Transcript

JUDUL

JURNAL PENDIDIKAN DASAR,VOL.10 NO.2, SEPTEMBER 2009 (190-199)

Fauzi,Dampak Pelatihan Bimbingan dan Konseling.

DAMPAK PELATIHAN BIMBINGAN DAN KONSELING TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN GURU DALAM PENGEMBANGAN LAYANAN DI SEKOLAH DASARIkka Kartika A.Fauzi

(Dosen PLS FKIP Universitas Islam Nusantara Bandung, e-mail:[email protected]) Abstract: The success of training is often seen from the output aspect. The criteria for this success is on the participants ability in completing the training with the over-average achievement. Achieving the competency change, moreover performance, an output aspect is merely a preliminary goal, while the main goal is outcome, impact. So, it can be said that the ability in achieving the final goal is a form of success.Kata Kunci :Dampak pelatihan,bimbingan dan konseling, kemampuan guru dan pengembangan layananWajar Sembilan Tahun mengharuskan setiap anak agar dapat menyelesaikan pendidikan minimal hingga jenjang SMP. Beberapa kondisi yang menjadi tolok ukur untuk mengetahui perkembangan penuntasan Wajar Dikdas Sembilan Tahun antara lain dengan menggunakan angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM), serta angka putus sekolah pendidikan dasar. Pada tahun 2005, secara nasional APM SD menunjukkan angka 81,81 dan pada tahun 2006 menjadi 81,86. Angka ini dipengaruhi oleh angka putus sekolah , pada tahun 2005 menunjukkan 2,40 % dan pada tahun 2006 sebesar 2,30 % (578.622 anak SD). Bila dilihat secara berturut-turut selama empat tahun, dari tahun 2003 s.d. tahun 2006, penurunan angka putus sekolah rata-rata 0.22% per tahun. Apabila kecenderungan-kecenderungan positif di atas dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan, maka penuntasan Wajar Dikdas Sembilan Tahun dapat diselesaikan pada tahun 2008/2009. Namun, berbagai masalah siswa SD , misalnya yang berkaitan dengan kesulitan belajar, bukan tidak mungkin akan memperlambat penyelesaian pendidikan lebih dari sembilan tahun bahkan mungkin saja anak tersebut akhirnya sama sekali tidak dapat menyelesaikan jenjang tersebut. Di sisi lain, Wajar Dikdas Sembilan Tahun menyebabkan terjadinya perubahan amat mendasar tentang fungsi SD, yaitu dari fungsi terminal menjadi fungsi transisional untuk melanjutkan ke jenjang SLTP atau sederajat. Ahman (1998 : 6) menyebutkan bahwa pendidikan SD tidak semata-mata kemampuan baca, tulis dan hitung, akan tetapi juga harus memungkinkan siswa memiliki kesiapan intelektual, pribadi dan sosial. Proses pendidikan harus membantu peserta didik agar mampu memahami potensi diri, peluang dan tuntutan lingkungan, serta merencanakan masa depan melalui pengambilan serangkaian keputusan yang paling mungkin bagi dirinya. Kemampuan seperti ini tidak selalu menyangkut aspek akademis melainkan lebih banyak menyangkut perkembangan pribadi, sosial, kematangan berpikir dan sistem nilai. Pengembangan kemampuan ini harus serempak terjadi.

