Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman Volume 5, Nomor 2, Desember 2019; P-ISSN 2443-2741; E-ISSN 2579-5503
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI DAN
FATWA MUI TENTANG KEDUDUKAN ANAK
ZINA (ANALISIS KOMPARATIF)
M. Halilurrahman dan Abdul Wahid
STAI Hasan Jufri Bawean
Email: [email protected];
Abstract: All decisions made by the Constitutional Court are final, binding and not have a remedy for the review. On February 17, 2012, the Constitutional Court issued a ruling number: 46/PUU-VIII/2010 about the position of children outside the marriage. This ruling invites controversy among the community. And a very interesting of this ruling is the reaction of the Indonesia Ulama Council issued a fatwa number: 11/CONGRESS VIII/MUI/3/2012 about the position of children of adultery and the treatment of him. This Fatwa is a reaction to the rejection of The the Indonesia Ulama Council against the verdict of the Constitutional Court in reviewing appropriate Islamic jurisprudence. Keywords : Comparative, Child Out Of Wedlock, Child Results Fornication. Abstrak: Semua putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi bersifat final, mengikat serta tidak memiliki upaya hukum untuk ditinjau kembali. Pada tanggal 17 Februari 2012 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor: 46/PUU-VIII/2010 tentang kedudukan anak di luar perkawinan. Putusan ini mengundang kontroversi di kalangan masyarakat. Dan yang sangat menarik dari adanya putusan ini adalah reaksi dari Majelis Ulama Indonesia yang mengeluarkan fatwa nomor: 11/MUNAS VIII/MUI/3/2012 tentang kedudukan anak zina dan perlakuan terhadapnya. Fatwa ini merupakan reaksi penolakan dari Majelis Ulama Indonesia terhadap putusan Mahkamah Konstitusi ini dengan melakukan kajian sesuai Syariat Islam. Kata Kunci: Perbandingan, Anak Di Luar Nikah
Pendahuluan
Pada 17 Februari 2012 Mahkamah Konstitusi telah menetapkan
keputusan yang cukup mengejutkan banyak kalangan, yaitu dikeluarkannya
Putusan nomor: 46/PUU-VIII/2010 tentang kedudukan hukum bagi anak di
luar perkawinan. Di satu sisi putusan ini melegakan sebagian Masyarakat
terutama pihak yang diterima permohonannya oleh majelis hakim Mahkamah
M. Halilurrahman dan Abdul Wahid
156 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
Konstitusi yang berperkara, akan tetapi di sisi yang lain putusan ini kemudian
menimbulkan permasalahan baru yang bisa meresahkan banyak pihak.
Permasalahan itu mengenai kedudukan anak di luar perkawinan dengan ayah
biologis dan keluarganya, serta kedudukannya terhadap pewarisan.
Adanya putusan ini memastikan bahwa anak yang lahir di luar
perkawinan mempunyai hak keperdataan dengan ayah biologisnya. Ini yang
kemudian menjadi titik terang akan status anak tersebut. Hal ini didasarkan
bahwa hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil
terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya,
termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya
masih dipersengketakan.
Dalam kaitannya dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor:
46/PUU-VIII/2010, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan lembaga
keagamaan yang pertama kali yang merespons dan menyatakan dengan tegas
menolak putusan Mahkamah Konstitusi ini karena dianggap telah menyimpang
dari ajaran agama Islam. Dalam merespons putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, MUI telah melakukan kajian sesuai Syariat Islam dan hasil kajian
tersebut kemudian dikeluarkannya fatwa nomor:
11/MUNASVIII/MUI/3/2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan
Perlakukan Terhadapnya.
Fatwa tersebut menepis berbagai syubhat (kerancuan) di tengah umat
Islam dan menyatakan dengan tegas kedudukan anak hasil zina dalam Islam,
sehingga umat Islam tidak perlu lagi merasa ragu berpegang terhadap aturan
syari'at Islam yang telah ditetapkan oleh Allah dan bukan aturan yang lain yang
dibuat manusia. Majelis Ulama Indonesia menyatakan tidak akan mencabut
fatwa tentang kedudukan anak hasil perzinaan dan kedudukan mereka dalam
hukum Islam. Majelis Ulama Indonesia, tetap berpendirian anak di luar nikah
tidak dapat memiliki hubungan perdata dengan ayah kandungnya. Syariat Islam
mengatakan bahwa anak hasil zina hanya memiliki hubungan dengan ibunya.
Pandangan Majelis Ulama Indonesia itu tidak akan berubah kecuali
Mahkamah Konstitusi dapat memberikan bukti lain berdasarkan hukum
Syariat Islam. Berbeda dengan fatwa itu, putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 46/PUU-VII/I2010 menyebutkan, anak lahir luar nikah memiliki
hubungan perdata dengan lelaki yang dapat dibuktikan dengan ilmu
pengetahuan sebagai ayah biologisnya. Majelis Ulama Indonesia memandang,
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki konsekuensi yang sangat luas,
termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak
hasil zina dan lelaki yang menyebabkan kelahirannya, di mana hal demikian
Putusan Mahkamah Konstitusi RI dan Fatwa MUI Tentang Kedudukan Anak Zina
(Analisis Komparatif)
Volume 5, Nomor 2, Desember 2019| 157
tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. Majelis Ulama Indonesia menilai putusan
itu tidak sesuai syariat Islam karena didasarkan pertimbangan pemikiran
manusia tanpa mempertimbangkan hukum agama.
