22
Gaya Kepemimpinan Perempuan Bagi Efektivitas Organisasi Oleh: Sudarmo * Abstract It is argued that female leadership is more effective than male’s. This argument exaggerates general belief on the female superiority to male. An effective leader does not depend on femininity or masculinity but on the capacity of the leader to make collective actions and networks with other stakeholders rather than directive and assertive actions. In addition to the leader capacity, there are five main factors, including leader choice and placement, leadership training, incentive provision for the leader and subordinate’s achievement, organizational management for environment change, and technology that contribute to achieve organizational effectiveness. * Penulis adalah dosen pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Jurusan Ilmu Administrasi , Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , Universitas Sebelas Maret Surakarta. 1

Kepemimpinan wanita-final-ugm

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kepemimpinan wanita-final-ugm

Gaya Kepemimpinan Perempuan Bagi Efektivitas Organisasi

Oleh: Sudarmo*

Abstract

It is argued that female leadership is more effective than male’s. This argument exaggerates general belief on the female superiority to male. An effective leader does not depend on femininity or masculinity but on the capacity of the leader to make collective actions and networks with other stakeholders rather than directive and assertive actions. In addition to the leader capacity, there are five main factors, including leader choice and placement, leadership training, incentive provision for the leader and subordinate’s achievement, organizational management for environment change, and technology that contribute to achieve organizational effectiveness.

1. Pendahuluan

Kepemimpinan sering didefinisikan sebagai proses membuat orang lain terinspirasi

untuk bekerja keras dalam menyelenggarakan tugas-tugas penting (Schermerhorn, 1999).

Tetapi pengertian tersebut sering dikaitkan dengan dasar-dasar bagi kepemimpinan yang

efektif, yakni mendasarkannya pada cara seorang pemimpin atau manajer menggunakan

power untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Power merupakan kemampuan untuk

mempengaruhi orang-orang lain melakukan sesuatu seperti yang diinginkan oleh seseorang

yang menghendakinya (Kanter, 1979). Karena itulah seringkali kepemimpinan atau

leadership didefiniskan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kelompok untuk

mencapai tujuan-tujuan tertentu (Robbins, 1998). Dalam tulisan ini kepemimpinan lebih

difokuskan pada kepemimpinan manajerial dalam organisasi.

Tulisan ini bermaksud untuk menelaah kebenaran mengenai gaya kepemimpinan

perempuan yang diargumentasikan lebih efektif dibandingkan gaya kepemimpinan laki-

laki dalam menciptakan efektivitas organisasi. Untuk kepentingan ini penulis

memanfaatkan data dokumenter, terutama melalui tinjauan sejumlah literatur hasil

penelitian maupun dukungan teoritis yang berkenaaan dengan judul tulisan ini.

Argumen yang diajukan dalam tulisan ini adalah: memang ada kecenderungan

perbedaan dalam gaya kepemimpinan antara perempuan dan laki-laki karena sifatnya,

tetapi untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif sehubungan dengan tujuan organisasi

yang harus dicapainya, tidaklah cukup hanya karena sifat perempuan atau karakteristik

yang melekat pada dirinya, melainkan banyak faktor lainnya yang ikut mempengaruhinya.

Faktor-faktor lain yang harus dipertimbangkan bagi efektivitas organisasi mencakup:

* Penulis adalah dosen pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Jurusan Ilmu Administrasi , Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , Universitas Sebelas Maret Surakarta.

1

Page 2: Kepemimpinan wanita-final-ugm

pemilihan dan penempatan pemimpin, pendidikan kepemimpinan, pemberian imbalan pada

prestasi pemimpin dan bawahan, teknik pengelolaan organisasi untuk menghadapi

perubahan lingkungan, dan teknologi.

2. Faktor Biologis bagi Kepemimpinan

Tulisan Robbin (1998) melalui studi pustaka terhadap sejumlah literatur, pada

dasarnya masih mempertanyakan apakah perilaku seorang pemimpin dikarenakan adanya

hormon yang dikandung didalam tubuh dan otaknya. Akan tetapi, Ia mengakui bahwa studi

yang menunjukkan bukti-bukti bahwa kepemimpinan memiliki akar biologis, semakin

meningkat.

Dari tinjauan pustaka tersebut, para peneliti telah menemukan bahwa para

pemimpin yang efektif memiliki campuran biokimia yang unik antara hormon dan kimia

otak yang membantu mereka membangun aliansi sosial dan menangani stress. Dua jenis

kimia, yakni serontonin dan testosteron, mendapat perhatian serius oleh para peneliti

sehubungan dengan isu kepemimpinan yang efektif. Menurut para ahli, meningkatnya

tingkat serontonin dapat memperbaiki kemampuan melakukan sosialisasi dan mengontrol

agresi. Semakin tinggi tingkat testosteron semakin tinggi tingkat dorongan berkompetisi

(Robbins, 1998).

