16
Volume 2 (1), 2020 | Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah 1 HUBUNGAN AL QUR'AN DENGAN SAINS Nur Raihan Email : [email protected] STAIS Lan Taboer Abstract Al Qur'an does not only contain life guidelines relating to aspects of aqeedah and ubudiyah and muamalah, but it turns out the Qur'an also provides scientific messages that encourage the birth of certain scientific disciplines. This has been acknowledged and confirmed by the Qur'an itself in Surah An Nahl verse 89 that the Qur'an explains something. Al-Qur'an as a medium of Allah SWT to communicate to humans through two forms, namely textually and contextually, where Toshihiko Izutsu calls it linguistic and non-linguistic. The first form can be seen through the word as found in the Qur'an itself and the second form is non linguistic in the form of natural phenomena, such as wind, rain, and changes in day and night. One Indian scholar named P.A Wahid poured his thoughts in a book called The Quran: Scientific Exegesis. According to Wahid, the Qur'an is a lens through which humans can see creation and understand it scientifically from a divine perspective. This is one of the functions of science to verify the rationality and truth of the Qur'an. Moreover, this is supported by the tradition of Qur'an which discusses i'jaz al - Qur'an especially i'jaz ilmi. Where, i'jaz Ilmi seeks to elaborate verses relevant to scientific activities to understand the context of interpretation and style, especially thematic (maudhu’i). In fact, from the beginning the Qur'an was revealed to have given a signal about this method of interpretation. On several occasions the Prophet Muhammad interpreted the meaning and implications of the verses of the Qur'an. For example Rasulullah SAW explained about occult matters and matters of generality and restrictions on matters that are not yet clearly defined in the Qur'an. The next development, interpretation of the Qur'an became the scientific activity of Muslims who gave birth to Muslim scientists in the era of the Caliphate. In the 20th century the Islamic Science or Islamization, Science Islamization or Knowledge Islamization movement emerged, pioneered by three intellectual figures namely Syed Muhammad Naquib al-Attas, Seyyed Hossen Nasr and Ismail Raji al- Faruqi. Share al-Attas. Keyword: Al Qur'an, Tafsir, science, science, maudhu’i, civilization, Islamization of Science, Islamic Science, Muslim scientists, i'jaz ilmi

Volume 2 (1), 2020 - STAIS) Lan Taboer

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Volume 2 (1), 2020

| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

1

HUBUNGAN AL QUR'AN DENGAN SAINS

Nur Raihan

Email : [email protected]

STAIS Lan Taboer

Abstract

Al Qur'an does not only contain life guidelines relating to aspects of

aqeedah and ubudiyah and muamalah, but it turns out the Qur'an also

provides scientific messages that encourage the birth of certain

scientific disciplines. This has been acknowledged and confirmed by the

Qur'an itself in Surah An Nahl verse 89 that the Qur'an explains

something. Al-Qur'an as a medium of Allah SWT to communicate to

humans through two forms, namely textually and contextually, where

Toshihiko Izutsu calls it linguistic and non-linguistic. The first form can

be seen through the word as found in the Qur'an itself and the second

form is non linguistic in the form of natural phenomena, such as wind,

rain, and changes in day and night. One Indian scholar named P.A

Wahid poured his thoughts in a book called The Quran: Scientific

Exegesis. According to Wahid, the Qur'an is a lens through which

humans can see creation and understand it scientifically from a divine

perspective. This is one of the functions of science to verify the

rationality and truth of the Qur'an. Moreover, this is supported by the

tradition of Qur'an which discusses i'jaz al - Qur'an especially i'jaz ilmi.

Where, i'jaz Ilmi seeks to elaborate verses relevant to scientific

activities to understand the context of interpretation and style,

especially thematic (maudhu’i). In fact, from the beginning the Qur'an

was revealed to have given a signal about this method of interpretation.

On several occasions the Prophet Muhammad interpreted the meaning

and implications of the verses of the Qur'an. For example Rasulullah

SAW explained about occult matters and matters of generality and

restrictions on matters that are not yet clearly defined in the Qur'an.

The next development, interpretation of the Qur'an became the

scientific activity of Muslims who gave birth to Muslim scientists in the

era of the Caliphate. In the 20th century the Islamic Science or

Islamization, Science Islamization or Knowledge Islamization

movement emerged, pioneered by three intellectual figures namely Syed

Muhammad Naquib al-Attas, Seyyed Hossen Nasr and Ismail Raji al-

Faruqi. Share al-Attas.

Keyword: Al Qur'an, Tafsir, science, science, maudhu’i, civilization,

Islamization of Science, Islamic Science, Muslim scientists, i'jaz ilmi

Hubungan Al Qur’an dengan …|

| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

2

A. Pendahuluan

Al - Qur’an sebagai petunjuk (al - huda) selain berbicara

mengenai aspek aqidah dan ubudiyah serta muamalah, juga berisi pesan

- pesan ilmiah. Kandungan ilmiah al - Qur’an tersebar di berbagai ayat

yang mencakup berbagai topik disiplin ilmu. Dan al - Qur’an sendiri

menjelaskan bahwa ia diturunkan bagi manusia untuk menjelaskan

segala sesuatu, sebagaimana termaktub dalam Surat An - Nahl ayat 89.

ن أ م مي ة شهييدا عليي ئنا بيك شهييدا على ويوم نبعث في كلي أم هيم وجي نفسي

لنا عليك الكيتاب ؤلءي ونز ىى تيبيان ليكلي ه ء وهدى ورحة وبش ش

ين ﴿ النلحل: ﴾٨٩ليلمسليمي Artinya : “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada

tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami

datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat

manusia. Dan Kami turunkan kepadamu al - Kitab (al - Quran) untuk

menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar

gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An Nahl:89)

Imam ath - Thabari mengutip pendapat Ibnu Mas’ud terkait ayat

ini bahwa “dalam Al Qur’an ini diturunkan semua ilmu, dan segala

sesuatu telah dijelaskan kepada kita dalam al - Qur’an.” As - Suyuthi

juga mengutip pernyataan Ibnu Mas’ud lainnya bahwa “barangsiapa

yang menginginkan ilmu, hendaklah ia mempelajari terus al - Qur’an,

karena di dalamnya terdapat ilmu orang - orang terdahulu dan

terkemudian.”1

Salah satu kosa kata kunci dalam mengelaborasi keilmiahan Al

Qur’an adalah istilah ayat yang berarti tanda. Toshihiko Izutsu

menyatakan bahwa istilah itu menunjukkan cara Tuhan berkomunikasi

dengan manusia dalam dua bentuk yakni linguistik dan non linguistik.

