3
KERANGKA ACUAN KEGIATAN DISKUSI PROGRAM PENARIKAN DAN PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK (ESKA) DI WILAYAH KOTA BANDUNG MELALUI GERAKAN KOMUNITAS Latar Belakang Berdasarkan data Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) di tahun 2003, sekitar 1,2 juta anak didunia diperdagangkan setiap tahunnya untuk eksploitasi seks. Hampir 30 persen dari perkiraan angka global dari perdagangan anak didunia terjadi di Benua Asia. Sedangkan di Indonesia, menurut kajian cepat yang dilakukan ILO- IPEC di tahun 2003, diperkirakan jumlah seksual komersial anak (ESKA) dibawah usia 18 tahun, sekitar 1.244 anak di Jakarta, 2.511 anak di Bandung, 520 anak di Yogyakarta, 4.990 anak di Surabaya dan 1.623 anak di Semarang. Namun perkiraan jumlah diatas dapat menjadi beberapa kali lipat lebih besar, mengingat banyaknya seksual komersial anak (ESKA) yang bekerja di tempat-tempat tersembunyi atau secara sembunyi-sembunyi, illegal, tidak terdata dan adanya fenomena pemalsuan umur (baik yang dilakukan ESKAnya sendiri, diurus oleh mucikari, pencari calon ESKA, calo antara konsumen dengan ESKA, ataupun pengelola tempat hiburan yang menyediakan jasa prostitusi secara terselubung), guna menghindari jeratan hukum. Menurut Farid (1999), istilah “anak yang dilacurkan”, merujuk kepada subjek, yaitu anak-anak, tanpa melihat jenis kelamin, status material (menikah/belum) yang terlibat dalam prostitusi, dimana mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memilih atau menolak prostitusi sebagai profesi, kalaupun ada stimulus yang mendorong mereka memilih prostitusi, bisa dikatakan hanya sebuah kesadaran semu. Sedangkan prostitusi anak, bisa didefinisikan sebagai tindakan mendapatkan jasa pelayanan kebutuhan seksual dari seorang anak yang ditawarkan oleh seseorang (disini bisa diartikan orangtuanya sendiri, anggota keluarga anak atau pun teman dekat dari anak) atau beberapa orang yang tergabung dalam sindikat (jaringan), dengan imbalan uang atau imbalan lainnya. Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan, bahwasannya batasan komersial atas eksploitasi seksual komersial anak (ESKA), bukan hanya mendapatkan imbalan uang, akan tetapi bisa berupa materi-materi lainnya (seperti : NAPZA, Pakaian, Pulsa, Minuman, dll), bahkan banyak juga imbalan yang diberikan adalah hal-hal yang sifatnya immaterial (perlindungan, asuhan, dll) Sedangkan faktor-faktor resiko yang menyebabkan/berpotensi menjerumuskan anak dalam eksploitasi seksual komersil anak (ESKA), adalah : 1. Dimensi Ekonomi, meliputi : a. Tingkat perekonomian keluarga b. Migrasi dari daerah ke kota c. Konsumtivisme (perilaku konsumtif dari anak itu sendiri)

Term of Reference Workshop Program EXCEED-ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) di Kota Bandung dari Save Children dengan KAP Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Seperti apa yang diungkapkan Moamar Emka dalam bukunya Jakarta Undercover, sebenarnya di Bandung realitas eksploitasi seksual komersil anak lebih parah, hanya saja sejauh ini belum ada data akurat mengenai jumlah korban eksploitasi seksual komersial anak, belum adanya upaya pemulihan (rehabilitasi), baik psikologis, maupun kesehatan dan payung hukum yang melindungi, serta mempidanakan konsumen dan jaringan yang terlibat dalam eksploitasi seksual komersial anak di Kota Bandung

Citation preview

Page 1: Term of Reference Workshop Program EXCEED-ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) di Kota Bandung dari Save Children dengan KAP Indonesia

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

DISKUSI PROGRAM PENARIKAN DAN PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK (ESKA) DI WILAYAH KOTA BANDUNG MELALUI GERAKAN

