PENGGUNAAN APLIKASI BAJAKAN DI DALAM SISTEM OPERASI
ANDROID
(STUDI KASUS TERHADAP DUA PENGGUNA APLIKASI ANDROID
BAJAKAN KATEGORI ADVANCE USER) Oleh: Askar Juara
Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
ABSTRACT Development of the Android operating system allows not only lead to a brilliant innovation, but also a long-standing issue in the digital world, which is software piracy. This study discusses the use of pirated apps by Android device users. Although the price is relatively affordable and can be downloaded from anywhere and at anytime, Android device users still use pirated apps. The theory used in this study is a routine activity theory that explains the concept of cyber crime with crime triangle. The research method was descriptive qualitative case study to conduct in-depth interviews with two informants users of pirated Android apps that fall into the category of advanced users. The conclusion of this study that the use of pirated applications is due to the motivation of the perpetrator himself, in the ease of getting pirated apps, and the ineffectiveness of the role of intimate handler.
Keywords: Cyber crime, piracy, Android, Routine activity, Crime triangle
Sistem operasi Android merupakan salah satu sistem operasi paling populer yang
digunakan pada smartphone saat ini. Menurut laporan yang dikeluarkan oleh Gartner,
sebuah lembaga riset teknologi, pada kuartal ke-3 tahun 2012 smartphone berbasis Android
menduduki peringkat pertama dalam penjualan smartphone dengan total 122.480.000 unit
dan market share sebesar 72,4% dari total seluruh penjualan smartphone di dunia
(engadget.com, 2012). Jumlah tersebuh meningkat dari kuartal ke-3 tahun 2011 yang
menorehkan total penjualan 60.490.400 unit dan market share sebesar 52.5%
(engadget.com, 2012). Pesaing terdekatnya, sistem operasi iOS buatan Apple hanya
memiliki market share sebesar 13,9% dengan total penjualan 23.550.300 unit
(engadget.com, 2012). Hal ini menjadikan sistem operasi Android memiliki pengguna
terbanyak pada saat ini.
Penggunaan aplikasi..., Askar Juara, FISIP UI, 2013.
Kunci di dalam kesuksesan Android tersebut tidak hanya terletak pada smartphone
dan tabletnya saja yang memiliki macam ragam dari berbagai merek, tapi juga dari segi
dukungan berbagai macam aplikasi yang tersedia. Dikutip dari Bloomberg, saat ini sudah
ada lebih dari 700.000 aplikasi untuk Android yang bisa diunduh dari Google Play Store
(businessweek.com, 2012). Ini berarti, jumlah aplikasi yang ada di Google Play Store
hampir mendekati jumlah aplikasi yang ada di Apple App Store yang berjumlah lebih dari
700.000 juga (businessweek.com, 2012). Dukungan software inilah yang membuat
masyarakat tertarik untuk menggunakan perangkat Android. Karena semakin banyak
software yang tersedia, semakin banyak yang dapat dikerjakan dengan menggunakan
perangkat Android tersebut.
Tidak sedikit developer yang harus berjuang mati-matian untuk dapat bertahan di
platform Android. Salah satu contoh yang membuat heboh di kalangan gamer di Android
adalah dirubahnya status games Dead Trigger dari berbayar menjadi gratis (guardian.co.uk,
2012). Dead Trigger merupakan sebuah games yang dibuat oleh developer Madfinger
Games. Pada awal peluncurannya di Play Store, game ini dijual seharga US$ 0.99. Lalu
mengapa Madfinger Games merubah game tersebut menjadi gratis? Melalui halaman
Facebook resmi mereka, developer tersebut mengeluarkan pernyataan: "Regarding price
drop. HERE is our statement. The main reason: piracy rate on Android devices, that was
unbelievably high" (guardian.co.uk, 2012). Saat ini game Dead Trigger dapat diunduh
secara gratis di Play Store, namun Madfinger menyediakan layanan in-app purchase, yakni
layanan pembelian konten premium di dalam game tersebut yang dapat membantu para
gamer dalam bermain game tersebut.
Pembajakan di platform Android mungkin merupakan salah satu hal yang menjadi
sangat serius. Appy Entertainment, salah satu developer games asal Amerika Serikat yang
membuat game FaceFighther Gold mengeluhkan mengenai pembajakan tersebut. Steven
Sargent, Excecutive Producer dari developer tersebut mengatakan bahwa pada tahun 2011
pembajakan yang ada di Android rata-rata mencapai angka 70:1 (pocketgamer.biz, 2011).
Artinya, setiap satu aplikasi berbayar resmi diunduh dari Play Store, ada 70 orang yang
mengunduh aplikasi yang sama namun versi bajakan atau modifikasinya yang telah di-
crack oleh orang lain. Developer Sports Interactive, yang meluncurkan sebuah game
Penggunaan aplikasi..., Askar Juara, FISIP UI, 2013.
strategi sepakbola yang sangat terkenal, yakni Football Manager, juga mengalami
fenomena pembajakan tersebut. Miles Jacobson, pimpinan dari Sports Interactive
mengatakan pembajakan aplikasi mereka di dalam Android mencapai 9:1, lebih buruk dari
apa yang mereka alami pada game Football Manager 2009 di platform Windows untuk PC
(Personal Computer) yang mencapai 5:1 (eurogamer.net, 2012).
