Upload
bangkit-nugroho
View
67
Download
1
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
1
CORPORATE GOVERNANCE DAN
RASIO HUTANG PERUSAHAAN
Nur Sayidah
Diyah Pujiati
ABSTRACT
The Purpose of this research is to examine the effect between corporate governance
implementation quality and dabt ratio. The samples of this research is non banking
companies which include Swa sembada’s rating of CGPI (Corporate Governance
Perception Index) score in 2003, 2004, 2005 and 2006. The number of samples are 33
companies. A measure of corporate governance implementation quality is CGPI score by
IICG (Indonesian Institute of Corporate Governance). A measure of debt ratio are
current debt to total asset (CD/TA), non current debt to total asset (NCD/TA), total debt
to total asset (TD/TA), current debt to shareholder’s equity (CD/E), non current debt to
shareholder’s equity (NCD/E) and total debt to shareholder’s equity (TD/E). The result
of regression analysis shows significantly there are positive effect between CGPI score
and TD/TA and between CGPI score and TD/E. This result consistent with finding of
Litov (2005) but controverse with findings of Harford (2005), Black et.al (2003) and
Salman & Farid (2007).
Key word: good corporate governance, leverage
LATAR BELAKANG PENELITIAN
Corporate Governance telah menjadi sebuah isu yang menarik sejak dekade terakhir.
Organisasi dunia seperti Bank Dunia dan The Organization for Economic Cooperation
and Development (OECD) berpartisipasi dalam mengembangkan konsep-konsep
Corporate Governance. Krisis yang terjadi di Indonesia juga tidak terlepas dari
keberadaan isu corporate governance. Sebenarnya pemerintah telah mencanangkan good
corporate governance (GCG) sejak lebih dari 5 tahun yang lalu. Bahkan di awal tahun
2003, 10 Badan Usaha Milik Negara yang menjadi proyek percontohan penerapan GCG
telah memaklumatkan komitmen bersama untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG. Tetapi
hasilnya proses bisnis yang kini sedang berlangsung masih sama dengan sebelum
pencanangan penerapan GCG ( Swa sembada, 2005).
2
Soesastro (2002) seperti dikutip dari Rusdiyanto (2002) dengan tegas mengatakan
bahwa sebenarnya di Indonesia saat ini sudah tidak ada pemerintahan lagi. Kondisi
sekarang ini akibat ketidakjelasan dan ketiadaan vision, leadership, government, sense of
urgency dan reform. Untuk menciptakan GCG tampaknya harus dilakukan melalui suatu
proses transformasi internal organisasi yang menfokuskan pergeseran secara fundamental
pada people management, nilai-nilai, pola kerja, budaya organisasi dan pola pikir (mind
set). Persaingan yang tajam, perubahan teknologi yang cepat, perubahan lingkungan yang
radikal terjadi hampir pada semua aspek kehidupan organisasi dan masyarakat.
Seperti didefinisikan oleh OECD, corporate governance adalah suatu gabungan
antara hukum, peraturan dan praktek-praktek sektor privat yang cocok, yang
memungkinkan perusahaan untuk menarik modal dan sumberdaya manusia, beroperasi
secara efisien, sehingga dapat menjaga kelangsungan operasional dengan menghasilkan
nilai ekonomis jangka panjang untuk pemegang sahamnya dan masyarakat secara
keseluruhan (Tim BPKP, 2003). Mekanisme kunci dari kerangka corporate governance
meliputi struktur dewan direksi, kompensasi direksi dan kepemilikan manajerial,
pemegang saham institusional, auditor, informasi akuntansi dan auditing serta pasar
untuk pengendalian perusahaan (Short dkk, 1999).
Di Indonesia ada sebuah lembaga swadaya yang setiap tahun melakukan
pemeringkatan praktek GCG untuk perusahaan publik, yaitu The Indonesian Institute for
Corporate Governance (IICG). Pemeringkatan yang dilakukan berdasarkan survei
terhadap praktik CGC yang menghasilkan skor Corporate Governance Perception Index
(CGPI). Pada tahun 2003 perusahaan publik yang bersedia dinilai praktik GCGnya oleh
IICG berjumlah 31 dari 332 perusahaan yang terdaftar di BEJ atau sekitar 9,3% (Swa
3
sembada, 2004). Sementara pada tahun 2004 perusahaan publik yang bersedia dinilai
prakteik GCGnya hanya berjumlah 22 dari 334 perusahaan atau hanya sekitar 6,6%. Ada
penurunan sebanyak 3,3% (Swa sembada, 2005). Tahun 2005 mengalami sedikit
kenaikan menjadi 26 perusahaan. Tetapi tahun 2006 mengalami penurunan 1 perusahaan
menjadi 25 perusahaan (Swa sembada, 2008). Fenomena rendahnya partisipasi atas
survei IICG ini menunjukkan masih banyak perusahaan yang menjalankan praktik bisnis
tidak sehat atau lingkungan bisnis disekitarnya tidak sehat, sehingga tidak bersedia
diketahui kualitas penerapan GCGnya.
