View
11
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
biofarmasetik
Citation preview
EFIKASI DAN TORELANSI CEFIXIME PADA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK
Lusiani Tjandra
Bagian Farmasi Kedokteran
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Cefixime is 3rd generation cephalosporin antibiotic oral, cefixime has broadspectrum
activity against gram positif and gram negative microorganism in clauding enterobacteriacea.
Cefixime has well an efication and tolerance to cure thypoid fever for children. To get
optimal result, dose and time for treatment needed evaluation. Even though on pediatric
department FKUI-RSCM Jakarta until right now not yet found about MDRST. Cefixime can
use as alternative drug for thypoid fever treatment especially if chloramphenicol can not be
given (example amount of leucocyte <2000/µl, hypersensitive with chloramphenicol, or the
resisstent of Salmonella thypii with chloramphenicol).
Keywords : Cefixime, thypoid fever.
TORELANSI CEFIXIME EFFICACY AND TYPHOID FEVER ON CHILDREN
Lusiani Tjandra
Medical Pharmacist
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
Cefixime merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga oral,
mempunyai aktivitas anti mikroba terhadap kuman gram positif maupun negatif termasuk
enterobacteriacea. Cefixime mempunyai efikasi dan toleransi yang baik untuk pengobatan
demam tifoid anak. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, dosis dan lama pengobatan perlu
dievaluasi lebih lanjut. Meskipun dibagian IKA FKUI-RSCM Jakarta sampai saat ini belum
dijumpai MDRST, cefixime dapat dipergunakan sebagai obat alternatif pengobatan demam
tifoid khususnya apabila chloramphenicol tidak dapat diberikan (misalnya jumlah leukosit
<2000/ul, adanya hipersensitif terhadap chloramphenicol, atau Salmonella tyhpii resisten
terhadap chloramphenicol).
Kata kunci : Cefixim, Demam tifoid.
PENDAHULUAN
Infeksi salmonella atau salmonellosis merupakan penyakit endemis yang banyak
dijumpai pada anak, khususnya di negara beriklim tropis. Di antara Salmonellosis, demam
tifoid merupakan satu-satunya infeksi salmonella typhii sistemik sebagai akibat dari
bakterimia yang terjadi. Secara klinis manifestasi demam tifoid pada anak tidak seberat
dewasa, namun demikian pada demam tifoid yang mengalami komplikasi mortalitas
meningkat sekitar 1-5%. Rendahnya resistensi tubuh pada anak dan keadaan bakteri
khususnya jumlah bakteri yang masuk, virulensi, maupun resistensi bakteri terhadap
antibiotik yang diberikan menyebabkan demam tifoid kadangkala menjadi berat.
Chloramphenicol sampai saat ini masih merupakan obat pilihan lini pertama (first
drug of choice) untuk pengobatan demam tifoid pada anak. Disamping chlorampenicol,
antibiotik lain yang dipergunakan untuk mengobati demam tifoid pada anak adalah
cotrimoksazol dan ceftriaxone. Sementara itu dalam 5 tahun terakhir telah dilaporkan kasus
demam tifoid berat pada anak bahkan fatal yang disebabkan oleh adanya resistensi obat
ganda terhadap salmonella typhi (Multiple drug resistance Salmonella typhi = MDRST)
(Hadinegoro,1998; Memon 1998). Walaupun sampai saat ini belum ada laporan resistensi
salmonella typhi pada demam tifoid anak di Indonesia, termasuk rumah sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, strategi pengobatan MDRST perlu dibuat untuk
mengantisipasi bila suatu saat kita menjumpainya.
Cefixime adalah antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang stabil terhadap enzim β-
Lactamase yang diproduksi oleh organisme seperti strain Streptococcus, Haemophillus
influenzae, Neisseria gonorrhoeae dan mayoritas Enterobakteriaceae. Antibiotik ini bersifat
bakterisidae dengan spectrum luas terhadap bakterim gram positif ( Streptococcus sp,
Streptococcus pneumonia ), dan gram negative ( E. coli, Proteus sp, Haemophillus
influenzae). Aktivitas cefixime menurun terhadap Staphylococcus aureus, Enterococci,
Listeria monocytogenes, dan Pseudomonas spp. Insiden bakteri yang resisten cefixime
dilaporkan sangat rendah.