Dalam kondisi seperti ini, upaya Bimbingan dan Konseling di SD memiliki peranan yang besar. Tyler (dalam Ahman,1998:7) menyatakan bahwa the psychological purpose of counselling is to facilitate development. Inilah yang menyebabkan layanan bimbingan tidak hanya berurusan dengan perilaku salah suai, perilaku bermasalah atau mencegah munculnya perilaku bermasalah, namun juga mengembangkan potensi peserta didik. Guru dalam hal ini memiliki tugas ganda, yaitu sebagai guru kelas atau guru mata pelajaran, akan tetapi juga sebagai guru pembimbing. Permasalahannya, sebagian besar SD tidak memiliki layanan Bimbingan dan Konseling. Guru yang berlatar belakang pendidikan Bimbingan dan Konseling juga tidak banyak ditemukan di SD, karena pada umumnya guru SD adalah lulusan D2 atau S1 PGSD. Kondisi seperti ini tentunya kurang tepat bila mengingat Sekolah Dasar merupakan awal seseorang untuk memperoleh berbagai pengetahuan dasar secara formal yang akan mendasari kegiatan pendidikan pada jenjang berikutnya. Untuk mencapai kompetensi kelulusan sesuai dengan Permendiknas No. 22 Tahun 2006 bagi anak yang mengalami kesulitan belajar tentunya bukan masalah ringan. Oleh karena itu, penanganan yang dilakukan guru saat ini sangat menentukan keberhasilan anak ketika mengikuti jenjang pendidikan berikutnya, yang pada gilirannya akan mempengaruhi keberhasilan pendidikan secara umum. Untuk mengatasinya, diperlukan pelatihan khusus bagi guru SD agar mereka memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan program Bimbingan dan Konseling serta mengembangkan layanan Bimbingan dan Konseling di lingkungan sekolahnya. Hal ini sejalan dengan salah satu kebijakan pokok pembangunan pendidikan nasional yang berkaitan dengan peningkatan mutu tenaga pendidik. seperti yang tercantum dalam UU Guru No. 14 Tahun 2006, bahwa guru: memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensinya dalam rangka melaksanakan tugas keprofesionalannya. Pelatihan dirumuskan oleh Friedman dan Yarbrough (dalam Sudjana, 2007 : 4) sebagai : ... is a process used by organizatios to meet their goals. It is called into operation when a discrepancy is perceived between a current situation and a preferred state of affairs. The trainers role is to facilitate trainees movement from the status quo toward the ideal. Pengertian ini mengandung arti bahwa pelatihan dianggap berhasil bila sumber daya yang dilatih mampu mengubah kondisi yang ada saat ini ke arah yang diharapkan organisasi. Lebih jauh lagi Mills (1977) menjelaskan bahwa latihan yang dibarengi dengan penuh pengertian merupakan pendidikan lanjutan dan menjadi dasar yang lebih luas, sehingga pekerja akan menjadi lebih terampil dalam pekerjaannya, akan merasa lebih bahagia dalam pekerjaannya itu dan akan membuat dirinya jadi sadar terhadap kesempatan-kesempatan untuk mencapai kemajuan atau bahkan untuk merubah latihannya sesuai dengan yang diinginkannya. Selanjutnya Mills menyatakan bahwa tujuan pelatihan adalah untuk menolong peserta pelatihan agar mereka memperoleh skills, sikap, kebiasaan berfikir dan kualitas watak yang memungkinkan mereka dapat memahami pekerjaan-pekerjaannya dan dapat melakukannya secara efisien dan memuaskan. Oleh karena itu, menurut Sudjana (2007:7) pelatihan dikaji kegunaannya bagi individu, lembaga/organisasi dan masyarakat. Kegunaan bagi individu atau peserta pelatihan adalah terjadinya peningkatan berbagai kemampuan melalui perolehan keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai-nilai baru setelah mengikuti pelatihan, yang ditampilkan dalam pelaksanaan tugas atau pekerjaan dan/atau kehidupan mandiri. Kegunaan bagi lembaga atau organisasi adalah tercapainya tujuan-tujuan kelembagaan sebagaimana telah direncanakan oleh lembaga atau organisasi penyelenggara pelatihan. Kegunaan bagi masyarakat adalah timbulnya pengaruh positif dari kehadiran peserta pelatihan dan/atau lulusan program pelatihan yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasinya bagi pembangunan masyarakat. Dari pengertian-pengertian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pelatihan dapat berhasil bila berdampak terhadap peningkatan keterampilan seseorang dalam pekerjaan atau tugas-tugas yang diberikan lembaga/organisasi padanya, terhadap peningkatan kelancaran program-program kerja dari lembaga/organisasi tempat yang bersangkutan bertugas yang pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan kemajuan masyarakat di lingkungannya. Hal inilah yang diharapkan akan terjadi pada peserta Pelatihan Program Layanan Bimbingan dan Konseling untuk Guru SD. Setelah selesai pelatihan mereka diharapkan mampu menerapkan hasil pelatihan di sekolah tempatnya bekerja.Bila dikaitkan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 26 ayat (3), (4) dan (5) dengan jelas dinyatakan bahwa pelatihan kerja merupakan bagian dari pendidikan non formal, sedangkan lembaga pelatihan merupakan satuan pendidikan non formal. pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Sebagai bagian dari pendidikan non formal, komponen-komponen pelatihan tidak lepas dari komponen-komponen pendidikan nonforml, yang menurut Sudjana (2001 : 34) terdiri dari input mentah, input instrumental, input environtmental, proses, keluaran, input lain dan impact atau dampaknya bagi individu peserta pelatihan, lingkungan keluarganya, lembaga/organisasi tempatnya bekerja maupun lingkungannya. Dalam pendidikan non formal, keluaran atau output, hanya merupakan tujuan antara, yang mencakup kuantitas lulusan yang disertai kualitas perubahan tingkah laku yang diperoleh melalui kegiatan pembelajaran. Input lain atau other input adalah daya dukung lainnya yang memungkinkan para peserta didik dan lulusan dapat menggunakan kemampuan yang telah dimilikinya untuk kemajuan kehidupannya. Masukan lain berupa dana atau modal, bahan baku, proses produksi, lapangan kerja/usaha, informasi, alat, fasilitas, pemasaran, pekerjaan, koperasi, paguyuban peserta didik, latihan lanjutan, bantuan eksternal, dan lain-lain. Pengaruh (outcome atau impact) merupakan tujuan akhir program pendidikan non formal. Pengaruh itu meliputi : (a) perubahan taraf hidup lulusan yang ditandai dengan perolehan pekerjaan atau berwirausaha, perolehan atau peningkatan pendapatan, kesehatan dan penampilan diri; (b) membelajarkan orang lain terhadap hasil belajar yang telah dimiliki dan dirasakan manfaatnya oleh lulusan, dan (c) peningkatan partisipasinya dalam kegiatan sosial dan pembangunan masyarakat. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa suatu pelatihan kerja dapat dikatakan berhasil bila pesertanya mampu menerapkan hasil pelatihan sesuai dengan tujuan pelatihan itu sendiri sehingga dapat meningkatkan kinerja atau performance di lingkungan kerjanya dan dapat berbagi ilmu dengan rekan sejawat yang pada gilirannya akan mempengaruhi peningkatan kapasitas lembaga/organisasi tempatnya bekerja serta memberi kontribusi terhadap kemajuan masyarakat yang terkait dengan tugas kerjanya.