Bentuk pertama dapat dilihat melalui firmannya seperti yang terdapat

pada Al Qur’an dan yang kedua berbentuk non linguistik berupa

fenomena alam, misalnya angin, hujan, serta perubahan siang dan

malam. Ayat dalam makna kedua ini tidak hanya menunjukkan

fenomena sederhana, melainkan bukti intervensi Tuhan sekaligus

kepedulian dan kebijaksanaan-Nya dalam urusan manusia. 2

Atas dasar ini, hubungan antara Al Qur’an sebagai sumber Islam

dan Science tidak bisa dipisahkan. Sebab Al Qur’an sendiri berbicara

mengenai aspek - aspek yang hari ini disebut dengan ilmiah. Misalnya

dalam dunia kesehatan, jauh sebelum ultrasonografi ada sudah ada ayat

yang menerangkan tentang proses penciptaan manusia dalam

1 Muhammad Ahmad Isawi, Tafsir Ibnu Mas’ud, Jakarta: Pustaka Azam,

tanpa tahun, hal. 643 - 644 2 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qur’anic

Weltanschauung, Petaling Jaya: Islamic Book Trust, Tahun 2008, hal. 142 - 143

|Nur Raihan

| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

3

kandungan. Contoh lainnya adalah ilmu sosial tentang ayat perbedaan

bangsa - bangsa yang diciptakan Allah swt.

Meskipun demikian, ilmuwan Muslim di era klasik tidak pernah

berusaha untuk menyajikan data ilmiah sebagai pendukung firman

Allah dalam Al Qur’an. Sebab tradisi ilmiah Islam mempunyai fondasi

metafisik yang berbasiskan tauhid. Sementara itu alam di mana manusia

hidup hanyalah semacam kanvas historis tentang bagaimana manusia

berbuat menurut perintah Tuhan.3 Argumentasi lain adalah bahwa Al

Qur’an bersifat absolut, sementara aktivitas ilmiah bisa mempunyai

hasil yang berbeda dari waktu ke waktu. Konsekuensinya, jika Al

Qur’an ditafsirkan dengan bukti saintifik dan dipercayai absolut maka

pemahaman tentang otoritas Al Qur’an terdegradasi apabila hasil

penyelidikan ilmiah bertukar seiring dengan kemajuan teknologi.

Bagaimanapun, usaha untuk menjelaskan Al Qur’an dengan

menggunakan pendekatan saintifik sedang menjadi diskusi hangat dan

bahkan sudah bermunculan tulisan mengenainya. Di antaranya adalah

karya sarjana India bernama P.A Wahid yang berjudul The Quran:

Scientific Exegesis. Menurut Wahid, al - Qur’an merupakan lensa yang

melaluinya manusia dapat melihat ciptaan dan memahaminya secara

ilmiah berdasarkan perspektif ketuhanan. Sementara itu, sains menjadi

alat yang efektif dan efisien dalam memverifikasi rasionalitas dan

kebenaran Al Qur’an untuk memuaskan dahaga pikiran manusia

sekaligus meningkatkan pemahaman tentang ketidakterbatasan kuasa

Tuhan.4

Usaha-usaha untuk menjelaskan Al Qur’an dengan

menggunakan argumentasi rasional maupun ilmiah merupakan

berkaitan langsung dengan adanya teks Al Qur’an yang

mengindikasikan sains. Dalam tradisi ilmu Qur’an dibahas dalam i’jaz

al - Qur’an khususnya i’jaz ilmi. Dalam konteks tafsir, i’jaz berkaitan

erat dengan tafsir maudhu’i (tematik) dengan alasan pendekatan tafsir

yang digunakan adalah mengumpulkan tema - tema ilmiah dalam kitab

suci tersebut lalu dijelaskan sedemikian rupa.

B. I’jaz Al - Qur’an dan Tafsir Maudhu’i

I’jaz berasal dari kata ‘ajaza yang berarti lemah. Sedangkan kata

i’jaz sendiri bermakna menetapkan kelemahan.5 Lazimnya dikenal

dengan mukjizat yakni sesuatu yang bisa melakukan perubahan besar

baik dalam skala kecil maupun besar serta dapat menandingi hukum

alam yang dihasilkan dari kekuatan indra dan eksperimen.6

3 Muzaffar Iqbal, On Scientific Exegesis, Islam and Science, Vol. 8, No 2,

2010, hal. 78 - 79. 4 P.A Wahid, The Quran: Scientific Exegesis, India: islamicscience.in,

Tahun 2015, hal.11 5 Amroeni Drajat, Ulumul Qur’an: Pengantar Ilmu – ilmu Al – Qur’an,

Depok: Kencana, Tahun 2017, hal. 117 6 Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Quran, Jakarta: Al Huda, Tahun 2006,

hal. 188

Hubungan Al Qur’an dengan …|

| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

4

Menurut Baqir Hakim, Al Qur’an merupakan mukjizat terbesar

karena beberapa alasan. Pertama, ketersebarannya yang luas di muka

bumi dan berawal dari kota Mekkah yang ketika Al Qur’an diturunkan

masih belum mengenal kebudayaan metropolis atau maju. Kedua, Al

Qur’an dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang belum pernah

mendapatkan pengajaran dan pendidikan. Terakhir, Al Qur’an mampu

menceritakan kejadian yang ghaib baik yang terjadi di masa lampau

ataupun di masa yang akan datang.7

Aspek penting lain dari kemukjizatan Al Qur’an terletak pada

keunggulan yang tidak tidak tertandingi oleh bangsa Arab. Baik dari

segi pembuatan surat yang serupa maupun konten Al Qur’an secara

keseluruhan. Lebih dari itu, menurut Ali Shabuni kemukjizatan Al

Qur’an sebetulnya terletak pada kebenarannya dan sekaligus

membenarkan ajaran serta mukjizat para Rasul yang datang

sebelumnya.8

Setidaknya ada tiga ketegori mukjizat Al Qur’an yaitu i’jaz

bayani wa adabi, i’jaz al - islahi au at - tasyri’i, dan i’jaz al - ‘ilmi. I’jaz

bayani wa adabi maksudnya adalah mukjizat al - Qur’an dari sisi

bahasa dan sastra. Karena kekeindahan susunan dan bunyinya bangsa

Arab sempat menyebutnya dengan sihir. Sementara i’jaz al - islahi au

at - tasyri’I merupakan mukjizat Al Qur’an dalam syariat yang

dikandungnya. Maksudnya ajaran Al Qur’an yang agung tidak mungkin

dibuat oleh manusia. Adapun i’jaz al - ‘ilmi adalah mukjizat Al Qur’an

berdasarkan petunjuk dan isyarat ilmiah yang ditunjukkan Al Qur’an.