Sebuah lembaga konsultan asal Amerika Serikat, Yankee Group bersama dengan
Skyhook Wireless, sebuah perusahaan mobile location data, melakukan survey terhadap 75
developer aplikasi Android. Dari hasil survey yang mereka dapat, developer-developer
tersebut tidak mendapatkan keuntungan sebesar apa yang didapatkan dari para developer di
platform iOS (informationweek.com, 2011). Mereka menyalahkan Google atas perbedaan
tersebut, dan tentunya perihal pembajakan yang ada di platform Android mereka. Dari 75
developer yang menjadi responden tersebut, 27% dari mereka melihat pembajakan yang
ada di Android merupakan masalah yang sangat besar, dan 26% melihat pembajakan
sebagai sebuah masalah yang cukup mengganggu (informationweek.com, 2011). Selain itu,
53% dari mereka menganggap bahwa Google tidak melakukan upaya yang cukup untuk
menanggulangi masalah pembajakan tersebut (informationweek.com, 2011). Sepertiga dari
responden juga melaporkan bahwa mereka mengalami kerugian lebih dari US$ 10.000 dan
25% responden juga melaporkan naiknya biaya support mereka untuk memelihara aplikasi
dan game yang mereka miliki (informationweek.com, 2011).
Selain Google, United States Department of Justice atau Departemen
Hukum di Amerika Serikat juga melakukan tindakan dalam menanggapi pembajakan
aplikasi di sistem operasi Android. FBI (Federal Bureau of Investigation) telah melakukan
penutupan sejumlah situs yang menyebarkan aplikasi bajakan untuk platform Android
secara cuma-cuma (bbc.co.uk, 2012). Beberapa situs yang dimaksud adalah applanet.net,
appbucket.net, dam snappzmarket.com. Di dalam situs tersebut sekarang terpasang sebuah
peringatan dari FBI yang dituliskan siapa saja yang terlibat di dalam pelanggaran hak cipta
akan mendapatkan hukuman kurungan di penjara hingga lima tahun (bbc.co.uk, 2012). FBI
mengeluarkan pernyataan, yang disebutkan bahwa pencurian dari properti intelektual yang
ada di dalam ranah cyber adalah suatu permasalahan yang sedang berkembang dan
diperhatikan oleh para penegak hukum di pemerintahan Amerika Serikat. Mereka juga
Penggunaan aplikasi..., Askar Juara, FISIP UI, 2013.
mengatakan bahwa pencurian tersebut dapat menyebabkan perusahaan, dalam hal ini para
developer aplikasi mengalami kerugian jutaan dollar Amerika Serikat dan dapat
menghambat pengembangan dan implementasi dari ide-ide dan aplikasi-aplikasi baru
(bbc.co.uk, 2012).
Bagaimana jika pembajakan aplikasi Android tersebut terjadi terhadap aplikasi
buatan developer Indonesia? Walau developer aplikasi Android di Indonesia belum bisa
memasarkan aplikasi berbayar, namun tidak menutup kemungkinan kebijakan ini dapat
berubah di waktu yang akan datang. Peraturan mengenai pembajakan software di Indonesia
tertuang di dalam UU nomor 19 tahun 2002 yang menyatakan bahwa program komputer, di
dalam penelitian ini adalah aplikasi Android, adalah termasuk ciptaan yang dilindungi oleh
hukum. Jika ada yang melanggar pasal tersebut maka akan dikenakan pidana penjara paling
lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000.
Penggunaan aplikasi bajakan yang ada di dalam sistem operasi Android telah
merugikan banyak developer aplikasi Android. Di dalam latar belakang sudah disebutkan
bahwa beberapa developer mengalami kerugian finansial hingga USD$ 10.000 dan naiknya
biaya support mereka untuk memelihara aplikasi dan game yang mereka miliki akibat dari
pembajakan tersebut. Selain itu, penggunaan aplikasi bajakan dapat mengurangi kreatifitas
dan menghambat pengembangan dari aplikasi Android oleh para developer.
Di Indonesia, penggunaan software bajakan sudah seperti menjadi hal yang lazim.
Penulis dapat menemukan toko-toko yang menjual software komputer bajakan dengan
mudah di pusat pemberlanjaan komputer seperti Mall Mangga Dua atau Mall Ambassador.
Hal yang sama juga dapat ditemukan pada aplikasi Android bajakan. Di internet, peneliti
dapat menemukan situs, forum, ataupun akun Twitter yang menyebarkan aplikasi Android
bajakan.
Jika ada permintaan pasti ada penawaran. Melihat banyaknya penyebaran aplikasi
Android bajakan, peneliti beranggapan bahwa ada banyak pengguna aplikasi Android
bajakan, khususnya di Indonesia. Padahal jika diperhatikan, harga dari sebuah aplikasi
berbayar yang ada di Google Play Store rata-rata berkisar antara USD$ 1 hingga USD$ 10
atau sekitar Rp 10.000 hingga Rp 100.000. Cukup terjangkau jika dibandingkan dengan
software bajakan yang ada di komputer yang berharga ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Penggunaan aplikasi..., Askar Juara, FISIP UI, 2013.
