43
REALITAS REFERENSIAL LABA AKUNTANSI SEBAGAI REFLEKSI KANDUNGAN INFORMASI (Studi Interpretif-Kritis Dari Komunitas Akuntan dan Non-Akuntan) AKHMAD RIDUWAN 1 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya ABSTRACT The main aim of the research is to understand the interpretation of accounting earnings by accountants and non-accountants, and its underlied accounting concepts. This research is motivated by the fact that accounting earnings is one of many simbols in the financial statements used to representing certain reality in the communication space. Equality of accounting earning interpretation in that communication space will determine the communication effectivity. Based on hermeneutics, or particularly named as an interpretive approach, the result of this research gives an understanding that accounting earnings are differently interpreted by accountants and non-accountants. In the accountants’ interpretation frame, accounting earnings are the signifier of enterprises’ economic reality changes, should not signify by the net cash inflows in the reporting period. However, in the non-accountants’ interpretation frame, the reality represented by accounting earnings sign is not clear: is that an economic reality, financial reality, or accounting reality, so that usefulness of accounting earnings information in decision making is low. Analogically, in the perspective of non-accountants, accounting earnings are not differ with the reality reflected from the cracked mirror. Nevertheless, in the everyday accounting practice, non accountants still accepted and used the accounting earnings information calculated based on the accounting and financial reporting standards. Implications of this research are the rising of the needs for: (a) decomposite of accounting and financial reporting standards that useful to accomodate the ”habitus” difference between accountants and non-accountants; (b) eliminate the hegemony in accounting practice; and (c) reasking of the meaning of ”generally accepted accounting principles”. Key-Words: Accounting Earnings, Refferential Reality, Information Contents, Interpretation, Communication, Hegemony, Decomposition. 1. PENDAHULUAN 1 Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Iwan Triyuwono, SE., Ak., MEc., PhD.; Gugus Irianto, SE., Ak., MSA., PhD., serta Dr. Unti Ludigdo, SE., Ak., MSi. (Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang) atas arahan beliau dalam pelaksanaan dan penulisan hasil penelitian. Walaupun demikian, semua kesalahan dan kekhilafan dalam penulisan ringkasan sebagian hasil penelitian ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis. 1

Realitas Referensial Laba Akuntansi Sebagai Refleksi Kandungan Informasi

  • Upload
    ryan

  • View
    230

  • Download
    6

Embed Size (px)

DESCRIPTION

refleksi laba akuntansi

Citation preview

AKUNTANSI AKRUAL:

REALITAS REFERENSIAL LABA AKUNTANSI SEBAGAI REFLEKSI KANDUNGAN INFORMASI(Studi Interpretif-Kritis Dari Komunitas Akuntan dan Non-Akuntan)AKHMAD RIDUWAN

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya

ABSTRACT

The main aim of the research is to understand the interpretation of accounting earnings by accountants and non-accountants, and its underlied accounting concepts. This research is motivated by the fact that accounting earnings is one of many simbols in the financial statements used to representing certain reality in the communication space. Equality of accounting earning interpretation in that communication space will determine the communication effectivity. Based on hermeneutics, or particularly named as an interpretive approach, the result of this research gives an understanding that accounting earnings are differently interpreted by accountants and non-accountants.In the accountants interpretation frame, accounting earnings are the signifier of enterprises economic reality changes, should not signify by the net cash inflows in the reporting period. However, in the non-accountants interpretation frame, the reality represented by accounting earnings sign is not clear: is that an economic reality, financial reality, or accounting reality, so that usefulness of accounting earnings information in decision making is low. Analogically, in the perspective of non-accountants, accounting earnings are not differ with the reality reflected from the cracked mirror. Nevertheless, in the everyday accounting practice, non accountants still accepted and used the accounting earnings information calculated based on the accounting and financial reporting standards. Implications of this research are the rising of the needs for: (a) decomposite of accounting and financial reporting standards that useful to accomodate the habitus difference between accountants and non-accountants; (b) eliminate the hegemony in accounting practice; and (c) reasking of the meaning of generally accepted accounting principles.Key-Words: Accounting Earnings, Refferential Reality, Information Contents, Interpretation, Communication, Hegemony, Decomposition.1. PENDAHULUANLatar Belakang PenelitianAkuntansi adalah bahasa teknis perusahaan. Akuntansi adalah teks yang menjadi media ko-munikasi informasi keuangan antara manajer dan pihak-pihak yang berada di luar perusahaan, ketika manajer tidak memiliki kesempatan secara langsung untuk berkomunikasi melalui wi-cara. Ray J. Chambers menyatakan bahwa akuntansi adalah bahasa tulis yang berfungsi seba-gai pengganti bahasa wicara tersebut, dan berpendapat bahwa aspek komunikasi dari akuntan-si ini seharusnya menjadi dasar dalam pengembangan teori akuntansi (lihat Lee 1982, 152). Pengakuan Chambers bahwa akuntansi merupakan bahasa teknis perusahaan, memper-oleh respon dan dukungan positif dari kalangan profesi maupun akademisi akuntansi (misal-nya Li 1972; Lusk 1973, Ijiri 1975; Heath 1987; Fiol 1989; Fischer dan Stoken 2001; serta Suwardjono 2005, 28). Ijiri (1975, 23) memberikan dukungan dengan menyatakan bahwa di samping berhubungan erat dengan masalah pengukuran, akuntansi juga berkaitan erat dengan masalah komunikasi, sehingga betapapun efektif proses pengukuran yang dilakukan dalam akuntansi, informasi yang dihasilkannya akan kurang bermanfaat jika tidak dikomunikasikan dengan tepat.Sependapat dengan Chambers, Belkaoui (1980, 363) juga mengakui bahwa akuntansi dapat disebut sebagai sebuah bahasa, karena akuntansi memiliki karakteristik leksikal maupun gramatikal. Dengan karakteristik tersebut, akuntansi dapat diartikan sebagai seperangkat sim-bol bahasa atau representasi simbolik yang menunjuk pada suatu makna atau realitas tertentu. Karena efek komunikatif merupakan sasaran penyampaian informasi dari penyedia informasi kepada pengguna informasi, maka ungkapan bahasa harus tepat sehingga maknanya dapat diinterpretasikan sama persis dengan makna yang dimaksudkan. Oleh karena itu, di samping aspek sintaktik (pengukuran) dan pragmatik (kebermanfaatan), teori akuntansi perlu dikem-bangkan dengan mempertimbangkan aspek semantik (realitas yang direpresentasikan).Dari sekian banyak simbol, salah satu simbol akuntansi yang dikomunikasikan melalui laporan keuangan untuk merepresentasikan realitas tertentu adalah simbol laba. Dalam esai kritis-filosofisnya, Macintosh et al. (2000, 38) mengungkapkan bahwa saat ini akuntansi ber-hadapan dengan transaksi-transaksi ekonomik yang semakin kompleks, termasuk dalam peng-gunaan nilai moneter sebagai unit pengukur. Dalam situasi demikian, simbol laba (income) dan modal (capital) tidak memiliki referen pada objek dan peristiwa yang nyata. Dalam pandangan Macintosh et al., simbol laba akuntansi tersebut hanya merupakan simulakra murni, yang berarti bahwa referensi laba akuntansi adalah pada dirinya sendiri, dan berputar-putar pada dirinya sendiri membentuk dunia hiperrealitas. Secara keseluruhan, tidak terbatas pada simbol laba, Macintosh et al. (2000, 13) berpendapat bahwa banyak simbol akuntansi yang tidak memiliki rujukan secara jelas pada objek dan peristiwa nyata, sehingga akuntansi tidak secara penuh menjalankan fungsinya sesuai logika representasi, pertanggungjawaban, atau penyajian informasi ekonomik secara transparan. Berbeda dengan Macintosh et al. (2000), tetapi dengan substansi yang sama, Mattessich (2003, 452) menyatakan bahwa semua simbol akuntansi kata dan angka selalu memiliki relasi dengan realitas referensialnya, hanya saja realitas referensial dari simbol-simbol akuntansi tersebut mungkin berada pada tingkatan yang berbeda-beda. Khusus untuk simbol laba (income) misalnya, Mattessich menyatakan bahwa realitas referensial atas simbol laba tersebut tidak berada pada tingkatan realitas fisis, tetapi berada pada tingkatan realitas sosial (social reality) artinya, realitas tersebut menjadi ada karena kesepakatan yang terjadi dalam komunitas akuntansi.Berbagai pendapat yang berbeda tentang relasi antara simbol laba dengan realitas referen-sialnya sebagaimana terungkap melalui kajian kritis-filosofis dari Macintosh et al. (2000) dan Mattessich (2003) tersebut, merefleksikan adanya peluang akan timbulnya perbedaan inter-pretasi laba akuntansi dalam sebuah ruang komunikasi. Perbedaan interpretasi laba akuntansi ini tentu akan mempengaruhi efektivitas komunikasi informasi laba itu sendiri, karena realitas yang sesungguhnya ingin direpresentasikan oleh simbol laba ternyata diinterpretasikan secara berbeda oleh pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi. Jika hal ini terjadi, maka efek pemengaruhan yang diharapkan dalam pengkomunikasian laba akuntansi tidak tercapai kare-na respon terhadap informasi menjadi bias. Perbedaan interpretasi laba dan timbulnya respon yang bias ini merupakan penanda bahwa laba akuntansi tidak memiliki kandungan informasi (information contents).Penelitian-penelitian akuntansi, terutama yang dilakukan dengan pendekatan kuantitatif, banyak mengungkapkan bukti empiris bahwa (a) laba akuntansi memiliki makna dan (b) laba akuntansi memiliki kandungan informasi. Fakta bahwa laba akuntansi memiliki makna, dire-fleksikan dari banyaknya perjanjian kontraktual (misalnya debt covenant) yang pelaksanaan-nya terikat atau diikatkan pada angka laba. Walaupun demikian, penelitian-penelitian tersebut tidak menjelaskan secara transparan tentang makna laba yang secara empiris diinterpretasikan oleh pihak-pihak yang terikat perjanjian kontraktual itu.Pada lingkup yang lain, beberapa penelitian juga mengungkapkan fakta empiris bahwa laba akuntansi memiliki kandungan informasi, yang direfleksikan oleh adanya respon investor terhadap informasi laba yang dipublikasikan. Kandungan informasi yang dimaksud dalam pe-nelitian tersebut adalah makna laba dalam perspektif investor, bukan dalam perspektif penyedia informasi. Walaupun demikian, tidak berbeda dengan penelitian yang disebutkan di atas, penelitian-penelitian tentang kandungan informasi laba tersebut juga tidak menjelaskan secara transparan tentang realitas referensial yang secara empiris merupakan kandungan informasi laba dalam perspektif investor, apalagi dalam pespektif penyedia informasi.Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini dimaksudkan untuk melengkapi temuan penelitian-penelitian tersebut. Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang pada umumnya terfokus pada pengujian kandungan informasi laba berdasarkan relasi antara laba publikasian dan respon investor, penelitian ini berusaha mengungkapkan kandungan informasi laba akuntansi berdasarkan interpretasi tentang realitas yang direpresentasikan oleh laba akuntansi tersebut.

Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) bagaimanakah akuntan dan non-akuntan menginterpretasikan laba (earnings) yang tercantum dalam laporan laba-rugi?; dan (2) sejauh mana akuntan dan non-akuntan memahami konsep laba dalam rerangka konseptual akuntansi yang mempengaruhi penetapan laba tersebut?

