Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Volume 2 (1), 2020
| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah
1
HUBUNGAN AL QUR'AN DENGAN SAINS
Nur Raihan
Email : [email protected]
STAIS Lan Taboer
Abstract
Al Qur'an does not only contain life guidelines relating to aspects of
aqeedah and ubudiyah and muamalah, but it turns out the Qur'an also
provides scientific messages that encourage the birth of certain
scientific disciplines. This has been acknowledged and confirmed by the
Qur'an itself in Surah An Nahl verse 89 that the Qur'an explains
something. Al-Qur'an as a medium of Allah SWT to communicate to
humans through two forms, namely textually and contextually, where
Toshihiko Izutsu calls it linguistic and non-linguistic. The first form can
be seen through the word as found in the Qur'an itself and the second
form is non linguistic in the form of natural phenomena, such as wind,
rain, and changes in day and night. One Indian scholar named P.A
Wahid poured his thoughts in a book called The Quran: Scientific
Exegesis. According to Wahid, the Qur'an is a lens through which
humans can see creation and understand it scientifically from a divine
perspective. This is one of the functions of science to verify the
rationality and truth of the Qur'an. Moreover, this is supported by the
tradition of Qur'an which discusses i'jaz al - Qur'an especially i'jaz ilmi.
Where, i'jaz Ilmi seeks to elaborate verses relevant to scientific
activities to understand the context of interpretation and style,
especially thematic (maudhu’i). In fact, from the beginning the Qur'an
was revealed to have given a signal about this method of interpretation.
On several occasions the Prophet Muhammad interpreted the meaning
and implications of the verses of the Qur'an. For example Rasulullah
SAW explained about occult matters and matters of generality and
restrictions on matters that are not yet clearly defined in the Qur'an.
The next development, interpretation of the Qur'an became the
scientific activity of Muslims who gave birth to Muslim scientists in the
era of the Caliphate. In the 20th century the Islamic Science or
Islamization, Science Islamization or Knowledge Islamization
movement emerged, pioneered by three intellectual figures namely Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Seyyed Hossen Nasr and Ismail Raji al-
Faruqi. Share al-Attas.
Keyword: Al Qur'an, Tafsir, science, science, maudhu’i, civilization,
Islamization of Science, Islamic Science, Muslim scientists, i'jaz ilmi
Hubungan Al Qur’an dengan …|
| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah
2
A. Pendahuluan
Al - Qur’an sebagai petunjuk (al - huda) selain berbicara
mengenai aspek aqidah dan ubudiyah serta muamalah, juga berisi pesan
- pesan ilmiah. Kandungan ilmiah al - Qur’an tersebar di berbagai ayat
yang mencakup berbagai topik disiplin ilmu. Dan al - Qur’an sendiri
menjelaskan bahwa ia diturunkan bagi manusia untuk menjelaskan
segala sesuatu, sebagaimana termaktub dalam Surat An - Nahl ayat 89.
ن أ م مي ة شهييدا عليي ئنا بيك شهييدا على ويوم نبعث في كلي أم هيم وجي نفسي
لنا عليك الكيتاب ؤلءي ونز ىى تيبيان ليكلي ه ء وهدى ورحة وبش ش
ين ﴿ النلحل: ﴾٨٩ليلمسليمي Artinya : “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada
tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami
datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat
manusia. Dan Kami turunkan kepadamu al - Kitab (al - Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An Nahl:89)
Imam ath - Thabari mengutip pendapat Ibnu Mas’ud terkait ayat
ini bahwa “dalam Al Qur’an ini diturunkan semua ilmu, dan segala
sesuatu telah dijelaskan kepada kita dalam al - Qur’an.” As - Suyuthi
juga mengutip pernyataan Ibnu Mas’ud lainnya bahwa “barangsiapa
yang menginginkan ilmu, hendaklah ia mempelajari terus al - Qur’an,
karena di dalamnya terdapat ilmu orang - orang terdahulu dan
terkemudian.”1
Salah satu kosa kata kunci dalam mengelaborasi keilmiahan Al
Qur’an adalah istilah ayat yang berarti tanda. Toshihiko Izutsu
menyatakan bahwa istilah itu menunjukkan cara Tuhan berkomunikasi
dengan manusia dalam dua bentuk yakni linguistik dan non linguistik.
Bentuk pertama dapat dilihat melalui firmannya seperti yang terdapat
pada Al Qur’an dan yang kedua berbentuk non linguistik berupa
fenomena alam, misalnya angin, hujan, serta perubahan siang dan
malam. Ayat dalam makna kedua ini tidak hanya menunjukkan
fenomena sederhana, melainkan bukti intervensi Tuhan sekaligus
kepedulian dan kebijaksanaan-Nya dalam urusan manusia. 2
Atas dasar ini, hubungan antara Al Qur’an sebagai sumber Islam
dan Science tidak bisa dipisahkan. Sebab Al Qur’an sendiri berbicara
mengenai aspek - aspek yang hari ini disebut dengan ilmiah. Misalnya
dalam dunia kesehatan, jauh sebelum ultrasonografi ada sudah ada ayat
yang menerangkan tentang proses penciptaan manusia dalam
1 Muhammad Ahmad Isawi, Tafsir Ibnu Mas’ud, Jakarta: Pustaka Azam,
tanpa tahun, hal. 643 - 644 2 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qur’anic
Weltanschauung, Petaling Jaya: Islamic Book Trust, Tahun 2008, hal. 142 - 143
|Nur Raihan
| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah
3
kandungan. Contoh lainnya adalah ilmu sosial tentang ayat perbedaan
bangsa - bangsa yang diciptakan Allah swt.