Isyarat ini dianggap mendahului zaman, sebab saat konteks Al Qur’an

diturunkan manusia belum mengetahui fakta - fakta saintifik yang

diungkap di dalamnya.9

I’jaz Ilmi belakangan semakin menjadi perhatian bagi para

sarjana. Oleh karena itu banyak hadir buku dan tulisan dalam

mengelaborasi ayat - ayat yang relevan dengan aktivitas ilmiah. Untuk

memahami relasi antara i’jaz ilmi dan aktivitas ilmiah, konteks

penafsiran dan coraknya, khususnya tematik (maudhu’i) wajib menjadi

menjadi perhatian.

Al Qur’an merupakan sumber utama umat Islam sekaligus

panduan dasar dalam menjalani menjalani kehidupannya. Ini

menyebabkan munculnya banyak pembahasan mengenainya, terutama

sekali setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW. Tujuan dasarnya

adalah sebagai penjelas bagi kaum awam yang tidak bisa

memahaminya karena belum mumpuni secara keilmuan atau juga untuk

memahami Al Quran dari berbagai aspeknya dengan menyandarkan

argumentasi pada hubungan antara ayat yang satu dengan yang lainnya,

ayat Al Qur’an dengan Hadits dan ayat dengan akal serta perjalanan

7 Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Quran, hal. 192 - 198 8 Amroeni Drajat, Ulumul Qur’an: Pengantar Ilmu – ilmu Al – Qur’an, hal.

120 9 Adik Hermawan, I’jaz Al – Qur’an Dalam Pemikiran Yusuf al – Qaradhawi, Jurnal

Madaniyah, Vol. 2, Edisi XI, 2016, hal 219 - 221

|Nur Raihan

| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

5

spiritual. Pembahasan-pembahasan penjelas ayat Al Qur’an ini dikenal

dengan tafsir.

Secara bahasa tafsir mempunyai makna penerangan (idakh) dan

penjelasan (tabyin). Bentuk kata tafsir sendiri diambil dari kata dasar al

- fasr yang berarti penjelasan (ibanah) dan penyingkapan (kasyf).

Sementara itu secara terminologis, tafsir adalah ilmu yang berisi

pembahasan tentang maksud firman Allah SWT sesuai dengan

kemampuan manusia.10 Orang pertama yang memaknai kata tafsir

sebagai penjelasan Al Qur’an adalah Abdullah bin Umar sewaktu dia

membicarakan kedudukan pemahaman agama Abdullah bin Abbas.11

Cikal bakal tafsir sudah dimulai semenjak zaman Rasulullah

SAW. Oleh karena itu ditemukan di beberapa kesempatan beliau

menafsirkan makna dan implikasi dari dari ayat - ayat Al Qur’an.12

Misalnya Rasulullah SAW menjelaskan tentang perkara ghaib dan

perkara keumuman dan pembatasan terhadap hal - hal yang belum jelas

batasannya dalam Al Qur’an.13 Meskipun Rasulullah telah memberikan

pondasi tafsir, namun terjadi perbedaan pendapat tentang apakah beliau

memberikan penjelasan terhadap Al Qur’an secara keseluruhan. Sebab

hanya sedikit yang ditemukan berupa penjelasan, kebanyakannya

adalah tafsir praktis (ritual).14

Di dalam perkembangannya, tafsir mempunyai corak sesuai

dengan pendekatan dan metodologi penafsirannya. Hal ini melahirkan

kategorisasi sesuai dengan corak tersebut. Di antaranya adalah tafsir bi

al - ma’tsur (menafsir ayat dengan ayat lainnya atau Hadist), tafsir bi al

- ra’yi (penafsiran dengan akal), tafsir al - maudhu’i (penafsiran dengan

tema/topik tertentu), tafsir al - isyari (penafsiran dengan spiritualitas)

dan tafsir al - ‘ilmi (tafsir ayat dengan pengetahuan).15

Selain itu juga terdapat penafsiran berdasarkan mazhab teologis

yang dipegang oleh masing - masing ulama yakni Sunni, Mu’tazilah,

Syiah Dua Belas Imam dan Syiah Ismailiyah.16 Sebagai contoh terdapat

ada tafsir Ath - Thabari dan Al - Qurthubi (Sunni), tafsir Zamakhsyari

(Mu’tazilah), dan Tafsir Al - Mizan (Syiah Dua Belas Imam).

10 Muhammad Husain al - Dzahabi, Tafsir Al - Qur’an: Sebuah Pengantar,

Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, Tahun 2016, hal. 1 - 2 11 Ali Suleiman Ali, A Brief Introduction to Qur’anic Exegesis (Abridged by

Wanda Krause), Herndon: IIIT, Tahun 2018, hal. 1 12 Fred Leemhuis, Origins and Early Development of the Tafsir Tradition,

dalam Andrew Rippin (ed), Approaches to the History of Interpretation of the

Qur’an¸Oxford: Clarendon Press, Tahun 1988, hal.13 13 Muhammad Husain al - Dzahabi, Tafsir Al - Qur’an: Sebuah Pengantar,

hal. 17 14 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards A Contemporary

Approach, New York: Routledge, Tahun 2005, hal. 9 15 Sebagai pengantar untuk masing – masing corak tafsir bisa dirujuk karya

Muhammad Husain al - Dzahabi, Tafsir Al - Qur’an: Sebuah Pengantar. 16 Salah satu pembahasan tafsir dari kalangan Syiah Ismailiyah dan Syiah