Motivasi Penelitian

Penelitian ini termotivasi oleh beberapa hal berikut. Pertama, terdapat pandangan umum bahwa laba akuntansi tidak memiliki referen pada objek, peristiwa nyata atau realitas fisis, tetapi referen simbol laba tersebut hanya terbatas pada tingkatan realitas sosial yaitu realitas yang hanya disepakati oleh akuntan (Mattessich 2003, 452). Bahkan secara lebih radikal, Macintosh et al. (2000, 38) menyatakan bahwa simbol laba merupakan simulakra murni yang berarti simbol tanpa ada yang disimbolkan karena merupakan hasil produksi dan reproduksi dari simbol-simbol akuntansi yang lain. Penelitian ini berusaha mengungkapkan apakah pernyataan-pernyataan tersebut konsisten dalam ranah empiris.

Kedua, berdasarkan konsep laba komprehensif, laba didefinisikan sebagai kenaikan aset bersih (ekuitas) yang tidak dipengaruhi oleh kontribusi dari dan distribusi kepada pemilik perusahaan. Dengan demikian, pengukuran dan pengakuan laba dilakukan secara bersamaan dengan pengukuran dan pengakuan perubahan aset bersih. IAI (2007) melalui KDPPLK paragraf 67 menyatakan bahwa hanya karena faktor kebetulan kalau jumlah ekuitas agregat sama dengan jumlah yang dapat diperoleh dengan melepaskan seluruh aset bersih. Hal ini menunjukkan bahwa ekuitas tidak merujuk pada realitas objektif. Karena perubahan ekuitas menjadi pedoman dalam pengukuran dan pengakuan laba, maka dengan sendirinya laba itu sendiri juga tidak merujuk pada realitas objektif. Penelitian ini berusaha mengungkapkan sejauh mana konsep laba komprehensif dipahami oleh akuntan dan non-akuntan, dalam keterkaitannya dengan interpretasi mereka atas laba akuntansi.Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan berikut: (1) memperoleh bukti empi-ris tentang kesimetrisan interpretasi laba akuntansi oleh akuntan dan non-akuntan. Sebagai simbol yang digunakan dalam komunikasi, laba yang dicantumkan dalam laporan laba-rugi seharusnya dimaknai secara sama, karena hanya dengan demikian komunikasi menjadi efektif; (2) memperoleh bukti empiris tentang pemahaman akuntan dan non-akuntan terhadap konsep laba yang digunakan dalam rerangka konseptual akuntansi. Pihak-pihak yang berke-pentingan dengan informasi laba diasumsikan telah memahami konsep laba yang dianut da-lam akuntansi ini, karena hanya dengan demikian mereka tidak menginterpretasikan laba akuntansi berdasarkan persepsinya masing-masing.Kontribusi Penelitian

Konstribusi praktis. Jika ditemukan bukti bahwa laba yang dilaporkan dalam laporan laba-rugi dapat dipahami secara sama antara akuntan dan non-akuntan, berarti tujuan dan efek komunikasi informasi laba telah tercapai sesuai harapan. Tetapi, jika yang terbukti adalah sebaliknya, hal ini harus dikaji kasus per kasus. Sebagaimana dikatakan oleh Jones (1996, 86) bahwa problema komunikasi dapat terletak pada aspek readability atau aspek understand-ability laporan keuangan. Problema tersebut dapat diselesaikan dengan memperbaiki cara pengkomunikasian informasi laba, misalnya laporan laba-rugi disusun dengan isi dan bentuk yang tidak tunggal dan universal.

Kontribusi kebijakan. Konsep laba komprehensif mendasari spirit totalitas akuntansi untuk merepresentasikan realitas ekonomik perusahaan secara utuh, tunggal, ideal dan universal. Tetapi, realitas ekonomi yang dikonsepsikan akuntan melalui totalitas itu mungkin tidak selalu sejalan dengan realitas ekonomi yang dipersepsikan oleh non-akuntan. Jika hal ini yang terjadi, maka para pengambil kebijakan khususnya penyusun standar akuntansi perlu mempertimbangkan aspek-aspek pragmatisme dalam persepsi non-akuntan, dan tidak hanya mengutamakan aspek idealisme akuntan dalam penyusunan standar akuntansi.Kontribusi teoritis. Walaupun penelitian ini tidak bertujuan untuk melakukan generalisasi atas temuan, tetapi temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada tataran teoritis, yaitu melengkapi literatur-literatur akuntansi, khususnya yang berkaitan dengan makna laba dalam ruang komunikasi. Jika penelitian ini menemukan bukti bahwa laba tidak memiliki referen pada realitas objektif, tetapi terbatas pada realitas konseptual atau bahkan tidak merepresentasikan realitas apa pun (pure simulacrum), maka tentu ada argumentasi lain yang perlu diungkap mengapa investor, kreditor serta pengguna lain masih memerlukan infor-masi laba akuntansi dari waktu ke waktu.2. PROBLEMA TEKS DAN PEMBACA TEKS AKUNTANSIReadability dan UnderstandabilityEfek komunikatif merupakan sasaran penyampaian informasi dari penyedia informasi kepada pengguna informasi, sehingga ungkapan bahasa harus tepat sehingga maknanya dapat ditafsir-kan sama persis dengan makna yang dimaksudkan. Oleh karena itu, teori akuntansi perlu dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek semantik (makna bahasa) ini. Aspek semantik penting untuk dipertimbangkan karena informasi keuangan secara ideal harus memiliki kandungan infor-masi atau mengacu pada realitas yang disepakati oleh penyedia maupun pemakai informasi.

Sehubungan dengan hal tersebut, Li (1972, 105) menyatakan bahwa sebagai sebuah sis-tem bahasa, kandungan fakta (factual content) dari informasi akuntansi merupakan hal yang harus diutamakan, dan untuk itu, akuntansi harus membatasi kegiatannya pada deskripsi peris-tiwa bisnis yang dapat diuji kebenarannya, yang disebut sebagai referents yaitu peristiwa bisnis yang keberadaan dan besaran nilai keuangan yang menyertainya harus jelas batasannya. Hal ini konsisten dengan harapan Lee (1982, 155) bahwa jangan sampai simbolisasi peristiwa dan objek yang semula dimaksudkan untuk menyederhanakan dan memudahkan proses ko-munikasi, justru menimbulkan kesulitan dalam mengkomunikasikan informasi akuntansi tersebut (lihat juga Preston et al. 1996, 121). Problema semantik dalam pengkomunikasian informasi akuntansi seperti dikhawatirkan oleh Li (1972) dan Lee (2982) tersebut sebenarnya telah dibuktikan oleh Haried (1972). Menurut Haried, problema semantik terjadi karena dua faktor, yaitu: (1) kata-kata (words) yang menjadi simbol bahasa teknis akuntansi ternyata memiliki makna berbeda dalam bahasa sehari-hari atau memiliki makna yang berbeda dalam bidang lain di luar akuntansi; dan (2) standarisasi istilah (terms) yang digunakan dalam laporan keuangan kurang memadai untuk merepresentasikan realitas.Smith dan Taffler (1992) serta Courtis (1998) mendukung temuan Haried (1972). Mereka menemukan fakta bahwa akuntansi sebagai bahasa bisnis masih mengandung setidaknya dua problema utama, baik yang bersumber dari teks akuntansi itu sendiri maupun yang bersumber dari pembaca teks akuntansi. Dengan ungkapan lain, Jones (1996, 86) menyebut dua pro-blema tersebut tersebut sebagai kemudahan untuk dibaca (readability) dan kemampuan untuk memahami (understandability).Jones (1996, 86) menjelaskan, bahwa readability merupakan problema komunikasi infor-masi akuntansi yang bersumber dari teks akuntansi itu sendiri, terutama karena adanya kom-pleksitas simbol (kata maupun angka) yang digunakan selama proses akuntansi hingga peng-komunikasian laporan keuangan. Sebaliknya, understandability terfokus pada pembaca teks akuntansi, yang berarti bahwa kemampuan untuk memahami bahasa akuntansi tergantung pada karakteristik pembaca, baik dalam hal latar belakang, pengetahuan yang dimiliki, tujuan membaca, kepentingan, serta kemampuan melakukan pembacaan secara umum.Reifikasi dan Pygmalion SyndromeDalam praktik akuntansi, konsep laba komprehensif dijalankan berdasarkan asumsi akrual. Implikasi dari asumsi dasar akrual ini adalah, bahwa suatu transaksi atau peristiwa dibukukan pengaruhnya terhadap aktiva, kewajiban, ekuitas, pendapatan atau beban pada saat transaksi atau peristiwa itu terjadi tanpa mempertimbangkan apakah kas atau setara kas telah diterima atau dibayarkan. Dengan berbasis akrual, catatan akuntansi tidak hanya merekam fakta terja-dinya arus kas sekarang, tetapi juga merekam potensi terjadinya arus kas di masa depan, serta konsekuensi dari arus kas di masa lalu. Fakta, potensi, dan konsekuensi tersebut seluruhnya dicatat sekarang, sehingga angka-angka yang tercantum dalam laporan keuangan sebagai produk akuntansi kecuali laporan aliran kas seringkali menjadi sulit untuk dimengerti (Chambers 1989, 7).Pencatatan fakta, potensi dan konsekuensi dalam akuntansi akrual tersebut, yang secara keseluruhan diartikan sebagai realitas ekonomik, dijustifikasi terutama oleh prinsip substansi mengungguli bentuk. Substansi ekonomi lebih diunggulkan daripada bentuk hukum, karena substansi ekonomi dianggap dapat menggambarkan realitas ekonomik suatu transaksi, dan dengan demikian, informasi akuntansi dianggap meyajikan secara jujur transaksi atau pe-ristiwa lain yang seharusnya disajikan.Dampak dari spirit akuntansi akrual untuk merepresentasikan realitas ekonomik perusa-haan secara jujur serta menyajikan apa yang seharusnya disajikan dalam laporan keuangan tersebut adalah timbulnya pygmalion syndrome (Heath 1987, 1). Dalam konteks akuntansi, istilah pygmalion syndrome sebenarnya bukan istilah baru, karena istilah ini merupakan idiom dari istilah reifikasi (Heath 1987, 1). Ansari dan Euske (1987) menggunakan istilah reifi-kasi (reification) untuk merujuk pada makna yang sama dengan makna pygmalion syndrome. Sebagai contoh reifikasi dalam akuntansi adalah cara berfikir tentang laba (earnings). Dalam konteks akuntansi berbasis akrual, akuntan seringkali mereifikasi laba. Misalnya, baik secara lisan maupun melalui tulisan, akuntan membuat pernyataan-pernyataan berikut: mendistribu-sikan laba, menahan laba, menginvestasikan kembali (reinvestment) laba, membiayai pembe-lian peralatan pabrik dengan bagian laba, dan lain-lain. Implisit dalam pernyataan tersebut adalah bahwa akuntan membayangkan seolah-olah laba merupakan suatu benda (things) yang secara fisis dapat dibagi-bagikan, didistribusikan, disimpan, atau dibelanjakan. Dalam akuntansi akrual, laba atau rugi hanyalah sebuah model konseptual, dan tidak dapat diobservasi atau diukur secara langsung.Reifikasi atau pygmalion syndrome atas laba dapat menimbulkan problema dalam komu-nikasi informasi akuntansi. Problema ini mungkin tidak akan terjadi jika komunikasi dila-kukan oleh mereka yang memahami rerangka konseptual akuntansi. Misalnya, ketika A ber-kata kepada B, Tahun lalu, PT X mendistribusikan 40 persen labanya, tidak berarti bahwa komunikasi ini bermasalah atau tidak efektif. Meskipun laba telah direifikasi oleh A, tetapi B faham bahwa laba yang tampak sebagai bottom-line dalam laporan laba-rugi tidak merepre-sentasikan suatu benda (kas) yang dapat didistribusikan. B menyadari bahwa A hanyalah berbicara secara metaforis, yang bermaksud menyingkat ucapannya untuk mengatakan bahwa PT X membagikan dividen tunai yang jumlahnya setara dengan 40 persen dari laba yang dilaporkan.Jika akuntan mereifikasi laba pada saat berkomunikasi dengan pihak-pihak yang tidak memahami rerangka konseptual akuntansi, problema komunikasi akan terjadi. Tetapi, problema komunikasi yang ditimbulkan oleh reifikasi atau pygmalion syndrome atas laba ternyata tidak hanya terjadi dalam berkomunikasi dengan non-akuntan, tetapi juga terjadi pada diri akuntan sendiri (Heath 1987, 3). Meskipun akuntan merepresentasikan peristiwa dalam dunia nyata melalui model akuntansi, tetapi mereka sendiri sering mengacaukan model akuntansi tersebut dengan peristiwa yang ingin mereka representasikan. Heath (1987, 4) memberikan ilustrasi melalui sebuah cerita yang disebutnya sebagai old story tentang sebuah perusahaan yang membeli mesin tulis (typewriter) berikut ini:Ketika mesin tulis yang lama telah didepresiasi penuh, perusahaan ingin membeli lagi sebuah mesin tulis yang sama. Karena tipe mesin tulis yang lama tidak tersedia lagi di pasaran, maka terpaksa dibeli sebuah mesin tulis bekas pakai dengan tipe dan kondisi yang persis sama dengan mesin tulis lama. Ketika ruangan kantor ditata kembali untuk mengakomodasi keberadaan mesin tulis baru ini, ternyata ruangan kantor terkesan makin sempit dan suasana dalam ruangan menjadi kurang sedap dipandang. Oleh karena itu, sebuah dari mesin tulis yang memiliki tipe dan kondisi sama tersebut dibuang (dibesituakan dan dimasukkan gudang) oleh pegawai kantor. Akuntan terkejut ketika menge-tahui sebuah mesin tulis dibuang, kemudian ia bertanya, Mesin tulis mana yang kau buang?. Setelah memperoleh jawaban bahwa mesin tulis lama yang dibuang, akuntan berkata, Syukurlah kalau begitu, berarti saya tidak harus melaporkan kerugian bagi perusahaan.Dalam konteks old story di atas, akuntan telah gagal untuk menggunakan model atau konsepnya dalam merepresentasikan peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Peristiwa yang gagal direpresentasikan adalah kerugian akibat membuang mesin tulis lama yang sebe-narnya masih memberikan manfaat bagi perusahaan. Dengan gejala pygmalion syndrome-nya, akuntan telah mereifikasi kerugian sebagai kehilangan uang, bukannya kehilangan aset perusahaan berupa mesin tulis yang masih bermanfaat.

