Upload
kahar-beb
View
38
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
(RE-ORGANISATION OF BANYUMAS DIALECT DICTIONARY;
LEXICOGRAPHIC CONTRIBUTION TO DIALECT PRESERVATION)
Kahar Dwi P.Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah
Jalan Elang Raya No. 1, Tembalang, Semarang,Phone 024-70769945. Faximile 024-70799945
E-mail: [email protected]
AbstractDialect dictionary is a record of indigenous cultures and local language
variations. The headwords in a dialect dictionary are projecting an record of exclusive regional language variations. The compilation of Kamus Dialek Banyumas-Indonesia (Banyumas Dialect-Indonesian Dictionary) was a real effort of dialect maintenance that displays a collection of dialect words originated from geographic areas covering the ex-residency of Banyumas such as Banyumas, Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara, and Purwokerto, some bordering areas such as Kebumen, Wonosobo, Pemalang, Bumiayu and Pangandaran, as well as some areas in West Java Province and North Banten. The dialect dictionary compiled by M. Koderi and Fajar P. in 1997 was a response to the decline of positive attitudes of Banyumas speakers toward the dialect. This dialect dictionary records Banyumas vocabularies and cultures which are quite different from the language of “bandhekan” (Jojga/Solo dialect) in a way of simple entry structures. Some structural components of dialect dictionary including (1) headwords, (2) syntactic and pragmatic functions (part of speech), (3) usage label, (4) variant region (5) phonetic transcription (6) equivalent, (7) definition, (8) example, and (9) comments (particularly in cross-references) need to be re-organized so that the presentation of the dictionary entries resemble the presentation of modern dictionaries’. Thus the reorganization of the ten structural components will ease users to learn the dialect. The goal of this paper is to discuss the necessity of re-organizing the entries of Kamus Dialek Banyumas-Indonesia as a real effort of Banyumas dialect maintenance.
Keywords: dialect, structures, dictionary, dialect maintenance.
PENATAAN ULANG KAMUS DIALEK BANYUMASAN;SEBUAH SUMBANGAN LEKSIKOGRAFIS BAGI UPAYA
PEMERTAHANAN DIALEK
Abstrak Kamus dialek merupakan catatan budaya dan kearifan lokal suatu bahasa daerah.
Kata kepala di dalam kamus dialek mencerminkan bentuk rekaman variasi bahasa regional yang bersifat khas. Penyusunan Kamus Dialek Banyumas-Indonesia merupakan salah satu upaya nyata pemertahanan dialek yang menampilkan kumpulan kata wilayah geografis yang meliputi sebagian besar eks-Karesidenan Banyumas seperti Banyumas, Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara, dan Purwokerto , beberapa daerah yang berbatasan
1
dengan wilayah Banyumas seperti Kebumen, Wonosobo, Pemalang, Bumiayu, dan Pangandaran, serta beberapa daerah yang berada di Provinsi Jawa Barat dan Banten Utara. Kamus dialek yang disusun oleh M. Koderi dan Fadjar P. pada tahun 1997 ini merupakan jawaban atas semakin menurunnya sikap positif penutur dialek Banyumas dalam menggunakan dialek ini. Kamus dialek ini merekam budaya dan kosakata Banyumas yang berbeda dengan bahasa bandhekan dalam tampilan struktur entri sederhana. Beberapa komponen struktur kamus dialek yang mencakupi (1) kata kepala (headword), (2) fungsi sintaktis dan pragmatis (part of speech), (3) label penggunaan (usage label), (4) wilayah varian (variant region) (5) transkripsi fonetik (phonetic transcription) (6) padanan (equivalent), (7) definisi (definition), (8) contoh (example), dan (9) komentar (pada rujuk silang) perlu ditata ulang agar tampilan entri kamus ini menyerupai tampilan entri kamus modern yang akan memudahkan pengguna memelajari dialek ini. Makalah ini mendiskusikan perlunya kerja penyusunan ulang Kamus Dialek Banyumas-Indonesia sebagai sebuah upaya pemertahanan dialek Banyumas. Kata kunci: dialek, struktur, kamus, pemertahanan dialek.
1. Dialek Banyumas
Dialek Banyumas adalah sebuah varian dialek yang dipergunakan di Jawa
Tengah bagian barat. Beberapa kosakata dialek ini juga dipergunakan di Banten Utara
dan Cirebon-Indramayu. Dialek ini agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya.
