FFIINNAALL RREEPPOORRTT
SSOOCCIIOOEECCOONNOOMMIICC AASSSSEESSSSMMEENNTT IINN SSPPEERRMMOONNDDEE
AANNDD SSEEMMBBIILLAANN IISSLLAANNDDSS,, SSOOUUTTHH SSUULLAAWWEESSII (Studi Sosial Ekonomi Kepulauan Spermonde dan
Kepulauan Sembilan, Sulawesi Selatan)
Book 2. Sembilan Islands
Submitted to
PROJECT MANAGER OFFICE (PMO )
CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM
(COREMAP)
Prepared By
WWOORRKKIINNGG GGRROOUUPP CCOORREEMMAAPP SSOOUUTTHH SSUULLAAWWEESSII
Secretariate Office: Kompleks Kantor Gubernur Gedung J Lantai 2
Jalan Urip Sumohardjo Km. 5 No. 269 Makassar Phone/Facs: (0411) 421232 – 430032 E-mail: [email protected]
MAKASSAR 2002
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - i
PENGANTAR
Sesuai dengan kerangka acuan kontrak kerja antara Pokja
COREMAP Sulawesi Selatan dengan PMO-COREMAP Jakarta, tentang
prosedur dan rencana output dari proyek penelitian Socio-Economic
Assessment in Spermonde and Sembilan Islands, South Sulawesi, maka
Laporan Akhir ini disampaikan sebagai dokumentasi atas hasil kajian
persepsi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat Kepulauan Sembilan
Kabupaten Sinjai. Laporan Akhir ini merupakan penyempurnaan lanjut dari
dua draft sebelumnya yang telah dikoreksi dan mendapatkan pengarahan
dari tim review (Monitoring dan Evaluasi) sehingga laporan akhir ini
memenuhi syarat sesuai dengan TOR.
Socio-economic Assessment ini pada prinsipnya merupakan studi
baseline untuk mendapatkan data-data dasar yang akan dijadikan
pertimbangan dalam penyusunan dan perancangan desain COREMAP
Phase II yang saat ini tengah dalam persiapan. Khusus untuk Kepulauan
Sembilan, analisis diarahkan untuk memahami persepsi masyarakat tentang
pengelolaan terumbu karang karena disiapkan untuk implementasi program
yang ditekankan pada peningkatan kesadaran masyarakat dan pengelolaan
sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat.
Demikian Laporan Akhir ini kami susun, semoga kiranya dapat
ditindaklanjuti sesuai prosedur yang ada. Terima kasih atas perhatian para
pembaca, utamanya pada tim reviewer, beserta segenap pihak yang telah
membantu terlaksananya studi ini.
Makassar, 22 Februari 2002
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan,
Tim Peneliti Socio-economic Assessment
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Latar Belakang dan Tujuan
Terumbu Karang adalah salah satu ekosistem yang sangat
terancam kelangsungannya saat ini. Untuk mengupayakan pelestarian
ekosistem dan pengelolaan secara berkelanjutan dari sumberdaya ini,
Pemerintah Indonesia dengan dukungan sejumlah lembaga Donor
Internasional menyelenggarakan Program Rehabilitasi dan Pengelolaan
Terumbu Karang atau dikenal sebagai COREMAP (Coral Reefs
Rehabilitation and Management Program). Di Sulawesi Selatan,
Implementasi Fase Inisiasi COREMAP (1998-2001) yang berkonsentrasi
di kawasan Taman Laut Nasional Taka Bonerate telah berakhir, dan telah
meletakkan dasar-dasar pengelolaan terumbu karang yang berbasis
masyarakat.
Dengan berakhirnya implementasi Fase I COREMAP, maka kini
tengah disiapkan Fase II yang berfungsi bukan hanya semata kelanjutan
dari fase terdahulu namun diupayakan adanya akselerasi dalam
pencapaian hasil program. Dari studi pendahuluan yang dilakukan pada
awal implementasi COREMAP Fase I, diperoleh data bahwa selain dari
faktor ekonomi, tingkat kesadaran masyarakat dan persepsi sosial
tentang keberadaan sumberdaya terumbu karang sangat berpengaruh
terhadap keberlanjutan ekosistem ini. Dengan merujuk pada hikmah
pembelajaran (lessons learned) dari implementasi proyek pada Fase I,
dan dengan komitmen untuk menjaga keberlanjutan program yang telah
berjalan selama ini di kawasan Taka Bonerate, Pokja COREMAP
Sulawesi Selatan mengusulkan dua alternatif lokasi untuk implementasi
pada Fase II, yakni kawasan Kepulauan Spermonde di Selat Makassar
dan kawasan Pulau-pulau Sembilan di Teluk Bone.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - iii
Mengingat bahwa desain program sangat menentukan kelancaran
implementasi dan laju pencapaian hasil, maka tahap persiapan proyek
dan konstruksi desain program merupakan bagian penting yang perlu
mendapatkan perhatian. Untuk mempersiapkan sebuah desain program
secara efisien, sejumlah studi pendahuluan perlu dilakukan untuk
menghasilkan sejumlah data pendukung yang dibutuhkan dalam
konstruksi dan penyiapan program.
Dari aspek ekologis, perlu disusun sebuah baseline data yang
menggambarkan kondisi awal ekosistem sehingga nantinya dapat
dibandingkan kualitas lingkungan sumberdaya terumbu karang di lokasi
proyek, sebelum dan sesudah intervensi proyek. Demikian pula halnya
dari aspek sosio-ekonomi masyarakat, perlu disusun suatu baseline data
yang menyajikan sejumlah elemen penting kondisi sosio-ekonomi
masyarakat setempat sebelum dilakukan intervensi proyek COREMAP di
lokasi tersebut. Dengan demikian, rencana implementasi COREMAP
Fase II di kawasan Kepulauan Spermonde dan Pulau-pulau Sembilan
akan didukung oleh basis data ilmiah informasi dasar dan acuan untuk
program monitoring dan evaluasi proyek, sehingga dapat diperoleh
gambaran yang jernih tentang dampak proyek ini kelak. Untuk itulah
Sosio-economic Assessment di kawasan Kepulauan Spermonde dan
kawasan Pulau-pulau Sembilan ini dilakukan.
Secara umum, pelaksanaan studi ini bertujuan untuk menyediakan
baseline data tentang persepsi masyarakat menyangkut kondisi
sumberdaya terumbu karang di Kawasan Pulau-Pulau Sembilan dan
sekitarnya beserta pemanfaatannya. Untuk memahami persepsi
masyarakat ini dalam konteks yang tepat, maka penelitian ini diarahkan
untuk menyajikan informasi dasar tentang Profil Daerah, Kesejahteraan
Relatif Masyarakat, Akses Masyarakat terhadap Sumberdaya Terumbu
Karang, dan Faktor-faktor Eksternal yang mempengaruhi interaksi
masyarakat dengan sumberdaya tersebut.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - iv
Secara lebih spesifik, penelitian ini selanjutnya dibagi ke dalam
lima sub-tema kajian di dalam analisis dan penyajian data dasar yang
akan mendukung pemahaman konstruktif tentang persepsi masyarakat di
kawsan Pulau-pulau Sembilan. Kelima sub-tema tersebut adalah: (1)
mengumpulkan data dasar sosial dan ekonomi masyarakat kawasan
Pulau-pulau Sembilan; (2) mengetahui jenis dan intensitas pemanfaatan
sumberdaya laut khususnya terumbu karang di kawasan ini; (3)
memahami aspek sosio-ekonomi usaha pemanfaatan sumberdaya
terumbu karang; (4) mengetahui faktor-faktor eksternal yang berpengaruh
terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat; dan (5)
memahami tingkat kesejahteraan relatif penduduk setempat.
Keluaran dari Socio-economic Assessment ini adalah informasi
dasar (baseline data) tentang kondisi sosial ekonomi kawasan Pulau-
pulau Sembilan yang dapat dikategorikan dalam data yang menyangkut
profil lokasi, sosial demografi, tingkat kesejahteraan relatif masyarakat,
aspek-aspek pemanfaatan sumberdaya terumbu karang oleh masyarakat
lokal, dan pandangan terhadap faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut tersebut.
Hasil dari studi ini diharapkan bermanfaat untuk memberi agenda dan
perspektif sosial (social agenda and perspective) dalam proses
perencanaan, implementasi dan pemantauan program COREMAP Fase
II. Selain itu, informasi dasar ini juga akan memperkaya data base untuk
kepulauan Sembilan, yang dapat dimanfaatkan dalam perencanaan
program pembangunan daerah dalam kerangka otonomi daerah.
Pelaksanaan Penelitian
Kegiatan penelitian berlangsung selama empat bulan yakni dari
bulan Oktober 2001 – Januari 2002. Pengambilan sampel dilakukan
dengan metode Randomize Purposive Sampling. Dengan
mempertimbangkan (a) keterlibatan masyarakat terhadap sumberdaya
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - v
dan (b) keterjangkauan lokasi untuk intervensi program dan pemantauan,
dua kelurahan dipilih yaitu Kelurahan Pulau-pulau Sembilan dan
Kelurahan Lappa, keduanya berada dalam wilayah administrasi
Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai, Propinsi Sulawesi Selatan.
Kelurahan Pulau-Pulau Sembilan merupakan gugusan pulau yang
terdiri atas sembilan pulau kecil dan beberapa gosong karang. Pulau
Kambuno merupakan ibukota kelurahan dan setiap pulau terdiri dari satu
lingkungan, kecuali di Pulau Burungloe terdapat 2 lingkungan. Kelurahan
Lappa merupakan salah satu kelurahan dari 7 kelurahan yang terdapat
di Kecamatan Sinjai Utara Kabupaten Sinjai. Luas Kelurahan Pulau-pulau
Sembilan adalah 2,52 km² dan Kelurahan Lappa 3,95 km². Mata
pencaharian penduduk Pulau-pulau Sembilan didominasi oleh nelayan,
dan sebagian kecil berdagang, berkebun, aparat negara dan pegawai
negeri sipil.
Dari sembilan buah pulau yang ada dalam kawasan Pulau-pulau
Sembilan, dipilih empat pulau sebagai lokasi sampling, yakni: Kambuno,
Burung Loe, Batang Lampe, dan Kanalo, ditambah dengan kelurahan
Lappa sebagai lokasi ke lima. Wawancara semi struktur dengan
menggunakan kuesioner sebagai acuan analisis dilakukan terhadap 210
Kepala Keluarga (14 % total KK). Data kualitatif dianalisis secara induktif
dan data kuantitatif dianalisis secara deskriptif.
Pulau Kambuno
Pulau Kambuno yang merupakan ibukota kelurahan memiliki
kelembagaan formal dan informal yang kurang aktif, sedangkan dari segi
mobilitas dan migrasi maka penduduknya memiliki mobilitas yang cukup
tinggi terutama dalam mencari daerah penangkapan. Mata pencaharian
umumnya nelayan (74,14 %), selebihnya adalah campuran berbagai
macam profesi. Laki-laki adalah pencari nafkah utama dalam keluarga,
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - vi
sedangkan perempuan (istri) relatif tidak memiliki kegiatan yang bersifat
ekonomi tetapi berperan sebagai pengasuh dan mendidik anak, hal ini
dapat dilihat dalam keseharian mereka. Tingkat pendidikan masyarakat
di Pulau Kambuno bervariasi, tapi yang mampu mencapai tingkat
perguruan tinggi jumlahnya sedikit.
Fasilitas Sosial yang ada di Pulau Kambuno adalah Puskesmas,
listrik (masih terbatas), dan alat transportasi laut. Tingkat pendapatan
masyarakat bervariasi berkisar antara antara Rp. 500.000 - Rp.
1.000.000. perbulan.
Pemahaman masyarakat tentang terumbu karang masih sangat
terbatas pada pengertian umum yang tidak bisa mengaitkan antara
terumbu karang dengan kegiatan usaha penangkapan ikan, tapi mereka
mengetahui bahaya penggunaan bom dan bius terhadap ekosistem
terumbu karang.
Sebagian besar masyarakat juga memahami bahwa terumbu
karang sebagai tempat tinggal, mencari makan, bertelur, dan
perlindungan bagi ikan. Pandangan dan sikap masyarakat terhadap hak
atas laut dan isinya didasarkan pada :
1. Pandangan yang melihat dan memahami laut serta isinya sebagai
milik bersama.
2. Adanya aturan adat yang mensahkan dan mengatur kepemilikan
secara bersama.
3. Adanya aturan formal berupa berbagai peaturan dan undang-
undang yang ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten Sinjai. .
Sistem pengelolaan ekosistem laut didasarkan pada pola
pengelolaan terbuka, yaitu pola pengelolaan yang membolehkan
masyarakat nelayan untuk memanfaatkan wilayah laut seluas-luasnya.
Sebagian masyarakat Pulau-pulau Sembilan memiliki kesadaran terhadap
kelestarian ekosistem terumbu karang, hal ini terbukti dengan terjadinya
pengusiran terhadap nelayan Buton yang mencari biota mata tujuh
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - vii
(abalone) dengan cara merusak karang. Di sisi lain, kesadaran sebagian
masyarakat tentang prinsip-prinsip konservasi pengelolaan sumberdaya
laut masih sulit untuk dilaksanakan, karena adanya motivasi ekonomi
jangka pendek. Ini dibuktikan bahwa pada saat hasil tangkapan ikan
kurang, apapun yang ditemukan di laut yang diperkirakan mempunyai
nilai ekonomis akan diambil.
Penyelaman teripang menggunakan alat selam dasar (masker,
fins) dan ditambah kompresor sebagai suplai udara. Selain itu, untuk
penangkapan ikan digunakan alat tangkap seperti bagang, pancing,
panambe, dan penggunaan bius serta alat bantu seperti keramba jaring
apung untuk penampungan hasil.
Lokasi penangkapan (fishing ground) tiap nelayan tidaklah sama,
tergantung dari jenis alat tangkap yang digunakan. Masyarakat nelayan
biasanya melakukan penangkapan selain di sekitar Pulau-pulau Sembilan
Juga di sekitar perairan Teluk Bone, Kabupaten Selayar,
Kupang/Lombok, Sorong dan Maluku.
Secara umum puncak musim penangkapan ikan di pulau ini antara
bulan Oktober hingga bulan April atau bertepatan dengan datangnya
musim Barat. Waktu atau lama penangkapan bervariasi antara kurang
dari satu minggu hingga lebih dari empat minggu/trip.
Organisasi nelayan yang secara khusus bergerak dalam
pengelolaan sumberdaya laut yang dapat ditemukan di Pulau Kambuno
berupa organisasi ponggawa-sawi. Organisasi yang pernah ada berupa
organisasi koperasi yang kemudian hilang dengan sendirinya akibat tidak
dikelola dengan prinsip manajemen koperasi yang baik serta tidak bisa
bersaing dengan organisasi informal yang umumnya tidak berbelit-belit
dalam urusan administrasinya.
Pengelolaan pasca panen yang dilakukan olah masyarakat
nelayan di Pulau Kambuno adalah penggaraman, pendinginan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - viii
(pengesan), pengasapan, pengeringan dan pembesaran. Dari hasil
pengolahan atau pengawetan tersebut maka produk yang dihasilkan
adalah ikan segar yang dipertahankan mutunya dengan es, ikan asin
dengan penggaraman, ikan hidup yang ditampung dan dibesarkan pada
keramba, serta teripang yang biasanya dengan metode perebusan
Pemasaran hasil produksi tidak hanya dijual di pasaran lokal dan
antar pulau tetapi juga sampai ke pasaran internasional (ekspor)
terkhusus untuk komoditas tertentu seperti ikan kerapu dan teripang.
Cara pembayaran yang berlaku di kalangan masyarakat nelayan dalam
melakukan transaksi yaitu dilakukan dengan cara tunai dan dengan cara
kredit, umumnya setelah hasil tangkapan tersebut habis terjual.
Mudahnya mengakses permodalan usaha (sampai pada batas
tertentu) membuat pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan
masyarakat nelayan pulau Kambuno. Umumnya Nelayan di Pulau Ini
bertindak sebagai ponggawa bagi nelayan-nelayan lain yang ada di
pulau– pulau Sembilan.
Pulau Burungloe
Pulau ini adalah pulau yang terdekat dan pertama kali dijumpai jika
kita berangkat dari Pelabuhan Lappa. Merupakan pulau yang terbesar
di antara gugusan Pulau-pulau Sembilan. Selain itu banyak terdapat
kawanan burung yang bersarang dan hidup di pulau tersebut sehingga
dinamakan Burung Loe. Pulau Burungloe ini secara administratif dipimpin
oleh seorang Kepala lingkungan.
Lembaga ekonomi yang ada di pulau ini hanya hubungan
ponggawa-sawi. Lembaga ekonomi informal ini cukup besar peranannya
bagi masyarakat, karena menurut mereka tidak terlalu berbelit belit dan
tidak susah dalam persyaratan administrasnya. Secara umum fasilitas
kesejahteraan yang ada di pulau ini masih terasa sangat kurang untuk
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - ix
melayani kebutuhan masyarakat seperti sarana kesehatan dan
pendidikan.
Pemahaman masyarakat tentang terumbu karang masih terbatas
hanya pada pengertian umum. Namun kebanyakan dari mereka telah
mengetahui akan bahaya penggunaan bom dan bius terhadap ekosistem
terumbu karang serta terhadap keselamatan jiwa mereka.
Nelayan di Pulau Burungloe ini pada umumnya menggunakan
bagang perahu dan bagang tancap serta kapal panongkol untuk mencari
ikan. Akan tetapi berdasarkan hasil wawancara mereka mengatakan
bahwa aktifitas penggunaan bom dan bius banyak dilakukan oleh
masyarakat pulau-pulau tetangganya.
Masyarakat Pulau Burungloe menganut pandangan yang melihat
dan memahami laut serta isinya sebagai milik bersama, menganut
adanya aturan adat yang mensahkan dan mengatur pemilikan secara
bersama dan menganut pandangan adanya penerapan aturan formal.
Hampir semua responden mengatakan bahwa hasil tangkapan
mereka dari tahun ke tahun menurun. Hal ini antara lain disebabkan
makin bertambah banyak nelayan yang melakukan penangkapan dan
juga karena adanya bagan rambo yang beroperasi di sekitar pulau
sembilan
Kesadaran masyarakat nelayan terhadap prinsip-prinsip
konservasi pengelolaan sumberdaya laut nampaknya masih sangat sulit
dilaksanakan karena adanya kebutuhan ekonomi jangka pendek yang
mendesak dan beragamnya pemahaman mereka terhadap kelestarian
Jenis alat tangkap yang terdapat di pulau ini adalah bagang,
pancing dan longline. Waktu dan lama penangkapan oleh masyarakat
Pulau Burungloe bervariasi antara di bawah satu minggu hingga di atas
empat minggu/trip. Produk yang dihasilkan oleh nelayan bagang di Pulau
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - x
Burungloe adalah sama dengan nelayan bagang di pulau lainnya yaitu
ikan pelagis segar.
Teknologi pengolahan pasca panen yang dilakukan oleh nelayan
Pulau Burungloe umumnya adalah pengawetan sederhana yaitu dengan
menggunakan es balok. Rantai pemasaran terhadap produk hasil pancing
dan bagang di Pulau Burungloe relatif sama dengan mata rantai hasil
tangkapan pemancing dan bagang nelayan lain yang ada di Pulau-pulau
Sembilan.
Mekanisme harga dan cara pembayaran di Pulau Burungloe
mengalami hal yang sama dengan nelayan yang ada di Pulau Kambuno
dengan hasil tangkapan yang sama. Permintaan pasar terhadap produk
hasil perikanan merupakan salah satu faktor eksternal yang sangat
mempengaruhi kegiatan penangkapan nelayan. Apalagi pasar ekspor
yang umumnya menawarkan harga jual yang cukup tinggi. Selain itu
peranan PPI di daerah Lappa juga turut mempengaruhi dan
mempermudah masyarakat untuk memasarkan hasil tangkapannya.
Pulau Batang Lampe
Merupakan pulau terbesar kedua setelah Pulau Burungloe dan
terbagi menjadi dua daerah pemukiman yaitu pada bagian Selatan dan
bagian Utara pulau. Secara administratif Pulau Batang Lampe ini
dipimpin oleh seorang Ibu Kepala Lingkungan.
Di pulau ini terdapat semacam lembaga ekonomi informal
masyarakat yaitu dalam bentuk sistem ponggawa-sawi walaupun pada
umumnya ponggawa berada di Pulau Kambuno sedangkan di Pulau
Batang Lampe hanya sawi. Bentuk sistem ini dirasakan sangat besar
manfaatnya bagi nelayan-nelayan yang sering mengalami kesulitan uang.
Hal ini dapat dilihat sebagian besar nelayan meminjam uang pada
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xi
ponggawanya. Hal ini menurut mereka lebih mudah karena tidak melalui
prosedur administrasi yang berbelit-belit seperti halnya yang biasa kita
temukan pada lemabaga ekonomi formal seperti koperasi dan bank
Selain nelayan sebagai pekerjaan utama, masyarakat di pulau ini
juga mempunyai pekerjaan tambahan sebagai pedagang dan bekerja
pada berbagai sektor jasa lainnya. Pemahaman masyarakat Pulau
Batang Lampe tentang terumbu karang cukup baik, namun pada
umumnya mereka belum mengetahui efek apa yang akan terjadi bila
terumbu karang mengalami kerusakan.
Masyarakat nelayan di Pulau Batang Lampe menganut pandangan
yang melihat dan memahami laut serta isinya sebagai milik bersama,
menganut adanya aturan adat yang mensahkan dan mengatur pemilikan
secara bersama dan menganut adanya penerapan aturan formal.
Implikasi perilaku dari pandangan ini dapat dilihat dari kesediaan mereka
menerima nelayan pendatang dari luar untuk menangkap ikan
di kawasan pulau ini.
Sistem pengelolaan ekosistem laut di Pulau Batang Lampe ini
didasarkan pada pola pengelolaan terbuka, yaitu pola pengelolaan yang
membolehkan masyarakat nelayan untuk memanfaatkan wilayah laut
seluas-luasnya untuk kegiatan penangkapan dan budidaya. Jenis alat
tangkap yang terdapat di pulau ini adalah pancing dan alat selam. Lokasi
penangkapan yang menjadi tujuan penangkapan yaitu Teluk Bone,
Palopo, Kupang/Lombok, Sulawesi Tenggara, Sorong, Balikpapan dan
NTT.
Teknik pengolahan yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Batang
Lampe adalah dimulai dari proses penggaraman, pengasapan dan
akhirnya pengeringan. Penentuan harga penjualan produk kepada para
pappalele semuanya didasari atas kesepakatan bersama dan langsung
dibayarkan oleh para pappalele (Pedagang). Pasar produk hasil
perikanan merupakan salah satu faktor eksternal yang sangat
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xii
mempengaruhi kegiatan penangkapan nelayan. Selain itu akses
permodalan ini juga menentukan aktivitas penangkapan masayarakat
nelayan pulau Batang Lampe.
Pulau Kanalo 1 dan Kanalo 2
Pulau Kanalo 1 dan Kanalo 2 adalah dua pulau yang berdekatan,
pada sisi bagian kanan adalah Pulau Kanalo 1 dan pada sisi bagian kiri
adalah Pulau Kanalo 2. Masyarakat Pulau Kanalo pada umumnya
bekerja di laut dengan mengeksploitasi sumberdaya laut yang tersedia.
Selain itu ada kelompok kecil masyarakat yang memilih pekerjaan
sebagai pedagang dan pegawai negeri sipil.
Di pulau ini hanya terdapat semacam lembaga ekonomi nelayan
yang sangat banyak berperan yaitu sistem ponggawa-sawi, Sistem ini
dirasa sangat besar manfaatnya bagi nelayan yang sering mengalami
kesulitan dalam hal keuangan. Tingkat pendapatan masyarakat Pulau
Kanalo cukup bervariasi mulai dari yang kurang dari Rp 500.000,- hingga
lebih dari Rp. 2.000.000,- per bulan.
Pada umumnya nelayan di Pulau Kanalo menggunakan bagang
perahu untuk menangkap ikan sehingga dapat dikatakan bahwa kegiatan
menangkap ikan tidak berkaitan langsung dengan terumbu karang,
karena ikan yang ditangkap adalah ikan yang bersifat pelagis. Selain itu,
nelayan Pulau Kanalo menggunakan berbagai jenis alat tangkap seperti
alat selam, pancing, panambe, bagang, jaring insang, pukat, jala dan
rumpon.
Lokasi penangkapan yang menjadi tujuan penangkapan antara lain
Sorong, Kupang/Lombok dan Bulukumba, serta di sekitar wilayah Pulau-
pulau Sembilan. Hasil tangkapan pemancing adalah sebagian besar Ikan
Cakalang dan nelayan bagan perahu dan tancap adalah ikan-ikan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xiii
pelagis. Produk yang dihasilkan oleh nelayan tersebut umumnya
dipasarkan dalam kondisi segar tanpa mengalami proses pengawetan.
Musim penangkapan ikan terjadi pada musim Barat yaitu pada
bulan Oktober hingga bulan April. Aktivitas nelayan Pulau Kanalo tidak
banyak terpengaruh oleh perubahan musim mengingat kondisi geografis
Pulau-pulau Sembilan ini terletak di Teluk Bone yang terlindung.
Sedangkan penguasaan wilayah laut berdasarkan aturan formal
pemerintah yang mengatur penggunaan atau pemanfaatan sumberdaya
alam laut, berupa pelarangan penggunaan alat tangkap yang bersifat
destruktif, serta perizinan untuk melakukan penangkapan di dalam suatu
kawasan tertentu. Sistem pengelolaan ekosistem laut pada Pulau Kanalo
didasarkan pada pola pengelolaan terbuka yaitu dengan membolehkan
masyarakat nelayan untuk memanfaatkan wilayah laut seluas-luasnya
untuk kegiatan penangkapan dan budidaya.
Kelurahan Lappa
Kelurahan Lappa merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan
Sinjai Utara yang merupakan tempat pusat kegiatan perikanan yang ada
di Kabupaten Sinjai dan merupakan daerah yang mempunyai pengaruh
besar pada aktfitas nelayan yang ada di Pulau Sembilan
Masyarakat Kelurahan Lappa pada umumnya bekerja sebagai
nelayan yang merupakan mata pencaharian utamanya. Selain itu
terdapat berbagai macam profesi lain seperti pedagang, guru, tenaga
medis dan sebagainya.
Peranan perempuan di Kelurahan Lappa secara tradisional masih
dilaksanakan, yaitu mendidik dan mengasuh anak. Selain itu mereka
membantu suami mengolah hasil tangkapan menjadi ikan kering serta
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xiv
ada sebagian yang bertindak sebagai pedagang, seperti yang biasa kita
jumpai di Pusat Pendaratan Ikan (PPI).
Di kelurahan ini banyak terdapat perusahaan penangkapan ikan
yang besar, diantaranya perusahaan penangkapan cakalang. Selain itu
terdapat lembaga perbankan, yaitu kantor cabang pembantu Bank
Republik Indonesia, dan Unit simpan pinjam KUD Mina Lappa. Pasar
tradisional, toko-toko dan sarana hiburan malam juga terdapat di tempat
ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa fasilitas kesejahteraan yang
ada di Lappa sudah cukup memadai dengan tersedianya Puskesmas,
sarana air minum PDAM yang lancar, jalanan beraspal, sarana
telekomunikasi, dan sarana pendidikan yang lengkap. Dan yang
terpenting lagi bahwa di lokasi inilah terletak Pusat Pendaratan Ikan
(PPI).
Tingkat pendapatan masyarakat di Kelurahan Lappa cukup
bervariasi antara kurang dari Rp 500.000,- sampai di atas Rp 2 juta,
masyarakat di Kelurahan Lappa sudah mempunyai simpanan, ada yang
berupa uang yang disimpan di Bank dan ada juga yang menyimpan
uangnya dalam bentuk emas.
Masyarakat nelayan Kelurahan Lappa memandang laut sebagai
milik bersama, dengan kata lain laut dapat dimanfaatkan oleh siapa saja
yang ingin mencari penghidupan. Pandangan ini merupakan suatu bentuk
umum yang dianut oleh semua nelayan di Sulawesi Selatan. Dengan
demikian, mekanisme kontrol terhadap wilayah perairan dapat dilakukan
oleh semua orang yang berkepentingan dengan laut.
Nelayan Kelurahan Lappa menggunakan beberapa jenis alat
tangkap seperti pancing, panambe, bagang, jaring insang, alat selam,
long line dan Purse seine. Daerah lokasi penangkapan nelayan Lappa
antara lain Teluk Bone, Selayar, Kupang/Lombok dan Sulawesi
Tenggara, serta perairan di sekitar Pulau-pulau Sembilan. Waktu atau
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xv
lama penangkapan nelayan Lappa juga bervariasi antara di bawah satu
minggu hingga di atas empat minggu per trip.
Secara umum organisasi nelayan yang secara khusus bergerak
dalam pengelolaan sumberdaya laut yang ditemukan di Kelurahan Lappa
juga berupa organisasi tradisional ponggawa-sawi. Produk yang
dihasilkan nelayan yang berlokasi di Kelurahan Lappa adalah sebagian
besar ikan segar yang siap untuk dikonsumsi. Selain itu, sebagian hasil
tangkapan diolah menjadi ikan kering dan bahan untuk pakan ternak.
Lokasi pemasaran produk dapat dilakukan pada dua tempat, yaitu
di pangnges dan juga langsung ke pelelangan. Produk yang dibeli para
pangnges di daerah lokasi pemancingan dipasarkan di pelelangan dan
langsung dibeli oleh para ponggawa dan eksportir. Penentuan harga dan
metode pembayaran yang berlaku relatif sama dengan nelayan di pulau-
pulau lain, yaitu sebagian dibayar tunai dan yang lain secara kredit
Faktor eksternal yang sangat mempengaruhi aktivitas nelayan di
pulau ini adalah peraturan pemerintah daerah dalam pemanfaatan laut
secara bersama. Karena di daerah Lappa juga terdapat nelayan dari
berbagai daerah lain yang menggunakan sarana PPI untuk menjual hasil
tangkapannya, sehingga apabila tidak diberlakukan aturan yang jelas
akan penggunaan sarana PPI akan dapat menimbulkan salah pengertian
dan konflik diantara nelayan.
Perspektif Pengelolaan Terumbu Karang Di Wilayah Pulau-Pulau Sembilan
Meski sangat bermanfaat untuk umat manusia, akan tetapi
ancaman utama terhadap kelangsungan terumbu karang justru berasal
dari tekanan-tekanan berbasis Anthropogenic. Salah satu hal yang juga
mengancam kelestarian terumbu karang adalah konflik kepentingan atas
potensi pemanfaatan sumberdaya ini. Sebagai contoh, konflik antar
nelayan untuk memperebutkan wilayah penangkapan ikan mulai muncul
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xvi
ke permukaan sebagai salah satu bentuk ekses dari penerapan otonomi
daerah yang kurang matang.
Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut dalam bentuk kebijakan
devolusi kewenangan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
sesuai yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 22 dan 25 tahun
1999, hingga kini memang masih senantiasa menjadi bahan polemik dan
dianggap sebagai pilihan yang dilematis. Meski dilain pihak juga disadari
bahwa mempertahankan pola sentralistik dalam mengelola wilayah laut
adalah pola usang yang sudah tidak dapat lagi menjawab tantangan
perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dalam
suatu tatanan yang demokratis. Justru sebagai akibat dari pengelolaan
laut secara sentralistik di masa lalu, kita kini dihadapkan pada setidaknya
dua fakta ironis, yakni: kemiskinan komunitas pesisir di tengah kekayaan
sumberdaya laut, dan kerusakan lingkungan yang semakin berat di
tengah masyarakat yang memiliki kearifan ekologis tradisional.
Struktur sistem pengetahuan tradisional dan kearifan ekologis yang
terekam dan melekat pada masyarakat Pulau-Pulau Sembilan merupakan
kristalisasi pengalaman leluhur dalam berinteraksi dengan dinamika alam.
Ini menunjukkan bahwa pola pemanfaatan terumbu karang oleh
masyarakat sangat ditentukan oleh tingkat pemahaman dan persepsi
individu terhadap sistem pengetahuan ekologis mereka.
Dari hasil kajian di lapangan ditemukan sejumlah aspek-aspek
indikatif yang dapat menggambarkan persepsi masyarakat penghuni
kawasan Pulau-Pulau Sembilan terhadap kondisi sumberdaya terumbu
karang antara lain :
a. Kondisi terumbu karang semakin memprihatinkan.
b. Ikan-ikan semakin berkurang. Akibatnya, kegiatan penangkapan
ikan membutuhkan alat yang semakin kompleks dan waktu
penangkapan semakin panjang.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xvii
c. Hasil penghidupan sebagai nelayan penangkap ikan kini tidak
begitu menjanjikan kesejahteraan.
d. Ancaman terhadap kelestarian lingkungan masa kini berbeda
dengan kondisi dulu.
e. Masyarakat kawasan membutuhkan bantuan dan kerjasama
dengan pihak luar baik untuk menjaga kelestarian sumberdaya
hayati terumbu karang, maupun dalam usaha mereka untuk
meningkatkan kesejahteraan.
f. Pemerintah adalah stakeholder yang paling bertanggung jawab
untuk memperbaiki keadaan: ancaman terhadap kelestarian
lingkungan dan terumbu karang, dan kondisi kesejahteraan
nelayan yang semakin sulit.
g. Masyarakat menyadari bahwa pengetahuan mereka perlu
ditingkatkan agar mampu mengelola dan menyejahterakan
lingkungan dan terumbu karang beserta lingkungannya dengan
baik.
Hasil studi ini juga menunjukkan bahwa masyarakat penghuni
kawasan Pulau-Pulau Sembilan umumnya adalah nelayan pemanfaat
sumberdaya hayati laut. Mobilitas tinggi dari nelayan Lappa dan
sekitarnya, menjadi indikator adanya kemungkinan bahwa memang
merekalah yang selama ini masuk ke Takabonerate melakukan aktifitas
penangkapan ikan atau setidaknya mereka ada diantara sekian jumlah
nelayan intruders (pendatang dari luar) ke Taka Bonerate. Maka hasil
studi ini mengindikasikan perlunya dilakukan upaya untuk menelusuri
lebih jauh lagi kegiatan nelayan-nelayan tersebut agar penyusunan
program intervensi yang dimaksudkan dapat tersusun baik dan efektif.
Implementasi program COREMAP fase II kelak di wilayah
Kepulauan Sembilan dapat menawarkan sejumlah dimensi baru dalam
pengelolaan wilayah laut daerah beserta sumberdaya yang
dikandungnya. Oleh karena itu, identifikasi isu pengelolaan terumbu
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xviii
karang perlu dilakukan dari tahap awal, agar proses implementasi
program dapat berjalan dengan baik dan memperoleh hasil yang lebih
terarah. Adapun sejumlah isu primer yang teridentifikasi dari assessment
ini secara garis besar adalah:
1. Perusakan terumbu karang akibat metoda penangkapan ikan
secara destruktif masih terus berlangsung.
2. Sejumlah kawasan dan species tertentu dalam areal Kepulauan
Sembilan dan sekitarnya sudah mengalami overfishing. Disamping
itu sejumlah species yang dulunya sangat potensil kini sudah sulit
untuk ditangkap pada skala yang menguntungkan, misalnya
Teripang di Pulau Kambuno.
3. Timbulnya persoalan sosial akibat dari metoda pemanfaatan
sumberdaya yang eksploitatif dan hanya memikirkan keuntungan
jangka pendek.
4. Lemahnya pemahaman sebagian masyarakat tentang fungsi-
fungsi ekologis terumbu karang yang berakibat pada rendahnya
kesadaran masyarakat untuk mempertahankan kelestarian dan
mencegah kerusakannya.
5. Tingginya permintaan pasar internasional terhadap ikan-ikan
karang, sehingga minat untuk berburu ikan karang tetap tinggi
meski dengan ancaman hukuman sekalipun.
6. Kerusakan terumbu karang berkaitan erat dengan kondisi
kemiskinan nelayan, utamanya para sawi, dan kurangnya
penghidupan alternatif selain mengekploitasi sumberdaya di sekitar
terumbu karang.
7. Peran punggawa sebagai penguasa modal masih sangat dominan,
sehingga melemahkan posisi tawar nelayan.
8. Tidak adanya koordinasi dan pola komunikasi yang baik antar
stakeholders.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xix
9. Lemahnya penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang merusak
terumbu karang dan inkonsistensi pada pihak pemerintah dalam
upaya menegakkan hukum ini.
10. Lemahnya kapasitas kelembagaan lokal yang ada untuk
menangani pelanggaran dan menerapkan usaha-usaha
konservasi.
Pengelolaan sumberdaya laut adalah sebuah konsep baru yang
mengalami perkembangan pesat dalam dekade terakhir. Hal ini
berkembang sejalan dengan meluasnya pemahaman bahwa
sesungguhnya sumberdaya yang ada di laut sekalipun bukanlah sejenis
kekayaan alam yang tidak terbatas. Implikasi sosial dan ekonomi (social
and economic costs) yang dapat timbul karena kesalahan dalam
pemanfaatan sumberdaya menjadi alasan dominan mengapa
sumberdaya kelautan harus dikelola dengan baik. Untuk menangani hal
tersebut, perlu diupayakan pendekatan secara komprehensif dengan
melibatkan segenap stakeholders.
Studi sosio-ekonomi ini juga berkecenderungan mengusulkan pola
pendekatan secara komprehensif sebagai tema primer dari pola
pengelolaan terumbu karang di Kepulauan Sembilan. Derivasi selanjutnya
dari implementasi pendekatan ini adalah penyusunan program-program
secara terpadu dari lima komponen utama COREMAP yang merupakan
dasar perencanaan pelaksanaan COREMAP fase II di Kepulauan
Sembilan kelak. Lima komponen pendekatan penyelesaian masalah yang
dimaksud adalah:
Penyadaran Masyarakat (Public Awareness)
Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat
Peningkatan Kapasitas dan Penguatan Kelembagaan
Penegakan Hukum yang Konsisten
Aplikasi Manajemen Adaptif untuk Pengelolaan Sumberdaya
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xx
Dengan merujuk pada tujuan awal pelaksanaan studi baseline
sosial-ekonomi terumbu karang di Kepulauan Sembilan ini yang intinya
adalah sebagai bahan dasar untuk mempersiapkan disain program
intervensi untuk COREMAP fase II di lokasi tersebut, maka Laporan ini
berusaha untuk merumuskan sejumlah usulan konkrit berdasarkan pada
analisis terhadap hasil wawancara dan survei selama di lokasi.
Sebagaimana yang telah dipaparkan secara terinci di masing-masing bab
tentang kondisi di lima lokasi survei, secara umum dapat ditarik suatu
trend yang menggambarkan tentang pola pemanfaatan terumbu karang di
kawasan Kepulauan Sembilan dan langkah-langkah yang dapat dilakukan
untuk memperbaiki pola pengelolaan tersebut.
Pertama, strategi pengelolaan sumberdaya laut sebagai bagian
dari upaya penyelamatan terumbu karang di wilayah Kepulauan Sembilan
dan sekitarnya hendaknya bertumpu pada dua komponen utama, yakni :
Penyadaran Masyarakat, dan
Pengelolaan Sumberdaya berbasis Masyarakat
Kedua, menyusun program intervensi dengan mengetengahkan
ketujuh komponen berikut:
1. Membangun Pola Pengelolaan Sumberdaya Laut yang
berbasis Masyarakat
2. Implementasi ICZM (Pengelolaan Wilayah Pesisir secara
Terpadu)
3. Mengatur kegiatan perikanan di wilayah terumbu karang, mis:
moratorium, penentuan zona, pembatasan kuota dan alat, dan
seterusnya.
4. Mengembangkan Pariwisata Alam (ecotourism)
5. Mengembangkan Mata Pencaharian Alternatif
6. Membangun Marine Protected Area (Kawasan Konservasi
Laut)
7. Restorasi Terumbu Karang
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxi
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, kajian deskriptif
tentang kondisi masyarakat, analisis kritis beserta diskusi hasil yang
berlangsung selama survei sosio-ekonomi ini diadakan, maka tim peneliti
merekomendasikan hal berikut:
Fase II COREMAP disarankan agar mempertimbangkan dengan seksama Kawasan Kepulauan Sembilan di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan sebagai salah satu lokasi implementasi program intervensi pengelolaan terumbu karang.
Program-program intervensi dalam konteks COREMAP kelak diharapkan
dapat berperan secara signifikan untuk menyelamatkan terumbu karang
di kawasan kepulauan Sembilan, menekan perusakan dan mempercepat
proses pemulihan terumbu karang yang sudah terlanjur rusak di lokasi
tersebut. Disamping itu, program intervensi diharapkan akan dapat
memberi penyadaran kepada nelayan setempat agar tidak merusak
terumbu karang di tempat lain, di luar wilayahnya sendiri sekalipun.
Apa yang dihasilkan dari asessment ini seharusnyalah tidak berdiri
sendiri, akan tetapi merupakan salah satu mata rantai dari untaian upaya-
upaya untuk membangun potensi alam dan masyarakat Indonesia dalam
mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu
dibutuhkan langkah-langkah lanjutan untuk mewujudkan harapan-
harapan tersebut.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxii
DAFTAR ISI
Halaman
Pengantar ……………………………………………………………….. i
Ringkasan Eksekutif ……………………………………………………. ii
Daftar Isi …………………………………………………………………. xxii
Daftar Tabel ……………………………………………………………… xxviii
Daftar Gambar…………………………………………………………… xxxii
Daftar Lampiran …………………………………………………………. xxxiv
Daftar Istilah ……………………………………………………….…… xxxv
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ……………………………….………………. 1 1.2. Konteks Permasalahan ……………………………………… 4
1.2.1. Rencana Implementasi Coremap Fase II di Pulau - Pulau Sembilan ………………………… 4
1.2.2. Masalah Pengelolaan Terumbu Karang di Pulau Pulau Sembilan …….………………………………… 6
1.3. Tujuan Studi …………………………………………………… 7 1.3.1. Tujuan Umum …………………………………………. 7 1.3.2. Tujuan Khusus ………………………………………… 7
1.4. Hasil dan Manfaat ………. …………………………………… 8 1.4.1. Hasil………… ………………………………………… 8 1.4.2. Manfaat ……………….……………………………….. 9
II. METODOLOGI
2.1. Waktu dan Tempat…………………………………………….. 10
2.2. Pengambilan Sampel……. …………………………………. 10
2.3. Proses Jalannya Penelitian ………………………………… 12
2.4. Analisis dan Interpretasi Data ……………………………… 13
III. GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI
3.1. Wilayah Pulau - Pulau Sembilan ………………………….. 15
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxiii
3.2. Wilayah Kelurahan Lappa ………………………………….. 16 3.3. Keterkaitan Mata Pencaharian Hidup Masyarakat dengan
Ekosistem Terumbu Karang ………………………………. 18
IV. PULAU KAMBUNO
4.1. Profil Lokasi ………………………………………………….. 20
4.1.1. Gambaran Umum Pulau Kambuno …………………. 20
4.1.2. Profil Demografi ……………………………………….. 22 4.1.3. Infrastruktur Publik ……………………………………. 24 4.2. Situasi Umum Kesejahteraan Masyarakat ……………… 26 4.2.1. Keadaan Perumahan dan Kesehatan ………………. 26 4.2.2. Keadaan Ekonomi : Jenis , dan Status Pekerjaan ……………………………………………… 30
4.2.3. Keadaan Sosial Ekonomi …………………………….. 32
4.3. Intensitas dan Kondisi Pemanfatan Sumberdaya Terumbu Karang …………………………………………… 34
4.3.1. Pandangan dan Sistem Pengetahuan Ekologis…… 34
4.3.2. Jenis dan Intensitas Pemanfaatan Sumberdaya …. 43
4.3.3. Analisis Stakeholder …………………………………. 50 4.4. Sistem Pengolahan Pasca Panen dan Pemasaran Hasil …………………………………………………………… 54
4.4.1. Jenis dan Metode Pengolahan Pasca Panen……… 56
4.4.2. Pola dan Jalur Pemasaran………………………….. 63
4.5. Faktor-faktor Eksternal dan Permasalahan Struktural 70
4.5.1. Faktor Eksternal ……………………………………... 70
4.5.2. Kesesakan dan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya. 77
4.5.3. Permasalahan Struktural ……………………………. 80
4.6. Kesimpulan dan Rekomendasi dari Pulau Kambuno… 81 4.6.1. Kesimpulan …………………………………………… 81 4.6.2. Rekomendasi …………………………………………. 83
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxiv
V. PULAU BURUNG LOE
5.1. Profil Lokasi ………………………………………………….. 84 5.1.1. Gambaran Umum Pulau Burung Loe ………………. 84
5.1.2. Profil Demografi ……………………………………….. 86
5.1.3. Infrastruktur Publik ……………………………………. 90
5.2. Situasi Umum Kesejahteraan Masyarakat ……………… 91 5.2.1. Keadaan Perumahan dan Kesehatan ………………. 92
5.2.2. Keadaan Ekonomi : Jenis , dan Status Pekerjaan ……………………………………………… 95 5.2.3. Keadaan Sosial Ekonomi …………………………….. 98 5.3. Intensitas dan Kondisi Pemanfatan Sumberdaya Terumbu Karang …………………………………………… 100
5.3.1. Pandangan dan Sistem Pengetahuan Ekologis…… 100
5.3.2. Jenis dan Intensitas Pemanfaatan Sumberdaya …. 106
5.3.3. Analisis Stakeholder …………………………………. 111
5.4. Sistem Pengolahan Pasca Panen dan Pemasaran Hasil …………………………………………………………… 112
5.4.1. Jenis dan Metode Pengolahan Pasca Panen……… 112
5.4.2. Pola dan Jalur Pemasaran ………………………….. 114
5.5. Faktor-faktor Eksternal dan Permasalahan Struktural 115
5.5.1. Faktor Eksternal ……………………………………... 115
5.5.2. Kesesakan dan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya. 118
5.5.3. Permasalahan Struktural …………………………..... 122
5.6. Kesimpulan dan Rekomendasi dari Pulau Burung Loe 122 5.6.1. Kesimpulan …………………………………………… 122 5.6.2. Rekomendasi …………………………………………. 124
VI. PULAU BATANG LAMPE
6.1. Profil Lokasi ………………………………………………….. 125
6.1.1. Gambaran Umum Pulau Batang Lampe……………. 125
6.1.2. Profil Demografi ……………………………………….. 128 6.1.3. Infrastruktur Publik ……………………………………. 131
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxv
6.2. Situasi Umum Kesejahteraan Masyarakat ……………… 132 6.2.1. Keadaan Perumahan dan Kesehatan ………………. 133 6.2.2. Keadaan Ekonomi : Jenis dan Status Pekerjaan ……………………………………………… 136
6.2.3. Keadaan Sosial Ekonomi …………………………….. 139
6.3. Intensitas dan Kondisi Sumberdaya Terumbu Karang …………………………………………… 140
6.3.1. Pandangan dan Sistem Pengetahuan Ekologis …… 140
6.3.2. Jenis dan Intensitas Pemanfaatan Sumberdaya …. 147
6.3.3. Analisis Stakeholder …………………………………. 151 6.4. Sistem Pengolahan Pasca Panen dan Pemasaran Hasil …………………………………………………………… 152
6.4.1. Jenis dan Metode Pengolahan Pasca Panen di Pulau Batang Lampe …………………………… 152
6.4.2. Pola dan Jalur Pemasaran ………………………….. 153
6.5. Faktor-faktor Eksternal dan Permasalahan Struktural Pulau Batang Lampe ……………………………………… 154
6.5.1. Faktor Eksternal ……………………………….. 154 6.5.2. Kesesakan dan Konflik pemanfaatan sumberdaya.. 160 6.5.3. Permasalahan Struktural …………………………. 164 6.6. Kesimpulan dan Rekomendasi dari Pulau Batang Lampe 165 6.6.1. Kesimpulan …………………………………………… 165 6.6.2. Rekomendasi …………………………………………. 165
VII. PULAU KANALO 1 DAN 2
7.1. Profil Lokasi ………………………………………………….. 167
7.1.1. Gambaran Umum Pulau Kanalo 1 dan 2 ..…………. 167
7.1.2. Profil Demografi ……………………………………….. 169
7.1.3. Infrastruktur Publik ……………………………………. 173
7.2. Situasi Umum Kesejahteraan Masyarakat ……………… 174 7.2.1. Keadaan Perumahan dan Kesehatan ………………. 174 7.2.2. Keadaan Ekonomi : Jenis , dan Status
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxvi
Pekerjaan ……………………………………………… 178
7.2.3. Keadaan Sosial Ekonomi ………………………….. 180
7.3. Intensitas dan Kondisi Pemanfatan Sumberdaya Terumbu Karang …………………………………………… 182
7.3.1. Pandangan dan Sistem Pengetahuan Ekologis …… 182
7.3.2. Jenis dan Intensitas Pemanfaatan Sumberdaya …. 186
7.3.3. Analisis Stakeholder …………………………………. 192
7.4. Sistem Pengolahan Pasca Panen dan Pemasaran Hasil …………………………………………………………… 193
7.4.1. Jenis dan Metode Pengolahan Pasca Panen
di Pulau Kanalo ………………………………………. 193
7.4.2. Pola dan Jalur Pemasaran ………………………….. 195
7.5. Faktor-faktor Eksternal dan Permasalahan Struktural 197
7.5.1. Faktor Eksternal ……………………………………... 197
7.5.2. Kesesakan dan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya . 204
7.5.3. Permasalahan Struktural……………………………… 207
7.6. Kesimpulan dan Rekomendasi dari Pulau Kanalo I dan Kanalo 2 ………………………………………………………. 208 7.6.1. Kesimpulan …………………………………………… 208 7.6.2. Rekomendasi …………………………………………. 209
VIII. KELURAHAN LAPPA
8.1. Profil Lokasi ………………………………………………….. 210
8.1.1. Gambaran Umum Kelurahan Lappa ..………………. 210
8.1.2. Profil Demografi ……………………………………….. 211 8.1.3. Infrastruktur Publik ……………………………………. 214 8.2. Situasi Umum Kesejahteraan Masyarakat ……………… 215 8.2.1. Keadaan Perumahan dan Kesehatan ………………. 215 8.2.2. Keadaan Ekonomi : Jenis , Lapangan dan Status Pekerjaan ………………………………………… 219
8.2.3. Keadaan Sosial Ekonomi …………………………….. 221
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxvii
8.3. Intensitas dan Kondisi Pemanfatan Sumberdaya Terumbu Karang …………………………………………… 223
8.3.1. Pandangan dan Sistem Pengetahuan Ekologis …… 223
8.3.2. Jenis dan Intensitas Pemanfaatan Sumberdaya …. 229
8.3.3. Analisis Stakeholder …………………………………. 232 8.4. Sistem Pengolahan Pasca Panen dan Pemasaran Hasil …………………………………………………………… 234
8.4.1. Jenis dan Metode Pengolahan Pasca Panen ……… 234 8.4.2 Pola dan Jalur Pemasaran ………………………….. 235
8.5. Faktor-faktor Eksternal dan Permasalahan Struktural 238
8.5.1. Faktor Eksternal ……………………………………... 238
8.5.2. Kesesakan dan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya. 246
8.5.3. Permasalahan Struktural ……………………………. 250
8.6. Kesimpulan dan Rekomendasi dari Kelurahan Lappa 252 8.6.1. Kesimpulan …………………………………………… 252 8.6.2. Rekomendasi …………………………………………. 252
IX. PERPEKTIF PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH KEPULAUAN SEMBILAN …………………………. 253
9.1. Persepsi Masyarakat Tentang Sumberdaya Karang ……………………………………………………… 253
9.2. Isu Pengelolaan dan Pendekatan Penyelesaian Masalah ………………………………………………………. 257
9.3. Rencana Implementasi Coremap Fase II Di Pulau-
pulau Sembilan ……………………………………………… 262
9.4. Rekomendasi Tim Peneliti ………………………………… 264
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxviii
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxviii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman Teks
1. Jumlah Sampel (Responden) pada Setiap Lokasi Penelitian … 11
2. Luas Pulau dan Luas Pemukiman di Setiap Pulau …………… 15
3. Kelurahan dalam wilayah Kecamatan Sinjai Utara ……………. 16
4. Persentase Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Pulau- pulau Sembilan ……………………………………………………. 17
5. Persentase Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Lappa .… 18
6. Persentase Mata Pencaharian Penduduk di Lingkungan Pulau Kambuno… …………………………………… 22 7. Persentase Bentuk, Luas dan Status Kepemilikan Rumah di Pulau Kambuno ………………………………………………… 27
8. Persentase Bahan Pembuatan Atap, Dinding dan Lantai Rumah di Pulau Kambuno …………………………………………………. 27
9. Persentase Tempat Buang Air Besar dan Tempat Pembuangan Sampah …………………………………………………………….. 29 10. Persentase Jenis Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Tambahan Masyarakat di Pulau Kambuno ……….…………………………. 30
11. Persentase Rata-rata Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Masyarakat di Pulau Kambuno ………………………. …. 31
12. Persentase Pemilikan Tabungan dan Bentuk Tabungan …………. 31
13. Persentase Mengatasi Kesulitan Keuangan …………………….. 32
14. Penguasaan Aset Produksi di Lokasi Pulau Kambuno …………. 33 15. Persentase Pengetahuan Masyarakat Pulau Kambuno Tentang Manfaat Terumbu Karang …………………………………………… 35
16. Persentase Sumberdaya Laut (Ikan dan Non ikan) yang Tertangkap di Pulau Kambuno .…………………………….. 44
17. Jenis Alat Tangkap yang Terdapat di Pulau Kambuno …………. 45
18. Persentase Daerah Penangkapan Nelayan Pulau Kambuno…… 49
19. Persentase Waktu/lama Penangkapan Nelayan Pulau Kambuno 49 20. Persentase Biaya Operasional Penangkapan Nelayan Pulau Kambuno. …………………………………………………… 50
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxix
21. Persentase Mata Pencaharian Penduduk Pulau Burung Loe … 88 22. Persentase Bentuk, Luas dan Status Kepemilikan Rumah di Pulau Burung Loe ………………………………………………. 92
23. Persentase Bahan Pembuat Atap, Dinding dan Lantai Rumah di Pulau Burung Loe ……………………………………………… 93 24. Persentase Tempat Buang Air Besar dan Tempat Pembuangan Sampah di Pulau Burung Loe ………………….. 95
25. Persentase Jenis Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Tambahan Masyarakat di Pulau Burung Loe …………………………… 96
26. Persentase Rata-rata Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Masyarakat di Pulau Burung Loe ……………………… 96
27. Persentase Jumlah yang Menabung, Bentuk Tabungan dan Cara Mengatasi Kesulitan Keuangan di Pulau Burung Loe.. 97
28. Penguasaan Aset Produksi di Lokasi Pulau Burung Loe ……… 99
29. Persentase Pengetahuan Masyarakat Pulau Burung Loe Tentang Manfaat Terumbu Karang ……………………………… 100
30. Persentase Sumberdaya Laut (Ikan dan Non Ikan) yang Tertangkap di Pulau Burung Loe ……………………………….. 107
31. Persentase Daerah Penangkapan Nelayan Pulau Burung Loe………….………………………………………………. 110
32. Persentase Waktu/lama Penangkapan Nelayan Pulau Burung Loe ……………………………………………………….. 111
33. Persentase Biaya Operasional Penangkapan Nelayan Pulau Burung Loe ……………………………………………….. 111
34. Persentase Persepsi Masyarakat tentang Karang …………….. 116
35. Persentase Pengetahuan Masyarakat tentang Pelarangan Pengrusakan Karang ………………………………… 116
36. Kondisi Hasil Tangkapan Nelayan Selama Setahun Terakhir di Pulau Burung Loe ……………………………………………………. 119
37. Persentase Bentuk, Luas dan Status Kepemilikan Rumah di Pulau Batang Lampe .………………………………….. 133
38. Persentase Bahan Pembuat Atap, Dinding dan Lantai Rumah di Pulau Batang Lampe ………………………………………….. 134 39. Persentase Tempat Buang Air Besar dan Tempat Pembuangan Sampah di Pulau Batang Lampe ………………... 136
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxx
40. Persentase Jenis Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Tambahan di Pulau Batang Lampe …………………………… 137
41. Persentase Rata-rata Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Masyarakat di Pulau Batang Lampe ……………………. 138
42. Persentase Jumlah yang Menabung, Bentuk Tabungan dan Cara Mengatasi Kesulitan Keuangan di Pulau Batang Lampe … 138
43. Penguasaan aset produksi di lokasi Pulau Batang Lampe ……. 140
44. Persentase Pengetahuan Masyarakat Pulau Batang Lampe tentang Manfaat Terumbu Karang ............................. . 141
45. Persentase Sumberdaya Laut (Ikan dan Non Ikan) yang tertangkap di Pulau Batang Lampe ………………………. 147
46. Jenis Alat Tangkap Yang Terdapat di Pulau Batang Lampe …. 148
47. Persentase Daerah Penangkapan Nelayan Pulau Batang Lampe …………………………………………………………….. 149
48. Persentase Waktu/lama Penangkapan Nelayan Pulau Batanglampe ………………………………………………………. 150
49. Persentase Biaya Operasional Penangkapan Nelayan Pulau Batang Lampe. ……………………………………………………. 150
50. Persentase Bentuk, Luas dan Status Kepemilikan Rumah di Pulau Kanalo ……………………………………………………… 175
51. Persentase Bahan Pembuatan Atap, Dinding dan Lantai Rumah di Pulau Kanalo ………………………………………….. 176
52. Persentase Tempat Buang Air Besar dan Tempat Pembuangan Sampah ………………………………………… 177
53. Persentase Jenis Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Tambahan di Kelurahan Lappa. ………………………………… 178
54. Persentase Jumlah Pendapatan dan Pengeluaran di Kelurahan Lappa. ……………………………………………………………… 179 55. Persentase Pemilikan Tabungan dan Bentuk Tabungan …….. 180
56. Persentase Mengatasi Kesulitan Keuangan ……………………. 180
57. Penguasaan aset produksi di Pulau Kanalo …………………… 182
58. Persentase Pengetahuan Masyarakat Pulau Kanalo tentang Manfaat Terumbu Karang ……………………………………….. 183 59. Persentase Sumberdaya Laut (Ikan dan Non Ikan) yang Tertangkap di Pulau Kanalo …………………………………… 187
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxxi
60. Persentase Daerah Penangkapan Nelayan Pulau Kanalo …… 191
61. Persentase Waktu/lama Penangkapan Nelayan Pulau Kanalo ………………………………………………………. 191
62. Persentase Biaya Operasional Penangkapan Nelayan Pulau Kanalo ……………………………………………………………... 192
63. Persentase Bentuk, Luas dan Status Kepemilikan Rumah di Lappa …………………………………………………. 216
64. Persentase Bahan Pembuatan Atap, Dinding dan Lantai Rumah di Lappa …………………………………………………… 216
65. Persentase Tempat Buang Air Besar dan Tempat Buang Sampah di Kelurahan Lappa ………………………………………. 218
66. Persentase Jenis Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Tambahan di Kelurahan Lappa ………………………………………………. 219 67. Persentase Jumlah Pendapatan dan Pengeluaran di Kelurahan Lappa ……………………………………………………………… 220 68. Persentase Jumlah dan Bentuk Tabungan dan Cara Mengatasi Kesulitan …………………………………………………………… 221
69. Penguasaan Aset Produksi di Kelurahan Lappa ...................... 223 70. Persentase Pengetahuan Masyarakat Kelurahan Lappa tentang Manfaat Terumbu Karang ……………………………… 224
71. Persentase Sumberdaya Laut (Ikan dan Non Ikan) yang Tertangkap di Kelurahan Lappa……………………………….. 229 72. Persentase Daerah Penangkapan Nelayan Kelurahan Lappa 231
73. Persentase Waktu/lama Penangkapan Nelayan Kelurahan Lappa ………………………………………………………………… 231
74. Persentase Biaya Operasional Penangkapan Nelayan Kelurahan Lappa………………………………………………….... 232
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxxii
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxxiii
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxxii
DAFTAR GAMBAR DAN DIAGRAM
Nomor Halaman Teks
1. Bagan Alir Pelaksanaan Penelitian …………………………. 11
2. Persentase Pemanfaatan Fasilitas Penerangan Rumah ...…. 25
3. Persentase Sumber Air Minum Masyarakat Pulau Kambuno 26
4. Kegiatan Perikanan …………………………………………… 55
5. Konsep-Konsep Inti pemasaran …………………………… 56
6. Secara Umum Mata Rantai Pemasaran Hasil Tangkapan Nelayan di Kabupaten Sinjai ……………………………….. 65
7. Tata Niaga Hasil Tangkapan Bagan, Jaring Cantrang dan Panambe ……………………………………………………….. 66
8 Tata Niaga Penyelam Teripang ……………………………… 67
9. Tata Niaga hasil Pemancing Ikan kerapu dan Bius ………... 68
10. Tata Niaga Produk Pemancing Ikan Tongkol ………………. 69
11. Persentase Pemanfaatan Fasilitas Penerangan Rumah…….. 94
12. Persentase Sumber Air Minum Masyarakat Pulau Burungloe 94
13. Penempatan Bagan dan Rumpon Berdasarkan Aturan Adat 104
14. Persentase Fasilitas Penerangan di Pulau Batang Lampe… 134
15. Persentase Sumber Air Minum di Pulau Batang Lampe ….. 135
16. Tata Niaga Produk Pemancing (Rintak)……………………… 153
17. Persentase Pemanfaatan Fasilitas Penerangan Rumah ….. 176
18. Persentase Sumber Air Minum Masyarakat ……………….. 177
19. Tata Niaga Produk Pemancing Cakalang …………………. 195
20. Tata Niaga Produk Bagang Tancap …………………………. 196
21. Tata Niaga Produk Petani Tambak …………………………. 196
22. Persentase Pemanfaatan Fasilitas Penerangan Rumah…….. 217
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxxiii
23. Persentase Sumber Air Minum Masyarakat di Kelurahan Lappa …………………………………………………………… 218
24. Tata Niaga Produk Pole and Line …………………………… 236
25. Tata Niaga Produk Purse Seine dan Bagan Rambo ……… 237
26. Tata Niaga Produk Sero, Gill Net, dan Jaring Lempar …….. 237
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Teks Lampiran 1. Peta Lokasi Sosial Ekonomi Assessment
Kepulauan Sembilan Kabupaten Sinjai ………………… 268 Lampiran 2. Pelaksana Kegiatan Studi Sosial Ekonomi Assessment
Kepulauan Sembilan Kabupaten Sinjai ………………… 270
Lampiran 3. Foto-foto Kegiatan Studi Sosial Ekonomi Assessment Kepulauan Sembilan Kabupaten Sinjai ………………… 271
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxxv
DAFTAR ISTILAH
Abrasi Proses terjadinya pengikisan pantai akibat ombak dan gerakan air laut Agunan Merupakan jaminan terhadap suatu barang untuk mendapatkan pinjaman, misalnya dari bank Anthropogenic Yaitu Hal-hal yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, Bagang Alat tangkap khusus yang digunakan masyarakat Bugis/Makassar yang terdiri atas beberapa bilah bambu. Pada mulanya digunakan oleh kaum wanita untuk menangkap ikan di sepanjang pantai untuk memenuhi kebutuhan dapur keluarga. Bagang pertama ini merupakan bagang tancap yang terbuat dari 4 buah tiang bambu yang pada bagian bawahnya diberi jaring yang dapat diangkat bila ikan-ikan terlihat masuk. Pada perkembangan selanjutnya, Bagang tancap ini kemudian ditiru oleh nelayan (kaum pria) dan dimodifikasi untuk dapat dipindah-pindahkan dengan cepat. Bagang tancap tersebut kemudian dipasang pada rakit yang juga terbuat dari bambu. Bagang tersebut kemudian disebut dengan Bagang rakit. perahu bagang yang ada bukan hanya menggunakan mesin untuk menggerakkan perahu menuju ke lokasi penangkapan, tetapi mesin juga digunakan sebagai pembangkit listrik berkekuatan 5000 watt untuk menyalakan lampu-lampu yang menggunakan listrik yang menggantikan lampu petromaks. Bagang listrik ini menggunakan 20 - 30 buah balon lampu Bahan-Bahan Destruktif Bahan yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan yang dapat merusak terumbu karang seperti bius dan bom Bale Batu Istilah bahasa Bugis untuk ikan yang hidup pada berbagai jenis karang di Pulau-pulau Sembilan, Bius Jenis bahan destruktif yang menggunakan Potasium Sianida Bom Jenis bahan destruktif yang yang menggunakan pupuk urea disimpan di dalam botol atau jerigen.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxxvi
Cantrang Alat tangkap bermata halus untuk menangkap ikan-ikan pelagis kecil. Eksploitasi Kegiatan pemanfaatan hasil sumberdaya alam secara maksimal Fishing ground Daerah penangkapan ikan yang ditentukan berdasarkan pengalaman nelayan dalam menangkap ikan tertentu. Gae’ Istilah Bahasa Bugis yang berarti alat tangkap purse seine Integrated Coastal Management (ICM), Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu yaitu pendekatan pengelolaan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir dengan mengedepankan azas keterpaduan. Jala Sejenis pukat berkantong dengan ukuran mata jaring kecil. Jalur Distribusi Saluran pemasaran hasil produksi yang dilalui oleh produsen awal hingga ke konsumen akhir Jaring Insang Alat tangkap yang dioperasikan secara pasif di sekitar pantai dengan cara menghalangi alur migrasi ikan. Jaring insang dasar Jaring insang yang dioperasikan khusus untuk menangkap ikan-ikan demersal seperti ikan Kerapu (Sunu), Katamba (Lencam). Jolloro’ Istilah bahasa Bugis untuk perahu yang digunakan pa’bagang untuk mengangkut hasil tangkapan ke tempat pelelangan, dan sebagai alat transportasi bagi masyarakat nelayan Pulau Sembilan Kawasan Konservasi Laut (Marine Protected Areas) Suatu Wilayah atau area laut yang dilindungi dan dijaga kelestarian dan sumberdayanya Langkoe Istilah bahasa bugis digunakan untuk Jenis ikan napoleon Longline Alat tangkap yang terdiri dari beberapa mata pancing yang dikaitkan pada tali utama.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxxvii
Moratorium Penghentian suatu kegiatan secara total untuk sementara waktu, misalnya moratorium penangkapan pada daerah tertentu. Pa’ bagang Istilah bahasa Bugis yang artinya nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap bagang Paceklik Istilah bagi musim penangkapan ikan yang hasilnya sangat minim Paccata Istilah Bahasa Bugis untuk seseorang yang bertugas sebagai agen yang memasarkan hasil tangkapan nelayan di pelelangan dan memperoleh keuntungan sebesar 10 % dari hasil penjualan. Panambe Istilah bahasa Bugis untuk nelayan yang menggunakan alat tangkap jenis pukat kantong bermata halus pada daerah laut dangkal dan dekat karang untuk menangkap ikan seperti ikan katamba, sinrili, dan beberapa jenis ikan karang lainnya serta ikan pelagis. Panjang jaring panambe ini biasanya 200 m dengan lebar 2 m. Prinsip kerja jaring ini hampir sama dengan penggunaan gae yang menggunakan lampu Pancing Alat tangkap sederhana yang menggunakan mata pancing yang diikatkan pada ujung tasi. Alat ini terbagi ke dalam beberapa jenis berdasarkan kategori dan jenis tangkapannya, Pancing Kedo-Kedo Istilah bahasa Bugis untuk jenis alat pancing ikan karang Pancing Rinta Istilah bahasa Bugis untuk alat tangkap yang terdiri dari main line yang dilengkapi beberapa mata pancing Pancing Tonda Istilah bahasa Bugis untuk pancing yang digunakan menangkap ikan-ikan pelagis seperti ikan katombo, banyara, dan layang Pangnges Istilah bahasa Bugis untuk nelayan melakukan pembelian hasil tangkapan dari nelayan lain secara langsung di tengah laut, dengan menggunakan perahu motor kemudian menjualnya ke pelelangan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxxviii
Pappalele Istilah bahasa Bugis untuk orang yang membeli ikan di pelelangan kemudian memasarkannya langsung ke konsumen, baik dengan berjalan kaki maupun menggunakan kendaraan roda dua Pelelangan Ikan Tempat terjadinya transaksi penjualan dan pembelian ikan dalam jumlah banyak, berfungsi pula sebagai Pelabuhan Pendaratan ikan Penggaraman Kering Metode pengolahan ikan yang menggunakan garam secara langsung Penggaraman Basah Metode pengolahan ikan yang menggunakan wadah penggaraman Pengasapan Metode pengolahan ikan dengan cara pemanasan menggunakan bara api dari serabut kelapa yang menghasilkan ikan asap dengan aroma khas Pengesan Metode pengolahan ikan dengan cara penurunan suhu untuk menjaga mutu yang memanfaatkan potongan es yang banyak agar ikan tetap segar untuk jangka waktu tertentu Penangkaran Kegiatan pembudidayaan suatu jenis ikan yang biasanya dilakukan pada karamba atau jaring di sekitar perairan pantai. Ponggawa Istilah bahasa Bugis untuk juragan atau pemilik usaha, terdiri dari banyak jenis seperti ponggawa darat, ponggawa laut. Ponggawa Bonto Istilah bahasa Bugis untuk juragan atau pemilik usaha yang membeli ikan sewaktu tiba di darat Ponggawa-sawi Istilah bahasa Bugis untuk organisasi tradisional nelayan pemilik (ponggawa) dan nelayan pekerja (sawi) yang terdapat pada masyarakat nelayan di Pulau-pulau Sembilan Pukat Jenis alat tangkap berupa jaring berbentuk kantong yang terdiri atas bagian-bagian cincin pukat dan bagian net. Rambeng Istilah bahasa Bugis untuk ikan teri merah yang banyak terdapat di perairan Pulau Sembilan hasil tangkapan yang ditempatkan di keramba apung kecil agar tetap hidup
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - xxxix
Rengge Istilah bahasa Makassar yang digunakan nelayan Pulau-pulau Sembilan untuk alat purse seine Rumpon Sarana pemikat ikan yang bahannya dominan menggunakan bambu yang disatukan menyerupai rakit, menggunakan daun kelapa dan tali yang diikatkan pada rumpon dan batu-batu karang di dasar laut agar tidak hanyut. Sampan Jenis perahu berukuran kecil dari kayu dan umumnya tidak bermesin yang biasanya digunakan oleh nelayan pancing dalam melaksanakan aktifitasnya yang tidak jauh dari pantai. Sawi Istilah bahasa Bugis untuk nelayan yang bekerja pada ponggawa yang umumnya mendapat upah dari hasil penangkapan ataupun nelayan yang bekerja sendiri. Segmentasi pasar Merupakan proses penempatan bagian-bagian pasar Sero Istilah bahasa Bugis untuk alat tangkap sederhana yang dipasang di sekitar pantai, yang pengoperasiannya berdasarkan pasang surut air laut Stakeholder Kelompok masyarakat nelayan yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung yang mempunyai akses terhadap terumbu karang di Pulau-pulau Sembilan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di Sulawesi Selatan, Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu
Karang atau dikenal dengan COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and
Management Program) telah menyelesaikan fase I (Initiation Phase), yang
berlangsung selama 3 tahun (1998–2001). Selama fase I ini, implementasi
COREMAP di Sulawesi Selatan berkonsentrasi pada kawasan Taman
Nasional Laut Taka Bonerate. COREMAP fase I telah meletakkan dasar-
dasar pengelolaan, pemanfaatan, konservasi dan rehabilitasi terumbu
karang yang berbasis masyarakat melalui pencapaian sasaran utama
komponen-komponen berikut :
1. Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
terumbu karang dan sumberdaya laut lainnya dalam kerangka
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat (PBM) atau dikenal
juga sebagai Community-Based Management (CBM).
2. Pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan
terumbu karang khususnya dan sumberdaya laut pada umumnya.
3. Memperkuat dan meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia dan
kelembagaan, agar koordinasi intersektoral yang berkaitan dengan
perencanaan, pengelolaan, perlindungan, pemantauan, dan pelaksanaan
konservasi terumbu karang dapat berjalan dengan efektif.
4. Mengembangkan model-model alternatif pemanfaatan terumbu karang
dan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pengguna terumbu
karang.
5. Memperkuat basis data dan melakukan penelitian/inventarisasi terumbu
karang secara sistematis dalam rangka membangun sistem pengelolaan
terumbu karang yang efektif dan efisien.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 2
Secara umum, COREMAP direncanakan sebagai suatu program
berjangka 15 tahun yang didesain dalam tiga fase yaitu Initiation Phase atau
COREMAP I (1998–2001), Acceleration Phase atau COREMAP II (2001–
2007) dan Institutionalization Phase atau COREMAP III (2007– 2013),
dengan tujuan umum untuk:
“melindungi, merehabilitasi dan menjaga kelangsungan terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya di Indonesia, yang pada gilirannya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. (PMO-COREMAP, 2001)
Implementasi Program COREMAP di Sulawesi Selatan telah
menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan terutama bila ditinjau dari
sudut meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga
kelestarian ekosistem terumbu karang. Dengan berakhirnya implementasi
Fase I COREMAP, maka kini tengah disiapkan Fase II yang berfungsi bukan
hanya semata kelanjutan dari fase terdahulu namun diupayakan adanya
akselerasi dalam pencapaian hasil program. Mengingat bahwa desain
program sangat menentukan kelancaran implementasi dan laju pencapaian
hasil, maka tahap persiapan proyek dan konstruksi desain program
merupakan bagian penting yang perlu mendapatkan perhatian.
Dalam rangka mempersiapkan Fase II ini, dibutuhkan sejumlah data
pendukung untuk formulasi dan desain program secara efektif. Dari berbagai
kajian dan penelitian yang dilakukan baik melalui COREMAP maupun studi
independen lainnya, ditunjukkan bahwa secara ekologis, terumbu karang di
Sulawesi Selatan telah mengalami tingkat kerusakan yang cukup parah.
