Upload
dewi
View
58
Download
15
Tags:
Embed Size (px)
DESCRIPTION
referat
Citation preview
Clinical Scientific Session
SINDROMA DISPEPSIA
Disusun oleh:
Dewi Noviarti Tanjung 1110311006
Panji Hadi Permana 1110312029
Darayani Okta Safda 1110312135
Preseptor:
dr. Arina Widya Murni, Sp.PD-K.Psi FINASIM
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
RSUP Dr. M. Djamil Padang
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah atas limpahan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul “Sindroma
Dispepsia”. Referat ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti kepaniteraan
klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS Dr. M. Djamil Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang.
Terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan referat ini, khususnya kepada dr. Arina Widya Murni, Sp.PD-
K.Psi FINASIM selaku preseptor dan juga kepada rekan-rekan dokter muda.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis menerima setiap kritik dan saran dari
semua pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya di
bidang ilmu kedokteran. Aamiin.
Padang, 8 Oktober 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
DAFTAR TABEL.................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR............................................................................................v
BAB 1. PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................1
1.2 Rumusan masalah.................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan................................................................................2
1.5 Metode Penulisan ................................................................................2
BAB 2 . SINDROMA DISPEPSIA......................................................................2
1.1. Definisi...............................................................................................3
1.2. Epidemiologi......................................................................................4
1.3. Klasifikasi..........................................................................................4
1.4. Etiologi...............................................................................................8
1.5. Patofisiologi.....................................................................................11
1.6. Manifestasi Klinis ...........................................................................18
1.7. Diagnosis..........................................................................................20
1.8. Tata Laksana....................................................................................27
1.9. Komplikasi ......................................................................................36
1.10. Prognosis…………………………………………………………...37
BAB 3. KESIMPULAN.....................................................................................38
iii
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................40
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Klasifikasi Dispepsia Fungsional Menurut Roma III................................4
Tabel 2. Etiologi dispepsia.......................................................................................6
Tabel 3. Mekanisme terjadinya gejala dispepsia pada dispepsia fungsional...........6
Tabel 4. Obat-obatan yang dapat memicu terjadinya dispepsia..............................7
Tabel 5. Alarm simptom sakit perut berulang karena kelainan organik................13
Tabel 6. Diagnosis Banding Dispepsia..................................................................19
Tabel 7. Regimen Terapi Hp..................................................................................25
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Brain Gut Axis (BGA).........................................................................11
Gambar 2. Alur Diagnosis Dispepsia.....................................................................17
Gambar 3. Alur Diagnosis Dispepsia di Berbagai Tingkat Layanan Kesehatan...18
Gambar 4. Alogaritma Tata Laksana Dispepsia belum di Investigasi...................21
Gambar 5. Alogaritma Tata Laksana Ulkus Peptikum..........................................22
Gambar 6. Alogaritma Tata Laksana Dispepsia Akibat Penggunaan NSAID dan Komplikasi
Gastro Intestinal.....................................................................................................23
Gambar 7. Alogaritme Tata Laksana Dispepsia Fungsional.................................24
vi
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek
sehari-hari. Dispepsia sendiri merupakan kumpulan gejala atau sindrom nyeri ulu
hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang, sendawa merupakan
masalah yang sering ditemukan dalam praktek sehari-hari. Dispepsia berasal dari
bahasa Yunani: duis bad dan peptein to digest, yang berarti gangguan pencernaan.
Istilah dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an. Sindroma
atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya
termasuk pula penyakit pada lambung, yang diasumsikan oleh orang awam
sebagai penyakit maag atau lambung 1.
Secara umum dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik
dan dispepsia fungsional. Dispepsia dapat disebut dispepsia organik apabila
penyebabnya telah diketahui secara jelas. Dispepsia fungsional merupakan
dispepsia yang tidak ada kelainan organik tetapi merupakan kelainan fungsi dari
saluran cerna 2.
Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan prevalensi
dispepsia berkisar antara 12-45% dengan estimasi rerata adalah 25%. Insiden
dispepsia pertahun diperkirakan antara 1-11,5% 3. Dari data pustaka Negara Barat
didapatkan angka prevalensi dispepsia berkisar 7-41%, tapi hanya 10-20% yang
akan mencari pertolongan medis 1. Belum didapatkan data epidemiologi di
Indonesia. Prevalensi dispepsia dipengaruhi oleh beberapa faktor: jenis kelamin,
1
umur, indeks massa tubuh, perokok, konsumsi alkohol dan psikis. Beragamnya
angka prevalensi disebabkan perbedaan persepsi dari definisi dyspepsia 3.
Keluhan dispepsia merupakan keluhan umum yang dialami oleh
seseorang dalam waktu tertentu dan bersifat kronik yang berdampak pada kualitas
hidup penderita dan beban ekonomi secara langsung maupun tidak langsung 3.
1.2 Rumusan Masalah
Tulisan ini membahas tentang definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, gejala
klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis dari sindroma dispepsia.
1.3 Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk menambahkan pengetahuan dan memahami tentang
sindroma dispepsia.
