71
MODUL KULIAH SENYAWA AROMA DAN CITARASA ( AROMA AND FLAVOR COMPOUNDS ) Nyoman Semadi Antara Made Wartini Tropical Plant Curriculum Project Udayana University

Senyawa Aroma Dan Citarasa

Embed Size (px)

DESCRIPTION

adobr

Citation preview

MODUL KULIAH

SENYAWA AROMA DAN CITARASA (AROMA AND FLAVOR COMPOUNDS)

Nyoman Semadi Antara Made Wartini

Tropical Plant Curriculum Project Udayana University

DISCLAIMERThis publicati on is made possible by the generous

support of the American people through the United

States Agency for Internati onal Development (USAID).

The contents are the responsibility of Texas A&M University

and Udayana University as the USAID Tropical Plant

Curriculum Project partners and do not necessarily refl ect

the views of USAID or the United States Government.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 2

Daftar Isi

I. REMPAH-REMPAH DAN HERBAL Pendahuluan 1 Manfaat Rempah dan Herbal 6 Peran Fungsional 7 Nilai Nutrisi 10 Nilai Antioksidan 11 Sifat Antimikrobia 12 Sifat Repelen terhadap Serangga 13 Kasiat Obat-obatan 13 Daftar Pustaka 14

II. SENYAWA AROMA DAN CITARASA DARI REMPAH-REMPAH DAN HERBAL Pendahuluan 16 Citarasa 16 Minyak Atsiri 19 1. Keberadaan Minyak Atsiri dalam Tanaman 22 2. Perlakuan terhadap Bahan Baku 23

a. Curing 23 b. Preparasi Bahan 32 c. Metode Separasi Minyak Atsiri 33 d. Distilasi 39 e. Distilasi pada minyak atsiri 40

Daftar Pustaka III. ANTIMIKROBIA DARI REMPAH-REMPAH DAN HERBAL

Pendahuluan 53 Aktivitas Antimikrobia 55 Aktivitas Antibakteri 59 Aktivitas Antijamur 62 Sifat Antimikrobia pada Makanan 63 Model Penghambatan 67 Daftar Pustaka 68

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 3

Setelah membaca bagian dari bab ini pembaca/mahasiswa dapat mengetahui dan memahami berbagai jenis rempah-rempah dan herbal yang diproduksi di berbagai Negara. Pembaca/mahasiswa juga diberikan penjelasan mengenai kegunaan rempah-rempah dan herbal dan sifat fungsionalnya.

Pendahuluan

Untuk pertumbuhan dan beraktivitas, manusia membutuhkan makanan yang merupakan

kebutuhan hakiki yang harus terpenuhi. Berbagai jenis makanan berkembang di

berbagai daerah dan Negara sesuai dengan potensi lokal dan kebiasaan masyarakat

setempat. Hal ini yang menyebabkan bahwa di dunia ini dikenal banyak jenis makanan

untuk memenuhi kebutuhan kalori, nutrisi dan kepuasan manusia. Selain potensi

sumber pangan lokal, keragaman jenis dan cara penyajian makanan tergantung pada

budaya setempat, sehingga pengaruh budaya lokal sering menjadikan makanan

mempunyai citarasa spesifik lokal. Di Indonesia, yang memiliki keragaman budaya,

tercatat perkembangan berbagai jenis makanan dengan citarasa yang beragam pula.

Apabila diperhatikan dengan lebih rinci, rempah-rempah dan herbal merupakan salah

satu faktor yang berpengaruh terhadap citarasa dan kekhasan makanan tersebut.

Rempah-rempah dan herbal merupakan bahan bumbu yang sangat melekat digunakan

dalam kuliner masakan di masing-masing daerah di Indonesia. Selain untuk

meningkatkan citarasa makanan, ternyata rempah-rempah dan herbal yang

ditambahkan dapat juga meningkatkan keawetan produk dan juga keamanan produk

untuk dikonsumsi. Meningkatnya daya simpan dan keamanan produk makanan yang

ditambah rempah-rempah (bumbu) ataupun herbal disebabkan oleh kemampuan

rempah-rempah maupun herbal menghambat bahkan membunuh mikroba pembusuk

dan pathogen yang ada dalam makanan. Berbagai jenis rempah-rempah dan herbal

yang berasal dan diproduksi di berbagai Negara diperlihatkan pada Tabel 1.

Potensi rempah-rempah dan herbal bukan hanya meningkatkan citarasa makanan atau

minuman, namun juga dapat berfungsi untuk kesehatan. Di dalam rempah-rempah dan

herbal banyak terkandung senyawa-senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai

antimikrobia, antioksidan, antidiabetes, antitumor, dan fungsi lainnya yang sangat

bermanfaat untuk menjaga kesehatan. Untuk itu, rempah-rempah dan herbal banyak

I. REMPAH-REMPAH DAN HERBAL

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 4

dikembangkan untuk obat herbal karena dipercaya tidak mempunyai efek samping yang

berbahaya.

Tabel 1. Berbagai jenis rempah-rempah, bagian tanaman yang digunakan dan Negara asal atau produsen*

Rempah/Herbal Nama Botani Bagian Edible Negara penghasil/asal

Ajowan Trachyspermum ammi (L.) Sprague

Biji Persia and India

Aniseed

Pimpinella anisum L. Buah Mexico, Netherlands, Spain

Basil Ocimum basilicum L. Daun France, Hungary, USA, Serbia and Montenegro

Bay leaf Laurus nobilis L. Daun Turkey, USA, Portugal Cardamom

Elettaria cardamomum White et Mason

Buah India, Guatemala

Large cardamom

Amomum subulatum Roxb.

Buah India, Nepal, China

Cassia (kayu manis)

Cinnamomum cassia (L.) Presl

Batang, kulit kayu

China, Indonesia, South Vietnam

Celery Apium graveolens L. Fruit France, India Chilli Capsicum frutescens L. Fruit Ethiopia, India, Japan,

Kenya, Mexico, Nigeria, Pakistan, Tanzania, USA

Cinnamon (kayu manis)

Cinnamomum verum syn. C. Zeylanicum

Batang, kulit kayu

Sri Lanka, India

Cengkeh Syzygium aromaticum (L.) Merr. et Perry

Kuncup bungan

Indonesia, Malaysia, Tanzania

Ketumbar

Coriandrum sativum L. Buah Argentina, India, Morocco, Romania, Spain, Serbia and Montenegro

Cumin Cuminum cyminum L. Buah India, Iran, Lebanon Curry leaf Murraya koenigii Spreng Daun India, Burma Dill Anethum graveolens L. Buah India Fennel (adas) Foeniculum vulgare Mill. Buah Argentina, Bulgaria,

Germany, Greece, India, Lebanon

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 5

Tabel 1. Lanjutan…

Rempah/Herbal Nama Botani Bagian Edible Negara penghasil/asal

Fenugreek Trigonella foenum-graecum L.

Buah India

Garcinia Garcinia cambogia Buah India, Sri Lanka Bawang putih Allium sativum L. Bulb/clove Argentina, India Jahe

Zingiber officinale Rosc. Rimpang

India, Jamaica, Nigeria, Sierra Leone

Mint

Mentha piperita L. Biji

Bulgaria, Egypt, France, Germany, Greece, Morocco, Romania, Russia, UK

Mustard

Brassica nigra (L.) Koch Biji

Canada, Denmark, Ethiopia, UK, India

Nutmeg/Pala Myristica fragrans Houtt. Aril/seed Kernel

Grenada, Indonesia, India

Onion/Bawang Allium cepa L. Umbi/Bulb Argentina, Romania, India

Oregano Origanum vulgare L. Daun Greece, Mexico Paprika

Capsicum annuum L. Buah Bulgaria, Hungary, Morocco, Portugal, Spain, Serbia and Montenegro

Parsley

Petroselinum crispum (Mill) Nyman ex A.W. Hill

Daun Belgium, Canada, France, Germany, Hungary

Black pepper

Piper nigrum L.

Buah

Brazil, India, Indonesia, Malaysia, Sri Lanka, Vietnam

Poppy

Papaver somniferum L. Biji

The Netherlands, Poland, Romania, Turkey, Russia

Rosemary Rosmarinus officinalis L. Daun, ujung tunas

France, Spain, USA, Serbia and Montenegro

Sage Salvia officinalis L. Daun Albania, Serbia and Montenegro

Star anise Illicium verum Hooker fil. Buah China, North Vietnam Tamarind Tamarindus indica L. Buah Indonesia, Vietnam Turmeric Curcuma longa L. Rimpang China, Honduras, India,

Indonesia, Jamaica Vanilla Vanilla planifolia Andrews Buah/beans

Indonesia, Madagascar, Mexico, India

* Parthasarathy et al., 2009.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 6

Manfaat Rempah dan Herbal

Dari jaman dahulu rempah-rempah dan herbal mempunyai nilai sebagai ingredient dasar

untuk dupa sebagai pembangkit aroma, penangkal racun, kosmetik dan obat-obatan.

Tercatat bahwa nenek moyang kita banyak menggunakan herbal dan rempah-rempah

sebagai bahan pengobatan berbagai macam penyakit. Sebagai contoh adalah

peninggalan luhur budaya Bali, yaitu husada taru premana yang pada saat sekarang

banyak dikembangkan berbagai jenis tanaman (termasuk rempah-rempah dan herbal)

sebagai bahan pengobatan. Keragaman budaya Indonesia memberikan keragaman

peninggalan budaya pemanfaatan herbal dan rempah-rempah. Selanjutnya, herbal dan

rempah-rempah mulai banyak digunakan sebagai bahan penyedap (flavoring) untuk

makanan dan minuman. Berjalan dengan waktu, herbal dan rempah-rempah bukan saja

digunakan untuk meningkatkan citarasa, namun juga digunakan sebagai bahan untuk

menunda atau mencegah ketengikan dan kerusakan makanan. Rempah-rempah dapat

mempengaruhi aroma, warna dan rasa makanan dan kadang-kadang dapat menutupi

aroma yang tidak dikehendaki. Senyawa volatil memberi aroma dan oleoresin

mempengaruhi rasa makanan. Pengetahuan ini mendorong penggunaan rempah-

rempah di berbagai macam pengolahan makanan.

Dengan demikian berdasarkan fungsinya, herbal dan rempah-rempah diklasifikasikan ke

dalam bahan kuliner, kosmetik, dan farmasi. Pada jaman yang modern seperti sekarang,

rempah-rempah mempunyai tempat yang luas dalam seni kuliner di seluruh dunia, dan

digunakan dalam industri pangan sebagai bahan penyedap dan bumbu, dan juga

sebagai bahan farmasi untuk pengobatan dan perawatan kecantikan. Herbal dan

rempah-rempah bermanfaat oleh karena bahan kimia yang terkandung dalam bentuk

minyak atsiri, oleoresin, oleogum dan resin, yang memberi citarasa, rasa pedas dan

warna terhadap makanan yang disajikan. Dari daftar the International Organization for

Standardization (ISO) tercatat 112 jenis tanaman yang dikategorikan sebagai herbal dan

rempah-rempah. Diantara tanaman tersebut hanya sedikit jenis yang dibudidayakan dan

dimanfaatkan secara komersial di berbagai negara, hanya sedikit dimanfaatkan namun

sangat dikenal, sementara yang lainnya kurang dikenal, tumbuh sebagai tanaman liar

dan belum dimanfaatkan. Herbal maupun rempah-rempah yang belum dimanfaatkan

akan bernilai bukan hanya sebagai penyedap rasa, namun juga sebagai tanaman obat

yang sangat penting.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 7

Peran Fungsional

Rempah-rempah dan herbal dimanfaatkan daunnya (segar atau kering), batang, kulit

maupun umbi (rimpang) sebagai penyedap makanan dan minuman. Selain itu bumbu-

bumbuan herbal juga dikenal mempunyai nilai nutrisi, antioksidan, anti-mikrobia dan

sebagai obat-obatan. Karena potensinya tersebut, daun-daunan herbal sering

digunakan sebagai garnis pada berbagai jenis makanan. Minyak atsiri yang diekstrak

dari batang, daun dan bunga dapat digunakan sebagai bahan kosmetik, parfum dan

pengharum toilet. Minyak tersebut juga dapat digunakan sebagai penyedap berbagai

jenis minuman dan sebagai bahan farmasi.

Seperti yang tercatat di berbagai literatur, rempah herbal sudah digunakan sebagai

bahan balsam semenjak jaman Romawi dan Mesir kuno. Sampai sekarangpun daerah

Mediterania, seperti Jerman, Prancis dan juga USA merupakan produsen utama herbal

berkualitas tinggi. Curly parsley, chives dan dill banyak diproduksi di Jerman. Di USA

sudah banyak ditanam herbal berkualitas tinggi seperti parsley, tarragon, oregano dan

basil. Mesir dan Maroko banyak memproduksi parsley, chives dan dill. Negara-negara

Eropa Timur, seperti Polandia, Hungaria dan Negara bekas Yugoslavia juga

memproduksi herbal, namun dengan daerah tanam yang terbatas.

Penelitian-penelitian mengenai peran rempah-rempah untuk memningkatkan mutu

sensoris makanan dan minuman sudah banyak dilakukan, khususnya yang berkaitan

dengan citarasa, aroma dan warna produk. Namun demikian, beberapa dasawarsa

belakangan, hasil-hasil penelitian juga menunjukkan adanya pengaruh yang

menguntungkan dari rempah-rempah dan herbal terhadap reaksi-reaksi fisiologis tubuh.

Keuntungan fisiologis tersebut termasuk rangsangan terhadap pencernaan, pengaruh

hipolipidemia, pengaruh antidiabetes, sifat antilitogenik, potensi antioksidan, sifat anti-

imflammatory, antimutagenik dan potensi antikarsinogenik (Srinivasan, 2005). Dari

pengaruh yang menguntungkan tersebut, pengaruh hipolipidemia dan antioksidan dari

rempah-rempah sudah memberikan implikasi kesehatan yang baik. Di antara beberapa

rempah-rempah, curcumin, yang terkandung di dalam kunyit, merupakan senyawa aktif

antimutagenik yang dicoba in vitro maupun in vivo (Joe et al., 2004). Demikian pula,

sudah pula dicoba, secara in vitro dan in vovo, pengaruh curcumin, capsaicin dan

piperine terhadap sistem drug-metabolizing enzyme di dalam hati (Suresh dan

Srinivasan, 2006)

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 8

Indonesia merupakan Negara yang potensial sebagai sumber dan produsen rempah-

rempah maupun herbal. Sejak jaman dahulu masyarakat Indonesia sudah

memanfaatkan rempah-rempah dan herbal sebagai tanaman obat dan penyedap

makanan dan minuman. Bahkan, rempah-rempah dan herbal ini pula yang menarik

perhatian Negara-negara Eropah untuk datang ke Indonesia, seperti Portugis, Spanyol,

Belanda dan Inggris, sehingga Indonesia menjadi Negara jajahan yang potensial bagi

kesejahteraan Negara Eropah. Namun demikian, sampai sekarang produk cengkeh,

lada, dan panili merupakan produk potensial yang tetap diproduksi di Indonesia. Potensi

tanaman herbal dan rempah-rempah lain juga diproduksi untuk keperluan pasar dalam

negeri maupun ekspor. Banyak pula tanaman herbal yang masih belum dimanfaatkan

atau ditanam dalam jumlah terbatas, sehingga tanaman tersebut mempunyai potensi

besar untuk dikembangkan dan diproduksi secara luas untuk keperluan dalam negeri

maupun ekspor.

Amerika dan Eropah merupakan pasar rempah-rempah dan herbal terbesar dunia.

Oregano salah satu jenis herbal yang paling banyak dikonsumsi di USA dan Eropah,

diikuti oleh basil, bay leaf, parsley, thyme dan chives. Herbal seperti mint, rosemary,

savory, sage dan marjoram hanya dikonsumsi dalam jumlah terbatas yang tersebar di

berbagai pasar. Konsumsi berbagai jenis herbal dipengaruhi oleh kebiasaan lokal suatu

daerah mengkonsumsi makanan. Marjoram banyak dijual di Jerman, sementara sage

popular di USA namun di Eropa kurang diminati. Turki merupakan Negara pengekspor

bay leaf dan oregano, Mesir pengekspor terbesar basil, marjoram dan mint, dan Spanyol

pengekspor terbesar herbal jenis thyme dan rosemary. Daun herbal dapat digunakan

dalam bentuk segar maupun kering, atau dalam bentuk ekstrak seperti minyak dan

oleoresin. Secara tradisional herbal dipasarkan dalam keadaan produk kering.

Walaupun perdagangan herbal masih didominasi produk dalam bentuk kering, namun

herbal dalam bentuk beku dan segar dapat ditemukan di berbagai pasar.

Berbagai cara yang berbeda digunakan untuk mengeringkan herbal dan rempah-

rempah. Cara tradisional, seperti pengeringan dengan sinar matahari baik secara

langsung maupun tidak langsung masih banyak dilakukan. Karena pengeringan secara

alami di bawah matahari sering terjadi penurunan kualitas karena adanya kontaminasi

selama pengeringan, maka penggunaan pengering buatan dengan menggunakan

sirkulasi udara panas di dalam ruang pengering menjadi alternatif pengering yang

banyak digunakan. Pengeringan beku (freeze drying) dengan vakum merupakan metode

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 9

pengeringan yang telah terbukti merupakan metode terbaik untuk mengawetkan bahan

citarasa dan aroma. Pengeringan dengan matahari sering merusak klorofil daun,

pengeringan buatan menghasilkan daun dengan penampilan yang lebih baik dan

penerimaan pasar yang lebih baik.

Sampai saat ini, rempah-rempah dan herbal organik mendapat tempat di pasaran.

Konsumen terbesar dari rempah-rempah dan herbal organik adalah Amerika, Eropah

dan Jepang yang juga Negara yang mengkonsumsi herbal terbanyak. Perkembangan

produk organik terus meningkat dari tahun ke tahun. Konsumen lebih menyukai produk

yang tidak terkontaminasi pestisida dan bahan kimia lainnya. Dengan demikian,

produksi atau budidaya herbal organik sangat potensial dikembangkan untuk

memperoleh harga yang baik (premium price) di pasar internasional dan memperbaiki

kualitas dan penampilan produk herbal tanpa residu pestisida atau bahan kimia.

Ekstrak herbal atau rempah-rempah, seperti minyak atsiri dan oleoresin, dapat diperoleh

dengan menggunakan cara distilasi uap, ekstraksi karbondioksida superkritis dan

ekstraksi pelarut menggunakan pelarut organik titik didih rendah (low-boiling organik

solvents). Dari berbagai metode yang berbeda tersebut, ekstraksi menggunakan gas

karbondioksida terkompresi atau cairan superkritis merupakan cara yang paling efektif

dan sekarang ini digunakan pada skala komersial. Distilasi uap yang digunakan untuk

ekstraksi masih dapat merusak komponen-komponen penting minyak atsiri karena

penggunaan suhu yang tinggi, sementara penggunaan pelarut organik akan

meninggalkan residu pelarut di dalam ekstrak herbal. Di dalam proses ekstraksi

karbondioksida superkritis, biaya proses rendah, ekstrak akan bebas dari residu pelarut,

dan tidak terjadi kerusakan komponen bioaktif yang penting. Beberapa senyawa aroma

alami yang secara komersial diproduksi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Senyawa aroma alami komersial*

Acetaldehydea Citronellyl estersb 2-Heptanonea 2-Octanone Acetoina n-Decanala n-Hexanal 4-Octanolidea Acetophenone 4-Decanolidea 2-(E)-Hexenal/ol 1-Octen-3-ola Anethol 5-Decanolidea 3-(Z)-Hexenol/acetateb 2-Pentanonea Anisyl acetate 2-Decenolactonea 4-Hexanolidea i-Pentyl alcohola Benzaldehydea Dimethyl

pyrazines 4-Hydroxy-2,5-dimethyl-3(2H)-furanone

i-Pentyl estersb

Benzyl butanoatea

4-Dodecanolidea Indole Phenylacetaldehydea

n-Butyl estersb 5-Dodecanolidea ß-Iononea 1-Phenylethyl acetatea

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 10

Tabel 2. Lanjutan…

n-Butanola Ethyl acetatea Maltol n-Propanola i-Butyl alcohola Ethyl benzoateb Methionala 2-Propenyl

hexanoatec i-Butyl estersb Ethyl butanoateab Methyl anthranilatea n-Propyl esters i-Butanala Ethyl 2,4-(E,Z)-

decadienoateb 2-Methylbutanoic acid/estersa

Raspberry ketone

d-Carvone Ethyl 2-methylbutanoatea

3-Methylbutanala Sclareolidea

ß-Caryophyllene Ethyl phenylacetatea

Methyl salycilate 4-Undecalactonea

Cinnamic acida Farnesol n-Nonanal/ola 2-Undecanonea Cinnamic alcohola Fenchol 2-Nonanonea Vanillina Cinnamaldehydea Furfuryl thiola Nootkatonea Cinnamyl estersb Geranyl acetateb n-Octanal Citronellol n-Heptanal 3-Octanol

*Berger, 2009; a Kemungkinan diproduksi dari proses bioteknologi; b Berasal dari ekstrak tanaman; c Tidak ditemukan di alam. Selain sebagai penambah citarasa (citarasa), herbal dan rempah-rempah juga

mempunyai nilai nutrisi, antioksidan, antimikrobia, repelen serangga dan sebagai obat-

obatan.

