34
PERANAN WTO DALAM GLOBALISASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL TERKAIT PRODUK HIGH TECHNOLOGY AM. Laot Kian ABSTRACT This article explores the function of (World Trade Organization) WTO in the globalization of an international trade, especially in relationship with high technology products. As an international trade organization, WTO has a function to make the mechanism of international trade growing well and surely in justice. This article is aimed to know how far that function—especially in relationship with high technology product—is held true. Besides, this article explores the contribution of the trade of high technology products for Indonesia in the mechanism of WTO. Keywords: Globalization, WTO, International Trade, High Technology Product I. PENDAHULUAN 1.1 Globalisasi Dalam beberapa tahun belakangan ini, globalisasi menjadi isu hangat yang sering diperbincangkan di berbagai kalangan. Bahkan globalisasi dipercaya mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh manusia. Biasanya dalam frame globalisasi, apa yang disebut sebagai teknologi sangat menentukan kemajuan sebuah negara.

wto mida

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: wto mida

PERANAN WTO

DALAM GLOBALISASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL

TERKAIT PRODUK HIGH TECHNOLOGY

AM. Laot Kian

ABSTRACTThis article explores the function of (World Trade Organization) WTO in the globalization of an international trade, especially in relationship with high technology products. As an international trade organization, WTO has a function to make the mechanism of international trade growing well and surely in justice. This article is aimed to know how far that function—especially in relationship with high technology product—is held true. Besides, this article explores the contribution of the trade of high technology products for Indonesia in the mechanism of WTO.

Keywords: Globalization, WTO, International Trade, High Technology Product

I.   PENDAHULUAN

1.1  Globalisasi

Dalam beberapa tahun belakangan ini, globalisasi menjadi isu hangat yang sering

diperbincangkan di berbagai kalangan. Bahkan globalisasi dipercaya mampu meningkatkan

kesejahteraan seluruh manusia. Biasanya dalam frame globalisasi, apa yang disebut sebagai

teknologi sangat menentukan kemajuan sebuah negara. Dengan kata lain, kemajuan teknologi

tidak terlepas dari wacana globalisasi. Berkat globalisasi, ranah pergerakan teknologi menjadi

seluas dunia dan menjadi tanpa batas. Dan sebaliknya berkat teknologi, wacana globalisasi

mendapatkan bentuknya yang paling nyata. Dalam perspektif yang sama, keberadaan teknologi

informasi dalam bingkai globalisasi—terutama melalui produk-produk high-tech—memampukan

manusia untuk semakin mudah, cepat, dan ringkas melakukan berbagai kegiatan seperti halnya

negosiasi, transaksi perdagangan, maupun kerjasama di berbagai bidang lainnya[1]. Pada titik

ini, secara masif globalisasi mendorong pertumbuhan ekonomi di semua negara[2].

Page 2: wto mida

Pada dasarnya, globalisasi memang suatu hal yang tidak dapat dihindari atau bahkan

dihilangkan. Jika dimaknai secara positif, globalisasi dapat memberikan keleluasaan bagi arus

barang dan jasa secara kompetitif. Hal ini tentu saja berimplikasi pada terbentuknya mekanisme

pergerakan ekonomi yang efisien. Semua ini berujung pada peningkatan kesejahteraan manusia

secara luas. Inilah esensi dari sebuah globalisasi, di mana dalam dataran ideal, globalisasi justru

menjadi hal yang baik dan dibutuhkan dalam evolusi peradaban manusia. Globalisasi pulalah

yang mendorong negara-negara untuk melakukan perdagangan internasional lebih gencar.

Negara-negara berlomba-lomba untuk saling bersaing memperkenalkan produk, budaya, dan

keunggulan masing-masing dalam rangka meningkatkan keuntungan dan ketertarikan

internasional terhadap keunikan masing-masing dan penanaman investasi di negara yang ada di

dalamnya. Dengan kata lain, globalisasi memainkan peran penting dalam ranah perdagangan

internasional.

1.2 Dari Perdagangan Internasional Hingga GATT

Kesadaran akan luasnya dunia yang ternyata bisa dijelajahi, mendorong orang untuk

berpetualang dan melakukan transaksi dagang atau jual-beli. Lebih lanjut, kesadaran akan

pentingnya transaksi dagang dalam ranah globalisasi, melahirkan keinginan untuk melakukan

harmonisasi dan unifikasi hukum nasional tiap negara ke dalam sebuah aturan yang mampu

mengakomodasi semua kepentingan negara yang berdagang. Oleh karena itu, para pemuka

ekonomi dunia menggagas pembentukan beberapa organisasi internasional dalam rangka

mengakomodasi jalannya perdagangan internasional dalam bingkai globalisasi.

Alhasil, pada bulan Oktober tahun 1947, lahirlah General Agreement on Tariff and Trade

(GATT), yang bertujuan untuk menciptakan iklim perdagangan internasional yang aman dan

Page 3: wto mida

jelas bagi masyarakat bisnis, serta menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan[3].

Berkaitan dengan tujuan tersebut, GATT berfungsi sebagai forum negosiasi, forum penyelesaian

sengketa, dan sebagai peraturan perdagangan internasional di bidang barang[4]. Karena itu, sejak

berdirinya, GATT telah mensponsori berbagai perundingan yang dikenal dengan istilah rounds

atau Putaran[5]. Dari semua Putaran tersebut, Putaran Uruguay (1986-1994) adalah Putaran

terbesar yang mengarah pada pembentukan World Trade Organization (WTO). Jika GATT

hanya berkaitan dengan perdagangan barang, WTO yang berdiri pada Januari 1995[6],

mencakup juga perdagangan jasa (GATS: General Agreement on Tariff and Service) dan

kekayaan intelektual (TRIPs: Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property

Rights).