Dua Belas Imam dapat merujuk ke bab 9,10 dan 11 dalam buku Andrew Rippin (ed),

Approaches to the History of Interpretation of the Qur’an

Hubungan Al Qur’an dengan …|

| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

6

Menurut beberapa ahli kata maudhu’i secara bahasa dinisbatkan

kepada kata maudhu’ yang memiliki beragam arti. Di antaranya adalah

yang diletakkan, yang diantar, yang ditaruh dan yang dibicarakan

sesusai topik atau tema tertentu.17 Sedangkan menurut istilah tafsir

maudhui merupakan salah satu pendekatan tafsir yang membahas surat

dalam Al Qur’an secara individual atau mengumpulkan ayat yang

mempunyai kaitan pembahasan.18

Allamah Baqir Shadr menyatakan bahwa maudhu’i memiliki

tiga makna: pertama, memiliki objektifitas yakni menjaga amanah dan

konsistensi serta menghindari keberpihakan. Kedua, berarti memulai

pembahasan dari kenyataan yang dikembalikan kepada Al Quran untuk

mengetahui pendiriannya. Terakhir, maudhu’i dinisbatkan kepada

tema, mufasir lalu menafsirkan dan menyimpulkan ayat - ayat Al

Qur’an berdasarkan tema tersebut.19

Ada beberapa cara dalam menyusun tafsir maudhu’i. Cara

tradisional dan konservatif adalah membahas tema dalam setiap surat

mengikuti urutannya. Beberapa ulama yang terkenal dengan cara ini

adalah Mahmud Syaltut, Muhammad Al Ghazali dan Muhammad Al

Bahi. Metode yang lebih komprehensif adalah dengan mengelaborasi

ayat-ayat yang ada dalam Al Qur’an lalu mengumpulkannya dalam

suatu tema pembahasan tertentu. Di antara tokohnya adalah Abdul

Hayy Al - Farmawi dan Muhammad Quraish Shihab. Karya lain sejenis

ditulis oleh sarjana bernama Fazlur Rahman dalam bukunya yang

populer di dunia barat, The Major Themes of The Qur’an.20

Rahman sendiri dalam bukunya tersebut menyebutkan bahwa

tujuan dari karyanya adalah untuk menolong orang yang belajar Al

Qur’an untuk berkenalan dengan konsep seperti Tuhan, manusia dan

Tuhan. Sekaligus, dia juga mengkritik metode penafsiran terdahulu

yang cenderung menafsirkan ayat demi ayat. Baginya, penafsiran

demikian tidak memberikan pemahaman yang kohesif mengenai

kehidupan dan alam semesta.21

Muhammad Ghazali dalam pengantar karyanya yang berjudul

Al - Tafsir Maudhu’i mengatakan metode tafsir Maudhu’i dilakukan

dengan memperlakukan setiap surat dari Al - Qur’an sebagai suatu unit

yang utuh. Setelah itu dilakukan penjelasan tematis dengan

mengindetifikasi tema utama (atau tema - tema) dan makna yang

berhubungan dengannya. Ahli tafsir tersebut juga mengatakan aspek

lain dari tafsir maudhu’i yang tidak dia lakukan dalam kitabnya tersebut

17 H. M. Sja’roni, Studi Tafsir Tematik, Jurnal Studi Islam Panca Wahana,

Edisi 12, Tahun 10, 2014, hal.2 18 Johanna Pink, Muslim Qur’anic Interpretation Today: Media, Genealogies

and Interpretive Communities, Bristol: Equinox, Tahun 2019, hal. 153 19 Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, Jakarta: Al - Huda, Tahun

2006, hal. 508 - 509 20 Johanna Pink, Muslim Qur’anic Interpretation Today, hal. 153 - 154 21 Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, Chicago: Bibliotheca

Islamica, Tahun 1994, hal. v

|Nur Raihan

| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

7

yaitu mengindentifikasi tema-tema utama Al Qur’an secara keseluruhan

dan mendiskusikannya.22

Abdul Hayy Al - Farmawi mengatakan ada tujuh tahapan dalam

menjalankan metode maudhu’i sebagaimana berikut ini:

1. Menentukan tema

2. Mengidentifikasi ayat - ayat yang terkait dengan tema

3. Menyusun urutan ayat yang dibahas

4. Menentukan keterkaitan antar ayat

5. Mengurai tema yang sedang dibahas

6. Menambahkan Hadits yang relevan ke dalam pembahasan

7. Mempelajari ayat-ayat yang relevan secara komprehensif

dengan merujuk juga kepada ayat dengan makna yang serupa

atau menggunakan prinsip ‘amm dan khass serta mutlaq dan

muqayyad.23

Muhammad Baqir Hakim menyatakan bahwa tafsir maudhu’i

dibutuhkan pada zaman sekarang untuk menjelaskan Islam secara

teoritis yang melingkupi dasar agama sebagai sumber dari syariat.24

Selain itu, tafsir tematik ini juga diperlukan untuk menjawab persoalan

- persoalan kontemporer yang dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena

itu tafsir maudhu’i dalam pandangan Quraish Shihab tidak hanya

bersifat objektif namun juga intensional. Objektif berarti memaparkan

konteks linguistik dan historis dari teks Al Qur’an, sementara

intensional bermaksud usaha untuk memahami kondisi masa kini dan

menghubungkannya dengan ayat Al - Qur’an supaya sesuai dengan

kebutuhan pembacanya.25

Quraish Shihab juga membuktikan pandangannya ini misalnya

melalui buku Wawasan Al - Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai

Persoalan Umat. Di dalam buku tersebut dia membahas antara lain

tentang pokok-pokok keimanan dan tentang ragam persoalan

manusia.26 Buku kontemporer lainnya yang juga menggunakan

pendekatan tematik (sekaligus komparatif) adalah Understanding the

Qur’an: Themes and Style karya Muhammad Abdel Haleem. Beberapa

22 Muhammad al - Ghazali, Al - Tafsir Maudu’i (A Thematic Commentary on

the Quran, Terjemahan Inggris oleh Ashur A. Shamis), London: IIIT, Tahun 2005,

hal. xi 23 Muhammadiyah Amin dan Kusmana, Purposive Exegesis: A Study of

Quraish Shihab’s Thematic Interpretation of The Qur’an, dalam Abdullah Saeed

(ed), Approaches to The Qur’an in Contemporary Indonesia, New York: Oxford

University Press, Tahun 2005, hal. 71 24 Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, hal. 512 25 Muhammadiyah Amin dan Kusmana, Purposive Exegesis: A Study of