Ada beberapa penelitian berkaitan dengan corporate governance. Beberapa
penelitian berusaha mengetahui pengaruh kualitas corporate governance terhadap kinerja
atau return saham perusahaan, seperti yang dilakukan oleh Darmawati dkk (2005),
Suranta dan Midiastuti (2005), Klapper dan Love (2002), Siallagan (207) serta Sayidah
(2007). Secara umum hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh antara kinerja
perusahaan dengan corporate governance, kecuali hasil penelitian Sayidah (2007).
Temuan Sayidah (2007) menunjukkan kualitas corporate governance pada tingkat
signifikansi 5% tidak mempengaruhi kinerja perusahaan baik yang diproksi dengan profit
margin, ROA, ROE maupun ROI. Tetapi hasil ini konsisten dengan Laporan dari Hampel
Comittee (Short et.al, 1999).
Penelitian yang lain bertujuan mengetahui pengaruh corporate governance
terhadap kebijakan dividen, atau mengetahui pengaruh corporate governance terhadap
kebijakan pendanaan. Penelitian tersebut diantaranya dilakukan oleh Litov (2005) dan
Harford (2005). Harford (2005) menemukan bahwa perusahaan dengan hak pemegang
saham yang kuat mempunyai rasio leverage yang lebih rendah. Hasil ini menentang
4
adanya bukti bahwa governance yang buruk berhubungan dengan leverage yang lebih
kecil (Litov, 2005).
Masih kontroversialnya hasil penelitian mengenai hubungan kualitas corporate
governance dengan leverage/rasio hutang perusahaan ini mendorong penulis untuk
meneliti lagi dengan obyek penelitian perusahaan publik di Indonesia. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menambah bukti empiris atas masalah ini dan dapat dipaki sebagai
bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang mempunyai wewenang untuk menentukan
kebijakan mengenai mengenai corporate governance perusahaan publik di Indonesia.
Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi investor dalam membantu
memilih investasi di bursa efek, karena rasio hutang berkaitan dengan beban bunga dan
laba perusahaan.
TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Hakikat Corporate Governance
Hakikat corporate governance dapat ditelusuri melalui dua sisi, yaitu dimensi
teoritis-akademis dan praktik-historis (Tim BPKP, 2003). Berdasarkan dimensi teoritis-
akademis CG muncul dari konsep awal adanya pemisahan antara financial provider
(pemegang saham) dan manajemen. Konsep ini melahirkan teori keagenan seperti yang
dikemukakan oleh Jensen and Meckling (1976). Masalah keagenan timbul karena
perbedaan kepentingan dan asimetri informasi antara pemegang saham dan manajemen
serta pihak-pihak lain yang berkepentingan, serta ketidakmampuan menulis kontrak yang
lengkap untuk seluruh agen/kelompok (Hart, 1995). Asimetri informasi menciptakan
masalah bahaya moral (moral hazard) ketika manager mempunyai insentif untuk
5
mengejar kepentingannya sendiri atas biaya pemegang saham. Asimetri informasi juga
menciptakan masalah adverse selection ketika investor tidak dapat melihat nilai ekonomi
perusahaan yang benar. Informasi tidak sempurna mengenai kualitas manajemen dan
nilai ekonomi perusahaan menghasilkan risiko keagenan lebih besar yang dibebankan
pada pemegang saham. Investor rasional meminta premium karena menanggung risiko
keagenan, yang secara efektif meningkatkan biaya modal perusahaan (Asbahbaugh,
2004).
Terminologi corporate governance muncul sebagai alat, mekanisme dan struktur
yang dipakai untuk mengecek perilaku managerial yang self-serving/menguntungkan diri
sendiri (John dan Senbet, 1998), membatasi perilaku opportunistic manager,
memperbaiki kualitas informasi perusahaan (Asbahbaugh, 2004) dan menata hubungan
antara semua pihak agar kepentingannya dapat terakomodasi secara seimbang. (Tim
BPKP, 2005). Intraksi kepentingan yang tertata dalam suatu perusahaan juga memerlukan
niat, kepercayaan, integritas upaya yang sungguh-sungguh dan kemauan dari seluruh
penyelenggara perusahaan Tujuan mengecek perilaku self-serving adalah untuk
meningkatkan efisiensi operasional perusahaan. Alat yang digunakan untuk mengurangi
perilaku self-serving dan memperbaiki akuntabilitas tidak dapat efisisen, jika alat tersebut
menghambat perbaikan kinerja perusahaan.
Berdasarkan dimensi praktis-historis, berbagai peristiwa yang dialami dunia
bisnis baik di luar negeri maupun di dalam negeri telah mendorong praktik corporate
governance yang baik. Peristiwa tersebut adalah stock market crash pada tahun 1929 di
Amerika Serikat, krisis keuangan Saving & Loan, skandal Bank of Credit and Commerce
International, demokratisasi di berbagai negara dan krisis di Asia pada awal tahun 1997.
