1
PENGARUH MODERASI PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP
HUBUNGAN BELANJA MODAL DAN KEMANDIRIAN KEUANGAN
DAERAH
Suhandarini SugionoUniversitas Negeri Surabaya
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
Financial independence of the region shows the government's ability to finance its own activities of governance, development and services to the people who have paid taxes and levies as a source of local revenue needed without relying on central government funding. The purpose of this study is to determine the effect of moderating the relationship capital expenditure and financial independence of the region.This study uses secondary data began the period 2009 to 2013 were obtained from the Regional Asset Finance Agency and the East Java province. Research sample as amount of 180 from 28 districts and 8 cities. The analytical method used is a simple regression and Moderated Regression Analysis. The results of the analysis indicate that capital expenditures affect Financial Independence Regional and Local Revenue is able to moderate the relationship between Capital Expenditure and Financial Independence Regional.
Keywords: Capital Expenditure, Financial Independence of Regional and Local Revenue
ABSTRAK
Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah tanpa menggantungkan dana dari pemerintah pusat. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh moderasi terhadap hubungan belanja modal dan kemandirian keuangan daerah. Penelitian ini menggunakan data sekunder mulai periode 2009 sampai dengan 2013 yang diperoleh dari Badan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Jawa Timur. Sampel penelitian berjumlah 180 dari 28 kabupaten dan 8 kota. Metode analisis yang digunakan adalah Regresi Sederhana dan Moderated Regression Analysis. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara parsial, Belanja Modal berpengaruh terhadap Kemandirian Keuangan Daerah dan Pendapatan Asli Daerah mampu memoderasi hubungan antara Belanja Modal dan Kemandirian Keuangan Daerah.
Kata Kunci: Belanja Modal, Kemandirian Keuangan Daerah dan Pendapatan Asli Daerah.
2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 yang menjadi landasan utama
dalam pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya memberikan peluang yang lebih
besar kepada daerah untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki daerah. Dengan
otonomi daerah, pemerintah daerah diharapkan semakin mandiri, mengurangi
ketergantungan terhadap pemerintah pusat, baik dalam pembiayaan pembangunan
maupun dalam hal pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah yang
baik tidak hanya membutuhkan sumberdaya manusia yang handal tetapi juga harus
didukung oleh kempuan keuangan daerah yang memadai. Kebijakan mengenai
otonomi daerah merupakan tantangan dan peluang bagi pemerintah daerah untuk
dapat mengelola sumber daya yang dimiliki secara efektif dan efisien. Untuk dapat
meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan otonomi daerah, pemerintah
daerah harus memperhatikan aspek-aspek didalam daerah tersebut seperti potensi
daerah, keanekaragaman daerah dan daya saing daerah didalam menghadapi
tantangan persaingan global.
Hersey dan Blanchard dalam Halim (2001:168) mengemukakan mengenai
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah,
terutama pelaksanaan undang-undang tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah, yaitu: (1) Pola hubungan instruktif, yaitu peranan
pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah (daerah
tidak mampu melaksanakan otonomi daerah secara finansial); (2) Pola hubungan
konsultatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang dan lebih
3
banyak pada pemberian konsultasi karena daerah dianggap sedikit lebih mampu
melaksanakan otonomi daerah; (3) Pola hubungan partisipatif, yaitu pola dimana
peranan pemerintah pusat semakin berkurang mengingat tingkat kemandirian daerah
otonom bersangkutan mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi. Peran
pemberian konsultasi beralih ke peran partisipasi pemerintah pusat; (4) Pola
hubungan delegatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada lagi
karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan
otonomi daerah. Pemerintah pusat siap dan dengan keyakinan penuh mendelegasikan
otonomi keuangan kepada pemerintah daerah.
Penelitian yang dilakukan oleh Ariani (2010) yang menemukan bahwa
belanja modal berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemandirian keuangan
daerah. Belanja modal digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana daerah,
dana yang digunakan untuk alokasi belanja modal berasal dari pendapatan asli
daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah. Tingkat kemandirian
keuangan daerah ditunjukan dengan kontribusi pendapatan asli daerah lebih besar
daripada kontribusi dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah yang
dialokasikan untuk belanja daerah, salah satunya dialokasikan untuk belanja modal.
Artinya apabila dana belanja daerah atau belanja modal lebih besar dibiayai dari
pendapatan asli daerah maka daerah dapat dikatakann mandiri.
Menurunnya pendapatan daerah maka akan mempengaruhi alokasi belanja
modal karena pemerintah akan menyesuaikan alokasi belanja dengan pemasukan
yang diperoleh. Perubahan alokasi belanja ini akan mempengaruhi pembangunan
infrastruktur serta sarana dan prasarana daerah. Pendapatan asli daerah dapat
diartikan sebagai pendapatan yang bersumber dari pungutan-pungutan yang
4
dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku
yang dapat dikenakan kepada setiap orang atau badan usaha milik pemerintah
maupun milik swasta, karena perolehan jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah
tersebut maka daerah dapat melaksanakan pungutan dalam bentuk pajak, retribusi
dan penerimaan lainnya yang sah sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku
(Florida, 2006).
