Upload
doanthuan
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
THE VIEW OF HASYIM ASY’ARI DESCENT TO NAHDLATUL ULAMA’SROLE DYNAMICS IN INDONESIAN'S SOCIAL AND POLITICAL DOMAIN
Muhammad Shidqi/070810086Program Studi S1 Ilmu Politik, Departemen Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga
ABSTRACT
The study is entitled "The View of Hasyim Asy’ari descent to NU’s Role Dynamics inIndonesian's Social and Political Domain". The background of this study is Nahdlatul Ulama asthe biggest Islamic organization has role paradigm shift in development of Indonesian politics.The different views from each descendants of Hasyim has influence the dynamics thedevelopment of Nahdlatul Ulama. This study has the following objectives. First, to know theBani Hasyim's descendants view of the Nahdlatul Ulama in the past. Second, to know BaniHasyim's view about Nahdlatul Ulama after the reform. The method used in this thesis is aqualitative research method and the method of discourse is collecting data made throughinterviews with descendants of Bani Hasyim. Through the Habermas's critical theory as the maintheory with the two theories supporting that is the Sunni political theory and the theory of therelation between Islam and the state, can be known the Bani Hasyim’s wiew about the dynamicsof role in NU at the past and after the reform.
The conclusion of this study as follows. First, in view of Hasyim’s descent, NU is theright organization at the past and should be maintained. Second, when entering an era of reformHasyim descendants have a different view when NU entered the domain of politics. There arethree different views: first, the view that political figures should break away from the NU whenhe joined politics. Second, NU's political must go through a certain party, in this case the PKB.And third, the political figures allowed involved in politics at any political partai to did not haveto release the NU's "clothes", but did not use the name of organization but rather on behalfpersonally.
Keyword : Nahdlatul Ulama, Role, Bani Hasyim, Indonesian Politics
PANDANGAN KETURUNAN HASYIM ASY’ARI TERHADAP DINAMIKAPERAN NU DALAM RANAH SOSIAL POLITIK INDONESIA
Muhammad Shidqi/070810086Program Studi S1 Ilmu Politik, Departemen Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Pandangan Keturunan Hasyim Asy’ari terhadap Dinamika PeranNahdlatul Ulama di Ranah Sosial dan Politik Indonesia”. Latar belakang penelitian ini adalahNahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar dalam perkembanganya mengalamipergeseran paradigma peran di kancah politik Indonesia. Adanya perbedaan pandangan darimasing-masing keturunan Hasyim Asy’ari mempengaruhi dinamika perkembangan NahdlatulUlama. Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut. Pertama, mengetahui pandanganketurunan Bani Hasyim terhadap Nahdlatul Ulama di masa lalu. Kedua, mengetahui pandanganBani Hasyim terhadap Nahdlatul Ulama setelah orde reformasi. Metode penelitian yangdigunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian kualitatif dan metode diskursus yaitupencarian data dilakukan melalui wawancara terhadap keturunan Bani Hasyim. Melalui teorikritis Habermas sebagai teori utama dengan dua teori pendukung yaitu teori politik Sunni danteori relasi antara Islam dan Negara, dapat diketahui pandangan Bani Hasyim terhadap dinamikaperan Nahdlatul Ulama di masa lalu dan setelah orde reformasi.
Kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut. Pertama, NU masa lalu dalam pandanganketurunan Hasyim Asy’ari merupakan organisasi yang tepat dan harus dipertahankan. Kedua,ketika memasuki era reformasi keturunan Hasyim Asy’ari mempunyai pandangan yang berbedaketika NU memasuki ranah politik. Terdapat tiga pandangan yang berbeda yaitu pertama,pandangan bahwa tokoh politik NU harus melepaskan diri dari NU ketika dia ikut politik. Kedua,politik NU harus melalui partai tertentu, dalam hal ini PKB. Dan ketiga, tokoh politik NU bolehberpolitik di partai politik manapun dengan tidak harus melepaskan “baju” NU, namun tidakmemakai nama organisasi melainkan atas nama pribadi.