Meskipun demikian, ilmuwan Muslim di era klasik tidak pernah
berusaha untuk menyajikan data ilmiah sebagai pendukung firman
Allah dalam Al Qur’an. Sebab tradisi ilmiah Islam mempunyai fondasi
metafisik yang berbasiskan tauhid. Sementara itu alam di mana manusia
hidup hanyalah semacam kanvas historis tentang bagaimana manusia
berbuat menurut perintah Tuhan.3 Argumentasi lain adalah bahwa Al
Qur’an bersifat absolut, sementara aktivitas ilmiah bisa mempunyai
hasil yang berbeda dari waktu ke waktu. Konsekuensinya, jika Al
Qur’an ditafsirkan dengan bukti saintifik dan dipercayai absolut maka
pemahaman tentang otoritas Al Qur’an terdegradasi apabila hasil
penyelidikan ilmiah bertukar seiring dengan kemajuan teknologi.
Bagaimanapun, usaha untuk menjelaskan Al Qur’an dengan
menggunakan pendekatan saintifik sedang menjadi diskusi hangat dan
bahkan sudah bermunculan tulisan mengenainya. Di antaranya adalah
karya sarjana India bernama P.A Wahid yang berjudul The Quran:
Scientific Exegesis. Menurut Wahid, al - Qur’an merupakan lensa yang
melaluinya manusia dapat melihat ciptaan dan memahaminya secara
ilmiah berdasarkan perspektif ketuhanan. Sementara itu, sains menjadi
alat yang efektif dan efisien dalam memverifikasi rasionalitas dan
kebenaran Al Qur’an untuk memuaskan dahaga pikiran manusia
sekaligus meningkatkan pemahaman tentang ketidakterbatasan kuasa
Tuhan.4
Usaha-usaha untuk menjelaskan Al Qur’an dengan
menggunakan argumentasi rasional maupun ilmiah merupakan
berkaitan langsung dengan adanya teks Al Qur’an yang
mengindikasikan sains. Dalam tradisi ilmu Qur’an dibahas dalam i’jaz
al - Qur’an khususnya i’jaz ilmi. Dalam konteks tafsir, i’jaz berkaitan
erat dengan tafsir maudhu’i (tematik) dengan alasan pendekatan tafsir
yang digunakan adalah mengumpulkan tema - tema ilmiah dalam kitab
suci tersebut lalu dijelaskan sedemikian rupa.
B. I’jaz Al - Qur’an dan Tafsir Maudhu’i
I’jaz berasal dari kata ‘ajaza yang berarti lemah. Sedangkan kata
i’jaz sendiri bermakna menetapkan kelemahan.5 Lazimnya dikenal
dengan mukjizat yakni sesuatu yang bisa melakukan perubahan besar
baik dalam skala kecil maupun besar serta dapat menandingi hukum
alam yang dihasilkan dari kekuatan indra dan eksperimen.6
3 Muzaffar Iqbal, On Scientific Exegesis, Islam and Science, Vol. 8, No 2,
2010, hal. 78 - 79. 4 P.A Wahid, The Quran: Scientific Exegesis, India: islamicscience.in,
Tahun 2015, hal.11 5 Amroeni Drajat, Ulumul Qur’an: Pengantar Ilmu – ilmu Al – Qur’an,
Depok: Kencana, Tahun 2017, hal. 117 6 Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Quran, Jakarta: Al Huda, Tahun 2006,
hal. 188
Hubungan Al Qur’an dengan …|
| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah
4
Menurut Baqir Hakim, Al Qur’an merupakan mukjizat terbesar
karena beberapa alasan. Pertama, ketersebarannya yang luas di muka
bumi dan berawal dari kota Mekkah yang ketika Al Qur’an diturunkan
masih belum mengenal kebudayaan metropolis atau maju. Kedua, Al
Qur’an dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang belum pernah
mendapatkan pengajaran dan pendidikan. Terakhir, Al Qur’an mampu
menceritakan kejadian yang ghaib baik yang terjadi di masa lampau
ataupun di masa yang akan datang.7
Aspek penting lain dari kemukjizatan Al Qur’an terletak pada
keunggulan yang tidak tidak tertandingi oleh bangsa Arab. Baik dari
segi pembuatan surat yang serupa maupun konten Al Qur’an secara
keseluruhan. Lebih dari itu, menurut Ali Shabuni kemukjizatan Al
Qur’an sebetulnya terletak pada kebenarannya dan sekaligus
membenarkan ajaran serta mukjizat para Rasul yang datang
sebelumnya.8
Setidaknya ada tiga ketegori mukjizat Al Qur’an yaitu i’jaz
bayani wa adabi, i’jaz al - islahi au at - tasyri’i, dan i’jaz al - ‘ilmi. I’jaz
bayani wa adabi maksudnya adalah mukjizat al - Qur’an dari sisi
bahasa dan sastra. Karena kekeindahan susunan dan bunyinya bangsa
Arab sempat menyebutnya dengan sihir. Sementara i’jaz al - islahi au
at - tasyri’I merupakan mukjizat Al Qur’an dalam syariat yang
dikandungnya. Maksudnya ajaran Al Qur’an yang agung tidak mungkin
dibuat oleh manusia. Adapun i’jaz al - ‘ilmi adalah mukjizat Al Qur’an
berdasarkan petunjuk dan isyarat ilmiah yang ditunjukkan Al Qur’an.
Isyarat ini dianggap mendahului zaman, sebab saat konteks Al Qur’an
diturunkan manusia belum mengetahui fakta - fakta saintifik yang
diungkap di dalamnya.9
I’jaz Ilmi belakangan semakin menjadi perhatian bagi para
sarjana. Oleh karena itu banyak hadir buku dan tulisan dalam
mengelaborasi ayat - ayat yang relevan dengan aktivitas ilmiah. Untuk
memahami relasi antara i’jaz ilmi dan aktivitas ilmiah, konteks
penafsiran dan coraknya, khususnya tematik (maudhu’i) wajib menjadi
menjadi perhatian.
