MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
18
Strategi Devide et Impera oleh Amerika Serikat dalam Konflik di Suriah (2011-2018)
Iranti Mantasari, Yon Machmudi
Program Studi Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia
E-mail: [email protected], [email protected]
Abstract
Syria has become one of the Middle East actors that significantly gained concern from the United States (US). The complexity of conflict configuration in Syria pushed the US to attain its interests, namely anti-Bashar and anti-terrorism by implementing the strategy of Devide et Impera. On top of that, securing the existence of Israel is also achieved from this strategy. Through library research method, this article aims to analyze the background and actions taken by the US in implementing this strategy in Syria. The analysis conducted by elaborating the Hegemony and Devide et Impera theory. The first US interest of anti-Bashar is manifested in its democratization agenda and eradicating the influence of Iran as its rival in the region. The second US interest of anti-terrorism is manifested in the war against ISIS and its affiliates, and established counterterrorism coalition. From this research, the author found that the participation of US in this conflict in Syria is by supporting the moderate opposition forces and pro-Western values and fought against pro-regime forces and the Salafi-Jihadist groups shows the pattern of Devide et Impera strategy in the conflict in Syria in order to achieve its aforementioned interests.
Keywords: Syrian Conflict Devide et Impera, Hegemony, United States
PENDAHULUAN
Selain masalah kestabilan politik,
keamanan, dan ekonomi, yang
menyebabkan konflik di Suriah masih
berlangsung hingga saat ini adalah karena
Bashar Assad masih memegang tampuk
kepemimpinan di Suriah. Pihak oposisi
resisten dengan upaya Bashar dalam
mempertahankan kekuasaannya,
sebaliknya Bashar pun resisten terhadap
gerakan-gerakan yang terus berupaya
menggulingkan ia dari kekuasaan. Selain
itu, faktor internal yang cukup memberikan
porsi besar dalam melanggengkan konflik
yang terjadi adalah karena terpecahnya
aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Pada
awal konflik, aktor yang terlibat secara
garis besar hanya terbagi menjadi dua saja,
yaitu kubu yang pro dengan rezim Bashar
dan kubu yang kontra dengan rezim Bashar.
Namun seiring berjalannya waktu, kubu
oposisi sendiri terbagi menjadi ratusan
lebih faksi yang beroperasi di berbagai
struktur komando organisasi yang berbeda-
beda antara satu dengan yang lainnya.
Adapun secara global, komunitas
internasional memang tidak bisa
menafikkan hegemoni yang dimiliki
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
19
Amerika Serikat (AS), baik secara politik,
ekonomi, maupun ideologis, khususnya
pasca Perang Dingin yang meruntuhkan
imperium Uni Soviet (Rathnayake, 2016).
Hal ini terlihat dari banyaknya aktor-aktor,
baik state actor (aktor negara) maupun non-
state actor (aktor non-negara) yang secara
“sukarela” mengikuti political scheme atau
skema politis yang digagas oleh AS dan
sekutunya. Baik AS maupun aktor lainnya
dalam mencapai berbagai national interests
atau kepentingan nasionalnya pasti akan
menempuh berbagai macam cara. Satu hal
yang menarik untuk dikaji adalah terkait
strategi Devide et Impera atau strategi
“pecah dan kuasai” yang dapat diterapkan
oleh satu kekuatan besar untuk memecah
belah kekuatan yang lebih kecil untuk
mendapatkan kepentingannya. Devide et
Impera didefinisikan sebagai pembagian
struktur kekuasaan yang sudah ada menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil dan
mencegah kelompok-kelompok kecil
tersebut untuk bersatu bekerjasama.
Relevansi dari strategi ini dengan
konflik di Suriah adalah karena pihak
internal yang teribat dalam masalah di
Suriah melibatkan dua sekte Islam besar,
yakni Sunni dan Syi’ah. Bashar Assad yang
menganut Syi’ah Nushairiyyah vis a vis
kelompok-kelompok atau pihak-pihak yang
kontra dengannya yang mayoritas berasal
dari kalangan Sunni. AS bersama
sekutunya yang kontra dengan Bashar,
seperti Turki dan Arab Saudi berusaha
untuk mendukung kelompok-kelompok
yang dominan Sunni. Selain itu, terbaginya
Suriah ke dalam faksi-faksi yang lebih
kecil, seperti faksi Sunni yang pro terhadap
rezim Bashar dan faksi Syi’ah yang
mendukung kepemimpinan Bashar, juga
semakin memperbesar kesempatan bagi AS
untuk menerapkan strategi Devide et
Impera untuk mencapai kepentingannya.
Strategi Devide et Impera
sebetulnya bukanlah strategi baru, karena
strategi ini sudah sangat sering dilancarkan
oleh kekuatan besar yang salah satu
dampaknya adalah instabilitas di Timur
Tengah. Beberapa cara populer yang
digunakan dalam penerapan strategi ini
adalah mendukung salah satu segmen dari
penduduk lokal yang berseteru;
menciptakan polarisasi sehingga
antarkomunitas menentang satu sama lain.
Ia juga mengatakan bahwa strategi yang
demikian efektif untuk jangka pendek,
namun menimbulkan destabilisasi dalam
jangka panjang (Cejka, 2012). Dengan
demikian, memahami alasan dan latar
belakang AS dalam menerapkan strategi
Devide et Impera dalam konflik di Suriah
serta mengetahui langkah yang diambil
oleh AS dalam menerapkan strategi ini
menjadi permasalahan utama yang dibahas
pada artikel ini.
Teori Hegemoni
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
20
Dalam diskursus politik, istilah
hegemoni sendiri sudah dikenal sejak lama
oleh para ahli. Antonio Gramsci, mantan
Sekretaris Jenderal dari Partai Komunis
Italia telah membangun pondasi dari
sebuah teori yang kemudian disebut dengan
teori Hegemoni. Gramsci memandang
bahwa supremasi dari kelompok sosial atau
kelas termanifestasi ke dalam dua bentuk,
yaitu dominasi dan kepemimpinan
intelektual dan moral. Bentuk supremasi
intelektual dan moral inilah yang menurut
Gramsci membangun sebuah hegemoni.
Adapun kontrol sosial yang dapat
dilakukan oleh pihak hegemonik, terbagi
lagi menjadi dua bentuk, yakni
memengaruhi perilaku dan pilihan pihak
lain dari luar melalui hadiah dan hukuman;
serta membentuk pendirian pribadi dari
dalam menjadi sebuah tiruan dari norma-
norma yang berlaku (Femia, 1981).
Singkatnya, hegemoni bagi
Gramsci digunakan untuk menjelaskan
sebuah kelompok ekonomi atau sosial yang
kuat hadir untuk mendominasi masyarakat
tanpa memberikan rasa takut. Kekuatan
hegemonik ini tidak selamanya harus
menggunakan kekuatan fisik atau yang
bersifat paksaan, tetapi hegemoninya juga
tergantung pada manipulasinya atas
institusi kultural dan sosial (Times, 2008).
Lebih lanjut, Robert W. Cox kemudian
mengelaborasi pemikiran dan pondasi
hegemoni yang dibangun oleh Gramsci
dengan kondisi orde dunia atau politik
internasional. Dalam pandangan elaboratif
ini, perubahan dasar dalam hubungan
internasional yang terlihat dari aspek
keseimbangan militer-strategis dan
geopolitik, perubahan hubungan sosial
tetap menjadi faktor determinannya.
Dengan kata lain, perubahan sosial dapat
secara lebih luas berpengaruh pada
perubahan di hubungan internasional (Cox,
1983).
Proses demokratisasi yang
dijalankan oleh AS di hampir seluruh
wilayah di dunia juga dapat menjadi alat
untuk menyebarkan hegemoninya.
