50
LAPORAN TUTORIAL BLOCK VIII SKENARIO C Group B11 Tutor : dr. Ella Mutia Muliawati 4101401041 Ryan Aquario 4101401042 Rhapsody Karnovinanda 4101401084 Ernes Putra Gunawan 4101401085 M. Izwan Iqbal T. 4101401086 Siti Nabila Maharani 4101401087 Flavia Angelina Satopoh 4101401088 Ade Kurnia Oprisca 4101401119 Agrifina Helga 4101401120 Venny Soentanto 4101401121 Krypton Rakehalu K. 4101401122 Vita Seprianty 4101401123 1

Tutorial III Blok 7

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ttb

Citation preview

LAPORAN TUTORIALBLOCK VIIISKENARIO C

Group B11Tutor : dr. EllaMutia Muliawati 4101401041Ryan Aquario 4101401042Rhapsody Karnovinanda4101401084Ernes Putra Gunawan 4101401085M. Izwan Iqbal T.4101401086 Siti Nabila Maharani 4101401087Flavia Angelina Satopoh4101401088Ade Kurnia Oprisca4101401119Agrifina Helga4101401120Venny Soentanto4101401121Krypton Rakehalu K. 4101401122Vita Seprianty 4101401123

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SRIWIJAYA2011KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan tutorial skenario c blok 7 sebagai tugas kompetensi kelompok. Shalawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.Penulis menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa mendatang. Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :1. Allah SWT.2. Kedua orang tua yang memberi dukungan materil maupun spiritual.3. dr. Maznah Hamzah, M.Kes, SpPark selaku tutor.4. Teman-teman sejawat dan seperjuangan.5. Semua pihak yang membantu penulis.Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan kepada semua orang yang telah mendukung penulis dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat tidak hanya untuk penulis tetapi juga untuk orang lain dalam perkembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.

Palembang, Juni 2011

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................1

Daftar Isi.....................................................................................................2

BAB I Pendahuluan1.1 Latar Belakang..........................................................................1.2 Maksud dan Tujuan...................................................................

33

BAB II Pembahasan 2.1 Data Praktikum........................................................................ 2.2 Skenario................................................................................... 2.3 Paparan I. Klarifikasi Istilah................................................................ II. Identifikasi Masalah........................................................... III. Analisis Masalah................................................................ IV. Jawaban Analisis Masalah................................................. V. Hipotesis.............................................................................. VI. Kerangka Konsep............................................................... VII. Keterbatasan Pengetahuan dan Learning Issues...............

44

5566121314

BAB III Sintesis 3.1 Streptococcus A...................................................................... 3.2 Demam rematik...................................................................... 3.3 Pemeriksaan laboratorium..................................................... 3.4 Sistem imunitas dalam melawan infeksi.............................. Kesimpulan..................................................................................................15222729

31

Daftar Pustaka.............................................................................................32

BAB IPENDAHULUAN

1. 1 Latar BelakangBlok infeksi dan imunitas adalah blok 7 pada semester 2 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Penulis memaparkan kasus yang diberikan mengenai Ani yang pernah mengalami infeksi oleh Streptococcus A beberapa minggu kemudian mengalami pembengkakan sendi, nyeri lutut, ruam, dan juga terdapat nodul di subkutan.1.2 Maksud dan TujuanAdapun maksud dan tujuan dari tutorial ini, yaitu :1 Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.2 Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis dan pembelajaran diskusi kelompok.3 Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep dari skenario ini.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Data PraktikumTutorial 3Tutor: dr. Maznah HamzahModerator: Randy Rakhmat S.Notulis: Sonia LoviarnySekretaris: Inda SumerahWaktu: Senin, 13 Juni 2011Rabu, 15 Juni 2011Peraturan tutorial: 1. Alat komunikasi dinonaktifkan.2. Semua anggota tutorial harus mengeluarkan pendapat dengan cara mengacungkan tangan terlebih dahulu dan apabila telah dipersilahkan oleh moderator.3. Tidak diperkenankan meninggalkan ruangan selama proses tutorial berlangsung.4. Tidak diperbolehkan makan dan minum.

2.2 Skenario

Ani, 9 tahun, dibawa ibunya ke Poliklinik dengan keluhan bengkak sendi siku disertai nyeri lutut sejak 5 hari yang lalu. Menurut ibunya lebih kurang 4 minggu yang lalu anak sakit menelan dan demam. Pada pemeriksaan fisik pada lutut tampak ruam dan ada nodul subcutan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Streptococcus A (+)

2.3 PaparanI. Klarifikasi Istilah

1) Bengkak sendi: Pembesaran pada sendi siku untuk sementara waktu secara abnormal siku yang tidak disebabkan oleh proliferasi sel.2) Nyeri lutut: Rasa nyeri, menderita, atau agoni, disebabkan oleh rangsangan pada ujung-ujung saraf khusus, yang terjadi di lutut. 3) Sakit menelan: Nyeri dibagian belakang mulut biasanya diakibatkan infeksi bakteri ataupun virus, bisa pada tonsil atau faring.4) Demam: Peningkatan temperatur tubuh diatas normal (98,6F atau 37,5C)5) Ruam : Erupsi sementara pada kulit ditandai dengan adanya kemerahan ataupun bintik-bintik merah sebagai akibat dari tonjolan atau nodus kecil yang padat dan dikenali melalui sentuhan dibawah kulit.6) Nodul subcutan: Tonjolan nodus kecil yang padat yang dikenali melalui sentuhan yang berada dibagian bawah kulit.7) Streptococcus A: Streptococcus yang digolongkan pada bidang imunologi dalam grup yang paling patogen pada manusia (A-G)

II. Identifikasi Masalah

1. Ani, 9 tahun, dibawa ibunya ke Poliklinik dengan keluhan bengkak sendiri siku disertai nyeri lutut sejak 5 hari yang lalu.2. Menurut ibunya, Ani sakit menelan dan demam lebih kurang dari 4 minggu yang lalu.3. Pada pemeriksaan fisik pada lutut tampak ruam dan ada nodul subcutan, dan pada pemeriksaan labor didapatkan Streptococcus A (+).

III. Analisis Masalah

a. Apakah etiologi bengkak sendi siku?b. Apakah ada interaksi antara bengkak sendi siku dan nyeri lutut yang dialami Ani? c. Bagaimana patofisiologi bengkak sendi siku?d. Bagaimana patofisiologi nyeri lutut? e. Bagaimana sistem imunitas pada anak usia 9 tahun? f. Apa saja kemungkinan penyakit yang diderita Ani?

a. Bagaimana patofisiologi sakit menelan? b. Bagaimana patofisiologi demam?

a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium? b. Bagaimana patofisiologi dari ruam? c. Bagaimana patofisiologi dari adanya nodul subcutan? d. Bagaimana gambaran umum dari Streptococcus A? e. Bagaimana transmisi Streptococcus ke tubuh manusia? f. Bakteri apa saja yang termasuk golongan Streptococcus A? g. Apa pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjukkan hasil Streptococcus A? h. Bagaimana mekanisme imun seseorang anak 9 tahun melawan infeksi Streptococcus? i. Bagaimana patogenesis pada penyakit yang diderita Ani? j. Apa penyakit yang diderita Ani? k. Bagaimana cara pengobatan penyakit yang diderita Ani?

IV. Jawaban Analisis Masalah

1. a. Apakah etiologi bengkak sendi siku?Pembengkakan sendi terjadi apabila terdapat penambahan cairan didalam jaringan yang mengelilingi sendi tersebut. Pembengkakan sendi umum terjadi disertai tipe-tipe arthritis yang berbeda, infeksi, dan luka. Pembengkakan sendi merupakan salah satu simptom dari beberapa kondisi dibawah ini:- Osteoartritis- Gout (Pirai)- Rematoid arthritis- Spondilitis ankilosis- Psoriatis arthritis- Infeksi arthritis- Persendian yang luka

b. Apakah ada interaksi antara bengkak sendi siku dan nyeri lutut yang dialami Ani? Secara langsung, tidak terdapat interaksi antara bengkak sendi siku dan nyeri lutut yang dialami Ani. Tidak terdapat interaksi maksudnya baik keduanya tidak menyebabkan satu sama lain (bengkak sendi siku tidak menyebabkan nyeri lutut atau sebaliknya). Akan tetapi, kedua hal ini disebabkan oleh sistem imunitas yang menyerang diri sendiri (autoimun) pasca terjadinya infeksi yang dialami Ani. Baik bagian lutut atau siku (terutama sendi) memiliki komponen yang mirip dengan antigen bakteri sehingga sistem imun salah mengenali sendi tersebut dan kemudian menyerangnya. Mekanisme secara lengkap akan di jelaskan pada pertanyaan berikutnya.

c. Bagaimana patofisiologi bengkak sendi siku?Bakteri Streptococcus A yang berada di faring pada akhirnya akan mengaktifkan jalur imunitas spesifik diperantai oleh Th 2 yang akhirnya memproduksi sitokin yang merangsang respons sel B, aktivasi makrofag, dan inflamasi. Kemudian diproduksi antibodi terutama terhadap dinding sel bakteri (M-protein). Antigen atau protein M bakteri ini memiliki struktur atau epitop yang mirip dengan vimentin di sinovial (sendi). Hal ini menyebabkan antibodi tubuh tersebut salah mengenali (terjadi reaksi reaktif) dan sel T juga ikut berperan. Keduanya mengakibatkan terpicunya respon inflamasi di sendi tersebut akibat adanya antibodi yang salah mengenali. Respon inflamasi ini, salah satunya yakni peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler. Permeabilitas meningkat menyebabkan eksudat masuk ke jaringan sendi dan akhirnya menyebabkan bengkak pada sendi tersebut.