3. METODA PENELITIANHermeneutika Sebagai PendekatanPenelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan hermeneutika, atau secara lebih spesifik adalah pendekatan interpretif. Apa yang dipahami oleh akuntan dan non-akuntan tentang laba akuntansi dalam suatu ruang komunikasi, sehingga informasi laba akun-tansi menjadi sedemikian penting bagi mereka? Realitas apa yang terpikirkan oleh mereka ke-tika berkomunikasi tentang informasi laba akuntansi tersebut? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini adalah persoalan yang terkait dengan pemaknaan teks; dan setiap pemaknaan teks selalu memerlukan upaya interpretasi yang bertujuan untuk memperoleh pemahaman atas teks yang bersangkutan. Upaya penginterpretasian teks untuk memperoleh pemahaman ini disebut oleh Schmidt (2007, 272) sebagai hermeneutika (hermeneutics).

Laba akuntansi, baik sebagai kata maupun angka, adalah sebuah teks. Interpretasi laba akuntansi sebagai teks, tidak dapat dilepaskan dari konteks, yaitu tergantung pada siapa yang menafsirkan, waktu, situasi, kepentingan atau tujuan pembacaan, pengetahuan, kebiasaan, pengalaman, serta latar belakang lainnya (Schmidt 2007, 273).

Informan dan Pengumpulan InformasiIndividu-individu yang menjadi informan dalam penelitian ini terdiri atas: (a) tiga orang akuntan yang berprofesi sebagai akuntan pendidik, akuntan manajemen dan akuntan publik; dan (b) empat orang non-akuntan yang berprofesi sebagai manajer keuangan, penasihat investasi, investor, dan analis kredit. Tabel 1 berikut menunjukkan informan terpilih dalam penelitian ini.

Tabel 1

INFORMAN PENELITIAN

Identitas InformanBidang Pekerjaan/Posisi/Jabatan dalam Organisasi

Akuntan:

1. HardiwibowoDosen mata kuliah akuntansi keuangan dan teori akuntansi pada sebuah PTN di Jakarta.

2. Budi Rismawan Accounting Manager PT DLS di Surabaya, bertanggungja-wab pada Vice Finance Manager.

3. Sari Kusuma Managing Partner, Kantor Akuntan Publik SB & Rekan

Non-Akuntan:

4. Salim Tirta Direktur Keuangan PT GGI (2003-2007), sekarang Direktur Utama (sejak September 2007)

5. Mujianto Penasehat dan Manajer Investasi PT SM Securities Jakarta, bertanggungjawab kepada Direktur Utama.

6. Franky Hardi

Investor Individu, juga bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Pemerintahan Provinsi Jawa Timur.

7. Septi Yuliana Kepala Cabang Bank ABC Surabaya (sejak Mei 2007), berpengalaman sebagai analis kredit (2000-2007).

Catatan: Nama-nama informan adalah bukan nama sebenarnya. Akronim-akronim organisasi juga tidak mere-fleksikan akronim yang sebenarnya. Pemilihan para informan tersebut di atas dilakukan secara sengaja, berdasarkan kriteria yang dijelaskan oleh Bungin (2003: 54), bahwa informan merupakan individu yang telah cukup lama dan intensif menyatu dengan kegiatan atau medan aktivitas yang menjadi sasaran penelitian. Mereka tidak hanya sekedar tahu dan dapat memberikan informasi, tetapi juga telah menghayati secara sungguh-sungguh sebagai akibat dari keterlibatannya yang cukup lama dengan lingkungan atau kegiatan yang bersangkutan.

Pengumpulan informasi dilakukan melalui wawancara yang tidak terstruktur, tidak ter-jadwal, dan dilakukan sedemikian rupa sehingga dalam memberikan informasi, para informan tidak cenderung mengolah atau mempersiapkan informasi tersebut lebih dulu, serta dapat memberikan penjelasan apa adanya.

Kritis-Folosofis-Retorik: Sifat Analisis dan DiskusiInterpretasi atas laba akuntansi oleh para informan dianalisis sesuai dengan konteks yang melatar-belakangi timbulnya interpretasi tersebut. Diskusi atas setiap interpretasi laba akuntansi dari para informan dilakukan dengan merefleksikannya secara kritis pada disiplin ilmu dan konsep-konsep filosofis lain yang relevan dengan konteksnya. Analisis dan diskusi juga disampaikan secara retorik dalam arti banyak menggunakan metafora dan analogi-analogi dengan harapan agar dapat dengan mudah dipahami.4. LABA AKUNTANSI DALAM BINGKAI INTERPRETASI AKUNTANLaba Akuntansi: Hasil Aktivitas Real dan Tidak RealInterpretasi laba tidak dapat dilepaskan dari aktivasi skema pendapatan dan beban dalam kognisi akuntan. Para akuntan mengatakan bahwa laba adalah kelebihan pendapatan di atas beban, dan mereka berpendapat sama bahwa laba akuntansi bukan semata-mata representasi dari jumlah uang yang diperoleh perusahaan dari pendapatan operasinya setelah dikurangi beban. Hardiwibowo (akuntan pendidik) misalnya, mengatakan:

Akuntansi saat ini dioperasionalkan dengan menggunakan konsep akrual yang mengakui pendapatan dan beban saat terjadinya, tanpa mempersoalkan apakah uang tunai sudah diterima atau dibayarkan. Jika laba akuntansi yang dilaporkan jumlahnya persis sama dengan jumlah uang tunai bersih yang diterima, itu hanya merupakan suatu kebetulan.

Para akuntan menyatakan, bahwa laba akuntansi merupakan representasi dari kinerja perusa-haan selama perioda tertentu di masa yang lalu, dan kinerja itu merupakan ukuran realitas ekonomik yang berhasil dicapai oleh perusahaan selama perioda tersebut. Kinerja perusahaan yang mereka maksudkan, dicapai melalui aktivitas yang real maupun tidak real, sebagaimana dikemukakan oleh Budi Rismawan (akuntan manajemen), bahwa:

Laba akuntansi itu merupakan hasil dari aktivitas real dan tidak real. Yang saya maksud dengan aktivitas real adalah aktivitas yang ditandai oleh adanya transaksi secara fisis pada perioda pelaporan, misalnya produksi, penjualan, pembelian, pembayaran, pertukaran, dan aktivitas fisis lainnya. Sedangkan aktivitas yang tidak real adalah aktivitas tanpa ada transaksi secara fisis dalam perioda pelaporan, tetapi hanya perhitungan di atas kertas seperti estimasi, alokasi, penyesuaian nilai dalam catatan akuntansi, atau bahkan hanya perhitungan-perhitungan konseptual akuntansi. Jadi, harus hati-hati memaknai laba akuntansi, jangan sampai membayangkannya sebagai uang tunai yang benar-benar ada di depan mata.Realitas ekonomik yang direpresentasikan oleh laba akuntansi, seperti diinterpretasikan oleh Budi Rismawan tersebut, jelas tidak harus atau tidak selalu berwujud uang tunai secara fisis. Jika demikian, apa yang dimaksud dengan realitas ekonomik sebagai kata/frasa yang sering diucapkan oleh para akuntan ketika berbicara tentang realitas referensial laba akuntansi?. Hardiwibowo (akuntan pendidik) menjelaskan:

Realitas dapat diartikan sebagai kenyataan atau fakta. Jadi, yang dimaksud dengan realitas ekonomik adalah kenyataan atau fakta ekonomik. Fakta ekonomik atas laba akuntansi tidak lain adalah selisih antara semua pendapatan yang diperoleh perusahaan dan biaya-biaya yang berhubungan dengan pendapatan tersebut. Tentang wujud laba, tidak selalu berupa uang, bisa juga berwujud aset lain yang bisa dinilai dengan uang, karena pendapatan dan biaya itu sendiri juga tidak selalu berupa uang.Interpretasi laba akuntansi yang dikemukakan oleh Hardiwibowo dan Budi Rismawan terse-but menunjukkan bahwa kandungan informasi (realitas referensial) laba akuntansi dalam bingkai interpretasi mereka adalah: (1) total hasil aktivitas perusahaan, baik yang berasal aktivitas real (produksi dan penjualan produk) maupun aktivitas yang tidak real (perhitungan di atas kertas dan konseptual); (2) laba akuntansi dapat berwujud uang tunai maupun perubahan nilai aset lain yang diukur dalam satuan uang tanpa ada aliran kas secara lang-sung. Laba Akuntansi: Label Perubahan Realitas Ekonomik

Cukup menarik untuk disimak lebih lanjut adalah interpretasi laba akuntansi oleh Hardiwibowo (akuntan pendidik) dan Sari Kusuma (akuntan publik). Pekerjaan atau profesi sehari-hari yang dijalani oleh akuntan pendidik dan akuntan publik mendasari interpretasi mereka atas laba akuntansi yang cenderung lebih konseptual. Agak berbeda dengan akuntan manajemen, mereka memberikan interpretasi tentang realitas ekonomik sebagai kandungan informasi laba akuntansi dengan cara yang lebih filosofis berdasarkan penalaran-penalaran logis mereka.