Nilai Nutrisi

Sebagian besar herbal dan rempah-rempah kaya dengan sumber protein, vitamin

(khususnya vitamin A, C dan B) dan mineral seperti kalsium, fosfor, natrium, kalium dan

besi. Buah lada merah mengandung gula-gula sederhana seperti glukosa dan fruktosa,

karoten, dan vitamin C (Navarro et al., 2006). Parsley kaya vitamin A dan K, sementara

ketumbar (coriander) kaya dengan vitamin C dan A.

Nilai nutrisi yang terkandung di dalam rempah-rempah dan herbal tidak berpengaruh

apabila bahan tersebut digunakan sebagai penyedap makanan atau minuman.

Umumnya penggunaan rempah dan herbal pada makanan sebagai penyedap

proporsinya kecil, sehingga sumbangan nutrisi secara keseluruhan sangat kecil. Nilai

nutrisi rempah dan herbal akan memberikan sumbanyan yang nyata apabila bahan

tersebut dipersiapkan untuk produk selain makanan, seperti jamu-jamuan dan produk

ekstrak lainnya yang langsung dikonsumsi.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 11

Nilai Antioksidan

Antioksidan dalam makanan dapat mencegah kerusakan bahan-bahan yang mudah

teroksidasi. Lemak dalam makanan merupakan salah satu bahan yang mudah rusak

dan mengalami ketengikan karena teroksidasi, sehingga mutu makanan menjadi turun.

Antioksidan sering ditambahkan ke dalam makanan sebagai pengawet komponen lemak

agar tidak terjadi kerusakan mutu. Antioksidan sintetik yang umum digunakan adalah

butylated hydroxyl anisole (BHA), butylated hydroxyl toluene (BHT), propyl gallate (PG)

dan tert-butyl hydroquinone (TBHQ). Karena reaksinya yang dapat berfungsi sebagai

promoter penyakit kanker (carcinogenesis), maka penggunaan antioksidan sintetik mulai

dihindari dan digantikan dengan antioksidan alami.

Banyak herbal dan rempah-rempah diketahui sebagai sumber antioksidan alami, dan

konsumsi herbal dalam makanan berkontribusi pada asupan antioksidan sehari-hari.

Senyawa fenolik merupakan antioksidan utama terkandung di dalam herbal dan

rempah-rempah (Gambar 1). Dari hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa ada

hubungan yang linear antara kandungan fenol dan sifat antioksidan dari herbal dan

rempah-rempah tersebut. Peran buah-buah, sayuran dan anggur merah untuk

mencegah penyakit diperlihatkan oleh aktivitas antioksidan dari senyawa polifenol yang

terkandung di dalamnya, seperti vitamin C, vitamin E, dan senyawa karotenoid (Rice-

Evans et al., 1997). Lebih lanjut dinyatakan bahwa banyak senyawa polifenolik yang

berasal dari tanaman mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih efektif (secara in vitro)

dibandingkan dengan vitamin C atau E, sehingga dapat berkontribusi nyata untuk fungsi

proteksi secara in vivo.

Gambar 1. Struktur umum senyawa flavonoid, R = H: flavon dan R=OH: flavonol.

Minyak atsiri, oleoresin dan bahkan ekstrak air dari rempah-rempah mempunyai sifat

antioksidan. Tanaman dari family Lamiaceae secara universal merupakan sumber

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 12

antioksidan alami yang penting. Beberapa herbal yang memiliki sifat antioksidan yang

lebih baik dibandingkan dengan antioksidan sintetik seperti butylated hydroxyl toluene

(BHT) adalah oregano, thyme, marjoram, sage, basil, fenugreek, fennel, coriander dan

pimento. Kapasitas antioksidan tinggi yang diperlihatkan oleh antioksidan alami

meningkatkan penggunaan jenis antioksidan tersebut dalam makanan maupun untuk

kebutuhan lain.

Sifat Antimikrobia

Herbal dan rempah-rempah juga dapat mempunyai sifat antimikrobia. Minyak atsirinya

dapat digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan mikrobia di dalam makanan dan

dapat digunakan sebagai pendekatan alternatif bahan tambahan makanan. Beberapa

minyak atsiri dari rempah-rempah (secara individu maupun kombinasi) mempunyai

aktivitas yang tinggi untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan pembusuk.

Dengan melakukan fraksinasi terhadap minyak atsiri tersebut dapat diperoleh senyawa

dengan aktivitas antimikrobia yang lebih tinggi. Senyawa yang difraksinasi maupun

diisolasi dari minyak atsiri mempunyai aktivitas antimikrobia yang lebih tinggi

dibandingkan minyak atsirinya. Misalnya, seperti campuran senyawa carvacrol dan

thymol pada proporsi yang berbeda dapat menekan total penghambatan dari

Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Penghambatan tersebut

disebabkan oleh kerusakan integritas membran sel, yang selanjutnya mempengaruhi pH

dan keseimbangan ion-ion organik di dalam sitoplasma (Ravindran dan Pillai, 2004).

Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa allicin dapat dengan mudah masuk ke dalam

sitoplasma sel darah merah. Bilayer lipida tidak merupakan hambatan untuk penetrasi

allicin ke dalam sitoplasma dan difusinya melalui bilayer lipida tidak mengakibatkan

rusaknya membran. Temuan ini memunculkan kemungkinan bahwa di dalam sistem

biologis allicin dapat melakukan penetrasi secara cepat ke dalam bagian-bagian sel

yang berbeda dan menimbulkan efek biologis (Miron et al., 2000). Dari pengetahuan

mengenai mode of action tersebut membantu ekstrak rempah-rempah dimanfaatkan dan

diterapkan pada makanan. Alicin, yang merupakan senyawa aktif dari homogenate

hancuran bawang putih, mempunyai berbagai aktivitas antimikrobia (Ankri dan

Mirelman, 1999). Alicin murni memperlihatkan: 1) aktivitas antibakteri terhadap bakteri

Gram-positip dan Gram-negatif termasuk strain enterotoksigenik Escherichia coli, 2)

aktivitas antijamur, terutama terhadap Candida albicans, 3) aktivitas antiparasit,

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 13

termasuk parasit protozoa seperti Entamoeba histolytica dan Giardia lambia, dan 4)

aktivitas antiviral.

Sifat Repelen terhadap Serangga

Rempah herbal mempunyai sifat repelen atau penolakan terhadap beberapa jenis

serangga. Kemampuan repelen diperlihatkan terhadap hama gudang dari biji-bijian dan

kacang-kacangan. Rempah herbal juga dapat digunakan sebagai repelen nyamuk.

Ekstrak sereh mempunyai kemampuan sebagai repelen beberapa serangga, seperti

nyamuk, lalat dan kecoak. Minyak atsiri yang diekstrak dari daun sereh mempunyai

efikasi yang lebih baik terhadap ulat bulu dibandingkan dengan minyak atsiri yang

diekstrak dari cengkeh, jahe dan pala (Sumiarta dan Sudiarta, 2011), walaupun semua

minyak atsiri yang dicoba dapat membunuh ulat bulu pada konsentrasi yang tinggi

(10%). Minyak atsiri sereh dapur pada konsentrasi 1% dapat membunuh ulat bulu

sebanyak 98%, dan pada konsentrasi 0,5% dapat membunuh ulat bulu sebanyak 90%.

Minyak atsiri basil dan alkaloid piperidine yang diekstrak dari lada juga dapat digunakan

sebagai repelen nyamuk.

Kasiat Obat-obatan

Penggunaan obat herbal merupakan tradisi lama yang dilanjutkan sampai saat ini dalam

pengobatan modern dan terus menunjukkan peningkatan apresiasi masyarakat dunia.

Di Asia, pengobatan semacam ini meliputi obat tradisional Cina, obat Jepang-Cina

(kampo), obat Korea-Cina, obat tradisional Indonesia (jamu), dan obat tradisional India

(ayurweda). Di Eropah ditemukan fitoterapi dalam pengobatan dan di Amerika dikenal

sebagai pengobatan alternatif. Gabungan pengobatan alternatif dan pengobatan

konvensional disebut dengan integrative medicine. Penggunaan obat herbal banyak

menarik perhatian masyarakat yang berpendidikan maupun professional kesehatan,

namun masih ada hal yang membingungkan mengenai identifikasi, efikasi, dosis

pengobatan, toksisitas, standarisasi dan regulasi berhubungan dengan produk herbal.

Sudah banyak penelitian dalam ruang lingkup penggunaan bahan herbal sebagai

pengobatan tradisional, dan juga pendekatan yang baik untuk mengembangkan obat-

obatan baru serta perbaikan perencanaan kesehatan (Gupta, 2010).

Secara tradisional, sejak lama herbal dan rempah-rempah digunakan sebagai obat.

Jamu-jamuan banyak dibuat dari ekstrak herbal maupun rempah-rempah dan beberapa

bubuk rempah dapat digunakan untuk pengobatan penyakit ringan. Demikian pula

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 14

secara modern banyak dikembangkan bahan farmasi dari ekstrak herbal dan rempah-

rempah.

Obat-obatan herbal diketahui banyak mengandung berbagai jenis antioksidan. Hasil

studi herbal Cina menunjukkan kandungan senyawa flavonoid, lignin, bisbenzyl,

coumarine, dan terpen (Ng et al., 2000). Senyawa flavonoid merupakan senyawa

pigmen aromatik yang ditemukan dalam tanaman berwarna hijau dan termasuk

senyawa chalcone, flavanone, flavone, biflavonoid, dihydroflavonole, anthrocyanidine,

dan flavonole. Dilaporkan pula bahwa di Meksiko herbal banyak digunakan untuk

pengobatan berbagai penyakit seperti infeksi, arthritis, kelainan jantung, sakit kepala,

demam, astma dan sakit datang bulan. Setelah dilakukan analisis terhadap komponen

bioaktif, ternyata herbal tersebut banyak mengandung antioksidan yang berkisar antara

27 sampai 972 µmol ekivalen Trolox per gram berat kering (VanderJagt et al., 2002).

Namun demikian, selain antioksidan, hasil studi juga menunjukkan bahwa senyawa-

senyawa yang terkandung di dalam herbal dan rempah-rempah juga berfungsi sebagai

antimikrobia, antikanker, antimutagenik, antidiabetes dan lain sebagainya.

Hasil studi mengenai kandungan metabolit di dalam lada atau merica menunjukkan

bahwa lada atau merica merupakan ingredient yang banyak digunakan di dalam

makanan yang dapat meningkatkan citarasa makanan. Selain itu, di dalam lada dan

merica terkandung beragam metabolit yang mempunyai aktivitas antioksidan,

hypoglikemik, immunogenic, antihypertensive, antikolesterol, antiimplammatory, dan

antimutagenik (Kwon et al., 2007; Menichini et al., 2009).

Daftar Pustaka

Berger, R.G. 2009. Biotechnology of citarasa – the next generation. Biotechnol. Lett. 31: 1651-1659.

Gupta, V.K. 2010. Comprehensive Bioactive Natural Products, Volume 3 : Efficacy, Safety and Clinical Evaluation II. Texas, USA: Global Media, p 134.

Joe, B., Vijaykumar, M. dan Lokesh, B.R. 2004. Biological properties of curcumin: celluler and moleculer mechanisms of action. Crit. Rev. Food Sci. Nutr. 44: 97-111.

Kwon, Y.I. , Apostolidis, E. and Shetty, K. (2007) Evaluation of pepper (Capsicum annuum) for management of diabetes and hypertension. Journal of Food Biochemistry 31, 370-385.

Menichini, F., Tundis, R., Bonesi, M., Loizzo, M.R., Conforti, F., Statti, G., De Cindio, B., Houghton, P.J. and Menichini, F. (2009) The influence of fruit ripening on the phytochemical content and biological activity of Capsicum chinense Jacq. Cv Habanero. Food Chemistry 114, 553-560.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 15

Miron, T., Rabinkov, A., Mirelman, D., Wilchek, M., and Weiner, L. 2000. The mode of action of allicin: its ready permeability through phospholipid membrans may contribute to its biological activity. Biochimica et Biophysica Acta. 1463: 20-30.

Navarro, J. M., Flores, P., Garrido, C. dan Martinez, V. 2006. Changes in the contents of antioxidant compounds in pepper fruits at different ripening stages, as affected by salinity. Food Chem. 96: 66-73.

Ng TB, Liu F, and Wang ZT. 2000. Antioxidative activity of natural products from plants. Life Sci 66:709–23.

Parthasarathy, V.A., Chempakam, B. dan Zachariah, T.J. 2009. Chemistry of Spices. Biddles Ltd, King’s Lynn. UK

Ravindran, P. N. and Pillai, G. S. 2004..Under-utilized herbs and spices di dalam Handbook of Herbs and Spices (Peter, K.V, Ed.). Cambridge, , GBR: Woodhead Publishing, Limited. London.

Rice-Evans, C.A., Miller, N.J., dan Paganga, G. 1997. Antioxidant properties of phenolic compounds. Trends in Plant Science Reviews. 2(4): 152-159.

Srinivasan, K. 2005. Role of spices beyond food citarasaing: nutraceuticals with multiple health effects. Food Rev. Int. 21: 167-188.

Sumiartha, K. dan Sudiarta, P. 2011. Efficacy of some essential oil extracted from tropical plants to hairy caterpillar. Year 2011 Report of Tropical Plant Curriculum Project. Agrilife Texas A&M University – Udayana University.

Suresh, D;Srinivasan, K. 2006. Influence of curcumin, capsaicin, and piperine on the rat liver drug-metabolizing enzyme system in vivo and in vitro. Canadian Journal of Physiology and Pharmacology . 84: 1259-1265

VanderJagt, T.J., R. Ghattas, D.J VanderJagt, M. Crossey, and R.H Glew. 2002. Comparison of the total antioxidant content of 30 widely used medicinal plants of New Mexico. Life Sci. 70: 1035-1040.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 16

Bagian ini memberikan pemahaman kepada pembaca/mahasiswa mengenai jenis-jenis senyawa aroma dan citarasa yang bersumber dari tanaman (herbal dan rempah-rempah). Pembaca/mahasiswa juga diberikan penjelasan mengenai karakteristik senyawa-senyawa yang berfungsi sebagai aroma dan citarasa.

Pendahuluan

Senyawa aroma adalah senyawa kimia yang memiliki aroma atau bau. Sebuah senyawa

kimia memiliki aroma atau bau ketika dua kondisi terpenuhi yaitu (1) senyawa tersebut

bersifat volatil, sehingga mudah mencapai sistem penciuman di bagian atas hidung, dan

(2) perlu konsentrasi yang cukup untuk dapat berinteraksi dengan satu atau lebih

reseptor penciuman. Senyawa aroma dapat ditemukan dalam makanan, anggur,

rempah-rempah, parfum, minyak wangi, dan minyak esensial. Disamping itu senyawa

aroma memainkan peran penting dalam produksi penyedap, yang digunakan di industri

jasa makanan, untuk meningkatkan rasa dan umumnya meningkatkan daya tarik produk

makanan tersebut. Senyawa aroma lebih berperan dalam memberikan aroma pada

produk terutama digunakan untuk pengharum ruangan, pembersih, kosmetik.

Senyawa citarasa adalah senyawa yang dapat memberikan citarasa tertentu pada saat

dicampur dengan bahan pangan ataupun tanpa dicampur. Senyawa citarasa biasa juga

disebut senyawa flavor. Penggunaan senyawa citarasa lebih banyak ditujukan untuk

meningkatkan kesukaan pada produk makanan. Meskipun penggunaan senyawa aroma

dan citarasa berbeda penekanannya namun sifat-sifatnya dan cara ekstraksi dari

sumbernya mempunyai kesamaan. Sumber sebagian besar senyawa aroma dan

citarasa adalah minyak atsiri.

Citarasa

Salah satu faktor yang menentukan kualitas makanan adalah kandungan senyawa

citarasa. Senyawa citarasa merupakan senyawa yang menyebabkan timbulnya sensasi

rasa (manis, pahit, masam, asin), trigeminal (astringent, dingin, panas) dan aroma

setelah mengkonsumsi senyawa tersebut (Fisher dan Scott, 1997). Pada makanan atau

minuman yang tidak atau sedikit mempunyai citarasa sering ditambahkan senyawa

citarasa tertentu, untuk meningkatkan kualitas rasa dan aromanya. Senyawa citarasa

II. SENYAWA AROMA DAN CITARASA DARI REMPAH-REMPAH DAN HERBAL

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 17

dapat berasal dari bahan sintetik ataupun bahan alami. Bahan alami dapat berupa

bagian akar, batang, biji, bunga atau daun tanaman yang selanjutnya diisolasi senyawa

citarasanya. Daun tanaman yang sering digunakan sebagai pemberi citarasa antara lain

selasih, kemangi, jeruk purut dan salam.

Definisi citarasa tergantung pada sudut pandang pendefinisinya, yaitu yang pertama,

citarasa adalah persepsi biologis seperti sensasi yang dihasilkan oleh materi yang

masuk ke mulut, dan yang kedua, citarasa adalah karakter/sifat bahan yang

menghasilkan sensasi. Citarasa terutama dirasakan oleh reseptor aroma dalam hidung

dan reseptor rasa dalam mulut (Fisher dan Scott, 1997).

Senyawa citarasa merupakan senyawa atau campuran senyawa kimia yang dapat

mempengaruhi indera tubuh, misalnya lidah sebagai indera pengecap. Pada dasarnya

lidah hanya mampu mengecap empat jenis rasa: yaitu pahit, asam, asin dan manis.

Selain itu citarasa dapat membangkitkan rasa lewat aroma yang disebarkan, lebih dari

sekedar rasa pahit, asin, asam dan manis. Lewat pencitarasa atau proses pemberian

aroma pada suatu produk pangan, lidah dapat mengecap rasa lain sesuai aroma yang

diberikan. Semua citarasa tidak tersedia dengan sendirinya, tetapi melewati proses yang

rumit, diantaranya proses distilasi. Sejalan dengan semakin canggihnya teknologi,

industri citarasa kini mampu menciptakan dan menghasilkan produk yang kisarannya

mulai dari 100% alami sampai 100% sintetis (AFFI, 2007a).

Penggunaan produk industri citarasa hanya sedikit sekali dalam produk- produk pangan

dan non pangan, meskipun demikian citarasa tersebut besar peranannya dalam

menentukan kualitas hasil akhir yang digunakan masyarakat sehari-hari. Mie instant, es

krim dan berbagai jenis makanan, kualitasnya banyak dipengaruhi produk citarasa.

Produk citarasa pada dasarnya hanya merupakan bahan baku, dan bukan produk akhir,

oleh karena itu sering luput dari perhatian masyarakat. Peran produk citarasa cukup

besar dalam menentukan minat beli konsumen, sehingga citarasa banyak digunakan

untuk menghasilkan berbagai produk dibidang industri makanan, minuman, farmasi dan

kesehatan (AFFI, 2007b).

Citarasa diklasifikasikan menjadi tiga yaitu sensasi rasa (taste), trigeminal dan aroma

(odour). Sensasi rasa dibagi menjadi empat yaitu asin, manis, masam dan pahit, sensasi

trigeminal dideskripsikan sebagai astrigent, pedas dan dingin. Sensasi rasa dan

trigeminal kebanyakan dihasilkan oleh bahan non volatil, polar dan larut dalam air,

sedangkan sensasi aroma dihasilkan oleh senyawa volatil. Selain itu citarasa

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 18

diklasifikasikan berdasarkan sumbernya diantaranya citarasa buah, citarasa sayur,

citarasa rempah, citarasa daging. Citarasa rempah meliputi aromatic herbs yaitu daun

tanaman yang mengandung senyawa volatil (Fisher dan Scott, 1997).

Industri citarasa memegang peranan penting dalam perkembangan dan kesuksesan

industri makanan dan minuman. Klasifikasi citarasa yang paling umum adalah

berdasarkan keaslian dari senyawanya yaitu terdiri atas natural citarasa ; natural dan

artificial citarasa dan artificial citarasa. Bahan-bahan alami yang digunakan untuk

formulasi citarasa adalah isolat minyak atsiri, kombinasi minyak atsiri dengan ekstrak

bahan khusus tertentu, produk hasil proses yang melibatkan reaksi biologis seperti

fermentasi, produk proses hidrolisis, dan produk hasil proses kimia seperti pemasakan,

pemanggangan, pencoklatan dan esterifikasi. Proses untuk memproduksi dan

mengisolasi senyawa tersebut memegang peranan penting dalam manufakturing

citarasa (Ojha, Singh dan Traci, 1995).

Industri citarasa dimulai pada akhir abad ke-19 dan meningkat selama awal abad ke-20

dengan meningkatnya riset mengenai isolasi dan identifikasi senyawa mayor dalam

minyak atsiri. Sumber utama bahan baku industri citarasa adalah minyak atsiri hasil

distilasi dan ekstraksi tanaman (Wright, 2002). Selanjutnya dinyatakan bahwa senyawa

citarasa dapat berbentuk padat maupun cairan dan dibagi menjadi beberapa tipe yaitu:

(1) Water-soluble liquid flavours, merupakan tipe citarasa yang paling umum. Dibuat

dengan cara melarutkan senyawa citarasa dan senyawa alami dalam pelarut

sederhana seperti propilenglikol, triasetin atau alkohol dengan penambahan air bila

diperlukan.