Memromosikan demokrasi sebagai strategi
dan ciri utama sikap AS di luar negeri
dimulai pada tahun 1980an. Demokrasi
juga disebut sebagai “alat yang paling layak
untuk memastikan stabilitas dan kontrol
sosial di Dunia Ketiga.” Demokrasi bagi
AS, memiliki dua tujuan penting, yaitu
untuk memelihara stabilitas di negara-
negara yang dituju dan untuk menyebarkan
hegemoni AS itu sendiri (Mustarom, 2014).
Selaras dengan yang terjadi di Suriah, salah
satu kepentingan AS di Suriah adalah untuk
mendelegitimasi kepemimpinan Bashar
yang dinilai tidak menjalankan
pemerintahan yang sesuai dengan asas
demokrasi yang diusung oleh mereka,
untuk kemudian diganti dengan
kepemimpinan yang lebih demokratis.
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
21
Hegemoni sebuah aktor juga dapat
disebarkan dan diperkuat oleh organisasi
internasional. Dalam konsep Gramscian,
organisasi internasional berfungsi sebagai
proses dimana institusi dari kekuatan
hegemoni dan ideologinya dibangun.
Beberapa keutamaan organisasi
internasional dalam mengembangkan
sebuah hegemoni adalah: pertama,
organisasi internasional mewujudkan
aturan-aturan yang memfasilitasi
penyebaran hegemoni dalam orde global;
kedua, organisasi internasional sendiri
merupakan produk dari kekuatan
hegemoni; ketiga, organisasi internasional
secara ideologys melegitimasi norma-
norma dari orde dunia; keempat, organisasi
internasional memilih kalangan elit dari
peripheral countries atau negara-negara
batas luar; dan kelima, organisasi
internasional menahan ide-ide yang kontra
terhadap hegemoni tersebut (Cox, 1983).
Teori Devide et Impera
Strategi ini menjadi terkemuka
sejak berabad-abad yang lalu. Devide et
Impera dikenal sebagai sebuah taktik atau
strategi yang dilakukan oleh aktor yang
superior terhadap aktor inferior untuk
mencapai kepentingan dari aktor superior
tersebut. Kekuatan imperialis juga biasa
menggunakan strategi ini kepada wilayah
yang dikuasainya. Kekuatan imperialis
membagi populasi menjadi beberapa
kelompok berdasarkan bahasa, agama, etnis
dan ras (Xypolia, 2016). Dalam konteks
yang lebih luas, Devide et Impera dapat
didefinisikan sebagai upaya yang secara
sadar dilakukan oleh kekuatan imperialis
untuk menciptakan dan / atau beralih ke
keuntungannya sendiri dari perbedaan
etnis, bahasa, budaya, suku, atau agama
dalam populasi koloni tertindas. Terdapat
empat taktik mayor yang biasa digunakan
oleh pihak yang memanfaatkan strategi
Devide et Impera ini, yakni 1) menciptakan
perbedaan-perbedaan pada populasi yang
sudah ditaklukkan; 2) menambahkan
perbedaan yang sudah ada; 3) menggali
atau mengeksploitasi perbedaan tersebut
untuk keuntungan kekuatan kolonial; 4)
mempolitisasi perbedaan tersebut sehingga
terbawa hingga masa pasca kolonialisme.
(Morrock, 1973)
Selain itu, Georg Simmel
merumuskan di dalam bukunya terkait
Devide et Impera yang merupakan bagian
dari The Triad atau “Tiga Serangkai”nya
sebagai upaya sengaja yang dilakukan oleh
pihak ketiga untuk menciptakan konflik
dalam rangka mendapatkan posisi yang
mendominasi. Tiga pihak ini sendiri
menurut Simmel merupakan skema yang
paling sederhana dalam konsep ini, yang
berarti dapat melibatkan lebih banyak pihak
lagi. Hasil dari skema Devide et Impera ini
ada dua, yatitu dua pihak sebelumnya
saling menyeimbangi sehingga pihak ketiga
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
22
bisa mendapat keuntungannya; atau dua
pihak ini saling melemahkan satu sama
lain, sehingga tidak ada dari keduanya yang
dapat melawan superioritas pihak ketiga
tersebut (Wolff, 1950).
Penggunaan strategi ini di Suriah
menjadi menarik untuk dikaji karena
adanya kompleksitas aktor yang bermain di
dalam konflik Suriah. Banyaknya aktor
dengan latar belakang dan kepentingan
yang berbeda, mampu melebarkan
perpecahan dan permusuhan yang terjadi.
Adanya permusuhan dan perpecahan
antaraktor dalam konflik Suriah seperti
yang sudah dipaparkan dalam konsep
Devide et Impera inilah yang menjadi
alasan penulis untuk melihat lebih dalam
lagi mengenai aktivitas dan interaksi AS
dengan aktor-aktor di Suriah dalam
mencapai kepentingan. Dengan demikian,
teori Devide et Impera dapat menjelaskan
strategi AS kepada Suriah dalam
memperbesar perpecahan di tengah konflik
yang berkecamuk.
METODE PENELITIAN
Sebagai sebuah penelitian kualitatif
yang menggunakan metode library
research atau studi kepustakaan, penelitian
ini menganalisis situasi dan konflik Suriah,
baik dari aspek sosial maupun politik dan
strateginya, sehingga hubungan antara
konflik dan juga penerapan strategi Devide
et Impera yang dilakukan oleh AS untuk
mencapai kepentingannya dapat
terjelaskan. Peneliti hanya menggunakan
data sekunder yang berkaitan dengan
artikel ini, berupa jurnal, tesis ataupun
disertasi, serta laporan-laporan dari instansi
pemerintahan yang dapat menunjang
analisis penelitian ini.
Penggunaan teknik analisis data
yang digagas oleh Robert K. Yin (2011)
dan Michael Huberman (1994)
memungkinkan peneliti untuk menyusun
dan menghimpun data-data yang sudah
dikumpulkan sebelumnya. Data-data dan
informasi yang sudah tersusun, seperti
aktor yang terlibat dalam konflik serta
kepentingannya, tindakan yang dilakukan
masing-masing aktor, hingga lini masa
konflik di Suriah inilah yang kemudian
menjadi database penulis untuk kemudian
diinterpretasi sebagai narasi baru yang akan
menjadi kunci analisis dalam artikel.
Setelah mendapatkan interpretasi, barulah
penulis melakukan penarikan kesimpulan
dari seluruh analisis dan penelitian yang
telah dilakukan.
Teori hegemoni yang sudah
dipaparkan pada bagian sebelumnya,
dikombinasikan dengan strategi Divide et
Impera digunakan untuk mengetahui
strategi seperti apa yang diimplementasikan
oleh AS untuk memecah belah dan
menguasai aktor-aktor yang berkonflik
dalam konflik di Suriah. Interkoneksi dari
strategi Divide et Impera dan juga pengaruh
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
23
yang dimiliki AS akan tergambar pada
tahapan akhir, yaitu verifikasi, sehingga
pertanyaan penelitian yang dikemukakan
sebelumnya dapat terjawab.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konfigurasi Konflik Suriah
Berlanjutnya konflik yang terjadi di
Suriah menunjukkan bahwa terdapat
faktor-faktor tertentu yang membuatnya
masih terus berlangsung hingga tahun
kedelapannya ini. Beberapa di antaranya
adalah karena konflik ini memiliki
konfigurasi yang cukup kompleks, seperti
adanya pengaruh dari otoritarianisme dan
politik diskriminatif rezim al Assad;
terjadinya internasionalisasi konflik,
hingga isu mengenai kemunculan
revivalisme Islamis dalam diskursus
konflik ini.
