swasta dan swadaya masyarakat juga dapat
memberikan pelayanan tabungan masyarakat.
3. Percepatan penggunaan teknologi budidaya dan mekanisasi
pertanian.
Dalam upaya peningkatan sumberdaya petani, teknis budidaya
tanaman yang dikembangkan meliputi penanaman, perawatan
dan pemanenan dapat diakses secara cepat, tepat dan benar. Dan
penerapan teknologi harus sesuai dengan kegiatan masyarakat
yaitu teknologi tepat guna dan dapat mensejahterakan
masyarakat itu sendiri. Penggunaan mekanisasi pertanian dengan
menggunakan alsintan agar diterapkan secara kontinyu untuk
pengembangan kemampuan petani dengan diberikan bimbingan
dan keterampilan penggunaannya agar prosesnya berjalan
dengan efektif dan efisien. Petani dibimbing untuk menghilangkan
kebiasaan menggunakan metode tradisonal, tetapi didorong
untuk menggunakan metode baru yang lebih mudah dan efisien
145FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
dengan memberikan kesadaran akan pentingnya penggunaan
alsintan tersebut.
4. Peningkatan mutu diversifikasi, intensifikasi, dan ekstensifikasi
Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian (TPHP).
Pembinaan dilakukan oleh pemerintah daerah dan pihak terkait
lainnya dalam memberikan bimbingan kepada masyarakat dalam
proses pengolahan hasil pertanian yang efektif dan efisien yaitu
dengan peningkatan kemampuan masyarakat itu sendiri dalam
merebut pasar, pandai mendekati konsumen demi produk yang
ditawarkan. Dengan mengetahui selera konsumen maka
pengolahan komoditi baru akan terbuka peluangnya untuk
menguasai pasar. Hal ini tentunya akan memberi keuntungan
bagi masyarakat/petani.
5. Peningkatan dan pemanfaatan peran kelembagaan.....
Penguatan kelembagaan seperti kelompok tani, ataupun KUBA
harus mendapat pembinaan yang intensif dari fasilitator yang
berpengalaman dalam pengembangan kelembagaan ditingkat
petani., yang pada akhirnya perkumpulan ini akan berperan
karena akan mudah mengakses informasi tentang harga pasar.
Unit kelembagaan ini harus mampu bersaing dalam hal
menghasilkan jumlah dan kualitas produk yang tinggi.
6. Pemberdayaan petugas petani termasuk penyuluh pertanian
lapangan dan petugas lainnya dalam rangka pengembangan
agropolitan.
Hal ini sangat diperlukan agar ada kesamaan persepsi untuk
pelaksanaannya, maka harus ada bimbingan dan pelatihan secara
terpadu dalam membangun kekompakan diantara petugas,
mengingat para petugas dan penyuluh pertanian lapangan yang
ada berbeda disiplin ilmu.
D. Kesimpulan.Berdasarkan hasil pembahasan hasil penelitian, maka dapat
disimpulkan temuan lapang sebagai berikut:
1. Kegiatan pertanian dalam konteks pengembangan model
agropolitan di Kabupaten Barito Kuala belum mengarah pada
146 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
usaha industri (pengolahan) pertanian. Perdagangan hasil
pertanian belum mempunyai tempat khusus yang dekat dengan
kawasan agropolitan seperti Sub Terminal Agribisnis (STA) atau
pasar pertanian. Agribisnis hulu seperti usaha penyediaan sarana
pertanian dan permodalan, usaha agrowisata dan jasa pelayanan
belum berkembang. Bahkan kehidupan masyarakat di kawasan
agropolitan belum menunjukkan suasana “kota pertanian”,
karena terbatasnya sarana dan fasiltas umum untuk menunjang
keperluan masyarakat petani, seperti misalnya pusat saprodi dan
pusat industri pengolahan hasil-hasil pertanian.
