33
Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 3 (2018): 556-588 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol48.no3.1746 REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA (STUDI PERBANDINGAN SISTEM HUKUM INDONESIA DENGAN SISITEM HUKUM BARAT) Mufatikhatul Farikhah * ** Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Korespondensi: [email protected] Naskah dikirim: 20 Nopember 2017 Naskah diterima untuk diterbitkan: 19 Februari 2018 Abstract Judicial Pardon in Indonesia is the result of comparative studies with several countries including the Netherlands, Greece, Portugal and Uzbekistan. The author tries to discover what legal system underlies the concept of Judicial Pardon applied in some countries and how the concept of judicial pardon is most compatible with the Indonesian Law System. This paper is based on normative legal research with a Historical Approach, Comparative Approach, and conceptual approach. Currently the criminal law is also influenced by the Anglo saxon legal system. Responding to the second issue is more appropriate when incorporating the conception of Islam as well as the customary court in its formulation, where there should be a clear formulation of any crime that can be given by the judges, so that the legal certainty is guaranteed and formulated in the RKUHAP into one type of decision that can be given by the judge for the forgiveness of a judge that is a guilty verdict without punishment. Keywords: Judicial Pardon, Indonesian Legal System, Western Legal System. Abstrak Judicial Pardon di Indonesia merupakan hasil dari studi perbandingan dengan beberapa negara yakni konsep yang telah dipraktekkan di Belanda, Yunani, Portugal dan Uzbekistan. Penulis mencoba untuk menemukan sistem hukum apa yang mendasari konsep Judicial Pardon yang diterapkan di beberapa negara serta bagaimana konsep judicial pardon yang paling sesuai dengan Sistem Hukum di Indonesia. Tulisan ini didasarkan pada penelitian yuridis normatif dengan Pendekatan Historis (Historical approach), pendekatan Perbandingan (Comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Saat ini hukum pidananya juga di pengaruhi oleh sistem hukum Anglo saxon. Menjawab permasalahan kedua lebih tepat ketika memasukkan konsepsi Islam dan juga Peradilan adat dalam perumusannya, dimana harus ada perumusan yang jelas mengenai tindak pidana apa saja yang bisa diberikan pemaafan oleh hakim, sehingga kepastian hukumnya terjamin serta menformulasikan dalam RKUHAP menjadi salah satu jenis putusan yang dapat diberikan oleh hakim atas pemaafan hakim yakni putusan salah tanpa pidana (a guilty verdict without punishment). Kata Kunci: Judicial Pardon, Sistem Hukum Indonesia, Sistem Hukum Barat.

REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 3 (2018): 556-588

ISSN: 0125-9687 (Cetak)

E-ISSN: 2503-1465 (Online)

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol48.no3.1746

REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM

HUKUM INDONESIA (STUDI PERBANDINGAN SISTEM HUKUM

INDONESIA DENGAN SISITEM HUKUM BARAT)

Mufatikhatul Farikhah *

** Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Korespondensi: [email protected]

Naskah dikirim: 20 Nopember 2017

Naskah diterima untuk diterbitkan: 19 Februari 2018

Abstract

Judicial Pardon in Indonesia is the result of comparative studies with several

countries including the Netherlands, Greece, Portugal and Uzbekistan. The

author tries to discover what legal system underlies the concept of Judicial

Pardon applied in some countries and how the concept of judicial pardon is

most compatible with the Indonesian Law System. This paper is based on

normative legal research with a Historical Approach, Comparative Approach,

and conceptual approach. Currently the criminal law is also influenced by the

Anglo saxon legal system. Responding to the second issue is more appropriate

when incorporating the conception of Islam as well as the customary court in

its formulation, where there should be a clear formulation of any crime that can

be given by the judges, so that the legal certainty is guaranteed and formulated

in the RKUHAP into one type of decision that can be given by the judge for the

forgiveness of a judge that is a guilty verdict without punishment.

Keywords: Judicial Pardon, Indonesian Legal System, Western Legal System.

Abstrak

Judicial Pardon di Indonesia merupakan hasil dari studi perbandingan dengan

beberapa negara yakni konsep yang telah dipraktekkan di Belanda, Yunani,

Portugal dan Uzbekistan. Penulis mencoba untuk menemukan sistem hukum

apa yang mendasari konsep Judicial Pardon yang diterapkan di beberapa

negara serta bagaimana konsep judicial pardon yang paling sesuai dengan

Sistem Hukum di Indonesia. Tulisan ini didasarkan pada penelitian yuridis

normatif dengan Pendekatan Historis (Historical approach), pendekatan

Perbandingan (Comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual

approach). Saat ini hukum pidananya juga di pengaruhi oleh sistem hukum

Anglo saxon. Menjawab permasalahan kedua lebih tepat ketika memasukkan

konsepsi Islam dan juga Peradilan adat dalam perumusannya, dimana harus ada

perumusan yang jelas mengenai tindak pidana apa saja yang bisa diberikan

pemaafan oleh hakim, sehingga kepastian hukumnya terjamin serta

menformulasikan dalam RKUHAP menjadi salah satu jenis putusan yang dapat

diberikan oleh hakim atas pemaafan hakim yakni putusan salah tanpa pidana (a

guilty verdict without punishment). Kata Kunci: Judicial Pardon, Sistem Hukum Indonesia, Sistem Hukum Barat.

Page 2: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 557

I. PENDAHULUAN

Hukum pidana merupakan salah satu bidang dari sistem hukum nasional

yang didalam kerangka kerjanya merupakan bagian dari sistem peradilan

pidana. Hukum pidana dan sistem peradilan pidana, merupakan salah satu

instrumen pengaturan dan perlindungan berbagai kepentingan secara seimbang

diantara kepentingan negara, kepentingan masyarakat dan kolektivitas

didalamnya maupun kepentingan individu atau perorangan termasuk

kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan1. Hukum pidana

cenderung merupakan penyempurna bagi peraturan hukum lainnya, dimana

hukum pidana sebagai sebuah pisau yang membatasi kewenangan dan juga hak

dari seseorang, seringkali kita mendengar bahwa hukum pidana merupakan

alternatif terakhir yang digunakan dalam menyelesaikan suatu konflik yang

timbul dari adanya pergeseran hak antar masyarakat. Disatu sisi hukum pidana

akan melindungi hak seseorang tapi disisi lain juga membatasi bahkan

merampas hak seseorang lainnya.

Rasa keadilan masyarakat (Moral Justice) pernah selalu di anggap

jarang bisa terpenuhi oleh apa yang telah menjadi hasil dari sebuah acara

persidangan di Pengadilan. Telah banyak dilakukan tindakan dan upaya oleh

lembaga-lembaga hukum pidana di negara kita untuk memulihkan citra hukum

di mata masyarakat, bahkan tidak henti-hentinya negara kita melakukan

perbandingan hukum dengan negara-negara lain demi mendapatkan akan

sesuatu peraturan atau kebijakan yang nantinya di harapkan bisa menekan

angka tindak pidana dan tentu saja juga demi tercapainya rasa keadilan

masyarakat dari putusan-putusan yang di keluarkan oleh hakim-hakim pidana

nantinya.

Dalam perkembangannya sekarang, perbandingan hukum tidak

mempunyai objek tersendiri tetapi mempelajari hubungan-hubungan sosial

yang telah menjadi objek studi dari cabang-cabang hukum yang telah ada2.

Sebagian dari hasil perbandingan hukum pidana nasional dengan hukum pidana

di negara-negara lain itulah kemudian menjadi bahan dalam pembaharuan

hukum pidana Indonesia yang kemudian dituangkan dalam Rancangan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, dan mungkin juga akan di tuangkan dalam

peraturan perundang-undangan lain nantinya, dimana tentu saja sejauh tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum pidana nasional.

Sejalan dengan selalu munculnya harapan-harapan dari masyarakat

untuk pencapaian Moral Justice ini, sebenarnya hal ini telah terlebih dahulu di

pikirkan atau di harapkan untuk selalu dapat tercapai oleh hakim-hakim pidana.

Hakim mengenal ada dua rasa keadilan yang akan berlaku setelah dia membuat

suatu keputusan atau setelah menjatuhkan suatu hukuman atau pidana terhadap

seorang individu anggota masyarakat. Rasa keadilan masyarakat dan rasa

keadilan berdasar undang-undang. Apabila rasa keadilan berdasar undang-

undang ini di anggap oleh hakim telah terpenuhi lewat putusan yang ia

jatuhkan, maka belum tentu juga di rasakan adil oleh masyarakat, atau bahkan

1 Muladi, “Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana”, (Semarang: Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, 1995),hal. ix. 2 Barda Nawawi Arief, “Perbandingan Hukum Pidana”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2005), hal. 2-3.

Page 3: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

558 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018

ada yang menyatakan keputusan itu benar-benar tidak adil, dan begitu pula

sebaliknya. Walaupun keputusan hakim untuk menghukum seringan-ringannya

terhadap seorang pelaku tindak pidana yang menurut hakim putusan tersebut

sudah sangat tepat, namun masih saja di anggap tidak adil oleh si terdakwa

dengan berbagai alasan.

Hakim bisa saja menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa jika

dalam perbuatannya tidak memenuhi unsur melawan hukum, menjatuhkan

putusan lepas terhadap terdakwa jika dalam perbuatannya bukan merupakan

suatu tindak kejahatan dan menjatuhkan putusan pidana penjara terhadap

seorang terdakwa jika semua unsur pertanggungjawaban pidana terbukti,

sehingga bisa di katakan sebagai suatu tindak pidana atau dengan kata lain

terdakwa terbukti bersalah. Namun dalam Rancangan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana konsep 2016 terdapat sebuah pembaharuan dimana hakim dapat

menjatuhkan putusan yang di katakan sebagai Judicial Pardon (pemaafan oleh

hakim) terhadap terdakwa yang jelas terbukti bersalah melakukan tindak

pidana. Dalam konsep ini Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu,

hukum memberikan kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf atau

pengampunan kepada terpidana tanpa menjatuhkan pidana atau tindakan

apapun. Konsep Judicial Pardon ini dituangkan dalam pasal 56 ayat (2)

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana konsep 2016 yang berbunyi:

Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada

waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan

dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan

tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan peneliti sebelumnya terdapat

kelemahan–kelemahan yang muncul dalam rumusan Judicial Pardon jika

dikaitkan dengan hukum Indonesia sendiri terutama jika terkait dengan hukum

yang berlaku dalam masyarkat. Untuk itu sudah seharusnya melihat konsep ini

tidak hanya dari hukum negara lain yang telah ada namun mencoba untuk

menggali dari apa yang ada di dalam masyarakat Indonesia sendiri. Diketahui

bahwa Indonesia menganut sistem campuran yakni didasarkan pada apa yang

benar-benar ada dalam masyarakat Indonesia.

Judicial Pardon di harapkan bisa menjadi salah satu motor untuk

tercapainya dua rasa keadilan yang ada dalam penerapan hukum dan Undang-

Undang yaitu Moral Justice dan Law Justice. Harapan inilah yang tentu saja

dharapkan oleh tidak hanya penegak hukum namun juga semua elemen

masyarakat yang ada diIndonesia ini. Judicial Pardon di Indonesia merupakan

hasil dari studi perbandingan dengan beberapa negara yakni konsep yang telah

dipraktekkan di Belanda, Yunani, Portugal dan Uzbekistan. Namun pembuat

undang-undang belum melihat hukum adat di Indonesia yang juga telah

menerapkan konsep yang sama dengan Judicial Pardon yakni dalam

masyarakat adat, diantara nya Masyarakat Batak Karo, Masyarakat Lampung

Menggala, Minangkabau, serta di Aceh. Untuk itulah perlu adanya kerangka

dasar konsep Judicial Pardon yang akan bertitik tolah pada sistem hukum

Universal yang dipakai oleh negara-negara yang telah mempraktekkan konsep

tersebut serta perlu juga untuk melihat konsep yang ada di Indonesia sehingga

tujuan dasar dari pembaharuan hukum pidana terkait dengan pedoman

pemidaan yang hasil akhirnya adalah putusan yang adil dapat tercapai.

Page 4: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 559

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan Jenis Penelitian Yuridis Normatif yang

mengkaji pokok permasalahan berdasarkan kaidah hukum dan norma hukum

yang ada di dalam hukum Positif. Dalam penelitian ini terdapat tiga (3) Metode

pendekatan yang akan digunakan yaitu Pendekatan Historis (Historical

approach) dan pendekatan Perbandingan (Comparative approach) untuk

permasalahan pertama serta pendekatan konseptual (conceptual approach)

untuk permasalahan kedua. Pendekatan Historis (Historical approach)

dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke

waktu, serta untuk memahami perkembangan dan perubahan filosofis yang

malandasi suatu aturan hukum3. Dalam penelitian ini pendekatan tersebut

digunakan untuk menemukan dasar filososofis munculnya konsep Judicial

Pardon.

Pendekatan Perbandingan (Comparative approach) dilakukan untuk

membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum

dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain4. Dalam

penelitian ini, perbandingan yang dilakukan adalah perbandingan antara Sistem

hukum negara yang telah menggunakan dan menerapkan Judicial Pardon

dengan Indonesia yang mencoba untuk memasukkan Judicial Pardon dalam

pembaharuan hukum pidana-nya.

Pendekatan konseptual (conceptual approach) merupakan suatu

pendekatan yang digunakan untuk memperoleh kejelasan dan pembenaran

ilmiah berdasarkan konsep-konsep hukum yang bersumber dari prinsip-prinsip

hukum.5 Pendekatan ini dilakukan dengan melihat pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum yang bertujuan untuk

menemukan ide yang melahirkan konsep-konsep hukum, pengertian hukum,

dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sistem Hukum Yang Mendasari Konsep Judicial Pardon Di Beberapa

Negara

Judicial pardon merupakan konsep baru dalam Perkembangan Hukum

Pidana Indonesia yang kemudian tertuang dalam Rancangan undang-undang

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) konsep 2016. Namun

konsep ini sebelumnya juga telah diberlakukan di beberapa negara yakni

Yunani, Belanda dan Portugal dengan berbagai formulasi yang berbeda namun

memiliki kesamaan makna yakni kewenangan yang diberikan oleh undang-

undang kepada hakim untuk memberikan pemaafan kepada seorang terdakwa

yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana dengan beberapa

ketentuan sebagai syarat adanya pemberian maaf tersebut. Konsep ini kemudian

di coba untuk di formulasikan dalam RUU KUHP konsep 2005, 2008 hingga

2016.

