Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PA
PU
A - J
UR
NA
L P
EN
ELT
IAN
AR
KE
OL
OG
IV
ol. 1
0 N
o. 2
No
pm
eb
er 2
018
9 7 7 2 0 8 5 9 7 6 7 6 1
ISSN 2085-9767
Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018
VOLUME10
NOMOR2
HALAMAN75-177
Peranan Bangsawan Bone dalam Sistem Pemerintahan dari Swapraja ke KabupatenThe Role of Bone Nobleman in The Government System from Swapraja to Regency
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 i
JURNAL PAPUA ISSN 2085 - 9767
Vol. 10 Edisi No. 2 November – 2018 Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018
PENGELOLA JURNAL PAPUA
Mitra Bestari : Dr. Widya Nayati, M.A. (Jurusan Arkeologi, FIB UGM, Yogya-
karta) Dr. Toetik Koesbardiati (Jurusan Antropologi, Universitas Airlangga) Hsao-chun Hung, PhD (Department of Archaeology and Natural History, Australian National University) Vida Kusmartono, M. A. (Arkeologi Prasejarah, Balai Arkeologi
Kalimantan Selatan) Pemimpin Redaksi : Hari Suroto, S.S. (Arkeologi Prasejarah) Sidang Redaksi : Zubair Ma’sud, M. Hum (Arkeologi Prasejarah)
Sri Chiirullia Sukandar, S.S. (Arkeologi Sejarah) Klementin Fairyo, M.Si (Etnoarkeologi) Sonya M. Kawer, S.Sos (Arkeologi Sejarah) Adi Dian Setiawan, S. S. (Etnoarkeologi)
Alamat Redaksi : BALAI ARKEOLOGI PAPUA Jl. Isele, Kampung Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura 99358 E-mail : [email protected]
Laman OJS: https://jurnalarkeologipapua.kemdikbud.go.id e-ISSN: 2580-9237
Jurnal Papua diterbitkan dua kali dalam satu tahun pada bulan Juni dan November oleh Balai Arkeologi Papua. Jurnal Papua memuat hasil-hasil penelitian, gagasan konseptual, kajian dan aplikasi teori yang berkaitan dengan arkeologi. Persyaratan naskah untuk jurnal Papua tercantum pada halaman belakang.
i Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
JURNAL PAPUA ISSN 2085 - 9767
Vol. 10 Edisi No. 2 November – 2018 Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018
KATA PENGANTAR
Jurnal Arkeologi Papua Vol 10, Edisi No 2, November 2018 menampilkan enam
artikel. Artikel pertama berasal dari peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, artikel
selanjutnya berasal dari Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Balai Pelestarian Nilai
Budaya Sulawesi Selatan dan Balai Arkeologi Papua. Artikel dalam edisi ini dengan subtansi
arkeologi dan artikel etnoarkeologi. Diharapan kontribusi penulis lainnya dalam edisi
mendatang. Selamat membaca.
Redaksi
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 ii
JURNAL PAPUA ISSN 2085 - 9767
Vol. 10 Edisi No. 2 November – 2018 Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018
DAFTAR ISI Kata Pengantar…………………………………………………………………………… i Daftar Isi………………………………………………………………………………….. ii Abstrak……………………………………………………………….…………………… iii Abstract…………………………………………………………………..……………….. vi Muh. Fadhlan S. Intan Lembah Besoa: Tektonik dan Situs Besoa Valley: Tectonics and Sites………………………………………………….….……… 75-100 Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah
Studi Kasus Patologi Gigi: Karies pada Rangka Manusia ST1, Song Terus, Pacitan, Jawa Timur Dental Pathology Case Study: Caries On ST1 Human Remains, Song Terus, Pacitan, East Java…………………………………………………………………………….…… 101-115 Ansaar Persepsi Masyarakat Peziarah Terhadap Makam Keramat di Kabupaten Luwu Utara Perception of Pilgrim Toward Sacred Tomb in North Luwu………………………… 117-133 Risma Widiawati Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten The Role of Bone Nobleman in The Government System from Swapraja to Regency. 135-151 Rini Maryone Rumah Tradisional Suku Kamoro Traditional House of Kamoro Tribe……………………………………….………… 153-168 Hari Suroto, Erlin N. Idje Djami Bentuk Kehidupan Manusia Prasejarah di Situs Yomokho Prehistoric living in the Yomokho Site…………………………………………….….. 169-177
iii Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
URNAL PAPUA
ISSN 2085 - 9767 Vol. 10 Edisi No. 2 November – 2018
Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh digandakan tanpa izin dan biaya.
DDC. 930.1 Lembah Besoa: Tektonik dan Situs Muh. Fadhlan S. Intan (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, hlm 75-100 Lembah Besoa (Poso, Sulawesi Tengah) banyak menyimpan tinggalan budaya megalitik, yang selama ini belum diperhatikan oleh peneliti lingkungan, khususnya geoarkeologi. Dengan demikian, perlu dilakukan pemetaan geologi permukaan secara umum sebagai salah satu upaya menyajikan informasi geologi terkait dengan situs Megalitik Lembah Besoa. Tujuannya adalah untuk mengetahui aspek-aspek geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi di wilayah tersebut. Metode penelitian dilakukan melalui kajian pustaka, survei, analisis data lapangan dan interpretasi. Pengamatan lingkungan memberikan informasi tentang morfologi, batuan penyusun, dan stuktur geologi Lembah Besoa. Terdapat sepuluh situs megalitik di Lembah Besoa. Kegiatan tektonik dan struktur geologi yang memicu terjadinya bencana alam ada sembilan unsur, salah satunya adalah Patahan Palu-Koro. Pergeseran lempeng tektonik yang cukup aktif di Sesar Palu-Koro, membuat wilayah Megalitik Lembah Besoa, rawan terhadap gempa bumi. Penelitian geoarkeologi di Lembah Besoa, akan memberikan manfaat dalam pengetahuan tentang kearifan manusia pada masa itu, dalam upaya menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan alam sekitarnya, dimana Lembah Besoa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Patahan Palu-Koro. Kata kunci: geologi, situs megalitik, Lembah Besoa, tektonik, sesar
DDC. 930.1 Studi Kasus Patologi Gigi: Karies pada Rangka Manusia ST1, Song Terus, Pacitan, Jawa Timur Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah (UKSW, MNHN Paris, Puslit Arkenas) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, hlm 101-115 Temuan rangka manusia ST1 di Song Terus (Pacitan, Jawa Timur) memberikan peluang untuk menelusuri lebih jauh pola kehidupan manusia pada periode Holosen Awal di wilayah ini. Artikel ini berfokus pada aspek paleopatologi yang merupakan salah satu kajian ilmu dalam menelusuri jejak kehidupan manusia di masa lalu melalui penyakit pada tulang dan gigi manusia yang ditemukan dalam konteks arkeologi. Materi penelitian dalam artikel ini menitikberatkan pada gigi manusia yang merekam informasi mengenai masa hidup seseorang, termasuk aspek-aspek perkiraan usia saat mati, jenis makanan yang pernah dikonsumsi, dan penyakit yang pernah diderita. Kasus patologi berupa karies menarik untuk diteliti sebab penyakit ini merupakan salah satu kasus yang umum ditemukan pada sisa rangka manusia. Metode penelitian yang digunakan adalah observasi makroskopis dan metode pustaka. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 27 gigi tersisa pada individu ST1, terdapat sembilan gigi yang terdeteksi mengalami karies dan beberapa gigi lain yang menderita penyakit periodontal. Karies pada individu ini tampak disebabkan oleh mikroorganisme yang berkembang di dalam mulut akibat minimalnya perawatan kesehatan gigi dan mulut, serta tidak berhubungan langsung dengan asupan nutrisi yang dikonsumsi oleh individu ini pada masa hidupnya. Kata kunci: karies, patologi gigi, Song Terus, Holosen Awal, Jawa Timur
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 iv
DDC. 930.1 Persepsi Masyarakat Peziarah Terhadap Makam Keramat di Kabupaten Luwu Utara Ansaar (BPNB Sulawesi Selatan) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, hlm 117-133 Tradisi ziarah ke makam-makam tua yang dikeramatkan merupakan fenomena yang hidup di kalangan masyarakat yang telah dilakukan secara turun temurun. Kepercayaan mistis yang berbasis pada tradisi dan kepercayaan yang berdasar pada pemikiran-pemikiran rasional, menunjukkan berbagai macam kepercayaan para peziarah makam. Kekuatan supranatural pada makam-makam yang dianggap keramat dapat mempengaruhi cara pandang atau persepsi mereka terhadap dunia gaib yang dianggap dapat merubah nasib dan kehidupannya. Penelitian ini, di samping bertujuan memberi gambaran tentang tujuan dan motivasi peziarah mengunjungi makam-makam tua yang dikeramatkan, juga untuk mengetahui persepsi masyarakat peziarah terhadap makam-makam yang dikeramatkan itu. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data lapangan. Hasil pembahasan menunjukkan, bahwa tujuan dan motivasi peziarah mendatangi makam-makam keramat itu, karena ada keyakinan dari mereka bahwa mendatangi makam-makam keramat akan memperoleh berkah sesuai dengan niat dan tujuan yang dikehendaki. Peziarah yang datang ke makam itu, satu sama lain juga punya persepsi atau pandangan yang berbeda, tergantung dari tujuan dan kebutuhan mereka datang ke makam itu. Kata kunci: Persepsi, makam keramat, masya-
rakat peziarah
DDC. 930.1 Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten Risma Widiawati (BPNB Sulawesi Selatan) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, hlm 135-151 Kabupaten Bone sebagai bahagian dari Sulawesi Selatan merupakan suatu daerah yang sangat menarik untuk dibicarakan. Daerah ini bukan saja merupakan bagian dari sejarah Sulawesi Selatan, tetapi juga merupakan arus sejarah Sulawesi Selatan. keberadaan bangsawan yang begitu melekat di dalam sendi kehidupan masyarakat Bone masih menarik untuk ditelisik sampai hari ini. Berdasarkan hal tersebut, maka artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan tentang peranan bangsawan Bone dalam sistem pemerintahan swapraja ke kabupaten (1950 – 1960). Perkembangan politik dari pemerintahan selama periode ini dipandang cukup mempengaruhi dinamika politik dari pemerintahan di Kabupaten Bone yang berlangsung bahkan sampai sekarang. Metode yang digunakan adalah adalah metode penelitian sejarah dengan empat tahapan yaitu, heuristik, kritik (sejarah), intrepretasi, dan penyajian (historiografi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah peralihan dari swapraja ke kabupaten, peranan bangsawan masih sangat diperhitungkan. Namun tidak lagi seperti pada masa sebelum peralihan, di mana pemerintahan dikuasai oleh raja/aristokrasi. Pada masa ini tingkat kecerdasan juga diperhitungkan. Selain karena struktur pemerintahannya memang berbeda juga karena proses pengangkatan kepala pemerintahan juga berbeda. Namun secara umum peran bangsawan setelah masa peralihan tidak jauh berbeda, di mana masih banyak bangsawan yang memegang kekuasaan. Kata Kunci: Bangsawan,Bone,Swapraja
v Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
DDC. 930.1 Rumah Tradisional Suku Kamoro Rini Maryone (Balai Arkeologi Papua) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, hlm 153-168 Tulisan ini mengkaji rumah tradisional Karapauw kame dan tiang mitoro pada suku Kamoro di kabupaten Mimika. Adapun permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana bentuk, fungsi dan nilai budaya rumah tradisional karapauw kame dan tiang mitoro. Metode yang di gunakan adalah metode kualitatif, dengan penalaran induktif sebagai pola pikir dalam memecahkan rumusan masalah yang telah diajukan sebelumnya. Diharapkan budaya masa lampau ini dapat direkontruksi lewat data etnografi dari tradisi masyarakat yang masih berlangsung (pendekatan etnoarkeologi). Hasil penelitian rumah tradisional Karapauw kame dan tiang mitoro di harapkan pulah dapat menambah referensi rumah suku yang ada di Papua khususnya dan di Indonesia umumnya.
Kata Kunci: rumah tradisional, karapauw kame, Suku Kamoro
DDC. 930.1 Bentuk Kehidupan Prasejarah di Situs Yomokho Hari Suroto, Erlin N. Idje Djami (Balai Arkeologi Papua) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, hlm 169-177 Cerita rakyat yang dipercaya Suku Sentani tentang migrasi nenek moyang mereka dari Papua New Guinea yang memilih Bukit Yomokho sebagai pemukiman awal, maka perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan bentuk kehidupan manusia prasejarah di situs Yomokho. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui bentuk kehidupan manusia prasejarah di Situs Yomokho. Metode pengumpulan data yaitu studi pustaka, wawancara, survei permukaan tanah, ekskavasi. Analisis data yaitu analisis artefaktual, analisis kontekstual, dan analisis XRD. Bentuk kehidupan manusia prasejarah sekitar situs menunjukkan bahwa mereka hidup berburu, mencari ikan dan meramu sagu.
Kata kunci: Prasejarah, Situs Yomokho, kehidupan manusia
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 vi
JURNAL PAPUA
ISSN 2085 - 9767 Vol. 10 Edisi No. 2 November – 2018
Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018
Keywords are extracted from article. Abstract may be reproduced without permission and cost.
DDC. 930.1 Besoa Valley: Tectonics and Sites Muh. Fadhlan S. Intan (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, p.75-100. Besoa Valley (Poso, Central Sulawesi) has a lot of remains of megalithic culture, which has not been considered by environmental researchers, especially geoarchaeology. Thus, it is necessary to do surface geological mapping in general as one of the efforts to present geological information related to the Besoa Valley Megalithic site. The aim is to find out the geomorphological, stratigraphic and geological structures in the region. Research methods are carried out through literature review, surveys, field data analysis and interpretation. Environmental observations provide information about morphology, constituent rocks, and geological structures of the Besoa Valley. There are ten megalithic sites in the Besoa Valley. Tectonic activities and geological structures that trigger natural disasters are nine elements, one of which is the Palu-Koro Fault. The quite active tectonic plate shift in the Palu-Koro Fault, making the Megalithic region of the Besoa Valley, is prone to earthquakes. Geoarchaeological research in the Besoa Valley, will provide benefits in the knowledge of human wisdom at that time, in an effort to adapt to the conditions of the surrounding natural environment, where the Besoa Valley is an integral part of the Palu-Koro Fault. eywords: geology, megalithic site, Besoa Valley, tectonic, fault
DDC. 930.1 Dental Pathology Case Study: Caries On ST1 Human Remains, Song Terus, Pacitan, East Java Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah (UKSW, MNHN Paris, Puslit Arkenas) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, p.101-115. Human remains found in Song Terus (Pacitan, East Java), known as ST1, presented an opportunity of in-depth study in reconstructing how human lived during Early Holocene period in the area. This article focuses on palaeopathological aspects by examining lesions of disease observable in bones and dentition of human remains found in archaeological context. The research done for this article focuses more on dental remains, as teeth are known to have durability and longevity as archaeological finds, and could also provide information on age-at-death, types of diet, and oral diseases which may occurred during a person’s life. Dental caries is one of the most common type of oral disease found in archaeological context. Research methods used are macroscopic observation and literature reference comparison.. Results showed there were nine dentition on this individual (from a total of 27 identified dentition) suffered from caries with various degree of severity. Other types of oral disease noted during observation and analysis were periodontal disease. ST1 might have been suffering from severe caries due to lack of oral hygiene, as well as minimum dental treatment towards emerging oral disease. Nevertheless, these diseases did not seem to be directly caused by ST1’s dietary habit during lifetime. Keywords: caries, dental pathology, Song Terus, Early Holocene, East Java
vii Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
DDC. 930.1 Perception of Religius Visitors Toward Sacred Tomb in North Luwu Ansaar (BPNB Sulawesi Selatan) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, p.117-133
The tradition of pilgrimage to old sacred tombs is a phenomenon that lives in the community that has been carried out for generations. Mystical beliefs based on traditions and beliefs that are based on rational thoughts, show the various kinds of beliefs of tomb pilgrims. Supernatural powers on tombs that are considered sacred can affect their perspective or perception of the unseen world which is considered to change their destiny and life. This study, in addition to aiming at giving an idea of the purpose and motivation of pilgrims visiting old sacred tombs, is also to find out the perception of the pilgrims to the sacred tombs. This research is descriptive qualitative with field data collection techniques. The results of the discussion showed that the purpose and motivation of pilgrims came to the sacred tombs, because there was a belief from them that visiting sacred tombs would get a blessing in accordance with their intended intentions and goals. Pilgrims who come to the tomb, each other also have different perceptions or views, depending on their goals and needs coming to the tomb.
Keywords: Perception, sacred tomb, pilgrim community
DDC. 930.1 The Role of Bone Nobleman in The Government System from Swapraja to Regency Risma Widiawati (BPNB Sulawesi Selatan) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, p.135-151 Bone Regency as part of South Sulawesi is a very interesting area to discuss. This area is not only part of the history of South Sulawesi, but also a historical flow of South Sulawesi. the existence of nobles who are so attached to the joints of the lives of the people of Bone is still interesting to be examined to this day. Based on this, the article aims to reveal the role of Bone nobility in the swapraja government system to the regency (1950 - 1960). The political development of the government during this period was seen as sufficiently influencing the political dynamics of the government in Bone Regency which continued even today. The method used is the method of historical research with four stages, namely, heuristics, criticism (history), interpretation, and presentation (historiography). The results of the study show that after the transition from swapraja to regency, the role of nobility is still very calculated. But it is no longer like in the period before the transition, where the government was ruled by the king / aristocracy. At this time the level of intelligence is also taken into account. Apart from the fact that the structure of the government is indeed different because the process of appointing head of government is also different. But in general the role of nobility after the transition was not much different, where there were still many nobles holding power. Keywords: Nobleman,Bone,Swapraja
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 viii
DDC. 930.1 Traditional House of Kamoro Tribe Rini Maryone (Balai Arkeologi Papua) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, p.153-168 This paper examines the tradisional houses karapauw kame and mitoro pole of the Kamoro in Mimika District. The problems raised in the paper is how the form, function, and cultural velues of tradisional homes karapauw kame and mitoro pole. The metohod used is qualitative method, with inductive reasoning as a minsed in solving problems that have been done before. The results of research houses karapauw kame and mitoro poles are expected to and reference tribal house in Papua in particular and in Indonesia generally . Keywords: Traditional hauses, karapauw kame, Kamoro tribe
DDC. 930.1 Prehistoric living in the Yomokho Site Hari Suroto, Erlin N. Idje Djami (Balai Arkeologi Papua) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, p.169-177 Folklore that the Sentani people believe about the migration of their ancestors from Papua New Guinea who chose Yomokho Hill as an initial settlement, it is necessary to do research related to prehistoric human life forms on the Yomokho site. The purpose of this paper is to find out the prehistoric human life forms on the Yomokho Site. Methods of data collection are library studies, interviews, land surface surveys, excavations. Data analysis is artefactual analysis, contextual analysis, and XRD analysis. The prehistoric forms of human life on the Yomokho Site based on artifacts, ecophysics and the environmental context around the site indicate that they live hunting, fishing and gathering sago. Keywords: Prehistory, Yomokho Site, human life
75 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
LEMBAH BESOA: TEKTONIK DAN SITUS (Besoa Valley: Tectonics and Sites) Muh. Fadhlan S. Intan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Jl. Raya Condet Pejaten No. 4 Jakarta Selatan 12510, e-mail: [email protected]
INFO ARTIKEL
Histori Artikel Diterima: 3 Juli 2018 Direvisi: 6 Agustus 2018 Disetujui:5 November 2018
Keyword
Geology, Megalithic site, Besoa Valley, Tectonic, fault
Kata Kunci Geologi, Situs megalitik, Lembah Besoa, Tektonik, sesar
ABSTRACT
Besoa Valley (Poso, Central Sulawesi) has a lot of remains of megalithic culture, which has not been considered by environmental researchers, especially geoarchaeology. Thus, it is necessary to do surface geological mapping in general as one of the efforts to present geological information related to the Besoa Valley Megalithic site. The aim is to find out the geomorphological, stratigraphic and geological structures in the region. Research methods are carried out through literature review, surveys, field data analysis and interpretation. Environmental observations provide information about morphology, constituent rocks, and geological structures of the Besoa Valley. There are ten megalithic sites in the Besoa Valley. Tectonic activities and geological structures that trigger natural disasters are nine elements, one of which is the Palu-Koro Fault. The quite active tectonic plate shift in the Palu-Koro Fault, making the Megalithic region of the Besoa Valley, is prone to earthquakes. Geoarchaeological research in the Besoa Valley, will provide benefits in the knowledge of human wisdom at that time, in an effort to adapt to the conditions of the surrounding natural environment, where the Besoa Valley is an integral part of the Palu-Koro Fault.
ABSTRAK
Lembah Besoa (Poso, Sulawesi Tengah) banyak menyimpan tinggalan budaya megalitik, yang selama ini belum diperhatikan oleh peneliti lingkungan, khususnya geoarkeologi. Dengan demikian, perlu dilakukan pemetaan geologi permukaan secara umum sebagai salah satu upaya menyajikan informasi geologi terkait dengan situs Megalitik Lembah Besoa. Tujuannya adalah untuk mengetahui aspek-aspek geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi di wilayah tersebut. Metode penelitian dilakukan melalui kajian pustaka, survei, analisis data lapangan dan interpretasi. Pengamatan lingkungan memberikan informasi tentang morfologi, batuan penyusun, dan stuktur geologi Lembah Besoa. Terdapat sepuluh situs megalitik di Lembah Besoa. Kegiatan tektonik dan struktur geologi yang memicu terjadinya bencana alam ada sembilan unsur, salah satunya adalah Patahan Palu-Koro. Pergeseran lempeng tektonik yang cukup aktif di Sesar Palu-Koro, membuat wilayah Megalitik Lembah Besoa, rawan terhadap gempa bumi. Penelitian geoarkeologi di Lembah Besoa, akan memberikan manfaat dalam pengetahuan tentang kearifan manusia pada masa itu, dalam upaya menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan alam sekitarnya, dimana Lembah Besoa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Patahan Palu-Koro.
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 76
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara
kepulauan yang terletak pada pertemuan
empat lempeng yaitu Lempeng Eurasia,
Indo-Australia, Pasifik, dan Laut Filipina
(Hall, 2002:353-431). Pertemuan keempat
lempeng tersebut mengakibatkan
terbentuknya tatanan tektonik yang rumit.
Di wilayah Indonesia bagian timur tatanan
tektoniknya melibatkan lempeng utama,
mikro kontinen, dan busur kepulauan.
Daerah Sulawesi merupakan bagian dari
wilayah Indonesia bagian timur yang
memiliki tatanan tektonik rumit (Supartoyo
dkk., 2014:111-128).
Secara fisiografis daerah Lembah
Besoa ini termasuk dalam kawasan
Pegunungan Poso dengan curah hujan
yang relatif rendah, dan secara
administratif termasuk dalam wilayah
Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso,
Provinsi Sulawesi Tengah dengan
keletakan geografis berada antara
01°41'00" - 01°44'00" Lintang Selatan dan
120°11'30" - 120°16'00" Bujur Timur, dan
memiliki luas sekitar 976,37 Km2 atau
11,21% dari luas Kabupaten Poso (Sofyan,
dkk., 2004; Sofyan dkk, 2007:119-130).
Lokasi penelitian tercantum pada Peta
Rupa Bumi Lembar 2114-13 (LAWUA),
dan Lembar 2114-14 (DODA), berskala 1:
50.000.
Secara umum, daerah Lembah
Besoa merupakan daerah dengan
lingkungan vegetasi yang terbuka, dan
hanya ditumbuhi oleh jenis-jenis semak
belukar (berbatang rendah). Jenis pohon
(berbatang tinggi) ditemukan hidup
mengelompok pada tempat-tempat yang
agak cekung, di lereng-lereng lembah,
serta di pinggir-pinggir sungai. Berbeda
halnya dengan kondisi lingkungan vegetasi
yang tumbuh di daerah perbukitan atau
pengunungan yang mengelilingi lembah
ini, di daerah perbukitan dan pegunungan
keadaan vegetasinya tertutup karena
didominasi oleh jenis tumbuhan berbatang
tinggi (pohon) atau merupakan lingkungan
vegetasi hutan (Sofyan, dkk., 2004; Sofyan
dkk, 2007:119-130).
Iksam (2005) menyatakan bahwa
penelitian peninggalan arkeologi di
Sulawesi Tengah telah dilakukan oleh para
peneliti bangsa Eropa sejak akhir abad ke-
19, yang dimulai oleh Adriani dan A.C.
Kruyt dalam tulisannya Van Poso naar
Parigi een Lindoe pada tahun 1898.
Kemudian pada tahun 1938 Kruyt
menerbitkan tulisannya De West Toradjas
in Midden Celebes (Iksam, 2005). Walter
Kaudern, seorang peneliti berkebangsaan
Swedia pada tahun 1938 menerbitkan
tulisannya Megalithic Finds in Central
Celebes dan sebuah tulisan tentang
77 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
etnografi Structure and Settlements in
Central Celebes (Iksam, 2005).
Penelitian geologi detail secara
khusus di Lembah Besoa belum pernah
dilaksanakan, namun secara regional, baik
untuk Sulawesi Tengah, maupun Sulawesi
secara umum. Tercatat beberapa peneliti
geologi tersebut adalah, Reyzer, (1920);
Brouwer, (1934); Bemmelen (1949);
Katili, (1978); Hamilton, (1979); Jezek,
dkk., (1981); Silver, dkk., (1983);
Hutchison, (1989); Smith, dkk., (1991);
Simanjuntak, ( 1993); Simanjuntak, dkk.,
(1997); Endharto, (2000); Hall, dkk.,
(2000); Bellier, dkk., (2001); Hall, (2002);
Permana, (2005); Kertapati, (2006);
Supartoyo, dkk., (2008); Kaharuddin, dkk.,
(2011); Sompotan, (2012) dan; Supartoyo,
dkk., (2014). Para peneliti geologi ini,
membahas tentang geologi secara umum,
struktur geologi, dan kegempaan.
Dari penelitian-penelitian geologi
tersebut, penulis mencoba melakukan
pengamatan di Lembah Besoa dengan
pendekatan geoarkeologi, yaitu hubungan
situs dengan lingkungan, dan faktor-faktor
apa, sehingga masyarakat pendukung
Megalitik Lembah Besoa, memilih lokasi
tersebut sebagai pemukiman, yang
tinggalannya masih dapat kita temukan
hingga saat ini.
Batasan masalah dalam penelitian
ini adalah mengkaji lingkup kawasan
megalitik Lembah Besoa. Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah a)
bagaimana kondisi bentang alam daerah
telitian (satuan geomorfik, pola dan stadia
sungai); b) bagaimana stratigrafi
(formasi geologi) daerah telitian
(kontak antar satuan batuan); dan c)
bagaimana struktur geologi daerah telitian
(struktur geologi apa saja yang mengontrol
daerah telitian). Tujuannya adalah untuk
melakukan pemetaan geologi sehingga
aspek geomorfologi, stratigrafi, dan
struktur geologi, serta keletakan Lembah
Besoa terhadap patahan Palu-Koro dapat
diketahui.
METODE
Metode penelitian yang digunakan
adalah 1) kajian pustaka, dengan
mempelajari lokasi penelitian dari peneliti
terdahulu, melalui buku, jurnal, maupun
dari internet; 2) survei, dengan mengamati
keadaan geomorfologinya yang mencakup
bentuk bentang alam, dan bentuk sungai.
Selanjutnya analisis litologi yang
mencakup jenis batuan, batas penyebaran
batuan, dan urut-urutan pengendapan.
Selama survei akan dilakukan
pengambilan sampel batuan yang akan di
klasifikasi secara petrologi, dan
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 78
pembuatan peta (geologi, geomorfologi).
Langkah analisis akan disesuaikan dengan
kebutuhan dan urutan kerja geologi, yaitu:
litologi, sampel batuan dianalisis melalui
petrolog; unsur batuan yang di analisis
adalah jenis batuan, warna, kandungan
mineral, tekstur, struktur, fragmen,
matriks, semen. Hasil analisis diharapkan
akan memberikan informasi mengenai
jenis batuan (batuan beku, batuan sedimen
dan batuan metamorf) dan nama batuan
(andesit, batugamping, sekis dan lain
sebagainya).
Geomorfologi, penentuan bentuk
bentang alam akan mengunakan Sistem
Desaunettes (1977); (Todd (1980), yang
didasarkan atas besarnya kemiringan
lereng dan beda tinggi relief suatu tempat.
Hasilnya adalah pembagian wilayah
berdasarkan ketinggian dalam bentuk
persentase kemiringan lereng. Pengamatan
sungai dilakukan untuk melihat pola
pengeringan (drainage basin), misalnya
klasifikasi berdasarkan atas kuantitas air,
pola dan stadia sungai.
Struktur geologi, pengamatan struktur
geologi di lapangan akan dilanjutkan
melalui analisis jenis struktur, misalnya
patahan (fault) apakah jenis patahan
normal (normal fault), patahan naik (thrust
fault), patahan geser (strike fault) dan
sebagainya. Lipatan (fold) apakah sinklin
ataukah antiklin. Kekar (joint) apakah
kekar tiang (columnar joint) atau kekar
lembar (sheet joint).
Data dari kajian pustaka dengan
hasil lapangan dan laboratorium
dikompilasikan dengan hasil penelitian
penulis, sebagai bahan interpretasi peta
geologi dan peta topografi kawasan
Lembah Besoa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Geologi Megalitik Lembah Besoa
Sulawesi Tengah merupakan pusat
dari ke empat lengan Sulawesi,
mempunyai bentuk baji dengan alas pada
bagian pantai barat dan menuju ke arah
Teluk Tomini dan Teluk Tolo di bagian
timur (Bemmelen, 1949). Pada bagian
timur laut, daerah ini dibatasi oleh poros
yang berarah baratlaut-tenggara, mulai
dari Donggala melalui Parigi dan Lamoro
sampai Teluk Tomori yang memisahkan
bagian tengah dengan lengan utara dan
lengan timur. Di bagian tenggara dibatasi
oleh poros baratdaya-timurlaut dari
Majene melalui Palopo sampai Dongi pada
Teluk Tomori, yang memisahkan daerah
bagian tengah dengan Lengan Selatan dan
Lengan Tenggara (Brouwer, 1934;
Bemmelen, 1949) membedakan Sulawesi
Tengah menjadi tiga busur struktur dengan
arah dari utara-selatan, yaitu:
79 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
Busur Barat, disebut dengan Palu Zone
terletak di antara pantai barat dan
Middle Line. Batas struktur ini
memanjang dari Masamba di selatan
sampai Malakosa di Teluk Tomini,
sepanjang tepi barat dari graben atau
Cekungan Tawaelia.
Busur Tengah, disebut juga Poso Zone,
mempunyai rentangan di antara garis
menengah dan garis utara-selatan dari
Lemoro pada tikungan Poso melalui
Peleru sampai Pegunungan Verbeek di
Lengan Selatan.
Busur Timur, dibatasi oleh lintas
Lemoro-Peleru; Lemoro-Teluk Tomini
dan Pegunungan Verbeek, disebut juga
Kolonedale Zone yang merupakan
daerah pada Teluk Tomori.
Daerah penelitian terletak di bagian
tengah Sulawesi, sehingga kondisi
geologinya tidak terpisahkan dengan
kondisi geologi Sulawesi secara umum.
Secara tektonostratigrafi daerah Sulawesi
dan sekitarnya dibagi menjadi 5 mintakat
geologi (Simanjuntak, 1993:2-15), yaitu:
1) Mintakat Geologi Benua mikro
Paleozoikum Banda; 2) Mintakat Geologi
Ofiolit Kapur Sulawesi Timur; 3) Mintakat
Geologi Metamorf Kapur Akhir-Paleogen
Sulawesi Tengah; 4) Mintakat Geologi
Busur Magmatik Tersier Sulawesi Barat
dan; 5) Mintakat Geologi Busur
Gunungapi Kuarter Minahasa-Sangihe.
Berdasarkan pada pembagian mintakat
tersebut, Lembah Besoa termasuk dalam
Mintakat Geologi Busur Magmatik Tersier
Sulawesi Barat.
Kondisi geologi Megalitik Lembah
Besoa, yang akan diuraikan berdasarkan
hasil analisis, adalah bentuk bentang alam,
batuan penyusun, dan struktur geologi,
sebagai berikut:
Geomorfologi
Morfologi atau bentuk bentang
alam Lembah Besoa dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu, litologi, struktur
geologi, stadia daerah, dan tingkat erosi
yang bekerja/terjadi (Thornbury, 1969).
Secara umum keadaan bentang alam
(morfologi) wilayah Megalitik Lembah
Besoa, apabila diklasifikasikan
berdasarkan Sistem Desaunettes (1977;
Todd, 1980), yang berdasarkan atas
besarnya persentase kemiringan lereng dan
beda tinggi relief suatu tempat, maka
terbagi atas tiga satuan morfologi (gambar
1 dan 2), yaitu:
Satuan Morfologi Dataran, dicirikan
dengan bentuk permukaan yang sangat
landai dan datar, dengan persentase
kemiringan lereng antara 0 - 2%,
bentuk lembah yang sangat lebar.
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 80
Satuan morfologi ini menempati 75%
dari wilayah penelitian. Satuan
morfologi dataran, pada
umumnyadiusahakan sebagai areal
pemukiman, dan pertanian. Satu situs
yang termasuk pada satuan morfologi
dataran adalah Situs Padang Masora;
Satuan Morfologi Bergelombang
Lemah, dicirikan dengan bentuk bukit
yang landai, relief halus, lembah yang
melebar dan menyerupai huruf "U",
bentuk bukit yang agak membulat atau
bergelombang lemah dengan prosentase
kemiringan lereng antara 2 - 8%.
Satuan morfologi ini menempati 15%
wilayah penelitian. Pemanfaatan satuan
morfologi ini, sebagian besar sebagai
lahan pertanian. Terdapat 9 situs yang
termasuk pada satuan morfologi
bergelombang lemah, yaitu Situs
Enterowa, Situs Tondowanua, Situs
Pokekea, Situs Bangkeluho, Situs Bukit
Tadulako-1, Bukit Tadulako-2, Bukit
Tadulako-3, Bukit Buleli-1, dan Bukit
Buleli-2;
Satuan Morfologi Bergelombang Kuat,
dicirikan dengan lereng yang terjal,
bentuk relief masih agak kasar dengan
prosentase kemiringan lereng antara 8 -
16%. Satuan ini menempati 10% dari
wilayah penelitian. Satuan morfologi
umumnya berupa hutan belukar, dan
tidak/belum ditemukan adanya
peninggalan arkeologis.
