21
Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 50 No. 4 (2020): 858-878 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no4.2856 UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Fitriana Gunadi* * Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Korespondensi: [email protected] Naskah dikirim: 16 Septermber 2019 Naskah diterima untuk diterbitkan: 15 Desember 2019 Abstract Wages is one of the elements in the employment relationship between an employer and a worker/employee based on the employment agreement. In accordance with the fundamental principle that is basically applicable to every workers/employees, wages will not be paid by employers if the workers/employees do not perform work (no work no pay). However in its development, there is an issue in the application of such principle since the ruling of the Decision of the Constitutional Court of Republic of Indonesia, which obliges employers to pay the wages to workers/employees who do not work because they are in the process of termination of employment until a decision has its permanent legal force (inkracht van gewijsde). The issue becomes even more complex when the obligation to pay wages is reaffirmed by the Supreme Court of Republic of Indonesia for 6 (six) months, thus the excess time in the industrial relations dispute process is not an obligation for employers. Keywords: wages, employer, worker/employee, and termination of employment Abstrak Upah merupakan salah satu unsur pada hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja. Sesuai dengan asas yang pada dasarnya berlaku untuk semua pekerja/buruh, upah tidak akan dibayar oleh pengusaha apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan (no work no pay). Namun pada perkembangannya, terdapat permasalahan dalam pemberlakuan asas tersebut sejak dijatuhkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang mewajibkan pengusaha untuk tetap memberikan upah kepada pekerja/buruh yang tidak bekerja karena sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja hingga adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Permasalahan semakin menjadi kompleks ketika kewajiban atas pemberian upah tersebut ditegaskan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk 6 (enam) bulan, sehingga kelebihan waktu dalam proses perselisihan hubungan industrial sudah tidak menjadi kewajiban bagi pengusaha. Kata Kunci: upah, pengusaha, pekerja/buruh, dan pemutusan hubungan kerja.

UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

  • Upload
    others

  • View
    46

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 50 No. 4 (2020): 858-878

ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no4.2856

UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Fitriana Gunadi*

* Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Korespondensi: [email protected]

Naskah dikirim: 16 Septermber 2019

Naskah diterima untuk diterbitkan: 15 Desember 2019

Abstract

Wages is one of the elements in the employment relationship between an employer and

a worker/employee based on the employment agreement. In accordance with the

fundamental principle that is basically applicable to every workers/employees, wages

will not be paid by employers if the workers/employees do not perform work (no work

no pay). However in its development, there is an issue in the application of such

principle since the ruling of the Decision of the Constitutional Court of Republic of

Indonesia, which obliges employers to pay the wages to workers/employees who do

not work because they are in the process of termination of employment until a decision

has its permanent legal force (inkracht van gewijsde). The issue becomes even more

complex when the obligation to pay wages is reaffirmed by the Supreme Court of

Republic of Indonesia for 6 (six) months, thus the excess time in the industrial

relations dispute process is not an obligation for employers. Keywords: wages, employer, worker/employee, and termination of employment

Abstrak

Upah merupakan salah satu unsur pada hubungan kerja antara pengusaha dengan

pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja. Sesuai dengan asas yang pada dasarnya

berlaku untuk semua pekerja/buruh, upah tidak akan dibayar oleh pengusaha apabila

pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan (no work no pay). Namun pada

perkembangannya, terdapat permasalahan dalam pemberlakuan asas tersebut sejak

dijatuhkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang mewajibkan

pengusaha untuk tetap memberikan upah kepada pekerja/buruh yang tidak bekerja

karena sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja hingga adanya putusan yang

berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Permasalahan semakin menjadi

kompleks ketika kewajiban atas pemberian upah tersebut ditegaskan oleh Mahkamah

Agung Republik Indonesia untuk 6 (enam) bulan, sehingga kelebihan waktu dalam

proses perselisihan hubungan industrial sudah tidak menjadi kewajiban bagi

pengusaha. Kata Kunci: upah, pengusaha, pekerja/buruh, dan pemutusan hubungan kerja.

Page 2: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 859

I. PENDAHULUAN

Upah merupakan hak pekerja/buruh yang wajib dibayarkan oleh pengusaha atas

dilaksanakannya pekerjaan berdasarkan perjanjian kerja. Oleh karena itu, pemberian

upah tidak dapat dikaitkan dengan hasil pekerjaan. Hal ini sesuai dengan ketentuan

Pasal 1 angka 30 Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

(“UU No. 13 Tahun 2003”)1, yang mengatur bahwa upah adalah “hak pekerja/buruh

yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha

atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut

suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk

tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa

yang telah atau akan dilakukan.”

Selanjutnya, Soetiksno 2 juga berpendapat bahwa pemberian upah adalah

mengenai ‘penunaian kerja’ dan bukan mengenai ‘penyerahan hasil kerja’. Sehingga

yang ditekankan dalam pemberian upah ini adalah pelaksanaan pekerjaannya, bukan

kepada hasil pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja/buruh. Dengan demikian, selama

pekerja/buruh melakukan pekerjaan sesuai dengan yang telah disepakati dalam

perjanjian kerja, maka ia berhak atas pengupahan. Begitu pula sebaliknya, apabila

pekerja/buruh tidak melaksanakan pekerjaan, maka ia tidak berhak atas pengupahan.

Hal ini sesuai dengan asas fundamental di dunia hukum ketenagakerjaan yang berlaku

bagi setiap pekerja/buruh, yakni asas no work no pay pada ketentuan Pasal 93 ayat (1)

UU No. 13 Tahun 20033.

Namun demikian, penerapan asas no work no pay tersebut tidak bersifat kaku.

Hal ini dikarenakan terdapat beberapa pengecualian yang diberikan oleh undang-

undang kepada pekerja/buruh yang tidak melakukan pekerjaan bukan karena

kesalahannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 93 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003,

pengusaha tetap diwajibkan untuk membayar upah kepada pekerja/buruh yang tidak

melaksanakan pekerjaannya, apabila pekerja/buruh tersebut berada dalam kondisi-

kondisi, sebagai berikut:

1. Sakit;

2. Sakit pada hari pertama dan kedua masa haid bagi pekerja/buruh

perempuan;

3. Menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri

melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau istri atau anak atau

menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah

meninggal dunia;

4. Sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;

5. Menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

6. Bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan, tetapi pengusaha tidak

mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang

seharusnya dapat dihindari pengusaha;

7. Melaksanakan hak istirahat;

8. Melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan

pengusaha; dan

1 Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara

Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 39, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor

4279, Pasal 1 angka 30. 2 Soetiksno, Hukum Perburuhan, (Jakarta: 1979), hal. 13. 3 Pasal 93 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 mengatur bahwa “upah tidak dibayar apabila

pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan”.

Page 3: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

860 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

9. Melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Selain pengecualian tersebut di atas, UU No. 13 Tahun 2003 juga memberikan

hak atas pengupahan kepada pekerja/buruh yang tidak melaksanakan pekerjaan karena

sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja. Adapun upah yang diberikan selama

proses pemutusan hubungan kerja ini disebut sebagai upah proses. Sesuai dengan

ketentuan Pasal 155 ayat (2) 4 dan (3) 5 UU No. 13 Tahun 2003, maka sebelum

ditetapkannya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial,

pengusaha dapat melakukan penyimpangan berupa tindakan skorsing kepada

pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap

wajib membayar upah proses tersebut beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima

pekerja/buruh. Ketentuan ini tentunya menyimpangi asas no work no pay, karena

pekerja/buruh yang tidak melaksanakan pekerjaan sebagai akibat tindakan skorsing

dari pengusaha, tetap berhak atas pengupahan.