Al Qur’an merupakan sumber utama umat Islam sekaligus
panduan dasar dalam menjalani menjalani kehidupannya. Ini
menyebabkan munculnya banyak pembahasan mengenainya, terutama
sekali setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW. Tujuan dasarnya
adalah sebagai penjelas bagi kaum awam yang tidak bisa
memahaminya karena belum mumpuni secara keilmuan atau juga untuk
memahami Al Quran dari berbagai aspeknya dengan menyandarkan
argumentasi pada hubungan antara ayat yang satu dengan yang lainnya,
ayat Al Qur’an dengan Hadits dan ayat dengan akal serta perjalanan
7 Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Quran, hal. 192 - 198 8 Amroeni Drajat, Ulumul Qur’an: Pengantar Ilmu – ilmu Al – Qur’an, hal.
120 9 Adik Hermawan, I’jaz Al – Qur’an Dalam Pemikiran Yusuf al – Qaradhawi, Jurnal
Madaniyah, Vol. 2, Edisi XI, 2016, hal 219 - 221
|Nur Raihan
| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah
5
spiritual. Pembahasan-pembahasan penjelas ayat Al Qur’an ini dikenal
dengan tafsir.
Secara bahasa tafsir mempunyai makna penerangan (idakh) dan
penjelasan (tabyin). Bentuk kata tafsir sendiri diambil dari kata dasar al
- fasr yang berarti penjelasan (ibanah) dan penyingkapan (kasyf).
Sementara itu secara terminologis, tafsir adalah ilmu yang berisi
pembahasan tentang maksud firman Allah SWT sesuai dengan
kemampuan manusia.10 Orang pertama yang memaknai kata tafsir
sebagai penjelasan Al Qur’an adalah Abdullah bin Umar sewaktu dia
membicarakan kedudukan pemahaman agama Abdullah bin Abbas.11
Cikal bakal tafsir sudah dimulai semenjak zaman Rasulullah
SAW. Oleh karena itu ditemukan di beberapa kesempatan beliau
menafsirkan makna dan implikasi dari dari ayat - ayat Al Qur’an.12
Misalnya Rasulullah SAW menjelaskan tentang perkara ghaib dan
perkara keumuman dan pembatasan terhadap hal - hal yang belum jelas
batasannya dalam Al Qur’an.13 Meskipun Rasulullah telah memberikan
pondasi tafsir, namun terjadi perbedaan pendapat tentang apakah beliau
memberikan penjelasan terhadap Al Qur’an secara keseluruhan. Sebab
hanya sedikit yang ditemukan berupa penjelasan, kebanyakannya
adalah tafsir praktis (ritual).14
Di dalam perkembangannya, tafsir mempunyai corak sesuai
dengan pendekatan dan metodologi penafsirannya. Hal ini melahirkan
kategorisasi sesuai dengan corak tersebut. Di antaranya adalah tafsir bi
al - ma’tsur (menafsir ayat dengan ayat lainnya atau Hadist), tafsir bi al
- ra’yi (penafsiran dengan akal), tafsir al - maudhu’i (penafsiran dengan
tema/topik tertentu), tafsir al - isyari (penafsiran dengan spiritualitas)
dan tafsir al - ‘ilmi (tafsir ayat dengan pengetahuan).15
Selain itu juga terdapat penafsiran berdasarkan mazhab teologis
yang dipegang oleh masing - masing ulama yakni Sunni, Mu’tazilah,
Syiah Dua Belas Imam dan Syiah Ismailiyah.16 Sebagai contoh terdapat
ada tafsir Ath - Thabari dan Al - Qurthubi (Sunni), tafsir Zamakhsyari
(Mu’tazilah), dan Tafsir Al - Mizan (Syiah Dua Belas Imam).
10 Muhammad Husain al - Dzahabi, Tafsir Al - Qur’an: Sebuah Pengantar,
Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, Tahun 2016, hal. 1 - 2 11 Ali Suleiman Ali, A Brief Introduction to Qur’anic Exegesis (Abridged by
Wanda Krause), Herndon: IIIT, Tahun 2018, hal. 1 12 Fred Leemhuis, Origins and Early Development of the Tafsir Tradition,
dalam Andrew Rippin (ed), Approaches to the History of Interpretation of the
Qur’an¸Oxford: Clarendon Press, Tahun 1988, hal.13 13 Muhammad Husain al - Dzahabi, Tafsir Al - Qur’an: Sebuah Pengantar,
hal. 17 14 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards A Contemporary
Approach, New York: Routledge, Tahun 2005, hal. 9 15 Sebagai pengantar untuk masing – masing corak tafsir bisa dirujuk karya
Muhammad Husain al - Dzahabi, Tafsir Al - Qur’an: Sebuah Pengantar. 16 Salah satu pembahasan tafsir dari kalangan Syiah Ismailiyah dan Syiah
Dua Belas Imam dapat merujuk ke bab 9,10 dan 11 dalam buku Andrew Rippin (ed),
Approaches to the History of Interpretation of the Qur’an
Hubungan Al Qur’an dengan …|
| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah
6
Menurut beberapa ahli kata maudhu’i secara bahasa dinisbatkan
kepada kata maudhu’ yang memiliki beragam arti. Di antaranya adalah
yang diletakkan, yang diantar, yang ditaruh dan yang dibicarakan
sesusai topik atau tema tertentu.17 Sedangkan menurut istilah tafsir
maudhui merupakan salah satu pendekatan tafsir yang membahas surat
dalam Al Qur’an secara individual atau mengumpulkan ayat yang
mempunyai kaitan pembahasan.18
Allamah Baqir Shadr menyatakan bahwa maudhu’i memiliki
tiga makna: pertama, memiliki objektifitas yakni menjaga amanah dan
konsistensi serta menghindari keberpihakan. Kedua, berarti memulai
pembahasan dari kenyataan yang dikembalikan kepada Al Quran untuk
mengetahui pendiriannya. Terakhir, maudhu’i dinisbatkan kepada
tema, mufasir lalu menafsirkan dan menyimpulkan ayat - ayat Al
Qur’an berdasarkan tema tersebut.19
Ada beberapa cara dalam menyusun tafsir maudhu’i. Cara
tradisional dan konservatif adalah membahas tema dalam setiap surat
mengikuti urutannya. Beberapa ulama yang terkenal dengan cara ini
adalah Mahmud Syaltut, Muhammad Al Ghazali dan Muhammad Al
Bahi. Metode yang lebih komprehensif adalah dengan mengelaborasi
ayat-ayat yang ada dalam Al Qur’an lalu mengumpulkannya dalam
suatu tema pembahasan tertentu. Di antara tokohnya adalah Abdul
Hayy Al - Farmawi dan Muhammad Quraish Shihab. Karya lain sejenis
ditulis oleh sarjana bernama Fazlur Rahman dalam bukunya yang
populer di dunia barat, The Major Themes of The Qur’an.20
Rahman sendiri dalam bukunya tersebut menyebutkan bahwa
tujuan dari karyanya adalah untuk menolong orang yang belajar Al
Qur’an untuk berkenalan dengan konsep seperti Tuhan, manusia dan