Gambar 1. Peta Geomorfologi dan keletakan situs
(Sumber: Penulis, 2018; diolah dengan menggunakan perangkat lunak Global Mapper V.11 – 2009; data topografi berdasarkan Jarvis et al. 2008)
81 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
Gambar 2. Peta Geomorfologi dan keletakan situs dalam bentuk tiga dimensi
(Sumber: Penulis, 2018; diolah dengan menggunakan perangkat lunak Global Mapper V.11 – 2009; data topografi berdasarkan Jarvis et al. 2008)
Pola pengeringan permukaan
(surface drainage pattern) sungai-sungai
di wilayah penelitian (Gambar 3)
menunjukkan arah umum dari segala
penjuru ke tengah lembah, misalnya:
4 sungai yang mengalir dari arah utara
ke selatan adalah Uwei Lamba, Uwei
Torire, Uwei Lengi, dan Uwei
Pomanua;
5 sungai yang mengalir dari arah
selatan ke utara adalah Uwei Torire,
Uwei Bombai, Uwei Kalaena, Uwei
Lengkoa, dan Uwei Hanggira;
4 sungai yang mengalir dari arah timur
ke barat adalah Uwei Wongao, Uwei
Buleli, Uwei Kawana, dan Uwei Tarap;
4 sungai yang mengalir dari arah barat
ke timur adalah Uwei Lengi, Uwei
Hampulo, Uwei Lite, dan Uwei
Bingkolu.
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 82
Gambar 3. Peta Geomorfologi dan keletakan situs dalam bentuk tiga dimensi
(Sumber: Penulis, 2018; diolah dengan menggunakan perangkat lunak Global Mapper V.11 – 2009; data topografi berdasarkan Jarvis et al. 2008)
Kelompok sungai-sungai ini, pada
pengamatan lapangan, termasuk pada
kelompok sungai yang berstadia Sungai
Tua (old stadium) dan Stadia Sungai
Dewasa (mature river stadium) (Lobeck,
1939; Thornbury, 1964).
Keseluruhan sungai di wilayah
penelitian, memberikan kenampakan Pola
Pengeringan Rectangular dan Pola
pengeringan Centripetal. Pola Rectangular
adalah suatu pola sungai yang cabang-
cabangnya membentuk sudut siku-siku,
pola ini khas pada daerah patahan (fault),
sedangkan Pola Centripetal adalah suatu
pola aliran sungai yang arah alirannya
menuju ke satu titik, yang khas ditemukan
pada daerah yang berbentuk cekungan
(Lobeck, 1939; Thornbury, 1964). Pola
aliran sungai tersebut, memberikan
gambaran bahwa situs-situs Megalitik
Lembah Besoa, terpengaruh oleh stuktur
geologi berupa cekungan dan patahan.
Berdasarkan klasifikasi atas kuantitas air,
maka cuma sungai Uwei Lengi yang
termasuk jenis Sungai Periodik/Permanen,
sedangkan sungai-sungai lainnya termasuk
pada jenis Sungai Episodik/Intermitten
(Lobeck, 1939; Thornbury, 1964).
Berdasarkan hal tersebut, maka Lembah
Besoa tidak mengalami kekurangan
sumberdaya air.
Stratigrafi
Wilayah Lembah Besoa tersusun
oleh batuan (tua-muda) adalah Formasi
Latimojong berumur Kapur-Eosen, dan
batuan termuda adalah Aluvium dan
Endapan Pantai yang berumur Holosen
(Simanjuntak dkk,1997). Secara umum
batuan-batuan tersebut (Gambar 4) dapat
disebutkan sebagai berikut:
83 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
Aluvium dan Endapan Pantai (Qal)
terdiri atas pasir, lempung, lumpur,
kerikil dan kerakal, serta merupakan
hasil pelapukan batuan penyusun
wilayah penelitian. Satuan batuan ini
terhampar di satuan morfologi dataran
dan di sepanjang sungai-sungai induk di
wilayah penelitian dan berumur
Holosen (Simanjuntak dkk,1997).
Formasi Napu (TQpn) terdiri dari
batupasir, konglomerat, batulanau
dengan sisipan lempung dan gambut.
Umur formasi ini berdasarkan
kandungan fosil adalah Pliosen-
Plistosen yang terendapkan di
lingkungan laut dangkal sampai payau.
Tebal formasi ini diperkirakan sekitar
1000 meter. Satuan ini diduga
menjemari dengan Formasi Puna dan
ditindih tak selaras oleh Endapan
Danau (Simanjuntak dkk,1997).
Granit Kambuno (Tpkg) terdiri atas
granit dan granodiorit. Granit berwarna
putih berbintik hitam, berbutir sedang
sampai kasar. Terdiri atas granit biotit,
hoenblende biotit, mikroleukogranit
dan mikrogranit hornblende-biotit.
Granodiorit mengandung mineral mafik
hornblende. Granit Kambuno termasuk
dalam Mendala Geologi Sulawesi Barat
(Simanjuntak dkk,1997). Granit di
Pegunungan Takolekaju menunjukkan
umur 3,35 juta tahun (Sukamto, 1975),
sehingga umur batuan Granit Kambuno
diduga Pliosen (Simanjuntak
dkk,1997).
Batuan Gunungapi Tineba (Tmtv)
terdiri atas lava andesit hornblende,
lava basal, lava latit luarsa dan breksi.
Lava andesit berwarna kelabu sampai
kehijauan, porfiritik dengan kristal
sulung plagioklas dan hornblende
sebagian plagioklas telah berubah
menjadi serisit, kalsit dan epidot,
sedang sebagian hornblende terubah
menjadi klorit. Lava basal umumnya
mempunyai kristal sulung yang sudah
terubah, sengan massa dasar plagioklas,
serisit, stilbit, kaca dan lempung, lava
latit kuarsa berwarna kelabu, porfiritik,
menunjukkan mineral ubahan lempung,
serisit dan klorit. Breksi berkomponen
andesit-basal berukuran sampai 10
meter cukup termampatkan. Satuan ini
dihasilkan oleh peleleran dari
gunungapi bawah laut. Umur Batuan
Gunungapi Tineba (Tmtv) diduga
Miosen Tengah-Miosen Akhir karena
diterobos oleh granit berumur Pliosen-
Plistosen. Tebal satuan Batuan
Gunungapi Tineba (Tmtv) sekitar 500
meter (Simanjuntak dkk,1997).
Formasi Latimojong (Kls) terdiri dari
perselingan batusabak, filit, greywacke,
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 84
batupasir kuarsa, batugamping, argilit,
batulanau dengan sisipan konglomerat,
rijang dan batuan gunungapi. Batusabak
berwarna kelabu tua sampai hitam,
perlapisan masih terlihat baik dengan
tebal 10-20 cm. Filit berwarna kelabu
dan merah kecoklatan, perlapisan tidak
jelas. Graywacke berwarna kelabu
kehijauan, berlapis baik dengan tebal 1-
6 meter. Batupasir kuarsa berwarna
hijau cerah, merah kecoklatan, dan
kelabu terang, berlapis baik.
Batugamping berwarna kelabu tua
sampai kelabu kemerahan.
Konglomerat dengan fragmen andesit
teralterasi dan batupasir, matriks berupa
batupasir dengan kemas terbuka. Rijang
berwarna putih, merah dan coklat,
mengandung fosil radiolarian. Lava
andesit berwarna kelabu, porfiritik dan
teralterasi kuat. Satuan ini tebalnya
lebih dari 1000 meter, berumur Kapur-
Eosen dan terendapkan di lingkungan
laut dalam (Simanjuntak dkk,1997).
Umur Kapur berdasarkan fosil yang
ditemukan di Pegunungan Latimojong
(Brouwer, 1934) dan di daerah Babakan
Lembar Malili (Reyzer, 1920).
Situs-Situs di Lembah Besoa,
umumnya ditemukan di Formasi Aluvium
dan Endapan Pantai, serta di Formasi
Latimojong. Dari formasi-formasi batuan
ini, mampu mempertahankan keberadaan
tinggalan-tinggalan budaya di Lembah
Besoa.
Gambar 4. Peta Geologi menunjukkan keletakan situs pada endapan alluvium dan
endapan pantai, serta Formasi Latimojong (Sumber: Simanjuntak dkk., 1997 dengan pengolahan)
Struktur Geologi
Sesar utama seperti Sesar Palu-
Koro dan Sesar Walanae memberikan
peranan dalam pembentukan sesar-sesar
kecil di sekitarnya (Sompotan, 2012).
Sesar, lipatan ataupun struktur geologi
lainnya dihasilkan dalam beberapa
generasi yang berbeda. Sesar naik utama
85 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
yang dapat diamati di daerah ini adalah
sesar naik berarah hampir utara-selatan,
termasuk sesar yang memisahkan mandala
Sulawesi Barat dengan Mandala Sulawesi
Timur (Sesar Poso) dan juga Sesar
Wekuli. Di samping itu, dijumpai zona
sesar mendatar besar (Sesar Palu-Koro)
yang berarah barat laut – tenggara. Sesar
ini diduga masih aktif sampai sekarang.
Lipatan yang dijumpai merupakan hasil
dari beberapa pencenangan yang berbeda
sehingga memberikan bentuk dan pola
yang berbeda dari lipatan tegak sampai
rebah, dari lipatan tertutup sampai terbuka.
Diduga paling tidak ada empat generasi
pembentukan lipatan.
Wilayah Megalitik Lembah Besoa
dikelilingi oleh empat sistem sesar yaitu
Sesar Palu-Koro, Sesar Bada, Sesar Palolo,
dan Sesar Malei. Sesar Palu-Koro (Palu-
Koro Fault) yang juga merupakan sesar
utama (main fault) di Pulau Sulawesi.
Sesar Palu-Koro termasuk pada jenis Sesar
Datar (horizontal fault), dengan arah
N170°E. Sesar Palolo yang ditemukan di
Lembah Napu (Napu Valley) termasuk
pada jenis sesar datar (horizontal fault)
yang berarah baratlaut-tenggara. Sesar
Malei yang ditemukan di Lembah Bada
(Bada Valley) termasuk pada jenis Sesar
Normal (normal fault) yang berarah
timurlaut-baratdaya.
Wilayah pengamatan berupa cekungan
dikenal dengan nama Lembah Besoa
(Besoa Valley) yang terletak di sebelah
timur Sesar Palu-Koro, dan di sebelah
timur Lembah Besoa merupakan suatu
sesar yang dinamakan Sesar Bada (bada
fault) dari jenis sesar normal yang arahnya
sejajar dengan Sesar Palu Koro. Lembah
Besoa (Besoa Valley) merupakan suatu
graben dan disebut pula dengan Basin
Quarternaire, yaitu cekungan yang
terbentuk Zaman Kuarter (gambar 5 dan
6).
Gambar 5. Peta struktur geologi dan posisi situs-situs di antara sesar geser Granit
Kambuno dan sesar geser Napu-Latimojong (Sumber: Simanjuntak dkk., 1997 dengan pengolahan)
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 86
Gambar 6. Megalitik Lembah Besoa terletak di antara Zona Sesar Palu-Koro (sebelah barat), dan Danau Poso (sebelah timur) dalam bentuk tiga dimensi (Sumber: Penulis,
2018; diolah dengan menggunakan perangkat lunak Global Mapper V.11 – 2009; data topografi berdasarkan Jarvis et al. 2008)
Megalitik Lembah Besoa
Menurut Yuniawati (2000), di
Lembah Besoa terdapat 14 situs di empat
desa, yaitu Desa Hanggira (Entovera,
Padang Hadoa, Tunduwanua, dan
Pokekea), Desa Doda (Tadulako, Bukit
Marane, dan Mungku Dana), Desa Lempe
(Padang Taipa, Padalalu, Potabakoa,
Watumodalu, dan Halodo), Desa Bariri
(Padang Masora, dan Bangkeluho)
(Yuniawati, 2000). Namun pada penelitian
ini, situs-situs megalitik yang dikunjungi
di Lembah Besoa, berada di Desa
Hanggira, Desa Bariri, dan Desa Doda
yang termasuk wilayah Kecamatan Lore
Tengah, Kabupaten Poso. Adapun situs-
situs tersebut (gambar 7) adalah sebagai
berikut:
Situs Enterowa termasuk wilayah
Desa Hanggira, berada pada koordinat
01°43'14" Lintang Selatan dan
120°12'05" Bujur Timur, dengan
ketinggian 1237 meter dpl. Situs
Enterowa terletak di lereng bukit,
dengan kondisi lingkungan berupa
padang yang ditumbuhi alang-alang,
pakis padang, dan beberapa tanaman
padang lainnya. Tinggalan arkeologi di
situs ini berupa batu tegak, dolmen,
lesung batu, kalamba, arca berbentuk
manusia (monyet?). Temuan-temuan
tersebut umumnya ditemukan tidak
87 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
utuh dan berserakan (tidak berpola)
(Sofyan, dkk., 2004; Yuniawati, 2000).
Situs Tondowanua termasuk wilayah
Desa Hanggira, berada pada koordinat
01°42'44" Lintang Selatan dan
120°11'54" Bujur Timur, dengan
ketinggian 1236 meter dpl. Situs
Tondowanua terletak di lereng bukit,
dengan kondisi lingkungan berupa
hutan dengan tanaman pohon yang agak
besar. Tinggalan arkeologi di situs ini
berupa kalamba, dan arca megalitik
(Sofyan, dkk., 2004; Yuniawati, 2000).
Situs Pokekea termasuk wilayah Desa
Hanggira, berada pada koordinat
01°41'35" Lintang Selatan dan
120°12'40" Bujur Timur, dengan
ketinggian 1211 meter dpl. Situs
Pokekea terletak di lereng bukit,
dengan kondisi lingkungan berupa
padang yang ditumbuhi alang-alang,
pakis padang, dan beberapa tanaman
padang lainnya. Tinggalan arkeologi di
situs ini berupa kalamba, penutup
kalamba yang di atasnya terdapat arca
manusia (monyet?), baik yang berjajar
empat maupun di sudut-sudut penutup,
arca megalitik, batu datar, batu dakon,
dolmen, lumpang batu, palung batu,
batu bergores, tempayan kubur, manik-
manik, dan fragmen tembikar (Sofyan,
dkk., 2004; Siswanto, 2007:34-46;
Yuniawati, 2000).
Situs Bangkeluho termasuk wilayah
Desa Bariri, berada pada koordinat
01°41'04" Lintang Selatan dan
120°14'15" Bujur Timur, dengan
ketinggian 1204 meter dpl. Situs
Bangkeluho terletak di puncak bukit,
dengan kondisi lingkungan berupa
padang yang ditumbuhi alang-alang,
pakis padang, dan beberapa tanaman
padang lainnya. Tinggalan arkeologi di
situs ini adalah kalamba, batu datar,
arca megalitik, dan fragmen gerabah.
Arca megalitik ini menghadap ke
Sungai Torire (arah selatan) dengan
jarak ± 20 meter dari sungai (Sofyan,
dkk., 2004; Yuniawati, 2000).
Situs Padang Masora termasuk
wilayah Desa Bariri, berada pada
koordinat 01°42'11" Lintang Selatan
dan 120°14'39" Bujur Timur, dengan
ketinggian 1199 meter dpl. Situs
Padang Masora terletak di lereng bukit,
dengan kondisi lingkungan berupa
padang yang ditumbuhi alang-alang,
pakis padang, dan beberapa tanaman
padang lainnya. Tinggalan arkeologi di
situs ini adalah altar dengan 3 buah kaki
berhias manusia (monyet?), batu alam
(singkapan batuan?) berhias kerbau.
Tinggalan arkeologi umumnya terbuat
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 88
dari batupasir. Dari batu berhias ke arah
barat laut (N310°) dengan jarak ± 500
meter, masyarakat setempat menggali
lereng bukit untuk dijadikan kandang
ternak, panjang yang telah di gali oleh
masyarakat tersebut ± 60-70 meter
dengan kedalaman 1 meter. Galian
tersebut membentuk sebuah tebing,
dimana tebing tersebut ditemukan
tempayan-tempayan pada kedalaman ±
70 cm sepanjang tebing tersebut.
Ukuran mulut tempayan mulai dari 20
cm; 40 cm hingga 50 cm, sedangkan
ukuran perut tempayan mulai dari 40
cm; 100 cm hingga 140 cm (Sofyan,
dkk., 2004; Yuniawati, 2000).
Bukit Tadulako-1 (Situs Tadulako)
termasuk wilayah Desa Doda, berada
pada koordinat 01°42'37" lintang
selatan dan 120°15'20" bujur timur,
dengan ketinggian 1217 meter dpl.
Kondisi lingkungan berupa padang
yang ditumbuhi alang-alang, pakis
padang, dan beberapa tanaman padang
lainnya. Tinggalan arkeologinya adalah
3 kalamba, 4 batu dakon, dan 1 arca
megalitik (Sofyan, dkk., 2004;
Yuniawati, 2000).
Bukit Tadulako-2 (Situs Tadulako)
termasuk wilayah Desa Doda, berada
pada koordinat 01°42'40" Lintang
Selatan dan 120°15'42" Bujur Timur,
dengan ketinggian 1240 meter dpl.
Kondisi lingkungan berupa padang
yang ditumbuhi alang-alang, pakis
padang, dan beberapa tanaman padang
lainnya. Tinggalan arkeologisnya
adalah 5 kalamba (Sofyan, dkk., 2004;
Yuniawati, 2000).
Bukit Tadulako-3 (Situs Tadulako)
termasuk wilayah Desa Doda, berada
pada koordinat 01°42'44" Lintang
Selatan dan 120°15'33" Bujur Timur,
dengan ketinggian 1232 meter dpl.
Kondisi lingkungan berupa padang
yang ditumbuhi alang-alang, pakis
padang, dan beberapa tanaman padang
lainnya. Tinggalan arkeologisnya
adalah 2 kalamba (Sofyan, dkk., 2004;
Yuniawati, 2000).
Bukit Buleli-1 (Situs Tadulako)
termasuk wilayah Desa Doda, berada
pada koordinat 01°42'41" Lintang
Selatan dan 120°15'48" Bujur Timur,
dengan ketinggian 1255 meter dpl.
Kondisi lingkungan berupa padang
yang ditumbuhi alang-alang, pakis
padang, dan beberapa tanaman padang
lainnya. Tinggalan arkeologisnya
adalah 1 kalamba dan batu temu gelang
(Sofyan, dkk., 2004; Yuniawati, 2000).
Bukit Buleli-2 (Situs Tadulako)
termasuk wilayah Desa Doda, berada
pada koordinat 01°42'44" Lintang
89 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
Selatan dan 120°15'58" bujur timur,
dengan ketinggian 1261 meter dpl.
Kondisi lingkungan berupa padang
yang ditumbuhi alang-alang, pakis
padang, dan beberapa tanaman padang
lainnya. Tinggalan arkeologisnya
adalah boulder batuan yang berhias
kepala manusia, dan batu dakon
(Sofyan, dkk., 2004; Yuniawati, 2000).
Dengan melihat kondisi geologi
Lembah Besoa, kesepuluh situs tersebut
berasal dari kala Holosen, yang didasarkan
pada penentuan Umur Mutlak (C14)
tinggalan megalitik di Lore (termasuk
Lembah Besoa) telah ada sejak 2000 tahun
sebelum Masehi (Swastikawati, dkk.,
2014;17-37).
Gambar 7. Keletakan situs Megalitik Lembah Besoa pada Peta Topografi
(Sumber: Lembar Pasangkaju Indonesia SA 50-8 Edition 1-AMS 1962 dengan pengolahan)
Menurut Sukendar (1993), arca
menhir yang ditemukan, baik di situs-situs
peninggalan megalitik dari masa
prasejarah maupun di situs-situs tradisi
megalitik yang berlanjut (living megalithic
tradition) merupakan bukti bahwa arca ini
memegang peranan pada setiap tingkat
perkembangan tradisi megalitik. Arca-arca
menhir di situs peninggalan tradisi
megalitik prasejarah (Sukendar, 1993)
dijumpai di Provinsi Sumatera Barat di
Kotogadang, Limapuluh Koto (Sukendar
1984, 1985, 1986), Provinsi Sumatera
Selatan di Mingkik, Lahat (Van der Hoop,
1932), Provinsi Lampung di Liwa,
Lampung Utara (Sukendar 1976), Provinsi
Jawa Barat di Ciamis, Kuningan (Rumbi
Mulia 1980: 599 - 645), Provinsi D.I.Y. di
Sokoliman, Gondang, Playen (Gunung
Kidul) (Van der Hoop, 1935; Sukendar,
1970), Provinsi Jawa Timur di Sukasari,
Bondowoso (Van Heekeren 1931, 1958),
Provinsi Sulawesi Tengah di Napu, Besoa,
Bada, Poso (Kaudern, 1938).
Adapun arca-arca menhir dari situs
tradisi megalitik yang berlanjut ditemukan
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 90
(Sukendar, 1993) antara lain di Provinsi
Sumatera Utara di Simalungun (Batak)
dan Nias (Sukendar, 1981; Rumbi Mulia,
1981; Schnitger 1964), Provinsi Nusa
Tenggara Timur di Makatakere, Tarung,
Sumba (Soejono, 1982), Provinsi Timor
Timur, Kewar, Lewalutas (Belu) (R.P.
Soejono, 1982). Arca-arca menhir tersebut
merupakan salah satu unsur dari hasil
tradisi megalitik yang ditemukan
terpencar-pencar di seluruh Indonesia
(Sukendar, 1993).
Tektonik dan Situs
Secara tektonis Pulau Sulawesi dibagi
dalam empat mintakat yang didasari atas
sejarah pembentukannya yaitu Sulawesi
Barat, Sulawesi Timur, Banggai-Sula dan
Sulawesi Tengah yang bersatu pada kala
Miosen-Pliosen oleh interaksi antara
lempeng Pasifik, Australia terhadap
lempeng Asia. Interaksi ketiga lempeng
tersebut memberikan pengaruh besar,
sedikitnya 9 aktivitas tektonik Neogen
(Kaharuddin MS. dkk., 2011;1-10), yaitu
patahan Walanae, patahan Palu-Koro,
patahan Matano-Lawanoppo, patahan
Kolaka, patahan Paternoster, patahan
Gorontalo, patahan naik Batui-Balantak,
subduksi lempeng Laut Sulawesi dan
subduksi lempeng Maluku. Dari
kesembilan unsur tektonik dan struktur
geologi? tersebut, posisi Megalitik
Lembah Besoa merupakan bagian dari
Patahan Palu-Koro (Palu-Koro Fault)
(Gambar 8), yang memanjang dari utara
(Palu) ke selatan (Malili) hingga Teluk
Bone, sepanjang ±240 km. Patahan Palu-
Koro bersifat sinistral dan aktif dengan
kecepatan sekitar 25-30 mm/tahun
(Kertapati, 2006; Permana, 2005). Patahan
Palu-Koro berhubungan dengan patahan
Matano-Sorong dan Lawanoppo-Kendari,
sedangkan di ujung utara melalui Selat
Makassar berpotongan dengan zona
subduksi lempeng Laut Sulawesi
(Kaharuddin MS. dkk., 2011:1-10).
Posisi tektonik regional Sulawesi
sangat kritis, terletak di antara tiga mega
lempeng dunia yang saling bergerak
dengan arah yang berbeda, terlebih
mendapat dorongan gerakan mendatar
(translasi) oleh mikrokontinen Banggai-
Sula, Buton dan Tukang Besi yang
tersesarkan lateral ke arah barat sejauh
ribuan kilometer melalui Sesar Sorong
(Endharto, 2000:14-45). Mekanisme ini
sangat berpengaruh terhadap
perkembangan tektonik di daerah Sulawesi
secara keseluruhan. Didasarkan atas
kenampakan fisik batuan maka daerah
studi termasuk ke dalam segmen yang
truktur makro yang bekerja di zona
tersebut.
91 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
Gambar 8. Megalitik Lembah Besoa, merupakan bagian Patahan Palu-Koro (Palu-
Koro Fault) (Sumber: Silver dkk., 1983:9407-9418; Kaharuddin MS. dkk., 2011:1-10, dengan pengolahan)
Posisi tektonik regional Sulawesi
sangat kritis, terletak di antara tiga mega
lempeng dunia yang saling bergerak
dengan arah yang berbeda, terlebih
mendapat dorongan gerakan mendatar
(translasi) oleh mikrokontinen Banggai-
Sula, Buton dan Tukang Besi yang
tersesarkan lateral ke arah barat sejauh
ribuan kilometer melalui Sesar Sorong
(Endharto, 2000:14-45). Mekanisme ini
sangat berpengaruh terhadap
perkembangan tektonik di daerah Sulawesi
secara keseluruhan. Didasarkan atas
kenampakan fisik batuan maka daerah
studi termasuk ke dalam segmen yang
struktur makro yang bekerja di zona
tersebut.
Di daerah Poso dan sekitarnya
terdapat 3 mandala geologi yang memiliki
ciri batuan dan sejarah pencenanggaan
yang berbeda yaitu; 1) Mandala Sulawesi
Barat di bagian barat; 2) Mandala
Sulawesi Timur di bagian tengah dan
timur dan; 3) Mandala Banggai-Sula di
bagian paling timur. Pada kala Plio-
Plistosen seluruh daerah tersebut (Pulau
Sulawesi) mengalami pencenanggan serta
penerobosan oleh granit yang sebelumnya
hanya terjadi di Mandala Sulawesi Barat.
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 92
Setelah itu diikuti pengangkatan di seluruh
daerah hingga menghasilkan kenampakan
bentang alam seperti sekarang
(Simanjuntak dkk,1997). Berbeda dengan
Simanjuntak, dkk., 1997, Sompotan
(2012), membagi Sulawesi dan pulau-
pulau sekitarnya menjadi empat mandala
yang didasarkan atas struktur litotektonik,
yaitu a) Mandala Barat (West & North
Sulawesi Volcano-Plutonic Arc) sebagai
jalur magmatik yang merupakan bagian
ujung timur Paparan Sunda; b) Mandala
Tengah (Central Sulawesi Metamorphic
Belt) berupa batuan malihan yang
ditumpangi batuan bancuh sebagai bagian
dari blok Australia; c) Mandala Timur
(East Sulawesi Ophiolite Belt) berupa
ofiolit yang merupakan segmen dari kerak
samudera berimbrikasi dan batuan
sedimen berumur Trias-Miosen; dan d)
Fragmen Benua Banggai-Sula-Tukang
Besi, kepulauan paling timur dan tenggara
Sulawesi yang merupakan pecahan benua
yang berpindah ke arah barat karena
strike-slip faults dari New Guinea
(Gambar 9).
Gambar 9. Megalitik Lembah Besoa termasuk kedalam Mandala Tengah (Central
Sulawesi Metamorphic Belt) (Sumber: Sompotan, 2012 dengan pengolahan)
Berdasarkan pembagian oleh
Sompotan (2012), maka wilayah Megalitik
Lembah Besoa termasuk kedalam Mandala
Tengah (Central Sulawesi Metamorphic
Belt) (Gambar 10), yang tersusun oleh
batuan magmatik potassic calc-alkaline
berusia Akhir Miosen di Sulawesi Tengah
terdapat di bagian kiri bentangan zona
sesar Palu-Koro, di mana batuan granit di
wilayah tersebut berkorelasi dengan
subduksi microcontinent Banggai-Sula
dengan Pulau Sulawesi pada pertengahan
Miosen. Berdasarkan aspek petrografi,
batuan granit berumur Neogen. Batuan
granit ini berwarna putih bersih
mengandung sejumlah biotites sebagai
mineral mafik tunggal, granit tersingkap
di antara daerah Sadaonta dan Kulawi.
93 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
Gambar 10. Keletakan Megalitik Lembah Besoa pada Mandala Tengah (Central
Sulawesi Metamorphic Belt) (Sumber: Villeneuve dkk., 2002 dalam Sompotan, 2012 dengan pengolahan)
Aktivitas tektonik di Pulau Sulawesi,
juga memberikan dampak signifikan
terhadap situs-situs di Lembah Besoa,
terlihat dari tinggalan-tingalan budaya
yang masih berdiri, walaupun tidak tegak
lagi hingga saat ini.
Kegempaan dan Situs
Lempeng mikro Pulau Sulawesi diapit
oleh lempeng-lempeng besar Australia,
Pasifik, Asia dan Laut Sulawesi, sehingga
ancaman akan bencana gempa dan tsunami
berpotensi besar. Gempa bumi yang
disebabkan oleh faktor antara lain
pergerakan lempeng bumi menimbulkan
gempa tektonik, letusan gunung api
menghasilkan gempa gunung api dan
runtuhan lapisan batuan yang disebut
gempa runtuhan (Kaharuddin MS. dkk.,
2011;1-10). Berdasarkan kedalaman fokus
gempa, dikenal ada tiga jenis gempa yaitu
gempa dangkal dengan fokus gempa lebih
kecil dari 60 km, gempa menengah fokus
gempa antara 60 – 300 km dan gempa
dalam fokus gempanya lebih besar dari
300 km. Lokasi-lokasi atau titik gempa
pada umumnya bergenerasi pada daerah
persinggungan dan perpotongan patahan
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 94
atau daerah tumbukan lempeng, di mana
pada daerah ini lempeng-lempeng bumi
saling berinteraksi dan saling menghalang-
halangi laju pergerakannya sehingga dapat
menampung dan melepaskan energi dalam
bentuk gempa bumi. Berdasarkan hal
tersebut di atas maka daerah yang
berpotensi terjadi gempa adalah sepanjang
jalur patahan Walanae, Patahan Palu-Koro,
Matano-Lawanoppo, Kolaka-Teluk Bone,
Paternoster Selat Makassar dan sekitarnya,
Gorontalo dan Manado serta jalur patahan
Batui-Balantak-Sorong (Kaharuddin MS.
dkk., 2011;1-10) (Gambar 11).
Gambar 11. Keletakan Megalitik Lembah Besoa dalam peta tektonik, kegempaan dan
tsunami Sulawesi (Sumber: Kaharuddin MS. dkk., 2011;1-10 dengan pengolahan)
Daerah Sulawesi Tengah merupakan
salah satu daerah rawan bencana gempa
bumi di Indonesia (Supartoyo dkk., 2008),
karena terletak dekat dengan sumber
gempa bumi yang berada di darat dan di
laut. Sumber-sumber gempa bumi tersebut
terbentuk akibat proses tektonik yang
terjadi sebelumnya. Sumber gempa bumi di
laut berasal dari penunjaman Sulawesi Utara
yang terletak di sebelah utara Pulau
Sulawesi, sedangkan sumber gempa bumi
di darat bersumber dari beberapa sesar aktif
di daratan Sulawesi Tengah, salah satunya
adalah Sesar Palu Koro (Supartoyo dkk.,
2014:111-128). Sesar Palu Koro
merupakan sesar utama di Pulau Sulawesi
dan tergolong sebagai sesar aktif (Bellier
dkk., 2001:463:470).
95 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
Wilayah Sulawesi Tengah paling tidak
telah mengalami 19 kali kejadian gempa
bumi merusak (destructive earthquake) sejak
tahun 1910 hingga 2013 (Supartoyo dkk.,
2008). Beberapa kejadian gempa bumi
yang merusak, pusat gempa buminya
terletak di darat. Kejadian gempa bumi
dengan pusat gempa bumi terletak di darat
di sekitar lembah Palu Koro diperkirakan
berkaitan dengan aktivitas Sesar Palu
(Supartoyo dkk., 2014:111-128) (Gambar
12).
Gambar 12. Keletakan Megalitik Lembah Besoa dalam Peta Pusat Gempabumi Pulau
Sulawesi (Sumber: Supartoyo dkk., 2014:111-128 dengan pengolahan)
Sesar Palu-Koro merupakan
patahan kerak bumi (sesar) yang
berdimensi cukup besar di mana sesar ini
memanjang mulai dari Selat Makassar
sampai pantai utara Teluk Bone dengan
panjang patahan sekitar 500 km. Ditinjau
dari kedalaman gempa buminya, aktivitas
gempa bumi di zona Palu-Koro ini tampak
didominasi oleh gempa bumi kedalaman
dangkal antara 0 hingga 60 kilometer dan
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 96
terkonsentrasi hampir merata, baik di lepas
pantai maupun di daratan. Sesar yang
merupakan pertemuan lempeng-lempeng
tektonik di bawah perut bumi itu jenis
sesar aktif yang terus bergerak satu sama
lain dan memiliki sifat pergeseran sinistral
(pergeseran ke arah kanan) dengan
kecepatan geser sekitar 14-17 mm/tahun.
Pergeseran pada lempeng-lempeng
tektonik yang cukup aktif di Sesar Palu-
Koro membuat tingkat kegempaan di
wilayah itu (termasuk Kawasan Lembah
Besoa) juga dikategorikan cukup tinggi
(Supartoyo dkk., 2014:111-128).
Dari beberapa pendapat ahli
(Supartoyo dkk., 2014:111-128;
Kaharuddin MS. dkk., 2011;1-10; Bellier
dkk., 2001:463:470), dikatakan bahwa
wilayah Sulawesi Tengah (termasuk lokasi
Megalitik Lembah Besoa) berada pada
zona rawan gempa bumi. Kedalaman
gempa bumi di zona Sesar Palu-Koro
termasuk dangkal (0-60 km) dan
terkonsentrasi di darat dan di laut.
Pergeseran lempeng tektonik yang cukup
aktif di Sesar Palu-Koro, membuat
wilayah Megalitik Lembah Besoa, rawan
terhadap gempa bumi.
Untuk menghindari kehancuran
tinggalan budaya di Lembah Besoa, maka
yang perlu diperhatikan dalam
pembangunan museum lapangan,
sebaiknya menggunakan bangunan anti
gempa (misalnya bangunan bertiang dari
kayu), perlu dilakukan konseravasi
terhadap tinggalan budaya yang
diakibatkan oleh suhu dan kelembaban
yang tinggi. Seperti yang dijelaskan oleh
Swastikawati, dkk., (2014) bahwa
pemasangan cungkup (shelter) atau
bangunan beratap tidak berdinding yang
berfungsi untuk melindungi artefak cagar
budaya dari hujan dan sinar matahari
langsung. Pemasangan cungkup (shelter)
termasuk dalam preventive conservation,
yang bertujuan mengurangi jumlah air
hujan yang mencapai batu dan
menstabilkan suhu dan kelembaban batu.
Tetapi tindakan ini dapat dianggap sebagai
visual pollution atau polusi pemandangan
karena akan merusak pemandangan asli
dari situs Megalitik Lembah Besoa,
kecuali untuk artefak-artefak yang sudah
tidak in situ, misalnya untuk beberapa
artefak yang sudah dipindah ke Museum
Negeri Palu. Oleh karena pemasangan
cungkup pada tinggalan Megalitik di
Lembah Besoa yang masih in situ harus
melalui pertimbangan yang matang
terutama dari aspek arkeologi
(Swastikawati, dkk., 2014;17-37).