Dalam pada itu, Robbins (1998) juga mengemukakan bahwa studi-studi oleh

sejumlah peneliti terhadap primata menemukan dua hal. Pertama, primata-primata yang

dominan (jantan maupun betina), memiliki tingkat serotonin yang lebih tinggi ketimbang

para anak buahnya. Kedua, ketika para pemimpin tertusir dari kelompoknya, maka

pemimpin baru yang mengambil tanggung jawab kepemimpinannya memperlihatkan

peningkatan tingkat serotonin. Para peneliti yakin bahwa tingkat serotonin meningkatkan

kepemimpinan dengan mengontrol impuls-impuls agresi dan antisosial, maupun

mengurangi reaksi yang berlebihan terhadap stres-stres yang tidak relevan dan tidak

signifikan. Walaupun begitu penelitian ini masih belum jelas mengenai arah hubungan

sebab akibat dari kedua variabel tersebut. Masih dipertanyakan apakah tingginya tingkat

serotonin sebagai variabel yang menstimulasi kepemimpinan ataukah justru variabel

kepemimpinan itulah yang mengakibatkan meningkatnya serotonin.

Penelitian tersebut menemukan pula bahwa selain serotonin, testosteron juga

dipandang dapat meningkatkan peranannya dalam kepemimpinan. Penelitian terhadap para

primata menemukan bahwa para pemimpinnya mengalami peningkatan tingkat testosteron

2

Page 3: Kepemimpinan wanita-final-ugm

secara tiba-tiba ketika ancaman terhadap legitimasinya muncul. Sedangkan dalam diri para

anak buahnya, tingkat testosteronnya menurun pada saat-saat krisis tersebut terjadi.

Tanpa bermaksud untuk menyamakan kera dengan manusia, dan memang primata

berbeda dengan manusia, studi tentang manusia sehubungan dengan isu kepemimpinan

memperlihatkan bahwa ada perubahan testosteron ataupun serotonin dalam diri manusia

seperti yang terjadi pada primata. Sebuah studi tentang tubuh manusia menemukan bahwa

laki-laki yang menduduki tingkat kepemimpinan yang paling tinggi memiliki tingkat

serotonin yang tertinggi (Robbins, 1998). Para peneliti juga menemukan bahwa tingkat

testosteron meningkat pada para pemain tenis papan atas sebelum pertdaningan dimulai.

Tingginya tingkat testosteron dipadang sebagai variabel yang membuat para pemain tenis

tersebut menjadi lebih percaya diri dan termotivasi untuk memenangkan pertandingan.

Ditemukan pula bahwa testosteron juga meningkat setelah mencapai peningkatan status

seperti ketika ia memperoleh promosi, meningkat rangkingnya atau memperoleh sebuah

gelar; demikian pula pada perempuan yang duduk di dalam pekerjaan-pekerjaan

profesional memiliki tingkat hormon tersebut lebih tinggi dibdaning mereka yang non-

profesional (Robbins, 1998).

Dari segi dasar biologis seperti diuraikan diatas, memperlihatkan bahwa laki-laki

maupun perempuan memiliki potensi untuk menjadi pemimpin yang efektif karena di

dalam dirinya masing-masing memiliki testosteron yang suatu saat dapat meningkat.

Ketika seseorang dihadapkan pada suatu kondisi lingkungan atau situasi yang mengancam

dan mengharuskan ia berjuang, berkompetisi atau beradaptasi dengan perubahan atau

kondisi yang dihadapinya agar memperoleh apa yang menjadi tujuannya, kadar testosteron

yang ada padanya akan meningkat. Meningkatnya testosteron pada perempuan atau pada

laki-laki ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan semangat seseorang untuk

memotivasi diri sebagai pemimpin guna mencapai tujuan.

3. Diskusi Tentang Perbedaan Kepemimpinan Laki-laki dan Perempuan

Kajian terhadap sejumlah literatur oleh Robbins (1998), sehubungan dengan isu

gender dan kepemimpinan mengemukakan dua kesimpulan. Pertama, menyamakan antara

laki-laki dan perempuan cenderung mengabaikan perbedaan diantara keduanya. Kedua,

bahwa apa yang menjadi perbedaan antara perempuan dan laki-laki adalah bahwa

perempuan memiliki gaya kepemimpinan yang lebih democratic, sedangkan laki-laki

merasa lebih nyaman dengan gaya yang bersifat directive (menekankan pada cara-cara

yang bersifat perintah).

