Upload
phunghuong
View
219
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
v
SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS DIETARY DIVERSITY SCORE (DDS)
DALAM MENGESTIMASI TINGKAT KECUKUPAN ZAT GIZI PADA
BALITA USIA 24-59 BULAN DI INDONESIA
(ANALISIS DATA STUDI DIET TOTAL 2014)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun oleh :
ANDINI SEPTIANI
NIM : 1112101000048
PEMINATAN GIZI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/ 2017 M
v
v
v
v
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN GIZI MASYARAKAT
Skripsi, Maret 2017
ANDINI SEPTIANI, NIM : 1112101000048
Sensitivitas dan Spesifisitas Dietary Diversity Score (DDS) dalam
Mengestimasi Kecukupan Zat Gizi pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia
(Analisis Data Studi Diet Total 2014)
xviii + 90 halaman, 12 tabel, 5 bagan, 3 gambar, 4 lampiran
ABSTRAK
Usia balita merupakan kelompok yang sangat rentan mengalami kekurangan zat
gizi, baik makro maupun mikro. Dengan mengonsumsi pangan yang beragam, maka
kebutuhan akan zat gizi makro dan mikro akan tercukupi. FAO dan FANTA telah
memperkenalkan metode Dietary Diversity Score (DDS) sebagai metode yang simpel dan
efektif untuk mengukur kualitas konsumsi serta kecukupan zat gizi dengan melihat
keragaman konsumsi. Namun, di Indonesia belum terdapat uji validasi terhadap metode
DDS dalam menilai kecukupan zat gizi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas DDS
dalam mengestimasi tingkat kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia.
Penelitian menggunakan desain studi cross-sectional dan menggunakan data skunder
Studi Diet Total tahun 2014 dengan sampel sebanyak 3085 balita yang telah diukur
konsumsi dengan recall 1x24 jam, sudah tidak ASI, diukur berat badan, dan BB/U
normal. Keragaman konsumsi dihitung dengan menggunakan metode DDS dengan
menjumlahkan 9 kelompok pangan, dan kecukupan zat gizi dihitung dengan
menggunakan nilai Nutrient Adequacy Ratio (NAR) dan Mean Adequacy Ratio (MAR)
yang dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2014. Analisis dengan uji
korelasi untuk mengetahui hubungan antara DDS dengan MAR serta menghitung
sensitivitas dan spesifisitas untuk mengetahui cut-off terbaik dari DDS.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa rata-rata balita di Indonesia
mengkonsumsi sebanyak 5 kelompok pangan (SD 1,31) dan rata-rata MAR 63,54%.
Kelompok pangan yang tertinggi dikonsumsi pada balita yaitu kelompok pangan serealia
dan umbi-umbian sebesar 99,9% kemudian diikuti kelompok pangan lemak dan minyak
sebesar 93,8%. Konsumsi kelompok pangan terendah yaitu pada kelompok pangan buah
lainnya sebesar 26,1%. Terdapat hubungan signifikan antara DDS dengan kecukupan
tujuh zat gizi, serta terdapat hubungan yang sangat kuat antara DDS dengan MAR
(r=0,771; P=0,000). Skor 6 untuk DDS dapat mencukupi 75% AKG sebesar 76,7%
sensitivitas dan 73,5% spesifisitas. Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan nilai
DDS dan MAR tertinggi di Indonesia.
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk pemerintah agar tercapainya
keragaman konsumsi pangan pada balita. Selain itu, penilaian keragaman konsumsi
pangan dapat mengguakan metode DDS dengan cut off ≥6 agar tercukupi kebutuhan gizi
vi
lebih dari 75% AKG. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan melihat faktor lainnya
yang mempengaruhi kecukupan zat gizi pada balita atau karakteristik lainnya.
Kata Kunci : DDS, MAR, sensitivitas, spesifisitas, balita, cut off
Daftar bacaan : 71 (2001-2016)
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA
PROGRAME STUDY OF PUBLIC HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH NUTRITION CONCENTRATION
Undergraduate Thesis, Maret 2017
ANDINI SEPTIANI, NIM : 1112101000048
Sensitivity and Specificity of Dietary Diversity Score (DDS) in Estimating
Adequacy of Nutrients in Children 24-59 Months in Indonesia (Studi Diet
Total 2014 Data Analysis)
xviii + 90 pages, 12 tables, 5 charts, 3 images, 4 attachments
ABSTRACT
Children under five years old have high risk of malnutrition, either macro and
micro nutrients. By eating a variety of foods, then the macro and micro nutrient needs
will be met. FAO and FANTA showed us a simple and effective method, called Dietary
Diversity Score (DDS). This method is used to measure the quality and the adequacy of
nutrient intake by the diversity of consumption. But unfortunately, in Indonesia there has
been no test method validation of DDS in assessing the adequacy of nutrients.
This research is designed to study about the sensitivitas and specificity of DDS in
estimating the adequacy of nutrients in children aged 24-59 months in Indonesia. This
research is using cross- sectional and secondary data of Studi Diet Total 2014 with a
sample of 3467 children under five have been measured consumption by recall 1x24
hours, is not breastfeeding, and measured body weight. Diversity consumption was
calculated using DDS method with summing 9 food groups and nutrition adequacy is
calculated using the value of Nutrient Adequacy Ratio (NAR) and Mean Adequacy Ratio
(MAR) that is compared with Recommended Dietary Allowence (RDA) 2014. Corelation
analysis test between DDS and MAR, and also calculate the sensitivity and spesificity
know the best cut of point of DDS.
The result showed that the average of children under five in Indonesia consume
as much as 5 food groups (SD 1.32) and average of MAR is 63,54%. Cerealia and tubers
food group has the highest consumption which is 99,9%, and 93,8% on oil and fat group.
The lowest consumption is on fruit others group which is only 26,1%. There is a
significant correlation between DDS with seven nutrient adequacy, and there is a very
strong correlation between the DDS and MAR (r = 0,771; P= 0,000). Score 6 for DDS
can suffice about 76,7% sensitivity and 73,5% spesificity in assessing MAR 75% RDA.
DKI Jakarta has the highest DDS and MAR score in Indonesia.
The results of this study can be input to the government in order to achieve
diversity of food consumption in children under five. In addition, the diversity of food
consumption assessment can using DDS method with cut off ≥6 that adequate nutritional
adequacy of more than 75% RDA. Further research is needed more with seeing other
factors affecting the adequacy of nutrient on children under five or others.
vii
Keywords : DDS, MAR, sensitivity, specificity, children under five, cut off
Bibliography : 71 (2001-2016)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS PRIBADI
Nama Lengkap : Andini Septiani
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 24 September 1994
Alamat : Vila ANRI Blok T No. 3 RT 01/RW 015,
Kelurahan Mampang, Kecamatan Pancoran Mas,
Kota Depok
Jenis Kelamin : Perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Email : [email protected]
Telepon : 085718571881
PENDIDIKAN FORMAL
2012 – sekarang : Gizi Masyarakat, Kesehatan Masyarakat Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2009 – 2012 : SMA Negeri 49 Jakarta
2006 – 2009 : SMP Negeri 56 Jakarta
2000 – 2006 : SDN 03 Pagi Ragunan
1999 – 2000 : TK Tunas Wisma Tani
PENGALAMAN ORGANISASI
2007 – 2008 : Ketua Ekstrakulikuler Karya Ilmiah Remaja SMP Negeri 56
Jakarta periode 2007-2008
2009 – 2010 : Ketua Koordinasi Bidang Keterampilan dan Kewirausahaan
OSIS-MPK SMA Negeri 49 Jakarta Periode 2009-2010
2010-2011 : Sekretaris Umum OSIS SMA Negeri 49 Jakarta Periode 2010-
2011
2013-2014 : Anggota Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) Badan
viii
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Kesehatan Masyarakat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Periode 2013-2014
PENGALAMAN BEKERJA
Januari 2015-Maret 2015 : Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas
Paku Alam Tangerang Selatan
Januari 2016-Maret 2016 : Magang di Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan
(BKPP) Provinsi Banten di Bidang Konsumsi dan
Keamanan Pangan
Maret 2017 - Juni 2017 : Internship di PT. Prudential Life Assurance bagian
Life Administration
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan Skripsi yang berjudul “Sensitivitas Dan Spesifisitas Dietary Diversity
Score (DDS) Dalam Mengestimasi Tingkat Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia
24-59 Bulan Di Indonesia (Analisis Data Studi Diet Total 2014)” dengan baik.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai Gelar S.KM pada
Mahasiswi Kesehatan Masyarakat Peminatan Gizi. Dalam penyusunan dan
penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis dengan senang hati
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Kedua Orang Tua tercinta Ibu dan Bapak, yang tak henti mendo’akan,
mendukung, dan memberi kasih sayang kepada anak-anaknya agar
tercapai semua cita-cita yang diinginkan. Tak henti do’a dipanjatkan agar
semua urusan anak-anaknya dimudahkan, salah satunya sampai
terselesaikan skripsi ini dengan hasil yang tidak menghianati proses.
Terimakasih Pak, Bu..
2. Mas dan Wahyu yang tak henti memberikan dukungan semangat agar
skripsi ini cepat selesai, yang setia antar jemput si “anak wedok” ini.
3. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS selaku Pembimbing 1 yang telah berbaik
hati memberikan bimbingan, pengarahan, nasihat-nasihat, serta dukungan
semangat dalam proses penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Dela Aristi, MKM selaku Pembimbing 2 yang telah berbaik hati
memberikan bimbingan, pengarahan, dan dukungan semangat dalam
proses penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Mukhlidah Hanun Siregar, M.KM selaku pembimbing pendamping
yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dengan sabar serta
dukungan semangat dalam proses penyusunan skripsi ini.
x
6. Ibu Fajar Ariyanti, S.KM, M.Kes, PhD selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Para penguji sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran agar
menjadikan skripsi ini lebih baik lagi.
8. Sahabat-sahabat seperjuangan, Jijah, Tyas, Nuni, Gopit, Yolan, Vira, Ika,
Widia, dan Cece yang telah memberi dukungan, ilmu, kritik, saran,
pengalaman, dan sebagai stress relief semasa perkuliahan.
9. Teman-teman peminatan Gizi 2012 yang telah mendukung dan bekerja
sama dengan baik semasa perkuliahan.
10. Seluruh pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dari awal
perkuliahan maupun dalam proses penyusunan skripsi yang tidak dapat
disebutkan satu persatu
Semoga Allah SWT memberikan balasan berupa kebaikan yang berlipat
ganda kepada semua yang telah berjasa dalam proses maupun penulisan skripsi
ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak untuk menyempurnakan skripsi ini. Penulis berharap,
semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membacanya.
Jakarta, Maret 2017
Penulis
xi
DAFTAR ISTILAH
Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah kecukupan rata-rata zat gizi sehari yang
dianjurkan berdasarkan karakteristik tertentu.
Dietary Diversity Score (DDS) adalah indikator keragaman konsumsi pangan
yang dinilai dengan 9 kelompok pangan.
Estimated Average Requirement (EAR) adalah rata-rata kebutuhan zat gizi yang
diperoleh dari rata-rata kebutuhan gizi berdasarkan hasil penelitian pada
populasi sehat.
Keragaman Konsumsi Pangan adalah jumlah pangan atau kelompok pangan
berbeda yang dikonsumsi individu dalam jangka waktu tertentu.
Mean Adequacy Ratio (MAR) adalah rata-rata nilai kecukupan zat gizi secara
keseluruhan atau rata-rata dari nilai NAR.
Nutrient Adequacy Ratio (NAR) adalah perbandingan antara zat gizi yang
dikonsumsi individu dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan sesuai
kategori usia dan jenis kelamin.
Pangan adalah segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati dan air, baik
yang diolah maupun tidak.
Sensitivitas adalah kemampuan suatu tes untuk memberikan gambaran positif
pada orang yang benar-benar sakit
Spesifisitas adalah kemampuan suatu tes untuk memberikan gambaran negatif
bila subjek yang di tes adalah bebas dari penyakit
xii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN PERSETUJUAN .......................... Error! Bookmark not defined.
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI ................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................. v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... vii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................. xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv
DAFTAR BAGAN .............................................................................................. xvi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 7
C. Pertanyaan Penelitian .................................................................................. 8
D. Tujuan .......................................................................................................... 9
1. Tujuan Umum ....................................................................................... 9
2. Tujuan Khusus ...................................................................................... 9
E. Manfaat ...................................................................................................... 10
1. Bagi Pemerintah .................................................................................. 10
2. Bagi Peneliti dan Mahasiswa Lainnya ................................................ 11
F. Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 12
A. Kebutuhan Gizi Balita ............................................................................... 12
1. Kebutuhan Energi................................................................................ 13
2. Kebutuhan Protein ............................................................................... 14
3. Kebutuhan Zat Gizi Mikro .................................................................. 15
B. Pangan ....................................................................................................... 19
xiii
1. Pengertian Pangan ............................................................................... 19
2. Pengelompokkan Pangan .................................................................... 20
C. Konsumsi Pangan Balita ........................................................................... 22
D. Penilaian Konsumsi Pangan ...................................................................... 24
E. Keanekaragaman Konsumsi Pangan ......................................................... 25
1. Penilaian Keberagaman Konsumsi Pangan ......................................... 26
F. Konsep Dietary Diversity Score (DDS) dan Kecukupan Zat Gizi ............ 29
G. Uji Sensitivitas dan Spesifisitas ................................................................ 33
H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecukupan Zat Gizi Balita ............... 35
1. Karakteristik Individu ......................................................................... 35
2. Kebiasaan Makan ................................................................................ 37
3. Faktor Ibu ............................................................................................ 40
4. Faktor Sosial Ekonomi ........................................................................ 43
I. Kerangka Teori .......................................................................................... 44
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ............ 46
A. Kerangka Konsep ...................................................................................... 46
B. Definisi Operasional .................................................................................. 48
C. Hipotesis Penelitian ................................................................................... 50
BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................... 51
A. Desain Penelitian ....................................................................................... 51
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 51
C. Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................ 52
D. Sumber Data Penelitian ............................................................................. 54
E. Instrumen Penelitian .................................................................................. 55
F. Pengumpulan Data .................................................................................... 55
G. Pengolahan Data ........................................................................................ 56
H. Analisis Data ............................................................................................. 59
BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................... 60
xiv
A. Gambaran Karakteristik Umum ................................................................ 60
B. Analisis Univariat ...................................................................................... 61
1. Distribusi Frekuensi Asupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Indonesia Tahun 2014 ......................................................................... 61
2. Distribusi Frekuensi Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59
Bulan di Indonesia Tahun 2014 .......................................................... 62
3. Distribusi Frekuensi dan Proporsi Dietary Diversity Score (DDS) pada
Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ............................. 63
4. Distribusi Frekuensi Asupan Berdasarkan Kelompok Pangan Pada
Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ............................. 65
5. Distribusi Proporsi Kelompok Pangan Yang Dikonsumsi Balita Usia
24-59 Bulan di Indonesia Berdasarkan Dietary Diversity Score (DDS)
Pada Tahun 2014 ................................................................................. 66
6. Distribusi Frekuensi Keragaman Konsumsi Pangan dan Kecukupan
Zat Gizi pada Balita di Tiap Provinsi Indonesia Tahun 2014 ............. 67
C. Analisis Bivariat ........................................................................................ 69
D. Sensitivitas dan Spesifisitas ...................................................................... 70
BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................... 72
A. Keterbatasan Penelitian ............................................................................. 72
B. Asupan Zat Gizi Balita .............................................................................. 72
C. Kecukupan Zat Gizi Balita ........................................................................ 75
D. Keragaman Konsumsi Pangan Balita ........................................................ 78
E. Hubungan antara Dietary Diversity Score (DDS) dengan Mean Adequacy
Ratio (MAR) pada Balita .......................................................................... 82
F. Sensitivitas dan Spesifisitas Dietary Diversity Score (DDS) dalam
Mengestimasi Kecukupan Zat Gizi pada Balita ........................................ 85
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 88
A. KESIMPULAN ......................................................................................... 88
B. SARAN ..................................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 91
LAMPIRAN ....................................................................................................... 101
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Angka Kecukupan Zat Gizi................................................................... 13
Tabel 2.2 Tabel Dietary Diversity Score (DDS) ................................................... 28
Tabel 3.1 Definisi Operasional ............................................................................. 48
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Individu Balita 24-59 Bulan di
Indonesia Tahun 2014 .......................................................................... 60
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berat Badan Pada Balita Usia 2-59 Bula di
Indonesia Tahun 2014 .......................................................................... 61
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Asupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Indonesia Tahun 2014 .......................................................................... 62
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan
di Indonesia Tahun 2014 ...................................................................... 63
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Dietary Diversity Score (DDS) Pada Balita Usia
24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ................................................. 64
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Asupan Berdasarkan Kelompok Pangan Pada
Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ............................... 65
Tabel 5.7 Persentase Konsumsi Kelompok Pangan Berdasarkan skor DDS ........ 66
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Rerata Dietary Diversity Score (DDS) dan Rerata
Kecukupan Zat Gizi dengan Mean Adequacy Ratio (MAR) Berdasarkan
Provinsi di Indonesia Tahun 2014 ........................................................ 68
Tabel 5.9 Analisis Korelasi antara Dietary Diversity Score (DDS) dengan
kecukupan zat gizi pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia ........... 69
xvi
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori .................................................................................... 45
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................. 46
Bagan 4.1 Alur Cleaning Sampel Penelitian......................................................... 54
Bagan 4.2 Alur Pengumpulan Data ....................................................................... 56
Bagan 4.3 Alur Pengolahan Data .......................................................................... 58
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5.1 Persentase Dietary Diversity Score (DDS) Pada Balita Usia 24-59
Bulan di Indonesia Tahun 2014 ......................................................... 64
Gambar 5.2 Grafik Hubungan antara DDS dengan MAR .................................... 70
Gambar 5.3 Sensitivitas dan Spesifisitas dari DDS untuk ketiga cut off point
MAR .................................................................................................. 71
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Output Analisis Data
LAMPIRAN 2 Kuesioner Studi Diet Total 2014
LAMPIRAN 3 Surat Permohonan Permintaan Data
LAMPIRAN 4 Surat Pernyataan Pengambilan Data
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelompok usia balita merupakan kelompok yang sangat peka
terhadap jumlah asupan dan jenis pangan yang dikonsumsi. Hal ini
dikarenakan terjadi laju pertumbuhan yang sangat pesat pada masa balita
tersebut. Biasanya anak yang paling kecil beresiko lebih tinggi terhadap
kekurangan pangan, karena anak-anak yang paling kecil umumnya makan
lebih lambat dan dalam jumlah yang kecil dibandingkan anggota rumah
tangga yang lain. Hal ini dapat menyebabkan kebutuhan gizi anak
cenderung tidak tercukupi dalam masa pertumbuhannya (Suhardjo, 2010).
Pada usia 6-24 bulan, anak belum mampu mengekspresikan
keinginan mereka memilih jenis-jenis makanan. Sedangkan pada usia 24-59
bulan anak mulai memilih-milih jenis makanan yang hanya disukainya.
Sifat balita dalam memilih jenis makanan yang hanya disukai ini dapat
berakibat kurang beragamnya jenis makanan yang dikonsumsi. Keragaman
jenis-jenis makanan yang dikonsumsi oleh anak sangat menentukan
sumbangan atau kontribusi zat-zat gizi dalam pemenuhan kebutuhan gizi
anak. Selain itu, pada usia 24-59 bulan ini biasanya anak sudah berhenti ASI
sehingga pemenuhan akan zat gizi sepenuhnya dari konsumsi pangan
(Hermina & Prihatini, 2011).
2
Dengan mengonsumsi pangan yang beragam, maka kebutuhan akan
zat gizi makro maupun zat gizi mikro bagi balita akan tercukupi.
Berdasarkan hasil penelitian lanjutan terhadap data konsumsi yang
diperoleh dari Riskesdas 2010, didapatkan bahwa jumlah anak balita pendek
usis 24-59 bulan yang mengalami defisit energi sebanyak 31,5%, sedangkan
pada balita yang normal sebesar 24,9%. Demikian juga balita pendek yang
megalami defisit protein sebesar 23.0% sedangkan pada balita normal
sebesar 17,5% (Hermina & Prihatini, 2011). Hal tersebut menunjukkaan
rendahnya asupan zat gizi dapat menyebabkan masalah gizi serta berbagai
gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada balita. Masalah gizi lainnya
yaitu prevalensi kekurangan zat gizi mikro pada balita seperti vitamin A dan
zat besi sebesar 5,7% dan 12,8% (Valentina, Palupi, & Andarwulan, 2014).
Zat gizi mikro yang berperan sangat penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan pada balita yaitu vitamin A, vitamin C, zat besi (Fe),
kalsium, dan zink (Zn) (Sharlin & Edelstein, 2011).
Pemenuhan akan zat-zat gizi yang diperlukan tubuh tersebut dapat
terpenuhi dengan mengonsumsi makanan yang beragam. Secara alami
komposisi setiap jenis bahan pangan memiliki kelebihan dan kekurangan
akan zat gizi tertentu, sehingga dengan mengonsumsi jenis pangan yang
beragam, pangan satu dengan yang lainnya akan saling melengkapi
(Rustanti, 2015). Keberagaman konsumsi pangan yang dimaksud adalah
dengan mengonsumsi pangan yang seimbang yang dapat menyediakan zat
tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur dalam jumlah yang cukup dan
terdiri dari pangan yang beragam (Meitasari, 2008).
3
Keberagaman konsumsi diketahui sebagai elemen kunci dari kualitas
konsumsi dan mempertinggi kecukupan asupan dari zat gizi yang esensial
(FAO, 2010). Dampak jangka pendek jika keragaman pangan yang rendah
akan mengakibatkan pola makan yang tidak seimbang. Selain itu dampak
lainnya dapat munculnya masalah-masalah gizi seperti kekurangan zat gizi
makro dan mikro, kelebihan gizi, dan ketidakseimbangan zat gizi karena
disposisi zat gizi (Ariani, 2010). Kekurangan zat gizi spesifik seperti
kekurangan vitamin dan mineral merupakan masalah yang sering terjadi jika
konsumsi tidak beragam (Hanafie, 2010).
Keragaman konsumsi pangan dapat dinilai dengan menggunakan dua
metode, yaitu penilaian keragaman konsumsi pangan pada tingkat rumah
tangga dan penilaian keragaman konsumsi pangan pada tingkat individu
(FAO, 2010). Di Indonesia, penilaian keragaman konsumsi pangan masih
menggunakan penilaian pada tingkat rumah tangga dengan menggunakan
metode Pola Pangan Harapan (PPH). Metode PPH ini dengan melihat
komposisi dan jumlah atau ketersediaan pangan pada tingkat rumah tangga.
