Upload
trinhhuong
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
31
TINJAUAN KONSTRUKTIVISME POLITIK-HUKUM
INTERNASIONAL DALAM PERTIMBANGAN INDONESIA PADA
PEMBENTUKAN ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY
Najamuddin Khairur Rijal, S.IP., M.Hub.Int.
Abstract
ASEAN Political-Security Community (APSC) is one of the three pillars
of ASEAN Community. It is a proposal suggested from Indonesia in ASEAN
Summit Conference 2003 in Bali. APSC is an ASEAN’s states cooperation
efforts to create common security, regional peace and stability. This study
analyze about what is Indonesia’s consideration to suggest formation of
APSC. That proposal not only because Indonesia has strategic national
interest or because Indonesia want revert to be center of ASEAN, but
according to constructivism of international political-law, Indonesia also
has idiographic, purposive, ethical and instrumental consideration.
Keywords: ASEAN; ASEAN Political-Security Community; Indonesia;
constructivism; politic; international law
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
32
Pendahuluan
ASEAN Political-Security Community (APSC) merupakan salah satu
dari tiga pilar ASEAN Community, selain ASEAN Economic Community
(AEC) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). APSC merupakan
upaya kerja sama negara-negara ASEAN dalam mewujudkan keamanan
bersama, perdamaian dan lingkungan yang stabil untuk memajukan ASEAN
sebagai organisasi regional. Jika pembentukan pilar AEC diusulkan oleh
Singapura dan Thailand sebagai dua negara ASEAN yang perekonomiannya
tergolong cukup maju, maka APSC merupakan konsep yang diajukan oleh
Indonesia.20
Dalam pandangan Indonesia, ancaman terorisme dan implikasinya
terhadap ASEAN merupakan salah satu alasan yang mendorong mengapa
ASEAN perlu mengembangkan APSC, yang bertujuan untuk meningkatkan
kerja sama politik dan keamanan antar negara anggota ASEAN.21 Sekalipun
perlu ditegaskan, bahwa APSC bukan hanya memberikan perhatian
terhadap terorisme sebagai ancaman bersama, melainkan kerangka APSC
mencakup seluruh aspek politik-keamanan yang menjadi tantangan kerja
sama regional ASEAN, termasuk masalah demokrasi dan Hak Asasi
Manusia (HAM).
Selain itu, konsep komunitas politik-keamanan yang dicanangkan
Indonesia juga mengetengahkan pengembangan suatu lingkungan yang adil,
20 Konsep APSC yang diajukan Indonesia banyak diilhami oleh tulisan Rizal Sukma
berjudul “ The Future of ASEAN: Towards a Security Community”. Paper dipresentasikan
dalam seminar ASEAN Cooperation: Challenges and Prospects in the Current
International Situation. New York, 3 Juni 2003. Lihat dalam CPF. Luhulima, et al.,
Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
bekerjasama dengan P2P LIPI, 2008), hal. 90. 21 Bambang Cipto, Hubungan Internasional Asia Tenggara: Teropong terhadap Dinamika,
Realitas dan Masa Depan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 81.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
33
demokratis dan serasi (harmonious) serta penegakan hak-hak dan kewajiban
asasi manusia. Dengan mengetengahkan demokrasi dan HAM, Indonesia
memperluas keamanan komprehensif dari regime security (keamanan
negara dan pemerintahan) ke human security (keamanan manusia/warga
negara).22 Artinya, Indonesia ingin mendorong kerja sama politik-keamanan
tidak hanya berfokus pada upaya membangun hubungan damai antar negara
tetapi juga mencegah terjadinya kekerasan di dalam negeri.23 Hal itu
menunjukkan bahwa Indonesia ingin menciptakan APSC yang tidak saja
state oriented tetapi juga people oriented. Mengingat ASEAN acapkali
dikritik sebagai organisasi regional yang hanya memberi ruang bagi
pemerintah (state oriented) tanpa keterlibatan warga negara Asia Tenggara.
