126
51 KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI (Diadema setosum ) PADA HABITAT YANG BERBEDA DI PERAIRAN TELUK KAYELI, KECAMATAN NAMLEA, KABUPATEN BURU, MALUKU A STUDY OF BIOLOGY REPRODUCTION OF SEA URCHIN (Diadema setosum) ON THE DIFFERENT HABITAT IN KAYELI GULF, NAMLEA DISTRICT, BURU REGENCY, OF MALUKU PROVINCE ASDAR BURHANUDDIN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

51

KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI

(Diadema setosum) PADA HABITAT YANG BERBEDA DI

PERAIRAN TELUK KAYELI, KECAMATAN NAMLEA,

KABUPATEN BURU, MALUKU

A STUDY OF BIOLOGY REPRODUCTION OF SEA URCHIN

(Diadema setosum) ON THE DIFFERENT HABITAT IN

KAYELI GULF, NAMLEA DISTRICT, BURU REGENCY,

OF MALUKU PROVINCE

ASDAR BURHANUDDIN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

Page 2: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

52

2012

KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI

(Diadema setosum) PADA HABITAT YANG BERBEDA DI

PERAIRAN TELUK KAYELI, KECAMATAN NAMLEA,

KABUPATEN BURU, MALUKU

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Ilmu Perikanan

Disusun dan diajukan oleh

ASDAR BURHANUDDIN

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

Page 3: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

53

MAKASSAR

2012

TESIS

KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI

(Diadema setosum) PADA HABITAT YANG BERBEDA DI

PERAIRAN TELUK KAYELI, KECAMATAN NAMLEA,

KABUPATEN BURU, MALUKU

Disusun dan diajukan oleh

ASDAR BURHANUDDIN

Nomor Pokok P3300209016

Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis

Pada tanggal 10 Januari 2012

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui

Komisi Penasehat

Ketua Program Studi

Ilmu Perikanan

Dr. Ir. Abdul Haris, M.Si

Anggota

Prof. Dr. Ir. Sharifuddin Bin Andy Omar, M.Sc

Ketua

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin

Page 4: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

54

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : ASDAR BURHANUDDIN

Nomor Mahasiswa : P3300209016 Program studi : ILMU PERIKANAN

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini

benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini

hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Januari 2012 Yang menyatakan

ASDAR BURHANUDDIN

Page 5: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

55

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Ujung Pandang, pada tanggal

15 Juni 1970, anak keenam dari delapan bersaudara dari ayah Alm. H. Burhanuddin dan Alm. Hj. Maemunah. Pendidikan penulis diawali dengan bersekolah di SD

Negeri 5 Tawiri Ambon hingga lulus pada tahun 1983, kemudian penulis melanjutkan di SMP Negeri 2 Ambon

dan lulus pada tahun 1986. Pada tahun itu pula penulis menempuh pendidikan lanjutan tingkat atas di SMA Negeri 2 Ambon hingga lulus pada tahun 1989. Penulis

diterima di Universitas Pattimura pada tahun 1989 melalui ujian SPMB dan memilih Program Studi Manajemen Sumberdaya

Perairan pada Fakultas Perikanan dan Kelautan. Penulis sempat kuliah selama tiga tahun di Universitas Pattimura, karena pertimbangan keluarga akhirnya penulis memutuskan untuk pindah dan

melanjutkan di Universitas Hasanuddin pada tahun 1992. Hingga akhirnya pada tahun 1996, penulis menyelesaikan kuliah strata satu dan memperoleh

gelar Sarjana Perikanan (S.Pi). Sampai Sekarang penulis masih bekerja sebagai dosen tetap Yayasan Muslim Buru pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Iqra Buru di Kabupaten Buru, Provinsi Maluku.

Pada tahun 2009, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 magister program pascasarjana di Universitas Hasanuddin

Makassar dengan memilih program studi Ilmu Perikanan. Selama mengikuti pendidikan pascasarjana, penulis mendapat beasiswa BPPS dari Dikti dan beasiswa penulisan tesis dari Program Mitra Bahari

(COREMAP II). Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar penulis

melakukan penelitian mengenai ”Kajian Biologi Reproduksi Bulu Babi (Diadema setosum) pada Habitat yang Berbeda di Perairan Teluk Kayeli, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru Maluku.

Page 6: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

56

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT

atas segala karunia-Nya berupa kesehatan dan keluangan waktu sehingga

penulisan tesis mengenai “Kajian Biologi Reproduksi Bulu Babi (Diadema

setosum) pada Habitat yang Berbeda di Perairan Teluk Kayeli, Kecamatan

Namlea, Kabupaten Buru, Maluku” ini dapat diselesaikan dengan baik, yang

merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Program

Pascasarjana Program Studi Ilmu Perikanan Universitas Hasanuddin

Makassar.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir.

Sharifuddin Bin Andy Omar, M.Sc (Ketua) dan Dr. Ir. Abdul Haris, M.Si

(Anggota) selaku komisi pembimbing, Prof Dr. Ir. Ambo Tuwo, DEA, Dr. Ir.

Joeharnani Tresnati, DEA dan Dr. Ir. Lodewijk S. Tandipayuk, MS masing -

masing selaku penguji, yang banyak memberikan masukan dalam

penyusunan tesis ini.

Page 7: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

57

Tak lupa pula penulis sangat berterimakasih kepada yang terhormat

Bapak Prof. Dr. Ir. Achmar Mallawa, DEA (Ketua Program Studi Ilmu

Perikanan) yang telah memberikan arahan dan support bagi penulis mulai

dari awal masuknya penulis di program magister hingga saat ini , rekan-rekan

seperjuangan kuliah pada Program Studi Ilmu Perikanan Unhas Angkatan

2009 (Umar, Alan, Mady, Edy, Irianis, Victor, Fikry, Modesta, Akbar dan

lainnya) yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu, yang telah

menginspirasi dan menjadi teman diskusi.

Dalam kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terima kasih atas

segala pengorbanan, motivasi dan doanya, kepada istriku tercinta (St.

Ruhana Natsir, A.Ma dan anakku tersayang Musta’mal Asruh) serta keluarga

dan orang tua (Alm. H. Burhanuddin dan Alm. Hj. Maemunah), mertua (Alm.

M. Natsir dan Hj. St. Rugayyah) yang senantiasa memberi doa dan dukungan

selama penulis menempuh pendidikan serta semua yang telah berkontribusi

dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih pula kepada Program

Beasiswa COREMAP yang telah memberikan bantuan berupa dana

penulisan tesis.

Penulis sangat menyadari sesungguhnya bahwa penulisan tesis ini

masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan, sehingga

saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak sangat

diharapkan demi perbaikan di masa mendatang. Besar harapan penulis

semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin.

Page 8: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

58

Makassar, Januari 2012.

Asdar Burhanuddin

ABSTRAK

ASDAR BURHANUDDIN. Kajian Biologi Reproduksi Bulu Babi (Diadema

setosum) Pada Habitat Yang Berbeda Di Perairan Teluk Kayeli, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, Maluku. (Dibimbing Oleh Sharifuddin Bin Andy Omar dan Abdul Haris).

Penelitian ini bertujuan mengkaji dan membandingkan potensi reproduksi bulu babi (Diadema setosum) pada habitat karang dan lamun, dengan menganalisis biologi reproduksi meliputi : nisbah kelamin, tingkat

kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG), ukuran pertama kali matang, fekunditas, dan diameter telur.

Metode penelitian yang digunakan adalah penentuan stasiun pengambilan sampel berdasarkan karakteristik habitat perairan dengan menggunakan metode “ploting square transek”, pengambilan sampel bulu

babi sebanyak 30 ekor. Pengukuran data morfometi meliputi: bobot tubuh, bobot gonad, dan diameter cangkang.

Hasil penelitian didapatkan perbandingan nisbah kelamin bulu babi (Diadema setosum) jantan dan betina pada kedua habitat adalah 1,00 : 1,12,

Page 9: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

59

Tingkat kematangan gonad terdiri dari : TKG 0 (fase netral), TKG I (fase

recovering), TKG II (fase growing), TKG III (fase pre-mature), TKG IV (fase marure) dan TKG V (fase spent). Nilai indeks kematangan gonad jantan dan betina berkisar 0,18 – 18,30%. Ukuran pertama kali matang gonad jantan dan

betina di habitat karang adalah 40,67 mm dan 39,94 mm, sedangkan di habitat lamun 44,68 mm dan 42,12 mm. Fekunditas di habitat karang

berkisar 356.282 – 2.089.714 butir dan di habitat lamun 252.000 – 2.580.808 butir. Diameter telur di habitat karang berkisar 6,40 – 1,014 µm dan di habitat lamun 7,45 – 1,014 µm.

Kata kunci : Diadema setosum, biologi reproduksi, kematangan gonad,

habitat karang dan lamun

ABSTRACT

ASDAR BURHANUDDIN. A Study of Biology Reproduction of Sea Urchin

(Diadema setosum) On The Different Habitat in Kayeli Gulf, Namlea District, Buru regency, of Maluku Province. (Supervised by Sharifuddin Bin Andy Omar and Abdul Haris).

The aim of the research is to access and compare the reproductive

potential of sea urchins (Diadema setosum) on coral and seagrass habitats, by analyzing the reproductive biology which includes: sex ratio, gonad maturity (TKG), gonad maturity index (IKG), the size of first maturity,

fecundity, and egg diameter. The research method is determination of sampling stations based on

the characteristics of aquatic habitats by using the "plot transects square", sea urchins sampling as many as 30 tails and subsequent measurement of

Page 10: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

60

morfometri data which includes: body weight, gonad weight, and diameter of

the shell. The results of the research indicated that the ratio comparison of sea urchins (Diadema setosum) males and females in both habitats is 1.00: 1.12,

level of maturity of the gonads consist of: TKG 0 (neutral phase), TKG I (recovering phase), TKG II (growing phase), TKG III (pre-mature phase), TKG

IV (maturity phase) and TKG V (spent phase). Value index of male and female gonad maturity ranged from 0.18 to 18.30%. The sizes of the first mature male and female gonads in the reef habitat is 40.67 mm and 39.94

mm, whereas in seagrass habitat are 44.68 mm and 42.12 mm. Fecundity in reef habitats are ranging from 356282-2089714 grains, and in seagrass

habitat are from 252000-2580808 grains. Diameter of eggs in reef habitats is ranging from 6.40 to 1.014 μm and in seagrass habitats is from 7.45 to 1.014 μm.

Keywords: Diadema setosum, reproduce biology, maturity of gonads, coral

and seagrass habitats.

DAFTAR ISI

Hal

aman

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

Page 11: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

61

DAFTAR LAMPIRAN xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1 B. Rumusan Masalah 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 6 D. Hipotesis 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Karakteristik Kelas Echinoidea 8

B. Sistematika dan Morfologi 11 C. Habitat dan Penyebaran 15 D. Reproduksi 17

E. Habitat Terumbu Karang 27 F. Habitat Padang Lamun 29

G. Aspek Lingkungan 31 H. Kerangka Pikir 35

BAB III METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian 36 B. Alat dan Bahan 38

C. Populasi dan Stasiun Penelitian 38 D. Metode Pengumpulan Data 39

E. Analisa Data 43 F. Kualitas Air 48 G. Analisis Statistik

50

Halaman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 51

B. Nisbah Kelamin 53

Page 12: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

62

C. Tingkat Kematangan Gonad (IKG) 56

D. Indeks Kematangan Gonad (IKG) 79 E. Ukuran Pertama Kali Matang Gonad 84 F. Fekunditas 89

G. Diameter Telur 91

H. Aspek Pendukung Lingkungan 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

102

B. Saran 103

DAFTAR PUSTAKA

105

LAMPIRAN

110

Page 13: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

63

DAFTAR TABEL

Nomor Hala

man

1. Perbedaan nisbah kelamin populasi bulu babi (Diadema setosum)

pada perairan yang berbeda 19

2. Skala Wentworth untuk pengklasifikasian berbagai jenis dan ukuran partikel sedimen. 34

3. Lokasi stasiun pengambilan sampel

39

4. Perkembangan gametogenesis bulu babi (Dharsono, 1986) 45

5. Dimensi spasial wilayah ekologis Kabupaten Buru 51

6. Nisbah kelamin antara bulu babi (Diadema setosum) jantan dengan betina pada setiap waktu pengambilan sampel di habitat karang dan

lamun di perairan Teluk Kayeli kecamatan Namlea 54

7. Tingkat kematangan gonad (TKG) secara morfologi dan histologi

bulu babi (Diadema setosum) jantan 66

8. Tingkat kematangan gonad (TKG) secara morfologi dan histologi bulu babi (Diadema setosum) betina

71

9. Distribusi tingkat kematangan gonad bulu babi (Diadema setosum) jantan dan betina berdasarkan ukuran diameter cangkang pada habitat

Page 14: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

64

karang dan lamun di perairan Teluk Kayeli, Kecamatan Namlea 85

DAFTAR GAMBAR

Nomor Ha

laman

1. Bulu babi Diadema setosum 12

2. Diagram bulu babi regularia

13

3. Kerangka pikir penelitian 35

4. Peta Kabupaten Buru Provinsi Maluku 36

5. Lokasi stasiun pengambilan sampel 37

6. Pengukuran diameter cangkang bulu babi 40

7. Morfologi gonad jantan dan betina pada tingkat kematangan gonad 58 8. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema setosum)

pada TKG I 60

Page 15: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

65

9. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema setosum) pada TKG II 60

10. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema setosum) pada TKG III 61

11. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema setosum)

pada TKG IV 61

12. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema setosum)

pada TKG V 62

13. Frekuensi relatif tingkat perkembangan gonad bulu babi

(Diadema setosum) selama penelitian pada habitat karang (atas) dan lamun (bawah) di perairan teluk Kayeli, Kecamatan namlea 75

14. Persentase indeks kematangan gonad pada bulu babi jantan dan

betina pada habitat karang (atas) dan lamun (bawah)

83

Nomor Halaman

15. Distribusi diameter telur bulu babi (Diadema setosum) pada

TKG IV (atas) dan TKG V (bawah) pada habitat karang di perairan

teluk Kayeli, Kecamatan Namlea 93

16. Distribusi diameter telur bulu babi (Diadema setosum) pada

TKG IV (atas) dan TKG V (bawah) pada habitat lamun di perairan

teluk Kayeli, Kecamatan Namlea 94

17. Fluktuasi suhu selama penelitian pada habitat karang dan lamun di

perairan teluk Kayeli, Kecamatan namlea

96

18. Fluktuasi salinitas selama penelitian pada habitat karang dan

Page 16: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

66

lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan namlea

97 19. Segitiga tekstur pada habitat karang (atas) dan lamun (bawah) di

perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea

101

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Hala

man

1. Jumlah sampel bulu babi (Diadema setosum) pada habitat karang dan lamun selama peneltian di perairan teluk Kayeli, Kecamatan

Namlea 111

Page 17: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

67

2. Uji Chi-square bulu babi (Diadema setosum) jantan dan betina

selama penelitian pada habitat karang dan lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea 112

3. Perhitungan frekuensi relatif tingkat kematangan gonad bulu babi

(Diadema setosum) setiap pengambilan sampel pada habitat karang dan lamun selama peneltian di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea

113 4. Kisaran indeks kematangan gonad bulu babi (Diadema setosum)

jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan sampel pada habitat karang dan lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea

114

5. Kisaran diameter cangkang, bobot tubuh, bobot gonad dan indeks kematangan gonad bulu babi (Diadema setosum) berdasarkan tingkat kematangan gonad dan jenis kelamin

pada habitat karang dan lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea

115 6. Perhitungan ukuran pertama kali matang gonad bulu babi

(Diadema setosum) jantan dan betina pada habitat karang dan

lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea 117

7. Perhitungan hubungan fekunditas dengan diameter cangkang bulu babi (Diadema setosum) pada habitat karang dan lamun di perairan

teluk Kayeli, Kecamatan Namlea 121

8. Kisaran diameter telur bulu babi (Diadema setosum) pada habitat karang dan lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea

123

9. Hasil pengukuran suhu dan salinitas selama penelitian di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea 124

Page 18: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

68

Nomor

Halam

an

10. Hasil analisis pengukuran sedimen dan tipe subatrat pada habitat karang dan lamun selama penelitian di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea

125

11. Hasil analisis uji-T nisbah kelamin jantan dan betina pada habitat karang dan lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea 126

12. Hasil analisis uji-T TKG III, IV pada habitat karang dan lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea

128

13. Hasil analisis uji-T indeks kematangan gonad (IKG) jantan dan

betina pada habitat karang dan lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea

129

14. Hasil analisis uji-T fekunditas antara habitat karang dan lamun

di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea 131

15. Hasil analisis uji-T diameter telur pada TKG IV dan V antara habitat

karang dan lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea

132

Page 19: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

69

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan organisme perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi

lingkungannya, baik organisme yang melangsungkan kehidupannya di kolom

air maupun pada dasar perairan. Organisme yang hidup di kolom air disebut

organisme pelagis yang mampu bergerak bebas dalam kolom air, sedangkan

organisme yang hidup di dasar perairan disebut bentos, seperti bulu babi.

Organisme bentos senantiasa berasosiasi dengan dasar perairan, baik

sementara maupun sepanjang hidupnya. Apabila kondisi suatu perairan

memiliki stabilitas yang optimal dalam mendukung kelangsungan hidup suatu

organisme maka di dalam perairan tersebut dapat dijumpai berbagai jenis

organisme. Organisme tersebut dapat berkembang biak dengan sempurna

dan melakukan segala aspek kehidupannya.

Page 20: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

70

Kabupaten Buru, secara geografis dibatasi oleh Laut Seram di

sebelah utara, Laut Banda di sebelah selatan, Laut Buru di sebelah barat,

dan Selat Manipa di sebelah timur. Kabupaten ini didukung berbagai

ekosistem bahari yang produktif seperti mangrove, lamun, terumbu karang

dan estuari. Ekosistem tersebut diasumsikan dapat mendukung habitat

berbagai biota ekonomis penting, termasuk bulu babi (Dinas Perikanan dan

Kelautan Kabupaten Buru, 2005).

Perikanan bulu babi telah dikenal sejak 1000 tahun SM, terutama di

kawasan Mediterania (Sloan, 1985). Sebagai negara dengan garis pantai

terpanjang di dunia, Indonesia merupakan lahan yang subur bagi perikanan

bulu babi, mengingat sebaran biota ini hampir merata di setiap pantai

Indonesia. Sekalipun sebaran bulu babi di Indonesia hampir merata dengan

keragaman jenis yang tinggi, produk perikanan bulu babi (gonad) belum dilirik

sebagai komoditi perikanan yang menjanjikan. Hal ini dikarenakan minimnya

pengetahuan masyarakat Indonesia akan sumberdaya perikanan dan teknik

pemanfaatan hasil laut.

Pengetahuan tentang pertumbuhan dan biologi reproduksi berbagai

biota umumnya cukup penting, demikian pula halnya dengan kelompok bulu

babi (Echinoidea). Perkembangan gonad bulu babi tidak hanya merupakan

informasi yang menarik tetapi juga bermanfaat bagi pengenalan siklus

hidupnya sehingga upaya pelestarian produksi bulu babi dapat diterapkan.

Page 21: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

71

Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pengelolaan

perikanan yang lestari adalah aspek ekologi, biologi dan sosial ekonomi.

Aspek biologi diantaranya pertumbuhan, rekruitmen dan laju pemulihan, yang

sangat tergantung pada kapasitas reproduksi. Kapasitas reproduksi sendiri

sangat ditentukan oleh ketahanan terhadap lingkungan dan kelulusan hidup

pada fase awal yang kritis. Selain itu, dibutuhkan juga data-data menyangkut

aspek reproduksi dari spesies tersebut, sehingga akan diperoleh data tentang

siklus reproduksi dan tahapan perkembangan kematangan gonad.

Bulu babi merupakan salah satu jenis komoditas perairan yang

gonadnya dimanfaatkan sebagai sumber pangan potensial, baik gonad

jantan maupun gonad betina. Bulu babi beraturan mempunyai lima gonad

yang tergantung sepanjang bagian dalam interambulakral pada daerah

aboral. Gonad yang banyak dicari konsumen adalah gonad yang bertekstur

kompak, padat, tidak berlendir, dan berwarna kuning cerah (Hyman 1955

dalam Ratna 2002).

Gonad bulu babi merupakan makanan tambahan yang kaya akan nilai

gizi. Lee dan Hard (1982 dalam Ratna, 2002) melaporkan bahwa di dalam

gonad bulu babi terkandung sekitar 28 macam asam amino. Selain itu,

gonad bulu babi juga kaya akan vitamin B kompleks, vitamin A, dan mineral.

Selain menjadi sumber pangan dunia, bulu babi ternyata memiliki

fungsi ekologis yang sangat penting. Dengan memakan alga, bulu babi dapat

mengendalikan alga yang tumbuh dengan cepat dan menutupi karang. Bulu

Page 22: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

72

babi juga menjadi sumber makanan bagi organisme lain (Erdmann, 2004).

Kematian massal bulu babi yang pernah terjadi di perairan Pasifik Barat

dengan tingkat kematian mencapai 93 - 100% ternyata mengakibatkan

biomassa alga meningkat sehingga kesetimbangan ekosistem terganggu.

