43
106 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011 Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah 1 Oleh Hj. Harliani 2 ABSTRACT ABSTRACT ABSTRACT ABSTRACT ABSTRACT This study aims to examine the development strategies agropolitan in Barito Kuala District in terms of community empowerment (farmer), and analyze the factors that support the successful development of agropolitan in the future. The results showed that the development agropolitan Barito Kuala District has provided benefits to society, espe- cially farmers. Most people in the region derive income from agricultural activities, although in fact not developed according to the concept agropolitan. Agricultural activities have not led to industrial enterprises (processing) of agricultural products. Trading of agricultural products do not have a special place close to the area agropolitan as Agribusiness Sub Terminal (AST) or the agricultural market. Agribusiness up stream such as agricultural supply business and capital facilities, agro busi- ness and underdeveloped services. To develop agropolitan regions re- quire special strategies. Strategy involves the development and improve- ment of facilities and infrastructure supporting farming, agribusiness development area, the use of agriculture technology, agricultural mecha- nization, improving quality of diversification, intensification and extensification of agricultural product processing technology, improve- ment and utilization of the institutional role of farmers, as well as im- proving the quality of advisory services to farmers. 1 Ditulis ulang dari Tesis berjudul “Strategi Pengembangan Agropolitan di Kabupaten Barito Kuala” yang dibuat oleh Hj. Harliani dibawah bimbingan Prof. Dr. Suprijanto, Prof. Dr. Suprijanto, Prof. Dr. Suprijanto, Prof. Dr. Suprijanto, Prof. Dr. Suprijanto, M.Ed M.Ed M.Ed M.Ed M.Ed dan Ir. Umi Salawati, MSi. Ir. Umi Salawati, MSi. Ir. Umi Salawati, MSi. Ir. Umi Salawati, MSi. Ir. Umi Salawati, MSi. 2 Hj. Harliani Hj. Harliani Hj. Harliani Hj. Harliani Hj. Harliani adalah mahasiswa Program Magister Sains Administrasi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat (MSAP UNLAM) angkatan III, dan status pekerjaannya saat itu adalah PNS di Pemkab Barito Kuala, Kalimantan Selatan.

Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

Citation preview

Page 1: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

106 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Model Agropolitan Untuk Pengembangan

Potensi Ekonomi Daerah1

Oleh Hj. Harliani2

ABSTRACTABSTRACTABSTRACTABSTRACTABSTRACT

This study aims to examine the development strategies agropolitanin Barito Kuala District in terms of community empowerment (farmer),and analyze the factors that support the successful development ofagropolitan in the future. The results showed that the developmentagropolitan Barito Kuala District has provided benefits to society, espe-cially farmers. Most people in the region derive income from agriculturalactivities, although in fact not developed according to the conceptagropolitan. Agricultural activities have not led to industrial enterprises(processing) of agricultural products. Trading of agricultural productsdo not have a special place close to the area agropolitan as AgribusinessSub Terminal (AST) or the agricultural market. Agribusiness up streamsuch as agricultural supply business and capital facilities, agro busi-ness and underdeveloped services. To develop agropolitan regions re-quire special strategies. Strategy involves the development and improve-ment of facilities and infrastructure supporting farming, agribusinessdevelopment area, the use of agriculture technology, agricultural mecha-nization, improving quality of diversification, intensification andextensification of agricultural product processing technology, improve-ment and utilization of the institutional role of farmers, as well as im-proving the quality of advisory services to farmers.

1 Ditulis ulang dari Tesis berjudul “Strategi Pengembangan Agropolitan di KabupatenBarito Kuala” yang dibuat oleh Hj. Harliani dibawah bimbingan Prof. Dr. Suprijanto,Prof. Dr. Suprijanto,Prof. Dr. Suprijanto,Prof. Dr. Suprijanto,Prof. Dr. Suprijanto,M.EdM.EdM.EdM.EdM.Ed dan Ir. Umi Salawati, MSi.Ir. Umi Salawati, MSi.Ir. Umi Salawati, MSi.Ir. Umi Salawati, MSi.Ir. Umi Salawati, MSi.

2 Hj. HarlianiHj. HarlianiHj. HarlianiHj. HarlianiHj. Harliani adalah mahasiswa Program Magister Sains Administrasi PembangunanUniversitas Lambung Mangkurat (MSAP UNLAM) angkatan III, dan statuspekerjaannya saat itu adalah PNS di Pemkab Barito Kuala, Kalimantan Selatan.

Page 2: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

107FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

A. PENDAHULUANA. 1. Latar Belakang Masalah

Merujuk Propenas, kerangka kebijakan pembangunan nasional

pada sektor pertanian diarahkan untuk mendukung pengembangan

agribisnis dalam upaya peningkatan kualitas dan daya saing produk

pertanian. Untuk peningkatan produksi pertanian, pemerintah

melakukan berbagai program seperti program intensifikasi dan

ekstensifikasi, dengan tujuan untuk peningkatan perekonomian rakyat,

terutama di perdesaan. Harapannya adalah, keberhasilan

pembangunan pertanian tersebut akan berimplikasi pada perekonomian

nasional.

Program pengembangan kawasan agropolitan merupakan salah

satu upaya dalam rangka merealisasikan pembangunan ekonomi

berbasis pertanian dengan pendekatan pengembangan sistem dan usaha

agribisnis. Agribisnis adalah pola pengembangan potensi pertanian

berbasis manajemen usaha tani yang mengutamakan perbaikan nilai

tambah produk hasil pertanian; dan mengasumsikan petani dapat

mengambil posisi sebagai pelaku bisnis melalui pemenfaatan

kelembagaan ekonomi berpola kemitraan bersama di tingkat desa

(Martodireso dan Suryanto, 2002).

Sebagai bagian tak terpisahkan dari kebijakan pembangunan

nasional, kebijakan pembangunan pertanian di Kalimantan Selatan

juga mengikuti pola yang sudah menjadi ketetapan perencanaan

pembangunan nasional. Dalam rangka mengupayakan perbaikan

tingkat kesejahteraan masyarakat petani, terutama dalam konteks

pengembangan ekonomi perdesaan, program pembangunan pertanian

di Kalimantan Selatan, selain untuk meningkatkan ketahanan pangan

nasional, secara khusus diarahkan untuk pengembangan kelembagaan

petani di perdesaan melalui sistem usahatani agribisnis, dan

menghasilkan berbagai produk unggulan yang mampu bersaing di

pasar dan mendukung program swasembada pangan (Anonimous,

2008). Namun demikian, kebijakan semacam itu hanya akan efektif

apabila daerah-daerah sentra pertanian atau daerah yang potensial di

bidang pertanian yang ada di Kalimantan Selatan memang mendukung

implementasi kebijakannya. Dan untuk hal tersebut kabupaten Barito

Page 3: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

108 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Kuala adalah salah satu daerah yang mestinya memenuhi persyaratan

dimaksud.

Kabupaten Barito Kuala sebagai salah satu kabupaten di

Kalimantan Selatan memiliki keunggulan dalam bidang pertanian, dan

khususnya pada produk padi. Selama satu dekade hingga pada tahun

2008, kabupaten ini adalah salah satu penghasil beras utama di

Kalimantan Selatan (rata-rata tingkat produksi beras kabupaten Barito

Kuala mencapai 18% dari total produksi Kalimantan Selatan). Daerah

ini juga dikenal sebagai penghasil berbagai komoditas hortikultura

unggulan seperti jeruk, mangga, nenas dan rambutan. Produk-produk

pertanian ini melimpah pada saat musim panen, melampaui kebutuhan

lokal (Anonimous, 2009). Lebih dari itu, penduduk di sejumlah kawasan

daerah transmigrasi yang ada di wilayah kabupaten ini adalah para

transmigran yang dikenal handal dalam urusan budidaya pertanian

dalam arti luas. Dan antara lain karena alasan itu, Pemda Barito Kuala

berkeyakinan bahwa di daerah ini sebenarnya dapat dikembangkan

potensi pertanian berbasis model agropolitan. Kawasan agropolitan

yang kemudian terpilih dirancang menjadi kawasan agribisnis yang

berbasis pada tanaman pangan, atau berbasis hortikultura atau berbasis

perkebunan atau berbasis peternakan atau berbasis komoditas

campuran (Bappeda Batola, 2004).

Untuk mendukung rencana pengembangan model agropolitan,

Pemerintah Kabupaten Barito Kuala telah menetapkan kebijakan pro-

gram unggulan daerah terpadu sejak tahun 2003 dengan menetapkan

pengembangan kawasan rintisan agropolitan (SK Bupati Barito Kuala

Nomor 369 Tahun 2003). Kawasan dimaksud dipusatkan di kawasan

daerah pengairan Terantang dan daerah pengairan Belawang, diikuti

pengembangan beberapa kawasan sentra produksi lainnya, yaitu: (1)

Kawasan agropolitan padi berbasis jeruk seluas 39.335 ha dengan pusat

pertumbuhannya meliputi Kecamatan Mandastana, Belawang, Rantau

Badauh dan Barambai; dan (2) Kawasan agropolitan palawija berbasis

ternak seluas 31.241 ha dengan pusat pertumbuhan di Kecamatan

Wanaraya dan Barambai.

Berdasarkan Keputusan Bupati Barito Kuala Nomor 414 Tahun

2004 tentang Pembentukan Forum Koordinasi dan Kelompok Kerja

Page 4: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

109FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten Barito Kuala, telah

dilakukan upaya-upaya strategis untuk terus melaksanakan kegiatan

penumbuhan dan pengembangan kawasan agropolitan, baik kawasan

padi berbasis jeruk maupun kawasan palawija berbasis ternak.

Tanaman padi semakin diintensifkan. Sedangkan untuk tanaman jeruk

di kawasan agropolitan ini terus dikembangkan baik dengan cara

penanaman bibit baru dan penangkaran maupun pengembangan pada

wilayah pengembangan baru. Luasan tanaman jeruk pada kawasan

agropolitan pada tahun 2003 adalah 1.300 ha, yang terus

dikembangkan tiap tahun guna mencapai tingkat produksi yang lebih

baik (dengan target rata-rata 14 ton/ha). Untuk pengembangan

populasi ternak sapi Bali dari sebanyak 5.860 ekor pada saat rintisan

kawasan ini tahun 2003, diproyeksikan menjadi 16.580 ekor pada lima

tahun berikutnya (tahun 2008).

Program pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Barito

Kuala yang dilakukan sejak tahun 2003 sebenarnya dimaksudkan

untuk memacu pembangunan bidang pertanian di kawasan tersebut,

sehingga diharapkan mampu mendorong laju pembangunan kawasan

sekitarnya. Namun demikian dalam implementasinya masih belum

berjalan secara maksimal. Contohnya, untuk pengembangan ternak

sapi misalnya, implementasi kebijakannya meliputi pengembangan sapi

potong dengan orientasi pada peningkatan produksi daging. Data

populasi ternak sapi pada kawasan utama, yaitu Kecamatan Wanaraya

dan Barambai, hingga tahun 2008 (lima tahun kemudian) ternyata baru

mencapai 8.352 ekor (Anonimous, 2009).