Kewajiban pengusaha dalam pemberian upah proses sebagaimana yang diatur

pada Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tersebut kemudian dimohonkan uji

materi oleh drg. Ugan Gandar (Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu),

Ir. Eko Wahyu (Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu), dan

Ir. Rommel Antonius Ginting (eks pekerja pada PT. Total Indonesia) pada tanggal 1

Juni 2011 di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Berdasarkan permohonan

tersebut, Mahkamah Konstitusi RI telah menjatuhkan Putusan Mahkamah Konstitusi

RI Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011 (“Putusan MK No. 37

Tahun 2011”), yang memutuskan bahwa frasa ‘belum ditetapkan’ pada Pasal 155 ayat

(2) UU No. 13 Tahun 2003 adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI

Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak

dimaknai ‘belum berkekuatan hukum tetap’. Dengan demikian, pengupahan tetap

diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh hingga adanya putusan pengadilan

hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Pasca dijatuhkannya Putusan Mahkamah Konstitusi RI, Ketua Mahkamah

Agung RI kemudian mengeluarkan rumusan hasil rapat pleno kamar melalui Surat

Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan

Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman

Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan pada tanggal 29 Desember 2015 (“SEMA No. 3

Tahun 2015”). Melalui Surat Edaran tersebut, Mahkamah Agung RI kembali

mempertegas kembali kewajiban pemberian upah proses oleh pengusaha kepada

pekerja/buruh selama 6 bulan, sehingga kelebihan waktu dalam proses perselisihan

hubungan industrial sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang RI Nomor 2

Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU No. 2

Tahun 2004”)6, bukan lagi menjadi tanggung jawab para pihak.

4 Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 mengatur bahwa “selama putusan lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun

pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya”. 5 Pasal 155 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 mengatur bahwa “pengusaha dapat melakukan

penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing

kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib

membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh”. 6 Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor 6, dan Tambahan

Lembaran Negara (TLN) Nomor 4356.

Page 4: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 861

II. PEMBAHASAN

2.1. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Terhadap Perselisihan

Pemutusan Hubungan Kerja

a) Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan Hukum Ketenagakerjaan

Hubungan kerja merupakan hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh

berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.7

Adapun terhadap unsur pertama, yakni pekerjaan (arbeid) berarti pengusaha dan

pekerja/buruh harus memperjanjikan pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh

pekerja/buruh dalam suatu perjanjian kerja. Tentunya pekerjaan tersebut tidak boleh

bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Selanjutnya, untuk unsur kedua yakni upah (loan), merupakan hak

berupa imbalan yang diterima pekerja/buruh dari pengusaha yang dibayarkan atas

dilaksanakannya pekerjaan oleh pekerja/buruh tersebut. Sedangkan, untuk unsur

terakhir yakni perintah (gezag ver houding), merupakan unsur yang mengakibatkan

hubungan kerja ini menjadi bersifat subordinasi (hubungan yang bersifat vertikal)

karena kedudukan para pihak yang tidak seimbang, dimana pengusaha memiliki

kedudukan lebih tinggi dibandingkan kedudukan pekerja/buruh. Unsur perintah dalam

suatu hubungan kerja ini mengakibatkan pihak pengusaha memiliki bargaining

position yang cukup kuat dibandingkan pekerja/buruh yang bekerja di bawah

perintahnya.

Hubungan yang bersifat subordinatif tersebut kemudian mengakibatkan

hubungan kerja ini menjadi hubungan keperdataan yang bersifat unik. Hal ini

dikarenakan pada suatu hubungan kerja telah mengandung ketentuan-ketentuan yang

bersumber dari kesepakatan para pihak (kaidah otonom), dan ketentuan-ketentuan

yang bersumber pada peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh

Negara/Pemerintah (kaidah heteronom). Adapun peran Negara/Pemerintah dalam

hubungan kerja ini begitu penting untuk menyeimbangkan kedudukan antara

pekerja/buruh dengan pengusaha yang tidak seimbang, dikarenakan posisi ekonomi

pengusaha yang lebih kuat dibandingkan pekerja/buruh tersebut.

Begitu pula dalam pengakhiran hubungan kerja, Negara/Pemerintah juga

memegang peranan penting dalam memberikan pengaturan guna melindungi

pekerja/buruh atas tindakan sewenang-wenang dari pihak pengusaha, terutama dalam

tindakan pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh pengusaha. Pada dasarnya,

pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal

tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan

pengusaha. 8 Dengan berakhirnya hubungan kerja ini, maka tentunya hak dan

kewajiban para pihak menjadi berakhir, sehingga pekerja/buruh akan kehilangan

pekerjaan sebagai mata pencaharian dan sumber pendapatannya. Oleh karena itu, UU

No. 13 Tahun 2003 telah memberikan pengaturan rigid atas pemutusan hubungan

kerja tersebut, dengan melibatkan peran pengusaha, pekerja/buruh, serikat

pekerja/buruh, maupun Negara/Pemerintah.

7 Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara

Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 39, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor

4279, Pasal 1 angka 15. 8 Ibid., Pasal 1 angka 25.

Page 5: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

862 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Menurut Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H., dan Dr. Drs. Widodo

Suryandono, S.H., M.H., 9 pemutusan hubungan kerja dapat dibedakan menjadi

beberapa golongan, sebagai berikut:

1. Hubungan kerja putus demi hukum;

2. Hubungan kerja yang diputuskan oleh pekerja/buruh, hal ini terjadi melalui

pengunduran diri pekerja/buruh;

3. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha karena pekerja/buruh dianggap

mengundurkan diri;

4. Hubungan kerja yang diputuskan oleh pengusaha;

5. Hubungan kerja yang diputuskan oleh pengadilan;

6. Pemutusan hubungan kerja karena terjadi perubahan status, penggabungan,

peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan, atas kemauan pengusaha

atau pekerja/buruh;

7. Pemutusan hubungan kerja karena kerugian terus menerus selama 2 (dua) tahun

atau force majeure;

8. Pemutusan hubungan kerja karena perusahaan mengalami pailit;

9. Pemutusan hubungan kerja karena pekerja/buruh meninggal dunia; atau

10. Pemutusan hubungan kerja karena memasuki usia pensiun.

Terhadap hal tersebut, UU No. 13 Tahun 2003 mewajibkan bagi seluruh

pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/buruh, dan Negara/Pemerintah, dengan

segala upaya untuk mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja10.

Adapun yang dimaksud dengan segala upaya tersebut adalah dengan mengadakan

kegiatan-kegiatan positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya pemutusan

hubungan kerja, seperti pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode

kerja, dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh.11 Namun demikian, upaya-

upaya tersebut tidak perlu dilakukan dalam hal pemutusan hubungan kerja yang terjadi

karena putus demi hukum (berakhirnya waktu pelaksanaan pekerjaan), pekerja/buruh

mengundurkan diri, pekerja/buruh meninggal dunia, pekerja/buruh telah memasuki

usia pensiun, atau pekerja/buruh meninggal dunia.

b) Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Terhadap

Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja

Apabila segala upaya telah dilakukan namun pemutusan hubungan kerja tetap

tidak dapat dihindarkan, maka maksud pemutusan hubungan kerja tersebut wajib

dirundingkan terlebih dahulu secara sukarela oleh pengusaha dan serikat

pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang

bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah

untuk mufakat.12 Adapun perundingan ini dalam ketentuan penyelesaian perselisihan

hubungan industrial disebut sebagai perundingan bipartit13. Sesuai dengan ketentuan

Pasal 3 UU No. 2 Tahun 2004, penyelesaian perselisihan melalui bipartit ini harus

diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya

9 Aloysius Uwiyono, et.al., Asas-Asas Hukum Perburuhan, Ed. 2, Cet. 3, (Depok: PT

RajaGrafindo Persada, 2018), hal. 137-140. 10 Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara

Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 39, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor

4279, Pasal 151 ayat (1). 11 Ibid., Penjelasan Pasal 151 ayat (1). 12 Ibid., Pasal 151 ayat (2). 13 Pasal 1 angka 10 UU No. 2 Tahun 2004 mengatur bahwa “perundingan bipartit adalah

perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk

menyelesaikan perselisihan hubungan industrial”.

Page 6: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 863

perundingan. Apabila setelah lewatnya jangka waktu tersebut, salah satu pihak

menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai

kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.

Dalam hal bipartit dianggap gagal, maka akan terdapat 2 (dua) mekanisme yang

disediakan oleh undang-undang. Mekanisme pertama adalah dengan penggunaan

senjata hukum berupa mogok kerja 14 atau penutupan perusahaan (lock out) 15 .