Pada prinsipnya, kehadiran lembaga tersebut dianggap menjadi sebuah jawaban yang

tepat dalam rangka mensejahterakan kehidupan masyarakat dunia di tengah era globalisasi.

Namun, dalam tataran empiris tidaklah demikian adanya. Fakta menunjukan bahwa di tengah

meningkatnya teknologi masyarakat dunia selain ada beberapa keuntungan yang diperoleh, pada

saat yang sama justru timbul berbagai permasalahan yang kompleks[7]. Perkembangan teknologi

yang pesat menyebabkan munculnya masalah berupa pelanggaran-pelanggaran dalam kaitan

dengan teknologi yang ada. WTO yang seharusnya sebagai penjamin terciptanya perdagangan

yang adil pun dinilai kurang mampu menyelesaikan masalah tersebut. Dalam kategori ini,

globalisasi yang dikendarai oleh negara-negara maju melalui lembaga internasional (baca: WTO)

justru menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Terus meningkatnya ketimpangan berupa

transfer teknologi yang tidak seimbang antarnegara merupakan bukti nyata gagalnya lembaga

tersebut menjalankan fungsinya sebagai sebuah lembaga publik internasional. Dalam kaitan

dengan latar belakang tersebut maka paper kelompok ini mengambil judul “PERANAN WTO

Page 4: wto mida

DALAM GLOBALISASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL TERKAIT PRODUK HIGH

TECHNOLOGY”.

II.   RUMUSAN MASALAH

1.      Bagaimana peranan WTO agar globalisasi perdagangan produk high-tech dapat berjalan pada

jalur yang tepat di bawah kendali WTO?

2.      Hambatan apa saja yang dihadapi WTO dalam mengawasi jalannya perdagangan internasional

dalam ranah globalisasi, khususnya yang berkaitan dengan teknologi?

3.      Bagaimana Indonesia sebagai salah satu negara berkembang menyingkapi alih teknologi di masa

globalisasi ini?

III.    PEMBAHASAN

3.1  Diskursus: Mengapa “GATT/WTO”?[8]

Sebagaimana yang telah diketahui sebelumnya, World Trade Organization (WTO) adalah

sebuah organisasi yang didirikan pada 1 Januari tahun 1995. Organisasi ini berawal dari

Perjanjian General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Meskipun demikian, banyak orang

bertanya, mengapa akronim GATT tetap ditulis bersamaan dengan akronim WTO. Tentu saja

secara gramatikal penulisan GATT/WTO mengandung makna tertentu. Walaupun WTO secara

resmi berdiri pada 1 Januari 1995, namun sistem perdagangan itu telah ada setengah abad yang

lalu. Mengapa? Sejak tahun 1948, GATT telah dibentuk sebagai sebuah Persetujuan Umum

mengenai Tarif dan Perdagangan. Sebagai sebuah Persetujuan Umum, peraturan-peraturan

yang dihasilkan masih bersifat sementara. Lain perkataan, GATT, yang dibuat pada tahun 1947,

Page 5: wto mida

tidak mencerminkan suatu institusi namun hanya merupakan seperangkat perjanjian yang

mengatur perdagangan dan menjaga tarif yang rendah (hambatan tarif) antar anggotanya.

            Pada awalnya, GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization

(ITO), yaitu suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari IMF dan Bank Dunia. Namun

demikian, ITO tidak berjalan lancar lantaran banyak lembaga legislatif dari negara-negara

anggota, termasuk Amerika Serikat—yang walaupun berkiprah sebagai pencetus—tidak

meratifikasi Piagam Havana[9]. Upaya tersebut membuktikan bahwa perdagangan internasional

membutuhkan suatu badan/organisasi. Walaupun upaya untuk menciptakan suatu badan

perdagangan internasional pada tahun 1940-an mengalami kegagalan, para perumus GATT

sepakat bahwa mereka menginginkan suatu aturan perdagangan. Sekjen PBB sendiri pun

berupaya untuk membentuk suatu badan guna pengadministrasian GATT. Para pejabat

pemerintah lainnya juga mengharapkan adanya pertemuan/forum guna membahas isu-isu yang

berkaitan dengan persetujuan perdagangan. Keinginan tersebut tentu saja memerlukan dukungan

sebuah sekretariat yang jelas dengan perangkat organisasi yang efektif. Oleh karena itu, GATT

sebagai badan internasional digantikan oleh WTO, sebagai hasil dari Putaran Uruguay (1986-

1994).

            Melalui Putaran Uruguay tersebut dinyatakan bahwa GATT sebagai suatu persetujuan

masih tetap eksis dan telah diperbarui, tetapi tidak lagi menjadi bagian utama aturan perdagangan

internasional. Dengan kata lain, GATT yang mengatur tentang perdagangan barang, masih tetap

berlaku, tetapi dimasukkan sebagai bagian dari persetujuan WTO. Itu berarti, walaupun GATT

tidak ada lagi sebagai organisasi internasional, persetujuan GATT masih tetap berlaku, dan

berdampingan dengan GATS dan TRIPs dalam WTO. Jadi, apakah GATT sama dengan WTO?

Tidak! WTO adalah GATT ditambah dengan beberapa kelebihan yaitu berupa GATS dan TRIPs.