d. Bagaimana patofisiologi nyeri lutut? Bakteri Streptococcus A yang berada di faring pada akhirnya akan mengaktifkan jalur imunitas spesifik diperantai oleh Th 2 yang akhirnya memproduksi sitokin yang merangsang respons sel B, aktivasi makrofag, dan inflamasi. Kemudian diproduksi antibodi terutama terhadap dinding sel bakteri (M-protein). Antigen atau protein M bakteri ini memiliki struktur atau epitop yang mirip dengan vimentin di sinovial (sendi).Hal ini menyebabkan antibodi tubuh tersebut salah mengenali (terjadi reaksi reaktif) dan sel T juga ikut berperan. Keduanya mengakibatkan terpicunya respon inflamasi di sendi tersebut akibat adanya antibodi yang salah mengenali. Pada respon inflamasi dikeluarkan juga sitokin atau mediator lain yang berperan dalam nekrosis jaringan. Pada bagian lutut, terdapat banyak ujung-ujung saraf yang apabila terjadi nekrosis jaringan disekitarnya akan menyebabkan rasa nyeri yang dialami oleh Ani.

e. Bagaimana sistem imunitas pada anak usia 9 tahun? Sistem imunitas pada anak usia 9 tahun tidak berbeda jauh dengan orang dewasa. Akan tetapi, perlu diingat bahwa pada anak-anak sistem imunitas, terutama imunitas yang spesifik, masih belum sempurna. Saat seorang anak terpapar antigen yang baru, tubuh anak tersebut barulah membuat antibodi. Sehingga kemungkinan antibodi yang dibuat tubuh anak masih belum sebanyak antibodi yang dibuat tubuh orang dewasa (jenisnya). Sistem imunitas pada anak tidak akan berkembang penuh sampai mencapai usia 14 tahun.

f. Apa saja kemungkinan penyakit yang diderita Ani?Kemungkinan penyakit yang diderita Ani jika hanya dilihat dari infeksi Streptococcus A saja adalah strep throat demam skarlet faringitis streptokokal demam rematik akut pneumonia impetigo glomerulonefritis akut erisipelas necrotizing fasciitis demam nifas severe septic illness toxic strep syndromeJika dilihat juga dari gejala, kemungkinan penyakit adalah demam rematik dan deman scarlet. Tapi ruam pada demam scarlet tidak pada muka, namun pipi terlihat merah dan disekitar mulut terlihat pucat.

2. a. Bagaimana patofisiologi sakit menelan? Bakteri Streptococcus pyogenes yang ditularkan melalui lendir dari orang yang terinfeksi masuk ke saluran pernafasan dan kemudian berada disana. Bakteri ini tidak dapat menempel pada epitel saluran pernafasan apabila terdapat antibodi. Ketika kekebalan tubuh Ani menurun bakteri Streptococcus A ini dapat menempel pada epitel mukosa faring yang tidak terlindungi oleh antibodi (Ig A). Protein M, asam lipoteikoik, dan protein F pada bakteri berperan dalam penempelan ini. Komponen sistem imun, seperti fagosit dan netrofil sebagai garis pertahanan kedua, melawan bakteri tersebut dengan memfagositosisnya.Fagosit yang teraktivasi dan juga jalur komplemen akan mengeluarkan mediator yang akhirnya akan memicu respon inflamasi untuk menghancurkan bakteri dan juga memperbaiki jaringan yang rusak. Respon inflamasi inilah yang menyebabkan sakit menelan pada bagian tenggorokan.

b. Bagaimana patofisiologi demam?Demam merupakan respon tubuh apabila terdapat infeksi agar infeksi tersebut dapat segera di musnahkan dari tubuh. Demam terjadi karena beberapa zat kimia baik dari bakteri itu sendiri maupun dari mekanisme respon imunitas tubuh. Zat-zat seperti ini disebut sebagai zat pirogen. Ketika Ani terinfeksi oleh bakteri dan bakteri tersebut berada didalam jaringan atau dalam darah, maka pertahanan non spesifik seperti makrofag dan neutrofil akan memfagositosis bakteri tersebut. Zat interleukin-1 dikeluarkan oleh makrofag, leukosit darah, dan limfosit pembunuh bergranula besar sebagai hasil dari pencernaan bakteri . Toksik dari parasit tersebut ataupun hasil pemecahan parasit oleh makrofag didalam jaringan (IL-1 dan zat pirogen lainnya) ini saat mencapai hipotalamus segera mengaktifkan proses yang menimbulkan demam dengan memicu pembentukan prostaglandin E2 (PGE2) terlebih dahulu dari asam arakidonat. Prostaglandin tersebut akan bekerja dihipotalamus sehingga membangkitkan reaksi demam. Terkadang suhu tubuh dalam jumlah yang jelas terlihat meningkat dalam waktu 8-10 menit.

3. a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium?Interpretasi hasil pemeriksaan fisik:- Terdapat ruam, yakni kemerahan ataupun bintik-bintik merah sebagai akibat dari tonjolan atau nodus kecil yang padat dan dikenali melalui sentuhan dibawah kulit.- Terdapat nodul subkutan, yang besarnya kira-kira 0,5-2cm, bundar, terbatas, dan tidak nyeri tekan.Baik keduanya merupakan manifestasi klinis dari demam rematik.

Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium:Terdapat koloni Streptococcus A atau Streptococcus pyogenes setelah diambil kultur dari hapusan tenggorok. Hal ini berarti terdapat bakteri tersebut ditenggorok Ani dan kemungkinan terjadi infeksi apabila dilihat dari gejala lainnya, yakni demam dan sakit menelan.

b. Bagaimana patofisiologi dari ruam? Bakteri Streptococcus A yang berada di faring pada akhirnya akan mengaktifkan jalur imunitas spesifik diperantai oleh Th 2 yang akhirnya memproduksi sitokin yang merangsang respons sel B, aktivasi makrofag, dan inflamasi. Kemudian diproduksi antibodi terutama terhadap dinding sel bakteri (M-protein). Antigen atau protein M bakteri ini memiliki struktur atau epitop yang mirip dengan keratin yang berada di kulit subkutan (mimikri). Hal ini menyebabkan antibodi tubuh tersebut salah mengenali (terjadi reaksi reaktif) dan sel T juga ikut berperan. Keduanya mengakibatkan terpicunya respon inflamasi. Respon inflamasi ini akan meningkatkan aktivitas makrofag dan juga PMN yang akhirnya akan menghancurkan jaringan subkutan tersebut. Nekrosis pada jaringan ini bermanifestasi menjadi bintik-bintik merah yang dikenal sebagai ruam yang unik pada penderita demam rematik.

c. Bagaimana patofisiologi dari adanya nodul subcutan?Bakteri Streptococcus A yang berada di faring pada akhirnya akan mengaktifkan jalur imunitas spesifik diperantai oleh Th 2 yang akhirnya memproduksi sitokin yang merangsang respons sel B, aktivasi makrofag, dan inflamasi. Kemudian diproduksi antibodi terutama terhadap dinding sel bakteri (M-protein). Antigen atau protein M bakteri ini memiliki struktur atau epitop yang mirip dengan keratin yang berada di kulit subkutan (mimikri). Hal ini menyebabkan antibodi tubuh tersebut salah mengenali (terjadi reaksi reaktif) dan sel T juga ikut berperan. Keduanya mengakibatkan terpicunya respon inflamasi. Reaksi inflamasi ini akan merusak jaringan yang dianggap terdapat bakteri dan juga memperbaikinya. Saat diperbaiki, sel-sel akan membelah untuk menggantikan jaringan yang telah rusak tersebut. Apabila proliferasi sel berlebihan akan mengakibatkan timbulnya nodul yang berada di jaringan subkutan.

d. Bagaimana gambaran umum dari Streptococcus A?Streptococcus grup A adalah bakteri yang sering ditemukan di tenggorokan dan kulit. Seseorang dapat membawa streptokokus grup A di tenggorokan atau di kulit dan tidak memiliki gejala penyakit. Infeksi karena Streptococcus A kebanyakan adalah penyakit relatif ringan seperti radang tenggorokan atau impetigo. Kadang-kadang bakteri ini dapat menyebabkan parah dan bahkan penyakit yang mengancam kehidupan. Digolongkan sebagai grup A karenapolisakarida bakteriadalahpolimerN-asetilglukosamin danrhamnose.Beberapa antigenkelompokdibagi oleh lebihdari satuspesies.Polisakaridaini juga disebutzat antigenC ataukelompokkarbohidrat. e. Bagaimana transmisi Streptococcus ke tubuh manusia?Bakteri ini menyebar melalui kontak langsung dengan lendir dari hidung atau tenggorokan orang yang terinfeksi atau melalui kontak dengan luka yang terinfeksi atau luka pada kulit. Orang yang sakit, seperti mereka yang memiliki radang tenggorokan atau infeksi kulit, yang paling mungkin untuk menyebarkan infeksi. Orang yang membawa bakteri tetapi tidak memiliki gejala yang jauh lebih sedikit menular.

f. Bakteri apa saja yang termasuk golongan Streptococcus A?Menurut sumber yang didapatkan, salah satu bakteri yang termasuk golongan streptococcus A adalah Streptococcus pyogenes.

g. Apa pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjukkan hasil Streptococcus A? Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjukkan hasil Streptococcus A diantaranya:- Dengan hapusan tenggorok pada saat terjadi infeksi. Kultur menunjukkan terdapat Streptococcus A tetapi biasanya hasil negatif pada fase akut.- Adanya kenaikan titer ASTO dan anti DNA-se (biasanya terdeteksi pada minggu keempat sampai minggu kelima setelah infeksi kuman Streptococcus golongan A ditenggorokan).

h. Bagaimana mekanisme imun seseorang anak 9 tahun melawan infeksi Streptococcus? Bakteri dari luar yang masuk tubuh ( jalur eksogen) akan segera diserang sistem imun nonspesifik berupa fagosit, komplemen, APP atau dinetralkan antibodi spesifik yang sudah ada di dalam darah. Antibodi dan komplemen dapat juga berperan sebagai opsonin karena fagosit memiliki Fc-R untuk IgA. Sitokin inflamasi seperti IFN- dapat meningkatkan ekpresi reseptor tersebut dengan cepat. Pertahanan penjamu terdiri atas sarana-sarana untuk memerangi pathogen lokal. Apabila bakteri dapat menghindari pengawasan sistem imun seperti antibodi, tubuh akan mengaktifkan sistem imun selular seperti respon CMI (CD4+, CD8+ dan sel NK). Bakteri yang dapat menembus pertahanan tubuh akan dihadapkan dengan berbagai komponen sistem imun.