Sedangkan mekanisme kedua adalah dengan melalui penyelesaian perselisihan

hubungan industrial sebagaimana diatur pada UU No. 2 Tahun 2004.

Dalam mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha

hanya dapat memutuskan hubungan kerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 16 Namun, permohonan penetapan

tersebut tidak diperlukan dalam hal:17

1. Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan

secara tertulis sebelumnya;

2. Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas

kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha,

berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk

pertama kali;

3. Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian

kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-

undangan; atau

4. Pekerja/buruh meninggal dunia.

Permohonan untuk penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial dapat diajukan secara tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab di

bidang ketenagakerjaan setempat dengan disertai alasan yang menjadi dasarnya dan

melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit

telah dilakukan.18 Apabila bukti-bukti tersebut tidak dilampirkan, maka instansi yang

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk

dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya

pengembalian berkas. Setelah menerima permohonan tersebut, instansi yang

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada

para pihak untuk melakukan penyelesaian melalui konsiliasi.19 Jika para pihak tidak

14 Pasal 137 UU No. 13 Tahun 2003 mengatur bahwa “mogok kerja sebagai hak dasar

pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat

gagalnya perundingan.” Dalam penjelasannya ditentukan bahwa “yang dimaksud dengan gagalnya

perundingan dalam pasal ini adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan

hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau

perundingan mengalami jalan buntu. Yang dimaksud dengan tertib dan damai adalah tidak

mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan/atau mengancam keselamatan jiwa dan harta benda

milik perusahaan atau pengusaha atau orang lain atau milik masyarakat.” 15 Pasal 146 UU No. 13 Tahun 2003 mengatur bahwa “penutupan perusahaan (lock out)

merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk

menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan. Pengusaha tidak dibenarkan melakukan

penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan dengan adanya tuntutan

normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh." 16 Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara

Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 39, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor

4279, Pasal 151 ayat (3). 17 Ibid., Pasal 154. 18 Pasal 152 UU No. 13 2003 juncto Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2004. 19 Pasal 1 angka 13 UU 2 Tahun 2004 mengatur bahwa “konsiliasi adalah penyelesaian

perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat

Page 7: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

864 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

melakukan konsiliasi, maka dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, instansi yang

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan

tersebut kepada mediator.20

Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima

pelimpahan penyelesaian perselisihan, konsiliator/mediator harus sudah mengadakan

penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang

konsiliasi/mediasi.21 Konsiliator/mediator harus menyelesaikan tugasnya dalam waktu

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan

penyelesaian tersebut. 22 Dalam hal tercapai kesepakatan, maka akan dibuatkan

Perjanjian Bersama yang kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial

pada Pengadilan Negeri untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Namun apabila

tidak tercapai kesepakatan, maka konsiliator/mediator mengeluarkan anjuran tertulis

dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang

konsiliasi/mediasi pertama kepada para pihak. Kemudian para pihak harus sudah

memberikan jawaban secara tertulis berupa pernyataan persetujuan atau penolakan

atas anjuran tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah

menerima anjuran tertulis.23

Apabila salah satu pihak atau para pihak menolak anjuran tersebut, maka

penyelesaian perselisihan hubungan industrial terhadap pemutusan hubungan kerja

dapat dilanjutkan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial

pada Pengadilan Negeri setempat. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari

kerja setelah menerima gugatan, Ketua Pengadilan Negeri harus sudah menetapkan

majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perselisihan.24 Setelah ditetapkannya

majelis Hakim tersebut, maka dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja,

Ketua Majelis Hakim harus melakukan sidang pertama. Adapun putusan penyelesaian

perselisihan hubungan industrial wajib diberikan Majelis Hakim dalam waktu

selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama.25

Selanjutnya, terhadap putusan yang telah dijatuhkan oleh Majelis Hakim pada

Pengadilan Hubungan Industrial dapat diajukan permohonan kasasi oleh para pihak

kepada Mahkamah Agung RI dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari

kerja sejak diberikannya putusan tersebut. Atas permohonan kasasi, maka dalam

waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja, berkas perkara tersebut harus

sudah disampaikan kepada ketua Mahkamah Agung RI. Adapun penyelesaian

perselisihan industrial atas pemutusan hubungan kerja ini harus diputuskan oleh

Mahkamah Agung RI pada tingkat kasasi dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga

puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.26

pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang

atau lebih konsiliator yang netral”. 20 Pasal 1 angka 12 UU No. 2 Tahun 2004 mengatur bahwa “mediator adalah pegawai instansi

pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai

mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban

memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.” 21 Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor 6, dan Tambahan

Lembaran Negara (TLN) Nomor 4356, Pasal 10 juncto Pasal 20. 22 Ibid., Pasal 15 juncto Pasal 25. 23 Ibid., Pasal 13 juncto Pasal 23. 24 Ibid., Pasal 88 ayat (1). 25 Ibid., Pasal 103. 26 Ibid., Pasal 110 s.d. Pasal 115.

Page 8: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 865

Dengan adanya mekanisme yang bertahap dan berjenjang tersebut, maka

penyelesaian perselisihan hubungan industrial terhadap pemutusan hubungan kerja,

terhitung sejak perundingan bipartit hingga dijatuhkannya putusan kasasi oleh

Mahkamah Agung RI, memerlukan waktu hingga mencapai kurang lebih 223 (dua

ratus dua puluh tiga) hari kerja atau sekitar 11 (sebelas) bulan. Jangka waktu tersebut

pun belum termasuk waktu yang diperlukan dalam hal pengajuan upaya hukum berupa

peninjauan kembali terhadap putusan kasasi yang ditetapkan Mahkamah Agung RI.

Sehingga baik pengusaha maupun pekerja/buruh akan memerlukan waktu yang cukup

lama dalam memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial yang bersifat final dan berkuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

2.2. Pemberian Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja

Upah proses yang wajib diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh selama

proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial nyatanya telah diatur oleh

Negara/Pemerintah sejak tahun 1964 hingga saat ini.

a) Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan

Kerja di Perusahaan Swasta (“UU No. 12 Tahun 1964”)27

Untuk menjamin kepastian bagi kaum pekerja/buruh, maka Negara/Pemerintah

telah menetapkan ketentuan mengenai perizinan dalam pemutusan hubungan kerja

supaya sedapat mungkin pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha tersebut dapat

dicegah. Melalui UU No. 12 Tahun 1964, Negara/Pemerintah memberikan ketentuan-

ketentuan yang bersifat formil tentang cara pemberian izin atas pemutusan hubungan

kerja tersebut.

Pada ketentuan Pasal 11 UU No. 12 Tahun 1964 telah diatur bahwa selama

Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat 28 belum memberikan izin atas pemutusan

hubungan kerja, dan dalam hal ada permintaan banding terhadap izin yang diberikan

oleh Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah29 namun belum diputuskan oleh Panitia

Penyelesaian Perburuhan Pusat, maka baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus

tetap memenuhi segala kewajibannya.

Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut di atas, baik pengusaha maupun

pekerja/buruh tetap diharuskan untuk melaksanakan kewajibannya, termasuk namun

tidak terbatas pada kewajiban pengusaha untuk memberikan upah (upah proses)

kepada pekerja/buruh selama belum adanya izin yang diputuskan oleh Panitia

Penyelesaian Perburuhan Pusat.

27 Indonesia, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di

Perusahaan Swasta, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1964 Nomor 93, dan

Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 2686. 28 Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan mengatur bahwa “Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat berkedudukan di

Jakarta dan terdiri dari seorang wakil Kementerian Perburuhan sebagai anggota merangkap ketua,

dan seorang wakil Kementerian Perekonomian, seorang wakil Kementerian Keuangan, seorang wakil

Kementerian Perhubungan, 5 orang dari kalangan buruh, dan 5 orang dari kalangan majikan sebagai

anggota untuk tiap-tiap anggota ditunjuk seorang anggota pengganti”. 29 Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan mengatur bahwa “Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah

terdiri dari seorang wakil Kementerian Perburuhan, sebagai Ketua merangkap anggota, dan anggota-

anggota lainnya terdiri dari seorang wakil Kementerian Perekonomian, seorang wakil Kementerian

Keuangan, seorang wakil Kementerian Pertanian serta seorang wakil Kementerian Perhubungan, 5

orang dari kalangan buruh dan 5 orang dari kalangan majikan untuk tiap-tiap anggota ditunjuk

sebagai anggota pengganti”.

