GAMBARAN UMUM PANGAN DUNIA
Terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi sebab mengapa masalah ketahanan
pangan perlu diperbincangkan. Pertama, bahwa pangan adalah hak azasi manusia
yang didasarkan atas 4 (empat) hal berikut:
1. Universal Declaration of Human Right (1948) dan The International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966) yang menyebutkan
bahwa “everyone should have an adequate standard of living, including
adequate food, cloothing, and housing and that the fundamental right to
freedom from hunger and malnutrition”.
2. Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit 1996
yang ditanda tangani oleh 112 kepala negara atau penjabat tinggi dari 186
negara peserta, dimana Indonesia menjadi salah satu di antara
penandatangannya. Isinya adalah pemberian tekanan pada human right to
adequate food (hak atas pemenuhan kebutuhan pangan secara cukup), dan
perlunya aksi bersama antar negara untuk mengurangi kelaparan.
3. Millenium Development Goals (MDGs) menegaskan bahwa tahun 2015 setiap
negara teramsuk Indonesia menyepakati menurunkan kemiskinan dan
kelaparan separuhnya.
4. Hari Pangan Sedunia tahun 2007 menekankan pentingnya pemenuhan Hak
Atas Pangan.
Kedua, kondisi obyektif Indonesia masih berkutat pada masalah gizi.
Masalah gizi tersebut berakar pada masalah ketersediaan, distribusi,
keterjangkauan pangan, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan serta perilaku
masyarakat. Dengan demikian masalah pangan dan gizi merupakan permasalahan
berbagai sektor dan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat.
Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang besar dan tersebar dalam bebagai
wilayah memerlukan penanganan ketahanan pangan yang terpadu. Penanganan
ketahanan pangan dimaksud memerlukan perencanaan lintas sektor dan dengan
sasaran serta tahapan yang jelas dan terukur dalam jangka menengah maupun
panjang.
1
Ketiga, perubahan kondisi global yang menuntut kemandirian. Perubahan
dimaksud tercermin dari: harga pangan internasional yang mengalami lonjakan
drastis dan tidak menentu, adanya kecenderungan negara-negara yang bersikap
egois; mementingkan kebutuhannya sendiri, adanya kompetisi penggunaan
komoditas pertanian (pangan vs pakan vs energi), terjadinya resesi ekonomi
global, dan adanya serbuan pangan asing (“westernisasi diet”). Perubahan kondisi
global tersebut sangat berpotensi menjadi penyebab gizi lebih dan meningkatkan
ketergantungan pada impor.
Memperbincangkan masalah pangan tidak dapat dipisahkan dari masalah
harga pangan sebagai salah satu aspek yang mencerminkan ketersediaan atau
produksi pangan sekaligus permintaan atau konsumsi pangan. Perkembangan
harga beberapa komoditas pangan dunia, yaitu: jagung, gandum dan beras, mulai
bulan Januari 2003 sampai dengan bulan Juli 2008 ditunjukkan melalui gambar 1.
Gambar 1. Perkembangan Harga Pangan Dunia(As of September 2008)
Source: Data from FAO 2008 and IMF 2008.
Berdasarkan gambar 1, tingkat harga pangan yang terdiri dari: jagung,
gandum dan beras memiliki kecenderungan yang semakin meningkat.
Peningkatan harga pangan tersebut cukup drastis pada bulan Juli 2008. Di antara
harga bahan pangan, harga beras umumnya lebih tinggi (lebih mahal)
2
dibandingkan dua bahan pangan lainnya. Bahkan kenaikan harga beras pada bulan
Juli 2008 melebihi kenaikan harga minyak. Hal ini mengindikasikan adanya
ketergantungan dunia terhadap beras yang semakin besar: peningkatan konsumsi
beras yang relatif lebih tinggi dibandingkan ketersediaannya.
Peningkatan harga bahan pangan tidak hanya mengindikasikan
ketergantungan terhadap beras yang semakin besar tetapi lebih lanjut juga
mencerminkan kenaikan tingkat konsumsi pangan yang melebihi ketersediaannya.
Secara umum, dalam dua dasa warsa terakhir, rasio atau perbandingan cadangan
pangan dunia terhadap penggunaan atau konsumsi pangan dunia semakin
menurun. Perkembangan rasio tersebut ditunjukkan melalui gambar 2.
Gambar 2. Stok Pangan Dunia Menurun
Source: United Nations World Food Programme,2008
Gambar 2 menunjukkan bahwa rasio stok terhadap konsumsi pangan dunia
mendekati 15% pada tahun 2008/2009 dari di atas 35% pada tahun 1986/1987.
Pada periode tersebut, cadangan pangan dunia semakin menurun atau (dengan
kata lain) jumlah penduduk dunia yang dijamin pangannya semakin sedikit.
Penurunan rasio tersebut disebabkan tidak adanya kenaikan dalam produksi
3
pangan sementara jumlah penduduk dunia selalu bertambah dari tahun ke tahun.
Jumlah produksi pangan dunia yang terdiri dari: gandum, beras dan butiran
lainnya sejak 1999 sampai dengan 2007 ditunjukkan dalam gambar 3.
Gambar 3. Produksi Pangan Dunia Tidak Meningkat
Source: Data from FAO 2003, 2005-07.
