Upload
hmp-pangripta-loka-itb
View
237
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
An electronic portfolio consisted of assignments, paperworks, final project, etc, by the students of Urban and Regional Planning Bandung Institute of Technology, Indonesia
Citation preview
t ep anners
Land Use Planning
#1 mei/2010
Pelindung: Tizar M.K. Bijaksana
Pemimpin Redaksi: Ramanditya Wimbardana
Penaggung JawabRazak RadityoFerdinand Patrick P.Rera Ayudiani
Desain:Ramanditya Wimbardana
Redaksi dan Editor:Ferdinand Patrick P., Rera Ayudiani,M Prabowo, Alin S.M. Fazad, EnengS. Saidah, Timothy Alfredo
dari redaksi
Alhamdulillahirabbil 'aalamiin, puji syukur mari kita panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan
kepada kita untuk sekali lagi berkarya untuk bangsa!
Perkenankan HMP Pangripta Loka ITB untuk menginspirasi
anda dengan karya-karya mahasiswa Perencanaan Wilayah
dan Kota (PWK) ITB melalui electronic bulletin The Planners.
Program ini merupakan program breakthrough pada
kepengurusan HMP periode 2010/2011 yang bertujuan
memfasilitasi dan menstimulasi mahasiswa PWK ITB untuk
membuat atau mempublikasikan karya-karya ilmiah
mahasiswa terkait keilmuan perencanaan wilayah dan kota.
Kita tidak pernah menginginkan tugas-tugas dan penelitian-
penilitian kita hanya sekedar menjadi formalitas mata kuliah.
Melalui The Planners, mari kita berbagi pengetahuan dan
wawasan yang kita peroleh. Semoga The Planners bisa
menjadi bagian dari budaya mahasiswa untuk berkarya untuk
masyarakat.
The first Indonesian planner to change the world might start
from The Planners! So let's start achieving!
Tizar M.K. BijaksanaKetua HMP Pangripta Loka ITB
Periode 2010-2011
courtesy : skyscapercity.com/dhani_aja
cover depan
Alhamdulillahirabbil 'aalamiin, puji syukur mari kita panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan semangat dan kerja
keras kepada tim redaksi dari majalah keprofesian HMP
Pangriptaloka ITB yang pertama, The Planners. Majalah ini
bertujuan untuk memfasilitasi karya-karya mahasiswa
Perencanaan Wilayah dan Kota ITB agar tidak tertumpuk pada
kertas-kertas bekas dan tidak berdebu di perustakaan. Tema
pada edisi perdana ini adalah Land Use Planning dimana
perencanaan terhadap guna lahan sangatlah vital dalam
perencanaan kota yang berkelanjutan dan berkesinambungan
sehingga terciptanya pembangunan yang sinergis. Dengan
adanya majalah ini, diharapkan mahasiswa Perencanaan
Wilayah dan Kota ITB memacu semangat belajar dan berkarya
mahasiswa, serta dapat membuka wawasan dan inspirasi bagi
masyarakat luas tentang keilmuan kami. Seluruh karya yang
dimuat dalam setiap edisi tentunya sudah melalui proses
penilaian staf dosen Perencanaan Wilayah dan Kota ITB,
sehingga kekurangan dan kesalahan yang ada merupakan proses
pembelajaran. Kritik dan saran sangat kami terima dengan baik
agar pada edisi selanjutnya lebih baik daripada edisi perdana ini.
Terima kasih atas kepercayaan Kadiv Keprofesian HMP 2010-
2011, Ferdinad Patrick, yang memberikan kepercayaan dan
dukungan terbitnya edisi perdana ini, dan semua pihak yang
telah membantu kami yang tak bisa kami sebutkan satu persatu.
Gracias!
Ramanditya WimbardanaPemimpin Redaksi The Planners
Periode 2010-2011
t ep anners
Land Use Planning2
t ep anners
powered by:divisi keprofesianHMP Pangripta Loka ITBLabtek XA Gedung Perencanaan Wilayah dan KotaJalan Ganesha No 10 BandungIndonesia
Email: [email protected]: www. theplannersmagazine.co.cc
courtesy : ariyanto.wordpress.com
cover belakang
t ep anners
Land Use Planning3
daftar konten
dari redaksi2
3 daftar konten
maroon think
Permasalahan Pemanfaatan
Guna Lahan Pembangunan
PLTSa Gedebage
4
Profil Wilayah & Kota7Pengembangan Perumahan
Pada Kawasan Coklat dan Hijau
di Kota Bandung
kata kita
Pembongkaran Kolam Renang
Cihampelas Berdasarkan
Tinjauan UU Cagar Budaya
Perubahan Guna Lahan Jalan
Ir.H.Juanda & L.L.R.E.Martadinata
12
16
Perubahan Guna Lahan Kawasan
Perkotaan Lembang dan Limpasan Air 21
Potret26
maroon think
Permasalahan Pemanfaatan Guna Lahan Pembangunan PLTSa Gedebage
by: Natalina Banjarnahor (15407103) & Herry Candi Sianturi (15407043)
eberadaan sampah telah menjadi permasalahan
yang cukup menarik banyak perhatian Kmasyarakat saat ini. Lalu, apa sebenarnya
pengertian dari sampah? Sampah merupakan bahan
yang dibuang atau terbuang dari hasil aktivitas
masyarakat maupun alam yang belum memiliki nilai
ekonomis. Kebanyakan sampah berasal dari limbah
rumah tangga dan pasar, dan seiring dengan pesatnya
pertumbuhan manusia menyebabkan peningkatan pula
pada jumlah konsumsi akan barang. Hal tersebut
menyebabkan meningkatnya jumlah sampah yang
dihasilkan sebagai buangan dari aktivitas manusia.
Pengolahan sampah tentunya harus dilakukan secara
tepat agar tidak menimbulkan polusi dan penyakit yang
merugikan masyarakat dan lingkungan. Lalu, apa solusi
dari permasalahan sampah?
Permasalahan sampah ini ternyata mampu memberikan
jawaban akan kebutuhan manusia yang lain, yaitu
kebutuhan akan supply listrik yang terus meningkat.
Tingginya biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan
listrik menjadi pendorong ditemukannya solusi lain
dalam penyediaan tenaga listrik yang ekonomis bagi
masyarakat. Kosep PLTSa atau Pembangkit Listrik Tenaga
Sampah mulai dilirik sebagai salah satu solusi yang
mampu menjawab permasalahan penyediaan supply
tenaga listrk sembari mengatasi permasalahan sampah.
PLTSa merupakan suatu fasilitas pembangkit listrik yang
menggunakan sampah sebagai bahan bakarnya.
Direncanakan akan dibangun suatu PLTSa di Bandung
Timur yakni PLTSa Gedebage yang pembangunannya
bertujuan untuk mengatasi masalah persampahan di
Kota Bandung. Dalam pelaksanaannya, rencana PLTSa
Gedebage memunculkan berbagai respon negatif dari
warga sekitar, khususnya warga Perumahan Griya
Cempaka Arum Gedebage yang memang berlokasi tak
jauh dari lokasi PLTSa Gedebage. Tidak hanya warga,
beberapa ahli lingkungan juga memberikan respon
negatif terhadap PLTSaGedebage karena PLTSa ini
dianggap tidak bisa menuntaskan masalah persampahan
sehebat-hebatnya hanya mengurangi sebagian besar sampah kota,
sisanya mungkin saja menumpuk lagi dan bahkan besar kemungkinan
kejadian-kejadian yang lebih buruk bisa terjadi.
Teknologi Tepat Guna dan Letak Geografis Bandung
Indonesia sangat minim pengalaman mengenai tekhnologi incenerasi
(pembakaran), bahkan beberapa bahan berbahaya yang sementara ini
harus diincenarasi saja tidak semua dijalani. Perlu pengkajian yang
matang dan komprehensif untuk memastikan teknologi PLTSa yang akan
diusung adalah teknologi yang ramah lingkungan karena AMDAL dalam
hal ini tidak bisa secara optimal memberikan study kelayakan yang
obyektif. Semua study bukan khayalan dan harus berdasarkan
perhitungan real yang teruji karena penerapan teknologi tidak bisa coba-
coba. Terakhir, prasyarat mengenai lokasi PLTSa mutlak harus jauh dari
permukiman penduduk untuk menghindari besarnya kemungkinan
dampak negative pada masyarakat.
Permasalahan yang menjadi pemicu konflik, antara lain ketidaksetujuan
masyarakat Griya Cempaka Arum tentang lokasi rencana PLTSa
Gedebage yang berada di dekat perumahan mereka.Keduam, sosialisasi
yang dilakukan pihak pemerintah dan swasta masih kurang
menggambarkan rencana pembangunan. Ketiga, Berkurangnya debit air
di kawasan perumahan cempaka Arum karena pengolahan sampah
menjadi sumber energy membutuhkan air dalam jumlah yang sangat
banyak. Dan yang terakhir, adanya rasa tidak percaya masyarakat
terhadap keberjalan program tersebut yang ramah lingkungan.