Hal ini disebabkan bahasa Banyumas masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna
(Uhlenbeck, E. M., 1964). Hal senada diungkapkan oleh Priyadi (2005), seorang
sejarawan dan peneliti budaya Banyumas yang mengatakan bahwa bahasa Jawa dialek
Banyumas tergolong bahasa yang lebih tua dibandingkan dengan bahasa Jawa baru.
Banyak kosakata dialek Banyumas berasal dari bahasa Jawa Kuna dan Sunda. Banyumas
merupakan daerah Majapahit yang paling barat dan masih melestarikan bahasa Jawa
Pertengahan yang berkembang pada masa akhir kerajaan itu. Secara historis, dialek
Banyumas telah berkembang cukup lama dibandingkan dengan bahasa Jawa baru yang
baru muncul pada masa Mataram Islam (Poedjosoedarmo, 1982:5).
Identifikasi dialek Banyumas sebagai sebagai sebuah bagian dari bahasa Jawa
hanyalah merupakan permasalahan bagaimana kita mendudukkan dialek ini. Di dalam
usaha pemertahanan dialek, para ahli bahasa sepatutnya merelakan varian Banyumas ini
dianggap oleh sebagian penuturnya sebagai sebuah bahasa, bahasa Banyumasan. Hal ini
tentu berkaitan dengan kebanggaan dan sikap positif penutur dalam menggunakan
2
bahasanya. Hal terpenting yang perlu kita lakukan adalah mencari jalan pemertahanan
dan pelestarian varian ini.
2. Kamus Dialek
Kamus dialek merupakan salah satu upaya pemertahanan dan pelestarian varian
sebuah dialek. Kamus Dialek Banyumas-Indonesia (KDBI) disusun oleh M. Koderi.
diarahkan kepada masyarakat umum dan tujuan secara keseluruhan, selain memberikan
informasi tentang kata-kata dialek, KBDI diharapkan dapat merangsang minat masyarakat
mempelajari dialek Banyumas. Kamus ini dicetak oleh CV. Harta Prima Purwokerto dan
diterbitkan oleh Badan Kesenian Banyumas pada tahun 1996. Kamus ini merupakan satu-
satunya kamus dialek Banyumas yang menerjemahkan kosa-kata khusus dan menjadi ciri
khas dialek Banyumas dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kamus
ini disunting oleh Ahmad Tohari, seorang budayawan dan penulis aktif Banyumas yang
sudah tidak asing lagi kiprahnya di dunia kesusasteraan nasional, terutama bagi
masyarakat Banyumas dan mereka yang mencintai budaya Banyumas.
(http://hanacaraka.fateback.com/kamus_bms.htm).
Hampir semua cabang linguistik memberikan informasi dalam penyusunan
kamus (Hartmann dan James, 1998). Fonetik dan fonologi berguna untuk memberikan
informasi tentang standardisasi pengucapan kata kepala. Tata bahasa (morfologi dan
sintaksis) sangat penting untuk memberikan informasi tata bahasa meliputi berbagai jenis
derivasi, jenis kelamin kata, kata kerja konjugasi, dan lain-lain. Dialektologi,
sosiolinguistik, psikolinguistik, dan ilmu-ilmu yang lain berguna dalam memberikan
berbagai informasi mengenai kata kepala.
Struktur makro dan mikro sebuah kamus dialek tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain. Struktur mikro merupakan penjelas struktur makro dan struktur makro
merupakan bagian yang dijelaskan oleh struktur mikro. Baik struktur mikro maupun
makro adalah dua unsur pembangun entri kamus. Landau (2001) menyebut entri sebagai
organisasi informasi di dalam setiap artikel kamus, entri merupakan kata atau frasa dalam
kamus beserta penjelasan maknanya dengan tambahan penjelasan berupa kelas kata, lafal,
etimologi, dan contoh pemakaian. Jackson menyebut makna dan penjelasan lainnya
3
disebut komponen mikrostruktur. Atkins dan Rundell (2008) yang menyatakan bahwa
seleksi dan organisasi informasi termasuk dalam satu entri kamus disebut mikrostruktur
yang dibangun berdasarkan komponen entri dan struktur entri. Sekaninova (1993)
menekankan tujuh parameter untuk pembangunan sebuah entri dalam kamus yakni,
fonetik informasi, gramatikal komponen, gaya parameter, leksikal kesetaraan, leksikal
stabilitas, leksikal-semantik, dan konteks penerapan. Hartman (dalam Prihantono, 2011)
menyatakan bhawa kamus ideal benar-benar akan mengantisipasi segala kebutuhan calon
pengguna. Kamus ideal seharusnya a. menyediakan setiap kata atau ungkapan dalam
bahasa sumber, b. mengandung semua kata, lokusi, dan idiom yang berpotensi dicari oleh
pengguna kamus, c. berisi semua informasi infleksi, derivasi, sintaksis, dan semantik
yang diperlukan pengguna, d. berisi informasi tentang semua tingkat penggunaan, e.