Gambar 3 menunjukkan bahwa jumlah produksi gandum, beras dan butiran
lainnya hampir tidak meningkat sepanjang 1999 sampai dengan 2007. Pada
periode tersebut, produksi beras tidak meningkat dan produksi gandum meningkat
hanya sedikit. Komoditas yang mengalami peningkatan dalam jumlah produksi
adalah butiran lainnya. Hal ini berarti bahwa cadangan pangan dunia lebih banyak
disokong dari produksi butiran dibandingkan dengan gandum dan beras. Lebih
lanjut, penduduk dunia yang dijamin oleh cadangan pangan (dalam jumlah kecil)
adalah mereka yang bergantung pada butiran sebagai makanan pokok. Sedangkan
mereka yang bergantung pada gandum dan beras sebagai makanan pokok tidak
dijamin oleh cadangan. Cadangan atau stok pangan dunia diperkirakan berupa
komodidas selain gandum dan beras.
Minimnya cadangan pangan dunia berpotensi menyebabkan krisis pangan di
beberapa kawasan. Negara-negara yang berisiko mengalami krisis pangan
4
ditunjukkan dalam gambar 4 sebagaimana yang telah disinyalir oleh Perserikatan
Bangsa Bangsa pada tahun 2008.
Gambar 4. Negara Berisiko Terkena Krisis Pangan Dunia
Source: United Nations World Food Programme,2008.
Negara-negara yang berisiko tinggi mengalami krisis pangan sebagian besar
berada kawasan di Asia Selatan dan beberapa negara di Asia Timur serta satu
negara di Asia Tenggara dan Amerika Latin. Kawasan tersebut juga menjadi
tempat negara-negara berisiko sedang mengalami krisis pangan. Selain itu,
kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) juga berisiko mengalami krisis
pangan sedang.
Secara lebih jelas, ketersediaan atau produksi pangan dan permintaan atau
konsumsi pangan, dapat disampaikan bahwa kondisi pangan dunia diperkirakan
akan mengalami ketidak seimbangan pada waktu-waktu mendatang. Ketidak
seimbangan tersebut dikarenakan jumlah permintaan akan pangan yang melebihi
jumlah produksinya. Perkiraan neraca pangan dunia tahun 2025 ditunjukkan
dalam tabel 1.
5
Tabel 1. Perkiraan Neraca Pangan Dunia 2025
Region Population 2025
Consumption/ Capita
Demand 2025
Production 2025
Balance 2025
South Asia 2021 237 549.7 524.6 -25.1
East and Southeast Asia 2387 338 1040.9 914.0 -126.9
Latin America 690 265 217.9 171.2 -46.7
Europe 799 634 506.5 619.4 112.9
North America 410 780 319.5 558.2 238.7
World 8039 363 3046.5 2977.7 -68.8Source: www.worldbank.org
Berdasarkan perkiraan neraca pangan dunia 2025, diperkirakan akan terjadi
ketidak seimbangan (krisis) pangan dunia dimana jumlah permintaan atau
konsumsi pangan melebihi jumlah ketersediaan atau produksi pangan. Surplus
pangan dan minus pangan yang terjadi di beberapa daerah akan menyebabkan
terjadinya aliran pangan dari negara-negara surplus pangan di Eropa dan Amerika
Utara ke arah negara-negara minus pangan di Asia Selatan, Asia Timur dan Asia
tenggara, serta Amerika Latin. Perkiraan krisis pangan tersebut menyebabkan
beberapa negara mengambil tindakan kebijakan untuk melindungi produksi serta
menjamin ketersediaan pangan di dalam negeri.
Beberapa kebijakan yang ditempuh beberapa negara terkait dengan
perlindungan terhadap produksi dalam negeri dan jaminan ketersediaan pangan,
antara lain: restriksi perdagangan, liberalisasi perdagangan, subsidi konsumen,
perlindungan sosial dan kebijakan peningkatan produksi atau penawaran.
Berbagai kebijakan perlindungan pangan yang ditempuh beberapa negara adalah
sebagaimana yang ditunjukkan tabel 2.
6
Tabel 2. Kebijakan Perlindungan Pangan yang Ditempuh Beberapa Negara
Region Trade Restriction
Trade Liberaliz
Consumer Subsidy
Social Protection
Increase Supply
Asia
Bangladesh X X X XChina X X X XIndia X X X X XIndonesia X X X XMalaysia X X XThailand X X XLatin AmericaArgentina X X X XBrazil X X XMexico X X XPeru X X XVenezuela X X X XAfricaEgypt X X X XEthiopia X X X XGhana X XKenya XNigeria X X XTanzania X X X
Source: IMF, FAO, and news reports, 2007-08.
Tabel 2 menunjukkan bahwa kebijakan subsidi konsumen dan peningkatan
produksi merupakan kebijakan yang paling populer dilaksanakan. Nampaknya,
harga jual pangan yang cukup tinggi diharapkan menjadi daya tarik bari petani
untuk memproduksi pangan dalam jumlah yang lebih banyak. Pada sisi lain,
subsidi konsumen ditujukan untuk mengurangi beban konsumen karena harga
pangan yang tinggi. Dua kebijakan yang dilaksanakan secara serentak tersebut,
didukung dengan kebijakan restriksi perdagangan dan perlindungan sosial
diperkirakan dapat memacu pertumbuhan produksi pangan di dalam negeri lebih
7
tinggi. Namun demikian, kebijakan liberalisasi perdagangan yang diupayakan
oleh negara-negara yang memiliki proses produksi pangan efisien dapat menjadi
kemandirian pangan di negara-negara dengan proses produksi tidak efisien.