Merujuk pada penelitian Sarman dkk (2008), Kabupaten Barito

Kuala adalah salah satu kabupaten tertinggal di Provinsi Kalimantan

Selatan. Dalam statusnya sebagai “kabupaten tertinggal” banyak sekali

masalah struktural yang dihadapi kabupaten ini. Dari perspektif

struktur ekonomi yang menentukan PDRB kabupaten ini, disebutkan

dalam penelitian itu bahwa ketertinggalan daerah ini antara lain

disebabkan oleh dominannya sektor pertanian tradisional sebagai sektor

basis ekonomi daerah, dan hal itu menyebabkan pertumbuhan ekonomi

di daerah ini cenderung tipikal memiliki laju pertumbuhan dan

kontribusinya lebih rendah dari laju pertumbuhan dan kontribusi sektor

Page 5: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

110 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

tersebut di tingkat atasnya (provinsi). Sebagai implikasi dari tidak

memadainya kontribusi pertumbuhan ekonomi basis itulah, diduga,

yang menyebabkan kemiskinan penduduk di kabupaten ini masih

menumpuk di pedesaan yang basis ekonominya adalah pertanian

tradisional.

Kemiskinan penduduk membutuhkan solusi, dan pemerintah

senantiasa berusaha melakukan berbagai kebijakan strategis untuk

mengatasi masalah itu. Untuk kasus kemiskinan penduduk di

pedesaan, solusi kebijakannya harus dikaitkan dengan kondisi aktual

dan syarat-syarat kultural masyarakat pedesaan yang umumnya berciri

pertanian. Penduduk miskin di Kabupaten Barito Kuala bukanlah

kekecualian dari asumsi semacam itu. Apakah program agropolitan

dapat menjawab tantangan mengatasi kemiskinan penduduk,

khususnya yang bermukim di pedesaan dan bergiat di bidang pertanian

tanaman pangan? Jawabannya mestinya dapat diperoleh dengan

melihat fakta di lapangan dan mengaitkannya dengan peluang

keberhasilan program tersebut menciptakan peluang usaha baru.

Namun, masalahnya adalah, sejak dirintis tahun 2003 hingga

pengamatan tahun 2009 (baca: 6 tahun berjalan), kegiatan agribisnis

di wilayah yang dimaksudkan untuk program agropolitan di

Kabupaten Barito Kuala praktis tidak cukup mamadai. Di lokasi

tersebut kegiatan pertanian dan usaha tani penduduk setempat praktis

masih berkutat di bidang budidaya, sedangkan aspek pemasaran hasil

pertanian masih bersifat konvensional alias tidak menggunakan tata

cara perdagangan yang mengacu pada sistem pemasaran pertanian

modern (agribisnis) yang seharusnya.

Oleh karena itu, maka dianggap penting dilakukan penelitian

untuk menelaah strategi pengembangan agropolitan yang telah

dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Barito Kuala, apakah

dalam implementasinya telah menerapkan prinsip-prinsip program

yang ajeg dan terukur; paling tidak dalam konteks kerangka besar visi

dan misi pembangunan yang telah ditetapkan oleh Kepala Daerah

sebagaimana yang dimuat dalam RPJM kabupaten, dan apakah sudah

dapat dinilai manfaat riil dari pelaksanaan program tersebut bagi

kemaslahatan masyarakat yang dilibatkan dalam program.

Page 6: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

111FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

A. 2. Pokok Permasalahan

Keberhasilan suatu program agropolitan pada dasarnya tidak

hanya membutuhkan keterlibatan petani, tetapi juga sejumlah stake-

holders pembangunan kawasan pertanian. Partisipasi masyarakat boleh

jadi cukup baik, tetapi apakah aktivitasnya sesuai dengan kerangka

dasar pengembangan kawasan agropolitan. Aktivitas petani boleh jadi

sesuai dengan prinsip-prinsip agribisnis, tetapi apakah aktivitas

dimaksud karena terpicu oleh program agropolitan yang dirancang

oleh pemerintah daerah. Bahkan, seharusnya, keberhasilan program

agropolitan itu dapat memicu pengembangan wilayah, karena pro-

gram agropolitan itu adalah hulu dari kegiatan-kegiatan agribisnis yang

sangat luas dan banyak ragamnya. Dan karena itulah penting sekali

ditelaah bagaimana perencanaan yang telah dibuat oleh pemerintah

daerah dan bagaimana implementasi dari kebijakan program yang telah

dirancang dalam rangka mengembangkan potensi daerah di bidang

pertanian dan diarahkan untuk mendukung model agropolitan di

Kabupaten Barito Kuala.

A. 3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pokok permasalahan di atas, maka

dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Sampai sejauh

mana implikasi program agropolitan di Kabupaten Barito Kuala

terhadap peluang pengembangan potensi ekonomi lokal di daerah

tersebut?

A. 4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah ingin mengetahui faktor-faktor kunci

keberhasilan (critical succes factors) kawasan agropolitan di Kabupaten

Barito Kuala dan apa manfaat praktis dari program pengembangan

agropolitan di daerah ini bagi kelompok masyarakat, dan khususnya

kaum tani, yang berada di lokasi pelaksanaan program.

B. METODOLOGIA. Teorisasi Masalah

Merujuk pada penelitian terdahulu, upaya pengembangan potensi

ekonomi lokal berbasis model agropolitan ternyata tidaklah mudah.

Page 7: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

112 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Lembaga Penelitian

Universitas Lambung Mangkurat (2004) misalnya memberikan skenario

bahwa program pengembangan kawasan agropolitan Terantang (salah

satu lokasi kawasan agropolitan di Kabupaten Barito Kuala) mestinya

dilakukan secara bertahap dengan jangka waktu 10 tahun. Setelah

berakhirnya masa implementasi program yang dijabarkan tiap

tahunnya dengan sebaik-baiknya maka kawasan agropolitan Terantang

akan muncul sebagai kawasan pertanian andalan yang menjadi pusat

produksi dan pengolahan hasil pertanian dengan komoditas padi

berbasis jeruk untuk lingkup pasar regional dan nasional. Untuk

mewujudkan hal tersebut maka dukungan semua stakeholder yang

terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan sangat

diharapkan, sehingga kegiatan ini sesuai dengan perencanaan.

Dukungan dari petani yang menjadi aktor utama dalam pengembangan

kawasan agropolitan ini mutlak diperlukan, serta pemerintah sebagai

fasilitator kegiatan.

Skenario pengembangan kawasan pada dasarnya ditetapkan

berdasarkan beberapa pertimbangan yang sesuai dengan potensi dan

karakter kawasan, yaitu:

(1) Perlu adanya informasi lahan secara detail dalam bentuk Sistem

Informasi Geografi (SIG) dalam memandu pengembangan kawasan.

(2) Pembekalan tentang sistem agrobisnis yang berwawasan lingkungan

melalui program sumberdaya manusia.

(3) Peningkatan jaringan jalan, fasilitas perekonomian, fasilitas

pelayanan dan fasilitas umum yang mendukung pengembangan

kawasan.

(4) Memberdayakan kelembagaan sesuai derngan fungsi dan

memperkuat permodalan dengan pendampingan yang intensif

terhadap unit-unit usaha dalam masyarakat.

(5) Memberikan kemudahan bagi kemitraan dan investor yang akan

berperan dalam pengembangan kawasan.

Penelitian yang dilakukan oleh Nidya (2006), yang mengambil

kasus kawasan agropolitan Terantang, kabupaten Barito Kuala,

menguatkan saran yang dikemukakan oleh tim peneliti dari Lembaga

Penelitian Universitas Lambung Mangkurat tersebut. Dari hasil

Page 8: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

113FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

penelitiannya, Nidya sampai pada kesimpulan bahwa pengembangan

agrobisnis pada kawasan agropolitan Terantang dapat diarahkan pada

agrobisnis hulu, proses produksi dan agrobisnis hilir yang diharapkan

dapat mewujudkan pengembangan kawasan agropolitan Terantang

di masa yang akan datang.

Bentuk arahan agrobisnis huluagrobisnis huluagrobisnis huluagrobisnis huluagrobisnis hulu untuk kawasan Agropolitan

Terantang adalah dalam bentuk:

(1) Meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam pengelolaan

kawasan dan kerjasama yang baik dalam penyediaan sarana dan

prasarana produksi, pemasaran dan permodalan.

(2)Meningkatkan pembangunan fasilitas, utilitas serta transportasi pada

kawasan agropolitan.

(3)Meningkatkan potensi sumberdaya manusia dengan penguasaan

teknologi.

(4)Meningkatkan semangat masyarakat di dalam kawasan untuk

merebut pasar.

(5)Membuka kerjasama dengan pemerintah daerah lain dan pihak

swasta sehingga dapat menguasai pasar.

Bentuk kegiatan proses produksiproses produksiproses produksiproses produksiproses produksi pertanian bagi kawasan

agropolitan di Terantang adalah:

(1)Meningkatkan produktivitas sumberdaya petani dengan cara

melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama pada kelompok

usia produktif.

(2)Membimbing petani dalam penerapan alsintan dan pengembangan

metode baru dalam penggarapan lahan pertanian.

(3)Meningkatkan produksi pertanian padi dan hortikultura sebagai

komoditas unggulan serta mengembangkan komoditas lainnya

dengan memanfaatkan sarana dan prasarana yang tersedia.

Sedangkan arahan agrobisnis hiliragrobisnis hiliragrobisnis hiliragrobisnis hiliragrobisnis hilir bagi kawasan agropolitan

Terantang adalah:

(1) Meningkatkan produktivitas unit pengolah komoditas pertanian

kawasan.

(2)Memberikan pembinaan produksi kepada masyarakat pada

kawasan dalam pemasaran dan pengolahan hasil.

Page 9: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

114 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

(3)Mencoba membuka usaha pengolahan komoditas baru yang lebih

mendekati selera konsumen.

(4)Selalu tanggap dengan informasi persaingan pasar.

(5)Meningkatkan promosi lintas propinsi.

Dengan demikian, prospek pengembangan kawasan agropolitan

di Kabupaten Barito Kuala pada dasarnya amat tergantung pada

bagaimana keinginan politik dan bentuk kebijakan yang dibuat oleh

Pemerintah Daerah setempat. Mestinya ada kebijakan yang jelas

tentang bagaimana seharusnya tahapan-tahapan yang harus dilakukan

untuk mewujudkan berkembangnya kawasan agropolitan, dan untuk

mendukung komitmen itu apa yang telah dipersiapkan untuk

dikerjakan oleh aparat pelaksana di lapangan. Sedangkan untuk

partisipasi masyarakat, selama arah kebijakannya jelas dan manfaatnya

riil, mestinya tidak akan ada masalah. Dan manakala semua prasyarat

pelaksanaan kebijakan program itu telah dipenuhi, seharusnya pro-

gram pengembangan potensi pertanian yang diarahkan untuk

mendukung keberhasilan model agropolitan di Kabupaten Barito Kuala

dapat diproyeksikan kapan bisa dinilai tahapan capaiannya dan dapat

diprediksikan apa saja kendalanya.