3 Peter Mahmud Marzuki, ”Penelitian Hukum”, (Kencana; Jakarta, 2005), hal.126 4 Ibid,hal.133 5 Ibid,hal. 138

Page 5: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

560 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018

Untuk mengetahui apakah kemudian konsep ini sesuai dan bisa

diberlakukan di Indonesia maka haruslah dilihat terlebih dahulu asal-usul atas

konsep ini dan juga latar belakang munculnya konsep ini. Untuk melihat asal

usul dari konsep ini perlu dilakukan perbandingan dengan negara yang telah

memberlakukan konsep ini. Perbandingan dilakukan dengan melihat sistem

hukum dari negara-negara yang telah menggunakan judicial pardon dalam

hukum pidananya masing-masing sehingga akan nampak perbedaan dan juga

kesamaannya. Seperti yang di ungkapkan Rudolph von Jhering (Konrad

Zweigert, 1977: 13).6 Bahwa:

“Resepsi institusi hukum asing ke dalam hukum nasional bukanlah

masalah apakah nasionalisme atau tidak, tetapi lebih merupakan

masalah manfaat dan kebutuhan. Tidak ada orang yang keberatan untuk

memagari halamannya setingi-tingginya jika semua cukup tersedia di

pekarangan sendiri. Tetapi hanya orang bodoh yang menolak makan

buah apel, hanya karena buah apel tersebut tdak dipetik dari pohon yang

terdapat dalam pekarangannya sendiri”

Dari kalimat tersebut maka bisa dilihat bahwa mempelajari hukum dari negara

lain diperlukan untuk melihat apakah manfaat dan juga kebutuhan atas hukum

asing tersebut atas hukum Indonesia.

Terdapat beberapa sistem hukum di dunia yang dikelompokkan oleh

beberapa ahli berdasarkan asal-usul, sejarah perkembangannya dan berdasarkan

metode penerapannya. Ada beberapa pengelompokan keluarga sistem hukum,

diantaranya sebagai berikut:

1. Marc Ancel, membedakan menjadi 5 sistem:

a. Sistem Eropa Kontinental (system of civil law)

b. Sistem Anglo American (common law system)

c. Sistem Timur Tengah (middle East system)

d. Sistem Timur Jauh (far East system)

e. Sistem negara-negara sosialis 7

2. Rene David, mengelompokkannya menjadi empat sistem:

a. Hukum Romawi-Jerman (The Romano Germanic Family)

b. Hukum Kebiasaan (The common Law Family)

c. Hukum Sosialis (The family of socialis law)

d. Konsepsi-konsepsi hukum dan tatanan sosial lainnya (keluarga hukum

agama dan hukum tradisional)8

Dalam pengelompokan ini terdapat dua sistem hukum yang berpengaruh besar

terhadap perkembangan hukum di dunia yakni sistem hukum anglo american

(common law) dan sistem hukum Eropa kontinental (civil law) yang kemudian

telah dijelaskan penulis dalam bab kajian pustaka. Dalam kaitannya dengan

konsep judicial pardon, penulis membandingakan tiga negara yang telah

menggunakan konsep tersebut, yang secara hukum memiliki sistem hukum

6 Konrad Zweigert, dan Heint Kotz, An Introduction to Comparative Law, Volume

I.Amsterdam,Belanda: North Holland Publishing company,1977 Dikutif dari bukunya Munir

Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, PT.Refika Aditama, Bandung, 2007, Hlm 1 7 Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, London,

Routledge and Kegan paul, 1965. Hal 21. 8 Rene David dan John E.C.Brierley, Major Legal Systems in The World Today, London,

Stevens and Sons, 1978,. Hal. 28

Page 6: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 561

yang sama namun memiliki sejarah dan asal-usul yang berbeda mengenai

sistem hukumnya.

1. Yunani

Hukum Yunani kuno adalah salah satu sumber sejarah terpenting bagi

tatanan hukum modern di eropa. Plato dan Aristoteles, dua tokoh Yunani yang

membangun tatatan kenegaraan yang ideal serta merupakan titik tolak dari ilmu

politik masa kini menjadikan Yunani sebagai negara yang tidak akan pernah

lepas dari bagian sejarah hukum dan politik dunia. Selain itu kota Athena yang

merupakan salah satu negara kota terbesar Yunani membentuk institusi

demokrasi pertama di Dunia.

Pada akhir abad IV SM (356-323 SM), iskandar muda, Raja Macedonia

Yunani, merebut Asia Kecil, Mesir, Babilonia, Persia dll. Kerajaan yang

terbentuk melalui penaklukan-penaklukan ini terlampau luas untuk bisa

bertahan, sehingga tak lama kemudian kerajaan itu pecah menjadi sejumlah

monarchi absolutisme. Dimana kehendak monarkh (raja) adalah “undang-

undang/aturan-aturan hidup”, suatu formula yang kemudian dimabil alih oleh

kaisar-kaisar Romawi maupun raja-raja Eropa Barat.9

Bangsa Yunani kuno (abad IV SM – III SM) miskin prestasi di bidang

perundang-undangan dan hukum, sehingga praktis hampir tidak ada

peninggalan-peninggalan berupa kitab hukum atau undang-undang. Yang bisa

dicatat oleh sejarah hukum Yunani kuno adalah naskah-naskah hukum sebagai

berikut:10

1. Pledoi-pledoi dari Demosthenes dan Isaios (abad IV SM)

2. Undang-undang Gortyn (di luar Athena), yang diketemukan kembali

naskahnya di Pulau Kreta pada tahun 1884. Undang-undang ini berasal dari

tahun 480-460 SM, umumnya mengatur tentang hukum perdata, seperti

perkawinan, hukum warus, hak milik, adopsi anak dan lain-lain.

3. Undang-undang Dura, yang berasal dari abad IV SM, berasal dari Dura (di

daerah Eufrat)

Pada abad III SM kebudayaan Hellenisme mulai mempengaruhi orang-

orang terkemuka Kerajaan Romawi. Sejak didirikan kota Roma pada abad VIII

SM orang Romawi membentuk peraturan hidup bersama sesuai dengan

kebutuhan Rakyat. Pada awalnyanya peraturan ini hanya menyangkut

kehidupan dalam kota, namun kemudian menjadi lebih universal dengan

bertambahnya wilayah kekuasaan romawi hingga menaklukkan Yunani pada

146 SM. Aliran filsafat hukum Yunani yang paling mempengaruhi Romawi

adalah aliran Stoa.11 Dalam aliran stoa suatu ide baru tentang negara

dikembangkan. Menurut filsafat Yunani klasik negara membawa manusia ke

arah kesempurnaan. Karenanya negara berhak dan berkewajiban mendidik

orang dalam segala bidang kehidupan. Namun ide ini tidak di terima oleh

Cicero, menurutnya negara merupakan perkumpulan orang banyak yang

9 Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengatar,

Bandung; PT.Refika Aditama, 2005. Hlm. 155. 10 Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Bandung; PT.Refika Aditama, 2007. Hlm.

66 11 Ide dasar stoa adalah, bahwa semuanya yang ada merupakan suatu kesatuan yang

teratur (kosmos), berkat sutu prinsip yang menjamin kesatuan itu yakni jiwa dunia (logos).

Page 7: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

562 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018

dipersatukan melalui sutu aturan hukum berdasarkan kepentingan bersama.12

Sehingga negara dalam pelaksanaannya harus tetap berpedoman pada hukum

yang ditentukan (hukum alam) dan memiliki tujuan untuk memajukan

kepentingan umum.

Pada abad V M kekaisaran Romawi Runtuh, hal ini menjadi suatu

permulaan zaman baru dalam sejarah yang diberi nama abad Pertengahan. Pada

abad ini mulai masuk Agama Kristiani dan Islam serta bangsa-bsangsa lain

selain Yunani dan Romawi yaitu bangsa Eropa dan bangsa Arab. Namun

warisan Romawi dan Yunani tidak serta merta hilang, karena Yunani dengan

filsafat Aristoteles-nya dipelajari terus oleh pemikir-pemikir Islam dan

kemudian sejak abad 12 di teruskan kepada pemikir Eropa. Sedangkan Romawi

pada abad ke VI mengalami perekmbangan dibidang hukumnya yang muncul di

bagian timur kekaisaran Romawi yakni Kekaisaran Byzantium. Pada tahun 528-

534 sarjana-sarjana hukum byzantium telah menyusun Codex Juris Romani atas

perintah kaisar Justinianus. Yang kemudian disebut dengan Codex Justinianus

atau Corpus Juris Civilis. Kekaisaran Byzantium ini bertahan selama abad

pertengahan sampai abad ke-15, yakni sampai Byzantium (Istanbul) direbut

oleh Sultan Osman (1453).13

Masa kejayaan Byzantium ini juga mepengaruhi hukum di Yunani,

dimana Yunani pada masa itu terpengaruh atas hukum perdata Romawi dan

menggunakannya dalam hukum perdata negara Yunani pada masa itu.

Kemudian di tahun 1946 Yunani menggantinya dengan mengeluarkan Kitab

Undang-undang Perdata Yunani yang banyak dipengaruhi oleh hukum Jerman,

dimana Kitab Undang-undang Hukum Perdata Jerman yang berlaku 1 januari

1900 di dasarkan pada Corpus Juris Civilis dan hukum kebiasaan Jerman,

sehingga tidak menggunakan Corpus Juris Civillis secara murni.

Corpus Juris Civillis terdiri dari empat bagian yaitu: 14

1. The Institute

Berisikan teks yang merupakan pengantar dari Corpus Juris Civillis

2. The Digest

Merupakan kumpulan aturan hukum yang paling lengkap, dan yang sangat

mempengaruhi perkembangan hukum selanjutnya dalam sistem hukum

Eropa Kontinental khusunya dalam bidang-bidang seperti status personal,

perbuatan melawan hukum, pemilikan barang tanpa hak, kontrak, masalah

ganti rugi, dan lain-lain.

3. The Code

Merupakan kumpulan aturan legislasi bangsa Romawi yang di susun secara

sitematis.

4. The Novels

Marupakan aturan legislasi yang dibuat setelah selesainya pembuatan The

Digest dan The Code

Hukum Romawi merupakan cikal bakal dari sistem hukum Eropa

Kontinental, namun pengaruh hukum Romawi juga terasa dalam perkembangan

sistem hukum Anglo Saxon. Hukum Romawi sebagaimana yang ada dalam

12 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta; Kanisius, 1982.

Hlm.33. 13 Ibid. Hlm.35 14 Munir Fuady, Op.Cit. hlm. 59

Page 8: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 563

Corpus Juris Civillis terus berlaku dan berkembang sampai setelah jatuhnya

Kerajaan Romawi. Pada saat penaklukan oleh bangsa Germania, hukum

Romawi juga masih digunakan disamping juga mulai berlaku hukum Kanonik

(Gerejawi). Hukum Kanonik merupakan hukum yang sangat dipengaruhi oleh

ajaran agama, yanga dalam hal ini agama kristen, tetapi hukum ini sebenarnya

mempunyai watak hibrida yakni hukum campuran antara unsur ide-ide agama

kristen dengan struktur, prinsip, kaidah, dan aturan hukum Romawi Klasik.

Hukum Kanonik ini ikut mempengaruhi berbagai pembentukan hukum saat itu

dan beberapa saat setelahnya yakni:15

1. Beberapa undang-undang yang dibuat oleh penguasa Eropa dari Bangsa

Germania

2. Legislasi dari The Carolingian (800 M)

3. Iperium Romawi Suci (962 M)

Menurut Mary Ann Glendon 16Pada abad pertengahan gereja telah mempunyai

yuridiksi pengadilan sendiri, khususnya dalam bidang hukum perkawinan,

warisan dan sampai pada batas-batas tertentu juga dalam bisang hukum pidana,

dan hukum kanonik yang dibuat di masa pemerintahan gereja ini diberlakukan

pula oleh pengadilan-pengadilan sekuler, bahkan setelah hilangnya kekuasaan

yuridiksi hukum sipil dan gereja.

Pada tahun 1896 dibuat kodifikasi Jerman Pertama yakni Kodifikasi

Jerman yang dikenal dengan sebutan Burgerliches Gesetzbuch yang kemudian

mulai berlaku taun 1900. Negara-negara di dunia dengan sistem hukum Eropa

Kontinental memberlakukan salah satu diantara kodifikasi Jerman dan

Kodifikasi Perancis (Code Napoleon). Kodifikasi Jerman memilki beberapa ciri

tersendiri yang berbeda dengan Kodifikasi Perancis, diantaranya adalah:17

1. Kodifikasi Jerman lebih ilmiah, sistematis, rumit, tetapi dengan konsep-

konsep hukum yang lebih abstrak. Pembuatannya membutuhkan waktu 22

tahun (1874-1900)

2. Kodifikasi Jerman bukan dimaksudkan untuk dibaca oleh rakyat biasa yang

awam dari hukum, namun diperuntukkan kepada para profesional hukum,

seperti profesor hukum, hakim, jaksa, polisi atau pengacara.

3. Kodifikasi Jerman mencoba membuat hukum baru dengan mendasari pada

hukum tradisi Jerman, yang hal ini dipengaruhi oleh ajaran ahli hukum Von

savigny yang menyatakan hukum harus dikaji dari sejarahnya (aliran sejarah

hukum)

4. Kodifikasi Jerman ini disumberkan juga dari Sumber Hukum Romawi

Langsung, sehingga Kodifikasi ini mengambil langsung bahan-bahannya

dari hukum Romawi versi Kode Justinian.