Hasil dari perhitungan PPH tersebut dapat menjadikan evaluasi terhadap
ketahanan pangan suatu wilayah. Keterbatasan pada metode ini yaitu tidak
dapat menggambarkan skor keragamanan konsumsi dari masing-masing
individu dalam rumah tangga (Badan Ketahanan Pangan, 2014b).
Metode lainnya yaitu penilaian konsumsi pangan pada tingkat
individu. Data terkait konsumsi pangan pada tingkat individu juga
dibutuhkan sebagai gambaran konsumsi dan sebagai determinan dari
4
masalah gizi secara langsung. Selain itu, data terkait keragaman konsumsi
pangan pada tingkat individu juga dibutuhkan sebagai evaluasi kualitas
konsumsi pangan di masyarakat yang dapat digunakan untuk mengukur,
menilai keberhasilan program intervensi, dan monitoring serta evaluasi
dampak kebijakan dari program gizi. Namun, pengumpulan data konsumsi
individu cenderung lebih mahal, serta diperlukan keahlian tingkat tinggi
baik dalam pengumpulan data maupun analisis (FAO, 2010).
Penilaian konsumsi pangan pada tingkat individu dapat dinilai
dengan Dietary Diversity Score (DDS) dan juga Food Variety Score (FVS).
Penilaian keragaman konsumsi pangan dengan DDS yaitu melihat
keragaman pangan dari 9 kelompok pangan, sedangkan FVS yaitu melihat
keragaman pangan dari item perkelompok pangan. Food and Agriculture
Organization (FAO) dan Food and Nutrition Technical Assistance
(FANTA) telah memperkenalkan metode DDS sebagai metode yang simpel
dan efektif untuk mengukur kualitas konsumsi serta kecukupan zat gizi
dibandingkan dengan metode penilaian gizi lainnya. Studi terkait DDS telah
dikembangkan diberbagai negara berkembang. Dibeberapa negara
menunjukkan DDS sebagai alat yang mudah yang dapat menggambarkan
keberagaman konsumsi pada populasi dan sebagai indikator terbaik dalam
memprediksi kecukupan zat gizi (FANTA, 2006; FAO, 2010).
Dengan menggunakan metode DDS juga dapat menilai kecukupan
dari zat gizi yang dikonsumsi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Kennedy (2009) menunjukkan bahwa DDS berhubungan signifikan
5
dengan asupan zat gizi pada anak tidak ASI usia 2-5 tahun di Filipina dan
penelitian Steyn, dkk., (2009) pada anak usia 1-8 tahun di Afrika Selatan.
Penelitian tersebut juga menilai cut-off point terbaik untuk indikator dari
ketidakcukupan asupan zat gizi mikro. Di Filipina, cut-off point untuk
indikator ketidakcukupan asupan zat gizi mikro yaitu 6 kelompok pangan
dapat mengestimasi kecukupan zat gizi sebesar 75%, sedangkan di Afrika
Selatan yaitu 4 kelompok pangan dapat mengestimasi kecukupan zat gizi
kurang dari 50%.
Di Indonesia, penelitian terkait DDS masih belum banyak. Penelitian
yang dilakukan oleh Supriyanti & Nindya (2015) melihat hubungan antara
DDS dengan status gizi pada balita usia 12-59 bulan di Sumenep. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan sebagian besar konsumsi balita tidak
beragam dengan skor DDS <4 sebesar 82,7% dan skor DDS ≥4 sebesar
17,3%. Kelemahan dari penelitian ini yaitu tidak terdapat validasi terhadap
metode DDS yang digunakan. Pengkategorian skor DDS menggunakan
panduan dari FAO namun tidak terdapat validasi yang dilakukan di
Indonesia.
Penelitian DDS lainnya di Indonesia yaitu penelitian Marlina (2011)
yang menilai sensitivitas dan spesifisitas indikator keragaman konsumsi
pangan dengan DDS dan FVS dalam mengestimasi kecukupan zat gizi
energi, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi, kalsium, dan seng pada balita
usia 24-59 bulan di Kota Bandung. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa DDS memiliki kemampuan memprediksi tingkat kecukupan zat gizi
6
lebih baik dari pada FVS. Ambang batas terbaik untuk memperkirakan
Mean Adequancy Ratio (MAR) ≤70% adalah 6 untuk DDS dan 9 untuk
FVS, yang artinya skor 6 untuk DDS menjadikan cut-off point dari
kecukupan zat gizi sebesar 70% dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) balita
usia 24-59 bulan.
Di Indonesia, belum terdapat uji validasi terhadap metode DDS
secara nasional untuk mengetahui kecukupan zat gizi yang dibutuhkan
tubuh terutama pada balita usia 24-59 bulan. Uji validitas terhadap metode
DDS ini diperlukan sebagai penilaian apakah indeks atau alat ukur
penganekaragaman konsumsi pangan dengan menggunakan metode DDS ini
cukup mencerminkan parameter kecukupan zat gizi. Uji validitas ini dapat
menggunakan uji diagnostik dengan menilai sensitivitas dan spesifisitas dari
sebuah alat atau metode. Sensitivitas adalah nilai untuk memprediksi atau
mengidentifikasi kelompok yang mengalami kekurangan zat gizi, sedangkan
spesifisitas merupakan nilai untuk memprediksi kelompok yang kecukupan
zat gizinya baik (Fahmida & Dillon, 2007).
Pentingnya konsumsi beragam pangan pada balita agar terpenuhinya
kecukupan zat gizi, maka diperlukan suatu metode yang secara mudah dan
murah dalam mengestimasi kecukupan zat gizi tersebut. Untuk itu penelitian
ini bertujuan untuk menilai sensitivitas dan spesifisitas metode DDS dalam
mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia
menggunakan data skunder dari Studi Diet Total tahun 2014. Penelitian ini
dapat berguna sebagai informasi serta dapat digunakan sebagai masukan
7
dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan keragaman konsumsi
khususnya pada balita.
B. Rumusan Masalah
Kelompok balita merupakan kelompok yang rentan terhadap
masalah kekurangan asupan zat gizi, baik zat gizi makro maupun zat gizi
mikro. Hal ini dikarenakan kebutuhan akan pangan dan zat gizi yang
meningkat, namun asupan yang cenderung rendah dikarenakan karakteristik
balita yang memilih jenis makanan yang hanya disukai sehingga konsumsi
pangan tidak beragam. Kebutuhan akan gizi bagi tubuh akan tercukupi
apabila mengkonsumsi pangan yang beranekaragam. Dengan mengonsumsi
pangan yang beragam akan mempertinggi kecukupan zat gizi yang esensial.
Dampak jika konsumsi tidak beragam dapat menyebabkan kekurangan zat
gizi spesifik. Keragaman konsumsi pangan dapat dinilai dengan dua metode,
yaitu penilaian keragaman konsumsi pangan pada tingkat rumah tangga dan
pada tingkat individu. Salah satu metode penilaian pada tingkat individu
yaitu Dietary Diversity Score (DDS). DDS merupakan metode yang mudah
serta dapat menilai kecukupan zat gizi. Di berbagai negara metode DDS
telah dikembangkan serta telah diuji sebagai prediktor yang baik untuk
mengestimasi kecukupan zat gizi terutama pada usia balita. Di Indonesia,
penelitian terkait uji validitas metode DDS dalam mengestimasi kecukupan
zat gizi telah dilakukan di Kota Bandung, namun belum terdapat penelitian
secara nasional, untuk itu peneliti ingin meneliti terkait “Sensitivitas dan
Spesifisitas Dietary Dviversity Score (DDS) dalam Mengestimasi
8
Kecukupan Zat Gizi pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia”
menggunakan data Studi Diet Total tahun 2014.
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, berikut yang menjadi
pertanyaan dalam penelitian:
1. Bagaimana distribusi frekuensi asupan zat gizi (energi, protein,
vitamin A, vitamin C, kalsium, Fe, dan Zn) pada balita usia 24-59
bulan di Indonesia pada tahun 2014?
2. Bagaimana distribusi frekuensi kecukupan zat gizi pada balita usia
24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014?
3. Bagaimana distribusi frekuensi dan proporsi Dietary Diversity
Score (DDS) pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun
2014?
4. Bagaimana distribusi frekuensi asupan berdasarkan kelompok
pangan pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014?
5. Bagaimana distribusi frekuensi kelompok pangan yang dikonsumsi
balita usia 24-59 bulan di Indonesia berdasarkan Dietary Diversity
Score (DDS) pada tahun 2014?
6. Bagaimana distibusi frekuensi keragaman konsumsi pangan dan
kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di tiap provinsi
Indonesia pada tahun 2014?
9
7. Bagaimana hubungan antara keragaman konsumsi pangan dengan
kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada
tahun 2014?
8. Bagaimana nilai sensitivitas dan spesifisitas dari DDS untuk
mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di
Indonesia pada tahun 2014?
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Diketahuinya nilai sensitivitas dan spesifisitas Dietary
Diversity Score (DDS) dalam mengestimasi tingkat kecukupan zat gizi
pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia dengan menganalisis data
Studi Diet Total tahun 2014.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya distribusi frekuensi asupan zat gizi (energi, protein,
vitamin A, vitamin C, kalsium, Fe, dan Zn) pada balita usia 24-59
bulan di Indonesia pada tahun 2014
b. Diketahuinya distribusi frekuensi kecukupan zat gizi pada balita
usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014
c. Diketahuinya distribusi frekuensi dan proporsi Dietary Diversity
Score (DDS) pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun
2014
d. Diketahuinya distribusi frekuensi asupan berdasarkan kelompok
pangan pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014
10
e. Diketahuinya distribusi proporsi kelompok pangan yang
dikonsumsi balita usia 24-59 bulan di Indonesia berdasarkan
Dietary Diversity Score (DDS) pada tahun 2014
f. Diketahuinya distibusi frekuensi keragaman konsumsi pangan dan
kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di tiap provinsi
Indonesia pada tahun 2014
g. Diketahuinya hubungan antara keragaman konsumsi pangan
dengan kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di
Indonesia pada tahun 2014
h. Diketahuinya nilai sensitivitas dan spesifisitas dari DDS untuk
mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di
Indonesia pada tahun 2014
E. Manfaat
1. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
informasi data terkait keragaman konsumsi pangan pada balita usia 24-
59 bulan di Indonesia. Hal ini dapat dijadikan informasi dalam
pengambilan kebijakan atau dalam evaluasi program gizi khususnya
terkait keberagaman konsumsi pangan. Serta dapat menambah
referensi terkait penilaian keragaman konsumsi pangan pada balita
dengan menggunakan metode Dietary Diversity Score (DDS).
11
2. Bagi Peneliti dan Mahasiswa Lainnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
dalam keberagaman konsumsi pangan dengan menggunakan metode
Dietary Diersity Score dan dapat menambah referensi studi terkait
Dietary Diversity Score dan kecukupan zat gizi pada balita.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokkteran dan Ilmu Kesehatan UIN syarif Hidayatullah Jakarta
pada tahun 2016. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan November
2016 sampai Februari 2017. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
nilai sensitivitas dan spesifisitas metode Dietary Diversity Score (DDS)
dalam mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di
Indonesia.
Penelitian ini menggunakan data skunder dari Studi Diet Total survei
konsumsi makanan individu Indonesia 2014. Sampel populasi dari
penelitian ini yaitu seluruh balita usia 24-59 bulan di Indonesia yang
merupakan sampel dalam penelitian Riskesdas tahun 2013. Ini merupakan
penelitian kuantitatif dengan desain penelitian cross sectional dan
menggunakan uji korelasi untuk mengetahui hubungan dan kekuatan
hubungan antara skor keragaman konsumsi pangan dengan kecukupan
asupan zat gizi serta analisis kurva ROC untuk mengetahui nilai sensitivitas
dan spesifisitas antara DDS dengan kecukupan zat gizi (MAR) yang dinilai
dengan menggunakan perbandingan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2014.
12
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebutuhan Gizi Balita
Balita harus mengkonsumsi, energi, protein, vitamin, dan mineral
dengan kualitas yang cukup tinggi untuk bekal dalam masa
pertumbuhannya. Energi yang dihasilkan dari metabolisme zat gizi akan
digunakan untuk mendukung pemeliharaan fungsi tubuh dan sebagai
bahan bakar untuk pertumbuhan serta aktivitas fisik. Oleh karena itu
pemenuhan akan zat gizi pada balita merupakan komponen yang penting
bagi jaringan tubuh (Pipes, 2001).
Kebutuhan zat gizi pada anak usia 2-5 tahun meningkat karena
masih berada pada masa pertumbuhan cepat dan aktivitasnya tinggi.
Demikian juga anak sudah mempunyai pilihan terhadap makanan yang
disukai termaksud makanan jajanan. Oleh karena itu jumlah dan variasi
makanan harus mendapatkan perhatian secara khusus dari ibu atau
pengasuh anak, terutama dalam mengatur kesukaan makanan anak agar
anak mau dan memilih makanan yang bergizi seimbang. Disamping itu
anak pada usia ini sering keluar rumah untuk bermain sehingga mudah
terkena penyakit infeksi dan kecacingan yang dapat menyebabkan
kebutuhan akan zat gizi yang lebih atau perlu perhatian khusus
(Kemenkes, 2014b).
Gizi yang baik dikombinasikan dengan kebiasaan makan yang
sehat selama masa balita akan menjadi dasar bagi kesehatan yang bagus di
13
masa yang akan datang. Pengaturan makanan yang seimbang menjamin
terpenuhinya kebutuhan gizi untuk energi dan pertumbuhan pada balita.
Pengaturan makan yang baik yang dapat memenuhi kecukupan gizinya
juga dapat melindungi balita dari penyakit dan infeksi serta membantu
perkembangan mental dan kemampuan belajarnya (Thompson, 2006).
Kebutuhan akan zat gizi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan
keterkaitan antara zat gizi lainnya (Pipes, 2001). Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi kebutuhan zat gizi pada balita. Usia, berat badan, tinggi
badan, indeks massa tubuh, dan aktivitas fisik. Kebutuhan zat gizi pada
penduduk Indonesia menggunakan standar Angka Kecukupan Gizi (AKG)
tahun 2014 (Kemenkes, 2014a). Berikut tabel angka kecukupan zat gizi
untuk balita usia 2-5 tahun.
Tabel 2.1 Angka Kecukupan Zat Gizi
Kelompok
umur
Energi
(kkal)
Protein
(gr)
Vit. A
(mcg)
Vit. C
(mg)
Ca
(mg)
Fe
(mg)
Zn
(mg)
1-3 tahun 1125 26 400 40 650 8 4
4-6 tahun 1600 35 450 45 1000 9 5
1. Kebutuhan Energi
Energi merupakan salah satu hasil metabolisme zat gizi. Energi
diperlukan untuk proses pertumbuhan dan mempertahankan fungsi
jaringan tubuh, proses mempertahankan suhu tubuh agar tetap stabil
14
dan gerakan otot untuk aktivitas (Thompson, 2006). Pangan sumber
energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat, dan protein. Contoh
pangan sumber energi yaitu beras, jagung, oat, serealia, umbi-umbian,
tepung, gula, buah, daging, telur, ikan, susu, kacang-kacangan, dan
jenis pangan lainnya (Simanjuntak, 2014).
Perhitungan kecukupan energi dalam Angka Kecukupan Gizi
2014 berdasarkan perhitungan energi model persamaan IOM tahun
2005. Perhitungan kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti berat dan tinggi badan, pertumbuhan dan perkembangan (usia),
jenis kelamin, energi cadangan bagi anak dan remaja, serta thermic
effect of food (TEF). TEF adalah peningkatan pengeluaran eneri karena
asupan pangan yang nilainya 5-10% dari Total Energy Expenditure
(TEE) (Mahan & Escoot-stump 2008 dalam Kemenkes 2014a). Angka
kecukupan energi pada anak usia 1-3 tahun yang ditetapkan dalam
AKG 2014 yaitu sebesar 1125 kkal, sedangkan untuk anak usia 4-6
tahun sebesar 1600 kkal (Kemenkes, 2014a).
2. Kebutuhan Protein
Protein terdiri dari asam-asam amino. Disamping menyediakan
asam amino esensial, protein juga mensuplai energi dalam keadaan
energi terbatas dari karbohidrat dan lemak. Protein diperlukan untuk
memelihara struktur dan fungsi tubuh setiap saat. Protein ekstra
mungkin diperlukan selama masa pertumbuhan anak-anak, dalam
kehamilan, dan masa pemulihan setelah cidera (Barasi, 2007). Pangan
15
sumber protein hewani meliputi daging, telur, susu, ikan, dan hasil
olahannya. Pangan sumber protein nabati meliputi kedelai, kacang-
kacangan, dan hasil olahannya seperti tempe, tahu dan lainnya
(Marshall, 2009).
Kecukupan protein seseorang dipengaruhi oleh berat badan,
usia (tahap pertumbuhan dan perkembangan) dan mutu protein dalam
pola konsumsi pangannya. Bayi dan anak-anak yang berada dalam
tahap pertumbuhan dan perkembangan yang pesat membutuhkan
protein lebih banyak per kilogram berat badannya dibandingkan orang
dewasa. Angka kecukupan protein berdasarkan AKG 2014 untuk anak
usia 1-3 tahun sebesar 26 gr/hari sedangkan untuk anak usia 4-6 tahun
sebesar 35 gr/hari (Kemenkes, 2014a)
3. Kebutuhan Zat Gizi Mikro
Zat gizi mikro adalah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh
dalam jumlah kecil atau sedikit tetapi ada dalam makanan. Zat gizi
yang termasuk kelompok zat gizi mikro adalah mineral dan vitamin.
Vitamin dan mineral merupakan katalisator yang sangat membantu
dalam proses pencernaan dan metabolisme tubuh. Kebutuhan akan
vitamin dan mineral pada balita terus meningkat sejalan dengan
pertambahan berat badannya (Suhardjo, 2010).
16
a) Vitamin
Vitamin adalah zat gizi mikro yang sangat dibutuhkan tubuh
manusia meski dalam jumlah sedikit. Kekurangan asupan zat gizi ini
dapat menimbulkan akibat yang akan mempengaruhi status gizi dan
kesehatan seseorang. Fungsi vitamin A yaitu memelihara kesehatan
jaringan epitel, termaksud kulit dan selaput yang melapisi semua
saluran dan kelenjar lainnya (Almatsier, 2010). Defisiensi vitamin A
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan di
seluruh dunia, terutama dibelahan Afrika dan Asia Tenggara. Sekitar
250 juta anak-anak balita diperkirakan mengalami defisiensi vitamin A
(DVA) secara subklinis dan berada dalam resiko morbiditas yang
parah dan kematian prematur (WHO, 2009). Pangan sumber vitamin A
yaitu pangan hewani, sayur dan buah yang berwarna oranye, sayuran
berwarna hijau, umbi-umbian. Angka kecukupan vitamin A adalah
jumlah vitamin A yang harus dikonsumsi per hari untuk
mempertahankan status vitamin A pada level cukup. Kebutuhan
vitamin A bagi anak usia 1-3 tahun berdasarkan AKG 2014 sebesar
400 mcg/hari dan untuk usia 4-6 tahun sebesar 450 mcg/hari
(Kemenkes, 2014a).
Vitamin C berfungsi sebagai donor atau penyumbang elektron
(peran antioksidan). Vitamin C terlibat dalam sintesis dan modulasi
beberapa komponen hormone sistem syaraf. Sebagai kofaktor dalam
dalam pembentukan enzim tertentu (Prabantini, 2010). Pangan sumber
17
vitamin C dari buah. Sayur juga sebagai sumber vitamin C tetapi
dalam pengolahan kandungan vitamin C dapat berkurang. Kebutuhan
vitamin C bagi anak usia 1-3 tahun berdasarkan AKG 2014 sebesar 40
mg/hari dan untuk usia 4-6 tahun sebesar 45 mg/hari (Kemenkes,
2014a).
b) Mineral
Mineral merupakan zat inorganik yang dibutuhkan tubuh dalam
jumlah yang sedikit namun diperlukan tubuh untuk memenuhi
kebutuhan yang esensial. Fungsi dari mineral adalah sebagai kofaktor
dalam berbagai reaksi metabolik; sebagai bagian dari senyawa yang
mengandungzat organik seperti enzim, hormon, dan unsur tertentu
dalam darah; sebagai ion yang memungkinkan pergerakan zat zat yang
melintasi membrane sel dan pergerakan otot; serta sebagai unsur
pembentuk tulang (Pandi & Wiakusumah, 2012).
Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat
dalam tubuh manusia. hampir seluruh kalsium berada dalam tubuh ada
di tulang dan gizi. Pada tulang kalsium berperan sentral dalam struktur
dan kekuatan tulang. Sedangkan pada gigi, kalsium berperan untuk
memperkokoh struktur gigi dan bersifat menetap. Fungsi kalsium yaitu
sebagai pengaturan dan penyusunan. Pangan sumber kalsium yang
utama yaitu susu dan olahannya. Sumber lainnya yaitu sayuran hijau,
kacang-kacangan, dan ikan. Kebutuhan kalsium bagi anak usia 1-3
18
tahun berdasarkan AKG 2014 sebesar 650 mg/hari sedangkan untuk
anak usia 4-6 tahun sebesar 1000 mg/hari (Kemenkes, 2014a).
Zat besi (Fe) merupakan salah satu mineral yang dibutuhkan
tubuh yang berfungsi sebagai senyawa besi dalam hemoglobin,
myoglobin, enzim yang diperlukan dalam fungsi metabolisme, serta
mengangkut dan menyimpan oksigen, mengangkut electron
mitokondria dan sintesis DNA. Akibat jika kekurangan zat besi dapat
menyebabkan anemiazat besi yang ditandai dengan kulit pucat, lemah,
letih akibat kekurangan oksigen, dpaat menurunkan daya kognitif dan
daya tahan tubuh (Soenardi, 2008). Pangan sumber Fe yaitu daging,
jeroan, ikan, unggas, dan sumber pangan non hem seperti sayuran daun
hijau, kacang-kacangan, kedelai dan rumput laut. Kecukupan zat besi
untuk anak usia 1-3 tahun berdasarkan AKG 2014 sebesar 8 mg/hari
dan 9 mg/hari untuk anak usia 4-6 tahun (Kemenkes, 2014a).
Seng (Zn) adalah mineral mikro esensial baik pada manusia.
Fungsi seng yaitu berpern sebagai komponen dalam banyak enzim.
Juga dalam sintesa protein, metabolisme hidrat arang dan energi serta
asam nukleat. Dengan demikian, seng esensial untuk pertumbuhan,
pematangan seks, fungsi kognitif dan imun serta reproduksi. Ikan
terutama kerang dan daging mengandung tinggi seng. Pangan lainnya
seperti serealia juga sumber seng. Seng dari sumber nabati umumnya
rendah disbanding sumber hewani (Kemenkes, 2014a).