Berkenaan dengan permasalahan di atas, terdapat perbedaan pandangan
antara putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI)Nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012
tentang kedudukan anak di luar perkawinan. Di satu sisi Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia telah mengeluarkan putusan
yang intinya menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya. Putusan Mahkamah Konstitusi ini bersifat
final dan telah berkekuatan hukum tetap. Di sisi yang lain Majelis Ulama
Indonesia sebagai lembaga keagamaan yang mempunyai kompetensi dalam
menyelesaikan permasalahan umat Islam dan juga mempunyai tugas
memberikan kontrol terhadap setiap permasalahan agama yang menyimpang
dari ajaran Islam telah mengeluarkan fatwa yang intinya menolak putusan
Mahkamah Konstitusi dan menyatakan bahwa anak di luar nikah tidak dapat
memiliki hubungan perdata dengan ayah kandungnya akan tetapi anak hasil
zina hanya memiliki hubungan dengan ibunya.
Dari uraian singkat di atas, bahwa antara putusan Mahkamah
Konstitusi nomor: 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa MUI
nomor:11/MUNASVIII/MUI/3/2012 tentang kedudukan anak di luar
perkawinan keduanya terjadi perbedaan.
Pembentukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi (MK)
Pembentukan Mahkamah Konstitusi menandai era baru dalam sistem
kekuasaan kehakiman di Indonesia. Beberapa wilayah yang tadinya tidak
tersentuh oleh hukum seperti masalah Judicial Review terhadap Undang-Undang
sekarang dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, termasuk juga
kewenangan-kewenangan yang lainnya yang diatur dalam UUD 1945 pasca
amandemen. Di samping itu keberadaan Mahkamah Konstitusi juga harus
dilengkapi dengan susunan organisasi yang jelas, hukum acara yang memadai,
asas-asas hukum dan sumber hukum yang dijadikan acuan Mahkamah
Konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenang yudisialnya. Munculnya
Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman diharapkan
M. Halilurrahman dan Abdul Wahid
158 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
menjadi Entery Point yang mendorong terwujudnya sistem kekuasaan
kehakiman yang modern di Indonesia1.
Ide Pembentukan Mahkamah Konstitusi pada era reformasi mulai
dikemukakan pada masa sidang kedua panitia Ad Hoc I badan pekerja MPR RI
(PAH 1 BP MPR), yaitu setelah seluruh anggota badan pekerja MPR RI
melakukan studi banding di 21 (dua puluh satu) negara mengenai konstitusi
pada bulan Maret-April tahun 2000. Ide ini belum muncul pada saat
perubahan pertama UUD 1945, bahkan belum ada satupun fraksi di Majelis
permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mengajukan usul itu. Nampaknya
anggota MPR sangat terpengaruh atas temuannya dalam studi banding
tersebut. Walaupun demikian, pada sidang tahunan MPR bulan Agustus 2000,
rancangan Rumusan mengenai Mahkamah Konstitusi masih berupa alternatif
dan belum final.2
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan
diadopsinya ide Mahkamah Konstitusi (Constitutitional Court) dalam
amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (
MPR) pada 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pasal 24 ayat (2),
pasal 24C, dan pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan ketiga
yang disahkan pada 9 November 2001. Ide pembentukan MK merupakan
salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang
muncul di abad ke-20.3
Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan Indonesia, maka salah satu
substansi penting perubahan Undang-Undang dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang
ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya
pemerintahan Negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap
pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh
tafsir ganda terhadap konstitusi.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam pasal
24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1 Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi (Yogyakarta: UII Press, 2009), 2. 2 Ibid. 3 Lihat di situs http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/profilemk.php?mk=2.
Putusan Mahkamah Konstitusi RI dan Fatwa MUI Tentang Kedudukan Anak Zina
(Analisis Komparatif)
Volume 5, Nomor 2, Desember 2019| 159
Tahun 1945.Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Konstitusi berdasarkan pasal 24C ayat (1) dan Pasal 10 ayat
1 UU MK, mempunyai empat wewenang. Adapun kewenangannya adalah :
a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
c. Memutus pembubaran partai politik.
d. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
Sedangkan dalam pasal 24C ayat (2) dan pasal 10 ayat (2) UU MK
memuat tentang kewajiban Mahkamah Konstitusi yaitu memberikan putusan
atas pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.4
Dalam perkembangannya kewenangan Mahkamah Konstitusi sekarang
bertambah satu lagi yaitu memutus sengketa PILKADA, yang sebelumnya
menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Peralihan kewenangan dari
Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi didasarkan pada ketentuan
pasal 236 C Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua
atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
a. Pembentukan dan Wewenang Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal 17 Rajab 1395 H
bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M di Jakarta sebagai hasil
Musyawarah Nasional I Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada
tanggal 12 s/d 18 Rajab 1395/21 s/d 27 Juli 1975 M di Balai Sidang Jakarta.