Pemerintah daerah sudah seharusnya lebih memaksimalkan potensi
daerahnya sendiri untuk mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat
ataupun pemerintah provinsi dan pendapatan anggaran daerah lebih dialokasikan
untuk kepentingan publik daripada kepentingan aparatur. Akan tetapi, faktanya
dalam anggaran pendapatan dan belanja, porsi anggaran aparatur masih jauh lebih
besar daripada anggaran untuk rakyat misalnya anggaran belanja modal,
anggarannya lebih kecil daripada belanja pegawai. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Putro (2009) dan Yovita (2011) yang mengatakan, bahwa
pendapatan asli daerah tidak berpengaruh terhadap anggaran belanja modal hal ini
disebabkan karena pendapatan asli daerah lebih banyak digunakan untuk membiayai
belanja pegawai dan biaya langsung lainnya daripada untuk membiayai belanja
modal. Berdasarkan data Kemendagri, selama 5 tahun terakhir (2013, 2012, 2011,
2010, 2009) 40%-45% belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
dialokasikan untuk belanja pegawai, sedangkan porsi belanja barang dan jasa sebesar
19%-20%, sementara belanja modal rata-ratanya 22%-29%. Jumlah kabupaten/kota
yang belanja pegawainya di atas 50% dari APBD cenderung meningkat sejak 2008.
Pada 2008, jumlahnya hanya 39,02% atau 179 daerah, sedangkan pada 2009, 2010
5
dan 2011 jumlahnya terus meningkat, masing-masing 226 daerah (46,03%), 285
daerah (58,04%) dan 297 daerah (60,49%).
Penjelasan diatas menimbulkan adanya konflik keagenan, dalam mengambil
kebijakan keuangan menguntungkan prinsipal. Agent disini adalah pemerintah dan
principal adalah masyarakat. Principal memiliki wewenang pengaturan kepada
agent, dan memberikan sumberdaya kepada agen (dalam bentuk pajak dan lain-lain).
Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat wajib menyampaikan
laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah
daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Bila keputusan agen
merugikan bagi prinsipal maka akan timbul masalah keagenan. Masalah yang terjadi
adalah masyarakat yang mengharapkan anggaran untuk perbaikan fasilitas umum
seperti jalan, irigasi, jaringan dan belanja yang termasuk dalam komponen belanja
modal seharusnya lebih besar, kenyataanya dalam data Kemendagri anggaran untuk
belanja pegawai dalam bentuk gaji pegawai dan tunjangan Pegawai Negeri Sipil
(PNS) lebih besar. Apabila belanja modal semakin rendah maka peluang
pembangunan dan perbaikan fasilitas umum daerah akan semakin kecil, semakin
kecil pembangunan dan perbaikan fasilitas umum daerah maka peluang
mendapatkan Pendapatan Asli Daerah yang lebih tinggi juga semakin kecil karena
dengan fasilitas umum seperti jalan, irigasi dan jaringan yang kurang baik akan
membuat investor enggan untuk berinvestasi didaerah tersebut, adanya investor
tentunya akan menambah hasil Pendapatan Asli Daerah berupa pajak daerah. Jika
Pendapatan Asli Daerah didaerah rendah maka peluang kemandirian keuangan
daerah juga semakin rendah. Pada prinsipnya kebijakan desentralisasi fiskal
6
mengharapkan ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat berkurang,
sehingga mampu mencapai kemandirian daerah sebagaimana tercapainya tujuan
otonomi. Menurut Halim (2007), ketergantungan kepada bantuan pusat harus
seminimal mungkin, sehingga Pendapatan Asli Daerah harus menjadi sumber
keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
Penelitian iini menguji pengaruh moderasi pendapatan asli daerah terhadap
hubungan belanja modal dan kemandirian keuangan daerah. Populasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah laporan kota dan kabupaten di Provinsi Jawa
Timur yang memiliki laporan APBD antara tahun 2009 sampai dengan tahun 2013.
KAJIAN PUSTAKA
Teori Keagenan
Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan teori keagenan sebagai
hubungan antara agen (manajemen,manajer) dan principal (pemilik perusahaan). Di
dalam hubungan keagenan terdapat suatu kontrak dimana satu orang atau lebih
(pemilik perusahaan) memerintah orang lain (manajer) untuk melakukan suatu jasa
atas nama pemilik perusahaan dan memberi wewenang kepada manajer untuk
membuat keputusan yang terbaik bagi pemilik perusahaan.