Quraish Shihab’s Thematic Interpretation of The Qur’an, dalam Abdullah Saeed

(ed), Approaches to The Qur’an in Contemporary Indonesia, New York: Oxford

University Press, Tahun 2005, hal. 72 26 Silahkan lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al - Qur’an: Tafsir Maudhu’i

Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, Tahun 1996

Hubungan Al Qur’an dengan …|

| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

8

pokok persoalan yang dibahas adalah mengenai perkawinan dan

perceraian, perang dan perdamaian, toleransi serta kehidupan.27

C. Tradisi Keilmuan Dalam Peradaban Islam

Al Qur’an dan Hadits merupakan dua alasan utama yang

menghidupkan tradisi Science dalam sejarah Islam semenjak awal

kemunculannya. Meskipun tidak rinci, Muslim percaya bahwa semua

jenis keilmuan dimuat dalam Al Qur’an dan tafsir esoterisnya

memberikan dasar untuk membuka cakrawala pengetahuan. Di

samping itu, Al Qur’an dan Hadits memberikan atmosfir untuk

menggali pengetahuan, karena bagi keduanya, aktivitas keilmuan

merupakan suatu kebaikan. Kedua teks suci umat Islam ini menjadi

basis bagi konstruksi sains Islam.28

Aktivitas keilmuan umat Islam dan sains Islam tentu tidak lahir

dari ruang kosong. Sains Islam lahir dari jalinan antara wahyu Qur’ani

dengan sains yang sudah ada dari berbagai peradaban yang diwarisi

Islam dan kemudian ditransmutasikan melalui spiritualitas ke dalam

substansi yang baru. Peradaban Islam yang kosmopolitan dan

internasional memberikan jalan untuk menciptakan sains pertama yang

bersifat global. Peradaban besar yang diwarisi Islam secara langsung

ataupun melalui peradaban lain adalah Mesir (Alexandria), India,

Yunani, Persia, Cina dan India.29

Seyyed Hossein Nasr, menyebutkan bahwa figur sentral yang

mentransmisikan sains adalah orang bijaksana, hakim. Di dalam diri

seorang hakim tampak kesatuan dari semua cabang sains yang

berdasarkan hikmah. Dia juga mengajarkan perspektif kesatuan

tersebut kepada murid - muridnya. Lebih dari pada itu, peradaban Islam

juga memberikan ruang bagi non Muslim untuk berperan di dala

peradabannya.

Melihat siginifikansinya, beberapa figur sentral tersebut mesti

dilihat walaupun sekilas. Misalnya, Jabir bin Hayyan (sufi dan ahli

kimia), al - Kindi (filsuf dan ahli matematika), Hunain bin Ishaq (ahli

farmasi, filsuf dan penterjemah), Thabit bin Qurrah (filsuf dan dokter),

Al Khawarazmi (ahli matematika), Al Farabi (filsuf), Ibn Sina (filsuf

dan dokter), Al Ghazali (filsuf dan teolog), Ibn Rusyd (filsuf),

Nashiruddin At - Tusi (filsuf, sufi dan saintis) dan Ibnu Khaldun

(sejawaran).30

Meskipun tradisi saintifik dalam peradaban Islam mulai tampak

pada munculnya Jabir bin Hayyan, namun cikal bakalnya sudah tampak

27 Silahkan rujuk Muhammad Abdel Haleem, Understanding the Qur’an:

Themes and Style, London: IB TAURIS, Tahun 2011 28 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study, World of

Islam Festival Publishing Company, Tahun 1976, hal. 5 29 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study, hal. 9 - 12 30 Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, Belmont: ABC

International Group, Tahun 2001, hal. 41 - 57

|Nur Raihan

| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

9

sejak zaman Nabi Muhammad saw, setidaknya dalam dua disiplin yaitu

pengobatan dan astronomi. Ini dapat terlihat dari adanya cabang ilmu

kedokteran yang membahas pengobatan ala nabi (al - Tibb al - Nabawi),

demikian pula halnya astronomi pra Arab Islam yang bertransformasi

karena pengaruh doktrin kosmologi Al Qur’an.31 Astronomi menjadi

penting sebab untuk menentukan waktu shalat dan puasa.

Salah satu poin penting dalam tradisi saintifik Islam adalah

gerakan penterjemahan dari abad ke - 8 sampai abad ke - 11. Sepanjang

periode ini berbagai teks dalam beberapa bahasa dan lintas disiplin ilmu

seperti filsafat Aristoteles, kimia, matematika hingga farmasi

diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dinasti yang berperan penting

dalam penterjemahan ini adalah Abbasiyah karena memberikan

dukungan secara finansial maupun administrasi.32

Hasil dari gerakan penterjemahan ini adalah suburnya aktivitas

keilmuan dari berbagai lapangan kehidupan sehingga para ulama

membuat klasifikasi ilmu mulai dari ilmu yang rasional sampai ilmu

praktis. Misalnya Al Ghazali yang membagi ilmu ke dalam dua bagian

yakni ilmu agama dan ilmu intelektual. Di tempat lain juga ada

Qutbuddin al - Shirazi ilmu filosofis dan ilmu agama.33

Dua contoh klasifikasi di atas mengindikasikan betapa ilmu

yang berdasarkan wahyu beriringan dengan ilmu yang berdasarkan

kemampuan akal manusia, tanpa ada yang ditinggalkan. Ini

mencerminkan bahwa tradisi ilmiah umat Islam adalah implementasi

dari jalan Al Quran itu sendiri yang menyuruh manusia untuk

mematuhi Allah sekaligus menggunakan akal dan potensinya. Konteks

ini juga yang sekaligus melahirkan para hakim (jamak: hukama) yakni

orang-orang arif yang keilmuannya lintas disiplin. Misalnya, sosok Ibnu

Sina yang mendalami tafsir filosofis34 namun disisi lain juga mengarang

buku magnum opus tentang kedokteran.35

D. Paradigma Islamisasi Science dan Masalah Filosofis

31 Muzaffar Iqbal, The Making of Islamic Science, Kuala Lumpur: Islamic

Book Trust, Tahun 2009, hal. 11 - 12. 32 Muzaffar Iqbal, The Making of Islamic Science, hal. 29 33 Untuk pembahasan lengkap mengenai klasifikasinya silahkan lihat Osman

