Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Oseana, Volume 45, Nomor 1 Tahun 2020: 1-16 p-ISSN: 0216-1877, e-ISSN: 2714-7185
1
TEKNIK-TEKNIK REMEDIASI SEDIMEN TERKONTAMINASI LOGAM BERAT
Harmesa1*
1Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430 *Alamat email: [email protected]
ABSTRACT
Sediments are important in influencing changes and movements of the heavy metals in
the aquatic environment. Heavy metals contamination of the sediments has negative ecological
impacts on the environment. Therefore, economical, effective, and environmentally friendly
remediation processes are needed. Purposes of the remediation are to reduce toxicity,
bioavailability, and mobility of the metals from the polluted sediments. The remediations are
developed using physical-chemical, biological and combination of both techniques. Physical-
chemical techniques are carried out to decrease the stability of contaminated substances.
Biological techniques or known as bioremediation are conducted through biological processes
of plants, animals, and microorganisms. While the combination of both respective techniques,
can produce maximum benefits and increase remediation efficiency.
Keywords: heavy metals, sediments, remediation.
PENDAHULUAN
Sedimen adalah bagian penting dari
ekosistem akuatik. Sedimen memengaruhi
proses transformasi dan transfer logam
berat di lingkungan perairan. Kontaminasi
sedimen oleh logam berat muncul sebagai
isu lingkungan global semenjak tahun
1980-an. Keberadaan logam berat
memberikan efek negatif pada lingkungan.
Hal ini disebabkan karena logam berat tidak
dapat terdegradasi, mengalami
bioakumulasi (Saher & Siddiqui, 2019) dan
biomagnifikasi (Vandecasteele et al., 2004)
serta bersifat toksik ketika melewati batas
ambang tertentu (Rosado et al., 2016).
Logam berat masuk ke perairan
melalui sumber alami dan sumber
antropogenik. Sumber alami berupa
pelapukan bebatuan dan aktivitas vulkanik,
sedangkan sumber antropogenik terkait
dengan aktivitas manusia seperti pelayaran,
pertambangan, pertanian, industrialisasi,
urbanisasi, limpasan air hujan dan limbah
perkotaan (Duodu et al., 2017; Ke et al.,
2017; Vu et al., 2017; Ismail et al., 2016).
Di lingkungan air, logam berat terdistribusi
dalam bentuk spesies terlarut, koloid,
suspensi dan terikat dalam sedimen (Peng
et al., 2009). Lebih dari 90% sumber
antropogenik logam berat yang masuk ke
lingkungan akuatik terakumulasi di dalam
sedimen (Ra et al., 2014) melalui proses
adsorpsi, presipitasi, co-presipitasi dan
biologis (Peng et al., 2018). Hal ini
mengakibatkan konsentrasi logam berat di
sedimen akan jauh lebih besar
dibandingkan di badan air (Ansari et al.,
2004).
Sedimen memengaruhi perubahan
dan perpindahan logam berat secara
signifikan di lingkungan (Peng et al., 2018).
Dalam sedimen, logam berada dalam
berbagai fraksi geokimia yaitu fase yang
mudah tereduksi, organik, karbonat,
residual, sulfida, oksida besi dan mangan
(Qiant et al., 2009; Doni et al., 2015).
Oseana, Volume 45, Nomor 1 Tahun 2020: 1-16 p-ISSN: 0216-1877, e-ISSN: 2714-7185
2
Akumulasi logam berat dalam sedimen
membahayakan bagi organisme di
sekitarnya dengan menyebabkan turunnya
keanekaragaman spesies, terganggunya
pertumbuhan dan reproduksi hingga
terjadinya kematian (Sfakianakis et al.,
2014; Singh & Kalamdhad, 2011). Ketika
terjadi perubahan lingkungan secara
fisikokimia (seperti perubahan pH,
potensial redoks dan oksigen terlarut),
logam berat yang terakumulasi di sedimen
akan terlarut ke badan air dan masuk ke
rantai makanan (Peng et al., 2009; Peng et
al., 2018) sehingga menimbulkan kerugian
lingkungan dan meningkatkan risiko
keterpaparan pada manusia (Fu et al.,
2013). Oleh karena itu, diperlukan proses
remediasi terhadap sedimen yang
terkontaminasi.
Proses remediasi memiliki
setidaknya beberapa tujuan terkait
pelarutan, pengendapan dan perubahan
senyawa logam berat. Pelarutan terjadi
untuk mengubah logam menjadi terlarut
melalui pembentukan senyawa kompleks
logam-EDTA (Shahid et al., 2014).
Sementara pengendapan dilakukan dengan
mengubah logam berat terlarut menjadi
fase padatannya seperti logam hidroksida,
logam karbonat, logam fosfat dan logam
sulfida (Tsezos, 2009). Sedangkan
perubahan senyawa logam berat dapat
mengubah sifat logam dari zat yang
berbahaya menjadi zat yang tidak
berbahaya (Chen et al., 2015). Pada tulisan
ini akan dipaparkan metode remediasi
sedimen yang terkontaminasi logam berat,
yaitu metode fisika-kimia, metode biologi
dan metode gabungan. Masing-masing
metode terdiri dari berbagai teknik
remediasi. Tulisan ini diharapkan dapat
menambah informasi dan pengetahuan
pembaca mengenai teknik-teknik remediasi
sedimen yang terkontaminasi logam berat.
REMEDIASI SEDIMEN TERKONTA-
MINASI LOGAM BERAT
Logam berat yang bersifat toksik
dapat dikurangi atau dihilangkan dari
sedimen melalui proses remediasi. Menurut
Peng et al., (2018), proses remediasi
sedimen yang terkontaminasi logam berat
dapat dikelompokkan menjadi tiga metode
yaitu (1) metode fisika-kimia, seperti teknik
capping, pencucian dan imobilisasi, (2)
metode biologi, seperti teknik fitoremediasi
dan bioaugmentasi; dan (3) metode
gabungan.
Metode Fisika-Kimia
Metode remediasi secara fisika
adalah proses penghentian kerusakan pada
lingkungan menggunakan teknologi fisik
dengan tujuan mengisolasi fisik,
meningkatkan stabilitas zat yang
terkontaminasi dan mengurangi imobilitas
kontaminan. Sedangkan remediasi kimia
dilakukan menggunakan pereaksi kimia
dengan berbagai mekanisme reaksi untuk
menghilangkan kontaminasi. Mekanisme
yang terlibat adalah adsorpsi, katalisis,
pertukaran ion, oksidasi dan reduksi (Song
et al., 2017). Dalam aplikasinya, metode
fisika dan kimia sering digabungkan untuk
meningkatkan efisiensi remediasi, seperti
metode capping, pencucian dan imobilisasi.