KOMUNITAS

Latar Belakang

Berdasarkan data Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) di tahun 2003, sekitar 1,2 juta anak didunia diperdagangkan setiap tahunnya untuk eksploitasi seks. Hampir 30 persen dari perkiraan angka global dari perdagangan anak didunia terjadi di Benua Asia. Sedangkan di Indonesia, menurut kajian cepat yang dilakukan ILO-IPEC di tahun 2003, diperkirakan jumlah seksual komersial anak (ESKA) dibawah usia 18 tahun, sekitar 1.244 anak di Jakarta, 2.511 anak di Bandung, 520 anak di Yogyakarta, 4.990 anak di Surabaya dan 1.623 anak di Semarang. Namun perkiraan jumlah diatas dapat menjadi beberapa kali lipat lebih besar, mengingat banyaknya seksual komersial anak (ESKA) yang bekerja di tempat-tempat tersembunyi atau secara sembunyi-sembunyi, illegal, tidak terdata dan adanya fenomena pemalsuan umur (baik yang dilakukan ESKAnya sendiri, diurus oleh mucikari, pencari calon ESKA, calo antara konsumen dengan ESKA, ataupun pengelola tempat hiburan yang menyediakan jasa prostitusi secara terselubung), guna menghindari jeratan hukum.

Menurut Farid (1999), istilah “anak yang dilacurkan”, merujuk kepada subjek, yaitu anak-anak, tanpa melihat jenis kelamin, status material (menikah/belum) yang terlibat dalam prostitusi, dimana mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memilih atau menolak prostitusi sebagai profesi, kalaupun ada stimulus yang mendorong mereka memilih prostitusi, bisa dikatakan hanya sebuah kesadaran semu. Sedangkan prostitusi anak, bisa didefinisikan sebagai tindakan mendapatkan jasa pelayanan kebutuhan seksual dari seorang anak yang ditawarkan oleh seseorang (disini bisa diartikan orangtuanya sendiri, anggota keluarga anak atau pun teman dekat dari anak) atau beberapa orang yang tergabung dalam sindikat (jaringan), dengan imbalan uang atau imbalan lainnya.

Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan, bahwasannya batasan komersial atas eksploitasi seksual komersial anak (ESKA), bukan hanya mendapatkan imbalan uang, akan tetapi bisa berupa materi-materi lainnya (seperti : NAPZA, Pakaian, Pulsa, Minuman, dll), bahkan banyak juga imbalan yang diberikan adalah hal-hal yang sifatnya immaterial (perlindungan, asuhan, dll)

Sedangkan faktor-faktor resiko yang menyebabkan/berpotensi menjerumuskan anak dalam eksploitasi seksual komersil anak (ESKA), adalah :

1. Dimensi Ekonomi, meliputi : a. Tingkat perekonomian keluarga b. Migrasi dari daerah ke kota c. Konsumtivisme (perilaku konsumtif dari anak itu sendiri)

Page 2: Term of Reference Workshop Program EXCEED-ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) di Kota Bandung dari Save Children dengan KAP Indonesia

2. Dimensi Sosiokultural, meliputi : a. Mitos dalam kepala orang dewasa (khususnya para petualang

seks), bahwa berhubungan seks dengan anak itu aman, dikarenakan anak-anak aman dari kemungkinan terinfeksi penyakit seks. Padahal realitanya, anak-anak juga berpotensi terinfeksi penyakit menular seksual, mulai dari jengger ayam sampai dengan HIV/AIDS

b. Mitos dalam kepala orang dewasa (khususnya para petualang seks), bahwa berhubungan seks dengan anak-anak akan membuat awet muda

3. Disintegrasi Keluarga (ketidakharmonisan keluarga) dan Penelantara Anak. a. Ketidakharmonisan keluarga membuat anak-anak lari dari rumah

dan mencari suasana lain dari rumah yang memperbesar resiko terjerumus dalam dunia prostitusi

b. Penelantaran anak akan haknya, seperti : kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, hak memperoleh rasa aman dan disayangi, serta hak akan perlindungan. Ketidakterpenuhinya hak-hak anak tadi, memperbesar peluang anak terjerumus dalam dunia prostitusi

4. Kesempatan Pendidikan, dimana terbatasnya akses layanan pendidikan kejuruan dan magang kerja, serta ketidakmampuan melanjutkan sekolah menyebabkan anak-anak menghabiskan waktu dalam lingkungan pergaulan yang beresiko menjerumuskan anak dalam dunia prostitusi