B. 2. Kerangka Konseptual

Menurut Gitlin (Jayadinata, 1999) suatu pembangunan harus

diusahakan agar seluruh anggota masyarakat dapat secara efektif

menggunakan kemudahan dan pengaruh yang sama untuk mencapai

pranata sosial ekonomi. Untuk meratakan pembangunan harus

digunakan cara perwilayahan atau regionalisasi, yaitu pembagian

wilayah nasional dalam satuan wilayah geografi, sehingga setiap

bagian mempunyai sifat tertentu yang khas (dapat juga menurut satuan

daerah administrasi). Untuk pemerataan pembangunan diperlukan

pula desentralisasi, yaitu di samping kebijaksanaan yang diputuskan

oleh pemerintah nasional ada juga kebijaksanaan yang diputuskan oleh

pemerintah regional dan lokal. Merujuk pada Gitlin, keuntungan

desentralisasi dalam pembangunan adalah: (1) Meningkatnya

perkembangan desa secara umum, khususnya produksi pertanian yang

merupakan dasar bagi pertumbuhan selanjutnya; (2) Berkurangnya

Page 10: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

115FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

gangguan sosial dan gangguan budaya; dan (3) Meratanya pembagian

hasil pembangunan.

Dalam konteks pengembangan wilayah, Jayadinata (1999)

mengemukakan bahwa aspek perencanaannya dapat memilih sejumlah

metode, seperti: (a) Pengembangan wilayah secara administratif atau

secara geografis; atau (b) Pengembangan Wilayah khusus yang terdiri

dari: (1) Pengembangan wilayah aliran sungai tertentu yang

dimanfaatkan untuk perkembangkan pertanian dan peternakan, dan

(2) Pengembangan wilayah perdesaan, yang dilakukan dengan

meningkatkan kehidupan sosial ekonomi penduduk dengan

mengembangkan pertanian yang merupakan mata pencaharian pokok

penduduk; atau (c) Pengembangan Wilayah menurut sitem perkotaan,

yang meliputi: (1) Konsep pertumbuhan kutub (growth pole), yang

terpusat dan mengambil tempat (kota) tertentu sebagai pusat

pengembangan yang diharapkan menjalarkan perkembangan ke pusat-

pusat yang tingkatannya lebih rendah. Dalam konsep ini terdapat istilah

spread dan trickling down (penjelaran dan penetesan) serta back wash

dan polarization (penarikan dan pemusatan), dan (2) Konsep

Agropolitan,Agropolitan,Agropolitan,Agropolitan,Agropolitan, yang berdasarkan pada proses difusi dalam ruang

mempunyai prinsip desentralisasi dan mengikutsertakan sebagian besar

penduduk wilayah yaitu penduduk perdesaan yang bertani, dalam

pembangunan. Konsep ini dikembangkan semenjak 1975 oleh Friedmann

Dari kedua konsep pengembangan wilayah tersebut, maka konsep

agropolitan itulah yang dirujuk untuk menjelaskan implementasi

kebijakan pembangunan pertanian di Kabupaten Barito Kuala.

Secara harafiah, “Agropolitan” berasal dari dua kata yaitu Agro

(=pertanian), dan Politan/polis (=kota), sehingga secara umum Pro-

gram Agropolitan mengandung pengertian pengembangan suatu

kawasan tertentu yang berbasis pada pertanian (Anonimous, 2005).

Karena itulah konsep agropolitan bisa multi tafsir, tergantung

konteksnya, yakni:

(1) Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang

yang mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis

sehingga dapat melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan

pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.

(2) Kawasan Agropolitan, terdiri dari kota pertanian dan desa-desa sentra

Page 11: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

116 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

produksi pertanian yang ada di sekitarnya, dengan batasan yang

tidak ditentukan oleh batasan administrasi pemerintahan, tetapi lebih

ditentukan dengan memperhatikan skala ekonomi yang ada. Dengan

kata lain Kawasan Agropolitan adalah Kawasan Agribisnis yang

memiliki fasilitas perkotaan.

(3)Pengembangan Kawasan Agropolitan, adalah pembangunan

ekonomi berbasis pertanian di kawasan agribisnis, yang dirancang

dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagain potensi

yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha

agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan

dan terdesentralisasi, yang digerakan oleh masyarakat dan

difasilitasi oleh pemerintah..

Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa suatu kawasan

agropolitan yang sudah berkembang (mestinya) memiliki ciri-ciri sebagai

berikut:

(1)Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh

pendapatan dari kegiatan pertanian (agribisnis).

(2)Kegiatan di kawasan tersebut sebagian besar didonimasi oleh

kegiatan pertanian atau agribisnis, termasuk di dalamnya usaha

industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian

(termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan

agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan

jasa pelayanan.

(3)Hubungan antar kota dan daerah-daerah hinterland/ daerah-daerah

sekitarnya di kawasan agropolitan bersifat interdependensi/ timbal

balik yang harmonis, dan saling membutuhkan, di mana kawasan

pertanian mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk

olahan skala rumah tangga (off farm), sebaliknya kota menyediakan

fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti

penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi

pengolahan hasil dan penampungan (pemasaran) hasil produksi/

produk pertanian.

(4) Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan

suasana kota karena keadaan sarana yang ada di kawasan

agropolitan tidak jauh berbeda dengan di kota.

Page 12: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

117FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Oleh karena itu tentulah tidak mudah untuk membangun dan

mengembangkan suatu kawasan pertanian tradisional (seperti yang

dicirikan oleh kawasan pertanian di Kabupaten Barito Kuala) menjadi

suatu kawasan agropolitan sebagaimana dibayangkan. Dibutuhkan

strategi yang komprehensif dan kemampuan melaksanakan strategi

itu di lapangan agar tetap sesuai dengan rencana.

Strategi adalah seni memadukan atau menginteraksikan antar

faktor kunci keberhasilan agar terjadi sinergi dalam mencapai tujuan.

Strategi merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Manfaat strategi

adalah untuk mengoptimalkan sumberdaya unggulan dalam

memaksimalkan pencapaian sasaran kinerja. Dalam konsep

manajeman cara terbaik untuk mencapai tujuan, sasaran dan kinerja

adalah dengan strategi memberdayakan sumber daya secara efektif

dan efisien (LAN-RI, 2008).

Mengutip Barney (LAN-RI, 2008), konsep operasional dari strategi

dirumuskan sebagai suatu pola alokasi sumberdaya yang memampukan

organisasi memelihara bahkan meningkatkan kinerjanya. Strategi yang

baik adalah suatu strategi yang menetralisir ancaman/ tantangan, dan

merebut peluang-peluang yang ada, dengan memanfaatkan kekuatan

yang tersedia, serta meniadakan atau memperbaiki kelemahan-

kelemahan yang masih ada.

Secara konsepsional strategi pengembangan dalam konteks

agropolitan adalah upaya untuk melakukan analisis terhadap kondisi

lingkungan kawasan baik internal yang meliputi kelemahan dan

kekuatan dan kondisi lingkungan eksternal yaitu peluang dan ancaman

yang akan dihadapi, kemudian diambil alternatif untuk menentukan

strategi yang harus dilakukan. Analisis lingkungan internal merupakan

suatu proses untuk menilai faktor-faktor keunggulan strategis

perusahaan/organisasi untuk menentukan di mana kekuatan dan

kelemahannya, sehingga penyusunan strategi dapat dimanfaatkan

secara efektif, kesempatan lingkungan dan menghadapi hambatannya,

mengembangkan profil sumberdaya dan keunggulan, membandingkan

profil tersebut dengan kunci sukses, dan mengidentifikasi kekuatan

utama di mana industri dapat membangun strategi untuk

mengeksploitasi peluang dan meminimalkan kelemahan dan mencegah

kegagalan.

Page 13: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

118 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Kondisi lingkungan eksternal yang tidak pasti mengharuskan

perusahaan/organisasi menyusun strategi yang tepat terhadap

pengembangan investasi bisnis, karena lingkungan eksternal tersebut

sebagian besar tidak dapat dikendalikan. Reksohadiprojo (1982),

menganjurkan langkah-langkah yang perlu diambil untuk

memperkirakan peluang serta ancaman lingkungan eksternal dengan

mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan, mengamati perubahan

secara global lingkungan tersebut dan memperkirakan dampak

kumulatif terhadap karakteristik industri. Untuk menghadapi

persaingan yang semakin ketat dan perubahan lingkungan yang tidak

dapat diprediksi, pemerintah Kabupaten Barito Kuala niscaya dituntut

untuk mempunyai suatu strategi bersaing yang unggul dibanding

dengan daerah lainnya di Kalimantan Selatan terutama dalam

pengembangan implementasi kebijakan program agropolitan agar

segera tampak asas manfaatnya.

Merujuk pada Glueck dkk (LAN-RI, 2008) ada empat strategi

utama, yaitu langkah yang dilakukan setelah menganalisa proses

kondisi lingkungan internal dan eksternal adalah menetapkan strategi

yang susuai, antara lain:

(a) Stability strategy. Industri yang menggunakan strategi stabilitas

dapat melanjutkan strategi yang sebelumnya dapat dikerjakan.

Keputusan strategi utama difokuskan pada penambahan perbaikan

terhadap pelaksanaan fungsinya, alasannya karena industri atau

perusahaan telah berhasil dalam taraf kedewasaan, lingkungan

relatif stabil, tidak terlalu berisiko.

(b)Retrenchment strategy. Strategi penciutan pada umumnya

digunakan untuk mengurangi produk pasar, alasannya karena

industri atau perusahaan tidak berjalan dengan baik, lingkungan

semakin mengancam, mendapat tekanan dari konsumen, sehingga

peluang tidak dapat dimanfaatkan dengan baik.

(c) Growth strategy. Strategi pertumbuhan banyak dipertimbangkan

untuk dapat diterapkan pada industri dengan pertimbangan bahwa

keberhasilan industri adalah industri yang selalu terus berkembang.

Strategi pertumbuhan melalui ekspansi dengan memperluas daerah

pemasaran dan penjualan produk atau dapat berupa diversifikasi

produk.

Page 14: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

119FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

(d)Combination strategy. Strategi ini tepat digunakan bila industri

banyak menghadapi perubahan lingkungan dengan kecepatan yang

tidak sama, tidak mempunyai potensi masa depan yang sama, serta

mempunyai arus kas negatif.

Untuk pengembangan agropolitan di Kabupaten Barito Kuala

strategi pertumbuhan (growth strategy) merupakan alternatif strategi

yang patut dipertimbangkan mengingat pembangunan di bidang

pertanian terus berkembang dan pemerintah daerah selalu berusaha

untuk mencari solusi dengan inovasi dan kreativitas yang tinggi untuk

meningkatkan produktivitas, pengolahan hasil yang berkualitas,

pemasaran dan penganekaragaman produk, guna meningkatkan daya

saing.

Namun demikian, kegiatan pengembangan agropolitan oleh

Pemerintah Kabupaten Barito Kuala senantiasa dipengaruhi oleh

lingkungan yang bersifat strategik yakni kondisi, situasi, keadaan dan

peristiwa yang mempengaruhi perkembangan agropolitan dari waktu

ke waktu. Secara terstruktur, lingkungan strategik yang dimaksud

berupa lingkungan internal yang terdiri atas dua faktor strategik yaitu

kekuatan (strenghts) dan kelemahan (weaknesses), dan berupa

lingkungan eksternal yang terdiri atas dua faktor strategik, yaitu peluang

(opportunities) dan ancaman (threaths). Selain juga penting sekali

diperhatikan faktor-faktor keberhasilan (critical succes factors) yang

merupakan faktor-faktor sangat penting dalam mewujudkan

keberhasilan pencapaian suatu tujuan. Mestinya, Pemda Kabupaten

Barito Kuala memperhatikan keberadaan faktor-faktor kunci

keberhasilan tersebut dalam rangka menentukan strategi

pengembangan agropolitan dengan terlebih dahulu menganalisis

lingkungan strategiknya dengan pendekatan analisis SWOT.