1. Metode Capping
Metode capping merupakan metode
pemulihan sedimen dengan cara melapisi
sedimen terkontaminasi dengan beberapa
material. Tujuan dari metode ini adalah
mengurangi kelarutan, mobilitas dan laju
transfer logam berat dari sedimen (Knox et
al., 2012). Metode capping diklasifikasikan
menjadi dua jenis, yaitu passive capping
dan active capping. Passive capping
merupakan metode remediasi secara
Oseana, Volume 45, Nomor 1 Tahun 2020: 1-16 p-ISSN: 0216-1877, e-ISSN: 2714-7185
3
konvensional. Metode ini menciptakan
penghalang untuk mengisolasi sedimen
tercemar dengan lingkungan sekitarnya
secara fisik, menstabilkan kontaminan di
sedimen dan melepaskan kontaminan
terlarut ke dalam air (Lee & Park, 2013;
Peng et al., 2018), seperti pada Gambar 1a.
Material penutup sedimen terdiri dari (i)
lapisan penstabil yang berfungsi
memberikan stabilitas lokal pada sedimen
asli, seperti geotekstil; (ii) lapisan isolasi
untuk mengisolasi kontaminan dari
lingkungan, seperti pasir; (iii) lapisan filter
yang memberikan perlindungan hidrolik ke
lapisan isolasi dasar, seperti kerikil; dan
(iv) lapisan pelindung untuk melindungi
filter dan lapisan isolasi dari erosi, seperti
batu (Mohar et al., 2000; Peng et al., 2018).
Active capping merupakan metode
alternatif yang menggunakan reaksi kimia
antara material pelapis dengan kontaminan
yang bukan hanya mencegah migrasi
kontaminan ke dalam kolom air tetapi juga
untuk menurunkan mobilitas, toksisitas dan
bioavailabilitas kontaminan (Knox et al.,
2012; Lee & Park, 2013). Material yang
digunakan adalah material yang reaktif
untuk memperkuat kapasitas adsorpsi
seperti kalsit, zeolit, karbon aktif, zero-
valent iron, organoclay dan biopolimer
(Zhang et al., 2016), seperti pada Gambar
1b. Metode capping dilaporkan oleh Knox
et al., (2012) menggunakan senyawa aktif
yang terdiri dari apatit, organoclay,
biopolimer dan pasir untuk remediasi
logam berat dari sedimen yang
terkontaminasi. Efektivitas dari komposit
ini dinilai dari penurunan bioavailabilitas
kontaminan, ketahanan terhadap erosi dan
dampak pada organisme bentik dalam
rentang waktu 12 bulan. Selain itu,
remediasi juga menggunakan senyawa aktif
yang terdiri dari apatit, lempung,
biopolimer dan zeolit. Campuran senyawa
tersebut memiliki potensi tinggi untuk
desain capping aktif yang ramah
lingkungan dan efektif untuk perbaikan
kontaminan logam Co, Cr, Ni dan Pb
dengan mencegah transportasi difusi logam
dari sedimen yang terkontaminasi selama 6
bulan. Capping aktif yang terdiri dari
bahan-bahan tersebut dapat mengubah sifat
kimia logam menjadi spesies logam yang
relatif tidak bergerak sehingga mengurangi
kemungkinan kontaminan logam berpindah
dari sedimen ke dalam rantai makanan
akuatik (Knox et al., 2014).
2. Metode Pencucian
Pencucian sedimen adalah teknologi
remediasi ex situ yang relatif sederhana,
yaitu dengan menambahkan larutan tertentu
ke sedimen yang tercemar untuk
memindahkan kontaminan dari sedimen ke
larutan pencuci (Peng et al., 2009). Spesiasi
logam berat yang terikat pada permukaan
sedimen memainkan peran penting dalam
efisiensi pencucian. Metode pencucian
cocok digunakan untuk logam berat yang
terikat secara lemah dengan partikel
sedimen, seperti fraksi hidroksida, oksida
dan karbonat (Chen et al., 2017; Mulligan
et al., 2001). Metode pencucian umumnya
digunakan untuk sedimen dengan partikel
kasar, seperti pasir dan kerikil karena
memiliki ikatan yang lemah dengan logam
berat (Peng et al., 2009; Mohanty &
Mahindrakar, 2011).
Metode pencucian melalui dua
tahapan yaitu, pelarutan logam dan
pembuangan logam terlarut (Akcil et al.,
2015). Larutan yang digunakan antara lain
asam anorganik, asam organik, pengelat
(Lasheen & Amma, 2014) dan biosurfaktan
(Chen et al., 2017) yang bertujuan untuk
memfasilitasi pelarutan, penyebaran dan
desorpsi kontaminan logam dari sedimen
Oseana, Volume 45, Nomor 1 Tahun 2020: 1-16 p-ISSN: 0216-1877, e-ISSN: 2714-7185
4
(a)
(b)
Gambar 1. Model pemulihan sedimen terkontaminasi dengan metode (a) capping aktif (modifikasi
dari Peng et al., 2018) dan (b) capping pasif (modifikasi dari Knox et al., 2014).
tercemar (Peng et al., 2018). Metode
pencucian yang dikembangkan oleh
Lasheen & Amma (2014) menggunakan
senyawa EDTA untuk mengekstrak logam
Pb dan Cd dari sedimen terkontaminasi.
Efisiensi pembuangan timbal
mencapai 72,54% dan kadmium 53,58%
pada kondisi optimum. Senyawa pengelat
seperti EDTA secara efektif memperbaiki
sedimen yang terkontaminasi logam berat
dengan membentuk senyawa kompleks
(Yoo et al., 2013) sehingga ikatan kuat
yang terjadi antara ligan-metal mampu
meningkatkan efisiensi ekstraksi logam
dari sedimen. Sedangkan Chen et al.,
(2017) menggunakan rhamnolipid sebagai
agen pencuci sedimen terkontaminasi
logam berat dengan efisiensi mencapai
86,67% untuk Cd, 80,21% untuk Cu,
63,54% untuk Pb dan 47,85% untuk Cr.
Ikatan antara logam dan permukaan
sedimen berdampak pada efisiensi
pencucian dan urutan pencucian. Cd dan Cu
terikat lemah dengan sedimen sehingga
lebih mudah dihilangkan dibandingkan Pb
dan Cr.
Oseana, Volume 45, Nomor 1 Tahun 2020: 1-16 p-ISSN: 0216-1877, e-ISSN: 2714-7185
5
3. Metode Imobilisasi
Metode imobilisasi dikenal juga
sebagai metode stabilisasi yang bertujuan
untuk mengubah logam menjadi bentuk
baru dalam fase yang tidak mudah larut
sehingga lebih stabil di lingkungan (Qian et
al., 2009). Imobilisasi digunakan untuk
remediasi sedimen tercemar secara in situ
atau ex situ melalui proses ekstraksi logam
berat, meskipun tidak dapat menghilangkan
logam dari sedimen (Peng et al., 2009).
Metode ini mengurangi solubilitas,
mobilitas dan bioavailabilitas logam
dengan mengubah spesies kimianya
melalui proses pertukaran ion, adsorbsi,
oksidasi, reduksi dan presipitasi (Peng et
al., 2018; Qian et al., 2009). Agen penstabil
dapat berupa zat anorganik, zat organik
atau senyawa kompleks yang memiliki
kapasitas pertukaran kation yang tinggi,
ramah lingkungan dan murah seperti
lumpur merah dan arang besi, oksida besi
atau hidroksida besi, zeolit, sepiolit, apatit,
nano material dan karbon aktif (Yin & Zhu,
2016). Kestabilan logam berat yang
terbentuk nantinya akan dipengaruhi oleh
karakteristik sedimen, tipe zat, konsentrasi
logam, waktu remediasi serta metode
remediasi (Peng et al., 2018). Proses
remediasi logam berat dengan metode
imobilisasi dapat dilihat pada ilustrasi
Gambar 2.