Keyword : Nahdlatul Ulama, Peran, Bani Hasyim, Politik Indonesia
PROLOG
Pergeseran paradigma beberapa organisasi politik Islam juga mempengaruhi dimensi
politik Indonesia sebagai negara dengan penganut Muslim terbesar di Indonesia. Salah satu
organisasi Islam di Indonesia adalah Nadhatul Ulama yang merupakan organisasi Islam penganut
paham Ahlussunah wal Jama'ah. Ahlussunah wal Jama'ah adalah sebuah pola pikir yang
mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli
(skripturalis). Nahdlatul Ulama berdiri diawali adanya sikap keprihatinan elit Islam di Jawa
Timur terhadap keterbelakangan yang dialami bangsa Indonesia baik secara mental maupun
akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi. Di bidang politik NU memunculkan tokoh-
tokoh muda yang berpikiran modern. Kyai Wahid Hasyim yang menjadi tokoh elit Nahdlatul
Ulama pertama yang menjadi bagian dari pemerintah Indonesia. Beberapa tokoh yang mengikuti
jejak Hasyim Asy’ari seperti Kyai Wahid Hasyim, Kyai Masykur, Zainul Arifin, Idham Chalid
dan Saifuddin Zuhri. Pada masa pasca proklamasi andil Kyai Wahab sangat menonjol. Pada awal
kemerdekaan Kyai Wahab bersama kaum pergerakan lainnya seperti Ki Hajar Dewantoro, Dr.
Douwes Dekker dan Dr. Rajiman Wedyodiningrat duduk dalam Dewam Pertimbangan Agung.
Nahdlatul Ulama sebagai sebuah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia memiliki
bobot politik yang tinggi dan sangat diperhitungkan. Apabila tiba musim Pemilu, juga Pilkada,
organisasi yang didirikan pada 31 Januari 1926 ini selalu digadang-gadang sebagai kendaraan
kampanye atau ditempatkan sebagai sarana pemenangan politik pragmatis. Bahkan tidak jarang
kader-kader NU ikut terjun langsung bersaing di pentas politik. Peranan Gus Dur juga sangat
besar dan tidak perlu di pertanyakan lagi. Selain itu, masih ada beberapa keturunan Bani Hasyim
yang mempengaruhi perkembangan dinamika peran Nahdlatul Ulama sendiri dalam ranah sosial
dan politik.
Politik praktis telah membuat Nahdlatul Ulama jatuh bangun sedemikian rupa, meski
begitu Nahdlatul Ulama menegaskan adalah Nahdlatul Ulama tetap steril dari kepentingan
politik di dalam tubuhnya. Namun jika ada elit yang mengikuti politik praktis, maka itu adalah
hak pribadi mereka. Dalam perkembanganya, Nahdlatul Ulama juga tak pernah lepas dari tangan
peranan Kyai Hasyim Asy’ari dan keturunannya. Keturunan Kyai Hasyim Asy’ari memegang
kunci jatuh bangunnya Nahdlatul Ulama pada masanya.
Studi respon pemikiran generasi NU terhadap dinamika pergeseran paradigma Nahdlatul
Ulama sendiri menjadi fokus pendekatan utama penelitian ini karena menjadi salah satu
permasalahan yang dapat dilihat dari pemikiran politik Islam modern. Selain itu dinamika peran
Nahdlatul Ulama dalam sejarah politik Indonesia memunculkan sisi menarik karena dipengaruhi
oleh keterlibatan Bani Hasyim Asyari sebagai pendiri Nahdlatul Ulama. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode penelitian kualitatif dan metode diskursus yaitu pencarian data
dilakukan melalui wawancara terhadap keturunan Bani Hasyim. Melalui teori kritis Habermas,
teori politik Sunni dan teori relasi antara Islam dan negara dapat diketahui pandangan Bani
Hasyim terhadap dinamika peran Nahdlatul Ulama di msa lalu dan setelah orde reformasi.