Peran yang dipegang oleh Partai
Ba’ath dalam pemerintahan Suriah
memberikan sumbangsih atas model
kepemimpinan yang dijalankan Bashar
sejak ia menggantikan posisi ayahnya,
Hafez. Antara al Assad, Alawiyah dan
Partai Ba’ath yang memiliki posisi
istimewa dalam konstitusi Suriah memang
memiliki hubungan yang unik pada politik
dalam negerinya. Bashar dapat dikatakan
mewarisi “dinasti” yang sudah dibangun
oleh Hafez sebelumnya, sehingga
meskipun banyak reformasi dan perubahan
yang dilakukan oleh Bashar, terutama
dalam aspek ekonomi yang sebelumnya
cenderung tertutup di bawah Hafez menjadi
lebih terbuka, tidak otomatis membuat
rakyat menerima secara penuh
kekuasaannya. Shmuel Bar (Bar, 2006)
menjelaskan bahwa kepemimpinan yang
ada di Suriah memang sangat Assad-
sentris. Dinasti ini juga tidak hanya
disokong oleh keluarga Assad saja, tetapi
dari beberapa kelompok yang juga
berafiliasi dan/atau memiliki hubungan
dengan keluarga Assad, baik dari kalangan
militer, maupun birokrat. Sentralitas Ba’ath
dalam pemerintahan akhirnya telah
mengarahkan Suriah menjadi pemerintahan
yang dapat dikatakan otoriter di bawah
oligarki kekuasaan al Assad. Kondisi ini
juga dikuatkan melalui konstitusi Suriah
pada tahun 1973 yang memosisikan Partai
Ba’ath sebagai “pemimpin negara dan
masyarakat” (Networking, 2012).
Selain itu, isu segregasi
sektarianisme dan otoritarianisme Bashar
yang melingkupi Suriah masih terlihat
dalam masa konflik ini. Masyarakat Suriah
yang sangat heterogen baik dalam hal etnis
maupun agama terbukti sangat berpengaruh
dalam hal persekutuan dan permusuhan
saat konflik ini. Kelompok-kelompok
minoritas berbasis agama, seperti kalangan
Alawiyah, Druze, Kristen, dan Syiah
mendukung rezim Bashar yang salah satu
alasannya adalah khawatir bila oposisi yang
dipegang kalangan Sunni memenangkan
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
24
konflik, hak-hak mereka akan terancam
(Erlich, 2014).
Lebih lanjut, keikutsertaan
banyaknya aktor eskternal Suriah telah
menyebabkan konflik ini mengalami
internasionalisasi. Adanya blok
persekutuan dari pihak-pihak eksternal
terhadap konflik ini, baik negara maupun
bukan negara yang memiliki kesamaan
kepentingan dengan pemerintah Suriah,
senantiasa memberikan bantuan kepada
Suriah untuk menghalau laju rakyat yang
menyuarakan revolusi. Begitupula aktor-
aktor eksternal yang berseberangan
pendapat dengan pemerintah Bashar, maka
mereka mencari dan membantu oposisi
dengan memberikan dukungan kepada
kelompok-kelompok yang bergejolak
menentang rezim al Assad.
Selain itu, tingginya tingkat
militerisasi baik dari kubu rezim ataupun
oposisi pada faktanya telah membawa
konsekuensi lain terhadap arah konflik di
Suriah. Masing-masing kubu yang
mengerahkan pasukan militer yang resisten
terhadap satu sama lain secara tidak
langsung telah mengundang komunitas
internasional secara lebih luas untuk turut
serta di dalam konflik (Gani, 2015).
Keikutsertaan aktor internasional pun tidak
sekedar untuk menjadi mediator konflik
semata, melainkan untuk menjaga
kepentingan masing-masing agar tidak
jatuh ke tangan yang salah dalam pusaran
konflik. Steward (2003) menjelaskan
bahwa internasionalisasi sebuah konflik
bersenjata juga meliputi perang antara dua
faksi internal yang keduanya disokong oleh
negara-negara lain yang berbeda;
permusuhan langsung antara dua negara
asing yang mengintervensi secara militer di
sebuah konflik militer dalam rangka
mendukung pihak yang berlawanan; serta
sebuah perang yang mengikutsertakan
intervensi asing untuk mendukung
kelompok pemberontak yang berjuang
melawan pemerintahan yang ada. (Kraus,
2017)
Adapun secara internal, satu
konfigurasi yang tidak bisa dinafikkan dari
konflik ini adalah karena munculnya
revivalisme Islamis. Revivalisme Islam
atau Islamic revivalism secara bahasa
berarti “kebangkitan Islam”. Adapun secara
konsep, Ira M. Lapidus menyebutkan
bahwa revivalisme Islamis ini menyerukan
pembaharuan komitmen yang baru
terhadap Islam di hati dan pikiran setiap
orang sebagai dasar solidaritas komunal,
keadilan sosial, perlakuan yang adil
terhadap mereka yang miskin serta
berkeinginan untuk memberhentikan rezim
yang korup (Lapidus, 1997).
Lebih lanjut, pembahasan ini juga
tidak dapat dipisahkan dari apa yang
disebut dengan Islamic activism atau
aktivisme Islamis. Penulis mengambil
pendapat yang dikemukakan oleh Quintan
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
25
Wiktorowicz bahwa aktivisme Islamis
merupakan sebuah mobilisasi pertarungan
untuk mendukung urusan Muslim
(Wiktorowicz, 2004). Di Suriah,
manifestasi dari revivalisme Islamis ini
dapat terlihat dari maraknya masjid-masjid
dan institusi Islam, menjamurnya
organisasi-organisasi Islam di lingkungan
kalangan miskin yang seringnya
“mengganti” posisi negara dalam
menyediakan kesejahteraan sosial dan
bantuan medis pada warga setempat
(Khatib, 2012).
Rezim Suriah, khususnya bagi al
Assad memandang bahwa isu mengenai
Islamisme sebagai masalah keamanan yang
cukup krusial bagi politik dalam negeri
Suriah. Hal ini menyebabkan posisi
Islamis, baik dari segi hirarki keagamaan
dan doktrin-doktrin yang berkembang
kerap dikontrol oleh rezim (Khaddour,
2019). Dinamika hubungan dan interaksi
antara rezim dengan faksi Islamis ini pun
semakin menemukan momentumnya pada
konflik Suriah tahun 2011. Selain itu,
kelompok-kelompok Islamis yang memang
sudah lama hadir di tengah masyarakat
Suriah dan merasakan absennya-atau
setidaknya ketimpangan- pelayanan negara
terhadap mereka juga ikut bergerak.
Mereka menyuarakan common demand
atau tuntutan bersama, yakni menurunkan
kekuasaan Bashar. Meski demikian, tidak
sedikit di antara mereka yang memiliki
perbedaan pandangan tentang Suriah pasca-
Bashar. Hal ini disebabkan karena mereka
berangkat dari latar belakang kelompok
yang berbeda, seperti ada yang
menginginkan Suriah menjadi sebuah
negara yang berlandaskan syariah Islam;
menginginkan Suriah tetap menjadi negara
yang sekuler; pun ada yang menginginkan
Suriah yang sekuler namun tetap
mengakomodir kepentingan kalangan
Sunni yang merupakan mayoritas dari segi
jumlah penduduk di sana.
Kombinasi dari tiga konfigurasi
sebelumnya pada faktanya telah
memperuncing konflik yang terjadi. Seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya,
masing-masing aktor tersebut membawa
kepentingan sendiri, bahkan di kalangan
oposisi sekalipun, yang notabene mayoritas
menginginkan turunnya Bashar dari kursi
kepemimpinannya.
Minimnya koherensi tujuan dan
komando di antara kelompok oposisi juga
memperpanjang fragmentasi internal
oposisi itu sendiri. Selain itu, selama
keberpihakan dari aktor eksternal masih
terus dijalin dengan aktor internal Suriah,
maka tidak ada kondisi yang benar-benar
permanen, karena keunggulan pihak
oposisi dalam menguasai wilayah tertentu,
bisa saja berbalik kepada rezim atas
bantuan aktor pendukungnya, begitupun
sebaliknya. Keberpihakan aktor eksternal
terhadap aktor internal juga terbukti
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
26
memunculkan kerancuan dalam tubuh aktor
internal, yang akhirnya bergerak mengikuti
kepentingan pihak pendukungnya tersebut.