Bila dikaitkan dengan pelatihan pelayanan Bimbingan dan Konseling bagi Guru SD, maka setelah selesai pelatihan mereka diharapkan mampu memberikan layanan Bimbingan dan Konseling terhadap peserta didiknya sesuai dengan karakteristik layanan Bimbingan dan Konseling di SD, menularkan pengetahuan dan kemampuan barunya itu kepada guru-guru lainnya sehingga mereka juga mampu melakukan layanan serupa serta mampu mendorong dan meyakinkan Kepala Sekolah untuk mengembangkan program Bimbingan dan Konseling sebagai program resmi sekolah.

Karakteristik layanan Bimbingan dan Konseling di SD berbeda dengan di sekolah menengah. Menurut Dinkmeyer dan Caldwell (dalam Ahman, 1998 : 22) perbedaan tersebut mencakup aspek-aspek berikut ini: (1) Bimbingan di SD lebih menekankan akan pentingnya peranan guru dalam fungsi bimbingan. Dengan sistem guru kelas, guru lebih memiliki banyak waktu untuk mengenal anak lebih mendalam, sehingga memiliki peluang untuk menjalin hubungan yang efektif; (2) Fokus bimbingan di SD lebih menekankan pada pengembangan pemahaman diri, pemecahan masalah dan kemampuan berhubungan secara efektif dengan orang lain; (3) Bimbingan di SD lebih banyak melibatkan orang tua, mengingat pentingnya pengaruh orang tua dalam kehidupan anak selama di SD; (4) Bimbingan di SD hendaknya memahami kehidupan anak secara unik; (5) Program Bimbingan dan Konseling SD hendaknya peduli terhadap kebutuhan dasar anak, seperti kebutuhan untuk matang dalam penerimaan dan pemahaman diri serta memahami keunggulan dan kelemahan diri; (6) Program bimbingan di SD hendaknya meyakini bahwa masa usia SD merupakan tahapan yang penting dalam perkembangan anak.

Menurut Muro dan Kottman (1995 : 53-54), terdapat beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan konselor dalam mengembangkan program bimbingan di SD, antara lain bahwa konselor memandang siswa belum memiliki keajegan, oleh karena itu konselor belum dapat menciptakan lingkungan belajar secara permanen, beberapa jenis layanan bimbingan tidak langsung kepada siswa, melainkan diluncurkan melalui guru, orang tua dan orang dewasa lainnya serta pendekatan yang berorientasi pada pemecahan masalah dan konseling atau terapi individual.

Berdasarkan alasan tersebut, maka intervensi layanan bimbingan di SD lebih banyak dilakukan melalui orang-orang yang berarti dalam kehidupan anak seperti guru dan orang tua. Kerjasama guru dengan orang tua akan berpengaruh terhadap keberhasilan anak. Selain tugas mengajar, guru memiliki tugas tambahan melaksanakan program bimbingan di kelas yang menjadi tanggung jawabnya. Peran guru sangat strategis sehingga Ahman (1998 : 24) menyatakannya bahwa : Guru merupakan gelandang terdepan dalam mengidentifikasi kebutuhan siswa, penasehat utama bagi siswa, dan perekayasa nuansa belajar yang mempribadi. Guru yang memonitor siswa dalam belajar, dan bekerjasama dengan orang tua untuk keberhasilan anak.

