Upload
jono-irawan
View
243
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/17/2019 Vol 9 No 2_copy.pdf
1/4648
J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 48 - 55
ISSN 1907-1744
MONITORING DAN EVALUASI PROSES PERKULIAHAN DI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI FKIP
UNIVERSITAS MATARAM PADA SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2013/2014
I Gde Mertha1, Agil Al Idrus1, M. Liwa Ilhamdi1, I Putu Artayasa1, dan I Wayan Merta1
1Program Studi Pendidikan BiologiFKIP Universitas Mataram
E-mail: [email protected]
Abstrak : Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah melakukan kegiatan monitoring dan
evaluasi terhadap proses perkuliahan di Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unram sebagai usaha untuk
meningkatkan mutu perkulihan di Prodi tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptip, dengan
populasi seluruh dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unram yang mengajar pada semester genap tahun
2013/2014 yang bejumlah 29 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah sampel populasi. Data diperoleh
dengan menggunakan instrumen angket diberikan kepada dosen untuk melihat kesiapan mengajar serta
keterlaksanaan perkuliahan dan kepada mahasiswa untuk mengungkapkan tentang pelaksanaan proses
perkuliahan. Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif, selanjutnya dideskripsikan. Kesimpulan dalam
penelitian ini bahwa respon mahasiswa terhadap proses perkuliahan menunjukkan kualitas ketercapaian
berkategori baikdan sangat baik 65,57%, cukup baik/sedang27,05%, dan kurang 6,29%.
Kata kunci: : monitoring dan evaluasi,mutu perkuliahan, respon
Abstract : The aim of this research are monitoring and evaluating the lecturing process in biologys
department in teacher training and education faculty as the efforts to increase its quality. Methods used in this
research is descriptive, with population of all lecturers in biologys department in faculty of teacher training and
education of mataram University that teach in year of 2013/2014 in total of 29 lecturers. Samples of this research
are getting by using questionnaire given to all 29 lecturers to see how ready are them to teach and lecturing
implementation, as well to students to express how the learning process run. Data were analysed by qualitative
and quantitative ways, then fully described. The results of this research revealed that the students responds
toward teaching process are in good category and very good category 65,57%, good enough 27,05%, and poor
6,29%.
Keywords : monitoring and evaluating, lecturing quality, responds
1. PENDAHULUAN
Kondisi sekarang ini menunjukkan terjadinya perubahan
yang sangan pesat dalam berbagai bidang termasuk dalam
bidang pendidikan sebagai akibat dari kemujuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Akibat dari kemajuan tersebut
dan akibat dari isu persaingan global termasuk persaingan
dalam bidang tenaga kerja menyebabkan banyak orang
dari berbagai profesi berlomba-lomba meningkatkan
profesionalmenya. Sebagai seorang yang beker ja di perguruan tinggi, dosen juga dituntut untuk meningkatkan
profesionalsmenya. Pengertian profesionalisme adalah
sebagai komitmen para anggota suatu profesi, dalam hal
ini sebagai dosen, untuk meningkatkan kemampuan
profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan
strategi-strategi yang digunakan dalam melakukan
pekerjaan sesuai dengan profesinya [1].
Tugas dosen sesuai dengan tuntunan tr i darma
perguruan tinggi adalah melakukan penelitian, pengajaran,
dan pengabdian pada masyarakat. Khusunya dalam
bidang pengajaran berbagai upaya harus dilakukan untuk
meningkatkan profesionalismenya. Peningkatan
profesionalime tersebut dilakukan secara sinergi baik oleh
institusi tempat mereka bekerja maupun oleh dosen
bersangkutan, dilakukan baik secara berkelompok
maupun perorangan. Upaya yang telah dilakukan untuk
meningkatkan profesionalme dosen dalam bidang
pengajaran adalah meningkatkan proses pembelajaran
melalui perbaikan perangkat pembelajaran, metode
mengajar, dan peningkatan mutu media pembelajaran[2].Upaya perbaikan ini tidak akan bermanfaat banyak bila
tidak diikuti dengan kegiatan monitoring dan evalusi
terhadap upaya perbaikan tersebut. Hal ini sesuai dengan
pendapat Irawan [3]bahwa tidak ada satu pun usaha untuk
peningkatan kualitas PBM.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, sejauh ini
pelaksanaan monitoring dan evaluasi proses perkuliahan
di Prodi Pendidikan Biologi FKIP Unram dilakukan oleh
tim penjamin mutu fakultas, namun sayangnya
memperbaiki mutu proses belajar mengajar (PMB) yang
dapat dilakukan dengan baik tanpa disertai langkah
8/17/2019 Vol 9 No 2_copy.pdf
2/4649
Monitoring Dan Evaluasi Proses Perkuliahan.. ... (I G Mertha, Agil Al Idrus, M. L Ilhamdi, I P Artayasa, I W Merta )
evaluasi [4]. Setidaknya ada tiga manfaat evaluasi dalam
PBM, yaitu (1) memahami sesuatu, (2) membuat keputusan,
dan (3) meningkatkan proses tersebut tidak dilakukan
secara berkelanjutan, padahal dinamika proses belajar
mengajar saat ini tidak sepenuhnya sama dengan yang
dahulu, sehingga data hasil evalusi terbaru sangat
diperlukan sebagai informasi untuk perbaikan proses
belajar mengajar saat ini [3]. Diseminasi hasil evaluasi
proses perkuliahan di Prodi Biologi FKIP Unram terakhir
kali dilakukan dalam bentuk presentasi hasil evaluasi
perkuliahan dihadapan para dosen FKIP Unram pada tahun
2008, namun dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini,
publikasi maupun penyampaian hasil evaluasi perkuliahan
tersebut tidak pernal lagi dilakukan. Berdasarkan uraian
tersebut di atas maka sekarang ini sangat mendesak
dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap proses
perkulihan di Prodi Biologi FKIP Unram sebagai usaha
untuk meningkatkan mutu perkuliahan di prodi tersebut.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Prodi Biologi FKIP Unram
pada semester genap yaitu dari bulan Mei sampai dengan
bulan September 2014. Populasi dan sampel penelitian ini
adalah seluruh dosen Prodi Pendidikan Biologi Unram
yang mengajar pada semester genap tahun 2013/2014.
Instrumen penelitian ini adalah berupa angket
pelaksanan proses perkuliahan di Prodi Pendidikan Biologi
FKIP Unram. Angket yang digunakan mengacu pada
angket kinerja dosen khusunya dalam bidang pengajaran
yang disusun oleh pusat Penjaminan Mutu Universitas
Brawijaya tahun 2007 [5] dengan beberapa perubahan yang
disesuaikan dengan kondisi perkuliahan di FKIP Unram.
Data diambil dengan mengisi angket, selanjutnya skor
angket yang diperoleh dianalisa dengan menghitung rata-
rata skor pada setiap indikator. Rata-rata skor pada setiap
indikator selanjutnya akan memberikan petunjuk tentangkualitas proses perkuliahan.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Hasil Penelitian.
Hasil monitoring dan evaluasi menunjukkan
bahwa pelaksanaan proses perkuliahan di prodi pendidikan
Biologi FKIP Universitas Mataram pada semester Genap
2013/2014, umumnya telah berjalan dengan baik. Penilaian
yang diberikan dosen dan mahasiswa, masing-masing
tampak seperti membentuk kurva normal (Gambar 1).
Kualitas ketercapaian indikator dengan kategori baik
berada pada puncak kurva, yang berarti bahwa responden
(dosen dan mahasiswa) yang setuju dengan pilihan
kategori tersebut jumlahnya paling banyak.
Jumlah dosen dan mahasiswa yang menilai
bahwa proses perkuliahan berjalan dengan kualitas bagus
(baik dan sangat baik) lebih banyak dibandingkan dengan
yang menilai belum berjalan dengan baik (cukup dan
kurang) (Gambar 1). Sebanyak 77,79% dosen setuju bahwa
perkuliahan berjalan dengan kualitas bagus (60,51% baik
dan 17,28% sangat baik), sedangkan 9,28% dosen belum
setuju perkuliahan berjalan dengan baik (1,90% kurang
dan 7,38% cukup). Mahasiswa yang menilai bahwa proses
perkuliahan berjalan dengan kualitas bagus, yakni 65,67%
(43,92% baik dan 21,65% sangat baik), sedangkan 33,34%
menilai perkuliahan belum berjalan dengan baik (27,05%
cukup dan 6,29% kurang). Jika kedua kelompok data hasil
penelitian tersebut (respon dosen dan respon mahasiswa)
yang berada pada kategori normal (baik dan sangat baik)
tersebut dibandingkan dengan rentang penilaian yang
umum digunakan dalam menentukan kelulusan mahasiswa,
maka proses perkuliahan di prodi Biologi FKIP Unram pada
semester genap 2013/2014 memiliki nilai dengan konversi
B (rentang 65-71) dan B+ (rentang 72-79).
Selisih antara jumlah dosen dan jumlah
mahasiswa yang memilih masing-masing kategori
ketercapaian proses perkuliahan (sangat baik, baik, cukup,
dan kurang) berada dibawah 20%. Perbedaan persentase
tersebut pada masing-masing kategori, yaitu kurang
(4,39%), cukup (19,67%), baik (16,59%), dan sangat baik (4.37%). Hal ini menunjukkan bahwa penilaian dosen dan
mahasiswa terhadap proses perkuliahan di prodi Biologi
hampir sama, karena selisih persentase pada masing-
masing kategori tidak jauh berbeda.
8/17/2019 Vol 9 No 2_copy.pdf
3/4650
J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 48 - 55
Komponen Pencapaian Proses Perkuliahan
Monitoring dan evaluasi ditargetkan pada enam
pencapaian kinerja dosen dalam proses perkuliahan. Kinerja
dosen yang dinilai tersebut meliputi: (1) kemampuan dosen
dalam PBM, (2) kualitas materi perkuliahan, (3) ketersediaan
dan mutu perangkat pembelajaran, (4) kualitas buku ajar
dan petunjuk praktikum, (5) proses evaluasi perkuliahan,
dan (6) sarana dan prasarana perkuliahan/praktikum. Data
yang diminta dari responden pada masing-masing penilaian
tersebut, yakni: kemampuan dosen dalam PBM (oleh
mahasiswa); ketersediaan dan mutu perangkat
pembelajaran (oleh dosen), kualitas buku ajar dan petunjuk
praktikum (oleh dosen); kualitas materi perkuliahan, proses
evaluasi perkuliahan, dan sarana dan prasarana
perkuliahan/praktikum (oleh mahasiswa dan dosen).
Hasil penilaian kinerja oleh dosen (Gambar 2)
menunjukkan bahwa kualitas ketercapaian pada kategori
baik memiliki rata-rata nilai persentase tertinggi pada
semua komponen yang dinilai. Persentase masing-masing
komponen dalam kategori tersebut, sebagai berikut:
ketersediaan dan mutu perangkat pembelajaran (60,71%),
kualitas buku ajar dan petunjuk praktikum (53,57%),
kualitas materi perkuliahan (57,9%), proses evaluasi
perkuliahan (64 ,29%), ser ta sarana dan prasa rana
perkuliahan/praktikum (66,07%). Hal ini berarti bahwa lebih
dari 50% dari jumlah dosen yang mengajar pada semester
genap 2013/2014, telah menjalankan proses perkuliahan
dengan baik.