PEMBAHASAN
Pandangan Bani Hasyim Terhadap Perkembangan Nahdlatul Ulama di Masa Lalu
Perkembangan Nahdlatul Ulama sejak berdirinya sebagai organisasi kemasyarakatan dan
keagamaan pada awalnya berubah menjadi organisasi politik yang menjadi bagian dari
pemerintah Indonesia dengan beberapa tokohnya masuk dalam struktur di pemerintah dan
pemerintahan. Nahdlatul Ulama menganggap bahwa dengan masuknya tokoh Nahdlatul Ulama
dalam tubuh pemerintah, maka ideologi Islam dengan paham Ahlussunnah wal Jamaah
khususnya, dapat berkembang di negara ini. Keterlibatan dan peran keturunan Bani Hasyim
dalam sejarah perkembangan Nahdlatul Ulama di dunia sosial dan politik Indonesia membuat
penulis menjadikan pandangan Bani Hasyim sebagai tolak ukur pergeseran dan perkembangan
peran Nahdlatul Ulama yang dimulai dari awal berdirinya Nahdlatul Ulama. Beberapa keturunan
Bani Hasyim yang saat ini terlibat dalam dunia sosial dan politik antara lain KH Solahudin
Wahid yang merupakan mantan calon wakil presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa. Solahudin
Wahid merupakan adik dari KH Abdurahman Wahid dan keturunan generasi ketiga dari KH
Hasyim Asyari. Keturunan Bani Hasyim yang terlibat dalam politik aktif yang kedua yakni
Yenny Wahid yang merupakan generasi keempat KH Hasyim Asyari dan merupakan putri kedua
dari mantan presiden KH Abdurahman Wahid. Yenny Wahid saat ini menjabat sebagai ketua
umum Partai Kebangkitan Bangsa Indonesia Baru. Selain Yenny Wahid, keturunan Bani Hasyim
Asyari yang terlibat dalam dunia sosial dan politik adalah Muhaimin Iskandar. Muhaimin
Iskandar merupakan keponakan dari KH Abdurahman Wahid sebagai generasi ketiga dari KH
Hasyim Asyari.
Menurut Informan yang bernama Muhaimin Iskandar, Nahdlatul Ulama sebagai organisasi
Islam pada awal berdirinya adalah benteng kaum Sunni di Indonesia. Tujuan dibentuknya
Nahdlatul Ulama di Indonesia saat itu merupakan strategi kaum Sunni di Indonesia untuk
menghalau paham Wahabi yang sedang berkembang di Arab Saudi dan mengancam eksistensi
Sunni di dunia. Muhaimin juga menjelaskan bahwa Wahabi akan mengancam untuk
memberangus tradisi tadisi lokal yang dianggap bid’ah. Menurut Muhaimin, momen
didirikannya Nahdlatul Ulama di Indonesia merupakan tempat yang tepat dan waktu yang tepat
juga. Berdiri di wilayah yang mayorits masyarakatnya penganut agama Islam namun dengan ciri
khas tersendiri. Hal tersebut merupakan refleksi kritis Bani Hasyim terhadap epistemologi
munculnya Nahdlatul Ulama. Sebagaimana yang diutarakan Hegel bahwa refleksi kritis adalah
refleksi atau refleksi-diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan dan kontradiksi-kontradiksi
yang menghambat proses pembentukan diri dari rasio dalam sejarah. Pandangan Muhaimin
Iskandar terhadap tujuan didirikanya Nahdlatul Ulama merupakan refleksi cara pandang salah
satu Bani Hasyim terhadap rintangan-rintangan, tekanan-tekanan dan kontradiksi-kontradiksi
yang menghambat proses pembentukan diri Nahdlatul Ulama dari rasio dalam sejarah berdirinya
Nahdlatul Ulama itu sendiri. Tekanan itu berwujud berkembangnya paham Wahabi yang dapat
mengancam eksistensi kaum Sunni di dunia.