Pada idealnya, pembangunan PLTSa harus diiringi dengan penyediaan
t ep anners
Land Use Planning4
Gedebage. Komunitasperumahan Griya Cempaka Arum jelas-
jelas menolak adanya rencana pembangunan PLTSatersebut.
Sedangkan komunitas lain yang bertempat tinggal di luar
Gedebage merasa bahwa rencana pembangunan PLTSa
tersebut akan mampu menjawab permasalahan sampah di
Bandung dan sekaligus memberikan keuntungan terhadap
penyediaan listrik di Bandung.
Yang dimaksud dengan kerjasama adalah masing-masing
komunitas akan mendapatkan dampak yang berbeda dengan
rencana pemanfaatan lahan. Namun, semua pemanfaatan
lahan ini akan memberikan solusi jangka panjang bagi semua
kalangan masyarakat. Contohnya saja seperti masyarakat di
Setiabudi. Lembang memiliki fungsi lahan sebagai kawasan
wisata. Sebagai dampaknya, masyarakat yang bertempat
tinggal di Setiabudi akan mendapat dampak berupa
kemacetan, terutama di hari libur. Bentuk kerjasama yang ingin
dicapai adalah bentuk hubungan mutualisme, apapun
penggunaan lahan di berbagai lokasi pasti akan memberikan
manfaat maupun dampak negatif bagi seluruh wilayah. (Alin)
coutesy:google.com
t ep anners
Land Use Planning5
jalur hijau yang akan berfungsi
selanjutnya akan memegang peranan penting dalam menyerap
dampak yang ditimbulkan dari kerja PLTSa itu sendiri.
Keberadaan jalur hijau secara tidak langsung akan menyerap
polusi udara berupa bau ataupun gas berbahaya yang tidak
dapat diolah lebih lanjut oleh PLTSa. Sehingga, gas berbahaya
akan diubah menjadi udara segar yang telah “disaring” oleh
vegetasi di sekitar PLTSa.
Perbedaan pendapat diantara stakeholder yang terkait, yang
telah dijelaskan di atas menjadi suatu pemicu terjadinya konflik
pemanfaatan lahan di sekitar perumahan Griya Cempaka Arum,
Gedebaga. Memang sulit dipungkiri, selalu saja ada konflik
pemanfaatan lahan dalam suatu perencanaan pihak-pihak
dimana pihak tertentu merasa dirugikan dengan pengalihan
fungsi lahan tersebut. Dalam setiap pemanfaatan lahan, semua
pihak diharapkan dapat bekerjasama antar pihak yang terkait
termasuk didalamnya komunitas masyarakat.
Dalam kasus ini, terdapat dua komunitas yang memiliki
perbedaan penilaian terhadap rencana pembangunan PLTSa di
sebagai buffer. Buffer inilah yang
coutesy:shendiary.wordpress.com
Pengembangan Perumahan
Pada Kawasan Coklat dan Hijau
di Kota Bandungoleh: Studio A Proses Perencanaan tahun 2008
cover courtesy: skyscapercity.com/dhani_aja
t ep anners
Land Use Planning7
Profil Wilayah & Kota
ota Bandung sebagai salah
satu kota metropolitan di KIndonesia yang memiliki
tingkat pertumbuhan yang tinggi, bisa
dibuktikan dengan dalam sepuluh
tahun terakhir batas Kota Bandung
terus meluas. Secara spasial ,
perkembangan kawasan perkotaan
telah melebar dari Kota Bandung dan
Cimahi ke arah Lembang di Bandung
Utara, Padalarang di arah Barat,
Ta n j u n g s a r i , R a n ca e ke k , d a n
Cicalengka di arah Timur, serta
Soreang, Banjaran, dan Majalaya di
arah Selatan. Pertumbuhan tersebut
juga diikuti dengan perkembangan
kota di dalamnya dimana semakin
banyak pembangunan perumahan
maupun pembangunan fasilitas-
fasilitas lainnya untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, misalnya
pertokoan, kantor, rumah sakit, dan
lain-lain.
Namun, perkembangan yang terjadi di
K o t a B a n d u n g m e r u p a k a n
perkembangan yang acak (urban
sprawl) dimana banyak aktivitas
pembangunan yang tidak sesuai
dengan peruntukan lahannya (Land
use) yang sebelumnya peruntukannya
fungsi lindung menjadi budidaya.
Akibatnya berdampak pada semakin
menurunnya daya dukung lingkungan,
y a n g d i i n d i k a s i k a n d e n g a n
kelangkaanair baku dan air bersih
pada saat musim kemarau serta banjir
rutin pada musim hujan.
Semua dampak negatif tersebut
mengarah kepada pembangunan
yang tidak berkelanjutan dan dapat
menjadi suatu masalah yang bisa
merugikan masyarakat. Oleh sebab itu
p e n t i n g u n t u k m e n g a r a h k a n
pengelolaan pertumbuhan kota besar
d a n m e t r o p o l i t a n u n t u k
memperhatikan prinsip pembangunan
berkelanjutan serta harus mengikuti
pengembangan kawasan perkotaan
yang bisa mengurangi urban sprawl
yang semakin tidak terkendali.
Salah satu rekomendasi solusi untuk
mengatasi permasalahan urban sprawl
ini adalah compact city atau kompaksi
perkotaan. Kompaksi perkotaan
a d a l a h p e n i n g ka t a n ka w a s a n
terbangun dan kepadatan penduduk
perumahan, intensifikasi kegiatan
ekonomi, sosial dan budaya perkotaan,
dan manipulasi ukuran kota, bentuk
dan struktur sistem permukiman
dalam rangka mencapai manfaat
keberlanjutan lingkungan, sosial, dan
global, yang diperoleh dari pemusatan
fungsi-fungsi perkotaan (Jenk, 2000).
Dalam implementasinya, kompaksi
perkotaan dapat dilakukan pada
kawasan dalam kota (inner city) , dalam
bentuk infill development atau brown
field development. Infill development
adalah praktek pembangunan pada
lahan kosong atau kapling yang belum
terbangun di dalam bagian lama
kawasan perkotaan. Brownfield
development atau pengembangan
kawasan coklat adalah praktek
pemanfaatan kembali lahan di
kawasan dalam kota (misalnya bekas
lahan peruntukan industri) untuk
pembangunan baru. Sedangkan
g r e e n f i e l d d e v e l o p m e n t a ta u
t ep anners
Land Use Planning8
Sebelum Sesudah
Contoh Brownfield Development di Amerika Serikat (Pabrik Slag Dump)
pengembangan merupakan pembangunan pada kawasan yang sebelumnya belum terbangun (kawasan pertanian) yang biasanya berada di pinggiran kota.
Konsep Kompaksi perkotaan ini sudah mulai diterapkan di Kota Bandung, baik itu berupa kawasan hijau maupun kawasan coklat. Kedua jenis pembangunan ini dapat m e n d u k u n g t e r w u j u d n y a pembangunan yang keberlanjutan. Namun ruang lingkup materi yang akan dibahas hanya pengembangan ka w a s a n p e r m u k i m a n ya n g memanfaatkan kawasan hijau dan coklat.
U n t u k b i s a m e n g i d e n t i f i k a s i persebaran kawasan hijau dan coklat di Kota Bandung, dengan melakukan overlay terhadap peta guna lahan jangka waktu 10 Tahun. Hal ini bertujuan untuk melihat perubahan guna lahan yang terjadi. Misalnya yang sebelumnya guna lahan Industri menjadi perumahan. Selain itu, untuk m e l i h a t p e r s e b a r a n k a w a s a n permukiman di Kota Bandung. Melalui
peta tersebut, ditemukan bahwa kawasan perumahan banyak tersebar di bagian pusat Kota Bandung. Hal tersebut disebabkan adanya karakteristik dari kawasan pusat Kota Bandung yang memiliki fasilitas dan tingkat pergerakkan yang cukup tinggi.
Selain itu, hampir seluruh pusat aktivitas penduduk Kota Bandung terjadi di pusat kota. Hal Jika dibagi menjadi t iga kawasan, Kota Bandung dapat dibagi menjadi tiga kawasan penting, yaitu kawasan pusat kota, kawasan transisi, dan kawasan pinggiran. Kawasan pusat merupakan kawasan yang memiliki fungsi sebagai pusat dari segala
kawasan hijau
kegiatan perkotaan, dimana mayoritas pergerakan penduduk terjadi di kawasan ini. Kawasan pusat inilah yang menjadi pusat perdagangan.
Kawasan transisi merupakan batas antara kawasan pusat dan kawasan pinggiran. Sedangkan kawasan pinggiran merupakan kawasan yang kebanyakan belum terbangun dan belum mengalami pengembangan k o t a , s e p e r t i p e r d e s a a n , perkebunan, persawahan, dan sebagainya Karena kawasan transisi terletak di antara kawasan pusat dan kawasan pinggiran, maka kawasan transisi memiliki sifat-sifat gabungan dari kawasan pusat dan k a w a s a n p i n g g i r a n . J a d i , keberadaan kawasan h i jau , kawasan cokelat, maupun kawasan terbangun dapat ditemui pada kawasan transisi.