Tuhan. Sekaligus, dia juga mengkritik metode penafsiran terdahulu
yang cenderung menafsirkan ayat demi ayat. Baginya, penafsiran
demikian tidak memberikan pemahaman yang kohesif mengenai
kehidupan dan alam semesta.21
Muhammad Ghazali dalam pengantar karyanya yang berjudul
Al - Tafsir Maudhu’i mengatakan metode tafsir Maudhu’i dilakukan
dengan memperlakukan setiap surat dari Al - Qur’an sebagai suatu unit
yang utuh. Setelah itu dilakukan penjelasan tematis dengan
mengindetifikasi tema utama (atau tema - tema) dan makna yang
berhubungan dengannya. Ahli tafsir tersebut juga mengatakan aspek
lain dari tafsir maudhu’i yang tidak dia lakukan dalam kitabnya tersebut
17 H. M. Sja’roni, Studi Tafsir Tematik, Jurnal Studi Islam Panca Wahana,
Edisi 12, Tahun 10, 2014, hal.2 18 Johanna Pink, Muslim Qur’anic Interpretation Today: Media, Genealogies
and Interpretive Communities, Bristol: Equinox, Tahun 2019, hal. 153 19 Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, Jakarta: Al - Huda, Tahun
2006, hal. 508 - 509 20 Johanna Pink, Muslim Qur’anic Interpretation Today, hal. 153 - 154 21 Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, Chicago: Bibliotheca
Islamica, Tahun 1994, hal. v
|Nur Raihan
| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah
7
yaitu mengindentifikasi tema-tema utama Al Qur’an secara keseluruhan
dan mendiskusikannya.22
Abdul Hayy Al - Farmawi mengatakan ada tujuh tahapan dalam
menjalankan metode maudhu’i sebagaimana berikut ini:
1. Menentukan tema
2. Mengidentifikasi ayat - ayat yang terkait dengan tema
3. Menyusun urutan ayat yang dibahas
4. Menentukan keterkaitan antar ayat
5. Mengurai tema yang sedang dibahas
6. Menambahkan Hadits yang relevan ke dalam pembahasan
7. Mempelajari ayat-ayat yang relevan secara komprehensif
dengan merujuk juga kepada ayat dengan makna yang serupa
atau menggunakan prinsip ‘amm dan khass serta mutlaq dan
muqayyad.23
Muhammad Baqir Hakim menyatakan bahwa tafsir maudhu’i
dibutuhkan pada zaman sekarang untuk menjelaskan Islam secara
teoritis yang melingkupi dasar agama sebagai sumber dari syariat.24
Selain itu, tafsir tematik ini juga diperlukan untuk menjawab persoalan
- persoalan kontemporer yang dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena
itu tafsir maudhu’i dalam pandangan Quraish Shihab tidak hanya
bersifat objektif namun juga intensional. Objektif berarti memaparkan
konteks linguistik dan historis dari teks Al Qur’an, sementara
intensional bermaksud usaha untuk memahami kondisi masa kini dan
menghubungkannya dengan ayat Al - Qur’an supaya sesuai dengan
kebutuhan pembacanya.25
Quraish Shihab juga membuktikan pandangannya ini misalnya
melalui buku Wawasan Al - Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai
Persoalan Umat. Di dalam buku tersebut dia membahas antara lain
tentang pokok-pokok keimanan dan tentang ragam persoalan
manusia.26 Buku kontemporer lainnya yang juga menggunakan
pendekatan tematik (sekaligus komparatif) adalah Understanding the
Qur’an: Themes and Style karya Muhammad Abdel Haleem. Beberapa
22 Muhammad al - Ghazali, Al - Tafsir Maudu’i (A Thematic Commentary on
the Quran, Terjemahan Inggris oleh Ashur A. Shamis), London: IIIT, Tahun 2005,
hal. xi 23 Muhammadiyah Amin dan Kusmana, Purposive Exegesis: A Study of
Quraish Shihab’s Thematic Interpretation of The Qur’an, dalam Abdullah Saeed
(ed), Approaches to The Qur’an in Contemporary Indonesia, New York: Oxford
University Press, Tahun 2005, hal. 71 24 Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, hal. 512 25 Muhammadiyah Amin dan Kusmana, Purposive Exegesis: A Study of
Quraish Shihab’s Thematic Interpretation of The Qur’an, dalam Abdullah Saeed
(ed), Approaches to The Qur’an in Contemporary Indonesia, New York: Oxford
University Press, Tahun 2005, hal. 72 26 Silahkan lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al - Qur’an: Tafsir Maudhu’i
Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, Tahun 1996
Hubungan Al Qur’an dengan …|
| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah
8
pokok persoalan yang dibahas adalah mengenai perkawinan dan
perceraian, perang dan perdamaian, toleransi serta kehidupan.27
C. Tradisi Keilmuan Dalam Peradaban Islam
Al Qur’an dan Hadits merupakan dua alasan utama yang
menghidupkan tradisi Science dalam sejarah Islam semenjak awal
kemunculannya. Meskipun tidak rinci, Muslim percaya bahwa semua
jenis keilmuan dimuat dalam Al Qur’an dan tafsir esoterisnya
memberikan dasar untuk membuka cakrawala pengetahuan. Di
samping itu, Al Qur’an dan Hadits memberikan atmosfir untuk
menggali pengetahuan, karena bagi keduanya, aktivitas keilmuan
merupakan suatu kebaikan. Kedua teks suci umat Islam ini menjadi
basis bagi konstruksi sains Islam.28
Aktivitas keilmuan umat Islam dan sains Islam tentu tidak lahir
dari ruang kosong. Sains Islam lahir dari jalinan antara wahyu Qur’ani
dengan sains yang sudah ada dari berbagai peradaban yang diwarisi
Islam dan kemudian ditransmutasikan melalui spiritualitas ke dalam
substansi yang baru. Peradaban Islam yang kosmopolitan dan
internasional memberikan jalan untuk menciptakan sains pertama yang
bersifat global. Peradaban besar yang diwarisi Islam secara langsung
ataupun melalui peradaban lain adalah Mesir (Alexandria), India,
Yunani, Persia, Cina dan India.29
Seyyed Hossein Nasr, menyebutkan bahwa figur sentral yang
mentransmisikan sains adalah orang bijaksana, hakim. Di dalam diri
seorang hakim tampak kesatuan dari semua cabang sains yang
berdasarkan hikmah. Dia juga mengajarkan perspektif kesatuan
tersebut kepada murid - muridnya. Lebih dari pada itu, peradaban Islam
juga memberikan ruang bagi non Muslim untuk berperan di dala
peradabannya.
