15
JOURNAL READING RADIOLOGIC EVALUATION OF ALTERNATIVE SITES FOR NEEDLE DECOMPRESSION OF TENSION PNEUMOTHORAX Oleh: Nani Maryani 910714043 Dilloniar Bahny Zulfikar 105070100111073 Afiyf Kaysa Waafi 105070100111070 Amanda Lupita Adi 105070104121003 Achmad Jauhar Firdaus 105070104121004 Pembimbing: dr. Islana Gadis Yulidani, SpRad(K)

Radiologic Evaluation of Alternative Sites for Needle Decompression of Tension Pneumothorax

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Alternative sites of needle decompression

Citation preview

JOURNAL READING

RADIOLOGIC EVALUATION OF ALTERNATIVE SITES FOR NEEDLE DECOMPRESSION OF TENSION PNEUMOTHORAX

Oleh:Nani Maryani910714043Dilloniar Bahny Zulfikar105070100111073Afiyf Kaysa Waafi105070100111070Amanda Lupita Adi105070104121003Achmad Jauhar Firdaus105070104121004

Pembimbing:dr. Islana Gadis Yulidani, SpRad(K)

LABORATORIUM / SMF RADIOLOGIFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANGRSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG2015Evaluasi Radiologis dari Lokasi Alternatif Dekompresi Jarum pada Tension PneumothoraxKenji Inaba, MD; Crystal Ives, BSc; Kelsey McClure, BA; Bernardino C. Branco, MD; Marc Eckstein, MD, MPH; David Shatz, MD; Matthew J. Martin, MD; Sravanthi Reddy, MD; Demetrios Demetriades, MD, PhD

Tujuan: Untuk membandingkan ketebalan yang harus ditembus pada tindakan dekompresi jarum di mid-clavicular line (MCL) ICS ke-2 dibandingan dengan anterior axillary line (AAL) ICS ke-5.Desain: Pasien dipisahkan menjadi empat menurut BMI, dengan BMI dihitung dengan berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter dikuadratkan. Dari setiap golongan BMI, 30 pasien dipilih secara acak sebagai sampel (n=120). Ketebalan dinding dada dalam CT-scan di MCL ICS ke-2 dibandingkan dengan AAL ICS ke-5 pada kedua sisi kiri dan kanan di seluruh kategori BMI.Setting: Trauma center level IPasien: Pasien cedera berusia 16 tahun ke atas, di evaluasi sejak 1 Januari 2009 hingga 1 Januari 2010, menjalani CT-Scan dadaHasil: Total 680 pasien memenuhi kriteria inklusi penelitian (81,5% adalah pria, dengan usia rata-rata 41 tahun {range 16-97 tahun]). Dari jenis cedera, 13,2% adalah trauma tajam / tembus, dengan rata-rata Injury Severity Score (ISS) 15,5 (10,3), dan rata-rata BMI 27,9 (5,9) (range 15,4-60,7). Rata-rata perbedaan ketebalan dinding dada antara MCL ICS ke-2 dan AAL ICS ke-5 adalah 12,9 mm (95% CI, 11.0-14.8; P .001) di sisi kanan dan 13,4 mm (95% CI, 11.4-15.3; P .001) di sisi kiri. Terdapat peningkatan bertingkat dari ketebalan dinding dada pada setiap BMI dalam setiap lokasi pengukuran. Terdapat perbedaan ketebalan dinding dada yang signifikan antara MCL ICS ke-2 dan AAL ICS ke-5 di setiap BMI di sisi kanan maupun kiri. Persentase pasien dengan ketebalan dinding dada lebih besar dari jarum dekompresi standar 5cm adalah 42,5% di MCL ICS ke-2 dan hanya 16,7% di AAL ICS ke-5.Kesimpulan: Dalam analisis ketebalan dinding dada berbasis CT ini, dekompresi jarum diperkirakan akan gagal pada 42,5% kasus di MCL ICS ke-2, dibandingkan 16,7% pada AAL ICS ke-5. Ketebalan dinding dada di AAL ICS ke-5 adalah 1,3cm lebih tipis dalam rata-rata dan merupakan lokasi yang dianjurkan untuk dilakukan dekompresi jarum