Efisiensi berarti harga jual produk lebih rendah yang menyebabkan petani-petani
dengan proses produksi tidak efisien enggan berproduksi karena outputnya tidak
laku di pasar (internasional).
Khusus Indonesia, produksi bahan pangan yang terdiri dari: padi, jagung dan
ubi kayu meningkat selama 2003 sampai dengan 2008. Pertumbuhan rata-rata
komoditas tersebut masing-masing 0,47%; 1,12% dan 0,39% per tahun selama
periode tersebut. Akan tetapi, untuk bahan pangan ubi jalar mengalami penurunan
selama periode yang sama. Perkembangan produksi pangan tersebut beserta
produksi bahan nabati lainnya ditunjukkan dalam gambar 5.
Gambar 5. Produksi Pangan Nabati Indonesia
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
8
Produksi ubi jalar mengalami penurunan (pertumbuhan negatif) rata-rata
0,14% per tahun selama 2003 sampai dengan 2008. Berbeda dengan ubi jalar,
produk pangan nabati lainnya, yaitu: kedelai, kacang tanah, sayur, buah-buahan,
minyak sawit dan gula putih mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-
rata 0,44% sampai 3,78% per tahun dalam periode tersebut. Begitu juga produk
pangan hewani, yaitu: daging sapi dan kerbau, daging ayam, telur, susu dan ikan,
produksinya meningkat antara 0,68% sampai 4,04% per tahun sepanjang 2003
sampai dengan 2008.
Gambar 6. Produksi Pangan Hewani Indonesia
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Berdasarkan produksi nabati dan hewani sebagaimana diutarakan di atas,
Indonesia memiliki ketersediaan pangan yang semakin banyak dari tahun ke
tahun. Namun demikian, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
(http://demografi.bps.go.id) laju pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata
1,49% per tahun selama 1990 sampai dengan 2000 dan rata-rata 1,31% per tahun
selama 2000 sampai dengan 2005. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2005
sebesar 218.868.791 Jiwa dan diperkirakan menjadi 227.516.121 Jiwa pada tahun
2008. Dengan jumlah produksi padi 54.151.000 Ton di tahun 2005, maka rasio
9
antara jumlah produksi padi terhadap jumlah penduduk pada tahun 2005 adalah
247,4 Kg/Kapita/Tahun atau 0,7 Kg/Kapita/Hari. Pada tahun 2008, dengan jumlah
produksi padi sebesar 59.877.000 Ton maka rasio tersebut menjadi 263,2
Kg/Kapita/Tahun atau 0,7 Kg/Kapita/Hari. Perhitungan ini menjukkan bahwa
sebenarnya ketersediaan beras di Indonesia sampai dengan 2008 masih memadai.
Namun demikian, oleh karena semakin banyaknya alih fungsi lahan pertanian
menjadi lahan-lahan lain (perumahan, bisnis, dan lain-lain) menyebabkan rasio
tersebut menjadi terganggu.
Terganggunya rasio antara jumlah produksi padi terhadap jumlah penduduk
sebagaimana diutarakan di atas menyebabkan, pada tahun-tahun terakhir,
Indonesia tergantung pada impor. Bahan pangan yang di impor Indonesia, yaitu:
beras, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, sayur, buah-buahan,
minyak goreng, gula, daging sapi dan daging kerbau, daging ayam, telur, susu dan
ikan, selama tahun 2003 sampai dengan 2007 ditunjukkan pada gambar 7.
Gambar 7. Ketergantungan Impor Pangan di Indonesia
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
10
Berdasarkan gambar 7, impor kedelai merupakan bagian terbesar dari
ketersediaan kedelai di dalam negeri. Pada tahun 2007, sebesar 70,6% kebutuhan
kedelai dipenuhi dari impor, sebagian kecil sisanya, yaitu: 29,4% berasal dari
produksi dalam negeri. Hal ini menunjukkan ketergantungan Indonesia yang
sangat besar terhadap impor kedelai. Selain kedelai, susu juga merupakan produk
yang banyak dipenuhi dari pasar internasional. Impor susu pada tahun 2007
merupakan 66,7% dari kebutuhan susu. Persentase ini menurun dibandingkan
dengan yang terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 93,89%.
Komoditas ubi kayu, ubi jalar, buah-buahan, minyak goreng, daging ayam
dan telur, seluruhnya atau hampir seluruhnya dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Untuk bahan makanan pokok masyarakat, yaitu: beras dan jagung, besarnya
persentase impor masih relatif kecil, yakni masing-masing 4,12% dan 5,52% pada
tahun 2007. Sebagian besar, yaitu masing-masing 95,88% dan 94,48% kebutuhan
masyarakat akan beras dan jagung dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Berdasarkan data impor beras dan umbi-umbian, dapat diketahui bahwa
upaya untuk meminimumkan atau menghilang ketergantungan terhadap impor
beras dapat dilakukan melalui diversifikasi pangan dari beras ke ubi kayu dan ubi
jalar. Mengingat bahwa sebagian masyarakat Indonesia sudah mengenal bahkan
terbiasa dengan makan ubi kayu dan ubi jalar, maka diversifikasi tersebut
diharapkan tidak mengalami hambatan yang berarti.