Merujuk pada Rustiadi dkk (2009), secara konseptual

pengembangan agropolitan merupakan sebuah pendekatan

pengembangan suatu kawasan pertanian perdesaan yang mampu

memberikan berbagai pelayanan untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat di kawasan produksi pertanian di sekitarnya, baik

pelayanan yang berhubungan dengan sarana produksi, jasa distribusi,

maupun pelayanan sosial ekonomi lainnya sehingga masyarakat

Page 15: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

120 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

setempat tidak harus menuju ke kota untuk mendapatkan pelayanan

yang dibutuhkan. Dengan kata lain, pengembangan agropolitan

merupakan suatu upaya memperpendek jarak antara masyarakat di

kawasan sentra pertanian dengan pusat-pusat pelayanan konvensional

(yang berkembang tanpa orientasi kuat pada pengembangan kegiatan

pertanian). Dengan demikian pusat-pusat pelayanan baru ini

(agropolitan) adalah pusat pelayanan dengan cakupan pelayanan

terbatas dan lebih berorientasi pada pelayanan kebutuhan masyarakat

pertanian.

Sedangkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

menyebutkan bahwa kawasan agropolitan adalah kawasan-kawasan

yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan

sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam

tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan

hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.

Pendekatan semacam ini diasumsikan bisa mendorong penduduk

perdesaan tetap tinggal di perdesaan melalui investasi di wilayah

perdesaan.

Konsep agropolitan semacam itu pada akhirnya dimaksudkan

untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil

pertanian, mendukung tumbuhnya industri agro-processing skala kecil-

menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat

pasar. Secara teknis, agropolitan lalu dipahami sebagai: (1) suatu model

pembangunan yang mengandalkan desentralisasi, mengandalkan

pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah perdesaan;

dan (2) mestinya bisa menanggulangi dampak negatif pembangunan,

seperti migrasi desa kota yang tak terkendali, kehancuran sumberdaya

alam, dan pemiskinan desa.

Merujuk pada Anwar (1999), dalam konteks pembangunan

daerah yang berorientasi pada model agropolitan, disarankan agar

aspek-aspek utama pembangunan (ekonomi, sosial dan lingkungan)

seharusnya diterjemahkan sebagai ekonomi perdesaan yang

berkelanjutan. Pertumbuhan berupa peningkatan kapasitas produksi

daerah yang diakibatkan oleh aktivitas pertanian secara luas bukan

hanya peningkatan aktivitas pertanian budidaya saja. Jadi dalam hal

Page 16: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

121FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

ini aktivitas pertanian yang mengolah bahan mentah yang dihasilkan

dari pertanian budidaya dan aktivitas pemasaran hasil menjadi bagian

yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan ekonomi yang

berkelanjutan. Dalam hal ini konsep pembangunan ekonomi perdesaan

yang berkelanjutan mempunyai kaitan erat dengan aktifitas

pembangunan wilayah dengan agroindustri dan agrobisnis yang akan

dikembangkan.

Merujuk pada Kuswartoyo (1999), dalam kaitannya dengan model

pembangunan berkelanjutan yang bertumpu (focus) pada manusia,

ada lima segi yang harus mendapat perhatian yaitu:

(1)Pemberdayaan (empowerment): meningkatkan kemampuan untuk

memilih dan membuka kesempatan untuk memilih. Secara lebih

persisnya adalah peningkatan kemampuan untuk mengambil

keputusan dan membuka kesempatan untuk ikut serta dalam

pengambilan keputusan, terutama yang bersangkutan dengan

kehidupan mereka sendiri.

(2)Kerjasama (co-operation): membuka dan tidak menghalangi orang

untuk melakukan kerjasama, berinteraksi dan saling mengisi

kebutuhan batinnya dalam kehidupan yang bermutu dan

mempunyai arti.

(3)Keadilan (equity): meningkatkan kemampuan dan kesempatan

untuk mengakses berbagai sumberdaya dan pelayanan.

(4)Keberlanjutan (sustainability): hak generasi yang akan datang untuk

bebas dari kemiskinan dan tetap memiliki hak pribadi.

(5)Keamanan (security): terutama keamanan atas sumber

penghidupannya.

Sumberdaya yang diperlukan untuk menopang dan

mengembangkan kualitas hidup memang harus dikelola dengan baik,

dimanfaatkan dan dialokasikan secara bijaksana. Kondisi yang

demikian itu hanya dapat dicapai apabila ada kepemerintahan (gov-

ernance) yang mempunyai kemampuan yang memadai, yang mampu

memadukan kekuatan sektor pemerintah, badan usaha dan masyarakat

sipil. Oleh karena itu dapat dimengerti apabila PBB memprioritaskan

bantuannya pada pencapaian kepemerintahan yang baik ini.

Pada penyelenggaraan pemerintahan yang baik, masing-masing

pihak yang mempertaruhkan kemempuannya untuk mencapai kualitas

Page 17: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

122 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

hidup yang lebih baik, harus memiliki sifat maupun wawasan sebagai

berikut:

(1)Partisipatif: semua anggota masyarakat dapat memberikan suaranya

dalam pengambilan keputusan, langsung ataupun melalui lembaga

perantara yang diakui mewakili kepentingannya. Partisipasi yang

luas dibangun atas kebebasan berorganisasi dan menyampaikan

pendapatnya secara konstruktif.

(2)Penegakan dan kepatuhan pada peraturan perundangan: hukum

harus ditegakkan atas dasar keadilan tanpa pandang bulu.

(3)Transparansi: adanya aliran informasi yang bebas; adanya

kelembagaan dan informasi yang langsung dapat diakses oleh

berbagai pihak yang berkepentingan, dan informasi juga harus cukup

tersedia untuk dimengerti dan dipantau.

(4)Daya tanggap (responsiveness): kemampuan kelembagaan untuk

memproses dan melayani keluhan dan pendapat semua anggota

masyarakat.

(5)Orientasi pada konsensus: kepemerintahan yang baik harus dapat

menjembatani perbedaan kepentingan untuk mencapai konsensus

yang luas, mengakomodasikan kepentingan, dan kelompok mencari

kemungkinannya dalam penentuan kebijakan dan prosedur.

(6)Bersikap adil: semua orang mempunyai kesempatan untuk

memperbaiki dan memelihara kesejahteraannya.

(7)Efektifitas dan efisiensi: kelembagaan dan prosesnya membuahkan

hasil yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dalam

pemanfaatan sumberdaya ssecara bijaksana (best use).

(8)Akuntabilitas atau pertanggungjawaban: pengambilan keputusan

di pemerintah, sektor swasta dan organisasi kemasyarakatan yang

bertanggungjawab pada publik dan para stakeholder. Akuntabilitas

ini berbeda antara organisasi dan juga tergantung pada apakah

keputusan itu diambil untuk keperluan internal atau eksternal.

(9)Visi strategik: pemimpin dan publik harus memiliki perspektif yang

luas dan jauh tentang pemerintahan yang baik, pengembangan

manusia dan kebersamaan, dan mempunyai kepekaan atas apa yang

diperlukan untuk pembangunan dan perkembangan.

Pembangunan berkelanjutan memerlukan upaya dan tindakan

yang berkelanjutan menuju kondisi yang selalu menjadi lebih baik.

Page 18: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

123FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Pemantauan, peninjauan kembali dan perencanaan ulang, pelaksanaan

tindakan untuk kemudian dipantau lagi – ditinjau kembali apabila salah

atau diteruskan apabila benar – merupakan siklus yang berkelanjutan.

Sistem kehidupan yang kompleks menyebabkan proses itu bukan hanya

proses yang beruntun tetapi merupakan proses yang berjalan paralel,

terdiri dari kegiatan yang beraneka ragam, ada yang berkaitan satu

dengan lainnya ada yang berjalan sendiri-sendiri.

Dalam kehidupan yang demokratis, penyelenggaraan

pemerintahan merupakan upaya bersama dan terpadu antara

pemerintah, badan usaha swasta dan masyarakat sipil. Meskipun

demikian, komponen pemerintah yang merupakan komponen paling

tertata, dalam kenyataannya seringkali tidak mempunyai kemampuan

yang memadai. Hal ini dapat disebabkan antara lain karena struktur

yang sangat terpusat, kualitas serta kuantitas yang tidak mencukupi

maupun sistem imbalan yang kurang sepadan; sehingga praktis tidak

terjadi proses kemandirian pada kelompok masyarakat sipil. Namun

demikian, kemandirian ini juga berkaitan dengan perumusan masalah,

penentuan prioritas kebutuhan, perencanaan pembangunan dan juga

pengelolaan lingkungan.

Merujuk pada Kuswartoyo (1999), ada beberapa prasyarat yang

minimal harus dipenuhi apabila kemandirian tersebut ingin dicapai.

Prasyarat tersebut adalah sebagai berikut: Pertama: anggota masyarakat

mampu merumuskan permasalahan, kebutuhan dan kepentingannya

dan mampu mengartikulasikannya secara meyakinkan. Kedua:

masyarakat mampu menggalang solidaritas kemanusiaan dan mengejar

kepentingan bersama. Hal ini sering terhalang oleh kepentingan pribadi

atau solidaritas yang dipaksakan. Ketiga: tersedianya kesempatan untuk

mencerdaskan diri dari kesempatan menggalang solidaritas. Kekuatan

pemerintah atau kekuatan kapitalis atau kolusi diantara keduanya

sering menjadi penghalang bagi pencerdasan dan penggalangan

solidaritas ini.

Agropolitan sebagaimana dikemukan oleh Friedmann & Douglass

adalah sebuah strategi alternatif untuk mengembangkan daerah-daerah

yang berbasis pertanian untuk menjadi suatu kawasan yang mandiri

dalam urusan pemenuhan kebutuhan pokok warganya (Sarman, 2008).

Isu penting dalam konsep ini adalah prinsip mandiri dan berdikari.

Page 19: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

124 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Kerjasama dan gotong royong dalam masyarakat adalah kunci utama

bagi suksesnya pendekatan agropolitan.

Untuk pengembangan kawasan agropolitan, para pihak yang

terlibat harus sepenuhnya mendukung semua kegiatan dan turut serta

baik langsung maupun tidak langsung. Para pihak dimaksud antara

lain adalah pemerintah (Pusat dan Daerah) sendiri, DPRD, Perguruan

Tinggi, Lembaga Bisnis, Lembaga Keuangan, Pengusaha. Sedangkan

kelompok dan lembaga sosial masyarakat lokal, seperti KUBE dan

sejenisnya, adalah pihak yang seharusnya mendapatkan keuntungan

dari adanya partisipasi para pihak tersebut.

Dengan demikian, ketika model agropolitan dijadikan fokus

strategi pengembangan wilayah, maka seperti terlukis pada Gambar

1, ia harus dimulai dari upaya mengidentifikasikan potensi lingkungan,

jumlah petani dan aksesibilitas wilayah, serta potensi komoditas

unggulan sebagai basis agribisnisnya. Dengan mempertimbangkan

semua faktor pendukung itu mestinya dapat dibuat strategi awal

kebijakan agropolitan. Kebijakan agropolitan mestinya dapat diarahkan

untuk pemanfaatan potensi pertanian dalam pengembangan wilayah,

peningkatan kondisi perekonomian masyarakat terutama petani seperti

berkembangnya modal sosial untuk meningkatkan kesejahteraan

petani, pemberdayaan masyarakat dan berkembangnya agribisnis,

meningkatnya komoditas unggulan yang pada akhirnya dapat

meningkatkan pendapatan asli daerah.