19
B. Pangan
1. Pengertian Pangan
Pangan menurut Peraturan Pemerintah RI nomer 28 tahun 2004
diartikan sebagai segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati
dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah. Pangan
diperuntukkan bagi konsumsi manusia sebagai makanan atau
minuman, termaksud bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan
bahan-bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Badan
Ketahanan Pangan, 2014b). Pangan merupakan salah satu kebutuhan
dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan menjadi hak asasi
setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Komoditas
pangan harus mengandung zat gizi yang terdiri dari karbohidrat,
protein, lemak, vitamin, dan mineral yang bermanfaat bagi
pertumbuhan dan kesehatan manusia (Pusat Penganekaragaman
Pangan, 2013).
Permasalahan pangan dan gizi mengalami perkembangan yang
sangat cepat dan komplek. Perkembangan masalah lingkungan global
dapat memepengaruhi komoditas terhadap pangan di Indonesia.
Globalisasi juga mendorong perubahan pola konsumsi pangan
masyarakat yang berdampak terhadap masalah kesehatan. Disamping
itu, berbagai masalah kesehatan di masyarakat seperti kekurangan gizi
20
dalam bentuk gizi kurang atau gizi buruk, kelebihan gizi atau
kegemukan, serta ketahanan pangan maupun keamanan pangan
(Brown, 2011).
2. Pengelompokkan Pangan
Macam-macam jenis pangan atau bahan pangan yang
diperuntukkan sebagai bahan makanan bagi manusia secara umum
terbagi menajdi dua golongan. Penggolongan bahan pangan ini
didasarkan pada sumbernya, yaitu bahan pangan yang berasal dari
tumbuhan yang disebut bahan pangan nabati dan bahan makanan yang
bersumber dari hewan yang disebut bahan pangan hewani (Rustanti,
2015).
Bahan pangan nabati adalah bahan-bahan pangan yang berupa
atau berasal dari tumbuhan, baik yang liar ataupun yang ditanam serta
yang berasal dari produk-produk olahannya. Bahan panga nabati dapat
berupa daun, bunga, akar, batang, umbi, buah, biji ataupun bagian-
bagian tanaman yang lain. Bahan-bahan pangan nabati memiliki sifat
yang beranekaragam, baik sifat fisik maupun sifat kimia (Saparinto,
Cahyo, & Hidayati, 2006).
Bahan pangan hewani merupakan semua bahan makanan yang
berupa daging atau berasal dari berbagai jenis hewan yang layak untuk
dimakan baik dalam bentuk dasarnya ataupun dalam bentuk
olahannya. Bahan pangan hewani meliputi segala jenis daging atau
21
organ lainnya yang bersumber dari hewan, baik yang hidup di darat
maupun di air (Saparinto dkk, 2006).
Selain pengelompokkan berdasarkan sumbernya, pangan
dikelompokkan menjadi sembilan jenis pangan yakni (Badan
Ketahanan Pangan, 2014a)
1. Padi-padian atau serealia,
Terdiri dari beras, jagung, gandum, beserta olahannya seperti
terigu.
2. Makanan berpati atau umbi-umbian,
Terdiri dari kentang, ubi kayu, ubi jalar. Sagu, talas, dan umbi-
umbi lainnya.
3. Pangan hewani,
Terdiri dari daging hewan yang hidup di darat maupun di air
seperti ikan, organ lainnya dari hewan yang dapat dikonsumsi,
telur, berserta olahan hewani seperti susu, keju, dan lainnya.
4. Minyak dan lemak,
Yang terdiri dari minyak kelapa, minyak jagung, minyak
kelapa sawit dan margarin atau olahan lainnya.
5. Buah dan biji berminyak,
Terdiri dari kelapa, kemiri, kenari, mete, dan coklat.
6. Kacang-kacangan,
Kacang tanah, kacang hijau, kedelai, kacang merah dan
lainnya.
22
7. Gula,
Terdiri dari gula pasir, gula merah dan gula lainnya.
8. Sayur dan buah,
Adalah seluruh jenis sayur dan buah yang biasa dikonsumsi.
9. Lain-lainnya,
Terdiri dari teh, kopi, bumbu makanan dan minuman
beralkohol.
C. Konsumsi Pangan Balita
Konsumsi pangan merupakan salah satu faktor yang langsung
mempengaruhi status gizi seseorang. Konsumsi pangan merupakan
informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh
seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi pangan
yang tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh, baik dalam kualitas maupun
kuantitas akan menyebabkan masalah gizi (Brown, 2011).
Balita merupakan kelompok yang rentan dalam permasalahan gizi
di keluarga. Balita perlu mengkonsumsi makanan dan minuman dalam
jumlah yang cukup serta teratur setiap harinya untuk dapat hidup sehat.
Karakteristik usia balita terutama usia 2-5 tahun merupakan kelompok usia
yang rawan gizi dan rawan penyakit, karena pada usia ini terjadi transisi
dari makanan bayi menjadi makanan orang dewasa dan anak biasanya
sudah berhenti mendapatkan ASI ekslusif pada usia tersebut. Selain itu,
anak lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain dan beraktivitas di
luar (Adriani & Wirjatmadi, 2012).
23
Kondisi balita sangat peka terhadap jumlah asupan dan jenis
pangan yang dikonsumsi. Hal ini dikarenakan terjadi laju pertumbuhan
yang sangat pesat pada masa balita tersebut. Selain itu, anak yang paling
kecil biasanya yang paling beresiko terhadap kekurangan pangan, karena
anak-anak yang paling kecil umumnya makan lebih lambat dan dalam
jumlah yang kecil dibandingkan anggota rumah tangga yang lain, sehingga
memperoleh bagian yang terkecil dan tidak mencukupi kebutuhan gizi
anak yang sedang tumbuh (Thompson, 2006).
Konsumsi pangan pada balita yang diatur berdasarkan pedoman
gizi seimbang yaitu dengan pembagian porsi makan dalam sehari. Untuk
anak usia 1-3 porsi pangan pokok sebesar 3 porsi, porsi sayur sebesar 1,5
porsi, porsi buah 3, porsi pangan nabati 1, porsi pangan hewani 2, porsi
minyak 3 porsi, dan gula 2 porsi. Sedangkan untuk anak usia 4-6 tahun
porsi pangan pokok 4, sayur 2 porsi, buah 3 porsi, pangan nabati 2 porsi,
pangan hewani 3 porsi, minyak 4 porsi, dan gula 2 porsi (Kemenkes,
2014b). Pesan gizi seimbang untuk anak usia 2-5 tahun yaitu
membiasakan makan 3 kali sehari (pagi, siang, dan malam) bersama
keluarga; Perbanyak mengkonsumsi makanan kaya protein seperti ikan,
telur, tempe, susu, dan tahu; Perbanyak mengkonsumsi sayur dan buah;
Batasi konsumsi makanan selingan yang terlalu manis, asin, dan berlemak;
minum air putih sesuai kebutuhan; dan Biasakan melakukan aktivitas fisik
(Kemenkes, 2014b).
24
D. Penilaian Konsumsi Pangan
Penilaian konsumsi merupakan suatu metode penilaian gizi dengan
melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Penilaian konsumsi
pangan serta pengumpulan data konsumsi pangan dapat memberikan
gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga
dan individu. Dengan melihat konsumsi pangan ini dapat mengidentifikasi
kelebihan dan kekurangan zat gizi (Gibson, 2005).
Tujuan dari penilaian konsumsi pangan yaitu untuk mengetahui
kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat
gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga, dan perorangan serta faktor-
faktor yang mempengaruhi terhadap konsumsi makanan tersebut.
Penilaian konsumsi pangan dapat memberikan informasi terkait
kecukupan zat gizi serta pola konsumsi. Metode penilaian konsumsi yang
dipilih tergantung pada informasi apa yang dibutuhkan sesuai dengan
tujuan dari studi yang dipelajari (Fahmida & Dillon, 2007).
Metode pengukuran konsumsi pangan dapat dibedakan
berdasarkan sasaran pengamatan. Metode pengukuran konsumsi pangan
untuk tingkat rumah tangga dapat meggunakan metode Pencatatan (food
account), Metode pendaftaran (food list), Metode inventaris (inventory
method), Metode Pencatatan makanan rumah tangga (household food
record). Metode pengukuran konsumsi pangan untuk tingkat individu atau
peroranga dengan menggunakan metode Recall 24 jam, metode stimated
food records, metode penimbangan makanan (food weighing), metode
25
dietary history, dan metode frekuensi makanan (food frequency)
(Supariasa, 2010).
Metode yang umum digunakan dalam survei besar untuk individu
yaitu metode recall 24 jam. Metode ini berguna untuk memperkirakan
asupan keragaman konsumsi dan pola kebiasaan konsumsi pada populasi.
Dalam metode recall 24 jam responden akan ditanya tentang makanan
yang dikonsumsi selama 24 jam sebeumnya. Pencatatan secara rinci baik
makanan dan minuman utama maupun makanan selingan yang dikonsumsi
dicatat oleh pewawancara. Metode ini relatif mudah dilakukan dan relatif
murah serta cepat. Kelemahan dari metode ini karena memerlukan daya
ingat seseorang (Supariasa, 2010).
E. Keanekaragaman Konsumsi Pangan
Keragaman konsumsi pangan merupakan jumlah pangan atau
kelompok pangan berbeda yang dikonsumsi individu dalam jangka waktu
tertentu (Bilinsky & Swindale, 2006). Pentingnya keragaman konsumsi
pangan dalam rumah tangga dibuktikan oleh penelitian Kennedy (2009).
Hasil penelitiannya membuktikan bahwa keragaman konsumsi pangan
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kecukupan zat gizi
(Kennedy, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa zat gizi yang diperlukan
tubuh akan terpenuhi jika konsumsi pangan semakin beragam.
Konsumsi pangan yang beragam memberikan manfaat bagi
seseorang terutama pada anak-anak, di antaranya dapat meningkatkan
berat badan anak, meningkatkan kecukupan energi dan zat gizi lain
26
sehingga mencapai tingkat kecukupan yang normal, memperbaiki status
antropometri anak, serta meningkatkan konsentrasi hemoglobin yang dapat
mempengaruhi kecerdasan dan produktivitas anggota rumah tangga.
Penelitian di Bangladesh pada balita usia 6-59 bulan tahun 2003–2005
oleh Rah dkk (2010) membuktikan bahwa rendahnya keragaman konsumsi
pangan menyebabkan kejadian stunting pada anak. Hal ini dapat
menunjukkan keragaman konsumsi pangan dapat mempengaruhi terhadap
status gizi anak (Rah dkk., 2010). Penelitian di Indonesia juga
menunjukkan bahwa pada anak usia 24-59 bulan yang mengalami stunting
mengkonsumsi makanan yang tidak beragam (Hermina & Prihatini, 2011).
1. Penilaian Keberagaman Konsumsi Pangan
Penilaian keberagaman konsumsi pangan dibedakan menjadi
dua yaitu penilaian keberagaman konsumsi pangan pada rumah tangga
dan penilaian keberagaman konsumsi pangan untuk individu. Penilaian
keberagaman konsumsi pangan dalam skala rumah tangga di Indonesia
kebanyakan masih menggunakan metode penilaian skor Pola Pangan
Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan merupakan metode yang
digunakan dengan melihat komposisi dan jumlah atau ketersediaan
pangan pada tingkat rumah tangga. Hasil dari perhitungan PPH
tersebut dapat menjadikan evaluasi terhadap ketahanan pangan suatu
wilayah. Metode PPH ini terbatas pada penilaian ketahanan pangan
suatu wilayah namun tidak dapat menggambarkan skor keragamanan
konsumsi dari masing-masing individu dalam rumah tangga.
27
FAO dan FANTA telah memperkenalkan penilaian
keberagaman konsumsi pangan untuk individu yaitu Dietary Diversity
Score (DDS). Dengan menggunakan metode ini, kita dapat menilai
kualitas konsumsi seseoarang dengan lebih mudah dan simpel. Selain
itu, konsumsi pangan yang dinilai dapat menentukan secara langsung
kecukupan dari zat gizi yang dikonsumsi serta tidak diperlukan melihat
apakah konsumsi makanan di rumah atau di luar rumah sehingga dapat
menilai konsumsi pada individu dalam sehari (FAO, 2010).
Metode DDS ini dapat digunakan dalam segala kondisi dengan
memperhatikan jangka waktu tertentu. Berdasarkan pedoman FAO
untuk mengukur keragaman konsumsi pada rumah tangga dan individu
diperlukan jangka waktu selama 24 jam sebelumnya, menggunakan 24
jam recall memang tidak dapat menggambarkan kebiasaan makan,
namun dapat memberikan penilaian konsumsi pada tingkat populasi
dan dapat digunakan untuk memonitoring kemajuan suatu program dan
intervensi (FAO, 2010).
Penilaian skor dari DDS didasarkan dari 9 kelompok pangan
yang direkomendasikan oleh FAO dalam Individual Dietary Diversity
Score (IDDS) sebagai berikut:
28
Tabel 2.2 Tabel Dietary Diversity Score (DDS)
No.
Kuesio-
ner
Kelompok
pangan
Contoh YA = 1
TIDAK
= 0
1 Sereal dan
Umbi-umbian
a. Beras/nasi, jagung/tepung jagung, gandum,
sorgum, millet atau biji-bijian lannya atau
makanan yang dibuat dari jenis pangan ini
(mis. Roti, mie, bubur, pasta, atau produk
gandum/biji-bijan lainnya) + makanan lokal
b. Kentang, ubi putih, singkong putih, atau
makanan olahannya
2 Daging hewani
(daging ternak,
unggas, ikan,
dll)
Daging, ikan (ikan segar atau kering, kerang,
udang dan sejenisnya), daging unggas (ayam,
bebek, burung), hati dan organ hewan lainnya
yang dapat dikonsumsi
3 Susu dan
olahannya
Susu, keju, yogurt, pudding, es krim, krim
lainnya
4 Telur Telur ayam, telur bebek, telur puyuh
5 Kacang-
kacangan
Kacang, kacang polong (kacang hijau, kacang
polong), kedelai dan olahan kedelai, kacang-
kacangan dan biji-bijian
6 Buah, sayur
dan umbi-
umbian kaya
vitamin A
a. Sayuran berdauan hijau gelap (bayam,
kangkung, daun singkong, daun katuk, daun
pohpohan, sawi, bayam merah, daun kacang
panjang, daun ubi jalar, daun melinjo)
b. Lainnya: labu, tomat, wortel, dan ubi oranye +
sayuran lokal
29
c. Jus dan buah kaya vitamin A (manga, blewah,
kesemek)
7 Buah lainnya a. Buah dan jus kaya vit C (>18 mg vit C per
100 gr): arbei, jambu biji, jeruk, rambutan,
papaya, belimbing, sawo, sirsak
b. Buah dan jus lainnya (tidak kaya baik vit A
atau C): apel, anggur, semangka, melon, salak,
nangka, duku, pisang, alpukat
8 Sayuran
lainnya
a. Sayuran dan jus kaya vit C (>18 mg vit C per
100 gr): kembang kol, kol, lobak, melinjo,
pepaya muda (sayur), sawi putih, kacang
panjang
b. Sayuran lainnya (tidak kaya baik vit A atau
C): labu siam, labu air, toge, terong, buncis,
jagung muda, jamur, gambas
9 Lemak dan
minyak
Minyak, mayonnaise, margarin, butter (yang
ditambahkan untuk makanan atau digunakan
untuk memasak), minyak sawit merah
Sumber: Guidelines for Measuring Household and Individual Dietary
Diversity (FAO, 2010).
F. Konsep Dietary Diversity Score (DDS) dan Kecukupan Zat Gizi
Keragaman konsumsi atau dietary diversity adalah sejumlah
pangan atau kelompok pangan berbeda yang dikonsumsi individu dalam
jangka waktu tertentu (Bilinsky & Swindale, 2006). Keragaman konsumsi
pangan merupakan metode kualitatif untuk mengukur konsumsi makanan
yang dapat menggambarkan keragaman dari jenis makanan atau pangan
yang dikonsumsi serta dapat menjadi indikator dari kecukupan asupan zat
30
gizi untuk individu (FAO, 2010). Indikator keragaman konsumsi pangan
biasanya hanya dinilai dari jumlah jenis pangan yang dikonsumsi. Di
beberapa negara berkembang, penilaian skoring terkadang memperhatikan
dari jumlah porsi kelompok makanan yang dikonsumsi sesuai dengan
pedoman konsumsi yang berlaku. Namun, indikator biasanya dirancang
untuk mencerminkan kualitas dari makanan yang dikonsumsi tidak dapat
menilai keanekaragaman konsumsi (Ruel, 2002).
Dietary Diversity Score (DDS) merupakan indikator keragaman
konsumsi pangan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengukur
keragaman konsumsi pangan di beberapa negara berkembang (Kennedy,
2009). Pada penelitian oleh Kennedy (2009) menunjukkan bahwa DDS
berhubungan signifikan dengan asupan zat gizi mikro pada anak tidak ASI
usia 2-5 tahun di Filipina dan anak usia 1-8 tahun di Afrika Selatan.
Penelitian tersebut juga menilai cut-off point terbaik untuk dijadikan
indikator dari ketidakcukupan asupan zat gizi mikro. Di Filipina, cut-off
point untuk indikator ketidakcukupan asupan zat gizi mikro yaitu skor
DDS 6, sedangkan di Afrika Selatan yaitu skor DDS 4.
Penelitian lainnya yang melihat DDS dengan kecukupan zat gizi
yaitu penelitian oleh Moursi dkk (2008) dengan hasil penelitian bahwa
Dietary Diversity Score merupakan indikator yang baik untuk menilai
kecukupan dari mikronutrisi pada anak usia 6-23 bulan di Madagascar.
Penelitian Daniels (2006) juga melihat hubungan DDS dengan kecukupan
zat gizi pada balita usia 0-24 bulan, dengan hasil penelitian bahwa DDS
31
dapat menilai kecukupan zat gizi dengan skor terbaik yaitu 4. Penelitian
lainnya yaitu Steyn dkk (2009) yang menunjukkan bahwa DDS
merupakan indikator yang baik untuk menilai kecukupan konsumsi zat
gizi pada anak usia 1-8 tahun di Afrika Selatan dengan skor 4 untuk MAR
<50%.
Di Indonesia terdapat penelitian yang dilakukan oleh Marlina
(2011) yang menilai indikator keragaman konsumsi pangan dengan
menggunakan DDS dan Food Variety Score (FVS). Hasil penelitiannya
yaitu DDS sebagai indikator keragaman konsumsi pangan yang lebih baik
dar FVS. Selain itu skor 6 untuk DDS merupakan cut off baik untuk
menilai kecukupan zat gizi sebesar 70% dari angka kecukupan zat gizi
(AKG) balita usia 24-59 bulan di Kota Bandung.
Kecukupan zat gizi dapat dilihat dengan membandingkan asupan
seseorang dengan standar atau rekomendasi yang dibutuhkan oleh tubuh.
Di Indonesia, rekomendasi yang digunakan adalah Angka Kecukupan Gizi
(AKG) 2013 (Kemenkes, 2014a). Penilaian kecukupan gizi dari beberapa
zat gizi dapat menggunakan nilai Mean Adequacy Ratio (MAR). MAR
menggambarkan evaluasi gambaran asupan zat gizi pada individu. MAR
tidak menggambarkan ketidakcukupan satu jenis zat gizi, sehingga dengan
menggunakan MAR kita dapat mengetahui kecukupan dari beberapa zat
gizi. MAR dihitung dengan menjumlahkan tingkat konsumsi zat gizi
dibagi dengan jumlah jenis zat gizi (Gibson, 2005). Secara keseluruhan,
kualitas zat gizi yang disebut MAR dihitung berdasarkan nilai Nutrient
32
Adequacy Ratio (NAR) untuk asupan energi dan zat gizi lainnya. NAR
merupakan perbandingan antara zat gizi yang dikonsumsi individu dengan
AKG yang dianjurkan sesuai kategori usia dan jenis kelamin. MAR
menggambarkan indikator bahwa rata-rata zat gizi yang dikonsumsi masih
dibawah AKG atau telah melebihi AKG (Torheim et al., 2004).
Perhitungan dari NAR dan MAR sebagai berikut.
Penilaian kecukupan zat gizi di Indonesia sebatas menggunakan
Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan sebagai terjemahan dari
Recommended Dietary Allowance (RDA). Di Amerika Serikat, penilaian
kecukupan zat gizi menggunakan Dietary Reference Intake (DRI) yang
terdiri dari nilai Estimated Average Requirement (EAR), RDA, Adequate
Intake (AI), dan Tolerable Upper Intake Lavel (UL) (Institude Of
Medicine, 2005).
EAR merupakan rata-rata kebutuhan zat gizi yang diperoleh dari
rata-rata kebutuhan gizi berdasarkan hasil penelitian pada populasi sehat.
Jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mencakup 50% populasi
sehat. RDA atau AKG adalah angka kecukupan gizi yang bila diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari akan memenuhi kebutuhan sekitar 97-98%
populasi sehat (Institude Of Medicine, 2005).
33
Penilaian kecukupan energi dan protein menurut Depkes (1996)
dalam Jayanti, Effendi, & Sukandar (2011) dikatagorikan menjadi lima
yaitu defisit tingkat berat (<70% AKG), defisit tingkat sedang (70-79%
AKG), defisit tingkat ringan (80-89% AKG), normal (90-119% AKG),
serta berlebih (≥120% AKG). Adapun klasifikasi tingkat kecukupan pada
vitamin dan mineral hanya dikategorikan menjadi dua kategori menurut
Gibson (2005), yaitu defisit apabila <77% AKG serta cukup apabila ≥77%
AKG.
G. Uji Sensitivitas dan Spesifisitas
Sensitivitas adalah kemapuan suatu tes untuk memberikan
gambaran positif pada orang yang benar-benar sakit. Penggunaan
sensitivitas saja belum tentu dapat mengetahui secara benar keadaan suatu
penyakit. Untuk itu perlu diketahui konsep spesifisitas. Spesifisitas ialah
kemampuan suatu tes untuk memberikan gambaran negatif bila subjek
yang di tes adalah bebas dari penyakit (Masriadi, 2012). Uji sensitivitas
digunakan untuk memprediksi atau mengidentifikasi kelompok yang
mengalami kekurangan zat gizi, sedangkan spesifisitas digunakan untuk
memprediksi atau mengidentifikasi kelompok yang kecukupan zat gizinya
baik (Fahmida & Dillon, 2007).