Musyawarah Ini diselenggarakan oleh sebuah panitia yang diangkat oleh
Menteri Agama dengan surat keputusan No. 28 tanggal 1 Juli 1975, yang
diketuai oleh Letjen. Purn. H. Soedirman dan Tim Penasehat yang terdiri
dari Prof. Dr. Hamka, K.H. M. Syukri Ghazali.5
4 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 15. 5 Mukhsin Jamil, Membendung Despotisme Wacana Agama (Semarang: Walisong Press, 2010), 139.
M. Halilurrahman dan Abdul Wahid
160 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
Pembentukan MUI itu sendiri pada awalnya kurang mendapatkan
respons dari kaum muslimin. Hal ini disebabkan berdirinya MUI
merupakan salah satu strategi politik sistematik yang di lakukan oleh
Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya. Pada awalnya gagasan untuk
mendirikan MUI ini muncul pertama kali pada tahun 1970, tepat satu tahun
sebelum pemilihan umum. Tendensinya jelas agar dengan berdirinya MUI
ini pemerintahan Soeharto mendapat dukungan dari mayoritas kaum
muslimin.6
Tanda berdirinya Majelis Ulama Indonesia dalam bentuk piagam
berdirinya Majelis Ulama Indonesia yang ditandatangani oleh 53 orang
nama yang terdiri dari 26 orang ketua-ketua Majelis Ulama Indonesia daerah
tingkat I seluruh Indonesia, 110 orang nama unsur Organisasi Islam tingkat
pusat yaitu NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, PERTI, Al-Washliyah,
Mathla’ul Anwar, GUPPI, PTDI, Dewan Masjid Indonesia dan Al-
Ittihadiyah; 4 orang nama dari Dinas Rohaniah Islam AD, AU, AL dan
POLRI, serta 13 orang nama undangan perorangan.
b. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Keberadaan Majelis Ulama Indonesia selalu identik dengan fatwa.
MUI merupakan wadah musyawarah ulama, zu’ama, dan cendekiawan
muslim. Majelis ini bertujuan mengamalkan ajaran Islam untuk ikut serta
mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil, makmur, serta rohaniah
dan jasmaniahnya diridhoi Allah SWT. Dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sejalan dengan hal tersebut,
sudah sewajarnya bila MUI, sesuai dengan amanat Musyawarah Nasional VI
tahun 2000,senantiasa berupaya untuk meningkatkan kualitas peran dan
kinerjanya, terutama dalam memberikan solusi dan jawaban keagamaan
terhadap setiap permasalahan yang dapat memenuhi harapan masyarakat
yang semakin kritis dan tinggi kesadaran keberagamaannya.7
Adapun mekanisme penyusunan dan pengeluaran fatwa-fatwa MUI
dilakukan oleh suatu komisi yang ada di dalam MUI yaitu Komisi Fatwa.
Komisi Fatwa merupakan salah satu komisi Majelis Ulama Indonesia yang
membidangi masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum Islam yang ada
di tengah masyarakat yang memerlukan jawaban. Komisi fatwa MUI
merupakan lembaga independen yang terdiri dari para ahli ilmu dan
6 Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 208. 7 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 (Jakarta: Erlangga, 2011), 4.
Putusan Mahkamah Konstitusi RI dan Fatwa MUI Tentang Kedudukan Anak Zina
(Analisis Komparatif)
Volume 5, Nomor 2, Desember 2019| 161
merupakan kelompok yang berkompeten dan memiliki otoritas yang
memadai untuk memberikan keputusan-keputusan ilmiah. MUI dengan
seluruh anggota komisi fatwanya selalu berpegang kepada Al-Qur’an dan al-
Sunnah dengan memperhatikan pendapat para ulama terdahulu dan juga
menggunakan kaidah ushuliyah/fiqhiyyah.