mengandung semua nama yang tepat dan nama lain yang mungkin setiap pengguna ingin
mencari, f. berisi item kosa kata khusus dari semua register, g. berisi semua informasi
tentang ejaan, h. mencakup semua informasi pelafalan, i. beradaptasi dengan baik untuk
keperluan mesin terjemahan, j. kompak, dan k. memuat ilustrasi.
Paparan di atas merupakan struktur kamus umum. Kamus dialek memiliki
struktur yang berbeda. Artinya, selain deskripsi leksikografis, variasi yang ditemukan di
daerah yang berbeda juga harus disajikan. Semua bentuk varian juga harus ditampilkan.
Jika tidak ada variasi glos di sejumlah wilayah, maka diyakini bahwa penutur sebuah
wilayah tertentu menggunakan bentuk yang sama (Bergenholtz, 2009; 316).
Kamus dialek menghadirkan semua karakteristik kamus umum dalam deskripsi
unit leksikalnya, namun kamus dialek berurusan dengan kumpulan kata suatu wilayah
geografis tertentu. Kamus dialek biasanya memuat kata-kata tidak ditemukan dalam
bahasa standar yang memuat variasi bahasa bentuk standar pula. Kata-kata di dalam
kamus dialek memiliki arti yang terbatas pada wilayah tertentu. Penyusunan kamus ini
umumnya terkait dengan survei dialek. Kata kepala biasanya merupakan bentuk terpilih
yang dihasilkan dari kerja pengumpulan data yang merupakan kerja lapangan dengan
melibatkan peta dialek dan rekaman variasi bahasa regional yang diwujudkan dalam
variasi bunyi dalam suatu dialek.
4
3. Penataan Ulang KDBI
Komponen struktur makro kamus dialek meliputi (1) kata kepala yang disusun
secara alfabetis berurutan (alphabetically ordered). Sedangkan komponen struktur mikro
mencakupi bagian sebelah kanan atau biasa disebut kolom kanan. Struktur mikro meliputi
(2) transkripsi fonetik (phonetic transcription), (3) fungsi sintaktis dan pragmatis (part of
speech), (4) label penggunaan (usage label), (5) wilayah dialek (dialect region), (6)
padanan (equivalent), (7) definisi (definition), (8) contoh (example), dan (9) komentar,
khususnya dalam rujuk silang. Beberapa komponen KDBI telah tertata dengan cukup
baik, tetapi beberapa perlu ditata ulang agar tampilannya menyerupai kamus modern
sebagai hasil kerja leksikografi modern pula.
3.1 Kata kepala (headword)
KDBI memuat kata kepala dalam huruf kecil (lowercase), bercetak tebal, dan
bertepi kiri. Derivasi kata kepala dalam dialek Banyumas merupakan sebuah fakta yang
tidak dapat dipisahkan dari kata kepala KDBI, karena dialek Banyumas termasuk ke
dalam bahasa aglutinatif yang ditandai dengan adanya proses afiksasi pada bentuk dasar
untuk membentuk bentuk turunan atau derivasi. Di dalam sebuah bahasa aglutinatif,
informasi yang lengkap mengenai jenis-jenis imbuhan yang meliputi awalan (ater-ater),
sisipan (seselan), dan akhiran (panambang) mutlak dibutuhkan. Demikian juga di dalam
sebuah kamus dialek ini, informasi mengenai imbuhan diperlukan agar pembelajar dialek
mengetahui proses pembentukan kata sehingga dapat memudahkan mereka untuk
membentuk kata-kata lain.