Gambar 7. Ketersediaan Pangan per Kapita
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
11
Terjadinya diversifikasi pangan dari beras ke bahan pangan lain tercermin
dari perubahan pola konsumsi penduduk atas berbagai jenis bahan pangan. Secara
umum, penurunan jumlah konsumsi beras di satu sisi dan kenaikan konsumsi
bahan pangan lainnya di sisi lain menunjukkan adanya diversifikasi pangan yang
tengah berlangsung. Jumlah konsumsi beras, jagung dan terigu selama tahun 1993
sampai dengan 2007 ditunjukkan pada gambar 8.
Gambar 8. Perkembangan Konsumsi Komoditas PanganKelompok Padi-padian Penduduk Indonesia 1993-2007
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Berdasarkan gambar 8, selama tahun 1993 sampai dengan 2007, konsumsi
penduduk terhadap beras mengalami penurunan. Namun demikian, penurunan
dimaksud tidak dibarengi dengan kenaikan konsumsi jagung dan terigu. Hal ini
berarti bahwa diversifikasi pangan dari beras ke jagung dan terigu masih belum
terjadi. Agak berbeda dengan konsumsi penduduk terhadap produk pangan nabati,
konsumsi penduduk terhadap produk pangan hewani sebagian mengalami
peningkatan, khususnya untuk produk ikan, telur dan yang paling banyak terjadi
12
117125
117 116,0 110,0 107,0 105 104,0 100,0
0
20
40
60
80
100
120
140
konsumsi (Kg/kap/thn)
1993 1996 1999 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun
Perkembangan Konsumsi Komoditas Pangan Kelompok Padi-padian Penduduk Indonesia Selama Tahun 1993-2007
Beras Jagung Terigu
kenaikan adalah konsumsi terhadap susu. Perkembangan konsumsi pangan
hewani penduduk tahun 1993 sampai dengan 2007 ditunjukkan dalam gambar 8.
Gambar 8. Perkembangan Konsumsi Pangan Hewani Penduduk Indonesia 1993-2007
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Berdasarkan gambar 8, dimana konsumsi pangan hewani penduduk
13
Padi-padian, 1246
Umbi-umbian, 46
Pangan hewani, 158
Minyak+Lemak, 206
Buah/biji berminyak, 50
Kacang2an, 74
Gula, 98
Sayur+buah, 100
Lain-lain, 36
Padi-padian, 1000
Umbi-umbian, 120
Pangan hewani, 240
Minyak+Lemak, 200
Buah/biji berminyak, 60
Kacang2an, 100
Gula, 100
Sayur+buah, 120
Lain-lain, 60
22
4
0
17
345
1
17
124
1
14
246
1
17
245
1
19
246
1
18
246
1
19
23
6
2
18
23
7
2
19
02468
101214161820
Konsumsi (kg/kap/tahun)
1993 1996 1999 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun
Perkembangan Konsumsi Pangan Hewani Penduduk Indonesia Selama 1993-2007
Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu Ikan
Gambar 9. Pola Pangan Harapan
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
Persentase Pelanggaran Produk Pangan
0
10
20
30
40
50
60
70
2001 2002 2003 2004 2005 2006Tahun
Pers
enta
se
Pemanis buatan TMS Pengawet TMSFormalin BoraksPewarna bukan untuk makanan Cemaran mikroba TMSLain-lain
Gambar 10. Keamanan Pangan
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
14
6.3
31.7
7.23
28.34
11.56
20.02
10.51
19
8.11
18.25
7.53
17.13
8
19.3
8.31
19.19
8.8
19.2
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1989 1992 1995 1998 1999 2000 2002 2003 2005
G Buruk G Kurang
Gambar 10. Status Gizi Masyarakat
Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.
15
ISU STRATEGIS KETAHANAN PANGAN
1. Pemantapan ketersediaan pangan berbasis kemandirian
a. Kapasitas produksi domestik, (a) laju peningkatan produksi pangan
cenderung melandai dengan rata-rata pertumbuhan kurang satu persen
sedangkan pertambahan penduduk sebesar 1,2% setiap tahun (b) belum
berkembangnya kapasitas produksi pangan daerah dengan teknlogi
sesifik lokasi karena hambatan inrastruktur pertanian ; (c) petani umumnya
skala kecil (kurang dari 0,5 hektar) yang berjumlah 13,7 juta KK
menyebabkan aksesibilitasnya terbatas terhadap sumber permodalan,
teknologi, sarana produksi dan pasar (d) banyak dijumpai kasus
terhambatnya distribusi sarana produks khususnya pupuk bersubsidi, (e)
lambatnya penerapan teknologi akibat kurang insentif ekonomi dan
masalah sosial petani
b. Kelestarian sumberdaya lahan dan air Saat ini tingkat alih fungsí
lahan pertanian ke non pertanian (perumahan, perkantoran dll) di
Indonesia diperkirakan 106.000 ha/5 th . Kondisi sumber air di Indonesia
cukup memperihatinkan, daerah tangkapan air yakni daerah aliran sungai
(DAS) kondisi lahannya sangat kritis akibat pembukaaan hutan yang tidak
terkendali. Defisit air di Jawa sudah terjadi sejak tahun 1995 dan terus
bertambah hingga tahun 2000 telah mencapai 52,8 milyar m3 per tahun.