Bakar, Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophical

Science, Cambridge: Islamic Texts Society, Tahun 1998 34 Salah satu pembahasan tafsir filosofis ala Ibnu Sina bisa dibaca di

penelitian Daniel De Smet dan Meryem Sebti, Avicenna’s Philosophical Approach

to the Qur’an in the Light of His Tafsir Surat al – Ikhlas, Journal of Qur’anic

Studies, 2009, hal. 134 - 148 35 Lihat karya Ibnu Sina al - Qanun fi al – Thibb, diterjemahkan ke dalam

bahasa Inggris oleh Oskar Gruner menjadi The Canon of Medicine of Avicenna, New

York: AMS Press, Tahun 1973

Hubungan Al Qur’an dengan …|

| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

10

Diskusi tentang Al Qur’an dan pengetahuan di atas biasanya

dikaitkan dengan wacana Islamic science (sains Islam) yang

berkembang pada abad ke - 20. Sebagai suatu terminologi, wacana

Islamic Science berangkat dari paradigma Islamisasi Science dengan

berbagai variasi istilahnya seperti Islamisasi Ilmu, Islamisasi Sains atau

Islamisasi Pengetahuan.

Setidaknya ada tiga tokoh intelektual yang menjadi pionir dalam

paradigma Islamisasi Science yaitu Syed Muhammad Naquib al - Attas,

Seyyed Hossen Nasr dan Ismail Raji Al Faruqi. Bagi al - Attas masalah

utama yang dihadapi umat Islam adalah dilema umum yang dia sebut

sebagai the loss of adab (kehilangan adab). Tapi yang dimaksud dengan

adab di sini bukanlah semata-mata bersifat etika atau sopan santun,

melainkan adab secara filosofis yang berarti pengenalan dan pengakuan

terhadap kebenaran dan tempat serta kedudukan yang tepat dalam

kehidupan.36

Ada tiga lingkaran setan (vicious circle) yang disebut al - Attas

dalam konsep the loss of adab. Pertama kebingungan dan kekeliruan

dalam pengetahuan yang menciptakan kondisi. Kedua, hilangnya adab

dalam umat. kedua kondisi tersebut menghadirkan pemimpin umat

yang tidak layak, tidak memiliki moral, spiritual dan intelektual yang

baik.37

Kebingungan yang ada di tengah-tengah umat Islam disebabkan

oleh proses sekulerisasi yang ada di tengah-tengah umat Islam.

Alasannya adalah adanya intelektual Muslim yang yang terlena oleh

cara berpikir barat beserta dengan kemajuan dan inovasi teknologinya.

Mereka tidak menyadari adanya perbedaan pandangan dunia antara

kebudayaan barat dan Islam. Al Attas memaknai sekularisasi yang dia

maksud dengan merujuk kepada teolog Belanda Cornelis Van Peursen

yakni pembebasan manusia dari kontrol agama dan metasifik atas

pikiran dan bahasanya.38 Dalam hal ini, sekularisasi dapat dimaknai

sebagai proses tercerabutnya manusia dari spiritulitasnya, khususnya

agama, yang sepatutnya membentuk pandangan dunianya, terutama

atas pikiran-pikiran dan komponen linguistiknya.

Oleh karena itu, Al - Attas mengajukan istilah Islamisasi

sebagai jawaban dari proses sekulerisasi yang berlangsung.

Menurutnya, Islamisasi adalah pertama, pembebasan manusia dari

tradisi magis, mitologis, animistik dan kebudayaan nasional yang

bertentangan dengan Islam; kedua pembebasan manusia dari kontrol

sekuler atas pikiran dan bahasanya.39 Pengertian yang diberikan al -

Attas ini memberikan pemahaman bahwa, Islamisasi adalah usaha

untuk mengembalikan manusia kepada pandangan dunia Islam baik dari

segi tradisi maupun pikiran bahasanya.

36 Syed Muhammad Naquib al - Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur:

ISTAC, Tahun 1993, hal. 106 37 al - Attas, Islam and Secularism, hal. 106. 38 al - Attas, Islam and Secularism, hal. 15 - 17 39 al - Attas, Islam and Secularism, hal. 44

|Nur Raihan

| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

11

Seyyed Hossein Nasr juga membincangkan sentralitas

worldview ketika berbicara tentang sains Islam. Masalah kebutuhan

sains Islam ini muncul akibat masuknya sains modern ke dunia Islam

dan mempengaruhi pemeluknya. Baginya, adanya persoalan perbedaan

pandangan dunia dan juga filsafat yang mendasari sains modern,

terdapat dua jenis respon intelektual Muslim. Pertama, pandangan

intelelektual modernis Muslim seperti Jamaluddin al - Afghani yang

menyatakan bahwa sains modern tidak lain hanyalah kelanjutan dari

tradisi saintifik Islam yang sudah lama. Kalaupun ada persoalan yang

timbul oleh sains dari kacamata agama dan etis, bukanlah disebabkan

oleh sains itu sendiri. Melainkan, kesalahan Kristianitas. Pandangan ini

bertahan dan menyebabkan sebagian umat Islam berargumen bahwa

Islam merupakan ajaran yang saintifik.

Respon kedua berasal dari kalangan intelektual tradisionalis.

