View
3
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
51
KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI
(Diadema setosum) PADA HABITAT YANG BERBEDA DI
PERAIRAN TELUK KAYELI, KECAMATAN NAMLEA,
KABUPATEN BURU, MALUKU
A STUDY OF BIOLOGY REPRODUCTION OF SEA URCHIN
(Diadema setosum) ON THE DIFFERENT HABITAT IN
KAYELI GULF, NAMLEA DISTRICT, BURU REGENCY,
OF MALUKU PROVINCE
ASDAR BURHANUDDIN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
52
2012
KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI
(Diadema setosum) PADA HABITAT YANG BERBEDA DI
PERAIRAN TELUK KAYELI, KECAMATAN NAMLEA,
KABUPATEN BURU, MALUKU
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Ilmu Perikanan
Disusun dan diajukan oleh
ASDAR BURHANUDDIN
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
53
MAKASSAR
2012
TESIS
KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI
(Diadema setosum) PADA HABITAT YANG BERBEDA DI
PERAIRAN TELUK KAYELI, KECAMATAN NAMLEA,
KABUPATEN BURU, MALUKU
Disusun dan diajukan oleh
ASDAR BURHANUDDIN
Nomor Pokok P3300209016
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis
Pada tanggal 10 Januari 2012
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasehat
Ketua Program Studi
Ilmu Perikanan
Dr. Ir. Abdul Haris, M.Si
Anggota
Prof. Dr. Ir. Sharifuddin Bin Andy Omar, M.Sc
Ketua
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin
54
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : ASDAR BURHANUDDIN
Nomor Mahasiswa : P3300209016 Program studi : ILMU PERIKANAN
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini
hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, Januari 2012 Yang menyatakan
ASDAR BURHANUDDIN
55
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Ujung Pandang, pada tanggal
15 Juni 1970, anak keenam dari delapan bersaudara dari ayah Alm. H. Burhanuddin dan Alm. Hj. Maemunah. Pendidikan penulis diawali dengan bersekolah di SD
Negeri 5 Tawiri Ambon hingga lulus pada tahun 1983, kemudian penulis melanjutkan di SMP Negeri 2 Ambon
dan lulus pada tahun 1986. Pada tahun itu pula penulis menempuh pendidikan lanjutan tingkat atas di SMA Negeri 2 Ambon hingga lulus pada tahun 1989. Penulis
diterima di Universitas Pattimura pada tahun 1989 melalui ujian SPMB dan memilih Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan pada Fakultas Perikanan dan Kelautan. Penulis sempat kuliah selama tiga tahun di Universitas Pattimura, karena pertimbangan keluarga akhirnya penulis memutuskan untuk pindah dan
melanjutkan di Universitas Hasanuddin pada tahun 1992. Hingga akhirnya pada tahun 1996, penulis menyelesaikan kuliah strata satu dan memperoleh
gelar Sarjana Perikanan (S.Pi). Sampai Sekarang penulis masih bekerja sebagai dosen tetap Yayasan Muslim Buru pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Iqra Buru di Kabupaten Buru, Provinsi Maluku.
Pada tahun 2009, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 magister program pascasarjana di Universitas Hasanuddin
Makassar dengan memilih program studi Ilmu Perikanan. Selama mengikuti pendidikan pascasarjana, penulis mendapat beasiswa BPPS dari Dikti dan beasiswa penulisan tesis dari Program Mitra Bahari
(COREMAP II). Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar penulis
melakukan penelitian mengenai ”Kajian Biologi Reproduksi Bulu Babi (Diadema setosum) pada Habitat yang Berbeda di Perairan Teluk Kayeli, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru Maluku.
56
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
atas segala karunia-Nya berupa kesehatan dan keluangan waktu sehingga
penulisan tesis mengenai “Kajian Biologi Reproduksi Bulu Babi (Diadema
setosum) pada Habitat yang Berbeda di Perairan Teluk Kayeli, Kecamatan
Namlea, Kabupaten Buru, Maluku” ini dapat diselesaikan dengan baik, yang
merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Program
Pascasarjana Program Studi Ilmu Perikanan Universitas Hasanuddin
Makassar.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir.
Sharifuddin Bin Andy Omar, M.Sc (Ketua) dan Dr. Ir. Abdul Haris, M.Si
(Anggota) selaku komisi pembimbing, Prof Dr. Ir. Ambo Tuwo, DEA, Dr. Ir.
Joeharnani Tresnati, DEA dan Dr. Ir. Lodewijk S. Tandipayuk, MS masing -
masing selaku penguji, yang banyak memberikan masukan dalam
penyusunan tesis ini.
57
Tak lupa pula penulis sangat berterimakasih kepada yang terhormat
Bapak Prof. Dr. Ir. Achmar Mallawa, DEA (Ketua Program Studi Ilmu
Perikanan) yang telah memberikan arahan dan support bagi penulis mulai
dari awal masuknya penulis di program magister hingga saat ini , rekan-rekan
seperjuangan kuliah pada Program Studi Ilmu Perikanan Unhas Angkatan
2009 (Umar, Alan, Mady, Edy, Irianis, Victor, Fikry, Modesta, Akbar dan
lainnya) yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu, yang telah
menginspirasi dan menjadi teman diskusi.
Dalam kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terima kasih atas
segala pengorbanan, motivasi dan doanya, kepada istriku tercinta (St.
Ruhana Natsir, A.Ma dan anakku tersayang Musta’mal Asruh) serta keluarga
dan orang tua (Alm. H. Burhanuddin dan Alm. Hj. Maemunah), mertua (Alm.
M. Natsir dan Hj. St. Rugayyah) yang senantiasa memberi doa dan dukungan
selama penulis menempuh pendidikan serta semua yang telah berkontribusi
dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih pula kepada Program
Beasiswa COREMAP yang telah memberikan bantuan berupa dana
penulisan tesis.
Penulis sangat menyadari sesungguhnya bahwa penulisan tesis ini
masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan, sehingga
saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak sangat
diharapkan demi perbaikan di masa mendatang. Besar harapan penulis
semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin.
58
Makassar, Januari 2012.
Asdar Burhanuddin
ABSTRAK
ASDAR BURHANUDDIN. Kajian Biologi Reproduksi Bulu Babi (Diadema
setosum) Pada Habitat Yang Berbeda Di Perairan Teluk Kayeli, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, Maluku. (Dibimbing Oleh Sharifuddin Bin Andy Omar dan Abdul Haris).
Penelitian ini bertujuan mengkaji dan membandingkan potensi reproduksi bulu babi (Diadema setosum) pada habitat karang dan lamun, dengan menganalisis biologi reproduksi meliputi : nisbah kelamin, tingkat
kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG), ukuran pertama kali matang, fekunditas, dan diameter telur.
Metode penelitian yang digunakan adalah penentuan stasiun pengambilan sampel berdasarkan karakteristik habitat perairan dengan menggunakan metode “ploting square transek”, pengambilan sampel bulu
babi sebanyak 30 ekor. Pengukuran data morfometi meliputi: bobot tubuh, bobot gonad, dan diameter cangkang.
Hasil penelitian didapatkan perbandingan nisbah kelamin bulu babi (Diadema setosum) jantan dan betina pada kedua habitat adalah 1,00 : 1,12,
59
Tingkat kematangan gonad terdiri dari : TKG 0 (fase netral), TKG I (fase
recovering), TKG II (fase growing), TKG III (fase pre-mature), TKG IV (fase marure) dan TKG V (fase spent). Nilai indeks kematangan gonad jantan dan betina berkisar 0,18 – 18,30%. Ukuran pertama kali matang gonad jantan dan
betina di habitat karang adalah 40,67 mm dan 39,94 mm, sedangkan di habitat lamun 44,68 mm dan 42,12 mm. Fekunditas di habitat karang
berkisar 356.282 – 2.089.714 butir dan di habitat lamun 252.000 – 2.580.808 butir. Diameter telur di habitat karang berkisar 6,40 – 1,014 µm dan di habitat lamun 7,45 – 1,014 µm.
Kata kunci : Diadema setosum, biologi reproduksi, kematangan gonad,
habitat karang dan lamun
ABSTRACT
ASDAR BURHANUDDIN. A Study of Biology Reproduction of Sea Urchin
(Diadema setosum) On The Different Habitat in Kayeli Gulf, Namlea District, Buru regency, of Maluku Province. (Supervised by Sharifuddin Bin Andy Omar and Abdul Haris).
The aim of the research is to access and compare the reproductive
potential of sea urchins (Diadema setosum) on coral and seagrass habitats, by analyzing the reproductive biology which includes: sex ratio, gonad maturity (TKG), gonad maturity index (IKG), the size of first maturity,
fecundity, and egg diameter. The research method is determination of sampling stations based on
the characteristics of aquatic habitats by using the "plot transects square", sea urchins sampling as many as 30 tails and subsequent measurement of
60
morfometri data which includes: body weight, gonad weight, and diameter of
the shell. The results of the research indicated that the ratio comparison of sea urchins (Diadema setosum) males and females in both habitats is 1.00: 1.12,
level of maturity of the gonads consist of: TKG 0 (neutral phase), TKG I (recovering phase), TKG II (growing phase), TKG III (pre-mature phase), TKG
IV (maturity phase) and TKG V (spent phase). Value index of male and female gonad maturity ranged from 0.18 to 18.30%. The sizes of the first mature male and female gonads in the reef habitat is 40.67 mm and 39.94
mm, whereas in seagrass habitat are 44.68 mm and 42.12 mm. Fecundity in reef habitats are ranging from 356282-2089714 grains, and in seagrass
habitat are from 252000-2580808 grains. Diameter of eggs in reef habitats is ranging from 6.40 to 1.014 μm and in seagrass habitats is from 7.45 to 1.014 μm.
Keywords: Diadema setosum, reproduce biology, maturity of gonads, coral
and seagrass habitats.
DAFTAR ISI
Hal
aman
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xiii
61
DAFTAR LAMPIRAN xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1 B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 6 D. Hipotesis 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Karakteristik Kelas Echinoidea 8
B. Sistematika dan Morfologi 11 C. Habitat dan Penyebaran 15 D. Reproduksi 17
E. Habitat Terumbu Karang 27 F. Habitat Padang Lamun 29
G. Aspek Lingkungan 31 H. Kerangka Pikir 35
BAB III METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian 36 B. Alat dan Bahan 38
C. Populasi dan Stasiun Penelitian 38 D. Metode Pengumpulan Data 39
E. Analisa Data 43 F. Kualitas Air 48 G. Analisis Statistik
50
Halaman
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 51
B. Nisbah Kelamin 53
62
C. Tingkat Kematangan Gonad (IKG) 56
D. Indeks Kematangan Gonad (IKG) 79 E. Ukuran Pertama Kali Matang Gonad 84 F. Fekunditas 89
G. Diameter Telur 91
H. Aspek Pendukung Lingkungan 95
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
102
B. Saran 103
DAFTAR PUSTAKA
105
LAMPIRAN
110
63
DAFTAR TABEL
Nomor Hala
man
1. Perbedaan nisbah kelamin populasi bulu babi (Diadema setosum)
pada perairan yang berbeda 19
2. Skala Wentworth untuk pengklasifikasian berbagai jenis dan ukuran partikel sedimen. 34
3. Lokasi stasiun pengambilan sampel
39
4. Perkembangan gametogenesis bulu babi (Dharsono, 1986) 45
5. Dimensi spasial wilayah ekologis Kabupaten Buru 51
6. Nisbah kelamin antara bulu babi (Diadema setosum) jantan dengan betina pada setiap waktu pengambilan sampel di habitat karang dan
lamun di perairan Teluk Kayeli kecamatan Namlea 54
7. Tingkat kematangan gonad (TKG) secara morfologi dan histologi
bulu babi (Diadema setosum) jantan 66
8. Tingkat kematangan gonad (TKG) secara morfologi dan histologi bulu babi (Diadema setosum) betina
71
9. Distribusi tingkat kematangan gonad bulu babi (Diadema setosum) jantan dan betina berdasarkan ukuran diameter cangkang pada habitat
64
karang dan lamun di perairan Teluk Kayeli, Kecamatan Namlea 85
DAFTAR GAMBAR
Nomor Ha
laman
1. Bulu babi Diadema setosum 12
2. Diagram bulu babi regularia
13
3. Kerangka pikir penelitian 35
4. Peta Kabupaten Buru Provinsi Maluku 36
5. Lokasi stasiun pengambilan sampel 37
6. Pengukuran diameter cangkang bulu babi 40
7. Morfologi gonad jantan dan betina pada tingkat kematangan gonad 58 8. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema setosum)
pada TKG I 60
65
9. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema setosum) pada TKG II 60
10. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema setosum) pada TKG III 61
11. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema setosum)
pada TKG IV 61
12. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema setosum)
pada TKG V 62
13. Frekuensi relatif tingkat perkembangan gonad bulu babi
(Diadema setosum) selama penelitian pada habitat karang (atas) dan lamun (bawah) di perairan teluk Kayeli, Kecamatan namlea 75
14. Persentase indeks kematangan gonad pada bulu babi jantan dan
betina pada habitat karang (atas) dan lamun (bawah)
83
Nomor Halaman
15. Distribusi diameter telur bulu babi (Diadema setosum) pada
TKG IV (atas) dan TKG V (bawah) pada habitat karang di perairan
teluk Kayeli, Kecamatan Namlea 93
16. Distribusi diameter telur bulu babi (Diadema setosum) pada
TKG IV (atas) dan TKG V (bawah) pada habitat lamun di perairan
teluk Kayeli, Kecamatan Namlea 94
17. Fluktuasi suhu selama penelitian pada habitat karang dan lamun di
perairan teluk Kayeli, Kecamatan namlea
96
18. Fluktuasi salinitas selama penelitian pada habitat karang dan
66
lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan namlea
97 19. Segitiga tekstur pada habitat karang (atas) dan lamun (bawah) di
perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea
101
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Hala
man
1. Jumlah sampel bulu babi (Diadema setosum) pada habitat karang dan lamun selama peneltian di perairan teluk Kayeli, Kecamatan
Namlea 111
67
2. Uji Chi-square bulu babi (Diadema setosum) jantan dan betina
selama penelitian pada habitat karang dan lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea 112
3. Perhitungan frekuensi relatif tingkat kematangan gonad bulu babi
(Diadema setosum) setiap pengambilan sampel pada habitat karang dan lamun selama peneltian di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea
113 4. Kisaran indeks kematangan gonad bulu babi (Diadema setosum)
jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan sampel pada habitat karang dan lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea
114
5. Kisaran diameter cangkang, bobot tubuh, bobot gonad dan indeks kematangan gonad bulu babi (Diadema setosum) berdasarkan tingkat kematangan gonad dan jenis kelamin
pada habitat karang dan lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea
115 6. Perhitungan ukuran pertama kali matang gonad bulu babi
(Diadema setosum) jantan dan betina pada habitat karang dan
lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea 117
7. Perhitungan hubungan fekunditas dengan diameter cangkang bulu babi (Diadema setosum) pada habitat karang dan lamun di perairan
teluk Kayeli, Kecamatan Namlea 121
8. Kisaran diameter telur bulu babi (Diadema setosum) pada habitat karang dan lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea
123
9. Hasil pengukuran suhu dan salinitas selama penelitian di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea 124
68
Nomor
Halam
an
10. Hasil analisis pengukuran sedimen dan tipe subatrat pada habitat karang dan lamun selama penelitian di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea
125
11. Hasil analisis uji-T nisbah kelamin jantan dan betina pada habitat karang dan lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea 126
12. Hasil analisis uji-T TKG III, IV pada habitat karang dan lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea
128
13. Hasil analisis uji-T indeks kematangan gonad (IKG) jantan dan
betina pada habitat karang dan lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea
129
14. Hasil analisis uji-T fekunditas antara habitat karang dan lamun
di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea 131
15. Hasil analisis uji-T diameter telur pada TKG IV dan V antara habitat
karang dan lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea
132
69
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan organisme perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungannya, baik organisme yang melangsungkan kehidupannya di kolom
air maupun pada dasar perairan. Organisme yang hidup di kolom air disebut
organisme pelagis yang mampu bergerak bebas dalam kolom air, sedangkan
organisme yang hidup di dasar perairan disebut bentos, seperti bulu babi.
Organisme bentos senantiasa berasosiasi dengan dasar perairan, baik
sementara maupun sepanjang hidupnya. Apabila kondisi suatu perairan
memiliki stabilitas yang optimal dalam mendukung kelangsungan hidup suatu
organisme maka di dalam perairan tersebut dapat dijumpai berbagai jenis
organisme. Organisme tersebut dapat berkembang biak dengan sempurna
dan melakukan segala aspek kehidupannya.
70
Kabupaten Buru, secara geografis dibatasi oleh Laut Seram di
sebelah utara, Laut Banda di sebelah selatan, Laut Buru di sebelah barat,
dan Selat Manipa di sebelah timur. Kabupaten ini didukung berbagai
ekosistem bahari yang produktif seperti mangrove, lamun, terumbu karang
dan estuari. Ekosistem tersebut diasumsikan dapat mendukung habitat
berbagai biota ekonomis penting, termasuk bulu babi (Dinas Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Buru, 2005).
Perikanan bulu babi telah dikenal sejak 1000 tahun SM, terutama di
kawasan Mediterania (Sloan, 1985). Sebagai negara dengan garis pantai
terpanjang di dunia, Indonesia merupakan lahan yang subur bagi perikanan
bulu babi, mengingat sebaran biota ini hampir merata di setiap pantai
Indonesia. Sekalipun sebaran bulu babi di Indonesia hampir merata dengan
keragaman jenis yang tinggi, produk perikanan bulu babi (gonad) belum dilirik
sebagai komoditi perikanan yang menjanjikan. Hal ini dikarenakan minimnya
pengetahuan masyarakat Indonesia akan sumberdaya perikanan dan teknik
pemanfaatan hasil laut.
Pengetahuan tentang pertumbuhan dan biologi reproduksi berbagai
biota umumnya cukup penting, demikian pula halnya dengan kelompok bulu
babi (Echinoidea). Perkembangan gonad bulu babi tidak hanya merupakan
informasi yang menarik tetapi juga bermanfaat bagi pengenalan siklus
hidupnya sehingga upaya pelestarian produksi bulu babi dapat diterapkan.
71
Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pengelolaan
perikanan yang lestari adalah aspek ekologi, biologi dan sosial ekonomi.
Aspek biologi diantaranya pertumbuhan, rekruitmen dan laju pemulihan, yang
sangat tergantung pada kapasitas reproduksi. Kapasitas reproduksi sendiri
sangat ditentukan oleh ketahanan terhadap lingkungan dan kelulusan hidup
pada fase awal yang kritis. Selain itu, dibutuhkan juga data-data menyangkut
aspek reproduksi dari spesies tersebut, sehingga akan diperoleh data tentang
siklus reproduksi dan tahapan perkembangan kematangan gonad.
Bulu babi merupakan salah satu jenis komoditas perairan yang
gonadnya dimanfaatkan sebagai sumber pangan potensial, baik gonad
jantan maupun gonad betina. Bulu babi beraturan mempunyai lima gonad
yang tergantung sepanjang bagian dalam interambulakral pada daerah
aboral. Gonad yang banyak dicari konsumen adalah gonad yang bertekstur
kompak, padat, tidak berlendir, dan berwarna kuning cerah (Hyman 1955
dalam Ratna 2002).
Gonad bulu babi merupakan makanan tambahan yang kaya akan nilai
gizi. Lee dan Hard (1982 dalam Ratna, 2002) melaporkan bahwa di dalam
gonad bulu babi terkandung sekitar 28 macam asam amino. Selain itu,
gonad bulu babi juga kaya akan vitamin B kompleks, vitamin A, dan mineral.
Selain menjadi sumber pangan dunia, bulu babi ternyata memiliki
fungsi ekologis yang sangat penting. Dengan memakan alga, bulu babi dapat
mengendalikan alga yang tumbuh dengan cepat dan menutupi karang. Bulu
72
babi juga menjadi sumber makanan bagi organisme lain (Erdmann, 2004).
Kematian massal bulu babi yang pernah terjadi di perairan Pasifik Barat
dengan tingkat kematian mencapai 93 - 100% ternyata mengakibatkan
biomassa alga meningkat sehingga kesetimbangan ekosistem terganggu.
Adanya eksploitasi berlebihan setiap saat terhadap semua ukuran,
menyebabkan tidak adanya regenerasi dari bulu babi tersebut secara alami.
Saat ini jenis bulu babi tersebut dijumpai tetapi dalam jumlah yang sudah
mulai sedikit. Aktifitas pengambilan bulu babi yang intensif dalam kurun
waktu yang panjang dan adanya kegiatan penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak (bom) di daerah terumbu karang dan padang
lamun, sehingga mengalami degradasi lingkungan, dan berdampak terhadap
penurunan populasi bulu babi secara langsung. Jika bulu babi terus
dieksploitasi tanpa memikirkan keberlanjutan spesies tersebut maka
dikhawatirkan bulu babi akan mengalami penurunan populasi dikemudian
hari.