Sejak 10 tahun terakhir terjadi banjir dengan erosi hebat dan ancaman
tanah longsor pada musim hujan bergantian dengan kekeringan hebat pada
musim kemarau. Bila laju degradasi terus berjalan maka tahun 2015
diperkirakan defisit air di Jawa akan mencapai 14,1 miliar m³ per tahun.
c. Cadangan pangan. Adanya kondisi iklim yang tidak menentu sehingga
sering terjadi pergeseran penanaman, masa pemanenan yang tidak merata
sepanjang tahun, serta sering timbulnya bencana yang tidak terduga
(banjir, longsor, kekeringan, gempa) memerlukan sistem pencadangan
pangan yang baik. Saat ini belum optimalnya :(1) sistem cadangan pangan
daerah untuk mengantisipasi kondisi darurat bencana alam minimal 3
16
(tiga) bulan , (2) cadangan pangan hidup (pekarangan, lahan desa, lahan
tidur, tanaman bawah tegakan perkebunan), (3) kelembagaan lumbung
pangan masyarakat dan lembaga cadangan pangan komunitas lainnya, (4)
sistem cadangan pangan melalui Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan
ataupun lembaga usaha lainnya
2. Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan
a. Pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Masyarakat yang rendah dalam mengakses pangan ada pada golongan
masyarakat miskin, yang diperkirakan sekitar 14.7 persen atau sekitar 34.9
juta pada tahun 2008. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, sekitar 68
persen tinggal di pedesaan damana umumnya adala petani.
b. Kelancaran distribusi dan akses pangan. Masalah yang dijumpai adalah
: (1) infrastruktur distribusi, (2) sarana dan prasarana pasca panen, (3)
pemasaran dan distribusi antar dan keluar daerah dan isolasi daerah, (4)
sistem informasi pasar, (5) keterbatasan Lembaga pemasaran daerah, (6)
hambatan distribusi karena pungutan resmi dan tidak resmi, (7) kasus
penimbunan komoditas pangan oleh spekulan, (8) adanya penurunan
akses pangan pangan karena terkena bencana
c. Penjaminan Stabilitas Harga Pangan. Isu ini stabilitas harga pangan
penting karena : (1) masa panen yan tidak merata sepanjang bulan,
sehigga harga tinggi pada masa panen dan rendah pada waktu musim
panen, (b) harga pangan dunia semakin tidak menentu,dan indonesa sangat
rentang terhadap pengaruh pasar dunia. Disamping itu dengan adanya
stabilitas harga pangan akan menguatkan posisi tawar petani dan
menjamin akses pangan masyarakat
3. Peningkaan Kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi
seimbang berbasis pada pangan lokal
a. Konsumsi beras masih cukup tinggi yaitu sebesar 105,2 kg/kap/thn
(Susenas 2005), Walaupun Kualitas konsumsi terus meningkat dan pada
17
tahun 2005 mencapai 79,1 dan 2007 mencapai 83.1, namun konsumsi
pangan sumber protein, sumber lemak dan vitamin/mineral masih jauh dari
harapan. Konsumsi pangan dengan bahan baku terigu mengalami
peningkatan yang sangat tajam yakni sebesar sebesar 19,2 persen untuk
makanan mie dan makan lain berbahan terigu 7.9 persen pada periode
1999-2004. Pada saat ini konsumsi pangan hewani penduduk Indonesia
baru mencapai 6,6 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi ini lebih rendah
dibanding Malaysia dan Filipina yang masing-masing mencapai 48
kg/kap/tahun dan 18 kg/kapita/tahun
b. Faktor penyebab belum berkembangannya adalah : (1) belum
berkembangnya teknologi tepat guna dan terjangkau mengenai pengolahan
pangan berbasis tepung umbi-umbian lokal dan pengembangan aneka
pangan lokal lainnya, (2) belum berkembangnya bisnis pangan untuk
peningkatan nilai tambah ekonomi melalui penguatan kerjasama
pemerintah-masyarakat-dan swasta, (3) belum optimalnya usaha
perubahan perlaku diversifikasi konsumsi pangan dan gizi sejak usia dini
melalui jalur pendidikan formal dan non formal, (4) rendahnya citra
pangan lokal, (5) belum optomalnya Pengembangan program perbaikan
gizi yang cost effective, diantaranya melalui peningkatan dan penguatan
program fortifikasi pangan dan program suplementasi zat gizi mikro
khususnya zat besi dan vitamin A
4. Peningkatan status gizi masyarakat
a. Jumlah anak balita dengan status gizi buruk diperkirakan sebesar 8.81
persen (sekitar 5 juta jiwa) dan gizi kurang sebesar 19,0 persen dan
beberapa masalah gizi lainnya seperti anemia gizi besi (AGB), gangguan
akibat kekurangan iodium (GAKI) dan kurang vtamin A (KVA) masih
terjadi (2005). Masalah kurang energi kronis (KEK) adalah 16,7 persen
pada 2003. Pada saat yang bersamaan pada kelompok usia produktif juga
terdapat masalah kegemukan (IMT>25) dan obesitas (IMT>27).
