274
Konkernas PPHI PGI PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice PROCEEDING KONKERNAS PPHI – PGI – PEGI 2018 in Conjunction with ACEH GASTROENTEROHEPATOLOGI UPDATE 2018 Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, Indonesia Thursday-Sunday, July 19-22 nd 2018 Theme: “Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice” Editor : Fauzi Yusuf Azzaki Abubakar Desi Maghfirah M. Suheir Muzakkir Andrie Gunawan Divisi Gastroenterohepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2018

PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

1

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

PROCEEDING KONKERNAS PPHI – PGI – PEGI 2018

in Conjunction with

ACEH GASTROENTEROHEPATOLOGI UPDATE 2018

Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, Indonesia

Thursday-Sunday, July 19-22nd 2018

Theme:

“Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice”

Editor :

Fauzi Yusuf Azzaki Abubakar

Desi Maghfirah M. Suheir Muzakkir Andrie Gunawan

Divisi Gastroenterohepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

2018

Page 2: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

2

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Page 3: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

i

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

SAMBUTAN KETUA PANITIA

KONKERNAS PPHI – PGI – PEGI 2018

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Salam Sejahtera

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Shalawat dan Salam

disampaikan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.

Panitia Pelaksana mengucapkan selamat datang di Banda Aceh kepada Ketua

PPHI-PGI dan PEGI, peserta konkernas dari semua utusan cabang, para pembicara,

moderator dan Peserta baik Simposium maupun Workshop pada acara KONKERNAS

PPHI – PGI – PEGI 2018 yang merupakan kegiatan yang ditunggu-tunggu oleh

kalangan klinisi. Acara ini tentunya menghadirkan pendekatan yang komprehensif

dalam manajemen penyakit yang berhubungan dengan hepatologi, gastrointestinal dan

prosedur endoskopi. Kualitas standar dalam manajemen sebaiknya ditingkatkan

sejalan dengan berkembangnya ilmu kedokteran. Menyikapi kondisi ini, kami

berupaya menjembatani klinisi untuk meningkatkan kemampuan dalam manajemen

pasien.

Acara kali ini sedikit berbeda dengan konkernas sebelumnya, selain ada

workshop live demo basic endoscopy di RSUDZA kami juga mengadakan workshop

disaster yang tidak hanya diikuti oleh para dokter namun juga bisa diikuti oleh

paramedis serta utusan dari badan pemerintah maupun organisasi masyarakat yang

bergerak di bidang kelola bencana.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada : Ketua PB

gabungan yang telah mempercayai Aceh sebagai tuan rumah tahun ini. Rektor

Universitas Syiah Kuala, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala,

Direktur RSUD dr. ZainoelAbidin, Kepala Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala atas dukungan yang diberikan, kepada

para pembicara dan moderator baik dalam daerah maupun dari luar daerah, para

peserta symposium dan workshop serta rekan-rekan farmasi, atas segala partisipasinya

sehingga pertemuan ini dapat terselenggara dengan baik. Kepada seluruh panitia, saya

menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya atas segala jerih payah yang telah

dicurahkan untuk terselenggaranya kegiatan ini. Harapan kami, semoga acara ini

dapat memberikan manfaat bagi para klinisi.

Ketua Panitia Pelaksana

KONKERNAS PPHI – PGI – PEGI 2018

DR. Dr. Fauzi Yusuf, SpPD-KGEH, FACG, FINASIM

Page 4: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

ii

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Sambutan Ketua PB Gabungan PPHI-PGI-PEGI

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pertama-tama kami mengucapakan terima kasih kepada panitia Konkernas PPHI-

PGI-PEGI Aceh 2018, atas persiapan yang telah dilakukan sampai terlaksananya kegiatan

Konkernas PPHI-PGI-PEGI 2018 ini.

Berbagai rangkaian acara telah disiapkan oleh panitia selain persiapan untuk kegiatan

rapat-rapat yang akan dilakukan oleh PB dan perwakilan cabang-cabang PPHI-PGI-PEGI

seluruh Indonesia.

Acara ilmiah yang telah disiapkan juga cukup lengkap dan komprehensif dengan

menghadirkan pembicara-pembicara nasional dan internasional. Berbagai acara ilmiah yang

dilakukan meliputi bidang hepatologi, gastrointestinal dan juga endoskopi. Secara khusus

panitia juga mempersiapkan live demonstration yang menghadirkan kasus-kasus untuk

endoskopi dasar. Secara khusus panitia juga melakukan workshop seputar kebencanaan.

Kami juga mengapresiasi bahwa panitia juga mempersiapkan untuk masyarakat awam.

Mudah-mudahan kegiatan Konkernas PPHI-PGI-PEGI ini dapat berjalan lancar, rapat

kerja nasional akan membahas seputar permasalahan organisasi yang ada saat ini dan juga

mempersiapkan untuk mentuntaskan berbagai program yang telah digariskan pada kongres

nasional sebelumnya. Selain itu berbagai permasalahan yang muncul di cabang juga menjadi

bahan pembahasan pada Konkernas kali ini.

Acara ilmiah yang telah disiapkan oleh Panitia juga mudah-mudahan membawa

manfaat untuk seluruh peserta acara ilmiah. Terjadi tukar menukar informasi diantara

pembicara dan peserta serta sesama peserta.

Selamat melakukan konkernas.

Salam,

Ketua PB Gabungan PPHI-PGI-PEGI.

Dr. dr. Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP

Page 5: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

iii

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Sambutan Gubernur Provinsi Aceh

Puji Syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, shalawat dan salam

senantiasa kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.

Kami mengucapkan selamat kepada Pengurus Besar Gabungan Perhimpunan Peneliti

Hati Indonesia (PPHI), Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI) dan

Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal Indonesia (PEGI) atas penyelengaraan

Konferensi Kerja Nasional PPHI-PGI-PEGI tahun ini di Banda Aceh. Kami juga

mengucapkan terimakasih kepada pengurus PPHI-PGI-PEGI yang telah menunjuk

kota Banda Aceh sebagai tempat penyelenggaraan konferensi kerja nasional ini.

Semoga terlaksananya konferensi kerja nasional ini di Aceh, akan mendorong

semangat kita untuk lebih berupaya keras dalam diagnosis dan penanganan penyakit-

penyakit hati dan saluran cerna ini.

Penyakit hati merupakan beban penyakit terbesar di Indonesia.Ini berarti,

hepatitis termasuk salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Karena itu

penyebaran virus hepatitis sudah seharusnya dicegah sejak dini. Pemetaan yang

dilakukan kementerian kesehatan tahun 2015 memperkirakan jumlah penduduk yang

terinfeksi virus hepatitis mencapai 2 juta orang. Prevalensi hepatitis di provinsi Aceh

menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Depkes RI terdapat sekitar 0,7-1,4 %. Jika tidak diobati,

infeksi kronis hepatitis B maupun C bisa berkembang menjadi pengerasan hati

maupun kanker hati.

Selain ancaman penyakit pengerasan hati maupun kanker hati, berbagai

penyakit lain yang melibatkan saluran cerna juga sangat membutuhkan perhatian kita

semua. Seperti halnya penyakit maag (gastritis). Dari penelitian dan pengamatan yang

dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI angka kejadian gastritis dibeberapa kota di

Indonesia sangat tinggi, di Provinsi Aceh angka kejadian gastritis mencapai 31%. Pola

makan yang tidak baik dan kurang sehat diperkirakan sebagai penyebab utama yang

mendasari kejadian penyakit tersebut. Oleh karena itu keberadaan endoskopi sebagai

sarana diagnosis sangatlah penting untuk manajemen tatalaksana gangguan sistem

pencernaan tersebut.

Demi untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Aceh, tidak ada

pilihan lain, segala daya upaya harus kita lakukan untuk menekan jumlah penderita

penyakit tersebut. Oleh sebab itu, Pemerintah Aceh sangat membutuhkan kerjasama

dengan berbagai pihak dalam menurunkan angka kejadian penyakit tersebut di Aceh.

Peran PPHI-PGI-PEGI sebagai wadah berkumpulnya para peneliti dan ahli penyakit

hati dan saluran cerna tentu sangat dibutuhkan.

Itu sebabnya keputusan Pengurus Besar PPHI-PGI-PEGI yang mengadakan

Konferensi Kerja Nasional tahunan di Banda Aceh pada tahun 2018 ini, kami sambut

dengan tangan terbuka. Sebagai tuan rumah, Pemerintah Aceh berupaya semaksimal

mungkin untuk mensukseskan kegiatan ini.

Selamat menikmati wisata Aceh, wisata islami, halal food culinary, yang saat

ini Aceh mendapatkan penghargaan world best halal cultural destination.

Mudah-mudahan pelaksanaan Konferensi Kerja Nasional ini mampu mendorong

peningkatan kualitas sumberdaya manusia bidang ilmu kedokteran di Indonesia,

Khususnya di Provinsi Aceh, dalam menangani berbagai penyakit hati dan saluran

cerna.

Page 6: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

iv

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Sekali lagi, selamat untuk pelaksanaan Konferensi Kerja Nasional PPHI-PGI-

PEGI di Banda Aceh, semoga Allah SWT meridhai perjuangan kita dalam

peningkatan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.

Banda Aceh, Juli 2018

Plt. Gubernur Provinsi Aceh

Ir. Nova Iriansyah, MT

Page 7: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

v

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

DAFTAR KONTRIBUTOR

Page 8: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

vi

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN KETUA PANITIA ..................................................................... i

KATA SAMBUTAN KETUA PB .............................................................................. ii

KATA SAMBUTAN GUBERNUR ............................................................................. iii

DAFTAR KONTRIBUTOR ......................................................................................... v

DAFTAR ISI ................................................................................................................. vi

PLENARY LECTURE

Penyelesaian Efek Samping dan Komplikasi Tindakan Medik Dalam Bidang

Gastroenterologi, Hepatologi, dan Endoskopi Gastrointestinal Aspek Etik dan Hukum

Prof. Dr. dr. Daldiyono Hardjodisastro, Sp.PD-KGEH FINASIM ............................... 1

Perkembangan Global Hepatitis B dan C Serta Hubungannya dengan Kebijakan

Nasional dalam Era Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Prof. dr. H. Ali Sulaiman, PhD, SpPD, KGEH, FACG, FINASIM ................................ 6

SIMPOSIUM

Management of Upper GI Bleeding in Daily Practice

Dr. dr. Fauzi Yusuf, SpPD-KGEH, FACG, FINASIM ................................................... 7

How To Choose Appropiate PPI in Patients With Multiple Therapy

Prof. Dr. dr. Murdani Abdullah , SpPD-KGEH, FACG, FINASIM ........................... 14

25 years of Proton Pump Inhibitors : What the Issues

Prof. Dr. dr. Dadang Makmun, SpPD-KGEH, FACG, FINASIM...............................18

The Role of Gut Liver Axis in Non Alcoholic Fatty Liver Disease

dr. Irsan Hasan, SpPD, KGEH, FINASIM ................................................................ 23

The Role of Nutrition of Liver Disease

dr. Putut Bayupurnama, SpPD, KGEH, FINASIM .................................................... 27

How to treat GI bleeding with endoscopic procedure

dr. Dolvy Girawan , SpPD KGEH FINASIM ............................................................ 30

Role of ERCP in treating benign and malignant hepatobiliary system

Dr. dr. H. Muhammad Begawan Bestari M.Kes, SpPD KGEH, FINASIM ................ 34

Peranan Kontras Spesifik Hepatobilier dalam Diagnosis Tumor Hati

dr. Sahat Matondang Sp. Rad ...................................................................................... 38

Page 9: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

vii

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Timing of Systemic Treatment in HCC Management

dr. Poernomo Boedi Setiawan, SpPD-KGEH, FINASIM...........................................46

Long Term Treatment Plan in Systemic Treatment of HCC

Dr.dr. Rino Avani Gani Ph.D, SpPD, KGEH FINASIM ............................................. 49

Colitis: Inflammatory Bowel Disease vs Intestinal Tuberculosis, How to differentiate

it

Prof. dr. Marcellus Simadibrata, PhD, SpPD-KGEH, FACG, FASGE, FINASIM .... 53

Gut Microbiota in IBD

Dr. dr. Fauzi Yusuf, SpPD-KGEH, FACG, FINASIM ................................................ 54

Prevalensi dan dampak pasien hepatitis C terhadap gangguan

Dr. dr. Rudi Supriyadi, M.Kes, SpPD-KGH FINASIM ............................................. 57

Role of Elbasvir/Grazoprevir in Treatment Hepatitis C with CKD Patients

Dr. dr. C. Rinaldi Lesmana, SpPD-KGEH, FACG, FACP, FINASIM ........................ 67

Anti-fibrogenic strategies and the regression of fibrosis

Dr. dr. M. Begawan Bestari, SpPD, KGEH, M.Kes, FINASIM FASGE ..................... 69

Acute-on-chronic liver failure: what are the implication ?

dr. Triyanta Yuli Pramana, SpPD- KGEH, FINASIM ................................................ 73

A Hepatologist’s Prespective : Optimizing Diagnosis and Treatment in Drug Induce

Liver Injury.

dr. F. Soemanto PM, MSc, SpPD – KGEH ................................................................. 75

Outcome Management Of Chronic Hepatitis B in Chirhotic Patients

Dr. dr. Irsan Hasan, SpPD-KGEH, FINASIM ............................................................ 88

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia Perhimpunan Peneliti

Hati Indonesia ( PPHI ) 2017

Dr. dr. Hery Djagat Purnomo, SpPD-KGEH, FINASIM ........................................... 91

Pengobatan anti virus Nucleosida Analog pada Hepatitis B Kronis :

dampak jangka panjang supresi virus

dr. Poernomo Boedi Setiawan, SpPD-KGEH, FINASIM ........................................... 96

Strategy approach in hepatitis B infection : Guideline vs Reason Clinical Data

Prof. dr. Laurentius A. Lesmana, PhD, SpPD-KGEH, FACG, FACP, FAASLD,

FINASIM ................................................................................................................... 102

ManagementUpper Gastrointestinal Bleeding : Focus in Variceal Bleeding

Prof. dr. Dadang Makmun SpPG KGEH..................................................................103

Page 10: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

viii

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Approach to managing undiagnosed chest pain: Could gastroesofageal reflux diseasae

be a cause?

Dr. dr. Fauzi Yusuf SpPD-KGEH , FACG, FINASIM..............................................109

Optimization of treatment management in ( NSAID related) peptic ulcer disease

Dr. dr. Hery Djagat Purnomo, SpPD-KGEH, FINASIM ......................................... 115

The treatment of Helicobacter pylori: where are we now? / proton pump inhibitor ,

key ingridient in Helicobacter pylory eradication Treatment

Dr. dr. Fardah Akil, SpPD-KGEH, FINASIM ........................................................... 122

Diagnosa dini penyakit refluks gastroesofageal (GERD), bagaimana penggunaan

GERD -Q?

dr. Azzaki Abubakar, SpPD, KGEH FINASIM ........................................................ 125

Comprehensive tretment of GERD: healing, resolve and protect

Prof. dr. Iswan A Nusi, SpPD-KGEH, FINASIM, FACG ......................................... 130

Is PPI recomended for GERD patient

Prof. dr. Marcellus Simadibrata, MD, PhD, SpPD-KGEH, FACG, FASGE, FINASIM134

Peran Probiotic pada pengobatan sindroma kolon iritatif (IBS)

Dr. dr. Chudahman Manan SpPD KGEH FINASIM ................................................ 135

Tatalaksana Infeksi H Pylori dan Peran Probiotik

DR. dr Ari Fahrial Syam, SpPD KGEH FINASIM MMB FACP .............................. 140

POST GRADUATE COURSE

Overview of Molecular biology of Hepatitis B and C : What is the different?

Dr.dr. Rino A.Gani SpPD, KGEH FINASIM ............................................................ 145

How to choose using direct acting antivirals for hepatitis C

Prof. dr. Gontar A.Siregar SpPD KGEH FINASIM .................................................. 151

HCC related hepatitis B Viral Infection from theory to practice including

Radiofrequency Ablation Management

dr. Lianda Siregar SpPD, KGEH FINASIM .............................................................. 153

WORKSHOP LIVE DEMO

Lower Gastrointestinal Endoscopy focus on Polipeptomi and hemoclipping.

Dr. dr. H. Muhammad Begawan Bestari M.kes, SpPD KGEH FINASIM ................. 163

Tehnik biopsi endoskopi saluran cerna bagian atas

dr. Kaka Renaldi, SpPD KGEH FINASIM ............................................................... 166

WORKSHOP KEBENCANAAN

Page 11: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

ix

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Konsep Dasar dan Mitigasi Bencana

Ir. Teuku Alvisyahrin, MSc,Phd ................................................................................. 171

Epidemologi Bencana

dr. Agasjtya Wisjnu Wardhana, SpPD, KGEH FINASIM ......................................... 172

Manajemen Nutrisi di Tempat Pengungsian

Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD, MMD, KGEH, FACP FINASIM ........................... 176

GI emergency topic: Management Fulminants colitis

Prof. Dr. dr. Murdani A, SpPD-KGEH FACG FINASIM ......................................... 178

FORUM ILMIAH ORGANISASI

Terapi Berbasis Furazolidone, Rifabutin dan Sitafloxacin sebagai Rejimen Alternatif

Eradikasi Helicobacter pylori di Indonesia

dr. Muhammad Miftahussurur, SpPD, Mkes, PhD .................................................... 185

Perbandingan AST to Platelet Ratio Index(APRI), FIB4, Rasio SGOT/SGPT terhadap

Fibroscan dalam Mendeteksi Fibrosis Lanjut pada Pasien Hepatitis C yang Belum

diterapi

dr. Nikko Darnindro, SpPD ....................................................................................... 187

Accuracy APRI, Fib-4 Score, and Ultrasound Compared with Transient Elastography

for Assessment of Liver Fibrosis in Chronic Hepatitis C Patients Prior DAA Therapy:

A Tertiary Center Report

dr.Eka Surya Nugraha, SpPD .................................................................................... 194

Perbandingan efektifitas pada pemberian laktulosa, probiotik serta kombinasi

laktulosa dan probiotik terhadap ensepalopati hepatik pada pasien sirosis hati

dr. Desi Maghfirah, SpPD.........................................................................................195

Virological Response And Drug Resistance of Telbivudine In 3 Years Evaluation In

Management Chronic Hepatitis B (Preliminary Real Cases Study

dr. Didik Indiarso, SpPD, KGEH .............................................................................. 201

Hubungan antara rokok elektrik dan dispepsia pada populasi urban dewasa

dr. Ahmad Fariz Malvi Zamzam Zein ........................................................................ 202

Gastric Outlet Obstruction: Laporan seri kasus di RSUD dr. Soetoma Surabaya

dr. Tri Asih Imro’ati, SpPD ....................................................................................... 203

Analisa Kesintasan dan Faktor yang Mempengaruhi pada Pasien Penyakit Hati Lanjut

dr.Syifa Mustika, SpPD KGEH FINASIM ................................................................211

Seorang Penderita Lymphoma Non Hodgkin Tipe B Duodenum dengan Manifestasi

Gastric Outlet Obstruction

dr. Budi Widodo, SpPD......................................................................................212

Page 12: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

x

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Analisis kadar asam butirat dan komposisi mikrobiota intestinal pada kanker

kolorektal

dr. Salwiyadi .............................................................................................................. 214

Prosedur Endoskopi Dilatasi pada Pasien dengan Stenosis Pilorus

dr. Ridwan Prasetyo ................................................................................................... 215

Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya gastritis

dr. Fathi Ilmawan ...................................................................................................... 216

Prevalensi mutasi regio BCP/PC pada pasien hepatitis B kronis HBeAg negatif

Turyadi ....................................................................................................................... 217

Pengaruh pemberian ekstrak daun ubi jalar ungu (lpomoea batatas) terhadap

gambaran histopatologi gaster pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang

diinduksi Paracetamol

dr.Edward Simon ....................................................................................................... 218

Rasio serum pepsinogen I/II pada penderita ulkus gaster dan non ulkus gaster

dr. M. Indra ................................................................................................................ 219

Kadar serum pepsinogen I pada penderita Dispepsia karena ulkus Gaster dan non

Ulkus gaster..

dr. T. Fahril ................................................................................................................ 220

Hubungan antara konsumsi kopi dengan kejadian Gastroesophageal reflux disease

(GERD) pada Mahasiswa Universitas Syiah Kuala

dr. Andrie Gunawan ................................................................................................... 221

Hubungan Puasa Ramadhan dengan Gejala Klinis Gastroesofageal Reflux Disease di

Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Aceh Tamiang

dr. Anandita Putri ...................................................................................................... 223

Gambaran Ultrasonografi (USG) Gall Bladder dengan pasien Epigastric Pain di

Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Banda Aceh Tahun 2018

Sururi ......................................................................................................................... 229

Pengaruh pemberian ekstrak biji petai (Parkia speciosa)terhadap gambaran

histopatologi mukosa gaster pada tikus putih (Rattus norvegicus)jantan galur wistar

yang diinduksi paracetamol

dr. Eva Pravitasari Nefertiti. Sp.PA ............................................................................... 230

Pengaruh Pemberian Ekstrak Tanaman Krokot (Portulaca oleracea) Terhadap

Gambaran Histopatologi Gaster pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur

Wistar yang Diinduksi Paracetamol

dr. Troef Soemarno MS, SpPA(K) .............................................................................. 231

Page 13: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

xi

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Laporan kasus: Progresivitas hepatitis autoimun menjadi sirosis hepatis dekompensata

pada wanita post partus

dr. Marselino Richardo, SpPD .................................................................................. 232

Seorang Perempuan 52 Tahun Menderita Sindrom Budd-Chiari

dr. Gunady WR ........................................................................................................... 241

Seorang Penderita Enteropati Artritis dengan Alarm Symptom Diare Berdarah

dr. Sarah Firdausa, SpPD ........................................................................................... 242

Keberhasilan Terapi pada Abses Hati Amuba dan Piogenik

dr. Zurriaty Safitri ...................................................................................................... 252

Pancreatic Non Hodgkin Lymphoma dengan manifestasi kolangitis akut

dr. Rachmat Hidayat .................................................................................................. 253

Pendekatan diagnostik pasien asites nonsirotik bentuk mucin asites

dr. yunita Hafni .......................................................................................................... 254

Ascites non Sirotic dengan Penyebab TB Peritoneal

dr. Chairunnisa .......................................................................................................... 255

Problem Terapi Penderita Gastropati OAINS dengan Helicobacter pylori Positif

dr. Ridwan Prasetyo ................................................................................................... 257

Analysis Level Of Gastrin -17 Serum in Gastropathy NSAID s Patient

dr. Cut Henna Mariza................................................................................................258

Chronic Hepatitis C Treatment in the Era of Direct Acting Antiviral (DAA): A Update

Report of HCV Elimination Program in West Java Province – Indonesia.

dr.Eka Surya Nugraha, SpPD .................................................................................... 259

Page 14: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

xii

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Page 15: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

1

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

PENYELESAIAN EFEK SAMPING DAN KOMPLIKASI TINDAKAN MEDIK

DALAM BIDANG GASTROENTEROLOGI, HEPATOLOGI, DAN ENDOSKOPI

GASTROINTESTINAL ASPEK ETIK DAN HUKUM

Daldiyono Hardjodisastro Pensiunan Guru Besar FKUI

Ketua Komite Etik & Hukum RSCM 2012-2017

A. Pendahuluan

Profesi kedokteran memiliki karakteristik spesifik yaitu amal ilmu pada manusia.

Dengan demikian profesi kedokteran disebut profesi yang luhur. Perkembangan ilmu

menghasilkan prosedur tindakan medik yang canggih, berteknologi tinggi dalam

penyembuhan penyakit maupun penyelamatan hidup.

Perkembangan teknologi dan tindakan medik yang canggih seperti pada bidang

Gastroenterologi, Hepatologi, dan Endoskopi Gastrointestinal berpotensi

menimbulkan efek samping, komplikasi, dan kejadian yang tidak diharapkan dan

sebagian kecil mengalami kegagalan bahkan menimbulkan kematian.

Kegagalan atau komplikasi sebagian besar dapat dimengerti dan diterima oleh

keluarganya, sebagian menimbulkan kekecewaan dan kemarahan yang berpotensi

dan menimbulkan tuntutan hukum.

Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan kajian aspek etik dan hukum bila ada

komplikasi maupun kegagalan tindakan medik. Uraian di bawah ini sudah saya

presentasikan juga pada seminar di Semarang Gastroentero Hepatologi update 27-29

April 2018.

B. Ruang Lingkup Bahasan

Adverse Event, oleh J. Guswandi SH (Sagung Seto, 2007) diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia menjadi “Kejadian tak diduga”, yang menurut Joint Commission on

Accreditation of Health Care Organization (JCHO) disamakan atau dirangkaikan

menjadi Adverse Events and Sentinel Event. Kedua istilah ini menunjukkan:

“Terjadinya peristiwa yang berakibat negative terhadap pasien yang sedang

dirawat di rumah sakit, atau juga sehabis dilakukan tindakan medik dan sudah pulang

tetapi harus kembali lagi, atau pasien sesudah kembali ke ruangan tiba-tiba

keadaannya mendadak memburuk atau timbul sesuatu yang bersifat negatif".

Sedangkan “sentinel event” diberikan batasan tersendiri, adalah suatu peristiwa

tidak terduga yang menyangkut kematian, cacat fisik, atau psikologis yang berat, atau

resiko terhadap timbulnya luka yang serius, terutama menyangkut kehilangan

anggota tubuh dan fungsinya.

Ada istilah (terminology) untuk menyebut “adverse event” yaitu “kecelakaan

medik”, yang oleh Guswandi diberikan definisi, yang diambil dari Oxford Illustrated

Dictionary (1975) sebagai berikut: “Suatu peristiwa yang tidak terduga, tindakan

yang tidak disengaja (accident, mishap, misfortune, bad fortune, mischance. Ill lack),

dan peristiwa yang terjadi tak terduga tersebut sesuatu yang tidak enak, tidak

menguntungkan, bahkan mencelakakan, membawa malapetaka.”

Secara umum kecelakaan medik memiliki sifat sebagai berikut, yaitu peristiwa

yang tidak menyenangkan, tidak diharapkan, tidak terduga, dan tidak dapat

diramalkan (undesirable, unexpected, unpredictable, unprevented adverse event).

Page 16: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

2

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Adanya pengertian “adverse event” atau “kejadian tidak terduga” atau kecelakaan

mediki ini, maka sifat dasar dalam pelaksanaan profesi harus memiliki

sifat/karakteristik:

1. Sifat hati-hati

2. Sifat disiplin terhadap standard profesi dan standard prosedur operasional tiap

tindakan medic dan terapi.

3. Komunikatif dan memberikan penjelasan yang saksama

4. Sifat rendah hati

5. Tidak menjanjikan hasil karena sekedar amal ilmu.

C. Kajian Teoretis

Terminology “adverse event” tersebut haruslah dibedakan dengan terminology yang

juga bisa timbul yaitu kesalahan medik (medical error), kelalaian medik (medical

negligence). Tentang hal ini dapat dilihat dari urutan proses pelaksanaan profesi

kedokteran, yang dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:

Skema urutan proses pelaksanaan profesi kedokteran

Page 17: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

3

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

D. Contoh Berbagai “Adverse Event”

C. 1. Dalam Bidang Gastro hepatologi

1. Perforasi setelah kolonoskopi

2. Pecahnya divertikel

3. Perforasi pasca polipektomi dan biopsy

4. Meninggal dunia selama sklero terapi/ligasi pasien sedang berdarah

5. Serangan infark miocard saat gastroskopi

C. 2. Di luar bidang Gastro enterologi

- Steven Johson Syndrome

- Syok anastesi local dengan xylocain

- Syok setelah pemberian antibiotika menjelang operasi

- Meninggal pasca tonsilektomi.

- Dll banyak sekali.

E. Disclosing of Adverse event to the Patient and Family

Apa yang perlu dilakukan bila timbul “adverse event” kepada pasien?

I. Menjelaskan

II. Menenangkan

III. Mencegah ketidakpuasan

IV. Mencegah konflik (sengketa medik)

V. Mencegah tuntutan hukum

Tehnik dalam menjelaskan kepada pasien dan/atau keluarganya memakai kaidah

yang dipakai dalam “How to Informed the Bad News”, dalam bahasa Indonesia

“Bagaimana menjelaskan berita jelek kepada pasien dan keluarganya”. Dalam hal ini

terdapat perinsip yang baku:

1. Dengarkan dulu baik-baik keluhan keluarga atau pasien.

2. Catat kata-kata kunci atau intisari keluhan.

3. Jelaskan bahwa tindakan dikerjakan berdasarkan urutan standard operasional

prosedur.

4. Jawab berbagai pertanyaan atau ketidakpuasan (complain) secara hati-hati dengan

bahasa yang mudah.

5. Jangan ada kesan menyalahkan pasien atau keluarga.

6. Jelaskan bahwa terdapat kecelakaan medik.

F. Pembahasan Intern Rumah Sakit

Setiap ada peristiwa “adverse event” atau kejadian yang tidak diharapkan maka

perlu bahkan harus ada pembahasan intern rumah sakit. Pembahasan dilakukan oleh

Komite Medik awalnya oleh Sub Komite Mutu dan Keselamatan Pasien.

Pada jaman sekarang ini filosofis yang dipakai adalah menjawab pertanyaan:

“Bagaimana dan dimana letak ketidaktepatan sampai terjadinya adverse event atau

kejadian yang tidak diharapkan (KTD) tersebut”. Hal ini berdasarkan paham yang

menyatakan:

“Tidak ada sebab tunggal dalam suatu peristiwa.”

Pemahaman ini berbeda dengan jaman dulu dimana analisis menjawab pertanyaan:

“Siapa yang salah?”

Page 18: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

4

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Suatu paham dimana suatu adverse event (KTD) akibat dari suatu kesalahan yang

disebut “blaming culture” yang harus dihindarkan.

Analisis terhadap adverse event (KTD) mempergunakan teori analogy tulang ikan

(Bone fish theory analysis).

Gambar: Kajian Teoretis Adverse Event

Kesimpulan bahasan bersifat rahasia tidak boleh keluar ke keluarga atau pasien

dan siapapun termasuk ke pengadilan. Kesimpulan ke pengadilan hanya oleh direktur

rumah sakit dengan surat resmi.

Analisis dan kesimpulan pembahasan intern rumah sakit ditujukan pada 3 arah:

1. Memberi bahan bagi dokter penanggung jawab pasien (DPJP) untuk

memberikan penjelasan dan menjawab pertanyaan pada keluarga.

2. Memberikan bahan bagi rumah sakit khususnya bagian hubungan masyarakat

bila berhubungan dengan wartawan.

3. Bahan yang akan disampaikan ke pengadilan.

Dalam hal no. 3, “Bahan yang akan disampaikan haruslah menonjolkan hal-hal

yang positif yang sudah dikerjakan kemudian mencari dan pembenaran apa yang

sudah dikerjakan serta menutupi kekurangan.”

Perlu disebut disini bahwa apabila membahas suatu kejadian masa lalu (post

factum) yang negatif, selalu terdapat berbagai alternatif, dimana keputusan dokter

seolah-olah terdapat ketidaktepatan. Selain itu terdapat doktrin ilmu hukum bahwa

“terdakwa berhak membela diri didepan hukum”.

Hal-hal positif

yang dikerjakan Kriteria

Undang-undang

SPO

Etika

Hal-hal negatif yang

dikerjakan atau

melakukan yang

sepatutnya tidak

dikerjakan (Hukum

Kedokteran) (Hukum

Pidana, Hukum

Perdata)

Perumusan

masalah lalu

rincian sub

masalah

Kronologi

kejadian dan

siapa saja yang

bersangkutan

Tehnik = lima tingkat pertanyaan

Page 19: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

5

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

G. Pencegahan “Adverse Event” menjadi masalah Hukum

Berbagai pemahaman ini dapat mencegah suatu adverse event menjadi masalah

hokum:

Pemahaman bahwa, interaksi dokter dan pasien disebut “transaksi terapeutik yang

dilaksanakan dengan konsep kemitraan antara dokter dan pasien dimana dokter

berjanji bekerja semaksimal mungkin (KODEKSI, pasal 2), sedangkan dari pihak

pasien ada unsur percaya dan loyal.

Semua tindakan dan pengobatan harus dijelaskan dengan seksama sampai pasien

setuju.

Semua resiko dan komplikasi yang mungkin timbul perlu dijelaskan pada semua

tindakan medik.

Dokter tidak boleh menjanjikan hasil.

Bahwa ada kemungkinan kejadian yang tidak diinginkan (adverse event) perlu

dikasih tahu.

Tindakan medik invasif perlu persetujuan Tindakan Medik (informed consent)

secara tertulis kecuali penyelamatan pasien.

Hadapi dengan tenang semua adverse event.

Berdasarkan undang-undang Rumah Sakit pasal 46:

“Semua kerugian akibat pelayanan kesehatan di RS menjadi tanggung jawab

rumah sakit.”

Dokter seharusnya di bawah perlindungan asuransi profesi.

H. Simpulan

1. Adverse event bisa terjadi pada tiap terapi atau tindakan medik.

2. Semua dokter wajib bekerja berdasarkan undang-undang dan standard prosedur

operasional.

3. Sengketa medik sebisanya dicegah menjadi proses pengadilan.

4. Budaya mutu dan keselamatan pasien harus senantiasa dikerjakan.

5. Komunikasi yang efektif mampu mencegah ketidakpuasan.

I. Kepustakaan

Daldiyono. Semarang Gastroentero Hepatologi Update. April, 2018.

Daldiyono. Buku Ajar: Pengantar Kedokteran Klinis, Metodologi Klinis. Jakarta: Badan

Penerbit FKUI, 2014.

J. Guswandi SH. Hukum dan Dokter. Jakarta: Sagung Seto, 2008.

J. Guswandi SH. Dokter dan Rumah Sakit. Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 1991.

Renanto Suryadhimirtha SH, MSc. Hukum Malapraktek Kedokteran. Yogyakarta: Total

Media, 2011

Page 20: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

6

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

PERKEMBANGAN GLOBAL HEPATITIS B DAN C SERTA

HUBUNGANNYA DENGAN KEBIJAKAN NASIONAL DALAM ERA

BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS)

Ali Sulaiman

Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Univeritas Indonesia/

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia

Pendahuluan : World Health Assembly (WHA) ke -63, di Geneva melahirkan resolusi

63.18 yang menyatakan bahwa hepatitis menjadi salah satu agenda prioritas dunia. Dalam

perkembangannya, komitmen dan perkembangan penanganan hepatitis masih tergolong

lambat. Oleh karena itu dibentuk lah Global Health Sector Strategy on Viral Hepatitis 2016

– 2021 (GHSS) sebagai strategi dan target dunia dalam eradikasi hepatitis.

Metode:. Penelusuran literatur dilakukan melalui beragai situs resmi dai organisasi profesi,

ataupun publikasi pemerintah sesuai dengan kata kunci Hepatitis B, Hepatitis C, Global

Health Sector Strategy on Viral Hepatitis 2016 - 2021 , Regional Action for Viral Hepatitis

in South-East Asia: 2016 – 2021, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Hasil dan Diskusi: Indonesia menetapkan 5 aspek strategi untuk mencapai target GHSS.

Beberapa respon Indonesia telah dilakukan namun masih terkait banyak kendala.

Penanggulangan hepatitis pada era BPJS memiliki dinamika tersendiri. Dalam satu si

pegobatan hepatitis telah dapat dijamin seluruhnya. Namun masih banyak kalangan yang

tidak bisa merasakan pengobatan ini menyebabkan masih tingginya angka hepatitis di

Indonesia. Berbagai kendala masih perlu di hadapi seperti, biaya yang bergantung dengan

donator, distribusi yang sulit, serta kesiapan pemerintah beserta ikatan profesi juga menjadi

factor kendala dalam merealisasikan program ini.

Kesimpulan: Global Health Sector Strategy on Viral Hepatitis 2016 – 2021 (GHSS) yang

merupakan target jangka pendek untuk merealisasikan eradikasi virus hepatitis pada tahun

2030. Indonesia telah memiliki semangat dan upaya dalam mengejar target tersebut.

Apabila Indonesia mampu mencapai target pada 2021 dan mencari solusi akan berbagai

kendala yang ada, maka besar harapan Indonesia dapat mengeradikasi hepatitis tahun 2030.

Kata Kunci: Hepatitis B, Hepatitis C, Global Health Sector Strategy on Viral Hepatitis

2016 - 2021 , Regional Action for Viral Hepatitis in South-East Asia: 2016 – 2021, Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

Page 21: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

7

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

MANAGEMENT OF UPPER GASTROINTESTINAL BLEEDING IN

DAILY PRACTICE

Fauzi Yusuf

Divisi Gastro Entero Hepatologi Bagian/SMF Fakultas Kedokteran

Universitas Syiah Kuala/RSUD dr.Zainoel Abidin Banda Aceh

Abstrak

Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu masalah emergensi di bidang

gastroenterologi. Perdarahan SCBA adalah perdarahan saluran makanan proksimal dari

ligamentum Treitz yang dibedakan menjadi perdarahan varises dan nonvarises. Penyebab

perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) adalah pecahnya varises esofagus,

gastritis erosif, tukak peptik, tukak esofagus, tukak duodenum, gastropati kongestif,

sindroma Mallory-Weiss, esofagitis dan keganansan. Diagnosis dan penatalaksanaan yang

tepat merupakan hal penting dilakukan untuk mengurangi angka mortalitas dan

komplikasi pada pasien PSCBA.

Pendahuluan

Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu masalah emergensi di bidang

gastroenterologi1. Perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) adalah kehilangan

darah dari saluran cerna atas, di mana saja, mulai dari esofagus sampai dengan duodenum

(dengan batas anatomik di ligamentum Treitz), dengan manifestasi klinis berupa

hematemesis, melena, hematoskezia atau kombinasi. Untuk keperluan klinis dibedakan

perdarahan varises esofagus dan non varises1,2. Kejadian PSCBA di Indonesia sekitar 48-

160 kasus per 100.000 penduduk, dengan kejadian lebih tinggi pada pria dan usia lanjut2.

Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) adalah pecahnya varises

esofagus, gastritis erosif, tukak peptik, tukak esofagus, tukak duodenum, gastropati

kongestif, sindroma Mallory-Weiss, esofagitis dan keganansan1,2.

Tabel 1. Klasifikasi PSCBA berdasarkan mekanisme patofisiologi3

Ulceratif Hipertensi porta Tumor

1. Gaster

2. Idiopatik

3. Drug induced

(NSAID)

4. Infeksi ( H. Pylori)

5. Stres Ulcer

6. Zollinger Ellison

7. Esofagus

8. Infeksi (kandida,

CMV)

9. Drug Induced

(alendronate, KCL)

10. Varises esofagus

11. Varises gaster

12. Gastropati hipertensi

13. Malformasi vascular

14. Dieulafoy’s lession

15. Hereditary hemorragic

telangiectasia

16. Traumatic/ surgical

17. Mallory-Weiss syndrome

18. Aortoenteric fistula

19. Post anostomosis or

polypectomy

20. Benign

21. Polip

22. Lieomyoma

23. Keganasan

24. Adenocarsinoma

25. Carcinoid

26. Lymphoma

27. Metastase

karsinoma

Diagnosis

Tanda dan gejala tersering dari perdarahan saluran cerna bagian atas adalah

hematemesis (muntah darah), muntah berwarna coffee ground dan melena (tinja seperti

aspal/tar). Prioritas pertama pada PSCBA adalah menilai dan mengamati gangguan

hemodinamik yang terjadi resusitasi cairan, transfusi dan stabilisasi hemodinamik.

Page 22: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

8

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Seiring dengan rencana pemeriksaan penunjang untuk memperoleh sumber perdarahan,

penyebab perdarahan dan tatalaksana menghentikan perdarahan serta terapi defenitifnya2-

4

Anamnesis yang akurat dan teliti dapat memperkirakan lokasi dan penyebab

perdarahan. Penilaian hemodinamik (denyut nadi, tekanan darah), laju pernafasan, status

kesadaran, konjungtiva yang pucat, capillary refill yang melambat, serta tidak

ditemukannya stigmata sirosis hati kronik merupakan tanda-tanda awal yang harus segera

diidentifikasi. Takikardia pada saat istirahat dan hipotensi ortostatik menunjukkan adanya

kehilangan darah yang cukup banyak. Luaran urin rendah, bibir kering dan vena leher

kolaps juga merupakan tanda yang cukup berguna1-3,5.

Pemasangan nasogastric tube (NGT) dan menilai aspiratnya biasanya bermanfaat

untuki penilaian klinis awal. Apabila terdapat darah merah segar, maka pasien

membutuhkan evaluasi endoskopik segera dan perawatan di unit intensif. Penurunan

kadar hemoglobin 1g/dL diasosiasikan dengan kehilangan darah 250mL. Apabila terdapat

warna coffee ground, maka pasien membutuhkan rawat inap dan evaluasi endoskopik

dalam waktu 24 jam. Namun demikian aspirat normal tidak menyingkirkan perdarahan

saluran cerna. Sekitar 15% pasien dengan aspirat normal, tetap mempunyai perdarahan

saluran cerna aktif atau risiko tinggi mengalami perdarahan ulang. Pemeriksaan

endoskopi, tidak hanya mendeteksi ulkus peptikum, namun juga dapat digunakan untuk

mengevaluasi stigmata yang dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan ulang2,4-5.

Klasifikasi Forrest digunakan untuk mengklasifikasi temuan selama evaluasi

endoskopik, digambarkan sebagai berikut2,3:

1. Ulkus dengan perdarahan aktif menyemprot (Forrest IA);

2. Ulkus dengan perdarahan merembes (Forrest IB);

3. Ulkus dengan pembuluh darah visibel tak berdarah (Forrest IIA);

4. Ulkus dengan bekuan adheren (Forrest IIB);

5. Ulkus dengan bintik pigmentasi datar (Forrest IIC); dan

6. Ulkus berdasar bersih (Forrest III).

Penatalaksanaan

Evaluasi dan resusitasi yang tepat merupakan hal penting dilakukan pada pasien

PSCBA, terutama yang datang dengan keluhan hematemesis, hematoskezia masif, melena

atau anemia progresif. Stratifikasi pasien ke dalam kategori risiko rendah atau tinggi

untuk kejadian pendarahan ulang dan mortalitas dapat digunakan dengan skor Blatchford

dan Rockall (sesuai dengan ada tidaknya fasilitas endoskopi). Pasien-pasien dengan risiko

tinggi untuk terjadinya perdarahan ulang dan risiko kematian, sebaiknya dirawat di unit

rawat intensif2,3.

Tatalaksana PSCBA secara umum terdiri dari1,6:

Penialaian hemodinamik disertai resusitasi cairan dan stabilisasi hemodinamik.

Penialian onset dan derajat perdarahan.

Usaha menghentikan perdarahan secara umum ( stop gap treatment)

Usaha identifikasi lokasi sumber perdarahan dengan modalitas sarana penunjang

yang tersedia.

Mengatasi sumber perdarahan secara definitif.

Minimalisasi komplikasi yang dapat terjadi.

Upaya pencegahan terjadinya perdarahan ulang dalam jangka pendek maupun jnagka

panjang.

Page 23: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

9

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Tabel 2. Skor Rockall

Score 0 1 2 3

Age (yr) <60 60-70 ≥80 N/A

Pulse

Systolic blood

pressure

<100

>100

>100

>100

>100

<100

N/A

N/A

Comorbidities None Nil Major Isschemic Heart disease,

cardiac failure, other

major co-morbidity

Renal or

liver failure,

disseminated

malignancy

Diagnosis Mallory-

Weiss or no

lession/path

ology

All other

diagnosis

Malignant lesion N/A

Stigmata of

haemorrhage on

endoscopy

None, or

dark spot

only

None, or

dark spot

only

Blood, adherent clot,

visible/spurting vessel

N/A

Pemasangan nasogastric tube (NGT) dilakukan pada perdarahan yang diduga

masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik. NGT bertujuan untuk

mencegah aspirasi, dekompresi, dan menilai perdarahan sehingga tidak diperlukan pada

semua pasien dengan perdarahan1-3.

Resusitasi yang dilakukan termasuk pemberian cairan intravena dan oksigen

oksigen, koreksi koagulopati berat dan transfusi darah pada saat dibutuhkan. Batasan

transfusi bergantung kepada kondisi medis umum dan tanda vital pasien, biasanya

ditetapkan pada hemoglobin = 7.0 g/dL kecuali bila perdarahan masih terus berlangsung

atau masif serta adanya penyakit jantung koroner, gangguan hemodinamik (hipotensi dan

takikardi) dan usia lanjut. Kadar hemoglobin minimal untuk dilakukan endoskopi adalah

8 mg/dL dan jika akan dilaksanakan endoskopi terapeutik maka kadar hemoglobin

minimal adalah 10 mg/dL dengan catatan pasien juga dalam keadaan hemodinamik

stabil2,3. Pemberian FFP untuk pasien PSCBA diberikan pada kondisi protrombin time

atau activated partial thromboplastine time 1,5 kali lipat dari normal. Transfusi trombosit

diberikan pada pasien dengan kadar trombosit dibawah 50x103 /mm3.3

Pada pasien dengan penyakit hati kronis, pemberian vitamin K diperbolehkan

dengan pertimbangan tidak merugikan. PSCBA akibat varises dapat diberikan

vasopressin, somatostatin dan analognya (octreotide) diketahui menurunkan aliran darah

splanknik. Somatostatin juga dapat diberikan pada perdarhan nonvarises3.

Pemberian PPI sebelum endoskopi dapat digunakan (Rekomendasi 1B) untuk

pasien PSCBA terutama perdarahan nonvarises. Suasana lingkungan asam menyebabkan

penghambatan agregasi trombosit dan koagulasi plasma, juga menyebabkan terjadinya

lisis pada bekuan yang telah terbentuk. Pemberian PPI dapat secara cepat menetralisasi

asam lambung intraluminal, yang menghasilkan stabilisasi bekuan darah. Pada jangka

panjang, terapi antisekretorik juga mendukung penyembuhan mukosa. Bila endoskopi

akan ditunda dan tidak dapat dilaksanakan, PPI intravena direkomendasikan untuk

mengurangi perdarahan lanjut2,3.

Asam Tranexamat tidak direkomendasikan pada PSCBA, namun perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut untuk melihat manfaat pada perdarahan akibat varises. Pemberian

antibiotik seperti golongan sefalosforin generasi ketiga dapat mengurangi infeksi dan

mortalitas pasien PSCBA3.

Page 24: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

10

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Endoskopi telah menjadi alat untuk diagnosis dan tatalaksana PSCBA yang utama.

Tindakan ini memungkinkan untuk dilakukan identifikasi sumber pendarahan dan terapi

pada saat yang sama. Waktu optimal endoskopi masih dalam perdebatan. Endoskopi

darurat memungkinkan untuk dilakukan hemostasis dini, namun dapat menyebabkan

terjadinya aspirasi darah dan desaturasi oksigen pada pasien yang belum stabil. Sebagai

tambahan, jumlah darah dan bekuan yang banyak dapat mengganggu terapi target untuk

fokus pendarahan, yang dapat menyebabkan dibutuhkannya prosedur endoskopik

ulangan2.

Tabel 3. Skor Blatchford

Admission risk marker Score component value

Blood urea (mmol litre1)

6.5-8.0 2

8.0-10.0 3

10.0 - 25 4

>25 6

Haemoglobin (g litre-1) for men

12.0 – 13.0 1

10.0 – 12.0 3

<10.0 6

Haemoglobin (g litre-1) for women

10.0 – 12.0 1

<10.0 6

Systolic blood pressure (mmHg)

100-109 1

90-99 2

<90 3

Others markers

Pulse ≥ 100 (min-1) 1

Presentation with melena 1

Presentation with syncope 2

Hepatic disease 2

Cardiac failure 2

Score 0 low risk, consider outpatient management,

Score >5 high risk of needing intervention

Konsensus internasional dan Asia-Pasifik menganjurkan endoskopi dini dalam

waktu 24 jam setelah pasien dirawat, oleh karena tindakan ini secara signifikan

menurunkan lama rawat inap dan memperbaiki luaran klinis. Endoskopi sangat dini (<12

jam) sampai saat ini belum menunjukkan keuntungan tambahan dalam hal menurunkan

risiko pendarahan ulangan, pembedahan dan mortalitas bila dibandingkan dengan waktu

24 jam. Namun demikian, endoskopi darurat harus dipertimbangkan pada pasien dengan

pendarahan berat. Pada pasien dengan gambaran klinis risiko lebih tinggi (misalnya:

takikardi, hipotensi, muntah darah, atau darah segar pada NGT ) endoskopi dalam 12 jam

kemungkinan dapat meningkatkan luaran klinis2.

4.1 Terapi endoskopik untuk perdarahan nonvarises Tujuan terapi endoskopik adalah untuk menghentikan pendarahan aktif dan

mencegah perdarahan ulang. Metode terapinya meliputi 1). Contact thermal (monopolar

atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe) 20. Noncontact thermal (laser) 3).

Page 25: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

11

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol, cyanoacrylate, atau

pemakaian klip)2,3,8.

Farmakoterapi berperan penting pada tatalaksana PSCBA nonvarises. Terapi PPI

lebih superior dibandingkan antagonis reseptor histamin-2. PPI dapat diberikan oral atau

intravena bergantung kepada stigmata perdarahan (Kriteria Forrest)2,3. Penggunakaan PPI

mengurangi angka mortalitas3. Pada pasien dengan ulkus idiopatik non H.pylori, non

NSAID), dapat direkomendasikan terapi anti ulkus jangka panjang (PPI harian). Pada

pasien dengan perdarahan ulkus karena aspirin dosis rendah, harus dikaji ulang urgensi

pemberian aspirin tersebut2.

Pemeriksaan H.pylori disarankan untuk semua pasien dengan PSCBA.

Pemeriksaan ini kemudian dilanjutkan dengan terapi eradikasi untuk semua pasien

dengan hasil positif, Eradikasi dengan terapi tiga obat (triple therapy) memiliki tingkat

keberhasilan sampai 80 % bahkan 90% pada pasien ulkus peptikum tanpa disertai dengan

efek samping yang signifikan dan efek minimal dalam resistensi terhadap antibiotik.

Lebih jauh lagi, berkaitan dengan evaluasi penyembuhan ulkus melalui endoskopi,

ditemukan bahwa tingkat keberhasilan terapi PPI selama satu minggu mencapai 80-85%.

Setelah H. Pylori terbukti tereradikasi, terapi PPI rumatan tidak diperlukan kecuali

pasien menggunakan NSAIDs atau antitrombotik2,4-5.

4.1 Terapi endoskopik untuk perdarahan varises Teknik yang dilakukan meliputi endoscopic variceal ligation (EVL) atau

endoscopic sclerotherapy (ES). Tingkat keberhasilan mencapai 90%. Hasil meta analisis

menunjukan EVL lebih baik dalam mencegah perdarahan berulang, striktur dan

mortalitas3. Ballon tamponade sangat efektif untuk mentabilkan hemostasis pada

perdarahan varises akut, namun meningkatkan angka perdarahan kembali dan

komplikasi3,9-14.

Tindakan pembedahan pada perdarahan varises termasuk dekompresi sirkulasi

porta (emergency surgical shunt operation) dan transeksi esofagus. Tindakan ini

berdampak pada hemostasis yang lama dan peningkatan angka mortalitas sebesar 50%

dan semakin meningkat pada pasien sirosis childpugh C3,9-14.

Kesimpulan

Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu masalah emergensi di bidang

gastroenterologi. Perdarahan SCBA adalah perdarahan saluran makanan proksimal dari

ligamentum Treitz yang dibedakan menjadi perdarahan varises dan nonvarises. Diagnosis

dan penatalaksanaan yang tepat merupakan hal penting dilakukan untuk mengurangi

angka mortalitas dan komplikasi pada pasien PSCBA.

Page 26: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

12

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Gambar 1. Manajemen PSMBA akut

DAFTAR PUSTAKA

1. Djojoningrat, Dharmika. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas ( Hematemesis Melena )

dalam Buku Ajar Gastroenterologi Edisi 1. Jakarta: Interna Publishing. Hal.33-43.

2. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan

Perdarahan Saluran Cerna Atas Non varises di Indonesia. Jakarta: 2012.

3. Elsayed, Ingi Adel Salah et al. Management of acute upper GI bleeding. BJA Education,

17 (4):117-123(2017).

Page 27: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

13

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

4. Gralnek, Ian M, et al. Diagnosis and management of nonvariceal upper gastrointestinal

hemorrhage: European Society of Gastrointestinal Endoscopy (ESGE) Guideline.

Endoscopy 2015; 47: a1–a46.

5. Laine, Loren and Jensen, Dennis M. Management of Patients With Ulcer Bleeding. Am

J Gastroenterol 2012; 107:345–360.

6. Kim, Bong Sik Matthew et al. Diagnosis of gastrointestinal bleeding: A practical guide

for clinicians. World J Gastrointest Pathophysiol 2014 November 15; 5(4): 467-478

7. Sung, Joseph JY et al. Asia-Pacific working group consensus on non-variceal upper

gastrointestinal bleeding: an update 2018. Gut 2018;0:1–12. doi:10.1136/gutjnl-2018-

316276

8. Fujishiro, Mitsuhiro et al. Guidelines for endoscopic management of non-variceal upper

gastrointestinal bleeding. Digestive Endoscopy 2016; 28:363–378

9. Kim, Young Dae. Management of Acute Variceal Bleeding. Clin Endosc 2014:47: 308-

314

10. Cremers, Isabelle and Ribeiro, S. Management of variceal and nonvariceal upper

gastrointestinal bleeding in patients with cirrhosis. Ther Adv Gastroenterol 2014, Vol.

7(5) 206 –216

11. Haq, Ihteshamul and Tripathi,D. Recent advances in the management of variceal

bleeding. Gastroenterology Report, 5(2), 2017, 113–126

12. Tripathi, D et al. UK guidelines on the management of variceal haemorrhage in

cirrhotic patients. Gut 2015;0:1–25.

13. Mallet, M et al. Variceal bleeding in cirrhotic patients. Gastroenterology Report, 5(3),

2017, 185–192.

Page 28: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

14

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

HOW TO CHOOSE APPROPRIATE PROTON PUMP INHIBITOR

IN PATIENTS WITH MULTIPLE THERAPY

Murdani Abdullah

Division of Gastroenterology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of

Indonesia-dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta Pusat, Indonesia

Introduction

Anti-platelet therapy such as aspirin and clopidogrel is commonly prescribed for

acute coronary syndrome and arterial thromboembolism prophylaxis. Unfortunately,

antiplatelet therapy increased risk of gastrointestinal bleeding. Proton pump inhibitors

(PPI) are frequently administered to decrease the risk of upper gastrointestinal bleeding

among patients taking antiplatelet therapy.1 However, pharmacokinetic data and

observational studies have suggested a potential interaction between clopidogrel and PPI.

During the past few years, concerns have been raised about omeprazole can decrease the

efficacy of clopidogrel. This interaction could have a significant effect in clinical events.

Principle of Drug Interaction

Drug interaction remain an important issue in clinical practice and drug

development. Drugs can interact with foods, chemicals from the environment, or with

other drugs consumed. Polypharmacy facilitate the occurrence of drug interactions. Drug

interactions may occur when drugs that are substrates, inducers, and/or inhibitors of the

same metabolizing enzymes are co-administered. Drug interactions are considered

clinically important if they increased toxicity or reduced effectiveness of the drug. This is

mainly occur on drugs with narrow margins of safety. The severity of drug interactions is

influenced by individual variation (certain populations are more sensitive, elderly patients

or with severe illness, differences in metabolic capacity among individuals including

genetic polymorphisms), certain diseases, and other factors.2

In general, drug interaction mechanisms can be divided into three mechanisms:

incompatible interactions, pharmacokinetic interactions, and pharmacodynamic

interactions. Incompatibility occurs outside the body before medication is given. Direct

physical or chemical interactions seen as sediment formation or discoloration.

Pharmacokinetic interactions occur when one drug affects the absorption, distribution,

metabolism, or excretion of another drug so that the plasma drug level of both drugs

increases or decreases.3

A number of clinical drug interactions have been ascribed to the induction and/or

inhibition of cytochrome P450s (CYPs) metabolism enzyme in liver microsomes.2 Each

CYP isoenzyme has its own substrate and inhibitor. Co-administration of one substrate

with one inhibitor of the same enzyme increases the plasma substrate level thus

increasing its effect or toxicity. Induction means an increase in the synthesis of metabolic

enzymes at the level of transcription so that there is an increase in the speed of

metabolism of drugs that become the substrate of the enzyme. As a result, the doctor need

to increase the dose of the drug. Inhibition means a metabolic enzyme synthesis barrier

that causes an increase in the drug content to become the substrate of the inhibited

enzyme. To prevent the occurrence of toxicity, necessary dose reduction of the drug

concerned or even should not be given along with its inhibitor if the result is harmful.

Page 29: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

15

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Genetic polymorphisms, which can influence drug metabolism, are found in

CYP2D6, CYP2C9, CYP2C19, and NAT2 enzymes. The population is divided into 2 or

more subpopulations with different enzyme activity. In terms of CYP enzymes, the

population genotype is divided into extensive metabolizers (EM) and poor metabolizers

(PM). The frequency of PM in Southeast Asian descent for CYP2D6 enzyme is only

about 1-2%, for CYP2C19 enzyme around 15-25%, and for NAT2 enzymes 5-10%.4,5

PPI and Clopidogrel Drug Interaction

Clopidogrel is an antiplatelet drug, which works by blocking platelets from

sticking together and prevents them from forming harmful clots in blood vessels. The

active thiol metabolite irreversibly blocks adenosine diphosphate (ADP) from binding to

the P2Y12 receptor on the platelet, ultimately preventing aggregation. Therefore,

clopidogrel is commonly prescribed to prevent heart attack and stroke in person with

heart disease or clotting disorder. Clopidogrel is a prodrug that requires cytochrome P450

(CYP) to form an active metabolite, primarily relying on CYP2C19 but also utilizing

metabolic pathways involving CYP3A4, CYP2C9, CYP1A2, and CYP2B6.6,7

PPI have become first-line treatment for gastroesophageal reflux disease and may

be useful in patients undergoing antiplatelet therapy who are at higher risk of

gastrointestinal bleeding or ulcerations. PPI have been documented to be inhibitors of the

CYP2C19 enzyme and co-substrates for CYP3A4, the major enzymes needed to activate

clopidogrel. PPIs are predominantly metabolized in the liver by CYP2C19 and CYP3A4.

Therefore, concomitant use with clopidogrel poses a potential clinical concern.

Cytochrome P450 (CYP) enzymes are responsible for the conversion of clopidogrel into

its active metabolite and the metabolism of PPI, which may also inhibit CYP enzymes.8

Omeprazole carries a considerable potential for drug interactions because of its high

affinity for CYP2C19 and moderate affinity for CYP3A4. In contrast, pantoprazole-Na

appears to have lower potential for interactions with other medications.9

Clopidogrel is a prodrug that depends on cytochrome P450, or CYP, liver

enzymes to metabolize it into active form. Due to the increased risk of gastrointestinal

(GI) bleeding associated with clopidogrel and dual anti-platelet therapy, many post-acute

coronary syndrome patients are also started on a proton pump inhibitor (PPI) or H2

receptor antagonist. PPI medications (the most frequently prescribed drugs to reduce the

risk of GI bleeding) also interact with the CYP liver enzymes and thus may inhibit the

conversion of clopidogrel to its active metabolite and potentially alter its efficacy. In

November 2009, The Food and Drug Administration include a drug interaction warning

of omeprazole and esomeprazole with clopidogrel due to interference in metabolism via

CYP2C19. Kashour et.al found that more than half of patients who were previously on

concomitant omeprazole and clopidogrel therapy were switched to a different PPI.10

A randomized-controlled study was conducted in France to compare the effect of

omeprazole and pantoprazole on platelet response to clopidogrel after coronary stenting

for non–ST elevation acute coronary syndrome. The study showed that patients receiving

pantoprazole had a significantly better platelet response to clopidogrel (p = 0.007),

assessed with Platelet Reactivity Index Vasoactive Stimulated Phosphoprotein (PRI

VASP).11 A population-based nested case–control study also showed similar results. The

study suggested that the use of PPIs was associated with an increased risk of re-infarction

(adjusted OR1.27, 95% CI 1.03–1.57), but the use of pantoprazole, had no association

with readmission for myocardial infarction (adjusted OR 1.02, 95% CI 0.70–1.47).12

Recent studies in East Asian cohorts also suggests that the potential of PPIs to attenuate

Page 30: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

16

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

the efficacy of clopidogrel could be minimized by the use of newer PPIs with weaker

affinity for CYP2C19 isoenzyme, such as pantoprazole, dexlansoprazole and rabeprazole.

A randomized incomplete crossover study in healthy volunteers showed that not

one of the PPIs tested (pantoprazole, omeprazole, rabeprazole, esomeprazole,

lansoprazole, and dexlansoprazole) has a statistically significant interaction with

clopidogrel as measured by whole-blood impedance aggregometry. This study suggested

that any interaction between clopidogrel and PPIs is a weak interaction that might become

relevant only under specific clinical conditions.6

From those studies, it can be concluded that the degree of interaction between

clopidogrel and PPIs is not homogeneous within the class of PPIs and is less marked with

pantoprazole than with omeprazole. Concomitant therapy with PPIs other than

pantoprazole was associated with a loss of the beneficial effects of clopidogrel and an

increased risk of re-infarction.

Conclusion

PPIs are recommended in patients with prior upper GI bleeding and considered

appropriate in patients with multiple other risk factors who require dual anti-platelet

therapy. Not all PPIs have equal affinity for CYP2C19 and consequently, do not attenuate

platelet

inhibition by clopidogrel to the same degree. Some PPIs significantly reduce the

cardioprotective effects of clopidogrel. The use of omeprazole significantly reduced the

antiplatelet activity of clopidogrel. This findings suggest the preferential use of

pantoprazole compared with omeprazole in patients receiving clopidogrel to avoid any

potential negative interaction with CYP2C19.

References

1. Cardoso RN, Benjo AM, DiNicolantonio JJ, et al. Incidence of cardiovascular events and

gastrointestinal bleeding in patients receiving clopidogrel with and without proton pump

inhibitors: An updated meta-analysis. Open Hear. 2015;2(1).

2. Zhou S, Xue CC, Yu X. Clinically Important Drug Interactions Potentially Involving

Mechanism-based Inhibition of Cytochrome P450 3A4 and the Role of Therapeutic Drug

Monitoring. Ther Drug Monit. 2007;29(6):687-710.

3. Tari L, Anwar S, Liang S, Cai J, Baral C. Discovering drug – drug interactions : a text-

mining and reasoning approach based on properties of drug metabolism. Bioinformatics.

2010;26:547-553.

4. Kubica A, Kozinski M, Grzesk G, Fabiszak T, Navarese EP, Goch A. Genetic determinants

of platelet response to clopidogrel. J Thromb Thrombolysis. 2011;32(4):459-466.

5. Zou D, Goh K-L. East Asian perspective on the interaction between proton pump inhibitors

and clopidogrel. J Gastroenterol Hepatol. 2017;32(6):1152-1159.

6. Przespolewski ER, Westphal ES, Rainka M, Smith NM, Bates V, Gengo FM. Evaluating the

Effect of Six Proton Pump Inhibitors on the Antiplatelet Effects of Clopidogrel. J Stroke

Cerebrovasc Dis. 2018:1-8.

7. Mega JL, Close SL, Wiviott SD, et al. Cytochrome P-450 Polymorphisms and Response to

Clopidogrel. N Engl J Med. 2009;360(4):354-362.

8. Juel J, Pareek M, Jensen SE. The Clopidogrel-PPI Interaction : An Updated Mini-Review

Proton Pump Inhibitors Clopidogrel Inactivation Liver Cytochrome P450 system Activation.

Curr Vasc Pharmacol. 2014;12:751-757.

9. Wedemeyer R, Blume H. Pharmacokinetic Drug Interaction Profiles of Proton Pump

Inhibitors : An Update. Drug Saf. 2014.

10. Kashour T, AL-Tannir M, Bahamid R. Changing Prescription Pattern of Omeprazole Among

Patients Receiving Clopidogrel. Int Heart J. 2014;55(2):93-95.

Page 31: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

17

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

11. Cuisset T, Frere C, Quilici J, et al. Comparison of Omeprazole and Pantoprazole Influence

on a High 150-mg Clopidogrel Maintenance Dose. The PACA (Proton Pump Inhibitors And

Clopidogrel Association) Prospective Randomized Study. J Am Coll Cardiol.

2009;54(13):1149-1153.

12. Juurlink DN, Gomes T, Ko DT, et al. A population-based study of the drug interaction

between proton pump inhibitors and clopidogrel. Can Med Assoc J. 2009;180(7):713-718.

Page 32: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

18

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

25 years of Proton Pump Inhibitors: What are the Issues?

Dadang Makmun

Division of Gastroenterology, Department of Internal Medicine

Faculty of Medicine, Universitas Indonesia /

Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta

Introduction

Proton pump inhibitors (PPIs) were introduced in 1989, targeted the gastric

H+/K+- adenosine triphosphate (ATP)aseand become a breakthrough in the treatment of

acid-related diseases. Until today, PPIs are widely usedin the management of acid-related

diseases such as peptic ulcer disease (PUD), gastroesophageal reflux disease (GERD),

nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) gastropathy, and eradication of H. Pylori

along with antibiotics. PPIs are proven to have greater and longer duration of acid

suppression and healing rates compared to H2 receptor antagonist, synthetic prostaglandin

analogs, and anticholinergics.1,2,3

Pharmacokinetic and pharmacodynamics of PPI

PPI is a substituted benzimidazole sulfoxide drug with a powerful inhibitory effect

of gastric acid secretion. PPIs are membrane permeable, acid-labile weak bases drug. To

prevent premature activation and degradation by gastric acid, PPIs are packed with

gelatin capsules, enteric-coated tablets, or coated granules. The recommendation is to take

PPIs approximately 30-60 minutes before meal to ensure the proton pumps are active

when PPIs reach the highest concentration in the blood. The first drug to be introduced

was omeprazole, today PPIs that also available on the market are pantoprazole,

lansoprazole, rabeprazole, and esomeprazole. All PPIs are administered orally but for

omeprazole, lansoprazole, pantoprazole, and esomeprazole are also available in

intravenous formulation which are more suitable for hospitalized patients.2,4

The half-life of single dose PPI is only 1-2 hours although the time to maximum

plasma concentration (tmax) is ranged from 1 to 5 hours depending on the drug

formulation and the food effect. All PPIs are predominantly metabolized in the liver by

cytochrome P450 (CYP) enzymes especially CYP2C19 and CYP3A4. However,

CYP2C19 and CYP3A4 have genetic polymorphisms properties in each individual

including homozygous extensive metabolizer (homoEM), heterozygous extensive

metabolizer (heteroEM), and poor metabolizer (PM). Individual with PM metabolize the

drug in slower rate with the area under the curve (AUC) of 3-10 times higher than

homoEM, whereas heteroEM only had 2-3 times higher.4

The increased gastric pH and longer duration of higher gastric pH are directly

correlated with higher healing rates and improved symptoms of acid-related diseases and

eradication of H. pylori. It is important to maintain gastric pH >3 for duodenal ulcer, and

pH >4 for GERD and eradication of H. pylori. PPIs have consistently shown longer

duration to maintaingastric pH >4 for between 15 and 21 hours as compared to 8 hours

for histamine type 2 receptor antagonist (H2RA).3 Among all PPIs, rabeprazole 20 mg

showed significantly longer pH holding time on the first day of dosing, followed by

lansoprazole 30 mg, pantoprazole 40 mg, omeprazole 20 mg and omeprazole multiple

unit pellet system (MUPS) 20 mg.The effectiveness of PPIs in treating gastric acid-

Page 33: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

19

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

related diseases is also contributable to the rapid onset of action. Study reported that

lansoprazole inhibited gastric H+/K+-ATPase faster than other PPIs with onset of action of

1.0 hour.5

Drug-drug interaction

The long-term use of PPI and concomitant use with other drugs may cause drug-

drug interaction. PPIs is suggested to interact with other medicine by making plasma

concentration of other drugs much higher, increasing side effects, decreasing therapeutic

effects, and altering their metabolisms and elimination.4The mechanism of drug-drug

interaction of PPIs are alteration of other drug absorption due to the increased gastric

pH,alteration of the hepatic metabolism of other drugs, and impairment of renal

elimination.1,2

One example of drug that interact with PPI is clopidogrel because both drugs are

metabolized by the same enzyme (CYP2C19). The antiplatelet effects of clopidogrel may

be attenuated when given concomitantly with PPIs due to the inhibition of the CYP2C19

by PPIs. The reduction of antiplatelet effects of clopidogrel leads to higher level of

platelet reactivity, thus increasing the risk of adverse clinical outcomes. Omeprazole and

esomeprazole are metabolized almost entirely by CYP2C19, thus have the greatest

interaction with clopidogrel. Lansoprazole, pantoprazole, and rabeprazole have less

affinity to CYP2C19 and interaction seems to be less significant with these agents.6,7The

American Heart Association (AHA), American College of Cardiology (ACC), and

American College of Gastroenterology (ACG) recommended that concomitant use with

clopidogrel and PPIs can be given only for patients who are at high-risk for GI bleeding

such as history of prior GI bleeding, H. pylori infection, elderly, and those who are

treated with anticoagulants, corticosteroids, or NSAIDs.8

Clinical uses of PPIs

The use of PPI has been proven to be beneficial for various acid related diseases.