Dari setiap 3 kawasan tersebut, d i a m b i l b e b e r a p a s a m p l e perumahan untuk diteliti dimulai dari karakteristik fisik perumahan, karakteristik sosial-ekonomi dan k a r a k t e r i s t i k p e r g e r a k a n penghuninya. Untuk perumahan yang termasuk pengembangan brownfield yaitu Braga City Walk,
F lat industr i da lam, Istana Regency. Untuk perumahan yang t e r m a s u k p e n g e m b a n g a n greenfield adalah Mitra Dago Parahyangan, Kopo Kencana, Arcamanik endah, dan flat sarijadi.
Hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan,yaitu :
Berdasarkan plotting
yang dilakukan dengan bantuan
d a t a R E I p e r k e m b a n g a n
perumahan untuk saat ini
cenderung di daerah pinggiran.
Hal ini dapat dilihat dari jumlah
pembangunan perumahan pada
kawasan greenfield tergolong
b a n y a k . P e r k e m b a n g a n
perumahan pada kawasan transisi
kebanyakan dari brownfield
dibandingkan dengan greenfield.
Ke m u d i a n , Pe r ke m b a n ga n
perumahan cenderung kearah
T i m u r t e r u t a m a k a w a s a n
pinggiran seperti WP Gedebage
dan Ujung Berung.
Pola perkembangan lokas i
Persebaran Perumahan di Kota
Bandung.
courtesy:www.pbase.com
t ep anners
Land Use Planning9
Area Perkotaan
Kecamatan
Pusat Kota
Astana Anyar, Regol, Lengkong, Sumur Bandung, Andir
Transisi
Andir, Cicendo, Sukajadi, Sukasari, Sumur Bandung, Bandung Wetan, Cibeunying Kidul, Cibeunying Kaler, Coblong, Cidadap, Regol, Lengkong, Bandung Kidul, Kiaracondong, Batununggal, Bojongloa Kaler, Astana Anyar
Pinggiran
dalam Kota
Bandung Kulon, Babakan Ciparay, Bojongloa Kidul, Astana Anyar, Bandung Kidul, Rancasari, Cibiru, Ujung Berung, Arcamanik, Andir, Cibeunying Kaler, Cibeunying Kidul, Cicadas, Cicendo, Cidadap, Coblong, Margacinta, Sukajadi, Sukasari
TabelDeliniasi Kawasan Pusat, Transisi, dan Pinggiran Kota Bandung
courtesy: hasil analisis,2008courtesy: observarsi,2008
perumahan di wilayah Gedebage kota menunjukkan pola campuran,
bahkan mendekati pola urban
sprawl (semerawut) dimana pola
perkembangan lokasi perumahan
l e b i h c e n d e r u n g m e n g i ku t i
kalangan “swasta”. Perkembangan
lokasi perumahan di wilayah
Gedebage tidak terorganisir dengan
baik. Lokasi perumahan yang
tercipta hanyalah kantung-kantung
perumahan yang terlepas satu sama
lain, yang akan menyulitkan
p e n ata a n ke m b a l i kawa s a n
perumahan.
D a r i b e b e r a p a perumahan kasus yang diambil, mengenai perekonomian penduduk dapat disimpulkan bahwa, kopo kencana, Mitra Dago Parahyangan dan arcamanik endah yang merupakan perumahan yang berdiri di kawasan Greenfield daerah transisi dan pinggiran memiliki tingkat perekonomian menengah keatas. Kemudian perumahan seperti Aston BCW dan istana r e g e n s i , y a n g m e r u p a k a n perumahan yang berdiri di kawasan brownfield di pusat kota memiliki
Karakteristik Fisik dan Sosial- E k o n o m i .
tingkat perekonomian yang cukup tinggi.
Hal ini tentu saja sudah dapat kita l ihat dari karakterist ik f is ik bangunannya sendiri yang mewah Sedangkan Perumahan seperti flat sarijadi dan flat industry yang termasuk perumahan yang yang juga berdiri di kawasan brownfield dekat pusat kota, termasuk kedalam perumahan yang memiliki tingkat perekonomian rendah. Rendahnya tingkat perekonomian penduduk di perumahan ini dapat dilihat dari pekerjaan penghuninya yang rata – rata tidak memiliki pekerjaan tetap, bahkan banyak juga terdapat penghuni yang tidak memiliki perkerjaan, ditambah lagi kondisi fisik bangunannya yang sangat sederhana dan kadang tidak terurus.
Jika dilihat dari segi interaksi sosial antar penghuni di beberapa perumahan kasus yang diambil, dapat disimpulkan bahwa interaksi social lebih sering terjadi di perumahan kasus yang tingkat p e r e k o n o m i a n n y a r e n d a h , sedangkan di perumahan elite dimana tingkat ekonomi warga. Warga yang lebih tinggi, jarang
terjadi interaksi antar sesama penghuni
Sedangkan penghuni yang tinggal
di beberapa perumahan kasus
yang tingkat perekonomiannya
menengah kebawah, seperti di flat
sarijadi dan flat industri dalam
mereka cendrung tidak terlalu
sibuk dalam hal pekerjaan, bahkan
banyak juga yang penghuninya
y a n g t i d a k b e k e r j a /
pengangguran, sehingga mereka
cendrung menghabiskan di rumah
a t a u p u n b e r i n t a ra k s i d a n
menghabiskan waktu bersama
tetangga, ditambah lagi jarak
antar rumah (kamar) yang sangat
dekat yang membuat mereka lebih
sering bertemu dan sal ing
berinteraksi, dan biasanya di flat
ini sering diadakan kegiatan –
kegiatan sosial seperti rapat RT
ataupun kegiatan gotong royong,
y a n g s e m a k i n m e n a m b a h
keabraban masing – masing
penghuni.
Pola
pergerakan penduduk sangat
Pola pergerakan masyarakat.
courtesy: anisavitri.files.wordpress.com
bervariasi, tujuannya ditentukan
berdasarkan aktivitas-aktivitas yang
dijalankan sesuai dengan profesi
m e r e k a . B e b e r a p a a l a s a n
masyarakat untuk melakukan suatu
pergerakan antara lain, bekerja,
bersekolah, berbelanja, bersantai
memanfaatkan waktu luang,
pelayanan pribadi, kunjungan
sosial, jalan-jalan (rekreasi), dan
lain sebagainya. Terkait dengan
fasilitas umum yang berada di
kawasan lingkungan perumahan
tersebut, sangat mempengaruhi
pola pergerakan mereka. Semakin
lengkap sarana, prasarana, dan
utilitas (PSU) di kawasan suatu
perumahan, semakin rendah
pergerakan penduduk menuju
kawasan lain.
Pola pergerakan di kawasan
greenfield pada umumnya sangat
bervariasi hal ini diakibatkan karena
aktivitas dari masing-masing
penduduk yang beragam. Biasanya
tingkat aksesibilitas penduduk
sangat tinggi, hal ini dikarenakan
lengkapnya PSU di sekitar kawasan
perumahan. Sebagai contoh di
kawasan perumahan flat Sarijadi,
Arcamanik Endah, Kopo Kencana,
dan perumahan kawasan greenfield
lainnya. Kelengkapan PSU di
w i l aya h te rs e b u t m e m b u at
b e r b e d a d e n g a n k a w a s a n
pergerakan penduduk tidak jauh
Greenfield.
K a w a s a n b r o w n f i e l d y a n g sebelumnya merupakan kawasan
i n d u s t r i d a n m e m i l i k i kecenderungan ketersediaan PSU yang tidak lengkap, sehingga para penghuni perumahan harus melakukan pergerakan ke luar kawasan perumahan mereka u n t u k m e n u n j a n g keberlangsungan aktivitas sehari-h a r i . L a i n h a l nya d e n ga n perumahan brownfield di daerah pusat kota, karena perumahan mereka berada di pusat aktivitas menyebabkan aksesibilitas pola pergerakan mereka lebih tinggi.
Dengan demikian bisa dilihat bahwa karakteristik perumahan yang dikembangkan secara brownfield dengan greenfield memiliki perbedaan dan untuk Kota Bandung sendiri lebih banyak perumahan yang dikembangkan secara greenfield. (Ferdi)
t ep anners
Land Use Planning10
DIVISI KEPROFESIAN
HMP PANGRIPTA LOKA
PELAYANAN SURVEI
KUESIONER MENGGUNUNG?
KAMI SIAP MEMBANTU
Fanni Harlanni (PL 08)
08562154887
POWERED BY:
kata kita
digunakan untuk menggosok badan
yang terdapat di sekitar kolam
renang ini yang kemudian dipakai
menjadi nama jalan. Selain terkait
dengan nama kawasan, Pemandian
Cihampelas juga ikut berpengaruh
terhadap sejarah terbentuknya
P e r s a t u a n R e n a n g S e l u r u h
Indonesia.
Namun pada kenyataannya,
bangunan kolam renang yang telah
berusia lebih dari satu abad ini
dibongkar untuk dijadikan Pengalih
fungsian bangunan bersejarah
K o l a m R e n a n g C i h a m p e l a s
melanggar ketentuan yang berlaku.