18
b. Peningkatan staus gizi harus dilakukan dengan dalam rangka mengurangi
jumlah penderita gizi kurang, termasuk kurang gizi mikro yang diprioritas
pada kelompok penentu masa depan anak, yaitu, ibu hamil dan calon ibu
hamil/remaja putri, ibu nifas dan menyusui, bayi sampai usia dua tahun
tanpa mengabaikan kelompok usia lainnya. Hal ini dapat ditempuh melalui
: (1) komunikasi, informasi dan edukasi tentang gizi dan kesehatan , (2)
penguatan kelembagaan pedesaan seperti Posyandu, PKK, dan Dasa
Wisma; (3) peningkatan efektivitas fungsi koordinasi lembaga-lembaga
pemerintah dan swasta di pusat dan daerah, dibidang pangan dan gizi
5. Peningkatan mutu dan keamanan pangan
a. Saat ini masih cukup banyak digunakan bahan tambahan pangan
(penyedap, pewarna pemanis, pengawet, pengental, pemucat dan anti
gumpal) yang beracun atau berbahaya bagi kesehatan.
b. Masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian masyarakat konsumen
maupun produsen (khususnya industri kecil dan menengah) terhadap
keamanan pangan, yang ditandai merebaknya kasus keracunan pangan
baik produk pangan segar maupun olahan.
c. Belum ada sangsi yang tegas terhadap pelanggaran peraturan keamanan
pangan. Oleh karena itu usaha-usaha untuk pencegahan dan pengendalian
keamanan pangan harus dilakukan
19
KEBIJAKAN DAN STRATEGI
MENUJU INDONESIA TAHAN PANGAN DAN GIZI 2015
1. Pemantapan ketersediaan pangan berbasis kemandirian
2. Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan
3. Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi
seimbang
4. Peningkatan status gizi masyarakat
5. Peningkatan mutu dan keamanan pangan
1. Arah kebijakan Pemantapan ketersediaan pangan berbasis kemandirian
a. Menjamin ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri, dalam jumlah
dan keragaman untuk mendukung konsumsi pangan sesuai kaidah
kesehatan dan gizi seimbang
b. Mengembangkan dan memperkuat kemampuan dalam pemupukan dan
pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat hingga di
tingkat desa dan atau komunitas
c. Meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional melalui penetapan
lahan abadi untuk produksi pangan dalam rencana tata ruang wilayah dan
meningkatkan kualitas lingkungan serta sumberdaya lahan dan air.
2. Arah kebijakan Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses
pangan
a. Meningkatkan daya beli dan mengurangi jumlah penduduk yang miskin
b. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi distribusi dan perdagangan pangan
melalui pengembangan sarana dan prasarana distribusi dan menghilangkan
hambatan distribusi pangan antar daerah
c. Mengembangkan teknologi dan kelembagaan pengolahan dan pemasaran
pangan untuk menjaga kualitas produk pangan dan mendorong
peningkatan nilai tambah
20
d. Meningkatkan dan memperbaiki infrastruktur dan kelembagaan ekonomi
perdesaan dalam rangka mengembangkan skema distribusi pangan kepada
kelompok masyarakat tertentu yang mengalami kerawanan pangan
3. Arah kebijakan Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan
menuju gizi seimbang
a. Meningkatkan kemampuan rumahtangga dalam mengakses pangan untuk
kebutuhan setiap anggota rumah tangga dalam jumlah dan mutu yang
memadai, aman dan halal dikonsumsi dan bergizi seimbang
b. Mendorong, mengembangkan dan membangun, serta memfasilitasi peran
serta masyarakat dalam pemenuhan pangan sebagai implementasi
pemenuhan hak atas pangan;
c. Mengembangkan program perbaikan gizi yang cost effective, diantaranya
melalui peningkatan dan penguatan program fortifikasi pangan dan
program suplementasi zat gizi mikro khususnya zat besi dan vitamin A
d. Mengembangkan jaringan antar lembaga masyarakat untuk pemenuhan
hak atas pangan dan gizi
e. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan pangan/pangan
bersubsidi kepada masyarakat golongan miskin terutama anak-anak dan
ibu hamil yang bergizi kurang.
4. Arah kebijakan Peningkatan status gizi masyarakat
a. Mengutamakan upaya preventif, promotif dan pelayanan gizi dan
kesehatan kepada masyarakat miskin dalam rangka mengurangi jumlah
penderita gizi kurang, termasuk kurang gizi mikro (kurang vitamin dan
mineral)
b. Memprioritaskan pada kelompok penentu masa depan anak, yaitu, ibu
hamil dan calon ibu hamil/remaja putri, ibu nifas dan menyusui, bayi
sampai usia dua tahun tanpa mengabaikan kelompok usia lainnya
c. Meningkatkan efektivitas fungsi koordinasi lembaga-lembaga pemerintah
dan swasta di pusat dan daerah, dibidang pangan dan gizi sehingga
21
terjamin adanya keterpaduan kebijakan, program dan kegiatan antar sektor
di pusat dan daeah, khususnya dengan sektor kesehatan, pertanian,
industri, perdagangan, pendidikan, agama, serta pemerintahan daerah.