PPI consistently shows rapid healing and symptom resolution of gastroduodenal ulcers,

esophagitis (GERD), nonerosive reflux disease (NERD), functional dyspepsia, and other

acid related diseases compared to H2RA. The summary of clinical uses of PPIs approved

by the US Food and Drug Administration (FDA) are listed below.

Page 34: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

20

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Table 1 Indication for PPI approved by FDA3

Clinical trials have reported that PPI has superior healing rates for PUD than

H2RA. The long-term PPI therapy should be considered in patients with persistent

symptoms, when H2RAs have proven ineffective, NSAIDs associated ulcers, H. pylori

negative ulcers, or when ulcer-related complication such as perforation and fibrosis

occurs.3 Other condition that might require long-term use of PPI according to the

recommendation of AGA/ACG include: 9

- Maintenance of symptoms control in GERD

- Maintenance of healing of erosive esophagitis

- Barrett’s esophagus (unrelated to GERD symptoms or reflux esophagitis)

- NSAID users at increased risk

- Antiplatelet agent users with increased risk

- Pathological hypersecretory condition (e.g. Zollinger-Ellison syndrome)

also plays an important part in the management of peptic ulcer related GI bleeding. High

dose intravenous bolus of PPI (80 mg)followed by continuous infusion (8mg/hr) until

endoscopy procedure is conducted was associated with lower number of patients with

high-risk endoscopic stigmata of hemorrhage (active bleeding, visible vessel, or adherent

clot), reduced re-bleeding, and the need for surgery.The inclusion of PPI along with

antibiotics to eradicate H. pylori are shown to be effective. The benefit is accounted to the

increased bioavailability of acid-labile antibiotics and perhaps the direct inhibition of H.

pylori growth. 3

Adverse Effects of PPI

Although PPIs are considered safe, adverse effect may arise from long-term use of

high-dose PPIs. The US FDA release warning for interstitial nephritis and vitamin B12

deficiency in long-term (more than 3 years) use of daily PPI. Long-term use of PPI is

thought to affect the absorption of magnesium and calcium. Clinicians should be aware of

the risk of hypomagnesemia especially in patients who take PPI along with digoxin and

Page 35: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

21

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

diuretics. Calcium deficiency which leads to possible risk for hip, wrist, and spine

fractures should also be cautioned when giving high dose (more than once daily) or more

than 1 year of PPI therapy even though it remains controversial. Another adverse effect of

PPIs that remains unclear is the incidence of enteric infection including small intestinal

bacterial overgrowth, Salmonella, Campylobacter jejuni, and Clostridium difficile

infection.3,10

Future PPI

The short half-life and preprandial dosing of PPI are significant problems. Among

patients taking PPIs twice daily, almost 40% of them still experience nocturnal symptoms

due to nocturnal acid breakthrough (NAB).Furthermore, half of patients have poor

compliance of PPI. Several efforts have been made to overcome these problems.

Lansoprazole fast disintegrating tablets (LFDT) is a new and more convenient formula of

lansoprazole which can be taken with or without water. When LFDT is placed on the

tongue and sucked gently, it disintegrates rapidly in the mouth, releasing the enteric-

coated microgranules which then swallowed with the patient’s saliva without water. The

LFDT has the same pharmacological properties as regular lansoprazole and has

comparable efficacy and safety as well. The indication and dosage for LFDT are also the

same to lansoprazole capsule. LFDT may be suitable for patients with dysphagia

associated with GERD, odynophagia, stricture, elderly, and those who are travelling to

improve compliance.11,12

A novel imidazopyridine PPI, tenatoprazole, has been developed with greater

inhibitory effect on H+/K+ ATPase than benzimidazole PPI. Tenatoprazole has longer

half-life of 8 hours after a single dose and 14 hours after multiple doses. The increased

half-life is parallel to the increased AUC by more than 20-fold, thus greater duration of

effect. This drug is still under development and until recently clinical trials on

tenatoprazole are still unavailable. 3

Vonoprazan fumarate, a potassium-competitive acid blocker (P-CAB) is a new

drug that competitively blocks the potassium-binding site of H+/K+ATPase. Vonoprazan

has several advantages over conventional PPIs including fasteronset of action, stronger

and longer duration of acid suppression. The maximum plasma concentration (Cmax) of

vonoprazan is 2 hours but the half-life is 7 hours as compared to 1-2 hours for

conventional PPIs. As vonoprazan does not require acid-catalyzed activation, the acid

suppression action of this drug does not depend on meal. The pH >4 holding time in the

night wasachieved up to 75% with 20 mg single dose, 90% with 40 mg single dose, and

100% with 20 mg twice daily. This drug has been on the market in Japan and Korea since

2015 and now the drug has beenapprovedby Badan Pengawas Obat dan Makanan(BPOM)

to be marketed in Indonesia. It will enhanced the modality in the management of acid

related disease13

Conclusion

PPI has been the major breakthrough in the management of various acid related

diseases for more than 25 years. The broad clinical indication, efficacy, safety and

availability make PPIsto become the most prescribed drug among gastroenterologists.

Efforts to improve their pharmacologic limitations are being explored including alteration

Page 36: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

22

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

of drug formulation and development of new class of PPI. Vonoprazan is the latest

modality in acid suppression which has more advantage compared to conventional PPIs in

the management of acid related disease.

Reference

1. Wedemeyer RS, Blume H. Pharmacokinetic drug interaction profiles of proton pump

inhibitors: an update. Drug Saf 2014;37:201-11.

2. Ogawa R, Echizen H. drug-drug interaction profiles of proton pump inhibitors. Clin

Pharmacokinet 2010;49(8):509-33.

3. Strand D, Kim D, Peura D. 25 years of proton pump inhibitors: A comprehensive review.

Gut and Liver. 2017;11(1):27-37.

4. Shin JM, Kim N. Pharmacokinetics and pharmacodynamics of proton pump inhibitor. J

Neurogastroenterol Motil 2013;19(1):25-5.

5. Robinson M. Review article: the pharmacodynamics and pharmacokinetics of proton

pump inhibitors – overview and clinical implications. Aliment Pharmacol Ther

2004;20(6):1-10.

6. Serbin MA, Guzauskas GF, et al. Clopidogrel-proton pump inhibitor drug-drug

interaction and risk of adverse clinical outcomes among PCI-treated ACS patients: a

meta-analysis. J Manag Care Spe Pharm 2016;22(8):939-47.

7. Bundhun PK, Teeluck AR, et al. Is the concomitant use of clopidogrel and proton pump

inhibitors still associated with increased adverse cardiovascular outcomes following

coronary angioplasty?: a systematic review and meta-analysis of recently published

studies (2012-2016). BMC Cardiovascular Disorders 2017;17:3.

8. Bouziana SD, Tziomalos K. Clinical relevance of clopidogrel-proton pump inhibitors

interaction. World J Gastrointest Pharmacol Ther 2015;6(2):17-21.

9. Savarino V, Dulbecco P, De Bortoli N, et al. The appropriate use of proton pump

inhibitors (PPIs): Need for reappraisal. Eur J Intern Med. 2017;37:19-24

10. Yadlapati R, Kahrilas PJ. When is proton pump inhibitor use appropriate? BMC Med.

2017;15:1-4.

11. Baldi F, Malfertheiner P. Lansoprazole fast disintegrating tablet: A new formulation for

an established proton pump inhibitor. Dig. 2003;67:1-5.

12. Marquez-Contreras E, Gil V, Lopez J, et al. Pharmacological compliance and

acceptability of lansoprazole orally disintegrating tablets in primary care. Curr Med Res

Opin. 2008;24:569-576.

13. Sugano K. Vonoprazan fumarate, a novel potassium- competitive acid blocker, in the

management of gastroesophageal reflux disease: safety and clinical evidence to date. Ther

Adv Gastroenterol. 2018;11: 1–14

Page 37: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

23

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

THE ROLE OF GUT LIVER AXIS IN NON ALCOHOLIC

FATTY LIVER DISEASES

Irsan Hasan, Steven Zulkifly

Divisi Hepatobilier, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah

Sakit Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia.

Pendahuluan

Di negara Barat, perlemakan hati non alkoholik (PHNA) merupakan kasus yang

cukup sering ditemukan dengan prevalensi sekitar 17-45% pada populasi dewasa.1 Pada

tahun 2016, prevalensi global PHNA diprediksi akan mencapai 25,4%, dengan prevalensi

tertinggi ditemukan di daerah Timur Tengah (31,79%) dan Amerika Serikat (30,45%),

sedangkan prevalensi terendah ditemukan di Benua Afrika (13,48%).2 Studi mengenai

prevalensi dan insidensi PHNA di Indonesia sangat terbatas. Pada penelitian yang

dilakukan di Poliklinik Endokrin Metabolik RS Cipto Mangunkusumo (RSCM),

ditemukan sekitar 45,2% pasien DM tipe 2 mengalami PHNA.3

Mekanisme Disbiosis pada PHNA

Hipotesis serangan kedua (2nd hypothesis) telah lama dikenal sebagai mekanisme

patogenesis PHNA, dimana akumulasi trigliserida di dalam hati yang menyebabkan

steatosis sebagai serangan pertama. Kondisi ini membuat sel hati menjadi lebih rentan

untuk mengalami serangan kedua oleh sitokin-sitokin inflamasi, disfungsi mitokondria

dan stress oksidatif. Proses ini yang kemudian akan berlanjut menyebabkan

steatohepatitis dan/atau fibrosis.4

Hipotesis serangan ketiga (3rd hypothesis) didasari oleh proliferasi hepatosit yang

tidak adekuat, dimana kematian sel merangsang replikasi hepatosit matur untuk

menggantikan sel-sel hati yang mati. Stress oksidatif memegang peranan penting dalam

menghambat proses replikasi, sehingga terjadi akumulasi sel progenitor hati. Sel

progenitor dan intermediate hepatocyte-like cell berkaitan dengan terjadinya fibrosis.4

Mikrobiota usus merupakan kompleks mikroorganisme yang terdapat dalam usus

tiap individu dan ditandai dengan sekumpulan gen dalam jumlah besar yang disebut

mikrobiom. Kolonisasi dalam jumlah besar di usus manusia normal bertujuan untuk

menjaga hubungan sinbiotik dengan host. Peran mikrobiota ini sangat luas, dimulai dari

proses pencernaan, sintesis vitamin dan pencegahan kolonisasi oleh mikroorganisme

patogen. Komposisi mikrobiota sangat bersifat dinamis dan bergantung pada faktor

lingkungan.5

Disbiosis didefinisikan sebagai ketidakseimbangan mikrobiota usus baik dari segi

kuantitatif maupun kualitatif dalam perkembangan sistem imun, proteksi patogen,

regulasi homeostasis intestinal dan fungsi metabolisme. Pada beberapa studi, disbiosis

dihubungkan sebagai faktor predispsosisi perkembangan dari beberapa penyakit kronik

terutama yang berhubungan dengan gangguan metabolik, termasuk PHNA.5

Page 38: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

24

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Gambar 1. Mekanisme disbiosis dalam terjadinya steatosis.5

Akumulasi lipid diperantarai oleh produk akhir metabolisme bakteri di usus besar.

Pada umumnya, manusia memiliki kekurangan enzim yang dapat mencerna serat seperti

selulosa, xylan, starch atau inulin. Oleh karena itu, mikroba usus melakukan fermentasi

karbohidrat tersebut menjadi asam lemak rantai pendek/short chain fatty acids (SCFAs).

Asam lemak rantai pendek dapat secara langsung menjadi prekursor lipid di hati.5

SCFAs memiliki efek lainnya melalui interaksi ligand dengan reseptor protein G,

seperti GRP3 dan GRP4. Aktivasi kedua reseptor ini akan menginduksi sekresi peptida

YY dan akan menurunkan motilitas usus. Selain itu, produk bakteri lainnya secara tidak

langsung mempengaruhi metabolisme glukosa melalui regulasi pelepasan inkretin seperti

glucagon-like-peptide-1 (GLP-1). Secara umum, peningkatan kadar SCFAs memiliki

keuntungan dalam mencegah obesitas dikarenakan efek penurunan motilitas usus,

penurunan asupan makanan peningkatan termogenesis, peningkatan energy expenditure,

inhibisi lipogenesis dan inhibisi sintesis kolesterol.6 Selain itu, SCFA berperan sebagai

fungsi pertahanan berpindahnya toksin bakteri ke dalam sirkulasi, penurunan

endotoksemia metabolik, obesitas dan resistensi insulin.5

Terganggunya keseimbangan mikrobiota (disbiosis) menghambat sintesis FIAF

(fasting induced adipocyte factor) atau disebut juga sebagai ANGPTL4 (angiotension-

related protein 4), yang berperan sebagai inhibitor spesifik lipoprotein lipase (LPL). LPL

berperan dalam proses hidrolisis trigliserida dan pelepasan asam lemak bebas dari VLDL.

Oleh karena itu, disbiosis dapat menyebabkan akumulasi trigliserida di hati yang berujung

pada steatosis, melalui penekanan sintesis ANGPTL4.7

Translokasi bakteri atau produk bakteri ke dalam sirkulasi porta merupakan

mekanisme utama disbiosis terhadap terjadinya progresifitas penyakit hati kronik. Toll

like receptors (TLRs) adalah kompleks multiprotein yang mengenali pathogen associated

molecular patterns (PAMPs). Masing-masing TLRs memiliki afinitas yang berbeda

terhadap patogen yang spesifik, seperti contoh TLR4 secara spesifik mengenali LPS

(komponen dinding bakteri gram negatif), TLR5 berikatan dengan flagel bakteri dan

TLR9 secara khusus mengenali bakteri DNA. Setelah aktivasi TLRs spesifik, akan terjadi

aktivasi inflammasome dan kaskade intraselular terjadi disusul dengan pelepasan sitokin

IL-1β dan IL-18 yang berperan dalam inflamasi dan kematian sel.5

Page 39: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

25

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Gambar 2. Mekanisme disbiosis pada PHNA melalui peningkatan kadar SCFAs dan PAMPs serta

penurunan ANGPTL4.5

Karakteristik susunan mikrobiota pada pasien PHNA adalah proporsi

Bacteroidetes yang rendah dan proporsi Prevotella dan Porphyromonas yang tinggi bila

dibandingkan dengan individu normal. Peningkatan jumlah bakteri yang memproduksi

etanol di dalam mikrobiota ditemukan pada pasien dengan steatohepatitis non alkoholik

(SHNA). Selain itu, peningkatan kadar etanol dalam darah juga ditemukan pada pasien

SHNA bila dibandingkan dengan individu sehat dan pasien PHNA.5,8

Peran Probiotik Pada Tata Laksana PHNA

Studi mengenai probiotik sebagai salah satu metode terapi PHNA telah banyak

dilakukan, namun memberikan hasil yang bervariasi. Sebuah studi meta-analisis yang

terdiri atas 4 studi uji klinis terandomisasi pada tahun 2013 dilakukan untuk mengevaluasi

efek probiotik pada pasien PHNA. Studi ini menunjukkan adanya perbedaan bermakna

terhadap penurunan kadar SGPT, SGOT, kolesterol total, kadar HDL, TNF-α dan

homeostasis model assessment of insulin resistance (HOMA-IR). Namun, tidak

ditemukan adanya perbaikan pada nilai indeks massa tubuh (IMT), kadar glukosa dan

LDL.9

Meta-analisis terbaru pada tahun 2015 yag terdiri atas 9 uji klinis terandomisasi

dengan jumlah 535 kasus PHNA pada pasien dewasa maupun anak. Studi ini

menunjukkan probiotik dapat memperbaiki kadar kolesterol total, HDL, HOMA dan

TNF-α pada seluruh pasien PHNA. Perbaikan kadar trigliserida hanya ditemukan pada

pasien Italia dan Spanyol. Akan tetapi, tidak ditemukan adanya perbaikan nilai IMT dan

kadar glukosa serta insulin.10

Penelitian terbaru pada tahun 2017 mengevaluasi pemberian kapsul probiotik

selama 12 minggu pada 64 anak obesitas yang terdiagnosis PHNA melalui pemeriksaan

USG. Setelah intervensi selama 12 minggu, terdapat penurunan kadar rerata pada nilai

SGOT, SGPT dan kolesterol, LDL dan trigliserida, serta lingkar pinggang. Namun, pada

Page 40: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

26

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

penelitian ini tidak ditemukan adanya perubahan signifikan pada berat badan dan IMT.

Perubahan gambaran USG menjadi normal ditemukan pada 17 pasien (53,1%) di

kelompok intervensi dan 5 pasien (16,5%) di kelompok kontrol.11

Referensi :

1. Vernon G, Baranova A, Younossi ZM. Systematic review : the epidemiology and natural

history of non-alcoholic fatty liver disease and non-alcoholic steatohepatitis in adults.

Aliment Pharmacol Ther. 2011; 34:274-85.

2. Younossi ZM, Koenig AB, Abdelatif D, Fazel Y, Henry L, Wymer M. Global epidemiology

of nonalcoholic fatty liver disease-meta-analytic assessment of prevalence, incidence, and

outcomes. Hepatology. 2016;64(1):73-84.

3. Prasetya IB, Hasan I, Wisnu W, Rumende CM. Prevalence and profile of fibrosis in diabetic

patients with non-alcoholic fatty liver disease and the associated factors. Acta Med Indones.

2017;49(2):91-98.

4. Dowman JK, Tomlinson JW, Newsome PN. Pathogenesis of non-alcoholic fatty liver

disease. Q J Med. 2010;103:71-83.

5. Marra F, Svegliati-Baroni G. Lipotoxicity and the gut-liver axis in NASH pathogenesis. J

Hepatol. 2018.

6. Machado MV, Cortez-Pinto H. Diet, microbiota, obesity and NAFLD: a dangerous quartet.

Int J Mol Sci. 2016;17:481

7. Leung C, Rivera L, Furness JB, Angus PW. The role of the gut microbiota in NAFLD. Nat

Rev Gastroenterol Hepatol. 2016;13:412-25.

8. Zhu L, Baker SS, Gill C, Liu W, Akhouri R, Baker RD, et al. Characterization of gut

microbiomes in nonalcoholic steatohepatitis (NASH) patients: a connection between

endogenous alcohol and NASH. Hepatology. 2013;57:601-09.

9. Ma YY, Li L, Yu CH, Shen Z, Chen LH, Li YM. Effects of probiotic on nonalcoholic fatty

liver disease: a meta-analysis. World J Gastroenterol. 2013;19(40):6911-18.

10. Gao X, Zhu Y, Wen Y, Liu G, Wan C. Efficacy of probiotics in non-alcoholic fatty liver

disease in adult and children: a meta-analysis of randomized controlled trials. Hepatology

Research. 2016.

11. Famouri F, Shariat Z, Hashemipour M, Keikha M, Kelishadi R. Effects of probiotics on

nonalcoholic fatty liver disease in obese children and adolescents. JPGN. 2017;64:413-17.

Page 41: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

27

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

THE ROLE OF NUTRITION IN CHRONIC LIVER DISEASE

Putut Bayupurnama

Divisi Gastroenterologi dan Hepatologi, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam RSUP

Dr Sardjito/FKKMK-UGM, Yogyakarta

Malnutrisi merupakan hal yang sering terjadi pada pasien dengan penyakit hati

khronik dan terutama pada kasus sirrhosis hati mencapai 75% pasien dan 21% pasien

sirrhosis hati Child A sudah menunjukkan malnutrisi sedang sampai berat. Kurangnya

intake makanan per oral , sintesis protein oleh liver yang tidak adekwat dan keadaan liver

yang hipermetabolik berperan terhadap keadaan malnutrisi tersebut. Rata- rata intake

harian kalorinya < 50% dari yang dianjurkan. Sehingga ketika dibawa ke rumah sakit

banyak mempunyai status nutrisi yang buruk yang meningkatkan risiko asites,

ensefalopati, sindrom hepatorenal dan mortalitas. Faktor-faktor yang berperan terjadinya

malnutrisi pada penyakit hati khronik adalah: ketidakcukupan nutrisi karena makan

sedikit sudah terasa penuh (early satiety) akibat asites, anoreksia (mual,muntah,distensi

abdomen), dysgeusia (defisiensi zinc), ensefalopati hepatikum, diet yang dibatasi (rendah

protein , rendah natrium, pembatasan cairan), peminum alkohol, hambatan

sosioekonomik; perubahan-perubahan metabolik yaitu kondisi hipermetabolik,

glukoneogenesis yang meningkat, resistensi insulin; malabsorpsi karena portosystemic

shunting (edema dinding usus, stasis vena porta), defisiensi asam empedu, small bowel

bacterial overgrowth.

Asesmen Nutrisi

Asesmen nutrisi pada pasien dengan penyakit hati khronik, khususnya sirrrhosis

hati, tidak bisa hanya mengandalkan data obyektif tetapi juga data subyektif, mengingat

kondisi fisik yang mungkin hipervolumia,seperti adanya edema/asites, terkait berat badan

ideal, dan kimiawi pasien seperti adanya hipoalbuminemia dan lain-lain. Asesmen

obyektif yang dipilih pada

Tabel 1. Subjective Global Assessment

Riwayat

Perubahan berat badan:

a. Dalam 6 bulan terakhir

b. Dalam 2 minggu terakhir

Perubahan terkait makanan:

c. Jika berubah, lama perubahan diet nya

d. Jika masukan berkurang, catat karakter diet: solid suboptimal, cair, hipokalorik,

kondisi kelaparan

Simtom berlangsung > 2 minggu:

e. Asimtomatik, mual,muntah,diare,anoreksia

f. Status fungsional

g. Tanpa disfungsi

h. Jika ada disfungsi, catat lamanya (minggu) dan derajatnya (bekerja suboptimal,

dapat berjalan, hanya terbaring di tempat tidur, cacat spesifik)

i. Diagnosis primer dan adanya stres metabolik

j. Tanpa stress, derajat rendah, moderat, tinggi

Pemeriksaan Fisik:

J. Tentukan, sebagai: normal(0), ringan (1+), moderat(2+), berat (3+)

a. Hilangnya lemak trisep dan sub kutan dada

Page 42: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

28

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

b. Berkurangnya massa otot (muscle wasting) quadricep dan deltoid

c. Asites

d. Ankle edema

e. Sacral edema

Subjective Global Assessment Rating:

K. A= tercukupi nutrisinya dengan baik

L. B= malnutrisi sedang

M. C=malnutrisi berat

umumnya adalah ukuran antrophometrik ,seperti triceps skin-fold thickness, midarm

circumference. Handgrip strength test, mungkin menjadi prediktor komplikasi pada

pasien sirrhosis dengan malnutrisi. Untuk asesmen subyektif umumnya menggunakan

Subjective Global Assessment (SGA) yang mendasarkan pada gejala-gejala fisik

malnutrisi dan suatu pengetahuan tentang riwayat nutrisi(Tabel 1).

Rekomendasi Nutrisi

Fokus rekomendasi nutrisi untuk pasien sirrhosis hati secara umum adalah

menekan zat-zat hepatotoksik dan memenuhi mikronutrien secara optimal dalam hal

energi, protein, karbohidrat, dan lipid, bersamaan dengan mikronutrien lain seperti

vitamin dan mineral. Pada pasien dengan penyakit hati khronik, maka pada mereka yang

diketahui mengalami malnutrisi maka diupayakan dulu pemberian nutrisi secara oral dan

enteral. Apabila kebutuhan nutrisi tak dapat tercapai secara oral, maka dianjurkan

pemberian melalui nasogastric tube. Nuitrisi parenteral hanya diberikan apabila

kebutuhan nutrisi tak tercapai melalui per oral maupun nasogastrc tube.

Kebutuhan kalori penderita penyakit hati khronik khususnya sirrhosis antara 25-

40 kcal/kg/hari (menurut ESPEN). Pembatasan protein untuk mengurangi risiko

ensefalopati hepatikum tidak didukung penelitian dan mungkin justru memperburuk

kondisi malnutrisi pasien. Rekomendasi saat ini untuk kebutuhan protein pasien sirrhosis

hati 1,2-1,5 g/kg/hari.Pasien yang tidak bisa mencapai target proteinnya dari makanan

berprotein sehari-hari dapat menambahkan suplemen branched-chain amino acid

(BCAA). Masukan BCAA juga bermanfaat pada pasien-pasien dengan ensefalopati

hepatikum.

Manajemen cairan dan elektrolit pada penyakit hati khronik meliputi pembatasan

masukan natrium dan cairan. Pada sebagian besar pasien dengan asites karena sirrhosis

hati terjadi gangguan penanganan ginjal terhadap air yang menghasilkan hiponatremia

dilusi, yang tingkat beratnya berhubungan langsung dengan beratnya penyakit hati

nya.Vasodilatasi sistemik merupakan faktor utama penyebab hiponatremia yang memicu

aktivasi yang tidak tepat antidiuretic hormon (ADH) yang mendorong terjadinya retensi

cairan. Pembatasan masukan natrium pada sirrhosis hati dengan asites adalah 4,6-6,9

gram garam/hari. Tidak dianjurkan

Tabel 2. Ringkasan rekomendasi nutrisi,cairan,dan natrium untuk pasien-pasien dengan

penyakit hati khronik

1. Semua pasien dengan pasien penyakit hati khronik harus menjalani asesmen nutrisi

awal, diulang pada interval waktu yang rutin atau saa terjadi perubahan kondisi klinik

2. Pemberian makanan secara enteral melalui nasoenteral tube diindikasikan pada pasien

yang tidak mencapai target masukan kalori dengan suplemen oral; pemberian makan

secara parenteral hanya diberikan pada pasien-pasien yang tidak dapat mencapai target

masukan kalori dengan cara oral atau enteral.

Page 43: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

29

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

3. Masukan energi optimal : 25-40 kcal/kg/hari

4. Masukan protein:

Masukan protein harian :1,2-1,5 g/kgBB; 0,6-0,8 g/kg bila ada ensefalopati akut

Makanan-makanan terbagi berporsi kecil sepanjang hari dan snack karbohidrat

kompleks sebelum tidur meminimalkan risiko berkurangnya massa otot

Suplemen branched-chain amino acid (BCAA) mungkin dapat membantu mencapai

target protein harian pada pasien-pasien dengan karakter intoleran terhadap protein

Pembatasan masukan natrium moderat (4,6-6,9 g garam/hari) merupakan terapi utama

pada asites

Pembatasan cairan tidak dianjurkan sampai natrium serum turun hingga <120-125

mmol/L

Pembatasan natrium yang lebih ketat lagi karena mungkin akan berakibat masukan nutrisi

menjadi kurang karena rasa makanan yang tidak membangkitkan rasa ingin makan. Pembatasan

cairan pada asites dengan hiponatremia hipervolumik tidak diperlukan sampai hiponatremia

menjadi berat. Pembatasan cairan mulai dipertimbangkan bila kadar natrium serum < 130mEq/L

dan pembatasan cairan 1-1,5 L cairan /hari diberlakukan bila kadar natrium kurang dari 120-125

mEq/L (Tabel 2).

Ringkasan Pasien penyakit hati khronik pada umumnya mengalami kondisi malnutrisi karena

turunnya masukan makanan, perubahan metabolik dan gangguan malabsorpsi yang terjadi.

Kondisi malnutrisi merupakan penanda prognosis yang buruk, sehingga pengelolaan nutrisi yang

adekwat merupakan hal penting yang harus dilakukan pada pasien penyakit hati khronik.

Daftar Pustaka 1. Lalama MA and Saloum Y. Nutrition,fluid, and electrolytes in chronic liver disease. Clin Liv

Dis 2016;7:18-20.

2. Berneur C and Butterworth R. Nutrition in the management of cirrhosis and its neurological

complications. J Clin Exp Hep. 2014;4:141-150

3. Henkel AS and Buchman AL. Nutritional support in patients with chronic liver disease.

Nature Clin Pract Gastroenterol Hepatol 2006;3:202-209

4. Plauth M, Cabre E, Riggio O et al. ESPEN Guidelines on Enteral Nutrition:Liver disease.

Clin Nutr 2006;25:285-294.

Page 44: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

30

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

HOW TO TREAT UPPER GI BLEEDING WITH ENDOSCOPIC

PROCEDURE

Dolvy Girawan

Introduction

Acute upper gastrointestinal bleed (AUGIB) is one of the most common medical

emergencies. Despite advances in therapeutics and endoscopy provision, mortality

following AUGIB over the last two decades has remained high. Defined anatomically as

bleeding in the upper gastrointestinal tract proximal to the ligament of Treitz, AUGIB

should be suspected in patients with haematemesis, coffee-ground vomiting, melaena or

unexplained fall in haemoglobin. In up to 20% of cases, AUGIB may mimic lower

gastrointestinal bleeding. Features that predict AUGIB in cases of haematochezia include

haemodynamic instability, increased serum urea:creatinine ratio, and reduced

haematocrit. The diagnosis is confirmed with endoscopy, which also serves to provide a

therapeutic intervention. Pragmatically, AUGIB can be divided into variceal and

nonvariceal UGIB (NVUGIB) causes, as there are important differences in management

strategies. Peptic ulcer disease (PUD) remains the most common cause of AUGIB,

despite reductions in PUD incidence and mortality over the last three decades. These

reductions are largely attributable to developments in proton pump inhibitors (PPI),

endotherapy, Helicobacter pylori eradication, and reductions in use of non-steroidal anti-

infl ammatory drugs (NSAIDs).

1. Nonvariceal upper gastrointestinal bleeding (NVUGIB)

Endoscopic hemostatic devices

Mechanical devices

The hemoclip system is among the most popular endoscopic mechanical

modalities for achieving hemostasis. Clips have also been applied to the closure of

mucosal defects, fistulas, and perforation holes. Endoscopic clips are deployed over a

bleeding site including visible vessels and commonly fall off within days to weeks. If the

bleeding site is located in the gastric fundus or the posterior wall of the duodenal bulb,

effective hemoclipping is relatively difficult. The deployment of hemoclips on a hard or

fibrotic ulcer base is often challenging. Currently, hemoclip devices are rotatable and can

be adjusted in the optimal direction by endoscopists. Hemoclips also come in various

lengths, and shorter clips appear more effective on hard or fibrotic areas because they

attach to these lesions more firmly than longer clips. Endoscopic band ligation devices,

which have been used commonly for variceal bleeding, are also useful for treating

NVUGIB by producing mechanical compression. The hood-like device of the ligation kit,

which applies suction to varices, is useful for clearly visualizing the bleeding point.

However, the effectiveness of this device depends on whether sufficient suction can be

applied to a given lesion.

Cautery devices Argon plasma coagulation (APC) is a noncontact thermal method whereby ionized

argon gas delivers a monopolar electrical current that effectively coagulates tissues. The

most advantageous aspect of APC is its familiarity to the endoscopy unit in that

endoscopists and nurses are able to employ this equipment in most situations, especially

vascular ectasia and of such scoring systems is to determine whether the patient requires.

Page 45: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

31

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

In APC, a flexible catheter passed through the working channel of the scope is placed

against the target area, ideally in a vertical position. The pressing of a foot pedal then

triggers a synchronized flow of argon gas and electrical current from the generator,

producing tissue coagulation.

Injection devices

Epinephrine injection is a common and effective method of achieving endoscopic

hemostasis owing to its low risk, low cost, and simplicity. Epinephrine injection alone is

superior to medical management alone, but is inferior to all other methods and should no

longer be employed as a sole endoscopic treatment when other options are available.

Other injectable agents such as thrombin, fibrin, cyanoacrylate glues, polidocanol, and

ethanolamine are not commonly used in the treatment of NVUGIB.

Haemostatic agents

Recently, topical haemostatic agents such as Hemospray (Cook Medical) have

been released. These agents achieve haemostasis by mechanically adhering to a bleeding

site, resulting in mechanical tamponade, and by activating coagulation factors to promote

thrombus formation. Hemospray is safe, as the powder is not absorbed systemically.

Hemospray is sprayed via an endoscopically directed catheter, and has the ability to cover

large areas with multiple bleeding points, without the need for precise lesion targeting. It

is a suitable choice for bleeding lesions such as haemorrhagic gastritis, portal

hypertensive gastropathy, gastric antral vascular ectasia, radiation-induced mucosal injury

and malignancy-related bleeding.

2. Variceal

Varices occur as a result of portal hypertension, which leads to increases in portal

pressure and development of portosystemic shunts. In the upper gastrointestinal tract,

these occur through the gastro-oesophageal veins, leading to varices in the distal

oesophagus and upper stomach. Endoscopic options for variceal bleeding include band

ligation, sclerotherapy and Sengstaken tube insertion. Management of gastric varices

depend on the anatomical subtype.

Variceal band ligation (VBL)

Although sclerotherapy had historically been the mainstay of treatment for

bleeding varices, this has been superseded by VBL for oesophageal varices. A meta-

analysis of seven randomised trials found VBL to be superior to sclerotherapy in reducing

rebleeding (OR 0.52, 95% CI 0.37–0.74) and mortality (OR 0.67, 95% CI 0.46–0.98).

Cyanoacrylate and thrombin

Cyanoacrylate, also known as ‘glue’, is a strong adhesive with multiple industrial

and domestic applications. For type 2 gastro-oesophageal varices (GOV-2) and isolated

gastric varices (IGV), cyanoacrylate has been shown to be superior to VBL in achieving

haemostasis and reducing rebleeding. Recently, thrombin injection has been accepted as

an alternative to cyanoacrylate for gastric varices, with haemostasis rates of 94% and

rebleeding rates of 18%.

Page 46: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

32

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Balloon tamponade

Balloon tamponade is indicated in failure of haemostasis with bleeding

oesophageal varices and most types of gastric varices (GOV-1, GOV-2, and IGV-1). The

SengstakenBlakemore tube (SBT) is the most common device for balloon tamponade. It

achieves haemostasis in 91.5% of cases, with recurrence of bleeding in approximately

50% of cases after balloon defl ation. It is thus useful as a bridge to a more definitive

procedure. Complications of SBT occur in 15–20% of patients, and include pressure

necrosis, misplacement, aspiration pneumonia and oesophageal rupture.

Oesophageal stenting

Lately, there have been data supporting the role of selfexpanding metal stent

placement in cases of refractory bleeding oesophageal varices. Self-expanding metal

stents have been shown to be superior to SBT in this setting, with a recent RCT showing

improved treatment success, defined as survival at day 15 with control of bleeding and

without serious adverse events (66% vs 20%, p = 0.025).

References 1. K Siau, W Chapman, N Sharma, D Tripathi, T Iqbal, N Bhala. Clinical Management of acute

upper gastrointestinal bleeding: an update for the general physician. J R Coll Physicians

Edinb 2017; 47: 218–30

2. Naoki M, Shinji K, Tetsuo K, Hiroshi M, Tetsuji T. Endoscopic Management of Nonvariceal

Upper Gastrointestinal Bleeding: State of the Art. Clin Endosc 2015;48:96-101

3. Bardou M, Benhaberou-Brun D, Le Ray I, Barkun AN. Diagnosis and management of

nonvariceal upper gastrointestinal bleeding. Nat Rev Gastroenterol Hepatol 2012;9:97-104.

4. Barkun A, Bardou M, Marshall JK; Nonvariceal Upper GI Bleeding Consensus Conference

Group. Consensus recommendations for managing patients with nonvariceal upper

gastrointestinal bleeding. Ann Intern Med 2003;139:843-857.

5. Sung JJ, Chan FK, Chen M, et al. Asia-Pacific Working Group consensus on non-variceal

upper gastrointestinal bleeding. Gut 2011;60:11701177.

6. Al Dhahab H, Barkun A. The acute management of nonvariceal upper gastrointestinal

bleeding. Ulcers 2012;2012:1-8.

7. Hwang JH, Fisher DA, Ben-Menachem T, et al. The role of endoscopy in the management of

acute non-variceal upper GI bleeding. Gastrointest Endosc 2012;75:1132-1138.

8. Leung Ki EL, Lau JY. New endoscopic hemostasis methods. Clin Endosc 2012;45:224-229.

9. Hosoe N, Imaeda H, Kashiwagi K, et al. Clinical results of endoscopic hemostasis using a

short transparent hood and short hemoclips for non-variceal upper gastrointestinal bleeding.

Dig Endosc 2009;21:9396.

10. Zepeda-Gómez S, Marcon NE. Endoscopic band ligation for nonvariceal bleeding: a review.

Can J Gastroenterol 2008;22:748-752.

11. Watson JP, Bennett MK, Griffin SM, Matthewson K. The tissue effect of argon plasma

coagulation on esophageal and gastric mucosa. Gastrointest Endosc 2000;52:342-345.

12. Nagata S, Kimura S, Ogoshi H, Hidaka T. Endoscopic hemostasis of gastric ulcer bleeding by

hemostatic forceps coagulation. Dig Endosc 2010;22(Suppl 1):S22-S25.

13. Vergara M, Calvet X, Gisbert JP. Epinephrine injection versus epinephrine injection and a

second endoscopic method in high risk bleeding ulcers. Cochrane Database Syst Rev

2007;(2):CD005584.

14. Kim JI, Kim SS, Park S, et al. Endoscopic hemoclipping using a transparent cap in technically

difficult cases. Endoscopy 2003;35:659-662.

15. Sung J, Luo D, Wu J et al. Early clinical experience of the safety and effectiveness of

Hemospray in achieving hemostasis in patients with acute peptic ulcer bleeding. Endoscopy

2011; 43: 291–5.

Page 47: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

33

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

16. Changela K, Papafragkakis H, Ofori E. Hemostatic powder spray: a new method for

managing gastrointestinal bleeding. Therap Adv Gastroenterol 2015; 8: 125–35.

17. Laine L, Cooke D. Endoscopic ligation compared with sclerotherapy for treatment of

esophageal variceal bleeding. Ann Intern Med 1995; 123: 280–7.

Page 48: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

34

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

ROLE OF ERCP IN TREATING BENIGN AND MALIGNANT

HEPATOBILIARY SYSTEM

Muhammad Begawan Bestari

Division of Gastroenterohepatology Department of Internal Medicine Faculty of Medicine – University of

Padjadjaran Hasan Sadikin General Hospital [email protected]

Kelainan Saluran Biliaris Jinak

ERCP sangat berguna dalam penanganan pasien dengan obstruksi bilier karena

koledokholithiasis dan penyakit jinak lainnya dari saluran empedu seperti striktur bilier

dan kebocoran biliaris pasca operasi. Keberhasilan kolangiografi endoskopi dalam

mengatasi obstruksi bilier, secara teknis harus dapat dicapai pada lebih dari 90% pasien.

ERCP dengan stenting saluran empedu dan/atau sfingterotomi bilier adalah strategi terapi

yang terpilih untuk kebocoran empedu.

Kholedokholithiasis

Penyebab tersering dari obstruksi bilier adalah kholedokholithiasis. Pasien dapat

datang dengan kolik bilier, ikterus obstruktif, kolangitis, atau pankreatitis. Meskipun

sensitivitas dan spesifitas ERCP untuk mendeteksi batu saluran empedu secara umum

lebih dari 95%, namun batu-batu kecil mungkin terlewatkan. Studi kolangiografi saja

untuk mendeteksi batu telah melaporkan tingkat false negative sebesar 13%. Penyuntikan

kontras dan radiografi dini secara hati-hati dapat membantu mendeteksi batu dan

menghindari pengisian yang berlebihan dari saluran atau mendorong batu ke arah

proksimal ke dalam saluran intrahepatik. Penyuntikkan gelembung udara ke dalam sistem

duktus biliaris oleh kateter injeksi kontras dapat menyebabkan misdiagnosis batu.

Endoskopi sfingterotomi dan ekstraksi batu berhasil pada lebih dari 90% kasus,

dengan tingkat keseluruhan efek samping sekitar 5% dan tingkat kematian kurang dari

1% di tangan ahli. Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan kebanyakan seri bedah.

Dalam kasus gagal kanulasi bilier primer, precut (misalnya, needle knife) sfingterotomi

atau pendekatan perkutan / endoskopi gabungan mungkin diperlukan. Tingkat kejadian

buruk yang terkait dengan teknik ini lebih tinggi daripada teknik ekstraksi standar, yang

mencerminkan kesulitan teknik yang lebih besar. Namun, pelebaran endoskopik papilaris

besar (>12 mm) yang dikombinasikan dengan sfingterotomi dapat menghasilkan tingkat

keberhasilan yang tinggi untuk pembersihan kholedokholitiasis yang besar dan sulit

dengan tingkat pankreatitis pasca-ERCP yang rendah (2,3%).

Pengeluaran batu biasanya dilakukan dengan kateter extractor balon atau basket

extraction. Terkadang, batu besar atau batu impaksi mungkin sulit dikeluarkan.

Fragmentasi batu besar dan penanganan basket yang impaksi dengan batu terperangkap

dapat difasilitasi oleh kinerja lithotripsy mekanik atau cholangioscopy dengan

elektrohidrolik atau laser lithotripsy. Jika pengeluaran batu tidak berhasil, dekompresi

bilier harus dilakukan dengan pemasangan drain stent atau nasobiliary, jika

memungkinkan.

Sphincterotomy endoskopi dan ekstraksi batu tanpa diikuti kolesistektomi

mungkin tepat pada pasien tertentu dengan kondisi komorbid yang meningkatkan risiko

bedah mereka. Namun, gejala biliaris berulang dua kali lebih sering pada pasien yang

kandung empedunya tetap in situ dengan risiko 5 tahun efek samping bilier yang

signifikan yang mengarah ke kolesistektomi sebesar 15%.

Page 49: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

35

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Penyakit jinak lainnya dari saluran empedu

ERCP diindikasikan untuk evaluasi dan pengobatan striktur bilier jinak, kelainan

saluran empedu bawaan, dan efek samping pasca operasi seperti striktur anastomotik dan

kebocoran bilier. Biopsi dan brushing dapat membantu menentukan etiologi striktur bilier

jinak dan hasil diagnostik dapat meningkat dengan biopsi yang diarahkan secara

kolangioskopi. Intraductal US dapat membantu membedakan striktur jinak dari striktur

ganas. Pencitraan dengan MRCP atau EUS sebelum ERCP dapat membantu

merencanakan dan mengarahkan intervensi endoskopi. Striktur bilier jinak dapat

didilatasi dengan balon hidrostatik. Stenosis empedu jinak yang baik untuk dilatasi

endoskopi termasuk yang sekunder untuk pankreatitis kronis, penyempitan dominan pada

sclerosing cholangitis, striktur pasca operasi, dan striktur yang disebabkan oleh penyakit

batu. Stent tunggal atau ganda dapat digunakan untuk mempertahankan patensi setelah

dilatasi awal. Pelebaran endoskopi serial dan penempatan stent kaliber maksimal dapat

digunakan untuk mencapai kepatenan duktal yang berkepanjangan pada sebagian besar

striktur postoperatif jinak.

Penyakit Saluran Biliaris Maligna

Pasien dengan neoplasia bilier dapat datang dengan pemeriksaan pencitraan

abnormal atau serum kimia atau dengan gejala seperti sakit kuning, sakit perut, anoreksia,

dan penurunan berat badan. Peningkatan bilirubin dan alkaline fosfatase menunjukkan

obstruksi bilier. Riwayat penyakit radang usus harus dicari dan pemeriksaan fisik lengkap

harus dilakukan. Setelah ada kecurigaan klinis neoplasia bilier, perlu penyelidikan lebih

lanjut dengan studi pencitraan abdomen. Foto rontgen dada atau CT scan mungkin juga

tepat untuk membantu diagnosis, penentuan stadium, dan perencanaan terapeutik.

Mendapatkan penanda serum, seperti CA 19-9 dan CEA (carcino embrionik antigen),

dapat dipertimbangkan, tetapi kegunaannya masih kontroversial.

Adenokarsinoma Ampulari

Adenokarsinoma ampulari biasanya dicurigai berdasarkan pada adanya ikterus

obstruktif, sering disertai pelebaran duktus pankreas dan bilier yang terlihat pada

pencitraan abdomen. Adenokarsinoma ampulari dapat disertai perdarahan dan jika

disertai dengan ikterik, feses berwarna pucat. Tidak seperti keganasan pankreas atau bilier

di mana infeksi jarang, kambuh kolangitis adalah presentasi untuk adenokarsinoma

ampulari. Pasien mungkin tidak mengalami ikterus dan tumor dapat didiagnosis secara

kebetulan pada saat EGD, namun sampel biopsi biasanya lebih mudah diperoleh dengan

menggunakan duodenoskopi.

Transabdominal US (TUS) dapat menunjukkan dilatasi duktus biliaris, tetapi tidak

sensitif untuk mendeteksi tumor ampula. Pencitraan abdomen cross-sectional, seperti CT,

magnetic resonance imaging (MRI), dan magnetic resonance cholangiography (MRC),

berguna untuk mengonfirmasi pelebaran saluran empedu dan/atau pankreas dan pemetaan

penyakit yang lebih lanjut, tetapi inferior terhadap endoskopi melihat sisi dan EUS untuk

mendeteksi lesi ampullary kecil. Duodenoskopi memungkinkan visualisasi langsung

ampula dan biopsy jaringan, dan EUS memungkinkan diagnosis serta menentukan

staging melalui jaringan sampel FNA.EUS dan intraductal US (IDUS) dapat menilai

kedalaman invasi dalam kaitannya dengan propria muskularis serta ekstensi intraduktal

dan keterlibatan nodular periampula, memfasilitasi pemilihan pasien yang dapat

menjalani pembedahan ampulektomi bukan pancreatikoduodenektomi. Meskipun tidak

didukung untuk penanganan klinis rutin, ampulektomi per endoskopik telah dijelaskan

untuk menghilangkan adenokarsinoma ampulari dini. Setelah lesi telah diidentifikasi dan

Page 50: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

36

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

ditentukan staging, teknik untuk paliasi atau reseksi bedah untuk penyembuhan mirip

dengan pendekatan yang dijelaskan untuk adenokarsinoma dari kaput pankreas.

Kholangiokarsinoma

Tumor primer duktus biliaris harus dicurigai berdasarkan temuan klinis dan

pencitraan. USG, CT, atau MRC yang menunjukkan pelebaran bilier dengan atau tanpa

striktur atau massa. Diferensiasi tumor hilus versus nonhilar penting karena pendekatan

untuk reseksi bedah dan paliasi endoskopi berbeda bergantung kepada lokasi tumor.

Klasifikasi Bismuth kholangiokarsinoma berguna untuk menentukan reseksi bedah dan

jenis operasi. Meskipun TUS dan CT menunjukkan sugestif kholangiokarsinoma, MRC

lebih menawarkan kelebihan. MRC memiliki sensitivitas 77% hingga 86% dan

spesifisitas 63% hingga 98% untuk diagnosis obstruksi bilier maligna yang disebabkan

oleh kholangiokarsinoma.

ERCP penting dalam diagnosis dan manajemen kholangiokarsinoma karena

konfirmasi jaringan dapat dicapai dengan teknik ini. Penyuntikan untuk sitologi dan

sampel biopsi untuk histologi dapat mengonfirmasi diagnosis kholangiokarsinoma.

Namun, sensitivitas tes ini mengecewakan, berkisar antara 18% hingga 60%.

Jika tingkat obstruksi terletak di bawah tingkat bifurkasi (lesi tipe I Bismut),

reseksi bedah harus dipertimbangkan pada pasien yang stabil secara medis tanpa penyakit

metastasis. Jika pasien merupkan kandidat bedah yang buruk, paliasi dengan stent plastik

atau metal harus dipertimbangkan. Jika tingkat obstruksi pada atau di atas hilus, suntikan

kontras yang luas harus dihindari untuk meminimalkan risiko kolangitis pascabedah

karena seluruh saluran bilier tidak dapat mengalir secukupnya.

MRC dapat membantu dalam mendefinisikan anatomi duktus sebelum ERCP

untuk mengurangi risiko efek samping ini. Penempatan stent bilier endoskopi unilateral

yang diarahkan oleh pencitraan sebelumnya telah terbukti mencapai paliatif ikterus sama

dengan pemasangan stent bilateral, tetapi dengan risiko cholangitis yang lebih rendah dan

biaya yang lebih murah. Dalam 1 percobaan acak, kolangiografi udara ditemukan lebih

aman dan sama efektifnya dengan kolangiografi zat kontras pada penempatan stent

unilateral. Demikian pula, meta-analisis terbaru menunjukkan bahwa kanulasi dipandu

guide-wire sebelum kontras injeksi menghasilkan keberhasilan yang lebih besar dari

kanulasi empedu dan menurunkan risiko pankreatitis pasca-ERCP.

Stent bilier terbuat dari plastik atau logam. Stent plastik lebih murah, tetapi

mereka menyumbat dengan rata-rata 3 sampai 6 bulan karena pengendapan biofilm

bakteri. Stent logam tetap paten lebih lama dari stent plastik. Meskipun telah disarankan

bahwa penggunaan stent logam hanya untuk pasien yang diperkirakan kelangsungan

hidupnya lebih dari 3 sampai 6 bulan, ulasan Cochrane baru-baru ini menyimpulkan

bahwa pilihan jenis stent harus individual. Pada pasien yang gagal ERCP, teknik EUS

intervensional atau kolangiografi transhepatik perkutan dengan penempatan stent dapat

dipertimbangkan jika keahlian tersedia.

Daftar Pustaka

Adler DG, Baron TH, Davila RE, et al. ASGE guideline: the role of ERCP in diseases of the

biliary tract and the pancreas. Gastrointest Endosc 2005;62:1-8.

Anderson MA, Appalaneni V, Ben-Menachem T, et al. The role of endoscopy in the evaluation

and treatment of patients with biliary neoplasia. Gastrointest Endosc 2013;77:167-74.

Attila T, May GR, Kortan P. Nonsurgical management of an impacted mechanical lithotriptor

with fractured traction wires: endoscopic intracorporeal electrohydraulic shock wave

Page 51: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

37

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

lithotripsy followed by extra-endoscopic mechanical lithotripsy. Can J Gastroenterol

2008;22:699-702.

Baron TH, Harewood GC. Endoscopic balloon dilation of the biliary sphincter compared to

endoscopic biliary sphincterotomy for removal of common bile duct stones during ERCP: a

metaanalysis of randomized, controlled trials. Am J Gastroenterol 2004;99:1455-60.

Carr-Locke DL. Therapeutic role of ERCP in the management of suspected common bile duct

stones. Gastrointest Endosc 2002;56(6 Suppl):S170-4.

De Palma GD, Galloro G, Siciliano S, et al. Unilateral versus bilateral endoscopic hepatic duct

drainage in patients with malignant hilar biliary obstruction: results of a prospective,

randomized, and controlled study. Gastrointest Endosc 2001;53:547-53

Eisen GM, Dominitz JA, Faigel DO, et al. An annotated algorithm for the evaluation of

choledocholithiasis. Gastrointest Endosc 2001;53:864-6.

Hawes RH. Diagnostic and therapeutic uses of ERCP in pancreatic and biliary tract malignancies.

Gastrointest Endosc 2002;56(6 Suppl): S201-5.

Lee JH, Salem R, Aslanian H, et al. Endoscopic ultrasound and fineneedle aspiration of

unexplained bile duct strictures. Am J Gastroenterol 2004;99:1069-73

Maple JT, Ben-Menachem T, Anderson MA, et al. The role of endoscopy in the evaluation of

suspected choledocholithiasis. Gastrointest Endosc 2010;71:1-9.

Moss AC, Morris E, Mac Mathuna P. Palliative biliary stents for obstructing pancreatic

carcinoma. Update in Cochrane Database Syst Rev 2006;(2):CD004200

Rosch T, Meining A, Fruhmorgen S, et al. A prospective comparison of the diagnostic accuracy

of ERCP, MRCP, CT, and EUS in biliary strictures. Gastrointest Endosc 2002;55:870-6.

Vazquez-Sequeiros E, Baron TH, Clain JE, et al. Evaluation of indeterminate bile duct strictures

by intraductal US. Gastrointest Endosc 2002; 56:372-9.

Weinberg BM, Shindy W, Lo S. Endoscopic balloon sphincter dilation (sphincteroplasty) versus

sphincterotomy for common bile duct stones. Cochrane Database Syst Rev

2006;4:CD004890.

Page 52: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

38

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

PERANAN KONTRAS SPESIFIK HEPATOBILIER DALAM DIAGNOSIS

TUMOR HATI

R.Sahat Basana Matondang

Divisi Abdominal dan Intervensi RSCM -FKUI

Abstrak

Terdapat beberapa kontras agent spesifik hepatobilier yang telah melewati uji klinis ,

salah satunya adalah adalah gadoxetic acid (Gd-EOB-DTPA). Kontras ini mempunyai manfaat

ganda yaitu mempunyai kemampuan pencitraan dinamis seperti kontras ekstraselular dan

pencitraan fase hepatobilier. Kontras ini umumnya di pakai dalam menentukan beberapa tumor

hepar yang sulit di diagnosis dengan meggunakan kontras ekstraselular MRI atau diagnosis

hepatocellular carcinoma yang sulit di diagnosis dengan menggunakan CT scan . Kontras ini juga

telihat unggul dalam mendeteksi nodul < 1 cm atau pada kasus kolangiografi

Kata kunci : Peranan kontras spesifik hepatobilier, gadoxetic acid (Gd-EOB-DTPA).

Pendahuluan

Kontras yang saat ini tersedia untuk pencitraan resonansi magnetik (MR) liver

adalah kontras cairan ekstraseluler dan kontras spesifik hepatobilier. Beberapa lesi hati

jinak dan ganas yang memiliki kesamaan pola pencitraan secara morfologis sulit di

dilakukan diagnosis dengan mengunakan kontras cairan ekstraseluler karena sifatnya

yang nonspesifik sepert Focal Nodular Hiperplasia (FNH) dengan Karsinoma

Hepatoseluler Fibrolamelar , Focal Nodular Hiperplasia (FNH) dengan Adenoma

hepatoseluler, atau Hemangioma. Di samping itu pada kasus dengan nodul berukuran

kecil, diagnosis dengan menggunakan kontras spesifik hepatobilier lebih baik

dibandingkan dengan menggunakan kontras ekstraselular

Salah satu kontras spesifik hepatobilier , gadoxetic acetate ( Gd-EOB-DTPA )yang

mempunyai kandungan gadolinium (ekstraselular) mempunyai peranan ganda karena

mempunyai kemampuan pencitraan dinamis seperti kontras ekstraselular dan pencitraan

fase hepatobilier Pada artikel ini akan di paparkan secara singkat peranan diagnosis

kontras spesifik hepatobilier berbasis gadolinium pada kasus diatas

Sifat farmakologis Gd-EOB-DTPA

Setelah persetujuan di Eropa dan Asia pada awal 2005, Gd-EOB-DTPA telah

disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk digunakan di Amerika Serikat

sejak Juli 2008 dan sekarang secara luas tersedia secara komersial. Berbeda dengan agen

kontras ekstraseluler, Gd-EOB-DTPA menunjukkan serapan oleh hepatosit dan kemudian

ekskresi bilier. Setelah injeksi IV, Gd-EOB-DTPA diangkut dari ruang ekstraseluler ke

dalam hepatosit oleh ATP-dependent organic anion transporting polypeptide 1 (OATP1)

dan kemudian diekskresikan ke dalam kanalikuli empedu oleh canalicular multispecific

organic anion transporter (cMOAT). Karena bilirubin juga diekskresikan melalui reseptor

OATP1, maka efektifitas Gd-EOB-DTPA sangat tergantung pada fungsi liver secara

keseluruhan . Pada pasien dengan fungsi liver dan ginjal normal, sekitar 50% dari dosis

yang diberikan akan diekskresikan melalui jalur hepatobilier sehingga masih dapat

digunakan pada gangguan fungsi ginjal moderate

Fase hepatosit kontras hepatobilier biasanya ditempuh dalam waktu 20 menit

setelah dimulainya injeksi kontras pada pasien dengan fungsi hati yang normal dan

berlangsung selama setidaknya 60 menit. Jangka waktu yang panjang ini memungkinkan

Page 53: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

39

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

pengguna dapat mengulangi perolehan data selama fase hepatosit terutama pada kasus

dengan kualitas gambar yang suboptimal, dikarenakan oleh artefak gerak.

Beberapa kontras agent spesifik hepatobilier yang telah melewati uji klinis adalah

mangafodipir trisodium (Mn-DPDP), gadobenate dimeglumine (Gd-BOPTA), dan

gadoxetic acid (Gd-EOB-DTPA) (table 1)

Tabel 1

Fitur Farmakologis dan Radiologis dari Agen-Agen Kontras Spesifik Hepatobilier

Fitur Mn-DPDP Gd-BOPTA Gd-EOB-

DTPA

Ambilan Melalui reseptor

vitamin B6 di

hepatosit

Melalui transporter

anion organik di

hepatosit*

Melalui

transporter

anion organik

di hepatosit*

Ekskresi >50% empedu;

sisanya

lewat ginjal

3%–5% empedu,

95% ginjal

50% empedu,

50% gunjal

Metode Pemberian Infus lambat (1-2

menit)

Injeksi Bolus (2

mL/detik)

Injeksi Bolus

(2 mL/detik)

Dosis Anjuran Pabrik 0,5 μmol/kg 0,1 mmol/kg 0,025

mmol/kg

Waktu pencitraan

setelah dimulainya

injeksi agen kontras

Pencitraan Dinamis

(ECF)

Fase Hepatosit

Tidak ada

15 menit s/d

beberapa jam

Ada

1-2 jam

Ada

10 menit s/d

1jam

Efek Samping Ringan (mis.

flushing, mual,

pusing, kenaikan

tekanan darah dan

nadi)

Ringan (mis. mual,

flushing, nyeri pada

tempat suntik, gangguan

rasa pengecap) †

Ringan (mis.

mual, flushing,

sakit kepala,

nyeri pada

tempat suntik,

gangguan rasa

pengecap

paling sering)

Komentar lainnya Serapan di

pankreas, korteks

ginjal, dan kelenjar

adrenal kecil

jumlahnya

Relaksifitas T1 dua kali

lipat dari Gd-DTPA (7)

Relaksifitas T1

lebih tinggi

daripada Gd-

DTPA tetapi

dosis yang

digunakan

jauh lebih

kecil

*Protein transpor yang sama seperti bilirubin.

† Efek samping ringan dilaporkan kurang dari 0,03% setelah 100.000 dosis klinis; kejadian

tak diinginkan yang serius terjadi kurang dari 0,005% (8).

Page 54: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

40

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Deteksi dan Karakterisasi Lesi Liver Fokal

Penggunaan Gd-EOB-DTPA untuk MRI hepar telah terbukti pada deteksi lesi-lesi di

hepar seperti pada kasus yang umum ditemukan di hati

Hemangioma

Hemangioma adalah tumor hati jinak yang paling umum dan dapat ditemukan

sampai 20% dari populasi umum. Tumor dapat terjadi pada semua usia, tetapi terlihat

lebih sering pada wanita premenopause .Hemangioma raksasa dapat berukuran sampai 20

cm. Dalam kebanyakan kasus, hemangioma adalah temuan insidentil pada pasien

asimtomatis .

Pada MRI, hemangioma ini akan terlihat hipointens pada image T1 dan sangat

hiperintens dengan image T2. Selama fase dinamis, peningkatan nodular perifer terputus-

putus pada fase arteri dengan pengisian sentripetal yang progresif hingga ke sentral pada

fase berikutnya Hemangioma kapiler flash-filling merupakan hemangioma kecil (1-2

cm) yang ditandai dengan pengisian segera dan lengkap selama fase arterial.

Hemangioma flash-filling ini dapat menimbulkan masalah serius dikarenakan

penampilannya yang serupa pada pencitraan metastasis hipervaskular (misalnya, dari

tumor neuroendokrin) Dalam keadaan ini image DWI akan sangat membantu melalui

perhitungan nilai ADC dimana pada hemangioma nilai ADC lebih tinggi dari nilai

ADC metastasis padat. Dengan Gd-EOBDTPA, hemagioma ini sulit dibedakan dengan

metastasis karena keduanya akan memberikan gambaran hipointens (tidak uptake) pada

fase hepatosit

Focal Nodular Hiperplasia (FNH)

FNH adalah tumor hati jinak kedua yang paling umum dan hadir pada sekitar 3-

5% populasi. Sekitar 80% terjadi pada wanita usia subur.FNH dianggap sebagai

malformasi vaskular kongenital, yang menghasilkan respon hiperplastik terhadap nodul

non neoplastik regeneratif. Lesi biasanya bersifat soliter (80%), dengan diameter rata-rata

sekitar 5 cm . Hubungan dengan penggunaan kontrasepsi oral masih dalam

perdebatan.FNH biasanya merupakan temuan insidental, hanya sekitar sepertiga kasus

yang didiagnosis akibat gejala seperti nyeri epigastrium, massa abdominal, atau

hepatomegaly. Secara histologi, FNH akan ditandani sebagai lesi nodular dengan central

scar stellata yang mengandung struktur malformasi vaskuler dengan septa fibrosa dan

dapat dilihat secara makroskopik pada sekitar 50% kasus .

Pada T1 dan T2 akan terlihat massa homogen isointense T1 dan T2 dan setelah

injeksi agen kontras ekstraseluler atau Gd-EOB-DTPA, akan terlihat penyangatan pada

fase arteri hingga delayed dengan atau tanpa central scar Pada image fase hepatosit

setelah injeksi Gd-EOB-DTPA, FNH biasanya memperlihatkan isointens atau hiperintens

terhadap parenkim hati sekitarnya, dan terkadang menunjukkan pola klasik popcornlike

terutama bila ditemukan adanya central scar . Central scar pada fase ekstraselular akan

memperlihatkan delayed enhancement dan menjadi hipointens pada fase hepatosit . Hal

ini disebabkan karena central scar mengandung struktur malformasi vascular , fibrous dan

kurang baiknya drainase bilier

Adenoma hati

Adenoma hati adalah lesi hati jarang yang terjadi terutama pada wanita yang

memakai kontrasepsi oral [56], dengan rasio wanita-terhadap-pria sebesar 5:1. Beberapa

Page 55: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

41

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

adenoma dapat dikaitkan dengan diabetes mellitus, penyakit penimbunan glikogen tipe 1

dan 3, dan konsumsi steroid anabolik atau androgenik , sedangkan adenomatosis liver

didefinisikan sebagai keberadaan lebih dari 10 adenoma dalam hati normal pada pasien

yang tidak memiliki riwayat asupan steroid atau penyakit metabolik Adenoma umumnya

ditemukan bersifat insidentil. Namun adenoma yang besar dapat menyebabkan

ketidaknyamanan perut. Perdarahan merupakan komplikasi utama dari adenoma, dan

pecah spontan dan hemoperitoneum dapat terjadi pada sampai 10% kasus, terutama

selama menstruasi, kehamilan, atau postpartum Transformasi maligna terhadap HCC

diperkirakan terjadi pada sekitar 5% [62, 63]. Dikarenakan risiko pecah dan kemungkinan

transformasi maligna, maka diferensiasi adenoma dengan FNH atau hemangioma adalah

penting

Secara patologis, adenoma hati ditandai dengan proliferasi hepatosit jinak yang

dipisahkan oleh sinusoid yang lebar dan tertutup oleh pseudokapsul. Lemak intratumoral,

nekrosis, perdarahan, dapat terlihat . Adenoma hati juga tidak mengandung saluran

empedu (temuan histologis penting yang membedakan mereka dari FNH), mengakibatkan

diblokirnya ekskresi bilirubin

Dikarenakan adanya komponen perdarahan atau lemak intralesi, adenoma sering

terlihat hiperintens secara heterogen pada image T1. Pada image in and opposed phase,

akan terlihat komponen lemak .Setelah injeksi Gd-EOBDTPA, adenoma hati akan

menyangat pada fase arterial, dan pada beberapat tipe adenoma dapat terlihat wash out

atau masih menyangat pada fase delayed seperti yang ditemukan pada FNH .Pada fase

hepatosit, adenoma biasanya akan terlihat hipointens karena kurangnya kanalikuli

empedu sehingga dapat dibedakan dengan FNH .

Kolangiokarsinoma

Kolangiokarsinoma adalah bentuk keganasan liver primer paling umum kedua. Ini

berasal dari epitel empedu, yang timbul sebagai adenokarsinoma, karsinoma papiler, atau

karsinoma musinosum . Tergantung pada sisi asalnya, kolangiokarsinoma dapat

diklasifikasikan sebagai kolangiokarsinoma intrahepatika atau ekstrahepatika, Faktor

risiko untuk perkembangan kolangiokarsinoma adalah primary sclerosing cholangitis

(PSC), poliposis familial, kista choledochal, papillomatosis biliaris, dan clonorchiasis

Pada pasien PSC, risiko untuk menjadi kolangiokarsinoma adalah sekitar 1,5% per tahun.

Kebanyakan pasien dengan kolangiokarsinoma datang dengan ikterus obstruktif terutama

akibat kolangiokarsinoma intrahetaika. Gejalalain yang dapat terlihat pruritus, sakit perut,

penurunan berat badan, dan demam.

Pada MRI, kolangiokarsinoma terlihat sebagai massa hipointens pada image T1

dan hiperintens ringan sampai sedang pada image T2, sangat tergantung pada jumlah

jaringan fibrosa dan kandungan musin. Penyangatan pada tepinya dan ireguler dapat

terlihat pada fase arterial dan progesive centripetal enhancement pada fase delayed. Pada

fase hepatosit cholagiocarcinoma akan mempelihatkan gambaran hipointens .Penurunan

upatake Gd-EOB-DTPA di parenkim sekitar tumor merupakan indikasi penurunan fungsi

hepatosit

Metastasis

Hati adalah tempat yang paling umum untuk bermetastasis dari saluran

pencernaan, pankreas, payudara, dan paru-paru . Hanya sekitar 20% metastasis bersifat

soliter pada saat diagnosis. Kebanyakan metastasis adalah solid, tetapi beberapa mungkin

memiliki penampilan . Atas dasar tingkat vaskularisasi, maka diferensiasi antara

Page 56: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

42

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

metastasis hipervaskular dan hipovaskular adalah dimungkinkan. Tumor primer dengan

metastasis hipervaskular dapat dijumpai pada tumor endokrin; karsinoma sel ginjal,

kanker pankreas, payudara, dan usus besar

Pada MRI non kontras, metastasis terlihat hipointens pada image T1 dan

hiperintens pada image T2. Setelah injeksi kontras akan terlihat penyangatan homogen

atau pada tepi di fase arterial dengan washout pada fase delayed yang ditemukan pada

metastasis hipervaskular . Pada metastasis hipovaskular, tidak ada peningkatan yang

signifikan pada fase arterial dibandingkan dengan parenkim liver di sekitarnya. Pada fase

hepatosit, tidak ada penyerapan agen kontras baik pada metastasis hipervaskular maupun

hipovaskular oleh karena lesi ini tidak mengandung hepatosit, yang kurang mekanisme

transportasi OATP1.

HCC Fibrolamelar

HCC Fibrolamelar adalah subtipe khas HCC primer, umumnya terjadi pada pasien

muda (usia rata-rata, 25 tahun) tanpa penyakit hati kronis atau faktor risiko lain terhadap

kanker liver (HCC). Penyebab pastinya belum diketahui. HCC Fibrolamelar biasanya

berupa lesi soliter dan terdeteksi ketika lesinya besar (5-20 cm). Presentasi klinis

umumnya tidak spesifik, pasien datang dengan gejala seperti mual, ketidaknyamanan

perut, penurunan berat badan, atau penyakit kuning. Secara histologis, HCC fibrolamelar

tersusun atas hepatosit neoplastik membesar yang terdiferensiasi dengan baik, dikelilingi

oleh banyak pita berserat tebal, yang sering tersusun dalam distribusi secara paralel atau

pipih (lamelar)

Tantangan utama pencitraan adalah melakukan diferensiasi FNH dengan

adenoma hepar dan karsinoma fibrolamelar . Penampilan MRI pada HCC fibrolamelar

adalah massa heterogen, dengan tumor yang hipo atau isointense pada image T1 dan

hiperintens moderate pada image T2. Central scar dapat dilihat pada 60% kasus.

Dibandingkan dengan FNH, central sentral umumnya lebih besar, lebih tidak teratur, dan

lebih heterogen dalam intensitas sinyal dan peningkatan kontras. Pada image fase

hepatosit, HCC fibrolamelar terlihat secara dominan hipointens

Sensitivitas kontras ektraselular dalam deteksi HCC adalah 70 sd 100 % namun

sensitivitas ini berkurang untuk deteksi lesi < 1 cm adalah 4-33 % . Pemeriksaan dengan

menggunakan kontras hepatobilier dapat membantu untuk meningkatkan nilai sensitivitas

deteksi lesi < 1 cm Pada studi metaanalisis menunjukan sensitivitas Gd-EOB-DTPA akan

meningkat bila di kombinasi dengan image DWI dalam mendeteksi nodul < 1 cm adalah

80 %.