Hubungan antara masyarakat dengan pemerintah adalah seperti hubungan
antara principal dan agent. Masyarakat adalah principal dan pemerintah adalah
agent. Principal memberikan wewenang pengaturan kepada agent, dan memberikan
sumberdaya kepada agent (dalam bentuk pajak dan lain-lain). Sebagai wujud
pertanggungjawaban atas wewenang yang diberikan, agen memberikan laporan
pertanggungjawaban terhadap prinsipal. Karena tidak mengetahui apa yang
7
sebenarnya dilakukan oleh agen (assymetric information) maka principal
membutuhkan pihak ketiga yang mampu meyakinkan prinsipal bahwa apa yang
dilaporkan oleh agent adalah benar (Santoso dan Pambelum, 2008).
Otonomi Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjelaskan definisi otonomi
daerah, yaitu hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Asas penting dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang otonomi
daerah yang perlu dipahami, antara lain:
1. Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi
vertikal di wilayah tertentu.
3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau
desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
4. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah suatu sistem
pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup
pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerataan antar
daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan
memperhatikan potensi, kondisi, serta kebutuhan daerah, sejalan dengan
8
kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan
kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya.
Otonomi daerah akan memberikan dampak positif di bidang ekonomi bagi
perekonomian daerah. Beberapa indikator ekonomi atas keberhasilan suatu daerah
dalam melaksanakan otonomi daerah adalah (Wenny, 2012):
1. Terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah (PDRB) riel, sehingga
pendapatan per kapita akan terdorong.
2. Terjadinya kecenderungan peningkatan investasi, baik investasi asing maupun
domestik.
3. Kecenderungan semakin berkembangnya prospek bisnis/usaha di daerah.
4. Adanya kecenderungan meningkatnya kreativitas pemda dan masyarakatnya.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana
operasional keuangan pemerintah daerah, dimana di satu pihak menggambarkan
perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan
proyek-proyek daerah dalam satu tahun anggaran tertentu, dan pihak lain
menggambarkan perkiraan penerimaan dan sumber-sumber penerimaan daerah guna
menutupi pengeluaran-pengeluaran yang dimaksud (Halim, 2007:20).
Keuangan Daerah
Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah
dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang langsung
maupun tidak langsung mencerminkan kemampuan pemerintah daerah dalam
membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan
sosial masyarakat. Keuangan daerah secara sederhana dapat diartikan sebagai semua
9
hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu
baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang
belum dimiliki dan dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-
pihak lain sesuai dengan ketentuan atau peraturan perundangan yang berlaku (Halim,
2007:230).
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005
Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 1 ayat 5, keuangan daerah adalah
semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah
yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang
berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam rangka Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Belanja Modal
Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan pengeluaran
anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih
dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi belanja modal untuk perolehan
tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan aset tak berwujud.
Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah dalam
membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan
yang diperlukan daerah (Halim, 2002:128). Kemandirian keuangan daerah juga
menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah.
Semakin tinggi tingkat kemandirian keuangan suatu daerah berarti semakin tinggi
10
partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan
komponen PAD.
Kemandirian keuangan daerah dapat diukur menggunakan rasio kemandirian.
Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana
ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian daerah, tingkat ketergantungan terhadap
bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah, dan
sebaliknya (Halim, 2004:150).
Pendapatan Asli Daerah
Menurut UU No. 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan
yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang
dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah asli
yang digali di daerah tersebut untuk digunakan sebagai modal dasar pemerintah
daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil
ketergantungan dana dari pemerintah pusat. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari
pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan,
dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Kerangka Pemikiran
Dalam teori keagenan hubungan masyarakat dan pemerintah seperti
hubungan principal dan agent. Agent diharapkan dalam mengambil kebijakan
keuangan menguntungkan principal. Principal memiliki wewenang pengaturan
kepada agent, dan memberikan sumberdaya kepada agen dalam bentuk pajak,
retribusi, dana perimbangan, hasil pengelolaan kekayaan daerah dan lain-lain
pendapatan daerah yang sah. Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas
11
menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat wajib
menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai
apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak.
Bila keputusan agen merugikan bagi principal maka akan timbul masalah keagenan
(Santoso dan Pambelum, 2008).
Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia yaitu:
(1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manuasia
memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded
rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk adverse). Dalam hal ini
masyarakat mengharapkan anggaran untuk pembangunan infrastruktur sarana
prasarana, perbaikan fasilitas umum atau layanan masyarakat seperti jalan, irigasi,
jaringan dan belanja yang termasuk dalam komponen Belanja Modal seharusnya
lebih besar, akan tetapi kenyataanya dalam data Kemendagri lima tahun terakhir
(2013, 2012, 2011, 2010, 2009) anggaran untuk Belanja Pegawai dalam bentuk gaji
pegawai dan tunjangan PNS lebih besar yaitu 40%-45% dialokasikan untuk Belanja
pegawai dan alokasi untuk Belanja Modal rata-ratanya 22%-29%, sedangkan sisanya
untuk dialokasikan untuk belanja barang dan jasa sebesar 19%-20%.