Ilustrasi 1a
Kata kepala Kamus Dialek Banyumas-Indonesia
manak beranak; Esih enom wis – lima. Masih muda sudah beranak lima (KDBI: 177)
pisuh marah; de-, de-i, dimarahi, m-isuh-m-isuh marah-marah (KDBI: 235)
5
pingul de- diraut sudutnya agar terbentuk sisi yang tumpul (KDBI: 234)
Ilustrasi 1 menunjukkan bahwa penataan makro struktur kata kepala masih menuntut
perbaikan. Kata kepala dalam kamus modern ditampilkan dalam bentuk kata dasar. Kata
kepala ‘manak’ akan lebih baik jika diperlakukan sebagai subkata kepala yang
merupakan derivasi atau turunan kata dasar anak. Derivasi manak selayaknya
dimasukkan ke dalam entri anak. Kata kepala pisuh ditampilkan dengan baik sebagai kata
dasar namun kata dasar ini tidak memiliki padanan bahasa Indonesia. Kata kepala ini
sebaiknya ditampilkan beserta turunan pertama berawalan m’, yakni misuh. Kata kepala
pisuh, misuh selanjutnya diikuti oleh kata kepala turunan berawalan pronomina de- dan
berakhiran -i (depisuhi). Derivasi depisuhi ini sebaiknya ditampilkan sebagai subkata
kepala. Hal berbeda berlaku pada kata kepala pingul, kata dasar ini memiliki padanan
bahasa Indonesia yang juga berupa kata dasar raut sehingga cara menampilkan kata
kepala ini sedikit berbeda. Kata kepala ‘raut’ diikuti mikrostruktur lengkap. Sedangkan
subkata kepala mingul dan depingul ditampilkan dibawah katakepala pingul menjorok ke
kanan. Berikut gambaran penyusunan ulang ketiga kata kepala diatas.
Ilustrasi 1bPengaturan kata kepala dan subkata kepala
anak anak manak beranak. Esih enom wis – lima. Masih muda sudah beranak lima
pisuh, misuh marahmisuh-misuh marah-marah depisuhi dimarahi
pingul rautmingul merautdepingul diraut (sudutnya agar terbentuk sisi yang tumpul)
Kerja penataan ulang seperti tampilan di atas selayaknya disertai informasi mengenai
awalan, sisipan, akhiran, dan gabungan awalan akhiran dalam dialek Banyumas yang
ditampilkan pada bagian depan kamus ini. Kerja ini bukan merupakan hal yang sederhana
karena kerja ini harus didukung pengetahuan mengenai asal usul kata dan jenis-jenis
6
imbuhan dalam dialek Banyumas. Awalan dalam dialek Banyumas terdiri atas awalan
nasalisasi (m-, n-, ny-, dan ng-), awalan pronomina de-, dan awalan lain se-, ke-, dan di-.
Sisipan dalam dialek Banyumas terdiri atas –em-, -in-, dan -um-. Akhiran dalam dialek
Banyumas terdiri atas –i, -é, -né, -no, -en, -an, -é, dan –én. Sedangkan gabungan awalan
dan akhiran dalam dialek Banyumas terdiri atas m-i, n-i, n-no, ny-i, ng-i, de-na, de-i, ka-
an, ke-an, di-i, ke-en, dan se-é.
Selain penataan tampilan kata kepala dan subkata kepala KDBI, hal yang perlu
dicermati dalam makro struktur kamus ini adalah permasalahan homonim. KDBI tidak
memberikan penomoran pada kata kepala berhomonim, seperti dalam entri jog pada
ilustrasi di bawah ini.
Ilustrasi 2aHomonim KDBI
jog sampai tujuan, menuju; Dalan kiye –maring pasar. Jalan ini sampai ke pasar. (KDBI; 120)
jog tuang, tambah minuman (KDBI; 120)
Kata kepala berhomonim dalam kamus modern dapat ditampilkan dalam berbagai cara,
diantaranya dengan penomoran arab atau romawi di depan kata kepala atau di belakang
kata kepala. Dengan penomoran tersebut, kata kepala yang lafal dan ejaannya sama,
dapat dibedakan maknanya dengan lebih baik, dan dapat menunjukkan akar (asal) yang
berlainan. Homonim di atas dapat ditata sebagai berikut:
Ilustrasi 2bPengaturan Homonim
jog I 1jog 1jog jog1jog II 2jog 2jog jog2
Penataan kata kepala selanjutnya adalah pengaturan polisemi yang patut
mendapat perhatian. Kata kepala yg mempunyai makna lebih dari satu perlu
disusun dalam satu entri dengan pengaturan mikrostruktur (informasi sebelah
kanan).