97 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
PENUTUP
Kehidupan manusia masa prasejarah
khususnya kala Plestosen akhir sampai
awal Holosen dalam mempertahankan
hidupnya masih sangat bergantung pada
ketersediaan lingkungan alam sekitarnya.
Seiring dengan tingkat kecerdasan dan
teknologi yang dikenalnya, manusia saat
itu lebih mampu mempertahankan
hidupnya dan mengeksploitasi alam
daripada masa sebelumnya yang masih
mengembara, hal tersebut ditunjukkan
dalam pola hidup mereka untuk bertempat
tinggal yang lebih menetap dengan
memanfaatkan sumberdaya alam yang
melimpah (Nurani, 2005:1-10).
Berdasarkan penentuan Umur Mutlak
(C14) tinggalan megalitik di Lore
(termasuk Lembah Besoa) telah ada sejak
2000 tahun sebelum Masehi. Tinggalan
megalitik tersebut diperkirakan dahulu
berfungsi sebagai patung pemujaan nenek
moyang, juga berfungsi sebagai tanda
batas daerah kekuasaan, dan juga
merupakan tempat kuburan komunal dari
para kaum bangsawan di wilayah tersebut
pada zaman dulu (Swastikawati, dkk.,
2014;17-37).
Secara tektonik Pulau Sulawesi dibagi
dalam empat mintakat yang didasarkan
pada sejarah terbentuknya. Interaksi ketiga
lempeng (Pasifik, Australia, dan Asia)
memberikan pengaruh cukup besar
terhadap kejadian bencana alam geologi di
Sulawesi. Selain itu, dikatakan ada 9 unsur
tektonik dan struktur yang memicu
terjadinya bencana alam, salah satunya
adalah Patahan Palu-Koro (termasuk
Megalitik Lembah Besoa), yang bersifat
sinistral dan aktif, dengan kecepatan
sekitar 25-30 mm/tahun. Dari beberapa
pendapat ahli, dikatakan bahwa lokasi
Megalitik Lembah Besoa berada pada
zona rawan gempa bumi. Kedalaman
gempa bumi di zona Sesar Palu-Koro
termasuk dangkal (0-60 km) dan
terkonsentrasi di darat dan di laut.
Pergeseran lempeng tektonik yang cukup
aktif di Sesar Palu-Koro, membuat
wilayah Megalitik Lembah Besoa, rawan
terhadap gempa bumi.
Ketinggian wilayah Megalitik Lembah
Besoa dan sekitarnya, berkisar antara 1190
dan 1265 meter di atas permukaan laut.
Berdasarkan pola sungai, formasi batuan
dan struktur gologi sebagai penyusun
wilayah Megalitik Lembah Besoa, maka
untuk menghindari kehancuran tinggalan
budaya di wilayah tersebut, maka perlu
diperhatikan dalam pemasangan cungkup
dan pembangunan museum lapangan,
sebaiknya menggunakan bangunan anti
gempa (misalnya bangunan bertiang dari
kayu), perlu dilakukan konseravasi
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 98
terhadap tinggalan budaya yang
diakibatkan oleh suhu dan kelembaban
yang tinggi, melalui pertimbangan yang
matang terutama dari aspek arkeologi
Berdasarkan hasil integrasi peta
yang terkait dengan tektonik dan struktur
terhadap situs-situs Megalitik Lembah
Besoa, maka dihasilkan data mengenai
pemilihan lokasi situs (pada masa lampau)
yang terletak pada yang rawan.
Penempatan lokasi situs, terpaksa
dilakukan karena wilayah tersebut
merupakan daerah relatif tidak stabil,
namun masyarakat pendukung Megalitik
Lembah Besoa itu, tetap memperhatikan
aspek-aspek sumberdaya alam yang akan
mendukung kelangsungan hidup mereka,
yaitu air, bahan makanan, dan bahan baku
peralatan sehari-hari (batuan untuk artefak
dan tanah untuk tembikar) sehingga dapat
dikatakan bahwa konsep adaptasi telah
dimanfaatkan oleh manusia pendukung
situs tersebut. Seperti yang dinyatakan
oleh Eriawati (1999), bahwa manusia
dalam beradaptasi saling terkait dengan
lingkungan. Keterkaitan itu sifatnya
dinamis sehingga manusia secara terus
menerus memodifikasi perilakunya yang
terpilih agar dapat menjawab setiap
tantangan yang ada, sehingga dapat
menyesuaikan diri (adaptif) terhadap
lingkungannya. Salah satu pilihan yang
paling tepat untuk menjawab tantangan
lingkungan itu adalah kemampuan
teknologinya. Dengan teknologi manusia
mampu bukan hanya menyesuaikan tetapi
memodifikasi lingkungan sesuai dengan
kebutuhan yang diperlukan. Berbagai
proses yang memungkinkan manusia
bertahan (survive) terhadap tantangan
kondisi lingkungan membuktikan
kemampuan manusia untuk beradaptasi
(Eriawati, 1997). Sedangkan Saptomo
(2008) menyatakan bahwa manusia
membutuhkan sejumlah kebutuhan dasar
untuk bertahan hidup. Oleh karena itu
pemilihan lokasi untuk bertempat tingga
atau pemukiman menjadi salah satu
pertimbangan pokok yang selalu
diperhatikan. Umumnya mereka memilih
lokasi yang memiliki sumberdaya
lingkungan yang melimpah, lokasi yang
nyaman dan aman (Saptomo, 2008).
99 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
DAFTAR PUSTAKA
Army Map Service. 1962. Peta Topografi Lembar SA 508 (Pasangkaju) Series T508 Edition 1-AMS, Indonesia 1:250.000.
Bemmelen, R.W. van. 1949. The Geology of Indonesia. vol.IA, Martinus Nijhoff, The Hague.
Bellier, O., Sbrier, M., Beaudouin, T., Villeneuve, M., Braucher, R., Bourles, D., Siame, L., Putranto, E., dan Pratomo, I., 2001 High Slip Rate for a Low Seismicity along the Palu Koro Active Fault in Central Sulawesi (Indonesia), Blackwell Science Ltd., Terra Nova, 13, 463 – 470.
Brouwer, A. 1934. Geologische onderzoekingen op het eiland Celebes. Verh. Geol. Mijnb. Gen. Ned. & Kol. Geol. Serie, 10, 39-171.
Desaunettes, J R. 1977. “Catalogue of Landforms for Indonesia": Examples of a Physiographic Approach to Land Evaluation for Agricultural Development.” Unpublished. Bogor: Trust Fund of the Government of Indonesia Food and Agriculture Organization.
Endharto, MAC. 2000. "Studi Stratigrafi Kaitannya Dengan Perkembangan Struktur Geologi di Kawasan Latimojong Lengan Barat Sulawesi". Jurnal Geologi Dan Sumberdaya Mineral. No. 107. Vol. X. Agustus 2000. Hal. 14-45. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Geologi.
Eriawati, Y.J. 1999. “Adaptasi Penghuni Gua Prasejarah Leang Burung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan”. Tesis, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Depok: Universitas Indonesia.
Hall, R. 2002. "Cenozoic geological and plate tectonic evolution of SE Asia and the SW Pacific: computer-based reconstructions, model and animations". Journal of Asian Earth Sciences, v.20, p.353-431.
Iksam. 2005. "Peninggalan Arkeologi Di Lembah Kulawi Sulawesi Tengah". Hal.1-13. Kongres dan PIA ke-10. Yogyakarta, 26–30 September 2005.
Jarvis, A., H.I. Reuter, A. Nelson, dan E. Guevara. 2008. Hole-filled seamless SRTM data V4. Center for Tropical Agliculture (CIAT).
Kaharuddin MS, Ronald Hutagalung, Nurhamdan. 2011. Perkembangan Tektonik Dan Implikasinya Terhadap Potensi Gempa Dan Tsunami Di Kawasan Pulau Sulawesi. Hal.1-10. Proceedings JCM Makassar 2011 The 36th HAGI and 40th IAGI Annual Convention and Exhibition Makassar, 26-29 September 2011
Kertapati, E.K. 2006. Aktivitas Gempabumi di Indonesia. Departeman Energi dan Sumberdaya Mineral, Badan Geologi, Pusat Survei Geologi, Bandung.
Nurani, Indah Asikin. 2005. "Pola Pemanfaatan Gua Pada Kehidupan Manusia Prasejarah di Jawa Timur". Hal.1-10. PIA-Kongres IAAI X, Yogyakarta, 26 – 30 September 2005.
Lobeck, A.K. 1939. Geomorphology, An Introduction To The Study of Landscape. Mc Graw Hill Book Company Inc, New York and London.
Permana, H. 2005. "Potensi Bencana Geologi Kawasan Timur Indonesia, Tektonik Aktif dan Gempabumi Palu". Pertemuan Ilmiah Tahunan, Forum Himpunan Mahasiswa Geologi Indonesia VIII, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Reyzer, J. 1920. Geologische aanteekeningen betreffende de zuidelijke Toradjalanden (Celebes). Jaarb. Mijnw. Ned. Ind. 1918, Ver. I, 154-209, Batavia 1920
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 100
Saptomo E. Wahyu. 2008. “Adaptasi Manusia Di Situs Liang Panas, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Tesis, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Depok: Universitas Indonesia.
Silver, E.A., R. McCaffrey, and B. Smith. 1983. "Collision, Rotation, and Initation of Subduction In the Evolution of Sulawesi, Indonesia". Journal of Geophysical Research, vol. 88, No. B11. p.9407-9418, November 10, 1983.
Simanjuntak T. O., Surono, Supanjono J.B., .1997. Peta Geologi Lembar Poso, Sulawesi. Edisi-2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Simanjuntak, T. O. 1993. "Neogene Plate Convergence in Eastern Sulawesi". Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral. No. 25. Vol.VIII. Hal. 2-15.
Siswanto, Joko. 2007. "Permukiman Masyarakat Di Situs Pokekea, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah". Bulletin Jejak-Jejak Arkeologi No. 7. Tahun 2007. Hal. 34-46. Balai Arkeologi Manado.
Sofyan Arfian, Intan S. Fadhlan M. Sutrisno. 2004. "Penelitian Arkeometri Pada Situs-Situs Megalitik Di Kawasan Lembah Besoa, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah". Laporan Penelitian Arkeologi, Bidang Kajian Arkeometri, Proyek Penelitian dan Pengembangan Arkeologi, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Sofyan Arfian, Intan S. Fadhlan M. 2007. "Analisis Laboratoris Temuan Gerabah dari Situs Megalitik Lembah Besoa". Bulletin Jejak-Jejak Arkeologi No. 6, Tahun 2006, Hal.119-130, Balai Arkeologi Manado.
Sompotan F. Armstrong. 2012. Struktur Geologi Sulawesi. Perpustakan Sains Kebumian, Institut Teknologi Bandung.
Sukamto, R. 1975. The structure of Sulawesi in the light of plate tectonic. Proceedings of the Regional Conference on the Geology and Mineral Resources in South East Asia, p. 1-25.
Sukendar, Haris. 1993. “Arca Menhir di Indonesia: Fungsinya Dalam Peribadatan". Disertasi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Supartoyo dan Surono. 2008. Katalog Gempa bumi Merusak di Indonesia Tahun 1629 – 2007, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Bandung.
Supartoyo, Sulaiman C., Junaedi D. 2014. "Kelas Tektonik Sesar Palu Koro, Sulawesi Tengah". Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol.5, No.2 Agustus 2014, Hal.111-128.
Swastikawati Ari, Arif Gunawan dan Yudhi Atmaja. 2014. "Kajian Konservasi Tinggalan Megalitik di Lore, Sulawesi Tengah". Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014, hal. 17-37.
Thornbury, W.D. 1964. Principle of Geomorphology. New York, London, John Wiley and sons, inc.
Todd D.K. 1980. Groundwater Hidrology. John Wiley & Sons Inc, New York. Yuniawati, Dwi Yani. 2000. "Laporan Penelitian di Situs Megalitik Lembah Besoa,
Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah". Berita Penelitian Arkeologi No. 50, Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi, Jakarta.
101 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
STUDI KASUS PATOLOGI GIGI: KARIES PADA RANGKA MANUSIA ST1, SONG TERUS, PACITAN, JAWA TIMUR ( Dental Pathology Case Study: Caries On ST1 Human Remains, Song Terus, Pacitan, East Java)
Anita Tamu Ina1*, Dyah Prastiningtyas2, Harry Widianto3, Florent Détroit4, Ferry Fredy Karwur5,
Andri Purnomo6, Anne-Marie Sémah7, dan François Sémah4
1Program Studi Magister Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga 2Center for Prehistory and Austronesian Studies, Jakarta 3Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta 4Département de Préhistoire, Muséum national d'Histoire naturelle, Paris, France 5Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga 6Program Studi Magister Studi Pembangunan dan Interdisiplin, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga 7Institut de Recherce Pour le Developpement, France e-mail: [email protected]
INFO ARTIKEL
Keywords Caries, Dental pathology, Song Terus, Early Holocene, East Java
Kata Kunci Caries, Patologi gigi, Song Terus, Holosen Awal, Jawa Timur
ABSTRACT
Human remains found in Song Terus (Pacitan, East Java), known as ST1, presented an opportunity of in-depth study in reconstructing how human lived during Early Holocene period in the area. This article focuses on palaeopathological aspects by examining lesions of disease observable in bones and dentition of human remains found in archaeological context. The research done for this article focuses more on dental remains, as teeth are known to have durability and longevity as archaeological finds, and could also provide information on age-at-death, types of diet, and oral diseases which may occurred during a person’s life. Dental caries is one of the most common type of oral disease found in archaeological context. Research methods used are macroscopic observation and literature reference comparison.. Results showed there were nine dentition on this individual (from a total of 27 identified dentition) suffered from caries with various degree of severity. Other types of oral disease noted during observation and analysis were periodontal disease. ST1 might have been suffering from severe caries due to lack of oral hygiene, as well as minimum dental treatment towards emerging oral disease. Nevertheless, these diseases did not seem to be directly caused by ST1’s dietary habit during lifetime. ABSTRAK
Temuan rangka manusia ST1 di Song Terus (Pacitan, Jawa Timur) memberikan peluang untuk menelusuri lebih jauh pola kehidupan manusia pada periode Holosen Awal di wilayah ini. Artikel ini berfokus pada aspek paleopatologi yang merupakan salah satu kajian ilmu dalam menelusuri jejak kehidupan manusia di masa lalu melalui penyakit pada tulang dan gigi manusia yang ditemukan dalam konteks arkeologi. Materi penelitian dalam artikel ini menitikberatkan pada gigi manusia yang merekam informasi mengenai masa hidup seseorang, termasuk aspek-aspek perkiraan usia saat mati, jenis makanan yang pernah dikonsumsi, dan penyakit yang pernah diderita. Kasus patologi berupa karies menarik untuk diteliti sebab penyakit ini merupakan salah satu kasus yang umum ditemukan pada sisa rangka manusia. Metode penelitian yang digunakan adalah observasi makroskopis dan metode pustaka. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 27 gigi tersisa pada individu ST1, terdapat sembilan gigi yang terdeteksi mengalami karies dan beberapa gigi lain yang menderita penyakit periodontal. Karies pada individu ini tampak disebabkan oleh mikro-organisme yang berkembang di dalam mulut akibat minimalnya perawatan kesehatan gigi dan mulut, serta tidak berhubungan langsung dengan asupan nutrisi yang dikonsumsi oleh individu ini pada masa hidupnya.
Studi Kasus Patologi Gigi, , Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 102
PENDAHULUAN
Kawasan Gunung Sewu terletak di
sepanjang pantai selatan Jawa yang
membentang sekitar 85 km antara Teluk
Pacitan (di bagian timur) dan Sungai Oyo (di
bagian barat) yang merupakan perbukitan
karst dengan banyak gua dan ceruk alam
yang dianggap ideal sebagai hunian manusia
prasejarah. Di dalam kawasan karst Gunung
Sewu setidaknya terdapat sekitar 135 situs
prasejarah yang telah diidentifikasi dan
jumlahnya masih diperkirakan terus
bertambah seiring dengan adanya informasi
situs baru (Simanjuntak, 2004:9). Potensi
arkelogis di wilayah ini menjadikan Gunung
Sewu sebagai salah satu fokus penelitian bagi
ahli-ahli arkeologi dalam dan luar negeri,
seperti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional,
Museum national d’Histoire Naturelle
(Paris), dan sebagainya. Penelitian-penelitian
yang dilaksanakan di wilayah Gunung Sewu
berusaha untuk menelusuri jejak-jejak
penghunian awal oleh manusia di kawasan
karst Gunung Sewu yang diperkirakan
berlangsung sekitar Plestosen Akhir -
Holosen Awal.
Budaya tertua di wilayah ini ditandai
dengan adanya kehidupan dan pemanfaatan
lahan terpusat di bentang alam terbuka, yaitu
di sekitar dan sepanjang aliran sungai. Saat
berkembangnya tahap kehidupan dari masa
Plestosen ke Holosen, terjadi perubahan
model hunian yang ditandai dengan peralihan
ke hunian gua dan ceruk. Situs-situs
prasejarah di Gunung Sewu menjadi bukti
kedatangan awal Homo sapiens di Asia
Tenggara, khususnya di Indonesia. Hal ini
didukung dengan sejumlah temuan sisa
manusia, seperti yang ditemukan di Gua
Braholo, Song Keplek, dan Song Terus.
Individu-individu ditemukan di Gua Braholo
(di bagian barat Gunung Sewu) memiliki
hasil pertanggalan yang berkisar antara
13.000-9.000 tahun yang lalu. Sementara di
bagian timur Gunung Sewu, temuan sisa
manusia ditemukan di bagian timur gunung
Sewu, temuan sisa manusia ditemukan di
Song Terus (Gambar 1) dan Song Keplek
dengan pertanggalan yang berkisar 10.000-
7.000 BP.
Gambar 1. Peta Lokasi Song Terus
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 101- 115
103 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
Berdasarkan karakter morfologi dari sisa
rangka manusia, individu-individu yang
ditemukan di wilayah ini diduga berkaitan
erat dengan keberadaan populasi ras
Australomelanesid di zaman Akhir Plestosen
– Awal Holosen yang bukan merupakan
penduduk masa kini (Widianto, 2002:230).
Australomelanesid merupakan salah satu
populasi ras manusia modern yang ada di
Indonesia yang diperkirakan datang dan
menetap lebih dulu dibandingkan dengan ras
Mongoloid.
Song Terus yang terletak di Punung,
Pacitan (Jawa Timur) merupakan salah satu
situs prasejarah penting di Asia Tenggara
dengan sejarah stratigrafi yang panjang,
dimulai dari masa Plestosen Tengah sampai
Holosen Awal (Gambar 2). Penelitian-
penelitian yang sudah dilakukan di situs ini
berhasil mengungkap bahwa terdapat tiga
lapisan arkeologis, yaitu Lapisan Terus,
Lapisan Tabuhan, dan Lapisan Keplek
dengan rentang waktu sekitar 230.000 –
5.000 tahun yang lalu (Semah, dkk, 2004:56;
Hameau, dkk, 2007:399; Detroit, 2002:211).
Penelitian ini lebih difokuskan pada temuan
sisa manusia paling utuh yang ditemukan dari
Lapisan Keplek di Song Terus yang
diberikan nomor katalog ST1. Lapisan ini
mempunyai kisaran rentang waktu antara
10.000 – 5.000 tahun yang lalu yang sangat
kaya dengan alat-alat batu, alat-alat tulang,
sisa-sisa fauna, dan sisa rangka manusia.
Temuan-temuan ini antara lain berupa
fragmen tengkorak lepas (parietal kiri),
fragmen tengkorak kanan, dua buah tulang
jari, dan beberapa gigi lepas (Detroit,
2002:215). Temuan-temuan sisa manusia ini
menarik untuk ditelaah sebab mereka
menyimpan banyak informasi mengenai
Gambar 2. Song Terus Tampak Depan
Studi Kasus Patologi Gigi, , Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 104
kehidupan masa lalu di wilayah Gunung
Sewu.
Profil Individu ST1
Individu ST1 adalah sisa manusia
yang ditemukan pada tahun 1999 di Situs
Song Terus (Détroit, 2002:215). Individu ini
ditemukan di dinding utara gua dan
dikuburkan dalam posisi terlipat dengan
posisi tubuh sedikit miring menindih sisi
kanannya. Secara anatomis, individu ini
ditemukan cukup utuh dan masing-masing
tulangnya masih berada dalam artikulasi
yang sesuai dengan anatomi tubuh manusia
(Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa
individu ini dikuburkan secara primer dan
langsung tanpa wadah. Tengkorak individu
ini tidak ditemukan dalam keadaan utuh
sebab telah rusak dan hancur oleh erosi alami
yang terjadi di sepanjang dinding gua.
Pecahan fragmen proksimal epifisis dan
skapula kiri ditemukan di dekat dinding gua.
Humerus kiri tergeletak di dinding gua.
Bagian lengan bawah kiri ditemukan dalam
posisi tegak lurus terhadap humerus kiri yang
terletak di antara lutut. Lengan kanan
individu ini ditemukan melipat di sisi tubuh
dan tangan kanan ditemukan hampir
menyentuh bagian wajahnya. Kedua kaki
individu ini ditemukan hampir sejajar dengan
vertebrae yang menunjukkan posisi
hiperfleksi (tertekuk penuh). Tulang lutut
ditemukan di bawah sternum dan terletak
beberapa sentimeter di depan kolom
vertebralis. Tarsal dan metatarsal
menunjukkan bahwa individu memiliki
tulang kaki yang panjang dan terjepit di
antara dinding gua dan sebuah blok batu
kapur. Tulang-tulang kaki yang ditemukan
pada individu ini memperlihatkan adanya
patahan-patahan tulang yang terjadi setelah
individu meninggal (postmortem). Analisis
awal yang berkaitan dengan jenis kelamin
dan usia mati individu ini menunjukkan
bahwa ST1 adalah seorang laki-laki yang
berusia sekitar 45-55 tahun (Détroit,
2002:229). Beberapa jejak patologi dapat
dengan jelas direkam pada tulang-tulang
individu ini, seperti patah tulang pada ulna
dan femur. Pertanggalan C14 atas rangka ini
diambil dari sampel cangkang moluska yang
terletak berdekatan dengan rangka dan
menunjukkan angka 9.330+90 tahun yang
lalu (Détroit, 2002:215; Widianto, dkk,
2010:116). Sampai saat ini belum ada
penelitian lanjut atau publikasi terbaru terkait
pertanggalan yang langsung menggunakan
elemen tulang/gigi dari ST1.
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 101- 115
105 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
Penelitian lanjutan terkait
individu ST1 yang ditemukan juga
dilakukan oleh Perelli (2010) dan
Noerwidi (2012). Perelli menganalisis
individu tersebut berdasarkan morfometri
tulang panjang individu ST1 dan
menyimpulkan bahwa individu ini
termasuk dalam ras Australomelanesid.
Setelah itu, Noerwidi juga melakukan
perbandingan morfologi ST1 dengan
individu lainnya yang ditemukan di
beberapa situs di wilayah Gunung Sewu
seperti Song Keplek, Gua Braholo, dan
bahkan Gua Pawon (Jawa Barat), dan
hasilnya individu Song Terus
menunjukkan ciri ras Australomenesid.
Permasalahan dan Tujuan Penelitian
Salah satu aspek yang menarik untuk
diteliti dari sisa manusia ST1 adalah jejak
patologi yang dapat diamati pada tulang
ataupun giginya. Jejak-jejak patologi
Gambar 3.Foto Fitur Kubur ST1 di Song Terus (sumber : Detroit, 2002)
Gambar 4. Patologi Gigi pada sisa rangka manusia.
Studi Kasus Patologi Gigi, , Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 106
berhubungan dengan kondisi kesehatan dan
juga dapat menunjukkan adanya perilaku-
perilaku budaya yang pernah dijalani
seseorang. Gigi adalah bagian tubuh manusia
yang paling sering bersentuhan dengan
lingkungan luar. Namun, gigi juga
merupakan bagian yang paling keras dalam
tubuh manusia maka ketika melakukan
pengamatan / penelitian, resiko kerusakan
bagian gigi yang diteliti sangat kecil bila
dibandingkan dengan tulang manusia yang
mudah rapuh. Gigi manusia merekam banyak
informasi mengenai masa hidup individu
yang mencakup aspek-aspek perkiraan usia
saat mati, jenis makanan yang pernah
dikonsumsi, keadaan lingkungan sekitar
tempat tinggalnya, perilaku budaya, aktivitas
yang mungkin dilakukan, dan penyakit yang
pernah diderita (Hillson, 2005:1; Hublin,
dkk, 2007:291). Salah satu kasus patologi
gigi yang paling sering ditemukan dalam
konteks arkeologis adalah karies. Lesi karies
dengan adanya lubang pada dentin gigi yang
disebabkan oleh mikroorganisme. Bila
seseorang menderita karies yang sudah
sangat akut, maka akan terbentuk abses
(lubang pada dinding alveolar) dan
penanggalan gigi. Dari beberapa penelitian
paleopatologi yang pernah dilakukan pada
temuan gigi seperti temuan karies pada sisa
rangka manusia yang ditemukan di Maroko,
Jepang, Italia, Filipina, dan juga Indonesia
(Gua Harimau, Sumatera Selatan dan Liang
Bua, Flores) hampir setiap gigi individu yang
ditemukan memiliki karies (Gambar 4)
(Arizona, 2016:260; Larsen, dkk, 1991:184).
Gigi-gigi yang ditemukan pada ST1
memperlihatkan kondisi yang cukup baik dan
dinilai layak sebagai bahan penelitian yang
difokuskan pada pengamatan dan kajian pada
patologi gigi (Gambar 5). Secara umum,
hampir semua gigi ST1 ini menunjukkan
adanya atrisi pada bagian oklusal giginya dan
terdapat beberapa gigi yang mengalami
karies. Penelitian yang fokusnya untuk
mengenali profil karies pada gigi-gigi ST1 ini
diharapkan dapat memberikan ilustrasi
mengenai kehidupan individu ST1 di masa
lalu, termasuk mengetahui penyebab karies
gigi, pola diet, dan juga profil kesehatan oral
individu ST1.
Metode dan Materi Penelitian
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode pustaka dan
observasi makroskopis yaitu pengamatan
non-metrik pada gigi maksila dan mandibula
ST1. Observasi makroskopis meliputi
identifikasi dan katalogisasi gigi tersisa pada
individu ini. Langkah berikutnya adalah
melakukan pengamatan, pencatatan, dan
identifikasi lesi-lesi patologis pada gigi-gigi
tersebut. Metode pustaka dilakukan setelah
observasi makroskopis untuk
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 101- 115
107 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
menganalisis dan membandingkan hasil
observasi makroskopis dengan sumber-
sumber literatur yang berkaitan dengan
patologi gigi yang teridentifikasi, dalam hal
ini adalah karies.
Objek penelitian ini menggunakan
gigi – gigi pada maksila dan mandibula ST1
yang ditemukan dalam kondisi cukup utuh
saat ekskavasi. Maksila ST1 ini ditemukan
masih berartikulasi dengan tengkoraknya,
meskipun terfragmentasi pada bagian
premaxillary suture-nya. Mandibula individu
ini juga ditemukan dalam kondisi lengkap,
meskipun ditemukan dalam keadaan
terfragmentasi. Fragmen-fragmen mandibula
masih dapat direkonstruksi sesuai dengan
bentuk anatomisnya kembali. Hampir seluruh
gigi geligi individu ST1 ditemukan masih
melekat pada alveolarnya. Meskipun
demikian, terdapat pula beberapa gigi yang
sudah tidak dapat ditemukan.
Gigi yang berhasil ditemukan pada
individu ST1 berjumlah 28 buah gigi dan 4
gigi lainnya tidak ditemukan saat ekskavasi,
baik pada mandibula maupun maksilanya.
Identifikasi dan deskripsi gigi tersisa
mengacu pada istilah-istilah yang sesuai
dengan posisi anatomis gigi pada mulut
manusia. Kode-kode gigi yang berada di atas
garis skema merupakan kode gigi maksila
ditunjukkan dengan superscript (x)
sedangkan yang di bawahnya merupakan
kode gigi mandibula ditunjukkan dengan
subscript (x). Untuk memudahkan
pengidentifikasian gigi berdasarkan sisi
lokasi di dalam mulut, maka digunakan kode
R (right) untuk gigi yang terletak di sebelah
kanan, dan kode L (left) untuk gigi yang
terletak di sebelah kiri. Untuk pendeskripsian
Gambar 5 dan 6. Gigi Maksila dan Mandibula ST1 (tampak oklusal)
Studi Kasus Patologi Gigi, , Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 108
jenis gigi digunakan istilah incisor (I) untuk
gigi seri, canine (C) untuk gigi taring, pre-
molar (Pm) untuk gigi geraham kecil, dan
molar (M) untuk gigi geraham besar.
Berdasarkan kode deskripsi dan identifikasi
gigi-gigi tersebut, maka dalam menyebutkan
gigi seri pertama pada maksila sebelah kiri
akan dituliskan LI1 sedangkan untuk gigi seri
pertama pada mandibula akan dituliskan LI1,
dan berlaku untuk gigi selanjutnya.
Identifikasi gigi tersisa pada ST1
menunjukkan bahwa maksila memiliki 14
gigi tersisa, yaitu RI1, RI2, L12, RC, LC,
RPm1, LPm1, LPm2, RM1, RM2, RM3, LM1,
LM2, dan LM3. Sementara itu, mandibula
ST1 memiliki 14 gigi tersisa yaitu LI1, LI2,
LC, RC, RPm1, RPm2, LPm1, LPm2, RM1,
RM2, RM3, LM1, LM2, dan LM3 (Gambar 6).
Patologi Gigi ST1
Gigi seri yang ditemukan pada
individu ST1 berjumlah lima yaitu tiga gigi
pada maksila dan dua gigi pada mandibula
yang terdiri atas RI1, RI2, L12, LI1, dan LI2.
Tiga gigi lainnya yaitu LI1, RI1, dan RI2
sudah tidak ditemukan saat ekskavasi.
Hilangnya ketiga gigi tersebut diperkirakan
terjadi ketika individu masih hidup
(antemortem), terlihat dari adanya penutupan
alveolar pada LI1, RI1, dan RI2. Gigi RI1
masih melekat pada alveolarnya dan
memiliki lubang di bagian dentin yang dapat
diidentifikasikan sebagai karies. RI1 memiliki
bentuk mahkota (crown) giginya yang bulat,
tidak pipih seperti gigi seri pada umumnya
(White, dkk, 2005:134). Selain itu mahkota
giginya pun lebih pendek dibandingkan gigi
yang lain yang mungkin disebabkan oleh
hilangnya enamel gigi akibat karies yang
sudah parah. Secara umum, RI1 ini telah
mengalami resorpsi yang menyebabkan
bagian alveolarnya rusak sehingga akar
giginya dapat terlihat dan mengandung
kalkulus pada seluruh bagian giginya. RI2
menunjukkan atrisi gigi pada mahkotanya
dan mengandung kalkulus pada akar giginya.
Tidak terindikasi karies tetapi mengalami
resorpsi sehingga menyebabkan hilangnya
Gambar 7. Karies incisor dan canine
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 101- 115
109 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
dinding sekat alveolar antara RI2 dan RI1
. LI2
ditemukan masih melekat pada alveolarnya
dan terdapat patahan (chipping) pada bagian
mahkota dan leher giginya. Patahan pada
leher gigi mungkin disebabkan oleh gesekan
saat post-mortem karena pada mahkota gigi
terlihat bekas patahan berwarna putih yang
mengindikasikan patahan terjadi setelah
individu meninggal. Selain itu, pada patahan
mahkota tersebut juga ditemukan lubang
pada dentin yang menunjukkan adanya
karies gigi. Gigi ini akar giginya mengalami
resesi dan kalkulus pada bagian akarnya.
Pada bagian mandibulanya, gigi LI1
menunjukkan adanya karies yang ditandai
dengan adanya lubang kecil di tengah dentin
berukuran sekitar 0,13 mm dan abses pada
tulang alveolarnya sekitar 3 mm. Pada LI2
mengalami resesi pada tulang alveolarnya
dan juga abses, namun tidak menunjukkan
adanya karies (Gambar 7).
ST1 memiliki empat gigi taring yang
masih lengkap. LC pada mandibula masih
melekat pada alveolar dan mahkota giginya
di bagian labial terdapat patahan dan tidak
terindikasi adanya jejak karies. Pada RC, gigi
ST1 ini mengalami atrisi pada bagian
dentinnya dan tidak ditemukan indikasi
adanya karies. Pada maksila LC ditemukan
adanya karies gigi pada dentin yang
berlubang dengan kedalaman sekitar 0,2 mm.
Gigi ini juga mengalami resorpsi dan banyak
memiliki banyak kalkulus di hampir seluruh
bagian giginya. Berbeda dengan LC, pada
RC tidak menunjukkan adanya karies tetapi
adanya atrisi gigi pada dentin giginya dan
akar giginya mengalami resorpsi dan
mengandung banyak kalkulus.
Gigi yang diidentifikasi sebagai gigi-
gigi geraham kecil pada ST1 berjumlah tujuh
yang terdiri dari tiga gigi maksila yaitu
LPm1, RPm1, LPm2, dan empat gigi
mandibula yaitu RPm1, LPm1, LPm2, RPm2.
RPm2 sudah tidak ditemukan lagi dan
alveolarnya sudah menutup. Gigi RPm1
menunjukkan ada patahan gigi bagian lingual
sehingga bagian pulpanya terlihat (seperti
teriris) dan mengalami resorpsi. LPm1
menunjukkan adanya atrisi gigi pada bagian
dentinnya. Hampir sama seperti gigi-gigi
lainnya, gigi ini juga mengalami resesi
dinding alveolar dan terdapat patahan pada
bagian buccal dan akar giginya mengandung
kalkulus. Dari observasi enamelnya, gigi ini
tidak mengandung karies. Gigi ini juga
mengalami atrisi gigi sehingga hampir
sebagian enamelnya terekspos. Perbedaan
lebar mahkota yang cukup signifikan antara
LPm1 dan RPm1 (sekitar 1,97 mm)
menunjukkan bahwa gigi ini mengalami
kerusakan yang cukup besar akibat karies dan
atrisi. Gigi LPm2 menunjukkan adanya
patahan pada bagian buccal giginya dan
adanya atrisi gigi, namun tidak terindikasi
karies. Bagian leher gigi sampai akar gigi
mengandung banyak kalkulus. Pada RPm1,
akar giginya masih melekat pada alveolar dan
tidak mengandung karies. Bagian mahkota
a)
Studi Kasus Patologi Gigi, , Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 110
giginya memiliki patahan pada bagian
labialnya dan menunjukkan gejala atrisi pada
bagian oklusal. LPm1 mengandung karies
gigi yang ditandai dengan adanya lubang
sekitar 0,08 mm pada bagian dentinnya. Gigi
LPm2 memiliki karies pada dentin mahkota
giginya. Bagian akar giginya terlihat pada
sekat alveolar karena adanya abses pada
tulang alveolarnya. Gigi RPm2 hanya
menunjukkan adanya atrisi pada mahkota
giginya dan akar giginya masih melekat pada
alveolar.