Pendapatan asli daerah mempunyai peran didalam menentukan belanja modal
dan juga kemandirian daerah. Apabila pendapatan asli daerah tinggi maka peluang
daerah untuk menaikkan besarnya belanja modal juga semakin tinggi. Hal ini
dikarenakan sumber pengeluran pemerintah digunakan untuk belanja modal, belanja
pegawai dan belanja barang jasa. Apabila Belanja Modal semakin rendah maka
peluang pembangunan infrastruktur sarana prasarana dan perbaikan fasilitas umum
daerah akan semakin kecil, semakin kecil pembangunan dan perbaikan fasilitas
PAD
Kemandirian Keuangan Daerah
Teori Keangenan
Masyarakat Pemerintah
Layanan Masyarakat
Gaji dan tunjangan pegawai
Belanja Modal > Belanja Pegawai
Belanja Pegawai > Belanja Modal
12
umum daerah maka peluang daerah tersebut untuk mendapatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang lebih tinggi juga semakin kecil karena dengan fasilitas umum
seperti jalan, irigasi dan jaringan yang kurang baik akan membuat investor berpikir
ulang untuk berinvestasi didaerah tersebut, adanya investor tentunya akan menambah
peluang bertambahnya hasil Asli Daerah (PAD) untuk daerah. Besar kecilnya
pendapatan asli daerah juga akan menentukan apakah daerah tersebut dapat
dikatakan mandiri ataukah tidak. Suatu daerah dapat dikatakan mandiri apabila
daerah tersebut dapat sepenuhnya membiayai pengeluaran daerah dengan sumber
pendapatan asli daerahnya sendiri tanpa menggantungkan dana dari pemerintah
pusat. Pada prinsipnya kebijakan desentralisasi fiskal mengharapkan ketergantungan
daerah terhadap pemerintah pusat berkurang, sehingga mampu mencapai
kemandirian daerah sebagaimana tercapainya tujuan otonomi. Menurut Halim
(2007), ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga
Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi sumber keuangan terbesar yang
didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Gambar 1Kerangka Pemikiran
13
Hipotesis
H1 : Terdapat pengaruh Belanja Modal terhadap Kemandirian Keuangan Daerah.
H2 : Terdapat pengaruh Pendapatan Asli Daerah sebagai Variabel Moderasi
terhadap hungan Belanja Modal dan Kemandirian Keuangan Daerah.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak
langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain).
Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh dari Laporan Keuangan pada
Kantor Badan Pemeriksa Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Jawa Timur.
Metode dan Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
dokumentasi. Metode ini dilakukan dengan mengumpulkan data yang berasal dari
dokumen BPKAD. Data dalam penelitian ini berasal dari laporan APBD pemerintah
kabupaten/kota se-Jawa Timur.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laporan APBD seluruh
Kota dan Kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Sampel penelitian ini Kota dan
Kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang memiliki laporan APBD antara tahun 2009
sampai dengan tahun 2013.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Moderated
Regression Analysis (MRA). MRA menggunakan pendekatan analisis yang
14
mempertahankan integritas sampel dan memberikan dasar untuk mengontrol
pengaruh variabel moderator (Ghozali, 2006:203). Teknik ini dipilih karena
penelitian ini dirancang untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap
variabel dependen dengan dimoderasi oleh variabel pemoderasi.
Definisi Operasional
Variabel Independen
Variabel independen yang merupakan variabel (X) dalam penelitian ini
adalah Belanja Modal. Belanja modal adalah pengeluaran pemerintah yang
diwujudkan dalam bentuk tanah, gedung, mesin, peralatan dan lain-lain yang
memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun.
Indikator variabel belanja modal diukur dengan:
Keterangan
BT = Belanja Tanah
BPM = Belanja Peralatan dan Mesin
BGB = Belanja Gedung dan Bangunan
BJIJ = Belanja Jalan, Irigasi, dan Jaringan
BATL = Belanja Aset Tetap Lainnya
Variabel Moderating
Variabel moderating yang merupakan variabel (Z) dalam penelitian ini
adalah Pendapatan Asli Daerah. Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber
penerimaan daerah asli yang digali di daerah tersebut untuk digunakan sebagai
modal dasar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha-usaha
BM = BT – BPM + BGB + BJIJ + BATL
15
daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat. Pendapatan
Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Variabel Pendapatan Asli daerah diukur dengan rumus:
Keterangan
PAD = Pendapatan Asli Daerah
PD = Pajak Daerah
RD = Retribusi Daerah
HPKDD = Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
LPS = Lain-lain PAD yang Sah
Variabel Dependen (Y)
Variabel dependen yang merupakan variabel (Y) dalam penelitian ini adalah
Kemandirian Keuangan Daerah. Kemandirian keuangan daerah menunjukkan
kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah,
pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat. Kemandirian daerah dapat diukur
dengan rasio kemandirian. Formulasi rasio kemandirian sebagai berikut:
Keterangan
RK = Rasio Kemandirian
PAD = Pendapatan Asli Daerah
TPD = Total Pendapatan Daerah
PAD = PD + RD + HPKDD + LPS
RK= PADTPD
x100 %
16
Pola hubungan pemerintah pusat dan daerah serta tingkat kemandirian dan
kemampuan keuangan daerah dapat disajikan dalam matriks pada Tabel 3.1 berikut
ini (Mahsun, 2006:187).