Kerusakan ini tidak hanya menjadi masalah pada kawasan terumbu karang
yang secara formal dilindungi seperti Taman Laut Nasional Taka Bonerate,
namun hampir menyeluruh di wilayah pesisir Sulawesi Selatan, di sepanjang
Pantai Barat Sulawesi dalam wilayah kepulauan Spermonde, Laut Flores di
sebelah Selatan, hingga ke Teluk Bone di Pantai Timur Sulawesi.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 3
Penurunan kualitas lingkungan ekosistem terumbu karang dipahami
sebagai dampak dari meningkatnya aktifitas masyarakat yang membawa
akibat negatif terhadap ekosistem ini. Dari studi pendahuluan yang
dilakukan pada awal implementasi COREMAP Fase I, diperoleh data
bahwa selain dari faktor ekonomi, tingkat kesadaran masyarakat dan
persepsi sosial tentang keberadaan sumberdaya ini sangat berpengaruh
terhadap keberlanjutan ekosistem ini. Dari perspektif ekonomi, sumberdaya
terumbu karang beserta organisme asosiasinya memberikan harapan yang
cukup besar kepada pelaku ekonomi di kawasan pesisir untuk menjadi
sumber penghidupan, mendapatkan keuntungan dan peningkatan taraf
hidup. Namun demikian fakta menunjukkan bahwa struktur kemiskinan yang
parah justru dijumpai pada masyarakat pesisir, utamanya komunitas
nelayan. Hal ini sangat berpotensi untuk memberikan kontribusi negatif
terhadap keberadaan terumbu karang di Sulawesi Selatan.
Dengan merujuk pada hikmah pembelajaran (lessons learned) dari
implementasi proyek pada Fase I, dan dengan komitmen untuk menjaga
keberlanjutan program yang telah berjalan selama ini di kawasan Taka
Bonerate, Pokja COREMAP Sulawesi Selatan mengusulkan dua alternatif
lokasi untuk implementasi pada Fase II, yakni kawasan Kepulauan
Spermonde di Selat Makassar dan kawasan Pulau-pulau Sembilan di Teluk
Bone.
Untuk mempersiapkan sebuah desain program secara efisien,
sejumlah studi pendahuluan perlu dilakukan untuk menghasilkan sejumlah
data pendukung yang dibutuhkan dalam konstruksi dan penyiapan program.
Dari aspek ekologis, perlu disusun sebuah baseline data yang
menggambarkan kondisi awal ekosistem sehingga nantinya dapat
dibandingkan kualitas lingkungan sumberdaya terumbu karang di lokasi
proyek, sebelum dan sesudah intervensi proyek. Demikian pula halnya dari
aspek sosio-ekonomi masyarakat, perlu disusun suatu baseline data yang
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 4
menyajikan sejumlah elemen penting kondisi sosio-ekonomi masyarakat
setempat sebelum dilakukan intervensi proyek COREMAP di lokasi tersebut.
Untuk itulah Sosio-economic Assessment di kawasan Kepulauan
Spermonde dan kawasan Pulau-pulau Sembilan ini dilakukan.
1.2. Konteks Permasalahan 1.2.1. Rencana Implementasi COREMAP Fase II di Pulau-pulau
Sembilan
COREMAP Fase I telah memasuki masa akhir dari implementasi
program. Program yang dikembangkan selama implementasi Fase I di
Taman Laut Nasional Taka Bonerate sedikit banyaknya memberikan
pembelajaran bagi pihak pengelola. Salah satu pembelajaran dari fase ini
adalah perlunya merencanakan program pengelolaan secara strategis. Ini
berarti bahwa program yang akan diimplementasikan memerlukan telaah
ilmiah agar program tersebut berkontribusi secara signifikan ke dalam upaya
konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya terumbu karang.
Untuk COREMAP Fase II, Kelompok Kerja (POKJA) Sulawesi
Selatan mengajukan usul lokasi yaitu kepulauan Spermonde dan Pulau-
pulau Sembilan. Penunjukan dua lokasi ini lebih diarahkan pada pemekaran
lokasi dan manajemen, dengan penilaian komprehensif (ekologi, sosial dan
ekonomi) yang melihat kawasan ini sebagai kawasan yang terkait dengan
Taman Nasional Taka Bonerate.
COREMAP Fase II adalah fase percepatan manajemen
(Acceleration Phase) yang direncanakan berlangsung selama 6 tahun
(2001–2007). Pada fase ini proses perencanaan program, implementasi dan
pemantauan akan dilakukan secara strategis untuk pencapaian hasil yang
optimal. Perencanaan strategis akan melibatkan kajian tentang kekuatan,
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 5
kelemahan, kesempatan dan tantangan pada kawasan-kawasan tersebut
dalam menelaah program-program implementatif. Dengan demikian,
pengelolaan terumbu karang akan memiliki strategi pendekatan dalam
pencapaian benchmark yang akan ditentukan kemudian.
Sulawesi Selatan merupakan daerah tropis yang cukup potensial
untuk pertumbuhan terumbu karang. Hal ini terlihat dari penyebaran pulau-
pulau karang yang cukup luas dan dijumpai di hampir semua keliling
semenanjung Sulawesi Selatan. Namun demikian, secara umum ada tiga
wilayah dimana terumbu karang menjadi perhatian yang besar dari
pemerintah dan masyarakatnya, yaitu di Kepulauan Spermonde, Kepulauan
Selayar, dan Pulau-pulau Sembilan.
Beragamnya sumberdaya perikanan khususnya daerah terumbu
karang di Pulau-pulau Sembilan merupakan potensi yang menjadi daya tarik
bagi nelayan untuk melakukan penangkapan di kawasan ini sejak dulu,
bahkan konon merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Kawasan
Pulau-pulau Sembilan dihuni oleh manusia. Namun, dari tahun ke tahun
lingkungan di sekitar kawasan telah mengalami kerusakan yang diiringi
semakin berkurangnya potensi sumberdaya.
Sebagai salah satu kawasan yang diusulkan oleh POKJA Sulawesi
Selatan, yang lebih diarahkan pada pemekaran lokasi dan manajemen,
maka perlu ditunjang oleh penilaian kondisi sosial ekonomi masyarakat di
Pulau-pulau Sembilan sebagai kawasan yang terkait dengan Taman
Nasional Taka Bonerate. Dengan demikian, rencana implementasi
COREMAP Fase II di Pulau-pulau Sembilan akan didukung oleh basis data
ilmiah informasi dasar dan acuan untuk program monitoring dan evaluasi
proyek, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jernih tentang dampak
proyek ini.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 6
1.2.2. Masalah Pengelolaan Terumbu Karang Pulau-pulau Sembilan
Pengelolaan terumbu karang yang salah satunya akan
dikonsentrasikan di Pulau-pulau Sembilan merupakan wujud nyata
kepedulian pemerintah pusat, dalam upaya merehabilitasi dan mengelola
pemanfaatan ekosistem tersebut secara lestari. Ada beberapa masalah
yang menjadi perhatian bagi program COREMAP yaitu:
Kurangnya kesadaran sebagian masyarakat nelayan akan fungsi
ekologis terumbu karang, khususnya yang menggunakan teknologi
penangkapan biota laut yang bersifat merusak
Penegakan hukum yang lemah dan inkonsisten sehingga tidak mampu
mengatasi kasus yang berhubungan dengan penggunaan alat tangkap
yang merusak terumbu karang
Secara ekonomi, tingginya permintaan pasar terhadap ikan–ikan karang
merangsang nelayan untuk meningkatkan hasil tangkapannya.
Dominannya peran seorang Ponggawa dalam perekonomian pulau yang
dapat memberikan efek negatif bagi ekonomi masyarakat nelayan,
ditambah kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan
masih dalam strata miskin.
Kurangnya mata pencaharian alternatif masyarakat pulau yang mampu
memberikan harapan peningkatan pendapatan
Berkurangnya sumberdaya perikanan terutama jenis-jenis yang bernilai
ekonomis tinggi yang dulunya merupakan daya tarik bagi masyarakat
untuk menetap di wilayah ini, seperti Teripang, Kerang raksasa, dan
ikan-ikan karang di wilayah perairan Pulau-pulau Sembilan sebagai
dampak dari tingginya permintaan pasar.
Kecenderungan masyarakat melakukan metode pemanfaatan
sumberdaya yang berorientasi kepada keuntungan jangka pendek tanpa
memikirkan dampak yang ditimbulkan terutama bagi diri dan anak
cucunya di masa datang.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 7
Adanya anggapan bahwa nelayan yang berasal dari Pulau-pulau
Sembilan melakukan aktifitas penangkapan hingga sampai ke perairan
Taman Nasional Laut Taka Bonerate Kabupaten Selayar dengan
menggunakan bahan dan peralatan yang merusak terumbu karang.
1.3. Tujuan Studi
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, pelaksanaan studi ini bertujuan untuk menyediakan
baseline data tentang persepsi masyarakat menyangkut kondisi sumberdaya
terumbu karang di Kawasan Pulau-Pulau Sembilan dan sekitarnya beserta
pemanfaatannya. Untuk memahami persepsi masyarakat ini dalam konteks
yang tepat, maka penelitian ini diarahkan untuk menyajikan informasi dasar
tentang Profil Daerah, Kesejahteraan Relatif Masyarakat, Akses Masyarakat
terhadap Sumberdaya Terumbu Karang, dan Faktor-faktor Eksternal yang
mempengaruhi interaksi masyarakat dengan sumberdaya tersebut.
1.3.2 Tujuan Khusus
Untuk mencapai tujuan umum yang dinyatakan diatas, maka
penelitian ini dibagi ke dalam lima sub-tema kajian yang akan menganalisis
dan menyajikan data dasar yang akan mendukung pemahaman konstruktif
tentang persepsi masyarakat di kawsan Pulau-pulau Sembilan. Kelima sub-
tema tersebut adalah:
1) Mengumpulkan data dasar sosial dan ekonomi masyarakat pulau yang
meliputi :
a) Penyajian data dasar yang menggambarkan profil lokasi penelitian,
b) Menghasilkan indikator-indikator yang dapat digunakan sebagai
pembandingan sebelum dan setelah intervensi program.
2) Mengetahui jenis dan intensitas pemanfaatan sumberdaya laut
khususnya terumbu karang yang meliputi :
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 8
a) Identifikasi jenis dan intensitas pemanfaatan termasuk teknologi,
target spesies, lokasi pemanfataan, dan waktu/musim pemanfaatan
b) Melakukan analisis stakeholders yang meliputi kajian tentang
stakeholder primer, sekunder dan organisasi/lembaga terkait dengan
pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang. Analisis ini juga
melihat konflik-konflik yang berkembang dalam hubungannya dengan
pemanfaatan
c) Memahami pandangan dan pengetahuan ekologis tentang terumbu
karang yang meliputi:
o Pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan sumberdaya
o Pandangan tentang hak pemanfaatan
o Pengetahuan tentang jenis sumberdaya ekonomis penting
o Pandangan tentang kelangkaan dan konservasi
3) Memahami aspek sosio-ekonomi usaha pemanfaatan sumberdaya
terumbu karang
a) Memahami hubungan dan saling ketergantungan antara pemodal-
pekerja (misalnya: Punggawa–Sawi) dalam usaha pemanfaatan
sumberdaya laut
b) Mengidentifikasi jalur-jalur pemasaran hasil laut yang dimanfaatkan
penduduk lokal
c) Memahami pola pengolahan pasca panen hasil laut yang
dimanfaatkan penduduk lokal
d) Mengidentifikasi kelayakan sejumlah mata pencaharian alternatif bagi
masyarakat setempat
4) Mengetahui faktor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap kondisi
sosial dan ekonomi masyarakat setempat
5) Memahami tingkat kesejahteraan relatif penduduk setempat
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 9
a) Mengetahui tingkat pendapatan masyarakat, utamanya yang
menggantungkan hajat hidupnya pada pemanfaatan sumberdaya
terumbu karang secara langsung
b) Menganalisa tingkat kesejahteraan relatif masyarakat dan
hubungannya dengan kondisi terumbu karang
c) Menyajikan analisis sosial untuk perencanaan program
1.4. Hasil dan Manfaat
1.4.1. Hasil
Hasil yang diperoleh adalah informasi dasar (baseline data) tentang
kondisi sosial ekonomi kawasan Pulau-pulau Sembilan yang dapat
dikategorikan dalam data yang menyangkut sosial demografi, tingkat
kesejahteraan masyarakat, pemanfaatan sumberdaya, dan pandangan
terhadap faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya laut khususnya sumber daya terumbu karang.
Penyajian data secara deskriptif argumentatif dilengkapi dengan upaya
untuk menyimpulkan sejumlah fenomena secara komprehensif dengan
mempertimbangkan karakteristik masing-masing lokasi penelitian.
1.4.2. Manfaat
Manfaat dari informasi studi baseline ini adalah untuk memberikan
agenda dan perspektif sosial (social agenda and perspective) dalam proses
perencanaan, implementasi dan pemantauan program COREMAP Fase II.
Selain itu, informasi dasar ini juga akan memperkaya data base untuk
kepulauan Sembilan, yang dapat dimanfaatkan dalam perencanaan program
pembangunan daerah dalam kerangka otonomi daerah.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 10
II. METODOLOGI
2.1. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian berlangsung selama empat bulan yakni dari bulan
Oktober 2001 – Januari 2002, dengan lokasi pengambilan sampel di
Kelurahan Pulau-pulau Sembilan dan Kelurahan Lappa, Kecamatan Sinjai
Utara, Kabupaten Sinjai.
2.2. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Randomize Purposive
Sampling. Metode ini adalah cara pengambilan sampel berdasarkan
kesengajaan dengan mempertimbangkan (1) keterlibatan masyarakat
terhadap sumberdaya; (2) keterjangkauan untuk intervensi program dan
pemantauan. Maka dua kelurahan dipilih, yaitu Kelurahan Pulau-pulau
Sembilan dan Kelurahan Lappa.
Berdasarkan kepentingan studi pada Pulau-pulau Sembilan dipilih
empat pulau, yaitu Kambuno, Burung Loe, Batang Lampe, dan Pulau Kanalo.
Penentuan lokasi pada keempat pulau tersebut berdasarkan adanya
karakteristik yang berbeda.
Pulau Kambuno merupakan ibu kota kelurahan. Pada pulau ini berdiam
sejumlah besar nelayan ponggawa yang sebagiannya memiliki keramba
apung untuk menampung Ikan Kerapu hidup.
Pulau Burung Loe merupakan pulau yang didiami oleh nelayan: bagan,
pancing tonda, pancing dasar, penyelam teripang dan penangkaran ikan.
Pulau Batang Lampe merupakan pulau yang didiami oleh nelayan yang
menggunakan alat tangkap: penyelam, pancing, bubu, pukat dan tombak.
Nelayan penyelam yang lebih dominan di pulau ini.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 11
Pulau Kanalo terdiri dari dua pulau yang pada saat surut bersatu. Alat
tangkap yang digunakan oleh nelayan pada pulau ini adalah bagan tancap,
pancing tonda, jaring panambe dan pengumpul kerang.
Kelurahan Lappa dipilih karena banyak nelayan yang mobile sehingga
“dicurigai” merekalah yang pergi menangkap ikan jauh – jauh dan masuk
sampai ke Taka Bonerate. Selain itu, di kelurahan ini terdapat fasilitas
tempat pangkalan pendaratan ikan. Sebagian besar masyarakat bekerja
sebagai nelayan dengan alat tangkap purse seine, bagang rambo, sero,
bubu, pancing tonda dan pancing. Sebagian besar ponggawa darat usaha
penangkapan ikan di Pulau Sembilan bertempat tinggal di lokasi ini.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode pengumpulan
data melalui pendekatan Kuantitatif dengan metode observasi, survei dengan
teknik wawancara (kuisioner) terstruktur. Jumlah sampel sebagai responden
masing-masing lokasi dapat dilihat pada tabel 1, dengan total 210 responden
atau sekitar 14 % dari total unit Kepala Keluarga.
Tabel 1. Jumlah Sampel (Responden) pada Setiap Lokasi Penelitian
Lokasi Populasi (KK) Sampel (orang) Persentase (%)
Kambuno
Kanalo
Batang lampe
Burung loe
Lappa
473
170
90
170
635
58
38
18
35
61
15
21
19
20
9
Jumlah 1538 210 14
Informasi yang dikumpulkan dari responden menggunakan kuisioner
sebagai panduan. Informasi yang tercantum dalam kuesioner terbagi ke
dalam enam kategori. Kategori tersebut adalah identitas responden, tingkat
kesejahteraan, keadaan sosial ekonomi, pengetahuan dan persepsi tentang
pengelolaan sumberdaya alam, gender, dan sosial demografis.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 12
Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumah tangga (Kepala
Keluarga/KK), dalam studi ini diartikan sebagai satu kelompok orang yang
bersama-sama bernaung di dalam satu rumah yang tidak hanya diartikan
sebagai satu unit keluarga yang terdiri sepasang suami istri dan anak.
Anggota rumah tangga ini biasanya tercantum dalam kartu keluarga. Rumah
tangga sebagai prioritas adalah yang mempunyai hubungan erat dengan
pemanfaatan sumberdaya terumbu karang.
2.3. Proses Jalannya Penelitian
Kegiatan penelitian meliputi perencanaan, persiapan, pengumpulan dan
analisis data serta penulisan laporan. Rencana penelitian terdiri dari :
Pendahuluan, Metodologi, Pelaksana, Jadwal Pelaksanaan Kegiatan,
Rencana Anggaran Biaya dan Penutup.
Tahap persiapan mencakup pembuatan kuesioner, pembuatan surat,
pembelian alat–alat tulis menulis, coaching enumerator, pembagian tugas,
dan jadwal selama di lokasi.
Tahap pengumpulan data mencakup : pengambilan data primer dan
data sekunder. Dalam penelitian ini dikumpulkan dua jenis data terdiri dari
data primer dan data sekunder. Kedua jenis data ini diperoleh dari sumber
yang berbeda, yaitu :
1. Data primer diperoleh sebagai hasil penelitian lapangan yang dilakukan
dengan mengunjungi responden di daerah penelitian dengan
menggunakan instrumen berupa kuesioner, dan wawancara langsung
dengan nelayan, baik yang terlibat langsung dengan penangkapan
maupun yang ada kaitan dengan kegiatan nelayan.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 13
2. Data sekunder diperoleh dari dari lembaga-lembaga terkait, yaitu :
Pemerintah daerah, Dinas Perikanan, Bappeda, Pangkalan Pendaratan
Ikan, Koperasi dan Bank.
Analisis data terdiri dari tabulasi data berdasarkan kategori, data
kualitatif dan data kuantitatif dianalisis secara deskriptif.
Tahap penulisan laporan terdiri dari interpretasi data, pembahasan,
kesimpulan dan rekomendasi.
2.5. Analisis dan Interpretasi Data Data yang dikumpulkan selama di lokasi penelitian, terlebih dahulu
diedit yang bertujuan mengoreksi dan melengkapi data yang kurang lengkap.
Setelah data diedit, kegiatan berikutnya adalah tabulasi data berdasarkan
kategori dan lokasi. Data kualitatif dianalisis secara induktif dan data kuantitatif dianalisa
secara deskriptif.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 14
INTERPRETASI
Gambar 1. Bagan Alir Pelaksanaan Penelitian
- PERSIAPAN - RENCANA - PENENTUAN LOKASI
PENGUMPULAN DATA
DATA SEKUNDER : - PEMERINTAH - DINAS PERIKANAN - BAPPEDA
DATA PRIMER : - NELAYAN - PEDAGANG - PONGGAWA
ANALISIS DATA
PEMBAHASAN
KESIMPULAN
REKOMENDASI
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 15
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 15
III. GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI
3.1. Wilayah Pulau-pulau Sembilan Pulau-pulau Sembilan merupakan gugusan pulau yang terdiri atas
sembilan pulau kecil dan beberapa gosong karang. Dari sembilan pulau
hanya satu pulau yang tidak berpenghuni, yaitu Pulau Larearea. Pulau yang
berpenghuni bila diurutkan dari utara adalah Kanalo 2, Kanalo 1, Batang
Lampe, Kodingare, Katindoang, Kambuno, Liangliang dan Burung Loe (lihat
lampiran 1). Secara administratif pemerintahan wilayah Pulau-pulau
Sembilan berada dalam satu kelurahan dengan delapan lingkungan (Lihat
tabel 2). Lingkungan Pulau Kambuno merupakan ibukota kelurahan Pulau-
pulau Sembilan. Setiap pulau merupakan satu lingkungan kecuali di Pulau
Burungloe terdapat dua lingkungan. Kelurahan Pulau-pulau Sembilan
adalah salah satu kelurahan di dalam Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten
Sinjai (lihat Tabel 3).
Tabel 2 . Luas Pulau dan Luas Pemukiman di Setiap Pulau
Pulau/lingkungan Luas Pulau (Km2) Luas Pemukiman (Km2)
Kambuno 0,21 0,17
Liangliang 0,09 0,07
Burungloe 0,81 0,13
Kodingare 0,12 0,07
Batanglampe 0,93 0,05
Kanalo 1 0,13 0,05
Kanalo 2 0,13 0,07
Katindoang 0,08 0,03
Larearea 0,02 -
Total 2,52 0,64
Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan – Pusat Studi Trumbu Karang Unhas, 2000
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 16
Mata pencaharian penduduk di kelurahan Pulau-pulau Sembilan
sebagian besar atau 79,18 % adalah nelayan, dan sebagai urutan kedua
adalah perdagangan sebesar 6,85 % (Lihat Tabel 4).
Tabel 3. Kelurahan dalam wilayah Kecamatan Sinjai Utara
No. Kelurahan Luas Wilayah (Km2)
1. Alehanuwae 5,35
2. Balangnipa 2,18
3. Biringere 6,28
4. Bongki 4,81
5. Lamatti Rilau 7.02
6. Lappa 3,95
7. Pulau-pulau Sembilan 2,52
Total 32,11
Sumber : Monografi Kecamatan Sinjai Utara 2001
Jarak ibukota kelurahan Pulau-pulau Sembilan ke ibukota kecamatan
Sinjai Utara adalah kira kira 10 mil atau hanya 1,25 jam menggunakan kapal
penumpang reguler. Setiap hari ada tiga kapal penumpang yang melayani
Pulau Kambuno. Ketiga kapal tersebut sekaligus juga melayani kalau ada
penumpang dari Pulau Burung Loe dan Pulau Liang-liang.
3.2. Wilayah Kelurahaan Lappa
Kelurahan Lappa adalah salah satu kelurahan di Kecamatan sinjai
Utara. Sebelah utara kelurahan ini berbatasan dengan Kabupaten Bone,
Sebelah timur berbatasan dengan kelurahan Pulau-pulau Sembilan, sebelah
selatan berbatasan dengan kelurahan Balangnipa dan sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Bone. Di kelurahan ini terdapat pusat
perdagangan komoditas perikanan dan merupakan tempat paling aktif
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 17
diantara pusat-pusat pendaratan ikan yang ada di Propinsi Sulawesi Selatan.
Pelabuhan tempat pendaratan ikan tersebut terletak di tepi Sungai Tangka
yang bermuara ke Teluk Bone pantai timur di Jazirah Sulawesi Selatan.
Tabel 4. Persentase mata pencaharian penduduk Kelurahan Pulau- Pulau Sembilan
Jenis Pekerjaan Jumlah KK Persentase
Nelayan 1126 79,18
Petani 11 0,72
Pegawai Negeri Sipil 70 4,93
Pedagang 97 6,85
ABRI 0 0
Pensiunan 32 2.25
Lainnya 86 6,07
Jumlah 1422 100
Sumber : Monografi Kelurahan Pulau-pulau Sembilan, 2000
Kelurahan Lappa terdiri atas 5 lingkungan, yaitu Jawa Baru, Lappae,
Lengkongnge, Kokoe, dan Bungi Tanre dengan luas wilayah 3,95 km2
dengan ketinggian 0,85 m di atas permukaan laut. Dengan kondisi tersebut
pada saat pasang tinggi sebagian wilayahnya masih terendam oleh air laut
sehingga sulit untuk mendapatkan sumber air tawar. Golongan masyarakat
yang mendominasi wilayah ini adalah masyarakat dengan mata pencaharian
nelayan (lihat Tabel 5). Wilayah Kelurahan Lappa masuk ke dalam wilayah
ibukota Kabupaten Sinjai . Jarak Ibukota Kabupaten Sinjai dari Makassar
(ibukota Propinsi Sulawesi Selatan) adalah 225 km.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 18
Tabel 5. Persentase mata pencaharian penduduk Kelurahan lappa
Jenis pekerjaan Jumlah KK Persentase
Nelayan 673 45,78
Petani 54 3,67
Pegawai Negeri Sipil 251 17,08
Pedagang 203 13,81
ABRI 10 0,68
Buruh 264 17,96
Lainnya 15 1,02
Jumlah 1470 100
Sumber : Monografi Kelurahan Lappa 2000
3.3. Keterkaitan Mata Pencaharian Masyarakat dengan Ekosistem Terumbu Karang
Kondisi lingkungan dan potensi sumberdaya laut merupakan faktor
utama yang menyebabkan masyarakat di kedua kelurahan tersebut lebih
banyak memilih mata pencaharian yang berkaitan dengan pengelolaan
sumberdaya laut. Hal tersebut dapat dilihat dengan membandingkan antara
persentase jenis pekerjaan masyarakat di kedua kelurahan tersebut (Lihat
Tabel 4 dan Tabel 5), persentase nelayan di Kelurahan Pulau-pulau
Sembilan jauh lebih besar (79,18 %) dibandingkan dengan nelayan di
Lappa (45,78 %). Apabila ditelusuri lebih mendalam, nelayan di kelurahan
lappa lebih memilih jenis alat tangkap untuk ikan pelagis dengan alat yang
dominan terdiri atas Purse Seine, Pole and Line serta Bagang.
Sedangkan nelayan di kelurahan Pulau-pulau Sembilan didominasi oleh
kegiatan pengeksploitasian sumberdaya ikan demersal dan terumbu
karang dengan alat-alat penyelaman, pancing dasar, bubu, cantrang.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 19
Adanya aktifitas masyarakat nelayan mengeksploitasi sumber daya
ikan demersal dengan menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan
seperti : bom, bius, racun, penyelam kompresor, dan trawl serta
pengambilan karang untuk kebutuhan pembendungan tepi pantai maupun
pondasi rumah atau memperluas lahan secara bertahap menyebabkan
kondisi terumbu karang di sekitar kawasan Pulau-Pulau Sembilan
mengalami kerusakan.
Berdasarkan beberapa anggapan dari masyarakat bahwa kondisi
sebagian besar terumbu karang dalam keadaan rusak akibat pengaruh
aktifitas tersebut di atas, atau dapat dikatakan bahwa terumbu karang di
kawasan tersebut dalam kondisi yang sangat memprihatinkan hingga saat
ini.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 20
IV. LOKASI I PULAU KAMBUNO 4.1. Profil Lokasi Studi 4.1.1. Gambaran Umum Pulau Kambuno 4.1.1.1. Akses
Pulau Kambuno adalah Ibukota Kelurahan Pulau-pulau Sembilan,
akses ke pulau tersebut sangat lancar karena tersedia sarana transportasi
kapal penumpang reguler sebanyak 3 unit yang berangkat dari Pulau
Kambuno menuju pelabuhan di Lappa. Berangkat dari Pulau Kambuno
pukul 7.00 pagi dan kembali pukul 13.00 dengan biaya untuk setiap
penumpang sekali jalan sebesar Rp. 3000. Dari Pelabuhan penumpang
Lappa, juga tersedia kapal-kapal (pete-pete) penumpang yang dapat dicarter
dengan biaya sebesar Rp. 50.000 - 200.000 untuk berbagai keperluan
diantaranya untuk transportasi ke Pulau-pulau Sembilan dan untuk
memancing. Waktu tempuh dari Lappa ke Pulau Kambuno rata-rata 1,25
jam.
4.1.1.2. Karakter Fisik
Pulau Kambuno merupakan pulau yang dibentuk oleh batuan granit.
Di sekeliling pulau tersebut dilindungi oleh terumbu karang tepi dengan
kontur yang sangat landai yang pada saat surut terendah paparan karang
Pulau Kambuno terlihat bersambung dengan paparan karang Pulau Liang-
liang yang terletak di sebelah Selatan. Di pulau ini terdapat dua bukit batu
yang menjulang mulai dari bagian Utara hingga ke tengah pulau dan
di bagian Tenggara pulau.
Tanaman tahunan masyarakat didominasi oleh kelapa dan sukun.
Tumbuhan jenis perdu banyak terdapat di bagian pulau yang tidak dihuni
oleh penduduk, yaitu di bagian Utara pulau. Pada bagian yang dihuni
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 21
penduduk yaitu pada kira-kira 80% dari luas pulau, hanya terdapat beberapa
pohon sukun dan kelapa. Di bagian tengah pulau terdapat lapangan sepak
bola yang tidak ditumbuhi rumput sama sekali.
4.1.1.3. Kelembagaan Formal dan Informal
Di Pulau Kambuno kelembagaan formal dan informal dapat dikatakan
kurang aktif. Di pulau ini terdapat pusat pemerintahan kelurahan, maka
fungsi lembaga formal didominasi oleh kelurahan. Peran Kepala Lingkungan
Pulau Kambuno dan aparatnya kurang terlihat, hal ini disebabkan oleh hal
di atas dan mata pencaharian mereka adalah nelayan, kecuali pada saat ada
kunjungan pejabat daerah atau ada kegiatan penyambutan hari-hari besar.
Kegiatan ekstra pemuda di pulau ini utamanya adalah olahraga sepak
bola dan bola volley. Mereka memiliki tim sepakbola yang sering bertanding
mewakili kecamatan Pulau-pulau Sembilan. Ada beberapa orang pemuda
yang telah diutus untuk mengikuti kursus keterampilan terutama di bidang
budidaya perikanan dan pelestarian lingkungan yang disponsori oleh
beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat lokal dan pemerintah daerah.
4.1.1.4. Kegiatan Sosial Kemasyarakatan
Kegiatan sosial kemasyarakatan yang ada di Pulau Kambuno yang
dilaksanakan oleh pria adalah kegiatan bermain kartu di pos-pos ronda dan
diberanda rumah yang sudah sering dipakai bersama pada saat mereka
tidak turun kelaut. Kegiatan pengajian bagi anak-anak baik yang
dilaksanakan di mesjid, TPA, maupun di rumah masing-masing masih
banyak dilaksanakan. Kegiatan para ibu-ibu rumahtangga adalah
perkumpulan arisan dan pengajian.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 22
4.1.2. Profil Demografi 4.1.2.1. Migrasi dan Mobilitas Penduduk
Penduduk di Pulau Kambuno memiliki mobilitas yang sangat tinggi
terutama dalam upaya mencari daerah penangkapan baru untuk kegiatan
penyelaman teripang dan lobster. Dari hasil wawancara dengan beberapa
orang responden didapatkan bahwa saat ini penduduk di Pulau Kambuno
meningkat pesat akibat datangnya para eksodus akibat kerusuhan di Ambon.
Beberapa orang responden mendapat PHK dari perusahaan tempat mereka
bekerja dan saat ini berada di Pulau Kambuno dengan pekerjaan yang tidak
menentu. Menurut pengakuan mereka, bahwa untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, acap kali mereka ikut kegiatan para pencari
ikan hidup yang menggunakan cara ilegal (bom dan pembiusan) dengan
daerah tujuan adalah Selayar, Flores (NTT) dan perairan Pulau Kabaena.
4.1.2.2. Struktur Populasi dan Mata Pencaharian
Struktur populasi dan mata pencaharian Pulau Kambuno menurut
hasil survei tim peneliti adalah sebagaimana terlihat pada tabel 6.
Tabel 6. Persentase Mata Pencaharian Penduduk di Lingkungan Pulau Kambuno
Jenis pekerjaan Jumlah KK Persentase (%) Nelayan 351 74,14 Petani 0 0,00 Pegawai Negeri Sipil 16 3,45 Pedagang 65 13,79 ABRI 0 0,00 Pensiun 16 3,45 Lainnya 25 5,17 Jumlah 473 100,00
Sumber : Data Potensi Kelurahan Pulau-pulau Sembilan tahun 2001. Kondisi alam Pulau Kambuno memang hanya memungkinkan
penghuninya untuk mencari nafkah ke laut sebagai nelayan, maupun
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 23
pedagang. Tidak ada lagi lahan pertanian yang tersedia. Para nelayan
banyak menggunakan jenis alat tangkap pancing (hand line), jaring nambe,
cantrang, dan beberapa alat bantu, yaitu alat selam (kompresor).
Di pulau ini merupakan pusat perdagangan ikan hidup di Kabupaten
Sinjai. Banyak terdapat keramba jaring apung untuk menampung sementara
ikan hidup untuk kemudian menunggu datangnya pembeli dari luar daerah.
4.1.2.3. Karakteristik Pencari Nafkah Utama Rumah Tangga
Pencari nafkah utama rumah tangga adalah laki-laki sedangkan
perempuan yang bersuami cenderung tidak bekerja. Lain halnya dengan
para perempuan yang telah menjanda, mereka dituntut untuk bekerja agar
kehidupan tetap dapat berjalan normal. Pada umumnya mereka memilih
pekerjaan sebagai pedagang barang kebutuhan sehari-hari ataupun produk
perikanan (pappalele).
Anak dalam keluarga banyak yang berperan sebagai pembantu dalam
meningkatkan penghasilan rumah tangga. Mereka bekerja membantu
orangtua dalam melaksanakan operasi penangkapan atau mengumpulkan
hasil laut pada saat air surut. Kadang kala mereka beruntung mendapatkan
lobster kecil yang dapat dijual ke pengusaha karamba jaring apung.
4.1.2.4. Pendidikan dan Keterampilan
Pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat Pulau
Kambuno sangat bervariasi. Umumnya generasi tua berpendidikan sekolah
dasar, sedangkan usia menengah banyak yang berhasil menjadi sarjana. Hal
ini terutama akibat terjadinya perpindahan sejumlah besar keluarga yang
meninggalkan Pulau Kambuno akibat tekanan pasukan gerombolan
pemberontak saat itu. Akan tetapi saat ini generasi muda terlihat paling
tinggi hanya tamatan SMU dan sekolah sederajat. Kira-kira 5% penduduk
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 24
telah mengikuti kursus keterampilan dan beberapa penataran, tetapi mereka
mendapat kesulitan untuk menularkannya karena mereka malu akibat masih
dianggap remeh oleh masyarakat lain di sekitarnya.
4.1.2.5. Struktur Keluarga dan Peranan Perempuan
Peranan perempuan dalam keluarga secara tradisional adalah
mendidik dan mengasuh anak. Hal ini masih dipertahankan dalam struktur
keluarga masyarakat di Pulau Kambuno sehingga banyak kaum perempuan
yang hanya mengasuh anak dan tidak memiliki pekerjaan. Anak-anak
setelah berkeluarga dan masih berdomisili di Pulau Kambuno biasanya
menumpang atau membangun rumah sendiri di kolong rumah milik orang
tuanya karena pengembangan lahan untuk pemukiman tidak ada lagi.
Jarang sekali satu keluarga memiliki anak kurang dari dua, umumnya
lebih dari dua. Hal ini disebabkan kepala keluarga lebih dominan dalam
memutuskan apakah mereka ikut melaksanakan keluarga berencana atau
tidak, akan tetapi untuk keluarga muda saat ini, mungkin karena desakan
ekonomi dan tempat pemukiman, mereka lebih memilih keluarga kecil.
4.1.3. Infrasturktur Publik
4.1.3.1. Sarana Sosial
Sarana sosial yang ada di Pulau Kambuno adalah sumur umum untuk
mandi dan air minum yang terdapat di bagian tengah pulau. Saat musim
kemarau panjang, sumur tersebut juga mulai terasa asin sehingga sumber
air tawar satu-satunya adalah didatangkan dari PDAM di Lappa dengan
harga Rp. 2500 per 30 liter. Di Pulau Kambuno terdapat beberapa buah
masjid tetapi untuk shalat Jumat digunakan masjid utama yang berada
di tengah pulau. Sekolah Dasar juga tersedia dengan jumlah guru yang
memadai.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 25
4.1.3.2. Sarana Ekonomi
Sarana ekonomi yang ada di Pulau Kambuno adalah toko barang
kelontong, sembako, dan peralatan kapal. Tidak terdapat pasar maupun
lembaga perbankan di pulau ini. Minimnya sarana ekonomi tersebut
berkaitan dengan kebiasaan masyarakat pulau ini yang mengandalkan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari dari pasar yang ada
di Kelurahan Lappa. Keberadaan dari sarana ekonomi ini cukup membantu
bagi masyarakat, apabila dalam kondisi paceklik (kekurangan uang)
biasanya mereka meminjam barang dari toko tersebut, yang kemudian
pembayarannya dilakukan pada saat hasil panen melimpah.
4.1.3.3. Sarana Kesejahteraaan
Jalan setapak di pulau ini umumnya baru berupa jalan tanah. Hanya
dibeberapa tempat yang mendaki dibuat jalan dari semen. Kondisi
perumahan didominasi oleh rumah panggung. Akan tetapi dengan semakin
padatnya penduduk, maka rumah yang semula jenis rumah panggung,
bagian bawahnya juga dikembangkan menjadi beberapa ruangan yang
kadang ditempati oleh keluarga baru dengan status menumpang atau sewa.
Di Kelurahan Pulau-pulau Sembilan terdapat Puskesmas dan dua
Pustu, yaitu 1 pustu terdapat di Kanalo 2 dan Burung Loe 1 serta Puskesmas
yang terdapat di Pulau Kambuno. Untuk sementara Puskesmas saat ini
dikelola oleh seorang mantri dan dibantu oleh seorang bidan, hal ini karena
belum ada dokter baru yang bertugas di pulau ini. Keberadaan Puskesmas
sangat membantu masyarakat di Pulau-pulau Sembilan dalam melakukan
pengobatan.
Sarana telekomunikasi berupa telepon belum tersedia. Sarana listrik
PLN tersedia mulai pukul 6.00 sore hingga 6.00 pagi. Pesawat televisi sudah
banyak terdapat di pulau ini sehingga segala informasi melalui media
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 26
tersebut dapat diterima oleh masyarakat. Sarana transportasi yang ada
hanyalah transportasi laut.
4.2. Situasi Umum Kesejahteraan Masyarakat
Pulau Kambuno merupakan salah satu gugusan Pulau-pulau
Sembilan yang terluas wilayahnya dan menjadi pusat pemerintahan. Karena
akses transportasi yang lancar ke pulau ini menyebabkan tingkat
kesejahteraan masyarakatnya lebih baik jika dibandingkan dengan pulau-
pulau lain dalam wilayah Pulau-pulau Sembilan. Kondisi perumahan
penduduk lebih tertata dan terpelihara dengan baik dalam bentuk rumah
panggung dan non panggung yang permanen. Oleh karena merupakan
pusat kegiatan pemerintahan dan perekonomian maka fasilitas-fasilitas
sosial seperti Puskesmas dan sekolah-sekolah tersedia di pulau ini.
4.2.1. Keadaan Perumahan dan Kesehatan
4.2.1.1. Status Pemilikan dan Keadaan Perumahan
Secara umum status kepemilikan rumah di Pulau Kambuno sekitar 90%
merupakan hak milik dan sisanya berstatus kontrak, rumah dinas dan status
menumpang (±10%). Adanya rumah dinas dalam status kepemilikan rumah
disebabkan beberapa responden berprofesi sebagai guru sekolah dan
pegawai Depkes yang dipekerjakan di Puskesmas Kambuno. Bentuk rumah
umumnya berupa rumah panggung (81,03%) dan sisanya berupa rumah non
panggung (18,97%). Bentuk rumah panggung merupakan salah satu ciri
khas dari rumah-rumah di Pulau Kambuno. Luas bangunan rumah
bervariasi dari yang kurang 100 m2 sampai lebih dari 200 m2 (Tabel 7).
Persentase tertinggi dalam hal luas bangunan rumah adalah yang berukuran
kurang dari 100 m2 (70,69%). Ini menunjukkan bahwa luas tanah untuk
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 27
perumahan di pulau ini semakin berkurang akibat besarnya pertambahan
penduduk setiap tahunnya.
Tabel 7. Persentase Bentuk, Luas dan Status Kepemilikan Rumah di Pulau Kambuno Bentuk Rumah (%) Luas (m2) (%) Status rumah (%)
Panggung 81,03 < 100 70,69 Milik 89,66
Non panggung 18,97 100-150 20,69 Kontrak 3,45
151-200 5,17 Numpang 5,17
> 200 3,45 Dinas 1,72 Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja
Coremap Sul-Sel, 2001
Bagian-bagian dari rumah seperti atap, dinding dan lantai juga disurvei.
Bahan untuk pembuatan atap rumah umumnya terbuat dari seng (± 89%)
dan sisanya dari rumbia, nipa, dan asbes. Sementara itu untuk pembuatan
dinding umumnya menggunakan papan dan tembok (± 88%) dan sisanya
menggunakan bambu, seng, dan tripleks. Papan merupakan bahan
pembuatan lantai yang masih umum digunakan di pulau ini (± 79%) dan
selebihnya menggunakan semen, tegel, keramik, bahkan dari tanah. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Persentase Bahan Pembuatan Atap, Dinding dan Lantai
Rumah di Pulau Kambuno
Atap % Dinding % Lantai % Seng 88,66 tembok 20,70 Tegel 1,72
Rumbia 3,45 papan 67,24 Keramik 1,72 Nipa 5,17 bambu 1,72 Papan 79,32
Genteng 0,00 seng 5,17 Semen 15,52 Asbes 1,72 tripleks 5,17 Tanah 1,72
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 28
Sebagian besar fasilitas penerangan rumah sudah disuplai dari PLN
wilayah Sinjai dan sebagian lainnya menggunakan fasilitas listrik yang
disiapkan secara swadaya. Yang memprihatinkan karena masih ada sekitar
7% dari penduduk Pulau Kambuno masih menggunakan lampu tempel
(pelita). Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Persentase Pemanfaatan Fasilitas Penerangan Rumah Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001
4.2.1.2. Sumber Air Minum dan Fasilitas Kesehatan
Sumber air minum dari masyarakat Pulau Kambuno umumnya dibeli
(± 87%) di daerah Lappa, selebihnya berasal dari sumur yang ada di tempat
dan sebagian kecil masyarakat masih menggunakan air hujan untuk
dijadikan air minum. Pembelian air minum di daerah Lappa dilakukan setiap
tiga hari sekali dengan menggunakan kapal khusus. Air minum tersebut
ditempatkan pada beberapa tong berkapasitas 1 ton.
Sarana kesehatan masyarakat yang ada di Pulau Kambuno tersedia
sebuah Puskesmas yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dan
masyarakat tetangga pulau lainnya. Puskesmas tersebut sementara ini
masih dipimpin oleh seorang mantri dan dibantu oleh seorang paramedis,
hal ini dikarenakan belum adanya dokter yang bertugas di pulau ini.
80%
13%7%
Listrik PLN Listrik swasta Pelita
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 29
87%
11% 2%
Beli Sumur Air hujan
Gambar 3. Persentase Sumber Air Minum Masyarakat Pulau Kambuno Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001
4.2.1.3. Sanitasi Lingkungan
Seperti pada kebanyakan pulau-pulau kecil lainnya, sanitasi
lingkungan di Pulau Kambuno masih tergolong rendah. Umumnya
masyarakat setempat masih menggunakan pantai sebagai tempat buang air
besar dan tempat membuang sampah. Akibatnya sering terjadi wabah
penyakit muntah berak. Data tentang kondisi sanitasi lingkungan disajikan
pada Tabel 9.
Tabel 9. Persentase Tempat Buang Air Besar dan Tempat Pembuangan Sampah
Tempat buang air
besar % Tempat pembuangan
sampah % Kakus 25,86 Lubang 3,45 Pantai 75,14 Kontainer 3,45
Pantai 93,1
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 30
4.2.2. Keadaan Ekonomi : Jenis dan Status Pekerjaan 4.2.2.1. Jenis Pekerjaan
Umumnya masyarakat di Pulau Kambuno mempunyai pekerjaan utama
di bidang perikanan. Mereka memanfaatkan laut sebagai tempat untuk
mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Berdasarkan hasil
survei, 79,32% masyarakat Pulau Kambuno bekerja sebagai nelayan dan
selebihnya bekerja sebagai pedagang, pegawai negeri sipil (Tabel 10).
Selain pekerjaan utama sebagai nelayan, sebagian kecil diantara mereka
(5,17%) juga mempunyai pekerjaan tambahan sebagai pedagang dan
94,83% tidak memiliki pekerjaan tambahan.
Tabel 10. Persentase Jenis Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Tambahan Masyarakat di Pulau Kambuno
Pekerjaan Utama % Pekerjaan Tambahan %
Perikanan Pedagang
PNS Jasa
Dan lain-lain
79,32 5,17 8,62 1,72 5,17
Perikanan Pedagang
PNS Jasa
Tidak ada
3,45 1,72 0,00 0,00 94,83
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001
4.2.2.2. Tingkat Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga
Tingkat pendapatan rata-rata masyarakat nelayan di Pulau Kambuno
bervariasi dan persentase tertinggi yakni di bawah Rp 500.000 (46,55 %),
selanjutnya antara setengah sampai satu juta rupiah (20,69 %) dan sisanya
menyebar di atas satu juta rupiah perbulan (Tabel 11). Bervariasinya tingkat
pendapatan ini dapat disebabkan selain sumber mata pencaharian yang
berbeda juga bergantung kepada besar kecilnya skala usaha.
Oleh karena persentase pendapatan masyarakat Pulau Kambuno yang
tertinggi adalah di bawah Rp. 500.000, maka persentase pengeluaran
tertinggi juga paling tinggi di bawah Rp 500.000 yaitu 75,86%, selanjutnya
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 31
antara setengah sampai satu juta rupiah (13,8%) dan paling rendah antara
1,6 sampai 2 juta rupiah (10,34%). Apabila dihubungkan antara jumlah
pendapatan dengan pengeluaran mereka, ternyata apa yang mereka peroleh
dari hasil pekerjaannya tidak semua dibelanjakan, bahkan dari sini juga
terlihat bahwa mereka cukup pintar dalam mengelola keuangannya karena
tidak ada yang mengeluarkan uang lebih tinggi dari pendapatannya.
Tabel 11. Persentase Rata-rata Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Masyarakat di Pulau Kambuno
Pendapatan % Pengeluaran %
< Rp 500.000 Rp 0,5 – Rp 1 Juta
Rp 1,1 – Rp 1,5 Juta Rp 1,6 – Rp 2 Juta
> Rp 2 Juta
46,55 20,69 6,90
15,52 10,34
< Rp 500.000 Rp 0,5 – Rp 1 Juta
Rp 1,1 – Rp 1,5 Juta Rp 1,6 – Rp 2 Juta
> Rp 2 Juta
75,86 13,8 10,34 0,00 0,00
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001
4.2.2.3. Tabungan dan Cara Mengatasi Kesulitan Keuangan
Kebiasaan menabung bagi masyarakat Pulau Kambuno masih
tergolong rendah dibandingkan dengan lokasi survei lainnya. Hal ini
mengindikasikan bahwa masyarakat pulau ini tergolong masyarakat yang
konsumtif. Hanya 36,21% responden menjawab mempunyai tabungan dan
63,79% responden lainnya tidak memiliki tabungan. Sebanyak 55,17% dari
responden yang memiliki tabungan menabung di bank, sedangkan sisanya
ditabung dalam bentuk uang dan emas. Untuk jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 12.
Tabel 12. Persentase Pemilikan Tabungan dan Bentuk Tabungan
Pemilikan Tabungan % Bentuk Tabungan %
Ya 36,21 Bank 55,17 Tidak 63,79 Emas 15,52
Uang 29,31 Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja
Coremap Sul-Sel, 2001
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 32
Sebanyak 65,52% responden menjawab pernah mengalami kesulitan
dalam hal keuangan, baik untuk modal produksi maupun kebutuhan sehari-
harinya. Selanjutnya untuk mengatasi kesulitan keuangan tersebut 51,72%
responden meminjam pada keluarganya dan sisanya meminjam di bank,
ponggawa, pinjaman tanpa bunga dan menjual barang simpanan. Data
lengkap tentang hal ini disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Persentase Mengatasi Kesulitan Keuangan
Pernah Kesulitan % Cara Mengatasi kesulitan %
Ya 65,52 Pinjam di bank 12,07 Tidak 34,48 Pinjam di keluarga 51,72
Pinjam tanpa bunga 13,79 Pinjam di ponggawa 17,25 Jual simpanan 5,17
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001
4.2.3. Keadaan Sosial Ekonomi 4.2.3.1. Perkembangan Umum Usaha Ekonomi Masyarakat
Sebagai pulau yang cukup besar dibandingkan dengan pulau-pulau
lainnya di Pulau-pulau Sembilan maka akses ekonomi masyarakat di pulau
ini tergolong cukup tinggi. Sebagian diantara penduduknya berperan
sebagai ponggawa bagi nelayan-nelayan lainnya di wilayah kepulauan
Sembilan di luar Pulau Kambuno. Secara umum, usaha ekonomi
masyarakat Pulau Kambuno cukup meningkat dari tahun ke tahun, meskipun
peningkatan yang diperlihatkan tidak terlalu banyak. Peningkatan ini dapat
dilihat dari jumlah armada penangkap ikan yang meningkat.
Masalah pendidikan merupakan faktor yang perlu ditingkatkan, karena
rata-rata pendidikan mereka hanya sampai sekolah dasar. Dengan tingkat
pendidikan yang masih rendah mereka tidak bisa berpikir lebih jauh ke
depan dalam upaya meningkatkan taraf hidup mereka.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 33
4.2.3.2. Keterkaitan Kegiatan dan Keberadaan Terumbu Karang
Pemahaman masyarakat Pulau Kambuno tentang terumbu karang
masih terbatas pada pengertian umum, sehingga pada umumnya belum bisa
menghubungkan keterkaitan antara terumbu karang dengan kegiatan usaha
mereka menangkap ikan. Meskipun demikian, sebagian kecil diantara
mereka (3,45%) pernah mengikuti pelatihan tentang terumbu karang.
Sebagai nelayan umumnya menggunakan alat selam (kompressor)
dalam kegiatan pencarian teripang, Tetapi tidak sedikit yang menggunakan
peralatan ini untuk mencari ikan hidup, yang dikombinasikan dengan bahan
bius, sehingga kegiatan tersebut potensial untuk merusak karang.
4.2.3.3. Penguasaan Aset-aset Produksi dan Non Produksi
Berdasarkan data tentang aset-aset produksi yang dimiliki oleh
masyarakat Pulau Kambuno menunjukkan bahwa 84,5% dari responden
telah memiliki kapal/perahu, dan 15,50% memiliki perahu layar. Penguasaan
aset-aset produksi khususnya alat tangkap juga disurvei. Data yang
diperoleh menunjukkan 37,93% dari responden memiliki alat kompresor,
25,86% memiliki alat nambe dan 24,14% memiliki alat pancing serta sisanya
berupa karamba jaring apung (KJA), bagang dan bahan pembius. Data
lengkap tentang hal ini disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Penguasaan Aset Produksi di Lokasi Pulau Kambuno
Armada yang dimiliki % Kepemilikan alat produksi % Kapal/perahu 84,50 Bagang 3,45 Perahu layar 15.50 Pancing 24,14
Kompresor 37,93 Jaring nambe 25,86 KJA 5,17
Bius 3,45 Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja
Coremap Sul-Sel, 2001
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 34
Adapun aset non produksi dapat dilihat dari kepemilikan tanah,
simpanan uang di bank dan simpanan di rumah berupa emas. Meskipun
aset non produksi tidak produktif akan tetapi dapat mereka pergunakan
sewaktu-waktu jika sangat mendesak.
4.3. Intensitas dan Kondisi Sumberdaya Terumbu Karang
4.3.1. Pandangan dan Sistem Pengetahuan Ekologis
4.3.1.1. Sistem Pengetahuan Tradisional
Sistem pengetahuan tradisional masyarakat nelayan Pulau Kambuno
dapat dikategorikan dalam tiga kategori yaitu sistem pengetahuan mengenai
ruang/tempat berupa pengetahuan tentang pulau, lokasi-lokasi
penangkapan, dan kategorisasi ruang; sistem pengetahuan nelayan
mengenai laut dan isinya dan; sistem pengetahuan pelayaran.
* Pengetahuan Berkenaan Dengan Ruang/Tempat
Masyarakat nelayan Pulau-pulau Sembilan mengakui bahwa laut
memiliki kandungan sumberdaya hayati dan non hayati yang beragam, laut
dipandang sebagai sumber segala aktivitas pencaharian hidup. Masyarakat
nelayan Pulau Kambuno memiliki sistem pengkategorian ruang/tempat
di laut seperti karang, taka dan gosong. Karang bagi nelayan dipahami
sebagai tempat tinggal, tempat mencari makan, tempat bertelur dan tempat
berlindung bagi ikan, layaknya “rumah” bagi manusia. Pemahaman ini
terlihat dari hasil survei yang dilakukan di Pulau Kambuno tentang manfaat
terumbu karang (Tabel 15). Pada berbagai karang tersebut hidup berbagai
jenis ikan yang dalam bahasa lokal (Bahasa Bugis) disebut dengan “bale
batu” atau ikan karang.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 35
Tabel 15. Persentase Pengetahuan Masyarakat Pulau Kambuno Tentang Manfaat Terumbu Karang
Manfaat Terumbu Karang Persentase (%) Rumah Ikan 18,97 Tempat Ikan Hidup 31,02 Perlindungan Ikan 12,07 Tempat Menangkap Ikan 3,45 Perhiasan 3,45 Bahan Bangunan 18,97 Tidak Tahu 12,07
Sumber : Hasil Analisis Data Primer Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja Coremap Sulsel , 2001
Wilayah di mana terdapat gugusan karang dinamakan “taka”. Konsep
“taka” merupakan salah satu unsur inti dalam sistem kategorisasi
pengetahuan nelayan tentang lingkungan lautnya. Nelayan Pulau Kambuno
mengenali semua taka yang berada di sekitar kawasan tempat tinggal
mereka. Taka-taka tersebut memiliki nama-nama tersendiri. Selain taka yang
berada dalam kawasan Pulau-pulau Sembilan, mereka juga mengenal
dengan baik lokasi-lokasi taka yang berada di luar kawasan mereka seperti
taka yang ada di Sulawesi Tenggara, Maluku, Irian, Nusa Tenggara Timur
bahkan taka yang berada di Australia. Pengetahuan tersebut diperoleh
nelayan dari pengalaman melaut mereka dan dari cerita-cerita serta
pengetahuan yang mereka peroleh secara turun temurun dari generasi
terdahulu. Hasil survei daerah penangkapan ikan masyarakat nelayan Pulau
Kambuno disajikan pada Tabel 18.
* Pengetahuan Berkenaan Dengan Laut dan Isinya
Hal yang dinilai aneh adalah bahwa pengetahuan nelayan Pulau
Kambuno mengenai fungsi karang bagi ikan, seperti yang telah diungkapkan
di atas, tidak sepadan dengan pengetahuan mereka mengenai jenis-jenis
karang. Hanya sedikit sekali yang mengetahui jenis-jenis karang, kendatipun
mereka mengenal dengan baik letak dan nama lokasi karang di perairan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 36
Pulau-pulau Sembilan dan bahkan daerah lain diluar kawasan tersebut.
Pada karang tersebut hidup berbagai jenis biota yang berasosiasi
dengannya, seperti berbagai jenis ikan dan biota non ikan (teripang, kima,
lola). Dalam pandangan nelayan, terdapat berbagai jenis ikan karang yang
dinilai memiliki nilai ekonomi yang tinggi seperti sunu, kerapu, napoleon,
kerapu, lencam dan lobster (Tabel 16).
Jenis ikan-ikan permukaan juga merupakan komoditi hasil laut yang
diusahakan oleh nelayan Pulau Kambuno, terutama nelayan pancing tangan
dan nelayan bagang. Jenis ikan permukaan yang diusahakan tersebut
antara lain ikan Teri, banjara, jajala dan Pepetek (Tabel 16). Menurut
pengetahuan nelayan setempat, jenis-jenis ikan tersebut hidup dalam
kelompok-kelompok besar pada lokasi-lokasi perairan dalam. Berbeda
dengan ikan-ikan karang yang oleh nelayan setempat diyakini tidak
bermigrasi, ikan-ikan permukaan memiliki mobilitas yang tinggi. Dalam
proses migrasi tersebut, ikan-ikan permukaan menjelajahi wilayah-wilayah
perairan lain, dan tidak hanya berputar di sekitar Teluk Bone.
Musim penangkapan ikan-ikan permukaan di kawasan Pulau Kambuno
terjadi pada musim Barat dimana pada waktu yang sama nelayan-nelayan
dari luar masuk ke kawasan Pulau-pulau Sembilan melakukan penangkapan.
Adapun ikan karang, diyakini oleh nelayan tidak disebabkan oleh siklus
migrasi biota tersebut, melainkan disebabkan oleh pergerakan ikan-ikan
tersebut dari daerah dangkal (taka) ke daerah yang lebih dalam.
Perpindahan tersebut dipengaruhi oleh siklus hidup biota tersebut, dimana
masyarakat nelayan percaya bahwa pada bulan Oktober hingga bulan April
merupakan saat dimana ikan-ikan karang, utamanya kerapu dan sunu, mulai
bertelur di sekitar karang, dan saat itulah dilakukan penangkapan.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 37
* Pengetahuan Berkenaan Dengan Pelayaran
Perangkat pengetahuan nelayan Pulau-pulau Sembilan berkenaan
dengan pelayaran difungsikan sebagai suatu cara memperoleh keselamatan
dalam pelayaran. Pengetahuan pelayaran ini umumnya dipengaruhi oleh
agama atau kepercayaan yang dianut penduduk setempat, yang digunakan
berdasarkan pengalaman empirik yang mereka hadapi selama melakukan
pelayaran.
Dapat dikatakan 100% penduduk Pulau-pulau Sembilan merupakan
masyarakat yang menganut agama Islam. Namun dalam hal pelayaran,
nampaknya kepercayaan tradisional peninggalan nenek moyang mereka
masih mewarnai kehidupan nelayan. Menurut informasi dari penduduk
nelayan setempat, terutama para penyelam, bahwa mereka sering melihat
mesjid, seorang haji atau wanita cantik di dasar laut. Karena itu, pada ujung
kapal mereka dipasang ijuk yang dipercaya mampu menangkal gangguan
mahluk-mahluk halus tersebut. Demikian pula dengan kepercayaan bahwa
setiap lokasi karang memiliki penunggu halus, sehingga bila akan
membuang sauh, terlebih dahulu mereka memberi salam. Kepercayaan
lainnya adalah bahwa rejeki berupa hasil tangkapan yang melimpah hanya
dapat diperoleh jika mereka berangkat pada waktu yang tepat, yaitu ketika
air laut pasang.
Kepercayaan yang bersumber dari agama Islam yang ditemukan
di Pulau Kambuno adalah kepercayaan bahwa pada hari Jumat, bila
seseorang berniat berangkat mencari ikan maka sebaiknya dilakukan setelah
sholat Jumat dilaksanakan. Kebiasaan ini juga banyak ditemukan di daerah
lain di Sulawesi Selatan, dimana pada hari Jumat, waktu pagi digunakan
nelayan untuk memperbaiki dan membersihkan kapal mereka, adapun
aktivitas penangkapan dilakukan setelah Sholat Jumat dilaksanakan.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 38
Berkenaan dengan musim, masyarakat nelayan Pulau Kambuno
mengenal dua musim yaitu Musim Timur yang berlangsung pada bulan April
hingga bulan September dan Musim Barat (Oktober hingga Maret). Berbeda
dengan aktivitas nelayan di daerah lain yang sangat terpengaruh oleh
musim, aktivitas nelayan Pulau Kambuno tidak banyak terpengaruh oleh
perubahan musim mengingat kondisi geografis kepulauan ini yang terletak
di Teluk Bone yang terlindung.
4.3.1.2. Pandangan Tentang Hak Atas Laut
Dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut,
nelayan Pulau-pulau Sembilan menganut pandangan, prinsip dan memiliki
sistem pengetahuan antara lain berupa pandangan tentang hak atas laut dan
sumberdaya yang dikandungnya. Dari pandangan tersebut muncul tiga
bentuk secara evolusional, yaitu (1) pandangan yang melihat dan memahami
laut serta isinya sebagai milik semua, (2) adanya aturan adat yang
mensyahkan dan mengatur pemilikan secara bersama dan (3) penerapan
aturan formal.
Masyarakat nelayan Pulau Kambuno memandang laut sebagai milik
semua, dengan kata lain laut dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang ingin
mencari penghidupan. Hasil survei yang dilakukan pada masyarakat di pulau
ini diperoleh pendapat 100% yang mengatakan bahwa laut dan segala isinya
merupakan milik bersama. Pandangan ini merupakan suatu bentuk umum
yang dianut oleh semua nelayan di Sulawesi Selatan. Dengan demikian,
mekanisme kontrol terhadap wilayah perairan dapat dilakukan oleh semua
orang yang berkepentingan dengan laut.
Dalam bentuk perilaku, implikasi perilaku dari pandangan ini dapat
dilihat dari kesediaan mereka menerima nelayan pendatang dari luar seperti
dari Takalar, Pulau Barrang Lompo dan pulau-pulau lainnya yang terletak
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 39
di Selat Makassar, untuk menangkap ikan di kawasan Pulau Kambuno.
Demikian pula dengan aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan lokal yang
sejak tahun 1970-an mulai melakukan penangkapan di daerah lain, terutama
untuk komoditi teripang, seperti daerah perairan Taka Bonerate (Selayar),
Sulawesi Tenggara, Maluku, Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur bahkan
hingga Australia.
Saat ini terdapat kecenderungan bahwa pandangan “laut milik semua”
mulai berubah akibat adanya berbagai peraturan pemerintah seperti
peraturan pelarangan melakukan pengrusakan daerah karang dalam proses
penangkapan, pelarangan penggunaan bahan-bahan destruktif dan undang-
undang Otoda. Hal ini sejalan dengan hasil survei yang dilakukan pada
masyarakat di Pulau Kambuno diperoleh jawaban 94,80% yang mengatakan
setuju terhadap pelarangan pengoperasian alat yang merusak sumbedaya
laut, sedangkan yang tidak setuju tentang hal tersebut hanya 5,17%. Dari
hasil wawancara beberapa tokoh masyarakat berpendapat bahwa dalam
pengelolaan laut idealnya dilakukan sama dengan pengelolaan kebun yang
ada di darat. Setiap penduduk pulau mempunyai hak dan kewajiban untuk
mengelola wilayah laut tersebut supaya tetap terhindar dari usaha
pengrusakan. Hal lain yaitu adanya berbagai kejadian pengusiran nelayan
yang berasal dari luar dengan alasan bahwa daerah tersebut merupakan
milik masyarakat Sinjai. Meskipun alasan yang dikemukakan nelayan
setempat atas kejadian tersebut adalah alasan persaingan jumlah hasil
tangkapan, namun kejadian tersebut menyiratkan adanya mekanisme
mempertahankan wilayah penangkapan mereka.
Sedangkan penguasaan wilayah laut berdasarkan aturan formal
didasarkan pada peraturan pemerintah yang mengatur penggunaan atau
pemanfaatan sumberdaya alam laut. Aturan-aturan tersebut berupa
pelarangan penggunaan beberapa alat tangkap destruktif seperti bom, potas,
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 40
dan bubu, serta perizinan untuk melakukan penangkapan di dalam suatu
kawasan.
Peraturan formal dapat dikeluarkan oleh pemerintah setempat dengan
mengacu pada Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang lebih
tinggi. Sangat disayangkan oleh nelayan bahwa banyaknya pihak yang
memiliki hak untuk mengeluarkan peraturan, menyebabkan banyaknya
peraturan yang tumpang tindih. Demikian pula dengan pengawasan
terhadap wilayah laut dan sanksi yang diberikan oleh aparat keamanan laut
sangat lemah. Bahkan disinyalir oleh nelayan bahwa ada “permainan yang
terjadi antara nelayan dan pihak keamanan”, menyebabkan terjadinya kasus
seperti yang terjadi bulan Oktober 2000. Pada kasus tersebut, penghakiman
secara massal tersebut terjadi karena nelayan sudah tidak lagi mempercayai
aparat pemerintah dan aparat keamanan yang secara bersama-sama
memiliki fungsi sebagai aparat penegak hukum. Dalam kasus tersebut,
nelayan Buton yang datang untuk mengeksploitasi kerang mata tujuh
(Abalone) ditangkap dan dibawa oleh warga ke pihak kecamatan, Bupati dan
DPRD II Sinjai
Demikian pula dengan beberapa kasus penggunaan beberapa alat
tangkap destruktif yang diakui oleh nelayan setempat juga dilakukan oleh
beberapa nelayan di Pulau Kambuno. Hasil survei yang dilakukan di pulau ini
sebenarnya sudah banyak nelayan yang mengetahui tentang aturan
pelarangan penggunaan alat tangkap destruktif tersebut. Seperti diperoleh
jawaban 65,52% mengatakan mengetahui adanya peraturan pemerintah
yang melarang penggunaan bom dalam penangkapan ikan dan yang tidak
mengetahui sebanyak 34,48%. Sedangkan pelarangan penggunaan potas
sebanyak 55,17% yang mengetahui dan yang tidak mengetahui sebanyak
44,83%. Dalam kasus-kasus semacam ini, penegakan aturan formal terlihat
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 41
sangat lemah, bahkan lebih terkesan bahwa peraturan tersebut hanya
berlaku bagi nelayan yang tidak menggunakan alat serupa.
4.3.1.3. Pengetahuan Tentang Jenis-jenis Biota Laut Bernilai Ekonomi Tinggi
Di Pulau Kambuno dalam situasi sekarang, daftar pengetahuan
nelayan bukan hanya memuat sedemikian banyaknya jenis biota yang
sekedar dapat dikomsumsi dan dipertukarkan, melainkan yang terpenting
adalah pengetahuan tentang jenis-jenis biota yang bernilai ekonomi tinggi
diantara jenis-jenis biota lainnya.
Pengetahuan yang selektif seperti ini dipengaruhi oleh peningkatan dan
perubahan pola makan konsumen, peningkatan permintaan dan harga
pemasaran yang melibatkan stakeholders secara kompleks, ketergantungan
sepenuhnya pihak nelayan pada situasi pasar dan aspek pengelolaan
informasi oleh nelayan mulai meningkat.
Jenis-jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi menurut nelayan
Pulau Kambuno antara lain untuk jenis ikan seperti sunu, langkoe, kerapu,
lencam, laccukang dan ekor kuning. Jenis ikan yang mahal adalah ikan
kerapu khususnya kerapu tikus. Sedangkan untuk jenis non ikan yang
bernilai ekonomis tinggi antara lain cumi-cumi, kerang-kerangan,
udang/lobster, penyu dan teripang. Jenis biota non ikan ini, terutama
teripang, telah dieksploitasi oleh masyarakat nelayan sejak lama.
Harga teripang bergantung kepada jenisnya, teripang yang paling
mahal adalah jenis teripang Susu (Koro) dengan harga Rp 100.000/ekor
(berat diatas 1,7 kg) dan termurah adalah jenis teripang Cera dan Donga
dengan harga Rp 5.000/ekor. Sedangkan untuk teripang Pandang dan Batu
masing-masing dengan harga Rp 20.000/ekor dan Rp 15.000/ekor.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 42
Ukuran lobster yang ditangkap lebih besar dari 0.5 kg, karena yang
lebih kecil tidak ada pembeli. Harga lobster juga bervariasi bergantung
kepada berat atau size lobster tersebut. Untuk size A dengan berat di atas
0,5 kg harganya Rp 90.000, size B dengan berat 1 – 5 ons harganya
Rp 70.000 dan untuk berat di bawah 1 ons hargarnya Rp 20.000. Harga
lobster tersebut merupakan harga dari nelayan ke juragan, sedangkan harga
dari juragan ke pengekspor, masing-masing size dinaikkan harganya
Rp 10.000.
4.3.1.4. Pandangan Tentang Kelangkaan Sumberdaya dan Prinsip- prinsip Konservasi
Di Pulau Kambuno, hampir semua responden menganggap bahwa
telah terjadi penurunan jumlah populasi biota bernilai ekonomi dalam semua
jenis dalam perairan sekitar Pulau Kambuno. Hasil survei yang dilakukan
terhadap nelayan Pulau Kambuno tentang kondisi hasil tangkapan di
perairan Pulau-pulau Sembilan didapatkan 67,39% yang mengatakan hasil
tangkapan menurun, 6,52% mengatakan meningkat, 19,57% mengatakan
tetap dan yang tidak tahu sebanyak 6,52%.
Jenis ikan terutama ikan karang yang mengalami panurunan seperti
sunu, laccukang, dan kerapu. Sedangkan dari jenis biota non ikan yang
mengalami panurunan seperti teripang, dan udang/lobster. Sampai
sekarang ini biota-biota tersebut sudah sangat jarang ditemukan di kawasan
Pulau-pulau Sembilan. Hasil wawancara terhadap nelayan teripang pada
survei ini dilakukan mengatakan bahwa untuk menangkap satu ekor teripang
saja pada saat ini sudah sangat sulit mendapatkannya, apalagi untuk
mendapatkan lebih dari itu.
Panurunan populasi ikan karang dalam berbagai jenis, baru terjadi
selama kurang lebih 10 tahun terakhir, yaitu sejak permintaan dan harga
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 43
ikan-ikan karang hidup meningkat. Namun secara umum panurunan ini
terutama disebabkan oleh penggunaan potas oleh sebagian nelayan yang
tidak bertanggung jawab. Hasil survei yang dilakukan di pulau ini tentang
penyebab kelangkaan sumberdaya tersebut adalah 8,70% yang mengatakan
penyebabnya adalah bom, bius 6,52%, nelayan 39,14%, musim 13,04%,
rusaknya taka (terumbu karang) 13,04%, ikan kurang 6,52% dan yang tidak
tahu 13,04%. Akibat penggunaan racun, bukan hanya membunuh ikan-ikan
kecil dari semua jenis, tetapi juga merusak/mematikan terumbu karang.
Kerusakan terumbu karang yang sebagian besar diakibatkan oleh
penggunaan bahan peledak dan potas telah mengenai terumbu karang di
hampir semua taka-taka di wilayah perairan Pulau-pulau Sembilan.
Kesadaran masyarakat nelayan Pulau Kambuno terhadap prinsip-
prinsip konservasi dan pengelolaan sumberdaya laut, nampaknya masih
sangat sulit untuk dilaksanakan, karena pada kenyataannya motivasi
ekonomi nelayan bahkan lebih dari sekedar memperbandingkan dan
menyeimbangkan tangkapan atau pendapatan sekarang dengan yang lalu.
Dalam keadaan tangkapan ikan kurang, nelayan mempunyai prinsip bahwa
apapun yang ditemukan di laut yang diperkirakan mempunyai nilai ekonomi,
semuanya dipungut dan dimasukkan ke dalam perahunya. Biasanya yang
memegang prinsip ini adalah penyelam teripang dan lobster. Apabila
mereka pulang dengan hasil yang minim, biasanya mereka melakukan
pemboman ikan di sepanjang perjalanan pulang mereka. 4.3.2. Jenis dan Intensitas Pemanfaatan Sumberdaya
Jenis sumberdaya laut yang dimanfaatkan oleh nelayan Pulau
Kambuno adalah teripang, ikan karang (sunu, kerapu, dan napoleon), dan
lobster. Sumberdaya laut lainnya yang banyak dimanfaatkan oleh
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 44
masyarakat pulau tersebut adalah batu karang yang digunakan untuk bahan
bangunan juga digunakan sebagai dinding tanggul di pantai.
Berdasarkan hasil survei, persentase jenis sumberdaya laut yang
banyak dimanfaatkan oleh nelayan pulau ini adalah teripang (28,87%).
Tingginya persentase ini disebabkan karena umumnya nelayan
di pulau ini berprofesi sebagai penyelam. Persentase jenis sumberdaya laut
yang dimanfaatkan di Pulau Kambuno selengkapnya disajikan pada Tabel
16.
Tabel 16. Persentase Sumberdaya Laut (Ikan dan Non Ikan) yang Tertangkap di Pulau Kambuno.
Jenis sumberdaya laut Persentase (%)
Teripang 28,87 Pepetek 11,86 Lobster 10,17 Sunu 8,47 Kerapu 6,78 Teri 5,08 Ikan Merah 5,08 Pepetek 3,39 Lencam 3,3 Tiram Mutiara 3,39 Jajala / selar kuning 1,69 Napoleon 1,69 Kembung 1,69 Udang 1,69 Sarisi / teri nasi 1,69 Penyu 1,69 Ikan batu 1,69 Tenggiri 1,69
Sumber : Hasil Analisis Data Primer Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja Coremap Sulsel , 2001
4.3.2.1. Teknologi Pemanfaatan
Pada umumnya nelayan di pulau ini sebagai penyelam teripang dan
alat produksi yang digunakan seperti bagang, pancing ulur, jaring nambe,
karamba jaring apung, dan penggunaan potas (Tabel 17). Persentase
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 45
tertinggi alat produksi yang digunakan oleh nelayan di pulau ini adalah alat
selam, yaitu sebesar 38,24 % dan yang terendah adalah bagang dan potas.
Tabel 17. Jenis Alat Tangkap yang Terdapat di Pulau Kambuno Alat Tangkap Persentase (%)
Kompressor / alat selam 38,24 Jaring nambe 26,47 Pancing ulur 23,53 Kepemilikan Alat (Keramba Jaring Apung) 5,88 Bagang 2,94 Bius / potas 2,94
Sumber : Hasil Analisis Data Primer Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja Coremap Sulsel , 2001
4.3.2.2. Metode Penangkapan
* Kegiatan Penyelaman (Kompresor)
Cara penangkapan penyelam yaitu menyelam di perairan dangkal baik
di area terumbu karang maupun di lokasi-lokasi yang dasarnya berpasir,
berlumpur, dan berbatu-batu, dimana terdapat biota yang dicarinya seperti
teripang, lola, kima, siput, tiram mutiara, dan lainnya. Biota tersebut bukanlah
spesies liar melainkan biota yang relatif diam, setelah ditemukan tinggal
dipungut. Kegiatan penyelaman dilakukan secara bergantian dan biasanya
sekali menyelam terdiri dari dua orang.
* Pancing
Menurut jenis tangkapannya, alat pancing dapat dikelompokkan yaitu
pancing cakalang, pancing ikan karang atau biasa digunakan adalah pancing
ulur yang diberi umpan hidup dan pancing kedo-kedo yang ditarik di
belakang kapal dan menggunakan umpan buatan, pancing rinta, yaitu
untaian beberapa kail dengan umpan buatan, dan pancing cumi-cumi.