Dalam hal ini, telah dilakukan penelitian uji klinis non komperatif pengobatan
cefixime terhadap demam tifoid anak di bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia – Rumah Sakit Cipto Mangunkusuma Jakarta sejak mei 1999 – januari
2000. Subyek berumur antara 3 – 15 tahun, dengan diagnose klinik demam tifoid tanpa
komplikasi. Secara umum, cefixime mempunyai efikasi yang baik dan dapat ditoleransi oleh
semua pasien, dengan efek samping ringan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal
diperlukan evaluasi lebih lanjut mengenai dosis dan lama pengobatan. Dalam tinjauan
pustaka ini, akan dijelaskan efikasi dan toleransi cefixime pada pengobatan demam tifoid
anak.
CEFIXIME
1. FARMAKOLOGI CEFIXIME
1.1. Sifat Fisiko-Kimia dan Rumus Kimia
Cefixime berupa serbuk putih atau hampir berwarna putih, agak higroskopik, sulit larut
dalam air, sedikit larut dalam alkohol dehidrasi, praktis tidak larut dalam etil asetat,
mudah larut dalam metil alkohol (Dinkes Jabar, 2006).
Cefixime bersifat bakterisid dan berspektrum luas terhadap mikroorganisme gram positif
dan gram negatif, seperti sefalosporin oral yang lain, cefixime mempunyai aktivitas yang
poten terhadap mikroorganisme gram positif seperti Streptococcus sp., Streptococcus
pneumoniae, dan gram negatif seperti Branhamella catarrhalis, Escherichia coli,
Proteus sp., Haemophilus influenza ( Dexa, 2009).
Rumus kimia dari cefixime : C16H15N5O7S2,3H20 ( Dinkes Jabar, 2006)
1.2. Farmasi Umum
Dosis harian yang lazim untuk pediatrik adalah 1,5-3 mg (potensi)/kgBB diberikan per
oral dua kali sehari. Dosis sebaiknya disesuaikan dengan keadaan perderita. Untuk
infeksi yang berat, dosis dapat ditingkatkan sampai 6 mg/kgBB diberikan dua kali sehari.
Pada anak-anak yang menderita otitis media sebaiknya diobati dengan suspensi. Dari
penelitian klinis, otitis yang diobati dengan sediaan suspensi cefixime didapat kadar
puncak dalam plasma lebih besar dari tablet bila diberikan dengan dosis yang sama.
Sehingga untuk pengobatan otitis media sebaiknya sediaan suspensi jangan diganti.
Penderita dengan gangguan fungsi ginjal memerlukan penyesuaian dosis tergantung pada
berat ringannya gangguan, yang direkomendasikan adalah 75% dari dosis standar (yaitu
300 mg sehari) bila klirens kreatinin antara 21 dan 60 ml/menit atau untuk penderita
dengan hemodialisis ginjal, dan 50% dari dosis standart (yaitu 200 mg sehari) bila
klirens kreatinin kurang dari 20 ml/menit atau penderita yang menjalani dialisis terus-
menerus (opname).
Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 200 mg dan 400 mg, serta suspensi oral 100 mg/5
ml.
Cefixime hanya diberikan dalam bentuk sediaan oral ( Sulistia, 2008).
1.3. Farmakologi Umum
1.3.1 Khasiat
In vitro, obat ini stabil terhadap berbagai jenis beta laktamase dan mempunyai
spektrum antibakteri menyerupai spektrum sefotaksim.
1.3.2 Indikasi
Cefixime diindikasikan untuk pengobatan infeksi-infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang rentan antara lain:
1. Infeksi saluran kemih tanpa komplikasi yang disebabkan oleh Escherichia coli
dan Proteus mirabilis.
2. Otitis media disebabkan oleh Haemophilus influenzae (strain β-laktamase positif)
dan Streptococcus pyogenes.
3. Faringitis dan tonsilitis yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes.
4. Bronkitis akut dan bronkitis kronik dengan eksaserbasi akut yang disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae (strain beta-laktamase
positif dan negative)( Dexa, 2009).
5. Infeksi saluran pernapasan pada anak (Santoso, 1995). Infeksi saluran pernapasan
bawah non Tuberculosa ( Trihadi, 1995).
1.3.3 Kontraindikasi
Penderita dengan riwayat shock atau hipersensitif akibat beberapa bahan dari sediaan
ini.