Kedudukan Anak di Luar Kawin di Tinjau Dari Hukum Islam
Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti
yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui
hubungan nasab antara anak dan ayahnya. Seorang anak dapat dikatakan sah
memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang
sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat
disebut dengan anak yang sah biasanya disebut dengan anak yang zina atau
anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab
dengan ibunya.8
Anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan yang tidak sah, di
mana waktu berhubungan badan antara perempuan dan laki-laki tersebut
belum terikat sebagai suami-istri, dan para ulama sepakat bahwa anak tersebut
tidak dapat dinasabkan kepada bapaknya, jika anak itu dilahirkan kurang dari 6
bulan setelah akad nikah. Dalam perihal zina dalam Islam tidak membedakan
siapa yang melakukan, masih jejaka, gadis, janda, duda atau sudah menikah
dengan laki-laki atau perempuan lain.9
Dalam hukum Islam dikenal istilah anak zina, yakni anak yang
dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau dilahirkan dalam perkawinan yang
sah tetapi disangkal oleh bapaknya sebagai anaknya melalui li’ân. Anak zina
dalam Islam hanya memiliki hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya sebagai
hubungan yang tidak bisa disangkal bersifat alamiah. Di dalam Islam yang
dihubungkan nasabnya kepada ayah hanyalah anak yang dilahirkan sebagai
akibat dari perkawinan yang sah.10Mengenai status anak luar nikah (anak zina),
para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan
ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik
8 Amiur Nuruddin, MA dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 276 9 Fathur Rahman, Ilmu Waris (Bandung, Al-Ma’arif, 1971), 220. 10 Rio Satria, Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] dalam https://www.slideshare.net/moliiceman/tinjauan-keberadaan-anak-luar-kawin
M. Halilurrahman dan Abdul Wahid
162 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
materiil maupun spiritual adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pula
dengan hak waris-mewaris.11
Anak di luar nikah dibagi menjadi 2 kategori12:
1) Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan
dalam pernikahan yang sah.
Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, anak yang lahir setelah enam
bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada
bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu
dinasabkan kepada ibunya. Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam
Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada
bapaknya sebagai anak yang sah. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena
terjadinya perbedaan ulama dalam mengartikan lafadz firasy. Mayoritas
ulama mengartikan lafadz firasy menunjukkan kepada perempuan, yang
diambilkan ibarat dari tingkah iftirasy (duduk berlutut).Namun ada juga
ulama yang mengartikan kepada laki-laki (bapak).
2) Anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah
Status anak di luar nikah dalam kategori yang kedua, disamakan
statusnya dengan anak zina dan anak li’an, oleh karena itu maka mempunyai
akibat hukum sebagai berikut: (a). tidak ada hubungan nasab dengan
bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya.
Bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, namun secara
biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara
manusiawi, bukan secara hukum. (b). tidak ada saling mewaris dengan
bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab
kewarisan. (c). bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak di luar nikah.
Apabila anak di luar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah
dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak
biologisnya.
Metode Penelitian
Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini adalah yuridis normatif, maka dalam membandingkan antara
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012 tentang
kedudukan anak di luar perkawinan, penulis menggunakan dua pendekatan
11 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz V ( Beirut : Dar al- Fikr, t.th), 357. 12 Jumni Nelli, Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional,11-12 dalam www.scribd.com/ doc/20974171/145-JUmni-Nelli
Putusan Mahkamah Konstitusi RI dan Fatwa MUI Tentang Kedudukan Anak Zina
(Analisis Komparatif)
Volume 5, Nomor 2, Desember 2019| 163
yang dilakukan yaitu Conceptual approach (pendekatan konseptual) dan
Comparative approach (pendekatan perbandingan).
Pendekatan konseptual digunakan untuk memahami konsep-konsep
tentang Mahkamah Konstitusi baik mengenai sejarah, wewenang, serta dasar-
dasar hukum dalam memutuskan perkara kemudian tentang Majelis Ulama
Indonesia baik mengenai sejarah, wewenang serta dasar-dasar hukum dalam
menetapkan fatwa serta konsep tentang kedudukan anak di luar perkawinan
menurut hukum positif dan hukum Islam. Sedangkan pendekatan
perbandingan digunakan untuk membandingkan antara Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor: 11/MUNASVIII/MUI/3/2012 dengan membandingkan dasar-dasar
hukum yang digunakan kedua putusan di atas serta menganalisis apa yang sama
dan apa yang berbeda dalam kedua putusan di atas.
Dasar-Dasar Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor:
46/PUU-VIII/2010 Dasar-Dasar Hukum Fatwa MUI Nomor: 11/
MUNASVIII/ MUI/3/ 2012
Dalam memutuskan perkara nomor: 46/PUU-VIII/2010 tentang
kedudukan anak di luar perkawinan Mahkamah Konstitusi Berpedoman pada
sumber-sumber hukum, mekanisme serta tata cara di atas, hal ini dilakukan
agar setiap putusan yang di keluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dapat di
ketahui dengan jelas sumber-sumber hukum apa saja yang menjadi pijakan bagi
para hakim konstitusi untuk memutuskan perkara tersebut, di samping itu pula
agar putusan yang di keluarkan dapat memberikan kepastian hukum dan
keadilan kepada pihak yang berperkara.
Dalam memutuskan perkara nomor: 46/PUU-VIII/2010 tentang
kedudukan anak di luar perkawinan, dapat diketahui dari isi putusannya bahwa
majelis hakim Mahkamah Konstitusi berlandaskan pada dasar-dasar hukum di
bawah ini Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK).13
13 Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, 29.