Ahlussunnah sebagai paham menurut NU sangat relevan dengan kondisi Indonesia dan
Islam saat itu, saat ini, dan selamanya. Karena Sunni adalah aliran yang berpaham universal dan
fleksibel sebagaimana konsep Islam yang dipahami oleh kebanyakan orang yaitu Islam sebagai
rahmatan lil alamin. Jadi, Ahlussunnah bersikap lunak dan lembut terhadap segala sesuatu
selama tidak menyentuh akidah. NU sadar bahwa keberadaan Sunni di Indonesia dan dunia
terancam oleh kehadiran kelompok dengan aliran radikal, yang akan memberantas budaya lokal
yang dianggap bid’ah. Menurut Kiai Tolchah negara membutuhkan agama agar negara berjalan
dengan etika dan moral. Agama juga membutuhkan negara karena dengan adanya negara, agama
dapat berkembang lebih baik. Oleh karena itu NU memilih masuk ke tubuh pemerintahan. Salah
satu tokoh NU yang masuk dalam struktur pemerintah adalah Kiai Wahid Hasyim, salah satu
putra Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri NU itu sendiri. Kiai Wahid yang sepak terjangnya dalam
politik berbangsa dan bernegara itu sudah diakui hingga negara menobatkannya sebagai
pahlawan nasional.
Pada awalnya NU memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dengan pertimbangan
bahwa penduduk di Indonesia sebagian besar adalah pemeluk agama Islam. Melihat kenyataan
yang lebih luas dan lebih mengutamakan kemaslahatan bangsa, Kiai Wahid mengusulkan agar
tujuh kata di sila pertama dalam Pancasila dihapus dan diganti dengan kalimat “Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Lambat laun masuknya Nahdlatul Ulama ke dalam tubuh pemerintahan membuat
Nahdlatul Ulama semakin berhasrat menjadi organisasi politik bahkan partai. Dapat dilihat pada
tahun 1955, Kiai Wahab yang saat itu menjabat sebagai Rais Aam Nahdlatul Ulama mendirikan
partai Nahdlatul Ulama. Dan Nahdlatul Ulama menjadi kekuatan politik yang disegani oleh
saingannya. Menurut Informan yang bernama Muhaimin Iskandar, Nahdlatul Ulama sebelum
merdeka telah menjadi kekuatan sosial. Hal ini disebabkan karena Nahdlatul Ulama dekat
dengan masyarakat kecil dan melestarikan budaya lokal. Nahdlatul Ulama juga merupakan
kekuatan politik yang sudah lama bergerak dalam politik kebangsaan. Masuknya Nahdlatul
Ulama ke dalam politik ini ditentang oleh ulama senior yang berpengaruh yaitu KH. Bisyri
Sansuri. Pandangan yang diungkapkan oleh Muhaimin Iskandar ini merupakan pandangan kritis
-historis yang menurut Habermas dikembangkan berdasarkan situasi masyarakat kongret.
Sehingga dapat diartikan bahwa kritik-historis yang ada dalam pemikiran Muhaimin Iskandar
merupakan pandangan Muhaimin Iskandar terhadap situasi masyarakat Indonesia pada saat
berdirinya Nahdlatul Ulama.
Sisi perkembangan historis Nahdlatul Ulama mengalami tanggapan berbeda dari
pandangan Bani Hasyim yang lain. Seperti yang diutarakan oleh informan yang bernama KH
Sholahudin Wahid:
Antara tahun 1935/1936 Muktamar di Banjarmasin mengatakan bahwa negara kerajaanbelanda itu (darussalam) tapi kita tidak perlu darul Islam,tapi dengan tahun 1945, NUmemperjuangkan Negara berdasarkan Islam, yang tahun 1936 Mansyur Bos sayakan, yangbelakangan itu ya berlaku menurut sayam memang NU menurut pak Wachid Hasyimterpaksa (dalam tanda kutip) situasi yang ada itu tidak memungkinkan kita untuk tidakmenerima Pncasila, nah mengikuti anjuran Bung Karno untuk menerima dulu nantidiperjuangkan lagi dalam kesempatan berikutnya, Maka NU setelah jadi partai pun masimemperjuangkan dasar Negara Islam pada konstituante pada 1956-1959 ketika BungKarno mau memberlakukan lagi UUD 45 NU menanyakan bagaimana dengan piagamJakarta, jadi sampai tahun 1959 itu NU tetap memperjuangkan Negara berdasar Islam, jadimemperjuangkan ideology Islam, jadi untuk menjawab apa ideology Islam, jadipertanyaannya sekarang apa ideology itu tepat? Untuk saat itu ya tepat, untuk saat sekarang
mungkin sudah tidak tepat. Nah NU baru melepaskan perjuangan untuk menjadikan Islamsebagai dasar Islam itu tahun 1984 melalui Muktamar Situbondo dimana diputuskan bahwaNU menerima pancasila sebagai satu-satunya asas Negara.