Berkaitan dengan hal di atas, walaupun bulu babi mempunyai prospek
yang baik sebagai komoditi yang bernilai ekonomis dan sebagai pemasok
protein yang potensial, tetapi informasi mengenai organisme ini masih
terbatas terutama mengenai siklus reproduksi, khususnya di perairan pantai
Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru. Oleh karena itu, sangat penting
untuk melakukan penelitian tentang potensi reproduksi bulu babi (Diadema
setosum) dengan mengkaji dan menganalisis berbagai aspek biologi
73
reproduksinya pada kondisi habitat yang berbeda di perairan pantai
Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada Latar Belakang, maka yang menjadi
rumusan masalah adalah bulu babi sebagai salah satu biota perairan yang
selalu dianggap indikator pencemaran perairan dan masih kurang
pemahaman tentang pemanfaatannya, padahal bulu babi juga bernilai
ekonomis terutama pada gonad betina. Bulu babi merupakan salah satu
jenis komoditas perikanan yang gonadnya dimanfaatkan sebagai sumber
pangan potensial dengan kandungan protein dan asam amino yang cukup
tinggi.
Sehubungan dengan meningkatnya aktifitas nelayan dalam
pengambilan bulu babi dan adanya kegiatan penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak (bom) pada habitat terumbu karang maupun
padang lamun sehinggga mengalami degradasi lingkungan, maka
berdampak secara langsung terhadap penurunan populasi bulu babi, serta
terganggu kelestariannya.
74
Demikian perlu dilakukan suatu upaya pengelolaan untuk
keberlanjutan spesies bulu babi tersebut agar tetap lestari keberadaanya.
Terkait dengan pengelolaan, salah satu aspek yang penting diketahui adalah
aspek biologi reproduksi bulu babi terutama menyangkut potensi reproduksi,
sebagai dasar untuk menentukan strategi pengelolaan yang akan dilakukan
terhadap kegiatan budidaya bulu babi di masa yang akan datang.
Permasalahan-permasalahan yang perlu dikaji dalam aspek biologi
reproduksi terutama menyangkut potensi biologi reproduksi bulu babi jenis
(D. setosum) yaitu “apakah dengan kondisi karakteristik habitat yang berbeda
mempengaruhi potensi reproduksi bulu babi (D. setosum)”.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan membandingkan potensi
reproduksi bulu babi (D. setosum) yang hidup pada habitat terumbu karang
dan padang lamun di perairan pantai Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru,
dengan menganalisis beberapa parameter biologi reproduksinya, yang
meliputi: nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG) (pengamatan
morfologi dan histologi), indeks kematangan gonad (IKG), ukuran pertama
kali matang gonad, fekunditas, dan diameter telur.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar
tentang bagaimana siklus reproduksi, fase-fase perkembangan pematangan
gonad, jumlah telur yang dihasilkan pada waktu pemijahan serta ukuran
75
diameter telur, yang nentinya akan bermanfaat bagi upaya pengelolaan
maupun kegiatan budidaya bulu babi (D. setosum) di masa mendatang,
terutama pada perairan pantai Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru.
D. Hipotesis
Kondisi karakteristik habitat yang berbeda mempengaruhi potensi
biologi reproduksi bulu babi (D. setosum).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Karakteristik Kelas Echinoidea
76
Radiopoetro (1991) menyatakan bahwa bulu babi berbeda dengan
binatang laut lainnya. Bulu babi tidak mempunyai lengan, berbentuk bola
dengan cangkang yang keras dan ditumbuhi duri. Duri-duri terletak dalam
garis membujur dan dapat digerak-gerakkan. Duri dan kaki tabungnya
digunakan untuk merayap di dasar perairan. Mulutnya terletak di bagian
bawah menghadap dasar perairan sedangkan duburnya menghadap ke atas
puncak bulatan cangkang.
Pada cangkang bulu babi terdapat tonjolan atau tuberculum sebagai
tempat persendian duri-duri. Tiap-tiap duri merupakan bentuk kristal dari
CaCO3. Pada pangkal duri-duri itu terdapat pedicelariae dengan tiga anak
penjepit dan tangkai yang panjang, yang berfungsi menjaga agar tubuh selalu
bersih dan untuk menangkap makanan.
Bulu babi mempunyai sistem amburakral sebagai alat gerak untuk
mencari makanan maupun menghindar dari tekanan yang tidak
menguntungkan. Daya gerak bulu babi sangat lamban seakan-akan selalu
dalam keadaan diam. Untuk bergerak, bulu babi menggunakan kaki-kaki
amburakral. Kaki tabung pada permukaan oral biasanya mempunyai alat
penghisap yang digunakan untuk bergerak atau melekat pada karang, batu,
dan lain-lain (Aziz, 1995).
Azis (1987) menyatakan bahwa bulu babi mempunyai kebiasaan hidup
yang berbeda-beda, ada yang berkelompok dan ada pula yang terpisah-
pisah. Jenis-jenis yang hidup pada daerah terumbu karang dan padang
77
lamun adalah Strongylocentrotus purpuratus, D. setosum, Echinothrix
diadema, Echinometra mathae.
Ekinodermata lain yang biasa dimakan dan terdapat di terumbu karang
adalah bulu babi (Kelas Echinoidea). Pada beberapa negara seperti
Perancis dan Jepang, jenis bulu babi tertentu telah mempunyai nilai
ekonomis yang cukup penting. Di Indonesia bagian timur, bulu babi jenis
tertentu merupakan makanan penduduk yang mendiami pulau-pulau karang
dan kerap kali dijumpai dijual di pasar terutama yang berdekatan dengan
perkampungan Bajo.
Bulu babi yang diperjual belikan ada yang masih utuh dan ada yang
telah diolah terlebih dahulu. Gonad (kantong telur atau kantong testis)
dikeluarkan dan kemudian dimasukkan lagi ke dalam cangkang yang telah
dibersihkan isinya lalu direbus. Menurut Darsono (1986) semua jenis bulu
babi pada umumnya gonadnya enak dimakan, termasuk pula yang duri
beracun seperti D. setosum. Di Jepang, bulu babi sudah merupakan
makanan yang sangat popular dan kebutuhan akan gonad bulu babi terus
meningkat dari tahun ke tahun sehingga Jepang harus mengimpornya.
Menurut Aziz (1987), bulu babi yang hidup di perairan dangkal,
lambungnya terutama berisi lamun dan alga. Selanjutnya dikatakan pula
bahwa bulu babi jenis Antocidaris crassipina yang hidup di perairan sekitar
Hongkong mengkonsumsi sekitar 15 jenis alga. Ada 5 jenis diantaranya
pilihan utama yang dapat mencapai 49% dari isi lambung bulu babi tersebut.
78
Selain dua kelompok tanaman air tersebut, di dalam lambung bulu babi
ditemukan pula krustasea, moluska, dan sebagainya dengan, persentase
yang lebih rendah.
Menurut Chiu (1987), dalam lambung bulu babi juga ditemukan
Balanus sp, cacing tabung (Pomatoleo crausii) dan Spirobos spp. Sementara
itu, Dix (1970 dalam Aziz, 1987) menyatakan bahwa lambung bulu babi juga
berisi beberapa jenis krustasea. Adanya berbagai jenis hewan dalam
lambung bulu babi disebabkan oleh tingkah laku makan (feeding habit) dari
hewan ini yang mencari makan dengan cara mengikis (grazing, scraping)
permukaan substrat dimana mereka hidup. Dengan demikian, selain alga
dan lamun, dalam lambung bulu babi juga dapat ditemukan berbagai hewan
yang turut termakan.
B. Sistematika dan Morfologi
Klasifikasi bulu babi dari spesies D. setosum menurut Zipcodezoo
(2011) adalah Domain Eukaryota (Whittaker & Margulis, 1958), Kingdom
Animalia (Linnaeus, 1758), Subkingdom Bilateria (Hatschek, 1888), Branch
Deuterostomia (Grobben, 1908), Infrakingdom Coelemopora (Markus, 1958),
Phylum Echinodermata (Klein, 1734), Subphylum Eleutherozoa (Bell, 1897),
79
Infraphylum Echinozoa (Haeckel, in Von Zittell, 1895), Class Echinoidea (Sea
Urchins & Sand Dollar), Subclass Euechinoidea, Superordo Diadematacea,
Ordo Diadematoida, Famili Diadematidae, Genus Diadema (Gray, 1825),
Spesies Diadema setosum (Leske, 1778).
Hewan yang memiliki nama Internasional sea urchin atau edible sea
urchin ini tidak mempunyai lengan. Tubuhnya umumnya berbentuk seperti
bola dengan cangkang yang keras berkapur dan dipenuhi dengan duri-duri
(Nontji, 2005). Durinya amat panjang, lancip seperti jarum dan sangat rapuh.
Duri-durinya terletak berderet dalam garis-garis membujur dan dapat digerak-
gerakkan, panjangnya dapat mencapai ukuran 10 cm dan lebih (Gambar 1).
Berdasarkan bentuk tubuhnya, kelas Echinoidea dibagi dalam dua
subkelas utama, yaitu bulu babi beraturan (regular sea urchin) dan bulu babi
tidak beraturan (irregular sea urchin). Hanya bulu babi beraturan saja yang
memiliki nilai konsumsi.
80
Gambar 1. Bulu babi jenis Diadema setosum
Tubuh bulu babi terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian oral, aboral dan
bagian di antara oral dan aboral. Pada bagian tengah sisi aboral terdapat
sistem apikal dan pada bagian tengah sisi oral terdapat sistem peristomial.
Lempeng-lempeng amburakral dan interamburakral berada di antara sistem
apikal dan sistem peristomial (Sugiarto dan Supardi, 1995).
Bulu babi marga Diadema termasuk kedalam kelompok bulu babi yang
mempunyai cangkang beraturan (regularia). Bentuk luar cangkang berupa
buah delima atau dengan bentuk lebih tertekan/memipih memberikan kesan
setengah bola. Sebagaimana bentuk umum bulu babi regularia, cangkang
Diadema tersusun dari ratusan keping-keping kecil yang terpolakan dengan
arsitektur yang unik (Gambar 2).
81
Berbeda dengan kelas Asteroidea dan Ophiuroidea, pada bulu babi
tangan yang berpola pentaradial absen sama sekali. Tetapi lempengan-
lempengan kapur tetap tersusun dengan pola pentaradial simetri. Lima
pasang jalur keping ambulakral tersusun bergantian dengan lima pasang jalur
keping interambulakral.
Gambar 2. Diagram bulu babi regularia (Clark dan Rowe, 1971)
Keping-keping ambulakral berukuran lebih kecil dan mempunyai
lubang-lubang untuk keluar masuknya kaki tabung. Keping interambulakral
berukuran lebih besar dan melebar. Duri-duri utama (primary spines) terletak
pada keping interambulakral, dan duri-duri kecil (secondary spines) tersebar
82
di semua keping (ambulakral dan interambulakral) (Sugiarto dan Supardi,
1995).
Pada bagian tengah dari sisi aboral terdapat kelompok keping
"periproct" atau sistem apikal dan pada bagian tengah dari sisi oral terdapat
kelompok keping peristomial. Keping-keping ambulakral dan interambu-lakral
berada antara sistem apikal dan sistem peristomial (Sugiarto dan Supardi,
1995).
Sistem apikal, pada bagian tengah terdapat lubang anus yang
dikelilingi oleh keping-keping "periproct" dibatasi oleh 10 keping yang
tersusun bergantian. Lima keping utama yang berukuran lebih besar
disebutkeping genital. Pada keping genital terdapat gonopore yang
berhubungan ke sistem reproduksi. Lima keping okular berukuran relatif lebih
kecil. Pada salah satu keping genital, biasanya yang berukuran paling besar
terdapat keping batu ajau "medreporite" disini tempat bermuaranya sistem
pembuluh air (Sugiarto dan Supardi, 1995).
Sistem peristomial dikelilingi oleh sederetan keping-keping berukuran
kecil. Bagian tengah dibangun oleh semacam selaput kuli t tempat
menempelnya organ lentera Aristoteles. Organ lentera Aristoteles berfungsi
sebagai rahang dan gigi (Sugiarto dan Supardi, 1995).
Posisi anus, ukuran keping genital, sebaran duri-duri primer, bentuk
lentera Aristoteles, ada atau tidaknya lubang antara keping interambulakral
adalah merupakan karakter morfologis yang penting untuk indikasi ke tingkat
83
marga dan jenis. Bulu babi marga Diadema dewasa bisa mencapai ukuran
cangkang 90 mm (Sugiarto dan Supardi, 1995).
C. Habitat dan Persebaran
Habitat bulu babi adalah perairan yang dangkal sampai pada
kedalaman 10 m, akan tetapi ada beberapa spesies yang dapat hidup pada
kedalaman 0 - 200 m. Hewan ini mempunyai daerah persebaran yang luas
yaitu dari daerah tropis sampai subtropik. Faktor lingkungan yang
mempunyai penyebaran biota ini mengakibatkan diferensiasi satu daerah
dengan daerah yang lain (Soemodiharjo, 1989). Demikian keberadaan setiap
jenis pada daerah tertentu merupakan suatu kemampuan beradaptasi
terhadap lingkungan dari jenis itu sendiri.
Bulu babi hidup di ekosistem terumbu karang (zona pertumbuhan
alga) dan lamun. Bulu babi ditemui dari daerah intertidal sampai kedalaman
10 m dan merupakan penghuni sejati laut dengan batas toleransi salinitas
antara 30 - 34 ‰ (Aziz 1995 dalam Hasan 2002). Hyman (1955 dalam Ratna,
2002) menambahkan bahwa bulu babi termasuk hewan bentos, ditemui di
semua laut dan lautan dengan batas kedalaman antara 0 - 8000 m.
Echinoidea memiliki kemampuan beradaptasi dengan air payau lebih rendah
dibandingkan avertebrata lain. Kebanyakan bulu babi beraturan hidup pada
substrat yang keras, yakni batu-batuan atau terumbu karang dan hanya
84
sebagian kecil yang menghuni substrat pasir dan lumpur, karena pada
kondisi demikian kaki tabung sulit untuk mendapatkan tempat melekat.
Golongan tersebut khusus hidup pada teluk yang tenang dan perairan yang
lebih dalam, sehingga kecil kemungkinan dipengaruhi ombak.
Bulu babi ini bisa hidup soliter atau mengelompok, tergantung kepada
jenis dan habitatnya. Bulu babi jenis D. setosum, T. gratilla, dan
Strongylocentrotus spp, cenderung hidup mengelompok, sedangkan jenis
Mespilia globulus, Toxopneustes pileolus dan Pseudoboletia maculata
cenderung hidup menyendiri. Kepadatan bulu babi ini tergantung kepada
jenis dan lokasi persebarannya. Kepadatan bulu babi ini berkisar antara 0,4
individu/m2 sampai 50 individu/m2 (Anonim, 2006).
Bulu babi marga Diadema mempunyai tempat hidup dan
persebarannya mengikuti pola sebaran terumbu karang. Selain itu, bulu babi
ini juga tersebar di pantai berbatu dan di padang lamun. Di daerah
ekosistem terumbu karang, bulu babi marga Diadema bisa menempati rataan
pasir, daerah pertumbuhan alga dan daerah tubir karang. Di zona rataan
pasir dan daerah pertumbuhan alga, bulu babi ini hidup mengelompok dalam
kelompok besar. Darsono dan Aziz (1979), melaporkan bahwa bulu babi jenis
D. setosum di Pulau Tikus, gugus Pulau Pari bisa mengelompok sampai
3000 individu meliputi area seluas 7850 m2. Daerah tubir karang didapati
bulu babi hidup dalam kelompok kecil atau hidup menyendiri dalam luba ng
karang mati.
85
Bulu babi marga Diadema tersebar luas di sepanjang pantai bersuhu
hangat (tropis dan subtropis). Bulu babi jenis D. antillarum tersebar luas di
daerah Karibia. Jenis bulu babi D. setosum dan D. savignyi tersebar luas di
kawasan Indo Pasifik Barat, yaitu dari pantai timur benua Afrika sampai ke
Hawaii dan dari daerah Jepang Selatan sampai ke Great Barrier Reef di
Australia. Di daerah Karibia, bulu babi jenis D. antillarum tidak dimanfaatkan
sebagai produk perikanan. Di kawasan Indo Pasifik Barat bulu babi jenis D.
setosum dimakan oleh nelayan lokal, terutama di Filipina dan Indonesia
(Aziz, 1995).
D. Reproduksi
Pada umumnya bulu babi tergolong biota gonokhoris yaitu biota yang
memiliki kelamin terpisah atau dengan kata lain tiap individu memiliki satu
jenis organ kelamin. Tetapi pada beberapa kasus ditemukan pula bulu babi
yang hermaprodit yaitu kondisi dimana gonad jantan dan gonad betina
berada dalam satu individu (Brusca dan Brusca, 2006).
Jenis kelamin bulu babi jantan dan betina dapat diidentifikasi melalui
tanda-tanda kelamin sekunder dan primer yang dimiliki. Tanda kelamin
penting artinya untuk mengetahui jenis kelamin suatu individu. Walaupun
kelamin jantan dan betina pada bulu babi terpisah, tetapi kedua jenis kelamin
86
ini tidak memberikan kenampakan morfologi luar yang berbeda nyata
(Radjab, 2001).
Hingga saat ini, tanda kelamin sekunder yang dapat memberi petunjuk
adalah bentuk papila genitalia. Pada bulu babi, papilla genitalia terdiri atas
dua tipe yakni tipe mespilia dan tipe tripneustes. Pada tipe tripneustes, ciri-
ciri papila genitalia jantan ditandai dengan bentuk tabung yang memanjang ,
sedangkan pada betina berbentuk tonjolan tumpul (stumpy protuberances).
Bulu babi yang termasuk dalam tipe ini adalah T. gratilla, E. mathaei,
Echinostrephus aciculatus, dan D. setosum (Radjab, 2001).
Tanda kelamin primer adalah tanda yang berhubungan langsung
dengan organ reproduksi organisme yaitu jantan dengan testis beserta
salurannya dan betina dengan ovarium beserta salurannya. Tanda kelamin
primer yang dapat digunakan untuk membedakan jantan dan betina adalah
warna gonad. Gonad jantan berwarna putih susu atau coklat tua keputihan
sedangkan gonad betina berwarna oranye ataupun kuning cerah (Radjab,
2001).
Untuk mengetahui hubungan jantan-betina dari suatu populasi, maka
pengamatan mengenai nisbah kelamin dari biota yang diteliti merupakan
salah satu faktor penting. Kondisi di alam, rasio kelamin jantan dan betina
bulu babi diperkirakan mendekati 1 : 1. Ini berarti bahwa jumlah jantan yang
tertangkap relatif sama dengan jumlah betina yang tertangkap (Andy Omar,
2009). Selanjutnya berkaitan dengan masalah mempertahankan kelestarian
87
populasi biota, maka diharapkan perbandingan jenis kelamin jantan dan
betina seimbang (Romimohtarto dan Juwana, 2007). Nisbah kelamin untuk
genus Diedema disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Nisbah kelamin populasi bulu babi D. setosum pada perairan yang
berbeda.
Lokasi penelitian Nisbah kelamin
(Jantan : Betina)
Sumber pustaka
1. Singapura
2. Kanamai, Kenya
3. P. Pari, Kep. Seribu
4. P. Barrang Lompo
1 : 0,7
1 : 1
1,33 : 1
1 : 2,2
Hori et al, (1987)
Muthiga & McClanahan (2007) Azis dan Darsono (1979)
Gaffar (2011)
Sulit menduga tingkat kematangan gonad dari ukuran cangkang bulu
babi karena variasi ukuran cangkang yang besar. Awal kematangan gonad
pada bulu babi jenis T. gratilla dicapai pada ukuran cangkang 42,5 mm
(Tuwo, 1998). Menurut Radjab (2001) bahwa bulu babi matang gonad pada
ukuran cangkang 60 – 70 mm dengan berat 160 – 170 g. Tidak ada
perbedaan antara gonad jantan dan betina bulu babi hingga ukuran
cangkang mencapai 40 mm. Bulu babi marga Diadema mencapai usia
matang gonad secara seksual pada ukuran bervariasi yaitu antara 3 – 6 cm.
88
Diadema yang telah mencapai usia matang berwarna ungu gelap atau
hampir hitam.
Suatu hal yang menarik yaitu bahwa individu dengan diameter
cangkang lebih kecil dari 40 mm ternyata gonadnya relatif belum
berkembang. Bentuknya sangat tipis, transparan (bening), dan berat
gonadnya kurang dari 1 g. Bulu babi jenis T. gratilla yang berdiameter lebih
dari 40 mm, gonadnya tampak jelas dan bervariasi ketebalannya dengan
kisaran berat 1,0 – 26,5 gram. Berdasarkan kenyataan ini maka ukuran
diameter cangkang 40 mm diduga merupakan ukuran kedewasaan pertama
(size at first maturity) dari bulu babi jenis T. gratilla (Darsono dan Sukarno,
1993).