Gigi geraham ST1 berjumlah dua
belas gigi yang terdiri dari enam gigi maksila
yaitu LM1, LM2, LM3, RM1, RM2, dan RM3,
dan enam gigi mandibula yaitu LM1, LM2,
LM3, RM1, RM2, dan RM3. LM1
menunjukkan adanya atrisi di hampir seluruh
dentin mahkota giginya. Ada patahan juga di
bagian pinggiran enamelnya. Akar giginya
mengandung kalkulus dan tidak ada karies.
RM1 terindikasi karies yang parah karena
hampir sebagian besar mahkotanya terekspos
habis. Bila dilihat dari lebar mahkota giginya,
RM1 ini memiliki ukuran terkecil
dibandingkan gigi molar lainnya. Di bagian
lingual dan buccal terjadi abses yang
menyebabkan terbentuk lubang pada dinding
maksila yang dapat disebabkan oleh bakteri
akibat karies gigi. Selain itu, gigi ini juga
mengalami resorpsi dan resesi sehingga
bagian akar giginya dapat terlihat dan juga
mengandung kalkulus pada akar giginya.
LM2 menunjukkan adanya patahan pada
bagian enamel mesial buccal, atrisi gigi, dan
kalkulus. Tidak ditemukannya indikasi
karies. RM2 juga mengalami patahan di
bagian enamel, resorpsi, kalkulus, atrisi, dan
tidak ada karies, hampir sama seperti LM2.
LM3 hanya menunjukkan adanya patahan dan
atrisi gigi dan kalkulus pada akar gigi. RM3
mengalami resorpsi pada akar gigi sehingga
ujung akarnya tidak menyentuh dasar
alveolar. Dentin giginya masih terlihat sangat
baik bila dibandingkan gigi tersisa lainnya
dan kemungkinan terindikasi atrisi gigi. Pada
gigi mandibula, seluruh mahkota RM1
mengalami atrisi dan adanya patahan sekitar
0,1 mm di bagian lingual crown. Bagian akar
giginya masih melekat pada dinding alveolar
Gambar 8. Karies gigi premolar dan molar
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 101- 115
111 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
namun mengalami resesi. Sama seperti RM1,
LM1 juga mengalami patahan pada lingual
crown, resesi alveolar, dan adanya karies
disertai atrisi pada bagian dentinnya. LM2,
RM2, RM3, dan LM3 sama-sama mengalami
patahan dan atrisi pada mahkota giginya..
Keempatnya memiliki atrisi yang cukup
parah yang terlihat pada seluruh bagian
dentin mahkota giginya (Gambar 8).
PEMBAHASAN
Karies gigi adalah salah satu patologi
gigi yang sangat signifikan ditemukan pada
individu ST1. Penyakit ini terjadi karena
demineralisasi email dan dentin oleh asam
organik yang terbentuk oleh bakteri pada
plak gigi yang berasal dari makanan yang
mengandung gula (Tampubolon, 2005:3;
Moynihan, 2005:695). Makanan merupakan
salah satu faktor utama penyebab karies gigi
selain mikroorganisme, gigi dan waktu.
Pembentukan karies gigi disebabkan oleh
asam yang dihasilkan oleh aksi
mikroorganisme terhadap karbohidrat. Reaksi
ini ditandai dengan dekalsifikasi komponen
inorganik dilanjutkan oleh disintegrasi
substansi organik yang berasal dari gigi. Hal
ini menyebabkan demineralisasi email
berlanjut menjadi karies gigi dimulai dari
permukaan gigi (pits, fissure, dan daerah
interproksimal) meluas ke arah dentin sampai
pulpa (Ramayanti, 2013:89).
Kemunculan patologi gigi seperti
karies tidak terlepas dari beberapa faktor
seperti keadaan geografis, kemampuan
beradaptasi, pola diet, pola mengunyah, serta
pola dalam menjaga kesehatan gigi dan
mulut. Penelitian yang dilakukan Lubell
(dalam Arizona, 2016:260) menunjukkan
bahwa pada rangka dan gigi-geligi manusia
yang hidup pada masa transisi dari Mesolitik
sampai Neolitik menunjukkan jenis patologis
seperti tanggalnya gigi dan karies gigi.
Ubelakar (1997, dalam Arizona 2016:260)
juga melaporkan bahwa rangka manusia yang
hidup yang pada tiga periode berbeda (dari
masa prasejarah-sejarah) menunjukkan
bahwa jenis patologis seperti patologi gigi-
geligi, peradangan pada tulang, trauma pada
tulang, hiperostosis, dan deformasi tengkorak
sebagai wujud dampak dari perkembangan
lingkungan dan budaya.
Karies gigi dipengaruhi oleh pola diet
dan pola mengunyah makanan (Ortner,
2003:439). Selain itu kondisi kesehatan gigi
dan mulut yang tidak dijaga akan membuat
bakteri di dalam mulut berkembang dengan
cepat. Adanya plak yang menempel pada gigi
menjadi media yang dapat membantu bakteri
menempel dan menyebabkan karies semakin
cepat. Apabila dikaitkan dengan pola
menguyah makanan maka karies akan
tampak pada daerah oklusi (bagian
permukaan dentin untuk mengunyah).
Analisis yang dilakukan pada gigi
geligi individu ST1 menunjukkan adanya
beberapa jejak patologi yang indikasinya
dapat dilihat pada maksila dan mandibula
Studi Kasus Patologi Gigi, , Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 112
ST1 yaitu karies gigi, patahan gigi, abses,
resorpsi, dan resesi dinding alveolar. Pada
ST1, kesembilan gigi yang terkena karies
terletak pada bagian tengah dentin giginya
dan menyebar ke bagian mahkota dari gigi
tersebut. Banyaknya kalkulus pada hampir
seluruh bagian gigi ST1 dapat menjadi
penyebab terjadinya resesi dan resorbsi
akibat penumpukan plak dan bakteri dalam
waktu yang lama. Sisa makanan di dalam
mulut akan bercampur dengan bakteri
sehingga dalam jangka waktu tertentu akan
menyebabkan karies dan gangguan
periodontal pada individu ST1. Karies pada
individu ini berjumlah 9 gigi atau sekitar
32,14 % dari total gigi tersisa dan sisanya
mengalami atrisi, patahan, dan penyakit
periodontal lainnya seperti abses dan resesi
alveolar.
Selain karies, patologi lainnya yang
dapat dilihat pada ST1 adalah abses yaitu
karies yang menembus pulpa gigi. Hal ini
terjadi akibat ruang pulpa gigi mengalami
infeksi oleh aktivitas mikroorganisme. Pada
hasil pengamatan yang terlihat LI1, LI2, LPm2, dan RM1 mengalami abses hingga mencapai
ukuran ±3 mm. Ketiga gigi (LI1, LPm2, dan
RM1) yang mengalami abses tersebut
menunjukkan tingkat keparahan karies yang
signifikan, sedangkan LI2 tidak mengandung
karies namun memiliki abses yang cukup
signifikan. Hal ini mungkin dapat terjadi
disebabkan oleh mikroorganisme penyebab
karies dari gigi yang berada di dekatnya yaitu
LI1, telah membentuk koloni dan menyerang
tulang alveolar hingga menyebabkan resorpsi
dan abses.
Jejak patologi lain yang diidentifikasi
pada individu ST1 adalah periodontal, yaitu
tereksposnya tulang alveolar akibat karies
yang sudah mencapai akar gigi. Ketiga
patologi ini disebabkan oleh aktivitas bakteri
di dalam mulut akibat tidak terjaganya
kesehatan gigi dan mulut. Atrisi gigi juga
banyak ditemukan di hampir setiap gigi ST1.
Atrisi gigi ini berkaitan dengan penggunaan
gigi yang menyebabkan keausan pada dentin
giginya. Semakin tua umur seseorang, maka
tingkat keausan giginya semakin tinggi.
Kemunculan atrisi yang tinggi dapat
mengurangi tingkat karies pada individu
karena bagian permukaan gigi yang aus akan
sulit untuk ditempeli sisa makanan sehingga
bakteri tidak dapat berkembang pada gigi.
Namun, dari kesembilan gigi yang terkena
karies, ada satu gigi yaitu RPm1 yang juga
mengalami atrisi gigi. Karies pada atrisi gigi
ini dapat disebabkan oleh penyebaran
mikroorganisme dari gigi RPm2 yang
kemungkinan tanggal akibat karies dan gigi
RM1 yang juga mengalami karies yang cukup
parah bila dibandingkan kedelapan gigi
lainnya.
Penyakit lainnya adalah periodontal
yaitu kondisi dimana tulang alveolar
terekspos akibat karies yang sudah mencapai
akar gigi. Ketiga patologi ini disebabkan oleh
aktivitas bakteri di dalam mulut akibat tidak
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 101- 115
113 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
terjaganya kesehatan gigi dan mulut. Atrisi
gigi juga banyak ditemukan di hampir setiap
gigi ST1. Atrisi gigi ini berkaitan dengan
penggunaan gigi yang menyebabkan keausan
pada dentin giginya. Semakin tua umur
seseorang, maka tingkat keausan giginya
semakin tinggi. Kemunculan atrisi yang
tinggi dapat mengurangi tingkat karies pada
individu karena bagian permukaan gigi yang
aus akan sulit untuk ditempeli sisa makanan
sehingga bakteri tidak dapat berkembang
pada gigi. Namun, dari kesembilan gigi yang
terkena karies, ada satu gigi yaitu RPm1 yang
juga mengalami atrisi gigi. Karies pada atrisi
gigi ini dapat disebabkan oleh penyebaran
mikroorganisme dari gigi RPm2 yang
kemungkinan tanggal akibat karies dan gigi
RM1 yang juga mengalami karies yang cukup
parah bila dibandingkan kedelapan gigi
lainnya.
ST1 hidup pada kondisi lingkungan
hutan hujan tropis dataran rendah yang
berdasarkan polen yang ditemukan
menunjukkan jenis tumbuhan dari keluarga
Podocarpaceae, Dipterocarpaceae,
Fagaceae, dan Pteridophyta, sedangkan
untuk faunanya sendiri yang ditemukan
adalah Elephas sp. dan cercopithecids seperti
Macaca fascicularis dan Trachypithecus
auratus (Amano, dkk, 2016:157). Pada
kondisi lingkungan seperti ini kebanyakan
tumbuhan yang hidup pada saat itu hanyalah
berupa tumbuhan berkayu dan belum ada
bukti akurat yang mengatakan bahwa
populasi yang hidup di zaman itu
mengonsumsi makanan dari empat famili
tumbuh-tumbuhan tersebut. Selain itu, karena
pada masa tersebut juga budaya agrikultur
belum masuk ke Indonesia, maka
kemungkinan besar penyebab karies pada
individu tersebut adalah masalah kesehatan
gigi dan mulut. Makanan yang dikonsumsi
ST1 mungkin dapat berasal dari dedaunan
tumbuhan, hasil buruan, dan juga kerang-
kerangan yang terdapat di sekitar Song
Terus. Hal ini terbukti dari ditemukannya
kerang di dekat rangka ST1. Kerang dan hasil
buruan banyak mengandung protein
dibandingkan karbohidrat yang merupakan
salah satu penyebab adanya karies. Namun
demikian, zat apapun yang dikonsumsi
manusia akan mempercepat terjadinya karies
apabila kondisi kesehatan gigi dan mulut
tidak diperhatikan. Hal ini akan
menyebabkan mikroorganisme penyebab
karies dapat berkembang dengan baik di
dalam mulut sehingga akan merusak struktur
gigi secara umum. Tidak adanya usaha untuk
melakukan perawatan pada gigi-gigi yang
terkena karies akan menyebabkan penyakit
tersebut terus berkembang menjadi semakin
parah.
PENUTUP
Patologi gigi merupakan bagian dari
masalah kesehatan yang muncul akibat
berkembangnya pola kehidupan manusia.
Rangka individu ST1 yang ditemukan di
Studi Kasus Patologi Gigi, , Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 114
Song Terus memiliki banyak aspek patologis
yang menarik diteliti seperti patologi karies
pada gigi yang tersisa. Karies pada ST1
terdapat pada setiap jenis gigi baik pada
maksila maupun mandibula. Kesembilan gigi
yang mengandung karies terletak pada bagian
tengah dentin gigi. Karies yang paling parah
ditandai dengan adanya abses yang
melubangi tulang alveolar pada gigi ST1.
Masalah kesehatan mulut dan gigi menjadi
penyebab utama terjadinya karies pada ST1.
Sisa makanan yang tertinggal di gigi menjadi
media tumbuh bagi mikroorganisme mulut
yang berkembang dengan baik sehingga
merusak struktur gigi secara umum yang
menyebabkan karies.
Karies yang ada di masa sekarang
ternyata sudah ada dari masa lalu yang terjadi
akibat pola kehidupan manusia yang kurang
menjaga kesehatan gigi dan mulut. Pola diet
dan jenis makanan yang dikonsumsi ST1
pada masa hidupnya belum bisa dibuktikan
hanya dari satu jenis patologi saja. Oleh
karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai
patologi pada individu ST1 maupun individu-
individu lainnya di kawasan Gunung Sewu
sangat diperlukan untuk mengetahui pola diet
atau jenis makanan yang dikonsumsi manusia
masa Holosen Awal yang kemudian dapat
dikaitkan dengan aktivitas dan budaya yang
terjadi pada saat itu.
DAFTAR PUSTAKA
Amano, N., Rivals, F., Moigne, AM., Ingico, T., Semah, F., dan Simanjuntak, T. 2016. Paleoenvironment in East Java During The Last 25,000 Years as Inferred From Bovid and Cervid Dental Wear Analyses. Journal of Archaeological Science: Reports 10 : 155–165.
Arizona, F. 2016. Patologi Gigi-Geligi Pada Tengkorak Manusia Liang Bua, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Antrounairdotnet, 2 (2) : 258 - 267.
Détroit, F. 2002. Origine et évolution des Homo sapiens en Asie du Sud-Est: Descriptions et analyses morphométrique de nouveaux fossils”. Thése du Docteural du MNHN. Paris.
Hameau, S., C. Falguères, J.J. Bahain, F. Sémah, A.M. Sémah, dan J.M. Dolo. 2007. ESR dating in Song Terus cave (East Java, Indonesia). Quaternary Geochronology, 2 : 398-402.
Hillson, S. 2005. Teeth Second Edition. Cambridge University Press. UK. Hublin, J., dan Bailey S. E. 2007. Dental Perspectives on Human Evolution : State of the Art
Research in Dental Paleoanthropology. Published by Springer. Humphrey, L.T., De Groote, I., Morales, J., Barton, N., Collcutt, S., dan Bouzouggar, A.
2014. Earliest evidence for caries and exploitation of starchy plant foods in Pleistocene hunter-gatherers from Morocco. PNAS, 3 (111) : 954 – 959.
Larsen, C.S ., Shavit, R., dan Griffin, M.C. 1991. Dental Caries Evidence for Dietary Change : An Archaeological Context. Wiley-Liss Inc.
Moynihan, P. J. 2005. The Role and Diet Nutrition in The Etiology and Prevention of Oral Disease. Bulletin of World Health Organization, 83 (9) : 694 – 699.
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 101- 115
115 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
Noerwidi, S. 2012. The significance of the Holocene human skeleton Song Keplek 5 in the history of human colonization of Java: a comprehensive morphological and morphometric study. Thesis Master Erasmus Mundus en Quaternaire et Préhistoire.
Ortner, D. J. 2003. Identification of Pathological Conditions in Human Skeletal Remains. Academic Press, San Diego.
Perelli, F. 2010. Comparative Morphometric Analysis of the Long Limb Bones of the Holocene Human skeletons Song Keplek 4 and Song Terus K9 (East Java, Indonesia). University’ Degli Studi Di Ferrara, Italy.
Ramayanti, S., dan Purnakarya, I. 2013. Peran Makanan Terhadap Kejadian Karies Gigi. Jumal Kesehatan Masyarakat, 7 (2) : 89 – 93.
Sémah, François., Anne-Marie Sémah., C. Falguères., F. Détroit., Xavier Gallet, S. Hameau., Anne-Marie Moigne., dan Simanjuntak H.T. 2004. The significance of the Punung karstic area (eastern Java) for the chronology of the Javanese Paleolithic, with special reference to the Song Terus cave. Modern Quaternary Research Southeast Asia, 18 : 45-62.
Simanjuntak, T. 2004. New Insight of The Prehistoric Chronology of Gunung Sewu, Java, Indonesia. Modern Quaternary Research in Southeast Asia: Quaternary Research, 18 : 9–30.
Tampubolon, N. S. 2005. Dampak Karies Gigi dan Penyakit Periodontal Terhadap Kualitas Hidup. Pidato Pengukuhan. USU Repository, Medan.
Tiauzon, Archie. 2011. Lithic Technology In Song Terus During The Late Middle Pleistocene and The Early Upper Pleistocene. Master Erasmus Mundus en Quartenaire et Prehistory.
White, T. D, dan Folkens P.A. 2005. The Human Bone Manual. Elsevier Academic Press, London.
Widianto, Harry. 2002. “Prehistoric Inhabitants in Gunungsewu”, dalam Truman Simanjuntak ed., Gunungsewu in Prehistoric Times, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta: 227-248.
Widianto H, dan Noerwidi, S. 2010. Atlas Prasejarah Indonesia. PT Kharisma Ilmu.
Studi Kasus Patologi Gigi, , Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 116
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
117 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
PERSEPSI MASYARAKAT PEZIARAH TERHADAP MAKAM KERAMAT DI KABUPATEN LUWU
UTARA (Perception of PPilgrim Toward Sacred Tomb in North Luwu)
Ansaar
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 e-mail: [email protected]
INFO ARTIKEL
Keywords Perception, Sacred tomb, Pilgrim community Kata Kunci Persepsi, Makam keramat, Masyarakat peziarah
ABSTRACT
The tradition of pilgrimage to old sacred tombs is a phenomenon that lives in the community that has been carried out for generations. Mystical beliefs based on traditions and beliefs that are based on rational thoughts, show the various kinds of beliefs of tomb pilgrims. Supernatural powers on tombs that are considered sacred can affect their perspective or perception of the unseen world which is considered to change their destiny and life. This study, in addition to aiming at giving an idea of the purpose and motivation of pilgrims visiting old sacred tombs, is also to find out the perception of the pilgrims to the sacred tombs. This research is descriptive qualitative with field data collection techniques. The results of the discussion showed that the purpose and motivation of pilgrims came to the sacred tombs, because there was a belief from them that visiting sacred tombs would get a blessing in accordance with their intended intentions and goals. Pilgrims who come to the tomb, each other also have different perceptions or views, depending on their goals and needs coming to the tomb.
ABSTRAK
Tradisi ziarah ke makam-makam tua yang dikeramatkan merupakan fenomena yang hidup di kalangan masyarakat yang telah dilakukan secara turun temurun. Kepercayaan mistis yang berbasis pada tradisi dan kepercayaan yang berdasar pada pemikiran-pemikiran rasional, menunjukkan berbagai macam kepercayaan para peziarah makam. Kekuatan supranatural pada makam-makam yang dianggap keramat dapat mempengaruhi cara pandang atau persepsi mereka terhadap dunia gaib yang dianggap dapat merubah nasib dan kehidupannya. Penelitian ini, di samping bertujuan memberi gambaran tentang tujuan dan motivasi peziarah mengunjungi makam-makam tua yang dikeramatkan, juga untuk mengetahui persepsi masyarakat peziarah terhadap makam-makam yang dikeramatkan itu. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data lapangan. Hasil pembahasan menunjukkan, bahwa tujuan dan motivasi peziarah mendatangi makam-makam keramat itu, karena ada keyakinan dari mereka bahwa mendatangi makam-makam keramat akan memperoleh berkah sesuai dengan niat dan tujuan yang dikehendaki. Peziarah yang datang ke makam itu, satu sama lain juga punya persepsi atau pandangan yang berbeda, tergantung dari tujuan dan kebutuhan mereka datang ke makam itu.
PENDAHULUAN
Setiap manusia sadar bahwa selain
dunia fana ini, ada suatu alam yang tak
tampak olehnya dan berada diluar batas
akalnya. Dunia itu adalah dunia supra-
natural. atau alam gaib. Berbagai
kebudayaan menganut kepercayaan, bahwa
dunia gaib dihuni oleh berbagai makhluk dan
Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 118
kekuatan yang tak dapat dikuasai oleh
manusia dengan cara-cara biasa, dan karena
itu dunia gaib pada dasarnya ditakuti oleh
manusia. Makhluk dan kekuatan yang
menghuni dunia alam gaib adalah:1) dewa-
dewa yang baik dan buruk, 2).makhluk-
makhluk halus lainnya seperti roh para
leluhur, hantu dan lain-lainnya yang baik
maupun yang jahat, 3) Kekuatan sakti yang
dapat bermanfaat bagi manusia maupun yang
dapat membawa bencana (Koentjaraningrat,
1997;203)
Pola pemikiran semacam itulah yang
masih mewarnai masyarakat Indonesia dan
menganggap dunia sebagai satu kesatuan
mistis yang utuh. Ia harus menjalin relasi
yang baik dengan seluruh alam semesta.
Begitu pula dengan dunia lain yang dianggap
mampu untuk memberikan keselamatan dan
mewujudkan suatu keinginan tertentu. Untuk
mengekspresikan adanya getaran jiwa, suatu
emosi membutuhkan suatu objek tujuan
sebagai sarananya, yakni tempat-tempat
keramat yang dianggap suci untuk
mengespresikan emosi keagamaan.
Kepercayaan tentang kekeramatan
atau kekuatan supra-natural begitu kuat pada
kebanyakan masyarakat dengan melihat suatu
kelebihan atau mujizat terhadap orang-orang
tertentu yang semasa hidupnya menjadi
panutan baik dalam kegiatan keagaamaan
seperti tokoh ulama yang menyebarkan
agama Islam maupun raja-raja yang pernah
berkuasa. Ketika tokoh-tokoh ini meninggal
maka kuburannya dianggap keramat dan
banyak dikunjungi masyarakat untuk
berziarah dan melakukan ritual.
Makam-makam yang dianggap
keramat, banyak ditemukan di berbagai
daerah di Indonesia, termasuk di Kabupaten
Luwu Utara. Di daerah tersebut, makam-
makam tua yang dikeramatkaan dan dikenal
banyak orang, seperti makam Datuk
Patimang atau yang bergelar Waliyullah Al
Arif Billah Al Imam dan makam Raja Luwu
XV (Andi Patiware Opu Daeng Parabu Petta
Matinroe ri Patimang). Kedua makam yang
menjadi objek pembahasan dalam penelitian
ini, sampai sekarang masih ramai dikunjungi
peziarah, baik peziarah lokal maupun
peziarah dari daerah lain. Mereka melakukan
kunjungan terutama pada hari-hari tertentu,
seperti hari-hari besar Islam, hari menjelang
memasuki bulan suci Ramadhan maupun
setelah hari raya lebaran, baik Idul Fitri
maupun Idul Adha. Tradisi berziarah ini telah
dilakukan sejak dahulu hingga sekarang dan
berlangsung secara turun temurun.
Ziarah atau berkunjung ke makam
pada dasarnya merupakan salah satu
rangkaian kegiatan religius manusia. Orang
yang berziarah ke makam pada umumnya
dihubungkan dengan tokoh atau leluhur yang
dimakamkan di tempat itu. Berziarah
dianjurkan oleh Rasulullah, tetapi sebatas
untuk mengingatkan kepada kita bahwa
setiap makhluk hidup akan mengalami mati.
Karena itulah kita harus selalu
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 117-133
119 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
mempersiapkan segalanya untuk bekal di
akherat nanti. Bagi yang sholeh dan beramal
baik, selalu dikenang dan dijadikan tauladan
sehingga tidak sedikit orang yang berkunjung
ke makam tersebut untuk mendoakan agar
arwah yang berada dalam kubur ditempatkan
di sisi-Nya.
Peziarah yang datang atau berkunjung
ke makam-makam keramat, umumnya
memiliki tujuan dan motivasi yakni untuk
melakukan doa atau memohon kepada Allah
swt atas berbagai keinginan atau niat seperti:
permohonan agar diberi kemudahan rezki,
keselamatan, nasib baik, ungkapan syukur,
kesembuhan dari penyakit yang diderita,
serta permohonan agar usaha yang dijalankan
tetap lancar. Selain itu, ada pula yang
berziarah sebagai pelaksanaan nazar atau
melepas nazar yang pernah diucapkan
sebelumnya. Peziarah seperti ini dari awal
sudah meniatkan untuk melakukan ziarah
atau kunjungan ke makam bilamana
harapannya telah berhasil.
Di samping adanya tujuan dan motivasi
melakukan kunjungan ke makam, masyarakat
peziarah juga punya persepsi atau pandangan
yang berbeda terkait dengan keberadaan
makam-makam keramat itu. Berbicara
tentang persepsi atau pandangan, beberapa
ahli telah memberikan pendapat. Menurut
Suseno (1993), persepsi atau pandangan
adalah merupakan keseluruhan semua
keyakinan, daripadanya manusia memberi
struktur yang bermakna kepada alam
pengalamannya. Dalam persepsi masyarakat,
realitas tidak dibagi dalam berbagai bidang
yang terpisah satu sama lain, melainkan
dilihat sebagai satu kesatuan menyeluruh.
Bagi mereka persepsi atau pandangan itu
bukan berarti pengertian yang abstrak,
melainkan berfungsi sebagai sarana dalam
usahanya untuk berhasil dalam menghadapi
malah-masalah kehidupan.
Sementara itu, Geertz (1992:51)
memberi arti pandangan sebagai gambaran
tentang kenyataan apa adanya, konsep
tentang alam, diri dan masyarakat.
Pandangan ini mengandung gagasan-gagasan
yang paling konprenhensif mengenai tatanan
dan secara emosional dibuat sedemikian rupa
sehingga dapat diterima dengan disajikan
sebagai sebuah gambaran tetang masalah-
masalah yang aktual.
Persepsi atau pandangan dibentuk oleh
suatu cara berpikir yang dapat merasakan
nilai-nilai kelakuan, peristiwa-peristiwa dan
segi-segi lain dari suatu pengalaman. Oleh
karena itu, pandangan merupakan sebuah
pengaturan mental dari pengalaman itu dan
pada gilirannya mengembangkan suatu sikap
hidup (Mulder, 1986:30). Persepsi atau
pandangan dapat memunculkan makna pada
“sesuatu” yang tersimpan dalam simbol-
simbol yang keabsahannya diakui oleh para
pendukungnya, terutama pada persepsi yang
berkenaan dengan kehidupan religius.
Persepsi yang berkenaan dengan
kehidupan religius itu terkadang diperkuat
Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 120
dengan mitos. Mitos itu sendiri merupakan
kebenaran religius yang biasanya
diungkapkan melalui cerita atau dongeng dan
merupakan bagian dari suatu kepercayaan
yang hidup di antara sejumlah bangsa. Mitos
menjadi suatu kebenaran yang pasti dan
menetapkan suatu kebenaran absolut yang
tidak bisa diganggu gugat. Mitos
menguatkan suatu tabir misteri, mewahyukan
peristiwa primordial yang masih selalu
diceritakan dan diulang kembali pada waktu
sekarang. Dalam hal ini mitos
mengungkapkan struktur aktual keilahian,
yang mengatasi semua atribut dan
mendamaikan semua pertentangan secara
lebih mendalam daripada yang bisa
diungkapkan oleh pengalaman rasional
(Susanto, 2005:90).
Tulisan mengenai persepsi masyarakat
peziarah terhadap makam keramat di daerah
lain telah pun banyak dibuat, jika kita
membuka internet maka akan banyak kita
jumpai tentang tulisan serupa tapi di daerah
lain. Namun lain lubuk lain belalang,
persepsi masyarakat dipengaruhi juga oleh
budaya setempat sehingga persepsi antara
satu daerah dengan daerah yang lain tidak
dapat di”general”kan. Persepsi masyarakat
peziarah terhadap makam di tempat lain
belum tentu sama dengan persepsi
masyarakat peziarah terhadap makam
keramat di Luwu Utara.
Berdasarkan latar belakang tersebut di
atas, maka masalah dalam tulisan ini akan
difokuskan pada: 1) apa tujuan dan motivasi
para peziarah berkunjung ke makam-makam
tua yang dianggap keramat, dan 2)
bagaimana persepsi masyarakat peziarah
terhadap makam-makam tua yang
dikeramatkan itu.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
deskripsi-analisis dengan pendekatan
kualitatif yang menggambarkan fenomena
apa adanya, perkembangan yang tengah
terjadi, dan pendapat yang muncul, baik
berhubungan dengan masa sebelumnya
maupun masa sekarang. Sumber data terbagi
atas data primer dan data sekunder. Data
primer yaitu para peziarah yang datang di
kedua makam tersebut. Selain itu, penjaga
makam dan pengurus makam serta aparat
pemerintah Desa Patimang. Data sekunder
diperoleh dari buku-buku yang menunjang
tulisan.
Teknik pengumpulan data lapangan
(field research) dilakukan dengan menempuh
cara-cara sebagai berikut:
1) observasi, melalui observasi penulis
belajar mengenai perilaku dan makna dari
perilaku para peziaah yang datang ke
kedua makam tersebut. Selama masa
penelitian, penulis melakukan
pengamatan setiap harinya pada
kedatangan para peziarah.
2) wawancara mendalam terhadap peziarah
terpilih, kepada pengurus dan penjaga
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 117-133
121 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
makam serta kepada pemerintah Desa
Patimang dimana makam tersebut berada.
Mendapatkan informasi dari para
peziarah agak sulit dilakukan karena
kebanyakan dari mereka tertutup
mengenai motivasinya datang berziarah.
Kendala ini diatasi dengan menggunakan
pendekatan persuasif partisipatif.
3) studi pustaka dilakukan untuk membantu
penulis menemukan motivasi-motivasi
lain yang tak diungkapkan pada saat
wawancara. Selain itu, studi pustaka juga
berguna untuk mengetahui profil kedua
tokoh yang makamnya dikeramatkan ini.
Teknik pengumpulan data lapangan (field
research) dengan cara observasi dan
wawancara mendalam.
PEMBAHASAN
Datuk Patimang dan Raja Luwu XV,
Andi Patiware
Datuk Patimang yang bernama asli
Datuk Sulaeman dan bergelar Khatib Bungsu
adalah seorang ulama yang berasal dari Koto
Tangah, Minangkabau yang menyebarkan
agama Islam ke Kerajaan Luwu pada 1593
atau penghujung abad ke-16. Menurut
catatan sejarah, kedatangannya di Sulawesi
Selatan bersama dengan dua ulama lain yaitu
Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro.
Ketiganya datang dengan misi menyebarkan
agama Islam.
Menurut Lontarak Luwu dan Wajo,
bahwa meskipun ketiga datuk ini pertama
kali tiba di Kerajaan Gowa dan Tallo, namun
upaya pengislaman pertama dilakukan
terhadap Kerajaan Luwu. Kerajaan Gowa
tempat ketiga Datuk ini tiba pertama kali
belum bersedia menerima Islam karena
masih memiliki hubungan yang baik dengan
Portugis (penganut kristiani) di masa itu.
Ketiga datuk tersebut lalu disarankan menuju
Kerajaan Luwu, dimana saat itu Kerajaan
Luwu diperintah oleh Raja Andi Patiware.
Raja Andi Patiware bukanlah orang lain bagi
Kerajaan Gowa karena Andi Patiware
merupakan kakak ipar Raja Gowa. Andi
Patiware menikahi Petta Matinroe ri Balla
Bugisi yang merupakan anak pertama dari
Raja Gowa I Manggorai (Lestari, 2014:30).
Berangkatlah ketiga datuk ini dengan
dibantu oleh orang-orang Melayu. Ketiga
Datuk ini memilih Kerajaan Luwu setelah
mengetahui bahwa walaupun kekuasaan ada
di Kerajaan Gowa namun kemuliaan terletak
di Kerajaan Luwu. Asal muasal semua arung
atau raja di Sulawesi Selatan berasal dari
Kerajaan ini. Sehingga dengan kata lain, jika
ingin menyebarkan agama Islam ke penjuru
Sulawesi Selatan, maka Raja Luwu lah yang
pertama harus diIslamkan. (Mahmud, 2012:
39 – 40).
Ketiga datuk ini pertama kali tiba di
Desa Lapandoso, Kecamatan Bua,
Kabupaten Luwu. Disana dia dikisahkan
bertemu dengan Tandipau (semacam kepala
Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 122
desa). Tandipau inilah yang pertama
memeluk Islam lalu disusul oleh masyarakat
Bua. Setelah masyarakat Bua menerina
Islam, dibangunlah masjid di Desa Tana
Rigella pada 1594 M. setelah itu, Datuk
Sulamain dan beberapa orang dari Bua lalu
melanjutkan perjalanan menuju Malangke.
Saat itu, pusat Kerajaan Luwu berada di
Malangke (Purnama, 2014: 62-63).
Datuk Patimang bersama dengan
Datuk ri Tiro dan Datuk ri Bandang berhasil
mengislamkan Raja Luwu yang berkuasa
ketika itu, Andi Patiware Daeng Parabbung
dengan mengucapkan syahadat pada 15
Ramadhan 1013 H (4 Februari 1603
(Mahmud, 2012 43). Andi Patiware lalu
mengganti nama menjadi Sultan Mahmud.
Secara perlahan tapi pasti, rakyat Kerajaan
Luwu menerima Islam selepas Raja Luwu,
Andi Patiware menerima Islam. Walaupun
demikian beberapa masyarakat Luwu yang
tinggal di pelosok kerajaan tetap memeluk
agama nenek moyangnya.
Islamisasi di Kerajaan Luwu melalui
proses yang lambat. Hal ini tidak terlepas
dari kebijakan Raja Luwu, Andi Patiware
yang tidak memperbolehkan adanya
tindakan pemaksaan. Setelah Kerajaan Luwu
menerima Islam, Datuk ri Tiro dan Datuk ri
Bandang kembali ke Kerajaan Gowa dan
Tallo dengan misi yang sama yaitu
menyebarkan agama Islam. Hal ini
dilakukan atas petunjuk dari Raja Luwu,
Andi Patiware bahwa Kerajaan Gowa lebih
tepat untuk menyebarkan agama Islam
secara menyeluruh di Sulawesi Selatan.
Dalam perjalanannya Datuk ri Bandang
fokus menyebarkan agama Islam di Kerajaan
Gowa dan Tallo sedang Datuk ri Tiro
menyebarkan agama Islam di Bulukumba
dan sekitarnya.