Peranan kontras spesifik hepatobilier juga sangat membantu dalam diagnosis HCC

terutama pada HCC yang tidak telihat tipikal pada pemeriksaan computer tomografi scan

(CT scan ) . Hal ini umumnya ditemukan pada HCC yang kecil ( < 2 cm) , hipovaskular

HCC atau diagnosis HCC pada nodul sirosis hati. Pada beberapa konsensus algoritme

HCC seperti pada Association for the Study of Liver Diseases (AASLD), Asian-Pacific

Association for the Study of the Liver (APASL), Japan Society of Hepatology (JSH)

,Korean Society of Abdominal Radiology (KSAR), kontras ini dimasukan kedalam

algoritme diagnosis HCC bila dengan pemeriksaan CT scan inderterminate dalam

diagnosis HCC. Peranan kontras spesifik hepatobilier juga sangat berguna terutama pada

lesi < 1-2 cm yang sangat sulit di diagnosis dengan menggunakan biopsy

Peranan kontras hepatobilier pada Magnetic Resonansi (MR)

Kolangiopankreatografi . MR Kolangiopankreatografi konvensional dengan image T2

telah digunakan secara luas, namun tidak cukup untuk mengidentifikasi varian-varian

Page 57: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

43

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

anatomis duktus biliaris . Kolangiografi dengan menggunakan kontras hepatobilier telah

terbukti akurat mengidentifikasi varian-varian anatomis dari traktus biliaris intrahepatik .

Selain itu, kolangiografi MR dapat di pakai untuk deteksi lokasi defek biliaris leakage

akibat operasi

Keuntungan pemakaian kontras ini adalah dapat memberikan gambar dengan

resolusi lebih baik dari MR kolangiografi konvensional terutama pada penderita yang

tidak dapat menahan nafas cukup lama karena menggunakan image T1 .Kelemahan

pemakaian kontras ini adalah tidak dapat dipakai pada penderita dengan hiperbilirubin

yang berat dan waktu pemeriksaan yang lebih lama

TABEL 2: Penampilan Pencitraan yang Khas pada Lesi Liver Fokal Sebelum dan

Setelah Injeksi Gadoxetate Dinatrium

Lesi Liver Image T2 Image T1

Sebelum

Injeksi

Fase Arterial Fase Hepatosit

Kista sederhana

Hemangioma

Hemangioma

Flash-filling

Adenoma

Hiperplasia

Nodular Fokal

Kolangiokarsinoma

Karsinoma

hepatoselular

Fibrolamellar

Metastasis

Page 58: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

44

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Rangkuman

Agen kontras spesifik hepatobilier seperti Gd-EOB-DTPA telah dikembangkan

untuk meningkatkan deteksi dan karakterisasi lesi hati fokal. Dikarenakan sifatnya yang

khas, penerapan Gd-EOB-DTPA dapat meningkatkan ketajaman diagnosis lesi fokal hati

yang sulit didiagnosis dengan menggunakan kontras MRI ekstraselular maupun CT scan.

Informasi tambahan yang menjadi unggulan pemeriksaan kontras ini terutama untuk

deteksi nodul hati kecil ( < 1 cm) dan penggunaan kolangiografi

Referensi

1. Holzapfel K, Breitwieser C, Prinz C, et al. Contrast-enhanced magnetic resonance

cholangiography using gadolinium-EOB-DTPA: preliminary experience and clinical

applications [in German]. Radiologe 2007; 47:536–544

2. Zizka J, Klzo L, Ferda J, et al. Dynamic and delayed contrast enhancement in upper

abdominal MRI studies: comparison of gadoxetic acid and gadobutrol. Eur J Radiol 2007;

62:186–191

3. van Montfoort JE, Stieger B, Meijer DK, et al. Hepatic uptake of the magnetic resonance

imaging contrast agent gadoxetate by the organic anion transporting polypeptide Oatp1. J

Pharmacol Exp Ther 1999; 290:153–157

4. Takao H, Akai H, Tajima T, et al. MR imaging of the biliary tract with Gd-EOB-DTPA:

effect of liver function on signal intensity. Eur J Radiol [Epub 2009 Aug 31]

5. Rohrer M, Bauer H, Mintorovitch J, et al. Comparison of magnetic properties of MRI contrast

media solutions at different magnetic field strengths. Invest Radiol 2005; 40:715–724

6. Reimer P, Schneider G, Schima W. Hepatobiliary contrast agents for contrast-enhanced MRI

of the liver: properties, clinical development and applications. Eur Radiol 2004;14:559–578.

7. Kirchin MA, Pirovano G, Venetianer C, Spinazzi A. Safety assessment of gadobenate

dimeglumine (MultiHance): extended clinical experience from phase I studies to post-

marketing surveillance. J Magn Reson Imaging 2001;14:281–294.

8. Mergo PJ, Ros PR. Benign lesions of the liver. Radiol Clin North Am 1998; 36:319–331

9. VF, van Heerden JA, Sheedy PF. Cavernous hemangiomas of the liver: resect or observe? Am

J Surg 1983; 145:49–53

10. Huppertz A, Haraida S, Kraus A, et al. Enhancement of focal liver lesions at gadoxetic acid-

enhanced MR imaging: correlation with histopathologic findings and spiral CT—initial

observations. Radiology 2005; 234:468–478

11. Assy N, Nasser G, Djibre A, et al. Characteristics of common solid liver lesions and

recommendations for diagnostic workup. World J Gastroenterol 2009; 15:3217–3227

12. Lizardi-Cervera J, Cuellar-Gamboa L, Motola-Kuba D. Focal nodular hyperplasia and hepatic

adenoma: a review. Ann Hepatol 2006; 5:206–211

13. Nguyen BN, Flejou JF, Terris B, et al. Focal nodular hyperplasia of the liver: a

comprehensive pathologic study of 305 lesions and recognition of new histologic forms. Am J

Surg Pathol 1999; 23:1441–1454

14. Zech CJ, Grazioli L, Breuer J, et al. Diagnostic performance and description of morphological

features of focal nodular hyperplasia in Gd-EOBDTPA-enhanced liver magnetic resonance

imaging: results of a multicenter trial. Invest Radiol 2008; 43:504–511

15. Marin D, Brancatelli G, Federle MP, et al. Focal nodular hyperplasia: typical and atypical

MRI findings with emphasis on the use of contrast media. Clin Radiol 2008; 63:577–585

16. Choi BY, Nguyen MH. The diagnosis and management of benign hepatic tumors. J Clin

Gastroenterol 2005; 39:401–412

17. Kim J, Ahmad SA, Lowy AM, et al. An algorithm for the accurate identification of benign

liver lesions. Am J Surg 2004; 187:274–279

18. Lazaridis KN, Gores GJ. Cholangiocarcinoma. Gastroenterology 2005; 128:1655–1667

Page 59: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

45

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

19. Chung YE, Kim MJ, Park YN, et al. Varying appearances of cholangiocarcinoma: radiologic–

pathologic correlation. RadioGraphics 2009; 29:683–700

20. Danet IM, Semelka RC, Leonardou P, et al. Spectrum of MRI appearances of untreated

metastases of the liver. AJR 2003; 181:809–817

21. Stern W, Schick F, Kopp AF, et al. Dynamic MR imaging of liver metastases with Gd-EOB-

DTPA. Acta Radiol 2000; 41:255–262

22. Ba-Ssalamah A, Uffmann M, Saini S, et al. Clinical value of MRI liver-specific contrast

agents: a tailored examination for a confident non-invasive diagnosis of focal liver lesions.

Eur Radiol 2009; 19:342–357

23. Bartolozzi C, Battaglia V, Bozzi E. HCC diagnosis with liver-specific MRI: close to

histopathology. Dig Dis 2009; 27:125–130

24. Bajpai S, Sahani DV. Recent progress in imaging of colorectal cancer liver metastases. Curr

Colorectal Cancer Rep 2009;5:99–107.

25. Kim HJ, Kim KW, Byun JH, et al. Comparison of mangafodipir trisodium and

ferucarbotranenhanced MRI for detection and characterization of hepatic metastases in

colorectal cancer patients. AJR Am J Roentgenol 2006;186:1059–1066

26. Ba-Ssalamah A, Uffmann M, Saini S, et al. Clinical value of MRI liver-specific contrast

agents: a tailored examination for a confident non-invasive diagnosis of focal liver lesions.

Eur Radiol 2009; 19:342–357

27. Bartolozzi C, Battaglia V, Bozzi E. HCC diagnosis with liver-specific MRI: close to

histopathology. Dig Dis 2009; 27:125–130

28. Samir Shah, Akash Shukla, and Bhawan Paunipagar Radiological Features of Hepatocellular

Carcinoma J Clin Exp Hepatol. 2014 Aug; 4(Suppl 3): S63–S66.

29. Yu MH, Kim JH , Yun JH.Small (≤1-cm) Hepatocellular Carcinoma: Diagnostic Performance

and Imaging Features at Gadoxetic Acid–enhanced MR Imaging, Radiology 2014 ;271

(3):749-760

30. Shan Y, Gao J, Su Zeng M,Gadoxetic acid-enhanced magnetic resonance imaging for the

detection of small hepatocellular carcinoma (≤ 2.0 cm) in patients with chronic liver disease:

A meta-analysis World J Meta-Anal.2016; 4(4): 95-104

Page 60: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

46

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Timing of Systemic treatment in HCC Management

Poernomo Boedi Setiawan

Departemen – SMF Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya

Pendahuluan

Sampai saat ini Karsinoma Hepatoseluler (KHS) merupakan probem kesehatan

yang oenting. KHS menduduki urutan keenam keganasan dunia, dan merupakan

penyebab kematian terbanyak pada penderita Sirosis Hati. Angka kejadian KHS

meningkat di Eropa dan Amerika Serikat dengan faktor risiko utama Hepatitis C ( dan

diramalkan akan terjadi perubahan faktor risiko utama , dikarenakan adanya obat DAA

untuk hepatitis C kronis).. Di Asia Pasifik dan Afrika faktor risiko utama adalah Hepatitis

B, namun di Jepang Hepatitis C justru merupakan faktor risiko utama. Penderita Hepatitis

B Kronis mempunyai risiko relativ 100 X untuk menjadi KHS , dan angka kejadian

pertahun sekitar 2 – 6 % pada Sirosis Hati .

KHS pada umumnya terdiri dari dua kondisi yaitu : penyakit hati menahun

(utamanya Sirosis hati) dengan tumor primer di hati. Kondisi ini sangat penting difahami

karena akan menentukan strategi penatalaksanaan dan prognosis pasien . Klasifikasi atau

“staging” KHS seharusnya mengevaluasi dua kondisi tersebut sehingga dapat ditentukan

strategi penatalaksanaan dan sekaligus prognosis pasien.

Strategi penatalaksanaan KHS dimulai dari penentuan stdium klinik penyakit dan

kemungkinan modalitas pengobatan yang dapat diberikan pada seorang pasien .

Dengan pemahaman yang lebih baik tentang patogenesis KHS maka pengobatan

dengan “targeting therapy”, telah mapan diterima untuk KHS stadium lanjut.

Indvidualisasi pasien khususnya pada pasien dengan stadium yang lebih dini namuin

tidak mungkin menerima modalitas poengobatan yang lain ataupun hasiol belum optimal

membuka wawasan pemakaian “targeting therapy”, pada stadium KHS selain stadium

lanjut.

Penatalaksanaan Modalitas tatalaksana KHS dapat dikelompokkan menjadi :

(i) Tata laksana bersifat kuratif : reseksi, transplantasi hati dan terapi ablasi

(khususnya RFA: radio frequency ablation ) dan

(ii) Tatalaksana bersifat paliatif seperti embolization/chemoembolization , dan

pengobatan sistemik ( hormonal, kemoterapi sisitemik, imunoterapi dan

novel targeted therapy )

Sorafenib adalah targeted therapy yang telah diterima berdasarkan suatum

penelitian muilticentre dengan disain yang baik. Sorafenib ( = Nexavar) adalah obat

multikinase inhibitor , yang menghambat VEGF receptor 2, PDGF ,dan c Kit receptor

serta menghambat serine /threonin kinases ( b Raf /Ras/MAPKK pathway ) suatu obat

sistemik yang terbukti dapat meningkatkan “overall survival” pada pasien KHS stadium

lanjut .

Penelitian pengobatan KHS stadium lanjut dengan Sorafenib ( SHARP trial =

Sorafenib HCC Assessment Randomized Protocol ) ,yaitu suatu penelitian acak random ,

pada 602 penderita KHS , dengan sorafenib 400 mg 2 x/ hari , ternyata memberikan

beberapa hasil antara lain median 0S yang 44 % lebih besar pada penderita dengan

sorafenib dibanding placebo ( 10,7 bulan vs 7,9 bulan,m p = 0.0006). Sorafenib

merupakan obat dengan target multiple jalur molekular KHS yang pertama kali diterima

Page 61: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

47

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

di Eropa . Selanjutnya obat ini juga telah diterima di beberpa Negara Asia Pasifik sebagai

obat sistemik oral untuk KHS .

Sedangkan indikasi modalitas dalam kaitan stadium penyakit dapat dilihat pada

gambar dibawah ini. Pemakaian khemoterapi pada KHS stadium lanjut tidak dapat

diterima ”guideline” dikarenakan :

a. Pada umumnya KHS adalah khemo resistent

b. Efek toksis dari khemoterapi terhadap hati

c. Data yang tersedia pada umumnya belum kuat

BCLC (2010) / AASLD (endorsed) Staging And Treatment Strategy

Portal pressure/

bilirubin

PEI/RFA Sorafenib

Stage 0PST 0, Child–Pugh A

Very early stage (0) 1 HCC < 2 cm

Carcinoma in situ

Early stage (A)1 HCC or 3 nodules

< 3 cm, PST 0

End stage (D)

Liver transplantation TACEResection Symptomatic

treatment (20%)

Survival < 3 monthsCurative treatments (30%)

5-year survival (40–70%)

Palliative treatments (50%)

Median survival 11–20 months

Associated diseases

YesNo

3 nodules ≤ 3 cm

Increased

Normal

1 HCC

Stage D

PST > 2, Child–Pugh C

Intermediate stage (B)Multinodular,

PST 0

Advanced stage (C) Portal invasion, N1, M1, PST 1–2

Stage A–CPST 0–2, Child–Pugh A–B

Adapted from Bruix J, Sherman M. Hepatology. In press 2010.

Available from http://www.aasld.org. Last accessed November 2010.

Llovet JM, et al. J Natl Cancer Inst. 2008;100:698-711.

HCC

Gambar 1. Stadium dan Strategi Penatalaksanaan

Sorafenib targetted therapy

Sorafenib telah diterima secara mapan untuk KHS stadiuum lanjut (KHS BCLC

Stadium C). Pada pasien KHS stadium B dengan modalitas pilihan TACE , namun mengalami

kegagalan maka diteliti pemberian Sorafenib padsa keadaan tersebut , dan bahkan diteliti

penggunaan kombinasi TACE dengan Sorafenib , maupun kondisi lainnya .

Kapan mulai sorafenib diberikan pada pasien pasien tersebut dietliti secara

intens dengan data menunjukkan bahwa pasien pada stadium BCLC B dapat diberikan

Sorafenib bila terdapat keadaan :

a. Terdapat kontra indikasi pemberian TACE

b. Problem teknis untuk pelaksanaan TACE

c. Efek samping yang berat setelah TACE pertama

d. Kegagalan TACE

Page 62: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

48

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Definitions of TACE Failure/Refractory

• Patients with no response of treated tumor after ≥2 sessions of TACE

• Patients who experience serious toxicity

EU Consensus Paper, Raoul et al. 20123

Kudo et al.20111

• Intrahepatic lesion

– >2 consecutive incomplete

necrosis

– >2 consecutive

appearances of a new

lesion (recurrence)

• Appearance of vascular

invasion

• Appearance of EHS

• Continuous elevation of

tumor markers even though

right after TACE

Yamanaka et al. 20122

• TACE Failure

– Inability to select the

feeding artery of the HCC

because of arterial

devastation

– Deterioration of liver

function and/or

– Tumor thrombosis of the

portal vein

• TACE Refractory

– Repetitive tumor

recurrence in the liver

– Appearance of vascular

invasion

– Appearance of distant

metastasis

– Continuous increase in

tumor marker levels after

TACE

Predicting TACE RefractoryKim et al. 20124

• Development of PD during

the first 6 months

• 3 TACE during the first

6 months

Gambar 2. Definisi kegagalan / TACE refrakter

Daftar pustaka

1. Bruix J, Sherman M (2011). Management of Hepatocellular carcinoma : an update .

Hepatology 53 : 1020 - 1022

2. Carolina del Pozo A, Lopez P ( 2007). Management of Hepatocellular Carcinoma. Clin

Liv Dis 11 : 305 – 321

3. Kiyosawa K, Tanaka K (2002). Characteristic of HCC in Japan. Oncology .62(s1): 5 – 7

4. Kudo M, Ueshima K (2010). Positioning of a Molecular targeted agent , sorafenib in the

treatment for HCC and clinical implication of many complete remission in Japan.

Oncology 78 (S1) , 154 – 166

5. Kurokawa Y, Matoba R, Takemasa I et al. (2004). Molecular based prediction of early

recurrence in HCC. J Hepatol 41 : 284 - 291

6. Llovet JM, Briux J (2008). Novel advancement in the management of hepatocellular

carcinoma in 2008. J Hepatol 48 : s 20 – s 37

7. Llovet JM Ricci S, Mazzaferro V et al. Sorafenib in advanced hepatocellular carcinoma.

N Eng J Med 359 : 378 – 390

8. Marerro JA, Welling T (2009). Modern diagnosis and management of hepatocellular

carcinoma. Clin Liv Dis 13 : 233 – 247

9. Parkin DM, Barry F, Ferlay J, Pisani P (2005). Global cancer statistic 2002. CA Cancer J

Clin 55 : 74 – 108

10. Rodriguez de Lope C , Tremosini S , Forner A , Reig M , Bruix J (2012) . Management of

HCC . J Hepatol , 56 : S 75 – S 87

11. Thorgeirssson SS, Lee JS, Grisham JW (2006) Functional genomics of Hepatocellular

carcinoma. Hepatology 43 (2) : 145 - 150

Page 63: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

49

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

LONG TERM TREATMENT PLAN IN SYSTEMIC TREATMENT OF

HEPATOCELLULAR CARINOMA

Rino Alvani Gani

Division of Hepatobiliary, Department of Internal Medicine,

Faculty of Medicine Universitas Indonesia / Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta

Pendahuluan

Hepatocellular carcinoma atau HCC menempati posisi kedua serta posisi ke-6

penyebab kematian akibat kanker terbanyak pada pria dan wanita.1 Berbagai kemajuan

dalam pemahaman terhadap struktur molecular serta bebeberapa mekanismenya, hal

tersebut tanpaknya belum dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan terutama pada

stadium lanjut.

Pada HCC stadium awal, operasi reseksi, metode ablasi, dan transplantasi hati

dilaporkan dapat meningkatkan angka kesintasasn hidup lebih dari 5 tahun. Akan tetapi,

hanya 50% pasien merupakan kandidatreseksi saat pertama kali berobat dan pada pasien

yang dapat direseksi, 70% diantaranya akan mengalami relaps akibat micrometastases

dan de novo malignant transformation pada sel-selhati yang berdekatan.2,3 Transplantasi

hati disebut memiliki resiko rekurensi yang lebih rendah serta kesintasan jangka yang

lebih baik akibat perbaikan terhadap sirosis. Akan teapi, transplantasi hati memiliki

beberapa keterbatasan seperti waktu tunggu yang lama serta penggunaan obat

imunosupresi jangka pajang.

PerkembanganTerapiSistemik HCC

Hingga saat ini belum ada terapi adjuvant yang efektif untuk HCC dan hanya ada 2

modal itasterapi yang disetujui untuk HCC tingkat lanjut yaitu transcatheter arterial

chemoembolization (TACE) dan inhibitor multi-kinase, sorafenib. TACE dapat

memperpanjang kesintasan selama 2 tahun pada stadium sedang dengan beberapa resiko

seperti angka kegagalan terapi yang tinggi dan resiko kegagalan hati pada sirosis lanjut.4

Sorafenib merupakan inhibitor multi-target tyrosine. Sorafenib bekerja dengan

menghalau aktivitas dari serine-threnoine kinase Raf-1 dan B-Raf, serta reseptor tyrosine

kinase pada reseptor vascular endothelial growth factor. Studi SHARP dan Asia-Pacific

menunjukkan peningkatan kesintasan yang moderat namun signifikan. Study SHARP

menunjukkan median kesintasan kelompok sorafenib adalah 10.7 bulan dibandingkan

dengan 7.9 bulan pada kelompok placebo (HR 0.69; 95%CI 0.55-0.87, P < 0.001).5

Sedangklan pada studi Asia-Pacific, median kesintasan sorafenib vs placebo adalah 6.5 vs

4.2 (HR 0.68; 95%CI 0.50-0.93, P=0.014).6

Page 64: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

50

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Gambar 1. Staging BCLC dan pilihan terapi HCC.7

Perkembangan terap isi stemik merupakan era baru pengobatan HCC stadium

lanjut. Akan tetapi studi uji klinik terhadap sunitinib, brivanib, dan linifanib, yang

diharapkan dapat menjadi pilihan terapi ini pertama, memberikan hasil yang tidak

memuaskan. Selain itu studi fase 3 terhadap brivanib, everolimus, dan ramucirumab

sebagai terapil ini kedua juga tidak berhasil. Namun pada juni 2016 serta januari 2017,

beberapa hasil uji klinis menunjukkan adanya harapan baru terhadap regorafenib

sertalevantinib yang menandakan era baru terhadap terapi HCC.8

Sorafenib-Regorafenib Sequential Therapy

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sorafenib merupakan terapipilihan

untuk stadium lanjut HCC (Sesuai dengan klasifikasi Barcelona Clinic Liver Cancer

[BCLC] stadium C). Sorafenib merupakan satu-satunya agen teraputik untuk HCC

stadium lanjut dengan invasivsakular dan atau penyebaran ekstrahepatik. Pada studi

SHARP, HCC stadium intermediate juga diikutsertakan sehingga sorafenib juga dapat

digunakan pada HCC yang tidak dapatdilakukan reseksi. Pada praktik klinik, sorafenib

sering diberikan pada HCC stadium intermediate. 7

Kriteria Kinki mengikutsertakan HCC stadium intermediate kedalam populasi yang

dapat diterapi menggunakan sorafenib. Kinki kriteria membagi kembaliklasifikasi HCC

stadium BCLC B menjadi B1, B2, dan B3.9Kriteria Kinki menjelaskan kelompok

intermediate yang tidak efektif untuk mendapatkan terapi TACE. Pada kelompok ini,

penggantian awal dengan sorafenib menunjukkan kesintasan yang lebih baik. Oleh karena

itu identifikasi pasien yang refrakter terhadap terapi TACE penting dilakukan.7

Studi RESORCE meneliti efikasi dan keamanan regorafenib pada pasien yang

mendapatkan sorafenib namun dengan progresivitas HCC yang terus berlanjut.

Regorafenib memperbaiki overall survival dengan hazard ratio sebesar 0.63 (95%CI

0.50-0.79; P<0.0001), median survival adalah 10.6 bulan (95%CI 9.1-12.1) dibandingkan

dengan plasebosebesar 7.8 bulan.10

Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan untuk dapat melakukan early switch

kepada sorafenib pada pasien dengan intermediate HCC yang referaktier terhadap TACE

Page 65: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

51

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

serta pergantian dengan regorafenib pada pasien yang mendapatkan terapi sorafenib

namun dengan progresivitas HCC yang terus berlanjut.7

Gambar 1. Strategi Terapi Menggunakan Terapi Sistemik.7

Pilihan Terapifirst line Baru: Levantinib

Levantinib merupakan inhibitor reseptor multi-tyrosine kinase yang menargetkan

reseptor VEGF 1-3, FGFR 1-4, PDGFRα, dan KIT dan RET proto-oncogenes. Levantinib

telah disetujui sebagai terapikan kertiroid radiocactive iodine-refractory differentiated.

Studifase 2 oleh Ikeda et al menunjukkan levantinib dengan dosis 12 mg per hari selama

28 hari menunjukan aktivitas klinis yang baik dengan karak teristiktoksisitas yang dapat

ditoleransi. Waktu median time to progression (TTP) adalah 7.4 bulan (95%CI 5.5-9.4)

dan median overall survival sebesar 18.7 bulan (95%CI 12.7 – 25.1).11

Publikasi oleh Eisai Co., Ltd. pada Januari 2017 menunjukkan hasil fase III dari

studi REFLECT yang mengikut sertakan 954 psien dengan unresectable HCC. Pada

studiini, overall survival lenvantinib tidak lebih inferior dibandingkan dengan sorafenib

serta terdapat peningkatan yang bermakna terhadap progression free survival (PFS), TTP,

dan objective response rate (ORR).12

Berdasarkan beberapa hasil penelitian ini, penetapaan levantinib sebagai pilihan

terapi linipertama sepertinya akan terwujid. Dengan overall survival yang sebanding

dengan sorafenib meyakinkan bahwa levantinib dapat disetujui sebagai terapilini pertama.

Kesimpulan

Dalam waktu yang cukup lama, sorafenib merupakan satu-satunya era pisistemik

yang dapat digunakan pada HCC. Berbagai studi uji klinis telah dinyatakan gagal dalam

misiuntuk mencari regimen alternative terhadap sorafenib. Namun beberapa uji klinis

terbaru menunjukkan potensi regorafenib dan levantinib yang dapat digunakan sebagai

sequential therapy maupun terapilini pertama pada HCC stadium lanjut. Selainitu,

beberapastudi juga menunjukkan potensi untuk menggunakan terapisistemik lebih awal,

Page 66: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

52

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

terutama pada stadium HCC BCLC B dimana beberapa populasi pasien menunjukan

refrakterisasi dengan terapi TACE.

Daftar Pustaka:

1. Torre LA, Bray F, Siegel RL, et al. Global cancer statistics, 2012. CA Cancer J Clin

2015;65:87-108

2. Yeh CN, Chen MF, Lee WC, et al. Prognostic factors of hepatic resection for hepatocellular

carcinoma with cirrhosis: univariate and multivariate analysis. J Surg Oncol 2002;81:195-202

3. Bupathi M, Kaseb A, Meric-Bernstam F, et al. Hepatocellular carcinoma: Where there is

unmet need. Mol Oncol 2015;9:1501-9

4. Lammer J, Malagari K, Vogl T, et al. Prospective randomized study of doxorubicin-eluting-

bead embolization in the treatment of hepatocellular carcinoma: results of the PRECISION V

study. Cardiovasc InterventRadiol2010;33:41-52

5. Llovet JM, Ricci S, Mazzaferro V, et al. Sorafenib in advanced hepatocellular carcinoma. N

Engl J Med 2008;359:378-90

6. Cheng AL, Kang YK, Chen Z, et al. Efficacy and safety of sorafenib in patients in the Asia-

Pacific region with advanced hepatocellular carcinoma: a phase III randomised, double-blind,

placebo-controlled trial. Lancet Oncol 2009;10:25-34

7. Bruix J, Sherman M. Management of Hepatocellular Carcinoma: An Update.

Hepatology.2011;53(3):1020-2

8. Kudo M. A New Era of Systemic Therapy for Hepatocellular Carcinoma with Regorafenib

and Lenvatinib. Liver Cancer 2017;6:177-184

9. Kudo M, Arizumi T, Ueshima K, et al: Subclassification of BCLC B stage hepatocellular

carcinoma and treatmentstrategies: proposal of modified Bolondi’s subclassification (Kinki

criteria). Dig Dis 2015; 33: 751–758.

10. Bruix J, Qin S, Merle P, et al: Regorafenib for patients with hepatocellular carcinoma who

progressed onsorafenib treatment (RESORCE): a randomised, double-blind, placebo-

controlled, phase 3 trial. Lancet 2017;389: 56–66

11. Ikeda K, Kudo M, Kawazoe S, et al: Phase 2 study of lenvatinib in patients with advanced

hepatocellularcarcinoma. J Gastroenterol 2016

12. Eisai Co., Ltd.: Phase III trial of anticancer agent Lenvima ® as first-line treatment for

unresectable hepatocellularcarcinoma meets primary endpoint. News Release No. 17-06,

January 25, 2017

Page 67: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

53

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

COLITIS: INFLAMMATORY BOWEL DISEASE VS INTESTINAL TUBERCULOSIS,

HOW TO DIFFERENTIATE IT

Marcellus Simadibrata Kolopaking

Division Gastroenterology Department Internal Medicine Faculty Medicine Universitas Indonesia / Dr.

Cipto Mangunkusumo Hospital

Abstract

Colonic tuberculosis is frequent in Indonesia and Asia Pacific. Inflammtory bowel

disease(IBD) is increasing in Indonesia and Asia Pacific recently. IBD and colonic tuberculosis

are frequently difficult to be differentiated. There is a close resemblance in the clinical,

radiological, endoscopic, surgical, and histological features of Crohns disease and Intestinal

tuberculosis. Inflammatory Bowel Disease(IBD) is defined as a group of idiopathic, chronic,

relapsing, inflammatory conditions of the colon and small intestine, that are immunologically

mediated. Crohn's disease and ulcerative colitis are the main types of inflammatory bowel

disease. Colonic tuberculosis is defined as the tuberculosis infection of the colon. Colonic

tuberculosis is part of intestinal tuberculosis, one of the presentation of extrapulmonary

tuberculosis. Crohn's disease may involve the entire gastrointestinal tract from mouth to perianal

area. Ulcerative colitis involve only colon(left colon to total colon). Symptoms: Intesintal:

Abdominal pain, chronic bloody diarrhea, weight loss, fever, perforation, fistulae, perianal tags;

extra-intestinal: arthralgia, skin disorder(pyoderma gangrenosum, erythema nodosum etc.),

stomatitis, opthalmic(episcleritis, iritis, uveitis etc), hepatobiliary(primary sclerosing cholangitis)

etc. The clinical manifstation of colitis tuberculosis are (1)Systemic symptoms: Fatique, low-

grade fever, night sweats, loss of weight, poor appetite, anemia, (2)Local symptoms: abdominal

distension(ascites, mass), abdominal pain, diarrhea/constipation, complication,(3) Extraintestinal

tuberculosis: pulmonary TBC. Supporting examinations in IBD: Laboratory: ASCA, ANCA,

elevated LED and CRP, elevated fecal calprotectin and fecal M2PK; Conoscopy: Crohn’s

disease(skip lesion, deep ulceration, pseudopolyps, Cobble stone appearance, Granulomatosa,

fistula, stricture, involving ileocecal, colon, small bowel); Ulcerative colitis(ulcerations,

pseudopolps, involving colon only); Histopathology: Crohn’s disease(noncaseating granuloma,

Datia langhans); Ulcerative colitis(acute and chronic inflammation of the mucosa by

polymorphonuclear leukocytes and mononuclear cells, crypt abscesses, distortion of the mucosal

glands, and goblet cell depletion); Barium enema/Barium follow through: thickening bowel wall,

stricture, fistula etc.; Abdominal Ultrasound/CT-scan/MRI : thickening of bowel wall,

stricture/stenosis of bowel lumen, megacolon toxic. The supporting examinations in Colitis

tuberculosis are Laboratory: elevated erythrocyte sedimentation rate(ESR), positive stool occult

blood test, Positive purified protein derivative tuberculin(PPD) skin test, positive Mycobacterium

TBC culture or histological examination of specimen, positive Mycobacaterium TBC on biopsy-

microscopic tissue exame; Radiography: stenosis and 0bstruction, shortening, ulceration,

retraction and pouch formation of the colon/intestine; Colonoscopy: ulceration, polyposis,

stenosis/obstruction of the colon.

Keywords: Inflammatory Bowel Disease (IBD), Colitis tuberculosis, Differentiation.

Page 68: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

54

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

GUT MICROBIOTA IN INFLAMMATORY BOWEL DISEASES

Fauzi Yusuf

Divisi Gastroenterohepatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

Abstrak

Inflammatory bowel diseases (IBD), termasuk Crohn’s disease (CD) dan ulcerative colitis

(UC), ditandai dengan chronic idiopathic intestinal inflammation, yang terjadi karena interaksi

antara faktor predisposisi genetik, faktor lingkungan dan sistem imun. Terjadi beberapa perubahan

dalam komposisi dan fungsi mikrobiota usus pada kasus IBD. Penurunan keragaman bakteri

ditemukan pada penderita IBD dibandingkan dengan orang normal. Jumlah total spesies mikroba,

yang dikenal dengan alfa diversity dalam istilah ekologi, mengalami penurunan pada pasien

colitis ulcerative dan Crohn’s Disease. Tulisan ini dibuat untuk menggambarkan bagaimana

perubahan mikrobiota usus pada kasus IBD.

Pendahuluan

Inflammatory bowel diseases (IBD), termasuk Crohn’s disease (CD) dan

ulcerative colitis (UC), ditandai dengan chronic idiopathic intestinal inflammation, yang

terjadi karena interaksi antara faktor predisposisi genetik (gen-gen yang mengkode

protein yang relevan pada imunitas alami dan adaptif, fungsi pertahanan dan pertahanan

dengan bantuan. mikroba), faktor lingkungan (antigen yang berasal dari bakteri

komensal) dan sistem imun.1,2

IBD terjadi karena: 1) Ketidakseimbangan respon antara proinflamasi dan sel T

antiinflamasi 2) Penyimpangan respon imun alami akibat defek dari pengenalan bakteri,

autofagi, dan presentasi antigen 3) perubahan fungsi pertahanan epithelial dan/atau 4)

ketidakseimbangan mikrobiota usus dengan perubahan pada hubungan mutualisme antara

sesama mikrobiota dan antara mikrobiota dan pejamu, yang disebut dengan “dysbiosis”,

ditandai dengan perubahan komposisi dan keragaman mikrobiota dan kerusakan

fungsinya. Hipotesis yang paling banyak dianut menyebutkan bahwa dysbiosis usus

merupakan hasil dari kerusakan sistem imun yang dikaitkan dengan terjadinya IBD.

Walapun patogen spesifik belum dapat diidentifikasi sebagai fakto etiopatogenesis dan

menjadi satu penyebab tersendiri, namun secara umum diketahui bahwa ada keterlibatan

mikrobiota usus dalam patogenesis penyakit ini. Secara khusus, beberapa

mikroorganisme yang berasal dari usus dapat menjadi suatu peran patogenik yang secara

genetik mempengaruhi pejamu yang disebabkan faktor lingkungan atau faktor diet dan

menyebabkan dan mencetuskan timbulnya inflamasi usus. 1,3

Perubahan Mikrobita Usus pada Inflammatory Bowel Disease.

Terjadi beberapa perubahan dalam komposisi dan fungsi mikrobiota usus pada

kasus IBD. Penurunan keragaman bakteri ditemukan pada penderita IBD dibandingkan

dengan orang normal. Jumlah total spesies mikroba, yang dikenal dengan alfa diversity

dalam istilah ekologi, mengalami penurunan pada pasien colitis ulcerative dan Crohn’s

Disease. Perubahan jumlah dan komposisi beberapa bakteri dikaitkan dengan perubahan

fungsi mikrobiota usus pada pasien IBD, terutama penurunan metabolisme short chain

fatty acids (SCFAs), terutama asetat, propionat dan butirat, penurunan biosintesis asam

amino dan juga peningkatan auxotrophy, stres oksidatif dan sekresi toksin..4,5

Page 69: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

55

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Interaksi antara faktor genetik, mikrobiota dan sistem Imun Varian dari dua gen yang berhubungan dengan autophagy, nucleotide-binding

oligomerization domain-containing protein 2 (NOD2) dan autophagy-related protein 16L1

(ATG16L1), paling jelas terkait dengan IBD. NOD2 mengaktifkan reaksi kekebalan terhadap

muramyl dipeptide, komponen dari peptidoglikan dinding bakteri NOD2 mengenali komponen

dinding sel dari bakteri invasif seperti Shigella flexneri dan Listeria monocytogenes. Varian

polimorfik gen NOD2 telah secara konsisten dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk terjadinya

CD dan juga interaksi antara faktor genetik predisposisi dan toll-like receptors (TLRs).

Sekelompok reseptor yang dinyatakan dalam sel-sel imun yang berbeda merupakan pola pola

dasar pola yang memungkinkan kekebalan bawaan untuk membedakan antara mikroba patogen

yang sangat beragam. Aktivasi jalur TLR / NOD menyebabkan produksi sitokin proinflamasi,

seperti TNF-alpha.4

UC dan CD dianggap sebagai penyakit inflamasi yang terkait dengan respon

limfosit Th2 atau profil limfosit Th1 dan Th17. Limfosit regulasi T (Tregs) yang

mengekspresikan FoxP3 terjadi secara independen dari respons Th1 dan Th2.

Ketidakseimbangan antara Tregs dan Th17 tampaknya memainkan peran sentral dalam

modulasi IBD. Jumlah Foxp3 + Tregs yang diinduksi dalam lamina propria kolon

berkurang secara signifikan tanpa adanya mikrobiota usus dan kolonisasi kembali usus

dengan mikroba segera mengembalikan kadar Tregs yang diinduksi secara normal .

Namun, bukti terbaru telah mempertanyakan peran pro-inflamasi eksklusif sel Th17.

Bahkan, telah ditunjukkan dalam model murine penyakit menular yang sel Th17 juga

dapat melindungi terhadap patogen ekstraseluler dan bahwa kehadiran IL-17, dengan

reseptornya IL-17R, adalah faktor prognostik positif dalam modulasi patogenesis IBD,

dengan mengurangi aktivasi sel T di Th1-sense.2

Peranan Mikrobiota dalam Patogenesis Inflammatory Bowel Diseases.

Mikrobiota memainkan peran penting dalam pengembangan dan fungsi respon

imun fisiologis; sebaliknya, respon imun mengatur komposisi dan fungsi mikrobiota.

Kerusakan mukosa dapat terjadi akibat respons imun yang tidak teratur terhadap

mikrobiota normal atau sebaliknya merupakan konsekuensi dari respon imun normal

terhadap mikrobiota yang berubah. Gangguan perkembangan jaringan limfoid yang

berhubungan dengan usus dan pengurangan peyer patch (dengan jumlah sel IgE + B yang

lebih banyak dan jumlah sel IgA + B yang lebih rendah di dalam), folikel limfoid yang

terisolasi. Pada subyek sehat, sistem kekebalan gastrointestinal dan mikrobiota normal

berinteraksi secara seimbang. Namun, infeksi sementara mengganggu barier mukosa

dapat menginduksi respon imun yang diarahkan tidak hanya terhadap patogen, tetapi juga

terhadap komensal. Infeksi yang berulang, efektor dan memori sentral sel T melawan

akumulasi komensal dan menyebabkan proses untuk melanjutkan dari keadaan

peradangan subklinis ke kondisi IBD yang nyata..1

Mikrobiota usus memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan

fisiologis dan pemeliharaan kekebalan sistemik, tidak hanya dari sistem kekebalan lokal.

Studi terbaru pada model eksperimental telah sangat berkontribusi pada pemahaman

peran patogenik kekebalan dari mikrobiota. Tikus transgenik HLA-B27, yang secara

genetis rentan terhadap kolitis, dibesarkan di lingkungan bebas kuman, tidak mengalami

penyakit radang usus. Dengan demikian, peran mikrobiota, apakah protektif atau

patogenetik, di IBD masih kontroversial. Temuan yang ada sangat mungkin menunjukkan

bahwa mikrobiota normal memainkan peran protektif, sedangkan ketidakseimbangan

mikrobiota dalam komposisinya dapat memicu modifikasi fungsi imun mukosa, fungsi

barrier epitel dan autophagy yang mendukung terjadinya IBD. Temuan klinis pada

manusia memberikan bukti tambahan untuk mendukung pandangan ini. Pasien dengan

Page 70: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

56

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

IBD, terutama mereka dengan CD, menghasilkan antibodi terhadap antigen mikroba,

seperti anti-Saccharomyces cerevisiae atau anti-E. coli antibodi membran luar porin C

antibodies. Selain itu, semakin tinggi reaktivitas serum terhadap antigen mikroba dan titer

antibodi, semakin besar frekuensi terjadinya komplikasi klinis.1,6

Kesimpulan

Mikrobiota usus memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan

fisiologis dan pemeliharaan kekebalan sistemik, tidak hanya dari sistem kekebalan lokal.

Penurunan keragaman bakteri ditemukan pada penderita IBD dibandingkan dengan orang

normal. Jumlah total spesies mikroba mengalami penurunan pada pasien colitis

ulcerative dan Crohn’s Disease. Perubahan jumlah dan komposisi beberapa bakteri

dikaitkan dengan perubahan fungsi mikrobiota usus pada pasien IBD.

DAFTAR PUSTAKA

1. Eppinga H, Fuhler GM, Peppelenbosch MP, Hecht GA. Gut Microbiota Developments

With Emphasis on Inflammatory Bowel Disease: Report From the Gut Microbiota for

Health World Summit 2016. Gastroenterology. 2016

2. Kim DH, Cheon JH. Pathogenesis of Inflammatory Bowel Disease and Recent Advances

in Biologic Therapies. Immune Netw . 2017.

3. Cao SS. Review Article Cellular :Stress Responses and Gut Microbiota in Inflammatory

Bowel Disease. 2018.

4. Ohkusa T, Koido S. Intestinal microbiota and ulcerative colitis. J Infection Chemotherapy.

2015.

5. Sheehan D, Shanahan F. The Gut Microbiota in Inflammatory Bowel Disease.

Gastroenterol Clinical North America. 2017.

6. Cammarota G, Ianiro G, Cianci R, Bibbò S, Gasbarrini A, Currò D. The involvement of

gut microbiota in inflammatory bowel disease pathogenesis: Potential for therapy.

Pharmacology Therapy. 2015.

Page 71: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

57

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

PREVALENSI DAN DAMPAK PASIEN HEPATITIS C TERHADAP GANGGUAN

GINJAL IMPACT AND PREVALENCE OF HEPATITIS C

PATIENTS WITH KIDNEY DISEASE

Rudi Supriyadi

Nephrology and Hypertension Division

Department of Internal Medicine

Medical Faculty Universitas Padjadjaran

Hasan Sadikin Hospital

Bandung

Abstract

Indonesia is a country with a high incidence and prevalence of Hepatitis C and chronic

kidney disease. The Indonesian Renal Registry of 2017 revealed 3% patients undergoing chronic

hemodialysis infected with hepatitis C virus. Hepatitis C virus (VHC) is closely correlated to the

incidence of chronic kidney disease (PGK) in the general population. This virus will increase the

risk of CKD incidence in the general population through various mechanisms. PGK patients

undergoing HD will also have the risk of contracting VHC through various mechanisms such as

decrease immune system, blood component transfusion, interaction with VHC carriers or people

with VHC although this is difficult to prove. Therefore, eradication of VHC germs in patients with

CKD needs to be done to prevent the incidence of chronic hepatitis in patients with CKD and

transmission. Early detection of PGK incidence in patients with viral hepatitis C should also be

done only with simple proteinuria tests regularly. Effective treatment of VHC will reduce the

incidence of CKD.

Keywords: hepatitis C virus, Chronic kidney disease.

Abstrak

Indonesia merupakan negara dengan insidensi Hepatitis C dan penyakit ginjal kronik

yang tinggi. Laporan Indonesian Renal Registry tahun 2017 mendapatkan sekitar 3% pasien yang

menjalani hemodialisis kronik terinfeksi virus hepatitis C. Virus Hepatitis C (VHC) berkaitan erat

dengan kejadian penyakit ginjal kronik (PGK) pada populasi umum. Virus ini akan meningkatkan

risiko kejadian PGK pada populasi umum melalui berbagai mekanisme. Pasien PGK yang

menjalani HD akan juga memiliki risiko tertular VHC melalui berbagai mekanisme seperti

penurunan sistem imun tubuh, transfusi komponen darah, interaksi dengan carrier VHC atau

pengidap VHC meskipun hal ini sulit untuk dibuktikan. Oleh karena itu, eradikasi kuman VHC

pada penderita PGK perlu dilakukan untuk mencegah kejadian hepatitis kronik pada penderita

PGK dan penularannya. Deteksi dini kejadian PGK pada penderita hepatitis virus C juga harus

dilakukan hanya dengan tes proteinuria sederhana secara berkala. Pengobatan yang efektif

terhadap VHC akan menurunkan insidensi PGK.

Kata kunci: hepatitis C virus, penyakit ginjal kronik

Pendahuluan

Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi

yang bervariasi, Penyakit ini menyebabkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

ireversibel dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal terminal yang memerlukan

terapi pengganti ginjal (TPG) bisa berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Di Malaysia,

dengan jumlah penduduk sekitar 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal

ginjal pertahun. Sedangkan kasus PGK di Indonesia tiap tahunnya cukup tinggi, mencapai

200 – 250/1 juta penduduk bahkan ada yang menyebut angka hingga 400/juta penduduk

Page 72: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

58

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

tergantung dari daerah tempat tinggal. Terapi pengganti ginjal salah satunya adalah

hemodialisis yang mempergunakan akses pembuluh darah secara langsung dan dialirkan

ke dalam suatu penyaring darah yang disebut dializer. Akses pembuluh darah langsung

merupakan wahana yang dapat menjadi akses bagi masuknya kuman ke dalam tubuh,

oleh karena itu telah dibuat suatu konsensus dan juga standar oerasional prosedur untuk

menghindari kontak darah dengan sumber infeksi baik bagi pasien maupun bagi petugas

medisnya. Selain faktor akses, faktor pasien PGK yang cenderung mengalami kelemahan

sistem imun (immunocomprimise) menjadi salah satu sebab mudahnya terjadi infeksi

pada pasien PGK terutma yang telah menjalani hemodialisis.

Satu hal yang menarik dan terjadi tidak hanya di Indonesia namun juga di negara

maju sekalipun adalah terdeteksinya virus hepatitis pada sejumlah pasien yang menjalani

hemodialisis terutama virus hepatitis C. virus hepatitis C dapat terdeteksi pada uji tapis

sebelum HD dilakukan berdasarkan protokol konsensus HD untuk melakukan uji tapis

terhadap VHC, VHB dan HIV sebelum HD dilakukan atau terjadi seroknversi dari negatif

menjadi positif VHC setelah berlangsungnya HD sekian lama. Kejadian serokonversi ini

bisa ditemukan pada saat skrining ulang atau penderita telah menunjukkan gejala hepatitis

baik akut maupun kronik.

Epidemiologi Hepatitis C Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik

Sekitar 300.000 orang meninggal setiap tahun di dunia karena hepatitis C.

Prevalensi hepatitis C di dunia sekitar 130-170 juta orang dengan angka infeksi baru 2,3-

4,7 juta/tahun. Dari angka tersebut, 25% nya simtomatik dan berakhir menjadi infeksi

kronik sekitar 70%, yang kemudian 25% menjadi sirosis dan HCC 1-5%, sedangkan 30%

mengalami remisi dari infeksi VHC. Riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2013

melaporkan angka prevalensi di Indonesia sekitar 2,5% namun terjadi penurunan di

riskesdas 2014 menjadi 0,8-1%.

Sementara itu, pasien PGK juga memiliki prevalensi hepatitis C yang tinggi

dibandingkan populasi normal, terutama pasien PGK yang menjalani prosedur

hemodialisis. Hal tersebut disebabkan oleh prosedur dialisis, penurunan imunitas tubuh,

dan pajanan terhadap produk darah dalam waktu yang lama. Prevalensi infeksi VHC pada

pusat hemodialisis berkisar 3-68% di seluruh dunia, jauh lebih tinggi dibandingkan

populasi normal (1,6%). Kisaran tersebut bervariasi karena terdapat perbedaan kepatuhan

terhadap penerapan protokol pengendalian infeksi di tiap negara.

Telah dilakukan penelitian mengenai prevalensi hepatitis C di unit hemodialisis

RSCM pada tahun 1997, 2011 dengan hasil sebesar 72% dan 38%. Pada tahun 2017, telah

dilakukan penelitian prevalensi hepatitis C pada pasien hemodialisis di 3 unit HD di RS di

Jakarta ditemukan sebesar 38%. Hasil ini masih lebih rendah jika dibandingkan penelitian

yang dilakukan di unit hemodialisis lain di Indonesia, seperti penelitian di Yogyakarta

dan Surabaya dimana prevalensi hepatitis C berturut-turut adalah 76,3% (tahun 1996),

dan 88% (tahun 1996). (draft konsensus hepatitis C-PGK)

VHC seperti telah diketahui dapat menyebabkan PGK melalui berbagai mekanisme

sehingga perlu dilakukan pencarian etiologi PGK yang lebih tepat termasuk kemungkinan

VHC sebagai penyebab. Sekitar 100.000 orang di Indonesia menjalanai hemodialisis

rutin. Risiko dan etiologi untuk VHC menjadi semakin tinggi. Indonesia telah memiliki

sistem pencatatan penyakit ginjal terintegrasi dan sudah diakui secara internasional salah

satunya telah disitasi oleh USRDS (United states renal data system). Pencatatan ginjal

tersebut adalah Indonesian Renal Registry (IRR) atau Registrasi Ginjal Indonesia. Selain

dunia internasional, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah sering memakai

data IRR sebagai baseline data untuk layanan kesehatan di bidang ginjal khususnya.

Page 73: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

59

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Data berikut ini merupakan laporan mengenai kejadian VHC dan VHB pada pasien

hemodialisi di Indonesia yang didapat dari IRR tahun 2017, sebagai berikut:

Tabel 1. Jumlah Penderita GGK dengan hepatitis B dan C (IRR 2017)

Data di atas menggambarkan jumlah infeksi hepatitis yang diukur melalui

pemeriksaan serologi tes cepat hepatitis. Hepatitis C pada penderita yang menjalani HD

secara rutin adalah 831 orang sedangkan yang tidak menjalani HD rutin tapi insidental

saja yaitu 156 orang dengan AKI (acute kidney injury) dan juga 7 orang positif VHC

pada kejadian HD AKI on CKD. Data didapatkan dari unit HD yang melaporkan ke IRR,

tidak dari seluruh unit HD yang ada di Indonesia. Berdasarkan data di atas maka

didapatkan 994 penderita positif VHC yang menjalani HD.

Tabel 2. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik

Page 74: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

60

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Berdasarkan data di atas didapatkan etiologi GGK tertinggi berasal dari penyakit

ginjal hipertensi (47,4%) dan diikuti oleh nefropati diabetika (24,4%). Hal ini merupakan

suatu fenomena yang menarik karena di dunia nefropati diabetik menduduki urutan

pertama (data USRDS). Jika melihat data riskesdas Indonesia terakhir yang mendapatkan

data prevalensi hipertensi sekitar 25% maka data penyebab PGK di atas tidaklah

mengherankan meskipun peru diteliti lebih lanjut.

Tabel 3. Penderita GGK dalam HD berdasarkan kelompok umur

Berdasarkan jenis kelamin didapatkan jumlah laki-laki yang menjalani HD adalah

18.616 sedangkan jumlah wanita 14.226 dan didapatkan jumlah penderita HD total

32.842. Kelompok umur terbanyak yang menjalani HD adalah kelompok umur 55-64

tahun pada laki-laki maupun wanita diikuti kelompok umur 45-54 tahun pada kedua

kelompok umur. Berdasarkan data yang didapatkan maka penderita GGK dengan HD

yang positif VHC didapatkan sekitar 3%.

Hepatitis C dan Penyakit Ginjal Kronik

Patogenesis Gangguan Ginjal Akibat Hepatitis C

Virus Hepatitis C (HCV) pertama kali di isolasi pada tahun 1989, virus ini

menyebabkan infeksi kronik di liver. Mesikipun HCV terutama menyebabkan hepatitis,

diperkirakan sekitar 40% penderita infeksi HCV mengalami manifestasi kelainan

ektrahepatik selama perjalanan penyakitnya. Hepatitis C penting untuk menjadi perhatian

klinisi agar bisa mengenali, mendiagnosis dan mengobati sindroma ekstrahepatik akibat

hepatitis C karena infeksi HCV bisa menimbulkan manifestasi ekstra hepatik tanpa

menunjukkan manifestasi penyakit hati kronik.(Latt et al., 2012)

Pasien yang terinfeksi HCV menunjukkan peningkatan risiko menderita penyakit

ginjal kronik (PGK). Berbagai penelitian tentang PGK pada penderita hepatitis C

memberikan hasil yang berbeda. Sebuah systematic review dari berbagai publikasi medis

yang melakukan penelitian tentang apakah status serologis anti-HCV positif berhubungan

dengan peningkatan frekuensi PGK pada orang dewasa di populasi umum yang dilakukan

pada 40 penelitian dengan jumlah sampel 4.072.867 pasien, serta dilakukan meta-analisis

pada outcome pada penelitian-penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan antara

Page 75: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

61

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

infeksi HCV dan peningkatan risiko PGK pada populasi umum.(Fabrizi et al., 2018)

Suatu retrospektif kohort yang dilakukan pada 56.448 pasien hepatitis C di Amerika

menunjukkan bahwa hubungan antara hepatitis C dan risiko terjadinya PGK

dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi. Penderita hepatitis C memiliki 27% risiko

lebih tinggi mengalami PGK dan terapi hepatitis C yang efektif menurunkan insiden

terjadinya PGK (Park et al., 2018)

Penyakit ginjal kronik (PGK) terkait HCV terjadi melalui mekanisme yang

berhubungan dengan cryoglobulinemia, komplek antigen-antibodi virus dan efek sitopatik

virus secara langsung.

Gambar 1. Mekanisme terjadinya PGK pada penderita Hepatitis C(Barsoum et al., 2017)

Cryoglobunemia

Cryoglobulinemia mengacu pada adanya satu (monoklonal) atau lebih (mixed atau

poliklonal) imunoglobulin dalam serum, yang secara reversibel mengendap pada suhu

rendah (<37 °C). Immunoglobulin ini akan larut kembali saat serum dipanaskan.

Cryoglobulinemia secara klasik dikelompokkan menjadi 3 jenis menurut sistem

klasifikasi Brouet. Cryoglobulinemia tipe 1 terdiri dari imunoglobulin (Ig) M monoklonal

terisolasi dan paling sering dikaitkan dengan gangguan limfoproliferatif.

Cryoglobulinemia tipe I hanya terdapat pada 10-15% kasus. Cryoglobulinemia tipe II

terdiri dari kompleks imun campuran yang dibentuk oleh IgM monoklonal dan IgG

poliklonal. Hal ini terlihat pada infeksi virus diantaranya HCV, virus hepatitis B (HBV),

dan cytomegalo-virus, juga pada peradangan kronik seperti lupus eritematosus sistemik,

rheumatoid arthritis, dan sindrom Sjogren. Cryoglobulinemia tipe II didapatkan pada 50-

60% kasus yang dilaporkan. Cryoglobulinemia tipe III mengandung kompleks imun

campuran yang biasanya dibentuk oleh IgM poliklonal, tipe ini didapatkan pada 25-30%

kasus.(Latt et al., 2012)

Cryoglobulinemia campuran (tipe II dan III) paling sering dikaitkan dengan

MPGN dan berhubungan kuat dengan infeksi HCV kronik pada 80% hingga 90% pasien

dengan vaskulitis cryoglobulinemic.(Schena and Alper, 2015) Manifestasi klinis

Cryoglobulin glomerulonefritis bisa didapatkan mulai dari asimtomatik proteinuria atau

Page 76: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

62

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

hematuria sampai terjadi sindrom nefrotik maupun nefritik, yang selanjutnya berkembang

menjadi PGK.

Patogenesis Cryoglobulinemia Nephritis

Limfosit B adalah target infeksi HCV karena ekspresi sel reseptor CD81, yang

juga memungkinkan infeksi hepatosit. Sel B menghasilkan autoantibodi yang beredar luas

sehubungan dengan penurunan ambang aktivasi sel akibat infeksi HCV. Translokasi gen

HCV-dependent yang mampu melindungi sel terhadap apoptosis menopang

limfoproliferasi oligoclonal monotypic yang terjadi pada cryoglobulinemia campuran.

IgM-k yang memiliki aktivitas rheumatoid terhadap anti-HCV IgG membentuk mega-

kompleks yang tidak mengikat sistem transport eritrosit, tetap bebas bersirkulasi dan

banyak berikatan dengan fagosit sehingga menurunkan kemampuan fagosit untuk

menghilangkan immune-complex (IC) dari darah. Blokade terhadapt sel fagosit ini

menguntungkan infeksi HCV, yang membuat sel-sel tidak dapat mencerna cryoglobulin

setelah fagositosis. Karena afinitas terhadap matriks mesangial dari komponen IgM

monoklonal, terjadi deposit IC di glomeruli, di mana produksi sitokin memudahkan

diapedesis leukosit dan kerusakan endotel.(Roccatello et al., 2004)

Gambar 2. Mekanisme terjadinya Cryoglobulinemia Nephritis pada infeksi HCV(Roccatello et al.,

2004)

Page 77: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

63

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Gambar 3. Ilustrasi dinding kapiler glomerular normal dan Membranoproliferatif

Immune-Complex-Mediated Glomerulonefritis (MPGN).

Panel A gambar di atas adalah model skematis glomerulus normal dinding kapiler,

dengan regulator komplemen pada permukaan sel-sel endotel dan glomerular basement

membran. Panel B adalah model skematis MPGN dengan deposisi kompleks imun dan

aktivasi jalur klasik komplemen. Ikatan antigen-antibodi komplek mengaktivasi C1, yang

kemudian memotong C4 dan C2 untuk menghasilkan C4b dan C2a. Protein ini

selanjutnya membentuk C4b2a yang merupakan classical pathway convertase, yang

mengaktivasi C3 convertase dan terminal komplemen yang kompleks. Hasil akhir dari

proses kaskade komplemen ini adalah sMAC (soluble membrane attack complex). Fase

injury terjadi karena pengendapan kompleks imun dan komplemen dari jalur klasik

maupun jalur terminal komplemen. Fase injury diikuti dengan peran leukosit, yang

selanjutnya mengarah ke fase proliferasi, dengan kerusakan pada dinding kapiler akibat

pelepasan sitokin dan berbagai protease (berlabel P) yang kemudian diikuti dengan

hematuria dan proteinuria. Sel-sel endotel mengalami kerusakan dengan hilangnya celah

endotel, rusaknya membran basal glomerulus, dan penipisan foot processes podosit.

Selanjutnya perubahan reparatif terjadi dengan pembentukan membran basal baru serta

kompleks imun, komplemen, elemen seluler, dan materi matriks yang terperangkap

diantara membran basal yang rusak dan membran basal baru sehingga menghasilkan

kontur ganda sepanjang dinding kapiler. Struktur oval kuning menunjukkan faktor

pelengkap.(Sethi and Fervenza, 2012)

Page 78: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

64

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Gambar 4. Dengan pewarnaan Masson trichrome menunjukkan typical HCV-cryoglobulinemic

deposits, mesangial expansion and amyloid deposits

Gambar 5. Mikroskop elektron : tampak deposit amyloid fibril yang tersebar secara acak

Gambaran klinis glomerulonefritis cryoglobulinemic adalah kombinasi dari triad

Meltzer yang terdiri dari vaskulitis kulit, arthralgia dan mialgia, bersama dengan

manifestasi PGK. Manifestasi PGK bervariasi dari hematuria tanpa gejala dan / atau

proteinuria, hingga gagal ginjal progresif. Sindrom nefrotik terjadi pada seperlima kasus

dan sindrom nefritik pada seperenam kasus. Hipertensi terjadi pada sekitar 70% pasien.

Diagnosis ditegakkan dengan Complement-4 (C4) consumption (penurunan C4

complement??) dan reaksi reumatoid faktor (RF) serum yang kuat, dan dikonfirmasi oleh

Page 79: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

65

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

deteksi cryoglobulin yang bersirkulasi, dan HCV dengan pemeriksaan polymerase chain

reaction (PCR).

Efek sitopatik virus secara langsung

Antigen HCV dapat ditemukan dalam glomerulus tanpa antibodi yang dapat

dideteksi oleh enzim-linked sorbent assay (ELISA), atau replikasi virus dalam darah

perifer dengan PCRC konvensional. Hal ini mungkin sebagian karena ketidakpekaan dari

teknik yang tersedia saat ini. Namun, mungkin juga menunjukkan mekanisme patogenesis

alternatif yang melibatkan sitotoksisitas glomerulus langsung oleh virus langsung jika

dianalogikan dengan terjadinya poliarteritis nodosa pada infeksi HBV tanpa deposisi

kompleks imun yang terdeteksi. Bisa diperkirakan efek sitostatik endotel langsung dapat

menjelaskan aterosklerosis yang “dipercepat” yang diamati pada pasien terinfeksi HCV.

Faktor aterosklerosis yang cepat ini sebagian dikarenakan perkembangan CKD yang

relatif cepat pada pasien HCV terlepas dari etiologi.(Barsoum et al., 2017)

Glomerulopati lain terkait virus Hepatitis C Virus

Meskipun MPGN paling sering dikaitkan dengan infeksi HCV, juga dilaporkan

adanya glomerulonephritis lain terkait dengan HCV, termasuk membranous nephropathy,

focal segmental glomerulosclerosis, post-infectious gromerulonephritis, thrombotic

microangiopathies, IgA nephropathy, dan fibrillary atau immunotactoid glomerulopathy.

Infeksi HCV terkait dialisis

Penyakit hati yang disebabkan karena HCV sangat mempengaruhi mortalitas dan

morbiditas pada penderita PGK yang menjalani hemodialisis (HD). Pasien yang

menjalani hemodialisis rutin berisiko tinggi untuk terinfeksi HCV. Di negara

berkembang, prevalensi penderita PGK dengan HD rutin yang anti-HCV seropositif

bervariasi antara 5 – 60%. Penyebaran HCV di unit HD makin menurun namun

prevalensi HCV pada pasien HD masih relatif tinggi.(Ozer Etik et al., 2015)

Sebelum tahun 1990, jalur utama transmisi HCV melalui transfusi produk darah,

penyalahgunaan obat dengan injeksi intravena, prosedur medis yang tidak aman. Sejak

diberlakukan proses penyaringan sistematis pada produk darah untuk transfusi, dan

penggunan erythropoiesis-stimulating agents risiko infeksi dari transfusi produk darah

pada pasien yang menjalani HD jauh berkurang. Namun pasien dengan HD reguler masih

dikategorikan kelompok risiko tinggi terinfeksi HCV. Beberapa penelitian menunjukkan

prevalensi infeksi HCV berhubungan kuat dengan lamanya HD, tidak tergantung pada

transfusi yang diberikan. Prevalensi transmisi HCV di pusat-pusat HD lebih tinggi

dibandingkan pada peritoneal dialisis atau pasien HD dirumah. Data ini menunjukkan

bahwa transmisi nosokomial merupakan faktor yang penting. Hal ini yang mendasari

Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO) work group untuk melakukan

pencegahan transmisi HCV pada pasien HD dengan fokus pada implementasi Higiene

yang memadai, terutama menyangkut staff unit HD dan tingkat sterilitas mesin HD.

(Marinaki et al., 2015) Laporan dari CDC amerika mengemukankan lebih dari 50% dari

semua kejadian luar biasa infeksi HCV terkait tenaga kesehatan dari tahun 2008 sampai

2015 terjadi di tempat yang berhubungan dengan HD Hal lain yang perlu menjadi

perhatian adalah fakta bahwa mengisolasi pasien yang terinfeksi HCV tidak menunjukkan

efek proteksi terhadap penyebaran HCV di unit HD, sehingga hal ini tidak dianjurkan

untuk dilakukan.(Marinaki et al., 2015)

Page 80: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

66

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Kesimpulan

Kejadian hepatitis C di Indonesia cukup tinggi. Hepatitis C merupakan penyakit infeksi

yang dapat bermanifestasi di luar hati yaitu salah satunya penyakit ginjal kronik.

Hepatitis C pada PGK yang menjalani HD di Indonesia sekitar 3%. Deteksi dini PGK

pada pasien dengan VHC sangat penting dan mudah dilakukan dengan menguji secara

berkala proteinuria. Pasien PGK dengan HD sangat rentan infeksi salah satunya adalah

VHC sehingga skrining terhadap VHC perlu rutin dilakukan.

Daftar Pustaka

1. Barsoum, R.S., William, E.A., Khalil, S.S., 2017. Hepatitis C and kidney disease: A

narrative review. J. Adv. Res. 8, 113–130. https://doi.org/10/gdpcv2

2. Cacoub P, Desbois AC, Isnard-Bagnis C, Rocatello D, Ferri C. Hepatitis C vrus

infection and chronic kidney disease: time for reappraisal. Journal of Hepatology.

2016; vol 65:S82-S94. 3. Fabrizi, F., Donato, F.M., Messa, P., 2018. Association Between Hepatitis C Virus and

Chronic Kidney Disease: A Systematic Review and Meta-Analysis. Ann. Hepatol. 17,

364–391. https://doi.org/10/gdhd7p

4. Hasan I, Gani RA, Sulaiman AS, Lesmana CAR, Kurniawan J, Jasirwan COM et al.

Konsensus nasional penatalaksanaan hepatitis C di Indonesia 2017. Jakarta: PPHI. 2017

5. Indonesian Society of Nephrology. Indonesian Renal Registry Annual Report. 2017

6. Latt, N., Alachkar, N., Gurakar, A., 2012. Hepatitis C Virus and Its Renal Manifestations:

A Review and Update. Gastroenterol. Hepatol. 8, 434–445.

7. Marinaki, S., Boletis, J.N., Sakellariou, S., Delladetsima, I.K., 2015. Hepatitis C in

hemodialysis patients. World J. Hepatol. 7, 548–558. https://doi.org/10/gdpcxb

8. Ozer Etik, D., Ocal, S., Boyacioglu, A.S., 2015. Hepatitis C infection in hemodialysis

patients: A review. World J. Hepatol. 7, 885–895. https://doi.org/10.4254/wjh.v7.i6.885

9. Park, H., Chen, C., Wang, W., Henry, L., Cook, R.L., Nelson, D.R., 2018. Chronic

hepatitis C virus (HCV) increases the risk of chronic kidney disease (CKD) while

effective HCV treatment decreases the incidence of CKD: Park et al. Hepatology 67,

492–504. https://doi.org/10/gdpcv3

10. Pernefri-PPHI. Draft Konsensus Nasional hepatitis c – penyakit ginjal kronik di Indonesia

2018

11. Roccatello, D., Baldovino, S., Rossi, D., Mansouri, M., Naretto, C., Gennaro, M.,

Cavallo, R., Alpa, M., Costanzo, P., Giachino, O., Mazzucco, G., Sena, L.M., 2004.

Long-term effects of anti-CD20 monoclonal antibody treatment of cryoglobulinaemic

glomerulonephritis. Nephrol. Dial. Transplant. 19, 3054–3061. https://doi.org/10/cqvh7k

12. Schena, F.P., Alper, C.E., 2015. Membranoproliferative Glomerulonephritis and

Cryoglobulinemic Glomerulonephritis, in: Johnson, R.J., Feehally, J., Flöge, J. (Eds.),

Comprehensive Clinical Nephrology. Elsevier, Saunders, Philadelphia, Pa.

13. Sethi, S., Fervenza, F.C., 2012. Membranoproliferative Glomerulonephritis — A New

Look at an Old Entity. N. Engl. J. Med. 366, 1119–1131.

https://doi.org/10.1056/NEJMra1108178

14. Widhani A, Lydia A, Gani RA, Setiati S. Serokonversi hepatitis C pada pasien

hemodialisis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Jurnal Penyakit Dalam

Indonesia. 2015;2(1): 15-22.

Page 81: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

67

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Role of Elbasvir/Grazoprevir in Treatment Hepatitis C with

Chronic Kidney Disease (CKD) Patients C. Rinaldi A. Lesmana

Department of Internal Medicine, Hepatobiliary Division,

Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Universitas Indonesia

Digestive Disease & GI Oncology Center, Medistra Hospital, Jakarta

Introduction

Chronic hepatitis C (CHC) infection is still a problem in causing advanced chronic

liver disease in the world, where it can lead to liver cirrhosis and liver cancer. In the past,

most of risk factor for hepatitis C infection is blood transfusion, however, there is an

increasing prevalence in Indonesia due to drug abuser. Hepatitis C infection eradication

has become the main target as it is a curable disease, but as the disease is a silent disease,

it is required a good screening so the treatment can be started as soon as possible to

prevent liver disease progression.

Hepatitis C treatment evolution

In the past, interferon therapy has been the main player in hepatitis C infection

eradication. The development of pegylated interferon (Peg-IFN) has shown a remarkable

result when combined with ribavirin therapy, however, the side effects, cost, and injection

type have made big avoidance for most of the patients. The limitation of this type of

therapy is when facing CHC patients with chronic kidney disease (CKD) as it would need

the adjustment dose with regards to the side effects, and also in jaundice patients as well

as decompensated liver disease patients.