Gonad yang belum membentuk sel kelamin yang matang dikenal
dengan istilah gonad pre-gametogenesis. Pada gonad betina fase pre-
gametogenesis, jumlah oosit previtelogenik lebih banyak bila dibandingkan
dengan oosit vitelogenik. Gonad pre-gametogenesis jantan akan lebih
banyak berisi sperma yang belum matang dibandingkan dengan sperma
yang sudah matang (WIPO, 2008).
Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan tahapan perkembangan
gonad pada saat sebelum dan sesudah organisme memijah. Tingkat
kematangan gonad dapat ditentukan dengan menggunakan dua metode yaitu
secara morfologi dan secara histologi. Beberapa hal yang digunakan untuk
menentukan tingkat kematangan gonad secara morfologi adalah bentuk,
89
ukuran panjang dan berat, warna dan perkembangan isi gonad (Effendie,
1997).
Secara makroskopis gonad memberikan kenampakan warna dan
teksturnya. Warna gonad D. setosum bervariasi dari coklat gelap, kehijauan,
kuning jeruk (orange), kuning tua, kuning muda (krem) dan transparan
(bening). Variasi warna ini berkaitan dengan jenis kelamin dan tingkat
perkembangannya/gametogenesis. Pada fase pijah, D. setosum cenderung
memiliki gonad berwarna muram, sementara fase matang cenderung
memiliki testis berwarna krem/kuning pucat atau kaya kuning telur. Warna
tidak konsisten, namun sering ditemukan testis matang berwarna kuning, dan
ovarium matang berwarna pucat kekuningan atau krem (Pearse, 1970).
Tekstur gonad bervariasi dari padat dan berbutir sampai lunak dan
berlendir. Kondisi gonad matang (mature) memberikan kenampakan tekstur
lunak berlendir. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan gonad D.setosum
oleh Kobayashi dan Nakamura (1967) di seto, Jepang. Hubungan tekstur
gonad dengan tingkat gametogenesis juga diterangkan oleh Bernard (1977).
Gonad dengan tekstur padat (kompak) terjadi pada gonad fase pemulihan
(recovery), dan kondisinya menurun (melunak) sepanjang proses
pematangan gamet.
Pembuatan preparat histologis dilakukan secara bertahap, yang
secara umum tahapan tersebut terdiri dari proses fiksasi, dehidrasi,
90
embedding/penanaman, staining/pewarnaan dan selanjutnya pengamatan
(Martinez-Pita et al., 2008).
Pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG) mengenai
perkembangan sel kelamin bulu babi D. setosum dibagi ke dalam enam
tahapan, yaitu fase netral/neutral (0), fase developing virgin/recovering spent
(I), fase tumbuh/growing (II), fase matang awal/premature (III), fase
matang/mature (IV), dan fase pijah/spent (V) (Darsono, 1986).
a. Fase netral (0), terdapat pada individu yang kecil/muda dengan ciri gonad
netral, memanjang, relatif tipis dan semi transparan. Pada tahap ini akan
sulit membedakan apakah gonad itu jantan atau gonad betina.
b. Fase developing virgin/recovering spent (I). Pada fase ini terjadi
pertumbuhan sel-sel gamet yang dapat terlihat jelas di bawah mikroskop,
sehingga jenis kelamin organisme sudah dapat ditentukan. Kenampakan
preparat pada developing virgin dan recovering spent adalah sama.
Hanya terlihat adanya folikel pada recovering spent yang lebih besar
daripada developing virgin. Pada developing virgin, gonad tampak lebih
kecil, berwarna keputihan, sedangkan pada recovering spent gonad
berwarna coklat kemerahan (reddish brown). Pada betina, irisan ovari
pada tingkat ini mudah dikenali dengan tampaknya sejumlah oogonia dan
oosit muda yang menempel sepanjang lapisan germinal dinding folikel.
Oogonium berbentuk seperti gelondong benang. Sitoplasmanya
mengelilingi inti (nukleus) sebagai lapisan tipis yang homogen. Oosit
91
muda berbentuk bola yang tidak beraturan dan mempunyai inti relatif
besar yang dikelilingi oleh lapisan tipis yang berupa akumulasi sitoplasma
yang basofilik. Ukuran rata-rata diameter dari oosit adalah sekitar 15 µ,
tapi kadang-kadang pada individu muda hanya berukuran sekitar 5 µ.
Pada organisme jantan, ditandai dengan adanya sejumlah
spermatogonia dan spermatosit sepanjang dinding folikel. Spermatosit
dengan spermatogonium dibedakan dengan ukuran spermatosit, yang
lebih kecil dan kurang menyerap warna haematoxylin dari pada
spermatogonium. Pada tingkat ini aktifitas spermatogenesis masih
rendah.
c. Fase tumbuh/Growing (II). Pada tingkat ini testis dan ovari masih belum
dapat dibedakan secara visual. Gonad berwarna sama yaitu coklat
kemerahan (reddish brown). Pada betina masih ditemukan oogonia kecil
pada folikel periferi, tetapi jumlahnya lebih sedikit dari pada tingkat I.
Beberapa oosit muda yang berkait satu sama lain mengisi ke arah tengah
folikel. Diameter oosit mencapai 40 – 60 µ. Sejumlah kecil oosit yang
sudah lebih berkembang mengisi bagian tengah folikel. Ovari
berkembang sejalan dengan pertumbuhan oosit. Pada jantan
spermatogenesis terlihat lebih nyata. Produksi spermatosit dan
spermatogonia berkembang cepat sepanjang folikel periferi. Irisan folikel
jantan memperlihatkan sejumlah gamet. Tidak ditemukan spermatozoa
dalam lumen.
92
d. Fase matang awal/Pre-mature (III). Gonad bertambah besar dan secara
umum gonad jantan dan betina dapat dibedakan dari perbedaan
warnanya. Gonad jantan umumnya coklat kekuningan (yellow brown)
dan coklat kemerahan (reddish brown), sedangkan gonad betina
umumnya kuning muda (yellow whitish) atau putih krem (creamy white).
Pada betina oogonesis terjadi secara aktif, ditandai oleh perkembangan
cepat dari ukuran oosit secara individual. Sejumlah oosit besar
berbentuk oral mengisi lumen dari folikel, berdimensi sekitar 80 – 140 µ x
40 – 80 µ. Telur (ova) yang telah terlepas dari dinding folikel tumbuh
mencapai ukuran 80 – 100 µ. Folikel ovari pada tingkat ini mempunyai
sejumlah oosit dengan ukuran berkisar 10 – 70 µ, dan sebagian telur
matang (ova) yang mengisi lumen folikel. Secara umum boleh dikatakan
bahwa folikel telah siap menampung oosit primer yang akan mencapai
ukuran maksimum. Pada jantan proses spermatogenesis makin aktif.
Spermatosis dan spermatid meningkat dalam jumlah, beberapa
spermatozoa mengisi lumen folikel secara sentripetal.
e. Fase matang/Mature (IV). Gonad jantan dan betina telah mencapai
puncak perkembangan, dan memperlihatkan ukuran dan volume
maksimum. Pada betina seluruh ruang lumen dari pada folikel terisi
penuh oleh ova dengan ukuran diameter sekitar 80 – 100 µ, kadang-
kadang pada dinding folikel juga sudah terlihat oosit muda yang baru.
Ukuran ova (oosit yang telah matang) ini tidak jauh berbeda dengan yang
93
terdapat pada fase III, namun terdapat perubahan kandungan
sitoplasmanya yang makin homogen dan lebih menyerap warna
haematoxylin. Tahapan perkembangan spermatogenesis telah mencapai
spermatozoa matang. Pada dinding folikel tetap berlangsung proses
awal spermatogenesis. Seluruh ruang lumen folikel terisi penuh oleh
spermatozoa.
f. Fase pijah/Spent (V). Gonad hewan yang telah memijah akan terlihat
mengecil. Baik gonad jantan maupun betina sering berwarna coklat
keputihan (whitish brown). Tidak jelas tanda-tanda visual yang
membedakannya. Pada betina secara mikroskopis tergantung lamanya
waktu setelah memijah, irisan memperlihatkan berbagai kenampakan.
Namun secara umum biasanya ditandai dengan kosongnya lumen dan
beberapa sisa ova yang tertinggal. Pada dinding folikel tampak lapisan
yang merupakan perkembangan serabut-serabut jaringan penunjang
(connective tissue). Sisa-sisa ova dalam folikel secara bertahap diserap
kembali oleh sel-sel fagosit, dan lumen (ruang folikel) secara berangsur
diisi kembali oleh jaringan penunjang berupa sel-sel nutritif. Oogonia dan
oosit muda kemudian tumbuh kembali dan tanda-tanda kenampakan
berulang seperti pada tingkat I. Pada jantan, perubahan histologis yang
jelas adalah berkurangnya spermatozoa sehingga lumen nampak
kosong, atau terlihat sisa-sisa sperma pada lumen. Keadaan yang terjadi
berikutnya adalah identik dengan pada folikel betina.
94
Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan gonad adalah usia
organisme, suhu, hidrodinamika lautan, kuantitas dan kualitas makanan.
Pada kondisi lingkungan dengan kuantitas dan kualitas makanan yang buruk,
ukuran diameter cangkang bulu babi tidak hanya menjadi lebih kecil tetapi
dapat juga mengalami pengurangan volume gonad. Tetapi apabila kondisi
makanan baik, usia organisme menjadi faktor penting yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan gonad. Gonad akan bertumbuh lebih baik pada bulu
babi yang berusia dewasa dibandingkan pada yang masih dalam taraf
pertumbuhan (Martinez-Pita et al., 2008). Lawrence (1987 dalam Muthiga
and Mc.Clanahan, 2007) menyatakan bahwa D. setosum yang berukuran
sangat besar menunjukkan kondisi gonad dengan aktifitas reproduksi yang
berlangsung kecil.
Pertumbuhan ukuran gonad bulu babi tidak hanya terjadi akibat
adanya gametogenesis yang menambah ukuran atau jumlah sel gamet,
tetapi juga dipengaruhi oleh adanya sel-sel nutrisi atau nutrisi fagosit yang
menyerap cadangan makanan sebelum gametogenesis dimulai (Walker et
al., 2007). Sel nutrisi ini akan menyerap protein yang kemudian akan
digunakan dalam proses pembentukan gametogenesis, khususnya pada
proses oogenesis (Unuma et al., 2003).
Fertilisasi bulu babi terjadi di air, dimana air dimasukkan ke dalam kaki
amburakral dan menyebabkan kaki itu menjulur. Ferti lisasi terjadi secara
eksternal, untuk memudahkan proses ferti lisasi, bulu babi berkumpul dan
95
akan memijah pada waktu yang bersamaan. Waktu memijah sangat
bervariasi, dapat terjadi pada waktu sore hari maupun malam hari (Lawrence,
2007). Dalam proses pemijahan, bulu babi jantan akan terlebih dahulu
melepaskan sperma (warna putih susu) kemudian disusul oleh betina yang
melepaskan ovum (warna kuning matang). Jumlah telur yang dilepaskan
oleh betina pada saat proses pemijahan dapat mencapai jutaan. Telur yang
telah terbuahi akan tumbuh menjadi larva plutea yang selanjutnya mengalami
metamorfosis setelah berusia 5 - 6 minggu (Radjab, 2001).
E. Habitat Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan salah satu dari ekosistem-ekosistem
pantai yang teramat produktif dan teramat beraneka-ragam. Ekosistem
terumbu karang memberi manfaat langsung kepada manusia dengan
menyediakan makanan, obat-obatan, bahan bangunan dan bahan lain. Lebih
penting lagi, terumbu karang menopang kelangsungan hidup ekosistem-
ekosistem lain di sekitarnya yang juga menjadi tumpuan hidup manusia.
Terumbu karang memang unik sifatnya di antara asosiasi dan masyarakat
biota laut. Terumbu ini dibangun seluruhnya oleh kegiatan biologik, dimana
ia merupakan timbunan masif dari kapur CaCO3 yang terutama telah
dihasilkan oleh hewan karang dengan tambahan penting dari alga berkapur
dan organisme-organisme lain penghasil kapur (Nontji, 2005).
96
Bulu babi D. setosum adalah salah satu jenis yang terdistribusi secara
luas di lautan Indo-Barat Pasifik, mulai dari Laut Merah dan pantai Timur
Afrika, hingga ke Jepang dan Australia. Diadema setosum umumnya
ditemukan di daerah terumbu karang atau substrat berbatu di daerah dangkal
pada kedalaman 1 – 6 m. Hewan ini aktif mencari makan pada malam hari
(nocturnal), sedangkan pada siang hari lebih banyak bersembunyi di celah-
celah karang dan batu. Diadema setosum merupakan hewan omnivora dan
pemakan detritus, mereka makan dengan cara mencerna substrat seperti
pasir atau menggerus alga pada permukaan yang keras seperti karang
(Yokes dan Galil, 2006).
Selain pemanfaatannya sebagai bahan pangan, bulu babi ini juga
sangat berperan dalam kesetimbangan ekosistem habitatnya.
Kesetimbangan populasi D. antillarum akan menjaga kesetimbangan
populasi alga dan karang. Sedangkan kematian massal D. antillarum
berdampak pada penurunan drastis tutupan karang, dan menurunnya
kehadiran Invertebrata yang biasanya menetap di wilayah ini. Selain itu,
terumbu karang dapat didominasi oleh alga. Pada tahun 1995 ternyata
ditemukan bahwa populasi D. antillarum yang sangat sedikit (pemulihannya
membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun). Hilangnya induk menyebabkan
jumlah larva juga sangat kurang. Meski telah mulai ada pemulihan Diadema,
namun belum dapat diketahui apakah akan dapat mengembalikan terumbu
karang yang hi lang (Anonim, 2007).
97
F. Habitat Padang Lamun
Lamun diketahui sebagai vegetasi yang padat di bawah laut dan
menimbulkan adanya peningkatan permukaan substrat untuk alga dan fauna
epifit. Sejumlah epifit makroalga dan diatomea bentik tumbuh pada daun
lamun, dan permukaan daun sering ditutupi oleh epifit, epifauna dan detritus.
Sebagai tempat berlindung dan substrat dari organisme, maka hal ini
merupakan fungsi yang penting dari padang lamun. Adanya pembagian yang
jelas dari lamun tentang daun, batang, rimpang dan akar menyebabkan
meningkatnya keragaman dari mikrohabitat sehingga hal ini membuat
dukungan terhadap keragaman fauna yang cukup tinggi, dimana mereka
tidak memakan lamun secara langsung (Aswandy dan Azkab, 2000).
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem yang penting di
perairan dangkal. Selain berperan sebagai produsen primer, penangkap
sedimen, pendaur zat hara, padang lamun juga berperan sebagai habitat
biota laut lainnya. Di Indonesia terdapat sekitar 13 jenis lamun yang hidup
tersebar pada lingkungan perairan laut dangkal seperti daerah pasang surut,
estuari, di depan formasi hutan dakau, atau di belakang gugus terumbu
karang. Di daerah ugahari padang lamun biasanya merupakan formasi
tersendiri dengan daerah penyebaran yang sangat luas (Aziz, 1995).
Ekosistem lamun merupakan habitat dari berbagai jenis fauna
invertebrate, salah satunya adalah kelompok Ekinodermata yang merupakan
kelompok biota penghuni lamun yang cukup menonjol, terutama dari kelas
98
Echinoidea (bulu babi). Kelompok Ekhinodermata ini dapat hidup menempati
berbagai macam habitat seperti zona rataan terumbu, daerah pertumbuhan
alga, padang lamun, koloni karang hidup dan karang mati dan beting karang
(rubbles dan boulders) (Yusron, 2009)
Bulu babi dalam ekosistem padang lamun mempunyai peranan
penting sebagai pemakan rumput laut (grazing), oleh karena itu bulu babi
dapat membawa pengaruh terhadap struktur dan fungsi dari kebanyakan
komunitas bentik pada ekosistem perairan pantai (Tertsching, 1989). Pada
tahun-tahun belakangan ini, dari segi biologi populasi, bulu babi mendapat
perhatian yang lebih dari biasanya, khususnya berhubungan dengan
pengawasan terhadap kecepatan tumbuh, pertumbuhan dan degradasi
populasi serta pengaruhnya terhadap populasi organisme yang lain (Edrus
dan Andamari, 1998).
Di bagian utara Jepang, Kawamura (1973) melaporkan bulu babi,
Strongylocentrotus intermedius memakan daun hi jau lamun Phyllospadix
iwantensis yang tumbuh di daerah dengan substrat karang. Lamun
menduduki rangking kedua atau ketiga dalam rantai makanan dan kriteria
frekuensi keterdapatan, tetapi tersedia kurang dari 10% berat pada setiap
bulu babi dewasa.
Bulu babi sebagai salah satu biota penghuni padang lamun, kerap kali
ditemukan di daerah padang lamun campuran. Kondisi ini terutama
disebabkan karena bulu babi tergantung kepada berbagai jenis lamun seperti
99
lamun dari marga Thalassia, syringodium, Thalassodendron, dan
Cymodocea. Selain itu bulu babi juga lebih menyukai substrat yang agak
keras, dimana substrat padang lamun campuran terutama terdiri dari
campuran pasir dan pecahan karang (Aziz, 1995).
G. Aspek Lingkungan
Bulu babi sangat baik hidup pada habitat yang dangkal baik pada
ekosistem terumbu karang maupun daerah yang padang lamun. Daerah ini
merupakan habitat yang baik bagi pertumbuhan bulu babi karena cukup
banyak tersedianya nutrient. Faktor lain yang mikrohabitat adalah suhu dan
salinitas. Hewan ini akan mengalami kematian jika kenaikan suhu air laut
yang terlalu tinggi dan salinitas yang terlalu rendah, bulu babi sangat baik
hidup pada suhu optimum 250C (Soemodiharjo, 1989).
Suhu dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan biota laut.
Suhu dapat menjadi salah satu kunci yang berpengaruh pada siklus
reproduksi, dimana suhu yang tinggi sangat diperlukan untuk pematangan
dan pemijahan. Hal ini berakibat organisme pada daerah subtropik umumnya
akan memijah pada waktu musim panas, sedangkan pada daerah tropis
dapat lebih sering terjadi pemijahan selama sinar matahari menyediakan
panas yang dibutuhkan oleh organisme. Demikian juga menurut Chen dan
Chang (1981) dalam Lawrence (2007) menyatakan bahwa variasi reproduksi
100
yang terjadi pada bulu babi secara geografis dipengaruhi oleh adanya
perbedaan suhu.
Avertebrata yang hidup di daerah tropis dapat memijah sepanjang
tahun. Hal yang mempengaruhi pemijahan adalah suhu dan tersedianya
makanan yang cukup. Bagi bulu babi jenis D.setosum, suhu 250C merupakan
suhu yang kritis. Di bawah suhu ini aktifitas reproduksi dapat terhambat dan
di atas suhu 250C, D.setosum dapat memijah sepanjang tahun (Sugiarto dan
Supardi, 1995). Namun pengaruh suhu umumnya lebih berdampak pada
organisme dewasa.
Salinitas sangat berkaitan erat dengan suhu. Kinne (1964 dalam Aziz,
1987) menyatakan bahwa suhu dapat mempengaruhi batas toleransi biota
laut terhadap salinitas dan salinitaspun memiliki kombinasi efek yang sama
terhadap suhu. Namun belum didapatkan suatu pengaruh kombinasi suhu
dan salinitas terhadap kelompokn echinodermata. Bulu babi ini dapat ditemui
mulai dari daerah intertidal sampai ke kedalaman 10 m dan merupakan
penghuni sejati laut dengan batas toleransi salinitas antara 30 - 34‰.
Reproduksi bulu babi sangat menunjukkan keterkaitan dengan periode
bulan. Jenis D.setosum di daerah Fiji akan memijah pada saat bulan baru
(Coppard dan Campbel, 2005), sedangkan menurut Fox (1922) dan Randall
(1964) menyatakan bahwa D.setosum bereproduksi pada saat bulan penuh
(bulan purnama). Selain itu menurut Muthiga dan McClanahan (2007)
mengatakan D.setosum ada yang memijah pada bulan purnama (Yoshida,
101
1952; Pearse, 1972), ada yang memijah pada bulan gelap (Kobayashi dan
Nakamura, 1967) dan ada yang tidak menunjukkan periodesitas bulan
(Stephenson, 1934; Mortensen, 1937; Pearse, 1986).
Sedimen adalah partikel-partikel yang diendapkan secara perlahan-
lahan di dasar perairan, yang berasal dari pembongkaran batu-batuan dan
potongan-potongan kulit (shell) serta sisa-sisa rangka dari organisme laut
dengan ketebalan yang bervariasi (Hutabarat dan Evans, 2006).
Ukuran partikel sedimen dari masing-masing perairan berbeda.
Nybakken (1992) menjelaskan bahwa di perairan yang arusnya kuat akan
banyak ditemukan substrat berpasir karena partikel yang berukuran besar
dapat mengendap lebih cepat, sedangkan partikel yang berukuran kecil akan
terbawa jauh oleh gerakan arus dan gelombang.