Adanya eksploitasi berlebihan setiap saat terhadap semua ukuran,

menyebabkan tidak adanya regenerasi dari bulu babi tersebut secara alami.

Saat ini jenis bulu babi tersebut dijumpai tetapi dalam jumlah yang sudah

mulai sedikit. Aktifitas pengambilan bulu babi yang intensif dalam kurun

waktu yang panjang dan adanya kegiatan penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan peledak (bom) di daerah terumbu karang dan padang

lamun, sehingga mengalami degradasi lingkungan, dan berdampak terhadap

penurunan populasi bulu babi secara langsung. Jika bulu babi terus

dieksploitasi tanpa memikirkan keberlanjutan spesies tersebut maka

dikhawatirkan bulu babi akan mengalami penurunan populasi dikemudian

hari.

Berkaitan dengan hal di atas, walaupun bulu babi mempunyai prospek

yang baik sebagai komoditi yang bernilai ekonomis dan sebagai pemasok

protein yang potensial, tetapi informasi mengenai organisme ini masih

terbatas terutama mengenai siklus reproduksi, khususnya di perairan pantai

Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru. Oleh karena itu, sangat penting

untuk melakukan penelitian tentang potensi reproduksi bulu babi (Diadema

setosum) dengan mengkaji dan menganalisis berbagai aspek biologi

Page 23: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

73

reproduksinya pada kondisi habitat yang berbeda di perairan pantai

Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada Latar Belakang, maka yang menjadi

rumusan masalah adalah bulu babi sebagai salah satu biota perairan yang

selalu dianggap indikator pencemaran perairan dan masih kurang

pemahaman tentang pemanfaatannya, padahal bulu babi juga bernilai

ekonomis terutama pada gonad betina. Bulu babi merupakan salah satu

jenis komoditas perikanan yang gonadnya dimanfaatkan sebagai sumber

pangan potensial dengan kandungan protein dan asam amino yang cukup

tinggi.

Sehubungan dengan meningkatnya aktifitas nelayan dalam

pengambilan bulu babi dan adanya kegiatan penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan peledak (bom) pada habitat terumbu karang maupun

padang lamun sehinggga mengalami degradasi lingkungan, maka

berdampak secara langsung terhadap penurunan populasi bulu babi, serta

terganggu kelestariannya.

Page 24: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

74

Demikian perlu dilakukan suatu upaya pengelolaan untuk

keberlanjutan spesies bulu babi tersebut agar tetap lestari keberadaanya.

Terkait dengan pengelolaan, salah satu aspek yang penting diketahui adalah

aspek biologi reproduksi bulu babi terutama menyangkut potensi reproduksi,

sebagai dasar untuk menentukan strategi pengelolaan yang akan dilakukan

terhadap kegiatan budidaya bulu babi di masa yang akan datang.

Permasalahan-permasalahan yang perlu dikaji dalam aspek biologi

reproduksi terutama menyangkut potensi biologi reproduksi bulu babi jenis

(D. setosum) yaitu “apakah dengan kondisi karakteristik habitat yang berbeda

mempengaruhi potensi reproduksi bulu babi (D. setosum)”.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan membandingkan potensi

reproduksi bulu babi (D. setosum) yang hidup pada habitat terumbu karang

dan padang lamun di perairan pantai Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru,

dengan menganalisis beberapa parameter biologi reproduksinya, yang

meliputi: nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG) (pengamatan

morfologi dan histologi), indeks kematangan gonad (IKG), ukuran pertama

kali matang gonad, fekunditas, dan diameter telur.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar

tentang bagaimana siklus reproduksi, fase-fase perkembangan pematangan

gonad, jumlah telur yang dihasilkan pada waktu pemijahan serta ukuran

Page 25: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

75

diameter telur, yang nentinya akan bermanfaat bagi upaya pengelolaan

maupun kegiatan budidaya bulu babi (D. setosum) di masa mendatang,

terutama pada perairan pantai Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru.

D. Hipotesis

Kondisi karakteristik habitat yang berbeda mempengaruhi potensi

biologi reproduksi bulu babi (D. setosum).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Karakteristik Kelas Echinoidea

Page 26: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

76

Radiopoetro (1991) menyatakan bahwa bulu babi berbeda dengan

binatang laut lainnya. Bulu babi tidak mempunyai lengan, berbentuk bola

dengan cangkang yang keras dan ditumbuhi duri. Duri-duri terletak dalam

garis membujur dan dapat digerak-gerakkan. Duri dan kaki tabungnya

digunakan untuk merayap di dasar perairan. Mulutnya terletak di bagian

bawah menghadap dasar perairan sedangkan duburnya menghadap ke atas

puncak bulatan cangkang.

Pada cangkang bulu babi terdapat tonjolan atau tuberculum sebagai

tempat persendian duri-duri. Tiap-tiap duri merupakan bentuk kristal dari

CaCO3. Pada pangkal duri-duri itu terdapat pedicelariae dengan tiga anak

penjepit dan tangkai yang panjang, yang berfungsi menjaga agar tubuh selalu

bersih dan untuk menangkap makanan.

Bulu babi mempunyai sistem amburakral sebagai alat gerak untuk

mencari makanan maupun menghindar dari tekanan yang tidak

menguntungkan. Daya gerak bulu babi sangat lamban seakan-akan selalu

dalam keadaan diam. Untuk bergerak, bulu babi menggunakan kaki-kaki

amburakral. Kaki tabung pada permukaan oral biasanya mempunyai alat

penghisap yang digunakan untuk bergerak atau melekat pada karang, batu,

dan lain-lain (Aziz, 1995).

Azis (1987) menyatakan bahwa bulu babi mempunyai kebiasaan hidup

yang berbeda-beda, ada yang berkelompok dan ada pula yang terpisah-

pisah. Jenis-jenis yang hidup pada daerah terumbu karang dan padang

Page 27: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

77

lamun adalah Strongylocentrotus purpuratus, D. setosum, Echinothrix

diadema, Echinometra mathae.

Ekinodermata lain yang biasa dimakan dan terdapat di terumbu karang

adalah bulu babi (Kelas Echinoidea). Pada beberapa negara seperti

Perancis dan Jepang, jenis bulu babi tertentu telah mempunyai nilai

ekonomis yang cukup penting. Di Indonesia bagian timur, bulu babi jenis

tertentu merupakan makanan penduduk yang mendiami pulau-pulau karang

dan kerap kali dijumpai dijual di pasar terutama yang berdekatan dengan

perkampungan Bajo.

Bulu babi yang diperjual belikan ada yang masih utuh dan ada yang

telah diolah terlebih dahulu. Gonad (kantong telur atau kantong testis)

dikeluarkan dan kemudian dimasukkan lagi ke dalam cangkang yang telah

dibersihkan isinya lalu direbus. Menurut Darsono (1986) semua jenis bulu

babi pada umumnya gonadnya enak dimakan, termasuk pula yang duri

beracun seperti D. setosum. Di Jepang, bulu babi sudah merupakan

makanan yang sangat popular dan kebutuhan akan gonad bulu babi terus

meningkat dari tahun ke tahun sehingga Jepang harus mengimpornya.

Menurut Aziz (1987), bulu babi yang hidup di perairan dangkal,

lambungnya terutama berisi lamun dan alga. Selanjutnya dikatakan pula

bahwa bulu babi jenis Antocidaris crassipina yang hidup di perairan sekitar

Hongkong mengkonsumsi sekitar 15 jenis alga. Ada 5 jenis diantaranya

pilihan utama yang dapat mencapai 49% dari isi lambung bulu babi tersebut.

Page 28: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

78

Selain dua kelompok tanaman air tersebut, di dalam lambung bulu babi

ditemukan pula krustasea, moluska, dan sebagainya dengan, persentase

yang lebih rendah.

Menurut Chiu (1987), dalam lambung bulu babi juga ditemukan

Balanus sp, cacing tabung (Pomatoleo crausii) dan Spirobos spp. Sementara

itu, Dix (1970 dalam Aziz, 1987) menyatakan bahwa lambung bulu babi juga

berisi beberapa jenis krustasea. Adanya berbagai jenis hewan dalam

lambung bulu babi disebabkan oleh tingkah laku makan (feeding habit) dari

hewan ini yang mencari makan dengan cara mengikis (grazing, scraping)

permukaan substrat dimana mereka hidup. Dengan demikian, selain alga

dan lamun, dalam lambung bulu babi juga dapat ditemukan berbagai hewan

yang turut termakan.

B. Sistematika dan Morfologi

Klasifikasi bulu babi dari spesies D. setosum menurut Zipcodezoo

(2011) adalah Domain Eukaryota (Whittaker & Margulis, 1958), Kingdom

Animalia (Linnaeus, 1758), Subkingdom Bilateria (Hatschek, 1888), Branch

Deuterostomia (Grobben, 1908), Infrakingdom Coelemopora (Markus, 1958),

Phylum Echinodermata (Klein, 1734), Subphylum Eleutherozoa (Bell, 1897),

Page 29: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

79

Infraphylum Echinozoa (Haeckel, in Von Zittell, 1895), Class Echinoidea (Sea

Urchins & Sand Dollar), Subclass Euechinoidea, Superordo Diadematacea,

Ordo Diadematoida, Famili Diadematidae, Genus Diadema (Gray, 1825),

Spesies Diadema setosum (Leske, 1778).

Hewan yang memiliki nama Internasional sea urchin atau edible sea

urchin ini tidak mempunyai lengan. Tubuhnya umumnya berbentuk seperti

bola dengan cangkang yang keras berkapur dan dipenuhi dengan duri-duri

(Nontji, 2005). Durinya amat panjang, lancip seperti jarum dan sangat rapuh.

Duri-durinya terletak berderet dalam garis-garis membujur dan dapat digerak-

gerakkan, panjangnya dapat mencapai ukuran 10 cm dan lebih (Gambar 1).

Berdasarkan bentuk tubuhnya, kelas Echinoidea dibagi dalam dua

subkelas utama, yaitu bulu babi beraturan (regular sea urchin) dan bulu babi

tidak beraturan (irregular sea urchin). Hanya bulu babi beraturan saja yang

memiliki nilai konsumsi.

Page 30: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

80

Gambar 1. Bulu babi jenis Diadema setosum

Tubuh bulu babi terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian oral, aboral dan

bagian di antara oral dan aboral. Pada bagian tengah sisi aboral terdapat

sistem apikal dan pada bagian tengah sisi oral terdapat sistem peristomial.

Lempeng-lempeng amburakral dan interamburakral berada di antara sistem

apikal dan sistem peristomial (Sugiarto dan Supardi, 1995).

Bulu babi marga Diadema termasuk kedalam kelompok bulu babi yang

mempunyai cangkang beraturan (regularia). Bentuk luar cangkang berupa

buah delima atau dengan bentuk lebih tertekan/memipih memberikan kesan

setengah bola. Sebagaimana bentuk umum bulu babi regularia, cangkang

Diadema tersusun dari ratusan keping-keping kecil yang terpolakan dengan

arsitektur yang unik (Gambar 2).

Page 31: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

81

Berbeda dengan kelas Asteroidea dan Ophiuroidea, pada bulu babi

tangan yang berpola pentaradial absen sama sekali. Tetapi lempengan-

lempengan kapur tetap tersusun dengan pola pentaradial simetri. Lima

pasang jalur keping ambulakral tersusun bergantian dengan lima pasang jalur

keping interambulakral.

Gambar 2. Diagram bulu babi regularia (Clark dan Rowe, 1971)

Keping-keping ambulakral berukuran lebih kecil dan mempunyai

lubang-lubang untuk keluar masuknya kaki tabung. Keping interambulakral

berukuran lebih besar dan melebar. Duri-duri utama (primary spines) terletak

pada keping interambulakral, dan duri-duri kecil (secondary spines) tersebar

Page 32: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

82

di semua keping (ambulakral dan interambulakral) (Sugiarto dan Supardi,

1995).

Pada bagian tengah dari sisi aboral terdapat kelompok keping

"periproct" atau sistem apikal dan pada bagian tengah dari sisi oral terdapat

kelompok keping peristomial. Keping-keping ambulakral dan interambu-lakral

berada antara sistem apikal dan sistem peristomial (Sugiarto dan Supardi,

1995).

Sistem apikal, pada bagian tengah terdapat lubang anus yang

dikelilingi oleh keping-keping "periproct" dibatasi oleh 10 keping yang

tersusun bergantian. Lima keping utama yang berukuran lebih besar

disebutkeping genital. Pada keping genital terdapat gonopore yang

berhubungan ke sistem reproduksi. Lima keping okular berukuran relatif lebih

kecil. Pada salah satu keping genital, biasanya yang berukuran paling besar

terdapat keping batu ajau "medreporite" disini tempat bermuaranya sistem

pembuluh air (Sugiarto dan Supardi, 1995).

Sistem peristomial dikelilingi oleh sederetan keping-keping berukuran

kecil. Bagian tengah dibangun oleh semacam selaput kuli t tempat

menempelnya organ lentera Aristoteles. Organ lentera Aristoteles berfungsi

sebagai rahang dan gigi (Sugiarto dan Supardi, 1995).

Posisi anus, ukuran keping genital, sebaran duri-duri primer, bentuk

lentera Aristoteles, ada atau tidaknya lubang antara keping interambulakral

adalah merupakan karakter morfologis yang penting untuk indikasi ke tingkat

Page 33: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

83

marga dan jenis. Bulu babi marga Diadema dewasa bisa mencapai ukuran

cangkang 90 mm (Sugiarto dan Supardi, 1995).

C. Habitat dan Persebaran

Habitat bulu babi adalah perairan yang dangkal sampai pada

kedalaman 10 m, akan tetapi ada beberapa spesies yang dapat hidup pada

kedalaman 0 - 200 m. Hewan ini mempunyai daerah persebaran yang luas

yaitu dari daerah tropis sampai subtropik. Faktor lingkungan yang

mempunyai penyebaran biota ini mengakibatkan diferensiasi satu daerah

dengan daerah yang lain (Soemodiharjo, 1989). Demikian keberadaan setiap

jenis pada daerah tertentu merupakan suatu kemampuan beradaptasi

terhadap lingkungan dari jenis itu sendiri.

Bulu babi hidup di ekosistem terumbu karang (zona pertumbuhan

alga) dan lamun. Bulu babi ditemui dari daerah intertidal sampai kedalaman

10 m dan merupakan penghuni sejati laut dengan batas toleransi salinitas

antara 30 - 34 ‰ (Aziz 1995 dalam Hasan 2002). Hyman (1955 dalam Ratna,

2002) menambahkan bahwa bulu babi termasuk hewan bentos, ditemui di

semua laut dan lautan dengan batas kedalaman antara 0 - 8000 m.

Echinoidea memiliki kemampuan beradaptasi dengan air payau lebih rendah

dibandingkan avertebrata lain. Kebanyakan bulu babi beraturan hidup pada

substrat yang keras, yakni batu-batuan atau terumbu karang dan hanya

Page 34: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

84

sebagian kecil yang menghuni substrat pasir dan lumpur, karena pada

kondisi demikian kaki tabung sulit untuk mendapatkan tempat melekat.

Golongan tersebut khusus hidup pada teluk yang tenang dan perairan yang

lebih dalam, sehingga kecil kemungkinan dipengaruhi ombak.

Bulu babi ini bisa hidup soliter atau mengelompok, tergantung kepada

jenis dan habitatnya. Bulu babi jenis D. setosum, T. gratilla, dan

Strongylocentrotus spp, cenderung hidup mengelompok, sedangkan jenis

Mespilia globulus, Toxopneustes pileolus dan Pseudoboletia maculata

cenderung hidup menyendiri. Kepadatan bulu babi ini tergantung kepada

jenis dan lokasi persebarannya. Kepadatan bulu babi ini berkisar antara 0,4

individu/m2 sampai 50 individu/m2 (Anonim, 2006).

Bulu babi marga Diadema mempunyai tempat hidup dan

persebarannya mengikuti pola sebaran terumbu karang. Selain itu, bulu babi

ini juga tersebar di pantai berbatu dan di padang lamun. Di daerah

ekosistem terumbu karang, bulu babi marga Diadema bisa menempati rataan

pasir, daerah pertumbuhan alga dan daerah tubir karang. Di zona rataan

pasir dan daerah pertumbuhan alga, bulu babi ini hidup mengelompok dalam

kelompok besar. Darsono dan Aziz (1979), melaporkan bahwa bulu babi jenis

D. setosum di Pulau Tikus, gugus Pulau Pari bisa mengelompok sampai

3000 individu meliputi area seluas 7850 m2. Daerah tubir karang didapati

bulu babi hidup dalam kelompok kecil atau hidup menyendiri dalam luba ng

karang mati.

Page 35: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

85

Bulu babi marga Diadema tersebar luas di sepanjang pantai bersuhu

hangat (tropis dan subtropis). Bulu babi jenis D. antillarum tersebar luas di

daerah Karibia. Jenis bulu babi D. setosum dan D. savignyi tersebar luas di

kawasan Indo Pasifik Barat, yaitu dari pantai timur benua Afrika sampai ke

Hawaii dan dari daerah Jepang Selatan sampai ke Great Barrier Reef di

Australia. Di daerah Karibia, bulu babi jenis D. antillarum tidak dimanfaatkan

sebagai produk perikanan. Di kawasan Indo Pasifik Barat bulu babi jenis D.

setosum dimakan oleh nelayan lokal, terutama di Filipina dan Indonesia

(Aziz, 1995).

D. Reproduksi

Pada umumnya bulu babi tergolong biota gonokhoris yaitu biota yang

memiliki kelamin terpisah atau dengan kata lain tiap individu memiliki satu

jenis organ kelamin. Tetapi pada beberapa kasus ditemukan pula bulu babi

yang hermaprodit yaitu kondisi dimana gonad jantan dan gonad betina

berada dalam satu individu (Brusca dan Brusca, 2006).

Jenis kelamin bulu babi jantan dan betina dapat diidentifikasi melalui

tanda-tanda kelamin sekunder dan primer yang dimiliki. Tanda kelamin

penting artinya untuk mengetahui jenis kelamin suatu individu. Walaupun

kelamin jantan dan betina pada bulu babi terpisah, tetapi kedua jenis kelamin

Page 36: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

86

ini tidak memberikan kenampakan morfologi luar yang berbeda nyata

(Radjab, 2001).

Hingga saat ini, tanda kelamin sekunder yang dapat memberi petunjuk

adalah bentuk papila genitalia. Pada bulu babi, papilla genitalia terdiri atas

dua tipe yakni tipe mespilia dan tipe tripneustes. Pada tipe tripneustes, ciri-

ciri papila genitalia jantan ditandai dengan bentuk tabung yang memanjang ,

sedangkan pada betina berbentuk tonjolan tumpul (stumpy protuberances).

Bulu babi yang termasuk dalam tipe ini adalah T. gratilla, E. mathaei,

Echinostrephus aciculatus, dan D. setosum (Radjab, 2001).

Tanda kelamin primer adalah tanda yang berhubungan langsung

dengan organ reproduksi organisme yaitu jantan dengan testis beserta

salurannya dan betina dengan ovarium beserta salurannya. Tanda kelamin

primer yang dapat digunakan untuk membedakan jantan dan betina adalah

warna gonad. Gonad jantan berwarna putih susu atau coklat tua keputihan

sedangkan gonad betina berwarna oranye ataupun kuning cerah (Radjab,

2001).

Untuk mengetahui hubungan jantan-betina dari suatu populasi, maka

pengamatan mengenai nisbah kelamin dari biota yang diteliti merupakan

salah satu faktor penting. Kondisi di alam, rasio kelamin jantan dan betina

bulu babi diperkirakan mendekati 1 : 1. Ini berarti bahwa jumlah jantan yang

tertangkap relatif sama dengan jumlah betina yang tertangkap (Andy Omar,

2009). Selanjutnya berkaitan dengan masalah mempertahankan kelestarian

Page 37: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

87

populasi biota, maka diharapkan perbandingan jenis kelamin jantan dan

betina seimbang (Romimohtarto dan Juwana, 2007). Nisbah kelamin untuk

genus Diedema disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Nisbah kelamin populasi bulu babi D. setosum pada perairan yang

berbeda.

Lokasi penelitian Nisbah kelamin

(Jantan : Betina)

Sumber pustaka

1. Singapura

2. Kanamai, Kenya

3. P. Pari, Kep. Seribu

4. P. Barrang Lompo

1 : 0,7

1 : 1

1,33 : 1

1 : 2,2

Hori et al, (1987)

Muthiga & McClanahan (2007) Azis dan Darsono (1979)

Gaffar (2011)

Sulit menduga tingkat kematangan gonad dari ukuran cangkang bulu

babi karena variasi ukuran cangkang yang besar. Awal kematangan gonad

pada bulu babi jenis T. gratilla dicapai pada ukuran cangkang 42,5 mm

(Tuwo, 1998). Menurut Radjab (2001) bahwa bulu babi matang gonad pada

ukuran cangkang 60 – 70 mm dengan berat 160 – 170 g. Tidak ada

perbedaan antara gonad jantan dan betina bulu babi hingga ukuran

cangkang mencapai 40 mm. Bulu babi marga Diadema mencapai usia

matang gonad secara seksual pada ukuran bervariasi yaitu antara 3 – 6 cm.

Page 38: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

88

Diadema yang telah mencapai usia matang berwarna ungu gelap atau

hampir hitam.