In 2013, the direct antiviral agent (DAA) was born and it shows a very high

curable results, but the price is very expensive.Sofosbuvir is the key player in DAA

treatment. In the beginning, Sofosbuvir needs to be combined with Peg-IFN and ribavirin

especially in genotype 1 patients, however, in liver cirrhosis patients, sofosbuvir-ribavirin

without interferon can become an alternative therapy. The next combination without

interferon, sofosbuvir plus ledipasvir, has shown a high sustained virological response

(SVR) in genotype 1 patients. Recently, sofosbuvir combined with daclatasvir has

become a drug of choice due to its ability in pan-genotype therapy. In some countries it

also has been subsidized by the government to reduce the price. This treatment evolution

has given a wide opportunity even for decompensated liver patients to be treated, even

though the complications still need to be followed up.

Hepatitis C infection in Chronic Kidney Disease (CKD) Patients

Chronic kidney disease (CKD) patients is one of the group needs a careful

evaluation before deciding and starting DAA therapy. Sofosbuvir has been warned to be

avoided in advanced CKD patients (eGFR<30 or stage 4-5). It has been hypothesized that

its metabolite can be accumulated and increase its toxicity in end stage renal disease

(ESRD).

Elbasvir/Grazoprevir (EBR/GZR) is the current drug of choice (DAA agents) for

hepatitis C patients with CKD. Studies have shown high SVR (>90%) with renal safety

Page 82: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

68

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

by using this drugs in CHC patients. This drugs also can be a drug of choice in CKD

patients on routine hemodialysis.

Conclusions

Hepatitis C infection in CKD patients is a challenging situation with regards to the

choice of therapy, kidney transplantation candidate, and routine hemodialysis. EBR/GZR

currently is the drug of choice in CKD patients.

References:

1. Etik DO, Ocal S, Boyacioglu AS. Hepatitis C infection in hemodialysis patients: A

review. World J Hepatol (2015);7(6):885-895.

2. Roth D, Nelson DR, Bruchfeld A, Liapakis A, Silva M, Monsour H, et al. Grazoprevir

plus elbasvir in treatment-naïve and treatment-experienced patients with hepatitis C virus

genotype 1 infection and stage 4-5 chronic kidney disease (the C-SURFER study): a

combination phase 3 study. The Lancet (2015). Available at:

http://dx.doi.org/10.1016/s0140-6736(15)00349-9.

3. Reddy KR, Roth D, Bruchfeld A, Hwang P, Harber B, Robertson MN, et al.

Elbasvir/grazoprevir does not worsen renal function in patients with hepatitis C virus

infection and pre-existing renal disease. Hepatol Res (2017);47:1340-1345.

Page 83: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

69

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

ANTI-FIBROGENIC STRATEGIES AND THE REGRESSION OF FIBROSIS Dr.dr. M. Begawan Bestari, SpPD-KGEH, MKes, FASGE

Division of Gastroenterohepatology

Department of Internal Medicine

Hasan Sadikin General Hospital

Faculty of Medicine – Universitas Padjadjaran

[email protected]

Abstrak

Fibrosis hati adalah hasil dari banyak penyakit kronis, dan sering menyebabkan sirosis,

gagal hati, dan hipertensi portal. Transplantasi hati adalah satu-satunya pengobatan yang tersedia

untuk pasien dengan stadium lanjut fibrosis. Oleh karena itu, metode alternatif diperlukan untuk

mengembangkan strategi baru untuk terapi anti-fibrotik. Perawatan yang tersedia dirancang untuk

menggantikan transplantasi hati atau menjembatani pasien, mereka termasuk inhibitor sitokin

fibrogenik seperti TGF-β1 dan EGF, inhibitor sistem rennin angiotensin, dan blocker dari

pensinyalan TLR4. Pengembangan fibrosis hati diatur oleh banyak jenis sel. Namun,

myofibroblast yang diaktifkan tetap menjadi target utama untuk terapi anti-fibrotik. Sel-sel

stellata hati dan fibroblas portal dianggap memainkan peran utama dalam pengembangan fibrosis

hati. Artikel ini membahas asal mula myofibroblast yang diaktifkan dan berbagai aspek aktivasi,

diferensiasi dan potensi inaktivasi selama regresi fibrosis hati.

Kata kunci: anti fibrosis, regresi fibrosis, myofibroblast

Pendahuluan

Fibrosis hati adalah hasil dari banyak penyakit hati kronis, termasuk virus

hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), penyakit hati alkoholik dan steatohepatitis

non-alkohol (NASH). Fibrosis hati terdiri dari fibrous scar yang terbentuk oleh banyak

matriks matriks ekstraseluler (ECMs) termasuk kolagen tipe I. Dalam semua fibrosis hati

klinis dan eksperimental, myofibroblasts adalah sumber ECM yang merupakan fibrous

scar. Myofibroblast mengekspresikan aktin otot polos (α-SMA) dan kolagen tipe I dan

hanya ditemukan di bagian yang hati yang cedera. Dengan demikian, aktivasi dan

proliferasi miofibroblas hati merupakan mekanisme utama dalam perkembangan sirosis

hati.

Beberapa peristiwa berikutnya yang dipicu cedera diidentifikasi menjadi penting

untuk patogenesis fibrosis iver dan resolusinya. Hal tersebut termasuk: 1) kerusakan

langsung pada penghalang epitel / endotel; 2) pelepasan TGF-β1, sitokin fibrogenik

mayor; 3) meningkatkan permeabilitas usus; 4) rekrutmen sel-sel inflamasi; 5) induksi

spesies oksigen reaktif (ROS); 6) aktivasi sel penghasil kolagen; 7) aktivasi

myofibroblasts yang diinduksi oleh matriks.

Myofibroblast adalah target utama terapi anti-fibrotik

Miofibroblas hati merupakan target utama untuk terapi antifibrotik. Asal usul sel

fibrogenik (miofibroblas) telah dibahas dan dipelajari secara intensif, dan beberapa

sumber myofibroblast telah diidentifikasi. Pada hati fibrotik, sel-sel stellata hati (HSC)

telah dilaporkan berkontribusi> 80% kolagen memproduksi sel. Oleh karena itu, HSC

saat ini dianggap sebagai sumber utama, tetapi bukan satu-satunya, sumber myofibroblast

di hati yang terluka. Myofibroblas hati juga dapat berasal dari fibroblast portal, sel-sel

mesenchymal dan sumsum tulang belakang (BM) Dua mekanisme lain yang baru-baru ini

terlibat dalam fibrogenesis adalah transisi epitelial ke mesenkhimal (epithelial-to-

mesenchymal transition/EMT), ketika sel-sel epitel mendapatkan fitur dari sel

Page 84: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

70

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

mesenchymal dan dapat menyebabkan myofibroblasts dan endotelial-ke-mesenkimal

transisi yang sepenuhnya terdiferensiasi (endothelial-to-mesenchymal transition/EndMT),

ketika sel-sel endothelial mengalami perubahan fenotipik yang sama.

Myofibroblast dicirikan oleh bentuk bintang, ekspresi matriks pericellular yang

melimpah dan gen fibrotik (α-smooth muscle actin/α-SMA), non-otot myosin,

fibronektin, vimentin,). Ultrastruktur, myofibroblasts didefinisikan oleh retikulum

endoplasma kasar yang menonjol. (RER), alat Golgi yang memproduksi kolagen,

miofilamen perifer, fibronexus (tanpa lamina) dan gap junction. Myofibroblast terlibat

dalam penyembuhan luka dan gangguan fibroproliferatif. Studi fibrogenesis dilakukan di

banyak organ dengan kuat menunjukkan bahwa myofibroblasts adalah sumber utama

ECM. Menanggapi rangsangan fibrogenik, seperti TGF-β1, myofibroblasts di semua

jaringan mengekspresikan α-SMA, mengeluarkan ECM (fibronektin, kolagen tipe I dan

III), memperoleh kontraktilitas tinggi dan mengubah fenotipe (produksi serat stres).

Myofibroblast klasik membedakan dari garis keturunan mesenkimal dan, oleh karena itu,

kurangnya ekspresi penanda limfoid seperti CD45 atau CD34. Cedera berkelanjutan dapat

memicu diferensiasi myofibroblasts dari beberapa sumber seluler, termasuk HSC.

Kemajuan dalam perkembangan terapi fibrosis hati

Beberapa molekul telah berhasil diidentifikasi sebagai target untuk terapi anti-fibrotik.

TGF-β1 memainkan peran penting dalam aktivasi myofibroblasts. Meskipun inhibitor

TGF-β1 efektif dalam model hewan jangka pendek, mereka tidak cocok untuk terapi

jangka panjang karena peran signifikan TGF-β1 dalam homeostasis dan perbaikan. Faktor

pertumbuhan hepatosit (HGF) adalah sitokin pleiotropik yang diproduksi oleh sel stellata

hati dan terlibat dalam regenerasi hati dan fibrosis. Demikian pula, pengobatan dengan

inhibitor HGF menghasilkan efek antifibrogenik, tetapi juga meningkatkan risiko

tumorigenesis pada tikus.

Mekanisme regresi fibrosis hati

Sampai saat ini, diyakini bahwa fibrosis hati tidak dapat diubah kembali. Namun,

biopsi hati berurutan telah mendokumentasikan bahwa menghilangkan agen etiologi yang

mendasari dapat membalikkan fibrosis hati pada pasien dengan fibrosis bilier sekunder,

Hepatitis C, Hepatitis B, NASH, dan autoimun hepatitis. Selanjutnya, dalam model

eksperimental CCl4, dan BDL menginduksi fibrosis hati, pengangkatan agen etiologi

menghasilkan pembalikan fibrosis. Penarikan sumber etiologi dari cedera kronis

(misalnya HBV, HCV) menghasilkan penurunan sitokin proinflamasi dan fibrogenik

(TGFβ1), penurunan produksi ECM, peningkatan aktivitas kolagenase dan hilangnya

myofibroblast yang teraktivasi. Mekanisme yang diterima saat ini untuk penghapusan

myofibroblast yang diaktifkan adalah bahwa sel-sel ini menurun dengan cepat karena

apoptosis HSC aktif.

Beberapa mekanisme terlibat dalam apoptosis HSC yang diaktifkan: 1). Aktivasi

jalur mediasi reseptor kematian (reseptor Fas atau TNFR-1) dan caspase 8 dan 3; 2)

peningkatan regulasi protein pro-apoptosis (misalnya p53, Bax, caspase 9); dan 3)

penurunan gen prosurvival (mis. Bcl-2) 111. Populasi sel natural killer (NK) hati dan γδT

(NKT) sel menstimulasi apoptosis HSC teraktivasi. Obat-obatan yang menginduksi

apoptosis pada HSC yang diaktifkan (glyotoxin, sulfasalazine, inhibitor IKK, dan

antibodi anti-TIMP) menyebabkan fibrosis hati untuk mundur. Peningkatan aktivitas

kolagenase adalah jalur utama fibrosis resolusi. Pada tahap ini, sel makrofag/Kupffer

yang diaktifkan mensekresikan matriks metalloproteinase, misal MMP-13 interstisial

kolagenase, bertanggung jawab untuk degradasi matriks. Selain itu, peningkatan aktivitas

Page 85: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

71

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

kolagen menurunkan enzim berkorelasi dengan penurunan TIMPs, inhibitor jaringan

matriks metalloproteinasesis. Apakah akhiran sirosis dapat membalikkan ke arsitektur

hati yang normal tetap kontroversial.

Namun, perbaikan yang signifikan dalam struktur dan fungsi hati memberikan bukti

regresi fibrosis hati. Mungkin remodeling ECM terbatas pada sirosis oleh formasi dari

kolagen cross-linked yang tidak dapat direduksi dan ECM yang kaya dengan serat elastin

mencegah degradasi. Keadaan patofisiologis ini dapat mengarah pada point of no return

untuk fibrosis hati.

Peran myofibroblast dalam pembalikan fibrosis hati

HSC merupakan sumber utama sel-sel yang memproduksi kolagen di hati fibrotik.

Meskipun kematian HSC oleh apoptosis dan senescence selama regresi fibrosis hati

didokumentasikan dengan baik, kontribusi kuantitatifnya tidak diketahui. Secara teoritis,

HSC teraktivasi / myofibroblasts dapat bertransferferasi menjadi fenotipe lain atau

kembali ke HSC diam.

Meskipun populasi seluler HSC diam dipulihkan pada tikus yang pulih dari

fibrosis, sumber HSC diam ini tidak diketahui. Dalam konkordansi, studi dalam budaya

menunjukkan bahwa HSC, setidaknya sebagian, dapat membalikkan fenotipe diam. Oleh

karena itu, hilangnya diaktifkan α-SMA + Col + diaktifkan HSC / myofibroblasts dalam

perjalanan pembalikan fibrosis dapat menunjukkan bahwa HSC yang diaktifkan kembali

ke keadaan diam.

Fenotipe diam dari HSC dikaitkan dengan ekspresi gen lipogenik dan

penyimpanan vitamin A dalam tetesan lipid. Deplesi proliferator peroksisom aktif

reseptor gamma (PPAR-γ) merupakan peristiwa molekuler kunci untuk aktivasi HSC, dan

ekspresi ektopik dari reseptor nuklir ini menghasilkan pembalikan fenotipik aktif HSC ke

sel diam dalam budaya. Pengobatan HSC teraktivasi dengan koktail diferensiasi adiposit

atau ekspresi berlebih dari SREBP-1c menghasilkan up-regulasi faktor transkripsi

adipogenik dan menyebabkan pembalikan morfologis dan biokimia dari HSC teraktivasi

menjadi sel diam. Selain itu, quiescence HSCs sangat bergantung pada lingkungan ECM,

dan komposisi matriks penting untuk mempertahankan fenotip HSC yang diam. Dengan

demikian, aktivasi spontan HSC diam dilemahkan ketika dibiakkan pada basement

membrane-like ECM, dan plastic activated HSC membalikkan fenotipe mereka dan

menurunkan penanda fibroblast jika ditransfer ke basal membrane-like ECM. Meskipun

data ini menunjukkan bahwa HSC yang diaktifkan dapat berbalik ke keadaan diam,

temuan ini hanya didokumentasikan dalam sel kultur.

Fibrosis hati reversibel pada pasien dan dalam model eksperimental dengan

penurunan parut fibrosa dan hilangnya populasi myofibroblast. Namun, nasib para

myofibroblasts tidak diketahui. Meskipun beberapa myofibroblast mengalami kematian

sel, sebuah hipotesis alternatif yang belum teruji adalah bahwa myofibroblast kembali ke

asal mereka yang diam. fenotipe atau memperoleh fenotipe baru. Memahami asal usul

dan biologi miofibroblas fibrogenik akan memberikan target baru untuk terapi anti-

fibrotik.

Kesimpulan

Inaktivasi myofibroblast selama pembalikan fibrosis membuka prospek baru

untuk terapi.

Fibrosis hati reversibel pada pasien dan dalam model eksperimental dengan penurunan

parut fibrosa dan hilangnya populasi myofibroblast. Namun, nasib para myofibroblasts

tidak diketahui. Meskipun beberapa myofibroblast mengalami kematian sel, sebuah

Page 86: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

72

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

hipotesis alternatif yang belum teruji adalah bahwa myofibroblast kembali ke asal mereka

yang diam. fenotipe atau memperoleh fenotipe baru. Memahami asal usul dan biologi

miofibroblas fibrogenik akan memberikan target baru untuk terapi anti-fibrotik.

Daftar Pustaka

1. Bataller R, Brenner DA. Liver fibrosis. J Clin Invest. 2005; 115:209–218.

2. Choi SS, Diehl AM. Epithelial-to-mesenchymal transitions in the liver. Hepatology. 2009

3. Friedman SL, Bansal MB. Reversal of hepatic fibrosis -- fact or fantasy? Hepatology.

2006;

43:S82–S88.

4. Geerts A. History, heterogeneity, developmental biology, and functions of quiescent

hepatic

stellate cells. Semin Liver Dis. 2001; 21:311–335.

5. Iredale JP. Hepatic stellate cell behavior during resolution of liver injury. Semin Liver

Dis. 2001;

21:427–436.

6. Kalluri R, Neilson EG. Epithelial-mesenchymal transition and its implications for

fibrosis. J Clin

Invest. 2003; 112:1776–1784.

7. Kisseleva T, Brenner DA. Hepatic stellate cells and the reversal of fibrosis. J

Gastroenterol Hepatol.

2006; 21 Suppl 3:S84–S87.

8. Kisseleva T, Brenner DA. Fibrogenesis of parenchymal organs. Proc Am Thorac Soc.

2008; 5:338–342.

9. Kisseleva T, Brenner DA. Mechanisms of fibrogenesis. Exp Biol Med (Maywood). 2008;

233:109–122.

10. Ramachandran P, Iredale JP. Reversibility of liver fibrosis. Ann Hepatol. 2009; 8:283–

291.

11. Subeq YM, Ke CY, Lin NT, Lee CJ, Chiu YH, Hsu BG. Valsartan decreases TGF-beta1

production and protects against chlorhexidine digluconate-induced liver peritoneal

fibrosis in rats. Cytokine. 53:223–230.

Page 87: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

73

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

ACUTE-ON-CHRONIC LIVER FAILURE: WHAT ARE THE IMPLICATIONS?

TriyantaYuliPramana

Definition.The term “ACLF” was first used in 1995 to describe a condition in

which two insults to liver are operating simultaneously, one of them being ongoing and

chronic and the other acute. AASLD and EASL (2014) defined ACLF as an acute

deterioration of a pre-existing chronic liver disease (compensated or decompensated

cirrhosis), usually related to a precipitating event (including bacterial infections) and

associated with increased mortality at 3 months due to multiorgan failure. And APASL

makes definition “The ACLF is an acute hepatic insult manifesting as jaundice (serum

bilirubin >5 mg/dl (85micromol/l) and coagulopathy (INR >1.5 or prothrombin activity <

40%) complicated within 4 weeks by clinical ascites and/or encephalopathy in a patient

with previously diagnosed or undiagnosed chronic liver disease/cirrhosis, and is

associated with a high 28-day mortality.” – (APASL, 2014). The EASL-AASLD

consortium had initially kept the assessment of outcomes at 3 months , but subsequently

revised it to 28 days in the recent CANONIC study.

Pathogenesis.ACLF occurs in the context of an intense systemic inflammatory

response. There were the behaviour of a large number of cytokines in patients with

ACLF, compared to patients with decompensated cirrhosis and healthy patients. Patients

with ACLF there is a significant increase in various pro-inflammatory cytokines and

chemokines (IL-6, IL-8, TNF-, MCP-1, etc.), compared to patients with decompensated

liver cirrhosis without ACLF .Acute insult can be varied, such as alcohol, virus, drug, or

cryptogenic. And act as an inducers of this inflammation could be indogenouse or

exogenouse. Elevated inflammatory cytokines leads to persistens injury, immune

paralysis, with systemic inflammatory response syndromes (SIRS) and high probabitlity

of sepsis. Hepatic injury and sepsis leads to multyorgans dysfunctions ( MODS) and

eventually organ failure, more severe encephalopathy, increased incidence of bacterial

infections, renal failure and poor survival. The persistence of SIRS for up to 7 days or

new onset of SIRS within the first week of hospitalization, correlated with progressive

liver failure, ( 82% with SIRS vs 48.7% without SIRS; p<0.05) (Choudhury, 2017).The

first week of hospitalization in ACLF patients should be considered as the ‘golden

window’period.

Diagnosis& Management.The first week of diagnosis is the crucial period. Early

detection of SIRS and consideration of appropriate strategies like escalation of antibiotics,

prioritization for definite therapy i.e liver transplant prior to onset of sepsis and multi

organ failure is needed. Multiple strategies in the management of ACLF is needed, i.e

general measures, specific therapies, bridging and definitive treatments and emerging

therapies. Treatment the acute insult or pathogen very important, i.e HBV treatment,

treatment for alcohol-related injuries, autoimmune hepatitis treatment. Using

corticosteroid, pentoxyfiline, N-acetyl cysteine, Glycirrhizin; acting as antiinflammation.

Artificial liver support system (ALSS) leads to removal vasoactive substances, improves

Page 88: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

74

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

systemic and splanchnic circulation, liver regeneration and serves as a ‘bridge’ to liver

transplantation. There are two main devices providing. i.e MARS (Molecular Adsorbent

Recirculating System) and FPSA (Fractionated plasma separation and adsorption).

Implication.The ACLF is a distinct entity with high short term mortality due to

sepsis and MOF. The first week of presentation, detection of new onset, persistence or

resolution of SIRS should guide therapeutic decisions. Using golden windows of one

week, may improve outcome to ACLF.

Reference

1. Arroyo V, Jalan R. Acute-on-Chronic Liver Failure: Definition, Diagnosis, and Clinical

Characteristics. Semin Liver Dis 2016;36:109–116.

2. Jalan R, Gines P. Acute on chronic liver failure. Journal of Hepatology 2012 vol. 57 j 1336–

1348

3. Sarin SK, Choudhury A. Acute‑on‑chronic liver failure: terminology, mechanisms and

management. NATURE REVIEWS/ GASTROENTEROLOGY & HEPATOLOGY. 2016.

doi:10.1038/nrgastro.2015.219.

4. Sarin SK, Kedarisetty CK, et al. Acute-on-chronic liver failure: consensus recommendations

of the Asian Pacific Association for the Study of the Liver (APASL) 2014. HepatolInt (2014)

8:453–471. DOI 10.1007/s12072-014-9580-2.

5. Moreau R. The Pathogenesis of ACLF: The Inflammatory Response and Immune Function.

Semin Liver Dis 2016;36:133–140.

6. Solé C, Solà E. Update on acute-on-chronic liver failure. GastroenterolHepatol.

2018;41(1):43---53.

7. Choudhury A, et al. Systemic inflammatory response syndrome in acute on chronic liver

failurerelevance of ‘golden window’- a prospective study. doi: 10.1111/jgh.13799.

Page 89: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

75

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

A HEPATOLOGIST’ PERSPECTIVE: OPTIMIZING DIAGNOSIS AND

TREATMENT IN DRUG INDUCED LIVER INJURY

(OPTIMALISASI DIAGNOSIS DAN TERAPI HEPATITIS IMBAS OBAT) 1

F Soemanto Padmomartono

Subbag. Gastroentero-hepatologi, Bag./ SMF Penyakit Dalam

Fak. Kedokteran Universitas Diponegoro / RSUP Dr. Kariadi, Semarang

Abstract

Klinisi perlu waspada dan proaktif mendeteksi Hepatitis Imbas Obat (HIO) dalam setiap

pengelolaan penderita. Diagnosis klinik HIO sulit dan kompleks, karena tidak ada tes diagnosis

patognomik, dan harus secara per-eksklusi (menyingkirkan sebab penyakit/gangguan hati lain).

Pengelolaan HIO meliputi: stop obat terduga, atau kalau perlu tetap diberikan dengan

pertimbangan rasio manfaat dan risiko HIO, dan monitor ketat. Perawatan, pengelolaan suportif,

terapi simtomatik dan suportif, disesuaikan dengan kondisi klinis, penyebab HIO, pola klinik HIO

dan derajat HIO. Obat khusus yang brasa dipakai: acetylsistein untuk acetaminophen;

kortikosteroid untuk tipe hipersensitifitas; hepatoprotektor, UDCA, glycyrrhizin dan Neo-SNMC

untuk tipe hepatoseluler; dan UDCA, prednisolone dan phenobarbital untuk tipe kholestasis.

Disamping itu penting dilakukan usaha pencegahan HIO olles klinisi dan edukasi penderita agar

melaporkan ke dokter bila ada keluhan/ gejala setelah konsumsi OHS. Karena kasus TBC di

Indonesia banyak, dan kadang dijumpai HIO derajat sedang/ berat yang perlu pengelolaan serius,

maka akan dibahas khusus HIO akibat OAT (HIO-OAT). Sebagai ilustrasi dilaporkan

pengalaman pribadi penulis dalam mengelola 2 kasus HIO-OAT derajat sedang dengan Neo-

SNMC infus. Obat ini yang terbukti mempercepat penyembuhan HIO-OAT dan mempercepat re-

introduksi OAT.

Pendahuluan

Hepatitis imbas obat (HIO) atau ‘Drug-Induced Liver Injury’ (DILI) adalah

kondisi klinik kerusakan/ peradangan hati akibat konsumsi obat, herbal dan suplemen

(OHS). Manifestasi klinik HIO sangat beragam, dari kelainan biokimia hati, kerusakan

hati (serupa berbagai penyakit hati), gagal hati akut, dan kadang fatal. Walaupun sebagian

besar kasus HIO adalah ringan dan cepat membaik, tetapi ada HIO klinik sedang dan

berat yang serius, gagal hati akut yang kadang perlu transplantasi hati atau meninggal.

HIO klinik merupakan tantangan klinisi, karena diagnosis dan pengelolaannya sulit dan

kompleks. Dalam praktek HIO sering tidak disadari atau terabaikan oleh klinisi. Klinisi

perlu waspada kemungkinan HIO pada penderita dengan kelainan laborat / gangguan hati.

Kecepatan diagnosis HIO dan segera stop OHS terduga, sangat penting dalam

pengelolaan dan prognosis penderita. Para klinisi perlu meningkatkan pengetahuan

tentang HIO klinik, deteksi dini, diagnosis dan pengelolaan penderita HIO. Disamping itu

akan dibahas HIO akibat obat TBC (HIO-OAT), karena kasus TBC di Indonesia banyak,

dan kadang dijumpai HIO-OAT sedang/ berat yang perlu pengelolaan serius. Sebagai

ilustrasi dilaporkan pengalaman pribadi mengelola 2 kasus HIO-OAT derajat sedang

dengan obat khusus Neo-SNMC infus.

Epidemiologi Klinik

Diperkirakan ada >1000 sediaan OHS yang berpotensi menyebabkan HIO.

Insidensi HIO diperkirakan 1-20 kasus/100.000 orang yang terpapar OHS.4. Studi di

France dan Iceland didapatkan insidensi 14-19 kasus/100.000 penduduk/tahun.3. Dari

1 Dipresentasikan dalam ‘Konkernas PPHI-PGI-PEGI 2018 bersama Aceh Gastroenterohepatologi

Update 2018, di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, 27-29 Juli 2018

Page 90: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

76

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

seluruh penderita HIO, sekitar 13-30% merupakan hepatitis akuta fulminan (HAF).1,2,3,4.

Survai retrospektif di Japan selama 10 tahun (1997-2006) didapatkan 1674 kasus HIO,

terdiri atas 53% pola hepatoseluler, 21% kholestatis dan 20% campuran. Waktu

timbulnya HIO 59% kasus dalam 30 hari dan 80% dalam 90 hari setelah konsumsi obat.5.

HIO klinik adalah ‘fenomena puncak gunung es’ dari berbagai bentuk reaksi hati

seseorang terhadap OHS. Reaksi hati seseorang terhadap obat dibedakan sebagai: a.

Tolerator: hati menerima baik paparan OHS tanpa/ tidak terjadi reaksi biokimia hati atau

kerusakan hati. b. Adaptor: pada awal paparan OHS terjadi peningkatan biokimia

hati/kerusakan hati ringan ringan dan sementara sebagai adaptasi hati, kemudian terjadi

perbaikan spontan. c. Non-adaptor: secara klinik bermakna terjadi kerusakan hati derajat

ringan tanpa/ dengan gejala, derajat sedang dan berat, kerusakan hati sangat berat, terjadi

gagal hati akut dan bisa fatal.4.

Diseluruh dunia banyak OHS yang dikonsumsi masyarakat, baik sebagai obat

resep dan bebas, herbal/ jamu dan supplemen makanan/ minuman yang dijual bebas.

Daftar obat yang telah diketahui berpotensial menyebabkan HIO dapat dilihat pada

website Liver Tox (www.livertox.nih.gov).1. Jenis obat yang sering menyebabkan HIO di

negara Barat dan Timur berbeda. Di negara Barat kasus HIO yang sering adalah:

NSAID’s (diclofenac), obat anti-infektif (amoxyllin/calvulanate, isoniazid), herbal dan

suplemen, dan acetaminophen 2,3. Di negara Timur adalah: herbal dan suplemen (HS),

anti-infektif (anti-TBC/isoniazid), anti-kanker, hormonal, NSAID’s.4,5. Di Asia, HS

merupakan penyebab terbanyak HIO, di Singapore 80% dan Korea 42%.5.

Metabolisme obat di hati, patogenesis HIO, dan faktor risiko HIO

Sebagian besar obat melewati hati sebelum beredar diseluruh tubuh. Di hati obat

melalui 3 jalur metabolisme: a). 2 fase, fase I (oxidation, reduction, hydrolisis) dan fase II

(conjugation); b). langsung dimetabolisir di fase II; c). melewati hati tanpa dimetabilisir.

Hepatotoksisitas dapat sebagai: akibat primer senyawa OHS, dari hasil metabolit OHS,

atau respons imunologik hati. Kerusakan/ peradangan dapat di sel hepatosit, sel epitel

bilier, dan atau vaskularisasi hati. Ada 2 bentuk hepatotoksisitas, yaitu: A. Hepatotoksik

intrinsik/langsung. Umumnya berkaitan dengan dosis, cepat terjadi nekrosis sel-sel

hepatosit yang jauh dari arteriol hati. Sangat jarang dijumpai dalam klinik. B.

Hepatotoksik idiosinkrasi/ tidak langsung. Sering dijumpai dalam klinik, tidak

berkaitan dengan dosis, relatif jarang terjadi pada setiap jenis obat, umumnya

menyebabkan kerusakan hepatoseluler dan atau peradangan portal dengan kholestasis.1,4.

HIO idiosinkrasi dibedakan sebagai: immune-mediated (hypersensitivity), drug-induced

immune injury, dan genetically-mediated injury.

Diketahui beberapa faktor risiko HIO, yang berasal dari 3 faktor: faktor

penjamu/host, faktor agent/OHS dan faktor lingkungan/ enviroment. Faktor penjamu:

genetik, rasial/etnik, usia (lanjut), kelamin (wanita), malnutrisi, penyakit hati (hepatitis B,

C), HIV, dan penyakit lain (autoimun, NAFLD, DM, malignansi, kardio-vaskuler). Faktor

OHS: profil senyawa khemikal, dosis harian, lama konsumsi, interaksi antar obat, antar

obat-OHS dan antar OHS. Faktor lingkungan: alkohol, toksin, zat khemical, polusi,

rokok, diet, dll. 1, 2, 3,4.

Manifestasi Klinik HIO

Manifestasi klinik HIO sangat beragam, dari kelainan biokimia hati, berbagai

kerusakan/ peradangan hati yang serupa dengan berbagai penyakit hati, hepatitis akut

fulminan, gagal hati akut, dan fatal. Masa inkubasi dari paparan OHS sampai timbul

gejala sangat beragam, dari satu/ beberapa hari sampai beberapa bulan. Manifestasi klinik

Page 91: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

77

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

HIO akut dapat berupa: a). peningkatan laborat biokimia hati (ALT, AST, ALP,

Bilirubin, dll) tanpa/ dengan keluhan ringan; b). HIO klinik dengan gejala serupa

hepatitis akut seperti rasa mual, lemah, rasa tak enak/nyeri di uluhati/ perut kanan atas

(tipe hepatoseluler), dan dengan ikterus dan pruritus (tipe kholestasis)

Dari HIO akuta dapat berkembang menjadi HIO kronik. HIO kronik terjadi sekitar

42% kasus dalam 3 bulan dan 17% kasus dalam 1 tahun.3. Batasan HIO kronik bila gejala

dan tanda HIO menetap atau laborat hati tidak kembali normal/ kadar sebelum konsumsi

obat, selama > 6 bulan,. Manifestasi klinik HIO kronik dapat berupa hepatitis kronik,

fibrosis hati, sirosis hati kompensata/ dekompensata, hepatitis autoimun (AIH-like DILI),

chronic intrahepatic cholestatic, dll.4.

Berdasarkan manifestasi klinik, HIO dibagi dalam 3 tipe/ pola klinik:

hepatoseluler, kholestasis, dan campuran hepatoseluler dan kholestasis. (tabel 1). Sebagai

tambahan, HIO juga dikaterogikan dalam 12 ‘clinical phenotype’, yaitu: hepatitis nekrosis

akut, hepatitis akut, hepatitis tipe kholestasis, hepatitis campuran, transaminase naik tanpa

ikterus, ‘bland cholestasis’, perlemakan hati akut dengan asidosis laktat, perlemakan hati

non-alkoholik, hepatitis kronik, sindroma obstruksi sinusoidal, hiperplasia regenerativa

noduler, adenoma hati dan kanker hepatoseluler. Berdasarkan derajat keparahannya, HIO

klinik dibagi dalam 5 tingkat (tabel 2). Pembagian derajat ini penting dalam pengelolaan

penderita dan prognosis.

Tabel 1. Tipe / Pola Hepatitis Imbas Obat 1.4.

Tipe / Pola Kerusakan/

Patologi Hati

Kelainan laborat Batasan Contoh Obat

Penyebab

Hepatoselul

er

peradangan dan

nekrosis sel hati

dominan, dan

stasis empedu

biasanya ringan.

ALT dan AST

meningkat tinggi,

ALP dan GGT sedikit

tinggi.

ALT > 3x

BAN, Rasio

R > 5.

isoniazid,

nitrofurantion,

methyldopa, green

tea,

Kholestatis peradangan

portal, kerusakan

dan proliferasi sel

kanalikuli

intrahepatal, dan

stasis empedu,

ALP dan GGT

meningkat tinggi,

ALT dan AST

meningkat ringan

ALP > 2x

BAN, Rasio

R < 2

amoxicillin/clavul

anate,

ciprofloxacine dan

sulfonylurea

Campuran

Hepatoselul

er-

Kholestatis

nekrosis dan

peradangan sel

hati, disertai stasis

empedu

ALT dan AST

meningkat,

ALP, GGT meningkat

ringan

ALT > 3

BAN,

ALP > 2

BAN Rasio

2< R <5

sulfonamide,

phenytoin dan

enalopril.

Catatan: ALT/ SGPT, AST/ SGOT, BAN= batas atas normal, Rasio R: hasil perhitungan dari (ALT/

BAN) dibagi (ALP/BAN).

Berdasarkan derajat keparahannya, HIO klinik dibagi dalam 5 tingkat (tabel 2).

Pembagian derajat ini penting dalam pengelolaan penderita dan prognosis.

Page 92: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

78

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Tabel 2. Derajat keparahan Hepatitis Imbas Obat 1,2,.

Derajat Laborat Laborat dan Klinik

1 +, Ringan - ALT tinggi, atau AP tinggi, atau

kedua tinggi

- Bilirubin < 2.5 mg/dL

Tanpa koagulasi

2 +, Sedang - ALT tinggi, atau AP tinggi, atau

kedua tinggi

- Bilirubin < 2.5 mg/dL

Dengan koagulopati (N > 1.5) tanpa

hiperbilirubinemia

3+, Sedang

ke

Berat

- ALT tinggi, atau AP tinggi, atau

kedua tinggi

- Bilirubin > 2.5 mg/dL

Rawat inap RS, atau rawat inap

sebelumnya

4 +, Berat - ALT tinggi, atau AP tinggi, atau

kedua tinggi

- Bilirubin > 2.5 mg/dL

Dan minimal ada satu gejala/ tanda:

- Ikterus lama atau gejala > 3 bulan,

- Tanda Dekompensasi Hati (INR > 1.5,

asistes, ensefalopati), atau

- Gagal organ lain yang berhubungan

HIO

5+, Fatal Meninggal atau transplantasi hati —-

Deteksi dini dan diagnosis Klinik HIO

Deteksi dini HIO

Kewaspadaan para klinisi untuk deteksi dini HIO sangat penting. Bila diagnosis

terlambat dan penyebab OHS tidak segera dihentikan, maka HIO bisa makin berat dan

berisiko fatal. Sebagai lengkah untuk deteksi dini HIO adalah: (1) Klinisi harus waspada

akan timbulnya HIO pada semua penderita baru dengan penyakit hati dan atau kelainan

biokimia hati. (2) Perlu anamnesis teliti semua OHS yang dikonsumsi penderita baik baru

atau lama (3 bulan, ada yang menganjurkan 1 tahun). Bila klinisi tidak menanyakan atau

meneliti kemungkinan HIO pada penderita tersebut, maka klinisi tidak akan menemukan

HIO. (3) Perlu diperiksa/ diteliti timbulnya gejala/tanda penyakit hati dan pemeriksaan

laborat hati (ALT, ALP, Bilirubin), dan kalau perlu biokimia hati lainnya. (4)

Pertimbangkan salah satu atau beberapa OHS yang diduga sebagai penyebab HIO,

terutama yang telah diketahui sebagai penyebab HIO.(www.livertox.nih.gov.1. (5)

Penting segera menghentikan OHS yang diduga HIO, karena berhubungan erat dengan

perbaikan klinik, laborat dan prognosis baik.

Diagnosis klinik HIO

Dlam diagnosis HIO tidak ada uji diagnosis HIO yang patognomik. Diagnosis

HIO adalah secara ‘per exclusionem’ dengan menyingkirkan penyebab lain gangguan/

penyakit hati. Ketepatan diagnosis klinik HIO adalah berdasarkan pengetahuan dan

pertimbangan para klinisi yang merawatnya. Ada 6 hal penting yang perlu

dipertimbangkan/ diperhitungkan dalam diagnosis HIO.1.

1. ’Waktu untuk terjadi HIO/inkubasi/laten’ : waktu antara mulai konsumsi obat

terduga sampai timbul kerusakan hati. Biasanya berkisar 5 hari s/d 3 bulan. Bisa

sangat cepat 24 - 72 jam (‘reaksi hipersensitif’, misal antibiotik). Sebagian timbul

HIO setelah 3-12 bulan (isoniazid), kadang HIO klinik bermakna terjadi >1 tahun

setelah konsumsi obat (amiodarone).

Page 93: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

79

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

2. ’Waktu penyembuhan’: waktu antara stop obat terduga HIO sampai sembuh

sempurna (klinik dan laborat hati). Lama penyembuhan tergantung: jenis obat

penyebab, lama konsumsi obat, pola klinik HIO, cepatnya diagnosis dan stop obat,

dan pengelolaan HIO. Umumnya HIO sembuh dalam beberapa hari s/d minggu. Pada

HIO yang khas, perbaikan terjadi dalam 1-2 minggu. Sebagian besar cepat sembuh

(misal acetaminophen, niacin), sebagian sembuh tidak sempurna atau laborat belum

normal dalam beberapa minggu/ bulan, dan ada yang berlangsung kronik. Dalam

klinik sehari-hari, tepatnya waktu penyembuhan sulit diketahui, karena gejala dan

laborat tidak selalu dimonitor serial atau didokumentasi.

3. ‘Pola klinik’. Dikenal 3 pola klinik HIO dan 12 macam fenotipe. Hal ini penting

untuk menentukan OHS sebagai penyebab penyebab HIO dan pengelolaan penderita,

akan tetapi juga sulit ditentukan karena banyak penyebab OHS dengan pola klinik

sama.

4. ‘Menyingkirkan sebab lain kerusakan hati’. Sangat penting untuk menyingkirkan

penyebab penyakit hati lainnya. Dengan cara anamnesis cermat: riwayat penyakit

penting (hepatitis virus, alkohol, penyakit autoimun, gagal jantung, syok, sepsis);

riwayat konsumsi semua obat (resep, bebas/ OTC, herbal supplement) dalam 3 bulan,

dan kapan dimulai dan stop obat. Perlu tes laborat penyakit hati, a.l.: petanda virus

hepatitis (IgM-antiHAV, HBsAg/IgM-antiHBc, Anti-HCV/HCV-RNA), HIV. ANA

dan kadar gamaglobulin, Kadang perlu pemeriksaan penunjang USG, radiologi

sistema biler dan fibroscan.

5. ‘Obat yang telah diketahui dapat menyebabkan HIO’: Diagnosis HIO biasanya

mudah kalau agen penyebab HIO telah diketahui. (cari di Liver Tox

www.livertox.nih.gov) Diagnosis sulit bila obat yang dikonsumsi penderita banyak,

dan obat baru yang belum diketahui efek ke hati.

6. ‘Respon terhadap uji ulang obat’ : Pemberian obat ulang (rechallenge) obat

penyebab HIO sekarang tidak dianjurkan, karena risiko bahaya: timbul rekurensi

HIO cepat, makin parah, prognosis jelek. Pada situasi klinik tertentu, rechallenge

obat terduga HIO dapat diberikan dengan syarat: obat memang perlu (penyelamat

hidup, untuk penyembuhan penyakit, tidak ada obat alternatif), terjadinya HIO awal

ringan, cepat sembuh setelah obat distop.. Rechallenge harus diberikan secara hati-2,

bertahap, dan monitoring ketat.

7. Kompleksitas untuk membuat diagnosis HIO. Diagnosis HIO sering kompleks dan

sulit untuk memastikan agen penyebab HIO. Hal ini a.l. karena obat/ OHS yang

dikonsumsi penderita banyak (multi-drugs), waktu mulai konsumsi obat dan waktu

terjadi HIO sering tidak diketahui, dan penderita mempunyai penyakit hati lain atau

penyakit penyerta lain.

Sebagai contoh algoritma evaluasi penderita terduga HIO dapat dilihat pada

lampiran.2.

Pengelolaan penderita HIO, Pencegahan dan Prognosis HIO

Pengelolaan penderita ‘terduga HIO’ perlu dilakukan pada semua penderita

gangguan faal hati, walaupun telah diketahui sedang menderita penyakit hati lainnya. Bila

hanya kenaikan laborat hati ringan dan tanpa/ keluhan ringan, maka dipikirkan

kemungkinan fase adaptasi hati terhadap obat. Dimana berlangsung sementara dan

kemudian kembali normal sendiri. Pada kondisi ini sementara obat diteruskan dengan

monitor serial. Bila laborat membaik, maka obat dapat diteruskan. Bila memburuk dan

timbul keluhan HIO maka obat harus stop.1 - 4, 6.

Page 94: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

80

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

FDA (2009) menganjurkan stop obat yang terduga penyebab HIO bila terjadi

kondisi dimana: a). ALT lebih 8x BAN, b). ALT > 5x BAN dalam 3 minggu, c). ALT >

3x BAN dengan Bilirubin > 2x N, d). PPT/ INR > 1.5x, dan e). timbul gejala dan tanda

klinik kerusakan hati.6.

Prinsip Umum Pengelolaan HIO

1- Segera stop semua obat/ OHS yang diduga HIO. Bila obat tersebut penting dan

perlu untuk penyembuhan penyakit, tidak ada obat alternatif lain, maka obat

terduga HIO dapat diteruskan dengan mempertimbangan rasio antara manfaat obat

dengan risiko progresifitas HIO. Juga harus dengan monitor ketat gejala dan

laborat hati. Bila HIO memburuk, maka obat harus distop. Obat yang sejenis obat

terduga HIO, obat yang tidak penting, dan herbal dan suplemen (manfaat dan efek

samping tidak jelas) juga harus dihentikan.

2- Perawatan dan pengelolaan suportif tergantung kondisi klinik, pola klinik HIO,

derajat keparahan HIO, dan penyakit penyerta. Perawatan penderita bisa secara

rawat jalan, rawat inap di bangsal, HND atau ICU.

3- Terapi suportif, simtomatik dan terapi khusus diberikan secara individual

(tailored).

4- ‘Work-up’ dan monitor gejala, tanda dan laborat hati secara serial dan

berkelanjutan sampai tahap penyembuhan, kemudian dilanjutkan pada rawat jalan

sampai biokimia hati normal

Beberapa terapi khusus HIO.

Dalam klinik dipakai beberapa pilihan obat sesuai penyebab dan kondisi klinik

HIO, seperti:

1. ‘Overdosis’ acetaminophen: N-acetylsistein perinfus

2. Gagal hati akut fulminan: perawatan intensif di ICU, haemodiafiltrasi dan

transplantasi hati.

3. HIO karena hipersensitif obat atau immune-mediated: kortikosteroid

4. HIO tipe hepatoseluler: sylimarin, ursodeoxycholic acid (UDCA), glycyrrhizin

dan Neo-SNMC perinfus. Pada tipe hepatoseluler sedang-berat, pada umumnya

diberikan Neo-SNMC infus.

5. HIO tipe kholestasis: UDCA, prednisolone, phenobarbital

Di Japan, pada 1764 penderita HIO diberikan terapi UDCA pada 25% kasus,

kortikosteroid pada 13% kasus dan glycyrhizin intravena/ Neo-SNMC pada 37% kasus.

Dimana 87% kasus HIO sembuh 3.4% meningar dan 0.4% transplantasi hati.5. Di China

pada HIO sedang dan berat biasanya diberi obat hepatoprotektor, glycyrizzin dan Neo-

SNMC infus.5.

Pencegahan HIO

Usaha pencegahan terjadinya HIO dalam pengobatan penderita adalah: 4,6.

1. Terapi obat berdasarkan indikasi medik, dosis minimal efektif, jangka waktu yang

sesuai dengan pedoman/ guideline terapi penyakit terkait.

2. Memilih obat/ OHS yang diketahui aman/ risiko rendah terjadinya HIO. Dan

waspada HIO pada semua penderita yang konsumsi OHS, terutama yang berpotensi

menyebabkan HIO.

3. Identifikasi faktor risiko HIO pada a.l. penderita penyakit hati, penyakit penyerta,

alkohol, dll.

Page 95: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

81

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

4. Tes biokimia hati sebelum pemberian obat, terutama yang diketahui obat berpotensi

HIO

5. Monitoring ALT (dengan/ tanpa tes laborat lainnya) secara serial pada OHS yang

diketahui berpotensi menyebabkan HIO (misal obat anti-TBC, AB tertentu, dll.)

6. ‘Edukasi penderita’ yang konsumsi obat/ OHS akan timbulnya gejala/ tanda HIO

(a.l. mual, muntah, nafsu makan menurun, nyeri uluhati/ perut kanan atas, dan

ikterus), dan bila ada agar segera konsultasi/ periksa ke dokter.

Prognosis HIO

Prognosis penderita HIO pada umumnya baik bila obat penyebab segera diketahui

dan segera dihentiksn. Prognosis penderita HIO tergantung pada derajat keparahan hati,

cepat tidaknya menemukan dan menghentikan obat terduga penyebab HIO. Pada HIO tipe

hepatoseluler ringan dan sedang, bila obat dihentikan, maka prognosisnya baik, dan

penyembuhan biasanya terjadi sekitar 3.3 + 3.1 setelah obat penyebab distop. Pada

penderita HIO hepatoseluler berat dengan ikterus, dengan ALT > 3x BAN dan bilirubin

> 2.5 mg/dL (disebut ‘Hay’s law’ ), prognosis kurang baik dan mortalitas dapat sampai

10%.2. Pada HIO tipe kholestasis penyembuhan biasanya sekitar 6.6 + 4.2 minggu.

Hepatitis akut fulminan (HAF) karena HIO prognosisnya jelek. HAF akibat ‘overdosis’

acetaminophen mortalitas + 30%. Pada HAF karena HIO idiosinkrasi mortalitas sekitar

75%.3.

HIO akibat obat Anti-TBC (HIO-OAT)

Komplikasi HIO dalam program pengobatan TBC terjadi pada sekitar 5-33%

kasus., hal ini tergantung dari batasan diagnosis HIO, populasi studi, dan regimen OAT.

Mortalitas HIO-OAT dilaporkan sampai 27%. Obat TBC lini pertama yang berkaitan

dengan hepatotoksisitas adalah isoniazid (INH), rifampicin (RIF) dan pyrazinamide

(PZA). Program terapi TBC adalah kombinasi regimen HRZE atau HRE, diawali dosis

penuh 2-3 bulan, kemudian dosis lanjutan (HR, HE) selama 6-9 bulan. Pada studi di

China, insidens HIO-OAT secara bermakna lebih tinggi pada penderita yang diterapi

HRZ/E yakni 13.2% (139/1050) dibandingkan yang diterapi HRE 9.1 % (128/1407)

dengan p<0.05).7. Survey di Japan selama 10 tahun (1997-2006) terdapat 1676 kasus

HIO-OAT, terdiri: 59% pola hepatoseluler, 21% kholestasis, dan 20% campuran. Onset

mulai minum obat dan timbul HIO-OAT adalah 59% dalam 30 hari dan 80% dalam 90

hari.5. Studi di China pada penderita TB rawat inap selama 5 tahun (2005-2009), terdapat

10.9% (267/2457) kasus HIO-OAT.7. Studi di RS sentra besar TB di England (2010-

2014), terdapat 6.9% (105/1529) kasus HIO-OAT, dan mortalistas 4.8%. HIO-OAT 53%

terjadi dalam 2 minggu, dan 87% dalam 2 bulan.8. Program terapi OAT dianjurkan untuk

monitor laborat hati secara serial mulai 2 minggu terapi sampai 2 bulan pertama.7,8.

Manifestasi klinik pada 267 penderita HIO-OAT adalah: 5.2% tanpa gejala, 92.1%

dengan keluhan lemah, anoreksia, nausea, distensi abdomen, diare dan gejala

gastrointestinal lain, 21.3% ikterik, 17.6% kemerahan kulit, 12.7% demam, 3.7% asites,

dan 1.1% ensefalopati hepatik. Pengamatan di China, pemberian tambahan obat

hepatoprotektor pada terapi OAT penderita TBC dengan penyakit hati dibanding tanpa

hepatoprotektor, secara bermakna menurunkan risiko HIO-OAT, yaitu 10% (187/1876)

vs 13.8% (80/187) dengan p<0.05. 7.

Page 96: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

82

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Batasan HIO-OAT, kapan stop OAT, kapan mulai terapi ulang OAT, dan regimen

OAT Ringkasan batasan klinik dan laborat HIO, kapan stop OAT, kapan re-introduksi/

terapi ulang OAT, regimen yang dipilih, monitor laborat dan anjuran bila HIO-OAT

timbul lagi, dari berbagai asosiasi (ATS, BTS, WHO, dll.) dapat dilihat pada tabel 3.

(dirangkum dari Jong, et al, 2013).8. Ada perbedaan batasan dari masing-2 asosiasi. Di

South Afrika bila ALT >120 IU/L dengan gejala mual, muntah, njeri abdomen atau

ikterik; atau ALT >200 IU/L degnan gejala, atau bilirubin >40 umol/L. 9. Belum banyak

laporan penelitian tentang rekurensi HIO-OAT pada re-introduksi OAT setelah penderita

sembuh HIO-OAT. Studi re-introduksi OAT di India membandingkan pemberian 3

regimen OAT berdasarkan rekomendasi WHO, ATS dan BTS. Dari 175 penderita,

rekurensi HIO-OAT terjadi pada 19 orang (10.9%). Insidensi rekurensi pada 3 perlakuan

tersebut tidak berbeda bermakna (p=0.69). Peneliti menganjurkan pada penderita TBC

paru berat/ ekstensif sebaiknya tetap diberikan OAT lini pertama HRZ/E dosis penuh

mulai hari pertama untuk mempercepat penyembuhan TBC dan menghindari penularan. 10.

Tabel 4. Pengelolaan HIO-OAT dari berbagai pedoman Asosiasi. 9.

Asosi- asi

/ Organi-

sasi

Batasan

(cutt-off

level

HIO-OAT

dan Stop

OAT

Terapi

ulang

OAT

Regimen OAT

Awal terapi ulang

Anjuran

Monitor

Bila HIO

timbul

lagi

ATS ALT >200

IU/L, atau

ALT >120

IU/ L

dengan

gejala

ALT <80

IU/L - RIF +/- EMB dosis

penuh,

- Setelah 3-7 hari + INH

dosis penuh

- Tambah PZA bila HIO

ringan

Periksa ALT

3-7 hari

setelah

terapi ulang

INH

Stop obat

yang

ditambaha

n terakhir

BTS ALT atau

AST >

200 IU/ L

dengan

Bilirubin

naik

ALT

normal - STR + EMB (sakit +

sputum BTA (+) dalam

2 minggu terapi)

- INH dosis titrasi tiap 2-

3 hari

- RIF dosis titrasi tiap 2-3

hari

- PZA dosis titrasi tiap 2-

3 hari

Tiap hari

monitor faal

hati

Stop obat

yg dipakai,

ganti

regimen

alternatif

(ahli

terlatih)

ERS,

WHO,

IUATLD

ALT atau

AST >

200 IU/ L

dengan

Ikterus

Tes faal

hati

normal

- Mulai semua OAT dosis

penuh

Monitor tes

faal hati

(tidak ada

anjuran

waktu)

Stop

semua

obat, mulai

obat lain

satu

persatu

Catatan: ATS= American Thoracic Society; BTS= British Thoracic Society; ERS= European Respiratory

Society; WHO= World Health Organization; IUATLD= International Union Against Tuberculosis and

Page 97: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

83

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Lung Disease; ALT=alanine transaminase, INH= isoniazid, RIF=rifampicin, EMB=ethambutol,

PZA_pyrazinamid, STR=streptomycin

Efek terapi hepatoprotektor pada insidensi HIO-OAT

Pada studi di China, pemberian hepatoprotektor pada terapi OAT penderita TBC

dengan penyakit hati (Hepatitis B kronik, perlemakan hati, hepatitis alkoholik, riwayat

penyakit hati) secara bermakna menurunkan risiko HIO-OAT. Insidensi HIO-OAT pada

penderita plus hepatoprotektor 10% (187/1876) dibanding penderita tanpa

hepatoprotektor 13.8% (80/187) dengan p<0.05. 7.

Pengobatan HIO-OAT

Pengobatan HIO-OAT di China adalah berdasarkan derajat HIO-OAT. Pada

derajat ringan: OAT tetap diberikan dengan tambahan hepatoprotektor. Pada derajat

sedang: OAT stop dan diberi terapi a.l.: hepatoprotektor oral, dan infus diammonum

glycyrhhizinate, reduced glutathione. Pada derajat berat: OAT stop, dan diberi terapi a.l.:

ursodeoxycholid acid (UDCA), infus diammonum glycyrhhizinate, reduced glutathione,

S-adenine methionine, Neo-SNMC, dan infus brand-chain amino acids (BCAA), albumin,

vitamin dan terapi simtomatik. Hasil pengobatan pada HIO-OAT ringan dan sedang

semuanya sembuh. Pada HIO-OAT berat, 91% (42 /46) kasus sembuh, 1 tidak membaik

dan 3 meninggal karena gagal hati.7. Pengobatan HIO-OAT yang dilaporkan di Japan

adalah dengan UDCA pada 25% kasus, kortikosteroid pada 13% kasus, dan Neo-SNMC

pada 37% kasus. Keberhasilan terapi adalah 87% sembuh, 3.4% meninggal dan 0.4%

transpantasi hati.5.

Sejauh mana peranan obat hepatoprotektor dalam pencegahan dan atau

pengelolaan penderita HIO belum jelas. Pada studi retrospektif di China, terapi tambahan

hepatoprotektor pada terapi OAT penderita TBC dengan penyakit hati secara bermakna

menurunkan risiko HIO-OAT. Insidensi HIO-OAT pada penderita plus hepatoprotektor

10% (187/1876) dibanding penderita tanpa hepatoprotektor 13.8% (80/187) dengan

p<0.05.7.

Pengalaman Klinik Terapi HIO-OAT dengan Neo-SNMC

Sebagai ilustrasi dilaporkan pengalaman klinik penulis dalam pengelolaan 2

penderita HIO-OAT derajat berat yang rawat inap di RS Swasta di Semarang

Kasus 1. Ny MG, 55 th, rawat inap tg 15.4.13 s/d 20.4.13. Keluhan: 4 hari muntah, badan

lemah, 2 minggu mual, nafsu makan turun, berat badan turun. Sebelumnya penderita

berobat ke dr SpP, D/ TBC lama aktif dan diterapi OAT (HRZA, Rimstar R/ 4 tb/hr)

selama 1 bulan. Karena keluhan tersebut penderita tes laborat (13.4.13), hasil ALT 1960,

AST 1730, kemudian OAT distop. Kelainan fisik: gizi kurang, lemah, dehidrasi ringan,

sklera ikterik, nyeri tekan uluhati. Lain-2 dalam batas normal (dbn). Laborat hati:

ALT,AST, Bil. total (TB) lihat tabel 5, Albumin 3.1, PPT/PPTK (N). Petanda Hep B, C,

HIV negatif, Anti-HAV (+), AFP (-). Laborat lain dbn. ECG (N), USG fatty liver. X-foto

thorax: TB lama, tidak aktif (konsul/ konfirmasi SpJP). Diagnosa: HIO-OAT derajat

berat, TB lama, Fatty liver, gizi kurang. Terapi: OAT distop, infus elektrolit dan

amiofuschin hepar, anti-muntah, hepatoprotektor, UDCA, dan infus Neo-SNMCR/ 4 amp/

hari. Monitor laborat hati dan terapi lihat tabel 5. Hari ke-5 hari keluhan hilang, perbaikan

klinik dan faal hati. Tgl 20.4.13 penderita minta pulang, rawat jalan, terapi

hepatoprotektor, UDCA dan vitamin. Kontrol tgl 30.5.13 penderita sembuh sempurna

klinik & laborat normal. (47 hari setelah OAT distop).

Page 98: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

84

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Kasus 2.

Tn SW, 34 th, rawat inap tg 29.3.18 s/d 9.4.18, rujukan RS Yogja. D/ HIO akibat

OAT, TB Paru aktif, Efusi pleura duplex, (+). Keluhan: 1 hari mual, muntah, nyeri

uluhati, lemah, 3 hari demam, setelah penderita diterapi OAT (HRZA/ RifastarR/ 4tb/hr

selama 5 hari). OAT distop dan pindah rawat di RS Smg. Kelainan fisik: lemah, ikterik,

demam 37.6 C. Hati membesar 2 cm, lambung nyeri tekan, Laborat hati: ALT, AST, TB

lihat tabel 5, Albumin 2.9 g/dL, petanda Hep B, C dan HIV negatif, Anti-HAV (+), IgM-

antiHAV (+) titer tinggi. AFP (-), IgE 131 (n= < 120), Esosinofil absolut 150 (N). Laborat

lain dbn. X-foto toraks: TB Paru lama+aktif, efusi pleura dupleks. ECG (N), USG

hepatomegali,. Diagnosa: HIO-OAT derajat berat, TB Paru aktif + efusi pleura, Febris/

ISK, dan Gastritis. Terapi: infus elektrolit, aminofuschin hepar, ceftriazon, anti-muntah,

PPI, hepatoprotektor, UDCA, dan Neo-SNMC infus 4 amp/hari. Program monitor laborat

dan terapi lihat tabel 5. Konsul rawat dr SpP dan advis terapi: Prednison tab tappering-of

tiap 5 hari, dan setelah membaik re-introduksi OAT dengan: suntik Streptomycin

750mg/hr (STR), Ethambutol 3x500 mg/hr (E), Cyprofloxacin 2x500 mg/hr. Tg 20.4.18

klinik dan laborat membaik, penderita rawat jalan, terapi regimen OAT, hepatoprotektor

UDCA, dan vitamin. Kontrol tg 24.4.18, klinis baik, keluhan negatif, ALT, AST, Bi

normal. (27 hari setelah stop OAT). Pengelolaan TB selanjutnya oleh dr SpJP

(cyprofloxacin stop, STR, E, plus H & R bertahap) dan kontrol tiap bulan.

Tabel 5. Hasil monitor laborat hati dan terapi yang diberikan pada 2 penderita HIO-OAT

Kasus

Tgl

ALT

Awal

Tera

piOA

T

(hari)

Stop

OAT

(hari)

ALT

U/L

AST

U/L

ALP Bilirubi

n

Terapi/ Keterangsn

Ny MG

15.4.13

Nor-

mal

30 3 1856 1234 120 1.74 Suportif, Simptomatik,

Hepatoprotektor,

UDCA 3x1 tb, Neo-SNMC

4 amp/hari

17.4.13 4 578 1578 120 2.09 Idem

18.4.13 5 333 1296 98 (N) 2.08 Idem

19.4.13 6 192 968 95 (N) 2.24 idem

20.4.13 7 134 787 N 2.11 Rawat jalan,

Hepatoprotektor, UDCA,

vitamin

30.4.13 47 N N N N Obat hepatoprotektor &

UDCA distop

Tn SW.

29.3.18

82

(2x)

5 1 4579 2793 128 5.01 Suportif, Simptomatik,

Hepatoprotektor, UDCA

3x1 tb, Neo-SNMC 4

amp/hari

31.3.18 3 1371 154 87 6.26 Idem

Page 99: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

85

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Kasus

Tgl

ALT

Awal

Tera

piOA

T

(hari)

Stop

OAT

(hari)

ALT

U/L

AST

U/L

ALP Bilirubi

n

Terapi/ Keterangsn

2.4.18 5 1371 153 87 6.26 Idem

5.3.18 8 551 61 153 4.29 Neo-SNMC stop, UDCA &

Hezzandra terus

Streptomycin,

Ethambutol,Cyprofloxacin.

8.3.18 11 260 41 116 1.81 Terapi idem. Pend. pulang

dan rawat jalan

24.4.18 N N N N N Hapatoprotektor, UDCA

stop, OAT terus

Daftar Pustaka

1. Liver Tox. Clinical and Research Information on Drug-Induced Liver Injury.

www.livertox.nih.gov.

2. Chalasani NP, et al. ACG Clinical Guideline: The diagnosis and management of

Idoocyncratic Drug-Induced Liver Injury. 2014, DOI:10.1038/ajg.2014.131.

3. Marrone G, et al. Drug-induced liver injury 2017. The diagnosis is not easy but always to

keep in mind. Eur Rev Ned Pharmacol Sci. 2017; 21 (1 Suppl):122-134

4. Yu YC, et al. CSH guidelines for the diagnosis and treatment of drug-induced liver injury.

Hepatol Int. 2017;11:221-241

5. Takikawa H, et al. Drug-induced liver injury in Japan: an analysis of 1676 cases between

1997 and 2006. Hepatol Res 2009;39:427-431.

6. Tajiri K, Shimizu Y. Practical guidelines for diagnosis and early management of drug-

induced liver injury. WJG 2008;14(44):6774-6785. DOI: 10.3748/wjg.14.6774.

7. An H, et al. The clinical characteristics of anti-tuberculosis drug-induced liver injury in 2457

hospitalised patients with tuberculosis in China. Afr J Pharm Pharmacol. 2013;7(3):710-714.

DOI:10.5897/ AJPP 2013.2963

8. Abbara A, et al. Drug-induced liver injury from antituberculosis treatment: a retrospective

study form a large TB centre in UK. BMC Inf Dis. 2017;17:231. doi: 10.1186/s12879-017-

2330-z

9. Jong E, et all. Consensus statement: Management of drug-induced liver injury in HIV-

patients treated for TB. SAHHIVMED. 2013;14 (3): 113-119

10. Sharma KS, et al. Safety of 3 different Reintroduction Regimen of Antituberculosis Drugs

after Development of Antituberculosis Treatment-induced Hepatotoxic. CID 2010; 50: 833-

839. DOI: 10.1086/650576

Page 100: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

86

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Lampiran

Lampiran 1: Most common or well-described DILI agents and the patterns of their liver injury

Page 101: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

87

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Lampiran 2: An algorithm to evaluate suspected idiosyncratic DILI 2.

Page 102: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

88

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

OUTCOME MANAGEMENT OF CHRONIC HEPATITIS B

IN CIRRHOTIC PATIENTS

Irsan Hasan, Steven Zulkifly

Divisi Hepatobilier, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Rumah Sakit Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia.

Pendahuluan

Berdasarkan data Konsensus Amerika Serikat, prevalensi sirosis hati diperkirakan

mencapai 0,27% dari seluruh populasi dewasa dengan puncak usia pada dekade keempat

dan kelima.1 CDC melaporkan penyakit hati kronik dan sirosis merupakan penyebab ke-

12 tertinggi mortalitas di Amerika.2 Prevalensi infeksi virus hepatitis B (VHB) kronik di

Indonesia sebesar 7,1% dengan insidensi kumulatif sirosis dalam 5 tahun akibat infeksi

VHB yang tidak ditatalaksana sebesar 8-20%.3 Sepanjang tahun 2014-2016, tercatat 310

ribu kasus sirosis dan hepatitis dengan biaya mencapai 640 miliar rupiah, sehingga

menempatkan sirosis dan hepatitis sebagai urutan keenam tertinggi dalam pembiayaan

Jaminan Kesehatan Nasional.4

Indikasi Terapi Hepatitis B pada Pasien Sirosis

Indikasi dimulai terapi pada sirosis kompensata bila DNA-VHB terdeteksi dengan kadar

ALT meningkat atau DNA-VHB > 2000 IU/mL dengan kadar ALT normal. Terapi sirosis

dekompensata dapat segera dimulai terlepas dari kadar DNA-VHB, status HBeAg, atau

kadar ALT dengan tujuan mencegah perburukan progresifitas penyakit. Indikasi segera

terapi juga dapat dilakukan pada pasien sirosis dengan reaktivasi berat infeksi VHB

kronik.3

Gambar 1. Indikasi terapi infeksi VHB kronik pada pasien sirosis.3

Tata Laksana Hepatitis B pada Pasien Sirosis Kompensata

Sebuah studi pada tahun 2007 melakukan evaluasi pemberian pegylated

interferon-α-2b 100 μg/minggu, baik dengan ataupun tanpa kombinasi dengan

lamivudine, terhadap 239 pasien dengan infeksi VHB kronik, dengan karakteristik 70

pasien fibrosis lanjut (29%) dan 24 pasien sirosis (10%). Respons virologis didefinisikan

sebagai serokonversi HBeAg dan DNA VHB < 10.000 kopi/mL.5

Respons virologis ini didapatkan lebih signifikan pada pasien fibrosis lanjut

(p=0,02). Serokonversi HbsAg ditemukan dua kali lebih tinggi pada pasien dengan

Page 103: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

89

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

fibrosis lanjut, walaupun tidak bermakna secara statistik. Respons virologis pada pasien

sirosis didapatkan hampir serupa pada pasien dengan fibrosis lanjut. Sekitar 35% pasien

sirosis menunjukkan respons virologis dibandingkan dengan 14% pada pasien tanpa

sirosis. Laju serokonversi HBsAg pada pasien sirosis sebesar 13%, sedangkan pada tanpa

sirosis sebesar 5% (p=0,13).5

Dalam hal efek samping, penggunaan terapi berbasis interferon pada pasien

sirosis tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam hal efek samping dan risiko

dekompensasi daripada kelompok non-sirosis.6 Pada pasien yang memiliki kontraindikasi

atau tidak berespons terhadap pemberian terapi berbasis interferon, maka pemberian

analog nukleos(t)ida dapat direkomendasikan sebagai terapi jangka panjang.3

Tenofovir atau entecavir direkomendasikan sebagai monoterapi pada pasien

infeksi VHB kronik dengan sirosis.7 Sebuah studi pada tahun 2008 dilakukan untuk

membandingkan antara 81 pasien dalam tenofovir dengan 42 pasein dalam adefovir.

Tenofovir memiliki efikasi yang lebih baik pada pasien sirosis, dengan perbaikan respons

histologi pada 79%, supresi DNA-VHB < 400 kopi/mL pada 85% dan ALT normal pada

69%, dibandingkan dengan adefovir (p<0,001).8

Sebuah studi dilakukan pada 245 pasien dengan fibrosis berat/sirosis yang

mendapatkan terapi entecavir (120 pasien) dan lamivudine (125 orang). Pada pasien yang

diterapi menggunakan entecavir yang belum pernah mendapatkan terapi sebelumnya,

perbaikan derajat fibrosis didapatkan pada 57% pasien dengan HBeAg positif dan 59%

pasien dengan HBeAg negatif. Perbaikan kadar DNA-VHB < 300 kopi/mL, kadar ALT,

serokonversi HBeAg dan HBsAg didapatkan pada 80%, 91%, 63%, 33%, dan 33%,

secara berurutan. Efek samping berat hanya ditemukan pada 9% kasus.9

Tata Laksana Hepatitis B pada Pasien Sirosis Dekompensata

Pegylated interferon dikontraindikasikan pada pasien dengan sirosis

dekompensata karena dapat menyebabkan dekompensasi lebih lanjut dan meningkatkan

risiko infeksi bakteri. Oleh karena hanya analog nukleos(t)ida yang direkomendasikan

sebagai terapi infeksi VHB kronik dengan sirosis dekompensata. Adefovir juga tidak

direkomendasikan karena terdapat risiko sindroma hepatorenal pada pasien sirosis

dekompensata.3

Sebuah studi meta-analisis di China mengenai penggunaan entecavir sebagai

terapi hepatitis B pada pasien sirosis dekompensata menunjukkan bahwa terdapat

peningkatan kejadian hilangnya DNA-VHB (RR 1,85; IK95% 1,41-2,43, p< 0,0001 pada

48 minggu), normalisasi kadar ALT (p=0,003 pada 24 minggu dan p=0,02 pada 48

minggu), dan penurunan risiko mortalitas pada 24 minggu (p=0,003). Namun, tidak

ditemukan adanya perbedaan bermakna pada angka mortalitas total (p=0,06) dan

serokonversi HBeAg (p=0,14) antara entecavir dan kelompok kontrol (penggunaan

analog nukleosida lainnya).10 Kondisi sirosis dekompensata sendiri memiliki risiko tinggi

terjadinya asidosis laktat, oleh karena itu pemantauan risiko asidosis laktat harus

dilakukan secara ketat pada pasien ini.11

Sebuah penelitian mengevaluasi pemberian tenofovir 300 mg/hari pada 57 pasien

sirosis dekompensata dengan infeksi VHB kronik. Respons virologi komplit dalam 1

tahun ditemukan pada 70,2% kasus dan serokonversi HBeAg didapatkan pada 14,2%

kasus, walaupun kedua hasil tersebut didapatkan lebih tinggi pada kasus sirosis

kompensata. Penurunan skor Child-Turcotte-Pugh (CTP) dan Model for End-Stage Liver

Disease (MELD) didapatkan pada kelompok sirosis dekompensata (p< 0,001), dimana

68,4% mencapai CTP kelas A dan 49,1% perbaikan nilai CTP sebesar 2 poin setelah 12

Page 104: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

90

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

bulan pengobatan tenofovir. Peningkatan kadar kreatinin serum lebih tinggi didapatkan

pada kasus sirosis dekompensata (7,0%) dibanding kompensata (2,5%).12

Referensi :

1. Scaglione S, Kliethermes S, Cao G, Shohan D, Durazo R, Luke A, et al. The epidemiology of

cirrhosis in the United States A Population-based study. J Clin Gastroenterol. 2015;49:690-

96.