Tabel 1Pola Hubungan, Tingkat Kemandirian
dan Kemampuan Keuangan Daerah
Sumber: Mahsun, 2006.
Langkah-langkah untuk melakukan perhitungan rasio kemandirian keuangan daerah:
a. Membuat tabel PAD dan Total Pendapatan Daerah tahun 2009-2013.
b. Menggunakan formula rasio kemandirian untuk mengidentifikasi hasil dari rasio
kemandirian.
c. Kesimpulan dari hasil identifikasi formula rasio kemandirian dengan berpatokan
pada:
1) Apabila hasil rasio kemandirian 0%-25%, berarti kemampuan daerah tersebut
rendah sekali. Rasio kemandirian dengan tingkat kempuan keuangan daerah
rendah sekali sangat bergantung kepada pemerintah pusat (pola hubungan
instruktif).
2) Apabila hasil rasio kemandirian 25%-50%, berarti kemampuan daerah
tersebut rendah. Rasio kemandirian dengan tingkat kempuan keuangan
daerah rendah dalam hal keuangan sudah mulai berkurang campur tangan
Kemampuan
Keuangan
Rasio Kemandirian
(%)Pola Hubungan
Rendah Sekali 0-25 Instruktif
Rendah >25-50 Konsulatif
Sedang >50 -75 Partisipatif
Tinggi >75-100 Delegatif
17
dari pemerintah. Sehingga, daerah tersebut dianggap sedikit lebih mampu
untuk melaksanakan otonomi daerah (pola hubungan konsulatif).
3) Apabila hasil rasio kemandirian 50%-75%, berarti kemampuan keuangan
daerah tersebut sedang. Rasio kemandirian dengan tingkat kempuan
keuangan daerah sedang dianggap mendekati mampu melaksanakan otonomi
daerah (pola hubungan partisipatif).
4) Apabila hasil rasio kemandirian 75%-100%, berarti kemampuan keuangan
daerah tersebut tinggi. Rasio kemandirian dengan tingkat kempuan keuangan
daerah tinggi maka campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena
daerah telah benar-benar mampu melaksanakan otonomi (pola hubungan
delegatif). (Mahsun, 2006:187).
HASIL
Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif merupakan metode yang digunakan untuk menganalisis
dan menyajikan data kuantitatif yang jumlahnya relatif besar dengan tujuan untuk
memberikan gambaran atau deskripsi suatu data agar dapat dimengerti dengan
mudah (Ghozali, 2006). Tabel 2 menunjukkan nilai minimum, nilai maksimum, rata-
rata, dan standar deviasi terhadap variabel penelitian.
Tabel 2Statistik Deskriptif
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
PAD180
19.232.952.539,540
2.570.793.944.555,000
141.706.170.774,591
308.032.619.064,759
18
Lanjutan Tabel 2N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
BM180
28.973.961.400,000
2.017.845.265.885,650
222.826.656.514,247
263.723.500.377,664
KKD 180 2,686343531 51,09591471 9,768771274 7,359471489
Valid N (listwise)
180
Sumber: Data yang telah diolah
Kemandirian keuangan daerah dapat diukur dengan rasio kemandirian. Rasio
kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern.
Semakin tinggi rasio kemandirian daerah tingkat ketergatungan terhadap bantuan
pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, dan
sebaliknya (Halim 2004:150). Rata-rata rasio kemadirian keuangan daerah adalah
9,77 (dalam rentang 2,69 sampai 51,09 dan standar deviasi 7,36). Hal ini
menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kemandirian keuangan daerah di Jawa Timur
19
adalah masuk dalam kategori sangat rendah. Rata-rata daerah di Jawa Timur masih
sangat menggantungkan dana dari pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi.
Rata-rata Belanja Modal (BM) menurut perhitungan statistik adalah
Rp 222.826.656.514,247 (dalam rentang Rp 28.973.961.400 sampai
Rp 2.017.845.265.885,60 dan standar deviasi 263.723.500.377,664). Sedangkan
rata-rata pendapatan asli daerah menurut perhitungan statistik adalah
Rp 141.706.170.774,591 (dalam rentang Rp 19.232.952.539,540 sampai
Rp 2.570.793.944.555). Lebih besarnya belanja modal rata-rata daerah di Jawa
Timur daripada pendapatan asli daerahnya menunjukkan bahwa rata-rata daerah di
Jawa Timur di dalam mendanai belanja modalnya masih menggantungkan dana dari
pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi.