5. Kodifikasi Jerman sering disebut bersifat pandectist (istilah untuk menyebut

orang-orang jerman masa itu), karena dalam pembutaan kodifikasi jerman

tersebut dilakukan dengan menggali sejarah hukum dan hanya menerima

hukum romawi sebagai sebagai suatu data saja, dan menganalisis dan

menformulasikan kembali dalam versi mereka.

15 Ibid, Hlm. 62 16 Mary Ann Glendon, Comparative Legal Tradition, St.Paul,Minnesota,USA; West

Publishing Co, 1982. Hlm. 20. Dikutip dari Munir Fuady, Ibid. 17 Uraian ini berdasarkan karya Munir Fuady, Ibid. Hlm. 65-96

Page 9: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

564 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018

6. Model kodifikasinya Abstrak dan Teoritik. Kitab undang-undang dibuat

secara hati-hati dan terorganisir dengan baik, konsisten, dengan suatu alur

berfikir secara filosofis, yang banyak memuat teori-teori, prinsip-prinsip,

konsep-konsep, kaidah-kaidah hukum yang diatur secara logis dan koheren.

Namun kodifikasi dengan model ini dapat menyebankan sedikit kaku dan

sulit untuk di mengerti.

Kodifikasi Jerman memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Kodifikasi dimulai dari Bagian umum yang memberikan definisi dan

penjelasan terhadap prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang digunakan

dalam kitab hukum tersebut.

2. Mempergunakan bahasa-bahasa khusus yang dipakai secara berulang-ulang

secara konsisten

3. Pengguaan konsep-konsep hukum secara konsisten

4. Mempunyai tingkat keakuratan tekhnis yang sangat tinggi, lebih tinggi

dibandingkan kodifikasi manapun di dunia

5. Setiap konstruksi kalimat umumnya menunjukkan di pundak siapa berada

beban pembuktian

6. Kodifikasi menghindari sistem bertele-tele (prolixity) dari kodifikasi di

Prussia

7. kodifikasi juga menghindari sistem ringkas dan skematis (epigramatic

brevity) dari kodifikasi di perancis

8. semua bagian dari kodifikasi itu dikunci dengan sistem cross reference yang

komprehensif sehngga menghasilkan suatu sistem logis yang tertutup

9. meskipun kodifikasi tidak terlalu Rumit, tetapi hampir semua persoalan

hukum dapat dicari acuannya dalam salah satu bagian dari kodifikasi

tersebut.

Karakteristik diatas yang hingga kini mempertahankan Kodifikasi Jerman

sebagai salah satu kodifikasi yang banyak di ikuti oleh negara-negara dengan

sistem Hukum Eropa Kontinental.

Dari uraian sejarah panjang Yunani kuno hingga Yunani Modern,

bisa dilihat bahwa perkembangan sistem hukum Eropa Kontinental berpengaruh

luas di negara tersebut, dimana salah satu ciri penting dari sistem hukum ini

adalah adanya kodifikasi hukum. Yunani yang merdeka dari Turki ditahun 1828

dan pada masa Perang dunia II berada dibawah kekuasaan Jerman memang

lebih banyak terpengaruh oleh kodifikasi Jerman dalam pembuatan hukumnya

namun kodifikasi Napoleon juga berpengaruh pada pembentukan hukumnya

yakni pada Kitab Hukum negara Yunani (yang baru) yang di buat di abad ke-

20. Negara Yunani sudah lama menjadi negara dengan sistem hukum Eropa

Kontinental, tetapi baru memiliki Kitab Undang-undang setelah Perang Dunia

II.

Pada masa yunani kuno belum ada pemisahan hukum antara publik

dan privat, sehingga pada masa ini proses peradilan nya dilakukan dengan

prosedur yang mirip dengan sistem peradilan pidana yang berlaku sekarang.18

Sistem pemidanaan pada masa ini di dukung oleh sembilan pengadilan yang

didirikan di seantero Athena.

a. Middle Court (Pengadilan Pusat)

b. Greater Court (Pengadilan Superior/yang lebih besar)

18 Uraian ini didasarkan pada karya Herman Bakir,Op.Cit. hlm. 63-71

Page 10: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 565

c. Red Court (Pengadilan Merah)

d. Green Court (Pengadilan Hijau)

e. Areopagus

pengadilan ini berada di bukit Ares di Athena. Pegadilan ini bersidang hanya

untuk kasus-kasus berkelas intentional homicide (pembunuhan berencana)

yang dikelola oleh para Arkhon yang sudah memiliki pengalaman yang luas

dalam segi administrasi pemerintahan termasuk administrasi pengadilan.

Sejumlah putusan-putusan common (publik; pidana) yang sudah diputusakan

oleh pengadilan ini telah mengirimkan beberapa yang bersalah ke

pengasingan atau menyita seluruh harta kekayaan. Di abad ke 5 SM,

pengadilan ini diturunkan ke dalam empat tipe pengadilan:

- Palladion

Pengadilan untuk kasus unintentional homicide (pembunuhan tidak

berencana) dimana seseorang mengakibatkan kematian orang lain

dikarenakan sesuatu yang tidak direncanakan (dalam keadaan membela

diri). Hukuman yang diberikan untuk mdel pembunuhan yang tidak

disengaja ini adalah dengan mengasingkan atau mendeportasi pelaku ke

luar dari kota Athena.

- Delphinion

Pengadilan ini untuk kasus-kasus pembunuhan yang dlakukan oleh

seseorang dengan alasan pembenar atas tindakannya mengakibatkan

kematian orang lain.

- Prythaneion

Pengadilan ini untuk hewan, obyek in-animasi atau orang yang tidak

dikenali yang mengakibatkan kematian terhadap orang athena.

- Phreatto

Pengadilan ini diperuntukkan untuk usaha percobaan pembunuhan tidak

berencana.

Proses hukum yang digelar di pengadilan-pengadilan ini lebih mengutamakan

aspek ekonomisnya baik dari segi waktu, tenaga maupun biaya, dari sini bisa

menjelaskn bahwa proses hukum di Athena melihat pada asas manfaat selain

juga mengutamakan asas kepastian hukum dan keadilan. Untuk mengakomodir

ketiga asas ini maka pengadilan di Athena dijalankan oleh rakyat biasa untuk

mengungkap kebenaran, menyatakan putusan dan melaksanakan putusan.

Proses peradilan juga dilakukan hanya dalam waktu satu hari untuk tiap kasus,

tidak menunggu berlarut-larut yang kiranya bisa memperpanjang waktu proses

hukum suatu kasus.

Sistem yang dilakukan dalam proses pengadilan di Athena adalah

sistem juri, yaitu sekelompok orang yang dipilih untuk menetapkan mana yang

adil dan benar melalui pembuktian secara faktual dalam suatu proses dan pada

istruksi dari pengadilan untuk menerapkan hukum ke dalam fakta-fakta.

Terdapat beberapa fakta menarik mengenai juri di Athena diantaranya:

a. Juri yang beracara dalam suatu perkara ditetapkan dalam jumlah yang cukup

besar yaitu umumnya 6001 orang anggota tiap perkara, namun kuantitas ini

masih relatif tergantung dari tingkat kerumitan kasusnya. Banyak nya juri

diyakini akan menghindari praktek manipulasi dan korupsi dari orang-orang

tertentu.

b. Juri yang bersidang harus berjumlah ganjil, tidak boleh bersidang dalam

jumlah genap. Misalnya dewan juri harus terdiri dari 5001,1003,2007 orang

Page 11: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

566 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018

dan seterusnya. Angka ganjil ini untuk menghindari keadaan tie (seri).

Karena dalm hukum Athena kondisi ties ini akan menguntungkan terdakwa

dimana hal itu berarti pembebasan terdakwa dari segala tuntutan hukum.

c. Persyaratan mutlak dari juri adalah harus warga Athena (kedua orang tuanya

asli orang Athena), dan sudah berusia minimal 30 tahun.

Aspek lain yang cukup menarik dari prosedur pemidanaan di Athena adalah

hanya warga berkelamin pria saja yang diperbolehan mengajukan tuntutan

(memperkarakan seseorang) ke pengadilan, sebagai salah satu pihak yang

menjadi litigant. Perempuan boleh mengajukan tuntutan namun harus diwakili

ayahnya, saudara laki-lakinya atau laki-laki lain yang ada hubungan darah

dengannya.

Dari aspek-aspek diatas dapat di lihat mengenai pemahaman orang

Athena mengenai konsep Keadilan, dimana pemahaman tentang keadilan

haruslah sesuatu yang mempresentasikan realitas kemasyarakatan. Yang bisa

diartikan bahwa sesuatu baru bisa dikatakan adil ketika itu adalah apa yang oleh

sebagin besar masyarakat diterima sebagai hukum. Konsep keadilan ini

kemudian menginspirasi kehadiran doktrin sociological jurisprudence yang

pada awal abad XX mulai dikembangkan oleh yuris Amerika Roscoe Pound.

Sistem peradilan pidana Yunani saat ini terpengaruh oleh sistem

perdilan pidana Jerman, dimana Yunani tidak lagi menggunakan sistem Juri,

namun menggunakan sistem campuran dimana terdapat hakim yang merupakan

ahli hukum dan juga hakim yang berasal dari masyarakat awam yang disebut

dengan lay judges. Hakim ini secara bersama-sama memeriksa dan memutus

perkara. Jumlah dari hakim ahli hukum dan hakim awam tergantung dari berat

ringan suatu perkara. Jika terjadi pelanggaran hukum ringan maka hanya akan

di adili oleh satu hakim tunggal, untuk kejahatan ringan diadili oleh 1 hakim

ahli dan 2 hakim awam, kejahatan tergolong berat dengan 2 hakim ahli dan 2

hakim awam, kejahatan-kejahatn khusus dengan 3 hakim ahli dan 2 hakim

awam, dan untuk kejahatan serius terhadap hak asasi manusia maka akan diadili

oleh 5 juri ahli tanpa juri awam.19

Dalam hukum pidana Yunani memang tidak disebutkan secara

langsung mengenai istilah Judicial Pardon namun dari formulasi kalimatnya

menunjukkan adanya Judicial Pardon. Dalam salah satu pasal di KUHP Yunani

disebutkan bahwa:

Dalam hal-hal tertentu pengadilan dapat menahan diri untuk

menjatuhkan pidana, yaitu apabila:

(a) Delik sangat ringan;

(b) mempertimbangkan watak jahat dari pelaku; dan

(c) penjatuhan pidana dipandang tidak bermanfaat sebagai sarana

untuk mencegah pelaku mengulangi lagi tindak pidana (special

deterrence).20

Dari rumusan diatas Judicial Pardon nampak pada kalimat Pengadilan dapat

menahan diri untuk menjatuhkan pidana, dari kalimat tersebut terdapat dua hal

19 Casper, Gerhard; Zeisel, Hans (January 1972). "Lay Judges in the German Criminal

Courts" . Journal of Legal Studies 1 (1): 142 . http://www.jstor.org/stable/724014. diakses

tanggal 29 Agustus 2017. 20 Barda Nawawi Arief, Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana. Log.Cit.

Page 12: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 567

yang merujuk pada Judicial Pardon yakni kata “dapat” dan “menahan diri”.

Kata “dapat” memiliki definisi yaitu ada kemampuan untuk berbuat, boleh,

mampu; sanggup; bisa,21 sedangkan “menahan diri” berasal dari dua kata

“menahan” dan “diri”, “menahan” berarti menghambat atau mencegah supaya

berhenti22 dan “diri” menunjuk pada hakimnya. Sehingga dua kata ini

menjelaskan bahwa hakim sebagai pemutus perkara memiliki kewenangan

secara mutlak untuk memutuskan berdasarkan segala pertimbangannya, di sini

hakim bisa atau boleh menggunakan kewenangnya itu untuk menjatuhkan

pidana atapun tidak menjatuhkan pidana. Namun dalam hal ini hakim mendapat

batasan yang juga dimuat dalam rumusan pasalnya, dimana Hakim untuk

memberikan Judicial Pardon pada terdakwa harus mempertimbangakan

batasan-batasannya yakni:

1. Delik sangat ringan

Di dalam pasal ini tidak dijelaskan batasan mengenai delik ringan, tapi

berdasarkan ilmu pengetahun yang bisa dikategorikan delik ringan adalah

perbuatan yang tidak menimbulkan akibat yang cukup berarti untuk

korban.

2. Mempertimbangkan watak jahat dari pelaku

Untuk mengetahui watak dari pelaku bisa di lihat dari asal ususl pelaku

baik dengan menelusuri sifat pelaku secara genetikal yakni dengan melihat

bagaimana keluarga pelaku, maupun dengan melihat lingkungan tempat

tinggap pelaku. Selain itu secara psikologi watak seseorang juga bisa

dilihat yakni melalui ilmu yang disebut karakterologi. Ilmu ini mepelajari

tentang watak manusia. Karakterologi berasal dari bahasa belanda yaitu

karakter, yang berarti watak dan logos, yang berarti ilmu. Jadi

karakterologi adalah ilmu watak. Tipe manusia disolongkan menjadi:23

a. Konstitui jasmani, merupakan keadaan jasmani yang secara fisiologis

merupakan sifat-sifat bawaan sejak lahir. Konstitusi jasmani ini

berpengaruh juga pada tingkah laku orang itu, dan merupakan sifat-

sifat yang khas, asli dan tidak dapat diubah. Misalnya sifat-sifat orang

bertubuh langsing, tentu berbeda dengan sifat-sifat orang berubuh

gemuk dan sebagainya.

b. Temperamen, merupakan sifat-sifat seseorang yang disebabakan

adanya campuran-campuran zat didalam tubuhnya yang juga

mempengaruhi tingkah laku orang itu. Jadi temperamen berarti sifat

laku jiwa, dalam hubungannya dengan sifat-sifat kejasmanian.