Page 6: wto mida

Saat GATT diganti dengan World Trade Organization (WTO), World Trade

Organization (WTO) tersebut dinilai sebagai sebuah organisasi perdagangan internasional yang

diharapkan dapat menjembatani semua kepentingan negara di dunia dalam sektor perdagangan

melalui ketentuan-ketentuan yang disetujui bersama. WTO ditujukan untuk menghasilkan

kondisi-kondisi yang bersifat timbal balik dan saling menguntungkan sehingga semua negara

dapat menarik manfaatnya. Melalui WTO, diluncurkan suatu model perdagangan di mana

kegiatan perdagangan antar negara diharapkan dapat berjalan dengan lancar. Dalam ritme yang

sama, dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya WTO merupakan suatu sarana untuk mendorong

terjadinya suatu perdagangan bebas yang tertib dan adil di dunia ini[10]. WTO merupakan

lembaga internasional yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas perdagangan dan berfungsi

sebagai wasit dalam perdagangan internasional[11].

3.2  Prinsip-prinsip GATT/WTO

Dalam menjalankan fungsi-fungsinya, ada beberapa prinsip utama yang dipakai oleh

GATT.  Huala Adolf menyebutkan bahwa ada 6 prinsip yang digunakan GATT yaitu Most-

Favoured-Nation (MFN), National Treatment, Prinsip Larangan Restriksi Kuantitatif, Prinsip

Perlindungan melalui Tarif, Prinsip Resiprositas, dan Prinsip Perlakuan Khusus bagi Negara

sedang Berkembang[12]. Dalam kaitan dengan prinsip-prinsip tersebut, dikenal juga Kaidah

Dasar Minimum (Minimum Standards), Kaidah Dasar Tindakan Pengaman dengan Klausul

Penyelamat (Safeguards and Escape Clause), Kaidah Dasar mengenai Penyelesaian Sengketa

secara Damai, Kaidah Dasar Kedaulatan Negara atas Kekayaan Alam, Kemakmuran dan

Kehidupan Ekonominya, dan Kaidah Dasar Kerjasama Internasional[13].

Page 7: wto mida

            Pertama, Prinsip Most-Favoured-Nation (MFN). Prinsip ini menekankan bahwa suatu

kebijakan perdagangan negara harus dilaksanakan atas dasar nondiskriminatif. Menurut prinsip

ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama

dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya.

Namun demikian, ada beberapa pengecualian terhadap prinsip ini. Salah satu pengecualiannya

disebutkan dalam pasal XXIV yang mengatur bahwa jika ada anggota-anggota GATT yang

membentuk suatu Custom Union atau Free Trade Area, maka anggota-anggota GATT tersebut

tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota lainnya[14].

            Kedua, Prinsip National Treatment. Dalam prinsip ini, negara anggota diwajibkan untuk

memberikan perlakuan yang sama atas barang-barang impor dan lokal, paling tidak setelah

barang impor memasuki pasar domestik[15]. Ketiga, Prinsip Larangan Restriksi Kuantitatif.

Prinsip ini melarang adanya pembatasan kuantitatif terhadap ekspor-impor dalam bentuk

apapun[16]. Keempat, Prinsip Perlindungan melalui Tarif. Prinsip ini menekankan bahwa GATT

hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui tarif dan tidak

melalui upaya-upaya perdagangan lainnya[17].

Kelima, Prinsip Resiprositas. Prinsip ini berlaku dalam perundingan-perundingan tarif

yang didasarkan atas hubungan timbal balik yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

Prinsip ini sering mengalami hambatan dalam pelaksanaannya dikarenakan adanya perbedaan

tingkat perekonomian antarnegara, terutama antara negara maju dengan negara berkembang.

Sebagai contoh, negara maju ingin mendapat keringanan bea masuk seperti yang diberikan

negara tersebut kepada negara sedang berkembang. Padahal, daya saing negara berkembang

tidak sekuat negara maju. Oleh karena itu, pelaksanaan prinsip ini harus diimbangi oleh itikad

Page 8: wto mida

baik dari negara-negara maju untuk membantu perkembangan perdagangan internasional negara-

negara berkembang, dengan memberikan perlakukan-perlakuan khusus[18].

Keenam, Prinsip Perlakuan Khusus bagi Negara sedang Berkembang. Prinsip ini

berfungsi sebagai dasar hukum bagi negara maju untuk memberikan Generalized System of

Preferences (GSP atau Sistem Preferensi Umum) kepada negara-negara sedang berkembang[19].

Dari semua prinsip tersebut, ada sebuah prinsip lain yang disebut Prinsip Transparansi

(Transparency), yang mewajibkan negara-negara anggota GATT untuk bersikap

terbuka/transparan terhadap berbagai kebijakan perdagangannya, sehingga memudahkan para

pelaku usaha melakukan kegiatan perdagangan[20].

3.3  Peranan WTO dalam Perdagangan Internasional terkait dengan High Teknologi

Dalam konsideran persetujuan pembentukan WTO disebutkan bahwa organisasi ini

bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan, menjamin terciptanya lapangan

pekerjaan, meningkatkan produksi dan perdagangan internasional dan mengoptimalkan

pemanfaatan sumber daya dunia. WTO memberikan perhatian atas perlunya upaya-upaya positif

dalam rangka memberikan jaminan pertumbuhan perekonomian yang lebih baik bagi negara

berkembang dan terbelakang (Least Developed Country-LDC).

Sebagai suatu organisasi, WTO bertanggungjawab untuk mengawasi pelaksanaan dari

semua persetujuan baik yang bersifat multilateral maupun plurilateral yang  dirundingkan selama

putaran Uruguay. Persetujuan-persetujuan tersebut mencakup perdagangan barang, perdagangan

jasa, perlindungan hak atas kekayaan intelektual, pelaksanaan prosedur  penyelesaian sengketa

antara negara anggota, dan keputusan-keputusan lain yang diambil negara-negara anggotanya.