Pengujian Hipotesis
Uji Statistik F
Uji Statistik F (Uji Anova) dilakukan untuk menguji apakah terdapat
pengaruh yang signifikan variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil
proses Uji F dengan tingkat signifikansi 0,05 untuk sampel sebanyak 180 dapat
dilihat pada berikut ini :
Tabel 3Uji Statistik F model 1
Model f P Value KriteriaSiginifikan
Kesimpulan
1 RegressionResidual
Total
68,343 0,000a P<0,05 Siginifikan(0,000<0,05)
Sumber: Data yang telah diolah
Tabel 4
20
Uji Statistik F model 2
Model F P Value KriteriaSiginifikan
Kesimpulan
1 RegressionResidual
Total
414,443
0,000a P<0,05 Signifikan
(0,000<0,05)
Sumber: Data yang telah diolah
Hasil Uji F model satu dan model dua mengindikasikan tingkat signifikansi
pengujian nilai p-signifikan atau p-value (0,00) < (0,05) yang berarti hipotesis
diterima. Jadi, variabel independen berupa Belanja Modal dan variabel moderasi
berupa PAD, mampu menjelaskan variabel dependen yaitu Kemandirian Keuangan
Daerah.
Uji Hipotesis (Uji Statistik T)
Uji t digunakan untuk menguji apakah terdapat pengaruh signifikan variabel
independen secara individual terhadap variabel dependen, serta menguji apakah
terdapat pengaruh variabel moderating pada hubungan variabel independen dengan
variabel dependen. Jika tingkat probabilitasnya lebih kecil dari 0,05, maka dapat
dikatakan variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen. Hasil uji t
model satu dan model dua dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 5Uji Statistik T model 1
ModelT P Value Kriteria
SiginifikanKesimpulan
1 Regression 8,267 0,000a p<0,05 Signifikan (0,000<0,05)
Sumber: Data yang telah diolah
21
Hasil uji regresi linear model satu menunjukkan bahwa variabel Belanja Modal
mempunyai t hitung sebesar 8,267 dengan taraf signifikansi sebesar 0.000. Nilai
signifikansi di bawah 0,05 yang menunjukkan bahwa Belanja Modal mempunyai
pengaruh signifikan terhadap Kemandirian Keuangan Daerah. Dengan demikian,
hipotesis pertama dalam penelitian ini diterima.
Tabel 6Uji Statistik T model 2
Model T P Value KriteriaSiginifikan
Kesimpulan
1 (Constant) 0,000
PAD -12,453 0,000 p<0,05 Signifikan(0,000<0,05)
Lanjutan Tabel 6
Model T P Value KriteriaSiginifikan
Kesimpulan
BM -13,993 0,000 p<0,05 Signifikan(0,000<0,05)
Moderasi 13,805 0,000 p<0,05 Signifikan(0,000<0,05)
Sumber: Data yang telah diolah
Uji regresi linear model dua digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel
moderating PAD pada hubungan Belanja Modal terhadap Kemandirian Keuangan
Daerah. Tabel 4.10 menunjukan bahwa variabel moderasi yang merupakan interaksi
antara Belanja Modal dengan Kemandirian Keuangan Daerah memiliki t hitung
sebesar 13,805 dan nilai sig sebesar 0.000. Nilai sig sebesar 0,000< α 0,05 berarti
variabel moderasi signifikan pada level 5% atau 0,05 sehingga dapat disimpulkan
bahwa PAD dapat memoderasi hubungan Belanja Modal terhadap Kemandirian
Keuangan Daerah. Dengan demikian, hipotesis kedua dalam penelitian ini diterima.
22
PEMBAHASAN
Pengaruh Belanja Modal terhadap Kemandirian Keuangan Daerah
Berdasarkan pengujian hipotesis secara statistik menunjukkan bahwa belanja
modal mempunyai pengaruh signifikan terhadap kemandirian keuangan daerah.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ariani (2010)
yang menemukan bahwa belanja modal berpengaruh signifikan terhadap tingkat
kemandirian keuangan daerah. Belanja modal digunakan untuk pembangunan sarana
dan prasarana daerah, dana yang digunakan untuk alokasi belanja modal berasal dari
pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah.
Tingkat kemandirian keuangan daerah ditunjukan dengan kontribusi pendapatan asli
daerah lebih besar daripada kontribusi dana perimbangan dan lain-lain pendapatan
yang sah yang dialokasikan untuk belanja daerah, salah satunya dialokasikan untuk
belanja modal. Artinya apabila dana belanja daerah atau belanja modal lebih besar
dibiayai dari pendapatan asli daerah maka daerah dapat dikatan mandiri dalam hal
pembiayaan maupun pengelolaan keuangan daerah karena daerah tidak lagi
bergantung pada dana pemerintah pusat. Hasil penelitian ini bertentangan dengan
hasil penelitian yang dilakukan Darsono (2013) dimana belanja modal tidak
berpengaruh terhadap kemaandirian keuangan daerah.