Huang et al., (2016) menggunakan
senyawa S-NZVI (sodium alginate-nano
zero valent iron) untuk imobilisasi logam
Cd dengan meningkatkan fraksi
residualnya dan menurunkan
bioavailabilitas Cd di sedimen. Yin & Zhu,
(2016) menggunakan mineral lempung
kaya kalsium untuk remediasi Pb dan Cd
dari sedimen dengan membentuk ikatan
kimia yang kuat melalui mekanisme
kompleksasi permukaan dan pengendapan.
Chen et al., (2015) melaporkan penggunaan
senyawa nano zero valen iron/activated
carbon (nZVI/AC) sebagai senyawa
penstabil dari logam Cu, Pb, Cd dan Cr
yang berasal dari sedimen tercemar. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa
penambahan nZVI/AC dalam bentuk
partikel bubuk dengan ukuran 0,075-0,18
mm memiliki kemampuan stabilitas yang
lebih efektif dari pada bentuk granularnya.
Gambar 2. Metode imobilisasi logam berat dengan metode imobilisasi (modifikasi dari
Wang et. al., 2018).
Oseana, Volume 45, Nomor 1 Tahun 2020: 1-16 p-ISSN: 0216-1877, e-ISSN: 2714-7185
6
Senyawa nZVI/AC mampu
mengubah ikatan logam berat yang relatif
lemah menjadi lebih kuat sehingga
mengurangi bioavailabilitas dan
toksisitasnya. Shin et al., (2015)
menggunakan lumpur merah sebagai zat
penstabil. Hasilnya menunjukkan bahwa
komponen tersebut memberikan efek
terbaik dalam mengendalikan
bioavailabilitas dan toksisitas logam berat
(Zn dan Ni) dalam sedimen laut yang
terkontaminasi.
Zhang et al., (2010) menggunakan
partikel nano-hidroksiapatit (nHAp) dalam
proses imobilisasi Pb dan Cd untuk
pemulihan sedimen tercemar. Partikel
nHAp dapat memobilisasi logam berat
dalam sedimen secara efektif dengan
meningkatkan fraksi residual melalui
mekanisme pelarutan-pengendapan untuk
imobilisasi Pb dan mekanisme kompleksasi
permukaan berikut difusi intrapartikel
untuk imobilisasi Cd. Wan et al., (2018)
menggunakan Rha-nClAP (rhamnolipid
nano-chlorapatite) untuk meningkatkan
efisiensi imobilisasi Pb dan Cd dengan
mengubah logam dari fraksi labil menjadi
fraksi stabil melalui proses pengendapan
dan adsorpsi. Rha bertindak sebagai eluen
untuk melepaskan logam dari sedimen,
sedangkan nClAP bertindak sebagai agen
pengendap sehingga mampu meningkatkan
efisiensi kestabilan logam.
Metode Biologi
Metode remediasi dengan teknik
biologi dikenal sebagai proses
bioremediasi. Bioremediasi diterapkan
untuk menghilangkan kontaminasi
lingkungan melalui proses biologis oleh
tumbuhan, hewan dan mikroorganisme
(Song et al., 2017). Selama proses
bioremediasi, terjadi perubahan tingkat
oksidasi logam berat melalui pembentukan
senyawa organik kompleks. Perubahan
tingkat oksidasi dapat menurunkan sifat
toksisitas dan bioavailabilitas dari logam
berat. Pembentukan senyawa organik
kompleks yang mudah menguap dan
mudah larut dalam air dapat dihilangkan
melalui proses leaching. Sementara
pembentukan senyawa organik kompleks
yang sukar larut dalam air dapat
dihilangkan melalui proses pengendapan
(Chibuike & Obiora, 2014). Metode
bioremediasi yang banyak dikembangkan
adalah fitoremediasi dan bioaugmentasi.
1. Fitoremediasi
Metode fitoremediasi merupakan
teknologi yang melibatkan penggunaan
tanaman untuk menghilangkan polutan dari
lingkungan, karena tanaman memiliki
kemampuan menyerap dan mengakumulasi
logam berat dalam konsentrasi yang tinggi
di akar (Kumar et al., 2008). Fitoremediasi
merupakan metode yang ekonomis, hemat
energi, ramah lingkungan dan dapat
diterapkan pada area yang luas untuk
pemulihan lingkungan dari kontaminan
logam berat (Sakakibara et al., 2011;
Tangahu et al., 2011).
Metode remediasi untuk logam berat
yang berbasis pada tumbuhan fokus pada
proses fitoekstraksi dan fitostabilisasi
(Doni et al., 2015). Fitoekstraksi
merupakan proses biokimia yang penting di
tumbuhan, yaitu proses penyerapan logam
berat dari sedimen terkontaminasi melalui
akar atau tunas, selanjutnya logam berat
tersebut dipindahkan ke batang dan daun.
Jumlah logam yang terakumulasi di akar
umumnya lebih banyak dan berbeda
signifikan dibandingkan yang terakumulasi
di batang dan daun (Kumar et al., 2008).
Efisiensi fitoekstraksi bergantung pada
Oseana, Volume 45, Nomor 1 Tahun 2020: 1-16 p-ISSN: 0216-1877, e-ISSN: 2714-7185
7
bioavailabilitas logam berat, spesiasi logam
berat dan spesies tanaman (Peng et al.,
2018). Sedangkan proses fitostabilisasi
menggunakan eksudat yang dihasilkan oleh
akar untuk menstabilkan, mendemobilisasi
dan mengurangi bioavailabilitas logam
berat (Tangahu et al., 2011). Salah satu
bentuk eksudat tanaman adalah fulvic acid
yang dihasilkan oleh akar tanaman
mangrove Avicennia marina yang mampu
mengubah ion logam menjadi bentuk
kompleks dan bersifat stabil (Zhu et al.,
2019).
Tanaman yang ideal untuk
fitoremediasi adalah tanaman yang
memiliki kemampuan untuk
mengakumulasi logam berat, kemampuan
untuk memindahkan logam berat dari akar
ke daun, kemampuan mentoleransi
toksisitas logam berat, kemampuan untuk
beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan
iklim yang berlaku (Doni et al., 2015),
ketahanan terhadap patogen dan hama,
mudah dalam budidaya dan panen, dan
tidak disukai herbivora untuk menghindari
kontaminasi rantai makanan (Peng et al.,
2018; Ali et al., 2013). Tanaman yang
banyak digunakan untuk remediasi logam
berat adalah tumbuhan mangrove, seperti
Avicennia marina, Lumnitzera racemosa,
Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera
parvilora, Ceriops tagal, Sonneratia
caseolaris, Rhizophora apiculata,
Rhizophora mangle, Laguncularia
racemosa, Avicennia germinans, Avicennia
alba, Acanthus ilicifolius (MacFarlane et
al., 2003, Analuddin et al., 2017, Lewis et
al., 2011, Hamzah & Setiawan, 2010, Wang
et al., 2012, Kamaruzzaman et al., 2009,
Maldonando-Roman et al., 2016, Rahman
et al., 2019, Kaewtubtim et al., 2016;
Chowdhury et al., 2015) dan tumbuhan
lamun seperti Zostera marina, Cymodocea
rotundata, Thalasia hemprichii,
Syringodium isoetifolium (Lee et al., 2019;
Paz-Alberto & Sigua, 2015).