1.4 Manfaat Penulisan
Tulisan ini dapat memberikan informasi mengenai sindrom dispepsia.
1.5 Metode Penulisan
Tulisan ini merupakan tinjauan pustaka yang merujuk kepada berbagai literatur.
2
BAB 2
DISPEPSIA
2.1 Definisi Dispepsia
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen
bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa
gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh
setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna bagian atas,
mual, muntah, dan sendawa 4.
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani Dys berarti sulit dan Pepse yang
berarti pencernaan. Dispepsia merupakan kumpulan keluhan atau gejala klinis
yang terdiri dari rasa tidak enak atau sakit diperut bagian atas yang menetap atau
mengalami kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas
di dada ( heart burn ) dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk
dispepsia 5.
Ada berbagai macam definisi dispepsia. Salah satu definisi yang
dikemukakan oleh suatu kelompok kerja internasional adalah bahwasanya
dispepsia merupakan sebuah sindrom yang terdiri dari keluhan – keluhan yang
disebabkan karena kelainan traktus digestivus bagian proksimal yang dapat berupa
mual atau muntah, kembung, dysphagia, rasa penuh, nyeri epigastrium atau nyeri
retrosternal dan ruktus, yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Dengan demikian
dispepsia merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat kronik 2.
3
2.2 Epidemiologi Dispepsia
Perubahan gaya hidup dan pola makan menjadi salah satu penyebab
terjadinya masalah pencernaan. Dispepsia merupakan salah satu masalah
pencernaan yang paling umum ditemukan. Dialami sekitar 13% - 40% populasi
di dunia setiap tahun. Dispepsia diperkirakan diderita sekitar 15-40% warga
Indonesia. Data Depkes tahun 2004 menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari
daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak di Indonesia dengan
proporsi 1,3%. Proporsi tertinggi penderita dispepsia adalah kelompok umur >50
tahun (33,0%), jenis kelamin perempuan (61,6%), agama Islam (75,3%), tamat
SLTA (17,7%), pekerjaan Ibu Rumah Tangga (30,0%), status Kawin (70,4%),
asal Kota Medan (86,7%), dispepsia fungsional (78,8%), manifestasi klinis
campuran (52,7%), lama sakit akut (74,9%), pulang berobat jalan (90,1%), bukan
dengan biaya sendiri (79,8%), dan lama rawatan rata-rata 5,24 hari 6.
Survei yang dilakukan Ari F. Syam dari FKUI (2001) menemukan bahwa
dari 93 pasien yang diteliti, hampir 50% diantaranya mengalami dispepsia. Survei
yang dilakukan pada masyarakat Jakarta pada tahun 2006 oleh Departemen Ilmu
penyakit Dalam FKUI yang melibatkan 1645 responden mendapatkan pasien
dengan sindrom dispepsia mencapai angka 60%. Dari data ini terlihat bahwa
sindrom dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling banyak
diderita 6.
4
2.3 Klasifikasi Dispepsia
Secara garis besar, sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
kelompok penyakit organik (seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu
dll) dan kelompok dimana sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau
baku (radiologi, endoskopi, laboratorium) tidak dapat memperlihatkan adanya
gangguan patologis struktural atau biokimiawi, atau dengan kata lain,kelompok
terakhir ini disebut sebagai dispepsia fungsional 1.
Dispepsia berdasarkan gejala klinis menurut Sudoyo (2009) dibagi atas :
1. Dispepsia akibat gangguan motilitas.
Pada dispepsia akibat gangguan motilitas keluhan yang paling
menonjol adalah perasaan kembung, rasa penuh ulu hati setelah
makan, cepat merasa kenyang disertai sendawa.
2. Dispepsia akibat tukak.
Pasien tukak peptik memberikan ciri-ciri keluhan seperti nyeri ulu hati,
rasa tidak nyaman (discomfort) disertai muntah. Pada tukak duodenum
rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit bisa
membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setalah makan
dan minum obat antasida (Hunger Pain Food Relief = HPFR). Rasa
sakit tukak gaster timbul setelah makan, rasa sakit tukak gaster berada
sebelah kiri dan rasa sakit tukak duodenum berada disebelah kanan
garis tengah perut. Rasa sakit bermula pada satu titik (pointing sign)
akhirnya difus bisa menjalar ke punggung. Ini disebabkan penyakit
bertambah berat atau mengalami komplikasi berupa penetrasi tukak ke
organ pancreas.
5
3. Dispepsia akibat refluks.
Pada dispepsia akibat refluks keluhan yang menonjol berupa perasaan
nyeri ulu hati dan rasa seperti terbakar, harus disingkirkan adanya
penyakit kardiologis.
4. Dispepsia tidak spesifik.
Dalam konsensus Roma III (tahun 2006) dispepsia fungsional
didefinisikan sebagai:
1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat
kenyang, nyeri ulu hati/epigastric, rasa terbakar di epigastrium.
2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan
penyebab keluhan tersebut.
3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir
sebelum diagnosis ditegakan.