WTO juga melaksanakan peninjauan secara berkala (periodic reviews) atas semua kebijakan

Page 9: wto mida

perdagangan antarnegara anggota, termasuk kebijakan  sebagai akibat dari pelaksanaan

persetujuan tersebut[21].

Persetujuan-persetujuan dalam kerangka WTO mencakup produk-produk hukum  sebagai

pelaksanaan Sistem Perdagangan Multilateral yaitu persetujuan di bidang Barang  (Good),

persetujuan di bidang Pengamanan dan Perlindungan (Trade Remedities) yang  terdiri dari Anti-

dumping, Subsidies and Countervailing Measures, dan Safeguard, persetujuan di bidang

Perdagangan Jasa (Services); persetujuan di bidang HAKI (TRIPs), prosedur Penyelesaian

Sengketa (DSU); prosedur Tinjauan Kebijaksanaan Perdagangan (Trade Policy Review

Mechanism-TPRM) dan Sejumlah Keputusan dan Deklarasi Para Menteri[22]. Di samping itu,

WTO telah mengeluarkan beberapa perjanjian yang berhubungan dengan teknologi yaitu:

a.      Persetujuan di bidang HAKI (TRIPs)

TRIPs adalah kebijakan dari WTO yang mengatur pematenan hak kekayaan intelektual.

Hal yang mendasari ini adalah dorongan keuntungan ekonomi dan penguasaan pasar oleh

negara-negara industri maju. Melalui TRIPs, negara-negara maju berupaya untuk mengendalikan

penguasaan perdagangan internasional melalui pematenan produk-produk mereka[23]. Keadaan

ini ternyata dapat berdampak buruk bagi negara-negara berkembang karena dengan kebijakan-

kebijakan seperti ini akan mengakibatkan tidak adanya transfer teknologi lantaran apa yang mau

ditransfer tersebut sudah menjadi hak dari negara maju yang mematenkan. Dalam kategori ini,

perbedaan pembangunan berbasis teknologi (technologi based development) memberikan alasan

yang cukup signifikan bagi kemampuan mematenkan hasil produk.

Page 10: wto mida

Lebih lanjut, usaha negara nerkembang untuk bersaing dalam hal teknologi dapat menjadi

bumerang bagi negara berkembang sendiri karena pematenan hanya pada skala industri, tidak

pada skala pertanian, yang nota bene menjadi tulang punggung negara berkembang. Padahal,

proses-proses bioteknologi sekarang mampu menghasilkan bibit-bibit unggul yang tidak kalah

bersaing dengan negara maju. Tentu saja hal ini dimanfaatkan oleh negara-negara industri maju

untuk melakukan transfer teknologi dan pengetahuan untuk pertaniannya, di mana negara-negara

berkembang susah untuk mengakses transfer teknologi pada skala industri[24].

b.      SAPS

SAPS adalah perjanjian yang membatasi kebijakan pemerintah dalam hal keamanan

makanan (kontaminasi bakteri, pestisida, pemeriksaan dan pelabelan), kesehatan binatang dan

tanaman (impor wabah dan penyakit). Pada negara-negara yang belum banyak melakukan

penelitian ilmiah, perjanjian ini dianggap merugikan karena dapat melemahkan Precautionary

Principle (Prinsip Pencegahan). Kebijakan ini sebenarnya baik maksudnya, tapi dapat

menimbulkan terlambatnya negara yang diimpor untuk mencegah wabah atau penyakit dari

binatang ataupun tanaman yang masuk ke negara mereka[25].

c.       Agreement on Agriculture (AoA)

Agreement on Agriculture (AoA) sebagai sebuah perjanjian yang dihasilkan dari putaran

Uruguay, mengatur perdagangan pangan secara internasional dan dalam negeri. Aturan-aturan ini

memacu laju konsentrasi pertanian ke agrobisnis dan dapat melemahkan kemampuan negara-

negara miskin untuk mencukupi kebutuhan swadaya pangan dengan cara bertani (bahan pokok

penyambung hidup). Hal ini menyebabkan rendahnya harga komoditas mereka atas jumlah

ekspor mereka yang juga terbatas[26].

d.      GATS[27]

Page 11: wto mida

GATS adalah perjanjian yang dimaksudkan untuk menjadi tata perdagangan bebas dalam

bidang jasa. Perjanjian ini bertujuan untuk meliberalisasi perdagangan jasa dengan

menghilangkan hambatan, kontrol dan regulasi atas penyediaan jasa. Hal yang menakutkan

adalah GATS didasarkan pada prinsip yang memprioraritaskan nilai ekonomis dibandingkan

nilai sosial dari penyediaan jasa. Situasi ini mengarah pada komersialisasi jasa yang berjalan

bersamaan dengan liberalisasi ekonomi yang membatasi peran negara atau badan publik. Hal ini

berimplikasi pada privatisasi sektor-sektor penting seperti air, komunikasi, kesehatan, dan

pendidikan. Pengalihan kewenangan pada swasta juga kemudian akan menimbulkan kesenjangan

kekuasaan antara korporasi dan konsumen/publik. Pengelolaan secara arbitreri oleh swasta juga

akan menimbulkan naiknya tarif layanannya.