Pertanyaan yang menarik kemudian adalah apa yang menjadi
pertimbangan Indonesia mengusulkan pembentukan APSC sebagai salah
satu pilar ASEAN Community? Jawaban pertanyaan tersebut tentu bukanlah
sekadar memberikan argumen bahwa Indonesia memiliki kepentingan
strategis (national interest) dalam APSC ataupun karena Indonesia
berupaya kembali mengetengahkan dirinya sebagai center of ASEAN.
Namun lebih jauh dari itu, ada faktor-faktor dan pertimbangan yang
mendorong Indonesia menekankan pentingnya pembentukan APSC sebagai
kerangka kerja sama ASEAN guna menjadi organisasi regional yang kokoh
dan stabil. Tulisan ini selanjutnya berusaha menjawab pertanyaan di atas
dengan mendasarkan analisis pada pandangan perspektif konstruktivis
dalam politik-hukum internasional untuk menganalisis alasan atau
pertimbangan Indonesia mengusulkan pembentukan ASPC.
22 CPF. Luhulima, Dinamika Asia Tenggara Menuju 2015 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
bekerjasama dengan P2P LIPI, 2011), hal. 316. 23 CPF. Luhulima, et al., op.cit.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
34
Perspektif Konstruktivisme dalam Politik Hukum Internasional
Dalam studi politik-hukum internasional, terdapat tiga pendekatan
untuk melihat hubungan antara politik internasional dan hukum
internasional.24 Pertama adalah pendekatan realisme yang melihat politik
sebagai perjuangan untuk mencapai kekuasaan materiil di antara negara
berdaulat. Kedua, pendekatan liberal institusional yang diasosiasikan
sebagai kelompok rasionalis memaknai politik sebagai ladang permainan
strategis (strategic game) para aktor sebagai instrumen untuk
memaksimalkan keuntungan atau kepentingannya. Hukum internasional,
dalam pandangan ini, dipandang sebagai seperangkat aturan untuk
menyelesaikan masalah kerja sama dalam sebuah tatanan dunia yang anarki.
Ketiga, pendekatan konstruktivis yang menekankan bahwa politik
merupakan bentuk tindakan yang terbentuk secara sosial, hukum sebagai
pusat struktur normatif yang menentukan suatu tindakan aktor yang
terlegitimasi dan dapat dibenarkan.
Lebih lanjut, dalam pandangan konstruktivis, tindakan negara tidak
sepenuhnya hanya didasarkan pada motif-motif politik, ekonomi, dan
militer ataupun didasarkan pada maksimalisasi keuntungan di bawah
tatanan dunia yang anarki dengan pertimbangan untung rugi, melainkan
juga bagaimana aspek normatif, ideasional, dan identitas menjadi penting
dalam membentuk tindakan dan perilaku negara.25 Untuk itu, pandangan
24 Christian Reus-Smit, The Politics of International Law (United Kingdom: Cambridge
University Press, 2004), hal 15. 25 Dalam Deni Meutia dan Yoga Suharman, Pembentukan Piagam ASEAN: Tinjauan
Konstruktivisme Politik Hukum Internasional, Makalah, hal. 5-6. Dipresentasikan dalam
Konvensi Nasional III Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) di HI
UMM pada 8-10 Oktober 2012.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
35
konstruktivis menawarkan tiga preposisi penting dalam kajian politik-
hukum internasional, sebagaimana dijelaskan Christian Reus-Smit.26
Pertama, dalam membentuk tindakan dan perilaku negara serta aktor
lainnya, struktur normatif dan ideasional dipandang sama pentingnya
dengan struktur material. Menurutnya, tindakan atau respons suatu negara
tidak hanya ditentukan oleh faktor lingkungan material, tetapi juga faktor
kepercayaan intersubjektif yang membentuk identitas aktor dan
kepentingannya.27 Kedua, untuk memahami perilaku negara dan aktor
lainnya, perlu memahami bagaimana kondisi identitas sosial mengonstruksi
kepentingan dan tindakan mereka. Ketiga, konstruktivis menekankan
pentingnya kekuatan konstitutif dari struktur normatif dan ideasional yang