Temperamen, juga merupakan sifat-sifat yang tetap tidak dapat

dididik.

c. Watak ialah pribadi jiwa yang menyatakan dirinya dalam segala

tindakan dan pernyataan dalam hubungannya dengan bakat,

pendidikan, pengalaman dan alam sekitarnya.

Disini Temperamen dan Watak adalah suatu pribadi jiwa, yang

membedakan adalah temperamen sifatnya tetap sedangkan watak dapat di

didik atau di ubah. Selain itu watak manusia di golongkan kepada tiga tipe,

21 Kamus Besar Bahasa Indonesia 22 ibid 23 Abu Ahmadi, Psikologi Umum (Edisi Revisi), Semarang: PT. Bina Ilmu Offset,1992.

Dalam http://atriaindahlestari.ngeblogs.com/2010/04/24/karakterologi/, diakses tanggal 09

Agustus 2017.

Page 13: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

568 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018

yang digolongkan oleh Heymans seorang ahli psikologi belanda,

penggolongan tersebut adalah:24

a. Emotienoliteit, orang emosional bersifat lekas memihak, fantasinya

kuat, tulisan dan bicaranya agak aneh, kurang mencintai kebenaran,

mudah marah, mudah mencintai dan senang sensasi

b. Fungsi Sekunder, orang yang berfungsi sekunder bersifat betah

dirumah, taat kepada adat, setia dalam persahabatan, besar rasa terima

kasihnya, sukar menyesuaikan diri, mudah verstroit dan konsekuen.

c. Aktifiteit, orang yang aktif bersifat suka bekerja, mudah bertindak,

mempunyai banyak hobi, mudah mengatasi kesulitan dan sebagainya.

Sehingga dengan menilai seseorang secara psikologi, hakim akan bisa

melihat kebenaran dibalik seseorang, sehingga hakim akan bisa menilai

secara adil.

3. Penjatuhan pidana dipandang tidak bermanfaat sebagai sarana untuk

mencegah pelaku mengulangi lagi tindak pidana (special deterrence).

Disini nampak bahwa tujuan pemidanaan di tekankan pada asas

kemanfaatan, dimana pemidaaan diberikan kepada seorang terdakwa

dengan mempertimbangan manfaat baik bagi terdakwa ataupun bagi

masyaratak secara luas. Sehingga ketika pemidanaan dipandang tidak ada

manfaatnya untuk mencegah pelaku melakukan tindak pidana lagi hakim

bisa memberikan pemaafannya.

Sejauh yang di ketahui penulis, dalam hal ini tidak ada penjelasan dalam pasal

tersebut apakah pertimbangan-pertimbangan ini bersifat kumulatif atau berdiri

sendiri, sehingga bisa dikatakan bahwa semua putusan tersebut diserahkan

kepada hakim apakah akan memberikan pemaafan atau tidak sepenuhnya

adalah kewenangan hakim dengan melihat pertimbangan-pertimbangan yang

disayaratkan undang-undang serta proses yang ada dalam persidangan.

Selain dalam pasal tersebut, dalam KUHP Yunani juga ditemukan

rumusan yang mengarahkan pada Judicial Pardon melalui Undang-undang

1419 tahun 1984 yang memasukkan ketentuan ke dalam KUHP Yunani dimana

pasal-pasal ini memungkinkan pengadilan tidak menjatuhkan sanksi apapun

yakni dalam Pasal 302:2 dan Pasal 314:2 PC yang rumusannya: 25

1. Apabila korban dari hilangnya nyawa atau luka-luka karena kealpaan

adalah keluarga dekat dari si pelaku (the offender’s next of kin), dan

2. Apabila si pelaku seharusnya tidak dipidana karena trauma psikologis yang

dideritanya karena delik itu.

Rumusan diatas cukup jelas maknanya dimana unsur-unsurnya yang terpenting

adalah adanya kealpaan, korban adalah keluarga dekat, dan pelaku mengalami

trauma psikologis. Kealpaan dapat diartikan sebagai tidak ada niat dari sipelaku

untuk melakukan kejahatan, namun karena kurang kehati-hatian menyebabkan

terjadinya tindak pidana. Keluarga dekat bisa diartikan ada hubungan secara

genetikal atau hubungan darah, sedangkan trauma psikologis tentu saja

membutuhkan penilaian dari ahli psikologi, ketiga unsur ini lebih jelas makna

nya dan pengertiannya sehingga juga lebh mudah hakim dalam memutuskan

memberikan atau tidak Judicial Pardon dalam keputusannya.

24 ibid 25 Barda Nawawi Arief, Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana. Log.Cit

Page 14: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 569

2. Belanda

Belanda merupakan negara yang pernah masuk ke dalam kekaisaran

perancis dalam penaklukan yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte yang

kemudian bisa lepas dari perancis setelah kekalahan Napoleon. Kerajaan

Belanda berdiri pada tahun 1815 dan pernah berada dalam kekuasaan Jerman

pada masa Perang Dunia II (1940). Sistem hukum yang ada di Belanda

dipengaruhi oleh Perancis yakni dengan sistem hukum Eropa Kontinental-nya,

namun berbeda dengan Yunani yang menggunakan Kodifikasi Jerman, Belanda

dipengaruhi oleh Kode Napoleon Perancis. Perbedaan itu terjadi ketika hukum

Romawi mengalami masa kebangkitan kembali di abad XI dengan munculnya

keinginan para ahli hukum untuk kembali memberlakukan hukum romawi dan

kemudian memberlakukan kembali Corpus Juris Civilis, yang pada masa

sebelumnya dihilangkan oleh bangsa Germania yang mengubah hukumnya

menjadi campuran antara hukum romawi klasik dengan hukum germania.

Kebangkitan kembali hukum romawi ini dimulai dari Bologna

(Italia) dengan berkembangnya universitas modern yang terkenal yaitu

Universitas of Bologna yang mempelajari hukum romawi versi Corpus Juris

Civilis. Selanjutnya muncul berbagai universitas yang mempelajari hukum

Romawi di Italia. Di universitas-universitas tersebut terbentuk kelompok-

kelompok ahli hukum yang disebut dengan Glassator dan Commentator.

Glassator adalah generasi pertama dari Universitas Bologna yang mencoba

menafsirkan kembali hukum Roawi yang sudah banyak tida dimengerti lagi

oleh orang-orang saat itu. Sedangkan Commentator datang kemudian (abad

XIII M) yang juga menafsirkan hukum Romawi. Setelah tamat belajar dari

Universitas-universitas di italia tersebut mereka kembali ke negeri nya masing-

masing, dan mereka kemudian mendirikan universitas-universitas dan

mengajarkan hukum Romawi versi Corpus Juris Civilis sesuai versi Glassator

dan Commentator. Hukum Romawi versi Corpus Juris Civilis, Glassator dan

Commentator ini kemudian disebut dengan istilah “Cus Commune”.26

Seperti juga yang terjadi pada Kodifikasi Jerman yang dipengaruhi

oleh hukum Kanonik, maka pada masa kebangkitan kembali hukum Romawi

ini juga tidak bisa lepas dari hukum Kanonik tersebut, apalagi hukum Kanonik

pada masa itu telah tertulis secara baik dan merupakan obyek studi bersama-

sama dengan hukum civil versi Corpus Juris Civilis di Italia. Sehingga hukum

Kanonik dan juga hukum civil versi Corpus Juris Civilis sama-sama

mempengaruhi terbentuknya Jus Commune yang kemudian juga ikut

mempengaruhi terbentuknya Code Napoleon di Perancis. Code Napoleoan ini

dibuat satu abad sebelum adanya Kodifikasi Jerman dan mulai diberlakukan

pada tahun 1804 di Perancis.

Jika dilihat dari sejarah maka Jus Commune digunakan disebagian

besar negara eropa pada masa resepsi hukum Romawi (abad ke-16), dan

kemudian terjadi perkembangannya pada abad ke-19 sampai abad ke-20 dalam

masa resepsi kodifikasi Hukum Eropa Kontinental dengan adanya penyebaran

hukum Romawi melalui penerimaan kitab undang-undang Napoleon dibanyak

negara eroa, Amerika Latin, Asia, Afrika dan juga Belanda sebagai salah satu

negara bekas jajahan Perancis.

26 Munir Fuady, Op.Cit.61

Page 15: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

570 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018

Code Napoleon ini bukan merupakan murni sebuah undang-undang

yang diciptakan baru, namun dalam pembentukannya menggunakan bahan-

bahan hukum yang sudah ada sebelumnya, dimana materi yang digunakan

untuk pembuatannya adalah:27

1. Yang utama dan paling utama adalah hukum Romawi yang berasal dari Jus

Commune.

2. Tulisan-tulisan para ahli (doktrin)

3. Peratutan-peraturan raja

4. Hukum Kebiasaan

Dari materi yang digunakan tersebut membentuk sebuah kodifikasi hukum yang

memiliki tiga konsep utama di dalamnya yaitu:

1. Konsep Hak Milik Individu. Konsep ini meruapkan perombakan besar

terhadap sistem hukum hak milik dan hukum tanah feodal yang saat itu

berlaku di perancis dengan prinsip aristokrasi-nya dalam penguasaan tanah.

2. Konsep kebebasan berkontrak (freedom of contract)

3. konsep keluarga patriarchad, dengan memberikan perlindungan dan

pengakuan terhadap otonomi dari sistem keluarga patriarchad

Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa code napoleon ini

berbeda dengan Kodifikasi Jerman, dimana Code Napoleon memilki beberapa

ciri tersendiri yang berbeda dengan Kodifikasi Jerman, diantaranya adalah:28

1. Code Napoleon dibuat pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte,

dengan adanya semangat Revolusi Perancis kala itu maka huum dibuat

dengan lebih mementingkan kepentingan rakyat jelata (kaum proletar) dan

anti borjuis. Dibuat oleh sebuah komisi yang terdiri dari empat orang ahli

hukum terkenal dan dibuat hanya dalam waktu kurang dari 4 tahun.

2. Code Napoleon dibuat dengan bahasa, alur pikir, dan konsep-konsep yang

lurus, sederhana bahkan sentimentil, sehingga dapat dibaca dan dimengerti

oleh rakyat banyak tanpa bantuan para profesional karena memang

pembuatan undang-undang ini bertitik fokus pada rakyat jelata, sehingga

bisa menjadi semacam textbook untuk rakyat biasa.

3. Code Napoleon dibuat untuk melepaskan diri dari hukum yang sudah ada

yang dianggap tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip demokrasi dan cita-

cita revolusi saat itu.

4. Code Napoleon dibuat berdasarkan pemikiran hukum alam yang sekuler,

dimana adanya pengakuan terhadap hak-hak kodrat manusia yang perlu

dilindungi oleh negara dan hukum dan adanya pengakuan bahwa semua

manusia diciptakan sama dan mempunyai kedudukan yang sama dimata

hukum.

5. Code Napoleon ini disumberkan dari Sumber Hukum Romawi berdasarkan

penafsiran para Glassator dan Commentator.

6. Code Napoleon memiliki model kodifikasi Subjektif dan Praktis, dengan

memakai bahasa yang mudah untuk di mengerti, Code Napoleon ini hanya

menjawab berbagai persoalan yang pokok saja tetapi diatur sampai setuntas-

tuntasnya.

Code Napoleon ini memberikan pemikiran yang modern pada masa itu tentang

manusia, hukum, politik dan pemerintahan. Kodifikasi ini kemudian melahirkan

27 Ibid, hlm.75 28 Uraian ini berdasarkan karya Munir Fuady, Ibid. Hlm. 65-96

Page 16: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 571

berbagai kitab undang-undang yaitu di bidang hukum perdata (Code Civil),

pidana (Code Penal), dagang (Code Du Commrece), dan Code tentang hukum

acara perdata dan acara pidana.

Code Napoleon inilah yang kemudian di resepsi oleh Belanda, hal

ini bisa dilihat dalam abad-abad XIII dan XIV dengan didirikannya Universitas

Leuven pada tahun 1425, yang di dalamnya terdapat para Commentator yang

mengajarkan hukum Romawi versi Corpus Juris Civilis, juga nampak pada

putusan-putusan pengadilan dan akte-akte yuridis abad-abad XIII, XIV, dan

XV. Hukum Romawi yang di bawa perancis ini juga masuk dalam beberapa

bagian hukum antara lain hukum pidana dalam ordonansi-ordonansi tahun 1570

dan hukum laut ordonansi tahun 1563 dan 1590.29

Belanda dengan sistem hukum eropa kontinental-nya mengalami

perkembangan yang cukup besar baik dalam hal pemidanaan maupun sistem

peradilan pidananya sejak berada di bawah kekuasaan Perancis hingga Belanda

dimasa modern saat ini. Perkembangan-perkembangan di dalam sistem

peradilan pidananya antara lain adalah:

1. Abad X – Abad XII30

Belanda dan juga beberapa negara eropa lainnya berada pada

Periode feodal dimana pengadilan masa itu terpecah-pecah seperti

terpecahnya kekuasaan pada masa itu sehingga seseorang yang akan

mempertahankan atau memperoleh hak-haknya atau untuk mempertahankan

kepentingan-kepentingannya seringkali membutuhkan waktu selama

bertahun-tahun, dengan biaya yang cukup besar dan hasil yang sulit

diprediksi.

Pada masa ini berlaku sebuah prinsip umum iudicium parium,

vonisnya dijatuhkan oleh pares (yang setingkat auat setara), dimana seorang

bangsawan hanya boleh diadili oleh kaum bangsawan, anggota kelas

menengah diadili oleh kaum kelas menengah, dan seorang budak diadili oleh

rekan-rekan mereka di golongan budak. Pada masa ini wilayah pengadilan

dibagi berdasarkan wilayah-wilayah tuan tanah, setiap tuan tanah memiliki

pengadilannya masing-masing yang disebut dengan curia. Institusi ini

berwenang mengadili perselisihan antar anggota-anggota yang berada di

wilayah tuan tanah yang bersangkutan.