Menurut English et al, (1994) bahwa sedimen dasar suatu perairan
cenderung didominasi oleh partikel tertentu misalnya pasir, lumpur, batu atau
kerikil dengan ukuran yang berbeda. Untuk mengklasifikasikan jenis-jenis
partikel sedimen tersebut digunakan skala Wentworth seperti Tabel 2.
102
Tabel 2. Skala Wentworth untuk pengklasifikasian berbagai jenis dan
ukuran partikel sedimen.
No Jenis Partikel Sedimen Ukuran Butir Sedimen (mm)
1 Batu besar > 256
2 Bokahan batu 256 - 64
3 Kerakal 64 - 4
4 Kerikil 4 - 2
5 Pasir sangat kasar 2 - 1
6 Pasir kasar 1 – 0,5
7 Pasir agak kasar 0,5 – 0,25
8 Pasir halus 0,25 – 0,125
9 Pasir sangat halus 0,125 – 0,062
10 Lanau 0,062 – 0,0039
11 Lempung < 0,0039
103
H. Kerangka Pikir
Adapun kerangka pikir penelitian ini disajikan dalam bentuk skema
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Kerangka pikir penelitian
BULU BABI (Diadema setosum)
Habitat Karang dan Padang Lamun
Degradasi Lingkungan Perubahan Kondisi
Substrat Dasar
Kapasitas Reproduksi
Menurun
Aspek Biologi
Reproduksi
Pengelolaan
Nisbah Kelamin, TKG secara
Morfologi dan Histologi , IKG, Ukuran
Pertama Kali Matang Gonad,
Fekunditas dan Diameter Telur
104
BAB III
METODE PENELITIAN
105
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlangsung selama kurang lebih tiga bulan dimulai dari
pertengahan bulan April sampai awal bulan Juli 2011. Lokasi penelitian di
perairan pantai Teluk Kayeli Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, Provinsi
Maluku (Gambar 4 dan 5).
Gambar 4. Peta Kabupaten Buru Maluku (Maps. Google earth, 2011)
106
Gambar 5. Lokasi stasiun pengambilan sampel (Maps. Google earth, 2011)
Pengambilan sampel bulu babi pada masing-masing stasiun
penelitian, dilakukan setiap dua minggu sekali selama penelitian dengan
mengikuti periode bulan pada saat pasang surut terendah. Pengamatan
sampel dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan
dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Pembuatan preparat
histologi dilakukan di Balai Besar Veteriner, Maros provinsi Sulawesi Selatan.
Stasiun I
Stasiun II
107
B. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: perahu/kapal
sebagai transportasi, termometer dan Handrefraktometer, alat selam dasar,
ember atau baskom, transek kuadrat dan roll meter, kertas label dan kantong
plastic, alat GPS untuk penentuan posisi bujur dan lintang, jangka/mistar
sorong dengan ketelitian 0,01 mm, timbangan digital dengan ketelitian 0,01
g, gunting dan pinset, jarum preparat dan mikroskop untuk membantu
pengamatan sampel gonad.
Peralatan yang digunakan dalam uji histologi : botol sampel, pipet
tetes, histoembedder, lempengan blok, mikrotom, deg glass dan objek glass.
larutan bouin, alkohol, xylol, haematoxylin, eosin, aquades dan entelan, serta
larutan BNF 10% sebagai pengawet gonad untuk uji histologi.
C. Populasi dan Stasiun Penelitian
C.1. Populasi/Objek Pengamatan
Objek pengamatan dalam penelitian ini adalah sampel bulu babi jenis
D.setosum, parameter pendukung seperti kondisi kualitas air (suhu, salinitas
dan sedimen/substrat) yang terdapat di perairan intertidal Kecamatan Namlea
Teluk Kayeli Kabupaten Buru.
108
C.2. Stasiun Penelitian
Stasiun pengamatan ditentukan berdasarkan karateristik habitat pada
daerah intertidal. Penentuan daerah intertidal sebagai lokasi penelitian
berdasarkan karakteristik habitat perairan dengan melihat kondisi lamun
yang bervariasi dan persentase penutupan lamun. Penentuan stasiun
pengambilan sampel juga didasarkan pada kondisi substrat pada setiap
stasiun, yang meliputi: (1) Habitat karang terletak di Desa Jikumerasa, (2)
Habitat lamun terletak di Desa Waelapia (Gambar 5).
Tabel 3. Lokasi stasiun pengambilan sampel
Stasiun Lokasi Karakteristik habitat perairan Lintang bujur
Habitat
karang
Desa
Jikumerasa
Substrat berpasir, karang dan
sedikit lamun
03010’24.9’’LS
127001’35.6’’BT
Habitat lamun
Desa Waelapia
Substrat berpasir, lamun dan sedikit karang
03021’53.3’’LS 127007’50.3’’BT
D. Metode Pengumpulan Data
Sampel bulu babi diambil secara acak dengan bantuan alat/tangan
sebanyak 25 - 30 ekor pada kedua stasiun penelitian. Penentuan lokasi
untuk pengambilan sampel yang dijadikan sebagai stasiun penelitian tersebut
didasarkan pada metode "ploting square" transek (modifikasi Odum, 1971).
109
Plot di sini adalah area seluas 100 x 1 m2
. Setiap transek diamati 2 plot,
dengan mengambil arah garis sejajar pantai. Lima line transek yang masing-
masing tegak lurus dengan garis pantai dipilih dengan berjarak satu sama
lain 20 m. Jumlah plot yang diamati adalah 10 buah.
Cangkang dan gonad ditimbang dengan menggunakan timbangan
digital yang memiliki tingkat ketelitian 0,01 g. Pengukuran diameter
cangkang menggunakan mistar geser berketelitian 0,01 mm. Diameter
cangkang bulu babi dapat ditentukan dengan cara mengukur sisi terluar dari
cangkangnya secara horizontal (Gambar 6).
Gambar 6. Pengukuran diameter cangkang (DC) bulu babi (Diadema setosum)
110
Jenis kelamin bulu babi ditentukan dengan mengamati gonad baik
secara visual maupun dengan mikroskopis. Selanjutnya, sampel gonad
dipisahkan dari tubuh, kemudian ditimbang dan dimasukkan ke dalam larutan
buffered neutral formalin (BNF) 10% sampai dilakukan pembuatan contoh
preparat histologinya.
Pengukuran kualitas air dilakukan pada saat penelitian dan dilakukan
di tempat (in situ). Suhu diukur dengan menggunakan termometer dan
salinitas dengan menggunakan handrefraktometer. Data-data lainnya
merupakan data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian-penelitian
sebelumnya.
Penentuan tingkat kematangan gonad secara morfologi dengan cara
melihat warna, tekstur dan ukuran gonad. Pearse (1970) mengatakan bahwa
secara makroskopis gonad memberikan kenampakan warna dan teksturnya.
Warna gonad D. setosum bervariasi dari coklat gelap, kehijauan, kuning jeruk
(orange), kuning tua, kuning muda (krem) dan transparan (bening). Variasi
warna ini berkaitan dengan jenis kelamin dan tingkat
perkembangannya/gametogenesis.
Tekstur gonad bervariasi dari padat dan berbutir sampai lunak dan
berlendir. Kondisi gonad matang (mature) memberikan kenampakan tekstur
lunak berlendir. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan gonad Diadema
setosum oleh Kobayashi dan Nakamura (1967) di Seto, Jepang. Hubungan
tekstur gonad dengan tingkat gametogenesis juga diterangkan oleh Bernard
111
(1977). Tekstur padat (kompak) terjadi pada gonad fase pemulihan
(recovery), dan kondisinya menurun (melunak) sepanjang proses
pematangan gamet. Penentuan secara histologi sesuai dengan deskripsi
dari Dharsono (1986). Selanjutnya, penentuan IKG dengan menggunakan
bobot keseluruhan gonad (Bg) dan bobot cangkang (Bc).
Pembuatan preparat histologi menggunakan gonad yang tidak rusak.
Sebagian gonad yang akan dibuat preparat histologi terlebih dahulu difiksasi
dengan menggunakan larutan Bouin, dan direndam dalam alkohol selama
kira-kira seminggu. Gonad dicuci dan didehidrasi dengan menggunakan
alkohol yang kadarnya dinaikkan secara bertahap, yaitu 50%, 70%, 95% dan
100%. Gonad dipak dengan menggunakan amil asetat sebagai larutan
perantara untuk mempermudah penetrasi lilin. Setelah pengepakan selesai,
dilakukan pemotongan setebal 5 – 6 mikron dan diwarnai dengan pewarna
haematoxylin dan eosin (Tuwo, 1995). Potongan yang bagus, tidak tergores,
tidak mengkerut, diambil dan diletakkan di atas gelas slide untuk dilakukan
deparafinisasi dengan xylol dan rehidrasi dalam alkohol bertingkat. Preparat
diwarnai dengan haematoksilin dan eosin, kemudian ditutup dengan gelas
penutup, untuk selanjutnya diamati di bawah mikroskop dan dibantu dengan
mikrometer okuler.
112
E. Analisa Data
E.1 Nisbah Kelamin
Untuk menentukan nisbah kelamin, dihitung dengan cara
membandingkan jumlah bulu babi jantan dan betina. Nisbah kelamin antara
setiap bulan diuji dengan Chi-square yang disusun dalam bentuk tabel
kontingensi (Sudjana, 1992) dengan rumus:
𝐸𝑖𝑗 = (𝑛𝑖 × 𝑛𝑗)
𝑛
Eij = Frekuensi teoritik atau gejala yang diharapkan terjadi ; ni = jumlah baris
ke-i ; nj = jumlah kolom ke-j ; n = jumlah frekuensi dari nilai pengamatan
Nilai X2 dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Nilai X2 tabel dengan menggunakan distribusi X2 dengan derajat bebas
(B-1)(K-1), dimana B = kategori faktor II (baris) dan K = kategori faktor I
(kolom).
113
E.2 Tingkat Kematangan gonad (TKG)
Pengamatan TKG dilakukan secara morfologi dan histologi. Hasil
pengamatan morfologi dengan cara langsung mengamati secara visual
warna gonad sedangkan pengamatan histologi dengan melihat struktur dan
penyebaran sel telur, dan ditampilkan dalam bentuk foto kemudian dianalisis
secara deskriptif. Penentuan TKG secara morfologi yaitu dengan melihat
bentuk, ukuran, warna dan perkembangan gonadnya. Penentuan TKG
secara histologi dengan menggunakan klasifikasi Darsono (1986) dalam
Pearse (1970), sebagaimana tercantum pada Tabel 4. Data TKG setiap
pengambilan sampel dihitung frekuensi relatifnya, baik pada bulu babi jantan
maupun betina danditampilkan dalam bentuk grafik histogram.
E.3 Indeks Kematangan Gonad (IKG)
Indeks kematangan gonad dihitung berdasarkan formulasi Johnson
(1971 dalam Effendie, 1997) sebagai berikut :
𝐼𝐾𝐺 = 𝐵𝑔
𝐵𝑡 × 100%
Dimana : IKG = Indeks Kematangan Gonad (%); Bg = bobot gonad (g);
dan Bt = bobot tubuh (g).
114
Tabel 4. Perkembangan gametogenesis bulu babi (Darsono, 1986).
Fase Ovari Testes
Netral (0) Gonad netral, elongated, relatif tipis, semi transparan
Gonad netral, elongated, relatif tipis, semi transparan
Fase Recovering Spent (I)
Oogonia dan oosit muda menempel sepanjang lapisan germinal dinding folikel. Oogonium berbentuk seperti gelendong benang, sitoplasme mengelilingi inti sebagai lapisan tipis yang homogeny. Oosit muda berbentuk bola yang tidak beraturan dengan inti relatif besar yang dikelilingi oleh lapisan tipis berupa akumulasi sitoplasma yang basofilik. Diameter oosit ± 15µ dan 5µ pada individu muda.
Terdapat spermatogonia dan spermatosit sepanjang dinding folikel. Spermatosit lebih kecil dan lebih kurang menyerap warna haematoxylin dibandingkan spermatogonium.
Fase Tumbuh/Growing (II)
Terdapat oogonia kecil dalam jumlah kecil pada periphery folikel. Oosit berdiameter 40-60µ saling terkait mengisi ke arah tengah sedangkan yang lebih berkembang mengisi bagian tengah. Ovary berkembang sejalan dengan pertumbuhan oosit.
Lapisan gamet dapat ditemukan pada irisan folikel. Tidak ditemukan spermatozoa dalam lumen.
Fase matang Awal/Premature (III)
Ukuran oosit berkembang dengan cepat. Sejumlah oosit besar mengisi lumen dari folikel berdiameter 80-140µx40-80µ. Pada folikel ovary terdapat oosit dengan ukuran berkisar 10-70µ dan sebagian ovary mengisi lumen folikel. Folikel siap menampung oosit primer yang akan mencapai ukuran maksimal.
Spermatosit dan spermatogonia terlihat meningkat dalam jumlah. Beberapa spermatozoa mengisi bagian lumen folikel secara sentripetal. Pada beberapa folikel jantan yang lain mungkin sekelompok kecil spermatozoa telah mengisi pusat folikel.
Fase Matang/Mature (IV)
Seluruh ruang lumen folikel terisi penuh oleh ovary berdiameter 80-100µ. Pada dinding folikel juga telah terlihat oosit muda baru. Ukuran ovary tidak terlalu berbeda dengan yang berada pada tahap III tetapi kandungan sitoplasmanya makin homogen dan lebih menyerap haematoxylin.
Spermatogenesis telah mencapai tahap spermatozoa matang. Sementara itu pada dinding folikel tetap berlangsung proses awal spermatogenesis. Seluruh ruang lumen folikel terisi penuh oleh spermatozoa.
Fase Pijah/Spent (V) Ditandai dengan kosongnya lumen dan beberapa sisa ovary tertinggal. Pada dinding folikel nampak suatu lapisan yang merupakan perkembangan serabut-serabut jaringan penunjang. Sisa-sisa ovary dalam folikel secara bertahap diserap oleh sel-sel fagosit dan lumen secara berangsur diisi jaringan penunjang berupa sel-sel nutritif. Kemudian oogonia dan oosit muda tumbuh kembali dan tanda kenampakan berulang seperti pada tingkat I
Perubahan histologis yang jelas adalah berkurangnya spermatozoa sehingga lumen Nampak kosong, terkadang terlihat sisa-sisa sperma pada lumen. Keadaan yang terjadi selanjutnya identik dengan pada folikel betina.
115
E.4 Ukuran Pertama Kali Matang Gonad
Untuk menduga ukuran pertama kali matang kelamin digunakan
metode Spearmen-Karber (Udupa, 1986 dalam Andy Omar, 2009) dengan
selang kepercayaan 95% sebagai berikut :
𝑚 = 𝑋𝑘 + 𝑋
2 − (𝑥 𝑃𝑖)
𝑎𝑛𝑡𝑖 𝑙𝑜𝑔 [ 𝑚 ± 1,96 𝑥2 𝑝𝑖 𝑥 𝑟𝑖
𝑛−1 ]
Dimana : m = logaritma panjang bulu babi pada kematangan gonad pertama;
Xk = logaritma nilai tengah kelas panjang yang terakhir bulu babi yang telah
matang gonad; x = logaritma pertambahan panjang pada nilai tengah; pi =
proporsi bulu babi yang matang gonad pada kelas panjang ke-i dengan
jumlah bulu babi pada selang panjang ke-i atau pi=ri/ni; ri = jumlah bulu babi
matang gonad pada kelas ke-i; ni = jumlah bulu babi pada kelas panjang ke-
i.qi=1-pi
Dengan demikian panjang bulu babi pada waktu mencapai
kematangan gonad yang pertama adalah :
M = anti log m
116
E.5 Fekunditas
Untuk menghitung fekunditas dapat menggunakan Metode gabungan
gravimetrik, volumetrik dan jumlah sebagai berikut (Andy Omar, 2009) :
𝐹𝑇 = 𝑆 × 𝑉 × 𝑇
𝐾
FT = Fekunditas total (Butir), S = Bobot seluruh gonad (g), V = Volume
pengenceran (ml), T = Jumlah telur setiap 1ml (butir), K = Bobot sebagian
kecil gonad (g).
Penghitungan fekunditas total ini dilakukan pada telur-telur yang
berada pada tingkat kematangan gonad IV (fase matang) dan V (fase pijah).
E.6 Diameter Telur
Diameter telur diukur di bawah mikroskop binokuler dengan bantuan
mikrometer okuler yang telah ditera sebelumnya. Pengukuran ini dilakukan
pada telur-telur yang berada pada tingkat kematangan gonad III dan IV.
Selanjutnya diameter dianalisis dalam bentuk histogram. Diameter telur
dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Andy Omar,
2009) :
𝐷𝑠 = 𝐷 × 𝑑
117
Ds = Diameter telur sebenarnya (mm), D = Diameter telur secara horisontal
(mm), d = Diameter telur secara vertikal (mm).
F. Kualitas Air
Parameter kualitas air (suhu, salinitas, dan substrat/sedimen) yang
diukur di lokasi penelitian, dianalisis secara deskriptif. Analisis sedimen
dapat dilakukan dengan menggunakan pengklasifikasian skala Wentwoorth
dari berbagai jenis dan ukuran partikel sedimen.
Untuk pengukuran tekstur sedimen, sampel sedimen dasar diambil
sebanyak kurang lebih 500 gram dari setiap stasiun, dan selanjutnya
dianalisis di laboratorium. Sampel sedimen dianalisis dengan metode
penyaringan atau pengayakan dengan menggunakan Sieve Net menurut
English et al. (1994), untuk mengetahui ukuran butiran sedimen 2 mm sampai
0,063 mm, sesuai prosedur sebagai berikut :
1. Sampel sedimen dikeringkan dalam oven 1100C, sampai 24 jam.
2. Sampel sedimen yang telah dikeringkan diambil sebanyak 150 gram,
selanjutnya diayak dengan menggunakan Sieve net bersusun dengan
ukuran 2 mm, 0,5 mm, 0,25 mm, 0,125 mm, 0,063 mm, dan < 0,063 mm.
3. Pengayakan dengan Sieve net dilakukan selama 15 menit, untuk
mendapatkan pemisahan ukuran butiran sedimen sesuai ukuran ayakan.
4. Sampel sedimen dipisahkan dari Sieve net sesuai dengan ukuran
masing-masing.
118
5. Sampel sedimen yang telah tersaring pada setiap ukuran sieve net,
dimasukkan ke dalam cawan petri, lalu ditimbang dengan menggunakan
timbangan digital.
6. Menentukan persentase berat, persentase kumulatif masing-masing
ukuran pada setiap stasiun.
Untuk mengetahui ukuran butiran sedimen 0,0625 mm dan 0,0039 mm
atau < 0,0039 mm maka sampel sedimen dianalisis dengan metode
pengendapan (Hukum Stokes) menurut English et al. (1994), sesuai prosedur
berikut :
1. Sampel sedimen ukuran 0,0625 mm dimasukkan ke dalam gelas piala
yang berisi aquades sebanyak 1 liter.
2. Sampel sedimen diaduk (dihomogenkan) dengan Vakum Storer pada
suhu 200C.
3. Setelah sampel sedimen tercampur rata, vakum storer dihentikan dan
gerakan larutan dalam gelas piala dibiarkan sampai tenang.
4. Setelah 10 menit, sampel sedimen diambil dengan menggunakan pipet
pada kedalaman 20 cm sebanyak 10 ml, kemudian ditaruh pada cawan
petri sebagai sampel ukuran 0,0039 mm.
5. Selanjutnya setelah 1 jam 45 menit, sampel sedimen diambil pada
kedalaman 10 cm sebanyak 10 ml kemudian ditaruh lagi pada cawan
petri, diasumsikan sebagai sampel ukuran < 0,0039 mm.
6. Sampel sedimen selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 1000C.
119
7. Sampel ditimbang, berat sedimen terukur dikurangi berat cawan petri,
maka didapatkan berat partikel sedimen ukuran 0,0039 mm dan ukuran <
0,0039 mm.
G. Analisis Statistik
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, data-data yang diukur
diuji dengan menggunakan Uji-t untuk membandingkan perbedaan potensi
reproduksi bulu babi dari beberapa parameter aspek biologi yang diuji
terhadap habitat terumbu karang dan padang lamun yang dihuninya di
perairan Intertidal.
120
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Buru merupakan suatu wilayah yang memiliki pulau-pulau
kecil dengan tingkat keanekaragaman hayati laut yang tinggi. Salah satu
sumberdaya hayati tersebut adalah biota bulu babi. Wilayah ini memiliki
empat wilayah ekologis yakni wilayah ekologis Teluk Kayeli, Buru Utara, Buru
Selatan dan Buru Selatan Timur. Kondisi topografi, morfologi dan proses
geomorfologi di Kabupaten Buru bervariasi menurut wilayah ekologis.