Menurut konsensus Roma III dispepsia fungsional dibagi dua seperti yang
tertera pada Tabel 1 yaitu sindrom Distress Post-prandial (SDP) dan Sindrom
nyeri epigastric (SNE) 7. Adanya batasan waktu dalam penegakan dignostik
dispepsia fungsional ditujukan untuk meminimalisasikan kemungkinan adanya
penyebab organik. Sesuai dengan hal tersebut maka dispepsia merupakan suatu
sindrom klinik yang bersifat kronik 1. Perlu juga ditekankan bahwa dispepsia
6
dalam tata laksana harus dibedakan antara yang belum diinvestigasi
(uninvestigated dyspepsia) dan yang telah diinvestigasi (investigated dyspepsia).
Di mana pada yang telah diinvestigasi istilah dispepsia harus diikuti dengan
penyebabnya. Misalnya, dispepsia karena ulkus lambung, sedang bila tidak
ditemukan adanya kelainan organik yang mendasari atau menjelaskan keluhan
dispepsia, maka dispepsia ini disebut sebagai dispepsia fungsional 3.
Tabel 1. Klasifikasi Dispepsia Fungsional Menurut Roma III 7.
1. Sindrom Distress Post-prandial (SDP)
Memenuhi salah satu atau kedua syarat berikut :
a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, makanan dengan
porsi biasa, terjadi beberapa kali dalam seminggu.
b. Rasa cepat kenyang yang menyebabkan tidak dapat
menghabiskan makanan, terjadi dalam beberapa kali dalam
seminggu.
Kriteria suportif:
a. Kembung di perut bagian atas, mual atau bersendawa setelah
makan.
b. Dapat terjadi bersamaan dengan Sindrom nyeri epigastrik.
2. Sindrom nyeri epigastrik (SNE)
Memenuhi semua syarat berikut :
a. Nyeri atau rasa terbakar di epigastrium, intensitas moderat,
7
setidaknya sekali dalam seminggu
b. Nyeri intermiten
c. Tidak tergeneralisasi atau terlokalisasi ke area lain abdomen.
d. Tidak membaik setelah defekasi atau buang gas.
e. Tidak memenuhi kriteria batu empedu atau kelainan Sfingter
Oddi.
Kriteria suportif :
a. Nyeri seperti terbakar, tapi bukan di daerah retrosternal.
b. Nyeri diinduksi atau diredakan dengan makanan, namun dapat
terjadi selama puasa.
c. Dapat terjadi bersamaan dengan Sindrom distress post-prandial.
2.4 Etiologi
Penyebab terjadinya dispepsia tergantung dari klasifikasinya sendiri.
Penyebab dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus peptikum, striktura
esophagus jinak, keganasan saluran cerna bagian atas, iskemia usus kronik, dan
penyakit pankreatobilier. Sedangkan dispepsia fungsional mengeksklusi semua
penyebab organik. Etiologi dari dispepsia dapat dilihat pada Tabel 2 dan dispepsia
fungsional dapat dilihat pada Tabel 3 8.
Tabel 2. Etiologi dispepsia 8.
8
Esofago – gastro – duodenal Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis
NSAID, keganasan
Obat-obatan Antiinflamasi non steroid, teofilin, digitalis,
antibiotik
Hepatobilier Hepatitis, Kolesistitis, Kolelitiasis, Keganasan,
Disfungsi sfinkter Oddi
Pankreas Pankreas Pankreatitis, keganasan
Penyakit sistemik Diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal ginjal,
kehamilan, penyakit jantung koroner / iskemik
Gangguan fungsional Dispepsia fungsional, irritable bowel syndrome
Tabel 3. Mekanisme terjadinya gejala dispepsia pada dispepsia fungsional 8.
1. Hipersensitivitas viseral
a. Meningkatnya persepsi distensi
b. Gangguan persepsi asam
c. Hipersensitivitas viseral sebagai konsekuensi inflamasi kronik
2. Gangguan motilitas
a. Hipomotilitas antral post prandial
b. Menurunnya relaksasi fundus gaster
c. Menurunnya atau gangguan pengosongan lambung
9
d. Refluks gastro-esofageal
e. Refluks duodeno-gaster
3. Perubahan sekresi asam
a. Hiperasiditas
4. Infeksi kuman Helicobacter pylori
5. Stress
6. Gangguan dan kelainan psikologis
7. Predisposisi genetik
Beberapa obat yang dapat menyebabkan keluhan dispepsia terlihat pada
Tabel 4. Pada umumnya adalah OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) yang
dapat merusak mukosa sehingga menyebabkan gastritis 8.
Tabel 4. Obat-obatan yang dapat memicu terjadinya dispepsia 8.