Page 20: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

125FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Gambar 1. Skenario Strategi Pengembangan Agropolitan

B. 3. Metode Penelitian

Pendekatan penelitian ini merujuk pada model penelitian deskriptif

dengan menggunakan prinsip metode kasus. Pendekatan semacam ini

dianggap relevan menjadi acuan untuk menentukan strategi apa yang

patut dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Barito Kuala dalam rangka

pengembangan agropolitan, serta mencari solusi manakala hasil

penelitian membuktikan adanya kecenderungan perlunya perbaikan

agar sasaran program dapat dicapai lebih baik. Karena itu penelitian

ini menggunakan desain studi kasus berbasis survei untuk mengetahui

bagaimana capaian program pengembangan kawasan agropolitan yang

telah dirintis sejak tahun 2003, dan sampai sejauh mana manfaatnya

bagi para petani yang terlibat dalam program. Studi kasus dianggap

dapat meliput dinamika sosial yang eksklusif terjadi di lokasi penelitian.

Sedangkan metode survei dianggap relevan untuk meliput kawasan

Page 21: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

126 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

yang cukup luas dengan sejumlah komunitas yang cenderung beragam.

Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive),

yaitu di kawasan rintisan agropolitan Kabupaten Barito Kuala, yang

dipusatkan pada kawasan daerah pengairan Terantang, yang meliputi

Kecamatan Belawang, Mandastana, Rantau Badauh dan Barambai.

Pengamatan lapangan secara intensif dilakukan awal tahun 2010,

sedangkan pelaksanaan survei dilakukan pada bulan April–Juni 2010.

Untuk mendapatkan data di lapangan digunakan instrumen

penelitian yang utama berupa observasi dan wawancara untuk studi

kasus dan kuesioneri yang sengaja dibuat untuk mendukung metode

survei dan selanjutnya menjadi bahan analisis. Wawancara dilakukan

kepada mantri tani, penyuluh pertanian, kepala desa, pengurus koperasi

tani, dan pengurus kelompok usaha agribisnis (KUBA). Metode survai

ditujukan kepada anggota KUBA, dan para petani yang tergabung

dalam kelompok tani, sebagai responden penelitian. Sedangkan untuk

verifikasi berkaitan dengan data primer dan data sekunder dilakukan

kepada pejabat dan pengelola program agropolitan di kabupaten Barito

Kuala.

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah

metode triangulasi, dengan menggunakan teknik matrik. Teknik analisis

ini secara umum dipahami sebagai suatu proses yang menggunakan

multi persepsi untuk membuat klarifikasi makna informasi yang

diperoleh di lapangan, membuat verifikasi atas pengulangan observasi

dan akhirnya melakukan interpretasi atas semua hal itu (Robert E Stake,

dalam: Sarman, 2004). Penggunaan teknik analisis triangulasi

diarahkan untuk mendapatkan informasi yang detil berdasarkan hasil

wawancara dan observasi di lapangan untuk selanjutnya menjadi data

dalam menjawab dan memecahkan masalah yang ada dengan

melakukan pemahaman dan pendalaman secara menyeluruh dan utuh

dari objek yang diteliti guna menghasilkan kesimpulan yang bersifat

diskriptif. Sedangkan untuk analisis data hasil survei digunakan metode

korelasional yang menjadi dasar analisis SWOT. Hasil analisis SWOT

tersebut mestinya dapat digambarkan dalam bentuk Matriks Analisis

Lingkungan Strategis sehingga dapat ditentukan strategi yang tepat

untuk mengembangkan agropolitan tersebut sehingga nantinya dapat

memberdayakan ekonomi masyarakat dan daerah.

Page 22: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

127FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

C. HASIL PENELITIANC. 1. Kondisi umum Kawasan Agropolitan di Barito Kuala

Lokasi penelitian ini terbatas pada kawasan agropolitan Terantang.

Luas kawasan agropolitan Terantang adalah 12.844,9 ha (4,28% dari

luas Kabupaten Barito Kuala). Kawasan ini meliputi 12 desa, yaitu 3

desa di Kecamatan Mandastana, 6 desa di Kecamatan Belawang, 2

desa di Kecamatan Rantau Badauh, dan 1 desa di Kecamatan Barambai.

Pintu gerbang kawasan agropolitan Terantang terletak pada desa

Sungai Puntik Dalam, Kecamatan Mandastana.

Kawasan agropolitan Terantang memiliki topografi seluruhnya

datar dengan tingkat kelerengan dari 0–3% dengan elevansi 0–600

meter diatas permukaan laut. Adanya pengaruh pasang surut air laut

atau sungai maka kelas kemampuan lahan kawasan ini sangat

ditentukan oleh tipologi luasan pasang surut. Berdasarkan laporan

perkembangan Kawasan agropolitan Terantang oleh Dinas Pertanian

Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Barito Kuala, klasifikasi

kemampuan lahan (land capability) kawasan agropolitan Terantang

termasuk ke dalam kelas kemampuan V pada daerah pasang surut

tipe A dan B, kelas ini dicirikan oleh tanah yang datar, selalu basah

dan tergenang air. Namun demikian sistem pengelolaan air dan sistem

pertanian yang dikembangkan telah merubah sebagian besar kawasan

menjadi lahan kelas 1 untuk komoditas unggulan, khususnya jeruk.

Pada daerah pasang surut tipe C termasuk ke dalam kelas kemampuan

1, dicirikan oleh tanah yang datar, bahaya erosi kecil, solum dalam,

berdrainase baik, mudah diolah dapat menahan air dengan baik, dan

responsif terhadap pemupukan.

Dengan demikian kondisi lahan sangat mendukung dalam

pengembangan usaha pertanian, baik tanaman pangan terutama padi

dan hortikultura seperti jeruk, maupun tanaman rumput sebagai pakan

ternak.

Tanah pada kawasan agropolitan Terantang telah berkembang

dari bahan endapan sungai dan endapan marin tanpa endapan organik

di atasnya. Endapan liat marin berwarna kelabu kebiruan dan kelabu

kehijauan yang merupakan lapisan dasar (substrat) tanah-tanah di

kawasan. Selain itu juga berupa tanah mineral bergambut atau lapisan

gambut tipis menutupi bagian atas tanah. Secara kimiawi, jenis tanah

Page 23: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

128 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

pada kawasan agropolitan adalah alluvial dengan Sublandform terbagi

atas rawa belakang dan jalur aliran sungai. Tanah pada Kawasan

Agropolitan Terantang mempunyai pH H2O yang keasamannya dapat

mencapai 5,0–6,0 (masam- agak masam). Hal ini mempunyai pengaruh

dalam pengembangan komoditas pertanian, serta modal usaha tani,

karena perlu adanya kapur penetralisir keasaman tanah serta

penggunaan pupuk yang spesifik lokasi (Anonimous, 2009).

Sarana dan prasarana serta jasa penunjang di dalam Kawasan

Agropolitan Terantang sebagian sudah tersedia, namun masih

membutuhkan peningkatan kualitas menyangkut perbaikan

infrastruktur dan perawatan rutin yang harus dilakukan. Di antara

prasarana vital itu antara lain adalah air bersih dan listrik. Penyediaan

air bersih dalam mendukung pengembangan agropolitan menyangkut

dua hal yaitu penyediaan air bersih untuk rumah tangga dan pencucian

hasil panen. Penyediaan bak-bak penampungan air pasang telah

membantu penduduk untuk mendapatkan air bersih yang

dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga yaitu sedikit pengolahan

dengan penambahan bahan kapur dan tawas.

Sumber air baku untuk mencuci hasil panen jeruk digunakan air

yang ada di saluran sekunder dan saluran tersier yang menjangkau

lahan petani menanam jeruk. Permasalahan utama menyangkut

penyediaan air bersih yang cenderung memiliki pH yang rendah dan

kandungan Fe yang tinggi. Dengan masih terbatasnya sarana air bersih

yang tersedia tersebut sangat mempengaruhi dalam peningkatan

kualitas pengolahan hasil pertanian, sehingga petani belum dapat

meningkatkan daya saing dalam pengolahan produk usaha taninya,

seperti hasil olahan siap saji.

Sedangkan untuk prasarana listrik, kondisi sarana listrik yang

tersedia di Kawasan Agropolitan Terantang cukup memadai, karena

penduduk di kawasan itu dapat menggunakan listrik yang berasal dari

Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai sumber yang utama.

Dari aspek sosial, kelembagaan masyarakat merupakan aspek

terpenting. Kelembagaan yang mendukung mencakup kelembagaan

pemerintah dan kelembagaan masyarakat yang terdiri dari P3A,

asosiasi, dan koperasi tani. Prasarana dan sarana fisik yang tersedia

berupa kantor/balai desa dan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) untuk

Page 24: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

129FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

wilayah Mandastana dan Wanaraya. Sebagian besar balai desa pada

masing-masing desa sudah memadai, walaupun masih ada desa yang

memiliki balai desa dalam kondisi rusak. Peran kelembagaan ini cukup

penting bagi masyarakat petani, baik dalam upaya peningkatan

kemampuan sumberdaya petani, pemupukan modal dan pemasaran

hasil pertanian. Walaupun perannya sudah terlihat tetapi perlu lebih

intensif lagi pembinaannya, sehingga benar-benar dapat dirasakan

maanfaatnya oleh para petani.

C. 2. Faktor-Faktor Penentu Pengembangan Potensi Kawasan

(1) Faktor Lingkungan Internal

(a) Kekuatan ((a) Kekuatan ((a) Kekuatan ((a) Kekuatan ((a) Kekuatan (StrengthsStrengthsStrengthsStrengthsStrengths)))))

o Areal potensial untuk pengembangan pertanian, perkebunan dan

peternakan di Kabupaten Barito Kuala cukup tersedia. Potensi

lahan pertanian cukup luas yang terdiri atas lahan sawah seluas

120.461 ha, tegalan seluas 11.610 ha dan penggembalaan ternak

seluas 9.278 ha.

o Adanya keinginan yang kuat dari Pemerintah Kabupaten Barito

Kuala untuk mengembangkan komoditas unggulan daerah

melalui agropolitan. Ditetapkan dengan SK Bupati Barito Kuala

Nomor 369 Tahun 2003 tentang Kawasan Rintisan Agropolitan

Kabupaten Barito Kuala, tanggal 14 Agustus 2003. Dan didukung

pula dengan Keputusan Bupati Barito Kuala Nomor 414 Tahun

2004 tentang Pembentukan Forum Koordinasi dan Kelompok

Kerja Pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten Barito

Kuala, tanggal 3 Juni 2004.

o Tersedianya sumberdaya manusia potensial dan dapat

dimanfaatkan untuk pengembangan agropolitan. Berdasarkan

tingkat pendidikan, pencari kerja terbanyak adalah mereka yang

berpendidikan SMA sederajat, dan Sarjana dan yang terendah

berpendidikan SMP dan SD. Keadaan yang demikian

menggambarkan bahwa tingkat pendidikan penduduk semakin

membaik yang tentunya kulaitas tenaga kerja semakin tinggi.