muncul ketika terjadi praktek diskursus antara agen sosial yang saling
berpengetahuan sehingga mereka sama-sama sadar akan perlunya
perubahan-perubahan transformatif.28
Lebih lanjut, dalam konteks konstruktivisme politik-hukum
internasional, Reus-Smit mengajukan empat alasan atau faktor penentu
tindakan aktor dan proses terbentuknya institusi modern politik-hukum
internasional, yaitu idiographic, purposive, ethical dan instrumental.29
Pertama, pertimbangan idiographic, yakni ketika aktor menghadapi
pertanyaan ‘who am I?’ atau ‘who are we?’ atau mengenai identitas yang
dimiliki. Kedua, pertimbangan purposive, berhubungan dengan pertanyaan
26 Christian Reus-Smit, op.cit., hal 21-22. 27 Alexander Wendt, “Constructing International Politics,” 1995, International Security,
hal. 73; AlexanderWendt, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999) hal. 92-138; dan AlexanderWendt and Raymond Duvall,
“Institutions and International Order,” dalam Ernst-Otto Czempiel and James N. Rosenau
(eds.), Global Changes and Theoretical Challenges: Approaches to World Politics for the
1990s (Lexington: Lexington Books, 1989), hal. 60. Dikutip dalam ibid, hal. 22. 28 Alexander Wendt, “The Agent Structure Problem in International Relations Theory,”
1987, International Organization, dalam ibid. 29 Ibid, hal. 25
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
36
‘what do I want?’ atau ‘what do we want?’. Aspek ini berhubungan dengan
proses pembentukan kepentingan atau preferensi serta tujuan yang
diharapkan.
Ketiga, pertimbangan ethical, berhubungan dengan pertanyaan ‘how
should I act?’ atau ‘how should we act?’ yaitu berkaitan dengan norma dan
standar moral yang menuntun perilaku negara serta apa yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Keempat, pertimbangan instrumental
yang berkaitan dengan pertanyaan ‘how do I get what I want?’ atau ‘how do
we get what we want?’ yakni bagaimana negara bisa mendapatkan apa yang
ingin mereka capai. Elemen ini berkorelasi dengan metode atau instrumen
apa yang digunakan. Keempat elemen tersebut selanjutnya akan digunakan
untuk menjelaskan perilaku atau pertimbangan Indonesia dalam
mengusulkan kerangka APSC sebagai satu pilar dalam ASEAN
Community.
Sejarah Perkembangan APSC
Tujuan utama ASEAN sebagaimana tertuang dalam Deklarasi ASEAN
di Bangkok ialah membentuk suatu wilayah politik dan keamanan bersama
dan dalam usaha itu mendamaikan persengketaan antar negara-negara di
Asia Tenggara.30 Persengketaan yang melibatkan negara-negara Asia
Tenggara pada waktu itu seperti sengketa perbatasan dan teritorial, konflik
etnis dan permusuhan yang memunculkan gerakan separatis,
pemberontakan komunis, prasangka agama serta ketakutan negara kecil
terhadap negara besar. Untuk itu, negara-negara Asia Tenggara berupaya
30 Berdasarkan Pasal 1 ASEAN Charter, terdapat 15 tujuan dari ASEAN yang menyangkut
aspek politik, keamanan, ekonomi ataupun sosial-budaya. Baca ASEAN Secretariat,
ASEAN Charter (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008), hal. 3-5.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
37
untuk mengelola persengketaan tersebut menuju pembentukan suatu tatanan
regional Asia Tenggara atas dasar sistem ekonomi dan sosial masing-
masing dan status quo teritorial.31
Jadi sesungguhnya, sejak awal dibentuknya, ASEAN sudah merupakan
komunitas keamanan (security community) karena semangat awal
didirikannya adalah guna menyelesaikan berbagai problem keamanan yang
lebih banyak menyangkut hubungan bilateral. Apalagi butir penting awal
pembentukan ASEAN sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Bangkok
ditujukan untuk memajukan perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia
Tenggara.