Obat-obatan yang dapat
menyebabkan keluhan
dispepsia
1. Acarbose
2. Aspirin
3. Colchicine
4. Digitalis
5. Estrogen
6. Gemfibrozil
10
7. Glukokortioid
8. Preparat besi
9. Levodopa
10. Narkotik
11. Niasin
12. Nitrat
13. Orlistat
14. Potassium klorida
15. Quinidine
16. Sildenafil
17. Teofilin
2.5 Patofisiologi Dispepsia
2.5.1 Dispepsia Fungsional
Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan
dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam
lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan
hipersensitivitas viseral. Abdullah dan Gunawan (2012) menegaskan bahwa
patofisiologi dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-
penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki
peranan bermakna, seperti di bawah ini 9 :
11
1. Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan
pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume
lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan lambung yang
lebih cepat, serta gastric compliance yang lebih rendah.
2. Infeksi Helicobacter pylori
3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas
dan depresi.
Sekresi asam lambung
Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam
lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang
rata-rata normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa
lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut 9.
Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori pada
dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan
angka kekerapan infeksi H. pylori pada kelompok orang sehat. Mulai ada
kecenderungan untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia
fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan pengobatan
konservatif baku 9.
12
Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal
juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal
lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan
akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang 9.
Aktivitas mioelektrik lambung
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan
elektrogastrografi terdeteksi pada beberapa kasus dispepsia fungsional,
tetapi peranannya masih perlu dibuktikan lebih lanjut 9.
Peranan hormonal
Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis dispepsia
fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormone motilin yang
menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa
percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin memengaruhi
kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal 9.
Diet dan faktor lingkungan
Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia
fungsional dibanding kasus kontrol 9.
13
Psikologis
Adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah pemberian
stimulus berupa stres. Kontroversi masih banyak ditemukan pada upaya
menghubungkan faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan
motilitas. Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk
kelompok dispepsia fungsional ini, walaupun dalam sebuah studi
dipaparkan adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia,
pelecehan seksual, atau gangguan jiwa pada kasus dispepsia fungsional 9.
Faktor genetik
Potensi kontribusi faktor genetik juga mulai dipertimbangkan, seiring
dengan terdapatnya bukti-bukti penelitian yang menemukan adanya
interaksi antara polimorfisme gen-gen terkait respons imun dengan infeksi
Helicobacter pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional 9.
Menurut Firmansyah et al (2013), patofisiologi dispepsia fungsional
belum sepenuhnya dimengerti namun terdapat tiga patofisiologi utama yakni
gangguan motilitas, gangguan non-motilitas dan faktor psikososial. Dewasa ini
diketahui adanya peran hormon saluran cerna seperti hormon ghrelin, motilin,
cholecystokinin (CCK), peptida YY (PYY), somatostatin, glucagon-like-peptide 1
(GLP) dalam patofisiologi dispepsia fungsional khususnya dalam pengaturan
14
motilitas saluran cerna. Pengetahuan akan hormon-hormon ini menjadikan adanya
paradigma baru dalam terapi gangguan saluran cerna yakni dengan
dikembangkannya terapi agonis reseptor motilin (misalnya mitemcinal) dan
ghrelin (TZP-101) sebagai salah satu modalitas baru dalam terapi dispepsia 10.
1. Gangguan motilitas.
Selama beberapa waktu, dismotilitas telah menjadi fokus perhatian
dan beragam abnormalitas motorik telah dilaporkan, di antaranya
keterlambatan pengosongan lambung, akomodasi fundus terganggu,
distensi antrum, kontraktilitas fundus postprandial, dan dismotilitas
duodenal. Beragam studi melaporkan bahwa pada dispepsia
fungsional, terjadi perlambatan pengosongan lambung dan
hipomotilitas antrum (hingga 50% kasus), tetapi harus dimengerti
bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat
kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambung saja tidak dapat
mutlak menjadi penyebab tunggal adanya gangguan motilitas 10.
2. Hipersensitivitas viseral.
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor
kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptors. Berdasarkan studi, pasien
dispepsia dicurigai mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap
distensi balon di gaster atau duodenum, meskipun mekanisme pastinya
masih belum dipahami. Hipersensitivitas viseral juga disebut-sebut
memainkan peranan penting pada semua gangguan fungsional dan
15
dilaporkan terjadi pada 30-40% pasien dengan dispepsia fungsional.
Mekanisme hipersensitivitas ini dibuktikan melalui uji klinis pada
tahun 2012. Dalam penelitian tersebut, sejumlah asam dimasukkan ke
dalam lambung pasien dispepsia fungsional dan orang sehat.
Didapatkan hasil tingkat keparahan gejala dispeptik lebih tinggi pada
individu dispepsia fungsional. Hal ini membuktikan peranan penting
hipersensitivitas dalam patofisiologi dispepsia 10.
3. Faktor psikososial.
Brain Gut Axis ( BGA ) mengatur komunikasi antara otak dan
sistem saluran pencernaan (usus). BGA ini terdiri dari tiga bagian ,
yaitu: Sistem saraf enterik ( ENS ) , sistem saraf otonom ( ANS ) , dan
sistem saraf pusat ( SSP ). ANS mendistribusikan informasi yang
diterima dari usus ke usus melalui vagus dan jalur aferen tulang
belakang. Selanjutnya, setelah diproses di tingkat otak, informasi
dikirim kembali pada saluran pencernaan melalui ANS , khususnya
parasympatic dan sympathic eferen seperti yang tertera pada Gambar
1. Jika terjadi gangguan pada axis ini dalam jangka waktu yang cukup
lama maka kemungkinan terjadinya dispepsia fungsional lebih besar 10.