1. Imunitas nonspesifikKomponen imunitas nonspesifik utama terhadap bakteri ekstraselular adalah komplemen, fagositosis dan respon inflamasi. Bakteri yang mengekpresikan manosa pada permukaannya, dapat diikat lektin yang homolog dengan C1q, sehingga akan mengaktifkan komplemen melalui jalur lektin, meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Di samping itu MAC dapat menghancurkan membrane bakteri. Produk sampingan aktivasi komplemen berperan dalam mengerahkan dan mengaktifkan leukosit. Fagosit juga mengikat bakteri melalui berbagai reseptor permukaan lain seperti toll-like reseptor yang semuanya meningkatkan aktivasi leukosit dan fagositosis. Fagosit yang diaktifkan juga melepas sitokin yang menginduksi infiltrasi leukosit ke tempat infeksi. Sitokin juga menginduksi panas dan sintesis APP.

2. Imunitas spesifika. HumoralAntibodi merupakan imun protektif utama terhadap bakteri ektraselular yang berfungsi untuk menyingkirkan mikroba dan menetralkan toksinnya melalui berbagai mekanisme. Th2 memproduksi sitokin yang merangsang respons sel B, aktivasi macrofag dan inflamasi.b. Sitokin Respons utama penjamu terhadap bakteri ektraselular adalah produksi sitokin oleh makrofag yang diaktifkan yang menimbulkan inflamasi dan syok septic. Toxin seperti superantigen mampu mengaktifkan banyak T sel sehingga menghasilkan produksi sitokin dalam jumlah besar dan kelainan klinikopatologi sperti apa yang terjadi pada syok septic.

i. Bagaimana patogenesis pada penyakit yang diderita Ani? Bakteri Streptococcus pyogenes yang ditularkan melalui lendir dari orang yang terinfeksi masuk ke saluran pernafasan dan kemudian berada disana. Bakteri ini tidak dapat menempel pada epitel saluran pernafasan apabila terdapat antibodi. Ketika kekebalan tubuh Ani menurun bakteri Streptococcus A ini dapat menempel pada epitel mukosa faring yang tidak terlindungi oleh antibodi (Ig A). Protein M, asam lipoteikoik, dan protein F pada bakteri berperan dalam penempelan ini. Komponen sistem imun, seperti fagosit dan netrofil sebagai garis pertahanan kedua, melawan bakteri tersebut dengan memfagositosisnya.Fagosit yang teraktivasi dan juga jalur komplemen akan mengeluarkan mediator yang akhirnya akan memicu respon inflamasi untuk menghancurkan bakteri dan juga memperbaiki jaringan yang rusak. Respon inflamasi inilah yang menyebabkan sakit menelan pada bagian tenggorokan. Selain itu juga mediator inflamasi di bagian faring, khususnya interleukin 1 berperan dalam mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin yang akhirnya akan memicu kenaikan thermostat tubuh dan terjadilah demam.Bakteri Streptococcus A yang berada di faring pada akhirnya akan mengaktifkan jalur imunitas spesifik diperantai oleh Th 2 yang akhirnya memproduksi sitokin yang merangsang respons sel B, aktivasi makrofag, dan inflamasi. Kemudian diproduksi antibodi terutama terhadap dinding sel bakteri (M-protein). Antigen atau protein M bakteri ini memiliki struktur atau epitop yang mirip dengan keratin yang berada di kulit subkutan dan juga vimentin yang berada pada sendi (mimikri). Hal ini menyebabkan antibodi tubuh tersebut salah mengenali (terjadi reaksi reaktif) dan sel T juga ikut berperan. Keduanya mengakibatkan terpicunya respon inflamasi. Reaksi inflamasi ini akan merusak jaringan yang dianggap terdapat bakteri dan juga memperbaikinya. Pada sendi, respon inflamasi ini menyebabkan pembengkakan dan juga nyeri lutut (akibat nekrosis jaringan sekitar dilutut). Nekrosis sel juga terjadi dijaringan subkutan dan menyebabkan ruam. Sedangkan saat diperbaiki, sel-sel akan membelah untuk menggantikan jaringan yang telah rusak tersebut. Apabila proliferasi sel berlebihan akan mengakibatkan timbulnya nodul yang berada di jaringan subkutan.

j. Apa penyakit yang diderita Ani?Berdasarkan diagnosis kriteria Jones (revisi) untuk pedoman diagnosis demam reumatik*Manifestasi MayorManifestasi MinorDitambah

Karditis Poliartitis Korea Eritema Marginatum Nodulus SubkutanKlinik: Riwayat demam reumatik akut atau penyakit jantung reumatik Atralgia DemamLab: Laju Endap Darah (LED) meningkat Protein C Reaksi (CRP) meningkatEKG: Pemanjangan interval P-RBukti adanya infeksi Streptococcus: Kenaikan titer antibody antistreptococcus: ASTO/lainnya Biakan faring positive untuk Streptococcus grup A

Dari diagnosis menggunakan criteria Jones (adanya dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor) setelah mengetahui hasil laboratorium yang menunjukan adanya Streptococcus A, maka menunjukan kemungkinan besar Ani menderita demam reumatik.*direvisi pada tahun 1992

k. Bagaimana cara pengobatan penyakit yang diderita Ani? Pengobatan demam rematik akut dilakukan secara paliatif, yaitu:1. Antibiotik, seperti penisilin atau eritromisin, untuk membasmi organisme streptokokus yang tersisa.2. Antiradang, obat-obatan NSAIDs seperti aspirin, dan salisilat atau kortikosteroid.3. Analgesik, untuk indikasi nyeri arthritis.

V. Hipotesis

Ani, 9 tahun, menderita demam rematik akibat infeksi Streptococcus golongan A.

VI. Kerangka Konsep

Infeksi Streptococcus grup A

Protein M

Protein F

Invasi epitel faring

Asam lipotikoik

Nekrosis sel terinfeksiAPCFagositosis dan Pengenalan antigen

Aktivasi makrofag

Mimikri dengan vimentin di sinovial dan keratin di kulit

Mediator inflamasiInduksi T cell

Demam dan faringitis

Th 2Th 1

Tc CD 8 +

TNF dan IFN B cell

Antibodi (Imunoglobulin)

Komplek Imun

Subkutan

Aktivasi komplemen klasikProses penyembuhanNodul subkutan

Mediator inflamasi

RuamNyeri sendi dan bengkak

VII. Keterbatasan Pengetahuan dan Learning Issue1. Streptococcus A 2. Demam Rematik 3. Pemeriksaan Laboratorium 4. Sistem imun dan pertahanan infeksi.

Pokok bahasanWhat I know What I dont knowWhat I have to proveHow I will learn

1.Streptococcus A

2. Demam rematik

3. Pemeriksaan Laboratorium

4.Sistem imun dan pertahanan infeksi

Definisi

Etiologi

Definisi

DefinisiPenyakit yang ditimbulkan, transimisi, tempat infeksi

Komplikasi, diagnosis, treatment, patogenesis

Jenis pemeriksaan laboratorium yang sesuai dan prosedurnya.

Bagaimana kerja sistem imun dalam melawan infeksi, terutama bakteriGejala-gejala yang dialami oleh Ani berkaitan dengan penyakit yang ditimbulkan Streptococcus A.

Ani menderita demam rematik dan demam rematik tersebut bermanifest ke gejala-gejala yang dialaminya.

Hasil pemeriksaan laboratorium berkaitan erat dengan penyakit yang dialami Ani.

Kondisi yang dialami Ani juga berkaitan erat dengan sistem imunitasnya. Terjadi mekanisme autoimunTextbook, internet, and journals.