Menurut informan yang bernama Sholahudin Wahid tersebut Nahdlatul Ulama pada saat
muktamar Nahdlatul Ulama pada tahun 1939 negara kerajaan Hindia Belanda tidak perlu Darul
Islam. Namun pada tahun 1945, Nahdlatul Ulama mulai memperjuangkan negara berdasarkan
Islam. Namun karena pada saat itu situasi tidak memungkinkan, maka Nahdlatul Ulama lewat
Wachid Hasyim harus menerima pancasila. Informan tersebut juga menjelaskan bahwa Bung
Karno menganjurkan agar Nahdlatul Ulama menerima pancasila terlebih dahulu dan perjuangan
Nahdlatul Ulama diperjuangkan pada kesempatan berikutnya. Sholahudin Wahid menambahkan
bahwa setelah jadi partai politik, Nahdlatul Ulama pun masih memperjuangkan dasar perjuangan
negara Islam sampai pada tahun 1959. Nahdlatul Ulama baru mau melepas ideologi Islam yang
diterapkanya pada tahun 1984 melalui muktamar Situbondo.
Ideologi Islam sudah tak lagi relevan dengan perjalanan bangsa dan ke-NU-an. Hal
tersebut dikarenakan kalangan NU sendiri sudah banyak yang dari golongan abangan (non-
pesantren), atau kalangan NU sendiri banyak beralih dari pemikiran Islam menuju ke liberal-
pluralis, contoh Ulil dan Gus Dur. Karena Kiai Hasyim sendiri berpikiran bahwa tak perlulah
negara dibuat negara Islam, cukup masyarakatnya berprinsip dan bertingkah laku keislaman,
maka Islam Ahlussunnah wal Jamaah akan terus lestari hingga akhir nanti. Melepaskan ideologi
Islam berarti melepaskan perjuangan NU melalui politik praktis yang selama hampir 30 tahun
NU berkecimpung di dalamnya.
Dogmatisme yang dialami kalangan Nahdlatul Ulama pada periodisasi 1950 sampai pada
awal 1980 merupakan dampak dari prasangka-prasangka yang membuat pikiran kalangan pikiran
Nahdlatul Ulama menjadi rancu yang menyelubungi pikiran mereka sejak masa kanak-kanak di
pesantren. Sementara prasangka yang mereka rasakan adalah sebuah kekeliruan atau kesesatan
yang dianut oleh sebuah zaman dan tertanam dalam institusi-institusi sebuah kesesatan
pemahaman antara Negara dan Agama. Dengan demikian terlihat jelas bahwa perjuangan
Nahdlatul Ulama dalam memperjuangkan syariat Islam saat periodisasi tersebut sarat akan
kepentingan. Seperti yang diutarakan oleh Habermas bahwa Ideologi merupakan sarat
kepentingan. Kepentingan yang terdapat pada pemikiran kalangan Nahdlatul Ulama merupakan
kepentingan kutub empiris dan kepentingan kutub transendental. Kepentingan kutub empiris
yang dimaksud penulis berkaitan dengan kondisi sosio-historis kalangan ulama Nahdlatul
Ulama sebagai spesies yang berkehendak sementara kepentingan kutub transendental meliputi
pengetahuannya yang bersifat normatif ideal. Kritik Ideologi bekerja dalam dua tataran ini. Yaitu
untuk mencari pertautan keduanya manakala pemikiran kalangan ulama Nahdlatul Ulama
membeku pada salah satu kutub kepentingan tersebut.