Tumbuhan laut yang berperan dalam
proses fitoremediasi tidak hanya mangrove
dan lamun, tetapi juga mikroalga dan
makroalga. Pengunaan mikroalga dan
makroalga mendapat perhatian besar
karena kemampuannya untuk menyerap
logam dan mengambil unsur toksik dari
lingkungan atau menjadikannya kurang
berbahaya (Chekroun & Baghour, 2013).
Selain itu, penggunaan mikroalga dalam
proses remediasi banyak dilakukan karena
biaya pertumbuhan yang tidak mahal dan
teknik yang ramah lingkungan. Efisiensi
pembuangan logam berat oleh mikroalga
bergantung pada jenis mikroalga, sifat dan
konsentrasi ion logam, dan waktu
kulturnya.
Kwon et al., (2017) menggunakan
empat spesien mikroalga untuk proses
remediasi sedimen laut dari logam
kontaminan Cu dan Zn, yaitu
Phaeodactylum tricornutum, Nitzchia sp.,
Skeletonema sp. dan Chlorella vulgaris.
Mikroalga ditempatkan di dalam tube
membran semi-permeable yang terhubung
dengan LED untuk mendapatkan
pertumbuhan yang optimal. Hasilnya
menunjukkan bahwa Chlorella vulgaris
merupakan spesies yang paling efisien
untuk proses fitoremediasi logam berat
dibandingkan mikroalga lainnya. Proses
adsorpsi dan absorpsi merupakan proses
yang paling dominan untuk pembuangan
logam berat dari sedimen laut oleh spesies
mikroalga.
Cameron et al., (2018) melaporkan
penggunaan Tetraselmis marina AC16-
MESO untuk remediasi sedimen tercemar
logam berat dengan mengevaluasi efisiensi
sedimentasi dan efisiensi pembuangan
logam berat. Efisiensi sedimentasi
mencapai 95,6% setelah 5 jam dekantasi
Oseana, Volume 45, Nomor 1 Tahun 2020: 1-16 p-ISSN: 0216-1877, e-ISSN: 2714-7185
8
dan efisiensi pembuangan logam berat
mencapai 40–90% untuk Cu2+, 100% untuk
Fe3+ dan 20–50 % untuk Mn2+ setelah
periode 72 jam untuk rentang konsentrasi
1,0-5,0 mgL-1. Tetraselmis marina menjadi
kandidat yang menjanjikan untuk proses
bioremediasi karena toleran terhadap
keberadaan logam berat, efisiensi
pembuangan logam yang tinggi dan waktu
proses yang singkat.
2. Bioaugmentasi
Bioaugmentasi adalah proses
bioremediasi yang dilakukan dengan cara
menambahkan mikroorganisme ke dalam
sedimen terkontaminasi dengan
meningkatkan aktivitas biologisnya untuk
mendegradasi dan mempercepat
penghilangan logam berat (Song et al.,
2017). Mikroorganisme yang dipilih harus
mampu beradaptasi dengan lingkungan
terkontaminasi dan memiliki kemampuan
katabolik spesifik untuk menurunkan
kontaminan target (Perelo, 2010).
Kontaminan logam berat tidak dapat
langsung terdegradasi menjadi senyawa
yang tidak berbahaya (Akcil et al., 2015).
Namun, mikroorganisme seperti bakteri
dapat mengubah bentuk kimia, mobilitas,
toksisitas, dan bioavailabilitas logam berat
melalui proses metabolisme. Interaksi
antara sel bakteri dan logam berat terjadi
melalui biosorpsi, bioakumulasi,
bioasimilasi, biopresipitasi, bioleaching,
biodegradasi, biosintesis, dan
biotransformasi (Peng et al., 2018) seperti
pada Gambar 3.
Interaksi penting dalam
bioaugmentasi antara mikroorganisme
yang memengaruhi toksisitas dan
transportasi logam berat adalah biosorpsi,
bioakumulasi dan biotransformasi.
Biosorpsi adalah asosiasi logam berat
terlarut dengan permukaan sel melalui
proses kompleksitas, pengkelatan, reduksi,
pengendapan atau pertukaran kation/anion,
sehingga toksisitas logam berat dapat
dikurangi. Bioakumulasi adalah retensi dan
konsentrasi zat dalam mikroorganisme. Zat
terlarut dari luar sel masuk melalui
membran seluler dan terakumulasi di
sitoplasma. Biotransformasi mengubah
bentuk kimia dari logam berat, termasuk
mobilitas, toksisitas dan biovailabilitasnya
(Peng et al., 2018; Tabak et al., 2005).
Untuk remediasi sedimen, teknik
bioaugmentasi yang dikembangkan adalah
biomobilisasi dan bioimobilisasi.
Biomobilisasi digunakan secara luas untuk
remediasi logam berat di sedimen tercemar.
Proses ini meliputi dua tahap yaitu (i)
logam berat dilepaskan ke larutan melalui
metode biologi dan (ii) logam berat terlarut
dipisahkan ke dalam fase padat dan likuid
(Peng et al., 2018).
Gambar 3. Proses bioremediasi logam berat menggunakan sel bakteri (modifikasi dari
Peng et al., 2018).
Oseana, Volume 45, Nomor 1 Tahun 2020: 1-16 p-ISSN: 0216-1877, e-ISSN: 2714-7185
9
Logam berat tidak dapat terdegradasi,
tetapi dapat berubah melalui proses
biogeokimia, yaitu perubahan mobilitas,
toksisitas dan bioavailabilitasnya.
Bioleaching adalah salah satu pendekatan
yang paling umum untuk biomobilisasi,
karena menggunakan efek oksidasi biologis
dan produksi asam amino untuk mengubah
senyawa logam tidak larut menjadi
senyawa ion terlarut. Metode bioleaching
yang dilaporkan oleh Akinci et al., (2011)
dan Nguyen et al., (2015) menggunakan
kultur bakteria Acidithiobacillus spp.
Efisiensi remediasi logam Pb mencapai
>80% untuk Acidithiobacillus thiooxidans
dan 63% untuk Acidithiobacillus
ferrooxidans, sedangkan efisiensi untuk
Mn dan Zn lebih bagus menggunakan
Acidithiobacillus ferrooxidans.