M. Halilurrahman dan Abdul Wahid
164 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
Di samping itu, Pertimbangan lain yang menjadi dasar dari putusan
majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang menjadi pokok perkara diajukan
oleh pemohon yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan adalah pertama,
dalam pasal 2 ayat (2) UU nomor 1 tahun 1975 tentang perkawinan,
permohonan tidak dikabulkan oleh majelis hakim MK karena berpendapat
bahwa dalil yang diajukan pemohon tidak beralasan menurut hukum. Hal
didasarkan bahwa dalam pasal tersebut hanya menjelaskan tentang pencatatan
perkawinan. Sedangkan pencatatan perkawinan tidak menentukan sahnya
sebuah perkawinan. Sedangkan perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
dilakukan menurut agama dan kepercayaannya sebagaimana yang tertera dalam
pasal 2 ayat (1) UU perkawinan. Tujuan dari pencatatan perkawinan adalah
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis
Kedua, pasal 43 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1975 tentang perkawinan.
Permohonan yang dimohonkan pemohon ini dikabulkan oleh majelis hakim
MK hal ini berdasarkan secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan
hamil tanpa terjadinya secara bahwa secara logika seorang perempuan hamil
pasti terjadi pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan
seksual maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang
menyebabkan terjadinya pembuahan. Pembuktian hubungan anak dan ayahnya
yang menghamili ibunya yang menyebabkan kelahiran anak terebut tidak
hanya dengan bukti terjadinya perkawinan semata akan tetapi bukti lain dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta bukti lain yang sah menurut hukum yang
dapat membuktikan hubungan antara anak dan ayahnya.
Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan
bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar
perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai
ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-
laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya
kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang
bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap
lelaki tersebut sebagai bapaknya. Dalam Fatwa MUI Nomor: 11/MUNAS
VIII/ MUI/3/2012 Tentang Kedudukan Anak di Luar Perkawinan. Dasar
yang digunakan dari sumber ayat-ayat Al-Quran adalah QS. Al-Furqân ayat
Putusan Mahkamah Konstitusi RI dan Fatwa MUI Tentang Kedudukan Anak Zina
(Analisis Komparatif)
Volume 5, Nomor 2, Desember 2019| 165
54,QS. Al-Isrâ ayat 32,QS. Al-Furqân ayat 68 – 69,QS. Al-Ahzâb ayat 4 –
5,QS. Al-Nisâ ayat 23, QS.Al-An’âm ayat 164 tentang,QS.Al-Zumâr ayat 7.14
Dari ayat-ayat Al-Quran di atas yang menjadi dasar atau dalil dalam
penetapan fatwa ini adalah ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan aturan
mengenai nasab keturunan, larang untuk berbuat zina dan hal yang
mendekatinya, pentingnya kejelasan nasab dan asal usul kerabat, pentingnya
asal usul kerabat, orang tidak mewarisi dosa orang lain, dan anak zina tidak
memikul dosa perbuatan zina. berdasarkan ayat-ayat Al-Quran di atas dapat
penulis ketahui bahwa tidak dijelaskan secara khusus mengenai nasab seorang
anak hasil zina kepada bapak atau ibunya hanya menjelaskan tentang gambaran
serta larangan berbuat zina serta hukumannya.
Di samping ayat-ayat Al-Quran di atas, MUI juga menggunakan dasar
hadits-hadits mu’tabarah dalam menetapkan fatwa ini yaitu hadits Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim tentang Nasab
anak yang dilahirkan dari perempuan yang melahirkan (firâsy) serta hukuman
bagi pezina, Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud
tentang Nasab anak yang dilahirkan dari perempuan yang melahirkan (firâsy)
serta hukuman bagi pezina, Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh
Imam Abu Dawud tentang nasab anak zina kepada ibunya, Hadits Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh Imam At-Turmudzi tentang tidak ada hubungan
waris antara anak zina dengan ayah biologisnya, Hadits Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam abu Dawud tentang larangan
berzina, Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim tentang Anak dilahirkan secara fithrah.15
Di samping itu pula, dalam fatwa ini MUI juga menggunakan Ijma’
Ulama sebagai sumber hukum sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn Abdil
Barr di dalam kitab “al-Tamhid” juz 8 halaman 183 dan juga yang disampaikan
oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab al-Mughni juz 9 halaman 123 yang
menjelaskan tentang nasab anak zina yang di lahirkan dari perempuan yang
bersuami bukan kepada laki-laki yang menzinai ibunya melainkan kepada
suami dari ibunya tersebut.
Dari dasar hukum yang digunakan oleh MUI dalam mengeluarkan
fatwa di atas dapat penulis ketahui bahwa dalil pertama yang digunakan oleh
MUI dalam masalah ini adalah dalil Al-Quran dan Hadits hal ini merupakan
kesepakatan dan keyakinan umat Islam bahwa setiap fatwa harus berdasarkan
14 Fatwa MUI Nomor: 11/MUNAS VIII/MUI/3/2012 Tentang Kedudukan Anak Di Luar Perkawinan, 1-2. 15 Fatwa MUI Nomor: 11/MUNAS VIII/MUI/3/2012, 3-4.