Konflik antara agent (pemerintah) dengan masyarakat principal
(masyarakat). Masyarakat mengharapkan sumber daya berupa pajak dan retribusi
yang diserahkan kepada pemerintah dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk
belanja modal berupa fasilitas yang baik tapi pada kenyataannya dalam data
kemendagri belanja pegawai berupa gaji dan tunjangan pegawai lebih besar daripada
belanja modal. Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia
23
salah satunya yaitu manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self
interest), sehingga pemerintah akan lebih mementingan kepentingan aparatur atau
dirinya sendiri daripada mementingkan kepentingan masyarakat, salah satunya lebih
memperioritaskan besarnya belanja pegawai daripada belanja modal, dimana belanja
modal digunakan untuk fasilitas umum masyarakat belanja pegawai digunakan untuk
gaji dan tunjangan pegawai. Akan tetapi, didalam era demokrasi saat ini apabila
kinerja pemerintah dirasa kurang memuaskan oleh masyarakat, masyarakat dapat
menganspirasikan tuntutannya dan dapat menurunkan pemerintah dengan cara demo
atau unjuk rasa. Tentu saja pemerintah tidak menginginkan kegiatan seperti tersebut
terjadi. Untuk itu selain pemerintah juga harus memikirkan kepentingan masyarakat
daripada kepentingan apartur sendiri yaitu dengan menganggarkan belanja modal
lebih besar daripada belanja pegawai. Hal ini juga merupakan salah satu hal yang
dikemukakan oleh Eisenhardt (1989) yaitu manusia selalu menghindari resiko (risk
adverse).
Pengaruh Moderasi Pendapatan Asli Daerah terhadap hubungan Belanja
Modal dan Kemandirian Keuangan Daerah
Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah sebagai
moderasi mampu secara signifikan memoderasi pengaruh belanja modal terhadap
kemandirian keuangan daerah. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh (Wertianti dan Dwirandra, 2013) yaitu pendapatan asli daerah dapat
memoderasi hubungan antara pertumbuhan ekonomi terhadap belanja modal.
Artinya dalam penelitian ini pendapatan asli daerah mampu memperkuat hubungan
kemandirian keuangan daerah terhadap belanja modal. Besar kecilnya pendapatan
24
asli daerah dapat mempengaruhi hubungan belanja modal terhadap kemandirian
keuangan daerah.
Belanja modal berasal dari dana yang didapatkan dari pendapatan asli
daerah, dana perimbangan dan pendapatan lain yang sah. Semakin tinggi dana dari
pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan pendapatan lain yang sah yang
digunakan untuk alokasi belanja modal maka peluang belanja modal juga akan
semakin tinggi. Semakin tinggi rasio kemandirian maka ketergantungan daerah
terhadap sumber dana dari pemerintah pusat semaki rendah. Apabila suatu daerah
mempunyai PAD sebesar satu milyar dan total pendapatan daerah 10 milyar maka
rasio kemandirian keuangan daerahnya adalah 10% dan jika PAD sebesar lima
milyar dan total pendapatan daerah 10 milyar maka rasio kemandirian keuangan
daerahnya adalah 50%. Hal ini menunjukkan semakin besar PAD maka rasio
kemandirian keuangan daerahnya juga akan semakin tinggi, dimana 10% masuk
kategori kemandirian keuangan daerah sangat rendah dan 50% masuk kategori
tingkat kemandirian keuangan daerah sedang. Artinya besar kecilnya PAD
mempengaruhi besar kecilnya belanja modal dan kemandirian keuangan daerah.
Semakin besar PAD maka peluang untuk meningkatkan hubungan belanja modal dan
kemandirian keuangan daerah juga semakin besar.
Belanja modal ditujukan untuk pembangunan berbagai fasilitas infrastruktur
sarana dan prasarana daerah. Pemerintah perlu memfasilitasi berbagai aktivitas
peningkatan perekonomian, salah satunya dengan membuka kesempatan
berinvestasi. Pembangunan infrastruktur dan pemberian berbagai fasilitas
kemudahan dilakukan untuk meningkatkan daya tarik investasi. Pembangunan
infrastruktur industri mempunyai dampak yang nyata terhadap kenaikan pendapatan
25
asli daerah. Apabila sarana dan prasarana memadai maka masyarakat dapat
melakukan aktivitas sehari-hari secara aman dan nyaman yang tentu saja akan
berpengaruh pada tingkat produktivitasnya yang semakin meningkat dengan kata
lain, pembangunan berbagai fasilitas ini akan berujung pada peningkatan
kemandirian keuangan daerah. Hal ini tentu saja juga akan meningkatkan peluang
bertambahnya pendapatan asli daerah.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Simpulan pada penelitian adalah belanja modal secara signifikan berpengaruh
signifikan terhadap kemandirian keuangan daerah. Semakin tinggi belanja modal
maka akan meningkatkan peluang daerah tersebut untuk dapat dikatakan kategori
daerah yang mandiri karena daerah yang mandiri adalah daerah yang memiliki
tingkat pendapatan asli daerah lebih tinggi daripada pendapatan dari dana
perimbangan dan lain-lain yang sah, sedangkan dana dari belanja modal berasal dari
pendapatan asli daerah, dana transfer dana pendapatan lain-lain yang sah. Apabila
dana belanja modal lebih besar berasal dari pendapatan asli daerah daripada dana
perimbangan dan pendapatan lain-lain yang sah berarti daerah tersebut dapat
dikatakan mandiri.