Disamping karakteristik tersebut, program Bimbingan dan Konseling di SD harus memperhatikan struktur program bimbingan perkembangan yang komprehensif, terdiri atas: (1) Layanan dasar bimbingan, yang bertujuan membantu seluruh siswa dalam mengembangkan keterampilan dasar untuk kehidupan. Alokasi waktunya 35 40 %; (2) layanan responsif bertujuan mengintervensi masalah-masalah atau kepedulian pribadi siswa yang muncul segera dan dirasakan saat itu, berkenaan dengan masalah sosial-pribadi, karir dan/atau masalah pengembangan pendidikan. Alokasi waktunya 30 40 %; (3) Sistem Perencanaan Individual, bertujuan membimbing siswa untuk merencanakan, memonitor dan mengelola rencana pendidikan, karir dan pengembangan sosial-pribadi oleh dirinya sendiri. Alokasi waktunya 5 10 %; (4) Pendukung sistem, lebih diarahkan pada pemberian layanan dan kegiatan manajemen yang tidak secara langsung bermanfaat bagi siswa. Alokasi waktunya 10 15 % (Muro dan Kottman, 1995)

Uraian tersebut menjadi titik tolak bagi masalah yang akan diteliti yang berkaitan dengan dampak pelatihan layanan program Bimbingan dan Konseling untuk Guru SD terhadap peningkatan kemampuan guru dalam mengembangkan layanan Bimbingan dan Konseling terhadap siswa di sekolah. Kemampuan mereka diindikasikan dari keberhasilannya mengembangkan program layanan Bimbingan dan Konseling di sekolahnya masing-masing dengan menggunakan langkah-langkah pelayanan sesuai karakteristik Bimbingan dan Konseling serta struktur program Bimbingan dan Konseling di SD.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kemampuan peserta pelatihan Bimbingan dan Konseling untuk Guru SD dalam menerapkan hasil pelatihan di tempat kerjanya masing-masing. Indikasi kemampuan mereka dilihat dari beberapa aspek, yaitu : (1) Pengembangan Program layanan Bimbingan dan Konseling di tempat kerjanya; (2) Kesuaian program layanan dengan karakteristik Bimbingan dan Konseling di SD; (3) Kesesuaian program layanan dengan struktur program Bimbingan dan Konseling di SD.

Metode

Penelitian ini digunakan metoda deskriptif dengan pendekatan kuantitatif . Subyek penelitian yaitu seluruh peserta Pelatihan Peningkatan Kemampuan Guru SD dalam Mengatasi masalah Siswa Melalui Layanan Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan LPPM UNINUS setahun yang lalu, tepatnya. tanggal 6 s.d.10 Agustus 2007 di Bandung. Jumlah seluruh peserta 50 orang, sebanyak 48 % berasal dari Kota Bandung (12 Kecamatan); 40 % berasal dari Kabupaten Bandung (10 Kecamatan) dan 12 % berasal dari Kota Cimahi (3 kecamatan) . Mereka adalah guru SD yang masih aktif mengajar di SD yang belum melaksanakan pelayanan Bimbingan dan Konseling; guru Olah Raga, guru Agama maupun guru kelas;usia antara 30 s.d. 45 tahun; mereka mempunyai kemampuan untuk menyebarkan hasil pelatihan di lingkungan kerjanya. Pengumpulan data menggunakan teknik angket dan wawancara terbuka (pada saat sebelum pelatihan) dan menggunakan teknik angket, wawancara terbuka, observasi non participant dan studi dokumentasi. Pengolahan data menggunakan statistik deskriptif, dan analisis data dilakukan dengan membandingkan hasil pengolahan data yang diperoleh sebelum pelatihan dan data yang diperoleh sesudah pelatihan. Dari hasil perbandingan tersebut dilihat ada tidaknya peningkatan. Peningkatan antara 0 25 % diinterpretasikan kurang positif, antara 26% - 50 % diinterpretasikan cukup positif, antara 51 % - 75 % diinterpretasikan positif dan antara 76 % - 100 % sangat positif. Hasil dan Pembahasan Dalam pelatihan yang dilakukan setahun sebelumnya, responden menerima materi Teori dasar dan pendukung sebesar 40 % dan Praktek kelas dan lapangan sebesar 60 %. Sebesar 66,67 % materi pelatihan berkaitan erat dengan peningkatan kemampuan layanan Bimbingan dan Konseling, 16,67 % berkaitan dengan materi pendukung dan 16,67 % materi berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan profesionalisme guru Bimbingan dan Konseling.