Sensitivitas dan spesifisitas merupakan dua rasio yang digunakan
untuk mengukur kemapuan suatu uji saring (screening) atau uji diagnostik
untuk membedakan individu yang mengalami kekurangan zat gizi. Untuk
mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitas, maka diperlukan analisis
34
dari uji diagnostik. Uji diagnostik mempunyai tiga cara analisis (Dahlan,
2009), yaitu:
1. Tabel 2 x 2
Analisis ini berfungsi untuk mendapatkan performa alat uji
yang terlihat dari sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif,
nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif dan rasio
kemungkinan negatif.
2. Kurva ROC
Kurva ROC atau Receiver Operating Characteristic
mempunyai fungsi untuk melihat nilai AUC atau Area Under
Curve untuk memperoleh cut off point yang direkomendasikan
serta nilai sensitivitas dan spesifisitas.
3. Multivariat Berjenjang
Merupakan analisis uji diagnostik yang lebih kompleks dengan
melihat nilai diagnostik dari parameter anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang sederhana, pemeriksaan
penunjang canggih. Dengan cara ini akan menghasilkan nilai
AUC untuk memperoleh cut off point rekomendasi.
Penelitian ini menggunakan analisis kurva ROC karena fungsinya
yaitu untuk mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas dari metode DDS
dalam mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita serta untuk
mengetahui cut off point dari DDS tersebut yang cocok untuk
direkomendasikan.
35
H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecukupan Zat Gizi Balita
1. Karakteristik Individu
a) Usia
Menurut Departemen Kesehatan (2009), umur merupakan
masa hidup responden dalam tahun dengan pembulatan ke bawah
atau umur pada waktu ulang tahun yang terakhir. Umur
mempunyai peran penting dalam menentukan pemilihan makanan.
Asupan energi meningkat sesuai dengan usia dan perbedaan jenis
kelamin antara perempuan dan laki-laki menjadi lebih luas saat
mereka bertambah usianya. Secara signifikan pada anak usia
perkembangan dan pertumbuhan lebih banyak membutuhkan
energi (Crowle & Turner, 2010).
Terdapat kemungkinan tren dalam kecukupan gizi di tahun-
tahun awal kehidupan seseorang. Selama tahun pertama kehidupan,
kecukupan gizi pada bayi mungkin tercukupi dengan baik,
terutama pada anak yang ASI ekslusif. Hal ini dikarenakan
kandungan gizi dalam ASI yang mencukupi kebutuhan gizi pada
bayi. Namun, kecukupan gizi pada anak bisa jatuh drastis setelah
tahun pertama kehidupan atau saat sudah tidak lagi menyusu ASI
dan kebutuhan makanan pelengkap tidak memadai. Terdapat
hubungan antara usia balita yang sudah tidak ASI dengan
kecukupan energi dan protein dengan pvalue sebesar 0,0001.
Sehingga pada usia yang sudah tidak mendapatkan ASI lebih
36
beresiko untuk mengalami ketidakcukupan zat gizi (Chaudhury,
2006).
b) Jenis Kelamin
Menurut Departemen kesehatan (2009), jenis kelamin
merupakan perbedaan seks yang didapat sejak lahir yang
dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin
menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang. Dalam
beberapa budaya di masyarakat, anak laki-laki dianggap lebih
berharga dari pada anak perempuan karena berbagai alasan. Anak
laki-laki dianggap membutuhkan energi atau makanan dalam porsi
yang lebih besar dibandingkan anak perempuan, hal ini
dikarenakan terdapat pengharapan lebih terhadap anak laki-laki,
selain itu anggapan bahwa anak laki-laki membutuhkan energi
yang lebih agar tubuhnya lebih kuat (Sultan, 2014). Berdasarkan
hasil penelitian Sultan (2014), menyatakan terdapat hubungan
antara jenis kelamin dengan kecukupan protein pada anak dengan
pvalue sebesar 0,01. Kecukupan zat gizi pada anak laki-laki lebih
tinggi dari pada kecukupan zat gizi anak perempuan.
c) Tinggi dan Berat Badan
Tinggi dan berat badan berpengaruh terhadap luas
permukaan tubuh, semakin luas permukaan tubuh maka semakin
besar pengeluaran panas, sehingga kebutuhan metabolisme basal
tubuh juga semakin besar (Kemenkes, 2014a). Berdasarkan
penelitian Wilson, Adolph, & Butte (2009) menyatakan bahwa
37
anak yang berat badannya tidak berlebihan memiliki kecukupan zat
gizi yang baik dibandingkan dengan anak yang memiliki berat
badan berlebih. Penelitian lainnya yaitu oleh Hermina & Prihatini
(2011) yang menunjukkan bahwa anak balita di Indonesia yang
mengalami defisit energi lebih banyak dibandingkan dnegan balita
yang memiliki tinggi badan yang normal.
d) Kesehatan
Menurut Hardinsyah (2007) penyakit infeksi berpotensi
sebagai pedukung terjadinya kekurangan gizi atau malnutrisi.
Penyakit diare, campak, dan infeksi saluran pernafasan maupun
saluran pencernaan kerap menghilangkan nafsu makan serta
menimbulkan reaksi muntah. Hal tersebut menyebabkan gangguan
penyerapan zat gizi sehingga dapat menimbulkan kehilangan zat-
zat gizi dalam jumlah besar. Adanya malnutrisi pada seseorang
maka status gizi menjadi buruk, hal ini akan menyebabkan
kecukupan zat gizi terganggu (Retnaningsih, 2007).
2. Kebiasaan Makan
a) Keragaman Konsumsi
Keragaman konsumsi pangan merupakan jumlah pangan
atau kelompok pangan berbeda yang dikonsumsi individu dalam
jangka waktu tertentu (Bilinsky & Swindale, 2006). Pentingnya
keragaman konsumsi pangan dalam rumah tangga dibuktikan oleh
penelitian Kennedy (2009). Hasil penelitiannya membuktikan
38
bahwa keragaman konsumsi pangan merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi kecukupan zat gizi (Kennedy, 2009). Hal ini
menunjukkan bahwa zat gizi yang diperlukan tubuh akan terpenuhi
jika konsumsi pangan semakin beragam. Selain itu penelitian
Daniels (2006) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
keberagaman konsumsi (dietary diversity) dengan kecukupan zat
gizi pada balita di Filipina dengan pvalue <0,001. Penelitian
lainnya yaitu Steyn dkk., (2009) yang menyatakan terdapat
hubungan yang signifikan antara keragaman konsumsi (DDS dan
FVS) dengan kecukupan zat gizi pada anak usia 1-8 tahun di
Filipina dengan pvalue <0.0001.
b) Kesukaan Makanan/ food preference
Anak terutama pada usia balita atau pra-sekolah cenderung
memiliki kewaspadaan terhadap makanan baru. Hal ini
dikarenakan mereka memiliki selera yang lebih sensitif
dibandingkan orang dewasa. Selain itu, mereka memiliki sifat yang
cenderung memilih makanan yang hanya disukainya. Orang tua
merupakan penentu yang dapat mempengaruhi preferensi makanan
anak dengan cara memperkenalkan dan menyediakan serta
mencontoh mengkonsumsi makanan-makanan yang anak-anak
mungkin cenderung tidak suka. Orang tua terutama ibu yang
menyediakan konsumsi makanan dalam unit rumah tangga harus
memiliki komitmen untuk membimbing anak-anak menyukai
berbagai makanan agar mereka dapat terbiasa dengan konsumsi
39
pangan yang beragam dan kebutuhan akan gizi anak tercukupi
(Soenardi, 2008).
c) Cara Pengolahan
Pengolahan bahan pangan merupakan pengubahan bentuk
asli kedalam bentuk yang mendekati bentuk untuk dapat segera
dimakan. Salah satu proses pengolahan bahan pangan adalah
menggunakan pemanasan. Pengolahan pangan dengan
menggunakan pemanasan dikenal dengan proses pemasakan yaitu
proses pemanasan bahan pangan dengan suhu 100⁰ C atau lebih
dengan tujuan utama adalah memperoleh rasa yang lebih enak,
aroma yang lebih baik, tekstur yang lebih lunak, untuk membunuh
mikrobia dan menginaktifkan semua enzim (Sundari, Almasyhuri,
& Lamid, 2015). Dalam banyak hal, proses pemasakan diperlukan
sebelum kita mengonsumsi suatu makanan. Pemasakan dapat
dilakukan dengan perebusan dan pengukusan (boiling dan
steaming pada suhu 100⁰ C), broiling (pemanggangan daging),
baking (pemanggangan roti), roasting (pengsangraian) dan frying
(penggorengan dengan minyak) dengan suhu antara 150⁰ - 300⁰ C.
Penggunaan panas dalam proses pemasakan sangat berpengaruh
pada nilai gizi bahan pangan tersebut (Belitz, Grosch, &
Schieberle, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian Sundari, Almasyhuri, dan
Lamid (2015) menyatakan bahwa proses menggoreng
menyebabkan penurunan kandungan gizi yang sangat signifikan
40
karena penggorengan menggunakan suhu yang tinggi sehingga zat
gizi seperti protein mengalami kerusakan. Sedangkan proses
perebusan menyebabkan berkurangnya kandungan zat gizi karena
banyak zat gizi terlarut dalam air rebusan. Selain itu review
penelitian yang sama oleh Fabbri & Crosby (2016) terkait dampak
dari persiapan dan proses pemasakan pada kualitas gizi dari
sayuran dan kacang-kacangan. Hasil review tersebut menyatakan
bahwa proses pengukusan menjadi proses yang terbaik dalam
menjaga kandungan gizi. Cara pengolahan baik persiapan sebelum
measak atau cara pemasakan dapat mempengaruhi secara langsung
kualitas gizi yang akan dikonsumsi yang akan berpengaruh pada
kecukupan zat gizi bagi tubuh (Fabbri & Crosby, 2016).
3. Faktor Ibu
a) Pengetahuan Gizi Ibu
Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang
ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi
dan kesehatan. Seseorang yang memiliki pengetahuan gizi yang
baik, memungkinkan dapat terhindar dari konsumsi pangan yang
salah atau buruk. Individu yang berpengetahuan baik akan
mempunyai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan gizinya di
dalam pemilihan maupun pengolahan pangan sehingga konsumsi
pangan yang mencukupi kebutuhan tubuhnya dapat terjamin
(Hamid, Setiawan, & Suhartini, 2013).
41
Pengetahuan tentang gizi ibu memungkinkan dalam
memilih dan mempertahankan pola makan untuk anaknya, namun
dalam penerapannya dapat dipengaruhi berbagai faktor seperti
biaya bahan makanan, sikap, kepercayaan, budaya, dan psikologis
seseorang (Retnaningsih, 2007). Semakin banyak pengetahuan gizi
seorang ibu semakin diperhitungkan jenis dan kwantum makanan
yang dipilih untuk dikonsumsi oleh anaknya. Dengan tingginya
pengetahuan maka pangan yang dikonsumsi semakin beragam
(Surachman, Kusrini, & Suyatno, 2013). Namun hal ini tidak
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanani, Asmara, &
Nugroho (2008) yang mengatakan tidak terdapat hubungan antara
pengetahuan gizi dengan keragaman konsumsi pangan masyarakat
pedesaan.
Pengetahuan gizi ibu juga berhubungan dengan kecukupan
gizi anak. Berdasarkan hasil penelitian Sultan (2014) menatakan
bahwa pengetahuan ibu berhubungan dengan kecukupan energi
dan protein anak dengan pvalue <0,05. Hal serupa juga dinyatakan
oleh Chaudhury (2006) yang mengatakan bahwa pengetahuan ibu
berhubungan dengan kecukupan energi dan protein pada balita
dengan pvalue <0,01.
b) Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian
makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi. Menurut
42
Hardinsyah (2007) tingkat pendidikan orang tua sangat
berpengaruh terhadap pemilihan kuantitas dan kualitas makanan
yang dikonsumsi oleh anaknya. Semakin tinggi tingkat pendidikan
orangtua, pengetahuan tentang gizi semakin baik. Pengetahuan gizi
yang baik akan berpengaruh terhadap kebiasaan makan keluarga
karena pengetahuan gizi mempunyai peranan yang sangat penting
dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang. Menurut Brown
(2011), orang tua menjadi target sekunder dalam pemberian
informasi gizi, hal ini disebabkan orang tua adalah pemegang
keputusan dalam penyediaan makan yang selanjutnya akan
menjadi tradisi dalam perilaku makannya dirumah.
Berdasarkan hasil penelitian Hanani dkk., (2008),
pendidkan ibu mempengaruhi keragaman konsumsi pangan
keluarga. Hal serupa juga dikemukakan pada hasil penelitian
Hamid dkk., (2013), pendidikan ibu mempengaruhi pola konsumsi
pangan rumah tangga. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian
Bangun dkk (2012) yang mengatakan bahwa pendidikan orang tua
tidak berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan keluarga. Selain
berhubungan dengan kebiasaan makan, pendidikan ibu juga
berhubungan dengan kecukupan zat gizi pada anaknya. Hal ini
dapat terlihat dari penelitian Sultan (2014) dan Chaudhury (2006)
yang mengatakan terdapat hubungan yang bermakna antara
pendidikan ibu dengan kecukupan energi dan protein pada anak
dengan pvalue <0,05 dan <0,01.
43
4. Faktor Sosial Ekonomi
a) Faktor Ekonomi
Keadaan ekonomi keluarga relatif mudah diukur dan
berpengaruh besar pada konsumsi pangan, bila kebutuhan akan gizi
tidak terpenuhi maka akan menimbulkan masalah-masalah gizi
(Hardinsyah, 2007). Pada umumnya, jika tingkat pendapatan naik,
jumlah dan jenis makanan cenderung juga membaik. Akan tetapi
mutu makanan tidak selalu membaik jika diterapkan tanaman
perdagangan. Tanaman perdagangan menggantikan produksi
pangan untuk rumah tangga dan pendapatan yang diperoleh dari
tanaman perdagangan itu atau upaya peningkatan pendapatan yang
lain mungkin tidak digunakan untuk membeli pangan atau bahan-
bahan pangan berkualitas gizi tinggi (Perdana, Hardinsyah, &
Damayanthi, 2014). Pendapatan keluarga memiliki peranan yang
sangat penting untuk mendukunh kelangsungan hidup keluarga.
Dalam Riset Kesehatan Dasar 2007 dikemukakan bahwa semakin
tinggi tingkat pendapatan keluarga, semakin tinggi pula
pengeluaran rumah tangga tersebut dalam membeli bahan pangan
yang mengandung energi dan protein (Depkes, 2007).
Dari hasil penelitian Hamid dkk (2013) mengatakan bahwa
pendapatan perkapita keluarga berhubungan dengan pola konsumsi
pangan rumah tangga. Hal serupa pada penelitian Analia (2009)
dan Surachman dkk (2013) mengatakan bahwa pendapatan rumah
tangga mempengaruhi keragaman konsumsi pangan. Namun, hasil
44
penelitian Retnaningsih (2007) tidak sejalan, hasil penelitian
tersebut mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara
pendapatan rumah tangga dengan keberagaman konsumsi pangan
yang dinilai dengan metode pola pangan harapan.
b) Faktor Sosial
Pengaruh lingkungan dan sebaya dapat mempengaruhi
seseorang dalam berperilaku. Perilaku ibu dalam mengasuh anak
juga dapat dipengaruhi dari pengalaman-pengalaman lingkungan
mereka atau dari pengaruh orang tua atau sesepuhnya terdahulu.
Pengaruh dari lingkungan dan orang-orang disekitar ini yang akan
mempengaruhi dari perilaku makan anak.
Selain dari orang tua, perilaku makan anak juga
dipengaruhi dari teman sebaya mereka. Sebuah studi menunjukkan
bahwa ketika anak melihat teman sebayanya tidak suka terhadap
sayuran, maka anak tersebut akan mempengaruhi preferensi
makanannya bahwa sayuran adalah makanan yang pahit dan
mereka akan ikut tidak suka terhadap makanan tersebut.
(Grosvenor & Smolin (2002) dalam Marlina (2011)).
I. Kerangka Teori
Berikut ini merupakan kerangka teori yang didasarkan pada
modifikasi dari Fabbri & Crosby (2016), Sultan (2014) Chaudhury (2006),
Kennedy (2009), dan Steyn dkk., (2009), tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan kecukupan zat gizi pada balita.
45
Keterangan
= Variabel yang diteliti
= Variabel tidak diteliti
Karakteristik individu
- Usia
- Jenis kelamin
- Berat badan
- Kesehatan
Kecukupan zat gizi balita
Kebiasaan makan:
- Keragaman konsumsi
anak (dietary diversity)
- Makanan kesukaan anak /
food preference
- Cara Pengolahan
Faktor ibu:
- pengetahuan ibu
- pendidikan ibu
Sumber: Modifikasi dari penelitian Fabbri & Crosby (2016), Sultan (2014), Kennedy (2009),
Chaudhury (2006), dan Steyn dkk., (2009)
Faktor sosial ekonomi
Bagan 2.1 Kerangka Teori
46
3 BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Bagan diatas menunjukkan kerangka konsep yang ingin diteliti,
lingkup penelitian yaitu melihat hubungan DDS dengan kecukupan zat
gizi serta menilai sensitivitas dan spesifisitas metode Dietary Diversity
Score (DDS) dalam mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-
59 bulan sehingga variabel yang diteliti yaitu keragaman konsumsi pangan
pada balita dengan DDS dan kecukupan zat gizi (energi, protein, vitamin
A, vitamin C, kalsium, zat besi (Fe), dan seng (Zn)) pada balita dengan
MAR.
Variabel yang tidak diteliti yaitu faktor ibu, kesukaan
makanan/food preference, dan kesehatan dalam variabel karakteristik
individu, hal ini dikarenakan penelitian menggunakan data skunder dari
Keragaman konsumsi pangan
pada balita dengan
menggunakan Dietary
Diversity Score (DDS)
Karakteristik individu:
- Usia
- Jenis kelamin
- Berat Badan
Kecukupan zat gizi (energi,
protein, vitamin A, vitamin
C, Kalsium, Fe, Zn) balita
dengan menggunakan Mean
Adequacy Ratio (MAR)
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
47
Studi Diet Total 2014, dimana dalam penelitian SDT tidak terdapat
variabel yang terkait dengan ketiga variabel tersebut. Sedangkan variabel
cara pengolahan dalam penelitian SDT digunakan untuk analisis cemaran.
Selian itu, penilaian kecukupan zat gizi tidak lagi memperhitungkan cara
pengolahan karena data yang digunakan sudah dikonversi dari berat
matang menjadi berat mentah dengan memperhitungkan cara
pengolahannya dari makanan yang dikonsumsi (Balitbangkes, 2014).
48
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Instrumen Hasil Ukur Skala Ukur
1. Kecukupan zat
gizi
Persentase asupan zat gizi dengan
nilai Mean Adequacy Ratio (MAR)
yang didapat dari jumlah rata-rata
nilai Nutrient Adequacy Ratio (NAR)
energi, protein, vit A, Vit C, Ca, Fe,
dan Zn berdasarkan hasil recall
individu 1x24 jam data Studi Diet
Total 2014
Menilai kecukupan dari zat
gizi energi, protein, vit A,
vit C, Ca, Fe, dan Zn yang
diperoleh dari hasil recall
individu 1x24 jam dan
dibandingkan dengan AKG
sesuai usia 1-3 tahun dan 4-
6 tahun.
Kuesioner SKMI-
2014.IND blok
X.Konsumsi Makanan
Individu Recall 1x24
jam
Persentase
nilai MAR
Rasio
2. Kecukupan zat
gizi
Persentase asupan zat gizi dengan
nilai Mean Adequacy Ratio (MAR)
yang didapat dari jumlah rata-rata
nilai Nutrient Adequacy Ratio (NAR)
energi, protein, vit A, vit C, Ca, Fe,
dan Zn berdasarkan hasil recall
individu 1x24 jam data Studi Diet
Total 2014 untuk melihat nilai
Menilai kecukupan dari zat
gizi energi, protein, vit A,
vit C, Ca, Fe, dan Zn yang
diperoleh dari hasil recall
individu 1x24 jam dan
dibandingkan dengan AKG
sesuai usia 1-3 tahun dan 4-
6 tahun.
Kuesioner SKMI-
2014.IND blok
X.Konsumsi Makanan
Individu Recall 1x24
jam
1. MAR 50%
AKG
2. MAR 70%
AKG
3. MAR 77%
AKG
Ordinal
49
sensitivitas dan spesifisitas
3. Dietary Diversity
Score (DDS)
Keragaman konsumsi pangan dari
sembilan kelompok pangan yang
dikonsumsi balita selama 24 jam dari
data recall individu 1x24 jam Studi
Diet Total 2014 yang dilihat dengan
skor DDS serta nilai sensitivitas dan
spesifisitas.
Menjumlahkan konsumsi
perkelompok pangan balita
yang diperoleh dari hasil
recall individu 1x24 jam
Studi Diet Total 2014
1. Kuesioner SKMI-
2014.IND blok
X.Konsumsi
Maknaan Individu
Recall 1x24 jam
2. Tabel perhitungan
Dietary Diversity
Score (DDS)
Rata-rata
skor DDS
serta nilai
sensitivitas
dan
spesifisitas
Rasio
4. Usia Masa hidup balita dalam bulan yang
dihitung saat pengambilan data Studi
Diet Total 2014
Wawancara Kuesioner 1. 24-47
bulan
2. 48-59
bulan
Distribusi
Frekuensi
5. Jenis Kelamin Perbedaan seks pada balita responden
Studi diet Total 2014 yang dibedakan
antara laki-laki dan perempuan
Wawancara Kuesioner 1. Laki-
laki
2. Perem-
puan
Ditribusi
Frekuensi
6. Berat Badan Ukuran tubuh balita responden Studi
Diet Total 2014
Penimbangan balita Timbangan dengan
ketelitian 0,1 kg Berat dalam
kilogram
Ditribusi
Frekuensi
50
C. Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan antara DDS dengan tingkat kecukupan zat gizi dengan
nilai MAR pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia.
51
4 BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian lanjutan ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
menggunakan desain penelitian cross sectional karena pengambilan
variabel yang dilakukan dalam satu waktu. Variabel yang digunakan yaitu
Dietary Diversity Score (DDS) dan variabel kecukupan zat gizi yang dinilai
menggunakan data skunder konsumsi makanan individu dengan metode
recall 24 jam yang dilakukan dalam Studi Diet Total (SDT) Survey
Konsumsi Makanan Individu (SKMI). Penelitian ini menggunakan uji
diagnostik untuk melihat nilai sensitivitas dan spesifisitas dari metode
Dietary Diversity Score (DDS) sebagai indikator keragaman konsumsi
pangan untuk mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan
di Indonesia.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian lanjutan dengan menggunakan data SKMI terkait recall
individu dianalisis lebih lanjut pada bulan November 2016-Januari 2017
oleh mahasiswa Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah selaku peneliti.