Interpretasi akuntan pendidik dan akuntan publik atas laba akuntansi sangat terkait dengan rerangka berfikir mereka tentang akuntansi, yaitu suatu struktur berfikir mereka yang menghubungkan antara teori akuntansi di satu sisi, dengan realitas yang ingin direpresentasikan oleh simbol-simbol informasi akuntansi di sisi yang lain, khususnya informasi laba. Karena kita sedang berbicara tentang laba akuntansi, maka interpretasi atas laba akuntansi juga harus dilakukan dalam wilayah akuntansi, demikian kata Hardiwibowo (akuntan pendidik). Sari Kusuma (akuntan publik) juga menyatakan hal senada, bahwa berbicara tentang laba akuntansi, tidak dapat disamakan dengan konteks yang lain. Sari Kusuma menambahkan,

Ini berkaitan dengan language game. Ibarat sebuah permainan, akuntansi memiliki kesepakatan aturan yang mungkin berbeda dengan jenis permainan lainnya. Artinya, istilah laba dalam konteks akuntansi dapat diinterpretasikan secara berbeda pada konteks yang lain.

Hardiwibowo dan Sari Kusuma pada umumnya menyatakan kurang tepat jika laba akuntansi diinterpretasikan sebagai realitas ekonomik yang dicapai perusahaan dalam suatu perioda, karena realitas ekonomi perusahaan sebenarnya telah terrefleksi pada neraca. Dalam hal ini, Hardiwibowo (akuntan pendidik) cenderung menginterpretasikan laba akuntansi sebagai perubahan realitas ekonomik perusahaan, seperti yang ia katakan bahwa:

Laba akuntansi itu merupakan gambaran tentang perubahan realitas ekonomik perusahaan selama perioda tertentu. Realitas ekonomik perusahaan tercermin dalam neraca yang memperlihatkan unsur-unsur aset dan kewajiban. Jika unsur-unsur aset dan kewajiban ini diperbandingkan dalam dua perioda, maka akan tampak perubahannya. Perubahan neto atas aset dan kewajiban perusahaan itulah yang sesungguhnya disebut laba akuntansi.

Sama dengan interpretasi Hardiwibowo, tetapi secara lebih spesifik, Sari Kusuma menginter-pretasikan bahwa laba akuntansi merupakan label dari perubahan realitas ekonomik perusaha-an, seperti yang ia katakan:Laba akuntansi merupakan label perubahan realitas ekonomik perusahaan. Perubahan realitas ekono-mik perusahaan ini dapat dilihat dari perubahan aset dan kewajiban. Sebelum muncul label laba, perubahan aset dan kewajiban ini lebih dulu diberi label pendapatan atau label beban.

Karena merupakan label perubahan realitas ekonomik, Sari Kusuma mengingatkan bahwa orang yang membaca angka laba akuntansi jangan membayangkan angka laba tersebut seba-gai sejumlah uang yang telah atau akan diperoleh perusahaan. Sebagai label perubahan reali-tas ekonomik, angka laba akuntansi adalah produk dari penerapan prosedur akuntansi tertentu, sehingga angka laba ini tidak sepenuhnya menggambarkan sejumlah uang yang diperoleh perusahaan, karena angka laba dapat pula menggambarkan kenaikan (penurunan) bersih atas nilai aset (kewajiban) perusahaan tanpa harus diikuti secara langsung oleh aliran uang.Berkaitan dengan laba sebagai label perubahan realitas ekonomik tersebut, Sari Kusuma memberikan penjelasan yang cukup menarik dengan menunjukkan lebih dulu sebuah literatur akuntansi yang menyatakan bahwa:

Real (permanent) accounts are assets, liability, and equity accounts; they appear on the balance sheet. Nominal (temporary) accounts are revenue, expense, and dividend accounts; except for dividends, they appear on the income statement. Nominal accounts are periodically closed; real accounts are not. (Kieso et al. 2004, 63),Berdasarkan pernyataan Kieso et al. tersebut, Sari Kusuma menjelaskan tentang makna real dan nominal dengan cara cukup menarik, meskipun terkesan spekulatif. Menurutnya, secara etimologis, kata nominal berakar dari kata name (nama), dan setiap nama hanyalah sebu-ah label atau tanda. Sebagai label, akun pendapatan dan beban (termasuk pula akun laba) di-buat untuk menandai terjadinya transaksi, kejadian atau peristiwa lain yang menyebabkan perubahan pada akun real. Dengan demikian, akun laba yang terbentuk dari pendapatan dikurangi beban tidak memiliki referen pada realitas objektif, dalam arti realitas fisis yang dapat diobservasi, kecuali berfungsi sebagai tanda. Lebih lanjut Sari Kusuma menyatakan:

Sesuai dengan prosedur akuntansi, laba akuntansi akan menjadi real setelah akun laba ditutup ke akun modal atau saldo laba. Tetapi, makna kata real dalam hal ini juga tidak menggambarkan realitas objektif, sebelum laba tersebut benar-benar didistribusikan dalam bentuk dividen, baik dividen tunai, dividen properti, maupun dividen saham.

Penjelasan Sari Kusuma ini secara implisit dibenarkan oleh Hardiwibowo. Sebagai label perubahan akun real, laba akuntansi juga tidak mungkin dapat kecuali secara kebetulan ditelusuri referennya ke realitas objektif, seperti uang tunai atau aset lain yang siap didistribu-sikan sebagai dividen. Hal ini terjadi, karena akun real pun yang dipandang sebagai repre-sentasi realitas ekonomi perusahaan - tidak selalu mengacu pada realitas objektif. Hal ini di-akui oleh Hardiwibowo melalui pernyataannya berikut:

Realitas itu bentuknya bermacam-macam, ada yang secara fisis mempunyai wujud, tetapi ada juga yang tidak. Realitas dapat berwujud benda seperti uang tunai, sediaan barang, tanah, bangunan dan lain-lain. Realitas juga ada yang hanya berupa pemikiran, tanpa dapat dilihat wujudnya secara fisis. Goodwill itu juga realitas, meskipun tidak ada secara fisis. Yang penting dalam akuntansi, semua realitas yang dapat dinilai dengan uang dapat dicatat dan dilaporkanPernyataan Hardiwibowo tersebut memberikan pemahaman bahwa realitas ekonomi yang di-representasikan oleh akun-akun real tidak hanya berkaitan dengan aspek fisis atau kebenda-an, tetapi juga berkaitan dengan aspek akal budi (fikiran) atau konsep yang semuanya dapat diukur dengan nilai uang. Penyebab perubahan akun-akun real itu pun dapat berupa transaksi atau kejadian fisis yang dapat diobservasi (inderawi-eksternal), dan dapat pula berupa peristiwa yang hanya terjadi pada tataran mental atau konsep (batini-internal) dalam arti bahwa peristiwanya tidak benar-benar terjadi atau ada. Hal ini konsisten dengan semboyan Rene Descartes: cogito ergo sum saya berfikir, maka saya ada.

Sebagai kandungan informasi (information content) dalam proses komunikasi, perubahan realitas ekonomik yang terbagi dalam dua dimensi tersebut berpotensi menimbulkan keka-cauan interpretasi dalam sebuah ruang komunikasi. Hal ini telah diprediksi oleh Harb (2006, 30) yang menyatakan bahwa perbedaan pemikiran di balik selubung makna dan serangkaian pemahaman, dapat menimbulkan kekacauan komunikasi sebagai akibat perbedaan interpre-tasi. Potensi seperti ini tampak dipahami oleh Hardiwibowo dan Sari Kusuma. Hardiwibowo, misalnya, mengatakan:

Mungkin tidak semua orang menafsirkan laba akuntansi sebagai perubahan realitas ekonomik yang bersifat fisis maupun non-fisis, sehingga penafsiran masing-masing orang akan berbeda. Ini berarti, bahwa untuk memahami apa sebenarnya laba akuntansi itu, orang harus memahami konsep dan prosedur akuntansi yang memunculkannya.

Realitas Ekonomik atau Realitas Akuntansi?

Walaupun para akuntan menginterpretasikan laba akuntansi sebagai label perubahan realitas ekonomik, mereka pada umumnya masih mengungkapkan keraguannya apakah realitas yang direpresentasikan oleh laba akuntansi benar-benar merupakan realitas ekonomik. Keraguan ini didasari oleh fakta bahwa banyak prosedur akuntansi menghasilkan informasi yang tidak mencerminkan realitas ekonomik, karena prosedur tersebut dilakukan atas dasar asumsi-asumsi tertentu yang digunakan untuk membangun teori akuntansi. Sebagai contoh adalah beban penyusutan: pengakuan dan pelaporannya didasarkan pada alokasi akuntansi, bukan didasarkan pada penurunan nilai ekonomis yang benar-benar terjadi. Contoh yang lebih luas adalah penggunaan konsep biaya historis (historical cost), bukan biaya kini (current cost). Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa laba akuntansi merupakan label perubahan realitas akuntansi, bukannya realitas ekonomik, kata Sari Kusuma tanpa kesan bersungguh-sungguh atas pernyataannya. Menanggapi hal ini, Hardiwibowo menolaknya, dan menjelaskan:Jangankan teori akuntansi, teori ekonomi sendiri, salah satu disiplin ilmu yang mendasari teori akuntansi, dibangun berdasarkan sejumlah asumsi tertentu yang tidak selalu sesuai dengan realitas ekonomi. Realitas ekonomi bekerja dengan hukum-hukumnya sendiri sesuai dengan tingkat perkembangan atau corak perekonomian suatu masyarakat. Akibatnya, penjelasan teori ekonomi hanya mengandung kebenaran sejauh diterapkan pada dirinya sendiri. Artinya, sejauh diuji berdasarkan asumsinya, kebenaran teori ekonomi bersifat mutlak, dengan mengesampingkan fakta bahwa asumsi-asumsi teori ekonomi itu tidak ditemukan dalam realitas ekonomi.

Menurut Hardiwibowo, hal tersebut berlaku pula dalam akuntansi. Penjelasan teori akuntansi juga hanya mengandung kebenaran sejauh diterapkan pada dirinya sendiri. Tentang informasi laba akuntansi misalnya, sejauh diuji berdasarkan konsep dan asumsinya, laba akuntansi itu adalah benar. Tetapi karena realitas yang dirujuk oleh laba akuntansi tidak selalu dapat dite-mukan dalam realitas ekonomi, maka informasi laba akuntansi itu harus dilihat hanya sebagai salah satu alat bantu dalam memahami realitas ekonomik.5. LABA AKUNTANSI DALAM BINGKAI INTERPRETASI NON-AKUNTANUang Tunai: Realitas Referensial Laba AkuntansiPemahaman laba melalui pemaknaan secara struktural tampaknya tidak dapat dihindari oleh seluruh informan manajer keuangan, analis kredit, investor dan penasihat investasi. Mereka menyatakan secara sama bahwa laba adalah selisih antara pendapatan dan biaya. Di antara non-akuntan yang menjadi informan penelitian ini, hanya Franky Hardi (investor individu), yang tidak menyadari bahwa laba akuntansi tidak selalu merujuk pada arus kas masuk neto yang real (nyata) karena pendapatan dan biaya juga tidak selalu merujuk pada arus kas masuk dan keluar secara fisis. Ketidak-tahuan Franky Hardi ini terrefleksi dari pernyataannya bahwa:

Laba akuntansi adalah laba yang dihitung sesuai catatan akuntansi. Yang saya ketahui, catatan akun-tansi adalah catatan tentang pemasukan dan pengeluaran uang. Kalau begitu, laba menurut akuntansi dihitung dari pemasukan pendapatan dikurangi pengeluaran biaya yang sudah dicatat tadi. Jadi, bukan seluruh pemasukan dikurangi seluruh pengeluaran.