2. Murphy SL, Xu J, Kochanek KD, Curtin SC, Arias E. Deaths: Final Data for 2015. National

Vital Statistics Reports. 2017;66(6).

3. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B.

Jakarta: Perhimpunan Peneliti Indonesia. 2017.

4. Permatasari ME. Pembiayaan Diagnostik PAK dan Pelayanan Penyakit Kronis Pasca

Pensiun. Disampaikan pada The 11th Indonesian Occupational Medicine Update 2017

Jakarta.

5. Buster EHCJ, Hansen BE, Buti M, Delwaide J, Niederau C, Michielsen PP, et al.

Peginterferon alpha-2b is safe and effective in HBeAg-positive chronic hepatitis B patients

with advanced fibrosis. Hepatology. 2007;46:388-94.

6. Janssen A, Schalm S. Treatment of HBeAg positive chronic hepatitis B with conventional or

pegylated interferon. In: Marcellin P. Management of patients with chronic hepatitis B.

France: APMAHV; 2004.

7. Sarin SK, Kumar M, Lau GK, Abbas Z, Chan HLY, Chen CJ, et al. Asian-Pacific clinical

practice guidelines on the management of hepatitis B: a 2015 update. Hepatol Int. 2016;10:1-

98.

8. Buti M, Hadziyannis S, Mithurin P, Urbanek P, Sherman M, Strasser S, et al. Tenofovir

disoproxil fumarate (TDF) is highly active for treatment of chronic hepatitis B in subjects

with cirrhosis. Hepatology. 2008;48:33.

9. Schiff E, Simsek H, Lee WM, Chao YC, Sette H, Janssen HLA, et al. Efficacy and safety of

entecavir in patients with chronic hepatitis B and advanced hepatic fibrosis or cirrhosis. Am J

Gastroenterol. 2008;103:2776-83.

10. Wang FY, Li B, Li Y, Liu H, Qu WD, Xu HW, et al. Entecavir for patients with hepatitis B

decompensated cirrhosis in China: a meta-analysis. Sci Rep. 2016;6:32722.

11. Lange CM, Bojunga J, Hofmann WP, Wunder K, Mihm U, Zeuzem S, et al. Severe lactic

acidosis during treatment of chronic hepatitis B with entecavir in patients with impaired liver

function . Hepatology. 2009;50(6):2001-6.

12. Lee SK, Song MJ, Kim SH, Lee BS, Lee TH, Wang YW, et al. Safety and efficacy of

tenofovir in chronic hepatitis B-related decompensated cirrhosis. World J Gastroenterol.

2017;23(13):2396-2403.

Page 105: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

91

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

KONSENSUS NASIONAL PENATALAKSANAAAN HEPATITIS B DI

INDONESIA PERHIMPUNAN PENELITI HATI INDONESIA (PPHI) 2017

Hery Djagat Purnomo

Divisi Gastroenterohepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Dr Kariadi Universitas Diponegoro

I. Pendahuluan

Di Indonesia, angka pengidap hepatitis B pada populasi sehat diperkirakan

mencapai 4.0-20.3%, dengan proporsi pengidap di luar Pulau Jawa lebih tinggi daripada

di Pulau Jawa. Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013 menunjukkan proporsi HBsAg

positif sebesar 7,1%. Secara genotip, virus hepatitis B di Indonesia kebanyakan

merupakan virus dengan genotip B (66%), diikuti oleh C (26%), D (7%) dan A (0.8%).

Insidens kumulatif 5 tahun sirosis pada pasien dengan hepatitis B yang tidak

diterapi menunjukkan angka 8-20%, dengan 20% dari jumlah ini akan berkembang

menjadi sirosis dekompensata dalam 5 tahun berikutnya.Insidensi kumulatif KHS pada

pasien dengan hepatitis B yang sudah mengalami sirosis mencapai 21% pada pemantauan

6 tahun

Makalah ini seluruhnya disalin dan dirangkum dari Buku Konsensus Nasional

Penatalaksanaan Hepatitis B Di Indonesia yang diterbitkan oleh PPHI sebagai bagian dari

sosisalisasi hasil konsensus tersebut.

II. Perjalanan penyakit hepatitis B

Keluaran infeksi virus hepatitis B bisa akut sebagian besar sembuh spontan

maupun kronik jika lebih 6 bulan (HbsAg > 6 bula). Hepatitis kronik mempunyai 4 fase

yaitu : immune toleran, immune aktif , pengidap inaktif , dan reaktivasi hepatitis B.

Perlu diketahui daftar istilah dan definisi yang ada pada konsensus ini dalam

pengelolaan hepatitis B di Indonesia sesuai dengan rumusan dan kriteria diagnostik.

III. Rekomensasi.

Rekomendasi 1. Evaluasi menyeluruh dan konseling adalah wajib sebelum merencanakan

terapi hepatitis B kronik (A1)

Rekomendasi 2. Tujuan dan target terapi hepatitis B kronik.

Tujuan terapi hepatitis B secara umum adalah eradikasi infeksi virus hepatitis B melalui

vaksinasi, terapi, dan pencegahan transmisi.(A1)

Rekomendasi 3. Indikasi terapi pada pasien hepatitis B kronik

Pasien yang menunjukkan replikasi virus dengan ALT normal atau meningkat

sedikit secara persisten tanpa adanya bukti fibrosis signifikan atau sirosis tidak termasuk

dalam indikasi terapi. Pada kelompok ini perlu dilakukan penilaian fibrosis non invasif

dan monitoring setiap 3 bulan. (B1)

Pilihan Terapi

Terdapat 2 jenis obat hepatitis B yaitu golongan interferon (pegylated interferon

α-2a 90-180 μg 1 kali per minggu, maupun pegylated interferon α-2b 1-1,5 μg/kg 1 kali

per minggu) dan golongan analog nukleos(t)ida. Golongan analog nukleos(t)ida ini lebih

jauh lagi terdiri atas lamivudin 100 mg, adefovir 10 mg, entecavir 0,5 mg, telbivudin 600

mg, dan tenofovir 300 mg. Semua jenis obat tersebut telah tersedia dan beredar di

Page 106: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

92

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Indonesia. Baik interferon maupun analog nukleos(t)ida memiliki kekurangan dan

kelebihan masing-masing.

Rekomendasi 4. Terapi hepatitis B kronik dengan analog nukleosida.

Tenofovir 300 mg per hari atau entecavir 0,5 mg per hari merupakan pilihan lini

pertama untuk terapi dengan analog nukleosida (A1).

Pilihan terapi lini kedua hepatitis B dapat dipertimbangkan sesuai dengan

ketersediaan obat atau kepentingan pengobatan segera pada pasien naif atau yang tidak

diketahui profil resistensinya, mencakup lamivudin 100 mg per hari (A2), adefovir 10 mg

per hari (A2), atau telbivudin 600 mg per hari (A2)

Rekomendasi 5. Strategi pemantauan terapi hepatitis B dengan analog nukleosida.

Selama terapi, pemeriksaan DNA VHB, HBeAg, anti HBe, dan ALT dilakukan

setiap 3-6 bulan. (A1)

Rekomendasi 6. Kriteria penghentian terapi analog nukleos(t)ida

Kriteria penghentian terapi analog nukleos(t)ida pada pasien dengan HBeAg

positif tanpa sirosis adalah serokonversi HBeAg dengan DNA VHB tidak terdeteksi yang

dipertahankan paling tidak 12 bulan.(A1)

Pada pasien HBeAg positif dengan sirosis yang sudah mencapai serokonversi

HBeAg, terapi direkomendasikan untuk dilanjutkan seumur hidup.(C2)

Pada pasien dengan HBeAg negatif tanpa sirosis, terapi bisa dihentikan bila

tercapai hilangnya HBsAg.

Pada pasien HBeAg negatif dengan sirosis, terapi direkomendasikan untuk

dilanjutkan seumur hidup. (B1)

Rekomendasi 7. Kegagalan terapi analog nukleosida.

Pada pasien yang mengalami kegagalan terapi primer atau respon virologis

parsial, masalah kepatuhan minum obat yang baik merupakan hal pertama yang harus

dievaluasi dan diperbaiki. Setelah itu penggantian ke strategi lain sesuai kecurigaan

resistensi dan pemeriksaan resistensi virus bisa dilakukan.

Pasien yang mengalami virologic breakthrough, harus selalu dicurigai adanya

resistensi. (A1)

Resistensi terhadap lamivudin, strategi digunakan adalah penambahan adefovir,

atau penggantian terapi ke tenofovir. (A1)

Resistensi terhadap adefovir, strategi yang bisa digunakan adalah penggantian

terapi ke entecavir, atau tenofovir. (A1)

Resistensi terhadap lamivudin dan adefovir, penggantian ke tenofovir.(B1)

Resistensi terhadap telbivudin, dilakukan penambahan adefovir, atau penggantian

ke tenofovir. (A1)

Resistensi terhadap entecavir, strategi yang bisa digunakan adalah penambahan

adefovir, atau penggantian ke tenofovir. (B1)

Resistensi terhadap beberapa jenis obat, strategi yang bisa digunakan adalah

kombinasi entecavir dan tenofovir. (C2)

Rekomendasi 8. Terapi hepatitis B kronik dengan Peg-IFN.

Peg-IFN merupakan terapi pilihan pada pasien yang menginginkan terapi untuk

jangka waktu tertentu (B2).

Durasi terapi Peg-IFN diberikan sekurang-kurangnya selama 1 tahun. (A1)

Peg-IFN tidak boleh diberikan pada kondisi sirosis dekompensata. (A1)

Page 107: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

93

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Rekomendasi 9. Pada terapi berbasis interferon, apabila diperlukan dapat

dipertimbangkan penggunaan Baseline Guided Therapy (BGT). (B2)

Rekomendasi 10. Strategi pemantauan terapi hepatitis B dengan Peg-interferon.

Pada pasien yang mendapat terapi berbasis interferon, pemeriksaan darah tepi dan

pemantauan efek samping lain harus dilakukan secara rutin selama pengobatan sekurang-

kurangnya setiap 1 bulan. (A1)

Pemeriksaan HBsAg dilakukan pada akhir terapi dilanjutkan dengan pemeriksaan

anti-HBs dilakukan bila hasilnya negatif. (A1)

Pemeriksaan HBeAg, ALT dan DNA VHB dilakukan tiap bulan pada 3 bulan

pertama terapi dihentikan. Kemudian dilanjutkan tiap 3 bulan selama satu tahun. Bila

tidak ada relaps, pemeriksaan dilakukan tiap 3 bulan pada pasien sirosis dan tiap 6 bulan

pada non- sirosis. (A2)

Rekomendasi 11. Kriteria penghentian terapi peg-interferon

Pada terapi berbasis interferon, apabila diperlukan dapat dipertimbangkan

penggunaan Response Guided Therapy (RGT). (B2)

Pada pasien HBeAg positif, terapi dihentikan apabila pada minggu ke 12 gagal

dicapai kadar HBsAg < 20.000 IU/mL atau penurunan HBV DNA > 2 log, atau apabila

pada minggu ke 24 gagal dicapai kadar HBsAg < 20.000 IU/mL.(B2)

Pada pasien HBeAg negatif, terapi dihentikan apabila pada minggu ke 12 gagal

dicapai penurunan kadar HBsAg atau penurunan HBV DNA > 2 log, atau apabila pada

minggu ke 24 gagal dicapai penurunan kadar HBsAg.(B2)

Rekomendasi 12.Terapi pertukaran atau penambahan Peg-interferon pada analog

nukleosida dapat dipertimbangkan pada kelompok pasien tertentu yang

menginginkan hasil terapi lebih optimal.(B2) Terapi ini masih memerlukan

penelitian lebih lanjut.

Rekomendasi 13. Terapi pada pasien hepatitis B dengan sirosis.

Terapi pada pasien dengan sirosis kompensata dapat dimulai apabila kadar HBV

DNA > 2.000 IU/mL meskipun dengan ALT normal.(A1)

Terapi sirosis dekompensata dapat dimulai terlepas dari kadar HBV DNA, ALT,

dan status HBeAg. (B1)

Rekomendasi 14. Surveilans KHS dilakukan dengan pemeriksaan USG dan AFP tiap 6

bulan pada pasien infeksi VHB kronik risiko tinggi. (B2)

Rekomendasi 15. Terapi hepatitis B pada pasien koinfeksi VHB-VHC.

Terapi VHC dengan DAA pada pasien koinfeksi VHB-VHC dapat menyebabkan reaktiasi

VHB. Pasien yang memenuhi kriteria untuk terapi VHB perlu diterapi dengan analog nukleosida.

(B1)

Pasien koinfeksi VHB-VHC dengan HBsAg positif yang menjalani terapi DAA perlu

dipertimbangkan untuk diberikan profilaksis analog nukleosida hingga 12 minggu setelah terapi

DAA. (B2)

Pasien koinfeksi VHB-VHC dengan HBsAg negatif dan anti HBc positif perlu dimonitor

dan dilakukan pemeriksaan reaktivasi VHB apabila ditemukan peningkatan kadar ALT. (B1)

Rekomendasi 16. Terapi hepatitis B pada pasien koinfeksi VHB-HIV.

Tenofovir dan lamivudin adalah terapi pilihan pada ko- infeksi VHB/HIV. (A1)

Page 108: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

94

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Pada pasien CD4 > 500 yang tidak sedang mengonsumsi ARV, terapi pilihan

adalah Peg-IFN atau adefovir. (B1)

Rekomendasi 17. Terapi hepatitis B pada pasien wanita hamil. Pada pasien usia

subur, konseling kontrasepsi dan keluarga berencana penting untuk didiskusikan. (A1)

Pada pasien hamil dengan DNA VHB > 2 x 106 IU/mL dan atau HBeAg positif,

terapi untuk mengurangi transmisi perinatal dapat dimulai pada trimester 3 sampai

dengan 3 bulan setelah melahirkan, kecuali bila ada indikasi terapi hepatitis B kronis.

(A1)

Tenofovir dapat digunakan pada pasien hamil dengan infeksi VHB, dan telbivudin

dapat digunakan sebagai alternatif. (B1)

Rekomendasi 18. Terapi hepatitis B pada pasien dengan terapi imunosupresi.

HBsAg dan anti HBc perlu diperiksa pada seluruh pasien yang akan menjalani

kemoterapi. (A1)

Bila status HBsAg positif, profilaksis dengan analog nukleosida diberikan 1

minggu sebelum sampai 12 bulan setelah kemoterapi. (A1)

Bila status HBsAg negatif namun anti HBc positif, dilakukan pemeriksaan DNA

VHB. Pasien dengan DNA VHB positif perlu diberikan terapi profilaksis. (C1)

Rekomendasi 19. Terapi hepatitis B pada petugas kesehatan.

Infeksi VHB kronik tidak boleh dijadikan larangan bagi petugas kesehatan untuk

melakukan praktik atau melanjutkan studi. Kelompok pasien ini tidak boleh diisolasi atau

didiskriminasikan, melainkan didorong untuk diperiksa dan diterapi. (A1)

Seluruh petugas kesehatan perlu diskrining untuk infeksi VHB dengan

pemeriksaan HBsAg, anti HBs, dan anti HBc total. (A1)

Seluruh petugas kesehatan yang tidak terinfeksi perlu diberikan vaksin hepatitis B

dengan status imunisasi didokumentasikan. (A1)

Kewaspadaan standar perlu diberlakukan secara ketat untuk petugas kesehatan dan

pasien. (A1)

Petugas kesehatan yang rentan terhadap pajanan perlu diberikan pelatihan oleh

komite ahli terkait prosedur yang akan dikerjakan. (A1)

Petugas kesehatan yang terinfeksi VHB dapat mengerjakan prosedur yang rentan

menularkan virus apabila memiliki kadar DNA VHB rendah (< 1000 IU/mL) atau tidak

terdeteksi, dibuktikan dengan pemeriksaan setiap 6 bulan. (B1)

Rekomendasi 20. Terapi hepatitis B pada pasien transplantasi hati.

Terapi dengan analog nukleos(t)ida dan HBIg harus diberikan pada semua pasien

hepatitis B dengan DNA VHB terdeteksi yang akan menjalani transplantasi hati. (B1)

Analog nukleos(t)ida harus tetap diberikan seumur hidup pasca transplantasi hati.

(A1)

Rekomendasi 21. Terapi hepatitis B pada pasien dialisis dan kandidat transplantasi

ginjal.

Seluruh pasien dialisis dan resipien transplantasi ginjal perlu diskrining untuk

VHB. (B1)

Pasien dialisis dengan HBsAg positif perlu diterapi dengan entecavir. (B1)

Pasien resipien transplantasi ginjal perlu diterapi dengan entecavir untuk profilaksis atau

terapi. (B1)

Pasien HBsAg negatif dan anti HBc positif perlu diperiksakan untuk infeksi VHB

pasca transplantasi gijal. (C1)

Page 109: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

95

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Referensi :

Rinaldi A. Lesmana, Irsan Hasan, Rino Alvani Gani, Andri Sanityoso, Ali Djumhana, Poernomo

Boedi Setiawan. Rinaldi A. Lesmana (editor), Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B di

Indonesia. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI). 2017

Page 110: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

96

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Pengobatan anti virus Nucleosida Analog pada Hepatitis B Kronis :

dampak jangka panjang supresi virus

Poernomo Boedi Setiawan

Departemen – SMF Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya

Pendahuluan

Pada saat ini penatalaksanaan Hepatitis B kronis berpedoman pada “guideline”

baik yang berlaku lokal , regional maupun internasional. Pemilihan obat adalah sangat

penting sehingga perlu diperhatikan berbagai hal antara lain : ketersediaan obat ,

farmakokinetik , dampak jangka panjang pengobatan yang disesuaikan dengan tujuan

pengobatan , efek samping , resistensi obat dan data yang tersedia dari berbagai obat

tersebut. Pada saat ini terdapat 2 golongan obnat yang diteruma secara luas oleh berbagai

“guideline” yaitu golongan “nucleosida analog (NA)” dan immunomodulator

(Interferon alfa). Diperlukan strategi (mungkin individual) dengan melibatkan pasien

dalam menentukan obat yang akan dipilih untuk diberikan .

Dengan memperhatikan siklus hidup virus hepatitis B (VHB) , maka parameter

utama untuk menilai keberhasilan pengobatan adalah penurunan kadar HBV DNA sampai

dengan nilai yang paling rendah (supresi kadar HBV DNA) , untuk kemudian

dipertahankan dalam jangka panjang. Dampak jangka panjang supresi HBV DNA ini

kemudian dievaluasi pula dengan pemeriksaan histology untuk membuktikan adanya

perbaikan jaringan hati. Dampak lain adalah terjadinya resistensi obat , yang dapat

diketahui dengan pemburukan klinis , peningkatan kadar ALT , dan atau kadar HBV

DNA yang kembali meningkat.

Memperhatikan hal tersebut maka didalam pemilihan obat, khususnya gol NA

karena pemakaiannya yang berjangka panjang , maka stategi penting adalah bagaimana

memilih obat yang mempunyai potensi penurunan HBV DNA kuat , dengan kejadian

resistensi obat yang minimal , efek samping yang terkendali dan buki adanya perbaikan

klinis.

Strategi pemakaian NA

Pemilihan pengobatan NA untuk hasil yang lebih optimal dengan memperhatikan

hal sbb:

a. Kondisi penyakit hati , NA pada umumnya dapat diberikan pada semua kondisi

penyakit hati termasuk sirosis hati

b. Usia penderita , NA pada umumnya digunakan untuk jangka panjang , maka

pertimbangan usia sangat penting khususnya pada wanita muda yang masih

produktif atau berkehendak menikah/ hamil.

c. Ketersediaan obat (dalam jangka panjang) sangatlah penting utntuk menjamin

tidak terjadi putus obat, yang akan menyebabkan kondisi “flare up” atau resistensi

d. Muatan virus , sangat penting untuk melihat data muatan virus pada pemakaian

NA tertentu

e. Keamanan obat , khususnya akibat permakaian jangka panjang semisal fungsi

ginjal

f. Data strategi cara mengatasi terjadinya resistensi atau kondisi “flare up”

Dengan pemberian obat NA maka perlu difahami hal sbb :

a. “Primary non response” yaitu suatu keadaan penurunan kadar HBV DNA

Page 111: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

97

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

kurang dari 1 log10 pada minggu ke 12 pengobatan NA .

b. “Partial virological response” yaitu suatu keadaan dimana kadar HBV DNA

tetap terdeteksi selama pengobatan dengan NA diberikan.

Pada keadaan ini sangat penting mengecek kepatuhan pasien meminum obat.

Bila terjaadi keadaan ini khususnya pada minggu ke 24 pengobatan maka dapat

dipakai strategi menambah (= add on ) obat ( dengan catatan tidak ada

resistensi silang) atau mengganti (= switch to) dengan obat yang lebih potent.

Pada umumnya, metoda menambah obat lebih dapat diterima oleh para pakar.

c. “Virological breakthrough”, biasanya terjadi pada pasien yang patuh minum

obat , dan terjadi peningkatan kembali kadar HBV DNA , berhubungan dengan

terjadinya resistensi dan umumnya berhubungan dengan lama pengobatan.

- resistensi umumnya berhubungan dengan pemakaian NA sebelumnya,

- kadar HBV DNA awal yang sangat tinggi,

- penurunan HBV DNA yang lambat dan

- “partial virological response”.

Resistensi ini seharusnya dapat diketahui seawal mungkin sebelum terjadinya “clinical

breakthrough” ( peningkatan ALT), yang berarti memonitor kadar HBV DNA pada

pengobatan dengan NA harus dilakukan seoptimal mungkin .

Data potensi dan resistensi Nucleosida Analog

Pada saat ini NA yang telah tersedia dan diterima di sebagian besar negara adalah

golongan : Lamivudine (LAM) , Adefovir (ADV) , Entecavir (ETV) , Telbivudine (LDT)

dan Tenovofior (TDF) . Secara umum potensi NA ditentukan dari kemampuan untuk

menurunnya kadar HBV DNA setelah 6 bulan dan 12 bulan pengobatan dengan NA .

Studi (resmi – company profile) obat2an NA adalah dengan LAM , dan tidak studi “head

to head”. Data berikut dapat dipakai sebagai perbadingan potensi NA :

HBV DNA Reduction With Oral Agents in HBeAg+ Chronic Hepatitis B*

*Data from individual reports, not direct comparisons (different populations, baseline values, HBV DNA assays).

-7

-6

-5

-4

-3

-2

-1

0

Log 10

Dec

reas

e H

BV

DN

A a

t 1

Year

-3.5

-4.8-5.5

-6.2 -6.5-6.9

-5.1

ETV[6]LdT[4]TDF[5]

ADV[1]

10 mg

1. Hepsera [package insert]. 2. Marcellin P, et al. N Engl J Med. 2003;348:808-816. 3. Yoo BC, et al. AASLD 2005. Abstract 186. 4. Tyzeka [package insert]. 5. Heathcote E, et al. AASLD 2007. Abstract LB6. 6. Baraclude [package insert].

ADV[2]

30 mg L-FMAU[3] LAM[4]

Page 112: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

98

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Tabel 1. Regresi fibrosis pada pengobatan jangka panjang dengan NUC (dikutip : Liaw YF , Clin Liv

Dis 2013 : 17 : 3 : 412 – 421)

Nuc Analog HBe Ag Duration (y) Fibrosis

regression (%)

LAM (+) 3 y 33

ETV (+) or (-) 3y 57

ADV (-) 5y 71

ADV (+) 5y 60

ETV (+) or (-) 6y ( 3 – 7 ) 88

TDF (+) or (-) 5 y 51/74 (fib score 5

or 6 at baseline

Page 113: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

99

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

* Up to 7 years

Range: 3–7 years)

Median time: 280 weeks1†

Adapted from Chang T-T, et al. Hepatology 2010;52:886–93. Bristol-Myers Squibb. Baraclude® (entecavir) Summary of Product Characteristics. May 2011.

Long-term viral suppression leads to fibrosis reversal:

Improvement in Ishak fibrosis score with ETV

Ishak fibrosis score

Missing

1

2

3

4

5

6

0

n=57

Pat

ien

ts, n

10

20

30

40

50

60

Baseline Week 48 Long term*0

† In the randomized controlled studies, patients received 0.5 mg ETV. In the 901 rollover study, patients received 1 mg ETV.

Locarnini S. Hepatol Int. 2008;2:147-51. 2. Lai CL, et al. N Engl J Med, 2007;357:2576-8; 3. Liaw YF, et al. Gastroenterology 2009;136:486-95. 4. Snow-Lampart A, et al. AASLD Oct 31–Nov 4, 2008, San Francisco, USA. Oral Presentation 977 Hepatology 2008;48:745A. 5. Baraclude EU SmPC, February 2009. 6. Tenney et al. EASL April 22–26, 2009, Copenhagen,Denmark, Oral Presentation 1761.

Dari data tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa ETV memiliki data

jangka panjang profil obat yang baik . Strategi mencegah terjadinya resistensi obat

dengan hasil pengobatan yang baik dapat digunakan dengan pemilihan obat ETV.

Page 114: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

100

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Daftar pustaka:

1. Buti M, Hadziyannis S, Mthurin P, et al. Tenofovir disoproxil fumarate (TDF) is highly

active for treatment of chronic hepatitis B in subjects with cirrhosis (abstract). Hepatology

3008;48:33.

2. Chang TT, Gish RG, de Man R, Gadano A, Sollano J, Chao YC, et al. A comparison of

entecavir and lamivudine for HBeAg-positive chronic hepatitis B. N Engl J Med 2006; 354

(10): 1001-1010.

3. Chang TT, Lai CL, Kew Yoon S, Lee SS, Coelho HS, Carrilho FJ, et al. Entecavir

treatment for up to 5 years in patients with hepatitis B e antigen-positive chronic hepatitis

B. Hepatology. 2010 ;51(2):422-30.

4. Chen CJ, Yang HI, Su J, Jen CL, You SL, Lu SN, et al; REVEAL-VHB Study Group. Risk

of hepatocellular carcinoma across a biological gradient of serum hepatitis B virus DNA

level. JAMA. 2006 ;4;295(1):65-73.

5. Dienstag JL. Hepatitis B virus infection. New England Journal of Medicine. 2008 ; 359

(14):1486-1500

6. Dienstag JD, Schiff ER, Wright TL, Perrillo RP, Hann HWL, Goodman Z, et al.

Lamivudine as initial treatment for chronic hepatitis B in the united states. N Engl J Med

1999 ;341:1256-1263.

7. European Association for the Study of the Liver. EASL Clinical Practice Guidelines:

Management of chronic hepatitis B virus infection. J Hepatol 2012 ; 57 : 167 -185

8. Fung S, Lok A. Management of patients with hepatitis b virus-induced cirrhosis. J Hepatol

2005;42:54-64.

9. Gish RG, Chang TT, Lai CL, de Man R, Gadano A, Poordad F, et al. Loss of HBsAg

antigen during treatment with entecavir or lamivudine in nucleoside-naïve HBeAg-positive

patients with chronic hepatitis B. J Viral Hepat. 2010 ;17(1):16-22.

10. Iloeje UH, Yang HI, Su J, Jen CL, You SL, Chen CJ; Risk Evaluation of Viral Load

Elevation and Associated Liver Disease/Cancer-In VHB (the REVEAL-VHB) Study

Group. Predicting cirrhosis risk based on the level of circulating hepatitis B viral load.

Gastroenterology. 2006 ;130(3):678-86.

11. Lai CL, Gane E, Liaw YF, Hsu CW, Thongsawat S, Wang Y, et al. Telbivudine versus

lamivudine in patients with chronic hepatitis B. N Engl J Med 2007; 357 (25) :2576-2588.

12. Liaw YF, Kao JH, Piratvisuth T, Gane E, et al. Asian-Pacific consensus statement on the

management of chronic hepatitis B: a 2012 update. Hepatol Int. 2012 ; 6 : 531-561

13. Liaw Y, et al. Lamivudine for patients with chronic hepatitis B and advanced liver disease.

N Eng J Med 2004;351:1521-31.

14. Liaw YF, Gane E, Leung N, Zeuzem S, Wang Y, Lai CL, et al. 2-Year GLOBE trial

results: telbivudine is superior to lamivudine in patients with chronic hepatitis B.

15. Lok ASF, McMahon BJ. AASLD Practice Guideline, Chronic Hepatitis B: Update 2009.

Hepatol. 2009 ; 50 : 661 - 662

16. Marcellin P, Chang TT, Lim SG, Tong MJ, Sievert W, Shiffman ML, et al. Adefovir

dipivoxil for the treatment of hepatitis B e antigen–positive chronic hepatitis B. N Engl J

Med 2003 Feb; 348:808-816.

17. Marcellin P, Heathcote EJ, Buti M, Gane E, de Man RA, Krastev Z, et al. Tenofovir

Disoproxil Fumarate versus Adefovir Dipivoxil for Chronic Hepatitis B. N Engl J

Medicine. 2008 ; 359 (23) :2442-2455.

18. PPHI (2012). Konsensus prenatalaksanaan hepatitis B di Indonesia

19. Reynaud L, Carleo M, Talamo M, Borgia G. Tenofovir and its potential in the treatment of

hepatitis B virus. Ther Clin Risk Manag. 2009;5:177-85

20. Yuen MF, Seto WK, Fung J, Wong DK, Yuen JC, Lai CL. Three years of continuous

entecavir therapy in treatment-naïve chronic hepatitis B patients: VIRAL suppression, viral

resistance, and clinical safety. Am J Gastroenterol. 2011;106(7):1264-71.

Page 115: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

101

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

21. Yuen MF, Sablon E, Hui CK, Yuan HJ, Decraemer H, Lai CL. Factors associated with

hepatitis B virus DNA breakthrough in patients receiving prolonged lamivudine therapy.

Hepatology 2001;34:785–791.

Page 116: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

102

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

STRATEGI APPROACH IN HEPATITIS B INFECTION : GUIDELINE VS REASON

CLINICAL DATA

L.A.Lesmana

Divisi Hepatobilier, Bagan Penyakit Dalam FKUI,RS. Ciptomangukusumo, Jakarta.

Perkembangan terbaru dalam menangani hepatitis B kronik adalah mengenai adanya

wacana apakah pasien pada stadium immuno- tolerant ( IT) hepatitis kronik B perlu mendapat

terapi berdasarkan data penelitian imunologi terkini . Seperti diketahui dalam berbagai panduan

pengobatan. Hepatitis kronik B dari APASL 2015, AASLD 2016 pasien dengan stadium IT tidak

perlu diobati. Tetapi pada panduan EASL 2017 memakai fase pertama HBEG-positive chronic

infection dan tidak memakai lagi istilah IT. Pada fase ini ditandai dengan kadar HBV DNA yang

sangat tinggi , HbEAG positif dan ALT normal dan umumnya terjadi dari pasien yang mendapat

infeksi perinatal .Pada fase ini pasien sangat infeksius dan hilangnya spontan HbEG sangat

jarang.

Sementara beberapa panduan tidak menganjurkan terapi pada IT hepatitis kronik B

sejumlah penelitian terakhir terapi pada IT hepatitis kronik B dapat mengurangi risiko fibrosis

dan karsinoma hepatoseluler.Kita di Indonesia sudah saatnya melakukan penelitian bersama

apakah ada sejumlah pasien IT hepatitis kronik B yang mempunyai fibrosis pada fibroscan tanpa

perlemakan hati dan pada biopsi didapatkan fibrosis .

Page 117: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

103

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Management of Upper GI Bleeding: Focused on Variceal Bleeding

Dadang Makmun

Division of Gastroenterology, Department of Internal Medicine

Faculty of Medicine, Universitas Indonesia /

Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta

Pathogenesis of Portal Hypertension and Variceal Bleeding

Cirrhosis is classified into two classes, which are compensated and

decompensated. Compensated cirrhosis is the longest stage and is asymptomatic. This

stage is divided into two stages; mild portal hypertension and clinically significant portal

hypertension in which has greater risk of varices, ascites, venous hypertension,

encephalopathy, and hepatocellular carcinoma. The clinically significant portal

hypertension is further substaged depending on the presence and absence of

gastroesophageal varices. Decompensated cirrhosis is marked by the presence of ascites,

venous hypertension, and encephalopathy. The Child-Turcotte-Pugh (CTP) classification

has been used to stratify patients with cirrhosis. Patients with cirrhosis belonging to the

CTP-A class are compensated, whereas those in the CTP-B/C class are mostly

decompensated. Gastroesophageal varices are present in up to 85% of decompensated

cirrhosis patients.1,2

Portal hypertension is the first and main consequence of cirrhosis. It occurs as a

result of anincreased portal pressure due to a rise in the intrahepatic resistance to portal

flow. Changes in liver structure or called mechanical component such as fibrous tissue,

vascular distortion, and microthrombi explains 70% of the increased intrahepatic

resistance, while the rest is attributed to the increased intrahepatic vascular tone or called

functional component. One of the initial consequences of portal hypertension is the

formation of portosystemic collaterals. Concomitantly, splanchnic vasodilatation occurs,

leading to increased the flow into the gut and into the portal venous system. Vasodilation

leads to activation of neurohumoral and vasoconstrictive systems, sodium and water

retention, increased blood volume, and increased cardiac output which further increases

portal venous inflow and portal pressure. The cardinal symptoms of decompensated

cirrhosis such as ascites and hepato-renal syndrome are explained by the sodium and

water retention by the kidneys.1,2 Moreover, activated vasoconstrictive systems further

contribute to intrahepatic vasoconstriction. The more detail pathogenesis of portal

hypertension and varices is explained in figure 1.

Page 118: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

104

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Figure 1 Pathogenesis of portal hypertension and sites of action of current recommended

therapy to reduce portal pressure.1

Acute variceal bleeding is an emergency condition that requires prompt treatment.

Variceal bleeding happens due to a rupture of the variceal wall because of increased wall

tension. The risk factors for variceal bleeding include large size of varicose veins, severity

of liver disease, previous history of varicose bleeding as well as alcohol. The amount of

blood is related to portal pressure, to the rupture area in the vessel wall, and to blood

viscosity and/or changes in hemostasis.2In chronic liver disease, varicose veins are often

formed on the distal esophagus, stomach, and rectum, but esophageal varices are the most

common site of bleeding due to the thinness of the wall at the gastroesophageal junction.

Esophageal varices are found in more than 50% of patients with hepatic cirrhosis,

depending on the severity of liver disease.3 Bleeding of gastric varicose veins is less

common but is more difficult to control and has higher mortality rate than esophageal

varices. Patients with a history of variceal bleeding would have a 60% risk of recurrent

bleeding within 1-2 years with mortality rate of 33% if not treated correctly.4

Prevention of Variceal bleeding

VI. The American Association for the Study of Liver Diseases

(AASLD)recommendsnon-specific beta blockers (NSBBs) for primary prophylaxis of

variceal bleeding in patients with cirrhosis who have high-risk varices and combination of

NSBB with endoscopic variceal ligation (EVL) for secondary prophylaxis to prevent re-

bleeding. Propranolol, nadolol, and carvedilolreduce portal pressure by decreasing cardiac

output and through splanchnic vasoconstriction bythe unopposed effect of -1 adrenergic

activity. In patients with progressive hypotension (systolic blood pressure <90 mmHg), or

in patients who develop bleeding, sepsis, spontaneous bacterial peritonitis (SBP) or acute

kidney injury (AKI), NSBBs should be discontinued.2

Treatment of Variceal Bleeding

Acute variceal bleeding must be suspected in any cirrhotic patient presenting with

acute upper gastrointestinal bleeding. Prompt treatment as soon as bleeding is clinically

confirmed in essential, regardless confirmation by diagnostic endoscopy.2The initial goal

of therapy of acute variceal bleeding include rapid hemostasis, prevention of early re-

bleeding within 5 days, and prevention of 6-week mortality.1,5During the acute bleeding,

Page 119: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

105

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

beta-blockers and vasodilators should be avoided. The algorithm for the management of

variceal bleeding is explained in Figure 2.2

Figure 2 Algorithm for the management of acute variceal bleeding. TIPS: transjugular intrahepatic

portosystemic shunts. 2

I. Early Resuscitation

Management of variceal bleeding should start from the management of airway,

breathing, and circulation. If possible, patients with massive bleeding is monitored in

intensive care unit for hemodynamic monitoring. Infusion with two large bore needle for

fluid and blood transfusion may be required as well. Fluid resuscitation is performed by

administering sodium chloride or Ringer Lactate solution.6,7Administration of fluid in

patients with variceal bleeding should be carefully observed because too much fluid may

worsen the bleeding due to the increased portal venous pressure from the increased

intravascular volume. Transfusion with packed red cell (PRC) is recommendedwhen the

hemoglobin level falls below 7g/dl and should be maintained between7 and 9 g/dL.1,2The

systolic pressure should be maintained at about 90 to 100 mmHg, heart rate <100/min,

and central venous pressure from 1 to 5 mm Hg.Transfusion of fresh frozen plasma (FFP)

or platelet concentrate (PC) have often been used to correct coagulopathy,

howeverAASDLand Asia Pacific Association for Study of the Liver (APASL) reported

that platelet transfusion does not adequately correct the coagulopathy in patients with

variceal bleeding. Correction of coagulopathy with recombinant factor VIIa does not

show significant benefit. International normalized ratio (INR) is not a reliable indicator of

Page 120: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

106

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

coagulation status in cirrhosis, thus correcting the INR with FFP or factor VIIa is not

recommended.1,8

II. Pharmacological Treatment

a. Vasoactive Drugs

Vasoactive drugs should be given immediately together with antibiotics and

before diagnostic endoscopy, until hemostasis has been achieved or 2-5 days after

endoscopic treatment. Vasoactive drugs include vasopressin or its analog terlipressin

(triglycyllysine vasopressin), and somatostatin or its analog octreotide. Vasoactive drugs

contract the vessel of the gastrointestinal tract, decreasing the vascular inflow to the portal

vein and decreasing the pressure of portal vein. Vasopressin is a potent splanchnic

vasoconstrictor. However, today the use of vasopressin is restricted because it works as a

potent systemic vasoconstrictor and causes ischemia in coronary, cerebral, intestinal, and

limb vessels. Terlipressin has a dual effect including systemic vasoconstriction and direct

splanchnic vasoconstriction. Compared to vasopressin, terlipressin has greater effect with

lower cardiovascular complication. Terlipressin is administered intravenously with dose

of 1-2 mg initially, and continue with 1-2 mg every 4-6 hours.5,8

Somatostatin and somatostatin analogues (octreotide and vapreotide) have

selective vasoconstriction effects on the splanchnic. This agent has fewer effect on

systemic vasoconstriction with less systemic adverse effect. Somatostatin and its analog

are more effective than placebo or vasopressin, and when used as a bridging therapy until

endoscopic variceal ligation (EVL), it has similar hemostatic effects as balloon

tamponade. Somatostatin is given at dose of 250 micrograms bolus initially and can be

repeated in the first hour if there is still ongoing bleeding, followed by continuous

infusion drip 250-500 microgram/h. Octreotide acts similar to somatostatin but has longer

half-life (1-2 minutes vs 1-2 hours). Octreotide is administered at 50 microgram bolus and

can be repeated in the first hour if there is still ongoing bleeding, followed by continuous

infusion droplet 50 microgram/h for 5 days.1,3,4,9

b. Antibiotics

Bacterial infection such as spontaneous bacterial peritonitis can occur in 35-66%

of patients with bleeding due to rupture of esophageal or stomach varicose veins. To

prevent the occurrence of secondary infections,prophylactic antibiotic is recommended to

be given to increase the survival rate. The first choice antibiotic for cirrhotic patients is 1

g of ceftriaxone once daily, particularly for advanced decompensated cirrhosis, those who

already on quinolone prophylaxis, and in hospital settings. An oral 400 mg of norfloxacin

twice dailymay be given to the remaining patients.Prophylactic antibiotics is administered

for amaximum of 7 days.1-4

III. Non Pharmacological Therapy

a. Endoscopy

Endoscopy procedure plays a role in the variceal bleeding to achieve hemostatis.

Endoscopy should be performed during the first 12 hours of variceal bleeding.1,2,8

Whenconducted after more than 12 hours, the mortality rate significantly increased.

Endoscopic hemostasis reduces the rate of recurrent bleeding, the need for surgery, and

Page 121: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

107

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

mortality. Endoscopy may be conducted as monotherapy or in combination with other

medical measures. Several therapeutic endoscopy procedures that can be performed for

patients with variceal bleeding are:

1. Endoscopic variceal ligation (EVL)

This procedure is performed by placing the head of the endoscope with a rubber

band ligation device over the varix, suctioning the mucosa into the cap, and tying the

varix. For active variceal bleeding, it is better to perform prophylactic ligation on the

varices within 5 to 10 mm to 5 cm from the esophagogastric junction. EVL has better

effectivity and lower risk of bleeding and complications than endoscopic sclerotherapy.

Complications of rubber band ligation include ulcers, esophageal strictures, and delayed

bleeding.4

2. Sclerotherapy

Sclerotherapy is performed by injecting sclerosant into the varix to induce

thrombosis. The sclerosing agents are 5% ethoxysclerol. This procedure has greater

adverse events and complication than EVL with no better outcome, thus sclerotherapy is

not recommended as the first-line therapy for the endoscopic management of esophageal

varices. Sclerotherapy may be an alternative to ligation if EVL fails of impossible to

perform.4

3. Histoacryl injection

N-butyl-2-cyanoacrylate (Histoacryl “glue”) injection is of proven to be effective

for the treatment of bleeding gastric varices to make a thrombus inside the varix, but its

utility in the bleeding of esophageal varices remains still unproven. Some complication

could be occurred including pulmonary and systemic arterial embolisation, portal and

mesenteric vein thrombosis, persistent sepsis, fistulisation and mucosal erosion due to

extravascular injection. 10

b. Other Modalities

Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunts (TIPS) is recommended as a

rescue therapy of persistent bleeding despite treatment with vasoactive agents, antibiotics,

and EVL.By creating a shunt from the portal vein to the hepatic vein, it allows the blood

to drain into the systemic circulation and reducing the portal resistance.

Balloon tamponade (Sengstaken Blakemore Tube) allows temporary control of

bleeding by direct compression of varices. This procedure has high rates of complication

and rebleeding, thus it should not be used as a routine variceal bleeding treatment.

Instead, balloon tamponade may be useful in cases of massive and uncontrolled bleeding

and as a temporary “bridge” therapy until the definitive treatment is available and for a

maximum of 24 hours.

Removable, covered, self-expandable esophageal metallic stents (SEMS) can

be used as an alternative to balloon tamponade.2,8

Conclusion

Acute variceal bleeding should be suspected in any cirrhotic patient presenting

with acute upper gastrointestinal bleeding. The initial goal of therapy of acute variceal

bleeding include rapid hemostasis, prevention of early re-bleeding, and prevention of 6-

Page 122: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

108

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

week mortality. Early resuscitation with crystalloid and/or colloid solution should be

initiated to achieve hemostasis. Vasoactive drugs with vasopressin and its analog or

somatostatin and its analog should be given immediately together with antibiotics and

before diagnostic endoscopy. Endoscopy should be performed during the first 12 hours of

variceal bleeding, but it depends on the available treatment modality in every hospital.In

cases of massive and persistent bleeding, TIPS or balloon tamponade may help to

temporarily control the bleeding.

Reference

1. Garcia-Tsao G, Abraldes J, Berzigotti A, et al. Portal hypertensive bleeding in cirrhosis:

Risk stratification, diagnosis, and management: 2016 Practice guidance by the American

Association for the Study of Liver Diseases. Hepatol. 2017;65:310-335

2. European Association for the Study of the Liver. EASL clinical practice guidelines for the

management of patients with decompensated cirrhosis. J Hepatol. 2018.

https://doi.org/10.1016/j.jhep.2018.03.024

3. Kim J. Management and prevention of upper GI bleeding. Gastroenterol Nutr 2013: 7-26

4. Cremers I, Ribeiro S. Management of variceal and nonvariceal upper gastrointestinal

bleeding in patients with cirrhosis. Ther Adv Gastroenterol 2014;7(5): 206-16

5. Kim YD. Management of acute variceal bleeding. Clin Endosc. 2014;47:308-314

6. Elsayed IA, Battu PK, Irving S. Management of acute upper GI bleeding. BJA Education

2017;17(4):117-23

7. Al Dhahab H, Barkun A. The acute management of nonvariceal upper gastrointestinal

bleeding. Ulcers 2012:1-8

8. Sarin SK, Kumar A, Angus PW, et al. Diagnosis and management of acute variceal

bleeding: Asian Pacific Association for Study of the Liver recommendations. Hepatol Int.

2011;5:607-624

9. Haq I, Tripathi D. Recent advances in the management of variceal bleeding. Gastroenterol

Rep. 2017;5(2):113-126

10. Al-Hillawi L, Wong T, Tritto G, et al. Pitfalls in histoacryl glue injection therapy for

oesophageal, gastric and ectopic varices: A review. World J Gastrointest Surg.

2016;8(11): 729–734.

Page 123: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

109

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

APPROACH TO MANAGING UNDIAGNOSED CHEST PAIN:

COULD GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE BE A CAUSE?

Fauzi Yusuf

Divisi Gastroenterolohepatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran

Universitas Syiah Kuala/Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh

Abstak

Nyeri dada merupakan keluhan umum yang sering menyebabkan pasien datang ke dokter atau

instalasi gawat darurat. Seringnya penyebab dari nyeri dada ini tidak ditemukan, sehingga

pengobatan yang diberikan tidak efektif dan menyebabkan keluhan berulang. GERD merupakan

salah satu penyebab nyeri dada tersering. Dapat dipikirkan suatu nyeri dada akibat GERD setelah

menyingkirkan kemungkinan penyebab nyeri dada lain seperti nyeri dada cardiac, emboli paru,

pneumonia, gangguan psikologis dan psikiatri, ataupun kelainan setempat pada dinding dada.

Kata kunci: Nyeri dada, NCCP, GERD

1. Pendahuluan

Nyeri dada merupakan salah satu keluhan paling umum yang menyebabkan pasien

berobat ke dokter atau instalasi gawat darurat rumah sakit, prevalensi 10% - 30%, namun

hanya sekitar 2% yang mengkonsultasikan ke perawatan primer.(1, 2) Nyeri dada dapat

disebabkan oleh kondisi ringan yang terbatas pada lokasi tertentu seperti nyeri dinding

dada hingga serius atau mengancam jiwa seperti angina tidak stabil, diseksi aorta dan

emboli paru. Identifikasi yang cepat dan tepat akan memberikan prognosis yang lebih

baik. Langkah pertama dalam diagnosis klinis identifikasi berbagai penyebab nyeri

dada.(3)

2. Penyebab Nyeri Dada

Sebagian besar kasus nyeri dada berasal dari kelainan jantung, baik penyakit

jantung iskemik atau penyakit jantung non-iskemik, yang disebut dengan cardiac chest

pain (CCP). Sebagian lainnya disebabkan oleh penyebab noncardiac chest pain (NCCP),

terutama gangguan esofagus. Nyeri yang berasal dari keduanya mungkin dapat terjadi

pada pasien secara bersamaan. Selain itu, faktor psikologis dan psikiatri memainkan

peran penting dalam persepsi dan keparahan nyeri dada, terlepas dari penyebabnya.(1)

Page 124: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

110

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Gambar 1. Algoritma untuk diagnosis rawat jalan penyebab nyeri dada EKG= elektrokardiografi; CT =

computed tomography. (4)

Page 125: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

111

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Angina stabil mungkin merupakan awal penyakit jantung iskemik, oleh karena itu

penting untuk memastikan diagnosis yang benar.(1) Ketika pasien datang dengan

keluhan nyeri dada, prioritas pertama adalah untuk menyingkirkan kemungkinan kondisi

kardiovaskular yang mengancam jiwa akut, termasuk infark miokard akut, angina tidak

stabil, diseksi aorta, tromboemboli paru, dan tamponade perikardial. Ketika seorang

pasien datang dengan nyeri dada kasus baru khas angina, ada penjalaran nyeri, faktor

risiko jantung, atau perubahan EKG iskemik, pengukuran serial troponin harus

dipertimbangkan.(4, 5)

Jika kelainan jantung akut telah disingkirkan, maka evaluasi untuk penyakit

jantung iskemik kronis atau penyakit perikardial harus dicari. Berbagai tes dapat

membantu menentukan keberadaan dan keparahan iskemia, fungsi ventrikel kiri,

penilaian arteri koroner dan kapasitas fungsional.(5)

Jika probabilitas emboli paru berdasarkan skor Wells rendah, hasil D-dimer

negatif menghilangkan kebutuhan untuk pengujian lebih lanjut. Sedangkan bila D-dimer

abnormal atau kemungkinan emboli paru sedang – tinggi, harus segera dilakukan

pemeriksaan CT dan ultrasonografi vena untuk memandu penatalaksanaan lebih lanjut.(4)

Demam, egophony, atau perkusi yang redup harus segera dievaluasi untuk

pneumonia dengan pemeriksaan rontgen dada. Jika penyebab nyeri dada yang

mengancam jiwa tersingkir, maka riwayat kecemasan spontan, palpitasi, pingsan, atau

sesak napas menunjukkan gangguan panik. Riwayat sesak napas saat aktivitas harus

dipikirkan untuk gagal jantung.(4)

Faktor yang mempersulit penilaian klinis pasien dengan nyeri dada baik cardiac

maupun noncardiac adalah kondisi psikologis dan psikiatri seperti depresi atau gangguan

panik. Faktor-faktor ini telah ditemukan menyebabkan atau memperburuk nyeri dada,

tetapi mungkin tidak mudah dideteksi.(1)

3. Nyeri Dada Noncardiac (NCCP)

Nyeri dada noncardiac (NCCP) mewakili separuh dari semua kasus nyeri dada.

Nyeri dada noncardiac didefinisikan sebagai nyeri dada berulang yang tidak dapat

dibedakan dari nyeri jantung iskemik setelah pemeriksaan yang sederhana telah

menyingkirkan penyebab kelainan jantung. Meskipun ada sejumlah penyebab, gangguan

gastroesophageal sejauh ini yang paling umum terutama penyakit gastroesophageal

reflux.(1, 6)

Page 126: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

112

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Gambar 2. Algoritma pasien dengan nyeri dada non-cardiac.(7)

Pasien dengan NCCP mengeluhkan nyeri dada seperti tertindih atau terbakar,

yang dapat menyebar ke punggung, leher, lengan dan rahang, dan tidak dapat dibedakan

dari nyeri dada terkait jantung. Ini diperparah oleh fakta bahwa pasien dengan riwayat

penyakit arteri koroner (CAD) juga dapat mengalami NCCP. Akibatnya, semua pasien

NCCP pertama-tama harus menjalani evaluasi oleh ahli jantung untuk menyingkirkan

nyeri dada cardiac. Membedakan secara klinis hanya antara nyeri dada cardiac dan

NCCP telah terbukti menjadi tugas yang sangat sulit. Lebih lanjut, pasien NCCP

cenderung melaporkan tingkat kejadian nyeri dada yang lebih tinggi dan intensitas nyeri

yang lebih besar.(5)

Nyeri dada noncardiac merupakan gangguan umum yang mengakibatkan

pemanfaatan sumber daya kesehatan yang tinggi dan absensi kerja yang signifikan.(5)

Prevalensi NCCP diperkirakan sekitar 14-33%. Pasien dengan NCCP memiliki gangguan

kualitas hidup (QOL) dan sejumlah kunjungan dokter yang mirip dengan pasien dengan

nyeri jantung. Gastroesophageal reflux disease (GERD), gangguan motilitas esofagus

dan nyeri dada fungsional adalah mekanisme utama yang mendasari NCCP.

Komorbiditas psikologis umum terjadi pada pasien dengan NCCP, terutama mereka

dengan nyeri dada fungsional.(7)

Nyeri dada esofagus yang menyerupai nyeri jantung disebut nyeri dada

noncardiac atau nyeri dada atipikal. Rasa sakit seperti ini berbeda dari rasa dada terbakar

atau odinofagia, dan mungkin terjadi pada GERD atau gangguan motilitas esofagus

seperti spasme esofagus difus (DES). Nyeri dada karena keterlibatan periesofageal

dengan karsinoma atau ulkus peptikum mungkin konstan dan menyiksa.(6)

Page 127: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

113

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Tabel 1. Penyebab umum dari nyeri dada noncardiac – nonesophageal(5)

Musculoskeletal

Tietze’s syndrome

Costochondritis

Fibromyalgia

Precordial catch syndrome

Slipping rib syndrome

Gastrointestinal

Gastric

Saluran empedu

Pancreatic

Intra-abdominal masses (benign and malignant)

Paru-paru

Pneumonia

Emboli paru

Kanker paru

Sarcoidosis

Pneumothorax and pneumomediastinum

Efusi pleura

Massa Intrathorakal (jinak dan ganas)

Lain – lain

Kelainan Aorta

Pericarditis and myocarditis

Hipertensi pulmonal

Herpes zoster

Nyeri akibat obat

Krisis sel sabit

Kelainan psikologik

Kadang berbagai jenis nyeri esofagus ada bersamaan pada pasien yang sama, dan

sering pasien tidak mampu menggambarkan rasa sakit cukup akurat untuk memungkinkan

klasifikasi tersebut.(6) Untungnya penyakit ini dapat didiagnosis dan diobati secara

efektif oleh inhibitor pompa proton. Jenis lain penyakit refluks non-gastroesophageal

terkait nyeri dada non-cardiac lebih sulit didiagnosis dan diobati. (1)

4. Gastroesophageal reflux disease (GERD)

GERD adalah penyebab NCCP paling umum pada esofagus, dengan perkiraan

tingkat prevalensi 30 – 60 %.(7) Diagnosis GERD pada banyak kasus dapat dilakukan

dari anamnesis saja. Uji coba terapeutik dengan PPI seperti omeprazole, 40 mg dua kali

sehari selama 1 minggu memperkuat untuk diagnosis GERD. Studi diagnostik

diindikasikan pada pasien dengan gejala menetap setelah terapi atau dengan komplikasi.

Pendekatan diagnostik untuk GERD dapat dibagi menjadi tiga kategori: (1) dokumentasi

cedera mukosa, (2) dokumentasi dan kuantisasi refluks, dan (3) berdasarkan

patofisiologi.(6)

Mekanisme di mana GERD menyebabkan nyeri dada masih kurang dipahami.

Masih belum jelas mengapa paparan kandungan lambung pada esofagus pada beberapa

pasien menyebabkan nyeri ulu hati dan nyeri dada lainnya. Kondisi ini diperparah oleh

fakta bahwa beberapa pasien mungkin mengalami nyeri dada pada satu waktu dan nyeri

ulu hati di lain waktu.(5)

Page 128: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

114

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Mekanisme berbeda yang mendasari telah diusulkan untuk hipersensitivitas

esofagus pada pasien NCCP. Ini termasuk sensitisasi perifer dari sensoris aferen esofagus

yang mengarah ke respons yang meningkat terhadap rangsangan fisiologis dan patologis

dan modulasi fungsi saraf aferen pada tingkat serabut saraf dorsal spinal atau sistem saraf

pusat. Hipersensitivitas nyeri visceral dan somatik bersamaan kemungkinan besar

disebabkan oleh sensitisasi sentral (peningkatan rangsangan neuron sumsum tulang

belakang yang disebabkan oleh aktivasi nociceptive C-fibers di daerah jaringan yang

cedera).(5)

Penjelasan lain bagaimana GERD dapat menyebabkan nyeri dada diberikan oleh

penelitian menggunakan ultrasonografi intraluminal frekuensi tinggi yang menunjukkan

korelasi antara kontraksi berkelanjutan dari otot longitudinal esofagus dan nyeri dada.

Durasi kontraksi esofagus berkelanjutan menentukan jenis gejala yang dirasakan oleh

pasien. Heartburn dikaitkan dengan kontraksi durasi yang lebih pendek, sedangkan nyeri

dada dikaitkan dengan kontraksi durasi yang lebih lama.(5)

Pengobatan untuk NCCP terkait GERD telah termasuk terapi penekanan asam

terutama dalam bentuk antagonis reseptor histamin H2 dan penghambat pompa proton

(PPI), dengan tingkat keberhasilan variabel. Selain itu, pemberian jangka pendek PPI

dosis tinggi (tes PPI) telah digunakan sebagai alat diagnostik non-invasif, tetapi cukup

sensitif dan spesifik untuk mengidentifikasi NCCP terkait GERD.(7) Dalam 3 studi yang

berbeda yang mengevaluasi peran tes PPI pada pasien dengan NCCP, penulis menemukan

gejala terkait GERD pada 68% -90% pasien. Dalam sebuah penelitian dari Asia, 34,3%

pasien NCCP memiliki setidaknya 1 parameter pH abnormal. Bahkan pada pasien dengan

CAD yang terus memiliki gejala nyeri dada atipikal, hingga 67% memiliki beberapa

episode sakit terkait dengan refluks asam.(5)

Evaluasi terbaru dari tes PPI menggunakan rabeprazole 20 mg dua kali sehari

selama 14 hari mengungkapkan sensitivitas dan spesifisitas masing – masing 81 dan 62 %

pada akhir perawatan.(7)

Referensi

1. Lenfant C. Chest pain of cardiac and noncardiac origin. Metabolism-Clinical and

Experimental. 2010;59:S41-S6.

2. Flook N, Unge P, Agréus L, Karlson BW, Nilsson S. Approach to managing undiagnosed

chest pain: Could gastroesophageal reflux disease be the cause? Canadian family physician.

2007;53(2):261-6.

3. Ebell MH. Evaluation of chest pain in primary care patients. Am Fam Physician.

2011;83(5):603-5.

4. Cayley Jr WE. Diagnosing the cause of chest pain. Am Fam Physician. 2005;72(10):2012-21.

5. Fass R, Achem SR. Noncardiac chest pain: epidemiology, natural course and pathogenesis.

Journal of neurogastroenterology and motility. 2011;17(2):110.

6. Gojal RK. Disease of Esophagus. In: Fauci AS, Kasper DS, Longo DL, Braunwald E, Hauser

SL, Jameson JL, et al., editors. Harrison's Gastroenterology and Hepatology. New York:

McGraw Hill; 2010. p. 112 - 24.

7. Yamasaki T, Fass R. Noncardiac chest pain: diagnosis and management. Current opinion in

gastroenterology. 2017;33(4):293-300.

Page 129: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

115

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

OPTIMIZATION OF TREATMENT MANAGEMENT IN NSAID RELATED

PEPTIC ULCER DISEASE

Hery Djagat Purnomo

Division of Gastroentero-Hepatology Departement Of Internal Medicine Dr Kariadi Hospital

Medical Faculty Diponegoro University Semarang

A. Pendahuluan

Terapi anti-inflamasi nonsteroid yang tidak tepat (NSAID) merupakan penyebab

umum dari efek samping yang sebenarnya dan potensial, seperti perdarahan dan ulserasi g

astrointestinal, yang memperburuk kondisi medis pasien dan bahkan mungkin

mengancam nyawa.

Studi di Iran oleh Zeinali (2017) menunjukkan lebih dari 9 juta resep, 19,3%

mengandung setidaknya satu NSAID. Diklofenak adalah NSAID yang paling sering

diresepkan (49,21%). Setidaknya 7 % resep mengandung dua NSAID secara bersamaan.

Dokter umum lebih sering meresepkan OAINS (67%) dibandingkan spesialis lain. Ahli

bedah ortopedi dan internis lebih sering meresepkan NSAID dibandingkan dengan dokter

lain (masing-masing 6% dan 4%). Dan hanya 7,62% dari resep yang diberikan

mengandung obat gastroprotektif.

Frekuensi peresepan obat golongan NSAID semakin meningkat di berbagai

negara. Peningkatan ini dikaitkan juga peresepan irasional pemberian NSAID, kombinasi

NSAID dan agent gastroprotektif drug. Strategi harus dikembangkan dan diterapkan

untuk meresepkan dan menggunakan obat secara rasional, misalnya, edukasi medik

mengenai potensi risiko NSAID, pentingnya penggunaan yang tepat dan rasional, dan

perlunya penulisan resep yang tepat terkait konten dan indikasi. Pada makalah ini akan

diuraikan bagaimana melakukan optimasi pengelolaan penyakit ulkus peptik terkait

OAINS.

B. Klasifikasi NSAID

OAINS yang tersedia saat ini dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan utama:

OAINS non-selektif dan inhibitor COX-2 selektif (coxibs). Risiko penyakit peptik dan

kejadian kardiovaskular sangat berbeda antara OAINS yang berbeda.

NSAID Non-selektif

NsNSAID ini dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok; ibuprofen, diklofenak

dengan waktu paruh pendek (<6 jam) dan setengah panjang seperti; naproxen. OAINS

memiliki usia paruh lebih lama juga meningkatkan risiko kerusakan GI.

OAINS bekerja dengan menghambat enzim cyclooxygenase (COX), yang

mensintesis prostaglandin dan tromboksan. COX-1 mengatur sintesis prostaglandin yang

terlibat dalam perlindungan gastrointestinal, tahap awal pembekuan, pengaturan kontraksi

vaskular dan relaksasi serta hemodinamik ginjal. COX-2 terlibat dalam efek peradangan,

nyeri dan demam; sekresinya meningkat sebagai respons terhadap sitokin dan

menentukan sintesis faktor pertumbuhan dan mitogen.

Toksisitas GI tergantung pada jenis kimia, dosis, paruh dan pelepasan misalnya,

ibuprofen dan aceclofenac memiliki risiko rendah untuk kejadian GI serius (RR <2),

nimesulide, diklofenak, meloxicam dan ketoprofen memiliki risiko menengah (RR 2- 4)

dan naproxen dan indometasin memiliki risiko tinggi (RR> 4).

Page 130: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

116

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Penghambat selektif cox-2 (coxibs)

Coxib adalah sekelompok obat yang secara selektif bertindak pada isoenzim cox-

2, mempertahankan sifat anti-inflamasi OAINS tradisional tanpa bertindak pada isoenzim

COX-Dalam meta-analisis terbaru, coxib dikaitkan dengan peningkatan risiko cedera GI

dibandingkan dengan plasebo (RR: 1,8-CI: 95%: 1,17-2,81).

C. Faktor risiko penyakit ulkus peptik terkait OAINS

Beberapa faktor meningkatkan risiko komplikasi gastrointestinal yang serius.

Pengetahuan tentang faktor-faktor ini sangat penting untuk memastikan penggunaan

yang benar penggunaan gastroprotektif ketika meresepkan NSAID.

Faktor risiko yang sudah terbukti adalah: Riwayat komplikasi penyakit ulkus

peptik sebelumnya (6-13,5 kali) atau ulkus gastrointestinal non kompilkasi, usia (> 65

tahun, RR; 2-3,5), adanya ko-morbiditas tunggal / ganda (diabetes, sirosis, penyakit

jantung iskemik, tumor dan serebrovaskular, gagal ginjal chronis dan hemodalisis), terapi

bersamaan dengan ; obat antikoagulan, obat antiplatelet, glukokotikoid / steroid, dan obat

SSRI, pola penggunaan OAINS secara individu, dan infeksi helicobacter pylori.

Risiko perdarahan gastrointestinal meningkat pada pasien dengan gagal ginjal

kronis: 3%-7% dari semua kematian di antara pasien dengan penyakit ginjal stadium

akhir adalah karena PSCBA.

Di antara pasien pada hemodialisis, pengguna OAINS memiliki risiko lebih tinggi

mengalami perdarahan gastrointestinal daripada non-pengguna (OR disesuaikan = 5,8;

95% CI, 1,3-26,9; p = 0,024) [43]. Diperkirakan bahwa 20% pasien yang diobati dengan

OAINS mengonsumsi obat antiplatelet seperti aspirin dosis rendah atau clopidogrel.

Kombinasi obat antiplatelet dan OAINS menginduksi peningkatan dua hingga tiga kali

lipat lebih lanjut dalam risiko perdarahan ulkus dibandingkan dengan aspirin dosis

rendah.

Risiko Relatif untuk perdarahan gastrointestinal atas pada pengguna antikoagulan

adalah 2.2. Penggunaan bersamaan dari nsNSAID dan terapi antikoagulan meningkatkan

risiko perdarahan gastrointestinal atas dengan faktor 2 sampai 4. Penggunaan bersamaan

obat antiinflamasi nonsteroid dan antikoagulan oral menempatkan orang lanjut usia

berisiko tinggi untuk penyakit ulkus peptikum hemoragik.

Hubungan antara antikoagulan oral baru dan OAINS belum diteliti secara

mendalam. Pada pasien yang diobati OAINS plus rivaroxaban, perdarahan yang relevan

secara klinis terjadi dengan tingkat kejadian 37,6 per 100 pasien-tahun (95% CI: 29,0-48).

Kejadian ini lebih tinggi (HR, 1,90; 95% CI, 1,45-2,49) dibandingkan pada pasien yang

menerima rivaroxaban sendiri (15,8 per 100 pasien-tahun, 95% CI: 14,1-17,6).

Meskipun penelitian observasional melaporkan risiko ulkus GI lebih tinggi hingga

12 kali pada pasien yang memakai NSAID dan kortikosteroid, penelitian eksperimental

baru-baru ini menunjukkan bahwa glukokortikoid mungkin memiliki aksi ganda pada

mukosa lambung, dan dapat menjadi gastroprotektif dan ulserogenik.

Sebuah meta-analisis oleh Loke termasuk 153.000 pasien menunjukkan bahwa

penggunaan SSRI dikaitkan dengan perdarahan gastrointestinal atas (PSCBA), dengan

odds ratio (OR) 2,36 (95% CI: 1,44-3,85; p = 0,0006). OR meningkat menjadi 6,33 (95%

CI: 3,40–11,8; p <0,00001) pada pasien dengan penggunaan OAINS secara bersamaan.

Pengobatan jangka panjang juga meningkatkan risiko penyakit ulkus peptik terkait

OAINS. Tinjauan sistematis oleh Hernández-Díaz dkk menunjukkan bahwa risiko

gastropati OAINS meningkat pada bulan pertama (RR 5,7, 95% CI: 4,96-6,6)

dibandingkan dengan dua bulan berikutnya (RR: 3,7, 95% CI: 3,2 - 4.2). Namun,

Page 131: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

117

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

penelitian lain menunjukkan bahwa kejadiannya linear seiring waktu. Formulasi OAINS

yang dilepaskan dengan pelepasan lambat, tidak mengurangi cedera GI bagian atas, tetapi

diduga dapat meningkatkan insidensi cedera GI bawah.

Pada tahun 2005 oleh Vergara dkk, dalam meta-analisis dari lima penelitian terdiri

939 pasien, dievaluasi apakah pemberantasan H.pylori mencegah ulkus peptik yang

terkait dengan OAINS . Pemberantasan secara signifikan mengurangi risiko

pengembangan lesi peptik (OR: 0,43; 95% CI 0,20-0,93) dan pendarahan ulkus (OR:

0,13; 95% CI: 0,02-0,92). Efeknya lebih kuat pada pasien tanpa penyakit ulkus

sebelumnya (OR 0,36; 95% CI: 0,19-0,70) dan manfaatnya serupa untuk ulkus lambung

dan duodenum.

D.Pengelolaan

I. Pencegahan Primer

D.1 Terapi dengan gastroprotektif

D1.1. Antagonist resptor H2.