Suatu hal yang menarik yaitu bahwa individu dengan diameter

cangkang lebih kecil dari 40 mm ternyata gonadnya relatif belum

berkembang. Bentuknya sangat tipis, transparan (bening), dan berat

gonadnya kurang dari 1 g. Bulu babi jenis T. gratilla yang berdiameter lebih

dari 40 mm, gonadnya tampak jelas dan bervariasi ketebalannya dengan

kisaran berat 1,0 – 26,5 gram. Berdasarkan kenyataan ini maka ukuran

diameter cangkang 40 mm diduga merupakan ukuran kedewasaan pertama

(size at first maturity) dari bulu babi jenis T. gratilla (Darsono dan Sukarno,

1993).

Gonad yang belum membentuk sel kelamin yang matang dikenal

dengan istilah gonad pre-gametogenesis. Pada gonad betina fase pre-

gametogenesis, jumlah oosit previtelogenik lebih banyak bila dibandingkan

dengan oosit vitelogenik. Gonad pre-gametogenesis jantan akan lebih

banyak berisi sperma yang belum matang dibandingkan dengan sperma

yang sudah matang (WIPO, 2008).

Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan tahapan perkembangan

gonad pada saat sebelum dan sesudah organisme memijah. Tingkat

kematangan gonad dapat ditentukan dengan menggunakan dua metode yaitu

secara morfologi dan secara histologi. Beberapa hal yang digunakan untuk

menentukan tingkat kematangan gonad secara morfologi adalah bentuk,

Page 39: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

89

ukuran panjang dan berat, warna dan perkembangan isi gonad (Effendie,

1997).

Secara makroskopis gonad memberikan kenampakan warna dan

teksturnya. Warna gonad D. setosum bervariasi dari coklat gelap, kehijauan,

kuning jeruk (orange), kuning tua, kuning muda (krem) dan transparan

(bening). Variasi warna ini berkaitan dengan jenis kelamin dan tingkat

perkembangannya/gametogenesis. Pada fase pijah, D. setosum cenderung

memiliki gonad berwarna muram, sementara fase matang cenderung

memiliki testis berwarna krem/kuning pucat atau kaya kuning telur. Warna

tidak konsisten, namun sering ditemukan testis matang berwarna kuning, dan

ovarium matang berwarna pucat kekuningan atau krem (Pearse, 1970).

Tekstur gonad bervariasi dari padat dan berbutir sampai lunak dan

berlendir. Kondisi gonad matang (mature) memberikan kenampakan tekstur

lunak berlendir. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan gonad D.setosum

oleh Kobayashi dan Nakamura (1967) di seto, Jepang. Hubungan tekstur

gonad dengan tingkat gametogenesis juga diterangkan oleh Bernard (1977).

Gonad dengan tekstur padat (kompak) terjadi pada gonad fase pemulihan

(recovery), dan kondisinya menurun (melunak) sepanjang proses

pematangan gamet.

Pembuatan preparat histologis dilakukan secara bertahap, yang

secara umum tahapan tersebut terdiri dari proses fiksasi, dehidrasi,

Page 40: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

90

embedding/penanaman, staining/pewarnaan dan selanjutnya pengamatan

(Martinez-Pita et al., 2008).

Pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG) mengenai

perkembangan sel kelamin bulu babi D. setosum dibagi ke dalam enam

tahapan, yaitu fase netral/neutral (0), fase developing virgin/recovering spent

(I), fase tumbuh/growing (II), fase matang awal/premature (III), fase

matang/mature (IV), dan fase pijah/spent (V) (Darsono, 1986).

a. Fase netral (0), terdapat pada individu yang kecil/muda dengan ciri gonad

netral, memanjang, relatif tipis dan semi transparan. Pada tahap ini akan

sulit membedakan apakah gonad itu jantan atau gonad betina.

b. Fase developing virgin/recovering spent (I). Pada fase ini terjadi

pertumbuhan sel-sel gamet yang dapat terlihat jelas di bawah mikroskop,

sehingga jenis kelamin organisme sudah dapat ditentukan. Kenampakan

preparat pada developing virgin dan recovering spent adalah sama.

Hanya terlihat adanya folikel pada recovering spent yang lebih besar

daripada developing virgin. Pada developing virgin, gonad tampak lebih

kecil, berwarna keputihan, sedangkan pada recovering spent gonad

berwarna coklat kemerahan (reddish brown). Pada betina, irisan ovari

pada tingkat ini mudah dikenali dengan tampaknya sejumlah oogonia dan

oosit muda yang menempel sepanjang lapisan germinal dinding folikel.

Oogonium berbentuk seperti gelondong benang. Sitoplasmanya

mengelilingi inti (nukleus) sebagai lapisan tipis yang homogen. Oosit

Page 41: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

91

muda berbentuk bola yang tidak beraturan dan mempunyai inti relatif

besar yang dikelilingi oleh lapisan tipis yang berupa akumulasi sitoplasma

yang basofilik. Ukuran rata-rata diameter dari oosit adalah sekitar 15 µ,

tapi kadang-kadang pada individu muda hanya berukuran sekitar 5 µ.

Pada organisme jantan, ditandai dengan adanya sejumlah

spermatogonia dan spermatosit sepanjang dinding folikel. Spermatosit

dengan spermatogonium dibedakan dengan ukuran spermatosit, yang

lebih kecil dan kurang menyerap warna haematoxylin dari pada

spermatogonium. Pada tingkat ini aktifitas spermatogenesis masih

rendah.

c. Fase tumbuh/Growing (II). Pada tingkat ini testis dan ovari masih belum

dapat dibedakan secara visual. Gonad berwarna sama yaitu coklat

kemerahan (reddish brown). Pada betina masih ditemukan oogonia kecil

pada folikel periferi, tetapi jumlahnya lebih sedikit dari pada tingkat I.

Beberapa oosit muda yang berkait satu sama lain mengisi ke arah tengah

folikel. Diameter oosit mencapai 40 – 60 µ. Sejumlah kecil oosit yang

sudah lebih berkembang mengisi bagian tengah folikel. Ovari

berkembang sejalan dengan pertumbuhan oosit. Pada jantan

spermatogenesis terlihat lebih nyata. Produksi spermatosit dan

spermatogonia berkembang cepat sepanjang folikel periferi. Irisan folikel

jantan memperlihatkan sejumlah gamet. Tidak ditemukan spermatozoa

dalam lumen.

Page 42: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

92

d. Fase matang awal/Pre-mature (III). Gonad bertambah besar dan secara

umum gonad jantan dan betina dapat dibedakan dari perbedaan

warnanya. Gonad jantan umumnya coklat kekuningan (yellow brown)

dan coklat kemerahan (reddish brown), sedangkan gonad betina

umumnya kuning muda (yellow whitish) atau putih krem (creamy white).

Pada betina oogonesis terjadi secara aktif, ditandai oleh perkembangan

cepat dari ukuran oosit secara individual. Sejumlah oosit besar

berbentuk oral mengisi lumen dari folikel, berdimensi sekitar 80 – 140 µ x

40 – 80 µ. Telur (ova) yang telah terlepas dari dinding folikel tumbuh

mencapai ukuran 80 – 100 µ. Folikel ovari pada tingkat ini mempunyai

sejumlah oosit dengan ukuran berkisar 10 – 70 µ, dan sebagian telur

matang (ova) yang mengisi lumen folikel. Secara umum boleh dikatakan

bahwa folikel telah siap menampung oosit primer yang akan mencapai

ukuran maksimum. Pada jantan proses spermatogenesis makin aktif.

Spermatosis dan spermatid meningkat dalam jumlah, beberapa

spermatozoa mengisi lumen folikel secara sentripetal.

e. Fase matang/Mature (IV). Gonad jantan dan betina telah mencapai

puncak perkembangan, dan memperlihatkan ukuran dan volume

maksimum. Pada betina seluruh ruang lumen dari pada folikel terisi

penuh oleh ova dengan ukuran diameter sekitar 80 – 100 µ, kadang-

kadang pada dinding folikel juga sudah terlihat oosit muda yang baru.

Ukuran ova (oosit yang telah matang) ini tidak jauh berbeda dengan yang

Page 43: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

93

terdapat pada fase III, namun terdapat perubahan kandungan

sitoplasmanya yang makin homogen dan lebih menyerap warna

haematoxylin. Tahapan perkembangan spermatogenesis telah mencapai

spermatozoa matang. Pada dinding folikel tetap berlangsung proses

awal spermatogenesis. Seluruh ruang lumen folikel terisi penuh oleh

spermatozoa.

f. Fase pijah/Spent (V). Gonad hewan yang telah memijah akan terlihat

mengecil. Baik gonad jantan maupun betina sering berwarna coklat

keputihan (whitish brown). Tidak jelas tanda-tanda visual yang

membedakannya. Pada betina secara mikroskopis tergantung lamanya

waktu setelah memijah, irisan memperlihatkan berbagai kenampakan.

Namun secara umum biasanya ditandai dengan kosongnya lumen dan

beberapa sisa ova yang tertinggal. Pada dinding folikel tampak lapisan

yang merupakan perkembangan serabut-serabut jaringan penunjang

(connective tissue). Sisa-sisa ova dalam folikel secara bertahap diserap

kembali oleh sel-sel fagosit, dan lumen (ruang folikel) secara berangsur

diisi kembali oleh jaringan penunjang berupa sel-sel nutritif. Oogonia dan

oosit muda kemudian tumbuh kembali dan tanda-tanda kenampakan

berulang seperti pada tingkat I. Pada jantan, perubahan histologis yang

jelas adalah berkurangnya spermatozoa sehingga lumen nampak

kosong, atau terlihat sisa-sisa sperma pada lumen. Keadaan yang terjadi

berikutnya adalah identik dengan pada folikel betina.

Page 44: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

94

Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan gonad adalah usia

organisme, suhu, hidrodinamika lautan, kuantitas dan kualitas makanan.

Pada kondisi lingkungan dengan kuantitas dan kualitas makanan yang buruk,

ukuran diameter cangkang bulu babi tidak hanya menjadi lebih kecil tetapi

dapat juga mengalami pengurangan volume gonad. Tetapi apabila kondisi

makanan baik, usia organisme menjadi faktor penting yang berpengaruh

terhadap pertumbuhan gonad. Gonad akan bertumbuh lebih baik pada bulu

babi yang berusia dewasa dibandingkan pada yang masih dalam taraf

pertumbuhan (Martinez-Pita et al., 2008). Lawrence (1987 dalam Muthiga

and Mc.Clanahan, 2007) menyatakan bahwa D. setosum yang berukuran

sangat besar menunjukkan kondisi gonad dengan aktifitas reproduksi yang

berlangsung kecil.

Pertumbuhan ukuran gonad bulu babi tidak hanya terjadi akibat

adanya gametogenesis yang menambah ukuran atau jumlah sel gamet,

tetapi juga dipengaruhi oleh adanya sel-sel nutrisi atau nutrisi fagosit yang

menyerap cadangan makanan sebelum gametogenesis dimulai (Walker et

al., 2007). Sel nutrisi ini akan menyerap protein yang kemudian akan

digunakan dalam proses pembentukan gametogenesis, khususnya pada

proses oogenesis (Unuma et al., 2003).

Fertilisasi bulu babi terjadi di air, dimana air dimasukkan ke dalam kaki

amburakral dan menyebabkan kaki itu menjulur. Ferti lisasi terjadi secara

eksternal, untuk memudahkan proses ferti lisasi, bulu babi berkumpul dan

Page 45: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

95

akan memijah pada waktu yang bersamaan. Waktu memijah sangat

bervariasi, dapat terjadi pada waktu sore hari maupun malam hari (Lawrence,

2007). Dalam proses pemijahan, bulu babi jantan akan terlebih dahulu

melepaskan sperma (warna putih susu) kemudian disusul oleh betina yang

melepaskan ovum (warna kuning matang). Jumlah telur yang dilepaskan

oleh betina pada saat proses pemijahan dapat mencapai jutaan. Telur yang

telah terbuahi akan tumbuh menjadi larva plutea yang selanjutnya mengalami

metamorfosis setelah berusia 5 - 6 minggu (Radjab, 2001).

E. Habitat Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan salah satu dari ekosistem-ekosistem

pantai yang teramat produktif dan teramat beraneka-ragam. Ekosistem

terumbu karang memberi manfaat langsung kepada manusia dengan

menyediakan makanan, obat-obatan, bahan bangunan dan bahan lain. Lebih

penting lagi, terumbu karang menopang kelangsungan hidup ekosistem-

ekosistem lain di sekitarnya yang juga menjadi tumpuan hidup manusia.

Terumbu karang memang unik sifatnya di antara asosiasi dan masyarakat

biota laut. Terumbu ini dibangun seluruhnya oleh kegiatan biologik, dimana

ia merupakan timbunan masif dari kapur CaCO3 yang terutama telah

dihasilkan oleh hewan karang dengan tambahan penting dari alga berkapur

dan organisme-organisme lain penghasil kapur (Nontji, 2005).

Page 46: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

96

Bulu babi D. setosum adalah salah satu jenis yang terdistribusi secara

luas di lautan Indo-Barat Pasifik, mulai dari Laut Merah dan pantai Timur

Afrika, hingga ke Jepang dan Australia. Diadema setosum umumnya

ditemukan di daerah terumbu karang atau substrat berbatu di daerah dangkal

pada kedalaman 1 – 6 m. Hewan ini aktif mencari makan pada malam hari

(nocturnal), sedangkan pada siang hari lebih banyak bersembunyi di celah-

celah karang dan batu. Diadema setosum merupakan hewan omnivora dan

pemakan detritus, mereka makan dengan cara mencerna substrat seperti

pasir atau menggerus alga pada permukaan yang keras seperti karang

(Yokes dan Galil, 2006).

Selain pemanfaatannya sebagai bahan pangan, bulu babi ini juga

sangat berperan dalam kesetimbangan ekosistem habitatnya.

Kesetimbangan populasi D. antillarum akan menjaga kesetimbangan

populasi alga dan karang. Sedangkan kematian massal D. antillarum

berdampak pada penurunan drastis tutupan karang, dan menurunnya

kehadiran Invertebrata yang biasanya menetap di wilayah ini. Selain itu,

terumbu karang dapat didominasi oleh alga. Pada tahun 1995 ternyata

ditemukan bahwa populasi D. antillarum yang sangat sedikit (pemulihannya

membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun). Hilangnya induk menyebabkan

jumlah larva juga sangat kurang. Meski telah mulai ada pemulihan Diadema,

namun belum dapat diketahui apakah akan dapat mengembalikan terumbu

karang yang hi lang (Anonim, 2007).

Page 47: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

97

F. Habitat Padang Lamun

Lamun diketahui sebagai vegetasi yang padat di bawah laut dan

menimbulkan adanya peningkatan permukaan substrat untuk alga dan fauna

epifit. Sejumlah epifit makroalga dan diatomea bentik tumbuh pada daun

lamun, dan permukaan daun sering ditutupi oleh epifit, epifauna dan detritus.

Sebagai tempat berlindung dan substrat dari organisme, maka hal ini

merupakan fungsi yang penting dari padang lamun. Adanya pembagian yang

jelas dari lamun tentang daun, batang, rimpang dan akar menyebabkan

meningkatnya keragaman dari mikrohabitat sehingga hal ini membuat

dukungan terhadap keragaman fauna yang cukup tinggi, dimana mereka

tidak memakan lamun secara langsung (Aswandy dan Azkab, 2000).

Padang lamun merupakan salah satu ekosistem yang penting di

perairan dangkal. Selain berperan sebagai produsen primer, penangkap

sedimen, pendaur zat hara, padang lamun juga berperan sebagai habitat

biota laut lainnya. Di Indonesia terdapat sekitar 13 jenis lamun yang hidup

tersebar pada lingkungan perairan laut dangkal seperti daerah pasang surut,

estuari, di depan formasi hutan dakau, atau di belakang gugus terumbu

karang. Di daerah ugahari padang lamun biasanya merupakan formasi

tersendiri dengan daerah penyebaran yang sangat luas (Aziz, 1995).

Ekosistem lamun merupakan habitat dari berbagai jenis fauna

invertebrate, salah satunya adalah kelompok Ekinodermata yang merupakan

kelompok biota penghuni lamun yang cukup menonjol, terutama dari kelas

Page 48: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

98

Echinoidea (bulu babi). Kelompok Ekhinodermata ini dapat hidup menempati

berbagai macam habitat seperti zona rataan terumbu, daerah pertumbuhan

alga, padang lamun, koloni karang hidup dan karang mati dan beting karang

(rubbles dan boulders) (Yusron, 2009)

Bulu babi dalam ekosistem padang lamun mempunyai peranan

penting sebagai pemakan rumput laut (grazing), oleh karena itu bulu babi

dapat membawa pengaruh terhadap struktur dan fungsi dari kebanyakan

komunitas bentik pada ekosistem perairan pantai (Tertsching, 1989). Pada

tahun-tahun belakangan ini, dari segi biologi populasi, bulu babi mendapat

perhatian yang lebih dari biasanya, khususnya berhubungan dengan

pengawasan terhadap kecepatan tumbuh, pertumbuhan dan degradasi

populasi serta pengaruhnya terhadap populasi organisme yang lain (Edrus

dan Andamari, 1998).

Di bagian utara Jepang, Kawamura (1973) melaporkan bulu babi,

Strongylocentrotus intermedius memakan daun hi jau lamun Phyllospadix

iwantensis yang tumbuh di daerah dengan substrat karang. Lamun

menduduki rangking kedua atau ketiga dalam rantai makanan dan kriteria

frekuensi keterdapatan, tetapi tersedia kurang dari 10% berat pada setiap

bulu babi dewasa.

Bulu babi sebagai salah satu biota penghuni padang lamun, kerap kali

ditemukan di daerah padang lamun campuran. Kondisi ini terutama

disebabkan karena bulu babi tergantung kepada berbagai jenis lamun seperti

Page 49: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

99

lamun dari marga Thalassia, syringodium, Thalassodendron, dan

Cymodocea. Selain itu bulu babi juga lebih menyukai substrat yang agak

keras, dimana substrat padang lamun campuran terutama terdiri dari

campuran pasir dan pecahan karang (Aziz, 1995).

G. Aspek Lingkungan

Bulu babi sangat baik hidup pada habitat yang dangkal baik pada

ekosistem terumbu karang maupun daerah yang padang lamun. Daerah ini

merupakan habitat yang baik bagi pertumbuhan bulu babi karena cukup

banyak tersedianya nutrient. Faktor lain yang mikrohabitat adalah suhu dan

salinitas. Hewan ini akan mengalami kematian jika kenaikan suhu air laut

yang terlalu tinggi dan salinitas yang terlalu rendah, bulu babi sangat baik

hidup pada suhu optimum 250C (Soemodiharjo, 1989).

Suhu dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan biota laut.

Suhu dapat menjadi salah satu kunci yang berpengaruh pada siklus

reproduksi, dimana suhu yang tinggi sangat diperlukan untuk pematangan

dan pemijahan. Hal ini berakibat organisme pada daerah subtropik umumnya

akan memijah pada waktu musim panas, sedangkan pada daerah tropis

dapat lebih sering terjadi pemijahan selama sinar matahari menyediakan

panas yang dibutuhkan oleh organisme. Demikian juga menurut Chen dan

Chang (1981) dalam Lawrence (2007) menyatakan bahwa variasi reproduksi

Page 50: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

100

yang terjadi pada bulu babi secara geografis dipengaruhi oleh adanya

perbedaan suhu.

Avertebrata yang hidup di daerah tropis dapat memijah sepanjang

tahun. Hal yang mempengaruhi pemijahan adalah suhu dan tersedianya

makanan yang cukup. Bagi bulu babi jenis D.setosum, suhu 250C merupakan

suhu yang kritis. Di bawah suhu ini aktifitas reproduksi dapat terhambat dan

di atas suhu 250C, D.setosum dapat memijah sepanjang tahun (Sugiarto dan

Supardi, 1995). Namun pengaruh suhu umumnya lebih berdampak pada

organisme dewasa.

Salinitas sangat berkaitan erat dengan suhu. Kinne (1964 dalam Aziz,

1987) menyatakan bahwa suhu dapat mempengaruhi batas toleransi biota

laut terhadap salinitas dan salinitaspun memiliki kombinasi efek yang sama

terhadap suhu. Namun belum didapatkan suatu pengaruh kombinasi suhu

dan salinitas terhadap kelompokn echinodermata. Bulu babi ini dapat ditemui

mulai dari daerah intertidal sampai ke kedalaman 10 m dan merupakan

penghuni sejati laut dengan batas toleransi salinitas antara 30 - 34‰.

Reproduksi bulu babi sangat menunjukkan keterkaitan dengan periode

bulan. Jenis D.setosum di daerah Fiji akan memijah pada saat bulan baru

(Coppard dan Campbel, 2005), sedangkan menurut Fox (1922) dan Randall

(1964) menyatakan bahwa D.setosum bereproduksi pada saat bulan penuh

(bulan purnama). Selain itu menurut Muthiga dan McClanahan (2007)

mengatakan D.setosum ada yang memijah pada bulan purnama (Yoshida,

Page 51: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

101

1952; Pearse, 1972), ada yang memijah pada bulan gelap (Kobayashi dan

Nakamura, 1967) dan ada yang tidak menunjukkan periodesitas bulan

(Stephenson, 1934; Mortensen, 1937; Pearse, 1986).