Datuk Patimang memilih menetap di
Malangke dan mengajarkan Islam kepada
rakyat dan pemerintahan Kerajaan Luwu.
hingga ajal menjemput dan dimakamkan di
Desa Patimang. Raja Luwu, Andi Patiware
wafat pada 1615 dan digantikan oleh Raja
Patipasaung (Purnama, 2014: 63, Mahmud,
2012: 44 - 48). Kedua makam tersebut
berada di lokasi yang sama.
Deskripsi Makam-Makam Tua yang
Dikeramatkan
1. Makam Datuk Patimang
Kompleks makam Datuk Patimang,
secara administratif terletak di Desa
Patimang, Kecamatan Malangke, Kabupaten
Luwu Utara. Jarak dari kota kabupaten
menuju kompleks makam, adalah kurang
lebih 40 km ke arah Timur dengan waktu
tempuh sekitar 1 jam. Sedangkan dari Kota
Makassar ditempuh dengan lama perjalanan
sekitar 9 jam. Di dalam kompleks makam ini,
selain terdapat makam Datuk Patimang, juga
terdapat makam Andi Patiware Opu Daeng
Parabu Petta Matinroe ri Patimang atau Raja
Luwu XV (Raja Luwu yang pertama kali
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 117-133
123 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
memeluk Islam) serta makam kerabat
kerajaan.
Untuk masuk ke lokasi komplek
makam, maka pengunjung ziarah harus
melewati pintu gerbang yang terletak di
sebelah utara menghadap jalan raya. Di
depan pintu gerbang tersebut atau tepatnya di
tengah-tengah jalan desa juga berdiri dengan
kokohnya sebuah tuguh dimana pada bagian
atasnya terdapat sebuah payung besar dan
tombak. Payung dan tombak tersebut adalah
merupakan simbol Kerajaan Luwu (gambar
1)
Gambar. 1 Sebuah bangunan tugu dengan payung dan tombak di atasnya sebagai simbol
Kerajaan Luwu, berdiri kokoh di depan pintu gerbang Kompleks Makam. (Sumber: googleimage)
Kompleks makam yang terletak di atas
tanah datar ini, memiliki luas kurang lebih
700 m2 yang dibatasi oleh pagar keliling
yang terbuat dari bahan beton tumbuk. Jika
dilihat dari letak geografisnya, Kompleks
Makam Patimang ini dapat ditandai dengan
batas-batas: di sebelah Utara terdapat jalan
aspal arah hadap lokasi, rumah penduduk dan
kebun coklat; di sebelah Timur terdapat
kebun coklat dan kebun jeruk; di sebelah
Selatan terdapat kebun coklat dan hutan
lindung; dan di sebelah Barat terdapat kebun
coklat, kebun jeruk dan empang milik
masyarakat.
Makam Datuk Patimang dibuatkan
bangunan cungkup yang terbuat dari tembok
dan beratap. Makamnya sendiri sangat
sederhana karena pada bagian pinggiran
makam ditembok sekeliling dan ditancapkan
sebuah nisan dari batu cadas alam yang tidak
dibentuk.
Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 124
Gambar. 2 Tampak Makam Dato Sulaeman dalam sebuah bangunan cungkup
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Hingga saat ini kondisi makam tersebut dapat
dikatakan cukup terawat, hal mana dapat
dilihat pada sekililing bangunannya, terutama
pada bagian cungkup dan tembok pinggiran
makam yang semuanya tampak masih sangat
kokoh. Selain itu, di sekitarnya juga dapat
dilihat adanya bagunan baruga, musallah, dan
penataan akses jalan setapak yang semuanya
masih dalam kondisi cukup baik.
2. Makam Raja Luwu XV (Andi
Patiware)
Sebagaimana telah dijelaskan di
sebelumnya, bahwa makam Raja Luwu ke
XV ini berada satu kompleks dengan
makam Datuk Patimang, bahkan lokasi
atau tempat makam antar keduanya cukup
berdekatan. Namun demikian, bentuk atau
model makamnya berbeda. Makam Raja
Luwu XV (Andi Patiware) sebagai raja
yang pertama kali memeluk Islam atau
yang bergelar Petta Matinroe ri Patimang,
dibentuk dari susunan batu padas lalu
dibentuk menjadi batu kotak persegi (lihat
foto. 3).
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 117-133
125 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
Gambar. 3 Tampak Makam Raja Luwu XV (Andi Patiware)
dalam Kompleks Makam di Desa Patimang.
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Dalam foto tersebut di atas, tampak
bahwa di sekeliling makam dibuatkan pagar
dari batu padas yang juga dibentuk menjadi
kotak batu persegi yang disusun setebal
sekitar 1 meter dan tinggi sekitar 1,5 meter
mengelilingi makam. Nisan paling besar
berbentuk mahkota yang diberi ukiran
dengan motif flora dan sulur, sedangkan
nisan paling kecil berbentuk mahkota
persegi. Andi Patiware memeluk agama
Islam pada tahun 1603 H yang disiarkan oleh
salah seorang mubalik besar bernama Datuk
Patimang (Nasir, dkk, 2009:52).
Tujuan dan Motivasi Peziarah
Berkunjung ke Makam-Makam Keramat
Ziarah atau berkunjung ke makam
pada dasarnya merupakan salah satu
rangkaian kegiatan religius manusia. Orang
yang berziarah ke makam-makam keramat
pada umumnya dihubungkan dengan tokoh
atau leluhur yang dimakamkan di tempat itu.
Berziarah dianjurkan oleh Rasulullah, tetapi
sebatas untuk mengingatkan kepada kita
bahwa setiap makhluk hidup akan mengalami
mati. Karena itulah kita harus selalu
mempersiapkan segalanya untuk bekal di
akherat nanti. Bagi yang sholeh dan beramal
baik, selalu dikenang dan dijadikan tauladan,
sehingga tidak sedikit orang yang berkunjung
ke makamnya untuk mendoakan agar arwah
yang berada dalam kubur ditempatkan di sisi-
Nya.
Ziarah makam menurut pemahaman
Islam juga dapat dikatakan amal ibadah
selama yang diziarahi itu kaum muslimin.
Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 126
Salah satu tujuan dari ziarah makam itu
adalah bertasawuf kepada seorang yang
dianggap mempunyai karamah agar memiliki
syafaat, keberkahan dan dikabulkan segala
apa yang diminta. Jika pada peziarah itu tidak
memiliki akidah yang kuat, ada
kekhawatiran bahkan cenderung berlebihan
dan menyimpang dari norma-norma ajaran
Islam (Salam, 2015:472).
Keberadaan makam-makam keramat
sebagaimana telah digambarkan di atas,
khususnya makam Datuk Patimang, hingga
kini masih ramai dikunjungi peziarah dengan
berbagai tujuan dan motivasi. Peziarah
datang dari berbagai pelosok di wilayah
Sulawesi Selatan, bahkan dari daerah-daerah
lainnya, seperti Sumatra, Kalimantan, Palu,
Jambi, Bima, dan Jawa. Menurut juru
pelihara makam, di antara peziarah-peziarah
yang datang dari luar daerah, peziarah asal
Sumatra merupakan yang terbanyak
jumlahnya, karena mereka menganggap
bahwa Datuk Patimang adalah leluhur
mereka juga dan merasa memiliki ikatan
batin yang kuat dengannya. Para peziarah itu
pada umumnya datang secara berombongan
dengan menggunakan kendaraan pribadi
ataupun kendaraan umum. Jumlah mereka
lebih ramai pada hari-hari libur, menjelang
memasuki bulan puasa dan setelah lebaran.
Umunya peziarah yang datang adalah
mereka yang sudah mempunyai agenda
khusus atau keterikatan dengan makam
tersebut. Karena itu, bilamana
permohonannya dikabulkan, maka mereka
akan bernazar untuk kembali berziarah ke
makam-makam tersebut.
Kebanyakan peziarah yakin bahwa
dengan mendatangi makam-makam keramat
akan memperoleh berkah sesuai dengan niat
dan tujuan yang dikehendaki. Mereka yang
mengunjungi makam pada umumnya telah
dilandasi dengan niat dan tujuan yang
didorong oleh kemampuan batin yang teguh.
Demikian, untuk mengetahui lebih jelas
tujuan dan motivasi peziarah berkunjung
pada kedua makam keramat itu dapat
diuraikan sebagai berikut
1. Makam Datuk Patimang
Makam ini tidak pernah sepi dari
peziarah, karena beliau adalah seorang ulama
besar yang hidup di zamannya menjadikan
pigur yang senantiasa disakralkan sebagai
suatu perantara dalam doa-doa yang
dipanjatkan. Bagi sebagian masyarakat
percaya, bahwa dibalik nama besar Datuk
Patimang ada sesuatu kekuatan yang
dianggap mampu menjembatani untuk
menggapai suatu tujuan. Untuk itulah mereka
menjadikan makam ini sebagai salah satu
perantara (washilah) untuk memohon doa
doa kepada yang Maha kuasa.
Di antara beberapa makam atau tempat
keramat yang ada di Kabupaten Luwu Utara,
makam Datuk Patimang dan makam Raja
Luwu XV paling banyak dikunjungi,
terutama menjelang memasuki bulan suci
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 117-133
127 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
Ramadan atau sesudah lebaran. Dalam satu
hari ada saja peziarah yang datang ke makam
tersebut, baik perorangan maupu rombongan.
Menurut A. Tamrin yang sudah bertugas
beberapa tahun sebagai juru pelihara pada
makam Datuk Patimang dan Raja Luwu XV
mengatakan, peziarah yang datang bukan saja
masyarakat lokal, tetapi juga banyak yang
berasal dari daerah-daerah lain.
Tujuan dan motivasi peziarah
mengunjungi makam Datuk Patimang,
karena di tempat inilah mereka dapat
memanjatkan doa dan mengharapkan berkah
agar dalam kehidupan mereka senantiasa
mengalami kesuksesan dan kebahagian,
seperti kemudahan dalam rezeki, jabatan dan
kehormatan. Di samping itu banyak pula
pengunjung yang datang untuk memohon
pertolongan akan sesuatu kesulitan yang
dihadapi agar dapat keluar dari apa yang
dialaminya itu. Seperti yang dikemukakan
oleh seorang peziarah dari Kota Palopo
(Amir, 37 tahun). Menurut peziarah tersebut,
bahwa maksud dan tujuan berkunjung ke
makam Datuk Patimang adalah untuk
menenangkan batin atau pikiran, karena
banyaknya masalah yang dihadapi. Ia bekerja
atau berprofesi sebagai sopir angkutan
umum. Dalam kehidupan keluarga, menurut
dia ada permasalahan yang melilit, di
antaranya selain penghasilan yang didapatkan
dalam perhari menurun karena minimnya
penumpang, di sisi lain dia juga butuh biaya
untuk dua orang anaknya yang akan masuk
sekolah pada sekolah lanjutan pertama dan
sekolah lanjutan tingkat atas. Di makam ia
melaksanakan shalat kemudian berdzikir.
Setelah beberapa kali melakukan hal tersebut,
beliaupun merasakan sedikit demi sedikit ada
perubahan dalam kehidupannya. Jika pada
hari-hari sebelumnya, penghasilan yang
diperolehnya kurang mencukupi dalam
membiayai keluarganya, namun setelah
melakukan usaha seperti itu, penghasilan
yang diperolehnya sebagai seorang sopir
mulai mengalami peningkatan yang cukup
berarti.
Peziarah lain yang mengaku bernama
Muliati (42 tahun) dari Kabupaten Wajo
mengemukakan, bahwa ia datang berziarah
ke makam Datuk Patimang dengan maksud
dan harapan mudah-mudahan dapat
menemukan kecocokan dalam berdagang.
Menurutnya, dengan berziarah mudah-
mudahan menemukan jalan yang tepat
sehingga ada kemajuan dalam berdagang.
Motivasi ibu Muliati ini didorong karena
telah mengetahui dan menyaksikan temannya
yang mencoba berdagang berbagai jenis
barang, tapi belum mendapat kecocokan atau
hasil yang diharapkan. Namun setelah
berziarah dan mendapat kecocokan, ia pun
mencoba merubah usahanya dengan hanya
fokus ke satu jenis jualan saja, yakni jualan
pakaian wanita, ternyata jualannya ada
perubahan dan mengalami kemajuan pesat.
Lain lagi dengan apa yang
diungkapkan Jumriah (52 tahun), seorang
Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 128
peziarah yang berasal dari Luwu Timur.
Peziarah ini menuturkan bahwa tujuan
melakukan ziarah ke makam Datuk Patimang
adalah untuk memohon doa restu kepada
Allah swt agar diberi keselamatan selama
menunaikan ibadah haji di Tanah Suci
Mekah, begitupun keselamatan ketika
kembali ke tanah air. Dan ketika tiba dengan
selamat di kampung halaman, maka ia pun
akan kembali menyiarahi makam Datuk
Patimang sebagai tanda rasa syukur atas
keselamatan melaksanakan ibadah haji.
Masih banyak lagi motif-motif lainnya
yang turut mewarnai ziarah ke makam Datuk
Patimang, seperti meminta penyembuhan
dari penyakit yang tak kunjung sembuh,
meminta agar diberi jodoh bagi yang belum
menikah, bahkan ada di antara mereka datang
dengan berpakaian pengantin untuk melepas
nazar karena telah mendapatkan jodohnya
yang telah dipintanya dahulu dan lain
sebagainya.
Manakala permohonan atau hajat yang
disertai dengan nazarnya itu terkabul, maka
orang-orang tersebut akan kembali
berkunjung ke makam untuk melepas
nazarnya karena harapannya berhasil.
Sementara itu, bagi mereka yang datang
melakukan ziarah ke makam Datuk Patimang
karena menganggap bahwa makam tersebut
memiliki nilai historis dan merupakan salah
satu cara penghormatan bagi jasad Datuk
Patimang sebagai ulama besar, biasanya
hanya dilakukan oleh orang-orang tetentu
saja, seperti para pejabat, para alim ulama
dari berbagai daerah, termasuk peneliti dari
bidang ilmu sejarah maupun budaya.
Makam Datuk Patimang sarat dengan
berbagai mitos yang dipercayai oleh sebagian
masyarakat sebagai tempat yang dapat
merubah nasib seseorang menjadi lebih baik,
karena sosok beliau adalah seorang ulama
besar yang dianggap berjasa menyebarkan
agama Islam. Peziarah sangat ramai
menjelang bulan suci Ramadhan. Hari-hari
yang dianggap baik untuk berziarah ke
Makam Datuk yaitu Minggu, Senin dan
Kamis, akan tetapi menurut penuturan
penjaga makam (A.Tamrin), bahwa setiap
hari ada saja peziarah yang datang untuk
melakukan ritual maupun untuk melepas
nazar karena telah tercapai apa yang
diinginkan
2. Makam Raja Luwu XV (Andi
Patiware).
Makam ini sebenarnya berada satu
kompleks dengan makam Datuk Patimang,
karena itu jarak antara kedua makam tersebut
tidaklah berjauhan, yakni hanya kurang lebih
25 meter. Tujuan dan motivasi peziarah
mengunjungi makam tersebut juga
bermacam-macam, ada yang hanya untuk
melihat keberadaan makam seorang Raja
yang pertama kali memeluk agama Islam di
wilayahnya kemudian mendoakan arwahnya
agar diterima di sisi Tuhan, atau ingin
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 117-133
129 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
mengetahui sejarah perjuangannya, namun
ada juga sebagian masyarakat yang
menganggap dan percaya bahwa di kompleks
pemakaman Datuk Patimang dimana juga
terdapat makam Raja Luwu XV tersebut,
adalah tempat keramat yang dapat
mengabulkan segala permintaan bagi yang
memujanya melakukan ritual kepada
penguasa tempat ini.
Salah seorang pengunjung atau
peziarah (Darmin, 49 tahun) yang kebetulan
ditemui di kompleks makam mengatakan,
bahwa tujuan dia berziarah ke tempat ini
adalah untuk memohon berkah kepada arwah
penghuni kompleks pemakaman, bahwa
sekiranya setelah berada di perantauan
(Malaysia), dapat memperoleh pekerjaan
yang layak dengan penghasilan yang
memadai. Ada pula peziarah yang
bermunajat pada arwah Raja Luwu itu untuk
menyempurnakan ilmu kekebalan yang
diperolehnya dengan memanjatkan doa di
makam itu. Namun demikian, menurut
penjaga makam, peziarah yang rutin
berkunjung ke makam ini, adalah mereka
yang masih mempunyai keturunan dengan
Raja Luwu ke XV sehingga mereka
berkewajiban untuk mengunjungi dan
meminta berkah di makam itu. Tujuan dan
motivasi mereka adalah agar mendapat
karomah dari arwah leluhurnya, seperti
kelancaran rezeki, jabatan, kekebalan dan
berbagai niat lainnya.
Persepsi Masyarakat Peziarah Terhadap
Makam-Makam Keramat
Persepsi atau pandangan masyarakat
peziarah terhadap makam-makam tua yang
dikeramatkan di Kabupaten Luwu Utara,
seperti makam Datuk Patimang maupun
makam Raja Luwu XV sangat beragam. Ada
yang mempersepsikan bahwa makam Datuk
Patimang adalah merupakan makam seorang
ulama atau mubaliq besar yang banyak
diziarahi atau dikunjungi orang. Di tempat itu
dimakamkan seorang tokoh yang sudah
mendapat pengakuan sebagai seorang yang
dikasihi Allah dan seorang yang termasuk
waliyullah. Tokoh ini diyakini telah berjasa
besar dalam menyebarkan agama Islam,
khususnya di tanah Luwu.
Begitupun terhadap makam Raja
Luwu ke XV yang lokasinya tidak berada
jauh dari makam Datuk Patimang, oleh para
peziarah telah menganggapnya sebagai
makam seorang tokoh (Raja) yang telah
banyak berjasa kepada rakyatnya, terutama
saat disiarkannya agama Islam di
wilayahnya. Dia adalah orang (Raja) yang
pertama kali menerima ajaran Islam di
wilayahnya dari seorang mubalig besar,
yakni Datuk Patimang lalu manganjurkannya
kepada seluruh rakyatnya agar juga
mengikuti jejaknya, yakni menerima ajaran
Islam sebagai agama yang dimuliakan Allah.
Di tempat atau lokasi dari kedua
makam itu, pada hari-hari atau waktu tertentu
ramai dikunjungi orang untuk berziarah,
Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 130
seperti hari menjelang memasuki bulan suci
Ramadhan, setelah melaksanakan hari raya
Idul Fitri atau Idul Adha dan pada saat bulan
Maulid. Pada hari-hari seperti ini, peziarah
yang datang jumlahnya lebih banyak bila
dibandingkan dengan hari-hari biasanya.
Mereka bukan hanya warga sekitar saja,
tetapi banyak pula yang datang dari luar
daerah, bahkan luar provinsi.
Setiap orang yang berziarah ke
makam Datuk Patimang ataupun makam
Raja Luwu XV, dalam dirinya diperkuat
dengan emosi keagamaan. Dengan emosi
keagamaan itu mereka berusaha memusatkan
dirinya pada alam sakral untuk memohon
kepada Allah di tempat yang diyakini sebagai
seorang kekasih Allah, sehingga dia berharap
ada barokah (berkah) yang kembali kepada
dirinya dan dapat terkabul segala hal yang
menjadi tujuannya datang berziarah ke
tempat itu.
Peziarah yang datang ke makam itu,
satu sama lain mempunyai persepsi atau
pandangan yang berbeda, tergantung dari
tujuan dan kebutuhan mereka datang ke
makam itu. Persepsi yang menyebutkan,
bahwa makam Datuk Patimang maupun
makam Raja Luwu XV merupakan tempat
yang dapat memberi “arti” bagi peziarah,
maksudnya adalah berkat keyakinannya,
seorang peziarah dapat menemukan
“sesuatu” yang diharapkannya. Peziarah
lainnya mempunyai persepsi, bahwa makam
Datuk Patimang merupakan tempat untuk
meminta sesuatu apa saja yang diinginkan.
Persepsi seperti ini telah dibuktikan salah
seorang peziarah Abd. Asis (39 tahun) yang
berasal dari Kabupaten Luwu Timur dan
bekerja sebagai karyawan swasta. Ia
menuturkan bahwa sejak telah menikah
sembilan tahun yang lalu, hingga kini belum
dikaruniai seorang anak. Berbagai upaya
telah dilakukannya, baik ke dokter maupun
ke pengobatan alternatif tetapi belum
membuahkan hasil. Karena ia penasaran, ia
pun tekun beribadah kemudian berziarah ke
makam Datuk Patimang dan berdoa kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara
berulangkali, ia berziarah sambil memohon
barokah kepada Yang Maha Kuasa.
Akhirnya, berkat kebesaran Yang Maha
Kuasa, isterinya pun akhirnya dikaruniai
anak. Menurut pengakuannya, sejak itulah
sering berkunjung atau berziarah ke makam
Datuk, baik untuk keperluan urusan keluarga
maupun untuk urusan lainnya.
Sementara itu banyak juga peziarah
yang mempunyai persepsi, bahwa makam
Datuk Patimang adalah tempat untuk mencari
dan bisa memberi harapan hidup yang lebih
baik dari sekarang. Persepsi seperti ini
diyakini oleh peziarah lainnya (Muh. Asrul
(42 tahun), peziarah dari Sidrap yang
berprofesi sebagai buruh tani dan Herman
(29 tahun) yang belum memiliki pekerjaan
tetap. Menurutnya, berziarah ke makam ini
niatnya untuk mencari keberkahan sehingga
ada perubahan pada nasibnya. Keduanya baru
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 117-133
131 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
mengetahui bahwa makam Datuk Patimang
itu sebagai makam yang banyak dikunjungi
peziarah setelah diberitahu oleh kerabatnya
yang juga pernah melakukan kunjungan ke
makam yang sama. Namun karena terdorong
oleh niatnya yang tulus, akhirnya keduanya
pun mencoba melakukan ziarah sambil
berusaha mengubah nasibnya. Kedua
peziarah tersebut mengatakan, bahwa kami
datang ke makam ulama besar (Datuk
Patimang) tersebut dengan maksud berziarah,
semoga dengan perantaraan ziarah ini ada
perubahan pada nasib saya.
Bagi peziarah yang percaya dan
ternyata berhasil dalam menjalankan
usahanya, maka persepsi mengenai makam
Datuk Patimang maupun makam Raja Luwu
XV sebagaimana digambarkan di atas akan
semakin kuat. Namun demikian menurut juru
pelihara makam dan seorang tokoh
masyarakat setempat, persepsi bahwa
makam Datuk Patimang maupun makam
Raja Luwu merupakan tempat untuk
meminta rezeki, itu adalah keliru dan salah
besar. Kedua informan tersebut menegaskan,
bahwa kalau memang sekiranya terdapat
peziarah yang berhasil dalam usahanya
setelah memanjatkan doa dan
permohonannya di tempat makam itu adalah
kehendak Allah Yang Maha Kuasa, bukan
karena makam-makam tersebut.
Lokasi atau lingkungan makam Datuk
Patimang maupun makam Raja Luwu XV
merupakan tempat yang sejuk dan tenang
sehingga pengunjung atau peziarah yang
berada di tempat itu dapat berkonsentrasi
dengan baik dan khusuk dalam berdoa.
Dengan kondisi demikian akan memudahkan
hubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Di samping adanya persepsi yang
menyatakan bahwa makam Datuk Patimang
maupun makam Raja Luwu dapat
memberikan keberuntungan, memberikan
harapan baru, tempat untuk meminta segala
macam keinginan dan harapan, dan lain
sebagainya yang lebih bersifat material,
terdapat pula peziarah yang mempunyai
persepsi atau pandangan yang lebih rasional,
bahwa makam Datuk Patimang dan makam
Raja Luwu itu merupakan tempat untuk
mendoakan arwah atau leluhur yang telah
meninggal agar selalu diberi tempat yang
layak di sisi Allah SWT. Persepsi atau
pandangan seperti ini, lebih menekankan
pada kebutuhan hidup spiritual. Para peziarah
tersebut menyatakan bahwa makam Datuk
Patimang merupakan tempat sakral dan suci.
Tujuan utama mereka hanyalah semata
berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Bagi mereka, mendoakan orang yang
sudah tiada (meninggal) merupakan
perbuatan yang baik. Demikian pula
mendoakan arwah Datuk Patimang dan Raja
Luwu XV. Dengan cara demikian semoga
Allah memberi berkah kepada yang didoakan
dan kepada yang mendoakannya. Atas
berkah-Nya, semoga apa yang dinginkan
Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 132
dalam kehidupannya dikabulkan dan diberi
kelancaran dalam berbagai hal.
PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah
dikemukakan di atas, maka pada bagian
penutup ini dapat disimpulkan, bahwa
kepercayaan masyarakat terhadap
kekeramatan makam-makam tua yang ada di
Kabupaten Luwu Utara, khususnya di Desa
Patimang Kecamatan Malangke, masih
dijadikan sebagai salah satu instrumen
pemujaan untuk memperoleh keberkahan dan
mujizat terhadap doa-doa yang dipanjatkan.
Para peziarah yang datang dari berbagai
profesi biasanya melakukan kunjungan
secara rutin pada makam-makam yang
dianggap telah memberi keberkahan,
sehingga mereka mengikatkan diri dengan
salah satu makam yang dikultuskan untuk
selalu melakukan ritual di makam tersebut.
Peziarah yang datang berkunjung ke
makam-makam tua yang dikeramatkan itu,
baik makam Datuk Patimang maupun makam
Raja Luwu XV, dilandasi dengan niat dan
tujuan yang didorong oleh kemauan batin
yang kuat. Adanya niat dan tujuan tersebut
membuat motivasi peziarah menjadi
beragam. Demikian, niat dan tujuan itu juga
dipengaruhi oleh informasi yang diperoleh.
Umumnya peziarah itu mendengar atau
diberitahu temannya, ataupun kerabatnya
tentang kharisma sebuah makam yang
dianggap dapat memberi harapan untuk
hidup lebih baik dari sekarang, memberi
keselamatan, ketenangan hidup dan
sebagainya. Niat mereka untuk ziarah itu
selain karena atas dorongan diri sendiri, ada
juga karena diajak atau dianjurkan oleh
teman atau kerabatnya, terutama oleh mereka
yang merasa berhasil mencapai keinginannya
setelah melakukan ziarah. Karena itulah cara
berkunjungnya juga bermacam-macam, ada
yang seorang diri, diajak teman atau keluarga
dan ada juga yang datang secara rombongan.
Persepsi atau pandangan masyarakat
peziarah terkait dengan kunjungan ke
makam-makam tua yang dikeramatkan itu
cukup beragam. Di antara persepsi itu, ada
yang menyebutkan, bahwa makam Datuk
Patimang maupun makam Raja Luwu XV
(Andi Patiware) merupakan tempat yang
dapat memberi arti bagi peziarah, maksudnya
adalah berkat keyakinannya, seorang
peziarah dapat menemukan sesuatu yang
diharapkannya. Di sisi lain, ada juga peziarah
yang mempersepsikan, bahwa makam Datuk
Patimang adalah tempat untuk mencari dan
bisa memberi harapan hidup yang lebih baik
dari sekarang. Bagi peziarah yang percaya
dan ternyata berhasil dalam menjalankan
usahanya, maka apa yang dipersepsikan
mengenai makam keramat itu akan semakin
kuat. Namun persepsi seperti itu ditentang
oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat
karena menganggap tidak sesuai lagi dengan
kaidah-kaidah keislaman, dan jika sekiranya
terdapat peziarah yang berhasil dalam
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 117-133
133 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
usahanya setelah memanjatkan doa dan
permohonannya di tempat makam itu, maka
itu adalah kehendak Allah Yang Maha
Kuasa, bukan karena makam dimana dia
berdoa dan bermohon.
DAFTAR PUSTAKA
Bogdan, Ribert dan Steven J Tylor. 1993. Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional.
Baal, Van J. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya. Jakarta: PT. Gramedia.
Darmawan, Sigit, dkk. 2006. Laporan Pemetaan Kompleks Makam Patimang Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama.Yogyakarta: Kanisius. Koentjaranigrat. 1997. Pengantar Antropolog (Pokok-Pokok Etnografi). Jakarta: PT. Rineka
Cipta. Koentjaranigrat. 2011. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. (Cetakan kesembilan
belas). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Lestari, Eka. 2014. Islamisasi di Kerajaan Luwu Abad XVII (Skripsi). Makassar: Fakultas
Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar. Mahmud, M. Irfan. 2012. Datuk ri Tiro: Penyiar Islam di Bulukumba. Yogyakarta: Penerbit
Ombak. Mulder, Niels. 1986. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gajah
Mada University Pres. Natsir, Moh, dkk. 2009. Kepurbakalaan Islam di Sulawesi Selatan. Makassar: Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar Nawir. 1997/1998. Sejarah Islam di Luwu. Laporan Hasil Penelitian. Makassar: BKSNT
Ujung Pandang. Purnama, H.L. 2014. Kerajaan Luwu: Menyimpan Banyak Misteri. Makassar: Arus Timur. Salam, Rahayu. 2015. Persepsi Masyarakat Terhadap Ziarah Makam Datok Ri Tiro Di
Kecamatan Bonto Tiro Kabupaten Bulukumba. Makassar: Jurnal Penelitian Vol. 6 no. 2.
Sugiono. 2007. Memahami Penelitian Kualiatif. Bandung: Alfabeta. Suteja. 2010. Pesiarah Kubur Makam Sunan Gunung Jati Cirebon. Proposal Penelitian
Mandiri. Hajisteja’s Blog. Posted on June 13 Saleh, Nur Alam, 2001. Persfektif Makam Syek Yusuf Sebagai Wisata Budaya Di Daerah
Kabupaten Gowa. Laporan Penelitian. Makassar: BPSNT Makassar.
Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 134
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
135 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
PERANAN BANGSAWAN BONE DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DARI SWAPRAJA KE KABUPATEN (The Role of Bone Nobleman in The Government System from Swapraja to Regency) Risma Widiawati Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 e-mail: [email protected]
INFO ARTIKEL
Histori Artikel Diterima: 30 Juni 2018 Direvisi: 27 Agustus 2018 Disetujui: 5 November 2018
Keyword
Nobleman, Bone, Swapraja Kata Kunci Bangsawan, Bone, Swapraja
ABSTRACT
Bone Regency as part of South Sulawesi is a very interesting area to discuss. This area is not only part of the history of South Sulawesi, but also a historical flow of South Sulawesi. the existence of nobles who are so attached to the joints of the lives of the people of Bone is still interesting to be examined to this day. Based on this, the article aims to reveal the role of Bone nobility in the swapraja government system to the regency (1950 - 1960). The political development of the government during this period was seen as sufficiently influencing the political dynamics of the government in Bone Regency which continued even today. The method used is the method of historical research with four stages, namely, heuristics, criticism (history), interpretation, and presentation (historiography). The results of the study show that after the transition from swapraja to regency, the role of nobility is still very calculated. But it is no longer like in the period before the transition, where the government was ruled by the king / aristocracy. At this time the level of intelligence is also taken into account. Apart from the fact that the structure of the government is indeed different because the process of appointing head of government is also different. But in general the role of nobility after the transition was not much different, where there were still many nobles holding power. ABSTRAK
Kabupaten Bone sebagai bahagian dari Sulawesi Selatan merupakan suatu daerah yang sangat menarik untuk dibicarakan. Daerah ini bukan saja merupakan bagian dari sejarah Sulawesi Selatan, tetapi juga merupakan arus sejarah Sulawesi Selatan. keberadaan bangsawan yang begitu melekat di dalam sendi kehidupan masyarakat Bone masih menarik untuk ditelisik sampai hari ini. Berdasarkan hal tersebut, maka artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan tentang peranan bangsawan Bone dalam sistem pemerintahan swapraja ke kabupaten (1950 – 1960). Perkembangan politik dari pemerintahan selama periode ini dipandang cukup mempengaruhi dinamika politik dari pemerintahan di Kabupaten Bone yang berlangsung bahkan sampai sekarang. Metode yang digunakan adalah adalah metode penelitian sejarah dengan empat tahapan yaitu, heuristik, kritik (sejarah), intrepretasi, dan penyajian (historiografi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah peralihan dari swapraja ke kabupaten, peranan bangsawan masih sangat diperhitungkan. Namun tidak lagi seperti pada masa sebelum peralihan, di mana pemerintahan dikuasai oleh raja/aristokrasi. Pada masa ini tingkat kecerdasan juga diperhitungkan. Selain karena struktur pemerintahannya memang berbeda juga karena proses pengangkatan kepala pemerintahan juga berbeda. Namun secara umum peran bangsawan setelah masa peralihan tidak jauh berbeda, di mana masih banyak bangsawan yang memegang kekuasaan.
Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten, Risma Widiawati
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 136
PENDAHULUAN
Sejarah merupakan masa
lampau yang hanya terjadi sekali saja dan
tidak akan mungkin dapat berulang kembali.
Namun demikian masa lampau dapat
dijadikan cerminan masa kini dan masa yang
akan datang. Tidak dapat dipungkiri bahwa
sejarah banyak memberikan sumbangan yang
berarti bagi masa kini. Hanya dengan
demikian sejarah menjadi masa lampau yang
hidup dalam ingatan manusia. Ingatan
tentang masa lampau dapat bermanfaat
positif jika realitas obyektifnya didukung
oleh analisa kritis terhadap kesaksian yang
masih dapat diterima.
Bone sebagai bahagian dari
Sulawesi Selatan merupakan suatu daerah
yang sangat menarik untuk dibicarakan.
Daerah ini bukan saja merupakan bagian dari
sejarah Sulawesi Selatan, tetapi juga
merupakan arus sejarah Sulawesi Selatan. Di
mana antara tahun 1950-1960 Bone
mengalami perubahan sistem pemerintahan
dari pemerintahan Swapraja menjadi
pemerintahan Kabupaten yang melibatkan
pembesar-pembesar kerajaan Bone dan
pemerintahan RI.
Nampaknya budaya panutan
dalam masyarakat Sulawesi Selatan di jaman
perang kemerdekaan masih sangat kuat
berperan dalam kehidupan kita. Tingkah laku
dan perbuatan mereka patuh sepenuhnya
kepada apa yang dinyatakan dan apa yang
diperintahkan oleh para bangsawannya.
Bangsawan merupakan bagian dari penguasa
daerah. Umumnya penempatan dan
pengangkatan seorang penguasa daerah atau
raja sangat bergantung pada kemurnian
kebangsawanannya, karena kemurnian
daerah menunjukkan kepada kepentingan
derajat kebangsawanan. “Semakin tinggi
derajat kebangsawanan seseorang makin
banyak pula hak-hak istimewa yang
dimilikinya” (Kadir, 1994 : 28).