Lebih lanjut, persaingan di antara
kelompok oposisi yang secara etnis terbagi
menjadi dua kelompok besar, yaitu Arab
dan Kurdi juga mewarnai rivalitas internal
oposisi rezim. Sejak awal, kelompok Kurdi
tidak menaruh kepercayaan yang besar
kepada ‘mitra’ oposisinya yang lain,
dikarenakan mereka menyuarakan
kepentingan ‘Arabisasi’. Hal ini
berimplikasi pada terbaginya posisi Kurdi
dalam barisan oposisi. Pertama, jika
mereka mengintegrasikan diri sepenuhnya
dengan kelompok Arab, ada kemungkinan
mereka untuk termarginalkan. Kedua,
mereka selain tegas beroposisi terhadap
rezim, namun juga tetap menjunjung tujuan
otonomi mereka di Suriah dan kepentingan
regional mereka atas eksistensi Kurdistan,
akhirnya memunculkan kecurigaan dari
kalangan Arab (Ulutas, 2011). Meski
demikian, posisi pasukan Kurdi, khususnya
Syrian Democratic Force (SDF) dan
Partiya Yekitita Demokrat (PYD) serta
sayap militernya, Yekineyen Parastina Gel
(YPG) sebagai aktor yang didukung oleh
AS, akhirnya menempatkan mereka pada
posisi yang signifikan di Suriah.
Selain itu, terdapat satu hal yang
‘menyatukan’ kelompok oposisi dan pro
rezim dalam konflik, yaitu permusuhan
yang sama terhadap eksistensi ISIS. Untuk
satu hal ini, baik pendukung dan oposisi
rezim ibaratnya sama-sama mengiyakan
kebijakan global AS terhadap dunia
internasional, yakni memerangi terorisme.
Pasukan rezim, Kurdi, hingga oposisi
moderat seperti Free Syrian Army (FSA),
di kantong wilayah mereka masing-masing
seluruhnya berusaha menghilangkan
pengaruh yang berusaha ditanamkan oleh
ISIS. Militansi dan militerisasi ISIS serta
kelompok-kelompok yang berafiliasi
kepada mereka di Suriah, yang bersumber
dari interpretasi ajaran Islam yang keliru,
pada faktanya membahayakan banyak
pihak, termasuk warga sipil yang tidak ikut
berperang. Eksistensi ISIS dan afiliasinya
juga yang menjadi salah satu legitimasi
bagi AS untuk gencar dan serius
mengintervensi Suriah. Persaingan antara
aktor internal di Suriah ini telah menjadikan
Suriah sebagai negara yang sejatinya
terpecah, yang terlihat dari pembagian
wilayah di Suriah sejak pecahnya konflik
menjadi empat, yaitu wilayah yang dikuasai
rezim, berada di bawah pengaruh ISIS,
wilayah yang dikuasai pasukan Kurdi, dan
wilayah yang dikuasai berbagai kelompok
oposisi (Luigi Narbone, 2016).
Latar Belakang AS di Suriah
Kebanyakan orang selama ini
secara sempit melihat bahwa tujuan dan
kepentingan besar AS di kawasan adalah
semata-mata untuk mengamankan minyak
dan gas bumi. Tentu pandangan yang
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
27
demikian tidaklah salah, mengingat gas dan
minyak bumi merupakan komoditas
penting yang dibutuhkan oleh hampir
seluruh negara untuk menunjang berbagai
kegiatan produksinya. Meski demikian,
minyak dan gas bumi bukan satu-satunya
kepentingan AS, baik di Suriah secara
spesifik maupun Timur Tengah secara
umum. Latar belakang AS di Suriah dapat
terbagi menjadi dua, yaitu anti-Bashar dan
anti-terorisme.
Dimulai dari tahun 2011 sejak awal
konflik ini pecah, intervensi AS secara
garis besar adalah untuk mengganti rezim
sosialis yang dipimpin oleh Bashar Assad.
Hal ini jelas dan terungkap dari pernyataan-
pernyataan yang disampaikan oleh berbagai
perwakilan pemerintah AS, termasuk oleh
Barack Obama (Hill, 2018). Keinginan AS
untuk menjatuhkan Bashar juga
dilegitimasi oleh alasan bahwa rezim
Suriah dalam menghadapi perlawanan dari
kelompok oposisi, telah menggunakan
senjata kimia yang merupakan pelanggaran
hukum internasional. Pandangan tersebut
juga tampak dapat memenuhi niat AS
sebagai “polisi dunia” untuk memastikan
keamanan rakyat sipil dari keagresifan
rezim.
Kepentingan ini sangat berkaitan
dengan satu kebijakan luar negeri AS yang
diterapkan secara global, yakni
demokratisasi. Keinginan untuk
mengimpor demokrasi dari AS kepada
negara-negara di dunia Islam, termasuk
Suriah, dianggap sebagai salah satu solusi
oleh AS untuk mengatasi totalitarianisme
rezim. Suriah dalam pandangan AS,
termasuk dalam rogue states atau “negara-
negara nakal” yang patut diwaspadai gerak-
geriknya karena bertendensi mengancam
AS (Karakoc, 2013). Bagi AS,
totalitarianisme dan otoritarianisme
kekuasaan dapat dihilangkan dengan
menyebarkan nilai-nilai demokratis.
Demokratisasi yang dijalankan oleh
AS juga sejalan dengan teori hegemoni
yang diprakarsai oleh Gramsci, bahwa
aktivitas ini sangat berkaitan dengan
promosi nilai-nilai yang diemban oleh
kekuatan hegemon tersebut (Mustarom,
2014). Adapun AS, pengembanan nilai
liberal, universalisme HAM dapat disebut
sebagai nilai utama yang berusaha
disebarluaskan kepada pihak-pihak yang
dirasa bertentangan dengan nilai yang
diusung oleh AS. Suriah, meskipun telah
melaksanakan pemilihan umum untuk yang
pertama kali pada tahun 2012 sebagai
bagian dari tuntutan massa, belum dapat
disebut sebagai negara yang demokratis
bagi AS. Hal ini dikarenakan pelaksanaan
pemilu saja tidak dapat menjadi indikator
demokratis atau tidaknya suatu negara,
sementara nilai-nilai universal dan HAM
masih banyak yang terabaikan.
Selain itu, dalam kerangka
kepentingan yang anti-Otoritarianisme ini,
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
28
AS yang diwakilkan oleh Mike Pompeo
selaku Sekretaris Negara (Menteri Luar
Negeri) juga menyatakan bahwa salah satu
fokus kebijakan yang akan dilaksanakan
oleh AS di Suriah adalah untuk
menghilangkan pengaruh Iran dari Suriah
(O'Connor, 2018). Kebijakan AS secara
global selama ini memang diwarnai dengan
sikap kritis bahkan cenderung kontra
dengan Iran. AS menginginkan agar
pasukan Iran yang turut serta di Suriah,
seperti Iranian Guards for Revolution
Corps atau Garda Revolusi Iran serta
kelompok-kelompok pro rezim Suriah yang
dibiayai, dilatih dan dipersenjatai oleh Iran
agar menghilang dari Suriah.
Posisi AS terhadap Iran yang
demikian, dipengaruhi oleh persepsi
ancaman AS atas Iran yang berusaha untuk
menjadi pemain utama perpolitikan di
Timur Tengah dan mengeliminasi pengaruh
AS di kawasan. Suriah, yang didukung oleh
pemerintah Iran juga kini menjadi tempat
bagi Iran untuk memperkuat posisinya.
Lebih lanjut, alasan kuat AS untuk
memusuhi Iran adalah karena Iran
merupakan salah satu negara yang
memusuhi Israel. Menjaga keamanan Israel
yang membawa dan memromosikan nilai-
nilai Barat adalah salah satu kepentingan
nasional AS untuk kawasan Timur Tengah.