Pancing cakalang dioperasikan pada perairan yang dalam dengan
menggunakan kapal khusus yang biasa dinamakan oleh masyarakat
setempat adalah kapal perikanan, pancing ikan karang sebagian besar
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 46
dioperasikan di Taka-taka (area terumbu karang) jenis ikan yang
dikhususkan ditangkap adalah sunu dan kerapu, pancing rinta digunakan
untuk menangkap ikan-ikan selar bentong, kembung, layang dan jenis-jenis
ikan pelagis lainnya. Sedangkan pancing cumi-cumi dioperasikan
di taka-taka yang relatif dangkal airnya, dengan menggunakan umpan
buatan (artificial) yang terbuat dari plastik.
Melihat aktifitas kerja alat tangkap pancing tampak bahwa perilaku
yang inti dalam kegiatan memancing ada 3 yaitu memikat biota buruan
dengan aroma umpan alami yang diam, dengan gerakan umpan hidup dan
dengan umpan buatan yang digerakkan. Ketiga cara tersebut dapat
digunakan untuk menangkap ikan kerapu.
* Bagang
Bagang dapat dikatakan merupakan hasil penemuan asli masyarakat
nelayan Sinjai. Dalam proses penemuannya, terdapat 4 tahap evolusi yang
dilalui sebelum bagang menemukan bentuknya sekarang ini. Tahap-tahap
tersebut adalah bagang tancap, bagang rakit, bagang perahu dengan
menggunakan lampu petromaks, bagang perahu motor dengan lampu
petromaks, dan terakhir bagang perahu motor dengan lampu listrik.
Pada tahap pertama, menurut informasi dari nelayan setempat, bagang
hanyalah merupakan alat tangkap yang terdiri atas beberapa bilah bambu.
Alat ini digunakan oleh kaum wanita untuk menangkap ikan di sepanjang
pantai untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bagang pertama ini merupakan
bagang tancap yang terbuat dari 4 buah tiang bambu yang pada bagian
bawahnya diberi jaring yang dapat diangkat bila ikan-ikan terlihat masuk.
Pada perkembangan selanjutnya, bagang tancap ini kemudian ditiru oleh
nelayan (kaum pria) dan dimodivikasi untuk dapat dipindah-pindahkan
dengan cepat. Bagang tancap tersebut kemudian dipasang pada rakit yang
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 47
juga terbuat dari bambu. Bagang tersebut kemudian disebut dengan bagang
rakit.
Melihat bahwa hasil yang dapat diperoleh lebih banyak lagi bila alat
tersebut digunakan di laut dalam, maka bagang tersebut dipadukan dengan
perahu dengan menggunakan petromaks sebagai alat bantu menarik ikan
mendekati jaring yang diletakkan di sekeliling perahu. Setelah dikenalnya
mesin, maka perahu-perahu bagang yang sebelumnya digerakkan oleh layar
kemudian diberi mesin. Pada akhir-akhir ini, perahu bagang yang
menggunakan mesin untuk menggerakkan perahu menuju ke lokasi
penangkapan, juga digunakan sebagai pembangkit listrik berkekuatan 5000
watt untuk menyalakan lampu. Bagang listrik ini menggunakan 20 - 30 buah
balon lampu.
Disinyalir oleh penduduk setempat bahwa pabagang (sebutan yang
lazim digunakan untuk menyebut nelayan bagang), juga menggunakan bom
dalam melakukan operasi penangkapan untuk menghindari ikan lepas dari
alat tangkap.
* Jaring nambe
Jaring ini digunakan di laut dangkal pada malam hari, dan menurut
beberapa nelayan biasanya digunakan dekat dengan karang karena itu
jaring ini sering tersangkut. Jaring nambe dioperasikan dengan
menggunakan perahu jolloro (sampan bermesin) dengan jumlah awak
sebanyak 3 hingga 5 orang nelayan. Prinsip kerja jaring ini hampir sama
dengan penggunaan gae (purse seine) yang menggunakan lampu. Panjang
jaring nambe ini adalah 200 m dengan lebar 2 m.
Jenis ikan yang tertangkap adalah ikan lencam, “sinrili”, dan beberapa
jenis ikan karang lainnya maupun ikan pelagis.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 48
* Penggunaan Obat Bius Penggunaan potas dalam upaya penangkapan ikan merupakan sarana
tangkap ilegal karena menyebabkan sumberdaya dan ekosistem terutama
ekosistem terumbu karang menjadi rusak. Cara pengoperasian potas yaitu
pengguna mengamati ikan-ikan yang menjadi sasaran, lalu mengikutinya
dengan perahu atau sekoci sambil membawa penyemprot yang berisi racun.
Pada saat ikan bersembunyi di balik karang, lalu penyemprotan dilakukan
dengan mengikuti arah arus. Tujuan penggunaan potas adalah untuk
memingsankan ikan agar lebih mudah tertangkap hidup-hidup dan setelah
ikan pingsan kemudian diambil dan disegarkan kembali dengan memberikan
air baru di atas kapal.
4.3.2.3. Lokasi Penangkapan
Lokasi penangkapan nelayan di Pulau Kambuno sangat ditentukan oleh
alat tangkap dan kemampuan kapal yang mereka gunakan. Lokasi
penangkapan yang menjadi tujuan antara lain Teluk Bone, Kabupaten
Selayar, Timor Kupang/Lombok, Sorong, Maluku. Selain dari daerah di atas,
nelayan juga melakukan penangkapan di sekitar taka yang terdapat
di sebelah Timur Kepulauan Sembilan. Hal yang menarik yang didapatkan
dari penyelam teripang adalah mereka juga melakukan penyelaman
di perairan Australia, walaupun di dalam kuisioner tidak di dapatkan data
tersebut. Hal ini diakibatkan bahwa para penyelam tersebut takut untuk
mengutarakan secara terbuka.
Daerah penangkapan yang memiliki persentase tertinggi yang dijadikan
daerah penangkapan adalah taka di sekitar Pulau-pulau Sembilan yaitu
sebesar 56,52%, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 18.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 49
Tabel 18. Persentase Daerah Penangkapan Nelayan Pulau Kambuno.
Daerah Penangkapan Persentase (%) Pulau-Pulau Sembilan 56,52 Kupang/Lombok 17,39 S o r o n g 13,05 Teluk Bone 8,70 Maluku 2,17 Selayar 2,17
Sumber : Hasil Analisis Data Primer Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja Coremap Sulsel , 2001
4.3.2.4. Waktu dan Musim Penangkapan
Waktu penangkapan sangat bergantung pada musim penangkapan,
jenis alat tangkap, dan lokasi penangkapan. Secara umum puncak musim
penangkapan di pulau ini antara bulan Oktober hingga April atau bertepatan
dengan musim angin barat. Pada hari-hari biasa di luar puncak musim
penangkapan, nelayan di pulau ini juga tetap melakukan penangkapan
disekitar taka-taka Kepulauan Sembilan. Waktu atau lama penangkapan
bervariasi antara kurang dari satu minggu hingga diatas empat minggu.
Waktu/lama penangkapan nelayan Pulau Kambuno kurang dari dua
minggu memiliki persentase tertinggi sebesar 73,91%. Persentase waktu
/lama penangkapan ikan disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Persentase Waktu/lama Penangkapan Nelayan Pulau Kambuno
Waktu/lama Penangkapan Persentase (%)
< 1 minggu 73,91 1 – 2 minggu 15,22 3 – 4 minggu 0,00 > 4 minggu 10,87
Sumber : Hasil Analisis Data Primer Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja Coremap Sulsel , 2001
Biaya operasional yang digunakan oleh para nelayan di Pulau
Kambuno sangat bervariasi antara satu alat dengan alat lainnya. Biaya
operasional ini sangat ditentukan oleh daerah penangkapan dan lama
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 50
operasi penangkapan dengan kisaran ± Rp. 500.000 - ± Rp.2.000.000.
Biaya operasional kurang dari Rp. 500.000 merupakan persentase biaya
operasional tertinggi (73,91%). Persentase biaya operasional penangkapan
dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Persentase Biaya Operasional Penangkapan Nelayan Pulau Kambuno.
Biaya Operasional (Rp) Persentase (%) < 500.000 73,91
500.000 – 1.000.000 15,22 > 2.000.000 6,52
1.600.000 – 2.000.000 4,35 1.100.000 – 1.500.000 0,00
Sumber : Hasil Analisis Data Primer Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja Coremap Sulsel , 2001
4.3.3. Analisis Stakeholder 4.3.3.1. Stakeholder Internal
Organisasi ponggawa sawi merupakan salah satu stakeholder
internal di Pulau Kambuno, disamping kelompok nelayan lainnya seperti
nelayan bagang, nelayan pancing, penyelam teripang dan pengguna alat
tangkap destruktif (Bom dan bahan beracun), pedagang, ponggawa laut dan
darat dan tokoh masyarakat seperti Kepala Kelurahan, Imam Desa dan
penduduk kelurahan.
Stakeholder yang merusak terumbu karang pada Pulau Kambuno
adalah nelayan penangkap ikan yang menggunakan alat tangkap destruktif,
dan masyarakat yang mengambil terumbu karang sebagai bahan bangunan
dan tanggul penahan ombak.
Di Pulau Kambuno banyak terdapat karamba jaring apung yang
menampung biota laut terutama ikan kerapu/sunu. Untuk mendapatkan jenis
ikan ini dalam jumlah yang banyak tidak cukup dengan hanya menggunakan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 51
alat pancing sehingga untuk mendapatkan lebih banyak harus menggunakan
bahan kimia (potas) untuk membius ikan tersebut, kegiatan ini kebanyakan
dilakukan para penyelam. Dampak dari penggunaan bahan kimia ini adalah
merusak terumbu karang dalam waktu cukup lama bila dibandingkan dengan
kerusakan yang terjadi akibat pengunaan bom atau akibat jangkar yang
diturunkan pada saat kapal berlabuh. Mobilitas masyarakat yang tinggi di
Pulau Kambuno karena selain sebagai Kelurahan pulau-pulau Sembilan juga
sebagai pusat pedagang pengumpul (ponggawa darat) biota laut .
Sedangkan stakeholder yang menjaga kelestarian terumbu karang
secara langsung belum terlihat dengan jelas, namun secara tidak langsung
masih ada tokoh masyarakat yang berada di pulau ini yang selalu
mengingatkan para stakeholder agar selalu menjaga kelestarian terumbu
karang untuk generasi mendatang.
4.3.3.2. Organisasi dan Potensi Konflik
Organisasi nelayan yang secara khusus bergerak dalam pengelolaan
sumberdaya laut yang dapat ditemukan di Pulau Kambuno berupa organisasi
tradisional ponggawa-sawi. Organisasi lain yang pernah ada berupa
organisasi koperasi yang kemudian hilang dengan sendirinya akibat tidak
dapat bersaing dengan organisasi tradisional yang sudah mendarah daging
di kalangan masyarakat nelayan.
Organisasi ponggawa-sawi adalah organisasi kerja nelayan yang
terdapat di semua masyarakat nelayan. Ikatan di antara kedua unsur
pembentuknya yaitu ponggawa dan sawi seringkali diartikan oleh sebagai
suatu bentuk eksploitasi yang menjadi penyebab miskinnya sebagian besar
kaum nelayan. Namun organisasi bentukan pemerintah atau lembaga
non-pemerintah yang telah pernah ada belum mampu menggantikan ikatan
yang terbentuk diantara keduanya.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 52
Ada dua bentuk variasi peran dari organisasi nelayan ini yaitu bila
nelayan bekerja sendiri, maka hanya terdapat seorang ponggawa saja,
namun jika nelayan bekerja dalam bentuk kelompok, maka dikenal apa yang
disebut “ponggawa darat” yang seringkali disebut “ponggawa bonto” dan
“ponggawa laut”. Dengan adanya dua variasi status dalam organisasi yang
sama tersebut, maka juga berimplikasi pada munculnya peran-peran yang
dimainkan pelakunya berdasarkan status yang disandangnya. Konsep
“ponggawa” pada nelayan individual, setara dengan pemilik usaha berskala
kecil pada organisasi kerja modern, sedangkan konsep “ponggawa darat”
bila disetarakan dengan status yang ada pada usaha modern, maka status
tersebut setara dengan pemilik usaha atau direktur, sedangkan “ponggawa
laut” pada nelayan berkelompok setara dengan “manajer”.
Sawi merupakan istilah umum yang digunakan untuk menyebut
nelayan yang bekerja dalam bentuk kelompok, walaupun sebenarnya semua
nelayan yang secara fisik terlibat secara langsung dalam kegiatan
penangkapan adalah sawi, meskipun ia bekerja seorang diri seperti nelayan
pemancing.
Pola Patron-Client pada masyarakat nelayan seperti ponggawa-sawi
haruslah dilihat sebagai bentuk perusahaan perikanan berskala kecil.
Berdasarkan status yang disandangnya, ponggawa laut dan ponggawa darat
menjalankan perannya sebagai penanggung jawab dari keberlanjutan usaha
yang dimilikinya. Kewajiban yang dimiliki seorang ponggawa darat
berkenaan dengan keberlanjutan usahanya adalah:
1. Mengelola dan mengusahakan tersedianya modal secara terus
menerus;
2. Mengusahakan penjualan hasil tangkapan nelayan dengan yang dapat
menguntungkan kedua pihak (pada nelayan individu);
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 53
3. Memberikan informasi kepada nelayan tentang harga jual dan komoditi
yang memiliki tingkat harga yang tinggi;
4. Membiayai kerusakan alat produksi;
5. Memberikan perlindungan secara sosial dan ekonomi kepada tenaga
kerja yang dimilikinya.
Adapun ponggawa laut memiliki kewajiban mengorganisasikan modal,
alat produksi dan tenaga kerja dalam setiap operasi penangkapan. Selain itu
ponggawa laut juga berkewajiban menjaga alat-alat produksi agar tetap
dalam kondisi yang baik. Peran lainnya adalah:
1. Memimpin operasi penangkapan;
2. Menjual hasil tangkapan dan membagikan keuntungan tersebut kepada
para sawinya;
3. Merekrut anggota/sawi;
4. Menanggung resiko kerusakan alat produksi dan kerugian modal;
5. Menjaga keselamatan sawi dan alat produksi selama proses produksi
berlangsung.
Sawi berkewajiban melakukan aktivitas penangkapan ikan yang
kemudian diserahkan kepada pihak ponggawa/ponggawa darat/ponggawa
laut untuk menjualnya. Meskipun dari tingkat pendapatan,mereka jauh lebih
rendah dibandingkan penghasilan ponggawa dan resiko yang harus mereka
tanggung, namun seorang sawi tidak dapat lepas sama sekali dari
ponggawa. Ikatan tersebut tidak hanya merupakan ikatan kerja, namun juga
merupakan ikatan kekeluargaan berdasarkan kepercayaan, meskipun
mungkin di antara kedua pihak tidak terdapat pertalian darah.
Permasalahan yang dihadapi oleh juragan penyelaman adalah tenaga
kerja (sawi) yang semakin langka, karena apabila seorang sawi sudah
berpengalaman mereka cenderung menjadi juragan sehingga pada saat
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 54
melakukan operasi sebagian tenaga kerja di datangkan dari daerah
di tempat melakukan operasi.
Menurut beberapa juragan, lama peminjam modal dari ponggawa
bergantung kepada hasil yang diperoleh. Berdasarkan pengalaman berkisar
antara 3 – 10 tahun, namun jika juragan tidak berhasil melunasi utangnya,
maka dia terpaksa mengembalikan perahu dan mesin ke ponggawa.
4.4. Sistem pengolahan Pasca Panen dan Pemasaran Hasil
Sejarah pengolahan perikanan sudah dimulai sejak dahulu kala, ribuan
tahun sebelum masehi. Kapan mulainya orang mengenal cara pengolahan
hasil perikanan tidak diketahui dengan pasti. Namun bukti-bukti menunjukkan
bahwa ketika masih jaman batu pun telah diketahui adanya cara-cara
pengolahan hasil perikanan secara sederhana. Diduga pengeringan
merupakan metode pengawetan dan pengolahan hasil perikanan yang
pertama-tama dikerjakan orang. Bukti-bukti peninggalan tentang penggunaan
garam untuk pengawetan hasil perikanan banyak diketemukan di daerah
sepanjang Sungai Nil, Tigris, Indus, Eufrat, dan Sungai Kuning (cina). Cara
pengolahan hasil perikanan berkembang lebih maju, dengan dikenalnya
pengasapan. Seiring dengan perkembangan teknologi, maka pengolahan
hasil perikanan juga ikut berkembang. Hal itu ditandai dengan dimulainya
pengolahan dengan pendinginan, pembekuan, pengalengan, dan seterusnya.
Kegiatan pasca panen berawal sejak ikan dinaikkan ke kapal atau
ke darat, melalui penanganan di kapal, di darat, pengolahan, pengangkutan,
distribusi pada pemasaran perdagangan besar dan ecer, sampai diserahkan
kepada dan dikonsumsi oleh konsumen. Sedangkan istilah teknologi pasca
panen meliputi semua ilmu, metode, teknik, sistem, serta peralatan dan
prosedur yang terpakai dalam kegiatan-kegiatan pasca panen termasuk
teknologi pemasarannya.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 55
PRA-PANEN PASCA-PANEN k o n p s 1. Perikanan Pra Panen e 2. Pendaratan 3. Pengolahan 4. Pengepakan 5. Penyimpanan 6. Distribusi u n dan pengumpulan : a.pengangkutan m a - Pelelangan b.penyimpanan s n - Penjualan c.perdaganan bsr i
g d. pengeceran k
2. Perikanan Laut a Pelabuhan/ p Pendaratan a 3. Perikanan Per- n airan Umum Pendaratan; Pengumpulan 4. Perikanan Budidaya Gambar 4. Kegiatan Perikanan Sumber : Hasil Survei Sosial Ekonomi Masyarakat Pulau-Pulau Sembilan,
Pokja Coremap 2001
Sarana fisik dan non fisik yang diperlukan bagi pengembangan usaha
perikanan, khususnya pada tahap pasca panen adalah sebagai berikut::
a. Metode, teknik, sistem, prosedur; contoh: refrigerasi, teknik pendinginan,
sistem yang diterapkan, prosedur yang harus dituruti.
b. Peralatan dan Bahan; contoh: pabrik es, kamar dingin, gudang beku, air
bersih, garam, bahan pengepak, alat pengangkut.
c. Keahlian, bidang ilmu; contoh: biologi, perikanan, teknologi, pasca
panen/engineering, management, pemasaran, dan lain-lain.
d. Establishmen; contoh: kapal, pelabuhan, tempat pengumpulan, alat
angkut, gudang ikan, pasar ikan, dan lain-lain.
e. Penelitian dan pengembangan; contoh: laboratorium, pengetahuan,
keterampilan, dan lain-lain.
f. Pembinaan mutu; contoh: standardisasi, petunjuk cara penanganan,
pengolahan, distribusi, dan lain-lain (quality control).
Pemasaran telah didefinisikan dengan berbagai cara oleh berbagai
penulis, dan pada tulisan ini kami akan memilih defenisi pemasaran adalah
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 56
kebutuhan, keinginan dan permintaan
produk utilitas, nilai dan kepuasan
pasar
sebagai berikut : proses sosial dan manejerial dengan mana seseorang atau
kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui
penciptaan dan pertukaran produk dan nilai.
Gambar 5. Konsep-Konsep Inti pemasaran. Sumber : Hasil Survei Sosial Ekonomi Masyarakat Pulau-Pulau Sembilan,
Pokja Coremap 2001
4.4.1. Jenis dan metode Pengolahan Pasca Panen di Pulau Kambuno
Pulau Kambuno merupakan Ibukota dari Kelurahan Pulau-Pulau
Sembilan, dan merupakan pulau terbesar. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya, Mata pencaharian penduduk di pulau tersebut cukup
bervariasi, diantaranya adalah nelayan bagang, pemancing ikan kerapu
(ikan hidup) dan tongkol (pa’tongkol), karamba (pengumpul), penyelam
teripang, jaring cantrang, panambe (pukat pantai), dan para pembius ikan
kerapu dan lobster.
Pengoperasian alat tangkap bagang mulai dari fishing base
ke fishing ground umumnya dilakukan pada sore hari dan kembali pada
tengah malam (subuh). Pemancing kerapu membutuhkan waktu satu hari
di lokasi penangkapan, demikian halnya dengan nelayan yang
menggunakan alat tangkap jaring cantrang dan bius yaitu ke fishing ground
pagi hari dan kembali ke fishing base menjelang sore hari. Alat tangkap
nambe umumnya dilakukan penangkapan pagi hari sampai siang hari.
Sedangkan alat tangkap ikan tongkol dan teripang, nelayan membutuhkan
waktu lebih lama di daerah penangkapan yaitu antara 1 sampai 3 minggu
dan 3 bulan untuk penyelam.
Pertukaran, transaksi, dan hubungan
Pemasaran dan pemasar
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 57
4.4.1.1. Jenis Produk Nelayan di Pulau Kambuno sebagian besar melakukan pengolahan
atau pengawetan hasil tangkapannya dengan cara penggaraman,
pendinginan, pengasinan, pengasapan, dan pembesaran. Dari hasil
pengolahan atau pengawetan tersebut, maka produk yang dihasilkan adalah
ikan segar yang dipertahankan mutunya dengan es yang siap dikonsumsi,
ikan asin dengan penggaraman baik ikan kerapu dan ikan pelagis kecil serta
teripang, ikan hidup yang ditampung dan dibesarkan pada karamba, ikan
kering, serta teripang kuning.
4.4.1.2. Teknologi Pengolahan Pengolahan Hasil Tangkap Bagang, Jaring Cantrang, dan Panambe
Hasil tangkapan dari ketiga alat tersebut adalah pepetek-pepetek, teri,
mairo, teri, ja’jala, pepetek, dan lain-lain. Nelayan dalam menangani hasil
tangkapannya tidak memberikan perlakuan khusus, hanya dilakukan sortir
berdasarkan jenis dan ukuran dari ikan tersebut pada keranjang yang telah
disiapkan. Selain itu khusus hasil tangkap bagang, mereka menyiapkan
wadah (bahan jaring) untuk menampung ikan yang masih hidup untuk
umpan alat tangkap pole and line (kapal perikanan).
Selain penyortiran, maka nelayan juga melakukan pengawetan hasil
dengan cara pengeringan terutama ikan mairo. Penggaraman yang mereka
lakukan adalah penggaraman basah. Langkah awal yang dilakukan adalah
membersihkan dan menyiangi ikan yang akan digarami, sambil
mempersiapkan larutan garam. Setelah kegiatan di atas selesai dilakukan,
maka ikan ditempatkan (diatur atau ditumpuk) dalam wadah yang kedap air
dan selanjutnya memasukkan larutan garam yang telah disiapkan. Lama
perendaman yang dilakukan umumnya adalah 24 jam. Sebagian besar
nelayan di daerah tersebut sudah mengetahui syarat dari garam yang harus
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 58
digunakan, hal ini terlihat pada saat penggaraman, mereka menggunakan
garam yang bersih guna menghindari jamur merah dan bercak-bercak hitam
pada ikan yang digarami.
Perbandingan antara air dan garam yang mereka gunakan adalah 6 : 1,
yang selanjutnya mereka aduk hingga betul-betul bercampur untuk
dididihkan.
Pengolahan Hasil Tangkap Penyelam
Teripang yang merupakan hasil utama dari para penyelam dalam
penanganannya dilakukan pada dua tempat, yaitu di atas kapal penyelam
dan di daratan. Metode yang dilakukan oleh penyelam adalah penggaraman
kering, kemudian dilakukan pengasapan di daratan. Metode tersebut adalah
metode pengawetan yang sangat sederhana dan yang paling banyak
diketahui oleh para nelayan kita di Indonesia khususnya di Pulau-pulau
Sembilan.
Penanganan di atas kapal yang dilakukan adalah penggaraman,
terlebih dahulu dilakukan pembersihan dengan menggunakan air tawar dan
mengeluarkan isi perut ikan dengan pisau. Selanjutnya dilakukan proses
penggaraman guna mempertahankan atau mencegah kerja bakteri yang
dapat mengakibatkan proses kemunduran mutu hasil perikanan dan kelautan
tersebut. Penggaraman tersebut merupakan langkah awal dari kegiatan
pengawetan yang dilanjutkan dengan pengasapan yang dilakukan
di daratan. Metode penggaraman yang dilakukan oleh para penyelam di atas
kapal adalah penggaraman kering dengan wadah yang tidak kedap air.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa teripang yang didapatkan terlebih
dahulu dibersihkan dengan menggunakan air tawar, selanjutnya dibelah
untuk mengeluarkan isi perutnya dan diisi dengan garam dapur yang
selanjutnya dikeringkan dengan wadah dimana air dapat tertiris secara
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 59
langsung dengan waktu ±3 hari. Sedangkan proses pengawetan selanjutnya
di darat hal ini tidak lagi menjadi tanggung jawab dari para penyelam tapi
tanggung jawab dari ponggawa atau pembeli (selanjutnya melakukan
perebusan dan pengasapan).
Tujuan utama dari pengasapan adalah mengawetkan. Di Pulau
Kambuno mereka menggunakan drum untuk memasak, kemudian diasapi
dengan menggunakan sabuk kelapa dan diakhiri dengan mengeringkan
teripang, hal ini akan memberi aroma dan warna yang khas serta daya tahan
terhadap teripang tersebut. Pemasakan yang dilakukan selama 2 jam
di dalam drum, dan metode pengasapan yang digunakan adalah
pengasapan panas (hot smoking) menggunakan sabuk kelapa dengan suhu
± 70 - 85°C. Teripang yang akan diasapi terlebih dahulu dibersihkan dengan
air tawar lalu ditusuk dengan menggunakan kayu (seperti sate), setelah
kegiatan pengasapan dilakukan selanjutnya mereka mengeringkan teripang
tersebut dengan bantuan sinar matahari dengan waktu 7 hari.
Pengolahan Hasil Pemancing kerapu, tongkol, dan Bius
Pada bagian ini yang akan dibahas adalah proses pengolahan hasil
tangkapan pemancing ikan kerapu, tongkol, dan bius. Pemancing ikan
kerapu dalam operasi penangkapannya hanya menggunakan sampan dan
yang menjadi tujuan utama dari penangkapan adalah ikan kerapu hidup.
Ikan kerapu yang hidup tetap dipertahankan kondisinya di atas sampan
pemancing agar tetap hidup, dan selanjutnya langsung dibeli oleh para
pengumpul (pengusaha karamba). Para pengumpul melakukan proses
adaptasi terhadap ikan tersebut yaitu dengan menempatkan pada karamba
khusus (kecil) sambil melihat kondisinya dan setelah normal mereka
langsung menempatkan ikan-ikan tersebut ke dalam karamba utama sambil
menunggu para pembeli yang telah memesan. Demikian halnya dengan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 60
pembius, mereka mempertahankan ikan dan lobster tetap hidup yang juga
dibeli oleh pengumpul. Ikan dan lobster yang akan diekspor umumnya
diangkut dari karamba dengan menggunakan perahu yang memiliki palka
yang dibuat sedemikian rupa. Palka yang digunakan biasanya berupa
bak-bak khusus dengan sekat-sekat, dimana setiap sekat diletakkan ikan
yang sama jenisnya. Air yang ada dalam bak adalah air laut yang dilengkapi
dengan semacam saluran untuk memasukkan atupun mengeluarkan air laut,
sehingga selama waktu yang dibutuhkan air selalu dapat diganti dan
tersedianya O2.
Sedangkan ikan kerapu hasil pemancingan dan hasil bius yang mati,
maka nelayan tersebut memiliki dua pilihan yaitu menjual langsung ke pasar
lokal atau terlebih dahulu melakukan proses pengawetan menjadi ikan asin.
Proses pengasinan oleh nelayan dijabarkan sebagai berikut :
1. Mereka memilih ikan yang masih segar, kemudian disisik hingga bersih.
2. Selanjutnya mereka membelah ikan menjadi dua (tetap bersatu) mulai
dari bawah mulut hingga ke bagian ekor.
3. Seluruh isi perut dari ikan mereka bersihkan, termasuk darah yang
menempel di tulang.
4. Selanjutnya mereka bersihkan dengan menggunakan air tawar, kadang-
kadang mereka menyikat ikan tersebut supaya lebih bersih.
5. Kemudian ditiriskan pada tempat yang teduh.
6. Seluruh tubuh ikan dilumuri dengan garam.
7. Selanjutnya mereka menyusun ikan secara berlapis-lapis pada tempat
yang kedap air. Bagian bawah dari wadah mereka beri garam,
selanjutnya meletakkan ikan, kemudian garam dan seterusnya. Lama
penggaraman yang digunakan antara 24 – 72 jam.
8. Setelah proses penggaraman mereka anggap cukup maka ikan
dikeluarkan dan dicuci bersih.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 61
9. Ikan lalu ditiriskan pada tempat teduh untuk dijemur. Wadah penjemuran
yang digunakan adalah tikar atau para-para dengan lama penjemuran
yang digunakan adalah ± 3 hari.
Hasil tangkapan pemancing ikan tongkol umumnya diolah dengan
menggunakan es. Hal ini diakibatkan waktu operasi penangkapan yang
digunakan sekitar 1 – 2 minggu. Setiap perahu pemancing dilengkapi
dengan bak hasil tangkapan dengan jumlah es yang dibawa ± 80 – 100
balok. Cara pengesan yang dilakukan oleh nelayan adalah sebagai berikut :
1. Pada lapisan dasar peti dilapisi dengan hancuran es balok dengan
tebal 5 – 10 cm.
2. Di atas es tersebut diletakkan lkan yang disusun dengan teratur.
3. Selanjutnya kembali diberi hancuran es pada bagian atas ikan dan
sekitar ikan tersebut.
4. Ikan dibungkus dengan hancuran es sebanyak mungkin dan pada
bagian atas ditutup dengan hancuran es yang tebal dan ditutup dengan
menggunakan plastik atau penutup peti.
4.4.1.3. Biaya dan Nilai Tambah dari Proses Pengolahan
Hasil Tangkap Bagang, Jaring Cantrang, dan Jaring nambe
Pengolahan hasil tangkapan dilakukan oleh anggota keluarga terutama
pada penggaraman. Secara umum hasil tangkapan dengan alat tangkap
bagang, jaring cantrang, dan Jaring nambe tidak membutuhkan biaya karena
hanya disortir berdasarkan jenis dan ukuran dari ikan tersebut. Lain halnya
dengan ikan yang akan digarami, maka membutuhkan biaya tambahan untuk
pembelian garam. Jumlah garam yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut
sangat ditentukan oleh jumlah ikan yang akan digarami sesuai dengan
perbandingan antara air dan garam yang digunakan. Harga garam di Pulau
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 62
Kambuno pada saat kegiatan adalah Rp. 2.500,00 dan secara umum jumlah
garam yang digunakan pada saat penggaraman adalah 10 kg.
Harga penjualan sangat ditentukan oleh jumlah ikan tersebut
dipasaran, semakin banyak maka harga mengalami penurunan. Ikan yang
sudah diolah memiliki harga yang lebih tinggi, namun kendalanya adalah
permintaan akan ikan teri yang telah digarami sangat rendah dan
membutuhkan waktu yang lama untuk terjual.
Hasil Tangkap Penyelam
Seperti telah dijelaskan pada bagian atas, bahwa teripang diolah
dengan cara penggaraman dan pengasapan. Jumlah garam yang
dibutuhkan pada pengolahan teripang dengan ikan hasil tangkapan bagang
tidak sama (teripang lebih banyak), hal terlihat dengan jumlah garam yang
dibawa oleh para penyelam ke laut antara 100 – 200 kg. ( harga antara
Rp. 250.000 - Rp. 500.000 ).
Pengasapan yang dilakukan di darat dikerjakan oleh ponggawa dan
keluarganya dengan menyiapkan 1 buah drum (tahan sampai 6 bulan
dengan harga ± Rp. 80.000), 10 jergen air tawar (Rp. 2.000/cergen), sabuk
kelapa sebanyak 1 karung (Rp. 3.000/karung), kayu bakar sebanyak 5 ikat
(Rp. 1.000/ikat), dan minyak tanah sebanyak 4 liter (Rp. 1.000/liter).
Kebutuhan-kebutuhan di atas merupakan kebutuhan standar untuk
teripang. Semua hasil harus dilakukan pengolahan penggaraman dan
pengasapan untuk mempertahankan mutu dan menambah citarasa dari
teripang tersebut.
Hasil Pemancing kerapu, tongkol, dan Bius
Metode pengolahan yang dilakukan pada hasil alat tangkap ini adalah
mempertahankan agar ikan dan lobster tetap hidup, pengesan, dan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 63
pengasinan. Mempertahankan ikan tetap hidup, maka nelayan penangkap
tidak membutuhkan alat-alat khusus kecuali pada tahap penampungan
di karamba. Apabila ada ikan yang mati maka dilakukan pengolahan dengan
cara pengeringan sehingga dihasilkan dalam bentuk ikan asin. Ikan kerapu
yang diolah menjadi ikan asin membutuhkan garam, air tawar, wadah kedap
air, pisau, sikat, dan para-para atau tikar. Jumlah garam yang dibutuhkan
pada proses pengolahan ini adalah sangat ditentukan oleh berat dari ikan
tersebut, dan secara umum nelayan setempat menggunakan perbandingan
25 % - 50 % dari berat ikan.
Ikan tongkol yang ditangkap oleh nelayan pemancing diolah dengan
cara pengesan, biaya pengolahan yang dibutuhkan oleh nelayan setiap kali
melakukan penangkapan adalah Rp. 360.000 – Rp. 450.000 (80 –100 balok
es). Pengolahan ini harus dilakukan agar mutu dari ikan tersebut dapat
dipertahankan sehingga harga penjualan tetap tinggi.
4.4.2. Pola dan Jalur Pemasaran
Akses terhadap pemasaran hasil produksi yang dalam hal ini pasar
merupakan bagian yang penting dari rangkaian suatu sistem ekonomi.
Pemasaran merupakan bagian dimana suatu produk didistribusikan kepada
yang membutuhkan, dan merupakan bagian dimana kegiatan produksi dan
konsumsi bertemu. Dalam masyarakat nelayan, rantai pemasaran hasil
produksi merupakan kebalikan dari jalur pergerakan modal. Bila modal
bergerak dari atas (pemodal ke ponggawa kemudian nelayan), maka jalur
pemasaran bergerak dalam alur sebaliknya. Ini terutama disebabkan oleh
sifat dari sistem perekonomian nelayan pada umumnya dimana pemberi
modal juga berfungsi sebagai agen pemasaran. Dengan demikian, maka
pemasaran hasil produksi perikanan, secara tidak langsung diakses nelayan
melalui pemberi modal, dalam hal ini oleh ponggawa atau bos. Istilah bos
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 64
diacukan pada pemberi modal yang berasal dari luar komunitas nelayan.
Umumnya, seperti juga pada masyarakat nelayan di Sulawesi Selatan,
pemberi modal yang diistilahkan dengan bos ini berasal dari etnis Cina baik
yang berkedudukan di Makassar, Jawa maupun di luar negeri.
Pemasaran hasil produksi perikanan dari nelayan Pulau-pulau
Sembilan tidak hanya mencakup perdagangan lokal dan regional, namun
akses terhadap jalur distribusi ini juga mencakup perdagangan internasional.
Beberapa produk yang dihasilkan oleh nelayan merupakan komuditi yang
diperdagangkan secara internasional seperti ikan sunu atau kerapu (yang
oleh nelayan Pulau-pulau Sembilan dan nelayan Sulawesi Selatan pada
umumnya dibedakan), teripang, cumi-cumi, lobster, tongkol dll. Pemasaran
hasil kegiatan nelayan tersebut dilakukan oleh satu unit pemasaran sendiri
dalam organisasi nelayan, yang pada umumnya dipegang langsung oleh
ponggawa. Sumberdaya laut yang diperdagangkan terbagi menurut wilayah-
wilayah perdagangan tersebut. Lobster, ikan sunu/kerapu, tongkol dan
teripang merupakan konsumsi pasar internasional, dan regional/nasional,
sedangkan cumi-cumi dan beberapa jenis ikan pelagis merupakan komoditi
pasar lokal dan regional. Beberapa jenis ikan pelagis terutama ikan simbula,
layang dan sinrili dipasarkan secara lokal untuk kebutuhan pabrik
pengalengan ikan dan konsumsi langsung.
4.4.2.1. Mata rantai dan Pemasaran Hasil
Produksi hasil perikanan yang dihasilkan oleh nelayan didasari oleh
faktor kebutuhan dan keinginan masyarakat lokal dan masyarakat di daerah
lain (Makassar, Bone, Soppeng, Wajo, dll), dan permintaan oleh para
eksportir untuk pasar internasional (kerapu, tenggiri, lobster, dll).
Produk yang dihasilkan langsung dipasarkan oleh para ponggawa ke
pelelangan, selain itu sering terjadi transaksi di tengah laut antara nelayan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 65
dengan pangnges (pengumpul) dan para pappalele (black market) yang tidak
diketahui oleh ponggawa (juragan). Pangnges juga memasarkan hasilnya
di pelelangan, sedangkan para pappalele sebagian besar menjual untuk
keperluan masyarakat di pulau. Produk-produk yang dimasukkan dalam
pelelangan umumnya dibeli langsung oleh para ponggawa darat baik yang
berasal dari daerah itu sendiri maupun dari daerah lain, dan sebagian kecil
dibeli oleh para pappalele di darat (lihat gambar 6).
Kebutuhan, permintaan produk transaksi eksport
keinginan hidup Hasil Tangkapan pelelangan pemasaran & (produk) pemasar pangnges transaksi di laut Transaksi
(ponggawa darat)
Kumpulan Komunikasi Kumpulan Pasar lokal pasar antar penjual barang/jasa pembeli kabupaten
pappalele
Transaksi pengecer dan pengguna)
Pappalele/penjaja transaksi Di pulau diolah Gambar 6. Secara Umum Mata Rantai Pemasaran Hasil Tangkapan Nelayan di
Kabupaten Sinjai Sumber : Hasil Survei Sosial Ekonomi Masyarakat Pulau-Pulau Sembilan,
Pokja Coremap 2001
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 66
Hasil pembelian oleh ponggawa darat yang berasal dari daerah
tersebut secara langsung menjual produknya di pasar sekitar pelelangan,
dan sebagian besar pembelinya adalah konsumen yang akan
mengkonsumsi secara langsung. Sedangkan para pappalele menjual
produknya dengan cara mendatangi konsumen. Produk yang dihasilkan oleh
nelayan kadang tidak terjual secara keseluruhan, hal ini mengakibatkan para
ponggawa melakukan kegiatan pengolahan dan hasil pengolahan tersebut
dipasarkan dan dikonsumsi sendiri. diolah kebutuhan & permintaan produk pelelangan transaksi ponggawa darat Pasar lokal pangnges antar daerah di laut transaksi pappalele Pappalele pulau transaksi Transaksi Gambar 7. Tata Niaga Hasil Tangkapan Bagang, Jaring Cantrang dan Jaring nambe Sumber : Hasil Survei Sosial Ekonomi Masyarakat Pulau-Pulau Sembilan,
Pokja Coremap 2001
Produk yang dihasilkan oleh nelayan bagang, cantrang, dan panambe
umumnya didasari oleh faktor kebutuhan dan permintaan oleh masyarakat
lokal dan daerah sekitarnya. Gambar 7 memperlihatkan sebagian besar
produk dipasarkan di pelelangan oleh ponggawa atau pemilik, yang
selanjutnya dibeli oleh para ponggawa darat. Ponggawa darat memasarkan
produk tersebut di pasar lokal, daerah lain, dan juga pada para pappalele.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 67
Produk tersebut selain dipasarkan di pelelangan, sering juga terjadi transaksi
di tengah laut antara nelayan dengan pangnges yang disebut black market.
Hasil transaksi di tengah laut tersebut sebagian besar dipasarkan
di pelelangan dan juga pada para pappalele yang berada di pulau. Produk
yang tidak terjual, dilakukan pengolahan yang akan dipasarkan di pasar
lokal.
Produk yang dihasilkan oleh para penyelam teripang sebagian besar
adalah faktor permintaan dari para pembeli. Produk para penyelam biasanya
dibeli langsung di lokasi penyelaman oleh para pengumpul, dan juga oleh
pengumpul atau juragan yang berada di pulau tempat mereka tinggal. Baik
pengumpul yang ada di laut maupun yang ada di darat umumnya
menyiapkan produk tersebut karena adanya permintaan oleh para eksportir.
Selanjutnya para eksportir ini memasarkan produk tersebut untuk pasar
internasional dan juga pasar regional (lihat gambar 8).
Pengumpul di laut transaksi
Permintaan produk ponggawa pasar
Diolah diolah eksportir
transaksi
Eksport regional
Gambar 8. Tata Niaga Penyelam Teripang Sumber : Hasil Survei Sosial Ekonomi Masyarakat Pulau-Pulau Sembilan,
Pokja Coremap 2001
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 68
Gambar 9 merupakan diagram alur produk yang dihasilkan oleh
pemancing ikan kerapu dan bius (kerapu dan lobster) umumnya secara
langsung dibeli oleh para pengumpul (pengusaha karamba) untuk ditampung
yang telah dipesan oleh para eksportir. Kalau yang hidup dibeli oleh
pengusaha karamba, maka ikan yang mati juga dibeli oleh para pengumpul
untuk dipasarkan di pelelangan. Seperti halnya dengan produk -produk yang
lain, maka di pelelangan produk tersebut umumnya dibeli oleh para
ponggawa darat untuk dipasarkan lebih lanjut. Ikan yang telah mati dan
tidak dibeli oleh ponggawa, maka para pemancing mengolah ikan tersebut
menjadi ikan asin dan selanjutnya dipasarkan di pasar lokal.
Permintaan produk pengumpul transaksi eksportir
tampung
transaksi
Mati pengumpul pelelangan
Diolah
eksport
Ponggawa darat
transaksi
Pasar lokal pappalele antar daerah
Transaksi
Gambar 9. Tata Niaga hasil Pemancing Ikan kerapu dan Bius Sumber : Hasil Survei Sosial Ekonomi Masyarakat Pulau-Pulau Sembilan,
Pokja Coremap 2001
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 69
Produk pemancing ikan tongkol sebagian besar dipasarkan langsung di
pelelangan, dan kepada pangnges di tengah laut di lokasi pemancingan.
Setelah di pelelangan, maka produk tersebut dibeli oleh ponggawa darat
untuk keperluan lokal, regional, dan eksport (gambar 10).
eksport
Kebutuhan, keinginan produk pelelangan ponggawa transaksi Permintaan darat
Pangnges pasar lokal pappalele antar daerah
Transaksi transaksi
Gambar 10. Tata Niaga Produk Pemancing Ikan Tongkol Sumber : Hasil Survei Sosial Ekonomi Masyarakat Pulau-Pulau Sembilan,
Pokja Coremap 2001
4.4.2.2. Mekanisme Harga dan Metode Pembayaran
Dalam penentuan harga untuk hasil tangkapan ikan pelagis kecil
(misalnya teri, pepetek-pepetek, teri, dan lain-lain) dijual ukuran keranjang
dengan berat tiap keranjangnya adalah 20 kg, sedang untuk ikan pelagis
besar dijual perkilo. Satuan harga untuk ikan teri, pepetekpepetek, dan teri
berkisar Rp. 15.000 - Rp.30.000, Ikan Katombong mencapai Rp. 50.000
setiap keranjang. Ikan Tenggiri seharga Rp. 10.000, Ikan Cakalang seharga
Rp. 4.500 per kilo. Kondisi harga tersebut sangat berfluktuasi tergantung
musim. Harga di atas ditentukan oleh agen (pa’cata) di pelelangan,
sedangkan harga yang dipasar ditentukan berdasarkan kesepakatan antara
pembeli dan penjual. Untuk hasil tangkap teripang dan lobster di jual
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 70
berdasarkan berat perkilo dan jenisnya seperti telah dijelaskan di bagian
atas, yang dipengaruhi oleh kondisi nilai tukar dolar terhadap rupiah.
Cara pembayaran terhadap hasil tangkapan nelayan ada yang
dilakukan secara tunai, kredit maupun dengan cara bagi hasil, dimana rasa
saling mempercayai sangat tinggi. Hasil tangkapan tersebut dijual langsung
kepada ponggawa atau kepada pedagang pengumpul yang dibayar baik
secara tunai, ataupun secara kredit yang mana pembayarannya belakangan
setelah hasil tangkapan tersebut laku terjual. Untuk yang bagi hasil dilakukan
dengan membagi hasil penjualan kepada para agen yang menjualkan hasil
tangkapan tersebut sebesar 15% dan sisanya sebanyak 85% dibagi dua
antara ponggawa dengan nelayan setelah biaya operasional terbayarkan.
4.5 Faktor Eksternal dan Permasalahan Struktural Pulau Kambuno 4.5.1. Faktor Eksternal
Dinamika perkembangan dari kehidupan nelayan di Pulau Kambuno
selain dipengaruhi oleh internal pulau juga dipengaruhi oleh berbagai faktor
eksternal.
4.5.1.1. Kebijakan pemerintah bagi pengelolaan Sumberdaya perairan
Kebijaksanaan pemerintah baik aturan maupun undang-undang
pemanfaatan terumbu karang mulai dari pemerintah pusat, propinsi maupun
kabupaten seperti mengenai pemanfaatan wilayah pesisir tertuang dalam
undang-undang No 9 tahun 1985 tentang perikanan, undang-undang No 5
tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya hayati dan undang-undang
no 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup dan undang-undang
pariwisata no 9 tahun 1990. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah
masih lemahnya pelaksanaan peraturan dan undang-undang yang telah ada.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 71
Undang-undang perikanan merupakan salah satu perangkat hukum yang
bertujuan mengatasi beberapa masalah dalam hal pencemaran dan
kerusakan serta eksistensi sumberdaya perikanan. Di dalam undang-
undang tersebut disebutkan bahwa sumberdaya perikanan adalah modal
dasar pembangunan untuk mengupayakan peningkatan kesejateraan dan
kemakmuran rakyat. Pada pasal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang
atau badan hukum dilarang melakukan kegiatan penangkapan dan
pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan-bahan dan atau alat yang
dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya.
Pasal 7 ayat 1 selanjutnya menyatakan bahwa setiap orang atau badan
hukum dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan
kerusakan sumberdaya ikan dan /atau lingkungannya. Sanksi hukum akibat
pelanggaran undang-undang diatas adalah penjara selama-lamanya
10 tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.100.000.000,- .
Pada tingkat propinsi Sulawesi Selatan kebijakan perikanan dijabarkan
dalam Repelita, bahwa usaha penangkapan ikan dengan menggunakan alat-
alat modern tidak boleh mendesak lapangan kerja nelayan tradisional, serta
hal-hal yang menimbulkan pengaruh negatif terhadap sumberdaya alam
diperkecil. Salah satu peraturan daerah Sulawesi Selatan yang bertujuan
melestarikan sumberdaya perikanan utamanya karang adalah Perda No. 7
tahun 1987. Pada Perda tersebut menyatakan bahwa setiap orang atau
badan hukum dilarang mengusahakan atau merusak terumbu karang dan
dilarang mengambil organisme yang hidup dan melekat pada terumbu
karang. Sangksi pidana terhadap pelanggaran ini adalah penjara 3 bulan
atau denda uang sebanyak-banyajkbya Rp 50.000.000,-.
Dalam rangka menindak lanjuti kebijakan nasional, maka penerintah
daerah Sulawesi Selatan telah menetapkan berbagai kebijakan yang
berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya kelautan. Kebijakan tersebut
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 72
adalah pengembangan budidaya pantai dan penangkapan ikan di daerah
laut dalam. Salah satu kebijakan pemerintah daerah yang juga mempunyai
kaitan dengan pengelolaan laut adalah pewilayahan komoditas. Kebijakan
ini ditempuh untuk memadukan antara faktor-faktor keserasian, pasar,
industri dan sarana penunjang lainnya. Berdasarkan faktor-faktor tersebut
di tetapkan komoditas andalan yang dapat dikembangkan pada suatu
wilayah tertentu. Untuk kabupaten sinjai komoditas perikanan andalannya
adalah teripang, ikan-ikan karang, tongkol, cakalang, pepetek, layang dan
lain-lain.
Kebijakan pemerintah daerah kabupaten Sinjai adalah dengan
membuat rancangan peraturan daerah tahun 2001 tentang retribusi izin
usaha kelautan dan perikanan. Usaha perikanan yang membayar retribusi
adalah usaha penangkapan, usaha budidaya, dan usaha pengolahan.
Usaha Penangkapan terdiri dari alat tangkap bagang, dan penggunaan
perahu dan kapal motor. Usaha pembudidayaan terdiri dari jenis alga, ikan,
crustacea, molusca, amphibia dan reptilia. Sedang usaha pengolahan terdiri
dari pengeringan, pengasapan, penggaraman, pindang dan dendeng.
Besarnya retribusi untuk bagang tancap adalah Rp 25.000,- pertahun
dan retribusi bagangg apung adalah Rp 100.000,-/tahun, sedang retribusi
perahu motor untuk kelompok ukuran kurang 2,5 GT dan antara 2,5 - 5
GT adalah Rp 20.000,- dan Rp 30.000/tahun. Besar retribusi kapal motor
kurang 2,5 GT dan 2,5 - 5 GT masing-masing Rp 30.000,- dan Rp 50.000,-
/tahun.
Berbagai peraturan dan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh
pemerintah umumnya bertujuan bagi kesejahteraan masyarakat dan tingkat
kelangsungan hidup masyarakat pulau itu sebagai pengguna. Aturan-aturan
tersebut dibuat supaya ada keteraturan pemanfaatan demi kelestarian
sumberdaya itu sendiri. Manfaat ini nantinya dinikmati juga oleh masyarakat.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 73
Seperti pelarangan penggunaan bom dan bius. Jika dilihat penggunaan bom
memudahkan masyarakat untuk menangkap ikan akan tetapi disisi lain juga
mengancam kelestarian lingkungan sebagai habitat tempat hidup ikan
sekaligus mengancam jiwa dari nelayan itu sendiri. Sekarang timbul
pertanyaan bagi masyarakat apakah kita akan mendapatkan keuntungan
sesaat dan mengancam kelestarian serta jiwa kita atau kita dapat mencukupi
kebutuhan kita dan juga tetap menjaga laut sebagai tempat hidup kita.
Pemanfaatan dan penggunaan sumberdaya laut yang dilakukan oleh
masyarakat seangat bergantung pada pemahaman mereka terhadap
sumberdaya laut. Survei yang dilakukan pada masyarakat Pulau Kambuno
tentang berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, terdapat
beragam pengetahuan dan pemahaman. Pemahaman tentang pengertian
karang 3,45% menjawab tumbuhan laut, 6,90% tumbuhan batu/taka, 89,66
tidak tahu. Sedangkan manfaat karang 18,97 % menjawab rumah ikan ,
31,03% tempat ikan hidup, 19,00 % bahan bangunan, 12,10% pelindung
ikan, 12,07% tidak tahu. Untuk keguatan yang merusak karang 43,11%
menjawab bom, 20,69% obat bius, 3,45% jangkar kapal, 6,90%
penambangan, 1,72 % potas 1,72% trawl dan 22,41 % menjawab tidak
tahu. Dari jumlah prosentase jawaban responden yang ada terdapat
berbegai tingkat pemahaman yang disadari atau tidak akan mempengaruhi
tingkah dan pola penangkapan masyarakat.
Survei yang dilakukan di Pulau Kambuno selain pemahaman masalah
karang yang berbeda-beda, pengetahuan masyarakat tentang aturan yang
mengatur kelestarian terumbu karang juga berbeda-beda. Peraturan tentang
pelarangan pengambilan karang 68,97% menjawab tahu, 31,03% tidak tahu,
untuk kegiatan pemboman 65,52% menjawab tahu dan 34,48% menjawab
tidak tahu. Untuk kegiatan pembiusan 55,17 menjawab tahu dan 44,83%
menjawab tidak tahu. Jadi bila dilihat dari proporsi jawaban dari masyarakat
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 74
masih ada yang belum mengerti dan memahami aturan yang tentunya
berpotensi terhadap kerusakan lingkungan terutama terumbu karang.
Beragamnya jawaban responden di Pulau Kambuno baik tingkat
pemahaman tentang lingkungan maupun peraturan pengelolaan dapat
disimpulkan bahwa kegiatan sosialisasi tidak berjalan dengan baik. Jadi
diperlukan cara sosialisasi aturan yang lebih efektif. Mengenai pemahaman
tentang manfaat terumbu karang yang masih kurang dapat kita kaitkan
dengan tingkat pendidikan rata-rata masyarakat Pulau Kambuno yang hanya
sampai pada tingkat sekolah dasar dan juga aksesibilitas informasi yang
masih rendah khususnya informasi masalah lingkungan.
4.5.1.2. Pasar Permintaan Produk Hasil Perikanan
Setiap kegiatan produksi baik kegiatan penangkapan, pengolahan, dan
lainnya maka biasanya yang menjadi kendala adalah pasar dari produk yang
dihasilkan tersebut. Jenis pasar produk hasil perikanan berupa jalur
distribusi, segmentasi pasar maupun daya serap pasar secara langsung
mempengaruhi aktifitas penangkapan bagi masyarakat nelayan di Pulau
Kambuno, semakin tinggi daya serap pasar dan kemudahan untuk
mengaksesnya maka semakin bergairah masyarakat untuk melakukan
penangkapan.
Bagi masyarakat nelayan Pulau Kambuno, umumnya dipengaruhi oleh
kegiatan dari pedagang lokal, pedagang antar pulau, kegiatan eksportir,
serta aktifitas pelelangan (TPI) di Lappa. Dinamika kegiatan pemasaran
hasil perikanan. Mudahnya masyarakat kambuno dalam mengakses pasar
(walau dalam batas tertentu) seperti hubungan dengan Ponggawa darat di
Sinjai dan eksportir ikan di Makassar juga turut mempengaruhi. Umumnya
masyarakat Pulau Kambuno dapat menjual langsung hasil tangkapannya ke
ponggawa di Pulau Kambuno sendiri atau ke TPI Lappa dan eksportir ikan di
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 75
Makassar. Hal ini semakin mendorong masyarakat untuk lebih giat untuk
melakukan penangkapan.
Berbagai jenis komoditas unggulan yang dihasilkan oleh masyarakat
Pulau Kambuno di antaranya teripang dan ikan Sunu sangat diminati
konsumen baik pasaran lokal, nasional maupun Internasional. Untuk jenis
teripang biasanya dijual dalam bentuk olahan sementara ikan karang
walaupun biasanya dijual dalam bentuk segar atau telah dikeringkan tapi
akan lebih baik jika diekspor dalam bentuk hidup dan mempunyai harga jual
yang lebih tinggi.
Situasi pasar permintaan hasil perikananyang baik mendorong nelayan
melakukan penangkapan secara berlebihan terlebih lagi untuk jenis ikan
yang mempunyai harga jual tinggi. Hal ini terlihat dari daerah penangkapan
(fishing ground) yang semakin jauh dari pulau sembilan. Nelayan penyelam
teripang biasanya beroperasi sampai ke sulawesi tenggara, perairan maluku
dan Irian. Penangkapan ikan karang cenderung menggunakan bom dan
bius. Hal ini dilakukan karena lebih efektif. Dengan metode pembiusan
misalnya, ikan hanya akan mengalami pingsan dan tidak mengalami luka
pada tubuhnya, jadi memiliki penampakan yang lebih baik sehingga akan
mempunyai harga jual yang lebih tinggi.
4.5.1.3. Teknologi Penangkapan dan Akses Permodalan
Tingkat teknologi pemanfaatan sumberdaya perairan yang berkembang
di masyarakat utamanya teknologi penangkapan yang diadopsi dan
berkembang di masyarakat nelayan Pulau Kambuno, sangat mempengaruhi
tingkat kemampuan pemanfaatan oleh masyarakat. Selain tingkat
kemampuan teknologi, maka kemampuan masyarakat untuk mengakses
permodalan juga merupakan salah satu faktor eksternal yang juga turut
mempengaruhi kegiatan penangkapan karena hal ini berkaitan dengan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 76
pembiayaan usaha penangkapan. Akses permodalan pada masyarakat
pulau ini biasanya hanya terbatas dalam bentuk kerja sama ikatan informal
ponggawa-sawi, dimana biasanya ponggawa pulau memberikan bantuan
permodalan kepada nelayan, dan ponggawa pulau juga memperolah
bantuan dari ponggawa besar di Makassar.
Hasil survey yang dilakukan terhadap kegiatan pennagkapan oleh
masyarakat di pulau di Kambuno di sekitar perairan Pulau-pulau Sembilan
mereka menangkap dengan menggunakan peralatan sederhana sekarang ini
daerah operasi sudah semakin jauh sampai ke perairan Sulawesi Tenggara
bahkan ke perairan Irian dengan menggunakan alat yang relatif lebih
moderen seperti masker, tabung oksigen, kompressor, serta dapat
dilakukannya penyelaman malam yang dulunya tidak dapat dilakukan
karena adanya keterbatasan peralatan.
Dari segi akses permodalan masyarakat Pulau Kambuno juga relatif
lebih maju dibandingkan dengan masyarakat lain di Pulau-pulau Sembilan.
Dari hasil survei dijumpai bahwa sebagian masyarakat nelayan di Pulau
Kambuno bertindak sebagai ponggawa bagi nelayan dari pulau lainnya
seperti sebagian masyarakat Batang Lampe. Ponggawa di Pulau Kambuno
biasanya mempunyai ponggawa besar di Sinjai atau Makassar yang
bertindak sebagai orang yang memberikan bantuan permodalan, yang mana
konsekuensinya terdapat aturan yang mengikat para nelayan untuk
memasarkan hasil tangkapan pada ponggawanya.
Bila berdasarkan hasil survei ternyata kehidupan nelayan, ponggawa
yang mendapat dukungan permodalan usaha dari ponggawa besar
di Makassar umumnya mempunyai tingkat kehidupan yang lebih tinggi, bila
dibandingkan dengan nelayan yang tidak mempunyai akses permodalan.
Perbedaan ini cukup mencolok dan dapat menimbulkan benih konflik internal
bagi masyarakat, yang mana timbul karena kecemburuan sosial.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 77
4.5.2 Kesesakan dan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya.
Armada penangkapan ikan yang di operasikan di sekitar perairan
Pulau-pulau Sembilan termasuk Pulau Kambuno bukan saja dilakukan oleh
nelayan lokal tetapi juga nelayan dari daerah lain. Hal ini terjadi selain
karena suburnya sumberdaya perairan di sekitar Pulau Sembilan juga
karena dekatnya tempat pemasaran berupa PPI di daerah Lappa. Hal ini
mendorong nelayan di pulau lain untuk menangkap di sekitar Pulau
Sembilan karena hasil tangkapannya akan dengan mudah dipasarkan. Ada
juga nelayan yang menangkap di perairan lain tetapi menjual ke PPI Lappa.
Banyaknya nelayan yang mengakses ke perairan Pulau Sembilan maupun
melakukan penjualan di PPI Lappa dapat menimbulkan kesesakan bila tidak
dilakukan pengaturan yang baik dan dapat mengakibatkan konflik diantara
nelayan.
Kesesakan yang timbul karena adanya penggunaan bersama akan
sumberdaya menimbulkan konflik diantara nelayan bila tidak ada pengaturan
yang jelas. Akan tetapi dalam hal ini pengertian masyarakat bahwa perairan
merupakan milik umum dan dapat diakses siapa saja cukup baik sehingga
dapat menimbulkan pemahaman dan saling pengertian diantara nelayan
yang beroperasi pada suatu wilayah penangkapan walaupun berasal dari
daerah yang berbeda-beda. Banyaknya kegiatan penangkapan di sekitar
Pulau-pulau Sembilan khususnya akan membawa dampak pada
ketersediaan sumberdaya perairan yang semakin menipis yang ditandai
dengan semakin jauh daerah tangkapan (fishing ground) dari para nelayan
pulau sembilan.
Bila dilihat dari prosentase hasil wawancara tentang perkembangan
jumlah hasil tangkapan yang dilakukan di Pulau Kambuno, diperoleh 6,52%
menjawab meningkat, 67,39% menurun, 19,57% tetap dan 6,52% menjawab
tidak tahu. Jadi bila dilihat dari jawaban responden dominan menjawab hasil
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 78
tangkapan semakin menurun sejalan bila dihubungkan dengan banyaknya
armada tangkap yang beroperasi di sekitar Pulau-pulau Sembilan. Adapun
cara-cara mengantisipasi menurunnya hasil tangkapan mereka terdapat
berbagai macam variasi, 39,13% menjawab dengan mencari daerah
penangkapan lain, 21,74% menjawab modifikasi alat tangkap serta 39,13%
menjawab tidak tahu.
Walaupun kesesakan timbul dalam pemanfaatan bersama sumberdaya
perairan di Pulau Sembilan, tetapi umumnya masyarakat tetap setuju pada
pengelolaan dengan akses terbuka atau nelayan dari pulau lain dapat
menangkap di sekitar perairan Pulau Sembilan jawaban yang diperoleh
67,24% menjawab akses terbuka, 27,59% tidak setuju dan 5,17 menjawab
tidak tahu.
4.5.2.1. Lembaga Ekonomi dan lembaga Eksternal lain
Hal lain yang mempengaruhi kegiatan pengeloaan sumberdaya oleh
masyarakat di Pulau Kambuno adalah adanya lembaga ekonomi dan
lembaga lainnya seperti pasar, PPI Lappa dan LSM. Lembaga-lembaga ini
umumnya mempunyai pengaruh yang berbeda pada masyarakat seperti
halnya PPI lappa mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap aktifitas
penangkapan karena masyarakat mudah untuk memasarkan hasilnya.
Sarana Pusat Pelelangan Ikan (PPI) merupakan wadah yang
mempertemukan nelayan sebagai produsen dan pembeli sebagai konsumen
baik untuk industri, restoran, pedagang keliling maupun untuk konsumsi
rumah tangga. Sedangkan LSM adalah lembaga swadaya masyarakat juga
berperan dalam pengaruhnya pada aktifitas penangkapan. LSM dapat
mempunyai kepentingan dan kepedulian masalah lingkungan dan
peningkatan standar hidup masyarakat.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 79
Pusat Pelelangan Ikan (PPI) mempunyai pengaruh yakni memberikan
akses pemasaran terhadap hasil tangkapan masyarakat Pulau Kambuno,
sedangkan kegiatan LSM memberikan pengaruh pada penyadaran
lingkungan dan peningkatan darajat hidup masyarakat. Daya pengaruh
masing-masing lembaga tersebut kepada masyarakat berbeda-beda, PPI di
Lappa sudah dikenal dan ketahui peranannya secara lebih luas., sedangkan
untuk kegiatan LSM pengaruhnya masih relatif rendah terhadap aktifitas
masyarakat pulau khusus masyarakat Pulau Kambuno. Hasil wawancara
yang dilakukan 40% mengatakan mengatahui keberadaan dan aktifitasnya
sedangkan 60% menjawab tidak tahu. Jadi dalam hal ini peranan LSM
sebagai salah satu stakeholder perlu ditingkatkan lagi kinerjanya berupa
sosialisasi kegiatan yang mengarah pada pelestarian lingkungan dan
peningkatan standar hidup masyarakat.
4.5.2.2. Pengamanan Perairan dan Penegakkan Hukum
Kegiatan eksploitasi seperti penangkapan mengalami peningkatan
terutama bagi komoditas unggulan seperti teripang dan ikan-ikan karang, hal
ini didorong oleh tingginya permintaan pasar baik lokal, antar pulau, terlebih
lagi untuk ekspor. Hal ini mendorong masyarakat untuk menggunakan
berbagai macam cara termasuk cara-cara yang merusak dalam upaya
meningkatkan hasil tangkapan. Penggunaan bom dan obat bius merupakan
salah satu alternatif yang digunakan oleh masyarakat untuk mendapatkan
hasil yang lebih banyak dan dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini
menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan utamanya
terumbu karang, sekaligus mengancam kesinambungan usaha penangkapan
oleh masyarakat pulau itu sendiri, yang paling merasakan akibatnya adalah
masyarakat nelayan tradisional yang mempunyai keterbatasan alat dan
hanya mampu menangkap di sekitar perairan Pulau-pulau Sembilan saja
dibandingkan nelayan yang mempunyai alat tangkap yang lebih moderen
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 80
dan mempunyai permodalan kuat sehingga mampu untuk menangkap di luar
Pulau-pulau Sembilan.
Kegiatan yang mengancam kelestarian akan terus terjadi apabila tidak
dilakukan tindakan pengamanan oleh pihak berwajib. Kegiatan pengamanan
akan berjalan efektif apabila disertai dengan tingkat kesadaran lingkungan
dari masyarakat terutama masyarakat nelayan. Salah satu alasan masih
adanya praktek penggunaan bom dan bius adalah susahnya pemberantasan
oleh pihak keamanan karena luasnya daerah perairan. Jadi dibutuhkan
metode pengamanan perairan yang melibatkan masyarakat (swakarsa).
4.5.3. Permasalahan Struktural
Selain dari adanya berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi
aktifitas pemanfaatan sumberdaya oleh nelayan terdapat berbagai macam
permasalahan struktural yang terjadi dalam masyarakat Pulau Kambuno.
Berbagai permasalah struktural itu diantaranya adalah :
• Adanya berbagai macam kepentingan dari berbagai macam stakeholder
yang berbenturan dengan kondisi dan realitas masyarakat seperti adanya
kegiatan pelestarian dengan kegiatan pemanfaatan yang merusak seperti
pengunaan bom dan obat bius. Kadaan yang kontradiktif ini harus dicari
solusinya berupa penyadaran akan lingkungan alternatif kegiatan
penangkapan lain yang tidak merusak.
• Adanya berbagai program pemberdayaan masyarakat yang berbenturan
dengan rendahnya tingkat kemampuan masyarakat untuk mengadopsi,
yang disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah.
• Perbedaan yang menyolok antara masyarakat yang mempunyai
kemampuan modal yang lebih besar karena bantuan modal yang
diperoleh dari ponggawa tidak merata.
• Tingkat kesadaran dan pemahaman hukum yang berbeda-beda sehingga
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 81
menimbulkan perbedaan antara masyarakat yang menerapkan praktek-
praktek penangkapan yang tidak ramah terhadap lingkungan.
• Adanya sebagian masyarakat yang menggunakan bom dan bius
sementara ada juga yang tidak menggunakan, hal ini berdampak pada
perbedaan hasil tangkapan sehingga dapat menimbulkan kecemburuan
sosial yang dapat memicu konflik internal di antara masyarakat.
• Kesadaran akan kesehatan lingkungan bagi masyarakat Kambuno masih
relatif rendah
4.5. Kesimpulan dan Rekomendasi dari Pulau Kambuno
4.6.1. Kesimpulan
1. Kepadatan penduduk di Pulau Kambuno sudah sangat tinggi sehingga
pengembangan pemukiman sudah mengarah pada penimbunan laut dan
rumah-rumah di atas air.
2. Mata pencaharian penduduk Pulau Kambuno sebagian besar adalah
nelayan “pongawa”, “Sawi” maupun perorangan yang mengoperasikan
alat tangkap pancing dasar, pancing tonda, “Purse Seine”, dan
Penyelaman.
3. Sistem bagi hasil yang sangat merugikan anak buah kapal (ABK) pada
kapal purse seine membuat sebagian besar para ABK mulai beralih
ke usaha penangkapan secara perorangan yang dianggap lebih
menjanjikan.
4. Oleh karena sulitnya mendapat modal usaha untuk memperoleh satu
unit alat tangkap skala kecil, membuat para kepala keluarga muda
mencari jalan pintas untuk mendapatkan uang dengan melakukan
kegiatan penangkapan ikan secara tidak ramah lingkungan.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 82
5. Saat ini sebagian besar penduduk Pulau Kambuno telah menyadari
bahwa perusakan ekosistem karang membuat hasil tangkapan ikan
sangat menurun, tetapi mereka tidak tahu harus berbuat apa
menghadapi desakan kebutuhan hidup keluarganya.
6. Tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan di Pulau Kambuno sudah
tergolong baik jika dilihat dari standar hidup dan kesejahteraan pulau-
pulau kecil.
7. Masyarakat nelayan Pulau Kambuno mempunyai taraf kehidupan yang
lebih maju dibandingkan masyarakat lainnya di Pulau-pulau Sembilan,
baik dilihat dari tingkat kehidupan, penggunaan teknologi penangkapan
maupun sarana dan prasarana desa. Hal ini dikarenakan Pulau
Kambuno merupakan ibukota Kelurahan Pulau-pulau Sembilan.
8. Masih terdapat penggunaan bom dan bius dalam melakukan aktifitas
penangkapan terkhusus bagi nelayan penangkap ikan karang.
9. Pengolahan hasil penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat Pulau
Kambuno terdiri penggaraman, pendinginan, pengasapan, dan
pembesaran. Pengolahan ini memberikan nilai tambah terhadap produk
yang tidak terjual secara langsung.
10. Pemasaran produk dilakukan secara langsung oleh ponggawa laut
di pelelangan, dan penentuan harga ditentukan oleh pencatat dan kedua
belah pihak.
11. penegakkan hukum (law enforcement) bagi pelaku penangkapan ilegal
masih kurang.
12. Pengetahuan masyarakat tentang pengolahan pasca panen masih
kurang, terutama kegiatan peningkatan nilai tambah dari hasil
tangkapan.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 83
13. Umumnya masyarakat Pulau Kambuno bertindak sebagai ponggawa
atau juragan bagi masyarakat nelayan pulau lainnya di Pulau Sembilan.
4.6.2. Rekomendasi
1. Perlu adanya perbaikan dalam sistem bagi hasil
2. Perlu adanya penyuluhan yang lebih intensif tentang kerusakan
terumbu karang yang diakibatkan oleh pemakaian bom dan potas.
3. Upaya penggiatan budidaya dalam karamba jaring apung (KJA) terus
diupayakan dalam kerangka pemanfaatan mata pencaharian alternatif.
4. Perlu penyuluhan sanitasi lingkungan
5. Perlu pembinaan dan sosialisasi yang lebih efektif kepada
masyarakat mengenai lingkungan dan pelestariannya terutama
terumbu karang.
6. Perlunya kegiatan alternatif tambahan bagi masyarakat tentang
pengelolaan hasil laut, seperti pembuatan bakso ikan, kerupuk ikan,
kerajinan kerang-kerangan yang diperuntukkan bagi ibu-ibu rumah
tangga dan pemuda nelayan.
7. Perlunya deregulasi menyangkut aturan penangkapan, terutama bagi
jenis-jenis ikan tangkapan yang cenderung dieksploitasi secara
berlebihan terutama dilakukan oleh pemerintah setempat.
8. Perlu diadakan pendampingan, khususnya terhadap wanita nelayan
dalam hal pengolahan di darat.
9. Pembentukan koperasi yang khusus mengatur tata niaga hasil dari
nelayan.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 84
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 84
V. LOKASI 2 PULAU BURUNG LOE
5.1. Profil Lokasi Studi 5.1.1. Gambaran Umum Pulau Burung Loe 5.1.1.1. Akses
Pulau Burung Loe merupakan salah satu pulau dalam gugus Pulau-
Pulau Sembilan yang terletak di bagian paling Selatan. Pulau ini adalah
pulau yang terdekat dan pertama kali dijumpai/dicapai jika berangkat dari
pelabuhan Lappa. Untuk mencapai Pulau Burung Loe, digunakan kapal
penumpang reguler yang melayani Pulau Burung Loe dan Pulau Liangliang.
Jarak pulau tersebut dari pelabuhan Lappa kurang lebih 9 mil dengan waktu
tempuh ±1 jam dan biaya transportasi sebesar Rp. 3000,-. Selain dengan
kapal penumpang, masyarakat umumnya menggunakan kapal sendiri. Cara
lain yang biasa digunakan masyarakat pulau adalah dengan menumpang ke
kapal-kapal penangkap ikan yang akan menjual hasil tangkapannya ke
Pelabuhan Lappa.
5.1.1.2. Karakteristik Fisik
Pulau Burung Loe merupakan pulau yang paling mudah diidentifikasi
dan terbesar sekalipun dari jarak yang jauh serta bentuknya seperti bukit
yang lancip dan ditumbuhi oleh pepohonan yang cukup lebat sehingga dari
kejauhan akan terlihat seperti gunung yang mengapung di atas permukaan
laut.
Hal lain yang spesifik di pulau ini adalah banyak dijumpai burung-
burung laut yang tinggal di puncak gunung. Selain itu juga terdapat pohon-
pohon di gunung Pulau Burung Loe seperti pohon kelapa, sukun, coklat,
belimbing, dan lain-lain.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 85
Pulau Burung Loe merupakan pulau terbesar diantara delapan pulau
lain yang terdapat di Kelurahan Pulau Sembilan dengan luas 0,81 km2,
meskipun dengan daratan pulau yang cukup luas tetapi yang dapat dijadikan
sebagai lahan pemukiman penduduk sangat terbatas karena karakter fisik
dari pulau ini yang sangat unik. Hal ini terlihat dari luas daratan yang ada,
hanya sebesar 0,13 km2 yang baru dapat dijadikan sebagai lahan
pemukiman atau hanya sebesar 16,05 %.
Daerah pesisir pulau sebagian besar tidak dapat dijadikan sebagai
lahan pemukiman karena di beberapa sisi gunung terjal langsung menuju ke
laut. Hal ini membuat penduduk terpisah atas dua dusun, yaitu dusun Burung
Loe 1 dan dusun Burung Loe 2.
Sekalipun secara fisik pulau ini berbentuk gunung yang cukup terjal
tetapi di sekeliling pulau terdapat paparan karang yang cukup luas ke arah
laut, hal ini terlihat pada saat air surut.
Di pulau Burung Loe juga terlihat kegiatan penambangan karang yang
digunakan untuk membuat bendungan di tepi laut yang suatu saat akan
direklamasi dan dijadikan lahan pemukiman baru oleh masyarakat.
5.1.1.3. Kelembagaan Formal dan Informal
Secara administratif pemerintahan, Pulau Burung Loe dipimpin oleh
seorang Kepala Lingkungan yang bertanggung jawab terhadap segala
aktivitas yang terjadi di dalam kehidupan masyarakatnya. Akan tetapi saat
ini terjadi selisih pendapat di dalam masyarakat sehingga orang yang
ditunjuk sebagai kepala lingkungan tidak mendapat dukungan sepenuhnya
dari masyarakat sehingga terbentuk beberapa wakil lingkungan.