Melihat siginifikansinya, beberapa figur sentral tersebut mesti
dilihat walaupun sekilas. Misalnya, Jabir bin Hayyan (sufi dan ahli
kimia), al - Kindi (filsuf dan ahli matematika), Hunain bin Ishaq (ahli
farmasi, filsuf dan penterjemah), Thabit bin Qurrah (filsuf dan dokter),
Al Khawarazmi (ahli matematika), Al Farabi (filsuf), Ibn Sina (filsuf
dan dokter), Al Ghazali (filsuf dan teolog), Ibn Rusyd (filsuf),
Nashiruddin At - Tusi (filsuf, sufi dan saintis) dan Ibnu Khaldun
(sejawaran).30
Meskipun tradisi saintifik dalam peradaban Islam mulai tampak
pada munculnya Jabir bin Hayyan, namun cikal bakalnya sudah tampak
27 Silahkan rujuk Muhammad Abdel Haleem, Understanding the Qur’an:
Themes and Style, London: IB TAURIS, Tahun 2011 28 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study, World of
Islam Festival Publishing Company, Tahun 1976, hal. 5 29 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study, hal. 9 - 12 30 Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, Belmont: ABC
International Group, Tahun 2001, hal. 41 - 57
|Nur Raihan
| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah
9
sejak zaman Nabi Muhammad saw, setidaknya dalam dua disiplin yaitu
pengobatan dan astronomi. Ini dapat terlihat dari adanya cabang ilmu
kedokteran yang membahas pengobatan ala nabi (al - Tibb al - Nabawi),
demikian pula halnya astronomi pra Arab Islam yang bertransformasi
karena pengaruh doktrin kosmologi Al Qur’an.31 Astronomi menjadi
penting sebab untuk menentukan waktu shalat dan puasa.
Salah satu poin penting dalam tradisi saintifik Islam adalah
gerakan penterjemahan dari abad ke - 8 sampai abad ke - 11. Sepanjang
periode ini berbagai teks dalam beberapa bahasa dan lintas disiplin ilmu
seperti filsafat Aristoteles, kimia, matematika hingga farmasi
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dinasti yang berperan penting
dalam penterjemahan ini adalah Abbasiyah karena memberikan
dukungan secara finansial maupun administrasi.32
Hasil dari gerakan penterjemahan ini adalah suburnya aktivitas
keilmuan dari berbagai lapangan kehidupan sehingga para ulama
membuat klasifikasi ilmu mulai dari ilmu yang rasional sampai ilmu
praktis. Misalnya Al Ghazali yang membagi ilmu ke dalam dua bagian
yakni ilmu agama dan ilmu intelektual. Di tempat lain juga ada
Qutbuddin al - Shirazi ilmu filosofis dan ilmu agama.33
Dua contoh klasifikasi di atas mengindikasikan betapa ilmu
yang berdasarkan wahyu beriringan dengan ilmu yang berdasarkan
kemampuan akal manusia, tanpa ada yang ditinggalkan. Ini
mencerminkan bahwa tradisi ilmiah umat Islam adalah implementasi
dari jalan Al Quran itu sendiri yang menyuruh manusia untuk
mematuhi Allah sekaligus menggunakan akal dan potensinya. Konteks
ini juga yang sekaligus melahirkan para hakim (jamak: hukama) yakni
orang-orang arif yang keilmuannya lintas disiplin. Misalnya, sosok Ibnu
Sina yang mendalami tafsir filosofis34 namun disisi lain juga mengarang
buku magnum opus tentang kedokteran.35
D. Paradigma Islamisasi Science dan Masalah Filosofis
31 Muzaffar Iqbal, The Making of Islamic Science, Kuala Lumpur: Islamic
Book Trust, Tahun 2009, hal. 11 - 12. 32 Muzaffar Iqbal, The Making of Islamic Science, hal. 29 33 Untuk pembahasan lengkap mengenai klasifikasinya silahkan lihat Osman
Bakar, Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophical
Science, Cambridge: Islamic Texts Society, Tahun 1998 34 Salah satu pembahasan tafsir filosofis ala Ibnu Sina bisa dibaca di
penelitian Daniel De Smet dan Meryem Sebti, Avicenna’s Philosophical Approach
to the Qur’an in the Light of His Tafsir Surat al – Ikhlas, Journal of Qur’anic
Studies, 2009, hal. 134 - 148 35 Lihat karya Ibnu Sina al - Qanun fi al – Thibb, diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris oleh Oskar Gruner menjadi The Canon of Medicine of Avicenna, New
York: AMS Press, Tahun 1973
Hubungan Al Qur’an dengan …|
| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah
10
Diskusi tentang Al Qur’an dan pengetahuan di atas biasanya
dikaitkan dengan wacana Islamic science (sains Islam) yang
berkembang pada abad ke - 20. Sebagai suatu terminologi, wacana
Islamic Science berangkat dari paradigma Islamisasi Science dengan
berbagai variasi istilahnya seperti Islamisasi Ilmu, Islamisasi Sains atau
Islamisasi Pengetahuan.