Saat sains modern berkembang dan diintrodusir ke dunia Islam, mereka

menjauh dan menolak untuk mempelajarinya. Jikapun mereka

mengkritiknya, argumentasi didasarkan pada prinsip agama bukan

pandangan intelektual sebagaimana respon intelektual Muslim di

Basrah dan Baghdad ketika berjumpa dengan sains Yunani. Para

tradisionalis ini mampu mempertahankan ajaran Islam, namun mereka

tidak mampu untuk mengkritisi sains modern dengan berdasarkan

kriteria Islami.40

Bagi Nasr, kedua jenis respon ini sudah tidak mungkin lagi

diteruskan oleh para intelektual Muslim. Jika dunia Islam ingin

bertahan sekaligus menjaga otentisitasnya maka para intelektual

Muslim harus menguasai sains modern, mengkritisinya dari perspektif

Islam, lalu mengembangkan paradigma baru berdasarkan Islam dan

membuat lembaran baru tentang sains Islam berdasarkan tradisi

intelektual yang filsafat serta sejarahnya harus disadari secara

mendalam. Nasr juga menyatakan bahwa Islamisasi sains merupakan

proses integrasi, berdasarkan kritisisme, asimilasi serta penolakan

terhadap elemen-elemen sains yang ada, ke dalam alam intelektual

Islam yang berdasarkan tauhid, di mana segala sesuatu yang ada di alam

ini mempunyai tujuan penciptannya berdasarkan kebijaksanaan dan

rencana Allah.41

Adapun Ismail Raji al - Faruqi menyatakan bahwa masalah

utama di kalangan umat Islam adalah krisis pengetahuan dan

metodologis. Penyebabnya adalah sistem pendidikan yang sudah

terwesternisasi sekaligus tidak memiliki tujuan yang jelas. Istilah ini

disebut dengan the malaise of ummah (penyakit umat) yang muncul dari

kolonialisasi, kekalahan dan eksploitasi umat oleh musuh dan agennya

baik dari sisi internal maupun eksternal umat.

Efek dari penyakit ini ada tiga bagian utama yaitu politik,

ekonomi dan budaya. Secara politik, umat Islam sudah terpecah ke

40 Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Problem of Modern Science, Islam

and Science, Vol. 8 No. 1, 2010, hal. 63 - 65 41 Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Problem of Modern Science,hal. 69.

Hubungan Al Qur’an dengan …|

| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

12

dalam beberapa negara yang menimbulkan friksi dan permusuhan di

internal umat. Selain itu, sebagian besar institusi politik umat sudah

dihancurkan oleh administrasi kolonial. Dari sisi ekonomi, umat Islam

tidak berkembang dan bahkan tidak mampu menyediakan produk dan

layanan sesuai kebutuhannya. Lebih lagi, daerah umat Islam telah

menjadi pasar konsumen dari produk - produk kolonialis. Kalaupun

para kolonialis ini membantu, hasilnya mengakibatkan ketergantung

kepada mereka baik dari sisi bahan mentah ataupun barang jadi.

Terakhir, aspek kebudayaan umat menjadi bermasalah karena

kurangnya literasi, meningkatnya kebodohan serta tersiarnya tahayul.

Kondisi ini menjadi dasar munculnya keyakinan buta, literalisme dan

dogmatisme. Sementara itu para penjajah menyerang semua aspek

kehidupan masyarakat Islam dengan tujuan untuk memasukkan

keraguan sehingga kesadaran dan kepribadiannya menjadi rusak.

Beriringan dengan serangan ini, penjajah barat mempromosikan budaya

mereka baik melalui surat kabar, buku dan juga tontonan.42

Jawaban persoalan di atas bagi Al Faruqi, adalah islamisasi

pengetahuan untuk mereformasi umat secara keseluruhan. Sasaran

utamanya adalah menghilangkan jarak antara ilmu dan amal, idealisme

dan realisme serta kepemimpinan sosial politik dan ideologis serta

mengeliminasi dualisme dalam sistem pendidikan. Untuk

mengoperasionalisasikan

Islamisasi pengetahuan, dia menawarkan First Principles of

Islamic Methodology (Prinsip-prinsip Utama Metodologi Islam) yang

terdiri dari enam dasar berbasis Tauhid, yaitu, Keesaan Allah, Kesatuan

Penciptaan, Kesatuan Kebenaran dan Pengetahuan, Kesatuan

Kehidupan dan Kesatuan Kemanusiaan serta Keseimbangan antara

Wahyu dan Akal.43

Gagasan ketiga sarjana Muslim terkemuka di atas tentang

Islamisasi pengetahuan menunjukkan bahwa masalah utama dalam

sains modern ala barat adalah masalah filosofis. Mereka menunjukkan

bahwa realitas umat Islam sudah jauh dari paradigma Islam tentang

ilmu, baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologisnya.

Walhasil, umat Islam menjadi sekuler yang disebabkan oleh

kolonialisme dan hegemoni pemikiran barat, dan “terputus” dari tradisi

intelektual Islam. Untuk mendudukkan masalahnya secara lebih

gamblang, perlu dipaparkan pengetahuan secara filosofis dalam

tinjauan Islam.

Ontologi ilmu (pengetahuan) dalam Islam bersifat metafisik.

Yakni, aktivitas apapun yang berkaitan dengan ilmu bersifat

transendental, religius serta spiritual. Karena itu al - Attas

42 Abdul Hamid Abu Sulayman (ed), Islamization of Knowledge: General

Principles and Work Plan, Herndon: IIIT, 1989, hal. 1 – 9. Perlu dicatat, publikasi

ini merupakan pengembangan dari edisi pertama oleh al – Faruqi sendiri dan bagian

yang dikutip masih dipertahankan sebagaimana aslinya. (rujuk halaman xiv - xv

untuk klarifikasi). 43 Abdul Hamid Abu Sulayman (ed), Islamization of Knowledge: General

Principles and Work Plan, hal 33 – 53.

|Nur Raihan

| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

13

mendefinisikan ilmu secara ontologis berupa pemahaman sesuatu

melalui instrumen akal dan perolehan kalbu sehingga tergambar hakikat

sesuatu itu sebagaimana adanya. Lebih lanjut, dia membagi ilmu

menjadi dua bagian, pengenalan dan pengetahuan. Sebagai pengenalan,

ilmu berkaitan dengan akal dan kalbu sebagai fitrah manusia yang

mendatangkan kebenaran, keyakinan dan akhlak. Pengenalan ini

membawa seseorang untuk memahami dirinya dan memahami

Tuhannya. Adapun sebagai pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan

mengenai benda dan segala sesuatu yang tidak terkait dengan diri.