5. Arah kebijakan Peningkatan mutu dan keamanan pangan
a. Meningkatkan pengawasan keamanan pangan
b. Melengkapi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang mutu dan
keamanan pangan
c. Meningkatkan kesadaran produsen, importir, distributor dan ritel terhadap
keamanan pangan
d. Meningkatkan kesadaran konsumen terhadap keamanan pangan,
e. Mengembangkan teknologi pengawet dan pewarna makanan yang aman
dan tidak memenuhi syarat kesehatan serta terjangkau oleh usaha kecil dan
menengah produsen makanan dan jajanan.
SASARAN
1. Mempertahankan ketersediaan energi perkapita minimal 2.200
Kilokalori/hari, dan penyediaan protein perkapita minimal 57 gram/hari,
terutama protein yang diiringi dengan menurunnya ketergantungan impor
pangan maksimal 5 persen pada tahun 2015 serta tersedianya cadangan
pangan pemerintah untuk kondisi darurat karena bencana alam dengan
cadangan minimal 3 bulan dan berkembangnya cadangan pangan
masyarakat
2. Stabilnya harga komoditas pangan strategis yang ditandai rendahnya
perbedaan harga antara musim panen dan non panen dengan perbedaan
maksimum 10 persen
3. Turunnya jumlah penduduk miskin minimal 1 persen per tahun dan
berkurang 50 persennya menjadi 8 persen pada tahun 2015.
4. Meningkatkan keragaman konsumsi pangan perkapita untuk mencapai gizi
seimbang dengan kecukupan energi minimal 2.000 kkal/hari dan protein
sebesar 52 gram/hari dan cukup zat gizi mikro, serta meningkatkan
22
keragaman konsumsi pangan dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH)
mendekati 100 pada tahun 2015
5. Meningkatkan keamanan, mutu dan higiene pangan yang dikonsumsi
masyarakat dengan menekan pelanggaran terhadap ketentuan keamanan
pangan sampai 90 persen
6. Prevalensi Kerawanan konsumsi pangan tingkat berat menurun hingga 1.5
persen pada tahun 2015;
7. Gizi kurang bukan masalah kesehatan masyarakat, dengan prevalensi gizi
kurang setinggi-tingginya 19% pada tahun 2015
8. Menguatnya kelembagaan ketahanan pangan dan gizi di pedesaan ,
khususnya PKK, Posyandu dan lembaga cadangan pangan komunitas
9. Terimplementasikannya dengan baik Sistem Kewaspadaan Pangan dan
Gizi pada setiap kabupaten/kota pada tahun 2015.
A. Strategi Memantapkan Ketersediaan Pangan berbasis Kemandirian
1. Peningkatan Kapasitas produksi domestik, melalui : (1) pengembangan
produksi pangan sesuai dengan potensi daerah, (2) peningkatan produksi
dan produktivitas komoditas pangan dengan teknologi spesifik lokasi, (3)
pengembangan dan menyediakan benih/bibit unggul dan jasa alsintan, (4)
peningkatan pelayanan dan pengawasan pengadaan sarana produksi, (5)
peningkatan layanan kredit yang mudah diakses petani
2. Pelestarian sumberdaya lahan dan air, melalui : (1) pengendalian alih
fungsi lahan pertanian ke non-pertanian untuk mewujudkan lahan abadi,
(2) sertifikasi lahan petani, (3) konservasi dan rehabilitasi sumberdaya
lahan dan air pada daerah aliran sungai (DAS), (4) pengembangan sistem
pertanian ramah lingkungan (agroforestry dan pertanian organik), (5)
pemantapan kelompok pemakai air untuk peningkatan pemeliharaan
saluran irigasi, (6) penataan penggunaan air untuk pertanian, pemukiman
dan industri, (7) pengembangan sistem informasi bencana alam dalam
rangka Early Warning System (EWS), (8) rehabilitasi dan konservasi
sumberdaya alam, (9) perbaikan dan peningkatan jaringan pengairan.