Page 9: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

866 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

b) Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Per-03/Men/1996 tentang

Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon,

Uang Jasa dan Ganti Kerugian di Perusahaan Swasta (“Permenaker No. 03

Tahun 1996”)

Permenaker No. 03 Tahun 1996 ditetapkan oleh Negara/Pemerintah sebagai

peraturan pelaksana dari UU No. 12 Tahun 1964. Meskipun demikian, melalui

Permenaker No. 03 Tahun 1996 ini, Negara/Pemerintah telah memberikan ketentuan

yang lebih longgar kepada pihak pengusaha dalam memberikan upah proses tersebut,

daripada yang telah diatur sebelumnya pada UU No. 12 Tahun 1964.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Permenaker No. 03 Tahun 1996, upah proses

diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh serendah-rendahnya 50% (lima puluh

persen). Adapun kewajiban pemberian upah proses ini hanya berlaku paling lama 6

(enam) bulan saja. Sehingga setelah masa skorsing berjalan 6 (enam) bulan namun

belum ada putusan dari Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah atau Panitia

Penyelesaian Perburuhan Pusat, maka pengusaha tidak diwajibkan lagi untuk

membayar upah proses tersebut kepada pekerja/buruh.

Dengan adanya ketentuan tersebut, pengusaha diberikan kesempatan oleh

undang-undang untuk menentukan berapa jumlah upah proses yang akan diberikan

kepada pekerja/buruh, sepanjang tidak kurang dari 50% (lima puluh persen). Selain

itu, pengusaha juga tidak perlu mempersiapkan anggaran yang besar, karena

kewajiban atas pemberian upah proses tersebut hanya berlaku untuk 6 (enam) bulan

saja. Meskipun ketentuan tersebut dianggap telah memberikan kepastian hukum bagi

pengusaha karena terdapat pembatasan atas waktu pembayaran upah proses, namun di

sisi lain ketentuan ini juga membuka potensi yang dapat merugikan pekerja/buruh. Hal

ini dikarenakan besarnya jumlah upah proses yang diterima oleh pekerja/buruh

tentunya tidak lagi sebesar 100% (seratus persen) dari upah yang biasanya mereka

terima.

c) Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Kep-150/Men/2000 tentang

Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon,

Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan

(“Kepmenaker No. 150 Tahun 2000”)

Pada tanggal 20 Juni 2000, Negara/Pemerintah telah menetapkan Kepmenaker

No. 150 Tahun 2000 untuk menyempurnakan sekaligus mencabut ketentuan yang

telah diatur sebelumnya dalam Permenaker No. 03 Tahun 1996.

Melalui Kepmenaker No. 150 Tahun 2000, Negara/Pemerintah nampaknya

berusaha memberikan pengaturan yang lebih seimbang bagi pihak pengusaha maupun

pihak pekerja/buruh. Adapun pengaturan upah proses yang ditentukan dalam

Kepmenaker No. 150 Tahun 2000 adalah sebagai berikut: 30

1) Pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya

sebelum adanya izin pemutusan hubungan kerja oleh Panitia Penyelesaian

Perburuhan Daerah atau Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat;

2) Apabila pengusaha melakukan skorsing sesuai ketentuan dalam perjanjian kerja

atau peraturan perusahaan atau kesepakatan bersama dan belum adanya izin

pemutusan hubungan industrial, maka pengusaha wajib membayar upah proses

paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari upah yang diterima pekerja

paling lama 6 (enam) bulan. Jika setelah masa skorsing berjalan selama 6 (enam)

30 Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Keputusan Menteri Nomor Kep-150/Men/2000

tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan

Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan, Pasal 16 dan Pasal 17.

Page 10: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 867

bulan dan belum ada putusan, maka upah selanjutnya ditentukan oleh Panitia

Penyelesaian Perburuhan Daerah atau Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat;

3) Apabila pekerja/buruh tidak dapat memenuhi kewajibannya karena dilarang oleh

pengusaha namun pengusaha tidak melakukan skorsing, maka pengusaha wajib

membayar upah pekerja/buruh tersebut selama dalam proses pemutusan

hubungan kerja sebesar 100% (seratus persen);

4) Apabila pekerja/buruh tidak memenuhi kewajibannya atas kemauannya sendiri,

maka pengusaha tidak wajib memberikan upah kepada pekerja/buruh selama

dalam proses pemutusan hubungan kerja; atau

5) Apabila pengusaha dan pekerja/buruh tidak dapat memenuhi kewajibannya

bukan karena pekerja/buruh dilarang bekerja pengusaha, atau bukan atas

kemauan pekerja/buruh sendiri, maka pengusaha tetap diwajibkan untuk

membayar upah pekerja/buruh selama proses pemutusan hubungan kerja sebesar

75% (tujuh puluh lima persen).

d) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep-

78/Men/2001 tentang Perubahan atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri

Tenaga Kerja RI Nomor Kep-150/Men/2000 tentang Penyelesaian

Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang

Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di Perusahaan

(“Kepmenaker No. 78 Tahun 2001”)

Terhadap ketentuan Kepmenaker No. 150 Tahun 2000 tersebut di atas,

Negara/Pemerintah kemudian memberikan perubahan dan penambahan ketentuan

mengenai upah proses melalui penetapan Kepmenaker No. 78 Tahun 2001.

Sebelumnya, dalam Kepmenaker No. 150 Tahun 2000 ditentukan bahwa apabila

setelah masa skorsing 6 (enam) bulan berakhir, maka selanjutnya pengusaha

memberikan upah proses yang jumlahnya ditentukan oleh Panitia Penyelesaian

Perburuhan Daerah atau Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat. Namun ketentuan ini

diubah pada Kepmenaker No. 78 Tahun 2001, menjadi apabila setelah masa skorsing 6

(enam) bulan berakhir, maka pengusaha tidak berkewajiban untuk membayar upah

proses kecuali ditetapkan lain oleh Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah atau

Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat. 31 Sehingga terdapat kemungkinan bagi

pengusaha untuk tidak membayar upah proses setelah masa 6 (enam) bulan skorsing,

sepanjang hal tersebut ditetapkan oleh Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah atau

Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat.

Selain itu, dalam Kepmenaker No. 78 Tahun 2001 terdapat pula ketentuan

tambahan bahwa apabila pengusaha mengajukan permohonan izin pemutusan

hubungan kerja namun tidak melakukan skorsing, maka selama izin tersebut belum

diberikan, pekerja/buruh harus tetap melakukan pekerjaannya dan pengusaha

membayar upah proses sebesar 100% (seratus persen).

Selanjutnya, apabila pengusaha tidak mengajukan permohonan izin pemutusan

hubungan kerja terhadap pekerja/buruh, maka pemutusan hubungan kerja tersebut

akan menjadi perselisihan dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh selama

dibayar 100% (seratus persen) selama belum adanya putusan dari Panitia Penyelesaian

Perburuhan Daerah atau Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat.

e) UU No. 13 Tahun 2003

31 Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Keputusan Menteri Nomor Kep-78/Men/2001

tentang Perubahan atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Kep-150/Men/2000

tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan

Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di Perusahaan, Pasal 16.

Page 11: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

868 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Pada tanggal 25 Maret 2003, Negara/Pemerintah telah menerbitkan UU No. 13

Tahun 2003 yang hingga saat ini masih berlaku dan mencabut beberapa ketentuan

terkait ketenagakerjaan sebelumnya, kecuali Kepmenaker No. 150 Tahun 2000 beserta

perubahannya.

Dalam UU No. 13 Tahun 2003, ditentukan bahwa selama belum adanya

penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha

maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Apabila

pengusaha melakukan skorsing terhadap pekerja/buruh, maka pengusaha diwajibkan

untuk membayar upah proses. Hal ini sebagaimana yang ditentukan pada ketentuan

Pasal 155 UU No. 13 Tahun 2003 yang mengatur sebagai berikut:

“(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.