Setidaknya ada tiga tokoh intelektual yang menjadi pionir dalam
paradigma Islamisasi Science yaitu Syed Muhammad Naquib al - Attas,
Seyyed Hossen Nasr dan Ismail Raji Al Faruqi. Bagi al - Attas masalah
utama yang dihadapi umat Islam adalah dilema umum yang dia sebut
sebagai the loss of adab (kehilangan adab). Tapi yang dimaksud dengan
adab di sini bukanlah semata-mata bersifat etika atau sopan santun,
melainkan adab secara filosofis yang berarti pengenalan dan pengakuan
terhadap kebenaran dan tempat serta kedudukan yang tepat dalam
kehidupan.36
Ada tiga lingkaran setan (vicious circle) yang disebut al - Attas
dalam konsep the loss of adab. Pertama kebingungan dan kekeliruan
dalam pengetahuan yang menciptakan kondisi. Kedua, hilangnya adab
dalam umat. kedua kondisi tersebut menghadirkan pemimpin umat
yang tidak layak, tidak memiliki moral, spiritual dan intelektual yang
baik.37
Kebingungan yang ada di tengah-tengah umat Islam disebabkan
oleh proses sekulerisasi yang ada di tengah-tengah umat Islam.
Alasannya adalah adanya intelektual Muslim yang yang terlena oleh
cara berpikir barat beserta dengan kemajuan dan inovasi teknologinya.
Mereka tidak menyadari adanya perbedaan pandangan dunia antara
kebudayaan barat dan Islam. Al Attas memaknai sekularisasi yang dia
maksud dengan merujuk kepada teolog Belanda Cornelis Van Peursen
yakni pembebasan manusia dari kontrol agama dan metasifik atas
pikiran dan bahasanya.38 Dalam hal ini, sekularisasi dapat dimaknai
sebagai proses tercerabutnya manusia dari spiritulitasnya, khususnya
agama, yang sepatutnya membentuk pandangan dunianya, terutama
atas pikiran-pikiran dan komponen linguistiknya.
Oleh karena itu, Al - Attas mengajukan istilah Islamisasi
sebagai jawaban dari proses sekulerisasi yang berlangsung.
Menurutnya, Islamisasi adalah pertama, pembebasan manusia dari
tradisi magis, mitologis, animistik dan kebudayaan nasional yang
bertentangan dengan Islam; kedua pembebasan manusia dari kontrol
sekuler atas pikiran dan bahasanya.39 Pengertian yang diberikan al -
Attas ini memberikan pemahaman bahwa, Islamisasi adalah usaha
untuk mengembalikan manusia kepada pandangan dunia Islam baik dari
segi tradisi maupun pikiran bahasanya.
36 Syed Muhammad Naquib al - Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur:
ISTAC, Tahun 1993, hal. 106 37 al - Attas, Islam and Secularism, hal. 106. 38 al - Attas, Islam and Secularism, hal. 15 - 17 39 al - Attas, Islam and Secularism, hal. 44
|Nur Raihan
| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah
11
Seyyed Hossein Nasr juga membincangkan sentralitas
worldview ketika berbicara tentang sains Islam. Masalah kebutuhan
sains Islam ini muncul akibat masuknya sains modern ke dunia Islam
dan mempengaruhi pemeluknya. Baginya, adanya persoalan perbedaan
pandangan dunia dan juga filsafat yang mendasari sains modern,
terdapat dua jenis respon intelektual Muslim. Pertama, pandangan
intelelektual modernis Muslim seperti Jamaluddin al - Afghani yang
menyatakan bahwa sains modern tidak lain hanyalah kelanjutan dari
tradisi saintifik Islam yang sudah lama. Kalaupun ada persoalan yang
timbul oleh sains dari kacamata agama dan etis, bukanlah disebabkan
oleh sains itu sendiri. Melainkan, kesalahan Kristianitas. Pandangan ini
bertahan dan menyebabkan sebagian umat Islam berargumen bahwa
Islam merupakan ajaran yang saintifik.
Respon kedua berasal dari kalangan intelektual tradisionalis.
Saat sains modern berkembang dan diintrodusir ke dunia Islam, mereka
menjauh dan menolak untuk mempelajarinya. Jikapun mereka
mengkritiknya, argumentasi didasarkan pada prinsip agama bukan
pandangan intelektual sebagaimana respon intelektual Muslim di
Basrah dan Baghdad ketika berjumpa dengan sains Yunani. Para
tradisionalis ini mampu mempertahankan ajaran Islam, namun mereka
tidak mampu untuk mengkritisi sains modern dengan berdasarkan
kriteria Islami.40
Bagi Nasr, kedua jenis respon ini sudah tidak mungkin lagi
diteruskan oleh para intelektual Muslim. Jika dunia Islam ingin
bertahan sekaligus menjaga otentisitasnya maka para intelektual
Muslim harus menguasai sains modern, mengkritisinya dari perspektif
Islam, lalu mengembangkan paradigma baru berdasarkan Islam dan
membuat lembaran baru tentang sains Islam berdasarkan tradisi
intelektual yang filsafat serta sejarahnya harus disadari secara
mendalam. Nasr juga menyatakan bahwa Islamisasi sains merupakan
proses integrasi, berdasarkan kritisisme, asimilasi serta penolakan
terhadap elemen-elemen sains yang ada, ke dalam alam intelektual
Islam yang berdasarkan tauhid, di mana segala sesuatu yang ada di alam
ini mempunyai tujuan penciptannya berdasarkan kebijaksanaan dan
rencana Allah.41
Adapun Ismail Raji al - Faruqi menyatakan bahwa masalah
utama di kalangan umat Islam adalah krisis pengetahuan dan
metodologis. Penyebabnya adalah sistem pendidikan yang sudah
terwesternisasi sekaligus tidak memiliki tujuan yang jelas. Istilah ini
disebut dengan the malaise of ummah (penyakit umat) yang muncul dari
kolonialisasi, kekalahan dan eksploitasi umat oleh musuh dan agennya
baik dari sisi internal maupun eksternal umat.