Menurut Franky Hardi, laba akuntansi itu nyata. Laba akuntansi ya berbentuk uang, kata-nya, Kalau tidak berbentuk uang, mana bisa emiten membayar dividen, dan mana bisa peru-sahaan reksadana memberikan hasil investasi untuk saya. Diperoleh dari mana uangnya kalau tidak dari laba?. Pernyataan Franky Hardi tersebut secara jelas menunjukkan bahwa ia tidak mengetahui bahwa konsep akuntansi dalam pehitungan laba berbeda dengan konsep umum yang selama ini difahaminya.Laba Akuntansi: Antara Nyata dan Tidak NyataKecuali Franky Hardi, semua informan non-akuntan dalam penelitian ini memahami bahwa laba akuntansi tidak selalu merefleksikan arus kas masuk neto sebagai kelebihan pendapatan di atas biaya. Laba akuntansi memang dihitung dari pendapatan dikurangi biaya, kata Mujianto (penasihat investasi), Tetapi pendapatan dalam akuntansi tidak selalu benar-benar berupa uang. Begitu juga biaya, tidak selalu benar-benar ada uang keluar. Secara lebih spe-sifik, Mujianto menyebut bahwa, Laba akuntansi dihitung dengan asal akrual atau asas wak-tu, bukan asas tunai seperti pemahaman orang secara umum.

Informan non-akuntan lainnya juga memahami bahwa laba akuntansi dihitung berdasar-kan asas akrual. Tetapi, dalam pandangan mereka, asas akrual yang diterapkan dalam perhi-tungan laba terlalu berlebihan. Berikut ini adalah komentar mereka:Kalau asas akrual dalam perhitungan laba diterapkan untuk kejadian-kejadian yang nyata, maka laba akuntansi menjadi mudah dipahami. Tetapi, sekarang ini asas akrual juga banyak diterapkan untuk ke-jadian-kejadian yang tidak nyata, atau kejadian-kejadian yang hanya diperkirakan. Ini yang menyebab-kan laba akuntansi sering sulit dipahami. [Salim Tirta manajer keuangan]

Laba akuntansi tidak benar-benar menggambarkan kinerja keuangan yang dapat dipahami secara operasional oleh orang awam, karena dalam mencatat pendapatan dan biaya, akuntansi tidak membe-dakan mana fakta dan bukan fakta. Ada yang fakta, ada yang estimasi. [Septi Yuliana analis kredit]

Objektivitas laba akuntansi itu masih perlu dipertanyakan akibat asas akrual yang diterapkan untuk kejadian-kejadian yang tidak dapat dipahami secara operasional. Menurut saya, ada kejadian-kejadian yang sebenarnya hanya konsep, tapi sudah dibukukan seperti kejadian yang nyata. [Mujianto penasihat investasi]

Berbagai komentar yang beragam tersebut menunjukkan bahwa dalam pandangan para infor-man, laba akuntansi tidak menggambarkan realitas yang mereka fahami. Mereka pada umum-nya menyatakan bahwa laba akuntansi menggambarkan realitas yang nyata maupun tidak nyata. Komentar mereka juga merefleksikan suatu harapan bagaimana seharusnya laba akun-tansi dihitung dan disajikan kepada mereka.

Laba Akuntansi Tidak Simetris Dengan Keputusan Keuangan

Meskipun laba akuntansi dalam pandangan informan merepresentasikan realitas yang nyata maupun tidak nyata sehingga sulit dipahami, tetapi dalam praktiknya mereka mengakui bah-wa laba akuntansi memiliki fungsi dan peran sebagai pengukur kinerja manajemen. Kinerja manajer keuangan misalnya, dievaluasi berdasarkan pencapaian target laba. Analis kredit menggunakan angka laba akuntansi sebagai dasar pencairan pinjaman secara bertahap bagi debitor; sedangkan penasihat investasi mempertimbangkan laba akuntansi dalam memilih se-kuritas emiten yang akan dimasukkan dalam portofolio investasi. Atas fakta yang kontradiktif ini, Salim Tirta (manajer keuangan) berkomentar:Ini masalah yang terkait dengan kebijakan pemegang saham dan perjanjian kredit dengan bank. Kebi-jakan itu harus saya terima apa adanya. Pada satu sisi, kinerja saya dievaluasi oleh pemegang saham atas dasar laba akuntansi. Pada sisi lain, pemegang saham menghendaki pembagian dividen tunai dan bonus tahunan kepada karyawan atas dasar persentase tertentu dari laba akuntansi.

Bank mensyaratkan besaran laba akuntansi tertentu untuk dapat mencairkan pinjaman bagi perusahaan. Semua itu sering membuat saya cemas. Di satu sisi saya harus mencapai laba akuntansi yang ditargetkan pemegang saham maupun bank. Untuk yang ini lebih mudah diatasi, karena seperti kita tahu bahwa laba akuntansi tidak harus menggambarkan pendapatan bersih yang nyata, jadi bisa diatur. Pada sisi yang lain, saya harus membayar dividen dan bonus karyawan secara tunai. Nah, yang ini membuat saya pusing. Dividen dan bonus harus dihitung dari laba akuntansi, padahal laba akuntansi tidak selu-ruhnya mencerminkan aliran kas yang konkret. Akhirnya ya terpaksa mencari dan menggunakan dana pinjaman untuk membayar dividen dan bonus itu. Ini kan suatu bukti bahwa laba yang dihitung menurut konsep akuntansi tidak simetris dengan keputusan keuangan.

Analis kredit memiliki pandangan yang berbeda dengan manajer keuangan. Bagi analis kredit, laba akuntansi bukanlah satu-satunya informasi yang digunakan sebagai ukuran kinerja mana-jemen. Saya sadar bahwa laba akuntansi itu tidak selalu nyata berwujud aliran uang masuk, kata Septi Yuliana, analis kredit. Ia menambahkan:

Bukan hanya laba akuntansi yang dijadikan sebagai dasar untuk mengambil keputusan pemberian kre-dit kepada debitor. Kinerja keuangan debitor kan tidak hanya dilihat dari labanya. Ada indikator kiner-ja keuangan lain yang telah ditetapkan bank untuk dievaluasi dalam pemberian kredit. Nilai agunan juga penting. Dan yang juga lebih penting adalah mengevaluasi karakter dan prospek bidang bisnis debitor di masa mendatang. Pemberian kredit berkaitan dengan itikad baik debitor dan prospek bisnis mereka, sementara laporan keuangan hanyalah informasi masa lalu... Mengevaluasi permohonan kre-dit debitor tidak sesederhana dengan cara menganalisis rasio-rasio keuangan yang datanya diambil dari laporan keuangan. Peraturan kredit bank memang mewajibkan untuk menganalisis laporan keuangan, tetapi itu hanya mempengaruhi keputusan sekitar dua sampai lima persen saja. Faktor-faktor kualitatif debitor, baik masa lalu maupun masa mendatang, jauh lebih penting untuk dipertimbangkan dalam pemberian kredit.Lebih lanjut, Septi Yuliana mengatakan:

Setelah permohonan kredit disetujui, dibuat komitmen yang dituangkan dalam perjanjian kredit. Kalau dalam perjanjian kredit disebutkan adanya kewajiban debitor untuk mencapai laba akuntansi tertentu sebagai syarat untuk mencairkan kredit berikutnya, itu semata-mata untuk mengikat dan mengingatkan debitor agar tidak lalai untuk mempertahankan kinerja keuangannya. Angka laba akuntansi yang dite-tapkan dalam perjanjian kredit itu pada umumnya didasarkan pada rata-rata angka laba tahun-tahun se-belumnya, tidak ada perhitungan khusus. Hanya formalitas saja. Penasihat investasi ternyata juga memiliki pandangan serupa dengan analis kredit. Mujianto misalnya, mengatakan bahwa laba akuntansi emiten merupakan informasi yang perlu dilihat jika seseorang bermaksud investasi dalam sekuritas emiten seperti saham. Laba akuntansi emiten pada beberapa tahun ke belakang harus dilihat, kata Mujianto. Tujuannya adalah seka-dar untuk memastikan lebih dulu bahwa kita akan membeli sekuritas emiten yang membu-kukan laba, atau kita yakin tidak akan berinvestasi pada emiten yang rugi. Mujianto menga-takan:

Berinvestasi dalam sekuritas merupakan persoalan yang berkaitan dengan hasil di masa depan, baik dalam bentuk dividen maupun capital gain. Jadi, yang penting untuk dipertimbangkan dalam investasi sekuritas adalah prospek bisnis emiten. Laporan keuangan hanya berisi informasi masa lalu. Meng-kalkulasi hasil investasi berdasarkan fakta keuangan masa lalu tentu kurang memadai tanpa mengeva-luasi apa yang akan terjadi di masa mendatang. Fakta keuangan masa lalu hanyalah fakta mikro, se-mentara sangat banyak fakta makro yang justru penting untuk kita pertimbangkan.

Berdasarkan pengalamannya membaca laporan keuangan, Mujianto menyatakan bahwa mem-baca laporan keuangan perusahaan harus ekstra hati-hati. Dalam pandangannya,Laporan keuangan cukup membingungkan karena realitas yang direpresentasikan kurang jelas: apakah realitas akuntansi, realitas keuangan, atau realitas ekonomi? Laporan keuangan cenderung menyajikan informasi tentang realitas akuntansi yang dimunculkan melalui hukum-hukum akuntansi itu sendiri, sementara keputusan investasi merupakan keputusan yang mengacu pada realitas keuangan.

Karena yang disajikan adalah realitas akuntansi, maka tingkat objektivitas informasi keuangan menjadi rendah dari sudut pandang investor. Rendahnya tingkat objektivitas laporan keuangan ini, menurut Mujianto, juga akibat dari realitas akuntansi yang mudah diubah-ubah oleh akun-tan berdasarkan hukum-hukum yang logis menurut akuntansi.

Laba Akuntansi dan The Bad Boys of FinanceTerkait dengan pandangannya, dengan nada berseloroh dan tanpa kesan bersungguh-sungguh, Mujianto menyindir profesi akuntan. Ia menyebut para akuntan sebagai The Bad Boys of Finance yang kira-kira berarti Anak-Anak Kurang Faham Keuangan. Karena kurang faham keuangan, kata Mujianto, maka anak-anak tersebut menyajikan informasi keuangan atas dasar konsep-konsep keuangan yang diterapkan tidak pada tempatnya. Mujianto memper-jelas makna The Bad Boys of Finance tersebut melalui anekdot yang kurang-lebih dapat di-kutip seperti berikut:

Dalam sebuah kelas, seorang profesor berhadapan dengan tiga orang yang memiliki keahlian berbeda: matematikawan, teoretisi organisasi, dan akuntan. Profesor bertanya, Satu ditambah satu berapa?. Matematikawan menjawab, Dua. Benar, dua adalah keniscayaan, karena satu ditambah satu memang sama dengan dua, dan diterima umum. Teoretisi organisasi menjawab, Relatif. Bisa dua, lima, dela-pan atau sebelas. Ini memang benar, yang dibuktikan dengan munculnya teori tentang sinergi dalam organisasi. Si akuntan menjawab, Dua, jika dijumlahkan sekarang. Tetapi, jika penjumlahannya ma-sih akan dilakukan di masa depan, harus dihitung present value-nya lebih dulu.