Ketentuan ini terkait dengan Surat
Edaran mengenai Rehabilitasi,
Renovasi, dan Restorasi Bangunan
Cagar Budaya 20 Maret 2009
P e m k o t B a n d u n g , y a n g
menyatakanbahwa Kolam
Renang Cihampelas termasuk
kedalam 240 cagar budaya di
Kota Bandung yang harus
dilindungi. Hal ini tentunya
menjadi permasalahan yang
patut untuk dikaji dan dianalisis
lebih lanjut karena terkait erat
dengan peraturan perundangan
yang berperan penting dalam
pengendalian perencanaan.
Benda cagar budaya mempunyai
arti penting bagi kebudayaan
bangsa, khususnya untuk
memupuk rasa kebanggaan
nasional serta memperkokoh
kesadaran jati diri bangsa.
Berdasarkan Peraturan Daerah
DKI Jakarta nomor 9 tahun 1999
Pembongkaran Kolam Renang CihampelasBerdasarkan Tinjauan UU Cagar Budaya
oleh: Yoga A.P. (15407002) Nadya R.A. (15407010) Gesha K. (15407026) Siti Larissa (15407052) Akhira M. (15407090)
Diambil dari tugas mata kuliah PL 3101 Hukum dan Pengendalian Perencanaan
courtesy: pemandiancihampelas.blogspot.com/
t ep anners
Land Use Planning12
agar budaya adalah
kegiatan untuk menjaga Ca t a u m e l a k u k a n
konservasi terhadap benda-
benda alam atau buatan manusia
yang dianggap memiliki nilai
penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan.
Salah satu dari cagar budaya yang
ada di Bandung adalah Kolam
Renang Cihampelas atau yang
memiliki nama asli “Pemandian
Tjihampelas”.
Kolam Renang Cihampelas sangat
t e r k a i t d e n g a n
perkembanganJalan Cihampelas.
J a l a n C i h a m p e l a s s e n d i r i
mendapatkan namanya dari
pohon-pohon Hampelas (sejenis
pohon berdaun kasar, biasa )
bab IV, dijabarkan bahwa tolak
ukur kriteria sebuah bangunan
merupakan cagar budaya adalah: dikaitkan
dengan peristiwa-peristiwa
perjuangan, ketokohan, politik,
sosial, budaya yang menjadi
simbol nilai kesejahteraan pada
tingkat nasional.
dikaitkandengan usia sekurang-
kurangnya 50 tahun.
dikaitkan dengan
keutuhan, baik sarana dan
prasaran lingkungan maupun
struktural, material, tapak
bangunan, dan bangunan di
dalamnya.
dikaitkan dengan keberadaan
sebuah bangunan tunggal
monumen atau bentang alam
yang dijadikan simbol dan wakil
dari suatu lingkungan sehingga
m e r u p a k a n t a n d a d a r i
lingkungan tersebut.
dikaitkan dengan
estetika dan rancangan yang
menggambarkan suatu
Tolok ukur nilai sejarah
Tolok ukur umur
Tolok ukur
keasl ian
Tolok ukur landmark
Tolok ukur
arsitektur
courtesy:bandungheritage.org
Dari kriteria dan tolok ukur di atas,
l i n g k u n g a n c a g a r b u d a y a
d i k l a s i f i ka s i ka n d a l a m t i ga
golongan, yaitu sebagai berikut:
l ingkungan yang
memenuhi se luruh kr i ter ia ,
termasuk yang mengalami sedikit
perubahan tetapi masih memiliki
t ingkat keas l ian yang utuh.
lingkungan yang hanya
memenuhi tiga kriteria, telah
mengalami perubahan namun
masih memiliki beberapa unsur
keaslian. lingkungan
yang hanya memenuhi tiga kriteria,
telah mengalami banyak perubahan
dan kurang mempunyai keaslian.
Bangunan cagar budaya sendiri
dibagi dalam tiga golongan, yaitu
bangunan yang
memenuhi kriteria nilai sejarah dan
keaslian. bangunan
yang memenuhi kriteria keaslian,
kelangkaan, landmark, arsitektur,
dan umur. bangunan
yang memenuhi kriteria umur dan
Golongan I:
Golongan II:
Golongan III:
Golongan A:
Golongan B:
Golongan C:
arsitektur.
B e r d a s a r k a n p e r a t u r a n
tersebut, bangunan cagar
budaya golongan A dilarang
dibongkar dan atau diubah,
tetapi apabila kondisi fisik
b a n g u n a n b u r u k , ro b o h ,
terbakar, atau tidak layak tegak
dapat dilakukan pembongkaran
untuk dibangun kembali sama
seperti semula sesuai dengan
aslinya. Pemeliharaan dan
perawatan bangunan harus
menggunakan bahan yang
sama/sejenis atau memiliki
karakter yang sama dengan
m e m p e r t a h a n k a n d e t a i l
ornamen bangunan yang telah
ada.
Di dalam persil atau lahan
b a n g u n a n c a g a r b u d a y a
d i m u n g k i n k a n a d a n y a
bangunan tambahan yang
menjadi satu kesatuan utuh
dengan bangunan utama.
t ep anners
Land Use Planning13
K h u s u s G o l o n g a n B ,
pemeliharaan dan perawatan
bangunan harus dilakukan tanpa
mengubah pola tampak depan,
atap dan warna, serta dengan
mempertahankan detail dan
o r n a m e n b a n g u n a n ya n g
penting. Sedangkan Golongan C,
detail ornamen dan bahan
bangunan disesuaikan dengan
arsitektur bangunan di sekitarnya
dalam keserasian lingkungan.
Peraturan yang berlaku di DKI
Jakarta tersebut menjadi rujukan
dalam penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah Kota Bandung
m e n g e n a i p e n g e l o l a a n
bangunan bersejarah.Oleh
karena itu, dari kelima tolok ukur
yang telah disebutkan diatas,
maka Kolam Renang Cihampelas
dapat dikategorikan sebagai
b a n g u n a n c a g a r b u d a y a
Golongan A (Harastoeti Sudibyo,
2009). Merujuk pada ketentuan
tersebut, bangunan Kolam
Renang Cihampelas seharusnya
tidak boleh dibongkar atau
diubah.
Namun, kondisi tersebut tidak
dapat diimplementasikan karena
Perda tersebut berlaku khusus di
wilayah DKI Jakarta dan hanya
m e n j a d i r u j u k a n d a l a m
penyusunan Perda Bangunan
Cagar Budaya Kota Bandung.
Fakta yang menunjukkan bahwa
belum tersusunnya ketentuan
s e c a r a t e k n i s m e m b u a t
p e m b o n g ka ra n b a n g u n a n
berse jarah Kolam Renang
Cihampelas menjadi suatu hal
yang tidak terelakkan.
Pemerintah Kota Bandung tidak bisa
memberikan sanksi apa pun terkait
pembongkaran bangunan tersebut.
Hal tersebut disebabkanbelum
adanya ketentuan yang jelas dalam
peraturan perundangan yang ada,
terutama pada Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda
Cagar Budaya yang selama ini
menjadi rujukan dalam pengelolaan
bangunan bersejarah di Kota
B a n d u n g s e l a m a b e l u m
diterbitkannya Peraturan Daerah
Kota Bandung terkait pengelolaan
bangunan bersejarah. Hal tersebut
menimbulkan tanda tanya terkait
peraturan perundangan yang ada,
yaitu mengenai implementasi
undang-undang yang tidak sesuai.
s e c a r a t e k n i s m e m b u a t
p e m b o n g k a r a n b a n g u n a n
b e r s e j a r a h K o l a m R e n a n g
Cihampelas menjadi suatu hal yang
tidak terelakkan.
Pemerintah Kota Bandung tidak bisa
memberikan sanksi apa pun terkait
pembongkaran bangunan tersebut.
Hal tersebut disebabkanbelum
adanya ketentuan yang jelas
dalam peraturan perundangan
yang ada, terutama pada
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda
Cagar Budaya yang selama ini
m e n j a d i r u j u ka n d a l a m
p e n g e l o l a a n b a n g u n a n
bersejarah di Kota Bandung
selama belum diterbitkannya
P e r a t u r a n D a e r a h K o t a
Bandung terkait pengelolaan
bangunan bersejarah. Hal
tersebut menimbulkan tanda
terkait peraturan perundangan
yang ada, yaitu mengenai
implementasi undang-undang
yang tidak sesuai.
Dalam kaitannya dengan
perencanaan, pembongkaran
bangunan Kolam Renang
Cihampelas menjadi suatu
persoalan. Pengalihfungsian
bangunan tersebut menjadi
kawasan komersial dianggap
akan membuat kawasan di
sekitarnya menjadi tidak
t ep anners
Land Use Planning14
courtesy:bandungheritage.org
tertata melihat kondisi kawasan
tersebut dengan beban jalan
yang tinggi.
Dalam konteks perencanaan,
k e b e r a d a a n b a n g u n a n
bersejarah dianggap dapat
mengarahkan perkembangan
suatu kawasan. Untuk itu,
k e b e r a d a a n b a n g u n a n
bersejarah menjadi hal yang
penting untuk dilestarikan.