(2) Clear water-soluble liquid flavours, banyak digunakan untuk citarasa cola yang

menginginkan produk akhir nampak jernih.

(3) Oil-soluble liquid flavours, digunakan bila produk akhir adalah minyak atau lemak

dan tidak mentolelir adanya air. Pelarut yang dapat digunakan adalah minyak nabati

alami atau sintetis (medium-chain triglyceride), benzil benzoat trietil sitrat dan minyak

atsiri seperti minyak lemon.

(4) Emulsion-based flavours, seperti minyak jeruk yang sering digunakan untuk

memberikan kekeruhan (cloud) pada minuman

(5) Dispersed flavours, merupakan tipe umum, murah dan menyenangkan karena

disajikan dalam bentuk bubuk tetapi memiliki umur simpan pendek. Bila semua

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 19

bahan berbentuk padat, penggunaannya dengan mencampur semua bahan dan

dilarutkan dengan pembawa (carrier) seperti laktosa.

(6) Spray-dried flavours, dihasilkan dengan membuat emulsi dalam larutan gum

kemudian dikeringkan dengan metode spray drying untuk menghasilkan bubuk.

Produk yang dihasilkan mempunyai citarasa yang kuat dan stabil.

Minyak Atsiri

Minyak atsiri atau minyak eteris (essential oil, volatil oil, etherial oil) adalah minyak

mudah menguap yang diperoleh dari tanaman dan merupakan campuran dari senyawa–

senyawa volatil yang dapat diperoleh dengan distilasi, pengepresan ataupun ekstraksi.

Minyak atsiri mempunyai sifat fisik dan kimia yang sangat berbeda dengan minyak

pangan (Ketaren, 1987; Boelens, 1997; Baser, 1999). Penghasil minyak atsiri berasal

dari berbagai spesies tanaman yang sangat luas dan digunakan karena bernilai sebagai

citarasa dalam makanan dan minuman serta parfum dalam produk industri, obat-obatan

dan kosmetik. Minyak atsiri tanaman diperoleh dari tanaman beraroma yang tersebar di

seluruh dunia (Simon, 1990). Dari 350.000 spesies tanaman yang ada, sekitar 17.500

(5%) spesies adalah tanaman penghasil senyawa beraroma dan sekitar 300 spesies

tanaman digunakan untuk memproduksi minyak atsiri untuk industri makanan, citarasa

dan parfum (Boelens, 1997).

Hampir semua tanaman berbau mengandung minyak atsiri. Tergantung pada tipe

tanaman, beberapa bagian tanaman dapat digunakan sebagai sumber minyak atsiri

misalnya buah, biji, bunga, daun, batang, akar, kulit kayu atau kayunya. Bahan baku

yang digunakan dalam pengolahan minyak atsiri dapat segar, setengah kering atau

kering, untuk bunga harus dalam bentuk segar. Beberapa metode digunakan untuk

mengisolasi minyak atsiri dari sumbernya (Sonwa, 2000).

Menurut Reineccius (1999) minyak atsiri terdiri atas campuran kompleks senyawa

organik yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

(1) Terpen yaitu senyawa hidrokarbon yang dibangun oleh dua atau lebih unit isopren

(C5, n =1). Jika n = 2 maka hidrokarbon tersebut dikenal dengan monoterpen, jika n =

3 disebut seskuiterpen dan jika n = 4 disebut diterpen, juga dikenal triterpen (C30)

dan tetraterpen (C40). Meskipun jumlahnya signifikan dalam minyak atsiri tetapi

terpen hanya memiliki nilai citarasa yang kecil, bila dibandingkan dengan

oxygenated derivates.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 20

(2) Turunan terpen teroksidasi (oxygenated derivates) yaitu alkohol, aldehid, keton dan

ester. Senyawa tersebut memberikan kontribusi besar pada perbedaan citarasa

diantara minyak atsiri. Contoh senyawa ini diantaranya sitronelol, geraniol, nerol,

mentol, nerolidol, sitral.

(3) Senyawa aromatik dengan gugus fungsi yang bervariasi (alkohol, asam, ester,

aldehid, keton, fenol).

(4) Senyawa yang mengandung nitrogen atau sulfur. Senyawa ini tidak terdapat pada

kebanyakan minyak atsiri, biasanya terdapat pada tanaman yang mengandung

bahan albuminous diantaranya indol dan skatol.

Beberapa contoh senyawa dalam minyak atsiri dari berbagai sumber tanaman disajikan

pada Tabel 3 dan beberapa rumus bangunnya disajikan pada Gambar 2.

Golongan terpenoid merupakan senyawa yang paling banyak ditemukan pada minyak

atsiri. Terpenoid terbentuk oleh beberapa unit isopren yang berasal dari asetil Koenzim

A (KoA) dengan reaksi biosintesis melalui jalur asam mevalonat. Dua asetil KoA

membentuk asetoasetil KoA melalui reaksi Kondensasi Claisen. Asam asetoasetil KoA

yang terbentuk bergabung dengan asetil KoA membentuk glutarat KoA melalui reaksi

kondensasi aldol. Setelah glutarat KoA terbentuk terjadi pembentukan asam mevalonat

melalui reaksi hidrolisis dan reduksi. Enzim ortofosforilase mengkatalisis pembentukan

3,5-diortopirofosfomevalonat melalui reaksi fosforilasi, kemudian mengalami

dekarboksilasi dan defosforilasi membentuk isopentenil pirofosfat (IPP). IPP mengalami

isomerisasi menjadi dimetilalil pirofosfat (DMAPP). IPP adalah unit isoprena aktif yang

dapat bergabung secara kepala ke ekor (head to tail) dengan DMAPP membentuk

geranil pirofosfat (GPP) yang merupakan senyawa intermediet untuk monoterpen.

Proses tersebut dapat terus berlangsung dengan penambahan IPP terhadap GPP

dengan katalis enzim menghasilkan farnesil pirofosfat (FDP) yang merupakan senyawa

intermediet untuk seskuiterpen, begitu pula untuk pembentukan geranil-geranil pirofosfat

(GGPP) yang merupa kan senyawa intermediet untuk diterpen. Reaksi biosintesis

pembentukan terpenoid disajikan pada Gambar 2 (Kesselmeier dan Staudt, 1999).

Terpen yang telah terbentuk dapat mengalami perubahan akibat peristiwa reduksi,

oksidasi, esterifikasi dan siklisasi.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 21

Tabel 3. Komposisi minyak atsiri dari berbagai tanaman

Sumber tanaman Senyawa utama Metode separasi

Daun salam a. oktanal; 3,7-dimetil-1-oktena; n-dekanal; - cis-4-dekanal; patkulen; D-nerolidol; kariofilen oksida

b. ß-osimena; Oktanal; Cis-4- dekenal; Nonanal; α-humulena; α-pinena

a. Distilasi air1)

b. Distilasi uap2)

Daun cengkeh a. eugenol; isokariofilen; α-kariofilen; eugenol asetat

b. eugenol; eugenol asetat; kariofilen c. eugenol; kariofilen; 14 senyawa

minor

a. tidak dijelaskan1) b. tidak dijelaskan3)

c. Distilasi air4)

Bunga cengkeh eugenol; eugenol asetat; isoptaldehid Distilasi uap5)

Daun jeruk purut sitronelal; linalool; sitronelil-asetat; sitronelol, geraniol

Berbagai macam separasi2)6

Daun pandan wangi

2 metil pentana; 3 metil pentana; n-heksana; 2,2 dimetil pentana; metilsiklopentana;sikloheksana

Ekstraksi pelarut7)

Bunga kamboja cendana

undekana; dodekana; nonakosana; heptakosana; tetratetrakontana; trans-geraniol; 2-heksil-1-dekanol; linalool thiogeraniol; 1-eikosanol

Ekstraksi pelarut 8)

1) Agusta (2000); 2) Wartini (2007); 3) Nurdin et al. (2001); 4) Raina et al. (2001); 5) Geun Lee dan Shibamoto (2001); 6) Wijaya (1995); 7) Saputra (2010); 8) Harland (2011).

Eugenol Kariofilen

Gambar 2. Rumus struktur eugenol dan kariofilen (Peerzada, 1997)

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 22

Gambar 3. Reaksi biosintesis terpenoid (Kesselmeier dan Staudt, 1999)

1. Keberadaan Minyak Atsiri dalam Tanaman

Minyak atsiri dibentuk dalam sitoplasma dan secara normal berbentuk butiran kecil

diantara sel dan bersifat volatil dan beraroma, tidak berwarna atau agak kuning dan

agak larut dalam air dan etanol (Sonwa, 2000). Guenther (1987) menyatakan bahwa

minyak atsiri yang kompleks dibentuk dari hasil ekskresi atau sekresi akibat proses

metabolisme tanaman. Selanjutnya dinyatakan bahwa vakuola dalam jaringan

tanaman berisi butiran-butiran minyak yang sulit dibedakan dari minyak atau lemak

pangan. Minyak tersebut dapat diselidiki dengan pewarnaan sudan dan asam osmat

dan perbedaannya dengan minyak pangan adalah minyak atsiri lebih aktif

membentuk warna dengan sudan. Sekresi minyak tampak di dalam kelompok sel

yang berbeda yaitu pada kelenjar eksternal dan internal. Kelenjar eksternal

merupakan sel-sel epidermis atau modifikasi dari sel epidermis, misalnya rambut-

rambut ekskresi. Hasil sekresi biasanya ditimbun di luar sel yang terletak diantara

kutikula dan dinding sel bagian luar. Kutikula adalah kulit tipis yang membungkus

produk yang dihaslkan dan mudah robek sehingga menghasilkan bau yang khas.

Kelenjar internal terdapat di seluruh bagian tanaman, dibentuk oleh endapan minyak

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 23

diantara dinding sel. Bila sel pecah (schizogenous) dan diikuti oleh kerusakan sel di

sekitarnya maka terjadi pembentukan kelenjar schizolysogenous, yang tumbuh

membentuk saluran panjang yang dibungkus oleh lapisan tipis di bagian dalam

dinding sel. Lapisan tipis tersebut mempunyai fungsi ganda yaitu memisahkan

jaringan dari minyak dan membentuk minyak serta resin. Bentuk tersebut terdapat

pada sel-sel epitel atau pada membran dan melalui dinding sel menuju ke bagian

dalam kelenjar.

Minyak atsiri dalam tanaman dikategorikan sebagai superficial oil dan subcutaneous

oil. Superficial oil dapat dilepaskan dengan mudah dari tanaman dengan menggosok

permukaan daun secara hati-hati dan biasa ditemukan pada tanaman dari famili

Labiate, Verbenaceae dan Geraniceae. Subcutaneous oil terkandung dalam sel

minyak, secretory cavities, osmophors, schizogenous, biasa ditemukan pada famili

Myrtaceae, Umbellifereae dan Gramineae. Minyak atisri yang tergolong

subcutaneous oil lebih sulit dilepaskan dari tanaman dibanding superficial oil dan

dapat dilepaskan dari tanaman dengan merusak jaringan sel. Pada tanaman,

kadang-kadang minyak atsiri terikat dengan gula dalam bentuk glikosida sehingga

untuk melepaskannya perlu proses hidrolisis (Baser, 1999).

2. Perlakuan terhadap Bahan Baku

Bahan baku minyak atsiri sebelum diekstrak dengan metode tertentu perlu mendapat

perlakuan pendahuluan tergantung dari bahannya. Perlakuan pendahuluan

diantaranya curing dan preparasi bahan (pengecilan ukuran).

a. Curing

Istilah curing digunakan untuk menyatakan perlakuan terhadap bahan antara

pemanenan sampai pengolahan, berhubungan dengan proses metabolisme bahan

tanaman yang masih hidup. Curing juga tercakup dalam proses penundaan,

penyimpanan dan pengeringan bahan yang seringkali dilakukan pada pengolahan

minyak atsiri karena terbatasnya kapasitas proses pengolahan. Proses oksidasi

merupakan dasar curing, yang menyebabkan perubahan fisik dan kimia pada bahan,

seperti tembakau dan vanili, yang berdampak pada citarasa karena selama proses

tersebut terjadi reaksi enzimatik (Abdullah dan Soedarmanto, 1986; Man dan Jones,

1995).

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 24

Curing dibedakan menjadi empat metode yaitu air curing, sun curing, fire smoke

curing, dan flue curing. Metode air curing yaitu pengolahan daun segar dengan cara

mengangin-anginkan dalam ruangan yang teduh sehingga tidak terkena cahaya

matahari secara langsung (Setiawan dan Trisnawati, 1993). Perubahan yang terjadi

pada bahan tanaman setelah panen, akibat proses biokimia yang masih

berlangsung dan dapat menghasilkan senyawa yang disukai ataupun tidak disukai

(Cheetham, 2002).

Perubahan yang terjadi selama curing pada beberapa bahan dijelaskan sebagai

berikut:

a.1. Curing pada Tembakau

Pada curing daun tembakau, terjadi perubahan yang diharapkan yaitu

perubahan kadar air, perubahan warna hijau menjadi kuning dan coklat,

pemecahan protein menjadi asam amino, pati menjadi gula sederhana dan

asam-asam organik yang berdampak pada kualitas daun tembakau kering

(Abdullah dan Soedarmanto, 1986; Man dan Jones, 1995; Abubakar et al, 2003

dan Perdigon, 2006). Pada curing tembakau berlangsung aktivitas enzim malat

dehidrogenase, polifenol oksidase, diaforase, asam glikolat oksidase dan

glutamat dehidrogenase (Zelith and Zucker, 1958).

Perubahan warna daun selama curing kemungkinan disebabkan oleh dua hal

yaitu (1) proses oksidasi yang melibatkan enzim lipoksigenase, peroksidase dan

oksidase (Gross, 1991) dan (2) proses hidrolisis yang melibatkan enzim

klorofilase (Von Elbe and Schwartz, 1996) dan enzim magnesium deketalase

(Gross, 1991). Beberapa enzim yang terlibat dalam tahapan degradasi klorofil

yaitu tahap hidrolisis klorofil, pemindahan magnesium, modifikasi struktur cincin

tetrapirol dan akhirnya memecah cincin makrosiklik. Selain klorofilase dan

magnesium deketalase tidak ada enzim lain yang memiliki fungsi spesifik yang

berkaitan dengan metabolisme klorofil. Klorofilase mengkatalisis proses

hidrolisis ikatan ester antara residu 7-asam propionat pada cincin D dari sistem

makrosiklik cincin dan fitol, dalam klorofil dan feofitin. Magnesium deketalase

adalah enzim yang bertanggungjawab pada pemindahan ion Mg sentral. Hal ini

digambarkan dalam bermacam sistem dan menunjukkan pemindahan

magnesium dari klorofil dan klorofilid, tidak jelas mana langkah yang pertama

(Schoch dan Vielwerth, 1983 dalam Gross, 1991). Pemucatan klorofil terjadi

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 25

karena proses oksidasi yang melibatkan enzim lipoksigenase, peroksidase dan

oksidase (Gross, 1991). Mekanisme yang diduga sehingga warna hijau (klorofil)

berubah menjadi coklat (feofitin atau feoforbid) menurut Von Elbe and Schwartz

(1996) dapat dilihat pada Gambar 3.

Penurunan berat daun tembakau yang dicuring akibat kehilangan air berkisar

antara 60 sampai 80 % tergantung pada kondisi curing. Sebanyak 50% protein

dalam daun tembakau mengalami pemecahan selama curing menjadi asam

amino selanjutnya dipecah menjadi amonia. Pati diubah menjadi dekstrin dan

maltosa dan akhirnya monosakarida oleh enzim α-amilase. Sampai akhir curing,

kadar pati yang tersisa sebesar 3%. Perubahan asam organik selama curing

tembakau diantaranya asam sitrat dan asam malat meningkat tajam sedangkan

asam oksalat relatif stabil (Abubakar, 2003).

a.2. Curing pada Vanili

Curing merupakan salah satu proses dalam pengolahan vanili. Pada curing

vanili, terdapat 4 tahap (Gambar 4), yaitu: (1) Killing yaitu penghentian

pertumbuhan dan pemecahan struktur sel dari vanila melalui reaksi enzimatik,

(2) Sweating yaitu perubahan warna, pembentukan citarasa dengan pemecahan

karbohidrat dan asam organik serta pembentukan ester, eter dan resin (3)

Drying yaitu pengurangan kadar air sampai batas tertentu dengan jalan

penguapan tanpa merusak jaringan aslinya dan (4) Conditioning yaitu tahap

terjadinya reaksi kimia dan biokimia seperti esterifikasi, eterifikasi, degradasi

oksidatif, menghasilkan senyawa minyak atsiri yang menambah kualitas

citarasa. Perubahan citarasa dan komposisi kimia pada curing vanili disebabkan

terjadinya reaksi hidrolisis, oksidasi, eterifikasi atau esterifikasi (Ranadive,

1994).

Vanilin merupakan senyawa terpenting yang menyumbangkan citarasa pada

vanili. Pada vanili segar senyawa aroma terdapat sebagai glukosida. Selama

curing berlangsung, terjadi pelepasan aglikon sehinga glukovanilin diubah

menjadi vanilin dengan adanya enzim β-glukosidase (Ranadive, 1994; Dignum

et.al., 2002). Peerubahan glukovanilin menjadi vanilin disajikan pada Gambar 5.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 26

a.3. Curing pada bahan baku penghasil minyak atsiri

Perubahan yang terjadi selama curing bahan penghasil minyak atsiri antara lain

perubahan kadar air, perubahan jenis dan kadar senyawa citarasa.

Gambar 4. Proses degradasi klorofil (Von Elbe and Schwartz,1996).

Gambar 5. Perubahan glukovanilin menjadi vanilin selama curing (Ranadive, 1994; Dignum et al., 2002).

OH

CH

O

O

C

Glu

H

O

OCH3OCH3(Curing)

Glukovanilin Vanilin

β - Glukosidase

klorofil

feofitin

klorofilid

feoforbid

fitol

enzim

-Mg2+ -Mg2+

H3C

CH3

OH

CH3 CH3

CH3

H3C

CH3

CH3

CH3

CH3

CH3

CH3 CH3

CH3

CH3

H3C

H3C

HO

CH3

CH3 CH3 CH3 CH3

CH3

H3C

CH3

CH3

CH3

CH3

CH3 CH3 CH3 CH3

H3C

H3C

H

CH3

CH3

CH3 CH3

CH3

CH3

CH3

H3C

H3C

HOO

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 27

Penguapan air dan senyawa volátil. Penguapan air terjadi secara bertahap

bersamaan dengan menguapnya senyawa yang mudah menguap termasuk

senyawa citarasa. Proses penguapan air dan senyawa volatil dapat terjadi

karena selama curing atau pengeringan daun, sel epitel daun mengalami retak

dan pecah. Hal tersebut terbukti pada hasil pengamatan permukaan daun

menggunakan scanning electron microscopy (SEM) pada daun spearmint (Diaz-

Maroto et al., 2003) dan daun sweet basil (Yousif et al., 1999). Kehilangan

minyak atsiri selama curing akibat terjadinya proses oksidasi dan resinifikasi.

Pengeringan alami tanaman Lippia scaberrima Sond. pada kondisi ruang

(temperatur 24 – 27 0C, kelembaban relatif 30 – 50%) menyebabkan penurunan

berat rata-rata berturut-turut sebesar 47,6% dan 58,9% setelah 48, 96 jam dan

konstan setelah pengeringan 144 jam (Combrink et al., 2006).

Perubahan senyawa citarasa. Senyawa citarasa merupakan metabolit

sekunder yang dapat mengalami transformasi ataupun degradasi yaitu

modifikasi (substitusi dan hidrogenasi diantaranya epoksidasi, metilasi dan

hidroksilasi), penataan ulang (rearrange-ment) dan degradasi menjadi metabolit

primer (Luckner, 1984). Perubahan posisi ikatan rangkap mudah terjadi dalam

minyak atsiri tanaman diantaranya terjadi pada terpen (osimen dan mirsen),

aldehid (sitronelal dan sitral) dan golongan alkohol siklik (geraniol dan linalool)

(Gambar 6) (Guenther, 1987).

OH

OH

Geraniol Linalool

Gambar 6. Reaksi isomerisasi geraniol dan linalool (Guenther,1987)

Perubahan yang terjadi pada senyawa citarasa pada tanaman selama

pengeringan alami ataupun curing antara lain kehilangan senyawa volatil,

peningkatan senyawa tertentu yang sudah ada ataupun pembentukan senyawa

baru akibat proses oksidasi, hidrolisis bentuk glikosida ataupun pelepasan

senyawa akibat pecahnya dinding sel (Diaz-Maroto et al., 2002a; Diaz-Maroto et

al., 2002b). Salah satu contoh adalah terjadinya pembentukan (biosintesis)

senyawa oktanal (Gambar 7). Lukcner (1984) menyatakan senyawa aldehid

isomerisasi

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 28

dibentuk dari asam lemak melalui jalur β-oksidasi. Asam lemak bebas seperti

asam nonanoat mengalami degradasi menjadi suatu molekul yang mempunyai

radikal hidrogen pada atom karbon posisi β dalam bentuk intermediet (I).