52
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian lanjutan ini adalah seluruh sampel balita yang
diwawancarai dalam SKMI sebanyak 6.093 balita usia 0-59 bulan.
Sedangkan sampel dalam penelitian lanjutan ini yaitu seluruh balita usia
24-59 bulan yang menjadi sampel dalam SKMI yang memenuhi kriteria
inklusi dan ekslusi. Kriteria dan pengambilan sampel penelitian sebagai
berikut:
a. Kriteria inklusi yaitu balita usia 24-59 bulan yang diukur
konsumsi makanan dengan menggunakan recall individu 1x24
jam.
b. Kriteria esklusi yaitu terdapat ketidaklengkapan dalam data
recall individu 1x24 jam pada balita usia 24-59 bulan, balita
usia 24-59 bulan yang masih ASI, balita yang tidak diukur
berat badannya, serta balita dengan status gizi buruk, gizi
kurang, dan gizi lebih.
Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan perhitungan
besar sampel uji hipotesis beda rata-rata dengan rumus sebagai berikut
(Dahlan, 2009).
53
Keterangan:
n : besar sampel
α : level signifikan
1-β : derajat kepercayaan
σ : standar deviasi variabel dependen pada peneletian sebelumnya
μo – μa : selisih minimal rerata yang dianggap bermakna
Dengan menggunakan rumus tersebut, nilai rata-rata dan standar
deviasi dari variabel dependen yaitu kecukupan zat gizi (MAR). Rata-
rata dan standar deviasi yang digunakan yaitu berdasarkan hasil
penelitian Marlina (2011) sebesar 71,61 dan 14,99. Dengan nilai tersebut
serta menggunakan nilai α sebesar 1% dan 1-β sebesar 99% maka
didapatkan hasil besar sampel sebesar 470. Dalam penelitian ini
digunakan total sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi
sebesar 3085. Adapun alur cleaning data berdasarkan kriteria inklusi dan
ekslusi sebagai berikut.
54
D. Sumber Data Penelitian
Sumber data pada penelitian lanjutan ini adalah data Studi Diet
Total: Survei Konsumsi Makanan Individu Indonesia tahun 2014. Data
berasal dari kuesioner individu SKMI-2014.IND blok X.KONSUMSI
MAKANAN Individu Recall 1x24 jam
Bagan 4.1 Alur Cleaning Sampel Penelitian
3990 balita usia 24-59
bulan
3813 balita yang sudah
tidak konsumsi ASI
3503 balita sudah tidak
konsumsi ASI dan
ditimbang berat badan
3467 balita tidak konsumsi
ASI, diukur berat badan,
lengkap data recall
Cleaning balita yang
tidak ditimbang berat
badan sebanyak 310, 14
tidak ditimbang dan
masih ASI
Cleaning balita yang
masih konsumsi ASI
sebanyak 177 balita
Cleaning
ketidaklengkapan data
dan recall sebanyak 36
3085 balita tidak konsumsi
ASI, diukur berat badan,
lengkap data recall, dan
status gizi baik (BB/U -2
SD sampai 2 SD)
Cleaning balita yang
memiliki status gizi
buruk, gizi kurang,
dan gizi lebih
sebanyak 382
55
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian lanjutan ini yaitu surat izin permohonan data
SDT 2014, proposal penelitian untuk pengajuan permohonan data SDT
2014, Buku Pedoman Kode Bahan Makanan Survei Konsumsi Makanan
Individu, serta tabel perhitungan DDS.
F. Pengumpulan Data
Pengumpulan data lanjutan mengikuti prosedur permohonan
permintaan data yang disyaratkan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan RI sebagai badan yang melaksanakan SDT.
Adapun alur prosedur pengumpulan data tersebut yaitu;
56
G. Pengolahan Data
Data yang didapat dari Badan Litbangkes berupa data recall yang
berisikan ID rumah tangga, ID anggota rumah tangga, pembobotan, kode
provinsi, kode bahan makanan, berat matang (gram), berat mentah (gram),
jenis kelamin, berat badan (kg), dan umur (bulan) dalam bentuk SPSS. Data
yang didapat kemudian dilakukan cleaning data yang telah dijelaskan pada
subbab sampel penelitian. Kemudian data recall tersebut diolah dalam
Nutrisurvey versi 2007 dengan database makanan Indonesia tahun 2005
serta tambahan beberapa database USDA SR25 tahun 2012.
Menyaipkan persyaratan yaitu proposal
penelitian, surat permohonan permintaan
data, dan formulir permintaan data
Mengirimkan persyaratan kepada
Kepala Badan Litbangkes
Telaah proposal dan pembuatan subset
data oleh laboratorium manajemen data
Pengeluaran subset data
Peneliti lanjutan tanda tangan surat
pernyataan penggunaan data
Persetujuan Ka.Badan
Bagan 4.2 Alur Pengumpulan Data
57
Data recall tersebut diolah dengan cara memasukkan bahan makanan
yang diliat dari kode bahan makanan serta berat mentah untuk mengetahui
asupan dari ketujuh zat gizi. Kode bahan makanan dilihat dari Buku
Pedoman Kode Bahan Makanan Survei Konsumsi Makanan Individu.
Kemudian dibuat file SPSS baru yang telah dientri ulang ID rumah tangga,
ID anggota rumah tangga, pembobotan, umur (bulan), jenis kelamin, berat
badan peresponden serta kolom untuk asupan energi, protein, vitamin A,
vitamin C, kalsium, zat besi, dan zink. Asupan yang sudah didapat dari
Nutrisurvey kemudian dimasukkan kedalam ketujuh kolom zat gizi dalam
SPSS tersebut.
Setelah mengentri data asupan, langkah selanjutnya yaitu mengolah
data recall yang telah dientri ke dalam Nutrisurvey menjadi skoring DDS
dengan cara manual melihat apakah konsumsi kelompok pangan nomer 1
atau tidak. Jika konsumsi kelompok pangan nomer 1 (serealia dan umbi-
umbian) diberi skor 1, jika tidak diberi skor 0, hal ini dilakukan sampai
konsumsi pangan nomer 9 (lemak dan minyak) hingga keseluruhan
responden. Pengentrian nilai DDS 1 sampai 9 dengan melihat tabel
perhitungan DDS serta pengelompokan pangan dari FAO dilakukan dengan
cara yaitu membandingkan recall dalam Nutrisurvey dengan SPSS baru
yang telah ditambahkan kolom kelompok pangan 1 sampai 9. Setelah
selesai mengentri nilai DDS sampai responden terakhir, kemudian
dilakukan transform data dengan menjumlahkan nilai DDS 1 sampai 9
untuk mengetahui skor DDS total dari tiap responden.
58
Pegolahan data selanjutnya yaitu recode umur dalam bulan menjadi
kategori umur 24-47 dan 48-59 untuk memudahkan dalam perhitungan
kecukupan zat gizi. Kemudian dilakukan perhitungan kecukupan zat gizi
dalam NAR dengan cara compute menggunakan fungsi IF membandingkan
nilai AKG dari ketujuh zat gizi dengan melihat kategori umur. Setelah
NAR dari ketujuh zat gizi didapat, kemudian dilakukan perhitungan nilai
MAR dengan compute rata-rata dari ketujuh NAR. Berikut alur pengolahan
data penelitian.
Cleaning data
Pengolahan asupan zat gizi dari 3085
balita
Perhitungan skor DDS dengan cara
membandingkan recall dengan tabel
DDS dari FAO sebanyak 3085
responden kemudian dientri ke file
SPSS baru
Recode kategori usia 24-47 dan 48-59
bulan
Data dari Litbangkes
diolah di Nutrisurvey
Data Litbangkes
Nutrisurvey dan tabel
DDS FAO
Perhitungan NAR dan MAR
SPSS
Langkah Sumber
SPSS
Bagan 4.3 Alur Pengolahan Data
59
H. Analisis Data
Analisis data lanjutan menggunakan analisis univariat dan bivariat
sebagai berikut.
a. Analisis univariat digunakan untuk melihat gambaran distribusi
frekuensi dari DDS, asupan zat gizi (energi, protein, vit A, vit C,
Fe, Ca, dan Zn), serta kecukupan zat gizi yang dinilai dengan nilai
NAR dan MAR.
b. Analisis Bivariat digunakan untuk mengetahui ada atau tidak
adanya hubungan serta kekuatan hubungan antara DDS dengan
kecukupan zat gizi yang dilihat dengan MAR dan NAR dari
ketujuh zat gizi dengan menggunakan uji korelasi. Selain itu
analisis kurva ROC antara skor DDS pada balita dengan standar
MAR sebesar 75% AKG yang didapat dari rata-rata nilai
kecukupan energi dan protein sebesar 70% AKG, serta kecukupan
vitamin A, vitamin C, Kalsium, Zat besi, dan Zink sebesar 77%
AKG. Analisis ROC dilakukan untuk mengetahui nilai sensitivitas
dan spesifisitas dari metode DDS, serta menentukan cut off terbaik
dari DDS dengan melihat nilai sensitivitas dan spesifisitas yang
paling optimal atau nilai dari keduanya sama-sama tinggi (Morton,
Hebel, & McCarter, 2009).
60
5 BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Karakteristik Umum
Responden dalam penelitian ini merupakan seluruh balita dalam
penelitian Studi Diet Total (SDT) Survey Konsumsi Makanan Individu
(SKMI) Balitbangkes tahun 2014 yang terdiri dari 33 Provinsi di Indonesia.
Total sampel dalam penelitian sebanyak 3085 balita yang terdiri dari balita
usia 24-47 bulan sebanyak 2022 balita, serta yang berusia 48-59 bulan
sebanyak 1154balita. Sampel penelitian telah diukur konsumsi makanan
dengan menggunakan recall individu 1x24 jam dan diukur berat badannya
serta sudah tidak mengkonsumsi ASI. Berikut tabel distribusi karakteristik
individu dari balita.
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Individu Balita 24-59 Bulan di
Indonesia Tahun 2014
Karakteristik Individu Frekuensi
N %
Jenis Kelamin
Laki-Laki 1606 52,1
Perempuan 1479 47,9
Usia
24-47 bulan 1974 64
48-59 bulan 1111 36
Total 3085 100
Pada tabel 5.1 digambarkan karakteristik individu dari balita.
Proporsi antara balita laki-laki dan perempuan sebesar 52.1% dan 47.9%.
Dari 3085 balita, sebesar 64% berusia 24-47 bulan dan 36% berusia 48-59
bulan.
61
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berat Badan Pada Balita Usia 2-59 Bula di
Indonesia Tahun 2014
Berat Badan
Mean SD Min-Maks 95% CI
14,29 2,27 9.6-20,9 14,22-14,38
Dari Tabel 5.2, diketahui dari 3085 balita rata-rata berat badannya
sebesar 14,29 kg (14,22-14,38) dengan berat terendah 9,6 kg dan tertinggi
20,9 kg.
B. Analisis Univariat
Analisis univariat pada penelitian ini menggambarkan distribusi
frekuensi asupan zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium,
zat besi, dan zink), distribusi frekuensi kecukupan zat gizi yang dihitung
dengan nilai Nutrient Adequacy Ratio (NAR) dari ketujuh zat gizi dan nilai
kecukupan zat gizi keseluruhan dengan menggunakan Mean Adequacy
Ratio (MAR), distribusi frekuensi dan proporsi Dietary Diversity Score,
distribusi frekuensi asupan berdasarkan kelompok pangan, distribusi
frekuensi kelompok pangan berdasarkan skor DDS, serta distibusi frekuensi
skor DDS dan nilai MAR. pada balita di tiap provinsi Indonesia.
1. Distribusi Frekuensi Asupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59
Bulan di Indonesia Tahun 2014
Asupan zat gizi pada balita didapat dari hasil recall 1x24 jam yang
telah dilakukan dalam penelitian Studi Diet Total (SDT) Survey Konsumsi
Makanan Individu (SKMI) Balitbangkes pada tahun 2014. Gambaran dari
asupan serta kecukupan zat gizi pada balita sebagai berikut:
62
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Asupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan
di Indonesia Tahun 2014
Zat Gizi Rata-rata SD Median Rerata
Usia 24-47 48-59 24-47 48-59 Total Total
Energi (kkal) 854.88 1208,28 188,15 250.65 975 982.15
Protein (gr) 23,20 34,69 8,15 11,54 26,3 27,34
Vitamin A (mcg) 267,92 337,74 138,26 162,26 306 293.07
Vitamin C (mg) 17,44 21,91 13,62 16.67 16,2 19,05
Kalsium (mg) 252,45 337,23 174,59 249,45 232,9 282,98
Fe (mg) 3,92 5,17 1,94 2,30 4,1 4,37
Zn (mg) 2,81 3,75 0,87 1,16 3,2 3,14
Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat rata-rata, standar deviasi, serta
nilai median dari asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat
besi dan zink. Dari tabel tersebut diketahui rata-rata asupan zat gizi pada
usia 48-59 bulan lebih tinggi dibandingkan usia 24-47 bulan.
2. Distribusi Frekuensi Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-
59 Bulan di Indonesia Tahun 2014
Kecukupan zat gizi dilihat dengan menggunakan nilai MAR yang di
dapat dari rata-rata nilai NAR energi, protein, vitamin A, vitamin C,
kalsium, zat besi dan zink. Dibawah ini merupakan tabel distribusi
frekuensi kecukupan zat gizi pada balita.
63
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59
Bulan di Indonesia Tahun 2014
Kecukupan
Zat Gizi
Rata-rata
(%) SD Min-Maks Median
NAR Energi 75,82 16,35 26,38-126,43 78,13
NAR Protein 92,79 32,30 11,54-219,23 96,15
NAR Vit A 69,89 35,32 0-173,13 73,75
NAR Vit C 45,44 35,23 0-160,89 39
NAR Kalsium 36,99 26,30 2,03-116,54 30
NAR Fe 52,03 25,05 5-155 48,89
NAR Zn 71,83 22,38 17,5-160 75
MAR 63,54 20,40 16,37-109.07 68,66
Kecukupan zat gizi yang dihitung dengan nilai Nutrient Adequacy
Ratio (NAR), yang didapat dari persentase asupan yang dibandingkan
dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG). Selain nilai NAR juga dilhat nilai
Mean Adequacy Ratio (MAR) yang didapat dari rata-rata nilai NAR.
Berdasarkan tabel 5.4, diketahui nilai NAR tertinggi yaitu protein sebesar
92,79% dan nilai NAR terendah yaitu kalsium sebesar 36,99%. Rata-rata
nilai MAR dari ketujuh zat gizi tersebut sebesar 63,54%.
3. Distribusi Frekuensi dan Proporsi Dietary Diversity Score (DDS)
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014
Keragaman konsumsi pangan dilihat dengan menggunakan nilai
DDS. Gambaran distribusi frekuensi dari DDS sebagai berikut:
64
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Dietary Diversity Score (DDS) Pada Balita Usia
24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014
DDS
N Rata-rata SD Median Min-Maks
3085 5,29 1,31 5 1-9
Dari tabel 5.5 diketaui rata-rata DDS dari 3467 balita sebesar 5,26
dengan skor terendah 1 dan tertinggi 9.
Gambar 5.1 Persentase Dietary Diversity Score (DDS) Pada Balita Usia 24-
59 Bulan di Indonesia Tahun 2014
Dari grafik diatas diketahui skor DDS 5 merupakan skor yang
paling tinggi dengan persentase sebesar 33,35% sedangkan skor DDS 1
merupakan skor yang paling rendah dengan persentase sebesar 0,227%.
65
4. Distribusi Frekuensi Asupan Berdasarkan Kelompok Pangan
Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014
Asupan berdasarkan kelompok pangan didapat dari hasil recall
individu 1x24 jam. Kelompok pangan dibedakan menjadi 9 kelompok yang
mengikuti pengelompokan berdasarkan Dietary Diversity Score (DDS) oleh
Food and Agriculture Organization (FAO). Gambaran distribusi frekuensi
dari konsumsi 9 kelompok pangan sebagai berikut:
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Asupan Berdasarkan Kelompok Pangan Pada
Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014
No Kelompok Pangan N %
1 Serealia dan umbi-umbian 3082 99,9
2
Daging hewani (daging
ternak, unggas, ikan,
organ, dll)
2350 76.2
3 Susu dan olahannya 1704 55,2
4 Telur 1460 47,3
5 Kacang-kacangan 1342 43,5
6 Buah, sayur, dan umbi-
umbian kaya vitamin A 1490 48,3
7 Buah lainnya 805 26,1
8 Sayuran lainnya 1204 39,0
9 Lemak dan minyak 2895 93,8
Berdasarkan tabel 5.6 diketahui dari 3085 balita, sebanyak 99,9%
balita mengkonsumsi kelompok pangan serealia dan umbi-umbian. Selain
itu, konsumsi terbanyak kedua sebesar 93,8% balita mengkonsumsi
kelompok pangan lemak dan minyak. Konsumsi terendah sebesar 26,1%
yaitu pada kelompok pangan buah lainnya yang terdiri dari buah kaya
vitamin C (>18 mg vit C per 100 gr) dan buah yang tidak kaya baik vitamin
A atau vitamin C.
66
5. Distribusi Proporsi Kelompok Pangan Yang Dikonsumsi Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Berdasarkan Dietary
Diversity Score (DDS) Pada Tahun 2014
Hasil penelitian ini menunjukkan persentase dari konsumsi sembilan kelompok pangan pada balita usia 24-59 bulan yang
dilihat berdasarkan skor DDS. Hasil tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.7 Persentase Konsumsi Kelompok Pangan Berdasarkan skor DDS
DDS N Serealia dan
umbi-umbian
Daging hewani
(daging ternak,
ungags, ikan,
organ, dll)
Susu dan
olahannya Telur
Kacang-
kacangan
Buah, sayur,
dan umbi-
umbian
kaya vit A
Buah
lainnya
Sayuran
lainnya
Lemak
dan
minyak
1 7 85,7 0 14,3 0 0 0 0 0 0
2 47 95,7 19,1 19,1 0 4,3 23,4 6,4 8,5 23,4
3 188 100 51,6 16 14,9 10,6 13,8 8 12,8 72,3
4 529 100 65,6 30,8 27,2 23,3 31,9 9,3 18,5 93,4
5 1029 100 76,3 50,6 41,3 37,6 42,8 21,4 33,7 96,3
6 750 100 84,9 70 58,9 55,1 56,1 31,6 45,3 98
7 387 100 86,8 82,9 75,7 70,3 74,2 46 65,4 98,7
8 135 100 93,3 89,6 85,2 83 91,1 66,7 92,6 98,5
9 13 100 100 100 100 100 100 100 100 100
67
Dari tabel 5.7 diatas diketahui persentase asupan dari 9 kelompok
pangan yang dilihat berdasarkan skor DDS dari terendah 1 sampai tertinggi
9. Berdasarkan tabel diatas, diketahui dari 3085 balita sebanyak 1029 balita
memiliki skor DDS sebesar 5 dengan konsumsi sebanyak 4 kelompok
pangan yang lebih dari 50%. Dari tabel tersebut juga diketahui balita yang
memiliki skor DDS 1 sebesar 85,7% mengkonsumsi kelompok pangan
serealia dan umbi-umbian serta terdapat 14,3% mengkonsumsi susu dan
olahannya. Sedangkan pada balita dengan skor DDS 9 mengkonsumsi
100% dari kesembilan kelompok pangan.
6. Distribusi Frekuensi Keragaman Konsumsi Pangan dan
Kecukupan Zat Gizi pada Balita di Tiap Provinsi Indonesia
Tahun 2014
Gambaran distribusi frekuensi rerata Dietary Diversity Score (DDS)
dan rerata Mean Adequacy Ratio (MAR) dari 7 zat gizi pada balita di 33
provinsi Indonesia sebagai berikut:
68
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Rerata Dietary Diversity Score (DDS) dan
Rerata Kecukupan Zat Gizi dengan Mean Adequacy Ratio (MAR)
Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2014
Provinsi N Rata-rata DDS Rata-rata MAR
Aceh 99 5,35 65,30
Sumatera Utara 82 5,35 61,39
Sumatra Barat 87 4,87 56,10
Riau 83 4,95 56,69
Jambi 70 4,84 54,02
Sumatra Selatan 95 4,73 53,80
Bengkulu 94 5,02 60,08
Lampung 105 5,13 61,09
Bangka Belitung 97 5,16 65,28
Kepulauan Riau 95 4,81 58,32
DKI Jakarta 113 5,88 72,07
Jawa Barat 116 4,89 56,25
Jawa Tengah 107 5,21 62,44
DI Yogyakarta 112 5,71 68,66
Jawa Timur 79 5,56 68,32
Banten 123 5,80 71,68
Bali 110 5,78 70,17
Nusa Tenggara Barat 92 5,45 64,55
Nusa Tenggara Timur 82 5,78 70,71
Kalimantan Barat 95 5,73 67,34
Kalimantan Tengah 110 5,39 63,82
Kalimantan Selatan 79 5,49 69,84
Kalimantan Timur 108 5,55 67,85
Sulawesi Utara 84 5,61 68,72
Sulawesi Tengah 79 5,53 66,17
Sulawesi Selatan 108 5,19 63,78
Sulawesi Tenggara 96 5,38 68,61
Gorontalo 113 5,41 68,48
Sulawesi Barat 92 4,95 61,95
Maluku 102 5,05 58,01
Maluku Utara 94 4,69 51,88
Papua Barat 52 4,85 52,59
Papua 32 4,66 53,01
Total 3085 5,29 63,54
Dari tabel 5.8 diketahui rerata skor DDS dan nilai MAR tertinggi
terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 5,88 untuk DDS dan 72,07%
untuk MAR. Sedangkan rerata skor DDS terendah terdapat di Provinsi
69
Papua sebesar 4,66, untuk nilai mAR terendah terdapat di Provinsi Maluku
Utara sebesar 51,88%.
C. Analisis Bivariat
Analisis bivariat pada penelitian ini menghubungkan antara variabel
dependen yaitu kecukupan zat gizi dalam MAR dengan variabel
independen yaitu keragaman konsumsi pangan dalam DDS. Hubungan
antara MAR dengan DDS sebagai berikut:
Tabel 5.9 Analisis Korelasi antara Dietary Diversity Score (DDS) dengan
kecukupan zat gizi pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia
Kecukupan Zat Gizi DDS
r Pvalue
MAR 0,771 0,000
NAR Energi 0,598 0,000
NAR Protein 0,624 0,000
NAR Vitamin A 0,672 0,000
NAR Vitamin C 0,487 0,000
NAR Kalsium 0,565 0,000
NAR Fe 0,673 0,000
NAR Zn 0,656 0,000
Dari tabel 5.9 diketahui hasil uji korelasi Spearman terdapat
hubungan yang signifikan antara DDS dengan kecukupan zat gizi secara
keseluruhan (Pvalue<0,05). Selain itu, terdapat hubungan yang sangat kuat
antara DDS dengan MAR, yang artinya semakin meningkat nilai DDS
maka probabilitas nilai MAR semakin tinggi atau jika menggunakan
karakteristik yang berbeda tetap menunjukkan terdapat hubungan antara
DDS dengan MAR. Sedangkan hubungan antara DDS dengan kecukupan
vitamin C memiliki kekuatan hubungan sedang, yang artinya jika nilai DDS
meningkat, nilai kecukupan vitamin C dapat meningkat namun tidak
70
signifikan. Berikut grafik yang menunjukkan hubungan antara DDS dengan
MAR.