o Pemanfaatan Ilmu Pengetahun dan Teknologi (IPTEK) produksi

dari pengolahan hasil pertanian oleh petani secara luas dan

spesifik lokasi. Pemanfaatan IPTEK oleh masyarakat petani di

Page 25: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

130 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Kabupaten Barito Kuala untuk penggunaan alat atau mesin

pertanian (alsintan) seperti penggunaan handtractor, powerthreeser

dan penggunaan alsintan lainnya, penggunaan benih unggul

bersertifikat dan penggunaan pupuk telah dilakukan.

o Kebijakan Pemerintah Daerah meletakkan sektor pertanian sebagai

prioritas. Sesuai dengan Visi Kabupaten Barito Kuala “yaitu

Terwujudnya Kabupaten Barito Kuala sebagai sentra produksi

pertanian yang maju dan berdaya saing tinggi menuju terciptanya

kemandirian daerah“.

o Perencanaan pembangunan pertanian dalam rangka mendukung

keberadaan Kabupaten Barito Kuala sebagai daerah penunjang

program ketahanan pangan nasional. Dan melalui sitem

pengembangan agribisnis, proses peningkatan nilai tambah

utamanya di tingkat kelompok tani. Berbagai program kegiatan

agribisnis, di antaranya pengembangan kawasan lahan jeruk

yang berada pada kawasan lahan hamparan, yaitu desa Karang

Indah, Karang Buah, Karang Dukuh dan Karang Bunga, melalui

Proyek Pengembangan Agribisnis Hortikultura atau Integrated

Horticultura Development Coorperation In Upland Area

(IHDUA), yang berasal dari dana bantuan Japan Bank Interna-

tional Coorperation (JBIC) dan dana APBN serta APBD

Kabupaten Barito Kuala.

o Adanya kerjasama lintas kawasan / propinsi. Telah terbukanya

akses pasar cukup strategis karena berada di antara Propinsi

Kalimantan Selatan dan Propinsi Kalimantan Tengah dengan

melalui jalur perhubungan darat antara Kabupaten Barito Kuala

dengan Kota Banjarmasin Propinsi Kalimantan Selatan dengan

melintasi Jembatan Alalak 2 dan Kabupaten Kapuas Kalimantan

Tengah melalui Jembatan Barito.

o Meningkatnya pengembangan hasil-hasil pertanian yang spesifik

lokasi. Produksi padi Kabupaten Barito Kuala Tahun 2007

berjumlah 2l6.312 ton. Dan pada tahun 2008 berjumlah 312.805

ton dan pada tahun 2009 berjumlah 323.353 ton. Perluasan ar-

eal tanam tanaman jeruk pada tahun 2008 berjumlah 6.716 ha

dan pada tahun 2009 berjumlah 7.094 ha. Serta potensi dan daya

Page 26: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

131FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

dukung pengembangan bidang peternakan yaitu lahan potensi

sekitar 60 ha, dengan dukungan lahan rumput dan lahan

pengembalaan/pemeliharaan seluas 62.127 ha, yang

diproyeksikan untuk pemeliharaan Sapi bali sekitar 170.360 ekor.

o Terbukanya akses pasar melalui jalur-jalur informasi yung

semakin berkembang. Keikutsertaan Kabupaten Barito Kuala

dalam kegiatan-kegiatan regional maupun nasional, khususnya

pada kegiatan pameran dan promosi produk-produk unggulan

hasil pertanian serta berbagai kegiatan lain oleh pemerintah

Kabupaten Barito Kuala.

(b) Kelemahan ((b) Kelemahan ((b) Kelemahan ((b) Kelemahan ((b) Kelemahan (weaknessesweaknessesweaknessesweaknessesweaknesses)))))

o Tingkat kehilangan dan kerusakan panen dan pasca panen

cukup tinggi, yakni mencapai (18%–20%), hal ini disebabkan

masih banyaknya petani yang melakukan kegiatan panen dan

pasca panen secara tradisional serta masih banyaknya petani

yang kurang trampil.

o Produk pertanian masih berkualitas rendah. Karena sistem

budidaya yang masih kurang baik, yang mengakibatkan

produk pertanian masih berkualitas rendah.

o Jaringan irigasi masih yang ada, namun belum diperluas, dan

banyak mengalami kerusakan serta sarana jalan usaha tani

masih terbatas.

Masih terbatasnya jaringan irigasi dan lambatnya penanganan

atas kerusakan jaringan irigasi mengakibatkan pemenuhan air

akan tanaman tidak tersedia sesuai kebutuhan.

o Organisasi petani, kelembagaan ekonomi desa, kelembagaan

pelayanan pemerintah belum begitu optimal. Organisasi petani

yang belum tertata dengan baik dan kelembagaan ekonomi

pedesaan seperti halnya Koptan tidak berjalan sesuai yang

diharapkan, untuk itu tugas pemerintah untuk melakukan

pembinaan.

o Penyediaan bibit/benih unggul terbatas. Bibit/benih unggul

bersertifikat belum keseluruhannya dapat dimanfaatkan oleh

petani karena mereka kebanyakan menggunakan bibit/benih

lokal,

Page 27: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

132 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

o Informasi pasar belum mencapai tingkat Kecamatan/

perdesaan/petani.

Salah satu hambatan dalam pengembangan agropolitan di

Kabupaten Barito Kuala yaitu adanya informasi pasar yang

belum mencapai tingkat kecamatan/perdesaan / sampai ke

tingkat petani .

o Sarana alat alsintan kurang tersedia dan sarana produksi tidak

tepat dan mahal.

Kurangnya penerapan teknologi pertanian sehingga produksi

hasil pertanian jauh dari yang diharapkan.

o Pengelolaan pasca panen hasil-hasil perkebunan masih belum

diterapkan secara optimal.

(2) Faktor Lingkungan Eksternal

(a) Peluang ( (a) Peluang ( (a) Peluang ( (a) Peluang ( (a) Peluang (opportunities)opportunities)opportunities)opportunities)opportunities)

o Adanya otonomi daerah membuat Pemerintah Daerah dapat

mengatur dirinya sendiri. Dengan diberlakukannya Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,

memberikan peluang bagi Pemerintah Kabupaten Barito Kuala

untuk dapat berperan secara leluasa dalam mengembangkan

seluruh potensi dan peluang yang ada.

o Tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan serta

peternakan memberikan peluang yang sangat besar untuk

dapat dikembangkan.

o Adanya komoditas andalan yang mempunyai keunggulan

komperatif dan kompetitif (padi,jeruk, jagung,sayuran dan

ternak sapi Bali). Komoditas andalan yang diharapkan dapat

memberikan hasil produksi yang lebih besar dan dapat

bersaing di pasar adalah merupakan satu keunggulan untuk

dapat terus dipertahankan dan dikembangkan.

o Masih terdapat kesenjangan produktivitas riil dengan potensial

20 %–100%. Dengan penanganan yang lebih intensif

berpeluang untuk meningkatkan produktivitas.

Page 28: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

133FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

o Luas areal yang potensial dan lahan yang subur cukup

tersedia, dan memberikan peluang yang cukup besar untuk

diberdayakan.

o Pangsa pasar untuk komoditas pertanian khususnya

hortikultura cukup terbuka (besar). Hal ini dapat dilihat dari

adanya jalur perdagangan antar kabupaten dan antar

propinsi, dimana permintaan akan komoditas hortikultura

semakin meningkat, terutama jeruk.

o Masih meningkatnya kebutuhan produk-produk pertanian

serta jumlah maupun kualitasnya dan keanekaragamannya.

Hal ini sama dengan komoditas hortikultura, kebutuhan

produk pertanian lainnya juga semakin meningkat baik

jumlah, kualitas dan keanekaragamannya

(b) Ancaman (Threaths) (b) Ancaman (Threaths) (b) Ancaman (Threaths) (b) Ancaman (Threaths) (b) Ancaman (Threaths)

o Infrastruktur sektor pendukung pertanian di luar kawasan

kurang memadai sehingga tidak menjamin ketersediaan dan

kontinuitas harga/biaya tinggi. Minimnya infrastruktur

pendukung pertanian sangat menghambat ketersediaan dan

kontinuitas produksi yang mengakibatkan harga/biaya tinggi,

misalnya saja jalan usaha tani yang masih sangat terbatas.

o Adanya perdagangan bebas (era globalisasi). D e n g a n

dibukanya perdagangan bebas, disatu sisi merupakan

dorongan bagi Pemerintah Kabupaten Barito Kuala untuk

dapat mengintensifkan segala sumber daya dan kemampuan

yang dimilikinya agar dapat bersaing di era globalisasi, namun

di lain sisi juga merupakan satu ancaman yang cukup berat,

karena masuknya produk-produk yang berkualitas tinggi dari

daerah atau negara yang telah lebih dahulu maju dengan

segala sumberdaya dan teknologi yang dimilikinya.

o Serangan OPT dan organisme/ penyakit ternak. Adanya

serangan wereng coklat bagi tanaman padi dan lalat buah bagi

tanaman jeruk, selain itu adanya ancaman flu burung bagi

ternak.

o Beralihnya fungsi lahan dari pertanian ke bukan pertanian

dan kerusakan lingkungan hidup dan pengelolaan SDA

Page 29: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

134 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

(hutan) yang tidak memperhatikan kaidah konservasi. Sebagai

daerah berkembang yang terus dilakukan pembangunan

infrastrukturnya khususnya perluasan daerah, maka banyak

lahan pertanian yang berubah menjadi pemukiman penduduk

dan perkebunan rakyat.

o Kurangnya dukungan aparat dinas ditingkat propinsi. Dalam

pengembangan agropolitan dukungan aparat Dinas terkait

pada tingkat propinsi masih dirasakan belum maksimal.

o Rendahnya nilai tukar produk pertanian. P r o d u k -

produk pertanian masih dinilai rendah sehingga nilai tukarnya

pun sangat rendah.

o Lemahnya modal petani dan akses terhadap perbankan

rendah. Salah satu hambatan bagi petani dalam

mengembangkan usahanya adalah tidak tersedianya modal,

hal ini diakibatkan pula oleh akses terhadap perbankan rendah

karena terlalu banyaknya administrasi yang harus dipenuhi

dan lembaga keuangan lainnya masih terbatas.

o Kondisi alam atau iklim yang tidak menentu. Kemungkinan

terjadinya perubahan musim atau iklim yang tidak menentu

yang dapat berpengaruh terhadap usaha tani masyarakat.

C. 3. Pembahasan

Faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal dalam

pengembangan agropolitan di Kabupaten Barito Kuala dapat

dilakukan identifikasi dan dievaluasi untuk mengetahui kemampuan

internal yang dimiliki guna menentukan strategi untuk memanfaatkan

peluang yang ada dan secara bersamaan menghindari ancaman,

selanjutnya dianalisis guna mengetahui posisi dan kesesuaian strategi

saat ini dengan kemampuan yang ada serta mengantisipasi persoalan

yang kemungkinan dapat muncul pada masa yang akan datang.