BAB IIISINTESIS

3.1 Streptococcus AStreptokokus Grup A dapat menyebabkan berbagai macam penyakit. Paling banyakdijumpai adalah radang tenggorokan karena Streptokokus dan infeksi kulitoleh Streptokokus (impego atau pioderma). Penyakit lainnya termasuk demam Scarlet, infeksi nifas, septikemia, erisipelas, selulitis, mastoiditis, otitis media, pneumonia, peritonsilitis, infeksi luka dan yang jarang terjadi yaitu necrotizing fasciitis, demam rematik dan toxic shock like syndrome. Penderita dengan radang tenggorokan yang disebabkan streptokokus ditandai dengan munculnya demam secara tiba-tiba, sakit pada tenggorokan, tonsillitis exudativa atau faringitis dan terjadi pembesaran kelenjar limfe leher bagian depan. Faring, kripte tonsil dan palatum molle berwarna merah dan bengkak, mungkin timbul petekie berlatar belakang warna kemerahan dan menyebar. Gejala klinis yang timbul dapat sedikit atau tidak ada sama sekali. Dapat terjadi otitis media atau abses peritonsiler, dan setelah 1 5 minggu kemudian dapat muncul glomerulonefiritis akut (rata-rata = 10 hari) atau demam rematik akut (rata-rata = 19 hari).Pada demam rematik dapat muncul Chorea Sydenham beberapa bulan setelah infeksi Streptokokus, penyakit jantung rematik terjadi beberapa hari atau minggu setelah infeks streptokokus akut. Infeksi kulit oleh Streptokokus (pioderma, impetigo) biasanya menyerang dibagian superficial kulit dan dapat berkembang menjadi bentuk vesikuler, pustuler dan berkrusta. Ruam Scarlatiniform jarang terjadi dan tidak mengakibatkan demam rematik, namun glomerulonefiritis dapat terjadi 3 minggu setelah infeksi kulit.Demam scarlet adalah salah satu bentuk dari infeksi Streptococcal dengan ciri ruam padakulit, ini terjadi apabila infeksi disebabkan oleh Streptokokus yang menghasilkan eksotoksin pirogenik (toksin eritrogenik) dan penderita disensitisasi namun tidak kebal terhadap toksin tersebut. Gejala klinis yang khas pada demam scarlet antara lain meliputi semua gejala yang ada pada radang tenggorokan yang disebabkan oleh Streptokokus (atau gejala infeksi pada luka, pada kulit atau pada infeksi nifas) enanthem, strawberry tongue dan exanthem. Ruam biasanya berupa eritema, punctata, memucat jika ditekan, sering teraba (seperti ampelas) dan muncul paling sering pada leher, dada, bahu, lipat ketiak, daerah inguinal, permukaan bagian dalam dari paha. Erisipelas adalah selulitis akut ditandai dengan demam, gejala umum, leukositosis dan lesi kulit berwarna merah, lunak, edematus, sering dengan peninggian kulit dengan batasjelas. Pada bagian tengah lesi cenderung lenyap pada saat bagian tepi meluas. Muka dankaki adalah bagian tubuh yang paling sering terkena. Penyakit ini sering kambuh kembalidan lebih banyak menyerang wanita dan gejala menjadi lebih berat jika disertai dengan bakteriemia, dan pada orang engan debilitas. Infeksi Streptokokus masa nifas/demam nifas adalah penyakit akut, biasanya muncul panas disertai dengan gejala lokal dan umum serta tanda-tanda invasi bakteri pada saluran genitalia dan kadang-kadang bakteri masuk dalam aliran darah pada penderita post partum atau post abortus. Case Fatality Rate (CFR) pada demam nifas ini bisa ditekan serendah mungkin bila mendapat pengobatan yang kuat. Infeksi streptokokus masa nifas mungkin disebabkan oleh organism selain streptokokus hemolitikus; gejala klinisnya akan Nampak sama, yang berbeda adalah pada sifat bakteriologis dan epidemiologinya (lihat penyakit Stafilokokus). Toxic Shock Syndrome (TSS) yang disebabkan oleh infeksi streptokokus grup A di AS meningkat sejak tahun 1987. Gejala klinis yang menonjol adalah hipotensi dan salah satu dari gejala berikut yaitu kerusakan ginjal; trombositopenia; Disseminated Intravascular Coagulation/DIC; peningkatan SGOT atau peningkatan kadar bilirubin; sindroma gagal pernafasan pada orang dewasa; ruam eritematus makuler menyebar atau nekrosis jaringan lunak (necrotizing fasciitis) oleh media dinamakan flesh-eating bacteria. TSS dapat muncul dalam bentuk sistemik ataupun lokal (tenggorokan, kulit, paru) Streptokokus grup lain dapat juga menyebabkan penyakit pada manusia. Streptokokus Beta-hemolitik grup B sering ditemukan pada vagina dan dapat menyebabkan sepsis neonatal dan meningitis supurativa pada neonatus (lihat tentang infeksi streptokokus grup B, pada neonatus dibawah) dan juga dapat menyebabkan infeksi pada saluran kencing, endometritis post partum dan penyakit sistemik lainnya pada orang dewasa, terutama pada penderita diabetes mellitus. Sedangkan organisme grup D (termasuk enterokokus), baik yang hemolitik maupun yang nonhemolitik, sebagai penyebab endokarditis bakteriil sub akut dan penyebab infeksi saluran kencing. Grup C dan G menyebabkan KLB tonsillitis biasanya ditularkan melalui makanan. Peran organisme ini terhadap timbulnya kasus sporadis belum diketahui dengan jelas. Glomerulonefritis muncul setelah infeksi grup C, namun sangat jarang terjadi pada infeksi grup G. Grup G dan Grup C tersebut sama-sama tidak menyebabkan demam rematik. Infeksi grup C dan G lebih sering terjadi pada remaja dan dewasa muda. Streptokokus Alfa-hemolitik juga sering dapat menyebabkan terjadinya endokarditis bakteriil sub akut.Penyebab penyakit Penyebab penyakit adalah Streptococcus pyogenes, streptokokus grup A secara serologis dibedakan menjadi sekitar 80 tipe, yang bervariasi menurut letak geografis dan waktu penyebaran. Streptokokus grup A yang menyebabkan infeksi kulit berbeda tipe serologisnya dengan penyebab infeksi tenggorokan. Pada demam scarlet, ditemukan tiga tipe imunologis berbeda dari erythrogenic toxin (pyrogenic exotoxins A, B, dan C). Sedangkan pada TSS 80% isolat menghasilkan pyrogenic exotoxin A. Sedangkan hemolisis adalah ciri khas dari streptokokus grup A, strain grup B, C dan strain grup G sering juga hemolitik . Strain mucoid tipe M menyebabkan KLB demam rematik dan nekrosis fasciitis.Distribusi penyakit Radang tenggorokan yang disebabkan oleh infeksi streptokokus dan demam scarlet paling sering terjadi di negara subtropis, maupun dinegara berikilim dingin dan jarang ditemukan di negara-negara beriklim tropis. Infeksi tanpa gejala lebih sering ditemukan di negara tropis dibandingkan dengan di negara beriklim dingin. Infeksi oleh streptokokus Grup A disebabkan oleh tipe spesifik tertentu dari protein M (M types), terutama tipe 1, 3, 4,12 dan 25 sering menyebabkan glomerulonefritis akut. Demam rematik akut merupakan komplikasi non supuratif dari infeksi streptokokus Grup A yang menyerang saluran pernafasan bagian atas. Tadinya demam rematik akut sudah lama tidak ditemukan lagi dinegara-negara maju, namun pada tahun 1985 tiba-tiba terjadi KLB di AS. Pada tahun 1990-an terjadi peningkatan jumlah penderita demam reumatik yang dilaporkan dari berbagai negara bagian di AS. Demam rematik di negara-negara berkembang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Insidensi tertinggi ditemukan muncul biasanya sesudah terjadi faringitis. Usia 3 15 tahun adalah yang paling sering terserang; komunitas yang paling sering terserang adalah anak-anak sekolah dan personil militer. Bersamaan dengan munculnya kembali demam rematik muncul infeksi streptokokus dengan gejala yang lebih berat seperti infeksi dengan gejala umum yang lebih berat dan Toxic Shock Syndrome (TSS). Di AS setiap tahun dilaporkan sekitar 10.000 15.000 penderita dengan infeksi streptokokus Grup A berat, 5% 19% (500 1.500 kasus) berkembang menjadi necrotizing fasciitis. Insidens tertinggi dari impetigo streptokokus yang menyerang anak-anak adalah pada musim panas, musim gugur didaerah dengan iklim panas. Timbulnya nefritis setelah infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus tipe M (seperti tipe 2, 49, 55, 57, 58, 59, 60 dan tipe lain yang lebih tinggi), berbeda dengan tipe streptokokus yang menyebabkan nefritis setelah infeksi saluran pernafasan bagian atas. Distribusi geografis dan distribusi menurut variasi musim erysipelas sama dengan scarlet fever dan faringitis. Erisipelas lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan mereka yang berusia diatas 20 tahun. Biasanya muncul secara sporadic walaupun pada saat terjadi KLB dari infeksi streptokokus. Untuk demam nifas, tidak tersedia cukup data yang dapat dipercaya. Dinegara maju morbiditas dan mertalitas demam nifas mengalami penurunan drastic semenjak ditemukannya berbagai jenis antibiotika. Saat ini demam nifas muncul secara sporadic walaupun kadang-kadang muncul sebagai KLB di institusi-institusi kesehatan yang kurang memperhatikan prosedur aseptic.Reservoir: ManusiaCara penularan melalui droplet atau kontak langsung dengan penderita atau carrier, jarang melalui kontak tidak langsung. Penyebaran lewat carrier hidung merupakan cara utama dalam penularan penyakit ini. Kontak secara kebetulan jarang menyebabkan infeksi. Pada populasi dimana impetigo banyak dijumpai, streptokokus grup A ditemukan pada kulit normal 1 2 minggu sebelum lesi kulit timbul. Strain yang sama ditemukan pada tenggorokan (tanpa menimbulkan gejala klinis pada tenggorokan) biasanya ditemukan belakangan saat terjadi infeksi kulit. Carrier anal, vagina, kulit dan faring diketahui sebagai penyebab KLB nosokomial infeks streptokokus yang serius pasca bedah. Beberapa KLB yang dilaporkan terjadi di kamar operasi disebabkan oleh petugas sebagai carrier strain streptokokus. Untuk menemukan carrier memerlukan penyelidikan epidemiologis yang intensif ditunjang dengan dukungan laboratorium dan pemeriksaan mikrobiologis yang memadai. Menghilangkan status carrier pada seseorang memerlukan upaya khusus dengan memberikan berbagai jenis antibiotika yang berbeda dan biasanya sakit. Partikel yang mengandung streptokokus lepas keudara melalui barang-barang yang terkontaminasi (seperti debu lantai, sprei, saputangan, namun partikel ini tidak infeksius untuk kulit dan selaput lendir yang intak (utuh) KLB radang ternggorokan yang disebabkan oleh streptokokus disebabkan oleh makanan yang terkontaminasi, yang paling sering terkontaminasi oleh streptokokus adalah susu dan produk olahannya, salad telur dan telur rebus juga sering dilaporkan menjadi sumber penularan sterptokokus grup A dari manusia dapat menular kepada sapi dan menularkan kepada orang lain melalui susu sapi ini; sedangkan streptokokus Grup B yang menimbulkan penyakit pada manusia dan yang menyebabkan penyakit pada sapi secara biokimiawi berbeda satu sama lain. Terjadinya kontaminasi pada susu dan makanan yang mengandung telur merupakan cara penularan yang paling sering. Pernah juga ditemukan KLB streptokokus Grup C yang ditularkan oleh sapi.Masa inkubasi: Pendek, biasanya 1 3 hari, jarang lebih lama. Masa penularan dari penderita yang tidak diobati dan yang tidak mengalami komplikasi biasanya berlangsung selam 10 21 hari; sedangkan pada penderita yang tidak diobati namun mengeluarkan discharge purulen masa penularan berlansung berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Dengan pemberian penisilin yang tepat dalam waktu 24 jam penderita sudah tidak menular lagi. Penderita faringitis yang tidak diobati tetap mengandung organisme ini selama berminggu minggu atau berbulan-bulan namun secara bertahap jumlahnya berkurang; tingkat penularan menurun drastis 2-3 minggu setelah infeksi.Kerentanan dan Kekebalan Setiap orang rentan terhadap infeksi streptokokus maupun demam scarlet, walaupun sebagian orang dalam tubuhnya membentuk antitoksin maupun antibodi spesifik setalah infeksi tanpa gejala. Antibodi hanya terbentuk terhadap streptokokus grup A tipe M, dan biasanya bertahan selama bertahun-tahun. Pemberian antibiotika dapat mempengaruhi pembentukan antibodi spesifik. Semua ras dan suku bangsa rentan terhadap infeksi streptokokus dan jika ada perbedaan disebabkan karena perbedaan faktor lingkungan. Infeksi ulang oleh strain yang berbeda sering terjadi. Kekebalan terhadap toksin eritrogenik terbentuk seminggu setelah munculnya gejala demam scarlet dan biasanya permanen; serangan demam scarlet untuk kedua kalinya jarang terjadi, dan bila terjadi disebabkan adanya tiga jenis toksin yang berbeda. Kekebalan pasif terhadap streptokokukus grup A pada bayi baru lahir didapat dari ibunya melalui plasenta. Penderita yang pernah terserang demam rematik akan mendapat serangan ulang jika terjadi infeksi ulang streptokokus grup A dan diikuti dengankerusakan jantung. Erisipelas dapat muncul berulang kali pada seseorang. Sedangkan glomerulonefritis biasanya tidak pernah berulang.Cara-cara pemberantasanA. Tindakan pencegahan1) Berikan Penyuluhan kepada masyarakat dan kepada petugas kesehatan tentang cara cara penularan penyakit ini, tentang hubungan infeksi streptokokus dengan demam rematik akut, chorea sydenham, penyakit jantung rematik, glomerulonefritis dan tentang pentingnya diagnosa pasti serta dijelaskan bahwa antibiotika yang diberikan untuk terapi infeksi streptokokus, agar diminum sesuai dengan jadwal yang disuruh dokter.2) Sediakan fasilitas laboratorium yang memadai untuk identifikasi streptokokus hemolitik grup A.3) Lakukan Pasteurisasi terhadap susu dan melarang orang yang terinfeksi menangani susu untuk mencegah kontaminasi.4) Siapkan makanan beberapa saat sebelum dikonsumsi; jika jarak waktu antara penyiapan manakan dan saat konsumsi agak lama simpanlah makanan tersebut pada suhu kurang dari 5o C (41o F) dan dalam jumlah yang sedkit.5) Orang yang mempunyai lesi pada kulit dilarang menangani makanan.6) Pencegahan komplikasi sekunder : untuk mencegah infeksi streptokokus kembali dan berulangnya demam rematik, erisipelas atau chorea adalah dengan injeksi benzathin penicillin G long acting tiap bulan (atau pemberian penisilin oral tiaphari, jika pasien patuh) diberikan kurang lebih selama 5 tahun. Jika pasien tersebut tidak tahan terhadap penisilin dapat diberikan sulfisoxasole per oral.