Kelembagaan informal yang ada di pulau ini berupa kelompok remaja
mesjid, kelompok sepak bola, kelompok arisan dan lain-lain. Selain itu
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 86
secara alamiah terbentuk suatu kelompok nelayan dengan istilah kelompok
ponggawa-sawi, misalnya pada kelompok nelayan bagang dan pemancing
tongkol.
5.1.1.4. Kegiatan Sosial Kemasyarakatan
Secara umum masyarakat pulau masih memegang norma-norma adat
dan nilai-nilai kehidupan sosial yang masih baik. Hal ini tercermin dalam
kepedulian masyarakat yang dengan rela membantu secara gotong royong
dalam membiayai kehidupan satu keluarga yang tidak mampu. Salah satu
keluarga yang dibantu tersebut adalah kepala keluarga yang tuna netra,
atau karena kepala keluarganya meninggal dunia. Selain itu jiwa sosial
masyarakat pulau ini terlihat pada saat kegiatan mendirikan rumah, tenda-
tenda warung, atau pos-pos perkumpulan remaja maka tanpa diundang
masyarakat datang membantu menyelesaikannya.
Hal lain yang menjadi tolak ukur terhadap norma-norma adat yang
berlaku adalah pada batasan pergaulan remaja yang masih sangat kuat
sehingga dalam kehidupan keseharian masyarakat masih sangat tertutup
akan hal ini dan menganggap sebagai persoalan yang masih tabu
dibicarakan. Kegiatan keagamaan yang sangat kental terlihat dari kegiatan
pengajian bagi anak-anak secara rutin di masjid atau juga di rumah-rumah
masyarakat dengan standar biaya yang tidak ditentukan, tergantung dari
keikhlasan santri dan orang tuanya dan dalam bentuk yang bervariasi seperti
uang, ayam, pisang, kelapa, dan lain-lain.
5.1.2. Profil Demografi 5.1.2.1. Migrasi dan Mobilitas Penduduk
Pada umumnya masyarakat Pulau Burung Loe adalah masyarakat
nelayan yang senantiasa melakukan pelayaran ke daerah-daerah yang
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 87
cukup jauh untuk mencari daerah penangkapan ikan yang lebih baik. Sekitar
80% dari responden yang ada adalah masyarakat yang bekerja sebagai
nelayan yang terdiri atas nelayan bagang, nelayan pancing cakalang/tongkol,
dan nelayan long line.
Dari ketiga kelompok nelayan tersebut, nelayan bagang dan nelayan
pancing yang sering mencari daerah penangkapan ikan di luar Pulau-pulau
Sembilan. Daerah penangkapan yang biasa dikunjungi seperti daerah
Perairan Flores (Nusa Tenggara Timur), Lombok, Kolaka, atau di daerah
perairan Kabupaten Selayar. Kegiatan mencari daerah penangkapan ikan ini
dilakukan jika hasil-hasil tangkapan sudah mulai tidak menguntungkan atau
saat memasuki musim paceklik yaitu pada bulan Maret -September.
Lama waktu di daerah-daerah tersebut tergantung dari jenis alat
tangkap yang dioperasikan dan persiapan perbekalan selama operasi di laut.
Untuk nelayan pemancing biasanya menghabiskan waktu sekitar 2 – 3 bulan
dan kembali ke pulau selama ± 1 minggu untuk mempersiapkan operasi
berikutnya sekaligus bertemu dengan keluarga dan menyerahkan hasil
usahanya. Setelah persiapan cukup, mereka kembali lagi ke daerah
penangkapan jika hasil sebelumnya baik tetapi jika tidak mereka pindah ke
daerah lain dengan lama waktu yang sama dan akhirnya kembali ke pulau
sampai saat musim penangkapan di pulau membaik. Untuk nelayan bagang
dengan mekanisme yang sama tetapi lama waktu yang berbeda. Nelayan
bagang biasanya memakan waktu lebih lama di daerah penangkapan yaitu
sekitar 4 – 5 bulan dengan lama persiapan pemberangkatan berikutnya
sekitar 1 – 2 minggu.
5.1.2.2. Struktur Populasi dan Mata Pencaharian
Masyarakat Pulau Burung Loe pada umumnya bermata pencaharian
sebagai nelayan dengan mengeksploitasi dan mengelola sumberdaya laut
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 88
yang tersedia. Berdasarkan data responden menunjukkan bahwa 77,15 %
masyarakat Pulau Burung Loe memilih pekerjaan nelayan sebagai mata
pencaharian utamanya. Masyarakat yang bekerja sebagai nelayan ini terdiri
atas nelayan bagang (54,17%), nelayan pancing cakalang/tongkol (41,67%),
nelayan longline (4,17%).
Kelompok kecil masyarakat yang memilih pekerjaan selain nelayan
adalah masyarakat petani (0 %), masyarakat pedagang (8,57 %), pegawai
negeri sipil (5,71%), dan pekerjaan yang tidak tetap/jelas (8,57 %).
Secara umum masyarakat nelayan di Pulau Burung Loe lebih banyak
memilih kegiatan mengeksploitasi sumberdaya ikan-ikan pelagis di daerah
perairan terbuka dan sekitarnya dengan alat tangkap bagang dan pancing
tongkol (panongkol).
Tabel 21. Persentase Mata Pencaharian Penduduk Pulau Burung Loe
Jenis pekerjaan Jumlah KK Persentase (%)
Nelayan 136 77,15
Petani 5 0,00
Pegawai Negeri Sipil 5 5,71
Pedagang 9 8,57
ABRI 0 0,00
Pensiunan 0 0.00
Lainnya 15 8.57
Jumlah 170 100
Sumber : Data Potensi Kelurahan Pulau-pulau Sembilan, tahun 2001.
5.1.2.3. Karakteristik Pencari Nafkah Utama Rumah Tangga
Dalam sebuah keluarga umumnya yang menjadi pencari nafkah
utama adalah kepala keluarga dalam hal ini adalah Bapak. Tetapi pada
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 89
kenyataannya di daerah kepulauan, khususnya di Pulau Burung Loe tidak
sedikit yang menanggung kebutuhan kehidupan keluarga adalah Ibu atau
anak laki-laki yang telah bekerja. Dari hasil wawancara ada beberapa kasus
yang bertindak sebagai pencari utama dalam keluarga nafkah adalah sang
istri, sedangkan si suami tidak bekerja sama sekali.
Secara persentase yang bertindak sebagai kepala keluarga yang
bekerja di Pulau Burung Loe tetap masih didominasi oleh suami yaitu
sebesar 17,14% tetapi terdapat anggota keluarga yang membantu
kebutuhan keluarga adalah anak ke-1 utamanya anak laki-laki sebesar
8,58%, anak ke-2 sebesar 11,43%, dan anak ke-3 sebesar 5,71%, selain itu,
juga terdapat kelompok keluarga yang tidak jelas status pekerjaanya dan
merupakan persentase terbesar dari kelompok yang bekerja yaitu 57,14%.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan adanya peralihan
tanggung jawab keluarga secara alamiah, diantaranya peran anak yang
bertindak sebagai pencari nafkah utama keluarga karena faktor usia orang
tuanya yang sudah tidak kuat lagi bekerja di laut atau karena sakit (umunya
sakit lumpuh), peran istri sebagai pencari nafkah utama karena suaminya
yang telah meninggal atau karena suaminya merantau.
5.1.2.4. Pendidikan dan Keterampilan
Pendidikan di Pulau Burung Loe secara umum masih tergolong
sangat rendah. Hal ini terlihat dari data responden yang diambil bahwa yang
tidak sekolah sebesar 8,57%, sekolah hanya sampai SD 74,30% yang
merupakan persentase pendidikan terbesar, sekolah sampai SMP 5,71%,
sekolah sampai SMA sebesar 5,71% dan yang sekolah sampai sarjana
sebesar 5,71%.
Berdasarkan sebaran tingkat persentase yang sekolah di Pulau
Burung Loe terlihat bahwa pendidikan SD yang masih mendominasi, tetapi
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 90
secara umum bahwa hampir seluruh masyarakat Pulau Burung Loe sudah
menerima pendidikan, yaitu sebanyak 91,43% dari jumlah penduduk.
Rendahnya tingkat pendidikan ini secara umum, memberikan efek
terhadap sulitnya pemahaman atau penerimaan informasi dan teknologi
secara menyeluruh. Hal ini terlihat dengan kurangnya minat masyarakat
untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah
atau instansi terkait yaitu tentang terumbu karang (2,86%) dan pelatihan
selain terumbu karang (5,71%).
5.1.2.5. Struktur Keluarga dan Peranan Wanita
Peranan perempuan dalam keluarga secara tradisional adalah
mendidik dan mengasuh anak. Hal ini masih dipertahankan dalam struktur
keluarga masyarakat di Pulau Burung Loe sehingga banyak kaum
perempuan yang hanya mengasuh anak dan tidak memiliki pekerjaan.
Perempuan di Pulau Burung Loe terutama yang telah menjanda umumnya
bekerja sebagai pedagang ikan (Pappalele).
5.1.3. Infrastruktur Publik 5.1.3.1. Sarana Sosial
Fasilitas umum yang terdapat di Pulau Burung Loe adalah sarana-
kegiatan olah raga berupa lapangan sepak bola, bulu tangkis sekaligus
sepak takro, tenis meja. Fasilitas umum yang lain adalah berupa mesjid,
sekolah, poskamling, pekuburan, dan pos perkumpulan remaja serta
dermaga beton sepanjang ± 50 m.
5.1.3.2. Sarana Ekonomi
Di pulau ini terdapat semacam lembaga ekonomi nelayan yang sangat
berperan dalam kegiatan ekonomi masyarakat yaitu dalam bentuk sistem
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 91
ponggawa-sawi. Bentuk sistem ini dirasakan sangat besar manfaatnya bagi
nelayan-nelayan yang sering mengalami kesulitan dalam hal keuangan.
Dipilihnya poggawa-sawi dalam mengatasi kesulitan nelayan
dikarenakan bank yang disediakan pemerintah dalam memberikan pinjaman
terlalu banyak meminta persyaratan-persyaratan yang sulit dipenuhi
terutama mengenai agunan serta terkesan terlalu birokratis. Sedangkan jika
di ponggawa-sawi tidak perlu menyiapkan jaminan, lebih praktis dan tidak
menanggung bunga. Satu-satunya yang menjadi ikatan peminjaman adalah
setiap hasil tangkapan harus dijual ke ponggawa pemberi utang. Hal inilah
yang menjadi penyebab utama mengapa bank tidak terlalu dimanfaatkan.
5.1.3.3. Sarana Kesejahteraan
Secara umum rumah yang ada di pulau Burung Loe adalah berbentuk
rumah panggung beratap seng. Beberapa rumah di bagian bawah telah
dimodifikasi menjadi bangunan dari bahan semen berlantai keramik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa fasilitas kesejahteraan yang
ada di Pulau Burung Loe masih sangat kurang. Fasilitas kesehatan yang
dimiliki adalah pustu, polindes dan posyandu. Sarana air bersih di pulau ini
sudah mulai dibutuhkan padahal beberapa tahun sebelumnya air tawar
di pulau ini tersedia secara melimpah dan sangat jernih. Hal ini mungkin
terjadi akibat konversi lahan di daerah lereng dari tanaman hutan tropis
menjadi tanaman perkebunan seperti coklat, kelapa dan jambu mete.
5.2 Situasi Umum Kesejahteraan Masyarakat
Pulau Burung Loe merupakan salah satu gugusan Pulau-pulau
Sembilan yang tergolong padat penduduknya. Rumah-rumah penduduk
berdesak-desakan dan pada umumnya tidak mempunyai halaman. Satu-
satunya tempat yang agak terbuka dan tidak dipadati oleh perumahan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 92
adalah lapangan sepak bola, dan tempat inilah yang merupakan sarana olah
raga di pulau tersebut.
5.2.1. Keadaan Perumahan dan Kesehatan 5.2.1.1. Status Pemilikan dan Keadaan Perumahan
Status kepemilikan rumah di Pulau Burung Loe pada umumnya
adalah milik sendiri (80,00 %), yang lainnya berupa rumah dinas dan ada
pula yang masih menumpang di rumah keluarga (Tabel 22). Kehadiran
rumah dinas di Pulau Burung Loe merupakan fasilitas bagi paramedis yang
bertugas di Puskesmas pembantu dan juga rumah dinas untuk guru-guru
Sekolah Dasar.
Tabel 22. Persentase Bentuk, Luas dan Status Kepemilikan Rumah di Pulau Burung Loe
Bentuk Rumah % Luas (m²) % Status Rumah %
Panggung
Non Panggung
57,14
42,86
< 100
100 – 150
151 – 200
> 200
48,57
37,14
8,57
5,71
Milik
Dinas
Menumpang
80,00
2,86
17,14
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Bentuk .rumah sudah hampir seimbang antara rumah panggung
(57,14%) dengan rumah non panggung (42,86%). Namun rumah-rumah non
panggung kebanyakan belum permanen, ada yang lantainya terbuat dari
semen, tetapi dindingnya masih terbuat dari papan. Luas bangunan rumah
bervariasi dari yang kurang 100 m² sampai lebih dari 200 m², dengan
persentase terbanyak pada luas tanah di bawah 100 m². Hal ini
menunjukkan bahwa ukuran rumah di pulau ini tidak luas, keadaan ini
merupakan akibat dari terbatasnya luas lahan.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 93
Bagian atap rumah pada umumnya terbuat dari bahan seng
(91,42%), selebihnya ada yang terbuat dari bahan rumbia, nipa, genteng dan
asbes, dengan jumlah persentase yang sama. Bahan untuk dinding rumah
lebih banyak terbuat dari papan (65,71%), dan yang lainnya ada pula yang
menggunakan bahan dari tembok (28,57%), namun masih ada juga yang
terbuat dari bambu dan tripleks (Tabel 23). Lantai rumah pada umumnya
terbuat dari bahan papan (71,43%), yang lainnya terbuat dari bahan semen
(17,14%), dan sudah ada juga yang terbuat dari bahan tegel teraso dan
keramik.
Tabel 23. Persentase Bahan Pembuat Atap, Dinding dan Lantai Rumah di Pulau Burung Loe
Atap % Dinding % Lantai %
Seng
Rumbia
Nipa
Genteng
Asbes
91,42
2,86
2,86
2,86
0,00
Tembok
Papan
Bambu
Seng
Tripleks
28,57
65,71
2,86
0,00
2,86
Tegel
Keramik
Papan
Semen
8,57
2,86
71,43
17,14
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001. Fasilitas penerangan rumah secara umum menggunakan fasilitas dari
Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebanyak 91,43%. Selebihnya masih
menggunakan petromaks dan bahkan masih ada yang menggunakan lampu
pelita (Gambar 11).
5.2.1.2. Sumber Air Minum dan Fasilitas Kesehatan Masyarakat pulau Burung Loe pada umumnya memperoleh air minum
dengan cara membeli di Lappa (91,40%), meskipun masih ada juga yang
memperolehnya dari air sumur di lokasi setempat (8,60%) yang rasanya
sedikit agak payau (Gambar 12).
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 94
Gambar 11. Persentase Pemanfaatan Fasilitas Penerangan Rumah Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan,
Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Gambar 12. Persentase Sumber Air Minum Masyarakat Pulau Burung Loe
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan,
Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Di pulau ini terdapat satu buah puskesmas pembantu (Pustu) yang
dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk berobat. Puskesmas tersebut
dipimpin oleh seorang paramedis yang dibantu oleh seorang bidan. Pustu ini
cukup membantu masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
sifatnya mendadak, namun pada kasus tertentu yang agak berat, biasanya
91%
3% 6%
Listrik PLN Petromaks Pelita
91%
9%
Beli Sumur
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 95
mereka dirujuk ke rumah sakit umum kabupaten yang ada di kota Sinjai.
Selain Pustu di pulau ini juga terdapat Poliklinik Desa dan Posyandu.
5.2.1.3. Sanitasi Lingkungan
Tingkat kesadaran masyarakat pulau Burung Loe dalam menjaga dan
memelihara kebersihan lingkungan masih tergolong rendah, dimana
sebagian besar masyarakat memanfaatkan pantai sebagai tempat untuk
membuang sampah dan juga sekaligus sebagai tempat buang air besar
(Tabel 24).
Tabel 24. Persentase Tempat Buang Air Besar dan Tempat Pembuangan Sampah di Pulau Burung Loe
Tempat Buang Air Besar % Tempat Pembuangan Sampah %
Kakus
Sungai
Pantai
14,29
0,00
85,71
Lubang
Sungai
Kontainer
Pantai
Dibakar
2,86
0,00
0,00
97,14
0,00
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
5.2.2. Keadaan Ekonomi : Jenis dan Status Pekerjaan 5.2.2.1. Jenis Pekerjaan
Masyarakat di pulau Burung Loe sebagaimana masyarakat lainnya
dipulau-pulau Sembilan lainnya mempunyai pekerjaan utama yang bergerak
di bidang perikanan. Pada umumnya mereka memanfaatkan laut sebagai
tempat untuk memperoleh kebutuhan sehari-harinya. Mereka bekerja
sebagai nelayan bagang perahu dan nelayan penongkol (77,15%), meskipun
ada juga yang bekerja sebagai pedagang, pegawai negeri sipil dan lain-lain
(Tabel 25). Selain pekerjaan utama sebagai nelayan ada juga yang
mempunyai pekerjaan tambahan yang bergerak disektor jasa/ pelayanan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 96
masyarakat (2,86%), dan sebaliknya ada juga yang menggunakan sektor
perikanan ini sebagai pekerjaan tambahan (2,86%), hal ini dilakukan oleh
pegawai negeri sipil yang berdiam di daerah tersebut.
Tabel 25. Persentase Jenis Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Tambahan Masyarakat di Pulau Burung Loe
Pekerjaan Utama % Pekerjaan Tambahan %
Perikanan
Pedagang
PNS
Jasa
Dan lain-lain
77,15
8,57
5,71
0,00
8,57
2,86
0,00
2,00
2,86
94,24
2,86
0,00
0,00
2,86
94,28
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
5.2.2.2. Tingkat Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga
Rata-rata tingkat pendapatan masyarakat nelayan di Pulau Burung
Loe bervariasi, namun yang tertinggi adalah pendapatan di bawah Rp
500.000 (40,00%), selanjutnya antara setengah sampai satu juta rupiah
(28,57%) dan yang berpendapatan di atas dua juta rupiah juga cukup banyak
yaitu sekitar 22,86% (Tabel 26).
Tabel 26. Persentase Rata-rata Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Masyarakat di Pulau Burung Loe
Pendapatan % Pengeluaran %
< Rp 500.000
Rp 0,5 – Rp 1 Juta
Rp 1,1 – Rp 1,5 Juta
Rp 1,6 – Rp 2 Juta
> Rp 2 Juta
40,00
28,57
2,86
5,71
22,86
< Rp 500.000
Rp 0,5 – Rp 1 Juta
Rp 1,1 – Rp 1,5 Juta
Rp 1,6 – Rp 2 Juta
> Rp 2 Juta
54,29
34,28
0,00
11,43
0,00
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 97
Dari Tabel 26 juga terlihat bahwa pengeluaran tertinggi masyarakat di
pulau Burung Loe paling tinggi di bawah Rp 500.000 yaitu 54,29%,
selanjutnya antara setengah sampai satu juta rupiah (34,28%) dan paling
rendah antara 1,6 – 2 juta rupiah (11,43%). Apabila dihubungkan antara
jumlah pendapatan dengan pengeluaran mereka, ternyata apa yang mereka
peroleh dari hasil pekerjaannya tidak semua dibelanjakan, bahkan dari sini
juga terlihat bahwa mereka cukup pintar dalam mengelola keuangannya
karena tidak ada yang mengeluarkan uang lebih tinggi dari pendapatannya.
5.2.2.3 Tabungan dan Cara Mengatasi Kesulitan Keuangan
Lebih dari setengah penduduk di Pulau Burung Loe bisa menyimpan
uang hasil pendapatannya (62,86%) dan selebihnya tidak ada yang bisa
disimpan karena habis terpakai (Tabel 27).
Tabel 27. Persentase Jumlah yang Menabung, Bentuk Tabungan dan Cara Mengatasi Kesulitan Keuangan di Pulau Burung Loe
Tabungan % Bentuk % Pernah Kesulitan % Mengatasi
Kesulitan %
Ya
Tidak
62,86
37,14
Bank
Emas
Uang
77,14
11,43
11,43
Ya
Tidak
74,29
25,71
Pinjam di bank
Pinjam keluarga
Jual barang
Pinjam di ponggawa
34,30
48,57
11,43
5,70
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Cara mereka menyimpan uang bermacam-macam, ada yang
menyimpan di bank (77,14%), ada juga yang menyimpan dengan cara
membeli emas dan ada juga yang menyimpan dalam bentuk uang. 74,29%
dari mereka mengatakan pernah mengalami kesulitan keuangan. Apabila
hal ini terjadi, mereka lebih cenderung meminjam ke keluarga (48,57%),
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 98
karena tidak ada bunga dan yang lainnya ada yang meminjam di Bank, ada
juga yang menjual barang dan ada juga yang meminjam pada ponggawa.
5.2.3 Keadaan Sosial Ekonomi 5.2.3.1 Perkembangan Umum Usaha Ekonomi Masyarakat
Secara umum, usaha ekonomi masyarakat Pulau Burung Loe cukup
meningkat dari tahun ke tahun, meskipun peningkatan yang diperlihatkan
tidak terlalu banyak. Peningkatan ini dapat dilihat dari jumlah armada
penangkap ikan yang meningkat. Kondisi rumah sudah banyak yang
permanen, dan jumlah warung-warung juga meningkat. Meskipun demikian,
mereka juga masih mengeluhkan semakin jauhnya lokasi daerah
penangkapan ikan, sehingga biaya operasional meningkat dan jumlah hari
menangkap untuk 1 trip juga semakin lama.
Masalah pendidikan merupakan faktor yang perlu ditingkatkan, karena
rata-rata pendidikan mereka hanya sampai sekolah dasar. Dengan tingkat
pendidikan yang masih rendah mereka tidak bisa berfikir lebih jauh ke depan
dalam upaya meningkatkan taraf hidup mereka. Pada umumnya, mereka
tidak bisa memberi pendapat mengapa lokasi penangkapannya semakin
jauh.
5.2.3.2 Keterkaitan Kegiatan dan Keberadaan Terumbu Karang
Pemahaman masyarakat pulau Burung Loe tentang terumbu karang
masih terbatas pada pengertian umum, sehingga pada umumnya belum bisa
menghubungkan keterkaitan antara terumbu karang dengan kegiatan usaha
mereka menangkap ikan.
Nelayan di pulau Burung Loe pada umumnya menggunakan bagang
perahu dan bagang tancap serta kapal penongkol untuk mencari ikan yang
sasarannya adalah ikan-ikan pelagis, dan ikan-ikan fototaksis positif berarti
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 99
tidak bersentuhan langsung dengan ekosistem terumbu karang. Akan tetapi
dari hasil wawancara yang lebih mendalam mereka mengatakan bahwa
aktifitas penggunaan bom dan potas untuk menangkap ikan banyak
dilakukan oleh pulau-pulau tetangganya, sehingga apabila hal ini dikaitkan
dengan kegiatan usaha mereka, maka meskipun mereka tidak mencari ikan
di ekosistem terumbu karang, namun efek dari penggunaan bom dan potas
tersebut tentu juga akan berpengaruh pada ikan yang menjadi sasaran
tangkapan mereka.
5.2.3.3. Penguasaan Aset-aset Produksi dan Non Produksi
Berdasarkan data tentang aset-aset produksi yang dimiliki oleh
masyarakat pulau Burung Loe menunjukkan bahwa 65,71% dari responden
telah memiliki kapal/perahu, 17,10% memiliki sampan dan 17,19% lainnya
memiliki perahu layar. Penguasaan aset-aset produksi khususnya alat
tangkap juga disurvei. Data yang diperoleh menunjukkan 54,28% dari
responden memiliki bagang, 42,86% memiliki alat pancing dan 2,86%
memiliki alat tangkap long line (Tabel 28).
Tabel 28. Penguasaan Aset Produksi di Lokasi Pulau Burung Loe Armada yang dimiliki % Kepemilikan alat produksi %
Kapal/perahu 65,71 Bagang 54,28
Perahu layar 17,10 Pancing 42,86
Sampan 17,19 Long line 2,86
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Aset non produksi dari masyarakat Pulau Burung Loe dapat dilihat
dari kepemilikan tanah, simpanan uang di bank dan simpanan di rumah
berupa emas. Meskipun aset non produksi tidak produktif akan tetapi dapat
mereka pergunakan sewaktu-waktu jika sangat mendesak.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 100
5.3. Intensitas dan Kondisi Sumberdaya Terumbu Karang 5.3.1. Pandangan dan Sistem Pengetahuan Ekologis 5.3.1.1. Sistem Pengetahuan Tradisional
Pada prinsipnya sistem pengetahuan yang dianut oleh masyarakat
nelayan pulau Burung Loe sama dengan yang dianut oleh masyarakat
nelayan pulau Kambuno, seperti sistem; pengetahuan mengenai ruang/
tempat berupa pengetahuan tentang pulau, lokasi-lokasi penangkapan, dan
kategorisasi ruang; sistem pengetahuan nelayan mengenai laut dan isinya,
dan; sistem pengetahuan pelayaran.
* Pengetahuan Berkenaan dengan Ruang/Tempat
Masyarakat nelayan Pulau Burung Loe berpikiran bahwa di dalam
laut memiliki kandungan sumberdaya hayati dan non hayati yang beragam
yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Seperti juga masyarakat nelayan
pulau Kambuno, nelayan Pulau Burung Loe memiliki sistem pengkategorian
ruang/tempat di laut seperti karang, taka, dan gosong. Karang bagi nelayan
dipahami sebagai tempat tinggal, tempat mencari makan, tempat bertelur,
dan tempat berlindung bagi ikan, layaknya “rumah” bagi manusia.
Pemahaman ini terlihat dari hasil survei yang dilakukan di Pulau Burung Loe
tentang manfaat terumbu karang (Tabel 29).
Tabel 29. Prosentase Pengetahuan Masyarakat Pulau Burung Loe Tentang Manfaat Terumbu Karang
Manfaat Terumbu Karang Prosentase (%)
Rumah Ikan 14,29
Tempat Ikan Hidup 28,57
Perlindungan Ikan 11,42
Bahan Bangunan 22,86
Tidak Tahu 22,86
Sumber : Hasil Analisis Data Primer Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sulsel , 2001
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 101
Wilayah di mana terdapat gugusan karang dinamakan “taka”. Konsep
“taka” merupakan salah satu unsur inti dalam sistem kategorisasi
pengetahuan nelayan tentang lingkungan lautnya. Nelayan Pulau Burung
Loe mengetahui posisi dan nama setiap taka yang berada disekitar pulau
mereka, bahkan diluar kawasan Pulau Sembilan yang merupakan tempat
penangkapan.
* Pengetahuan Berkenaan dengan Laut dan Isinya
Masyarakat pulau Burung Loe hanya sedikit sekali yang mengetahui
jenis-jenis karang, kendatipun mereka mengenal dengan baik letak dan
nama lokasi karang di perairan Pulau-pulau Sembilan dan bahkan daerah
lain di luar kawasan tersebut.
Pada karang tersebut hidup berbagai jenis biota yang berasosiasi
dengannya, seperti berbagai jenis ikan dan biota non ikan (teripang, kima,
lola). Dalam pandangan nelayan, terdapat berbagai jenis ikan karang yang
dinilai memiliki nilai ekonomi yang tinggi seperti sunu, kerapu, napoleon,
kerapu, Lencam, dan lobster (Tabel 30).
Jenis ikan-ikan permukaan juga merupakan komoditi hasil laut yang
diusahakan oleh nelayan Pulau Burung Leo, terutama nelayan pancing
tangan dan nelayan bagang. Jenis ikan permukaan yang diusahakan
tersebut antara lain ikan teri, pepetek, katombo, cakalang, sembulak, layang
(Tabel 30).
Musim penangkapan ikan-ikan permukaan di kawasan Pulau-pulau
Sembilan terjadi pada musim barat dimana pada waktu yang sama nelayan-
nelayan dari luar masuk ke kawasan Pulau-pulau Sembilan melakukan
penangkapan. Migrasi ikan karang diyakini oleh nelayan tidak disebabkan
oleh siklus migrasi biota tersebut, melainkan disebabkan oleh pergerakan
ikan-ikan tersebut dari daerah dangkal (taka) ke daerah yang lebih dalam.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 102
Perpindahan tersebut dipengaruhi oleh siklus hidup biota bersangkutan,
dimana masyarakat nelayan percaya bahwa pada bulan Oktober hingga
bulan April merupakan musim memijah bagi ikan karang.
* Pengetahuan Berkenaan Dengan Pelayaran
Perangkat pengetahuan nelayan Pulau-pulau Sembilan berkenaan
dengan pelayaran difungsikan sebagai suatu cara memperoleh keselamatan
dalam pelayaran. Pengetahuan pelayaran ini umumnya dipengaruhi oleh
agama atau kepercayaan yang dianut penduduk setempat, yang digunakan
berdasarkan pengalaman empirik yang mereka hadapi selama melakukan
pelayaran.
Dapat dikatakan 100% penduduk Pulau-pulau Sembilan merupakan
masyarakat yang menganut agama Islam. Namun dalam hal pelayaran,
nampaknya kepercayaan peninggalan nenek moyang mereka masih
mewarnai kehidupan nelayan. Menurut informasi dari penduduk setempat,
mereka kadangkala melihat hal-hal yang aneh di laut dan untuk
mendapatkan hasil yang baik maka nelayan umumnya keluar ke laut pada
saat pasang.
Seperti telah dijelaskan di bagian atas, bahwa 100% masyarakat
pulau adalah beragama Islam. Sehubungan hal tersebut, maka nelayan
khususnya pada hari Jum’at tidak melakukan penangkapan sebelum
melaksanakan ibadah shalat Jum’at. Hal ini di atas berlaku secara umum
bagi nelayan yang ada di Propinsi Sulawesi Selatan.
Bekenaan dengan musim, maka nelayan yang ada di Pulau Burung
Loe juga mengenal dua musim yaitu musim timur (April sampai September)
dan musim barat (Oktober – Maret). Berbeda dengan aktivitas nelayan di
daerah lain yang sangat terpengaruh oleh musim, aktivitas nelayan Pulau
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 103
Burung Loe tidak banyak terpengaruh oleh perubahan musim mengingat
kondisi geografis kepulauan ini yang terletak di Teluk Bone yang terlindung.
5.3.1.2. Pandangan Tentang Hak Atas Laut
Untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut, nelayan Pulau
Burung Loe juga menganut pandangan yang serupa dengan masyarakat
nelayan Pulau Kambuno yaitu, menganut pandangan yang melihat dan
memahami laut serta isinya sebagai milik semua; menganut adanya aturan
adat yang mensyahkan dan mengatur pemilikan secara bersama dan
menganut pandangan adanya penerapan aturan formal.
Masyarakat nelayan Pulau Burung Loe memandang laut sebagai milik
semua, dengan kata lain laut dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang ingin
mencari penghidupan. Hasil survei yang dilakukan pada masyarakat di pulau
ini, 71,42% mengatakan setuju bahwa laut dan segala isinya merupakan
milik bersama, 14,29% tidak setuju dan 14,29% tidak tahu.
Implikasi perilaku dari pandangan ini (setuju 73,33%) masyarakat
Pulau Burung Loe dapat dilihat dari kesediaan mereka menerima nelayan
pendatang dari luar seperti dari Takalar, Pulau Barrang Lompo dan pulau-
pulau lainnya yang terletak di Selat Makassar, untuk menangkap ikan di
kawasan pulau ini. Demikian pula dengan aktivitas penangkapan ikan oleh
nelayan lokal yang melakukan penangkapan di daerah lain, terutama untuk
komoditi cakalang, seperti Sulawesi Tenggara, Maluku dan Nusa Tenggara
Timur.
Peraturan pemerintah tentang pelarangan penggunaan bahan-bahan
desktruktif dan Undang-Undang Otonomi Daerah sedikit banyaknya
mempengaruhi pandangan masyarakat tentang laut milik bersama. Dari
hasil survei yang dilakukan pada masyarakat di Pulau Burung Loe diperoleh
jawaban 71,40% yang mengatakan setuju terhadap pelarangan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 104
pengoperasian alat yang merusak sumbedaya laut, sedangkan yang tidak
setuju dengan hal tersebut hanya 17,14% dan yang tidak tahu 11,43%.
Misalnya kasus perselisihan antara nelayan bagang setempat dengan
nelayan bagang yang berasal dari Palopo (Kab. Luwu) yang menggunakan
bagang rambo. Meskipun alasan yang dikemukakan nelayan setempat atas
kejadian tersebut adalah alasan persaingan jumlah hasil tangkapan, namun
kejadian tersebut menyiratkan adanya mekanisme mempertahankan wilayah
penangkapan mereka. Karena pada umumya masyarakat nelayan Pulau
Burung Loe sebagai nelayan bagang, maka ada aturan adat yang harus
dipenuhi dalam penguasaan wilayah laut terdapat di Pulau-pulau Sembilan,
dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Penempatan Bagang dan Rumpon berdasarkan Aturan Adat
Sumber : Hasil Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Sedangkan penguasaan wilayah laut berdasarkan aturan formal
didasarkan pada peraturan pemerintah yang mengatur penggunaan atau
pemanfaatan sumberdaya alam laut. Aturan-aturan tersebut berupa
pelarangan penggunaan beberapa alat tangkap destruktif seperti bom, bius
Bagang B
± ½ mil Rumpon 1
Rumpon 2
Arus
Bagang A
± ½ mil
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 105
dan bubu, serta perizinan untuk melakukan penangkapan di dalam suatu
kawasan.
Peraturan formal dapat dikeluarkan oleh pemerintah setempat dengan
mengacu pada Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang lebih
tinggi. Sangat disayangkan oleh nelayan bahwa banyaknya pihak yang
memiliki hak untuk mengeluarkan peraturan, menyebabkan banyaknya
peraturan yang tumpang tindih. Demikian pula dengan pengawasan
terhadap wilayah laut dan sanksi yang diberikan oleh aparat keamanan laut
sangat lemah. Hasil survei yang dilakukan di pulau ini, sebenarnya sudah
banyak nelayan yang mengetahui tentang aturan pelarangan penggunaan
alat tangkap destruktif tersebut. Seperti diperoleh jawaban 54,29%
mengatakan mengetahui adanya peraturan pemerintah yang melarang
penggunaan bom dalam penangkapan ikan dan yang tidak mengetahui
sebanyak 45,71%. Sedangkan pelarangan penggunaan potas sebanyak
45,71% yang mengetahui dan yang tidak mengetahui sebanyak 54,29%.
Dalam kasus-kasus semacam ini, penegakan aturan formal terlihat sangat
lemah, bahkan lebih terkesan bahwa peraturan tersebut hanya berlaku bagi
nelayan yang tidak menggunakan alat serupa.
5.3.1.3. Pengetahuan Tentang Jenis-jenis Biota Laut Bernilai Ekonomi Tinggi
Pengetahuan tentang jenis-jenis biota laut yang bernilai ekonomis
tinggi oleh nelayan Pulau Burung Loe masih terbatas dibandingkan dengan
nelayan Pulau Kambuno yang banyak mengetahui jenis-jenis biota laut yang
bernilai ekonomis tinggi. Hal ini disebabkan karena nelayan pulau ini lebih
terkonsentrasi pada alat tangkap bagang. Namun mereka masih mengetahui
beberapa jenis biota laut yang bernilai ekonomis seperti ikan sunu dan
kerapu. Jenis ikan yang mahal adalah ikan kerapu khususnya kerapu tikus,
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 106
sedangkan untuk jenis non ikan yang bernilai ekonomis tinggi yang mereka
ketahui seperti udang/lobster, dan teripang.
5.3.1.4. Pandangan Tentang Kelangkaan Sumberdaya dan Prinsip-prinsip Konservasi
Seperti halnya di Pulau Kambuno, hampir semua responden
menganggap bahwa telah terjadi kemerosotan jumlah populasi biota bernilai
ekonomi perairan di sekitar Pulau Burung Loe. Hasil survei yang dilakukan
terhadap nelayan Pulau Burung Loe tentang kondisi hasil tangkapan di
perairan Pulau-pulau Sembilan didapatkan 66,67% yang mengatakan hasil
tangkapan menurun, 11,11% mengatakan meningkat dan 22,22%
mengatakan tetap.
Menurut tanggapan masyarakat nelayan Pulau Burung Loe tentang
berkurangnya populasi ikan dalam berbagai jenis antara lain disebabkan
bertambah banyaknya nelayan dan juga disebabkan oleh adanya bagang
rambo. Hasil survei yang dilakukan di pulau ini tentang penyebab
kelangkaan sumberdaya tersebut adalah 22,22% yang mengatakan
penyebabnya adalah bagang rambo; 22,22% yang mengatakan
penyebabnya adalah banyaknya nelayan; 11,11% yang mengatakan
penyebabnya adalah ikan kurang, 22,22% yang mengatakan penyebabnya
adalah musim; dan yang tidak tahu 22,22%.
Prinsip-prinsip konservasi dan pengelolaan sumberdaya laut di Pulau
Burung Loe belum ada, hal ini disebabkan nelayan tersebut hanya berpikir
bagaimana mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya dan berprinsip
bahwa selama laut masih digenangi oleh air maka ikan tetap ada.
5.3.2. Jenis dan Intensitas Pemanfaatan Sumberdaya
Jenis sumberdaya laut yang dimanfaatkan oleh nelayan Pulau Burung
Loe antara lain ikan cakalang, layang, tongkol, katombo, tenggiri, teri. Seperti
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 107
halnya Pulau Kambuno, sumberdaya laut lainnya yang juga banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat pulau tersebut adalah batu karang yang
digunakan untuk bahan bangunan juga digunakan sebagai dinding tanggul di
pantai. Prosentase jenis sumberdaya laut yang paling banyak dimanfaatkan
oleh nelayan pulau ini adalah teri (18,00%). Tingginya prosentase ini
disebabkan karena jenis alat tangkap yang dominan di pulau ini adalah
bagang. Persentase jenis sumberdaya laut yang terdapat di pulau Burung
Loe selengkapnya disajikan pada Tabel 30.
Tabel 30. Persentase Sumberdaya Laut (ikan dan non ikan) yang Tertangkap di Pulau Burung Loe
Jenis sumberdaya laut Persentase (%)
Teri 18,00
Katombo 12.00
Cakalang 12,00
Layang 10.00
Pepetek 10.00
Tongkol 8,00
Tenggiri 6,00
Sembulak 6,00
Sunu 6,0
Rambe 4,00
Ekor kuning 4,00
Cumi-cumi 2,00
Balombong 2,00
Sumber : Hasil Analisis Data Primer Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sulsel , 2001
5.3.2.1. Teknologi Pemanfaatan
Jenis Alat tangkap yang terdapat di pulau ini adalah bagang, pancing,
dan longline. Teknologi yang digunakan pada alat bagang telah
menggunakan lampu merkuri sebagai pemikat ikan. Persentase tertinggi
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 108
alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Pulau Burung Loe ini adalah
bagang sebesar 54,28%, Pancing sebesar 42,86%, dan Longline 2,86%
(Lihat Tabel 28). Pengoperasian alat tangkap bagang dilakukan pada
daerah laut dalam, dan sasarannya adalah umumnya ikan-ikan pelagik. Alat
tangkap pancing tangan untuk ikan demersal maupun pelagik. Sementara
alat longline untuk ikan demersal.
5.3.2.2. Metode Penangkapan
* Bagang
Cara pengoperasian pancing di Pulau Burung Loe sama seperti yang
terdapat di Pulau Kambuno, demikian halnya dengan alat tangkap bagang.
Nelayan bagang di Pulau Burung Loe melakukan penangkapan pada malam
hari dengan menggunakan alat bantu berupa lampu yang difungsikan
sebagai penarik ikan mendekati perahu dimana terpasang jaring. Menurut
aturan yang disepakati bersama oleh pemilik bagang, bila sebuah bagang
tengah melakukan operasi di suatu lokasi perairan, maka bagang lainnya
hanya boleh melakukan penangkapan dengan jarak ± ½ mil dari bagang
pertama. Aturan tersebut dimaksudkan agar ikan-ikan yang tertarik oleh
cahaya lampu bagang pertama, tidak terganggu oleh cahaya lampu bagang
kedua. Demikian pula dengan posisi bagang yang tidak boleh sejajar
berdasarkan arah arus laut pada saat penangkapan dilakukan.
* Pancing Tangan
Alat pancing tangan dapat dikelompokkan yaitu pancing cakalang,
pancing ikan karang atau biasa disebut pancing kedo-kedo, pancing rinta,
dan pancing cumi-cumi. Pancing cakalang dioperasikan pada perairan yang
dalam, pancing ikan karang sebagian besar dioperasikan di Taka-taka (area
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 109
terumbu karang) jenis ikan yang dikhususkan ditangkap adalah sunu dan
kerapu, pancing rinta digunakan untuk menangkap ikan-ikan katombo,
kembung, layang dan jenis-jenis ikan pelagis lainnya. Sedangkan pancing
cumi-cumi dioperasikan di taka-taka yang relatif dangkal airnya, dengan
menggunakan umpan buatan (artificial) yang terbuat dari plastik.
* Longline
Alat tangkap longline ini terdiri dari beberapa mata pancing yang
dikaitkan pada tali utama (main line). Cara pengoperasiannya yaitu pertama-
tama bagian alat yang dibuang ke laut adalah pelampung (sebagai tanda
dan untuk merentangkan alat tangkap), setelah itu disusul oleh tali utama
yang dilengkapi dengan tali cabang (branch line) yang merupakan tempat
mengikatkan mata pancing. Setelah itu alat dibiarkan beberapa saat dalam
perairan dan setelah dirasa cukup maka alat tangkap diangkat kembali untuk
mengambil hasil tangkapan. Pada umumnya jenis ikan yang didapat dari
alat tangkap ini adalah ikan-ikan demersal.
5.3.2.3. Lokasi Penangkapan
Lokasi penangkapan untuk setiap alat tangkap yang terdapat di Pulau
Burung Loe adalah tidak sama. Lokasi-lokasi penangkapan yang menjadi
tujuan penangkapan antara lain Teluk Bone, Kabupaten Selayar, Flores,
Sulawesi tenggara dan Nusa Tenggara Timur. Selain daerah di atas, nelayan
tersebut juga melakukan penangkapan disekitar taka yang terdapat di Pulau-
pulau Sembilan terutama alat tangkap bagang pada saat bulan gelap.
Seperti halnya Pulau Kambuno, maka daerah taka juga merupakan
daerah yang memiliki prosentase tertinggi sebagai tempat penangkapan bagi
nelayan Pulau Burung Loe yaitu sebesar 37,04%, untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 31 berikut ini.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 110
Tabel 31. Persentase Daerah Penangkapan Nelayan Pulau Burung Loe
Daerah Penangkapan Persentase (%)
Pulau-pulau Sembilan 37,04
Flores 18,52
Selayar 14,81
Sulawesi Tenggara 22,22
NTT 3,70
Teluk Bone 3,70
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
5.3.2.4. Waktu dan Musim Penangkapan Waktu atau lama penangkapan nelayan Pulau Burung Loe bervariasi,
yaitu antara kurang dari satu minggu hingga diatas empat minggu. Waktu
atau lama yang dimaksud di atas adalah waktu yang digunakan mulai
meninggalkan dermaga (fishing base) menuju daerah penangkapan (fishing
ground) dan kembali lagi ke dermaga. Secara umum puncak musim
penangkapan di pulau ini antara bulan Oktober hingga April (musim barat),
dan sebagian besar nelayan melakukan penangkapan terbatas pada daerah
taka disekitar Pulau Sembilan. Persentase tertinggi dalam hal waktu/lama
penangkapan yaitu antara tiga hingga empat minggu sebesar 44,44%.
Persentase waktu /lama penangkapan ikan disajikan pada Tabel 32.
Ketiga alat yang terdapat di Pulau Burung Loe ini mempunyai variasi
biaya operasional antara satu alat dengan alat lainnya. Biaya operasional ini
sangat ditentukan oleh daerah penangkapan dan lama operasi
penangkapan. Biaya operasional berkisar antara ± Rp. 500.000 -
± Rp.2.000.000. Biaya operasional Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
merupakan prosentase biaya operasional tertinggi, yaitu sebesar 33,33%.
Persentase biaya operasional dapat dilihat pada Tabel 33.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 111
Tabel 32. Persentase Waktu /Lama Penangkapan Nelayan Pulau Burung Loe.
Waktu/lama Penangkapan Persentase (%)
3 – 4 minggu 44,44
< 1 minggu 33,33
1 – 2 minggu 18,52
> 4 minggu 3,70
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001. Tabel 33. Persentase Biaya Operasional Penangkapan Nelayan Pulau
Burung Loe.
Biaya Operasional (Rp) Persentase (%)
500.000 – 1.000.000 33,33
< 500.000 25,93
1.600.000 – 2.000.000 18,52
1.100.000 – 1.500.000 11,11
> 2.000.000 11,11
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
5.3.3. Analisis Stakeholder 5.3.3.1. Stakeholder Internal
Termasuk stakeholder internal di Pulau Burung Loe adalah kelompok
nelayan yang terdiri dari nelayan bagang, nelayan pancing (handline),
nelayan longline, ponggawa laut dan darat dan tokoh masyarakat seperti
Kepala Lingkungan, Imam Desa dan penduduk desa.
Stakeholder internal yang berpotensi merusak terumbu karang adalah
Nelayan bagang yang menggunakan bom untuk menangkap ikan. Selain itu
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 112
aktifitas masyarakat yang bermukim di sekitar pesisir yang memanfaatkan
karang sebagai bahan pondasi rumah dan penahan ombak
Stakeholder yang terlibat menjaga kelestarian terumbu karang
di Pulau Burung Loe adalah aparat pemerintah setempat yang selalu
mengingatkan pentingnya pelestarian terumbu karang bukan hanya untuk
masyarakat setempat tetapi juga untuk masyarakat Pulau Sembilan secara
keseluruhan.
5.3.3.2. Organisasi dan Potensi Konflik
Secara umum organisasi nelayan yang secara khusus bergerak dalam
pengelolaan sumberdaya laut yang ditemukan di Pulau Burung Loe juga
terdapat di Pulau Burung Loe berupa organisasi tradisional ponggawa-sawi.
Organisasi ponggawa-sawi adalah organisasi kerja nelayan yang terdapat di
semua masyarakat nelayan. Ikatan di antara kedua unsur pembentuknya
yaitu ponggawa dan sawi sering kali diartikan oleh sebagai suatu bentuk
eksploitasi yang menjadi penyebab miskinnya sebagian besar kaum nelayan.
Namun organisasi bentukan pemerintah atau lembaga non-pemerintah yang
telah pernah ada belum mampu menggantikan ikatan yang terbentuk
diantara keduanya. Potensi konflik yang dapat terjadi pada masyarakat
nelayan Pulau Burung Loe adalah antara nelayan bagang dengan nelayan
longline yang beroperasi pada daerah penangkapan nelayan bagang.
5.4. Sistem pengolahan Pasca Panen dan Pemasaran Hasil
5.4.1. Jenis dan metode Pengolahan Pasca Panen di Pulau Burung Loe
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 113
Pulau Burung Loe merupakan pulau yang tegak lurus dengan Muara
Sungai Lappa. Penduduk di pulau tersebut didominasi oleh para nelayan
dengan alat tangkap pancing tonda, pancing rintak, bagang, longline, dan
sebagai pedagang pengumpul. Nelayan bagang di Pulau Burung Loe dalam
melakukan kegiatannya seperti dengan nelayan bagang di Pulau Kanalo I
dan II. Nelayan dengan alat tangkap pancing tonda dalam satu trip
umumnya membutuhkan waktu 7 – 14 hari, sedangkan yang menggunakan
pancing rintak membutuhkan waktu ± 5 – 7 hari.
5.4.1.1. Jenis Produk
Produk yang dihasilkan oleh nelayan bagang di Pulau Burung Loe
adalah sama dengan nelayan bagang di Pulau lainnya yang ada di Pulau-
pulau Sembilan, yaitu ikan pelagis yang segar. Sedangkan pemancing
(tonda dan rintak) hasil tangkapannya juga terdiri dari ikan cakalang dan
tenggiri yang segar seperti dengan pemancing yang lain. Kesamaan hasil
yang diperoleh tidak terlepas dari daerah penangkapan ikan yang relatif
sama dengan pulau lainnya.
5.4.1.2. Teknologi Pengolahan
Teknologi yang diterapkan nelayan Burung Loe adalah sama dengan
pemancing tonda yang ada di Pulau Kambuno, yaitu mengawetkan produk
dengan menggunakan es. Hasil tangkapan berupa ikan – ikan pelagis
berada di kapal selama kurang lebih 1 – 2 minggu, sehingga diperlukan
sarana pengolahan berupa bak hasil tangkapan dengan jumlah es ± 80 –
100 balok.
5.4.1.3. Biaya dan Nilai Tambah dari Proses Pengolahan
Biaya dan nilai tambah juga tidak jauh berbeda dengan yang ada di
Pulau Kambuno. Pengolahan hasil berupa penggaraman yang dilakukan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 114
oleh anggota keluarga yang diperoleh dengan menggunakan alat tangkap
bagang, pancing rintak dan tonda, hanya membutuhkan biaya untuk
pembelian garam yang penentuannya berdasarkan perbandingan antara air
dan garam yang digunakan. Biasanya jumlah garam yang digunakan kurang
lebih 10 kg.
Pengolahan dengan menggunakan es terutama pada ikan tongkol
membutuhkan biaya Rp. 360.000 – Rp. 450.000 (80 –100 balok es) setiap
kali melakukan penangkapan. Pengolahan ini berguna untuk
mempertahankan kondisi ikan sehingga harga penjualan tetap tinggi. Harga
penjualan ikan tongkol berkisar Rp. 7.000 – Rp. 10.000/ekor, dan rata-rata
hasil tangkapan sebanyak 500 – 700 ekor.
5.4.2. Pola dan Jalur Pemasaran 5.4.2.1. Mata Rantai Pemasaran
Rantai pemasaran terhadap produk hasil pemancingan dan bagang
juga sama dengan mata rantai hasil tangkapan pemancing dan bagang
yang ada di Pulau-pulau Sembilan. Hasil tangkapan sebagian besar
dipasarkan di pasar pelelangan di Kelurahan Lappa oleh ponggawa yang
kemudian dibeli oleh ponggawa darat dan dipasarkan kembali di pasar lokal
dan daerah lain, serta kepada pappalele. Pappalele memasarkan produk
dengan cara mendatangi konsumen. Terkadang penjualan produk tidak
habis sehingga ponggawa biasanya melakukan pengolahan sendiri yang
kemudian dipasarkan kembali dan untuk konsumsi sendiri. Selain penjualan
ditempat pelelangan, biasa juga penjualan dilakukan di tengah laut yang
melibatkan nelayan dengan pangnges, yang kemudian dipasarkan di
pelelangan atau kepada pappalele yang berada di pulau.
5.4.2.2. Mekanisme Harga dan Metode Pembayaran
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 115
Mekanisme harga dan cara pembayaran di Pulau Burung Loe juga
mengalami hal sama dengan nelayan yang ada di Pulau Kambuno yang
menggunakan alat tangkap yang sama. Penentuan harga untuk ikan pelagis
kecil dijual perkeranjang ( satu keranjang sama dengan 20 kg), sedang ikan
pelagis besar dijual perkilo. Harga masing – masing jenis ikan berbeda
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya (lihat sub bagian pengolahan dan
pemasaran Pulau Kambuno).
5.5. Faktor Eksternal dan Permasalahan Struktural Burung Loe Ada berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi tingkat
pengelolaan sumber daya perairan dan dampak lingkungan pada
masyarakat Pulau Burung Loe adalah sebagai berikut :
5.5.1.1. Pola Kebijakan Pemerintah tentang Pemanfaatan Sumberdaya
Berbagai peraturan dan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh
pemerintah umumnya bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat dan tingkat
kelangsungan hidup masyarakat Pulau Burung Loe sebagai pengguna.
Aturan-aturan dibuat supaya ada keteraturan pemanfaatan demi kelestarian
sumber daya perairan. Aturan ini akan memberikan manfaat bagi
masyarakat dengan adanya peraturan pelarangan penggunaan bom dan
potas.
Penggunaan bom memudahkan masyarakat nelayan untuk
menangkap ikan, walaupun di sisi lain mengancam akan kelestarian
lingkungan sebagai habitat tempat hidup ikan yang juga mengancam jiwa
nelayan itu sendiri. Timbul pertanyaan bagi masyarakat: Apakah akan
mendapatkan keuntungan sesaat dan mengancam kelestarian serta jiwa
atau hanya dapat mencukupi kebutuhannya tetapi tetap menjaga laut
sebagai tempat hidup kita.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 116
Dari data yang didapatkan di lapangan masyarakat Pulau Burung Loe
tentang berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah terdapat
beragam pengetahuan dan pemahaman dapat dilihat pada Tabel 35.
Beragamnya jawaban dari responden di Pulau Burung Loe baik tingkat
pemahaman tentang lingkungan dan kelestarian maupun peraturan
pengelolaan dapat menjadi indikasi belum optimalnya sosialisasi tentang
lingkungan kepada masyarakat. Jadi dibutuhkan cara sosialisasi aturan
yang lebih efektif (Tabel 34).
Pemahaman tentang manfaat terumbu karang yang masih kurang dapat
dikaitkan dengan tingkat pendidikan masyarakat Pulau Burung Loe rata -
rata hanya sampai pada sekolah dasar, juga aksesibilitas informasi yang
masih rendah khususnya informasi tentang lingkungan hidup.
Tabel 34. Persepsi Masyarakat tentang Definisi Karang
Definisi Karang Persentase (%) Tumbuhan Laut
Tumbuhan batu/ taka Batu Pasi
tidak tahu
2,86 5,71 25,71 5,72 60,00
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Tabel 35. Pemahaman Masyarakat Pulau Burung Loe tentang Peraturan Pemerintah
Keterangan Peraturan Pemerintah Ya Tidak Tahu
Yang melarang : Mengambil Membom Membius
51,43 % 48,57% 54,29 % 45,71 % 45,71 % 54,29 %
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
5.5.1.2. Pasar Permintaaan Produk Hasil Perikanan
Setiap kegiatan produksi baik kegiatan penangkapan, pengelolaan,
dan lain - lain, maka biasanya menjadi kendala ialah pasar produk yang
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 117
dihasilkan. Jenis pasar produk hasil perikanan berupa jalur distribusi,
segmentasi pasar maupun daya serap pasar secara langsung
mempengaruhi aktifitas penangkapan bagi masyarakat nelayan di Pulau
Burung Loe.
Umumnya masyarakat Pulau Burung Loe dapat menjual langsung
hasil tangkapannya ke ponggawa lokal, Pulau Kambuno atau ke tempat
pelelangan ikan Lappa dan eksportir ikan di Makassar, bargantung pada
nelayan tersebut Semakin tinggi daya serap pasar dan kemudahan untuk
mengaksesnya maka semakin bergairah masyarakat untuk melakukan
penangkapan. Masyarakat nelayan Pulau Burung Loe sama dengan
masyarakat lain di Pulau - Pulau Sembilan umumnya dipengaruhi oleh
kegiatan dari pedagang lokal, pedagang antar pulau, kegiatan eksportir,
aktifitas pelelangan (PPI) dalam dinamika kegiatan pemasaran hasil
perikanan. Mudahnya masyarakat Pulau Burung Loe dalam mengakses
pasar seperti : hubungan dengan ponggawa darat di Sinjai dan eksportir ikan
di Makassar juga mempengaruhi. .
5.5.1.3. Teknologi Penangkapan dan Akses Permodalan
Tingkat teknologi pemanfaatan sumber daya perairan yang
berkembang utamanya teknologi penangkapan yang diadopsi dan
berkembang di masyarakat nelayan Pulau Burung Loe sangat
mempengaruhi tingkat kemampuan pemanfaatan oleh masyarakat, maka
semakin tinggi pula tingkat kemampuan masyarakat untuk menghasilkan
tangkapan ikan. Selain tingkat kemampuan teknologi maka kemampuan
masyarakat untuk mengakses permodalan juga merupakan salah satu faktor
eksternal yang juga turut mempengaruhi kegiatan penangkapan karena hal
ini berkaitan dengan pembiayaan usaha penangkapan. Hasil survei yang
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 118
dilakukan di Pulau Burung Loe terdapat beberapa jenis alat tangkap yang
dioperasikan oleh masyarakat.
Jenis - jenis alat dan metode penangkapan yang dilakukan oleh
masyarakat Pulau Burung Loe diantaranya adalah Bagang perahu, pancing
tonda, pancing rintak, dan pengumpul. Jadi, bila dilihat dari
keanekaragaman alat tangkap maka masyarakat Pulau Burung Loe telah
mengadopsi teknik penangkapan dibanding dengan masyarakat pulau -
pulau lain di Pulau Sembilan. Misalnya: Pulau Batang Lampe yang
umumnya hanya mengenal penyelam teripang dan kurang mengalami
dinamika perkembangan teknologi alat tangkap.
Dari segi akses permodalan, masyarakat Pulau Burung Loe relatif
lebih maju dibanding masyarakat Pulau Batang Lampe. Ponggawa di Pulau
Burung Loe biasanya mempunyai ponggawa di Pulau Kambuno, Sinjai, atau
di Makassar yang bertindak sebagai orang yang memberikan bantuan
permodalan. Bantuan permodalan itu diberikan oleh ponggawa kepada
nelayan dengan konsekwensi harus menjual hasil tangkapannya kepada
ponggawa tersebut.
Berdasarkan hasil survei ternyata kehidupan nelayan ponggawa yang
mendapat dukungan permodalan lebih baik dibandingkan dengan nelayan
yang betrusaha sendiri. Perbedaan tingkat kesejahteraan ini cukup mencolok
dan dapat menimbulkan benih konflik internal permodalan usaha dari
ponggawa besar di Makassar umumnya mempunyai tingkat kehidupan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan nelayan yang tidak mempunyai akses
permodalan.
5.5.2. Kesesakan dan Konflik Pemanfaatan Sumber Daya
Alat tangkap yang ada di perairan Pulau Sembilan baik dari jenis
maupun jumlah mengalami peningkatan. Jumlah Kapal - kapal penangkap
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 119
ikan yang beroperasi di sekitar perairan Pulau Sembilan termasuk Pulau
Burung Loe dari tahun ke tahun mengalami peningkatan karena bukan saja
dilakukan oleh nelayan lokal tetapi juga nelayan dari daerah lain, Ini terjadi
selain karena suburnya sumber daya perairan di sekitar Pulau Sembilan juga
karena dekatnya tempat pemasaran berupa PPI di daerah Lappa. Inilah
yang mendorong nelayan di pulau lain untuk menangkap di sekitar Pulau
Sembilan karena hasil tangkapannya mudah dipasarkan, juga nelayan yang
menangkap di perairan lain tetap menjual ke PPI Lappa.
Jumlah nelayan yang mengakses ke perairan Pulau Sembilan
maupun melakukan melakukan penjualan di PPI Lappa dapat menimbulkan
kesesakan bila tidak dilakukan pengaturan yang baik. Kesesakan yang
timbul karena adanya penggunaan bersama akan menimbulkan konflik di
antara nelayan bila tidak ada pengaturan yang jelas tetapi dalam hal ini
pengertian masyarakat bahwa perairan merupakan milik umum dan dapat
diakses siapa saja, sehingga dapat menimbulkan pemahaman dan saling
pengertian di antara nelayan. Banyaknya kegiatan penangkapan di sekitar
Pulau Sembilan khususnya akan membawa dampak pada ketersediaan
sumber daya yang semakin menipis dan berimbas semakin menurunnya
hasil tangkapan yang diperoleh nelayan
Tabel 36. Tanggapan Masyarakat Pulau Burung Loe Terhadap Hasil Tangkapan
Hasil Tangkapan Persentase (%) Meningkat Menurun
Tetap tidak tahu
11,11 66,67 22,22
0 Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Bila dilihat dari jawaban responden dominan menjawab hasil
tangkapan semakin menurun. Untuk mengatasi penurunan hasil tangkapan
tindakan atau respon ke depan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 120
juga berbeda-beda dilahat dari hasil wawancara berikut yakni tidak tahu
33,33%, batasan penangkapan 33,33%, dan mencari di tempat lain 33,34%.
Terlepas dari permasalahan kesesakan dalam penggunaan sumber
daya yang dapat mengakibatkan pengurangan hasil tangkapan, umumnya
masyarakat Pulau Burung Loe setuju pada pengelolaan dengan akses
terbuka atau nelayan dari pulau lain dapat menangkap di sekitar Pulau
Sembilan. Jawaban yang diperoleh setuju 57,10%, tidak setuju 34,29%,
tidak tahu 8,57%.
5.5.2.1. Lembaga Ekonomi dan Lembaga Eksternal Lain
Berbagai macam faktor luar yang mempangaruhi kegiatan
pengelolaan sumber daya oleh masyarakat Pulau Burung Loe adalah
lembaga ekonomi dan lembaga lainnya seperti pasar dan PPI baik secara
langsung maupun tidak langsung. Lembaga - lembaga ini umumnya
mempunyai pengaruh seperti PPI Lappa mempunyai pengaruh yang besar
terhadap aktifitas penangkapan karena masyarakat mudah untuk
memasarkan hasilnya. PPI merupakan mediasi yang mempertemukan
nelayan sebagai produsen atau pedagang pengumpul dan pembeli sebagai
konsumen baik untuk industri, restoran, pedagang keliling maupun untuk
konsumsi rumah tangga. Sedangkan LSM adalah lembaga swadaya
masyarakat juga berperan dalam pengaruhnya pada aktifitas penangkapan.
LSM mempunyai kepentingan dan kepedulian masalah lingkungan dan
peningkatan standar hidup masyarakat. PPI dalam pengaruhnya
memberikan akses pemasaran terhadap hasil tangkapan masyarakat Pulau
Burung Loe, sedangkan kegiatan LSM memberikan pengaruh pada
penyadaran lingkungan dan peningkatan derajat hidup masyarakat. .
PPI di Lappa sudah dikenal dan diketahui peranannya secara lebih
luas sedangkan untuk kegiatan LSM, pengaruhnya masih relatif rendah
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 121
terhadap aktifitas masyarakat pulau khususnya Pulau Burung Loe. Hasil
survei menunjukkan bahwa informasi mengenai LSM umumnya tidak
diketahui sebesar 100% apalagi bila ingin mengetahu pengaruh kegiatan
berbagai lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan. Jadi dalam
hal ini peranan LSM sebagai salah satu stakeholder perlu ditingkatkan lagi
kinerjanya berupa sosialisasi kegiatan yang mengarah pada pelestarian
lingkungan dan peningkatan standar hidup.
5.5.2.2. Pengamanan Perairan dan Penegakan Hukum
Aktifitas penangkapan yang meningkat akan memberikan tekanan
yang berlebihan terutama bagi komoditas unggulan seperti teripang dan
ikan-ikan karang didorong oleh tingginya permintaan pasar baik dari segi
jumlah maupun nilai jual atau harga. Hal ini menjadi salah satu faktor
pendorong bagi masyarakat untuk menggunakan berbagai macam cara
dalam upaya meningkatkan hasil tangkapan. Penggunaan bom dan potas
merupakan salah satu alternatif yang digunakan oleh masyarakat untuk
mendapatkan hasil yang lebih banyak dalam waktu yang relatif singkat. Hal
ini menimbulkan implikasi terhadap kelestarian lingkungan utamanya
terumbu karang yang merupakan tempat hidup ikan juga mengancam
kesinambungan usaha penangkapan oleh masyarakat pulau, terutama
masyarakat nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap sederhana
dan hanya mampu menangkap di sekitar perairan Pulau Sembilan. Kegiatan
yang mengancam kelestarian akan terus terjadi apabila tidak dilakukan
tindakan pengamanan oleh pihak yang berwajib. Kegiatan pengamanan
akan berjalan efektif apabila disertai dengan tingkat kesadaran lingkungan
dari masyarakat terutama masyarakat nelayan. Salah satu alasan dari
masih adanya praktek penggunaan bom dan bius adalah sulitnya
pemberantasan oleh pihak keamanan karena luasnya daerah perairan. Jadi
untuk ke depan mungkin pengamanan perairan terbatas pada daerah sekitar
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 122
pulau terhadap praktek-praktek penangkapan yang merusak dapat dilakukan
oleh masyarakat sendiri (swakarsa) sehingga akan berjalan lebih efektif.
5.5.3. Permasalahan Struktural
Selain dari adanya berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi
aktifitas pemanfaatan sumber daya oleh nelayan terdapat berbagai macam
permasalahan struktural yang terjadi dalam masyarakat Pulau Burung Loe.
Berbagai permasalahan struktural di antaranya :
• Adanya berbagai macam kepentingan dari berbagai macam stakeholder
yang berbenturan dengan kondisi dan realitas masyarakat seperti adanya
kegiatan pelestarian dengan kegiatan pemanfaatan yang merusak seperti
penggunaan bom dan bius. Keadaan yang kontradiktif ini harus dicari
solusinya berupa penyadaran akan lingkungan dan alternatif kegiatan
penangkapan lain yang tidak merusak.
• Rendahnya tingkat kemampuan masyarakat untuk mengadopsi berbagai
program pemberdayaan yang disebabkan oleh tingkat pendidikan dan
kesadaran yang masih rendah.
• Adanya perbedaan mencolok antara masyarakat yang mempunyai
kemampuan modal yang lebih besar karena bantuan modal yang
diperoleh dari ponggawa tidak merata.
• Adanya tingkat kesadaran dan pemahaman hukum yang berbeda - beda
sehingga menimbulkan perbedaan antara masyarakat yang menerapkan
praktek - praktek yang merusak lingkungan.
5.6. Kesimpulan dan Rekomendasi dari Pulau Burung Loe
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 123
5.6.1. Kesimpulan
1. Tingkat kepadatan penduduk di dua lingkungan Burung Loe sudah
sangat tinggi dan tidak ada lagi tempat untuk membangun rumah kecuali
ke arah laut.
2. Sebagian besar masyarakat Pulau Burung Loe bermata pencaharian
sebagai nelayan yang mengoperasikan alat tangkap Bagang Dua
Perahu, Perahu Pengangkut Ikan (pangnges) sambil mengoperasikan
pancing tonda, dan pancing dasar.
3. Tidak adanya mata pencaharian alternatif bagi nelayan sehingga
memaksa ABK Bagang Perahu untuk bertahan meskipun sistem bagi
hasil yang dirasakan tidak adil bagi mereka.
4. Tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan masih kurang dibandingkan
dengan pulau-pulau tetangganya di Pulau-pulau Sembilan.
5. Tingkat pendidikan masyarakat masih tergolong sangat rendah.
6. Migrasi dan mobilitas penduduk cukup tinggi.
7. Sistem kelembagaan formal maupun informal belum berjalan dengan
maksimal.
8. Terdapat kegiatan pengeksploitasian terumbu karang seperti
penambangan untuk pondasi atau membendung tepi laut.
9. Masyarakat pulau Burung Loe kesulitan air tawar seperti masyarakat
pulau lainnya.
10. Sarana dan Prasarana kesehatan dan Sanitasi masih sangat minim serta
masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk hidup bersih.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 124
11. Kurangnya akses permodalan bagi masyarakat nelayan, dan tidak
aktifnya lembaga ekonomi formal untuk membiaya kegiatan
penangkapan masyarakat.
12. Pengolahan yang dilakukan oleh nelayan di Pulau Burung Loe adalah
pendinginan, dan hasil tangkapan langsung oleh ponggawa. 5.6.2. Rekomendasi
1. Perlu pengenalan jenis alat tangkap lain yang ramah lingkungan, namun
bisa memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak.
2. Perlu pengenalan mata pencaharian alternatif.
3. Perlu penyuluhan sanitasi lingkungan.
4. Perlu adanya sarana dan prasarana kesehatan serta sanitasi lingkungan
yang memadai bagi masyarakat Pulau Burung Loe.
5. Perlunya suatu wadah kegiatan ekonomi produktif bagi masyarakat
sebagai alternatif mata pencaharian terutama kaum wanita untuk
memanfaatkan sumberdaya laut yang ada.
6. Perlunya dibentuk lembaga ekonomi formal yang dapat membantu
permodalan bagi masyarakat sehingga tidak bergantung pada
ponggawa.
7. Perlunya dibentuk pengamanan perairan berbasis masyarakat yang
dapat dilakukan dengan pendekatan kepada tokoh masyarakat desa
setempat.
8. Perlu dilakukan pelatihan yang memberikan keterampilan, khususnya
kepada wanita nelayan.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 125
9. Lembaga ekonomi perlu dibentuk dalam hal mengontrol kegiatan tata
niaga.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 125
VI. LOKASI 3. PULAU BATANG LAMPE 6.1. Profil Lokasi Studi 6.1.1. Gambaran Umum Pulau Batang Lampe 6.1.1.1. Akses
Pulau Batang Lampe merupakan salah satu pulau yang terdapat
di Kelurahan Pulau-pulau Sembilan yang berada di sisi paling Utara, yang
dapat dicapai melalui jalur laut dengan menggunakan kapal penumpang
yang melayani beberapa pulau, termasuk Pulau Kanalo 1, Pulau Kanalo 2,
Pulau Kodingare dan Pulau Katindoang dengan waktu tempuh ±1,5 jam,
dengan tarif kapal Rp. 3000/orang.
Masyarakat pulau yang akan berangkat ke Pelabuhan Lappa di luar
waktu pemberangkatan kapal reguler umumnya menggunakan kapal sendiri
atau dengan menumpang pada kapal-kapal penangkap ikan yang akan
menjual hasil tangkapannya ke Pelabuhan Lappa.
6.1.1.2. Karakteristik Fisik
Pulau Batang Lampe dengan luas daratan sebesar 0,93 km²
merupakan pulau terbesar kedua setelah Pulau Burung Loe. Pulau ini
terbentang membujur dari Barat ke Timur yang ditumbuhi pohon-pohon yang
besar dan kecil yang tidak terlalu lebat. Seperti halnya di Pulau Burung Loe,
tidak semua daratannya dapat dijadikan sebagai lahan pemukiman
mengingat kondisi pulau ini juga merupakan daerah perbukitan yang
sebagian berbatu.
Pulau Batang Lampe terbagi menjadi dua daerah pemukiman dimana
pada bagian Selatan yaitu pada posisi bagian tengah pulau dihuni lebih
banyak penduduk sekitar 60 buah rumah dan pada bagian Utara dihuni
sekitar 33 buah rumah sehingga total rumah yang terdapat di Pulau Batang
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 126
Lampe sekitar 93 rumah tempat tinggal. Posisi pemukiman di bagian Selatan
lebih baik karena agak cekung ke dalam sehingga terlindung dari gelombang
dan abrasi pantai.
Pulau Batang Lampe belum mempunyai dermaga permanen. Sebagai
tempat penambatan perahu, mereka hanya membendung tepi pantai dari
tumpukan batu-batu karang yang menyerupai dermaga. Pembangunan
dermaga sampai saat ini belum selesai karena masalah dana yang sangat
terbatas. Ada satu hal yang nampaknya memberi peluang kepada
masyarakat untuk menambang karang dalam kaitannya dengan
pembangunan dermaga tersebut. Disatu sisi pemerintah melarang kegiatan
tersebut, sedangkan disisi lain bantuan yang diberikan hanya berupa semen.
Adapun bahan lain seperti batu dan pasir diusahakan sendiri oleh
masyarakat, keadaan ini seakan memberi peluang kepada masyarakat
untuk melakukan penambangan karang.
Oleh karena kondisi pulau yang berbukit cukup terjal, maka daratan
yang dapat dijadikan sebagai lahan pemukiman penduduk sangat terbatas.
Hal ini terlihat dari seluruh luas daratan yang ada, hanya sebesar 0,05 km2
yang baru dapat dijadikan sebagai lahan pemukiman atau hanya sebesar
5,38%.
Secara fisik, pulau ini membentuk pegunungan tetapi di kaki gunung
yang berbatasan dengan laut membentuk daerah paparan karang (daerah
rataan terumbu) yang cukup luas ke arah laut. Hal ini terlihat saat memasuki
perairan bagian Selatan sampai menuju perairan bagian Utara pulau dimana
paparan karang terbentuk mengelilingi pulau ini.
6.1.1.3. Kelembagaan Formal dan Informal
Secara administratif, Pulau Batang Lampe dipimpin oleh seorang Ibu
Kepala Lingkungan yang bertanggung jawab terhadap segala aktivitas yang
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 127
terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Peran kelembagaan yang ada
di Pulau Batang Lampe sudah cukup berjalan dimana saat kegiatan
penelitian ini dilakukan, Ibu Kepala Lingkungan telah mengumumkan untuk
merealisasikan pembangunan dermaga yang selama ini belum dimiliki.
Kelembagaan informal yang ada di pulau ini berupa struktur
kelembagaan di mesjid dan bentuk-bentuk lembaga yang tercipta dari suatu
kelompok nelayan dengan istilah ponggawa-sawi. Kelembagaan yang kuat
yang memberi pengaruh terhadap segala pengambilan keputusan dalam
kehidupan masyarakat pulau ini adalah kelembagaan yang berbentuk sistem
ponggawa-sawi. Hal ini dikarenakan, sistem yang berjalan dalam
kelembagaan ini sudah merupakan ikatan kerja yang berlangsung selama
kontrak/kesepakatan dalam usaha yang ditekuni itu berjalan, misalnya pada
kelompok nelayan penyelam (pencari teripang) dan pemancing (kerapu,
cakalang, tongkol).
6.1.1.4. Kegiatan Sosial Kemasyarakatan
Secara umum masyarakat kepulauan masih memegang norma-norma
adat dan nilai-nilai kehidupan sosial yang masih baik. Hal ini masih
ditemukan di Pulau Batang Lampe. Masyarakatnya masih memiliki jiwa
sosial yang cukup tinggi, sifat gotong royong dan senang membantu serta
peduli terhadap kegiatan masyarakat disekelilingnya. Jika terdapat kegiatan
mendirikan rumah, maka dengan sendirinya mereka akan saling membantu
menyelesaikannya, umumnya bantuan yang diberikan berupa bantuan
tenaga atau berupa bahan-bahan makanan dan minuman saat kegiatan
tersebut berlangsung.