Apalagi untuk mendapatkan aplikasi Android, pengguna perangkat Android tinggal
mencari dan mengunduhnya melalui Google Play Store kapan saja dan di mana saja
asalkan terhubung dengan koneksi internet.
Tentunya tidak semua pengguna perangkat Android dapat menggunakan aplikasi
bajakan. Hanya sebagian dari sekian banyak pengguna perangkat Android yang bertemu
dengan sebuah kondisi tertentu yang mengetahui adanya aplikasi Android bajakan dan
dapat menggunakan aplikasi Android bajakan tersebut.
Tinjauan Teoritis
Teori routine activity dipopulerkan oleh Cohen dan Felson. Routine activity
merupakan salah satu turunan dari teori sebelumnya, yakni teori rational choice. Di dalam
tulisannya mereka menyatakan bahwa kejahatan dapat terjadi karena adanya konvergensi
dari tiga aspek, yaitu motivated offender (pelaku kejahatan) tanpa kehadiran dari intimate
handler, suitable target (sasaran korban kejahatan), dan tidak adanya uncapable guardian
(penjagaan) (Cohen dan Felson, 1979). Motivated offender adalah seorang individu yang
berpotensi untuk melakukan kejahatan (Cohen dan Felson, 1979). David Icove menjelaskan
motivated offender secara lebih lanjut, yang dapat membedakan pelaku cyber crime dalam
tiga kategori, yakni crackers, criminals, dan vandals (Icove, 1995).
Di dalam motivated offender, ada beberapa hal yang biasanya dapat memotivasi
seorang individu untuk melakukan kejahatan. Hal-hal tersebut antara lain:
a) Untuk mendapatkan uang atau barang berharga.
b) Untuk mendapatkan akses pada sebuah layanan.
c) Untuk mendapatkan kegembiaraan, atau ketegangan, dan untuk mengisi rasa bosan.
d) Untuk mendapatkan pengakuan dari teman-teman sepermainan atau sebaya.
e) Untuk membuktikan ketangguhan diri dan keberanian.
f) Untuk mendapatkan perhatian dari orang lain.
g) Untuk keluar dari kondisi yang menyusahkan.
h) Untuk menyakiti seseorang yang dianggap sebagai musuh.
Penggunaan aplikasi..., Askar Juara, FISIP UI, 2013.
i) Untuk melakukan balas dendam. (Clarke dan Cornish dalam Paternoster dan
Bachman, 2001).
Sebuah konsep yang bernama VIVA (value, inertia, visibility, dan access) dapat
menunjukkan bahwa sebuah obyek dapat menjadi sasaran target kejahatan. Value adalah
sebuah persepsi pelaku kejahatan terhadap nilai yang ada dari sasaran kejahatan. Inertia
mengacu kepada persepsi pelaku terhadap volume atau berat dari sasaran kejahatan untuk
dapat dipindah-pindahkan. Visibility merupakan tingkat pengelihatan sasaran kejahatan
terhadap perilaku kejahatan. Access adalah posisi, letak, atau penempatan dari sasaran
kejahatan.
Pada tahun 1999, Clarke di dalam tulisannya merevisi konsep VIVA tersebut
menjadi konsep CRAVED (Concealable, Removable, Available, Valuable, Enjoyable,
Disposable). Sama dengan VIVA, konsep CRAVED juga menjelaskan mengenai potensi
sebuah obyek dapat menjadi sasaran kejahatan.
Clarke mengatakan bahwa kejahatan seringkali didukung oleh adanya keberadaan
dari fasilitator, yakni obyek yang mendukung atau mempermudah kemungkinan terjadinya
tindak kejahatan yang dapat dilakukan oleh si pelaku. Di dalam bentuk kejahatan tertentu,
peranan obyek sebagai fasilitator sangat berperan penting terhadap terjadinya kejahatan.
Dengan adanya fasilitator ini maka kesadaran mengenai keberadaan fasilitator ini menjadi
sangat penting, karena untuk melakukan identifikasi tempat-tempat di mana akan dilakukan
penjagaan atau pengamanan atau membuat sebuah regulasi yang mengatur penggunaan
obyek tersebut (Clarke, 1997). Di dalam konteks cyber crime, menjamurnya warung
internet dengan sistem pencatatan pelanggan yang kurang baik merupakan fasilitator yang
sempurna bagi pelaku.
Felson merangkum social control theory dari Hirschi untuk memperkenal sebuah
konsep yang disebut individual handler. Indivual handler tersebut dianggap mampu
merepresentasikan individu yang memiliki pengetahuan yang cukup dan keberadaannya
disadari oleh para individu yang berpotensi untuk menjadi pelaku kejahatan di dalam
memberikan pengaruh penggentarjeraan (special deterrence) dengan mengingatkan pelaku
akan ikatan sosial yang dimilikinya sehingga individu tersebut mengurungkan niatnya dan
dapat mencegah dilakukannya kejahatan oleh individu tersebut (Felson, 1986). Di dalam
Penggunaan aplikasi..., Askar Juara, FISIP UI, 2013.
konteks cyber crime, kurangnya sosialiasi akan kesadaran akan keamanan, lemahnya
pengawasan dari pihak yang berwenang berperan dalam meningkatkan kemungkinan
terjadinya kejahatan tersebut.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. John W. Creswell
mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan dan mengolah
data yang sifatnya deskriptif, seperti transkrip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto,
rekaman video, dan lain-lain (Creswell, 2007). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
strategi penelitian kualitatif melalui studi kasus, yaitu strategi penelitian yang digunakan
untuk menyelidiki secara cermat sesuatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau
sekelompok individu (Creswell, 2007). Dalam penelitian ini studi kasus dilakukan terhadap
dua orang informan AM dan RF sebagai pengguna aplikasi Android bajakan.