Efek dari penyakit ini ada tiga bagian utama yaitu politik,
ekonomi dan budaya. Secara politik, umat Islam sudah terpecah ke
40 Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Problem of Modern Science, Islam
and Science, Vol. 8 No. 1, 2010, hal. 63 - 65 41 Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Problem of Modern Science,hal. 69.
Hubungan Al Qur’an dengan …|
| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah
12
dalam beberapa negara yang menimbulkan friksi dan permusuhan di
internal umat. Selain itu, sebagian besar institusi politik umat sudah
dihancurkan oleh administrasi kolonial. Dari sisi ekonomi, umat Islam
tidak berkembang dan bahkan tidak mampu menyediakan produk dan
layanan sesuai kebutuhannya. Lebih lagi, daerah umat Islam telah
menjadi pasar konsumen dari produk - produk kolonialis. Kalaupun
para kolonialis ini membantu, hasilnya mengakibatkan ketergantung
kepada mereka baik dari sisi bahan mentah ataupun barang jadi.
Terakhir, aspek kebudayaan umat menjadi bermasalah karena
kurangnya literasi, meningkatnya kebodohan serta tersiarnya tahayul.
Kondisi ini menjadi dasar munculnya keyakinan buta, literalisme dan
dogmatisme. Sementara itu para penjajah menyerang semua aspek
kehidupan masyarakat Islam dengan tujuan untuk memasukkan
keraguan sehingga kesadaran dan kepribadiannya menjadi rusak.
Beriringan dengan serangan ini, penjajah barat mempromosikan budaya
mereka baik melalui surat kabar, buku dan juga tontonan.42
Jawaban persoalan di atas bagi Al Faruqi, adalah islamisasi
pengetahuan untuk mereformasi umat secara keseluruhan. Sasaran
utamanya adalah menghilangkan jarak antara ilmu dan amal, idealisme
dan realisme serta kepemimpinan sosial politik dan ideologis serta
mengeliminasi dualisme dalam sistem pendidikan. Untuk
mengoperasionalisasikan
Islamisasi pengetahuan, dia menawarkan First Principles of
Islamic Methodology (Prinsip-prinsip Utama Metodologi Islam) yang
terdiri dari enam dasar berbasis Tauhid, yaitu, Keesaan Allah, Kesatuan
Penciptaan, Kesatuan Kebenaran dan Pengetahuan, Kesatuan
Kehidupan dan Kesatuan Kemanusiaan serta Keseimbangan antara
Wahyu dan Akal.43
Gagasan ketiga sarjana Muslim terkemuka di atas tentang
Islamisasi pengetahuan menunjukkan bahwa masalah utama dalam
sains modern ala barat adalah masalah filosofis. Mereka menunjukkan
bahwa realitas umat Islam sudah jauh dari paradigma Islam tentang
ilmu, baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologisnya.
Walhasil, umat Islam menjadi sekuler yang disebabkan oleh
kolonialisme dan hegemoni pemikiran barat, dan “terputus” dari tradisi
intelektual Islam. Untuk mendudukkan masalahnya secara lebih
gamblang, perlu dipaparkan pengetahuan secara filosofis dalam
tinjauan Islam.
Ontologi ilmu (pengetahuan) dalam Islam bersifat metafisik.
Yakni, aktivitas apapun yang berkaitan dengan ilmu bersifat
transendental, religius serta spiritual. Karena itu al - Attas
42 Abdul Hamid Abu Sulayman (ed), Islamization of Knowledge: General
Principles and Work Plan, Herndon: IIIT, 1989, hal. 1 – 9. Perlu dicatat, publikasi
ini merupakan pengembangan dari edisi pertama oleh al – Faruqi sendiri dan bagian
yang dikutip masih dipertahankan sebagaimana aslinya. (rujuk halaman xiv - xv
untuk klarifikasi). 43 Abdul Hamid Abu Sulayman (ed), Islamization of Knowledge: General
Principles and Work Plan, hal 33 – 53.
|Nur Raihan
| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah
13
mendefinisikan ilmu secara ontologis berupa pemahaman sesuatu
melalui instrumen akal dan perolehan kalbu sehingga tergambar hakikat
sesuatu itu sebagaimana adanya. Lebih lanjut, dia membagi ilmu
menjadi dua bagian, pengenalan dan pengetahuan. Sebagai pengenalan,
ilmu berkaitan dengan akal dan kalbu sebagai fitrah manusia yang
mendatangkan kebenaran, keyakinan dan akhlak. Pengenalan ini
membawa seseorang untuk memahami dirinya dan memahami
Tuhannya. Adapun sebagai pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan
mengenai benda dan segala sesuatu yang tidak terkait dengan diri.
Karena mereka benda dan bukan diri, maka orang ingin mengetahui
harus meneliti dan mengkajinya. 44
Al - Attas mendefinisikan ilmu secara epistemologis sebagai
datangnya makna kepada jiwa dan datangnya jiwa kepada makna.45
Arti dari makna adalah pengenalan terhadap tempat bagi apapun dalam
dalam suatu sistem yang terjadi ketika hubungan antara sesuatu dengan
yang lainnya dalam sistem tersebut terklarifikasi dan dipahami.