Dalam perkembangannya, tahun 1971 ASEAN kemudian
melembagakan ASEAN sebagai suatu community of security interest
melalui Deklarasi Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) untuk
memperluas wilayah keamanan atau pembentukan wilayah penyangga
keamanan Asia Tenggara. Menurut Luhulima, deklarasi ZOPFAN sejatinya
adalah ekspresi dari ketidaksetujuan ASEAN untuk membolehkan negara-
negara besar, seperti China, Jepang, Uni Soviet dan Amerika Serikat
melibatkan diri secara tidak terbatas di wilayah Asia Tenggara.32
Dengan demikian, perhatian ASEAN terhadap masalah dan isu-isu
keamanan adalah merupakan perhatian utama. Sejak awal berdirinya
ASEAN, diperlukan suatu tatanan keamanan yang memungkinkan untuk
melangsungkan kerja sama di bidang ekonomi, sosial dan budaya serta
bidang lainnya. Untuk itu, dalam rangka mendukung dan mewujudkan
berbagai tujuan dan cita-cita ASEAN, negara-negara ASEAN kemudian
menyadari pentingnya kerangka legal formal dalam kerja sama keamanan.
31 CPF. Luhulima, op.cit., hal. 303. 32 Ibid, hal. 304.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
38
Maka lahirlah ide pembentukan komunitas keamanan ASEAN melalui
APSC.
Pembentukan APSC merupakan suatu upaya untuk mewujudkan Asia
Tenggara yang damai dan stabil. Ide pembentukan APSC pertama kali
muncul pada Konferensi Tingkat Tinggi (KKT) ke-9 di Bali tahun 2003. Ide
APSC tersebut merupakan salah satu dari tiga pilar ASEAN Community.
Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II) selanjutnya menandai
awal terbentuknya ASEAN Community yang berusaha diwujudkan pada
2020, kemudian dipercepat menjadi akhir tahun 2015.
Lebih lanjut, meskipun sebagai komunitas yang berarti negara-negara
ASEAN digiring dalam common identity, namun norma-norma kerja sama
APSC tetap berpegang teguh pada prinsip kedaulatan nasional, non-
intervensi, integritas teritorial, identitas nasional, prinsip non-kekerasan
dalam penyelesaian konflik, penolakan senjata nuklir dan senjata pemusnah
massal, serta menghindari perlombaan senjata (arms race) di kawasan Asia
Tenggara.33 Selain itu, komunitas keamanan juga harus tetap mencegah
terjadinya persengketaan antar sesama negara ASEAN dan antara negara
ASEAN dengan negara non-ASEAN, mencegah eskalasi konflik hingga
berujung pada konflik terbuka dan berupaya mencari langkah penyelesaian.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku ASEAN Selayang Pandang, bahwa
APSC bersifat terbuka, berdasarkan pendekatan keamanan komprehensif
dan tidak ditujukan untuk membentuk suatu pakta pertahanan atau aliansi
militer maupun kebijakan luar negeri bersama (common foreign policy).
APSC juga mengacu kepada berbagai instrumen politik ASEAN yang telah
ada seperti ZOPFAN, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama Negara-Negara
ASEAN (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia/TAC) dan
33 Ibid, hal. 324.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
39
Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (Treaty on Southeast Asia
Nuclear Weapon Free Zone/SEANWFZ), selain menaati Piagam PBB dan
prinsip-prinsip hukum internasional terkait lainnya.34
Elemen Konstruktivisme Indonesia dalam Pembentukan APSC
APSC merupakan konsep yang diajukan oleh Indonesia dalam Bali
Concord II yang menandai terbentuknya ASEAN Community. Dalam
pandangan konstruktivisme, terdapat empat faktor atau pertimbangan yang
mendasari perilaku Indonesia terkait usulan pembentukan APSC.