3

Page 4: Kepemimpinan wanita-final-ugm

3.1. Penjelasan Kesimpulam Pertama

Kesamaan antara kepemimpinan laki-laki dan perempuan tidak begitu

mengherankan. Hampir semua studi yang melihat pada isu tersebut menggunakan ‘jabatan

manajerial’ sebagai persamaan dari ‘kepemimpinan’. Dalam hal ini, perbedaan gender

yang nampak dalam populasi pada umumnya cenderung bukan merupakan bukti karena ini

merupakan pilihan karir pribadi dan seleksi organisasi. Sama seperti orang-orang yang

memilih karir di bidang penegakan hukum, kedokteran atau bidang-bidang lainnya

memiliki persamaa-persamaan. Jelasnya para individu, perempuan maupun laki-laki yang

memilih karir manajerial cenderung memiliki kesamaan. Para individu dengan sifat

kepribadian yang berkaitan dengan kepemimpinan, seperti kecerdasan, kepercayaan diri,

dan kemampuan bersosialisasi, kemungkinan lebih diterima sebagai para pemimpin dan

mendorong untuk mengejar karir dimana mereka dapat melaksanakan kepemimpinannya.

Apapun jenis gendernya, hal ini dibernarkan. Demikian juga, organisasi cenderung

merekrut dan dan mempromosikan orang-orang ke dalam jabatan kepemimpinan yang

memiliki unsur-unsur kepemimpinan tersebut. Akibatnya, tanpa memperhatikan

gendernya, orang yang mencapai posisi kepemimpinan formal, baik perempuan maupun

laki-laki, cenderung memperlihatkan kesamaanya ketimbang perbedaan-perbedaanya.

3.2. Penjelasan Kesimpulan Kedua

Berbeda dengan kesimpulan pertama, sejumlah studi lainnya memperlihatkan

bahwa terdapat perbedaan-perbedaan inheren antara laki-laki dan perempuan dalam hal

gaya kepemimpinannya. Perempuan cenderung mengadopsi gaya kepemimpinan yang

lebih demokrtatik. Mereka mendorong partisipasi, berbagi kekuasaan dan informasi, dan

mencoba untuk meningkatkan ‘kemanfaatan’ bagi pengikutnya. Mereka cenderung

memimpin melalui pelibatan atau pemberdayaan dan mendasarkan pada kharisma,

keahlian, kontak, dan keahlian interpersonal dalam mempengaruhi orang lain. Sebaliknya

laki-laki, cenderung lebih menggunakan gaya yang mendasarkan pada kontrol dan

perintah. Mereka lebih mendasarkan pada jabatan otoritas formal sebagai dasar baginya

untuk melakukan pengaruhnya.

Konsisten dengan kesimpulan yang pertama, guna membuktikan lebih akurat

bahwa tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki, maka penemuan ini oleh para

peneliti tersebut dikualifiasikan dengan cara memasukkan variabel kontrol. Ini

4

Page 5: Kepemimpinan wanita-final-ugm

dimaksudkan agar dapat diketahui dengan benar apakah perbedaan gender benar-benar

mempengaruhi tingkat efektivitas seseorang dalam memimpin ataukah tidak. Dengan

memasukkan variabel kontrol yakni ‘jenis pekerjaan yang banyak didominasi kaum laki-

laki’, penelitian tersebut menemukan bahwa terdapat tingkat kecenderungan penurunan

bagi pemimpin perempuan yang semula lebih demokratik ketimbang laki-laki menjadi

kurang demokratik terutama ketika perempuan tersebut berada dalam pekerjaan yang

didominasi laki-laki. Disini nampak bahwa norma-norma kelompok dan stereotype

maskulin dari para pemimpin mengabaikan preferensi kepribadian perempuan sehingga

perempuan tersebut meninggalkan gaya keperempuanannya dalam pekerjaan dan bertindak

lebih otokratik (Robbins, 1998).

Sementara itu, anggapan yang didasarkan pada kenyataan lapangan bahwa laki-laki

secara historis telah memegang mayoritas kepemimpinan dalam organisasi, cenderung

mengasumsikan bahwa perbedaaan yang ada antara laki-laki dan perempuan justru

memberikan kelebihan pada laki-laki. Asumsi ini perlu mendapat klarifikasi secara

memadai sejalan dengan perubahan lingkungan atau situasi yang terjadi terutama

berkenaan dengan keberadaan organisasi pada masa sekarang ini. Dalam organisasi-

organisasi saat ini, mereka hampir setiap saat dihadapkan dengan lingkungan yang selalu

berubah, sulit diprediksi dan bahkan penuh dengan ketidakpastian. Untuk menghadapi

ketidakpastian lingkungan ini, maka organisasi dituntut untuk menjaga fleksibilitas,

kerjasama tim, kepercayaan, dan kemauan berbagi informasi. Variabel-variabel tersebut

sering diyakini sebagai variabel yang dapat meningkatkan efektivitas kepemimpinan.