7
Ilustrasi 3aPolisemi
jijih jijik, kotor; n-i menjijikkan (KDBI; 119)jijih kata seru untuk sikap tidak suka atau tidak sudi (KDBI; 119)
Di dalam KDBI, banyak sekali kata kepala polisemi ditampilkan dalam dua entri terpisah.
Hal ini dapat mengundang pemahaman para pembelajar dialek Banyumas bahwa kedua
entri merupakan homonim. Pengaturan polisemi dapat dilakukan dengan hanya
menampilkan satu kata kepala dan memanfaatkan kolom kanan dengan bantuan
penomoran.
Ilustrasi 3bPengaturan Polisemi
jijih adj 1. jijik, kotor; 2. kata seru untuk sikap tidak suka atau tidak sudi njijihi v menjijikkan
Penataan selanjutnya adalah kemungkinan munculnya variasi dialek, mengingat
dialek ini memiliki daerah persebaran yang sangat luas. Variasi dialek ini erat kaitannya
dengan realisasi bunyi di suatu wilayah dialek. KDBI hanya menampilkan kata kepala
varian baku Banyumas Purwokerto, penambahan tampilan varian lain non-baku akan
sangat membantu pembelajar memahami makna sekaligus akar kata. Apabila variasi kata
kepala hanya pada perubahan bunyi yang tidak memerlukan perubahan transkripsi
fonemis, kata kepala cukup ditulis satu kali. Penataan ini selanjutnya disertai pelafalan
ganda dan wilayah dialek yang berbeda.
Ilustrasi 4Pengaturan Variasi Tanpa Perubahan Transkripsi Fonemis
alis /alis/ Bny /alIs/ KrPc
Variasi bunyi /alis/ merupakan varian baku dialek Banyumas (Bny), sedangkan
variasi /alIs/ ditemukan di wilayah Karang Pucung (KrPc), Cilacap. Hal berbeda terjadi
pada kasus kata kepala yang memiliki variasi bunyi yang menuntut perubahan fonemis.
Hal ini menuntut penulisan kata kepala dua kali yang disertai rujuk silang pada bentuk
baku. Tampilan kata kepala jenis ini telah tersusun baik dalam KDBI. Dalam metode
penyusunan kamus dialek, kadang kala salah satu varian dipilih sebagai kata kepala atas
8
dasar kestandaran, frekuensi, dan universalitas varian. Selanjutnya, varian lainnya tetap
dimasukkan juga di dalam entri. Perbedaan daerah sebaran atau perbedaan sosial diberi
label sesuai. Informasi lain yang diberikan adalah mengenai kategori, makna, dan contoh
tata bahasa yang menggambarkan penggunaan unit leksikal (Manfred, 2006).
Ilustrasi 5Pengaturan Variasi dengan Perubahan Transkripsi Fonemis
lérén istirahat; berhenti; Pak Rois wis- goli dadi lurah. Pak Rois sudah
berhenti menjadi lurah (KDBI; 166)
lirén (lihat lérén) istirahat (KDBI; 166)
Penataan selanjutnya adalah tampilan tingkat tutur kata kepala. Seperti halnya
bahasa Jawa, Sunda, dan Bali, dialek Banyumas juga mengenal tingkat tutur halus
(krama). Untuk keperluan pemertahanan dan pelestarian, akan lebih baik jika kata kepala
tingkat tutur krama disusun secara terpisah dalam kamus tersendiri. Langkah ini
diperlukan agar pembelajar dialek Banyumas tidak mengalami kesulitan dini. Langkah
lain yang dapat ditempuh adalah penyertaan kosakata krama dalam bentuk daftar
kosakata yang disertakan dalam belakang KDBI sebagai suplemen kamus.
3.2 Transkripsi Fonetis (Phonetic Transcription)
Dialek Banyumas ditengarai sebagai dialek bahasa Jawa yang tertua. Hal ini
ditandai dengan beberapa kata dalam bahasa Kawi atau Sanksekerta yang merupakan
nenek moyang dari bahasa Jawa yang masih dipakai dalam dialek Banyumas seperti kata
rika yang dalam bahasa Jawa bermakna kowé dan dalam bahasa Indonesia bermakna
“kamu”. Kata inyong yang berasal dari kata ingong bermakna aku. Pengucapan vokal a
yang utuh (ᴧ) yang menjadi ciri khas pengucapan dialek Banyumas seperti halnya bahasa
Sanksekerta. Dialek ini mempunyai penekanan huruf-huruf dengan lebih jelas atau lebih
tebal, seperti huruf k diakhir kata dibaca mendekati bunyi g, huruf p mendekati b, dan
huruf l yang pengucapannya tebal. Hal ini mensuratkan perlunya tampilan transkripsi
fonetis yang dapat membantu pembelajar dialek Banyumas mengucapkan kata-kata
dengan benar.