Bagaimana keempat faktor tersebut menjelaskan perilaku Indonesia dalam
kerangka konstruktivisme?
1. Faktor Idiography
Identitas Indonesia sebagai salah satu negara pendiri ASEAN selain
Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand menempatkan Indonesia
sebagai salah satu negara yang memiliki peran penting dalam
perkembangan ASEAN. Terlebih, Indonesia pernah menjadi episentrum
ASEAN sehingga adanya APSC diharapkan mampu kembali
mengetengahkan posisi Indonesia yang perlu diperhitungkan dalam
kerangka kerja sama ASEAN.
Selain karena alasan di atas, kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia
merupakan negara kepulauan dan negara terbesar di Asia Tenggara. Dengan
jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia serta keragaman etnis dan
budaya, Indonesia membutuhkan suatu situasi yang aman dan stabil untuk
memelihara keutuhan wilayah dan masyarakatnya. Situasi stabil tersebut
34 Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, ASEAN Selayang Pandang. Edisi ke-19 (Jakarta:
Sekretariat ASEAN, 2010), hal. 31-32.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
40
hanya dapat dicapai melalui kerja sama keamanan yang komprehensif.
Agenda keamanan dibutuhkan Indonesia dalam upaya menjaga keutuhan
negara kesatuan yang multikultur tersebut.
Beberapa alasan lain mengapa Indonesia mengambil prakarsa
mengusulkan konsep APSC dikemukakan oleh Rizal Sukma.35 Pertama,
sejak reformasi 1998 yang membawa Indonesia menjadi negara demokrasi,
agenda demokrasi dan HAM menjadi isu utama dalam kehidupan berbangsa
yang ikut memengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia. Sehingga, sebagai
negara demokrasi yang mensyaratkan adanya penghargaan terhadap HAM,
Indonesia memandang perlunya ASEAN menyusun instrumen tersebut
guna lebih peduli pada komunitas masyarakat ASEAN (people oriented),
setelah selama ini lebih bersifat state oriented.
Kedua, pengalaman Indonesia dalam menghadapi kekerasan di Timor
Timur pada 1999 dan ketidakberdayaan ASEAN mengambil peran utama,
mendorong Australia lebih mendominasi dengan menempatkan pasukan
keamanan internasional. Hal ini sesungguhnya menjadi pelajaran bagi
ASEAN untuk lebih berperan dalam memelihara perdamaian regional tanpa
melibatkan negara di luar kawasan Asia Tenggara.
Ketiga, Indonesia berpendapat bahwa setelah ASEAN Free Trade Area
(AFTA) mulai diimplementasikan serta disetujuinya usul Singapura tentang
ASEAN Economic Community, kerja sama ASEAN lebih banyak didominasi
oleh isu ekonomi. Sementara kerja sama di bidang politik-keamanan kurang
mendapat perhatian. Padahal keamanan merupakan prasyarat utama
terwujudnya regionalisme Asia Tenggara yang kondusif. Untuk itu, konsep
APSC diajukan Indonesia sebagai payung kerja sama keamanan ASEAN
menuju terwujudnya Komunitas ASEAN. Menurut Severino, harus diakui
35 Dalam CPF. Luhulima, et al., op.cit., hal. 90-92.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
41
pula bahwa selama ini Indonesia lebih menaruh perhatian terhadap masalah
politik-keamanan dalam ASEAN daripada masalah ekonomi. Hal itu karena
Indonesia menyadari merasa kalah bersaing di bidang ekonomi
dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura dan
Malaysia.36
2. Faktor Purposive
Elemen purposive mengapa Indonesia berada di garda depan dalam
memajukan konsep APSC adalah menyangkut mengenai what do Indonesia
want? Indonesia mendorong kerja sama keamanan melalui APSC adalah
dalam upaya membangun hubungan damai antar negara anggota. Dengan
situasi damai selanjutnya memungkinkan setiap negara anggota dapat
mengembangkan kerja sama bilateral maupun multilateral serta
meneguhkan kohesivitas ASEAN.