Sedimen adalah partikel-partikel yang diendapkan secara perlahan-

lahan di dasar perairan, yang berasal dari pembongkaran batu-batuan dan

potongan-potongan kulit (shell) serta sisa-sisa rangka dari organisme laut

dengan ketebalan yang bervariasi (Hutabarat dan Evans, 2006).

Ukuran partikel sedimen dari masing-masing perairan berbeda.

Nybakken (1992) menjelaskan bahwa di perairan yang arusnya kuat akan

banyak ditemukan substrat berpasir karena partikel yang berukuran besar

dapat mengendap lebih cepat, sedangkan partikel yang berukuran kecil akan

terbawa jauh oleh gerakan arus dan gelombang.

Menurut English et al, (1994) bahwa sedimen dasar suatu perairan

cenderung didominasi oleh partikel tertentu misalnya pasir, lumpur, batu atau

kerikil dengan ukuran yang berbeda. Untuk mengklasifikasikan jenis-jenis

partikel sedimen tersebut digunakan skala Wentworth seperti Tabel 2.

Page 52: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

102

Tabel 2. Skala Wentworth untuk pengklasifikasian berbagai jenis dan

ukuran partikel sedimen.

No Jenis Partikel Sedimen Ukuran Butir Sedimen (mm)

1 Batu besar > 256

2 Bokahan batu 256 - 64

3 Kerakal 64 - 4

4 Kerikil 4 - 2

5 Pasir sangat kasar 2 - 1

6 Pasir kasar 1 – 0,5

7 Pasir agak kasar 0,5 – 0,25

8 Pasir halus 0,25 – 0,125

9 Pasir sangat halus 0,125 – 0,062

10 Lanau 0,062 – 0,0039

11 Lempung < 0,0039

Page 53: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

103

H. Kerangka Pikir

Adapun kerangka pikir penelitian ini disajikan dalam bentuk skema

sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kerangka pikir penelitian

BULU BABI (Diadema setosum)

Habitat Karang dan Padang Lamun

Degradasi Lingkungan Perubahan Kondisi

Substrat Dasar

Kapasitas Reproduksi

Menurun

Aspek Biologi

Reproduksi

Pengelolaan

Nisbah Kelamin, TKG secara

Morfologi dan Histologi , IKG, Ukuran

Pertama Kali Matang Gonad,

Fekunditas dan Diameter Telur

Page 54: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

104

BAB III

METODE PENELITIAN

Page 55: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

105

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlangsung selama kurang lebih tiga bulan dimulai dari

pertengahan bulan April sampai awal bulan Juli 2011. Lokasi penelitian di

perairan pantai Teluk Kayeli Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, Provinsi

Maluku (Gambar 4 dan 5).

Gambar 4. Peta Kabupaten Buru Maluku (Maps. Google earth, 2011)

Page 56: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

106

Gambar 5. Lokasi stasiun pengambilan sampel (Maps. Google earth, 2011)

Pengambilan sampel bulu babi pada masing-masing stasiun

penelitian, dilakukan setiap dua minggu sekali selama penelitian dengan

mengikuti periode bulan pada saat pasang surut terendah. Pengamatan

sampel dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan

dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Pembuatan preparat

histologi dilakukan di Balai Besar Veteriner, Maros provinsi Sulawesi Selatan.

Stasiun I

Stasiun II

Page 57: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

107

B. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: perahu/kapal

sebagai transportasi, termometer dan Handrefraktometer, alat selam dasar,

ember atau baskom, transek kuadrat dan roll meter, kertas label dan kantong

plastic, alat GPS untuk penentuan posisi bujur dan lintang, jangka/mistar

sorong dengan ketelitian 0,01 mm, timbangan digital dengan ketelitian 0,01

g, gunting dan pinset, jarum preparat dan mikroskop untuk membantu

pengamatan sampel gonad.

Peralatan yang digunakan dalam uji histologi : botol sampel, pipet

tetes, histoembedder, lempengan blok, mikrotom, deg glass dan objek glass.

larutan bouin, alkohol, xylol, haematoxylin, eosin, aquades dan entelan, serta

larutan BNF 10% sebagai pengawet gonad untuk uji histologi.

C. Populasi dan Stasiun Penelitian

C.1. Populasi/Objek Pengamatan

Objek pengamatan dalam penelitian ini adalah sampel bulu babi jenis

D.setosum, parameter pendukung seperti kondisi kualitas air (suhu, salinitas

dan sedimen/substrat) yang terdapat di perairan intertidal Kecamatan Namlea

Teluk Kayeli Kabupaten Buru.

Page 58: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

108

C.2. Stasiun Penelitian

Stasiun pengamatan ditentukan berdasarkan karateristik habitat pada

daerah intertidal. Penentuan daerah intertidal sebagai lokasi penelitian

berdasarkan karakteristik habitat perairan dengan melihat kondisi lamun

yang bervariasi dan persentase penutupan lamun. Penentuan stasiun

pengambilan sampel juga didasarkan pada kondisi substrat pada setiap

stasiun, yang meliputi: (1) Habitat karang terletak di Desa Jikumerasa, (2)

Habitat lamun terletak di Desa Waelapia (Gambar 5).

Tabel 3. Lokasi stasiun pengambilan sampel

Stasiun Lokasi Karakteristik habitat perairan Lintang bujur

Habitat

karang

Desa

Jikumerasa

Substrat berpasir, karang dan

sedikit lamun

03010’24.9’’LS

127001’35.6’’BT

Habitat lamun

Desa Waelapia

Substrat berpasir, lamun dan sedikit karang

03021’53.3’’LS 127007’50.3’’BT

D. Metode Pengumpulan Data

Sampel bulu babi diambil secara acak dengan bantuan alat/tangan

sebanyak 25 - 30 ekor pada kedua stasiun penelitian. Penentuan lokasi

untuk pengambilan sampel yang dijadikan sebagai stasiun penelitian tersebut

didasarkan pada metode "ploting square" transek (modifikasi Odum, 1971).

Page 59: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

109

Plot di sini adalah area seluas 100 x 1 m2

. Setiap transek diamati 2 plot,

dengan mengambil arah garis sejajar pantai. Lima line transek yang masing-

masing tegak lurus dengan garis pantai dipilih dengan berjarak satu sama

lain 20 m. Jumlah plot yang diamati adalah 10 buah.

Cangkang dan gonad ditimbang dengan menggunakan timbangan

digital yang memiliki tingkat ketelitian 0,01 g. Pengukuran diameter

cangkang menggunakan mistar geser berketelitian 0,01 mm. Diameter

cangkang bulu babi dapat ditentukan dengan cara mengukur sisi terluar dari

cangkangnya secara horizontal (Gambar 6).

Gambar 6. Pengukuran diameter cangkang (DC) bulu babi (Diadema setosum)

Page 60: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

110

Jenis kelamin bulu babi ditentukan dengan mengamati gonad baik

secara visual maupun dengan mikroskopis. Selanjutnya, sampel gonad

dipisahkan dari tubuh, kemudian ditimbang dan dimasukkan ke dalam larutan

buffered neutral formalin (BNF) 10% sampai dilakukan pembuatan contoh

preparat histologinya.

Pengukuran kualitas air dilakukan pada saat penelitian dan dilakukan

di tempat (in situ). Suhu diukur dengan menggunakan termometer dan

salinitas dengan menggunakan handrefraktometer. Data-data lainnya

merupakan data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian-penelitian

sebelumnya.

Penentuan tingkat kematangan gonad secara morfologi dengan cara

melihat warna, tekstur dan ukuran gonad. Pearse (1970) mengatakan bahwa

secara makroskopis gonad memberikan kenampakan warna dan teksturnya.

Warna gonad D. setosum bervariasi dari coklat gelap, kehijauan, kuning jeruk

(orange), kuning tua, kuning muda (krem) dan transparan (bening). Variasi

warna ini berkaitan dengan jenis kelamin dan tingkat

perkembangannya/gametogenesis.

Tekstur gonad bervariasi dari padat dan berbutir sampai lunak dan

berlendir. Kondisi gonad matang (mature) memberikan kenampakan tekstur

lunak berlendir. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan gonad Diadema

setosum oleh Kobayashi dan Nakamura (1967) di Seto, Jepang. Hubungan

tekstur gonad dengan tingkat gametogenesis juga diterangkan oleh Bernard

Page 61: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

111

(1977). Tekstur padat (kompak) terjadi pada gonad fase pemulihan

(recovery), dan kondisinya menurun (melunak) sepanjang proses

pematangan gamet. Penentuan secara histologi sesuai dengan deskripsi

dari Dharsono (1986). Selanjutnya, penentuan IKG dengan menggunakan

bobot keseluruhan gonad (Bg) dan bobot cangkang (Bc).

Pembuatan preparat histologi menggunakan gonad yang tidak rusak.

Sebagian gonad yang akan dibuat preparat histologi terlebih dahulu difiksasi

dengan menggunakan larutan Bouin, dan direndam dalam alkohol selama

kira-kira seminggu. Gonad dicuci dan didehidrasi dengan menggunakan

alkohol yang kadarnya dinaikkan secara bertahap, yaitu 50%, 70%, 95% dan

100%. Gonad dipak dengan menggunakan amil asetat sebagai larutan

perantara untuk mempermudah penetrasi lilin. Setelah pengepakan selesai,

dilakukan pemotongan setebal 5 – 6 mikron dan diwarnai dengan pewarna

haematoxylin dan eosin (Tuwo, 1995). Potongan yang bagus, tidak tergores,

tidak mengkerut, diambil dan diletakkan di atas gelas slide untuk dilakukan

deparafinisasi dengan xylol dan rehidrasi dalam alkohol bertingkat. Preparat

diwarnai dengan haematoksilin dan eosin, kemudian ditutup dengan gelas

penutup, untuk selanjutnya diamati di bawah mikroskop dan dibantu dengan

mikrometer okuler.

Page 62: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

112

E. Analisa Data

E.1 Nisbah Kelamin

Untuk menentukan nisbah kelamin, dihitung dengan cara

membandingkan jumlah bulu babi jantan dan betina. Nisbah kelamin antara

setiap bulan diuji dengan Chi-square yang disusun dalam bentuk tabel

kontingensi (Sudjana, 1992) dengan rumus:

𝐸𝑖𝑗 = (𝑛𝑖 × 𝑛𝑗)

𝑛

Eij = Frekuensi teoritik atau gejala yang diharapkan terjadi ; ni = jumlah baris

ke-i ; nj = jumlah kolom ke-j ; n = jumlah frekuensi dari nilai pengamatan

Nilai X2 dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Nilai X2 tabel dengan menggunakan distribusi X2 dengan derajat bebas

(B-1)(K-1), dimana B = kategori faktor II (baris) dan K = kategori faktor I

(kolom).

Page 63: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

113

E.2 Tingkat Kematangan gonad (TKG)

Pengamatan TKG dilakukan secara morfologi dan histologi. Hasil

pengamatan morfologi dengan cara langsung mengamati secara visual

warna gonad sedangkan pengamatan histologi dengan melihat struktur dan

penyebaran sel telur, dan ditampilkan dalam bentuk foto kemudian dianalisis

secara deskriptif. Penentuan TKG secara morfologi yaitu dengan melihat

bentuk, ukuran, warna dan perkembangan gonadnya. Penentuan TKG

secara histologi dengan menggunakan klasifikasi Darsono (1986) dalam

Pearse (1970), sebagaimana tercantum pada Tabel 4. Data TKG setiap

pengambilan sampel dihitung frekuensi relatifnya, baik pada bulu babi jantan

maupun betina danditampilkan dalam bentuk grafik histogram.

E.3 Indeks Kematangan Gonad (IKG)

Indeks kematangan gonad dihitung berdasarkan formulasi Johnson

(1971 dalam Effendie, 1997) sebagai berikut :

𝐼𝐾𝐺 = 𝐵𝑔

𝐵𝑡 × 100%

Dimana : IKG = Indeks Kematangan Gonad (%); Bg = bobot gonad (g);

dan Bt = bobot tubuh (g).

Page 64: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

114

Tabel 4. Perkembangan gametogenesis bulu babi (Darsono, 1986).

Fase Ovari Testes

Netral (0) Gonad netral, elongated, relatif tipis, semi transparan

Gonad netral, elongated, relatif tipis, semi transparan

Fase Recovering Spent (I)

Oogonia dan oosit muda menempel sepanjang lapisan germinal dinding folikel. Oogonium berbentuk seperti gelendong benang, sitoplasme mengelilingi inti sebagai lapisan tipis yang homogeny. Oosit muda berbentuk bola yang tidak beraturan dengan inti relatif besar yang dikelilingi oleh lapisan tipis berupa akumulasi sitoplasma yang basofilik. Diameter oosit ± 15µ dan 5µ pada individu muda.

Terdapat spermatogonia dan spermatosit sepanjang dinding folikel. Spermatosit lebih kecil dan lebih kurang menyerap warna haematoxylin dibandingkan spermatogonium.

Fase Tumbuh/Growing (II)

Terdapat oogonia kecil dalam jumlah kecil pada periphery folikel. Oosit berdiameter 40-60µ saling terkait mengisi ke arah tengah sedangkan yang lebih berkembang mengisi bagian tengah. Ovary berkembang sejalan dengan pertumbuhan oosit.

Lapisan gamet dapat ditemukan pada irisan folikel. Tidak ditemukan spermatozoa dalam lumen.

Fase matang Awal/Premature (III)

Ukuran oosit berkembang dengan cepat. Sejumlah oosit besar mengisi lumen dari folikel berdiameter 80-140µx40-80µ. Pada folikel ovary terdapat oosit dengan ukuran berkisar 10-70µ dan sebagian ovary mengisi lumen folikel. Folikel siap menampung oosit primer yang akan mencapai ukuran maksimal.

Spermatosit dan spermatogonia terlihat meningkat dalam jumlah. Beberapa spermatozoa mengisi bagian lumen folikel secara sentripetal. Pada beberapa folikel jantan yang lain mungkin sekelompok kecil spermatozoa telah mengisi pusat folikel.

Fase Matang/Mature (IV)

Seluruh ruang lumen folikel terisi penuh oleh ovary berdiameter 80-100µ. Pada dinding folikel juga telah terlihat oosit muda baru. Ukuran ovary tidak terlalu berbeda dengan yang berada pada tahap III tetapi kandungan sitoplasmanya makin homogen dan lebih menyerap haematoxylin.

Spermatogenesis telah mencapai tahap spermatozoa matang. Sementara itu pada dinding folikel tetap berlangsung proses awal spermatogenesis. Seluruh ruang lumen folikel terisi penuh oleh spermatozoa.

Fase Pijah/Spent (V) Ditandai dengan kosongnya lumen dan beberapa sisa ovary tertinggal. Pada dinding folikel nampak suatu lapisan yang merupakan perkembangan serabut-serabut jaringan penunjang. Sisa-sisa ovary dalam folikel secara bertahap diserap oleh sel-sel fagosit dan lumen secara berangsur diisi jaringan penunjang berupa sel-sel nutritif. Kemudian oogonia dan oosit muda tumbuh kembali dan tanda kenampakan berulang seperti pada tingkat I

Perubahan histologis yang jelas adalah berkurangnya spermatozoa sehingga lumen Nampak kosong, terkadang terlihat sisa-sisa sperma pada lumen. Keadaan yang terjadi selanjutnya identik dengan pada folikel betina.

Page 65: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

115

E.4 Ukuran Pertama Kali Matang Gonad

Untuk menduga ukuran pertama kali matang kelamin digunakan

metode Spearmen-Karber (Udupa, 1986 dalam Andy Omar, 2009) dengan

selang kepercayaan 95% sebagai berikut :

𝑚 = 𝑋𝑘 + 𝑋

2 − (𝑥 𝑃𝑖)

𝑎𝑛𝑡𝑖 𝑙𝑜𝑔 [ 𝑚 ± 1,96 𝑥2 𝑝𝑖 𝑥 𝑟𝑖

𝑛−1 ]

Dimana : m = logaritma panjang bulu babi pada kematangan gonad pertama;

Xk = logaritma nilai tengah kelas panjang yang terakhir bulu babi yang telah

matang gonad; x = logaritma pertambahan panjang pada nilai tengah; pi =

proporsi bulu babi yang matang gonad pada kelas panjang ke-i dengan

jumlah bulu babi pada selang panjang ke-i atau pi=ri/ni; ri = jumlah bulu babi

matang gonad pada kelas ke-i; ni = jumlah bulu babi pada kelas panjang ke-

i.qi=1-pi

Dengan demikian panjang bulu babi pada waktu mencapai

kematangan gonad yang pertama adalah :

M = anti log m

Page 66: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

116

E.5 Fekunditas

Untuk menghitung fekunditas dapat menggunakan Metode gabungan

gravimetrik, volumetrik dan jumlah sebagai berikut (Andy Omar, 2009) :

𝐹𝑇 = 𝑆 × 𝑉 × 𝑇

𝐾

FT = Fekunditas total (Butir), S = Bobot seluruh gonad (g), V = Volume

pengenceran (ml), T = Jumlah telur setiap 1ml (butir), K = Bobot sebagian

kecil gonad (g).

Penghitungan fekunditas total ini dilakukan pada telur-telur yang

berada pada tingkat kematangan gonad IV (fase matang) dan V (fase pijah).

E.6 Diameter Telur

Diameter telur diukur di bawah mikroskop binokuler dengan bantuan

mikrometer okuler yang telah ditera sebelumnya. Pengukuran ini dilakukan

pada telur-telur yang berada pada tingkat kematangan gonad III dan IV.

Selanjutnya diameter dianalisis dalam bentuk histogram. Diameter telur

dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Andy Omar,

2009) :

𝐷𝑠 = 𝐷 × 𝑑

Page 67: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

117

Ds = Diameter telur sebenarnya (mm), D = Diameter telur secara horisontal

(mm), d = Diameter telur secara vertikal (mm).

F. Kualitas Air

Parameter kualitas air (suhu, salinitas, dan substrat/sedimen) yang

diukur di lokasi penelitian, dianalisis secara deskriptif. Analisis sedimen

dapat dilakukan dengan menggunakan pengklasifikasian skala Wentwoorth

dari berbagai jenis dan ukuran partikel sedimen.

Untuk pengukuran tekstur sedimen, sampel sedimen dasar diambil

sebanyak kurang lebih 500 gram dari setiap stasiun, dan selanjutnya

dianalisis di laboratorium. Sampel sedimen dianalisis dengan metode

penyaringan atau pengayakan dengan menggunakan Sieve Net menurut

English et al. (1994), untuk mengetahui ukuran butiran sedimen 2 mm sampai

0,063 mm, sesuai prosedur sebagai berikut :

1. Sampel sedimen dikeringkan dalam oven 1100C, sampai 24 jam.

2. Sampel sedimen yang telah dikeringkan diambil sebanyak 150 gram,

selanjutnya diayak dengan menggunakan Sieve net bersusun dengan

ukuran 2 mm, 0,5 mm, 0,25 mm, 0,125 mm, 0,063 mm, dan < 0,063 mm.

3. Pengayakan dengan Sieve net dilakukan selama 15 menit, untuk

mendapatkan pemisahan ukuran butiran sedimen sesuai ukuran ayakan.

4. Sampel sedimen dipisahkan dari Sieve net sesuai dengan ukuran

masing-masing.

Page 68: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

118

5. Sampel sedimen yang telah tersaring pada setiap ukuran sieve net,

dimasukkan ke dalam cawan petri, lalu ditimbang dengan menggunakan

timbangan digital.

6. Menentukan persentase berat, persentase kumulatif masing-masing

ukuran pada setiap stasiun.

Untuk mengetahui ukuran butiran sedimen 0,0625 mm dan 0,0039 mm

atau < 0,0039 mm maka sampel sedimen dianalisis dengan metode

pengendapan (Hukum Stokes) menurut English et al. (1994), sesuai prosedur

berikut :

1. Sampel sedimen ukuran 0,0625 mm dimasukkan ke dalam gelas piala

yang berisi aquades sebanyak 1 liter.

2. Sampel sedimen diaduk (dihomogenkan) dengan Vakum Storer pada

suhu 200C.

3. Setelah sampel sedimen tercampur rata, vakum storer dihentikan dan

gerakan larutan dalam gelas piala dibiarkan sampai tenang.

4. Setelah 10 menit, sampel sedimen diambil dengan menggunakan pipet

pada kedalaman 20 cm sebanyak 10 ml, kemudian ditaruh pada cawan

petri sebagai sampel ukuran 0,0039 mm.

5. Selanjutnya setelah 1 jam 45 menit, sampel sedimen diambil pada

kedalaman 10 cm sebanyak 10 ml kemudian ditaruh lagi pada cawan

petri, diasumsikan sebagai sampel ukuran < 0,0039 mm.

6. Sampel sedimen selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 1000C.

Page 69: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

119

7. Sampel ditimbang, berat sedimen terukur dikurangi berat cawan petri,

maka didapatkan berat partikel sedimen ukuran 0,0039 mm dan ukuran <

0,0039 mm.

G. Analisis Statistik

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, data-data yang diukur

diuji dengan menggunakan Uji-t untuk membandingkan perbedaan potensi

reproduksi bulu babi dari beberapa parameter aspek biologi yang diuji

terhadap habitat terumbu karang dan padang lamun yang dihuninya di

perairan Intertidal.