9
Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek
Banyumas memiliki ciri khas pelafalan yang utama, yakni akhiran 'a' tetap diucapkan 'a'
bukan 'O'. Kata ‘sega’ yang bermakna nasi selalu dilafalkan /segO/ oleh penutur dialek
Surakarta, namun kata ini akan dilafalkan /sega?/ dalam dialek Banyumas. Selain itu,
kata-kata yang berakhiran konsonan ‘k’ akan mendapat perlakuan berbeda. Sebagai
contoh, kata enak yang akan dilafalkan /enak/ oleh penutur dialek Surakarta, akan
dilafalkan /ena?/. Konsonan ‘k’ di akhir kata akan terdengar lebih jelas, dan itulah
alasan perlunya transkripsi fonetis dalam KDBI. Hal-hal ini perlu diperhatikan di dalam
penyusunan sebuah kamus dialek.
Ilustrasi 6Transkripsi fonetis
waca /waca?/ baca
maca /maca?/. membaca
dewaca /dewaca?/ dibaca
3.3 Fungsi sintaktis dan pragmatis (part of speech)
Part of speech dibagi dalam tiga kategori besar informasi, yakni informasi kelas
kata, morfologi, dan siktaksis. Karena keterbatasan ruang, kategori kelas kata biasa
ditampilkan dalam bentuk singkatan dicetak miring, seperti ks. atau adj (kata sifat atau
adjektiva), kb. atau n. (kata benda atau nomina), kk. atau v.(kata kerja atau verba), kg.
(kata ganti), adv. (adverbia), dan lain-lain. Informasi morfologi dapat ditampilkan
Ilustrasi 7Informasi Kelas Kata
kedhèp v. (KDBI; 133)
pitu num. (KDBI; 133)
reyang 1.adj. 2. v. (KDBI; 256)
rimong n. (KDBI; 257)
Label sintaksis sedikit sekali tercantum di dalam KDB. Salah satu contoh label
imp. (imperative) diejawantahkan dalam sebagai satu bentuk definisi, bukan
sebagai label seperti dalam kamus pada umumnya, seperti dalam kata kepala los:
10
Ilustrasi 8 Informasi Sintaksis
los /lOs/ (kata seru yang digunakan dalam menyuruh sesorang untuk pergi)’
(KDBI; 177)
Selain label imperative diatas, label frasa preposisi, kalimat aktif, pasif, kalimat
perintah, dan lain-lain juga perlu ditampilkan.
Label pragmatik juga belum ditampilkan secara lengkap di dalam KDBI. Label
pragmatik dalam kamus ini perlu ditata ulang agar membantu belajar lebih cepat
memahami aspek-aspek pragmatik dalam dialek Banyumas. Label pragmatik
yang ditampilkan kebanyakan merupakan label tingkat tutur krama (krm).
Ilustrasi 9 Tingkat Tutur KDBI
lembu (krm) sapi; -peteng anak haram’ (KDBI; 164)
lenggah (krm) duduk, tempat tinggal (KDBI; 165)
Label tingkat tutur dalam kamus ini perlu dihilangkan sebagai konsekuensi dari
pembagian kamus dialek menjadi dua bagian, kamus ngoko dan kamus krama.
Pembagian ini merupakan terobosan yang berani, namun manfaat yang dihasilkan jauh
lebih banyak bagi pembelajar dialek.
Label halus, kasar, konteks pengggunaan perlu ditambahkan agar informasi ini
dapat dipahami pengguna kamus dengan cepat sehingga mereka dengan cepat pula
mampu mempraktikkan kosakata dialek Banyumas. Selayaknya label kasar (ksr)
dicantumkan pada kata kepala koplo.
Ilustrasi 10 Label Pragmatik
koplo (ksr) (lihat goblog, koplok) dungu, bodoh (KDBI; 150)
3.4 Label penggunaan (usage label)
11
Label penggunaan seperti kosakata usang, modern, dan lain-lain juga perlu ditampilkan
dalam mikrostruktur KDBI. Hal ini tentu akan berpengaruh pada penambahan kata kepala
tertentu, namun langkah ini akan lebih bermanfaat bagi pembelajar dialek.