Sasaran kerja sama keamanan dalam upaya menciptakan situasi damai
itu diarahkan pada upaya menangkal persengketaan di antara sesama negara
anggota maupun negara anggota dengan non-anggota, mencegah eskalasi
persengketaan itu menjadi konflik. Jika seandainya konflik tidak
terhindarkan, kerangka kerja sama APSC akan membatasi ruang lingkup
konflik tersebut sekecil mungkin dan perlu segara mengambil langkah-
langkah untuk mengatasinya. Pencegahan itu dilakukan dengan
pembangunan kepercayaan, diplomasi preventif, dan kerja sama dalam
masalah keamanan konvensional dan non-konvensional.37
36 Lihat Rodolfo C. Severino, Southeast Asian in Search of an ASEAN Community. Insights
from the Former ASEAN Secretary General (Singapura: ISEAS, 2006), khususnya Bab 7.
Dalam ibid, hal. 92. 37 Ibid, hal. 39.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
42
Lebih jauh dari itu, APSC diharapkan tidak hanya mengedepankan
hubungan damai antar negara tetapi juga hubungan damai di dalam negeri
masing-masing negara anggota. Untuk itu, demokrasi dan perlindungan
terhadap HAM dipandang Indonesia perlu dimajukan guna mencegah
terjadinya kekerasan di dalam negeri. Dengan mengetengahkan demokrasi
dan HAM, Indonesia memperluas konsep keamanan dari keamanan
pemerintahan (regime security) ke keamanan manusia (human security).
3. Faktor Ethical
Elemen ethical menjadi landasan norma moral yang menjadi
pertimbangan Indonesia dalam mengusulkan APSC. Transformasi ke
human security yang ditekankan dalam APSC melalui demokrasi dan HAM
sesungguhnya merupakan bagian integral dalam mengamankan kehidupan
bangsa-bangsa ASEAN. Menurut Hassan Wirajuda, nilai-nilai demokrasi
dan HAM perlu dibina karena nilai-nilai tersebut akan sangat mengurangi
sumber-sumber konflik baik antar negara maupun intra negara.38
Pengamanan hidup manusia (human security) dalam payung demokrasi dan
HAM akan sekaligus mengamankan kehidupan bangsa-bangsa ASEAN
karena keamanan manusia mencakup seluruh spektrum keamanan yang
sangat luas.
Lebih lanjut, kerangka komunitas keamanan yang diusulkan Indonesia
sesungguhnya tidaklah beranjak dari apa yang dipraktikkan selama ini oleh
ASEAN melalui prinsip ASEAN Way. Prinsip-prinsip tidak tertulis dalam
ASEAN Way itu adalah menentang kekerasan dan mengutamakan solusi
damai (pembuatan keputusan melalui konsensus), otonomi regional, prinsip
38 Dalam Lokakarya IV ASEAN Regional Mechanism on Human Rights di Jakarta pada 17
Juni 2008. Dalam CPF. Luhulima, op.cit., hal. 206.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
43
tidak mencampuri urusan negara lain (non-intervensi), menolak
pembentukan aliansi militer dan menekankan kerja sama bilateral
(penyelesaian konflik secara damai).39
Selain itu, APSC tetap berpegang pada norma-norma yang telah
disepakati bersama. Antara lain upaya confidence building measure (CBM),
preventive diplomacy dan conflict resolution. Serta, traktat-traktat yang
telah diterima bersama seperti Treaty of Amity and Cooperation (TAC),
Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) dan traktat Southeast
Asian Nuclear Weapons Free Zone (SEANWFZ).