Beolchini et al., (2009) menggunakan
campuran bakteria autotrofik
(Acidithiobacillus thiooxidans,
Acidithiobacillus ferrooxidans,
Leptospirillum ferrooxidans) dan bakteria
heterotropik (Acidiphilium cryptum) untuk
remediasi sedimen tercemar. Hasilnya
menunjukkan efisiensi mobilisasi logam
berat meningkat signifikan dan mencapai >
90% untuk logam Cu, Cd, Hg, Zn dan tidak
bergantung pada keberadaan sulfur. Zhu et
al., (2014) melaporkan penggunaan
bakteria autotrofik A. thiooxidans dan
bakteria heterotrofik Pseudomonas
aeruginosa dengan efisiensi remediasi
mencapai 95,2%, 94,2%, 90,1% dan 84.4%
untuk logam Zn, Mn, Cu dan Cd.
Sedangkan metode bioimobilisasi
pada bioaugmentasi mengacu pada
penggunaan mikroorganisme untuk
mengubah senyawa logam toksik menjadi
tidak toksik melalui proses biosorpsi,
bioakumulasi, biopresipitasi dan
biotransformasi (Peng et al., 2018).
Mikroorganisme anaerob yang banyak
dikembangkan untuk proses bioimobilisasi
adalah Sulphate Reducing Bacteria (SRB).
SRB mampu mereduksi sulfat menjadi
hidrogen sulfida yang mudah bereaksi
dengan logam membentuk endapan yang
stabil (Li et al., 2016). Tujuan metode ini
adalah menurunkan kelarutan, mobilitas,
bioavailabilitas dan toksisitas logam berat
tanpa melepaskannya dari sedimen
tercemar dalam bentuk logam sulfida (Peng
et al., 2018b).
Peng et al., (2019) mempelajari
analisis mikrobiologi sedimen
terkontaminasi Cd dengan bioimobilisasi
SRB. Selama proses biostabilisasi, terjadi
perubahan komunitas bakteri secara
signifikan di sedimen. Kehadiran
Bacillaceae dan Streptococcaceae
mengurangi biostabilisasi Cd karena
menghambat aktivitas biologi SRB.
Sedangkan keberadaan Nitrospinaceae dan
Nitrospira mampu menghambat proses
denitrifikasi sehingga memberikan efek
positif pada aktivitas SRB untuk mereduksi
sulfat sehingga mempermudah proses
biostabilisasi Cd. Park et al., (2008)
melaporkan penggunaan mikroorganisme
Ralstonia sp. HM-1 dengan peningkatan
alkalinitas yang dihasilkan dari reduksi
sulfat oleh SRB yang mampu
menghilangkan kadmium dan seng dengan
efisiensi mencapai 99,7% setelah 35 hari.
Sedangkan Li et al., (2016)
mengimobilisasi SRB dalam bentuk butiran
dengan PVA memberikan hasil yang lebih
efektif untuk mengubah logam berat
menjadi fase terikat yang stabil. Efisiensi
penghilangan logam Cu, Zn, Pb dan Cd
mencapai 76,3%, 95,6%, 100% dan 91,2%
berturut-turut. Keuntungan dari metode
bioaugmentasi adalah aman, mudah,
efektif, biaya rendah, dapat dikerjakan on-
site dan dapat digabung dengan perlakuan
kimia atau fisika. Sedangkan
Oseana, Volume 45, Nomor 1 Tahun 2020: 1-16 p-ISSN: 0216-1877, e-ISSN: 2714-7185
10
kelemahannya adalah butuh waktu yang
lama dan aplikasi terbatas, serta sulit
memprediksi dampak bioremediasinya.
Metode Gabungan
Metode fisika-kimia dikenal sebagai
teknologi tradisional yang memiliki
efisiensi yang tinggi untuk proses remediasi
namun membutuhkan biaya yang besar.
Sedangkan metode biologi merupakan
metode yang menjanjikan karena ramah
lingkungan, namun membutuhkan waktu
yang lama dan tidak stabil dalam
efisiensinya. Sehingga penggabungan dari
kedua metode tersebut dapat meningkatkan
efesiensi remediasi dengan konsumsi
energi yang rendah (Peng et al., 2018; Song
et al., 2017).
Penelitian yang dilakukan oleh
Bianchi et al., (2009) dengan pendekatan
berbasis ekosistem bertujuan untuk
menguji efisiensi teknik fitoremediasi yang
diterapkan pada sedimen laut yang
terkontaminasi logam berat di pelabuhan
Livorno, Italia. Metode yang diterapkan
melibatkan penggunaan tanaman Paspalum
vaginatum dan Tamarix gallica dengan
cacing tanah (Eisenia foetida sp.).
Penggabungan tersebut menciptakan
kembali ekosistem aktif dengan adanya
interaksi antara tanaman, mikroorganisme
dan makroorganisme. Proses ekstraksi
logam berat dipelajari dengan melihat
perbandingan jumlah logam berat di tunas
dan di akar. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rasio jumlah logam berat Ni dari PL
(Tanaman Paspalum vaginatum dan
Tamarix gallica + cacing tanah Eisenia
foetida sp.) dan P (Tanaman Paspalum
vaginatum dan Tamarix gallica) adalah
1,5:1,1. Hasil tersebut memperlihatkan
bahwa ekstraksi logam berat Ni yang
dihasilkan dari penggabungan tanaman dan
cacing tanah lebih tinggi dibandingkan
dengan hanya menggunakan tanaman.
Doni et al., (2015) melaporkan
penggunaan dua jenis tanaman yang
berasosiasi (P. vaginatum Sw. + T. gallica
L. dan P. vaginatum Sw. + S. junceum L.)
yang disertai dengan penambahan pupuk
kompos untuk meningkatkan efisiensi
fitoremediasi logam berat dari sedimen laut
yang terkontaminasi. Sinergi dari tanaman
dan pupuk kompos mampu meningkatkan
kapasitas rhizosfer untuk mengendapkan
logam berat. Asosiasi P. vaginatum Sw. dan
T. gallica L. menunjukkan efisiensi
akumulasi yang lebih tinggi untuk logam
Zn dan Ni, sedangkan asosiasi P.
vaginatum Sw. dan S. junceum L.
menunjukkan efisiensi akumulasi yang
lebih tinggi untuk logam Cu dan Pb.
Teknik fitoekstraksi dengan
penambahan agen pengompleks digunakan
untuk remediasi sedimen laut yang
terkontaminasi logam berat secara ex situ.
Agen pengompleks logam seperti EDTA
atau EDDS digunakan untuk mengaktivasi
logam berat selama proses fitoekstraksi
(Peng et al., 2018). Selanjutnya tanaman
dengan laju pertumbuhan yang tinggi dan
biomassa yang besar digunakan untuk
mengekstrak logam berat sehingga efisiensi
logam berat meningkat. Bianchi et al.,
(2008) menggunakan P. vaginatum spp.
dengan penambahan agen pengelat (EDTA,
asam sitrat dan humic substances) untuk
meningkatkan proses fitoekstraksi logam
Cu dan Zn dari sedimen laut yang tercemar.
Hasilnya menunjukkan penggunaan EDTA
(480 mg/l) mampu meningkatkan
mobilisasi logam Cu dan Zn dari sedimen
sebesar 58% dari total Cu dan 50% dari
total Zn. Penggunaan humic substances
(1.000 mg/l) menunjukkan peningkatan
mobilisasi logam dari sedimen sebesar 32%
dari total Cu dan 5% dari total Zn,
Oseana, Volume 45, Nomor 1 Tahun 2020: 1-16 p-ISSN: 0216-1877, e-ISSN: 2714-7185
11
sedangkan penggunaan asam sitrat tidak
memberikan efek yang signifikan.