( a )( a )( a )( a )( a ) Lingkungan IntenalLingkungan IntenalLingkungan IntenalLingkungan IntenalLingkungan Intenal

Analisis lingkungan internal digunakan untuk mengidentifikasi

kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dalam kerangka pengembangan

agropolitan oleh Pemerintah Kabupaten Barito Kuala, sehingga para

pihak yang terkait, baik pemerintah daerah maupun masyarakat serta

Page 30: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

135FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

pelaku usaha pertaniaan (agribisnis) yang ada dapat memanfaatkan

kekuatan yang dimilikinya dan secara bersamaan mengatasi atau

memperkecil kelemahannya. Hasil analisis SWOT faktor kekuatan

(strength) pengembangan agropolitan oleh Pemerintah Kabupaten

Barito Kuala adalah seperti tergambar pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisis Faktor Kekuatan PengembanganTabel 1. Analisis Faktor Kekuatan PengembanganTabel 1. Analisis Faktor Kekuatan PengembanganTabel 1. Analisis Faktor Kekuatan PengembanganTabel 1. Analisis Faktor Kekuatan Pengembangan

AgropolitanAgropolitanAgropolitanAgropolitanAgropolitan

Sumber: Analisis data primer

Ket rating: 1=sangat lemah; 2=lemah; 3= sedang; 4: Kuat;

5= Sangat kuat

Analisis ini dilakukan atas dasar kuesioner yang telah disiapkan

sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis faktor kekuatan dalam

pengembangan agropolitan di Kabupaten Barito Kuala menghasilkan

9 faktor penting dengan nilai bobot antara 0.1017 sampai dengan 0.1204

adalah luas areal potensial untuk pengembangan pertanian,

Page 31: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

136 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

perkebunan, dan peternakan Kabupaten Barito Kuala, adanya

keinginan yang kuat dari pemerintah daerah untuk mendorong

dikembangkannya komoditas unggulan daerah serta agropolitan;

tersedianya sumber daya aparatur potensial dan dapat dimanfaatkan

untuk pengembangan agropolitan; Pemanfaatan IPTEK produksi dan

pengolahan hasil pertanian oleh petani secara luas dan spesifik lokalita;

Kebijakan Pemerintah Daerah meletakkan sektor pertanian sebagai

prioritas; Perencanaan pembangunan pertanian yang semakin mantap

(pengembangan agribisnis dan peningkatan ketahanan pangan);

Adanya kerjasama lintas kawasan/Provinsi; Meningkatnya

pengembangan hasil-hasil pertanian yang spesifik lokasi; dan

terbukanya akses pasar malalui jalur-jalur informasi yang semakin

berkembang. Pemerintah Daerah meletakkan sektor pertanian sebagai

prioritas, kekuatan yang cukup besar terhadap pengembangan

agropolitan di Kabupaten Barito Kuala dengan rating sangat kuat (5)

dan lainnya memiliki rating kuat (4).

Tabel 2. Analisis Faktor Kelemahan PengembanganTabel 2. Analisis Faktor Kelemahan PengembanganTabel 2. Analisis Faktor Kelemahan PengembanganTabel 2. Analisis Faktor Kelemahan PengembanganTabel 2. Analisis Faktor Kelemahan Pengembangan

AgropolitanAgropolitanAgropolitanAgropolitanAgropolitan

Sumber: Analisis data primer

Ket rating: 1=sangat lemah; 2=lemah; 3= sedang; 4: Kuat;

5= Sangat kuat

Page 32: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

137FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Sedangkan analisis lingkungan internal dari faktor kelemahan

terhadap pengembangan agropolitan di Kabupaten Barito Kuala seperti

ditunjukkan pada Tabel 2. Dari hasil hasil analisis tampak bahwa

terdapat 8 faktor kelemahan dari lingkungan internal yang penting

dalam rangka pengembangan agropolitan di Kabupaten Barito Kuala

ini, dengan nilai bobot mulai dari 0.10992 sampai dengan 0.14456.

Kedelapan faktor tersebut yang merupakan faktor kelemahan dalam

pengembangan agropolitan yang perlu mendapat perhatian adalah

Jaringan irigasi belum diperluas dan banyak mengalami kerusakan serta

sarana jalan usaha tani masih terbatas; Pengelolaan pasca panen hasi-

hasil perekebunan yang belum diterapkan secara optimal.

Berdasarkan hasil perhitungan dari nilai tertimbang faktor

lingkungan internal dalam pengembangan agropolitan yaitu faktor

kekuatan dikurangi dengan faktor kelemahan diperoleh nilai X sebagai

sumbu horizontal, yaitu = 4.2710 – 3.51850=0.7525. Dengan demikian,

nilai sumbu X dalam diagram SWOT dalam pengembangan agropolitan

di Kabupaten Barito Kuala adalah sebesar 0.7525. Berdasarkan hasil

tersebut ternyata faktor kekuatan lebih besar dari faktor kelemahan

yang dimiliki, sehingga ini merupakan modal utama yang cukup besar

untuk dijadikan sebaagai langkah strategis dalam pengembangan

agropolitan di Kabupaten Barito Kuala.

(b) Lingkungan Eksterna(b) Lingkungan Eksterna(b) Lingkungan Eksterna(b) Lingkungan Eksterna(b) Lingkungan Eksternal

Melalui analisis lingkungan eksternal diharapkan akan dapat

diidentifikasi peluang dan ancaman yang berasal dari lingkungan

eksternal dalam pengembangan agropolitan di Kabupaten Barito Kuala.

Berdasarkan hasil survai faktor lingkungan eksternal yang ada,

terdapat 7 hal peluang dalam pengembangan agropolitan. Ketujuh

faktor peluang tersebut adalah: Adanya otonomi daerah membuat

Pemerintah Daerah dapat mengatur dirinya sendiri; Potensi lahan

untuk pengembangan tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan

dan peternakan; Adanya komoditas andalan yang mempunyai

keunggulan komparatif dan kompetitif (padi, jagung, sayuran, jeruk,

sapi potong); Masih terdapat kesenjangan produktivitas riil dengaan

potensial 20%–100%. Luas areal yang potensial dan lahan yang subur

Page 33: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

138 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

cukup tersedia, dan memberikan peluang yang cukup besar untuk

diberdayakan. Pangsa pasar untuk komoditas pertanian khususnya

hortikultura cukup terbuka (besar); Masih meningkatnya kebutuhan

produk-produk pertanian serta jumlah maupun kualitasnya dan

keanekaragamannya. Hasil analisis SWOT faktor peluang dari

lingkunagn eksternal pengembangan agropolitan di Kabupaten Barito

Kuala seperti disajikan pada Tabel 3.

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel di atas, memperlihatkan

bahwa ketujuh faktor peluang yang ada memberikan nilai penting

dengan bobot antara 0.12533 sampai dengan 0.16247. Ketujuh faktor

penting tersebut yang memiliki rating paling tinggi (peluang paling

besar) adalah potensi lahan untuk pengembangan tanaman pangan

dan hortikultura, perkebunan dan peternakan, dan masih

meningkatnya kebutuhan produk-produk pertanian serta jumlah

maupun kualitasnya dan keanekaragamannya. Begitu pula dengan

indikator lainnya yang juga tergolong tetap memiliki peluang besar

dan cukup.

Page 34: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

139FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Tabel 3 Analisis SWOT Faktor Peluang PengembanganTabel 3 Analisis SWOT Faktor Peluang PengembanganTabel 3 Analisis SWOT Faktor Peluang PengembanganTabel 3 Analisis SWOT Faktor Peluang PengembanganTabel 3 Analisis SWOT Faktor Peluang Pengembangan

AgropolitanAgropolitanAgropolitanAgropolitanAgropolitan

Sumber: Analisis data primer

Ket rating: 1=sangat lemah; 2=lemah; 3= sedang; 4: Kuat; 5=

Sangat kuat

Sedangkan hasil analisis SWOT terhadap faktor ancaman dari

lingkungan eksternal dalam pengembangan agropolitan di Kabupaten

Barito Kuala disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan hasil analisis faktor

ancaman terhadap lingkungan eksternal dalam rangka pengembangan

agropolitan di Kabupaten Barito Kuala menghasilkan 8 indikator

penting dengan nilai bobot dari 0.11011 sampai dengan 0.13258.

Infrastruktur sektor pendukung pertanian di luar kawasan kurang

memadai sehingga tidak menjamin ketesediaan dan kontinuitas harga/

biaya tinggi; Adanya perdagangan bebas (era globalisasi); Serangan

Page 35: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

140 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

OPT dan organisme/penyakit ternak; Beralihnya fungsi lahan dari

pertanian ke bukan pertanian daan kerusakan lingkungan hidup dan

pengelolaan SDA (hutan) yang tidak memperhatikan kaaidah

konservasi; Kurangnya dukungan aparat Dinas di tingkat propinsi;

Rendahnya nilai tukar produk pertanian; Lemahnya modal petani daan

akses terhadap perbankan rendah; Kurangnya pengetahuan dan

kesadaran masyarakat tentang mutu produk-produk pertanian serta

iklim yang tidak menentu (El Nino dan La Nina). Kedelapan indikator

tersebut merupakan faktor ancaman dalam pengembangan agropolitan

yang tergolong kuat sehingga perlu dilakukan langkah-langkah

perbaikan dan antisipasi demi keberhasilan agropolitan itu sendiri.

Berdasarkan hasil perhitungan nilai tertimbang, faktor eksternal yang

dimiliki dalam upaya pengembangan agropolitan di Kabupaten Barito

Kuala adalah dari pengurangan faktor peluang dan faktor ancamana,

yaitu 3.61678–2.96603 = 0.65075, sehingga menciptakan sumbu Y

sebesar 0.65075. dengan demikian, faktor peluang yang dimiliki dalam

mengembangkan agropolitan memiliki nilai yang lebih besar daripada

faktor ancaman yang dihadapi, yaitu sebesar 0.65075. Hal ini

menunjukkan bahwa prospek pengembangan agropolitan di Kabupaten

Barito Kuala cukup baik karena peluang lebih besar dari faktor ancaman

yang dihadapi.

Page 36: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

141FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Tabel 4 Analisis SWOT Faktor Ancaman PengembanganTabel 4 Analisis SWOT Faktor Ancaman PengembanganTabel 4 Analisis SWOT Faktor Ancaman PengembanganTabel 4 Analisis SWOT Faktor Ancaman PengembanganTabel 4 Analisis SWOT Faktor Ancaman Pengembangan

AgropolitanAgropolitanAgropolitanAgropolitanAgropolitan

Sumber: Analisis data primer

Ket rating: 1=sangat lemah; 2=lemah; 3= sedang; 4: Kuat; 5=

Sangat kuat

Berdasarkan dari hasil penghitungan pada Tabel 1 hingga Tabel 4

tersebut di atas dapat diketahui nilai sumbu X sebesar 0.7525 dan nilai

sumbu Y sebesar 0.6507. Sehingga dapat digambarkan dalam diagram

SWOT seperti tersaji dalam Gambar 2.

Page 37: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

142 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Gambar 2. Diagram Analisis SWOT Program Agropolitan

Berdasarkan pada diagram SWOT pada Gambar 2, dapat

ditunjukkan bahwa posisi strategis pengembangan agropolitan di

Kabupaten Barito Kuala pada pemetaan analisis lingkungan strategik

(lingkungaan internal daan eksternal) berada pada kuadran I

(pertama). Pada diagram SWOT tersebut tergambar bagaimana peluang

dan ancaman eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan

kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dalam mengembangkan

agropolitan. Berdasarkan dari hasil analisis tersebut (kegiatan atau

usaha yang berada pada kuadran pertama), memberikan indikasi

bahwa peluang yang lebih besar dari ancaman yang ada juga memiliki

kekuatan yang lebih besar dari kelemahan yang dimilikinya.