Intermediet (I) akan membentuk asam-2-hidroperoksi nonanoat, dengan

penambahan radikal OOH. Asam-2-hidroperoksi nonanoat mengalami reaksi

dekarboksilasi menjadi senyawa aldehid (oktanal), CO2 dan H2O.

OH

O

OH

O

H

OOH

O

CO2 H2O+ +

asam nonanoat

asam 2-hidroperoksi nonanoatoktanal

H

.

I

O OH

Gambar 7. Reaksi biosintesis oktanal (Lukcner, 1984)

Pembentukan senyawa golongan alkana dan alkena dalam bahan tanaman

dapat terjadi melalui reaksi dekarboksilasi asam lemak jenuh dan tidak jenuh

yang kemungkinan melibatkan mekanisme α-oksidasi dan asam α-hidroksi

sebagai intermediet (Luckner, 1984). Reaksi biosintesis alkana disajikan pada

Gambar 8. Pelepasan maupun pengambilan gugus karboksilat pada molekul

alami dengan cara pemecahan maupun pembentukan ikatan karbon-karbon

dioksida sering terjadi pada metabolisme sekunder (Manitto, 1992).

CH3–(CH2)13–CH2–(CH2)13–CH2–COOH CH3–(CH2)13–CH2–(CH2)13–CH3 + CO2

Asam triakontanat nonakosana

Gambar 8. Reaksi biosintesis alkana (Lukcner, 1984)

Beberapa daun yang memiliki citarasa mint dikeringkan sebelum diisolasi

senyawa citarasanya. Daun tanaman lavender dan rosemary perlu dikeringkan

sebelum diisolasi senyawa citarasanya, karena selama proses tersebut

terjadi reaksi kimia seperti konversi enzimatik glikosida melitosida menjadi

glukosa dan asam koumarik. Pada tanaman yang lain seperti oak dan treemos,

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 29

senyawa volatilnya terbentuk setelah senyawa non volatil yang dikandungnya,

diantaranya derivat dimerik benzena dihidrolisis menjadi monomernya misalnya

atranorin diubah menjadi metil β-orsinil karboksilat (Boelens, 1997).

Hasil penelitian Ibanez et al.(1999) menunjukkan bahwa komposisi minyak atsiri

daun rosemary segar dan kering sangat berbeda. Senyawa utama minyak atsiri

yang dihasilkan dari daun rosemary segar yaitu kamfor (40%), 1,8-sineol (12%),

verbenon (9%), borneol (7%) dan bornil asetat (2,5%) sedangkan daun kering

hanya mengandung kamfor (9%), verbenon (16%) dan borneol (21%). Hal yang

menyebabkan perbedaan komposisi tersebut adalah penge-ringan

mengakibatkan terjadinya kerusakan dinding sel sehingga mempermudah

pelepasan senyawa volatil.

Komposisi senyawa volatil yang bertanggung jawab pada citarasa mengalami

perubahan akibat pengeringan secara alami terjadi pada beberapa daun

tanaman yaitu peningkatan senyawa 1,8-sineol dan limonen serta penurunan

seskuiterpen pada spearmint, (Diaz-Maroto et al., 2003), peningkatan eugenol

pada bay leaf (Diaz-Maroto et al., 2002a), peningkatan p-mentha-1,3,8-triena

pada parsley (Diaz-Maroto et al., 2002b) dan peningkatan metilkavikol pada

sweet basil (Yousif et al., 1999). Perubahan konsentrasi beberapa senyawa

volatil pada pengeringan bahan tersebut disajikan pada Tabel 4.

Hasil penelitian Combrink et al. (2006) pada pengeringan alami tanaman Lippia

scaberrima Sond. selama 4 hari, menunjukkan terjadi peningkatan persentase

relatif senyawa utama terpen yaitu limonen dan carvon, tetapi terjadi penurunan

persentase relatif humulen dan kariofilen. Peningkatan persentase relatif

limonen dan carvon disebabkan terjadinya reaksi kimia dan enzimatik selama

pengeringan sehingga senyawa terpen yang semula terdapat dalam bentuk

glikosida dapat dibebaskan. Penurunan persentase relatif humulen dan

kariofilen selama pengeringan diakibatkan terjadinya kerusakan glandular

trichomes sehingga senyawa tersebut menguap. Kerusakan glandular trichomes

dapat dibuktikan dengan pengamatan menggunakan Scanning Electron

Microscopy (SEM).

Pengaruh pengeringan pada pelepasan atau ketahanan senyawa volatil dalam

bahan tergantung pada senyawanya dan sifat bahannya (Venskutonis, 1997).

Pengeringan dapat mengakibatkan kehilangan senyawa volatil karena adanya

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 30

kerusakan dinding sel, peningkatan kadar senyawa akibat pembentukan

senyawa melalui reaksi oksidasi dan hidrolisis bentuk glikosida (Huopalahti et

al., 1985 in Diaz-Maroto et al, 2002b).

Tabel 4. Perubahan konsentrasi senyawa volatil pada beberapa bahan akibat pengeringan alami

Bahan Senyawa Konsentrasi

(μg/g berat kering) Segar Kering

Spearminta) α-pinen 307 407 sabinen 296 364 β-pinen 464 584 β-mirsen 325 361 1,8 sineol + limonen 6488 8319 cis-dihidrokarveol 1733 1561 cis-karveol 115 58 karvon 14399 15324 trans-hidrokarvil asetat 430 525 β-bourbon 303 225 β-kariofilen 543 406 epi- bisikloseskuipelandren 425 296 Bay leafb) α-pinen 338,2 355,3 sabinen 448,4 478,5 β-pinen 269,2 270,8 1,8 sineol 2515,8 2172,2 linalool 1822,6 1708,3 terpinen-4-ol 173,2 146,9 α-terpineol 308,7 278,6 borneol asetat 124,6 99,6 eugenol 222,5 451,0 terpinil asetat 602,5 318,6 metil eugenol 341,2 322,5 Parsleyc) β-phelandren 518 476 α-terpinolen 117 83 miristin 264 191 apiol 810 491 γ-kadiden 39 22 β-bisabolon 5 3

a)Diaz-Maroto et al. (2003); b) Diaz-Maroto et al. (2002a); c) Diaz-Maroto et al. (2002b)

Hasil penelitian Wijaya (1995) menunjukkan perlakuan pendahuluan pada daun

jeruk purut, yaitu penyimpanan irisan daun jeruk pada temperatur 26 oC selama

2, 4 dan 6 jam sebelum diekstrak, tidak memberikan hasil yang lebih baik

dibanding bahan segarnya. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan kandungan

senyawa volatil selama proses penyimpanan. Guenther (1990) menyatakan

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 31

bahwa penyimpanan daun Pimenta racemosa (Mill) selama 3 hari dalam

memproduksi minyak bay di Puerto Rico bertujuan untuk meningkatkan

rendemen dan mempermudah penanganan daun.

a.4. Curing pada Daun Salam

Penurunan berat. Penurunan berat daun salam selama proses curing terjadi

karena masih berlangsungnya proses metabolisme daun antara lain respirasi

dan penguapan air dan komponen volatil dari dalam daun. Penurunan berat

selama 2 dan 4 hari curing berturut-turut sebesar 24,4 dan 51,70 %.

Perubahan warna. Hasil pengamatan secara visual menunjukkan bahwa

semakin lama proses curing, intensitas warna hijau daun salam berkurang dan

intensitas warna coklat bertambah (Gambar 9). Pengukuran warna secara

obyektif yang dinyatakan sebagai nilai L* = tingkat kecerahan, b* =

kecenderungan warna biru – kuning dan a* = kecenderungan warna hijau –

merah menunjukkan nilai a* semakin tinggi dengan makin lamanya proses

curing. Hal tersebut berkaitan dengan degradasi klorofil yang berwarna hijau

menjadi pheofitin yang berwarna coklat (Gross, 1991; Lawless and Heymann,

1998). Salah satu sifat terpenting klorofil adalah kelabilannya. Klorofil sangat

sensitif terhadap cahaya, panas, oksigen dan degradasi kimia (Gross, 1991).

(a) (b) (c)

Gambar 9. Warna daun salam hasil perlakuan curing (a) 0 hari (b) 2 hari (c) 4 hari

Komposisi kimia dan ekstrak flavour daun salam hasil curing. Komposisi

kimia daun salam hasil curing dipengaruhi oleh perlakuan curing, menunjukkan

penurunan pada semua variabel (Tabel 5). Penurunan kadar pati dan gula

reduksi selama curing berkaitan dengan masih berlangsungnya proses

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 32

metabolisme yang melibatkan aktivitas enzim. Enzim diastase mengubah pati

menjadi dekstrin, disakarida dan akhirnya monosakarida. Monosakarida

selanjutnya dalam proses respirasi dioksidasi menjadi air, karbon dioksida dan

energi. Kadar total N menurun selama curing, berkaitan dengan penurunan

aktivitas beberapa enzim oksidatif seperti enzim malat dehidrogenase, polifenol

oksidase, diaphorase, asam glikolat oksidase dan glutamat dehidrogenase.

Pada curing tembakau terjadi kehilangan 2/3 kadar total N akibat penurunan

aktivitas enzim tersebut (Abubakar et al, 2003). Secara umum pada tanaman

setelah dipanen terjadi penurunan nyata pada gula terlarut, baik gula reduksi

maupun non reduksi akibat meningkatnya proses respirasi (Phan, 1987). Asam

organik menurun selama pelayuan pada kebanyakan jaringan, terutama akibat

oksidasi pada respirasi (Marten and Baardseth. 1987), sehingga terjadi

penurunan total asam dan peningkatan nilai pH.

Ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan pada proses curing daun

salam menunjukkan komposisi yang berbeda, tetapi secara organoleptik ekstrak

hasil curing 2 hari dan tanpa curing menunjukkan kesukaan aroma yang sama..

Komposisi ekstrak citarasa daun salam hasil curing disajikan pada Tabel 6.

Tabel 5. Komposisi kimia daun salam hasil curing

Curing (hari)

Kadar pati

(% bk)

Kadar gula

reduksi (% bk)

Kadar total N (% bk)

Total asam

(mek/ml NaOH)

pH

0 22,98 0,15 2,78 0,26 4,67 2 17,73 0,11 2,47 0,17 4,89 4 12,33 0,06 1,98 0,06 5,28

b. Preparasi Bahan

Preparasi bahan dilakukan untuk mempermudah proses keluarnya minyak atsiri dari

bahan. Dalam tanaman, minyak atsiri terdapat dalam kelenjar minyak atau pada

bulu-bulu kelenjar dan dalam proses separasi dapat dikeluarkan melalui proses

difusi. Proses difusi berlangsung sangat lambat dan dapat dipercepat dengan

pengecilan ukuran bahan sebelum diproses. Pengecil-an ukuran bahan dapat

dilakukan dengan beberapa cara tergantung pada jenis bahan, misalnya pemukulan

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 33

(biji dan buah), penggilingan (buah Umbelliferous) dan perajangan (kayu cedar)

(Boelens, 1997; Sastrohamidjojo, 2004).

c. Metode Separasi Minyak Atsiri

Ada beberapa cara separasi minyak atsiri dan sangat menentukan jumlah dan jenis

senyawa yang terkandung dalam minyak atsiri yang dihasilkan. Metode yang biasa

digunakan untuk separasi minyak atsiri antara lain distilasi air, distilasi uap-air dan

distilasi uap (Sastrohamidjojo, 2004). Guenter (1987) menyatakan bahwa beberapa

metode untuk memperoleh minyak atsiri adalah distilasi (dengan air, uap), ekstraksi

(dengan lemak dingin = enfleurasi, dengan lemak panas = maserasi dan dengan

pelarut mudah menguap). Disamping itu metode yang akhir-akhir ini dikembangkan

adalah ekstraksi cairan superkritis CO2 (supercritical fluid extraction = SFE). Metode

ini memerlukan investasi yang sangat besar sehingga hanya diterapkan pada bahan

yang mempunyai nilai ekonomis tinggi (Ojha et al., 1995). Enfleurasi dan maserasi

jarang dilakukan karena memerlukan waktu lama dan hanya cocok untuk tanaman

tertentu misalnya bunga yang membentuk minyak setelah dipetik seperti melati.

Selain itu, proses ini sering menghasilkan produk yang masih mengandung lemak

sehingga mudah tengik. Distilasi dan ekstraksi dengan pelarut mudah menguap atau

kombinasi keduanya merupakan metode yang paling umum digunakan (Guenter,

1987). Metode yang banyak digunakan dalam isolasi senyawa citarasa adalah

distilasi-ekstraksi simultan (simultaneous distillation-extraction) karena mempunyai

kelebihan dalam mengekstrak senyawa citarasa dibanding metode isolasi yang lain

(Parliament, 1997).

Tabel 6. Komposisi ekstrak citarasa daun salam hasil curing*

Senyawa

% Relative Area No. Lama curing (hari) 0 2 4 1. Sikloheksana 0,53 0,54 2,07 2. Toluena tt 0,48 0,67 3 Cis-3-heksena-1-ol 0,67 tt tt 4. 1,2 dimetil benzena tt 0,90 0,49 5. n-heksanol tt 1,53 0,34 6. 1,3-dimetil benzena tt 0,35 0,32 7. 2,2-dimetil pentanal 0,21 tt tt 8. 4,4-dimetil-1-heksena 0,27 0,20 tt 9. Oktanal 29,60 26,85 32,09

10. Heksil asetat 0,44 0,30 tt 11. α- osimen 32,00 44,09 40,62

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 34

Tabel 6. Lanjutan.

Senyawa

% Relative Area No. Lama curing (hari) 0 2 4 12. ß-osimen 1,70 1,59 1,51 13. Dodekana tt 0,20 0,17 14. Nonanal 0,47 0,42 0,37 15. 3,4-dimetil-2,4,6-oktatriena 1,01 1,54 1,44 16. Cis-4-dekenal 5,78 4,04 4,05 17 Dekanal 3,55 2,47 2,72 18. Tridekana tt 0,13 tt 19. Heksil heksanoat 0,53 0,18 tt 20. α-kopaena 3,33 2,12 1,91 21. Aromadendrena 0,27 0,25 0,18 22. α-humulen 4,56 2,82 2,29 23. Alloaromadendrena 0,36 0,22 0,13 24. 1-kloro-heksadekana 0,87 0,59 0,51 25. Tidak teridentifikasi 0,21 tt tt 26. ß-kamigrena 2,67 1,64 1,64 27. ß-selinena 2,22 1,49 1,47 28. α-selinena 2,63 1,54 1,48 29. Germakrena 0,30 0,18 tt 30. Δ-kadidena 0,72 0,41 0,30 31. α-panasinsen 1,42 0,84 0,81 32. Nerolidol 2,36 1,42 1,47 33. 1-nonadekena 0,23 0,26 tt 34. Heksadekana 0,59 0,47 0,45 35. Karyofilena oksida 0,34 0,22 0,36

*Wartini et al. (2010); tt: tidak terdeteksi.

Pemilihan metode separasi yang digunakan untuk memperoleh minyak atsiri

menurut Ojha et al. (1995) didasarkan pada kevolatilan dan titik didih dari bahan

beraroma, stabilitas senyawa pada temperatur tinggi, kepolaran kompo-nen volatil,

konsentrasi dan distribusi senyawa volatil. Bahan beraroma bersifat volatil dan

sensitif terhadap panas dan reaktif, oleh karena itu pencegahan harus dilakukan

agar tidak terjadi reaksi bahan beraroma selama proses separasi.

Hasil penelitian metode separasi pada bahan baku citarasa menunjukkan bahwa

komposisi dan karakter ekstrak citarasa yang dihasilkan tergantung pada metode

separasi dan kondisi proses yang dilakukan, diantaranya pada daun jeruk purut

(Wijaya, 1995), daun dan bunga L. angustifolia Miller (Yusufoglu et al., 2004),

minyak daun rosemary (Boutekedjiret, Belabbes, Bentahar, Bessière dan Rezzoug,

2004), buah X. purpurascens Lallem (Ozek et al., 2006a), buah P. turcica (Ozek et

al., 2006b).

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 35

Wijaya menyatakan bahwa ada perbedaan aroma dan komposisi senyawa volatil

pada ekstrak yang dihasilkan dengan metode separasi distilasi uap, distilasi air,

maserasi, perkolasi dan simultan distilasi-ekstraksi. Menurut Yusufoglu et al. (2004)

produk yang dihasilkan dari daun dan bunga L. angustifolia Miller dengan distilasi

uap mempunyai komposisi kimia, sifat fisik dan kimia yang berbeda dengan produk

yang dihasilkan dengan ekstraksi pelarut petroleum eter dan hal ini menentukan

penggunaan produk tersebut, apakah sebagai citarasa makanan, obat atau

kosmetik. Senyawa utama pada ekstrak daun L. angustifolia Miller dengan metode

distilasi uap yaitu 1,8-sineol (49,23%), kamfor (34,67%) dan isoborneol (4,60%)

cocok digunakan untuk bahan stimulating dan ekspektoran. Metode ekstraksi pelarut

menghasilkan ekstrak dengan senyawa utama 2,4-dimetil-7-etil-6,8-

dioksabisiklo[3.2.1]okt-3-ene (48,49%), triakontana (12,45%), dokosana (9,01%),

tetrakosana (4,72%) dapat digunakan sebagai kosmetik dan pembersih.

Hasil penelitian Ozek et al. (2006a) menunjukkan bahwa senyawa utama minyak

buah X. purpurascens Lallem yang diperoleh dari metode hidrodistilasi (HD) dan

mikrodistilasi (MD) agak mirip, yaitu sebagian besar terdiri atas monoterpen, seperti

α-felandren ( 32% dan 27%), β-felandren (22,8% dan 19,8%), limonen ( 5,3% dan

4,5%), p-simen ( 3,7% dan 2,8%) dan α-pinen (3,2% dan 2%). Senyawa yang

diperoleh dari metode microsteam distillation - solid phase microextraction (MSD-

SPME) berbeda dengan metode HD dan MD yaitu terdiri atas γ-elemen ( 5,3%),

elemen ( 2,66%), geranil asetat ( 2,76%) dan spatulenol ( 1,71%) ditemukan dalam

jumlah lebih tinggi. Minyak atsiri hasil separasi dengan metode HD, MD dan MSD-

SPME berturut-turut mengekstrak seskuiterpen sebanyak 13, 22 dan 28%.

Minyak atsiri dari buah P. turcica yang diperoleh dengan metode HD mengandung

senyawa utama α-humulen (11,0%), germakren (10,6%), naftalen (8,5%), terpinolen

(7,9%) dan bornil asetat (6,9%). Metode MD menghasilkan minyak atsiri dengan

kandungan utama p-simen (12,7%), terpinolen (11,2%), α-pinen (9,9%), naftalen

(7,9%), γ-terpinen (7,3%), α-humulen (7,9%) dan germakren (6,2%). Minyak atsiri

yang dihasilkan dengan metode MSD-SPME, mempunyai senyawa dominan yaitu

germakren (9,2%), naftalen (8,7%), bornil asetat (8,2%), α-humulen (7,1%) dan γ-

elemen (6,7%) (Ozek, 2006b).

Minyak rosemary diisolasi dengan tiga metode yang berbeda yaitu distilasi uap,

distilasi air dan controlled instantaneous decompression. Hasil analisis terhadap

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 36

minyak yang dihasilkan menunjukkan bahwa komposisi minyak yang diperoleh dari

distilasi uap mempunyai proporsi monoterpen hidrokarbon (antara lain pinen,

kamfen, mirsen) lebih tinggi sedangkan proporsi monoterpen teroksidasinya (antara

lain terpineol, linalool, kamfor, borneol) lebih rendah dibanding distilasi air. Hal

tersebut disebabkan selama proses distilasi air senyawa monoterpen tersebut

mengalami perubahan kimia dengan adanya air, terutama terjadinya reaksi hidrolisis

menghasilkan monoterpen teroksidasi (Boutekedjiret et al., 2004).

Ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dari beberapa metode separasi

menunjukkan perbedaan komposisi seperti yang disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8

menunjukkan penggolongan senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam.

Tabel 7. Senyawa utama ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dari metode distilasi uap, distilasi air, distilasi-ekstraksi simultan*

No. Senyawa

Persentase relatif (% RA)

Distilasi uap Distilasi air Distilasi-ekstraksi simultan

1 Oktanal 6,97 14,01 11,31 2 Cis-4-dekenal 18,74 24,44 28,43 3 Dekanal 3,14 2,86 6,49 4 cis-3-heksenil

heksanoat 0,66 0,34 1,44

5 Kariofilen 3,16 2,56 5,92 6 α-humulen 2,06 2,34 9,20 7 Nerolidol 4,09 20,27 1,44 8 Sitronelol 4,27 16,65 1,39 9 α-bisabolol 4,63 4,54 2,74

10 Farnesol 16,95 1,89 0,93 11 β-mirsen 1,17 tt Tt 12 β-osimen tt tt 9,04

*Wartini et al. (2008); tt: tidak terdeteksi.

Ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dengan metode distilasi uap, distilasi air

dan distilasi-ekstraksi simultan sebagian besar terdiri atas senyawa alkanal terutama

cis-4-dekenal yaitu senyawa yang mempunyai aroma jeruk (Weast et al., 1985), dan

golongan terpen. Senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dari

metode distilasi uap, distilasi air dan distilasi-ekstraksi simultan dapat digolongkan

menjadi golongan senyawa yang secara umum memberi kontribusi terhadap citarasa

ekstrak yaitu terpen dan non terpen. Golongan terpen terdiri atas monoterpen

hidrokarbon (β-osimen, β-mirsen), monoterpen teroksidasi (sitronelol, tujil alkohol),

seskuiterpen hidrokarbon (isokariofilen, trans-kariofilen, α-humulen, aromadendren, β-

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 37

kamigren, α-kopaen, farnesen), seskuiterpen teroksidasi (nerolidol, Δ-kadinol, β-

bisabolol, farnesol). Senyawa non terpen terdiri atas aldehid (oktanal, dekanal, cis-4-

dekenal), ester (cis-3-heksenil heksanoat, 5,10-asam undekadienoat).

Tabel 8. Penggolongan senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dengan metode distilasi uap, distilasi air dan distilasi- ekstraksi simultan*

Golongan senyawa Persentase relatif (% RA) Distilasi uap Distilasi air Simultan

Monoterpen hidrokarbon 1,17 1,14 9,04 Monoterpen teroksidasi 5,44 18,31 1,39 Total monoterpen 6,61 19,45 10,43 Seskuiterpen hidrokarbon 11,55 5,53 19,99 Seskuiterpen teroksidasi 25,19 26,7 5,11 Total seskuiterpen 36,74 32,23 25,1 Aldehid 28,85 41,31 46,23 *Wartini et al. (2008)

Komparasi senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam. Hasil uji kesukaan

terhadap ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dengan metode distilasi uap,

distilasi air dan distilasi-ekstraksi simultan ditentukan oleh senyawa yang menyusun

ekstrak tersebut. Persentase relatif senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam

dan sifat organoleptik ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dari beberapa

metode separasi disajikan pada Gambar 10 dan 11.

Ekstrak citarasa dengan tingkat kesukaan paling tinggi ditunjukkan dengan

kandungan monoterpen hidrokarbon dan aldehid yang tinggi (Gambar 10),

sedangkan senyawa seskuiterpen hidrokarbon dan monoterpen teroksidasi tidak

banyak mempengaruhi kesukaan. Tingkat kesukaan panelis terhadap ekstrak

citarasa daun salam hasil distilasi-ekstraksi simultan paling tinggi dibanding ekstrak

citarasa yang dihasilkan dari metode separasi yang lain karena adanya β-osimen

dalam ekstrak citarasa tersebut (Gambar 11). Senyawa β-osimen termasuk

monoterpen, banyak ditemukan pada sweet basil oil, mempunyai aroma seperti

jeruk, lemon, nanas dan sering digunakan sebagai citarasa dan

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 38

Gambar 10. Persentase relatif golongan senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam dan sifat organoleptik ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dari beberapa metode separasi

Gambar 11. Persentase relatif senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam dan tingkat kesukaan ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan

dari beberapa metode separasi

05

101520253035404550

Distilasi uap Disilasi air Simultan

golo

ngan

sen

yaw

a pe

nyus

un /

sifa

t or

gano

lept

ik

Metode separasiMonoterpen hidrokarbon (%RA) Monoterpen teroksidasi (%RA)

Seskuiterpen hidrokarbon (%RA) Seskuiterpen hidrokarbon (%RA)

Aldehid (% RA)

Kesukaan aroma

0

5

10

15

20

25

30

Distilasi uap Disilasi air Simultan

seny

awa

peny

usun

/ si

fat o

rgan

olep

tik

Metode separasi

Oktanal (%RA) cis-4-dekenal (%RA) Dekanal (%RA)

cis-3-heksenil heksanoat (%RA) Kariofilen (%RA) α-humulen (%RA)

Nerolidol (%RA) Sitronelol (%RA) α-bisabolol (%RA)

Farnesol (%RA) β-mirsen (%RA) β-osimen (%RA)

Kesukaan aroma

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 39

parfum. Senyawa osimen sering ditemukan sebagai campuran bentuk α-osimen dan

β-osimen, bersifat tidak larut dalam air, larut dalam alkohol (Lewis, 1992; Weast dan

Lide, 1989). Disamping itu persentase relatif cis-4-dekenal yang tinggi juga

meningkatkan kesukaan panelis.

d. Distilasi

Distilasi dapat didefinisikan sebagai metode separasi yang didasarkan pada

perbedaan komposisi antara campuran cairan dan uap yang terbentuk. Perbedaan

komposisi menyebabkan perbedaan tekanan uap efektif atau volatilitas senyawa

dalam cairan (Sastrohamidjojo, 2004; Fair, 1987). Guenther (1987) dan Ojha (1995)

menyatakan distilasi adalah pemisahan senyawa-senyawa suatu campuran dari dua

jenis cairan atau lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap dari masing-masing zat

tersebut. Distilasi dapat dilakukan jika titik didih senyawa-senyawa dalam campuran

memiliki perbedaan yang berarti (Sattler dan Feindt, 1995). Titik didih adalah

temperatur pada saat cairan berubah menjadi uap pada tekanan atmosfer atau

temperatur pada saat tekanan uap dari cairan tersebut sama dengan tekanan gas

atau uap yang berada di sekitarnya.

Dua macam distilasi yang dikenal dalam industri minyak atsiri yaitu distilasi dengan

uap dan distilasi dengan air. Selama proses distilasi kemungkinan terjadi

dekomposisi senyawa linalil asetat seperti yang terjadi pada distilasi daun lavender

(Reverchon dan Porta, 1995). Distilasi uap dan distilasi air sampai saat ini masih

merupakan proses yang paling penting untuk mendapatkan minyak atsiri dari

tanaman (Sonwa, 2000).

Pada dasarnya ada dua sistem distilasi (Sastrohamidjojo, 2004; Guenther, 1987)

yaitu:

1. Distilasi suatu campuran yang berwujud cairan yang tidak saling mencampur,

sehingga membentuk dua fasa atau dua lapisan. Keadaan ini terjadi pada

pemisahan minyak atsiri dan air. Distilasi dengan uap air sering disebut

hidrodistilasi, dilakukan dengan memanaskan bahan tanaman penghasil minyak

atsiri dengan air atau uap air.

2. Distilasi suatu cairan yang tercampur sempurna sehingga hanya membentuk

satu fasa. Pada keadaan ini pemisahan minyak atsiri menjadi beberapa

senyawanya disebut fraksinasi, bertujuan untuk memurnikan dan memisahkan

fraksi-fraksi minyak atsiri tanpa menggunakan uap air.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 40

e. Distilasi pada minyak atsiri

Sistem campuran air dan minyak atsiri membentuk cairan dua fasa. Pada temperatur

tertentu molekul-molekul cairan tersebut mempunyai energi tertentu dan bergerak

bebas secara tetap dengan kecepatan tertentu. Bila temperatur molekul naik dengan

cara dipanaskan maka tenaga gerak molekul akan bertambah. Molekul-molekul

selama bergerak akan saling bertumbukan. Di lapisan permukaan molekul-molekul

memiliki tendensi bergerak meninggalkan permukaan cairan masuk ke ruang di atas

cairan (molekul cairan berubah menjadi molekul uap). Molekul-molekul dalam

keadaan uap memiliki tenaga gerak lebih besar dibandingkan dalam keadaan cair.

Molekul-molekul uap selama bergerak juga saling bertumbukan dan kemungkinan

arah geraknya menuju kembali ke permukaan cairan. Pada suatu saat banyaknya

molekul yang lepas dari permukaan menjadi uap dan kembali ke fasa cairnya akan

sama jumlahnya (disebut pengembunan) sehingga tercapai keseimbangan dinamik.

Tekanan yang dihasilkan oleh uap pada distilasi minyak atsiri, merupakan hasil dari

benturan secara terus menerus antara molekul uap yang bergerak cepat pada

dinding pembatas uap tersebut. Besarnya tekanan yang terjadi sama dengan jumlah

tekanan yang ditimbulkan oleh satu molekul dikalikan dengan jumlah molekul yang

membentur dinding persatuan luas dalam satuan waktu tertentu dan tergantung

pada konsentrasi molekul atau konsentrasi uapnya. Pada distilasi minyak atsiri

dengan dengan sistem uap air atau air mendidih (hydrodistillation), tekanan dalam

ruang uap akan tetap konstan, karena uap berhubungan dengan atmosfer atau

ditentukan oleh alat kontrol yang dapat menaikkan dan menurunkan tekanan. Jika

minyak atsiri yang tidak larut dalam air dimasukkan dalam alat distilasi bersama-

sama dengan air maka tekanan dalam ruang uap lebih besar dari 1 atmosfer.

Karena ruang uap berhubungan dengan udara luar (atmosfer), maka tekanan akan

turun kembali mencapai tekanan atmosfer. Keadaan ini dapat berlangsung jika

temperatur turun secara otomatis. Jika temperatur cairan diturunkan, kecenderungan

molekul cairan menjadi fase uap juga menurun, sehingga konsentrasi molekul uap

juga berkurang, akibatnya tekanan uap juga turun. Temperatur akan turun sampai

pada keadaan tekanan total yang disebabkan oleh uap campuran sama dengan

tekanan pada saat operasi (tekanan atmosfer). Dengan demikian titik didih dari

setiap cairan dua fase akan selalu lebih rendah dari titik didih masing-masing cairan

murni pada tekanan yang sama. Salah satu contoh adalah air dan benzena masing-

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 41

masing mempunyai titik didih 100 0C dan 80 0C, merupakan dua macam cairan yang

tidak saling mencampur. Jika campuran kedua cairan tersebut dididihkan pada

tekanan atmosfer, uap akan dihasilkan secara konstan pada temperatur 690 C

selama kedua cairan tersebut masih ada dalam campuran. Jika salah satu dari

kedua cairan tersebut habis menguap maka temperatur akan naik mencapai titik

didih senyawa yang masih ada. Keadaan ini berlaku untuk semua senyawa yang

mudah menguap, dengan syarat senyawa tersebut tidak larut atau sedikit larut

dalam air dan tidak bereaksi dengan air.

Uap pada cairan dua fase terdiri dari dua macam molekul dan berada dalam

kesetimbangan. Jumlah tekanan uap campuran sama dengan jumlah tekanan dari

masing-masing molekul uap. Tekanan yang dihasilkan oleh uap murni pada

temperatur yang sama merupakan tekanan uap dari senyawa murni, sedang jumlah

tekanan uap dari campuran cairan sama dengan jumlah tekanan uap parsial.

Tekanan uap parsial adalah tekanan uap dari masing-masing senyawa dalam

campuran uap. Untuk setiap sistem cairan dua fase, tekanan uap parsial sama

dengan tekanan uap masing-masing senyawa.

Komposisi uap yang terbentuk dari dua macam campuran cairan, tergantung pada

tekanan uap parsial dari senyawa murni. Kalau senyawa A mempunyai tekanan uap

tinggi sedangkan B rendah, maka campuran uap sebagian besar akan terdiri dari

senyawa A. Perbandingan berat senyawa A dan B merupakan perbandingan antara

tekanan uap A dan B dikalikan dengan perbandingan berat molekul A dan B.

Peristiwa mendidih terjadi hanya jika jumlah tekanan parsial yang dihasilkan oleh

senyawa, sama dengan tekanan dalam ruang uap, oleh karena itu cairan heterogen

(dua fase) akan mendidih atau menguap pada suatu temperatur pada jumlah

tekanan uap sama, dibawah titik didih dari senyawa bertitik didih paling rendah.

Distilasi bahan tanaman memiliki hubungan erat dengan proses difusi, terutama

dengan peristiwa osmosis. Pertukaran uap dalam jaringan tanaman segar

didasarkan pada sifat permeabilitasnya dalam keadaan segar. Von Rechenberg

dalam Guenther (1987) menggambarkan proses hidrodifusi pada distilasi bahan

tanaman sebagai berikut : pada temperatur air mendidih, sebagian minyak atsiri larut

dalam air yang terdapat dalam kelenjar. Campuran air dan minyak atsiri berdifusi

keluar dengan peristiwa osmosis, melalui selaput membran sampai ke permukaan

bahan selanjutnya menguap. Untuk mengganti minyak yang menguap tersebut,

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 42

sejumlah minyak masuk ke dalam larutan dan menembus membran sel bersamaan

dengan masuknya air. Proses tersebut berlangsung terus sampai seluruh zat

menguap didifusikan dari dalam kelenjar minyak dan diuapkan bersama uap air

panas. Kecepatan menguapnya minyak atsiri dalam proses hidrodistilasi bahan tidak

dipengaruhi oleh sifat mudah menguapnya senyawa dalam minyak, tetapi lebih

banyak ditentukan oleh derajat kelarutannya dalam air.

e.1. Distilasi air

Pada distilasi air bahan kontak langsung dengan air mendidih. Bahan tersebut

mengapung di atas air atau terendam secara sempurna tergantung dari bobot

jenis dan jumlah bahan yang disuling. Air dipanaskan dengan metode

pemanasan yang biasa dilakukan yaitu dengan panas langsung, mantel

pemanas, pipa uap melingkar tertutup atau dengan pipa uap berlingkar terbuka

(Guenter, 1987). Distilasi air paling banyak digunakan untuk mengisolasi minyak

dari bunga (mawar, melati). Berat air yang digunakan sama dengan berat bahan

yang didistilasi dan minyak yang diperoleh kurang dari 0,1% (Boelens, 1997).

Dalam proses distilasi, bahan tanaman dan air diletakkan bersama-sama

selanjutnya campuran tersebut dipanaskan. Campuran uap dari air dan minyak

atsiri kemudian dikondensasikan. Pada proses distilasi air akan diperoleh

senyawa yang larut dalam air dan bertitik didih rendah, proses difusi uap air ke

dalam bahan berlangsung dengan baik, tetapi memiliki kelemahan yaitu

terjadinya hidrolisis dan dekomposisi senyawa hasil distilasi serta senyawa-

senyawa bertitik didih tinggi tidak terekstrak dan efisiensi proses rendah. Proses

distilasi ini biasanya kontinyu dalam waktu dua sampai tiga jam (Sonwa, 2000).

Distilasi air (hydrodisllation) paling banyak digunakan untuk mengisolasi minyak

dari bunga (mawar, melati). Berat air yang digunakan sama dengan berat bahan

yang didistilasi dan minyak yang diperoleh kurang dari 0,1% (Boelens, 1997).

Skema proses distilasi dengan air disajikan pada Gambar 12. Dalam proses ini

bahan tanaman dan air diletakkan bersama-sama di dalam bejana A,

selanjutnya campuran tersebut dipanaskan. Campuran uap dari air dan minyak

atsiri dikondensasikan dalam trap B dan dilewatkan pada lapisan hexana yang

melarutkan minyak, sedangkan air kondensasi kembali ke bejana A. Pada

proses distilasi air akan diperoleh senyawa yang larut dalam air dan bertitik

didih rendah, proses difusi uap air ke dalam bahan berlangsung dengan baik,

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 43

tetapi memiliki kelemahan yaitu terjadinya hidrolisis dan dekomposisi senyawa

hasil distilasi serta senyawa-senyawa bertitik didih tinggi tidak terekstrak dan

efisiensi proses rendah. Proses distilasi ini biasanya kontinyu dalam waktu dua

sampai tiga jam (Sonwa, 2000).

Gambar 12. Skema proses distilasi dengan air (Sonwa, 2000)

e.2. Distilasi uap

Distilasi uap merupakan proses untuk memisahkan dan memurnikan senyawa-

senyawa organik yang mudah menguap. Pada prinsipnya proses tersebut

menguapkan substansi dengan melewatkan uap melalui campuran senyawa

dan air. Distilasi uap terjadi pada temperatur dibawah titik didih air, bahkan pada

beberapa kasus jauh dibawah titik didih senyawa organik. Hal ini memberikan

kemungkinan untuk melakukan pemurnian senyawa bertitik didih tinggi dengan

distilasi temperatur rendah terutama untuk senyawa yang mengalami

dekomposisi apabila didistilasi pada tekanan atmosfer. Hal ini juga penting

dalam pemisahan senyawa organik yang diinginkan (Furniss et al., 1978).

Distilasi uap mempunyai kelebihan yaitu efisiensi proses lebih tinggi, temperatur

proses terkontrol di bawah atau sama dengan uap sehingga hidrolisis dan

dekomposisi senyawa lebih terkendali.

Proses distilasi dengan uap, menggunakan bejana penyulingan yang diisi bahan

tanaman. Uap mengalir melalui bagian bawah tanaman dan minyak menguap

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 44

bersama air. Campuran uap air dan minyak yang bergerak ke koil kemudian

didinginkan dengan air pendingin sehingga uap dikondensasikan. Campuran air

kondensasi dan minyak atsiri dikumpulkan dan dan dipisahkan dengan

dekantasi dan kadang-kadang dengan sentrifugasi atau jika perlu minyak

dibebaskan dari air dengan penambahan sodium sulfat anhidrat. Hal ini untuk

mencegah hidrolisis ester dan senyawa lainnya di dalam minyak, menjaga

aroma dan sifat-sifatnya (Sonwa, 2000).

Skema proses distilasi dengan uap disajikan pada Gambar 13. Proses

penyulingan dengan uap terdiri dari bejana penyulingan yang mengandung

bahan tanaman. Uap mengalir melalui bagian bawah tanaman dan minyak

menguap. Campuran uap air dan minyak yang bergerak ke coil selalu

didinginkan dengan air mengalir sehingga uap dikondensasikan. Campuran air

kondensasi dan minyak atsiri dikumpulkan dan dan dipisahkan dengan

dekantasi dan kadang-kadang dengan sentrifugasi. Jika perlu minyak

dibebaskan dari air yang terlarut dan tersuspensi dengan penambahan sodium

sulfat anhidrat. Hal ini untuk mencegah hidrolisis ester dan komponen lainnya di

dalam minyak, menjaga aroma dan sifat-sifatnya (Sonwa, 2000).

Gambar 13. Skema penyulingan dengan uap (Sonwa, 2000).

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 45

e.3. Ekstraksi pelarut

Ekstraksi merupakan pemisahan senyawa tertentu dari campuran

menggunakan pelarut. Berbeda dengan proses separasi yang lain, ekstraksi

menghasilkan senyawa tidak murni, karena setelah proses tersebut senyawa

yang diinginkan masih tercampur dengan pelarut, beberapa jenis lilin, albumin

dan zat warna, sehingga diperlukan proses pemisahan dan pemurnian senyawa

misalnya rektifikasi. Ekstraksi sering dilakukan pada industri citarasa, dapat

dalam bentuk padat-cair atau cair-cair. Selama isolasi senyawa beraroma,

bahan alami diperlakukan dengan pelarut yang sesuai untuk mendapatkan

citarasa yang diinginkan dalam jumlah optimal (Furniss et al., 1978; Ojha et al.,

1995). Selanjutnya dinyatakan bahwa ekstraksi secara umum dapat

digolongkan menjadi dua yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi padat-cair. Pada

ekstraksi cair-cair, senyawa yang dipisahkan terdapat dalam campuran yang

berupa cairan, sedangkan ekstraksi padat-cair adalah suatu metode pemisahan

senyawa dari campurannya yang berupa padatan. Semakin banyak

pengulangan dalam ekstraksi, maka semakin besar jumlah senyawa yang

terekstrak dari campurannya atau efektivitas ekstraksi semakin tinggi, mengikuti

persamaan berikut (Vogel, 1978):

Keterangan: Xn = berat zat terlarut yang diperoleh (g)

Xo = berat zat terlarut yang diekstrak (g)

D = perbandingan distribusi kedua fase

V = volume larutan (mL)

v = volume pelarut (mL)

Cara ekstraksi senyawa padat-cair dengan prosedur klasik adalah

menggunakan ekstraksi kontinyu dengan alat ekstraktor Soxhlet menggunakan

pelarut yang berbeda-beda, misalnya eter, petroleum eter dan kloroform. Cara

kerja dengan ekstraksi pelarut menguap cukup sederhana yaitu bahan

dimasukkan ke dalam ketel ekstraktor. Pelarut akan berpenetrasi ke dalam

bahan dan melarutkan minyak beserta beberapa jenis lilin, albumin, dan zat

warna (Guenther, 1987). Ekstrak yang diperoleh disaring dengan penyaringan

D x V

D x V x v = Xn Xo ( ) n

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 46

vakum, lalu dipekatkan dengan rotary evaporator vakum yang akan

memekatkan larutan tanpa terjadi percikan pada temperatur antara 30 sampai

40oC. Saat ini, monoterpen dan seskuiterpen diisolasi dari jaringan tanaman

dengan ekstraksi memakai eter, eter minyak bumi atau aseton (Harborne,

1987).

Cara lain yang dapat dilakukan adalah maserasi, yaitu menggunakan lemak

panas, dengan temperatur mencapai 80oC dan jaringan tanaman yang

dimaserasi dicelupkan ke dalamnya. Penggunaan lemak panas dapat

digantikan dengan pelarut organik yang volatil. Penekanan utama metode ini

adalah tersedianya waktu kontak yang cukup antara pelarut dengan jaringan

yang diekstrasi (Guenther, 1987).