Bahkan variabel-variabel tersebut sudah mulai diadopsi untuk menggantikan struktur

organisasi yang kaku, competitisi individu yang menimbulkan konflik disfungsional,

kontrol yang ketat dan kaku, dan kerahasiaan yang mengabaikan transparansi. Manajer

yang efektif tentunya adalah mereka yang mau mendengarkan, memotivasi, dan

memberikan dukungan bagi anak buahnya. Sementara itu nampaknya banyak perempuan

melakukan hal-hal demikian yang lebih baik dari laki-laki (Robbin, 1998). Penggunaan

tim-tim atau kerjasama antara bidang, misalnya, yang mengharuskan dipekerjakannya

berbagai keahlian yang sifatnya lintas sektoral yang luas di dalam organisasi, maka

menuntut agar para manajer yang efektif harus menjadi negosiator yang penuh keahlian.

Ada kecenderungan, gaya kepemimpinan perempuan terutama menggunakan negosiasi

yang lebih baik karea mereka cenderung kurang memfokuskan pada kemenangan untuk

dirinya, kekalahan bagi kelompok lain, dan kompetisi seperti yang terjadi pada laki-laki.

Perempauan cenderung menggunakan negosiasi dalam konteks hubungan yang

5

Page 6: Kepemimpinan wanita-final-ugm

berkesinambungan, yakni berusaha sedemikian rupa untuk membuat pihak lain merasa

menjadi pemenang untuk dirinya sendiri dan merasa menjadi pemenang pula dimata orang

lain (Robbins, 1998).

Pendapat yang mengatakan bahwa perempuan memiliki perbedaan dalam gaya

kepemimpinan didukung pula oleh hasil penelitian lainnya. Tannen (1991; 1995), tidak

secara khusus mengkaji isu kepemimpinan perempuan, melainkan menekankan pada cara

perempuan dan laki-laki berkomunikasi, tetapi penjelasannya dapat dipandanag sebagi

dukungan terhadap isu tersebut dengan membedakan antara kepemimpinan perempuan dan

laki-laki. Menurutnya, laki-laki lebih menekankan pada status, sedangkan perempuan

menekannkan pada penciptaan hubungan. Tannen (1995) menyatakan bahwa komunikasi

merupakan tindakan penyeimbang secara berkelanjutan, mengurangi kebutuhan konflik

untuk menjaga kerekatan hubungan dan kemdanirian. Kerekatan hubungan menekankan

pada kedekatan dan kebersamaan. Kemdanirian menekankan pada pemisahan dan

perbedaan. Perbedaan perempuan dan laki-laki dalam berkomunikasi adalah bahwa

perempuan menekankan pada hubungan dan keakraban, sedangkan laki-laki berbicara dan

menekankan status dan kemdirian.

Hal yang perlu disimak dari penelitian Tannen adalah bahwa pemimpin yang

menekankan pada hubungan dan keakraban yang cenderung dimiliki oleh perempuan,

memungkinkan seorang pemimpin tersebut bersikap egalitarian, memberdayakan segenap

anggotanya, serta menekankan struktur organis. Sedangkan pemimpin yang menekankan

pada status dan kemdanirian, yang cenderung dimiliki oleh laki-laki memungkinkan

pemimpin tersebut mengadopsi struktur hirarkis, spesialisasi, dan perintah. Padahal

organisasi sekarang yang sering dituntut untuk memberikan pelayanan yang berkualitas

dan kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan, dituntut untuk

memiliki sturuktur yang organis dan memberdayakan seluruh anggota baik atasan maupun

bawahan secara nyata dalam rangka mewujudkan pelayanan yang berkualitas secara total.

Penelitian tentang hubungan gender dan kepemimpinan juga dikemukakan oleh

Sara Levinson, seorang Presiden Properti NFL, Inc di New York. Ia mengungkapkan

pertanyaan secara langsung dalam sebuah tanya jawab dengan seluruh anggota laki-laki

yang ada di timnya. Ia bertanya kepada mereka: “Apakah kepemimpinan saya berbeda

dengan laki-laki?” Jawab mereka: “ya” (dikutip dalam Schermerhorn, 1999: 276). Jawaban

ini cukup memberikan dukungan bahwa ada perbedaan gaya kepemimpinan antara

perempuan dan laki-laki. Mereka juga menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan

menekankan pada komunikasi dan pengumpulan ide-ide serta opini-opini dari orang lain.

6

Page 7: Kepemimpinan wanita-final-ugm

Ketika Sara Levinson (dikutip dalam Schermerhorn, 1999: 276) ingin mendapatkan

komentar dan pendapat para anggota tim tersebut lebih jauh tentang kepemimpinannya,

dengan menanyakan “apakah ini merupakan ciri khas kepemimpinan perempuan?”, mereka

menjawab “ya”.