Aturan norma-norma adat masyarakat masih berjalan baik, hal ini
dapat terlihat dari beberapa masalah yang terungkap diantaranya
menyangkut batasan pergaulan remaja, kecaman bagi pasangan yang kawin
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 128
lari, serta tidak terdengarnya kasus tentang pencurian. Kegiatan keagamaan
yang sangat kental terlihat dari kegiatan pengajian bagi anak-anak secara
rutin di mesjid atau juga di rumah-rumah masyarakat dengan standar biaya
yang tidak ditentukan. Kalaupun ada, bentuk pembiayaan tersebut dikonversi
ke dalam bentuk lain berupa ternak unggas (ayam, itik) atau hasil laut
lainnya (ikan segar atau ikan kering).
6.1.2. Profil Demografi
6.1.2.1. Migrasi dan Mobilitas Penduduk
Pada umumnya masyarakat Pulau Batang Lampe adalah masyarakat
nelayan yang senantiasa melakukan pelayaran ke daerah-daerah yang
cukup jauh untuk mencari daerah penangkapan ikan yang lebih baik. Pada
umumnya penduduk bekerja sebagai nelayan yang terdiri atas nelayan
penyelam, nelayan pemancing ikan sunu. Para penyelam dan pemancing
merupakan sawi dari usaha penyelaman teripang yang berbasis di Pulau
Kambuno.
Kedua kelompok nelayan tersebut sering mencari daerah
penangkapan ikan di luar Pulau-pulau Sembilan. Daerah penangkapan yang
biasa dikunjungi seperti daerah Perairan Flores (NTT), Kolaka, atau
di sekitar perairan Kabupaten Selayar. Kegiatan mencari daerah
penangkapan ikan ini dilakukan jika hasil tangkapan sudah mulai tidak
menguntungkan atau saat memasuki musim paceklik.
Lama waktu di daerah-daerah tersebut tergantung dari jenis alat
tangkap yang dioperasikan dan persiapan perbekalan selama operasi di laut.
Untuk nelayan pemancing biasanya menghabiskan waktu sekitar 2 hingga
3 bulan dan kembali ke pulau selama ± 1 minggu untuk mempersiapkan
operasi berikutnya sekaligus bertemu dengan keluarga dan menyerahkan
hasil usahanya. Setelah persiapannya cukup, mereka kembali lagi ke daerah
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 129
penangkapan jika hasil sebelumnya memuaskan tetapi jika tidak mereka
pindah ke daerah lain dengan lama waktu yang sama dan akhirnya kembali
ke pulau sampai saat musim penangkapan di pulau membaik. Untuk
nelayan penyelam dengan mekanisme yang sama tetapi lama waktu yang
berbeda. Nelayan penyelam biasanya melakukan operasi penangkapan
dengan menggunakan waktu yang lebih lama di daerah penangkapan yaitu
sekitar 4 – 6 bulan dengan lama fase persiapan pemberangkatan berikutnya
sekitar dua minggu.
6.1.2.2. Struktur Populasi dan Mata Pencaharian
Masyarakat Pulau Batang Lampe dapat dikatakan sebagai
masyarakat dengan mata pencaharian utama adalah nelayan. Berdasarkan
data responden menunjukkan bahwa 66,67% masyarakat di Pulau Batang
Lampe memilih pekerjaan nelayan sebagai mata pencaharian utamanya.
Masyarakat yang bekerja sebagai nelayan ini terdiri atas nelayan pemancing
(30,77%) dan nelayan penyelam (69,23%).
Kelompok kecil masyarakat yang memilih pekerjaan selain nelayan
adalah pegawai negeri sipil (27,77%), dan pekerjaan sebagai pensiunan
(5,56%). Secara umum masyarakat nelayan di Pulau Batang Lampe lebih
banyak memilih kegiatan mengeksploitasi sumberdaya ikan-ikan demersal
di daerah perairan terumbu karang dan sekitarnya dengan alat penyelam.
6.1.2.3. Karakteristik Pencari Nafkah Utama Rumah Tangga
Pencari nafkah utama adalah seseorang yang dapat memobilisasi
sumber-sumber ekonomi di lingkungannya untuk pemenuhan kebutuhan
rumah tangga. Dalam sebuah keluarga umumnya yang menjadi pencari
nafkah utama adalah kepala keluarga dalam hal ini adalah bapak. Tetapi
pada kenyataannya di daerah kepulauan, khususnya di Pulau Batang
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 130
Lampe tidak sedikit yang menanggung kebutuhan kehidupan keluarga
adalah Ibu atau anak laki-laki yang telah dewasa.
Secara persentase yang bertindak sebagai kepala keluarga yang
bekerja di Pulau Batang Lampe yaitu sebesar 16,67%. Terdapat anggota
keluarga yang membantu kebutuhan keluarga adalah anak pertama
utamanya anak laki-laki sebesar 38,89%, Anak kedua sebesar 11,11%,
selain dari yang tersebut diatas, terdapat kelompok keluarga yang tidak jelas
status pekerjaannya yaitu 33,33%.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peralihan
tanggung jawab keluarga secara alamiah, diantaranya peran anak yang
bertindak sebagai pencari nafkah utama keluarga karena faktor usia orang
tuanya yang sudah tidak kuat lagi bekerja di laut atau karena sakit
(umumnya sakit lumpuh), peran istri sebagai pencari nafkah utama karena
suaminya yang telah meninggal atau karena suaminya merantau.
6.1.2.4. Pendidikan dan Keterampilan
Pendidikan di Pulau Batang Lampe secara umum masih tergolong
sangat rendah. Hal ini terlihat dari data responden yang diambil bahwa yang
tidak sekolah sebesar 16,67%, sekolah hanya sampai SD 61,11% yang
merupakan persentase pendidikan terbesar, sekolah sampai SMP 11,11%,
sekolah sampai SMA sebesar 5,56% dan yang sekolah sampai sarjana
sebesar 5,56%.
Berdasarkan sebaran tingkat persentase yang bersekolah di Pulau
Batang Lampe terlihat bahwa pendidikan SD masih mendominasi tingkat
pendidikannya. Rendahnya tingkat pendidikan ini secara umum, memberikan
efek terhadap sulitnya pemahaman atau penerimaan informasi dan teknologi
secara menyeluruh.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 131
6.1.2.5. Struktur Keluarga dan Peranan Perempuan
Peranan perempuan dalam keluarga secara tradisional adalah
mendidik dan mengasuh anak. Hal ini masih dipertahankan dalam struktur
keluarga masyarakat di Pulau Batang Lampe sehingga banyak kaum
perempuan yang hanya mengasuh anak dan tidak memiliki pekerjaan.
Peranan perempuan dalam keluarga di Pulau Batang Lampe yang
menonjol, adalah dalam mendidik anak membaca kitab suci Alqur’an. Hal
ini dilaksanakan setiap hari pada siang hari atau menjelang sore. Salah satu
peran perempuan yang cukup menonjol di Pulau Batang Lampe, yaitu kepala
lingkungannya dipegang oleh seorang perempuan yang sudah berumur
namun sangat aktif. Pada mulanya jabatan kepala lingkungan diduduki oleh
suami beliau, tetapi setelah meninggal, jabatan kepala lingkungan untuk
sementara dipegang oleh istrinya namun akhirnya disyahkan oleh
pemerintah daerah karena melihat kemampuannya.
6.1.3. Infrastruktur Publik
6.1.3.1. Sarana Sosial
Fasilitas umum untuk kegiatan-kegiatan sosial yang terdapat di Pulau
Batang Lampe boleh dikatakan sangat kurang. Hal ini terutama disebabkan
karena lahan peruntukan untuk itu sangat terbatas. Beberapa fasilitas yang
ada diantaranya sarana peribadatan (mesjid), sekolah, pos kamling, serta
pekuburan.
Fasilitas sumur umum dan sarana MCK (Mandi Cuci Kakus) hanya
terdapat di pemukiman penduduk sebelah Selatan pulau, sedangkan
pemukiman di bagian Utara sangat sulit mendapatkan air tawar. Secara
umum kondisi air sumur yang ada sangat memprihatinkan, karena dari
beberapa sumur yang ada, hanya satu sumur yang airnya dianggap cukup
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 132
layak untuk diminum dan sebagian besar penduduk mengambil air minum
dari sumur ini, akan tetapi pada musim kemarau sebagian dari mereka
membeli air minum dari Kelurahan Lappa (daratan Sinjai).
6.1.3.2. Sarana Ekonomi
Di pulau ini terdapat semacam lembaga ekonomi nelayan yang sangat
banyak berperan dalam kegiatan ekonomi masyarakat yaitu dalam bentuk
sistem ponggawa-sawi, walaupun umumnya ponggawa berada di Pulau
Kambuno sedangkan di Pulau Batang Lampe hanya sawi. Bentuk sistem ini
dirasakan sangat besar manfaatnya bagi nelayan-nelayan yang sering
mengalami kesulitan dalam hal keuangan.
6.1.3.3. Sarana Kesejahteraan
Secara umum dapat dikatakan bahwa fasilitas kesejahteraan yang
ada di Pulau Batang Lampe masih sangat kurang dimana fasilitas yang ada
hanya berupa posyandu. Kepala Lingkungan di pulau ini selain menjalankan
tugas pemerintahan juga memiliki keahlian sebagai dukun beranak dan
telah mendapat pelatihan.
6.2. Situasi Umum Kesejahteraan Masyarakat
Pulau Batang Lampe merupakan salah satu gugusan Pulau-pulau
Sembilan yang jumlah penduduknya sedikit. Secara umum, tingkat
kesejahteraan masyarakatnya lebih baik dibanding dengan Pulau Burung
Loe. Hal ini bisa dilihat dari kondisi rumah-rumah penduduk yang meskipun
rumah panggung, tetapi cukup terpelihara. Penduduk di pulau ini terbagi
ke dalam dua lokasi pemukiman, pemukiman yang berada di sebelah Utara
dengan jumlah penduduknya lebih sedikit dibanding dengan pemukiman
yang terletak di sebelah Selatan. Kedua lokasi pemukiman ini dihubungkan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 133
oleh jalan setapak yang melewati bukit, atau lewat laut dengan
menggunakan perahu.
6.2.1. Keadaan Perumahan dan Kesehatan
6.2.1.1. Status Pemilikan dan Keadaan Perumahan
Rumah di Pulau Batang Lampe pada umumnya sudah berstatus hak
milik (94,44%), yang lainnya berstatus menumpang di rumah keluarga atau
sementara masih tinggal bersama orang tua karena belum mempunyai
rumah sendiri (Tabel 37). Bentuk rumah panggung lebih banyak (66,67%)
dibanding dengan rumah yang non panggung. Rumah non panggung sudah
ada yang permanen, namun masih ada juga yang setengah permanen. Luas
rumah bervariasi dari yang kurang 100 m² sampai lebih dari 200 m². Jumlah
rumah dengan ukuran kurang dari 100 m² lebih banyak dibanding yang
lainnya (66,67%), hal ini disebabkan keterbatasan lahan.
Tabel 37. Persentase Bentuk, Luas dan Status Kepemilikan Rumah di Pulau Batang Lampe
Bentuk Rumah % Luas (m²) % Status Rumah % Panggung Non Panggung
66,67
33,33
< 100
100 – 150
151 – 200
> 200
66,67
22,22
0,00
11,11
Milik Kontrak Numpang
94,44
0,00
5,56
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Baik rumah panggung maupun non panggung, atapnya seluruh
terbuat dari seng (100%), dan tidak ada lagi yang menggunakan bambu
sebagai bahan untuk dinding rumah. Dinding rumah yang dominan, terbuat
dari papan (61,11%), yang lainnya berupa dinding tembok (permanen) dan
selebihnya terbuat dari tripleks (Tabel 38). Lantai rumah pada umumnya
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 134
terbuat dari bahan papan (66,66%), selebihnya terbuat dari semen bahkan
sudah ada juga yang terbuat dari keramik meskipun jumlahnya masih sedikit.
Tabel 38. Persentase Bahan Pembuat Atap, Dinding dan Lantai Rumah di Pulau Batang Lampe
Atap % Dinding % Lantai %
Seng
Rumbia
Nipa
Genteng
Asbes
100,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Tembok
Papan
Bambu
Seng
Tripleks
33,30
61,08
0,00
0,00
5,56
Tegel
Keramik
Papan
Semen
5,56
0,00
66,66
27,78
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Fasilitas penerangan rumah pada umumnya menggunakan fasilitas
dari perusahaan listrik negara (PLN) sebanyak 94,44% selebihnya ternyata
masih menggunakan lampu pelita (Gambar 14). Listrik dapat digunakan
hanya pada malam hari, itupun hanya diaktifkan selama 8 jam. Hal ini
sehubungan dengan generator listrik yang digunakan memakai bahan bakar.
Gambar 14. Persentase Fasilitas Penerangan di Pulau Batang Lampe Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
94%
6%
PLN Pelita
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 135
6.2.1.2. Sumber Air Minum dan Fasilitas Kesehatan
Masyarakat di Pulau Batang Lampe sebagian besar memperoleh air
minum dari sumur (61,11%) yang diambil dari satu sumur di pemukiman
bagian Selatan pulau yang airnya ternyata cukup tawar dan layak untuk
diminum terutama pada musim hujan. Keberadaan bukit di pulau ini yang
ditumbuhi pohon dan tanaman lainnya membantu dalam peresapan air hujan
menjadi air tanah sehingga dapat menjadi suplai air tawar saat musim
kemarau. Akan tetapi apabila sudah lama tidak hujan, sebagian besar
sumur mulai terasa payau sehingga selain menggunakan air tawar dari
sumur di Selatan pulau tersebut, juga ada (38,89%) yang membeli air minum
di Lappa dengan menggunakan fasilitas perahu (Gambar 15).
Fasilitas kesehatan di pulau ini tidak ada, jadi apabila ada penduduk
yang terserang penyakit, biasanya dibawa ke puskesmas di Pulau Kambuno,
dan pada tingkat yang lebih parah biasanya mereka membawanya ke rumah
sakit umum di Kabupaten Sinjai. Keadaan ini cukup meprihatinkan, karena
pada kondisi darurat tidak ada pertolongan pertama yang bisa diberikan.
Gambar 15. Persentase Sumber Air Minum di Pulau Batang Lampe
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
38%
62%
Beli Sumur
61 %
39 %
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 136
6.2.1.3. Sanitasi Lingkungan
Keadaan sanitasi lingkungan hampir sama dengan pulau-pulau lain
yang ada di Pulau-pulau Sembilan. Keadaan ini pada umumnya terjadi
di pulau-pulau kecil, dimana sebagian besar masyarakat memanfaatkan
pantai sebagai tempat membuang sampah dan sekaligus juga sebagai
tempat buang air besar (Tabel 39).
Tabel 39. Persentase Tempat Buang Air Besar dan Tempat Pembuangan Sampah di Pulau Batang Lampe
Tempat Buang Air Besar % Tempat Buang Sampah %
Kakus
Gunung
Pantai
5,56
5,56
88,88
Lubang
Sungai
Kontainer
Pantai
Dibakar
15.97
0,00
0,00
77,78
6,25
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Berbeda dengan pulau lainnya yang ada di Pulau-pulau Sembilan,
Pulau Batang Lampe yang memiliki topografi daratan berbukit sehingga
mengundang sebagian penduduk untuk memanfaatkan sebagai tempat
buang air besar sekaligus sebagai tempat berkebun.
6.2.2. Keadaan Ekonomi : Jenis dan Status Pekerjaan 6.2.2.1. Jenis Pekerjaan
Sebagaimana pulau-pulau lainnya, masyarakat di Pulau Batang
Lampe bekerja di sektor perikanan sebagai nelayan yang merupakan
pekerjaan utamanya (88,89%), dan yang lainnya adalah sebagai pegawai
negeri sipil. Yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil adalah guru-guru
Sekolah Dasar (Tabel 40). Selain nelayan sebagai pekerjaan utamanya,
mereka juga mempunyai pekerjaan tambahan sebagai pedagang (16,70%)
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 137
dan bekerja di sektor jasa (5,56%). Selain itu ada pula yang menjadikan
pekerjaan nelayan ini sebagai pekerjaan tambahan (15,56%). Hal ini
dilakukan oleh para pegawai negeri sipil yang berdiam di pulau tersebut.
Tabel 40. Persentase Jenis Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Tambahan di Pulau Batang Lampe
Pekerjaan Utama % Pekerjaan Tambahan %
Perikanan
Pedagang
PNS
Jasa
Tidak ada
88,89
0,00
11,11
0,00
0,00
Perikanan
Pedagang
PNS
Jasa
Tidak ada
15,56
6,68
0,00
5,56
72,20
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
6.2.2.2. Tingkat Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga
Rata-rata pendapatan masyarakat nelayan di Pulau Batang Lampe
bervariasi dari yang terendah kurang dari Rp 500.000 sampai dengan yang
tertinggi di atas Rp 2 juta. Persentase jumlah penduduk yang mempunyai
pendapatan antara setengah sampai 1 juta rupiah menempati posisi pertama
(38,89%) disusul pada pendapatan di bawah Rp 500.000 sebanyak 33,33%
dan yang berpendapatan di atas Rp 2 juta juga cukup tinggi yaitu 16,67%
dan paling rendah pada pendapatan antara Rp 1,1 sampai dengan 1,5 juta
rupiah (Tabel 41).
Jumlah pengeluaran yang harus mereka keluarkan setiap bulan pada
umumnya kurang dari Rp 500.000 (66,67%), sedangkan sisanya berada
di antara setengah juta sampai satu juta rupiah (33,33%). Apabila
dihubungkan antara jumlah pendapatan dan pengeluaran mereka, ternyata
bahwa jumlah uang yang tersisa dari hasil pendapatannya cukup banyak
untuk ditabung.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 138
Tabel 41. Persentase Rata-rata Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Masyarakat di Pulau Batang Lampe
Pendapatan % Pengeluaran %
< Rp 500.000 Rp 0,5 – Rp 1 juta
Rp 1,1 – Rp 1,5 juta Rp 1,6 – Rp 2 juta
> Rp 2 juta
33,33 38,89 11,11 0,00 16,67
< Rp 500.000 Rp 0,5 – Rp 1 juta
Rp 1,1 – Rp 1,5 juta Rp 1,6 – Rp 2 juta
> Rp 2 juta
66,67 33,33 0,00 0,00 0,00
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
6.2.2.3 Tabungan dan Cara Mengatasi Kondisi Keuangan
Persentase penduduk yang tidak mempunyai tabungan di Pulau
Batang Lampe lebih tinggi dari pada yang mempunyai tabungan, padahal
apabila dikaitkan dengan jumlah pendapatan dan pengeluaran mereka,
nampaknya banyak yang tersisa untuk ditabung. Untuk lebih jelasnya jumlah
yang menabung dapat dilihat pada Tabel 42.
Tabel 42. Persentase Jumlah yang Menabung, Bentuk Tabungan dan Cara Mengatasi Kesulitan Keuangan di Pulau Batang Lampe
Tabungan % Ben tuk
% Pernah Kesulitan
% Mengatasi Kesulitan
%
Ya
Tidak
38,89
61,11
Bank
Emas
83,33
16,67
Ya
Tidak
61,11
38,89
Pinjam di Bank
Pinjam di keluarga
Jual simpanan
Pinjam di ponggawa
11,11
38,89
27,78
22,22 Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Cara mereka menyimpan uang bermacam-macam, ada yang
melakukan dengan cara menyimpan di bank (83,33%) dan selebihnya
menyimpan uang dalam bentuk membeli emas. 61,11% dari mereka pernah
mengalami kesulitan dalam hal keuangan. Apabila hal ini terjadi, mereka
lebih memilih untuk meminjam di keluarga (38,89%) dibanding dengan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 139
menjual simpanan atau pinjam di ponggawa. Pada umumnya mereka tidak
tertarik untuk meminjam di bank karena untuk meminjam di bank harus
melalui prosedur yang panjang dan membutuhkan waktu yang lama.
6.2.3. Keadaan Sosial Ekonomi 6.2.3.1. Perkembangan Umum Usaha Ekonomi Masyarakat
Keadaan ekonomi masyarakat Pulau Batang Lampe apabila dilihat
dari kondisi perumahan, nampaknya ada peningkatan dari tahun ketahun,
hal ini bisa dilihat dari keadaan rumah penduduk yang meskipun ukurannya
tidak terlalu besar, tetapi tidak ada lagi yang memakai atap rumbia, dan juga
tidak ada lagi rumah yang berkesan kumuh. Ini merupakan salah satu
ukuran bahwa keadaan usaha ekonominya mengalami peningkatan.
6.2.3.2. Keterkaitan Kegiatan Ekonomi dan Keberadaan Terumbu Karang
Pemahaman masyarakat Pulau Batang Lampe tentang terumbu
karang cukup baik, namun pada umumnya mereka belum mengetahui efek
yang terjadi bila terumbu karang rusak. Apabila dikaitkan dengan kegiatan
usaha mereka yang banyak berprofesi sebagai penyelam teripang, maka
aksesnya ke terumbu karang juga cukup erat. Meskipun teripang banyak
ditemukan pada perairan yang bersubstrat pasir, akan tetapi keberadaannya
tidak jauh dari lokasi terumbu. Bahkan ada yang sebetulnya berprofesi
sebagai penyelam teripang, tetapi kadang-kadang mereka mencari juga
lobster dan ikan-ikan karang lainnya di daerah terumbu. Berdasarkan hal
tersebut, dapat dikatakan bahwa keterkaitan kegiatan ekonomi masyarakat
Pulau Batang Lampe dengan keberadaan terumbu karang cukup kuat.
6.2.3.3. Penguasaan Aset-aset Produksi dan Non Produksi
Data tentang aset-aset produksi yang dimiliki oleh masyarakat Pulau
Batang Lampe menunjukkan bahwa 66,67% dari responden telah memiliki
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 140
kapal/perahu sendiri, dan 33,33% memiliki sampan. Penguasaan aset-aset
produksi khususnya alat tangkap juga disurvei. Data yang diperoleh
menunjukkan 66,67% dari responden memiliki alat kompresor dan 33,33%
memiliki alat pancing. Data lengkap tentang hal ini disajikan pada (Tabel
43).
Tabel 43. Penguasaan Aset Produksi di Lokasi Pulau Batang Lampe
Armada yang dimiliki % Kepemilikan alat produksi %
Kapal/perahu 66,67 Kompresor 66,67
Sampan 33,33 Pancing 33,33
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Adapun aset non produksi dari masyarakat Pulau Batang Lampe
dapat dilihat dari kepemilikan tanah, simpanan uang di bank dan simpanan
di rumah berupa emas. Meskipun aset non produksi tidak produktif akan
tetapi dapat mereka pergunakan sewaktu-waktu jika sangat mendesak,
seperti pada saat membutuhkan uang.
6.3. Intensitas dan Kondisi Sumberdaya Terumbu Karang 6.3.1. Pandangan dan Sistem Pengetahuan Ekologis 6.3.1.1. Sistem Pengetahuan Tradisional
Sistem pengetahuan yang dianut oleh masyarakat nelayan Pulau
Batang Lampe sama dengan yang dianut oleh masyarakat nelayan Pulau
Kambuno dan Pulau Burungloe.
* Pengetahuan Berkenaan Dengan Ruang/Tempat
Fungsi dari terumbu karang berdasarkan hasil survei dapat dilihat pada
Tabel 44, dimana responden umumnya menganggap bahwa terumbu karang
merupakan rumah, tempat hidup, dan tempat berlindung bagi ikan. Namun
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 141
persentase tertinggi menganggap bahwa terumbu karang tempat ikan hidup
(61,10%).
Tabel 44. Persentase Pengetahuan Masyarakat Pulau Batang Lampe Tentang Manfaat Terumbu Karang
Manfaat Terumbu Karang Persentase (%)
Rumah Ikan 16,67
Tempat Ikan Hidup 61,10
Perlindungan Ikan 5,56
Tidak Tahu 16,67
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Pengetahuan nelayan Pulau Batang Lampe tentang letak dan nama
taka sama dengan nelayan yang ada di Pulau Kambuno dan Pulau Burung
Loe. Mereka tahu persis letak dan nama taka yang berada dalam kawasan
Pulau Sembilan, termasuk yang berada di Sulawesi Tenggara, Maluku, Irian,
dan Nusa Tenggara Timur yang merupakan tempat penangkapan (Tabel 47).
* Pengetahuan Berkenaan Dengan Laut dan Isinya
Walaupun nelayan Pulau Batang Lampe mengenal dengan baik letak
dan nama lokasi karang di perairan Pulau-pulau Sembilan dan bahkan
daerah lain diluar kawasan tersebut, namun mereka terbatas dalam
mengenali jenis-jenis karang. Nelayan membagi atas dua kelompok
organisme yang hidup pada karang dan mempunyai nilai ekonomi, yaitu
sunu, kerapu, lencam (ikan), cumi-cumi, kerang-kerangan, udang/lobster,
penyu, dan teripang (non ikan) yang dapat dilihat pada tabel 45.
Nelayan Pulau Batang Lampe membedakan antara jenis sunu dan
kerapu. Yang dimaksud dengan ikan sunu adalah jenis ikan batu yang
serupa dengan kerapu namun memiliki warna yang lebih terang dari ikan
kerapu. Menurut informasi, jenis sunu, kerapu dan langkoe (napoleon) biasa
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 142
hidup di dasar laut yang berbatu-batu, dan lokasi-lokasi karang. Jenis ikan
sunu, kerapu dan langkoe selama ini lebih sering ditangkap
di taka-taka yang terletak di sebelah Timur, utamanya di Taka Bunging
Tellue, Taka Loange, Taka Tengngoe, Taka Pangampi dan Taka Limpoge.
Lokasi-lokasi tersebut sering kali menjadi sasaran pemboman dan
pembiusan.
Bulan Oktober hingga April merupakan musim penangkapan ikan
karang, hal ini didasari pada pengalaman dan pengamatan hasil tangkapan
yang meningkat pada bulan tersebut dibandingkan dengan bulan-bulan
lainnya. Meningkatnya hasil tangkapan tersebut diyakini oleh para nelayan
bahwa pada bulan tersebut yang masuk musim Barat merupakan musim
memijah bagi ikan.
* Pengetahuan Berkenaan Dengan Pelayaran
Agama Islam adalah agama yang dianut oleh para nelayan di Pulau
Batang Lampe, namun dalam melakukan aktifitas dilaut mereka masih
dipengaruhi oleh kebiasaan para nenek moyang. Hal ini terlihat pada
kebiasaan memasang ijuk pada tiang utama kapal yang diyakini berfungsi
untuk mengusir gangguan makhluk halus.
Seperti halnya pulau lainnya yang terdapat di Pulau-pulau Sembilan,
nelayan di Pulau Batang lampe pada hari Jumat tidak melakukan aktifitas
penangkapan. Pada hari Jumat, waktu pagi digunakan nelayan untuk
memperbaiki dan membersihkan kapal mereka, adapun aktifitas
penangkapan dilakukan setelah shalat Jumat dilaksanakan. Berkenaan
dengan musim, masyarakat nelayan Pulau Batang Lampe juga mengenal
dua musim yaitu musim Timur yang berlangsung pada bulan April hingga
bulan September dan musim Barat (Oktober hingga Maret).
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 143
6.3.1.2. Pandangan Tentang Hak Atas Laut
Seperti halnya masyarakat nelayan Pulau Kambuno dan Pulau Burung
Loe, yang menganut pandangan bahwa laut serta isinya sebagai milik semua
sehingga dalam implementasinya mereka menganut adanya aturan adat
yang mensahkan dan mengatur pemilikan secara bersama dan adanya
penerapan aturan formal. Masyarakat nelayan Pulau Batang Lampe juga
menganut dan menerapkan aturan serta pandangan tersebut dalam
mengelola dan memanfaatkan sumberdaya laut.
Masyarakat nelayan Pulau Batang Lampe memandang laut sebagai
milik semua, dengan kata lain laut dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang
ingin mencari penghidupan. Hasil survei yang dilakukan pada masyarakat
di pulau ini diperoleh pendapat 100% yang mengatakan bahwa laut dan
segala isinya merupakan milik bersama. Pandangan ini merupakan suatu
bentuk umum yang dianut oleh semua nelayan di Sulawesi Selatan. Dengan
demikian, mekanisme kontrol terhadap wilayah perairan dapat dilakukan oleh
semua orang yang berkepentingan dengan laut.
Implikasi perilaku dari pandangan ini terhadap masyarakat Pulau
Batang Lampe dapat dilihat dari kesediaan mereka menerima nelayan
pendatang untuk menangkap ikan di kawasan pulau ini. Demikian pula
dengan aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan lokal yang melakukan
penangkapan di daerah lain, terutama untuk komoditi cakalang, seperti
Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur.
Survei yang dilakukan pada masyarakat di Pulau Batang Lampe
diperoleh jawaban 88,89% yang mengatakan setuju terhadap pelarangan
pengoperasian alat yang merusak sumbedaya laut, sedangkan yang tidak
setuju dengan hal tersebut hanya 11,11%.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 144
Salah satu contoh kasus yang pernah terjadi adalah adanya nelayan
dari daerah Buton (Sulawesi Tenggara), datang melakukan penangkapan
biota “mata tujuh” (abalone), sejenis kerang-kerangan yang hidup di areal
karang, dihakimi massa yang terdiri dari nelayan lokal
Sedangkan penguasaan wilayah laut berdasarkan aturan formal
didasarkan pada peraturan pemerintah yang mengatur penggunaan atau
pemanfaatan sumberdaya alam laut. Aturan-aturan tersebut berupa
pelarangan penggunaan beberapa alat tangkap destruktif seperti bom, bius
dan bubu, serta perizinan untuk melakukan penangkapan di dalam suatu
kawasan.
Peraturan formal dapat dikeluarkan oleh pemerintah setempat dengan
mengacu pada Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang lebih
tinggi. Sangat disayangkan oleh nelayan bahwa banyaknya pihak yang
memiliki hak untuk mengeluarkan peraturan, sehingga menyebabkan
banyaknya peraturan yang tumpang tindih. Demikian pula dengan
pengawasan terhadap wilayah laut dan sanksi yang diberikan oleh aparat
keamanan laut sangat lemah. Dari hasil survei yang dilakukan di pulau ini,
sebenarnya sudah banyak nelayan yang mengetahui tentang aturan
pelarangan penggunaan alat tangkap destruktif tersebut. Sebanyak 66,67%
jawaban mengatakan mengetahui adanya peraturan pemerintah yang
melarang penggunaan bom dalam penangkapan ikan dan yang tidak
mengetahui sebanyak 33,33%. Sedangkan pelarangan penggunaan bahan
beracun (bius) sebanyak 66,67% yang mengetahui dan yang tidak
mengetahui sebanyak 33,33%. Dalam kasus-kasus semacam ini,
penegakan aturan formal terlihat sangat lemah, bahkan lebih terkesan
bahwa peraturan tersebut hanya berlaku bagi nelayan yang tidak
menggunakan alat serupa.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 145
6.3.1.3. Pengetahuan Tentang Jenis-jenis Biota Laut Bernilai Ekonomi Tinggi
Pengetahuan nelayan Pulau Batang Lampe tentang jenis-jenis biota
laut, seperti halnya di pulau-pulau lain dalam kawasan Kepulauan Sembilan,
ditekankan bukan sekedar untuk mengenali jenis-jenis biota yang dapat
dikonsumsi, melainkan diarahkan untuk memahami lebih jauh tentang jenis-
jenis biota yang bernilai ekonomis tinggi diantara sedemikian banyak jenis
organisme yang hidup dalam ekosistem kawasan ini. Jenis-jenis biota laut
yang bernilai ekonomis tinggi menurut nelayan Pulau Batang Lampe antara
lain untuk jenis ikan seperti sunu, kerapu dan lencam,. Jenis ikan yang
mahal adalah ikan kerapu khususnya kerapu tikus. Sedangkan untuk jenis
non ikan yang bernilai ekonomis tinggi antara lain cumi-cumi, kerang-
kerangan, udang/lobster, penyu dan teripang. Jenis biota non ikan ini
terutama teripang, sejak lama telah dieksploitasi oleh masyarakat nelayan.
Harga teripang bergantung kepada jenisnya, teripang yang paling
mahal adalah jenis teripang Susu (Koro) dengan harga Rp 100.000/ekor
(berat diatas 1,7 kg) dan termurah adalah jenis teripang Cera dan Donga
dengan harga Rp 5.000/ekor. Sedangkan untuk teripang Pandang dan Batu
masing-masing dengan harga Rp 20.000/ekor dan Rp 15.000/ekor.
Penangkapan lobster dan ikan kerapu dilakukan dengan jalan
penyelaman, dan pancing. Lokasi penangkapan sebagian besar dilakukan
sekitar Pulau-pulau Sembilan, tempat lain adalah Tanjung Aru, dan
Balikpapan. Ukuran lobster yang ditangkap dengan berat minimal 0.5 kg,
sedangkan berat yang lebih kecil lagi tidak diminati oleh pembeli. Harga
lobster juga bervariasi bergantung kepada berat atau size lobster tersebut.
Untuk size A dengan berat diatas 0,5 kg harganya Rp 90.000, size B dengan
berat 1 – 5 ons harganya Rp 70.000 dan untuk berat dibawah 1 ons
harganya Rp 20.000. Harga lobster tersebut merupakan harga dari nelayan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 146
ke juragan, sedangkan harga dari juragan ke pengekspor, masing-masing
size mendapat kenaikan harga Rp 10.000.
6.3.1.4. Pandangan Tentang Kelangkaan Sumberdaya dan Prinsip-prinsip Konservasi
Di perairan Pulau Batang Lampe telah terjadi penurunan jumlah
populasi biota bernilai ekonomi. Hasil survei yang dilakukan terhadap
nelayan Pulau Batang Lampe tentang kondisi hasil tangkapan di perairan
Pulau-pulau Sembilan didapatkan 56,25% yang mengatakan hasil tangkapan
menurun, 43,75% mengatakan tetap. Jenis ikan terutama ikan karang yang
mengalami kemerosotan seperti sunu, kerapu dan lain-lain. Sedangkan dari
jenis biota non ikan yang mengalami kemerosotan seperti teripang, dan
udang/lobster.
Secara umum kemerosotan ini terutama disebabkan oleh penggunaan
bahan kimia beracun dan bom oleh sebagian nelayan yang tidak
bertanggungjawab, jumlah tangkapan ikan kurang dan lain-lain. Hasil survei
yang dilakukan di pulau ini tentang penyebab kelangkaan sumberdaya
tersebut adalah 12,50% yang mengatakan penyebabnya adalah bom; bius
6,25%, harga turun 18,75%, eksploitasi besar 25%, ikan kurang 6,25%,
tidak ada penyebab 6,25% dan yang tidak tahu 25%.
Akibat penggunaan racun ini, bukan hanya membunuh ikan-ikan kecil
dari semua jenis, tetapi juga merusak/mematikan terumbu karang.
Kerusakan terumbu karang yang sebagian besar diakibatkan oleh
penggunaan bahan peledak dan zat kimia beracun telah mengenai terumbu
karang pada hampir semua taka di wilayah perairan Pulau-pulau Sembilan.
Di Pulau Batang Lampe prinsip-prinsip konservasi terhadap
pengelolaan sumberdaya laut, nampaknya sudah kelihatan di Pulau Batang
Lampe ini. Ini terlihat dengan adanya kegiatan budidaya teripang dan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 147
penangkaran udang lobster yang dilakukan oleh penduduk pulau dan
kegiatan budidaya teripang ini secara langsung dilakukan oleh kepala
lingkungan pulau tersebut.
6.3.2. Jenis dan Intensitas Pemanfaatan Sumberdaya
Jenis sumberdaya laut yang dimanfaatkan oleh nelayan Pulau Batang
Lampe antara lain adalah sunu, lencam, teripang, sotong, lobster, penyu,
udang dan tude. Seperti halnya Pulau Kambuno dan Burungloe sumberdaya
laut lainnya yang juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat pulau adalah
batu karang yang digunakan untuk bahan bangunan juga digunakan sebagai
dinding tanggul di pantai dan bahan untuk pembuatan dermaga. Seperti
halnya Pulau Kambuno, teripang merupakan persentase sumberdaya laut
yang paling banyak dimanfaatkan oleh nelayan pulau ini yaitu sebesar
(43,75%). Tingginya persentase ini disebabkan karena pada umumnya
masyarakat pulau ini adalah sebagai nelayan penyelam teripang. Persentase
jenis ikan yang terdapat di Pulau Batang Lampe selengkapnya disajikan
pada Tabel 45.
Tabel 45. Persentase Sumberdaya Laut (Ikan Dan Non Ikan) yang Tertangkap Di Pulau Batang Lampe
Jenis sumberdaya laut Persentase (%)
Teripang 43,75 Sunu 18,75
Lencam 6,25 Sotong 6,25 Lobster 6,25 Penyu 6,25 Udang 6,25 Tude 6,25
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 148
6.3.2.1. Teknologi Pemanfaatan
Jenis alat tangkap yang terdapat di pulau ini adalah pancing dan alat
selam. Persentase tertinggi alat tangkap yang digunakan oleh nelayan
di Pulau ini adalah alat selam sebesar 69,23%. Jenis dan persentase alat
tangkap yang digunakan di pulau dapat dilihat pada Tabel 46.
Tabel 46. Jenis Alat Tangkap Yang Terdapat di Pulau Batang Lampe Alat Tangkap Persentase (%)
Alat selam / Kompresor 69,23 Pancing 30,77
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
6.3.2.2. Metode Penangkapan Kegiatan Penyelaman
Cara penyelaman dan pengoperasian alat tangkap pancing di Pulau
Batang Lampe dilakukan sebagaimana yang umum dilaksanakan di kawasan
Pulau-pulau Sembilan, seperti yang telah diterangkan di depan pada
pembahasan lokasi Pulau Kambuno (Bab IV). Kegiatan penyelaman
dilakukan pada lokasi yang dasarnya berpasir, berlumpur, dan berbatu
dengan menggunakan peralatan selam (masker) serta kompresor. Sasaran
penangkapan utamanya adalah teripang. Kegiatan memancing umumnya
dilakukan di daerah terumbu karang yang sasarannya adalah ikan-ikan
karang yang bernilai ekonomis tinggi seperti Ikan Sunu.
* Pancing Tangan
Alat pancing dikelompokkan yaitu pancing cakalang, pancing ikan
karang atau biasa disebut pancing kedo-kedo, pancing rinta, dan pancing
cumi-cumi. Pancing cakalang dioperasikan pada perairan yang dalam,
pancing ikan karang sebagian besar dioperasikan di Taka-taka (area
terumbu karang) jenis ikan yang dikhususkan ditangkap adalah sunu dan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 149
kerapu, pancing rinta digunakan untuk menangkap ikan-ikan selar, kembung,
layang dan jenis-jenis ikan pelagis lainnya. Sedangkan pancing cumi-cumi
dioperasikan di taka-taka yang relatif dangkal airnya, dengan menggunakan
umpan buatan (artificial) yang terbuat dari plastik.
6.3.2.3. Lokasi Penangkapan
Lokasi-lokasi penangkapan yang menjadi tujuan penangkapan nelayan
Pulau Batang Lampe antara lain Teluk Bone, Palopo, Kupang/Lombok,
Sulawesi Tenggara, Sorong, Balikpapan dan NTT. Selain dari daerah
di atas, nelayan tersebut juga melakukan penangkapan di sekitar taka yang
terdapat di Pulau-pulau Sembilan.
Seperti halnya Pulau Kambuno dan Burungloe, daerah penangkapan
yang memiliki persentase tertinggi yang didatangi oleh nelayan Pulau Batang
Lampe adalah taka di sekitar Pulau-pulau Sembilan yaitu sebesar 37,50%,
untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 47 berikut ini.
Tabel 47. Persentase Daerah Penangkapan Nelayan Pulau Batang Lampe.
Daerah Penangkapan Persentase (%) Pulau-pulau Sembilan 37,50 Sorong 25,00 Sulawesi Tenggara 12,50 Palopo 6,25 NTT 6,25 Teluk Bone 6,25 Balikpapan 6,25 Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
6.3.2.4. Waktu dan Musim Penangkapan
Seperti halnya Pulau Kambuno dan Burungloe, waktu penangkapan
nelayan Pulau Batang Lampe juga bervariasi antara kurang dari satu minggu
hingga diatas empat minggu. Puncak musim penangkapan ikan nelayan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 150
di pulau ini antara bulan Oktober hingga April atau bertepatan dengan
datangnya musim Barat. Namun pada hari-hari biasa di luar puncak musim
penangkapan tersebut para nelayan di pulau ini juga tetap melakukan
penangkapan di sekitar taka-taka Pulau Sembilan. Waktu/lama
penangkapan nelayan tersebut kebanyakan kurang dari satu minggu
(46,67 %). Persentase waktu/lama penangkapan ikan disajikan pada
Tabel 48.
Tabel 48. Persentase Waktu/lama Penangkapan Nelayan Pulau Batang Lampe
Waktu/lama Penangkapan Persentase (%)
< 1 minggu 46,67
> 4 minggu 30,00
1 – 2 minggu 23,33
3 – 4 minggu 0,00
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Biaya operasional penangkapan ikan pada umumnya kurang dari Rp.
500.000 (68,75 %), selebihnya antara Rp.500.000 – Rp. 1.000.000, bahkan
ada yang menggunakan biaya operasional di atas Rp. 2.000.000, meskipun
jumlahnya sedikit (6,25 %). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 49.
Tabel 49. Persentase Biaya Operasional Penangkapan Nelayan Pulau
Batang Lampe.
Biaya Operasional (Rp) Persentase (%)
< 500.000 68,75
500.000 – 1.000.000 18,75
1.600.000 – 2.000.000 6,25
> 2.000.000 6,25
1.100.000 – 1.500.000 0,00
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 151
6.3.3. Analisis Stakeholder 6.3.3.1. Stakeholder Internal
Stakeholder internal di Pulau Batang Lampe adalah kelompok nelayan
yang terdiri dari nelayan penyelam teripang dan nelayan pancing; ponggawa
laut dan darat serta tokoh masyarakat seperti Kepala lingkungan, Imam
Desa dan penduduk.
Stakeholder yang berpotensi merusak terumbu karang di pulau ini
adalah masyarakat yang menggunakan karang sebagai bahan bangunan
pembuatan rumah dan dermaga. Contoh kasus pengrusakan karang
berdasarkan hasil wawancara telah dijelaskan pada bagian Karakteristik
Fisik Pulau Batang Lampe (lihat halaman 124).
Stakeholder yang melakukan kegiatan konservasi sumberdaya laut
Pulau ini adalah upaya kepala lingkungan memberikan larangan
pengrusakan sumberdaya laut dengan menggunakan sianida dan bahan
peledak untuk pemanfaatan sumberdaya laut di perairan sekitar pulau
Batang Lampe. Termasuk penggunaan linggis untuk mengambil abalone
(mata tujuh) dengan cara membongkar terumbu karang. Kegiatan konservasi
lain yang secara langsung dilakukan masyarakat pulau ini adalah dengan
melakukan penangkaran / budidaya teripang dan lobster.
6.3.3.2. Organisasi dan Potensi Konflik
Organisasi nelayan yang secara khusus bergerak dalam pengelolaan
sumberdaya laut yang ditemukan di Pulau Batang Lampe berupa organisasi
tradisional ponggawa-sawi. Organisasi ponggawa-sawi adalah organisasi
kerja nelayan yang terdapat di semua masyarakat nelayan. Ikatan antara
kedua unsur pembentuknya yaitu ponggawa dan sawi sering kali diartikan
sebagai penyebab miskinnya sebagian besar kaum nelayan. Khusus
mengenai potensi konflik dari masyarakat nelayan setempat yang
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 152
memanfaatkan sumberdaya yang tersedia terutama nelayan-nelayan yang
mengambil hasil laut dengan cara merusak karang seperti nelayan pencari
tude dengan nelayan yang memelihara lobster dan sunu.
6.4. Sistem pengolahan Pasca Panen dan Pemasaran Hasil
6.4.1. Jenis dan Metode Pengolahan Pasca Panen di Pulau Batang Lampe
Mata pencaharian sebagian besar masyarakat di Pulau Batang
Lampe adalah sebagai nelayan yaitu penyelam teripang dan pemancing
(rintak). Para penyelam dalam melakukan kegiatannya umumnya
membutuhkan waktu antara 1 – 4 minggu, tergantung jarak lokasi
penyelaman dari kawasan pulau. Untuk daerah sekitar pulau (sekitar
daerah taka) biasanya paling lama 2 minggu, sedang lokasi dekat dengan
Pulau Papua atau Kalimantan membutuhkan waktu paling lama 3 bulan.
Untuk pemancing (rintak) tidak membutuhkan waktu yang cukup panjang
(5 – 6 jam), karena lokasi penangkapan hanya berada di sekitar pulau.
6.4.1.1. Jenis Produk
Produk teripang yang dihasilkan oleh penyelam di Pulau Batang
Lampe adalah sama dengan yang dihasilkan oleh penyelam Pulau
Kambuno. Selain teripang, masyarakat di pulau tersebut menghasilkan ikan-
ikan demersal yang dalam kondisi segar seperti ikan sunu, kerapu, serta
lencam.
6.4.1.2. Teknologi Pengolahan Teknik pengolahan yang dilakukan oleh penyelam Pulau Batang
Lampe adalah sama dengan penyelam Pulau Kambuno, yaitu mulai dari
penggaraman, pengasapan, dan akhirnya pengeringan (lihat sub bagian
teknologi pengolahan Pulau Kambuno). Sedangkan hasil tangkapan dari
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 153
konsumsi
pemancing tidak dilakukan pengolahan sama sekali karena langsung
dipasarkan.
6.4.1.3. Biaya dan Nilai Tambah dari Proses Pengolahan
Segala biaya yang dikeluarkan dalam proses pengolahan teripang
adalah sama besarnya dengan biaya yang dikeluarkan oleh penyelam
di Pulau Kambuno, hal ini disebabkan karena metode pengolahan yang
digunakan juga sama.
6.4.2. Pola dan Jalur Pemasaran 6.4.2.1. Mata Rantai Pemasaran
Gambar 16 merupakan diagram alur produk yang dihasilkan oleh
pemancing yang didasari oleh kebutuhan dari pemancing itu sendiri dan
masyarakat sekitarnya. Produk yang dihasilkan sebagian besar dipasarkan
langsung kepada para pappalele yang akan menjajakan ke penghuni pulau,
sedangkan sisanya dimanfaatkan sendiri.
Untuk hasil berupa teripang yang diperoleh di sekitar kawasan Pulau–
pulau Sembilan, pemasaran dilakukan secara langsung setelah melalui
proses penggaraman, yang biasanya langsung dibeli oleh nelayan
pengumpul yang berasal dari Pulau Kambuno maupun dari Pulau Batang
lampe (lihat Gambar 8 pada Pulau Kambuno).
Kebutuhan produk pappalele transaksi
Gambar 16. Tata Niaga Produk Pemancing (rintak) Sumber : Hasil Survei Sosial Ekonomi Masyarakat Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap
2001
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 154
6.4.2.2. Mekanisme Harga dan Metode Pembayaran
Penentuan harga penjualan produk kepada para pappalele semuanya
didasari atas kesepakatan bersama (tawar menawar), dan langsung
dibayarkan oleh para pappalele. Teripang biasanya dijual per kilogram
tergantung jenis, dan pembayaran dilakukan secara langsung oleh
pengumpul kepada nelayan.
6.5. Faktor Eksternal dan Permasalahan Struktural 6.5.1. Faktor eksternal
Dinamika perkembangan dari kehidupan nelayan di pulau Batang
Lampe selain dipengaruhi oleh internal pulau juga dipengaruhi oleh berbagai
faktor eksternal. Berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi tingkat
pengelolaan sumberdaya hayati perairan serta dampak lingkungannya dapat
diuraikan sebagai berikut :
6.5.1.1. Kebijakan Pemerintah Bagi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan mempunyai peranan penting
untuk pengaturan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya agar dapat
dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan. Undang-undang
perikanan merupakan salah satu perangkat hukum yang bertujuan
mengatasi beberapa masalah dalam hal pencemaran dan kerusakan serta
eksistensi sumberdaya perikanan. Di dalam undang-undang tersebut
disebutkan bahwa sumberdaya perikanan adalah modal dasar
pembangunan untuk mengupayakan peningkatan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Pada pasal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang
atau badan hukum dilarang melakukan kegiatan penangkapan dan
pembudidayaan ikan-ikan dengan menggunakan bahan-bahan dan atau alat
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 155
yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan
lingkungannya.
Pada tingkat Propinsi Sulawesi Selatan kebijakan perikanan
dijabarkan dalam Repelita, bahwa usaha penangkapan ikan dengan
menggunakan alat-alat modern tidak boleh mendesak lapangan kerja
nelayan tradisional, serta hal-hal yang menimbulkan pengaruh negatif
terhadap sumberdaya alam diperkecil. Salah satu peraturan daerah
Sulawesi Selatan yang bertujuan melestarikan sumberdaya perikanan
utamanya karang adalah perda no 7 tahun 1987. Pada Perda tersebut
menyatakan bahwa setiap orang atau badan hukum dilarang mengusahakan
atau merusak terumbu karang dan dilarang mengambil organisme yang
hidup dan melekat pada terumbu karang. Sanksi pidana terhadap
pelanggaran ini adalah penjara 3 bulan atau denda uang sebanyak-
banyaknya Rp 50.000.000,-.
Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Sinjai adalah dengan
membuat rancangan peraturan daerah tahun 2001 tentang retribusi izin
usaha kelautan dan perikanan. Usaha perikanan yang membayar retribusi
adalah usaha penangkapan, usaha budidaya, dan usaha pengolahan.
Usaha Penangkapan terdiri dari alat tangkap bagang, dan penggunaan
perahu motor serta kapal motor. Usaha pembudidayaan terdiri dari jenis
algae, ikan, crustacea, molusca, amphibia dan reptilia. Sedang usaha
pengolahan terdiri dari pengeringan, pengasapan, penggaraman, pindang
dan dendeng.
Besarnya retribusi untuk bagang tancap adalah Rp 25.000,- pertahun
dan retribusi bagang apung adalah Rp 100.000,-/tahun, sedang retribusi
perahu motor ukuran kurang 2,5 GT dan antara 2,5 - 5 GT adalah
Rp 20.000,- dan Rp 30.000/tahun. Besar retribusi kapal motor kurang 2,5
GT dan 2,5 - 5 GT masing-masing Rp 30.000,- dan Rp 50.000,-/tahun.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 156
Berbagai peraturan dan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh
pemerintah umumnya bertujuan bagi kesejahteraan masyarakat dan tingkat
kelangsungan hidup masyarakat pulau itu sebagai pengguna. Aturan-aturan
tersebut dibuat supaya ada keteraturan pemanfaatan demi kelestarian
sumberdaya itu sendiri. Manfaat ini nantinya dinikmati juga oleh
masyarakat. Seperti pelarangan penggunaan bom dan bius ,jika dilihat
penggunaan bom memudahkan masyarakat untuk menangkap ikan akan
tetapi disisi lain juga mengancam kelestarian lingkungan sebagai habitat
tempat hidup ikan sekaligus mengancam jiwa dari nelayan itu sendiri.
Dari survei yang dilakukan pada masyarakat Pulau Batang Lampe
menyangkut berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, terdapat
beragam pengetahuan dan pemahaman. Untuk pemahahaman tentang
pengertian karang hampir setengah dari responden mendefinisikannya
sebagai batu (44,44%), dan selebihnya tidak mengetahui (55,56%).
Sedangkan manfaat karang 16,67% menjawab rumah ikan , 61,11 tempat
ikan hidup, 0% bahan bangunan, 5,56 % pelindung ikan, 16,67% tidak tahu.
Untuk kegiatan yang merusak karang 50% menjawab bom, 16,66% obat
bius, 11,11% jangkar kapal, 5,56% penambangan, 11,11% potas 0% trawl
dan 5,56% menjawab tidak tahu. Dari pemahaman yang berbeda tersebut
bisa disimpulkan bahwa masyarakat sangat minim pengetahuannya tentang
karang dan manfaatnya, sehingga akan berdampak pada tingkah pola
pemanfaatan yang tentunya mengancam kelestariannya
Selain pemahaman masalah karang yang berbeda-beda juga,
pengetahuan masyarakat tentang aturan yang mengatur tentang kelestarian
terumbu karang juga berbeda, yang mengetahuip peraturan tentang
pelarangan pengambilan karang ada 72,22%, sedangkan yang tidak tahu
ada 27,78%. Untuk kegiatan pemboman 66,67% mengetahui adanya
kegiatan pemboman tersebut, dan 33,33% menjawab tidak tahu. Untuk
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 157
kegiatan pembiusan 66,67% menjawab tahu dan 33,33% menjawab tidak
tahu dan aturan adat 100% menjawab tidak ada. Dari jawaban tersebut
terindikasi masyarakat sangat minim pemahamannya terhadap lingkungan
dan aturan pengelolaannya.
Apabila kita lihat dari beragamnya jawaban responden di Pulau Batang
Lampe baik tingkat pemahaman tentang lingkungan maupun peraturan
pengelolaan oleh pemerintah maupun adat dapat dijadikan indikasi bahwa
kegiatan sosialisasi tidak berjalan dengan baik. Jadi diperlukan cara
sosialisasi aturan yang lebih efektif. Mengenai pemahaman tentang manfaat
terumbu karang yang masih kurang dapat kita kaitkan dengan tingkat
pendidikan rata-rata masyarakat Pulau Batang Lampe yang umumnya hanya
sampai pada tingkat Sekolah Dasar dan juga aksesibilitas informasi yang
masih rendah khususnya informasi masalah lingkungan karena keterbatasan
sarana dan prasarana informasi.
6.5.1.2. Pasar permintaan Produk Hasil Perikanan
Kegiatan pemasaran mempunyai peran yang sangat penting dari setiap
kegiatan produksi. Jenis pasar produk hasil perikanan berupa jalur distribusi,
segmentasi pasar maupun daya serap pasar secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi aktifitas penangkapan bagi masyarakat nelayan
di Pulau Batang Lampe, semakin tinggi daya serap pasar dan kemudahan
untuk mengaksesnya maka memudahkan masyarakat untuk menjual hasil
tangkapan.
Masyarakat nelayan Pulau Batang Lampe, seperti halnya masyarakat
lain di Kepulauan Sembilan umumnya dipengaruhi oleh kegiatan dari
pedagang lokal, pedagang antar pulau, kegiatan eksportir, serta aktifitas
pelelangan (PPI) dalam dinamika kegiatan pemasaran hasil perikanan.
Mudahnya masyarakat Batang Lampe dalam mengakses pasar seperti
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 158
hubungan dengan ponggawa darat di Sinjai dan Eksportir ikan di Makassar
juga turut mempengaruhi. Masyarakat Batang Lampe umumnya dapat
menjual langsung hasil tangkapannya ke ponggawa di Pulau Batang Lampe
atau Kambuno atau ke PPI Lappa dan Eksportir ikan di Makassar.
Berbagai jenis komoditas unggulan yang dihasilkan oleh masyarakat
Pulau Batang Lampe khususnya teripang sangat diminati konsumen baik
pasaran lokal, nasional maupun Internasional. Untuk jenis teripang biasanya
dijual dalam bentuk olahan, karena produk yang telah diolah dapat
meningkatkan nilai jual. Hasil komoditas unggulan tersebut biasanya
ditawarkan dengan harga yang lumayan.
Kondisi pasar permintaan hasil perikanan ini mendorong nelayan untuk
melakukan penangkapan secara berlebihan khususnya untuk komoditas
tertentu. Hal ini terindikasi dari daerah penangkapan yang semakin jauh dari
perairan Pulau-pulau Sembilan. Nelayan penyelam teripang di Pulau Batang
Lampe biasanya beroperasi sampai ke daerah Kendari, sekitar perairan
Maluku bahkan ke Perairan Irian dan perairan nusantara lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah hasil tangkapan yang diperoleh pada lokasi
terdekat semakin menurun, selain diakibatkan oleh penangkapan ikan
karang yang lebih cenderung untuk melakukan kegiatan pemboman
sehingga berakibat pada lingkungan sekitarnya. Dulunya masyarakat
Batang Lampe hanya menangkap pada siang hari, sekarang mereka sudah
dapat melakukan penyelaman pada malam hari.
6.5.1.3. Teknologi Penangkapan dan Akses Permodalan
Tinggi rendahnya tingkat teknologi penangkapan yang dilakukan
nelayan juga menjadi penentu keberhasilan usahanya. Semakin tinggi
tingkat teknologi yang digunakan oleh masyarakat maka semakin tinggi pula
tingkat kemampuan masyarakat untuk memperoleh hasil tangkapan ikan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 159
yang lebih banyak. Pada masyarakat Batang Lampe kemajuan taknologi
penangkapan bukan pada penganekaragaman alat tangkap seperti halnya
masyarakat Kambuno tetapi sebatas kemajuan dalam hal peralatan
penyelaman teripang.
Selain tingkat kemajuan teknologi penangkapan yang berkembang,
maka kemampuan masyarakat untuk memperoleh sumber-sumber
permodalan juga merupakan salah satu faktor eksternal yang juga turut
mempengaruhi kegiatan penangkapan karena hal ini berkaitan dengan
pembiayaan usaha penangkapan yang dilakukannya..
Hasil wawancara yang dilakukan di Pulau Batang Lampe,
menunjukkan bahwa masyarakat sebagian besar hanya melakukan
penangkapan dengan penyelaman teripang meskipun ada sebagian
masyarakat lain yang mengoperasikan alat tangkap jenis lainnya. Jadi bila
dilihat dari keanekaragaman alat tangkap maka masyarakat Pulau Batang
Lampe belum banyak mengadopsi teknik penangkapan bahkan bisa
dikatakan sebagai pulau yang paling terbelakang diantara sekian pulau yang
dijadikan sebagai objek survey di Pulau Sumbilan. Teknologi penangkapan
pada nelayan penyelam teripang juga baru sedikit mengalami kemajuan.
Dulunya penyelam teripang hanya beroperasi di sekitar perairan Pulau
Sembilan dengan menggunakan peralatan sederhana dan didukung
permodalan dari ponggawa pulau (umumnya dari nelayan di Pulau
Kambuno) , sekarang ini daerah operasi sudah semakin jauh sampai ke
Perairan Sulawesi Tenggara bahkan ke Perairan Irian dengan menggunakan
alat yang relatif lebih moderen seperti masker, tabung oksigen, kompresor,
serta dapat dilakukannya penyelaman malam yang dulunya tidak dapat
dilakukan karena adanya keterbatasan peralatan.
Dalam hal kemampuan untuk mendapatkan sumber-sumber
permodalan, maka jumnlah pedagang pengumpul atau pengusaha besar
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 160
relatif kurang dibandingkan dengan pulau yang lain. Dari hasil survei
dijumpai bahwa sebagian masyarakat nelayan di Pulau Batang Lampe hanya
bertindak sebagai nelayan tangkap (sawi) dan umumnya mempunyai
ponggawa di Pulau Kambuno dan daerah Lappa. Ponggawa di Pulau
Kambuno biasanya mempunyai ponggawa besar di Sinjai atau Makassar
yang bertindak sebagai pemberi bantuan permodalan. Bantuan permodalan
itu diberikan oleh ponggawa kepada nelayan dengan konsekwensi harus
menjual hasil tangkapannya ke ponggawa yang memberikan modal.
Berdasarkan hasil survei ternyata kehidupan nelayan ponggawa yang
mendapat dukungan permodalan usaha dari ponggawa besar
di Makassar umumnya mempunyai derajat kehidupan yang lebih sejahtera,
bila dibandingkan dengan nelayan yang tidak mempunyai akses permodalan
dengan ponggawa. Perbedaan ini cukup menyolok dan dapat menimbulkan
benih konflik internal bagi masyarakat di Pulau Batang Lampe, yang bisa
timbul akibat kecemburuan sosial diantara masyarakat nelayan itu sendiri.
Perbedaan strata ini mungkin dapat diatasi dengan memberikan kemudahan
bagi masyarakat untuk memperoleh sumber-sumber permodalan secara
merata tanpa dibatasi oleh aturan yang mengikat.
6.5.2. Kesesakan dan Konflik pemanfaatan sumberdaya
Jenis alat tangkap yang di perairan Pulau Sembilan baik dari jenis
maupun jumlah mengalami peningkatan. Armada penangkapan ikan yang
dioperasikan di sekitar perairan Pulau Sembilan termasuk Pulau Kambuno
bukan berasal dari nelayan lokal tetapi daerah lain seperti Takalar,
Bulukumba dan Bone atau dari daerah lainnya. Hal ini terjadi selain karena
suburnya sumberdaya perairan di sekitar Pulau Sembilan, juga karena
dekatnya tempat pemasaran berupa PPI di daerah Lappa yang
memudahkan pemasaran hasil. Hal ini mendorong nelayan yang berasal
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 161
dari pulau lain untuk menangkap di sekitar Pulau Sembilan. Selain itu
nelayan yang menangkap di perairan lain tetapi menjual ke PPI Lappa.
Banyaknya nelayan yang mengakses ke perairan Pulau Sembilan maupun
melakukan penjualan di PPI Lappa dapat menimbulkan kesesakan bila tidak
dilakukan pengaturan yang baik.
Peningkatan jumlah nelayan yang melakukan penangkapan di sekitar
pulau kambuno akan menimbulkan permasalahan dikemudian hari bila saja
tidak terdapat aturan-aturan pemanfaatan atas sumberdaya alam laut oleh
pemerintah.Banyaknya nelayan yang melakukan penangkapan di sekitar
Pulau Sembilan akan menimbulkan kepadatan dan kesesakan. Banyaknya
kegiatan penangkapan di sekitar Pulau Sembilan khususnya akan membawa
dampak peningkatan biaya penangkapan (cost operation), dan lama operasi
yang juga berdampak pada ketersediaan sumberdaya perairan yang
semakin menipis. Hal ini terindikasi dari semakin jauhnya daerah
penangkapan yang dulunya hanya di sekitar pulau sekarang sudah semakin
jauh.
Hal mana didukung juga dari hasil survey yang dilakukan dimana
didadapatkan ada yang menjawab meningkat, 56,20% menurun, 43,80%
tetap dan 0% menjawab tidak tahu. Untuk mengatasi kondisi penurunan
hasil tangkapan nelayan di Pulau Batanglampe, berbagai jawaban yang
diperoleh dari mereka yakni 62,50% menjawab tidak tahu, 6,25% menjawab
modifikasi alat tangkap, dan 31,25% mencari daerah tangkapan baru.
Terlepas dari permasalahan kesesakan dalam penggunaan
sumberdaya yang dapat mengakibatkan pengurangan hasil tangkapan,
umumnya masyarakat Pulau Batang Lampe tidak setuju pada pengelolaan
dengan akses terbuka atau nelayan dari pulau lain tidak boleh menangkap
di sekitar perairan Pulau Sembilan. Jawaban yang setuju pada akses
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 162
terbuka sebanyak 33,33%, 44,45% tidak setuju dan 22,22% menjawab tidak
tahu.
6.5.2.1. Lembaga Ekonomi dan Lembaga Eksternal Lain.
Faktor eksternal lainnya yang memberikan pengaruh terhadap kegiatan
pengelolaan sumberdaya oleh masyarakat di Pulau Batang Lampe adanya
lembaga ekonomi seperti pasar, PPI Lappa serta lembaga lainnya seperti
LSM dan institusi perguruan tinggi. Lembaga-lembaga ini umumnya
mempunyai pengaruh, misalnya PPI Lappa mempunyai pengaruh yang
sangat besar terhadap aktifitas penangkapan karena masyarakat mudah
untuk memasarkan hasilnya. Karena di PPI tempat kumpulnya berbagai
macam pembeli dan penjual baik untuk pasar lokal maupun internasional
juga untuk industri, restoran, pedagang keliling maupun untuk konsumsi
rumah tangga. Sedangkan LSM adalah lembaga swadaya masyarakat juga
berperan dalam pengaruhnya pada aktifitas penangkapan. LSM dan
perguruan tinggi dapat mempunyai kepentingan dan kepedulian masalah
lingkungan dan peningkatan standar hidup masyarakat sehingga hampir
semua lembaga eksternal mempunyai pengaruh terhadap kehidupan
masyarakat Batang Lampe walaupun dalam kadar yang berbeda-beda.
PPI dalam pengaruhnya memberikan akses pemasaran terhadap hasil
tangkapan masyarakat Pulau Kambuno, sedangkan kegiatan LSM
memberikan pengaruh pada penyadaran lingkungan dan peningkatan derajat
hidup masyarakat. Daya pengaruh masing-masing lembaga tersebut kepada
masyarakat berbeda-beda, PPI di Lappa sudah dikenal dan ketahui
peranannya secara lebih luas., sedangkan untuk kegiatan LSM pengaruhnya
masih relatif rendah terhadap aktifitas masyarakat pulau khusus masyarakat
Pulau Batang Lampe. Hasil wawancara yang dilakukan 18,75% mengatakan
mengetahui keberadaan dan aktifitasnya sedangkan 81,25% menjawab tidak
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 163
tahu. Jadi dalam hal ini peranan LSM sebagai salah satu stake holder perlu
ditingkatkan lagi kinerjanya berupa sosialisasi kegiatan yang mengarah pada
pelestarian lingkungan dan peningkatan standar hidup masyarakat.
6.5.2.2. Pengamanan Perairan dan Penegakan Hukum
Kegiatan penangkapan yang meningkat selain untuk memenuhi
tuntutan kebutuhan hidup juga didorong oleh tingginya permintaan pasar
(terutama pasar ekspor). Hal ini mendorong masyarakat untuk
menggunakan berbagai macam cara dalam upaya meningkatkan hasil
tangkapan . Penggunaan bom dan obat bius merupakan salah satu metode
alternatif yang mudah dan sering dipakai oleh masyarakat untuk
mendapatkan hasil yang lebih banyak dan dalam waktu yang relatif singkat
tanpa memikirkan akibat negatif yang ditimbulkan baik bagi keselamatan diri
sendiri maupun terhadap kelestarian lingkungan. Hal ini menimbulkan
implikasi terhadap kelestarian lingkungan utamanya terumbu karang yang
merupakan tempat hidup ikan sekaligus mengancam kesinambungan usaha
penangkapan oleh masyarakat pulau itu sendiri, terutama masyarakat
nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap yang kemampuannya
terbatas.
Kegiatan yang mengancam kelestarian akan terus terjadi apabila tidak
dilakukan tindakan pengamanan oleh pihak berwajib. Kegiatan
pengamananan akan berjalan efektif apabila disertai dengan tingkat
kesadaran lingkungan dari masyarakat terutama masyarakat nelayan. Salah
satu alasan dari masih adanya praktek penggunaan bom dan bius adalah
susahnya pengawasan oleh pihak keamanan karena luasnya daerah
perairan dan rendahnya kesadaran masyarakat akan lingkungan.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 164
6.5.3. Permasalahan struktural
Selain dari adanya berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi
aktifitas pemanfaatan sumberdaya oleh nelayan terdapat berbagai macam
permasalahan struktural yang terjadi dalam masyarakat Pulau Batang
Lampe. Berbagai permasalahan struktural itu diantaranya adalah :
• Adanya berbagai macam kepentingan dari berbagai macam stakeholder
yang berbenturan dengan kondisi dan realitas masyarakat seperti
adanya kegiatan pelestarian dengan kegiatan pemanfaatan yang
merusak seperti pengunaan bom dan obat bius. Keadaan yang
kontradiktif ini harus dicari solusi berupa penyadaran akan lingkungan
alternatif kegiatan penangkapan lain yang tidak merusak.
• Adanya berbagai program pemberdayaan masyarakat yang berbenturan
dengan rendahnya tingkat kemampuan masyarakat untuk mengadopsi.,
yang disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah.
• Adanya perbedaan yang menyolok antara masyarakat yang mempunyai
kemampuan modal yang lebih besar karena bantuan modal yang
diperoleh dari ponggawa tidak merata.
• Adanya tingkat kesadaran dan pemahaman hukum yang berbeda-beda
sehingga menimbulkan perbedaan antara masyarakat yang menerapkan
praktek-praktek yang merusak lingkungan yang ramah terhadap
lingkungan.
• Adanya sebagian masyarakat yang menggunakan bom dan bius dan ada
juga yang tidak menggunakan. Hal ini menyebabkan hasil tangkapan
yang diperoleh juga berbeda, sehingga dapat menimbulkan
kecemburuan sosial dan membawa pada dampak adanya konflik internal
diantara masyarakat.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 165
• Kesadaran akan kesehatan lingkungan bagi masyarakat Pulau Batang
Lampe masih relatif rendah.
6.6. Kesimpulan dan Rekomendasi dari Pulau Batang Lampe 6.6.1. Kesimpulan
1. Para nelayan di dusun 2 Pulau Batang Lampe adalah para penyelam
teripang yang bergantung pada ponggawa di Pulau Kambuno.
2. Tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan sudah tergolong baik apabila
dilihat dari standar kesejahteraan masyarakat pulau-pulau kecil.
3. Masyarakat Pulau Batang Lampe dapat dikategorikan sebagai
masyarakat nelayan yang mempunyai taraf kehidupan yang relatif paling
rendah.
4. Tingkat pendidikan masyarakat masih tergolong sangat rendah.
5. Migrasi dan mobilitas penduduk cukup tinggi.
6. Sistem kelembagaan formal maupun informal sudah mulai berperan.
7. Terdapat kegiatan yang mengeksploitasi terumbu karang seperti
kegiatan penambangan untuk pondasi atau membendung tepi laut.
8. Pengolahan yang dilakukan di Pulau Batang Lampe terdiri dari
penggaraman, pengasapan, dan pengeringan.
9. Penentuan harga penjualan sangat ditentukan oleh para pengumpul.
6.6.2. Rekomendasi
1. Perlu dibentuk lembaga ekonomi yang mengatur tata niaga hasil dari
penyelam.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 166
2. Perlu dilakukan pendampingan khususnya kaum wanita nelayan dalam
hal pengolahan hasil dari penyelam, sehingga meningkatkan mutu dari
teripang tersebut.
3. Perlu bimbingan dalam penyelaman teripang sehingga efek samping
yang ditimbulkan bisa dikurangi.
4. Dengan semakin menurunnya hasil tangkapan nelayan penyelam
teripang, maka perlu pengenalan mata pencaharian alternatif misalnya
budidaya ikan dalam karamba jaring apung, budidaya rumput laut dan
lain-lain.
5. Perlu penyuluhan sanitasi lingkungan.
6. Perlu penyuluhan yang lebih intensif tentang lingkungan khususnya pada
manfaat ekosistem terumbu karang dan pentingnya melestarikan
ekosistem tersebut.
7. Perlu peningkatan peran dari fihak eksternal seperti Perguruan Tinggi,
dan LSM, dalam upaya mensosialisasikan kegiatan yang mengarah
kepada pelestarian lingkungan dengan peningkatan pendapatan
masyarakat.
8. Perlu keterpaduan instansi yang terkait dalam upaya meningkatkan
pengawasan terhadap penggunaan alat tangkap yang merusak
lingkungan.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 167
VII. LOKASI 4 PULAU KANALO 1 DAN KANALO 2
7.1. Profil Lokasi Studi 7.1.1.Gambaran Umum Pulau Kanalo 1 dan 2 7.1.1.1. Akses
Pulau Kanalo 1 dan Kanalo 2 merupakan dua pulau yang terdapat
di Kelurahan Pulau-pulau Sembilan dan terletak pada bagian paling Utara.
Untuk mencapai Pulau Kanalo 1 dan 2 hanya dapat dilakukan dengan
menggunakan satu kapal penumpang reguler yang melayani beberapa pulau
selain Pulau Kanalo, yaitu Pulau Batang Lampe, Pulau Kodingare dan Pulau
Katindoang. Oleh karena banyaknya pulau yang harus disinggahi, maka
penumpang harus siap pada pukul 6.30 pagi agar kapal dapat masuk
ke pelabuhan pada saat air pasang.
Cara lain yang ditempuh oleh masyarakat Pulau Kanalo yang akan
berangkat ke Pelabuhan Lappa seperti halnya di pulau lain adalah dengan
menggunakan kapal sendiri atau dengan menumpang ke kapal-kapal
penangkap ikan yang akan menjual hasil tangkapannya ke Pelabuhan
Lappa.
7.1.1.2. Karakteristik Fisik
Pulau Kanalo 1 dan 2 merupakan dua pulau yang saling berdekatan,
jarak antara kedua pulau ini ± ¼ mil. Jika kita memasuki perairan pulau ini
maka kapal akan masuk di antara kedua pulau tersebut. Pada sisi kanan
adalah Pulau Kanalo 1 dan pada sisi kiri adalah Pulau Kanalo 2.
Karakter fisik pada kedua pulau ini adalah untuk Pulau Kanalo 1
sebagai berikut :
• Terlihat pada paparan daratannya cenderung lebih mendatar
• Luas daratan pulau ini adalah 0,13 Km2
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 168
• Luas daratan yang dijadikan sebagai lahan pemukiman sebesar 0,07 Km2
atau sekitar 53,39%
• Belum tersedianya dermaga khusus untuk penambatan perahu
Sedangkan karakter fisik untuk Pulau Kanalo 2 sebagai berikut :
• Terlihat pada paparan daratannya cenderung lebih nampak
perbukitannya
• Luas daratan pulau ini adalah 0,13 Km2
• Luas daratan yang telah dijadikan sebagai lahan pemukiman sebesar
0,05 Km2 atau sekitar 38,48%
• Terdapat dermaga yang terbuat dari batu-batuan karang yang telah
disemen secara permanen sepanjang ± 50 m
Di Pulau Kanalo 1 dan 2 ini juga terlihat kegiatan penambangan
karang yang digunakan untuk membendung tepi laut oleh masyarakat yang
rumahnya berbatasan dengan laut (hal yang sama di Pulau Kambuno terlihat
juga di Pulau Kanalo 1 dan 2).
7.1.1.3. Kelembagaan Formal dan Informal
Secara administratif pemerintahan, Pulau Kanalo 1 dan 2 dipimpin
oleh masing-masing seorang Kepala Lingkungan yang bertanggung jawab
terhadap segala aktivitas yang terjadi di dalam kehidupan masyarakatnya.
Kepala lingkungan Pulau Kanalo 1 sekaligus merangkap sebagai Kepala
Sekolah SD Inpres 151.