Selain hasil penilaian pada kategori baik, penilaian
pada kategori sangat baik juga menunjukkan nilai yang
lebih tinggi dibanding kategori yang lain pada semua
komponen yang dinilai pada penelitian ini. Persentase
tertinggi jumlah dosen yang menilai bahwa perkuliahan
berjalan sangat baik, yaitu pada komponen proses evaluasi
perkuliahan (29%). Persentase kategori tersebut pada
komponen yang lainnya kurang dari 29%, yaitu kualitas
buku ajar dan petunjuk praktikum (23%), kualitas materi
perkuliahan (20%), ketersediaan dan mutu perangkat
8/17/2019 Vol 9 No 2_copy.pdf
4/4651
pembela jar an (8,93%), ser ta sar ana dan prasarana
perkuliahan/praktikum (5,4%).
Hasil penilaian dengan kategori cukup/sedang dan kurang
memiliki persentase kurang dari 20%. Persentase tertinggi
dosen yang setuju bahwa proses pembelajaran berada
pada kategori cukup ditemukan pada komponen kualitas
buku ajar dan petunjuk praktikum (14,3%) dan pada
komponen sarana dan prasarana perkuliahan/praktikum
(14,3%). Sedangkan pada komponen yang lain, persentase
kategori tersebut kurang dari 5%. Dosen yang merespon
bahwa kualitas perkuliahan masih kurang, tampak cukup
jelas pada 2 komponen, yaitu proses evaluasi perkuliahan
(2,38%) serta sarana dan prasarana perkuliahan/praktikum
(7,14%).
Berdasarkan data pada Gambar 2 secara umum
digambarkan bahwa kualitas ketercapaian perkuliahan
yang berjalan normal (baik dan sangat baik) jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan perkuliahan yang belum
berjalan normal (cukup dan kurang). Persentase kualitas
ketercapaian baik dan sangat baik pada masing-masing
komponen sebagai berikut: proses evaluasi perkuliahan
93,29% (64,29% baik dan 29% sangat baik), kualitas materi
perkuliahan 77,9% (57% baik dan 20% sangat baik), kualitas
buku ajar dan petunjuk praktikum 76,57% (53,57% baik
dan 23% sangat baik), sarana dan prasarana perkuliahan/
praktikum 71.47% (66,07% baik dan 5,4% sangat baik), dan
ketersediaan mutu dan perangkat pembelajaran 69,64%
(60,71% baik dan 8,93% sangat baik).
Hasil penilaian proses perkuliahan oleh
mahasiswa umumnya menunjukkan kecenderungan data
yang hampir sama dengan jawaban yang diberikan dosen
(Gambar 3). Kesamaan tersebut terdapat pada tiga
komponen penilaian, yaitu kemampuan dosen dalam PBM
(46,65%), kualitas materi perkuliahan (49,04%), dan proses
evaluasi perkuliahan (44,45%). Persentase yang ada pada
masing-masing komponen tersebut merupakan persentasetertinggi jumlah mahasiswa yang memberikan jawaban
pada kategori baik. Perbedaan antara jawaban yang
diberikan dosen dengan mahasiswa terletak pada
komponen sarana dan prasarana perkuliahan/praktikum.
Sebanyak 66,07% dosen (merupakan persentase
terbanyak) menganggap bahwa sarana dan prasarana
tersebut termasuk dalam kategori baik dalam menunjang
perkuliahan (Gambar 2), namun hal tersebut berbeda cukup
jauh dengan jawaban yang diberikan mahasiswa, yaitu
hanya 35,57% mahasiswa setuju komponen tersebut
berada pada kategori baik. Mahasiswa yang merespon
komponen tersebut pada kategori cukup (40,88%) dan
kurang (17,41%) lebih banyak jumlahnya (Gambar 3)
dibandingkan dengan jawaban yang diberikan dosen,
yaitu masing-masing 14,3% cukup dan 7,14% kurang
(Gambar 2). Hal ini diduga karena tidak semua dosen terlibat
langsung dalam praktikum di laboratorium.
Berdasarkan data pada Gambar 3 secara umum
menunjukkan bahwa kualitas ketercapaian perkuliahan
yang berjalan dengan kualitas bagus (baik dan sangat baik)
lebih tinggi dibanding perkuliahan yang belum berjalan
dengan baik (cukup dan kurang), kecuali pada komponen
sarana dan prasarana perkuliahan/praktikum. Persentase
kualitas ketercapaian baik dan sangat baik pada masing-
masing komponen tersebut sebagai berikut: proses
evaluasi perkuliahan 64,99% (44,45% baik dan 20,54%
sangat baik), kualitas materi perkuliahan 77,51% (49.04%
baik dan 28,47% sangat baik), kemampuan dosen dalam
PBM 78,19% (46,65% baik dan 31,54% sangat baik).
Kualitas ketercapaian cukup dan kurang yang lebih rendah
dibanding kualitas ketercapaian baik dan sangat baik, yaitu
pada komponen proses evaluasi perkuliahan sebesar
33,68% (29,23% cukup dan 4,45% kurang), kualitas materi
perkuliahan 20,26% (18.16% cukup dan 1.66% kurang),
kemampuan dosen dalam PBM 21.18% (19,51% cukup dan
1,67% kurang). Jika katergori kualitas ketercapaian
perkuliahan pada komponen sarana dan prasarana
perkuliahan/praktikum dibandingkan, maka kualitas
ketercapaian yang baik dan sangat baik (41.63%) akan lebih
rendah dibanding kualitas ketercapaian cukup dan kurang
(58.29%).
Indikator Komponen Pencapaian Proses Perkuliahan
Hasil monitoring terhadap persepsi mahasiswa terhadap
kemampuan dosen dalam PBM (Gambar 4), menunjukkan
bahwa 51,05% mahasiswa setuju bahwa penguasaan
Monitoring Dan Evaluasi Proses Perkuliahan.. ... (I G Mertha, Agil Al Idrus, M. L Ilhamdi, I P Artayasa, I W Merta )
8/17/2019 Vol 9 No 2_copy.pdf
5/4652
dosen terhadap materi kuliah berada pada kategori baik,
40,14% mahasiswa setuju pada kategori sangat baik, dan
8,14% mahasiswa setuju pada kategori cukup.
Berdasarkan data tersebut, maka 91,19% mahasiswa
merespon proses perkuliahan di prodi pendidikan Biologi
pada semester genap 2013/2014 telah berjalan dengan baik
dan sangat baik. Data ini didukung kemampuan dosen
dalam menjelaskan yang juga tergolong tinggi (81,43%)
yang merupakan gabungan kategori baik (49,96%) dan
sangat baik (31,47%). Hal ini diduga karena kualifikasi
akademik dosen yang mengajar pada prodi Biologi FKIP
Universitas Mataram pada semester genap 2013/2014
cukup tinggi, yaitu Guru Besar 3 orang, doktor (S-3) 12
orang, dan magister (S-2) 14 orang.
Persepsi mahasiswa terhadap kemampuan dosen
dalam bertanya, menunjukkan bahwa 43,80% setuju
kualitas ketercapaian keampuan tersebut berada pada
kategori baik, 23,56% pada kategori sangat baik, dan
29,30% pada kategori cukup (Gambar 4). Berdasarkan data
tersebut, maka persentase mahasiswa yang merespon
bahwa kemampuan dosen dalam bertanya berada pada
kategori baik dan sangat baik, yaitu 67,36%. Data tersebut
didukung indikator kemampuan dosen berdialog dengan
mahasiswa, yaitu 41,77% mahasiswa setuju kemampuan
tersebut berada pada kategori baik, 30,98% pada kategori
sangat baik, 24,03% pada kategori cukup. Dengan demikian
persentase jumlah mahasiswa yang merespon bahwa
kemampuan dosen dalam berdialog dengan mahasiswa
berada pada kategori baik dan amat baik adalah 72,75%.
Kemampuan dosen dalam bertanya dan berdialog dengan
mahasiswa ini memiliki persentase ketercapaian yang
sedikit lebih rendah pada kategori baik dan sangat baik
dibandingkan dengan penguasaan dosen terhadap materi
kuliah dan kemampaun dosen dalam menjelaskan. Hal ini
diduga ada hubungannya dengan ketersediaan waktu
mengajar yang singkat, namun materi yang dismpaikancukup padat, dan juga kondisi ruang dosen yang kurang
kondusif karena masih terbuka. Hal ini akan mempengaruhi
kegiatan konsultasi mahasiswa dan dosen. Agar dialog
berjalan dengan lancar, maka perlu dilakukan penyekatan
ruang dosen.
Hasil monitoring indikator mutu tugas/latihan (Gambar 5),
yaitu 55,73% mahasiswa setuju bahwa mutu tugas/latihan
yang diberikan dosen tergolong baik, 26,70% tergolong
sangat baik, 15,44% tergolong cukup. Berdasarkan data
monitoring ini, maka persentase persepsi mahasiswa yang
memilih kualitas ketercapaian tersebut pada katrgori baik
dan sangat baik menjadi cukup tinggi, yaitu 82,43%
(55,73% baik dan 26,12% sangat baik). Data tersebut
berkorelasi positif dengan indikator mutu soal-soal ujian,
bahwa 86,16% mahasiswa setuju mutu soal-soal yang
diberikan dosen tersebut tergolong baik dan sangat baik.
Sebanyak 49,34% mahasiswa setuju bahwa mutu soal-soal
ujian termasuk kategori baik dan 36.82% termasuk kategori
sangat baik. Persepsi mahasiswa yang sangat tinggi pada
mutu tugas latihan dan mutu soal-soal ujian tersebut
diduga karena kedua komponen tersebut didesain untuk
berfiki r tin ggi (t in gk at ke suli ta n soal mu la i C4
keatas).Kondisi tersebut akan menantang mahasiswa
untuk berfikir kritis, jika ingin hasil belajar meningkat.
Menurut Hasan [6], terdapat hubungan antara
keterampilan metakognisi dan berfikir kritis terhadap hasil
belajar biologi.
Pengamatan terhadap parameter sistematika
urutan materi kuliah (Gambar 5), menunjukkan bahwa
51,75% mahasiswa setuju sistematika urutan tersebut
berada pada kategori baik, 24,26% pada kategori sangat
baik, 21.32% pada kategori cukup. Berdasarkan data
tersebut, maka pelaksanaan proses perkuliahan yang
terkait dengan indikator sistematika urutan materi kuliah
yang berada pada kategori baik dan sangat baik menjadi
cukup tinggi, yaitu 76,01%. Ketercapaian persentase yang
cukup bagus ini diduga karena sudah ada pembagian
materi yang jelas diantara tim pengampu matakuliah. Selain
itu, latar belakang pendidikan dosen yang mengampu
matakuliah sesuai dengan keahlian masing-masing.
Kemutakhiran bahan bacaan yang digunakandosen menunjukkan persentase ketercapaian yang paling
rendah dibanding indikator lainnyadalam parameter
kualitas materi perkuliahan(Gambar 5). Persepsi mahasiswa
terhadap kemutakhiran bahan bacaan menunjukkan bahwa
39,32% setuju kualitas ketercapaian kemampuan tersebut
J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 48 - 55
8/17/2019 Vol 9 No 2_copy.pdf
6/4653
berada pada kategori baik, 26,12% pada kategori sangat
baik, dan 29,21% pada kategori cukup. Berdasarkan data
tersebut, maka persentase mahasiswa yang merespon
indikator tersebut pada kategori baik dan sangat baik, yaitu
65,44%. Nilai ini merupakan persentase terendah dalam
parameter kualitas materi perkuliahan. Kemungkinan hal
ini disebabkan karena pada saat menyusun materi kuliah,
dosen jarang menggunakan jurnal, atau jarang
menyampaikan hasil-hasil penelitiannya untuk dijadikan
sebagai materi ajar. Untuk mengatasi masalah ini, dosen
diharapkan dapat membuka perpustakaan on line yang
dapat diakses gratis yang selama ini dilanggan oleh Dikti
atau Unram.