Arch Surg. 2012;147(9):813-818. Published online May 21, 2012. doi:10.1001/archsurg.2012.751

Tension Pneumothorax adalah kondisi yang berpotensi mengancam jiwa dan memerlukan dekompresi segera. Karena adanya kendala waktu untuk pemasangan chest tube, maka diperlukan tindakan awal yang salah satunya adalah dekompresi perkutan dengan menggunakan jarum dan kateter. Dekompresi jarum, seperti dijelaskan di dalam Advanced Trauma Life Support (ATLS) oleh American College of Surgeons Committee on Trauma edisi ke-8, merekomendasikan dekompresi jarum dilakukan menggunakan kateter 5cm yang dimasukkan ke midclavicular line (MCL) intercostal space (ICS) 2. Namun, belum ada indikasi klinis yang valid untuk penentuan lokasi jarum itu sendiri. Sehingga kejadian yang dilaporkan untuk tindakan dekompresi jarum sangat bervariasi, mulai 0,2% hingga 1,7%, dengan pasien mayoritas warga perkotaan dengan trauma tajam. Dengan kurangnya konsensus mengenai indikasi dilakukannya dekompresi jarum dan ketidakmampuan untuk menegakkan diagnosis pasti dari tension pneumothorax sebelum dekompresi disamping pentingnya prosedur ini, maka tidak mengejutkan apabila tingkat keberhasilan dari prosedur ini belum diketahui. Sementara tingkat keberhasilannya masih belum dipahami, prosedur ini disebutkan beberapa kali menemui kegagalan.Dalam penelitian terbaru yang diterbitkan oleh Ball dan kolega tentang pasien dengan trauma tumpul yang menjalani prosedur dekompresi jarum sebelum mencapai rumah sakit, dengan tingkat keberhasilan diperiksa untuk paramedis penerbangan dan paramedis EMS dengan kateter berbagai ukuran. Jika besarnya residu pneumothorax yang diukur saat tiba di rumah sakit dengan USG maupun CT-Scan digunakan sebagai indikator kegagalan, maka 4% sampai 65% pasien menjalani prosedur dekompresi jarum yang gagal. Dalam analisis mereka, tingkat kegagalan bahkan meningkat menjadi 32% sampai 81% apabila pasien yang masih memiliki residu pneumothorax dikatakan gagal. Namun tingkat keberhasilan juga dipengaruhi oleh panjang kateter, dengan kateter dengan panjang 3,2cm lebih tinggi tingkat kegagalannya dibandingkan dengan kateter 4,5cm. Ketebalan dinding dada pada ICS kedua dan kaitannya dengan panjang kateter juga telah diteliti dalam beberapa penelitian berbasis CT-Scan. Dalam salah satu penelitian, kateter yang digunakan tidak dapat untuk melewati dinding dada secara optimal pada separuh dari pasien yang dianalisa. Diasumsikan bahwa kateter ditempatkan secara sempurna melewati dinding dada, dan menembus langsung ke rongga pleura. Dalam kenyataannya, tingkat keberhasilan sepertinya akan lebih rendah karena penempatan kateter yang tegak lurus sempurna jarang terjadi. Dalam penelitian lain, Zengerink et al menemukan bahwa pasien wanita memiliki tingkat kegagalan yang lebih tinggi dalam dekompresi jarum oleh karena peningkatan ketebalan dinding dada, dibandingkan dengan pria.Sementara program Advanced Trauma Life Support (ATLS) merekomendasikan dekompresi jarum di MCL ICS ke-2, pemasangan chest-tube direkomendasikan dilakukan di anterior hingga mid axillary line. ICS ke-5. Posisi yang disebut terakhir lebih mudah dicapai pada pasien terlentang, dan jika tindakan dekompresi jarum ini dilakukan di posisi yang sama, tidak akan mengganggu proses transport pasien pada EMS. Sebagai tambahan, pengalaman sangat dibutuhkan dalam pemasangan wire-guided thoracostomy tube menggunakan teknik Seldinger, prosedur yang diawali dengan pemasangan kateter dekompresi jarum. Hal ini menjadi dasar lokasi anterior axillary line (AAL) ICS ke-5 sebagai lokasi alternatif dekompresi jarum dibandingkan lokasi umumnya di MCL ICS ke-2. Hipotesis ini baru-baru ini diuji pada penelitian berbasis kadaver, setelah evaluasi pada 20 kadaver, dekompresi jarum sukses dilakukan 100% di ICS ke-5, namun hanya 58% pada ICS ke-2.Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan kegunaan dekompresi jarum di kedua posisi ini: MCL ICS ke-2 dan AAL ICS ke-5. Disini kami juga akan mencari pengaruh dari peningkatan BMI (dihitung dari berat dalam kilogram dibagi dengan tinggi dalam meter dikuadratkan). Hipotesis kami adalah ketebalan dinding dada meningkat pada ICS ke-2 dibandingkan pada ICS ke-5 dan perbedaan ini semakin meningkat seiring meningkatnya BMI pasien.