4. Faktor Instrumental
Elemen terakhir pendekatan konstruktivis dalam politik-hukum
internasional adalah pertanyaan mengenai bagaimana mencapai apa yang
diinginkan. Dalam konteks ini, bagaimana mencapai harapan yang
Indonesia usulkan melalui pembentukan APSC. Draf yang diusulkan
Indonesia dalam APSC sesungguhnya lebih banyak mengandung ide
orisinal yang cukup radikal.40
Instrumen yang ditawarkan adalah perlunya pendefinisian prinsip non-
intervensi secara lebih fleksibel. Hal itu dimaksudkan agar negara anggota
lebih terbuka terhadap saran dan keterlibatan para anggota lainnya apabila
ada masalah yang bersifat lintas batas atau menimbulkan krisis
kemanusiaan. Selain itu, Indonesia mengusulkan perlunya mendirikan
39 Lebih lanjut baca Amitav Acharya, Constructing a Security Community in Southeast
Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order (Landon: Routledge, 2001), hal. 45. Baca
dalam Bambang Cipto, op.cit., hal. 23. 40 Dalam CPF. Luhulima, et al., op.cit., hal. 96.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
44
mekanisme regional perlindungan HAM agar ASEAN memajukan
demokrasi dan HAM.
Ide lainnya adalah perlunya pembentukan pasukan perdamaian regional
sehingga ASEAN memiliki kemampuan untuk memainkan peran aktif
dalam pemeliharaan perdamaian dan post-conflict peace building. Indonesia
juga menambahkan perlunya suatu tata aturan pemeliharaan perdamaian
regional atau regional peace keeping arrangement serta pembentukan
lembaga-lembaga pendukung bagi upaya penyelesaian konflik.41 Selain itu,
Indonesia juga mengusulkan diadakannya kerja sama maritim tingkat
regional dan peningkatan kerja sama di bidang pertahanan serta ASEAN
Extradition Treaty.42
Namun kemudian, beberapa usul Indonesia yang diajukan di KTT Bali
tahun 2003 itu mendapat penentangan dari beberapa negara anggota
ASEAN karena dinilai melangkah terlalu jauh. Mengenai ide pembentukan
pasukan perdamaian dipandang terlalu premature. Kerangka APSC yang
akhirnya disetujui juga tidak secara eksplisit berbicara tentang komitmen
memajukan demokrasi dan HAM, sehingga tampak bahwa ASEAN tidak
mengalami pergeseran kerja sama politik-keamanan menjadi people
oriented.
Akan tetapi, dalam Vientiane Action Programme (VAP) pada 2004 yang
merumuskan rencana aksi APSC, sebagian usul awal Indonesia yang semula
ditolak berhasil dimasukkan kembali. VAP berhasil menyelipkan beberapa
butir tentang demokrasi dan HAM secara lebih terbuka. Serta adanya
kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama ASEAN dalam bidang
41 Ibid. Lihat juga CPF. Luhulima, op.cit., hal. 205. 42 Semua ide-ide yang dikemukakan di atas tertuang dalam makalah Rizal Sukma. Lihat
juga Mely Caballerro-Anthony, Regional Security in Southeast Asia (Singapura: ISEAS,
2005), hal. 270-272. Baca CPF. Luhulima, et al., op.cit.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
45
pertahanan dan keamanan maritim serta rencana untuk melibatkan ASEAN
dalam post-conflict peace building.43
Penutup
Secara teoritik, pendekatan konstruktivisme memberikan sudut pandang
alternatif dalam melihat realitas hubungan internasional dan politik-hukum
internasional. Pendekatan ini memandang bahwa usul pembentukan APSC
oleh Indonesia bukanlah semata-mata didasari oleh kepentingan material
dan pertimbangan untung rugi melainkan dapat dianalisis berdasarkan
elemen identitas, normatif-ideasional dan moral.