Walaupun The Bad Boys of Finance yang diungkapkan oleh Mujianto tersebut hanya meru-pakan sebuah anekdot, tetapi hal tersebut sebenarnya merupakan sebuah realitas yang telah lama menjadi perhatian Rosenfield (2003). The Bad Boys of Finance menghasilkan laporan keuangan yang tidak merepresentasikan realitas keuangan, dan membingungkan orang. Rosenfield (2003, 233) mengungkapkan kritiknya:

Penggunaan present value dalam penyajian laporan keuangan tidak memberikan kontribusi dalam memperbaiki fungsi pokok akuntansi, yaitu melaporkan kondisi dan pengaruh keuangan dalam dunia nyata yang relevan sesuai dengan kejadian yang sebenarnya. Pendiskontoan nilai masa depan menjadi nilai sekarang adalah magical process, bertentangan dengan hubungan sebab-akibat terjadinya suatu peristiwa, dan tidak ada alasan yang dapat membenarkan penjumlahan angka present value dan historical value dalam laporan keuangan.

Menurut Rosenfield (2003, 234), masa depan tidak pernah terjadi sekarang, dan karenanya, peristiwa keuangan di masa depan juga bukan representasi peristiwa sekarang. Oleh karena itu, ia mempertanyakan apakah present value merupakan sebuah realitas keuangan yang objektif, dan mengapa hal itu harus diadopsi dalam akuntansi.Uneven Reification: Konsep Yang Dihadirkan Sebagai KenyataanMeskipun The Bad Boys of Finance yang dikemukakan oleh Mujianto (manajer keuangan) hanyalah sebuah anekdot, tetapi cukup relevan dengan fakta bahwa laba akuntansi merupakan hasil dari penerapan prosedur, yaitu prosedur pengurangan beban terhadap penghasilan. Dalam akuntansi, prosedur tersebut dijalankan sesuai konsep dasar akuntansi, yaitu akrual. Karena laba merupakan hasil dari penerapan prosedur, maka objektivitas informasi laba akun-tansi semata-mata terletak pada kesesuaiannya dengan aturan permainan (rule of the game) yang ditentukan sesuai dengan konsep atau asumsi-asumsi akuntansi akrual.Walaupun semua orang mahfum bahwa aktivitas akuntansi pada dasarnya adalah menca-tat dan melaporkan aliran kas, tetapi tidak semua orang menyadari bahwa perubahan aset dan kewajiban perusahaan tidak selalu akibat dari transaksi tunai. Demikian pula, tidak semua orang menyadari bahwa laba akuntansi bukanlah laba tunai (arus kas masuk neto yang dipero-leh dari kegiatan atau proses bisnis) yang dapat segera dinikmati. Sebagai konsekuensinya, orang harus lebih dulu memahami definisi penghasilan dan beban jika ia ingin memaknai laba, termasuk memahami kriteria pengukuran dan pengakuannya.

Tanpa memahami prosedur pengukuran dan pengakuan laba akuntansi, orang akan terje-bak pada reifikasi (reification) yang dikhawatirkan oleh Feng (2003) tentang bahayanya. Reifikasi dapat terjadi secara alamiah, karena sudah menjadi kodrat bahwa setiap orang me-miliki potensi untuk melakukan reifikasi tersebut. Reifikasi alamiah (natural reification) ini, menurut Feng, tidak berbahaya karena terjadi secara internal dalam diri manusia. Dengan reifikasi alamiah, secara internal orang memiliki kemampuan yang sangat baik untuk meng-hubungkan konsepsi-konsepsi yang ada dalam pikirannya dengan dunia nyata yang dihadapi-nya, sehingga kemampuan membedakan konsep dan fakta lebih besar. Tetapi, reifikasi juga dapat terjadi pada setiap orang melalui sebuah paksaan dari orang lain yang berkuasa, yang disebut oleh Feng sebagai pression reification. Reifikasi melalui paksaan ini dijelaskan oleh Feng (2003, 132) seperti berikut:Reifikasi, penyamaan konsep dengan realitas, dapat dipaksakan oleh orang lain kepada semua orang yang dikehendaki. Pemaksaan ini dilakukan secara sistematis dengan cara-cara yang halus sehingga tidak disadari oleh orang lain. Pemaksaan ini biasanya dilakukan melalui permainan kata yang dipro-duksi oleh mereka yang berkuasa untuk disusupkan secara pelahan ke dalam pikiran orang, sehingga sesuatu yang tidak nyata pada akhirnya harus dipercaya sebagai kenyataan, sesuatu yang fiktif diper-caya sebagai fakta. Pemaksaan juga dapat dilakukan melalui penciptaan situasi atau kondisi, sehingga sesuatu yang artifisial dipercaya sebagai realitas yang harus diyakini keberadaan dan kebenarannya.

Menurut Feng (2003, 135), reifikasi yang dipaksakan ini berbahaya karena segala sesuatu yang merupakan produk rekayasa pikiran manusia (product of human mind) akan diterima sebagai kenyataan atau kebenaran. Menurut Feng, tragedi kemanusiaan banyak terjadi akibat reifikasi paksaan semacam ini, karena tindakan dan keputusan-keputusan yang diambil atas dasar konsep tidak dikonfirmasi dengan keadaan yang sebenarnya.Paulson (2005, 15) menye-but reifikasi paksaan ini sebagai reifikasi yang kasar atau kejam (uneven reification). Dampak buruk dari setiap tindakan dan keputusan yang didasarkan pada uneven reification ini tidak perlu dipertanyakan lagi, kata Paulson (2005, 15), karena tindakan dan keputusan tersebut didasarkan pada kesadaran yang salah (false consciousness) atau kesadaran semu. Terkait dengan akuntansi, tampak adanya unsur reifikasi paksaan (uneven reification) yang melekat pada konsep-konsep akuntansi yang harus diterapkan dalam penyajian informasi keuangan. Tidak semua orang dapat menerima informasi keuangan berdasar konsep-konsep akuntansi sebagai suatu kenyataan, tetapi konsep-konsep akuntansi tersebut tetap digunakan, sehingga konsep akuntansi hanya mengandung kebenaran sejauh diterapkan pada dirinya sendiri. 6. SIMPULAN, IMPLIKASI DAN KETERBATASAN PENELITIANLaba Akuntansi: Pantulan Realitas Dari Cermin RetakBeragam interpretasi informan terhadap laba akuntansi, baik akuntan maupun non-akuntan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, bermuara pada kesimpulan bahwa laba akun-tansi menggambarkan dua dunia, yaitu dunia yang bertubuh dan dunia yang tak bertubuh meminjam dua istilah yang digunakan oleh Plato (lihat Susilo 2005, 112) untuk menyebut realitas yang direpresentasikan oleh pengalaman dan oleh akal pikiran. Immanuel Kant menyebut dua bentuk realitas tersebut dengan istilah fenomena dan nomena (Susilo 2005, 113). Fenomena adalah pengetahuan manusia yang dibatasi oleh oleh batas-batas pengalaman yang mungkin; sedangkan nomena adalah objek yang tidak diketahui, tetapi hanya dipikirkan dan dipercayai ada. Ketika dunia yang bertubuh (fenomena) dilebur menjadi satu dengan du-nia yang tak bertubuh (nomena), maka muncullah dunia yang disebut oleh Jean Baudrillard (lihat Piliang 2003, 53) sebagai dunia hiperrealitas, yaitu dunia yang di dalamnya sulit untuk dibedakan antara fenomena dan nomena, asli dan palsu, fakta dan fiksi, atau benar dan salah.Dalam bingkai interpretasi akuntan dan non-akuntan, laba akuntansi menggambarkan du-nia hiperrealitas tersebut. Laba akuntansi lepas dari realitas yang sebenarnya mereka harapkan untuk direpresentasikan dalam sebuah ruang komunikasi, sehingga laba akuntansi kehilangan kandungan informasinya. Harapan non-akuntan bahwa laba akuntansi dapat merepresentasi-kan dunia yang bertubuh yaitu kemampuan perusahaan untuk menghasilkan aliran kas masuk neto yang bersumber dari kejadian-kejadian real tidak terperoleh, karena akuntan memandang bahwa laba akuntansi merupakan representasi dari dua dunia, baik dunia bertu-buh maupun dunia tak bertubuh. Akibatnya, dalam konteks penelitian ini, laba akuntansi kurang berguna bagi non-akuntan untuk dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan ke-uangan, sesuai dengan kepentingan masing-masing.Fakta yang dapat ditangkap dari pernyataan-pernyataan non-akuntan atas laba akuntansi, dalam konteks penelitian ini, dapat dianalogikan bahwa membaca laba akuntansi dalam lapor-an laba-rugi menjadi tidak berbeda dengan melihat realitas yang terrefleksi dari permukaan cermin retak. Analogi ini didasarkan pada ilustrasi yang diberikan oleh Dillard (1991, 9), bah-wa persepsi kita tentang realitas adalah identik dengan persepsi ketika kita sedang bercer-min. Kita akan melihat realitas sesuai dengan apa yang dipantulkan kembali oleh permukaan cermin kepada kita. Realitas yang terpantulkan tentu tergantung pada permukaan cermin.

Kalau kita berdiri di depan permukaan cermin datar yang baik, maka yang terpantulkan adalah realitas objektif kita. Permukaan cermin yang berbeda akan memantulkan realitas yang berbeda. Jika kita berdiri di depan cermin datar yang retak misalnya, tentu realitas kita yang terpantul menjadi terdistorsi, dalam arti tidak sesuai dengan keadaan kita yang sebenar-nya. Dari permukaan cermin retak, garis lurus akan terpantulkan menjadi garis patah, sebuah lingkaran tidak lagi terpantulkan sebagai lingkaran, dan semua realitas akan terpantulkan se-cara tidak utuh seperti apa adanya.

Berdasarkan ilustrasi Dillard (1991, 9) tersebut, akuntansi sebagai sebuah proses yang didasarkan pada konsep tertentu dapat dianalogikan sebagai cermin; sedangkan kejadian-kejadian ekonomik yang real dapat dianalogikan sebagai realitas yang akan dipantulkan oleh cermin tersebut. Jika cermin (konsep dan proses akuntansi) dalam kondisi yang seharusnya, maka realitas (informasi tentang kejadian keuangan) akan terpantulkan seperti apa adanya secara objektif. Tetapi, jika cerminnya retak, konsep dan proses akuntansi dalam kondisi yang tidak seharusnya, maka realitas keuangan yang direpresentasikan tentu akan menjadi terdis-torsi. Akibatnya, laba akuntansi menjadi identitas yang tidak jelas, meragukan dan kehilangan makna. Hal ini selaras dengan ungkapan Hadi (2005, 158), bahwa:

Tatkala sesuatu yang diharapkan untuk diperoleh digantikan oleh sesuatu yang penuh keraguan, keti-dakpastian, ketidak jelasan, dan tatkala sesuatu itu tidak lagi dipandang dengan sebelah mata mana pun, di saat itulah sesuatu itu mengalami kehilangan identitas dan makna.Memandang realitas pada permukaan cermin retak seperti diilustrasikan di atas, menghasilkan persepsi yang hampir sama dengan melihat gambar atau foto yang direkam menggunakan ka-mera canggih, seperti diilustrasikan oleh Sunardi (2004, 188). Kamera canggih bukan hanya mampu merekam realitas seperti apa adanya, tetapi juga mampu mensimulasikan realitas de-ngan yang bukan-realitas untuk direkamnya. Dengan simulasi tersebut, foto akan kehilangan kekuatan evidential atau dokumenternya. Apa yang terjadi jika konsep dan proses akuntansi untuk menghitung laba berperan seperti halnya kamera ini? Tentu jelas, bahwa informasi laba akuntansi menjadi kehilangan kekuatan evidential atau dokumenternya itu.