Pandangan Bani Hasyim Terhadap Perkembangan Nahdlatul Ulama Pasca Era Reformasi
Runtuhnya rezim orde baru membuat Nahdlatul Ulama memasuki babak baru. Nahdlatul
Ulama yang sebelumnya mendapatkan tekanan dari pemerintah kini memasuki era kebebasan di
segala bidang termasuk kebebasan membuat partai politik. Sebagaimana yang diutarakan oleh
informan yang bernama Muhaimin Iskandar:
Sikap NU terhadap tokohnya yang terjun ke dunia politik itu wajar , mas. Karena dulumerasa tertekan pada zaman orba. Dikucilkan dan diasingkan, ndak boleh berkembangdalam PPP. Dengan terjunnya tokoh-tokoh NU ke dalam dunia politik ada pengalamanbaru di reformasi ini.
Menurut informan Muhaimin Iskandar, sikap Nahdlatul Ulama untuk menanggapi para tokohnya
yang terjun di dunia politik dianggap wajar. Muhaimin menilai bahwa dengan terjunnya tokoh
kalangan Nahdlatul Ulama dalam dunia politik akan menambah pengalaman baru bagi warga
Nahdlatul Ulama di era reformasi. Hal senada juga diungkapkan oleh informan bernama Yenni
Wahid yang merupakan cucu dari Kiai Wahid mempunyai pandangan lain, “...politik merupakan
jalan tercepat melakukan perubahan”.
Berangkat dari cara pandang kedua informan dari Bani Hasyim tersebut, dapat dikatakan bahwa
cara pandang kedua keturunan Bani Hasyim terhadap kebebesan berpolitik era reformasi dengan
harapan adanya perubahan merupakan implikasi dari cara pandang mereka yang menganut
paham Sunni. Pandangan ini yang membuat K.H Hasyim beserta anak-cucunya khususnya
melalui putranya K.H Wahid Hasyim banyak berkecimpung di dunia politik yang pada akhirnya
mengantarkan keturunan Bani Hasyim dari generasi ke tiga yakni KH Abdurahman Wahid
menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke tiga. Muhaimin Iskandar menyatakan bahwa
kekukatan Nahdlatul Ulama harus menyatu dalam Partai Kebangkitan Bangsa. Karena hanya
Partai Kebangkitan Bangsa yang memperjuangkan hak warga Nahdlatul Ulama. Muhaimin
menilai bahwa tokoh Nahdlatul Ulama yang aktif di partai selain Partai Kebangkitan Bangsa
tidak ada yang mau memperjuangkan nasib Nahdliyin. Sehingga dalam hal ini Muhaimin
Iskandar menyerukan agar Nahdlatul Ulama harus mengerahkan kekuatanya dalam berpolitik di
Partai Kebangkitan Bangsa.
Sikap pandangan Muhaimin Iskandar sebagai keturunan Bani Hasyim terhadap
perkembangan Nahdlatul Ulama pasca reformasi menunjukkan bahwa Muhaimin Iskandar
membuat pembenaran post eventum atas preseden dalam sejarah. Hal itu merupakan unsur inti
yang disebutnya sebagai kejeniusan beradaptasi masyarakat Sunni yang diserukan oleh
Muhaimin Iskandar dan Yenny Wahid untuk membuat perubahan. Muhaimin Iskandar
mengutarakan bahwa keterlibatan Bani Hasyim di politik adalah sebuah resiko. Hal ini dilatar
belakangi oleh keterlibatan Kiai Wahid yang sudah terlanjur masuk ke dalam dunia politik dan
diikuti oleh putra putranya. Pandangan yang dimiliki Bani Hasyim terhadap perkembangan peran
Nahdlatul Ulama mengalami ketegangan dialektis antara filsafat Sunni yang mereka pahami
dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Sebagaimana yang diutarakan Habermas bahwa
sikap kritis yang dimiliki Muhaimin Iskandar merupakan kritik yang dia lakukan terhadap
ideologi Nahdlatul Ulama dan membuka kedoknya dari positivisme. Positivisme merupakan cara
berpikir yang dimiliki keturunan Bani Hasyim terhadap kesejahteraan warga Nahdlatul Ulama di
era Industrialisasi dan reformasi saat ini serta keprihatinan Muhaimin Iskandar atas
permasalahan rasionalitas yang dialami warga Nahdhiyin di era reformasi.