Bukti-bukti tersebut di muka mendukung argumen bahwa perempuan memiliki

potensi dasar untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif. Antara perempuan dan laki-

laki cenderung memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda. Perempuan cenderung lebih

memiliki perilaku yang demokratis dan partisipatif, seperti hormat pada orang lain,

perhatian pada orang lain, dan berbagi kekuasaan dan informasi terhadap orang lain. Gaya

seperti ini mengacu pada kepemimpinan interaktif, yakni gaya kepemimpoinan yang

memfokuskan pada upaya membangun konsensus dan hubungan antara pribadi yang baik

melalui komunikasi dan keterlibatan (partisipasi) (Schermerhorn, 1999). Demikian pula,

gaya seperti ini sampai dengan tingkat tertentu memiliki unsur-unsur kepemimpinan yang

transformasional, yakni kepemimpinan yang inspirasional yang dapat memberikan

inspirasi kepada orang-orang untuk bekerja lebih giat dalam mencapai kinerja yang tinggi.

Berbeda dengan laki-laki yang cenderung lebih transaksional, yakni gaya kemimpinan

yang cenderung lebih mengarah pada perilaku yang directive (cenderung mendasarkan

pada instruksi) dan assertive (cenderung agresif dan dogmatik), dan menggunakan otoritas

yang baiasanya ia miliki untuk melakukan “kontrol dan komdano” (Schermerhorn, 1999).

Dari diskusi tersebut di atas, hasil-hasil penelitian dari sejumlah pihak cenderung

memberikan kesimpulan bahwa perempuan memiliki sejumlah kelebihan-kelebihan sifat

sebagai pemimpin yang efektif dibandingkan laki-laki. Namun demikian hasil-hasil

tersebut masih perlu ditelaah lebih dalam. Hal ini penting karena seandainya kelebihan itu

memang melekat pada perempuan maka kelebihan-kelebihan tersebut hanyalah merupakan

sebagian kecil dari instrumen untuk mencapai tujuan yang lebih besar yaitu efektivitas

organisasi. Sementara itu instrumen-instrumen lain yang lebih besar perlu diperhitungkan

seperti kemampuan beradaptasi dalam lingkungan global, kemampuan menyusun struktur

organisasi yang adaptif dalam proses organisasi, dan kemampuan untuk menciptakan atau

memilih teknogi yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan.

4. Meningkatkan Efektivitas Kepemimpinan dan Organisasi

Dengan menekankan pada karakter yang diyakini sebagai ciri perempuan seperti

sifat suka berbagi kekuasaan, komunikatif, kerjasama, dan partisipatif dalam organisasi

saat ini, hasil-hasil penelitian oleh sejumlah pihak cenderung terlalu membesar-besarkan.

7

Page 8: Kepemimpinan wanita-final-ugm

Isu gender dan gaya kepemimpinan dari penelitian tersebut di muka seakan-akan hanya

menekankan pada sifat keperemuanan yang dipdanang sebagai faktor penentu efektivitas

seseorang dalam memimpin. Ciri-ciri yang melekat pada perempuan tersebut tidak

mustahil terdapat pula pada diri laki-laki. Ini berarti bahwa perempuan maupun laki-laki

sama-sama memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif. Oleh

karena itu, penemuan-penemuan tersebut di atas sampai dengan tingkat tertentu

seyogyanya tidak diterima begitu saja sebelum ditemukan bukti yang benar-benar

signifikan.

Tidak dapat disangkal bahwa untuk menghadapi ketakterdugaan lingkungan

organisasi, mengingat lingkungan selalu mengalami perubahan, gaya kepemimpinan yang

interaktif nampaknya menjadi gaya yang amat cocok dengan permintaan tenaga kerja yang

sangat bervariasi dan cocok untuk tempat kerja baru. Dengan demikian, apakah perilaku

yang relevan bagi lingkungan yanga selalu berubah-ubah atau situasi tertentu harus

dimiliki oleh perempuan atau laki-laki adalah tidak penting. Justru yang paling penting

adalah bahwa keberhasilan kepemimpinan yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap

efektivitas organisasi adalah berada pada kapasitas seseorang, laki-laki atau perempuan.

Yakni kapasitas untuk memimpin melalui hubungan yang positif dan memberdayakan

sumberdaya yang ada (terutama sumberdaya manusia), kolaboratif dan menjalin jaringan

dengan sejumlah pihak atau stakeholders yang kemungkinan akan dipengaruhi dan

mempengaruhi organisasi yang dipimpinnya ketimbang hanya melalui cara-cara yang

bersifat directive dan asserive, dan menekankan otoritas formal seperti yang biasa

diterapkan pada organisasi-organisasi birokrasi yang berstrtuktur mekanistik yang

cenderung tal mampu bertahan dalam lingungan yang penuh dengan perubahan, terlebih di

era gobalisasi. Tindakan kolaborasi sangat diperlukan mengingat tidak semua organisasi

mampu memberikan pelayanan atau melakukan tugas dan fungsingya berdasarkan

kemampuan sumberdaya yang dimilikinya. Ketika sumberdaya yang diperlukan tidak

memadai untuk mendukung semua tugas dan fungsinya, maka untuk menjamin efektivitas,

organisasi perlu melakukan kerjasama dengan pihak lain, termasuk di dalamnya adalah

melakukan kolaborasi dalam melakukan tindakan kolektif dan menjalin networks dengan

pihak-pihak lain untuk membangun social capital (Sudarmo, 2006; 2008).