2. Berdasarkan identifikasi dan analisis lingkungan stratejik, faktor-
faktor kunci keberhasilan dalam pengembangkan model
agropolitan di Kabupaten Barito Kuala cenderung bernilai positif,
karena:
a. Telah terbukanya akses pasar produk pertanian melalui jalur
darat ke Kota Banjarmasin, Kabupaten Kapuas, Kota
Palangkaraya, Samarinda dan Balikpapan, serta jalur laut dan
udara ke Pulau jawa dan Jakarta.
b. Adanya pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) Kabupaten Barito Kuala pada sektor pertanian yang
ternyata terus meningkat, yaitu dari Rp747.778.870.000 pada
tahun 2004 menjadi Rp961.468.731.000 pada tahun 2008.
c. Adanya produk unggulan pertanian dan yang dapat
diandalkan, yakni berupa padi jenis Siam Mutiara dan jeruk
jenis Siam Batola serta sapi potong dari jenis Sapi Bali.
147FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
DAFTAR RUJUKAN
Anonimous, 2004. Laporan Akhir Penyusunan Master Plan Kawasan
Agropolitan Terantang Kabupaten Barito Kuala. Bappeda
Kabupaten Barito Kuala, Marabahan.
__________, 2005. Pengembangan Kawasan Agropolitan. Direktorat
Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen
Pekerjaan Umum RI, Jakarta.
__________, 2006. Modul Kajian Manajemen Strategik. LAN-RI,
Jakarta.
__________, 2008, Modul Teknik-Teknik Analisis Manajemen. LAN-
RI, Jakarta.
__________, 2008. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Kabupaten Barito Kuala Tahun 2007–2012. Pemerintah
Kabupaten Barito Kuala, Marabahan.
__________, 2009. Barito Kuala Dalam Angka Tahun 2009. BPS Batola,
Marabahan.
Anwar, A., 1999. Konsep Pembangunan Daerah Melalui Pendekatan
Agropolitan. ITB Bandung.
Daniel, Moehar, 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. PT Bumi Aksara,
Jakarta.
Hughes, O.E. 1994. Public Management and Administration: An in-
troduction. The Macmilland Press, London.
Jayadinata, Johara T, 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan
Pedesaan Perkotaan dan Wilayah. Penerbit ITB, Bandung.
Jayadinata, J.T. dan I.G.P Pramandika, 2006. Pembangunan Desa
Dalam Perencanaan. Penerbit ITB, Bandung.
Krishnamurti, 2006. Kawasan Agropolitan: Konsep Pembangunan
Desa Berimbang. Crescent Press, Bogor.
Kuswartoyo, Thuk, 1999. Membuat Pembangunan Berlanjut, Jakarta.
Martodireso, Sudadi dan W.A. Suryanto, 2002. Agribisnis Kemitraan
Usaha Bersama. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Nidya, 2006. Studi Arahan Pengembangan Agrobisnis Pada Kawasan
Agropolitan Terantang Kabupaten Barito Kuala. ITN, Malang.
148 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Reksohadiprojo, 1982. Manajemen Strategis. BPFE, Yogyakarta
Rangkuti, Fredy, 1999. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis.
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Rusman,Erman dan Emil E.D., 2008. Agropolitan. Direktorat Jenderal
Penataan Ruang, Jakarta.
Rustiadi, Ernan dkk., 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah.
Penerbit Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Salusu, J., 2000. Pengambilan Keputusan Strategik. PT Gramedia,
Jakarta.
Sarman, Mukhtar, 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial.
Pustaka FISIP UNLAM, Banjarmasin.
_____________, 2008. Dinamika pedesaan: Sebuah Pendekatan
Sosiologis. Program MSAP Unlan, Banjarbaru.
Sarman, Mukhtar dkk, 2008. Program Pemberdayaan Masyarakat
Berbasis LERD: Peluang Kalimantan Selatan. PK2PD dan Pro-
gram MSAP Unlam, Banjarbaru.
Recommended