Tingkat kehadiran mereka saat pelatihan menunjukkan bahwa sebanyak 78,43 % peserta tingkat kehadirannya 100 %; sebanyak 9,80 % tingkat kehadirannya 80 % dan hanya 11,76 % yang tingkat kehadirannya 60 %. . Ketidakhadiran mereka pada umumnya karena mereka terlambat memperoleh panggilan untuk menjadi peserta, karena sakit maupun ada kepentingan yang tidak bisa ditunda. Hasil pelatihan menunjukkan bahwa tingkat pemahaman peserta, 14 % sangat baik, sebanyak 54 % baik dan sebanyak 32 % cukup serta tidak satu pun peserta yang tingkat pemahamannya kurang. Ini bisa dikatakan bahwa sepertiga peserta merasa belum memahami secara optimal materi-materi pelatihan sehingga mereka menganggap pencapaian tujuan pelatihan yang ditawarkan oleh fasilitator belum mencapai harapan. Pada ahir pelatihan seluruh menyatakan kesediaan untuk menerapkan hasil pelatihan di tempat tugasnya.

Dari aspek pengembangan program layanan Bimbingan dan Konseling diperoleh hasil sebagai berikut: (1) Sebelum pelatihan, hanya 10 % responden yang telah memiliki program Bimbingan dan Konseling di sekolah tempatnya bekerja. Setelah mengikuti pelatihan terjadi peningkatan positif terhadap pengembangan program Bimbingan dan Konseling di tempat kerja responden (65 %); (2) Pembuatan program Bimbingan dan Konseling dilakukan bersama oleh guru dengan Kepala Sekolah menunjukkan peningkatan positif (72 %), sehingga program tersebut selalu dikoordinasikan kepada semua guru (peningkatan sangat positif - 80 %); (3) Namun program yang mingguan/harian Bimbingan dan Konseling yang dimiliki sekolah saat ini hanya menunjukkan peningkatan cukup positif (40 %), sama halnya dengan program semesteran Bimbingan dan Konseling (46 %). Anggaran sekolah untuk program Bimbingan dan Konseling dan ruangan untuk pelayanan Bimbingan dan Konseling tidak menunjukkan peningkatan; (4) Sosialisasi program Bimbingan dan Konseling kepada orang tua dan pihak terkait menunjukkan hasil positif (68 %), namun sosialisasi kepada murid menunjukkan peningkatan yang cukup positif (36 %); Dukungan orang tua siswa terhadap keberadaan program Bimbingan dan Konseling juga menunjukkan peningkatan positif (64 %). Dari aspek kesuaian program layanan dengan karakteristik Bimbingan dan Konseling di SD diperoleh hasil sebagai berikut: (1) Dilakukan identifikasi kebutuhan layanan Bimbingan dan Konseling kepada para siswa menunjukkan peningkatan yang sangat positif (88 %); (2) Penanganan program Bimbingan dan Konseling oleh semua guru dan kepala sekolah menunjukkan peningkatan positif (76 %), sedangkan penanganan yang hanya dilakukan oleh guru kelas menunjukkan peningkatan yang kurang positif (24 %) dan oleh guru agama dan guru olahraga tidak menunjukkan peningkatan; (2) Masalah yang memerlukan penanganan khusus dilakukan lebih dahulu oleh guru kelas, menunjukkan peningkatan cukup positif (42 %). Bila guru kelas tidak mampu menyelesaikan, mereka meminta bantuan guru lain (guru agama atau guru olahraga) dan kepala sekolah (peningkatan positif 50 %). Orang tua siswa dilibatkan dalam penaganan masalah tersebut (peningkatan cukup positif 42 %). Namun ada juga guru yang menyerahkannya penanganan masalah kepada guru agama dan guru olahraga tanpa melakukan penanganan lebih dahulu ( peningkatan kurang positif 23 %). Bila guru tidak mampu menangani karena tidak memiliki kewenangan atau karena masalahnya berat, baru dikirimkan ; (3) Guru yang mengadakan kunjungan rumah untuk menangani masalah murid mengalami peningkatan sangat positif (96 %); (4) Evaluasi tentang keterlaksanaan program Bimbingan dan Konseling menunjukkan peningkatan positif (52 %), demikian pula tindak lanjut pelaksanaan Bimbingan dan Konseling menunjukkan peningkatan positif (68 %);(5) Pengumpulan data murid melalui angket terhadap orang tua menunjukkan peningkatan cukup positif (48 %), dan penggunaan angket sosiometri untuk mengetahui hubungan siswa dengan siswa lainnya saat situasi belajar serta situasi bermain, menunjukkan