16
Gambar 1. Brain Gut Axis (BGA) 10.
2.5.2 Dispepsia Organik
1. OAINS
Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui
beberapa mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa
lambung sebagai pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang
merupakan salah satu faktor defensive mukosa lambung yang sangat
penting. Selain itu, obat ini juga dapat merusak secara topikal. Kerusakan
topikal ini terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat
korosif, sehingga merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin juga
dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mucus oleh lambung sehingga
kemampuan faktor defensif terganggu. Sawar mukosa lambung sangat
penting untuk perlindungan lambung dan duodenum. Pada pengguna
aspirin terjadi perubahan kualitatif mucus lambung yang dapat
mempermudah terjadinya degradasi mucus oleh pepsin. 11.
2. Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum merupakan keadaan dimana kontinuitas mukosa
esophagus, lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai
17
dibawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah
epitel disebut erosi. Menurut definisi, ulkus peptikum dapat ditemukan
pada setiap bagian saluran cerna baik di jaringan mukosa, sub mukosa
hingga lapisan otot yang terkena getah asam lambung, yaitu esophagus,
lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal juga jejunum. Tukak
terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan antara faktor agresif (asam,
pepsin atau faktor-faktor lainnya) dengan faktor defensive (mucus,
bikarbonat, aliran darah dan PG), bisa faktor agresif meningkat atau faktor
defensive menurun 3.
2.6 Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas keluhan atau
gejala yang dominan menjadi tiga tipe yakni 12:
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus - like dyspepsia)
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodic
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility - like dyspepsia)
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
18
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat
akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakit. Pembagian akut dan kronik
berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut
atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras
(borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri,
sedangkan pada penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyeri. Gejala lain
meliputi nafsu makan menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut
kembung). Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak
memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau
gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan. Gejala
klinis dispepsia fungsional harus dapat kita bedakan dengan sakit perut berulang
yang disebabkan oleh kelainan organik yang mempunyai tanda peringatan (alarm
symptoms) seperti yang tertera pada Tabel 5 berikut 12.
Tabel 5. Alarm symptom sakit perut berulang karena kelainan
organik 12.
Alarm symptoms sakit perut berulang
karena kelainan organik
1. Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilikus
2. Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)
3. Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari
19
4. Nyeri timbul tiba - tiba
5. Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan
6. Disertai gangguan motilitas (diare, obstipasi,
inkontinensia)
7. Disertai perdarahan saluran cerna
8. Terdapat disuria
9. Berhubungan dengan menstruasi
10. Terdapat gangguan tumbuh kembang
11. Terdapat gangguan sistemik: demam, nafsu makan
turun
12. Terjadi pada usia < 4 tahun
13. Terdapat organomegali
14. Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada
sendi
15. Kelainan perirektal: fisura, ulserasi
2.7 Diagnosis Dispepsia
Dalam menegakkan diagnosis dispepsia menurut Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia (2014), dibutuhkan anamnesis yang baik, pemeriksaan
fisik yang akurat dan pemeriksaan penunjang untuk mengeksklusi penyakit
organik/ struktural/ metabolik. Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari
dispepsia organik dan fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster,
ulkus gastritis erosif, gastritis, duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia
20
fungsional mengacu kepada kriteria Roma lll. Kriteria Roma lll belurn divalidasi
di lndonesia. Konsensus Asia-Pasifik (2012) memutuskan untuk mengikuti
konsep dari kriteria diagnosis Roma lll dengan penambahan gejala berupa
kembung pada abdomen bagian atas yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia
fungsional 4.
Dispepsia menurut kriteria Roma lll adalah suatu penyakit dengan satu
atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal 4:
1. Nyeri epigastrium
2. Rasa terbakar di epigastrium
3. Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
4. Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan
terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Kriteria
Roma lll membagi dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup, yakni epigastric pain
syndrome dan postprandial distress syndrome. Akan tetapi, bukti terkini
menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih diagnosis dalam dua pertiga pasien
dispepsia. Alur diagnosis dispepsia tertera pada Gambar 2 4.
Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra-abdomen atau
intra-lumen yang padat misalnya tumor, organomegali, atau nyeri tekan sesuai
dengan adanya rangsang peritoneal/peritonitis.tumpuan pemeriksaan fisik tertuju
pada bagian abdomen. Inspeksi akan distensi, asites, parut, hernia yang jelas, dan
lebam. Auskultasi akan bunyi usus dan karakteristik motilitasnya. Palpasi dan
perkusi abdomen, perhatikan akan tenderness, nyeri, pembesaran organ dan
21
timpani. Pemeriksaan tanda vital bisa ditemukan takikardi atau nadi yang tidak
regular 12.