3.5 Wilayah varian (variant region)
Wilayah pemakai dialek Banyumas meliputi sebagian besar eks-Karisidenan Banyumas
(Banyumas, Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara, Purwokerto) dan beberapa daerah yang
berbatasan dengan wilayah Banyumas seperti Kebumen, Wonosobo, Pemalang,
Bumiayu, dan Pangandaran. Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck,
mengelompokan dialek Banyumas yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah
sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumas, Tegalan, Cirebonan
dan Banten Utara). Karena wilayah sebaran dialek Banyumas ini luas, maka diperlukan
informasi wilayah dialek yang dicantumkan dalam bentuk singkatan yang diletakkan
setelah label part of speech dan label penggunaan, seperti Kbm (Kebumen), Tgl (Tegal),
Crb (Cirebon), Btn (Banten), Bmy (Bumiayu), dan label wilayah lain yang masih
merupakan sub dialek Banyumas. Informasi wilayah varian subdialek dapat membantu
pengguna kamus memahami kosakata yang bukan merupakan kosakata standar dialek
Banyumas.
Ilustrasi 11
Wilayah Varian
sira /sira?/ kg. Bym Tgl Crb (varian utama Banyumas, varian Tegal,
dan Cirebon)
----
siré /sire?/ Btn → sira (varian Banten)
3.6 Padanan (equivalent)
Di dalam KDBI, kata kepala dialek Banyumasan dipadankan dengan bahasa
Indonesia. Sedikit keunikan yang muncul adalah jarang diketemukannya padanan bahasa
Indonesia bentuk dasar (lingga). Hal ini dikarenakan kata kepala (khususnya kata kerja)
12
selalu berbentuk derivasi seperti dalam contoh meres memeras; dep_eres diperas
(hlm.189). Kata kepala bentuk dasar peras (seperti halnya anak, pisuh, dan pingul pada
ilustrasi 1b) selayaknya dimunculkan dalam kamus ini, untuk membantu paralelisasi
padanan dan contoh yang akan berguna bagi pembelajar dialek.
3.7 Definisi (definition)
Definisi dapat berupa klausa, kalimat, kata, maupun frasa. Beberapa
definisi dalam KDBI ditampilkan dengan cukup bagus, seperti dalam entri
mentiyung. Definisi ditampilkan dengan diapit tanda kurung, sama seperti definisi
di dalam kamus modern lainnya.
Ilustrasi 12
Definisi
mentiyung melengkung ke bawah (pohon, bambu, dsb) (KDBI; 188)
3.8 Contoh (example)
KDBI mencantumkan contoh disertai dengan terjemahan bahasa Indonesia,
seperti dalam Ilustrasi 8 (kata kepala los); - é maring ngendi? Perginya ke arah mana?
Tanda – digunakan dalam contoh KDBI sebagai pengganti unsur kata kepala. KDBI tidak
membedakan pengganti kata kepala yang umumnya berupa kata dasar dengan pengganti
derivasi yang biasanya (dalam kamus moderen lain) dilambangkan dengan lambang tilde
(~). Tentu hal ini patut ditata ulang agar pembelajar mengetahui beda suatu kata dasar
dan kata turunan.
3.9 Komentar dalam rujuk silang
Yong dan Peng (2007:100) menyoroti pentinghnya referensi silang dengan mengatakan
bahwa rujuk silang memiliki fungsi menghemat ruang, menghindari pengulangan yang
tidak perlu, menghindari informasi sama di tempat yang berbeda, dan membimbing
pengguna untuk menemukan informasi mana yang relevan, sehingga meningkatkan daya
jelajah pembaca dan pemanfaatan ruang dan informasi secara maksimal. Komentar
13
sebagai informasi penggunaan suatu kata kepala dapat ditambahkan dalam rujuksilang.
Hal ini dapat kita lihat pada Ilustrasi 5. Kata kepala lirén dirujuk silang kepada kata
kepala lérén dengan dibubuhi komentar. Hal ini dapat membantu pembelajar dialek untuk
memahami bahwa kata lérén merupakan bentuk baku dan liren merupakan bentuk
takbaku. Ilustrasi berikut dapat memperjelas kegunaan komentar dalam rujuk silang.