6
Keberhasilan dari praktik corporate governance perusahaan publik tidak terlepas
dari adanya sebuah peraturan. Ada tiga tantangan fundamental yang saat ini dihadapi oleh
pembuat peraturan publik (Coglianese dkk., 2004). Pertama adalah siapa yang seharusnya
membuat peraturan, pemerintah atau self-regulation seperti NYSE, NASD atau BEJ.
Tantangan kedua adalah bagaimana mengaturnya. Pembuat peraturan menghadapi dua
pilihan yaitu membuat prinsip atau peraturan corporate governance. Tantangan ketiga
adalah bagaimana caranya agar prinsip atau peraturan tersebut dilaksanakan. Semua
pilihan ada kelebihan dan kekurangannya. Analisis yang lebih mendalam perlu dilakukan
untuk memilih berbagai alternatif tersebut agar penerapan corporate governance dapat
mencapai tujuannya. Apalagi di Indonesia terbukti penerapannya secara signifikan tidak
mengurangi manipulasi laba yang dilakukan oleh menajemen (Sulistyanto dan
Nugraheni, 2002). Sampel yang diambil sebanyak 24 perusahaan non lembaga yang
masuk dalam daftar Corporate Governance Perception Index (CGPI) dan mempunyai
laporan keuangan lengkap untuk periode 1999-2000
Corporate Governance dan Good Corporate Governance
Selain OECD dan The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG)
beberapa organisasi baik nasional maupun internasional telah berusaha mengembangkan
konsep corporate governance. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Bank Dunia,
Malaysian High Level Committee on Corporate Governance, The Forum for corporate
governance in Indonesia (FCGI) dan Tim Corporate Governance BPKP. IICG
mendefinisikan corporate governance sebagai proses dan struktur yang diterapkan dalam
menjalankan perusahaan dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang saham
7
dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain.
Sembilan dimensi corporate governance yang menjadi acuan penilaian yang dilakukan
oleh IICG meliputi komitmen terhadap tata kelola perusahaan, tata kelola dewan
komisaris, komite-komite fungsional, dewan direksi, transparansi, perlakuan terhadap
pemegang saham, peran pihak berkepentingan lainnya, integritas dan independensi (Swa
sembada, 2005).
Berdasarkan argumen yang dikembangkan oleh Keasey dan Wright (1993)
corporate governance dipandang mempunyai dua dimensi besar. Pertama monitoring
terhadap kinerja manajemen dan meyakinkan akuntabilitas manajemen terhadap
pemegang saham yang menekankan pertanggungjawaban dan dimensi akuntabilitas dari
corporate governance. Kedua, struktur, mekanisme dan proses governance yang
memotivasi perilaku manajerial untuk meningkatkan kemakmuran bisnis dan perusahaan.
Kedua perspektif tersebut perlu dipertimbangkan ketika ada usaha untuk menciptakan
struktur dan prosedur governance yang mengarah ke perbaikan kinerja. Kerangka
corporate governance yang efektif harus melibatkan seperangkat aktivitas multi-faceted
yang melibatkan investor institusional, dewan direksi insider dan outsider, eksekutif
dengan gaji berbasis insentif , board committees, auditing, pasar untuk kontrol
perusahaan dan lainnya. Corporate governance yang efektif dapat meningkatkan
probabilitas bahwa manager berinvestasi dalam proyek-proyek yang mempunyai net
present value positif. Perusahaan yang better-governed mempunyai kinerja operasional
yang lebih baik (Brown dan Caylor, 2004).
Good corporate governance (GCG) merupakan praktek terbaik yang biasa
dilakukan oleh suatu perusahaan yang berhasil yang mengacu pada bauran antara alat,
8
mekanisme dan struktur yang menyediakan kontrol dan akuntabilitas yang dapat
meningkatkan economic enterprises dan kinerja perusahaan (Tim BPKP, 2003) serta
mendorong perusahaan melakukan penciptaan nilai yang diproksi dengan kinerja masa
depan (Kelley dkk, ). Praktek terbaik ini mencakup praktik bisnis, aturan main, struktur
proses dan prinsip yang dimiliki. GCG merupakan syarat bagi perusahaan untuk
mendapatkan kepercayaan bagi investor di pasar modal. Perusahaan dengan corporate
governance yang baik akan dapat meningkatkan nilai perusahaan bagi pemegang saham.
Hal ini karena visi, misi dan strategi perusahaan dinyatakan secara jelas, nilai-nilai
perusahaan serta kode etik disusun untuk memastikan adanya kepatuhan seluruh jajaran
perusahaan, terdapat kebijakan untuk menghindari benturan kepentingan dan transaksi
dengan pihak ketiga yang tidak tepat, risiko perusahaan dikelola dengan baik dan terdapat
sistem pengendalian dan monitoring yang baik (PriceWaterhouse Coopers, 2000).