Dimensi spasial wilayah ekologis Kabupaten Buru mencakup batas dan luas
wilayah, serta panjang garis pantai ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Dimensi spasial wilayah ekologis Kabupaten Buru (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buru, 2005).
Dimensi wilayah
Wilayah ekologis
Teluk Kayeli Buru Utara Buru Selatan Buru Timur
Luas wilayah (km2) 2,12 2,59 2,79 1.132
Panjang garis pantai (km) 78,57 122,70 166,60 1,148
Luas 4 mil laut (km2) 424,20 893,00 1093,00 1228,00
Batas wilayah 4 mil laut
1270024’71“BT
1270034’43”BT
1260072’50”BT
1270064’60”BT
1250927’60”BT
1260694’14”BT
1260768’81”BT
1270339’46”BT
03010’44.4”LS
03038’60.5”LS
02091’82.2”LS
03018’20.9”LS
03005’50.6”LS
03092’11.7”LS
03035’24.5”LS
03097’42.7”LS
121
Habitat utama dari perairan pesisir wilayah Teluk Kayeli dan
Jikumerasa adalah ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun serta
tumbuhan makro alga yang menyebar secara tidak merata. Ekosistem lamun
menyebar secara merata di sepanjang perairan Teluk Kayeli, komunitas ini
terdiri atas Famili Hydrocaritaceae, (Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,
Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, dan Siringodium isoetifolium).
Sedangkan ekosistem terumbu karang cukup padat dengan variasi jenis yang
tinggi, terutama pada lokasi penelitian di Jikumerasa (DKP Kab. Buru, 2005).
Berbeda dengan komunitas mangrove, komunitas lamun di perairan
pantai Teluk Kayeli memiliki penyebaran yang tidak merata, mulai dari
perairan pantai Desa Waeapo sampai Desa Kayeli hingga dekat kota
Namlea. Komunitas lamun di sekitar pantai Teluk Kayeli dijumpai 8 jenis
lamun dari 2 famili yaitu famili Potamogetonacea terdiri dari Halodule pinifolia,
Cyomodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolium , dan
famili Hydrocharitaceae terdiri dari Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,
Halophila ovate, Halophila minor (DKP Kab. Buru, 2005).
Penyebaran jenis dan persentase penutupan lamun pada kawasan
Teluk Kayeli tidak merata berdasarkan jenis substratnya. Pada substrat pasir
berlumpur komunitas lamun mulai ditemukan di jarak 150 sampai 250 m dari
garis pantai, jenis lamun yang ditemukan adalah E. acoroides dengan
persentase penutupannya adalah 26,87%. Di substrat campuran pasir dan
patahan karang, komunitas lamun tersebar pada areal sepanjang 10 sampai
122
20m dari garis pantai dan jenis-jenis lamun yang ditemukan adalah T.
hemprichii, S. isoetifolium, H. pinifolia, C. rotundata dan C. serrulata, dengan
masing-masing persentase penutupan adalah 11,87%, 8,13%, 4,38% dan
18,13%. Sedangkan pada substrat pasir yang sedikit berlumpur ditemukan
jenis H. minor dan H. ovate (DKP Kab. Buru, 2005).
Perairan Teluk Kayeli memiliki luas terumbu karang 432,9ha, dengan
kategori bentuk tumbuh bentik dijumpai 29 bentuk karang, dimana hanya
terumbu karang pada zone tepi tubir Jikumerasa yang memiliki persen
penutupan karang tertinggi yakni sebesar 86,64% dan berada pada kondisi
sangat baik (Excellent), kemudian diikuti oleh Waelapia dengan persen
penutupan karang batu sebesar 59,50% atau berada pada kondisi baik
(Good) dan terendah di Nametek dengan persen pentupan karang batu
sebesar 14,70% atau berada pada kondisi buruk (Poor) (Lembaga Penelitian
Unpatti, 2005).
B. Nisbah Kelamin
Selama penelitian, jumlah total sampel yang diperoleh pada habitat
karang adalah sebanyak 180 ekor, yang terdiri dari 85 ekor bulu babi jantan,
94 ekor bulu babi betina dan 1 ekor yang tidak dapat ditentukan jenis
kelaminnya, sedangkan pada habitat lamun, jumlah total sampel sebanyak
168 ekor, yang terdiri dari 78 ekor bulu babi jantan, 88 ekor bulu babi betina,
dan 2 ekor yang tidak dapat ditentukan jenis kelaminnya (Lampiran 1).
123
Jumlah bulu babi yang tidak dapat ditentukan jenis kelaminnya disebabkan
karena pada saat cangkang bulu babi dibelah ternyata tidak ditemukan gonad
di dalam cangkangnya, sehingga sulit untuk menentukan jenis kelaminnya.
Nisbah kelamin bulu babi (D.setosum) pada setiap waktu pengambilan
sampel dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Nisbah kelamin bulu babi (Diadema setosum) jantan dengan betina pada setiap waktu pengambilan sampel di habitat karang dan lamun di perairan Teluk Kayeli, Kecamatan Namlea.
Waktu pengambilan
sampel
Habitat Karang
Habitat Lamun
Jumlah (ekor) Nisbah kelamin Jumlah (ekor) Nisbah kelamin
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
April 2011 31 29 1,00 0,94 29 32 1,00 1,10
Mei 2011 27 32 1,00 1,19 26 29 1,00 1,12
Juni 2011 27 33 1,00 1,22 23 27 1,00 1,17
Total 85 94 1,00 1,11 78 88 1,00 1,13
Pada Tabel 6, memperlihatkan jumlah bulu babi yang didapatkan
antara jantan dan betina adalah tidak seimbang pada setiap waktu
pengambilan sampel. Pada habitat karang, nisbah kelamin bulu babi jantan
dan betina adalah 1,00 : 1,11. Hasil uji chi-square, didapatkan nilai X2 hitung
adalah 0,640, sedangkan nilai X2 tabel (0,05) sebesar 5,99 (Lampiran 2).
Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa nisbah kelamin antara
124
bulu babi jantan dan betina tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan
(=0,05).
Pada habitat lamun, perbedaan antara nisbah kelamin jantan dan
betina adalah 1,00 : 1,13. Hasil uji chi-square, didapatkan nilai X2 hitung
adalah 0.029, sedangkan nilai X2 tabel sebesar 5,99 (Lampiran 2).
Berdasarkan hasi l tersebut diketahui bahwa nisbah kelamin bulu babi jantan
dan betina juga tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan (=0,05).
Nisbah kelamin antara jantan dan betina pada kedua habitat tersebut
memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata karena struktur demografi
bulu babi yang seimbang. Faktor lain yang menyebabkan perbedaan nisbah
kelamin antara jantan dan betina, diduga sebagai kecenderungan tingkah
laku bulu babi yang hidup berkelompok yang mencerminkan adanya respon
pertahanan diri dari gangguan musuh alami, laju kematian alami karena alam
dan predasi, adanya perbedaan pertumbuhan antara bulu babi jantan dan
betina. Hal ini ditandai dengan fenomena lebih banyaknya individu bulu babi
betina dibandingkan individu jantan yang ditemukan pada kedua habitat
tersebut.
Muthiga (2007) menyatakan meskipun bulu babi menunjukkan
beberapa perbedaan seksual eksternal termasuk perbedaan dalam ukuran
kelamin papila, karakteristik seksual eksternal telah ditemukan pada genus
Diadema. Hal ini diharapkan terutama bahwa populasi Diadema memiliki
125
seks rasio 1 : 1, tetapi sedikit data yang tersedia untuk memverifikasi dugaan
ini. Muthiga dan McClanahan (2007) melaporkan bahwa populasi D. savignyi
dan D. setosum di perairan Kanamai Kenya memiliki seks rasio yang
seimbang antara jantan dan betina (1 : 1), sedangkan Hori et al, (1987)
menemukan seks rasio antara bulu babi jantan dan betina pada D. setosum
(1 : 0.7) dari total 487 individu yang ditemukan di perairan Singapura.
Menurut Effendi (2003), penyimpangan nisbah kelamin dapat terjadi
antara lain diduga sebagai akibat perbedaan pola tingkah laku bergerombol,
perbedaan laju mortalitas, dan pertumbuhan antara individu jantan dan
betina.
C. Tingkat Kematangan Gonad
Jenis kelamin pada bulu babi D.setosum umumnya terpisah atau
dioecius. Penentuan jenis kelaminnya sulit dilakukan baik secara eksternal
maupun internal, karena seringkali ditemukan pada satu tahapan gonad
jantan dan betina cenderung memiliki warna yang sama.
Tingkat kematangan gonad suatu organisme dapat ditentukan dengan
pengamatan gonad secara morfologi maupun histologi (Effendie, 1997).
Secara morfologi (makroskopis), gonad bulu babi memberikan kenampakan
warna dan teksturnya. Warna gonad bulu babi D. setosum yang ditemukan
dalam penelitian ini bervariasi dari coklat muda, coklat tua (gelap), kuning
126
kehijauan, kuning jeruk (orange), kuning tua, kuning muda (krem) dan
transparan/ bening (Gambar 7) .
Jantan Betina
Gambar 7. Morfologi gonad jantan (A,C,E,G,I) dan betina (B,D,F,H,J) pada setiap TKG I - V
A
F E
D C
B
G H
J I
Gonad
Gonad
Gonad
Gonad
Gonad
TKG I
TKG II
TKG III
TKG IV
TKG V
127
Variasi warna ini diduga berkaitan dengan jenis kelamin dan tingkat
perkembangan gametogenesis. Tekstur gonad bervariasi dari padat
(kompak) sampai lunak dan berlendir. Kondisi gonad matang (mature)
memberikan kenampakan tekstur lunak berlendir, hal ini sesuai dengan
Kobayashi dan Nakamura (1967). Hubungan tekstur gonad dengan tingkat
gametogenesis juga diterangkan oleh Bernard (1977). Gonad dengan
tekstur padat (kompak) ditemukan pada fase pemulihan (recovery), dan
kondisinya menurun (melunak) sepanjang proses pematangan gamet.
Proses gametogenesis dapat berlangsung terus sepanjang tahun baik
pada individu jantan maupun betina. Di dalam satu gonad dapat terjadi
berbagai tahapan perkembangan gonad, untuk menggolongkannya kedalam
salah satu tahap perkembangan maka penentuan secara makroskopik yang
didasarkan pada variasi warna dan kenampakan tekstur gonad tidaklah
cukup akan tetapi setidaknya dapat membantu dalam membedakan jenis
kelamin. Karena itu perlu dilakukan analisa mikroskopik terhadap
perkembangan sel telur maupun sel sperma sehingga memperkuat analisa
terhadap kondisi gonad yang sebenarnya pada setiap tingkat kematangan
gonad.
Gambaran tingkat kematangan gonad atau TKG secara mikroskopik
didasarkan pada peta penutupan sel-sel gamet baik pada ovari maupun
testis. Selanjutnya penentuan TKG dari ovari dan testis mengikuti petunjuk
sebagaimana yang dikemukakan oleh Darsono (1986) dan Pearse (1970).
128
B.1 Tingkat Kematangan Gonad Bulu Babi
(Diadema setosum) Jantan
Pengamatan TKG tidak cukup hanya dengan pengamatan morfologi,
tetapi harus didukung juga dengan pengamatan histologinya. Pengamatan
morfologi sering tidak sesuai dengan perkiraan sebelumnya mengenai
kondisi gonad yang sebenarnya. Namun setelah melalui pengamatan hasil
histologi yang dilakukan berulang-ulang pada kondisi gonad yang sama
secara morfologi, akhirnya dapat ditentukan berbagai tingkat kematangan
yang sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan
baik oleh Darsono (1986), Pearse (1970), Kobayashi dan Nakamura (1967),
Bernard (1977) dan Walker et al. (2007).
Berdasarkan hasil penelitian dan pengalaman mereka, maka dilakukan
serangkaian modifikasi sehingga dapat ditentukan berbagai tahapan
kematangan gonad yang bisa mewakili setiap perkembangan yang terjadi
sepanjang tahun pemijahan.
Tingkat kematangan gonad (TKG) I merupakan fase awal (I),
(developing virgin atau recovering spent). Secara morfologi, pada fase ini
sudah mulai terjadi pertumbuhan sel gamet sehingga jenis kelaminnya sudah
bisa terlihat dibawah mikroskop. Kenampakan warna gonad pada
“developing virgin” atau “recovering spent” adalah sama (coklat muda), hanya
terlihat bahwa folikel pada hal yang belakangan lebih besar dari yang
pertama (Gambar 7A).
129
Gambar 8. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema setosum) pada TKG I. Sg = spermatogonium ; Sc = spermatosit ;
Og = oogonium ; Ozp = oosit primer ; NP = Nutrisi phagosit ; (Pembesaran 40x).
Gambar 9. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema
setosum) pada TKG II. Sg = spermatogonium ; Sc = spermatosit ; Ct = connective tissue ; Og = oogonium ; Ozp = oosit primer ;
Os = oozit sekunder ; NP = Nutrisi phagosit ; Df = dinding folikel ; L = Lumen (Pembesaran 40x).
Ct
Os
NP
L
Df
Sg Sc
Og
Ozp
NP
Sg
Sc
130
Gambar 10. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema setosum) pada TKG III. Sc = spermatosit ; St = spermatid ; Sp
= spermatozoa ; Ozp = oosit primer ; Os = oozit sekunder ; NP = Nutrisi phagosit (Pembesaran 40x).
Gambar 11. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema
setosum) pada TKG IV. St = spermatid ; Sp = spermatozoa ; Df = Dinding folikel ; Oz = oosit ; Ov = ova ; NP = Nutrisi phagosit ; L = Lumen ; N = Inti sel (Pembesaran 40x)
Ov
Oz
Df
Os
NP
NP
L
N
131
Gambar 12. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema setosum) pada TKG V. St = spermatid ; Sp = spermatozoa ;
Og = oogonium ; Oz = oosit ; NP = Nutrisi phagosit ; Ct = connective tissue (Pembesaran 40x).
Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopik terlihat bahwa secara
histologi, pada developing virgin dan recovering spent berbeda dimensinya.
Yang pertama nampak lebih kecil dan warnanya masih keputih-putihan
(whitish), sedangkan pada recovering spent gonad berwarna coklat
kemerahan (reddish brown).
Secara histologi, pada jantan ditandai dengan adanya sejumlah
spermatogonium dan spermatosit yang terdapat pada dinding folikel di
sepanjang periphery lumen. Spermatosit dengan spermatogonium dapat
dibedakan, dimana ukuran spermatosit lebih kecil dan kurang menyerap
warna haematoxylin dibanding spermatogonium. Pada tahapan ini aktifitas
spermatogenesis masih berlangsung sangat rendah (Gambar 8).
Ct
Ct
132
Pengamatan gonad pada tahap pemulihan ini, ditandai dengan gonad
pada lumen yang mulai diisi oleh sel-sel nutrisi fagosit (Martinez-Pita et al.,
2008).
Tingkat kematangan gonad (TKG) II merupakan fase tumbuh
(Growing), secara morfologi terlihat gonad jantan pada tingkatan ini, tidak
menampakkan perbedaan dengan gonad betina secara visual. Dimana
didapati gonad berwarna sama yaitu coklat kemerahan (reddish brown)
(Gambar 7C).
Secara histologi, pada jantan proses spermatogenesis terlihat lebih
nyata, dimana produksi dari spermatosit dan spermatogonium berkembang
dengan cepat sepanjang folikel periferi hal ini diduga akibat mulai
terserapnya nutrisi fagosit oleh sel gamet. Pada Irisan folikel memperlihatkan
adanya sejumlah gamet, dan tidak ditemukan spermatozoa dalam lumen
(Gambar 9).
Hal ini sejalan dengan pendapat Martinez-Pita et al., (2008) bahwa
proses gametogenesis mulai berlangsung aktif, ditandai dengan hadirnya
sekelompok spermatogonium pada folikel periferi.
Tingkat kematangan gonad (TKG) III merupakan fase matang awal
(Pre-mature). Secara morfologi, pada gonad jantan tumbuh dan bertambah
besar dimensinya dibanding dengan pada fase II. Secara kasar pada fase ini
dengan jelas dapat dibedakan gonad jantan dengan gonad betina
berdasarkan perbedaan warna. Gonad jantan umumnya didapati berwarna
133
coklat kekuningan (yellowish brown) dan coklat kemerahan (reddish brown)
(Gambar 7E).
Pada gonad jantan, secara histologi proses spermatogenesis
kegiatannya semakin aktif. Ditandai dengan spermatosit dan spermatid yang
meningkat dalam jumlah, dan beberapa spermatozoa mulai mengisi bagian
lumen folikel secara sentripetal. Adanya sekelompok kecil spermatozoa telah
mengisi pusat folikel. Kelompok ini diperkirakan terdiri dari sel-sel yang
terbentuk paling awal. Pada fase inilah proses kematangan gonad
sebenarnya terjadi sehingga disebut dengan gonad jantan yang matang awal
(Gambar 10).
Proses pematangan awal ditandai dengan kehadiran spermatosit dan
spermatid dalam lumen meningkat, dan juga spermatozoa mulai ada di
tengah lumen folikel (Martinez-Pita et al., 2008).
Tingkat kematangan gonad (TKG) IV merupakan fase matang
(mature), secara morfologi gonad jantan berwarna coklat tua, pada fase ini
telah mencapai puncak perkembangan kedewasaannya, dan memperlihatkan
gonad dengan ukuran dan volume maksimum, dimana seluruh ruang luman
terisi oleh sperma (Gambar 7G).
Secara histologi, pada tahapan ini perkembangan spermatogenesis
telah mencapai spermatozoa matang. Pada dinding folikel tetap berlangsung
proses awal spermatogenesis. Seluruh ruang lumen folikel terisi penuh oleh
spermatozoa (Gambar 11).
134
Martinez-Pita et al, (2008) menyatakan bahwa telur yang matang
(sperm) terbentuk oleh spermatozoa yang hadir di tengah dinding folikel dan
tidak ditemukan lagi nutrisi fagosit atau hanya terbatas pada folikel periferi.
Tingkat kematangan gonad (TKG) V merupakan fase pijah (spent),
secara morfologi gonad berwarna coklat keputihan, kenampakan gonadnya
mulai mengecil baik ukuran dan volumenya, sehingga lumen mulai nampak
kosong (Gambar 7I).
Secara histologi, perubahan histologis yang jelas adalah berkurangnya
spermatozoa sehingga lumen nampak kosong atau terlihat sisa-sisa sperma.
Keadaan yang terjadi berikutnya adalah identik dengan pada folikel betina
(Gambar 12).
Testis yang telah memijah berkurang volumenya tanpa adanya
pembentukan sel gamet dan sel-sel nutrisi fagosit di sekitar folikel periferi
(Martinez-Pita et al., 2008).
135
Tabel 7. Tingkat kematangan gonad (TKG) secara morfologi dan histologi
bulu babi (Diadema setosum) jantan
TKG Morfologi Histologi
0 - Tidak ditemukan gonad pada permukaan lobus
- Tidak teramati
I - Terjadi pertumbuhan sel-sel gamet
- Volume gonad masih sedikit, ditandai permukaan lobus yang masih kosong
- Gonad berwarna coklat keputihan (coklat muda) (Gambar 7A)
- Aktifitas spermatogenesis berlangsung
sangat rendah - Pada dinding folikel mulai terlihat
spermatogonium dan spermatosit
- Spermatosit dan spermatogonium dapat dibedakan. Ukuran spermatosit lebih kecil dan kurang menyerap warna
haematoxylin (Gambar 8)
II - Secara visual gonadnya juga tidak berbeda jauh dengan fase I
- Volume gonad pada lobus sedikit
mulai bertambah - Warna gonad coklat kemerahan
(Coklat muda) (Gambar 7C)
- Proses spermatogenesis terlihat nyata - Spermatosit dan spermatogonium
berkembang cepat pada folikel periferi
- Sejumlah lapisan gamet terlihat pada irisan folikel jantan
- Spermatozoa tdk ditemukan dalam lumen
(Gambar 9)
III - Dimensi gonadnya mulai bertambah besar dibanding fase II
- Permukaan lobus mulai terisi oleh
sel sperma - Tidak terjadi perubahan warna
gonad masih coklat kemerahan(Gambar 7E)
- Proses spermatogenesis semakin aktif - Spermatosit dan spermatogonium terlihat
meningkat dalam jumlah dan ukuran
- Spermatozoa mulai mengisi lumen folikel - Adanya sekelompok kecil spermatozoa
yang telah mengisi pusat folikel (Gambar 10)
IV - Gonad telah mencapai
perkembangan dalam ukuran dan volume yang maksimum
- Seluruh lobus terisi sel sperma
- Warna gonad coklat tua pekat (Gambar 7G)
- Spermatozoa telah matang
- Pada dinding folikel tetap berlangsung proses awal spermatogenesis
- Ruang lumen folikel terisi penuh oleh
spermatozoa (Gambar 11)
V Ukuran dan volume gonad mulai berkurang, ditandai dengan
permukaan lobus mulai kosong - Warna gonad coklat muram - Perubahan ini akibat sel telurnya
terserap oleh nutrisi fagosit (Gambar 7 I)
- Perubahan histologis jelas dengan berkurangnya spermatozoa sehingga
lumen nampak kosong - Terlihat sisa-sisa sperma pada lumen - Keadaan ini identik dengan pada betina
(Gambar 12)
136
B.1 Tingkat Kematangan Gonad Bulu Babi
(Diadema setosum) Betina
Tingkat kematangan gonad (TKG) I merupakan fase awal (I),
(developing virgin atau recovering spent). Secara morfologi, perkembangan
gonad betina pada fase ini terjadi juga pertumbuhan sel-sel gamet, sehingga
jenis kelaminnya sudah bisa dilihat dibawah mikroskop. Terlihat kenampakan
warna gonad pada developing virgin dan recovering spent adalah sama yaitu
warna coklat keputihan (Gambar 7B).