(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial

belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap

melaksanakan segala kewajibannya.

(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada

pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja

dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa

diterima pekerja/buruh.”

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka terdapat 2 (dua) keadaan yang

mungkin terjadi selama belum adanya penetapan dari lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial, yakni i) pekerja/buruh tetap melaksanakan pekerjaan

dan menerima upah dari pengusaha; atau ii) pekerja/buruh tidak melaksanakan

pekerjaan sebagai akibat tindakan skorsing dari pengusaha, namun mereka tetap

berhak untuk mendapatkan upah beserta hak-hak lainnya yang biasa mereka terima.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, pemberian upah

harus memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan 32 . Sehingga sudah

menjadi tugas Negara/Pemerintah untuk mengupayakan pemenuhan atas upah yang

layak kepada pekerja/buruh. Lebih lanjut Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H.,33

berpendapat bahwa UU No. 13 Tahun 2003 memaknai upah sebagai hak dasar pekerja

yang harus dipenuhi pengusaha. Apabila pengusaha tidak membayar upah pekerja,

maka hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, dan merupakan

kejahatan yang dapat dipidana.

Oleh karena hal tersebut, UU No. 13 Tahun 2003 telah memberikan pengaturan

bahwa meskipun pekerja/buruh dalam proses pemutusan hubungan kerja namun belum

ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka

pengusaha tetap diwajibkan memberikan upah kepada pekerja/buruh. Hal ini

dikarenakan sebelum adanya penetapan tersebut, maka hubungan kerja antara

pekerja/buruh dan pengusaha tetap masih ada dan belum berakhir secara hukum.

Sehingga Negara/Pemerintah wajib menjamin hak atas pengupahan bagi setiap

pekerja/buruh yang masih terikat dalam hubungan kerja, sebagaimana diamanatkan

pada Pasal 28D Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.34

Meskipun hak atas pengupahan telah dijamin dalam UU No. 13 Tahun 2003,

namun terdapat beberapa pihak yang masih merasa dirugikan dengan tidak adanya

32 Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 mengatur bahwa “tiap-tiap warga

negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. 33 Uwiyono, op.cit., hal. 106. 34 Pasal 28D Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 mengatur bahwa “setiap orang berhak untuk

bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.

Page 12: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 869

penafsiran yang tegas dan jelas terhadap ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No. 13

Tahun 2003 tersebut. Hal ini dikarenakan pada waktu keputusan peradilan tingkat

pertama di Pengadilan Hubungan Industrial tidak diterima atau diajukan upaya kasasi

dan seterusnya, maka keputusan yang telah ditetapkan pada tingkat pertama adalah

belum bersifat final atau berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Sehingga

hal tersebut menimbulkan adanya potensi ketidakpastian hukum bagi pekerja/buruh

dalam memperoleh hak-haknya karena penetapan atas pemutusan hubungan kerja

mereka pada dasarnya belum berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Selain

itu pada prakteknya, Pengadilan Hubugan Industrial juga memiliki beberapa

penafsiran terhadap ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, dimana ada

yang berpendapat bahwa kewajiban atas pemberian upah proses hanya berlaku pada

tingkat pertama di Pengadilan Hubungan Industrial, dan ada juga yang berpendapat

bahwa kewajiban atas pemberian upah proses tersebut berlaku sampai adanya

penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang

berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

f) Putusan MK No. 37 Tahun 2011

Pada tanggal 1 Juni 2011 di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, telah

diajukan permohonan uji materil oleh drg. Ugan Gandar (Presiden Federasi Serikat

Pekerja Pertamina Bersatu), Ir. Eko Wahyu (Sekretaris Jenderal Federasi Serikat

Pekerja Pertamina Bersatu), dan Ir. Rommel Antonius Ginting (eks pekerja pada PT.

Total Indonesia) terhadap ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003.

Adapun alasan-alasan yang mendasari pengajuan permohonan uji materil tersebut

adalah sebagai berikut35:

1) Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28D ayat

(1) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 karena berpotensi menimbulkan

ketidakpastian hukum bagi pekerja/buruh, sejak tidak adanya penafsiran yang

jelas dan tegas mengenai klausula ‘belum ditetapkan’. Hal ini dikarenakan dalam

praktiknya, implementasi dari unsur kata ‘belum ditetapkan’ tersebut telah

menimbulkan pertentangan apakah putusan dari lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial tersebut hanya sebatas pada pengadilan tingkat

pertama di Pengadilan Hubungan Industrial ataukah juga meliputi putusan pada

tingkat selanjutnya yaitu Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung

RI.

2) Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28D ayat

(2) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 karena berpotensi menimbulkan

pelanggaran hak pekerja/buruh untuk memperoleh perlakuan yang adil dan layak

secara hukum. Hal ini dikarenakan tidak jelasnya penafsiran klausula ‘belum

ditetapkan’ akan mengakibatkan terabainya hak asasi manusia untuk

mendapatkan penghidupan yang layak dan imbalan yang sesuai dengan

kerjanya.

Terhadap alasan-alasan tersebut di atas, Negara/Pemerintah telah menyampaikan

penjelasan, yang pada pokoknya adalah UU No. 13 Tahun 2003 telah memberikan

kepastian hukum, sehingga menurut Negara/Pemerintah, ketidakpastian hukum yang

terjadi pada diri para pemohon tersebut adalah tidak terkait dengan masalah

konstitusionalitas berlakunya ketentuan tersebut, melainkan terkait dengan praktik

35 Mahkamah Konstitusi RI, Putusan Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011, hal.

12-17.

Page 13: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

870 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

pelaksanaan penyelesaian di lembaga peradilan (dari mulai Pengadilan Hubungan

Industrial sampai Mahkamah Agung RI).36

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Majelis Hakim Konstitusi RI pada tanggal

19 September 2012 telah menjatuhkan Putusan MK No. 37 Tahun 2011 dimana salah

satu pertimbangannya, Majelis Hakim Konstitusi RI berpendapat sebagai berikut:37

“Menurut Mahkamah, frasa ‘belum ditetapkan’ dalam Pasal 155 ayat (2) UU

13/2003 harus dimaknai putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum

tetap karena putusan Pengadilan Hubungan Industrial ada yang dapat langsung

memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat pertama oleh Putusan

Hubungan Industrial, yaitu putusan mengenai perselisihan kepentingan, putusan

mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu

perusahaan, serta putusan mengenai perselisihan hak dan PHK yang tidak

dimohonkan kasasi. Adapun putusan mengenai perselisihan hak dan PHK yang

dimohonkan kasasi harus menunggu putusan kasasi dari Mahkamah Agung

terlebih dahulu baru memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Dengan adanya pertimbangan hukum tersebut, maka Majelis Hakim Konstitusi

RI memberikan amar putusan pada Putusan MK No. 37 Tahun 2011, sebagai berikut:38

“1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;

2. Frasa ‘belum ditetapkan’ dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4279) adalah bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak

dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;

3. Frasa ‘belum ditetapkan’ dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya;”

Berdasarkan amar putusan tersebut, maka ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No.

13 Tahun 2003 harus ditafsirkan bahwa selama putusan lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial belum berkekuatan hukum tetap, baik pengusaha

maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya, termasuk

kewajiban pengusaha untuk memberikan upah proses kepada pekerja/buruh.

g) Peraturan Pemerintah RI Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (“PP

No. 78 Tahun 2015”) 39

Dengan telah dijatuhkannya Putusan MK No. 37 Tahun 2011 tersebut, maka

timbul adanya suatu kebutuhan regulasi yang dapat mengakomodir penafsiran

Mahkamah Konstitusi RI tersebut. Hal ini dikarenakan penafsiran yang diberikan oleh

36 Ibid., hal. 30. 37 Ibid., hal. 37. 38 Ibid., hal. 38-39. 39 Pemerintah RI, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Lembaran

Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2015 Nomor 237, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN)

Nomor 5747.

Page 14: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 871

Mahkamah Konstitusi RI tersebut masih bersifat abstrak, sehingga masih diperlukan

adanya ketentuan normatif sebagai pelaksana dari ketentuan upah proses tersebut.