METODESemua pasien trauma, berusia 16 tahun atau lebih yang masuk rumah sakit Los Angeles County University of Southern California sejak tanggal 1 Januari 2009 hingga tanggal 1 Januari 2010 diidentifikasi secara retrospektif. Mereka yang pernah dilakukan CT scan thorax memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam analisis dan untuk dilakukan penilaian efek dari BMI terhadap ketebalan dinding dada, dipisahkan menjadi BMI kuartil. Dari masing-masing BMI kuartil, 30 pasien yang dipilih secara acak untuk dimasukkan dalam studi berdasarkan hasil analisis. Pemeriksaan CT Scan thorax pada pasien trauma dilakukan menggunakan satu alat yang sama yaitu 64-detektor CT scanner (Aquilion CFX, Toshiba), dengan kriteria alat sebagai berikut: 120 kilovolt (puncak), 200 ke 500mA detik (menggunakan modulasi dosis tergantung pada ukuran pasien), gantry revolution speed dari 0,5-1,0 detik, beam pitch 0,5 - 0,828, beam collimation 64x 1.0 mm, variable field of view (tergantung pada ukuran pasien), dan standard body kernel. Melalui jalur yang sesuai untuk injeksi kontras (jarum 14 sampai 20 pada vena perifer di fossa antecubital atau kateter vena sentral yang telah disetujui oleh produsen untuk injeksi), 75 sampai 100 mL bahan kontras intravena iodinasi (Omnipaque 350 ; GE Healthcare) disuntikkan pada kecepatan 3 mL / s diikuti oleh saline 40 mL menggunakan injektor (MEDRAD). Jarak antara injeksi kontras dan ct scan adalah 35 sampai 40 detik. Rekonstruksi ketebalan pada potongan aksial, koronal, sagittal adalah 3 mm dan secara rutin dilakukan. Variabel pasien diambil dari sistem elektronik rekam medis (Sunrise Critical Care versi 1.4, Eclipsys, Incnow Allscripts, Inc]) termasuk usia, jenis kelamin, Injury Severity Score (ISS), mekanisme cedera, tinggi, dan berat badan. Selain itu, ketebalan dinding dada, yang didefinisikan sebagai jarak antara kulit dan rongga pleura tegak lurus terhadap dinding dada, diukur untuk setiap pasien di 4 lokasi yang berbeda: ICS kedua di MCL kanan kiri dan ICS kelima di AAL kanan , kiri. Pengukuran diperoleh dengan menggunakan software image-viewing fungsi caliper (Synapse versi 3.1.1, Fujifilm Medical Systems) pada workstation standar. Teknik yang digunakan untuk mengukur jarak yang diinginkan telah dibuat standar. Untuk ICS kedua di MCL, menggunakan scout dan gambar koronal, panjang setiap klavikula diukur atau diperkirakan apabila tidak seluruhnya terlihat. Menggunakan potongan sagital, tulang rusuk kedua dan ketiga dan ICS kedua diidentifikasi pada potongan transversal dengan menggunakan linking function. Tanda dibuat di persimpangan antara MCL dan ICS kedua, pada potongan transversal. Pada tanda ini, ketebalan dinding dada kemudian diukur dalam garis lurus dan tegak lurus terhadap kulit (Gambar 1). Untuk ICS kelima di AAL, sekali lagi menggunakan potongan sagital, tulang rusuk kelima dan keenam dan ICS kelima diidentifikasi. ICS kelima kemudian diidentifikasi pada potongan transversal dengan menggunakan linking function, dan bagian anterior dari ICS kelima diikuti ke potongan kedua di mana tulang rusuk kelima tetap terlihat. AAL didefinisikan sebagai bagian paling posterior dari tulang rusuk kelima terlihat pada potongan kedua. Ketebalan dinding dada diukur dalam garis lurus dan tegak lurus terhadap kulit di AAL pada potongan transversal (Gambar 2).