Pada tahap ini, ovari memperlihatkan sel telur mulai berkembang. Hal
ini dicirikan dengan folikel yang mengandung oogonia dan oosit muda (oosit
belum matang berdiameter 5 µ) yang berproliferasi, memenuhi sepanjang
bagian dalam lapisan germinal pada dinding folikel serta adanya sedikit oosit
matang berdiameter 15 µ. Dinding folikel sebagian besar dikelilingi oleh oosit
primer yang berbentuk seperti gelondong bola, beberapa diantaranya
mengelilingi inti (nukleus) sebagai lapisan tipis. Pada tahap ini juga tampak
penghubung oosit mulai mengisi lumen dengan inti relatif besar (Gambar 8).
Pemulihan gonad dengan ketebalan maksimum lapisan nutrisi.
Pembentukan ovum ini adalah longgar dengan ruang yang ditinggalkan oleh
ovum yang akan memijah. Dinding folikel hampir tanpa sel dan sangat tipis
(Martinez-Pita et al., 2008)
Tingkat kematangan gonad (TKG) II merupakan fase tumbuh
(Growing), secara morfologi terlihat gonad betina pada fase ini, tidak
137
menampakkan perbedaan warna dengan gonad jantan, dimana secara visual
ditemukan gonad berwarna coklat kemerahan (Gambar 7D).
Secara histologi, pada fase ini oogonia kecil yang jumlahnya sedikit
masih ditemukan pada folikel periferi. Beberapa oosit muda yang telah
mengalami perkembangan oleh asupan nutrisi fagosit mulai mengisi ke arah
bagian tengah dinding folikel, demikian juga dengan sebagian kecil oosit
primer (diameter 40 – 60 µ). Perkembangan ovari pada fase ini sejalan
dengan pertumbuhan oosit sekunder dalam jaringan sel (Gambar 9).
Pada fase ini, terjadi peningkatan vitellogenesis dalam ukuran pada
oosit primer. Oosit muda masih tetap melekat atau menempel pada dinding
folikel dan dikelilingi oleh nutrisi fagosit (Martinez-Pita et al., 2008).
Tingkat kematangan gonad (TKG) III merupakan fase matang awal
(Pre-mature). Secara morfologi, gonad betina juga tumbuh dan bertambah
besar dimensinya dibanding pada fase II. Gonad betina pada fase ini
umumnya berwarna kuning muda (yellow whitish) atau putih krem (creamy
white) (Gambar 7F).
Pada fase ini, proses oogonesis berlangsung lebih aktif lagi, hal ini
ditandai dengan perkembangan cepat dari ukuran oosit (diameter 40 – 80 µ).
Sejumlah oosit besar yang berbentuk bulat memanjang mengisi lumen dari
folikel. Telur matang (ova) yang terlepas dari dinding folikel, selanjutnya
akan tumbuh hingga mencapai ukuran yang lebih besar. Folikel siap
138
menampung oosit primer, dan seterusnya oosit primer ini berkembang
menjadi oosit sekunder hingga mencapai ukuran maksimal (Gambar 10).
Proses pematangan awal dimulai dengan oosit primer yang lebih besar
dan mulai bermigrasi menuju pusat dinding ascinus menggantikan nutrisi
fagosit (Martinez-Pita et al., 2008).
Tingkat kematangan gonad (TKG) IV merupakan fase matang
(mature), secara morfologi, gonad betina pada fase ini mencapai puncak
perkembangan kedewasaannya dengan ukuran dan volume gonad yang
maksimum dan gonad berwarna oranye, dimana seluruh ruang luman terisi
oleh ovum (Gambar 7H).
Secara histologi, pada fase ini seluruh ruang lumen folikel dipenuhi
dengan ova (telur yang matang) dengan ukuran yang bervariasi (diameter 80
– 100 µ). Kadang-kadang pada dinding folikel juga terlihat oosit muda yang
baru. Ukuran ova ini tidak jauh berbeda dengan fase III, namun tampak ada
perubahan dalam hal kandungan sitoplasma, makin homogen dan telur lebih
menyerap warna haematoxylin (Gambar 11).
Pada tahapan ini, ovarium diisi dengan pembentukan ovum yang baik
dan lebih menyerap hematoxylin. Nutrisi fagosit membentuk lapisan tipis di
sepanjang dinding ascinal (Martinez-Pita et al., 2008).
Tingkat kematangan gonad (TKG) V merupakan fase pijah (spent),
secara morfologi gonad yang telah memijah berwarna putih susu,
139
kenampakannya mulai mengecil baik ukuran dan volumenya, sehingga
ditemukan lumen nampak dalam keadaan kosong (Gambar 7J).
Secara histologi, pada fase ini biasanya ditandai dengan kosongnya
lumen dan tertinggalnya sisa ova, juga sel nutrisi fagosit. Pada dinding folikel
tampak lapisan tipis berupa serabut jaringan penunjang (connective tissue).
Sisa-sisa ova di dalam folikel diserap kembali oleh sel-sel fagosit, dan lumen
(ruang folikel) secara berangsur diisi oleh sel-sel nutritif. Oogonia dan oosit
muda kembali tumbuh dan keadaannya seperti pada fase I (Gambar 12).
Pada saluran ascini belum ada pembentukan gamet dan dinding
ascinal sangat tipis, namun baik lumen kosong atau diisi dengan nutrisi
fagosit. Oosit primer sangat keci l baik dalam jumlah atau tidak ada di
sepanjang dinding ovarium (Martinez-Pita et al., 2008).
140
Tabel 8. Tingkat kematangan gonad (TKG) secara morfologi dan histologi
bulu babi (Diadema setosum) betina
TKG Morfologi Histologi
0 - Tidak ditemukan gonad pada lobus - Tidak bisa teramati
I - Sel telur mulai berkembang
- Volume gonad masih sedikit, ditandai dengan lobus yang masih kosong
- Gonad berwarna coklat keputihan
(coklat muda) (Gambar 7B)
- Sel telur mulai berkembang
- oogonia dan oosit belum matang menempel pada dinding folikel
- Dinding folikel dikelilingi oosit yang
berbentuk bulat atau bola - Sitoplasma mengelilingi inti (Gambar 8)
II - Secara visual pun tidak berubah - Volume gonad pada lobus mulai
bertambah - Warna gonad coklat kemerahan
(Coklat muda) (Gambar 7D)
- Adanya oogonia kecil pada dinding folikel
- Beberapa oosit muda mulai mengisi bagian tengah folikel
- Sejumlah oosit mulai berkembang
- Perkembangan telur sejalan dengan pertumbuhan oosit (Gambar 9)
III - Dimensi gonadnya mulai bertambah besar dibanding dengan fase II
- Permukaan lobus mulai terisi oleh sel telur (ovum)
- Terjadi perubahan warna gonad
menjadi warna kuning muda (krem) (Gambar 7F)
- Ukuran oosit bertambah - Oosit besar mengisi lumen folikel
- Pada folikel ovari terdapat oosit matang yang mengisi lumen folikel
- Folikel siap menampung oosit primer,
hingga mencapai ukuran maksimal (Gambar 10)
IV - Gonad telah mencapai perkembangan dalam ukaran dan volume maksimum
- Seluruh lobus terisi oleh sel ovum - Warna gonad kuning tua atau oranye
(Gambar 7H)
- Seluruh ruang lumen folikel terisi oosit matang
- Dinding folikel juga terlihat oosit muda
baru. Ukuran ovari tidak berbeda dengan tahap III, sitoplasma makin seragam dan menyerap haematoxylin
(Gambar 11)
V - Kenampakan gonad mulai mengecil dalam hal ukuran dan volume sudah, ini ditandai dengan perlahan-lahan
permukaan lobus kosong - Perubahan warna gonad dari oranye
menjadi putih susu
- Perubahan ini akibat sel telurnya terserap oleh sel nutrisi fagosit (Gambar 7J)
- Lumen kosongnya dan sisa ovari tertinggal.
- Pada dinding folikel tampak lapisan
berupa jaringan penunjang - Sisa ova diserap sel fagosit dan lumen
kembali diisi sel nutritif
- Oogonia dan oosit muda tumbuh kembali (Gambar 12)
141
Perkembangan gonad selama penelitian untuk setiap waktu
pengambilan sampel pada kedua habitat, disajikan dalam bentuk grafik
histogram (Gambar 13 dan Lampiran 3).
Pada grafik terlihat bahwa pengambilan sampel keempat pada habitat
karang, persentase TKG 0 adalah 3,33% (1 ekor) dimana bulu babi berada
pada fase netral, dan merupakan satu-satunya fase netral yang ditemukan
selama penelitian, sedangkan persentase TKG I yang tertinggi (20,00%)
ditemukan pada pengambilan sampel pertama, dan persentase yang
terendah (6,67%) ditemukan pada pengambilan sampel kedua, keempat,
kelima dan keenam.
Nilai persentase TKG II yang teringgi (26,67%) berada pada
pengambilan sampel kedua, dan yang terendah (13,33%) pada pengambilan
sampel pertama. Pada TKG III, nilai persentase tertinggi (46,67%) ditemukan
pada pengambilan sampel kelima dan yang terendah (16,67%) pada
pengambilan sampel pertama.
Pada TKG IV, ni lai persentase tertinggi ditemukan berada pada
pengambilan sampel pertama (43,33%), dan terendah pada pengambilan
sampel kelima (23,33%), sedangkan untuk TKG V, nilai persentase tertinggi
(10,00%) ditemukan pada pengambilan sampel keempat, dan persentase
terendah (3,33%) pada pengambilan sampel keenam.
Secara keseluruhan, persentase TKG IV (fase mature) pada
pengambilan sampel pertama (43,33%) dan nilainya menurun pada
142
pengambilan sampel kedua dan keenam (36,67%), yang merupakan fase
kematangan terbesar dan diduga sebagai puncak pematangan yang
ditemukan selama penelitian. Persentase dari kedua nilai tersebut
didapatkan pada saat pengambilan sampel ketika bulan purnama, bulan baru
maupun bulan gelap.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Stephenson (1934), Mortensen
(1973) dan Pearse (1986b, 1970) dalam Lawrence (2007) bahwa tidak
terdapat periodesitas bulan dalam reproduksi D. setosum. Namun hal ini
bertentangan dengan pernyataan Lawrence (2007) yang menyatakan bahwa
proses pematangan gonad D.setosum pada bulan purnama dapat selesai
dalam kurun waktu 1 - 2 bulan. Bulu babi D. setosum memijah pada saat
bulan purnama saja (Pearse, 1972 dan Yoshida, 1952 dalam Lawrence,
2007), sedangkan Kobayashi dan Nakamura (1967) dalam Lawrence (2007)
menemukan bahwa D.setosum selain memijah pada bulan purnama, juga
memijah pada saat bulan gelap.
Pada pengambilan sampel kelima, ditemukan persentase TKG III (fase
pre-mature) dengan ni lai (46,67%). Ini merupakan persentase terbesar
selama penelitian, karena pada saat itu pengambilan sampel dilakukan ketika
bulan purnama, dan diduga sebagai awal dimulainya proses pematangan
(maturation) pada pupulasi bulu babi yang hidup di perairan pantai
Jikumerasa, Kecamatan Namlea.
143
Keadaan ini sering juga diamati oleh Czihak (1971) pada kelompok
bulu babi yang lain, dimana masa pematangan pada beberapa jenis bulu babi
berlangsung cukup lama. Pada jenis P. lividus misalnya, masa pematangan
berlangsung mulai bulan oktober sampai dengan bulan Mei. Pendapat yang
sama pula dikemukakan oleh Radjab (2001) dalam Reverberi (1971) bahwa
periode matang gonad biota bulu babi sangat panjang yaitu antara bulan
Oktober sampai bulan Mei bahkan bisa sampai sepanjang tahun.
Demikian juga dengan persentase kematangan gonad pada habitat
lamun, yang menunjukkan pola yang hampir mirip dengan habitat karang
(Gambar 13 dan Lampiran 3).
Pada grafik terlihat bahwa pada pengambilan sampel ketiga ditemukan
persentase TKG 0 adalah 6,25% (2 ekor) berada pada fase netral, dan
merupakan satu-satunya fase netral yang ditemukan selama penelitian,
sedangkan persentase TKG I yang tertinggi (23,33%) ditemukan pada
pengambilan sampel pertama, dan persentase yang terendah (8,00%)
ditemukan pada pengambilan sampel keempat.
Nilai persentase TKG II yang teringgi (32,00%) berada pada
pengambilan sampel keempat, dan yang terendah (16,00%) pada
pengambilan sampel keenam. Pada TKG III, nilai persentase tertinggi
(44,00%) ditemukan pada pengambilan sampel kelima dan yang terendah
(26,67%) pada pengambilan sampel pertama.
144
Habitat Karang
Habitat Lamun
Gambar 13. Frekuensi relatif tingkat perkembangan gonad bulu babi
(Diadema setosum) selama penelitian pada habitat karang
(atas) dan habitat lamun (bawah) di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
Fre
kue
nsi
re
lati
f (%
)
Waktu pengamatan
TKG V
TKG IV
TKG III
TKG II
TKG I
TKG 0
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
Fre
kue
nsi
re
lati
f (%
)
Waktu pengamatan
TKG V
TKG IV
TKG III
TKG II
TKG I
TKG 0
145
Pada TKG IV, ni lai persentase tertinggi (32,00%) ditemukan berada
pada pengambilan sampel keempat dan keenam, dan terendah (12,00%)
pada pengambilan sampel kelima. Untuk TKG V, ni lai persentase tertinggi
(8,00%) ditemukan pada pengambilan sampel kelima dan keenam, dan
persentase terendah (3,33%) pada pengambilan sampel pertama dan kedua.
Persentase bulu babi yang berada pada fase matang, selalu
ditemukan pada setiap pengambilan sampel dengan nilai persentase yang
bervariasi (12,00 – 32,00%), dan juga untuk fase pijah yang ditemukan pada
setiap bulan atau waktu pengambilan sampel (3,33 – 8,00%). Hal ini
menandakan bahwa bulu babi di perairan ini memijah sepanjang bulan,
dengan periode pemijahan yang panjang.
Pelepasan gamet yang sedikit demi sedikit sepanjang waktu dalam
periode yang panjang diistilahkan dengan dribble spawning (Power et al,
2004 dalam Walker, 2007). Pemijahan dribble spawning ini diduga
merupakan strategi dalam memperpanjang waktu pemijahan dan
meningkatkan kesuksesan hasil reproduksinya.
Pada lampiran 3, terlihat bahwa komposisi tingkat kematangan gonad
pada setiap pengambilan sampel pada habitat karang dan lamun berbeda-
beda. Pada habitat karang, ni lai TKG 0 ditemukan pada pengambilan sampel
keempat (1 ekor), sedangkan pada habitat lamun TKG 0 ditemukan pada
pengambilan sampel ketiga (2 ekor).
146
Untuk TKG I pada habitat karang, nilai tertinggi ditemukan pada
pengambilan sampel pertama (6 ekor), kemudian turun dan pada
pengambilan sampel ketiga naik kembali (4 ekor), dan selanjutnya
mengalami penurunan sampai pada pengambilan sampel keenam (2 ekor).
Pada habitat lamun, nilai TKG I tertinggi ditemukan pada juga pengambilan
sampel pertama (7 ekor), kemudian terus turun hingga pada pengambilan
sampel keempat (2 ekor) dan selanjutnya naik kembali pada pengambilan
sampel kelima dan keenam (3 dan 4 ekor).
Nilai TKG II tertinggi pada habitat karang ditemukan pada
pengambilan sampel kedua (8 ekor), kemudian turun pada pengambilan
sampel ketiga (6 ekor) atau kelima (5), dan kembali naik pada pengambilan
sampel keempat (7) atau keenam (6). Pada habitat lamun, nilai TKG II
tertinggi ditemukan pada pengambilan sampel pertama (9 ekor), dan terus
mengalami penurunan hingga pada pengambilan sampel ketiga (6 ekor),
setelah itu nilainya naik pada saat pengambilan sampel keempat (8 ekor),
dan kemudian nilainya kembali turun hingga pada pengambilan sampel
keenam (4 ekor).
Nilai TKG III pada habitat karang, pada saat pengambilan sampel
pertama (5 ekor) terus mengalami peningkatan hingga pada pengambilan
sampel kelima (14 ekor) kemudian turun pada pengambilan sampel keenam
(10 ekor). Kondisi yang sama pula dengan nilai TKG III pada habitat lamun,
dimana nilainya terus mengalami peningkatan hingga pengambilan sampel
147
kelima (11 ekor), dan kemudian turun pada saat pengambilan sampel
keenam (7 ekor).
Keadaan sebaliknya dengan TKG IV, dimana nilai TKG IV saat
pengambilan sampel pertama (13 ekor) pada habitat karang, terus
mengalami penurunan hingga pada pengambilan sampel kelima (7 ekor), dan
kemudian nilainya naik saat pengambilan sampel keenam (11 ekor). Pada
habitat lamun, nilai TKG IV pada saat pengambilan sampel pertama (5 ekor)
terus mengalami peningkatan hingga pengambilan sampel keempat (8 ekor),
kemudian turun pada pengambilan sampel kelima (3 ekor), dan kembali naik
pada pengambilan sampel keenam (8 ekor).
Nilai TKG V pada habitat karang, mengalami peningkatan mulai dari
pengambilan sampel pertama (2 ekor) hingga pengambilan sampel keempat
(3 ekor), kemudian nilainya turun pada pengambilan sampel kelima (2 ekor)
dan keenam (1 ekor). Kondisi ini berbeda dengan nilai TKG V pada habitat
lamun, dimana nilainya terus mengalami peningkatan mulai dari pengambilan
sampel pertama (1 ekor) hingga pengambilan sampel keenam (2 ekor).
Perbedaan komposisi tingkat kematangan gonad pada setiap
pengambilan sampel selama penelitian di habitat karang dan lamun, hal ini
diduga disebabkan adanya kelimpahan makanan dan faktor lingkungan. Aziz
(1994) menyatakan bahwa sedikit banyaknya makanan yang tersedia di
perairan turut mempengaruhi energi yang tersimpan untuk proses
148
gametogenesis, disamping itu juga akibat stress fisiologi dari pengaruh
lingkungan perairan di lokasi penelitian.
D. Indeks Kematangan Gonad
Kisaran indeks kematangan gonad bulu babi (D. setosum) jantan dan
betina di perairan Teluk Kayeli Kecamatan Namlea pada habitat karang dan
habitat lamun dapat dilihat pada Lampiran 4. Pada habitat karang, kisaran
nilai indeks kematangan gonad (IKG) bulu babi jantan dan betina adalah 0,18
- 18,30%. Pada TKG I, nilai IKG jantan berkisar antara 0,18 - 1,92%, TKG II
berkisar antara 0,51 - 8,77%, TKG III berkisar antara 3,01 - 13,93%, TKG IV
berkisar antara 3,87 - 16,67%, dan kisaran TKG V turun menjadi 2,95 -
10,95%.
Pada bulu babi betina, ni lai IKG juga bervariasi menurut
perkembangan gonadnya. TKG I berkisar antara 0,27 - 6,21%, TKG II
berkisar antara 0,87 - 8,10%, TKG III berkisar antara 1,78 - 6,57%, TKG IV
berkisar antara 3,31 - 17,17%, dan TKG V berkisar antara 4,32 - 18,30%.
Kisaran nilai indeks kematangan gonad (IKG) pada habitat lamun bulu
babi jantan dan betina adalah 0,24 - 16,02%. Pada TKG I, nilai IKG jantan
berkisar antara 0,24 - 4,07%, TKG II berkisar antara 0,66 - 3,35%, TKG III
berkisar antara 1,47 - 13,57%, TKG IV mengalami penurunan berkisar antara
2,61 - 10,06%, dan TKG V juga ikut turun berkisar antara 4,57 - 9,84%.
149
Pada bulu babi betina, nilai IKG bervariasi menurut tingkat
perkembangan gonadnya. TKG I berkisar antara 0,81 - 4,87%, TKG II
berkisar antara 0,54 - 6,20%, TKG III berkisar antara 0,91 - 5,48%, TKG IV
berkisar antara 3,65 - 16,02%, dan TKG V turun menjadi 4,86 - 14,56%.