Cara kerja ekstraksi dengan pelarut mudah menguap cukup sederhana yaitu

bahan dimasukkan ke dalam ekstraktor. Pelarut akan berpenetrasi ke dalam

bahan dan melarutkan minyak beserta beberapa jenis lilin, albumin dan zat

warna. Larutan selanjutnya dipekatkan dan pelarut diuapkan (Guenther, 1987).

Minyak yang dihasilkan dari ekstraksi dengan pelarut mudah menguap biasanya

berwarna gelap karena mengandung pigmen alamiah yang tidak dapat

menguap, tetapi proses ini mempunyai keunggulan yaitu untuk bahan-bahan

tertentu mempunyai bau yang mirip dengan bau tanaman aslinya.

Ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan secara batch atau kontinyu. Proses

batch cenderung kurang efisien dibanding proses kontinyu. Contoh proses

ekstraksi kontinyu pada bahan padat adalah dengan ekstraktor Soxhlet

sedangkan proses batch adalah maserasi yaitu merendam bahan dalam pelarut

selama waktu tertentu (Furniss et al., 1980). Untuk meningkatkan efisiensi

proses ekstraksi digunakan panas, contoh di laboratorium adalah ekstraksi

dengan Soxhlet (Ojha et al., 1995).

Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi harus memenuhi kriteria

sebagai berikut: melarutkan semua zat pemberi citarasa, titik didih cukup

rendah sehingga mudah diuapkan, tidak larut dalam air dan bersifat inert.

Pelarut yang memiliki sifat paling mendekati kriteria di atas adalah petroleum

eter, dengan titik didih 30-70 oC, sifat stabil, mudah menguap, selektif dalam

melarutkan zat. Petroleum eter terdiri dari beberapa fraksi hidrokarbon seperti

pentana, heptana, heksana dan sebagainya (Furniss et al., 1980).

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 47

Produk yang dihasilkan dari proses ekstraksi dengan pelarut, mengandung zat

pewangi alamiah, sejumlah kecil lililin, albumin, pigmen dan dikenal dengan

nama concrete. Concrete mempunyai konsistensi padat dan hanya sebagian

yang larut dalam alkohol. Concrete dapat diproses lebih lanjut menjadi absolute,

dengan cara memisahkan fraksi lilin yang tidak larut dalam alkohol, kemudian

dilakukan penyaringan dan penguapan alkohol. Absolute mempunyai

kenampakan lebih jernih dibanding concrete (Guenther, 1987). Yusufoglu et al.

(2004), mengekstrak daun dan bunga tanaman L. angustifolia Miller

menggunakan petroleum eter pada temperatur 40-60oC selama 2 jam dalam

ekstraktor Soxhlet. Concrete yang dihasilkan berupa padatan berwarna hijau

gelap untuk bunga dan kuning gelap untuk daun. Selanjutnya concrete direflux

dengan alkohol absolut selama 2 jam, didiamkan selama 2 hari dan disaring.

Filtrat dievaporasi dan dihasilkan absolut yang berupa cairan kental berwarna

hijau jika dihasilkan dari bunga dan kuning dari daun. Skema proses ekstraksi

dengan pelarut disajikan pada Gambar 14.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 48

Gambar 14. Skema proses ekstraksi dengan pelarut (Anon., 2004d)

e.4. Distilasi-ekstraksi simultan

Salah satu teknik yang populer untuk mengisolasi senyawa citarasa adalah

distilasi-ekstraksi simultan yang pertama kali diperkenalkan oleh Likens -

Nickerson. Keuntungan dari teknik tersebut adalah proses pemisahan senyawa

volatil dan mengkonsentrasikannya dilakukan dalam satu operasi, volume

pelarut yang diperlukan sedikit, senyawa yang diambil lebih banyak dan sistem

bisa dilakukan pada tekanan yang dikurangi (Parliament, 1997). Skema proses

distilasi-ekstraksi simultan disajikan pada Gambar 15.

Prinsip proses distilasi-ekstraksi simultan adalah sebagai berikut: sampel

dipanaskan dalam labu distilasi bersama-sama dengan air, demikian juga

pelarut mudah menguap diipanaskan dalam labu pelarut. Uap yang dihasilkan

dari sampel diekstrak dengan uap pelarut di dalam kondensor dan membentuk

dua lapisan. Lapisan atas yaitu fraksi pelarut yang mengandung senyawa

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 49

citarasa selanjutnya mengalir ke labu pelarut sedangkan lapisan bawah yaitu

fraksi air kembali ke labu sampel. Pelarut yang mengandung senyawa citarasa

kemudian dihilangkan pelarutnya (Barcarolo et al., 1996). Metode distilasi-

ekstraksi simultan banyak digunakan untuk mengekstrak senyawa citarasa

(senyawa volatil) karena memberikan hasil yang lebih baik dibanding metode

yang lain (Choi, 2004; Diaz-Maroto, 2002; Pino and Marbut, 2001).

Gambar 15. Skema proses distilasi-ekstraksi simultan (Barcarolo et al., 1996)

Daftar Pustaka

Abdullah, A. dan Soedarmanto. 1986. Budidaya Tembakau. C.V. Yasaguna, Jakarta. h. 115 – 117.

AFFI. 2007a. Apa itu citarasa dan fragran. http://www.affi.or.id/related2_id.php?PHPSESSID=afcca2821a296753ad92baf0b3f241da. 21 Pebruari 2007.

AFFI. 2007b. Produk Industri Citarasa dan Fragran. http://www.affi.or.id/related2_id.php?PHPSESSID=afcca2821a296753ad92baf0b3f241da. 21 Pebruari 2007.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 50

Barcaloro, R., C. Tutta and P. Casson. 1996. Aroma Compounds in Handbook of Food Analysis Vol.1. L.M.L.Nollet (Ed.). Marcell Dekker, Inc., New York, Basel. p. 1021 -1022.

Baser, K.H.C. 1999. Essential oil extraction from natural product by conventional methods. TBAM-ICS/UNIDO Training Course on Quality Improvement of Essential oil. 15 – 19 November 1999. Eskisehir, Turkey.

Boelens, M.H. 1997. Production, Chemistry and Sensory Properties of Natural Isolates in Flavours and Fragrances. K.A.D. Swift. The Royal Society of Chemistry. p. 77 - 79.

Boutekedjiret, C., R Belabbes, F. Bentahar, J-M Bessière, S. A. Rezzoug. 2004. Isolation of rosemary oils by different processes. Journal of Essential Oil Research : JEOR. 16 . (3) : 195 -199.

Cheetham, P.S.J. 2002. Plant-derived Natural Sources of Flavours in Food Citarasa Technology. A.J. Taylor (Ed.). Sheffield Academic Press. CRC Press. U.S.A. and Canada. p. 118.

Combrink. S, A.A. Bosman, B.M. Botha, Wilma du Plooy, R.I. McCrindle and E. Retief. 2006. Effect of post-harvest drying on the essential oil and glandular trichomes of Lippia scaberrima Sond. Journal of Essential Oil Research : JEOR. Vol. 18 (special edition): 80 - 84.

Diaz-Maroto, M.C., M.S. Perez-Coello and M.D. Cabezudo. 2002a. Effect of drying method on the volatil in bay leaf (Laurus nobilis L.). J.Agric. Food Chem. 50: 4520 - 4524.

Diaz-Maroto, M.C., M.S. Perez-Coello and M.D. Cabezudo. 2002b. Effect of different drying methods on the volatil components of parsley (Petroselinum crispum L.). Eur Food Res Technol. 215 : 227 - 230.

Diaz-Maroto, M.C., M.S. Perez-Coello, M.A.G. Vinaz and M.D. Cabezudo. 2003. Influence of drying on the flavour quality of spearmint (Mentha spicata L.) J.Agric. Food Chem. 51: 1265 - 1269.

Dignum, M.J.W., J. Kerler and R. Verpoorte. 2003. Vanilla curing under laboratory conditions. Food Chem. 79: 165-171.

Fair, J.R., 1987. Distillation in Hand Book of Separation Process Technology. R.W.Rousseau (Ed.), John Wiley & Sons, New York. p. 1010.

Furniss, B.S., A.J. Hannaford, V. Rogers, P.W.G. Smith and A.R. Tatchell. 1980. Vogels Textbook of Practical Organik Chemistry (Fourth Ed.) The English Language Book Society and Longman. p. 100 -136.

Gross, J. 1991. Pigments in Vegetables. An Avi Book, Van Nostrand Reinhold, New York. p. 3 - 13

Guenther, E. 1987. The Essential Oils. Penerjemah S. Ketaren. Minyak Atsiri (Jilid I). UI-Press, Jakarta. h. 20 - 33, 99 - 129.

Kesselmeier J. and M. Staudt. 1999. Biogenic volatil organik compounds (VOC): An overview on emission, physiology and ecology. Journal of Atmospheric Chemistry. 33:23–88, http://www.naha.org/articles/biogenesis%20of%20essential%20oils.html. 23 Juni 2006.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 51

Lawless and Heymann. 1998. Sensory Evaluation of Food. Champman and Hall, New York. p. 430.

Luckner, M. 1984. Secondary Metabolism in Microorganisms, Plants, and Animals (2nd Ed). Springer-Verlag Berlin, Heidenberg, New York,Tokyo. p. 64, 150 - 156.

Man, C.M and A.A. Jones. 1995. Shelf Life Evaluation of Food. Champman and Hall. New York.

Marten,M. and P. Baardseth. 1987. Sensory Quality in Postharvest Physiology of Vegetables. J. Weichmann (Ed.) Marcel Dekker Inc., New York and Basel. p. 427 - 454.

Ojha, N.D., H.K. Singh and P. Traci. 1995. Separation Processes in Citarasa Manufacturing in Bioseparation Processes in Food. R.K. Singh and S.S.H.Rizvi (Ed.). Ift Basic Symposium Series, New York, Basel Hongkong. p. 417 - 426.

Ozek G., Ozek, T., K. H. C. Baser, A. Duran, M. Sagiroglu. 2006a. Comparison of essential oil of Xanthogalum purpurascens Lallem obtained via different isolation techniques. Journal of Essential Oil Research : JEOR. Vol. 18 (2): 181 - 184.

Ozek, G., T Ozek, K. H. C. Baser, A. Duran, M. Sagiroglu and H. Duman. 2006b. Comparison of the essential oils of Prangos turcica fruits obtained by different iIsolation.Techniques. Journal of Essential Oil Research : JEOR. 2006. 18 (5) : 511 - 514.

Parliament, T.H. 1997. Solvent Extraction and Distillation Techniques in Techniques for Analyzing Food Aroma. R. Marsili (Ed.). Marcel Dekker, Inc., New York, Basel. p. 13 - 17.

Peerzada, N. 1997. Chemical composition of the essential oil of Hyptis suaveolens. Molecules (2): 165 - 168

Perdigon, M.I. 2006. Curing and Fermentation of Tobacco Leaves.

http://www.guerrillero.co.cu/sitiotabaco/curacion/generalidades_a_inglesh.html. 25 Mei 2006.

Pino, J.A. and R. Marbut. 2001. Volatil citarasa constituents of Acerola (Mapighia emarginata DC.). J.Agric. Food Chem. (49): 5880 - 5882.

Ranadive, A.S., 1994. Vanilla Cultivation, Curing, Chemistry, Technology and Commercial Products in Spices, Herbs, and Edible Fungi. Elsivier Science Inc., Netherlands. p. 532 - 533.

Reverchon, E and G.D. Porta, 1995. Supercritical CO2 extraction and fractionation of lavender essential oil and waxes. J. Agric. Food Chem. 43 : 1654 - 1658.

Sastrohamidjojo. 2004. Kimia Minyak Atsiri, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. h. 7 - 12.

Sattler, K. and H.J. Feindt. 1995. Thermal Separation Processes, Principles and Design. VCH, Weinheim, New York, Base, Cabridge, Tokyo.

Setiawan, A. dan Y. Trisnawati. 1993, Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran Tembakau. Penebar Swadaya, Jakarta.

Simon, J.E. 1990. Essential oil and Culinary herbs in Advances in New Crops. J. Janick and J.E. Simon (Ed.). Timber Press, Portland, OR. http://www.tropical seeds.com/techforum/veg herbs/ess.Oils cull herbs. 4 Maret 2004.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 52

Sonwa, M.M. 2000. Isolation and structure elucidation of essential oil constituents (comparativenstudy of the oils of Cyperus alopecuroides, Cyperus papyrus, and Cyperus rotundus). Dissertation, Departement of Organik Chemistry, Fakulty of Chemistry, University of Hamburg, Hamburg. Diakses 30 Maret 2004.

Von Elbe J. H. and S. J. Schwartz. 1996. Colorants in Food Chemistry (Third Ed.). O.R. Fennema. Marcel Dekker, Inc. New York, Basel, Hongkong, p. 651 - 722.

Wartini, N.M., Hariyono, T. Susanta, R. Retnowati dan Yunianta. 2007. Pengaruh proses curing terhadap komposisi daun salam (Eugenia polyantha Wight.), profil komponen dan tingkat kesukaan ekstrak citarasa hasil distilasi- ekstraksi simultan.. Jurnal Teknologi Pertanian 8 (1) : 10 - 18

Wartini, N.M., Hariyono, T. Susanta, Yunianta dan R. Retnowati. 2008. Tingkat kesukaan dan senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam (Eugenia polyantha Wight.) dari beberapa metode separasi. Agrotekno 14 (2) : 56 - 60.

Wartini, N.M., P.T. Ina dan G.P. Ganda Putra. 2010. Perbedaan kandungan senyawa volatil daun salam (Eugenia polyantha Wight.) pada beberapa proses curing. AGRITECH 30 (4) : 238-243.

Weast, R. C. and D. R. Lide. 1989. CRC Handbook of Chemistry and Physics. CRC Press. Inc, Boca Raton. Florida. p. 130.

Wijaya, H. 1995. Oriental natural citarasa: liquid and spary dried of “jeruk purut” (Citrus hystrix DC) leaves in Food Citarasa : Generation, Analysis and Process Influence. G. Charalambous (Ed.) p. .Elsevier, Amsterdam, New York, Tokyo.

Wright, J. 2002. Creating and Formulating Citarasas in Food Citarasa Technology. A.J. Taylor (Ed.). Sheffield Academic Press, CRC Press, U.S.A. and Canada. p. 1 - 26.

Yousif, A.N., C.H. Scaman, T.D. Durance and B. Girard. 1999. Citarasa volatils and physical of vacuum-microwave and air-dried sweet basil (Ocimum basilicum L.). J.Agric. Food Chem. 47: 4777 - 4781.

Yusufoglu, A., H. Celik and F.G. Kirbaslar. Utilization of Lavandula angustifolia Miller extract as natural repellents, pharmaceutical and industrial auxiliaries. J.Serb. Chem. Soc .69 (1): 1 - 7.

Zelith, J. and M. Zucker. 1958. Changes in oxidative enzyme activity during the curing of connecticut shade tobacco. Plant Physio. March : 33 (2): 151 -155.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 53

Pada bagian ini pembaca/mahasiswa diberikan pemahaman mengenai senyawa aroma dan citarasa yang terkandung di dalam rempah-rempah dan herbal. Lebih rinci dibahas mengenai sifat antimikrobia dari senyawa-senyawa tersebut. Hambatan yang ada ketika ekstrak rempah-rempah dan herbal diaplikasikan langsung di dalam makanan juga dibahas dalam bagian ini baik sebagai penambah citarasa maupun fungsinya sebagai antimikrobia. Dengan demikian, setelah membaca bagian ini pembaca/mahasiswa diharapkan memahami sifat antimikrobia dari senyawa aktif yang terkandung dalam rempah-rempah dan herbal.

Pendahuluan

Sejak jaman nenek moyang kita, herbal dan rempah-rempah digunakan pada makanan

bukan untuk bahan pengawet, namun sebagai penyedap karena sifat aroma dan

citarasanya (citarasa). Walaupun sebagian besar minyak atsiri yang berasal dari herbal

dan rempah-rempah mempunyai sifat antimikrobia. Kemampuan bahan aktif yang

terkandung di dalam rempah-rempah dan herbal menghambat mikroba tergantung pada

jenis senyawa dan konsentrasinya. Semakin tinggi konsentrasi, maka kemampuan

antimikrobia dari senyawa aktif tersebut semakin tinggi. Senyawa anti microbial tersebut

dapat menghambat mikroba pathogen maupun pembusuk, sehingga dengan

kemampuan tersebut rempah-rempah dan herbal dapat berfungsi sebagai pengawet

makanan.

Senyawa antimikrobia yang diproduksi oleh tanaman dapat secara alami terkandung di

dalam tanaman dan dapat pula diproduksi sebagai respon gangguan dari luar.

Gangguan dari luar dapat berupa luka secara fisik sehingga memberikan kesempatan

enzim bertemu dengan substratnya dan senyawa antimikrobia (fitoaleksin) yang

diproduksi akibat invasi mikrobiologis.

Senyawa antimikrobia yang diekstrak dari makanan termasuk ke dalam Generally

Recognized As Safe (GRAS) karena bersifat alami dan sudah lama digunakan dalam

makanan. Penggunaan ekstrak herbal/rempah-rempah dalam makanan sebagai

pengawet masih sangat terbatas karena fungsinya sebagai komponen citarasa. Sebagai

komponen citarasa, ekstrak rempah-rempah yang digunakan hanya pada konsentrasi

III. ANTIMIKROBIA DARI REMPAH-REMPAH DAN HERBAL

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 54

yang rendah, dengan demikian apabila digunakan sebagai pengawet maka dosis

penggunaannya akan melebihi tingkat penerimaan secara organoleptik. Masalah ini

kemungkinan akan dapat ditanggulangi apabila pertanyaan-pertanyaan berikut dapat

terjawab:

Apakah pengaruh penghambatan minyak atsiri (campuran dari banyak senyawa)

ditentukan oleh satu atau beberapa senyawa?

Apakah minyak atsiri memberikan aktivitas yang sinergi?

Berapa minimum inhibitory concentration (MIC) dari senyawa kimia minyak

atsiri?

Bagaimana substansi antimikrobia apakah dipengaruhi oleh kondisi campuran

yang homogeny (cairan atau semi-solid) atau heterogen (emulsi, campuran

padatan dan semi padat) dari struktur bahan pangan?

Dapatkah efikasi dipacu dengan metode pengawetan tradisional (penggaraman,

pemanasan, pengasaman) dan modern (kemasan vakum, pengemasan atmosfir

termodifikasi)?

Untuk memahami lebih dalam mengenai sifat antimikrobia dari senyawa-senyawa yang

terkandung di dalam herbal ataupun rempah-rempah dibutuhkan jawaban dari

pertanyaan-pertanyaan tersebut, namun perkembangan literatur mengenai subjek

tersebut sangat kurang. Keterbatasan metodologi untuk mengevaluasi aktivitas

antimikrobia secara in vitro telah menunjukkan hasil yang kontradiktif. Selain itu, sedikit

studi yang sudah dilakukan mengenai sifat antimikrobia langsung pada makanan, dan

diperlukan studi aplikasi minyak atsiri pada bahan makanan. Beberapa studi yang dapat

dilakukan adalah dengan mencampur, mengimersi, enkapsulasi, penyemprotan pada

permukaan, mengevaporasi senyawa-senyawa aktif dari minyak atsiri pada kemasan

aktif yang merupakan metode menjanjikan hasil yang baik. Metode tersebut belum

banyak diteliti berkaitan dengan penggunaan langsung minyak atsiri pada cara

pengawetan.

Hasil percobaan dilaboratorium berkenaan dengan senyawa antimikrobia yang

terkandung dalam rempah-rempah atau herbal dengan menggunakan kultur media

menunjukkan hasil yang positif. Namun demikian, ketika senyawa tersebut diaplikasikan

di dalam makanan, menunjukkan hasil yang kontradiktif. Makanan merupakan media

kompleks yang dapat mempengaruhi kemampuan aktivitas antimirkobial dari senyawa

aktif rempah-rempah maupun herbal. Peningkatan konsentrasi merupakan salah satu

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 55

cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan aktivitas antimikrobia tersebut di dalam

makanan. Perlu diperhatikan bahwa peningkatan konsentrasi akan mempengaruhi sifat

organoleptik makanan. Optimasi penggunaan rempah-rempah dan herbal di dalam

makanan perlu dilakukan apabila senyawa aktif tersebut dibutuhkan sebagai bahan

pengawet selain untuk citarasa makanan. Sebagai contoh, penambahan 1% bubuk

bawang putih ke dalam mayonnaise dapat menurunkan (10 kali lipat) jumlah S. enterica

serovar Enteritidis yang hidup (Leuscnher dan Zamparini, 2002). Selain itu,

mengkombinasikan dengan cara pengawetan lain juga dapat dilakukan untuk

meningkatkan efikasi antimikrobia dari senyawa aktif dalam rempah-rempah dan herbal.