Gambar 5.2 Grafik Hubungan antara DDS dengan MAR
Gambar 5.2 menunjukkan hubungan antara MAR dengan DDS. Dari
gambar tersebut memperlihatkan kecenderungan semakin tinggi nilai MAR,
maka skor DDS semakin tinggi. Skor DDS tertinggi dapat mencapai 89,78%
dari rata-rata MAR.
D. Sensitivitas dan Spesifisitas
Nilai sensitivitas dan spesifisitas didapat dari analisis kurva ROC
yang membandingkan antara nilai DDS dengan standar nilai MAR sebesar
75% yang didapat dari rata-rata kecukupan energi 70%, kecukupan protein
70%, kecukupan vitamin A 77%, kecukupan vitamin C 77%, kecukupan
kalsium 77%, kecukupan zat besi 77%, dan kecukupan zink 77%. Analisis
ini dilakukan untuk mengetahui cut off point terbaik untuk DDS dan dapat
mengidentifikasi balita yang mengalami ketidakcukupan zat gizi
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9
MA
R (
%)
DDS
MAR
71
(sensitivitas tinggi), serta melihat balita dengan kecukupan zat gizi yang
baik (sensitifitas).
Gambar 5.3 Sensitivitas dan Spesifisitas dari DDS untuk standar MAR
Gambar 5.3 menunjukkan koordinat sensitivitas dan spesifisitas dari
analisis kurva ROC untuk standar MAR 75% dengan skor DDS pada balita.
Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai sensitivitas dan spesifisitas
terbaik untuk DDS yaitu pada skor DDS 5,5. Pada skor tersebut
menunjukkan nilai sensitivitas sebesar 76,7% dan spesifisitas sebesar 73,5%
ketika menggunakan MAR 75% AKG. Artinya, apabila balita
mengkonsumsi lebih dari 5 jenis pangan atau ≥6 jenis pangan dalam sehari,
dapat mencukupi kecukupan zat gizi sebesar 75% dari AKG.
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
1 1.5 2.5 3.5 4.5 5.5 6.5 7.5 8.5 9
%
DDS
se_75
sp_75
72
6 BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa kelemahan yang menjadi
keterbatasan penelitian, diantaranya adalah
1. Dalam penelitian ini menggunakan data skunder Studi Diet Total
Survey Konsumsi Makanan Individu tahun 2014, variabel dalam
penelitian tersebut terkait konsumsi individu, konsumsi rumah
tangga, serta cemaran kimia makanan. Sehingga faktor-faktor
yang mempengaruhi kecukupan zat gizi lainnya yang terdapat
dalam kerangka teori tidak dapat diteliti.
2. Penggunaan database dalam aplikasi pengolahan asupan recall
yang digunakan yaitu database Indonesia tahun 2005, sehingga
memungkinkan kurang ter-update dari jumlah zat gizi atau bahan
pangan dalam database tersebut. Hal ini mengharuskan peneliti
untuk mengganti bahan pangan yang tidak terdapat dalam
database tersebut dengan bahan pangan yang sejenis atau serupa
kandungan gizinya, atau dengan menggunakan database lainnya
yaitu database USDA SR25 (2012) terutama pada beberapa
pangan buah dan sayur.
73
B. Asupan Zat Gizi Balita
Hasil penelitian ini memperlihatkan rerata dari asupan zat gizi
energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi, dan zink. Penilaian
asupan zat gizi didapat dari data recall 1x24 jam Studi Diet Total Survey
Konsumsi Makanan Individu tahun 2014. Dari data yang didapat, rerata dari
ketujuh zat gizi tersebut masih kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG)
yang dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2014.
Rerata asupan energi pada balita usia 24-47 bulan sebesar 854,88
kkal dari 1125 kkal yag dianjurkan AKG, sedangkan rerata asupan energi
untuk usia 48-59 bulan sebesar 1208,28 kkal dari 1600 kkal yang
dianjurkan. Rerata asupan protein pada balita usia 24-47 bulan sebesar
23,20 gram dari 26 gram yang dianjurkan, sedangkan rerata asupan protein
pada balita usia 48-59 bulan sebesar 34,69 gram dari 35 gram yang
dianjurkan. Rerata asupan vitamin A pada balita usia 24-47 bulan sebesar
267,92 mcg dari 400 mcg yang dianjurkan, pada balita usia 48-59 bulan
sebesar 337,74 mcg dari 450 mcg yang dianjurkan. Rerata asupan vitamin C
pada balita usia 24-47 bulan sebesar 17,44 mg dari 40 mg yang dianjurkan,
pada balita usia 48-59 bulan sebesar 21,91 mg dari 45 mg yang dianjurkan.
Begitu pula dengan rerata asupan kalsium, zat besi dan zink yang masih
kurang dibandingkan dengan AKG 2014. Hasil penelitian ini menunjukkan
asupan zat gizi yang diteliti masih kurang dari AKG yang dianjurkan di
Indonesia.
74
Sedangkan jika dibandingkan dengan nilai median, pada hasil
penelitian sebelumnya oleh Marlina (2011) diketahui nilai median asupan
energi pada balita usia 24-59 bulan sebesar 1115,79 kkal sedangkan nilai
median pada penelitian ini sebesar 975 kkal. Hanya median asupan zink
dalam penelitian ini lebih tinggi sebesar 3,2 mg jika dibandingkan dengan
penelitian Marlina (2011) sebesar 2,89 mg. Lain halnya dengan nilai median
asupan vitamin A sebesar 306 mcg dan vitamin C sebesar 16,2 mg dalam
penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan penelitian Kennedy (2009) pada
anak usia 24-71 bulan di Filipina dengan median asupan vitamin A sebesar
142 mcg dan vitamin C sebesar 13 mg.
Asupan zat gizi sangat dipengaruhi oleh asupan makanannya,
terutama pada balita yang sudah tidak konsumsi ASI (Murphy, Yaktine,
Suitor, & Moats, 2011). Transisi dari konsumsi ASI menjadi konsumsi
makan keluarga menjadi salah satu masalah dalam balita. Karakteristik
balita yang sulit makan, memilih-milih makanan yang hanya disukainya,
serta makan sedikit dan lambat dapat menjadi salah satu penyebab
kurangnya asupan zat gizi pada balita (Michael, Gootman, & Kraak, 2006).
Dalam penelitian ini tidak diteliti terkait kebiasaan makan atau pola makan
pada balita, namun dapat diduga masalah makan pada balita pada umumnya
dapat mempengaruhi asupan zat gizinya.
Selain itu jika dilihat dari konsumsi jenis pangan dan keragaman
pangan, rata-rata balita mengkonsumsi sebanyak 5 jenis pangan dalam
sehari, namun hanya konsumsi kelompok pangan serealia dan umbi umbian,
lemak dan minyak, serta daging-dagingan yang mencapai lebih dari 50%.
75
Hal ini menunjukkan dari asupan kelompok pangan yang mengandung zat
gizi mikro masih rendah seperti kelompok pangan sayur dan buah yang kaya
vitamin dan mineral, kacang-kacangan yang banyak mengandung kalsium
masih rendah (Selby, 2010). Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab
asupan zat gizi pada balita rendah dikarenakan asupan berdasarkan
kelompok pangan sumber zat gizi seperti zat gizi mikro rendah.
C. Kecukupan Zat Gizi Balita
Kecukupan zat gizi balita dinilai dengan menggunakan Nutrient
Adequacy Ratio (NAR) dari ketujuh zat gizi dan nilai kecukupan zat gizi
keseluruhan dengan menggunakan Mean Adequacy Ratio (MAR).
Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui NAR dari 3085 balita untuk
energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi, dan zink secara
berurutan sebesar 75,82%; 92,79%; 69,89%; 45,44%; 36,99%; 52,03%;
71,83%. Sedangkan nilai MAR dari ketujuh zat gizi tersebut sebesar
63,54%. Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui hanya kecukupan
terhadap protein yang mendekati angka 100% dari Angka Kecukupan Gizi
(AKG) yang dianjurkan. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar balita
masih kurang mengonsumsi zat gizi yang diperlukan tubuhnya dalam masa
pertumbuhan.
Kecukupan gizi dipengaruhi dari asupan zat gizi, dimana kecukupan
zat gizi dihitung dari asupan yang dibandingkan dengan nilai AKG tiap
kelompok usia. Asupan zat gizi yang hampir mendekati AKG dalam
penelitian ini yaitu asupan protein, sehingga kecukupan akan protein hampir
76
mencapai 100% yaitu 92,79%. Hal ini berkaitan dengan asupan pangan
sumber protein yaitu kelompok daging-dagingan sebesar 76,2% ditambah
kelompok pangan lainnya seperti telur, susu dan olahannya, maupun sumber
protein nabati seperti kacang-kacangan (Marshall, 2009).
Kecukupan zat gizi yang paling rendah yaitu kecukupan kalsium, hal
ini mungkin dikarenakan konsumsi terhadap pangan sumber kalsium seperti
susu dan olahannya serta sayuran dan biji-bijian tidak mencapai 50%.
Walaupun konsumsi kelompok pangan susu dan olahannya mencapai
55,2%, jumlah konsumsi dalam recall juga mempengaruhi asupan kalsium,
sehingga mungkin jika jumlah porsi dalam konsumsi susu dan olahannya
dalam jumlah yang sedikit sehingga asupan kalsium rendah. Selain asupan
terhadap sumber kalsium yang masih rendah, dalam proses absorpsi
kalsium, beberapa zat gizi tertentu seperti protein, natrium, serat, fitat dan
oxalat yang tinggi juga dapat menyebabkan rendahnya asupan kalsium
(Kemenkes, 2014). Sejalan dengan penelitian Kennedy (2009), probabilitas
ketidakcukupan zat gizi dengan nilai Probability of Adequate (PA) yang
paling tinggi pada anak usia 24-71 bulan yang tidak ASI yaitu kalsium. Hal
tersebut dikarenakan konsumsi pada kelompok pangan susu dan olahannya
hanya sebesar 38,3%.
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Marlina (2011)
nilai median pada kecukupan zat gizi terendah yaitu zink sebesar 32,95%,
hal ini dikarenakan asupan sumber zink seperti ikan dan daging yang masih
rendah. Dalam penelitian ini nilai median kecukupan terhadap zink sebesar
77
71,83% yang menunjukkan asupan terhadap pangan sumber zink seperti
ikan, kerang, dan daging sudah tercukupi. Hal ini dapat dilihat dari
kecukupan terhadap protein yang mencapai 92,79%. Sedangkan jika
dibandingkan dengan nilai MAR, rata-rata MAR pada anak usia 1-8 tahun
di Afrika Selatan sebesar 63,3% (Steyn dkk., 2009), angka yang tidak
berbeda jauh dengan MAR Indonesia dalam penelitian ini. Sedangkan di
Negara Filipina rata-rata kecukupan zat gizi pada balita usia 24-71 bulan
non ASI sebesar 33% (Kennedy, 2009), lebih rendah jika dibandingkan
dengan Indonesia.
Kecukupan zat gizi tertinggi di Indonesia terdapat di Provinsi DKI
Jakarta yaitu sebesar 72,07%. Jika dibandingkan dengan rata-rata nilai MAR
di Kota Bandung dari penelitian Marlina (2011) sebesar 71,61%, lebih
rendah dibandingkan dengan penelitian ini namun tidak berbeda jauh. Hal
ini dimungkinkan karena DKI Jakarta merupakan provinsi atau ibukota
Indonesia, yang merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian
Indonesia. Sama halnya dengan Kota Bandung yang juga merupakan salah
satu kota besar di Indonesia dengan perekonomian yang cukup tinggi.
Tingkat perekonomian masyarakat dapat mempengaruhi pola konsumsi dan
asupan (Gilarso, 2007). Sedangkan provinsi dengan kecukupan zat gizi yang
paling rendah yaitu Provinsi Maluku Utara. Hal ini dapat berkaitan dengan
akses pangan di daerah timur Indonesia yang masih sulit di jangkau serta
informasi terhadap gizi juga masih minim (World Food Programme, 2015).
78
D. Keragaman Konsumsi Pangan Balita
Keragaman konsumsi pangan dinilai dengan menggunakan Dietary
Diversity Score (DDS) dengan melihat 9 kelompok pangan. Berdasarkan
hasil penelitian ini rerata skor DDS dari 3085 balita sebesar 5,29 kelompok
pangan. Hal ini menunjukkan rerata balita mengkonsumsi sekitar 5
kelompok pangan dalam sehari. Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh
dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Marlina (2011) menyatakan rerata
DDS pada balita usia 24-59 bulan di Kota Bandung sebesar 5,67 kelompok
pangan. Sedangkan hasil penelitian Kennedy (2009) diketahui rerata DDS
pada anak usia 24-71 bulan yang tidak ASI di Filipina sebesar 4,91
kelompok pangan. Sedangkan hasil penelitian Steyn., dkk (2009)
menunjukkan rerata DDS pada anak usia 1-8 tahun di Afrika Selatan sebesar
3,58 kelompok pangan. Hal ini menunjukkan keragaman konsumsi di
Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan Negara Filipina dan Afrika
Selatan.
Faktor sosial ekonomi menjadi salah satu penyebab keberagaman
konsumsi pangan (Surachman dkk., 2013). Indonesia merupakan negara
dengan keberagaman sosial ekonomi, budaya, adat istiadat, suku, dan agama
yang beragam. Hal ini dapat menunjukkan terdapat banyaknya lapisan
kelompok masyarakat mulai dari masyarakat dengan ekonomi sangat rendah
sampai sangat tinggi (Moeis, 2008). Hal tersebut dapat menjadi salah satu
penyebab keragamanan konsumsi pangan pada balita di Indonesia lebih
tinggi jika dibandingkan dengan negara lainnya.
79
Jika dilihat berdasarkan provinsi sama halnya dengan kecukupan zat
gizi, Provinsi DKI Jakarta juga merupakan provinsi dengan skor DDS
tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 5,88. Seperti yang dikemukakan oleh
Hardinsyah (2007) bahwa keadaan ekonomi berpengaruh besar pada
konsumsi pangan. Pada umumnya jika pendapatan meningkat, maka jumlah
dan jenis makanan cenderung membaik juga (Perdana dkk., 2014). Provinsi
DKI Jakarta dianggap sebagai provinsi dengan tingkat pendapatan
penduduknya yang cukup tinggi dan merupakan kota besar dengan tingkat
konsumsi tinggi pula hal ini yang dapat menyebabkan DKI Jakarta
merupakan provinsi dengan keragaman konsumsi pangan dan kecukupan zat
gizi tertinggi di Indonesia. Sedangkan provinsi dengan keragaman rendah
yaitu Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan provinsi yang terletah di
wilayah timur Indonesia. Akses terhadap sumber pangan di Papua masih
rendah sehingga masih banyak balita dengan masalah kekurangan gizi
(World Food Programme, 2015).
Berdasarkan kelompok pangan yang terbanyak dikonsumsi yaitu
kelompok serealia dan umbi-umbian sebesar 99,9%, kelompok lemak dan
minyak sebesar 93,8%, kelompok daging hewani sebesar 76,2%, susu dan
olahannya sebesar 55,2%, sedangkan kelima kelompok pangan lainnya
dikonsumsi kurang dari 50%. Kelompok pangan yang dikonsumsi terendah
yaitu kelompok pangan buah lainnya sebesar 26,1%. Kelompok pangan
buah lainnya yang terdiri dari buah yang kaya akan vitamin C, (>18 mg
vitamin C per 100 gr) serta buah yang tidak kaya baik vitamin A atau
vitamin C. Hal ini juga dapat dilihat dari kecukupan terhadap vitamin C
80
yang masih dibawah 50% yaitu sebesar 45,44%. Jika balita mengalami
kekurangan akan vitamin C dapat menyebabkan peradangan pada mulut,
pendarahan pada gusi, dan nafsu makan menurun (Suhardjo, 2010). Vitamin
C juga berfungsi sebagai daya tahan tubuh, dan usia balita merupakan usia
yang rentan terhadap penyakit sehingga dengan konsumsi makanan yang
bermanfaat bagi daya tahan tubuhnya sangat dibutuhkan.
Kelompok pangan serealia seperti beras masih merupakan pangan
utama pada penduduk Indonesia. Hasil laporan Badan Ketahanan Pangan
(2014b) juga menyebutkan bahwa konsumsi beras atau kelompok pangan
seralia merupakan kelompok pangan yang dominan dikonsumsi penduduk
Indonesia. Anggapan bahwa “belum makan kalau belum makan nasi” masih
berkembang di Indonesia, hal ini memungkinkan salah satu penyebab
kelompok pangan serealia masih tinggi (Hanafie, 2010). Walaupun di
beberapa daerah di Indonesia seperti di Papua yang mengonsumsi pangan
pokok sagu, namun jenis makanan pokok tersebut masih merupakan
kelompok pangan serealia dan umbi-umbian. Dapat dikatakan bahwa
konsumsi kelompok pangan serealia dan umbi-umbian merupakan
kelompok pangan yang terdiri dari pangan pokok balita seperti beras,
jagung, singkong, sagu, tepung dan lainnya, hal ini yang menyebabkan
konsumsi pada kelompok pangan serealia dan umbi-umbian tinggi sebesar
99,9%.
Lain halnya dengan konsumsi kelompok pangan sayur dan buah
yang masih rendah dikonsumsi pada balita. Kedua kelompok pagan ini
81
merupakan kelompok pangan yang masih rendah dikonsumsi oleh berbagai
kelompok usia, tidak hanya pada balita (Aswatini, Noveria, & Fitranita,
2008). Karakteristik balita yang susah makan dan hanya ingin makan
makanan yang disukainya dapat menjadi salah satu penyebab konsumsi
sayur dan buah rendah. Selain itu, anak yang tidak suka makan sayur dan
buah dapat disebabkan karena pengenalan pada kedua kelompok pangan
tersebut kurang saat awal pengenalan makan pada bayi. Hal ini juga
dikemukanan dalam buku Soenardi (2008) yang mengatakan jika saat
pengenalan aneka ragam bahan makanan terganggu, suatu saat anak tidak
kenal bahan makanan tertentu, dengan sendirinya anak menolak dan akan
susah makan. Untuk itu, seorang ibu atau pengasuh anak perlu
memperhatikan saat proses pertama pengenalan makan pada balita serta
diperlukan keahlian dalam mengolah makanan agar balita tertarik untuk
makan makanan yang tidak disukainya.
Menurut Sharlin & Edelstein (2011), balita membutuhkan minimal 5
jenis pangan yang berbeda setiap harinya seperti pangan pokok (nasi, roti,
pasta, sereal atau lainnya), sayuran, buah, susu dan olahannya, serta pangan
sumber protein. Sedangkan dalam prinsip gizi seimbang yang dicanangkan
oleh Kementrian Kesehatan RI, pada balita difokuskan mengkonsumsi
pangan sumber protein seperti jenis pangan hewani, tahu, tempe, susu, dan
telur. Selain itu dianjurkan pula untuk memperbanyak konsumsi sayur dan
buah-buahan (Kemenkes, 2014). Jika dibandingkan dengan menggunakan
DDS, maka minimal sebanyak 6 kelompok pangan yang dianjurkan oleh
Kementerian Kesehatan RI untuk usia balita. Berdasarkan jumlah jenis
82
pangan yang dikonsumsi dalam hasil penelitian ini, pada balita usia 24-59
bulan di Indonesia menunjukkan masih kurangnya konsumsi pangan dari
yang dianjurkan Kemenkes. Konsumsi pangan yang beragam sangat
dibutuhkan agar tercukupinya zat gizi bagi tubuh, sehingga pengenalan
terhadap makanan yang beragam bagi usia balita sangat diperlukan agar
terbentuk kebiasaan mengkonsumsi makanan yang beragam.
Dari hasil penelitian ini, jika dilihat kelompok pangan yang
dikonsumsi berdasarkan skor DDS, pada skor DDS 7 hampir semua
konsumsi kesembilan kelompok pangan lebih dari 50%, hanya konsumsi
buah lainnya yang tidak mencapai 50%. Sedangkan pada skor DDS 8 atau 9,
kesembilan konsumsi kelompok pangan sudah lebih dari 50%. Serupa
dengan hasil penelitian Kennedy (2009) pada balita usia 24-71 bulan tidak
ASI di Filipina yang menunjukkan pada skor DDS 7 atau lebih, konsumsi
dari kesembilan kelompok pangan sudah lebih dari 50%. Hal ini
menujukkan bahwa konsumsi keragaman pangan di Indonesia berdarakan
skor DDS tidak berbeda jauh dengan keragaman konsumsi di Negara
Filipina.
E. Hubungan antara Dietary Diversity Score (DDS) dengan Mean Adequacy
Ratio (MAR) pada Balita
Keragaman konsumsi dapat dinilai dengan menggunakan Dietary
Diversity Score (DDS) (FAO, 2010). Sedangkan penilaian kecukupan gizi
dari beberapa zat gizi dapat menggunakan nilai Nutrient Adequacy Ratio
(NAR) dan Mean Adequacy Ratio (MAR), dengan nilai MAR ini kita dapat
83
mengetahui kecukupan zat gizi secara keseluruhan dari yang diteliti
(Gibson, 2005).
Penelitian ini melihat hubungan antara DDS dengan kecukupan zat
gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian,
diketahui keragaman konsumsi dengan DDS berhubungan signifikan dengan
kecukupan zat gizi secara keseluruhan. Serupa dengan hasil penelitian
Marlina (2011) dan Steyn, dkk (2009) yang menunjukkan bahwa skor DDS
berhubungan signifikan dengan kecukupan zat gizi. Hal ini sejalan dengan
penjelasan FAO (2010) bahwa keragaman konsumsi pangan merupakan
elemen kunci dari kualitas konsumsi dan mempertinggi kecukupan asupan
dari zat gizi yang esensial. Jika kita mengkonsumsi pangan yang beragam,
maka otomatis kualitas konsumsi kita meningkat dan mempertinggi
kecukupan zat gizi. Keragaman konsumsi pangan diperlukan karena secara
alami komposisi setiap jenis bahan pangan memiliki kelebihan dan
kekurangan akan zat gizi tertentu, sehingga dengan mengonsumsi jenis
pangan yang beragam, pangan satu dengan yang lainnya akan saling
melengkapi sehingga asupan gizi kita tercukupi dengan baik (Pusat
Penganekaragaman Pangan, 2013).