Dalam kasus yang sering terjadi
pada bangunan bersejarah,
p e m b o n g k a r a n d a n
pengalihfungsian bangunan
sering terjadi karena tidak
adanya peraturan yang mengatur
mengenai status bangunan
berse jarah secara tekn is ,
t e r m a s u k d a l a m h a l
p e m e l i h a r a a n n y a . B i a y a
pemeliharaan dan operasional
bersejarah menjadi suatu
hambatan bagi pemilik bangunan
bersejarah. Apalagi biaya
tersebut harus ditanggung
s e p e n u h nya o l e h p e m i l i k
bangunan.
K e t i d a k j e l a s a n a t u r a n
y a n g m e n y a n g k u t u p a y a
p e m e l i h a r a a n b a n g u n a n
bersejarah membuat pemilik
bangunan bersejarah tersebut
tergiur untuk mengubah fungsi
bangunan bersejarah dengan
cara melakukan komersialisasi
bangunan. Upaya pembongkaran
b a n g u n a n Ko l a m Re n a n g
Cihampelas menjadi apartemen
merupakan contoh bahwa
komersialisasi bangunan lebih
menguntungkan bagi pemilik
bangunan. Oleh karena itu, tinjauan t e r h a d a p p e ra t u ra n t e k n i s
menyangkut status kepemilikan dan
p e m e l i h a r a a n b a n g u n a n
bersejarahmerupakan hal yang
penting untuk menyelesaikan
persoalan yang dilatarbelakangi
oleh hal tersebut.
Sanksi yang diberikan terhadap
pelanggar atau pemilik bangunan
berse jarah yang melakukan
p e m b o n g k a r a n b a n g u n a n
bersejarah tersebut belum diatur
secara jelas dan tegas. Hal inilah
yang terjadi pada pemilik bangunan
Kolam Renang Cihampelas yang
merasa tidak akan terjerat dengan
sanksi hukum pidana terkait
p e l a n g g a r a n y a n g t e l a h
dilakukannya.
P e r m a s a l a h a n p e r a t u r a n
perundangan mengenai cagar
budaya ini seharusnya dapat
diatasi untuk kedepannya yaitu
dengan dilakukannya spesifikasi
yang jelas terhadap bangunan
bersejarah, yakni dirumuskannya
kriteria yang jelas bagi bangunan
yang dapat digolongkan sebagai
cagar budaya.
Selain itu juga diberikan kejelasan
atas kepemil ikan bangunan
bersejarah ini karena faktor
k e p e m i l i k a n i n i s a n g a t
berpengaruh terhadap eksistensi
bangunan bersejarah, serta
perlunya pemberian reward
ataupun insentif bagi pemilik
bangunan cagar budaya. (Bowo)
t ep anners
Land Use Planning15
courtesy:ibukosgaul.files.wordpress.com/
t ep anners
Land Use Planning16
Ir.H.Juanda atau yang saat ini dikenal
juga dengan sebutan Dago berada di
Kecamatan Coblong, di Wilayah
Pengembangan (WP) Cibeunying. WP
ini berada di kawasan Bandung
sebelah utara, dimana dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota
Bandung WP Cibeunying terbagi
menjadi Kawasan Bandung Utara dan
Kawasan Bandung Barat. Dago masuk
ke dalam kawasan BandungUtara.
Arahan pengembangan kawasan
Bandung Utara sendiri adalah untuk
mempertahankan keberadaan
kawasan lindung resapan air dan
membatasi perkembangan kawasan
terbangun pada kawasan tersebut.
Seperti yang dapat terlihat di jalan
Dago, banyak terdapat bangunan
seperti restoran, toko, plaza, bank,
apotek, klinik, hotel, kantor, dan pusat
perbelanjaan. Jenis barang yang
diperdagangkan di toko cukup variatif
seperti buku, jasa fotokopi, barang dan
jasa elektronik, pakaian dan aksesoris,
serta kaset/CD dan sejenisnya. Plaza di
ruas jalan ini adalah Dago Plaza yang
menyediakan makanan, minuman,
pakaian, klub malam, dan bar. Apotek
dan klinik menyediakan alat dan bahan
farmasi seperti obat-obatan dan jasa
pelayanan dokter. Jasa umum yang
disediakan oleh kantor yang ada di ruas
jalan ini adalah jasa pembelian tiket
pesawat terbang.
Observasi yang dilakukan di Jalan
Dago membuktikan bahwa guna
lahan pada kedua blok peruntukan di
sekitar Jl. IR. H Djuanda telah telah
didominasi oleh lahan komersial.
Ruas jalan ini juga dipenuhi oleh
bangunan-bangunan yang cukup
tinggi dan menggunakan kapling
lahan yang cukup besar. Sisanya
digunakan sebagai lahan parkir
pengunjung. Koefis ien Dasar
Bangunan (KDB) pada ruas Jalan Ir. H.
Djuanda berkisar antara 50% hingga
70%. Koefisien Dasar Bangunan
(KDB) pada ruas Jalan Sulanjana,
kata kita
Diambil dari tugas mata kuliah PL 2103 Tata Guna Lahan
Seiring dengan berjalannya waktu, Kota Bandung semakin mengalami perubahan guna lahan. Pada umumnya guna lahan yang diperuntukkan perumahan berubah menjadi kegiatan komersil, seperti yang terjadi pada guna lahan di Ir.H.Juanda dan L.L.R.E.Martadinata yang telah diobservasi oleh mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota.
courtesy:flickr.com/Ikhlasul Amal
Perubahan Guna Lahan
Jalan Ir.H.Juanda &
L.L.R.E.Martadinata oleh: Fikri F. (15408035) Loulasela A. (15408017) Putri Sugih (15408049) Ully N. (15408067) Adam P.J. (15408
Jalan Rangga Malela, Jalan Maulana
Yusuf, Jalan Sultan Tirtayasa berkisar
antara 30% hingga 40%.
Pola penggunaan lahan di kawasan
sekitar Jalan Dago didominasi oleh
kawasan terbangun. Berdasarkan
Rencana Dasar Tata Ruang (RDTR)
WP Cibeunying, kawasan di sekitar
blok peruntukkan merupakan
k a w a s a n t e r b a n g u n y a n g
seharusnya untuk pengembangan
permukiman. Permukiman di sekitar
Jalan Dago merupakan pemukiman
kepadatan sedang. Kompleks
permukiman yang didirikan juga
teratur. Dalam RDTR dijelaskan pula
bangunan-bangunan yang di
k a w a s a n b l o k p e r u n t u k k a n
merupakan bangunan perumahan
dengan arsitektur indah. Bahkan ada
yang telah dijadikan sebagai
bangunan cagar budaya dan
memiliki nilai sejarah seperti rumah
tinggal di Jalan Ir. H Djuanda 63 yang
berubah menjadi Dago Plaza.
M e k a n i s m e p e r i z i n a n d a n
penggunaan guna lahan yang kurang
berjalan dengan baik menjadi salah
satu penyebab mengapa guna lahan
d i Dago b anyak men ga lami
perubahan. pengendalian guna
lahan sukar untuk dilakukan karena
lahan-lahan yang ada di sekitar blok
peruntukkan merupakan lahan milik
pribadi.
K e m u d i a n , k a r e n a a d a n y a
perkembangan ekonomi Kota Bandung
dari waktu ke waktu yang berdampak
pada semakin banyaknya kegiatan
komersial di beberapa kawasan yang
salah satunya adalah kawasan Dago.
Kapasitas jalan yang tersedia tidak
dapat memenuhi arus mobilitas
pengunjung yang sering mendatangi
kawasan komersial di sekitar Jalan
Dago, karena pada awalnya kawasan ini
merupakan kawasan permukiman, jadi
jalan yang tersedia sengaja dirancang
untuk jalan yang arus mobilitasnya
rendah.
Perubahan guna lahan di kawasan Dago
dari perumahan menjadi komersial
i n i m e m b u a t m u n c u l n y a
infrastrukur penunjang yang
dibangun untuk mendukung
k e g i a t a n d i k a w a s a n i n i .
Infrastruktur tersebut antara lain
pembatas jalan, marka jalan, lampu
lalu lintas, lampu jalan, dan halte
bus. Selain itu ada pula peningkatan
kualitas fasilitas pedestrian dan
ja lan . permukiman menjad i
kawasan komersial. Perubahan
guna lahan tersebut dapat dilihat
dari peta berikut, dimana warna
kuning menunjukkan guna lahan
p e r m u k i m a n d a n m e r a h
menunjukkan guna lahan komersil.
Dari gambar dapat dilihat bahwa
guna lahan di sekitar Jalan Dago
sebe lum berubah ada lah
permukiman dan hal itu sesuai
dengan RDTR yang telah dibuat.
Namun, saat ini guna lahan
tersebut berubah menjadi
seperti gambar (sesudah) di atas.
Dari gambar tersebut kita dapat
melihat bahwa guna lahan yang
terjadi lebih dari 50 %, karena
warna merah untuk komersil
lebihdari 50 %, karena warna merah untuk komersil lebih
mendominasi dari warna kuning
untuk permukiman.