Penerapan GCG di PT. Adhi Karya membuktikan hal tersebut. Dalam periode satu tahun
pencatatan di bursa, kekayaan pemegang sahamnya naik sampa 613%. Angka ini jauh
lebih tinggi daripada pencapaian return yang didapat dari pasar secara keseluruhan.
Secara rata-rata saham-saham di Bursa Efek Jakarta membukukan return sebesar 56%
(Siauw Hong, 2005).
Corporate Governance dan Leverage/Rasio Hutang
Teori Keagenan menyatakan bahwa perusahaan merupakan sebuah kontrak antara
principal dan agen (Jensen and Menckling, 1976). Principal adalah pemilik dana
(pemegang saham) yang mempercayakan pengelolaan dananya kepada agen (manajer).
Principal mempunyai harapan bahwa dana yang ditanamkan dalam perusahaan dapat
9
dikelola secara baik oleh manajer sehingga dapat memaksimumkan kekayaannya.
Manajer juga mempunyai harapan atas kemakmurannya melalui penerimaan
bonus/insentif atas kinerja yang telah dicapai. Konflik kepentingan antara manajer dan
principal terjadi ketika manajer mempunyai motivasi untuk memakmurkan dirinya
dengan mengabaikan kepentingan pemegang saham. Manajer cenderung mengejar laba
jangka pendek untuk mendapatkan bonus/insetif dengan mengabaikan kinerja jangka
panjang.
Selain dana dari pemegang saham, manajer perusahaan juga mengelola dana dari
bondholder (pemegang obligasi). Konflik kepentingan antara manajer dan bondholder
terjadi dalam hal kebijakan hutang. Konflik ini muncul ketika manajemen mengambil
proyek-proyek yang mempunyai risiko lebih besar dari yang diperkirakan oleh kreditor.
Dalam hal ini kreditor tidak mau dirugikan apabila dana dinvestasikan pada proyek yang
berisiko tinggi, karena akan meningkatkan risiko kebangkrutan perusahaan yang pada
akhirnya akan mempengaruhi nilai perusahaan dengan menurunnya nilai pasar hutang
atau obligasi yang belum jatuh tempo. Sebaliknya jika proyek berisiko tinggi tersebut
memberikan hasil yang bagus, kompensasi yang diterima kreditur berupa bunga tidak
naik. Ini menunjukkan bahwa hutang dapat menjadikan transfer of wealth dari
bondholder ke shareholder yang akan dihindari oleh bondholder.
Chung (1993) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang dapat
menentukan kebijakan hutang perusahaan. Hasilnya menunjukkan bahwa perusahaan
yang memiliki rasio aktiva tetap yang tinggi cenderung menggunakan hutang yang tinggi,
sedangkan perusahaan yang menghadapi risiko yang tinggi cenderung menggunakan
hutang lebih sedikit, baik untuk hutang jangka panjang maupun jangka pendek.
10
Friend dan Lang (1988) menguji hubungan kepentingan manajemen dengan
proksi kepemilikan manajerial dengan struktur modal yang ditunjukkan dengan rasio
hutang. Hasilnya menunjukkan kepemilikan manajerial mempunyai hubungan yang kuat
dengan struktur modal. Dualitas CEO dan independensi direktur yang lebih rendah
berhubungan dengan probabilitas kebangkrutan yang lebih tinggi (Daily dan Dalton,
1994; seperti dikutip oleh Jun Wang dan Lang Deng, 2006). Penelitian terhadap 21
pasangan perusahaan retail, Chaganti, Mahajan dan Sharma (1985) menunjukkan bahwa
perusahaan-perusahaan dengan larger boards mempunyai kemungkinan gagal yang lebih
kecil. Simpson dan Gleason (1999) melakukan survei terhadap 287 perusahaan
perbankan dan temuannya menunjukkan bahwa dualitas CEO berhubungan dengan
kemungkinan kesulitan keuangan yang lebih rendah. Kesulitan keuangan juga
berhubungan dengan leverage perusahaan.
Penelitian Kim (1982) menyatakan bahwa tolok ukur struktur modal yang optimal
ditunjukkan dengan leverage keuangan yang kecil. Leverage keuangan yang kecil
cenderung mengurangi risiko usaha (risiko non sistematis). Perusahaan yang mempunyai
kesempatan untuk tumbuh, mempunyai risiko sistematik yang lebih rendah (Chung dan
Charoenwong). Penentuan kebijakan pendanaan dan dividen menurut Barclay dkk (1998)
berkaitan dengan masalah free cash flow perusahaan. Perusahaan yang pertumbuhannya
tinggi dengan mempunyai kesempatan yang besar memungkinkan untuk membayar
dividen yang rendah karena mereka mempunyai kesempatan yang profitable dalam
mendanai investasinya secara internal sehingga perusahaan tidak tergoda untuk
membayar bagian laba yang lebih besar kepada pihak luar. Sebaliknya perusahaan yang
yang pertumbuhannya rendah, berusaha menarik dana dari luar untuk mendanai
11
investasinya dengan mengorbankan sebagian besar labanya dalam bentuk dividen
maupun bunga. Pernyataan ini menurut Barclay dan Smith (1998) konsisten dengan
prediksi teori kontraktual yang mengisyaratkan bahwa perusahaan yang mempunyai opsi
untuk tumbuh lebih besar akan mempunyai hutang yang lebih sedikit dikarenakan
perusahaan lebih mengutamakan solusi atas masalah-masalah yang berkaitan dengan
hutangnya (seperti dikutip dari Subekti dan Kusuma, 2001).