Kemudian, lakukan pemeriksaan sistem tubuh lainnya. Perlu ditanyakan
perubahan tertentu yang dirasakan oleh pasien, perhatikan keadaan umum dan
kesadaran pasien. Auskultasi bunyi gallop atau murmur di jantung. Perkusi paru
untuk mengetahui konsolidasi. Perhatikan dan lakukan pemeriksaan terhadap
ekstremitas, adakah edema perifer dan dirasakan adalah akral hangat atau dingin.
Lakukan juga pemeriksaan terhadap kelenjar limfa 12.
Pemeriksaan penunjang dilakukan hanya sesuai indikasi atau untuk
menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan penunjang untuk dispepsia
terbagi pada beberapa bagian 12:
1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah
lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan
leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau
banyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan
menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia ulkus
sebaiknya diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu
keganasan, dapat diperiksa tumor marker seperti CEA (dugaan karsinoma
kolon), dan CA 19-9 (dugaan karsinoma pankreas).
2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang
mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau
mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.
Endoskopi biasanya digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari
lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bawah
22
mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Hp. Endoskopi
merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus
terapeutik.
3. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi Hp,
urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.
Pemeriksaan laboratorium lebih banyak ditekankan untuk menyingkirkan
penyebab organik lainnya seperti antara lain pankreatitis kronik, diabetes mellitus,
dan yang lainnya. Pada dispepsia fungsiaonal biasanya hasil laboratorium dalam
batas normal. USG abdomen dibeberapa senter di Eropa digunakan untuk melihat
waktu pengosongan lambung dengan cara mengukur besar proksimal dari
lambung, pada pasien dispepsia lebih kecil dibandingkan dengan bukan dispepsia.
Endoskopi dilakukan untuk memastikan penyebab dari dispepsia itu sendiri (Rani,
2011). Urea breath test merupakan pemeriksaan penunjang yang digunakan jika
kita mencurigai penyebab dari dispepsianya adalah karena infeksi Helicobacter
pylori. Urea breath test saat ini sudah menjadi gold standard untuk pemeriksaan
Hp, salah satu urea breath test yang ada antara lain CO, breath analyzer. Syarat
untuk melakukan pemeriksaan Hp,yaitu harus bebas antibiotik dan PPI (proton-
pumpinhibitor) selama 2 minggu 4.
23
Gambar 2. Alur Diagnosis Dispepsia 4.
24
Gambar 3. Alur Diagnosis Dispepsia di Berbagai Tingkat Layanan Kesehatan 13.
Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi pasien -
pasien yang datang dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada dispepsia yaitu
4:
1. Penurunan berat badan (unintended)
2. Disfagia progresif
3. Muntah rekuren atau persisten
4. Massa daerah abdomen bagian atas
5. Riwayat keluarga kanker lambung
25
6. Perdarahan saluran cerna
7. Anemia
8. Demam
9. Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun
Pasien-pasien dengan keluhan seperti diatas harus dilakukan investigasi terlebih
dahulu dengan endoskopi 4.
Diagnosis Banding Dispepsia
Beberapa diagnosis banding dispepsia menurut Abdullah (2012) seperti yang
tertera pada Tabel 6.
Tabel 6. Diagnosis Banding Dispepsia 9.
26
2.8 Tata Laksana Dispepsia
Tata lakana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi patofisiologi
dan faktor penyebab sebanyak mungkin. Terapi dispepsia sudah dapat dimulai
berdasarkan sindroma klinis yang dominan (belum diinvestigasi) dan dilanjutkan
sesuai hasil investigasi 4.
1. Dispepsia belum diinvestigasi
Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi
empirik selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu
pemerikaan adanya Hp. Untuk daerah dan etnis tertentu serta pasien
dengan faktor risiko tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal 4.
Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung
(PPl misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau H2-
Receptor Antogonist [H2RA]), prokinetik dan sitoprotektor (misalnya
rebamipide), di mana pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan
dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya. Masih ditunggu
pengembangan obat baru yang bekerja melalui down-regulation proton
pump yang diharapkan memiliki mekanisme kerja yang lebih baik dari
PPl, yaitu DLBS 2411 4.
Terkait dengan prevalensi infeksi Hp yang tinggi, strategi test and treat
diterapkan pada pasien dengan keluhan dispepsia tanpa tanda bahaya 4.
27
Test and treat dilakukan pada 4:
a. Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang tidak berespon
terhadap perubahan gaya hidup, antasida, pemberian PPI tunggal
selama 2-4 minggu dan tanpa tanda bahaya.
b. Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum yang belum
pernah diperiksa.
c. Pasien yang akan minum OAINS, terutama dengan riwayat ulkus
gastroduodenal.
d. Anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, purpura
trombositopenik idiopatik dan defisiensi vitamin B12.
Test and treat tidak dilakukan pada 4:
a. Penyakit refluks gastroesofageal (GERD)
b. Anak-anak dengan dispepsia fungsional
28
Gambar 4. Alogaritma Tata Laksana Dispepsia belum di Investigasi 15.