5. Kekerasan Seksual dan Pengalaman Seksual Dini (diluar nikah) a. Kekerasan seksual yang dialami anak, seperti halnya anak korban

pemerkosaan, menjadi faktor penyebab anak tersebut terjerumus kedalam dunia prostitusi

b. Pengalaman seksual dini (diluar nikah) yang menyebabkan hilangnya keperawanan anak perempuan, bahkan tak jarang terjadi kehamilan dini yang berakhir dengan aborsi, juga menjadi factor penyebab anak lari ke dunia prostitusi

6. Meningkatnya Permintaan Akan Pelacur Anak, baik dilingkup domestic (daerah tujuan wisata) maupun luar negeri (Malaysia, Singapura, Brunei, Taiwan, Jepang dan Arab Saudi

7. Lemahnya legislasi. Walaupun saat ini Indonesia sudah memiliki regulasi terkait dengan perlindungan terhadap hak anak, seperti : UU No. 23 Tahun 2002 : Perlindungan Anak, UU No. 21 Tahun 2007 : Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU No. 44 Tahun 2008 : Pornografi, akan tetapi implementasinya tak sepadan dengan apa yang diinginkan

8. Ketiadaan komunitas masyarakat sipil yang kuat di Indonesia dalam memberikan tekanan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap pelaku kejahatan seksual anak dan jaringannya

9. Aspek-aspek Lingkungan, seperti : a. Kontrol orangtua terhadap hubungan seksual anak diluar nikah

Page 3: Term of Reference Workshop Program EXCEED-ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) di Kota Bandung dari Save Children dengan KAP Indonesia

b. Kontrol teman terhadap hubungan seksual diluar nikah c. Dukungan orangtua terhadap hubungan seksual diluar nikah d. Norma susila yang berlaku/ada disekitar tempat tinggal anak e. Kesenangan f. Dorongan untuk berteman luas g. Cara pandang sekolah terhadap hubungan seksual diluar nikah dan

penyelesaiannya lewat memfasilitasi berbasis hak akan kesehatan seksual (reproduksi) anak

Sedangkan bentuk-bentuk eksploitasi seksual komersil anak, seperti :

1. Pelacuran Anak 2. Anak “Simpanan” atau “Anak-anakan” atau “Adek-adek-an” 3. “Pelajar Plus-Plus” 4. Anak Jalanan 5. Korban Kekerasan 6. Pembantu Rumah Tangga Anak

Maksud dan Tujuan

Workshop program penarikan dan pencegahan 40 eksploitasi seksual komersil anak (ESKA) di wilayah Kota Bandung melalui gerakan komunitas, yaitu :

1. Memaparkan tujuan (output) dan capaian dari program ini kepada working group yang ada di Kota Bandung, terkait dengan permasalahan eksploitasi seksual anak (ESKA) yang ada

2. Menghasilkan peta eksploitasi seksual anak (ESKA) di Kota Bandung, berupa : peta lokasi (hot spot), jumlah ESKA yang ada di Kota Bandung (usia, gender, status pendidikan, status material), daerah asal ESKA, pola kerja ESKA, jaringan/sindikat yang terkait/memanfaatkan ESKA, pola imbalan dan pola konsumtif korban ESKA (sehingga dapat diketahui alasan yang melatarbelakangi mereka terjerumus masuk dalam dunia prostitusi)

3. Merumuskan pola-pola pemulihan dan menyediakan fasilitas layanan pemulihan yang dapat diakses oleh korban ESKA

4. Merumuskan pola-pola perlindungan anak-anak dari pola-pola eksploitasi seksual komersil anak yang terjadi di Kota Bandung

5. Merumuskan pola-pola partisipasi anak dalam memerangi ESKA di Kota Bandung

6. Merumuskan pola-pola partisipasi masyarakat (komunitas) dalam memerangi ESKA di Kota Bandung

7. Membangun pola-pola reintegrasi bagi korban ESKA yang mengintegrasikan antara stakeholder di birokrasi yang ada di Kota Bandung dengan stakeholder yang ada dimasyarakat