Litov (2005) melakukan penelitian yang termotivasi oleh observasi bahwa analisis
yang lengkap atas pengaruh mekanisme governance dalam keputusan pembiayaan
memerlukan analisis bagaimana mekanisme governance mempengaruhi baik pemegang
saham maupun pemegang hutang. Ketika corporate governance sering didefinisikan
dalam terminologi nilainya terhadap pemegang saham, rezim governance mungkin
merugikan pemegang hutang dengan mendorong nilai dengan pengambilan resiko yang
meningkat yang meninggalkan pemegang hutang dengan risiko yang rendah. Oleh karena
itu meneliti bagaimana mekanisme governance yang diperbaiki mempengaruhi
pendanaan perusahaan.
Berdasarkan balancing theory struktur modal optimal adalah antara 30% sampai
60%, yang mencerminkan trade-off antara pemanfaatan hutang dengan risiko
kebangkrutan. Peningkatan hutang akan meningkatkan risiko kebangkrutan, sehingga
pemegang hutang akan menentukan tingkat bunga yang lebih tinggi sebagai kompensasi
peningkatan risiko. Risiko kebangkrutan juga meningkatkan kekhawatiran pemegang
saham terhadap biaya kebangkrutan yang tercermin pada pergerakan harga saham.
Pergerakan harga saham akan menunjukkan peningkatan yang rendah hingga akhirnya
12
mencapai satu titik yang merubah nilai perusahaan dari positip ke negatip (Waluyo dan
Ka’aro, 2002).
Meyrs (1984) berpendapat bahwa keputusan pendanaan berdasarkan pecking
order theory yang dikemukakan oleh Donalson (1961) mengikuti urutan pendanaan
tertentu, yaitu pertama, perusahaan lebih menyukai pendanaan dari sumber internal.
Kedua, perusahaan menyesuaikan target pembayaran dividen terhadap peluang investasi.
Ketiga kebijakan dividen bersifat sticky, fluktuasi profitabilitas dan peluang investasi
berdampak pada aliran kas internal, bisa lebih besar atau lebih kecil dari pengeluaran
investasi. Bila dana eksternal dibutuhkan, perusahaan memilih sumber dana dari hutang,
karena lebih aman dibanding ekuitas. Ekuitas adalah pillihan terakhir dari pecking order
theory sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan investasi.
Harford (2005) menemukan bahwa perusahaan dengan hak pemegang saham
yang lebih lemah mempunyai cadangan kas yang lebih kecil. Hasil ini memberikan dua
penjelasan: pertama, ada keseimbangan hasil dimana pemegang saham dengan hak yang
kuat mengijinkan perusahaannya menahan cadangan kas yang tinggi; kedua, perusahaan
dengan hak pemegang saham rendah mengeluarkan kas daripada menahannya.
Perusahaan dengan hak pemegang saham yang kuat percaya lebih banyak pada ekuitas
untuk memenuhi kebutuhan pembiayaannya. Perusahaan dengan hak pemegang saham
yang lemah percaya lebih banyak pada hutang. Dengan merefleksikan hasil kumulatif
atas efek mekanisme governance dalam pembiayaan incremental, ditemukan bahwa
perusahaan dengan hak pemegang saham yang kuat mempunyai rasio leverage yang lebih
rendah. Leverage dan kualitas corporate governance mempunyai hubungan negatip atau
berlawanan. Hasil ini menentang adanya bukti bahwa governance yang buruk
13
berhubungan dengan leverage yang lebih kecil (Litov, 2005) dan bukti Salman & Farid
(2007) menemukan CGPI secara signifikan tidak mempengaruhi leverage perusahaan.
Berdasarkan landasan teori tersebut maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan:
Terdapat pengaruh signifikan kualitas corporate governance dengan tingkat leverage
perusahaan.
METODE PENELITIAN
Sampel
Sampel dalam penelitian ini diambil dengan metode purposive sampling. Kriteria
pengambilan sampel adalah sebagai berikut:
1. Perusahaan non perbankan dan lembaga keuangan bukan bank yang masuk
dalam pemeringkatan GCPI tahun 2003-2006 yang dipublikasikan oleh majalah
Swa sembada.