Pekerjaan utama bangsawan
adalah bidang pemerintahan, khususnya
mengatur penggunaan tanah dan
menyelesaikan persengketaan. Baik
kedudukan politik maupun kekuasaan
ekonomi berkaitan erat dengan status kelas,
karena pada umumnya diterima bahwa tidak
ada orang yang dapat memaksakan
kekuasaan atas orang lain yang berpangkat
lebih tinggi dari pada dia sendiri. Dengan
demikian, jelas bahwa golongan
bangsawanlah yang menguasai tanah dan
memegang posisi monopoli atas kekuasaan.
Walaupun demikian, derajat
kebangsawanan bukanlah merupakan satu-
satunya faktor pendukung kedudukan
seseorang dalam hirarki kekuasaan. Pada
dasarnya terdapat persyaratan lain sebagai
penopang seseorang untuk menduduki
kepangkatan kekuasaan seperti kepandaian,
keberanian,kejujuran, kemanusiaan dan adil.
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 135-151
137 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
Dalam perkembangan
selanjutnya sebagian besar kawasan Sulawesi
Selatan dikuasai oleh Belanda yang
kemudian memperkenalkan dan
melaksanakan sistem politik baru, yakni
melaksanakan sistem birokrasi dan
administrasi Barat. Namun demikian
kehidupan adat setempat tidak mengalami
perubahan. Itulah sebabnya pada saat
revolusi pada tahun 1945, masyarakat
Sulawesi Selatan tidaklah mengalami
revolusi sosial. Hubungan antara raja dan
kelompok feodal dengan anggota masyarakat
tetap normal sampai diproklamirkannya
kemerdekaan Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945.
Dampak dari adanya
hubungan yang harmonis antara kelompok
principality (kerajaan) dengan masyarakat,
khususnya ketika revolusi meletus, maka
masyarakat menerima kepemimpinan raja
selama revolusi berlangsung. Tidak ada rasa
kecurigaan rakyat kepada mereka semua
berjalan sebagaimana mestinya.
Masyarakat di daerah-daerah
yang sudah banyak dipengaruhi pendidikan
dan alam pikiran Barat serta pandangan
hidup baru, mungkin memandang jabatan
raja itu sudah tidak lagi meliputi tugas mati.
Dalam keadaan demikian pendemokrasian
swapraja berarti penghapusan jabatan raja
yang berarti pula penghapusan swapraja itu.
Apabila jabatan raja tidak dihapuskan maka
swapraja itu tetap ada.
Sesungguhnya istilah swapraja
dapat diartikan sebagai suatu daerah yang
berpemerintahan sendiri dan berhubungan
erat dengan jabatan raja. Soal dapat tidaknya
swapraja dihapuskan adalah soal dapat
tidaknya jabatan raja di suatu daerah
dihapuskan. Jika jabatan raja itu tetap
dihapuskan, maka swapraja yang
bersangkutan dapat dihapuskan pula. Adalah
kebijaksanaan politik untuk menentukan
apakah di suatu daerah otonomi jabatan raja
itu dapat dihapuskan atau tidak. Kalau
kebijaksanaan politik itu dilakukan atas dasar
kerakyatan, maka penetapan dapat tidaknya
jabatan raja dihapuskan di suatu daerah akan
bergantung pada kehendak yang sebenarnya
dari rakyat yang bersangkutan.
Berdasar dari uraian di atas,
maka penulis merasa tertarik untuk
mengungkapkan tentang peranan bangsawan
Bone dalam sistem pemerintahan Swapraja
ke Kabupaten. Perkembangan politik dari
pemerintahan selama periode ini dipandang
cukup mempengaruhi dinamika politik dari
pemerintahan di Kabupaten Bone yang
berlangsung bahkan sampai sekarang.
Dari uraian latar belakang
yang dikemukakan sebelumnya, maka
permasalahan pokok dalam penelitian dan
penulisan artikel ini adalah “bagaimana
peranan bangsawan Bone dalam sistem
Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten, Risma Widiawati
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 138
pemerintahan dari Swapraja ke Kabupaten”.
Batasan temporal dimulai pada tahun 1950
merupakan masa pemerintahan swapraja di
Bone dan berakhir pada tahun 1960 yang
merupakan tonggak dimulainya sistem
pemerintahan dengan bentuk kabupaten,
yang disesuaikan dengan Undang-undang
nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan
daerah tingkat II di Sulawesi.
METODE Sebagai suatu kajian ilmiah yang
pembahasannya terfokus pada masa lampau,
maka penulisan menggunakan metode historis,
yaitu suatu metode penelitian yang khusus
digunakan dalam penelitian sejarah dengan
melalui tahapan tertentu. Dalam penerapannya,
metode ini menempuh tahapan-tahapan kerja,
sebagaimana yang dikemukakan oleh
Notosusanto (1971 : 17) yaitu, Heuristik, Kritik
(Sejarah), Intrepretasi, dan Penjajian. Sesuai
dengan metode historis tersebut di atas, maka
langkah proses dalam penelitian dan penulisan
artikel ini adalah :
1. Heuristik
Tahapan ini merupakan langkah awal
dalam penelitian sejarah. Pada tahap ini kegiatan
diarahkan pada penjajakan, pencarian dan
pengumpulan sumber. Adapun langkah yang
ditempuh dalam mengumpulkan sumber sebagai
berikut :
a. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dilakukan dengan
jalan mendatangi lokasi atau daerah yang akan
diteliti untuk mendapatkan data yang lebih
akurat. Tahap pengumpulan data pada kegiatan
lapangan dapat ditempuh dengan cara
wawancara.
Wawancara dapat diartikan sebagai
teknik pengumpulan data dengan mengadakan
tanya jawab dengan orang-orang yang dianggap
mengetahui akan suatu peristiwa yang dibahas.
Dalam melakukan wawancara ini penulis
mengadakan tanya jawab dengan orang-orang
yang terlibat langsung dalam struktur dan
organisasi pemerintahan di Bone baik pada masa
Swapraja maupun pada masa kabupaten.
Dalam melakukan wawancara ini, penulis
tentunya dihadapkan pada berbagai jenis
golongan. Olehnya itu, pelaksanaan wawancara
dibagi dalam dua bagian cara mendapatkan data,
yakni dengan menggunakan informan kunci atau
orang yang mengetahui tentang peranan
bangsawan Bone terhadap perubahan sistem
pemerintahan dari Swapraja ke Kabupaten. Selain
itu peneliti juga menggunakan informan pangkal,
yakni orang yang mampu memberikan informasi
maupun data tambahan tentang apa yang telah
diberikan oleh informan kunci.
Wawancara yang dilakukan oleh penulis,
pada dasarnya bertujuan menciptakan hubungan
yang bebas dan wajar dengan para informan. Hal
ini dimaksudkan agar para informan tidak merasa
terpaksa memberikan keterangan yang diperlukan
oleh penulis. Hasil dari wawancara ini dapat
direkam atau dicatat untuk selanjutnya diperbaiki
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 135-151
139 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
pada saat penyusunan laporan penelitian. Selain
itu peneliti juga menggunakan dokumentasi
penelitian. Hal tersebut dilakukan agar data yang
diperoleh peneliti sifatnya obyektif dan dapat
dipertanggungjawabkan.
b. Penelitian Pustaka
Pada tahap ini penulis berusaha
mengumpulkan sumber-sumber pustaka
berupa buku-buku tentang peranan
bangsawan dan sistem pemerintahan baik
itu pemerintahan pada masa Swapraja
maupun pada masa kabupeten, sumber
tersebut dapat diperoleh pada pemerintah
daerah, toko buku maupun perpustakaan.
Dengan demikian dapat digambarkan
secara jelas mengenai peranan bangsawan
Bone dalam sistem pemerintahan dari
Swapraja ke kabupaten.
Adapun buku-buku yang dikumpulkan
oleh penulis yang tentunya berkaitan
dengan masalah yang akan dibahas
adalah :
a. Bone selayang pandang oleh Andi
Muhammad Ali, Watampone 1985.
b. Sejarah perjungan kemerdekaan RI di
Sulawesi Selatan 1945-1950 oleh Harun
Kadir, penerbit Lephas, Ujung Pandang
1982.
c. Elit dalam perspektif sejarah oleh Sartono
Kartodirjo, penerbit LP3ES, Jakarta 1981.
d. Sejarah pemerintahan di Indonesia Babak
Hindia Belanda dan Jepang oleh Bayu
Suryaningrat, penerbit Dewaruci Press,
Jakarta 1981.
e. Sejarah pemerintahan di Indonesia oleh
Irawan Soejito, penerbit Pradnya Pramita,
Jakarta 1984.
f. Sejarah birokrasi pemerintahan di
Indonesia dahulu dan sekarang oleh P.J.
Suwarno, penerbit Universitas Atmajaya,
Yogyakarta 1989.
2. Kritik Sumber
Pada tahap kritik, sumber yang telah
dikumpulkan pada kegiatan heuristik dilakukan
penyaringan atau penyeleksian. Kegiatan ini
dilakukan untuk menguji sumber melalui kritik
ekstern dan kritik intern. Untuk mengetahui
penjelasan dari kedua aspek tersebut, baik ekstern
maupun intern akan diuraikan sebagai berikut :
Kritik ekstern atau kritik luar dilakukan
untuk meneliti keaslian sumber, apakah
sumber tersebut valid, asli, dan bukan
tiruan, sumber tersebut utuh dalam arti
belum berubah baik bentuk maupun
isinya. Penelitian sumber yang
berkaitan dengan peranan bangsawan
Bone dalam sistem pemerintahan dari
Swapraja ke Kabupaten ditulis setelah
peristiwa tersebut berlangsung, sehingga
kritik terhadap bahan, jenis tulisan gaya
bahasa dari tulisan tidak dapat dilakukan.
Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten, Risma Widiawati
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 140
Kritik ekstern hanya dapat dilakukan
pada sumber yang menjadi rujukan
penulis. Di samping itu penilaian juga
dilakukan terhadap latar belakang
penulis, asal daerah, waktu penulisan
serta memperhatikan apakah diantara
penulis tidak saling mengutip.
Kritik intern atau kritik dalam dilakukan
untuk meneliti sumber yang berkaitan dengan
masalah penelitian dan penulisan artikel peneliti.
Untuk mengetahui keabsahan suatu sumber,
maka dapat dilakukan dengan membandingkan
antara sumber yang satu dengan sumber yang lain
dalam masalah yang sama. Setelah mendapatkan
data yang akurat dan kredibel yang dilakukan
melalui tahap kritik, maka langkah selanjutnya
diadakan interpretasi terhadap fakta sejarah.
3. Interpretasi
Setelah kritik sumber selesai, kemudian
diadakan interpretasi atau penafsiran terhadap
fakta sejarah yang diperoleh dalam bentuk
penjelasan terhadap fakta tersebut seobyektif
mungkin. Dengan demikian sangat diperlukan
kehati-hatian atau integritas seorang penulis
untuk menghindari interpretasi yang subyektif
terhadap fakta. Hal tersebut dimaksudkan untuk
memberi arti terhadap aspek yang diteliti,
mengaitkan antara fakta yang satu dengan fakta
yang lainnya agar ditemukan kesimpulan atau
gambaran peristiwa sejarah yang ilmiah.
4. Penulisan Sejarah atau Historiografi
Penulisan sejarah atau historiogafi ini
merupakan tahap akhir dari seluruh rangkaian
prosedur kerja dari metode historis. Hasil
penulisan tersebut, merupakan hasil dari
penemuan sumber-sumber yang diseleksi melalui
kritik baik ekstern maupun intern, kemudian
diinterpretasi, lalu disintesa yang selanjutnya
disajikan secara deskriptif.
PEMBAHASAN
1) Bangsawan Pada Zaman Swapraja
(1950-1959)
Kedatangan To Manurung
yang melahirkan golongan bangsawan
diterima dengan baik oleh rakyat.
Kelompok bangsawan mempunyai
peranan yang sangat besar sebagai
pemimpin terhadap rakyat rakyat di
Sulawesi Selatan dan kemajuan negeri
(kerajaan) sebelum datangnya pengaruh
bangsa Eropa di Sulawesi Selatan.
Sebagai kelompok yang berpengaruh
terhadap rakyat pengikutnya, maka
kelompok bangsawan ini tidak lepas dari
penilaian rakyat tempat bangsawan
tersebut berpengaruh.
Dalam masyarakat berlaku
norma aristokrasi yang menggariskan
perlakuan masyarakat kepada kelompok
bangsawan oleh masyarakat biasa seperti
dipuja, sehingga kedudukan yang
demikian ini, kelompok bangsawan
diperlakukan secara istimewa dalam
masyarakat sebagai golongan yang
berdarah biru. Sebagai kelompok
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 135-151
141 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
pemegang kekuasaan tentunya kehidupan
dan masa depannya terjamin, karena
mereka memperoleh jabatan sesuai
dengan tingkat kebangsawanannya.
“Dalam sistem kenegaraan masyarakat
tradisonal Sulawesi Selatan, termasuk di
Bone, status sosial seseorang dipengaruhi
secara langsung atas bebagai jabatan-
jabatan dalam kenegaraan” (Palimmei,
wawancara tanggal 27 Juni 2017).
Kaum bangsawan meskipun
sedikit namun mereka memperoleh
perlakuan istimewa dalam masyarakat.
Pekerjaan dalam bidang pemerintahan
merupakan hak istimewa kaum
bangsawan yang secara internal masih
dapat dibedakan dalam berbagai derajat
dan lapisan. Meskipun kedudukan raja
(bangsawan) dalam kerajaan-kerajaan
Bugis dan Makassar termasuk di kerajaan
Bone dipilih berdasarkan keturunan,
namun ketentuan dan pemilihannya lebih
banyak ditetapkan oleh Hadat, yang
dalam beberapa peristiwa sejarah dapat
berbeda dengan keinginan raja sendiri
mengenai calon penggantinya.
Palace of the Sultan of Bone, c. 1900-1920 Sumber: www.tropenmuseum.com
Setelah kedatangan bangsa
Eropa di Sulawesi Selatan, khususnya
bangsa Belanda, maka pemerintahan
sehari-hari dilaksanakan oleh Belanda.
Namun dalam pelaksanaan pemerintahan
sehari-hari pihak Belanda masih sering
mengalami hambatan-hambatan dari
rakyat yang dipelopori oleh para
Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten, Risma Widiawati
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 142
bangsawan yang tidak senang terhadap
penjajahan Belanda. Kedudukan
bangsawan yang sangat kuat itu, harus
dengan cepat diperhitungkan oleh
Belanda yang kebijaksanaan aslinya
adalah menyerang para bangsawan atau
penguasa dengan harapan dapat menarik
simpatik dari bawahan mereka yang
tertekan.
Salah satu usaha Belanda yang
menghasilkan keuntungan bagi Belanda
selanjutnya adalah dengan usaha
memberikan pemerintahan sendiri kepada
bangsawan yang disetujui oleh Gubernur
Selebes waktu itu (S.L. Couvereur).
Daerah swapraja diberi kebebasan untuk
melestarikan pemerintahan tradisionalnya
dengan batasan-batasan yang ditetapkan
dalam kontrak panjang dan pernyataan
pendek. Sedangkan untuk
mengintegrasikan dengan pemerintahan
pusat, Belanda menempatkan pejabatnya
di daerah-daerah yang bersangkutan.
Pejabat-pejabat tersebut dapat berpangkat
Gubernur, Resident, Asisten Resident dan
Controleur, tergantung pada besar
kecilnya daerah swapraja yang
diawasinya. Pejabat Belanda tersebut
bertugas mengawasi dan mendampingi
pemerintahan tradisional.
Pada tahun 1931, Gubernur
Selebes memberikan kesempatan kepada
bangsawan atau pemuka rakyat untuk
membentuk pemerintahan sendiri yang
disebut zelfbestuur landschap atau yang
dikenal dengan swapraja untuk tiap
kerajaan termasuk kerajaan Bone. Setelah
terbentuknya pemerintahan zelfbestuur
Bone yang dipimpin oleh seorang
Tomarilaleng dengan Hadat Tujuhnya,
maka pada tanggal 2 April 1931
dilantiklah La Tenri Sukki Andi
Mappanyukki sebagai Raja Bone, ia tetap
harus melaporkan segala kegiatan
pemerintahannya kepada Controleur
namun ia tetap berusaha menjaga
pertentangan yang terjadi antara
pemerintahan tradisionalnya dengan
pemerintahan Hindia Belanda
(Rismawidiawati, 2016: 203-204).
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 135-151
143 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
Dewan Hadat Tujuh (Ade Pitue Bone)
Sumber: www.KITLV.com
Kembalinya Andi Mappanyukki menjadi
raja Bone setelah 25 tahun tidak berarti
bahwa pemerintahan modern yang
sebelumnya telah diperkenalkan oleh
Pemerintah Hindia Belanda tidak berlaku.
Pemerintah Hindia Belanda
memberlakukan aturan cukup ketat dalam
hal pengangkatan seseorang di dalam
pemerintahannya. Walaupun banyak
bangsawan karena kemampuan dan
kecakapannya mampu menduduki jabatan
seperti regent (Mappangara, 2004: 183).
Kepala dan penguasa yang
lebih tinggi secara kurang mencolok
berada di bawah pemerintahan Eropa
dalam urutan hierarki, karena
ditempatkan dalam suatu hierarki paralel
di bawah bimbingan pegawai sipil
kolonial. Dalam satu hal ada pemisahan
antara kewibawaan dan kekuasaan.
Kewibawaan tetap berada di tangan
penguasa tradisional (bangsawan)
sekalipun kekuasaan di tangan
Pemerintahan Hindia Belanda. Para
penguasa tradisional tidak mempunyai
kekuasaan untuk bertindak atas
prakarsanya sendiri tanpa persetujuan
dari pemerintah Belanda. Para pegawai
pemerintah kolonial kekurangan
kewibawaan atas penduduk dan
Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten, Risma Widiawati
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 144
bergantung pada kerjasama dengan
masyarakat setempat untuk memastikan
kepatuhan rakyat terhadap perintah-
perintah pemerintah.
Khusus kaum bangsawan di
Sulawesi Selatan termasuk di daerah
Bone dapat dilihat peranan dan
keterlibatannya dalam proses perjuangan
membela negara melawan Belanda,
mempunyai andil yang sangat besar dan
berarti hingga terwujudnya proklamasi
kemerdekan RI tanggal 17 Agustus 1945.
Sampai pada periode Andi Mappanyukki
di zaman revolusi 1945, raja dan rakyat
Sulawesi Selatan terus menerus
melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Konsekuensi dari perjuangan Andi
Mappanyukki dan putranya Andi
Pangerang Petta Rani di zaman revolusi
1945, Andi Mappanyukki kemudian
ditahan oleh Belanda bersama putranya
dan kemudian diasingkan ke Rantepao.
Tahta Andi Mappanyukki sebagai raja
Bone yang dilantik oleh Belanda pada
tahun 1931 dicopot dari tangannya.
Kemudian Belanda mengangkat raja
Bone untuk menggantikan Andi
Mappanyukki.
Namun demikian Andi
Mappanyukki sendiri telah
mengundurkan diri pada tahun 1946 dari
jabatannya karena tidak mau bekerjasama
dengan Belanda, kemudian ia diasingkan
ke Rantepao Tana Toraja. “Selanjutnya
Belanda mengangkat Andi Pabbenteng
sebagai Raja Bone seorang lawan politik
Andi Mappanyukki dan bersedia
bekerjasama dengan pemerintah Belanda”
(Andi Mappasissi Petta Awangpone,
wawancara tanggal 27 Juni 2017).
Andi Pabbenteng diangkat
menjadi raja Bone pada tanggal 19 Juni
1946, sekaligus sebagai kepala keamanan
kerajaan Bone oleh Belanda. Andi
Pabbenteng mulai menanamkan
kedisiplinan selaku seorang pemimpin,
juga mengembalikan harga dirinya
setelah diasingkan oleh raja Andi
Mappanyukki. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Kadir (1994 : 57)
sebagai berikut :
Program kerja yang paling utama pada awal pemerintahannya adalah menciptakan keamanan dalam kerajaan Bone. Cara kedisiplinan dalam memimpin meyebabkan para pengikut Andi Mappanyukki mulai dari raja-raja kecil sampai pada pegawai-pegawai dan sebagian aparat kerajaan bergeser secara bertahap mengikuti kepala keamanan yang baru ini.
Namun pada 2 Maret 1953, Andi
Pabbenteng dan seluruh anggota dewan adat tujuh
melepaskan jabatan. Walaupun demikian ada juga
sumber yang mengatakan bahwa Andi
Pabbenteng dipecat sebagai raja Bone karena
rakyat sudah tidak menghendakinya lagi karena
dianggap bekerja sama dengan Belanda
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 135-151
145 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
walaupun. Hal ini tentu masih butuh penelitian
lebih lanjut (Rismawidiawati, 2016: 208).
Terlepas dari kontroversi kedudukannya sebagai
raja yang bekerjasama dengan Belanda, Andi
Pabbenteng dimasanya mampu membawa
keamanan di tanah Bone. Andi Mappanyukki
akhirnya dikembalikan lagi menjadi Kepala
Daerah dan rakyat masih menyebutnya Raja
Bone.
Kharisma dan kewibawaan Andi
Mappanyukki di kalangan bangsawan
tidaklah perlu diragukan lagi. Dia secara
tidak resmi menjadi pimpinan di
kalangan penguasa-penguasa feodal di
Sulawesi Selatan. Dengan posisinya ini
Andi Mappanyukki dapat pula dikatakan
sebagai tokoh sentral di kalangan kaum
aristokrat. Gagasan dan nasihatnya
terhadap kelompoknya, umumnya
didengarkan dan tentu saja diikuti.
Kelompok bangsawan
meskipun menduduki posisi sebagai elite
strategis di masyarakat atau dalam
struktur sosial sebagai pemimpin puncak
dalam struktur politik atau kekuasaan
tidaklah memiliki kekuasaan yang
bersifat mutlak. Tingkah laku raja dan
bangsawan dibatasi oleh norma sosial
yang telah disepakati bersama dalam
perjanjian pemerintahan dan kontrak
sosial dalam terbentuknya swapraja.
Sejak Belanda menduduki
wilayah Sulawesi Selatan mulai
berdirinya VOC sampai runtuhnya dan
digantikan secara langsung oleh
pemerintah kerajaan Belanda, raja dan
kelompok bangsawan tidak pernah
berhenti berjuang melawan Belanda.
Demikian pula rakyat selalu mendukung
dan membantu secara langsung.
Demikian juga dalam perjuangan
kemerdekaan, kelompok bangsawan
Sulawesi Selatan telah berperan sebagai
pendukung nasionalisme. Dengan
demikian kelompok bangsawan dalam
peranannya sebagai pendukung
nasionalisme tidak hanya memberikan
kemudahan berupa sumbangan untuk
kepentingan tetapi juga menjadi
pemimpin dalam operasi militer melawan
Belanda.
Seperti yang dilakukan oleh
Andi Mappanyukki sebagai Raja Bone
ke-32 dengan putranya Andi Pangerang
Petta Rani, yang berpihak kepada
Republik tanpa memperdulikan tahtanya,
yang bagi kelompok bangsawan lainnya
mungkin sukar untuk ditinggalkan dalam
menjatuhkan putusan untuk tetap setia
kepada Republik. Tetapi bagi Andi
Mappanyukki yang berpatriotik dan
nasionalistik ini bukanlah menjadi
kendala dalam mendukung perjuangan
Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten, Risma Widiawati
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 146
untuk mencapai dan mempertahankan
kemerdekaan.
2) Bangsawan Pada Masa Kabupaten
(1959-1960)
Bangsawan setelah peralihan
dari swapraja ke kabupaten masih besar
pengaruhnya dalam masyarakat.
Pengelolaan atas dasar keturunan di
Sulawesi Selatan termasuk di Bone
setelah berbentuk kabupaten sudah jauh
berbeda dengan keadaan disaat masih
jayanya tradisi kerajaan, di mana hampir
semua bidang kekuasaan dimonopoli oleh
kaum bangsawan. Dalam hal ini terdapat
dua pandangan yang sangat berbeda satu
dengan yang lain.
“Pertama, dari sekelompok
kecil kaum bangsawan yang kebetulan
berpendidikan rendah yang menganggap
bahwa masyarakat masih menghargai
pembagian golongan manusia
berdasarkan atas keturunan” (Mukhlis,
1982: 56). Artinya rakyat biasa tetap
tunduk dan mengharagai keturunan
seperti sedia kala. Bahkan masih ada dari
kelompok-kelompok yang beranggapan
bahwa di suatu saat nanti kebesaran
kerajaan akan muncul kembali.
Pandangan kedua, terdapat
dalam kalangan masyarakat luas baik dari
kalangan rakyat biasa maupun dari
golongan bangsawan yang berpendidikan
relatif lebih tinggi. Kelompok ini
menganggap bahwa tidak ada lagi
penggolongan atas keturunan tersebut,
dengan alasan bahwa dengan proklamasi
kemerdekaan sesuai dengan azas
demokrasi yang dianut tidak lagi diakui
pengelompokan secara ketat berdasarkan
keturunan.
Sulawesi Selatan adalah suatu
masyarakat yang seringkali digambarkan
sebagai masyarakat feodal atau
tradisional. Sulawesi Selatan merupakan
suatu masyarakat dengan karakter
bangsawan yang kuat dan juga
mempunyai ketaatan yang kuat terhadap
aturan hukum adat. “Selain itu Sulawesi
Selatan merupakan masyarakat yang
bercirikan persaingan ketat, di mana
seseorang dinilai tidak hanya statusnya
yang diperkirakan, tetapi juga oleh
kualitas pribadinya (Harvey, 1989: 19).
Khusus kaum bangsawan di
Sulawesi Selatan utamanya di daerah
Bone dapat dilihat peran dan
keterlibatannya dalam proses perjuangan
membela negara melawan penjajah,
mempunyai andil yang besar dan berarti
hingga terwujudnya proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia 17
Agustus 1945. Dari fakta sejarah, dapat
diketahui bahwa sistem feodalisme atau
kebangsawanan yang hidup di Sulawesi
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 135-151
147 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
Selatan, dijiwai oleh unsur dan semangat
demokrasi. Menurut Abdullah (1990: 52)
sebagai berikut :
Di mana raja atau kelompok bangsawan meskipun menduduki posisi sebagai elit strategis di masyarakat atau dalam struktur politik atau kekuasaan, tidaklah memiliki kekuasaan yang bersifat mutlak. Semua tingkah laku bangsawan sebagai seorang raja serta kekuasaannya telah dibatasi bersama dengan perjanjian pemerintahan atau dalam kontrak sosial sejak terbentuknya organisasi kenegaraan mereka.
Namun demikian, meskipun
telah hidup dalam sistem feodalisme
selama ratusan tahun tetapi sistem
feodalisme tidaklah menjadikan
kehidupan mereka terikat terhadap tradisi
yang mematikan atau beku. Juga tidak
menyebabkan hidup mereka di
masyarakat dieksploitir oleh sistem yang
berlaku, tidak mematikan unsur
kreativitas individu atau mematikan
pengembangan daya cipta dan tidak
membuat hati anggota masyarakat terikat
dan diliputi oleh perasaan ketegangan.
Kondisi kehidupan yang demikian
tercipta karena kelompok penguasa yang
memimpin masyarakat dikontrol
langsung oleh setiap kebijaksanaannya
oleh rakyat.
Sampai pada pendudukan
kolonial Belanda dan terbentuknya
daerah-daerah swapraja di Sulawesi
Selatan, bangsawan setempat tetap
diberikan kedudukan sebagai kepala dari
daerah-daerah yang berpemerintahan
sendiri. Di daerah-daerah yang dikuasai
secara tidak langsung oleh Belanda para
bangsawan mendapat pengakuan formal
lebih banyak mengenai kedudukannya
daripada daerah-daerah yang dikuasai
langsung. Tetapi mereka tidak
mempunyai kekuasaan nyata dan
kebebasan karena dikuasai Belanda.
Residen dan controlir adalah penguasa
yang sesungguhnya.
Dalam babakan terakhir
perjuangan mencapai kemerdekaan,
kelompok aristokrat/bangsawan di
Sulawesi Selatan telah melibatkan diri
secara langsung dalam bebagai aksi
perjuangan fisik yang dipimpinnya
bersama rakyat. Peranan Andi
Mappanyukki yang waktu itu masih
menjabat sebagai raja Bone ke-32 dengan
putranya Andi Pangerang Petta Rani
dapat dilihat bahwa kedua tokoh ini
berperan sebagai patriotik yang
konsukuen pada pendiriannya berpihak
pada republik di bawah kepemimpinan
Soekarno-Hatta. Tahtanya yang oleh
kelompok aristokrat lainnya mungkin
sukar untuk ditinggalkan dalam
menjatuhkan pilihan untuk setia kepada
republik, tetapi Andi Mappanyukki
bukanlah menjadi kendala dalam
Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten, Risma Widiawati
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 148
mendukung perjuangan untuk mencapai
dan mempertahankan kemerdekaan.
Demikian pula dengan kebebasannya
sebagai manusia biasa yang memiliki
atribut kebangsawanan dengan status
puncak di masyarakat bukanlah
merupakan masalah baginya untuk tetap
konsukuen dalam perjuangannya.
Bone yang menjadi
kekuasaannya telah dijadikan sebagai
salah satu pusat gerakan nasionalisme
yang penting untuk kawasan Sulawesi.
Dari kawasan Bone inilah semua kegiatan
dalam konteks menghimpun gerakan
perjuangan rakyat menjelang revolusi
1945 digerakkan. Kemudian dampaknya
memang besar karena dari Bone pengaruh
gerakan itu tersebar luas di kawasan
kekuasaan para bangsawan lainnya. Andi
Mappanyukki secara tidak resmi menjadi
pimpinan di kalangan penguasa-penguasa
feodal di Sulawesi Selatan.
Tampaknya, budaya panutan
dalam masyarakat Sulawesi Selatan di
zaman perang kemerdekaan masih sangat
kuat berperan dalam kehidupan mereka.
Ini dapat dibuktikan dari tingkah laku
masyarakat yang patuh sepenuhnya
kepada apa yang dinyatakan dan
diperintahkan oleh bangsawannya.
Kelompok bangsawan yang menjadi
panutan itu menerima pengabdian total
para pendukungnya dalam kaitannya
memberikan dukungan penuh pada
republik.
Setelah kemerdekaan, dan
daerah Bone menjadi kabupaten, maka
peranan bangsawan masih tetap
diperhitungkan. Namun tidak lagi seperti
pada masa pemerintahan swapraja, di
mana yang memegang peranan penting
semua dari kalangan bangsawan dan
diperoleh secara turun temurun. Derajat
kebangsawanan bukanlah merupakan
ukuran untuk menentukan tingkat strata
masyarakat sosial yang tertinggi, tetapi
ada kalanya ditentukan oleh kedudukan,
kekuasaan dan peranannya dalam
masyarakat termasuk pendidikan,
demikian pula dengan keadaan ekonomi
sangat menentukan adanya tingkat strata
sosial masyarakat Bone.
Dalam hal ini sistem
pengangkatan pimpinan pemerintahan
bukan lagi semata-mata didasarkan pada
derajat dan keturunan kebangsawanan
pada masa lampau, akan tetapi juga
didasarkan pada tingkat kemampuan dan
kecerdasan untuk memimpin dan
menjalankan tugas-tugas yang
dibebankan padanya, dalam hal ini
ditentukan juga oleh tingkat pendidikan.
Kenyataan yang demikian itu
menimbulkan kecendrungan untuk
menghilangkan nilai-nilai kebang-
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 135-151
149 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
sawanan terutama dalam proses
pelaksanaan pemerintahan.
Namun dalam masyarakat
Bone masih tetap diperhatikan kriteria-
kriteria sosial yaitu berdasarkan derajat
dan keturunan di masa lampau,
berdasarkan kedudukan atas kekuasaan
dan perannya dalam masyarakat termasuk
tingkat pendidikan, dan berdasarkan
keadaan ekonominya. Bukan lagi semata-
mata didasarkan pada derajat
kebangsawanannya.
Namun secara keseluruhan
perilaku para birokrat di Sulawesi Selatan
termasuk di daerah Bone masih sangat
kuat diwarnai oleh semangat aristokratis.
“Keadaan ini sebenarnya merupakan
bagian yang melekat dalam kultur
setempat dan pada tingkat tertentu
malahan menguntungkan organisasi.
Karena dengan semangat itulah pula
kewibawaan, pengaruh dan efektivitas
kepemimpinan atasan terpelihara”.
Dalam persepsi masyarakat Bugis dan
Makassar, para aristokrat itu memang
merupakan pimpinan yang sebenarnya
dan oleh karena itu, semangat
kekuasaannya dirasakan masih layak
dilanjutkan. Karena birokrasi
pemerintahan tempat kekuasaan itu
dikelola, maka tidak mengherankan jika
perilaku aristokratis itu tampak secara
luas di kalangan birokrat.
Namun demikian banyak
masyarakat dari rakyat biasa yang
mengakui bahwa keturunan bangsawan
yang terdidik dan berbudi baik masih
sangat besar pengaruhnya dalam
masyarakat, bahkan lebih berwibawa
daripada pimpinan formal yang
menduduki suatu jabatan tertentu di
dalam pemerintahan. Tetapi dengan
mengandalkan kebangsawanannya saja,
kecuali di tempat atau di daerah tertentu
di pedesaan, tak mungkin memiliki
pengaruh yang besar di dalam
masyarakat.
Golongan bangsawan di
daerah Bone, khususnya di pedesaan
memang masih berpengaruh terutama di
lingkungan keluarga mereka. Terutama
dikalangan orang tua, masih tampak
penghargaan yang berlebihan terhadap
golongan bangsawan ini. Menyatunya
nilai kekuasaan tradisional dengan
pimpinan formal di Sulawesi Selatan
memang berakar pada kenyataan historis
yang memperlihatkan bahwa pengaruh
aristokrasi tidak pernah tergeser.
Kenyataan historis itu terbentuk tidak
hanya karena sebagian besar pimpinan
formal berasal dari keluarga bangsawan
yang memerlukan respek tradisional itu
dan membangun citra diri sebagai
bangsawan-bangsawan baru.
Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten, Risma Widiawati
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 150
Posisi para penguasa
tradisional di Sulawesi Selatan termasuk
di daerah Bone memang tidak pernah
tergoyahkan sepanjang perjalanan
sejarahnya. Setelah perjanjian Bungaya,
hadirnya kekuasaan Belanda di daerah ini
pun tidak mampu menerobos sendi-sendi
kekuasaan lokal yang telah ada sejak
lama. Konflik yang ditimbulkan oleh
pemberontakan DI/TII di bawah
pimpinan Kahar Muzakkar yang salah
satui targetnya adalah meruntuhkan
kekuasaan dan pengaruh kaum
bangsawan, ternyata juga gagal mencabut
akar-akar aristokrat yang sudah tumbuh
ratusan tahun itu.