Karakteristik kegiatan komersial di
kawasan ini didominasi oleh
perdagangan barang dan jasa dan
lahan permukiman di kawasan ini
semakin menghilang. Perubahan
penggunaan lahan ini berdampak
luas pada kawasan Dago. Selain
hilangnya ruang terbuka hijau,
banyak pula bangunan cagar
budaya yang dibongkar untuk
dialihfungsikan menjadi pertokoan
atau perkantoran.
Dengan adanya perbedaan antara
kondisi eksisting kawasan Jalan
Dago dengan RDTR WP Cibeunying,
pemerintah sebaiknya lebih tegas
dalam mengambil keputusan untuk
memberikan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB). Selain itu,
pemerintah harus lebih ketat dalam
mengontrol dan mengawasi
penggunaan lahan di kawasan
tersebut. Tindakan tersebut
merupakan tindakan preventif yang
dapat menghindari munculnya
masalah-masalah baru seperti
kepadatan arus lalu lintas.
Bangunan cagar budaya seharusnya
dilindungi dan tidak dialihfungsikan
terutama menjadi bangunan
t ep anners
Land Use Planning17
courtesy:aleut.wordpress.com
Sebelum Sesudah
Perubahan Guna Lahan di Jalan Dago
courtesy:Hasil Observarsi
komersial. Selain itu, dalam
pengembangan kota, pemerintah
harus mempertimbangkan konsep
struktur kota dan pola penggunaan
lahan di Kota Bandung.
yang dahulu
merupakan kawasan permukiman
penduduk berarsitekturBelanda kini
b e r u b a h m e n j a d i k a w a s a n
terbangun dengan berbagai macam
karakteristik penggunaan, beberapa
diantaranya merupakan kawasan
komersial perdagangan dan jasa
y a n g s a n g a t d i m i n a t i o l e h
masyarakat. Melihat fenomena
te rs e b u t , m a ka p e m e r i nta h
berencana menjadikan kawasan ini
sebagai kawasan komersial dan jasa
dengan skala pelayanan regional
dan menjadi simpul perdagangan
Jalan R.E.Martadinata
walaupun harus menggunakan
bangunan cagar budaya yang ada di
wilayah ini.
Kegiatan komersial eksisting di wilayah
R.E.Martadinata juga sebagian besar
telah melakukan perkerasan muka
l a h a n h a m p i r 1 0 0 % s e h i n g ga
menyebabkan kurangnya lahan
infiltrasi di kawasan ini, tertama
disebabkan oleh pengadaan lahan
parkir pengunjung. Oleh karena itu,
diperlukan pengawasan dan evaluasi
secara berkala oleh pemerintah dalam
pelaksanaan kegiatan penggunaan
lahan di wilayah ini. Kawasan R.E .Martadinata terletak di
W i l ay a h Pe n g e m b a n ga n ( W P )
Cibeunying, Kecamatan Bandung
Wetan, Kelurahan Citarum yang
merupakan kawasan terbangun dengan
kepadatan penduduk rendah
karena kegiatan penggunaan lahan
di daerah tersebut didominasi oleh
k e g i a t a n k o m e r s i a l
(perdagangan)dan jasa. Selain
kegiatan perdagangan dan jasa,
t e r d a p a t p u l a k e g i a t a n
penggunaan lahan lain, seperti
fasilitas kesehatan, perumahan,
p e n d i d i ka n , d a n b e b e ra p a
bangunan militer.
Kegiatan komersial dan jasa di
ka wa s a n i n i m e m i l i k i j a s a
pelayanan skala regional yang
m e n j a d i s i m p u l k e g i a t a n
perdagangan berkembang dengan
pola aglomerasi di kawasan ini
karena memiliki lokasi strategis
dan pasar pelanggan yang luas.
Pada awalnya masalah perizinan
courtesy:aleut.wordpress.com
t ep anners
Land Use Planning18
courtesy:dhenz.files.wordpress.com
penyelenggaraan dan penggunaan
bangunan di wilayah ini menjadi
kendala karena bangunan di daerah
R . E . M a r ta d i n ata m e r u p a ka n
bangunan berarsitektur Belanda
yang memiliki nilai estetik tinggi
bahkan ada beberapa bangunan
yang merupakan bangunan cagar
budaya.
Selain permasalahan perizinan
bangunan, permasalahan penataan
bangunan juga tampak jelas pada
kawasan ini. Tidak jelasnya zona
penggunaan lahan menjadikan
lokasi ini tampak kurang tertata,
misalnya terdapat bangunan rumah
t ing ga l d i antara bangunan
komersial besar. Selain itu, terdapat
pula bangunan-bangunan yang
memiliki kegiatan aksesoris
sehingga menutupi guna lahan
sebenarnya.
Dalam Rencana Detil Tata Ruang
Wilayah Pengembangan Cibeunying
Tahun 2005-2015, kawasan ruas
jalan R.E.Martadinata direncanakan
menjadi kawasan komersial, jasa,
perumahan, dan beberapa kawasan
mil iter. Kawasan perumahan
dialokasikan di sepanjang ruas jalan
Bahureksa, kawasan militer di
s e p a n j a n g r u a s b l o k y a n g
berbatasan dengan Jalan Ternate,
Halmahera, dan Ambon,sedangkan
kawasan komersial dan jasa
dialokasikan di sepanjang kawasan
yang berbatasan langsung dengan
ruas jalan R.E.Martadinata dengan
melakukan beberapa alih fungsi
b a n g u n a n d a r i b a n g u n a n
nonkomersial menjadi bangunan
dengan kegiatan komersial.
Kegiatan nonkomersia l yang
akanberubah menjadi kegiatan
komersial merupakan bangunan
rumah tinggal, Bank, LSM, dan
kegiatan pendidikan nonformal,
seperti lembaga bimbingan belajar.
Ke g i ata n ko m e rs i a l te rs e b u t
diperkirakan akan mengikuti jejak
kegiatan komersial yang telah ada
sebelumnya di ruas jalan tersebut,
yaitu factory outlet dan restoran.
Namun, terdapat fakta menarik
seputar penggunaan dan perubahan
bangunan tersebut, karena bangunan
yang dialokasikan dalam rencana tata
ruang sebagai bangunan komersial
merupakan bangunan yang termasuk
dalam daftar bangunan cagar budaya
Kota Bandung. Untuk mengatasi
permasalahan itu, pemerintah tetap
mengizinkan pengadaan kegiatan
komersil di bangunan tersebut
selama masih mempertahankan
bentuk asli bangunan atau tidak
melakukan peruabahan pada bentuk
asli bangunan secara keseluruhan.
Dalam pelaksanaan penggunaan
lahan di kawasan R.E.Martadinata,
berkelanjutan agar pelaksanaan
pengadaannya tidak melenceng dari
rencana yang telah ditetapkan,
terutama dalam pengadaan kegiatan
komersil di bangunan cagar budaya.
Jika tidak dilakukan pengawasan
secara tegas dan berkelanjutan
d i k h a w a t i r k a n a k a n t e r j a d i
perubahan penggunaan lahan dan
bentuk asli bangunan.
Selain itu, pengawasan terhadap
kegiatan komersil juga perlu
dilakukan karena seringkali kegiatan
komersil yang berada di suatu
kawasan berpotensi menimbulkan
kemacetan akibat sirkulasi lalu lintas
pengunjung dan lahan parkir yang
tidak memadai. Perlu dilakukan
evaluasi secara berkala dari
pemerintah sehingga pengadaan
kegiatan komersil di kawasan ruas
jalan R.E.Martadinata ini tidak
menimbulkan permasalahan baru,
misalnya pengadaan lahan parkir
atau gedung parkir bersama.
(Eneng)
courtesy:aleut.wordpress.com
t ep anners
Land Use Planning19
Peta Tata Guna Lahan Jalan Riau
courtesy: hasil observarsi
DIVISI KEPROFESIAN
HMP PANGRIPTA LOKA
Peduli Bandungdi
Kajian ON AIR
Pukul 10.00
Setiap Hari Sabtu
Setiap Dua Minggu Sekali
Perubahan Guna Lahan
Kawasan Perkotaan Lembang
dan Limpasan Air
kata kita
diambil dari Tugas Akhir karya:
Resfaniarto Indraka (15403043) dengan judul:
Kajian Pengaruh Pertumbuhan Fisik Guna Lahan Terhadap Perubahan
Jumlah Air Limpasan di Kawasan Perkotaan Lembang
courtesy:i165.photobucket.com/albums/u80/Trip2Java
e i r i n g d e n g a n s e m a k i n
meningkatnya jumlah penduduk Sperkotaan serta meningkatnya
tuntutan kebutuhan kehidupan dalam
aspek-aspek politik, ekonomi, sosial,
budaya dan teknologi terjadi pula
peningkatan keg iatan ekonomi
perkotaan. Pningkatan tejadi baik dari
sisi meningkatnya jumlah penduduk
perkotaan maupun meningkatnya
kegiatan kebutuhan ruang perkotaan
yang besar. Oleh karena kesediaan
ruang di dalam kota tetap dan terbatas,
maka meningkatnya kebutuhan ruang
untuk tempat tinggal dan fungsi-fungsi
perkotaan lain selalu akan mengambil
ruang di daerah yang belum bercirikan
perkotaan dan biasanya adalah
pinggiran kota. Gejala pengambil alihan
lahan non-urban oleh penggunaan
lahan disebut “invasion” sedangkan
proses perembetan fisik kekotaan ke
arah luar disebut “urban sprawl”.