peningkatan cukup positif (masing-masing menunjukkan 36 %). Sedangkan penyelenggaraan psikotes terhadap murid tidak mengalami peningkatan. Bila dilihat dari kesesuaian program layanan dengan struktur program Bimbingan dan Konseling di SD, menunjukkan hasil sebagai berikut: (1) Program Bimbingan dan Konseling diberikan kepada seluruh siswa, yang bermasalah maupun tidak yang bermasalah (mengalami peningkatan positif 72 %); (2) Layanan Bimbingan dan Konseling yang mengalami peningkatan sangat positif berkaitan dengan masalah belajar, masalah sosial, dan masalah pribadi (masing-masing 96 %), Sedangkan masalah karir melanjutkan sekolah hanya menunjukkan peningkatan positif (76 %). Penanganan masalah ekonomi tidak mengalami peningkatan. Hambatan yang paling menonjol bagi para guru tersebut terjadi pada saat : (1) mengembangkan program Bimbingan dan Konseling di SD adalah tidak tersedianya tempat khusus untuk pelayanan Bimbingan dan Konseling dan data lengkap tentang situasi anak (masing-masing 34 %), dukungan dari sesama guru dan dari kepala sekolah masih kurang serta masalah biaya (masing-masing 28 %); (2) melakukan pelayanan adalah kesulitan untuk mengadministrasikan kegiatan Bimbingan dan Konseling (68 %); belum semua guru memahami program Bimbingan dan Konseling (44 %), keterbatasan waktu dan rasio guru : murid yang kurang seimbang (masing-masing 36 %); (3)penerapan struktur program Bimbingan dan Konseling di SD adalah memberikan layanan Dasar Bimbingan ( 72 %) dan melaksanan layanan Pendukung Sistem (56 %). Berdasarkan uraian tersebut tampak bahwa dampak pelatihan ini cenderung memberi peningkatan positif (antara 51 75 %) terhadap pengembangan program Bimbingan dan Konseling di SD dari sisi kuantitas. Ini tampak dari dukungan Kepala Sekolah untuk mengembangkan program Bimbingan dan Konseling di sekolah sesuai masukan dari para guru yang telah mengikuti pelatihan. Namun, bila dilihat dari sisi kualitas, peningkatannya kurang seimbang dengan aspek kuantitas karena cenderung masih cukup positif (antara 26 50 %) bahkan ada yang kurang positif (antara 0 25 %). Bila dikaitkan dengan komponen-komponen pendidikan non formal yang memandang kegiatan pelatihan sebagai suatu sistem, penyebab terjadinya kecenderungan tersebut karena other input atau masukan lain yaitu daya dukung lainnya yang memungkinkan responden untuk mengembangkan hasil pelatihannya, belum mendukung sepenuhnya program tersebut. Daya dukung dalam kaitannya dengan program Bimbingan dan Konseling di SD adalah manusia (kepala sekolah, guru-guru lainnya, orang tua siswa, staf adminitrasi), fasilitas fisik, dana dan lain-lain. Daya dukung ini bisa memberi kontribusi positif maupun negatif Daya dukung positif tampak dari adanya peningkatan positif terhadap program Bimbingan dan Konseling yang berasal dari : (1) dukungan orang tua siswa; (2) masyarakat sekolah seperti staf, komite sekolah, dan lain-lain; (3) guru-guru Agama dan Olah Raga. Hal ini mendorong guru untuk benar-benar berperan selaku pembimbing seperti yang tercantum dalam Bab I pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa guru adalah tenaga profesional yang salah satu tugasnya adalah membimbing. Menurut Amstrong (1983 : 406) dalam menjalankan tugasnya tersebut guru memiliki enam peran, yaitu sebagai instruktur, manajer, pembimbing, evaluator, anggota organisasi profesi, dan spesialis hubungan masyarakat. Sehubungan dengan perannya sebagai pembimbing, seorang guru harus: mengumpulkan data tentang siswa; mengamati tingkah laku siswa dalam situasi sehari-hari; mengenal siswa yang memerlukan bantuan khusus; mengadakan pertemuan atau hubungan dengan orang tua siswa, baik secara individu maupun secara kelompok, untuk memperoleh saling pengertian tentang perkembangan pendidikan anaknya; bekerjasama dengan masyarakat dan lembaga-lembaga lainnya untuk membantu memecahkan masalah siswa; membuat catatan pribadi siswa dan menyelenggarakan bimbingan kelompok atau individu.