Page 70: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

120

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Buru merupakan suatu wilayah yang memiliki pulau-pulau

kecil dengan tingkat keanekaragaman hayati laut yang tinggi. Salah satu

sumberdaya hayati tersebut adalah biota bulu babi. Wilayah ini memiliki

empat wilayah ekologis yakni wilayah ekologis Teluk Kayeli, Buru Utara, Buru

Selatan dan Buru Selatan Timur. Kondisi topografi, morfologi dan proses

geomorfologi di Kabupaten Buru bervariasi menurut wilayah ekologis.

Dimensi spasial wilayah ekologis Kabupaten Buru mencakup batas dan luas

wilayah, serta panjang garis pantai ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Dimensi spasial wilayah ekologis Kabupaten Buru (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buru, 2005).

Dimensi wilayah

Wilayah ekologis

Teluk Kayeli Buru Utara Buru Selatan Buru Timur

Luas wilayah (km2) 2,12 2,59 2,79 1.132

Panjang garis pantai (km) 78,57 122,70 166,60 1,148

Luas 4 mil laut (km2) 424,20 893,00 1093,00 1228,00

Batas wilayah 4 mil laut

1270024’71“BT

1270034’43”BT

1260072’50”BT

1270064’60”BT

1250927’60”BT

1260694’14”BT

1260768’81”BT

1270339’46”BT

03010’44.4”LS

03038’60.5”LS

02091’82.2”LS

03018’20.9”LS

03005’50.6”LS

03092’11.7”LS

03035’24.5”LS

03097’42.7”LS

Page 71: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

121

Habitat utama dari perairan pesisir wilayah Teluk Kayeli dan

Jikumerasa adalah ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun serta

tumbuhan makro alga yang menyebar secara tidak merata. Ekosistem lamun

menyebar secara merata di sepanjang perairan Teluk Kayeli, komunitas ini

terdiri atas Famili Hydrocaritaceae, (Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,

Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, dan Siringodium isoetifolium).

Sedangkan ekosistem terumbu karang cukup padat dengan variasi jenis yang

tinggi, terutama pada lokasi penelitian di Jikumerasa (DKP Kab. Buru, 2005).

Berbeda dengan komunitas mangrove, komunitas lamun di perairan

pantai Teluk Kayeli memiliki penyebaran yang tidak merata, mulai dari

perairan pantai Desa Waeapo sampai Desa Kayeli hingga dekat kota

Namlea. Komunitas lamun di sekitar pantai Teluk Kayeli dijumpai 8 jenis

lamun dari 2 famili yaitu famili Potamogetonacea terdiri dari Halodule pinifolia,

Cyomodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolium , dan

famili Hydrocharitaceae terdiri dari Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,

Halophila ovate, Halophila minor (DKP Kab. Buru, 2005).

Penyebaran jenis dan persentase penutupan lamun pada kawasan

Teluk Kayeli tidak merata berdasarkan jenis substratnya. Pada substrat pasir

berlumpur komunitas lamun mulai ditemukan di jarak 150 sampai 250 m dari

garis pantai, jenis lamun yang ditemukan adalah E. acoroides dengan

persentase penutupannya adalah 26,87%. Di substrat campuran pasir dan

patahan karang, komunitas lamun tersebar pada areal sepanjang 10 sampai

Page 72: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

122

20m dari garis pantai dan jenis-jenis lamun yang ditemukan adalah T.

hemprichii, S. isoetifolium, H. pinifolia, C. rotundata dan C. serrulata, dengan

masing-masing persentase penutupan adalah 11,87%, 8,13%, 4,38% dan

18,13%. Sedangkan pada substrat pasir yang sedikit berlumpur ditemukan

jenis H. minor dan H. ovate (DKP Kab. Buru, 2005).

Perairan Teluk Kayeli memiliki luas terumbu karang 432,9ha, dengan

kategori bentuk tumbuh bentik dijumpai 29 bentuk karang, dimana hanya

terumbu karang pada zone tepi tubir Jikumerasa yang memiliki persen

penutupan karang tertinggi yakni sebesar 86,64% dan berada pada kondisi

sangat baik (Excellent), kemudian diikuti oleh Waelapia dengan persen

penutupan karang batu sebesar 59,50% atau berada pada kondisi baik

(Good) dan terendah di Nametek dengan persen pentupan karang batu

sebesar 14,70% atau berada pada kondisi buruk (Poor) (Lembaga Penelitian

Unpatti, 2005).

B. Nisbah Kelamin

Selama penelitian, jumlah total sampel yang diperoleh pada habitat

karang adalah sebanyak 180 ekor, yang terdiri dari 85 ekor bulu babi jantan,

94 ekor bulu babi betina dan 1 ekor yang tidak dapat ditentukan jenis

kelaminnya, sedangkan pada habitat lamun, jumlah total sampel sebanyak

168 ekor, yang terdiri dari 78 ekor bulu babi jantan, 88 ekor bulu babi betina,

dan 2 ekor yang tidak dapat ditentukan jenis kelaminnya (Lampiran 1).

Page 73: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

123

Jumlah bulu babi yang tidak dapat ditentukan jenis kelaminnya disebabkan

karena pada saat cangkang bulu babi dibelah ternyata tidak ditemukan gonad

di dalam cangkangnya, sehingga sulit untuk menentukan jenis kelaminnya.

Nisbah kelamin bulu babi (D.setosum) pada setiap waktu pengambilan

sampel dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nisbah kelamin bulu babi (Diadema setosum) jantan dengan betina pada setiap waktu pengambilan sampel di habitat karang dan lamun di perairan Teluk Kayeli, Kecamatan Namlea.

Waktu pengambilan

sampel

Habitat Karang

Habitat Lamun

Jumlah (ekor) Nisbah kelamin Jumlah (ekor) Nisbah kelamin

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

April 2011 31 29 1,00 0,94 29 32 1,00 1,10

Mei 2011 27 32 1,00 1,19 26 29 1,00 1,12

Juni 2011 27 33 1,00 1,22 23 27 1,00 1,17

Total 85 94 1,00 1,11 78 88 1,00 1,13

Pada Tabel 6, memperlihatkan jumlah bulu babi yang didapatkan

antara jantan dan betina adalah tidak seimbang pada setiap waktu

pengambilan sampel. Pada habitat karang, nisbah kelamin bulu babi jantan

dan betina adalah 1,00 : 1,11. Hasil uji chi-square, didapatkan nilai X2 hitung

adalah 0,640, sedangkan nilai X2 tabel (0,05) sebesar 5,99 (Lampiran 2).

Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa nisbah kelamin antara

Page 74: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

124

bulu babi jantan dan betina tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan

(=0,05).

Pada habitat lamun, perbedaan antara nisbah kelamin jantan dan

betina adalah 1,00 : 1,13. Hasil uji chi-square, didapatkan nilai X2 hitung

adalah 0.029, sedangkan nilai X2 tabel sebesar 5,99 (Lampiran 2).

Berdasarkan hasi l tersebut diketahui bahwa nisbah kelamin bulu babi jantan

dan betina juga tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan (=0,05).

Nisbah kelamin antara jantan dan betina pada kedua habitat tersebut

memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata karena struktur demografi

bulu babi yang seimbang. Faktor lain yang menyebabkan perbedaan nisbah

kelamin antara jantan dan betina, diduga sebagai kecenderungan tingkah

laku bulu babi yang hidup berkelompok yang mencerminkan adanya respon

pertahanan diri dari gangguan musuh alami, laju kematian alami karena alam

dan predasi, adanya perbedaan pertumbuhan antara bulu babi jantan dan

betina. Hal ini ditandai dengan fenomena lebih banyaknya individu bulu babi

betina dibandingkan individu jantan yang ditemukan pada kedua habitat

tersebut.

Muthiga (2007) menyatakan meskipun bulu babi menunjukkan

beberapa perbedaan seksual eksternal termasuk perbedaan dalam ukuran

kelamin papila, karakteristik seksual eksternal telah ditemukan pada genus

Diadema. Hal ini diharapkan terutama bahwa populasi Diadema memiliki

Page 75: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

125

seks rasio 1 : 1, tetapi sedikit data yang tersedia untuk memverifikasi dugaan

ini. Muthiga dan McClanahan (2007) melaporkan bahwa populasi D. savignyi

dan D. setosum di perairan Kanamai Kenya memiliki seks rasio yang

seimbang antara jantan dan betina (1 : 1), sedangkan Hori et al, (1987)

menemukan seks rasio antara bulu babi jantan dan betina pada D. setosum

(1 : 0.7) dari total 487 individu yang ditemukan di perairan Singapura.

Menurut Effendi (2003), penyimpangan nisbah kelamin dapat terjadi

antara lain diduga sebagai akibat perbedaan pola tingkah laku bergerombol,

perbedaan laju mortalitas, dan pertumbuhan antara individu jantan dan

betina.

C. Tingkat Kematangan Gonad

Jenis kelamin pada bulu babi D.setosum umumnya terpisah atau

dioecius. Penentuan jenis kelaminnya sulit dilakukan baik secara eksternal

maupun internal, karena seringkali ditemukan pada satu tahapan gonad

jantan dan betina cenderung memiliki warna yang sama.

Tingkat kematangan gonad suatu organisme dapat ditentukan dengan

pengamatan gonad secara morfologi maupun histologi (Effendie, 1997).

Secara morfologi (makroskopis), gonad bulu babi memberikan kenampakan

warna dan teksturnya. Warna gonad bulu babi D. setosum yang ditemukan

dalam penelitian ini bervariasi dari coklat muda, coklat tua (gelap), kuning

Page 76: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

126

kehijauan, kuning jeruk (orange), kuning tua, kuning muda (krem) dan

transparan/ bening (Gambar 7) .

Jantan Betina

Gambar 7. Morfologi gonad jantan (A,C,E,G,I) dan betina (B,D,F,H,J) pada setiap TKG I - V

A

F E

D C

B

G H

J I

Gonad

Gonad

Gonad

Gonad

Gonad

TKG I

TKG II

TKG III

TKG IV

TKG V

Page 77: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

127

Variasi warna ini diduga berkaitan dengan jenis kelamin dan tingkat

perkembangan gametogenesis. Tekstur gonad bervariasi dari padat

(kompak) sampai lunak dan berlendir. Kondisi gonad matang (mature)

memberikan kenampakan tekstur lunak berlendir, hal ini sesuai dengan

Kobayashi dan Nakamura (1967). Hubungan tekstur gonad dengan tingkat

gametogenesis juga diterangkan oleh Bernard (1977). Gonad dengan

tekstur padat (kompak) ditemukan pada fase pemulihan (recovery), dan

kondisinya menurun (melunak) sepanjang proses pematangan gamet.

Proses gametogenesis dapat berlangsung terus sepanjang tahun baik

pada individu jantan maupun betina. Di dalam satu gonad dapat terjadi

berbagai tahapan perkembangan gonad, untuk menggolongkannya kedalam

salah satu tahap perkembangan maka penentuan secara makroskopik yang

didasarkan pada variasi warna dan kenampakan tekstur gonad tidaklah

cukup akan tetapi setidaknya dapat membantu dalam membedakan jenis

kelamin. Karena itu perlu dilakukan analisa mikroskopik terhadap

perkembangan sel telur maupun sel sperma sehingga memperkuat analisa

terhadap kondisi gonad yang sebenarnya pada setiap tingkat kematangan

gonad.

Gambaran tingkat kematangan gonad atau TKG secara mikroskopik

didasarkan pada peta penutupan sel-sel gamet baik pada ovari maupun

testis. Selanjutnya penentuan TKG dari ovari dan testis mengikuti petunjuk

sebagaimana yang dikemukakan oleh Darsono (1986) dan Pearse (1970).

Page 78: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

128

B.1 Tingkat Kematangan Gonad Bulu Babi

(Diadema setosum) Jantan

Pengamatan TKG tidak cukup hanya dengan pengamatan morfologi,

tetapi harus didukung juga dengan pengamatan histologinya. Pengamatan

morfologi sering tidak sesuai dengan perkiraan sebelumnya mengenai

kondisi gonad yang sebenarnya. Namun setelah melalui pengamatan hasil

histologi yang dilakukan berulang-ulang pada kondisi gonad yang sama

secara morfologi, akhirnya dapat ditentukan berbagai tingkat kematangan

yang sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan

baik oleh Darsono (1986), Pearse (1970), Kobayashi dan Nakamura (1967),

Bernard (1977) dan Walker et al. (2007).

Berdasarkan hasil penelitian dan pengalaman mereka, maka dilakukan

serangkaian modifikasi sehingga dapat ditentukan berbagai tahapan

kematangan gonad yang bisa mewakili setiap perkembangan yang terjadi

sepanjang tahun pemijahan.

Tingkat kematangan gonad (TKG) I merupakan fase awal (I),

(developing virgin atau recovering spent). Secara morfologi, pada fase ini

sudah mulai terjadi pertumbuhan sel gamet sehingga jenis kelaminnya sudah

bisa terlihat dibawah mikroskop. Kenampakan warna gonad pada

“developing virgin” atau “recovering spent” adalah sama (coklat muda), hanya

terlihat bahwa folikel pada hal yang belakangan lebih besar dari yang

pertama (Gambar 7A).

Page 79: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

129

Gambar 8. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema setosum) pada TKG I. Sg = spermatogonium ; Sc = spermatosit ;

Og = oogonium ; Ozp = oosit primer ; NP = Nutrisi phagosit ; (Pembesaran 40x).

Gambar 9. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema

setosum) pada TKG II. Sg = spermatogonium ; Sc = spermatosit ; Ct = connective tissue ; Og = oogonium ; Ozp = oosit primer ;

Os = oozit sekunder ; NP = Nutrisi phagosit ; Df = dinding folikel ; L = Lumen (Pembesaran 40x).

Ct

Os

NP

L

Df

Sg Sc

Og

Ozp

NP

Sg

Sc

Page 80: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

130

Gambar 10. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema setosum) pada TKG III. Sc = spermatosit ; St = spermatid ; Sp

= spermatozoa ; Ozp = oosit primer ; Os = oozit sekunder ; NP = Nutrisi phagosit (Pembesaran 40x).

Gambar 11. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema

setosum) pada TKG IV. St = spermatid ; Sp = spermatozoa ; Df = Dinding folikel ; Oz = oosit ; Ov = ova ; NP = Nutrisi phagosit ; L = Lumen ; N = Inti sel (Pembesaran 40x)

Ov

Oz

Df

Os

NP

NP

L

N

Page 81: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

131

Gambar 12. Histologi testis (kiri) dan ovari (kanan) bulu babi (Diadema setosum) pada TKG V. St = spermatid ; Sp = spermatozoa ;

Og = oogonium ; Oz = oosit ; NP = Nutrisi phagosit ; Ct = connective tissue (Pembesaran 40x).

Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopik terlihat bahwa secara

histologi, pada developing virgin dan recovering spent berbeda dimensinya.

Yang pertama nampak lebih kecil dan warnanya masih keputih-putihan

(whitish), sedangkan pada recovering spent gonad berwarna coklat

kemerahan (reddish brown).

Secara histologi, pada jantan ditandai dengan adanya sejumlah

spermatogonium dan spermatosit yang terdapat pada dinding folikel di

sepanjang periphery lumen. Spermatosit dengan spermatogonium dapat

dibedakan, dimana ukuran spermatosit lebih kecil dan kurang menyerap

warna haematoxylin dibanding spermatogonium. Pada tahapan ini aktifitas

spermatogenesis masih berlangsung sangat rendah (Gambar 8).

Ct

Ct

Page 82: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

132

Pengamatan gonad pada tahap pemulihan ini, ditandai dengan gonad

pada lumen yang mulai diisi oleh sel-sel nutrisi fagosit (Martinez-Pita et al.,

2008).

Tingkat kematangan gonad (TKG) II merupakan fase tumbuh

(Growing), secara morfologi terlihat gonad jantan pada tingkatan ini, tidak

menampakkan perbedaan dengan gonad betina secara visual. Dimana

didapati gonad berwarna sama yaitu coklat kemerahan (reddish brown)

(Gambar 7C).

Secara histologi, pada jantan proses spermatogenesis terlihat lebih

nyata, dimana produksi dari spermatosit dan spermatogonium berkembang

dengan cepat sepanjang folikel periferi hal ini diduga akibat mulai

terserapnya nutrisi fagosit oleh sel gamet. Pada Irisan folikel memperlihatkan

adanya sejumlah gamet, dan tidak ditemukan spermatozoa dalam lumen

(Gambar 9).

Hal ini sejalan dengan pendapat Martinez-Pita et al., (2008) bahwa

proses gametogenesis mulai berlangsung aktif, ditandai dengan hadirnya

sekelompok spermatogonium pada folikel periferi.

Tingkat kematangan gonad (TKG) III merupakan fase matang awal

(Pre-mature). Secara morfologi, pada gonad jantan tumbuh dan bertambah

besar dimensinya dibanding dengan pada fase II. Secara kasar pada fase ini

dengan jelas dapat dibedakan gonad jantan dengan gonad betina

berdasarkan perbedaan warna. Gonad jantan umumnya didapati berwarna

Page 83: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

133

coklat kekuningan (yellowish brown) dan coklat kemerahan (reddish brown)

(Gambar 7E).

Pada gonad jantan, secara histologi proses spermatogenesis

kegiatannya semakin aktif. Ditandai dengan spermatosit dan spermatid yang

meningkat dalam jumlah, dan beberapa spermatozoa mulai mengisi bagian

lumen folikel secara sentripetal. Adanya sekelompok kecil spermatozoa telah

mengisi pusat folikel. Kelompok ini diperkirakan terdiri dari sel-sel yang

terbentuk paling awal. Pada fase inilah proses kematangan gonad

sebenarnya terjadi sehingga disebut dengan gonad jantan yang matang awal

(Gambar 10).

Proses pematangan awal ditandai dengan kehadiran spermatosit dan

spermatid dalam lumen meningkat, dan juga spermatozoa mulai ada di

tengah lumen folikel (Martinez-Pita et al., 2008).

Tingkat kematangan gonad (TKG) IV merupakan fase matang

(mature), secara morfologi gonad jantan berwarna coklat tua, pada fase ini

telah mencapai puncak perkembangan kedewasaannya, dan memperlihatkan

gonad dengan ukuran dan volume maksimum, dimana seluruh ruang luman

terisi oleh sperma (Gambar 7G).

Secara histologi, pada tahapan ini perkembangan spermatogenesis

telah mencapai spermatozoa matang. Pada dinding folikel tetap berlangsung

proses awal spermatogenesis. Seluruh ruang lumen folikel terisi penuh oleh

spermatozoa (Gambar 11).

Page 84: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

134

Martinez-Pita et al, (2008) menyatakan bahwa telur yang matang

(sperm) terbentuk oleh spermatozoa yang hadir di tengah dinding folikel dan

tidak ditemukan lagi nutrisi fagosit atau hanya terbatas pada folikel periferi.

Tingkat kematangan gonad (TKG) V merupakan fase pijah (spent),

secara morfologi gonad berwarna coklat keputihan, kenampakan gonadnya

mulai mengecil baik ukuran dan volumenya, sehingga lumen mulai nampak

kosong (Gambar 7I).

Secara histologi, perubahan histologis yang jelas adalah berkurangnya

spermatozoa sehingga lumen nampak kosong atau terlihat sisa-sisa sperma.

Keadaan yang terjadi berikutnya adalah identik dengan pada folikel betina

(Gambar 12).

Testis yang telah memijah berkurang volumenya tanpa adanya

pembentukan sel gamet dan sel-sel nutrisi fagosit di sekitar folikel periferi

(Martinez-Pita et al., 2008).

Page 85: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

135

Tabel 7. Tingkat kematangan gonad (TKG) secara morfologi dan histologi

bulu babi (Diadema setosum) jantan

TKG Morfologi Histologi

0 - Tidak ditemukan gonad pada permukaan lobus

- Tidak teramati

I - Terjadi pertumbuhan sel-sel gamet

- Volume gonad masih sedikit, ditandai permukaan lobus yang masih kosong

- Gonad berwarna coklat keputihan (coklat muda) (Gambar 7A)

- Aktifitas spermatogenesis berlangsung

sangat rendah - Pada dinding folikel mulai terlihat

spermatogonium dan spermatosit

- Spermatosit dan spermatogonium dapat dibedakan. Ukuran spermatosit lebih kecil dan kurang menyerap warna

haematoxylin (Gambar 8)

II - Secara visual gonadnya juga tidak berbeda jauh dengan fase I

- Volume gonad pada lobus sedikit

mulai bertambah - Warna gonad coklat kemerahan

(Coklat muda) (Gambar 7C)

- Proses spermatogenesis terlihat nyata - Spermatosit dan spermatogonium

berkembang cepat pada folikel periferi

- Sejumlah lapisan gamet terlihat pada irisan folikel jantan

- Spermatozoa tdk ditemukan dalam lumen

(Gambar 9)

III - Dimensi gonadnya mulai bertambah besar dibanding fase II

- Permukaan lobus mulai terisi oleh

sel sperma - Tidak terjadi perubahan warna

gonad masih coklat kemerahan(Gambar 7E)

- Proses spermatogenesis semakin aktif - Spermatosit dan spermatogonium terlihat

meningkat dalam jumlah dan ukuran

- Spermatozoa mulai mengisi lumen folikel - Adanya sekelompok kecil spermatozoa

yang telah mengisi pusat folikel (Gambar 10)

IV - Gonad telah mencapai

perkembangan dalam ukuran dan volume yang maksimum

- Seluruh lobus terisi sel sperma

- Warna gonad coklat tua pekat (Gambar 7G)

- Spermatozoa telah matang

- Pada dinding folikel tetap berlangsung proses awal spermatogenesis

- Ruang lumen folikel terisi penuh oleh

spermatozoa (Gambar 11)

V Ukuran dan volume gonad mulai berkurang, ditandai dengan

permukaan lobus mulai kosong - Warna gonad coklat muram - Perubahan ini akibat sel telurnya

terserap oleh nutrisi fagosit (Gambar 7 I)

- Perubahan histologis jelas dengan berkurangnya spermatozoa sehingga

lumen nampak kosong - Terlihat sisa-sisa sperma pada lumen - Keadaan ini identik dengan pada betina

(Gambar 12)

Page 86: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

136

B.1 Tingkat Kematangan Gonad Bulu Babi

(Diadema setosum) Betina

Tingkat kematangan gonad (TKG) I merupakan fase awal (I),

(developing virgin atau recovering spent). Secara morfologi, perkembangan

gonad betina pada fase ini terjadi juga pertumbuhan sel-sel gamet, sehingga

jenis kelaminnya sudah bisa dilihat dibawah mikroskop. Terlihat kenampakan

warna gonad pada developing virgin dan recovering spent adalah sama yaitu

warna coklat keputihan (Gambar 7B).