Jelasnya, untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif bagi organisasi, bukan

karena maskulinitas atau femininitasmya, melainkan kapasitasnya untuk memimpin.

Efektivitas pemimpin untuk mampu mencapai efektivitas organisasi dapat dipengaruhi

oleh sejumlah faktor. Faktor-faktor tersebut meliputi: (1) pemilihan dan penempatan

8

Page 9: Kepemimpinan wanita-final-ugm

pemimpin, (2) pendidikan kepemimpinan, (3) pemberian imbalan pada prestasi pemimpin

dan bawahan, dan (4) teknik pengelolaan organisasi untuk mengahadpi perubahan

lingkungan, dan (5) teknologi (Lihat Steers, 1985; Jones, 1995).

4.1. Pemilihan dan Penempatan Pemimpin

Sampai dengan tingkat tertentu efektivitas pemimpin dapat ditingkatkan melalui

kualifikasi pemimpin, yang dibutuhkan untuk mempengaruhi dan memberdayakan segenap

anggotanya sehubuingan dengan tugas–tugas organisasi yang harus dijalankan. Potensi

dasar yang dimiliki pemimpin yang diperlukan bagi organisasi perlu dikenali. Menurut

Ghiselli (dalam Steers, 1985), potensi dasar yang harus dipenuhi pemimpin yang efektif

yang dapat membawa pada pencapaian efektivitas organisasi adalah pemimpin memiliki

ciri-ciri pribadi tertentu. Ciri-ciri tersebut menurutnya meliputi: kecerdasan yang tinggi,

kepekaan pada variasi situasi, inisiatif, kepercayaan diri, dan kepribadian.

Disamping hal-hal tersebut, kesadaran tentang situasi juga penting dalam pemilihan

pemimpin yang efektif (Fiedler dalam Steers 1985). Seorang pemimpin dengan gaya yang

otoriter dan berorientasi pada tugas mungkin lebih cocok untuk lingkungan kerja yang

mempunyai ciri-ciri struktur tugas yang tinggi, kewenangan tersentralisir, dan hubungan

atasan bawahan yang sangat formal dan kaku. Sebaliknya, seorang pemimpin yang

berorientasi pada pemberdayaan segenap anggota dengan menganggap seluruh komponen

merupakan bagian penting, mungkin lebih cocock untuk situasi yang bercirikan tidak kaku,

humanis, desentralistis dalam hal kekuasaan dan menekankan pengaruh ketimbang

paksaan, dan hubungan atasan bawahan yang erat (Morgan & Murgatroyd, 1994).

Dengan demikian, gaya yang kaku atau mekanistik lebih cocok untuk lingkungan

atau situasi yang stabil sedangkan gaya yang organis lebih cocok untuk situasi yang

fleksibel atau berubah-ubah. Tatapi dalam organisasi ada aktivitas-aktivitas atau prosedur

yang sifatnya rutin dan ada aktivitas-aktivitas yang sifatnya aksidental dan tak dapat

dirediksikan. Bagaimanapun pemimpin yang efektif, apapun jenis gendernya, dituntut

untuk bekerja dalam kedua macam situasi, karena gaya seperti dapat membawa pada

tercapainya efektivitas organisasi.

4.2. Pendidikan Kepemimpinan

Pengembangan potensi pemimpin organisasi dapat dilakukan melalui berbagai

ragam pendidikan. Pendidikan yang dimaksud biasanya dilakukan dengan melalui dua

cara. Pertama, seseorang dapat diubah sehingga ia menampilkan sifat-sifat yang

9

Page 10: Kepemimpinan wanita-final-ugm

dikehendaki dalam kadar yang lebih tinggi. Misalnya pemimpin dirubah sikapnya menjadi

lebih percaya diri, tegas, mampu mengadakan hubungan antar pribadi dengan

menyenangkan. Kedua, kepada seseorang dapat ditunjukkan cara mengubah lingkungan

kerja sehingga lebih serasi dengan harapan atau kebutuhan orang tersebut pada

manajemen.

Menurut Campbell (dalam Steers, 1985) ada lima jenis program pendidikan untuk

meningkatkanan efektivitas kepemimpinan, mencakup (1) program manajemen umum,

yang berusaha mengembangkan keterampilan manajemen secara luas, (2) program

hubungan antara manusia, yang memperhatikan masalah antar pribadi (3) program

pemecahan masalah dan pembuatan keputusan, (4) program pendidikan laboratorium, yang

menerapkan pendekatan eksperimental untuk memberi penerangan pada para manajer

mengenai perilaku mereka sendiri; dan (5) program khusus, yang meliputi berbagai ragam

topik penting yang relevan bagi organisnasi tertentu.