Kelembagaan yang ada di Pulau Kanalo 1 dan 2 cukup memegang
peranan penting. Hal ini terlihat pada setiap pengambilan keputusan yang
melibatkan kepentingan umum, diputuskan dalam musyawarah oleh Kepala
Lingkungan. Kelembagaan informal yang ada di pulau ini berupa struktur
kelembagaan di masjid dan bentuk-bentuk lembaga yang tercipta dari suatu
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 169
kelompok nelayan dengan istilah ponggawa-sawi, misalnya pada kelompok
nelayan pemancing dan penyelam, serta kelompok usaha tani nelayan yang
diketuai oleh salah seorang staf guru SD.
7.1.1.4. Kegiatan Sosial Kemasyarakatan
Secara umum masyarakat Pulau Kanalo masih memegang norma-
norma adat dan nilai-nilai kehidupan sosial yang masih baik. Masyarakatnya
masih memiliki jiwa sosial yang cukup tinggi, senang membantu dan peduli
terhadap kegiatan masyarakat di sekelilingnya. Hal ini terlihat pada saat
kegiatan mendirikan rumah.
Kegiatan keagamaan di kedua pulau ini sangat aktif dengan kegiatan
pengajian bagi anak-anak secara rutin di masjid atau di rumah-rumah
masyarakat. Pengajian rutin di rumah dilaksanakan terutama pada siang
hari. Di pulau ini para ibu banyak berperan dalam pendidikan agama bagi
anak-anaknya.
7.1.2. Profil Demografi 7.1.2.1. Migrasi dan Mobilitas Penduduk
Pada umumnya masyarakat Pulau Kanalo 1 dan 2 adalah masyarakat
nelayan yang senantiasa melakukan pelayaran ke daerah-daerah yang
cukup jauh untuk mencari daerah penangkapan ikan yang lebih baik. Sekitar
73,68% dari responden yang ada adalah masyarakat yang bekerja sebagai
nelayan. Pekerjaan sebagai nelayan di Pulau Kanalo 1 dan 2 ini terbagi atas
delapan kelompok nelayan.
Dari kedelapan kelompok nelayan tersebut terdapat tiga kelompok
nelayan yang memiliki mobilitas cukup tinggi dalam pengoperasiannya.
Mereka adalah nelayan bagang, nelayan penyelam, dan nelayan pancing
yang sering mencari daerah penangkapan ikan di luar Pulau-pulau Sembilan.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 170
Daerah penangkapan yang biasa dikunjungi seperti daerah perairan Flores
(NTT), Lombok, Kolaka, atau di daerah perairan Kabupaten Selayar.
Kegiatan mencari daerah penangkapan ikan ini dilakukan jika hasil-hasil
tangkapan sudah mulai tidak menguntungkan atau saat memasuki musim
paceklik yaitu pada bulan Maret hingga September.
Lama waktu di daerah-daerah tersebut bergantung kepada jenis alat
tangkap yang dioperasikan dan persiapan perbekalan selama operasi di laut.
Untuk nelayan pancing biasanya menghabiskan waktu sekitar 2 - 3 bulan
dan kembali ke pulau selama ± 1 minggu untuk mempersiapkan operasi
berikutnya sekaligus bertemu dengan keluarga dan menyerahkan hasil
usahanya. Setelah persiapannya cukup, mereka kembali lagi ke daerah
penangkapannya jika hasil sebelumnya baik, tetapi jika tidak mereka
berpindah ke daerah lain dengan lama waktu yang sama dan akhirnya
kembali ke pulau sampai saat musim penangkapan di pulau membaik. Untuk
nelayan bagang dan nelayan penyelam dengan mekanisme yang sama
tetapi lama waktu yang berbeda. Nelayan penyelam biasanya memakan
waktu lebih lama di daerah penangkapan yaitu sekitar 4 - 6 bulan dengan
lama fase persiapan pemberangkatan berikutnya sekitar 1 - 2 minggu.
Nelayan bagang biasanya memakan waktu 1 - 2 bulan dengan lama fase
persiapan pemberangkatan berikutnya sekitar 1 minggu.
7.1.2.2. Struktur Populasi dan Mata Pencaharian
Masyarakat Pulau Kanalo 1 dan 2 umumnya bekerja di laut dengan
mengeksploitasi sumberdaya laut yang tersedia. Pekerjaan utama di Pulau
Kanalo adalah nelayan terdiri atas nelayan bagang (sebagian besar adalah
bagang tancap), nelayan pancing cakalang/tongkol sekaligus berfungsi
sebagai kapal pembawa es (pangnges) ke daerah kawasan Taka Bonerate
dan Nusa Tenggara dan membawa hasil tangkapan nelayan di kedua
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 171
kawasan tersebut untuk dipasarkan di Lappa. Selain itu terdapat pula
nelayan jaring insang, nelayan jala, nelayan rumpon, nelayan pukat, nelayan
panambe dan nelayan penyelam/ kompressor.
Selain bermatapencaharian sebagai nelayan, sekelompok kecil
masyarakat memilih pekerjaan selain nelayan yakni sebagai pedagang,
pegawai negeri sipil, dan pekerjaan yang tidak tetap/jelas.
7.1.2.3. Karakteristik Pencari Nafkah Utama Rumah Tangga
Pencari nafkah utama adalah kemampuan seseorang untuk dapat
memobilisasi sumber-sumber ekonomi di lingkungannya untuk pemenuhan
kebutuhan rumah tangga. Dalam sebuah keluarga umumnya yang menjadi
pencari nafkah utama adalah kepala keluarga dalam hal ini adalah suami
(bapak). Tetapi pada kenyataannya di daerah kepulauan, khususnya
di Pulau Kanalo 1 dan 2 beberapa orang ibu dan anak laki-laki tertua menjadi
pencari nafkah utama, terutama apabila sang bapak telah lanjut usia atau
meninggal dunia.
Dari hasil survei didapatkan bahwa sebagai pencari nafkah utama
rumah tangga yang bekerja di Pulau Kanalo 1 dan 2 adalah suami (13,16%),
juga terdapat anggota keluarga yang membantu dalam penambahan
penghasilan keluarga, yaitu anak pertama yang utamanya anak laki-laki
7,90%), anak kedua (2,63%), dan anak ketiga (2,63%). Selain dari yang
tersebut di atas, terdapat kelompok keluarga yang tidak jelas status
pekerjaanya dan merupakan persentase terbesar dari kelompok yang
bekerja yaitu sebesar 73,68%.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan adanya peralihan
tanggung jawab keluarga secara alamiah, di antaranya peran anak yang
bertindak sebagai pencari nafkah utama keluarga karena faktor usia orang
tuanya yang sudah tidak kuat lagi bekerja di laut atau karena sakit
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 172
(umumnya sakit lumpuh), peran istri sebagai pencari nafkah utama karena
suaminya yang telah meninggal atau karena suaminya merantau.
7.1.2.4. Pendidikan dan Keterampilan
Pendidikan di Pulau Kanalo 1 dan 2 secara umum masih tergolong
rendah. Hal ini terlihat dari data responden yang diambil bahwa yang tidak
sekolah sebesar 10,53%, sekolah hanya sampai SD 73,68% yang
merupakan persentase pendidikan terbesar, sekolah sampai SMP 2,63%,
sekolah sampai SMA sebesar 7,90% dan yang sekolah sampai sarjana
sebesar 5,26%.
Berdasarkan sebaran tingkat persentase yang sekolah di Pulau
Kanalo 1 dan 2 terlihat bahwa pendidikan SD yang masih mendominasi
tingkat pendidikannya, tetapi secara umum bahwa hampir seluruh
masyarakat Pulau Kanalo 1 dan 2 sudah menerima pendidikan 89,47%.
Rendahnya tingkat pendidikan ini secara umum, memberikan efek terhadap
sulitnya pemahaman atau penerimaan informasi dan teknologi secara
menyeluruh. Karena itu pula memberi efek terhadap kurangnya minat
masyarakat untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pelatihan yang dilakukan oleh
pemerintah atau instansi terkait yaitu tentang terumbu karang (5,26%) dan
pelatihan selain terumbu karang (9,84%).
7.1.2.5. Struktur keluarga dan peranan perempuan
Peranan perempuan di Pulau Kanalo secara tradisional masih
dilaksanakan, yaitu mendidik dan mengasuh anak. Selain itu mereka
membantu suami mengolah ikan menjadi ikan kering. Peranan perempuan
yang menonjol di pulau ini sama seperti di pulau lainnya adalah dalam hal
pengawasan pendidikan anak.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 173
7.1.3. Infrastruktur Publik 7.1.3.1. Sarana Sosial
Fasilitas umum yang terdapat di Pulau Kanalo berupa sarana-sarana
kegiatan olah raga adalah lapangan sepak bola, bulu tangkis sekaligus
sepak takro, tenis meja. Fasilitas umum yang lain adalah berupa masjid,
sekolah dasar, pos kamling, pekuburan, dan pos perkumpulan remaja serta
dermaga beton sepanjang ± 50 m
Sarana sosial yang terlihat masih kurang memadai adalah tempat
pembuangan air besar (TPAB) dan tempat pembuangan sampah (TPS).
7.1.3.2. Sarana Ekonomi
Di pulau ini tidak terdapat sarana pasar dan perbankan. Hanya
terdapat semacam lembaga ekonomi nelayan yang sangat banyak berperan
dalam kegiatan ekonomi masyarakat yaitu dalam bentuk sistem ponggawa-
sawi. Bentuk sistem ini dirasakan sangat besar manfaatnya bagi nelayan-
nelayan yang sering mengalami kesulitan dalam hal keuangan.
Dipilihnya poggawa-sawi dalam mengatasi kesulitan nelayan
dikarenakan bank yang disediakan pemerintah dalam memberikan pinjaman
terlalu banyak meminta persyaratan-persyaratan yang sulit dipenuhi
terutama mengenai anggunan serta terkesan terlalu birokratis. Sedangkan
jika di ponggawa-sawi tidak perlu menyiapkan jaminan, lebih praktis dan
tidak menanggung bunga. Satu-satunya yang menjadi ikatan peminjaman
adalah setiap hasil tangkapan harus dijual ke ponggawa pemberi utang. Hal
inilah yang menjadi penyebab utama mengapa bank tidak terlalu
dimanfaatkan.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 174
7.1.3.3. Sarana Kesejahteraan
Secara umum dapat dikatakan bahwa fasilitas kesejahteraan yang
ada di Pulau Kanalo 1 dan 2 masih sangat kurang dimana fasilitas yang ada
hanya berupa posyandu, bidan desa, puskesmas, dan dukun.
Di Pulau Kanalo 1 dan 2 terdapat kapal khusus pengangkut air.
Pengadaan kapal ini disediakan oleh pemerintah setempat dengan sistem
kerjasama antara Bupati, Camat, dan Lurah. Kapal ini dalam
pengoperasiannya dipercayakan kepada Pulau Kanalo 1. Kerja dari kapal ini
adalah menyediakan air minum untuk ke sembilan pulau yang ada
di Kelurahan Pulau-pulau Sembilan. Pengadaan air untuk setiap pulau
dilakukan secara bergiliran dengan harga air dalam satu jergen (20 liter)
adalah Rp.1,000,-
7.2. Situasi Umum Kesejahteraan Masyarakat
Salah satu karakteristik dari Pulau Kanalo adalah jumlah penduduk
yang relatif kurang jika dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya dalam
gugusan Pulau-pulau Sembilan. Jika dilihat dari tingkat pendapatan dan
jenjang pendidikan, masyarakat Pulau Kanalo bisa disejajarkan dengan
Pulau Batang Lampe dan Burung Loe. Kondisi rumah-rumah penduduk yang
umumnya berbentuk rumah panggung cukup tertata dan terpelihara dengan
baik. Meskipun wilayah pulau ini terbagi atas 2 wilayah yakni Pulau Kanalo
1 dan Pulau Kanalo 2, akan tetapi dalam sistem administrasi pemerintahan
hanya satu sehingga disebut dengan Pulau Kanalo saja.
7.2.1. Keadaan Perumahan dan Kesehatan 7.2.1.1. Status Pemilikan dan Keadaan Perumahan
Berdasarkan hasil survei lapangan menunjukkan status kepemilikan
rumah di Pulau Kanalo sekitar 94,74% merupakan hak milik dan sisanya
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 175
sekitar 5,26% berstatus sebagai rumah dinas yang dihuni oleh PNS. Seperti
halnya di pulau-pulau lainnya bentuk rumah panggung masih dominan
(73,68%) dibandingkan dengan rumah non panggung (26,32%). Luas
bangunan rumah bervariasi dari yang kurang 100 m2 sampai lebih dari 200
m2, tetapi sekitar 84% di antaranya berukuran kurang dari 100 m2. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 50.
Tabel 50. Persentase Bentuk, Luas dan Status Kepemilikan Rumah di Pulau Kanalo
Bentuk Rumah (%) Luas (m2) (%) Status rumah (%)
Panggung 73,68 < 100 84,21 Milik 97,37
Non panggung 26,32 100-150 11,79 Kontrak 0,00
151-200 00,00 Numpang 2,63
> 200 00,00
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Sejumlah bagian-bagian dari rumah seperti atap, dinding dan lantai
juga disurvei. Bahan untuk pembuatan atap umumnya terbuat dari seng
(± 76%) dan sisanya terbuat dari rumbia dan nipa. Sementara itu untuk
pembuatan dinding umumnya menggunakan papan dan tembok (± 93%) dan
sisanya menggunakan seng dan tripleks. Oleh karena bentuk rumah
umumnya berupa rumah panggung maka papan merupakan bahan
pembuatan lantai yang masih umum digunakan di pulau ini (± 79%) dan
sisanya menggunakan semen dan tegel (Tabel 51).
Meskipun fasilitas penerangan rumah sudah disuplai dari PLN wilayah
Sinjai dan listrik swasta (sekitar 77%), namun masih ada sekitar 23% dari
responden masih menggunakan lampu pelita dan petromaks (21%
di antaranya menggunakan lampu pelita). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
Gambar 17.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 176
Tabel 51. Persentase Bahan Pembuatan Atap, Dinding dan Lantai Rumah di Pulau Kanalo
Atap % Dinding % Lantai %
Seng 76,32 Tembok 18,42 Tegel 7,89
Rumbia 13,16 Papan 76,32 Keramik 0,00
Nipa 10,52 Bambu 0,00 Papan 78,95
Genteng 0,00 Seng 2,63 Semen 13,16
Asbes 0,00 Tripleks 2,63
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Gambar 17. Persentase Pemanfaatan Fasilitas Penerangan Rumah Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan,
Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
7.2.1.2. Sumber Air Minum dan Fasilitas Kesehatan
Sekitar 94,70% dari masyarakat Pulau Kanalo yang disurvei membeli
air minum dari Lappa untuk konsumsi sehari-hari dan sisanya memanfaatkan
air sumur yang ada di pulau tersebut (Gambar 18). Sarana kesehatan
masyarakat yang ada di Pulau Kanalo tersedia sebuah Puskesmas
pembantu (Pustu) yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Hanya
seorang paramedis yang melayani masyarakat di Pustu tersebut.
32%
45%
21% 2%
Listrik PLN Listrik swasta Pelita Petromaks
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 177
96%
4%
Beli Sumur
Gambar 18. Persentase Sumber Air Minum Masyarakat
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
7.2.1.3. Sanitasi Lingkungan
Jika dilihat dari pemanfaatan kakus dan cara menangani sampah,
maka tingkat sanitasi lingkungan di Pulau Kanalo masih tergolong rendah.
Hal ini dapat dilihat sebagian besar masyarakat (86,84%) masih
menggunakan pantai sebagai tempat buang air besar dan tempat
membuang sampah (Tabel 52).
Tabel 52. Persentase Tempat Buang Air Besar dan Tempat Pembuangan Sampah
Tempat buang air besar % Tempat pembuangan sampah %
Kakus 13,16 Lubang 13,16
Sungai 0,00 Kontainer 0,00
Pantai 86,84 Pantai 86,84
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
95%
5 %
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 178
7.2.2. Keadaan Ekonomi: Jenis, Lapangan dan Status Pekerjaan 7.2.2.1. Jenis Pekerjaan
Terdapat dua jenis pekerjaan yang ada di Pulau Kanalo yakni
pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan (Tabel 53). Pekerjaan utama
masyarakat di Pulau Kanalo bergerak di bidang perikanan sebanyak 78,68%
yang umumnya sebagai nelayan bagan, pancing, jaring insang, pukat,
panambe dan lain-lain. Selebihnya bekerja sebagai pedagang, sektor jasa,
pegawai negeri sipil dan lain-lain.
Sebagian besar penduduk Pulau Kanalo (81,58%) tidak memiliki
pekerjaan tambahan di luar pekerjaan utama, dan sisanya sebagai
pedagang, bidang perikanan dan jasa.
Tabel 53. Persentase Jenis Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Tambahan di Pulau Kanalo
Pekerjaan Utama % Pekerjaan Tambahan %
Perikanan
Pedagang
PNS
Jasa
Dan lain-lain
78,68
7,89
7,89
-
10,54
Perikanan
Pedagang
PNS
Jasa
Tidak ada
5,26
10,53
0,00
2,63
81,58
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
7.2.2.2. Tingkat Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga
Tingkat pendapatan masyarakat pulau Kanalo cukup bervariasi mulai
dari yang kurang dari Rp 500.000,- sampai di atas dua juta rupiah per bulan.
Dari data responden diketahui persentase tertinggi dimiliki oleh penduduk
yang berpenghasilan kurang dari Rp 500.000 dan antara Rp 0,5 – 1 juta
masing-masing 34,21%, kemudian antara Rp 1,6 – 2 juta dan selebihnya
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 179
antara Rp 1,1 juta – 1,5 juta dan diatas Rp 2 juta. Data lengkap disajikan
pada Tabel 54.
Jumlah pengeluaran yang dikeluarkan oleh setiap rumah tangga
di Pulau Kanalo paling tinggi persentasenya di bawah Rp 500.000,-/ bulan
(57,90%), selanjutnya antara Rp 0,5 – Rp 1 juta,-/bulan (34,21%) dan
sisanya antara Rp 1,1 – 1,5 juta (2,63%) yang persentasenya sama dengan
pengeluaran antara Rp 1,6 – 2 juta dan di atas Rp 2 juta,-/bulan. Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah pendapatan relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan jumlah pengeluaran, meskipun nampaknya sudah ada juga yang
mempunyai pengeluaran di atas Rp 2 juta per bulan.
Tabel 54. Persentase Jumlah Pendapatan dan Pengeluaran di Kelurahan Lappa.
Pendapatan % Pengeluaran %
< Rp 500.000
Rp 0,5 – Rp 1 Juta
Rp 1,1 – Rp 1,5 Juta
Rp 1,6 – Rp 2 Juta
> Rp 2 Juta
34,21
34,21
7,89
13,16
10,53
< Rp 500.000
Rp 0,5 – Rp 1 Juta
Rp 1,1 – Rp 1,5 Juta
Rp 1,6 – Rp 2 Juta
> Rp 2 Juta
57,90
34,21
2,63
2,63
2,63
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
7.2.2.3. Tabungan dan Cara Mengatasi Kesulitan Keuangan
Data menunjukkan bahwa masyarakat Pulau Kanalo belum terbiasa
untuk menabung. Hanya 36,84% responden menjawab mempunyai
tabungan dan 63,16% reponden lainnya tidak memiliki tabungan. Dari jumlah
tersebut sekitar 29% dari responden yang memiliki tabungan di bank,
sedangkan yang ditabung di rumah dalam bentuk uang dan emas sekitar
71%. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 55.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 180
Tabel 55. Persentase Pemilikan Tabungan dan Bentuk Tabungan Pemilikan Tabungan % Bentuk Tabungan %
Ya 36,84 Bank 28,95
Tidak 63,16 Emas 5,26
Uang 65,79
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Hasil survei lapangan menunjukkan sekitar 60% responden menjawab
pernah mengalami kesulitan dalam hal keuangan, baik untuk modal produksi
maupun kebutuhan sehari-hari. Selanjutnya untuk mengatasi kesulitan
keuangan tersebut, 31,58% responden meminjam pada keluarganya, sekitar
50% meminjam di koperasi, bank dan menjual simpanan sedangkan sisanya
meminjam pada ponggawa. Data lengkap tentang hal ini disajikan pada
Tabel 56.
Tabel 56. Persentase mengatasi kesulitan keuangan
Pernah Kesulitan % Cara Mengatasi kesulitan %
Ya 60,53 Pinjam di bank 13,16 Tidak 39,47 Pinjam di keluarga 31,58
Pinjam di koperasi 23,68 Pinjam di ponggawa 5,26 Jual simpanan 26,32
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-ulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
7.2.3. Keadaan Sosial Ekonomi 7.2.3.1. Perkembangan Umum Usaha Ekonomi Masyarakat
Perkembangan usaha ekonomi masyarakat di Pulau Kanalo, jika
dilihat dari jumlah kepemilikan armada penangkapan dan alat tangkap yang
dimiliki dapat dikatakan meningkat dari waktu ke waktu. Selain itu dapat pula
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 181
dilihat dari jumlah masyarakat yang memiliki pendapatan di atas Rp 1,6 juta
dengan jumlah sekitar 24%.
Dari hasil wawancara terhadap beberapa responden, terungkap pula
bahwa masyarakat menyadari pentingnya pendidikan sehingga tidak
mengherankan jika persentase masyarakat yang mengenyam pendidikan
tinggi (menjadi sarjana) lebih tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau
tetangga lainnya.
7.2.3.2. Keterkaitan Kegiatan Ekonomi dan Keberadaan Terumbu Karang
Seperti diketahui sebelumnya bahwa umumnya nelayan di Pulau
Kanalo sebagai nelayan bagang perahu, apabila dikaitkan dengan prinsip
kerja penangkapan ikan pada bagang yakni menarik ikan dengan cara
memanfaatkan sifat ikan yang fototaksis positif (mendekati cahaya), dapat
dikatakan bahwa kegiatan penangkapan ikan mereka tidak berkaitan
langsung dengan terumbu karang, karena ikan yang tertangkap adalah ikan-
ikan yang bersifat pelagis (ikan-ikan di permukaan). Akan tetapi, dari hasil
wawancara yang lebih mendalam mereka mengatakan bahwa aktivitas
penggunaan bom dan potas untuk menangkap ikan lebih banyak dilakukan
oleh nelayan yang berasal dari luar pulau , sehingga apabila hal ini dikaitkan
dengan kegiatan usaha mereka, maka meskipun mereka tidak mencari ikan
di ekosistem terumbu karang, namun efek dari penggunaan bom dan potas
tersebut tentu akan berpengaruh juga pada ikan yang menjadi sasaran
tangkapan mereka.
7.2.3.3. Penguasaan Aset-aset Produksi dan Non Produksi
Hasil analisis data menunjukkan bahwa aset-aset produksi yang
dimiliki oleh masyarakat Pulau Kanalo terbagi atas armada kapal dan alat
tangkap. Sekitar 71% dari responden telah memiliki kapal/perahu, dan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 182
sisanya memiliki sampan, perahu layar dan jolloro. Tingkat penguasaan
terhadap aset produksi khususnya alat tangkap juga disurvei. Sekitar 34%
dari responden memiliki alat tangkap berupa pancing, bagang dan
kompresor masing-masing sekitar 16% dan sisanya adalah jaring insang,
jala, rumpon, pukat dan jaring nambe. Data lengkap tentang hal ini disajikan
pada Tabel 57.
Status Kepemilikan tanah, simpanan uang di bank dan simpanan
emas di rumah merupakan aset non produksi dari masyarakat Pulau Kanalo.
Disadari oleh para responden bahwa meskipun aset non produksi ini
sifatnya tidak produktif, namun demikian mereka dapat mempergunakannya
dalam situasi-situasi tertentu yang besifat mendesak dan tidak terduga.
Tabel 57. Penguasaan Aset Produksi di Pulau Kanalo
Armada % Alat tangkap %
Kapal/perahu 71,04 Bagang 15.79
Perahu layar 5,26 Pancing 34.21
Jolloro 7,90 Jaring insang 10,53
Sampan 15,80 Jala 7.90
Rumpon 2,63
Pukat 7.90
Jaring nambe 5,26
Kompressor 15,79
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
7.3. Intensitas dan Kondisi Sumberdaya Terumbu Karang 7.3.1. Pandangan dan Sistem Pengetahuan Ekologis 7.3.1.1. Sistem Pengetahuan Tradisional
Seperti halnya dengan pulau lain yang terdapat di Kepulauan
Sembilan, maka di Pulau Kanalo juga mengenal sistem pengetahuan
tradisional seperti sistem pengetahuan mengenai ruang/tempat.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 183
* Pengetahuan Berkenaan Dengan Ruang/Tempat
Karang bagi nelayan Pulau Kanalo dipahami sebagai rumah, tempat
hidup, tempat makan, tempat perlindungan bagi ikan, bahan bangunan, dan
ada yang tidak tahu fungsinya (Tabel 58).
Tabel 58. Persentase Pengetahuan Masyarakat Pulau Kanalo Tentang Manfaat Terumbu Karang
Manfaat Terumbu Karang Persentase (%)
Rumah Ikan 13,16
Tempat Ikan Hidup 23,68
Perlindungan Ikan 7,9
Bahan Bangunan 23,68
Tidak Tahu 31,58
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Sehubungan dengan hal di atas, maka semua nelayan mengetahui
betul letak dan nama dari setiap “taka” yang terdapat di Pulau Sembilan yang
merupakan tempat melakukan aktivitas penangkapan termasuk di Sulawesi
Tenggara, Maluku, Sorong, dan Selayar (Tabel 60).
* Pengetahuan Berkenaan Dengan Laut dan Isinya
Hasil survei memperlihatkan bahwa 23,68% menganggap karang
sebagai tempat hidup dari organisme baik ikan maupun non ikan. Organisme
yang menjadi target penangkapan bagi nelayan Pulau Kanalo diantaranya
adalah ikan kerapu, teripang, udang, dan cumi-cumi.
Komoditi hasil laut lainnya yang diusahakan oleh nelayan Pulau
Kanalo adalah jenis ikan-ikan permukaan (pelagis). Jenis-jenis ini terutama
dimanfaatkan oleh nelayan pancing dan nelayan bagang. Jenis ikan
permukaan yang diusahakan tersebut antara lain ikan lure, pepetek,
cakalang, sarisi, layang, dan lain-lain yang tidak memiliki nilai jual di pasaran.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 184
Puncak musim penangkapan dilakukan pada saat musim Barat,
dimana pada saat tersebut kondisi laut tidak menjadi persoalan bagi nelayan
yang melakukan penangkapan karena Kepulauan Sembilan terlindung oleh
Teluk Bone.
• Pengetahuan Berkenaan Dengan Pelayaran
Penduduk Pulau Kanalo umumnya beragama Islam. Sungguh pun
demikian kepercayaan yang ada disini dalam hal melakukan pelayaran
adalah sama dengan nelayan lain yang ada dalam kawasan Kepulauan
Sembilan, yaitu percaya bahwa dapat terjadi kecelakaan kalau kegiatan
melaut dilaksanakan sebelum waktu shalat jumat dan penggunaan ijuk
di tiang utama untuk penangkal makhluk gaib di laut. Hal inilah yang
mendasari sehingga masyarakat nelayan di Pulau Kanalo tidak turun melaut
sebelum pelaksanaan shalat jumat
7.3.1.2. Pandangan Tentang Hak Atas Laut
Laut adalah milik bersama demikian pandangan yang juga dianut oleh
nelayan yang berdomisili di pulau Kanalo berdasarkan data hasil survei yang
didapatkan (100%). Sehubungan dengan hal tersebut, maka semua nelayan
mempunyai peran dan tanggung jawab yang sama dalam menjaga wilayah
laut. Mereka tidak setuju dengan penggunaan alat tangkap yang dapat
mengakibatkan kerusakan pada lingkungan laut (84,20%).
Dalam operasi penangkapan ikan khususnya alat tangkap bagang,
maka sebagian besar menggunakan alat bantu yang disebut rumpon.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka ada aturan adat yang harus
dipenuhi dalam penguasaan wilayah laut di Pulau-pulau Sembilan seperti
yang telah dijelaskan pada Gambar 13 (Bab V). Sampai sekarang aturan
adat ini masih ditaati pengguna kedua alat tersebut. Untuk rumpon, aturan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 185
tersebut dibuat untuk menghindari kekosongan rumpon dari ikan bila sejajar
atau berdekatan satu sama lain.
Sedangkan penguasaan wilayah laut berdasarkan aturan formal
didasarkan pada peraturan pemerintah yang mengatur penggunaan atau
pemanfaatan sumberdaya alam laut. Aturan-aturan tersebut berupa
pelarangan penggunaan beberapa alat tangkap destruktif seperti bom dan
bius, serta perizinan untuk melakukan penangkapan di dalam suatu
kawasan.
Hasil survei yang dilakukan di pulau ini sebenarnya sebagian nelayan
telah mengetahui tentang aturan pelarangan penggunaan alat tangkap
destruktif. Seperti diperoleh jawaban 39,47% mengatakan mengetahui
adanya peraturan pemerintah yang melarang penggunaan bom dalam
penangkapan ikan dan yang tidak mengetahui sebanyak 60,53%.
Sedangkan pelarangan penggunaan bahan beracun (bius) sebanyak
34,21% yang mengetahui dan yang tidak mengetahui sebanyak 65,79%.
7.3.1.3. Pengetahuan Tentang Jenis-jenis Biota Laut Bernilai Ekonomi Tinggi
Nelayan yang berdomisili di Pulau Kanalo sebagian adalah nelayan
yang berasal dari suku Bajo (penyelam) yang sudah mengenal jenis
organisme laut yang mempunyai nilai ekonomi. Tujuan utama penangkapan
mereka selain teripang, juga ikan sunu, langkoe dan kerapu.
7.3.1.4. Pandangan Tentang Kelangkaan Sumberdaya dan Prinsip- prinsip Konservasi
Masyarakat nelayan Pulau Kanalo juga menganggap bahwa telah
terjadi kemerosotan jumlah populasi biota bernilai ekonomi di sekitar
perairan Pulau Kanalo. Hasil survei yang dilakukan terhadap nelayan Pulau
Kanalo tentang kondisi hasil tangkapan di perairan Pulau-pulau Sembilan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 186
didapatkan 50% yang mengatakan hasil tangkapan menurun, 6,67%
mengatakan meningkat dan 43,33% mengatakan tetap. Jenis ikan terutama
ikan karang yang mengalami kemerosotan seperti sunu, kerapu dan lain-lain.
Sedangkan jenis biota non ikan yang mengalami kemerosotan seperti
teripang, dan udang/lobster. Kemerosotan jenis tersebut mengakibatkan
nelayan pulau ini banyak ke luar ke daerah lain untuk mencari daerah
penangkapan yang baru.
Secara umum kemerosotan ini terutama disebabkan oleh penggunaan
bahan kimia potas dan bom oleh sebagian nelayan yang tidak
bertanggungjawab, bukan musim dan lain-lain. Hasil survei yang dilakukan
di pulau ini tentang penyebab kelangkaan sumberdaya tersebut adalah 30%
mengatakan bom; bius 23%, banyaknya nelayan, bukan musim, ikan
kurang, taka rusak masing-masing 6,67 % dan yang tidak tahu 20%.
Akibat penggunaan bahan kimia, bukan hanya membunuh ikan-ikan
kecil dari semua jenis, tetapi juga merusak/mematikan terumbu karang.
Kerusakan terumbu karang yang sebagian besar diakibatkan oleh
penggunaan bahan peledak dan zat kimia beracun telah mengenai terumbu
karang di hampir semua taka-taka di wilayah perairan pulau-pulau Sembilan.
Seperti halnya Pulau Kambuno, Burung Loe dan Batanglampe,
kesadaran masyarakat nelayan di Pulau Kanalo belum melaksanakan
prinsip-prinsip konservasi terhadap pengelolaan sumberdaya laut. Karena
masih mempunyai prinsip dan motivasi yang sama seperti nelayan lainnya,
yaitu menangkap sumberdaya laut apa saja yang dinilai mempunyai
ekonomi.
7.3.2. Jenis dan Intensitas Pemanfaatan Sumberdaya
Jenis sumberdaya laut yang dimanfaatkan oleh nelayan Pulau Kanalo
antara lain adalah cakalang, layang, lure, teripang, udang, kerapu.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 187
Persentase jenis sumberdaya laut yang paling banyak dimanfaatkan oleh
nelayan pulau ini adalah rambeng (18,94%). Rambeng adalah sejenis ikan
kecil yang banyak digunakan sebagai umpan hidup untuk penangkapan ikan
cakalang. Persentase jenis sumberdaya laut yang terdapat di Pulau Kanalo
selengkapnya disajikan pada Tabel 59.
Tabel 59. Persentase Sumberdaya Laut (ikan dan non ikan) yang Tertangkap di Pulau Kanalo
Jenis sumberdaya laut Persentase (%)
Rambeng 18,94
Lure 17,8
Layang 12,49
Teripang 12,49
Cakalang 9,27
Botto-botto 9,27
Pepetek 2,82
Tongkol 2,82
Lencam 2,82
Udang 2,82
Sarisi 2,82
Kerapu 2,82
Cumi-cumi 2,82
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
7.3.2.1. Teknologi Pemanfaatan
Untuk pemanfaatan sumberdaya laut, nelayan pulau Kanalo ini
menggunakan beberapa jenis alat tangkap seperti alat selam, pancing, jaring
nambe, bagang, jaring insang, pukat, jala, dan rumpon. Persentase tertinggi
alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di pulau ini adalah pancing
sebesar 34,21%,
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 188
7.3.2.2. Metode Penangkapan
Metode atau cara pengoperasian alat tangkap yang terdapat
di Kanalo seperti pancing, bagang, alat selam, dan nambe hampir sama
dengan yang terdapat di pulau-pulau yang telah dijelaskan sebelumnya.
* Pancing Tangan
Menurut jenis tangkapannya, alat pancing tangan dapat dikelompokkan
yaitu pancing cakalang, pancing ikan karang atau biasa disebut pancing
kedo-kedo, pancing rinta, dan pancing cumi-cumi. Pancing cakalang
dioperasikan pada perairan yang dalam, pancing ikan karang sebagian besar
dioperasikan di Taka-taka (area terumbu karang) jenis ikan yang
dikhususkan ditangkap adalah sunu dan kerapu, pancing rinta digunakan
untuk menangkap ikan-ikan katombo, kembung, layang dan jenis-jenis ikan
pelagis lainnya. Sedangkan pancing cumi-cumi dioperasikan
di taka-taka yang relatif dangkal airnya, dengan menggunakan umpan
buatan (artificial) yang terbuat dari plastik.
* Bagang
Bagang merupakan alat tangkap hasil penemuan asli masyarakat
nelayan Sinjai. Dalam proses penemuannya, terdapat 4 tahap evolusi yang
dilalui sebelum bagang menemukan bentuknya sekarang ini. Tahap-tahap
tersebut adalah bagang tancap, bagang rakit, bagang perahu dengan
menggunakan lampu petromaks, bagang perahu motor dengan lampu
petromaks, dan terakhir bagang perahu motor dengan lampu listrik.
* Kompresor (Kegiatan Penyelaman)
Penyelaman yang dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan
kompressor di perairan dangkal seperti area terumbu karang maupun
di lokasi-lokasi yang dasarnya berpasir, berlumpur, dan berbatu-batu,
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 189
dimana terdapat biota yang dicarinya seperti teripang, lola, kima, siput,
mutiara, dan lainnya. Kegiatan ini dilakukan dua orang secara bergantian.
* Jaring insang (gill net)
Alat ini dioperasikan di sekitar pantai dengan cara menghalang alur
migrasi ikan. Alat tersebut dibiarkan secara pasif sambil menunggu hasil
tangkapan. Untuk jaring insang dasar dioperasikan untuk menangkap ikan-
ikan karang berupa sunu dan lencam (lencam) dengan cara menjerat atau
membelit ikan tersebut. Alat ini banyak dioperasikan untuk menangkap ikan
sunu hidup-hidup untuk dijual kepada pedagang pengumpul.
* Jala
Pengoperasian “jala” sejenis pukat berkantong dengan ukuran mata
jaring (mesh size) sangat halus banyak dilaksanakan oleh masyarakat
di Pulau Kanalo. Hasil tangkapan adalah ikan teri merah “rambeng” yang
ditempatkan di karamba jaring apung kecil agar tetap hidup. Ikan ini banyak
dipakai sebagai umpan hidup oleh kapal-kapal “Pole and Line” atau biasa
disebut sebagai kapal perikanan oleh masyarakat. Operasi penangkapan
dilakukan di sekitar rumpon. Setiap unit jaring menempatkan minimal
4 rumpon kecil di beberapa tempat sebagai tempat berkumpulnya ikan.
* Pukat
Alat ini dioperasikan di laut dangkal, terutama di lokasi-lokasi yang
diperkirakan ada ikannya, atau pada lokasi-lokasi di mana tampak ada
tanda-tanda adanya gerombolan atau kawanan ikan. Penggunaannya
terutama pada saat alat tersebut ditarik ke pantai atau ke perahu, bagian-
bagian cincin-cincin dari pukat dan bahkan bagian net dari pukat tersebut
mengenai dasar. Bilamana dioperasikan di lokasi-lokasi yang ada terumbu
karangnya, jelas akan merusak terumbu karang. Dengan proses kerja
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 190
seperti itu, ditemukan tiga karakter kegiatannya yaitu memburu dan
mengepung ikan, serta menyapu dasar laut.
* Jaring Nambe
Jaring ini digunakan di laut dangkal pada malam hari, dan menurut
beberapa nelayan biasanya digunakan dekat dengan karang karena itu
jaring ini sering kali tersangkut. Jaring nambe dioperasikan dengan
menggunakan perahu jolloro dengan jumlah anggota sebanyak
3 hingga 5 orang nelayan. Prinsip kerja jaring ini hampir sama dengan
penggunaan gae yang menggunakan lampu. Panjang jaring nambe ini
adalah 200 m dengan lebar 2 m.
Jenis ikan yang tertangkap adalah ikan lencam, sinrili, dan beberapa
jenis ikan karang lainnya maupun ikan pelagis.
* Rumpon
Rumpon merupakan sarana pemikat ikan yang bahannya dominan
menggunakan bambu yang disatukan menyerupai rakit, menggunakan daun
kelapa dan tali yang diikatkan pada rumpon dan batu-batu karang di dasar
laut agar tidak hanyut.
7.3.2.3. Lokasi Penangkapan
Pulau-pulau Sembilan merupakan lokasi tujuan penangkapan nelayan
di Pulau Kanalo. Selain dari daerah tersebut, nelayan itu juga melakukan
penangkapan ikan di wilayah Sorong, Kupang/Lombok dan Bulukumba.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 60.
7.3.2.4. Waktu dan Musim Penangkapan
Waktu atau lama penangkapan ikan oleh nelayan pulau Kanalo
bervariasi antara kurang dari satu minggu hingga diatas empat minggu.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 191
Secara umum puncak musim penangkapan ikan nelayan di pulau ini antara
bulan Oktober hingga April atau bertepatan dengan datangnya musim Barat.
Namun pada hari-hari biasa di luar puncak musim penangkapan tersebut
nelayan di pulau ini juga tetap melakukan penangkapan ikan di sekitar taka-
taka Kepulauan Sembilan. Waktu/lama penangkapan ikan oleh nelayan
Pulau Kanalo kurang dari satu minggu memiliki persentase tertinggi sebesar
68,75%. Persentase waktu /lama penangkapan ikan disajikan pada
Tabel 60.
Tabel 60. Persentase Daerah Penangkapan Nelayan Pulau Kanalo
Daerah Penangkapan Persentase (%)
Pulau-Pulau Sembilan 63,33
Sorong 16,67
Kupang/Lombok 6,67
Limpoge 6,67
Bulukumba 6,67
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Tabel 61. Persentase Waktu/lama Penangkapan Nelayan Pulau Kanalo
Waktu/lama Penangkapan Persentase (%)
< 1 minggu 68,75
3 – 4 minggu 12,50
> 4 minggu 12,50
1 – 2 minggu 6,25
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Jenis-jenis alat tangkap yang terdapat di Pulau Kanalo ini mempunyai
variasi biaya operasional penangkapan antara satu alat dengan alat lainnya.
Biaya operasional ini sangat ditentukan oleh daerah fishing ground dan lama
operasi penangkapan. Biaya operasional berkisar antara ±Rp. 500.000
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 192
hingga ±Rp.2.000.000. Biaya operasional kurang dari Rp. 500.000
merupakan persentase biaya operasional tertinggi (70,00%). Persentase
biaya operasional dapat dilihat pada Tabel 62.
Tabel 62. Persentase Biaya Operasional Penangkapan Nelayan Pulau Kanalo
Biaya Operasional (Rp) Persentase (%)
< 500.000 70,00
> 2.000.000 23,33
1.100.000 – 1.500.000 6,67
1.600.000 – 2.000.000 0,00
500.000 – 1.000.000 0,00
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
7.3.3. Analisis Stakeholder 7.3.3.1. Stakeholder Internal
Yang termasuk stakeholder internal di Pulau Kanalo adalah kelompok
nelayan yang terdiri dari nelayan bagang, nelayan pancing, penyelam
teripang, nelayan jaring insang, nelayan jala, nelayan rumpon, pukat dan
panambe; pedagang, punggawa laut dan darat dan tokoh masyarakat seperti
Kepala Kelurahan, Imam Desa dan penduduk kelurahan.
Pengguna internal yang berpeluang merusak terumbu karang di Pulau
Kanalo adalah nelayan jala, pukat dan penyelam teripang terutama yang
mengambil hasil sampingan berupa ikan karang dan lobster. Masyarakat
yang tidak menyebabkan kerusakan terumbu karang di pulau ini adalah
kelompok masyarakat bagang tancap, nelayan pancing, nelayan rumpon,
nelayan jaring insang, yang pada dasarnya melakukan penangkapan dengan
cara yang lebih selektif dan areal penangkapannya terbatas.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 193
7.3.3.2. Organisasi dan Potensi Konflik
Secara umum organisasi nelayan yang secara khusus bergerak dalam
pengelolaan sumberdaya laut yang ditemukan di Pulau kanalo yaitu berupa
organisasi tradisional punggawa-sawi seperti yang terdapat di pulau lain
seperti Pulau Kambuno, Burung Loe dan Batang Lampe.
Potensi konflik yang bisa timbul dari masyarakat nelayan Pulau
Kanalo I dan 2 adalah pemanfaatan sumberdaya oleh nelayan yang
menggunakan alat tangkap bagang tancap dan jaring nambe serta
penggunaan rumpon, para sawi yang menangkap ikan dengan
menggunakan ketiga alat tersebut saling berebut sumberdaya yang sejenis
dan harus memperhatikan batas-batas kepentingan bersama agar tidak
menyebabkan konflik kepentingan yang lebih besar terjadi.
7.4. Sistem pengolahan Pasca Panen dan Pemasaran Hasil 7.4.1. Jenis dan metode Pengolahan Pasca Panen di Pulau Kanalo
Pulau Kanalo merupakan salah satu bagian wilayah dari Kelurahan
Pulau-pulau Sembilan Kecamatan Sinjai Utara. Sebagian besar masyarakat
yang berdomisili di tempat tersebut mempunyai mata pencaharian sebagai
nelayan dan juga bergerak di bidang budidaya (tambak) yang membutuhkan
waktu 3 bulan untuk kegiatan panen.
7.4.1.1. Jenis Produk
Produk yang dihasilkan oleh nelayan di Pulau Kanalo umumnya
hampir sama dengan nelayan yang ada di Pulau Kambuno. Hasil tangkapan
pemancing adalah sebagian besar ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan
nelayan bagang perahu dan tancap adalah ikan pelagis ekonomis penting
(lure, pepetek-pepetek, tembang, rambeng) dan petani tambak adalah ikan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 194
bandeng (Chanos chanos). Produk-produk yang dihasilkan oleh nelayan
tersebut umumnya dipasarkan dalam kondisi segar tanpa mengalami proses
pengawetan.
7.4.1.2. Teknologi Pengolahan
Nelayan di Pulau-pulau Sembilan dalam melakukan pengolahan hasil
tangkapannya tidak mengalami perbedaan. Perbedaan dalam penanganan
hasil tangkapan sangat ditentukan oleh alat tangkap yang digunakan dan
lokasi penangkapan ikan. Pemancing ikan tongkol di Pulau Kanalo lokasi
penangkapannya terletak di sekitar Pulau-pulau Sembilan, sehingga mereka
tidak menyediakan es dalam operasi penangkapan. Sedangkan petani
tambak, setiap selesai melaksanakan panen (2 sampai 3 bulan sekali) maka
mereka menyiapkan es balok (sedikit) untuk mengawetkan hasil panen
tersebut yang siap dipasarkan di masyarakat pulau maupun di lokasi
pelelangan. Hasil bagang perahu dan bagang tancap sama dengan
pengolahan produk yang dilakukan di Pulau Kambuno.
7.4.1.3. Biaya dan Nilai Tambah Dari Proses Pengolahan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa nelayan pemancing
dalam melakukan operasi penangkapan tidak membawa es sehingga tidak
ada biaya tambahan dalam operasi tersebut. Hasil tangkapannya dalam
kondisi segar dan biasanya dipasarkan kepada masyarakat pulau.
Petani tambak yang menghasilkan ikan bandeng sedikit menyiapkan
es untuk produknya, hal ini juga dilakukan bila produk tersebut tidak habis
terjual di pulau sehingga harus dibawa ke Lappa tempat ponggawa darat.
Jumlah es yang dibutuhkan relatif sedikit karena jarak tempuh dari pulau
ke Lappa adalah 1.15 jam (2 – 3 balok) dengan harga Rp. 13.500. Nilai
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 195
tambah yang dihasilkan dari pengolahan tersebut adalah harga penjualan
tetap dapat dipertahankan.
Produk yang dihasilkan oleh bagang tancap juga tidak dilakukan
pengolahan secara khusus, hal ini disebabkan setiap bagang tancap sudah
tersedia jolloro yang akan mengangkut hasil tangkapan yang langsung dijual
kepada masyarakat pulau ataupun langsung ke pelelangan.
7.4.2. Pola dan Jalur Pemasaran 7.4.2.1. Mata Rantai Pemasaran
Produk yang dihasilkan oleh nelayan pemacing di Pulau Kanalo
sebagian besar langsung dibeli oleh para nelayan yang menggunakan alat
tangkap Pole and Line (kapal Perikanan yang juga berada di sekitar Pulau-
pulau Sembilan).
diolah
Kebutuhan, produk pengumpul transaksi pelelangan Keinginan (kapal Perikanan)
Pappalele ponggawa darat Di pulau Transaksi transaksi Pasar antar ekspor Lokal daerah Transaksi
Gambar 19. Tata Niaga Produk Pemancing Cakalang Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan,
Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Selain itu sisanya langsung dibeli oleh para pappalele yang berada
di Pulau Kanalo untuk selanjutnya dipasarkan di pulau tersebut. Kapal
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 196
perikanan yang membeli produk dari pemancing langsung melakukan
penanganan dan selanjutnya dipasarkan di pelelangan hingga sampai
ke pasar lokal, daerah lain, dan keperluan eksport. Produk yang dihasilkan
oleh nelayan bagang tancap merupakan kebutuhan dari masyarakat lokal,
artinya sebagian besar produk tersebut dipasarkan untuk keperluan pasar
lokal dan para pappalele seperti pada Gambar 19, 20 dan 21.
Kebutuhan produk pelelangan ponggawa transaksi Darat
Pasar pappalele Lokal
transaksi
Gambar 20. Tata Niaga Produk Bagang Tancap Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan,
Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Pappalele transaksi
Kebutuhan produk pengumpul transaksi pasar Darat lokal
pappalele Transaksi
Gambar 21. Tata Niaga Produk Petani Tambak. Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan,
Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
7.4.2.2. Mekanisme Harga dan Metode Pembayaran
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa harga ikan cakalang
adalah Rp. 4.500/kg, namun harga tersebut lebih tinggi bila dibandingkan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 197
dengan harga yang dibayarkan oleh para pengguna kapal perikanan. Harga
pembelian untuk kapal perikanan antara Rp. 2.500 – 3.500/kg dan
pembayaran biasanya dilakukan secara tunai, kecuali ponggawa dari kapal
perikanan tersebut sudah saling kenal dengan pemancing maka dapat
dilakukan pembayaran dengan sistem kredit untuk beberapa hari. Harga
penjualan bandeng produk dari petani tambak berkisar Rp. 3.500 –
4.500/ekor, dan sistem pembayaran yang dilakukan oleh para pembeli
adalah tunai.
7.5. Faktor Eksternal dan Permasalahan Struktural
7.5.1. Faktor Eksternal
Pesat tidaknya perkembangan dari kehidupan nelayan di Pulau
Kanalo banyak dipengaruhi oleh internal pulau itu juga dipengaruhi oleh
berbagai faktor eksternal. Berbagai jenis faktor eksternal yang
mempengaruhi tingkat pengelolaan sumberdaya hayati perairan oleh
penduduk Kanalo serta dampak lingkungannya dapat diuraikan sebagai
berikut :
7.5.1.1. Kebijakan Pemerintah bagi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Undang-undang perikanan merupakan salah satu perangkat hukum
yang bertujuan mengatasi beberapa masalah dalam hal pencemaran dan
kerusakan serta eksistensi sumberdaya perikanan. Di dalam undang-undang
tersebut disebutkan bahwa sumberdaya perikanan adalah modal dasar
pembangunan untuk mengupayakan peningkatan kesejateraan dan
kemakmuran rakyat. Pada pasal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang
atau badan hukum dilarang melakukan kegiatan penangkapan dan
pembudidayaan ikan-ikan dengan menggunakan bahan-bahan dan atau alat
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 198
yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan
lingkungannya.
Pada tingkat propinsi Sulawesi Selatan kebijakan perikanan
dijabarkan dalam Repelita, bahwa usaha penangkapan ikan dengan
menggunakan alat-alat modern tidak boleh mendesak lapangan kerja
nelayan tradisional, serta hal-hal yang menimbulkan pengaruh negatif
terhadap sumberdaya alam diperkecil. Salah satu Peraturan Daerah
Sulawesi selatan yang bertujuan melestarikan sumberdaya perikanan
utamanya karang adalah Perda No. 7 tahun 1987. Perda tersebut
menyatakan bahwa setiap orang atau badan hukum dilarang mengusahakan
atau merusak terumbu karang dan dilarang mengambil organisme yang
hidup dan melekat pada terumbu karang. Sangsi pidana terhadap
pelanggaran ini adalah penjara 3 bulan atau denda uang sebanyak-
banyaknya Rp 50.000.000,-.
Dalam rangka menindaklanjuti kebijakan nasional , maka pemerintah
daerah Sulawesi Selatan telah menetapkan berbagai kebijakan yang
berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya kelautan. Kebijakan tersebut
adalah pengembangan budidaya pantai dan penangkapan ikan di daerah
laut dalam. Salah satu kebijakan pemerintah daerah yang juga mempunyai
kaitan dengan pengelolaan laut adalah pewilayahan komoditas. Kebijakan ini
ditempuh untuk memadukan antara faktor-faktor keserasian, pasar, industri
dan sarana penunjang lainnya. Berdasarkan faktor-faktor tersebut
ditetapkan komoditas andalan yang dapat dikembangkan pada suatu wilayah
tertentu. Untuk Kabupaten Sinjai komoditas perikanan andalannya adalah
teripang, ikan-ikan karang, tongkol, cakalang, pepetek, layang dan lain-lain.
Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Sinjai adalah dengan
membuat rancangan peraturan daerah tahun 2001 tentang retribusi izin
usaha kelautan dan perikanan. Usaha perikanan yang membayar retribusi
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 199
adalah usaha penangkapan, usaha budidaya, dan usaha pengolahan.
Usaha penangkapan terdiri dari alat tangkap bagang, dan penggunaan
perahu motor dan kapal motor. Usaha pembudidayaan terdiri dari jenis
algae, ikan, crustacea, molusca, amphibia dan reptilia. Sedang usaha
pengolahan terdiri dari pengeringan, pengasapan, penggaraman, pindang
dan dendeng.
Besarnya retribusi untuk bagang tancap adalah Rp 25.000,- pertahun
da retribusi bagang apung adalah Rp 100.000,-/tahun, sedang restribusi
perahu motor ukuran kurang 2,5 GT dan antara 2,5 - 5 GT adalah
Rp 20.000,- dan Rp 30.000/tahun. Besar retribusi kapal motor kurang
2,5 GT dan 2,5 - 5 GT masing-masing Rp 30.000,- dan Rp 50.000,-/tahun.
Berbagai peraturan dan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh
pemerintah umumnya bertujuan bagi kesejahteraan masyarakat dan tingkat
kelangsungan hidup masyarakat pulau itu sebagai pengguna. Aturan-aturan
tersebut dibuat supaya ada keteraturan pemanfaatan demi kelestarian
sumberdaya itu sendiri. Manfaat ini nantinya dinikmati juga oleh masyarakat.
Seperti pelarangan penggunaan bom dan bius. Jika dilihat, penggunaan bom
memudahkan masyarakat untuk menangkap ikan, akan tetapi disisi lain juga
mengancam kelestarian lingkungan sebagai habitat tempat hidup ikan
sekaligus mengancam jiwa dari nelayan itu sendiri. Sekarang timbul
pertanyaan bagi masyarakat apakah kita akan mendapatkan keuntungan
sesaat dan mengancam kelestarian serta jiwa kita atau kita dapat mencukupi
kebutuhan kita dan juga tetap menjaga laut sebagai tempat hidup kita.
Peraturan pemerintah yang dikeluarkan untuk pengelolaan
sumberdaya akan mempunyai dampak yang baik apabila di pahami oleh
masayarakat Dari survei yang dilakukan pada masyarakat Pulau Kanalo
tentang berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, terdapat
beragam pengetahuan dan pemahaman. Untuk pemahahaman tentang
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 200
pengertian karang 7,90% menjawab tumbuhan laut, 0% tumbuhan batu/taka,
21,05% batu dan 71,05% tidak tahu. Sedangkan manfaat karang 13,16%
menjawab rumah ikan, 23,68% tempat ikan hidup, 23,68% bahan bangunan,
7,89% pelindung ikan, dan 31,58% tidak tahu. Untuk kegiatan yang merusak
karang 41,67% menjawab bom, 16,67% obat bius, 0% jangkar kapal, 2,78%
penambangan, dan 38,88 % menjawab tidak tahu.
Hasil survei yang dilakukan di Pulau Kanalo selain pemahaman
masalah karang yang berbeda-beda, pengetahuan masyarakat tentang
aturan yang mengatur kelestarian terumbu karang juga berbeda-beda.
Peraturan tentang pelarangan pengambilan karang 31,58% menjawab tahu,
dan 68,42% tidak tahu, untuk kegiatan pemboman 39,47% menjawab tahu
dan 60,53% menjawab tidak tahu. Untuk kegiatan pembiusan 34,21%
menjawab tahu dan 65,79% menjawab tidak tahu.
Beragamnya jawaban responden di Pulau Kanalo baik tingkat
pemahaman tentang lingkungan maupun peraturan pengelolaan dapat
disimpulkan bahwa kegiatan sosialisasi tidak berjalan dengan baik. Jadi
diperlukan cara sosialisasi aturan yang lebih efektif. Mengenai pemahaman
tentang manfaat terumbu karang yang masih kurang dapat kita kaitkan
dengan tingkat pendidikan masyarakat Pulau Kanalo yang sebagian besar
hanya sampai pada tingkat sekolah dasar dan juga aksesibilitas informasi
yang masih rendah khususnya informasi masalah lingkungan. Hal ini bila
tidak dilakukan dengan baik akan memberikan dampak serius sebab tingkah
pola masyarakat akan pemanfaatan sumberdaya sangat berkaitan dengan
pengertian dan pemahaman mereka akan sumberdaya, semakin baik
pemahaman mereka akan semakin baik pula cara-cara mereka untuk
memanfaatkan alam.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 201
7.5.1.2. Permintaan Produk Hasil Perikanan
Berbagai macam kegiatan produksi baik penangkapan, pengolahan,
dan lainnya maka yang biasanya menjadi kendala adalah dimana produk
tersebut akan dipasarkan. Jenis pasar produk hasil perikanan berupa jalur
distribusi, segmentasi pasar, kegiatan lembaga pemasaran maupun daya
serap pasar secara langsung mempengaruhi aktivitas penangkapan bagi
masyarakat nelayan termasuk di Pulau Kanalo, semakin tinggi daya serap
pasar dan kemudahan untuk memasarkan hasilnya, maka semakin bergairah
masyarakat untuk melakukan penangkapan karena jaminan pasar yang
pasti merupakan hal yang penting.
Di Pulau Kanalo dipengaruhi kegiatan dari pedagang lokal, pedagang
antar pulau yang datang membeli dan mengumpulkan hasil tangkapan yang
diperoleh, selain itu kegiatan eksportir juga turut mempengaruhi. Masyarakat
Pulau Kanalo dalam mengakses pasar seperti hubungan dengan ponggawa
darat di Sinjai dan eksportir ikan di Makassar juga turut mempengaruhi
aktivitas produksinya karena menyangkut permodalan dan pembiayaan
usahanya. Usaha penangkapan yang mempunyai modal besar tentunya
mempunyai kemampuan armada tangkap yang lebih baik. Masyarakat juga
dapat menjual langsung hasil tangkapannya ke ponggawa di Pulau Kanalo
sendiri atau ke PPI Lappa dan eksportir ikan di Makassar.
Seperti umumnya nelayan-nelayan di Kepulauan Sembilan, sebagian
nelayan Pulau Kanalo yang menangkap dengan melakukan penyelaman
teripang. Untuk jenis teripang biasanya dijual dalam bentuk olahan,
sementara teripang adalah salah satu komoditas unggulan di Kabupaten
Sinjai yang banyak diminati terutama untuk konsumsi ekspor. Hasil
komoditas unggulan tersebut biasanya ditawarkan dengan harga yang
lumayan, contohnya untuk teripang Koro (teripang susu) dapat dijual antara
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 202
Rp 90.000,- sampai Rp 100.000,-/ekor bergantung fluktuasi harga pasar dan
besarnya permintaan akan suatu komoditi.
Kondisi pasar permintaan mempunyai pengaruh secara langsung
terhadap aktivitas penangkapan, harga komoditi yang tinggi merupakan
perangsang bagi nelayan untuk lebih giat dan terkadang berlebihan
khususnya untuk komoditas tertentu. Hal ini terindikasi dari daerah
penangkapan yang semakin jauh dari perairan Pulau-pulau Sembilan.
Nelayan penyelam teripang di Pulau Kanalo biasanya beroperasi sampai
ke daerah Kendari, Maluku bahkan ke perairan Irian, sementara
penangkapan ikan karang lebih cenderung untuk melakukan kegiatan
pemboman ikan dan pembiusan hal ini dilakukan karena menurut mereka
lebih efektif, bahkan pembiusan akan menghasilkan tangkapan yang
menguntungkan. Dengan metode pembiusan biasanya ikan hanya akan
pingsan sementara dan tidak mengalami luka yang biasanya diakibatkan
oleh pancing. Sehingga hasil tangkapan dengan menggunakan bius
mempunyai harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan
pancing karena hasil tangkapan ikan mempunyai penampakkan dan kondisi
tubuh yang relatif lebih baik.
7.5.1.3. Teknologi Penangkapan dan Akses Permodalan
Tingkat teknologi pemanfaatan sumberdaya perairan yang
berkembang utamanya teknologi penangkapan yang diadopsi dan
berkembang di masyarakat nelayan Pulau Kambuno, sangat mempengaruhi
tingkat kemampuan pemanfaatan oleh masyarakat. Karena semakin tinggi
tingkat teknologi yang digunakan oleh masyarakat maka semakin tinggi pula
tingkat kemampuan masyarakat untuk menghasilkan tangkapan ikan. Selain
tingkat kemampuan teknologi, maka kemampuan masyarakat untuk
mengakses permodalan juga merupakan salah satu faktor eksternal yang
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 203
jturut mempengaruhi kegiatan penangkapan karena hal ini berkaitan dengan
pembiayaan usaha penangkapan.
Masyarakat nelayan di Pulau Kanalo relatif tidak terlalu mengalami
dinamika perkembangan teknologi alat tangkap seperti halnya masyarakat
Pulau Kambuno. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di pulau ini
umumnya adalah penyelaman walaupun ada juga jenis alat tangkap lain
yang dioperasikan oleh nelayan Pulau Kanalo seperti pancing dan jala tetapi
dalam jumlah yang relatif sedikit.
Dilihat dari kemampuan untuk mengakses permodalan masyarakat
Pulau Kanalo juga relatif kurang maju dibandingkan dengan masyarakat lain
di Kepulauan Sembilan terutama Pulau Kambuno. Dari hasil survei dijumpai
bahwa sebagian masyarakat nelayan di Pulau Kambuno bertindak sebagai
ponggawa bagi nelayan dari pulau lainnya seperti sebagian masyarakat
Batang Lampe termasuk Kanalo. Ponggawa di Pulau Kambuno biasanya
mempunyai ponggawa besar di Sinjai atau Makassar yang bertindak
sebagai orang yang memberikan bantuan permodalan. Bantuan permodalan
itu diberikan oleh ponggawa kepada nelayan dengan konsekuensi harus
menjual hasil tangkapannnya ke ponggawa tersebut .
Berdasarkan hasil survei ternyata kehidupan nelayan ponggawa lokal
di Pulau Kanalo yang mendapat dukungan permodalan usaha dari
ponggawa besar di Makassar umumnya mempunyai tingkat kehidupan yang
lebih baik, bila dibandingkan dengan nelayan yang tidak mempunyai akses
permodalan. Perbedaan ini cukup mencolok dan dapat menimbulkan benih
konflik internal bagi masyarakat, yang mana timbul karena kecemburuan
sosial.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 204
7.5.2. Kesesakan dan Konflik pemanfaatan sumberdaya.
Alat tangkap di perairan Pulau Sembilan baik dari jenis maupun
jumlah mengalami peningkatan. Armada penangkapan ikan yang
dioperasikan di sekitar perairan kepulauan Sembilan termasuk Pulau Kanalo
bukan saja dilakukan oleh nelayan lokal tetapi juga nelayan dari daerah lain
seperti Bone, Bulukumba, Takalar dan lainnya. Hal ini terjadi selain karena
suburnya sumberdaya perairan di sekitar Pulau-pulau Sembilan juga karena
dekatnya tempat pemasaran berupa Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI)
di daerah Lappa. Hal ini mendorong nelayan di pulau lain untuk menangkap
di sekitar Kepulauan Sembilan karena hasil tangkapannya akan dengan
mudah dipasarkan. Ada juga nelayan yang menangkap di perairan lain tetapi
menjual ke PPI Lappa. Banyaknya nelayan yang mengakses ke perairan
Kepulauan Sembilan maupun melakukan penjualan di PPI Lappa dapat
menimbulkan kesesakan bila tidak dilakukan pengaturan yang baik.
Kesesakan karena adanya penggunaan bersama sumberdaya laut ini
akan menimbulkan konflik di antara nelayan bila tidak ada pengaturan yang
jelas. Akan tetapi pengertian masyarakat bahwa perairan merupakan milik
umum dan dapat diakses siapa saja cukup baik sehingga dapat
menimbulkan pemahaman dan saling pengertian di antara nelayan.
Banyaknya kegiatan penangkapan di sekitar Kepulauan Sembilan khususnya
akan membawa dampak pada ketersediaan sumberdaya perairan yang
semakin menipis memberikan dampak semakin menurunnya hasil tangkapan
yang diperoleh nelayan.
Jumlah hasil tangkapan yang diperoleh mengalami perubahan.
Berdasarkan survei yang dilakukan di Pulau Kanalo, masalah jumlah hasil
tangkapan yang diperoleh 6,67% menjawab meningkat, 50% menurun, dan
43,33% tetap. Jadi bila dilihat dari jawaban responden dominan menjawab
hasil tangkapan semakin menurun sejalan bila dihubungkan dengan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 205
banyaknya armada tangkap yang beroperasi di sekitar Kepulauan Sembilan.
Untuk mengatasi penurunan hasil tangkapan 40% menjawab dengan
menghindari penggunaan bom serta 60% menjawab tidak tahu.
Terlepas dari permasalahan kesesakan dalam penggunaan
sumberdaya yang dapat mengakibatkan pengurangan hasil tangkapan,
umumnya masyarakat Pulau Kanalo tidak setuju pada pengelolaan dengan
akses terbuka, berbeda dengan nelayan Kambuno yang umumnya setuju
atau nelayan dari pulau lain dilarang untuk menangkap di sekitar perairan
Kepulauan Sembilan, jawaban yang diperoleh 5,26% menjawab akses
terbuka, 13,16% tidak setuju dan 81,58% menjawab tidak tahu.
7.5.2.1. Lembaga Ekonomi dan lembaga Eksternal lain.
Faktor eksternal lainnya yang memberikan pengaruh terhadap
kegiatan pengelolaan sumberdaya oleh masyarakat di Pulau Kanalo adanya
aktivitas lembaga ekonomi dan lembaga lainnya seperti pasar, PPI dan LSM
serta perguruan tinggi dan lembaga riset. Lembaga-lembaga ini umumnya
mempunyai pengaruh seperti PPI Lappa mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap aktivitas penangkapan karena masyarakat mudah untuk
memasarkan hasilnya. Sarana PPI merupakan mediasi yang
mempertemukan nelayan sebagai produsen dan pembeli sebagai konsumen
baik untuk industri, restoran, pedagang keliling maupun untuk konsumsi
rumah tangga. Sedangkan LSM adalah lembaga swadaya masyarakat juga
berperan dalam pengaruhnya pada aktivitas penangkapan. LSM mempunyai
kepentingan dan kepedulian masalah lingkungan dan peningkatan standar
hidup masyarakat tetapi masyarakat nelayan melakukan aktivitas untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
PPI berpengaruh pula dalam memberikan akses pemasaran terhadap
hasil tangkapan masyarakat Pulau Kanalo, sedangkan kegiatan LSM
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 206
memberikan pengaruh pada penyadaran lingkungan dan peningkatan derajat
hidup masyarakat. Daya pengaruh masing-masing lembaga tersebut kepada
masyarakat berbeda-beda, PPI di Lappa sudah dikenal dan ketahui
peranannya secara lebih luas., sedangkan untuk kegiatan LSM pengaruhnya
masih relatif rendah terhadap aktivitas masyarakat pulau khususnya
masyarakat Pulau Kanalo. Hasil wawancara yang dilakukan 8,70%
mengatakan mengetahui keberadaan dan aktivitasnya sedangkan 91,30%
menjawab tidak tahu. Jadi dalam hal ini peranan LSM sebagai salah satu
stakeholder perlu ditingkatkan lagi kinerjanya berupa sosialisasi kegiatan
yang mengarah pada pelestarian lingkungan dan peningkatan standar hidup
masyarakat.
7.5.2.2. Pengamanan Perairan dan Penegakan Hukum
Aktivitas penangkapan yang meningkat terutama bagi komoditas
unggulan seperti teripang dan ikan-ikan karang di dorong oleh tingginya
permintaan pasar (terutama pasar ekspor). Hal ini mendorong masyarakat
untuk menggunakan berbagai macam cara dalam upaya meningkatkan hasil
tangkapan. Penggunaan bom dan obat bius merupakan salah satu alternatif
yang digunakan oleh masyarakat untuk mendapatkan hasil yang lebih
banyak dan dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini menimbulkan implikasi
terhadap kelestarian lingkungan utamanya terumbu karang yang merupakan
tempat hidup ikan sekaligus mengancam kelanjutan usaha penangkapan
oleh masyarakat pulau itu sendiri, terutama masyarakat nelayan tradisional
yang menggunakan alat tangkap sederhana dan hanya mampu menangkap
di sekitar perairan Kepulauan Sembilan saja.
Kegiatan yang mengancam kelestarian akan terus terjadi apabila
tidak dilakukan tindakan pengamanan oleh pihak berwajib. Kegiatan
pengamanan akan berjalan efektif apabila disertai dengan tingkat kesadaran
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 207
lingkungan dari masyarakat terutama masyarakat nelayan. Salah satu
alasan dari masih adanya praktek penggunaan bom dan bius adalah
susahnya pemberantasan oleh pihak keamanan karena luasnya daerah
perairan. Jadi untuk ke depan mungkin pengamanan perairan terhadap
praktek-praktek penangkapan yang merusak dapat dilakukan oleh
masyarakat sendiri (swakarsa) untuk kawasan-kawasan pengamanan yang
terbatas pada daerah sekitar pulau saja sehingga akan berjalan lebih efektif.
7.5.3. Permasalahan struktural
Selain adanya berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi aktivitas
pemanfaatan sumberdaya oleh nelayan terdapat berbagai macam
permasalah struktural yang terjadi dalam masyarakat Pulau Kanalo.
Berbagai permasalah struktural itu diantaranya adalah :
• Adanya berbagai macam kepentingan dari berbagai macam stakeholder
yang berbenturan dengan kondisi dan realitas masyarakat seperti adanya
kegiatan pelestarian dengan kegiatan pemanfaatan yang merusak seperti
penggunaan bom dan obat bius. Keadaan yang kontradiktif ini harus
dicari solusinya berupa penyadaran akan lingkungan alternatif kegiatan
penangkapan lain yang tidak merusak.
• Adanya berbagai program pemberdayaan masyarakat yang berbenturan
dengan rendahnya tingkat kemampuan masyarakat untuk mengadopsi
teknologi yang disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah.
• Adanya perbedaan yang menyolok antara masyarakat yang mempunyai
kemampuan modal yang lebih besar karena bantuan modal yang
diperoleh dari ponggawa tidak merata.
• Adanya tingkat kesadaran dan pemahaman hukum yang berbeda-beda
sehingga menimbulkan perbedaan antara masyarakat yang menerapkan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 208
praktek-praktek yang merusak lingkungan yang ramah terhadap
lingkungan.
• Adanya sebagian masyarakat yang menggunakan bom dan bius
sementara ada yang tidak menggunakan sementara hasil tangkapan
yang diperoleh juga berbeda, hal ini dapat menimbulkan kecemburuan
sosial dan membawa pada dampak adanya konflik internal di antara
masyarakat.
• Belum jelasnya kesesuaian kepentingan dan tujuan berbagai pihak dalam
urusan-urusan yang berkenaan dengan laut membuat penduduk nelayan
masih tetap pada prinsip dan kebiasaan-kebiasaan mereka termasuk
kegiatan yang merusak lingkungan.
7.5. Kesimpulan dan Rekomendasi dari Pulau Kanalo 1 dan Kanalo 2
7.6.1. Kesimpulan
1. Masyarakat Pulau Kanalo 1 dan 2 adalah masyarakat yang sebagian
besar bermata pencaharian nelayan
2. Migrasi dan mobilitas penduduk cukup tinggi yang ditandai dengan
jangkauan daerah penangkapan
3. Sistem kelembagaan formal maupun informal perlahan-lahan mulai
membaik.
4. Tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan sudah tergolong baik apabila
dilihat dari standar kesejahteraan masyarakat pulau-pulau kecil.
5. Pengolahan yang dilakukan di Pulau Kanalo adalah pengesan,
khususnya hasil panen tambak.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 209
6. Harga yang berlaku sangat ditentukan oleh para ponggawa dan
kesepakatan kedua belah pihak.
7.6.2. Rekomendasi
1. Perlu penyuluhan tentang bahaya penggunaan bom terhadap
keselamatan jiwa nelayan
2. Perlu penyuluhan sanitasi lingkungan
3. Perlu dilakukan pelatihan tentang teknik penyelaman yang lebih baik.
4. Budidaya tambak perlu terus dikembangkan sebagai solusi dalam mata
pencaharian alternatif (MPA)
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 210
VIII. LOKASI 5 KELURAHAN LAPPA
8.1. Profil Lokasi Studi 8.1.1. Gambaran Umum Kelurahan Lappa 8.1.1.1. Akses
Kelurahan Lappa merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Sinjai
Utara yang merupakan tempat pusat kegiatan perikanan yang ada
di Kabupaten Sinjai. Oleh sebab itu akses ke tempat tersebut cukup lancar
baik dari darat maupun dari laut.
8.1.1.2. Karakteristik Fisik
Wilayah Kelurahan Lappa pada awalnya adalah dataran rendah
di muara Sungai Tangka yang merupakan hutan mangrove. Oleh karena
perkembangan penduduk, saat ini sebagian besar hutan mangrove tersebut
telah dikonversi menjadi lahan pemukiman penduduk.
Sebagai akibat dari sedimentasi yang terjadi, daratan di Muara Sungai
Tangka semakin menjorok ke laut. Lautpun semakin dangkal sehingga pada
saat air surut, kapal berukuran lebih dari 10 ton sudah susah untuk masuk
ke Pelabuhan Lappa yang terletak di tepi sungai kira-kira 1 km dari muara.
Kelurahan Lappa berbatasan sebelah Utara dengan Kabupaten Bone,
sebelah Timur adalah perairan teluk Bone, sebelah Selatan dengan
Kelurahan Balangnipa dan sebelah Barat dengan Kabupaten Bone.
Di bagian Utara yang membatasi antara kelurahan ini dengan Kabupaten
Bone terdapat Sungai Tangka yang bermuara ke pesisir Timur Semenanjung
Sulawesi Selatan.
8.1.1.3. Kelembagaan Formal dan Informal
Apabila dibandingkan dengan kondisi kelembagaan formal dan informal
yang ada di Kelurahan Lappa tentunya jauh lebih baik dibandingkan dengan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 211
lembaga serupa yang ada di Pulau-pulau Sembilan terutama dalam hal
sarana yang dimiliki, akan tetapi bila ditinjau dari segi keaktifan dapat
dianggap hampir sama.
Di Kelurahan Lappa kelembagaan informal yang ada berupa
kepengurusan masjid, kelompok arisan, suatu kelompok nelayan dengan
istilah ponggawa-sawi. Sedangkan kelompok formal yaitu LKMD, KUD Mina,
PKK, Dasa Wisma masih cukup berperan aktif.
8.1.1.4. Kegiatan Sosial Kemasyarakatan
Masyarakat di kelurahan ini sudah mencerminkan kegiatan sosial yang
sangat kompleks. Hal ini terjadi akibat Kelurahan Lappa merupakan pusat
transaksi perikanan sehingga banyak sekali pendatang yang keluar masuk
di tempat ini. Sebagai akibatnya di tempat ini terjadi percampuran berbagai
budaya dan adat istiadat serta pengaruh kehidupan perkotaan yang kuat.