Terlihat juga pada lampiran 5, nilai IKG sampai dengan TKG IV
mencapai nilai maksimum baik untuk bulu babi jantan maupun betina pada
kedua habitat, dan dapat dikatakan gonad telah siap untuk dipijahkan.
Setelah dikeluarkan, pada TKG V (Fase pijah), nilai IKG mengalami
penurunan, dimana hanya terdapat sisa-sisa gonad di dalam jaringan dan
didapatkan nilai IKG yang rendah.
Nilai IKG rata-rata untuk setiap pengambilan sampel pada habitat
karang, baik bulu babi jantan maupun betina menunjukkan pola yang mirip.
Pada grafik terlihat nilai IKG pada pengambilan sampel kedua mencapai nilai
maksimum yaitu masing-masing dengan nilai 6,73% dan 7,45%, setelah itu
mengalami penurunan pada saat puncak pemijahan (pengambilan sampel
ketiga sampai keempat), setelah itu turun lagi hingga mencapai nilai 4,31%
untuk bulu babi jantan dan 5,63% untuk bulu babi betina pada saat
pengambilan sampel keenam (Gambar 14 dan Lampiran 4).
Pada habitat lamun, nilai IKG rata-rata setiap pengambilan sampel
bulu babi jantan maupun betina, juga memperlihatkan pola grafik yang
hampir sama. Pada pengambilan sampel sebelumnya (pengambilan sampel
pertama dan kedua), nilai IKG bulu babi jantan mencapai nilai maksimum
150
saat pengambilan sampel ketiga sebesar 5,07%, sedangkan nilai IKG bulu
babi betina mencapai nilai maksimum saat pengambilan sampel keempat
sebesar 5,69%. Nilai IKG bulu babi jantan maupun betina akan turun pada
saat pengambilan sampel kelima dan keenam, dengan nilai masing-masing
2,31% dan 3,13% (Gambar 14 dan Lampiran 4).
Penurunan nilai IKG ini umumnya terjadi pada fase pijah seiring
dengan terjadinya proses pemijahan. Meskipun begitu, pengaruh pasang
surut dan ketersediaan makanan dapat mengubah ketiadaan pengaruh dari
periodesitas bulan terhadap proses pematangan gonad D. setosum menjadi
matang (Pearse, 1975 dalam Coppard and Campbel, 2005). Pengaruh letak
geografis juga dapat mempengaruhi proses ini, dimana semakin jauh dari
ekuator maka siklus reproduksi umumnya semakin menunjukkan sinkronisasi
(Muthiga and McClanahan, 2007).
Hal ini juga sejalan dengan yang dikemukakan oleh Radjab (2001)
bahwa faktor fisik air sangat berpengaruh terhadap potensial pemijahan
seperti kisaran suhu, salinitas, cahaya dan arus, juga perubahan fisik
lingkungan seperti adanya pertambahan unsur hara dimana bulu babi
tersebut berada, yang banyak menyebabkan induk-induk bulu babi lebih
cepat untuk memijah.
Selama penelitian, secara keseluruhan ni lai IKG jantan yang
didapatkan pada habitat karang berjumlah 85 ekor sampel dengan ni lai IKG
berkisar antara 0,18 – 16,67%, sedangkan pada habitat lamun didapatkan
151
IKG jantan berjumlah 78 ekor sampel dengan nilai IKG berkisar antara 0,24 –
13,57% (Lampiran 4).
Untuk IKG betina, pada habitat karang jumlah sampel yang didapatkan
yaitu 94 ekor sampel dengan nilai IKG berkisar antara 0,27 – 18,30%,
sedangkan pada habitat lamun jumlah sampel yang didapatkan yaitu 88 ekor
sampel dengan nilai IKG berkisar antara 0,54 – 16,02% (Lampiran 4).
Dengan melihat nilai IKG dan jumlah sampel yang ditemukan pada
kedua habitat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ni lai IKG jantan maupun
betina pada habitat karang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai IKG jantan
maupun betina pada habitat lamun, demikian pula dengan jumlah sampel
yang diperoleh selama penelitian.
Hasil analisis uji-T terhadap nilai (IKG) jantan dan betina antara habitat
karang dengan lamun didapatkan nilai t hitung > t tabel, dan memperlihatkan
hasil berbeda nyata pada taraf kepercayaan (=0,05) (Lampiran 13). Kondisi
ini sebagai akibat kehadiran populasi bulu babi betina yang ditemukan pada
habitat karang dan lamun lebih banyak dibanding bulu babi jantan, sehingga
nilai IKG betina lebih tinggi dari jantan. Tingginya nilai IKG ini, diduga karena
individu betina lebih banyak membutuhkan energi makanan untuk kegiatan
reproduksi kematangan gonadnya. Pearse dan Cameron (1991) menyatakan
bahwa kuantitas dan kualitas makanan mempengaruhi berat gonad bulu babi,
faktor-faktor gizi tidak mempengaruhi dimulainya proses gametogenesis.
Habitat Karang
Habitat Lamun
Gambar 14. Persentase indeks kematangan gonad bulu babi (Diadema setosum) jantan dan betina pada habitat karang (atas) dan lamun (bawah)
E. Ukuran Pertama Kali Matang Gonad
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
IKG
(%)
Waktu Pengamatan
Jantan
betina
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
IKG
(%)
Waktu pengamatan
Jantan
Betina
ii
Data morfometri dari ukuran cangkang dapat dipakai untuk menghitung
ukuran pertama kali matang gonad bulu babi D. setosum. Distribusi Populasi TKG
bulu babi jantan dan betina berdasarkan diameter cangkang dapat dilihat pada
Tabel 9. Hasil perhitungan ukuran pertama kali matang gonad dengan
menggunakan metode Spearmen-Karber juga dapat dilihat pada Lampiran 6.
Pada habitat karang, ukuran bulu babi jantan didapatkan berkisar antara
29,90 - 53,70 mm. Ukuran bulu babi betina berkisar antara 27,70 - 54,50 mm.
Bulu babi jantan yang matang gonad ditemukan pada ukuran terkecil yaitu 36,70
mm, sedangkan ukuran bulu babi betina terkecil yang matang ditemukan pada
ukuran 33,60 mm.
Pada habitat lamun, ukuran bulu babi jantan berkisar antara 27,60 - 64,30
mm. Bulu babi betina berukuran antara 29,40 – 63,60 mm. Ukuran bulu babi
jantan yang matang gonad ditemukan pada ukuran terkecil yaitu 39,90 mm, dan
selanjutnya bulu babi betina terkecil ditemukan matang pada ukuran 34,30 mm.
Menurut Radjab (2001) bahwa tidak ada perbedaan antara gonad jantan
dan betina bulu babi hingga ukuran cangkang mencapai 40 mm. Bulu babi marga
Diadema mencapai usia matang gonad secara seksual pada ukuran bervariasi
yaitu antara 3 – 6 cm. Diadema yang telah mencapai usia matang berwarna
orange, coklat tua, dan ungu gelap atau hampir hitam.
Tabel 9. Distribusi tingkat kematangan gonad bulu babi (Diadema setosum) jantan dan betina berdasarkan ukuran diameter cangkang pada habitat karang
dan lamun di perairan Teluk Kayeli, Kecamatan Namlea
Habitat karang
iii
Kelas
diameter
(mm)
Jantan Betina
TKG Jumlah TKG Jumlah
I II III IV V I II III IV V
31,1 – 33,0 4 2 0 0 0 6 2 1 1 0 0 4
34,1 – 36,0 1 5 1 0 0 7 3 2 3 0 0 8
37,1 - 39,0 0 3 2 2 0 7 0 4 3 3 0 10
40,1 - 42,0 0 4 6 3 0 13 2 4 10 8 0 24
43,1 - 45,0 1 3 10 8 0 22 0 5 7 8 0 20
46,1 – 48,0 1 0 8 9 0 18 0 3 1 10 0 14
49,1 – 51,0 0 1 1 3 3 8 0 1 2 2 3 8
52,1 – 54,0 0 0 0 1 2 3 0 0 0 0 3 3
Total 7 18 28 26 5 84 7 20 27 31 6 91
Habitat lamun
Kelas
diameter
(mm)
Jantan Betina
TKG Jumlah TKG Jumlah
I II III IV V I II III IV V
31,1 – 33,0 2 0 0 0 0 2 1 0 0 0 0 1
34,1 – 36,0 2 1 0 0 0 3 7 3 1 0 0 11
37,1 - 39,0 6 4 0 1 0 11 1 2 1 0 0 4
40,1 - 42,0 0 5 2 2 0 9 1 1 4 3 0 9
43,1 - 45,0 1 6 4 3 0 14 0 2 7 3 0 12
46,1 – 48,0 1 3 8 6 0 18 0 8 14 6 0 28
49,1 – 51,0 0 2 5 4 0 11 0 2 3 3 1 9
52,1 – 54,0 0 1 1 2 1 5 0 0 1 3 3 7
Total 12 22 20 18 1 73 10 18 31 18 4 81
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode Spearmen-
Karber, maka diperoleh rata-rata ukuran pertama kali matang gonad pada bulu
babi jantan di habitat karang adalah 40,67 mm, dengan kisaran diameter cangkang
39,17 - 42,17 mm. Pada bulu babi betina, diperoleh rata-rata ukuran pertama kali
iv
matang gonad adalah 39,94 mm, dengan kisaran diameter cangkang 38,11 - 41,86
mm (Lampiran 6).
Hasil perhitungan ukuran pertama kali matang gonad pada habitat lamun
dengan menggunakan metode yang sama, diperoleh rata-rata ukuran pertama kali
matang gonad pada bulu babi jantan adalah 44,68 mm, dengan kisaran diameter
cangkang 42,92 - 46,51 mm. Ukuran pertama kali matang gonad bulu babi betina
adalah 42,12 mm, dengan kisaran diameter cangkang 40,39 – 43,92 mm
(Lampiran 6).
Hasil penelitian ini bila dibandingkan dengan penelitian-penelitian
sebelumnya mengenai studi populasi Diadema tentang ukuran pertama kali
matang pada perairan lain, maka dapat dikatakan memperlihatkan hasil yang
hampir sama. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Tuwo (1998), dimana
sulit menduga tingkat kematangan gonad dari ukuran cangkang bulu babi karena
variasi ukuran cangkang yang besar. Awal kematangan gonad pada bulu babi
jenis T. gratilla dicapai pada ukuran cangkang 42,5 mm.
Suatu hal yang menarik yaitu bahwa individu dengan diameter cangkang
lebih kecil dari 40 mm ternyata gonadnya relatif belum berkembang. Bentuknya
sangat tipis, transparan (bening), dan berat gonadnya kurang dari 1 gram. Hal ini
ditemukan pada contoh bulan September 1986, pada individu dengan diameter
cangkang 32,10 - 33,50 mm. Sedangkan bulu babi T. gratilla yang berdiameter
lebih dari 40 mm, gonadnya tampak jelas dan bervariasi ketebalannya dengan
kisaran berat 1,0 - 26,5 gram. Berdasarkan kenyataan ini maka ukuran diameter
v
cangkang 40 mm diduga merupakan ukuran kedewasaan pertama (size at first
maturity) dari bulu babi jenis D. setosum (Darsono dan Sukarno, 1993).
Data hasil perhitungan ukuran pertama kali matang gonad dengan
menggunakan metode Spearmen-Karber, memperlihatkan nilai ukuran pertama
kali matang gonad jantan (40,67 mm) maupun betina (39,94 mm) pada habitat
karang, lebih kecil dibandingkan dengan nilai ukuran pertama kali matang gonad
jantan (44,68 mm) maupun betina (42,12 mm) pada habitat lamun. Hal ini
menandakan bahwa bulu babi yang hidup di habitat karang, lebih cepat gonadnya
matang dibanding pada habitat lamun.
Terlihat jelas pada tabel 9, dimana populasi bulu babi jantan maupun betina
dengan ukuran diameter cangkang antara 40 – 42 mm, yang ditemukan pada
habitat karang (6 ekor jantan dan 10 ekor betina) lebih banyak dibanding habitat
lamun (2 ekor jantan dan 4 ekor betina) pada masing-masing TKG III, dan
merupakan ukuran awal matang gonad. Diduga juga faktor lingkungan seperti
ketersediaan makanan turut berpengaruh terhadap ukuran pertama matang
gonad. Menurut Lawrence (1987), faktor lain yang mempengaruhi gametogenesis
yaitu umur dan ukuran individu pada kematangan seksual serta jumlah gamet
yang dihasilkan. Gonad D. setosum yang ukurannya besar menunjukkan aktivitas
reproduksi kecil. Kurangnya makanan juga dapat mempengaruhi pertumbuhan
gonad, dan menghasilkan individu dengan ukuran gonad lebih kecil atau tidak ada
sama sekali.
vi
Meskipun perubahan musiman menunjukkan ukuran dari beberapa bulu
babi terkait dengan perubahan dalam ketersediaan makanan, tidak ada perubahan
musiman yang ditunjukkan oleh D. setosum di Laut Merah atau pada terumbu
karang di Kenya (Pearse, 1970; Muthiga, 2003). Di pantai Kenya, ukuran
cangkang relatif D. savignyi meningkat ketika ukuran gonad mengecil, ini
menunjukkan terjadi pola makan musiman pada spesies ini (Muthiga, 2003).
Beberapa spesies Diadema juga menunjukkan variasi ukuran cangkang ketika
makanan terbatas, dimana ukuran rahang pada D. setosum dan D. antillarum
bertambah dengan berkurangnya ukuran cangkang.
Bulu babi jantan yang matang gonad lebih awal dari bulu babi betina
merupakan salah satu strategi reproduksi, dimana akan lebih banyak bulu babi
jantan yang membuahi telur dari bulu babi betina yang umumnya mempunyai
fekunditas yang lebih besar. Selain itu diduga juga sebagai adanya akumulasi
nutrien oleh keadaan kualitas dan berat telur yang sangat bergantung kepada
kepadatan populasi di lingkungan sekitarnya dan tersedianya cukup makanan di
alam (Darsono dalam Bernard, 1986).
F. Fekunditas
Fekunditas bulu babi (D. setosum) selama penelitian pada habitat karang
berkisar antara 356.282 – 2.089.714 butir, dengan diameter cangkang 36,70 –
54,50 mm, sedangkan fekunditas bulu babi pada habitat lamun berkisar antara
252.000 – 2.580.808 butir, dengan diameter cangkang 39,90 – 64,30 mm
(Lampiran 7).
vii
Berdasarkan hasil perhitungan, jumlah telur yang dihasilkan cukup banyak.
Hal ini menunjukkan adanya pola pemijahan yang berkesinambungan pada
populasi bulu babi tersebut. Pearse dan Cameron, (1991) ; Pearse dan Philips,
(1968) menyatakan bahwa pola pemijahan berkesinambungan ini sering dijumpai
baik pada populasi Echinoidea. Kondisi seperti ini erat kaitannya dengan kondisi
lingkungan yang stabil terutama pada daerah tropis, yang memungkinkan berbagai
jenis organisme hidup dalam jumlah besar pada periode yang sama. Hal ini juga
mendorong setiap jenis bulu babi untuk beradaptasi dalam hal reproduksi agar
kelangsungan hidupnya tetap terjaga (Sumich, 1992).
Besarnya jumlah telur yang diproduksi sangat penting, karena hasi l dari
fertilisasi eksternal akan berkurang disebabkan adanya predasi, polusi, dan
tekanan faktor lingkungan lainnya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan
Tuwo (1998), bahwa kehadiran berbagai jenis (diversitas tinggi) pada suatu
ekosistem akan mendorong jenis organisme hidup di dalamnya untuk
menghasilkan telur dalam jumlah besar, dengan harapan agar ada beberapa
turunannya yang lolos dari pemangsaan atau kematian karena faktor lingkungan
lainnya (strategi reproduksi berpola “r”).
Tipe pemijahan ini merupakan salah satu strategi reproduksi, dimana gamet
tidak dilepaskan secara bersamaan (serempak), sebagaimana lazimnya dalam
suatu populasi. Jumlah telur yang dilepaskan dalam jumlah kecil dalam sekali
pemijahan, secara bertahap dalam waktu yang cukup panjang. Pemijahan
dilakukan berulang-ulang dalam beberapa minggu bahkan bulan, untuk
viii
meningkatkan jumlah larva yang cukup dan dapat bertahan dalam populasi
tersebut (Tuwo, 1998).
Berdasarkan hasil perhitungan fekunditas total bulu babi (D. setosum)
selama penelitian, maka jumlah telur yang didapatkan pada habitat karang
(356.282 – 2.089.714 butir) lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah telur
yang didapatkan pada habitat lamun (252.000 – 2.580.808 butir), tetapi hal ini
bertolak belakang dengan jumlah sampel yang didapatkan pada habitat karang (89
ekor) justru lebih banyak dibandingkan dengan jumlah sampel yang didapatkan
pada habitat lamun (65 ekor) (Lampiran 7).
Bervariasianya jumlah sampel dan jumlah telur bulu babi yang didapatkan
pada kedua habitat tersebut, hal ini diduga sebagai akibat dari ketersediaan
makanan yang cukup dan habitat yang cocok untuk mendukung hidupnya bulu
babi. Hal ini sejalan dengan pendapat Aziz (1994) bahwa, bulu babi sebagai salah
satu biota penghuni padang lamun dan terumbu karang, kerap kali juga ditemukan
di daerah padang lamun campuran. Kondisi ini terutama disebabkan karena bulu
babi tergantung kepada berbagai jenis lamun dari marga Thalassia, syringodium,
Thalassodendron, dan Cymodocea. Selain itu bulu babi juga lebih menyukai
substrat yang agak keras, yang terdiri dari campuran pasir dan pecahan karang.
Hasil analisis uji-T terhadap fekunditas bulu babi (D. setosum) antara
habitat karang dengan lamun, didapatkan nilai t hitung (t Stat) lebih kecil dari nilai t
tabel (t Critical) atau t hit < t tabel, sehingga memperlihatkan hasil yang tidak
berbeda nyata pada taraf kepercayaan =0,05 (Lampiran 14). Hal ini disebabkan
ix
karena fekunditas total bulu babi dari kedua habitat, memperlihatkan rata-rata
jumlah telur yang hampir sama sehingga potensi reproduksi bulu babi antara
kedua habitat juga sama.
G. Diameter Telur
Sebaran dari diameter telur bulu babi (D. setosum) disajikan dalam bentuk
grafik histogram (Gambar 15 dan 16). Pada gambar 15 (habitat karang), terlihat
bahwa kisaran diameter telur antara 6,40 – 101,40 µm pada TKG IV dan 6,20 –
101,40 µm pada TKG V. Pada TKG IV, frekuensi persentase terbesar (12,74%)
berada pada diameter telur dengan kisaran 25,01 – 30,00 µm. Selanjutnya pada
TKG V, frekuensi persentase terbesar (9,33%) dan berada pada diameter telur
dengan kisaran 30,01 – 35,00 µm.
Pada Gambar 16 (habitat lamun), kisaran diameter telur pada TKG IV
antara 7,40 – 101,40 µm dan pada TKG V diameter telur berkisar antara 12,70 –
101,40 µm. Frekuensi persentase terbesar (14,42%) juga pada TKG IV dengan
kisaran diameter telurnya 30,01 – 35,00 µm, kemudian pada TKG V persentase
terbesar (12,00%) dengan kisaran diameter yang sama.
Sebagian dari ukuran diameter telur diatas 30 µm, telurnya telah dipijahkan
dan ukuran dibawah 30 µm kemudian berkembang menjadi lebih besar dan
bertambah banyak. Variasi ukuran diameter telur yang besar, memperlihatkan
perkembangan telur yang tidak bersamaan matangnya. Telur-telur yang telah
matang, kemudian dipijahkan juga secara bertahap, sehingga dikatakan bulu babi
memiliki tipe pemijahan parsial (partially spawner).
x
Berdasarkan hasil analisis uji-T terhadap diameter telur untuk TKG IV dan V
bulu babi (D. setosum) antara habitat karang dengan lamun, maka didapatkan nilai
t hit < t tabel, sehingga memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata yang diuji
pada masing-masing taraf kepercayaan =0,05 (Lampiran 15). Hal ini juga bisa
dilihat pada kisaran diameter telur untuk TKG IV maupun V, dengan persentase
terbesar kisaran diameter telur yang hampir sama pada kedua habitat, dan berada
pada ukuran kelas diameter dengan kisaran 25,01 – 45,00 µm (Lampiran 8).