Tugas-tugas guru selaku pembimbing tampaknya sudah ditunjukkan oleh guru-guru yang menjadi responden penelitian maupun teman-temannya sesama guru yang merasa perlu melaksanakan program Bimbingan dan Konseling terhadap siswa yang menjadi tanggung jawabnya. Indikasinya tampak dari data yang menunjukkan aktivitas mereka dalam program ini, yaitu ; (1) menangani masalah-masalah siswa yang berkaitan kegiatan belajar mengajar, masalah pribadi, masalah sosial dan masalah kelanjutan sekolah; (2) kunjungan rumah dalam rangka penanganan masalah siswa; (3) melakukan identifikasi layanan kebutuhan kepada siswa ; (4) evaluasi tentang keterlaksanaan program Bimbingan dan Konseling; (5) penggunaan angket sosiometri terhadap orang tua menunjukkan, dan penggunaan angket sosiometri untuk mengetahui hubungan siswa dengan siswa lainnya saat situasi belajar serta situasi bermain.

Daya dukung negatif dalam masalah penelitian ini tampak dalam aspek keterlibatan kepala sekolah dalam menyusun program Bimbingan dan Konseling mengalami peningkatan positif namun tidak ditindaklanjuti dengan penjabaran program tersebut ke dalam program mingguan/harian dan semester. Padahal, penyusunan program-program ini sangat penting artinya untuk memandu guru-guru dalam memberikan layanan Bimbingan dan Konseling. Dari data yang dipaparkan sebelumnya, tampak ketidakmampuan untuk menindaklanjuti ini bisa oleh berbagai faktor, antara lain oleh kekurangpahaman guru-guru terhadap program Bimbingan dan Konseling, keterbatasan waktu guru untuk melaksanakan program Bimbingan dan Konseling dan jumlah murid yang harus dihadapi relatif banyak . Alhasil mereka kurang memberi dukungan secara optimal terhadap pengembangan program Bimbingan dan Konseling karena mungkin dianggap membebani dirinya. Ini diperkuat dengan data yang menunjukkan bahwa penanganan Bimbingan dan Konseling oleh guru kelas peningkatannya masih kurang positif , bahkan terdapat guru kelas yang menyerahkan langsung siswa yang bermasalah kepada guru Olahraga dan guru Agama tanpa menanganinya terlebih dahulu, sehingga penanganan oleh guru Olahraga dan guru Agama terjadi peningkatan positif.

Kemungkinan lainnya karena guru-guru tidak berani membuat program secara rinci tanpa ijin kepala sekolah. Sementara itu kepala sekolah sibuk dengan berbagai urusan sehingga tidak memiliki waktu untuk menyusun program-program secara rinci dan tidak berupaya mendelegasikan penyusunan ini kepada guru-guru yang dianggap memadai. Ini bisa menjadi indikasi bahwa guru tidak mampu mengartikulasikan program-program yang bermanfaat bagi perkembangan para siswanya kepada kepala sekolah karena faktor struktural. Dengan kata lain, kepala sekolah membutuhkan pengakuan sebagai pihak yang memiliki peran penting dalam program Bimbingan dan Konseling. Hal ini diperkuat dengan data yang menunjukkan ada kecenderungan positif keikutsertaan kepala sekolah dalam penanganan masalah yang tidak mampu diselesaikan oleh guru- guru.

Bila dikaitkan dengan pendapat Kartadinata (1996 : 97) ... guru merupakan figur kunci dalam pengembangan layanan bimbingan. Implementasi bimbingan di SD dapat dikatakan identik dengan mengajar yang baik terutama jika guru memainkan peran yang krusial dalam mengembangkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan peserta didik. Oleh karena itu pemahaman tentang peran dan fungsi guru SD dalam bimbingan, ada baiknya diawali dengan pemahaman akan perilaku guru yang efektif. Muchtar Buchori (dalam Kartadinata 2007 : 417), terdapat lima faktor yang sangat mempengaruhi kualitas perilaku guru dalam melaksanakan tugasnya, yaitu : (1) jenis kewenangan (authority) yang benar-benar diserahkan kepada guru; (2) kualitas atasan yang mengawasi dan mengontrol perilaku guru; (3) kebebasan yang diberikan kepada guru, baik di dalam kelas maupun di luar kelas; (4) hubungan guru dengan murid-muridnya; (5) pengetahuan guru tentang dirinya sendiri dan kepercayaan kepada diri sendiri.

Dalam kaitannya dengan hasil penelitian, bila guru diberi kewenangan untuk mengembangkan program Bimbingan dan Konseling dan kepala sekolah mengawasi jalannya pelaksanaan program, maka diharapkan hambatan faktor struktural seperti yang digambarkan sebelumnya, tidak akan terjadi. Namun menurut Soetisna dan Sartika (2000 : 174), kesulitan dalam mempengaruhi perubahan organisasi adalah banyaknya waktu yang diperlukan untuk melaksanakan perubahan. Jenis perubahan yang berbeda memerlukan jumlah waktu yang berbeda pula. Pengetahuan adalah perubahan yang paling mudah untuk dicapai dalam waktu singkat. Perilaku akan lebih sulit dirubah dan akan memakan waktu yang lebih banyak. Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Pelatihan Program Bimbingan dan Konseling bagi Guru SD secara kuantitas berdampak positif terhadap pengembangan Program layanan Bimbingan dan Konseling di tempat kerjanya. Namun secara kualitas kondisi pelayanan masih belum seimbang dengan aspek kuantitas. Program Bimbingan dan Konseling yang dibentuk kurang dimanfaatkan secara optimal sehingga terkesan program Bimbingan dan Konseling sekedar dibentuk untuk memenuhi tuntutan pasca pelatihan. Program layanan masih belum sesuai dengan karakteristik Bimbingan dan Konseling di SD dimana tugas dan peran guru kelas sebagai pembimbing siswa belum bisa dilaksanakan sepenuhnya oleh seluruh guru , dan program layanan cenderung hanya fokus pada layanan responsif sehingga belum memenuhi struktur program Bimbingan dan Konseling di SD.