B. Pengawasan Penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya1) Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat: setiap KLB wajib dilaporkan segera, kelas 4. Demam reumatik akut dan atau TSS untuk negara bagian tertentu wajib dilaporkan, kelas 3B (lihat tentang pelaporan penyakit menular)2) Isolasi: Secara umum lakukan kewaspadaan terhadap discharge dan secret penderita. Kewaspadaan ini dapat dilongggarkan 24 jam setelah pemberian penisilin atau antibiotika lain. Pemberian antibiotika dapat dilanjutkan sampai 10 hari untuk menghindari timbulnya penyakit jantung reumatik.3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap discharge dari penderita dan semua paralatan yang tercemar. Pembersihan terminal.4) Karantina: Tidak diperlukan5) Imunisasi kontak: Tidak ada6) Investigasi pada kontak dan sumber infeksi : Buat kultur dari spesimen penderita. Cari dan obati carrier pada situasi KLB dan pada keluarga dengan resiko tinggi (keluarga dengan riwayat dan penderita TSS, demam reumatik akut, nefritis akut, infeksi pasca bedah).7) Pengobatan spesifik: Berbagai jenis penisilin digunakan sepeti Benzathine penicillin G (obat pilihan) atau penisilin G (oral), atau penisilin V (oral). Sampai saat ini belum ditemukan strain streptokokus yang resisten terhadap penisilin. Pengobatan yang diberikan harus dapat menjamin kadar penisilin yang ada kuat dalam darah bertahan selama 10 hari. Pengobatan yang diberikan, dalam 24 48 jam pertama akan mengurangi gejala akut dari penyakit; namun bakteri akan tetap bertahan difaring pada 30% dari penderita.Pemberian pengobatan yang tepat akan mengurangi frekuensi terjadinya komplikasi supuratif dan dapat mencegah terjadinya demam rematik akut. Pengobatan yang tepat juga akan mengurangi risiko timbulnya glomerulenefritis akut dan dapat mencegah penyebaran bakteri dimasyarakat. Untuk penderita yang sensitif terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin sebagai pengganti, namun pernah dilaporkan adanya strain yang resisten terhadap eritromisin. Klindamisin atau sefalosporin diberikan jika pemberian penisilin atau eritromisin merupakan kontraindikasi. Preparat sulfonamida tidak begitu efektif dipakai untuk menghilangkan streptokokus dari tenggorokan atau mencegah komplikasi non supuratif. Banyak strain yang resisten terhadap tetrasiklin.C. Upaya Penanggulangan Wabah1) Temukan sumber dan cara penularan (dari orang ke orang, melzlui susu atau makanan). KLB biasanya dengan mudah dapat dilacak sumbernya berasal dari individu dengan infeksi streptokokus akut atau berasal dari penderita infeksi streptokokus yang persisten atau carrier (infeksi pada hidung, tenggorokan, kulit, vagina, daerah perianal), dengan melakukan pemeriksaan serologis untuk mengetahui tipe streptokokus.2) Lakukan investigasi jika ditemukan adanya pengelompokan penderita untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penularan dengan cara Common Source seperti penularan melalui susu atau makanan yang terkontaminasi.3) Jika KLB terjadi pada kelompok individu dengan kontak yang sangat dekat seperti pada anggota pasukan militer, ruang perawatan bayi maka seluruh anggota atau penghuni diberikan penisilin agar penularan tidak berlanjut.