Sehingga, eksistensi Iran yang memusuhi
Israel, juga sama mengancamnya bagi AS
(Ratney, 2019).
Latar belakang AS yang kedua di
Suriah adalah anti-terorisme. Kebijakan
kontra-terorisme sebetulnya sudah lama
menjadi perdebatan di kalangan akademisi
ataupun analis. Penggunaan kata terorisme
sendiri, bukan serta merta dipengaruhi dari
keinginan untuk menghilangkan berbagai
tindakan yang menimbulkan ketakutan di
tengah masyarakat. Lebih jauh, kebijakan
ini sangat dipengaruhi oleh nuansa
hegemonik, dimana satu kekuatan dominan
dapat membentuk definisi yang konsensual
dan membuat pihak lain menerima definisi
yang ditetapkannya tersebut. Begitu pun
yang dilakukan oleh AS, khususnya sejak
abad keduapuluh. Terorisme sendiri secara
definisi sedikit tidak telah dipengaruhi oleh
persepsi AS, yang ditunjukkan dari
pernyataan George W. Bush, mantan
Presiden AS, “it is either you with us or
with the terrorist”. Dari pernyataan
tersebut, dapat ditarik benang merah,
bahwa siapa yang tidak berada di sisi AS,
maka AS “boleh saja” memosisikannya
setara dengan teroris. Sehingga,
konsekuensi dari persepsi ini, AS
memerangi pihak siapapun yang memenuhi
unsur utama teror, yaitu menggunakan
kekerasan dan memiliki motif politik, serta
ditambah kontra dengan pengaruh AS
(Mustarom, 2014).
Sejak Abu Bakar al Bagdadi
mendeklarasikan kekhilafahan ISIS pada
tahun 2014, terjadi pergeseran kebijakan
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
29
AS dalam menanggapi konflik Suriah. Pada
awal konflik, fokus utama AS dapat
dikatakan adalah untuk mengganti rezim
Bashar dengan memastikan stabilitas
Suriah melalui kekuasaan yang lebih
demokratis dan representatif bagi seluruh
rakyat Suriah (Brandenburg, 2018).
Adapun pasca deklarasi tersebut, AS
menjadi lebih agresif, terutama dalam hal
intervensi militer untuk
membumihanguskan ISIS beserta
kelompok-kelompok afiliasinya.
Kepentingan anti-terorisme yang
disebarkan secara global ini telah menjadi
legitimasi bagi AS untuk mengintervensi
konflik. Manisfestasi kepentingan ini
terlihat jelas dari aktivitas AS yang
memerangi ISIS, Al Qaeda, maupun Hay’at
Tahrir al Syam (HTS) yang menurut AS
mengancam stabilitas AS serta sekutu-
sekutu AS. Berbagai serangan langsung
yang dilancarkan oleh militer AS kepada
basis pertahanan kelompok-kelompok
tersebut dapat dilihat dengan semakin
berkurangnya wilayah Suriah yang dikuasai
oleh ISIS. Pengaruh yang dimiliki oleh ISIS
dan kelompok afiliasinya berangsur-angsur
berkurang atas serangan AS dan koalisi
kontraterorismenya (Dalton, 2017). Selain
itu, besarnya upaya yang dikerahkan AS
untuk mencapai kepentingan anti-
terorismenya juga dapat dilihat dari koalisi
yang diprakarsai AS untuk melawan ISIS
dan afiliasinya. Koalisi ini terdiri aktor
negara dan aktor non-negara, seperti Turki,
Arab Saudi, negara-negara Teluk, hingga
kelompok oposisi rezim di internal Suriah
sendiri.
Terdapat irisan kepentingan AS dari
anti-Otoritarianisme dan anti-Terorisme,
yaitu untuk menjaga sekutu. Baik dari
kebijakannya untuk demokratisasi,
menghilangkan pengaruh Iran, memerangi
ISIS dan afiliasinya, serta membentuk
koalisi kontraterorisme, AS memiliki
keinginan yang kuat untuk menjaga serta
memastikan keamanan sekutu dan mitranya
yang dekat dengan Suriah. Eksistensi Israel
yang berbatasan langsung dengan Suriah,
dalam pandangan AS, selama masih berada
di bawah rezim Bashar yang disokong oleh
kekuatan anti-Israel, ancaman itu akan tetap
ada. Sehingga, kekuatan hegemonik seperti
AS, dimanapun ia mengintervensi, dapat
dipastikan selalu mempertimbangkan
kondisi sekutunya, yang jika sekutunya
lemah, maka hal tersebut juga akan
berpengaruh kepada kekuatan dan
hegemoni yang dimiliki AS.
Bila berbicara masalah motif dan
alasan, tentu AS juga memiliki latar
belakang yang kuat yang membuat mereka
menetapkan untuk menerapkan strategi
Devide et Impera di Suriah. Dalam hal ini,
AS mengambil pelajaran dari masa lalu,
yang ketika pemerintahnya menerjunkan
tentara berskala penuh ke Irak dan
Afghanistan misalnya, nyawa serta biaya
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
30
yang harus ditanggung pun jauh lebih besar
oleh AS. Sedangkan di Suriah, AS terlihat
mencari jalan lain untuk mencapai
kepentingannya, yakni dengan
memanfaatkan tipologi konflik yang kian
terfragmentasi, lalu memberikan dukungan
pada kelompok tertentu dan
mempropagandakan kelompok yang lain
sebagai musuh, maka pekerjaan bisa
menjadi lebih low-cost.
Sebut saja di Afghanistan dan Irak,
AS sejak awal intervensinya sudah
langsung menurunkan militer berskala
penuh untuk menurunkan Taliban dan
Saddam Husein. Di Suriah, yang ditandai
dengan intervensinya pasca deklarasi ISIS
hingga tahun 2019, AS baru mengeluarkan
dana 15x lebih sedikit dibandingkan
dengan Irak dan 18x lebih sedikit
dibandingkan dengan pengeluarannya
untuk masalah Afghanistan (Crawford,
2018). Hal ini juga dapat dikatakan
merupakan salah satu pengaruh dari
penerapan strategi Devide et Impera AS di
Suriah, yang menekankan pada
pemanfaatan keterpecahan konstelasi
konflik yang ada.
Seperti yang sudah dipaparkan
sebelumnya, konflik di Suriah tidak dapat
menafikkan adanya isu yang berlandaskan
sentimen sektarianisme, khususnya Sunni
dan Syi’ah. Dalam sebuah dokumen yang
dikeluarkan oleh RAND Corporation pada
tahun 2008 yang berjudul “Unfolding the
Future of the Long War: Motivations,
Prospects, and Implications for the U.S.
Army”, disebutkan bahwa AS jika hendak
menerapkan strategi Devide et Impera,
diberikan opsi untuk mengkapitalisasi
perseteruan Sunni-Syi’ah dengan
mendukung pihak Sunni konservatif dan
bekerja dengan mereka untuk menahan laju
gerakan Syi’ah di dunia Islam (Christopher
G. Pernin, 2008). Sikap yang demikian
tentu beralasan, mengingat sepak terjang
kekuasaan yang bernapaskan Syi’ah yang
notabene tidak pro terhadap AS kerap
memberikan ancaman terhadap
kepentingan AS.
Selain itu, kemunculan kelompok-
kelompok Islamis-jihadis yang beraliran
Sunni dan ingin menumbangkan kekuasaan
Syi’ah Alawiyyah di Suriah juga
merupakan suatu keadaan yang dapat
dieksploitasi oleh AS. Kelompok-
kelompok jihadis ini faktanya memiliki
latar belakang pemahaman keislaman yang
berbeda-beda. Sehingga ketika perbedaan
tersebut terus diamplifikasi salah satunya
dengan berpihak pada satu kelompok saja,
maka kelompok-kelompok tersebut akan
disibukkan dengan konflik internal mereka
(Ahmed, 2015).