M. Halilurrahman dan Abdul Wahid
166 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
pada kedua sumber di atas. Fatwa di atas sah karena berdasarkan ketentuan
sumber di atas dan tidak bertentangan. Ayat Al-Quran dan hadits di atas
menyebutkan tentang hal yang berkaitan tentang permasalahan yang dibahas
yaitu mengenai kedudukan anak zina beserta kedudukannya, tidak
menyinggung hal yang lain. Sementara hadits yang digunakan dalam fatwa ini
adalah hadits yang mu’tabarah, dan bisa dijadikan pedoman dalam berhujjah
hal ini dapat dibuktikan dengan hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh para
muhadditsin yang terkenal dan bisa dibuat hujjah.
Di samping itu, dalil yang digunakan dalam fatwa ini juga adalah ijma’
para ulama’. Dalam permasalahan ini, sudah terdapat ijma ulama. Dan fatwa ini
sejalan dan tidak bertentangan dengan ijma’ yang sudah ada. Karena ijma’
merupakan dalil yang memiliki otoritas kuat bersifat absolut dan berlaku
universal. Dan dalam fatwa ini juga di tambahi dengan dalil lain agar semakin
kuat yaitu qiyas, dan atsar sahabat, kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah yang
dapat menguatkan fatwa yang dikeluarkan.
Persamaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010
Dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/MUNAS
VIII/MUI/3/2012 Tentang Kedudukan Anak di Luar Perkawinan.
Adapun persamaan antara putusan Mahkamah Konstitusi nomor:
46/PUU-VIII/2010 dengan fatwa MUI nomor:11/MUNAS
VIII/MUI/3/2012 tentang Kedudukan Anak di Luar Perkawinan, menurut
penulis adalah bahwa antara keduanya mempunya persamaan dalam hal
pertimbangan hukum dikeluarkan putusan tersebut yaitu dalam hal bahwa
keduanya beralasan anak yang lahir di luar perkawinan harus dilindungi sebagai
wujud perlindungan terhadap hak asasi manusia. Hak asasi adalah hak-hak
dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya. Hak asasi manusia
meliputi hak hidup,hak kemerdekaan atau kebebasan, hak milik dan hak-hak
dasar lain yang melekat pada diri pribadi manusia dan tidak dapat diganggu
gugat oleh orang lain. Hak asasi manusia hakikatnya semata–mata bukan dari
manusia sendiri tetapi dari tuhan yang maha esa, yang dibawa sejak lahir.
Dalam kaitannya dengan putusan ini adalah hak anak yang menjadi
fokus pertimbangan mahkamah Konstitusi adalah hak-hak anak sebagaimana
tercantum di dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Pasal-pasal yang berkaitan dengan hak-hak anak tersebut
adalah dalam pasal 4 yang berbunyi: “Setiap anak berhak untuk dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
Putusan Mahkamah Konstitusi RI dan Fatwa MUI Tentang Kedudukan Anak Zina
(Analisis Komparatif)
Volume 5, Nomor 2, Desember 2019| 167
martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.”
Menurut pandangan Mahkamah Konstitusi dalam isi putusannya
berpendapat bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang
dikonklusikan dengan anak yang tidak sah. Secara alamiah tidak mungkin
seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dengan
spermatozoa baik melalui hubungan seksual maupun melalui cara lain
berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya
pembuahan. Oleh karena itu tidak tepat dan tidak adil manakala hukum
menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan
seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan
tersebut sebagai ibunya. Tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum
membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan
terjadi kehamilan dan kelahiran anak tersebut lari dari tanggung jawabnya
sebagai seorang bapak.16
Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan yang
didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang
laki-laki adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban
secara bertimbal balik yang subjek hukumnya adalah anak, ibu dan bapak.
Dengan demikian hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak
semata-mata karena adanya ikatan perkawinan akan tetapi dapat juga
didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-
laki tersebut sebagai bapak.17
Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa Pasal 43 ayat (1) tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu Mahkamah
Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon dengan salah satu diktumnya
me-review ketentuan Pasal 43 ayat (1) tersebut menjadi “anak yang dilahirkan di
luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
16 Chatib Rasyid, Memahami Makna Anak Lahir Di Luar Perkawinan “ Pasca Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 ”, Makalah dalam http://pa-purworejo.go.id/web/memahami-makna-anak-lahir-di-luar-perkawinan/, 11. 17 Syamsul Anwar dan Isak Munawar, Nasab Anak Di Luar Perkawinan Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-IIIV/2010 Tanggal 17 Pebruari 2012 Menurut Teori Fikih Dan Perundang-Undangan, Makalah dalam http://www.badilag. anak%20di%20luar%20perkawinan.pdf, 3.