2. FARMAKODINAMIKA CEFIXIME
Mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis dinding sel. Cefixime memiliki
afinitas tinggi terhadap “penicillin-binding-protein” (PBP) 1 (1a, 1b, dan 1c) dan 3, dengan
tempat aktivitas yang bervariasi tergantung jenis organismenya. Cefixime stabil terhadap β-
laktamase yang dihasilkan oleh beberapa organisme, dan mempunyai aktivitas yang baik
terhadap organisme penghasil β-laktamase.
3. FARMAKOKINETIK CEFIXIME
3,1. Absorbsi
Absorbsi cefixime melalui oral berjalan lambat dan tidak lengkap. Bioavailabilitas
absolute sekitar 40-50%. Dalam bentuk suspensi obat ini diserap lebih baik dari
bentuk tablet. Kadar tinggi terdapat pada empedu dan urine.
3.2. Distribusi (penetrasi ke dalam jaringan)
Penetrasi ke dalam sputum, tonsil, jaringan maxillary sinus mucosal, otorrhea, cairan
empedu dan jaringan kandung empedu adalah baik.
3.3. Metabolisme
Tidak ditemukan adanya metabolit yang aktif sebagai antibakteri di dalam serum atau
urin.
3.4. Eliminasi
Cefixime terutama diekskresikan melalui ginjal. Jumlah ekskresi urin (sampai 12 jam)
setelah pemberian oral 50,100 atau 200 mg (potensi) pada orang dewasa sehat dalam
keadaan puasa kurang lebih 20-25% dari dosis yang diberikan. Kadar puncak urin
masing-masing 42,9; 62,2 dan 82,7 μg/ml dicapai dalam 4-6 jam setelah pemberian.
Jumlah ekskresi urin (sampai 12 jam) setelah pemberian oral 1,5; 3,0; atau 6,0 mg
(potensi)/kgBB pada penderita pediatrik dengan fungsi ginjal yang normal kurang lebih
13-20% ( Sulistia, 2008).
3.5. Konsentrasi dalam serum
Pemberian per oral dosis tunggal 50, 100 atau 200 mg (potensi) cefixime pada orang
dewasa sehat dalam keadaan puasa, kadar puncak serum dicapai setelah 4 jam pemberian
yaitu masing-masing 0,69; 1,13; dan 1,95 μg/ml. Waktu paruh serum adalah 2,3-2,5 jam.
Pemberian per oral dosis tunggal 1,5; 3,0; atau 6,0 mg (potensi)/kg cefixime pada
penderita pediatrik dengan fungsi ginjal normal, kadar puncak serum dicapai setelah 3-4
jam pemberian yaitu masing-masing 1,14; 2,01; dan 3,97 μg/ml.
3.6. Waktu paruh
Waktu paruh serum adalah 3,2-3,7 jam.
3.7. Ikatan protein
Ikatan protein dari cefixime yaitu 65%
3.8. Bioavailability
Bioavailabilitas absolute sekitar 40-50% ( Sulistia, 2008).
4. TOKSISITAS
4.1. Efek Samping dan Toksisitas
4.1.1 Shock
Perhatian yang cukup sebaiknya dilakukan karena gejala-gejala shock kadang-kadang
bisa terjadi. Jika beberapa tanda atau gejala seperti perasaan tidak enak, rasa tidak
enak pada rongga mulut, stridor, dizziness, defekasi yang tidak normal, tinnitus atau
diaphoresis; maka pemakaian sediaan ini harus dihentikan.
4.1.2. Hipersensitivitas
Jika tanda-tanda reaksi hipersensitivitas seperti rash, urtikaria, eritema, pruritus atau
demam maka pemakaian sediaan ini harus dihentikan dan sebaiknya dilakukan
penanganan lain yang lebih tepat.
4.1.3 Hematologik
Granulositopenia atau eosinophilia jarang terjadi. Kadang-kadang thrombocytopenia
dapat terjadi. Pemakaian sediaan ini sebaiknya dihentikan bila ditemukan adanya
kelainan-kelainan ini.Dilaporkan bahwa terjadi anemia hemolitik pada penggunaan
preparat cefixime lainnya.
4.1.4. Hepatik
Jarang terjadi peningkatan GOT, GPT atau alkaline phosphatase.
4.1.5. Renal
Pemantauan fungsi ginjal secara periodik dianjurkan karena gangguan fungsi ginjal
seperti insufisiensi ginjal kadang-kadang dapat terjadi. Bila ditemukan adanya
kelainan-kelainan ini, hentikan pemakaian obat ini dan lakukan penanganan lain yang
lebih tepat.