Selain itu, terdapat hal mendasar
yang menyebabkan AS menerapkan
strategi Devide et Impera yang sangat
berkaitan dengan kepentingannya di
Suriah. Perpecahan yang terjadi antara
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
31
rezim Bashar dengan rakyatnya sendiri
yang juga sama terpecah, sebetulnya
merupakan cara yang ampuh untuk
membuat mereka lupa akan Israel, yang
merupakan mitra terdekat AS di Timur
Tengah. Konflik di Suriah yang didominasi
oleh narasi Arabisme –meskipun Kurdi
dalam jumlah yang tidak signifikan juga
ikut dalam konflik- akhirnya
mengesampingkan Israel yang disebut
sebagai “negara Barat di kawasan Arab”.
Israel memang tidak secara aktif
mengintervensi masalah di Suriah, kecuali
yang berkaitan dengan isu Dataran Tinggi
Golan, yang merupakan area yang
diperebutkan antara Israel dan Suriah
selama ini.
Dengan demikian, AS yang
mendukung kelompok-kelompok seperti
SDF-PYD dan FSA atau kelompok jihadis
moderat lain dan melawan rezim Bashar
serta kelompok salafi-jihadis seperti ISIS
dan afiliasinya menjadikan aktor-aktor di
Suriah sibuk bermusuhan antara yang satu
dengan yang lainnya. Sementara di waktu
yang bersamaan, AS memiliki waktu lebih
untuk memastikan keamanan Israel yang
sangat mungkin suatu waktu berdampak
kepada Israel tanpa harus mengeluarkan
tenaga dan biaya yang besar.
Strategi Devide et Impera AS di Suriah
Bagi sebagian analis, tindakan yang
dilakukan AS di Suriah adalah intervensi
militer yang berbalut intervensi
kemanusiaan. AS menjadikan alasan
tersebut sebagai legitimasi untuk turut serta
dalam konflik dan memastikan
kepentingannya untuk melemahkan
kekuasaan Bashar agar dapat diganti
dengan pemimpin yang lebih moderat,
demokratis dan pro-AS, serta melindungi
keamanan Israel sebagai bagian dari
kepentingan nasional AS dari ancaman
Bashar dan sekutunya di kawasan yang
kontra dengan Israel. Kondisi konflik yang
begitu terfragmentasi antara aktor yang satu
dengan yang lainnya meskipun mereka
sama-sama menginginkan Bashar turun
dari kekuasaannya, mendorong AS untuk
tetap hadir di Suriah. Kehadiran AS di
Suriah memang bukan yang menyebabkan
perpecahan dan konflik antara satu aktor
dengan aktor lainnya terjadi, namun lebih
ke bagaimana AS mengeksploitasi
perpecahan yang secara alami merupakan
bagian dari konstelasi konflik di Suriah.
AS menerapkan Devide et Impera
dengan mendukung pasukan Kurdi serta
FSA dan menentang ISIS, Al Qaeda, serta
HTS yang dapat dikatakan sebagai aktor
sentral dalam konflik Suriah, serta menolak
untuk mendukung kekuatan pendukung
rezim Suriah yang dianggap tidak
demokratis oleh AS dan mengancam
eksistensi sekutu-sekutu AS. Lembaga
seperti Departemen Pertahanan AS, PBB,
bahkan CIA yang dapat dikatakan sebagai
alat pemerintah federal AS dalam kancah
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
32
politik global juga memberikan andil
kepada AS untuk menerapkan Devide et
Impera pada Suriah. CIA yang merupakan
badan intelijen AS, pada tahun 2013 secara
resmi meluncurkan sebuah program rahasia
untuk mendanai, melatih dan
mempersenjatai oposisi moderat seperti
FSA dalam rangka memerangi rezim
Suriah (Sanchez, 2013). Program ini
dinamai Timber Sycamore (Lin, 2016).
Pengerahan bantuan dan dukungan
militer AS kepada FSA ini berada di bawah
operasi yang dijalankan oleh CIA, lembaga
intelejen nasional AS, yang disebut dengan
Timber Sycamore. Operasi Timber
Sycamore ini merupakan program resmi
CIA untuk mensuplai senjata dan pelatihan
kepada kelompok-kelompok oposisi yang
juga didukung oleh beberapa lembaga
intelijen Arab. Operasi Timber Sycamore
yang pada mulanya merupakan operasi
rahasia yang diperintahkan langsung oleh
Obama kepada CIA ini dilaksanakan tidak
hanya oleh AS saja, melainkan oleh
beberapa sekutu AS di Timur Tengah,
seperti Arab Saudi dan Yordania.
Pertimbangannya bukan hanya karena
kedua negara ini berdekatan dengan Suriah,
tetapi dalam beberapa dekade terakhir,
keduanya telah menjadi mitra bagi AS,
termasuk CIA dalam menjalanakan
program-programnya (Mark Mazzetti,
2016). Yordania menjadi tempat bagi
pasukan CIA melatih kelompok-kelompok
oposisi yang juga tergabung di bawah
payung FSA.
Di bawah operasi inilah, AS melalui
CIA mengupayakan untuk mendapatkan
kepentingannya di Suriah untuk
menggulingkan rezim Bashar dengan
mendanai dan mendukung kelompok-
kelompok oposisi yang berpihak kepada
nilai-nilai demokratis yang diusung AS
(Mark Mazetti, 2017). Bagi AS,
keunggulan yang dimiliki FSA boleh jadi
bukan menjadi tujuan utama dari dukungan
yang diberikan kepada mereka, tetapi lebih
kepada memastikan agar kemampuan FSA
yang merepresentasikan kelompok oposisi
sesuai dengan tujuan AS lah yang menjadi
isu kunci dukungan AS (O'Bagy, 2013).
Meski demikian, Trump pada tahun 2017
akhirnya memutuskan untuk menghentikan
operasi Timber Sycamore dan mengatakan
bahwa pendanaan yang semula untuk
program CIA ini, dialihkan untuk
pendanaan operasi melawan ISIS dan
afiliasinya yang diberi nama oleh AS
sebagai Operation Inherent Resolve.
Selain mendukung FSA melalui
CIA, AS juga menyokong pasukan Kurdi di
Suriah, khususnya SDF, PYD, dan sayap
militernya, YPG. Salah satu alasan AS
mendukung kelompok Kurdi dalam
konstelasi Suriah adalah karena AS
memandang bahwa pasukan Kurdilah yang
paling efektif dalam melawan ISIS dan
afiliasinya. Kelompok-kelompok oposisi
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
33
selain Kurdi juga memang memerangi ISIS,
tetapi AS telah menetapkan untuk
memanfaatkan pasukan Kurdi sebagai pion
untuk melawan ISIS di Suriah (Gurcay,
n.d.). Hal lain yang menyebabkan pasukan
Kurdi signifikan bagi AS adalah karena
persebaran lokasi mereka di wilayah utara
Suriah, yang merupakan wilayah yang
dikuasai ISIS saat awal deklarasinya tahun
2014 dulu. Sehingga penting bagi AS untuk
mengamankan wilayah tersebut agar tidak
dikuasai dan dipengaruhi lagi oleh ISIS.
Akan tetapi, bila dilihat dari tekad
AS untuk menghapuskan eksistensi dan
pengaruh ISIS AS menunjukkan
dukungannya kepada SDF-PYD dalam
rangka memerangi ISIS. AS memandang
bahwa keberadaan pasukan Kurdi di
wilayah yang dekat dan bersinggungan
langsung dengan ISIS adalah cara efektif
untuk vis a vis menghadapi ISIS. Serangan
udara yang merupakan bantuan AS
terhadap tentara Kurdi cukup aktif bahkan
sejak 2015, seperti misalnya ke provinsi
Hasaka pada Februari 2015, al-Hawl pada
Oktober-November 2015, di al-Syadadi
pada bulan Februari tahun 2016, serta di
Manbij pada bulan Mei hingga Agustus
2016. AS meluncurkan serangan bantuan
tersebut mayoritas ke daerah-daerah yang
memang hanya pasukan Kurdi lah yang
aktif beroperasi di sana (Clawson, 2016).