Norma-norma tradisional yang masih dipegang oleh masyarakat
pedesaan, di tempat ini umumnya mulai berubah. Hal ini tercermin dari
kebiasaan pengajian bagi anak-anak yang diadakan di rumah-rumah seperti
ada di wilayah Pulau-pulau Sembilan berpindah ke TPA, surau dan masjid.
Selain itu pada malam hari sering terlihat sekelompok pemuda tanggung
yang sedang mabuk di tepi jalan.
8.1.2. Profil Demografi 8.1.2.1. Migrasi dan Mobilitas Penduduk
Mobilitas penduduk di Kelurahan Lappa cukup tinggi terutama untuk
tujuan Malaysia Timur dan Kalimantan. Banyak pemuda yang meninggalkan
wilayah ini untuk mencari kerja ke Malaysia melalui lembaga pengarah
tenaga kerja, baik yang resmi maupun yang tidak resmi. Hal ini diakibatkan
oleh informasi yang mereka terima bahwa di kedua tempat tersebut gaji yang
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 212
diperoleh cukup tinggi. Selain di kedua tempat tersebut banyak juga pemuda
mencari kerja ke daerah timur, yaitu Maluku dan Irian sehingga pada saat
terjadi kerusuhan pada beberapa tempat di Indonesia (Maluku dan Irian)
terjadi pertambahan penduduk yang pesat di wilayah ini akibat banyak
keluarga yang kembali menetap di kampung halamannya.
8.1.2.2. Struktur Populasi dan Mata Pencaharian
Masyarakat Kelurahan Lappa pada umumnya bekerja sebagai nelayan,
yang terdiri atas nelayan bagang yang mengoperasikan peralatan purse
seine, pole and line dan bagang perahu. Purse seine dan pole and line
beroperasi jauh ke perairan terbuka, yaitu perairan Pulau Kabaena, Pulau
Muna dan Pulau Buton (Sulawesi Tenggara), perairan Kabupaten Selayar
dan Nusa Tenggara Timur. Selain nelayan, mata pencaharian yang ada
adalah pedagang, pegawai negeri sipil, dan pekerjaan yang tidak tetap.
8.1.2.3. Karakteristikistik Pencari Nafkah Utama Rumah Tangga
Dalam sebuah keluarga umumnya yang menjadi pencari nafkah utama
adalah adalah bapak. Tetapi ada juga yang menjadi pencari nafkah utama
adalah ibu yang bekerja sebagai pedagang ikan.
Secara persentase sebagai pencari nafkah utama rumah tangga yang
bekerja di Kelurahan Lappa adalah suami yaitu sebesar 29,51% tetapi
terdapat anggota keluarga yang membantu kebutuhan keluarga adalah anak
pertama utamanya anak laki-laki sebesar 11,48%, anak kedua sebesar
1,64%, dan anak ketiga sebesar 1,64%, selain dari yang tersebut di atas,
terdapat kelompok keluarga yang tidak jelas status pekerjaannya dan
merupakan persentase terbesar dari kelompok yang bekerja yaitu 55,73%.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan adanya peralihan
tanggung jawab keluarga secara alamiah, diantaranya peran anak yang
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 213
bertindak sebagai pencari nafkah utama keluarga karena faktor usia orang
tuanya yang sudah lanjut sehingga tidak kuat lagi bekerja di laut atau karena
sakit (umumnya sakit lumpuh), sedangkan peran istri sebagai pencari nafkah
utama karena suaminya yang telah meninggal atau karena suaminya
merantau.
8.1.2.4. Pendidikan dan Keterampilan
Tingkat pendidikan di Kelurahan Lappa secara umum sudah tergolong
menengah. Hal ini terlihat dari data responden yang diambil bahwa yang
tidak sekolah hanya sebesar 6,56%, sekolah tetapi hanya sampai SD
50,82% yang merupakan persentase pendidikan terbesar, sekolah sampai
SMP 14,75%, sekolah sampai SMA sebesar 24,59% dan yang sekolah
sampai sarjana sebesar 3,28%.
Berdasarkan sebaran tingkat persentase yang sekolah di Lappa terlihat
bahwa walaupun pendidikan SD yang masih mendominasi tetapi tingkat
pendidikan menengah dan atas bila digabung sudah hampir berimbang
dengan tingkat pendidikan SD tetapi secara umum bahwa hampir seluruh
masyarakat Kelurahan Lappa sudah menerima pendidikan (93,44%).
Selain pendidikan formal, juga pernah diadakan pelatihan-pelatihan
diantaranya mengenai pelestarian lingkungan berupa pelestarian terumbu
karang dan hutan mangrove yang diadakan oleh pemerintah daerah bekerja
sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat setempat. Peserta yang ikut
terdiri atas seorang wakil/utusan dari setiap lingkungan yang berada
di wilayah pesisir dan pulau yang ada di Kabupaten Sinjai sehingga hasil
survei didapatkan bahwa masyarakat yang mengikuti pelatihan terumbu
karang sebesar 0,00%, pelatihan selain tentang terumbu karang 9,84% dan
selebihnya tidak pernah mengikuti pelatihan.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 214
8.1.2.5. Struktur Keluarga dan Peranan Perempuan
Peranan perempuan di Kelurahan Lappa secara tradisional masih
dilaksanakan, yaitu mendidik dan mengasuh anak. Selain itu mereka
membantu suami mengolah ikan menjadi ikan kering, dan menjual ikan.
Di bidang lain perempuan juga turut membantu suami memenuhi kebutuhan
keluarga, misalnya dengan membuka usaha warung atau berjualan di pasar-
pasar.
8.1.3. Infrastruktur Publik 8.1.3.1. Sarana Sosial
Fasilitas umum yang terdapat di Kelurahan Lappa berupa sarana-
sarana kegiatan olah raga, misalnya lapangan sepak bola, bulu tangkis,
sepak takraw, tenis meja. Fasilitas umum yang lain adalah berupa masjid,
sekolah dasar, pos kamling, pekuburan, dan pos perkumpulan remaja.
Sarana sosial lain adalah tempat pembuangan sampah walaupun
terlihat masih kurang memadai serta kontainer sampah untuk menampung
sampah sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).
8.1.3.2. Sarana Ekonomi
Di kelurahan ini banyak terdapat perusahaan penangkapan ikan yang
besar, diantaranya perusahaan penangkapan cakalang (Lapawawoi dan
Kurnia). Selain itu terdapat lembaga perbankan, yaitu kantor cabang
pembantu Bank Rakyat Indonesia, dan Unit simpan pinjam KUD Mina Lappa.
Pasar tradisional, toko-toko dan sarana hiburan malam juga terdapat
di tempat ini.
8.1.3.3. Sarana Kesejahteraaan
Secara umum dapat dikatakan bahwa fasilitas kesejahteraan yang ada
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 215
di Kelurahan Lappa sudah cukup memadai dengan tersedianya Puskesmas,
sarana air minum PDAM yang lancar, jalanan beraspal, sarana
telekomunikasi, dan sarana pendidikan walaupun hanya sampai tingkat
SLTP, namun jarak yang dekat ke Ibu Kota Kabupaten mempermudah para
siswa untuk bersekolah di tingkat SLTA.
8.2. Situasi Umum Kesejahteraan Masyarakat
Masyarakat di Kelurahan Lappa tergolong lebih maju dan lebih tinggi
tingkat kesejahteraannya dibandingkan dengan masyarakat di Pulau
Kambuno, Kanalo, Batang Lampe dan Burung Loe. Hal ini disebabkan
selain karena lokasinya yang dekat dari pusat kota Sinjai, juga karena tingkat
pendidikannya lebih tinggi dibanding lokasi yang lainnya, sehingga tingkat
kesadaran akan pendidikan dan kehidupan yang layak juga lebih tinggi.
Selain indikator di atas, juga dapat dilihat dari kondisi rumah, sarana
dan prasarana lain yang lebih maju. Dimana rumah penduduk sudah banyak
yang permanen, kondisi jalan yang lebih baik, sarana pendidikan tersedia
sampai tingkat sekolah lanjutan pertama, juga sarana kesehatan dan yang
lebih penting lagi bahwa di lokasi inilah terletak tempat pendaratan ikan.
8.2.1. Keadaan Perumahan dan Kesehatan 8.2.1.1. Status Pemilikan dan Keadaan Perumahan
Secara umum status kepemilikan rumah di Kelurahan Lappa adalah
milik sendiri yaitu sekitar 91,80%, yang lainnya adalah kontrak dan
menumpang di rumah keluarga (Tabel 63). Bentuk rumah masih lebih
banyak yang berbentuk rumah panggung (60,66%) dibanding dengan non
panggung/ permanen (39,34%). Namun demikian, rumah-rumah permanen
sudah banyak yang dibangun dan didesain seperti rumah permanen di kota
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 216
besar dengan peralatan dan isi rumah yang mewah. Luas bangunan
bervariasi dari yang kurang 100 m² sampai lebih besar dari 200 m².
Tabel 63. Persentase Bentuk, Luas dan Status Kepemilikan Rumah di Lappa
Bentuk Rumah % Luas (m²) % Status Rumah % Panggung Non Panggung
60,66 39,34
< 100 100 – 150 151 – 200 > 200
31,15 34,43 16,39 18,00
Milik Kontrak Menumpang
91,80 4,92 3,28
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Bagian-bagian dari rumah seperti atap pada umumnya terbuat dari
seng (93,44%), namun sudah ada juga yang menggunakan genteng
(1,64%) dan asbes (3,28%), selebihnya terbuat dari bahan rumbia (1,64%).
Bahan untuk pembuatan dinding rumah sudah bervariasi, dimana sentuhan
rumah modern sudah mulai nampak karena jumlah rumah yang dindingnya
terbuat dari tembok (29,50%) sudah lebih dari setengah jumlah rumah yang
terbuat dari papan (50,82%). Selebihnya terbuat dari bambu, seng dan
tripleks (Tabel 64).
Tabel 64. Persentase Bahan Pembuatan Atap, Dinding dan Lantai Rumah di Lappa
Atap % Dinding % Lantai % Seng Rumbia Nipa Genteng Asbes
93,44 1,64 0,00 1,64 3,28
Tembok Papan Bambu Seng Tripleks
29,50 50,82 3,28 13,12 3,28
Tegel Keramik Papan Semen
13,12 6,56 63,93 16,39
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Bahan pembuatan lantai rumah pada umumnya terbuat dari papan
(63,93%), selebihnya terbuat dari tegel teraso, semen dan keramik. Fasilitas
penerangan rumah sudah hampir seluruhnya menggunakan fasilitas PLN
(98,36%), selebihnya menggunakan lampu petromaks (Gambar 22).
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 217
Gambar 22. Persentase pemanfaatan fasilitas penerangan rumah Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja
Coremap Sul-Sel, 2001.
8.2.1.2. Sumber Air Minum dan Fasilitas Kesehatan
Sumber air minum dari masyarakat Kelurahan Lappa diperoleh dari
Perusahaan Air Minum (PAM) cabang Sinjai (95,08%), yang menggunakan
air sumur hanya 4,92% (Gambar 23). Sarana kesehatan masyarakat yang
ada di Kelurahan Lappa adalah sebuah Puskesmas yang dipimpin oleh
seorang dokter umum dan dibantu oleh beberapa paramedis. Namun pada
kondisi tertentu, mereka bisa langsung ke rumah sakit umum kabupaten
karena jaraknya tidak terlalu jauh. Selain itu, sudah banyak juga masyarakat
yang menggunakan jasa dokter umum dan dokter spesialis yang berpraktek pada sore hari.
98%
2%
Lis trik P LN P etrom aks
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 218
Gambar 23. Persentase Sumber Air Minum Masyarakat di Kelurahan Lappa Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja
Coremap Sul-Sel, 2001.
8.2.1.3. Sanitasi Lingkungan
Salah satu kelebihan dari lokasi ini adalah bahwa tingkat kesadaran
masyarakat akan pentingnya sanitasi lingkungan sudah lebih tinggi
dibanding dengan lokasi lainnya. Hal ini dapat dilihat pada tabel 65 dimana
pada umumnya masyarakat sudah memiliki sarana untuk buang air (kakus)
yaitu sekitar 73,77%, meskipun tetap masih ada yang memanfaatkan sungai
dan pantai untuk buang air besar, namun persentasenya lebih sedikit.
Tabel 65. Persentase Tempat Buang Air Besar dan Tempat Buang Sampah di Kelurahan Lappa
Tempat Buang Air Besar % Tempat Pembuangan Sampah % Kakus Sungai Pantai
73,77 11,48 14,75
Lubang Kontainer
Sungai Pantai
32,79 34,43 13,11 19,67
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja
Coremap Sul-Sel, 2001.
Tempat pembuangan sampah juga sudah tersedia berupa kontainer
dan sudah dimanfaatkan oleh masyarakat Lappa sekitar 34,43%, selebihnya
dibuang pada lubang yang telah disiapkan (32,79%), sedang yang
membuang sampah di sungai dan pantai persentasenya tinggal sedikit.
95%
5%
PAM Sumur
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 219
8.2.2. Keadaan Ekonomi : Jenis dan Status Pekerjaan 8.2.2.1. Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan dibagi atas 2 yaitu : pekerjaan utama dan pekerjaan
tambahan (Tabel 66). Pekerjaan utama masyarakat di Kelurahan Lappa
adalah yang bergerak dibidang perikanan (63,93%) yaitu sebagai nelayan
bagang, penongkol, pancing, purse seine, dan lain-lain. Selebihnya bekerja
sebagai pedagang, sektor jasa, pegawai negeri dan lain-lain. Selain
pekerjaan utama, ada juga diantara mereka yang mempunyai pekerjaan
tambahan sebagai pedagang (4,92%), selebihnya hanya bekerja pada satu
bidang pekerjaan saja.
Tabel 66. Persentase Jenis Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Tambahan di Kelurahan Lappa.
Pekerjaan Utama % Pekerjaan Tambahan %
Perikanan Pedagang
PNS Jasa
Dan lain-lain
63,93 13,11 4,92 1,64
16,40
Perikanan Pedagang
PNS Jasa
Tidak ada
0,00 4,92 0,00 0,00
95,08 Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja
Coremap Sul-Sel, 2001.
8.2.2.2. Tingkat Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga
Tingkat pendapatan masyarakat di Kelurahan Lappa cukup bervariasi
mulai kurang dari Rp 500.000,- sampai di atas Rp 2 juta, namun persentase
tertinggi berada di antara Rp 500.000 hingga Rp 1 juta (36,07%), kemudian
di atas Rp 2 juta mempunyai persentase yang sama dengan jumlah
masyarakat yang berpendapatan di bawah Rp 500.000,- (Tabel 67).
Besar pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh setiap rumah tangga
di Lappa dibawah Rp500.000,-/bulan, sebanyakk 40,98% yang merupakan
persentase tertinggi, selanjutnya antara Rp 0,5 hingga Rp 1 juta,-/bulan dan
paling rendah persentasenya adalah pengeluaran di atas Rp 2 juta,-/bulan.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 220
Hal ini menunjukkan bahwa besarnya pendapatan mereka masih lebih tinggi
dibanding dengan besarnya pengeluaran, sehingga masih ada yang tersisa
untuk ditabung.
Tabel 67. Persentase Jumlah Pendapatan dan Pengeluaran di Kelurahan Lappa.
Pendapatan % Pengeluaran %
< Rp 500.000
Rp 0,5 – Rp 1 Juta
Rp 1,1 – Rp 1,5 Juta
Rp 1,6 – Rp 2 Juta
> Rp 2 Juta
26,23
36,07
6,55
4,92
26,20
< Rp 500.000
Rp 0,5 – Rp 1 Juta
Rp 1,1 – Rp 1,5 Juta
Rp 1,6 – Rp 2 Juta
> Rp 2 Juta
40,98
39,34
11,48
6,56
1,64
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
8.2.2.3. Tabungan dan Cara Mengatasi Kesulitan Keuangan
Secara umum, masyarakat di Kelurahan Lappa sudah mempunyai
simpanan (73,77%) ada yang berupa uang yang disimpan di Bank (81,97%)
dan ada juga yang menyimpan uangnya dalam bentuk emas (Tabel 68). Hal
ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya
menabung sudah tinggi, selain itu hal ini juga dapat menggambarkan tingkat
kesejahteraan masyarakatnya. Ini berarti bahwa dari jumlah pendapatan
yang mereka peroleh, masih bisa disisakan untuk ditabung atau disimpan.
Tingkat kesejahteraan juga dapat diukur dari seringnya mereka
mengalami kesulitan dalam hal keuangan. Persentase masyarakat yang
pernah mengalami kesulitan keuangan (37,70%) jauh lebih rendah dari yang
tidak pernah mengalami kesulitan (62,30%). Ini menunjukkan bahwa
keadaan kehidupan rumah tangga mereka cukup sejahtera. Bagi mereka
yang pernah mengalami kesulitan keuangan, mereka lebih banyak mencari
jalan keluarnya dengan meminjam di keluarga (39,33%), dan juga di bank
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 221
(36,07%), selebihnya ada yang menggadaikan emasnya, menjual harta
simpanan, pinjam pada ponggawa, pinjam di koperasi dan ada juga yang
menarik kembali tabungannya.
Tabel 68. Persentase Jumlah Dan Bentuk Tabungan Dan Cara Mengatasi Kesulitan
Tabungan % Bentuk % Pernah Kesulitan % Cara Mengatasi
Kesulitan %
Ya Tidak
73,77 26,23
Bank Emas
81,97 18,03
Ya Tidak
37,70 62,30
Pinjam di bank Pinjam di keluarga Gadaikan emas Jual simpanan Pinjam di ponggawa Pinjam di koperasi Menarik tabungan
36,07 39,33 4,92 4,92 4,92 4,92 4,92
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
8.2.3. Keadaan Sosial Ekonomi 8.2.3.1. Perkembangan Umum Usaha Ekonomi Masyarakat
Secara umum, usaha ekonomi masyarakat di Kelurahan Lappa
meningkat dari tahun ke tahun, hal ini ditandai dengan semakin
meningkatnya jumlah rumah permanen, pembangunan rumah toko (ruko)
juga bertambah, dan jumlah anak-anak yang mengikuti pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi juga semakin bertambah.
Dari hasil wawancara yang lebih mendalam terhadap beberapa
responden, terungkap bahwa ada beberapa responden yang dahulunya
hanya bekerja sebagai pencatat hasil tangkapan yang didaratkan di PPI
Lappa, sekarang ini sudah mempunyai kapal penangkap ikan sendiri,
bahkan ada juga yang sudah jadi pedagang pengumpul, kemudian
membawa hasilnya ke Makassar untuk dijual pada eksportir. Selain itu
jumlah kepemilikan alat tangkap juga semakin bertambah, bahkan ada yang
mempunyai 8 buah perahu bagang.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 222
Sarana perekonomian lainnya yang cukup berkembang adalah
Koperasi Unit Desa (KUD) Lappa. KUD ini pernah meraih juara I Tingkat
Nasional, selain bergerak sebagai koperasi simpan pinjam, kemudian juga
sudah mempunyai sarana penunjang lain berupa WARTEL (Warung
Telekomunikasi).
8.2.3.2. Keterkaitan Kegiatan Ekonomi dan Keberadaan Terumbu Karang
Nelayan di Lappa pada umumnya bekerja sebagai nelayan bagang
perahu, apabila dikaitkan dengan prinsip kerja penangkapan pada alat yang
mereka gunakan, maka ikan yang mereka tangkap adalah ikan pelagis
sehingga dapat dikatakan bahwa kegiatan penangkapan ikan mereka tidak
berkaitan dengan terumbu karang. Akan tetapi, dari hasil wawancara yang
lebih mendalam mereka mengatakan bahwa aktivitas penggunaan bom dan
potas untuk menangkap ikan banyak dilakukan berdekatan dengan daerah
penangkapan mereka, maka meskipun mereka tidak mencari ikan
di ekosistem terumbu karang, namun pengaruh dari penggunaan bom dan
potas tersebut tentu juga akan berpengaruh pada ikan yang menjadi sasaran
tangkapan mereka.
8.2.3.3. Penguasaan Aset-aset Produksi dan Non Produksi
Hasil analisis data menunjukkan bahwa aset-aset produksi yang dimiliki
oleh masyarakat Kelurahan Lappa terbagi atas armada kapal dan alat
tangkap. Sekitar 67,21% dari responden telah memiliki kapal/perahu, dan
sisanya memiliki sampan, perahu layar dan jolloro (perahu motor). Tingkat
penguasaan terhadap aset produksi khususnya alat tangkap juga disurvei.
Alat tangkap terbanyak digunakan adalah Pancing (37,70%), Bagang
(29,51%), Purse Seine (14,75%) dan sisanya adalah Panambe, alat selam
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 223
dan longline yang masing-masing sebesar 3,28%. Data lengkap tentang hal
ini disajikan pada tabel 69.
Aset non produksi dari masyarakat Lappa dapat dilihat dari kepemilikan
tanah, simpanan uang di bank dan simpanan di rumah berupa emas.
Meskipun aset non produksi tidak produktif akan tetapi dapat mereka
pergunakan sewaktu-waktu jika sangat mendesak.
Tabel 69. Penguasaan aset produksi di Kelurahan Lappa Armada % Alat tangkap %
Kapal/perahu 67,21 Pancing ulur 37,70 Perahu layer 14,75 Bagang 29,51
Jolloro 8,20 Purse seine 14,75 Sampan 1,64 Panambe 8,2
Dan lain-lain 8,20 Jaring Insang 3,28 Long line 3,28 Kompressor 3,28
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
8.3. Intensitas dan Kondisi Sumberdaya Terumbu Karang 8.3.1. Pandangan dan Sistem Pengetahuan Ekologis 8.3.1.1. Sistem Pengetahuan Tradisional
Seperti halnya dengan Pulau-pulau Sembilan (Kambuno, Burung Loe,
Batang Lampe dan Kanalo), di Kelurahan Lappa juga terdapat sistem
pengetahuan tradisional yang dianut oleh masyarakat nelayan yang
diajarkan turun temurun. Sistem pengetahuan tersebut adalah sistem
pengetahuan berupa nama-nama dan kondisi pulau di Indonesia yang sering
didatangi oleh para nelayan, nama dan lokasi taka, nama-nama lokal biota
laut serta lokasi penangkapan dan musim penangkapannya. Selain itu
pengetahuan tentang ilmu pelayaran dan peramalan kondisi cuaca
beberapa saat mendatang serta tanda-tanda yang ditunjukkan sebelumnya.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 224
* Pengetahuan Berkenaan Dengan Ruang/Tempat
Hasil survei pemahaman masyarakat nelayan yang dilakukan
di Kelurahan Lappa tentang manfaat terumbu karang disajikan pada
Tabel 70. Dari hasil tersebut memperlihatkan bahwa karang bagi nelayan
dipahami sebagai rumah ikan, tempat hidup ikan, perlindungan ikan, tempat
makan ikan, dan bahan bangunan.
Tabel 70. Persentase Pengetahuan Masyarakat Kelurahan Lappa Tentang Manfaat Terumbu Karang
Manfaat Terumbu Karang Persentase (%) Rumah Ikan 29,51 Tempat Ikan Hidup 29,51 Perlindungan Ikan 11,48 Tempat Ikan Makan 6,00 Bahan Bangunan 11,48 Tidak Tahu 12,02
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Sebagian besar usaha penangkapan dilakukan di kawasan Pulau
Sembilan, hal ini terbukti dengan pengetahuan mereka tentang posisi dan
nama setiap taka. Selain itu, pada waktu-waktu tertentu nelayan Lappa juga
melakukan penangkapan di wilayah diluar kabupaten Sinjai, seperti Sulawesi
Tenggara, Maluku, Irian, Bulukumba dan Selayar. Lokasi-lokasi taka ini
diketahui dari nelayan yang telah berpengalaman melaut dan menjangkau
lokasi tersebut serta dari cerita-cerita sebelumnya.
* Pengetahuan Berkenaan Dengan Laut dan Isinya
Dari hasil survei didapatkan bahwa sangat sedikit pengetahuan
masyarakat tentang terumbu karang dan jenis-jenisnya kendatipun mereka
mengetahui manfaat karang dan mengenal dengan baik letak dan nama
lokasi karang di perairan Pulau-pulau Sembilan dan bahkan daerah lain
di luar kawasan tersebut.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 225
Pada karang tersebut hidup berbagai jenis biota yang berasosiasi
dengannya, seperti berbagai jenis ikan dan biota non ikan (lobster, kepiting).
Dalam pandangan nelayan, terdapat berbagai jenis biota karang yang dinilai
memiliki nilai ekonomi yang tinggi seperti sunu, kerapu, lencam, lobster dan
teripang.
Selain itu mereka juga mengenal ikan-ikan bernilai ekonomis yang
hidup di laut lepas, misalnya teri, kembung, cakalang, layang, yang
merupakan jenis ikan permukaan. Pemanfaatan ikan-ikan permukaan ini
terutama dilakukan oleh nelayan pancing, purse seine dan bagang.
Puncak musim penangkapan ikan-ikan permukaan di kawasan Pulau-
pulau Sembilan terjadi pada musim Barat, hal ini ditandai dengan datangnya
nelayan-nelayan dari luar Kabupaten Sinjai yang juga menggunakan alat
tangkap yang sama dengan masyarakat setempat. Puncak penangkapan
ikan permukaan dilakukan pada musim Barat, maka penangkapan ikan
dasar umumnya juga dilakukan pada musim yang sama. Nelayan dalam
melakukan penangkapan ikan dasar memanfaatkan tingkah laku (fish
behaviour) dari ikan tersebut, yaitu pada musim Barat ikan dasar melakukan
pergerakan dari perairan dalam ke perairan yang lebih dangkal untuk
melakukan pemijahan.
* Pengetahuan Berkenaan Dengan Pelayaran
Kepercayaan tentang hal gaib yang sering terjadi di dalam laut diyakini
oleh seluruh nelayan yang ada di Kabupaten Sinjai termasuk nelayan yang
berdomisili di Kelurahan Lappa. Sehubungan hal tersebut, maka antisipasi
yang dilakukan juga sama yaitu dengan memasang ijuk pada tiang utama
kapal yang dipercaya dapat menangkal semua hal-hal gaib tersebut.
Hal lain yang dipercaya adalah tidak baik melakukan penangkapan
pada hari Jumat, hal ini diyakini bahwa bila melakukan penangkapan pada
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 226
hari tersebut dapat menimbulkan musibah. Hari tersebut nelayan tidak
melakukan aktivitas penangkapan melainkan umumnya melakukan aktivitas
perbaikan alat tangkap yang rusak, membersihkan bagian kapal serta
perawatan/pengecatan kapal.
Pengetahuan pelayaran dengan menggunakan tanda-tanda alam untuk
penentuan arah perahu baik di siang hari maupun di malam hari, juga
pengetahuan tanda-tanda alam yang merupakan peringatan bagi cuaca yang
akan dihadapi beberapa waktu mendatang merupakan pengetahuan yang
diajarkan turun temurun.
8.3.1.2. Pandangan Tentang Hak Atas Laut
Seperti halnya masyarakat nelayan pulau-pulau yang disebutkan
sebelumnya. Masyarakat nelayan Kelurahan Lappa juga menganut
pandangan yang melihat dan memahami laut serta isinya sebagai milik
semua orang; menganut adanya aturan adat yang mensahkan dan mengatur
pemilikan secara bersama serta menganut pandangan adanya penerapan
aturan formal.
Masyarakat nelayan Kelurahan Lappa memandang laut sebagai milik
bersama, dengan kata lain laut dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang
ingin mencari penghidupan. Hasil survei yang dilakukan pada masyarakat
di kelurahan ini diperoleh pendapat 100% yang mengatakan bahwa laut dan
segala isinya merupakan milik bersama. Pandangan ini merupakan suatu
bentuk umum yang dianut oleh semua nelayan di Sulawesi Selatan. Dengan
demikian, mekanisme kontrol terhadap wilayah perairan dapat dilakukan oleh
semua orang yang berkepentingan dengan laut.
Hasil survei yang didapatkan sehubungan dengan penggunaan bahan
yang dapat merusak terumbu karang adalah 88,52% setuju untuk dilarang,
dan 11,48% tidak setuju. Hasil survei ini mengindikasikan bahwa nelayan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 227
di Lappa sebagian besar mendukung peraturan pemerintah tentang hal
tersebut dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah.
Sangat disayangkan oleh nelayan bahwa banyaknya pihak yang
memiliki hak untuk mengeluarkan peraturan, menyebabkan banyaknya
peraturan yang tumpang tindih. Demikian pula dengan pengawasan
terhadap wilayah laut dan sanksi yang diberikan oleh aparat keamanan laut
sangat lemah. Hasil survei yang dilakukan di pulau ini sebenarnya sudah
banyak nelayan yang mengetahui tentang aturan pelarangan penggunaan
alat tangkap destruktif tersebut. Seperti diperoleh jawaban 40,98%
mengatakan mengetahui adanya peraturan pemerintah yang melarang
penggunaan bom dalam penangkapan ikan dan yang tidak mengetahui
sebanyak 59,02%. Sedangkan pelarangan penggunaan bahan beracun
(bius) sebanyak 34,43% yang mengetahui dan yang tidak mengetahui
sebanyak 65,57%. Dalam kasus-kasus semacam ini, penegakan aturan
formal terlihat sangat lemah.
8.3.1.3. Pengetahuan Tentang Jenis-jenis Biota Laut Bernilai Ekonomi Tinggi
Pengetahuan tentang jenis-jenis biota laut yang bernilai ekonomi tinggi
oleh nelayan Kelurahan Lappa ini masih terbatas dibandingkan dengan
nelayan Pulau Kambuno dan nelayan pulau lain di sekitarnya yang banyak
mengetahui jenis-jenis biota laut yang bernilai ekonomi tinggi. Namun
mereka masih mengetahui beberapa jenis biota laut yang bernilai ekonomi
seperti ikan sunu dan kerapu. Jenis ikan yang mahal adalah ikan kerapu
khususnya kerapu tikus. Sedangkan untuk jenis non ikan yang bernilai
ekonomi tinggi yang mereka ketahui seperti udang/lobster, dan teripang.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 228
8.3.1.4. Pandangan Tentang Kelangkaan Sumberdaya dan Prinsip-prinsip Konservasi
Seperti halnya di pulau-pulau yang disebutkan sebelumnya, sebagian
masyarakat nelayan Lappa menganggap bahwa telah terjadi penurunan
jumlah populasi biota bernilai ekonomis di perairan sekitar Pulau-pulau
Sembilan. Hasil survei yang dilakukan terhadap nelayan Kelurahan Lappa
tentang kondisi hasil tangkapan di perairan Pulau-pulau Sembilan
didapatkan 51,28% yang mengatakan hasil tangkapan menurun, 7,70%
mengatakan meningkat dan 25,64% mengatakan tetap serta 15,38% tidak
tahu. Jenis ikan terutama ikan karang yang mengalami kemerosotan seperti
sunu, kerapu dan lain-lain. Sedangkan dari jenis biota non ikan yang
mengalami kemerosotan seperti teripang, dan udang/lobster.
Penurunan populasi ikan karang dalam berbagai jenis, terjadi sejak
meningkatnya permintaan dan harga ikan-ikan karang hidup. Namun secara
umum kemerosotan ini terutama disebabkan oleh penggunaan bom dan
bahan potas oleh sebagian nelayan yang tidak bertanggungjawab yang
mengakibatkan terbunuhnya ikan-ikan kecil dari semua jenis, selain itu juga
merusak dan mematikan terumbu karang. Hasil survei yang dilakukan
di pulau ini tentang penyebab kelangkaan sumberdaya tersebut adalah
12,82% yang mengatakan penyebabnya adalah bom; bius 25,65%, trawl
7,69%, banyaknya nelayan 7,69%, bukan musim 12,82%, dan yang tidak
tahu 33,33%.
Prinsip-prinsip konservasi terhadap pengelolaan sumberdaya laut
di Kelurahan Lappa juga seperti pada Pulau-pulau Sembilan yaitu masih
sangat sulit untuk dilaksanakan. Karena di kelurahan ini merupakan tempat
pendaratan ikan dan merupakan lalu lintas kapal/perahu yang akan
mendaratkan hasil tangkapannya. Motivasi mereka sama seperti pada
umumnya nelayan yaitu ketika tangkapan ikan kurang, nelayan mempunyai
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 229
prinsip bahwa apapun yang ditemukan di laut yang diperkirakan mempunyai
sedikit atau banyak nilai ekonomi, semuanya dipungut dan dimasukkan
ke dalam perahunya, guna menutupi biaya operasional dan memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
8.3.2. Jenis dan Intensitas Pemanfaatan Sumberdaya
Jenis sumberdaya laut yang dimanfaatkan oleh nelayan Kelurahan
Lappa antara lain adalah cakalang, kembung, lencam, tongkol, tenggiri.
Berdasarkan hasil survei, persentase jenis sumberdaya laut yang paling
banyak dimanfaatkan oleh nelayan Kelurahan Lappa adalah cakalang
(15,79%). Persentase jenis sumberdaya laut yang dimanfaatkan
di Kelurahan Lappa selengkapnya disajikan pada Tabel 71.
Tabel 71. Persentase Sumberdaya Laut (Ikan dan Non Ikan) yang Tertangkap di Kelurahan Lappa
Jenis sumberdaya laut Persentase (%) Cakalang 15,79 Layang 13,16 Lencam 13,16 Teri 9,00 Kembung 7,91 Tongkol 1,54 Tenggiri 5,26 Kerapu 2,63 Pepetek 2,63 Tembang 2,63 Pari 2,63 Beronang 2,63 Lobster 2,63 Kakap 2,63 Bui-bui 2,63 Kepiting 2,63 Udang 2,63 Bandeng 2,63 Sembulak 2,63 Cumi-cumi 2,63
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 230
8.3.2.1. Teknologi Pemanfaatan
Untuk pemanfaatan sumberdaya laut, nelayan Kelurahan Lappa
menggunakan beberapa jenis alat tangkap seperti pancing (pole and Line),
panambe, bagang, jaring insang, alat selam, long line dan Purse seine.
(Tabel 69). Persentase tertinggi alat tangkap yang digunakan oleh nelayan
di Lappa ini adalah pancing sebesar 37,04%.
8.3.2.2. Metode Penangkapan
Metode/cara pengoperasion alat tangkap pancing, bagang, panambe,
jaring insang, alat selam, purse seine dan longline sama dengan yang
terdapat di pulau-pulau yang telah dijelaskan sebelumnya.
8.3.2.3. Lokasi Penangkapan
Lokasi-lokasi penangkapan yang menjadi tujuan penangkapan nelayan
Lappa antara lain Teluk Bone, Selayar, Kupang/Lombok dan Sulawesi
Tenggara. Selain dari daerah tersebut di atas, nelayan tersebut juga
melakukan penangkapan di sekitar taka yang terdapat di Pulau-pulau
Sembilan.
Berbeda dengan pulau-pulau yang telah disebutkan sebelumnya
dimana persentase daerah penangkapannya lebih banyak dilakukan di taka
sekitar Pulau-pulau Sembilan. Daerah penangkapan yang memiliki
persentase tertinggi yang dijadikan daerah penangkapan nelayan Lappa
adalah daerah Sulawesi Tenggara, khususnya daerah Kolaka yaitu sebesar
43,59%. Hal ini mungkin disebabkan oleh masih kurangnnya alat tangkap
lokal yang beroperasi di lokasi tersebut. Data selengkapnya disajikan pada
Tabel 72 berikut ini.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 231
Tabel 72. Persentase Daerah Penangkapan Nelayan Kelurahan Lappa
Daerah Penangkapan Persentase (%) Sulawesi Tenggara 43,59 Pulau-pulau Sembilan 25,64 Kupang/Lombok 12,82 Selayar 12,82 Teluk Bone 5,13
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
8.3.2.4. Waktu dan Musim Penangkapan
Waktu atau lama penangkapan nelayan Lappa juga bervariasi antara
di bawah satu minggu hingga di atas empat minggu. Puncak musim
penangkapan ikan nelayan di pulau ini antara bulan Oktober hingga April
atau bertepatan dengan datangnya musim Barat. Namun pada hari-hari
biasa di luar puncak musim penangkapan tersebut nelayan di pulau ini juga
tetap melakukan penangkapan di sekitar taka Pulau-pulau Sembilan.
Waktu/lama penangkapan nelayan Lappa kurang dari satu minggu memiliki
persentase tertinggi sebesar 68,41%. Persentase waktu/lama penangkapan
ikan disajikan pada Tabel 73.
Tabel 73. Persentase Waktu/lama Penangkapan Nelayan Kelurahan Lappa
Waktu/lama Penangkapan Persentase (%)
< 1 minggu 68,41 3 – 4 minggu 10,53 > 4 minggu 10,53 1 – 2 minggu 10,53
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Jenis-jenis alat tangkap yang terdapat di Kelurahan Lappa mempunyai
variasi biaya operasional penangkapan antara satu alat dengan alat lainnya.
Biaya operasional berkisar antara ± Rp.500.000 sampai Rp. 2.000.000.
Biaya operasional penangkapan kurang dari Rp. 500.000 merupakan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 232
persentase biaya operasional tertinggi (53,84%). Persentase biaya
operasional dapat dilihat pada Tabel 74. Tabel 74. Persentase Biaya Operasional Penangkapan Nelayan
Kelurahan Lappa
Biaya Operasional (Rp) Persentase (%) < 500.000 53,84 500.000 – 1.000.000 30,77 1.600.000 – 2.000.000 10,26 1.100.000 – 1.500.000 5,13 > 2.000.000 0,00
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
8.3.3. Analisis Stakeholder 8.3.3.1. Stakeholder Internal
Lappa merupakan pusat pendaratan ikan (PPI) yang paling aktif
di pantai Timur Semenanjung Sulawesi Selatan. Ditempat ini bertemu
berbagai stakelolders baik yang datang dari luar maupun dari dalam
Kabupaten Sinjai. Sebagian besar para pemodal/ ponggawa darat dari
berbagai usaha yang berada di Lappa maupun di Pulau Sembilan bertempat
tinggal di wilayah ini.
Berbeda dengan ponggawa darat, para ponggawa laut yang
bertanggung jawab pada pelaksanaan usaha, berasal dari berbagai tempat,
misalnya untuk ponggawa laut bagang dengan dua perahu umumnya
bermukim di Pulau Burung Loe. Ponggawa laut usaha penyelaman teripang
dan pemancing kerapu/sunu umumnya bermukim di Pulau Kambuno.
Ponggawa Laut yang bermukim di Lappa umumnya menjalankan usaha
Purse Seine, Pole and Line, serta Bagang dengan satu perahu.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 233
Para sawi yang sangat berperan dalam kelancaran usaha
penangkapan ikan juga memilih usaha dimana mereka tinggal. Para sawi
yang ikut pada usaha yang berbasis di Lappa, umumnya bermukim di Lappa.
Stakeholder internal yang berperan dalam kegiatan pendaratan dan
pemasaran ikan umumnya bekerja sebagai pencatat hasil penjualan ikan,
penarik gerobak bagi pengangkutan ikan di darat, dan penyedia sarana es
curai. Sedangkan para pembeli ikan yang berasal dari Lappa adalah pembeli
ikan untuk tujuan pengolahan ikan asin kering.
Peranan stakeholders internal dalam pelestarian sumberdaya
perikanan termasuk didalamnya pelestarian terumbu karang masih sangat
kurang. Salah satu contoh adalah orang yang banyak mengerti tentang
pelestarian terumbu karang hanyalah para tokoh masyarakat dan pegawai
pemerintah. Masyarakat di Lappa hanya tahu bahwa ada pelarangan
penggunaan bom dan bius pada upaya penangkapan ikan, tetapi mereka
belum menyadari manfaat pelarangan tersebut.
8.3.3.2. Organisasi dan Potensi Konflik
Secara umum organisasi nelayan yang secara khusus bergerak dalam
pengelolaan sumberdaya laut yang ditemukan di Kelurahan Lappa juga
berupa organisasi tradisional ponggawa-sawi. Organisasi ponggawa-sawi
adalah organisasi kerja nelayan yang terdapat di semua masyarakat
nelayan. Ikatan di antara kedua unsur pembentuknya yaitu ponggawa dan
sawi sering kali diartikan oleh sebagai suatu bentuk eksploitasi yang menjadi
penyebab miskinnya sebagian besar kaum nelayan. Namun organisasi
bentukan pemerintah atau lembaga Non-pemerintah yang telah pernah ada
belum mampu menggantikan ikatan yang terbentuk di antara keduanya.
Potensi konflik terbesar terdapat di Kelurahan Lappa karena menjadi pusat
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 234
perdagangan dan transportasi darat ke Pulau-pulau Sembilan yang
melibatkan banyak stakeholder.
8.4. Sistem Pengolahan Pasca Panen dan Pemasaran Hasil 8.4.1. Jenis dan metode Pengolahan Pasca Panen di Kelurahan
Lappa
Jenis dan metode pengolahan pasca panen yang banyak dilakukan
di daerah ini sesuai dengan jenis hasil tangkapan yang banyak didaratkan.
Ikan yang ditangkap dengan menggunakan bagang terdiri dari ikan-ikan
kecil, yaitu teri, layang, kembung dan berbagai ikan pelagis lainnya.
Umumnya ikan jenis ini tidak dijual segar, melainkan diolah terlebih dahulu
menjadi ikan teri. Ikan-ikan yang ditangkap oleh Purse Seine terdiri atas
ikan-ikan pelagis yang ukurannya lebih besar dari hasil tangkapan oleh
bagang. Hasil tangkapan Purse Seine umumnya dijual dalam bentuk segar
yang didinginkan dengan cara pemberian es. Hasil tangkapan Pole and Line
berupa ikan cakalang segar yang sebagian diolah dengan cara pendinginan
oleh es, sedangkan ikan yang masih bermutu ekspor diolah dengan cara
pembekuan. Hasil tangkapan alat-alat yang kecil, seperti gill net, jaring
lempar, sero, dan pancing ulur, umumnya dijual eceran langsung oleh
nelayan di PPI Lappa.
8.4.1.1. Jenis Produk
Sebagaimana yang dijelaskan pada sub bab terdahulu bahwa produk
yang dihasilkan nelayan yang berlokasi di Kelurahan Lappa adalah sebagian
besar ikan segar yang siap untuk dikonsumsi. Selain itu, sebagian hasil
tangkapan diolah menjadi ikan kering dan bahan untuk pakan ternak.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 235
8.4.1.2. Teknologi Pengolahan
Nelayan yang menggunakan alat tangkap purse seine, pole and line,
dan bagang rambo umumnya berada di lokasi penangkapan dalam waktu
yang cukup lama, sehingga sebagian besar nelayan tersebut melakukan
pengolahan hasil tangkapan dengan es selama berada di laut. Metode
pengolahan yang dilakukan terhadap ketiga hasil dari alat tangkap tersebut
sama dengan yang dilakukan oleh alat tangkap pancing ikan tongkol, yaitu
membawa es balok ke lokasi dan peti. Seluruh hasil tangkapan tersebut
dimasukkan dalam peti yang telah dilapisi dengan hancuran es balok
selanjutnya ikan dan hancuran es lagi, begitulah seterusnya. Sedangkan
hasil tangkapan dari alat tangkap sero, gill net, dan jaring lempar tidak
dilakukan kegiatan pengolahan. Hal ini disebabkan lokasi penangkapan dari
ketiga alat tangkap tersebut hanya di sekitar perairan Lappa.
8.4.1.3. Biaya dan Nilai Tambah dari Proses Pengolahan
Umumnya nelayan yang melakukan pengolahan hasil tangkapan
di lokasi penangkapan membawa es balok sebanyak 100 – 200 balok.
Besarnya jumlah es yang dibutuhkan terkait dengan lamanya waktu
penangkapan serta jumlah hasil tangkapan yang lebih besar dibanding
nelayan Pulau-pulau Sembilan. Dari hasil pengolahan terhadap hasil
tangkapan tersebut memberikan nilai jual yang cukup tinggi.
8.4.2. Pola dan Jalur Pemasaran 8.4.2.1. Mata Rantai Pemasaran
Pemasaran produk hasil tangkapan dapat dilakukan pada dua
tempat, yaitu penjualan di laut kepada kapal pengumpul hasil tangkapan
(pangnges) dan juga langsung ke pelelangan. Sebagian kecil produk yang
dibeli oleh para pangnges dipasarkan di daerah yang dekat dengan lokasi
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 236
penangkapan, sedangkan bagian yang masuk ke pelelangan langsung dibeli
oleh para ponggawa dan eksportir. Ponggawa darat selanjutnya menjual
produk tersebut ke pasar lokal dan pasar di daerah lain, sedangkan yang
dibeli oleh para eksportir produk tersebut siap untuk di eksport kepada para
pemesan (gambar 24).
kebutuhan,keinginan produk pelelangan transaksi permintaan
pangnges ponggawa dan eksportir transaksi transaksi
Gambar 24. Tata Niaga Produk Pole and Line Sumber : Hasil Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Produk yang dihasilkan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap
Purse Seine dan Bagang Rambo (gambar 25) umumnya dipasarkan
di pelelangan, dan juga sering terjadi transaksi di tengah laut yang dilakukan
oleh para pangnges. Produk tersebut juga diolah oleh para nelayan dengan
pengeringan dan juga dibeli langsung oleh pengumpul yang akan
menjadikan produk tersebut menjadi pakan ternak. Produk yang masuk
di pelelangan langsung diadakan transaksi dan umumnya dibeli oleh para
ponggawa darat untuk dijual selanjutnya di pasar lokal dan daerah lain, dan
para pappalele. Produk yang diolah oleh untuk bahan pakan ternak, dan
yang dikeringkan langsung dijual di pasar lokal.
pappalele pasar lokal antar daerah
transaksi
eksport
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 237
Gambar 25. Tata Niaga Produk Purse Seine dan Bagang Rambo Sumber : Hasil Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
Produk-produk dari ketiga alat di atas umumnya hanya diperuntukkan
untuk pasar lokal dan para pappalele yang akan memasarkan secara
langsung kepada konsumen. Selain itu, produk itu diperuntukkan juga untuk
memenuhi kebutuhan keluarga, karena usaha tersebut adalah skala kecil
dan merupakan pekerjaan sampingan.
kebutuhan keluarga
Gambar 26. Tata Niaga Produk Sero, Gill Net, dan Jaring Lempar Sumber : Hasil Studi Sosial Ekonomi Pulau-pulau Sembilan, Pokja Coremap Sul-Sel, 2001.
8.4.2.2. Mekanisme Harga dan Metode Pembayaran
Penentuan harga dan metode pembayaran yang berlaku relatif sama
dengan nelayan di pulau-pulau lain. Ada yang dibayarkan secara tunai dan
ada juga yang dibayarkan secara kredit tergantung kesepakatan kedua
belah pihak. Harga yang berlaku sangat ditentukan oleh musim, dan
nilainya tidak ditentukan oleh penjual ataupun oleh pembeli tapi terjadi tawar
menawar atau harga yang berlaku saat itu. Saat terjadi banjir di sungai
yang disertai hujan, serta saat musim gelombang besar merupakan waktu
transaksi
diolah pengumpul bahan transaksi
produk pelelangan ponggawa Nelayan (Produsen)
pangnges
transaksi
pasar lokal antar daerah pappalele
Kebutuhan produk pasar lokal & pappalele
transaksi
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 238
paceklik bagi nelayan sehingga kemungkinan harga pasaran untuk ikan
relatif mahal.
8.5. Faktor Eksternal dan Permasalahan Struktural Kelurahan Lappa 8.5.1. Faktor Eksternal
Maju dan berkembangnya suatu daerah bergantung pada berbagai
faktor baik merupakan internal pulau maupun di luar pulau Berbagai faktor
eksternal yang mempengaruhi tingkat pengelolaan sumberdaya hayati
perairan serta dampak lingkungannya dapat diuraikan sebagai berikut :
8.5.1.1. Kebijakan pemerintah bagi pengelolaan Sumberdaya perairan
Peranan aturan dan hukum sangat penting dalam hal ini pemerintah
untuk mengatur kegiatan penangkapan, seperti mengenai pemanfaatan
wilayah pesisir tertuang dalam undang-undang No. 9 tahun 1985 tentang
perikanan, undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi
sumberdaya hayati dan undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang
pengelolaan lingkunga hidup dan undang-undang pariwisata No. 9 tahun
1990. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah masih lemahnya
pelaksanaan peraturan dan undang-undang yang telah ada.
Undang-undang perikanan merupakan salah satu perangkat hukum
yang bertujuan mengatasi beberapa masalah dalam hal pencemaran dan
kerusakan serta eksistensi sumberdaya perikanan. Di dalam undang-
undang tersebut disebutkan bahwa sumberdaya perikanan adalah modal
dasar pembangunan untuk mengupayakan peningkatan kesejateraan dan
kemakmuran rakyat. Pada pasal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang
atau badan hukum dilarang melakukan kegiatan penangkapan dan
pembudidayaan ikan-ikan dengan menggunakan bahan-bahan dan/atau alat
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 239
yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan
lingkungannya.
Salah satu kebijakan pemerintah daerah yang juga mempunyai kaitan
dengan pengelolaan laut adalah pewilayahan komoditas. Kebijakan ini
ditempuh untuk memadukan antara faktor-faktor keserasian, pasar, industri
dan sarana penunjang lainnya. Berdasarkan faktor-faktor tersebut
di tetapkan komoditas andalan yang dapat dikembangkan pada suatu
wilayah tertentu . Untuk Kabupaten Sinjai komoditas perikanan andalannya
adalah ikan sunu, teripang, jenis ikan karang, tongkol, cakalang, pepetek,
layang dan lainnya.
Untuk dapat menindaklanjuti kondisi tersebut pemerintah daerah
Kabupaten Sinjai telah membuat rancangan peraturan daerah tahun 2001
tentang retribusi izin usaha kelautan dan perikanan dan kegiatan
penangkapan dan pemanfaatan lainnya. Usaha perikanan yang membayar
retribusi adalah usaha penangkapan, usaha budidaya, dan usaha
pengolahan. Usaha penangkapan terdiri dari alat tangkap bagang, dan
penggunaan perahu motor dan kapal motor. Usaha pembudidayaan terdiri
dari jenis algae, ikan, crustacea, molusca, amphibia dan reptilia. Sedang
usaha pengolahan terdiri dari pengeringan, pengasapan, penggaraman,
pindang dan dendeng. Besarnya retribusi untuk bagang tancap adalah
Rp 25.000,- pertahun da retribusi bagang apung adalah Rp 100.000,-/tahun,
sedang retribusi perahu motor ukuran kurang 2,5 GT dan antara 2,5-5 GT
adalah Rp 20.000,- dan Rp 30.000/tahun. Retribusi kapal motor berukuran
kurang dari 2,5 GT dan 2,5-5 GT masing-masing sebesar Rp 30.000,- dan
Rp 50.000,-/tahun.
Jumlah retribusi bidang perikanan budidaya laut dan perairan umum,
jenis algae yang luas kurang dari 1 ha adalah Rp 50.000,- , 1 - 3 ha adalah
RP 75.000,- sedang jenis ikan, udang dan binatang lunak untuk luas karang
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 240
kurang dari 1 ha retribusinya masing-masing Rp 65.000, Rp 70.000, dan
Rp 55.000,- untuk luas 1-3 ha, masing-masing Rp 75.000, Rp 80.000, dan
Rp 75.000,- sedangkan yang luas 3-5 ha, besar retribusinya masing-masing
Rp 85.000,- Rp 90.000,- dan Rp 80.000,- per unit per tahun.
Untuk usaha pengolahan, besar retribusi ditentukan oleh jenis kegiatan.
Usaha pengeringan dan pengasapan besar retribusi per unit usaha
per tahun, masing-masing RP 40.000,- per unit per tahun sedang besar
retribusi usaha penggaraman adalah Rp 40.000,- per unit per tahun sedang
besar retribusi usaha pindang dan dendeng sama yaitu Rp 25.000,- per unit
per tahun.
Sedangkan dampak otonomi daerah terhadap ekstraksi sumberdaya
berdasarkan peraturan pemerintah No. 25 tahun 2000, kewenangan propinsi
di bidang kelautan ada lima yaitu :
a. Penataan dan pengolahan perairan di wilayah laut propinsi
b. Eksploirasi, eksplotasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut
sebatas wilayah kewenangan propinsi
c. Konservasi dan pengolahan plasma nutfah spesifik lokasi serta suaka
perikanan di wilayah laut kewenangan propinsi
d. Pelayanan izin usaha pembudidayaan dan penangkapan ikan pada
perairan laut di wilayah laut kewenangan propinsi
e. Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan
propinsi.
Kriteria kewenangan propinsi :
a. Pelayanan lintas kabupaten
b. Konflik kepentingan antar kabupaten /kota
Batas kewenangan di laut
a. Propinsi : 4-12 mil
b. Kabupaten : 0-4 mil
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 241
Fungsi Dinas Perikanan dan Kelautan adalah pengaturan, pelayanan
dan pembinaan. Maka perlu ada aturan dari pemerintah untuk membatasi
pemanfaatan sumberdaya laut yang berlebihan. Menurut nelayan bahwa hal
ini perlu dilakukan, dimana jawaban responden pada Kelurahan Lappa setuju
80% dan 20% menjawab tidak setuju.
Dengan tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan nelayan
mempunyai wawasan yang sempit tentang bagaimana sebenarnya
memanfaatkan sumberdaya laut. Dengan padatnya kegiatan sehari-hari
menyebabkan nelayan tidak mempunyai waktu untuk belajar, karena
umumnya nelayan memanfaatkan waktunya untuk bekerja dan beristirahat
setelah melaut. Akibatnya dari kurangnya pengetahuan nelayan tentang
daerah perlindungan ikan . Hal ini ditunjang dari hasil wawancara yang
menyatakan bahwa 93,44% tidak tahu tentang peranan perlindungan area
penangkapan. Ada sebanyak 4,92% yang tidak setuju dan 1,64% yang
setuju. Hal ini memberikan indikasi bahwa hanya sedikit nelayan yang
mengetahui area perlindungan ikan.
Penangkapan ikan oleh nelayan Kelurahan Lappa dilakukan hampir
setiap hari dalam sebulan. Hal ini terjadi karena bagi usaha swasta terutama
profesi nelayan, apabila tidak melaut berarti tidak memperoleh nafkah untuk
menghidupi keluarga. Hal ini sangat dirasakan oleh nelayan yang berstatus
sawi. Oleh sebab itu dalam upaya pelestarian sumberdaya, 60,67%
responden Lappa tidak setuju bila dilakukan penutupan musim
penangkapan, hanya 19,67% yang menyatakan setuju dan sisanya 19,67%
menjawab tidak tahu.
Pengetahun nelayan tentang ukuran ikan yang sebaiknya ditangkap
masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan karena nelayan hanya berpikir
bagaimana menangkap ikan sebanyakk-banyaknya untuk memperoleh
penghasilan yang banyak. Mengenai ukuran ikan yang dewasa dan masih
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 242
muda sebagian nelayan belum bisa membedakan. Hal ini didukung oleh
hanya wawancara yang menyatakan bahwa 19,67% tidak setuju adanya
adanya pembatasan ukuran ikan yang ditangkap sedangkan yang setuju
22,95% dan tidak tahu sekitar 57,38%. Nelayan yang setuju dengan
pembatasan ukuran ikan yang ditangkap diduga diperoleh dari nelayan yang
berpendidikan tinggi dan sudah biasa mendengar tentang hal ini.
Kesadaran tentang pentingnya pelestarian lingkungan sangat
dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman seseorang . Sebab dengan
mengetahui dan mengalami bagaimana pengaruh kerusakan sumberdaya
terhadap hasil tangkapan, maka seseorang akan berhati-hati agar
kerusakan tidak terjadi lagi. Hal ini didukung oleh hasil wawancara yang
menyatakan bahwa, 88,52% nelayan responden setuju pelarangan
pengoperasian alat tangkap yang merusak namun demikian masih ada
sebanyak 11,48% nelayan yang menyatakan tidak tahu.
Pelanggaran yang dilakukan terhadap peraturan atau perundang-
undangan beresiko adanya sanksi. Untuk menyatakan sanksi terhadap
pelanggar diperlukan suatu proses yang memerlukan banyak waktu. Sanksi
yang diberikan tentunya bergantung dari kadar pelanggaran yang dilakukan.
Mengenai sanksi terhadap pelanggaran ternyata 42,62% menyatakan
tidak perlu kemudian sebanyak 37,71% nelayan menyatakan ada
pelanggaran dan hanya 19,67% menyatakan tidak tahu. Tentang perlunya
diberikan sanksi terhadap pelanggaran ternyata 34,43% yang setuju
diberikan sanksi dan ada 65,57% nelayan Lappa tidak tahu tentang adanya
sanksi bagi pelanggar. Hal ini membuktikan bahwa sebagian dari
pelanggaran aturan tidak terkena sanksi.
Kerusakan lingkungan laut dapat dilakukan oleh penduduk lokal dan
dari pendatang. Hasil wawancara menyatakan bahwa sebagian besar
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 243
nelayan Kelurahan Lappa tidak tahu dari mana asal perusak. Tetapi bila
dilihat dari sebagian masyarakat yang mengetahui, menyatakan bahwa ada
27,87% nelayan menyatakan perusak dari luar dan 16,39% menyatakan
perusak dari dalam. Selebihnya tidak memberi penjelasan.
8.5.1.2. Pasar permintaan Produk Hasil Perikanan
Setiap kegiatan produksi baik kegiatan penangkapan, pengolahan, dan
lainnya maka yang bisanya menjadi kendala adalah pasar dari produk yang
dihasilkan tersebut. Jenis pasar produk hasil perikanan berupa jalur
distribusi, segmentasi pasar maupun daya serap pasar secara langsung
mempengaruhi aktivitas penangkapan bagi masyarakat nelayan di Lappa,
semakin tinggi daya serap pasar dan kemudahan untuk mengaksesnya
maka semakin bergairah masyarakat untuk melakukan penangkapan.
Masyarakat nelayan Lappa, seperti halnya masyarakat lain di Pulau-
pulau Sembilan umumnya dipengaruhi oleh kegiatan dari pedagang lokal,
pedagang antar pulau, kegiatan eksportir, serta aktivitas pelelangan (PPI)
dalam dinamika kegiatan pemasaran hasil perikanan. Mudahnya masyarakat
Lappa dalam mengakses pasar (walau dalam batas tertentu) seperti
hubungan dengan ponggawa darat di Sinjai dan eksportir ikan
di Makassar juga turut mempengaruhi. Umumnya masyarakat nelayan Lappa
dapat menjual langsung hasil tangkapannya ke ponggawa di pulau Kambuno
sendiri atau ke PPI Lappa dan eksportir ikan di Makassar.
Berbagai jenis komoditas unggulan yang dihasilkan oleh masyarakat
nelayan Lappa diantaranya ikan Tuna, Cakalang, teripang dan ikan sunu
sangat diminati konsumen baik pasaran lokal, nasional maupun
internasional. Untuk jenis teripang biasanya dijual dalam bentuk olahan
maupun segar sementara ikan karang walaupun biasanya dijual dalam
bentuk segar atau telah dikeringkan tapi akan lebih tinggi lagi nilai jualnya
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 244
bila dapat dijual dalam kondisi masih hidup. Hasil komoditas unggulan
tersebut biasanya ditawarkan dengan harga yang lumayan bergantung
kondisi pasar
Kondisi pasar permintaan hasil perikanan ini mendorong nelayan
untuk melakukan penangkapan secara berlebihan khususnya untuk
komoditas tertentu. Hal ini terindikasi dari daerah penangkapan yang
semakin jauh dari perairan Pulau-pulau Sembilan. Nelayan penyelam
teripang biasanya beroperasi sampai ke daerah Kendari, daerah Selat
Makassar dan Maluku. sementara penangkapan ikan karang lebih
cenderung untuk melakukan kegiatan pemboman ikan dan pembiusan. Hal
ini dilakukan karena menurut mereka lebih efektif, bahkan pembiusan akan
menghasilkan tangkapan yang menguntungkan. Dengan metode pembiusan
biasanya ikan hanya akan pingsan sementara dan tidak mengalami luka
yang biasanya diakibatkan oleh pancing. Sehingga hasil tangkapan dengan
menggunakan bius mempunyai harga jual yang lebih tinggi dibandingkan
dengan menggunakan pancing karena hasil tangkapan ikan mempunyai
penampakan dan kondisi tubuh yang relatif lebih baik. Serta lebih murah
dalam hal pembiayaan operasional penangkapan dibandingkan jumlah hail
yang diperoleh.
8.5.1.3 Teknologi Penangkapan dan Akses Permodalan
Tingkat teknologi pemanfaatan sumberdaya perairan yang
berkembang utamanya teknologi penangkapan yang diadopsi dan
berkembang di masyarakat nelayan Lappa, sangat mempengaruhi tingkat
kemampuan pemanfaatan oleh masyarakat. Karena semakin tinggi tingkat
teknologi yang digunakan oleh masyarakat maka semakin tinggi pula tingkat
kemampuan masyarakat untuk menghasilkan tangkapan ikan. Selain tingkat
kemampuan teknologi, maka kemampuan masyarakat untuk mengakses
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 245
permodalan juga merupakan salah satu faktor eksternal yang juga turut
mempengaruhi kegiatan penangkapan karena hal ini berkaitan dengan
pembiayaan usaha penangkapan.
Dari hasil survei yang dilakukan di Kelurahan Lappa terdapat berbagai
jenis alat tangkap yang dioperasikan oleh masyarakat nelayan Lappa yang
umumnya adalah ponggawa dari nelayan-nelayan tangkap (sawi yang
berada di pulau-pulau Sembilan. Bila dibandingkan dengan masyarakat
Pulau-pulau Sembilan lainnya, daerah Kelurahan Lappa yang paling
banyak mengoperasikan alat tangkap baik dari segi jumlah armada maupun
jenis alat yang dioperasikan. Jenis-jenis alat dan metode penangkapan yang
dilakukan oleh masyarakat nelayan Lappa adalah pole and line bagang
perahu, pancing ikan kerapu, penyelam teripang, jaring cantrang, pancing
tonda, panambe, bubu, penggunaan potas dan bom. Apabila dilihat dari
keanekaragaman alat tangkap maka masyarakat Lappa telah banyak
mengadopsi teknik penangkapan dibandingkan dengan masyarakat pulau-
pulau di Kepulauan Sembilan. Seperti contohnya Pulau Batang Lampe dan
Kanalo yang umumnya hanya mengenal penyelaman teripang dan kurang
mengalami dinamika perkembangan teknologi alat tangkap. Hal ini
dikarenakan Kelurahan Lappa adalah tempat pendaratan utama bagi hasil
tangkapan masyarakat Kepulauan Sembilan. Hal mana tentunya memiliki
aksebilitas yang lebih tinggi dibandingkan pulau-pulau lain dalam
mengadopsi teknologi dan modifikasi alat tangkap. Contoh dari
perkembangan teknologi penangkapan pada nelayan penyelam teripang.
Dulunya penyelam teripang hanya beroperasi di sekitar perairan Pulau-pulau
Sembilan dengan menggunakan peralatan sederhana sekarang ini daerah
operasi sudah semakin jauh sampai ke perairan Sulawesi Tenggara bahkan
ke perairan Irian dengan menggunakan alat yang relatif lebih moderen
seperti masker, tabung oksigen, kompresor, serta dapat dilakukannya
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 246
penyelaman pada malam hari yang dulunya tidak dapat dilakukan karena
adanya keterbatasan peralatan. Dan menurut sebgian responden diperoleh
informasi bahwa ada yang telah menggunakan alat Fish finder yang mereka
sebut dengan istilah satelit, terutama untuk mengetahui keberadaan dari
posisi rumpun yang hanyut di perairan.
Dari segi akses permodalan masyarakat nelayan Lappa juga relatif
lebih maju dibandingkan dengan masyarakat lain di Kepulauan Sembilan.
Dari hasil survei dijumpai bahwa sebagian masyarakat nelayan di Kelurahan
Lappa bertindak sebagai ponggawa bagi nelayan dari pulau lainnya seperti
sebagian besar masyarakat nelayan Pulau-pulau Sembilan. Ponggawa
di Kelurahan Lappa mempunyai ponggawa besar di Sinjai atau Makassar
yang bertindak sebagai orang yang memberikan bantuan permodalan.
Bantuan permodalan itu diberikan oleh ponggawa kepada nelayan dengan
konsekwensi harus menjual hasil tangkapannya ke ponggawa tersebut .
Berdasarkan hasil survei ternyata kehidupan nelayan ponggawa yang
mendapat dukungan permodalan usaha dari ponggawa besar
di Makassar umumnya mempunyai tingkat kehidupan yang lebih tinggi, bila
dibandingkan dengan nelayan yang tidak mempunyai akses permodalan.
Perbedaan ini cukup menyolok dan dapat menimbulkan benih konflik internal
bagi masyarakat, yang mana timbul karena kecemburuan sosial.
8.5.2. Kesesakan dan Konflik pemanfaatan sumberdaya.
Dengan adanya motorisasi dan perubahan teknologi dan penangkapan
dari penggunaan alat sederhana ke penggunaan alat tangkap modern
berpotensi kompleks. Hal ini terjadi karena umumnnya alat tangkap nelayan
lokal, masih sederhana, sedangkan alat tangkap nelayan pendatang lebih
modern. Dengan alat tangkap modern maka hasil tangkapan lebih banyak
dan waktu penangkapan tidak dipengaruhi oleh keadaan alam. Sebagai
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 247
contoh adalah penggunaan alat tangkap bagang perahu yang menggunakan
listrik kapasitas besar (bagang Rambo) dan alat tangkap bagang perahu
yang menggunakan lampu petromaks. Alat tangkap bagang Rambo
ukurannya lebih besar dan cahaya lampu lebih menyebar, sehingga hasil
tangkapan lebih banyak karena ikan yang tertangkap umumnya bersifat
tertarik dengan cahaya.
Dengan lokasi penangkapan yang berdekatan , menyebabkan hasil
tangkapan nelayan lokal akan lebih sedikit. Akibat selanjutnya adalah
apabila hasil tangkapan tidak menguntungkan, maka ada kemungkinan
nelayan lokal berpindah tempat atau mengganti alat tangkap jenis lain. Hal
yang paling mudah adalah berpindah tempat. Akan tetapi apabila mereka
berpindah tempat, ternyata hasil yang diperoleh sama saja atau bahkan lebih
rendah lagi maka akan menimbulkan rasa cemburu dan bisa menimbulkan
konflik antara nelayan lokal dan pendatang.
Pada musim tertentu, yaitu musim penghujan di pantai Barat (selat
Makassar) sebagian nelayan berpindah ke daerah perairan Sinjai. Dengan
banyaknya alat tangkap yang digunakan menyebabkan hasil tangkapan yang
menurun dan berpengaruh terhadap pendapatan nelayan. Kelompok nelayan
yang paling terpengaruh adalah sawi. Pengaruhnya terhadap kehidupan
nelayan adalah terjadinya perpindahan sawi dari alat tangkap yang kurang
produktif ke alat tangkap yang lebih produktif. Dengan adanya perpindahan
ini menyebabkan alat tangkap yang kurang produktif kekurangan sawi.
Sebagai akibatnya adalah mengganti alat tangkap yang lebih produktif.
Dengan keadaan ini potensi konflik antara ponggawa bisa terjadi yaitu saling
berebut sawi.
Dengan adanya permintaan hasil laut dari luar negeri menyebabkan
terjadinya persaingan antara ponggawa darat. Siapa yang mampu
memberikan modal yang banyak kepada nelayan, maka dia akan unggul.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 248
Pengaruh persaingan ponggawa darat terhadap nelayan adalah bagaimana
mengubah status, karena bila berubah status maka pendapatan yang
diperoleh lebih besar. Dengan adanya perubahan status dari sawi menjadi
juragan maka ia akan membutuhkan tambahan sawi. Hal ini akan
menimbulkan konflik antara perubahan status dan kekurangan tenaga kerja
sawi.
8.5.2.1. Lembaga Ekonomi dan lembaga Eksternal lain.
Lembaga-lembaga ekonomi yang mempengaruhi pemanfaatan
sumberdaya laut yang dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Lappa adalah :
Pangkalan pendaratan ikan (PPI), koperasi, bank dan ikatan ponggawa-sawi.
PPI Lappa adalah pangkalan pendaratan ikan yang dbangun pada
tahun 1992 dengan dana Rp. 718.111.000,-. PPI ini selain dikunjungi oleh
kapal-kapal penangkap dari peraiaran Sinjai dan sekitarnya juga dari daerah
lain di Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Jumlah kapal yang berlabuh setiap hari sangat dipengaruhi oleh
musim, pada musim Timur (April-September) jumlah kapal yang berlabuh
sekitar 96 unit per hari, sedang pada musim Barat (Oktober hingga Maret)
jumlah kapal yang berlabuh 130 unit per hari. Jumlah ikan yang didaratkan
tahun 1999 adalah 2469 ton dengan nilai Rp. 6.005.358.812,- dibanding
tahun 1998 hanya 865 ton, berarti ada kenaikan sebanyakk 1604 ton.
Jumlah retribusi yang dipungut adalah sebesar Rp. 288.340.800,- menurut
perundang-undangan di bidang Perikanan tahun 1990 ada tujuh fungsi PPI
salah satu fungsinya adalah tempat pemasaran dan distribusi hasil
tangkapan. PPI Lappa pada kenyataannya merupakan tempat pendaratan
ikan oleh nelayan yang dijemput oleh ponggawa yang menawarkan dan
menjual ikan kepada pengecer, transaksi dan harga ditentukan oleh
ponggawa.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 249
Peranan aparat pelelangan adalah mencatat jumlah ikan yang
didaratkan yang nilai produksinya untuk perhitungan iuran daerah.
Sungguhpun demikian, ada keluhan yang diutarakan oleh para ponggawa
yaitu tingginya retribusi yang harus mereka tanggun untuk pendaratan ikan
di PPI, yaitu sebesar 10% dari hasil penjualan, yang terbagi atas 5% retribusi
dan 5% untuk pencatat. Dengan sistem retribusi demikian porsi yang
diberikan oleh punggawa kepada para Sawi semakin kecil.
Koperasi unit desa adalah lembaga ekonomi yang cukup berperan
dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari nelayan. Peranan yang lain dari
koperasi adalah sebagai penghimpun dan penyalur sarana produksi serta
diharapkan berperan aktif dalam kegiatan pemasaran hasil-hasil perikanan.
Berfungsinya koperasi dalam kegiatan pemasaran akan menciptakan
iklim yang lebih menguntungkan, sehingga pendapatan nelayan dapat
ditingkatkan menuju perbaikan hidup yang lebih baik. Namun demikian
kehadiran koperasi unit desa Mina Lappa belum sepenuhnya dapat dinikmati
oleh anggotanya. Hal ini disebabkan oleh usaha kegiatan KUD Mina Lappa,
hanya terbatas untuk melayani kebutuhan sehari-hari nelayan, baik berupa
kebutuhan konsumsi, maupun kebutuhan BBM. Usaha lain yang dilakukan
adalah usaha simpan pinjam dan warung telpon.
Dengan keterbatasan modal, usaha simpan pinjam hanya mampu
melayani pinjaman maksimum Rp 300.000,-. Tentunya jumlah ini sangat
kecil dibandingkan kebutuhan nelayan yang mencapai puluhan juta rupiah.
Penyebab lain yang menyebabkan KUD Mina Lappa sulit berkembang
adalah kurangnya keterampilan pengurus koperasi dalam mengelola
usahanya, apalagi dipinjam oleh sebagian nelayan, belum menyadari
sepenuhnya arti dan peranan koperasi dalam menunjang usaha mereka
sehingga tidak terdorong untuk memenuhi kewajibannya sebagai anggota.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 250
8.5.2.2. Pengamanan Perairan dan Penegakan Hukum
Aktivitas penangkapan yang meningkat terutama bagi komoditas
unggulan seperti teripang dan ikan-ikan karang didorong oleh tingginya
permintaan pasar (terutama pasar ekspor). Hal ini mendorong masyarakat
untuk menggunakan berbagai macam cara dalam upaya meningkatkan hasil
tangkapan . Penggunaan bom dan obat bius merupakan salah satu alternatif
yang digunakan oleh masyarakat untuk mendapatkan hasil yang lebih
banyak dan dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini menimbulkan implikasi
terhadap kelestarian lingkungan utamanya terumbu karang yang merupakan
tempat hidup ikan sekaligus mengancam kesinambungan usaha
penangkapan oleh masyarakat pulau itu sendiri, terutama masyarakat
nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap sederhana dan hanya
mampu menangkap di sekitar perairan Pulau-pulau Sembilan saja.
Kegiatan yang mengancam kelestarian akan terus terjadi apabila
tidak dilakukan tindakan pengamanan oleh pihak berwajib. Kegiatan
pengamanan akan berjalan efektif apabila disertai dengan tingkat kesadaran
lingkungan dari masyarakat terutama masyarakat nelayan. Salah satu
alasan dari masih adanya praktek penggunaan bom dan bius adalah
susahnya pemberantasan oleh pihak keamanan karena luasnya daerah
perairan dan kurang tegasnya aparat untuk menjatuhkan sanksi kepada
setiap pelanggar. Jadi untuk ke depan mungkin pengamanan perairan
terhadap praktek-praktek penangkapan yang merusak dapat dilakukan oleh
masyarakat sendiri. Untuk kawasan-kawasan pengamanan yang terbatas
pada daerah sekitar pulau saja sehingga akan berjalan lebih efektif.
8.5.3. Permasalahan struktural
Selain dari adanya berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi
aktivitas pemanfaatan sumberdaya oleh nelayan terdapat berbagai macam
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 251
permasalahan struktural yang terjadi dalam masyarakat nelayan Lappa.
Berbagai permasalah struktural itu diantaranya adalah :
• Adanya berbagai macam kepentingan dari berbagai stakeholder yang
berbenturan dengan kondisi dan realitas masyarakat seperti adanya
kegiatan pelestarian dengan kegiatan pemanfaatan yang merusak
seperti pengunaan bom dan obat bius. Keadaan yang kontradiktif ini
harus dicari solusi berupa penyadaran akan lingkungan alternatif
kegiatan penangkapan lain yang tidak merusak.
• Adanya berbagai program pemberdayaan masyarakat yang
berbenturan dengan rendahnya tingkat kemampuan masyarakat untuk
mengadopsi, yang disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah.
• Adanya perbedaan yang menyolok antara masyarakat yang mempunyai
kemampuan modal yang lebih besar karena bantuan modal yang
diperoleh dari ponggawa tidak merata.