2. Dispepsia yang telah diinvestigasi
Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi empirik,
melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi
dengan atau tanpa pemerikaan histopatologi sebelum ditangani sebagai
dispepsia fungsional. Setelah investigasi, tidak menyingkirkan kemungkinan
bahwa pada beberapa kasus dispepsia ditemukan GERD sebagai kelainannya
4.
29
2.1. Dispepsia organik
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil
endoskopi, terapi dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan.
Kelainan yang termasuk ke dalam kelompok dispepsia organik antara
lain gastritis, gastritis hemoragik duodenitis, ulkus gaster, ulkus
duodenum, atau proses keganasan 4.
Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus duodenum), obat
yang diberikan antara lain kombinasi PPl, misalnya rabeprazole 2x20
mg/ lansoprazole 2x30 mg dengan mukoprotektor, misalnya
rebamipide 3x100 mg 4.
30
Gambar 5. Alogaritma Tata Laksana Ulkus Peptikum15.
31
Gambar 6. Alogaritma Tata Laksana Dispepsia Akibat Penggunaan
NSAID dan Komplikasi Gastro Intestinal 15.
2.2. Dispepsia fungsional
32
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan
mukosa, terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional
yang ada. Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon,
cisaprid, itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan
gejala pada beberapa pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini
terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu
patofisiologi dispepsia fungsional 4.
Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan cisaprid oleh karena
potensi komplikasi kardiovaskular. Data penggunaan obat-obatan
antidepresan atau ansiolitik pada pasien dengan dispepsia fungsional
masih terbatas. Dalam sebuah studi di Jepang baru-baru ini
menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan pada pasien dispepsia
fungsional yang mendapatkan agonis 5-HT1 dipandingkan plasebo 4.
Di sisi lain venlafaxin, penghambat ambilan serotonin dan
norepinerfrin tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding
plasebo. Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas
reseptor serotonin sentral mungkin merupakan faktor penting
dalam .respon terhadap terapi antidepresan pada pasien dispepsia
fungsional 4.
33
Gambar 7. Alogaritme Tata Laksana Dispepsia Fungsional di Bebagai
Tingkat Layanan Kesehatan 13.
3. Tata laksana dispepsia dengan infeksi Hp
Eradikasi Hp mampu memberikan kesembuhan jangka panjang terhadap
gejala dispepsia. Dalam salah satu studi cross-sectional pada 21 pasien di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta (2010) didapatkan bahwa
terapi eradikasi memberikan perbaikan gejala pada mayoritas pasien
dispepsia dengan persentase perbaikan gejala sebesar 76% dan 81%
penernuan Hp negatif yang diperiksa dengan UBT. Penelitian prospektif
oleh Syam AF, dkk tahun 2010 menunjukkan bahwa terapi eradikasi Hp
dengan triple therapy (rabeprazole, amoksisilin, dan klaritromisin) selama
7 hari lebih baik dari terapi selama 5 hari 4.
34
Tabel 7. Regimen Terapi Hp 15.
Pada daerah dengan resistensi klaritromisin tinggi, disarankan untuk
melakukan kultur dan tes resistensi (melalui sampel endoskopi) sebelum
memberikan terapi. Tes molekular juga dapat dilakukan untuk mendeteksi Hp dan
resistensi klaritromisin dan/atau fluorokuinolon secara langsung melalui biopsi
lambung. Setelah pemberian terapi eradikasi, maka pemeriksaan konfirmasi harus
dilakukan dengan menggunakan UBT atau H. pyloristool antigen monoclonal test.
Pemeriksaan dapat dilakukan dalam waktu paling tidak 4 minggu setelah akhir
dari terapi yang diberikan. Untuk HpSA, ada kemungkinan hasil false positif 4.
35
2.9 Komplikasi Dispepsia
1. Perdarahan Gastrointestinal
Perdarahan gastrointestinal merupakan komplikasi paling umum yang
sering terjadi. Hal ini terjadi pada ± 15% pasien dan lebih sering pada
individu > 60 tahun. Insiden yang lebih tinggi pada orang tua
kemungkinan disebabkan oleh peningkatan penggunaan NSAID dalam
kelompok ini.
2. Perforasi
Kejadianperforasi pada orang tuatampaknya meningkat sekunder untuk
peningkatan penggunaan NSAID. Penetrasi adalah bentuk perforasi ulkus
dimana terdapat terowongan ke organ yang berdekatan. Ulkus duodenum
cenderung menembus ke posterior pankreas sehingga menyebabkan
pankreatitis. Sedangkan ulkus gaster cenderung menembus ke dalam hati
lobus kiri.
3. Gastric Outlet Obstruksi
Terjadi pada 1-2% pasien. Seorang pasien mungkin memiliki obstruksi
relatif sekunder untuk ulkus terkait peradangan dan edema diwilayah
peripyloric. Proses ini sering sembuh dengan penyembuhan ulkus. Sebuah
obstruksi, tetap mekanik sekunder untuk pembentukan bekas luka di
daerah peripyloric juga mungkin terjadi. Yang terakhir ini memerlukan
intervensi endoskopi atau bedah. Tanda dan gejala obstruksi mekanik
relatif dapat berkembang secara diam-diam. Diagnosis obstruksi onset
baru yaitu cepat kenyang, mual, muntah, sakit perut peningkatan
postprandial dan penurunan berat badan 14.