Sehingga ilmu secara lebih operasional adalah pengenalan terhadap
tempat yang tepat bagi apapun dalam susunan penciptaan yang
menimbulkan pengenalan terhadap tempat yang tepat bagi Tuhan
didalam susunan wujud dan eksistensi.46
Definisi ini menunjukkan bahwa aktivitas pengilmuan dan
orang yang mengilmui serta ilmu itu sendiri sama - sama datang dari
Tuhan. Hal ini termaktub dalam banyak ayat, seperti penciptaan
manusia dalam Surat Al Mu’minun 12 - 13:
ن نسان ميين ﴿ ولقد خلقنا ال ن طي ﴾ث جعلناه نطفة في قرار ١٢سلل مي
﴾١٣مكيين ﴿المؤمنونلمؤمنون :
Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu
air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). (QS. Al
Mu'minun: 12-13)
Dan pengajaran Allah pada manusia dalam Surat Al ‘Alaq ayat 5:
نسان ما لم يعل ﴿العلق : ال ﴾٥عل
Artinya : Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS.
Al ‘Alaq: 5)
44 Syed Muhammad Naquib al - Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, Kuala
Lumpur: ISTAC, Tahun 2001, hal. 51 - 55 45 Definisi ini diambil al – Attas dari al Jurjani dalam Kitab Ta’rifat-nya.
Lihat Syed Muhammad Naquib al - Attas, The Concept of Education in Islam, Kuala
Lumpur: ISTAC, Tahun 1999, hal. 16 - 17 46 Syed Muhammad Naquib al - Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, Tahun 1993, hal. 14 - 16
Hubungan Al Qur’an dengan …|
| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah
14
Konsekuensinya secara aksiologis, ilmu mengantarkan seseorang
kepada batas pengetahuan (baik secara kegunaan maupun secara
konseptual) terhadap yang dia pelajari. Jika tidak ada batasan dan tujuan
akhirnya maka akan menyebabkan kekaburan dan keraguan. Pada poin
inilah istilah hikmah berperan, yaitu karuni dari Tuhan berupa
pertimbangan yang seksama dan berperilaku yang adil dengan
meletakkan ilmu dan aktivitas terhadap ilmu tersebut pada tempat yang
wajar.47
47 Syed Muhammad Naquib al - Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, hal.
51 - 55
|Nur Raihan
| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah
15
DAFTAR PUSTAKA
al - Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism, Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993
al - Attas, Syed Muhammad Naquib, Prolegomena to the Metaphysics
of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993
al - Attas, Syed Muhammad Naquib, Risalah Untuk Kaum Muslimin,
Kuala Lumpur: ISTAC, 2001
al - Dzahabi, Muhammad Husain. Tafsir Al - Qur’an: Sebuah
Pengantar, Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2016
Ali, Suleiman Ali. A Brief Introduction to Qur’anic Exegesis (Abridged
by Wanda Krause), Herndon: IIIT, 2018
al - Ghazali, Muhammad. Al - Tafsir Maudu’i (A Thematic Commentary
on the Quran, Terjemahan Inggris oleh Ashur A. Shamis), London: IIIT,
2005
Bakar, Osman, Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic
Philosophical Science, Cambridge: Islamic Texts Society, 1998
De Smet Daniel dan Meryem Sebti, Avicenna’s Philosophical
Approach to the Qur’an in the Light of His Tafsir Surat al –
Ikhlas, Journal of Qur’anic Studies, 2009
Drajat, Amroeni, Ulumul Qur’an: Pengantar Ilmu – ilmu Al – Qur’an,
Depok: Kencana, 2017
Ibnu Sina, The Canon of Medicine of Avicenna, New York: AMS Press,
1973
Iqbal, Muzaffar, The Making of Islamic Science, Kuala Lumpur: Islamic
Book Trust, 2009
Iqbal, Muzaffar, On Scientific Exegesis, Islam and Science, Vol. 8, No
2, 2010
Isawi, Muhammad Ahmad, Tafsir Ibnu Mas’ud, Jakarta: Pustaka Azam,
tanpa tahun
Izutsu, Toshihiko, God and Man in the Qur’an: Semantics of the
Qur’anic Weltanschauung, Petaling Jaya: Islamic Book Trust,
2008
Hakim, Muhammad Baqir. Ulumul Qur’an, Jakarta: Al - Huda, 2006
Haleem, Muhammad Abdel. Understanding the Qur’an: Themes and
Style, London: IB TAURIS, 2011
Nasr, Seyyed Hossein, Islamic Science: An Illustrated Study, World of
Islam Festival Publishing Company, 1976
Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam, Belmont:
ABC International Group, 2001
Nasr, Seyyed Hossein, Islam and the Problem of Modern Science, Islam
and Science, Vol. 8 No. 1, 2010
Pink, Johanna. Muslim Qur’anic Interpretation Today: Media,
Genealogies and Interpretive Communities, Bristol: Equinox,
2019
Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur’an, Chicago: Bibliotheca
Islamica, 1994
Hubungan Al Qur’an dengan …|
| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah
16
Rippin, Andrew (ed). Approaches to the History of Interpretation of the
Qur’an¸Oxford: Clarendon Press, 1988
Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur’an: Towards A Contemporary
Approach, New York: Routledge, 2005
Saeed, Abdullah (ed). Approaches to The Qur’an in Contemporary
Indonesia, New York: Oxford University Press, 2005
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al - Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas
Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996
Sja’roni, H. M.. Studi Tafsir Tematik, Jurnal Studi Islam Panca Wahana,
Edisi 12, Tahun 2014
Sulayman, Abdul Hamid Abu (ed), Islamization of Knowledge:
General Principles and Work Plan, Herndon: IIIT, 1989
Wahid, P.A, The Quran: Scientific Exegesis, India: islamicscience.in,
2015