Pandangan yang berbeda muncul dari Informan yang bernama Sholahudin Wahid yang
menyatakan bahwa, “Sekarang juga gak ada juga, yeni pun sudah bikin partai tapi gak lolos,
lolospun bakalan gak dapat suara juga, lah yang paling NU itu jangan ikut politik aktif, ini yang
saya gak setuju kalau NU mendukung PKB. Harus netral”. Pandangan yang berbeda muncul
dari Informan yang bernama Sholahudin Wahid yang menyatakan bahwa Nahdlatul Ulama
sebaiknya tidak ikut politik aktif. Sholahudin Wahid menginginkan agar yang terjun ke dunia
politik praktis haruslah mengundurkan diri dari kepengurusan dalam struktur Nahdlatul Ulama.
Pandangan yang dimiliki oleh Informan KH Salahudin Wahid terhadap perkembangan Nahdlatul
Ulama pasca reformasi haruslah menganut paradigma sekularistik yang dalam teori relasi Islam
dan Negara menyatakan bahwa paradigma sekularistik merupakan konsep pemisahan (disparitas)
antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran
negara pada Islam atau menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara. Paradigma
sekularistik memandang bahwa agama bukanlah dasar negara, namun ia lebih bersifat sebagai
persoalan individu semata. Paradigma ini berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam
perspektif barat yang tidak ada kaitannya dengan masalah kenegaraan.
Hukum Islam juga tidak dapat secara semena-mena dijadikan hukum positif kecuali ia
telah diterima sebagai hukum rasional. Oleh karena itu tidak ada dan tidak boleh ada ketentuan-
ketentuan keagamaan yang diatur melalui legislasi negara. Agama merupakan wilayah privat
pemeluknya dan tidak ada sangkut pautnya dengan negara. Apabila ada ketentuan agama yang
menuntut keterlibatan publik (internal pemeluk agama), tidak perlu meminta negara untuk
memaksakan pemberlakuannya. Hal tersebut cukup diatur sendiri oleh pemeluk agama masing-
masing. Dalam paradigma sekularistik, agama diposisikan sama dan tidak ada yang
diistimewakan.
EPILOG
Semua keturunan Hasyim Ay’ari yang menganggap bahwa masa lalu NU adalah sudah
tepat. Artinya langkah-langkah yang diambil NU sejak awal berdirinya sudah benar dan dapat
dibenarkan. Peran Nahdlatul Ulama terhadap bangsa ini sangat besar dan sudah diakui. Baik
perannya sebagai organisasi politik, organisasi kemasyarakatan maupun organisasi keagamaan.
Peran NU yang menjadi pelembagaan Islam Ahlussunnah wal Jamaah dirasa tepat karena saat
itu memang eksistensi Islam Ahlussunnah wal Jamaah terancam dengan munculnya gerakan
pembaharu Wahabi di Arab Saudi dan Muhammadiyah di Nusantara. Untuk melestarikan
kebudayaan lokal itu, Kiai Hasyim mengumpulkan semua santri dan kawannya sesama kiai yang
mempunyai pesantren di seluruh Jawa dan Madura untuk melembagakan Islam Ahlussunnah wal
Jamaah dalam wadah yang bernama Nahdlatul Ulama. Dan kemudian memasuki awal
kemerdekaan langkah NU sangat krusial bagi warganya dan negara ini. Yaitu, mengeluarkan
Resolusi Jihad NU yang merupakan langkah besar NU untuk mempertahankan kemerdekaan
Indonesia meskipun harus mengorbankan nyawa tokoh-tokoh dan warganya. Kemudian menjadi
partai politik karena keharusan untuk menyelamatkan Islam Ahlussunnah wal Jamaah melalui
ranah politik praktis hingga NU harus jatuh bangun dan ketidak cocokkannya dengan Masyumi
yang didominasi oleh Islam Fundamental dan selalu menganak tirikan NU dalam kebijakan
distribusi kekuasaan.