Setelah 4 (empat) tahun dijatuhkannya Putusan MK No. 37 Tahun 2011,

Negara/Pemerintah kemudian menerbitkan PP No. 78 Tahun 2015 pada tanggal 23

Oktober 2015. Peraturan ini diharapkan dapat digunakan sebagai pegangan dalam

pelaksanaan hubungan kerja dalam menangani berbagai permasalahan di bidang

pengupahan yang kompleks. Namun sangat disayangkan, PP No. 78 Tahun 2015

tersebut justru sama sekali tidak mengatur mekanisme pemberian upah proses kepada

pekerja/buruh dalam hal belum adanya penetapan dari lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial terhadap pemutusan hubungan kerja mereka.

Beberapa kebijakan pengupahan yang diatur dalam PP No. 78 Tahun 2015

adalah sebagai berikut:40

1) Upah minimum;

2) Upah kerja lembur;

3) Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

4) Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;

5) Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

6) Bentuk dan cara pembayaran upah;

7) Denda dan potongan upah;

8) Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;

9) Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

10) Upah untuk pembayaran pesangon; dan

11) Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Selanjutnya, dalam ketentuan PP No. 78 Tahun 2015 ini hanya diatur bahwa

upah tetap dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak

melakukan pekerjaan karena alasan-alasan sebagai berikut:41

1) Pekerja/buruh berhalangan bukan karena kesalahannya;

2) Pekerja/buruh melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;

3) Pekerja/buruh menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; atau

4) Pengusaha tidak mempekerjakan pekerja/buruh karena kesalahan pengusaha atau

kendala yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.

Dengan tidak diaturnya mekanisme pemberian upah proses tersebut dalam PP

No. 78 Tahun 2015, maka terdapat ketidakpastian hukum atas legalitas pemberian

upah proses kepada pekerja/buruh selama belum ditetapkannya penetapan dari

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap

(inkracht van gewijsde). Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut, Negara/Pemerintah

belum memberikan pengaturan mengenai pelaksanaan upah proses sebagaimana yang

telah ditafsirkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI melalui Putusan MK

No. 37 Tahun 2011.

Padahal pengaturan tersebut sangat diperlukan karena penafsiran Mahkamah

Konstitusi RI berpotensi dapat merugikan beberapa pihak, khususnya pengusaha,

karena tidak adanya kepastian hukum perihal sampai kapan upah proses tersebut

diberikan kepada pekerja/buruh. Hal ini dikarenakan Putusan MK No. 37 Tahun 2011

mewajibkan pengusaha untuk tetap membayar upah proses kepada pekerja/buruh

hingga waktu yang tidak dapat ditentukan secara pasti, mengingat belum adanya

ketentuan yang membatasi jangka waktu proses penyelesaian perselisihan hubungan

40 Ibid., Pasal 3 ayat (2). 41 Ibid., Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 25.

Page 15: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

872 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

industrial hingga jatuhnya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van

gewijsde).

h) SEMA No. 3 Tahun 2015

Untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi dalam penjatuhan

putusan, setiap Kamar di Mahkamah Agung RI secara rutin menyelenggarakan Rapat

Pleno Kamar yaitu pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2014. Kemudian, pada

tanggal 9-11 Desember 2015, Mahkamah Agung RI kembali menyelenggarakan rapat

pleno kamar untuk membahas permasalahan hukum (questions of law) yang

mengemuka di masing-masing kamar. Rumusan-rumusan yang dihasilkan dari pleno

kamar tersebut kemudian dituangkan oleh Mahkamah Agung RI dalam SEMA No. 3

Tahun 2015.

Pada SEMA No. 3 Tahun 2015, Mahkamah Agung RI menyampaikan bahwa

rumusan-rumusan hasil rapat pleno kamar tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak

dapat dipisahkan dan seluruh rumusan hukum rersebut diberlakukan sebagai pedoman

dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung RI, pengadilan tingkat pertama dan

banding, sepanjang substansi rumusannya berkenaan dengan kewenangan peradilan

tingkat pertama dan banding. Adapun salah satu rumusan tersebut adalah rumusan

pleno kamar perdata, yang kemudian dibagi menjadi perdata umum dan perdata

khusus.

Berdasarkan rapat pleno kamar perdata khusus, telah dihasilkan beberapa

rumusan yang salah satunya adalah sebagai berikut:42

“Pasca Putusan MK Nomor 37/PUU-IX/2011, tertanggal 19 September 2011

terkait dengan upah proses maka isi amar putusan adalah MENGHUKUM

PENGUSAHA MEMBAYAR UPAH PROSES SELAMA 6 BULAN. Kelebihan

waktu dalam proses PHI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bukan

lagi menjadi tanggung jawab para pihak.”

Apabila dilihat pada rumusan tersebut di atas, rupanya salah satu permasalahan

hukum (questions of law) yang mengemuka di kamar perdata khusus pada Mahkamah

Agung RI adalah penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi RI pada

Putusan MK No. 37 Tahun 2011. Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya,

bahwa Putusan MK No. 37 Tahun 2011 telah menetapkan bahwa frasa ‘belum

ditetapkan’ dalam Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 adalah bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘belum berkekuatan hukum tetap’.

Sebagai tindaklanjut atas penafsiran Mahkamah Konstitusi RI tersebut,

kemudian Mahkamah Agung RI memberikan pedoman kepada para hakim dengan

berkiblat kembali pada ketentuan upah proses yang sebelumnya telah diatur pada

Permenaker No. 03 Tahun 1996, Kepmenaker No. 150 Tahun 2000, dan Kepmenaker

No. 78 Tahun 2001, dimana pemberian upah proses hanya berlaku selama 6 (enam)

bulan saja, sehingga para pihak tidak perlu menunggu hingga adanya penetapan dari

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap

(inkracht van gewijsde).

Berdasarkan rumusan SEMA No. 3 Tahun 2015 tersebut di atas, hakim pada

pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri)

42 Mahkamah Agung RI, Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan

Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi

Pengadilan pada tanggal 29 Desember 2015.

Page 16: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 873

maupun pengadilan tingkat kasasi dan peninjauan kembali (Mahkamah Agung RI)

yang memeriksa perselisihan hubungan industrial terhadap pemutusan hubungan kerja,

harus menjatuhkan hukuman kepada pengusaha untuk membayar upah proses kepada

pekerja/buruh selama 6 (enam) bulan, terlepas dari apakah pekerja/buruh tersebut

melaksanakan pekerjaan atau sedang dalam skorsing yang dilakukan oleh pengusaha.

2.3. Pemberlakuan Kewajiban Upah Proses dan Penerapan Asas No Work No

Pay

Ketentuan pemutusan hubungan kerja yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003

meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum

atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik

milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain

yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah

atau imbalan dalam bentuk lain43. Adapun pemutusan hubungan kerja ini termasuk

salah satu jenis perselisihan hubungan industrial yang diatur pada UU No. 2 Tahun

2004.

Guna menciptakan hubungan industrial yang harmonis, maka terhadap

pemutusan hubungan kerja tersebut dipersyaratkan adanya penetapan dari lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dalam hal pemutusan hubungan kerja

yang dilakukan tanpa adanya penetapan tersebut, maka pemutusan hubungan kerja

akan dinyatakan batal demi hukum. Adapun penetapan pemutusan hubungan kerja ini

harus didasarkan pada alasan bahwa perundingan bipartit yang telah dilakukan oleh

pengusaha dan pekerja/buruh tidak menghasilkan kesepakatan atau dianggap gagal.44

Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha secara sepihak kepada pekerja/buruh

dapat dikategorikan sebagai tindakan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam

konteks hukum perdata barat pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata45. Sehingga

sesuai dengan prinsip dasar dalam ketentuan hukum perdata barat tersebut, pengusaha

yang telah melakukan perbuatan melawan hukum kepada pekerja/buruh, diwajibkan

untuk membayar sejumlah ganti rugi kepada pekerja/buruh tersebut.46 Berangkat dari

prinsip dasar ini, UU No. 13 Tahun 2003 telah mengatur kewajiban pengusaha untuk

memberikan ganti rugi atas pemutusan hubungan kerja yang dilakukannya terhadap

pekerja/buruh tersebut, dengan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan

masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja/buruh.47

Namun demikian, kewajiban pengusaha tersebut baru akan muncul setelah adanya

penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Dalam hal penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial belum ditetapkan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No.