36
2.10 Prognosis Dispepsia
Dispepsia fungsional memiliki prognosis baik jika dilakukan pemeriksaan
klinis dan penunjang yang akurat serta tatalaksana yang baik 1. Menurut Abdullah
dan Gunawan (2012) mengemukakan bahwa pasien dispepsia fungsional memiliki
prognosis kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan
dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang hingga berat juga lebih sering
dialami oleh individu dispepsia fungsional. Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa
pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter terhadap pengobatan,
memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan gangguan psikiatris
9.
37
BAB 3
KESIMPULAN
Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat
dialami seseorang. Insiden dispepsia pertahun diperkirakan antara 1-11,5% dan
hanya 20-25% yang akan mencari pertolongan medis. Terdapat banyak penyebab
dispepsia diantaranya adalah gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna:
tukak gaster atau duodenum, gastritis, tumor, dan infeksi Helicobacter pylori.
Obat-obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa
antibiotik, digitalis, teofilin, dan sebagainya. Dispepsia merupakan suatu simptom
atau kelompok keluhan atau gejala dan bukan merupakan suatu diagnosis. Gejala
dispepsia diantaranya nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh
setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna bagian atas,
mual, muntah, dan sendawa. Dispepsia merupakan suatu sindrom klinik yang
bersifat kronik. Dispepsia secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu dispepsia
fungsional dan dispepsia organik. Sangat penting mencari petanda akan gejala dan
keluhan yang merupakan etiologi yang bisa ditemukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan endoskopi dianjurkan pada pasien dengan usia >
50 tahun. Juga direkomendasikan pada pasien yang mengalami penurunan berat
badan yang signifikan, terjadi perdarahan, dan muntah hebat. Penatalaksanaan
dispepsia meliputi pola hidup sehat, berpikiran positif dan makan makanan yang
sehat dan seimbang selain daripada pengobatan. Pengobatan dispepsia antaranya
seperti antasida, antikolinergik, antagonis reseptor histamin2, Proton Pump
Inhibitor, sitoprotektif, golongan prokinetik, antibiotik untuk infeksi Helicobacter
pylori dan kadang-kadang diperlukan psikoterapi.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, A.W et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
InternaPublishing. Hal: 516-517 dan 529-533.
2. Jones, M.P. 2003. Evaluation and treatmentof dyspepsia. Post Graduate
Medical Jurnal. 79:25-29.
3. Rani, A.A., Simadibrata, K.M., Syam, A.F. 2011. Buku Ajar
Gastroenterologi. Jakarta: InternaPublishing. Hal: 131-142.
4. Simadibrata, M.K., Dadang, M., Abdullah, M., et al. 2014. KONSENSUS
NASIONAL: Penatalaksanaan Dispepsia dan lnfeksi Helicobacter pylori.
Perkumpulan Gastoenterologi Indonesia.
5. Tack, J. Nicholas J. Talley, Camilleri M, et al. 2006. Functional
Gastroduodenal Disorder. Gastroenterology. 130:1466-1479.
6. Harahap, Y. 2009. Karakteristik penderita dispepsia rawat inap di RS
Martha Friska Medan Tahun 2007. Edisi 2010. (online)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14681/1/10E00274.pdf.
Diakses tanggal 2 Juni 2015.
7. Tanto, C., Liwang, F., Hanifati., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran
Edisi IV. Jakarta : Media Aesculapius. Hal: 591-595.
8. Laksono, R.D. 2011. Dispepsia. USU. (online)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23015/4/Chapter
%20II.pdf. Diakses tanggal 28 Mei 2015.
9. Abdulah, M. dan Gunawan, J. 2012. Dispepsia. Jakarta : Divisi
Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 39 (9) : 647-651.
39
10. Firmansyah, M.A., Makmun, D., Abdullah, M. 2013. Role of Digestive
Tract Hormone in Functional Dyspepsia. Jakarta : Divisi Gastroenterologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
14 (1):39-43.
11. Glenda, N.L. 2006. Gangguan lambung dan duodenum. Patofisiologi.
Edisi ke-6. EGC. Hal 417-419.
12. Indra, I. 2013. Dispepsia. USU. (online)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38021/4/chapter
%20II.pdf. Diakses tanggal 3 Juni 2015.
13. Miwa, H., Ghoshal,U.C., Sutep, G., et al. 2012. Asian Consensus Report
on Functional Dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil. 18(2): 150-168.
14. Valle, J.D. 2011. Peptic Ulcer Disease and Related Disorders. In Fauci,
A.S., et al. HARRISON’S Principles of Internal Medicine 18th edition
Volume 2. USA : McGraw-Hill.
15. New Zealand Guidelines Group. 2003. Management of dyspepsia and
heartburn. Wellington: New Zealand Guidelines Group.
40