Penelitian ini dilakukan dalam suatu rentang waktu yang relatif pendek. Penelitian
ini dilakukan selama lima bulan, yaitu dari pertengahan Januari 2012 hingga akhir Mei
2013. Dalam rentang lima bulan tersebut peneliti menyusun proposal penelitian,
menggumpulkan data, mengolah data dan menganalisis data penelitan. Untuk proses turun
ke lapangan dilakukan mulai akhir Maret 2013 sampai dengan akhir April 2013.
Untuk informan RF, peneliti bertemu pada tanggal 25 April 2013 di sebuah kafe
bernama Ngopi Doeloe, Dago, Bandung. Peneliti membuat janji bertemu pada sore hari.
Setelah bertemu dengan RF, peneliti tidak langsung melakukan wawancara, melainkan
membangun raport terlebih dahulu. Kemudian, peneliti melakukan wawancara dengan RF
selama lebih kurang 20 menit.
Untuk informan AM, peneliti bertemu pada tanggal 28 April 2013 di rumah AM di
daerah Kebon Kacang, Tangerang. Peneliti membuat janji bertemu pada siang hari. Setelah
bertemu dengan AM, sama dengan apa yang dilakukan peneliti dengan RF, peneliti
membangun raport terlebih dahulu. Kemudian peneliti melakukan wawancara dengan AM
selama lebih kurang 20 menit.
Penggunaan aplikasi..., Askar Juara, FISIP UI, 2013.
Analisis Hasil
Peneliti akan mencoba menganalisis temuan data yang sudah dijabarkan di bagian
sebelumnya dengan kerangka pemikiran yang digunakan di dalam penelitian ini. Informan
AM mengatakan bahwa ia senang menggunakan aplikasi versi PRO atau aplikasi berbayar,
karena memiliki banyak keunggulan dan fitur-fitur yang tidak bisa didapatkan pada aplikasi
versi gratis.
Informan RF pun memiliki pendapat yang sama. Ia mengatakan bahwa ia membutuhkan
fitur-fitur yang ada di dalam aplikasi versi PRO.
Jika dilihat dari pernyataan kedua informan di atas, maka peneliti dapat
menyimpulkan bahwa aplikasi PRO atau aplikasi berbayar yang ada di Android masuk ke
dalam kategori available. Di mana sebuah obyek, dalam hal ini adalah aplikasi PRO,
memiliki nilai inovasi baru yang menarik yang dapat memunculkan sebuah pangsa pasar
yang ilegal (Clarke, 1999). Inovasi terletak pada fitur-fitur yang ada di dalam aplikasi PRO
yang dibutuhkan oleh para penggunanya. Sedangkan di aplikasi gratis, fitur-fitur tersebut
biasanya dihilangkan.
Aplikasi PRO dapat diunduh secara mudah dari Google Play Store, namun tentunya
dengan mengeluarkan sejumlah uang. Informan RF berpendapat bahwa ada beberapa
pengguna Android yang ingin menggunakan aplikasi PRO akan tetapi tidak memiliki uang
untuk membelinya. Sehingga beberapa dari pengguna Android mencari alternatif lain,
yakni dengan menggunakan aplikasi PRO bajakan. Hal ini dimanfaatkan oleh beberapa
developer, atau mungkin lebih tepat disebut dengan cracker, untuk membajak aplikasi PRO
yang ada di dalam Google Play Store.
Para cracker tersebut melihat bahwa aplikasi PRO adalah suatu obyek yang
valuable, di mana sebuah kondisi bahwa sebuah obyek berpotensi untuk menjadi sasaran
kejahatan karena memiliki nilai yang dianggap berharga (Clarke, 1999). Aplikasi PRO
tersebut memiliki nilai, jika melihat pada pernyataan kedua informan, yakni fitur-fitur yang
tidak ada di aplikasi gratis. Sehingga banyak pengguna Android yang ingin
menggunakannya.
Baik informan AM maupun RF sama-sama menikmati dari penggunaan aplikasi
PRO bajakan di perangkat Android masing-masing. Kedua informan mengatakan bahwa
Penggunaan aplikasi..., Askar Juara, FISIP UI, 2013.
mereka merasa puas menggunakan aplikasi bajakan, walaupun ada beberapa kekurangan.