23
3. Penguatan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat/komunitas,
melalui: (1) pengembangan sistem cadangan pangan daerah untuk
mengantisipasi kondisi darurat bencana alam minimal 3 (tiga) bulan , (2)
pengembangan cadangan pangan hidup (pekarangan, lahan desa, lahan
tidur, tanaman bawah tegakan perkebunan), (3) menguatkan kelembagaan
lumbung pangan masyarakat dan lembaga cadangan pangan komunitas
lainnya, (4) pengembangan sistem cadangan pangan melalui Lembaga
Usaha Ekonomi Pedesaan ataupun lembaga usaha lainnya
B. Strategi Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju
gizi seimbang berbasis pada pangan lokal
1. Penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat
untuk peningkatan daya beli pangan beragam dan bergizi seimbang
2. Peningkatan kelancaran distribusi dan akses pangan, melalui: (1)
peningkatan kualitas dan pengembangan infrastruktur distribusi, (2)
peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana pasca panen, (3)
pengembangan jaringan pemasaran dan distribusi antar dan keluar daerah
dan membuka daerah yang terisolir, (4) pengembangan sistem informasi
pasar, (5) penguatan lembaga pemasaran daerah, (6) pengurangan
hambatan distribusi karena pungutan resmi dan tidak resmi, (7)
pencegahan kasus penimbunan komoditas pangan oleh spekulan, (8)
pemberian bantuan pangan pada kelompok masyarakat miskin dan yang
terkena bencana secara tepat sasaran, tepat waktu dan tepat produk;
3. Penjaminan Stabilitas Harga Pangan, melalui : (1) pemberlakuan Harga
Pembelian Pemerintah pada komoditas pangan strategis , (2) perlindungan
harga domestik dari pengaruh harga dunia melalui kebijakan tarif, kuota
impor, dan/ pajak ekspor, kuota ekspor pada komoditas pangan strategis,
(3) pengembangan Buffer stock Management (pembelian oleh pemerintah
pada waktu panen dan operasi pasar pada waktu paceklik) pada komoditas
pangan strategis, (4) pencegahan impor dan/ ekspor illegal komoditas
pangan, (5) peningkatan dana talangan pemerintah (propinsi dan
24
kabupaten/kota) dalam menstabilkan harga komoditas pangan strategis,
(6) peningkatan peranan Lembaga pembeli gabah dan Lembaga usaha
ekonomi pedesaan, (7) pengembangan sistem tunda jual , (8)
pengembangan sistem informasi dan monitoring produksi, konsumsi,
harga dan stok minimal bulanan
4. Peningkatan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan
pangan/pangan bersubsidi kepada masyarakat golongan miskin
(misalnya Raskin) dan mengembangkan pangan bersubsidi bagi kelompok
khusus yang membutuhkan terutama anak-anak dan ibu hamil yang bergizi
kurang
C. Strategi Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju
gizi seimbang berbasis pada pangan lokal
1. Pengembangan dan percepatan diversifikasi konsumsi pangan berbasis
pangan lokal melalui pengkajian berbagai teknologi tepat guna dan
terjangkau mengenai pengolahan pangan berbasis tepungumbi-umbian
lokal dan pengembangan aneka pangan lokal lainnya
2. Pengembangan bisnis pangan untuk peningkatan nilai tambah ekonomi,
gizi dan mutu ketersediaan pangan yang beragam dan bergizi seimbang
melalui penguatan kerjasama pemerintah-masyarakat-dan swasta;
3. Pengembangan materi dan cara ajar diversifikasi konsumsi pangan dan
gizi sejak usia dini melalui jalur pendidikan formal dan non formal
4. Penguatan pola konsumsi pangan lokal yang didaerah dan kelompok
masyarakat tertentu telah beragam;
5. pengembangan aspek kuliner dan daya terima konsumen, melalui berbagai
pendidikan gizi, penyuluhan, dan kampanye gizi untuk peningkatan citra
pangan lokal, serta peningkatan pendapatan dan pendidikan umum.
6. Pengembangan program perbaikan gizi yang cost effective, diantaranya
melalui peningkatan dan penguatan program fortifikasi pangan dan
program suplementasi zat gizi mikro khususnya zat besi dan vitamin A;
25
D. Strategi Peningkatan status gizi masyarakat, melalui
1. Peningkatan pelayanan gizi dan kesehatan kepada masyarakat miskin yang
terintegrasi dengan program penanggulangan kemiskinan dan keluarga
berencana, dalam rangka mengurangi jumlah penderita gizi kurang,
termasuk kurang gizi mikro (kurang vitamin dan mineral) yang diprioritas
pada kelompok penentu masa depan anak, yaitu, ibu hamil dan calon ibu
hamil/remaja putri, ibu nifas dan menyusui, bayi sampai usia dua tahun
tanpa mengabaikan kelompok usia lainnya;
2. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi tentang gizi dan kesehatan
guna mendorong terbentuknya keluarga dan masyarakat sadar gizi yang
tahu dan berperilaku positif untuk mencegah gangguan kesehatan karena
kelebihan gizi seperti kegemukan dan penyakit degeneratif lainnya
3. Penguatan kelembagaan pedesaan seperti Posyandu, PKK, dan Dasa
Wisma dalam promosi dan pemantauan tumbuh kembang anak dan
penapisan serta tindak lanjut (rujukan) masalah gizi buruk;
4. Peningkatan efektivitas fungsi koordinasi lembaga-lembaga pemerintah
dan swasta di pusat dan daerah, dibidang pangan dan gizi sehingga
terjamin adanya keterpaduan kebijakan, program dan kegiatan antar sektor
di pusat dan daeah, khususnya dengan sektor kesehatan, pertanian,
industri, perdagangan, pendidikan, agama, serta pemerintahan daerah
untuk promosi keluarga sadar gizi, pencegahan dan penanggulangan gizi
kurang dan gizi buruk secara dini dan terpadu.
F. Strategi Peningkatan mutu dan keamanan pangan, melalui:
1. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran tentang keamanan pangan di
tingkat rumahtangga, industri rumahtangga dan UKM serta importir,
distributor dan ritel serta pemahaman tentang implikasi hukum
pelanggaran peraturan keamanan pangan yang berlaku;
2. Penguatan pengawasan dan pembinaan keamanan pangan dengan
melengkapi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang mutu dan
26
keamanan pangan, law enforcement bagi produsen, importir, distributor
dan ritel yang melakukan pelanggaran terhadap keamanan pangan;
3. Peningkatan kesadaran dan perlindungan konsumen terhadap keamanan
pangan
27