• Adanya tingkat kesadaran dan pemahaman hukum yang berbeda-beda
sehingga menimbulkan perbedaan antara masyarakat yang menerapkan
praktek-praktek yang merusak lingkungan dan yang ramah terhadap
lingkungan.
• Adanya sebagian masyarakat yang menggunakan bom dan bius
sementara ada yang tidak menggunakan. Hal ini akan menyebabkan
hasil tangkapan yang diperoleh juga berbeda yang dapat menimbulkan
kecemburuan sosial dan membawa pada dampak adanya konflik internal
di antara masyarakat.
• Kesadaran akan kesehatan lingkungan bagi masyarakat Lappa masih
relatif rendah
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 252
8.6. Kesimpulan dan Rekomendasi dari Kelurahan Lappa 8.6.1. Kesimpulan
1. Masyarakat Lappa didominasi oleh nelayan dengan tingkat pendidikan
menengah.
2. Migrasi dan mobilitas penduduk cukup tinggi
3. Sistem kelembagaan formal maupun informal mulai baik.
4. Pengolahan yang dilakukan adalah pendinginan untuk produk ikan segar
dan pengeringan untuk bahan pakan ternak.
5. Harga produk ditentukan oleh ponggawa
8.6.2. Rekomendasi
1. Lembaga ekonomi yang sudah dibentuk perlu lebih diberdayakan lagi.
2. Pelelangan yang ada perlu lebih dioptimalkan fungsinya.
3. Dalam sistem Ponggawa – Sawi, sistem bagi hasilnya perlu diperbaiki.
4. Perlu sosialisasi tentang peraturan pemerintah dalam penggunaan alat
tangkap destruktif kepada masyarakat, sehingga aturan pemerintah yang
ada tidak terkesan lemah.
5. Perlu penyuluhan tentang prinsip konservasi terutama dalam kaitannya
dengan kelestarian sumberdaya di ekosistem terumbu karang.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 253
IX. PERSPEKTIF PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH KEPULAUAN SEMBILAN 9.1. Persepsi Masyarakat Tentang Sumberdaya Karang
Terumbu Karang adalah salah satu ekosistem yang sangat terancam
kelangsungannya saat ini. Tersebar diantara 28o Lintang Utara dan Lintang
Selatan di sepanjang garis equator, terumbu karang merupakan ekosistem
khas tropik yang memiliki nilai dan fungsi ekologis amat penting. Terumbu
karang memiliki keanekaragaman hayati yang setara dengan hutan tropis
dan menyimpan potensi pemanfaatan yang bernilai ekonomis tinggi. Meski
sangat bermanfaat untuk umat manusia, akan tetapi ancaman utama
terhadap kelangsungan terumbu karang justru berasal dari tekanan-tekanan
berbasis Anthropogenic, meliputi pencemaran di darat, ekploitasi berlebihan
hingga kepada metode penangkapan ikan yang destruktif. Salah satu hal
yang juga mengancam kelestarian terumbu karang adalah konflik
kepentingan atas potensi pemanfaatan sumberdaya ini.
Reformasi dan perubahan paradigma kekuasaan politik yang
berlangsung di Indonesia saat ini juga tidak urung membawa dampak
terhadap terumbu karang, lingkungan laut serta potensi pemanfaatannya.
Kebijakan otonomi daerah merupakan bentuk reformasi tata kepemerintahan
di Indonesia yang jelas membawa akibat terhadap pengelolaan lingkungan,
termasuk pengelolaan sumberdaya laut. Desentralisasi Pengelolaan Wilayah
Laut dalam bentuk kebijakan devolusi kewenangan Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah sesuai yang diamanatkan oleh Undang-Undang
No. 22 dan 25 tahun 1999, hingga kini memang masih senantiasa menjadi
bahan polemik dan dianggap sebagai pilihan yang dilematis.
Dalam hal pengelolaan sumberdaya laut, konflik antar nelayan
memperebutkan wilayah penangkapan ikan mulai muncul ke permukaan
sebagai salah satu bentuk ekses dari penerapan otonomi daerah yang
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 254
kurang matang. Meski dilain pihak juga disadari bahwa mempertahankan
pola sentralistik dalam mengelola wilayah laut adalah pola usang yang sudah
tidak dapat lagi menjawab tantangan perkembangan kebutuhan masyarakat
yang semakin kompleks dalam suatu tatanan yang demokratis. Justru
sebagai akibat dari pengelolaan laut secara sentralistik di masa lalu, kita kini
dihadapkan pada setidaknya dua fakta ironis, yakni: kemiskinan komunitas
pesisir di tengah kekayaan sumberdaya laut, dan kerusakan lingkungan yang
semakin berat di tengah masyarakat yang memiliki kearifan ekologis
tradisional.
Pada dasarnya, suatu komunitas dapat “mempertahankan”
kelangsungan hidup komunitasnya berdasarkan kemampuannya untuk
survive dan menjaga keserasian dengan lingkungannya. Demikian pula
halnya dengan masyarakat penghuni kawasan Kepulauan Sembilan dan
sekitarnya yang akrab dengan pola kehidupan berbasis pemanfaatan
sumberdaya dari laut. Meski telah banyak digerus oleh pengaruh
kebudayaan modern dan pola kehidupan urban, masyarakat di sekitar
kawasan Pulau Sembilan senantiasa berusaha menjaga sistem pengetahuan
tradisional dan kearifan ekologis yang diwariskan secara turun temurun sejak
dari leluhur mereka.
Struktur sistem pengetahuan tradisional dan kearifan ekologis yang
terekam dan melekat pada masyarakat Kepulauan Sembilan merupakan
kristalisasi pengalaman leluhur dalam berinteraksi dengan dinamika alam
melintasi waktu yang cukup panjang. Studi tentang hal ini, sebagaimana
dipaparkan hasilnya pada bab-bab terdahulu, menunjukkan bahwa pola
pemanfaatan terumbu karang oleh masyarakat ini sangat ditentukan oleh
tingkat pemahaman dan persepsi individu terhadap sistem pengetahuan
ekologis mereka. Dengan demikian, pemahaman yang baik tentang persepsi
masyarakat terhadap sumberdaya terumbu karang akan sangat bermanfaat
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 255
dalam menyusun program intervensi, mendisain proyek, dan pola kebijakan
yang efektif untuk mengelola terumbu karang. Dari hasil kajian di lapangan
dan analisis data yang diperoleh, ditemukan sejumlah aspek-aspek indikatif
yang dapat menggambarkan persepsi masyarakat penghuni kawasan
Kepulauan Sembilan terhadap kondisi sumberdaya terumbu karang di
wilayahnya. Struktur persepsi masyarakat tersebut, kurang lebih dapat
diterangkan sebagai berikut :
a. Kondisi terumbu karang semakin memprihatinkan. Masyarakat
umumnya memahami bahwa kondisi fisik terumbu karang di daerah
mereka bermukim atau yang sering mereka kunjungi telah rusak, dan
kerusakan tersebut dari hari ke hari semakin parah.
b. Ikan-ikan semakin berkurang. Akibatnya, kegiatan penangkapan ikan
membutuhkan alat yang semakin kompleks dan waktu penangkapan
semakin panjang. Masyarakat memahami bahwa sejumlah perubahan
lingkungan mengakibatkan hilangnya sejumlah ikan. Meski mereka
tidak dapat menerangkan dengan pasti penyebab tersebut, namun
masyarakat tahu bahwa perubahan kondisi lingkungan dan biologis
berdampak terhadap biaya penangkapan (higher cost for fishing).
c. Hasil penghidupan sebagai nelayan penangkap ikan kini tidak begitu
menjanjikan kesejahteraan. Secara intuitif, kaum nelayan merasakan
adanya perbedaan tingkat kesejahteraan yang ditandai dengan
semakin sulitnya mendapatkan biaya hidup sehari-hari.
d. Ancaman terhadap kelestarian lingkungan masa kini berbeda dengan
kondisi dulu. Kehidupan beberapa dekade sebelumnya lebih banyak
disandarkan pada kemurahan alam, dan bencana alam adalah faktor
utama yang merubah struktur penghidupan mereka. Kini, faktor alam
banyak diambil alih oleh berbagai faktor eksternal yang bersifat
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 256
anthropogenic, termasuk tindak pencemaran perairan atau pemboman
ikan.
e. Masyarakat kawasan Pulau-pulau Sembilan membutuhkan bantuan
dan kerjasama dengan pihak luar baik untuk menjaga kelestarian
sumberdaya hayati terumbu karang, maupun dalam usaha mereka
untuk meningkatkan kesejahteraan.
f. Pemerintah adalah stakeholder yang paling bertanggung jawab untuk
memperbaiki keadaan berikut : ancaman terhadap kelestarian
lingkungan dan terumbu karang, dan kondisi perekonomian nelayan
yang semakin sulit. Masyarakat mencontohkan bahwa salah satu
kunci untuk menuntaskan persoalan pemboman/pembiusan ikan
adalah dengan menegakkan hukum secara konsisten, namun intuisi
masyarakat kecil mengatakan bahwa pemerintah (dalam hal ini
sejumlah aparatnya) belum dapat melakukan hal tersebut karena
masih adanya pilih-kasih diantara pelanggar hukum dan
kecenderungan hukum masih dapat terbeli.
g. Masyarakat menyadari bahwa pengetahuan mereka perlu ditingkatkan
agar mampu mengelola lingkungan dan terumbu karang beserta
lingkungannya dengan baik dan menyejahterakan.
Hasil studi ini juga menunjukkan bahwa masyarakat penghuni
kawasan kepulauan Sembilan umumnya adalah nelayan pemanfaat
sumberdaya hayati laut yang menjadikan Lappa sebagai tujuan utama dalam
memasarkan hasil usahanya. Hal ini terutama disebabkan oleh kemudahan
mencapai dermaga Lappa yang merupakan Tempat Pendaratan Ikan
terbesar di pantai timur Sulawesi Selatan, yang juga telah dilengkapi dengan
sarana cold-storage dan pabrik es. Mobilitas tinggi dari nelayan Lappa dan
sekitarnya, menjadi indikator adanya kemungkinan bahwa memang
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 257
merekalah yang selama ini masuk ke Takabonerate melakukan aktifitas
penangkapan ikan. Atau setidaknya mereka ada diantara sekian jumlah
nelayan intruders (pendatang dari luar) ke Taka Bonerate. Sejalan dengan
lessons learned yang menyiratkan banyaknya nelayan intruders yang
beroperasi di Taman Laut Nasional Taka Bonerate, maka hasil studi ini
mengindikasikan perlunya dilakukan upaya untuk menelusuri lebih jauh lagi
kegiatan nelayan-nelayan tersebut agar penyusunan program intervensi
yang dimaksudkan dapat tersusun baik dan efektif.
9.2. Isu Pengelolaan dan Pendekatan Penyelesaian Masalah Wawancara di lapangan, survei deskriptif kondisi masyarakat, analisis
kritis beserta diskusi hasil yang berlangsung selama kajian sosio-ekonomi ini
diadakan, telah mengidentifikasi dan menginventarisir sejumlah masalah
dalam bidang kelautan yang muncul berkaitan dengan aktifitas masyarakat
dalam memanfaatkan dan/atau mengeksploitasi terumbu karang.
Implementasi program COREMAP fase II kelak di wilayah Kepulauan
Sembilan dapat menawarkan sejumlah dimensi baru dalam pengelolaan
wilayah laut daerah beserta sumberdaya yang dikandungnya. Namun
sebagaimana layaknya sebuah program intervensi, ia bagaikan pedang
bermata dua yang harus diaplikasikan secara berhati-hati dengan
perhitungan yang matang. Lebih buruk lagi, penerapan tanpa persiapan yang
baik bisa menjadi bagaikan membuka kotak pandora yang hanya akan
membawa kesulitan kelak dikemudian hari. Oleh karena itu, identifikasi
potensi permasalahan, peluang dan tantangan dari implementasi COREMAP
di daerah ini perlu dievaluasi dan dianalisis secara kritis. Adapun sejumlah
isu primer yang teridentifikasi dari assessment ini secara garis besar adalah:
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 258
1. Perusakan terumbu karang akibat metoda penangkapan ikan secara
destruktif masih terus berlangsung.
2. Sejumlah kawasan dan species tertentu dalam areal Kepulauan
Sembilan dan sekitarnya sudah mengalami overfishing. Beberapa
daerah penangkapan yang subur hingga beberapa tahun yang lalu
kini sudah tidak didatangi lagi oleh nelayan karena sudah sangat sulit
mendapatkan hasil tangkapan yang cukup untuk menutupi biaya
operasi penangkapan. Disamping itu sejumlah species yang dulunya
menjadi alasan sebagian penduduk menetap di wilayah Kepulauan
Sembilan kini sudah sulit untuk ditangkap pada skala yang
menguntungkan, misalnya Teripang di Pulau Kambuno.
3. Timbulnya persoalan sosial akibat dari metoda pemanfaatan
sumberdaya yang eksploitatif dan hanya memikirkan keuntungan
jangka pendek. Contoh tentang hal ini dapat terlihat jelas di Pulau
Kambuno dimana banyak penduduknya menjadi penyelam teripang.
Akibat rendahnya pengetahuan masyarakat tentang metoda
penyelaman yang benar (termasuk pemahaman tentang hyperbarik
dan penyakit penyelaman) ditambah dengan sikap masa bodoh
punggawa (pemilik modal) yang hanya ingin mengeruk keuntungan
dengan cara cepat, banyak penyelam teripang yang kemudian
mendapat cacat fisik (tuli, lumpuh, dan gangguan syaraf lainnya) dari
kegiatan penyelaman teripang tersebut. Implikasi sosial lebih lanjut
adalah sejumlah bagian masyarakat menjadi tidak produktif, bahkan di
salah satu lorong dalam komunitas Pulau Kambuno mendapat gelaran
yang cukup memiriskan hati, dikenal sebagai “lorong janda” karena
sebagian besar yang bermukim adalah janda yang ditinggal mati
suaminya, penyelam teripang yang mendapat cedera fatal dari
kegiatan penyelaman teripang tersebut.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 259
4. Lemahnya pemahaman sebagian masyarakat tentang fungsi-fungsi
ekologis terumbu karang yang berakibat pada rendahnya kesadaran
masyarakat untuk mempertahankan kelestarian dan mencegah
kerusakannya. Pemahaman dan kesadaran tentang potensi ancaman
dari hancurnya terumbu karang, akan dapat meningkatkan partsipasi
aktif masyarakat menjaga lingkungannya dan mencegah kegiatan-
kegiatan yang berakibat buruk pada terumbu karang.
5. Tingginya permintaan pasar internasional terhadap ikan-ikan karang,
sehingga minat untuk berburu ikan karang tetap tinggi meski dengan
ancaman hukuman sekalipun. Persoalannya disini adalah Risk Ratio
antara ancaman hukuman yang seringkali mudah dihindari/berkelit
versus tawaran harga yang menggiurkan dan kesempatan yang besar
untuk melakukan hal tersebut.
6. Pada dasarnya, kerusakan terumbu karang berkaitan erat dengan
kondisi kemiskinan masyarakat pantai, utamanya nelayan yang
berstatus sawi, dan kurangnya penghidupan alternatif selain
mengekploitasi sumberdaya di sekitar terumbu karang. Perlu
dilakukan upaya-upaya terobosan untuk menghasilkan sejumlah
aktiftas yang dapat diharapkan menjadi Mata Pencaharian Alternatif.
7. Peran punggawa sebagai penguasa modal masih sangat dominan,
sehingga melemahkan posisi tawar nelayan. Model-model
pengelolaan modal ini berakibat langsung terhadap intensitas
eksploitasi sumberdaya, akses nelayan kepada pasar, dan
kemampuan nelayan melakukan mobilitas sosial.
8. Tidak adanya koordinasi dan pola komunikasi yang baik antar
stakeholders. Kondisi ini sangat rentan bagi timbulnya konflik
kepentingan menyangkut pemanfaatan sumberdaya yang akhirnya
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 260
dapat berakibat seperti yang digambarkan oleh Garret Hardin sebagai
“Tragedy of the Commons”.
9. Lemahnya penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang merusak
terumbu karang dan inkonsistensi pada pihak pemerintah dalam
upaya menegakkan hukum ini. Meskipun tidak dapat berbuat apa-apa
untuk mengatasi hal tersebut, namun masyarakat kemudian menjadi
apatis dan selanjutnya cenderung melampiaskan kekecewaan mereka
dalam bentuk ikut memperparah kerusakan lingkungan.
10. Lemahnya kapasitas kelembagaan lokal yang ada untuk menangani
pelanggaran dan menerapkan usaha-usaha konservasi. Untuk itu
dibutuhkan upaya untuk penguatan institusi dan pengembangan
kapasitas kelembagaan pada tingkat lokal.
Pengelolaan sumberdaya laut adalah sebuah konsep baru yang
mengalami perkembangan pesat dalam dekade terakhir. Hal ini berkembang
sejalan dengan meluasnya pemahaman bahwa sesungguhnya sumberdaya
yang ada di laut sekalipun bukanlah sejenis kekayaan alam yang tidak
terbatas. Implikasi sosial dan ekonomi (social and economic costs) yang
dapat timbul karena kesalahan dalam pemanfaatan sumberdaya menjadi
alasan dominan mengapa sumberdaya kelautan harus dikelola dengan baik.
Untuk menangani hal tersebut, perlu diupayakan pendekatan secara
komprehensif dengan melibatkan segenap stakeholders. Pendekatan ini
meliputi aspek politik, ekonomi dan sosial budaya.
Dari aspek politik, diperlukan upaya untuk menghasilkan kebijakan-
kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat kecil di
lingkungan pesisir. Pemerintah Nasional perlu menunjukkan political-will
yang jelas untuk kelanjutan upaya pengentasan kemiskinan dan
pemberdayaan masyarakat. Pihak Pemerintah Daerah selanjutnya perlu
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 261
memperjelas komitmennya dalam membela posisi masyarakat kecil
beserta kelestarian lingkungannya, ketimbang larut dalam debat
desentralisasi yang hanya mengutamakan pola pembagian kekuasaan.
Pendekatan ekonomi dibutuhkan untuk meningkatkan akses masyarakat
luas terhadap aset produksi dan pasar. Pemerintah daerah perlu
memfasilitasi kebutuhan modal skala mikro yang menjadi tuntutan
kebutuhan nelayan kecil dan masyarakat penghuni kawasan kepulauan.
Dalam hal sosial budaya, dibutuhkan reinterpretasi dan revitalisasi
budaya bahari sebagai ciri dasar masyarakat maritim dengan kearifan
lokal yang mendukung. Perguruan tinggi dan LSM hendaknya mengawal
proses ini sehingga bisa diwujudkan suatu ruang gerak sosial dengan
dinamika budaya lokal yang menunjang ekspresi kearifan ekologis dan
sistem kebijaksanaan tradisional.
Implementasi pendekatan komprehensif seperti yang diterangkan
diatas membutuhkan pendekatan interdisipliner dalam menjalankan program
peletakan dasar pengelolaan sumberdaya terumbu karang secara
berkelanjutan. Dalam kancah internasional, pendekatan seperti ini
menemukan polanya seperti yang dirumuskan dalam teori-teori
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development, lihat antara lain
Our Common Future oleh WCED). Khusus untuk pembangunan wilayah
pesisir dan kepulauan, Bab 17 Agenda 21 Global secara eksplisit
menyatakan bahwa pembangunan wilayah pesisir dan kepulauan
membutuhkan pendekatan terpadu dan interdisipliner, antara lain
direalisasikan dalam bentuk Integrated Coastal Zone Management (ICZM)
atau di Indonesia kini dikenal dengan Perencanaan Wilayah Pesisir secara
Terpadu (PWPT).
Paradigma yang dikemukakan diatas merupakan metoda pendekatan
yang diajukan untuk digunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 262
sebagaimana teridentifikasi pada daftar isu pengelolaan yang ditampilkan
sebelumnya. Implementasi ICZM atau PWPT di banyak negara memang
menunjukkan banyak hal positif dan telah sering direkomendasikan untuk
menjadi rujukan pengelolaan sumberdaya yang demokratis dan
berkelanjutan. Meski demikian ICZM bukanlah panacea yang dapat
menyelesaikan segala permasalahan. Studi sosio-ekonomi ini juga
berkecenderungan mengusulkan pola pendekatan ICZM sebagai tema
primer dari pola pengelolaan terumbu karang di Kepulauan Sembilan.
Derivasi selanjutnya dari implementasi ICZM adalah penyusunan program-
program berikut yang akan menjadi komponen utama dari perencanaan
pelaksanaan COREMAP fase II di Kepulauan Sembilan kelak. Lima
komponen pendekatan penyelesaian masalah yang dimaksud adalah:
Penyadaran Masyarakat (Public Awareness)
Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat
Peningkatan Kapasitas dan Penguatan Kelembagaan
Penegakan Hukum yang Konsisten
Aplikasi Manajemen Adaptif untuk Pengelolaan Sumberdaya
9.3. Rencana Implementasi Coremap Fase II Di Kepulauan Sembilan Pengelolaan sumberdaya pesisir dan kepulauan secara terpadu
memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang terkait pada sektor kelautan dan perikanan dilakukan
melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assessment), terutama
dalam formulasi tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta
mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai
pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan
pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 263
mempertimbangkan aspek-aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi
masyarakat pengguna sumberdaya serta potensi konflik kepentingan dan
pemanfaatan yang mungkin ada.
Merujuk pada FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries,
implementasi pendekatan integratif/terpadu dalam kerangka Pembangunan
Sumberdaya Kelautan secara Berkelanjutan adalah perpindahan paradigma
pembangunan dari yang tadinya menggunakan pendekatan sektoral,
partisipasi masyarakat rendah, kurang mempertimbangkan dinamika
ekosistem dan cenderung hanya bersifat reaktif, menuju kepada suatu
paradigma baru pembangunan wilayah pesisir yang berfokus pada perbaikan
lingkungan, semangat kesejahteraan yang adil, dan mengutamakan
partisipasi masyarakat luas.
Dengan merujuk pada tujuan awal pelaksanaan studi baseline sosial-
ekonomi terumbu karang di Kepulauan Sembilan ini yang intinya adalah
sebagai bahan dasar untuk mempersiapkan disain program intervensi untuk
COREMAP fase II di lokasi tersebut, maka Laporan ini berusaha untuk
merumuskan sejumlah usulan konkrit berdasarkan pada analisis terhadap
hasil wawancara dan survei selama di lokasi. Sebagaimana yang telah
dipaparkan secara terinci di masing-masing bab tentang kondisi di lima
lokasi survei, secara umum dapat ditarik suatu trend yang menggambarkan
tentang pola pemanfaatan terumbu karang di kawasan Kepulauan Sembilan
dan langkah-langakh yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pola
pengelolaan tersebut.
Pertama, strategi pengelolaan sumberdaya laut sebagai bagian dari
upaya penyelamatan terumbu karang di wilayah Kepulauan Sembilan dan
sekitarnya hendaknya bertumpu pada dua komponen utama, yakni :
Penyadaran Masyarakat, dan
Pengelolaan Sumberdaya berbasis Masyarakat
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 264
Kedua, menyusun program intervensi dengan mengetengahkan
ketujuh komponen berikut:
1. Membangun Pola Pengelolaan Sumberdaya Laut yang berbasis
Masyarakat
2. Implementasi ICZM (Pengelolaan Wilayah Pesisir secara
Terpadu)
3. Mengatur kegiatan perikanan di wilayah terumbu karang, mis:
moratorium, penentuan zona, pembatasan kuota dan alat, dan
seterusnya.
4. Mengembangkan Pariwisata Alam (ecotourism)
5. Mengembangkan Mata Pencaharian Alternatif
6. Membangun Marine Protected Area (Kawasan Konservasi Laut)
7. Restorasi Terumbu Karang
9.4. Rekomendasi Tim Peneliti Rekomendasi ini disusun dalam konteks untuk memberi masukan dan
saran bagi proses penyusunan dan desain proyek COREMAP Fase II.
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, kajian deskriptif tentang kondisi
masyarakat, analisis kritis beserta diskusi hasil yang berlangsung selama
survei sosio-ekonomi ini diadakan, maka tim peneliti merekomendasikan hal
berikut:
Fase II COREMAP disarankan agar mempertimbangkan dengan seksama Kawasan Kepulauan Sembilan di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan sebagai salah satu lokasi implementasi program intervensi pengelolaan terumbu karang.
Program-program intervensi dalam konteks COREMAP kelak diharapkan
dapat berperan secara signifikan untuk menyelamatkan terumbu karang di
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 265
kawasan kepulauan Sembilan, menekan perusakan dan mempercepat
proses pemulihan terumbu karang yang sudah terlanjur rusak di lokasi
tersebut. Disamping itu, program intervensi diharapkan akan dapat memberi
penyadaran kepada nelayan setempat agar tidak merusak terumbu karang di
tempat lain, di luar wilayahnya sendiri sekalipun.
Untuk mencapai hasil yang diharapkan tersebut dibutuhkan metoda
dan pendekatan yang efektif untuk menjangkau audience dan efisien dalam
pelaksanaannya. Tim Peneliti percaya bahwa pendekatan Penyadaran
Masyarakat (public awareness) yang selama ini sudah banyak dilaksanakan
selama COREMAP fase I telah memberikan hasil yang bermanfaat, antara
lain dengan semakin dikenalnya nilai dan fungsi ekologis terumbu karang
oleh masyarakat luas. Pendekatan Pengelolaan Sumberdaya Berbasis
Masyarakat, sebagaimana yang telah ditunjukkan diberbagai negara,
dipercaya sebagai metode pendekatan yang efisien dan efektif untuk
menumbuhkan rasa tanggung-jawab dan meningkatkan peran masyarakat
dalam menyelenggarakan program-program konservasi sumberdaya. Oleh
karena itu perlu juga diperhatikan upaya serius untuk menggali kembali
pengetahuan lokal tradisional dan mengembangkan hak-hak adat/ulayat
yang relevan dan bermakna strategis.
Akhirnya, Tim Peneliti menghimbau bahwasanya upaya penyelamatan
terumbu karang secara khusus, dan konservasi lingkungan secra umum,
hendaknya menjadi komponen yang tidak terpisahkan dari upaya reformasi
total tata-pemerintahan (governance reform) untuk menciptakan tata
pemerintahan yang bersih (clean governance) dalam rangka mewujudkan
masyarakat madani yang adil dan sejahtera.
Apa yang dihasilkan dari asessment ini seharusnyalah tidak berdiri
sendiri, akan tetapi merupakan salah satu mata rantai dari untaian upaya-
upaya untuk membangun potensi alam dan masyarakat Indonesia dalam
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 266
mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu dibutuhkan
langkah-langkah lanjutan untuk mewujudkan harapan-harapan tersebut.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 267
DAFTAR PUSTAKA
Irawan, A. 1997. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. Penerbit PT. Aneka Solo.
Anonym, 1994. Participatory Rural Appraisal, Berbuat Bersama Berperan
Setara. Studio Driya Media untuk Konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara. *
---------------. 2001. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Sinjai.
Retribusi Izin Usaha Kelautan dan Perikanan. Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan.
Bernard, R. H., 1994. Research Methods in Anthropology : Qualitative
and Quantitave Aprroach. Sage Publications Inc. United State of America. Part 4 – 17 (p.71-393). *
Caminade, J.R., J.F. Gonsalves., G.C. Ira and G.F. Newkirk. 1998.
Participatory Methods in Community – Based Coastal Resource Management. Vol 1, 2 , 3. Published by The International Institute of Rural Reconstruction (IIRR), Philippines.
Cesar, H.S.J. 2000. Collected Essays on the Economics of Coral Reefs. Published by CORDIO, Departement for Biology and Environmental Sciences, Kalmar University. Sweden. 244p.
Goodstein, E.S. 1999. Economics and The Environment. Prentice-Hall, New Jersey.
Gregory, P.R. and R.C. Stuart. 1995. Comparative Economic Systems. Fifth Edition. Hougthon Mifflin Company, Boston Toronto. 490p.
Kay, R. and J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management. Published
by E & FN Spon. London. 375p. Koentjaraningrat, 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. PT.
Gramedia. Jakarta. * Kotler, P. 1993. Manajemen Pemasaran. Penerbit Erlangga. Surabaya. Mikkelsen, B., 1999. Metode Penelitian Partisipatori dan Upaya-upaya
Pemberdayaan (Terjemahan oleh Matheos Nalle). Sebuah Buku
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 268
Pegangan bagi Para Praktisi Lapangan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. *
Pollnac, R., 1998. Indicators for Assessing Human Factors. In: Rapid
Assessment of Management Parameters for Coral Reefs. Coastal Resources Center. USA. University of Rodhe Island.
Hannesson, R. 1988. Ekonomi Perikanan. Penerbit Universitas Indonesia
Press, Jakarta. Spradley, J. P., 1980. Participant Observation. Holt, Rinehart and Winston,
New York. 195 pp. Suparmoko, M. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Penerbit Erlangga, Surabaya. Suwedo, H. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Penerbit
Liberty, Jogyakarta. Tietenberg, T. 1994. Environment Economic and Policy. Harper Collins
College Publisher. New York. Yakin. A. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan
Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan. Penerbit Erlangga, Surabaya.
Sosial Ekonomi Kawasan Kepulauan Sembilan
Pokja COREMAP Sulawesi Selatan hal - 270
PELAKSANA KEGIATAN
Penanggung jawab : Ir. Baharuddin Nur, Dipl.Env. Nara Sumber : Prof. Dr. Ir. H.M. Natsir Nessa, MS. Dr. Akbar Tahir, M.Sc. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc. Dr. Ir. M. Iqbal Djawad, M.Sc. Ir. Dewi Yanuarita Badawing Ketua Pelaksana : Ir. Muh. Rijal Idrus, M.Sc. Peneliti Utama : - Profil Lokasi : Ir. Andi Assir Marimba, M.Sc. - Kesejahteraan Masyarakat : Dr. Ir. Andi Niartiningsih, M.S.
- Pemanfaatan Sumberdaya Terumbu Karang : Ir. Syafiuddin, M.Si. - Pengolahan Pasca Panen dan Pemasaran Hasil : Ir. Abd. Rasyid J., M.Si. - Faktor Eksternal : Ir. Muhammad Yunus, M.Si. - Pengolahan Data : Ir. Zainuddin, M.Si.
Peneliti Pendamping : - Profil Lokasi : Ibnu Hajar, S.Pi., M.Si. Syahruni, S.Pi. - Kesejahteraan Masyarakat : Ratnawati Hasan. S.Kel. Qadriyanti Ishak, S.Pi.
- Pemanfaatan Sumberdaya Terumbu Karang : Ir. Chasyim Hasani Subhan, S.Kel. - Pengolahan Pasca Panen dan Pemasaran Hasil : Ibrahim, S.Kel. Abd. Malik, S.Kel. - Faktor Eksternal : Ir. Djumran Jusuf Ir. Hamzah
Tim peneliti Studi Sosial Ekonomi dan Base Line Data Assesment untuk wilayah Kepulauan Sembilan Kabupaten Sinjai.
Sebagian anggota tim peneliti saat akan melakukan survei dan wawancara di Pulau Kambuno.
Untuk menjaga reliabilitas data yang dikumpulkan, tim peneliti melakukan editing dan validasi data langsung di lapangan segera setelah berlangsungnya wawancara, dan mendiskusikan hasil survei mereka seharian di lapangan.
Perjalanan tim menuju ke lokasi pengambilan data dengan menggunakan sarana transportasi laut yang diistilahkan sebagai pete-pete oleh masyarakat setempat.
Kapal penangkap ikan sementara beristirahat di dermaga Pulau Kanalo.
Setelah wawancara, responden diberi kalender 2002 sebagai ucapan terima kasih. Kalender tersebut berisi pesan-pesan konservasi terumbu karang dalam dua bahasa (Indonesia dan lokal) dan sekaligus berfungsi sebagai sosialisasi program COREMAP pada masyarakat kawasan Kepulauan Sembilan.
Sebagian aktifitas wawancara dengan responden oleh anggota tim survei di Pulau Burung Loe.
Sebagian aktifitas wawancara dengan responden oleh anggota tim survei di Pulau Kambuno.
Aktifitas diskusi anggota tim survei dengan tokoh masyarakat di Pulau Kanalo.
Pengolahan teripang di Pulau Kambuno.
Kegiatan para ibu rumah tangga di Pulau Kambuno dalam pengolahan hasil panen berupa ikan-ikan pelagis kecil yang dikeringkan.
Salah satu bentuk metode pembudidayaan ikan-ikan demersal dengan menggunakan karamba jaring apung di Pulau Kambuno.
Pemandangan Pulau Kambuno menjelang perahu tim peneliti merapat.
Perkampungan nelayan di Pulau Batang Lampe.
Suasana pemukiman penduduk nelayan (perkampungan nelayan) di pesisir pantai Pulau Burung Loe.
Tabel 1. Identitas Responden Pulau Kambuno No. Nama Umur Suku Jenis Kelamin Status Pendidikan
1 Hamka 50 Bugis Laki-laki Kawin SD 2 Muh. Ilyas 41 Bugis Laki-laki Kawin SD 3 Muh. Ali Amar 71 Bugis Laki-laki Kawin SMA 4 ABD.Kadir 40 Bugis Laki-laki Kawin Tdk Sekolah 5 Sarpidah 25 Bugis Perempuan Kawin SD 6 A.Syafyuddin 38 Bugis Laki-laki Kawin SMA 7 Hamnam 45 Bugis Laki-laki Kawin SD 8 Syarif 20 Bugis Laki-laki B. Kawin SD 9 Nurliah 35 Bugis Laki-laki Kawin SD
10 Abu syam 45 Bugis Laki-laki Kawin SD 11 Muh.Ramli 24 Bugis Laki-laki B. Kawin SD 12 M.Nur 46 Bugis Perempuan Kawin SMA 13 M.Tahir 45 Bugis Laki-laki Kawin SMP 14 Hasan Basri 50 Bugis Laki-laki Kawin SD 15 Hamsah 25 Bugis Laki-laki B. Kawin SD 16 Yusuf 54 Bugis Laki-laki Kawin SD 17 Amir 32 Bugis Laki-laki Kawin SD 18 M.Tamar 40 Bugis Laki-laki Kawin SMP 19 Gazali 37 Bugis Laki-laki Kawin SMA 20 Rasyid 41 Bugis Laki-laki Kawin SMP 21 Amir 30 Bugis Laki-laki Kawin SD 22 Narsum 23 Bugis Laki-laki B. Kawin SMA 23 David 19 Bugis Laki-laki B. Kawin SD 24 Abd Azis 35 Bugis Laki-laki Kawin SD 25 Zainuddin 30 Bugis Laki-laki Kawin SD 26 Abd. Hamid 30 Bugis Laki-laki Kawin SD 27 Kingsang M. 50 Bugis Laki-laki Kawin SD 28 Abd. Rahman 40 Bugis Laki-laki Kawin SMA 29 Sukri 35 Bugis Laki-laki Kawin SMA 30 Drs. Suryamin 38 Bugis Laki-laki Kawin Sarjana 31 Ambo 30 Bugis Laki-laki Kawin SD 32 Anton 29 Jawa Laki-laki Duda SMP 33 Masriadi 30 Bugis Laki-laki B. Kawin STM 34 Mansyur 41 Makassar Laki-laki Kawin SD 35 Syarifuddin 22 Bugis Laki-laki B. Kawin SMA 36 Jawariah 30 Bugis Laki-laki Kawin SD 37 Ahmad 30 Bugis Laki-laki Kawin SD 38 Ilyas 20 Bugis Laki-laki Kawin SD 39 Baufit Ahmad 52 Bugis Laki-laki Duda SMA 40 Syamsidar 39 Bugis Laki-laki Kawin SMEA 41 Bahrun 35 Bugis Laki-laki Kawin SD
42 Anton 29 Jawa Laki-laki Kawin SMP 43 Muh.Nur Miatu 40 Bugis Laki-laki Kawin SD 44 M. Nur 40 Bugis Laki-laki Kawin SD 45 Ahmad 28 Bugis Laki-laki Kawin SD 46 Zakarin 45 Bugis Laki-laki Kawin SD 47 Juki 48 Bugis Laki-laki Kawin SD 48 Haeruddin 20 Bugis Laki-laki Kawin SD 49 Med.Malik 50 Bugis Laki-laki Kawin SD 50 Muh.Amir 56 Bugis Laki-laki Kawin Tdk Sekolah 51 Firdaus 40 Bugis Laki-laki Kawin SD 52 Abu Raera 35 Bugis Laki-laki Kawin SD 53 Abd.Razak 47 Bugis Laki-laki Kawin SD 54 Ermiati 29 Bugis Perempuan B. Kawin SD 55 Syamsul Bahri 39 Bugis Laki-laki B. Kawin SMP 56 Abdul Azis 50 Bugis Laki-laki Kawin SD 57 Haeruddin 20 Bugis Laki-laki Kawin SD 58 Kasman 38 Bugis Laki-laki Kawin SD
Tabel 2. Identitas Responden Pulau Burungloe No. Nama Umur Suku Jenis Kelamin Status Pendidikan
1 Juhaerah 35 Bugis Perempuan Janda SD 2 Tajuddin 40 Bugis Laki-laki Kawin SD 3 Hasmi 26 Bugis Perempuan Kawin SD 4 Hasrati 25 Bugis Perempuan Kawin SD 5 H. Mattemmu 52 Bugis Laki-laki Duda Tdk.sekolah 6 Ambo 19 Bugis Laki-laki B. Kawin SD 7 Muhlis 45 Bugis Laki-laki Kawin SD 8 Jamil 35 Bugis Laki-laki Kawin SD 9 Tajuddin 43 Bugis Laki-laki Kawin SD
10 Halija 28 Bugis Perempuan Kawin D2 bidan 11 Riskal 39 Bugis Laki-laki B. Kawin SMA 12 Alifuddin 37 Bugis Laki-laki Kawin SMP 13 Abbas Dg. P 35 Bugis Laki-laki Kawin SD 14 Napizah 46 Bugis Perempuan Kawin SD 15 Umar 36 Bugis Laki-laki Kawin SD 16 H. Uddin 60 Bugis Laki-laki Kawin SD 17 Abd. Hafid 56 Bugis Laki-laki Kawin Sarjana 18 Katuo 55 Bugis Laki-laki Kawin SD 19 Basri 57 Bugis Laki-laki Kawin SD 20 Amiruddin 60 Bugis Laki-laki Kawin Tdk.sekolah 21 Dg. Malewa 45 Bugis Laki-laki Kawin SD 22 Herman 18 Bugis Laki-laki B. Kawin SD
23 Jumanir 22 Bugis Laki-laki Kawin SD 24 Hendrik 33 Bugis Laki-laki Kawin SMP 25 Dg. Magangka 35 Bugis Laki-laki Kawin Tdk.sekolah 26 H. Basri 40 Bugis Laki-laki Kawin SD 27 Nase 30 Bugis Laki-laki Kawin SD 28 Bandu 30 Bugis Laki-laki Kawin SD 29 Farida 30 Bugis Perempuan Kawin SD 30 Amran 31 Bugis Laki-laki Kawin SD 31 Nur Aedah 45 Bugis Perempuan Janda SD 32 Beddu Rumbia 60 Bugis Laki-laki Kawin SD 33 H. Dahma 62 Bugis Laki-laki Kawin SD 34 H. Azis 40 Bugis Laki-laki Kawin SD 35 Mappiasse 45 Bugis Laki-laki Kawin SD
Tabel 3. Identitas Responden Pulau Batanglampe No. Nama Umur Suku Jenis Kelamin Status Pendidikan
1 Ruskimin 45 Bugis Laki-laki Kawin SD 2 Muh. Nur.AB 86 Bugis Laki-laki Kawin SD 3 A.Danial Nur 40 Bugis Laki-laki Kawin D-1 4 Rufli 32 Bugis Laki-Laki Kawin SD(kls 4) 5 Ambo Rappe 28 Bugis Laki-laki Kawin SD 6 Dg.Matareng 50 Bugis Laki-Laki Kawin Tdk Sekolah 7 Baso 52 Bugis Laki-Laki Kawin Tdk Sekolah 8 Nirma 20 Bugis Perempuan Kawin SD 9 Ahmad Bassis 39 Bugis Laki-Laki Kawin SMA
10 Dg.Pasau 28 Bugis Laki-Laki Kawin Tdk Sekolah 11 Ansar 35 Bugis Laki-Laki Kawin SD 12 Fajar 22 Bugis Laki-Laki Kawin SMP 13 Rudiansyah 22 Bugis Laki-Laki Kawin SD 14 Masedi 30 Bugis Laki-Laki Kawin SD 15 Nurdi Rauf 60 Bugis Laki-Laki Kawin SMP 16 Ambo Helmiah 40 Bugis Laki-Laki Kawin SD 17 Abd. Rasyid 60 Bugis Laki-Laki Kawin SD 18 Miftahu 25 Bugis Laki-Laki Kawin SD
Tabel 4. Identitas Responden Pulau Kanalo No. Nama Umur Suku Jenis Kelamin Status Pendidikan
1 M.Yusran 34 Bugis Laki-laki Kawin SD 2 H.Yusran 58 Bugis Laki-laki Kawin Tdk Sekolah 3 Mujni 51 Bugis Laki-laki Kawin SD
4 Jakkari 35 Bugis Laki-laki Kawin SD 5 P.Rammang 50 Bugis Laki-laki Kawin Tdk Sekolah 6 Pardi 19 Bugis Laki-laki Kawin SD 7 Rasyid 33 Bugis Laki-laki Kawin SMP 8 Sunti 45 Bugis Laki-laki Kawin Tdk Sekolah 9 Rappe 36 Bugis Laki-laki Kawin SD
10 Sakka 25 Bugis Laki-laki Duda SD 11 Andi Darwis 28 Bugis Laki-laki Kawin SMA 12 Ali 23 Bugis Laki-laki Kawin SD 13 Sammeng 50 Bugis Laki-laki Kawin SMA 14 Arifuddin 35 Bugis Laki-laki Kawin SMA 15 M.Yusuf 27 Bugis Laki-laki Kawin SD 16 Muh.Nur 30 Bugis Laki-laki Kawin SD 17 Muh.Ali 35 Bugis Laki-laki Kawin SD 18 Mamma 30 Bugis Laki-laki Kawin SD 19 Ambo Rappe 25 Bugis Laki-laki Kawin SD 20 Ambo 50 Bugis Laki-laki Kawin SD 21 Muh. Sahu 35 Bugis Laki-laki Kawin SD 22 Muh. Ali 38 Bugis Laki-laki Kawin SD 23 Sarifuddin 25 Bugis Laki-laki Kawin SD 24 Junu 30 Bugis Laki-laki Kawin SD 25 Iskandar 68 Bugis Laki-laki Kawin SD 26 Beddullahi 48 Bugis Laki-laki Kawin SD 27 Mahamuddin 30 Bugis Laki-laki Kawin SD 28 Gassing 30 Bugis Laki-laki Kawin Tdk Sekolah 29 H.A.Abd.Latif 65 Bugis Laki-laki Kawin Sarjana muda 30 Saharuddin 32 Bugis Laki-laki Kawin SD 31 Juma 45 Bugis Laki-laki Kawin SD 32 Jamaluddin 32 Bugis Laki-laki Kawin SD 33 Fanny 21 Ambon Perempuan Kawin SD 34 Syamsuddin 29 Bugis Laki-laki Kawin D2 35 Madjid 45 Bugis Laki-laki Kawin SD 36 H. Ridwan 45 Bugis Laki-laki Kawin SD 37 Tahang 30 Bugis Laki-laki Kawin SD 38 Midu 45 Bugis Laki-laki Kawin SD
Tabel 5. Identitas Responden Kelurahan Lappa No. Nama Umur Suku Jenis kelamin Status Pendidikan
1 Rahman 38 Bugis Laki-laki Kawin SMA 2 Nurlia 30 Bugis Perempuan Kawin SMP 3 Rosmini 27 Bugis Perempuan Kawin STM 4 Ridwan 35 Bugis Laki-laki Kawin SMA
5 Sappe 30 Bugis Laki-laki Kawin STM 6 Rida 23 Bugis Perempuan Kawin SD 7 Usman 40 Bugis Laki-laki Kawin SD 8 Juleha 40 Bugis Perempuan Janda Tdk. Sekolah 9 Milawati 23 Bugis Perempuan Kawin SMP
10 Marwah 21 Bugis Perempuan Kawin SMA 11 H. Ros 30 Bugis Perempuan Kawin SD 12 Abidin 30 Bugis Laki-laki Kawin SD 13 Alimuddin 52 Bugis Laki-laki Kawin SD 14 M. Syahrir 36 Bugis Laki-laki Kawin SMP 15 H. Hasyim 40 Bugis Laki-laki Kawin SD 16 Idrus 35 Bugis Laki-laki Kawin SMP 17 Hasan 40 Bugis Laki-laki Kawin SD 18 Iwan 25 Bugis Laki-laki Kawin SMA 19 Emmang 39 Bugis Laki-laki Kawin SD 20 Agus Suwarno 42 Jawa Laki-laki Kawin Sarjana 21 H. Sudirman 30 Bugis Laki-laki Kawin Sarjana 22 H. Mulli 48 Bugis Laki-laki Kawin Tdk. Sekolah 23 Taming 38 Bugis Laki-laki Kawin SD 24 Akki 35 Bugis Laki-laki Kawin SMP 25 Darwis Akhil 37 Bugis Laki-laki Kawin SMA 26 Anang 35 Bugis Laki-laki Kawin SD 27 Anci Nasir 43 Bugis Laki-laki Kawin PGA 28 Sommeng 65 Bugis Laki-laki Kawin SD 29 H. Mamma 50 Bugis Laki-laki Kawin SD 30 H. Ato 40 Bugis Laki-laki Kawin SD 31 Attase 47 Bugis Laki-laki Kawin SD 32 Aminuddin.S 33 Bugis Laki-laki Kawin SMA 33 Pambo 55 Bugis Laki-laki Kawin SD 34 Iwan 25 Bugis Laki-laki Kawin SD 35 Safaruddin 30 Bugis Laki-laki Kawin SD 36 Faidah 23 Bugis Perempuan Kawin SD 37 Nuraidah 22 Bugis Perempuan B. Kawin SD 38 Sainal 30 Bugis Laki-laki Kawin SD 39 Jumardi 30 Bugis Laki-laki Kawin SD 40 Abd. Madjid 32 Bugis Laki-laki Kawin SMP 41 H.Jufri 56 Bugis Laki-laki Kawin SD 42 Mustafa 42 Bugis Laki-laki Kawin SD 43 Sammeng 60 Bugis Laki-laki Kawin SD 44 H.Andi Baso Amir 53 Bugis Laki-laki Kawin SMA 45 Sukartina 32 Bugis Perempuan Kawin SPG 46 Lukman 29 Bugis Laki-laki Kawin SD 47 Yusuf 30 Bugis Laki-laki Kawin SMA 48 Herlina 22 Bugis Perempuan B. Kawin SMA
49 A. Alimuddin 43 Bugis Laki-Laki Kawin SMA 50 Nuraeni 28 Bugis Perempuan Kawin SMP 51 Ardi 20 Bugis Laki-Laki B. Kawin SD 52 Abd. Kadir 76 Bugis Laki-Laki Kawin SD 53 Baharuddin 20 Bugis Lakilaki B. kawin SD 54 Kasrina 35 Bugis Laki-laki Kawin SD 55 Sultan 32 Bugis Lakilaki Kawin SMP 56 Ammarung 52 Bugis Lakilaki Kawin SD 57 Naimang 50 Bugis Perempuan Janda SD 58 Syahruny 47 Bugis Laki-laki Kawin SMEA 59 Mudda 25 Bugis Laki-laki Kawin SD 60 Kasrina 35 Bugis Perempuan Kawin SMP 61 H. Sompe 60 Bugis Laki-laki Kawin SD
Tabel 6. Jumlah Responden berdasarkan tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan No. lokasi T. tamat SD SD SMP SMA Sarjana
1 P. Kambuno 2 38 6 11 1 2 P.Burungloe 3 26 2 2 2 3 P. Kanalo 1 dan2 4 28 1 3 2 4 P. Batanglampe 3 11 2 1 1 5 Kel. Lappa 4 31 9 15 2
Tabel 7. Jumlah Responden yang mengikuti pelatihan
No. Lokasi Pelatihan Terumbu Karang
Pelatihan Non Terumbu Karang Tidak Pelatihan
1 P. Kambuno 2 4 52 2 P.Burungloe 1 2 32 3 P. Kanalo 1 dan2 2 4 32 4 P. Batanglampe - 2 16 5 Kel. Lappa - 6 55
Tabel 8. Jumlah Penduduk berdasarkan Pekerjaan utama
Pekerjaan Utama No. Lokasi Nelayan Petani Pegawai Pedagang Jasa Dan lain
1 P. Kambuno 46 - 5 3 1 3 2 P.Burungloe 27 - 2 3 - 3 3 P. Kanalo 1 dan2 28 - 3 3 - 4 4 P. Batanglampe 12 - 5 - - 1 5 Kel. Lappa 34 - 3 16 - 8
Tabel 9. Jumlah Penduduk yang memiliki pekerjaan tambahan
Pekerjaan tambahan No. Lokasi Nelayan Petani Pegawai Pedagang Jasa Tdk ada
1 P. Kambuno 2 - - 1 - 55 2 P.Burungloe 1 - - - 1 33 3 P. Kanalo 1 dan2 2 - - 4 1 31 4 P. Batanglampe 1 - - 3 1 13 5 Kel. Lappa - - - 3 - 58
Tabel 10. Anggota Keluarga Responden yang Bekerja
Kedudukan No. Lokasi Isteri/suami Anak 1 Anak 2 Anak 3 Tidak jelas
1 P. Kambuno 8 7 4 2 37 2 P.Burungloe 6 3 4 2 20 3 P. Kanalo 1 dan2 5 3 1 1 28 4 P. Batanglampe 3 7 2 - 6 5 Kel. Lappa 18 7 1 1 34
Tabel 11. Jumlah Kepala Keluarga dan Anggota Keluarga Setiap Lokasi Sampling
Jumlah Anggota Keluarga No. Lokasi < 2 orang 2 – 5 orang > 5 orang
1 P. Kambuno 11 25 22 2 P.Burungloe 6 16 13 3 P. Kanalo 1 dan2 6 18 14 4 P. Batanglampe 2 6 10 5 Kel. Lappa 3 42 16
Tabel 12. Jumlah responden berdasarkan status dalam masyarakat
Kedudukan No. Lokasi
Pim. formal Pim. informal organisasi Anggota masyarakat
1 P. Kambuno 2 1 1 54 2 P.Burungloe 3 1 1 30 3 P. Kanalo 1 dan2 1 - 1 36 4 P. Batanglampe - 1 - 17 5 Kel. Lappa 1 2 1 57
Tabel 13. Jumlah Responden yang Melakukan Kerja Secara Kelompok atau Sendiri
No. Lokasi Kelompok Sendiri 1 P. Kambuno 42 16 2 P.Burungloe 20 15 3 P. Kanalo 1 dan2 20 18 4 P. Batanglampe 11 7 5 Kel. Lappa 34 27
Tabel 14. Jumlah Pendapatan Rumah Tangga Responden Rata-Rata Per Bulan
Pendapatan No. Lokasi < 500.000 0,5 – 1 juta 1,1 - 1,5 juta 1,6 – 2 juta > 2 juta
1 P. Kambuno 27 12 4 9 6 2 P.Burungloe 14 10 1 2 8 3 P. Kanalo 1 dan2 13 13 3 5 4 4 P. Batanglampe 6 7 2 - 3 5 Kel. Lappa 16 22 4 3 16
Tabel 15. Jumlah Pengeluaran Rumah Tangga Responden Rata-Rata Per Bulan
Pengeluaran No. Lokasi < 500.000 0,5 – 1 juta 1,1 - 1,5 juta 1,6 – 2 juta > 2 juta
1 P. Kambuno 44 8 6 - - 2 P.Burungloe 19 12 - 4 - 3 P. Kanalo 1 dan2 22 13 1 1 1 4 P. Batanglampe 12 6 - - - 5 Kel. Lappa 25 24 7 4 1
Tabel 16. Jumlah Responden yang Memiliki Tabungan
No. Lokasi Menabung Tidak Menabung 1 P. Kambuno 21 37 2 P.Burungloe 22 13 3 P. Kanalo 1 dan2 14 24 4 P. Batanglampe 7 11 5 Kel. Lappa 45 16
Tabel 17. Bentuk Tabungan Responden
Bentuk Tabungan No. Lokasi Bank Emas Lainnya
1 P. Kambuno 32 9 17 2 P.Burungloe 27 4 4 3 P. Kanalo 1 dan2 11 2 25 4 P. Batanglampe 15 3 - 5 Kel. Lappa 50 11 -
Tabel 18. Jumlah Responden yang Pernah Mengalami Kesulitan
No. Lokasi Kesulitan Tidak Kesulitan 1 P. Kambuno 38 20 2 P.Burungloe 26 9 3 P. Kanalo 1 dan2 23 15 4 P. Batanglampe 11 7 5 Kel. Lappa 23 38
Tabel 19. Cara Responden Mengatasi Kesulitan
Cara Mengatasi Kesulitan No. Lokasi Menjual
Simpanan Bantuan Keluarga
Pinjaman non
bunga
Pinjaman bank
Pinjaman di Ponggawa
Lain -lain
1 P. Kambuno 3 30 8 7 10 - 2 P.Burungloe 4 17 - 12 2 - 3 P. Kanalo 1 dan2 10 12 - 5 2 9 4 P. Batanglampe 5 7 - 2 4 - 5 Kel. Lappa 3 24 - 22 3 9
Tabel 20. Model Rumah Responden
Model Rumah No. Lokasi Panggung Non Panggung
1 P. Kambuno 47 11 2 P.Burungloe 20 15 3 P. Kanalo 1 dan2 28 10 4 P. Batanglampe 12 6 5 Kel. Lappa 37 24
Tabel 21. Luas Bangunan Rumah Responden
Luas Bangunan (m2) No. Lokasi < 100 100-150 151 - 200 >200
1 P. Kambuno 41 12 3 2 2 P.Burungloe 17 13 3 2 3 P. Kanalo 1 dan2 32 6 - - 4 P. Batanglampe 12 4 - 2 5 Kel. Lappa 19 21 10 11
Tabel 22. Bahan Atap Rumah Responden
Model Atap No. Lokasi Seng Rumbia Genting Nypa Asbes
1 P. Kambuno 52 2 - 3 1 2 P.Burungloe 32 1 1 1 - 3 P. Kanalo 1 dan2 29 5 - 4 - 4 P. Batanglampe 18 - - - - 5 Kel. Lappa 57 1 1 - 2
Tabel 23. Bahan Dinding Rumah Responden
Bahan Dinding No. Lokasi Seng Tripleks Papan Tembok Bambu
1 P. Kambuno 3 3 39 12 1 2 P.Burungloe - 1 23 10 1 3 P. Kanalo 1 dan2 7 - 29 1 1 4 P. Batanglampe - 1 11 6 - 5 Kel. Lappa 9 2 31 18 1
Tabel 24. Bahan Lantai Rumah Responden
Bahan Lantai No. Lokasi Papan Semen Keramik Tegel Tanah
1 P. Kambuno 46 9 1 1 1 2 P.Burungloe 25 6 1 3 - 3 P. Kanalo 1 dan2 30 5 - 3 - 4 P. Batanglampe 12 5 - 1 - 5 Kel. Lappa 39 10 3 9 -
Tabel 25. Sumber Penerangan Rumah Responden
Sumber Penerangan No. Lokasi PLN Listrik Swasta Pelita Petromaks
1 P. Kambuno 46 8 4 - 2 P.Burungloe 32 - 2 1 3 P. Kanalo 1 dan2 17 12 8 1 4 P. Batanglampe 17 - 1 - 5 Kel. Lappa 60 - - 1
Tabel 26. Status Pemilikan Rumah Responden
Status Pemilikan Rumah No. Lokasi Milik Sendiri Sewa/ Kontrak Menumpang Dinas
1 P. Kambuno 52 2 3 1 2 P.Burungloe 28 1 6 - 3 P. Kanalo 1 dan2 36 - - 2 4 P. Batanglampe 17 - 1 - 5 Kel. Lappa 56 3 2 -
Tabel 27. Sumber Air Minum Responden
Sumber Air No. Lokasi Sungai Hujan Sumur Air PAM
1 P. Kambuno - 2 6 50 2 P.Burungloe - - 3 32 3 P. Kanalo 1 dan2 - - 2 36 4 P. Batanglampe - - 11 7 5 Kel. Lappa - - 3 58
Tabel 28. Tempat Buang Air Responden
Tempat Buang Air Besar No. Lokasi Pantai Sungai Kakus Kebun
1 P. Kambuno 43 - 15 - 2 P.Burungloe 30 - 5 - 3 P. Kanalo 1 dan2 33 - 5 - 4 P. Batanglampe 16 - 1 1 5 Kel. Lappa 9 7 45 -
Tabel 29. Tempat Pembuangan Sampah Responden
Tempat Pembuangan Sampah No. Lokasi Pantai Sungai Lubang Kontainer
1 P. Kambuno 54 - 2 2 2 P.Burungloe 34 - 1 - 3 P. Kanalo 1 dan2 33 - 5 - 4 P. Batanglampe 14 - 4 - 5 Kel. Lappa 12 8 20 21
Tabel 30. Kepemilikan Armada Responden Nelayan
Kepemilikan Alat No. Lokasi Punya
Kapal jolloro Punya Perahu Layar
Punya Sampan
Sebagai Nahkoda
Sebagai ABK
Lain-lain
1 P. Kambuno 49 - 9 - - - - 2 P.Burungloe 23 - 6 6 - - - 3 P. Kanalo 1 dan2 27 3 2 6 - - - 4 P. Batanglampe 12 - - 6 - - - 5 Kel. Lappa 41 5 9 1 - - 5
Tabel 30. Tipe Daerah Tangkap Responden Nelayan
Type Daerah Tangkap No. Lokasi
Terumbu karang
Padang lamun Laut dalam Laut
dangkal Tidak tentu
1 P. Kambuno 11 1 16 2 16 2 P.Burungloe 4 - 20 1 2 3 P. Kanalo 1 dan2 5 - 12 - 13 4 P. Batanglampe 12 - 1 - 3 5 Kel. Lappa - - 22 - 17
Tabel 31. Jenis Kepemilikan Aset Produksi Responden Nelayan
Lokasi No. Jenis Alat Produksi P. Kambuno P. Burungloe P. Kanalo P. Batanglampe Kel. Lappa 1 Bagang 2 19 6 - 18 2 Pancing 14 15 13 6 23 3 Kompressor 22 - 6 12 2 4 Panambe 15 - 2 - 5
5 Keramba Jaring Apung 3 - - - -
6 Bius 2 - - - 7 Long line - 1 - - 2 8 Jaring Insang - - 4 - 2 9 Jala - - 3 - -
10 Rumpon - - 1 - - 11 Pukat - - 3 - - 12 Purse Seine - - - - 9
Tabel 32. Lama Penangkapan Responden Nelayan
Lama Penangkapan No. Lokasi < 1
minggu 1 – 2
minggu 3 – 4
minggu > 4 minggu
1 P. Kambuno 34 7 - 5 2 P.Burungloe 9 5 12 1 3 P. Kanalo 1 dan2 11 1 2 2 4 P. Batanglampe 14 7 - 9 5 Kel. Lappa 26 4 4 4
Tabel 33. Daerah Tangkapan Responden Nelayan
Jumlah Responden No Lokasi
Penangkapan P. Kambuno P. Burungloe P. Kanalo P. Batanglampe Kel. Lappa
1 P. Sembilan 26 10 19 6 10 2 Kupang / Lombok 8 - 2 - 5 3 Sorong 6 - 5 4 - 4 Teluk bone 4 1 - 1 2 5 Maluku 1 - - - - 6 Selayar 1 4 - - 5 7 Flores - 5 - - - 8 Sulawesi Tenggara - 6 - 2 17 9 NTT - 1 - 1 -
10 Limpoge - - 2 - - 11 Bulukumba - - 2 - - 12 Palopo - - - 1 - 13 Balikpapan - - - 1 -
Tabel 34. Biaya Operasional Penangkapan Responden Nelayan
Biaya Operasional No. Lokasi
< 500 ribu 0,5 – 1 juta 1,1 – 1,5 juta 1,6 – 2 juta > 2 juta
1 P. Kambuno 34 7 - 2 3 2 P.Burungloe 7 9 3 5 3 3 P. Kanalo 1 dan2 21 - 2 - 7 4 P. Batanglampe 11 3 - 1 1 5 Kel. Lappa 21 12 2 4 -
Tabel 35. Pengetahuan Responden tentang Arti Terumbu Karang
Arti Terumbu Karang No. Lokasi Tumbuhan
laut Tumbuhan batu/taka Tidak tahu Batu Pasi
1 P. Kambuno 2 4 52 - - 2 P.Burungloe 1 2 21 9 2 3 P. Kanalo 1 dan2 3 - 27 8 - 4 P. Batanglampe - - 10 8 - 5 Kel. Lappa 8 15 30 8 -
Tabel 36. Pengetahuan Responden tentang Manfaat Terumbu Karang
Manfaat Terumbu Karang No. Lokasi Rumah
ikan
T4 hidup ikan
Perlindungan ikan
T4. menangkap
ikan Perhiasan Bahan
Bangunan Tidak tahu
1 P. Kambuno 11 18 7 2 2 11 7 2 P.Burungloe 5 10 4 - - 8 8 3 P. Kanalo 1 dan2 5 9 3 - - 9 12 4 P. Batanglampe 3 11 1 - - - 3 5 Kel. Lappa 18 18 7 - - 7 11
Tabel 37. Pengetahuan Responden tentang Kegiatan yang Merusak Karang
Kegiatan Yang Merusak No. Lokasi
Bom Bius Jangkar kapal Penambangan potas Trawl Tidak tahu
1 P. Kambuno 25 12 2 4 1 1 13 2 P.Burungloe 13 9 2 - - 11 3 P. Kanalo 1 dan2 17 6 - 1 1 - 13 4 P. Batanglampe 9 3 2 1 2 - 1 5 Kel. Lappa 27 13 2 5 5 1 8
Tabel 38. Tanggapan Responden Terhadap Penggunaan Bahan-Bahan yang Merusak Terumbu Karang
Penambangan No. Lokasi Setuju Tidak Setuju Tidak Tahu 1 P. Kambuno 5 47 6 2 P. Burungloe 1 19 15 3 P. Kanalo 1 dan 2 7 22 9 4 P. Batanglampe 2 12 4 5 Kel. Lappa 6 46 9
Tabel 39. Pengetahuan Responden tentang adanya Peraturan yang Melarang Pengambilan Terumbu Karang, Bom dan Bius.
Peraturan yang melarang Mengambil Bom Bius No. Lokasi
Tahu T. tahu Tahu T. tahu Tahu T. tahu 1 P. Kambuno 40 18 38 20 32 26 2 P.Burungloe 18 17 19 16 16 19 3 P. Kanalo 1 dan2 12 26 15 23 13 25 4 P. Batanglampe 13 5 12 6 12 6 5 Kel. Lappa 24 37 25 36 21 40
Tabel 40. Pengetahuan Responden tentang adanya sanksi terhadap Perusak Terumbu Karang.
Sanksi Perusak No. Lokasi Ada Tidak Ada Tidak Tahu 1 P. Kambuno 29 13 16 2 P. Burungloe 14 9 12 3 P. Kanalo 1 dan 2 12 12 14 4 P. Batanglampe 8 6 6 5 Kel. Lappa 23 26 12
Tabel 41. Tanggapan Responden terhadap Sanksi yang Diterapkan Pemerintah
Tanggapan No. Lokasi Setuju Tidak Setuju Tidak Tahu 1 P. Kambuno 30 20 8 2 P. Burungloe 8 3 24 3 P. Kanalo 1 dan 2 10 5 23 4 P. Batanglampe 9 - 9 5 Kel. Lappa 21 - 40
Tabel 42. Pengetahuan Masyarakat tentang Adanya Penduduk Pulau yang Terkena Sanksi
Sanksi Penduduk Pulau No. Lokasi Ada Tidak Ada Tidak Tahu 1 P. Kambuno 20 21 17 2 P. Burungloe 4 17 14 3 P. Kanalo 1 dan 2 1 20 17 4 P. Batanglampe 1 11 6 5 Kel. Lappa 10 22 29
Tabel 43. Pengetahuan Responden tentang Adanya Penduduk Daerah Lain yang Terkena Sanksi
Sanksi Penduduk Luar No. Lokasi Ada Tidak Ada Tidak Tahu
1 P. Kambuno 13 26 20 2 P. Burungloe 5 22 8 3 P. Kanalo 1 dan 2 5 17 16 4 P. Batanglampe 4 9 5 5 Kel. Lappa 17 19 25
Tabel 44. Pengetahuan Responden tentang Sanksi Adat terhadap Para Perusak Terumbu Karang.
Sanksi Adat No. Lokasi Ada Tidak Ada Tidak Tahu 1 P. Kambuno - 40 18 2 P. Burungloe 1 21 13 3 P. Kanalo 1 dan 2 1 20 17 4 P. Batanglampe 2 9 7 5 Kel. Lappa 1 29 31
Tabel 45. Pengetahuan Responden Tentang Informasi COREMAP
Pengetahuan No. Lokasi Tahu Tidak Tahu 1 P. Kambuno 2 55 2 P. Burungloe - 33 3 P. Kanalo 1 dan 2 2 21 4 P. Batanglampe 3 13 5 Kel. Lappa 3 64
Tabel 46. Pengetahuan Responden tentang Kegiatan COREMAP
Kegiatan No. Lokasi Ada Tidak Ada 1 P. Kambuno 2 56 2 P. Burungloe - 35 3 P. Kanalo 1 dan 2 1 37 4 P. Batanglampe 3 15 5 Kel. Lappa - 61
Tabel 47. Pengetahuan Responden Tentang Kegiatan Lembaga Lain (LSM)
Kegiatan Lembaga Lain No. Lokasi Ada Tidak Ada 1 P. Kambuno 23 35 2 P. Burungloe - 35 3 P. Kanalo 1 dan 2 3 35 4 P. Batanglampe 3 15 5 Kel. Lappa - 61
Tabel 48. Tanggapan Responden Nelayan Terhadap Kondisi Hasil Tangkapan
Hasil Tangkapan No. Lokasi Menurun Meningkat Tetap Tidak Tahu
1 P. Kambuno 31 3 9 3 2 P.Burungloe 18 3 6 - 3 P. Kanalo 1 dan2 15 2 13 - 4 P. Batanglampe 9 - 7 - 5 Kel. Lappa 20 3 10 6
Tabel 49. Pengetahuan Responden tentang Sebab Penurunan Hasil Tangkapan
Sebab No. Lokasi
Bom Bius Nelayan banyak musim Taka
rusak Ikan
kurang Tidak tahu
1 P. Kambuno 4 3 18 6 6 3 6 2 P.Burungloe 3 3 6 6 - 3 6 3 P. Kanalo 1 dan2 9 7 2 2 2 2 6 4 P. Batanglampe 2 1 3 4 1 1 4 5 Kel. Lappa 5 10 3 5 - 3 13
Tabel 50. Cara Mengatasi Penurunan Hasil Tangkapan
Cara Mengatasi No Lokasi Mencari daerah lain Modifikasi alat tangkap Tidak tahu
1 P. Kambuno 18 10 18 2 P. Burungloe 9 9 9 3 P. Kanalo 1 dan2 12 - 18 4 P. Batanglampe 5 1 10 5 Kel. Lappa 16 - 23
Tabel 51. Anggapan Responden tentang Keberlanjutan Potensi Sumber Daya Perikanan
Pendapat Responden No Lokasi Habis Tidak akan habis Tidak tahu
1 P. Kambuno 3 14 41 2 P.Burungloe 1 13 21 3 P. Kanalo 1 dan2 2 8 28 4 P. Batanglampe 2 6 10 5 Kel. Lappa 2 14 45
Tabel 52. Tanggapan Responden tentang Akses Terbuka terhadap Pengelolaan Sumber Daya Perikanan.
Tanggapan Responden No Lokasi Setuju Tidak Setuju Tidak tahu
1 P. Kambuno 12 4 42 2 P.Burungloe 7 4 24 3 P. Kanalo 1 dan2 2 5 31 4 P. Batanglampe 3 4 11 5 Kel. Lappa 4 4 53
Tabel 53. Tanggapan Responden tentang Penangkapan yang Merusak
Tanggapan Responden No Lokasi Setuju Tidak Setuju Tidak tahu
1 P. Kambuno 39 16 3 2 P.Burungloe 1 10 24 3 P. Kanalo 1 dan2 - 10 28 4 P. Batanglampe - 6 12 5 Kel. Lappa 4 13 44
Tabel 54. Kekhawatiran Responden tentang Kehidupannya di Lokasi di masa yang akan datang
Yang dikhawatirkan No Lokasi
Harga BBM Naik Bom/bius Pukat Harimau Tidak tahu
1 P. Kambuno 3 - 3 40 2 P.Burungloe 2 - 4 21 3 P. Kanalo 1 dan2 - 1 - 29 4 P. Batanglampe - 1 4 11 5 Kel. Lappa 1 1 2 35
Tabel 55. Perkiraan Responden tentang Sumber Daya Alam di Perairan Pulau- Pulau Sembilan di masa depan
Kondisi Sumber Daya No Lokasi Turun Meningkat Tetap Tidak Tahu
1 P. Kambuno 6 6 - 46 2 P.Burungloe 3 3 - 29 3 P. Kanalo 1 dan2 3 2 - 33 4 P. Batanglampe 2 2 - 14 5 Kel. Lappa 5 2 - 54
Tabel 56. Pengetahuan Responden tentang adanya Tawaran Mata Pencaharian Alternatif
Tawaran Mata Pencaharian Alternatif No Lokasi Ada Tidak Ada Tidak Tahu
1 P.Kambuno 7 12 39 2 P. Burungloe 1 21 13 3 P. Kanalo 1 dan 2 2 11 25 4 P. Batanglampe 4 6 8 5 Kel. Lappa 2 41 18
Tabel 57. Perlunya Bantuan Usaha dan Bentuknya bagi Responden
Bantuan Bentuk Bantuan No Lokasi
Perlu Tidak perlu
Tidak Tahu Uang Modal Alat
Tangkap Tidak Tahu
1 P.Kambuno 31 3 24 7 19 5 27 2 P.Burungloe 18 3 14 7 8 2 18 3 P.Kanalo 1 dan 2 16 - 22 1 11 4 22 4 P. Batanglampe 10 - 8 3 6 1 8 5 Kel. Lappa 24 7 30 5 15 3 38
Tabel 58. Peraturan Tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Peraturan Pengelolaan No Lokasi Perlu Tidak Perlu Tidak tahu
1 P. Kambuno 10 5 43 2 P. Burungloe 4 3 28 3 P. Kanalo 1 dan 2 8 - 30 4 P. Batanglampe 4 3 11 5 Kel. Lappa 4 1 56
Tabel 59. Tanggapan Responden tentang Area Perlindungan bagi Ikan yang Dilindungi
Peraturan No Lokasi Perlu Tidak Perlu Tidak tahu
1 P. Kambuno 5 6 47 2 P. Burungloe 1 4 30 3 P. Kanalo 1 dan 2 3 5 30 4 P. Batanglampe 3 3 12 5 Kel. Lappa 7 20 34
Tabel 60. Tanggapan Responden tentang Penutupan Musim Penangkapan pada Waktu Tertentu
Peraturan No Lokasi Setuju Tidak Setuju Tidak tahu
1 P. Kambuno 6 10 42 2 P. Burungloe 1 8 26 3 P. Kanalo 1 dan 2 1 6 31 4 P. Batanglampe 1 7 10 5 Kel. Lappa 12 37 12
Tabel 61. Tanggapan Responden Tentang Larangan Pengoperasian Alat Tangkap Yang Merusak Sumberdaya Alam
Peraturan No Lokasi Setuju Tidak Setuju Tidak tahu
1 P. Kambuno 55 3 - 2 P. Burungloe 25 6 4 3 P. Kanalo 1 dan 2 32 6 - 4 P. Batanglampe 16 2 - 5 Kel. Lappa 54 - 7
Tabel 62. Tanggapan Responden Tentang Pembatasan Penangkapan Ikan dengan Ukuran Tertentu
Peraturan No Lokasi
Setuju Tidak Setuju Tidak tahu
1 P. Kambuno 6 9 43 2 P. Burungloe 3 4 28 3 P. Kanalo 1 dan 2 6 5 27 4 P. Batanglampe 3 5 10 5 Kel. Lappa 14 12 35
Tabel 63. Tanggapan Responden Bahwa Laut adalah Milik Bersama
Peraturan No Lokasi Setuju Tidak Setuju Tidak tahu
1 P. Kambuno 58 - - 2 P. Burungloe 25 5 5 3 P. Kanalo 1 dan 2 13 - 25 4 P. Batanglampe 18 - - 5 Kel. Lappa 61 - -
Tabel 64. Tanggapan Responden Tentang Penutupan Area Penangkapan di Kep. Sembilan bagi Orang luar
Peraturan No Lokasi Setuju Tidak Setuju Tidak tahu
1 P. Kambuno 5 6 47 2 P. Burungloe 4 2 29 3 P. Kanalo 1 dan 2 4 2 32 4 P. Batanglampe 2 5 11 5 Kel. Lappa 1 3 57
Tabel 65. Peranan Kegiatan Ibu Rumah Tangga untuk Menambah Penghasilan Keluarga
Tambahan Penghasilan Keluarga No Lokasi Ya Tidak Tidak Ada 1 P. Kambuno 2 - 56 2 P. Burungloe 5 1 29 3 P. Kanalo 1 dan 2 6 3 29 4 P. Batanglampe 4 2 12 5 Kel. Lappa 6 2 53
Tabel 66. Kegiatan Ibu Rumah Tangga dalam Membantu Pekerjaan Suami
Bantu Jenis Bantuan No Lokasi
Ya Tidak Bertani Usaha Perikanan
Pegawai Negeri
Lain-lain Tdk ada
1 P. Kambuno 2 56 - 2 - - 56 2 P. Burungloe 3 32 - 1 2 - 32 3 P. Kanalo 1 dan 2 3 35 - 1 - 2 35 4 P. Batanglampe 3 15 - 1 - 2 15 5 Kel. Lappa 7 54 2 1 2 2 56