Dalam konteks pembentukan APSC, konstruktivisme memandang
bahwa terdapat empat elemen yang memberikan kerangka guna
menganalisis perilaku Indonesia sebagai peletak dasar ide pembentukan
APSC. Pertimbangan Indonesia didorong oleh elemen idiography
(identitas) bahwa Indonesia membutuhkan situasi yang aman dan stabil
guna memelihara keutuhan wilayah dan masyarakat yang multikultur.
Selain itu, karena sejak memasuki alam demokrasi pascareformasi 1998
Indonesia menyadari pentingnya pembangunan nilai-nilai demokrasi dan
penegakan HAM sebagai upaya mewujudkan perdamaian yang tidak hanya
berbasis negara tetapi juga masyarakat (people oriented).
Elemen identitas tersebut didukung oleh tujuan untuk mengembangkan
kerja sama bilateral maupun multilateral serta meneguhkan kohesivitas
ASEAN dengan adanya situasi yang aman dan stabil. Selain itu, dengan
adanya komunitas keamanan, berbagai persengketaan antar negara anggota
ASEAN dan dengan negara non-ASEAN dapat diselesaikan. Sebab, salah
43 Ibid, hal. 104-105. Untuk lebih lengkap mengenai kerangka kerjasama APSC yang telah
disepakati baca ASEAN Secretariat, ASEAN Political-Security Community Blueprint
(Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009).
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
46
satu tantangan utama ASEAN sejak awal berdirinya adalah adanya
sengketa-sengketa baik teritorial maupun sosial-budaya yang menghambat
kerja sama ASEAN.
Dalam upaya mewujudkan hal di atas, elemen ethical memberikan
kerangka moral berdasarkan prinsip ASEAN Way yang selama ini dipelihara
seperti prinsip non-intervensi, pembuatan keputusan melalui konsensus,
otonomi regional dan kedaulatan nasional serta penyelesaian konflik secara
damai tanpa kekerasan. Adapun elemen instrumental sebagai elemen
terakhir untuk melihat perilaku Indonesia, menyediakan cara untuk
mencapai tujuan yang diharapkan berdasarkan elemen moral yang ada.
Pembentukan APSC diwujudkan dengan terbukanya perhatian pada
masalah demokrasi dan HAM untuk menciptakan keamanan regional dan
domestik. Serta adanya kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama
ASEAN dalam bidang pertahanan dan keamanan maritim serta rencana
untuk melibatkan ASEAN dalam post-conflict peace building. Terakhir,
dalam upaya mewujudkan komunitas keamanan melalui APSC dan ASEAN
Community secara umum, negara anggota dan masyarakat ASEAN perlu
membangun we feeling (rasa kekitaan) yang terwujud melalui one identity,
one vision dan sense of community.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
47
DAFTAR PUSTAKA
ASEAN Secretariat. ASEAN Charter (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008)
ASEAN Secretariat. ASEAN Political-Security Community Blueprint
(Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009)
Cipto, Bambang. Hubungan Internasional Asia Tenggara: Teropong
terhadap Dinamika, Realitas dan Masa Depan (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007)
Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN. ASEAN Selayang Pandang. Edisi
ke-19 (Jakarta: Sekretariat ASEAN, 2010)
Luhulima, CPF., et al. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas
ASEAN 2015 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan P2P
LIPI, 2008)
Luhulima, CPF. Dinamika Asia Tenggara Menuju 2015 (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar bekerjasama dengan P2P LIPI, 2011)
Meutia, Deni dan Yoga Suharman. Pembentukan Piagam ASEAN: Tinjauan
Konstruktivisme Politik Hukum Internasional. Makalah
dipresentasikan dalam Konvensi Nasional III Asosiasi Ilmu
Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) di HI UMM pada 8-10
Oktober 2012.
Reus-Smit, Christian. The Politics of International Law (United Kingdom:
Cambridge University Press, 2004)