Kecamatan Lembang merupakan salah
s at u w i l aya h ya n g m e n ga l a m i
pertumbuhan yang pesat disebabkan
sebagian wilayah Kecamatan Lembang
yang dilalui jalan koridorJakarta-
Bandung via Subang yang memiliki
intesitas pergerakan tinggi. Selain itu hal
tersebut juga karena Kecamatan
Lembang menjadi daya tarik wisata
bagi para wisatawan maupun para
investor di Provinsi Jawa Barat.
Tingginya intesitas pergerakan tidak
terlepas dari fungsi Jakarta dan
Bandung sebagai pusat pertumbuhan
wilayah nasional dan regional serta adanya
faktor kedekatan jarak dan aksesbililitas
yang memadai sehingga interaksi keduanya
berlangsung intensif. Letak geografis
tersebut menjadikan beberapa desa di
Kecamatan Lembang tersebut mengalami
proses pertumbuhan menjadi areal
kekotaan (urban sprawl).
Menurut Raperda Kawasan Bandung Utara
tahun 2006, Kecamatan Lembang sudah
ditetapkan sebagai kawasan konservarsi
karena daerah ini memiliki potensi resapan
air bagi daerah bawahnya, yaitu Kota
Bandung dan sekitarnya. Namun saat ini
terdapat berbagai lahan yang berfungsi
sebagai kawasan resapan air di Kecamatan
L e m b a n g b e ra l i h f u n g s i m e n j a d i
peruntukkan lainnya. Sejak tahun 1982
pembangunan di Kawasan Bandung Utara
mulai bermunculan dan tahun 1993, usaha
properti mulai menggeliat di Kawasan
Bandung Utara. Hal tersebut dikarenakan
pemandangan alam di Kawasan Bandung
Utara sangat menawan dan udaranya sejuk
mempunyai nilai jual tinggi. Pemerintah
Provinsi Jawa Barat mencatat 1996 hingga
tahun 2004 ada pengeluaran izin adap
perbaru untuk 12 pengembang dengan luas
lahan 356,2 hektar.Inilah mengapa
penyebab kejadian banjir dan longsor
terjadi;karena perubahan alih fungsi hutan
l indung yang seharusnya menjadi
menyandang fungsi resapan air. Dalam hal
ini peneliti, mengkaji bagaimana pengaruh
perubahan fisik guna lahan mempengaruhi
perubahan terhadap jumlah air
limpasan di Kawasan Perkotaan Kota
Lembang.
Sebagaimana yang telah kita telah
ketahui bahwa pada saat terjadinya
siklus hidrologi terjadi sebuah proses
aliran air yang luas dan panjang yang
dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi
dan energi matahari yang bersikulasi
di ata permukaan tanah atau dataran
maupun lautan (Chow). Air di bumi
yang meliputi air laut, air danau, dan
air sungai akan mengalami penguapan
yang disebabkan oleh pemanasan
sinar matahari atau biasa disebut
evaporasi.
Uap air hasil evaporasi bergerak ke
atmosfer dan setelah mengalami
beberapa proses terjadi, uap air akan
menjadi awan. Akibat proses angin
yang berhembus, awan-awan akan
d i b a w a k e p u n c a k - p u n c a k
pegunungan, sebagian awan yang
belum mencapai pegunungan akan
diturunkan sebagai hujan dan sebagian
lagi diturunkan di daerah pegunungan.
Proses ini di dalam siklus hidrologi
disebut proses prestisipasi.
Khusus mengenai penelitian ini
dititkberatkan pada pembahasan
mengenai model aliran air tanah di
daerah resapan air tanah. Proses
penyusupan air permukaan dalam
lubang pori atau celah pada tanah di
daerah resapan air disebut inflitrasi.
P r o s e s p e n y u s u p a n i n i a k a n
berakumulasi pada satu titiktersebut
menemui suatu lapisan batuan
yang kedap air.
Kemudian dari titik akumulasi ini
membentuk suatu zona jenuh air
(saturated zone). Perbedaan fisik
secara alami kana mengakibatkan
air dalam zona ini akan bergerak
mengalir baik decara gravitasi,
perbedaan tekanan, kontrol
struktur banguanan dan parameter
lainnya. Kondisi inilah yang disebut
aliran air tanah dan daerah aliran
tanah disebut daerah aliran
courtesy:aleut.wordpress.com
t ep anners
Land Use Planning22
courtesy:www.swrcb.ca.gov
(flow zone).
Kawasan Bandung utara yang
termasuk didalamnya adalah
kawasan perkotaan lembang
merupakan kawasan resapan air
yang termasuk dalam kategori
kawasan lindung yang memindungi
kawasan dibawahnya. Banyak fungsi
dari jenis kawasan ini yaitu
mencegah terjadinya erosi, bencana
banjir, sedimentasi dan menjaga
fungsi hidroorologis tanah di
kawasan hutan lindung sehingga
ketersediaan unsur hara tanah, air
tanah dan air permukaan selalu
dapat terjamin mengendalikan
hidrologi wilayah.
Kemudian berfungsi sebagai
penambat air dan pencegah banjir,
serta untuk melindungi ekosistem
yang khas di kawasan bergambut;
memberikan ruang yang cukup bagi
resapan air hujan pada kawasan
resapan air untuk keperluan
penyediaan kebutuhan air tanah
dan penanggulangan banjir, baik
untuk kawasan bawahannya
m a u p u n k a w a s a n y a n g
bersangkutan.
Kawasan resapan air merupakan
d a e r a h y a n g m e m p u n y a i
k e m a m p u a n t i n g g i u n t u k
meresapkan air hujan sehingga
merupakan tempat pengisian air
bumi (akuifer) yang berguna sebagai
sumber air. Jenis kawasan ini tidak
hanya memiliki manfaat secara
interna l ya i tu bag i kawasan
perkotaan lembang melainkan dalam
lingkup yang lebih luas yaitu bagi
cekungan bandung dan provinsi Jawa
Barat. Oleh karena itu pemanfaatan
ruang harus mengutamakan fungsi
lindung yang telah ditetapkan.
Ketika fungsi sebagai resapan air
tidakberjalan, itu artinya bahwa
limpasanair (run-off) yang terjadi
sangat tinggi.
Terdapat empat jenis limpasan air
mulai dari low runoff, moderate
runoff, moderate to high runoff
hingga high runoff. Run-off yang
terjadi pada suatu lahan dipengaruhi
oleh beberapa hal yaitu topografi dan
kemiringan lahan, hidrogeologi,
kondisi tanah dan klimatologi. Dalam
penelitian digunakan metode SCS
Run Off Curve Number, yaitu
parameter empiris yang digunakan
untuk memperkirakan jumlah air
limpasan.
Metode ini dianggap efisien dan
akurat karena mempertimbangkan
jenis tanah, guna lahan, perlakuan
dan kondisi hiodrologi. Hasilnya
adalah terdapat kategori mengenai
potensi terjadinya air limpasan dari
rendah hingga tinggi. Selain itu,
terdapat klasifikasi air limpasan
yaitu mulai dari kelas rendah, kelas
sedang, kelas tinggi hingga kelas
ekstrim. Dapat dikatakan bahwa
peng gunaan lahan d i suatu
perkotaan akan berpengaruh
terhadap siklus hidrologi termasuk
limpasan air.
Terjadi trade-off antara kawasan
resapan air yang berpengaruh
terhadap aspek lingkungan dengan
berbagai kegiatan budidaya di
kawasan perkotaan lembang.
Adanya kebutuhan akan berbagai
kegiatan yang beralasan ekonomi
membuat banyak ter jad inya
perubahan pemanfaatan ruang di
kawasan perkotaan lembang, hal
tersebut bahkan mengambil lahanfungsi yang seharusnya lindung. Hal
te rs e b u t m e m b u at l i n g ku n ga n
terdegradasi, termasuk memicu
terjadinya bencana alam.
Padahal kawasan resapan air yang
merupakan kawasan lindung memiliki
fungsi yang sangat signifikan yaitu
berfungsi untuk mencegah banjir dan
longsor pada saat musim hujan dan
menjaga cadangan air pada saat musim
kemarau. Jika pertumbuhan tidak
diarahkan dan dibatasi dikhawatirkan
pembangunan akan semakin meluas.
Pertumbuhan kota lembang yang
diidentifikasi pada penelitian ini
berdasarkan guna lahan tahun 1995 dan
2007. Dalam penelitian dilakukan
pemisalan teradap kondisi tutupan
lahan di Kota Lembang yang mengacu
pada klasifikasi Soil Conservation
Service Run Off Curve Number, yaitu
t ep anners
Land Use Planning23
courtesy:skyscrappercity/cyberprince
kondisi guna lahan diasumsikan
memiliki karakteristik tutupan lahan
yang homogen.