Aktivitas Antimikrobia

Aktivitas antimikrobia dari persenyawaan yang diekstrak dari tanaman terhadap

berbagai jenis mikroorganisme, yang diuji invitro dan secara individual, terdokumentasi

dengan baik di berbagai literatur. Namun demikian, hasil yang dilaporkan dari berbagai

studi sulit untuk dibandingkan secara langsung. Minyak atsiri yang diekstrak dari

rempah-rempah dan herbal merupakan gabungan dari banyak senyawa. Senyawa

tunggal belum tentu memperlihatkan aktivitas yang lebih tinggi. Sering terjadi sinergisme

dari kombinasi senyawa yang terkandung di dalam minyak atsiri memberikan aktivitas

antimikrobia yang tinggi. Juga tidak selalu jelas kelihatan apakah metode yang

digunakan ditujukan untuk mengukur bakteriostatik atau bakterisidal atau kombinasi

keduanya. Asai antimikrobia yang digambarkan dalam literatur meliputi pengukuran dari:

Radius atau diameter daerah penghambatan dari pertumbuhan bakteri disekitar

cakram kertas (paper disk) yang diisi dengan (atau lubang/well yang diisi)

senyawa antimikrobia pada media agar (Gambar 16);

penghambatan pertumbuhan bacteria pada medium agar dengan senyawa

antimikrobia yang terdifusi ke dalam agar;

konsentrasi penghambatan minimum (MIC) dari senyawa antimikrobia dalam

media cair;

perubahan optical density (OD) atau kekeruhan di dalam cairan media

pertumbuhan yang mengandung senyawa antimikrobia.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 56

Gambar 16. Aktivitas penghambatan senyawa antimikrobia dengan metode difusi

menggunakan paper disk.

Tabel 9. Senyawa antimikrobia yang terkandung secara alami di dalam tanaman

Apigenin-7-glucose, aureptan Benzoic acid, berbamine, berberine, borneol

Caffeine, caffeic acid, 3-o-caffeylquinic acid, 4-o-caffeylquinic acid, 5-o-caffeylquinic acid, camphene camphor, carnosol, carnosic acid, carvacrol*, caryophelene, catechin, 1,8 cineole, cinnamaldehyde, cinnamic acid, citral, chlorogenic acid,

chicorin, columbamine, coumarine, p-coumaric acid, o-coumaric, p-cymene, cynarine Dihydrocaffeic acid, dimethyloleuropein

Esculin, eugenol Ferulic acid

Gallic acid, geraniol, gingerols, Humulone, hydroxytyrosol, 4-hydroxybenzoic acid, 4-hydroxycinnamic acid

Isovanillic, isoborneol Linalool, lupulone, luteoline-5-glucoside, ligustroside, S-limonene

Myricetin, 3-methoxybenzoic acid, menthol, menthofurane Oleuropein

Paradols, protocatechuic acid, o-pyrocatechic, a-pinene, b-pinene, pulegone Quercetin Rutin, resocrylic Salicylaldehyde, sesamol, shogoals, syringic acid, sinapic Tannins, thymol, tyrosol, 3,4,5-trimethoxybenzoic acid, 3,4,5-thihydroxyphenylacetic

acid Verbascoside, vanillin, vanillic acid

Banyaknya metode yang dapat digunakan untuk mengukur aktivitas antimikrobia suatu

bahan merupakan pilihan yang ditawarkan kepada peneliti. Namun demikian, masing-

masing metode mempunyai kelebihan dan kelemahan yang perlu diperhatikan

tergantung dari jenis komponen aktif dan target mikroba yang dihambat. Tiga faktor

utama dapat mempengaruhi hasil dari metode yang digunakan untuk penentuan

aktivitas antimikrobia dari minyak atsiri tanaman, yaitu: (i) komposisi tanaman yang diuji

(jenis tanaman, lokasi geografis dan waktu/musim), (ii) jenis mikroorganisme (strain,

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 57

kondisi pertumbuhan, ukuran inokulum, dll.), dan (iii) metode yang digunakan untuk

menumbuhkan dan menghitung jumlah bakteri yang bertahan hidup (Sibel, 2003).

Banyak studi yang didasarkan pada assessmen subjektif terhadap penghambatan

pertumbuhan, seperti metode disc diffusion atau metode cepat seperti dengan melihat

optical density (turbidimetri) tanpa memperhitungkan keterbatasan yang melekat pada

metode tersebut. Pada metode yang menggunakan cakram kertas (paper disc), daerah

penghambatan tergantung pada kemampuan minyak atsiri berdifusi secara merata ke

dalam agar dan juga melepaskan senyawa volatil dari minyak. Faktor lain yang dapat

mempengaruhi hasil adalah keterlibatan banyak komponen aktif. Faktor lain yang dapat

mempengaruhi hasil analisis adalah keterlibatan berbagai senyawa (multiple active

components) yang terkandung di dalam ekstrak herbal atau rempah-rempah. Senyawa-

senyawa tersebut pada konsentrasi yang rendah dapat berinteraksi secara antagonis

maupun sinergis. Perbedaan aktivitas antimikrobia dari minyak atsiri dari bahan pangan

yang kompleks dibandingkan dengan aktivitas apabila dicoba sendiri di laboratorium

dapat disebabkan oleh pemisahan komponen aktif antara fase minyak dan air di dalam

bahan pangan.

Metode analisis menggunakan turbidimetri merupakan metode yang cepat, tidak

merusak, murah serta mudah dilakukan namun mempunyai sensitifitas yang rendah.

Pada metode turbidimetri semua sel terdeteksi baik yang hidup maupun sel yang mati

dan hanya terdeteksi pada bagian atas (tersuspensi), sehingga memerlukan kalibrasi

yang mengkorelasikan kekeruhan dengan sel hidup yang ditumbuhkan pada medium

agar.(Dalgaard and Koutsoumanis, 2001). Perubahan absorbansi yang jelas terjadi

apabila populasi mikrobia mencapai 106 – 107 cfu/ml, dan juga dipengaruhi oleh ukuran

mikrobia yang berbeda pada setiap fase pertumbuhan. Kondisi fisiologis sel (sakit atau

sehat) dan hasil oksidasi dari minyak atsiri dapat juga mempengaruhi absorbansi media

pertumbuhan yang terukur. Tidak seperti teknik hitungan cawan, metode yang

didasarkan pada penghambatan pertumbuhan (impedimetri) dapat digunakan untuk

memantau metabolisme mikrobia yang sesungguhnya. Teknik ini bergantung pada

penggunaan medium yang memberikan perubahan pertumbuhan yang terdeteksi.

Seperti pada teknik turbidometri, kalibrasi data pertumbuhan dengan hitungan cawan

sangat diperlukan. Walaupun memerlukan waktu dan tenaga yang lebih, metode

tradisional dengan menentukan jumlah mikroba yang hidup (viable) dengan hitungan

cawan masih merupakan metode standard terbaik dalam penentuan aktivitas

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 58

antimikrobia. MIC diukur dengan seri pengenceran dalam media cair diikuti dengan

penentuan pertumbuhan dengan membaca absorbansi maupun hitungan cawan.

Tabel 10. Beberapa contoh mikroorganisme yang sensitif terhadap aktivitas antimikrobia ekstrak minyak atsiri dari herbal dan rempah-rempah*

Bacteri Gram-positive Bacteri Gram-negative Kapang/Khamir

Arthobacter sp., Bacillus sp. B. subtilis, B. cereus, B. megaterium, Brevibacterium ammoniagenes, Brev. linens, Brochothrix thermosphacta, Clostridium botulinum, Cl. perfrigenes, Cl. sporogenes, Corynebacterium sp., Enterococcus feacalis, Lactobacillus sp., Lb. plantarum, Lb. minor, Leuconostoc sp., Leuc. cremoris, Listeria monocytogenes, L. inocua Micrococcus sp., M. luteus M. roseus, Pediococcus spp., Photobacterium phosphoreum, Propionibacterium acnes Sarcina spp. Staphylococcus spp., Staph. aureus, Staph. epidermidis, Streptococcus faecalis, Acetobacter spp. Acinetobacter sp., A. calcoaceticus

Aeromonas hydrophila, Alcaligenes sp., A.faecalis, Campylobacter jejuni, Citrobacter sp., C. freundii, Edwardsiella sp., Enterobacter sp., E. aerogenes, Escherichia coli E. coli O157:H7, Erwinia carotovora, Flavobacterium sp., Fl. suaveolens, Klebsiella sp., K. pneumonia, Moraxella sp., Neisseria sp., N. sicca, Mycobacterium smegmatis Pseudomonas spp. P. aeruginosa, P. fluorescens, P. fragi, P. clavigerum Proteus spp. Pr. vulgaris Salmonella spp. Sal. enteritidis, Sal. senftenberg, Sal. typhimurium, Serratia sp. S. marcecens, Vibrio sp., V. parahaemolyticus, Yersinia enterocolitica

Aspergillus niger, Asp. Parasiticus, Asp. flavus Asp. Ochraceus, Candida albicans, Candida tropicalis, Dekkera bruxellensis, Fusarium oxysporum, F. culmorum, Mucor sp., Pichia anomala, Penicillium sp., Pen. chrysogenum, Pen. patulum, Pen. roquefortii, Pen. citrinum, Rhizopus sp., Saccharomyces cerevisiae, Trichophyton mentagrophytes, Torulopsis holmii, Pityrosporum ovale,

*Sibel (2003).

Hampir semua minyak atsiri dari herbal dan rempah-rempah menghambat pertumbuhan

mikrobia termasuk produksi toksinnya. Pengaruh antimikrobia bergantung pada

konsentrasi dan semakin tinggi konsentrasi maka sifat bakterisidalnya juga semakin

tinggi. Bakteri Gram-positip, Gram-negatip, khamir dan kapang semuanya dihambat

dengan kisaran yang luas dari minyak atsiri. Aktivitas antimikrobia dari senyawa yang

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 59

terkandung di dalam minyak atsiri dipengaruhi oleh medium yang digunakan dalam

pengujian, suhu inkubasi dan ukuran inokulum (Ayers et al., 1998; Brul and Coote,

1999).

Allicin, yang merupakan salah satu senyawa aktif yang terdapat di dalam hancuran

bawang putih segar, mempunyai beragam aktivitas antimikrobia. Allicin dalam bentuk

senyawa murni memperlihatkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram positif

maupun Gram negative termasuk E. coli dari strain multidrug-resistent enterotoxigenic;

antifungal khususnya terhadap Candida albicans; antiparasit, termasuk parasit protozoa

seperti Entamoeba hystolytica dan Giardia lamblia; dan aktivitas antiviral (Angkri dan

Mirelman, 1999)

Gambar 17. Peran alliinase dalam perubahan alliin menjadi allicin.

Aktivitas Antibakteri

Aktivitas antibakteri dari minyak atsiri yang diekstrak dari herbal dan rempah-rempah

sudah dikenal sejak lama. Sekarang ini, banyak penelitian yang dilakukan berkaitan

dengan aktivitas senyawa-senyawa aktif yang terkandung di dalam minyak atsiri yang

diekstrak dari berbagai jenis herbal dan rempah-rempah. Herba maupun rempah-

rempah sering digunakan sebagai bahan bumbu untuk penyedap makanan. Selain itu,

karena potensi bioaktifnya, herbal dan rempah-rempah banyak juga digunakan sebagai

bahan obat-obatan (pharmaceutical) dan berfungsi sebagai bahan pengawet makanan

karena sifat antibakterinya.

Hampir semua herbal dan rempah-rempah mempunyai senyawa aktif yang berfungsi

sebagai antimikrobia, namun beberapa ekstrak herbal dan rempah-rempah mempunyai

sifat khusus sebagai antibakteri. Tanaman ara (Carpobrotus edulis) sering digunakan

sebagai obat penyakit infeksi seperti sinusitis, diarrhea, infantile eczema, dan

tuberculosis. Ekstrak daunnya juga sering digunakan untuk mengobati infeksi mulut dan

radang tenggorokkan. Ekstrak kasar metanolik dari tanaman ara mempunyai aktivitas

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 60

antibakteri terhadap bakteri Moraxella catharralis pada konsentrasi 50 mg ml-1, namun

ekstrak etanoliknya tidak terdeteksi mempunyai aktivitas (van der Watt dan Pretorius,

2001). Senyawa terdeteksi yang terkandung di dalam tanaman ara adalah senyawa

flavonoid (rutin, neohesperidin, hyperoside, cactichin dan ferulic acid) yang mempunyai

aktivitas antibakteri terhadap M. catharalis (Gram negative) dan dua bakteri Gram

positive (Staphylococcus epidermidis dan Staph. aureus) Di Afrika ekstrak kulit kayu

dan daun marula (Sclerocarya birrea) juga digunakan sebagai bahan pengobatan untuk

penyakit yang berhubungan dengan bakteri. Ekstrak bagian dalam kulit kayu

mempunyai potensi antibakteri yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian luar kulit

kayu maupun dari daun marula. Semua bakteri yang dicoba, Staph. aureus,

Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli and Enterococcus faecalis, pada MIC 0,15

sampai 3,0 mg.ml-1 (Eloff, 2001).

Rempah-rempah dan herbal sering digunakan sebagai bahan untuk meningkatkan

citarasa makanan dan memperbaiki warna makanan, sehingga makanan mempunyai

nilai kuliner yang spesifik sesuai dengan asal dari makanan tersebut. Beberapa hasil

penelitian juga memperlihatkan bahwa komponen yang terkandung di dalam herbal dan

rempah-rempah memperlihatkan sifat antibakteri yang dapat meningkatkan keamanan

makanan yang dikonsumsi. Penelitian yang dilakukan terhadap minyak atsiri yang

diekstrak dari origanum, thymbra and satureja memperlihatkan kemampuan untuk

menghambat bakteri. Rempah-rempah ini biasa digunakan sebagai bahan untuk

meningkatkan citarasa makanan di Turki (Baydar et al., 2004). Rempah-rempah lain

yang sering digunakan di dalam ingredient makanan adalah bawang putih, mustard,

cengkeh dan jahe. Keempat rempah tersebut sudah diteliti dapat menghambat bakteri di

dalam sistem makanan yang disimulasikan. Cengkeh mempunyai aktivitas antibakteri

yang paling tinggi diikuti bahan bawang putih, sedangkan mustard dan jahe

memperlihatkan aktivitas antibakteri yang lebih kecil di dalam model sistem makanan

(Leuschner dan Zamparini, 2002). Bawang putih memperlihatkan aktivitas antibakteri

dengan sifat sensori yang baik dari mayonnaise. Bawang putih (pada konsentrasi 1%)

dapat menurunkan bakteri hidup (Salmonella enterica serovar Enteritidis) di dalam

mayonnaise sebesar 1 siklus log. Penelitian lain menunjukkan bahwa empat minyak

atsiri (kayu manis, cengkeh, pimento dan rosemerry) memperlihatkan efek

penghambatan yang kuat terhadap bakteri pembusuk daging (Quattara et al., 1997).

Aktivitas antibakteri tersebut berhubungan dengan adanya bahan-bahan yang mudah

menguap dalam minyak atsiri. Cinnamon (kayu manis) dan cengkeh mengandung

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 61

cinamaldehida dan eugenol pada konsentrasi berturut-turut 65-75% dan 93-95% dari

total kandungan senyawa volatil yang bertanggung jawab terhadap efek antibakteril.

Prasad dan Seenayya (2000) menyatakan bahwa cengkeh memberikan hambatan

paling baik terhadap bakteri halofilik dan pada konsentrasi 0,1% memberikan

penghambatan sempurna, sehingga minyak cengkeh dapat digunakan untuk

mengendalikan pertumbuhan bakteri halofilik pada produk ikan yang diasinkan.

Helicobacter pylori merupakan jenis bakteri yang tergolong dalam bakteri Gram

negative, berbentuk batang bengkok yang sering dihubungkan dengan penyakit kronis

pencernaan dan gastroduodenal ulcer disease, serta perannya dalam kanker saluran

pencernaan. Banyak penelitian dilakukan untuk dapat menghilangkan/membasmi kuman

ini di dalam saluran pencernaan. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh peneliti

adalah dengan menggunakan ekstrak bawang putih (Cellini et al., 1996). Penelitian

pengaruh ekstrak bawang putih dilakukan terhadap 16 isolat klinis dan 3 strain referensi

H. pylori. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih dapat

menghambat semua strain H. pylori pada konsentrasi antara 2 – 5 mg ml-1, dan

konsentrasi ekstrak bawang putih yang dibutuhkan untuk menghambat 90% (MIC90) dari

isolate adalah 5 mg ml-1. Ekstrak bawang putih segar memberikan penghambatan 2 – 4

kali lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak bawang putih yang direbus. Tirranen et al.

(2001) dalam penelitiannya memperlihatkan hasil pengamatan yang menarik, yaitu emisi

senyawa volatil tanaman bawang putih muda secara meyakinkan menstimulasi

pertumbuhan S. aureus, B. brevis, Haphnia alvei, dan sedikit menghambat pertumbuhan

E. coli dan B. cereus. Bawang putih muda maupun tua sedikit menghambat Nocardia sp.

Namun demikian, bawang putih yang sudah tua (umur 50 hari) mempunyai aktivitas

antimikrobia dengan kisaran luas menghambat bakteri Gram negative dan Gram positif

pembentuk spora dan dalam bentuk cocci.

Rempah-rempah dan herbal telah memperlihatkan mempunyai nilai obat-obatan,

terutama sebagai antimikrobia. Dari semua jenis tanaman, ternyata bawang putih dan

cengkeh memperlihatkan aktivita antimikrobia yang tinggi (Arora dan Kaur, 1999).

Pengaruh bakterisidal dari ekstrak bawang putih sangat nyata terjadi setelah 1 jam dan

membunuh 93% Staphylococcus epidermidis dan Salmonella typhi tercapai dalam waktu

3 jam.

Dari potensi antibakteri yang dimiliki herbal dan rempah-rempah, maka produk ini

banyak digunakan untuk meningkatkan daya awet makanan dan juga untuk pengobatan

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 62

terhadap penyakit-penyakit infeksi. Peninggalan budaya nenek moyang di berbagai

daerah di Indonesia ternyata sangat kaya akan pengetahuan pengobatan herbal.

Kekayaan ini perlu untuk diungkapkan secara ilmiah dan dilakukan penelitian mendalam

untuk pengembangan teknologi yang tepat sehingga potensi hayati ini dapat

dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat. Selain untuk pengobatan, bahan

rempah-rempah dan herbal dapat dikembangkan sebagai bahan pengawet alami selain

meningkatkan citarasa, aroma dan warna makanan.

Aktivitas Antijamur

Selain mempunyai aktivitas antibakteri, beberapa rempah-rempah dan herbal juga

mempunyai aktivitas antijamur. Sifat antifungal yang dimilikinya sering dimanfaatkan

sebagai pengawet makanan maupun obat untuk mencegah dan mengobati penyakit

infeksi oleh jamur. Penggunaan rempah atau herbal sebagai antijamur di dalam

makanan sangat menguntungkan dan dapat sebagai pengganti fungisida sintetis.

Penelitian sifat antijamur ekstrak rempah dan herbal banyak dilakukan untuk

memperoleh bahan alami (GRAS) yang digunakan untuk makanan maupun obat-

obatan.

Ekstrak bawang putih, selain mempunyai aktivitas antibakteri, juga mempunyai aktivitas

antijamur (Arora dan Kaur, 1999; Yin dan Tsao, 1999). Tiga spesies Aspergillus (A.

niger, A. flavus dan A. fumigatus) dapat dihambat oleh ekstrak bawang putih, dan

penghambatannya meningkat apabila dikombinasikan dengan penambahan asam

asetat (Yin dan Tsao, 1999). Ketiga spesies Aspergillus tersebut banyak berperan dalam

proses kerusakan pangan maupun pakan.. Aspergillus flavus dapat menghasilkan

mikotoksin di dalam makanan, sehingga penggunaan antijamur pada makanan sangat

diperlukan untuk menghindari tumbuhnya jamur dan terbentuknya toksin. Ekstrak

bawang putih juga dapat membunuh khamir secara total dalam waktu inkubasi 1 jam.

Penghambatan ini lebih cepat dibandingkan dengan ekstrak cengkeh yang

membutuhkan waktu 5 jam untuk membunuh khamir secara total (Arora dan Kaur,

1999). Ekstrak bawang putih memperlihatkan aktivitas anti-candidal yang lebih tinggi

dibandingkan dengan nystatin. Wang dan Ng (2001) menemukan allivin (jenis protein)

yang disolasi dari bawang putih mempunyai aktivitas antijamur.

Minyak yang diekstrak dari kunyit dapat menghambat isolate dermatophyta, kapang

patogenik dan khamir, namun curcumin tidak memperlihatkan aktivitas penghambatan

terhadap isolate jamur tersebut kecuali khamir (Aplsarlyakul et al., 1995).

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 63

Dermatomycosis merupakan penyakit kulit umum di berbagai Negara yang disebabkan

oleh infeksi jamur. Jamur yang menginfeksi umumnya dari jenis jamur keratinofilik yang

disebut dermatophyta. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aplsarlyakul et al. (1995)

ditemukan bahwa minyak kunyit dapat menghambat pertumbuhan dermatophyta. MIC

terhadap Microsporum gypseum adalah pada pengenceran 1:80, sedangkan MIC

terhadap Epidermophyton floccosum, Trichophyton mentagrophytes, dan Trichophyton

rubrum berturut-turut pada pengenceran 1:60-1:320, 1:40-1:160, dan 1:40-1:160.