Secara umum peranan
bangsawan setelah terbentuknya
kabupaten tidak jauh berbeda, di mana
masih banyak bangsawan-bangsawan
yang memegang kekuasaan. Andi
Mappanyukki yang menjadi kepala
daerah pertama merupakan profil
bangsawan yang mampu memimpin
masyarakat dan diterima dengan baik
oleh masyarakat. Namun tidak sedikit
pula rakyat umum memegang jabatan
dengan berdasarkan pada tingkat
pendidikan.
PENUTUP
Andi Mappanyukki
merupakan tokoh sentral di kalangan
kaum aristokrat. Gagasan dan nasehatnya
terhadap kelompoknya, umumnya
didengarkan dan tentu saja ditakuti.
Setelah peralihan dari swapraja ke
kabupaten peranan bangsawan masih
tetap diperhitungkan. Namun tidak lagi
seperti pada masa sebelum peralihan, di
mana pemerintahan dikuasai oleh
raja/aristokrasi. Derajat kebangsawanan
bukanlah merupakan ukuran untuk
menentukan tingkat strata masyarakat
sosial yang tertinggi, tetapi ada kalanya
ditentukan oleh kedudukan, kekuasaan
dan peranannya dalam masyarakat
termasuk pendidikan, demikian pula
dengan keadaan ekonomi sangat
menentukan adanya tingkat strata sosial
masyarakat Bone. Selain karena struktur
pemerintahannya memang berbeda juga
karena proses pengangkatan kepala
pemerintahan juga berbeda. Struktur
pemerintahan lama masih merupakan
model pemerintahan NIT yang ketika itu
berlaku, misalnya masih ada jabatan
residen dan kontrolir yang dijabat oleh
orang-orang yang berkebangsaan
Belanda. Sedangkan untuk daerah
swapraja masih ditempatkan penguasa
pribumi. Namun secara umum peran
bangsawan setelah masa peralihan tidak
jauh berbeda, di mana masih banyak
bangsawan yang memegang kekuasaan,
namun adapula rakyat yang memegang
jabatan.
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 135-151
151 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (ed). 1990. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: UGM Press.
Ali, Andi Muhammad. 1986. Bone Selayang Pandang. Watampone: Kantor Dikbud Kabupaten Bone.
Harvey, Barbara Sillars. 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar dari Tradisi ke DI/TII, Jakarta : Grafiti Press.
Kadir, Harun. 1982. Sejarah Perjungan Kemerdekaan RI di Sulawesi Selatan 1945-1950, Ujung Pandang : Lephas.
Kadir, Umar. 1994. Perjuangan Badan Pemberontakan Rakyat Bone, Ujung Pandang: UNHAS.
Kartodirjo, Sartono. 1981. Elite Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES.
Mappangara, Suriari. 2004. Kerajaan Bone dalam Sejarah Politik Sulawesi Selatan Abad XIX. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan.
Mukhlis, Paeni dan Kathryn Robinson. 1985. Politik dan Kekuasaan di Desa, Ujung Pandang : Lephas.
Notosusanto, Nugroho. 1971. Norma-Norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah, Jakarta : Dephankam.
Rismawidiawati. 2016. Andi Pabbenteng, Raja Bone XXXIII: Hubungannya dengan Belanda (1946 – 1951) dalam Walasuji Volume 7 Nomor 1 Juni 2016, hlm. 199 – 210.
Soejito, Irawan. 1984. Sejarah Pemerintahan di Indonesia, Jakarta : Pradnya Pramita.
Suryaningrat, Bayu. 1981. Sejarah Pemerintahan di Indonesia Babak Hindia Belanda dan Jepang, Jakarta : Dewaruci Press.
Suwarno, P.J. 1989. Sejarah birokrasi pemerintahan di Indonesia dahulu dan sekarang. Yogyakarta: penerbit Universitas Atmajaya.
Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten, Risma Widiawati
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 152
153 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
RUMAH TRADISIONAL SUKU KAMORO (Traditional House of Kamoro Tribe)
Rini Maryone
Balai Arkeologi Papua
Jalan Isele, Kampung Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura 99358
e-mail: [email protected]
INFO ARTIKEL
Histori Artikel Diterima: 24 Agustus 2018 Direvisi: 3 September 2018 Disetujui: 5 November 2018
Keywords Traditional hauses, Karapauw kame, Kamoro tribe Kata Kunci Rumah tradisional, Karapauw kame, Suku Kamoro
ABSTRACT
This paper examines the tradisional houses karapauw kame and mitoro pole of the Kamoro in Mimika District. The problems raised in the paper is how the form, function, and cultural velues of tradisional homes karapauw kame and mitoro pole. The metohod used is qualitative method, with inductive reasoning as a minsed in solving problems that have been done before. The results of research houses karapauw kame and mitoro poles are expected to and reference tribal house in Papua in particular and in Indonesia generally.
ABSTRAK
Tulisan ini mengkaji rumah tradisional Karapauw kame dan tiang mitoro pada suku Kamoro di kabupaten Mimika. Adapun permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana bentuk, fungsi dan nilai budaya rumah tradisional karapauw kame dan tiang mitoro. Metode yang di gunakan adalah metode kualitatif, dengan penalaran induktif sebagai pola pikir dalam memecahkan rumusan masalah yang telah diajukan sebelumnya. Diharapkan budaya masa lampau ini dapat direkontruksi lewat data etnografi dari tradisi masyarakat yang masih berlangsung (pendekatan etnoarkeologi). Hasil penelitian rumah tradisional Karapauw kame dan tiang mitoro di harapkan pulah dapat menambah referensi rumah suku yang ada di Papua khususnya dan di Indonesia umumnya.
PENDAHULUAN
Berbicara mengenai rumah
tradisional tidak terlepas dengan
arsitekturnya, arsitertur yang berkaitan
dengan kearifan lokal suatu suku. Ilmu
Arsitektur mempelajari hal-hal yang
berhubungan dengan bangunan ditinjau
dari segi keindahan sedangkan
membangun dari segi kontruksi disebut
ilmu bangunan (Maryono dkk., 1985 :
18). Dalam ilmu arsitektur secara garis
besar dikenal arsitektur vernakuler
(tradisional) dan arsitektur modern.
Rumah adat merupakan karya arsitektur
tradisional, dan merupakan bagian kajian
dari ilmu arsitektur. Arsitektur
tradisional yang muncul lebih awal dari
arsitektur modern, dalam
pembangunannya dilandasi oleh
kepercayaan setempat yang kuat
sehingga bagian bagian bangunan
Rumah Tradisional Suku Kamoro, Rini Maryone
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 154
mempunyai makna filosofis tertentu.
Dan hal ini berbeda dengan arsitektur
modern yang merupakan pengaruh dari
barat, konsepnya lebih berdasar kepada
unsur praktis, logika, serta dengan
perhitungan matematis (Susetyo, 2009 :
219). Sebagai bangsa yang multietnis,
Indonesia memiliki beragam rumah adat,
salah satunya adalah rumah adat
Karapauw kame suku Kamoro.
Berdasarkan pada uraian di atas
pada kesempatan ini, tulisan yang
penulis angkat adalah rumah tradisional
karapauw kame dan tiang mitoro yang
merupakan situs upacara inisiasi
pendewasaan baik bagi anak laki-laki
dan anak perempuan. Berkaitan dengan
rumah tradisional masyarakat Papua,
sudah beberapa kali dilakukan penelitian
diantaranya: Rumah kaki seribu pada
Suku Hatam di Kabupaten Manokwari
(Mene, 2006). Rumah pohon pada suku
Momuna di Kabupaten Yahukimo
(Maryone, 2015). Penelitian yang
berkaitan dengan rumah tradisional di
Papua juga sudah ditulis oleh antropolog
Universitas Cenderawasih diantaranya
rumah pohon dari Suku Korawai
(Lekito, 2012) dan rumah kaki seribu
(Frank, 2012). Selama ini penelitian
yang bertujuan untuk mengungkapkan
adanya rumah tradisional pada suku
Kamoro di Kabupaten Mimika belum
pernah dilakukan. Melihat hal tersebut,
rumah tradisional karapauw kame dan
tiang mitoro pada suku Kamoro menarik
untuk dikaji lebih lanjut.
Pengertian kata tradisional dalam
hubungannya dengan bangunan
berkenaan dengan bentuk struktur, ragam
hias maupun cara pembuatannya yang
diwariskan turun-temurun, dapat dipakai
untuk melakukan aktivitas kehidupan,
baik kehidupan sehari-hari termaksud
upacara-upacara adat yang ada
hubungannya dengan kalangan keluarga
itu sendiri (Rostyati, 2013 : 240).
Berkaitan dengan rumah Karapauw
kame dan tiang mitoro pada Suku
Kamoro yang dimaksudkan disini adalah
rumah inisiasi tempat pendewasaan bagi
pemuda-pemudi yang baru menanjak
usia dewasa.
Rumah adalah material
kebudayaan, yang dalam kaitan dengan
arsitektur tradisional dapat dipandang
sebagai ungkapan kepribadian
pendukungnya. Rumah sebagai
perwujudan material kebudayaan sangat
dipengaruhi faktor sosio-kultural dan
lingkungannya dimana ia digagas,
dibuat, difungsikan dan dikembangkan.
Perbedaan lokasi dan latar belakang
kebudayaan akan menyebabkan pula
perbedaan wujud arsitektur diantara
rumah tradisional.
Sudah disinggung pada uraian di
atas bahwa rumah tradisional tidak
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 153-168
155 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
terlepas dari pengertian yang melekat
pada arsitektur pada umumnya.
Arsitektur merupakan refleksi seni, ilmu
dan juga teknologi dari pembuatnya.
Menurut Budiarjo (1991 : 70) dalam
(Mahmud, 2010 : 3), bahwa dalam
arsitektur ada tiga aspek yang terkait,
yaitu: kontruksi, kegunaan, dan
keindahan sebagai paduan dari seni, ilmu
dan teknologi itu sendiri.
Sedangkan konsep arsitektur
tradisional adalah pernyataan bentuk
sebagai hasil dari suatu hasrat untuk
menciptakan lingkungan dan ruang
hidup untuk kelangsungan hidup sesuai
kaidah yang diakui bersama (Mahmud,
2010 : 48). Menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia, arsitektur adalah seni
dan ilmu merancang serta membuat
konstruksi bangunan. Arsitektur juga
berarti metode dan gaya rancangan suatu
kontruksi bangunan. (Hartatik, 2004 :
48).
Dapat disimpulkan bahwa
pengertian arsitektur secara sederhana
adalah seni membangun yang disertai
kemampuan tenaga dan intelektual
tinggi. Karya arsitektur sebagai produk
merupakan wujud fisik yang secara nyata
dapat dilihat di sentuh, dan dirasakan
kehadirannya dalam masyarakat. Wujud
fisik ini, baik dalam skala bangunan
tinggal maupun sebuah lingkungan
buatan, dapat dipahami sebagai sebuah
artefak. Sebuah karya arsitektur
mengkomunikasi kondisi masyrakat
dimana artefak (rumah tradisional) itu
berada. Artefak merupakan wujud akhir
yang timbul akibat adanya gagasan dan
tindakan dalam suatu kebudayaan.
Dalam konsep sistem budaya wujud
akhir di sebut wujud fisik yang berada
pada bagian terluar dari lingkaran
konsentris kerangka kebudayaan
(Koentjaraningrat, 1993 : 92).
Dari defenisi-defenisi tersebut
tampak bahwa arsitektur yang tepat
dalam suatu pembahasan harus diketahui
pula dalam hubungan apa istilah
arsitektur ini dipakai. Dalam tulisan ini
arsitektur dalam kaitannya dengan
sumberdaya arkeologi, berfokus pada
bangunan rumah tradisional yang terdiri
atas bentuk, fungsi, dan nilai budaya.
Arsitektur merupakan cerminan budaya
bangsa, sebagai warisan kultural yang
wajib dilestarikan. Dengan melihat latar
belakang artikel ini mengenai rumah
tradisional maka adapun permasalahan
yang akan diungkapkan adalah
bagaimana bentuk fungsi dan nilai
budaya rumah tradisional Karapauw
kame dan tiang mitoro suku Kamoro?.
Sesuai dengan permasalahan
yang dikemukakan di atas adapun tujuan
dari artikel ini adalah untuk mengetahui
bentuk, fungsi dan nilai budaya rumah
tradisional Karapauw kame dan tiang
Rumah Tradisional Suku Kamoro, Rini Maryone
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 156
mitoro suku Kamoro. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif, dimana
tidak memakai prosedur statistik atau
bentuk hitungan lainnya. Alasan
menggunakan metode kualitatif
diantaranya karena fenomena budaya
dalam kehidupan masyarakat terkadang
tidak bisa dipahami secara mendalam
kalau tidak menggunakan metode
kualitatif Ini. Misalnya unsur sejarah,
tingkah laku, dan aktivitas sosial lainnya,
sehingga fenomena yang lebih tepat jika
menggunakan penelitian kualitatif.
Dalam penulisan ini pula
menggunakan dua jenis data yakni data
primer dan data sekunder. Data primer
ialah data yang diperoleh dari lapangan
melalui observasi lapangan terhadap
objek yang diteliti yaitu rumah
tradisional, karapauw kame, dan tiang
mitoro, pada Suku Kamoro. Dalam
observasi lapangan ini tidak lupa juga
dilengkapi dengan wawancara.
Wawancara dilakukan dengan beberapa
narasumber guna mendapat informasi
tentang rumah tradisional Karapauw
kame, dan tiang mitoro. Data sekunder
yaitu data yang diperoleh melalui studi
kepustakaan, yakni melakukan
pengumpulan data tertulis yang
berhubungan dengan penulisan mengenai
rumah tradisional, dari referensi buku-
buku yang berkaitan dengan rumah
tradisional suku-suku yang ada di
Indonesia. Selain melakukan
pengumpulan buku-buku yang berkaitan
dengan rumah tradisional juga dilakukan
brosing lewat internet, sehingga data-
data tersebut dapat di kaji sebagai
langkah awal dalam mempersiapkan
kerangka pemikiran yang berhubungan
dengan penulisan ini.
Dalam interpretasi, penelitian ini
menggunakan penalaran induktif sebagai
pola pikir dalam merumuskan jawaban
masalah yang telah diajukan. Penalaran
induktif bergerak dalam kajian fakta-
fakta atau gejala-gejala khusus kemudian
disimpulkan sebagai gejala yang bersifat
umum atau generalisasi impiris
(Tanudirdjo, 1988-1989 : 34 dalam
Darojah, 2013 : 35) dengan penalaran
induktif diharapkan budaya masa lampau
dapat direkontruksi lewat data etnografi
dari tradisi masyarakat yang masih
berlangsung (pendekatan etnoarkeologi).
PEMBAHASAN
Mimika didiami oleh tujuh
suku asli, dua suku besar yaitu
Amungme yang mendiami wilayah
pegunungan dan Kamoro di wilayah
pantai. Selain kedua suku tersebut
masih ada lima suku kekerabatan
yaitu, Dani/Lani, Damal, Mee, Nduga
dan Moni. Kabupaten Mimika saat ini
memiliki 12 distrik yaitu Distrik
Mimika Timur, Mimika Timur
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 153-168
157 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
Tengah, Mimika Timur Jauh, Mimika
Barat, Mimika Barat Tengah, Mimika
Barat Jauh, Mimika Bbaru, Kuala
Kencana, Tembagapura, Agimuga,
Jila dan Jita.
Wilayah Kabupaten Mimika memiliki
topografis dataran tinggi dan dataran
rendah. Distrik yang bertopografis
dataran tinggi adalah Tembagapura,
Agimuga dan Jila. Distrik Mimika Baru,
Kuala Kencana, Tembagapura dan Jila
adalah distrik yang tidak memiliki pantai
sedangkan Distrik Mimika Barat,
Mimika Barat Tengah, Mimika Barat
Jauh, Agimuga dan Jita sebagian wilayah
berbatasan dengan laut, sehingga distrik-
distrik ini memiliki pantai.
Suku Kamoro hidup pada wilayah
sepanjang 300 kilometer di pesisir
selatan, diantaranya Sungai Otakwa
dan Teluk Etna, di sebelah barat batas
geografis. Mulai dari Teluk Etna di sisi
barat, wilayah mereka mencapai tepat di
luar Timika pada bagian timur.
Kelompok ini terdiri atas 18.000 jiwa,
tersebar di sekitar 40 kampung. Sebagian
besar dari kampung-kampung ini terletak
di pesisir, sebagian kampung-kampung
lainnya ditemukan masuk lebih dalam,
dimana gunung-gunung jauh dari Laut
Arafura (Muller, 2010:159).
Keadaan alamnya berawa-rawa
dan beriklim tropis, sebagian besar
masyarakatnya bermata pencaharian
utama meramu sagu, menangkap ikan di
laut, rawa-rawa, dan sungai. Suku ini
juga suka berburu untuk mendapatkan
makanan. Jenis hewan yang terutama
diburu adalah babi liar, kasuari dan
kuskus. Hewan lain termasuk ikan,
buaya air tawar dan buaya laut, kadal
bakau dan beragam jenis burung baik
untuk dikonsumsi telur maupun
dagingnya, mereka juga mengkomsumsi
koo/ ulat sagu dan tambelo/cacing.
Peta 1 Peta Kabupaten Mimika, Papua
Rumah Tradisional Suku Kamoro, Rini Maryone
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 158
Alat-alat yang digunakan dalam
memenuhi aktivitas mata pencaharian
hidup mereka adalah dalam aktivitas
menangkap hewan-hewan seperti kura-
kura, ikan hiu dan ikan besar lainnya
biasanya mereka menggunakan seruit
dan jala. Mereka juga sudah mengenal
teknik memancing dan berburu ikan
dengan menggunakan sumpit dan
tombak/apoko. Mereka menangkap babi
hutan dengan menggunakan jerat, atau
diburu dengan menggunakan anjing-
anjing/koware-wiri, lembing atau
tombak/apoko. Mereka menggunakan
alat untuk menokok sagu yaitu pangkur
sagu/wapiri.
Disamping kepercayaan orang
Kamoro kepada nenek moyang bersifat
animistis, mereka juga percaya pada
kekuatan sakti yang ada dalam segala hal
yang luar biasa dan terdiri dari kegiatan-
kegiatan keagamaan yang berpedoman
pada kepercayaan mereka, yang di kenal
dengan kepercayaan yang bersifat
dinamisme (Prasetyo, 2004 : 163). Di
dalam kehidupan dan budaya orang
Kamoro pohon memiliki kedudukan
penting di dalam aspek kehidupan
mereka. Sebab pohon bagi orang Kamoro
dipakai sebagai media untuk mengukir
dan memahat. Semua tumbuhan/ pohon-
pohon, binatang dan benda-benda
mempunyai jiwa, sehingga pada semua
pohon/ tumbuh-tumbuhan, binatang dan
benda-benda diberikan nama dari salah
satu moyang mereka. Pohon dan binatang
dikaitkan dengan otepe, yang dimaksud
dengan otepe adalah kepercayaan kepada
totemisme.
Bahasa dan budaya mereka mirip
dengan suku Asmat, diperkuat dengan
adanya berbagai legenda migrasi dari
arah timur ke barat. Beberapa fakta
linguistik dan gaya seni menunjukan
adanya kemungkinan migrasi dari utara
Nugini. Bahasa Kamoro memiliki enam
dialek yang dapat saling dimengerti
merupakan bagian dari keluarga bahasa
Asmat-Kamoro yang mencakup suku
Sempan (Maryone, 2013 : 15).
Terkait dengan judul di atas
mengenai rumah tradisional suku Kamoro
yaitu karapauw kame dan tiang mitoro,
merupakan suatu adat istiadat dan
kepercayaan suku Kamoro yang tidak
dapat terpisahkan oleh hidup mereka,
berikut ini akan di uraikan mengenai
bentuk, fungsi dan nilai budaya rumah
tradisional karapauw kame dan tiang
mitoro. Yang ditemukan di Kampung
Atuka, Distrik Mimika Timur, Kabupaten
Mimika.
Bentuk Rumah Karapauw kame
Suku di Indonesia yang memiliki
konsep rumah tradisional salah satunya
adalah Suku Kamoro. Rumah tradisional
Suku Kamoro yaitu Karapauw kame
memiliki kemiripan dengan berbagai tipe
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 153-168
159 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
yang ada di Papua yang menjadi ciri khas
rumah berpanggung, berbenrtuk persegi
panjang.
Rumah panggung merupakan
salah satu ciri dari arsitektur yang sangat
umum ditemukan pada rumah tradisional
di wilayah Indonesia meliputi dataran
tinggi maupun pesisir dari dulu hingga
kini. Hal ini yang menarik dari sebuah
rumah panggung adalah latar belakang
penghuninya yang memiliki cara hidup
berbeda dan tinggal pada bentang
wilayah hunian yang berbeda. Tentunya
ada factor khusus yang menjadikan
kesamaan arsitektur (Wiradnyana, 2009 :
55).
Bentuk rumah setiap suku-suku
yang ada di dunia khususnya Suku
Kamoro dapat mewakili pengetahuan
manusia mengenai teknologi, sistem
ekonomi, iklim, material dan organisasi
sosial suatu masyarakat. Mempelajari
rumah yang masih menyimpan arsitektur
tradisional sebagai bukti adanya budaya
kompleks suatu kelompok manusia, maka
aspek-aspek lain dalam kehidupan
manusia dapat pula diungkap (Raport,
1969 : 40).
Rumah karapauw kame dan tiang
mitoro sudah menjadi bagian dari
kehidupan suku Kamoro, sejak ratusan
tahun silam. Tradisi membangun rumah
karapauw kame dan tiang mitoro bagi
Suku Kamoro telah mangakar dalam
masyarakat ini. Masyarakat tradisional
Kamoro didasari oleh tempat tinggal,
dimana pemukiman-pemukiman mereka
terletak di sungai yang diatur oleh
kelompok mereka. Mereka memiliki
ladang sagu, beserta tempat memancing,
lahan berburu dan mengumpulkan
makanan. Setelah pemukiman semi
permanen yang ditetapkan oleh keputusan
pemerintah, menjadi perkampungan
(semi) permanen. Pada awal tahun 1950,
Jan Pouwer mendata ada 31 kampung,
saat ini ada 40, sejumlah kampung telah
bergabung dan juga terpecah, dan
beberapa penduduk berpindah ke
pemukiman lain.
Fungsi rumah tradisional karapauw
kame
Rumah-rumah suku Kamoro pada
umumnya merupakan rumah
berpanggung, pada kesempatan ini
penulis tidak membahas mengenai
rumah tinggal suku ini tetapi lebih
kepada rumah tradisional karapauw
kame dan tiang mitoro, sebagai rumah
khusus yang digunakan oleh masyarakat
Kamoro dalam mempraktekkan adat
istiadat mereka terutama kepada tempat
(sekolah) pendewasaan seorang anak
laki-laki dan perempuan.
Pada setiap kampung memiliki
rumah tradisional karapauw kame dan
tiang mitoro yang didirikan di tengah-
Rumah Tradisional Suku Kamoro, Rini Maryone
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 160
tengah kampung, yang dibangun 3-4
tahun. Setelah kegiatan inisiasi sudah
selesai dilakukan maka rumah karapauw
kame dan tiang mitoro akan segera
dibongkar. Pada awalnya rumah
tradisional karapauw kame didirikan di
dalam hutan, tempatnya tidak diketahui/
dirahasiakan, seiring perkembangan
waktu didirikan di dalam perkampungan.
Salah satu tradisi yang masih dilakukan
oleh suku Kamoro, adalah inisiasi
(sekolah pendewasaan). Dimana apabila
anak-anak laki-laki dan perempuan yang
akan menuju kedewasaan diajarkan
bagaimana seseorang laki-laki dan
perempuan Kamoro harus berbuat dan
bertindak, untuk menjadi laki-laki dan
perempuan Kamoro yang dewasa. Di
dalam kampung akan didirikan rumah
pendewasaan/ inisiasi atau karapauw
kame dan sebuah patung mitoro.
Salah satu tujuan utama pesta dan
ritual di daerah Mimika adalah inisiasi,
dapat dibagi dalam dua golongan yaitu
inisiasi sosial dan inisiasi kultus. Inisiasi
sosial memperkenalkan dan menyatukan
seorang anak laki-laki dan perempuan
dengan kehidupan kemasyarakatan.
Sedangkan inisiasi kultus
memperkenalkan dia dengan
penghayatan kultus, otape dan ritual.
Kedua inisiasi ini terpadu dalam pesta-
pesta. inisiasi kultus merupakan inisiasi
umum yang dimaksud untuk setiap laki-
laki tanpa pengecualian. Disamping itu
seorang anak laki-laki masih akan
mendapat inisiasi perorangan dalam
rahasia ritual. Dalam inisiasi ini, ia akan
mengambil alih dari ayah atau saudara
dari ayah, ibunya, yang dalam hal ini
juga memainkan peranan penting bagi
anak laki-laki. Bagi anak perempuan,
lebih penting lagi dimana mereka yang
akan menerima otape maupun
pembelajaran peraturan-peraturan yang
sampai saat ini masih menentukan
kedudukan dominan kaum perempuan
dalam kehidupan sosial.
Inisiasi sosial mulai dengan pesta
taori (dari tali sagu) dan berakhir dengan
pesta mirinu (pesta untuk menikah).
Waktu yang tepat seorang anak laki-laki
akan mengambil bagian dalam pesta
taori ditetapkan oleh orang tuanya, yang
berumur mulai dari 10 tahun sampai 20
tahun, yang diadakan 3-4 tahun sekali.
Setelah berakhir masa inisiasi akan
dilakukan pesta taori, dimana anak laki-
laki akan mendapat cawat (dari serat
sagu), maka pada saat itulah dia
dianggap sudah dewasa. Setelah cawat
diterima, anak tersebut akan langsung
melaksanakan adegan perang yang
pertama. Dengan demikian anak pria ini
menjadi anggota suku, seorang yang
dewasa dan seorang prajurit di masa
depan. Pesta taori dilakukan sore hari,
dengan menghiasi tubuh anak-anak
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 153-168
161 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
tersebut dengan kapur, arang, tanah
merah, bulu burung cenderawasih dan
kain-kain yang bagus. Kemudian anak-
anak tersebut diarak keliling kampung
oleh bapak-bapak pesta. Ibu dan bapak
mengikuti sambil memikul suatu noken
penuh dengan onaki (sagu). Anak-anak
yang bersangkutan akan membagikan
onaki kepada kerabat ibu dan bapaknya,
sehingga anak-anak tersebut diajarkan
siapa kerabatnya, supaya mereka dapat
bergantung dan saling membantu.
Berbicara mengenai rumah
karapauw kame pada dasarnya, memiliki
ruangan los, berbentuk empat persegi
panjang, tidak ada sekat-sekat sama
sekali. Mempunyai ketinggian tiang
sekitar 30 cm-1 meter dari permukaan
tanah, tiang tersebut ditutupi dengan
tikar. Karapauw kame, atapnya terbuat
daun sagu yang dianyam, tiang
penyangga atap terdapat 10 buah terbuat
dari kayu buah atau kayu manggrove.
Sedangkan dindingnya di bagian depan
di tutup dengan daun tikar. Tidak
memiliki jendela, hanya pintu dibagian
depan, yang di tutup dengan daun tikar.
Jumlah pintu di sesuaikan dengan
jumlah anak laki-laki dan perempuan
yang akan diinisiasikan. Tiang-tiang
penyangga rumah terdapat 18 buah tiang
yang terbuat dari kayu besi. Dinding
sebelah kiri dan dinding sebelah kanan
serta dinding bagian belakang terbuat
dari daun sagu yang dianyam. Mereka
tidak membuat tangga turun sebab tiang-
tiang rumah yang dibuat tidak terlalu
tinggi.
Mengenai ukuran sebuah
karapauw kame panjangnya tidak
menentu, sebab selalu disesuaikan
dengan jumlah anak yang akan
diinisiasikan, misalnya jumlah anak
yang diinisiasikan berjumlah 18 anak
maka akan menyesuaikan panjang
karapauw kame tersebut, dengan
membuat pula 18 buah pintu. Lebar
karapauw kame kira-kira 5 meter. Arah
hadap dari karapauw kame ke arah barat,
yang mempunyai arti dan makna dimana
semua leluhur yang sudah meninggal
akan pergi dan tinggal menetap pada
matahari terbenam, ke arah barat.
Gambar 1. Rumah Karapauw Kame ( Sumber : Balai Papua )
Rumah Tradisional Suku Kamoro, Rini Maryone
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 162
Tiang Mitoro
Rumah Karapauw kame
mempunyai ciri utama yaitu tiang
mitoro. Disetiap rumah Karapauw kame,
selalu ada tiang mitoro. Sebelum tiang
mitoro di tanam di depan rumah
kaparauw kame, mereka menggali
lobang pada malam hari kemudian
paginya anak-anak yang mau diinisiasi
di bawah ke lobang tersebut yang dihiasi
kapur, setelah itu tiang mitoro di
didirikan. Lubang tersebut diartikan
sebagai pintu masuk ke dunia bawah.
Tiang mitoro, dipahat dari kayu
yang lunak dari lingkungan setempat
nama kayu tersebut adalah kiyako,
tinggi tiang kira-kira lima meter, pada
tiang mitoro ini terdapat ukiran
baikama/relief. Pohon yang dipakai
untuk membuat tiang mitoro memiliki
akar penyangga di atas lumpur hutan
bakau dimana dia tumbuh. Untuk satu
mitoro, seluruh batang pohon dan akar
penyangga terbesar dapat digunakan.
Setelah pohon terbesar ditanam, akarnya
menjadi tokae, seperti bendera atau
panji, di puncak pahatan. Pemahatan
dipantau oleh seorang guru pahat/
maramowe.
Biasanya pada tiang mitoro
terdapat satu atau dua patung tokoh yang
dianggap berjasa, disegani dan
mempunyai jasa bagi sebuah kampung.
Atau wajah patung tersebut merupakan
tokoh dari nenek moyang mereka. Untuk
menebang sebuah tiang yang akan
dijadikan sebagai tiang mitoro selalu
dilakukan upacara/ pesta. Dan biasanya
yang melakukan penebangan sampai
penanaman bahkan penghiasan tiang
dilakukan oleh kaukapaiki / ipar-ipar.
Berikut ukiran-ukiran yang
terdapat pada tiang mitoro: pada sayap
bagian atas mitoro terdapat beberapa
tokoh dunia atas diukir dalam bentuk
ukiran tembus (sehingga ada lubang-
lubang), kadang-kadang bentuk bulat
dan berbentuk tanda tanya. Inilah
: Gambar 2. Rumah Karapauw kame dan tiang mitoro ditemukan Kampung Atuka, Distri Mimika Timur, Kabupaten Mimika (Sumber : Balai Arkeologi Papua)
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 153-168
163 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
lambang matahari, disekelilingnya pada
umumnya terdapat patung-patung
berikut ini: orang ular (memoro atau
memoro we), orang soa-soa atau biawak
(oke-we), bulan (pura), tangkai alat
pemangkur sagu (wapuru), dayung pada
bagian paling ujung terdapat beberapa
patung burung (popere), burung taon-
taon (komay), kakatua raja (mopoko),
kasuari (peko), kakatua putih (akina),
bangau putih (wiyoko).
Saat mitoro didirikan sayapnya sampai
di langit dan kakinya turun ke dunia
bawah, setelah itu atap di pasang di
rumah Karapauw kame. Pemasangan
atap mengisyaratkan bahwa rumah
Karapauw kame mencakup bumi, dunia
atas dan dunia bawah. Dengan
memperlihatkan mitoro kepada anak
yang diinisiasi, mereka diperkenalkan
pada dunia atas.
Nilai Budaya rumah Karapauw kame
dan tiang mitoro
Kata nilai cenderung diguna-
kan untuk menunjukan kualitas simbolis
yang ditentukan menurut sistem budaya
tertentu. Dalam antropologi, kualitas
simbolis tersebut menjadi sumber
penentu nilai bagi perilaku yang
dikaitkan kepada aspek-aspek budaya
yang lebih bersifat normatif, seperti
keyakinan, kesejaraahan, kesenian,
emosional dan sebaginya. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa nilai
adalah gagasan-gagasan yang ditentukan
oleh manusia untuk menggariskan
prilaku yang tepat dan dapat diterima
bersama. Karena itu nilai mengandung
orientasi apa yang salah dan apa yang
benar, apa yang baik dan apa yang
buruk; apa yang terpuji dan apa yang
tercer menurut budaya yang menjadi
Gambar 3 : Tiang Mitoro, (Dokumentasi : Balai Arkeologi Papua)
Rumah Tradisional Suku Kamoro, Rini Maryone
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 164
kerangka acuannya (Hidayah, 2002 : 3).
Sehubungan dengan hal tersebut, nilai
budaya dipahami sebagai konsepsi-
konsepsi yang hidup dalam alam pikiran
dari sebagian besar warga masyarakat,
mengenai hal-hal yang mereka anggap
amat bernilai dalam hidup
(Koentjaraningrat, 1993 : 25).
Nilai budaya yang terkandung
dalam arsitektur tradisional karapauw
kame dan tiang mitoro, sekurang-
kurangnya terdiri dari empat nilai yaitu:
estetika, etika, humanitas, dan religius.
1. Nilai estetika, yang tergambar dalam
arsitektur tradisional karapauw kame
dan tiang mitoro, pada umumnya
diwujudkan dalam ragam hias yang
di ukir di tiang mitoro yang meniru
lingkungan alam, baik dalam bentuk
fauna, flora, dan fenomena alam itu
sendiri. Peniruan dari alam tidaklah
serampangan, tetapi memiliki kriteria
untuk dijadikan ragam hias. Unsur-
unsur penilaian tersebut lebih
bernuansa pada makna simbolis yang
berkaitan dengan cita-cita dan
harapan-harapan warga masyarakat
setempat. Penentuan makna simbolis
biasanya dilihat dari bentuk, sifat,
warna, dan nama (sebutan lokal) dari
simbol atau ragam hias tersebut.
Ragam hias yang paling menonjol
adalah dalam arsiktektur berkaitan
dengan otape atau totem leluhur
mereka. pada umumnya terdapat
patung-patung berikut ini: orang ular
(memoro atau memoro we), orang
soa-soa atau biawak (oke-we), pada
bagian paling ujung terdapat
beberapa patung burung (popere),
burung taon-taon (komay), kakatua
raja (mopoko), kasuari (peko),
kakatua putih (akina), bangau putih
(wiyoko).
2. Nilai etika, berkaitan dengan hal yang
baik dan buruk, serta berkewajiban
moral. Bagi orang Kamoro ada
aturan sopan santun dalam pergaulan
sehari-hari yang harus ditaati oleh
semua orang, khususnya bagi
pemuda-pemudi yang akan
diinisiakan agar menjadi manusia
dewasa yang bermoral, baik,
bertanggung jawab dan sopan.