Sesuai dengan pola Devide et
Impera, selain AS mendukung kelompok
tertentu, maka di waktu yang bersamaan ia
juga melawan kelompok lain yang
merupakan bagian integral dari konflik
Suriah. Pasukan-pasukan pro rezim Bashar
yang dimaksud dalam pembahasan ini
adalah seperti yang disebutkan pada sub-
bab sebelumnya, yaitu Syrian Armed
Forces (SAF) yang tidak lain merupakan
militer nasional Suriah, National Defense
Force (NDF) yang mewakili paramiliter
rezim serta milisi lain yang pro-rezim
seperti Shabiha dan kelompok-kelompok
lokal lainnya. Pasukan-pasukan militer
tersebut adalah garda terdepan yang
menyokong pertahanan rezim Bashar
selama masa peperangan berlangsung.
Lokasi mereka juga tidak terpusat di satu
wilayah saja, melainkan tersebar di
beberapa wilayah di Suriah.
Secara garis besar, konfrontasi AS
terhadap kelompok-kelompok pro rezim ini
dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu
konfrontasi yang merupakan respon atas
dugaan penggunaan senjata kimia oleh
rezim Suriah atas serangannya kepada
oposisi dan konfrontasi yang memang
ditujukan ke basis-basis militer pasukan
tersebut untuk melemahkan kekuatan
mereka. Retorika-retorika yang digulirkan
oleh pemerintah AS di masa-masa awal
pecahnya konflik menunjukkan bahwa AS
mengecam keras praktik penggunaan
senjata kimia yang dilakukan oleh rezim
Suriah. Bahkan di masa pemerintahan
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
34
Obama pada tahun 2012, ia mengatakan
bahwa menggunakan senjata kimia atas
warga sipil dan kelompok oposisi di Suriah
merupakan “red line” bagi AS. AS juga
secara tegas menyatakan kepada rezim
Suriah bahwa mereka tidak menolerir
penggunan senjata kimia dalam konflik
terlebih bila itu digunakan oleh tangan yang
salah (Secretary, 2012).
Sikap AS yang seperti inilah yang
memunculkan persepsi bahwa AS
membalut intervensinya dengan
humanitarian intervention. Bahkan sikap
yang menunjukkan AS kontra senjata kimia
ini berlanjut hingga pemerintahan di bawah
Trump. Pada tahun 2017, Trump secara
resmi memerintahkan untuk mengambil
tindakan militer dengan menyerang
pangkalan udara di Shayrat. Pangkalan
udara ini disebut oleh AS sebagai lokasi
peluncuran pesawat yang digunakan oleh
rezim untuk menyerang dengan senjata
kimia ke wilayah Khan Sheikhoun, sebelah
barat provinsi Homs yang dikuasai oleh
kelompok oposisi (Kaplow, 2018). Selain
itu selama tahun 2018, AS juga aktif
menyerang pasukan rezim atau kelompok
pendukungnya, seperti yang terjadi pada
bulan April di sekitara wilayah Deir ez Zor
(al-Khalidi, 2018).
KESIMPULAN
Jika ditilik dari perspektif strategis,
AS telah berkaca dari pengalaman
pertempuran-pertempurannya sebelum ini
yang seringnya menerjunkan militer dalam
skala penuh ke medan konflik. Apa yang
terjadi di Suriah justru berbeda. AS dengan
melihat konstelasi konflik yang terjadi telah
menerapkan strategi Devide et Impera yang
memang konfigurasi konflik di sana
mendukung AS untuk menerapkan strategi
ini. Devide et Impera bukanlah strategi
baru, karena strategi ini sudah sangat sering
dilancarkan oleh kekuatan adidaya seperti
AS, yang akhirnya memunculkan
instabilitas di kawasan Timur Tengah
khususnya. Strategi yang pada dasarnya
mengeksploitasi perpecahan yang terjadi
pada objek yang hendak dikuasai untuk
dibalikkan agar memberikan keuntungan
kepadanya sangat mampu dilaksanakan
oleh AS yang merupakan aktor hegemonik.
Kapabilitas yang dimiliki AS, seperti
institusi-institusi pendukung selevel CIA
dan PBB serta pengaruh dalam level
regional Timur Tengah, menempatkan AS
pada posisi superior dalam konflik di
Suriah yang memungkinkannya
mengaplikasikan komponen-komponen
strategi Devide et Impera.
Fragmentasi yang terjadi dalam
internal Suriah, seperti mencuatnya isu
sektarianisme dan revivalisme Islamis,
termasuk di dalamnya adalah kemunculan
ISIS adalah beberapa faktor yang
memudahkan AS mengejar kepentingannya
di Suriah. Berbagai intervensi AS di Suriah
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
35
pada dasarnya bermuara pada dua
kepentingan umum dan satu kepentingan
khusus. Dua kepentingan umum tersebut
adalah anti-Bashar yang termanifestasi
dalam agenda demokratisasinya serta
menghilangkan pengaruh Iran dan anti-
terorisme yang terwujud dalam perang
melawan ISIS dan afiliasinya serta
pembentukan koalisi kontraterorisme.
Adapun satu kepentingan khususnya adalah
demi menjaga sekutunya di kawasan,
terutama Israel yang sangat mungkin
terkena dampak buruk dari konflik
berkepanjangan di Suriah ini. Kepentingan-
kepentingan tersebut, meskipun berbeda,
pada faktanya memiliki keterkaitan antara
yang satu dengan yang lainnya yang tidak
dapat dipisahkan bagi AS.
AS yang juga memanfaatkan isu
sektarianisme dengan menyokong
kelompok Sunni juga pada faktanya telah
memperlebar isu sektarianisme dalam
pusaran konflik di Suriah ini. Pemanfaatan
isu sektarianisme oleh AS dalam konflik di
Suriah juga merupakan manifestasi dari
strategi yang memang selama ini
dijalankan, khususnya di wilayah
TimurTengah. Memosisikan diri pada
oposisi yang mayoritas memegang Sunni
sebagai keyakinannya dan melawan yang
beraliran Syiah pada akhirnya melahirkan
polarisasi lain dalam diskursus konflik
yang terjadi di Suriah ini.
DAFTAR PUSTAKA Buku
Erlich, R. (2014). Inside Syria: The Backstory og Their Civil War and What the World Can Expect. New York: Prometheus Books.
Femia, J. V. (1981). Gramsci's Political Thought: Hegemony, Consciousness, and the Revolutionary Process. New York: Oxford University Press.
Gani, J. (2015). Contentious Politics and the Syrian Crisis: Internationalization and Militarization of the Conflict. In G. F.A., Contentious Politics in the Middle East (pp. 127-153). New York: Palgrave Macmillan.
Ghafur, M. F. (2016). Problematika Kekuatan Politik Islam di Suriah: dari Dominasi Militer hingga Konflik Sektarianisme. In Problematika Kekuatan Politik Islam di Yaman, Suriah dan Aljazair (pp. 109-135). Bandung: Pustaka Jaya.
Khatib, L. (2012). Islamic Revivalism in Syria: The rise and fall of Ba'athist secularism. London: Routledge.
Michael A. Huberman, M. B. (1994). Qualitative Data Analysis. Washington DC: SAGE Publications.
Yin, R. K. (2011). Qualitative Research from Start to Finish. New York: The Guilford Press.
Jurnal, Laporan, dan Tesis Arosoaie, A. (2015). Doctrinal Differences
between ISIS and Al Qaeda: An Account of Ideologues. Counter Terrorist Trends and Analyses vol. 7, 31-37.