D. Implikasi bencana: Orang dengan luka bakar atau luka biasa sangat mudah terinfeksi oleh streptokokus didaerah terjangkit.E. Tindakan Internasional: Manfaatkan Pusat Kerja sama WHO.Klasifikasi Streptococcus termasuk familia Streptococcaceae genera dalam familia Streptococcaceae Streptococcus Leuconostoc Aerococcus Pediococcus Peptococcus Peptostreptococcus Gemella Ruminococcus Coprococcus dan Sarcina bentuk : kokus sifat : Gram (+) susunan : rantai, rantai diplokoki kebutuhan oksigen : fakultatif anaerob Uji Katalase : (-) Klasifikasi : 1919 J.H. Brown tipe hemolisis : a, , dan 1933 Rebecca H. Lancefield komposisi antigen karbohidrat dinding sel : Grup A, B, C, dan seterusnya Bergey pyogenic group, viridans group, enterococcus group, lactic group 4Streptococcus pyogenes mempunyai beberapa faktor virulensi yang memungkinkannya berikatan dengan jaringan inang, mengelakkan respon imun, dan menyebar dengan melakukan penetrasi ke lapisan jaringan inang. Kapsul karbohidrat yang tersusun atas asam hialuronat mengelilingi bakteri, melindunginya dari fagositosis oleh neutrofil. Di samping itu, kapsul dan beberapa faktor yang melekat di dinding sel, termasuk protein M, asam lipoteikoat, dan protein F (SfbI) memfasilitasi perkatan ke sejumlah sel inang.[6] Protein M juga menghambat opsonisasi oleh jalur kompemen alternatif dengan berikatan pada regulator komplemen inang. Protein M yang ditemukan di beberapa serotipe juga bisa mencegah opsonisasi dengan berikatan pada fibrinogen. Namun, protein M juga titik terlemah dalam pertahanan patogen ini karena antibodi yang diproduksi oleh sistem imun terhadap protein M sasarannya adalah bakteri untuk ditelan fagosit. Protein M juga unik bagi tiap strain, dan identifikasi bisa digunakan secara klinik untuk menegaskan strain yang menyebabkan infeksi. Streptococcus pyogenes melepaskan sejumlah protein, termasuk beberapa faktor virulensi, kepada inangnya:Streptolisin O dan S : adalah toksin yang merupakan dasar sifat beta-hemolisis organisme ini. Streptolisin O ialah racun sel yang berpotensi memengaruhi banyak tipe sel termasuk neutrofil, platelet, dan organella subsel. Menyebabkan respon imun dan penemuan antibodinya; antistreptolisin O (ASO) bisa digunakan secara klinis untuk menegaskan infeksi yang baru saja. Streptolisin O bersifat meracuni jantung (kardiotoksik).Eksotoksin Streptococcus pyogenes A dan C : Keduanya adalah superantigen yang disekresi oleh sejumlah strain Streptococcus pyogenes. Eksotoksin pyogenes itu bertanggung jawab untuk ruam penyakit jengkering dan sejumlah gejala sindrom syok toksik streptococcus.Streptokinase : Secara enzimatis mengaktifkan plasminogen, enzim proteolitik, menjadi plasmin yang akhirnya mencerna fibrin dan protein lain.Hialuronidase : Banyak dianggap memfasilitasi penyebaran bakteri melalui jaringan dengan memecah asam hialuronat, komponen penting jaringan konektif. Namun, sedikit isolasi Streptococcus pyogenes yang bisa mensekresi hialuronidase aktif akibat mutasi pada gen yang mengkodekan enzim. Apalagi, isolasi yang sedikit yang bisa mensekresi hialuronidase tak nampak memerlukannya untuk menyebar melalui jaringan atau menyebabkan lesi kulit. Sehingga, jika ada, peran hialuronidase yang sesungguhnya dalam patogenesis tetap tak diketahui.

Streptodornase : Kebanyakan strain Streptococcus pyogenes mensekresikan lebih dari 4 DNase yang berbeda, yang kadang-kadang disebut streptodornase. DNase melindungi bakteri dari terjaring di perangkap ekstraseluler neutrofil (NET) dengan mencerna jala NET di DNA, yang diikat pula serin protease neutrofil yang bisa membunuh bakteri. C5a peptidase : C5a peptidase membelah kemotaksin neutrofil kuat yang disebut C5a, yang diproduksi oleh sistem komplemen. C5a peptidase diperlukan untuk meminimalisasi aliran neutrofil di awal infeksi karena bakteri berusaha mengkolonisasi jaringan inang. Kemokin protease streptococcus : Jaringan pasien yang terkena dengan kasus fasitis nekrosis parah sama sekali tidak ada neutrofil. Serin protease ScpC, yang dilepas oleh Streptococcus pyogenes, bertanggung jawab mencegah migrasi neutrofil ke infeksi yang meluas. ScpC mendegradasi kemokina IL-8, yang sebaliknya menarik neutrofil ke tempat infeksi. C5a peptidase, meskipun diperlukan untuk mendegradasi kemotaksin neutrofil C5a di tahap awal infeksi, tak diperlukan untuk Streptococcus pyogenes mencegah aliran neutrofil karena bakteri menyebar melalui fasia.

3.2 Demam RematikDemam Rematik adalah suatu peradangan pada persendian (artritis) dan jantung (karditis).PenyebabDemam rematik biasanya terjadi akibat infeksi streptokokus pada tenggorokan.Demam rematik bukan merupakan suatu infeksi, tetapi merupakan suatu reaksi peradangan terhadap infeksi, yang menyerang berbagai bagian tubuh (misalnya persendian, jantung, kulit). Resiko terjadinya demam rematik meningkat pada status gizi yang buruk dan tempat tinggal yang sesak. Kemungkinan terjadinya demam rematik pada infeksi streptokokus ringan yang tidak diobati adalah 1 diantara 1.000; sedangkan pada infeksi yang lebih berat meningkat menjadi 3:100.dfdffassdsdsdsdsdsdsdsdsdssdsdsdsd GejalaGejalanya bervariasi, tergantung kepada bagian tubuh yang meradang.Biasanya gejala timbul beberapa minggu setelah nyeri tenggorokan akibat streptokokus menghilang.Gejala utama: -nyeri persendian (arthritis)- nyeri dada atau palpitasi karena karditis- renjatan / kedutan diluar kesadaran (corea Sydenham)- ruam kulit (eritema marginatum)- benjolan subcutan (nodul subcutan)Gejala awal yang paling sering ditemukan adalah nyeri persendian dan demam. 1 atau beberapa persendian secara tiba-tiba menjadi nyeri dan bila disentuh terasa nyeri. Persendian juga mungkin tampak merah, teraba hangat dan membengkak dan mungkin mengandung cairan.Yang paling sering terkena adalah sendi pergelangan kaki, lutut, sikut dan pergelangan tangan; kadang artritis juga menyerang sendi bahu, pinggul dan persendian kecil di tangan dan kaki. Jika nyeri pada suatu persendian menghilang, maka akan timbul nyeri pada persendian yang lain, terutama pada anak yang tidak menjalani istirahat baring dan tidak mendapatkan obat anti peradangan.Kadang nyeri sendi ini sifatnya sangat ringan. Demam timbul secara tiba-tiba dan bersamaan dengan timbulnya nyeri persendian; demam bersifat turun-naik.Nyeri persendian dan demam biasanya berlangsung selama 2 minggu dan jarang berlangsung lebih dari 1 bulan.Peradangan jantung seringkali timbul bersamaan dengan nyeri persendian dan demam.Pada awalnya, peradangan jantung tidak menimbulkan gejala.Peradangan pada kantung jantung menimbulkan nyeri dada.Bisa terjadi gagal jantung, dengan gejala:- sesak nafas- mual- muntah- nyeri lambung- batuk kering.Peradangan jantung menyebabkan anak mudah mengalami kelelahan.Karditis menghilang secara beratahap, biasanya dalam waktu 5 bulan. Tetapi mungkin saja terjadi kerusakan permanen pada katup jantung sehingga terjadi penyakit jantung rematik.Yang paling sering terkena adalah katup antara atrium dan ventrikel kiri (katup mitral). Bisa terjadi kebocoran pada katu (regurgitasi katup mitral) atau penyempitan (stenosis katup mitral) atau keduanya.Korea Sydenham timbul secara bertahap, dalam waktu 1 bulan biasanya korea semakin berat. Anak menunjukkan gerakan yang cepat dan tidak bertujuan, yang menghilang selama tidur. Gerakan tersebut melibatkan setiap otot kecuali otot mata. Wajahnya sering menyeringai. Pada kasus yang ringan anak tampak kaku dan sedikit mengalami kesulitan dalam berpakaian dan makan. Pada kasus yang berat, anak sering melakukan hal-hal yang dapat melukai dirinya sendiri (memukul-mukul lengan atau tungkainya sendiri).Korea biasanya menghilang secara bertahap setelah 4 bulan, tetapi kadang berlangsung selama 6-8 bulan.Pada saat gejala lainnya menghilang, timbul ruam datar dengan pinggiran yang bergelombang dan tidak disertai nyeri. Ruam ini berlangsung pendek, kadang kurang dari 24 jam.Pada anak yang menderita peradangan jantung biasanya ditemukan benjolan kecil dibawah kulitnya. Nodul ini biasanya tidak menimbulkan nyeri dan akan menghilang dengan sendirinya.Kadang anak mengalami nyeri perut yang hebat dan nafsu makannya berkurang.PatogenesisTelah lama diketahui DR mempunyai hubungan dengan infeksi kuman Streptokokus hemolitik grup A pada saluran nafas atas dan infeksi kuman ini pada kulit mempunyai hubungan untuk terjadinya glomerulonefritis akut.Kuman Streptokokus hemolitik dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya yang didasarkan atas antigen polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut. Tercatat saat ini lebih dari 130 serotipe M yang bertanggung jawab pada infeksi pada manusia, tetapi hanya grup A yang mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis DR. Hubungan kuman Streptokokus hemolitik grup A sebagai penyebab DR terjadi secara tidak langsung, karena organisme penyebab tidak dapat diperoleh dari lesi, tetapi banyak penelitian klinis, imunologis dan epidemiologis yang membuktikan bahwa penyakit ini mempunyai hubungan dengan infeksi Streptokokus hemolitik grup A, terutama serotipe M1,3,5,6,14,18,19 dan 24. Sekurang-kurangnya sepertiga penderita menolak adanya riwayat infeksi saluran nafas karena infeksi streptokokkus sebelumnya dan pada kultur apus tenggorokan terhadap Streptokokus hemolitik grup A sering negatif pada saat serangan DR. Tetapi respons antibodi terhadap produk ekstraseluler streptokokus dapat ditunjukkan pada hampir semua kasus DR dan serangan akut DR sangat berhubungan dengan besarnya respons antibody.Demam rematik merupakan respons auto immune terhadap infeksi Streptokokus hemolitik grup A pada tenggorokan. Respons manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul ditentukan oleh kepekaaan genetic host, keganasan organisme dan lingkungan yang kondusif. Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saatini tidak diketahui, tetapi peran antigen histokompatibility mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan antibody yang berkembang segera setelah infeksi streptokokkus telah diteliti sebagai faktor resiko yang potensial dalam patogenesis penyakit ini. Terbukti sel limfosit T memegang peranan dalam patogenesis penyakit ini dan ternyata tipe M dari Streptokkokus grup A mempunyai potensi rheumatogenik. Beberapa serotype biasanyamempunyai kapsul, berbentuk besar, koloni mukoid yang kaya dengan Mprotein. M-protein adalah salah satu determinan virulensi bakteri, Strukturnya homolog dengan myosin kardiak dan molecul alpha-helical coiled coil, seperti tropomyosin, keratin dan laminin. Laminin adalah matriks protein ekstraseluler yang disekresikan oleh sel endothelial katup jantung dan bagian integral dari struktur katup jantung. Lebih dari 130 M protein sudah teridentifikasi dan tipe 1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24 berhubungan dengan terjadinya DR.Superantigen streptokokal adalah glikoprotein unik yang disintesa oleh bakteri dan virus yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex molecules dengan nonpolymorphic V b-chains dari T-cell receptors. Pada kasus streptokokus banyak penelitian yang difokuskan pada peranan superantigen-like activity dari fragmen M protein dan juga streptococcal pyrogenic exotoxin, dalam patogenesis DR.Infeksi streptokokkus dimulai dengan ikatan permukaan bakteri dengan reseptor spesifik sel host dan melibatkan proses spesifik seperti pelekatan, kolonisasi dan invasi. Ikatan permukaan bakteri dengan permukaan reseptor host adalah kejadian yang penting dalam kolonisasi dan dimulai oleh fibronektin dan oleh streptococcal fibronectin-binding proteins.

DiagnosaDiagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Pada pemeriksaan fisik dengan bantuan stetoskop mungkin akan terdengar bunyi jantung tambahan (murmur).Pemeriksaan yang biasa dilakukan: # Pemeriksaan darah- jumlah sel darah putih bertambah- laju endap darah meningkat- antibodi terhadap streptokokus# EKG# Ekokardiogram.Menurut kriteria Jones, ditinjau dari manifestasi klinik yang ada, maka DR dapat didiagnosis dengan melihat manifestasi mayor dan minor :Manifestasi mayor : Karditis Poliarthritis Korea Eritema marginatum Nodulus subkutanManifestasi minor : Artralgia Demam Pemeriksaan lab. (LED meningkat dan atau C reactive protein)Adanya 2 manifestasi mayor atau adanya 1 manifestasi mayor ditambah 2 manifestasi minor menunjukkan kemungkinan besar adanya demam rematik.Diagnosis dengan melihat manifestasi kliniknya juga disokong dengan bukti infeksi Streptokokus berupa kultur apus tenggorok yang positip atau tes antigen streptokokus yang cepat atau titer ASTO yang meningkat.

Pengobatan Pengobatan demam rematik memiliki 3 tujuan:- Menyembuhkan infeksi streptokokus dan mencegah kekambuhan- Mengurangi peradangan,t erutama pada persendian dan jantung- Membatasi aktivitas fisik yang dapat memperburuk organ yang meradang.Jika terjadi infeksi streptokokus (misalnya strep throat), diberikan antibiotik penisilin selama 10 hari.Kepada anak yang menderita demam rematik diberikan suntikan penisilin untuk membasmi infeksi yang tersisa.Untuk mengurangi peradangan dan nyeri, diberikan NSAIDs (obat anti peradangan non-steroid) dalam dosis tinggi, terutama jika telah terjadi artritis. Kadang perlu digunakan obat pereda nyeri yang lebih kuat (misalnya kodein). Pada karditis yang berat diberikan kortikosteroid (misalnya prednison).

3.3 Pemeriksaan Laboratorium

Pada dasarnya tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat mendeteksi dengan pasti adanya demam rematik. Para dokter biasanya menggabungkan antara gejala klinis yang nampak, adanya riwayat radang tenggorok dan pemeriksaan laboratorium yang meliputi tes CRP (C Reactive Protein), ASTO (Anti Streptolysin titer O) . tapi pada umumnya seseorang didagnosa dengan pemeriksaan ASTO.1. Laju Endap Darah (LED)Proses pengendapan darah terjadi dalam 3 tahap yaitu tahap pembentukan rouleaux, tahap pengendapan dan tahap pemadatan.Di laboratorium cara untuk memeriksa laju endap darah yang sering dipakai adalah cara Wintrobe dan cara Weetergren. Pada cara Wintrobe nilai rujukan untuk wanita 0 -- 20 mm/jam dan untuk pria 0 -- 10 mm/jam, sedang pada cara Westergren nilai rujukan untuk wanita 0 -- 15 mm/jam dan untuk pria 0 10 mm/jam. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi laju endap darah adalah faktor eritrosit, faktor plasma dan faktor teknik. Jumlah eritrosit/ul darah yang kurang dari normal, ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan eritrosit yang mudah beraglutinasi akan menyebabkan laju endap darah cepat. Walau pun demikian, tidak semua anemia disertai laju endap darah yang cepat. Pada anemia sel sabit, akantositosis, sferositosis serta poikilositosis berat, laju endap darah tidak cepat, karena pada keadaan-keadaan ini pembentukan rouleaux sukar terjadi. Pada polisitemia dimana jumlah eritrosit/ l darah meningkat, laju endap darah normal.Pembentukan rouleaux tergantung dari komposisi protein plasma. Peningkatan kadar fibrinogen dan globulin memper mudah pembentukan roleaux sehingga laju endap darah cepat sedangkan kadar albumin yang tinggi menyebabkan laju endap darah lambat. Laju endap darah terutama mencerminkan perubahan protein plasma yang terjadi pada infeksi akut maupun kronik, proses degenerasi dan penyakit limfoproliferatif. Peningkatan laju endap darah merupakan respons yang tidak spesifik terhadap kerusakan jaringan dan merupakan petunjuk adanya penyakit.Bila dilakukan secara berulang laju endap darah dapat dipakai untuk menilai perjalanan penyakit seperti tuberkulosis, demam rematik, artritis dan nefritis. Laju endap darah yang cepat menunjukkan suatau lesi yang aktif, peningkatan laju endap darah dibandingkan sebelumnya menunjukkan proses yang meluas, sedangkan laju endap darah yang menurun dibandingkan sebelumnya menunjukkan suatu perbaikan.Dan akhirnya yang perlu diperhatikan adalah faktor teknik yang dapat menyebabkan kesalahan dalam pemeriksaan laju endap darah. Selama pemeriksaan tabung atau pipet harus tegak lurus; miring dapat menimbulkan kesalahan 30%. Tabung atau pipet tidak boleh digoyang atau bergetar, karena ini akan mempercepat pengendapan. Suhu optimum selama pemeriksaan adalah 20C, suhu yang tinggi akan mempercepat pengendapan dan sebaliknya suhu yang rendah akan memperlambat. Bila darah yang diperiksa sudah membeku sebagian hasil pemeriksaan laju endap darah akan lebih lambat karena sebagian fibrinogen sudah terpakai dalam pembekuan. Pemeriksaan laju endap darah harus dikerjakan dalam waktu 2 jam setelah pengambilan darah, karena darah yang dibiarkan terlalu lama akan berbentuk sferik sehingga sukar membentuk rouleaux dan hasil pemeriksaan laju endap darah menjadi lebih lambat.Ukuran, bentuk, sifat permukaan, dan konsentrasi sel darah merah mempengaruhi LED, plasma darahlah yang paling banyak pengaruhnya terhadap LED. Plasma dari seorang penderita lain dengan LED yang rendah (dengan goiongan darah yang sama), akan menyebabkan eritrosit itu mengendap dengan laju yang lebih cepat dari normalnya. Fibrinogen dalam plasma memegang peran yang paling penting; akan tetapi imunoglobulinpada multiple nyeloma serta monomer fibrinogen pada koagulasi-intravaskular dapat sangat besar pengaruhnya, menyebabkan LED di atas 100mm/jam . Protein-protein plasma lainnya, lipid-lipid,dan obat-obatan tertentu (terutama obat antianflamasi nonsteroid) juga mempengaruhi LED, sehingga daftar keadaan/penyakit dengan LED abnormal dapat dikatakan tak ada batasnya.2. CRPProtein C-reactif (C-reactive protein, CRP) dibuat oleh hati dan dikeluarkan ke dalam aliran darah. CRP beredar dalam darah selama 6-10 jam setelah proses inflamasi akut dan destruksi jaringan. Kadarnya memuncak dalam 48-72 jam. Seperti halnya uji laju endap darah (erithrocyte sedimentation rate, ESR), CRP merupakan uji non-spesifik tetapi keberadaan CRP mendahului peningkatan LED selama inflamasi dan nekrosis lalu segera kembali ke kadar normalnya.CRP merupakan salah satu dari beberapa protein yang sering disebut sebagai protein fase akut dan digunakan untuk memantau perubahan-perubahan dalam fase inflamasi akut yang dihubungkan dengan banyak penyakit infeksi dan penyakit autoimun. Beberapa keadaan dimana CRP dapat dijumpai meningkat adalah radang sendi (rheumatoid arthritis), demam rematik, kanker payudara, radang usus, penyakit radang panggung (pelvic inflammatory disease, PID), penyakit Hodgkin, SLE, infeksi bakterial.CRP juga meningkat pada kehamilan trimester akhir, pemakaian alat kontrasepsi intrauterus dan pengaruh obat kontrasepsi oral.Tes CRP seringkali dilakukan berulang-ulang untuk mengevaluasi dan menentukan apakah pengobatan yang dilakukan efektif. CRP juga digunakan untuk memantau penyembuhan luka dan untuk memantau pasien paska bedah, transplantasi organ, atau luka bakar sebagai sistem deteksi dini untuk kemungkinan infeksi.High sensitive-CRP (hs-CRP)Uji ini dapat mendeteksi inflamasi yang terjadi akibat pembentukan plak aterosklerotik pada pembuluh arteri koroner. hsCRP merupakan uji laboratorium yang sangat sensitif untuk resiko penyakit kardiovaskuler. Uji ini sering dilakukan bersama-sama dengan tes profil lipid (kolesterol, trigliserid, HDL, LDL). Nilai hsCRP positif jauh lebih rendah daripada nilai standar CRP serum sehingga uji ini menjadi lebih berguna dalam mendeteksi risiko penyakit jantung koroner (coronary heart disease, CHD), stroke, dan penyakit arteri perifer.ProsedurTes CRP dapat dilakukan secara manual menggunakan metode aglutinasi atau metode lain yang lebih maju, misalnya sandwich imunometri. Tes aglutinasi dilakukan dengan menambahkan partikel latex yang dilapisi antibodi anti CRP pada serum atau plasma penderita sehingga akan terjadi aglutinasi. Untuk menentukan titer CRP, serum atau plasma penderita diencerkan dengan buffer glisin dengan pengenceran bertingkat (1/2, 1/4, 1/8, 1/16 dan seterusnya) lalu direaksikan dengan latex. Titer CRP adalah pengenceran tertinggi yang masih terjadi aglutinasi.Tes sandwich imunometri dilakukan dengan mengukur intensitas warna menggunakan Nycocard Reader. Berturut-turut sampel (serum, plasma, whole blood) dan konjugat diteteskan pada membran tes yang dilapisi antibodi mononklonal spesifik CRP. CRP dalam sampel tangkap oleh antibodi yang terikat pada konjugat gold colloidal particle. Konjugat bebas dicuci dengan larutan pencuci (washing solution). Jika terdapat CRP dalam sampel pada level patologis, maka akan terbentuk warna merah-coklat pada area tes dengan intensitas warna yang proporsional terhadap kadar. Intensitas warna diukur secara kuantitatif menggunakan NycoCard reader II. Nilai rujukan normal CRP dengan metode sandwich imunometri adalah < 5 mg/L. Nilai rujukan ini tentu akan berbeda di setiap laboratorium tergantung reagen dan metode yang digunakan.3. ASTOStreptokokus grup A (Stretokokus beta hemolitik) dapat menghasilkan berbagai produk ekstraseluler yang mampu merangsang pembentukan antibodi. Antibodi itu tidak merusak kuman dan tidak mempunyai dampak perlindungan, tetapi adanya antibodi itu dalam serum menunjukkan bahwa di dalam tubuh baru saja terdapat streptokokus yang aktif. Antibodi yang dibentuk adalah : antistreptolisin O (ASO), antihialuronidase (AH), antistreptokinase (anti-SK), anti-desoksiribonuklease B (AND-B) , dan anti nikotinamid adenine dinukleotidase (anti-NADase).Tes ASO paling banyak digunakan; hasil tes ini positif pada 80% faringitis streptokokus; presentasi ini lebih rendah pada infeksi kulit. ASO muncul kira-kira 1-2 minggu setelah infeksi streptokokus akut, memuncak 3-4 minggu setelah awitan, dan tetap tinggi selama berbulan-bulan. Kadar ASO menurun sampai kadar sebelum sakit dalam waktu 6-12 bulan. ASO positif juga sering dijumpai pada glomerulonefritis, demam rematik, enokarditis bakterial, dan scarlet fever. Banyak anak usia sekolah memiliki kadar titer ASO yang lebih tinggi daripada anak usia pra sekolah dan dewasa.Tes ASO yang tinggi (tunggal) memberi kesan adanya infeksi streptokokus yang baru lewat atau sedang berjalan.