Hal ini termasuk ke dalam enjoyable, yakni sebuah kondisi bahwa sebuah obyek berpotensi
untuk menjadi sasaran kejahatan apabila si pelaku dapat memperoleh kepuasan dan
keuntungan dari kejahatan yang dilakukannya, selain dari keuntungan materi (Clarke,
1999). Baik AM maupun RF memperoleh kepuasan menggunakan aplikasi bajakan, di
mana mereka dapat menggunakan fitur-fitur aplikasi PRO namun tidak perlu mengeluarkan
biaya.
Data instalasi aplikasi Android adalah berupa file berekstensi .apk. File ini biasanya
berukuran tidak terlalu besar (kurang dari 100 megabytes) walaupun di beberapa aplikasi,
terutama games file instalasinya dapat lebih dari 100 megabytes. Karena data instalasinya
berbentuk digital, tentunya dengan mudah file tersebut dapat berpindah tempat dari satu
komputer ke komputer lainnya. Kondisi ini sama dengan apa yang dijelaskan Clarke yakni
sebuah obyek bersifat removable apabila dapat dengan mudah berpindah tempat bisa
menjadi sasaran kejahatan yang potensial, baik dilihat dari ukuran fisiknya, proses
pemindahan tempat dari obyek tersebut, dan kesempatan atau waktu yang cukup untuk
proses pemindahannya (Clarke, 1999).
Selain bersifat removable, data instalasi aplikasi Android juga bersifat concealable,
yakni ketika sebuah kondisi bahwa sesuatu yang dapat dengan mudah disembuyikan atau
disamarkan bisa menjadi sebuah sasaran kejahatan (Clarke, 1999). Data instalasi Android
yang berbentuk .apk hanya bisa dibuka di dalam perangkat Android. Namun, data tersebut
dapat dilihat di komputer. Dengan kecanggihan teknologi yang ada, tentunya data digital
dapat dimanipulasi sehingga dapat tidak terlihat.
Data digital juga dapat bersifat disposable, yakni sebuah kondisi bahwa sebuah
obyek dapat berpotensi menjadi sasaran kejahatan jika obyek tersebut dengan mudah dapat
dihapus atau dibuang kembali ke pasar (Clarke, 1999). Kemudahan fungsi delete yang ada
di komputer maupun di perangkat Android, sangat memungkinkan jika data instalasi
aplikasi Android tersebut dihapus dengan segera.
Informan AM mengatakan tidak sulit bagi dirinya untuk mendapatkan sumber
unduhan aplikasi Android bajakan. Menurut penuturannya, banyak forum dan akun Twitter
yang menyebarkan link unduhan aplikasi bajakan tersebut. Akun-akun Twitter seperti
Penggunaan aplikasi..., Askar Juara, FISIP UI, 2013.
@droiders, @apk_file, dan @droidindo menyebarkan link unduhan aplikasi Android
bajakan secara cuma-cuma. Setelah peneliti mencoba untuk melihat akun-akun Twitter
tersebut, ternyata banyak akun-akun Twitter serupa yang juga menyebarkan link unduhan
aplikasi Android bajakan. Setelah peneliti melakukan pengamatan terhadap linimasa dari
masing-masing akun, mereka tidak hanya menyebarkan link unduhannya saja, tapi juga
terkadang menyertakan review dari aplikasi yang mereka sediakan.
Jika peneliti mengaitkan akun-akun Twitter tersebut dengan teori crime facilitators,
maka akun-akun tersebut adalah sebuah fasilitator yang mendukung atau mempermudah
kemungkinan terjadinya tindak kejahatan yang dapat dilakukan oleh si pelaku (Clarke,
1997). Dengan menyediakan link unduh dan review, otomatis para pengguna Android yang
menjadi followers pada akun-akun tersebut cenderung akan tergoda untuk mengunduh
aplikasi bajakan yang disediakan.
Jika AM lebih sering mendapatkan dari akun Twitter, RF sedikit berbeda. Ia
mencari aplikasi bajakan dari forum dan situs yang menyediakannya. Di dalam forum-
forum seperti Kaskus dan Indowebster, ada sebuah thread yang khusus membahas
mengenai aplikasi bajakan. Pada thread tersebut, pengguna perangkat Android yang sudah
tergabung dalam forum dapat mengunduh aplikasi bajakan yang sudah tersedia. Jika
aplikasi yang dicari tidak ada, maka pengguna dapat melakukan request kepada
pengunggah aplikasi bajakan tersebut.
Selain di forum, RF juga mengatakan ada sebuah situs yang bernama
blapkmarket.com yang sudah menyediakan aplikasi bajakan untuk perangkat Android.
Pengguna hanya tinggal mendaftarkan diri untuk menjadi anggota situs tersebut secara
gratis. Jika sudah terdaftar, maka pengguna dapat melihat daftar aplikasi bajakan yang
tersedia di situs tersebut. Setelah peneliti melakukan observasi di internet, ternyata banyak
situs-situs lain yang juga menyediakan aplikasi bajakan. Sebut saja pandaapp.com,
apkmania.co, dan apkdownloads.com. Situs-situs tersebut menyediakan berbagai macam
aplikasi bajakan untuk perangkat Android.