2. Abad XIII – Abad XVIII31

Pada masa ini Pengadilan-pengadilan feodal mulai dihilangkan dan

di gantikan oleh pengadilan-pengadilan kerajaan dimana kekuasaan yudikatif

berada ditangan Raja. Pada mas ini Raja mengaggap dirinya sebagai wakil

dari Tuhan di bumi dan merupakan sumber segala keadilan dan kepatuhan

(Rex est fons omnismodi iustitiae). Disini raja memiliki penasehat-penasehat

yang membantunya dan Raja juga bisa melimpahkan kekuasaan hukum nya

pada para penasehatnya (justice deleguee).

Terdapat pengadilan-pengadilan kerajaan tingkat rendah yang

secara fungsional berada di bawah kekuasaan pemerintah pusat, dalam hal

ini adalah Raja. Raja juga bisa melakukan pemeriksaan banding atas putusan

dari pengadilan-pengadilan kerajaan tingkat rendah tersebut. Kemudian di

29 Uraian ini didasarkan pada karya Emiritus John Gilissen, Op.Cit.hlm.322 30 Ibid. Hlm.322-346 31 Ibid

Page 17: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

572 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018

Abad ke XV pengadilan kerajaan digantikan oleh pengadilan presidial

(sieges presideaux) melalui Raja Henry II yang mengawali adanya unifikasi

parsial bagi institusi-institusi kehakiman ditahun 1552.

Setelah masa itu pengadilan dibagi menjadi dua yakni Raad Van

Vlaanderen (pengadian tertinggi) dan Pengadilan-pengadilan Schepen

(pengadilan kota), dimana pada pengadilan ini semua hakim yang bersidang

adalah para legis (hakim-hakim keluaran fakultas hukum) yang sebelumnya

hukum dijalankan oleh hakim-hakim rakyat (hakim-hakim tanpa latar

belakang hukum).

Dalam periode ini mulai muncul jabatan Advokat yang pada

abad XIII di sebut Taelman yang dalam bahasa perancis avant-parlier atau

amparlier. istilah advocatus pada saat itu diberi arti pelindung atau wali,

baru pada abad XV advokat diartikan sebagai Yuris yang memberikan

nasehat dan mewakili para pihak. Kemudian pada abad XVI untuk jabatan

advokat disyaratkan berlatar belakang pendidikan universitas.

Pada masa pendudukan Perancis, Pengadilan Belanda

menggunakan sistem juri, namun setelah belanda kembali menjadi Negara

bebas, sistem ini di hapus dan digantikan dengan sistem pengadilan dengan

menggunakan hakim dalam setiap persidangannya.

3. Abad XIX – Sekarang 32

Pada masa sekarang hakim di Belanda adalah Hakim

Independent yang di tetapkan oleh pemerintah, hakim ini disebut dengan

hakim reguler yang harus merupakan lulusan universitas dengan latar

belakang akademis yang sesuai. Pengadilan Belanda juga menggunakan

hakim ad hoc untuk kasus-kasus tertentu, untuk menjadi hakim Ad Hoc

harus merupakan Sarjana Hukum dan telah menjadi profesional hukum

dalam hal ini adalah Pengacara sekurang-kurangnya 6 tahun sebelum dia

masuk menjadi hakim Ad Hoc.

Di Pengadilan Belanda juga dikenal adanya lay judges namun

proporsinya sangat kecil dalam sistem peradilan pidana Belanda dan hanya

terbatas pada kasus-kasus tertentu seperti kasus kejahatan militer. Tapi disini

pendapat dari lay judges hanya sebagai tambahan, bukan penentu keputusan

sebuah perkara.

Sistem Peradilan Pidana Belanda menganut “Principle of Open

Justice” yang berarti bahwa keterbukaan hukum sangat di junjung tinggi, hal

ini bisa dilihat dari kebebbasan media masaa untuk bisa melihat jalannya

peridangan dan juga bisa mengakses putusan hakim. Pengadilan bersifat

terbuka untuk umum, sehingga siap saja boleh melihat proses sebuah

persidangan.

Perkembangan paling baru di abad ke-20 ini adalah

dimasukkannya Restorative Justice dalam sistem peradilan pidana Belanda.

Restorative Justice dijalankan dengan mempertemukan tersangka, korban,

keluarga korban dan keluarga tersangka dalam sebuah pertemuan yang

disebut dengan Eacht Recht. Pertemuan ini melibatkan pihak ketiga yang

32 Uraian ini didasarkan pada karya Marijke Malsch, Lay Participation In The

Netherlands Criminal Law System,Paper presented at the International Society for the Reform

of Criminal Law Convergence of Criminal Justice Systems: Building Bridges - Bridging the

Gaps,24-28 August 2003, www.isrcl.org/Papers/Malsch.pdf, diakses tanggal 09 Agustus 2017.

Page 18: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 573

disebut sebagai pengawas, yang dalam pertemuan ini bertindak sebagai

penengah dan juga fasilitator dalam terbentuknya kesepakatan. Pengawas

bisa diambil dari Polisi, Jaksa, ataupun organisasi-organisasi lain yang

berkaitan dengan kasus yang trejadi. Dalam pertemuan ini akan dicari

penyelsaian terbaik untuk korban dan juga pelaku serta keluarga mereka,

setelah kesepakatan di dapatkan maka kesepakatan itu akan dibuat dalam

bentuk tertulis dan ditanda tangani oleh para pihak yang ikut serta dalam

pertemuan tersebut. Eacht Recht ini sebagai salah satu alternatif yang

diberikan oleh sistem peradilan pidana Belanda untuk lebih mengefektifkan

asas kemanfaatan hukum bagi semua warganya.

Dari beberapa pemisahan perkembangan berdasarkan abad diatas, dapat dilihat

bagaimana pengadilan di belanda berkembang dari pengadilan berdasarkan juri

seperti pengadilan kuno pada umumnya hingga pengadilan modern saat ini.

Dimana perkembangan tersebut juga kemudian di bawa ke Indonesia sebagai

negara yang dijajah Belanda saat itu.

Dalam Pemidanaannya Belanda juga mengalami beberapa

perkembangn mengingat perjalanan panjang belanda pada masa di bawah

kekuasaan Perancis hingga pasca Perang Dunia II. Perkembangan tersebut

antara lain:33

1. Pada tahun 1811 Kerajaan Belanda menyatu dengan Kekaisaran Perancis

dan KUHP Belanda yang telah berlaku sejak tahun 1809, digantikan oleh

Code Penal Napoleon Perancis. Setelah pemulihan kemerdekaan pada 1813,

Code Penal Napoleon Perancis masih berlaku untuk sementara waktu, hanya

beberapa hal yang mengalami perubahan yakni penghapusan sitem juri dan

mengembalikan sistem sanksi dari KUHP tahun 1809.

2. Pada tahun 1856 Hukuman badani dihapuskan, denda pengganti penahanan

mulai diperkenalkan pada tahun 1864 dan pada tahun 1870 hukuman mati

dihapuskan.

3. Pada 1863 Menteri Kehakiman, Modderman, mempublikasikan tesis

kedoktorannya tentang Reformasi KUHP Belanda, yang memuat deskripsi

terperinci tentang bagaimana KUHP nasional seharusnya disusun. Dalam

kapasitasnya sebagai Menteri Kehakiman, pada tahun 1870 Modderman

membentuk komite reformasi hukum pidana untuk menyusun rancangan

KUHP yang kemudian diserahkan ke Parlemen pada tahun 1879, dan

kemudian disepakati pada tahun 1881, karena beberapa ketentuan perbuatan

pidana harus direvisi dan penjara baru berdasarkan sistem penjara sel harus

dibangun terlebih dahulu maka KUHP ini mulai berlaku pada tahun 1886

dengan nama resmi Wetboek van Strafrecht (WvS).

4. Sejak tahun 1886 WvS mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan

dengan tuntutan kemajuan teknologi, perubahan-perubahan ini antara lain:

- Tahun 1976 dimasukkannya Korporasi (Badan Hukum) sebagai subyek

hukum pidana.

- Tahun 1980-an mencantumkan alternatif denda pada semua perumusan

delik

33 Uraian ini didasarkan pada karya Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana

Beberapa Negara, Jakarta:Sinar Grafika,2009. Hlm.10-20. Dan karya Nyoman Samuil

Kurniawan, Hukum Pidana Belanda, www.scribd.com/elkurnia/document. Diakses tanggal 29

Agustus 2017.

Page 19: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

574 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018

- Tahun 1984 karena pengaruh hukum pidana modern maka memasukkan

hak atas privasi dan Judicial Pardon dalam WvS

- Tahun 1985 sebagai pengaruh dari Hukum Pidana Internasional, maka

dimasukkan perjanjian-perjanjian antar negara mengenai hukum pidana

ke dalam WvS.

Perubahan-perubahan itu WvS Belanda saat ini terlihat lebih “lunak” jika

dibandingkan WvS masa lalu, hal ini nampak dari adanya alternatif denda

dalam semua delik di dalam WvS, serta dimasukkannya Judicial Pardon.

WvS memiliki beberapa karakteristik diantaranya Kesederhanaan yang nampak

pada pembagian antara kejahatan atau pelanggaran dan dari sistem sanksi-nya

yang hanya terdiri dari tiga hukuman pokok, yaitu penjara, penahanan dan

denda, sehingga WvS ini nampak lebih Praktis. Karakteristik Kepercayaan

terhadap pengadilan juga terlihat dengan tidak adanya hukuman maksimum

khusus untuk pelanggaran serius.

Seperti telah disebutkan diatas, dimana pada tahun 1984 WvS

mengalami perubahan yang salah satunya adalah memasukkan Judicial Pardon

dalam pasal 9a, yang berbunyi:

Indien de rechter dit raadzaam acht in verband met de geringe ernst

van het feit, de persoonlijkheid van de dader of de omstandigheden

waaronder het feit is begaan, dan wel die zich nadien hebben

voorgedaan, kan hij in het vonnis bepalen dat geen straf of maatregel

zat worden opgelegd. (jika hakim menganggap patut berhubung

dengan kecilnya arti suatu perbuatan, kepribadian pelaku atau

keadaan-keadaan pada waktu perbuatan dilakukan, begitu pula

sesudah perbuatan dilakukan, ia menentukan dalam putusan bahwa

tidak ada pidana atau tindakan yang akan dikenakan)34

Dari rumusan diatas dapat dipecah-pecah unsur-unsur dari Judicial Pardon

versi WvS, yaitu:

1. Kecilnya arti suatu perbuatan

Perumusan unsur pertama ini sama dengan yang ada di Yunani, dimana

perbuatan yang dilakukan pelaku dipandang sebagai perbuatan yang ringan

dari segi dampaknya. Unsur ini dipengaruhi oleh hukum pidana modern

yang menurut Prof.Dr.jur.Andi Hamzah disebut sebagai subsosialitas

(subsocialiteit), yang mengatakan bahwa jika suatu perbuatan merupakan

suatu delik tetapi secara sosial kecil artinya. Jadi di sini pandangan

masyarakat mempunyai pengaruh besar terhadap besar atau kecilnya akibat

dari delik tersebut.

2. kepribadian pelaku

Unsur ini lebih ditekankan pada watak dari pelaku, pertimbangan ini sama

dengan yang ditentukan oleh Yunani.

3. keadaan-keadaan pada waktu perbuatan dilakukan dan sesudah perbuatan

dilakukan

Unsur ini yang berbeda dari Judicial Pardon di Yunani. Unsur ini melihat

keadaan pada saat perbuatan dilakukan serta keadaan sesudah perbuatan

dilakukan. Hal ini lebih melihat pada unsur pembuatnya, dimana kondisi-

kondisi yang mengikuti pelaku saat perbuatan terjadi dan sesudahnya

menjadi pertimbangan juga dalam memberikan pemaafan kepada pelaku.

34 Andi Hamzah, Ibid. Hlm. 18

Page 20: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 575

Kemudian jika unsur-unsur itu terpenuhi maka hakim harus

memberikan Pemaafan kepada pelaku. Keharusan disini nampak pada kalimat

“ia menentukan dalam putusan bahwa tidak ada pidana atau tindakan yang akan

dikenakan” dimana kata “menentukan” yang artinya menetapkan; memastikan35

sehingga memiliki makna jika hakim telah melihat unsur-unsur itu ada pada

pelaku maka dalam putusannya hakim harus menentukan dan memastikan isi

dari putusannya adalah bahwa pelaku bersalah tetapi tidak dikenakan pidana

atau tindakan apapun.

Hal ini jelas berbeda dengan rumusan di Yunani, dimana disana ada

kata ”dapat” yang memberikan kewenangan pada hakim untuk memberikan

atau tidak pemaafan tersebut, namun pada WvS nampak bahwa hakim tidak

memiliki pilihan jika unsur-unsur tersebut dapat dibuktikan oleh pelaku atau

wakilnya maka hakim harus memberikan pemaafan. Yang masih sama dengan

Yunani adalah sifat dari unsur-unsur tersebut apakah kumulatif atau tidak

memang tidak ada keterangan yang bisa di ambil dari WvS namun jika dilihat

dari rumusannya maka sifatnya bisa dikatakan masing-masing unsur berdiri

sendiri, tidak bersifat kumulatif. Hal ini nampak dari adanya kata “atau” dalam

rumusannya.

3. Portugal

Sejarah portugal36 dimulai dengan keinginan kaum kristen untuk

merebut kembali wilayah yang telah di kuasai Islam atau yang mereka sebut

dengan Moor yang telah menaklukkan hampir sebagian Afrika Utara dan

Maroko pada abad VI. Moor juga menguasai Spanyol pada 711 dan kemudian

berhasil menaklukkan hampir seluruh semenanjung, salah satunya wilayah

portugal saat ini. Penaklukan ini membawa dampak positf pada daerah-daerah

tersebut dimana Moor dengan kecerdasannya dan kemampuan ilmu

pengetahuan telah mampu memperbaiki sistem irigasi yang dibawa sejak

romawi menjadi lebih sempurna, serta menjadikan bangsa yang berad dalam

kekuasaannya lebih berpendidikan dengan penggunaan kertas linen untuk

membuat penggandaan buku lebih mudah daripada sebelumnya yang

menggunakan gulungan perkamen. Selama bertahun-tahun, orang-orang

Kristen berusaha merebut kembali beberapa daerah dari utara ke selatan

semenanjung, yang pada akhirnya Kota-kota Portugal kembali di tangan

Kristen, Oporto di tahun 868 dan Coimbra di tahun 1064.