Sedangkan orang yang tidak mentaati
aturan tersebut dianggap kurang
sopan atau bermoral buruk.
3. Nilai humanitas, Suku Kamoro
menyadari bahwa orang tidak
mungkin bertahan hidup tanpa
kehadiran dan pertolongan orang
lain. Oleh karena itu Suku Kamoro
selain memiliki sikap dan sifat
bijaksana, serta arif dan
bermasyarakat, juga memiliki
sensitivitas sosial yang tinggi.
Kesemuanya itu terangkum dalam
konsep humanis atau saling
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 153-168
165 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
menghormati, saling memuliakan.
Nilai humanis tersebut tidak hanya
diwujudkan dalam ucapan, sikap dan
perbuatan sehari-hari, tetapi juga
diaplikasikan dalam ragam hias pada
arsritektur tradisional tiang mitoro
yang berbentuk ukiran-ukiran
patung-patung leluhur. Ragam hias
yang paling menonjol dalam
arsitektur rumah tradisional
tradisional Karapauw kame dan tiang
mitoro, adalah rupa manusia/ sosok
leluhur yang dianggap menjadi
panutan hidup kelompok mereka.
Biasanya pada tiang mitoro terdapat
satu atau dua patung tokoh yang
dianggap berjasa, disegani dan
mempunyai jasa bagi sebuah
kampung. Atau wajah patung
tersebut merupakan tokoh dari nenek
moyang mereka.
4. Nilai religius, sebagai makluk ciptaan
Tuhan, manusia senantiasa
mendekatkan diri pada penciptanya,
menyembah, dan memohon
perlindungan, keselamatan dan
rezeki yang melimpah. Berdasarkan
hal itu, maka sikap dan perbuatan
manusia tidak hanya diwujudkan
dalam bentuk doa saja, tetapi juga
dalam bentuk hasil karya religius.
Hasil karya itu biasanya mengandung
nilai-nilai untuk keselamatan umat
manusia pada umumnya dan pemillik
karya itu pada khususnya. Begitu
pula dengan tiang mitoro pada sayap
bagian atas diukir beberapa tokoh
dunia atas dalam bentuk ukiran
tembus (sehingga ada lubang-
lubang), bentuk bulat dan berbentuk
tanda tanya, yang merupakan
lambang matahari, dan bulan (pura).
Selain diwujudkan dalam ukiran juga
diwujudkan dalam pemasangan atap
yang mengisyaratkan bahwa rumah
Karapauw kame mencakup bumi,
dunia atas dan dunia bawah. Oleh
sebab itu dengan memperlihatkan
mitoro kepada anak yang diinisiasi,
mereka diperkenalkan pada dunia
atas, atau kepada sesuatu yang
mereka percayai berkuasa atas hidup
mereka yang berada di tempat yang
tinggi/ di langit.
Dengan melihat uraian diatas
bahwa sebuah rumah arsitektur
karapauw kame memiliki nilai budaya
yang sangat tinggi. Rumah karapauw
kame adalah rumah sebagai ruang
inisiasi (sekolah pendewasaan) seorang
anak laki-laki dan perempuan. Sekolah
pendewasan tersebut memperkenalkan
susunan sosial dan pandangan yang
dihayati oleh suku dan bangsa mereka
mengenai dunia. Kaum muda, didik dan
dibimbing oleh kaum tua sehingga
mereka boleh masuk dan terlibat dalam
suatu ikatan suku serta mengambil
Rumah Tradisional Suku Kamoro, Rini Maryone
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 166
bagian dalam kekuasaan-kekuasaan yang
harus melestraikan suku bangsanya.
Selain rumah karapauw kame di pakai
sebagai rumah tempat belajar, rumah
karapauw kame juga dipakai tempat
pesta. Dimana di rumah Karapauw kame
sering diadakan pesta-pesta yang
berkaitan dengan inisiasi, baik pesta
taori dan pesta mirimu.
Kehidupan Suku Kamoro dengan
segala keterbatasan mereka secara
teknologi harus mengembangkan
kearifan lokal untuk mempertahankan
tradisi mereka dengan membangun
rumah karapauw kame dan tiang mitoro.
Suku Kamoro mempunyai pandangan
bahwa dengan bentuk rumah karapauw
kame dan disertai tiang mitoro, (dengan
pahatan dan ukiran-ukiran nenek
moyang yang berjasa di dalam
kehidupan mereka), mereka merasa di
satukan dengan leluhur mereka.
Arsitektur tradisional rumah
karapauw kame dan tiang mitoro
merupakan salah satu kekayaan budaya
yang tidak ternilai harganya, yang
terkandung secara terpadu wujud idea,
wujud sosial dan wujud material
kebudayaan suku Kamoro. Oleh karena
itu dapat dikatakan bahwa arsitektur
tradisional merupakan aspek yang dapat
memberikan ciri serta identitas dari suku
mereka. Dari arsitektur tradisional
khususnya pada rumah karapauw kame
dan tiang mitoro kita juga dapat
mengetahui berbagai hal yang
merupakan warisan budaya dari
masyarakat Kamoro. Seperti
pengetahuan tentang kosmologi dari
letak rumah dan arah rumah mereka.
Dapat pulah diperoleh pengetahuan
tentang organisasi sosial suatu
masyarakat, karena pada rumah
tradisional biasanya terdapat pembagian
ruangan menurut konsepsi budaya
masyarakat (Maryeti, 2010 : 1-2).
Bentuk rumah tersebut di rancang, dan
diwariskan turun temurun dari generasi
ke generasi.
PENUTUP
Rumah tradisional karapauw kame
memiliki bentuk rumah yaitu prototipe
rumah Asia Tenggara yaitu rumah panggung
dari kayu yang atapnya terbuat dari daun
sagu atau dari daun kelapa yang dianyam.
Bentuk rumahnya berbentuk memanjang
tidak ada sekat-sekat. yang memiliki banyak
tiang-tiang penyangga yang terbuat dari kayu
besi. Dindingnya di bagian depan di tutup
dengan daun tikar. Dinding sebelah kiri dan
dinding sebelah kanan serta dinding bagian
belakang terbuat dari daun sagu yang
dianyam. Ukuran sebuah karapauw kame
panjangnya tidak menentu, sebab selalu
disesuaikan dengan jumlah anak yang akan
diinisiasikan, misalnya jumlah anak yang
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 153-168
167 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
diinisiasikan berjumlah 18 anak maka akan
menyesuaikan panjang karapauw kame
tersebut, dengan membuat pula 18 buah
pintu.
Rumah tradisional karapauw kame
mempunyai fungsi sebagai rumah inisiasi
pendewasaan laki-laki dan perempuan tempat
pembelajaran menjadi manusia yang dewasa.
seorang anak laki-laki dan perempuan
diperkenalkan secara demontratif dengan
susunan social dan pandangan dunia
sebagaimana dihayati oleh suku dan bangsa
mereka. Kaum muda tersebut didik dan
dibimbing oleh kaum tua sehingga mereka
boleh masuk dan terlibat dalam suatu ikatan
suku dan mengambil bagian dalam
kekuasaan-kekuasaan yang harus
melestraikan suku bangsanya.
Arsitektur rumah karapauw kame
memiliki nilai budaya yang sangat tinggi.
Rumah tradisional ini juga adalah selain
sebagai rumah pembelajaran dipakai juga
sebagai rumah pesta. Suku Kamoro membuat
rumah karapauw kame walaupun masih
sangat terbatas secara teknologi tetapi mereka
telah dapat mengembangkan kearifan lokal
untuk membuat rumah tersebut sebagai
rumah inisiasi/sekolah. Bentuk rumah
tersebut di rancang, dan diwariskan turun
temurun dari generasi ke generasi. Nilai
budaya yang terkandung dalam arsitektur
tradisional karapauw kame dan tiang mitoro,
sekurang-kurangnya terdiri dari empat nilai :
estetika, etika, humanitas, serta religius.
Rumah Tradisional Suku Kamoro, Rini Maryone
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 168
DAFTAR PUSTAKA
Darojah, Igliyah Citra. 2013. Corak Budaya Austronesia pada Rumah Tradisional dalam Jurnal Penelitian Arkeologi Papua dan Papua Barat. Balai Arkeologi Jayapura.
Frank, K Abdi Simon. 2012. Arsitektur Tradisional Suku Arfak di Manokwari. Balai Pelestarian Nilai Kebudayaan Jayapura Kerjasama dengan Pusat Studi Kawasan Pedesaan Universitas Cenderawasih.
Hartatik. 2004. Arsitektur dan Sumberdaya Arkeologi di Kalimantan. Naditira Widya Nomor 13, Oktober 2004. Balai Arkeologi Banjarmasin.
Hidayah, Zulyani. 2002. Fungsi Keluarga dalam Menanamkan Nilai Budaya :Sebuah Panduann Konsepsional untuk Penelitian. Makalah Disampaikan pada Bimbingan Teknis Penelitian. Jakarta: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata.
Koentjaraningrat. 1993. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lekito, Yonathan Hanro. 2012. Potret Manusia Pohon. Komunitas AdatTerpencil Suku Korowai di Daerah Selatan Papua dan Tantangannya Memasuki Peradaban Baru. Jakarta: Balai Pustaka.
Mahmud, Irfan. 2010. Arsitektur Rumah Tradisional Sentani Papua. Direktorat Tradisi. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Maryeti. 2010. Sistem Teknologi Tradisional dalam Pembuatan Rumah Limas Masyarakat Kayu Agung di Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan dalam Bunga Rampai Budaya. BPSNT Padang Press.
Maryone, Rini. 2013. Laporan Penelitian Arkeologi pada Suku Kamoro Kabupaten Timika . Balai Arkeologi Jayapura Pusat Pengembangan Arkeologi Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Maryone, Rini. 2015. Rumah Pohon Suku Momuna Yahukimo dalam Jurnal Papua, Vol 7 Edisi No 2 November. Balai Arkeologi Jayapura.
Maryono, Irawan dkk. 1985. Pencerminan Nilai Budaya dalam Arsitrktur Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Mene, Bau. 2006. Penelitian Pemukiman Suku Hatan Kabupaten Manokwari. Balai Arkeologi Jayapura.
Rapoport, Amos. 19969. House from and Culture. Fondations of Cultural Geography Series. NJ: Prentice-Hll inc.
Rostiyati, Ani. 2013. Nilai Budasya Pada Arsitektur Rumah Tradisional Di KampungWana Lampung Timur, dalam Bunga Rampai “Diakronis dan Sinkronis”. Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung.
Susetyo, Sukawati. 2009. Tinjauan Arsitektur Rumah Adat Batak Toba di Pulau Samosir. Berkala Arkeologi Sangkakala Vol XII No. 24, November 2009. Balai Arkeologi Medan.
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 153-168
169 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
BENTUK KEHIDUPAN MANUSIA PRASEJARAH DI SITUS YOMOKHO (Prehistoric living in the Yomokho Site)
Hari Suroto Erlin N. Idje Djami Balai Arkeologi Papua Jalan Isele, Kampung Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura 99358 e-mail: [email protected]
INFO ARTIKEL
Histori Artikel Diterima: 17 September 2018 Direvisi: 22 Oktober 2018 Disetujui: 5 November 2018 Keywords Prehistory, Yomokho Site, Human life
Kata Kunci Prasejarah, Situs Yomokho, Kehidupan manusia
ABSTRACT
Folklore that the Sentani people believe about the migration of their ancestors from Papua New Guinea who chose Yomokho Hill as an initial settlement, it is necessary to do research related to prehistoric human life forms on the Yomokho site. The purpose of this paper is to find out the prehistoric human life forms on the Yomokho Site. Methods of data collection are library studies, interviews, land surface surveys, excavations. Data analysis is artefactual analysis, contextual analysis, and XRD analysis. The prehistoric forms of human life on the Yomokho Site based on artifacts, ecophysics and the environmental context around the site indicate that they live hunting, fishing and gathering sago. ABSTRAK
Cerita rakyat yang dipercaya Suku Sentani tentang migrasi nenek moyang mereka dari Papua New Guinea yang memilih Bukit Yomokho sebagai pemukiman awal, maka perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan bentuk kehidupan manusia prasejarah di situs Yomokho. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui bentuk kehidupan manusia prasejarah di Situs Yomokho. Metode pengumpulan data yaitu studi pustaka, wawancara, survei permukaan tanah, ekskavasi. Analisis data yaitu analisis artefaktual, analisis kontekstual, dan analisis XRD. Bentuk kehidupan manusia prasejarah di Situs Yomokho berdasarkan artefak, ekofak serta konteks lingkungan sekitar situs menunjukkan bahwa mereka hidup berburu, mencari ikan dan meramu sagu.
PENDAHULUAN
Balai Arkeologi Jayapura pada tahun
2010 melakukan eksplorasi arkeologi
prasejarah di Kawasan Danau Sentani, dalam
penelitian ini berhasil menemukan situs-situs
arkeologi maupun artefak yang disimpan
masyarakat. Situs-situs arkeologi yang
berhasil ditemukan yaitu Yomokho, Marweri
Urang, Mantai, Gua Rukhabulu Awabhu,
Ceruk Reugable dan Ceruk Ifeli-feli. Survei
permukaan yang dilakukan di Situs
Yomokho, ditemukan lapisan konsentrasi
cangkang moluska di lereng bukit bagian
timur. Artefak yang disimpan oleh
masyarakat yaitu gerabah, manik-manik,
gelang batu, kapak batu dan kapak perunggu
(Tim penelitian, 2010).
Pada tahun 2011 Balai Arkeologi
Jayapura melakukan ekskavasi di Situs
Yomokho, bertujuan untuk memperoleh
Bentuk Kehidupan Manusia Prasejarah di Situs Yomokho, Hari Suroto, Erlin N. Idje Djami
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 170
gambaran jumlah dan keragaman tinggalan,
kedalaman lapisan budaya dan jenis lapisan
tanah. Pembukaan kotak test pit dilakukan
satu di puncak bukit dan satu di lereng bukit
bagian timur. Hasil ekskavasi di lereng Bukit
Yomokho diperoleh temuan berupa pecahan
gerabah hias maupun polos, manik-manik,
cangkang moluska laut, cangkang moluska
danau, arang, tulang binatang, dan tulang
manusia.
Selain ekskavasi di Situs Yomokho,
pada tahun yang sama juga dilakukan
eksplorasi arkeologi pada beberapa lokasi di
Kawasan Danau Sentani yang belum
terjangkau penelitian sebelumnya. Eksplorasi
ini berhasil menemukan situs megalitik di
Kampung Ayapo Baru dan situs hunian yaitu
situs Phulende di Kampung Ifar besar dan
situs Kampung tua Abar (Suroto et. al.,
2011). Pada tahun 2012 Balai Arkeologi
Jayapura melakukan penelitian di Situs
Yomokho untuk mengetahui strategi
pemilihan tempat tinggal dan strategi
subsistensi manusia pendukung budaya Situs
Yomokho (Suroto et. al., 2012).
Upaya untuk merekonstruksi sejarah
kebudayaan, rekonstruksi cara-cara hidup,
dan penggambaran proses budaya masa
lampau (Binford, 1972:78) hendaknya
memperhatikan tiga dimensi penting yaitu
bentuk, ruang dan waktu. Ketiga dimensi
tersebut saling terkait satu dengan yang
lainnya dan merupakan dimensi yang harus
mendapatkan perhatian para arkeolog.
Dimensi kerap digunakan sebagai landasan
untuk memberikan waktu, fungsi, sosial
ekonomi, religi, dan hal lainnya dari
kehidupan masa lalu. Begitu juga sebaliknya
dimensi ruang data memberikan informasi
akan fungsi, waktu, sebaran, dan hal lainnya
dari bentuk artefak yang ditemukan. Dimensi
waktu, memberikan gambaran kapan sebuah
artefak atau kehidupan masa lalu
berlangsung.
Secara umum, situs-situs arkeologi
dapat diklasifikasi menjadi dua tipe, yaitu
stratified sites dan surface sites. Stratified
sites adalah situs-situs yang secara geologik
berada dalam konteks langsung, sedang
surface sites adalah situs-situs yang berada di
atas permukaan tanah, tanpa konteks
geologik. Kedua tipe situs ini dapat
diklasifikasi dalam berbagai cara.
Berdasarkan fungsi dan jenis aktivitasnya,
situs-situs arkeologi dapat dibedakan
menjadi: situs hunian, situs perdagangan,
situs penambangan, situs penguburan, situs
seremonial dan situs perbengkelan (Hole dan
Heizer, 1973; Sharer dan Ashmore, 1979: 68-
100).
Butzer (1964) menyatakan bahwa
kondisi lingkungan dapat dianggap sebagai
salah satu faktor penentu dalam pemilihan
tempat hunian. Beberapa variabel yang
berhubungan dengan kondisi lingkungan
tersebut diantaranya: tersedia kebutuhan akan
air; tersedianya fasilitas-fasilitas yang
diperlukan untuk bergerak lebih mudah
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 169-177
171 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
(pantai, sungai, rawa dan hutan); dan
tersedianya sumber makanan baik flora dan
fauna, serta faktor-faktor kemudahan
memperoleh makanan.
Dalam upaya mempertahankan
eksistensinya, manusia memerlukan tempat
untuk berinteraksi dengan sesamanya
maupun dengan lingkungannya. Makanan
diperlukan dalam upaya mempertahankan
hidupnya. Sehingga pemilihan tempat hunian
dan jenis makanan dapat dipandang sebagai
indikasi strategi adaptasi manusia pada masa
lampau (Wiradnyana, 2011:60). Proses
adaptasi sendiri berjalan ketika manusia
membandingkan pola tingkah laku yang telah
dilakukannya dengan kondisi lingkungan
yang dihadapi untuk kemudian disesuaikan.
Situs sebagai sumber data dalam
arkeologi merupakan rangkaian ekosistem
manusia dan lingkungannya, sehingga dalam
pemilihan tempat tinggal selain didasarkan
pada kondisi lingkungan juga bentang alam.
Sejalan dengan hubungan antara manusia
dengan alam lingkungannya, Subroto
(1985:1178) mengemukakan bahwa adanya
hubungan antara pola pemukiman dengan
gejala-gejala geografis seperti halnya
keadaan topografis, tanah, vegetasi, dan zona
curah hujan.
Terkait dengan cerita rakyat yang
dipercaya Suku Sentani tentang migrasi
nenek moyang mereka yang memilih Bukti
Yomokho, Pulau Ajauw dan Pulau
Kwadeware sebagai pemukiman awal, maka
perlu dilakukan penelitian yang berkaitan
dengan hunian awal prasejarah di Situs
Yomokho. Tulisan ini akan membahas
tentang bentuk kehidupan prasejarah di Situs
Yomokho.
Dalam penulisan ini dilakukan
dengan pengumpulan data, analisis data dan
interpretasi data. Menurut Deetz (1967:6) ada
tiga tingkatan dalam penelitian arkeologi
yaitu observasi (observation) merupakan
tingkat pengumpulan data, deskripsi
(description) yaitu tingkat pengolahan data
dan penjelasan (explanation) adalah tingkat
interpretasi data.
PEMBAHASAN
Situs Yomokho terletak sekitar 200
meter sebelah barat Khalkote, lokasi Festival
Danau Sentani. Survei permukaan tanah di
Situs Yomokho, dilakukan dengan
mengamati permukaan puncak bukit, lereng
bukit, kaki bukit maupun di lingkungan
sekitar. Seluruh permukaan Bukit Yomokho
ditumbuhi rumput ilalang, sebagian lereng
bukit sebelah timur dimanfaatkan untuk
berkebun umbi jalar dan ketela pohon
sedangkan kaki bukit berbatasan dengan
hutan sagu.
Pecahan gerabah ditemukan di
puncak bukit, lereng bukit, kaki bukit dan
kebun. Pecahan gerabah yang ditemukan di
puncak bukit sangat sedikit, pecahan gerabah
lebih banyak ditemukan di kaki bukit.
Cangkang siput danau Melanoides
Bentuk Kehidupan Manusia Prasejarah di Situs Yomokho, Hari Suroto, Erlin N. Idje Djami
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 172
tuberkulata, moluska laut Verenidae serta
tulang manusia ditemukan di lereng bukit
bagian timur dan selatan.
Gambar 1. Cangkang moluska laut Verenidae (dokumentasi Balar Papua)
Sepanjang puncak Bukit Yomokho
terdapat susunan batu dengan lebar 100 – 190
cm, tertata rapi dengan orientasi timur laut-
barat daya, berukuran panjang 107,4 m.
Sebagian susunan batu tertata dari puncak
bukit ke arah lereng. Menurut informasi dari
masyarakat Asei, pada masa lalu susunan
batu tersebut merupakan batas-batas kebun.
Gambar 2. Cangkang siput danau (Melanoides tuberkulata) temuan permukaan
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 169-177
173 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
Peta 1. Situs Yomokho
Analisis terhadap fragmen gerabah
dari Situs Yomokho, berdasarkan
pengamatan terhadap bentuk tepian, badan
dan dasar diketahui bentuk utuh wadah
adalah periuk dan tempayan. Periuk memiliki
diameter mulut lebih kecil dari tempayan.
Gerabah jenis tempayan memiliki dinding
yang lebih tebal daripada periuk.
Analisis teknik pembuatan gerabah
dilakukan dengan mengamati jejak
pembentuk permukaan bagian luar atau
bagian dalam. Analisis teknik pembuatan
gerabah jenis tempayan dari Situs Yomokho
berdinding tebal, jejak-jejak pembuatan pada
permukaan dalam gerabah berupa cekungan
yang cukup besar dan pada permukaan luar
berupa bekas pemukul yang menunjukan
teknik tatap pelandas.
Warna bagian permukaan terdiri atas
merah, coklat dan hitam. Pengamatan pada
penampang lintang fragmen gerabah yang
berwarna hitam yang tidak merata,
mengindikasikan dibakar di tempat terbuka
(open fire). Gerabah ini dibuat dari tanah liat
yang dicampur dengan pasir kasar.
Analisis teknik pembuatan gerabah
jenis periuk dari situs Yomokho, diketahui
dibuat dengan teknik roda putar, hal ini
terlihat permukaan gerabah terdapat jejak
bekas striasi yang lurus dan rapi, hal ini
menunjukan gerabah dibuat dengan teknik
roda putar cepat. Pada akhir pembuatan
sebelum proses pembakaran diupam terlebih
dahulu, ini terlihat dari permukaan dinding
yang halus dan tidak berpori. Proses
pembakaran gerabah dilakukan di tempat
Bentuk Kehidupan Manusia Prasejarah di Situs Yomokho, Hari Suroto, Erlin N. Idje Djami
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 174
terbuka. Periuk ini dibuat dari tanah liat yang
dicampur dengan pasir halus.
Fungsi gerabah Situs Yomokho dapat
diketahui dari bentuk, jejak pakai dan
konteksnya. Gerabah jenis periuk
mengindikasikan untuk memasak, hal ini
terlihat bekas jejak pakai berupa jelaga,
selain itu gerabah jenis ini memiliki konteks
temuan arang. Dinding periuk yang tipis
mempercepat proses pemanasan makanan.
Gerabah jenis tempayan digunakan
untuk menyimpan bahan makanan dan air.
Ukuran tempayan lebih besar daripada
periuk, dan dinding gerabah jenis tempayan
lebih tebal daripada periuk. Dinding yang
tebal membuat tempayan kuat untuk
menyimpan bahan makanan atau air dalam
volume banyak.
Saat ini gerabah tradisional masih
diproduksi oleh masyarakat Kampung Abar,
Distrik Ebungfauw, Kabupaten Jayapura.
Untuk mengetahui asal usul gerabah situs
Yomokho apakah asal usulnya dari Kampung
Abar maka dilakukan analisis XRD. Hasil
analisis XRD menunjukkan unsur mineral
pada gerabah Situs Yomokho dan gerabah
Kampung Abar berbeda.
Gambar 3. Hasil analisis XRD gerabah Kampung Abar
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 169-177
175 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
Gambar 4. Hasil analisis XRD gerabah Yomokho
Hal ini menunjukkan bahwa gerabah
Situs Yomokho bukan berasal dari Kampung
Abar. Kemungkinan gerabah Situs Yomokho
berasal dari luar Danau Sentani atau bisa juga
manusia prasejarah di Situs Yomokho
mampu membuat sendiri. Hal ini perlu
dilakukan penelitian lanjutan.
Ekofak yang ditemukan dalam survei
permukaan tanah di Situs Yomokho yaitu
cangkang siput danau Melanoides, cangkang
moluska laut Verenidae, tulang binatang, gigi
babi dan tulang manusia. Kondisi cangkang
siput danau yang utuh, menunjukkan proses
pengolahannya yaitu dengan cara direbus.
Hal ini didukung oleh konteks temuan
pecahan gerabah dan arang. Ekofak yang
ditemukan dalam ekskavasi Kotak U10T5
spit 8 berupa gigi babi. Babi di Papua saat ini
dikenal sebagai jenis Sus Scrofa Papuensis.
Untuk mengetahui bentuk kehidupan
masa lalu di Situs Yomokho dilakukan
dengan mengaitkan konteks artefak dengan
lingkungan. Situs Yomokho menggambarkan
adaptasi manusia terhadap lingkungan.
Pemilihan lokasi sebagai hunian berkaitan
dengan keberadaan Danau Sentani yang
menghasilkan sumber makanan diantaranya
moluska dan ikan, selain itu Danau Sentani
juga merupakan sumber air bersih.
Berdasarkan hasil survei permukaan
tanah dan ekskavasi di Situs Yomokho,
diketahui temuan artefak gerabah lebih
banyak ditemukan di kaki bukit. Hal ini
menunjukkan bahwa manusia prasejarah
Situs Yomokho memilih kaki bukit sebagai
lokasi hunian, hal ini didasarkan pada kondisi
permukaan kaki bukit yang datar.
Menurut Kal Muller (2008) dan Peter
Bellwood (1978) tidak ada data ilmiah yang
membuktikan keberadaan babi di Papua
sebelum 4000 tahun yang lalu. Walaupun
belum ada waktu pasti tentang kapan pertama
Bentuk Kehidupan Manusia Prasejarah di Situs Yomokho, Hari Suroto, Erlin N. Idje Djami
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 176
kali babi masuk ke dataran tinggi Papua,
tetap bisa dipastikan bahwa babi (bersama-
sama dengan anjing dan ayam) dibawa
masuk ke Papua oleh penutur Austronesia
pada 1500 hingga 1000 SM. Berdasarkan
teori Muller dan Bellwood ini maka
diperkirakan babi yang ditemukan dalam
ekskavasi di Situs Yomokho berasal dari
1500 – 1000 SM, sedangkan hasil dating C-
14 terhadap sampel arang hasil ekskavasi
tahun 2011 di lereng Bukit Yomokho
mengindikasikan manusia pernah beraktivitas
di situs ini 2590 ± 120 BP.
Hasil ekskavasi di kaki Bukit
Yomokho menunjukkan bahwa temuan
pecahan gerabah lebih banyak daripada di
lereng bukit maupun puncak bukit. Hal ini
menunjukkan bahwa hunian manusia masa
lalu di Situs Yomokho berada di kaki bukit.
Diperkirakan mereka tinggal dalam rumah
panggung, walaupun bukti tiang-tiang rumah
belum ditemukan.
Berdasarkan tulang manusia yang
lebih banyak ditemukan di lereng bukit,
maka diperkirakan lereng Bukit Yomokho
merupakan tempat penguburan. Hal ini
berdasarkan ekskavasi tahun 2011 di lereng
Bukit Yomokho menemukan tengkorak dan
tulang manusia dengan konteks temuan
pecahan gerabah, maka diperkirakan gerabah
dijadikan sebagai bekal kubur.
Berdasarkan analisis terhadap motif
hias gerabah dari Situs Yomokho memiliki
kesamaan dengan gerabah dari Gua Lachitu
dan Gua Taora di Vanimo Papua Nugini.
Gorecki (1996) menyatakan bahwa gerabah
dari Gua Lachitu dan Gua Taora memiliki
pertanggalan 5400 tahun yang lalu, tetapi
beberapa peneliti menyangsikan pertanggalan
yang dilakukan Gorecki dan mereka percaya
pertanggalannya lebih muda (Simanjuntak,
1997:944). Jika dikaitkan dengan cerita
rakyat yang dipercaya masyarakat Sentani
terkait asal usul nenek moyang mereka yang
berasal dari timur yaitu Papua Nugini, tentu
saja temuan artefak gerabah hias dari Situs
Yomokho mungkin saja memiliki kaitan.
Ekofak yang ditemukan di Situs
Yomokho yaitu cangkang siput danau yang
ditemukan satu konteks dengan pecahan
gerabah. Pengamatan terhadap cangkang
siput tidak nampak terbakar maka
diperkirakan pengolahan siput sebelum
dikonsumsi adalah direbus. Keberadaan
cangkang moluska laut Verenidae
mengindikasikan bahwa manusia yang
menghuni Situs Yomokho telah melakukan
kontak dengan masyarakat pesisir atau daya
jelajah dalam mencari makanan hingga
pesisir.
PENUTUP
Latarbelakang pemilihan lokasi
hunian awal prasejarah di Kawasan Danau
Sentani berkaitan dengan keberadaan Danau
Sentani yang menghasilkan sumber makanan
diantaranya moluska dan ikan, selain itu
Danau Sentani juga merupakan sumber air
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 169-177
177 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018
bersih. Dengan mengacu pada hasil temuan
arkeologi pada situs Yomokho
menggambarkan bahwa bentuk kehidupan
manusia pendukung situs hunian awal
prasejarah di situs Yomokho termasuk dalam
budaya neolitik.
Bentuk kehidupan manusia prasejarah
di Situs Yomokho berdasarkan artefak,
ekofak serta konteks lingkungan sekitar situs
menunjukkan bahwa mereka hidup berburu,
mencari ikan dan meramu sagu. Selain itu
berdasarkan temuan cangkang moluska laut
menunjukkan daya jelajah mencari makanan
hingga pesisir laut.
DAFTAR PUSTAKA
Bellwood, Peter. 1978. Man Conquest of the Pacific. The Prehistory of South East Asia and Oceania. Auckland: William Collins Publisher Ltd.
Binford, Lewis R. 1972. Archaeological Perspective. New York: Seminar Press. Butzer, K. W. 1964. Environment and Archaeology. London: Methuen. Deetz, James. 1967. Invitation to Archaeology. New York: The Natural History Press. Gorecki, P. 1996. Early Pottery from Two Rockshelter near Vanimo, Papua New Guinea: Some Stratigraphic and Chronological Considerations. Conference on the Western Pacific, 5000 to 2000 Before Present. Vanuatu National Museum – Australian National University - ORSTOM. Port Villa, Vanuatu. Hole, Frank dan Robert F. Heizer. 1973. An Introduction to Prehistoric Archaeology third
edition. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Muller, Kal. 2008. Introducing Papua. Daisy World Books. Sharer, Robert J. dan Wendy Ashmore. 1979. Fundamentals of Archaeology. California: The
Benjamin/ Cummings Publishing Company, Inc. Simanjuntak, Harry Truman. 1997. “Revieuw of the prehistory of Irian Jaya” dalam
Perspectives on the Bird’s Head of Irian Jaya, Indonesia (Jelle Miedema, Cecilia Ode dan Rien A.C. Dam eds.). Proceedings of the Conference Leiden, 13-17 October 1997. Hlm. 941-950.
Subroto, P. H. 1985. Studi tentang Pola Pemukiman Arkeologi Kemungkinan-Kemungkinan Penerapannya di Indonesia. PIA III. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Suroto, Hari, Erlin N. I. Djami, M. Irfan Mahmud. 2011. Ekskavasi dan Survei Arkeologi di Kawasan Danau Sentani. Laporan Penelitian Balai Arkeologi Jayapura. Suroto, Hari, Klementin Fairyo, Amurwani Putri. 2012. Penelitian Arkeologi di Kawasan
Danau Sentani. Laporan Penelitian Balai Arkeologi Jayapura. Tim Penelitian. 2010. Penelitian Arkeologi di Kawasan Danau Sentani. Laporan Penelitian Balai Arkeologi Jayapura. Wiradnyana, Ketut. Prasejarah: Sumatera Bagian Utara Kontribusinya pada Kebudayaan
Kini. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Bentuk Kehidupan Manusia Prasejarah di Situs Yomokho, Hari Suroto, Erlin N. Idje Djami
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 178
KETENTUAN NASKAH UNTUK JURNAL PAPUA
1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan abstrak bahasa Inggris, bila naskah berbahasa Inggris abstrak berbahasa Indonesia.
2. Penulisan dengan menggunakan MS Word pada kertas ukuran A4, dengan font Times New Roman 12 spasi 1,5 kecuali tabel. Batas atas dan bawah 3 cm, tepi kiri dan tepi kanan 3,17 cm. Jumlah halaman minimal 10, di luar daftar pustaka dan tabel.
3. Kerangka tulisan: tulisan tersusun menurut urutan sebagai berikut: a. Judul b. Nama penulis c. Abstrak d. Kata Kunci e. Pendahuluan (berisi latar belakang, permasalahan, tujuan) f. Metode penelitian g. Hasil dan pembahasan h. Penutup i. Daftar pustaka. Pustaka yang diacu harus dipakai dan harus masuk dalam teks artikel
4. Judul diketik dengan huruf kapital tebal (bold) pada halaman pertama maksimum 11 kata. Judul harus mencerminkan inti tulisan
5. Nama penulis (tanpa gelar akademik) diketik lengkap di bawah judul. Jika penulis lebih dari satu orang kata penghubung digunakan kata “ dan “
6. Abstrak diketik dengan huruf miring (italic) berjarak satu spasi maksimal 150 kata. 7. Kata kunci 3-5 kata, ditulis huruf miring (italic) 8. Selain bahasa yang digunakan harus ditulis huruf miring (italic) 9. Pengutipan dalam naskah harus mencantumkan nama belakang penulis, tahun dan halaman
kutipan. Contoh: (Muller, 1996: 99) 10. Daftar pustaka ditulis dengan tatacara seperti contoh berikut, diurutkan secara alfabetis,
dan kronologis. Buku yang diacu minimal 10. Muller, Kal. 1996. Indonesian New Guinea. Singapore: Periplus Editions.. Soejono, R.P. 1963. “Prehistori Irian Barat” dalam Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar (ed.). Penduduk Irian Barat. Jakarta: PT. Penerbit Universitas. Hlm.
39-93. 11. Untuk meningkatkan citation indeks jurnal, sangat dihargai apabila penulis mengutip
informasi dari artikel-artikel yang pernah dimuat dalam Jurnal Papua. 12. Kelengkapan tulisan: gambar, foto, peta, grafik dan kelengkapan lain harus disebutkan sumbernya. Untuk tabel ditulis seperti biasa dengan jenis font menyesuaikan.