Penelitian ini juga melihat kekuatan hubungan antara DDS dengan
kecukupan zat gizi, diketahui terdapat hubungan yang sangat kuat antara
DDS dengan MAR pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia dengan nilai r
sebesar 0,771 hal ini menunjukkan hubungan antara DDS dengan MAR
sangat kuat, yang artinya semakin meningkatnya DDS maka probabilitas
84
nilai MAR semakin bertambah. Selain itu, jika dilakukan penelitian untuk
melihat hubungan antara DDS dengan MAR pada karakteristik yang
berbeda pasti menunjukkan hubungan antara keduanya (Amran, 2012).
Hasil penelitian sebelumnya oleh Marlina (2011) menunjukkan
adanya hubungan yang sedang antara DDS dengan MAR pada balita usia
24-59 bulan di Kota Bandung dengan nilai r sebesar 0,354. Penelitian
lainnya yang sejalan yaitu penelitian Kennedy (2009) yang menyatakan
terdapat hubungan yang bersifat sedang antara DDS dengan Mean
Probability of Adequate (MPA) atau MAR pada anak 24-71 bulan tidak ASI
di Filipina dengan nilai r sebesar 0,36. Sedangkan penelitian Steyn., dkk
(2009) pada anak usia 1-3 tahun di Afrika Selatan terdapat hubungan yang
kuat dengan nilai r sebesar 0,617 antara DDS dengan MAR. Begitu pula
pada usia 4-6 tahun terdapat hubungan yang kuat dengan nilai r sebesar
0,661 antara DDS dengan MAR.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa keragaman
konsumsi pangan dapat berhubungan dengan kecukupan zat gizi. Semakin
beragam konsumsi pangan atau skor DDS maka nilai kecukupan zat gizi
atau MAR semakin tinggi juga. Hal ini sejalan dengan teori yang di
kemukakan Rah (2010) yang menyatakan konsumsi pangan yang beragam
memberikan manfaat bagi seseorang terutama pada anak-anak, di antaranya
dapat meningkatkan berat badan anak, meningkatkan kecukupan energi dan
zat gizi lain sehingga mencapai tingkat kecukupan yang normal,
memperbaiki status antropometri anak, serta meningkatkan konsentrasi
85
hemoglobin yang dapat mempengaruhi kecerdasan dan produktivitas
anggota rumah tangga.
F. Sensitivitas dan Spesifisitas Dietary Diversity Score (DDS) dalam
Mengestimasi Kecukupan Zat Gizi pada Balita
Tujuan utama dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui cut off
points yang optimal untuk DDS yang dapat digunakan untuk
mengklasifikasi balita yang beresiko besar mengalami ketidakcukupan zat
gizi (sensitivitas) yang diidentifikasi dengan nilai MAR. Selain itu, analisis
ini juga memperhatikan tanpa kehilangan terlalu banyak kemampuan untuk
mengklasifikasi balita dengan kecukupan zat gizi baik (spesifisitas).
Nilai sensitivitas dan spesifisitas yang terbaik pada penelitian ini
yaitu skor 5,5 untuk DDS dengan sensitivitas sebesar 76,7% dan spesifisitas
sebesar 73,5% dengan menggunakan MAR 75% AKG. Nilai standar untuk
MAR 75% AKG didapat dari rata-rata kecukupan zat gizi energi, protein,
vitamin A, vitamin C, kalisum, zat besi, dan zink.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi lebih dari 5 atau
minimal 6 kelompok pangan berdasarkan DDS dapat mengestimasi
kecukupan zat gizi sebesar 75% dari AKG sebanyak 73,5% dari balita di
Indonesia. Sama halnya dengan penelitian sebelumnya oleh Marlina (2011)
yang menyatakan bahwa skor 6 untuk DDS dapat mengestimasi kecukupan
zat gizi lebih dari 70% AKG. Sedangkan di Afrika Selatan, cut off terbaik
untuk mengestimasi kecukupan zat gizi sebesar 50% (MAR >50%) yaitu
86
skor DDS ≥4 (Steyn dkk., 2009). Cut off terbaik untuk Filipina sebesar 6
untuk mengestimasi kecukupan zat gizi sebesar 75% (Kennedy, 2009).
Nilai sensitivitas dan spesifisitas dalam konsep skrining dibutuhkan
nilai sensitivitas yang tinggi, hal ini dikarenakan nilai sensitivitas dapat
mengidentifikasi seberapa besar kelompok yang menderita penyakit atau
mengalami kekurangan zat gizi. Sedangkan dalam konsep penilaian uji
suatu metode atau alat, diperlukan untuk melihat kedua nilai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dan tidak berbeda jauh, hal ini diperlukan untuk
melihat seberapa besar alat atau metode tersebut dapat menilai kelompok
yang mengalami kekurangan zat gizi serta menilai kelompok yang tidak
mengalami kekurangan zat gizi (Morton et al., 2009). Dalam penelitian ini
bertujuan untuk menguji metode DDS, sehingga nilai sensitivitas dan
spesifisitas yang dilihat merupakan nilai yang tinggi dan tidak berbeda jauh
keduanya serta melihat nilai sensitivitas yang lebih tinggi dari nilai
spesifisitas.
Jika dilihat dengan nilai sensitivitas untuk mengskrining balita, maka
dapat dikatakan bahwa konsumsi kurang dari 6 kelompok pangan, dapat
mengidentifikasi sebesar 76,7% balita yang mengalami ketidakcukupan zat
gizi sebesar kurang dari 75% AKG. Sedangkan pada penelitian sebelumnya,
skor 6 dapat mengidentifikasi sebesar 55,2% balita yang mengalami
ketidakcukupan zat gizi kurang dari 70% AKG (Marlina, 2011). Hasil
penelitian ini menunjukkan angka yang lebih besar dalam mengestimasi
ketidakcukupan zat gizi pada balita. Begitu pula dengan kemampuan untuk
87
mengestimasi kecukupan zat gizi baik atau nilai spesifisitas pada penelitian
ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Artinya,
semakin tinggi keragaman konsumsi pangan pada balita, maka semakin baik
pula kecukupan zat gizi pada balita tersebut.
Balita yang memiliki skor DDS kurang dari 6 dicurigai beresiko
mengalami kekurangan zat gizi sebesar ≤75% dari AKG secara keseluruhan,
walaupun terdapat kemungkinan sebesar 23,3% balita yang mengkonsumsi
kurang dari 6 kelompok pangan tidak beresiko mengalami kekurangan zat
gizi. Sebanyak 58,3% balita di Indonesia memiliki skor DDS kurang dari 6,
hal ini menunjukkan sebagian besar konsumsi pangan pada balita masih
kurang beragam. Artinya, sebagian besar balita di Indonesia beresiko
mengalami kekurangan zat gizi sebesar ≤75% dari AKG.
Penilaian keragaman konsumsi dengan menggunakan metode DDS
dianggap sebagai metode yang mudah dan efisien untuk memperkirakan
kecukupan gizi. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dimisalkan seorang
tenaga kesehatan dapat melakukan recall 1x24 jam kepada ibu atau
pengasuh balita kemudian mengelompokkan berdasarkan DDS. Hal ini
dapat memudahkan tenaga kesehatan untuk mengidentifikasi kelompok
balita mana yang beresiko kekurangan zat gizi dan membutuhkan
penanganan secara cepat dengan menggunakan cut off ≥6 untuk skor DDS.
88
7 BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang Sensitivitas Dan
Spesifisitas Dietary Diversity Score (DDS) Dalam Mengestimasi
Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan Di Indonesia (Analisis
Studi Diet Total Tahun 2014), didapatkan kesimpulan sebagai berikut.
1. Asupan zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat
besi, dan zink) pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia masih kurang
dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan bagi penduduk
Indonesia.
2. Rata-rata kecukupan zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C,
kalsium, zat besi, dan zink) pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia
masih kurang. Hanya kecukupan protein yang paling tinggi sedangkan
yang terendah adalah kecukupan kalsium. Kecukupan zat gizi secara
keseluruhan dari ketujuh zat gizi tersebut sebesar 63,54% dari AKG.
3. Sebanyak 33,35% dari 3085 balita usia 24-59 bulan di Indonesia
memiliki skor DDS 5.
4. Kelompok pangan serealia dan umbi-umbian merupakan kelompok
pangan yang dikonsumsi paling banyak oleh balita usia 24-59 bulan di
Indonesia, kemudian kelompok pangan lemak dan minyak merupakan
kelompok pangan terbanyak kedua yang dikonsumsi.
89
5. Berdasarkan Dietary Diversity Score (DDS) pada balita usia 24-59
bulan di Indonesia, skor 5 merupakan skor terbanyak dengan konsumsi
kelompok yang lebih dari 50% yaitu kelompok pangan serealia dan
umbi-umbian, lemak dan minyak, daging hewani (daging ternak,
ungags, ikan, organ, dll), serta kelompok pangan susu dan olahannya.
6. Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan skor DDS dan nilai
kecukupan zat gizi dengan nilai MAR tertinggi. Sedangkan Provinsi
Papua merupakan provinsi dengan skor DDS terendah dan Provinsi
Maluku Utara merupakan provinsi dengan nilai MAR terendah.
7. Terdapat hubungan yang sangat kuat antara keragaman konsumsi
pangan dengan skor DDS dengan kecukupan zat gizi dengan nilai MAR
pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia
8. Skor ≥6 untuk DDS dapat mencukupi sebesar 76,7% sensitivitas dan
73,5% spesifisitas dalam mengestimasi kecukupan zat gizi (MAR)
sebesar 75% AKG. Balita yang memiliki skor DDS baik, baik pula
tingkat kecukupan zat gizinya.
90
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, saran yang dapat disampaikan
sebagai berikut.
1. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam
pengembangan progam Gizi Seimbang, mengingat masih terdapat
provinsi-provinsi dengan konsumsi keberagaman pangan yang rendah.
Diperlukan upaya dari berbagai sektor seperti pertanian, peternakan,
serta kelautan dan perikanan sebagai sektor produksi agar sumber
pangan di Indonesia semakin beragam dan mudah untuk diakses
masyarakat khususnya kalangan menengah kebawah. Selain itu
penilaian keberagaman konsumsi pangan pada tingkat individu dapat
dengan menggunakan metode Dietary Diversity Score (DDS) dengan
cut off ≥6 agar tercukupinya kebutuhan zat gizi sebesar 70% dari AKG.
2. Bagi Peneliti Lain
Dapat melakukan penelitian lebih lanjut dengan meneliti faktor lainnya
yang mempengaruhi kecukupan zat gizi pada balita yang tidak diteliti
dalam penelitian ini. Selain itu dapat dilakukan penelitian dengan
karakteristik usia yang berbeda untuk mengetahui cut off terbaik pada
kelompok usia lainnya.
91
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, M., & Wirjatmadi, B. (2012). Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta:
Kencana Predana Media Group.
Almatsier, S. (2010). Perinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Amran, Y. (2012). Pengolahan dan Analisis Data Statistik di Bidang Kesehatan.
Tangerang Selatan: FKIK UIN Jakarta.
Analia, D. (2009). Analisis Diversifikasi Konsumsi Pangan Rumah Tangga di
Sumatera Barat Menuju Pola Pangan Harapan (PPH). Universitas
Andalas.
Ariani, M. (2010). Analisis Konsumsi Pangan Tingkat Masyarakat Mendukung
Pendapaian Diversifikasi Pangan. Gizi Indonesia, 33(1), 20–28.
Aswatini, Noveria, M., & Fitranita. (2008). Konsumsi Sayur dan Buah di
Masyarakat dalam Konteks Pemenuhan Gizi Seimbang. Jurnal
Kependudukan Indonesia, Ill(2), 97–119.
Badan Ketahanan Pangan. (2014a). Panduan Teknis Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Tahun 2014. Jakarta:
Kementerian Pertanian RI.
Badan Ketahanan Pangan. (2014b). Pedoman Gerakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Tahun 2014. Jakarta:
Kementerian Pertanian RI.
92
Balitbangkes. (2014). Pedoman Konversi Berat Matang-Mentah, Berat Dapat
Dimakan (BDD) dan Resep Makanan Siap Saji dan Jajanan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Barasi, M. E. (2007). At a Glance Ilmu Gizi. Jakarta: Erlangga.
Belitz, H. D., Grosch, W., & Schieberle, P. (2009). Food Chemistry. Heidelberg:
Springer. http://doi.org/10.1007/978-3-540-69934-7
Bilinsky, P., & Swindale, A. (2006). Household Dietary Diversity Score ( HDDS )
for Measurement of Household Food Access : Indicator Guide (v.2).
Washington, D.C: FANTA.
Brown, J. E. (2011). Nutrition through the Life Cycle. Wadsworth: CENGAGE
Learning. http://doi.org/10.1039/9781847559463
Chaudhury, R. H. (2006). Determinants of dietary intake and dietary adequacy for
pre-school children in Bangladesh. Food and Nutrition Bulletin, 6(4).
Crowle, J., & Turner, E. (2010). Childhood Obesity: An Economic Perspective.
Melbourne: Productivity Commossion Staff Working Paper.
Dahlan, S. (2009). Penelitian Diagnostik: Teori Dan Praktik Dengan SPSS Dan
Stata. Jakarta: Salemba Medika.
Daniels, M. C. (2006). Dietary Diversity as a Measure of Nutritional Adequacy
Throughout Childhood. University of North Carolina.
Departemen Kesehatan. (2009). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Depkes
93
Republik Indonesia.
Depkes. (2007). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Departemen
Kesehatan RI. Jakarta.
Fabbri, A. D. T., & Crosby, G. A. (2016). A review of the impact of preparation
and cooking on the nutritional quality of vegetables and legumes.
International Journal of Gastronomy and Food Science, 3, 2–11.
http://doi.org/10.1016/j.ijgfs.2015.11.001
Fahmida, U., & Dillon, D. H. (2007). Handbook Nutritional Assessment. Jakarta:
SEAMEO-TROPMED RCCN Universitas Indonesia.
FANTA. (2006). Developing and Validating Simple Indicators of Dietary Quality
and Energy Intake of Infants and Young Children in Developing
Countries : Summary of findings from analysis of 10 data sets.
Washington, D.C: USAID.
FAO. (2010). Guidelines for measuring household and individual dietary
diversity.
Gibson, R. S. (2005). Principles of Nutritional Assessment. New York: Oxford
University Press.
Gilarso, T. (2007). Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro. Yogyakarta: Kanisius.
Hamid, Y., Setiawan, B., & Suhartini. (2013). ANALISIS POLA KONSUMSI
PANGAN RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Kecamatan Tarakan Barat
Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Timur). Jurnal AGRISE, 13(3), 1–16.
94
Hanafie, R. (2010). Pengantar Ekonomi Pertanian. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Retrieved from
https://books.google.co.id/books?id=RQ_mXpuCl9oC&pg=PA269&dq=p
angan+adalah&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjE_pCL263NAhWKso8KHd
I4BUIQ6AEIGTAA#v=onepage&q=pangan adalah&f=false
Hanani, N., Asmara, R., & Nugroho, Y. (2008). Analisis Diversifikasi Konsumsi
Pangan Dalam Memantapkan Ketahanan Pangan Masyarakat Pedesaan.
Jurnal AGRISE, 8(1).
Hardinsyah. (2007). Riview Faktor Determinan Keragaman Konsumsi Pangan.
Jurnal Gizi Dan Pangan, 2(2), 55–74.
Hermina, & Prihatini, S. (2011). Gambaran Keragaman Makanan dan
Sumbangannya Terhadap Konsumsi Energi Protein pada Anak Balita
Pendek (Stunting) di Indonesia. Gizi Dan Makanan, 39(2), 62–73.
Institude Of Medicine. (2005). Dietary Reference Intakes. Washington, D.C:
National Academy Press. http://doi.org/10.17226/10490
Jayanti, L. D., Effendi, Y. H., & Sukandar, D. (2011). Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) Serta Perilaku Gizi Seimbang Ibu Kaitannya dengan Status
Gizi dan Kesehatan Balita di Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Jurnal
Gizi Dan Pangan, 6(3), 192–199.
Kemenkes. (2014a). Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa
Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
95
Kemenkes. (2014b). Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI.
Kennedy, G. L. (2009). Evaluation of dietary diversity scores for assessment of
micronutrient intake and food security in developing countries.
Wageningen University. Retrieved from
http://www.cabdirect.org/abstracts/20103004634.html
Marlina, L. (2011). Sensitivitas dan Spesifisitas Indikator Keanekaragaman
Konsumsi Makanan dalam Mengestimasi Tingkat Kecukupan Asupan Zat
Gizi pada Anak Usia 24-59 Bulan di Kota Bandung. Universitas
Indonesia.
Marshall, J. (2009). Makanan Sumber Tenaga. Jakarta: Erlangga.
Masriadi. (2012). Epidemiologi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Meitasari, D. (2008). Analisis Determinan Keragaman Konsumsi Pangan Pada
Keluarga Nelayan. Institut Pertanian Bogor.
Michael, J., Gootman, J. A., & Kraak, V. I. (2006). Food Marketing to Children
and Youth. Washington, DC: The National Academies Press.
http://doi.org/10.17226/11514
Moeis, S. (2008). Analisis keanekaragaman kelompok sosial dalam masyarakat
multikultural. Universitas Pendidikan Indonesia.
Morton, R. F., Hebel, J. R., & McCarter, R. J. (2009). Epidemiologi dan
Biostatistika: Panduan Studi, Ed. 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
96
EGC.
Moursi, M. M., Arimond, M., Dewey, K. G., Treche, S., Ruel, M. T., & Delpeuch,
F. (2008). Dietary Diversity Is a Good Predictor of the Micronutrient
Density of the Diet of 6-23 Month-Old Children in Madagascar. The
Journal of Nutrition, 11(September), 0–5.
http://doi.org/10.3945/jn.108.093971.promise
Murphy, S. P., Yaktine, A. L., Suitor, C. W., & Moats, S. (2011). Child and Adult
Care Food Program: Aligning Dietary Guidance for All. Washington,
D.C: The National Academies Press.
Pandi, E., & Wiakusumah. (2012). Panduan Lengkap Makanan Balita. Depok:
Penebar Plus.
Perdana, S. M., Hardinsyah, & Damayanthi, E. (2014). ALTERNATIF INDEKS
GIZI SEIMBANG UNTUK PENILAIAN MUTU GIZI KONSUMSI
PANGAN WANITA DEWASA INDONESIA. Jurnal, 9(1), 43–50.
Pipes, P. L. (2001). Nutrition in Infancy and Childhood. United States: Times
Mirror/Mosby College.
Prabantini, D. (2010). A to Z Makanan Pendamping ASI. Yogyakarta: Penerbit
ANDI.
Pusat Penganekaragaman Pangan. (2013). Pedoman Analisis Konsumsi Pangan
Mandiri di Wilayah P2KP. Jakarta.
Rah, J. H., Akhter, N., Semba, R. D., Pee, S. De, Bloem, M. W., Campbell, A. A.,
97
… Kraemer, K. (2010). Low dietary diversity is a predictor of child
stunting in rural Bangladesh. European Journal of Clinical Nutrition,
64(12), 1393–1398. http://doi.org/10.1038/ejcn.2010.171
Retnaningsih, R. D. (2007). Faktor-faktor yang berhubungan dengan skor Pola
Pangan Harapan (PPH) pada Keluarga Petani Sawah Tadah Hujan.
Universitas Negeri Semarang.
Ruel, M. T. (2002). IS DIETARY DIVERSITY AN INDICATOR OF FOOD
SECURITY OR DIETARY QUALITY ? A REVIEW OF MEASUREMENT
ISSUES AND RESEARCH NEEDS. Washington, D.C.
Rustanti, N. (2015). Buku Ajar Ekonomi Pangan dan Gizi. Yogyakarta:
Deepublish. Retrieved from
https://books.google.co.id/books?id=UxlADAAAQBAJ&pg=PA134&dq=
keragaman+konsumsi+pangan&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiDhd38gPL
OAhUHr48KHZljC2cQ6AEIHzAB#v=onepage&q=keragaman konsumsi
pangan&f=false
Saparinto, Cahyo, & Hidayati, D. (2006). Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta:
Kanisius.
Selby, A. (2010). Makanan Berkhasiat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sharlin, J., & Edelstein, S. (2011). Essentials of Life Cycle Nutrition. Nutrition.
Canada: David Cella.
Simanjuntak, T. P. T. (2014). Komponen Gizi dan Terapi Pangan Ala Papua.
98
Yogyakarta: Deepublish.
Soenardi, T. (2008). Variasi Makanan Balita: Kiat Atasi Masalah Makan pada
Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Steyn, N. P., Nel, J. H., Nantel, G., Kennedy, G., & Labadarios, D. (2009). Food
variety and dietary diversity scores in children : are they good indicators of
dietary adequacy ? Public Health Nutrition, 9(5), 644–650.
http://doi.org/10.1079/PHN2005912
Suhardjo. (2010). Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak. Yogyakarta:
Kanisius.
Sultan, S. (2014). DETERMINANTS OF DIETARY ADEQUACY OF
NUTRIENTS CONSUMPTION AMONG RURAL SCHOOL AGE
CHILDREN. Asian Pac. J. Health Sci, 1(3), 227–232.
Sundari, D., Almasyhuri, & Lamid, A. (2015). Pengaruh Proses Pemasakan
Terhadap Komposisi Zat Gizi Bahan Pangan Sumber Protein. Media
Litbangkes, 25(4), 235–242.
Supariasa, I. D. N. (2010). Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Supriyanti, N. T., & Nindya, T. S. (2015). Hubungan Kecukupan Zat Gizi dan
Dietary Diversity Scores (DDS) Dengan Status Gizi Balita Usia 12-59
Bulan di Desa Baban, Kecamatan Gapura, Sumenep. Universitas
Airlangga.
99
Surachman, Kusrini, N., & Suyatno, A. (2013). SOCIAL-ECONOMIC
FACTORS EFFECTING THE DIVERSITY OF DIETARY
CONSUMPTION IN THE SELF SUFFICIENT DIETARY VILLAGE OF
KUBU RAYA DISTRICT. Journal Social Economic of Agriculture, 2(2),
1–20.
Thompson, J. (2006). Toddlercare: Pedoman Merawat Balita. Jakarta: Erlangga.
Retrieved from https://books.google.co.id/books?id=5wC7yXCwndgC&p
Torheim, L. E., Ouattara, F., Diarra, M. M., Thiam, F. D., Barikmo, I., Hatl, A., &
Oshaug, A. (2004). Nutrient adequacy and dietary diversity in rural Mali :
association and determinants. European Journal of Clinical Nutrition, 58,
594–604. http://doi.org/10.1038/sj.ejcn.1601853
Valentina, V., Palupi, N. S., & Andarwulan, N. (2014). ASUPAN KALSIUM
DAN VITAMIN D PADA ANAK INDONESIA USIA 2 – 12 TAHUN
[Calcium and Vitamin D Intake of Indonesian Children 2-12 Years Old].