Pada 1095, Alfonso VI, penguasa kerajaan Leon dan Castile

mendirikan County Portucale antara sungai Douro dan Mondego. Pada 1139,

penguasa county ini, Afonso Henriques memenangkan pertempuran atas Moor,

dan menyatakan Portucale kerajaan yang terpisah, dengan dirinya sebagai raja.

Empat tahun kemudian, Alfonso VII dari Leon-Kastilia mengakui Portucale

sebagai kerajaan terpisah, independen, seperti yang dilakukan Paus Alexander

III pada tahun 1179. Alfonso Henriques terus merebut wilayah dari bangsa

Moor, dan 1147 dia merebut kembali Lisbon dengan bantuan Inggris, Flemish,

35 Kamus Besar Bahasa Indonesia 36Uraian ini didasarkan pada The History of Portugal,

http://www.golisbon.com/culture/history.html. Dan karya Denden Immadudin Sholeh, Sistem

Hukum Portugal, http://denden-imadudin.blogspot.com/2010/03/sistem-hukum-portugal.html,

Diakses tanggal 29 Agustus 2017

Page 21: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

576 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018

Jerman, dan Perancis dengan tentara salibnya. Pada 1166 penaklukan Portugal

itu selesai, dan Portugal menjadi negara pertama Eropa mencapai batas

ekspansi teritorialnya, yang tetap tidak berubah sampai hari ini.

Pada Tahun 1807 Perancis menduduki Portugal dan keluarga

kerajaan Portugal melarikan diri ke Brazil. Pada 1808 Portugal mendapat

bantuan dari sekutu Inggris dan mendapatkan kembali Negara-nya. Selama

Perang Dunia I Portugal bergabung dengan Sekutu, dan selama Perang Dunia II

Portugal dinyatakan netral. Pada tahun 1961 India menduduki Goa dan

nasionalis lokal bangkit di Angola. Pada 25 April 1974 koloni-koloni Afrika

diberi kemerdekaan, dan sebuah konstitusi baru berkomitmen Portugal untuk

campuran sosialisme dan demokrasi dibentuk, Portugal baru stabil pada

pertengahan tahun 1980-an. Dari sejarahnya dan perkembangannya Portugal

telah mengalami 6 kali pergantian konstitusi yaitu:

1. Undang-Undang Dasar Portugal 1822

2. Piagam Konstitusi Portugal 1826

3. Undang-Undang Dasar Portugal 1838

4. Undang-Undang Dasar Portugal tahun 1911

5. Konstitusi Portugal tahun 1933

6. Undang-Undang Dasar Portugal 1976, dan kemudian telah mengalami 7 kali

revisi konstitusional yaitu, pada tahun 1982, 1989, 1992, 1997, 2001, 2004

dan 2005

Meskipun Konstitusi pertama Portugal itu lahir pada tahun 1822, tetapi

Pengaruh Sistem hukum Eropa Kontinetal kodifikasi Perancis baru berlaku

pada tahun 1867, dan pengaruh Sistem hukum Eropa Kontinental kodifkasi

Jerman baru terlihat di Kitab Hukum Portugal pada tahun 1916.

Disini terlihat bahwa pengaruh kodifikasi Perancis lebih dahulu di

terima Portugal di banding pengaruh Kodifikasi Jerman, itu terjadi karena

Perancis yang pertama kali melakukan kodifikasi modern pertama di dunia

melalui Code Napoleon yang berlaku pada tahun 1804, sedangkan kodifikasi

Jerman baru terbentuk dalam tahun 1896, hampir satu abad setelah kodifikasi

di Perancis, maka tidak seperti kodifikasi di Perancis, kodifikasi di Jerman

terlalu terlambat untuk dapat mempengaruhi kitab hukum Negara-negara lain,

yang sudah terlebih dahulu di pengaruhi oleh kodifikasi Perancis.

Seperti yang di sebutkan diatas bahwa sistem hukum Portugal

merupakan bagian dari sistem hukum hukum sipil, juga disebut keluarga sistem

hukum kontinental. Sampai akhir abad ke-19, kodifikasi hukum Perancis adalah

pengaruh utama. Tetapi Setelah itu hukum Jerman telah berpengaruh besar pada

perkembangan hukum Portugal. Dengan adanya Konstitusi Baru ditahun 1976,

sebagaimana telah diubah pada Revisi Konstitusi VII pada tahun 2005 (VII

Revisao Constitucional, 2005), dan juga Hukum Perdata pada 25 Nopember

1966 dengan keluarnya Codigo Civil Portugues dan KUHP Portugal pada tahun

1983, sebagaimana telah diubah menjadi Codigo Penal Actualizado Ate DL

38/2003.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai sejarah dan

juga sistem hukum Portugal yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh Kode

Napoleon dan kemudian dalam perkembangannya juga dipengaruhi oleh

Kodifikasi Jerman, maka hal itu juga sangat berpengaruh pada sistem peradilan

pidana yang berlaku di Portugal. Dari sejarah bisa dilihat bahwa negara ini

dipengaruhi oleh bebrapa hukum, tidak hanya Romawi yang mendasari sistem

Page 22: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 577

Eropa Kontinental namun juga dipengaruhi hukum Kanonik yang dibawa gereja

serta Hukum Islam yang dibawa bangsa Moor, meskipun dua hukum terakhir

itu tidak berpengaruh banyak terhadap hukum nasionalnya karena memang

lebih di dominasi sistem hukum yang dibawa oleh Napoleon pada masa

pendudukannya di Portugal.

Pada awalnya KUHP Portugal juga dipengaruhi oleh Code Penal

Napoleoan, KUHP pertama portugal dibuat tahun 1852 dan kemudian diubah

kembali dan KUHP kedua berlaku tahun 1886, namun kemudian setelah

mengalami berbagai pendudukan oleh negara lain serta pemberontakan di

dalam negeri sampai akhirnya Portugal stabil di tahun 1980-an, negara ini

membuat KUHP baru dimana KUHP itu termasuk dalam Kategori Modern

yang berlaku sejak 1 Januari 198337. KUHP ini disusun secara revolusioner

radikal mengubah sistem yang ada di KUHP Lama, pembentukannya juga

berbeda dengan KUHP negara lain, KUHP portugal di susun secara mencicil

dimana randangan Buku I tentang Ketentuan Umum disusun ditahun 1963

sedangkan Buku II tentang Ketentuan Khusus (Delik) di susun ditahun 1966.38

Hal yang paling mendasar dari pembaharuan hukum pidana di

Portugal ada pada deskriminalisasi dan humanisasi administrasi penuntutan

pidana, pengurangan pidana penjara, penekanan kepada perlindungan

masyarakat dan rehabilitasi pelanggar hukum. Sanksi pidana yang ada dalam

KUHP lama Portugal banyak jenisnya dan sangat keras sehingga dalam KUHP

baru lebih disederhanakan.

Sistem sanksi baru tersebut antara lain:39

1. Pidana Pokok, yang terdiri atas:

a. Pidana Penjara, di KUHP Portugal hanya ada satu jenis dengan minimum

penjara adalah satu bulan dan maksimum 20 tahun, kecuali untuk delik

tertentu seperti genocide dan terorisme dapat dinaikkan menjadi 25 tahun.

Disini dikenal keadaan yang memperingan pidana, dimana semisal jika

kerusakan telah diperbaiki maka dapat dikenakan pidana yang kurang

daripada minimumnya, dimana tiap delik terdapat batas minimum dan

maksimum nya sendiri-sendiri.

b. Denda, ketentuannya sama dengan KUHP Jerman yaitu didasarkan

kepada pendapatan pelanggar perhari, sehingga denda yang dijatuhkan

kepada orang kaya lebih besar dari pada orang yang pendapatannya lebh

rendah, untuk delik yang sama. Jenis pidana ini bisa disebut dengan denda

harian (day fine).

c. Pidana yang ditunda (Suspended sentence), hakim mempunyai

kewenangan untuk menentukan pidana yang ditunda jika menurut

petimbangannya dengan pidana ditunda ini sudah memadai untuk

mecegah terpidana melakukan kejahatan lagi dan sesuai dengan kutukan

publik dan pencegahan umum. Syarat-syarat penundaan pidana antara

lain:

- Mengganti kerugian korban atau ada jaminan untuk itu

- melakukan perbaikan moral korban

37 Andi Hamzah, Op.Cit.hlm.46 38 Ibid, hlm.47. 39 Uraian ini di dasarkan pada karya Andi Hamzah, Ibid, hlm.47-54

Page 23: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

578 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018

- pembayaran uang tertentu untuk korban, kepada negara setara dengan

jumlah denda yang tercantum dalam deliknya.

Saat ini pidana yang ditunda ini juga bisa diberikan terhadap residive juga

pada pidana yang diancam 3 tahun juga dapat diberikan penundaan

dengan syarat-syarat diatas.

d. Pidana Bersyarat (probation), untuk jenis ini sama dengan yang berlaku

di Indonesia.

e. Teguran didepan umum, tindakan ini diambil hakim jika pada saat

terpidana mendapatkan penundaaan pidana namun tidak dapat melakukan

syarat-syarat yang ditentukan dalam batas waktu yang telah ditetapkan

hakim.

f. Pidana kerja sosial (community service), jika pada KUHP lama pidana ini

merupakan sanksi yaitu bekerja untuk kepentingan umum tanpa dibayar

sebagai alternatif jika denda tidak dibayar, namun dalam KUHP 1983

menjadi pidana pokok, dimana bekerja tanpa di bayar ada dua macam:

- Sebagai pidana alternatif bagi pidana penjara 3 bulan atau kurang atau

pidan denda harian sampai 90 hari

- Sebagai pidana pengganti denda yang tidak dapat ditarik dari

pendapatan atau harta terpidana.

g. Pelepasan Bersyarat, jenis pidana ini juga sama dengan yang ada di

Indonesia.

2. Pidana Tambahan disini ialah pemecatan atau dskors dari jabatan publik atau

penolakan hak untuk menjabat jabatan tertentu, pekerjaan atau fungsi

tertentu.

3. Pidana yang relatif tidak ditentukan (jangka waktunya) ialah semacam

pidana penjara yang dapat dikenakan kepada penjahat profesional,

kebiasaan, atau yang ketagihan alkohol/obat. Disini hakim pada saat

penjatuhan pidana tidak menentukan lamanya pidana, hanya menentukan

minimum dan maksimum pidana, yang nantinya berakhirnya pidana

tergantung pada hasil perbaikan (treatment) yang dilakukan oleh terpidana.

Ini merupakan pidana moder baru, yang sesuai dengan tujuan pemidanaan

yang berupa rehabilitasi.

4. Tindakan untuk melindungi keselamatan publik, pidana ini dikenakan pada

pelanggar yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan nya,

termasuk penempatan pada lembaga untuk pemeliharaan, pengobatan atau

perlindungan dan larangan untuk profesi atau pekerjaan tertentu.

Dari sistem sanksi diatas dapat dilihat bahwa KUHP Portugal sangat lunak,

dimana sebisa mungkin pidana penjara dapat dihindari sehingga

mengefektifkan pidana denda dan pidana-pidana yang lainnya dimana yang

diuatamakan adalah agar terpidana tidak melakukan kejahatan lagi sehingga

dari sini sisi kemanfaatan lebih di utamakan baik bagi pelanggar maupun bagi

masyarakat.

Selain mengenai saknsi diatas dalam KUHP Portugal juga dikenal

adanya perubahan perundang-undangan yang menguntungkan terdakwa,

dimana jika suatu perbuatan telah dikatakan sebagai kejahtan sebelumnya,

namun dengan berjalannya waktu terdapat perubahan sehingga kejahatan

tersebut ditiadakan (deskriminalisasi) maka segala penyelesaian yang berjalan

bagi tersangka kejahatan tersebut harus dihentikan, begitu juga bagi pelanggar

yang telah mendapat putusan maka eksekusi serta semua efek pidananya di

Page 24: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 579

hentikan, hal ini yang berbeda dengan KUHP dari negara-negara lain termasuk

Indonesia.

Keinginan pembentuk KUHP Portugal untuk lebih mengutamakan

tujuan pemidanaan untuk kemanfaatan dan kedamaian masyarakat luas ini bisa

dilihat dari pembukaan KUHP Portugal dinyatakan bahwa sanksi ini terutama

dimaksudkan untuk pelaku pemula (first offenders) dan para pelanggar yang

mempunyai rasa harga diri yang baik (delinquents who have a well developed

self esteem), yang tidak melakukan delik sangat serius, dan kepadanya tidak

diperlukan pidana yang lebih berat. 40 sehingga disini unsur pribadi dan

masyarakat lebih dipentingkan untuk perbaikan efek dari kejatan yang

dilakukan oleh pelanggar.

Sistem peradilan Portugal bisa dikatakan campuran dimana sistem

peradilan utamanya dipengaruhi oleh Perancis yang menggunakan hakim bukan

juri, namun untuk kasus-kasus tertentu seperti terorisme dan kejahatan

terorganisir lainnya peradilannya mengakomodir sistem Juri dari Anglo Saxon

hal ini nampak pada Pasal 207 ayat (1) konstitusi Portugal hasil Revisi KE VII

tahun 2005, yang menyatakan bahwa41:

Juri dalam kasus dan disusun sebagai hukum dapat membentuk,

berpartisipasi dalam persidangan kejahatan berat, dari yang

melibatkan terorisme dan kejahatan terorganisir, terutama ketika

penuntutan atau permintaan pembela.