Dengan kata lain, strategi pengembangan agropolitan di

Kabupaten Barito Kuala seharusnya dapat memanfaatkan peluang

yang ada dengan memaksimalkan kekuatan yang dimiliki. Dengan

Page 38: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

143FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

demikian, strategi yang sebaiknya diterapkan dalam pengembangan

agropolitan ini adalah pertumbuhan yang agresif (Growth Oriental

Strategy) atau menggunakan strategi Strengths-Opportunities (Strategi

SO).

Strategi ini dibuat berdasarkan analisis lingkungan strategik

tentang peluang pengembangan agropolitan di Kabupaten Barito

Kuala, yaitu berdasarkan faktor-faktor lingkungan internal (kekuatan

dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman). Atas dasar

tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Barito Kuala akan dapat

memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan

peluang sebesar-sebesarnya. Strategi yang berorientasi pada

pertumbuhan agresif (Growth Oriental Strategy) diperlukan untuk

memetakan perpaduan yang menguntungkan antara kekuatan dan

peluang yang dimiliki.

(c) Strategi Pengembangan(c) Strategi Pengembangan(c) Strategi Pengembangan(c) Strategi Pengembangan(c) Strategi Pengembangan

Memperhatikan kekuatan kunci di atas dalam rangka

mewujudkan pengembangan agropolitan ke arah yang lebih maju dan

dapat bersaing dengan daerah lain, baik dalam maupun di luar Provinsi

Kalimantan Selatan, dengan peluang yang ada Pemerintah Kabupaten

Barito Kuala secara efektif dan efisien, maka harus dilakukan tindak

lanjut dengan menyusun strategi-strategi tertentu sehingga

mempermudah langkah pengembangan selanjutnya. Strategi

pengembangan yang dimaksud adalah dengan menggunakan asumsi

atau kesimpulan yang dihasilkan dalam analisis lingkungan strategik

(analisis SWOT), baik lingkungan internal (faktor kekuatan dan

kelemahan) maupun eksternal (faktor peluang dan ancaman) seta

dampaknya terhadap masa depan dari pengembangan agropolitan itu

sendiri.

Asumsi-asumsi tersebut merupakan dasar-dasar untuk

menetapkan dan menyusun perencanaan strategis sebagaimana

teridentifikasi dalam matriks analisis lingkungan strategik. Berdasarkan

asumsi-asumsi tersebut dengan menggunakan visi dan misi Pemerintah

Kabupaten Barito Kuala, maka dihasilkan pilihan strategis (strategic

choices) yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

Page 39: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

144 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

1. Pengembangan dan perbaikan sarana dan prasarana penunjang

usaha tani.

Langkah ini sangat diperlukan seperti peningkatan infrastruktur

untuk membuka aksesibilitas wilayah, peningkatan fasilitas umum

dan transportasi serta sarana produksi pertanian dalam rangka

menunjang pengembangan agropolitan.

2. Pengembangan kawasan agribisnis.

Strategi pengembangan kawasan agribisnis ini meliputi

pemasaran dan permodalan, yaitu penyediaan pasar khusus

pertanian yang terpusat untuk kegiatan perdagangan dan jasa

yang berada dalam kawasan agropolitan. Pada pasar ini akan

terdapat kegiatan jual beli, baik jual beli alat-alat produksi,

komoditi hasil pertanian maupun produk yang telah diolah dari

hasil komoditi pertanian kawasan itu sendiri serta jasa lainnya

yang menunjang usaha masyarakat petani. Untuk penyediaan

lembaga permodalan yang dapat membantu petani lebih intensif

menjalankan usaha taninya adalah dengan membentuk Badan

Prekreditan Rakyat yang ditangani oleh pihak swasta, dimana

selain menyediakan kredit bagi masyarakat dari dana bantuan

pemerintah, pihak swasta dan swadaya masyarakat juga dapat

memberikan pelayanan tabungan masyarakat.

3. Percepatan penggunaan teknologi budidaya dan mekanisasi

pertanian.

Dalam upaya peningkatan sumberdaya petani, teknis budidaya

tanaman yang dikembangkan meliputi penanaman, perawatan

dan pemanenan dapat diakses secara cepat, tepat dan benar. Dan

penerapan teknologi harus sesuai dengan kegiatan masyarakat

yaitu teknologi tepat guna dan dapat mensejahterakan

masyarakat itu sendiri. Penggunaan mekanisasi pertanian dengan

menggunakan alsintan agar diterapkan secara kontinyu untuk

pengembangan kemampuan petani dengan diberikan bimbingan

dan keterampilan penggunaannya agar prosesnya berjalan

dengan efektif dan efisien. Petani dibimbing untuk menghilangkan

kebiasaan menggunakan metode tradisonal, tetapi didorong

untuk menggunakan metode baru yang lebih mudah dan efisien

Page 40: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

145FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

dengan memberikan kesadaran akan pentingnya penggunaan

alsintan tersebut.

4. Peningkatan mutu diversifikasi, intensifikasi, dan ekstensifikasi

Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian (TPHP).

Pembinaan dilakukan oleh pemerintah daerah dan pihak terkait

lainnya dalam memberikan bimbingan kepada masyarakat dalam

proses pengolahan hasil pertanian yang efektif dan efisien yaitu

dengan peningkatan kemampuan masyarakat itu sendiri dalam

merebut pasar, pandai mendekati konsumen demi produk yang

ditawarkan. Dengan mengetahui selera konsumen maka

pengolahan komoditi baru akan terbuka peluangnya untuk

menguasai pasar. Hal ini tentunya akan memberi keuntungan

bagi masyarakat/petani.

5. Peningkatan dan pemanfaatan peran kelembagaan.....

Penguatan kelembagaan seperti kelompok tani, ataupun KUBA

harus mendapat pembinaan yang intensif dari fasilitator yang

berpengalaman dalam pengembangan kelembagaan ditingkat

petani., yang pada akhirnya perkumpulan ini akan berperan

karena akan mudah mengakses informasi tentang harga pasar.

Unit kelembagaan ini harus mampu bersaing dalam hal

menghasilkan jumlah dan kualitas produk yang tinggi.

6. Pemberdayaan petugas petani termasuk penyuluh pertanian

lapangan dan petugas lainnya dalam rangka pengembangan

agropolitan.

Hal ini sangat diperlukan agar ada kesamaan persepsi untuk

pelaksanaannya, maka harus ada bimbingan dan pelatihan secara

terpadu dalam membangun kekompakan diantara petugas,

mengingat para petugas dan penyuluh pertanian lapangan yang

ada berbeda disiplin ilmu.

D. Kesimpulan.Berdasarkan hasil pembahasan hasil penelitian, maka dapat

disimpulkan temuan lapang sebagai berikut:

1. Kegiatan pertanian dalam konteks pengembangan model

agropolitan di Kabupaten Barito Kuala belum mengarah pada

Page 41: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

146 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

usaha industri (pengolahan) pertanian. Perdagangan hasil

pertanian belum mempunyai tempat khusus yang dekat dengan

kawasan agropolitan seperti Sub Terminal Agribisnis (STA) atau

pasar pertanian. Agribisnis hulu seperti usaha penyediaan sarana

pertanian dan permodalan, usaha agrowisata dan jasa pelayanan

belum berkembang. Bahkan kehidupan masyarakat di kawasan

agropolitan belum menunjukkan suasana “kota pertanian”,

karena terbatasnya sarana dan fasiltas umum untuk menunjang

keperluan masyarakat petani, seperti misalnya pusat saprodi dan

pusat industri pengolahan hasil-hasil pertanian.

2. Berdasarkan identifikasi dan analisis lingkungan stratejik, faktor-

faktor kunci keberhasilan dalam pengembangkan model

agropolitan di Kabupaten Barito Kuala cenderung bernilai positif,

karena:

a. Telah terbukanya akses pasar produk pertanian melalui jalur

darat ke Kota Banjarmasin, Kabupaten Kapuas, Kota

Palangkaraya, Samarinda dan Balikpapan, serta jalur laut dan

udara ke Pulau jawa dan Jakarta.

b. Adanya pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) Kabupaten Barito Kuala pada sektor pertanian yang

ternyata terus meningkat, yaitu dari Rp747.778.870.000 pada

tahun 2004 menjadi Rp961.468.731.000 pada tahun 2008.

c. Adanya produk unggulan pertanian dan yang dapat

diandalkan, yakni berupa padi jenis Siam Mutiara dan jeruk

jenis Siam Batola serta sapi potong dari jenis Sapi Bali.

Page 42: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

147FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

DAFTAR RUJUKAN

Anonimous, 2004. Laporan Akhir Penyusunan Master Plan Kawasan

Agropolitan Terantang Kabupaten Barito Kuala. Bappeda

Kabupaten Barito Kuala, Marabahan.

__________, 2005. Pengembangan Kawasan Agropolitan. Direktorat

Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen

Pekerjaan Umum RI, Jakarta.

__________, 2006. Modul Kajian Manajemen Strategik. LAN-RI,

Jakarta.

__________, 2008, Modul Teknik-Teknik Analisis Manajemen. LAN-

RI, Jakarta.

__________, 2008. Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Kabupaten Barito Kuala Tahun 2007–2012. Pemerintah

Kabupaten Barito Kuala, Marabahan.

__________, 2009. Barito Kuala Dalam Angka Tahun 2009. BPS Batola,

Marabahan.

Anwar, A., 1999. Konsep Pembangunan Daerah Melalui Pendekatan

Agropolitan. ITB Bandung.

Daniel, Moehar, 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. PT Bumi Aksara,

Jakarta.

Hughes, O.E. 1994. Public Management and Administration: An in-

troduction. The Macmilland Press, London.

Jayadinata, Johara T, 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan

Pedesaan Perkotaan dan Wilayah. Penerbit ITB, Bandung.

Jayadinata, J.T. dan I.G.P Pramandika, 2006. Pembangunan Desa

Dalam Perencanaan. Penerbit ITB, Bandung.

Krishnamurti, 2006. Kawasan Agropolitan: Konsep Pembangunan

Desa Berimbang. Crescent Press, Bogor.

Kuswartoyo, Thuk, 1999. Membuat Pembangunan Berlanjut, Jakarta.

Martodireso, Sudadi dan W.A. Suryanto, 2002. Agribisnis Kemitraan

Usaha Bersama. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Nidya, 2006. Studi Arahan Pengembangan Agrobisnis Pada Kawasan

Agropolitan Terantang Kabupaten Barito Kuala. ITN, Malang.

Page 43: Model Agropolitan Untuk Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah

148 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Reksohadiprojo, 1982. Manajemen Strategis. BPFE, Yogyakarta

Rangkuti, Fredy, 1999. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis.

PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Rusman,Erman dan Emil E.D., 2008. Agropolitan. Direktorat Jenderal

Penataan Ruang, Jakarta.

Rustiadi, Ernan dkk., 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah.

Penerbit Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Salusu, J., 2000. Pengambilan Keputusan Strategik. PT Gramedia,

Jakarta.

Sarman, Mukhtar, 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial.

Pustaka FISIP UNLAM, Banjarmasin.

_____________, 2008. Dinamika pedesaan: Sebuah Pendekatan

Sosiologis. Program MSAP Unlan, Banjarbaru.

Sarman, Mukhtar dkk, 2008. Program Pemberdayaan Masyarakat

Berbasis LERD: Peluang Kalimantan Selatan. PK2PD dan Pro-

gram MSAP Unlam, Banjarbaru.