Selanjutnya, konsentrasi penghambatan minimum terhadap kapang patogen

(pathogenic moulds) terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Konsentrasi penghambatan minimal (MIC) minyak kunyit dan ekstrak kasar kunyit terhadap empat kapang patogen*

Kapang Patogenik Strains MIC

(µg.ml-1)

Minyak Ekstrak kasar

Exophiala jeanselmei MMC 17 459.6 > 10.000 Sporothrix schenckii MMC 38 114.9 > 10.000

Fonsecaea pedrosoi MMC 42 459.6 > 10.000

Scedosporium apiospermum MMC 70 114.9 >10.000

* Aplsarlyakul et al. (1995)

Sifat Antimikrobia pada Makanan

Perkembangan teknologi pengawetan untuk memperpanjang masa simpan produk

pangan sangat pesat seiring dengan meningkatnya kebutuhan industri pangan dan

penyediaan pangan sepanjang tahun. Sistem pengawetan seperti pemanasan,

pendinginan, dan penambahan bahan pengawet dapat memperpanjang masa simpan

dan menurunkan berkembangnya mikroba pathogen yang beresiko menyebabkan

penyakit. Namun demikian, konsumen sudah mulai menghindari penggunaan bahan-

bahan pengawet sintetis sebagai antimikrobia dan menghendaki makanan yang bebas

bahan kimia. Kondisi ini memberikan peluang penggunaan bahan antimikrobia alami

oleh industri pangan untuk memperpanjang masa simpan, seperti dalam bentuk enzim

(laktoperoksidase, laktoferin, avidin, lysozym), antimikrobia yang diproduksi

menggunakan kultur mikroba (nisin dan jenis bakteriosin lainnya), dan yang bersumber

dari tanaman (rempah-rempah dan herbal berupa ekstrak, minyak atsiri ataupun

komponen yang diisolasi dari rempah-rempah atau herbal).

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 64

Relatif masih sedikit penelitian yang mengarah pada penggunaan ekstrak rempah dan

herbal sebagai antimikrobia (pengawet) dalam model makanan atau makanan yang

sebenarnya. Kemampuan antimikrobia minyak esensial in-vitro sering lebih besar

dibandingkan in-situ di dalam makanan (Davidson, 1997). Sebagai contoh: minyak atsiri

dari mint (Mentha piperita) terlihat menghambat pertumbuhan dari Salmonella enteritidis

dan Listeria monocytogenes dalam media kultur selama 2 hari pada suhu 30oC. Namun,

pengaruh ekstrak minyak atsiri dari mint pada makanan sangat beragam tergantung

pada jenis makanan dan kondisi makanan seperti pH, emulsi, suhu dan komposisi

makanan. Pertumbuhan E. coli, Salmonella spp., L. monocytogenes dan Staph. aureus

terhambat oleh minyak atsiri ekstrak dari oregano di dalam kultur cair. Ketika minyak

atsiri tersebut dicoba pada makanan (salad, taramasalata, dan mayonnaise), aktivitas

antimikrobia minyak atsiri tersebut tergantung pada faktor lingkungan seperti pH, suhu

dan jenis minyak yang digunakan. Demikian pula, konsentrasi minyak atsiri sangat

berpengaruh terhadap aktivitas antimikrobianya. Semakin tinggi konsentrasi minyak

atsiri yang diaplikasikan, maka semakin tinggi pula aktivitas antimikrobia minyak atsiri

tersebut.

Tabel 11. Beberapa contoh minyak atsiri yang umum digunakan untuk pengawetan makanan dan bahan aktifnya*

Herbal/rempah-rempah Senyawa Aktif Herbal/rempah-

rempah Senyawa Aktif

Semua rrempah Eugenol Methyl eugenol

Mint α-, β-pinene limonene 1,8-cineole

Jinten Carvone Bawang d-n-propyl disulfide methyl-n-propyl disulfide

Kayu Manis Cinnamaldehyde Eugenol

Oregano Thymol Carvacrol

Cengkeh Eugenol Eugenol acetate

Merica/Lada Monoterpenes

Ketumbar d-linalool d-α-pinene β-pinene

Rosemary Borneol 1,8-cineole Camphor Bornyl acetate

Kunir Cuminaldehyde Sage Thujone 1,8-cineol Borneol

Bawang Putih Diallyl disulfide Diallyl trisulfide allyl Propyl disulfide

Thyme Thymol Carvacrol Menthol Menthone

*Sibel, 2003.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 65

Tabel 12. Penggunaan minyak atsiri dalam makanan

Jenis Makanan Mikroorganisme Minyak atsiri

Susu (segar, skim) Staph. aureus, Salmonella enteritidis, P. fragi

Mastic gum

Produk susu: soft cheese, mozzarella

L. monocytogenes Sal. Enteritidis

Clove, cinnamon, thyme

Daging segar: potong atau giling

Sal. typhimurium dan Sal. enteritidis Staph. Aureus P. fragi, L. monocytogenes Lactic acid bacteria, Br. thermosphacta, Enterobacteriaceae, Yeasts & indigenous flora

Oregano, clove, basil, sage

Produk daging: Pate Sosis

L. monocytogenes, Salmonella enteritidis, Indigenous flora, Br. thermosphacta, E. coli

Mint

Ikan: Gilt-head bream Cod fillets, salmon

Salmonella enteritidis, Staph. aureus, Photobacterium phosphoreum

Oregano, Basil, bay, cinnamon, clove, lemongrass, marjoram, oregano, sage, thyme

Salad dan dressing: Tuna, kentang, terung, taramasalata, mayonnaise, tzatziki Saus

Staph. aureus, Salmonella enteritidis, P. fragi L. monocytogenes, Sh. Putrefaciens, Br. thermosphacta, E. coli Indigenous flora, Salmonella enteritidis and typhimurium Staph. aureus, P. fragi

Carob Mint, oregano, basil, sage

Banyak penelitian yang juga dilakukan untuk memanfaatkan senyawa antimikrobia alami

rempah-rempah dan herbal sebagai bahan pengawet bahan pangan segar seperti:

sayuran, ikan dan daging. Potensi senyawa antimikrobia dari ekstrak rempah-rempah

maupun herbal dapat dijadikan rujukan untuk menggunakannya sebagai bahan

pengawet alami. Pengawet alami tersebut dapat digunakan untuk menghambat mikroba

pembusuk maupun mikroba pathogen. Sebagai contoh, L. monocytogenes dan

Salmonella typhimurium dihambat pertumbuhannya di dalam daging yang berturut-turut

diberi perlakuan dengan minyak atsiri cengkeh dan oregano (Tsigarida et al., 2000;

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 66

Skandamis et al., 2002a). S. typhimurium bertahan hidup di dalam daging yang tidak

diberi perlakuan, sementara yang ditambahkan minyak atsiri oregano pada konsentrasi

0,8% jumlah bakteri yang hidup menurun 1 – 2 log cfu/g. Pada tingkat konsentrasi yang

sama minyak oregano dapat menurunkan jumlah L. monocytogenes sebesar 2– 3 log

cfu/g dalam daging. Penurunan pertumbuhan Aeromonas hydrophila juga dilaporkan di

dalam daging babi tanpa curing yang dimasak dengan perlakuan penambahan minyak

cengkeh atau ketumbar dan dikemas vakum atau tanpa vakum yang disimpan pada

suhu 2o dan 10oC. Pengaruh letal dari kedua jenis minyak ini lebih tinggi pada kondisi

kemasan vakum dibandingkan dengan kondisi yang aerob (Stecchini et al., 1998).

Adanya oksigen di dalam kemasan mempengaruhi efikasi antimikrobia minyak atsiri.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas antimikrobia minyak oregano

terhadap Staph. aureus dan Salmonella enteritidis dipacu ketika organism tersebut

diinkubasi pada kondisi mikroaerobik atau anaerobic. Pada kondisi oksigen yang

rendah, perubahan sifat oksidatif minyak atsiri juga rendah. Selain itu, minyak oregano

lebih efektif aktivitasnya pada kondisi vakum dan pada kondisi atmosfer 40%

CO2:30%O2:30%N2 apabila film impermeable digunakan dibandingkan dengan inkubasi

aerobic atau dikemas dalam kemasan yang permeable terhadap O2 (Tsigarida et al.,

2000; Skandamis et al., 2002). Minyak oregano mempunyai aktivitas sebagai

bakteriostatik dan bakteriosidal pada ikan segar (Sparus aurata) yang diinokulasi Staph.

aureus and Salmonella enteritidis dan disimpan pada kondisi MAP (40% CO2 , 30% O2

dan 30% N2 ) atau kondisi aerob (udara) pada suhu 1ºC. Pertumbuhan mikroba

pembusuk seperti Shewanella putrefaciens dan Photobacterium phosphereum juga

dihambat pada ikan yang diperlakukan dengan minyak oregano (Tassou et al., 1996).

Penurunan yang sama juga dilaporkan untuk minyak atsiri yang diperlakukan pada

daging dan ikan (Skandamis and Nychas, 2001). Semua studi di atas memperlihatkan

bahwa aktivitas antimikrobia yang didemonstrasikan in vitro tidak semua

memperlihatkan indikasi yang baik pada pengawetan pangan. Senyawa aktif dari

minyak atsiri sering terikat dengan komponen makanan (seperti protein, lemak, gula-

gula, dll.). Oleh karena itu, hanya proporsi minyak atsiri yang bebas dari dosis total yang

berperan sebagai aktivitas antimikrobia. Faktor ekstrinsik seperti suhu juga membatasi

aktivitas antimikrobia minyak atsiri (Davidson, 1997). Selain itu, distribusi pada fase

yang berbeda (solid/liquid) di dalam makanan dan ketidakhomogenan pH dan air dapat

juga berperan terhadap efikasinya. Interaksi antara komponen yang berbeda di dalam

makanan dapat membuat perubahan pH pada produk akhir dan juga pada konsentrasi

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 67

yang berbeda dari antimikrobia pada fase yang berbeda. Kapasitas penyangga lokal dari

ingredient makanan menentukan pH pada daerah yang spesifik dari makanan yang

kompleks. Karena distribusi mikroorganisme di dalam makanan tidak homogen, maka

aktivitas antimikrobia juga tergantung pada densitas mikroba pada struktur makanan

dan pada keberadaan sumber karbon yang ditentukan oleh kemampuan berdifusi.

Ekologi mikroba dari bahan pangan, kapasitas penyangga (buffer), pH dan struktur

makanan spesifik semuanya harus diperhitungkan dalam menentukan aktivitas

antimikrobia dari senyawa bioaktif. Pertumbuhan bakteri di dalam cairan akan

tersebar/tersuspensi, berbeda kontras dengan pertumbuhan koloni yang terpisah pada

matriks yang padat (Wilson et al., 2002). Kasus lain yang bias terjadi adalah sel

diimmobilisasi dan dilokalisasi dalam jumlah banyak di dalam matriks makanan. Uji

lainnya telah memperlihatkan bahwa atribut fisiologis pertumbuhan bakteri di dalam

model matriks makanan secara nyata berbeda dengan pertumbuhan sel secara bebas di

dalam media kultur cair (Skandamis et al., 2000; Wilson et al., 2002). Perbedaan-

perbedaan ini dapat dihitung dengan: (i) densitas populasi per se, (ii) difusivitas dan

keberadaan nutrisi utama, (iii) adanya oksigen, dan (iv) akumulasi produk akhir

(Stecchini et al., 1993; Skandamis et al., 2000). Sementara difusivitas nutrient dengan

berat molekul rendah seperti glukosa dapat hampir sama seperti dalam cairan dan

matriks gel, dimana agen antimikrobia dapat sangat berbeda dan dapat secara kuat

mempengaruhi efikasinya di dalam matriks padat (Diaz et al., 1993; Stecchini et al.,

1998). Bahan berminyak di dalam emulsi membentuk tetesan dengan diameter 10-18”m

(Wilson et al., 2002). Difusi tetesan tersebut dipengaruhi oleh densitas, viskositas, dan

karakteristik yang berhubungan dengan struktur medium. Dengan demikian, mobilitas

yang lebih tinggi dari tetesan minyak atsiri di dalam media cair dapat merupakan faktor

yang sangat penting memacu penghambatan bakteri target.

Model Penghambatan

Secara umum, mode of action minyak atsiri adalah ketergantungan terhadap

konsentrasinya. Pada konsentrasi rendah menghambat kerja enzim yang berhubungan

dengan produksi energi sementara konsentrasi yang lebih tinggi dapat mempresipitasi

protein. Namun demikian, tidak pasti apakah kerusakan membran secara jumlah

berhubungan dengan jumlah senyawa aktif antimikrobia terekspos terhadap sel, atau

pengaruhnya kerusakan kecil membran dilanjutkan dengan kerusakan sel. Carvacrol,

komponen aktif dari banyak minyak atsiri, dapat menyebabkan sitoplasma dan membran

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 68

luar sel tidak stabil dan dapat berperan sebagai ‘penukar proton’ yang menghasilkan

penurunan gradient pH sepanjang membran sitoplasma (Ultee et al., 1999). Rusaknya

‘proton motive force’ dan berkurangnya pool ATP akhirnya akan mengarah pada

kematian sel. Seperti pada kerja bahan pengawet umumnya, minyak atsiri akan

menyebabkan kebocoran ion, ATP, asam nukleat dan asam amino. Tidak seperti

antibiotika, minyak atsiri dapat mencapai periplasma bakteri Gram-negatif melalui

protein porin dari membran luar. Permeabilitas membran sel tergantung pada

komposisinya dan hidropobisitas komponen yang melewatinya (Helander et al., 1998).

Suhu rendah menurunkan kelarutan minyak atsiri dan menghambat penetrasi ke dalam

membran. Gugus aldehida yang sangat reaktif dari senyawa antimikrobia tanaman

(seperti citral, salicyldehyde) membentuk basa Schiff’s dengan protein membran

sehingga mencegah biosintesis dinding sel. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa

allicin dapat dengan mudah masuk ke dalam sitoplasma sel darah merah. Bilayer lipida

tidak merupakan hambatan untuk penetrasi allicin ke dalam sitoplasma dan difusinya

melalui bilayer lipida tidak mengakibatkan rusaknya membran. Temuan ini

memunculkan kemungkinan bahwa di dalam sistem biologis allicin dapat melakukan

penetrasi secara cepat ke dalam bagian-bagian sel yang berbeda dan menimbulkan

efek biologis (Miron et al., 2000).

Dari ulasan hasil-hasil penelitian dan kajian di atas dapat dirangkum bahwa komponen

aktif yang terkandung dalam minyak atsiri hasil ekstraksi dari rempah-rempah dan

herbal mempunyai aktivitas antimikrobia. Secara umum juga dapat dinyatakan bahwa

bakteri Gram-positif lebih sensitive terhadap senyawa antimiktobia yang terkandung

dalam rempah-rempah dibandingkan dengan bakteri Gram-negatif. Untuk itu, ekstrak

rempah-rempah dan herbal dapat digunakan sebagai bahan pengawet makanan alami

dan dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan pengobatan (herbal medicine).

Daftar Pustaka

Ankri, S. dan Mirelman, D. 1999. Antimikrobia properties of allicin from garlic. Microbes and Infection. 2: 125−129.

Aplsarlyakul, A., Vanittanakom, N., and Buddhasukh, D. 1995. Antifungal activity of turmeric oil extracted from Curcuma longa (Zingiberaceae). Journal of Ethnopharmacology. 49: 163-169.

Arora, D.S. and Kaur, J. 1999. Antimikrobia activity of spices. International Journal of Antimikrobia Agents. 12: 257–262.

Ayres, H.M., Payne, D.N., Furr, J.R. dan Russell, A.D. 1998. Use of the Malthus-AT system to assess the efficacy of permeabilizing agents on the activity of

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 69

antibacterial agents against Pseudomonas aeruginosa. Letters in Applied Microbiology. 26: 422.

Baydar, H., Sagdic, O., Ozkan, G. dan Karadogan, T. 2004. Antibacterial activity and composition of essential oils from Origanum, Thymbra and Satureja species with commercial importance in Turkey. Food Control 15: 169–172

Brul, S. dan Coote, P.1999. Preservative agents in foods. Mode of action and microbial resistance mechanisms. International Journal of Food Microbiology. 50: 1– 17.

Cellini, L., Di Campli, E., Masulli, M., Di Bartolomeo, S. dan Allocati, N. 1996. Inhibition of Helicobacter pylori by garlic extract ( Allium sativum). FEMS Immunology and Medical Microbiology. 13: 273-277.

Dalgaard, P. dan Koutsoumanis, K. 2001. Comparison of maximum specific growth rates and lag times estimated from absorbance and viable count data by different mathematical models. Journal of Microbiological Methods. 43: 183-196.

Davidson, P.M. (1997) Chemical Preservatives and Natural antimikrobia compounds. In Food Microbiology Fundamentals and Frontiers, Doyle, M.P., Beuchat, L.R., Montville, T.J. (eds): 520– 556, NY: ASM Press.

Diaz, G., Wolf, W., Kostaropoulos, A.E. and Spiess, W.E.L. 1993. Diffusion of lowmolecular weight compounds in food model system. Journal of Food Processing and Preservation. 17: 437– 454.

Eloff, J.N. 2001. Antibacterial activity of Marula (Sclerocarya birrea (A. rich.) Hochst. subsp. caffra (Sond.) Kokwaro) (Anacardiaceae) bark and leaves. Journal of Ethnopharmacology. 76: 305–308

Helander-Alakomi, H.L., Latva-Kala, K., Mattila-Sandholm, T., Pol, I., Smid, E.J., Wright, I.K., dan Von, A. 1998. Characterization of the action of selected essential oil components on Gram negative bacteria. Journal of Agricultural Chemistry. 46: 3590– 3595.

Leuschner, R.G.K. dan Zamparini, J. 2002. Effects of spices on growth and survival of Escherichia coli 0157 and Salmonella enterica serovar Enteritidis in broth model systems and mayonnaise. Food Control 13: 399–404.

Miron, T., Rabinkov, A., Mirelman, D., Wilchek, M. dan Weiner, L. 2000. The mode of action of allicin: its ready permeability through phospholipid membrans may contribute to its biological activity. Biochimica et Biophysica Acta. 1463: 20-30.

Prasad, M.M. dan Seenayya, G. 2000. Efect of spices on the growth of red halophilic cocci isolated from salt cured fish and solar salt. Food Research International. 33: 793-798.

Quattara, B., Simard, R.E., Holley, R.A., Piette, G.J.P. dan Bégin, A. 1997. Antibacterial activitiy of selected fatty acids and essential oils against six meat spoilage organisms. Int. J. Food Microbiol. 37: 155-162.

Sibel, R. (Editor). 2003. Natural Antimikrobias for the Minimal Processing of Foods. Cambridge, GBR: Woodhead Publishing, Limited. Hal: 177.

Skandamis, P. dan Nychas, G-J,E. 2001. Effect of oregano essential oil on microbiological and physicochemical attributes of mince meat stored in air and modified atmospheres Journal of Applied Microbiology. 91: 1011– 1022.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 70

Skandamis, P., Tsigarida, E. dan Nychas, G.-J.E. 2002. The effect of oregano essential oil on survival/death of Salmonella typhimurium in meat stored at 5ºC under aerobic, vp/map conditions. Food Microbiology. 19: 97– 103.

Stecchini, M.L., Del Torre, M., Sarais, I., Saro, O., Messina, M. and Maltini, E. 1998. Influence of structural properties and kinetic constraints on Bacillus cereus growth. Applied and Environmental Microbiology. 64: 1075– 1078.

Tassou, C.C., Drosinos, E.H. and Nychas, G.-J.E. 1996. Inhibition of the resident microbial flora and pathogen inocula on cold fresh fillets in olive oil, oregano and lemon juice under modified atmosphere or air. Journal of Food Protection. 59: 31– 34.

Tirranen, L.S., Borodina, E.V., Ushakova, S.A., Rygalov, V. YE., and Gitelson, J.I. 2001. Effect of volatil metabolites of dill, radish and garlic on growth of bacteria.

Acta Astronautica. 49(2): 105–108.

Tsigarida, E., Skandamis, P. dan Nychas, G.-J.E. 2000. Behaviour of Listeria monocytogenes and autochthonous flora on meat stored under aerobic, vacuum and modified atmosphere packaging conditions with or without the presence of oregano essential oil at 5ºC. Journal of Applied Microbiology. 89: 901– 909.

Ultee, A., Kets, E.P.W. dan Smid, E.J. 1999. Mechanisms of action of carvacrol on the food-borne pathogen Bacillus cereus. Applied and Environmental Microbiology. 65: 4606– 4610.

van der Watt, E. dan Pretorius, J.C. 2001. Purification and identification of active antibacterial components in Carpobrotus edulis L. Journal of Ethnopharmacology. 76: 87–91.

Yin, M.C. and Tsa, S.M. 1999. Inhibitory effect of seven Allium plants upon three Aspergillus species. Int. J. Food Microbiol. 49: 49-56.

Wilson, P.D.G., Brocklehurst, T.F., Arino, D., Thuault, M., Jakobsen, M., Lange, J.W.T., Farkas, J., Van, J.W.T., Wimpenny, J.F. dan Impe. 2002. Modelling microbial growth in structured foods: towards a unified approach. International Journal of Food Microbiology. 75: 273– 289.