Sistem terintegrasi dari micro zero
valent iron (mFe0) dan sulfate reducing
bacteria (SRB) digunakan oleh Li et al.,
(2016) untuk mengolah sedimen
terkontaminasi logam berat. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa efisiensi
remediasi oleh mFe0/SRB berkisar antara
90,69% sampai 100% untuk logam Cu, Cd,
Zn dan Pb. Endapan logam-logam tersebut
ditemukan dalam bentuk fraksi mineral
stabil, yaitu fraksi teroksidasi dan fraksi
residu. Kelebihan mFe0/SRB terletak pada
dua hal, yaitu (1) mFe0 mampu merangsang
aktivitas SRB, (2) senyawa besi yang
berasal dari mFe0 dan metabolit dari SRB
(senyawa sulfida, sulfit dan tiosulfat)
bergabung dengan fraksi logam berat yang
dimobilisasi sehingga membentuk fraksi
yang lebih stabil.
PENUTUP
Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa sedimen yang terkontaminasi logam
berat dapat dipulihkan dengan teknik
remediasi. Teknik-teknik remediasi yang
dikembangkan didasarkan pada metode
fisika-kimia, metode biologi dan metode
gabungan. Metode fisika-kimia
menggunakan teknik secara fisik disertai
dengan reaksi kimia dari zat yang
digunakan, seperti teknik capping,
pencucian dan imobilisasi. Metode biologi
dikenal dengan proses bioremediasi yang
menggunakan tanaman (metode
fitoremediasi) dan mikroorganisme
(bioaugmentasi). Sedangkan metode
gabungan merupakan penggabungan dari
metode fisika-kimia dan fitoremediasi,
metode fisika-kimia dan bioaugmentasi
serta fitoremediasi dan bioaugmentasi
dengan tujuan mendapatkan efisiensi
remediasi yang tinggi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih saya sampaikan
kepada Ibu Lestari dan Bapak Fitri
Budiyanto atas saran dan masukan selama
penulisan artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Akcil, A., Erust, C., Ozdemiroglu, S., Fonti,
V., & Beolchini, F. (2015). A Review
of approaches and techniques used in
aquatic contaminated sediments:
metal removal and stabilization by
chemical and biotechnological
processes. Journal Cleaner
Production, 86: 24-36.
Akinci, G., & Guven, D.E. (2011).
Bioleaching of heavy metals
contaminated sediment by pure and
mixed cultures of Acidithiobacillus
spp. Desalination, 268(1-3): 221-
226.
Ali, H., Khan, E., & Sajad, M.A. (2013).
Review: Phytoremediation of heavy
metals-Concepts and applications.
Chemosphere, 91(7): 869-881.
Analuddin, K., Sharma, S., Jamili,
Septiana, A., Sahidin, I., Rianse, U.,
& Nadaoka, K. (2017). Heavy metal
bioaccumulation in mangrove
ecosystem at the coral triangle
ecoregion, Southeast Sulawesi,
Indonesia. Marine Pollution Bulletin,
125(1-2): 472-480.
Ansari, T.M., Marr, I.L. & Tariq, N. (2004).
Heavy metals in marine pollution
perspective-A mini review. Journal
of applied sciences, 4: 1-20
Beolchini, F., Dell’Anno, A., Propis, L.D.,
Ubaldini, S., Cerrone F., &
Danovaro, R. (2009). Auto- and
heterotrophic acidophilic bacteria
enhance the bioremediation
efficiency of sediments contaminated
by heavy metals. Chemosphere,
74(10): 1321-1326.
Oseana, Volume 45, Nomor 1 Tahun 2020: 1-16 p-ISSN: 0216-1877, e-ISSN: 2714-7185
12
Bianchi, V. & Masciandaro, G. (2009).
Phytoremediation and bio-physical
conditioning of dredged marine
sediments for their re-use in the
environment. Water, Air, & Soil
Pollution, 210(1-4):187-195.
Bianchi, V., Masciandaro, G., Giraldi, D.,
Ceccanti B., & Ianelli, R. (2008).
Enhanced heavy metal
phytoextraction from marine dredged
sediments comparing conventional
chelating agents (citric acid and
EDTA) with humic substances.
Water, Air, and Soil Pollution, 193(1-
4): 323-333.
Cameron, H., Mata, M.T., & Riquelme, C.
(2018). The effect of heavy metals on
the viability of Tetraselmis marina
AC16MESO and an evaluation of the
potential use of this microalga in
bioremediation. PeerJ, 6:e5295.
Chekroun, K.B. & Baghour, M. (2013). The
role of algae in phytoremediation of
heavy metals: A review. J. Mater.
Environmental Science, 4(6): 873-
880.
Chen W., Qu, Y., Xu, Z., He, F., Chen, Z.,
Huang S., & Li, Y. (2017). Heavy
metal (Cu, Cd, Pb, Cr) washing from
river sediment using biosurfactant
rhamnolipid. Environmental Science
and Pollution Research, 24(19):
16344-16350.
Chen, W.F., Zhang, J., Zhang, X., Wang,
W., & Li, Y. (2015). Investigation of
heavy metal (Cu, Pb, Cd and Cr)
stabilization in river sediment by
nano-zero-valent iron/activated
carbon composite. Environmental
Science and Pollution Research,
23(2): 1460-1470.
Chibuike, G.U., & Obiora, S.C. (2014).
Heavy metal polluted soils: effect on
plants and bioremediation methods.
Applied and Environmental Soil
Science, 2014: 1-12.
Chowdhury, R., Favas, P.J.C., Pratas, J.,
Jonathan, M.P., Ganesh, P.S., &
Sarkar, S.K. (2015). Accumulation
of trace metals by mangrove plants in
Indian Sundarban Wetland: Prospects
for Phytoremediation. International
Journal of Phytoremediation, 17(9):
885-894.
Doni, S., Macci, C., Peruzzi, E., Iannelli,
R., & Masciandaro, G. (2015). Heavy
metal distribution in a sediment
phytoremediation system at pilot
scale. Ecological Engineering, 81:
146-157.
Duodu, G.O., Goonetilleke, A., & Ayoko,
G.A. (2017). Potential bioavailability
assessment, source apportionment
and ecological risk of heavy metals in
the sediment of Brisbane River
estuary, Australia. Marine Pollution
Bulletin, 117(1-2): 523-531.
Fu, J., Hu, X., Tao, X., Yu, H., & Zhang, Z.
(2013). Risk and toxicity assessments
of heavy metals in sediments and
fishes from the Yangtze River and
Taihu Lake, China. Chemosphere,
93(9): 1887-1895.
Hamzah, F., & Setiawan, A. (2010).
Akumulasi logam berat Pb, Cu dan
Zn di Hutan Mangrove Muara Angke,
Jakarta Utara. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis, 2: 41-52.
Huang, D., Xue, W., Zeng, G., Wan, J.,
Chen, G., Huang, C., Zhang, C.,
Cheng, M., & Xu, P. (2016).