4.1.6. Saluran Cerna
Kadang-kadang terjadi kolitis seperti kolitis pseudomembranosa, yang ditunjukkan
dengan adanya darah di dalam tinja. Nyeri lambung atau diare terus menerus
memerlukan penanganan yang tepat, jarang terjadi muntah, diare, nyeri lambung, rasa
tidak enak dalam lambung, heartburn atau anoreksia, nausea, rasa penuh dalam
lambung atau konstipasi.
4.1.7. Pernafasan
Kadang-kadang terjadi pneumonia interstitial atau sindroma PIE, yang ditunjukkan
dengan adanya gejala-gejala demam, batuk, dyspnea, foto rontgen thorax yang tidak
normal dan eosinophilia, ini sebaiknya hentikan pengobatan dengan obat ini dan
lakukan penanganan lain yang tepat seperti pemberian hormon adrenokortikal.
4.1.8. Perubahan flora bakterial
Jarang terjadi stomatitis atau kandidiasis.
4.1.9. Defisiensi vitamin
Jarang terjadi defisiensi vitamin K (seperti hipoprotrombinemia atau kecenderungan
pendarahan) atau defisiensi grup vitamin B (seperti glositis, stomatitis, anoreksia atau
neuritis).
4.1.10. Lain-lain
Jarang terjadi sakit kepala atau dizziness.
Pada penelitian terhadap anak tikus yang diberi 1.000 mg/kgBB.hari secara oral,
dilaporkan adanya penurunan spermatogenesis.
4.2. Gejala Toksisitas dan Penanggulangan
4.2.1. Gejala Toksisitas
Hipersensitivitas neuromuskular dan kompulsif
4.2.2. Cara penanggulangan toksisitas :
Hemodialisis mungkin membantu
4.2.3. Peringatan dan perhatian:
Perhatian umum
Hati-hati terhadap reaksi hipersensitif, karena reaksi-reaksi seperti shock dapat
terjadi.
Sediaan ini sebaiknya jangan diberikan kepada penderita-penderita yang masih
dapat diobati dengan antibiotika lain, jika perlu dapat diberikan dengan hati-hati.
Penderita dengan riwayat hipersensitif terhadap bahan-bahan dalam sediaan ini
atau dengan antibiotika cefixime lainnya.
Cefixime harus diberikan dengan hati-hati kepada penderita, antara lain sebagai
berikut:
Penderita dengan riwayat hipersensitif terhadap penisilin.
Penderita dengan riwayat personal atau familial terhadap berbagai bentuk alergi
seperti asma bronkial, rash, urtikaria.
Penderita dengan gangguan fungsi ginjal berat.
Penderita dengan nutrisi oral rendah, penderita yang sedang mendapatkan nutrisi
parenteral, penderita lanjut usia atau penderita yang dalam keadaan lemah.
Observasi perlu dilakukan dengan hati-hati pada penderita ini karena dapat terjadi
defisiensi vitamin K.
Penggunaan selama kehamilan keamanan pemakaian cefixime selama masa
kehamilan belum terbukti. Sebaiknya sediaan ini hanya diberikan kepada
penderita yang sedang hamil atau wanita yang hendak hamil, bila keuntungan
terapetik lebih besar dibanding risiko yang terjadi.
Penggunaan pada wanita menyusui masih belum diketahui apakah cefixime
diekskresikan melalui air susu ibu. Sebaiknya tidak menyusui untuk sementara
waktu selama pengobatan dengan obat ini.
Penggunaan pada bayi baru lahir atau bayi prematur, Keamanan dan keefektifan
penggunaan cefixime pada anak-anak dengan usia kurang dari 6 bulan belum
dibuktikan (termasuk bayi baru lahir dan bayi premature) ( Dexa, 2009).
5. PENELITIAN YANG PERNAH DILAKUKAN
5.1. Clinical Trial
Telah dilaporkan di Pakistan, Mesir, Meksiko, Vietnam, dan Thailand sejak tahun
1988, MDRST terdapat pada 50-75% kasus demam tifoid anak. Resistensi obat ganda
terhadap Salmonella typhi adalah adanya galur atau strain Salmonella typhi yang telah
resisten terhadap dua atau lebih antibiotik yang dipergunakan untuk pengobatan demam
tifoid secara konvensional, yaitu ampicillin, chloramphenicol, dan kotrimoksazol.