Menarik untuk dicatat di sini bahwa WTO memang mengatur juga tentang perlakuan

berbeda dan khusus yang ditujukan bagi negara-negara sedang berkembang yang menjadi

anggotanya[28]. Bahkan hampir semua persetujuan WTO mengandung ketentuan tentang special

rights (differential and more favourable) bagi negara-negara sedang berkembang anggota

WTO[29]. Sekretariat WTO telah mengklasifikasi 6 tipologi yang menjelaskan tujuan dari

Special and Differential Treatment (S&D Treatment), yaitu[30], pertama, ketentuan yang

bertujuan untuk meningkatkan peluang perdagangan bagi anggota negara berkembang.

Ketentuan ini mencakup semua tindakan yang dilakukan oleh negara-negara anggota dalam

rangka meningkatkan peluang-peluang perdagangan bagi negara berkembang. Untuk maksud ini

ada beberapa ketentuan yang tersebar dalam 4 persetujuan (pertanian, tekstil dan pakaian jadi,

perdagangan jasa, dan Enabling Clause), yang dapat dimanfaatkan oleh negara anggota[31].    

Kedua, ketentuan di mana negara anggota WTO harus melindungi kepentingan

Developed Countries (DCs). Ketentuan ini adalah memuat tindakan yang dapat dilakukan oleh

Page 12: wto mida

negara anggota, atau tindakan yang dapat dihindarkan oleh negara anggota agar kepentingan

negara berkembang dapat terlindungi. Ketiga, fleksibilitas komitmen, tindakan dan penggunaan

instrumen kebijakan. Ketentuan ini terkait dengan tindakan negara berkembang yang dapat

dilakukan melalui exception (pengecualian) dari disiplin yang harus diterapkan oleh negara-

negara anggota secara umum.

Keempat, periode waktu transisi. Ketentuan ini berhubungan dengan pengecualian ikatan

waktu dari disiplin yang secara umum diterapkan.  Kelima, bantuan teknis. Mengenai bantuan

teknis, negara maju telah sepakat untuk memberikan bantuan teknis kepada negara berkembang

dan terbelakang. Hal ini dilakukan karena level of development tiap negara anggota WTO

berbeda. Dan keenam, ketentuan yang berhubungan dengan Least-Developed Countries (LDCs).

Ketentuan ini penerapannya terbatas hanya bagi negara terbelakang sesuai dengan kriteria PBB.

Dalam kaitan dengan hak khusus bagi negara berkembang itu pula, pasal XVIII GATT di

bawah judul “Bantuan Pemerintah untuk Pembangunan Ekonomi” memberikan landasan bagi

perlakuan khusus terhadap negara-negara sedang berkembang. Dalam pasal tersebut disadari

bahwa pencapaian tujuan GATT didukung oleh perkembangan ekonomi negara-negara yang

sedang berkembang. Karena itu, negara-negara tersebut harus diperhatikan secara khusus, dalam

bentuk pemberian peralatan protektif yang mempengaruhi impor[32]. Sebaliknya, kewajiban

negara berkembang sebagai anggota WTO adalah melaksanakan semua komitmen yang telah

dibuat pada waktu penandatanganan pembentukan WTO, baik komitmen di bidang perdagangan

barang, jasa, maupun HAKI[33].

Jika disimak, peranan WTO sangat besar dalam pergerakan produk-produk high

technology. Aturan-aturan yang dibuat WTO dalam berbagai persetujuan di atas pada prinsipnya

baik dalam kerangka keunggulan komparatif dan sekaligus keunggulan kompetitif. Dalam tugas

Page 13: wto mida

dan peran yang sama, WTO sebenarnya punya andil untuk—dalam arti tertentu—membatasi

kedigdayaan negara-negara maju yang berkat teknologinya ingin mengambil alih teknologi

negara-negara berkembang dan mematenkan menjadi miliknya. Jika prinsip-prinsip WTO

dijalankan secara benar, dengan kategori memberikan privilese atau hak istimewa bagi negara-

negara berkembang, tentu saja tatanan ekonomi tidak pincang atau lebih memihak ke negara-

negara maju. Sampai pada titik ini, dalam pergerakan produk high-tech, WTO dapat mengambil

peran sebagai—meminjam Keynes dan Samuelson—legislator, provider, dan entrepreneur

dalam arti sesungguhnya.

3.4  Hambatan WTO dalam Pengawasan Perdagangan Internasional

Sebenarnya, WTO sendiri pun tidak lepas dari kegagalan-kegagalan yang seharusnya

tidak perlu terjadi jika WTO berpijak pada prinsip-prinsipnya secara benar. Kegagalan yang

pailng sering dilontarkan ialah bahwa WTO dinilai mengakomodasi dan menyalurkan

kepentingan negara-negara industri dalam keberadaannya hingga saat ini, terutama Amerika

Serikat dan negara-negara Eropa.

Dari awal pun posisi tawar menawar antara negara maju dan negara berkembang pun

tidak seimbang. Juga rapat-rapat WTO hanya diikuti oleh 30an negara, yang berarti ada 100an

negara yang tidak ikut dalam mengambil keputusan rapat. Hal itu menunjukan bahwa negara-

negara selain negara maju tidak mendapat peran yang lebih dalam mengambil kebijakan-

kebijakan WTO[34].

Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh WTO sendiri banyak menuai kontroversi bagi

negara-negara berkembang. Kebijakan-kebijakan tersebut terutama mengenai TRIPs, Sanitation

and Phytosanitation Standards (SAPS), Agreement on Agriculture (AoA), General Agreement

Page 14: wto mida

on Trade Services (GATS). Jika dikaitkan dengan prinsip-prinsip GATT dalam penjelasan

sebelumnya, ada beberapa hal yang kiranya perlu mendapat perhatian. Misalnya saja prinsip

Larangan Restriksi akan melemah jika negara maju meminta negara berkembang untuk

mengurangi atau membatasi kuantitas ekspornya. Padahal, negara berkembang justru mampu

berbenah melalui ekspornya. Hal senada berlaku juga untuk prinsip Resiprositas. Prinsip ini

secara teoritis dapat dibenarkan; namun dalam ranah praksis, prinsip ini tidak dapat berjalan

karena perbedaan tingkat pembangunan antara negara maju dan negara berkembang.