Pelaksanaan evaluasi proses perkuliahan
menunjukkan bahwa indikator kualitas test yang baik
ditunjang oleh indikator isi test yang baik (Gambar 6).
Sebanyak 55,12% mahasiswa mengakui bahwa kualitas test
berada pada kategori baik, 27,60% berada pada kategori
sangat baik, 14,56% berada pada kategori cukup, dan 2,06%
berada pada kategori kurang. Berdasarkan data tersebut,
maka kualitas test yang disusun dosen yang mendapat
respon baik dan amat baik sebanyak 82,72%. Kenaikan
persentase kualitas test pada kategori baik ini, diikuti
kenaikan persentase kualitas test sesuai dengasn isi
silabus dan SAP. Kecenderungan seperti ini terjadi diduga
karena test yang disusun oleh dosen di prodi pendidikan
Biologi FKIP Universitas Mataram dirancang untuk
kemampuan berfikir tinggi, terutama soal-soal yang
berbentuk essay. Dengan demikian maka wajar saja variasi
alat evaluasi yang diberikan dosen kurang bervariasi.
Berbeda dengan kedua indikator dalam parameter
proses evaluasi tersebut diatas, indikator evaluasi yang
dilaksanakan pada setiap akhir pokok bahasan
menunjukkan persentase tertinggi dengan kualitas
ketercapaian pada kategori cukup (Gambar 6). Hal ini berarti
bahwa dosen jarang melaksanakan proses evaluasi pada
setiap akhir pokok bahasan. Kondisi seperti itu
kemungkinan disebabkan karena proses evaluasi yang
dilaksanakan dosen selama ini masih terbatas pada
kelengkapan penilaian untuk U-1, U-2, dan U-3 saja yang
sebagian besar dilaksanakan mengikuti jadual panitia ujian
yang dibentuk Fakultas.
Monitoring Dan Evaluasi Proses Perkuliahan..... (I G Mertha, Agil Al Idrus, M. L Ilhamdi, I P Artayasa, I W Merta )
8/17/2019 Vol 9 No 2_copy.pdf
7/4654
Hasil monitoring sarana dan prasarana perkuliahan/
praktikum yang digunakan untuk menunjang pelaksanaan
proses perkuliahan menunjukkan bahwa persentase
responden yang memilih kategori ketercapaian baik, tidak
ada yang mencapai 50%. Demikian pula penggabungan
persentase jumlah responen yang merespon baik dan
kurang baik juga menjadi kurang dari 50% (Gambar 7).
Mutu perkuliahan pada indikator kualitas fasilitas
perk ul ia ha n/ pr ak ti kum, men un jukkan persent ase
ketercapaian yang tidak jauh berbeda antara kategori baik
(41,05%) dengan kategori cukup (36,86%). Demikian pula
pada indikator jumlah fasilitas perkuliahan/praktikum,
bahwa persentase responden pada kategori baik (40,70%)
tidak jauh berbeda dengan kategori cukup (34,75%).
Kondisi ini kemungkinan disebabkan karena fasilitas yang
tersedia untuk menunjang kegiatan perkuliahan dan
praktikum banyak yang tidak up to date lagi yang tidak
sesuai dengan perkembangan ilmu terbaru, demikian pula
jumlah pera la tan yan g masih kuran g. Sela in it u,
kemungkinan banyak alat yang tidak berfungsi karena
rusak. Kondisi seperti ini juga berlaku untuk LCD dan
bahan-bahan praktikum. Untuk mengatasi hal ini, maka
pihak pengelola laboratorium perlu berkoordinasi dengan
dosen pengampu matakuliah untuk pengadaan alat-alat
baru . Untuk menin gkat kan kuali ta s bahan -bahan
praktikum, perlu dilakukan revitalisasi dan optimalisasi
penggunaan Kebun Biologi dalam penyediaan bahan
tersebut.
Kualitas ketercapaian indikator pada kategori
kurang dalam komponen sarana dan prasarana
perkuliah an /praktikum (Gambar 7) menun juk kan
persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan semua
data yang telah dibahas sebelumnya. Persentase
responden yang memilih kategori cukup mengalami
peningkatan, yaitu berkisar antara 11,50% – 27,50%
(Gambar 7). Kebersihan dan keindahan ruangan kuliah/ praktikum perlu mendapat perhatian karena menunjukkan
kategori kurang dengan persentase paling tinggi. Selain
itu, indikator ini juga menunjukkan kategori cukup (belum
baik) dengan persentase yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kategori baik dan amat baik. Hal ini diduga ada
hubungannya dengan kondisi laboratorium, terutama pada
matakuliah yang melaksanakan praktikum. Kebersihan dan
keindahan ruangan kuliah/praktikum mendapat respon
negatif diduga karena cleaning service yang bertugas
membersihkan laboratorium tidak selalu ada saat praktikum
berlangsung. Ruangan seringkali dibersihkan pada malam
atau sore hari saja, kemudian pekerjaan dilanjutkan
keesokan hari dengan waktu yang sama. Selain itu,
kesadaran praktikan untuk membersihkan alat-alat
laboratorium dan tidak membuang sampah sembarangan
masih kurang. Penyebab lain yang juga diduga
mempengaruhi kebersihan laboratorium karena frekuensi
penggunaan laboratorium yang sangat padat dengan
ukuran ruangan yang belum ideal. Hal ini terjadi karena
pada awal laboratorium biologi dibentuk, luasnya 2 kali
ukuran yang sekarang. Namun karena telah dibuka prodi
Kimia, ruangan laboratorium tersebut disekat menjadi dua
ruangan yang masing-masing sebagai tempat praktikum
mahasiswa biologi dan mahasiswa kimia.
Monitoring terhadap prosedur peminjaman/
penggunaan media perkuliahan dan alat-alat praktikum
menunjukkan bahwa responden yang menilai pada kategori
cukup 47,36%, jumlahnya lebih tinggi dibandingkan
dengan responen yang menilai pada kategori baik 34,90%
dan sangat baik 5,56%. Hal ini menggambarkan bahwa
prosedur peminjaman/penggunaan media perkuliahan dan
alat-alat praktikum tersebut belum berjalan dengan baik.
Hambatan ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh
tanggung jawab masing-masing laboran dan pegawai
administrasi yang masing-masing berkewajiban menangani
peralatan penunjang perkuliahan, belum berjalan optimal
sesuai uraian pembagian tugas. Untuk meningkatkan
kualitas layanan yang lebih baik, perlu saling koordinasi
yang intensif diantara petugas.
Hasil monitoring terhadap ketersediaan dan mutu
perangkat pembelajaran yang diperoleh dari respon dosenmenunjukkan bahwa semua indikator yang dinilai pada
komponen ini memiliki persentase tertinggi pada kategori
baik (Gambar 8). Persentase responden dalam kategori baik
tersebut sebagai berikut: Kelengkapan dan mutu
SAP92,86%, kelengkapan dan mutu silabus 78,57%,
J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 48 - 55
8/17/2019 Vol 9 No 2_copy.pdf
8/4655
ketersediaan dan relevansi media pembelajaran 71,43%,
dan ketersediaan kontrak perkuliahan 57,14%. Jika
per sentase responden pada kategori baik digabung
dengan persentase responden pada kategori amat baik,
maka masing-masing indikator (kategori baik dan sangat
baik ) akan memi li ki pers en ta se sebagai berikut :
Kelengkapan dan mutu silabus 100%, kelengkapan dan
mutu SAP92,86%, ketersediaan dan relevansi media
pembelajaran 85,72%, dan ketersediaan kontrak perkuliahan
92.85%. Data ini menggambarkan bahwa kesiapan dosen
dalam proses perkuliahan sangat tinggi. Ketersediaan dan
mutu perangkat pembelajaran dengan kualitas
ketercapaian yang sangat bagus ini agar terus
dipertahaknan dan dimantapkan.
Semua indikator dalam paremeter kualitas buku
ajar dan petunjuk praktikum yang telah direspon responden(dosen) menunjukkan bahwa kualitas ketercapaian
indikator tersebut berada pada kategori baik, dengan
persentase yang paling tinggi (Gambar 9). Persentase
responden dalam kategori baik tersebut, yaitu keterbacaan
(mudah tidaknya dipahami) buku ajar dan petunjuk
praktikum 64,29%, sistematika penyusunan buku ajar dan
petunjuk praktikum 57,14%, kemutakhiran referensi pada
buku ajar dan petunjuk praktikum 50%, dan relevansi buku
ajar dan petunjuk praktikum dengan silabus dan SAP
42,86%. Jika persentase responden pada kategori baik
digabung dengan persentase responden pada kategori
amat baik, maka masing-masing indikator (kategori baik
dan sangat baik) akan mengakumulasikan persentasesebagai berikut: keterbacaan (mudah tidaknya dipahami)
buku ajar dan petunjuk praktikum 85,72%, sistematika
penyusunan buku ajar dan petunjuk prakt ikum 71,43%,
kemutakhiran referensi pada buku ajar dan petunjuk
praktikum 78,57%, dan relevansi buku ajar dan petunjuk
praktikum dengan silabus dan SAP 71,43%. Hasil ini
menggambarkan bahwa kesiapan dosen dalam menyiapkan
materi perkuliahan cukup tinggi.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pelaksanaan proses perkuliahan di program studi
pendidikan Biologi FKIP Universitas Mataram
pada Semester Genap 2013/2014 berjalan
dengan baik.
2. Respon mahasiswa terhadap proses perkuliahan
menunjukkan kualitas ketercapaian berkategori
baikdan sangat baik 65,57%, cukup baik/sedang
27,05%, dan kurang 6,29%.
Saran
1. Ketua tim matakuliah agar selalu mengkoordinasi
tim matakuliah dalam penyempurnaan silabus,
SAP, dan kontrak kuliah.
2. Dalam kegiatan praktikum, diharapkan agar dosen
hadir pada semua mata acara yangdipraktikumkan.
3. Sarana dan prasarana perkuliahan/praktikum
perlu diper ha tikan agar dapat menunjan g
perkuliahan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Danin, S., 2002, Inovasi Pendidikan, Penerbit Pustaka
Setia, Bandung.
[2] Prastati, T. dan P. Irawan, 1994, Media Instruksional,
Pusat antar Universitas Dirjen Dikti Depdikbud,
Jakarta.
[3] Irawan, P., 1994, Evaluasi Proses Belajar , Pusat antar Universitas Dirjen Dikti Depdikbud, Jakarta.
[4] Depdikbud, 1994, Petunjuk Pelaksanaan Proses
Belajar Mengajar , Balai Pustaka, Jakarta.
[5] Tim Penjamin Mutu Universitas Brawijaya, 2007,
Evaluasi Kinerja Di Program Studi Universitas
Brawijaya, Pusat Penjaminan Mutu Unibraw,
Malang.
[6] Hasan, S. 2014. Keberhasilan proses belajar biologi
dan pemberdayaan keterampilan berpikir tinggi.
Jurnal Pendidikan Biologi, Volume 5, Nomor
2, Februari 2014: 186-193.