Studi RCT mengkonfirmasi penurunan yang signifikan dalam kejadian ulkus

lambung dan duodenum pada pasien dengan pengobatan kronis (24 minggu) dengan

kombinasi tablet tunggal dosis ganda famotidine dibandingkan dengan NSAID saja (RR

0,46, 95% CI: 0,34-0,61). Sub analisis terbatas pada subjek di atas 65 tahun atau dengan

riwayat penyakit ulkus peptikum menunjukkan, bagaimanapun, bahwa H2RA dosis ganda

tidak secara signifikan menurunkan kejadian ulkus lambung dan duodenum pada pasien

berisiko tinggi ini. Dosis standar H2RA tidak secara signifikan mengurangi risiko ulkus

lambung (RR 0,73; 95% CI: 0,5-1,08), tetapi efektif dalam mengurangi ulkus duodenum

(RR 0,36; 95% CI: 0,18-0,74).

D1.2. Proton pump inhibitors

Proton pump inhibitors (PPIs) bekerja dengan menghambat H-K-ATPase. Karena

enzim ini bertanggung jawab untuk fase akhir sekresi asam oleh sel parietal, obat ini

sangat efektif dalam mengurangi sekresi asam.

Dibandingkan dengan plasebo, PPI secara signifikan mengurangi risiko tukak

peptik terkait NSAID (RR 0,23; 95% CI: 0,18-0,31). Hasilnya sama untuk lambung (RR:

0,29; 95% CI: 0,21-0,40) dan ulkus duodenum (RR: 0,18; 95% CI: 0,10-0,34); dalam

penelitian secara acak, efek samping seperti sakit perut, diare atau perut kembung mirip di

kedua kelompok pengobatan.

Sejumlah perbedaan telah dilaporkan antara PPI, tetapi dampak klinis dari

perbedaan ini pada pencegahan ulkus terkait OAINS tidak jelas. Lansoprazole dan

pantoprazole memiliki bioavailabilitas yang lebih baik, dan mencapai tingkat plasma

tertinggi. Rabeprazole memiliki onset aksi yang sedikit lebih cepat, aktivitas antisekresi

yang lebih kuat dibandingkan dengan omeprazol dan lanzoprazol dan sedikit efek

CYP2C19 pada metabolismenya. Supresi asam lebih kuat dengan esomeprazole atau

rabeprazole. Sebuah studi memperkirakan kemungkinan bebas ulkus yang tersisa setelah

enam bulan pengobatan OAINS melaporkan angka 90% dengan pantoprazole 20 mg,

93% dengan pantoprazole 40 mg, dan 89% dengan omeprazole 20 mg. Berbagai studi

membuktikan efikasi rabeprazole dalam mencegah dispesia dan injuri gastrointestinal dan

mengobati kerusakan mukosa terkait NSAID. Para penulis menyimpulkan bahwa semua

Page 132: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

118

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

obat ini (PPI) memberikan profilaksis setara dan efektif terhadap tukak peptik yang

terkait dengan OAINS.

D.1.3 Misoprostol

Misoprostol adalah analog sintetis dari prostaglandin E1. Ini Obat ini

mempunyai efek gastroprotektif dengan merangsang sekresi lendir lambung dan

bikarbonat dan mendukung aliran darah mukosa dan empromosikan penyembuhan

ulkus lambung.

Misoprostol efektif dalam mencegah penyakit ulkus peptikum terkait OAINS

akut, mengurangi risiko tukak lambung dan duodenum pada pengguna OAINS, juga

mengurangi risiko komplikasi yang signifikan secara klinis (perforasi, obstruksi atau

perdarahan). Risiko penyakit ulkus peptikum terkait OAINS menurun secara signifikan

ketika misoprostol diberikan pada dosis tinggi, meningkatkan dosis prostaglandin

mungkin dibenarkan pada pasien berisiko tinggi.

Tingkat efek samping yang tinggi (diare, sakit perut, mual dan peningkatan risiko

aborsi) telah membatasi penggunaan misoprostol dalam praktek klinis.

D.2. Memilih Coxib-OAINS

Pengguna nsNSAID (2.4%) lebih banyak secara bermakna dari pada pengguna

celecoxib (1.3%) sehingga menunjukkan frekuensi kejadian GI atas dan / atau bawah

yang signifikan secara klinis (OR: 1.82, 95% CI: 1.31- 2.55). Laju perdarahan

gastrointestinal pada pengguna coxib juga lebih rendah daripada pengguna OAINS.

Selain itu, coxib secara signifikan mengurangi risiko efek samping GI berat bila

dibandingkan dengan nsOAINS plus PPI pada pasien yang berisiko tinggi komplikasi GI

terkait OAINS dan pengguna jangka panjang.

D.3.Pengelolaan perdarahan saluran cerna atas akut

Karakteristik pasien dengan perdarahan gastrointestinal atas telah berubah dalam

beberapa tahun terakhir: lebih tua, cenderung terkait penyakit kardiovaskular dan

cenderung menerima terapi antikoagulan atau antiplatelet. Dalam semua kasus, risiko

tromboemboli harus ditimbang terhadap risiko perdarahan ulang.

Terapi PPI sebelum endoskopi belum mencapai penurunan yang signifikan dalam

mortalitas atau risiko perdarahan ulang. Namun, PPI mulai sebelum endoskopi

mengurangi baik persyaratan untuk terapi endoskopi dan lamanya masuk. Namun,

pemberian PPI seharusnya tidak menunda gastroskopi.

Pertanyaan yang paling penting adalah apakah akan menghentikan OAINS atau

pengobatan LDA dan, jika dihentikan, untuk berapa lama perawatan ini harus dihentikan.

Selama episode perdarahan akut mungkin disarankan untuk menghentikan terapi OAINS .

Jika perlu, kemungkinan untuk memperkenalkan kembali coxib plus PPI harus

dipertimbangkan, karena kombinasi ini adalah satu-satunya pendekatan yang telah

terbukti mengurangi risiko perdarahan berulang.

Pasien yang menggunakan terapi antiplatelet ganda berisiko tinggi mengalami

tromboemboli dan perdarahan. Pemberian kembali LDA lebih awal pada hari ke-3 setelah

perdarahan dianjurkan jika terapi antiplatelet diperlukan. Jika antikoagulan belum bisa

diberikan , heparin berat molekul rendah harus dimulai sesegera mungkin setelah

perdarahan berhenti, dan terapi antikoagulan oral dapat diperkenalkan kembali setelah 7-

15 hari. Pendekatan ini telah terbukti mengurangi risiko trombosis dan kematian tanpa

secara signifikan meningkatkan risiko perdarahan ulang.

Page 133: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

119

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

II. Profilaksis sekunder

Ketika seorang pasien mengalami komplikasi karena penggunaan OAINS,

tindakan harus diambil untuk mencegah kekambuhan. Langkah-langkah kunci adalah: a)

Identifikasi adanya infeksi dan terapi infeksi H. pylori sesuai standar, b) evaluasi indikasi

penggunaan OAINS dengan saksama. Jika tidak diindikasikan, harus dihentikan, c) Jika

OAINS diindikasikan, pasien harus diobati dengan celecoxib plus PPI. Eradikasi infeksi

H. pylori secara signifikan menurunkan tingkat perdarahan ulang.

Penggunaan nsOAINS dan PPI atau celecoxib sendiri mengurangi risiko

perdarahan ulkus terkait OAINS namun tidak sepenuhnya menghilangkannya. Sambil

menunggu perkembangan baru, PPI tetap menjadi obat pilihan untuk gastroproteksi.

Penggunaan OAINS yang rasional juga dapat membantu mengurangi tingkat komplikasi

yang terkait. Langkah-langkah ini termasuk penggunaan dosis OAINS serendah mungkin

dan untuk waktu sesingkat mungkin, menggunakan pengobatan topikal jika mungkin, dan

mempertimbangkan kembali indikasi obat dan / atau kebutuhan untuk gastroproteksi.

Selain itu, pemberantasan H. pylori juga dianjurkan, lebih baik sebelummemulai

pengobatan OAINS dan terutama jika pengobatan kemungkinan akan diperpanjang.

III. Penilaian sebelum peresepan dan meningkatkan hasil keamanan OAINS

Sebelum memutuskan untuk meresepkan NSAID, baik risiko kardiovaskular

maupun risiko gastrointestinal harus dinilai. Tergantung pada hasil penilaian ini, pasien

dapat diklasifikasikan dalam kelompok risiko.

Penggunaan nsNSAID harus dihindari karena pasien ini memiliki risiko tinggi

baik komplikasi perdarahan dan vaskular; penggunaan gabungan celecoxib pada dosis

rendah (200 mg setiap hari) dan PPI tampaknya pilihan yang paling tidak merusak.

Penggunaan coxib atau formulasi gabungan dosis tetap dari OAINS plus PPI memiliki

keuntungan untuk menghindari risiko ketidakpatuhan, karena pil yang sama memberikan

efek antiinflamasi dan gastroprotektif.

Pada pasien dengan risiko GI rendah dan risiko CV tinggi, pengobatan pilihan

adalah naproxen plus PPI karena naproxen adalah NSAID dengan risiko kardiovaskular

terendah. Akhirnya, pada pasien dengan CV rendah dan risiko GI tinggi, pilihan yang

paling sesuai adalah celecoxib plus PPI.

Perlakuan terhadap risiko GI tinggi dan kelompok risiko CV tinggi dengan

indikasi LDA adalah yang paling kontroversial.

IV Pengembangan obat/agent baru

Mengenai persyaratan analgesia, alternatif di masa mendatang mungkin adalah

penggunaan analgesik non-OAINS, misalnya, kombinasi acetaminophen dan tramadol

dosis rendah - atau penggunaan OAINS baru. prodrugs seperti oksida nitrat (NO) dan

hidrogen sulfida (H2S) agen dalam hubungan dengan OAINS.

Obat-obatan OAINS ini adalah agen potensial untuk meningkatkan pelepasan aktivitas

antioksidan dari nitrit oksida atau hidrogen sulfida. Nitric oxide (NO) meningkatkan

aliran darah, produksi lendir dan sekresi bikarbonat di mukosa lambung. Studi pada tikus

menunjukkan bahwa OAINS pelepas-NO tidak menyebabkan kerusakan gastrointestinal

yang signifikan.

Penghambatan COX oleh OAINS meningkatkan konsentrasi LT, yang memiliki

efek besar pada mukosa lambung. Saat ini, obat baru sedang dikembangkan untuk

bertindak sebagai inhibitor ganda COX dan 5-LOX dengan penurunan prostaglandin dan

leukotrien. Licofelone adalah salah satu dari obat-obatan ini. Ini telah menunjukkan efek

Page 134: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

120

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

analgesik dan anti-inflamasi yang signifikan pada model hewan tanpa efek samping

gastrointestinal.

Di sisi lain, peningkatan penggunaan obat gastroprotektif yang benar dan

pengobatan sistematis infeksi H. pylori telah menyebabkan penurunan bertahap dalam

penerimaan rumah sakit untuk PSCBA dan peningkatan tingkat perdarahan

gastrointestinal yang lebih rendah. Seiring berjalannya waktu, komplikasi saluran

pencernaan yang lebih rendah cenderung menjadi lebih relevan.

E. Kesimpulan

Terapi anti-inflamasi nonsteroid yang tidak tepat (OAINS) merupakan penyebab

umum dari efek samping yang nyata dan potensial, seperti perdarahan dan ulserasi

gastrointestinal, yang memperburuk kondisi medis pasien dan bahkan mungkin

mengancam nyawa.

nsOAINS dan penghambat COX-2 memiliki efek analgesik dan anti-

inflamasiyang serupa; Penghambat COX-2 secara signifikan mengurangi risiko efek

samping GI yang berat. Adanya gejala seperti dispepsia atau nyeri ulu hati merupakan

prediktor penyakit lambung yang buruk. Manfaat GI inhibitor COX-2 selektif terhadap

nsOAINS dapat dikurangi dengan pemberian bersama aspirin dosis rendah.

Usia lanjut, riwayat ulkus peptikum, komorbiditas, infeksi H. pylori, dan penggunaan

antikoagulan atau agen antiplatelet meningkatkan risiko komplikasi gastrointestinal yang

serius pada pengguna OAINS.

PPI termasuk secara signifikan mengurangi risiko penyakit ulkus peptikum terkait

NSAID. PPI lebih unggul dari dosis standar H2RA untuk pencegahan lesi lambung.

Kapasitas PPI untuk mencegah ulkus peptik terkait NSAID mirip dengan misoprostol,

tetapi PPI lebih dapat ditoleransi.

Optimasi pengelolaan penyakit ulkus peptik terkait OAINS dapat dilakukan

dengan cara dan langkah langkah diatas untuk mendapatkan hasil yang optimal.

References

1. Melcarne Luigi, Garcia-Iglesias Pilar & Calvet Xavier. Management of NSAID-

associated peptic ulcer disease. Expert Review of Gastroenterology & Hepatology, DOI:

10.1586/17474124.2016.1142872

2. Majid Zeinali,Jamshid Tabeshpour,Seyed Vahid Maziar, Zhila Taherzadeh, et al

Prescription Pattern Analysis of Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs in the

Northeastern Iranian Population. J Res Pharm Pract. 2017 Oct-Dec; 6(4): 206–210.

3. Oraluck Pattanaprateep

, Mark McEvoy, John Attia

and Ammarin Thakkinstian.

Evaluation of rational nonsteroidal anti- inflammatory drugs and gastro-protective agents

use; association rule data mining using outpatient prescription patterns. BMC Medical

Informatics and Decision Making (2017) 17:96

4. Carla J. Gargallo,

Carlos Sostres,Angel Lanas,Prevention and Treatment of NSAID

Gastropathy. Current Treatment Options in Gastroenterology (2014) 12:398–413.

5. Fransiscus Ari, Dadang Makmun. Current prevention and management NSAID associated

gastroenteropathy. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology and

Digestive Endoscopy. 2014 Volume 15, Number 3, 161-168.

6. Maher Mbarki, Helen Sklyarova, Krystyna Aksentiychuk, Natalia Kharchenko

and

Eugene Sklyarov. Rebamipide and Pantoprazole Combination in NSAIDs-Gastropathy

Treatment. Journal of Pharmacy and Pharmacology 5 (2017) 153-157

Page 135: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

121

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

7. Veronica Fassio, Sherrie L. Aspinall, Xinhua Zhao, Donald R. Trends in Opioid and

Nonsteroidal Anti-Inflammatory Use and Adverse Events. Am J Manag Care.

2018;24(3):e61e72.

8. Guillermo García-Rayado, Carlos sostres, Angel Lanas. Aspirin and omeprazole for

secondary prevention of cardiovascular disease in patients at risk for aspirin-associated

gastric ulcers. Expert Review of Clinical Pharmacology, 2017, vol 10, issue 8.

9. Michele Hummel, Terri Knappenberger, Meghan Reilly, Garth T Whiteside

Pharmacological evaluation of NSAID-induced gastropathy as a "Translatable" model of

referred visceral hypersensitivity. World J Gastroenterol 2017 September 7; 23(33):

6065-6076.

10. J. Q. Yuan, M. Yang, D. E. Threapleton, X. S. Qi, D. Q. Ye, C. Mao, J. L. Tang, J. P. T.

Higgins. Systematic review with meta-analysis: the gastrointestinal benefits of COX-2

selective inhibitors with concomitant use of low-dose aspirin. Aliment Pharmacol Ther

2016; 44: 785–795

Page 136: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

122

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

THE TREATMENT OF HELICOBACTER PYLORI: WHERE ARE WE

NOW? / PROTON PUMP INHIBITOR, KEY INGREDIENT IN H.PYLORI

ERADICATION TREATMENT

Fardah Akil

Division of Gastroenterology-Hepatology

Department of Internal Medicine, Hasanuddin University Makassar

Helicobacter pylori are spiral-shaped gram-negative bacteria with polar flagella

that live near the surface of the human gastric mucosa. H pylori infection is the strongest

known risk factor for the development of gastroduodenal ulcers, with infection being

present in 60%–80% of gastric and 95% of duodenal ulcers. H pylori is also the first

bacterium to be classified as a definite carcinogen by the World Health Organization’s

International Agency for Research on Cancer because of its epidemiologic relationship to

gastric adenocarcinoma and gastric mucosa-associated lymphoid tissue lymphoma.

Eradication therapy for H pylori is recommended in a number of clinical

conditions. Choosing a treatment for H. pylori eradication in a definite geographic area

relies on different factors, such as the local availability of antimicrobial agents, the

pattern of primary antibiotic resistance, and the therapeutic cost. In a specific patient, the

probability of successful therapy is affected by several host and bacterial factors, but

patient compliance and bacterial resistance to antibiotics play a major role. Compliance

with an eradication therapy, in turn, depends on regimen complexity, tolerability, and the

incidence of related side-effects. Good compliance, defined as a concordance of more

than 90% between the prescribed and the ingested drugs, significantly increases the

eradication rate [3]. The presence of H. pylori strains resistant towards a certain antibiotic

is associated with its consumption in the general population, or its previous use in the

same patient to treat other infections [4,5]. A high prevalence of resistance to primary

clarithromycin (>15%) or metronidazole (>30%) in H. pylori isolates reduces the efficacy

of standard first-line therapies that include these drugs. Study from Miftahussunur M

(2016) found that Indonesian strains had the high prevalence of metronidazole and

levofloxacin resistance with low prevalence of clarithromycin, amoxicillin, and

tetracycline resistance. This suggests that efforts in assessing local, regional, and national

patterns of antimicrobial resistance should be performed to allow an appropriate selection

of H. pylori therapies. However, following standard therapies, bacterial eradication may

be achieved in a definite number (up to 38.5%) of patients despite the presence of

clarithromycin and/or metronidazole resistance. Indeed, the combination of different

synergic antibiotics may allow the resistance towards a specific molecule to be overcome.

On the other hand, the infection is not cured in a distinct portion (19.6%) of patients even

when susceptible H. pylori strains are present, as several other factors apart from the

bacterial susceptibility status are involved. These findings suggest a significant

discordance between the expected eradication rate based on antimicrobial resistance

assessment in vitro and the actual performance in vivo for each therapy regimen.

Therefore, monitoring the efficacy of standard therapies in a particular area, irrespective

of the prevalence of antibiotic resistance, is of paramount relevance before a still

potentially successful therapy is abandoned.

Regimens for eradication of H pylori infection are typically chosen empirically,

on the basis of regional bacterial resistance patterns, local recommendations, and drug

availability. The following regimens are Triple therapy, Nonbismuth quadruple therapy,

Page 137: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

123

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Bismuth-based therapy, Levofloxacin-containing therapy, Second-line therapy, Rescue or

third-line therapy. Triple therapy for H pylori infection remains an option for first-line

therapy in areas of low clarithromycin resistance (<15%) and consists of the following:

Proton pump inhibitor (PPI) plus Clarithromycin 500 mg BID (first-line) or

metronidazole 500 mg BID (when clarithromycin resistance is increasing) plus

Amoxicillin 1000 mg BID or metronidazole (if not already selected). A Cochrane meta-

analysis of 55 studies concluded that 14 days is the optimal duration of triple therapy,

achieving an H pylori eradication rate of 81.9%, whereas 7 days attains an eradication

rate of only 72.9%. In more recent studies, however, the eradication rate with 14-day

triple therapy is not significantly different from that with 10-day sequential therapy

(amoxicillin and a PPI for 5 days followed by a PPI, clarithromycin and metronidazole

for another 5 days) or 10-day concomitant nonbismuth quadruple therapy.

Acid inhibition is a key component of H. pylori treatment. In addition to a

possible antibacterial effect of the PPIs, acid inhibition increases luminal concentrations

of antibiotics by decreasing their acid-related degradation. Moreover, it is believed that H.

pylori needs an acidic environment to live due to its production of NH3 creating a basic

milieu which needs to be neutralized by acid. High gastric pH may, furthermore, allow H.

pylori to enter a replicative state, thus becoming susceptible to amoxicillin and

clarithromycin. Sugimoto and colleagues, analyzed 24-h gastric pH during triple therapy

with lansoprazole, clarithromycin and amoxicillin. Cure rates were closely related to acid

inhibition: mean gastric pH was 6.4 in patients who were cured and 5.2 in those who were

not. The infection was cured in all patients who attained a pH above 4 for more than 90%

of the time, even in the presence of clarithromycin-resistant strains. Many meta-analyses

have shown that increasing acid inhibition raises cure rates with H. pylori triple therapy.

PPIs that used for eradication eg, omeprazole 20 mg BID, lansoprazole 30 mg BID,

esomeprazole 40 mg QD, pantoprazole 40 mg QD, rabeprazole 20 mg BID. Beside, acid

inhibition in response to PPI is determined by the capacity of the individuals to

metabolize the drug, which is determined by the cytochrome 2P19 polymorphisms.

Extensive metabolizers, including most of the White population, require higher PPI doses

to adequately control gastric pH.

Recently, vonoprazan, a novel potassium-competitive acid blocker, has been used

in H. pylori treatment. Like PPIs, vonoprazan inhibits the gastric proton pump, although it

has a more potent, rapid and sustained acid-inhibitory effect. A recent meta-analysis

suggests that this potent acid inhibition may increase the efficacy of clarithromycin-

including triple therapy, mainly by increasing cure rates in patients infected with

clarithromycin-resistant strains. Although further evidence is needed, this new drug

combined with quadruple therapies or long treatments may increase cure rates to nearly

100%, even in western populations. It may also allow the reduction of the number of

drugs or the length of treatment, although this hypothesis has still to be tested.

A safe and effective vaccine against H. pylori for a prophylactic or even

therapeutic use is needed. Clinical studies have failed to succeed for different reasons.

Most of the protective H. pylori-derived antigens have already been administered to

humans and have proven their safety and immunogenicity. This suggests that H.

pylori vaccination is feasible and Phase II and III trials with candidate vaccines are

awaited.

Page 138: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

124

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

References

1. Malfertheiner P, Megraud F, O'Morain CA, Gisbert JP, Kuipers EJ, Axon AT et. al.

Management of Helicobacter pylori infection-the Maastricht V/Florence Consensus

Report. Gut. 2017 Jan. 66 (1):6-30. [Medline].

2. Chey WD, Leontiadis GI, Howden CW, Moss SF. ACG Clinical Guideline: Treatment of

Helicobacter pylori Infection. Am J Gastroenterol. 2017 Feb. 112 (2):212-239. [Medline].

3. Yuan Y, Ford AC, Khan KJ, Gisbert JP, Forman D, Leontiadis GI, et al. Optimum

duration of regimens for Helicobacter pylori eradication. Cochrane Database Syst Rev.

2013 Dec 11. CD008337. [Medline].

4. Jung, YS, Kim, EH, Park, CH. Systematic review with meta-analysis: the efficacy of

vonoprazan-based triple therapy on Helicobacter pylori eradication. Aliment Pharmacol

Ther 2017; 46: 106–114. Google Scholar, Crossref, Medline.

5. Kirchheiner, J, Glatt, S, Fuhr, U. Relative potency of proton pump inhibitors: comparison

of effects on intragastric pH. Eur J Clin Pharmacol 2009; 65: 19–31.

6. Labenz, J. Current role of acid suppressants in Helicobacter pylori eradication therapy.

Best Pract Res Clin Gastroenterol 2001; 15: 413–431.

7. Miftahussurur M, Syam AF, Nusi IA, Makmun D, Waskito LA, Zein LH, et al. (2016)

Surveillance of Helicobacter pylori Antibiotic Susceptibility in Indonesia: Different

Resistance Types among Regions and with Novel Genetic Mutations. PLoS ONE 11(12):

e0166199.

8. doi:10.1371/journal.pone.0166199Sugimoto, M, Furuta, T, Shirai, N. Evidence that the

degree and duration of acid suppression are related to Helicobacter pylori eradication by

triple therapy. Helicobacter 2007; 12: 317–323.

Page 139: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

125

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

DIAGNOSIS DINI PENYAKIT REFLAKS GASTROESOFAGEAL (GERD),

BAGAIMANA PENGGUNAAN GERD-Q?

Azzaki Abubakar, T.Irfan

Divisi Gastroenterolohepatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran

Universitas Syiah Kuala/Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh

Abstrak

GERD merupakan salah satu penyakit yang paling umum dan memiliki prevalensi yang

terus meningkat. Pasien yang menderita GERD memiliki kualitas hidup yang buruk dan

menyebabkan gangguan terhadap aktifitas sehari – hari. Ada banyak metode dalam mendiagnosis

GERD, mulai dari yang non-invasif sampai yang invasif. Saat ini telah dikembangkan banyak alat

diagnosis berupa kuesioner yang dianggap cukup sensitif dalam mendiagnosa GERD yang

bergejala, dan dapat digunakan pada tingkat pelayanan primer.

Pendahuluan

Penyakit reflaks gastroesofageal (GERD) adalah suatu kondisi gangguan berupa

isi lambung yang mengalami refluks berulang ke dalam esofagus, menyebabkan gejala

dan/atau komplikasi yang mengganggu.(1, 2) Gejala "mengganggu" yang dimaksud jika

menyebabkan dampak buruk pada kesejahteraan individu. (2)

GERD merupakan salah satu gangguan gastrointestinal yang paling umum. Studi

berbasis populasi menunjukkan bahwa hingga 15% individu mengalami rasa terbakar di

dada (heartburn) dan / atau rasa naiknya isi lambung ke tenggorokan (regurgitasi)

setidaknya sekali seminggu, dan 7% memiliki gejala setiap hari. Gejala ini disebabkan

oleh aliran balik asam lambung dan isi lambung lainnya ke kerongkongan karena

hambatan yang tidak kompeten di persimpangan gastroesofageal.(3)

Prevalensi GERD dan komplikasi di negara-negara Asia, termasuk Indonesia,

umumnya lebih rendah daripada negara-negara barat, namun data terbaru menunjukkan

bahwa prevalensinya meningkat. Hal ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup yang

dapat meningkatkan risiko GERD, seperti merokok dan obesitas. Data epidemiologis di

Amerika Serikat menunjukkan bahwa satu dari lima orang dewasa memiliki gejala refluks

esofagus dan / atau regurgitasi sekali dalam seminggu dan lebih dari 40% memiliki gejala

setidaknya sekali dalam sebulan. Prevalensi esophagitis di negara-negara barat

menunjukkan nilai rata-rata berkisar antara 10-20%; sementara di Asia, prevalensinya

berkisar antara 3-5% dengan pengecualian di Jepang dan Taiwan dengan kisaran antara

13-15% dan 15%. Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki data epidemiologi lengkap

mengenai kondisi ini. Data yang tersedia adalah laporan dari studi yang dilakukan oleh

Lelosutan SAR dkk di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo, Jakarta (FKUI / RSCM-Jakarta), yang menunjukkan bahwa dari 127

subjek penelitian yang menjalani endoskopi saluran cerna bagian atas, 22,8% (30 subjek

dari mereka) mengalami esophagitis. Studi lain yang dilakukan oleh Syam AF et al yang

juga dari RSCM / FKUI-Jakarta, menunjukkan bahwa dari 1.718 pasien yang menjalani

endoskopi gastrointestinal atas indikasi dispepsia selama 5 tahun (1997-2002), ada

peningkatan prevalensi esophagitis, dari 5,7% pada tahun 1997 menjadi 25,18% pada

tahun 2002 (nilai rata-rata 13,13% per tahun).(1)

Mekanisme normal antirefluks terdiri dari LES (lower esophageal spincter),

diafragma crural, dan lokasi anatomis dari gastroesophageal junction di bawah hiatus

diafragmatika. Reaksi hanya terjadi ketika gradien tekanan antara LES dan lambung

hilang. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan tekanan LES yang sementara atau

Page 140: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

126

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

berkelanjutan. Hipotensi berkelanjutan dari LES mungkin karena kelemahan otot yang

sering tanpa penyebab yang jelas. Penyebab sekunder inkompetensi LES berkelanjutan

termasuk penyakit skleroderma, miopati yang terkait dengan pseudo-obstruksi usus

kronik, kehamilan, merokok, obat antikolinergik, relaksan otot polos (agen adrenergik,

aminofilin, nitrat, calcium channel blocker, dan inhibitor phosphodiesterase) , kerusakan

akibat pembedahan pada LES, dan esophagitis.(3)

Rasa dada terbakar dan regurgitasi asam lambung ke dalam mulut adalah gejala

karakteristik GERD. Rasa dada terbakar diinduksi oleh kontak bahan yang direfleksikan

dengan mukosa esofagus yang mengalami sensitisasi atau ulserasi. Nyeri dada seperti

angina atau atipikal terjadi pada beberapa pasien. Disfagia persisten menunjukkan

perkembangan striktur peptikum. Sebagian besar pasien dengan striktur peptik memiliki

riwayat beberapa tahun mengalami disfagia pada rasa dada terbakar sebelumnya. Disfagia

yang cepat dan penurunan berat badan dapat mengindikasikan perkembangan

adenokarsinoma pada Barrett’s esophagus. Pendarahan terjadi karena erosi mukosa atau

ulkus Barrett. Banyak pasien dengan GERD tetap asimtomatik, sementara banyak pasien

bergejala mengobati diri mereka sendiri dan tidak mencari pertolongan medis sampai

gejala berat atau komplikasi terjadi. Manifestasi ekstraesofageal dari GERD terjadi karena

refluks isi lambung ke dalam faring, laring, trakeobronkial, hidung, dan mulut. Dapat

menyebabkan batuk kronis, laringitis, dan faringitis. Suara serak pagi hari mungkin

terjadi. Aspirasi paru berulang dapat menyebabkan atau memperburuk bronkitis kronis,

asma, fibrosis paru, penyakit paru obstruktif kronik, atau pneumonia. Sinusitis kronis dan

gigi berlubang juga dianggap dapat berasal dari GERD.(3)

Diagnosis GERD

Metode diagnostik saat ini telah dikembangkan yang dapat diklasifikasikan

menjadi: noninvasif (perhatian klinis, kuesioner, respon tes PPI) dan invasif (endoskopi,

barium esophagogram, studi pH 24 jam, studi impedansi intraluminal multichannel,

biopsi ketika dicurigai sebagai esofagitis eosinofilik atau Barrett esofagus). Beberapa

metode invasif dapat mahal dan seringkali tidak tersedia, dan tidak ada satupun yang

dianggap 'standard emas'.(4) Oleh karena itu dianjurkan penggunaan awal metode non-

invasif dalam perawatan primer, terutama aplikasi kuesioner yang sensitif sebagai alat

bantu diagnostik.(5)

Diagnosis dapat dilakukan dari anamnesis saja dalam banyak kasus. Uji coba

terapeutik dengan PPI seperti omeprazole, 40 mg dua kali sehari selama 1 minggu,

memberikan dukungan untuk diagnosis GERD. Studi diagnostik diindikasikan pada

pasien dengan gejala atau gejala persisten saat terapi, atau pada mereka dengan

komplikasi. Pendekatan diagnostik untuk GERD dapat dibagi menjadi tiga kategori: (1)

dokumentasi cedera mukosa, (2) dokumentasi dan kuantisasi refluks, dan (3) berdasarkan

patofisiologi.

Kerusakan mukosa didokumentasikan oleh penggunaan barium swallow,

esophagoscopy, dan biopsi mukosa. Pemeriksaan barium swallow biasanya normal tetapi

mungkin menunjukkan adanya ulkus atau striktur. Sebuah striktur peptikum esofagus

letak tinggi, ulkus yang dalam, atau adenokarsinoma menunjukkan Barrett’s esophagus.

Esofagoskopi dapat mengungkapkan adanya erosi, ulkus, striktur peptik, atau metaplasia

Barrett dengan atau tanpa ulkus, striktur peptik, atau adenokarsinoma. Berbagai teknik

pencitraan in vivo yang memfasilitasi identifikasi mukosa, displasia, atau karsinoma

Barrett selama endoskopi sedang dikembangkan.(3)

Esofagoskopi bukan diagnostik GERD; karena hasilnya normal pada NERD (non

erosif reflux disease), yang merupakan sepertiga hingga setengah dari semua kasus

Page 141: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

127

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

GERD. Biopsi mukosal dan tes Bernstein mungkin membantu dalam diagnosis NERD.

Biopsi mukosa mungkin menunjukkan perubahan awal esofagitis, termasuk pelebaran

ruang intraseluler. Biopsi mukosa harus dilakukan setidaknya 5 cm di atas LES, karena

perubahan mukosa esofagus pada esofagitis kronis cukup sering terjadi pada esophagus

paling distal pada individu normal.(3)

Tes Bernstein menggunakan infus larutan 0,1 N HCl atau saline normal ke dalam

esofagus. Pada pasien-pasien dengan gejala esophagitis, infus yang bersifat asam,

menyebabkan munculnya gejala rasa terbakar pada dada, sedangkan pada individu normal

biasanya tidak menghasilkan gejala.(3) Manifestasi supraesophageal didokumentasikan

dengan pemeriksaan otolaryngologic dan pemeriksaan paru - paru yang hati – hati.(3)

Dokumentasi dan kuantisasi refluks, bila perlu dapat dilakukan dengan perekaman

pH esofagus dalam jangka panjang (24-48 h). Pencatatan pH jangka panjang dapat

dilakukan dengan menggunakan kapsul pH-sensitif (BRAVO) yang diletakkan pada

mukosa esofagus melalui endoskopi, bukan probe pH tradisional yang ditempatkan di

hidung. Untuk evaluasi refluks faring, sistem perekaman secara simultan dari lokasi

faring dan esofagus dapat bermanfaat. Rekaman pH hanya membantu dalam evaluasi

refluks asam. Hasil endoskopi esofagitis tidak berkorelasi dengan refluks gastroesofageal.

Dokumentasi refluks diperlukan hanya ketika peranan kompleks gejala refluks tidak jelas,

terutama dalam evaluasi gejala supraesophageal, pada kasus dengan NERD, dan pada

kasus dengan nyeri dada noncardiac.(3)

Banyak metode untuk mendiagnosis GERD dan penggunaan kuesioner yang

bertujuan untuk mendeteksi pasien dengan gejala positif, terutama digunakan di pusat

perawatan primer dan sensitifitas sebagai instrumen tambahan telah dibuktikan. Saat ini

kuesioner Carlsson-Dent (CDQ) dan kuesioner GERD-Q (GQQ) paling banyak

digunakan dan telah divalidasi dan memiliki sebagian besar karakteristik yang

dibutuhkan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh R. Contreras-Omana dkk yang

membandingkan antara CDQ dan GQQ melaporkan bahwa GQQ lebih sensitif

dibandingkan CDQ pada pasien yang memiliki kelebihan berat badan / obesitas. GQQ

mendeteksi lebih banyak gejala GERD pada pasien dengan kelebihan berat badan,tetapi

CDQ dinilai lebih mudah untuk dipahami dan dijawab oleh pasien.(5)

GERD-Q

GERD-Q (Gastroesophageal reflux disease questionnaire) adalah alat yang

divalidasi yang dapat digunakan untuk manajemen GERD dalam praktek klinis. Dapat

digunakan untuk membuat diagnosis dan mengetahui dampak penyakit. The GERD-Q

diciptakan dari 3 kuesioner validasi berbeda yang dievaluasi dalam studi DIAMOND.

The GERD-Q adalah alat komunikasi sederhana yang dikembangkan untuk dokter untuk

mengidentifikasi dan mengelola pasien dengan GERD. Beberapa pusat menggunakan

GERD-Q untuk mempelajari prevalensi GERD dalam perawatan primer. GERD-Q dapat

digunakan untuk survei online. Beberapa penelitian menemukan bahwa lebih dari

setengah pencari informasi kesehatan online mencari gejala mereka di internet tanpa

konsultasi medis sebelumnya dengan dokter.(6)

GERD-Q telah divalidasi di Indonesia oleh Simadibrata et al. Pada penelitian

tersebut menunjukkan bahwa versi Bahasa Indonesia valid. Validasi ini konsisten dengan

penelitian lain yang menunjukkan bahwa semua pertanyaan GERD-Q yang aslinya ditulis

dalam bahasa Inggris valid ketika diterjemahkan ke dalam bahasa yang relevan dan dapat

digunakan di negara lain.(7)

Kuesioner GERD-Q adalah kuesioner yang sederhana, penilaian mandiri dan

berfokus pada pasien yang terdiri dari enam item. Kuesioner dikembangkan sebagai

Page 142: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

128

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

bagian eksplorasi dari penelitian Diamond dan enam item berasal dari tiga kuesioner

(Skala Gejala Gastrointestinal Rating (GSRS), Kuesioner Penyakit Reflux (RDQ) dan

Skala Dampak GERD (GIS).(8)

Tabel 1. Kuesioner GERD-Q dan sistem penilaian.(8)

No

Pertanyaan

Frekuensi skor untuk gejala (per 1

minggu)

0 hari 1 hari 2-3 hari 4-7 hari

1. Seberapa sering Anda mengalami perasaan dada

terbakar (heartburn)? 0 1 2 3

2. Seberapa sering Anda mengalami perasaan naiknya

isi lambung ke tenggorokan (regurgitasi)? 0 1 2 3

3. Seberapa sering Anda mengalami rasa nyeri ulu hati? 3 2 1 0

4. Seberapa sering Anda mengalami mual? 3 2 1 0

5.

Seberapa sering Anda mengalami kesulitan tidur

malam oleh karena rasa terbakar di dada dan/ atau

naiknya isi lambung ke tenggorokan?

0 1 2 3

6.

Seberapa sering Anda meminum obat tambahan

untuk rasa terbakar di dada dan/ atau naiknya isi

lambung ke tenggorokan, selain yang diberikan oleh

dokter Anda?

0 1 2 3

Kuesioner GERD-Q meminta pasien untuk menghitung jumlah hari dengan gejala dan penggunaan

obat selama 7 hari sebelumnya. Total skor skor GERD-Q 0 – 18. Bila hasil skor GERD-Q ≤ 7,

kemungkinan tidak menderita GERD. Bila hasil skor > 7, kemungkinan menderita GERD.

Suatu penelitian yang dilakukan oleh R Jones dkk, dalam pengembangan

kuisioner yang berfokus pada kemandirian pasien dalam melakukan penilaian dan

evaluasi secara mandiri, hasilnya menunjukkan bahwa kuesioner GerdQ memiliki tiga

kegunaan potensial dalam praktik klinis:(9)

1) GerdQ dapat digunakan untuk mendiagnosis GERD dengan akurasi yang serupa

dengan gastroenterolog.

2) GerdQ dapat digunakan untuk menilai dampak relatif penyakit terhadap kehidupan

pasien dan untuk membantu dalam memilih perawatan.

3) GerdQ dapat digunakan untuk mengukur respons terhadap pengobatan dari waktu ke

waktu.

GERD-Q dapat mewakili pendekatan non-invasif dan biaya efektif untuk

mencegah penyalahgunaan PPI dan untuk mengidentifikasi siapa pasien yang tepat untuk

uji coba PPI. Ada hubungan yang kuat antara skor GERD-Q dan respon terhadap terapi

PPI. Namun, diagnosis GERD oleh GERD-Q lebih rumit ketika gejala kurang jelas,

terutama ketika pasien mengeluh nyeri dada yang bukan seperti rasa dada terbakar yang

khas. (6)

Simpulan

GERD-Q merupakan pendekatan diagnostik GERD yang mudah dan non-invasif

serta efektif.

Referensi

Page 143: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

129

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

1. PGI. Revisi konsensus nasional penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofageal

(gastroesophageal reflux disease/GERD) di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi

Indonesia. 2013.

2. Kahrilas PJ, Shaheen NJ, Vaezi MF. American Gastroenterological Association Medical

Position Statement on the management of gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology.

2008;135(4):1383-91. e5.

3. Gojal RK. Disease of Esophagus. In: Fauci AS, Kasper DS, Longo DL, Braunwald E, Hauser

SL, Jameson JL, et al., editors. Harrison's Gastroenterology and Hepatology. New York:

McGraw Hill; 2010. p. 112 - 24.

4. Dent J, Vakil N, Jones R, Bytzer P, Schöning U, Halling K, et al. Accuracy of the diagnosis

of GORD by questionnaire, physicians and a trial of proton pump inhibitor treatment: the

Diamond Study. Gut. 2010;59(6):714-21.

5. Contreras-Omana R, Sanchez-Reyes O, Angeles-Granados E. Comparison of the Carlsson-

Dent and GERD-Q questionnaires for gastroesophageal reflux disease symptom detection in a

general population. Revista de Gastroenterología de México (English Edition).

2017;82(1):19-25.

6. Syam AF. Gastroesophageal Reflux Disease Questionnaire (GerdQ) is an Easy and Useful

Tool for Assessing GERD. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology, and

Digestive Endoscopy. 2015;16(3):141-2.

7. Simadibrata M, Rani A, Adi P, Djumhana A, Abdullah M. The gastro-esophageal reflux

disease questionnaire using Indonesian language: a language validation survey. Medical

Journal of Indonesia. 2011;20(2):125.

8. onasson C, Wernersson B, Hoff D, Hatlebakk J. Validation of the GerdQ questionnaire for the

diagnosis of gastro‐oesophageal reflux disease. Alimentary pharmacology & therapeutics.

2013;37(5):564-72.

9. Jones R, Junghard O, Dent J, Vakil N, Halling K, Wernersson B, et al. Development of the

GerdQ, a tool for the diagnosis and management of gastro‐oesophageal reflux disease in

primary care. Alimentary pharmacology & therapeutics. 2009;30(10):1030-8.

Page 144: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

130

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

COMPREHENSIVE TREATMENT OF GERD :

HEALING,RESOLVE AND PROTECT. Iswan A.Nusi.

SubDept. Division of Gastroentero-Hepatology

Dept.SMF of Internal Medicine, Faculty of Medicine Airlangga University-

Dr Soetomo General Teaching Hospital

SURABAYA.

Introduction

Definition of GERD : Montreal Consensus , “a condition which develops reflux of

stomach contents causes troublesome symptoms and/or complications” (Vakil N, et al.

Am J Gastroenterol 2006;101:1900). GERD (gastroesophageal reflux disease ) is a

common diagnosis for all age groups and both sexes, with estimated prevalence rates of

8% to 33% worldwide. The economic burden is $9 to $10 billion per year in direct costs

in the United States alone, mainly related to use of proton pump inhibitors (PPIs). PPIs

are prescribed empirically as a pragmatic initial diagnostic approach for patients with

typical symptoms of GERD, as well as atypical symptoms (noncardiac chest pain, chronic

cough, hoarseness, throat clearing, wheezing). Sometimes, patients are given double the

standard dose; overprescription and inappropriate us probleme of PPIs is a wide spread

problem.

Treatment of gastroesophageal reflux disease (GERD) involves a stepwise

approach. The goals are to control symptoms, to heal esophagitis, and to prevent recurrent

esophagitis or other complications. The treatment is based on (1) lifestyle modification

and (2) control of gastric acid secretion through medical therapy with antacids or PPIs or

surgical treatment with corrective antireflux surgery. Approximately 80% of patients

have a recurrent but nonprogressive form of GERD that is controlled with medications.

Identifying the 20% of patients who have a progressive form of the disease is important,

because they may develop severe complications, such as strictures or Barrett esophagus.

For patients who develop complications, surgical treatment should be considered at an

earlier stage to avoid the sequelae of the disease that can have serious consequences.

Use of a patient management tool such as the self-administered GERD

Questionnaire (GerdQ) to stratify patients may improve the management of GERD

patients in primary care settings.

Management

I. Lifestyle Modifications

Lifestyle modifications include the following:

Losing weight (if overweight)Avoiding alcohol, chocolate, citrus juice, and

tomato-based products (2005 guidelines from the American College of Gastroenterology

[ACG] also suggest avoiding peppermint, coffee, and possibly the onion family. The

association between weight gain and GERD symp- toms is well established in population

studies; weight gain has also been associated with increased risk of erosive esophagitis

and Barrett’s esophagus (BE).

Avoiding large mealsWaiting 3 hours after a meal before lying down Elevating

the head of the bed 8 inches .

According to the ACG 2005 guidelines, studies have shown decreased distal

esophageal acid exposure after these changes are made, but few data are available to

confirm these findings.

Page 145: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

131

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Lifestyle modifications are the first line of management in pregnant women with GERD.

Advise patients to elevate the head of the bed; avoid bending or stooping positions; eat

small, frequent meals; and refrain from ingesting food (except liquids) within 3 hours of

bedtime.

II. Pharmacologic Therapy.

Antacids

Antacids were the standard treatment in the 1970s and are still effective in controlling

mild symptoms of GERD. Antacids should be taken after each meal and at bedtime.

H2 receptor antagonists and H2 blocker therapy

H2 receptor antagonists are the first-line agents for patients with mild to moderate

symptoms and grades I-II esophagitis. Options include ranitidine (Zantac), cimetidine

(Tagamet), famotidine (Pepcid), and nizatidine (Axid).

H2 receptor antagonists are effective for healing only mild esophagitis in 70-80% of

patients with GERD and for providing maintenance therapy to prevent relapse.

Tachyphylaxis has been observed, suggesting that pharmacologic tolerance can reduce the

long-term efficacy of these drugs. Additional H2 blocker therapy has been reported to be

useful in patients with severe disease (particularly those with Barrett esophagus) who

have nocturnal acid breakthrough.

H2RAs block acid secretion by competing for histamine receptors in the gastric

parietal cell. H2RAs lead to healing in 41% of patients with esophagitis, compared with

18% to 20% on placebo; heartburn resolves in 48% to 56% of patients after 4 to 12 weeks

of H2RA treatment. There is a relationship between H2RA dose and degree of esophageal

healing; higher doses are more effective than lower doses. However, doses higher than

twice-daily H2RA do not provide better healing or symptom control. In general, H2RAs

are less effective than PPI therapy.

Reflux-Reducing Agents

Baclofen, a gamma-amino butyric acid B receptor agonist, reduces transient

lower esophageal sphincter (LES) relaxations (TLESRs), and reduces reflux events in

healthy volunteers as well as patients with GERD. However, baclofen is associated with

central side effects (somnolence, dizziness) that may limit its usefulness. Attempts to

develop analogues with fewer central side effects have been limited by lack of efficacy

and liver toxicity. Nevertheless, when tolerated, baclofen is an option for patients whose

symptoms persist despite PPI therapy.

Proton pump inhibitors

PPIs are the most powerful medications available for treating GERD. These

agents should be used only when this condition has been objectively documented. They

have few adverse effects and are well tolerated for long-term use. However, data have

shown that PPIs can interfere with calcium homeostasis and aggravate cardiac conduction

defects. These agents have also been responsible for hip fracture in postmenopausal

women.

Available PPIs include omeprazole (Prilosec), lansoprazole (Prevacid),

rabeprazole (Aciphex), and esomeprazole (Nexium). In November 2013, the FDA

approved the first generic versions of rabeprazole sodium delayed-release tablets for the

treatment of GERD in adults and adolescents ages 12 and up. In clinical trials, the most

commonly reported adverse reactions to a few of PPIs were sore throat, flatulence,

infection, and constipation in adults, and abdominal pain, diarrhea, and headache in

adolescents. For optimal efficacy, PPIs should be taken 30 to 45 minutes before meals. A

meta-analysis of studies evaluating various formulations of PPIs found negligible

Page 146: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

132

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

differences in efficacy between PPIs in healing erosive esophagitis or in symptom

relief.38 There is no clear benefit to escalating the dose beyond twice daily.

A research review by the Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ)

concluded, on the basis of grade A evidence, that PPIs were superior to H2 receptor

antagonists for the resolution of GERD symptoms at 4 weeks and healing of esophagitis

at 8 weeks. In addition, the AHRQ found no difference between individual PPIs

(omeprazole, lansoprazole, pantoprazole, and rabeprazole) for relief of symptoms at 8

weeks. For symptom relief at 4 weeks, esomeprazole 20 mg was equivalent, but

esomeprazole 40 mg superior, to omeprazole 20 mg.

Prokinetic medications and reflux inhibitors

Prokinetic agents are somewhat effective but only in patients with mild

symptoms; other patients usually require additional acid-suppressing medications, such as

PPIs. The usual regimen in adults is metoclopramide, 10 mg/day orally. Long-term use of

prokinetic agents may have serious, even potentially fatal, complications and should be

discouraged.

III. Surgical Treatment

Indications for Surgical Treatment

As in many other fields, surgical therapy for gastroesophageal reflux has evolved

a great deal. A few historical procedures of note include the Allison crural repair, the

Boerema anterior gastropexy, and the Angelchik prosthesis. Both the Allison and the

Boerema repairs have high failure rates and are rarely, if ever, used. The Angelchik

prosthesis is a silicone ring that is positioned at the gastroesophageal junction and

prevents reflux. The Angelchik prosthesis was rarely used in children and has been

largely abandoned because of a high rate of complications.

Today, both transthoracic and transabdominal fundoplications are performed,

including partial (anterior or posterior) and circumferential wraps. The most commonly

performed operation today in both children and adults is the Nissen fundoplication, which

is a 360° transabdominal fundoplication (see the image below).First reported in 1991,

laparoscopic fundoplication is well studied in adult populations. Laparoscopic

fundoplication has also quickly gained acceptance for use in children.

Several randomized clinical trials have challenged the benefits of surgery in

controlling GERD. Lundell followed up his cohort of patients for 5 years and did not find

surgery to be superior to PPI therapy. Spechler found that, at 10 years after surgery, 62%

of patients were back on antireflux medications. A very rigorous, randomized study by

Anvari et al reestablished surgery as the criterion standard in treating GERD. The

investigators showed that, at 1 year, the outcome and the symptom control in the surgical

group was better than that in the medical group.

References

1. El-Serag HB, Sweet S, Winchester CC, et al. Update on the epidemiology of gastro

oesophageal reflux disease: a systematic review. Gut 2014;63:871–880.

2. Shaheen NJ, Hansen RA, Morgan DR, et al. The burden of gastrointestinal and liver

diseases, 2006. Am J Gastroenterol 2006;101:2128–2138.

3. Fass R, Ofman JJ, Sampliner RE, et al. The omeprazole test is as sensitive as 24-h

oesophageal pH monitoring in diagnosing gastro-oesophageal reflux disease in symp-

tomatic patients with erosive oesophagitis. Aliment Pharmacol Ther 2000;14:389–

396.

Page 147: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

133

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

4. Katz PO, Gerson LB, Vela MF. Guidelines for the diagnosis and management of

gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol 2013;108:308–328; quiz 329.

5. Giannini EG, Zentilin P, Dulbecco P, Vigneri S, Scarlata P, Savarino V. Management

strategy for patients with gastroesophageal reflux disease: a comparison between

empirical treatment with esomeprazole and endoscopy-oriented treatment. Am J

Gastroenterol. Feb 2008;103(2):267-75. [Medline].

6. Katz PO. Medical therapy for gastroesophageal reflux disease in 2007. Rev

Gastroenterol Disord. Fall 2007;7(4):193-203. [Medline].

7. Marco G Patti, MD. Gastroesophageal Reflux Disease Treatment & Management.

Chief Editor: Julian Katz, MD. Updated: Apr 16, 2014.

8. Prakash Gyawali , ,C, Fass , R. Management of Gastroesophageal Reflux Diseas .

Gastroenterology 2018;154:302–318

9. Fass R, Sifrim D. Management of heartburn not responding to proton pump inhibitors.

Gut. Feb 2009;58(2):295-309. [Medline].

Page 148: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

134

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

IS PPI RECOMMENDED FOR GASTROESOPHAGEAL REFLUX

DISEASE(GERD) PATIENT?

Marcellus Simadibrata Kolopaking

Division Gastroenterology Department Internal Medicine Faculty of Medicine Universitas Indonesia

Abstract

The drug of choice of GERD is Proton Pump inhibitor(PPI). The recent problems in the

treatment of GERD are refractory, complications, PPI not effective etc. GERD is defined as a

disorder in which the stomach contents refluxing into the esophagus, which causes the occurrence

of symptoms and / or complications. Refractory GERD is defined if the patient do not respond to

treatment with proton pump inhibitors (PPI) twice daily for 4-8 weeks. The principal therapy of

GERD are cure the esophageal lesion, stop the symptoms, avoid recurrences/relaps, improve the

quality of lifeand prevent complications. PPI include omeprazole, pantoprazole, lansoprazole,

esomeprazole, rabeprazole. The refractory GERD is caused due to nocturnal acid breakthrough,

acid overexposure, genetic polymorphism, non acid reflux, gases reflux, stress etc . These PPIs

are still effective and safe and still recommended although, some reported side effects in long

term therapy and complications. Different studies reported the efficacy of different PPI in

controling the gastricf acid on PH > 4.

Keywords: Proton pump Inhibitor, GERD, Acid.

Page 149: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

135

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

PERAN PROBIOTIC PADA PENGOBATAN SINDROMA KOLON IRITATIF

(IBS)

Chudahman Manan

Pendahuluan.

Sindroma kolon iritatif (IBS) adalah gangguan fungsional yang sering ditemukan.

Prevalensi di negara industri pada populasi dewasa didapatkan 11-20% , sedangkan di

Indonesia dari data Rumah Sakit berkisar 12 % sampai dengan 50%. Pada wanita

didapatkan 1,5-2 kali dibandingkan laki-laki.. Berdasarkan kriteria Roma III (2006)

gejala klinik IBS adalah nyeri perut dan gangguan pola defekasi, tanpa kelainan struktural

atau biokimia. Beberapa hipotesis tentang patofisiologi IBS, etiologi masih belum

diketahui secara jelas, disebabkan bersifat multifaktorial. Abnormalitas pada mikroflora

pada traktus gastro intestinal seperti pertumbuhan bakteri usus halus yang berlebihan

(SIBO), dengan penurunan yang signifikan dalam jumlah Bifidobacteria intraluminal atau

Lactobacilli, dengan akibat gangguan produksi gas dalam kolon, dan gangguan motilitas

atau sensitivitas. pada saluran cerna.

Etiologi.

Penyebab IBS tidak diketahui dengan jelas dan bersifat multifaktorial. Faktor-

faktor yang berperan seperti: Kontraksi otot usus, dinding usus terdiridari lapisan otot

yang berkontraksi dalam mendorong makanan dari proksimal ke distal. Kontraksi yang

lebih kuat dan berlangsung lebih lama dari biasanya dapat menyebabkan kembung dan

diare. Kontraksi usus yang lemah dapat memperlambat jalan makanan dan menyebabkan

obstipasi. Kelainan pada saraf sistem pencernaan menyebabkan rasa tidak nyaman.

Sinyal yang kurang terkoordinasi antara otak dan usus dapat menyebabkan reaksi

berlebihan terhadap perubahan yang terjadi dalam proses cerna, seperti rasa nyeri , diare

atau obstipasi. Peradangan di saluran cerna akan berakibat peningkatan jumlah sel sistem

imun, dan berhubungan dengan rasa sakit dan diare.

Pasca Infeksi berat. IBS dapat terjadi yang disebabkan oleh bakteri atau virus. IBS

mungkin juga terkait dengan surplus bakteri di usus (pertumbuhan berlebih bakteri).

Perubahan bakteri di usus (mikroflora) adalah bakteri "baik" yang berada di usus dan

memainkan peran kunci dalam kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa mikroflora

pada IBS mungkin berbeda dari mikroflora pada orang sehat.

Penelitian terbaru membuktikan bahwa gangguan mikrobiota usus terjadi pada

pasien dengan IBS, dan kelainan ini dapat berkontribusi terhadap gejala IBS. Studi di

negara-negara Skandinavia dalam sepuluh tahun terakhir menekankan peran probiotik

dalam modulasi mikrobiota usus, dan sebagai konsekuensi dalam pengaturan motilitas

dan hipersensitivitas saluran cerna.

Gejala klinik.

Gejala klinik IBS ditandai dengan sakit perut atau ketidaknyamanan, yang hilang

setelah buang air besar atau flatus, dan terjadi perubahan frekuensi defekasi dan / atau

konsistensi. Kadang-kadang ada sensasi defekasi yang tidak lengkap, rasa sakit terbakar

saat buang air besar, urgensi untuk buang air besar, tenesmus rekti dan mukorea.

Menurut kriteria Roma III ada beberapa jenis IBS: a) IBS diare-dominan; b) IBS

konstipasi-dominan; c) intermiten IBS (kadang-kadang diare, kadang-kadang sembelit);

dan d) IBS yang tidak spesifik.

Page 150: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

136

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Tabel 1. Multifactorial and different according to subtype of IBS:

– Post-infectious IBS (20-30% of cases)

– Inflammatory IBS (15-20% of cases)

– Intestinal bacterial overgrowth (less than 10% of cases)

– Alteration of serotonin (5HT) regulation produced in ECL cells

– Primary dysfunction of the CNS

– Primary psychosomatic, psychosocial or psychiatric disorder

– Genetic factors

Patofisiologi IBS.

Patofisiologi IBS terdiri dari beberapa hal, yang dapat diklasifikasikan dalam beberapa

sub grup.

Tabel 2. Klasifikasi etiologi IBS.

– Motor dysfunction?

– Visceral hypersensitivity?

– Excess production of intestinal gas or intolerance, when production is normal?

– Alteration of intestinal microbiota?

• Qualitative: imbalance of the intestinal microbiota (lack of Lactobacilli and Bifidobacteria;

increase of Clostridia and Enterobacteriaceae)

– Altered production and/or release of intestinal serotonin or other neurotransmitters?

• Some IBS patients diarrhea predominant or constipation-predominant IBS

– Alterations in the management of information received by the CNS?

Konsep probiotik telah ada sejak 100 tahun yang lalu, sejak Elie Metchnikoff

tahun 1907. Pada tahun 1998 F Guarner mendefinisikan probiotik sebagai

mikroorganisme hidup yang memiliki manfaat untuk saluran cerna dan fungsi kekebalan

tubuh. Pada tahun 2003 konsep "immunobiotic" diperkenalkan, termasuk yang

memodulasi respon imun di seluruh sistem MALT. Gagasan ini menyatakan bahwa

mukosa usus dan mikroflora usus merupakan unit anatomis fungsional yang mengatur

baik respon imun yang berasal dari sel dan humoral dan produksi lokal sitokin.

Mikroflora usus adalah kompleks ekosistim yang berfungsi fisiologis. Distribusi

bakteri di saluran cerna berbeda, jumlah terbesar berada di rongga bukal dan usus besar.

Gaster mengandung kurang dari 103 mikroorganisme per ml, sementara duodenum dan

jejunum mengandung sekitar 105 / ml, dengan golongan bakteri yang utama adalah

Clostridium perfringens dan Bacteroides fragilis; faktor mendasar yang mengontrol

mikroflora usus adalah aktifitas peristaltik.

Mikroflora intralumial, bekerja sebagai prebiotik seperti serat makanan yang tidak

tercerna, mukoprotein yang terkandung dalam sekresi usus, sel dari mukosa kolon, dan

bakteri atau ragi yang terdegradasi, menghasilkan asam lemak rantai pendek; senyawa

seperti hidrogen peroksida, asam laktat, asam amino, vitamin (grup B, asam folat dan K),

antioksidan, dan faktor pertumbuhan. Studi in vitro dan in vivo pada hewan laboratorium

menunjukkan bahwa terdapat potensi terapeutik: a) Mengatur proliferasi, diferensiasi,

ekspresi gen, dan fungsi kekebalan pada mukosa kolon; b) Membantu peyembuhan lesi

kolon superfisial. c) Dapat mengurangi risiko kanker usus besar, karena menurunkan

produksi dan meningkatkan degradasi zat prokarsinogenik atau mutagenik.

Page 151: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

137

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Fermentasi probiotik menghasilkan gas intraluminal (H2, CO2 dan CH4). Jika itu

berlebihan akan berakibat nyeri perut atau ketidaknyamanan, perut kembung. Sejumlah

bakteri komensal memiliki sifat metanogenik: Veillonella spp. (terutama V alcalescens)

dan Clostridia spp.

Table 3. Primary functions of intestinal microflora

1. Planktonic microflora → metabolic:

a. To ferment indigestible substrates (fiber, extruded cells and endogenous mucus)

b. To favor the growth of beneficial intestinal microflora:

i. Improves lactose digestion

ii. Modulates intestinal gas production

iii. Increases genesis of short-chain fatty acids→ intraluminal acidification→ increases

intestinal transit

iv. Increases the absorption of Ca, Fe and Mg

v. Synthesizes vitamins: K, folic acid, biotin, B12

2. Mucosa-associated microbiota (MAM):

a. Protective:

i. Barrier effect + bacteriocin synthesis→ prevention of invasion by exogenous pathogens

ii. Maintenance of intestinal permeability→ prevents bacterial translocation and systemic

infection

b. Trophic:

i. Controls epithelial cell proliferation and differentiation of the intestinal mucosa

ii. Maintains new cell growth in intestinal epithelial crypts

iii. Of the intestinal immune system: cells and serum (immunoglobulins)

Table 4. Problems caused by imbalance in the intestinal microflora

1. The following factors alter the balance of normal intestinal microflora:

a. Change of diet → causes more intestinal fermentation

b. Reduction in prebiotic substrates → reduction in the number of Bifidobacteria

c. Administration of antibiotics → alteration of the intestinal ecosystem

d. Infection by pathogenic Cl. difficile or E. coli → alteration of the natural population of

i. Lactobacilli and bifidobacteria

e. Ageing → decrease in the population of anaerobic bacteria, especially Bifidobacteria;

increase

in Enterobacteriaceae and Clostridia

2. Related functional problems:

a. Change in bowel habit (constipation or diarrhoea)

b. Exaggerated flatulence/meteorism

c. Abdominal bloating and distension

d. Abdominal pain/discomfort

e. Lactose intolerance

f. Development of IBS (at least in cases following bacterial gastroenteritis )

Page 152: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

138

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Table 5. Various action of probiotics.

a. Physical barrier effect;

b. Competition for nutrients;

c. Metabolic interactions;Bacteriocin production;

d. Reinforcement of the intestinal mucosal barrier;

e. Reduction of intestinal permeability and bacterial translocation; and particularly,

f. Regulation of the intestinal inflammatory response by modulating the secretion (local and

systemic) of cytokines and the immune response (local and general).

Probiotic yang efektif harus mempunyai 5 kondisi diatas.

Probiotik yang paling dikenal dan paling banyak digunakan adalah Lactobacillus

plantarum, Lactobacillus rhamnosus LGG, Lactobacillus reuteri, Lactobacillus

acidophilus, Lactobacillus casei dan Bifidobacterium infantis, lactis atau brevis.

Table 6. Effect of probiotic

1. It must have a proven beneficial effect on the host;

2. It must not be toxic or pathogenic

3. It must contain a sufficiently large number of viable microorganisms per unit;

4. It must be capable of surviving in the intestine, reproducing, maintaining itself, and having

intraluminal metabolic activity

5. It must remain viable during storage and use

Table 7. General benefits of using probiotics

1. Regulation of the intraluminal environment:

a. Fermentation of non-degradable dietary fiber and intraluminal mucoproteins

b. Regulation of the planktonic intestinal microflora, anti-pathogen barrier (Listeria,

Salmonella,

c. coli, Campylobacter)

d. Favors lactose digestion

e. Modulation of intraluminal gas production, reducing the bacteria that produce it (E. coli,

Veillonella) and increasing the bacteria that do not (Lactobacilli, Bifidobacteria)

2. Adjustment of the immune and inflammatory response:

a. Cellular: B and T lymphocytes

b. Humoral: secretion of immunoglobulins A and G

3. Increase in trophic responses:

a. Control of epithelial cell proliferation and differentiation

b. Maintenance of the normal growth of new cells in intestinal mucosa crypts → prevents

atrophy of villi

4. Regulation of intestinal motility (fasting and postprandial):

a. Improvement of colonic transit through the production of short-chain fatty acids (acetic,

propionic, butyric) → intraluminal acidification

b. Modulation of the motor response to intraluminal distension

Pengobatan IBS dengan probiotik

Probiotik memperkuat factor defensi mukosa usus, menghambat adhesi bakteri

patogen dan mengubah respon inflamasi usus, menormalkan motilitas saluran pencernaan

Page 153: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

139

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

dan kepekaan visceral. Ekek lain adalah dapat mengatur fermentasi intraluminal dan

menstabilkan mikroflora usus.

“Sebelum tahun 2008 dapat disimpulkan bahwa probiotik sangat aman tetapi tidak efektif

dalam pengobatan IBS. Setelah tahun 2008, dibuktikan tentang manfaat simptomatik

untuk nyeri, kebiasaan buang air besar, dan rasa kembung kembung dan distensi pada

pasien IBS. Meskipun demikian peranan pasien IBS yang heterogen dan keunikan yang

dimiliki oleh setiap probiotik.

Penutup.

Pemakaian probiotik sebagai komponen terapi IBS adalah untuk menjaga kondisi

keseimbangan pada sel2 mukosa saluran cerna.

Daftar Pustaka

1. Jimenez MB. Treatment of irritable bowel syndrome with probiotics. An etiopathogenic

approach at last? Rev Esp Enferm Dig 2009; Vol. 101.: 553-564, 2009

2. Vahedi1 RHA, Mir-Nasseri

3. MM, Jafari1 E. Irritable Bowel Syndrome: A Review Article. Middle East Journal of

Digestive Diseases 2010; Vol.2 /2: 925-931

4. Niva E, Naftalib T, Hallaka R, Vaismanc N. The efficacy of Lactobacillus reuteri ATCC

55730 in the treatment of patients with irritable bowel syndrome—a double blind,

placebo-controlled, randomized study. Clin. Nutr. 2005, 24: 925–931

5. Ojetti V, Petruzziello C, Migneco A etal. Effect of Lactobacillus reuteri (DSM 17938) on

methane production in patients affected by functional constipation: a retrospective study.

Eur Rev Med Pharmacol Sci 2017; 21: 1702-1708

6. Ojetti V, Ianiro G, Tortora A etal. A. The effect of Lactobacillus reuteri supplementation

in adults with chronic functional constipation: a randomized, double-blind, placebo-

controlled trial. J Gastrointest Liver Dis 2014; 23: 387-391.

Page 154: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

140

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

TATALAKSANA INFEKSI H PYLORI DAN PERAN PROBIOTIK. Ari Fahrial Syam

Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI RSCM

Email [email protected] Twitter/Instagram @dokterari

Infeksi Helicobacter pylori (H pylori) merupakan infeksi oleh kuman yang

menyebabkan permasalahan pada saluran cerna atas khususnya lambung dan

duodenum.1 Sampai sejauh ini penyakit ini masih mengenai hampir setengah penduduk

dunia. Walaupun beberapa laporan dari berbagai pusat penelitian termasuk juga dari

senter-senter pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa insidens infeksi H pylori ini

sudah menurun. Tetapi kita tetap harus waspada bahwa infeksi ini sebenarnya masih ada

di tengah-tengah kita. Mengingat dampak klinis yang terjadi akibat infeksi ini begitu luas

dari hanya dispepsia fungsional, gastritis kronis, ulkus peptikum sampai terjadinya kanker

lambung. Penelitian yang dilakukan oleh Saragih et al.2 yang melakukan evaluasi

terhadap hasil pemeriksaan endoskopi dan hasil pemeriksaan histopatologi selama 8

tahun menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah pasien dengan dengan infeksi H.

pylori walau ternyata insidens penurunan H. pylori ini tidak diikuti dengan

penurunan metaplasia dan kejadian kanker lambung.

Di tingkat organisasi profesi saat inipun kita sudah mempunyai Konsensus

Nasional mengenai Penatalaksanaan Infeksi Helicobacter pylori yang telah

mengalami revisi dan revisi terakhir pada tahun 2014 ini mejadi Konsensus Nasional

Penatalaksanaan Dispesia dan Infeksi Helicobcater pylori.3

Sebagaimana kita ketahui bahwa Penyakit infeksi H pylori telah mengantarkan

penemunya Prof Barry Marshall dan Dr. Robin Warren mendapat hadiah Nobel Kedokteran

pada tahun 2005. Penemuan kuman ini telah mengubah cara tatalaksana pasien dengan

gastritis atau ulkus peptikum yang sebelumnya hanya memberikan anti asam tetapi saat

ini juga harus dengan antibiotik jika ditemukan pula kuman sebagai penyebab

terjadinya ulkus peptikum. Jadi, jika ditemukan lesi di gastroduodenum kemudian

ditemukan pula kuman H. pylori maka harus dilakukan eradikasi yaitu dengan

memberikan kombinasi 2 buah antibiotik dikombinasi dengan pemberian penghambat

pompa proton dosis ganda. Dengan melakukan eradikasi kuman tersebut kita telah

memutus kelanjutan perjalanan infeksi ini sebagai penyebab terjadinya kanker lambung di

masa datang. Sampai sejauh ini sebagai terapi lini pertama dapat digunakan 2 antibiotika

yaitu Amoksisilin 2x1 gram, Klaritromisin 2x500 mg dan penghambat pompa proton 2x1

tablet/capsul (double dose) dan diberikan selama 10-14 hari

Indonesia wide study of Helicobacter pylori

Sampai sejauh ini kami telah melakukan berbagai penelitian infeksi H. pylori

baik dalam hal diagnosis maupun tatalaksana. Deteksi kuman H. pylori tentu

disesuaikan dengan kondisi sarana dan prasarana yang ada di lapangan. Saat ini

pemeriksaan non invasif untuk mendeteksi adanya kuman H. pylori yang tersedia di

pasaran kita di Indonesia adalah pemeriksaan Urea Breath Test (UBT) dan test serologi

H. pylori. Pemeriksaan UBT sendiri sudah merupakan gold standard dan juga bisa

digunakan untuk evaluasi paska eradikasi.