2. Perusahaan yang sudah terdaftar di Bursa Efek Indonesia
3. Perusahaan yang mempublikasikan Laporan keuangan pada saat masuk dalam
pemeringkatan GCPI tahun 2003-2006 yang dipublikasikan oleh majalah Swa
sembada.
Variabel penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah skor CGPI dan rasio hutang perusahaan. Skor CGPI
yang merupakan proksi dari kualitas penerapan corporate governance adalah variabel
independen. Rasio hutang yang merupakan proksi kebijakan hutang adalah variabel
dependen Rasio hutang yang digunakan adalah:
14
1. Hutang Jangka Pendek (Current Debt) /Total Aset = CD / TA
2. Hutang Jangka Panjang (Non Current Debt) / Total Aktiva = NCD / TA
3. Total Hutang (Total Debt) / Total Aktiva = TD / TA
4. Hutang Jangka Pendek / Shareholders Equity = CD / E
5. Hutang Jangka Panjang / Shareholders Equity = NCD / E
6. Total Hutang / Shareholders Equity = TD / E
Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data terdiri dari skor CGPI perusahaan publik
yang dipublikasikan oleh majalah Swa sembada kecuali perbankan dan lembaga
keuangan non bank untuk tahun 2003 - 2006 yang diambil dari majalah Swa sembada.
Lapoaran keuangan diperoleh dari Indonesian Capital Market Directory. Pengumpulan
data dilakukan dengan teknik dokumentasi.
Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dinalisa dengan teknik regresi. Model regresi yang paling fit
diperoleh dengan mencoba menganalisa beberapa model regresi melalui analisa curve
estimation dan menyeleksinya. Model-model tersebut adalah: model regresi linier,
logarthmic, inverse, quadatric, qubic, power, compound, S-curve, logistic, growth dan
exponential.
15
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel Penelitian.
Sampel penelitian terdiri dari 33 perusahaan publik selain perbankan dan lembaga
keuangan bukan bank yang skor GCPI-nya dipublikasikan oleh majalah Swa sembada. 7
(tujuh) perusahaan masuk dalam pemeringkatan GCPI 2003, 5 (lima) perusahaan yang
masuk dalam pemeringkatan GCPI 2004, 10 (sepuluh) perusahaan masuk dalam
pemeringkatan CGPI 2005 dan 11 (sebelas) perusahaan masuk dalam pemeringkatan
GCPI 2006.
Statistik Diskriptif
Berikut adalah statistik deskriptif dari data yang digunakan dalam penelitian ini.
TABEL 1 DI SINI
Pengujian Asumsi Klasik
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengetahui normalitas distribusi data adalah
dengan teknik grafik (plot) yaitu melihat nilai residual pada model regresi yang akan
diuji. Jika sampel berasal dari sebuah populasi yang normal, titik-titik dalam plot akan
jatuh di sekitar garis lurus. Jika sampel berasal dari sebuah populasi yang tidak normal,
plot akan terlihat seperti kurva (Dielman, 1991). Hasil analisa menunjukkan sampel
berasal dari populasi yang normal.
Autokorelasi terjadi jika penganggu, berkorelasi dari waktu ke waktu. Terjadinya
korelasi karena sebuah kejadian dalam satu periode waktu mungkin mempengaruhi satu
kejadian di periode waktu berikutnya. Salah satu pengujian autokorelasi yang terkenal
dan secara luas digunakan adalah uji Durbin-Watson (d).
16
Hasil pengujian Durbin-Watson dengan tingkat kepercayaan 95% (tingkat signifikansi
5%) menunjukkan bahwa nilai d > du. du dalam penelitian ini sebesar 1.51 dan dl sebesar
1.38 (K=1 dan n=33). Jadi tidak ada autokorelasi.
Multikolinieritas terjadi jika variabel eksplanatori / vaiabel bebas secara kuat
berkorelasi satu sama lain. Multikolinieritas dapat diuji dengan menghitung korelasi
berpasangan antar variabel bebas. Jika korelasi antar variabel dependen lebih besar dari
0,5 menunjukkan adanya multikolinieritas. Karena variabel dependen hanya satu, maka
tidak perlu ada pengujian multikolinieritas.
Heterokedastisitas dapat diuji dengan melihat sebuah plot residual.
Heterokedastisitas tidak ada jika nilai residual terlihat tersebar secara random, tanpa
adanya pola yang sistematik. Hasil pengujian menunjukkan nilai residual tidak tersebar
secara random. Data kemudian ditransformasikan ke dalam log. Hasil pengujian data log
menunjukkan nilai residual tersebar secara random. Jadi tidak ada heterokedastisitas.
Hasil Analisa Regresi
Analisa regresi dilakukan dengan variabel independen log GCPI dan variabel dependen:
log CD/TA, log NCD/TA, log TD/TA, log CD/E, log NCD/E dan log TD/E. Hasil analisa
regresi disajikan di tabel 2-7.