Monitoring Dan Evaluasi Proses Perkuliahan.. ... (I G Mertha, Agil Al Idrus, M. L Ilhamdi, I P Artayasa, I W Merta )
8/17/2019 Vol 9 No 2_copy.pdf
9/4656
PENGGUNAAN PARADIGMA GAYA-REAKSI DAN PENDEKATAN ANALOGI UNTUK MENINGKATKAN
PEMAHAMAN KONSEP GAYA GESEK BAGI MAHASISWA CALON GURU FISIKA (STUDI KASUS
PERKULIAHAN FISIKA DASAR I)
Joni Rokhmat
Program Studi Pendidikan Fisika, FKIP Universitas Mataram
Email: [email protected]
Abstrak : Hasil studi dalam perkuliahan Fisika Dasar I memperlihatkan bahwa mahasiswa calon guru fisika
pada umumnya memiliki konsepsi keliru tentang gaya gesek. Konsepsi keliru tersebut meliputi penentuan syarat
terjadinya gaya gesek antara dua benda, jenis gaya gesek (statik atau kinetik), arah gaya gesek, serta nilainya. Melalui
pembahasan fenomena orang berjalan dan mobil bergerak dengan penggerak roda depan, dan menggunakan pendekatan
paradigma gaya gesek sebagai gaya-reaksi dan pendekatan analogi, serta hukum-hukum Newton tentang gerak terbukti
dapat mengubah konsepsi keliru mahasiswa tersebut menjadi konsepsi yang benar. Akhir pembelajaran menggunakan
dua pendekatan tersebut terbukti mahasiswa memiliki pemahaman gaya gesek yang lebih sempurna, khususnya
berkenaan dengan syarat terjadinya gaya gesek, penentuan jenis, arah, dan nilai gaya gesek.
Kata kunci: : Pendekatan paradigma gaya gesek sebagai gaya-reaksi, pendekatan analogi, serta syarat
kemunculan, jenis, arah, dan nilai gaya gesek.
Abstract : The Study results in Fundamental Physics I lecturing showed that pre service Students of Physics
in general have misconceptions about friction force. The misconceptions include determining of requirements of
friction force happening, sort of the friction force (static or kinetic), direction and value of the friction force. Through
discussions ofthe phenomena of a human being walking and a car moving with front wheel activator, and used
approaches of a paradigm that friction force as a reactive-force and analogy, also used the Newton’s laws about
movement it proved that those could changethe misconceptions to be true conceptions. The last of lecturing using the
two approaches the Students have beter understanding of friction force, especially with rescpet to the requirements of
it’s happening, determining it’s sorts (static or kinetic), direction, and it’s value.
Keywords : Approache of a paradigm that friction force as a reactive-force, analogy approache, also
requirements of it’s happening, determining of sort, direction, and value of the friction force.
1. PENDAHULUAN
Sebagai salah satu sub-materi dalam pokok materi
mekanika dalam fisika, konsep gaya gesek selalu dibahas
dalam uraian pembelajaran fisika pada bagian mekanika.
Hal ini terjadi pula dalam pembelajaran fisika pada jenjang
Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun Perguruan
Tinggi. Namun demikian, sepengetahuan panulis, pembahasan konsep gaya gesek dalam buku-buku pada
kedua jenjang tersebut secara umum belum mampu
memfasilitasi pembelajar untuk memahaminya secara utuh.
Fenomena lebih menyedihkan terjadi bahwa pembahasan
konsep gaya gesek lebih merupakan suatu ringkasan dari
konsep tersebut sehingga semakin menjauhkan pembelajar
untuk memahami konsep gaya gesek tersebut. Fenomena
ini, diperkuat oleh kenyataan bahwa dalam perkuliahan
Fisika Dasar Imahasiswa calon guru fisika secara signifikan
memperlihatkan konsepsi awal yang jauh dari standar
pemahaman konsep gaya gesek.
Gaya gesek merupakan salah satu konsep fisika yang cukup
populer di kalangan mahasiswa fisika maupun siswa SMA.
Namun demikian hasil analisis kasus dalam proses
perkuliahan fisika dasar I memper liha tkan bah wa
mahasiswa pada umumnya memiliki konsepsi yang keliru
tentang gaya gesek. Konsepsi-konsepsi mahasiswa yangkeliru ini antara lain meliputi: (1) paradigma gaya gesek
sebagai gaya-reaksi, (2) penentuan persyaratan agar gaya
gesek terjadi di antara dua benda, (3) penentuan jenis gaya
gesek (statik atau kinetik), dan (4) penentuan arah gaya
gesek, dan (5) penentuan nilai gaya gesek.
Sesuai dengan judul, pada bagian pembahasan
dari tulisan ini porsi terbesar mengulas penerapan
pendekatan gaya-reaksi dalam upaya memfasi litasi
pembelajar memahami konsep gaya gesek secara utuh.
Penerapan pendekatan ini difokuskan untuk mengatasi
konsepsi-konsepsi keliru nomor 2 sampai dengan 5
. ar , o . o. , eptem er : -ISSN 1907-1744
8/17/2019 Vol 9 No 2_copy.pdf
10/4657
sebagaimana disebutkan pada alinea di atas meskipun
untuk bagian terakhir (nilai gaya gesek) tidak dibahas
secara rinci mengingat terbatasnya halaman tulisan ini.
Untuk menambah kedalaman pembahasan, dalam ulasan
atau pembahasan tersebut akan dikaitkan dengan hukum
Newton tentang gerak, baik hukum pertama, kedua,
maupun ketiga, serta menggunakan contoh-contoh
fenomena fisika yang dijadikan fokus pembahasan dalam
perkuliahan Fisika Dasar I. Namun demikian, sebelum
mengulas penerapannya, dalam tulisan ini dibahas lebih
dulu pengertian paradigma gaya-reaksi.
2. PEMBAHASAN
Pengertian Paradigma Gaya-Reaksi
Penulis tertarik mengawali pembahasan
pengertian paradigma ini dengan menggali makna kata
“reaksi”. Hampir dalam setiap pembelajaran, dan dalam
pembaha san setiap kons ep fisika , penul is sela lu
menggunakan pendekatan konsep reaksi. Sepanjang
pengetahuan penulis, hampir seluruh peristiwa yang terjadi
di lingkungan sekitar yang mengarah pada diri kita
merupakan peristiwa reaksi dari sebuah atau beberapa aksi
yang kita lakukan terhadap l ingkungan sekitar tersebut.
Fenomena sejalan dengan Hukum III Newton bahwa ketika
ada gaya aksi yang dikerjakan suatu benda pada benda
lain maka benda kedua ini akan memberikan gaya-reaksi
pada benda pertama [1, 2, 3].
Apabila saat kita memberi kuliah atau mengajar
terdapat benda-benda, seperti bangku, meja, papan tulis,
dinding ruangan, atau sebagian atau seluruh mahasiswa
atau siswa yang dirasakan menjadikan kita tidak nyaman
berada di ruang kuliah atau kelas, sesungguhnya peristiwa
tersebut merupakan reaksi dari apa yang telah kita lakukan
di kelas. Jadi pada dasarnya kita dapat menciptakan kondisi
ruang kuliah atau kelas menjadi tempat yang
menyenangkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yangmenyenangkan bagi mahasiswa, siswa, bahkan bagi benda-
benda di sekitar kita yang berkategori benda mati
Berdasar uraian di atas, paradigma gaya-reaksi
dapat dijelaskan sebagai berikut: Secara umum gaya yang
dapat diartikan sebagai suatu dorongan atau tarikan dapat
dibagi kedalam dua kelompok, yaitu kelompok gaya aksi
dan gaya-reaksi. Gaya aksi dapat diartikan sebagai suatu
gaya yang kemunculannya tanpa didahului adanya gaya
lain. Dalam pengertian hubungan sebab-akibat (kausalitas),
kelompok gaya ini dapat dikategorikan sebagai gaya-gaya
muncul “pertama” atau dalam hubungan kausalitas gaya
ini merupakan cause atau penyebab yang memungkinkan
munculnya effect atau akibat. Sementara itu, gaya-reaksidikategorikan kelompok gaya yang kemunculannya
didahului oleh kelompok gaya pertama. Dalam hubungan
kausalitas, kelompok gaya ini termasuk effect atau akibat
dari sebuah atau sejumlah cause atau penyebab. Pada
dasarnya, dalam konteks gaya gesek hubungan kelompok
gaya aksi dan gaya-reaksi ini dapat pula diadopsi dari
pengertian pasangan gaya aksi-reaksi.
Penulis mendefinisikan pasangan gaya aksi-
reaksi sebagai dua gaya yang masing-masing dihasilkan
oleh subjek-1 dan subjek-2 sedemikian rupa sehingga gaya
oleh subjek-1 bekerja pada subjek-2 dan secara langsung
gaya ini mengakibatkan munculnya gaya oleh subjek-2
yang bekerja pada subjek-1 atau sebaliknya. Bandingkan
peristiwa di atas dengan peristiwa berikut: Subjek-1 dan
subjek-2 keduanya memberi gaya pada subjek-3 dan kedua
gaya ini sama besar tetapi berlawanan arah maka gaya-
gaya yang diberikan oleh subjek-1 dan subjek-2 bukan
pasangan gaya aksi-reaksi.
Pengertian Pendekatan Analogi
James Clerk Maxwell dalam [4]sedara eksplisit
menyatakan bahwa analogi-analogi sangat diperlukan
dalam pembahasan ilmu-ilmu fisika. Sementara itu,
Podolefsky [4] menyebutkan beberapa contoh pasangan
analogi esensial dalam fisika, seperti hukum Coulomb
dengan hukum gravitasi, medan listrik dengan medan suhu,
energi yang tersimpan dalam kapasitor dengan yang
tersimpan dalam pegas, aliran aurs listrik dengan aliran air
dalam pipa, dan sebagainya. Artinya, untuk memudahkan
pembahasan sua tu konsep dapat dilakukan dengan
menganalogikan konsep itu dengan konsep lain yang
sudah dikenal atau dipahami lebih baik atau dengan konsep
lain yang lebih kongkrit[1, 2, 3].
Dalam tulisan ini penulis mengartikan pendekatan
analogi untuk pembelajaran fisika sebagai penggunaan
objek atau cara lain yang dipandang lebih dikenal dan
lebih mudah dipahami dalam menjelaskan suatu masalah.
Pembahasan dalam tulisan ini gaya aksi yang diberikan
kaki orang (Gambar 2) atau roda mobil (Gambar 3) pada
permukaan jalan yang semula sangat sulit atau bahkan
tidak mungkin dideteksi secara visual dianalogikan dengan
gaya aksi kaki orang atau roda mobil di atas terhadap
hamparan pasir yang cukup tebal. Dengan penganalogian
ini, gaya aksi kaki atau roda di atas dapatdideteksi dari
pergerakan butiran-butir an pasir yang bergerak atau
terlempar.Dengan mengetahui arah gaya aksi yang
diberikan oleh kaki orang yang berjalan atau yang diberikanroda mobil yang bergerak terhadap permukaan jalan maka
kita dengan mudah dapat menentukan arah gaya reaksi
yang diberikan permukaan jalan terhadap kaki orang atau
roda mobil tersebut, yaitu pada arah yang berlawanan
dengan arah gaya aksinya.