Pendapatan asli daerah secara signifikan memoderasi pengaruh belanja modal
terhadap kemandirian keuangan daerah. Semakin tinggi pendapatan asli daerah maka
akan meningkatkan anggaran belanja modal. Dengan meningkatnya belanja modal
maka akan meningkatkan daerah tersebut untuk dapat dikatakan sebagai daerah yang
mandiri dalam hal pembiayaan maupun pengelolaan keuangan daerah.
Saran
26
1. Dalam penelitian yang akan datang variabel yang digunakan diharapkan bisa
lebih bervariasi dengan menambahkan variabel independen lain non keuangan
ataupun jenis penerimaan pemerintah yang lainnya.
2. Pemerintah daerah diharapkan dapat mengalokasikan anggaran belanja modal
lebih besar daripada belanja pegawai karena dengan adanya peningkatan sarana
dan prasarana didaerah dapat mendorong investor untuk berinvestasi di daerah
dan hal ini berpeluang menaikkan pendapatan asli daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Darwanto dan Yustikasari Y. 2007. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Belanja Modal. Proceeding SNA X. Makassar.
Eriadi. 2004. Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah (Suatu tinjauan Terhadap Perubahan Regulasi Keuangan Daerah). Tesis, Medan.
Florida, Asha. 2007. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Dan Kota di Propinsi Sumatera Utara. Tesis, Medan
Ghozali, I. 2006, Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program SPSS, Cetakan Keempat. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Harianto, D dan Adi, Priyo Hari. 2007. Hubungan antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Asli daerah. Proceeding SNA X. Makassar.
Hidayat, M F. 2013. Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Alokasi Belanja Modal. Brawijaya Journal.
Mahmudi. 2010. Manajemen Keuangan Daerah. Erlangga. Jakarta
Maimunah, M.2006. Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Daerah Pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. Proceeding SNA IX. Padang
Mardiasmo. 2009. Akuntansi Sektor Publik. ANDI. Yogyakarta
27
Nuarisa, SA. 2013. Pengaruh PAD, DAU dan DAK Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Accounting Analysis Journal. Vol.1. Pp. 89-95.
Nugroho, Fajar dan Abdul Rohman. 2012. Pengaruh Belanja Modal Terhadap Kinerja Keuangan Daerah dengan Pendapatan Asli Daerah sebagai Variabel Intervening. Diponegoro Journal of Accounting.Vol. 1. Pp. 1-14.
Prasnanugraha, P. 2007. Analisis Pengaruh Rasio-Rasio Keuangan Terhadap Kinerja Bank Umum di Indonesia. Tesis diterbitkan. Universitas Diponegoro. Semarang
Putro, N S. 2009. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Belanja Modal. Diponegoro Journal of Accounting.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Sekretariat Negara. Jakarta
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sekretariat Negara. Jakarta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta
Sasana, H. 2011. Analisis Determinan Belanja Daerah Di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat Dalam Era Otonomi dan Desentralisasi Fiskal. Jurnal Bisnis dan Ekonomi. Vol. 18. Pp. 46-58.
Setiaji, W dan Priyo Hari Adi. 2007. Peta Kemampuan Keuangan Daerah Sesudah Otonomi Daerah : Apakah Mengalami Pergeseran ?. Proceeding SNA X. Makassar.
Sudarsana, H S. 2O13. Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah Dan Temuan Audit BPK Terhadap Kinerja Keuangan Daerah. Diponegoro Journal of Accounting.
Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.
Sularso, Havid dan Restianto, Yanuar E. 2011. Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Alokasi belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Media Riset Ekonomi. Purwokerto. Vol.1. Pp.109-124.
28
Wenny, CD. 2012. Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Kinerja Keuangan Pada Pemerintah Kabupaten dan Kota Di Propinsi Sumatera Selatan. Forum Bisnis Dan Kewirausahaan Jurnal Ilmiah STIE MDP. Vol.2. Pp. 39-51.
Wertianti, I G A Gede dan A.A.N.B. Dwirandra. 2013. Pengaruh pertumbuhan ekonomi pada belanja modal dengan PAD dan DAU sebagai variabel moderasi. E-jurnal akuntansi universitas udayana. Pp.567-584
Yovita, F M. 2011. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Belanja Modal. Diponegoro Journal of Accounting.