ANALISIS STATISTIKAnalisis dilakukan dengan menggunakan 20 CT scan dada berturut-turut dibaca dua kali secara acak oleh pembaca independen (KM) yang buta untuk pembacaan sebelumnya. Ketika kita menggunakan variabilitas antar pembaca sebagai standard error, perbedaan ketebalan dinding dada yang diamati adalah 1 cm dari pengukuran cadaver, dan a-value 0,20, ukuran sampel yang dibutuhkan untuk mencapai signifikansi statistik pada 5 % adalah 30 pasien per kelompok. Normalitas data dievaluasi menggunakan histogram plot, kurtosis, dan skewness, Nilai P untuk normalitas diperoleh dengan menggunakan 1-sampel uji Kolmogorov Smirnov. Mean, standar deviasi, range, dan persentase digunakan untuk menggambarkan variabel. Two tailed paired t tes atau Wilcoxon signed rank test digunakan untuk membandingkan means. Analisis dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komersial (SPSS untuk Windows, versi 12.0; SPSS, Inc).

HASILSelama studi 1 tahun, total 5.124 pasien trauma berusia 16 tahun atau lebih dirawat di LAC+ USC Medical Center. Dari mereka, 680 pasien (13,3%) menjalani CT dada. Jumlah populasi pasien adalah 81,5% laki-laki (n = 554), usia rata-rata adalah 41 tahun (kisaran, 16-97 tahun), dan 13,2% mengalami trauma tembus (N = 90). Nilai rata-rata (SD) ISS adalah 15,5 (10,3) dan rata-rata BMI adalah 27,9 (5,9) (kisaran, 15,4-60,7). Kuartil 1 memiliki rata-rata BMI 21,4 (1,7) (kisaran, 15,4-23,7), kuartil 2 memiliki rata-rata 25,7 (1,1) (kisaran, 23,8-27,4), kuartil 3 memiliki rata-rata 29,1 (0.94) (kisaran, 27,5-30,8), dan kuartil 4 memiliki rata-rata 35,5 (5,3) (kisaran, 30,9-60,7). Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik antara jumlah populasi dan subkelompok dipilih secara acak untuk dimasukkan dalam penelitian (n = 120): subkelompok adalah 82,5% laki-laki, usia rata-rata adalah 39,2 tahun (rentang, 16-88 tahun), 13,3% mengalami trauma tembus, rata-rata ISS adalah 15,4 (9,8), dan rata-rata BMI adalah 27,6 (6,7).

Rata-rata ketebalan dinding dada pada ICS kedua kanan di MCL adalah 46,0 (13,9) mm. Ketebalan rata-rata dinding dada di posisi yang sama di sebelah kiri adalah 45,1 (14.7) mm. Perbedaan rata-rata antara pengukuran adalah 0.8mm (95% CI, -0,7 sampai 2,4; P = 0,13). Ketebalan dinding dada di ICS kelima kanan di AAL rata-rata adalah 32,9 (17.1) mm. Ketebalan dinding dada pada posisi yang sama di sebelah kiri rata-rata adalah 31,6 (14,7) mm. Rata-rata perbedaan antara pengukuran adalah 1,3 mm (95% CI, -0,1 sampai 2,7; P = 0,04). Perbedaan ketebalan dinding dada antara ICS kedua di MCL dan ICS kelima di AAL signifikan pada kedua kanan dan kiri; perbedaan rata-rata adalah 12,9 mm (95% CI, 11.0-14,8; P< .001) pada sebelah kanan dan 13.4 mm (95% CI, 11.4-15.3; P< .001) pada sebelah kiri. Setelah pasien dipisahkan kedalam BMI kuartil, ketebalan dinding dada meningkat bertahap di kuartil di setiap lokasi pengukuran (Tabel 1). Perbedaan ketebalan dinding dada antara ICS kedua di MCL dan ICS kelima di AAL tetap signifikan di semua kuartil pada kanan dan kiri (Tabel 2). Perbedaan ketebalan dinding dada antara kanan dan kiri pada ICS kelima di AAL signifikan hanya di BMI kuartil tertinggi.