Penentuan Persyaratan agar Gaya Gesek Terjadi di
antara Dua Benda
Dalam suatu proses perkuliahan Fisika Dasar I,
pen ulis kepada 28 mahasiswa tahun per tama yang
mengikuti perkuliahan tersebut menanyakan kapan gaya
gesek antara dua benda dapat terjadi. Seluruh mahasiswa
terhadap pertanyaan tersebut menyatakan bahwa gayagesek antara dua benda terjadi apabila dua benda tersebut
bersentuhan dan keduanya berpermukaan kasar. Terhadap
jawaban tersebut, penulis tidak memberi komentar kecuali
membuat catatan di papan tulis bahwa seluruh mahasiswa
setuju ketika dua benda berpermukaan kasar saling
bersentuhan terjadi gaya gesek di antara kedua benda
tersebut. Selanjutnya penulis memperlihatkan fenomena
seperti pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan sebuah
balok B bermassa M diletakkan di atas lantai horizontal
dan diketahui bahwa permukaan balok dan lantai adalah
kasar. Dengan mengamati Gambar 1 ini, kepada mahasiswa
Penggunaan Paradigma Gaya-Reaksi Dan Pendekatan Analogi..... (Joni Rokhmat)
8/17/2019 Vol 9 No 2_copy.pdf
11/4658
penulis mengajukan pertanyhaan berikut: “Apakah antara
permukaan bawah balok B dan permukaan lantai terjadi
gaya gesek?”. Dengan mendasarkan pada konsepsi awal
mereka, seluruh mahasiswa menjawab “ya”. Saat itu,
penulis tidak membenarkan atau menyalahkan jawaban
mahasiswa tetapi mengajukan pertanyaan lanjutan berikut:
“Kemanakah arah gaya gesek tersebut? Terhadap
pertanyaan terakhir ini ada seorang mahasiswa yang
menjawab bahwa gaya gesek berarah ke kiri. Kemudian
penulis meminta konfirmasi mahasiswa lainnya terhadap
jawaban tersebut. Ada sekitar delapan mahasiswa setuju
dengan jawaban temannya tetapi yang lainnya tetap diam.
Terakhir, sebelum menuntaskan pembahasan ini, penulis
mengajukan pertanyaan lanjutan yaitu “Mengapa arah
gaya gesek tersebut tidak ke kanan, ke belakang (tegak
lurus menembus bidang gambar), ke depan (tegak lurus
keluar dari bidang gambar), atau ke arah lainnya?
Fase berikutnya, mahasiswa merasa bingung
untuk memutuskan bagaimana arah yang seharusnya.
Penulis memberi jeda waktu kepada mahasiswa untuk
memikirkan fenomena tersebut. Beberapa saat kemudian
penulis meminta mahasiswa untuk mengaitkan kondisi
sistem balok-lantai itu dengan hukum Newton tentang
gerak. Fakta menunjukkan bahwa balok B berdiam di atas
lantai. Penulis mengingatkan kembali bahwa berdasarkan
hukum I Newton, ketika suatu benda mengalami resultan
gaya nol maka benda itu akan tetap berdiam atau ber-Gerak Lurus Beraturan (ber-GLB). Fenomena ini juga sejalan
dengan hukum II Newton jika balok B mengalami resultan
gaya nol maka balok itu tidak mengalami percepatan yang
berarti kecepatannya tidak berubah dengan kata lain jika
semula berdiam akan tetap berdiam dan jika semula
bergerak akan tetap bergerak dengan kecepatan konstan.
Jika ungkapan itu dibalik, maka balok B yang sedang
berdiam harus mengalami resultan gaya nol[1, 2, 3].
Akhirnya seluruh mahasiswa sepakat bahwa
jawaban arah gaya gesek itu salah bahkan gaya gesek itu
sendiri tidak ada atau balok B saat itu tidak mengalami
gaya gesek. Alasannya, jika ada gaya gesek yang bekerja
pada balok B sementara itu tidak ada gaya lain yang bekerjasecara horizontal pada balok tersebut berarti balok B
memiliki resultan gaya horizontal sama dengan gaya gesek
tersebut sehingga balok yang semula diam akam bergerak
searah gaya gesek itu dan hal ini jelas mustahil. Namun
demikian, muncul pertanyaan lain: “Bagaimana mungkin
dua benda dengan permukaan kasar saling bersentuhan
tidak mengalami gaya gesek?” Pada kesempatan ini,
penulis meyakinkan kepada mahasiswa bahwa gaya gesek
pa da hakeka tnya merupaka n gaya-r ea ksi yang
keberadaannya bergantung ada dan tidaknya gaya aksi.
Jika balok pada Gambar 1 didorong ke kanan maka saat itu
B
Gambar 1 Balok B berada di atas lantai horizontal, permukaan balok B dan lantai kasar.
Lantai horizontal
permukaan bawah balok itu mendorong (memberi gaya
aksi) permukaan lantai ke kanan. Selanjutnya, permukaan
lantai bereaksi mendorong (memberi gaya-reaksi)
permukaan bawah balok itu ke kiri . Kedua gaya ini
memenuhi kriteria pasangan gaya aksi-reaksi dan sesuai
hukum III Newton nilai kedua gaya ini sama tetapi arahnya
berlawanan, yaitu gaya aksi dorongan permukaan bawah
balok ke kanan dan gaya-reaksi dorongan permukaan lantai
ke kiri[1, 2, 3].
Hasil pembahasan Gambar 1 dalam perkuliahan
tersebut meyakinkan mahasiswa tentang dua hal, pertama
bahwa gaya gesek pada hakekatnya merupakan gaya-
reaksi dan kedua bahwa agar pada dua permukaan benda
terjadi gaya gesek ada tiga syarat, yaitu: (1) kedua benda
bersentuhan, (2) kedua permukaan benda kasar, dan (3)
ada upaya saling bergeser antara dua permukaan tersebut
sehingga kedua permukaan itu tetap saling berdiam atau
saling bergerak. Dalam fenomena Gambar 1, tarikan
gravi tasi bumi menyebabkan balok B menyentuh permukaan lantai dan ketika balok B didorong ke kanan
berarti permukaan bawah balok itu berupaya bergeser
kekanan di atas permukaan lantai. Perlu dicatat pengertian
bersentuhan, bahwa dua benda dikatakan bersentuhan
apabila ada komponen normal gaya dari satu permukaan
yang menekan (gaya aksi) permukaan kedua sehingga pada
permukaan kedua ini terjadi gaya normal yang menahan
permukaan pertama sebagai gaya-reaksi terhadap gayatekan tersebut.
Penentuan Jenis Gaya Gesek (Statik atau Kinetik)
Pada Gambar 1 penulis ketika ada dorongan ke
kanan pada balok B seluruh mahasiswa akhirnya sepakan
terjadi gaya gesek antara balok itu dengan lantai.
Selanjutnya, penulis berusaha menanamkan pemahaman
konsep jenis gaya geseknya. Untuk menambah kedalaman
pehamanam jenis gaya gesek ini, selain fenomena balok B
di atas, penulis menghadapkan fenomena lainnya kepada
mahasiswa. fenomena-fenomena itu seperti gaya gesek
antara telapak kaki dan permukaan jalan pada peristiwaorang berjalan kaki, gaya gesek antara permukaan roda
dengan jalan pada mobil yang sedang bergerak.
Pada Gambar 1, ketika balok B didorong ke elative dua
kemungkinan keadaan gerak balok itu, pertama balok tetap
berdiam dan kedua balok bergerak ke kanan. Pada kedua
keadaan ini mahasiswa memiliki konsepsi benar yaitu
bahwa pada keadaan pertama balok mengalami gaya gesek
statik ke kiri sedangkan ketika bergerak ke kanan balok itu
mengalami gaya gesek kinetik ke kiri. Untuk sementara,
penulis berasumsi bahwa mahasiswa telah memahami
konsep jenis gaya gesek. Untuk menguji sejauhmana
J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 56 - 61
8/17/2019 Vol 9 No 2_copy.pdf
12/4659
kealaman pemahamannya, penulis menghadirkan dua
fenomena lainnya (Gambar 2 dan Gambar 3).
Fenomena pertama (Gambar 2), seseorang sedang
berjalan kaki ke kanan. Selanjutnya, penulis meminta
mahasiswa menentukan jenis gaya gesek yang dialami
orang tersebut. Hampir seluruhnya (sekitar 20 mahasiswa)
menyatakan bahwa orang tersebut menalami gaya gesek
kinetik sedangkan sisanya tidak merespon. Ketika penulis
menanyakan alasannya, mereka membuat argumentasi
yang sangat sederhana, yaitu karena orang tersebut
bergerak. Para mahasiswa memiliki konsepsi bahwa
fenomena ini sama dengan peristiwa balok B ketika
didorong dan bergerak ke kanan. Tidak ada satupun
mahasiswa yang menyatakan bahwa gaya gesek yang
dialami orang itu adalah berjenis kinetik. Dari fenomena
ini, penulis menyimpulkan bahwa mahasiswa tidak
memahami pengertian bergerak pada kasus gaya gesek.
Mereka melihat gerak benda berfokus pada benda itu
secara keseluruhan bukan pada bagian dari benda itu yang
bersentuhan dengana benda lain.
Pengertian gerak berkenaan dengan jenis gaya
gesek kinetik pada dasarnya berkaitan dengan syarat ketiga
terjadinya gaya gesek antara dua permukaan, yaitu ada
upaya saling bergeser antara dua permukaan tersebut
sehingga kedua permukaan itu tetap saling berdiam atau
saling bergerak. Apabila kedua permukaan yang bersentuhan saling berdiam maka gaya gesek yang muncul
bersifat statik tetapi apabila kedua permukaan itu saling
bergeser maka gaya gesek yang muncul bersifat kinetik.
Berdasarkan penjelasan ini, jenis gaya gesek pada Gambar
1 adalah statik ketika balok berdiam dan kinetik ketika balok
itu bergerak ke kanan. Namun demikian, fenomena pada
Gambar 2 jenis gaya gesek yang terjadi antara kaki orang
itu dengan permukaan jalan adalah statik.
Perbedaan jenis gaya gesek pada balok B yang
bergerak dan orang yang berjalan sebagaimana disebutkan
pada alinea di atas adalah dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) Gaya gesek antara balok B dan lantai. Ketika balok B
bergerak, bagian permukaan bawah balok mengalami
pergeseran terhadap permukaan lantai. Pada peristiwa itu,
setiap bagian lantai yang dilalui balok pernah bersentuhan
dengan permukaan bawah balok. Pada peristiwa ini,
penulis menamakan permukaan bawah balok B bergerer
terhadap permukaan lantai sehingga jenis gaya gesek yang
terjadi sebagai hasil interaksi permukaan balok dan lantai
adalah kinetik. (2) Gaya gesek atara kaki (permukaan bawah
alas kaki) orang dengan permpukaan jalan. Ketika orang
itu berjalan, tidak semua permukaan jalan yang dilalui
orang itu bersentuhan dengan kaki orang tersebut. Hal ini
dikarenakan ketika orang itu berjalan, satu kaki orang itu
bersen tuhan dengan permukaan ter tentu dari jalan
kemudian kaki itu diangkat dan diinjakkan pada permukaan
jalan lainnya sehingga bersentuhan tetapi ada permukaan
jalan lain yang tidak bersentuhan dengan kaki orang
tersebut. Jadi pada fenomena ini, kaki orang tersebut
bersentuhan dengan permukaan jalan, sentuhan dilepas,
kemudian bersentuhan lagi dengan permukaan jalan
lainnya, dan demikian seterusnya atau penulis menamakan
peristiwa ini kaki orang tersebut pada dasarnya saat
bersentuhan dengan permukaan jalan keduanya saling
berdiam dan dengan sendirinya tidak saling bergerak.
Dengan demikian, gaya gesek yang terjadi antara kaki
orang itu dengan permukaan jalan bersifat statik.Gambar 3 memperlihatkan sebuah mobil yang
sedang bergerak ke kiri dengan penggerak roda depan
dan pedal gas ditekan secara konstan, serta selama itu
diasumsikan bahwa perputaran mesin belum mancapai
maksimum. Berkenaan dengan fenomena tersebut penulis
meminta mahasiswa (pada kelas berbeda berjumlah 22
mahasiswa) untuk menentukan jenis dan arah gaya gesek
yang dialami roda depan dan belakang sebagai hasil
interaksinya dengan permukaan jalan.