Karena mereka benda dan bukan diri, maka orang ingin mengetahui

harus meneliti dan mengkajinya. 44

Al - Attas mendefinisikan ilmu secara epistemologis sebagai

datangnya makna kepada jiwa dan datangnya jiwa kepada makna.45

Arti dari makna adalah pengenalan terhadap tempat bagi apapun dalam

dalam suatu sistem yang terjadi ketika hubungan antara sesuatu dengan

yang lainnya dalam sistem tersebut terklarifikasi dan dipahami.

Sehingga ilmu secara lebih operasional adalah pengenalan terhadap

tempat yang tepat bagi apapun dalam susunan penciptaan yang

menimbulkan pengenalan terhadap tempat yang tepat bagi Tuhan

didalam susunan wujud dan eksistensi.46

Definisi ini menunjukkan bahwa aktivitas pengilmuan dan

orang yang mengilmui serta ilmu itu sendiri sama - sama datang dari

Tuhan. Hal ini termaktub dalam banyak ayat, seperti penciptaan

manusia dalam Surat Al Mu’minun 12 - 13:

ن نسان ميين ﴿ ولقد خلقنا ال ن طي ﴾ث جعلناه نطفة في قرار ١٢سلل مي

﴾١٣مكيين ﴿المؤمنونلمؤمنون :

Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari

suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu

air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). (QS. Al

Mu'minun: 12-13)

Dan pengajaran Allah pada manusia dalam Surat Al ‘Alaq ayat 5:

نسان ما لم يعل ﴿العلق : ال ﴾٥عل

Artinya : Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS.

Al ‘Alaq: 5)

44 Syed Muhammad Naquib al - Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, Kuala

Lumpur: ISTAC, Tahun 2001, hal. 51 - 55 45 Definisi ini diambil al – Attas dari al Jurjani dalam Kitab Ta’rifat-nya.

Lihat Syed Muhammad Naquib al - Attas, The Concept of Education in Islam, Kuala

Lumpur: ISTAC, Tahun 1999, hal. 16 - 17 46 Syed Muhammad Naquib al - Attas, Prolegomena to the Metaphysics of

Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, Tahun 1993, hal. 14 - 16

Hubungan Al Qur’an dengan …|

| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

14

Konsekuensinya secara aksiologis, ilmu mengantarkan seseorang

kepada batas pengetahuan (baik secara kegunaan maupun secara

konseptual) terhadap yang dia pelajari. Jika tidak ada batasan dan tujuan

akhirnya maka akan menyebabkan kekaburan dan keraguan. Pada poin

inilah istilah hikmah berperan, yaitu karuni dari Tuhan berupa

pertimbangan yang seksama dan berperilaku yang adil dengan

meletakkan ilmu dan aktivitas terhadap ilmu tersebut pada tempat yang

wajar.47

47 Syed Muhammad Naquib al - Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, hal.

51 - 55

|Nur Raihan

| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

15

DAFTAR PUSTAKA

al - Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism, Kuala

Lumpur: ISTAC, 1993

al - Attas, Syed Muhammad Naquib, Prolegomena to the Metaphysics

of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993

al - Attas, Syed Muhammad Naquib, Risalah Untuk Kaum Muslimin,

Kuala Lumpur: ISTAC, 2001

al - Dzahabi, Muhammad Husain. Tafsir Al - Qur’an: Sebuah

Pengantar, Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2016

Ali, Suleiman Ali. A Brief Introduction to Qur’anic Exegesis (Abridged

by Wanda Krause), Herndon: IIIT, 2018

al - Ghazali, Muhammad. Al - Tafsir Maudu’i (A Thematic Commentary

on the Quran, Terjemahan Inggris oleh Ashur A. Shamis), London: IIIT,

2005

Bakar, Osman, Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic

Philosophical Science, Cambridge: Islamic Texts Society, 1998

De Smet Daniel dan Meryem Sebti, Avicenna’s Philosophical

Approach to the Qur’an in the Light of His Tafsir Surat al –

Ikhlas, Journal of Qur’anic Studies, 2009

Drajat, Amroeni, Ulumul Qur’an: Pengantar Ilmu – ilmu Al – Qur’an,

Depok: Kencana, 2017

Ibnu Sina, The Canon of Medicine of Avicenna, New York: AMS Press,

1973

Iqbal, Muzaffar, The Making of Islamic Science, Kuala Lumpur: Islamic

Book Trust, 2009

Iqbal, Muzaffar, On Scientific Exegesis, Islam and Science, Vol. 8, No

2, 2010

Isawi, Muhammad Ahmad, Tafsir Ibnu Mas’ud, Jakarta: Pustaka Azam,

tanpa tahun

Izutsu, Toshihiko, God and Man in the Qur’an: Semantics of the

Qur’anic Weltanschauung, Petaling Jaya: Islamic Book Trust,

2008

Hakim, Muhammad Baqir. Ulumul Qur’an, Jakarta: Al - Huda, 2006

Haleem, Muhammad Abdel. Understanding the Qur’an: Themes and

Style, London: IB TAURIS, 2011

Nasr, Seyyed Hossein, Islamic Science: An Illustrated Study, World of

Islam Festival Publishing Company, 1976

Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam, Belmont:

ABC International Group, 2001

Nasr, Seyyed Hossein, Islam and the Problem of Modern Science, Islam

and Science, Vol. 8 No. 1, 2010

Pink, Johanna. Muslim Qur’anic Interpretation Today: Media,

Genealogies and Interpretive Communities, Bristol: Equinox,

2019

Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur’an, Chicago: Bibliotheca

Islamica, 1994

Hubungan Al Qur’an dengan …|

| Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

16

Rippin, Andrew (ed). Approaches to the History of Interpretation of the

Qur’an¸Oxford: Clarendon Press, 1988

Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur’an: Towards A Contemporary

Approach, New York: Routledge, 2005

Saeed, Abdullah (ed). Approaches to The Qur’an in Contemporary

Indonesia, New York: Oxford University Press, 2005

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al - Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas

Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996

Sja’roni, H. M.. Studi Tafsir Tematik, Jurnal Studi Islam Panca Wahana,

Edisi 12, Tahun 2014

Sulayman, Abdul Hamid Abu (ed), Islamization of Knowledge:

General Principles and Work Plan, Herndon: IIIT, 1989

Wahid, P.A, The Quran: Scientific Exegesis, India: islamicscience.in,

2015