Pada tahap ini, ovari memperlihatkan sel telur mulai berkembang. Hal

ini dicirikan dengan folikel yang mengandung oogonia dan oosit muda (oosit

belum matang berdiameter 5 µ) yang berproliferasi, memenuhi sepanjang

bagian dalam lapisan germinal pada dinding folikel serta adanya sedikit oosit

matang berdiameter 15 µ. Dinding folikel sebagian besar dikelilingi oleh oosit

primer yang berbentuk seperti gelondong bola, beberapa diantaranya

mengelilingi inti (nukleus) sebagai lapisan tipis. Pada tahap ini juga tampak

penghubung oosit mulai mengisi lumen dengan inti relatif besar (Gambar 8).

Pemulihan gonad dengan ketebalan maksimum lapisan nutrisi.

Pembentukan ovum ini adalah longgar dengan ruang yang ditinggalkan oleh

ovum yang akan memijah. Dinding folikel hampir tanpa sel dan sangat tipis

(Martinez-Pita et al., 2008)

Tingkat kematangan gonad (TKG) II merupakan fase tumbuh

(Growing), secara morfologi terlihat gonad betina pada fase ini, tidak

Page 87: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

137

menampakkan perbedaan warna dengan gonad jantan, dimana secara visual

ditemukan gonad berwarna coklat kemerahan (Gambar 7D).

Secara histologi, pada fase ini oogonia kecil yang jumlahnya sedikit

masih ditemukan pada folikel periferi. Beberapa oosit muda yang telah

mengalami perkembangan oleh asupan nutrisi fagosit mulai mengisi ke arah

bagian tengah dinding folikel, demikian juga dengan sebagian kecil oosit

primer (diameter 40 – 60 µ). Perkembangan ovari pada fase ini sejalan

dengan pertumbuhan oosit sekunder dalam jaringan sel (Gambar 9).

Pada fase ini, terjadi peningkatan vitellogenesis dalam ukuran pada

oosit primer. Oosit muda masih tetap melekat atau menempel pada dinding

folikel dan dikelilingi oleh nutrisi fagosit (Martinez-Pita et al., 2008).

Tingkat kematangan gonad (TKG) III merupakan fase matang awal

(Pre-mature). Secara morfologi, gonad betina juga tumbuh dan bertambah

besar dimensinya dibanding pada fase II. Gonad betina pada fase ini

umumnya berwarna kuning muda (yellow whitish) atau putih krem (creamy

white) (Gambar 7F).

Pada fase ini, proses oogonesis berlangsung lebih aktif lagi, hal ini

ditandai dengan perkembangan cepat dari ukuran oosit (diameter 40 – 80 µ).

Sejumlah oosit besar yang berbentuk bulat memanjang mengisi lumen dari

folikel. Telur matang (ova) yang terlepas dari dinding folikel, selanjutnya

akan tumbuh hingga mencapai ukuran yang lebih besar. Folikel siap

Page 88: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

138

menampung oosit primer, dan seterusnya oosit primer ini berkembang

menjadi oosit sekunder hingga mencapai ukuran maksimal (Gambar 10).

Proses pematangan awal dimulai dengan oosit primer yang lebih besar

dan mulai bermigrasi menuju pusat dinding ascinus menggantikan nutrisi

fagosit (Martinez-Pita et al., 2008).

Tingkat kematangan gonad (TKG) IV merupakan fase matang

(mature), secara morfologi, gonad betina pada fase ini mencapai puncak

perkembangan kedewasaannya dengan ukuran dan volume gonad yang

maksimum dan gonad berwarna oranye, dimana seluruh ruang luman terisi

oleh ovum (Gambar 7H).

Secara histologi, pada fase ini seluruh ruang lumen folikel dipenuhi

dengan ova (telur yang matang) dengan ukuran yang bervariasi (diameter 80

– 100 µ). Kadang-kadang pada dinding folikel juga terlihat oosit muda yang

baru. Ukuran ova ini tidak jauh berbeda dengan fase III, namun tampak ada

perubahan dalam hal kandungan sitoplasma, makin homogen dan telur lebih

menyerap warna haematoxylin (Gambar 11).

Pada tahapan ini, ovarium diisi dengan pembentukan ovum yang baik

dan lebih menyerap hematoxylin. Nutrisi fagosit membentuk lapisan tipis di

sepanjang dinding ascinal (Martinez-Pita et al., 2008).

Tingkat kematangan gonad (TKG) V merupakan fase pijah (spent),

secara morfologi gonad yang telah memijah berwarna putih susu,

Page 89: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

139

kenampakannya mulai mengecil baik ukuran dan volumenya, sehingga

ditemukan lumen nampak dalam keadaan kosong (Gambar 7J).

Secara histologi, pada fase ini biasanya ditandai dengan kosongnya

lumen dan tertinggalnya sisa ova, juga sel nutrisi fagosit. Pada dinding folikel

tampak lapisan tipis berupa serabut jaringan penunjang (connective tissue).

Sisa-sisa ova di dalam folikel diserap kembali oleh sel-sel fagosit, dan lumen

(ruang folikel) secara berangsur diisi oleh sel-sel nutritif. Oogonia dan oosit

muda kembali tumbuh dan keadaannya seperti pada fase I (Gambar 12).

Pada saluran ascini belum ada pembentukan gamet dan dinding

ascinal sangat tipis, namun baik lumen kosong atau diisi dengan nutrisi

fagosit. Oosit primer sangat keci l baik dalam jumlah atau tidak ada di

sepanjang dinding ovarium (Martinez-Pita et al., 2008).

Page 90: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

140

Tabel 8. Tingkat kematangan gonad (TKG) secara morfologi dan histologi

bulu babi (Diadema setosum) betina

TKG Morfologi Histologi

0 - Tidak ditemukan gonad pada lobus - Tidak bisa teramati

I - Sel telur mulai berkembang

- Volume gonad masih sedikit, ditandai dengan lobus yang masih kosong

- Gonad berwarna coklat keputihan

(coklat muda) (Gambar 7B)

- Sel telur mulai berkembang

- oogonia dan oosit belum matang menempel pada dinding folikel

- Dinding folikel dikelilingi oosit yang

berbentuk bulat atau bola - Sitoplasma mengelilingi inti (Gambar 8)

II - Secara visual pun tidak berubah - Volume gonad pada lobus mulai

bertambah - Warna gonad coklat kemerahan

(Coklat muda) (Gambar 7D)

- Adanya oogonia kecil pada dinding folikel

- Beberapa oosit muda mulai mengisi bagian tengah folikel

- Sejumlah oosit mulai berkembang

- Perkembangan telur sejalan dengan pertumbuhan oosit (Gambar 9)

III - Dimensi gonadnya mulai bertambah besar dibanding dengan fase II

- Permukaan lobus mulai terisi oleh sel telur (ovum)

- Terjadi perubahan warna gonad

menjadi warna kuning muda (krem) (Gambar 7F)

- Ukuran oosit bertambah - Oosit besar mengisi lumen folikel

- Pada folikel ovari terdapat oosit matang yang mengisi lumen folikel

- Folikel siap menampung oosit primer,

hingga mencapai ukuran maksimal (Gambar 10)

IV - Gonad telah mencapai perkembangan dalam ukaran dan volume maksimum

- Seluruh lobus terisi oleh sel ovum - Warna gonad kuning tua atau oranye

(Gambar 7H)

- Seluruh ruang lumen folikel terisi oosit matang

- Dinding folikel juga terlihat oosit muda

baru. Ukuran ovari tidak berbeda dengan tahap III, sitoplasma makin seragam dan menyerap haematoxylin

(Gambar 11)

V - Kenampakan gonad mulai mengecil dalam hal ukuran dan volume sudah, ini ditandai dengan perlahan-lahan

permukaan lobus kosong - Perubahan warna gonad dari oranye

menjadi putih susu

- Perubahan ini akibat sel telurnya terserap oleh sel nutrisi fagosit (Gambar 7J)

- Lumen kosongnya dan sisa ovari tertinggal.

- Pada dinding folikel tampak lapisan

berupa jaringan penunjang - Sisa ova diserap sel fagosit dan lumen

kembali diisi sel nutritif

- Oogonia dan oosit muda tumbuh kembali (Gambar 12)

Page 91: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

141

Perkembangan gonad selama penelitian untuk setiap waktu

pengambilan sampel pada kedua habitat, disajikan dalam bentuk grafik

histogram (Gambar 13 dan Lampiran 3).

Pada grafik terlihat bahwa pengambilan sampel keempat pada habitat

karang, persentase TKG 0 adalah 3,33% (1 ekor) dimana bulu babi berada

pada fase netral, dan merupakan satu-satunya fase netral yang ditemukan

selama penelitian, sedangkan persentase TKG I yang tertinggi (20,00%)

ditemukan pada pengambilan sampel pertama, dan persentase yang

terendah (6,67%) ditemukan pada pengambilan sampel kedua, keempat,

kelima dan keenam.

Nilai persentase TKG II yang teringgi (26,67%) berada pada

pengambilan sampel kedua, dan yang terendah (13,33%) pada pengambilan

sampel pertama. Pada TKG III, nilai persentase tertinggi (46,67%) ditemukan

pada pengambilan sampel kelima dan yang terendah (16,67%) pada

pengambilan sampel pertama.

Pada TKG IV, ni lai persentase tertinggi ditemukan berada pada

pengambilan sampel pertama (43,33%), dan terendah pada pengambilan

sampel kelima (23,33%), sedangkan untuk TKG V, nilai persentase tertinggi

(10,00%) ditemukan pada pengambilan sampel keempat, dan persentase

terendah (3,33%) pada pengambilan sampel keenam.

Secara keseluruhan, persentase TKG IV (fase mature) pada

pengambilan sampel pertama (43,33%) dan nilainya menurun pada

Page 92: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

142

pengambilan sampel kedua dan keenam (36,67%), yang merupakan fase

kematangan terbesar dan diduga sebagai puncak pematangan yang

ditemukan selama penelitian. Persentase dari kedua nilai tersebut

didapatkan pada saat pengambilan sampel ketika bulan purnama, bulan baru

maupun bulan gelap.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Stephenson (1934), Mortensen

(1973) dan Pearse (1986b, 1970) dalam Lawrence (2007) bahwa tidak

terdapat periodesitas bulan dalam reproduksi D. setosum. Namun hal ini

bertentangan dengan pernyataan Lawrence (2007) yang menyatakan bahwa

proses pematangan gonad D.setosum pada bulan purnama dapat selesai

dalam kurun waktu 1 - 2 bulan. Bulu babi D. setosum memijah pada saat

bulan purnama saja (Pearse, 1972 dan Yoshida, 1952 dalam Lawrence,

2007), sedangkan Kobayashi dan Nakamura (1967) dalam Lawrence (2007)

menemukan bahwa D.setosum selain memijah pada bulan purnama, juga

memijah pada saat bulan gelap.

Pada pengambilan sampel kelima, ditemukan persentase TKG III (fase

pre-mature) dengan ni lai (46,67%). Ini merupakan persentase terbesar

selama penelitian, karena pada saat itu pengambilan sampel dilakukan ketika

bulan purnama, dan diduga sebagai awal dimulainya proses pematangan

(maturation) pada pupulasi bulu babi yang hidup di perairan pantai

Jikumerasa, Kecamatan Namlea.

Page 93: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

143

Keadaan ini sering juga diamati oleh Czihak (1971) pada kelompok

bulu babi yang lain, dimana masa pematangan pada beberapa jenis bulu babi

berlangsung cukup lama. Pada jenis P. lividus misalnya, masa pematangan

berlangsung mulai bulan oktober sampai dengan bulan Mei. Pendapat yang

sama pula dikemukakan oleh Radjab (2001) dalam Reverberi (1971) bahwa

periode matang gonad biota bulu babi sangat panjang yaitu antara bulan

Oktober sampai bulan Mei bahkan bisa sampai sepanjang tahun.

Demikian juga dengan persentase kematangan gonad pada habitat

lamun, yang menunjukkan pola yang hampir mirip dengan habitat karang

(Gambar 13 dan Lampiran 3).

Pada grafik terlihat bahwa pada pengambilan sampel ketiga ditemukan

persentase TKG 0 adalah 6,25% (2 ekor) berada pada fase netral, dan

merupakan satu-satunya fase netral yang ditemukan selama penelitian,

sedangkan persentase TKG I yang tertinggi (23,33%) ditemukan pada

pengambilan sampel pertama, dan persentase yang terendah (8,00%)

ditemukan pada pengambilan sampel keempat.

Nilai persentase TKG II yang teringgi (32,00%) berada pada

pengambilan sampel keempat, dan yang terendah (16,00%) pada

pengambilan sampel keenam. Pada TKG III, nilai persentase tertinggi

(44,00%) ditemukan pada pengambilan sampel kelima dan yang terendah

(26,67%) pada pengambilan sampel pertama.

Page 94: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

144

Habitat Karang

Habitat Lamun

Gambar 13. Frekuensi relatif tingkat perkembangan gonad bulu babi

(Diadema setosum) selama penelitian pada habitat karang

(atas) dan habitat lamun (bawah) di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

Fre

kue

nsi

re

lati

f (%

)

Waktu pengamatan

TKG V

TKG IV

TKG III

TKG II

TKG I

TKG 0

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

Fre

kue

nsi

re

lati

f (%

)

Waktu pengamatan

TKG V

TKG IV

TKG III

TKG II

TKG I

TKG 0

Page 95: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

145

Pada TKG IV, ni lai persentase tertinggi (32,00%) ditemukan berada

pada pengambilan sampel keempat dan keenam, dan terendah (12,00%)

pada pengambilan sampel kelima. Untuk TKG V, ni lai persentase tertinggi

(8,00%) ditemukan pada pengambilan sampel kelima dan keenam, dan

persentase terendah (3,33%) pada pengambilan sampel pertama dan kedua.

Persentase bulu babi yang berada pada fase matang, selalu

ditemukan pada setiap pengambilan sampel dengan nilai persentase yang

bervariasi (12,00 – 32,00%), dan juga untuk fase pijah yang ditemukan pada

setiap bulan atau waktu pengambilan sampel (3,33 – 8,00%). Hal ini

menandakan bahwa bulu babi di perairan ini memijah sepanjang bulan,

dengan periode pemijahan yang panjang.

Pelepasan gamet yang sedikit demi sedikit sepanjang waktu dalam

periode yang panjang diistilahkan dengan dribble spawning (Power et al,

2004 dalam Walker, 2007). Pemijahan dribble spawning ini diduga

merupakan strategi dalam memperpanjang waktu pemijahan dan

meningkatkan kesuksesan hasil reproduksinya.

Pada lampiran 3, terlihat bahwa komposisi tingkat kematangan gonad

pada setiap pengambilan sampel pada habitat karang dan lamun berbeda-

beda. Pada habitat karang, ni lai TKG 0 ditemukan pada pengambilan sampel

keempat (1 ekor), sedangkan pada habitat lamun TKG 0 ditemukan pada

pengambilan sampel ketiga (2 ekor).

Page 96: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

146

Untuk TKG I pada habitat karang, nilai tertinggi ditemukan pada

pengambilan sampel pertama (6 ekor), kemudian turun dan pada

pengambilan sampel ketiga naik kembali (4 ekor), dan selanjutnya

mengalami penurunan sampai pada pengambilan sampel keenam (2 ekor).

Pada habitat lamun, nilai TKG I tertinggi ditemukan pada juga pengambilan

sampel pertama (7 ekor), kemudian terus turun hingga pada pengambilan

sampel keempat (2 ekor) dan selanjutnya naik kembali pada pengambilan

sampel kelima dan keenam (3 dan 4 ekor).

Nilai TKG II tertinggi pada habitat karang ditemukan pada

pengambilan sampel kedua (8 ekor), kemudian turun pada pengambilan

sampel ketiga (6 ekor) atau kelima (5), dan kembali naik pada pengambilan

sampel keempat (7) atau keenam (6). Pada habitat lamun, nilai TKG II

tertinggi ditemukan pada pengambilan sampel pertama (9 ekor), dan terus

mengalami penurunan hingga pada pengambilan sampel ketiga (6 ekor),

setelah itu nilainya naik pada saat pengambilan sampel keempat (8 ekor),

dan kemudian nilainya kembali turun hingga pada pengambilan sampel

keenam (4 ekor).

Nilai TKG III pada habitat karang, pada saat pengambilan sampel

pertama (5 ekor) terus mengalami peningkatan hingga pada pengambilan

sampel kelima (14 ekor) kemudian turun pada pengambilan sampel keenam

(10 ekor). Kondisi yang sama pula dengan nilai TKG III pada habitat lamun,

dimana nilainya terus mengalami peningkatan hingga pengambilan sampel

Page 97: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

147

kelima (11 ekor), dan kemudian turun pada saat pengambilan sampel

keenam (7 ekor).

Keadaan sebaliknya dengan TKG IV, dimana nilai TKG IV saat

pengambilan sampel pertama (13 ekor) pada habitat karang, terus

mengalami penurunan hingga pada pengambilan sampel kelima (7 ekor), dan

kemudian nilainya naik saat pengambilan sampel keenam (11 ekor). Pada

habitat lamun, nilai TKG IV pada saat pengambilan sampel pertama (5 ekor)

terus mengalami peningkatan hingga pengambilan sampel keempat (8 ekor),

kemudian turun pada pengambilan sampel kelima (3 ekor), dan kembali naik

pada pengambilan sampel keenam (8 ekor).

Nilai TKG V pada habitat karang, mengalami peningkatan mulai dari

pengambilan sampel pertama (2 ekor) hingga pengambilan sampel keempat

(3 ekor), kemudian nilainya turun pada pengambilan sampel kelima (2 ekor)

dan keenam (1 ekor). Kondisi ini berbeda dengan nilai TKG V pada habitat

lamun, dimana nilainya terus mengalami peningkatan mulai dari pengambilan

sampel pertama (1 ekor) hingga pengambilan sampel keenam (2 ekor).

Perbedaan komposisi tingkat kematangan gonad pada setiap

pengambilan sampel selama penelitian di habitat karang dan lamun, hal ini

diduga disebabkan adanya kelimpahan makanan dan faktor lingkungan. Aziz

(1994) menyatakan bahwa sedikit banyaknya makanan yang tersedia di

perairan turut mempengaruhi energi yang tersimpan untuk proses

Page 98: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

148

gametogenesis, disamping itu juga akibat stress fisiologi dari pengaruh

lingkungan perairan di lokasi penelitian.

D. Indeks Kematangan Gonad

Kisaran indeks kematangan gonad bulu babi (D. setosum) jantan dan

betina di perairan Teluk Kayeli Kecamatan Namlea pada habitat karang dan

habitat lamun dapat dilihat pada Lampiran 4. Pada habitat karang, kisaran

nilai indeks kematangan gonad (IKG) bulu babi jantan dan betina adalah 0,18

- 18,30%. Pada TKG I, nilai IKG jantan berkisar antara 0,18 - 1,92%, TKG II

berkisar antara 0,51 - 8,77%, TKG III berkisar antara 3,01 - 13,93%, TKG IV

berkisar antara 3,87 - 16,67%, dan kisaran TKG V turun menjadi 2,95 -

10,95%.

Pada bulu babi betina, ni lai IKG juga bervariasi menurut

perkembangan gonadnya. TKG I berkisar antara 0,27 - 6,21%, TKG II

berkisar antara 0,87 - 8,10%, TKG III berkisar antara 1,78 - 6,57%, TKG IV

berkisar antara 3,31 - 17,17%, dan TKG V berkisar antara 4,32 - 18,30%.

Kisaran nilai indeks kematangan gonad (IKG) pada habitat lamun bulu

babi jantan dan betina adalah 0,24 - 16,02%. Pada TKG I, nilai IKG jantan

berkisar antara 0,24 - 4,07%, TKG II berkisar antara 0,66 - 3,35%, TKG III

berkisar antara 1,47 - 13,57%, TKG IV mengalami penurunan berkisar antara

2,61 - 10,06%, dan TKG V juga ikut turun berkisar antara 4,57 - 9,84%.