Salah seorang mahasiswa mengemukakan
konsepsi awal bahwa jenis gaya gesek yang dialami
Penggunaan Paradigma Gaya-Reaksi Dan Pendekatan Analogi..... (Joni Rokhmat)
8/17/2019 Vol 9 No 2_copy.pdf
13/4660
permukaan roda mobil (bagian depan dan belakang) adalah
gaya gesek kinetik. Saat penulis meminta konfirmasi kepada
mahasiswa lainnya, seluruh mahasiswa menyatakan setuju
dengan konsepsi tersebut. Hampir sama dengan fenomena
Gambar 2, ternyata konsepsi gaya gesek kinetik semata-
mata didasarkan pada fakta bahwa mobil itu sedang
bergerak.
Selanjutnya penulis meminta mahasiswa untuk
menganalisis secara lebih mendalam terhadap bagaimana
sesungguhnya interaksi permukaan mobil itu dengan
pe rmuk aan ja la n. Sebaga i pembandin g, pen ul is
menggunakan penghapus dan meja, memperagakan dua
peristiwa pergerakan permukaan penghapus terhadap
permukaan meja dengan pen ganalogian penghapus
sebagai roda mobil dan meja sebagai jalan. Peristiwa
pertama, penghapus digulingkan secara perlahan di atas
meja sedangkan peristiwa kedua penghapus digulingkan
sambil digeser di atas meja. Kemudian, terhadap kedua
peristiwa itu penulis kembali menanyakan jenis gaya gesek
yang dialami permukaan penghapus (permukaan roda
mobil).
Untuk menentukan jenis gaya gesek apa pada
kedua peristiwa di atas, mahasiswa sekarang tampak lebih
berhati-hati. Mereka mulai dapat melihat bahwa pada dua
peristiwa itu cara permukaan penghapus berinteraksi
dengan permukaan meja adalah berbeda. Selanjutnya
dengan membandingkan peristiwa ini dengan penjelasan
pada Gambar 2, yaitu pada peristiwa pertama permukaan
penghapus dan meja terjadi kontak statik karena tidak ada
pergeseran satu dengan lainnya melainkan bersentuhan
kemudian lepas. Sementara, pada peristiwa kedua ada
kontak kinetik karena ada pergeseran antara permukaan
penghapus dengan permukaan meja. Dengan analisis ini,
mahasiswa sepakat bahwa pada peristiwa pertama
permukaan penghapus mengalami gaya gesek statik tetapi
pada peristiwa kedua permukaan itu mengalami gaya gesek kinetik. Dengan kata lain gaya gesek statik dihasilkan dari
interaksi statik sedangkan gaya gesek kinetik dihasilkan
dari interaksi kinetik.
Akhirnya menggunakan analogi peristiwa
penghapus dan meja mahasiswa dapat meyakini bahwa
jika mobil pada Gambar 3 berjalan tanpa selip (interaksi
statik) maka seluruh permukaan roda mobil mengalami gaya
gesek statik dan jika mobil itu mengalami selip (interaksi
kinetik) maka permukaan roda mobil itu mengalami gaya
gesek kinetik.
Penentuan Arah dan Nilai Gaya Gesek
Pada Gambar 1, ketika balok B di dorong ke kananmahasiswa sepakat bahwa balok itu mengalami gaya gesek
berarah ke kiri. Terhadap kesepakatan mahasiswa tersebut
penulis berasumsi bahwa mahasiswa sudah memahami cara
menentukan arah gaya gesek tersebut. Namun demikian,
ketika diminta menentukan arah gaya gesek yang dialami
orang yang sedang berjalan (Gambar 2), semua mahasiswa
menyatakan bahwa gaya gesek iru berarah ke kiri.
Berdasarkan dua fakta di atas penulis berkeyakinan bahwa
mahasiswa belum mengetahui cara mentukan arah gaya
gesek. Hal ini, terutama ditunjukkan mahasiswa ketika
menentukan arah gaya gesesk pada Gambar 2. Jika benar
bahwa orang itu mengalami gaya gesek ke kiri, sementara
tidak ada gaya horizontal lain yang bekerja pada orang
tersebut maka orang itu mengalami resultan gaya
horizontal ke kiri. Jika dikaitkan dengan hukum II Newton,
jelas hal ini tidak mungkin karena jika arah gaya itu benar
seharusnya orang itu akan mengalami percepatan ke kiri
sehingga gerakannya juga ke kiri tetapi faktanya orang itu
bergerak (berjalan) ke kanan[1, 2, 3].
Menggunakan paradigma bahwa gaya gesek
adalah gaya-reaksi fenomena pada Gambar 2 dapat dengan
mudah dijelaskan. Ketika orang tersebut berjalan ke kanan,
interaksi kaki (permukaan bawah alas kaki) dengan jalan
adalah sebagai berikut: (1) Saat akan berjalan ke kanan,
kaki orang itu mendorong (menekan) permukaan jalan ke
kiri; Selanjutnya (2) Permukaan jalan memberi gaya reaksi
mendorong kaki orang itu ke kanan. Gaya-reaksi
permukaan jalan terhadap kaki orang itu yang dikenal
sebagai gaya gesek yang dialami kaki, yaitu gaya hasil
interaksi permukaan kaki dan permukaan jalan. Jadi jelas
bahwa pada Gambar 2, orang yang berjalan ke kanan itu
mengalami gaya gesek yang juga ke kanan bukan ke kiri.
Berkaitan dengan Gambar 3, seluruh mahasiswa memiliki
konsepsi awal bahwa gaya gesek yang dialami roda mobil
adalah ke kanan, baik pada roda depan maupun
belakang.Konsepsi ini jelas bertentangan dengan hukum
Newton tentang gerak. Konsekuensi konsepsi ini mobil
mengalami resultan gaya horizontal berarah ke kanan
sehingga gerak mobil akan melambat. Jika mobil itu
bergerak ke kiri dengan kecepatan konstan atau dipercepat
maka mobil harus berresultan gaya horizontal nol (untuk
kecepatan konstan) atau tidak nol berarah ke kiri (untuk
gerak dipercepat ke kiri)[1, 2, 3]. Penulis kembali meminta
mahasiswa menganalisis arah gaya gesek tersebut dengan
pendekatan paradigma gaya-r eaksi. Melalui proses
pembahasan, penulis meyakinkan mahasiswa bahwa gaya
eksternal yang dialami mobil hanya gaya gesek pada rodasebagai interaksinya dengan jalan. Jika diyakini pada roda
ada gaya gesek yang berarah ke kanan maka harus pula
ada yang berarah ke kiri supaya memungkinkan resultan
gaya eksternal nol atau tidak nol dan berarah ke kiri.
Pertanyaan berikutnya, pada roda bagian depan atau
belakangkah yang memungkinkan roda mengalami gaya
gesek ke kiri?
Deskripsi di atas memperlihatkan bahwa konsepsi
awal mahasiswa ada yang salah. Untuk itu, penulis
mencoba memperbaiki konsepsi tersebut dengan
menggunakan paradigma gaya gesek sebagai gaya-reaksi
dan pendekatan analogi. Agar dapat menentukan gaya-
reaksi harus didahului menganalisis gaya aksi, yaitu gayayang diberikan roda mobil pada jalan. Untuk memudahkan
analisis gaya aksi dan reaksinya, kita pisahkan
pembahasan pada roda depan dan belakang karena kedua
roda ini memiki kondisi berbeda, yaitu roda depan
terhubung dengan mesin penggerak sedangkan roda
belakang tidak terhubung dengan mesin itu.
Gaya aksi dan reaksi pada roda belakang. Pada
dasarnya pergerakan roda belakang ini mengikuti tarikan
as rodanya. Ketika mobil ke kiri berarti as (poros) roda
belakang menarik roda itu ke kiri. Jika permukaan jalan
diganti dengan hamparan pasir yang cukup tebal, ketika
J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 56 - 61
8/17/2019 Vol 9 No 2_copy.pdf
14/4661
mobil bergerak ke kiri butiran pasir di depan roda itu akan
terdorong ke kiri. Apa artinya? Hal ini memperlihatkan
bahwa sesungguhnya permukaan roda itu mendorong
pasir ke kiri atau penulis menamakan ini sebagai gaya aksi
oleh roda belakang pada permukaan jalan. Sesuai dengan
hukum III Newton, permukaan jalan memberikan gaya-
reaksi pada roda itu ke kanan[1, 2, 3]. Jadi dapat diterima
bahwa ketika mobil bergerak ke kiri, roda belakang mobil
mengalami gaya gesek ke kanan.
Gaya aksi dan reaksi pada roda depan. Berbeda
dengan roda belakang, roda depan mobil bersifat sebagai
penyebab bergeraknya mobil itu. Jika dikaitkan dengan as
(poros) rodanya, bukan as yang menarik roda tetapi roda
depan itu yang menarik as. Jika permukaan jalan diganti
dengan hamparan pasir yang cukup tebal, ketika pedal
gas ditekan sehingga mobil bergerak ke kiri, terdapat
but iran -bu tiran pasir yan g terdorong atau bahkan
terlempar ke kanan. Hal ini menunjukkan bahwa
sesungguhnya roda depan ini mendorong pasir ke kanan,
penulis menamakan roda depan memberi gaya aksi ke
kanan pada jalan. Sesuai dengan hukum III Newton,
permukaan jalan (pasir) memberi gaya reaksi pada roda
depan ke kiri dan gaya ini merupakan gaya gesek hasil
interaksi permukaan roda dengan permukaan jalan[1, 2, 3].
Jadi uraian ini mengisyaratkan bahwa roda depan mobil
mengalami gaya gesek ke kiri ketika mobil itu bergerak ke
kiri dengan kondisi pedal gas ditekan.
Hal berbeda pada roda depan apabila pedal gas
mobil tidak titekan. Pada kondisi ini, situasi roda depan
sama seperti roda belakang, yaitu roda ditarik as mobil.
Jadi pada situasi ini, pedal gas mobil tidak ditekan dan
mobil sedang berjalan ke kiri, roda depan dan belakang
mengalami gaya gesek ke kanan. Akhirnya, dari semua
penjelasan di atas dapat dimengerti mengapa roda mobil
berkemungkinan mengalami resultan gaya nol, ke kiri, atau
ke kanan. Ketika mobil bergerak dengan kecepatankonstan ke kiri, mobil itu memiliki resultan gaya eksternal
nol, yaitu gaya gesek ke kanan pada roda belakang sama
besar dengan gaya gesek ke kiri pada roda dean. Ketika
mobil bergerak dipercepat ke kiri, mobil memiliki resultan
gaya eksternal ke kiri, yaitu gaya gesek ke kanan pada
roda belakang lebih kecil dari gaya gesek ke kiri pada roda
depan. Sebaliknya, ketika pedal gas mobil tidak ditekan,
mobil yang sedang berjalan ke kiri akan semakin lambat.
Saat ini mobil memiliki resultan gaya eksternal ke kanan,
yaitu gaya gesek pada roda depan maupun belakang
berarah ke kanan.