Walau sekilas terlihat mereka menyediakan aplikasi bajakan secara gratis, namun
ternyata ada motif uang yang agak terselubung. Ketika peneliti mencoba mengunduh
sebuah aplikasi, peneliti di bawa ke sebuah halaman iklan selama 5 detik sebelum peneliti
Penggunaan aplikasi..., Askar Juara, FISIP UI, 2013.
dapat mengunduh aplikasi yang akan diunduh. Artinya, setiap seseorang mengunduh
aplikasi di situs tersebut, si pengunggah aplikasi bajakan itu mendapatkan keuntungan
berupa uang.
Jika peneliti mengaitkan situs-situs tersebut dengan teori crime facilitators, maka
situs-situs tersebut adalah sebuah fasilitator yang mendukung atau mempermudah
kemungkinan terjadinya tindak kejahatan yang dapat dilakukan oleh si pelaku (Clarke,
1997). Dengan menyediakan link unduh secara “gratis”, otomatis para pengguna Android
yang membuka situs tersebut cenderung akan tergoda untuk mengunduh aplikasi bajakan
yang disediakan. Pengunggah untung dari pendapatan iklan, pengunduh nya juga untung
karena menemukan aplikasi bajakan yang dibutuhkan.
Terlepas dari penggunaan halaman iklan untuk mendapatkan uang, sepertinya
pengunggah memiliki rasa untuk berbagi yang cukup kuat kepada sesama pengguna
perangkat Android. Terlihat dari mereka ingin meluangkan waktu untuk menggunggah dan
menyebarkan aplikasi tersebut. Bahkan beberapa menyertakan review. Diduga akun-akun
Twitter maupun situs-situs tersebut dikelola oleh lebih dari satu orang.
Rasa berbagi yang cukup kuat tersebut mungkin terbawa dari interaksi antar
member di sebuah forum. Di mana para member saling bertukar pikiran, berbagi
pengalaman, ataupun sekedar mengobrol biasa. Interaksi tersebut kemungkinan dapat
berlanjut kepada rasa saling tolong-menolong. Sehingga tumbuhlah rasa saling berbagi di
antara para member tersebut.
Informan AM mengatakan bahwa orang tuanya termasuk orang-orang yang tidak
terlalu mengikuti perkembangan teknologi. Sehingga kedua orang tuanya pun bersikap
cuek dan tidak peduli apakah AM menggunakan aplikasi bajakan di perangkat Androidnya
atau tidak. Jika peneliti kaitkan dengan teori intimate handler, maka dapat disimpulkan
bahwa kedua orang tua dari AM termasuk intimate handler yang tidak berpartisipasi dalam
mencegah niat pelaku (AM) untuk melakukan kejahatan (menggunakan aplikasi bajakan).
Di dalam teori intimate handler, kedua orang tua AM seharusnya mampu
merepresentasikan individu yang memiliki pengetahuan yang cukup dan keberadaannya
disadari oleh para individu yang berpotensi untuk menjadi pelaku kejahatan di dalam
memberikan pengaruh penggentarjeraan (special deterrence) dengan mengingatkan pelaku
Penggunaan aplikasi..., Askar Juara, FISIP UI, 2013.
akan ikatan sosial yang dimilikinya sehingga individu tersebut mengurungkan niatnya dan
dapat mencegah dilakukannya kejahatan oleh individu tersebut (Felson, 1986). Hal ini juga
ditemukan pada kedua orang tua RF. Walaupun kedua orang tuanya menggunakan
perangkat Android, namun untuk hal penggunaan aplikasi bajakan mereka tidak
menghiraukannya. Mungkin karena kedua orang tua RF hanyalah sebatas basic user saja.
Jika melihat kepada saudara kandung dari kedua informan, peneliti mendapatkan
hasil yang lebih kurang sama. Baik AM maupun RF sama-sama memiliki adik kandung
laki-laki. Keduanya pun menggunakan perangkat Android. Sama seperti orang tua kedua
informan, adik dari AM maupun RF juga tidak termasuk intimate handler yang baik.
Masing-masing mengikuti jejak dari kakak mereka, yakni belajar untuk mendalami
Android sehingga bisa menjadi advance user, dan tentunya, dengan menggunakan aplikasi
bajakan.
Peer group atau teman bermain dari kedua informan juga tidak termasuk intimate
handler yang baik. AM mengatakan bahwa teman-temannya tidak mempermasalahkan jika
AM menggunakan aplikasi bajakan pada perangkat Androidnya. Mereka cenderung ikut
menikmati aplikasi bajakan yang dimiliki oleh AM. Hal serupa juga dikemukakan oleh RF.
Sehingga bisa disimpulkan beberapa teman bermain dari kedua informan tidak termasuk
intimate handler yang dapat mengurangi niat kedua informan untuk menggunakan aplikasi
bajakan di perangkat Androidnya.
Sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, bahwa para pengguna perangkat Android
dapat dengan mudah menemukan ataupun saling berbagi di jejaring sosial, situs forum,
ataupun situs web di internet. Keberadaan mereka seakan didiamkan saja oleh pihak yang
berwajib, dalam hal ini kepolisian. Sepengetahuan peneliti, belum ada tindakan yang
dilakukan kepolisian mengenai penyebaran aplikasi Android bajakan.