TABEL 2-7 DISINI
Analisa regresi tersebut menunjukkan bahwa model regresi dengan variabel dependen log
TD/TA dan log TD/E adalah model regresi yang secara statistik signifikan. Tingkat
signifikansinya masing-masing sebesar 0.085 (8.5%) dan 0.087 (8.7%). Persamaan kedua
regresi linier tersebut adalah sebagai berikut:
17
log (TD/TA) = -2.891 + 0.304 log CGPI ........................................................1
log (TD/E) = -5.007 + 0.302 log CGPI............................................................2
Konstanta model persamaan 1 signifikan pada tingkat 0.052 (5.2%) dan tingkat
signifikansi koefisien regresi sebesar 0.085 (8.5%). CGPI secara signifikan mempunyai
pengaruh positif terhadap rasio TD/TA. Konstanta model persamaan 2 signifikan pada
tingkat 0.086 (8.6%) dan tingkat signifikansi koefisien regresi sebesar 0.087 (8.7%).
CGPI secara signifikan mempunyai pengaruh positif terhadap rasio TD/E. Semakin baik
kualitas penerapan corporate governance akan semakin meningkatkan rasio hutang.
Penerapan corporate governance yang semakin baik menjadikan perusahaan seamakin
dipercaya oleh kreditor, investor dan mitra yang lain. Pendanaan perusahaan yang
berasal dari hutang akan meningkat. Walaupun proporsi hutangnya besar, pemegang
saham tidak khawatir karena perusahaan yang penerapan corporate governance baik akan
menjalankan asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaan
dan kesetaraan. Asas-asas inilah yang dipakai IICG untuk menentukan nilai GCPI.
Hasil analisa penelitian ini mendukung temuan dari Litov (2005) yang
menunjukkan adanya bukti bahwa governance yang buruk berhubungan dengan leverage/
rasio hutang yang lebih kecil. Artinya governance yang baik berhubungan dengan
leverage/rasio hutang yang lebih besar. Perusahaan dengan governance yang baik adalah
perusahaan dimana hak pemegang saham adalah kuat. Berdasarkan temuan Harford
(2005) perusahaan dengan hak pemegang saham yang kuat percaya lebih banyak pada
ekuitas untuk memenuhi kebutuhan pembiayaannya. Perusahaan dengan hak pemegang
saham yang lemah percaya lebih banyak pada hutang. Hasil penelitian ini bertentangan
dengan temuan Harford (2005). Selain itu hasil penelitian ini juga bertentangan dengan
18
Black dkk (2003) dan Salman & Farid (2007). Black dkk (2003) menemukan leverage
dan kualitas corporate governance mempunyai hubungan negatip atau berlawanan.
Salman & Farid (2007) menemukan CGPI secara signifikan tidak mempengaruhi
leverage perusahaan.
KESIMPULAN DAN KETERBATASAN PENELITIAN
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh kualitas corporate governance dengan
kebijakan hutang perusahaan. Kualitas corporate governance yang merupakan variabel
independen diproksi dengan skor CGPI (Corporate Governance Perception Index) yang
dikeluarkan oleh IICG (Indonesian Institute of Corporate Governance). Kebijakan hutang
perusahaan yang merupakan variabel dependen diproksi dengan rasio hutang terhadap
total aset dan rasio hutang terhadap ekuitas pemegang saham. Sampel yang digunakan
adalah perusahaan non perbankan dan lembaga bukan bank yang masuk publikasi
pemeringkatan CGPI tahun 2003-2006 yang dilakukan oleh majalah Swa sembada.
Jumlah sampel sebanyak 33 perusahaan.
Hasil pengujian asumsi klasik setelah data ditransformasikan ke dalam log
menunjukkan bahwa tidak ada masalah dalam data penelitian untuk operasionalisasi
model regresi. Data terbukti terdistribusi normal, tidak mengandung autokorelasi dan
multikolinieritas serta tidak terjadi heterokedastisitas. Hasil analisa regresi menunjukkan
bahwa kualitas corporate governance secara signifikan mempunyai pengaruh positip
terhadap rasio total hutang terhadap total aktiva (TD/TA) dan total hutang terhadap
ekuitas pemegang saham (TD/E) pada tingkat signifikansi 10%.
19
Hasil penelitian ini konsisten dengan temuan Litov (2005) dan bertentangan
temuan Harford (2005), Black dkk (2003) dan Salman & Farid (2007). Masih
kontrovesialnya hasil penelitian memerlukan penelitian lebih lanjut yang lebih sempurna.
Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini hanya menggunakan sampel perusahaan yang masuk dalam publikasi
pemeringkatan CGPI tahun 2003-2006 yang dilakukan oleh majalah Swa sembada
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengakses data sampel yang lebih luas.
Sampel penelitian dapat mencakup semua perusahaan yang bersedia dinilai praktek
GCGnya oleh IICG.
2. Penelitian ini belum memasukkan variabel kontrol. Penelitian selanjutnya diharapkan
dapat memasukkan variabel kontrol.