13 Tahun 2003, para pihak tetap melaksanakan segala kewajibannya, termasuk

kewajiban pengusaha untuk membayar upah kepada pekerja/buruh. Namun dengan

adanya penafsiran Mahkamah Konstitusi RI melalui Putusan MK No. 37 Tahun 2011,

43 Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara

Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 39, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor

4279, Pasal 150. 44 Ibid. 45 Subekti dan R. Tjitrisudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. 29, (Jakarta:

Pradnya Paramita, 1999). 46 Pasal 1365 KUHPerdata mengatur bahwa “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa

kerugian kepada seorang lain,mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut.” 47 Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara

Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 39, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor

4279, Pasal 156 ayat (1).

Page 17: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

874 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

maka frasa ‘belum ditetapkan’ pada ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun

2003 harus dimaknai sebagai putusan yang ‘belum berkekuatan hukum tetap’ (inkracht

van gewijsde).

Meskipun Putusan MK No. 37 Tahun 2011 merupakan putusan dari Mahkamah

Konstitusi RI yang berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir,

namun pada praktiknya, implementasi terhadap pengaturan upah proses ini masih

terdapat berbagai permasalahan. Hal tersebut memang tidak dapat dihindarkan,

mengingat penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi RI masih bersifat

abstrak, karena Mahkamah Konstitusi RI hanya berwenang untuk mempersoalkan

dasar-dasar teoritis dan mengikat secara umum (erga omnes) 48 terhadap suatu

ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga, masih

diperlukan adanya ketentuan normatif sebagai pelaksana dari ketentuan upah proses

yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Namun demikian, Negara/Pemerintah melalui PP No. 78 Tahun 2015 justru

tidak memberikan pengaturan rigid terhadap mekanisme pemberian upah proses

tersebut. Sehingga Mahkamah Agung RI melalui SEMA No. 3 Tahun 2015

memberikan pedoman bagi hakim untuk membatasi kewajiban pembayaran upah

proses tersebut dengan “Menghukum Pengusaha membayar upah proses selama 6

bulan. Kelebihan waktu dalam proses PHI sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

bukan lagi menjadi tanggung jawab para pihak”. Rupanya Mahkamah Agung RI

memberikan pedoman kepada hakim dengan berkiblat pada ketentuan upah proses

yang telah diatur sebelumnya pada Permenaker No. 03 Tahun 1996, Kepmenaker No.

150 Tahun 2000, dan Kepmenaker No. 78 Tahun 2001.

Dengan adanya Putusan MK No. 37 Tahun 2011 dan SEMA No. 3 Tahun 2015

tersebut, maka timbul suatu pertanyaan, yakni apakah kewajiban pembayaran upah

proses tersebut akan menyimpangi penerapan asas no work no pay yang selama ini

menjadi prinsip fundamental di bidang hukum ketenagakerjaan?

Pada mulanya, dalam perkara antara Miles dan Wakefield Metropolitan District

Council pada tahun 1989,49 House of Lords menetapkan bahwa prinsip no work no pay

memberikan hak kepada pengusaha untuk tidak membayar upah pekerja/buruh apabila

pekerja/buruh menolak untuk melakukan pekerjaannya berdasarkan perjanjian kerja.

House of Lords juga menyarankan bahwa jika pekerja/buruh tersebut melakukan

pekerjaan namun pengusaha tidak memperoleh manfaat apapun dari pelaksanaan

pekerjaan tersebut, maka pengusaha tidak perlu membayar upah kepada pekerja/buruh

tersebut. Sehingga asas no work no pay ini menjadi senjata hukum bagi pengusaha

untuk tidak melakukan pembayaran upah kepada pekerja/buruh karena tidak

dilaksanakannya pekerjaan berdasarkan perjanjian kerja.

Namun, perlu diperhatikan bahwa asas no work no pay ini baru berlaku apabila

pekerja/buruh tersebut tidak melakukan pekerjaannya karena keinginannya sendiri

atau pekerja/buruh lalai dalam melakukan pekerjaannya. Sehingga pekerja/buruh yang

tidak melaksanakan pekerjaan bukan disebabkan kesalahannya, pekerja/buruh tersebut

tetap berhak atas pengupahan.

Apabila kita melihat kembali ketentuan yang diatur pada UU No. 13 Tahun

2003, maka terdapat 2 (dua) keadaan yang mungkin terjadi selama belum adanya

penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yakni i)

48 I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State, Kumpulan

Pemikiran I Dewa Gede Palguna, Cet. 1, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi, 2008), hal. 57. 49 H. McLean, Contract of Employment. Negative Covenants and No Work, No Pay, “The

Cambridge Law Journal”, Vol. 49, 1990, 28-31. hal. 29.

Page 18: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 875

pekerja/buruh tetap melaksanakan pekerjaan dan menerima upah dari pengusaha; atau

ii) pekerja/buruh tidak melaksanakan pekerjaan sebagai akibat tindakan skorsing dari

pengusaha, namun mereka tetap berhak untuk mendapatkan upah beserta hak-hak

lainnya yang biasa mereka terima.

Pada keadaan pertama, pekerja/buruh tetap diwajibkan melaksanakan

pekerjaannya sesuai yang telah disepakati dalam perjanjian kerja. Atas hal tersebut

maka pengusaha wajib pula memberikan upah kepada pekerja/buruh sebagai bentuk

imbalan atas dilaksanakannya pekerjaan tersebut. Sehingga keadaan ini tidak

bertentangan dengan asas no work no pay.

Namun pada keadaan kedua, pengusaha yang melakukan tindakan skorsing

kepada pekerja/buruh tetap diwajibkan memberikan upah beserta hak-hak lainnya

yang biasa diterima pekerja/buruh selama 6 (enam) bulan (sesuai dengan SEMA No. 3

Tahun 2015). Hal ini menjadi unik ketika undang-undang memerintahkan pengusaha

yang melakukan skorsing tetap diwajibkan untuk membayar upah beserta hak-hak

lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh. Meskipun pekerja/buruh tersebut tidak

melaksanakan pekerjaan, namun keadaan ini tidak bertentangan dengan asas no work

no pay. Hal ini dikarenakan penerapan asas no work no way ditujukan dalam kondisi

pekerja/buruh tidak melaksanakan pekerjaannya karena kemauannya sendiri.

Sedangkan pekerja/buruh yang berada dalam masa skorsing, tidak dapat melaksanakan

pekerjaan karena dihalangi oleh pengusaha.

Dalam proses pemutusan hubungan kerja, pengusaha telah diberikan hak oleh

UU No. 13 Tahun 2003 untuk melakukan penyimpangan berupa tindakan skorsing

kepada pekerja/buruh dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya

selama belum ditetapkannya putusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial. Dalam hal ini, menurut Umar Kasim, S.H., M.H., 50 tindakan skorsing

tersebut pada dasarnya dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dalam proses

pemutusan hubungan kerja, karena apabila pekerja/buruh tetap dipekerjakan, maka

dikhawatirkan akan mengganggu proses produksi, seperti pekerja/buruh tersebut

mempengaruhi pekerja/buruh yang lainnya, merusak alat-alat produksi, atau

menghilangkan barang bukti atas kesalahan berat yang telah dilakukan.

Tindakan skorsing oleh pengusaha secara sepihak tersebut tentunya dapat

dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, karena pengusaha telah

menghalangi pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan. Sehingga apabila

pekerja/buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan dan menerima upah, tentunya hal

tersebut akan merugikan hak pekerja/buruh karena pekerjaan tidak dapat dilaksanakan

sebagai akibat tindakan pengusaha. Oleh karena itu, demi menjaga asas hukum

pengupahan yang berkeadilan, 51 maka Negara/Pemerintah harus melindungi upah

pekerja/buruh untuk menghindari perbuatan semena-mena dari pengusaha yang

memiliki posisi ekonomi yang lebih kuat daripada pekerja/buruh.