Pemberian antibiotik yang berlebihan (over-use), pemakaian antibiotik yang salah (mis-
use), atau pemakaian antibiotik yang tidak tepat (inappropiate) merupakan penyebab
terjadinya MDRST disamping kemungkinan adanya faktor plasmid mediated. Dalam
menghadapi kasus resistensi terhadap Salmonella typhi dengan mortalitas yang
cenderung lebih tinggi daripada non- MDRST, maka akan diperlukan antibiotik yang
lebih poten seperti golongan sefalosporin injeksi atau aztreonam. Pada kasus dewasa
kasus MDRST telah berhasil diobati kuinolon, namun sampai sekarang FDA tidak
merekomendasikan pemakaian kuinolon pada anak mengingat efek samping atropati
pada tulang rawan ( Hadinegoro).
Telah dilakukan penelitian uji klinis non komparatif pengobatan cefixime
terhadap demam tifoid anak di bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI RSCM Jakarta, sejak
Mei 1999- Januari 2000. Subyek berumur antara 3-15 tahun dengan diagnosis klinis
demam tifoid tanpa komplikasi. Diantara 25 pasien yang ikut dalam penelitian, terdapat
11 laki-laki dan 14 perempuan, 16 (64%) pasien termasuk kelompok 5-9 tahun dan 8
(32%) pasien berumur >10 tahun. 18 anak menderita demam dirumah selama 7 hari atau
lebih. Selain demam, mual, muntah, perasaan tidak enak diperut, delirium dan
hepatomegali merupakan gejala yang terbanyak ditemukan. Lebih dari separuh jumlah
kasus penderita demam antara 37,5-38,5oC dan 7 anak lainnya mengalami demam lebih
dari 39oC. Peningkatan LED dan SGOT/SGPT terdapat pada hampir semua kasus.
Semua pasien mendapat pengobatan cefixime 10-15 mg/kgBB/hari, dibagi 2 dosis
selama 10 hari. Penurunan suhu terjadi setelah 6 hari pengobatan. Cure rate, yang
menggambarkan efikasi cefixime terdapat pada 21 (84%) kasus dan gagal 4 (16%) kasus.
Penilaian hasil pengobatan hari ke 5 pada 21 kasus menunjukkan 11 pasien tumbuh
sempurna, 10 pasien lainnya keadaan klinis baik namun masih demam dan suhu turun
pada hari berikutnya. Kegagalan bakteriologist dijumpai pada satu kasus, termasuk
dalam kelompok gagal secara klinis. Secara bakteriologist, 3 pasien resisten terhadap
salah satu dari ketiga antibiotik konvensional. Satu orang pasien resisten chloramfenikol
dan 2 orang resisten ampicillin. 21 (84%) diantara 25 pasien tetap sensitif terhadap ketiga
antibiotik konvensional. Dalam penelitian ini tidak terdapat satu kasus pun dengan
MDRST. Secara umum cefixime mempunyai efikasi yang baik dan dapat ditoleransi oleh
semua pasien dengan efek samping ringan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal
diperlukan evaluasi lebih lanjut mengenai dosis dan lama pengobatan (Ringo, 1996).
5.2. Hasil Penelitian
Dari 31 kasus demam tifoid, 6 orang di antaranya dikeluarkan dari penelitian
oleh karena baik biakan maupun uji serologis terhadap Salmonella typhi negatif. Jadi
hanya 25 pasien yang akan dilaporkan, terdiri dari 11 laki-laki dan 14 perempuan, 16
(64%) pasien kelompok umur 5-9 tahun dan 8 (32%) pasien >10 tahun (Tabel 1).
Delapan belas anak telah mengalami demam di rumah selama 7 hari atau lebih. Selain
demam, mual, muntah, perasaan tidak enak di perut, delirium dan hepatomegali merupakan
gejala yang terbanyak ditemukan. Lebih dari separuh jumlah kasus menderita demam antara
37,5-38,5oC dan 7 anak lainnya mengalami demam lebih dari 39oC. Peningkatan LED dan
SGOT/SGPT terdapat pada hampir semua kasus (Hadinegoro, 2001)
Tabel 1. Lama Demam dan Pola Suhu Saat Masuk Rumah Sakit 1
Kelompok Umur
(tahun)
Lama Demam (hari) Suhu Saat Masuk (º C )
<7 >7 38,0 - 38,5 38,5 – 39.0 >39,0
<5 0 1 1 0 0
5 – 9 4 11 10 2 4
≥10 3 6 3 2 3
Jumlah 7 18 14 4 7
Tabel 2. Manifestasi klinis 12
Gejala klinis n
Demam 25
Menggigil 15
Nyeri perut 18
Mual 20
Muntah 21
Diare 12
Obstipasi 13
Mengigau 20
Kesadaran menurun 10
Lidah tifoid 15
Nyeri epigastrium X 15
Nyeri epigastrium 17
Hepatomegali 19
Splenomegali 6
* tiap pasien dapat mempunyai lebih dari satu gejala
6. PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, penderita anak hanya dikelompokkan berdasarkan suhu tubuh, tidak
dijelaskan tentang kondisi pasien serta berat badan pasien. Kondisi pasien dan berat badan
pasien juga menentukan terapi.