Penelitian kami beberapa tahun lalu dengan HpSA mendapatkan angka sensitivitas

66,7% dan spesifisitas 78,9%.4

Pemeriksaan HpSA bukan saja untuk diagnosis tapi

juga digunakan sebagai follow up paska eradikasi.

Page 155: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

141

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Penelitian seputar H pylori di Indonesia yang dilakukan secara multicentre sudah

dipublikasi pada salah satu jurnal ternama kedokteran Plos One pada edisi 23

November 2015. Penelitian tentang infeksi Helicobacter pylori ini merupakan update

terbaru mengenai angka kejadian infeksi Helicobacter di Indonesia yang meliputi 5

pulau besar di Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada 267 pasien dengan sakit maag

atau dispepsia. Penilitian berlangsung selama 1 tahun sejak Januari 2014 sampai dengan

Februari 2015. Pasien terdiri dari 143 wanita dan 124 laki-laki, umur rata-rata pasien

47,5 +/- 14,6 tahun dengan pasien termuda 17 tahun dan paling tua 80 tahun. Penelitian

ini dilakukan di Medan, Jakarta, Surabaya, Makasar, Pontianak dan Papua. Semua

pasien dilakukan endoskopi dan dilakukan biopsi untuk diperiksa adanya kuman pada

pasien tersebut. Pemeriksaan biopsi meliputi pemeriksaan langsung adanya kuman

dengan rapid urease test (CLO test), pemeriksaan histopatologi untuk melihat secara

langsung adanya kuman serta pemeriksaan kultur kuman. Dari 267 pasien tersebut 70

bersuku Batak, 54 etnik Tionghoa, 42 suku Jawa, 30 suku Bugis, 40 suku Dayak, 21

suku Papua, 3 Madura, 2 Aceh, 2 sunda, 1 suku Banjar, 1 Bali dan 1 Ambon.

Hasil pemeriksaan kuman pada pasien-pasien ini mendapatkan pada bahwa 59

dari 267 (22,1 %)pasien tersebut positif kuman H pylori didalam lambung artinya lebih

kurang 1 dari 5 pasien yang diperiksa mengandung kuman H pylori di dalam

lambungnya. Ini tetap harus menjadi perhatian untuk para klinisi yang bekerja di

Indonesia. 5

Sampai sejauh ini pemeriksaan invasif untuk mendeteksi H. pylori masih menjadi

pilihan terutama pada kasus dispepsia dengan adanya tanda alarm seperti riwayat

hematemeses melena, berat badan turun, adanya anemia yang tidak diketahui sebabnya dan

pasien dengan dispepsia pada umur >45 tahun. Pemeriksaan endoskopi tentu untuk

mengevaluasi penyebab dari dispepsia dengan tanda alarm dan dilanjutkan dengan

biopsi untuk mendeteksi adanya kuman H. pylori baik secara histopatologi maupun

dengan cara pemeriksaan rapid urease test dari jaringan biopsi tersebut. Selain itu

jaringan biopsi juga digunakan untuk mendeteksi adanya kuman H. pylori secara kultur.

Evaluasi kami dari beberapa senter di Indonesia mendapatkan bahwa pemeriksaan

rapid urease test dengan pronto dry menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas

masing 69,7% dan 95,7% dengan accurate rate mencapai 92,7%. Yang menarik dari

penelitian yang kami lakukan bahwa kami mendapatkan sekitar 10% dengan ulkus

peptikum, 15,5% dengan esofagitis dan 1 kasus dengan kanker lambung pada pasien

yang mengeluh dispepsia.6 Oleh karena itu tetap bahwa endoskopi menjadi pilihan

pertama pada kasus-kasus dispepsia dengan adanya tanda alarm untuk mengevaluasi

adanya kelainan organik sebagai penyebab dari sindrom dispepsia tersebut.7,8

Test and Treat untuk pasien Dispepsia

Saat ini salah satu strategi dalam menatalaksana infeksi H pylori dengan

menggunakan metode “ Test and Treat”. Pasien dengan keluhan dispepsia setelah

terapi empirik selama 2-4 minggu dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi adanya

kuman H pylori.

Melalui metode dari hasil pemeriksaan dalam hal ini dengan menggunakan UBT, jika

ternyata hasil pemeriksaan UBT positif pada pasien tersebut maka dilakukan eradikasi

untuk kuman H pylori tersebut.3 (lihat gambar 1) Dalam mentatalaksana infeksi H

pylori dibutuhkan minimal 2 jenis antibiotik dan satu jenis penghambat pompa proton.

Hal tersebut didasarkan pada bukti klinis bahwa eradikasi dari kuman tercapai jika

diberikan 2 macam antibiotik sekaligus. (lihat tabel 1) Beberapa hal yang harus

Page 156: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

142

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Gambar 1. Alur Diagnosis Dispepsia sebelum diinvestigasi 3

diperhatikan dalam memberikan eradikasi ini yaitu eradikasi ini sangat dianjurkan jika

pada pasien dengan H. pylori tersebut ditemukan adanya ulkus duodenum, ulkus

gaster, MALT lymphoma gaster derajat keganasan rendah, riwayat kanker, gastritis

kronik aktif (sesuai gambaran pemeriksaan histopatologi), pasca reseksi kanker lambung

dini dan gastritis atrofik. Dalam tata laksana ini dikenal 3 macam rejimen terapi yaitu

terapi lini pertama atau disebut terapi tripel dengan menggunakan 2 macam antibotik,

terapi lini kedua atau terapi kuadripel dengan menggunakan 3 macam antibiotik serta

lini ketiga dimana terapi diusahakan dengan menggunakan hasil kultur MO Resistensi.

(lihat tabel 1).3 Penelitian di Jepang dengan menggunakan 2 macam antibiotik yaitu

Amoksilin 750 mg/Klaritromisin 400mg/ Lansoprazole 30 mg 2 kali/hari selama 1 minggu

mencapai angka eradikasi 85,8%.9 Penelitian kami mengenai eradikasi H. pylori yang

telah dipublikasi di Medical Journal Indonesia bahwa eradikasi dengan

menggunakan antribiotik Amoksilin 1000 g/Klaritromisin 500 mg/Rabeprazole 20 mg 2 kali

/hari selama 2 minggu masih mencapai angka eradikasi di atas 90%.10 Sesuai anjuran pakar

eradikasi dunia Prof. Graham yang dipublikasi pada Gut (2010) menyampaikan bahwa

eradikasi kuman H. pylori harus mencapai >90-95% dan mengenai jenis rejimen yang

digunakan tentu disesuaikan dengan bukti klinis yang ada di pusat penelitian yang ada di

tingkat lokal. 11

Sejak beberapa waktu lalu probiotik juga sudah digunakan sebagai terapi tambahan

untuk terapi eradikasi infeksi H pylori. Pada konsensus Maastricht IV tentang

tatalaksana infeksi H pylori, peran probiotik sudah disebut. Pada probiotik dan

prebiotik tertentu terdapat hasil yang cukup menjanjikan untuk mengurangi efek

samping yang terjadi pada pemberian secara ajuvan terapi. Pada Maastrciht V,

pernyataan ini lebih tegas lagi, bahwa pemberian eradikasi dengan beberapa antibiotika

sekaligus dapat mengganggu mikrobiota sehat usus dan ini juga akan berdampak buat

kesehatan. 12 Pemberian probiotik dapat mengurangi efek samping yang terjadi. Diare

yang berhubungan dengan antibiotika dalam masa pemberian eradikasi dapat

menyebabkan terputusnya terapi dan hal ini akan berdampak pada kegagalam terapi

infeksi H pylori tersebut. Selain untuk mengurangi efek samping probiotik tertentu

juga dapat memperbaiki eradikasi. Fokus penelitian untuk kedua hal ini terutama pada

kelompok strain lactobacillus.

Tabel 1 Regimen terapi kuman Helicobacter pylori3

Page 157: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

143

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Tabel 1 Regimen terapi kuman Helicobacter pylori3

Daftar Pustaka

1. Syam AF, Simadibrata M, Rani AA. Helicobcater pylori: diagnosis and treatment. Med

Progress. 2001;16-8.

2. Saragih JB, Akbar N, Syam AF, Sirait S, Himawan S, Soetjahyo.

3. E.Incidence of helicobacter pylori infection and gastric cancer: an 8-year hospital based

study. Acta Med Indones. 2007;39(2):79- 81.

4. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan

Dispesia dan infeksi Helicobacter pylory. Simadibrata M. Makmun D, Abdullah M,

Syam AF, Fauzi A, Renaldi K, Mauleha H, Utara AP. Editors. PGI 2014

5. Syam AF, Rani AA, Abdullah M, Manan C, Makmun D, Simadibrata M, Djojoningrat D,

Sato T. Accuracy of Helicobacter pylori stool antigen for the detection of Helicobacter

pylori infection in dyspeptic patients. World J Gastroenterol. 2009;11(3):386-8.

6. Syam AF, Miftahussurur M, Makmun D, Nusi IS, Zain LH, Zulkhairi et al. Risk factors and

prevalence of Helicobcater pylori in five largest islands of Indonesia: a preliminary study.

PLoS ONE;10(11):e0140186.

7. Syam AF, Abdullah M, Rani AA, Nurdjanah S, Adi P, Djumhana A, Tarigan P, Wibawa ID.

Evaluation of the use of rapid urease test: Pronto Dry to detect H pylori in patients

Page 158: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

144

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

with dyspepsia in several cities in Indonesia. World J Gastroenterol. 2006;

12(38):6216-8.

8. Syam AF, Abdullah M, Makmun D, et al. Kelainan saluran cerna bagian atas per

endoskopi di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Kumpulan abstrak KONAS PGI-PEGI X.

Medan; 2001.

9. Syam AF. Uninvestigated dyspepsia versus investigated dyspepsia. Acta Med Indones.

2005;37(2):113-5.

10. Mamori S, Higashida A, Kawara F, Ohnishi K, Takeda A, Senda E et al. Age-dependent

eradication of Helicobacter pylori in Japa- nese patients. World J Gastroenterol

2010;16(33):4176-9.

11. Syam AF., Abdullah M., Rani AA., Nurdjannah S., Adi P., Djumhana A., P. Tarigan P.,

Wibawa I. A Comparison of 5 or 7 days of rabeprazole triple therapy for eradication of

Helicobacter pylori. Med J Indon. 2010;19(2):113-7.

12. Graham DY, Fischbach L. Helicobacter pylori treatment in the era of increasing

antibiotic resistance. Gut. 2010;59(8):1143- 53.

13. Mafertheiner O., Megraud F., O’Morain CA, et al. Management of Helicobacter pylori

infection-Maastricht V/Florence Consensus Report. Gut 2017;66: 6-30.

14. Zheng X, Lyu L, Mei Z. Lactobacillus-containing probiotic supplementation increases

Helicobacter pylori eradication rate: evidence from a meta-analysis. Rev Esp Enferm Dig

2013;105:445-53.

Page 159: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

145

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

OVERVIEW OF MOLECULAR BIOLOGY OF HEPATITIS B AND C: WHAT IS

THE DIFFERENT?

Rino Alvani Gani

Hepatobiliary Division, Department of Internal Medicine

Faculty of Medicine Universitas Indonesia / Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital

Biologi Molekuler Virus Hepatitis B

Pada tahun 1940an, MacCallum menjabarkan kemungkinan kontaminasi virus pada

produk darah dan plasma yang menyebabkan hepatitis kronik dan disebut dengan

hepatitis post-transfusion. Pada tahun 1950, hubungan antara virus ini dengan kanker hati

mulai ditemukan dan pada tahun 1968, HBsAg pertama kali ditemukan.1

Virus hepatitis B (VHB) mengandung genom double-straded DNA dengan Panjang

sekitar 3 kbp yang termasuk kedalam family dari Hepadnaviridae. Hepadnaviridae

merupakan kelompok kecil dari virus DNA hepatotropic yang kemudian terbagi kembali

menjadi 2 genera yang berbeda: Avihepadnaviruses seperti duck HBV (DHBV) maupun

heron HBV, keduanya menginfeksi burung, sedangkan orthohepadnaviruses menginfeksi

mamalia terutama VHB pada manusia maupun woodchuck. 2Masing-masing dari anggota

keluarga Hepadnaviridae menginfeksi spesies yang spesifik. Hanya chimpanzee dan

treeshrew yang dapat ditularkan VHB melalui uji coba laboratorium.

Keluarga hepadnaviridae memiliki genom DNA yang kecil (3.0-3.3 kb) dan

kompak. Kelompok ini membiliki genom DNA yang melakukan encode secara

overlapping padaopen reading frames atau ORF. Kelompok ini bereplikasi melalui proses

reverse transcription pada RNA intermediate oleh enzyme polymerase virus. Diantara

semua kelompok virus yang menggunakan Teknik reverse transcription, hepadnaviruses

memiliki ciri khas tersendiri yaitu envelopment dari genom DNA dan bukan dari RNA

serta integrasi dari genom DNA hepadnaviruses terhadap genom sel penjamu tidak

dibutuhkan untuk dapat melakukan replikasi.2

Penelitian telah menunjukkan terdapat minimal 8 genotipe VHB (A hingga H).

Terdapat kemungkinan 2 genotipe baru yaiu genotype I dan genotype J. terdapat

perbedaan persebaran genotype sesuai dengan faktor populasi serta geografi. Genotipe

dikatakan lebih umum pada populasi Asia dengankan genotype A dan D paling banyak

ditemukan pada penduduk Amerika.2

Struktur Genome VHB

VHB memiliki genome DNA yang berukuran kecil (3.2 kb), partially double-

stranded, relaxed-circular yang membaca 4 ORF yang saling tumpang tindih. ORF

terbesar mengkode polymerase viral yang juga memiliki aktivitas reverse transcription

(RT) untuk membuat untingan genom DNA pertama yang berasal dari RNA intermediate.

ORF terbesar kedua mengkode 3 protein pembungkus virus yaitu Large (L-), middle (M-

), and small (S-) atau yang dikenal dengan HBsAg. ORF lainnya menkode protein

precure atau yang dikenal dengan HBV E antigen atau HBeAg serta protein inti yang

membuat kapsid virus. Kemudian, ORF yang paling kecil mengkode protein HBV X atau

HBx yaitu merupakan protein regulator terhadap replikasi VHB baik secara in vitro

maupun in vivo.2

ORF virus dibaca dalam beberapa bagian dengan beberapa polyadenylated RNA

sehingga kita bisa membagi kembali menjadi transkripsi genomic maupun subgenomik.

Subgenomik transkripsi bertindak sebagai cetakan protein VHB HBx dan HBsAg

Page 160: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

146

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

sedangkan genomic transkripsi bertindak sebagai mRNA untuk precore, core, dan

polymerase. Terdapat genomic transprisi yang mengkode baik protein core dan

polymerase, genom ini dikenal dengan pregenomc RNA atau pgRNA. pgRNA merupakan

cetakan dari replikasi VHB yang kemudian akan dilakukan RT untuk membentuk genom

VHB baru.2

Gambar 1. Struktur Virion dan Genom VHB3

Siklus Hidup VHB

Sifat virus yang species specific dan sifat hepaototropik yang dimiliki oleh VHB

disebabkan oleh 2 faktor selular. Faktor pertama adalah ekspresi spesifik terhadap

hepatosit dari reseptor VHB human sodium taurocholate cotransporting peptide atau

hNTCP yang hanya diekspresikan pada hepatosit manusia. Faktor kedua adalah beberapa

faktor transkripsi yang mengontrol infeksi VHB seperti HNF1α dan HNF4α yang masing-

masing mengatur fase post-entry dan downstream dari skiklus VHB. Telah diketahui

bahwa sekuens preS1 dan hNTCP mempengaruhi perlekata VHB terhadap hNTCP akan

tetapi belum diketahui pasti mengenai mekanisme masuknya VHB kedalam sel setelah

terjadinya perlekatan dengan hNTCP. Diduga komplek HBV-hNTCP masuk kedalam sel

melalui endositosis yang dimediasi oleh clathrin. 2

Setelah berada di dalam sel, DNA VHB dihantarkan kedalam nucleus melalui

mekanisme yang belum jelas. Salah satu kemungkinan mekanisme adalah melalui

transport aktif pada pori-pori pada nuclear. Setelah sampai pada nucleus, celah pada

untaian tunggal rcDNA diperbaiki baik melalui (+)-strand extension oleh polymerase

VHB atau melalui aktivitas repair protein penjamu. cccDNA kemudian terbentuk sebagai

nucleosome-bound minichromosome di dalam nucleus.

Pembentukan dan Pemeliharaan cccDNA

cccDNA merupakan bentuk covalently closed circular (ccc) dari kromosom viral

dan merupakan komponen yang esensial terhadap siklus hidup virus dan pemeliharan

infeksi. Beberapa fungsi viral dan fungsi sel penjamu diperlukan untuk membuat cccDNA

dari DNA yang terinfeksi. Setelah berada di dalam sel, DNA VHB dihantarkan kedalam

nucleus melalui mekanisme yang belum jelas. Salah satu kemungkinan mekanisme adalah

melalui transport aktif pada pori-pori pada nuclear. Setelah sampai pada nucleus, celah

pada untaian tunggal rcDNA diperbaiki baik melalui (+)-strand extension oleh

Page 161: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

147

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

polymerase VHB atau melalui aktivitas repair protein penjamu. cccDNA kemudian

terbentuk sebagai nucleosome-bound minichromosome di dalam nucleus.3

Konversi viral rcDNA menjadi ccccDNA membutuhkan sintesis rantai (+) DNA

yang sempurna, dilanjutkan dengan pembuangan modifikasi terminal dan ligase kovalen

pada ujung masing-masing rantai DNA. Berbeda dengan retrovirus lainnya, tidak

diperlukan integrasi DNA VHB kedalam kromosom sel penjamu untuk dapat melakukan

replikasi. cccDNA hidup pada nucleus yang terinfeksi sebagai episomal minikromosom.

Genom VHB dapat pula terintegrasi kedalam genom penjamu. cccDNA kemudian akan

terus berada pada nucleus hepatosit yang terinfeksi selama masa hidup hepatosit tersebut.3

Perakitan Partikel Virus dan Pelepasan

Salah satu karakteristik khas dari replikasi VHB adalah replikasi DNA virus terjadi

di dalam nukleokapsid yang masih imatur oleh protein-primed reverse transcription.

DNA polymerase mengikat pgRNA pada epsilon 5’ stem-loop untuk menginisiasi

perakitan nukleokapsid dan sintesis rantai-minus DNA virus sebanyak 3 nukleosida.

Ketika rc DNA telah terbentuk, nukleokapsid telah matur dan siap untuk dibungkus dan

dikeluarkan dari sel penjamu.2

Gambar 2. Siklus replikasi VHB3

Biologi Molekuler Virus Hepatitis C

Virion virus hepatitis C (VHC) memiliki densitas yang bervariasi dengan fraksi

densitas infeksius berkisar 1.15 – 1.17 g/ml. Di dalam pembungkus terluar, ternadap inner

core (30-35 nm) yang membungkus sebuah rantai RNA tunggal dengan ukuran sekitar

9.6 kb. Genom VHC tidak masuk kedalam nucleus sel penjamu. Replikasi RNA VHC

terjadi pada sitoplasma hepatosit. Genom VHC memiliki beberapa struktur. Genom RNA

virus memiliki sebuah ORF yang ditandai dengan 5’ dan 3’ non translated RNA segment

Page 162: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

148

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

atau NTR. Elemen cis-acting replication elements atau CRE terletak pada kedua 5’ dan 3’

NTR pada daerah pengkodean sekuens NS5B.4

Gambar 3. Struktur Partikel VHCError! Bookmark not defined.4

Molekul RNA yang tidak mengalami pengkodean disebut dengan microRNA atau

miR. miR memiliki peran yang penting terhadap ekspresi genetic dan regulasi. Baik

microRNA maupun miR banyak ditemukan pada sel hepatosit manusia. VHC mengkode

sebua rangkaian protein atau polyprotein yang terdiri dari 3010 asam amino. Struktural

protein virus adalah protein core, E1, dan E2. Protein structural serta protein p7

dilepaskan dari struktur polyprotein setelah pemecahan oleh sinyal peptidase reticulum

endoplasma (ER). Struktur non-struktural VHC antara lain NS2, NS3, NS4A, NS4B,

NS5A, dan NS5B kemudian akan dipecah oleh protease virus NS2-3 dan NS3-4A. Proteis

proteolitik terhadap polyprotein genom oleh protease virus akan menghasilkan setidaknya

10 protein virus yang matur.4

Gambar 4. Struktural Genom VHC4

Berdasarkan variasi nukleosida, VHC dibagi menjadi 6 genotipe mayor dan lebih

hari 80 subtipe. Bagian genome pengkode E1 dan E2 glikoprotein merupakan sekuens

dengan variasi yang paling tinggi. Tingginya variabilitas dari genom VHC diakibatkan

oleh laju replikasi yang tinggi serta kurangnya aktivitas proofreading pada RNA-

Page 163: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

149

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

dependeng RNA polymerase. Rata-rata kesalahan korporasi dari genom VHC adalah

sebesar 10-3 virion per hari.4

Proses masuknya VHC kedalam sel digambarka sebagai sebuah proses yang

perlahan-lahan dan kompleks dengan berbagai tahapan. Beberapa molekul permukaan sel

penjamu seperti glycosaminoglycan, CD81, scavenger receptor class B type I (SR-BI),

anggota dari keluarga claudin (CLDN1, 6, dan 9), serta mannose-binding lectins DC-

SIGN dan L-SIGN telah diidentifikasi sebagai putative baik reseptor maupun ko-reseptor

VHC. GAGs dan LDL-R dapat memfasilitasi perlekatan awal pada sel penjamu. Setelah

perlekatan awal, partikel virus kemudian berinteraksi dengan SR-BI dan CD81 serta

CLDN1 pada proses akhir. VHC E2 akan melekat kuat pada large external loop dari

CD81 dan kemudian CLDN1 saat proses akhir. Kedua reseptor ini memegang peranan

penting dalam proses masuknya VHC kedalam virus.4

Setelah melekat pada kompleks reseptor, nukleokapsid kemudian akan dilepaskan

kedalams sito plasma. Virus kemudian dilebur dan RNA VHC menjalani proses translasi

dan replikasi di dalam sitoplasma. Viral RNA bertindak sebagai mRNA sehingga

langsung mengalami translasi. Translasi pada VHC RNA tidak bergantung dengan cap

dan diinisiasi dengan perlekan pada 5’-IRES ribosomal. Translasi VHC RNA terjadi pada

retikulum endoplasma dan menghasilkan sebuah poli protein tunggal yang kemudian akan

dipecah oleh protease viral. Pemecahan polyprotein tunggal ini akan menghasilkan

protein structural dan non-struktural. NS5B RNA-dependent RNA polymerase

mereplikasi genom dengan mensinteses rantai negatif RNA. Rantaian ini bertindak

sebagai cetakan untuk mensintesis rantai positif RNA. Proses replikasi post-translational

berlangsung pada jarring-jaring membrane yang terbentuk dari protein non-struktural dan

protein sel penjamu yang disebut denga replication complex. Penyematan cap pada

genom berlangsung di retikulum endoplasma dan pembungkusan nukleokapsid

berlangsung pada apparatus golgi. Partikel virus baru yang terbentuk kemudian

dilepaskan pada ruang antara sel melalui eksositosis.4

Gambar 4. Resptor pada proses enry VHC4

Page 164: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

150

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Kesimpulan

Baik virus hepatitis B dan C memiliki struktur virus serta siklus hidup yang

memiliki karakteristik masing-masing. Saat ini, pengetahuan mengenai protein non-

struktural VHC telah menghasilkan pengobatan direct-acting antiviral atau DAA dengan

hasil yang sangat memuaskan. Secara struktur genomik, VHB memiliki ukuran genom

yang lebih kecil namun lebih kompak. Dibandingkan dengan VHC yang memiliki satu

ORF, VHB memiliki 4 ORF berbeda yang saling tumpeng tindih. Selain itu, VHC

melakukan translasi dan replikasi diluar dari nucleus sel penjamu. Lain halnya dengan

VHB yang masuk kedalam nucleus dan membentuk sebuah struktur plasmid yang disebut

dengan cccDNA. Adanya cccDNA menyebabkan infeksi yang stabil dan sulit untuk

dieradikasi.

Daftar Pustaka

1- Seeger C, Mason WS. Molecular Biology of Hepatitis B Virus Infection. Virology 479-480

(2015) 672–686

2- Lamontagne RJ, Bagga S, Bouchard M. Hepatitis B virus molecular biology and

pathogenesis. Hepatoma Res. 2016; 2: 163–186

3- Block TM, Gue H, Guo Jt. Molecular Virology of Hepatotos B Virus for Clinicians. Clin

Liver Dis. 2007 November; 11(4): 685–706.

4- Sharma SD. Hepatitis C Virus: molecular biology & current therapeutic options. Indian J Med

Res 131, January 2010, pp 17-34

Page 165: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

151

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

HOW TO CHOOSE USING DIRECT ACTING ANTIVIRALS FOR HEPATITIS

C Gontar Alamsyah Siregar

Division of Gastroentero-Hepatology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, Universitas

Sumatera Utara/ H. Adam Malik General Hospital Medan, Indonesia

Abstract The goal of antiviral treatment for chronic Hepatitis C is to prevent liver-related

complications, including HCC, by achievement of sustained virologic response (SVR). Recently,

interferon-free treatment plays an important role in the eradication of Hepatitis C virus (HCV).

New direct-acting antivirals (DAAs) therapies for HCV infection have come to the market over

the past few years. Treatment with DAAs improves the success of achieving SVR, lower side

effects, as well as being the ideal HCV therapy. The ideal HCV treatment would fulfill the

following requirements: safe and tolerable – safe for use including pregnant women, children,

HIV/HCV coinfected persons and patients with cirrhosis; pan-genotypic–effective across all six

major HCV genotypes, eliminating the need to test for the HCV genotype; effective and durable –

with high potency and a high genetic barrier to resistance, and associated with SVR rates of at

least 90% in all genotypes; simple – having a short duration, ideally a once-daily fixed-dose

combination (FDC); affordable–to the people who need HCV treatment; and stable–at both high

and low temperatures.

DAAs are molecules that target specific nonstructural proteins of the virus and results in

disruption of viral replication and infection. There are four classes of DAAs, which are defined by

their mechanism of action and therapeutic target. The four classes are nonstructural proteins 3/4A

(NS3/4A) protease inhibitors (PIs), NS5B nucleoside polymerase inhibitors (NPIs), NS5B non-

nucleoside polymerase inhibitors (NNPIs), and NS5A inhibitors. The main targets of the DAAs

are the HCV-encoded proteins that are vital to the replication of the virus. NS3/4A protease

inhibitors works by preventing the release of protein that are essential to viral replication, such as

glecaprevir, grazoprevir, paritaprevir, simeprevir, voxilaprevir. Nucleoside/tide NS5B polymerase

inhibitors serve to stop HCV replication by inserting themselves into the virus as it is being

assembled such as sofosbuvir. Non-nucleoside NS5B polymerase inhibitors play a role to change

the shape and inhibit the function of the HCV polymerase enzyme, such as dasabuvir. NS5A

inhibitors impede HCV replication through multiple mechanisms, blocking both viral synthesis

inside infected cells as well as the assembly and release of HCV virions, such as daclatasvir,

elbasvir, ledispavir, ombitasvir, pibrentasvir, velpatasvir.

Sofosbuvir/ daclatasvir, sofosbuvir/ velpatasvir, sofosbuvir / velpatasvir / voxilaprevir,

glecaprevir / pibrentasvir were included as pan-genotypic DAAs and potentially pan-genotypic

regimens. Pan-genotypic regimens will simplify delivery of HCV treatment, especially when the

duration of treatment does not vary by genotype or stage of liver disease. Safe and efficacious

pan-genotypic regimens will also simplify the complex diagnostic algorithm by avoiding the need

for pre-treatment genotyping. Non-pan-genotypic DAAs such as grazoprevir / elbasvir (for

genotypes 1 and 4); ombitasvir / paritaprevir / ritonavir + dasabuvir (high SVR rates have been

reported in genotypes 1 and 4; sofosbuvir / ledipasvir (safe, effective, one-pill, once-daily

treatment for genotypes 1, 4, 5 and 6); sofosbuvir + simeprevir (approved for the treatment of

genotype 1 (USFDA) and for treatment of genotype 1 and 4 (EMA)).

DAA-based regimens are the most suitable options for patients with decompensated

(Child-Pugh B or C) liver disease Treatment-naive and treatment-experienced patients without

cirrhosis or with compensated (Child-Pugh A) cirrhosis can be treated with either the fixed-dose

combination of sofosbuvir and velpatasvir for 12 weeks, or the fixed-dose combination of

glecaprevir and pibrentasvir for 12 weeks without testing genotype. If cirrhosis can be reliably

excluded in treatment-naive patients, the combination of glecaprevir and pibrentasvir can be

administered for 8 weeks only.

Patients with decompensated cirrhosis not on the waiting list for liver transplantation

should be treated with sofosbuvir and ledipasvir (genotypes 1, 4, 5 or 6) or with sofosbuvir and

Page 166: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

152

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

velpatasvir (all genotypes) for 12 weeks with ribavirin. Patients with contraindications for

ribavirin, or with poor tolerance to ribavirin on treatment, can receive the fixed-dose combination

of sofosbuvir and ledipasvir (genotypes 1, 4, 5 or 6), or the fixed-dose combination of sofosbuvir

and velpatasvir (all genotypes) for 24 weeks without ribavirin.

Patients with HCV infection and mild to moderate renal impairment (eGFR ≥30

ml/min/1.73 m2) should be treated according to the general recommendations. No dose

adjustments of HCV DAAs are needed, but these patients should be carefully monitored.

Patients with acute Hepatitis C should be treated with a combination of sofosbuvir and

ledipasvir (genotypes 1, 4, 5 and 6) or a combination of ritonavir-boosted paritaprevir, ombitasvir

and dasabuvir (genotype 1b) for 8 weeks. Based on similarities to chronic Hepatitis C, patients

with acute Hepatitis C may be treated with a combination of sofosbuvir and velpatasvir (all

genotypes), a combination of glecaprevir and pibrentasvir (all genotypes), or a combination of

grazoprevir and elbasvir (genotypes 1b and 4) for 8 weeks. Hepatitis C treatment is changing

quickly and treatment guidelines need to be updated frequently.

Keywords. Hepatitis C, direct acting antivirals, SVR, genotype

Page 167: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

153

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

HCC RELATED TO HEPATITIS B VIRAL INFECTION FROM THEORY TO

PRACTICE INCLUDING RADIOFREQUENCY ABLATION MANAGEMENT

Lianda Siregar , Dharmais Cancer Centre Hospital

An estimated 257 million individuals are living with chronic hepatitis B (CHB)

worldwide, resulting in 884,000 deaths per year. Liver-related complications of CHB are

on the rise. Up to 40% of CHB cases will progress to cirrhosis, liver failure, and

hepatocellular carcinoma (HCC), leading to death in 25% of infected individuals. Despite

the establishment of HBV vaccine programs since the early 90s, the decreased incidence

of HBV new infections in many countries and the availability of potent antiviral and new

drugs treatments that lead to long-term inhibition of HBV replication, remain at risk of

developing liver cirrhosis and HCC.

Hepatocellular carcinoma is the most common type of primary liver cancer. 54

percent of primary liver cancer worldwide is attributable to CHB,80 percent of case with

cirrhosis background and which is geographic area dominantly in Asia- Africa region

HBV is a non-cytopathic DNA virus, which belongs to the Hepadnaviridae

family. HBV enters hepatocyte through the ntcp (na taurocholate co transporting

polypeptide) followed by uncoating and nuclear transport of the rc DNA.the rc DNA is

converted to ccc DNA,which serves as the template for transcription of the 3,5kb pre C

RNA and pg RNA2,4kb and 2,1kb preS/Sm RNAs and 0.7kb HBx m RNA.These RNAs

are exported to cytoplasma for protein translation,pgRNA is selectively packaged inside

the core particles,followed by P protein-mediated(-) strand DNA ssynthesis (reverse

transcription),pg RNA degradation,and (+) strand DNA synthesis to generate rc

DNA,such mature core particles can be enveloped for release as viroins,or transported to

nucleas to generate more cccDNA is an aberrant replication product of pg RNA and the

preferred template for integration into host chromosomal DNA. The pathobiology of the

infection mainly involves host immune responses required to control viral replication.

Page 168: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

154

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

HBV has evolve mechanisms to evade both innate and adaptive immune

responses in order to establish persistent infections.New antiviral targets for innovative

treatment concepts for hepatitis B virus

Hepatitis B virus (HBV) contributes to hepatocellular carcinoma (HCC) development

through direct and indirect mechanism.

Page 169: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

155

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Interactions between virus, host genetic predisposition and environmental factors

in HBV-related HCCdevelopment and progression. HBV contributes to HCC by: a)

insertional mutagenesis due to integration of the viral DNA into host chromosomes; b)

increased genomic instability caused by both viral integration and the activity of the viral

proteinHBx; c) reactivation of telomerase activity, d) modifications of the epigenome

promoted by HBx and HBc; e) modulation of celldeath and proliferation pathways by the

prolonged expression of viral proteins (wild type and mutant HBx, LHB envelope

proteins, truncated MHB proteins, HBc).

Hepatocellular carcinoma (HCC) may still develop in chronic hepatitis B (CHB)

patients treated with oral antiviral agents. In CHB patients treated with the currently

recommended.first-line antivirals entecavir or tenofovir, the observed HCC risk ranges

from 0.01 to 1.4% in Asian patients without cirrhosis and from 0.1% to 1.0% in

predominantly Caucasian populations.HCC range risk from 0.9 to 5.4% in Asian patient

those with cirrhosis and from 1.5% to 5.2% in Caucasian populations.

Caucasian patients with chronic hepatitis B with or without compensated cirrhosis

who receive long-term entecavir or tenofovir therapy have excellent overall eight-year

survival, which is similar to that of the general population. Hepatocellular carcinoma is

the main factor affect in their overall mortality, and is the only factor affecting liver-

related mortality in this setting.

Page 170: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

156

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Staging systems of HCC and treatment recommendation

The current European Association for the Study of the Liver Clinical Practice

Guidelines endorse the BCLC classification for several reasons. It includes prognostic

variables related to tumour status, liver function and health performance status along with

treatment-dependent variables obtained from cohort studies and randomised trials.

Page 171: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

157

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

However, BCLC staging often draws criticism because of conservative treatment

recommendations in patients for whom aggressive treatment approaches have become

commonplace due to technical safety and effectiveness.Although widely quoted in the

scientific literature, efforts have been underway to modify and update the BCLC

staging.The recently developed Hong Kong Liver Cancer (HKLC) staging system has

garnered international attention because of its comprehensive nature, based on the largest

patient cohort to date for HCC staging, and tied to treatment recommendations that

addresses the aforementioned limitations of the BCLC system. Regrettably, this proposal

has some limitations: survival among different stages overlaps, there is no external

validation in Western countries evaluating its performance in a population including all

stages of the disease,and the population used for developing the HKLC staging was

already treated and the outcome retrospectively analysed, introducing an unintentional

selection bias against transarterial chemoembolisation (TACE) in comparison to

resection.

Modified BCLC staging system and treatment strategy

Page 172: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

158

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Percutaneous treatment of hepatocellular carcinoma focus on RadioFrequency

Ablation (RFA), Recommendations

Thermal ablation with radiofrequency is the standard of care for patients with

BCLC 0 and A tumours not suitablefor surgery (evidence high; recommendation

strong).Thermal ablation in single tumours 2 to 3 cm in size is an alternative to surgical

resection based on technical factors (location of the tumour), hepatic and extrahepatic

patient conditions.

In patients with very early stage HCC (BCLC-0) radiofrequency ablation in

favourable locations can be adopted as first-line therapy even in surgical patients

(evidence moderate; recommendation strong).

Page 173: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

159

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

RFA has now replaced percutaneous ethanol injection as the most frequently used

percutaneous treatment of HCC; indeed, five randomised controlled trials have shown the

superiority of percutaneous RFA in local control, with fewer sessions needed to achieve

tumour necrosis, and less frequent local tumour recurrence compared to percutaneous

ethanol injection

Randomised controlled trials comparing RFA and percutaneous ethanol injection

Page 174: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

160

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Meta-analysis Long-term results of RFA for HCC on cirrhosis.

Randomised controlled trials comparing RFA and surgical resection.

Three randomised controlled trials have been performed in an Asian population

mainly composed of patients with HBV; they showed either no differences (two RCTs) or

the superiority of liver resection (one RCT). However, those studies were criticised for

their methodology: lack of power in showing differences and equivalences,mixing

cirrhotic and non-cirrhotic patients, highrate of loss to follow-up or consent withdrawal,

and a high percentage of HCC of over 3 cm.

Page 175: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

161

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Currently, RFA and liver resection can be performed for a small HCC of less than

2–3 cm, and the choice between these two techniques should be based on tumour size,

number,liver function, portal hypertension, local technical skills and/or localisation of the

lesion. Classically, central HCC is a good candidate for ablation,whereas peripheral

lesions are candidates for liver resection.

Complication of RFA

Morbidity complication after RFA 1%- 5 %,with mortality estimated at around

0%-0,3%.Morbidity and mortality is clearly lower than that observed following live

resection for HCC in patients with cirrhosis.

Post Ablation syndrome,pleural effusion,pneumothorax,liver haematoma or

haemopertineum,haemobilia ascites,liver failure,liver abcess,gall bladder injury, bile duct

stricture, colon or stomach perforation, diaphragm injury and tumour seeding (0,5%-3

%).However, the rate of complications increased with more aggressive treatment,

performed to ablate larger tumours, and severity of underlying liver disease.

How to manage at-risk localisation and at-risk patients.

Role of combined treatment

Page 176: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

162

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Percutaneous treatment is associated with a highrisk of local (up to 30%) and

distant (up to 80%) tumour recurrence at five years; different combinations of treatments

have been tested to increase local control and decrease distant recurrence.The

combination of TACE with percutaneous RFA has been proposed to increase local

control. Several retrospective series showed that this combination is feasible and safe.

The main target of the combination of TACE and RFA is HCC over 3 cm, where tumour

ablation using monopolar RFA is frequently incomplete and is associated with a higher

rate of local recurrence.Several retrospective studies have suggested that a combination of

TACE and RFA in HCC between 3 to 5 cm increased local control compared to

monopolarRFA alone.In contrast, in small HCC of less than 3 cm, combination therapy

seems ineffective, mainly due to the high rate of complete necrosis after RFA alone.

Randomised controlled trials showed better recurrence-free survival and overall survival

for RFA + TACE compared to RFAalone, mainly in large HCC.

References 1. World Health Organization. Global Hepatitis Report, 2017. Geneva, Switzerland: World

Health Organization; 2017.

2. Viral hepatitis statistics and surveillance. 2016 May 19, 2016 March 19, 2018]. Centers for

Disease Control and Prevention website. https://www.cdc.gov/hepatitis/

hbv/statisticshbv.htm. Accessed April 8, 2017.

3. Abara WE, Qaseem A, Schillie S, et al. Hepatitis B vaccination, screening, and linkage to

care: best practice advice fromthe American College of Physicians and the Centers for

Disease Control and Prevention. Ann Intern Med. 2017;167:794-804.

4. Tong S,Revill P.Overview of hepatitis B viral replication and genetic variability.J hepatol

2016;64:S4-S16

5. Levrero M,Rossi JZ.Mechanisms of HBV induced Hepatocellular carcinoma.J hepatol

2016;64:S84 – S101

6. Durantel D,Zoulim F. New antiviral targets for innovative treatment concepts for hepatitis B

virus and hepatitis delta virus.J hepatol 2016;64:S 117- S 131

7. European Association for the Study of the Liver, EASL 2017 clinical practice guidelines on

the management of hepatocellular carcinoma. J Hepatol 2018 ; 69 :182–236

8. Marrero JA et al. Prognosis of Hepatocellular Carcinoma: Comparison of 7 Staging Systems

in an American Cohort. HEPATOLOGY 2005;41:707–716.

9. Papatheodoridis GV,Chan HLY, Hansen BE , Janssen HLA, Lampertico P. Risk of

hepatocellular carcinoma in chronic hepatitis B: Assessment and modification with current

antiviral therapy. J hepatol 2015;62:956-967

10. Papatheodoridis GV et al. Eight-year survival in chronic hepatitis B patients underlong-term

entecavir or tenofovir therapy is similar to the general population.J hepatol 2018;68:1129 –

1136

11. Sohn JH et al. Validation of the Hong Kong Liver Cancer Staging System in Determining

Prognosis of the North American Patients Following Intra-arterial Therapy. Clin

Gastroenterol Hepatol. 2017;15 (5): 746–755.

12. Nault JC, Sutter O, Nahon P,Carrié NG, Seror O. Percutaneous treatment of hepatocellular

carcinoma: State of the art and innovations. J hepatol 2018;68:783-797

Page 177: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

163

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

LOWER GASTROINTESTINAL ENDOSCOPY FOCUS ON

POLIPECTOMY AND HEMOCLIPPING Muhammad Begawan Bestari

Division of Gastroenterohepatology Department of Internal Medicine Faculty of Medicine – University of

Padjadjaran Hasan Sadikin General Hospital [email protected]

Pendahuluan

Kanker kolorektal (colorectal cancer/CRC) adalah kanker ketiga paling umum

dan penyebab paling umum keempat kematian terkait kanker di seluruh dunia. CRC

memiliki insiden tertinggi di populasi barat, dan, saat ini insidennya meningkat pesat di

negara-negara Asia. Meskipun demikian, CRC merupakan salah satu penyebab kematian

kanker yang dapat dicegah. Sebagian besar kasus CRC berkembang dari polip

adenomatous melalui urutan adenoma-karsinoma, dan, dengan demikian, pengangkatan

lesi prekursor efektif dalam mengurangi mortalitas terkait CRC, serta kejadian CRC.

Meskipun sebagian besar polip kolorektal dapat ditangani dengan reseksi

endoskopik, efek samping termasuk pendarahan, perforasi, dan infeksi dapat terjadi

setelah polipektomi kolonoskopik. Perdarahan adalah efek samping terkait pasca

polipektomi yang paling umum dengan kejadian mulai dari 0,3 hingga 6,1%. Selain itu,

perdarahan adalah efek samping yang berpotensi mengancam jiwa dan dengan demikian

menjadi perhatian bagi dokter dan pasien. Oleh karena itu, banyak ahli telah berusaha

mengembangkan terapi endoskopi profilaksis untuk perdarahan pasca polipektomi,

termasuk terapi injeksi seperti injeksi epinephrine-saline, terapi ablatif seperti koagulasi

plasma argon, terapi mekanik seperti endoklip, snare atau endoloop, dan kombinasi dari

terapi ini. Namun, belum ada konsensus tentang terapi profilaksis yang optimal untuk

perdarahan pasca polipektomi. Meskipun dua meta-analisis studi tentang terapi profilaksis

menunjukkan bahwa terapi endoskopi profilaksis efektif untuk mengurangi perdarahan

pasca polipektomi awal, belum sepenuhnya diklarifikasi terapi mana yang terbaik karena

meta-analisis sebelumnya melakukan perbandingan berpasangan hanya berdasarkan bukti

langsung. Meta-analisis berpasangan tradisional hanya dapat menjawab pertanyaan

tentang pasangan-pasangan perawatan, dan, karenanya, mereka hanya menyediakan

sebagian informasi dan tidak dapat menunjukkan keunggulan satu dari yang lain untuk

perdarahan pasca polipektomi.

Definisi, klasifikasi, pengangkatan, dan pengambilan polip

Morfologi polip harus dijelaskan menggunakan sistem klasifikasi Paris dan

berukuran dalam milimeter. Polip datar dan sessile (Paris II dan Is) ≥ 10 mm, disebut lesi

yang menyebar secara lateral (laterally spreading lesion/LSL) atau tumor yang menyebar

secara lateral (laterally spreading tumors/LSTs), morfologi permukaan juga harus

dideskripsikan sebagai granular atau nongranular. Semua polip perlu direseksi kecuali

untuk polip rektal dan rektosigmoid yang kecil (≤ 5 mm) yang diprediksi dengan

keyakinan tinggi untuk menjadi hiperplastik.

Pengambilan semua polip yang direseksi dikirim untuk pemeriksaan histopatologi.

Di pusat-pusat endoskopi, di mana diagnosis optik dapat dilakukan dengan tingkat

kepercayaan yang tinggi, strategi "reseksi dan buang" dapat dipertimbangkan untuk polip

kecil.

Reseksi polip kecil (≤ 5 mm)

Cold snare polypectomy (CSP) sebagai teknik yang disukai untuk menghilangkan

polip kecil (ukuran ≤ 5 mm). Teknik ini memiliki tingkat reseksi lengkap yang tinggi,

Page 178: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

164

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

pengambilan sampel jaringan yang memadai untuk histologi, dan tingkat komplikasi yang

rendah.

Tidak dianjurkan untuk penggunaan eksisi cold biopsy forceps (CBF) karena

tingginya tingkat reseksi yang tidak tuntas. Dalam kasus polip berukuran 1 - 3 mm

dimana CSP secara teknis sulit atau tidak mungkin, CBF dapat digunakan.

Tidak direkomendasikan penggunaan hot biopsy forceps (HBF) karena tingginya

tingkat reseksi yang tidak tuntas, pengambilan sampel jaringan yang tidak adekuat untuk

pemeriksaan histopatologi, dan tingginya dibandingkan dengan eksisi snare (cedera panas

dalam dan perdarahan yang tertunda).

Reseksi polip kecil (6 - 9 mm)

Dapat digunakan snare polypectomy untuk polip sessile berukuran 6 - 9 mm.

Tidak direkomendasikan penggunaan penggunaan forsep biopsi untuk reseksi polip

seperti itu karena tingginya tingkat reseksi yang tidak tuntas.

CSP untuk polip sessile berukuran 6 - 9 mm karena profil keamanannya yang superior,

meskipun bukti yang membandingkan efikasi dengan HSP kurang.

Polipektomi polip sessile (10 - 19 mm)

Disarankan menggunakan Hot snare polypectomy (HSP) (dengan atau tanpa

injeksi submukosa) untuk menghilangkan polip sessile 10 - 19 mm. Dalam kebanyakan

kasus cedera panas dalam adalah risiko potensial dan dengan demikian injeksi submukosa

sebelum HSP harus dipertimbangkan.

Dalam situasi tertentu, mungkin ada peran untuk piecemeal CSP untuk

mengurangi risiko cedera mural dalam, tetapi penelitian lebih lanjut masih diperlukan.

Polipektomi lesi bertangkai

Dapat digunakan HSP untuk polip bertangkai. Untuk mencegah perdarahan, polip

kolorektal bertangkai dengan kepala ≥ 20 mm atau tangkai berdiameter ≥10 mm, sebelum

polipektomi direkomendasikan untuk memberi suntikan adrenalin encer dan/atau

hemostasis mekanik pada tangkai polip.

Polip berukuran besar (≥ 20 mm) sessile dan lateral atau polip kompleks, harus

dilakukan polipektomi oleh ahli endoskopi yang terlatih dan berpengalaman, di pusat

endoskopi dengan sumber daya yang tepat.

Perdarahan pasca polipektomi

Perdarahan adalah efek samping pasca polipektomi yang paling umum, dengan

demikian, berbagai terapi endoskopi profilaksis secara konvensional digunakan untuk

mencegahnya. Sampai saat ini, dua meta-analisis menilai efek terapi endoskopi

profilaksis pada perdarahan pasca polipektomi melalui perbandingan antara terapi apa

pun dan tanpa terapi, atau terapi tunggal dan terapi gabungan. Penelitian tersebut

mengidentifikasi bahwa terapi profilaksis efektif dalam mengurangi perdarahan pasca

polipektomi dini. Namun, meta-analisis sebelumnya tidak sepenuhnya menjelaskan terapi

mana yang lebih unggul di antara berbagai terapi profilaksis, karena penelitian tersebut

melakukan perbandingan berpasangan berdasarkan hanya bukti langsung.

Faktor risiko yang signifikan untuk perdarahan pasca polipektomi telah dilaporkan

sebagai ukuran polip lebih besar dari 1-2 cm, lesi yang menampilkan polip bertangkai

dengan batang tebal atau tumor yang menyebar secara lateral, lesi kolon sisi kanan,

penggunaan antikoagulan, dan komorbiditas pasien seperti kardiovaskular atau penyakit

Page 179: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

165

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

ginjal kronis. Ukuran polip yang lebih besar merupakan faktor risiko utama untuk

perdarahan pasca polipektomi.

Pedoman terbaru untuk komplikasi kolonoskopi oleh American Society for

Gastrointestinal Endoscopy memperkenalkan beberapa terapi profilaksis untuk

perdarahan pasca polipektomi, termasuk penempatan snare yang dapat dilepas atau klip

endoskopi, dan injeksi larutan epinefrin. Namun, dalam panduan ini belum ditetapkan

kapan atau terapi profilaksis apa yang harus diterapkan. Dalam satu meta-analisis tidak

ditemukan perbedaan yang signifikan dalam efek pencegahan untuk perdarahan pasca

polipektomi di antara terapi profilaksis. Analisis probabilitas peringkat menunjukkan

bahwa terapi kombinasi, mekanik, dan injeksi memiliki probabilitas tertinggi untuk

menempati peringkat terbaik, kedua, dan ketiga, masing-masing, untuk mencegah

perdarahan pasca polipektomi awal. Namun, hasil dari analisis probabilitas peringkat

harus dianggap sebagai data tambahan daripada kesimpulan definitif.

Pendarahan setelah polipektomi adalah masalah umum yang terkait dengan

kolonoskopi. Untuk membantu mencegah perdarahan pasca polipektomi, banyak

endoskopi memasang klip di tempat polipektomi. Namun, praktik ini masih kontroversial.

Oleh karena itu, kami melakukan meta-analisis terhadap kemanjuran klippenempatan

dalam pencegahan perdarahan post-polypectomy. Dari hasil meta analisis penggunaan

kliping profilaksis untuk semua polipektomi tampaknya tidak mencegah perdarahan pasca

polipektomi dan seharusnya tidak menjadi praktek rutin. Namun, untuk polip besar (> 2

cm), kliping profilaksis dapat bermanfaat dalam mencegah perdarahan pasca polipektomi.

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk sepenuhnya mengevaluasi hal ini.

Daftar Pustaka

1. Boumitri C, Mir FA, Ashraf I, Matteson-Kome ML, Nguyen DL, Puli SR, Bechtold ML.

Prophylactic clipping and post-polypectomy bleeding: a meta-analysis and systematic

review. Ann Gastroenterol. 2016 Oct-Dec;29(4):502-508.

2. Corte CJ, Burger DC, Horgan G et al. Postpolypectomy haemorrhage following removal

of large polyps using mechanical haemostasis or epinephrine: a meta-analysis. United

European Gastroenterol J 2014; 2: 123 – 30.

3. Endoscopic Classification Review Group. Update on the Paris classification of superficial

neoplastic lesions in the digestive tract. Endoscopy 2005; 37: 570 – 578

4. Ferlitsch M, Moss A, Hassan C, Bhandari P, Dumonceau JM et al. Colorectal

polypectomy and endoscopic mucosal resection (EMR): European Society of

Gastrointestinal Endoscopy (ESGE) Clinical Guideline. Endoscopy. 2017 Mar;49(3):270-

297.

5. Fisher DA, Maple JT, Ben-Menachem T et al. Complications of colonoscopy.

Gastrointest Endosc 2011; 74: 745 – 52.

6. Hui AJ, Wong RM, Ching JY et al. Risk of colonoscopic polypectomy bleeding with

anticoagulants and antiplatelet agents: analysis of 1657 cases. Gastrointest Endosc 2004;

59: 44 – 8.

7. Levin TR, Zhao W, Conell C et al. Complications of colonoscopy in an integrated health

care delivery system . Ann Intern Med 2006; 145: 880 – 6.

8. Li LY, Liu QS, Li L et al. A meta-analysis and systematic review of prophylactic

endoscopic treatments for postpolypectomy bleeding. Int J Colorectal Dis 2011; 26: 709 –

19.

9. Park CH, Jung YS, Nam E, Eun CS, Park DI, Han DS. Comparison of Efficacy of

Prophylactic Endoscopic Therapies for Postpolypectomy Bleeding in the Colorectum: A

Systematic Review and Network Meta-Analysis. Am J Gastroenterol. 2016

Sep;111(9):1230-4

Page 180: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

166

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

TEHNIK BIOPSI ENDOSKOPI SALURAN CERNA BAGIAN ATAS

Kaka Renaldi

Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit Umum Pusat CiptoMangunkusumo

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Kerongkongan

Gerd

Tidak ada protokol biopsi khusus untuk GERD pada kondisi tidak adanya

metaplasia Barrett atau esofagitis eosinophilic (EoE). Biopsi mukosa esofagus distal yang

tampak normal pada pasien dengan gejala GERD dapat mengungkapkan perubahan

nonspesifik, yang dikenal sebagai esofagitis perubahan minimal, didefinisikan sebagai

perpanjangan papilari, hiperplasia sel basal, dan pelebaran ruang interseluler.1,2 Implikasi

klinis histologis esofagus kelainan mukosa dengan tidak adanya perubahan yang terlihat

secara endoskopi tidak pasti, dan biopsi mukosa normal endoskopi di GERD, ketika

diagnosis lain tidak dicurigai, tidak dianjurkan.

Esofagitis eosinofilik

Variabel kriteria diagnostik dan distribusi mikroskopis dan makroskopis yang

tersebar tidak merata membuat standarisasi protokol biopsi untuk EoE sulit.3,4 Sebuah

panel ahli interdisipliner dari 33 dokter menyarankan mengambil 2 hingga 4 sampel

biopsi masing-masing dari esofagus proksimal dan distal, bahkan jika mukosa esofagus

tampak normal. Biopsi sampel juga harus diambil dari antrum lambung dan duodenum

ketika ada kecurigaan gastroenteritis eosinofilik.5 Sampel biopsi tidak boleh ditempatkan

di pengawet Bouin, yang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk

mengidentifikasi eosinofil.6 Membedakan perubahan patologis EoE dari mereka yang

GERD kadang-kadang sangatlah sulit.

Esofagitis infeksiosa

Virus cytomegalovirus dan herpes simplex. Cytomegalovirus (CMV) menginfeksi

sel mesenkimal dan kolumnar dan secara makroskopis sebagai lesi ulseratif. Dua buah

biopsi untuk CMV harus dikonsentrasikan pada dasar ulkus untuk mengoptimalkan

sampling dan akurasi diagnostik. Dalam penelitian pasien terinfeksi HIV dengan ulkus

esofagus, 3 sampel forceps dari basis ulkus diagnostik pada 80% pasien dengan

esophagitis CMV, dengan maksimum 10 sampel biopsi diperlukan untuk mengkonfirmasi

diagnosis pada pasien yang tersisa. Sampel biopsi diperiksa dengan menggunakan metode

histopatologi standar, dengan hibridisasi in situ atau noda imunohistokimia sesuai

kebutuhan.7 Reaksi rantai polimerisasi CMV kualitatif dari sampel biopsi lebih sensitif

Page 181: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

167

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

daripada histopatologi standar, tetapi kemungkinan mendeteksi laten serta penyakit klinis.

Manfaat kultur virus dalam evaluasi esophagitis CMV tidak konsisten.8,9

Virus herpes simplex menginfeksi sel epitel skuamosa, terdapat pada margin

lateral ulkus dan erosi, sehingga sampel biopsi mukosa dari tepi ulkus memiliki hasil

diagnostik tertinggi.10 Kultur virus dan reaksi rantai polimerase dapat membantu

mendiagnosis herpes simplex virus esophagitis. 10-12

Candida.

Ada data terbatas pada teknik diagnostik optimal untuk kandidiasis esofagus.

Sikatan sitologi mungkin lebih sensitif daripada histologi untuk diagnosisnya. 8,13

LAMBUNG

Helicobacter pylori gastritis.

Tes diagnostik digunakan untuk deteksi H pylori tergantung pada situasi klinis,

pertimbangan biaya, dan keahlian lokal. Tes endoskopi termasuk aktivitas urease

jaringan, pemeriksaan histologis, dan kultur mikroba. Sensitivitas tes-tes ini dapat

dikurangi oleh inhibitor pompa proton, senyawa bismut, antibiotik, dan perdarahan GI

akut.14,15 Dalam situasi di mana sensitivitas tes berkurang, hasil tes urease negatif harus

dikonfirmasi dengan tes yang berbeda untuk Infeksi H pylori, dengan histologi menjadi

alternatif yang nyaman.16 H pylori kultur memungkinkan identifikasi strain bakteri dan

pola resistensi antimikroba, tetapi sulit untuk diperoleh dan dilakukan hanya pada

beberapa pusat.

Ada data terbatas pada protokol biopsi yang optimal untuk diagnosis H pylori. El-

Zimaity dkk melaporkan bahwa protokol 3-biopsi dibandingkan dengan protokol 5-biopsi

yang diperbarui di Sydney dalam diagnosis infeksi H. pylori melalui pemeriksaan

histologis, keduanya mengidentifikasi 100% infeksi dalam penelitian retrospektif dari 46

orang.17 Tujuh puluh delapan persen pasien ini juga memiliki metaplasia usus lambung,

tetapi tidak diketahui apakah mereka sudah pernah terpapar obat yang dapat menurunkan

sensitivitas diagnostik dari tes H pylori. Pewarna yang berbeda dapat digunakan untuk

menyorot organisme H. pylori pada pemeriksaan histopatologi. Sebagian besar institusi

akademik lebih memilih H pylori immunohis- tochemistry, yang cepat (semalam) dan

relatif murah dan menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk deteksi

bakteri. Untuk tes urease H pylori, 1 hingga 2 sampel biopsi digunakan.18 Infeksi pylori

H mungkin dikaitkan dengan gastritis atrofi metaplastik lingkungan, menggarisbawahi

pentingnya identifikasi organisme serta tingkat metaplasia usus lambung dan atrofi.

Metaplastik (kronis) gastritis atrofi Gastritis atrofi metaplastik lingkungan.

Jaringan pengambilan sampel di lingkungan atrofi gastropik metaplastik (EMAG)

dilakukan untuk menetapkan diagnosis, untuk menentukan asal dan distribusi geografis

penyakit, dan untuk mengevaluasi untuk kehadiran dan tingkat perubahan displastik atau

neoplastik. Tidak ada protokol biopsi standar untuk diagnosis dan pengawasan EMAG.

Dalam penelitian prospektif dan multisenter terhadap 112 pasien dengan metaplasia

intestinal atau dysplasia lambung, rejimen yang terdiri dari setidaknya 12 sampel biopsi

memiliki sensitivitas 100% untuk diagnosis EMAG, displasia, dan kanker, sedangkan 1

rejimen yang terdiri dari 7 biopsi nontargeted mampu mendiagnosis metaplasia usus pada

97% kasus dan semua kasus displasia atau kanker. Sebaliknya, protokol Sydney yang

diperbarui mendeteksi 90% kasus EMAG yang diketahui, tetapi juga gagal

mengidentifikasi 50% pasien dengan displasia atau kanker lambung.17

Page 182: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

168

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Gastritis metaplastik atrofi atrofi (AMAG).

AMAG mempengaruhi korpus lambung dan biasanya melapisi antrum lambung.

AMAG predisposisi anemia pernisiosa dan menyebabkan peningkatan risiko

adenokarsinoma lambung dan tumor karsinoid. Tidak ada protokol biopsi mukosa standar

untuk AMAG. Biopsi harus diarahkan pada bisul, nodul, polip, dan massa untuk

menyingkirkan neoplasia.18-19

Polip epitel lambung

Polip epitel lambung termasuk polip kelenjar dana, polip hiperplastik, dan

adenoma. Polip lambung sering secara tidak sengaja terdeteksi pada endoskopi. Histologi

polip tidak dapat dibedakan secara jelas oleh penampilan endoskopi. Biopsi forcep

lengkap tidak adekuat untuk menyingkirkan displasia dan karsinoma untuk polip lebih

besar dari 0,5 cm hingga 1 cm.20-22 Polip kelenjar fundus yang berkembang secara

sporadis atau dalam hubungan dengan penggunaan proton pump inhibitor jangka panjang

memiliki sangat rendah hingga tidak ada potensi keganasan.23 Ini harus disadari, namun

displasia dapat ditemukan dalam polip kelenjar fundus yang terkait dengan poliposis

adenomatosa familial. 24

Unsur-unsur dysplastic dapat ditemukan pada sebanyak 20% polip hiperplastik.

Polip lambung adenomatosa juga memiliki potensi maligna. Polip hiperplastik dan

adenomatosa dapat terjadi dengan adanya infeksi H. pylori dan EMAG, dan pengambilan

sampel dari entitas ini harus dilakukan. Ketika hiperplastik dan adenomatous polip

diidentifikasi atau dicurigai berdasarkan tampilan endoskopi, sampel biopsi juga harus

diambil dari mukosa nonpolypoid sekitarnya untuk mengecualikan displasia yang timbul

dari latar belakang gastritis atrofi metaplastik.

USUS HALUS

Penyakit celiac

Rekomendasi mengenai pengambilan jaringan mukosa untuk diagnosis penyakit

celiac telah didasarkan pada opini ahli serta literatur yang muncul. Sampel biopsi multipel

yang diambil dari berbagai lokasi dianggap membantu untuk menghindari pengambilan

sampel yang tidak memadai yang disebabkan oleh sifat penyakit yang tidak merata dan

artefak biopsi dan memungkinkan orientasi spesimen yang tepat.25-27 Penyakit celiac

dapat terlokalisasi pada bulbus duodenum.28 Pasien dengan penyakit celiac yang

dicurigai, kami merekomendasikan 4-6 sampel biopsi diperoleh dengan forsep standar

dari bulbus duodenum dan duodenum yang lebih distal. Meskipun mukosa abnormal

endoskopi harus ditargetkan secara khusus untuk pengambilan sampel, penting untuk

menyadari bahwa penyakit histologis dapat mendasari mukosa yang tampak normal.

Secara historis, diperkirakan bahwa sampel biopsi yang baik mempermudah ahli

patologi untuk mengidentifikasi ciri khas penyakit celiac. Data terbaru, bagaimanapun,

menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit celiac hanya dapat menunjukkan

peningkatan limfositosis intraepitelial (sebagai lawan atrofi vilous) sebagai temuan

diagnostik kunci. Peningkatan limfositosis intraepitel adalah fitur yang tidak sangat

bergantung pada temuan spesimen.

Daftar Pustaka

1. Dent J. Microscopic esophageal mucosal injury in nonerosive reflux disease. Clin

Gastroenterol Hepatol 2007;5:4-16.

Page 183: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

169

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

2. Hershcovici T, Fass R. Nonerosive reflux disease (NERD)-an update. J Neurogastroenterol

Motil 2010;16:8-21.

3. Dellon ES, Aderoju A, Woosley JT, et al. Variability in diagnostic crite- ria for eosinophilic

esophagitis: a systematic review. Am J Gastroen- terol 2007;102:2300-13.

4. Odze RD. Pathology of eosinophilic esophagitis: what the clinician needs to know. Am J

Gastroenterol 2009;104:485-90.

5. Liacouras CA, Furuta GT, Hirano I, et al. Eosinophilic esophagitis: up- dated consensus

recommendations for children and adults. J Allergy Clin Immunol 2011;128:3-20.e6; quiz

21–2.

6. Yantiss RK, Odze RD. Optimal approach to obtaining mucosal biopsies for assessment of

inflammatory disorders of the gastrointestinal tract. Am J Gastroenterol 2009;104:774-83.

7. Wilcox C, Straub R, Schwartz D. Prospective evaluation of biopsy number for the

diagnosis of viral esophagitis in patients with HIV infection and esophageal ulcer.

Gastrointest Endosc 1996;44: 587-93.

8. Bonacini M, Young T, Laine L. The causes of esophageal symptoms in human

immunodeficiency virus infection. A prospective study of 110 patients. Arch Intern Med

1991;151:1567-72.

9. Wilcox CM, Rodgers W, Lazenby A. Prospective comparison of brush cytology, viral

culture, and histology for the diagnosis of ulcerative esophagitis in AIDS. Clin

Gastroenterol Hepatol 2004;2:564-7.

10. Lavery EA, Coyle WJ. Herpes simplex virus and the alimentary tract. Curr Gastroenterol

Rep 2008;10:417-23.

11. Nahass GT, Goldstein BA, Zhu WY, et al. Comparison of Tzanck smear, viral culture, and

DNA diagnostic methods in detection of herpes simplex and varicella-zoster infection.

JAMA 1992;268:2541-4.

12. Ramanathan J, Rammouni M, Baran J, et al. Herpes simplex virus esophagitis in the

immunocompetent host: an overview. Am J Gastroenterol 2000;95:2171-6.

13. Geisinger KR. Endoscopic biopsies and cytologic brushings of the esophagus are

diagnostically complementary. Am J Clin Pathol 1995;103:295-9.

14. Gisbert JP, de la Morena F, Abraira V. Accuracy of monoclonal stool antigen test for the

diagnosis of H. pylori infection: a systematic review and meta-analysis. Am J Gastroenterol

2006;101:1921-30.

15. McColl KEL. Helicobacter pylori infection. N Engl J Med 2010;362: 1597-604.

16. Takahashi S, Fukuda Y, Sugiyama T, et al. Guidelines for the manage- ment of

Helicobacter pylori infection in Japan: 2009 revised edition. Helicobacter 2010;15:1-20.

17. El-Zimaity HM, Graham DY. Evaluation of gastric mucosal biopsy site and number for

identification of Helicobacter pylori or intestinal metaplasia: role of the Sydney System.

Hum Pathol 1999;30:72-7.

18. Midolo P, Marshall BJ. Accurate diagnosis of Helicobacter pylori. Urease tests.

Gastroenterol Clin North Am 2000;29:871-8.

19. De Vries AC, Haringsma J, de Vries RA, et al. Biopsy strategies for endoscopic

surveillance of pre-malignant gastric lesions. Helicobacter 2010;15:259-64.

20. Ginsberg G, Al-Kawas F, Fleischer D, et al. Gastric polyps: relationship of size and

histology to cancer risk. Am J Gastroenterol 1996;91: 714-7.

21. Han A-R, Sung CO, Kim KM, Park C-K, et al. The clinicopathological fea- tures of gastric

hyperplastic polyps with neoplastic transformations: a suggestion of indication for

endoscopic polypectomy. Gut Liver 2009;3:271-5.

22. Muehldorfer SM, Stolte M, Martus P, et al. Diagnostic accuracy of forceps biopsy versus

polypectomy for gastric polyps: a prospective multicentre study. Gut 2002;50:465-70.

23. Genta RM, Schuler CM, Robiou CI, et al. No association between gastric fundic gland

polyps and gastrointestinal neoplasia in a study of over 100,000 patients. Clin Gastroenterol

Hepatol 2009;7: 849-54.

Page 184: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

170

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

24. Bianchi LK, Burke CA, Bennett AE, et al. Fundic gland polyp dysplasia is common in

familial adenomatous polyposis. Clin Gastroenterol Hepatol 2008;6:180-5.

25. Green PHR. Celiac disease: how many biopsies for diagnosis? Gastro- intest Endosc

2008;67:1088-90.

26. Green PHR, Cellier C. Celiac disease. N Engl J Med 2007;357:1731-43.

27. Walker MM, Talley NJ. Clinical value of duodenal biopsies - Beyond the diagnosis of

coeliac disease. Pathol Res Pract 2011;207:538-44.

28. Evans KE, Aziz I, Cross SS, et al. A prospective study of duodenal bulb biopsy in newly

diagnosed and established adult celiac disease. Am J Gastroenterol 2011;106:1837–742.

Page 185: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

171

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

KONSEP DASAR DAN MITIGASI BENCANA

Teuku Alvisyahrin

Tsunami and Disaster Mitigation Research Center Universitas Syiah Kuala [email protected]

ABSTRAK Bencana berpotensi menyebabkan kemunduran (set-back) pembangunan suatu negara

secara signifikan. Kemunduran ini berkaitan langsung dengan kehilangan sumberdaya manusia,

harta- benda, aset aset pembangunan: infrastruktur, ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan.

Bencana gempa dan tsunami regional Samudra Hindia 2004 yang berpusat di Provinsi Aceh

mengakibatkan dampak massif multi-sektoral dengan tingkat kerugian mencapai sekitar US $5

Milyar yang dapat dikaitkan dengan belum berjalannya penanggulangan bencana di Indonesia

secara komprehensif dan efektif pada saat itu. Penanggulangan bencana secara konvensional

bersifat reaktif-responsif dan menitikberatkan pada aktivitas tanggap dan bantuan darurat

(emergency response and relief) yang diikuti oleh tahapan rekonstruksi/ pemulihan pasca

bencana. Dalam manajemen bencana dengan paradigma baru, beberapa aktivitas penting

sebelum bencana terjadi (mitigasi dan kesiapsiagaan), harus dilakukan secara pro-aktif dan

konsisten, sehingga dampak/ risiko bencana dapat diperkecil dan penanggulangan bencana pada

fase tanggap darurat dan pemulihan (recovery) pasca bencana dapat dilaksanakan secara efisien

dengan dampak positif yang berkelanjutan.