Kemudian pada Orde Baru, NU awalnya berkawan dan bersikap kooperatif dengan
pemerintah Soeharto dalam memberantas PKI yang saat itu sudah membuat kekacauan bagi
negara dan warga NU. Menjadi organisasi politik ternyata menguras tenaga dan dana NU untuk
mengurusi hal-hal lain yang menjadi cita-cita awalnya, yaitu keagamaan dan kemasyarakatan.
Oleh karena itu, NU memutuskan untuk kembali Khittah 1926 yang dideklarasikan pada
Muktamar NU ke 27 di Situbondo, Jawa Timur.
Ketika kejatuhan rezim Orde Baru, dibukalah pintu politik yang bebas terhadap semua
kalangan. Hasrat untuk berkecimpung lagi di dunia politik para tokoh NU yang telah terpendam
selama lebih dari 25 tahun akhirnya terpenuhi juga dengan adanya demokrasi dan kebebasan
membuat partai politik. Ini menimbulkan perbedaan sikap antara beberapa tokoh NU. Terdapat
tiga pandangan, yaitu pandangan pertama, membebaskan warga dan tokoh NU berpartisipasi
dalam politik, namun hanya sebagai personal, tidak boleh membawa nama NU sebagai
pendukungnya. Semua atribut NU harus dilepas ketika berkampanye. Pandangan kedua,
mengharuskan NU memusatkan kekuatan politiknya ke dalam ‘anak’nya yaitu, PKB. PKB
menginginkan agar menjadi kekuatan dan basis politik warga NU, karena PKB merasa bahwa
hanya mereka satu-satunya partai politik yang memperjuangkan warga NU. Pandangan ketiga,
yaitu, semua tokoh NU yang ikut berpartisipasi dalam politik, haruslah menanggalkan jabatan
strukturalnya dalam tubuh NU. Artinya, ketika dia mencalonkan diri dalam pemilu, maka dia
harus meninggalkan NU. Pandangan ketiga ini merasa bahwa inilah yang paling dekat dengan
intisari Khittah Nahdlatul Ulama 1926.
BIBLIOGRAFI
Wahid, Solahudin, NU dan Kehidupan Politik. Jombang : Pustaka Tebuireng. 2009.
Tim Pimpinan Pusat LP Ma’arif NU, Nahdlatul Ulama Ideologi Garis Politik dan Cita-citaPembentukan Umat. Jakarta : PP LP Ma’aif NU. 2004.
Siddiq, Achmad. Khittah Nahdliyyah. Surabaya : Khalista. 2005.
Hasan, Nur. Ijtihad Politik NU, Kajian Filosofis Visi Sosial dan Moral Politik NU dalam UpayaPemberdayaan “Civili Society” . Yogyakarta : Manhaj. 2010.
Fadeli, Soeleiman dan Subhan, M. Buku I Antologi NU, Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah.Surabaya : Khalista. 2010.
Fadeli, Soeleiman dan Subhan, M. Buku II Antologi NU, Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah.Surabaya : Khalista. 2010.
Mz, Shofiyullah. Revitalisasi Humanisme Religius dan Kebangsaan KH. A. Wahid Hasyim.Jombang : Putaka Tebuireng. 2011.
Hasan, Thollhah. Ahlussunnah Wal-Jama’ah Dalam Perspektif dan Tradisi NU. Jakarta:Lantabora Press. 2007.
Moesa, Maschan, Ali. Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial Berbasis Agama. Suarabaya: LKiS.2007.