Melalui observasi di beberapa situs berita di internet, peneliti hanya menemukan
tindakan polisi yang melakukan razia software bajakan di sejumlah pusat pemberlanjaan
komputer. Seperti misalnya yang baru dilakukan pada bulan Juni 2013 lalu di Bandung.
Petugas Direktorat II Tindak Pidana Khusus Mabes Polri menggelar inspeksi mendadak
(sidak) ke Bandung Elektronic Center (BEC) pada hari Rabu tanggal 19 Juni 2013
(bandung.okezone.com, 2013). Akan tetapi jika melihat pada tindakan serupa polisi
Penggunaan aplikasi..., Askar Juara, FISIP UI, 2013.
sebelumnya, hal ini tidak mampu menanggulangi penyebaran software bajakan tersebut.
Beberapa waktu setelah razia para pedagang akan kembali menjual software bajakan lagi.
Pihak kepolisian sepertinya juga lebih berkonsentrasi untuk melakukan tindakan
kepada penggunaan software bajakan di tingkat perusahaan dibandingkan dengan
perorangan. Bekerja sama dengan Business Software Alliance pada bulan Maret 2013,
polisi menertibkan 20 perusahaan pengguna software bajakan yang berada di kawasan
industri di sekitar Subang, Bogor, dan Cikarang. Mereka memeriksa lebih dari 400
perangkat komputer dan menyita software tidak berlisensi senilai USD$ 177.018 atau
sekitar Rp 1,7 miliar yang dimiliki Adobe, Autodesk, Microsoft, dan Symantec
(inet.detik.com, 2013).
Ketiadaan penjagaan yang seharusnya diwakilkan oleh pihak kepolisian dalam
mencegah ataupun memberantas penyebaran aplikasi Android bajakan membuat para
pengguna Android merasa aman-aman saja mereka menggunakan aplikasi bajakan. Para
penyebarnya juga menjadi tidak takut karena apa yang mereka lakukan untuk sementara ini
belum ditindak oleh kepolisian. Hal ini sesuai dengan uncapable guardian, suatu kondisi
dimana tidak adanya penjagaan yang dapat mencegah terjadinya kejahatan (Cohen dan
Felson, 1979).
Setelah membahas satu per satu, peneliti akan menggabungkan semua
analisis ke dalam satu kesinambungan. Teori CRAVED, crime facilitator, dan intimate
handler tergabung dalam satu konsep yang disebut dengan teori routine activity. Teori ini
menyatakan bahwa kejahatan dapat terjadi karena adanya konvergensi dari tiga aspek, yaitu
motivated offender (pelaku kejahatan), suitable target (sasaran korban kejahatan), dan
uncapable guardian (penjagaan) (Cohen dan Felson, 1979).
Motivated offender (pengguna perangkat Android) dapat termotivasi untuk
melakukan kejahatan (menggunakan aplikasi bajakan) jika adanya crime facilitators yang
dapat membantu orang tersebut untuk melakukan kejahatan. Menurut analisis yang sudah
dilakukan oleh peneliti, adanya akun-akun Twitter dan forum yang menyebarkan aplikasi
bajakan mendorong si pelaku untuk mengunduh dan menggunakan aplikasi bajakan
tersebut. Motivasi lainnya juga datang dari intimate handler, yakni orang-orang di sekitar si
pelaku seperti kedua orang tua, saudara kandung, dan teman sepermainan. Hasil analisis
Penggunaan aplikasi..., Askar Juara, FISIP UI, 2013.
menunjukkan bahwa ketiganya bukanlah termasuk intimate handler yang baik. Mereka
tidak peduli dengan tindak kejahatan yang dilakukan oleh si pelaku.
Adanya suitable target (aplikasi bajakan) yang memiliki unsur-unsur yang ada di
dalam CRAVED membuat si pelaku tertarik untuk mencari, mengunduh, serta
menggunakan aplikasi bajakan tersebut. Tentunya hal ini berkaitan dengan crime
facilitators yang sudah menyediakan dan menyebarkan aplikasi tersebut secara cuma-cuma
sehingga si pelaku dengan mudah melakukan tindak kejahatannya.
Uncapable guardian yang tidak berfungsi untuk mencegah niat si pelaku untuk
melakukan kejahatan membuat si pelaku dapat lebih mudah untuk melakukan tindak
kejahatannya. Di dalam analisis yang sudah dilakukan oleh peneliti, uncapable guardian
yang di maksud adalah pihak kepolisian yang dianggap tidak berbuat apa-apa dalam
permasalahan penggunaan aplikasi Android bajakan di tingkat individual.
Keterikatan antara tiga unsur tersebut menjadikan apa yang dilakukan oleh AM
maupun RF masuk ke dalam teori routine activity. Dibuktikan oleh tiga unsur yang sudah
dibahas sebelumnya. Hasil analisis memperlihatkan bahwa apa yang dilakukan oleh kedua
informan tersebut terjadi karena adanya kesinambungan antara adanya crime facilitators
dan minimnya peran intimate handler yang mendorong motivated offender untuk
melakukan tindak kejahatan, adanya suitable target yang dicari oleh si pelaku, dan
uncapable guardian yang diwakilkan oleh kepolisian yang kurang peduli dengan apa yang
pelaku lakukan.