Martin Khor, seorang aktivis yang kritis terhadap neoliberalisme, mengusulkan agar

beberapa kesepakatan yang sudah dihasilkan dalam WTO selayaknya ditinjau kembali[35].

Menurutnya, persetujuan-persetujuan WTO lebih banyak menguntungkan negara-negara maju.

Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa WTO justru menjadi perangkap bagi kekuasaan pasar

yang amat efektif untuk “memaksa” berbagai negara agar mematuhinya. Meskipun ada prinsip

nondiskriminasi, namun kemampuan negosiasi (bargaining power) dari negara-negara

berkembang masih sangat lemah. Fakta ini diperparah oleh sikap ketergantungan dari negara

berkembang kepada negara maju, yang sebenarnya lahir dari kemenangan modal negara maju.

Itulah sebabnya berbagai perundingan yang membahas masalah-masalah penting dan urgen

selalu menguntungkan negara maju.

Sebuah contoh yang menarik dapat dilihat dalam perdebatan seputar obat-obatan[36].

Dalam pertemuan tingkat menteri WTO di Doha (2001), kalangan negara miskin dan negara

berkembang bersikukuh dengan usulan agar setiap negara tetap berhak menggunakan versi

generik dari obat yang sudah dipatenkan. Negara miskin dan berkembang juga bersikeras agar

negara yang tidak memiliki industri farmasi bisa memperoleh obat versi generik tersebut dari

Page 15: wto mida

negara tetangga. Atas alasan kemanusiaan, kalangan negara miskin dan negara berkembang

mulai mendapatkan dukungan dari negara maju, terutama dari negara-negara di Eropa.  

Negara-negara di Eropa yang mendukung proposal ini mendasarkan diri pada sejumlah

alasan. Pertama, menurut mereka, setiap orang berhak atas layanan kesehatan yang memadai,

termasuk akses terhadap obat. Dengan kata lain, menurut mereka tidak adil bila orang-orang

miskin di negara berkembang dipaksa untuk membayar obat dengan harga yang sama dengan

sesamanya di negara maju. Apalagi umumnya pemerintah di negara miskin dan berkembang

belum mampu memberikan perlindungan dan fasilitas kesehatan yang memadai bagi

masyarakatnya. Pengabaian terhadap kenyataan ini telah berdampak pada tewasnya belasan juta

rakyat miskin setiap tahunnya hanya karena mereka tidak mampu membeli obat.

Kedua, dalam kenyataannya, banyak industri farmasi yang memanfaatkan hak atas

kekayaan intelektualnya itu untuk memaksimalkan laba. Seorang aktivis LSM Singapura

memperlihatkan betapa satu pabrik obat bisa membanting harga produknya begitu ada pesaing

yang memproduksi obat sejenis. “Itu berarti bahwa laba yang selama ini diperoleh perusahaan

tersebut sudah sangat berlebih”, demikian tulis seorang aktivis dalam situs resmi Oxfam, LSM

yang bergerak di bidang kesehatan dan kemanusiaan.

Ketiga, banyak di antara obat-obat yang dipatenkan itu mendapatkan bahan bakunya dari

kekayaan plasma nutfah negara miskin atau negara berkembang. Jadi, sungguh tidak adil jika

industri negara maju memaksa rakyat negara miskin dan berkembang “untuk membeli kembali

kekayaan mereka”. Masalahnya ialah, Amerika Serikat (USA), yang de facto merupakan

kekuatan terbesar WTO, masih menentang usulan itu. Memang sekarang negara tersebut sudah

mulai “melunak”, yakni mau mengakomodir kepentingan negara miskin dan negara berkembang

untuk tetap mendapatkan hak produksi versi generik atas obat yang dipatenkan. Namun USA

Page 16: wto mida

tetap mempertahankan pendapat bahwa ekspor obat generik dari satu negara ke negara lain tidak

boleh terjadi. Alasan formal yang diajukan oleh USA dalam forum WTO adalah, pertama,

bahwa praktek tersebut akan mendorong penyelundupan obat generik dari negara berkembang ke

negara maju, bahkan ke USA sendiri. Harian Washington Times melaporkan bahwa pernyataan

USA bukanlah omong kosong karena banyak produk obat generik yang ditujukan untuk

masyarakat Sub-Sahara ternyata ditemukan di pelabuhan di Belgia.

Kedua, USA khawatir bahwa hak produksi obat generik akan mendorong industri farmasi

negara berkembang untuk memaksimalkan laba dengan memproduksi obat generik tersebut.

Kekhawatiran ini didasarkan oleh adanya fakta bahwa umumnya di negara berkembang hanya

ada satu atau dua perusahaan farmasi yang memproduksi obat generik yang dimaksud. Ketiga,

USA berpendapat bahwa pelepasan hak paten akan menyurutkan semangat mereka yang

bergerak dalam bidang riset dan pengembangan, karena mereka tidak akan mendapatkan insentif

uang yang memadai atas kerja keras yang mereka lakukan.