Varian bunyi dalam satu dialek dan beda dialek, berasal dari satu atau beda etimon tidak
disertai komentar atau penjelasan lanjut, padahal komentar pada rujuk silang ini akan
membantu pembaca dalam memahami sebuah kata kepala yang merupakan varian kata
kepala lain dalam satu dialek. Penyusunan ulang hanya terletak pada penggunaan
lambang → atau► sebagai lambang rujuk silang.
4. Simpulan
4.1. Simpulan
Kerja penyusunan (ulang) kamus dialek merupakan kerja pemertahanan dan
pelestarian dialek yang paling nyata. Hal ini tentu tidak terlepas dari kerja pemertahanan
dialek lain seperti usaha memasukkan pelajaran bahasa Banyumasan dalam kurikulum
sekolah. Penyusunan ulang KDBI mencakupi struktur makro dan mikro yang mencakupi
(1) kata kepala (baik kata dasar dan derivasi sama-sama kata kepala utama), (2) fungsi
sintaktis dan pragmatis (part of speech) yang lengkap, (3) label penggunaan (usage
label), (4) wilayah dialek, (5) transkripsi fonetik (hanya ditampilkan pada varian) (6)
padanan, (7) definisi, (8) contoh, dan (9) komentar dalam rujuk silang dapat memberikan
manfaat yang lebih kepada pembelajar dialek Banyumas.
4.2. Saran
Dengan melihat berbagai peluang penyempurnaan kamus dialek di atas, penulis
menyarankan semua pihak bekerja sama dalam penambahan komponen struktur KDBI.
Kerja sama ini dapat memperbaiki tingkat keterbacaan KDBI dan membantu pembelajar
dialek Banyumas dalam kerangka kerja pemertahanan dan pelestarian dialek Banyumas.
14
DAFTAR PUSTAKA
Atkins, B. T. S. and M. Rundell. 2008. The Oxford Guide to Practical
Lexicography.. New York: Oxford University Press.
Bergenholtz, Henning dkk. 2009. Lexicography at a Crossroads: Dictionaries
and Encyclopedias Today, Lexicographical Tools Today. Bern: Peter Lang
AG, International Academic Publishers.
Hartmann, R.R.K. and G. James. 1998. Dictionary of Lexicography. London/New York:
Routledge.
Jackson, H. 2002. Lexicography: An Introduction. London: Routledge.
Koderi, M. dan Fadjar P. 1996. Kamus Dialek Banyumas-Indonesia. Purwokerto: CV.
Harta Prima..
Landau, S.A. 2001. Dictionaries: The Art and Craft of Lexicography 2nd ed. London:
Cambridge University Press.
Markus, Manfred, 2006. “Joseph Wright’s English Dialect Dictionary (1898-1905)
Computerised: architecture and retrieval routine, Digital Historical Corpora”,
Dagstuhl; University of Innsbruck.
Nothofer, Bernd , 1987. “Cita-cita Penelitian Dialek”. Dalam Dewan Bahasa, Jurnal
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Februari, Jilid 31. Bilangan 2 : 128-149.
Prihantono, Kahar. 2011. “Studi Komparatif Mikrostruktur Kamus Ekabahasa: Merriam-
Webster Online Dictionary dan Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam
Jaringan”. Dalam Jala Bahasa. Vol. 6, No. 2, hlm.: 105—120
Priyadi, Sugeng. 2005. ’Dialek Banyumas Bukan Bahasa Dagelan’ dalam Jurnal
Cablaka. Vol I, Nomor 1, Agustus 2005. Halaman 11-13
Poedjosoedarmo, Supomo. 1982. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Jawa.
Yogyakata: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan daerah.
15
Sekaninová, Ella. 1993. Dvojjazyčná lexikografia v teórii a praxi. Bratislava :
Veda, VydavatelVstvo Slovenskej Akadémie
Uhlenbeck, E. M., 1964). A Critical Survey of Studies on the Languages of Java
and Madura, The Hague: Martinus Nijhoff.
Yong, Heming and Jing Peng. 2007. Bilingual Lexicography from a
Communicative Perspective. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins.
DAFTAR NON PUSTAKA
http://hanacaraka.fateback.com/kamus_bms.htm
Catatan: Beberapa bagian dari makalah ini mengaplikasikan font fonetis. Berikut saya
sertakan salinan jenis font fonetis yang dapat diaplikasikan ulang dalam proses
pencetakan makalah ini.
16