Beberapa kritik yang perlu disampaikan :
1. Apakah penderita anak itu mempunyai berat badan yang ideal, malnutrisi, atau
obesitas.
2. Pada demam thypoid seringkali disertai dengan keluhan yang lain.
3. Terapi yang diberikan, apakah terapi causatif atau causatif simptomatis.
4. Bagaimana kondisi psikologis anak pada saat perawatan.
Dalam penelitian didapatkan 4 orang gagal dalam pengobatan cefixime pada demam
thypoid anak. Kegagalan ini dapat disebabkan oleh :
1. Resistensi antibiotik
2. Penentuan dosis yang tidak tepat
3. Jumlah pemberian obat dalam sehari yang tidak tepat
4. Adanya relaps
5. Penyakit lain yang menyertai.
Berdasarkan penelitian pengobatan pada demam thypoid anak, tidak hanya cefixime
yang menjadi satu-satunya antibiotik yang dipergunakan, tetapi chloramphenicol masih
digunakan sebagai obat lini pertama untuk pengobatan demam thypoid pada anak.
Disamping chloramphenicol, ada antibiotik lain yang dapat digunakan, yaitu
cotrimoxazol dan ceftriaxone. Tetapi dalam 5 tahun terakhir telah dilaporkan kasus
demam thypoid berat pada anak bahkan fatal yang disebabkan oleh adanya resistensi obat
ganda terhadap Salmonella thypii (MDRST).
7. KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan, cefixime mempunyai efikasi dan toleransi yang baik untuk
pengobatan demam tifoid anak. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, dosis dan lama
pengobatan perlu dievaluasi lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Bhutta ZA, Khan IA, Molla AM. Therapy of multidrug- resistant typhoid fever with oral cefixime vs.intravenous ceftriaxone. Pediatr Infect Dis J 1994; 13: 990-4.
Dinkes Jabar, 2006, Daftar informasi obat. Website resmi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat.
Dexa Medica, 2009, Prescription Products. PT Dexa Medica. Palembang – Indonesia
Hadinegoro SR. Kuinolon pada anak suatu dilema. Dalam: Alan RT, Hadinegoro SR, Oswari H.penyunting naskah lengkap pendidikan kedokteran berkelanjutan Bagian ilmu kesehatan Anak XL. Balai Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. 1997: 133-40.
Hadinegoro SR. Masalah Multiple drug resistance pada demam tifoid anak. Dipresentasikan pada simposium New Treatment of Typhoid fever in children. Jakarta, 26 Agustus 1998
Hadinegoro SRS, Tumbelake AR, Satari HI. Pengobatan cefixime pada demam tifoid anak. Sari Pediatri, Vol 2, No 4, Maret 2001 : 182-187
Memon IA, Billoo AG, Memon HI. Cefixime: An oral option for the treatment of multidrug- resistance enteric fever in children. South Med J 1998; 90: 1204-7.
Matsumoto K. Pharmacokinetics/ pharmacodinamics and in-vitro antimicrobial activity of cefixime for Salmonella Typhi. Third Asia Pacific Symposium on Thyphoid Fever and Other Salmonelosis. Bali, 11 Desember 1997.
Ringo-Ringo PH. Pola resistensi antibiotik pada penderita demam tifoid anak di bagian ilmu kesehatan anak FKUI.RSCM Jakarta Tahun 1990-1994. Tesis program Studi ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta 1996.
Sulistia G, Gunawan. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008 :678-686.
Santosa G, M.S Makmuri. Efektivitas dan Keamanan Cefixime pada Pengobatan Infeksi Saluran Pernafasan pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran No 101. Surabaya, 1995: 37-39.
Trihadi D, Rahadja HA. Evaluasi Klinik Pengobatan Cefixime Oral pada Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Non Tuberkulosis. Cermin Dunia Kedokteran No 101. Semarang, 1995: 44-47.