M. Halilurrahman dan Abdul Wahid
168 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
keluarga ayahnya. Putusan ini adalah putusan yang di keluarkan berdasarkan
nilai-nilai kemanusiaan agar anak yang di lahirkan mendapat keadilan hukum.18
Senada dengan pertimbangan hukum yang di lakukan oleh MK, MUI
dalam fatwanya tersebut, menyebutkan alasan pertimbangan hukumnya di
dasarkan pula pada perlindungan terhadap hak asasi anak sebagai manusia.
MUI yang sumber hukumnya berdasarkan atas hukum Islam perlindungan
terhadap hak asasi manusia di identikkan kepada Al-maslahah. Dalam hukum
Islam Al-maslahah bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat umat
manusia secara menyeluruh sesuai dengan tujuan penciptaannya sebagai
khalifah yang bertugas untuk melestarikan bumi ini. Mashlahah dilihat dari segi
objek dan kekuatannya, terdapat tiga macam mashlahah, yaitu mashlahah
dlaruriyah, mashlahah hajjiyah dan mashlahah tahsiniyah.19
Mashlahah dlaruriyah menurut Abu Zahrah disebut juga dengan
mashlahah haqiqiyah adalah mashlahah yang keberadaannya berhubungan
langsung dengan kebutuhan esensi (pokok/primer) manusia, yaitu yang
berhubungan dengan pemeliharaan dan perlindungan agama (hifdhu al-diin),
pemeliharaan dan perlindungan jiwa (hifdhu al-nafs), pemeliharaan dan
perlindungan akal (hifdhu al-aql), pemeliharaan dan perlindungan keturunan
(hifdhu al-nasl) , dan pemeliharaan dan perlindungan harta (hifdhu al-mal).
Pemeliharaan dan perlindungan agama adalah melindungi seseorang
untuk beragama sesuai dengan kepercayaannya dengan adanya larangan
memfitnah dan melecehkan agama, larangan sesat dari agama yang dianut,
larangan menistakan agama, larangan selalu berbuat anarkis dan berbuat
kerusakan. Pemeliharaan dan perlindungan terhadap jiwa adalah pemeliharaan
dan perlindungan terhadap segala hak hidup yang layak, yang diantaranya
pemeliharaan dan perlindungan kebebasan berbuat, kebebasan berfikir,
kebebasan berbicara, kebebasan bertempat tinggal dan lain sebagainya yang
berhubungan dengan hak asasi manusia. Pemeliharaan terhadap keturunan
adalah pemeliharaan dan perlindungan bagi setiap anak dengan status yang
jelas, harus diperlakukan sebagai bagian dari masyarakat yang harus tumbuh
dan berkembang di sekitar orang tuannya, baik sisi jasmaninya maupun
rohaninya. Untuk menjamin terpeliharanya keturunan ini dalam hukum Islam
diharamkan melakukan hubungan suami istri di luar ikatan perkawinan, dan
terbentuknya lembaga perkawinan yang disyari’atkan. Dan pemeliharaan dan
perlindungan terhadap harta adalah memelihara dan melindungi harta dari
18 Syamsul Anwar dan Isak Munawar, Nasab Anak Di Luar Perkawinan, 5. 19Hasbi As-Syiddiqi, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: Rizki Putra, 1997), 220.
Putusan Mahkamah Konstitusi RI dan Fatwa MUI Tentang Kedudukan Anak Zina
(Analisis Komparatif)
Volume 5, Nomor 2, Desember 2019| 169
segala bentuk-bentuk zalim, pencurian, penipuan dan penghancuran.20Menurut
penulis bahwa MUI melalui fatwanya tersebut didasarkan atas nilai-nilai hak
asasi manusia melalui pemahaman Maslahah.
Perbedaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/Munas
VIII/MUI/3/2012 Tentang Kedudukan Anak di Luar Perkawinan.
Adapun perbedaan-perbedaan antara Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 Dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor:
11/Munas VIII/MUI/3/2012 Tentang Kedudukan Anak di Luar Perkawinan
menurut penulis adalah sebagai berikut :
Pertama, mengenai dasar-dasar hukum yang dijadikan sumber hukum
oleh keduanya dalam memutuskan setiap permasalahan yang di hadapi. dalam
memutuskan persoalan mengenai kedudukan anak di luar perkawinan
Mahkamah Konstitusi sumber hukum yang menjadi pertimbangan hukumnya
adalah semuanya bersumber pada hukum positif yaitu undang-undang tanpa
sedikitpun menyebutkan sumber dari Hukum Islam hal tersebut telah penulis
lihat secara keseluruhan dari isi putusan dari MK tersebut. Berbeda halnya
dengan MUI dasar hukum yang di jadikan sumbernya yaitu sumber hukum
Islam seperti Al Quran dan Al Hadits dan sebagainya tanpa menyebutkan
sumber yang berdasarkan pada hukum positif.