Dengan pendekatan paradigma gaya gesek
sebagai gaya-reaksi dan pendekatan analogi akhirnyaseluruh mahasiswa sepakat bahwa pada fenomena Gambar
2, orang yang sedang berjalan ke kanan secara normal
mengalami gaya gesek statik ke kanan bukan gaya gesek
kinetik ke kiri seperti konsepsi awal mereka. Selanjutnya,
pada fenomena Gambar 3, seluruh mahasiswa sepakat
bahwa selama mobil tidak mengalami selip, seluruh roda
mengalami gaya gesek statik. Selain itu, mereka juga setuju
bahwa sselama mobil bergerak ke kiri, roda belakang selalu
mengalami gaya gesek berarah ke kanan (ke belakang)
tetapi roda depan yang dihubungkan dengan mesin
mengalami gaya gesek yang arahnya dapat ke kanan (ke
belakang) atau ke kiri (ke depan). Gaya gesek yang
dialaminya berarah ke kanan ketika pedal gas mobil tidak
ditekan tetapi ketika pedal itu ditekan gaya gesek tersebut
berarah ke kiri.
3. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Konsep gaya gesek merupakan konsep mendasar
dalam fisika yang perlu dikuasai pembelajar secara utuh
untuk mendukung pembahasan konsep fisika lebih lanjut.
Namun demikian, secara umum para pendidik belum mampu
membelajarkan peserta didik sehingga pembelajar mampu
mencapai penguasaan gaya gesek secara utuh tersebut.
Strategi pembahasan menggunakan pendekatan paradigma
gesek sebagai gaya-reaksi dan pendekatan analogi dalam
proses pembelajar an terbukti mampu memfasi litasi
pembelajar memahami konsep gaya gesek secara utuh.
Pemahaman tersebut meliputi tiga syarat yang harus
dipenuhi agar gaya gesek terjadi, penentuan jenis gaya
gesek (statik atau kinetik), dan dalam menentukan arah,
serta nilai dari gaya gesek tersebut.
Saran
Melalui tulisan ini, disarankan para pendidik
dalam bidang studi fisika mampu menjadikan pendekatan
par adig ma gaya gesek seba ga i ga ya-r ea ks i dan
pendekatan analogi sebagai salah satu strategi dalam
pembelajaran fisika, khususnya pada pembahasan gaya
gesek. Dalam pembelajaran fisika, umumnya konsep gaya
gesek memiliki porsi pembahasan yang elative singkat,
karenanya penulis menghimbau kepada para guru dan
dosen agar menyediakan ruang yang cukup untuk
pembah asan gaya gesek sehin gga dimung kink an
pembelajar dapat menguasai konsepnya secara lebih
sempurna.
Daftar Referensi
[1] Halliday, D. & Resnick, R. (1978).Physics part 1 & 2,
Third Edition. Canada: John Wiley & Sons. Inc.
[2] Tipler, P. A. & Mosca, G.(2008). Physics for Scientists
and Engineers, Sixth edition. New York: W H
Freeman and Company.
[3] Gordon, J. R., McGrew, R. V., & Serway, R. A. (2010).
Physics for Scientists and Engineers, eighth
edition volume 1. USA: Cengage Learning, Inc.
[4] Podolefsky, N.,(2004). The Use of Analogy in Physics
Learning and Inst ruct ion. University of
Colorado.
Penggunaan Paradigma Gaya-Reaksi Dan Pendekatan Analogi..... (Joni Rokhmat)
8/17/2019 Vol 9 No 2_copy.pdf
15/4662
PENGEMBANGAN MULTIMEDIA INTERAKTIF BERBASIS KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN
PENGUASAAN KONSEP DAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS XI PADA MATERI
POKOK SISTEM KOLOID
Mardhika Surachman1, Muntari2, Lalu Rudyat Telly Savalas2
1Alumni Program Studi Magister Pendidikan IPA Universitas Mataram
2Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Mataram
Email: [email protected]
Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menghasilkan multimedia interaktif sistem koloid yang layak
diterapkan di sekolah, dan menguji keefektifan multimedia interaktif tersebut dengan: 2) mengetahui apakah penguasaan
konsep siswa yang menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual lebih baik daripada penguasaan konsep
siswa yang tidak menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual pada materi pokok sistem koloid; dan 3)
mengetahui apakah keterampilan berpikir kritis siswa yang menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual
lebih baik daripada keterampilan berpikir kritis siswa yang tidak menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual
pada materi pokok sistem koloid. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalahresearch and development
(R&D) dengan mengikuti model pengembangan Borg &Gall. Hasil validasi ahli oleh 4 validator dan uji coba terbatas
oleh 10 siswa menunjukkan bahwa multimedia interaktif sangat layak digunakan dengan skor masing-masing sebesar
4,21 dan 4,36. Uji coba lapangan menggunakan desain non-equivalent control group design dengan 2 kelas sampel,
menghasilkan nilai probabilitas penguasaan konsep sebesar 0,00 (p < 0,05) dan nilai probabilitas keterampilan berpikir kritis sebesar 0,00 (p < 0,05). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) pengembangan produk pembelajaran
berupa multimedia interakt if berbasis kontekstual dapat dikembangkan dengan cara melakukan analisis materi pada
setiap sub materi sebagai dasar pengembangan produk awal, selanjutnya diuji kelayakan dan efektivitasnya serta
direvisi lewat validasi ahli, uji coba terbatas, dan uji coba lapangan sehingga dihasilkan produk akhir yang layak
digunakan dalam proses pembelajaran di sekolah, 2) penguasaan konsep siswa yang menggunakan multimedia interaktif
berbasis kontekstual lebih baik daripada penguasaan konsep siswa yang tidak menggunakan multimedia in teraktif
berbasis kontekstual pada materi pokok sistem koloid, dan 3) keterampilan berpikir kritis siswa yang menggunakan
multimedia interaktif berbasis kontekstual lebih baik daripada keterampilan berpikir kritis siswa yang tidak menggunakan
multimedia interaktif berbasis kontekstual pada materi pokok sistem koloid.
Kata kunci: : multimedia interaktif, kontekstual, penguasaan konsep, keterampilan berpikir kritis
Abstract : The aims of this study were to: 1) generate interactive multimedia of colloidal system which is
suitable to be implemented in schools, and to test the effectiveness of an interactive multimedia by: 2) knowing
whether concepts mastery of students who use context-based interactive multimedia is better than concepts mastery
of students who do not use context-based interactive multimedia on subject matter of colloidal system, and 3) knowing
whether critical thinking skill of students who use context-based interactive multimedia is better than critical thinking
skill of students who do not use context-based interactive multimedia on subject matter of the colloidal system. The
method used in this study was research and development (R&D) according to the model of Borg & Gall’s development.
The results of the expert validation by 4 validators and limited testing by 10 students showed that the interactive
multimedia was very suitable to be used, with scores of 4.21 and 4.36 for expert validation and limited testing, respectively.
Field trial testing, using a non-equivalent control group design with 2 class samples, resulted in the concept mastery
of probability value of 0.00 (p < 0.05) and the probability of critical thinking skill value of 0.00 (p < 0.05). From this
research we can conclude that: 1) context-based interactive multimedia can be developed by means of analyzing the
material in each sub material as the basis for developing primary form of product, then tested for it’s feasibility,
effectiveness, and revised through an expert validation, limited field is considered testing, and main field testing,
consecutively, so that the resulting product to be suitable for learning process, 2) concepts mastery of students who
use context-based interactive multimedia is better than concepts mastery of students who do not use context-based
interactive multimedia on subject matter of colloidal system, and 3) critical thinking skill of students who use context-
based interactive multimedia is better than critical thinking skill of students who do not use context-based interactive
multimedia on the subject matter of the colloidal system.
Keywords : interactive multimedia, context learning, concept mastery, critical thinking skill
. ar , o . o. , ep em er : -ISSN 1907-1744
8/17/2019 Vol 9 No 2_copy.pdf
16/4663
1. PENDAHULUAN
Hasil telaah kurikulum 2013 menunjukkan bahwa
salah satu prinsip dalam pengembangan kurikulum 2013
adalah kurikulum berbasis kompetensi yang ditandai oleh
pengembangan kompetensi berupa sikap, pengetahuan,
keterampilan berpikir, dan keterampilan psikomotorik
yang dikemas dalam berbagai mata pelajaran (Dokumen
Kurikulum 2013 SMA/MA). Kimia sebagai salah satu
pelajaran yang diajarkan di tingkat sekolah menengah tidak
hanya sekedar untuk mentransfer ilmu pengetahuan dari
guru ke siswa, melainkan siswa diharapkan mampu
mengembangkan keterampilan berpikir agar dapat
mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki terhadap
situasi kehidupan nyata seperti yang tercantum dalam
kompetensi inti mata pelajaran kimia. Salah satu
keterampilan berpikir yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan tersebut adalah keterampilan berpikir kritis.
Keterampilan berpikir kritis atau yang dikenal dengan
sebutancritical thinking adalah keterampilan seseorangdalam menggunakan proses berpikirnya untuk
menganalisis argumen dan memberikan interpretasi
berdasarkan persepsi yan g sahi h mela lui logical
reasoning, analisis asumsi dan bias dari argumen daninterpretasi logis [1].
Dalam pembelajaran kimia di sekolah, siswa masih
belum dapat difasilitasi untuk melatih keterampilan berpikir
kritis dan mendalami penguasaan konsep. Berdasarkan
hasil observasi dan wawancara di salah satu sekolah yakni
di MAN 2 Mataram, guru biasanya menggunakan model
pembelajaran langsung, di mana siswa memperoleh materi
semata-mata dari guru, sedangkan siswa kurang aktif
terlibat dalam pembelajaran. Hal ini menyebabkan siswa
kurang mampu membangun pengetahuan sendiri sehingga
keterampilan berpikirnya tidak dapat terlatih dengan baik.
Terlebih lagi karakteristik ilmu kimia yang bersifat abstrak,
akan sangat membutuhkan keterampilan berpikir dan peng uasaan konsep yang utuh un tuk ben ar -benar
memahami materi sehingga dapat mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu materi kimia yang memiliki banyak
aplikasi dalam kehidupan sehari-hari yakni materi sistem
koloid. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, sistem
koloid di mata para siswa merupakan materi hapalan dan
tidak menarik padahal bila dikaji lebih dalam materi ini
sangat bermanfaat untuk menjelaskan berbagai fenomena
dalam kehidupan nyata dan memiliki aplikasi yang sangat
luas dalam berbagai bidang kehidupan. Persepsi siswa
tersebut disebabkan karena karakteristik sistem koloid
yang didominasi oleh aspek mikroskopis (tidak dapat
terlihat), sementara pembelajaran sistem koloid di sekolah
masih belum bisa memberi gambaran yang jelas kepada
siswa mengenai aspek mikroskopis tersebut sehingga
pengetahuan siswa terbatas pada aspek makroskopis
(yang dapat dilihat). Siswa hanya dapat menghapal tanpa
benar-benar memahami mater i tersebut. Akibatnya
keterampilan berpikir kritis siswa tidak dapat terlatih dan
penguasaan konsep yang dimiliki siswa menjadi tidak utuh.
Kean & Middlecamp mengemukakan bahwa untuk dapat
memahami suatu konsep dengan utuh, siswa harus dapat
memahami konsep kimia dari level makroskopik hingga level
mikroskopiknya [2]. Adapun media yang dipandang tepat
untuk menggambarkan konsep kimia koloid dari aspek
makroskopis hingga mikroskopisnya adalah multimedia
interaktif. Multimedia adalah media yang
mengkombinasikan elemen-elemen berupa teks, grafis,
gambar, foto, audio, video dan animasi secara terintegrasi
menggunakan komputer. Desain multimedia interaktif
dilengkapi dengan alat pengontrol yang dapat dioperasikan
oleh pengguna, sehingga pengguna dapat memilih apa
yang dikehendaki untuk proses selanjutnya [3].