20
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Ronald C. dkk., 2000, Corporate Governance and Firm Diversification,
Financial Management, Spring, Hal. 5-22.
Ashbaugh, Hollis dkk, 2004, Corporate Governance and Cost of Equity Capital, SSRN,
Desember.
Black, Bernard. dkk.,2005, Does Corporate Governance Predict Firm’s Market Values?
Evidence From Korean, Working Paper.
Coglianese, Carry dkk., 2004, The Role of Goverment in Corporate Governance, Havard
University.
Chung, 1993, Assets Characteristics and Corporate Debt Policy, Journal of Bussiness
Finance and Accounting, Hal.83-98.
Darmawati dkk., 2005, Hubungan Corporate Governance dan Kinerja Perusahaan, Jurnal
Riset Akuntansi Indonesia, Vol 8, No. 6, Hal. 65-81.
Fidyati, Nisa, 2003, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Hutang Perusahaan,
Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 1 No.1, Hal. 17-33.
Friend, I and L. Lang, 1988, Determinant of Capital Structure. Research in Finance, Hal.
1-19
Forker, John J., 1992, Corporate Governance and Disclosure Quality, Accounting and
Business Research, Vol. 22, No. 86, Hal. 111-124.
Hart, O., 1995, Corporate Governance: Some Theory and Implication, Economic Journal,
105, Hal. 678-689.
Kelley, dkk, Accountability and Value Creation Roles of Corporate Governance,
www.ssrn.com
Klapper, Leora dan Love Inessa, 2002, Corporete Governance, Investor Protection, and
Performance in Emerging Market, World Bank Policy Research Working Paper,
April.
Litov, Lubomir, 2005, Corporate Gvernance and Financing Policy: New Evidence, New
York University Working Paper, Maret.
Majalah Swa-sembada, 2004, Edisi 04 / XX / 19 Peb – 3 Maret.
Majalah Swa-sembada, 2005, Edisi 09 / XXI / 28 April – 11 Mei.
21
Majalah Swa-sembada, 2006, Edisi 26 / XXII / 11 – 20 Desember
Majalah Swa-sembada, 2008, Edisi 21 / XXIV / 9 – 23 Januari
PriceWaterhouse Coopers, Prinsip-prinsip Penerapan Good Corporate Governance di
BUMN, Makalah pelatihan yang disampaikan di PT. Krakatau Steel pada tanggal 7
November 2000.
Rusdiyanto, J., 2002, Transformasi Organisasi: Sebuah Pemikiran Untuk “Better
Corporate Governance” di Indonesia, Konvensi III dan Forum Komunikasi Hasil
Penelitian ITS dan Akademi Manajemen Indonesia, Penerbit Guna Widya, Hal.
106-111.
Salman dan Farid, 2007, Pengaruh Karakteristik Perusahaan dengan Faktor Regulasi
sebagai Variabel Kontrol Terhadap Kualitas Good Corporate Govenance
Perusahaan, Ventura, Vol 10 No. 2, hal 1-14.
Sayidah, Nur, 2007, Pengaruh Kualitas Corporate Governance Terhadap Kinerja
Perusahaan Publik, JAAI, Vol. 11 No. 1, hal 1-19.
Short, Helen dkk., 1999, Corporate Governance: From Accountability to Enterprise,
Accounting and Business Research, Vol. 29, No. 4, Hal. 337-352.
Siallagan, Hamonangan.,Pengaruh Mekanisme Corporate Governance terhadap Kualitas
Laba, Jurnal Widya Manajemen & Akuntansi, Volume 7 Nomor 1, April 2007.
Siauw Hong, 2005, Rahasia Sukses Value Creation Adhi Karya, Jakarta: Ray Indonesia.
Subekti, Imam dan Indra Wijaya Kusuma, 2001, Asosiasi Antara Set Kesempatan
Investasi dengan Kebijakan Pendanaan dan Dividen Perusahaan, serta Implikasinya
pada Perubahan Harga Saham, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 4. No. 1,
Januari, Hal. 44-63.
Sulistyanto, H. Sri dan Linggar Y. Nugraheni, 2002, Good Corporate Governance:
Berhasilkah diterapkan di Indonesia, Konvensi III dan Forum Komunikasi Hasil
Penelitian ITS dan Akademi Manajemen Indonesia, Penerbit Guna Widya, Hal. 1-7.
Suranta, Edy dan P.P. Midiastuti, 2005, Corporate Governance, Earning dan Return
Saham, Simposium Riset Ekonomi II
Tim Corporate Governance BPKP, 2003, Modul I GCG: Dasar-Dasar Corporate
Governance, Penerbit BPKP.
Waluyo, Agus Joko dan Hermeindito Ka,aro, Analisis Pengaruh Kebijakan
Dividen Serta Leverage Terhadap Keputusan Pendanaan, 2002, Jurnal Widya Manajemen
dan Akuntansi, Vol. 2 No. 1, Hal. 1-19.