Kedua, fokus yang menjadi pertimbangan keduanya yaitu Putusan MK
Nomor 46/PUU-VIII/2010 sama sekali tidak pernah menyinggung anak lahir
tanpa perkawinan atau anak hasil zina. Fokus yang dipertimbangkan oleh
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah anak luar perkawinan yang
berkaitan dengan tidak adanya “pencatatan perkawinan“ dan “sengketa
perkawinan”. Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan hukum yang ada di dalam
putusan MK ini, pada Pertimbangan angka (3.12) berbunyi : “Menimbang
bahwa pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut
peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning)
pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum
angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan
menyatakan,
“...bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama
20Hasbi As-Syiddiqi, Pengantar Hukum Islam, 222.
M. Halilurrahman dan Abdul Wahid
170 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”.21
Berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di atas nyatalah bahwa (i)
pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya
perkawinan; dan (ii) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang
diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun faktor yang
menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh
agama dari masing-masing pasangan calon mempelai.
Berbeda halnya dengan fatwa Nomor: 11/Munas VIII/MUI/3/2012
fokus pertimbangan yang menjadi pembahasan dalam isi fatwa tersebut
menyinggung tentang anak di luar perkawinan atau anak hasil zina hal ini dapat
di lihat dari dalil yang berasal dari al Quran maupun hadis semuanya hanya
menyinggung permasalahan anak zina.
Ketiga, di dalam Pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 angka (3.13) berbunyi:” Menimbang bahwa pokok
permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah
mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar
perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas
perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya
anak.”22
Dalam pandangan MK, secara alamiah, tidaklah mungkin seorang
perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa
baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan
perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh
karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak
yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan
hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya.
Dengan demikian terlepas soal prosedur/administrasi perkawinannya,
anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak
demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan,
padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.
Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah sering kali
mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah
masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang
21 Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, 33. 22 Ibid., 34
Putusan Mahkamah Konstitusi RI dan Fatwa MUI Tentang Kedudukan Anak Zina
(Analisis Komparatif)
Volume 5, Nomor 2, Desember 2019| 171
adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada
padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan
perkawinannya masih dipersengketakan. Berbeda halnya dengan fatwa MUI
yang tetap berpendirian bahwa seorang anak yang lahir di luar perkawinan
dinasabkan kepada ibunya tidak dengan ayahnya.
Kesimpulan
Dari analisis di atas, penulis mempunyai pendapat bahwa penulis
cenderung sependapat dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor:
46/PUU-VIII/2010tentang kedudukan anak di luar perkawinan. Hal ini
penulis berdasarkan bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi ini hal yang
menjadi fokus pertimbangan putusan tersebut adalah murni mengenai anak
yang dilahirkan pada perkawinan yang tidak dicatat, MK sama sekali tidak
membahas masalah anak zina karena hal ini berdasarkan pada pokok perkara
serta status dari pemohon adalah sudah menikah secara agama Islam akan
tetapi belum dicatatkan. Pasal 43 ayat (1) yang pada awalnya dengan adanya
undang-undang ini pemohon dirugikan. Maka menurut penulis putusan MK
ini sudah tepat dan sesuai dengan apa yang menjadi harapan masyarakat
Indonesia. Mengenai fatwa MUI, menurut penulis bahwa fatwa MUI ini
merupakan reaksi dari MUI terhadap putusan MK tersebut. Dalam pandangan
penulis bahwa MUI kurang cermat dalam mengeluarkan fatwa ini karena
permasalahan yang dibahas dalam fatwa ini mengenai anak zina berbeda
dengan apa yang menjadi pembahasan dalam putusan MK.
Daftar Pustaka
Anwar, Syamsul dan Isak Munawar. Nasab Anak Di Luar Perkawinan Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-IIIV/2010 Tanggal 17 Pebruari 2012 Menurut Teori Fikih Dan Perundang-Undangan. Makalah dalam http://www.badilag. anak%20di%20luar%20perkawinan.pdf
As-Syiddiqi, Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Rizki Putra. 1997. Harahap, Yahya. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. 2007. Jamil, Mukhsin. Membendung Despotisme Wacana Agama. Semarang: Walisongo
Press. 2010. Nelli, Jumni. Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Perkawinan Nasional dalam www.scribd.com/ doc/20974171/145-JUmni-Nelli
M. Halilurrahman dan Abdul Wahid
172 | CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman
Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2006.
Rahman, Fathur. Ilmu Waris. Bandung: Al-Ma’arif. 1971. Rasyid, Chatib. Memahami Makna Anak Lahir Di Luar Perkawinan “ Pasca
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 ”. Makalah dalam http://pa-purworejo.go.id/web/memahami-makna-anak-lahir-di-luar-perkawinan/
Rofiq, Ahmad. Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid. Juz V. Beirut : Dar al- Fikr. t.th. Satria, Rio. Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] dalam https://www.slideshare.net/moliiceman/tinjauan-keberadaan-anak-luar-kawin
Sutiyoso, Bambang. Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: UII Press. 2009.
Fatwa MUI Nomor: 11/MUNAS VIII/MUI/3/2012 Tentang Kedudukan Anak Di Luar Perkawinan
Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975. Jakarta: Erlangga. 2011.
Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 www.mahkamahkonstitusi.go.id