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
Fre
kuen
si (%
)
Diameter telur (µm)
xi
Gambar 15. Distribusi diameter telur bulu babi (Diadema setosum) pada TKG IV (atas) dan TKG V (bawah) pada habitat karang di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
10.00
Fre
kuen
si (%
)
Diameter telur (µm)
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
Fre
kue
nsi
(%)
Diameter telur (µ)
xii
Gambar 16. Distribusi diameter telur bulu babi (Diadema setosum) pada TKG IV
(atas) dan TKG V (bawah) pada habitat lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea
H. Aspek Pendukung Lingkungan
Hasil pengukuran kualitas air berupa suhu dan salinitas disajikan pada
Gambar 17,18 dan Lampiran 9. Pada grafik dibawah ini, terlihat bahwa suhu pada
habitat karang dan habitat lamun berada pada kisaran yang hampir sama (29,5 –
320C), sedangkan kisaran salinitas antara kedua habitat sedikit berbeda. Pada
habitat karang didapatkan salinitas yang agak rendah dengan kisaran antara 25 –
28o/oo, dan habitat lamun dengan kisaran salinitas 31 – 34o/oo.
Pada habitat karang, suhu perairan yang didapatkan pada pengamatan
kedua cukup tinggi yaitu 320C, kemudian pada pengamatan-pengamatan
berikutnya mengalami penurunan suhu, dimana suhu yang rendah (29,50C)
didapatkan pada pengamatan kelima. Pada habitat lamun, suhu tertinggi
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
Fre
kuen
si (%
)
Diameter telur (µ)
xiii
didapatkan pada pengamatan ketiga dengan nilai 310C, dan suhu rendah
didapatkan pada saat pengamatan kedua (29,50C). Diduga perubahan suhu inilah
yang memicu terjadinya pemijahan bulu babi (D. setosum) pada lokasi tersebut.
Ketika terjadi perubahan musim, dimana suhu perairan turun dan menjadi hangat,
akan memicu terjadinya pemijahan (Walker et al., 2006). Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Pearse (1970), di daerah tropis dimana suhu air laut diatas
250C menungkinkan bulu babi (D. setosum) memijah sepanjang tahun.
Suhu merupakan salah satu faktor kunci yang berpengaruh pada siklus
reproduksi, dimana suhu yang tinggi sangat diperlukan untuk pematangan dan
pemijahan. Demikian juga menurut Chen dan Chang (1981) dalam Lawrence
(2007) menyatakan bahwa variasi reproduksi yang terjadi pada bulu babi secara
geografis dipengaruhi oleh perbedaan suhu.
Invertebrata yang hidup di daerah tropis dapat memijah sepanjang tahun.
Hal yang mempengaruhi pemijahan adalah suhu dan tersedianya makanan yang
cukup. Bagi bulu babi jenis D. setosum, suhu 250C merupakan suhu yang kritis.
Artinya di bawah suhu ini aktifitas reproduksi akan terhambat dan di atas suhu
250C Diadema setosum dapat memijah sepanjang tahun (Sugiarto dan Supardi,
1995). Namun pengaruh suhu umumnya lebih berdampak pada organisme
dewasa.
xiv
Gambar 17. Fluktuasi suhu selama penelitian pada habitat karang dan lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea
Selama penelitian, salinitas perairan pada kedua habitat berkisar antara 24
– 34o/oo (Gambar 18 dan Lampiran 9). Pada habitat karang, salintas yang
didapatkan agak rendah dengan kisaran antara 24 – 28o/oo, dimana salinitas
terendah didapatkan pada pengamatan kedua dan ketiga, dan salinitas tertinggi
(28o/oo) pada pengamatan keenam. Rendahnya salinitas pada habitat karang ini,
diduga sebagai akibat adanya pengaruh air tawar yang berasal dari telaga/danau
di sekitar lokasi penelitian. Pada habitat lamun, didapatkan salinitas dengan
kisaran 31 – 34o/oo, salinitas terendah (31o/oo) pada pengamatan keempat, dan
salinitas tertinggi (34o/oo) pada pengamatan keenam. Tingginya salinitas pada
habitat lamun ini, karena lokasi penelitian ini berhubungan langsung dengan
perairan laut.
28
28.5
29
29.5
30
30.5
31
31.5
32
32.5
Suh
u
Waktu pengamatan
Habitat Karang
Habitat Lamun
xv
Gambar 18. Fluktuasi salinitas selama penelitian pada habitat karang dan lamun
di perairan teluk Kayeli, Kecamatan namlea Salinitas juga merupakan salah faktor penting yang dapat mengontrol siklus
reproduksi dalam hal pembentukan gametogenik pada bulu babi. Kinne (1964)
dalam Aziz (1987) menyatakan bahwa suhu dapat mempengaruhi batas toleransi
biota laut terhadap salinitas, dan salinitas pun memiliki kombinasi efek yang sama
terhadap suhu. Namun belum didapatkan suatu pengaruh kombinasi suhu dan
salinitas terhadap kelompokan ekinodermata. Bulu babi jenis (D. setosum) ini
dapat ditemui mulai dari daerah intertidal sampai ke kedalaman 10 m dan
merupakan penghuni sejati laut dengan batas toleransi salinitas antara 30 - 34‰.
Selama peneli tian, pengambilan sampel dilakukan sebanyak dua kali dalam
sebulan, dengan mempertimbangkan siklus periode bulan pada masing-masing
stasiun penelitian. Siklus periode bulan ini sangat erat kaitannya dengan tingkat
perkembangan gonad bulu babi, saat pengamatan gonad sering ditemukan berat
dan volume gonad yang bervariasi.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Sali
nit
as
Waktu pengamatan
Habitat Karang
Habitat Lamun
xvi
Reproduksi bulu babi sangat menunjukkan keterkaitan dengan periode
bulan. Bulu babi Jenis D. setosum di daerah Fiji akan memijah pada saat bulan
baru (Coppard dan Campbel, 2005), sedangkan menurut Fox (1922) dan Randall
(1964) menyatakan bahwa D. setosum bereproduksi pada saat bulan penuh (bulan
purnama). Selain itu menurut Muthiga dan McClanahan (2007) mengatakan
Diadema setosum ada yang memijah pada bulan purnama (Yoshida, 1952;
Pearse, 1972), ada yang memijah pada bulan gelap (Kobayashi dan Nakamura,
1967) dan ada yang tidak menunjukkan periodesitas bulan (Stephenson, 1934;
Mortensen, 1937; Pearse, 1986).
Hasil pengukuran sedimen/substrat pada kedua habitat disajikan pada
Gambar 19 dan Lampiran 10. Berdasarkan hasil pengukuran sedimen (Lampiran
10), ukuran butir pada habitat karang berturut-turut : (2mm ; 3,029g), (1mm ;
5,164g), (0,50mm ; 7,064g), (0,25mm ; 22,090g), (0,125mm ; 24,795g), (0,063mm
; 35,090g) dan (<0,063mm ; 2,781g). Pada habitat lamun, ukuran butir berturut-
turut: (2mm ; 27,183g), (1mm ; 10,717g), (0,50mm ; 18,870g), (0,25mm ; 29,584g),
(0,125mm ; 12,202g), (0,063mm ; 1,280g) dan (<0,063mm ; 0,171g).
Bervariasinya ukuran butir pada kedua habitat ini diduga sebagai akibat
pengaruh kondisi oseanografi perairan dan karakteristik lingkungan dari habitat
yang dihuni bulu babi tersebut. Hal ini sejalan dengan Nybakken (1992), bahwa
ukuran partikel sedimen dari masing-masing perairan berbeda, pada perairan yang
arusnya kuat akan banyak ditemukan substrat berpasir karena partikel yang
xvii
berukuran besar dapat mengendap lebih cepat, sedangkan partikel yang
berukuran kecil akan terbawa jauh oleh gerakan arus dan gelombang.
Analisa tipe substrat pada kedua habitat memperlihatkan tipe substrat yang
sama yaitu berpasir, dengan persentase liat, debu, dan pasir pada habitat karang
berturut-turut : 2% (liat), 14% (debu), dan 84% (pasir). Pada habitat lamun
persentasenya berturut-turut : 2% (liat), 20% (debu), dan 78% (pasir). Menurut
English, et al (1994) bahwa substrat/sedimen dasar suatu perairan cenderung
didominasi oleh partikel tertentu misalnya pasir, lumpur, batu atau kerikil dengan
persentase ukuran yang berbeda.
Kaitannya dengan kehadiran populasi bulu babi pada kedua habitat
tersebut, mengindikasikan bahwa bulu babi hidup pada habitat berpasir dan
pecahan karang, juga di daerah padang lamun campuran dan juga lebih menyukai
substrat yang agak keras, dimana substrat padang lamun campuran terdiri dari
campuran pasir dan pecahan karang (Aziz, 1994).
xviii
(a)
(b)
Gambar 19. Segitiga tekstur pada habitat karang (Gambar a) dan habitat lamun
(gambar b) di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea
xix
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Perbandingan nisbah kelamin antara populasi bulu babi jantan dan betina
pada habitat karang adalah seimbang dengan populasi bulu babi pada
habitat lamun, sehingga struktur demografi populasi bulu babi antara kedua
habitat tersebut seimbang.
2. Awal kematangan gonad (fase pre-mature) dan sinkronisasi matangnya
gonad (fase mature) bulu babi (D. setosum) pada habitat karang dan lamun,
terjadi pada pengambilan sampel di bulan Juni 2011.
3. Sinkronisasi waktu dan puncak pemijahan bulu babi (D. setosum) jantan
maupun betina pada habitat karang dan lamun terjadi secara bersamaan
pada pengambilan sampel di bulan Mei 2011.
4. Ukuran pertama kali matang gonad bulu babi jantan dan betina pada habitat
lamun lebih besar dibandingkan dengan ukuran pertama kali matang gonad
pada habitat karang. Ini artinya, gonad bulu babi jantan dan betina di
habitat karang lebih cepat matang daripada di habitat lamun.
5. Potensi reproduksi bulu babi (D. setosum) pada habitat lamun lebih besar
dibanding habitat karang, fekunditas total bulu babi pada habitat lamun
berkisar 932.491 - 2.580.808 butir dengan diameter cangkang 51,40 – 51,90
xx
mm, sedangkan fekunditas total bulu babi pada habitat karang berkisar
356.282 - 2.089.714 butir dengan diameter cangkang 48,10 – 48,90 mm.
6. Diameter telur TKG IV dan V bulu babi (D. setosum) antara habitat karang
dengan lamun tidak berbeda nyata, ukuran kelas diameter telur TKG IV dan
V berkisar 25,01 – 45,00 µm.
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam tentang biologi reproduksi bulu
babi (D. setosum) di perairan teluk Kayeli.
2. Pentingnya suatu pengelolaan yang lestari dengan penutupan area pada
saat terjadinya puncak pemijahan dan pembatasan ukuran yang bisa
diambil.
3. Perlu dilakukan upaya pengelolaan terhadap eksploitasi bulu babi dengan
mengatur waktu pengambilan pada kondisi-kondisi tertentu yang
disesuaikan dengan musim puncak pemijahan sehingga stok bulu babi tetap
terjaga.
xxi
DAFTAR PUSTAKA
Andy Omar, S. Bin. 2002. Biologi Reproduksi Cumi-cumi (Sephioteutis lessoniana Lesson, 1983). Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut
Pertanian Bogorr. 237 hal.
Andy Omar, S. Bin. 2009. Modul Praktikum Biologi Perikanan. Jurusan
Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas
Hasanuddin, Makassar. 168 hal.
Anonim. 2006. Saudara tua manusia tubuhnya berduri [online]. http://www.kompas.com/ver1/Iptek/0611/10/152724.htm 3 Mei 2007.
Anonim. 2007. Bulu babi [online]. www.pipp.dkp.go.id/pipp2/species. html? idkat = 12&idsp =259. 22 April 2007.
Anonim. 2011. Maps. Google earth. http://www.maps. Google earth.co.id/ htm. Download tgl 21 Oktober 2011.
Aziz, A. 1987. Makanan dan cara makan berbagai jenis bulu babi. Oseana Vol XII, No. 4 Puslitbang Oseanologi – LIPI, Jakarta : 91 – 100.
Aziz, A. 1994. Beberapa catatan tentang perikanan bulu babi. Balai Penelitian
Biologi Laut. Puslitbang LIPI – Jakarta.
Aziz, A. 1995. Kematian massal bulu babi. Balai Penelitian dan Pengembangan biologi Laut. Puslitbang Oseanologi LIPI – Jakarta.
Azwandy, I dan M. H. Azkab. 2000. Hubungan fauna dengan padang lamun.
Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi LIPI – Jakarta.
Bernard, F.R. 1977. Fishery and reproductive cycle of the red sea urchin, Strongylocentrotus franciscanus, in British Columbia. J. Fish. Res. Board
Can. 34 : 604-610.
Brusca, R.C. and G.J. Brusca. 2006. Invertebrates. Sinaver Associates Inc. Publisher, USA.
Chen, G. 2009. A Comparative analysis of lipid and carotenoid composition on
the gonads of Anthocoides crassipina, Diadema setosum, and Salmacis sphaeroides. Departement of Biology, Hongkong Baptist. University Hongkong.
xxii
Chiu, S.T. 1987. Effects of the sea urchin fishery on the population structure of Anthocidaris crassiispina (Echinodermata : Echinoidea) in Hongkong. In :
MACLEAN, DIZON, and HOSILLOS (eds.), The First Asian Fisheries Forum. Manila, Philippines : 361 – 366.
Clark, A.M. and F.W.E, Rowe. 1971. Monograph of shallow water Indo-west Pacific Echinoderms. London, Trustees of British Museum : 171-210.
Coppard, S.E., and A.C. Campbell. 2005. Lunar periodicities of diadematid
echinoids breeding in fiji. Coral reefs 24:324-332.
Czihak, G. 1971. Echinoids in experimental embryology of marine and fresh-water invertebrates (G. Reverberi ed). North-Holland Publishing Company
Amsterdam, London: 363 – 506.
Darsono, P. 1986. Gonad bulu babi. Oseana XI, Nomor 4 : 151 - 162.
Darsono, P dan A. Aziz. 1987. Umur dan pertumbuhan bulu babi Diadema setosum Leske di perairan terumbu karang gugus pulau Pari, Pulau-pulau
seribu. Jakarta : Puslitbang Oseanologi LIPI.
Darsono, P dan Sukarno. 1993. Beberapa aspek biologi bulu babi Tripneustes gratilla (Linnaeus), di Nusa Dua Bali. Puslitbang Oseanologi LIPI.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru. 2005. Survei Potensi Perikanan
Kabupaten Buru, Propinsi Maluku (Kerjasama dengan unpatti).
Edrus, I. N dan R. Andamari. 1998. Habitat, potensi dan struktur populasi bulu babi (Echinoidea) di padang lamun pulau-pulau Kei kecil Maluku Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ambon.
Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara.
Yogyakarta.
Effendie, M. I. 2003. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Agromedia. Bogor. 112 hal.
English, S., C. Wilkinson and V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine
Resource. Australian Institute of Marine Science. ASEAN-Australian Marine Science Project Living Coastal Resource.
Erdmann, A.M. 2004. Panduan Sejarah Ekologi Taman Nasional Komodo.
(online). Http://www.komodonationalpark.org/download/NatHist2 screen.pdf (download 5 agustus 2009).
xxiii
Hori, R, V.P.E Phang and T.J. Lam. 1987. Preliminary study on the patten of gonadal development of the sea urchin Diadema setosum off the coast of
Singapore. Zool Sci 4 : 665-673.
Hutabarat, S dan S.M Evans. 2006. Pengantar Oseanografi. Cetakan kedua. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Kadir, N. A. 2009. Studi kualitas gonad bulu babi Colobocentrotus atratus, Tripneustes gratilla, dan Heterocentrotus trigonarius di perairan pantai Pasir
Panjang Pulau Sempu, Kab. Malang. Fakultas MIPA Biologi Universitas Negeri Malang. (Skripsi).
Kawamura, K. 1973. Fishery biological studies on a sea urchin,
Strongylocentrotus intermedius (A. Agassiz). Sci. Rep. Hokkaido Fish.Exp.Sta. 16:1-54.
Kobayashi, H and K. Nakamura. 1967. Spawning periodicity of sea urchin at
Seto.II. Diadema setosum. Publ. Seto. Mar. Biol.Lab. 15(3):1-20.
Kurnia, A. 2006. Meraup yen dengan memelihara bulu babi [online]. www.beritaiptek.com. 22 April 2007.
Lawrence, J.M. 1987. A functional biology of echinoderms. The John Hopkins
University Press, Baltimore.
Lawrence, J.M and Y. Agatsuma. 2007. Ecology of Tripneustes in John M. Lawrence. Edible Sea Urchin : Biology and Ecology. Second edition. Elsevier Scinece. Development in aquaculture and fisheries science.
Volume 37. USA : 499-520.
Martinez-Pita, I., A.I. Sanchez-Espana and F. J. Garcia. 2008. Gonadal growth and reproduction in the sea urchin Spaerechinus granularis (Lamarck 1816)
(Echinodermata : Echinoidea) in Southern Spain. Scientia Marina 72:603-611.
Muthiga, N.A. 2003. Coexistence and reproductive isolation of the sympatric echinoids Diadema savignyi (Michelin) and Diadema setosum (Leske) on
Kenya coral reefs. Mar Biol 143: 669–677.
Muthiga, N.A., and I.R. McClananan, 2007. Ecology of Diadema in John M. Lawrence. Edible Sea Urchin : Biology and Ecology. Elsevier Science.
USA : 205-226.
Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta : Djambatan.
xxiv
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Terjemahan M. Edman; Koesbiono; D.G. Bengen; M. Hutomo dan S. Sukardjo. PT
Gramedia. Jakarta.
Odum, E.P. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan: Samingan. Edisi Ketiga. Gajah Mada University Press. Jakarta.
Pearse, J.S. 1970. Reproductive periodicities of Indo-Pacific invertebrate in the Gulf of Suez. III. The Echinoid Diadema setosum (Leske). Bull Mar Sci 20 :
697-720.
Radiopoetro. 1991. Zoologi. Erlangga. Jakarta (617).
Radjab, A. W. 2001. Reproduksi dan siklus hidup bulu babi (Echinoidea). Oseana Vol-26 : 25-36.
Ratna, F D. 2002. Pengaruh Penambahan Gula dan Lama Fermentasi Terhadap
Mutu Pasta Fermentasi Gonad Bulu babi Diadema setosum dengan Lactobacillus plantarum sebagai Kultur Starter [skripsi]. Bogor : Departemen
Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Romimohtarto, K dan S Juwana. 2005. Biologi Laut (Ilmu Pengetahuan Tentang
Biota Laut). Cetakan ke-2- (ed. Rev). Penerbit Djambatan Jakarta.
Sloan, N.A. 1985. Echinoderm Fisheries of the World : a review. Proceed. Fifth Internat. Echinoderm Conference. Galway, 24 – 29 September 1984.
Sugiarto, H. dan Supardi. 1995. Beberapa catatan tentang bulu babi marga Diadema. Oseana Vol.20 : 35-41.
Sumich, J.L. 1992. An introduction to the biology of marine life. Wm. C. Brown
Publishers. 449p.
Tertschnig, W.P. 1989. Diel activity pattern and foraging dinamics of the sea urchin Tripneustes ventricosus in tropical seagrass community and reef
environment (Virgin Islands). Marine Ecology 10 (1) : 3 – 21.
Timotius, S. 2003. Biologi terumbu karang1 [online]. www.terangi.or.id/ publications/pdf/ biologikarang.pdf. 22 April 2007.
Tuwo, A. 1995. Studi pendahuluan aspek biologi bulu babi Diadema setosum dan
Tripneuses gratilla di kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Seminar Nasional Kelautan LIPI – UNHAS.
xxv
Tuwo, A. 1998. Pemijahan berkesinambungan pada populasi bulu babi jenis Diadema setosum. Seminar Nasional Kelautan LIPI – UNHAS ke – 11,
Ujung Pandang 24 – 27 Juni 1998 : 276 – 279.
Unuma T., T. Yamamoto, T. Akiyama, M. Shiraishi, H. Ohio. 2003. Quantitative changes in yolk protein and other component in the ovary and testis of the sea urchin Pseudocentrotus depressus. The Journal of Experimental
Biology 206 : 365-372.
Walker, C.W., T. Unuma, M.P. Lesser. 2007. Gametogenesis and reproduction of sea urchin in John M. Lawrence. Edible Sea Urchin : Biology and Ecology.
Elsevier Science USA : 11-33.
WIPO (World intelectual property organization). 2008. Production of sea urchin roe (onlines). http://www.wipo.int/pcdtb/en/wo.jsp?.
Yokes, B and B.S Galil. 2006. The first record of the needle-spined sea urchin
Diadema setosum. (Leske, 1978) (Echinoidea : Diadematidae) from the Mediteranean Sea. Aquatic invations 1:188-190.
Yoshida, M. 1952. Some observations on the maturation of the sea urchin, Diadema setosum. Annot. Zool Japan. 25(1&2):265-271.
Yusron, E. 2009. Keanekaragaman jenis ekhinodermata di perairan Teluk Kuta, Nusa Tenggara Barat. Bidang Penelitian Sumberdaya Laut. Puslitbang LIPI – Jakarta.
Zipcodezoo, 2011. Taxonomy of the Diadema setosum.
http://www.zipcodezoo.org,htm. Download tgl 21 Februari 2011.
Recommended