Immobilization of Cd in river
sediments by sodium alginate
modified nanoscale zerovalent iron:
Impact on enzyme activities and
microbial community diversity.
Water Research, 106: 15-25.
Ismail, A., Toriman, M.E., Juahir, H., Zain,
S.M., Habir, N.L.A., Retnam, A.,
Kamaruddin, M.K.A., Umar, R &
Azid, A. (2016). Spatial assessment
and source identification of heavy
metals pollution in surface water
using several chemometric
techniques. Marine Pollution
Bulletin, 106(1-2): 292-300.
Kaewtubtim, P., Meeinkuirt, W., Seepom,
S., & Pichtel, J. (2016). Heavy metal
phytoremediation potential of plant
species in a mangrove ecosystem in
Oseana, Volume 45, Nomor 1 Tahun 2020: 1-16 p-ISSN: 0216-1877, e-ISSN: 2714-7185
13
Pattani Bay, Thailand. Applied
Ecology and Environmental
Research, 14(1): 367-382.
Kamaruzzaman, B.Y., Ong, M.C., Jalal, K.
C.A., Shahbudin, S., & Nor, O.M.
(2009). Accumulation of lead and
copper in Rhizophora apiculata from
Setiu mangrove forest, Terengganu,
Malaysia. Journal of Environmental
Biology, 30(5): 821-824.
Ke, X., Gui, S., Huang, H., Zhang, H.,
Wang, C., & Guo, W. (2017).
Ecological risk assessment and
source identification for heavy metals
in surface sediment from the Liaohe
River protected area, China.
Chemosphere, 175: 473-481.
Knox, A.S., Paller, M.H., & Roberts, J.
(2012). Active capping technology-
new approaches for in situ
remediation of contaminated
sediments. Remediation Spring,
22(2): 93-117.
Knox, A.S., Paller. M.H., & Dixon, K. L.
(2014). Evaluation of active cap
materials for metal retention in
sediments. Remediation Spring,
24(3): 49-69.
Kumar, J.I.N., Soni, H., Kumar, R.N., &
Bhatt, I. (2008). Macrophytes in
phytoremediation of heavy metal
contaminated water and sediments in
Pariyej Community Reserve, Gujarat,
India. Turkish Journal of Fisheries
and Aquatic Sciences, 8(2): 193-200.
Kwon1, H.K., Jeon, J.Y., & Oh, S.J. (2017).
Potential for heavy metal (copper and
zinc) removal from contaminated
marine sediments using microalgae
and light emitting diodes. Ocean
Science Journal, 52(1): 57-66.
Lasheen M.R. & Amma, N.S. (2014). Ex
situ remediation technology for
heavy metals in contaminated
sediment. Desalination and Water
Treatment, 52(7): 1-8.
Lee, G., Suonan, Z., Kim, S.H., Hwang,
D.W., & Lee, K.S. (2019). Heavy
metal accumulation and
phytoremediation potential by
transplants the seagrass Zostera
marine in the polluted bay system.
Marine Pollution Bulletin, 149,
110509.
Lee, J. & Park, J.W. (2013). Numerical
investigation for the isolation effect
of in situ capping for heavy metals in
contaminated sediments. KSCE
Journal of Civil Engineering, 17(6):
1275-1283.
Li, X., Dai, L., Zhang, C., Liu, Y., Zeng, G.,
Wu, Y., Tang, X., Liu, W., & Lan, S.
(2016). Enhanced biological
stabilization of heavy metals in
sediments using immobilized
sulphate reducing bacteria beads with
inner cohesive. Journal of Hazardous
Materials, 324: 340-347.
Li, X., Wu, Y., Zhang, C., Liu, Y., Zeng,
G., Tang, X., Dai, L., & Lan, S.
(2016). Immobilizing of heavy metals
in sediments contaminated by
nonferrous metals smelting plant
sewage with sulphate bacteria and
micro zero valent iron. Chemical
Engineering Journal, 306: 393-400.
MacFarlane, G., Pulkownik, A., &
Burchett, M. (2003). Accumulation
and distribution of heavy metals in
the grey mangrove, Avicennia marina
(Forsk) Vierh: biological indication
potential. Enviromental Pollution,
123(1): 139-151.
Maldonando-Roman, M., Jimenez-Collazo,
J., Malave-Llamas, K., & Musa-
Wasil, J.C. (2016). Mangroves and
their response to a heavy metal
polluted wetland in the north coastal
of Puerto Rico. The Journal of
Tropical life science, 6(3): 210-218.
Mohan, R.K., Brown, M.P., & Barnes, C.R.
(2000). Design criteria and
theoretical basis for capping
contaminated marine sediments.
Applied Ocean Research, 22(2): 85-
93.
Mohanti, M. & Mahindrakar, A.B. (2011).
Removal heavy metal by screening
followed by soil washing from
contaminated soil. International
Oseana, Volume 45, Nomor 1 Tahun 2020: 1-16 p-ISSN: 0216-1877, e-ISSN: 2714-7185
14
Journal of Technology and
Engineering System, 2(3): 290-293.
Mulligan, C.N., Yong, R.N., & Gibbs, B.F.
(2001). An evaluation of technologies
for heavy metal remediation of
dredged sediments. Journal of
Hazardous Materials, 85(1-2): 145-
163.
Nguyen, V.K., Lee, M.H., Park, H.J., &
Lee, J.U. (2015). Bioleaching of
heavy metals from mine tailing by
pure and mixed cultures of
Acidithiobacillus spp. Journal of
Industrial and Engineering
Chemistry, 21: 451-458.
Paz-Alberto, A.M. & Sigua, G.C. (2013).
Phytoremediation: a green
technology to remove environmental
pollutants. American Journal of
Climate Change, 2(1): 71-86.
Park, Y.J., Ko, J.J., Yun, S.L., Lee, E.Y.,
Kim, S.J., Kang, S.W., Lee, B.C., &
Kim, S.K. (2008). Enhancement of
bioremediation by Ralstonia sp. HM-
1 in sediment polluted by Cd and Zn.
Bioresource Technology, 99(16):
7458-7463.
Peng, J.F., Song, Y.H., Yuan, P., Cui, X.Y.,
& Qiu, G.L. (2009). The remediation
of heavy metals contaminated
sediment. Journal of Hazardous
Material, 161(2-3): 633-640.
Peng, W., Li, X., Lin, M., & Fan, W.
(2019). Microbiological analysis of
cadmium-contaminated sediments
during biostabilization with
indigenous sulfate-reducing bacteria.
Journal of Soils and Sediments.
Peng, W., Li, X., Xiao, S., & Fan, W.
(2018). Review of remediation
technologies for sediments
contaminated by heavy metals.
Journal of Soils and Sediments,
18(4): 1701-1719.
Peng, W., Li, X., Liu, T., Liu, Y., Ren, J.,
& Liang, D. (2018). Biostabilization
of cadmium contaminated sediments
using indigenous sulfate reducing
bacteria: Efficiency and process.
Chemosphere, 201: 697-707.
Perelo, L.W. (2010). Review: In situ and
bioremediation of organic pollutants
in aquatic sediments. Journal of
Hazardous Materials, 177(1-3): 81-
89.