J.Teknol. Dan Industri Pangan, 25(1), 83–89.
http://doi.org/10.6066/jtip.2014.25.1.83
WHO. (2009). Global prevalence of vitamin A deficiency in populations at risk
1995-2005. Geneva: WHO.
Wilson, T. A., Adolph, A. L., & Butte, N. F. (2009). Nutrient Adequacy and Diet
Quality in Non-Overweight and Overweight Hispanic Children of Low
Socioeconomic Status: The Viva la Familia Study. Journal of the
American Dietetic Association, 109(6), 1012–1021.
100
http://doi.org/10.1016/j.jada.2009.03.007
World Food Programme. (2015). Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Papua
2015. Papua.
101
LAMPIRAN
102
Output Analisis Data
Deskriptif jenis kelamin, usia, dan berat badan
Statistics
JK Kat_Usia
N Valid 3085 3085
Missing 0 0
JK
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
1 1606 52.1 52.1 52.1
2 1479 47.9 47.9 100.0
Total 3085 100.0 100.0
Kat_Usia
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
1 1974 64.0 64.0 64.0
2 1111 36.0 36.0 100.0
Total 3085 100.0 100.0
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
BB 3085 9.6 20.9 14.298 2.2709
Valid N (listwise) 3085
Uji normalitas asupan zat gizi
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
energi .043 3085 .000 .988 3085 .000
protein .050 3085 .000 .983 3085 .000
vit_A .067 3085 .000 .975 3085 .000
vit_C .101 3085 .000 .934 3085 .000
Ca .107 3085 .000 .915 3085 .000
Fe .091 3085 .000 .952 3085 .000
Zn .087 3085 .000 .985 3085 .000
a. Lilliefors Significance Correction
103
Deskriptif Asupan Zat Gizi
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
energi 3085 355.3 1759.7 982.151 272.1168
protein 3085 3.0 66.3 27.339 10.9952
vit_A 3085 .0 779.1 293.068 151.0945
vit_C 3085 .0 72.4 19.052 14.9421
Ca 3085 13.2 1164.5 282.980 208.6957
Fe 3085 .4 12.4 4.369 2.1609
Zn 3085 .7 7.8 3.143 1.0819
Valid N (listwise) 3085
Uji Normalitas NAR dan MAR
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
NAR_energi .061 3085 .000 .966 3085 .000
NAR_protein .092 3085 .000 .975 3085 .000
NAR_vitA .080 3085 .000 .969 3085 .000
NAR_vitC .099 3085 .000 .937 3085 .000
NAR_Ca .117 3085 .000 .921 3085 .000
NAR_Fe .088 3085 .000 .950 3085 .000
NAR_Zn .105 3085 .000 .968 3085 .000
MAR .110 3085 .000 .921 3085 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Deskriptif NAR dan MAR
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
NAR_energi 3085 26.38 126.43 75.8195 16.35006
NAR_protein 3085 11.54 219.23 92.7932 32.29618
NAR_vitA 3085 .00 173.13 69.8884 35.31764
NAR_vitC 3085 .00 160.89 45.4373 35.23311
NAR_Ca 3085 2.03 116.54 36.9960 26.29744
NAR_Fe 3085 5.00 155.00 52.0290 25.04670
NAR_Zn 3085 17.50 160.00 71.8280 22.37629
MAR 3085 16.37 109.07 63.5416 20.40130
Valid N (listwise) 3085
104
Compare mean asupan zat gizi dengan kategori usia
Report
Kat_Usia energi protein vit_A vit_C Ca Fe Zn
1
Mean 854.883 23.201 267.925 17.443 252.449 3.918 2.804
N 1974 1974 1974 1974 1974 1974 1974
Std. Deviation 188.1517 8.1546 138.2601 13.6164 174.5910 1.9408 .8701
2
Mean 1208.278 34.690 337.743 21.910 337.227 5.172 3.746
N 1111 1111 1111 1111 1111 1111 1111
Std. Deviation 250.6460 11.5391 162.2627 16.6727 249.4493 2.2957 1.1567
Total
Mean 982.151 27.339 293.068 19.052 282.980 4.369 3.143
N 3085 3085 3085 3085 3085 3085 3085
Std. Deviation 272.1168 10.9952 151.0945 14.9421 208.6957 2.1609 1.0819
Deskriptif dan Proporsi DDS
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Skor_DDS 3085 1 9 5.29 1.307
Valid N (listwise) 3085
Statistics
Skor_DDS
N Valid 3085
Missing 0
Median 5.00
Skor_DDS
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
1 7 .2 .2 .2
2 47 1.5 1.5 1.8
3 188 6.1 6.1 7.8
4 529 17.1 17.1 25.0
5 1029 33.4 33.4 58.3
6 750 24.3 24.3 82.7
7 387 12.5 12.5 95.2
8 135 4.4 4.4 99.6
9 13 .4 .4 100.0
Total 3085 100.0 100.0
105
Frekuensi asupan berdasarkan kelompok pangan
Statistics
dds_1 dds_2 dds_3 dds_4 dds_5 dds_6 dds_7 dds_8 dds_9
N Valid 3085 3085 3085 3085 3085 3085 3085 3085 3085
Missing 0 0 0 0 0 0 0 0 0
dds_1
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Tidak 3 .1 .1 .1
Ya 3082 99.9 99.9 100.0
Total 3085 100.0 100.0
dds_2
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
0 735 23.8 23.8 23.8
1 2350 76.2 76.2 100.0
Total 3085 100.0 100.0
dds_3
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
0 1381 44.8 44.8 44.8
1 1704 55.2 55.2 100.0
Total 3085 100.0 100.0
dds_4
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
0 1625 52.7 52.7 52.7
1 1460 47.3 47.3 100.0
Total 3085 100.0 100.0
dds_5
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid 0 1743 56.5 56.5 56.5
106
1 1342 43.5 43.5 100.0
Total 3085 100.0 100.0
dds_6
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
0 1595 51.7 51.7 51.7
1 1490 48.3 48.3 100.0
Total 3085 100.0 100.0
dds_7
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
0 2280 73.9 73.9 73.9
1 805 26.1 26.1 100.0
Total 3085 100.0 100.0
dds_8
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
0 1881 61.0 61.0 61.0
1 1204 39.0 39.0 100.0
Total 3085 100.0 100.0
dds_9
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
0 190 6.2 6.2 6.2
1 2895 93.8 93.8 100.0
Total 3085 100.0 100.0
107
Crosstab skor DDS dengan kelompok pangan
Skor_DDS * dds_1 Crosstabulation
dds_1 Total
Tidak Ya
Skor_DDS
1 Count 1 6 7
% within Skor_DDS 14.3% 85.7% 100.0%
2 Count 2 45 47
% within Skor_DDS 4.3% 95.7% 100.0%
3 Count 0 188 188
% within Skor_DDS 0.0% 100.0% 100.0%
4 Count 0 529 529
% within Skor_DDS 0.0% 100.0% 100.0%
5 Count 0 1029 1029
% within Skor_DDS 0.0% 100.0% 100.0%
6 Count 0 750 750
% within Skor_DDS 0.0% 100.0% 100.0%
7 Count 0 387 387
% within Skor_DDS 0.0% 100.0% 100.0%
8 Count 0 135 135
% within Skor_DDS 0.0% 100.0% 100.0%
9 Count 0 13 13
% within Skor_DDS 0.0% 100.0% 100.0%
Total Count 3 3082 3085
% within Skor_DDS 0.1% 99.9% 100.0%
Skor_DDS * dds_2 Crosstabulation
dds_2 Total
0 1
Skor_DDS
1 Count 7 0 7
% within Skor_DDS 100.0% 0.0% 100.0%
2 Count 38 9 47
% within Skor_DDS 80.9% 19.1% 100.0%
3 Count 91 97 188
% within Skor_DDS 48.4% 51.6% 100.0%
4 Count 182 347 529
% within Skor_DDS 34.4% 65.6% 100.0%
5 Count 244 785 1029
108
% within Skor_DDS 23.7% 76.3% 100.0%
6 Count 113 637 750
% within Skor_DDS 15.1% 84.9% 100.0%
7 Count 51 336 387
% within Skor_DDS 13.2% 86.8% 100.0%
8 Count 9 126 135
% within Skor_DDS 6.7% 93.3% 100.0%
9 Count 0 13 13
% within Skor_DDS 0.0% 100.0% 100.0%
Total Count 735 2350 3085
% within Skor_DDS 23.8% 76.2% 100.0%
Skor_DDS * dds_3 Crosstabulation
dds_3 Total
0 1
Skor_DDS
1 Count 6 1 7
% within Skor_DDS 85.7% 14.3% 100.0%
2 Count 38 9 47
% within Skor_DDS 80.9% 19.1% 100.0%
3 Count 158 30 188
% within Skor_DDS 84.0% 16.0% 100.0%
4 Count 366 163 529
% within Skor_DDS 69.2% 30.8% 100.0%
5 Count 508 521 1029
% within Skor_DDS 49.4% 50.6% 100.0%
6 Count 225 525 750
% within Skor_DDS 30.0% 70.0% 100.0%
7 Count 66 321 387
% within Skor_DDS 17.1% 82.9% 100.0%
8 Count 14 121 135
% within Skor_DDS 10.4% 89.6% 100.0%
9 Count 0 13 13
% within Skor_DDS 0.0% 100.0% 100.0%
Total Count 1381 1704 3085
% within Skor_DDS 44.8% 55.2% 100.0%
109
Skor_DDS * dds_4 Crosstabulation
dds_4 Total
0 1
Skor_DDS
1 Count 7 0 7
% within Skor_DDS 100.0% 0.0% 100.0%
2 Count 47 0 47
% within Skor_DDS 100.0% 0.0% 100.0%
3 Count 160 28 188
% within Skor_DDS 85.1% 14.9% 100.0%
4 Count 385 144 529
% within Skor_DDS 72.8% 27.2% 100.0%
5 Count 604 425 1029
% within Skor_DDS 58.7% 41.3% 100.0%
6 Count 308 442 750
% within Skor_DDS 41.1% 58.9% 100.0%
7 Count 94 293 387
% within Skor_DDS 24.3% 75.7% 100.0%
8 Count 20 115 135
% within Skor_DDS 14.8% 85.2% 100.0%
9 Count 0 13 13
% within Skor_DDS 0.0% 100.0% 100.0%
Total Count 1625 1460 3085
% within Skor_DDS 52.7% 47.3% 100.0%
Skor_DDS * dds_5 Crosstabulation
dds_5 Total
0 1
Skor_DDS
1 Count 7 0 7
% within Skor_DDS 100.0% 0.0% 100.0%
2 Count 45 2 47
% within Skor_DDS 95.7% 4.3% 100.0%
3 Count 168 20 188
% within Skor_DDS 89.4% 10.6% 100.0%
4 Count 406 123 529
% within Skor_DDS 76.7% 23.3% 100.0%
5 Count 642 387 1029
% within Skor_DDS 62.4% 37.6% 100.0%
110
6 Count 337 413 750
% within Skor_DDS 44.9% 55.1% 100.0%
7 Count 115 272 387
% within Skor_DDS 29.7% 70.3% 100.0%
8 Count 23 112 135
% within Skor_DDS 17.0% 83.0% 100.0%
9 Count 0 13 13
% within Skor_DDS 0.0% 100.0% 100.0%
Total Count 1743 1342 3085
% within Skor_DDS 56.5% 43.5% 100.0%
Skor_DDS * dds_6 Crosstabulation
dds_6 Total
0 1
Skor_DDS
1 Count 7 0 7
% within Skor_DDS 100.0% 0.0% 100.0%
2 Count 36 11 47
% within Skor_DDS 76.6% 23.4% 100.0%
3 Count 162 26 188
% within Skor_DDS 86.2% 13.8% 100.0%
4 Count 360 169 529
% within Skor_DDS 68.1% 31.9% 100.0%
5 Count 589 440 1029
% within Skor_DDS 57.2% 42.8% 100.0%
6 Count 329 421 750
% within Skor_DDS 43.9% 56.1% 100.0%
7 Count 100 287 387
% within Skor_DDS 25.8% 74.2% 100.0%
8 Count 12 123 135
% within Skor_DDS 8.9% 91.1% 100.0%
9 Count 0 13 13
% within Skor_DDS 0.0% 100.0% 100.0%
Total Count 1595 1490 3085
% within Skor_DDS 51.7% 48.3% 100.0%
Skor_DDS * dds_7 Crosstabulation
dds_7 Total
0 1
Skor_DDS 1 Count 7 0 7
111
% within Skor_DDS 100.0% 0.0% 100.0%
2 Count 44 3 47
% within Skor_DDS 93.6% 6.4% 100.0%
3 Count 173 15 188
% within Skor_DDS 92.0% 8.0% 100.0%
4 Count 480 49 529
% within Skor_DDS 90.7% 9.3% 100.0%
5 Count 809 220 1029
% within Skor_DDS 78.6% 21.4% 100.0%
6 Count 513 237 750
% within Skor_DDS 68.4% 31.6% 100.0%
7 Count 209 178 387
% within Skor_DDS 54.0% 46.0% 100.0%
8 Count 45 90 135
% within Skor_DDS 33.3% 66.7% 100.0%
9 Count 0 13 13
% within Skor_DDS 0.0% 100.0% 100.0%
Total Count 2280 805 3085
% within Skor_DDS 73.9% 26.1% 100.0%
Skor_DDS * dds_8 Crosstabulation
dds_8 Total
0 1
Skor_DDS
1 Count 7 0 7
% within Skor_DDS 100.0% 0.0% 100.0%
2 Count 43 4 47
% within Skor_DDS 91.5% 8.5% 100.0%
3 Count 164 24 188
% within Skor_DDS 87.2% 12.8% 100.0%
4 Count 431 98 529
% within Skor_DDS 81.5% 18.5% 100.0%
5 Count 682 347 1029
% within Skor_DDS 66.3% 33.7% 100.0%
6 Count 410 340 750
% within Skor_DDS 54.7% 45.3% 100.0%
7 Count 134 253 387
% within Skor_DDS 34.6% 65.4% 100.0%
8 Count 10 125 135
112
% within Skor_DDS 7.4% 92.6% 100.0%
9 Count 0 13 13
% within Skor_DDS 0.0% 100.0% 100.0%
Total Count 1881 1204 3085
% within Skor_DDS 61.0% 39.0% 100.0%
Skor_DDS * dds_9 Crosstabulation
dds_9 Total
0 1
Skor_DDS
1 Count 7 0 7
% within Skor_DDS 100.0% 0.0% 100.0%
2 Count 36 11 47
% within Skor_DDS 76.6% 23.4% 100.0%
3 Count 52 136 188
% within Skor_DDS 27.7% 72.3% 100.0%
4 Count 35 494 529
% within Skor_DDS 6.6% 93.4% 100.0%
5 Count 38 991 1029
% within Skor_DDS 3.7% 96.3% 100.0%
6 Count 15 735 750
% within Skor_DDS 2.0% 98.0% 100.0%
7 Count 5 382 387
% within Skor_DDS 1.3% 98.7% 100.0%
8 Count 2 133 135
% within Skor_DDS 1.5% 98.5% 100.0%
9 Count 0 13 13
% within Skor_DDS 0.0% 100.0% 100.0%
Total Count 190 2895 3085
% within Skor_DDS 6.2% 93.8% 100.0%
Compare mean DDS dan MAR tiap provinsi
Report
B1R1 Skor_DDS MAR
11
Mean 5.35 65.3016
N 99 99
Std. Deviation 1.155 16.78909
12
Mean 5.35 61.3954
N 82 82
Std. Deviation 1.364 18.26599
113
13
Mean 4.87 56.0990
N 87 87
Std. Deviation 1.149 20.90751
14
Mean 4.95 56.6870
N 83 83
Std. Deviation 1.378 19.93870
15
Mean 4.84 54.0247
N 70 70
Std. Deviation 1.175 18.41711
16
Mean 4.73 53.8053
N 95 95
Std. Deviation 1.153 16.89620
17
Mean 5.02 60.0803
N 94 94
Std. Deviation 1.376 21.59542
18
Mean 5.13 61.0884
N 105 105
Std. Deviation 1.225 21.35952
19
Mean 5.16 65.2840
N 97 97
Std. Deviation 1.067 18.38694
21
Mean 4.81 58.3227
N 95 95
Std. Deviation 1.386 21.22585
31
Mean 5.88 72.0738
N 113 113
Std. Deviation 1.226 16.71675
32
Mean 4.89 56.2463
N 116 116
Std. Deviation 1.297 21.30211
33
Mean 5.21 62.4367
N 107 107
Std. Deviation 1.244 21.16939
34
Mean 5.71 68.6656
N 112 112
Std. Deviation 1.211 16.22313
35
Mean 5.56 68.3162
N 79 79
Std. Deviation 1.152 16.93961
36 Mean 5.80 71.6814
N 123 123
114
Std. Deviation 1.199 16.20782
51
Mean 5.78 70.1702
N 110 110
Std. Deviation 1.252 17.67726
52
Mean 5.45 64.5483
N 92 92
Std. Deviation 1.354 20.19523
53
Mean 5.78 70.7119
N 82 82
Std. Deviation 1.228 14.70119
61
Mean 5.73 67.3368
N 95 95
Std. Deviation 1.387 19.95976
62
Mean 5.39 63.8224
N 110 110
Std. Deviation 1.321 21.69835
63
Mean 5.49 69.8450
N 79 79
Std. Deviation 1.131 17.87324
64
Mean 5.55 67.8527
N 108 108
Std. Deviation 1.342 22.20442
71
Mean 5.61 68.7208
N 84 84
Std. Deviation 1.242 21.26590
72
Mean 5.53 66.1721
N 79 79
Std. Deviation 1.357 20.98004
73
Mean 5.19 63.7762
N 108 108
Std. Deviation 1.315 21.42625
74
Mean 5.38 68.6101
N 96 96
Std. Deviation 1.283 19.31618
75
Mean 5.41 68.4822
N 113 113
Std. Deviation 1.041 17.37543
76
Mean 4.95 61.9521
N 92 92
Std. Deviation .869 19.23314
81 Mean 5.05 58.0049
115
N 102 102
Std. Deviation 1.465 23.49679
82
Mean 4.69 51.8835
N 94 94
Std. Deviation 1.559 22.69347
91
Mean 4.85 52.5894
N 52 52
Std. Deviation 1.144 20.52995
94
Mean 4.66 53.0967
N 32 32
Std. Deviation 1.677 23.90139
Total
Mean 5.29 63.5416
N 3085 3085
Std. Deviation 1.307 20.40130
Analisis korelasi DDS dengan kecukupan zat gizi
Correlations
Skor_DDS NAR_energi
Spearman's rho
Skor_DDS
Correlation Coefficient 1.000 .598**
Sig. (2-tailed) . .000
N 3085 3085
NAR_energi
Correlation Coefficient .598** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 3085 3085
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations
Skor_DDS NAR_protein
Spearman's rho
Skor_DDS
Correlation Coefficient 1.000 .624**
Sig. (2-tailed) . .000
N 3085 3085
NAR_protein
Correlation Coefficient .624** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 3085 3085
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
116
Correlations
Skor_DDS NAR_vitA
Spearman's rho
Skor_DDS
Correlation Coefficient 1.000 .672**
Sig. (2-tailed) . .000
N 3085 3085
NAR_vitA
Correlation Coefficient .672** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 3085 3085
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations
Skor_DDS NAR_vitC
Spearman's rho
Skor_DDS
Correlation Coefficient 1.000 .487**
Sig. (2-tailed) . .000
N 3085 3085
NAR_vitC
Correlation Coefficient .487** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 3085 3085
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations
Skor_DDS NAR_Ca
Spearman's rho
Skor_DDS
Correlation Coefficient 1.000 .565**
Sig. (2-tailed) . .000
N 3085 3085
NAR_Ca
Correlation Coefficient .565** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 3085 3085
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations
Skor_DDS NAR_Fe
Spearman's rho
Skor_DDS
Correlation Coefficient 1.000 .673**
Sig. (2-tailed) . .000
N 3085 3085
NAR_Fe
Correlation Coefficient .673** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 3085 3085
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
117
Correlations
Skor_DDS NAR_Zn
Spearman's rho
Skor_DDS
Correlation Coefficient 1.000 .656**
Sig. (2-tailed) . .000
N 3085 3085
NAR_Zn
Correlation Coefficient .656** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 3085 3085
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations
Skor_DDS MAR
Spearman's rho
Skor_DDS
Correlation Coefficient 1.000 .771**
Sig. (2-tailed) . .000
N 3085 3085
MAR
Correlation Coefficient .771** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 3085 3085
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Compare mean skor DDS dengan MAR
Report
MAR
Skor_DDS Mean N Std. Deviation
1 24.2813 7 3.62849
2 27.3462 47 4.32282
3 29.1010 188 4.81667
4 35.1488 529 6.03310
5 68.2467 1029 11.13572
6 76.0948 750 9.63084
7 79.5521 387 8.77324
8 83.3724 135 7.77783
9 89.7799 13 5.12666
Total 63.5416 3085 20.40130
118
Analisis ROC
Case Processing Summary
MAR_75 Valid N (listwise)
Positivea 1956
Negative 1129
Smaller values of the test result
variable(s) indicate stronger
evidence for a positive actual
state.
a. The positive actual state is 1.
Area Under the Curve
Test Result Variable(s): Skor_DDS
Area Std. Errora Asymptotic Sig.
b Asymptotic 95% Confidence
Interval
Lower Bound Upper Bound
.823 .007 .000 .808 .837
The test result variable(s): Skor_DDS has at least one tie between the positive
actual state group and the negative actual state group. Statistics may be biased.
a. Under the nonparametric assumption
b. Null hypothesis: true area = 0.5
119
Coordinates of the Curve
Test Result Variable(s): Skor_DDS
Positive if Less
Than or Equal
Toa
Sensitivity 1 - Specificity
.00 .000 .000
1.50 .004 .000
2.50 .028 .000
3.50 .124 .000
4.50 .394 .000
5.50 .767 .265
6.50 .934 .641
7.50 .990 .887
8.50 1.000 .988
10.00 1.000 1.000
The test result variable(s): Skor_DDS has at
least one tie between the positive actual state
group and the negative actual state group.
a. The smallest cutoff value is the minimum
observed test value minus 1, and the largest
cutoff value is the maximum observed test value
plus 1. All the other cutoff values are the
averages of two consecutive ordered observed
test values.
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132