Selain hambatan dalam arti terlalu lemahnya implementasi prinsip-prinsip WTO yang

ditujukan bagi negara berkembang dan terbelakang, hambatan lainnya ialah perbedaan basic atau

dasar dari tingkat pembangunan setiap negara. Bagi negara-negara maju, industri berbasis

teknologi telah menjadi tuntutan mutlak. Akan tetapi, bagi negara berkembang, pembangunan

teknologi belum dapat dioptimalkan, selain karena minimnya sumber daya manusia, tetapi juga

karena political will pemerintah yang kurang mengarahkan masyarakat ke arah technology based

development.

3.5  Indonesia dan Alih Teknologi: Tinjauan Keterkaitan dengan WTO

Page 17: wto mida

Indonesia sudah sejak semula meratifikasi persetujuan WTO melalui UU No. 7/1994.

Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 November 1994 tentang

pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization” ini, maka

Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan dengan demikian, semua persetujuan

yang ada di dalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional[37]. Beberapa pengamat

ekonomi menilai bahwa Indonesia terlalu tergesa-gesa meratifikasi persetujuan WTO tersebut.

Alasan belum siapnya kondisi masyarakat menghadapi peta persaingan global dan belum

memadainya infrastruktur di Indonesia, sering diajukan sebagai alasan pembenar lantaran hingga

kini Indonesia masih belum bisa “tinggal landas”. Jika dibandingkan dengan Cina yang baru

meratifikasi persetujuan WTO pada tahun 2004, kondisi Indonesia terasa sangat

memprihatinkan. Tentu saja alasan kesiapan bangsa, baik secara suprastruktur maupun

infrastruktur yang telah diungkapkan di atas dapat diterima dalam tataran ini.       

            Sebenarnya, jika kita berbicara tentang penilaian atas keanggotaan Indonesia dalam

WTO, beberapa contoh dapat kita ajukan di sini. Deddy Saleh dalam makalahnya yang berjudul

“WTO dan Negara Berkembang” mengungkapkan bahwa manfaat yang dapat diambil dengan

bergabungnya negara berkembang di WTO ialah, reformasi fundamental di bidang perdagangan

produk pertanian; adanya keputusan untuk menghilangkan kuota ekspor tekstil dan pakaian jadi

secara bertahap; pengurangan bea masuk pada produk-produk industri; perluasan cakupan

produk-produk yang bea masuknya terikat ketentuan WTO sehingga sulit dinaikkan; dan

penghapusan persetujuan bilateral yang dapat menghambat arus perdagangan dari barang-barang

tertentu[38].

Namun dalam sudut pandang yang berbeda, Achmad Ya’kub mengajukan makalahnya

yang berjudul “WTO Mati Suri, Saatnya Untuk Kedaulatan Pangan”. Wakil dari organisasi

Page 18: wto mida

masyarakat sipil untuk perjuangan petani dan buruh tani ini menyatakan bahwa WTO adalah

salah satu mekanisme utama dari globalisasi korporasi. Buku aturan WTO yang berisi lebih dari

700 halaman tersebut merupakan suatu sistem perdagangan bergaya korporatis (corporate-

managed) yang komprehensif. Ekspansi pasar pertanian internasional hanya membuat untung

Amerika dan Uni Eropa dengan perusahaan-perusahaan transnasionalnya, seperti Monsanto,

Cargill, dan lainnya. Komoditi yang sangat murah dari perusahaan-perusahaan raksasa tersebut

telah membanjiri pasar domestik di negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia.

Padahal, sudah saatnya bagi Indonesia untuk memiliki kedaulatan pangan, sebuah konsep yang

diinginkan oleh buruh tani dan petani kecil untuk menghentikan kelaparan yang banyak

menimpa dirinya sendiri[39].

            Lalu bagaimana dengan masalah alih teknologi? Keikutsertaan suatu negara berkembang

—dalam hal ini Indonesia—dalam program alih teknologi bukanlah suatu permasalahan yang

sangat mudah. Adapun ketika program alih teknologi ini diterapkan di Indonesia dengan bentuk

pengalihan material (Material Transfer) atas dasar lisensi dianggap tidak akan memberikan nilai

tambah bagi pembangunan Indonesia itu sendiri karena hanya akan menciptakan masyarakat di

Indonesia yang hanya dapat memakai dan menggunakan tanpa bisa menghasilkan suatu

teknologi tersendiri. Pada gilirannya, dampak paling mencolok pun muncul: mendorong

masyarakat untuk bersifat konsumeristis[40].  

Selain itu upaya Indonesia dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui

program alih teknologi atau pemindahan teknologi asing ke dalam negeri pun mendapat

permasalahan serius karena hasil penemuan teknologi dari negara asing dan juga menjadi

pemilik teknlogi tersebut telah dilindungi oleh peraturan-peraturan yang menyangkut Hak

Kekayaan Intelektual (HKI) secara internasional[41]. Dengan kata lain, ketika Indonesia hendak

Page 19: wto mida

mengalihkan teknologi asing tersebut, Indonesia akan berhadapan dengan kenyataan bahwa

teknologi tersebut telah dilindungi oleh ketentuan-ketentuan internasional sehingga sulit untuk

mengalihkan teknologi asing tersebut ke dalam negeri.

Pada titik yang sama, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional pun harus

tunduk pada ketentuan yang menyangkut proses alih teknologi tersebut mengingat Indonesia

juga turut serta dalam pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Baca: WTO) yang

diratifikasi dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement

Establishing The World Trade Organization. Keikutsertaan Indonesia dalam WTO ini tentunya

menimbulkan suatu akibat hukum bahwa Indonesia menerima segala kewajiban yang

dibebankan, termasuk kewajiban untuk merubah hukum nasional agar sesuai dengan ketentuan-

ketentuan dalam persetujuan WTO. Dan perihal Hak Kekayaan Intelektual yang sangat berkaitan

erat dengan proses alih teknlogi diatur secara spesifik dalam ketentuan-ketentuan WTO ini.