Walaupun belum ada konsesnsus mengenai macam program pendidikan yang tepat

untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinan, tetapi diakui oleh sejumlah penulis bahwa

pemimpin yang efektif perlu mengenali variasi situasi (Robbin, 1998; Jones, 1997).

Dengan mengenali variasi situasi atu lingkungan akan membawa pada perilaku tertentu

untuk beradaptasi sejalan dengan lingkungan yang berubah.. Gaya kepemimpinan yang

cocok untuk satu situasi mungkin tidak cocok untuk situasi yang lainanya. Dengan

demikian, meskipun pendidikan tersebut penting, tetapi penting pula untuk

mengembangkan bakat keterampilan manajer maupun kemampuannya mendiagnosis

perbedaan situasi. Dengan kemampuan ini pemimpin dapat memiliki keterampilan yang

paling cocok dengan tuntutan situasinya.

4.3. Pemberian imbalan Prestasi Pemimpin dan Bawahan

Bagaimanapun pemimpin memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi seperti

kenaikan gaji, promosi untuk memuaskan kebutuhannya. Pemenuhan ini terutama

didasarkan pada kemampuan manajer dalam membawa para anggota pada kegiatan yang

diarahkan untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, para manajer ini akan cenderung

menganggap perilaku pemimpinnya yang efektif sebagai sarana mendapataakan imbalan

yang diinginkan untuk memuaskan kebutuhannya (Steers, 1985). Dengan kata lain, dengan

pemenuhan kebutuhan ini, organisasi dapat membuat manajer menjadi sadar akan peranan

kepemimpinan dalam melaksanakan tugas dan berusaha menningkatkan kermasmpuan

untuk mencapai efektivitas organisasi.

10

Page 11: Kepemimpinan wanita-final-ugm

Sementara itu pemberian imbalan prestasi bawahan juga penting. Pelayanan yang

diberikan oleh sebuah organisasi tetap membutuhkan dukungan sepenuhnya oleh para

bawahan atau segenap anggota betapapun efektifnya seorang pemimpin. Sistem imbalan

menjadi penting untuk mendorong bawahan berperilaku ke arah yang mendukung tindakan

pemimpin dalam proses pelayanan. Seorang pemimpin akan menjadi efektif sejauh ia

memberi imbalan pada bawahan dan sejauh imbalan-imbalan ini bergantung pada prestasi

bawahan dan mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diharapkan bawahan tersebut (Steers,

1985; Luthans, 1992).

Melalui integrasi tujuan pribadi dan tujuan organisasi, yang bererti kemungkinan

terjadi konflik dapat dikurangi, pemimpin dapat memperbesar kemungkinan meningkatnya

usaha ke arah pencapaian kedua tujuan tersebut secara bersama-sama. Untuk selanjutnya

efisiensi dan efektivitas organisasi dapat ditingkatkan (Steers, 1985; Robbins, 1998;

Robbins, 1990; Luthans, 1992).

4.4. Teknik Manajemen Organisasi untuk menghadapi perubahan lingkungan

Untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinani dapat pula dilakukan dengan perubahan

struktur organisasi. Sehingga pemimpin atau manajer dapat mengatur pekerjaan agar sesuai

dengan harapannya. Melalui modifikasi pekerjaan di sekitar individu annggota organisasi,

organisasi dapat mempertahaankan tingkat efisiensi tertentu, sementara tetap

memanfaatkan bakat individu itu tersebut (Steers, 1985).

Sementara itu, teknik manajemen organisasi ini juga perlu dikaitkan dengan

lingkungan eksternal organisasi. Lingkungan dimana organisasi menjalankan kegiatan-

kegiatannya justru dapat dipdanang sebagai sumber ketidakpastian bagi kesinambungan

hidup organisasi tersebut (Jones, 1995). Jika klien sebuah organisasi publik atau pelanggan

untuk organisasi bisnis menarik dukungannya, jika para pemasok menghentikan inputnya,

dan jika kelompok-kelompok stakeholder lainnya termasuk para kompetitor, distributor

dan pasar, ternaga kerja, maupun pemerintah mengancam keberadaan organisasi-

organisasi, maka yang terjadi adalah ketidakpastian. Dengan demikian, pemimpin harus

mendesain struktur organisasinya agar memadai dalam menangani hubungan-hubungannya

dengan stakeholder dalam lingkungan eksternal.

Kompetisi yang semakin kompleks dalam era global terutama bagi organisasi yang

bergarak dibidang pemberian pelayanan atau manufaktur, seringkali menuntut struktur

organisasi yang organik. Hal ini diperlukan karena struktur organisasi yang organik akan

memdorong perilaku yang inovatif melalui kerja tim dan self-management (yakni

11

Page 12: Kepemimpinan wanita-final-ugm

mengatur, mengelola dan memberdayakan diri sendiri sesuai dengan yang di harapkan

klien atau pelanggan), untuk memperbaiki kualitas dan mengurangi waktu yang diperlukan

untuk meciptakan pelayanan atau produk baru bagi klien atau pelanggannya.