Penggunaan elemen-elemen berupa teks, grafis, gambar,
foto, audio, video dan animasi pada multimedia
pembelajaran dapat menggambarkan konsep kimia koloid
mencakup tiga aspek kajian baik makroskopis, simbolis,
maupun mikroskopisnya sehingga siswa dapat memiliki
penguasaan konsep yang utuh pada materi sistem koloid.
Dalam proses pembelajaran, penguasaan konsep sangatlah
pentin g. Dengan penguasaan konsep, siswa dapat
meningkatkan kemahiran intelektualnya dan membantu
dalam memecahkan persoalan yang dihadapinya serta
menimbulkan pembelajaran bermakna [4]. Dengan kata lain
penguasaan konsep yang dapat diperoleh dari multimedia
interaktif dapat membantu meningkatkan keterampilan
berpikir kritis siswa. Namun siswa tidak serta merta dapat
mengaplikasikan keterampilan berpikir kritis dalam
kehidupan sehari-hari. Untuk itu dalam proses
pembelajaran, keterampilan berpikir kritis siswa perlu dilatih
dan dikembangkan agar siswa dapat mengaitkan dan
menerapkan pengetahuan yang mereka miliki dalam situasi
kehidupan nyata.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka dibutuhkan
suatu kreativitas pendidik dalam mengembangkan
multimedia interaktif dengan menggunakan suatu
pendekatan pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa
untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis.
Pendekatan pembelajaran yang dipandang tepat adalah pendekatan kontekstual.
Pendekatan kontekstual merupakan konsep
pembelajaran yang membantu guru untuk mengaitkan
antara materi ajar dengan situasi dunia nyata siswa, yang
dapat mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dipelajari dengan penerapannya dalam
kehidupan para siswa sebagai anggota keluarga dan
masyarakat [5]. Dengan menggunakan multimedia interaktif
berbasis kontekstual maka siswa dapat diarahkan untuk
dapat menjelaskan fenomena nyata dan menyelesaikan
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dengan dibekali
penguasaan konsep yang mereka bangun sendiri lewat
pengamatan visual multimedia. Pada akhirnya multimediainteraktif berbasis kontekstual diharapkan dapat
memberikan penguasaan konsep yang utuh pada siswa
serta dapat melatih keterampilan berpikir kritis siswa.
Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan penelitian ini
antara lain: (1) menghasilkan multimedia interaktif sistem
koloid yang layak untuk diterapkan di sekolah; (2)
mengetahui apakah penguasaan konsep siswa yang
menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual
lebih baik daripada penguasaan konsep siswa yang tidak
menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual
pada materi pokok sistem koloid; dan 3) mengetahui apakah
Pengembangan Multimedia Interaktif Berbasis Kontekstual.... (Mardhika S, Muntari, Lalu Rudyat Telly Savalas)
8/17/2019 Vol 9 No 2_copy.pdf
17/4664
keterampilan berpikir kritis siswa yang menggunakan
multimedia interaktif berbasis kontekstual lebih baik
daripada keterampilan berpikir kritis siswa yang tidak
menggunakan multimedia interaktif berbasis kontekstual
pada materi pokok sistem koloid.
2. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian dan pengembangan
atau research and development (R&D) dengan model
pengembangan Borg & Gall [6] yang dibatasai hingga
langkah ke 7, antara lain (1) melakukan pengumpulan
informasi (observasi, kajian pustaka, dan analisis materi);
(2) melakukan perancangan (merumuskan tujuan dan
prosedur kerja penelitian); (3) mengembangkan bentuk
produk awal yaitu MMI-BK dan beberapa perangkat
pendukung lain seperti RPP, LKS, dan instrumen soal; (4)
melakukan ujicoba lapangan permulaan (termasuk validasi
oleh 4 validator ahli dan uji coba terbatas); (5) melakukan
revisi terhadap produk utama; (6) melakukan ujicoba
lapangan utama; (7) melakukan revisi terhadap uji lapangan
utama.
Uji coba lapangan dilakukan pada dua kelas dengan desain
sebagai berikut:
Subjek uji coba dalam penelitian ini adalah siswa
sekolah menengah atas kelas XI Semester II. Untuk uji
coba terbatas subjek terdiri dari 10 orang siswa
(berkemampuan tinggi, sedang, rendah), sedangkan untuk
uji coba lapangan subjek terdiri2 kelas yakni kelas XI IPA
1 sebagai kelas eksperimen dan kelas XI IPA 2 sebagai
kelas kontrol.
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain lembar validasi multimedia dan
perangkat pembelajaran, angket respon peserta didik dan
tes hasil belajar. Lembar validasi media dan perangkat pembelajaran digunakan untuk memperoleh data tentang
penilaian dan kelayakan dari para ahli terhadap media
pembelajaran dan perangkat pendukung (RPP, LKS,
instrumen soal) yang dikembangkan. Angket respon
digunakan untuk mengetahui tanggapan peserta didik
terhadap multimedia. Lembar validasi dan angket respon
disusun menggunakan skala Likert dengan 5 alternatif
jawaban antara lain: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Ragu-
Ragu (RR), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju
(STS). Tes hasil belajar digunakan untuk memperoleh data
hasil belajar (penguasaan konsep dan keterampilan berpikir
kritis) peserta didik dalam kegiatan pembelajaran setelah
Tabel 1. Desain Penelitian Non-equivalent Control Group Design
O 1 X O2
O 3 O4
Keterangan:O1 : Nilai awal kelas eksperimen
O3 : Nilai awal kelas kontrolO2 : Nilai akhir kelas eksperimen
O4 : Nilai akhir kelas kontrolX : Penerapan MMI-BK
menggunakan produk yang dikembangkan. Tes hasil
belajar berupa tes tertulis yang terdiri dari soal pilihan
ganda untuk mengukur penguasaan konsep dan soal
uraian untuk mengukur keterampilan berpikir kritis.
Data hasil validasi multimedia, perangkat pembelajaran
pendu kun g da n respon si swa di anali si s dengan
menghitung skor rata-rata dari 4 validator dan mengubah
skor tersebut menjadi kriteria, antara lain “sangat baik”
(4,21-5,00), “baik” (3,41–4,20), “cukup” (2,61–3,40),
“kurang” (1,81–2,60), dan “sangat kurang” (1,00-1,80).
Multimedia/perangkat dikatakan layak apabila memenuhi
kriteria minimal “cukup”. Selanjutnya data hasil belajar
dari kedua kelas dianalisis homogenitas dan normalitasnya
untuk mengetahui jenis uji hipotesis yang digunakan.
Independent Sample T-Test digunakan bila asumsi
parametrik terpenuhi (data normal), sedangkan bila asumsi
parametrik tidak terpenuhi (data tidak normal), uji hipotesis
menggunakan Mann-Whitney U-Test [7].
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis materi, sistem koloid
memuat representasi makroskopis (bersifat konkret),
mikroskopis (bersifat abstrak), dan simbolis secara
bersamaan. Di samping itu, materi ini memiliki aplikasi yang
luas dan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari
(bersifat kontekstual). Sub materi sistem dispersi memuat
kajian makroskopis dan mikroskopis. Kajian makroskopis
terletak pada perbedaan fisis antara larutan sejati, sistem
koloid, dan suspensi serta jenis-jenis koloid, sedangkan
kajian mikroskopis terletak pada distribusi partikel larutan
sejati, koloid, dan suspensi. Sub materi yang kedua yakni
sifat-sifat koloid lebih menekankan pada kajian mikroskopis
daripada makroskopisnya. Kajian mikroskopis berkaitan
dengan proses yang terjadi dalam setiap sifat koloid
sedangkan aspek makroskopisnya berkaitan denganaplikasi koloid dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan
sifat-sifatnya. Sub materi yang terakhir yakni pembuatan
koloid melibatkan kajian makroskopis, mikroskopis, dan
simbolis. Kajian makroskopis berkaitan dengan
pengamatan fisis pembuatan koloid, sementara kajian
mikroskopisnya berkaitan dengan proses pergerakan dan
perubahan partikel dalam pembuatan koloid, dan simbolis
berkaitan dengan reaksi-reaksi kimia dalam pembuatan
koloid.
Berdasarkan kajian dan analisis materi sistem
koloid pada setiap sub materi, peneliti mengembangkan
J. Pijar MIPA, Vol. IX No.2, September : 62 - 67
8/17/2019 Vol 9 No 2_copy.pdf
18/4665
multimedia interaktif yang menggambarkan sistem koloid
dalam 3 (tiga) representasi baik makroskopis, mikroskopis,
maupun simbolis. Selanjutnya multimedia interaktif
didesain dengan pendekatan kontekstual, di mana
pend ala man konsep dimula i da ri asp ek kon kr et
(makroskopis), baru kemudian menelaah aspek abstrak
(makroskopis) dan simbolisnya. Dari hasil analisis materi
ini dihasilkan produk awal multimedia interaktif berbasis
kontekstual (MMI-BK) yang selanjutnya divalidasi dan
diujicobakan kepada siswa.
Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh rata-
rata skor validasi multimedia sebesar 4.21 (sangat baik),
RPP kelas eksperimen 4,22 (sangat baik), RPP kelas kontrol
4,25 (sangat baik), LKS praktikum 4,20 (baik), dan instrumen
soal 4,23 (sangat baik). Dari hasil tersebut multimedia dan
perangkat pendukung lainnya layak digunakan untuk uji
lapangan. Berdasarkan saran dari para ahli, peneliti
melakukan revisi pada multimedia terutama pada aspek isi
dan tampilan.
Uji coba terbatas dari 10 siswa menghasilkan skor
rata-rata sebesar 4,36 (sangat baik). Siswa memberi
komentar positif terhadap multimedia, sedangkan saran
dan masukan dari siswa digunakan sebagai bahan
pertimbangan peneliti untuk melakukan revisi selanjutnya
yakni pada audio, bahasa, dan desain tampilan multimedia.
Uji coba lapangan menggunakan 2 kelas yakni kelas
eksperimen menggunakan multimedia interaktif berbasis
kontekstual yang dikembangkan dan kelas kontrolmenggunakan pembelajaran konvensional. Berdasarkan
hasil analisis data pre-test , kedua kelas dinyatakan
homogen namun tidak terdistribusi normal sehingga untuk
mengetahui perbandingan kemampuan awal siswa
digunakan uji Mann Whitney U Test . Dari hasil analisis
tersebut, diperoleh nilai signifikansi penguasaan konsep
sebesar 0,906 (p > 0,05) dan nilai signifikansi keterampilan
berpikir kritis sebesar 0,786 (p > 0,05) sehingga dapat
disimpulkan bahwa kemampuan awal (penguasaan konsep
dan keterampilan berpikir kritis) kedua kelas adalah sama
(tidak ada perbedaan).
Setelah pemberian perlakuan pada kedua kelas,
diperoleh data post-test pada kedua kelas dengan hasil
sebagai berikut:
Dari grafik tersebut terlihat perbedaan nilai rata-rata kelas
eksperimen dengan kelas kontrol. Nilai rata-rata
penguasaan konsep kelas eksperimen sebesar 81,44
sedangkan kelas kontrol sebesar 60,32. Nilai rata-rata
keterampilan berpikir kritis kelas eksperimen sebesar 76.05
sedangkan kelas kontrol sebesar 44,66.
Selanjutnya untuk mengetahui signifikansi
perbedaan nilai kedua kela s tersebut, dilakukan uji
hipotesis menggunakan Mann Whitney U-Test karena data
tidak terdistribusi normal. Berikut adalah rangkuman hasil