Implikasi PenelitianHasil penelitian ini menunjukkan fakta bahwa laba akuntansi diinterpretasikan secara berbeda oleh komunitas akuntan dan non-akuntan. Fakta ini membawa beberapa implikasi. Pertama, berkaitan dengan habitus akuntan dan non-akuntan. Perbedaan interpretasi atas laba terjadi karena akuntan dan non-akuntan hidup dalam habitus yang berbeda. Akuntan hidup dalam habitus idealistik, sedangkan non-akuntan hidup dalam habitus pragmatik, sehingga pan-dangan akuntan dan non-akuntan atas laba akuntansi tersebut tidak dibentuk oleh satu rerang-ka pemikiran yang sama. Oleh karena itu, sekat-sekat ruang sosial yang membatasi pertemuan dua habitus tersebut perlu dibuka, sehingga terjadi dekomposisi dan sinergi pemikiran.Kedua, berkaitan dengan kemungkinan terjadinya hegemoni dalam praktik akuntansi. Standar akuntansi dan pelaporan keuangan merupakan produk perekayasaan akuntan secara kolektif yang diharapkan bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Jika standar akuntansi dan pelaporan keuangan direkayasa dan diberlakukan hanya berdasarkan habitus idealistik komunitas akuntan, sementara habitus pragmatik komunitas non-akuntan diabaikan, maka hegemoni dalam praktik akuntansi akan terjadi. Akuntan menjadi pihak pendominasi, sementara non-akuntan berada dalam posisi terdominasi. Sugiharto (Kompas, 13 Agustus 2006) menyatakan, bahwa hegemoni menyebabkan pihak yang terdominasi menjadi teralie-nasi dari kebutuhan dan kepentingannya. Dengan ungkapan lain, Karl Marx (lihat Cooper 1995, 176), mengatakan bahwa hegemoni dari kelompok yang memiliki kuasa akan memben-tuk pandangan awam tentang dunia yang hanya menghasilkan kesadaran semu (false cons-ciousness). Dalam konteks ini, dekomposisi habitus idealistik-pragmatik dalam perekayasaan standar akuntansi dan pelaporan keuangan sangat diperlukan, sehingga informasi [laba] akun-tansi menjadi lebih bermakna.Ketiga, berkaitan dengan pernyataan prinsip akuntansi berterima umum. Perbedaan interpretasi laba akuntansi oleh akuntan dan non-akuntan merefleksikan adanya perbedaan pe-mahaman atas konsep dan prinsip akuntansi. Jika masyarakat (non-akuntan) selama ini menja-lankan praktik akuntansi mengikuti praktik dari habitus-idealistik akuntan, hal tersebut dise-babkan oleh standar akuntansi yang bersifat dogmatis dan koersif. Dalam posisi terdominasi, masyarakat non-akuntan tidak lagi memiliki alternatif praktik lain di luar praktik akuntansi yang telah mapan dalam habitus-idealistik akuntan, sehingga standar akuntansi dan pelaporan keuangan dipandang sebagai hal yang dianggap benar tanpa sikap kritis (taken-for-granted). Dengan praktik-praktik akuntansi seperti ini, layak untuk mempertanyakan kembali tentang makna prinsip akuntansi berterima umum.Dekomposisi pemikiran habitus idealistik-pragmatik dalam praktik akuntansi dapat dila-kukan secara konkret melalui dekomposisi definisi serta kriteria pengukuran dan pengakuan elemen-elemen laporan keuangan, dekomposisi bentuk dan isi laporan keuangan, sehingga pada akhirnya juga akan mendekomposisi makna laba akuntansi. Bagaimana bentuk dan cara untuk mendekomposisi definisi, kriteria pengukuran dan pengakuan elemen-elemen laporan keuangan, serta mendekomposisi isi laporan keuangan seharusnya dilakukan? Untuk menja-wab pertanyaan ini, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menggali informasi yang lebih rinci tentang kebutuhan para pengguna laporan keuangan, serta analisis konsep dan standar akuntansi secara cermat.

Keterbatasan Penelitian

Pelaksanaan maupun hasil penelitian ini mengandung beberapa keterbatasan. Keterbatasan utama adalah sebagai berikut. Pertama, penelitian ini hanya berusaha untuk memahami inter-pretasi laba akuntansi dari para informan sesuai dengan posisi atau profesinya masing-masing, dan belum menggali informasi secara rinci dari informan (khususnya non-akuntan) tentang in-formasi akuntansi spesifik yang sebenarnya lebih banyak mereka perlukan dalam pengambil-an keputusan.Kedua, interpretasi laba akuntansi oleh akuntan dan non-akuntan dalam penelitian ini tidak dapat digeneraliasi sebagai interpretasi akuntan dan non-akuntan secara keseluruhan. Dengan demikian, implikasi dan saran yang telah dikemukakan merupakan implikasi dan sa-ran sesuai dengan konteks penelitian ini. Penelitian lanjutan pada informan (akuntan dan non-akuntan) yang berbeda masih sangat perlu untuk dilakukan.Ketiga, penelitian ini membawa gagasan bahwa perbedaan interpretasi laba oleh akuntan dan non-akuntan dapat dieliminasi dengan melakukan dekomposisi definisi, kriteria pengu-kuran dan pengakuan elemen laporan keuangan, serta dekomposisi bentuk dan isi laporan laba-rugi. Gagasan tersebut sejalan dengan Jacques Derrida dengan filsafat dekonstruktifnya yang menyatakan bahwa makna suatu teks tidak akan pernah stabil, makna teks akan selalu tertunda menunggu makna baru yang akan selalu muncul secara terus-menerus (lihat Colebrook dan McHoul 1996, 432). Walaupun demikian, gagasan dekomposisi yang dibawa dalam penelitian ini untuk memenuhi kebutuhan atas informasi laba yang berbeda juga akan bersifat sementara, menunggu untuk terdekomposisi oleh gagasan yang lain.(((DAFTAR PUSTAKA

Adelberg, A.H. 1983. The Accounting Syntactic Complexity Formula: A New Instrument For Predicting the Readability of Selected Accounting Communication. Accounting and Business Research. Summer: 163-175.

Ansari, S. dan K.J. Euske. 1987. Rational, Rationalizing and Reifying Uses of Accounting Data in Organizations. Accounting, Organization and Society 12 (5): 549-570.Bamber, L.S. 1986. The Information Content of Annual Earnings Releases: A Trading Volume Approach, Journal of Accounting Research 24 (1): 40-55.

Beaver, W. H. 1968. The Information content of Annual Earnings Announcements. Empirical Research in Accounting: Selected Studies: 67-92.

Belkaoui, A.R. 1980. The Interprofessional Linguistic Communication of Accounting Concepts: An Experiment in Sociolinguistic. Journal of Accounting Research 18 (2) Autumn: 362-374.Bradshaw, M.T. dan R.G. Sloan. 2002. GAAP versus The Street: An Empirical Assessment of Two Alternative Definitions of Earnings. Journal of Accounting Research 40 (1): 41-66.

Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Cetakan Pertama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Cheal, D.J. 1979. Hegemony, Ideology and Contradictory Consciousness. The Sociological Quarterly 20 (Winter): 109-117.

Chambers, R.J. 1989. Time in Accounting. Abacus 25 (1): 7-21.

Colebrook, C. dan A. McHoul (1996). Discussion Note: Interpreting Understanding Context. Jurnal of Pragmatics (25): 431-440.

Cooper, C. 1995. Ideology, Hegemony and Accounting Discourse: A Case Study of The National Union of Journalists. Critical Perspective on Accounting (6): 175-209.

Courtis, J.K. 1998. Annual Report Readability Variability: Test of the Obfuscation Hypothesis. Accounting, Auditing and Accountability Journal 11 (4): 459-471.Diana, S.R. dan I.W. Kusuma. 2004. Pengaruh Faktor Kontekstual Terhadap Kegunaan Earnings dan Arus Kas Operasi dalam Menjelaskan Return Saham. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia 7 (1): 74-93.

Dillard, J.F. 1991. Accounting as Critical Social Science. Accounting, Auditing and Accountability Journal 4 (1): 8-28.

Fairfield, P.M., R.J. Sweeney dan T.L. Yohn. 1996. Accounting Classification and the Predictive Content of Earnings. The Accounting Review 71 (3): 337-355.

Feng, F.H. 2003. Between Immediacy and Reification: Quotidian Pedagogy, Narrative, and Recovery of Language and Meaning in Nature. Dissertation: The University of British Columbia.

Finger, C.A. 1994. The Ability of Earnings to Predict Future Earnings and Cash Flow. Journal of Accounting Research 32 (2): 210-223.

Fiol, C.M. 1989. A Semiotic Analysis of Corporate Language: Organizational Boundaries and Joint Venturing. Administrative Science Quarterly (34): 277-303.

Fischer, P.E. dan Stocken, P.C. 2001. Imperfect Information and Credible Communication. Journal of Accounting Research 39 (1): 119-134.

Hadi, A. 2005. Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Humanis Mark Slouka Terhadap Jagad Maya. Cetakan I. Yogyakarta: LKiS.

Harb, A. 2006. Relativitas Kebenaran. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia (Umar Bukhory dan Ghazi Mubarak). Cetakan II. Yogyakarta: IRCiSoD.

Haried, A.A. 1972. Semantic Dimensions of Financial Statements. Journal of Accounting Research 10 (2) Autumn: 376-391.

Haried, A.A. 1973. Measurement of Meaning in Financial Reports. Journal of Accounting Research 11 (1) Spring: 117-145.

Heath, L.C. 1987. Accounting, Communication, and the Pygmalion Syndrome. Accounting Horizons (March): 1-8.

Ijiri, Y. 1975. Theory of Accounting Measurement. Accounting Research Study No.10. Sarasota: American Accounting Association.

Ikatan Akuntan Indonesia. 2007. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.

Jones, M.J. 1996. Readability of Annual Reports: Western versus Asian Evidence A Com-ment to Contextualize. Accounting, Auditing and Accountability Journal 9 (2): 86-91.

Khan, G.A. 2007. Pluralisation: An Alternative to Hegemony. Journal Compilation: Political Studies Association: 1-16.

Kieso, D.E., J.J. Weygandt, and T.D. Warfield. 2004. Intermediate Accounting. Eleventh Edition. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Landsman, W.R. dan E.L. Maydew. 2002. Has the Information Contents of Quarterly Earnings Announcements Declined in the Past Three Decades?. Journal of Accounting Research 40 (3): 797-808.

Lee, T.A. 1982. Chambers and Accounting Communication. Abacus 18 (2): 152-165.