Hak Kekayaan Intelektual yang diatur secara spesifik dalam perjanjian WTO secara

langsung membawa konsekwensi serta implikasi yuridis dalam proses alih teknologi di

Indonesia. Apalagi sejak tahun 2002, persetujuan TRIPs (Agreement On Trade Related Aspects

Of Intellectual Rights), yang pada awalnya bernaung di bawah WIPO (World Intellectual

Property Organiation), kini menjadi bagian dari WTO yang diberlakukan secara penuh di

Indonesia[42]. Hal ini tentunya mengakibatkan setiap pemakaian hak kekayaan intelektual harus

memperoleh izin pemilik hak tersebut. Selain itu, royalti atas penggunaan hak tersebut pun harus

dibayar. Itu berarti proses alih teknologi dari asing tidak dapat dialihkan dan dikembangkan di

Indonesia, dan keinginan Indonesia yang menjadikan alih teknologi sebagai cara untuk

meningkatkan kesejahteraan warganya menjadi terhambat.

Page 20: wto mida

Jika dilihat dari ketentuan-ketentuan nasional dalam program alih teknologi di Indonesia,

ternyata ketentuan-ketentuan yang ada di Indonesia yang mengatur hal tersebut belum dirasakan

manfaatnya secara signifikan. Adapun ketentuan nasional sebagai tindak lanjut dari Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing The World Trade

Organization  itu adalah sebagai berikut[43].

1.      Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain industri.

2.      Undang-undang nomor 33 Tahun 2000 tentang Sirkuit Tata Letak Sirkuit Terpadu.

3.      Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

4.      Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, sebagai pengganti atas Undang-undang

Nomor 14 tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang nomor 21 tahun 1996 tentang

Merek.

5.      Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, sebagai pengganti atas Undang-

undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982

tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987.

Semua undang-undang di atas secara normatif memang memadai. Namun demikian,

keanekaragaman pandangan dan pola pikir tentang alih teknologi sangat berpengaruh terhadap

mekanisme implementatifnya. Akhirnya, yang kiranya mungkin bagi Indonesia saat ini ialah

mengubah paradigma pembangunan ke arah technology based development.

IV.  PENUTUP

Page 21: wto mida

4.1  Kesimpulan         

Dari pemaparan fakta-fakta dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

a.       Peranan WTO agar globalisasi perdagangan produk high-tech dapat berjalan pada jalur yang

tepat di bawah kendali WTO adalah dengan menguatkan penerapan prinsip-prinsip WTO,

dengan menitikberatkan pada kemampuan negara-negara berkembang untuk mengembangkan

teknologinya. Dalam arti ini, WTO diharapkan mampu berperan sebagai legislator, provider, dan

enterpreneur. Ketiga peran tersebut dijalankan dengan mendorong negara-negara untuk

meningkatkan taraf hidup dan pendapatan negara, menjamin terciptanya lapangan pekerjaan,

meningkatkan produksi dan perdagangan internasional, dan mengoptimalkan pemanfaatan

sumber daya dunia dengan basis teknologi. Cara yang dilakukan adalah dengan mengeluarkan

persetujuan-persetujuan dalam kerangka WTO mencakup produk-produk hukum  sebagai

pelaksanaan Sistem Perdagangan Multilateral.

b.      Hambatan yang dihadapi WTO dalam mengawasi jalannya globalisasi terkait dengan

perdagangan internasional adalah kurang ada suatu solidaritas anatar negara-negara anggota

WTO. Negara maju cenderung kurang peduli terhadap persetujuan-persetujuan yang dibuat. Hal

ini mengakibatkan persetujuan itu lebih banyak merugikan negara-negara berkembang.

Permasalahan tersebut mengakibatkan munculnya issue negative yaitu adanya kepentingan

negara-negara industri dalam keberadaan WTO hingga saat ini, terutama Amerika Serikat dan

negara-negara Eropa.

c.       Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia menyingkapi alih teknologi di masa

globalisasi ini dengan ikut serta dalam WTO, sebab dalam WTO terdapat kebijakan-kebijakan

yang semestinya menguntungkan Indonesia. Hal ini tentunya mengharuskan Indonesia untuk

secara yuridis menerima segala kewajiban yang dibebankan padanya, termasuk kewajiban untuk

Page 22: wto mida

merubah hukum nasional agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan WTO.

Namun ternyata ketentuan-ketentuan yang ada di Indonesia yang mengatur hal tersebut belum

dirasakan bermanfaat secara signifikan dan karena itu solusi pengalihan teknologi yang ideal

belum ditemukan. 

4.2  Saran

Fakta membuktikan bahwa komposisi tawar-menawar antarnegara dalam WTO sangat

tidak seimbang lantaran terdapat pembedaan tegas antara negara maju dan negara berkembang.

Hal menunjuk pada ketidakberesan governance dalam lembaga tersebut. Negara-negara dengan

posisi bargaining yang lebih kuat terlihat mendominasi WTO walaupun semua negara

seharusnya memiliki hak suara yang sama. Karena itu, sudah seharusnya prinsip-prinsip WTO

dijalankan secara benar, tanpa ada tendensi untuk semata-mata memberikan keuntungan bagi

negara maju.

Dan dalam kaitan dengan alih teknologi, perlulah bagi Indonesia untuk mulai

menerapkan technology based development sebagai hal yang mutlak perlu. Hanya dengan

mengembangkan teknologi, Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara maju, dan

terutama mampu mencerdaskan kehidupan bangsa secara adil dan merata.