Bar, S. (2006). Bashar's Syria: The Regime and its Strategic Worldview. Comparative Strategy, 353-445.
Cejka, M. (2012). Divide et Impera: Western Engagement in the Middle East. Central European Journal of
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
36
International and Security Studies, 200-218.
Christopher G. Pernin, B. N.-S. (2008). Unfoldung the Future of the Long War: Motivations, Prospects, and Implications for the U.S. Army. Santa Monica: RAND Corporation.
Clawson, P. (2016). Syrian Kurds as a U.S. Ally: Cooperation & Complications. Polic Focus of The Washington Institute for Near East Policy, 52-59.
Cox, R. W. (1983). Gramsci, Hegemony, and International Relations: An Essay in Method. Millenium - Journal of International Studies , 162-175.
Crawford, N. C. (2018). United States Budgetary Costs of the Post 9/11 Wars through FY2019: $5.9 Trillion Spent and Obligated. Watson Institute of International & Public Affairs.
Dalton, M. (2017). Defeating Terrorism in Syria: A New Way Forward. Portsmouth: Hampton Roads International Security Quarterly.
Karakoc, J. (2013). US Policy Towards Syria Since the Early 2000s. Routledge Journal of Socialist Theory, 223.
Khaddour, K. (2019). Localism, War, and the Fragmentation of Sunni Islam in Syria. Washington DC: Carnegie Endowment for International Peace.
Kraus, J. (2017). The Internationalization of Conflicts. Vojenske Rozhledy, 23-32.
Lapidus, I. M. (1997). Islamic Revival and Modernity: The Contemporary Movements and the Historical Paradigms. Journal of the Economic and Social History of the Orient vol. 40, 444-460.
Lister, C. (2016). The Free Syrian Army: A Decentralized Insurgent Brand. Washington DC: Center for Middle East Policy at Brookings.
Luigi Narbone, A. F. (2016). Inside Wars: Local Dynamics of Conflicts in
Syria and Libya. Italy: Rober Schuman Centre for Advanced Studies.
Mahmood, S. (2005). Politics of Piety. Princeton: Princeton University Press.
Morrock, R. (1973). Heritage of Strife: The Effects of Colonialists "Divide and Rule" Strategy upon the Colonized People.
Mullins, C. A. (2015). Syria and The Rise of Radical Islamist Groups. Tesis Naval Postgraduate School, California.
Mustarom, K. (2014). Demokrasi sebagai Alat Hegemoni. Lembaga Kajian Syamina.
Mustarom, K. (2014). TERORISME & terorisme: Antara "T besar" dan "t kecil". Syamina vol. VIII.
O'Bagy, E. (2013). The Free Syrian Army. Washington DC: Institute for the Study of War.
Pal, M. (2017). Marxism. In S. McGlinchey, International Relations Theory (pp. 42-48). Bristol: E-International Relations Publishing.
Rathnayake, S. S. (2016). Hegemony of the United States and the Middle East. Felicitation Volume of Senior Professor Prema Podimenike, 251-262.
Ratney, M. A. (2019). Five Conundrums: The United States and the Conflict in Syria. Washington DC: Institute for National Strategic Studies - Strategic Perspectives.
Ulutas, U. (2011). The Syrian Opposition in the Making: Capabilities and Limits. Insight Turkey, 87-106.
Wiktorowicz, Q. (2004). Islamic Activism: A Social Movement Approach. Indiana: Indiana University Press.
Wolff, K. H. (1950). The Triad. In G. Simmel, The Sociology of Georg Simmel (pp. 145-170). Illinois: The Free Press.
Xypolia, I. (2016). Divide et Impera: Vertical and Horizontal
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
37
DImensions of British Imperialism. Journal of Socialist Theory.
Zimmerman, K. (2017). America's Real Enemy: The Salafi-Jihadi Movement. Washington DC: American Enterprise Institute.
Website
Ahmed, N. (2015, April 3). The Pentagon plan to 'divide and rule' the Muslim world. Retrieved from Middle East Eye: http://www.middleeasteye.net/opinion/pentagon-plan-divide-and-rule-muslim-world
al-Khalidi, S. (2018, April 29). U.S.-backed forces say they regain villages seized by Syrian army. Retrieved from Reuters: https://www.reuters.com/article/us-mideast-crisis-syria-euphrates/u-s-backed-forces-say-they-regain-villages-seized-by-syrian-army-idUSKBN1I00EX
Brandenburg, R. (2018, Oktober 9). What is the U.S. Interest in Syria? Retrieved from Truman Center: http://trumancenter.org/doctrine-blog/what-is-the-us-interest-in-syria/
Gurcay, E. (n.d.). The U.S.-YPG Relationship: U.S. Foreign Policy & the Future of the Kurds in Syria and Turkey. Retrieved from Middle East Policy Council: https://mepc.org/commentary/us-ypg-relationship-us-foreign-policy-future-kurds-syria-and-turkey
Hill, C. R. (2018, Februari 22). What does the US want in Syria? Retrieved from The Strategist — The Australian Strategic Policy Institute: https://www.aspistrategist.org.au/us-want-syria/
Kaplow, L. (2018, April 13). History Of U.S. Responses To Chemical Weapons Attacks In Syria. Retrieved from NPR: https://www.npr.org/sections/thetw
o-way/2018/04/13/602375500/history-of-u-s-responses-to-chemical-weapons-attacks-in-syria
Lin, C. (2016, Desember). How The US Ends Up Training al-Qaeda and ISIS Collaborators. Retrieved from The Institute for Strategic, Political, Security, and Economic Consultancy (ISPSW): http://www.ispsw.com/wp-content/uploads/2016/12/461_Lin-1.pdf
Mark Mazetti, A. G. (2017, Agustus 2). Behind the Sudden Death of a $1 Billion Secret C.I.A. War in Syria. Retrieved from The New York Times: https://www.nytimes.com/2017/08/02/world/middleeast/cia-syria-rebel-arm-train-trump.html
Mark Mazzetti, M. A. (2016, Januari 23). U.S. Relies Heavily on Saudi Money to Support Syrian Rebels. Retrieved from The New York Times: https://www.nytimes.com/2016/01/24/world/middleeast/us-relies-heavily-on-saudi-money-to-support-syrian-rebels.html?-r=0
Networking, B. (2012, July 9). Profile: Syria's ruling Ba'ath Party. Retrieved from BBC: https://www.bbc.com/news/world-middle-east-18582755
O'Connor, T. (2018, Oktober 11). U.S. Finally Reveals What It Really Wants Now in Syria. Retrieved from News Week: https://www.newsweek.com/us-finally-admits-what-it-really-wants-syria-1165131?amp=1
Pedersen, P. S. (2018, Juni 20). Things Fall Apart: Rebel Fragmentation in Syria's Civil War (2011-2017). Retrieved from SSRN: https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3200011
Sanchez, R. (2013, September 3). First Syria rebels armed and trained by CIA 'on way to battlefield'.
MEIS__________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 7 No. 1 Januari – Juni 2020
38
Retrieved from The Telegraph: https://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/middleeast/syria/10283758/First-Syria-rebels-armed-and-trained-by-CIA-on-way-to-battlefield.html
Secretary, O. o. (2012, Agustus 20). Remarks by the President to the White House Press Corps. Retrieved from The White House President Barack Obcama: https://obamawhitehouse.archives.gov/the-press-office/2012/08/20/remarks-president-white-house-press-corps
Shaheen, K. (2018, Juli 31). Syrian government forces seal victory in southern territories. Retrieved from The Guardian: https://www.theguardian.com/world/2018/jul/31/syrian-government-forces-seal-victory-in-southern-territories
Times, T. N. (2008, May 1). Hegemony. Retrieved from The New York Times: https://www.nytimes.com/2008/05/01/news/01iht-30oxan.12491269.html