3.4 Sistem Imun dan Pertahanan Infeksi

Bakteri dari luar yang masuk tubuh ( jalur eksogen) akan segera diserang sistem imun nonspesifik berupa fagosit, komplemen, APP atau dinetralkan antibodi spesifik yang sudah ada di dalam darah. Antibodi dan komplemen dapat juga berperan sebagai opsonin karena fagosit memiliki Fc-R untuk IgA. Sitokin inflamasi seperti IFN- dapat meningkatkan ekpresi reseptor tersebut dengan cepat. Pertahanan penjamu terdiri atas sarana-sarana untuk memerangi pathogen local.Beberapa bakteri intraseluler (dalam monosit, macrofag) seperti mikobacteri, L. monositogenes, S. tifi dan spesies brusela dapat menghindari pengawasan sistem imun seperti antibodi. Dalam hal ini tubuh akan mengaktifkan sistem imun selular seperti respon CMI (CD4+, CD8+ dan sel NK). Bakteri yang dapat menembus pertahanan tubuh akan dihadapkan dengan berbagai komponen sistem imun.Imunologi bakteri extraselularBakteri extraselular dapat hidup dan berkembangbiak di luar sel penjamu misalnya dalam sirkulasi, jaringan ikat dan rongga- rongga jaringan seperti lumen saluran napas dan saluran cerna. Banyak di antaranya merupakan bakteri patogenik. Penyakit yang ditimbulkan bakteri ektraselular dapat berupa inflamasi yang menimbulkan destruksi jaringan di tempat terinfeksi dengan membentuk nanah/infeksi supuratif seperti yang terjadi pada infaksi streptokok.

1. Imunitas nonspesifik

Komponen imunitas nonspesifik utama terhadap bakteri ekstraselular adalah komplemen, fagositosis dan respon inflamasi. Bakteri yang mengekpresikan manosa pada permukaannya, dapat diikat lektin yang homolog dengan C1q, sehingga akan mengaktifkan komplemen melalui jalur lektin, meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Di samping itu MAC dapat menghancurkan membrane bakteri. Produk sampingan aktivasi komplemen berperan dalam mengerahkan dan mengaktifkan leukosit. Fagosit juga mengikat bakteri melalui berbagai reseptor permukaan lain seperti toll-like reseptor yang semuanya meningkatkan aktivasi leukosit dan fagositosis. Fagosit yang diaktifkan juga melepas sitokin yang menginduksi infiltrasi leukosit ke tempat infeksi. Sitokin juga menginduksi panas dan sintesis APP.

2. Imunitas spesifika.HumoralAntibodi merupakan imun protektif utama terhadap bakteri ektraselular yang berfungsi untuk menyingkirkan mikroba dan menetralkan toksinnya melalui berbagai mekanisme. Th2 memproduksi sitokin yang merangsang respons sel B, aktivasi macrofag dan inflamasi.Komplikasi lambar respon imun humoral dapat berupa penyakit yg ditimbulkan antibodi. Contohnya infeksi streptokok di tenggorokan atau kulit yang menimbulkan manifestasi penyakit beberapa minggu-bulan stelah infeksi terkontrol. Demam reuma merupakan sekuela infaksi faring oleh beberapa streptokok hemolitik-. Antibodi yang diproduksi tehadap protein dinding bakteri (M-protein) dapat bereaksi silang dengan protein sarkolema dan myosin miokard yang dapat diendapkan di jantung dan akhirnya menimbulkan inflamasi (karditis).Glumerulonefritis pasca infeksi streptokok merupakan sekuela infeksi streptokok di kulit atau tenggorokan oleh serotype streptokok yang lain. Antibodi terhadap bakteri tersebut membentuk kompleks dengan antigen bakteri dan diendapkan di glumerulus ginjal yang menimbulkan nefritis.b. Sitokin Respons utama penjamu terhadap bakteri ektraselular adalah produksi sitokin oleh makrofag yang diaktifkan yang menimbulkan inflamasi dan syok septic. Toxin seperti superantigen mampu mengaktifkan banyak T sel sehingga menghasilkan produksi sitokin dalam jumlah besar dan kelainan klinikopatologi sperti apa yang terjadi pada syok septic.

KESIMPULAN

Hipotesis yang diambil oleh kelompok kami masih kurang tepat, seharusnya Ani menderita demam rematik pasca infeksi oleh Streptococcus grup A. Gejala awal yang dialami Ani merupakan dampak dari infeksi Streptococcus A, yakni demam dan faringitis. Akan tetapi, gejala berikutnya yang Ani alami bukan disebabkan oleh toksin bakteri atau bakteri itu sendiri, melainkan oleh sistem imunitas yang belum baik sehingga terjadi salah pengenalan. Demam rematik merupakan suatu penyakit autoimun. Miripnya struktur pada protein-protein yang ada ditubuh sendiri (vimentin di sendi, keratin di subkutan) dengan protein virulen yang berada di sel bakteri (yakni protein M) menyebabkan antibodi menjadi salah pengenalan (terjadi reaksi silang). Reaksi kompleks imun ini menyebabkan terjadinya inflamasi yang berkaitan dengan pembengkakan sendi dan juga kehancuran jaringan (nekrosis) yang menyebabkan nyeri lutut. Inflamasi juga menimbulkan nekrosis jaringan disubkutan yang bermanifest pada ruam serta proses pemulihannya berlebihan sehingga menimbulkan nodul. Keempat gejala yang dialami oleh Ani ini merupakan manifestasi dari penyakit autoimun, yakni demam rematik.

DAFTAR PUSTAKA

Garna, Karnen, Rengganis, Iris. 2010. Imunologi Dasar edisi ke-9. Jakarta: Balai penerbit FKUI.Gunawan, Sulistia Gan.ed. 2009. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai penerbit FKUI.Guyton, Arthur.C, Hall, John.E. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/404/basics/pathophysiology.html diakses pada 14 Juni 2011http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview#a0104 diakses pada 14 Juni 2011http://www.textbookofbacteriology.net/streptococcus.html diakses pada 14 Juni 2011Sudoyo, Aru W. et al ed. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke V-Jilid II. Jakarta: InternaPublishing.

2