Dengan demikian, perubahan struktur organisasi, disamping dapat meningkatkan

ekfektivitas kepemimpinan, dapat pula meningkatkan kemampuan organisasi untuk

beradaptasi dengan lingungan yang berubah. Dengan kata lain melalui perubahan struktur

organisasi, efektivitas kepemimpinan dan organisasi dapat ditingkatkan.

4.5. Teknologi

Betapapun efektifnya seorang pemimpin, untuk mencapai efektivitas organisasi ia

tidak dapat terpisah dari keberadaan teknologi yang digunakannya (Jones, 1995; Steers,

1985). Teknologi “merupakan kombinasi keahlian, pengetahuan, kemampuan, teknik-

teknik, bahan-bahan, mesin, komputer, alat-alat dan perlengkapan lainnya yang

digunakan orang untuk merubah bahan-bahan mentah menjadi barang-barang dan

pelayanan yang bernilai” (diterjemahkan sendiri oleh penulis dari Jones, 1995: 348).

Organisasi menggunakan teknologi untuk menjadikan organisasi tersebut lebih efisien,

lebih efektif, lebih inovatif, dan lebih baik dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan

keinginan-keinginan para internal stakeholder (pemimpin dan bawahannya serta para

pemegang saham) maupun exetrnal stakeholder (klien/pelanggan maupun). Masing-

masing bagian dari organisasi bertanggung jawab terhadap pengembangan dan

pemeliharaan teknologi yang memberikan kontribusi positif bagi kinerja organisasi. Ketika

organisasi memiliki teknologi yang memungkinkannya untuk menciptakan nilai, ia

memerlukan sebuah struktur yang memaksimumkan efektivitas teknologi.

Melalui teknologi, pemimpin organisasi dapat meningkatkan usahanya untuk

berinovasi; mengembangkan produk baru, pelayanan, dan proses; dan mengurangi waktu

yang diperlukan untuk mebawa produk-produk/pelayanan baru ke pasar lokal, nasional

maupun global. Demikian pula melalui teknologi, pemimpin organisasi dapat memperbaiki

efisiensi dan mengurangi biaya sambil meningkatkan kualitas dan reliabilitas produk-

produk atau pelayanan-pelayanannya.

5. Kesimpulan

Kepemimpinan perempuan diyakini lebih efektif dibanding kepemimpinan laki-

laki. Tetapi pendapat tersebut cenderung membesar-besarkan sifat yang melekat pada

perempuan. Untuk menjadi eketivitas seorang pemimpin dalam mencapai tujuan organisasi

12

Page 13: Kepemimpinan wanita-final-ugm

tidak semata-mata ditentukan oleh sifat keperempuanan yang melekat pada seseorang,

tetapi karena kapasitasnya dalam memimpin.

Disamping kapasitas, pemimpin yang efektif bagi efektivitas organisasi dapat juga

dipengaruhi oleh lima faktor penting mencakup pemilihan dan penempatan pemimpin,

pendidikan kepemimpinan, pemberian imbalan pada prestasi pemimpin dan bawahan,

teknik pengelolaan organisasi untuk menghadapi perubahan lingkungan, dan teknologi.

Daftar Pustaka

Jones, Gareth R., 1995, Organizational Theory: Tex dan Cases, Addison-Wesley Publishing Company, California.

Luthans, Fred, 1992, Organizational Behavior, McGraw-Hill, Inc., San Fransisco.

Morgan, Colin & Murgatroyd, Stephen, 1994, Total Quality Management in the Public Sector, Open University Press, Philadelphia.

Steers, Richard, 1985, Efektivitas Organisasi, diterjemahkan Magdalena Jamin, Erlangga, Jakarta.

Schermerhorn, John R., Jr, 1999, Management, John Wiley & Sons, Inc., New York.

Robbins, Stephen P., 1998, Organizational Behavior: Concepts, Controversiess, Application, 8th ed, Prentice-Hall International, Inc., New Jersey.

Robbins, Stephen P., 1990, Organization Theory; Structure, Design, dan Application, Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, NJ.

Kanter, Rosabeth Moss, 1979, ‘Power Failure in Mnagement Circuits’, Harvard Business Review, Vol. 47 (July-August 1979): 65-75.

Sudarmo, 2006,”Perspective On Governance: Towards An Organizing Framework for Collaboratition and Collective Actions”; Spirit Publik, Jurnal Ilmu Administrasi , Vol 2 No. 2, Oktober , pp.113-120.

Sudarmo, 2008, “Social Capital untuk Community Governance, Spirit Publik, Jurnal Ilmu Administrasi, Vol 4 No. 2, Oktober, pp. 101-112

Tannen, Deborah, 1991, You Just Don’t Undersatnd: Women dan Men in Conversation, Bulletine Books, New York.

Tannen, Deborah, 1995, Talking from 9 to 5, William Morrow, New York.

13