Sehingga dari pasal tersebut diatas bisa dilihat bahwa pada dasarnya hukum

Pidana Portugal menganut sitem hukum eropa kontinental yang dalam system

peradilannya berdasarkan pada undang-undang dan dilakukan oleh Hakim

untuk memeriksa dan memutuskan, tetapi terdapat pengecualian seperti yang di

tegaskan dalam pasal tersebut di atas.

Setelah di uraikan diatas mengenai sistem pemidanaan yang relatif

lebih “lunak’ dari pada sistem pemidaan negara lain di eropa, maka memang

dimungkinkan adanya pemaafan hakim di dalam sistem pemidanaanya, apalagi

jika melihat bahwa tujuan dari pemidanaan itu adalah perbaikan bagi pelanggar

(rehabilitasi) dan juga bagi masyarakat merupakan hal yang utama dalam

hukum pidana Portugal. Seperti yang sudah dijelaskan dalam tinjauan pustaka

dimana Salah satu rekomendasi dari Komisi para Dewan Menteri Eropa (dalam

Resolusi No. 10/76 tgl. 9 Maret 1976) memberi perhatian pada kemungkinan

diberikannya hak kepada hakim untuk dapat tidak menjatuhkan pidana apa pun

terhadap delik-delik ringan. Portugal merupakan salah satu negara yang

menerima rekomendasi ini dan memasukkan 2 bentuk Dispensa de pena atau

non imposing of a penalty ke dalam KUHP 1983, yaitu tidak menjatuhkan

pidana terhadap delik:42

a. Ancaman pidana maksimal 6 bulan penjara; dan

40 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada,

2002.hlm.70-71. 41 Artigo 207. (Juri, Participacao Popular E Assessoria Tecnica) Constituicao Da

Republica Portuguesa VII Revisao Constitucional (2005) http://translate.google.co.id/ diakses

tanggal 29 Agustus 2017. 42 Barda Nawawi Arief, Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana, Log.Cit. hlm.

84

Page 25: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

580 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018

b. Ancaman pidana gabungan (penjara dan denda) tidak melebihi 180 denda

harian.

Rumusan delik yang bisa mendapatkan Dispensa de pena (Pemaafan hakim)

bisa dikategorikan pada kejahtan ringan dimana sanksi pidana yang dikenakan

adalah maksimal 6 bulan penjara dan pidana gabungan maksimal 180 denda

harian (3 bulan). Didalam rumusan ini lebih jelas dan tegas dari pada pemaafan

di negara lainnya dimana kepada siapa pemaafan itu diberikan sudah sangat

jelas datur dalam KUHP nya. Hakim bisa memberikan pemaafan itu dengan

syarat:

a. Kesalahan minimal

Disini berarti kesalahan yang dilakukan dipandang ringan dengan akibat

yang kecil atau tidak terlalu berarti bagi korban dan masyarakat.

b. Kerugian telah di bayar

Jika dalam tindakannya pelaku mengakibatkan kerugian bagi korban maka

kerugian tersebut harus telah dibayar oleh pelaku, sehingga kerugian korban

dapat tertutupi.

c. Tidak ada faktor penghalang penyelesaian.

Disini yang berbeda, dimana nampak bahwa hakim melihat faktor-faktor lain

selain korban dan juga pelaku dalam menyelesaikan perkaranya, dimana

hakim juga melihat dari faktor keluarga pelaku dan korban, masyarakat, serta

lingkungan dimana terjadi pelanggaran. Sehingga hakim juga

mempertimbangkan semua faktor tersebut sebelum memutuskan

memberikan Pemaafan.

Apabila syarat b dan c tidak ada, tetapi hakim berpendapat bahwa hal itu dapat

direalisir dalam waktu 1 tahun, maka hakim dapat menunda putusannya sampai

1 tahun.43 Dari sini juga nampak bahwa hakim masih memberikan alternatif-

alternatif lain untuk menyelesaikan suatu perkara yang dimungkinkan bisa

memperoleh pemaafan sehingga seminimal mungkin sanksi pidana di hindari

dalam perkara-perkara tersebut.

Tujuan dibalik dispensa de pena tidak hanya untuk menghindari

penjatuhan pidana penjara pendek, tetapi juga untuk mencegah pemidanaan

yang tidak dibenarkan/diperlukan dilihat dari sudut kebutuhan, baik kebutuhan

untuk melindungi masyarakat maupun untuk rehabilitasi si pelanggar. Dengan

kata lain, fungsinya tidak hanya sebagai alternatif pidana (penjara) pendek,

tetapi juga sebagai koreksi judicial terhadap asas legalitas (judicial corrective to

the legality principle).44

B. Rekonseptualisasi Judicial Pardon Dalam Sistem Hukum Di Indonesia

Indonesia merupakan negara yang memiliki ideologi yang berbeda

yakni mengacu pada filsafat pancasila, masyarakatpun juga terdiri dari begitu

banyak suku yang sangat pluralistik, dan negara yang juga dikatakan sebagai

negara dengan sistem demokrasi yang berbeda yakni demokrasi yang

didasarkan pada pancasila. Dari ketigal hal ini bisa dipastikan bahwa hukum

yang berlaku di Indonesia sudah seharusnya berbeda dengan hukum dari negara

lain, meskipun memiliki tujuan yang sama didalamnya yakni kedamaian dalam

43 Ibid. hlm.85 44 Ibid.

Page 26: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 581

masyarakat. Memang secara historis Indonesia tidak bisa begitu saja

melepaskan diri dari peran Belanda dalam pembentukan hukumnya, namun

dengan perkembangan yang ada saat ini baik secara sistem hukumnya maupun

masyarakatnya sudah seharusnya untuk tidak menjadikan hukum barat sebagai

kiblat utama pembentukan hukum di Indonesia. Sehingga selain dengan melihat

hukum barat, juga harus melihat hukum yang ada dalam masyarakat baik itu

yang berasal dari adat maupun dari agama.

Bila dikaitkan dengan Judicial Pardon yang ada dalam RUU KUHP

konsep 2016 maka rumusannya hampir sama dengan Belanda namun

kewenangannya sama dengan yang ada di Yunani. Rumusan pasal 56 ayat (2)

sebagai berikut:

Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada

waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan

dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan

tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan

Rumusan tersebut bisa dipecah menjadi beberapa unsur yakni:

1. Ringannya Perbuatan

Dalam penjelasan dari ayat ini yang dimaksud ringannya perbuatan

adalah tidak pidana yang sifatnya ringan (tidak serius), namun tidak ada

batasan atau ukuran sejauh mana tindak pidana bisa dikatakan serius atau

tidak serius. Jika dalam KUHP lama yang dikatakan kejahatan ringan apabila

kerugian yang diakibatkan tidak melebihi dua puluh lima rupiah dan hanya

diancam dengan hukuman seberat-beratnya penjara 3 bulan.45 Namun

dalam RUU KUHP sudah berubah dimana pidana penjara paling singkat

adalah 6 (enam) bulan dan kerugian tidak melebihi Rp.500.000,

perumusannya spesifik pada tindak pidana tertentu seperti pencurian riangan,

penipuan ringan, dan penggelapan ringan. Sedangkan dalam rumusan

perbuatan ringan di konsep Judicial Pardon ini tidak ditentukan secara jelas

oleh pembuat undnag-undang. Jika dibandingkan dengan pidana bersyarat

dalam pasal 14a ayat (1) KUHP disana dituliskan dengan jelas mengenai

tindak pidana apa saja yang bisa mendapatkan pidana bersyarat yakni pada

pidana penjara paling lama satu tahun.

2. Keadaan pribadi pembuat

Unsur ini sama dengan yang ada di belanda dan yunani. Yang

pertimbangkan disini adalah unsur individu pembuat. Yang sudah dijelaskan

sebelumnya bahwa hal ini bisa dilihat dengan mencari sejarah kehidupan

pembuat baik dalam keluarga ataupun masyarakat dan bia juga dilihat

dengan menggunakan ilmu karakterologi.

3. Keadaan pada waktu dilakukan Perbuatan atau Keadaan yang terjadi

kemudian

Unsur ini sama dengan yang ada di Belanda dengan melihat

keadaan pada saat perbuatan dilakukan serta keadaan sesudah perbuatan

dilakukan. Hal ini lebih melihat pada unsur pembuatnya, dimana kondisi-

kondisi yang mengikuti pelaku saat perbuatan terjadi dan sesudahnya

menjadi pertimbangan juga dalam memberikan pemaafan kepada pelaku.

45 Wirjono Prodjodokoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung:Refika

Aditama, 2009. Hlm.35.

Page 27: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

582 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018

Keadaan-keadaan tersebut adalah46 :

a. terdakwa berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 70 (tujuh

puluh) tahun

b. terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana

c. kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar

d. terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban

e. terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan

menimbulkan kerugian yang besar

f. tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain

g. korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut

h. tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak

mungkin terulang lagi

i. kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan

melakukan tindak pidana yang lain

j. pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa

atau keluarganya

k. pembinaan yang bersifat non-institusional diperkirakan akan cukup

berhasil untuk diri terdakwa

l. penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya

tindak pidana yang dilakukan terdakwa

m. tindak pidana terjadi di kalangan keluarga

n. terjadi karena kealpaan.

Selain itu keadaan yang terjadi kemudian bisa berupa terdakwa menyesaklli

perbuatannya, kemudian meminta maaf, dan ada pemaafan dari pihak korban

atau keluarga korban.

4. Dapat dijadikan dasar pertimbangan

Kata dapat disini sama dengan yang ada di Yunani, dapat ini

menunjukkan pada diberikannya kewenangna pada hakim untuk

memberikan atau tidak Pemaafan tersebut. Karena kata “dapat” menunjuk

pada kata “boleh; bisa” sehingga meskipun unsur-unsur terpenuhi hakim bisa

saja tidak memberikan putusan judicial pardon terhadap pelaku.

Hal ini menunjukkan adanya ketidakpastian hukum, dimana jika

kewenangan ini berada pada seseorang yang memang memiliki integritas

tinggi dalam hukum maka akan menjadikan putusan yang sesuai dengan

keadilan dan kemanfaatan, namun jika kewenangan di pegang oleh

seseorang yang memiliki kepentingan dalam hukum maka akan

menghasilkan putusan yang diskriminatif dan berpihak sehingga hukum

tidak lagi netral berdasarkan atas asas keadilan dan kemanfaatan.

Rumusan ini berbeda dengan belanda yang dengan sangat jelas

memerintahkan kepada hakim untuk tidak memberikan hukuman jika

pertimbangan-pertimbangan telah terpenuhi.

5. Tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan

Yang dimaksud disini adalah pemberian maaf tersebut dengan

memberikan putusan yang berisi tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan

46 Elsam, “Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3 Pemidanaan, Pidana dan

Tindakan dalam Rancangan KUHP”, http://www.prakarsa-rakyat.org/download/Perundang-

undangan/Position%20Paper%20Elsam%20RUU%20KUHP%203.pdf, diakses 21 Agustus

2017.

Page 28: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 583

tindakan, namun dengan tetap menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah

melakukan tindak pidana. Hal ini harus dicantumkan dalam putusan hakim.

6. Keadilan dan kemanusiaan

Dua kata ini yang paling abstrak diantara pertimbangan yang lain.

Karena dua hal ini merupakan asas yang siapapun bisa mengartikannya

secara berbeda tergantung dari sudut mana seseorang tersebut

memandangnya. Jika dikaitkan dengan Pnacasila sebagai dasar dari hukum

Indonesia, maka akan ditemukan kedua arti dari asas ini berdasarkan

pancasila. Dimana asas-asas ini tercantum dalam sila ke-2 dan ke-5.

Dalam sila ke-2 hakekat manusia menurut Notonagoro (Pancasila

dasar filsafat negara,1962)47 dimana manusia itu ada dua yakni

Monodualisme dan Monopluralisme. Dalam monodualisme diajarkan bahwa

manusia terdiri dari 2 asas yang merupakan kesatuan, misalnya kesatuan

jiwa dan raga. Sedangkan Monopluralisme mengajarkan bahwa manusia

terdiri atas banyak asas yang merupakan satu kesatuan, misalnya jiwa, raga,

individu, sosial, mandiri dan terikat sebagai makhluk tuhan, kesemua asas ini

menjadi satu kesatuan.

Sedangkan keadilan seperti yang dijelaskan di awal bahwa apa yng

dikatakan adil sangat abstrak, pancasila juga memiliki konsep adil yang

berbeda yakni memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya;

menyeimbangkan antara hak dan kewajiban.48 Disini makna dari keadilan

dan kemanusian sangat abstark, sehingga akan sangat kesulitan dalam

prakteknya untuk menjadikan dua asas ini sebagai pertimbangannya.

Dari ke enam unsur diatas terdapat tiga unsur yang tidak jelas dalam pengetian

maupun maksudnya yakni ringannya perbuatan, kata ”dapat” dijadikan

pertimbangan” dan asas keadilan serta kemanusiaan. Ketidak jelasan makna

dari tiga unsur diatas bisa menyebabkan kesalahan dalam penerapan, sehingga

tujuan pemidanan yang integratif antara keadilan, kemanfaatan dan kepastian

hukum tidak akan bisa tercapai. Selain itu unsur-unsur tersebut diatas bukan

kumulatif, hal ini terlihat dari perumusannya yang menggunakan tanda koma

dan atau, sehingga jika salah satu saja terpenuhi maka hakim bisa memberikan

putusan Judicial Pardon, bila itu diterapkan maka banyak kasus yang tidak

hanya ringan namun tergolong berat bisa lepas dari hukuman dengan

pertimbang-pertimbangan yang lainnya.

Perlu kiranya dibuat sebuah perumusan yang bisa menjadikan

konsep tersebut sesuai dan bisa dipraktekkan dalam hukum pidana Indonesia.