Kesimpulan
Setelah melakukan pengumpulan data dan melakukan analisis dengan teori dan
konsep yang digunakan, peneliti menemukan beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Adanya sebuah kondisi yang membuat motivated offender (AM dan RF) termotivasi
untuk menggunakan aplikasi Android bajakan yang dibantu oleh adanya crime
facilitators (situs-situs, forum Kaskus, dan Twitter yang menyebarkan aplikasi
Android bajakan) dan intimate handler yang tidak berperan dengan baik.
2. Suitable target (aplikasi bajakan) yang mengandung beberapa unsur dari CRAVED
membuat pengguna perangkat Android mengunduh aplikasi bajakan tersebut.
Penggunaan aplikasi..., Askar Juara, FISIP UI, 2013.
3. Uncapable guardian yang diwakilkan oleh pihak kepolisian, membuat pengguna
aplikasi Android bajakan tidak takut untuk menggunakan aplikasi Android bajakan.
Saran
Peneliti telah membuat beberapa kesimpulan dari penelitian ini di bagian
sebelumnya. Mengacu pada kesimpulan-kesimpulan tersebut, peneliti memiliki beberapa
saran:
1. Melakukan sosialisasi mengenai kerugian penggunaan aplikasi bajakan kepada
kedua orang tua, saudara kandung, dan teman-teman si pelaku.
2. Memberantas situs-situs web, akun Twitter, ataupun thread yang ada di situs
forum komunitas yang menyebarkan aplikasi Android bajakan.
3. Pihak kepolisian dapat menindak lebih tegas terhadap pelanggar yang
membajak, menyebarkan, serta menggunakan aplikasi Android bajakan.
Daftar Pustaka
Icove, David, et. al.“Computer Crime : A Crimefighter’s Handbook”, O’Reilly and
Associates Inc., 1995.
Felson, M. “Linking Criminal Choices, Routine Activities, Informal Control, and Criminal
Outcomes”. Di dalam D. Cornish and R. Cornish (eds.), “The Reasoning Criminal :
Rational Choice Perspectives on Offending”. New York: Springer-Verlag, 1986.
Creswell, John W. “Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five
Approaches Second Edition”. Thousand Oaks, CA: Sage Publications Inc, 2007.
Cohen, L. and Felson, M. “Social Change and Crime Rate Trends : A Routine Activity
Approach”. American Sociological Review, Vol 44 No 4, 1979.
Clarke, Ronald V., “Hot Products: Understanding, Anticipating and Reducing Demand for
Stolen Goods”, Police Research Series Paper 112, Home Office Policing and
Reducing Crime Unit Research, Development and Statistics Directorate, 1999.
Tulisan oleh Jared Newman yang berjudul “Android's Piracy Problem Drives Dead
Trigger Price to Zero”, diakses pada 23 Juli 2012.
Penggunaan aplikasi..., Askar Juara, FISIP UI, 2013.
http://www.pcworld.com/article/259686/androids_piracy_problem_drives_dead_tri
gger_price_to_zero.html
Tulisan oleh Stuart Dredge yang berjudul “Developer says piracy forced Dead Trigger
Android game to go free”, diakses pada 23 Juli 2012.
http://www.guardian.co.uk/technology/appsblog/2012/jul/23/dead-trigger-android-
free-piracy
Tulisan pada situs bbc.co.uk yang berjudul “US seizes Android app piracy sites in
copyright crackdown”, diakses pada 22 Agustus 2012.
http://www.bbc.co.uk/news/technology-19347543
Tulisan oleh Jamie Rigg yang berjudul “Gartner: smartphone sales up 47 percent in Q3,
Android's OS market share increases”, diakses pada 14 November 2012.
http://www.engadget.com/2012/11/14/gartner-phone-sales-q3-2012/
Tulisan oleh Brian Womack yang berjudul “Google Says 700,000 Applications Available
for Android”, diakses pada 29 Oktober 2012.
http://www.businessweek.com/news/2012-10-29/google-says-700-000-applications-
available-for-android-devices
Tulisan oleh Thomas Claburn yang berjudul “Android Survey Highlights Piracy Problem”,
diakses pada 8 September 2012.
http://www.informationweek.com/security/application-security/android-survey-
highlights-piracy-problem/231601064
Tulisan oleh Wesley Yin-Poole yang berjudul “Football Manager dev hopes to stick with
Android despite 9:1 piracy rate”, diakses pada 24 April 2012.
http://www.eurogamer.net/articles/2012-04-24-football-manager-dev-hopes-to-
stick-with-android-despite-9-1-piracy-rate
Tulisan oleh Oris Riswan yang berjudul “Bandung Jadi Sasaran Razia Software Bajakan”,
diakses pada 7 Juli 2013.
http://bandung.okezone.com/read/2013/06/20/526/824709/redirect
Tulisan oleh Rachmatunisa yang berjudul “20 Perusahaan Kena Razia Software Bajakan”,
diakses pada 7 Juli 2013.
Penggunaan aplikasi..., Askar Juara, FISIP UI, 2013.
http://inet.detik.com/read/2013/05/09/131132/2241857/399/20-perusahaan-kena-
razia-software-bajakan
Penggunaan aplikasi..., Askar Juara, FISIP UI, 2013.