Untuk tujuan tersebut, Negara/Pemerintah telah memberikan pengaturan bahwa

tindakan skorsing dapat dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dalam proses

pemutusan hubungan kerja, dengan syarat bahwa pengusaha tetap membayar upah

beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh sebagai bentuk kompensasi

atau ganti rugi atas tindakan skorsing tersebut. 52 Hal ini juga dipertegas dalam

50 Umar Kasim, Upah Selama Masa Skorsing, <https://www.hukumonline.com/klinik/detail/

ulasan/lt4d56a0a460363/upah-selama-masa-skorsing-/>, diakses tanggal 14 September 2019. 51 Yetniwati, Pengaturan Upah Berdasarkan atas Prinsip Berkeadilan, “Mimbar Hukum”, Vol.

29, No. 1, 2017, 82-95, hal. 88. 52 Pasal 93 ayat (2) huruf f UU No. 13 Tahun 2003 mengatur bahwa “ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh

bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik

karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha”.

Page 19: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

876 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

ketentuan Pasal 93 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, bahwa asas no work no pay tidak

berlaku apabila pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan

tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya. Sehingga terhadap usaha pengusaha yang

tidak mempekerjakan pekerja/buruh melalui tindakan skorsing tersebut, tidak dapat

diberlakukan asas no work no pay. Sehingga pengusaha yang melakukan skorsing

namun tidak membayar upah proses kepada pekerja/buruh yang bersangkutan, dapat

dianggap sebagai tindakan pidana pelanggaran, yang diancam dengan sanksi pidana

penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda

paling sedikit Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp400.000.000,- (empat ratus juta rupiah)53.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sudah terang bahwa kewajiban pengusaha

untuk membayar upah proses dalam skorsing tidak bertentangan dengan penerapan

asas no work no pay di hukum ketenagakerjaan Indonesia. Namun, yang menjadi

pertanyaan menarik selanjutnya adalah sampai kapankah pengusaha diwajibkan untuk

memberikan upah proses kepada pekerja/buruh yang diskorsing?

Secara normatif, maka sesuai dengan pedoman yang diberikan oleh Mahkamah

Agung RI kepada para hakim melalui SEMA No. 3 Tahun 2015, ditentukan bahwa

kewajiban atas pemberian upah proses tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan saja.

Namun perlu dikritisi bahwa apakah dengan adanya kewajiban pembayaran upah

proses cukup 6 (enam) bulan pada SEMA No. 3 Tahun 2015 tersebut, juga

berimplikasi pada pembatasan masa skorsing yang dilakukan pengusaha menjadi 6

(enam) bulan juga?

Perlu diketahui bahwa UU No. 13 Tahun 2003 belum mengatur pembatasan

masa skorsing yang diperbolehkan bagi pengusaha kepada pekerja/buruh. Apabila

skorsing tersebut pada nyatanya berlangsung untuk waktu yang lebih dari 6 (enam)

bulan, tentunya ketentuan SEMA No. 3 Tahun 2015 akan merugikan pekerja/buruh.

Hal ini dikarenakan terdapat kemungkinan bahwa pekerja/buruh tersebut diskorsing

untuk jangka waktu lebih dari 6 (enam) bulan, namun dengan adanya SEMA No. 3

Tahun 2015 tersebut, maka pekerja/buruh hanya mendapatkan upah proses selama 6

(enam) bulan saja.

Selain itu, sebagaimana yang telah kita ketahui juga bahwa pengusaha yang

tidak membayarkan upah proses kepada pekerja/buruh selama masa skorsing, dapat

diancam dengan sanksi pidana. Tentunya hal tersebut menunjukkan adanya

ketidaksesuaian antara pedoman yang ditetapkan dalam SEMA No. 3 Tahun 2015

dengan ketentuan yang telah diatur pada UU No. 13 Tahun 2003. Hal ini juga akan

menyebabkan kebingungan bagi pengusaha yang hendak melakukan skorsing, apakah

sebaiknya mengikuti pedoman SEMA No. 3 Tahun 2015 dengan hanya memberikan

upah proses selama 6 (enam) bulan saja, atau sebaiknya tetap mengikuti ketentuan UU

No. 13 Tahun 2003 yang mewajibkan pemberian upah selama masa skorsing, guna

menghindari adanya ancaman pidana bagi pengusaha tersebut.

III. KESIMPULAN

Bahwa pasca dijatuhkannya Putusan MK No. 37 Tahun 2011, kewajiban

pembayaran upah proses sebagaimana yang diatur dalam Pasal 155 ayat (2) dan (3)

UU No. 13 Tahun 2003, harus ditafsirkan berlaku hingga adanya penetapan dari

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap

53 Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara

Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 39, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor

4279, Pasal 186 juncto Pasal 93 ayat (2).

Page 20: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 877

(inkracht van gewijsde). Namun sejak adanya SEMA No. 3 Tahun 2015, kewajiban

atas pemberian upah proses tersebut hanya berlaku untuk 6 (enam) bulan saja.

Padahal, UU No. 13 Tahun 2003 belum memberikan pengaturan mengenai

pembatasan masa skorsing yang dapat dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh

dalam proses pemutusan hubungan kerja. Sehingga apabila masa skorsing diberikan

oleh pengusaha untuk lebih dari 6 (enam) bulan, maka ketentuan SEMA No. 3 Tahun

2015 akan bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 2003 dan dapat merugikan para

pihak, dimana i) pekerja/buruh hanya mendapatkan upah proses selama 6 (enam)

bulan saja, sehingga untuk sisa masa skorsing selebihnya, mereka tidak akan

mendapatkan upah; dan ii) pihak pengusaha dapat dikategorikan telah melakukan

tindakan pidana pelanggaran karena tidak memberikan upah kepada pekerja/buruh

yang masih berada dalam masa skorsing lebih dari 6 (enam) bulan.

Berdasarkan hal tersebut, maka Negara/Pemerintah perlu membentuk regulasi

yang bersifat normatif dalam bentuk peraturan perundang-undangan, untuk

memberikan kepastian hukum mengenai pelaksanaan pemberian upah proses dan

pembatasan masa skorsing yang dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh

selama proses pemutusan hubungan kerja, guna menciptakan hubungan industrial yang

harmonis.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Soetiksno. Hukum Perburuhan. Jakarta: 1979.

Subekti, R, dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk

Wetboek]. Cet. 34. Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.

Palguna, I Dewa Gede. Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State,

Kumpulan Pemikiran I Dewa Gede Palguna. Cet. 1. Jakarta: Sekretariat Jenderal

dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.

Uwiyono, Aloysius, et. al. Asas-Asas Hukum Perburuhan. Ed. 2, Cet. 3. Depok: PT

RajaGrafindo Persada, 2018.

Artikel

Kasim, Umar. “Upah Selama Masa Skorsing”.

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4d56a0a460363/upah-

selama-masa-skorsing-/>. Diakses tanggal 14 September 2019.

McLean, H. Contract of Employment. Negative Covenants and No Work, No Pay.

“The Cambridge Law Journal”. Vol. 49. 1990. 28-31: 29.

Yetniwati. Pengaturan Upah Berdasarkan atas Prinsip Berkeadilan. Mimbar Hukum.

Vol. 29, No. 1. 2017, 82-95: 88.

Peraturan

Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Indonesia, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan

Kerja di Perusahaan Swasta, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI)

Tahun 1964 Nomor 93, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 2686.

Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 39, dan

Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4279.

Page 21: UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …

878 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004

Nomor 6, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4356.

Pemerintah RI, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan,

Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2015 Nomor 237, dan

Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 5747.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Keputusan Menteri Nomor Kep-

150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan

Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di

Perusahaan.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Keputusan Menteri Nomor Kep-

78/Men/2001 tentang Perubahan atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri Tenaga

Kerja RI Nomor Kep-150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan

Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti

Kerugian di Perusahaan.

Mahkamah Konstitusi RI, Putusan Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September

2011.

Mahkamah Agung RI, Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan

Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai

Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan pada tanggal 29 Desember 2015.