Page 99: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

149

Pada bulu babi betina, nilai IKG bervariasi menurut tingkat

perkembangan gonadnya. TKG I berkisar antara 0,81 - 4,87%, TKG II

berkisar antara 0,54 - 6,20%, TKG III berkisar antara 0,91 - 5,48%, TKG IV

berkisar antara 3,65 - 16,02%, dan TKG V turun menjadi 4,86 - 14,56%.

Terlihat juga pada lampiran 5, nilai IKG sampai dengan TKG IV

mencapai nilai maksimum baik untuk bulu babi jantan maupun betina pada

kedua habitat, dan dapat dikatakan gonad telah siap untuk dipijahkan.

Setelah dikeluarkan, pada TKG V (Fase pijah), nilai IKG mengalami

penurunan, dimana hanya terdapat sisa-sisa gonad di dalam jaringan dan

didapatkan nilai IKG yang rendah.

Nilai IKG rata-rata untuk setiap pengambilan sampel pada habitat

karang, baik bulu babi jantan maupun betina menunjukkan pola yang mirip.

Pada grafik terlihat nilai IKG pada pengambilan sampel kedua mencapai nilai

maksimum yaitu masing-masing dengan nilai 6,73% dan 7,45%, setelah itu

mengalami penurunan pada saat puncak pemijahan (pengambilan sampel

ketiga sampai keempat), setelah itu turun lagi hingga mencapai nilai 4,31%

untuk bulu babi jantan dan 5,63% untuk bulu babi betina pada saat

pengambilan sampel keenam (Gambar 14 dan Lampiran 4).

Pada habitat lamun, nilai IKG rata-rata setiap pengambilan sampel

bulu babi jantan maupun betina, juga memperlihatkan pola grafik yang

hampir sama. Pada pengambilan sampel sebelumnya (pengambilan sampel

pertama dan kedua), nilai IKG bulu babi jantan mencapai nilai maksimum

Page 100: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

150

saat pengambilan sampel ketiga sebesar 5,07%, sedangkan nilai IKG bulu

babi betina mencapai nilai maksimum saat pengambilan sampel keempat

sebesar 5,69%. Nilai IKG bulu babi jantan maupun betina akan turun pada

saat pengambilan sampel kelima dan keenam, dengan nilai masing-masing

2,31% dan 3,13% (Gambar 14 dan Lampiran 4).

Penurunan nilai IKG ini umumnya terjadi pada fase pijah seiring

dengan terjadinya proses pemijahan. Meskipun begitu, pengaruh pasang

surut dan ketersediaan makanan dapat mengubah ketiadaan pengaruh dari

periodesitas bulan terhadap proses pematangan gonad D. setosum menjadi

matang (Pearse, 1975 dalam Coppard and Campbel, 2005). Pengaruh letak

geografis juga dapat mempengaruhi proses ini, dimana semakin jauh dari

ekuator maka siklus reproduksi umumnya semakin menunjukkan sinkronisasi

(Muthiga and McClanahan, 2007).

Hal ini juga sejalan dengan yang dikemukakan oleh Radjab (2001)

bahwa faktor fisik air sangat berpengaruh terhadap potensial pemijahan

seperti kisaran suhu, salinitas, cahaya dan arus, juga perubahan fisik

lingkungan seperti adanya pertambahan unsur hara dimana bulu babi

tersebut berada, yang banyak menyebabkan induk-induk bulu babi lebih

cepat untuk memijah.

Selama penelitian, secara keseluruhan ni lai IKG jantan yang

didapatkan pada habitat karang berjumlah 85 ekor sampel dengan ni lai IKG

berkisar antara 0,18 – 16,67%, sedangkan pada habitat lamun didapatkan

Page 101: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

151

IKG jantan berjumlah 78 ekor sampel dengan nilai IKG berkisar antara 0,24 –

13,57% (Lampiran 4).

Untuk IKG betina, pada habitat karang jumlah sampel yang didapatkan

yaitu 94 ekor sampel dengan nilai IKG berkisar antara 0,27 – 18,30%,

sedangkan pada habitat lamun jumlah sampel yang didapatkan yaitu 88 ekor

sampel dengan nilai IKG berkisar antara 0,54 – 16,02% (Lampiran 4).

Dengan melihat nilai IKG dan jumlah sampel yang ditemukan pada

kedua habitat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ni lai IKG jantan maupun

betina pada habitat karang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai IKG jantan

maupun betina pada habitat lamun, demikian pula dengan jumlah sampel

yang diperoleh selama penelitian.

Hasil analisis uji-T terhadap nilai (IKG) jantan dan betina antara habitat

karang dengan lamun didapatkan nilai t hitung > t tabel, dan memperlihatkan

hasil berbeda nyata pada taraf kepercayaan (=0,05) (Lampiran 13). Kondisi

ini sebagai akibat kehadiran populasi bulu babi betina yang ditemukan pada

habitat karang dan lamun lebih banyak dibanding bulu babi jantan, sehingga

nilai IKG betina lebih tinggi dari jantan. Tingginya nilai IKG ini, diduga karena

individu betina lebih banyak membutuhkan energi makanan untuk kegiatan

reproduksi kematangan gonadnya. Pearse dan Cameron (1991) menyatakan

bahwa kuantitas dan kualitas makanan mempengaruhi berat gonad bulu babi,

faktor-faktor gizi tidak mempengaruhi dimulainya proses gametogenesis.

Page 102: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

Habitat Karang

Habitat Lamun

Gambar 14. Persentase indeks kematangan gonad bulu babi (Diadema setosum) jantan dan betina pada habitat karang (atas) dan lamun (bawah)

E. Ukuran Pertama Kali Matang Gonad

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

IKG

(%)

Waktu Pengamatan

Jantan

betina

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

IKG

(%)

Waktu pengamatan

Jantan

Betina

Page 103: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

ii

Data morfometri dari ukuran cangkang dapat dipakai untuk menghitung

ukuran pertama kali matang gonad bulu babi D. setosum. Distribusi Populasi TKG

bulu babi jantan dan betina berdasarkan diameter cangkang dapat dilihat pada

Tabel 9. Hasil perhitungan ukuran pertama kali matang gonad dengan

menggunakan metode Spearmen-Karber juga dapat dilihat pada Lampiran 6.

Pada habitat karang, ukuran bulu babi jantan didapatkan berkisar antara

29,90 - 53,70 mm. Ukuran bulu babi betina berkisar antara 27,70 - 54,50 mm.

Bulu babi jantan yang matang gonad ditemukan pada ukuran terkecil yaitu 36,70

mm, sedangkan ukuran bulu babi betina terkecil yang matang ditemukan pada

ukuran 33,60 mm.

Pada habitat lamun, ukuran bulu babi jantan berkisar antara 27,60 - 64,30

mm. Bulu babi betina berukuran antara 29,40 – 63,60 mm. Ukuran bulu babi

jantan yang matang gonad ditemukan pada ukuran terkecil yaitu 39,90 mm, dan

selanjutnya bulu babi betina terkecil ditemukan matang pada ukuran 34,30 mm.

Menurut Radjab (2001) bahwa tidak ada perbedaan antara gonad jantan

dan betina bulu babi hingga ukuran cangkang mencapai 40 mm. Bulu babi marga

Diadema mencapai usia matang gonad secara seksual pada ukuran bervariasi

yaitu antara 3 – 6 cm. Diadema yang telah mencapai usia matang berwarna

orange, coklat tua, dan ungu gelap atau hampir hitam.

Tabel 9. Distribusi tingkat kematangan gonad bulu babi (Diadema setosum) jantan dan betina berdasarkan ukuran diameter cangkang pada habitat karang

dan lamun di perairan Teluk Kayeli, Kecamatan Namlea

Habitat karang

Page 104: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

iii

Kelas

diameter

(mm)

Jantan Betina

TKG Jumlah TKG Jumlah

I II III IV V I II III IV V

31,1 – 33,0 4 2 0 0 0 6 2 1 1 0 0 4

34,1 – 36,0 1 5 1 0 0 7 3 2 3 0 0 8

37,1 - 39,0 0 3 2 2 0 7 0 4 3 3 0 10

40,1 - 42,0 0 4 6 3 0 13 2 4 10 8 0 24

43,1 - 45,0 1 3 10 8 0 22 0 5 7 8 0 20

46,1 – 48,0 1 0 8 9 0 18 0 3 1 10 0 14

49,1 – 51,0 0 1 1 3 3 8 0 1 2 2 3 8

52,1 – 54,0 0 0 0 1 2 3 0 0 0 0 3 3

Total 7 18 28 26 5 84 7 20 27 31 6 91

Habitat lamun

Kelas

diameter

(mm)

Jantan Betina

TKG Jumlah TKG Jumlah

I II III IV V I II III IV V

31,1 – 33,0 2 0 0 0 0 2 1 0 0 0 0 1

34,1 – 36,0 2 1 0 0 0 3 7 3 1 0 0 11

37,1 - 39,0 6 4 0 1 0 11 1 2 1 0 0 4

40,1 - 42,0 0 5 2 2 0 9 1 1 4 3 0 9

43,1 - 45,0 1 6 4 3 0 14 0 2 7 3 0 12

46,1 – 48,0 1 3 8 6 0 18 0 8 14 6 0 28

49,1 – 51,0 0 2 5 4 0 11 0 2 3 3 1 9

52,1 – 54,0 0 1 1 2 1 5 0 0 1 3 3 7

Total 12 22 20 18 1 73 10 18 31 18 4 81

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode Spearmen-

Karber, maka diperoleh rata-rata ukuran pertama kali matang gonad pada bulu

babi jantan di habitat karang adalah 40,67 mm, dengan kisaran diameter cangkang

39,17 - 42,17 mm. Pada bulu babi betina, diperoleh rata-rata ukuran pertama kali

Page 105: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

iv

matang gonad adalah 39,94 mm, dengan kisaran diameter cangkang 38,11 - 41,86

mm (Lampiran 6).

Hasil perhitungan ukuran pertama kali matang gonad pada habitat lamun

dengan menggunakan metode yang sama, diperoleh rata-rata ukuran pertama kali

matang gonad pada bulu babi jantan adalah 44,68 mm, dengan kisaran diameter

cangkang 42,92 - 46,51 mm. Ukuran pertama kali matang gonad bulu babi betina

adalah 42,12 mm, dengan kisaran diameter cangkang 40,39 – 43,92 mm

(Lampiran 6).

Hasil penelitian ini bila dibandingkan dengan penelitian-penelitian

sebelumnya mengenai studi populasi Diadema tentang ukuran pertama kali

matang pada perairan lain, maka dapat dikatakan memperlihatkan hasil yang

hampir sama. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Tuwo (1998), dimana

sulit menduga tingkat kematangan gonad dari ukuran cangkang bulu babi karena

variasi ukuran cangkang yang besar. Awal kematangan gonad pada bulu babi

jenis T. gratilla dicapai pada ukuran cangkang 42,5 mm.

Suatu hal yang menarik yaitu bahwa individu dengan diameter cangkang

lebih kecil dari 40 mm ternyata gonadnya relatif belum berkembang. Bentuknya

sangat tipis, transparan (bening), dan berat gonadnya kurang dari 1 gram. Hal ini

ditemukan pada contoh bulan September 1986, pada individu dengan diameter

cangkang 32,10 - 33,50 mm. Sedangkan bulu babi T. gratilla yang berdiameter

lebih dari 40 mm, gonadnya tampak jelas dan bervariasi ketebalannya dengan

kisaran berat 1,0 - 26,5 gram. Berdasarkan kenyataan ini maka ukuran diameter

Page 106: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

v

cangkang 40 mm diduga merupakan ukuran kedewasaan pertama (size at first

maturity) dari bulu babi jenis D. setosum (Darsono dan Sukarno, 1993).

Data hasil perhitungan ukuran pertama kali matang gonad dengan

menggunakan metode Spearmen-Karber, memperlihatkan nilai ukuran pertama

kali matang gonad jantan (40,67 mm) maupun betina (39,94 mm) pada habitat

karang, lebih kecil dibandingkan dengan nilai ukuran pertama kali matang gonad

jantan (44,68 mm) maupun betina (42,12 mm) pada habitat lamun. Hal ini

menandakan bahwa bulu babi yang hidup di habitat karang, lebih cepat gonadnya

matang dibanding pada habitat lamun.

Terlihat jelas pada tabel 9, dimana populasi bulu babi jantan maupun betina

dengan ukuran diameter cangkang antara 40 – 42 mm, yang ditemukan pada

habitat karang (6 ekor jantan dan 10 ekor betina) lebih banyak dibanding habitat

lamun (2 ekor jantan dan 4 ekor betina) pada masing-masing TKG III, dan

merupakan ukuran awal matang gonad. Diduga juga faktor lingkungan seperti

ketersediaan makanan turut berpengaruh terhadap ukuran pertama matang

gonad. Menurut Lawrence (1987), faktor lain yang mempengaruhi gametogenesis

yaitu umur dan ukuran individu pada kematangan seksual serta jumlah gamet

yang dihasilkan. Gonad D. setosum yang ukurannya besar menunjukkan aktivitas

reproduksi kecil. Kurangnya makanan juga dapat mempengaruhi pertumbuhan

gonad, dan menghasilkan individu dengan ukuran gonad lebih kecil atau tidak ada

sama sekali.

Page 107: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

vi

Meskipun perubahan musiman menunjukkan ukuran dari beberapa bulu

babi terkait dengan perubahan dalam ketersediaan makanan, tidak ada perubahan

musiman yang ditunjukkan oleh D. setosum di Laut Merah atau pada terumbu

karang di Kenya (Pearse, 1970; Muthiga, 2003). Di pantai Kenya, ukuran

cangkang relatif D. savignyi meningkat ketika ukuran gonad mengecil, ini

menunjukkan terjadi pola makan musiman pada spesies ini (Muthiga, 2003).

Beberapa spesies Diadema juga menunjukkan variasi ukuran cangkang ketika

makanan terbatas, dimana ukuran rahang pada D. setosum dan D. antillarum

bertambah dengan berkurangnya ukuran cangkang.

Bulu babi jantan yang matang gonad lebih awal dari bulu babi betina

merupakan salah satu strategi reproduksi, dimana akan lebih banyak bulu babi

jantan yang membuahi telur dari bulu babi betina yang umumnya mempunyai

fekunditas yang lebih besar. Selain itu diduga juga sebagai adanya akumulasi

nutrien oleh keadaan kualitas dan berat telur yang sangat bergantung kepada

kepadatan populasi di lingkungan sekitarnya dan tersedianya cukup makanan di

alam (Darsono dalam Bernard, 1986).

F. Fekunditas

Fekunditas bulu babi (D. setosum) selama penelitian pada habitat karang

berkisar antara 356.282 – 2.089.714 butir, dengan diameter cangkang 36,70 –

54,50 mm, sedangkan fekunditas bulu babi pada habitat lamun berkisar antara

252.000 – 2.580.808 butir, dengan diameter cangkang 39,90 – 64,30 mm

(Lampiran 7).

Page 108: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

vii

Berdasarkan hasil perhitungan, jumlah telur yang dihasilkan cukup banyak.

Hal ini menunjukkan adanya pola pemijahan yang berkesinambungan pada

populasi bulu babi tersebut. Pearse dan Cameron, (1991) ; Pearse dan Philips,

(1968) menyatakan bahwa pola pemijahan berkesinambungan ini sering dijumpai

baik pada populasi Echinoidea. Kondisi seperti ini erat kaitannya dengan kondisi

lingkungan yang stabil terutama pada daerah tropis, yang memungkinkan berbagai

jenis organisme hidup dalam jumlah besar pada periode yang sama. Hal ini juga

mendorong setiap jenis bulu babi untuk beradaptasi dalam hal reproduksi agar

kelangsungan hidupnya tetap terjaga (Sumich, 1992).

Besarnya jumlah telur yang diproduksi sangat penting, karena hasi l dari

fertilisasi eksternal akan berkurang disebabkan adanya predasi, polusi, dan

tekanan faktor lingkungan lainnya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan

Tuwo (1998), bahwa kehadiran berbagai jenis (diversitas tinggi) pada suatu

ekosistem akan mendorong jenis organisme hidup di dalamnya untuk

menghasilkan telur dalam jumlah besar, dengan harapan agar ada beberapa

turunannya yang lolos dari pemangsaan atau kematian karena faktor lingkungan

lainnya (strategi reproduksi berpola “r”).

Tipe pemijahan ini merupakan salah satu strategi reproduksi, dimana gamet

tidak dilepaskan secara bersamaan (serempak), sebagaimana lazimnya dalam

suatu populasi. Jumlah telur yang dilepaskan dalam jumlah kecil dalam sekali

pemijahan, secara bertahap dalam waktu yang cukup panjang. Pemijahan

dilakukan berulang-ulang dalam beberapa minggu bahkan bulan, untuk

Page 109: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

viii

meningkatkan jumlah larva yang cukup dan dapat bertahan dalam populasi

tersebut (Tuwo, 1998).

Berdasarkan hasil perhitungan fekunditas total bulu babi (D. setosum)

selama penelitian, maka jumlah telur yang didapatkan pada habitat karang

(356.282 – 2.089.714 butir) lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah telur

yang didapatkan pada habitat lamun (252.000 – 2.580.808 butir), tetapi hal ini

bertolak belakang dengan jumlah sampel yang didapatkan pada habitat karang (89

ekor) justru lebih banyak dibandingkan dengan jumlah sampel yang didapatkan

pada habitat lamun (65 ekor) (Lampiran 7).

Bervariasianya jumlah sampel dan jumlah telur bulu babi yang didapatkan

pada kedua habitat tersebut, hal ini diduga sebagai akibat dari ketersediaan

makanan yang cukup dan habitat yang cocok untuk mendukung hidupnya bulu

babi. Hal ini sejalan dengan pendapat Aziz (1994) bahwa, bulu babi sebagai salah

satu biota penghuni padang lamun dan terumbu karang, kerap kali juga ditemukan

di daerah padang lamun campuran. Kondisi ini terutama disebabkan karena bulu

babi tergantung kepada berbagai jenis lamun dari marga Thalassia, syringodium,

Thalassodendron, dan Cymodocea. Selain itu bulu babi juga lebih menyukai

substrat yang agak keras, yang terdiri dari campuran pasir dan pecahan karang.

Hasil analisis uji-T terhadap fekunditas bulu babi (D. setosum) antara

habitat karang dengan lamun, didapatkan nilai t hitung (t Stat) lebih kecil dari nilai t

tabel (t Critical) atau t hit < t tabel, sehingga memperlihatkan hasil yang tidak

berbeda nyata pada taraf kepercayaan =0,05 (Lampiran 14). Hal ini disebabkan

Page 110: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

ix

karena fekunditas total bulu babi dari kedua habitat, memperlihatkan rata-rata

jumlah telur yang hampir sama sehingga potensi reproduksi bulu babi antara

kedua habitat juga sama.

G. Diameter Telur

Sebaran dari diameter telur bulu babi (D. setosum) disajikan dalam bentuk

grafik histogram (Gambar 15 dan 16). Pada gambar 15 (habitat karang), terlihat

bahwa kisaran diameter telur antara 6,40 – 101,40 µm pada TKG IV dan 6,20 –

101,40 µm pada TKG V. Pada TKG IV, frekuensi persentase terbesar (12,74%)

berada pada diameter telur dengan kisaran 25,01 – 30,00 µm. Selanjutnya pada

TKG V, frekuensi persentase terbesar (9,33%) dan berada pada diameter telur

dengan kisaran 30,01 – 35,00 µm.

Pada Gambar 16 (habitat lamun), kisaran diameter telur pada TKG IV

antara 7,40 – 101,40 µm dan pada TKG V diameter telur berkisar antara 12,70 –

101,40 µm. Frekuensi persentase terbesar (14,42%) juga pada TKG IV dengan

kisaran diameter telurnya 30,01 – 35,00 µm, kemudian pada TKG V persentase

terbesar (12,00%) dengan kisaran diameter yang sama.

Sebagian dari ukuran diameter telur diatas 30 µm, telurnya telah dipijahkan

dan ukuran dibawah 30 µm kemudian berkembang menjadi lebih besar dan

bertambah banyak. Variasi ukuran diameter telur yang besar, memperlihatkan

perkembangan telur yang tidak bersamaan matangnya. Telur-telur yang telah

matang, kemudian dipijahkan juga secara bertahap, sehingga dikatakan bulu babi

memiliki tipe pemijahan parsial (partially spawner).

Page 111: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

x

Berdasarkan hasil analisis uji-T terhadap diameter telur untuk TKG IV dan V

bulu babi (D. setosum) antara habitat karang dengan lamun, maka didapatkan nilai

t hit < t tabel, sehingga memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata yang diuji

pada masing-masing taraf kepercayaan =0,05 (Lampiran 15). Hal ini juga bisa

dilihat pada kisaran diameter telur untuk TKG IV maupun V, dengan persentase

terbesar kisaran diameter telur yang hampir sama pada kedua habitat, dan berada

pada ukuran kelas diameter dengan kisaran 25,01 – 45,00 µm (Lampiran 8).