Untuk itu sudah seharusnya melihat konsep ini tidak hanya dari hukum barat

yang telah ada namun mencoba untuk menggali dari apa yang ada di dalam

masyarakat Indonesia sendiri. Diketahui bahwa Indonesia menganut sistem

campuran berdasarkan apa yang telah dijelaskan sebelumnya yakni didasarkan

pada apa yang benar-benar ada dalam masyarakat Indonesia. Selain hukum

adata yang telah dijelaskan diatas juga terdapat Sistem hukum islam yang

memiliki pengaruh cukup besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena

memang mayoritas masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Secara

tidak langsung hukum Islam juga berpengaruh pada hukum nasional yang saat

47 Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila (Pendekatan Melalui Etika Pancasila), Log.Cit 48 Ibid

Page 29: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

584 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018

ini berlaku, bahkan secara khusus hukum Islam di gunakan disalah satu

Provinsi di Indonesia yakni aceh.

Selain dengan melihat hukum Islam, bisa juga dilihat dalam hukum

adat yang berlaku di Indonesia, karena Indonesia merupakan Negara yang

terdiri dari puluhan suku yang memiliki hukum adat masing-masing dimana

dalam pembuatan hukum nasional juga harus dilihat mengenai hukum yang

berlaku di masyarakat.

mengenai hukum yang berlaku di masyarakat.

Natangsa mencatat bahwa proses penyelesaian berbagai perkara

yang ada didalam masyarakat rata-rata diselesaikan dengan cara damai, baik

secara langsung antara para pihak yang bersengketa, maupun dengan perantara

pihak ketiga yakni keluaga hingga tokoh masyarakat atau pihak pemerintah

setingkat kelurahan, atau bahkan hingga kepolisian namun tidak melibatkan

Pengadilan.49 Penelitian tersbeut dilakukan pada tiga wilayah adat, yakni jawa,

Lampung dan Bali. Berdasarkan penelitiannya, di tiga wilayah tersebut

peradilan adat masih eksis dan masih digunakan dalam masyarakatnya. Dan

konsep pemaafan ini merupakan bagian utama dalam penyelesaian secara

damai di wilayah-wilayah adat tersebut.

Selain itu judicial pardon juga harus ditempatkan pada ide

keseimbangan, dimana harus ada keseimbangan antara kepentingan umum atau

masyarakat dan kepentingan individu, antara perlindungan atau kepentingan

pelaku (ide individualisasi pidana) dan korban. Sejauh ini konsep Judicial

pardon yang tertuang dalam pasal 56 ayat (2) tersebut lebih melihat pada

kepentingan pelaku, hal ini bisa dilihat dalam rumusannya yang secara jelas

mempertimbangkan perbuatan pelaku serta keadaan-keadaan yang mengikuti

perbuatan pelaku pada saat dan setelah terjadinya tindak pidana, dalam pasal ini

belum nampak adanya perlindungan kepada korban, sehingga perlu di

seimbangkan dengan memberikan perlindungan kepada korban melalui

pemberian syarat bagi terdakwa yang akan mendapatkan putusan judicial

Pardon. Syarat-syarat tersebut akan lebih dapat memperlihatkan perlindungan

pada korban, misalnya dengan memberikan syarat adanya ganti rugi yang

diberikan pada korban.

Penelitian dari penulis sebelumnya menemukan bahwa perlu adanya

perumusan kembali terkat dengan konsep judicial pardon yang ada dalam RUU

KUHP, namun tidak hanya perumusan konsep nya saja, terdapat satu

permasalahan terkait dengan pertimbangan yang bisa digunakan oleh hakim

untuk memberikan pemaafan ataupun tidak, hal ini menyebabkan adanya

perubahan terhadap jenis putusan hakim. Majelis hakim dalam memutuskan

suatu perkara berdasarkan KUHAP terdapat tiga kemungkinan, yaitu:50

1. Pemidanaan (veroordeling tot enigerlei sanctie)

2. Putusan Bebas (vrij spraak)

3. Putusan Lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht

vervolging)

49 Natangsa Surbakti, Gagasan Lembaga Pemberian Maaf dalam Konteks Kebijakan

Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Tesis, Semarang: Universitas

Diponegoro, 2003. 50 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta:

Sinar Grafika, 2006, hlm. 347-354

Page 30: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 585

Yang menjadi persoalan adalah ketika seorang terdakwa dinyatakan bersalah

dan terbukti secara sah dan meyakinkan namun majelis hakim memandang

bahwa perbuatan yang dilakukan tidak harus dijatuhkan pemidanaan sehingga

hakim memberi maaf sesuai dengan pasal 56 ayat (2) RUU KUHP, maka hakim

tidak memungkinkan untuk menjatuhkan salah satu jenis putusan diatas.

Sehingga diperlukan adanya penyelarasan dengan Rancangan KUHAP

(RKUHAP), sehingga pasal 56 ayat (2) dapat diterapkan.

RKUHAP mengatur jenis putusan dalam pasal 187 dimana terdapat

jenis putusan akhir yang dapat diberikan kepada terdakwa yaitu putusan

pemidanaan, putusan lepas dan putusan bebas, hal ini sama dengan yang ada

dalam KUHAP yang berlaku saat ini. Sehingga tidak ada jenis putusan yang

dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang diberikan Judicial Pardon. Jika tidak

ada perubahan dalam RKUHAP terkait dengan jenis putusan maka konsep yang

ada dalam pasal 56 ayat (2) RUU KUHP hanya akan menjadi pasal tumpul

yang tidak dapat diterapkan. Hal ini berbeda deangn di Belanda, dimana

pengaturan terkait Judicial Pardon tidak hanya dimuat dalam hokum pidana

materiil saja, namun juga telah ada dalam hokum acara pidananya. Hakim

pidana di Belanda dapat menajtuhkan 4 (empat) bentuk putusan, yakni: 51

1. Putusan Bebas (Vrijkpraak)

2. Putusan Lepas (onslag van alle rechtsvervolging)

3. Putusan Pemidanaan (veroordeling tot enigerlei sanctie) dan,

4. Putusan Pemaafan hakim (recthterlijk pardon)

Sehingga majelis hakim di Belanda dapat menjatuhkan putusan judicial pardon

yang memiliki bentuk khusus jika dibandingkan dengan tiga putusan yang

lainnya. RKUHAP juga tidak mengatur mengenai banding atau kasasi yang

dapat dimintakan atas putusan judicial pardon ditingkat pengadilan pertama,

berbeda dengan di Belanda dimana putusan judicial pardon bersifat final,

sehingga tidak dapat diajukan banding maupun kasasi.52 Dengan demikian perlu

adanya konsep baru Judicial Pardon baik di dalam RKUHP menyesuaikan

dengan nilai-nilai yang ada dalam masyakarat Indonesia serta menformulasikan

dalam RKUHAP menjadi salah satu jenis putusan yang dapat diberikan oleh

hakim atas pemaafan hakim yakni putusan salah tanda pidana (a guilty verdict

without punishment).

IV. KESIMPULAN

1. Sistem hukum yang dipakai di tiga negara yang dijadikan bahan analisa

bersumber pada satu sistem yakni Eropa Kontinental namun namun dalam

perkembangannnya juga dipengaruhi oleh sistem hukum yang lain, baik itu

sistem hukum yang dibawa oleh bangsa Moor yakni sistem hukum Islam,

sistem hukum yang dibawa bangsa Germanik yakni sistem hukum adat

bangsa germanik, serta sistem hukum Yunani Kuno yang sekarang diadopsi

oleh sistem Hukum Anglo Saxon. Hal ini tentu saja berpengaruh pada

produk perundangan-undangan yang dibuat dalam hal ini adalah yang

berhubungan dengan hukum pidana serta berpengaruh pada proses

pelaksanaan dan penegakan hukumnya.

51 Adery Ardhan Saputra, Konsepsi Rechterlijk pardon atau Pemaafan Hakim Dalam

Rancangan KUHP, Jurnal Mimbar Hukum Vol.28 No.1, 2016, hllm. 73 52 Ibid.

Page 31: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

586 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018

Negara Yunani yang pada awalnya menggunakan sistem juri pada

peradilannya, kemudian terpengaruh oleh romawi serta bangsa germanik

mengakibatkan perubahan pada sistem peradilannya yang menggunakan

sistem campuran antara juri profesional yang disebut dengan judges dan

juri dari orang yang awam hukum disebut dengan lay judges. Belanda juga

berkiblat pada Eropa Kontinental versi perancis, dimana hampir semua

peraturan perundang-undangannya terpengaruh oleh kode Napoleon.

Namun dalam perkembangannya mengalami perubahan terutama dalam

ssitem peradilannya dimana dalam Hukum pidana Belanda juga masih di

kenal adanya lay judges yang berasal dari masayarakt awam (non hukum)

tapi proporsinya sangat sedikit dan terbatas pada kasus-kasus tertentu saja.

Kemudian dalam perkembangan hukum modern saat ini hukum tidak

hanya dipandang sebagai undang-undang yang sifatnya baku dan keras,

tapi juga sebagai sesutu yang bisa digunakan untuk menjaga kedamaian di

dalam masyarakat. Yang hal ini terakomodir dengan adanya penyelesaian

pidana yang tidak hanya dilakukan di dalam pengadilan namun juga di luar

pengadilan yakni dengan adanya Eacht Recht, yang mengambil dasarnya

dari konsep restoratif Justice.

Portugal pada awalnya memang dipengaruhi oleh Kode Napoleon, namun

dalam perkembangnya juga dipengaruhi oleh Sistem Hukum Islam yang

dibawa bangsa Moor meskipun tidak cukup signifikan pengaruhnya. Jika

dilihat maka Portugal merupakan negara yang memiliki sistem hukum

campuran dimana dia dipengaruhi oleh Kode Napoleon, namun kemudian

juga di pengaruhi oleh Kodifikasi Jerman. Dan pada akhirnya saat ini

hukum pidanyanya juga di pengaruhi oleh sistem hukum Anglo saxon,

dimana hal ini nampak pada penggunaan sistem juri pada kejahatan-

kejahatan terorisme dan kejahatan terorganisir lainnya.

2. Memasukkan konsepsi Islam dan juga Peradilan adat dalam perumusannya,

dimana harus ada perumusan yang jelas mengenai tindak pidana apa saja

yang bisa diberikan pemaafan oleh hakim, sehingga kepastian hukumnya

terjamin serta menformulasikan dalam RKUHAP menjadi salah satu jenis

putusan yang dapat diberikan oleh hakim atas pemaafan hakim yakni

putusan salah tanda pidana (a guilty verdict without punishment).

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi, Psikologi Umum (Edisi Revisi), Semarang: PT. Bina Ilmu

Offset,1992. Dalam

http://atriaindahlestari.ngeblogs.com/2010/04/24/karakterologi/.

Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta; PT

RajaGrafindo Persada, 2004.

------------------, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum: Cicil law, Common

Law, Hukum Islam, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2008.

Adery Ardhan Saputra, Konsepsi Rechterlijk pardon atau Pemaafan Hakim

Dalam Rancangan KUHP, Jurnal Mimbar Hukum Vol.28 No.1,

2016.

Page 32: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 587

Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara,Jakarta:Sinar

Grafika,2009.

Artigo 207. (Juri, Participacao Popular E Assessoria Tecnica) Constituicao Da

Republica Portuguesa VII Revisao Constitucional (2005)

http://translate.google.co.id/ .

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung; Mandar

Maju, 2008.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung; PT.

Citra Aditya Bakti, 1996.

------------------, Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta; Raja

Grafindo Persada,2004.

------------------, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2005.

Casper, Gerhard; Zeisel, Hans (January 1972). "Lay Judges in the German

Criminal Courts" . Journal of Legal Studies 1 (1): 142 .

http://www.jstor.org/stable/724014.

Denden Immadudin Sholeh, Sistem Hukum Portugal, http://denden-

imadudin.blogspot.com/2010/03/sistem-hukum-portugal.html.

Elsam, “Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3 Pemidanaan, Pidana dan

Tindakan dalam Rancangan KUHP”, http://www.prakarsa-

rakyat.org/download/Perundang-

undangan/Position%20Paper%20Elsam%20RUU%20KUHP%2

03.pdf.

Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu

Pengatar, Bandung; PT.Refika Aditama, 2005.

Herman Bakir. Filsafat Hukum :Desain dan Artsitektur Kesejarahan. Bandung:

PT Refika Aditama. 2007

M. Sholehuddin, Sistem Snksi Dalam Hukum Pidana, Jakarta; RajaGrafindo

Persada, 2003.

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems,

London, Routledge and Kegan paul, 1965.

Marijke Malsch, Lay Participation In The Netherlands Criminal Law System,

Paper presented at the International Society for the Reform of

Criminal Law Convergence of Criminal Justice Systems:

Building Bridges - Bridging the Gaps,24-28 August 2003,

www.isrcl.org/Papers/Malsch.pdf.

Miriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Jakarta; Gramedia, 1981.

Mohammad Ridwan, Perspektif Teoritik Ilmu Hukum tentang Kapasitas Hukum

Pemerintahan Daerah Dalam Pembuatan Perjanjian Kerjasama

Internasional, disertasi, Malang; Universitas Brawijaya, 2007.

Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, 1995.

Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Bandung; PT.Refika Aditama, 2007.

Natangsa Surbakti, Gagasan Lembaga Pemberian Maaf dalam Konteks

Kebijakan Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,

Tesis, Semarang: Universitas Diponegoro, 2003.

Page 33: REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM HUKUM

588 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018

Nyoman Samuil Kurniawan, Hukum Pidana

Belanda,www.scribd.com/elkurnia/document.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana; Jakarta, 2005.

Rene David dan John E.C.Brierley, Major Legal Systems in The World Today,

London, Stevens and Sons, 1978.

Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila (Pendekatan Melalui Etika Pancasila),

Yogyakarta: PT.Hanindita, 1990

Syahruddin Husein, Kejahatan dalam Masyarakat dan Upaya

Penanggulangannya, Medan; USU, 2003.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta; Kanisius,

1982.

Tolib Setiadi. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Alfabeta,

2010.

The History of Portugal, http://www.golisbon.com/culture/history.html.

Wirjono Prodjodokoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung:

Refika Aditama, 2009.