Qian, G., Che, W., Lim, T.T., & Chui, P.
(2009). In-situ stabilization of Pb, Zn,
Cu, Cd and Ni in the multi-
contaminated sediments with
ferrihydrite and apatite composite
additives. Journal of Hazardous
Materials, 170(2-3): 1093-1100.
Ra, K., Kim, J.K., Hong, S.H., Yim, U.H.,
Shim, W.J., Lee, S.Y….. & Kim,
K.T. (2014). Assesment of pollution
and ecological risk of heavy metals in
the surface sediments of Ulsan Bay,
Korea. Ocean Science Journal, 49(3):
279-289.
Rahman, M.S., Hossain, M.B., Babu, S.M.
O.F., Rahman M., Ahmed, A.S.S.,
Jolly, Y.N.…. & Akter, S. (2019).
Source of metal contamination in
sediment, their ecological risk, and
phytoremediation ability of the
studied mangrove plants in ship
breaking area, Bangladesh. Marine
Pollution Bulletin, 141: 137-146.
Rosado, D., Usero, J., & Morillo, J. (2016).
Assessment of heavy metals
bioavailability and toxicity toward
Vibrio fischeri in sediment of the
Huelva estuary. Chemosphere, 153:
10-17.
Saher, N.U. & Siddiqui, A.S. (2019).
Occurrence of heavy metals in
sediment and their bioaccumulation
in sentinel crab (Macrophthalmus
depressus) from highly impacted
coastal zone. Chemosphere, 221: 89-
98.
Sakakibara, M., Ohmori, Y., Ha, N.T.H.,
Sano, S., & Sera, K. (2011).
Phytoremediation of heavy metal-
contaminated water and sediment by
Eleocharis acicularis. Clean-Soil, Air,
Water, 39(8): 735-741.
Sfakianakis, D.G., Reinieri, E., Kentouri,
M., & Tsatsakis, A. M. (2015). Effect
of heavy metals on fish larvae
Oseana, Volume 45, Nomor 1 Tahun 2020: 1-16 p-ISSN: 0216-1877, e-ISSN: 2714-7185
15
deformities: A review. 2015.
Environmental Research, 137: 246-
255.
Shahid, M., Austruy, A., Echevarria, G.,
Arshad, M., Sanaullah, M., Aslam,
M., Nadeem, M., Nasim, W., &
Dumat, C. (2014). EDTA-enhanced
phytoremediation of heavt metals: A
Review. Soil and Sediment
Contamination, 23(4): 389-416.
Shin, W. & Kim, Y.K. (2015). Stabilization
of heavy metal contaminated marine
sediments with red mud and apatite
composite. Journal of Soils and
Sediments, 16(2): 726-735.
Singh, J., & Kalamdhad, A.S. (2011).
Effect of heavy metals on soil, plants,
human health and aquatic life.
International Journal of Research in
Chemistry and Environmen, 1(2): 15-
21.
Song, B., Zeng, G., Gong, J., Liang, J., Xu,
P., Liu, Z. …. & Ren, X. (2017).
Evaluation methods for assessing
effectiveness of in situ remediation of
soil and sediment contaminated with
organic pollutants and heavy metals.
Enviromental International, 105: 43-
55.
Tabak, H.H., Lens, P., van Hullebusch,
E.D., & Dejonghe, W. (2005).
Developments in bioremediation of
soils and sediments polluted with
metals and radionuclides-1.
Microbial processe and mechanisms
affecting bioremediation of metal
contamination and influencing metal
toxicity and transport. Review in
Environmental Science and
Biotechnology, 4(3): 115-156.
Tangahu, B.V., Abdullah, S.R.S., Basri, H.,
Idris, M., Anuar, N., & Mukhlisin, M.
(2011). A Review on heavy metals
(As, Pb, and Hg) uptake by plants
through phytoremediation.
International Journal of Chemical
Engineering, 2011: 1-31.
Tsezos, M. 2009. Metal–microbes
interaction: beyond environmental
protection. Advance Material
Research, 71-73: 527-532.
Vandecasteele, B., Samyn, J., Quataert, P.,
Muys, B., & Tack, F. M. G. (2004).
Earthworm biomass as additional
information for risk assessment of
heavy metal biomagnification: a case
study for dredged sediment-derived
soils and polluted floodplain soils.
Environmental Pollution, 129(3):
363-375.
Vu, C.T., Lin, C., Shern, C.C., Yeh, G., Le,
V.G., & Tran, H.T. (2017).
Contamination, ecological risk and
source apportionment of heavy
metals in sediments and water of a
contaminated river in Taiwan.
Ecological Indicators, 82: 32-42.
Wan, J., Zeng, G., Huang, D., Hu, L., Xu,
P., Huang, C., ..... & Gong, X. (2017).
Rhamnolipid stabilized nano-
chlorapatite: Synthesis and
enhancement effect on Pb- and Cd-
immobilization in polluted sediment.
Journal of Hazardous Materials,
343: 332-339.
Wang Y., Qiu, Q., Xin, G., Yang, Z.,
Zheng, J., Ye, Z., & Li, S. (2012):
Heavy metal contamination in a
vulnerable mangrove swamp in South
China. Environmental Monitoring
and Assessment, 185: 5775-5787.
Yin, H. & J. Zhu. (2016). In situ
remediation of metal contaminated
lake sediment using naturally
occurring, calcium-rich clay mineral
based low cost amendment. Chemical
Engineering Journal, 285: 112-120.
Yoo, J.C., Lee, C.D., Yang, J.S., & Baek,
K. (2013). Extraction characteristics
of heavy metals from marine
sediments. Chemical Engineering
Journal, 228: 688-699.
Zhang, C., Zhu, M.Y., Zeng, G.M., Yu, Z.
G., Cui, F., Yang, Z.Z., & Shen, L.Q.
(2016). Active capping technology: a
new environmental remediation of
contaminated sediment.
Environmental Science and Pollution
Research, 23(5): 4370-4386.
Oseana, Volume 45, Nomor 1 Tahun 2020: 1-16 p-ISSN: 0216-1877, e-ISSN: 2714-7185
16
Zhang, Z., Li, M., Chen, W., Zhu, S., Liu,
N., & Zhu, L. (2010). Immobilization
of lead and cadmium from aqueous
and contaminated sediment using
nano-hydroxyapatite. Enviromental
Pollution, 158(2): 514-519.
Zhu, C.Q., Ghoto, K., Gao, G.F., Chen, J.,
Hu, W.J., Qiao, F., Liu, J.Y., &
Zheng, H.L. (2019). Trace metal
complexation behaviour with root
exudates induced by salinity from a
mangrove plant Avicennia marina
(Forsk.) Vierh. Bioremediation
journal, 1-2.
Zhu, J.Y., Zhang, J.X., Li, Q., Han, T., Hu,
Y.H., Liu, X.D., Qin, W.Q., Chai,
L.Y., & Qiu, G.Z. (2014).
Bioleaching of heavy metals from
contaminated alkaline sediment by
auto- and heterotrophic bacteria in
stirred tank reactor. Transaction of
Nonferrous Metals Society of China,
24(9): 2969-2975.