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

Fre

kuen

si (%

)

Diameter telur (µm)

Page 112: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

xi

Gambar 15. Distribusi diameter telur bulu babi (Diadema setosum) pada TKG IV (atas) dan TKG V (bawah) pada habitat karang di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

9.00

10.00

Fre

kuen

si (%

)

Diameter telur (µm)

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

16.00

Fre

kue

nsi

(%)

Diameter telur (µ)

Page 113: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

xii

Gambar 16. Distribusi diameter telur bulu babi (Diadema setosum) pada TKG IV

(atas) dan TKG V (bawah) pada habitat lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea

H. Aspek Pendukung Lingkungan

Hasil pengukuran kualitas air berupa suhu dan salinitas disajikan pada

Gambar 17,18 dan Lampiran 9. Pada grafik dibawah ini, terlihat bahwa suhu pada

habitat karang dan habitat lamun berada pada kisaran yang hampir sama (29,5 –

320C), sedangkan kisaran salinitas antara kedua habitat sedikit berbeda. Pada

habitat karang didapatkan salinitas yang agak rendah dengan kisaran antara 25 –

28o/oo, dan habitat lamun dengan kisaran salinitas 31 – 34o/oo.

Pada habitat karang, suhu perairan yang didapatkan pada pengamatan

kedua cukup tinggi yaitu 320C, kemudian pada pengamatan-pengamatan

berikutnya mengalami penurunan suhu, dimana suhu yang rendah (29,50C)

didapatkan pada pengamatan kelima. Pada habitat lamun, suhu tertinggi

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

Fre

kuen

si (%

)

Diameter telur (µ)

Page 114: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

xiii

didapatkan pada pengamatan ketiga dengan nilai 310C, dan suhu rendah

didapatkan pada saat pengamatan kedua (29,50C). Diduga perubahan suhu inilah

yang memicu terjadinya pemijahan bulu babi (D. setosum) pada lokasi tersebut.

Ketika terjadi perubahan musim, dimana suhu perairan turun dan menjadi hangat,

akan memicu terjadinya pemijahan (Walker et al., 2006). Hal yang sama juga

dikemukakan oleh Pearse (1970), di daerah tropis dimana suhu air laut diatas

250C menungkinkan bulu babi (D. setosum) memijah sepanjang tahun.

Suhu merupakan salah satu faktor kunci yang berpengaruh pada siklus

reproduksi, dimana suhu yang tinggi sangat diperlukan untuk pematangan dan

pemijahan. Demikian juga menurut Chen dan Chang (1981) dalam Lawrence

(2007) menyatakan bahwa variasi reproduksi yang terjadi pada bulu babi secara

geografis dipengaruhi oleh perbedaan suhu.

Invertebrata yang hidup di daerah tropis dapat memijah sepanjang tahun.

Hal yang mempengaruhi pemijahan adalah suhu dan tersedianya makanan yang

cukup. Bagi bulu babi jenis D. setosum, suhu 250C merupakan suhu yang kritis.

Artinya di bawah suhu ini aktifitas reproduksi akan terhambat dan di atas suhu

250C Diadema setosum dapat memijah sepanjang tahun (Sugiarto dan Supardi,

1995). Namun pengaruh suhu umumnya lebih berdampak pada organisme

dewasa.

Page 115: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

xiv

Gambar 17. Fluktuasi suhu selama penelitian pada habitat karang dan lamun di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea

Selama penelitian, salinitas perairan pada kedua habitat berkisar antara 24

– 34o/oo (Gambar 18 dan Lampiran 9). Pada habitat karang, salintas yang

didapatkan agak rendah dengan kisaran antara 24 – 28o/oo, dimana salinitas

terendah didapatkan pada pengamatan kedua dan ketiga, dan salinitas tertinggi

(28o/oo) pada pengamatan keenam. Rendahnya salinitas pada habitat karang ini,

diduga sebagai akibat adanya pengaruh air tawar yang berasal dari telaga/danau

di sekitar lokasi penelitian. Pada habitat lamun, didapatkan salinitas dengan

kisaran 31 – 34o/oo, salinitas terendah (31o/oo) pada pengamatan keempat, dan

salinitas tertinggi (34o/oo) pada pengamatan keenam. Tingginya salinitas pada

habitat lamun ini, karena lokasi penelitian ini berhubungan langsung dengan

perairan laut.

28

28.5

29

29.5

30

30.5

31

31.5

32

32.5

Suh

u

Waktu pengamatan

Habitat Karang

Habitat Lamun

Page 116: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

xv

Gambar 18. Fluktuasi salinitas selama penelitian pada habitat karang dan lamun

di perairan teluk Kayeli, Kecamatan namlea Salinitas juga merupakan salah faktor penting yang dapat mengontrol siklus

reproduksi dalam hal pembentukan gametogenik pada bulu babi. Kinne (1964)

dalam Aziz (1987) menyatakan bahwa suhu dapat mempengaruhi batas toleransi

biota laut terhadap salinitas, dan salinitas pun memiliki kombinasi efek yang sama

terhadap suhu. Namun belum didapatkan suatu pengaruh kombinasi suhu dan

salinitas terhadap kelompokan ekinodermata. Bulu babi jenis (D. setosum) ini

dapat ditemui mulai dari daerah intertidal sampai ke kedalaman 10 m dan

merupakan penghuni sejati laut dengan batas toleransi salinitas antara 30 - 34‰.

Selama peneli tian, pengambilan sampel dilakukan sebanyak dua kali dalam

sebulan, dengan mempertimbangkan siklus periode bulan pada masing-masing

stasiun penelitian. Siklus periode bulan ini sangat erat kaitannya dengan tingkat

perkembangan gonad bulu babi, saat pengamatan gonad sering ditemukan berat

dan volume gonad yang bervariasi.

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Sali

nit

as

Waktu pengamatan

Habitat Karang

Habitat Lamun

Page 117: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

xvi

Reproduksi bulu babi sangat menunjukkan keterkaitan dengan periode

bulan. Bulu babi Jenis D. setosum di daerah Fiji akan memijah pada saat bulan

baru (Coppard dan Campbel, 2005), sedangkan menurut Fox (1922) dan Randall

(1964) menyatakan bahwa D. setosum bereproduksi pada saat bulan penuh (bulan

purnama). Selain itu menurut Muthiga dan McClanahan (2007) mengatakan

Diadema setosum ada yang memijah pada bulan purnama (Yoshida, 1952;

Pearse, 1972), ada yang memijah pada bulan gelap (Kobayashi dan Nakamura,

1967) dan ada yang tidak menunjukkan periodesitas bulan (Stephenson, 1934;

Mortensen, 1937; Pearse, 1986).

Hasil pengukuran sedimen/substrat pada kedua habitat disajikan pada

Gambar 19 dan Lampiran 10. Berdasarkan hasil pengukuran sedimen (Lampiran

10), ukuran butir pada habitat karang berturut-turut : (2mm ; 3,029g), (1mm ;

5,164g), (0,50mm ; 7,064g), (0,25mm ; 22,090g), (0,125mm ; 24,795g), (0,063mm

; 35,090g) dan (<0,063mm ; 2,781g). Pada habitat lamun, ukuran butir berturut-

turut: (2mm ; 27,183g), (1mm ; 10,717g), (0,50mm ; 18,870g), (0,25mm ; 29,584g),

(0,125mm ; 12,202g), (0,063mm ; 1,280g) dan (<0,063mm ; 0,171g).

Bervariasinya ukuran butir pada kedua habitat ini diduga sebagai akibat

pengaruh kondisi oseanografi perairan dan karakteristik lingkungan dari habitat

yang dihuni bulu babi tersebut. Hal ini sejalan dengan Nybakken (1992), bahwa

ukuran partikel sedimen dari masing-masing perairan berbeda, pada perairan yang

arusnya kuat akan banyak ditemukan substrat berpasir karena partikel yang

Page 118: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

xvii

berukuran besar dapat mengendap lebih cepat, sedangkan partikel yang

berukuran kecil akan terbawa jauh oleh gerakan arus dan gelombang.

Analisa tipe substrat pada kedua habitat memperlihatkan tipe substrat yang

sama yaitu berpasir, dengan persentase liat, debu, dan pasir pada habitat karang

berturut-turut : 2% (liat), 14% (debu), dan 84% (pasir). Pada habitat lamun

persentasenya berturut-turut : 2% (liat), 20% (debu), dan 78% (pasir). Menurut

English, et al (1994) bahwa substrat/sedimen dasar suatu perairan cenderung

didominasi oleh partikel tertentu misalnya pasir, lumpur, batu atau kerikil dengan

persentase ukuran yang berbeda.

Kaitannya dengan kehadiran populasi bulu babi pada kedua habitat

tersebut, mengindikasikan bahwa bulu babi hidup pada habitat berpasir dan

pecahan karang, juga di daerah padang lamun campuran dan juga lebih menyukai

substrat yang agak keras, dimana substrat padang lamun campuran terdiri dari

campuran pasir dan pecahan karang (Aziz, 1994).

Page 119: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

xviii

(a)

(b)

Gambar 19. Segitiga tekstur pada habitat karang (Gambar a) dan habitat lamun

(gambar b) di perairan teluk Kayeli, Kecamatan Namlea

Page 120: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

xix

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perbandingan nisbah kelamin antara populasi bulu babi jantan dan betina

pada habitat karang adalah seimbang dengan populasi bulu babi pada

habitat lamun, sehingga struktur demografi populasi bulu babi antara kedua

habitat tersebut seimbang.

2. Awal kematangan gonad (fase pre-mature) dan sinkronisasi matangnya

gonad (fase mature) bulu babi (D. setosum) pada habitat karang dan lamun,

terjadi pada pengambilan sampel di bulan Juni 2011.

3. Sinkronisasi waktu dan puncak pemijahan bulu babi (D. setosum) jantan

maupun betina pada habitat karang dan lamun terjadi secara bersamaan

pada pengambilan sampel di bulan Mei 2011.

4. Ukuran pertama kali matang gonad bulu babi jantan dan betina pada habitat

lamun lebih besar dibandingkan dengan ukuran pertama kali matang gonad

pada habitat karang. Ini artinya, gonad bulu babi jantan dan betina di

habitat karang lebih cepat matang daripada di habitat lamun.

5. Potensi reproduksi bulu babi (D. setosum) pada habitat lamun lebih besar

dibanding habitat karang, fekunditas total bulu babi pada habitat lamun

berkisar 932.491 - 2.580.808 butir dengan diameter cangkang 51,40 – 51,90

Page 121: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

xx

mm, sedangkan fekunditas total bulu babi pada habitat karang berkisar

356.282 - 2.089.714 butir dengan diameter cangkang 48,10 – 48,90 mm.

6. Diameter telur TKG IV dan V bulu babi (D. setosum) antara habitat karang

dengan lamun tidak berbeda nyata, ukuran kelas diameter telur TKG IV dan

V berkisar 25,01 – 45,00 µm.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam tentang biologi reproduksi bulu

babi (D. setosum) di perairan teluk Kayeli.

2. Pentingnya suatu pengelolaan yang lestari dengan penutupan area pada

saat terjadinya puncak pemijahan dan pembatasan ukuran yang bisa

diambil.

3. Perlu dilakukan upaya pengelolaan terhadap eksploitasi bulu babi dengan

mengatur waktu pengambilan pada kondisi-kondisi tertentu yang

disesuaikan dengan musim puncak pemijahan sehingga stok bulu babi tetap

terjaga.

Page 122: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

xxi

DAFTAR PUSTAKA

Andy Omar, S. Bin. 2002. Biologi Reproduksi Cumi-cumi (Sephioteutis lessoniana Lesson, 1983). Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut

Pertanian Bogorr. 237 hal.

Andy Omar, S. Bin. 2009. Modul Praktikum Biologi Perikanan. Jurusan

Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas

Hasanuddin, Makassar. 168 hal.

Anonim. 2006. Saudara tua manusia tubuhnya berduri [online]. http://www.kompas.com/ver1/Iptek/0611/10/152724.htm 3 Mei 2007.

Anonim. 2007. Bulu babi [online]. www.pipp.dkp.go.id/pipp2/species. html? idkat = 12&idsp =259. 22 April 2007.

Anonim. 2011. Maps. Google earth. http://www.maps. Google earth.co.id/ htm. Download tgl 21 Oktober 2011.

Aziz, A. 1987. Makanan dan cara makan berbagai jenis bulu babi. Oseana Vol XII, No. 4 Puslitbang Oseanologi – LIPI, Jakarta : 91 – 100.

Aziz, A. 1994. Beberapa catatan tentang perikanan bulu babi. Balai Penelitian

Biologi Laut. Puslitbang LIPI – Jakarta.

Aziz, A. 1995. Kematian massal bulu babi. Balai Penelitian dan Pengembangan biologi Laut. Puslitbang Oseanologi LIPI – Jakarta.

Azwandy, I dan M. H. Azkab. 2000. Hubungan fauna dengan padang lamun.

Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi LIPI – Jakarta.

Bernard, F.R. 1977. Fishery and reproductive cycle of the red sea urchin, Strongylocentrotus franciscanus, in British Columbia. J. Fish. Res. Board

Can. 34 : 604-610.

Brusca, R.C. and G.J. Brusca. 2006. Invertebrates. Sinaver Associates Inc. Publisher, USA.

Chen, G. 2009. A Comparative analysis of lipid and carotenoid composition on

the gonads of Anthocoides crassipina, Diadema setosum, and Salmacis sphaeroides. Departement of Biology, Hongkong Baptist. University Hongkong.

Page 123: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

xxii

Chiu, S.T. 1987. Effects of the sea urchin fishery on the population structure of Anthocidaris crassiispina (Echinodermata : Echinoidea) in Hongkong. In :

MACLEAN, DIZON, and HOSILLOS (eds.), The First Asian Fisheries Forum. Manila, Philippines : 361 – 366.

Clark, A.M. and F.W.E, Rowe. 1971. Monograph of shallow water Indo-west Pacific Echinoderms. London, Trustees of British Museum : 171-210.

Coppard, S.E., and A.C. Campbell. 2005. Lunar periodicities of diadematid

echinoids breeding in fiji. Coral reefs 24:324-332.

Czihak, G. 1971. Echinoids in experimental embryology of marine and fresh-water invertebrates (G. Reverberi ed). North-Holland Publishing Company

Amsterdam, London: 363 – 506.

Darsono, P. 1986. Gonad bulu babi. Oseana XI, Nomor 4 : 151 - 162.

Darsono, P dan A. Aziz. 1987. Umur dan pertumbuhan bulu babi Diadema setosum Leske di perairan terumbu karang gugus pulau Pari, Pulau-pulau

seribu. Jakarta : Puslitbang Oseanologi LIPI.

Darsono, P dan Sukarno. 1993. Beberapa aspek biologi bulu babi Tripneustes gratilla (Linnaeus), di Nusa Dua Bali. Puslitbang Oseanologi LIPI.

Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru. 2005. Survei Potensi Perikanan

Kabupaten Buru, Propinsi Maluku (Kerjasama dengan unpatti).

Edrus, I. N dan R. Andamari. 1998. Habitat, potensi dan struktur populasi bulu babi (Echinoidea) di padang lamun pulau-pulau Kei kecil Maluku Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ambon.

Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara.

Yogyakarta.

Effendie, M. I. 2003. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Agromedia. Bogor. 112 hal.

English, S., C. Wilkinson and V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine

Resource. Australian Institute of Marine Science. ASEAN-Australian Marine Science Project Living Coastal Resource.

Erdmann, A.M. 2004. Panduan Sejarah Ekologi Taman Nasional Komodo.

(online). Http://www.komodonationalpark.org/download/NatHist2 screen.pdf (download 5 agustus 2009).

Page 124: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

xxiii

Hori, R, V.P.E Phang and T.J. Lam. 1987. Preliminary study on the patten of gonadal development of the sea urchin Diadema setosum off the coast of

Singapore. Zool Sci 4 : 665-673.

Hutabarat, S dan S.M Evans. 2006. Pengantar Oseanografi. Cetakan kedua. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Kadir, N. A. 2009. Studi kualitas gonad bulu babi Colobocentrotus atratus, Tripneustes gratilla, dan Heterocentrotus trigonarius di perairan pantai Pasir

Panjang Pulau Sempu, Kab. Malang. Fakultas MIPA Biologi Universitas Negeri Malang. (Skripsi).

Kawamura, K. 1973. Fishery biological studies on a sea urchin,

Strongylocentrotus intermedius (A. Agassiz). Sci. Rep. Hokkaido Fish.Exp.Sta. 16:1-54.

Kobayashi, H and K. Nakamura. 1967. Spawning periodicity of sea urchin at

Seto.II. Diadema setosum. Publ. Seto. Mar. Biol.Lab. 15(3):1-20.

Kurnia, A. 2006. Meraup yen dengan memelihara bulu babi [online]. www.beritaiptek.com. 22 April 2007.

Lawrence, J.M. 1987. A functional biology of echinoderms. The John Hopkins

University Press, Baltimore.

Lawrence, J.M and Y. Agatsuma. 2007. Ecology of Tripneustes in John M. Lawrence. Edible Sea Urchin : Biology and Ecology. Second edition. Elsevier Scinece. Development in aquaculture and fisheries science.

Volume 37. USA : 499-520.

Martinez-Pita, I., A.I. Sanchez-Espana and F. J. Garcia. 2008. Gonadal growth and reproduction in the sea urchin Spaerechinus granularis (Lamarck 1816)

(Echinodermata : Echinoidea) in Southern Spain. Scientia Marina 72:603-611.

Muthiga, N.A. 2003. Coexistence and reproductive isolation of the sympatric echinoids Diadema savignyi (Michelin) and Diadema setosum (Leske) on

Kenya coral reefs. Mar Biol 143: 669–677.

Muthiga, N.A., and I.R. McClananan, 2007. Ecology of Diadema in John M. Lawrence. Edible Sea Urchin : Biology and Ecology. Elsevier Science.

USA : 205-226.

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta : Djambatan.

Page 125: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

xxiv

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Terjemahan M. Edman; Koesbiono; D.G. Bengen; M. Hutomo dan S. Sukardjo. PT

Gramedia. Jakarta.

Odum, E.P. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan: Samingan. Edisi Ketiga. Gajah Mada University Press. Jakarta.

Pearse, J.S. 1970. Reproductive periodicities of Indo-Pacific invertebrate in the Gulf of Suez. III. The Echinoid Diadema setosum (Leske). Bull Mar Sci 20 :

697-720.

Radiopoetro. 1991. Zoologi. Erlangga. Jakarta (617).

Radjab, A. W. 2001. Reproduksi dan siklus hidup bulu babi (Echinoidea). Oseana Vol-26 : 25-36.

Ratna, F D. 2002. Pengaruh Penambahan Gula dan Lama Fermentasi Terhadap

Mutu Pasta Fermentasi Gonad Bulu babi Diadema setosum dengan Lactobacillus plantarum sebagai Kultur Starter [skripsi]. Bogor : Departemen

Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Romimohtarto, K dan S Juwana. 2005. Biologi Laut (Ilmu Pengetahuan Tentang

Biota Laut). Cetakan ke-2- (ed. Rev). Penerbit Djambatan Jakarta.

Sloan, N.A. 1985. Echinoderm Fisheries of the World : a review. Proceed. Fifth Internat. Echinoderm Conference. Galway, 24 – 29 September 1984.

Sugiarto, H. dan Supardi. 1995. Beberapa catatan tentang bulu babi marga Diadema. Oseana Vol.20 : 35-41.

Sumich, J.L. 1992. An introduction to the biology of marine life. Wm. C. Brown

Publishers. 449p.

Tertschnig, W.P. 1989. Diel activity pattern and foraging dinamics of the sea urchin Tripneustes ventricosus in tropical seagrass community and reef

environment (Virgin Islands). Marine Ecology 10 (1) : 3 – 21.

Timotius, S. 2003. Biologi terumbu karang1 [online]. www.terangi.or.id/ publications/pdf/ biologikarang.pdf. 22 April 2007.

Tuwo, A. 1995. Studi pendahuluan aspek biologi bulu babi Diadema setosum dan

Tripneuses gratilla di kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Seminar Nasional Kelautan LIPI – UNHAS.

Page 126: KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI BULU BABI - Unhas

xxv

Tuwo, A. 1998. Pemijahan berkesinambungan pada populasi bulu babi jenis Diadema setosum. Seminar Nasional Kelautan LIPI – UNHAS ke – 11,

Ujung Pandang 24 – 27 Juni 1998 : 276 – 279.

Unuma T., T. Yamamoto, T. Akiyama, M. Shiraishi, H. Ohio. 2003. Quantitative changes in yolk protein and other component in the ovary and testis of the sea urchin Pseudocentrotus depressus. The Journal of Experimental

Biology 206 : 365-372.

Walker, C.W., T. Unuma, M.P. Lesser. 2007. Gametogenesis and reproduction of sea urchin in John M. Lawrence. Edible Sea Urchin : Biology and Ecology.

Elsevier Science USA : 11-33.

WIPO (World intelectual property organization). 2008. Production of sea urchin roe (onlines). http://www.wipo.int/pcdtb/en/wo.jsp?.

Yokes, B and B.S Galil. 2006. The first record of the needle-spined sea urchin

Diadema setosum. (Leske, 1978) (Echinoidea : Diadematidae) from the Mediteranean Sea. Aquatic invations 1:188-190.

Yoshida, M. 1952. Some observations on the maturation of the sea urchin, Diadema setosum. Annot. Zool Japan. 25(1&2):265-271.

Yusron, E. 2009. Keanekaragaman jenis ekhinodermata di perairan Teluk Kuta, Nusa Tenggara Barat. Bidang Penelitian Sumberdaya Laut. Puslitbang LIPI – Jakarta.

Zipcodezoo, 2011. Taxonomy of the Diadema setosum.

http://www.zipcodezoo.org,htm. Download tgl 21 Februari 2011.