Persentase pasien dengan ketebalan dinding dada lebih besar dari 5 cm adalah 42,5% di ICS kedua MCL dan 16,7% pada ICS kelima di AAL (Gambar 3). Perbedaan ini paling menonjol di BMI kuartil yang lebih tinggi. Perbedaan proporsi pasien dengan ketebalan dinding dada lebih besar dari 5 cm pada 2 lokasi tidak jelas pada pasien wanita namun tetap signifikan secara statistik (41,0% vs 36,4%; P = 0,003).

DISKUSIMenurut kondisi di lapangan, jarum thoracostomy diposisikan di MCL ICS ke-2, hal ini juga menjadi rekomendasi standart dari program ATLS untuk dekompresi jarum. Sebuah review yang telah di publikasikan menggambarkan prosedur ini menunjukkan bahwa indikasinya benar, namun teknik penempatan dan tingkat keberhasilan masih kurang dipahami. Ball dan kolega menemukan rasio yang tinggi dari residu pneumothorax pada saat pasien tiba di rumah sakit. Pada penelitian Ball dan kolega ini mengemukakan bahwa angka kegagalan dekompresi pneumothoraks pada ICS II ternyata tidak rendah. Hal ini ditandai dengan ditemukannya residual pneumothoraks saat di pasien berada instalasi gawat darurat. Pada serangkaian pengamatan pada pasien dengan trauma tumpul, tercatat angka kegagalan dekompresi jarum sebesar 4% - 65%. Sebenarnya proses dekompresi melalui kateter kemungkinan efektif dan mungkin tidak menjadi alasan utama untuk kegagalan. Holcomb dan kolega menggunakan kateter 14-gauge dalam model tension hemopneumothorax pada babi yang dibuat dengan menanamkan darah ke dalam rongga pleura diikuti dengan jarum insuflasi, dengan kelangsungan hidup 100%, sama dengan kelompok kontrol. Dalam praktek klinis, bagaimanapun, ketebalan dinding dada serta panjang kateter kemungkinan menentukan keberhasilan. Dalam penelitian kami, ada perbedaan namun tidak signifikan secara klinis antara dinding dada kanan dan dada kiri. ICS ke-2 memiliki jarak secara signifikan lebih tebal, dengan perbedaan rata-rata 12,9 mm di sebelah kanan dan 13,4 mm di kiri. Secara garis lurus dalam rongga pleura, 42,5% dari kateter tidak akan masuk dada di ICS ke-2 dibandingkan dengan 16,7% di ICS ke-5.Dampak BMI juga jelas, pada kedua sisi kanan dan kiri di setiap kuartil BMI, dimana jarak jarum harus masuk menembus rongga pleura secara signifikan, lebih pendek pada ICS ke-5 dibandingkan dengan ICS ke-2. Ketika kita menggunakan rata-rata ketebalan dinding dada, pasien dalam BMI kuartil kedua akan memiliki kemungkinan tinggi dari dekompresi gagal dengan penempatan jarum asentrik jika upaya yang dilakukan di ICS ke-2. Untuk kuartil ketiga dan keempat, bahkan dengan penempatan tegak lurus sempurna, dekompresi jarum akan gagal. Untuk ICS ke-5, rata-rata jarum thoracostomy dekompresi akan mencapai cavum pleura di kuartil BMI ketiga, dengan rata-rata ketebalan dinding dada yang tersisa kurang dari 3,5 cm. Untuk pasien di kuartil keempat, jarum dekompresi akan gagal baik di ICS ke-2 maupun ke-5.Dalam model sebelumnya. dari lembaga kami, Dipilih 20 kadaver dewasa secara acak yang tidak diawetkan, dan dievaluasi. Secara keseluruhan, 100% (40 dari 40) jarum tempat di ICS ke-5 memasuki dinding dada dan dievaluasi di kedua lokasi, ketebalan dinding dada di ICS ke-5 lebih tipis (p