Li, D.H. 1972. The Semantic Aspect of Communication Theory and Accountancy. Journal of Accounting Research 10 (2) Autumn: 102-107.

Lusk, E.J. 1973. Cognitive Aspects of Annual Reports: Field Independence/Dependence. Journal of Accounting Research 11 (3) Supplement: 191-202.

Macintosh, N.B., T. Shearer, D.B. Thornton dan M. Welker. 2000. Accounting as Simulacrum and Hyperreality: Perspectives on Income and Capital. Accounting Organization and Society (25): 13-50.Mattessich, R. 2003. Accounting Representation and the Onion Model of Reality: a Comparison with Baudrillards Order of Simulacra and His Hyperreality. Accounting Organization and Society (28): 443-470.

Nugroho, A.A. 2006. Posmodernisme, Toleransi Multikultural, dan Solidaritas Ekologis dalam Abdul Halim (Ed.) Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan Yang Membebaskan. Cetakan 1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Halaman 272-284.Paulson, J. 2005. Uneven Reification. Dissertation in History of Consciousness: University of California, Santa Cruz.

Piliang, Y.A. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.

Preston, A.M., C. Wright dan J.J. Young. 1996. Imag[in]ing Annual Reports. Accounting, Organization and Society 21 (1): 113-137.

Rand, A. 2003. Pengantar Epistemologi Objektif. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia (Cuk Ananta Wijaya). Cetakan Pertama. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Rosenfield, P. 2003. Presenting Discounted Future Cash Receipts and Payments in Finan-cial Statements. Abacus 39 (2): 233-249.

Sallach, D.L. 1974. Class Domination and Ideological Hegemony. The Sociological Quarterly 15 (Winter): 38-50.

Schmidt, D.J. 2007. Speaking of Language: On The Future of Hermeneutics. Research in Phenomenology 37: 271-284.

Smith, M. dan R. Taffler. 1992. Readability and Understandability: Different Measure of the Textual Complexity of Accounting Narrative. Accounting, Auditing and Accountability Journal 5 (4): 84-98.Sugiharto, B. (Kompas 13 Agustus 2006). Kebudayaan, Konflik, dan Hegemoni.

Sunardi, S.T. 2004. Semiotika Negativa. Cetakan II. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.

Susilo, H. 2005. Integrasi Ilmu Pengetahuan. Cetakan Pertama. Jakarta: Teraju.

Suwardjono. 2005. Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Edisi Ketiga. Cetakan Pertama. Yogyakarta: BPFE.

Takwim, B. 2005. Habitus: Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya Hidup. Makalah disampai-kan pada acara Extension Course Resistensi Gaya Hidup, diselenggarakan oleh Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD, Institut Teknologi Bandung: 20 Mei.

Takwim, B. 2006. Kesadaran Plural. Cetakan Pertama. Bandung: Jalasutra.

Wilber, K. 1997. An Integral Theory of Consciousness. Journal of Consciousness Studies. February: 71-92.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Iwan Triyuwono, SE., Ak., MEc., PhD.; Gugus Irianto, SE., Ak., MSA., PhD., serta Dr. Unti Ludigdo, SE., Ak., MSi. (Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang) atas arahan beliau dalam pelaksanaan dan penulisan hasil penelitian. Walaupun demikian, semua kesalahan dan kekhilafan dalam penulisan ringkasan sebagian hasil penelitian ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Nugroho (2006, 279) mengartikan simulakra sebagai suatu simbol tanpa ada yang disimbolkan, sedangkan Piliang (2003, 132-134) mengartikan simulakra sebagai sebuah duplikasi dari duplikasi, yang aslinya tidak pernah ada, sehingga perbeda-an antara yang duplikat dan yang asli menjadi kabur. Simulakra merupakan suatu citra (image) atau konsep yang terbentuk melalui simulasi yaitu proses penciptaan bentuk nyata melalui model-model yang tidak ada asal-usul atau referensi realitasnya, sehingga memampukan manusia untuk menjadikan hal-hal yang supernatural, ilusi, fantasi, dan khayali menjadi tampak nyata.

Esai kritis Macintosh et al. (2000) atas laba dan modal direfleksikan pada tingkatan relasi tanda dan realitas referensialnya (order of simulacra) yang dikembangkan oleh Jean Baudrillard melalui pemikiran filosofisnya. Order of simulacra yang dikemukakan oleh Baudrillard adalah: (1) tanda merefleksikan realitas yang benar-benar nyata dan ada mendahului tanda (profound reality). (2) tanda menyembunyikan dan menyimpangkan sifat-sifat asli dari profound reality; (3) tanda menyembunyikan ketidakhadiran realitas; (4) tanda muncul mendahului realitas, sehingga tanda tidak memiliki relasi apa pun dengan realitas, bahkan realitasnya sendiri belum atau tidak ada, atau simulakra murni (pure simulacrum).

Esai kritis Mattessich (2003) atas laba dan modal direfleksikan pada konsep onion model of reality yang dibangunnya sendiri. Ia menyebut konsepnya sebagai metafor tentang realitas. Melalui konsep atau metafornya itu, Mattessich (2003, 446) menyatakan bahwa realitas (kenyataan atau fakta) memiliki tingkatan yang berbeda atau berlapis-lapis berdasarkan perspektif yang bersifat multidimensi, termasuk dimensi waktu. Oleh karena itu, realitas tidak dapat dipandang secara linier berdasarkan dimensi tertentu yang bersifat tunggal. Mattessich menyebutkan bahwa onion model of reality membedakan dan menempatkan realitas dalam lima tingkatan, yaitu: (1) realitas sejati (ultimate reality); (2) realitas fisis-kimiawi (physical-chemical reality); (3) realitas biologis (biological reality); (4) realitas mental (mental reality); dan (5) realitas sosial (social reality).

Hasil-hasil penelitian yang relevan dengan pernyataan ini sangat banyak. Hasil penelitian yang relevan dengan pernyataan ini misalnya dapat dilihat dalam Beaver (1968), Lipe (1968), May (1971), Bamber (1986), Finger (1994), Fairfield, et al., (1996), Landsman dan Maydew (2002), Bradshaw dan Sloan (2002), serta Diana dan Kusuma (2004).

Adelberg (1983, 163) menganggap bahwa kata readability dan understandability memiliki makna yang sama, dan karenanya, ia menggunakan kedua kata itu secara bergantian. Jones (1996, 86) berpendapat bahwa meskipun kata readability dan understandability dapat dimaknai sama dan digunakan secara bergantian, tetapi masing-masing kata ter-sebut terfokus pada dua hal yang berbeda, sehingga kedua kata itu masih dapat dibedakan maknanya. Kata readability terfokus pada teks akuntansi, sedangkan understandability terfokus pada pembaca teks akuntansi.

Istilah pygmalion syndrome pada awalnya terdapat dalam ilmu fisika, khususnya dalam teori relativitas. Pygmalion syndrome menunjukkan kecenderungan seseorang untuk mengacaukan (confuse) antara model konseptual tentang sesuatu atau peristiwa di dunia nyata dengan sesuatu atau peristiwa itu sendiri. Model konseptual adalah deskripsi, perhitungan dan persamaan matematis, atau analogi yang digunakan untuk menggambarkan secara sederhana tentang sesuatu atau peristiwa yang tidak dapat diobservasi secara langsung (Heath 1987, 1). Sebagai contoh, kalau suatu surat kabar memberitakan bahwa pada tahun 2007 jumlah kelahiran bayi di Indonesia rata-rata adalah 200 orang per hari, maka angka 200 merupakan hasil perhitungan matematis sebagai penjelasan sederhana tentang jumlah kelahiran bayi yang sebenarnya tidak dapat diobservasi secara langsung setiap harinya. Jika seseorang berfikir bahwa benar-benar terjadi kelahiran bayi 200 orang per hari, seolah-olah ia mengobservasi langsung kelahiran itu, maka ia dikatakan mengidap gejala pygmalion syndrome.

Secara etimologis, reification berasal dari bahasa latin res yang berarti benda atau objek, sehingga reify berarti membendakan (thingify) (lihat Heath 1987, 1). Reifikasi (reification) adalah berbicara atau berfikir tentang sesuatu secara konseptual, tetapi membayangkan bahwa sesuatu itu adalah benda yang ada secara fisis dan dapat diobservasi secara langsung di dunia nyata.

Skema merupakan perwakilan konsep dari pikiran. Menurut Wilber (1997, 80), dalam psikologi kognitif, kesadaran manusia terkait dengan skema fungsional dari kognisinya. Aktivasi dari sebuah skema menyadarkan manusia tentang sesuatu (benda) yang diwakili oleh skema itu serta skema-skema lainnya yang berkaitan dengan skema utamanya. Misalnya, skema kursi terkait dengan skema duduk dan meja. Skema anak terkait dengan skema ayah dan ibu. Skema piring terkait dengan skema sendok dan garpu. Mengacu pada makna kesadaran berdasarkan pendekatan kognitif tersebut, maka kesadaran akuntan tentang laba akuntansi pada hakikatnya merupakan kesadaran yang terkait dengan skema. Dalam hal ini, skema laba berkaitan erat dengan skema pendapatan dan beban.

Penjelasan Hardiwibowo dan Budi Rismawan tentang realitas ekonomi yang direpresentasikan oleh laba akuntansi ini konsisten dengan kajian-kajian kesadaran manusia dan studi-studi logika yang menggolongkan realitas dalam dua dimensi, yaitu realitas inderawi-eksternal dan realitas batini-internal (lihat Wilber 1997, Mattessich 2003, Takwim 2006 dan Harb 2006). Realitas dalam dimensi inderawi-eksternal adalah realitas fisis yang secara objektif dapat dicerap oleh indera manusia; sedangkan realitas dalam dimensi batini-internal adalah realitas non-fisis yang secara subjektif ada dalam pikiran atau akal-budi manusia. Secara lebih konkret, Rand (2003, 16) menyebutkan bahwa realitas dapat berupa fakta fisis maupun non-fisis, misalnya: benda, entitas, sifat, kondisi, aktivitas, kualitas, hubungan, dan sebagainya.

Feng (2003, 130) mengartikan reifikasi sebagai penyamaan pemikiran-pemikiran konseptual dengan realitas atau dunia nyata. Lihat penjelasan tentang reifikasi ini pada uraian yang telah dikemukakan pada bagian-bagian sebelumnya.

Takwim (2005) menjelaskan bahwa habitus merupakan konsep yang digunakan oleh Pierre Bourdieu untuk meng-gambarkan suatu sistem yang terdiri dari kecenderungan-kecenderungan yang berlangsung dalam diri manusia sepanjang hidupnya. Kecenderungan ini mendorong terjadinya praktik yang berbeda pada berbagai arena, serta berfungsi sebagai dasar terbentuknya praktik-praktik sosial yang terstruktur.

Istilah hegemoni banyak digunakan dalam berbagai konteks. Dalam ilmu politik misalnya, hegemoni digunakan untuk menggambarkan bentuk dari kekuasaan dan otoritas yang dominan sebagai lawan dari demokrasi atau poliarkhi (Khan 2007, 2). Istilah hegemoni secara lebih spesifik digunakan oleh Antonio Gramsci dalam karya-karyanya tentang studi budaya kritis, untuk menjelaskan adanya dominasi suatu kelas sosial atas kelas sosial yang lain (Sallach 1979, 38). Tujuan utama hegemoni adalah pemusatan kebenaran, melalui penyeragaman kehendak, tindakan, maupun pemikiran atau ideologi (Cheal 1979, 110).

PAGE 1