Data sekunder yang telah diperoleh
akan dipilah berdasarkan jenis guna
lahannya untuk kemudian dimasukkan
dalam klasifikasi description of land use
lalu dilakukan pemisalan. Begitupun
dengan guna lahan perumahan yang
dibagi menjadi beberapa pemisalan
y a i t u R O - 1 : p e r u m a h a n
memilikitutupan impervious sebesar
25% , RO-2 : perumahan memiliki
tutupan impervious sebesar 38%, RO-3 :
p e r u m a h a n m e m i l i k i t u t u p a n
impervious sebesar 65%, RO-4 :
p e r u m a h a n m e m i l i k i t u t u p a n
impervious sebesar 72% dan RO-5 :
p e r u m a h a n m e m i l i k i t u t u p a n
i m p e r v i o u s s e b e s a r 8 9 % .
Dari pemisalan yang telah disebutkan
sebelumnya, selanjutnya dilakukan
i d e nt i f i ka s i u nt u k m e n geta h u i
persebaran jenis tanah pada guna lahan
yang bersangkutan dengan cara di-
overlay. Hasilnya adalah diketahuinya
guna lahan berikut luasnya serta
persebaran jenis tanahnya. Data ini
k e m u d i a n d i g u n a k a n u n t u k
menentukan nilai Curve Number (CN).
Angka CN ini kemudian digunakan untuk
menentukan jumlah air yang melimpas
berdasarkan pada rumus :
RO : Rainfall excessP : Rainfall volumeS' : Storage at saturation, yang didapatkan
dari rumus
analisis perubahan fisik guna lahan tahun
1 9 9 5 - 2 0 0 7 d i m a k s u d k a n u n t u k
mengetahui perubahan fisik guna lahan
yang terjadi di Kota Lembang sejak tahun
1995 hingga tahun 2007 dan pengaruhnya
terhadap fluktuasi volume air yang
melimpas. Simulasi pertama yaitu kondsi
fisik guna lahan Kota Lembang tahun 1995
yang berada pada kondisi sangat baik
dibandingkan tahun tahun 2007 yang juga
dimisalkan berada pada kondisi yang sangat
baik. Akan tetap terjadi peningkatan nilai
limpasan air sebesar 46.756 m3, selama
rentang waktu tersebut terjadi peningkatan
air yang melimpas sebesar 9,68%. Simulasi
kedua jika kondisi 1995 paling baik-2007
paling buruk. Terdapat peningkatan volume
air limpasan sebesar 302.812 m3, artinya
sejak tahun 1995 hingga tahun 2007
terdapat peningkatan volume air yang
melimpas sebesar 62,69%.
Simulasi ketiga jika kondisi 1995 paling
buruk-2007 paling baik. Akan terjadi
pengurangan jumlah air yang melimpas di
Kota Lembang hingga sebesar 11,58%.
Simulasi keempat jika kondisi 1995 paling
buruk-2007 paling buruk. Maka maka
faktor yang paling berpengaruh terhadap
jumlah air yang melimpas adalah
peningkatan dan penurunan luas setiap
guna lahan di kawasan tersebut. Dari
simulasi ini terjadi kenaikan air
limpasan secara besar-besaran hingga
62,69%.
T i g a d a r i e m p a t s i m u l a s i
mengindikasikan peningkatan nilai air
limpasan, artinya selama rentang
waktu tersebut terdapat potensi
kenaikan air limpasan (run off) di Kota
Lembang dengan volume sebesar
9,68% hingga 31,15%. Kenaikan air
limpasan tersebut pasti akan terjadi
apabila tidak ada perubahan pada
kondisi guna lahan hutan dan
perumahan. Secara garis besar,
peningkatan/ penurunan nilai air yang
melimpas ini disebabkan adanya
perubahan pada tiga faktor yaitu : jenis
guna lahan, karakteristik tutupan lahan
dan luas guna lahan.
Guna lahan yang paling optimal dalam
menunjang fungsi resapan air adalah
hutan. Terutama pada kondisi hutan
yang baik, dalam artian tidak terdapat
pembalakan ataupun kebakaran dan
b a n y a k s e m a k m a k a a k a n
menyebabkan pengurangan nilai air
yang melimpas secara signifikan.
Setiap konversi/perubahan fisik guna
lahan d i Kota Lembang akan
mempengaruhi fluktuasi volume air
limpasan. Setiap konversi lahan seluas
100 m2 dari guna lahan pohon menjadi
guna lahan lain (non-hutan) pasti akan
meningkatkan volume air limpasan
.Penelitian atau perhitungan yang
dilakukan di atas dapat digunakan
sebagai acuan dalam menentukan
perijinan perubahan guna lahan di
t ep anners
Land Use Planning24
courtesy:dhenz.files.wordpress.com
)'8.0(
)'2.0(2
SP
SPRO
+
-= ;x (Luas setiap
guna lahan)
10
1000' -=
CNS
;Peta Guna Lahan Kawasan Perkotaan Lembang Tahun 1995 dan 2007
courtesy: Resfaniarto Indraka
1995 2007
tidak diijinkan berubah fungsi menjadi
guna lahan lainnya karena guna lahan ini
mampu mengurangi jumlah air
limpasan secara signifikan. Guna lahan
sawah dan kebun sebaiknya tidak
berubah fungsi menjadi guna lahan
ladang ataupun perumahan. Namun
sebal iknya, guna lahan ladang
dianjurkan untuk berubah fungsi
menjadi sawah dan kebun, namun
sebaiknya tidak berubah fungsi menjadi
guna lahan perumahan.
G u n a l a h a n p e r u m a h a n h a r u s
mendapatkan perhatian khusus karena
mampu memberikan kontribusi yang
besar terhadap penurunan/kenaikan
jumlah air limpasan. Pertumbuhan
perumahan di Kota Lembang harus
tetap memperhatikan arahan Kota
Lembang. Guna lahan hutan sebaiknya
pemanfaatan ruang Kawasan Bandung
Utara. Kebijakan yang harus dilakukan
untuk bidang perumahan di Kota
Lembang saat ini adalah membatasi
penambahan guna lahan perumahan
dan tidak mengeluarkan ijin baru untuk
pembangunan perumahan.
Kelas limpasan di Kota Lembang pada
tahun 1995 maupun 2007 termasuk
dalam kelas limpasan sedang. Kondisi ini
kurang sesuai apabila dikaitkan dengan
fungsi Kota Lembang sebagai daerah
resapan air. Seharusnya jumlah air
limpasan air di Kota Lembang termasuk
dalam kelas limpasan rendah (<25%)
sebagai indikator bahwa fungsi resapan
air di kawasan tersebut berjalan dengan
baik.
Meskipun terdapat potensi kenaikan air
limpasan, namun masih terdapat pula
kemungkinan penurunan air limpasan.
Perumahan merupakan guna lahan yang
harus mendapatkan perhatian khusus
karena mampu memberikan dampak
peningkatan volume air limpasan secara
signifikan terutama apabila memiliki
tutupan impervious yang sangat besar.
Terdapat rekomendasi yang diberikan
penulis. Beberapa rekomendasi
tersebut diantaranya: Terkait fungsi
Kota Lembang sebagai kawasan
perkotaan yang juga menyandang
fungsi resapan air, maka harus
diperhatikan agar kedua fungsi
tersebut dapat berjalan beriringan
Agar dapat dicapai maka perlu
peraturan dan kebijakan yang jelas
dan dapat diterapkan secara praktis
di lapangan. Pertumbuhan Kota
L e m b a n g j a n g a n s a m p a i
mengganggu fungsi lindung yaitu
tidak menimbulkan kenaikan air
l i m p a s a n , b a h k a n b i l a
memungkinkan dikurangi. Setiap
konversi guna lahan di Kawasan
Perkotaan Lembang tidak boleh
mengakibatkan penambahan
jumlah air limpasan.
R e k o m e n d a s i y a n g p a l i n g
memungkinkan adalah tidak lagi
memberikan i j in baru untuk
pembangunan perumahan. Adapun
upaya mengembalikan keoptimalan
fungsi Kota Lembang sebagai
kawasan l indung juga dapat
penerapan/rekayasa teknologi,
misalnya lubang resapan air
(biopori). (Rera)
t ep anners
Land Use Planning25
courtesy:skyscrappercity.com/v-sun
Potret
Land Use In Bandung
courtesy:skyscrappercity.com/v-sun
courtesy:skyscrappercity.com/ozieloa/2009
courtesy:skyscrappercity.com/trip2java
courtesy:skyscrappercity.com
t ep anners
Land Use Planning26
courtesy:skyscrappercity.com/v-suncourtesy:skyscrappercity.com/dochan
courtesy:skyscrappercity.com/trip2java courtesy:skyscrappercity.com/WiWiWi
courtesy:skyscrappercity.com/dahni_aja
t ep anners
Land Use Planning25
coming soon
in August
t ep anners