Hambatan yang tampak nyata muncul untuk mengembangkan program Bimbingan dan Konseling di SD sesuai dengan karakteristik serta struktur program Bimbingan dan Konseling di SD, terutama bersumber dari aspek sumber daya manusia. Dukungan kepala sekolah dan guru yang belum sepenuhnya seolah-olah disebabkan oleh kekurangpahaman mereka terhadap program Bimbingan dan Konseling. Namun, bila ditelaah lebih jauh masalah sebenarnya terletak pada keengganan mereka terhadap peningkatan beban kerja bila mereka melaksanakan program Bimbingan dan Konseling sesuai dengan ketentuan, padahal saat inipun mereka sudah kewalahan menangani jumlah siswa di kelasnya dengan waktu terbatas. Hal ini tersirat dari pernyataan guru tentang kesulitan maupun keluhan yang dikemukakan guru, yaitu dalam hal : (1) mengadministrasikan kegiatan Bimbingan dan Konseling, penyusunan data lengkap tentang situasi anak serta diperlukannya petugas administrasi khusus untuk kegiatan Bimbingan dan Konseling. Kondisi ini menyebabkan para guru yang sudah dilatih hanya mampu memberikan layanan responsif seperti yang selama ini sudah biasa dilakukan; (2) kesulitan guru untuk berperan sebagai pembimbing, sehingga bila ada siswa bermasalah tidak ditanganinya sendiri, namun diberikan kepada guru Olah Raga atau guru Agama. Kalau pun mereka bersedia menangani, harus dilakukan bersama-sama guru lain, bahkan dengan kepala sekolah. Berdasarkan simpulan tersebut, diusulkan saran sebagai berikut: (1) Tampaknya waktu setahun untuk menerapkan hasil pelatihan masih belum cukup, dalam arti masih dalam tahap mencoba-coba, apalagi bila selama ini guru-guru di sekolah belum memahami tentang mekanisme kerja program Bimbingan dan Konseling. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk memfasilitasi pendampingan hingga tercapai target minimal yang sesuai dengan karakteristik serta struktur program Bimbingan dan Konseling di SD. Untuk itu disarankan agar guru sesegera mungkin membangun jaringan dengan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) yang terbuka memberikan informasi tentang layanan Bimbingan dan Konseling kepada para guru . Melalui asosiasi profesi ini mereka bisa memperoleh informasi tentang pengembangan program Bimbingan dan Konseling di SD secara tepat dan terus menerus; (2) Guru perlu membangun jaringan dengan SD yang sudah menyelenggarakan Bimbingan dan Konseling. Pada saat pelatihan mereka telah diperkenalkan dengan satu SD swasta yang sudah aktif melaksanakan program Bimbingan dan Konseling. Ini bisa dijadikan alternatif model bagi sekolah yang akan mengembangkan program serupa; (3) Perlu dilakukan pelatihan lanjutan agar guru lebih percaya diri untuk menyosialisasikan program sesuai dengan prosedur sebenarnya kepada rekan-rekan sejawat / guru-guru lainnya;(4) Kepala Sekolah bisa melakukan kerjasama dengan Perguruan Tinggi yang memiliki program studi Bimbingan dan Konseling untuk memperoleh bimbingan secara tepat. Daftar Acuan Ahman.1998. Bimbingan Perkembangan : Model Bimbingan dan Konseling di sekolah Dasar (Studi ke Arah Penemuan Model Bimbingan pada Beberapa Sekolah Dasar di Jawa Barat). Bandung : Disertasi Program Pasca Sarjana Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.Amstrong, David G. And tom V.Savage.1983. Secondary Education. New York : Macmillan Publishing Co.Kartadinata, Sunaryo. 1996. Peningkatan Mutu dan Pengembangan Sistem Manajemen Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar. Bandung : Laporan Penelitian IKIP Bandung.Mills, H.R.1977. Teaching and Training. New York: A Handbook for Instruction, McMillanMuro, J.James and Kottman, Terry. 1995. Guidance and Counseling in Elemantary School and Middle School. Iowa : Brown and Bencmark Publisher.

Soetisna dan Sartika. 2000. Total Quality Management Hand Book. Bandung : DAS-IDS Management Consulting. Sudjana, Djudju. 2007. Sistem dan Manajemen Pelatihan.Bandung : Penerbit Falah Production.Sudjana, Djudju. 2001. Pendidikan Luar Sekolah, Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah, Teori Pendukung, Azas. Bandung : Penerbit Falah Production.200199


Recommended