Kata kunci: Penanggulangan Bencana, Mitigasi, tanggap darurat, pemulihan

Page 186: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

172

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

EPIDEMIOLOGI BENCANA

dr Agasjtya Wisjnu Wardhana SpPD KGEH FINASIM

PAPDI Medical Relieve

Epidemiologi Bencana didefinisikan sebagai penggunaan epidemiologi untuk menilai

dampak kesehatan jangka pendek dan panjang yang merugikan dari bencana dan untuk

memprediksi konsekuensi dari bencana di masa depan. Ini menyatukan berbagai bidang

topik :

epidemiologi termasuk penyakit akut dan menular,

kesehatan lingkungan,

kesehatan kerja,

penyakit kronis,

cedera,

kesehatan mental,

dan kesehatan perilaku.

Epidemiologi bencana menyediakan kesadaran situasional; artinya, ia menyediakan

informasi yang membantu kita memahami apa yang dibutuhkan, merencanakan

tanggapan, dan mengumpulkan sumber daya yang tepat.

Tujuan utama epidemiologi bencana :

1. mencegah atau mengurangi jumlah kematian, penyakit, dan cedera yang

disebabkan oleh bencana,

2. memberikan informasi kesehatan yang tepat waktu dan akurat untuk para pembuat

keputusan,

3. meningkatkan strategi pencegahan dan mitigasi bencana di masa depan dengan

mengumpulkan informasi untuk persiapan tanggapan di masa mendatang

Ini menyatukan berbagai bidang topik epidemiologi termasuk:

penyakit akut dan menular

kesehatan lingkungan

kesehatan kerja

penyakit kronis

cedera

kesehatan mental

kesehatan perilaku

Epidemiologi bencana menyediakan kesadaran situasional artinya, ia menyediakan

informasi yang membantu kita memahami:

1. apa kebutuhannya

2. rencanakan responnya

3. kumpulkan sumber daya yang tepat

Bencana adalah situasi yang kompleks di mana konsekuensi dari suatu peristiwa berada di

luar kemampuan yurisdiksi yang terkena dampak untuk merespons secara efektif,

umumnya dari 2 jenis:

Page 187: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

173

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Alam: hidrometeorologis (mis., Banjir, tornado, angin topan, badai es); geologis

(misalnya, gempa bumi, letusan gunung berapi); atau biologis (misalnya, pandemi

influenza)

Buatan manusia: tidak disengaja atau disengaja (mis., Serangan teroris termasuk

bioterorisme, tumpahan bahan kimia, pelepasan radiasi, kebakaran hutan, kegagalan

teknis, konflik sipil

Keberhasilan penerapan epidemiologi dalam pengaturan bencana sebagian besar

bergantung pada pengakuan peluang untuk:

Kumpulkan informasi yang dapat ditindaklanjuti untuk:

1. mengembangkan atau

2. mengevaluasi intervensi

3. untuk menjaga kesehatan dan menyelamatkan nyawa.

BENCANA DAN KESEHATAN:

- Cedera saat bencana

- Kerusakan lingkungan saat sesudah bencana

- Kondisi malnutrisi setelah bencana

- Gangguan kesehatan mental pasca bencana

- Wabah penyakit menular

- Peningkatan kematian penyakit tidak menular

Wabah Penyakit Menular :

Bukti yang terbatas mengenai risiko kerusakan berat pasca bencana mengenai wabah,

tetapi ditemukan adanya :

Perubahan ekologis

Perubahan kepadatan penduduk

Perpindahan populasi

Pelayanan kesehatan yang terganggu

Tidak terlayaninya pasien akibat infra struktur kesehatan rusak

Bukti angin topan di Amerika Serikat

Page 188: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

174

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Tampak pengaruh kepesisir pantai serta sarana infra struktur yg terganggu akibat mulai

adanya kerusakan. Juga masalah kebutuhan pasokan listrik , pembuangan air limbah

rumah tangga , sampah serta fasilitas air bersih yang tidak mencukupi.

Kerangka kerja aplikasi epidemiologi bencana membutuhkan kesiapan informasi kegawat

daruratan yang cepat serta kesiap siagaan petugas kesehatan sewaktu-waktu.

Diformulasikan pada 3 kegiatan :

A. Penguatan kapasitas negara dalam menghadapi bencana

(BNPB – BASARNAS-LINMAS-TNI/POLRI- PRAMUKA-RAPI-ORARI-RATIH

(Menwa – TAGANA – Pecinta Alam – Klub Offroader)

B. Kepemimpinan dalam memahami situasi bencana memberikan edukasi serta

memberikan komando penanganan

C. Identifikasi kapabilitas kebutuhan pendukung dalam epidemiologi bencana serta

memberikan respons cepat

Sejalan dengan tujuan diatas ada 6 tujuan:

1. Identifikasi personel epidemiologi bencana, peran mereka, dan rentang tanggung

jawab dalam siklus manajemen bencana

2. Identifikasi contoh kegiatan epidemiologi bencana yang saat ini sedang

dilaksanakan di tingkat negara bagian, suku, lokal, teritorial, dan federal.

3. Identifikasi cara untuk mengaktifkan dan mengimplementasikan kegiatan

epidemiologi bencana selama fase tertentu dari siklus manajemen bencana.

4. Mengidentifikasi cara-cara untuk memberi informasi lebih baik kepada mitra

kesehatan masyarakat (misalnya, lembaga tanggap darurat, penyedia layanan

sosial, sektor swasta termasuk industri konstruksi dan perumahan) dari manfaat

kemampuan epidemiologi bencana di departemen kesehatan masyarakat sehingga

mereka dapat digunakan dalam kesiapsiagaan secara keseluruhan, respons , dan

upaya pemulihan.

5. Mengidentifikasi kebutuhan informasi tanggap darurat umum, yang berpotensi

terstandarisasi selama siklus manajemen bencana yang dapat dipenuhi oleh

keterampilan dan aktivitas epidemiologi bencana.

6. Mengidentifikasi dan membakukan ketrampilan epidemiologi, kemampuan

umum, dan alat yang dapat diterapkan untuk tanggap darurat.

Page 189: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

175

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Kesimpulan:

Kegiatan berbasis epidemiologi dapat meningkatkan kesadaran situasional selama

keadaan darurat dan berkontribusi untuk pemahaman yang lebih baik, alokasi sumber

daya, dan pesan selama dan setelah bencana.

Kegiatan epidemiologi bencana - penilaian kebutuhan cepat, pengawasan,

pendaftaran, investigasi, dan penelitian - dapat diterapkan secara rutin di seluruh

siklus manajemen bencana untuk memberikan informasi yang dapat ditindaklanjuti

tentang status kesehatan dan kebutuhan sumber daya di antara masyarakat dan pekerja

kepada manajer insiden dan pemangku kepentingan lainnya.

Kegiatan epidemiologi bencana - penilaian kebutuhan cepat, pengawasan,

pendaftaran, investigasi, dan penelitian - dapat diterapkan secara rutin di seluruh

siklus manajemen bencana untuk memberikan informasi yang dapat ditindaklanjuti

tentang status kesehatan dan kebutuhan sumber daya di antara masyarakat dan pekerja

kepada manajer insiden dan pemangku kepentingan lainnya.

Informasi epidemiologis yang disediakan secara real time selama peristiwa bencana

pada akhirnya memberikan kontribusi untuk menyelamatkan nyawa dan mengurangi

morbiditas dan mortalitas.

Page 190: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

176

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

MANAJEMEN NUTRISI DI TEMPAT PENGUNGSIAN Ari Fahrial Syam

Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM

@dokterari www.dokterari.com [email protected]

Nutrisi memegang peranan penting dalam penanganan korban di pengungsian.

Sebelum dilakukan pemberian nutrisi perlu dievaluasi apakah ada malnurisi pada

seseorang korban di pengungsian. Jika ada malnutrisi pada korban pengungsian terutama

anak2, maka intervensi nutrisi harus diberikan. Karena di dalam tempat pengungsian

risiko terjadinya perburukan malnutrisi dapat terjadi.

Kondisi di tempat pemngungsian merupakan faktor penting yang bisa

memperburuk kondisi kesehatan pengungsi. Faktor stress, depresi yang terjadi pada

korban pengungsian akan mempengaruhi daya tahan tubuh. Pada saat terjadi pengungsian

besar-besaran kondisi kebersihan baik lingkungan maupun makanan dan minuman yang

dikonsumsi oleh para pengungsi sangat tidak memadai. Umumnya para pengungsi tidur

dengan alas ala kadarnya.

Disisi lain cuaca tetap belum bersahabat mengingat hujan dan angin kencang bisa

saja muncul sehingga memperburuk kondisi para pengungsi saat itu. Kondisi tempat

berteduh dan istirahat yang buruk ini memang sangat berdampak pada korban

pengungsian terutama pada bayi, anak-anak dan orang tua. Lingkungan di tempat

pengungsian juga harus menjadi perhatian seperti kotoran menumpuk dimana-mana,

banyak lalat dan tikus berkeliaran. Bakteri tumbuh subur dimana-mana serta air bersih

yang tercemar.

Penilaian Nutrisi

Sebelum melakukan nutrisi penilaian status nutrisi merupakan hal yang penting

saat ini berbagai alat digunakan untuk melakukan penilaian status nutrisi. Perlu

dilakukan untuk dilakukan penilaian untuk mendeteksi adanya malnutrisi.

Malnutrisi yang dimaksud disini adalah undernutrisi. Malnutrisi sendiri secara

definisi adalah apabila terjadi penurunan berat badan lebih dari 10 % dari berat badan

sebelumnya dalam 3 bulan terakhir atau apabila pada saat pengukuran berat badan kurang

dari 90 % berat badan ideal perdasarkan tinggi badan Jika Indeks massa tubuh (IMT)

kurang dari 18,5 kg/M2. Pengukuran antropometri juga penting untuk pengungsi bayi

dan anak-anak.

Untuk penelitian status nutrisi terdapat berbagai tool yang dapat digunakan.

Nutritional Risk Screening (NRS), salah satu tool yang dapat digunakan untuk melakukan

panapisan apakah korban pengungsian perlu mendapat intervensi atau makanan

tambahan. Penapisan didasarkan pada berat badan dengan IMT < 20.5, terjadi penurunan

berat badan dalam 3 bulan terakhir dan ada tidaknya penyakit yang berat. 1

Metode yang sering digunakan dan mudah untuk diterapkan dalam praktek

sehari-hari adalah Subjective Global Assessment (SGA). Penilaian status nutrisi dengan

SGA didasarkan pada perubahan berat badan, perubahan asupan diit, gejala-gejala

gastrointestinal seperti mual,muntah, diare serta anoreksia. Pada SGA juga dinilai

kapasitas fungsional, apakah pasien masih ambulatoar atau sudah bedridden, selain itu

juga ditanyakan berapa lama hal ini sudah terjadi. Selain itu pada SGA juga dinilai

hubungan antara penyakit dan kebutuhan gizi serta pemeriksaan fisik fokus pada gejala-

gejala defisiensi nutrisi. Pemeriksaan fisik standar akan melengkapi SGA. Kehilangan

lemak, dan masa otot serta adanya edema merupakan penanda malnutrisi. Tanda-tanda

fisik tersebut harus dikategorikan sebagai ringan, sedang, atau berat. Melalui SGA akan

Page 191: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

177

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

diambil kesimpulan bagaimana status nutrisi korban di tempat pengungsian tersebut dan

dibagi menjadi tidak ada malnutrisi (SGA derajat A), malnutrisi sedang (SGA derajat B)

dan malnutiris berat (SGA derajat C).

Intervensi Nutrisi Secara umum konsep nutrisi yang dipopulerkan oleh Prof Daldiyono adalah orang

sehat perlu makan apalagi orang sakit. Untuk korban pengungsian yang mengalami

undernutri harus menjadi prioritas untuk mendapat makanan tambahan.

Secara umum kebutuhan gizi sesuai kebutuhan yang dianjurkan. Kebutuhan gizi

meliputi kalori, protein, karbohidrat, lemak, cairan, elektrolit mikronutrien lain. Bentuk

nutrisi yang diberikan tentu disesuaikan dengan kondisi korban pengungsian. Prinsip

utama tetap bahwa apabila masih bisa makan maka sebaiknya nutrisi diberikan normal.

Kebutuhan nutrisi secara kasar dapat menggunakan rule of thumb. 2 Pada pasien

yang non obesitas dapat menggunakan actual body weight dengan perhitungan jika

pasiennya ambulatoar dengan menggunakan perhitungan 30-35 kkal/kg BB/hari, jika

pasiennya bedridden dapat menggunakan perhitungan kalori 25-30 kkal/kg BB/hari.

Pemilihan Bahan makanan disesuaikan dengan ketersediaan bahan makanan yang

ada. Umumnya memang makanan yang tersedia terbatas tetapi diusahakan tetap

mengandung gizi yang seimbang. Kandungan gizi diusahakan mengandung karbohidrat,

lemak, protein, vitamin, mineral serat dan juga cukup air bersih untuk dikonsumsi. Selain

faktor ketersediaan makan faktor tenaga juga penting. Pemeberian suplemen harus

disesuaikan dengan kebutuhan. Tetapi dengan kondisi tempat pengungsian yang minum

memang dianjurkan tersedianya suplemen vitamin dan mineral. Secara umum untuk

orang dewasa disediakan ransum makanan yang mengandung kalori minimal 2100, 50

gram protein dan 40 gram per orang per hari sessuai anjuran yang telah ditetapkan oleh

Kemenkes RI. 3

Pada akhirnya penangan nutrisi korban pengungsian merupakan rangkainan

kegiatan yang seharusnya dimulai sejak kondisi aman tanpa bencana. Perlu data yang

lengkap mengenai kondisi masyarakat setempat. Proses berikutnya adalah dalam situasi

bencana yang meliputi tahap tanggap darurat awal, tahap tanggal darurat lanjut dan pasca

bencana. Kegiatan bantuan nutrisi juga tentunya disesuaikan kondisi pada tahap2 tersebut.

Saat fase akut tentu yang penting dan terutama selalu ada makanan yang dapat

dikonsumsi oleh para pengungsi. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya malnutrisi.

Baru setelah pasca bencana perlu ada penanganan khusus untuk korban bencana yang

mengalami masalah nutrisi.4

Kepustakaan

1. Syam AF, Nelwan EJ, Rasyid H, Sukrisman L. Konsensus nutrisi enteral dan parenteral pada

bidang Ilmu Penyakit Dalam. PAPDI 2012.

2. Arends J,�Bodoky G, Bozzetti F, Fearon K, Muscaritoli M, Selga G et al. ESPEN Guidelines

on Enteral Nutrition: Non-surgical oncology. Clinical Nutrition 2006:25, 245–59.

3. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.

Pedoman kegiatan gizi dalam penaggulan bencana. Jakarta. Kemenkes RI 2012.

4. Tsuboyama-Kasaoka N. Purba MB. Nutrition and earthquakes: experience and

recommendations. Asia Pac J Clin Nutr 2014;23:505-13.

Page 192: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

178

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

GI EMERGENCY TOPIC: MANAGEMENT OF FULMINANT COLITIS Murdani Abdullah

Division of Gastroenterology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of

Indonesia-dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta Pusat, Indonesia

Introduction

Fulminant colitis is a potentially life-threatening disorder that requires expert

management to achieve optimal outcomes. Fulminant colitis is associated with very high

mortality. Therefore, optimal management necessitates coordination between medical and

surgical therapy. Moreover, multidisciplinary strategies are required.

Definition

The term ‘fulminant colitis’ is not well defined. Several definitions exist. In 1950,

Rice-Oxley classified ulcerative colitis patients in ‘acute fulminating’subgroup if they had

a single attack going on to death in less than 1 year. From this definition, it implies that

fulminant colitis is an acute severe inflammation of the colon associated with systemic

toxicity. ‘Fulminant colitis’ is often used to describe the severity of inflammatory bowel

disease, especially ulcerative colitis. Truelove and Witts classified the severity of

ulcerative colitis as mild, moderately severe, and severe with severe colitis defined as >6

bloody stools/ day, fever, tachycardia (>90x/minute), anemia, and elevation in ESR (>30

mm in 1 hour). However, Hanauer added another classification with ‘fulminant colitis’

defined as >10 bloody stools/day, tachycardia (>90x/minute), fever, anemia which

required transfusion, ESR >30 mm/h, presence of abdominal distention and tenderness on

physical exam, and dilated colon in imaging.

Other etiology frequently associated with fulminant colitis is Clostridium Difficile colitis

(CDC). Dallal also classified the severity of CDC as shown in Table 1 below:1

Page 193: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

179

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Table 1. Classification of Clostridium Difficile Colitis1

Heart Rate Percent

Band Forms

Respiratory

Status

Oliguria Hypotension

Mild disease Normal Normal Normal None Not present

Moderate

disease

>90 >10% bands Mild

tachypnea

Responds to

volume

>100 systolic

Fulminant

Disease

>120 >30% bands Requiring

mechanical

intubation

Severe Requires

vasopressors

Etiology

The two most common etiologies associated with fulminant colitis are ulcerative colitis

and infectious colitis, especially Clostridium difficile colitis (CDC). However, there are

also other less common etiologies, which are shown in Table 2.

Table 2. Etiology of Fulminant Colitis2

Classification Etiology

Inflammatory 1. Ulcerative colitis

2. Crohn’s disease

Infectious 1. Bacterial: pseudomembranous colitis due to Clostridium difficile,

Salmonella, Shigella, Yersinia, Campylobacter, etc.

2. Viral: Cytomegalovirus

3. Parasites: Entamoeba histolytica, Cryptosporidium

Other 1. Ischemia

2. Drugs

3. Radiotherapy

This current review will focus on fulminant colitis associated with ulcerative

colitis and CDC. Intestinal superinfection is postulated to play a role in ulcerative colitis

‘flare’. The most commonly studied is the role of Clostridium difficile infection (CDI) in

ulcerative colitis patients. An inception cohort study involving 1754 patients with

ulcerative colitis found that within 5 years of diagnosis, the risk of C. difficile infection in

ulcerative colitis patients was 3.4% (95% CI 2.5%-4.6%). Moreover, the risk of

colectomy was higher in group with C. difficile infection (sub-hazard ratio (sHR) = 2.36;

95% CI 1.47-3.80), and they also had higher postoperative complications (OR = 4.84;

95% CI 1.28-18.35) and mortality rate (sHR = 2.56 times; 95% CI 1.28-5.10).3 Other

study analyzing data from electronic medical records found that hypoalbuminemia (serum

albumin <3 g/dL) as an independent predictor of severe outcomes in patients with

inflammatory bowel disease complicated with CDI.4

Other infections commonly associated with ulcerative colitis is cytomegalovirus

(CMV), because these patients are commonly treated with immunosuppressive drugs. The

estimated prevalence of CMV infection in patients with steroid-refractory ulcerative

colitis was 33-36% and 21-34% in patients with severe ulcerative colitis. Recent

systematic review reported that CMV infection was associated with higher rate of

colectomy (RR 2.13; 95% CI 1.03-4.40; p = 0.042) and increased incidence of severe

colitis (RR 1.32; 95% CI 1.04-1.67; p = 0.022).5

Page 194: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

180

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Diagnosis First, the diagnosis of fulminant colitis should be established by applying the

previously discussed criteria. Then, the primary goal is to differentiate patients with

ulcerative colitis exacerbation or infectious colitis, because the treatments are very

different. The diagnosis must be systematic, beginning with anamnesis and additional

examinations. Anamnesis must obtain data regarding personal and family history of

inflammatory bowel disease, recent overseas travel, contact with other people with

diarrhea, antibiotic use, immunosuppression, use of other drugs which can cause colitis

(NSAID, chemotherapeutic agents, cocaine, amphetamines), and causes of ischemic

colitis (vascular disease, vasculitis). Careful physical examination of the abdomen,

rectum, and other systemic region should be performed.2,6

Laboratory studies should be requested and include full blood count (to detect

anemia, leukocytosis, neutrophilia, or leukopenia in sepsis), inflammatory markers

(elevation of ESR and CRP), electrolytes (dehydration can cause imbalance, and

hypokalemia is often encountered due to increased secretion by the inflamed colon), and

liver function test (including albumin to detect hypoalbuminemia).2,6 Fecal analysis is

essential to diagnose CDC. Current guidelines from ACG and IDSA recommended a

multistep algorithm approach. The tests can be performed with glutamate dehydrogenase

immunoassay with or without toxin test or nucleic acid amplification test (NAAT) using

PCR.7 Fecal calprotectin can also be tested because it is an accurate marker of

inflammation of the colon.8

Imaging study should include plain abdominal radiograph to detect dilatation of

colon, determine the extent of the lesion, presence of mucosal islands, and gas-filled

small bowel loops. CT scan of the abdomen could be taken to detect nonspecific signs

such as wall thickening, dilatation of colon, accordion sign (thickened edematous wall

due to pseudomembranous colitis), target sign, ascites, and other complications. CT can

also be used to classify the severity of CDC patients when correlated with the clinical

history. CT is especially essential in seriously ill patients who do not have diarrhea or

presenting with unexplained acute abdomen with high leukocytosis.2,6

Colonoscopy is useful to determine the etiology of fulminant colitis. However, the

safety in this setting is still debated. Complete colonoscopy is especially contraindicated.

Instead, flexible sigmoidoscopy with biopsy is enough for histopathologic and

microbiologic examinations and presents with less risk. Endoscopic criteria of severe

colitis include hemorrhagic mucosa with deep ulcerations, well-like ulceration, and

mucosal detachment on the edge of the ulcerations.2,6,8

Treatment

Collaboration between gastroenterologists and colorectal surgeons is essential for

the treatment of fulminant colitis. Delayed surgery can cause complications and mortality.

The goals of the treatments are to prevent perforation, correct dehydration and electrolyte

imbalance, nutritional support, and the precipitating factors.2,6 The 2017 European

Crohn’s and Colitis Organization (ECCO) recommended IV fluid and potassium

supplementation of at least 60 mmol/day because hypokalemia and hypomagnesemia can

induce toxic megacolon. Blood transfusion should be given to maintain hemoglobin

levels above 8-10 g/dL. Nil per os is not recommended, enteral nutrition is most

appropriate and has fewer complications than parenteral route. Antibiotics are given only

if there are suspicions of infections such as first attack of short duration, after recent

admission in hospital, after travelling from an area where ameba is endemic, or they may

be given just prior to surgery. The choice of antibiotics depends on the local pattern of

Page 195: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

181

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

resistance, with regime such as cefotaxime and metronidazole, ciprofloxacin and

metronidazole, imipenem, meropenem, or piperacillin-tazobactam can be given. Presence

of CMV infection from biopsy is an indication to give antivirals such as ganciclovir. In

addition, subcutaneous prophylactic low-molecular weight heparin should be given to

reduce the risk of thromboembolism which is increased during ulcerative colitis ‘flares’.

Opioid drugs, anticholinergic, anti-diarrheal, and NSAID should be avoided because they

predispose to colonic dilatation.9

Patients should also be monitored daily, such as physical examination to detect

abdominal and rebound tenderness, vital signs 4 times daily, stool chart recording the

number and characteristics of bowel movements, laboratory tests such as complete blood

count, CRP, electrolytes, albumin, liver function test, glucose every 24 hours, and daily

abdominal radiographs.2

Specific Treatments of Fulminant Colitis Associated with Ulcerative Colitis

The first line therapy is IV corticosteroids, using methylprednisolone 60 mg in 24

hours or hydrocortisone 100 mg 4 times daily. Bolus or continuous administration

showed similar efficacy. Treatment duration should be no more than 7 to 10 days, as

prolonged treatment showed no additional benefits. Topical therapy such as

corticosteroids or 5-ASA can be given if they are tolerated, although studies proving their

efficacies have been lacking. The response to steroid therapy should be assessed at the

third day of therapy.9 Improvements can be decided based on clinical, biochemical, and

radiological markers. The simplest criterion was Oxford criteria, which found that 85% of

patients with >8 stools on that day or >3 stools and CRP >45 mg/l would eventually

require colectomy. Other criteria such as Ho-index is a scoring system utilizing mean

stool frequency, colonic dilatation, and hypoalbuminemia to calculate the scores. There

are also two endoscopic criteria, the Ulcerative Colitis Endoscopic Index of Severity

(UCEIS) and the Mayo Endoscopic Score (MES). Recent study reported that with UCEIS

score ≥7, 80% of patients will require colectomy and it has better predictive value than

MES.10

In case of the lack of response to steroid on the third day, salvage therapy can be

initiated. The most commonly used second-line drugs are cyclosporine, infliximab, or

tacrolimus.9 The first open-label randomized trial comparing infliximab versus

cyclosporine, CYSIF, involved 58 patients who received cyclosporine and 57 patients

who received infliximab after a failure to respond to steroid therapy on day 5. The results

showed that the rate of treatment failure between the two groups were not significantly

different (60% in cyclosporine group, 54% in infliximab group, absolute risk difference

6%; 95% CI -7 to 19; p = 0.52).11 The more recent CONSTRUCT trial is also an open-

label randomized trial involving 135 patients receiving infliximab (5 mg/kg IV infusion

given over 2 hours at baseline and repeat administration at 2 weeks and 6 weeks after the

first infusion) and 135 patients receiving cyclosporine (2 mg/kg per day continuous

infusion up to 7 days, followed by 5.5 mg/kg tablets twice daily for 2 weeks). Again,

there were no significant differences in quality-adjusted survival, deaths, or adverse

events.12 These results showed that the decision to choose between cyclosporine or

infliximab must be individualized. However, in patients who have failed with

azathioprine, infliximab is more preferred than cyclosporine.6

Response to infliximab or cyclosporine should be assessed daily. For patients who

failed to response on day 5-7, surgery should be initiated. A staged procedure, initially

with subtotal colectomy and ileostomy, followed by proctectomy and construction of

Page 196: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

182

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

ileal-pouch anal anastomosis (IPAA) is recommended.9 The diagram below showed the

treatment algorithm.

Diagram 1. Treatment Algorithm of Acute Severe Ulcerative Colitis6

Page 197: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

183

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Specific Treatments of Fulminant Colitis Associated with Clostridium Difficile Colitis

(CDC)

The ACG guideline and the more recent IDSA 2017 guideline stated that

vancomycin and IV metronidazole are the treatments of choice for severe CDC. The dose

of vancomycin according to ACG 2013 guideline was 125 mg 4 times daily, while the

IDSA recommended that the initial dose was 500 mg orally 4 times per day plus 500 mg

in 100 ml normal saline per rectum every 6 hours as a retention enema.7,13 The dose of IV

metronidazole is 500 mg every 8 hours. The ACG guideline also stated that surgery

should be considered for patients who had the following criteria: hypotension requiring

vasopressor therapy, clinical signs of sepsis and organ dysfunction, mental status changes,

WBC count ≥50,000 cells/μl, lactate ≥5 mmol/l, or complicated CDC with failure to

respond to medication after 5 days. The recommended procedure is subtotal colectomy

with preservation of rectum.13 The diagram below showed the treatment algorithm of

fulminant colitis associated with CDC.

Diagram

2.

Treatment Algorithm of Fulminant Colitis Associated with C. difficile Infection6

Page 198: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

184

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Conclusion

Fulminant colitis is an important condition to be recognized early. The most common

etiologies are ulcerative colitis and C. difficile colitis (CDC). Diagnosis should be

systematic, taking the appropriate history, physical examination, laboratory studies,

imaging, and flexible sigmoidoscopy. Early collaboration between gastroenterologist and

colorectal surgeon is essential. General management should stabilize the patients and

correct any fluid-electrolyte abnormalities. Physician should also recognize the treatment

algorithm of fulminant colitis associated with ulcerative colitis and C. difficile infection.

Further studies are needed to compare treatments and to discover new approach.

References

1. Dallal RM, Harbrecht BG, Boujoukas AJ, et al. Fulminant Clostridium difficile: An

underappreciated and increasing cause of death and complications. Ann Surg.

2002;235(3):363-372.

2. Marquez M, Martinez A, Duarte A, Cobian R. Current Status of the Treatment of Fulminant.

Cir Esp. 2015;93(5):276-282.

3. Negrón ME, Rezaie A, Barkema HW, et al. Ulcerative Colitis Patients With Clostridium

difficile are at Increased Risk of Death, Colectomy, and Postoperative Complications: A

Population-Based Inception Cohort Study. Am J Gastroenterol. 2016;111(5):691-704.

4. Ananthakrishnan AN, Guzman-Perez R, Gainer V, et al. Predictors of severe outcomes

associated with C lostridium difficile infection in patients with inflammatory bowel disease.

Aliment Pharmacol Ther. 2012;35(7):789-795.

5. Zhang W-X, Ma C-Y, Zhang J-G, et al. Effects of cytomegalovirus infection on the

prognosis of inflammatory bowel disease patients. Exp Ther Med. 2016;12(5):3287-3293.

6. Portela F, Lago P. Fulminant colitis. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2013;27(5):771-782.

7. McDonald LC, Gerding DN, Johnson S, et al. Clinical Practice Guidelines for Clostridium

difficile Infection in Adults and Children: 2017 Update by the Infectious Diseases Society of

America (IDSA) and Society for Healthcare Epidemiology of America (SHEA). Clin Infect

Dis. 2018;31(5):431-455.

8. Magro F, Gionchetti P, Eliakim R, et al. Third European evidence-based consensus on

diagnosis and management of ulcerative colitis. Part 1: Definitions, diagnosis, extra-intestinal

manifestations, pregnancy, cancer surveillance, surgery, and ileo-anal pouch disorders. J

Crohn’s Colitis. 2017;11(6):649-670.

9. Harbord M, Eliakim R, Bettenworth D, et al. Third European evidence-based consensus on

diagnosis and management of ulcerative colitis. Part 2: Current management. J Crohn’s

Colitis. 2017;11(7):769-784.

10. Xie T, Zhang T, Ding C, et al. Ulcerative Colitis Endoscopic Index of Severity (UCEIS)

versus Mayo Endoscopic Score (MES) in guiding the need for colectomy in patients with

acute severe colitis. Gastroenterol Rep. 2018;6(1):38-44.

11. Laharie D, Bourreille A, Branche J, et al. Ciclosporin versus infliximab in patients with

severe ulcerative colitis refractory to intravenous steroids: A parallel, open-label randomised

controlled trial. Lancet. 2012;380(9857):1909-1915.

12. Williams JG, Alam MF, Alrubaiy L, et al. Infliximab versus ciclosporin for steroid-resistant

acute severe ulcerative colitis (CONSTRUCT): a mixed methods, open-label, pragmatic

randomised trial. Lancet Gastroenterol Hepatol. 2016;1(1):15-24.

13. Surawicz CM, Brandt LJ, Binion DG, et al. Guidelines for diagnosis, treatment, and

prevention of clostridium difficile infections. Am J Gastroenterol. 2013;108(4):478-498.

Page 199: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

185

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

TERAPI BERBASIS FURAZOLIDONE, RIFABUTIN DAN SITAFLOXACIN

SEBAGAI REJIMEN ALTERNATIF ERADIKASI HELICOBACTER

PYLORI DI INDONESIA

Muhammad Miftahussurur1.2, Langgeng Agung Waskito2.3, Ari Fahrial Syam4, Maria Inge Lusida2, Kartika

Afrida Fauzia2.3, Iswan Abbas Nusi1, Gontar Siregar5, OK Yulizal5, Marcellino Ricardo6, Abdul Rahman7,

Achmad Fuad Bakry8, Kanserina Esthera Dachi9, Phawinee Subsomwong10, Yudith Annisa Ayu Rezkitha2,

Fardah Akil11, Willi Brodus Uswan12, David Simanjuntak13, I Dewa Nyoman Wibawa14, Jimmy Bradley

Waleleng15, Alexander Michael Joseph Saudale16, Fauzi yusuf17, Syifa Mustika18, Pangestu Adi2, Hasan

Maulahela4, Junko Akada3, Yoshio Yamaoka3.19

1Division of Gastroentero-Hepatology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine-Dr.

Soetomo Teaching Hospital, Universitas Airlangga, Surabaya 60131, Indonesia, 2Institute of

Tropical Disease, Universitas Airlangga, Surabaya 60115, Indonesia, 3Department of

Environmental and Preventive Medicine, Oita University Faculty of Medicine, Yufu 879-5593,

Japan, 4Division of Gastroenterology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine,

University of Indonesia, Jakarta 10430, Indonesia, 5Division of Gastroentero-Hepatology,

Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara, Medan

20136, Indonesia, 6Department of Internal Medicine, Merauke City General Hospital, Merauke

99656, Indonesia, 7Department of Internal Medicine, Kolaka City General Hospital, Kolaka, 8Division of Gastroentero-Hepatology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine

Sriwijaya University, Palembang 30126, Indonesia, 9Department of Internal Medicine,

Gunungsitoli General Hospital, Nias 22813, Indonesia, 10Division of Infectious Disease,

Department of Infection Microbiology, Research Institute for Microbial Diseases, Osaka

University, Suita, Osaka 5620031, Japan, 11Center of Gastroentero-Hepatology, Department of

Internal Medicine, Faculty of Medicine, Hasanuddin University, Makassar 90245, Indonesia, 12Department of Internal Medicine, Santo Antonius Hospital, Pontianak 78115, Indonesia, 13Department of Internal Medicine, Yowari Hospital, Jayapura 99352, Indonesia, 14Division of

Gastroentero-hepatology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine University of

Udayana, Denpasar 80232, Indonesia, 15Division of Gastroentero-hepatology, Department of

Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of Sam Ratulangi, Prof. Dr. RD Kandou

Hospital, Manado, 95115, Indonesia, 16Department of Internal Medicine, Prof. Dr. W. Z. Johannes

General Hospital, Kupang 85111, Indonesia, 17Division of Gastroentero-hepatology, Department

of Internal Medicine, Dr. Zainoel Abidin General Hospital, Banda Aceh 23126, Indonesia, 18Division of Gastroentero-hepatology, Department of Internal Medicine, Dr. Saiful Anwar

General Hospital, Malang 65122, Indonesia, 19Department of Medicine, Gastroenterology and

Hepatology Section, Baylor College of Medicine, Houston, Texas 77030, USA

Abstrak

Pendahuluan: Populasi Indonesia mempunyai prevalensi tinggi Helicobacter pylori yang resisten

terhadap metronidazole dan klaritromisin, sehingga kedua obat tersebut harus diberikan dengan

pertimbangan di beberapa wilayah Indonesia. Selain itu, peningkatan resistensi terhadap

levofloxacin tanpa ketersediaan bismuth memberikan konsekuensi kebutuhan antibiotik lain

sebagai rejimen lini kedua dan ketiga.

Metode: Konsentrasi hambatan minimal H. pylori diukur dengan metode agar dilusi terhadap

lima jenis antibiotik, yaitu furazolidone, rifabutin, rifaximin, garenoxacin dan sitafloxacin. Data

mutasi pada gen rpoB, gyrA, gyrB, dan faktor virulensi didapat menggunakan Next Generation

Sequencing.

Hasil dan Diskusi: Kami mengisolasi 105 strain dan 58,1% diantaranya sensitif terhadap kelima

antibiotik. Tidak didapatkan strain yang resisten terhadap furazolidone. Semua strain juga sensitif

terhadap rifabutin dan sitafloxacin. Sebaliknya, didapatkan tingkat resistensi yang tinggi terhadap

Page 200: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

186

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

rifaximin (40/105, 38,9%) dan garenoxacin (7/105, 6.7%). Terdapat 4 strain yang resisten

terhadap rifaximin dan garenoxacin. Strain yang diisolasi dari pulau Jawa mempunyai resistensi

tertinggi terhadap garenoxacin dibandingkan dengan wilayah lain. Lebih dari setengah strain yang

di isolasi dari pulau Kalimantan, Sulawesi and Bali mempunyai resistensi terhadap rifaximin dan

tidak ada satupun wilayah Indonesia yang mempunyai resistensi terhadap rifaximin kurang dari

20%. Strain resisten terhadap garenoxacin terkait dengan substitusi asam amino rpoB terutama

pada I66V, K321R dan V657I. Berbeda dengan publikasi sebelumnya, strain resisten garenoxacin

tidak terkait dengan mutasi di gyrA dan gyrB. Tidak ada hubungan antara cagA, vacA, iceA,

jhp0562, dupA dan oipA dengan jenis resistensi antibiotik.

Kesimpulan: Terapi berbasis furazolidone, rifabutin, dan sitafloxacin dapat menjadi rejimen

alternatif untuk eradikasi H. pylori di Indonesia termasuk di daerah dengan resisten metronidazol

dan klaritromisin yang tinggi. Sitafloxacin tetapi bukan garenoxacin memiliki kemampuan untuk

membasmi strain yang resisten terhadap levofloxacin.

Kata Kunci: furazolidone, rifabutin, sitafloxacin, Helicobacter pylori

Page 201: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

187

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

PERBANDINGAN AST TO PLATELET RATIO INDEX (APRI), FIB4, RASIO

SGOT/SGPT TERHADAP FIBROSCAN DALAM MENDETEKSI FIBROSIS

LANJUT PADA PASIEN HEPATITIS C YANG BELUM DITERAPI

Nikko Darnindro, Edi Mulyana, Annela Manurung, Arnold Harahap

Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RSUP Fatmawati, Jakarta, Indonesia

Abstrak

Pendahuluan: Hepatitis C kronis merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan

nekroinflamasi dan fibrosis pada hati. Biopsi hati dan Elastografi Transien adalah metode baku

untuk evaluasi fibrosis hati, namun tidak tersedia luas. APRI, FIB4 dan rasio SGPT/SGPT adalah

metode non invasif untuk evaluasi fibrosis menggunakan model matematis dan dapat digunakan

di daerah dengan sumber daya yang terbatas terbatas. Studi ini dilakukan untuk menilai akurasi

dan kemampuan diagnosis APRI, FIB4 dan rasio SGOT/SGPT dalam mendiagnosis fibrosis

lanjut.

Metode: Peneltiian ini menggunakan desain potong lintang pada 78 pasien hepatitis C yang

berobat di poli gastrohepato RSUP Fatmawati, Jakarta dari Bulan Agustus 2017-Maret 2018

Hasil: Median usia pasien 42 tahun (32-80 tahun) dengan jumlah pasien laki laki sebanyak

73.1%. Median hasil fibroscan pada pasien adalah 9.8 kPa (3.3-66.4 kPa). Fibrosis lanjut

terdeteksi pada 52.6% pasien. Hasil analisis menggunakan kurva ROC didapatkan AUCROC

FIB4 sebesar 83.5% (74.7-92.4%) p 0.000; AUCROC APRI sebesar 83.8% (74.8-92.8%) p 0,000.

Rasio SGOT/SGPT sebesar 66.9% (54.8%-79%) p 0.01. Sedangkan mFIB4 sebesar 77% (66.3%-

87.7%). Berdasarkan kurva nilai titik potong yang dipiih untuk APRI, FIB4 dan rasio

SGOT/SGPT adalah 0.63; 1,36; 1,0. Dengan titik potong ini,nilai sensitifitas, spesifitas, nilai duga

positif, nilai duga negatif dan akurasi diagnostik adalah 80.5%, 75.7%, 78.6%, 77.7%, 78.2%;

75.6%, 83.7%, 83.7%, 75.6%, 79,4%; 0.6%, 0.62%, 0.64%, 0.58%, dan 61.5%.

Diskusi: APRI dan FIB4 berdasarkan studi ini mempunyai nilai yang sebanding dalam

mendiagnosis fibrosis lanjut pada hepatitis C kronik. Penelitian serupa di Mesir juga mendapatkan

hal yang sama. APRI dan FIB4 mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang lebih baik dari rasio

SGOT/SGPT karena mempertimbangkan unsur trombosit dan usia dalam perhitungannya. Oleh

karena pentingnya menilai adanya fibrosis lanjut pada hati pada praktik klinis sehari hari, dimana

ketersediaan alat fibroscan belum merata maka pemeriksaan non invasif dengan menggunakan

model matematika ini akan mendapat peranan yang cukup besar. Penilaian derajat fibrosis secara

dini dapat membantu pasien mendapatkan pengobatan yanga dekuat dan mencegah timbulnya

sirosis dan kanker hati pada pasien hepatitis C

Kesimpulan: Kesimpulan: Fibrosis lanjut yang terdeteksi pada pasien Hepatitis C yang belum

diterapi cukup tingi. APRI dan FIB4 memiliki nilai diagnostik yang sebanding dalam

menegakkan fibrosis lanjut pada pasien dengan hepatitis C kronis yang belum mendapatkan

terapi.

Kata Kunci: APRI, FIB4, Rasio SGOT/SGPT, Fibrosis lanjut

Page 202: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

188

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Pendahuluan Hepatitis C merupakan salah satu infeksi pada hati yang perlu mendapat perhatian

khusus. Menurut WHO diperkirakan jumlah penderita infeksi akut hepatitis C sebesar 3

% dan 80 % diantaranya akan menjadi kronik serta 5-20% dari mereka dapat berkembang

menjadi sirosis.(1)

Berdasarkan data riskesdas 2007, prevalensi hepatitis klinis di Indonesia

bervariasi antara 0,2-0,9% dengan rerata 0,6%. Secara umum prevalensi hepatitis C yang

didasarkan pada pemeriksaan anti-HCV di Pulau jawa lebih tinggi dibandingkan dengan

di luar pulau jawa, berkebalikan dengan prevalensi Hepatitis B. (2)

Perkembangan hepatitis C dari kronik menjadi fibrosis hingga sirosis

membutuhkan perhatian dan pemantauan. Namun sayangnya belum ada cara pemantauan

yang sangat akurat menentukan derajat fibrosis. Saat ini biopsi hati masih menjadi standar

baku dalam menentukan derajat fibrosis. Meskipun menjadi standar baku namun

penerapannya di praktik sehari hari tidak mudah karena selain invasif, terdapat bias baik

akibat kesalahan pengambilan, dan interpretasi. (3)

Oleh karena itu dikembangkan beberapa tehnik pemeriksaan non invasif yang

dapat digunakan sebagai pengganti biopsi hati. Pemeriksaan Transient elastography

merupakan salah satu pemeriksaan non invasif yang banyak digunakan sebagai pengganti

biopsi hati karena memiliki keakuratan yang tinggi, dengan keuntungan dapat dilakukan

dengan cepat, mudah, dan tanpa rasa sakit.(4) Namun pemeriksaan ini juga tidak banyak

dijumpai selain di RS rujukan. Oleh karena keterbatasan ini dibutuhkan jenis pemeriksaan

lain yang dapat digunaan dengan luas, mudah dan tidak invasif.

Aspartate Aminotransferase to Platelet Ratio (APRI) merupakan salah satu

pemeriksaan non-invasif menggunakan model matematika untuk menilai derajat fibrosis.

penelitian oleh Sunil Taneja dkk menyatakan bahwa akurasi APRI cukup bagus dan tidak

inferior dibandingkan dengan fibroscan(5). Pemeriksaan non invasif lain yaitu FIB4 juga

menggunakan suatu model matematika untuk menilai derajat fibrosis. Yosry dkk pada

penelitiannya di Mesir juga mendaatkan sensitifitas dan spesifitas diatas 80% untuk

mendiagnosis fibrosis lanjut.(6) pemeriksaan lain yaitu rasio SGOT/SGPT dimana ratio

yang meingkat menunjukkan adanya gangguan hati kronik. Namun penggunaan ketiga

parameter tersebut belum luas oleh karena belum banyak data akurasi dan diagnostik dari

ketiga pemeriksaan diatas pada populasi indonesia terutama pada pasien dengan Hepatitis

C yang belum diterapi.

Pada studi ini, peneliti ingin mengetahui kemampuan diagnostik dan akurasi dari

pemeriksaan diatas dibandingkan dengan pemeriksaan transient elastography dalam

mendiagnosis fibrosis lanjut pada pasien hepatitis C yang belum diterapi.

Metode

Peneltiian ini menggunakan desain potong lintang pada 78 pasien hepatitis C yang

berobat di poli gastrohepato RSUP Fatmawati, Jakarta dari Bulan Agustus 2017-Maret

2018. Kriteria inklusi adalah pasien hepatitis C yang belum diterapi berusia ≥ 18 tahun.

Data diambil secara retrospektif dari Rekam Medis.

Fibroscan dilakukan pada pasien menggunakan Probe M. Probe diarahkan ke

lobus kanan hati melalui intercostae. Pemeriksaan dilakukan sebanyak 10 kali

pemeriksaan berhasil dengan tingkat keberhasilan diatas 65%. Derajat Fibrosis hati dibagi

atas: F0: tidak ada fibrosis; F1 fibrosis minimal 0-7.1 kPa; F2 fibrosis sedang > 7.2-

9.3kPa; F3 fibrosis berat >9.3-14.5 kPa; F4 >14.5 kpA. Fibrosis dikatakan lanjut bila

derajat > F2.

Page 203: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

189

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

APRI dihitung menggunakan rumus matematika yaitu {(SGOT/batas atas normal SGOT)/

Trombosit x 109/L}. FIB 4 dihitung menggunakan rumus matematika yaitu {usia(tahun) x

SGOT}/{trombosit 109/L x SGPT}. Ratio SGOT/SGPT merupakan pembagian antara

kadar SGOT dan SGPT dalam sutu waktu.

Secara statistik data akan ditampilkan dalam karakteristik dasar, dan dilakukan

analisis AUC menggunakan SPSS 16. Dan dilakukan juga penghitungan nilai sensitifitas,

spesifitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif serta akurasi diagnostik masing masing

pemeriksaan.

Hasil

Penelitian diikuti oleh 78 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Median usia pasien 42

tahun (32-80 tahun) dengan jumlah pasien laki laki sebanyak 73.1%. Median hasil

fibroscan pada pasien adalah 9.8 kPa (3.3-66.4 kPa). Fibrosis lanjut terdeteksi pada

52.6% pasien.

Tabel 1. Karakteristik Dasar

Karakteristik Dasar

Usia 42 (32-80) tahun

Jenis Kelamin

Laki Laki

Perempuan

57 (73.1%)

21 (25.9%)

Troombosit 197.53 x103 ± 95)3.597

APRI 0.68 (0.1-10.4

SGOT/SGPT Rasio 1.07 ±0.46

FIB4 1.28 (0.36 – 18.65)

Fibroscan 9.8 kPa (3.3-66.4 kPa)

Fibroscan

F0-1

F2

F3

F4

25 (32.1%)

12 (15.4%)

14 (17.9%)

27 (34.6%)

Hasil analisis menggunakan kurva ROC didapatkan AUCROC FIB4 sebesar

83.5% (74.7-92.4%) p 0.000; AUCROC APRI sebesar 83.8% (74.8-92.8%) p 0,000.

Rasio SGOT/SGPT sebesar 66.9% (54.8%-79%) p 0.01. Sedangkan mFIB4 sebesar 77%

(66.3%-87.7%)

Page 204: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

190

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Gambar 1. Kurva AUROC perbandingan parameter pemeriksaan

Berdasarkan kurva sensitifitas dan spesifitas APRI, titik potong yang dipilih

adalah 0.63. Dengan titik potong ini maka nilai sensitifitas, spesifitas, nilai duga positif,

nilai duga negatif dan akurasi diagnostik adalah 80.5%, 75.7%, 78.6%, 77.7%, 78.2%

Gambar 2. Kurva sensitifitas dan spesifitas APRI

Berdasarkan kurva sensitifitas dan spesifitas FIB4, titik potong yang dipilih adalah 1.36. Dengan

titik potong ini maka nilai sensitifitas, spesifitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan akurasi

diagnostik adalah 75.6%, 83.7%, 83.7%, 75.6%, dan 79,4%

Page 205: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

191

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Gambar 3. Kurva sensitifitas dan spesifitas FIB4

Berdasarkan kurva sensitifitas dan spesifitas Rasio SGOT/SGPT, titik potong yang dipilih

adalah 1. Dengan titik potong ini maka nilai sensitifitas, spesifitas, nilai duga positif, nilai

duga negatif dan akurasi diagnostik adalah 0.6%, 0.62%, 0.64%, 0.58%, dan 61.5%

Gambar 4. Kurva sensitifitas dan spesifitas Rasio SGOT/SGPT

Diskusi

Banyak studi dilakukan untuk mencari pemeriksaan diagnosis fibrosis hati non

invasif yang paling baik. Beberapa model pemeriksaan diagnostik antara lain rasio

SGOT/SGPT, APRI maupun FIB4. Belum banyak data perbandingan yang dilakukan

pada pasien hepatitis C di Indonesia yang belum diterapi.

Pemeriksaan diagnostik fibrosis non invasif mempunyai keuntungan yaitu

terhindar dari komplikasi biopsi sperti nyeri, perdarahan, pneumotoraks, hemotoraks,

peritonitis hingga infeksi. Fibroscan telah banyak divalidasi dan menunjukkan akurasi

yang sangat baik dalam membantu diagnosis fibrosis hati. Banyak studi telah dilakukan

yang menunjukkan efektifitas fibrosan dalam menentukan derajat F.(7) Bahkan Takemoto

etal melaporkan bahwa fibroscan memiliki tingkat akurasi hingga 100%. Oleh karena itu

kini fibroscan banyak digunakan sebagai pengganti Biopsi hati untuk menentukan derajat

fibrosis.

Dari studi ini didapatkan pemeriksaan non invasif yang paling baik adalah APRI

dan FIB4. Menggunakan titik potong 0,63 dan 1.36. masing masing memeiliki sensitifitas

Page 206: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

192

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

dan spesifitas yang cukup baik dengan nilai akurasi diatas 75% dalam menegakkan

diagosis fibrosis lanjut (>F2). Dalam penelitian di Mesir juga didapatkan hasil serupa

dimana nilai AUC APRI dan FIB4 setara dan dapat digunakan untuk diagnosis fibrosis

lanjut.(8) Penelitian di Spanyol didapatkan hasil yang berbeda, dengan nilai potong FIB4

1.4, sensitifitas untuk menilai fibrosis hati ≥ F2 sebesar 59%. Sedangkan untuk APRI

dengan nilai potong 0.6 untuk menilai fibrosis hati ≥ F2 didapatkan sensitifitas 54%.(9)

Pada studi di Mesir, FIB4 terbukti sensitifitas dan spesifitasnya dalam membedakan F0-1

dan F2-3-4 dengan AUC 91,6% menggunakan titik potong 1.6 didapatkan sensitifitas

69,5% dan spesifitas 100%. Nilai duga positif mencapai 100% untuk mendeteksi pasien

tanpa atau dengan fibrosis ringan. FIB4 juga terbukti memiliki nilai diagnostik yang baik

dalam membedakan sirosis hati dengan AUC 90,5% dan menggunakan titik potong 1.88

mempunyai sensitifitas 84,6% dan spesifitas 88,2%. (10)

APRI dan FIB4 memiliki keunggulan dibandingkan rasio SGOT/SGPT oleh

karena pada model perhitungan APRI dan FIB4 dimasukkan komponen trombosit. Seperti

yang telah diketahui pada pasien dengan fibrosis hati sering ditemukan kondisi

trombositopenia yang dapat terjadi akibat sekuestrasi dan destruksi trombosit didalam

limpa ataupun terjadi akibat penurunan pembentukan trombopoetin.(4)

Oleh karena pentingnya menilai adanya fibrosis lanjut pada hati pada praktik

klinis sehari hari, dimana ketersediaan alat fibroscan belum merata maka pemeriksaan

non invasif dengan menggunakan model matematika ini akan mendapat peranan yang

cukup besar. Penilaian derajat fibrosis secara dini dapat membantu pasien mendapatkan

pengobatan yanga dekuat dan mencegah timbulnya sirosis dan kanker hati pada pasien

hepatitis C.

Berdasarkan studi ini pemeriksaan non invasif yang dianjurkan digunakan pada

praktik klinis sehari hari adalah APRI dan FIB4 menggunakan titik potong yang telah

ditentukan.

Kesimpulan

Fibrosis lanjut yang terdeteksi pada pasien Hepatitis C yang belum diterapi cukup tingi.

APRI dan FIB4 memiliki nilai diagnostik yang sebanding dalam menegakkan fibrosis

lanjut pada pasien dengan hepatitis C kronis yang belum mendapatkan terapi.

Daftar Pustaka 1. Strader DB, Wright T, Thomas DL, Seeff LB. Diagnosis, Management, and Treatment of

Hepatitis C. Hepatology. 2004;39(4):1147–71.

2. Mulyanto. Viral hepatitis in Indonesia past present and future. Eur J Hepatol Gastroenterol.

2016;6(June):43–4.

3. Usluer G, Erben N, Aykin N, Dagli O, Aydogdu O, Barut S, et al. Comparison of non-

invasive fibrosis markers and classical liver biopsy in chronic hepatitis C. Eur J Clin

Microbiol Infect Dis. 2012;31(8):1873–8.

4. Science E. Diagnostic accuracy of liver fibrosis based on red cell distribution width ( RDW )

to platelet ratio with fibroscan in chronic hepatitis B Diagnostic accuracy of liver fibrosis

based on red cell distribution width ( RDW ) to platelet ratio with fibroscan . 2016;0–6.

5. Taneja S, Tohra S, Duseja A, Dhiman RK, Chawla YK. Noninvasive Assessment of Liver

Fibrosis By Transient Elastography and FIB4/APRI for Prediction of Treatment Response in

Chronic Hepatitis C—An Experience from a Tertiary Care Hospital. J Clin Exp Hepatol

[Internet]. INASL; 2016;6(4):282–90. Available from:

http://dx.doi.org/10.1016/j.jceh.2016.08.001

6. Yosry A, Fouad R, Alem S a., Elsharkawy A, El-Sayed M, Asem N, et al. FibroScan, APRI,

FIB4, and GUCI: Role in prediction of fibrosis and response to therapy in Egyptian patients

Page 207: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

193

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

with HCV infection. Arab J Gastroenterol [Internet]. 2016;17(2):78–83. Available from:

http://dx.doi.org/10.1016/j.ajg.2016.05.002

7. Orasan OH, Iancu M, Sava M, Saplontai-Pop A, Cozma A, Sarlea ST, et al. Non-invasive

assessment of liver fibrosis in chronic viral hepatitis. Eur J Clin Invest. 2015;45(12):1243–

51.

8. Bonnard P, Elsharkawy a., Zalata K, Delarocque-Astagneau E, Biard L, Le Fouler L, et al.

Comparison of liver biopsy and noninvasive techniques for liver fibrosis assessment in

patients infected with HCV-genotype 4 in Egypt. J Viral Hepat. 2015;22(3):245–53.

9. González Guilabert MI, Mena-Bernal CH, del Pozo González J, del Pozo Pérez MA. Estudio

retrospectivo de la capacidad de evaluación de fibrosis hepática del FibroScan®, APRI, FIB-

4 y FORNS con referencia a la biopsia hepática de pacientes con hepatitis crónica C, mono y

coinfectados con VIH. Gastroenterol Hepatol. 2010;33(6):425–32.

10. Nakeeb N a El, Helmy A, Saleh S a, Abdellah HM, Aleem MHA, Elshennawy D.

Comparison between FIB-4 Index and Fibroscan as Marker of Fibrosis in Chronic HCV

Infection in Egyptian Patients. Open J Gastroenterlogy. 2014;(December):383–91.

Page 208: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

194

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

ACCURACY APRI, FIB-4 SCORE, AND ULTRASOUND COMPARED WITH

TRANSIENT ELASTOGRAPHY FOR ASSESSMENT OF LIVER FIBROSIS IN

CHRONIC HEPATITIS C PATIENTS PRIOR DAA THERAPY: A TERTIARY

CENTER REPORT

Eka Surya Nugraha, Muhammad Begawan Bestari, Nenny Agustanti, Dolvy Girawan, Yudi Wahyudi, Siti

Aminah Abdurachman

Division of Gastroenterohepatology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of

Padjadjaran, Hasan Sadikin General Hospital, Bandung

Background

Non-invasive liver fibrosis assessments are preference in condition where liver biopsy unable to

be performed. Transient Elastography (TE) is an excellent choice to assess liver fibrosis non-

invasively with great sensitivity and specificity compared to liver biopsy. However, the

availability of TE are very limited in Indonesia. This study compared the accuracy of ultrasound,

APRI, and Fib-4 Score as an option non-invasive assessments with TE in detecting liver fibrosis.

Method

This was a retrospective study on secondary data of chronic Hepatitis C Virus (HCV) patients

prior taking Direct Anti Virals (DAA) in Hasan Sadikin General Hospital Bandung. Subject with

complete blood examination, ultrasound, and TE were included. The age, AST, ALT, and

thrombocyte count take into account to APRI and Fib-4 score, alongside the ultrasound and TE

results. A 2x2 table was performed to obtain sensitivity and specificity from each score and

ultrasound results suggested liver fibrosis, then compared with TE findings.

Result and Discussions

Of 264 patients, 24 patients included in this study. The cut-off score of possibly liver fibrosis in

APRI was > 1.0 and Fib-4 was > 3.25. The TE metavir score > 10 kPa (F2 – F4) was considered

fibrosis. The sensitivity of APRI, Fib-4, and Ultrasound to TE were 52,6%, 47,4%, and 36,8%

respectively. Whereas, the specificity was 100%, 100%, and 80% respectively. Both APRI and

Fib-4 had the highest positive predictive value (100%), while APRI had the highest negative

predictive value (35,7%). However, potential bias could occur due to small subjects, study design,

and inter-observer discrepancies in ultrasound and TE interpretations.

Conclusion

APRI and Fib-4 score could help to assess liver fibrosis more accurate than ultrasound in the

settings where TE inaccessible.

Keywords:

APRI, Fibrosis-4 (Fib-4) score, Transient Elastography (TE)

Page 209: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

195

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

PERBANDINGAN EFEKTIFTAS PADA PEMBERIAN LAKTULOSA,

PROBIOTIK SERTA KOMBINASI LAKTULOSA DAN PROBIOTIK

TERHADAP ENSEFALOPATI HEPATIK PADA PASIEN SIROSIS HATI

Desi Maghfirah1, Wahyuni2, Azzaki Abubakar3, Fauzi Yusuf3

1Staff Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unsyiah / RSUDZA Banda Aceh 2RSUD.Cut Mutia

Lhokseumawe 3 Staf Divisi Gastroenterohepatologi Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK

Unsyiah / RSUDZA Banda Aceh

Abstrak

Pendahuluan Ensefalopati hepatik (EH) merupakan salah satu komplikasi utama pada sirosis hati stadium

dekompensata dimana merupakan suatu sindroma neuropsikiatrik yang dapat dijumpai pada

pasien gagal fungsi hati baik yang akut maupun kronik, gambaran klinis berupa kelainan mental,

kelainan neurologis, terdapatnya kelainan parenkim hati serta kelainan laboratorium. Pada

penyakit hati kronis akan terjadi gangguan metabolisme amonia sehingga terjadi peningkatan

kadar amonia 5-10 kali lipat yang akan mengganggu faal otak dan metabolisme otak. Tujuan

penelitian ini adalah melihat perbandingan efektifitas antara pemberian laktulosa, probiotik serta

kombinasi laktulosa dan probiotik terhadap EH.

Metode

Uji klinik dengan desain penelitian analitik kategorik berpasangan terhadap 49 orang pasien

sirosis hati stadium dekompensata dengan berbagai derajat EH menurut kriteria West Haven.

Penelitian dilakukan di ruang rawat inap penyakit dalam RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda

Aceh. Subjek penelitian dibagi atas 3 kelompok yaitu kelompok A 17 orang mendapatkan

laktulosa 30-60ml/hari, kelompok B mendapatkan probiotik, 1 kapsul 3 kali perhari setiap kapsul

berisi Lactobacillus acidophilus Rosell-52 2 milyar, Lactobacillus rhamnosus Rosell-11 2 milyar,

Maltodextrin 211 mg, Magnesium stearat 8 mg, asam askorbat 1 mg) dan kelompok C laktulosa +

probiotik mendapatkan keduanya. Terapi dilakukan selama 2 minggu. Parameter yang dinilai

kadar amonia darah dan derajat EH.

Hasil

Terjadi Penurunan kadar amonia darah pada 3 kelompok, dimana kelompok A kadar amonia

sebelum terapi 198,29±21,44 ug/dl dan 2 minggu setelah terapi menjadi 136,11±19,99 ug/dl (p

<0,05), kelompok B kadar amonia sebelum terapi 197,35±22,20 ug/dl, 2 minggu setelah terapi

menjadi 143,76±29,73 ug/dl (p <0,05) dan kelompok C kadar amonia sebelum terapi

188,53±26,04 ug/dl, 2 minggu setelah terapi menjadi 129,93±22,4 ug/dl (p <0,05). Terjadi

perbaikan derajat EH berat menjadi EH ringan pada kelompok A 2 orang (40%) dan kelompok C

1 orang (50%) (p>0,05)

Diskusi

Laktulosa dapat menurunkan kadar amonia dalam darah dan memperbaiki hasil tes psikometri

serta mempengaruhi kualitas hidup dari penderita sirosis hati yang mengalami EH. Probiotik

dapat menurunkan kadar amonia darah dengan meningkatkan konsentrasi bakteri non urease dan

sebagai agen yang menguntungkan bagi keseimbangan flora usus.

Kesimpulan

Pemberian laktulosa, probiotik serta kombinasi probiotik dan laktulosa memiliki efektifas yang

sama dalam menurunkan kadar amonia dalam darah, serta penurunan derajat EH dari derajat berat

ke derajat ringan.

Kata kunci: ensefalopati hepatik, laktulosa, probiotik, sirosis

Page 210: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

196

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Pendahuluan

Sirosis hati merupakan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif

yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif.1

Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) menyatakan bahwa prevalensi penderita

sirosis hati adalah 3,5% dari seluruh pasien yang di rawat di bangsal penyakit dalam, atau

rata-rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang di rawat.2

Ensefalopati hepatik (EH) merupakan salah satu komplikasi utama pada sirosis

hati stadium dekompensata dimana merupakan suatu sindroma neuropsikiatrik yang dapat

dijumpai pada pasien gagal fungsi hati baik yang akut maupun kronik, gambaran klinis

berupa kelainan mental, kelainan neurologis, terdapatnya kelainan parenkim hati serta

kelainan laboratorium. Penyebabnya adalah kegagalan fungsi hepatoseluler, penurunan

kapasitas detoksifikasi hati terhadap amonia dan toksin lainnya disertai adanya pintasan

porto sistemik sehingga bahan toksik tanpa pembersihan hati langsung masuk ke darah

sistemik dan otak dan menimbulkan ensefalopati.3

Laktulosa mempunyai sifat yang sangat laksatif, menyebabkan penurunan sintesis

dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake glutamin.

Laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang digunakan sebagai

sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan menekan bakteri lain

yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion

hidrogen pada amonia sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia (NH3) dan

menjadi ion amonium (NH4+). Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju

lumen.4,5 Sharma dkk (2011) dan Watanabe dkk (1997)menemukan laktulosa efektif

untuk mencegah terjadinya EH pada pasien dengan sirosis hati dan perdarahan saluran

cerna bagian atas.6,7 Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup non-patogenik, yang jika

dikonsumsi dalam jumlah tertentu akan memberikan efek menguntungkan bagi pejamu

(host). Amonia juga dihasilkan oleh flora dalam usus sehingga manipulasi flora usus

menjadi salah satu strategi terapi EH. Probiotik pada EH mempunyai efek menurunkan

amonia total dalam darah portal melalui penurunan aktifitas urease bakteri, penurunan

absorbsi amonia dengan menurunkan pH, penurunan permeabilitas intestinal dan

peningkatan status nutrisi dari epitel usus serta menurunkan inflamasi dari stress oksidatif

di hepatosit sehingga menyebabkan peningkatan klirens hepatik terhadap amonia dan

toksin serta menurunkan uptake toksin.8,9

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laktulosa dan probiotik memiliki

kemampuan yang baik dalam mencegah berulangnya ensefalopati hepatik dan secara

sifnifikan menunjukkan perbaikan tes psikometri pada pasien dengan minimal

ensefalopati hepatik. Kondisi ini yang melatarbelakangi timbulnya keinginan untuk

meneliti tentang perbandingan efektifitas antara pemberian laktulosa, probiotik serta

kombinasi laktulosa dan probiotik terhadap ensefalopati hepatik pada pasien sirosis hati.

Metode Penelitian

Penelitian uji klinik dengan desain penelitian analitik katagorik berpasangan

dilakukan di ruang rawat inap penyakit dalam RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Sampel penelitian seluruh penderita sirosis hati stadium dekompensata yang mengalami

ensefalopati hepatik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (diare,

menggunakan alkohol ≥ 20 g/hari, penurunan kesadaran bukan karena EH, Peritonitis

bakterialis spontan selama 6 minggu terakhir, penggunaan antibiotik Neomycin,

Metronidazole dan Rifaximin).

Page 211: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

197

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Diagnosis sirosis hati stadium dekompensata berdasarkan anamnesa, pemeriksaan

fisik, laboratorium dan ultrasonografi abdomen. Subjek penelitian diambil secara

consecutive sampling, kemudian seluruh subjek penelitian dilakukan simple

randomization dengan sistem tabel random dan subjek dialokasikan menjadi 3 kelompok,

A, B, dan C. Untuk kelompok A, laktulosa diberikan 30-60 ml perhari, sampai terjadi

buang air besar lunak 2-3 kali perhari. Kelompok B probiotik diberikan 1 kapsul 3 kali

perhari (setiap kapsul berisi Lactobacillus acidophilus Rosell-52 2 milyar, Lactobacillus

rhamnosus Rosell-11 2 milyar, Maltodextrin 211 mg, Magnesium stearat 8 mg dan asam

askorbat 1 mg). Kelompok C kombinasi keduanya, setiap kelompok dilakukan selama 2

minggu.

Pemeriksaan amonia dengan menggunakan alat amonia test kit dilakukan dengan

cara mengambil darah kapiler dari ujung jari pasien sebanyak 20 µ1, diteteskan pada

reagen yang telah tersedia kemudian dimasukkan ke alat, hasilnya dibaca setelah 3 menit

dan hasil dibaca dalam µg/dl.

Ethical Clearance diperoleh dari Panitia Kelaikan Etik Fakultas Kedokteran

Universitas Syiah Kuala

Definisi Operasional

Sirosis hati ditegakkan berdasarkan anamnesis, Pemeriksaan fisik, laboratorium

serta ultrasonografi abdomen atas. Ensefalopati hepatik adalah adanya gangguan fungsi

kognitif pada pasien penyakit hati yang tidak dapat diidentifikasikan atau dengan riwayat

klinis dan pemeriksaan neurologis komplit termasuk wawancara anggota keluarga,

dapat dideteksi dengan ditemukan abnormalitas dari tes neuropsikometrik atau

neurofisiologi menggunakan NCT A/B serta kriteria West Haven. Pada penelitian ini

derajat EH diukur menggunakan kriteria West Haven. Amonia merupakan faktor utama

patogenesis terjadinya ensefalopati hepatik. Peningkatan kadar amonia akibat asupan

protein yang tinggi, konstipasi,perdarahan saluran cerna, infeksi, azotemia, hipokalemia.

Kadar normal amonia darah 0-150 µg/dl.

Analisa Data

Analisa statistik dilakukan secara komputerisasi, dengan tingkat kemaknaan p <

0,05. Sebaran data normal dilakukan uji repeated anova dan dilanjutkan dengan analisis

post-hoc Bonferroni untuk mengetahui kelompok mana yang bermakna.

Hasil Penelitian

Subjek penelitian dibagi atas 3 kelompok yaitu kelompok laktulosa 17 orang,

kelompok probiotik 17 orang dan kelompok laktulosa + probiotik 17 orang, namun 2

orang dari kelompok laktulosa + probiotik mengundurkan diri maka sampel yang

memenuhi kriteria sebanyak 49 sampel. Kelompok laktulosa mendapat terapi standar

sirosis ditambah laktulosa 30-60 ml/hari, kelompok probiotik mendapat terapi standar

sirosis ditambah probiotik 1 kapsul 3 kali perhari (setiap kapsul berisi Lactobacillus

acidophilus Rosell-52 2 milyar, Lactobacillus rhamnosus Rosell-11 2 milyar,

Maltodextrin 211 mg, Magnesium stearat 8 mg, asam askorbat 1 mg), sedangkan

kelompok laktulosa + probiotik mendapat keduanya. Penelitian ini dilakukan selama 2

minggu, parameter yang dinilai adalah kadar amonia dan derajat ensefalopati hepatik.

Sebelum dilakukan penelitian, semua subjek diperiksa penanda hepatitis B dan C,

endoskopi, pemeriksaan kadar albumin, bilirubin, dan fungsi hati, ditemukan semua

karakteristik dasar pada subjek sama pada 3 kelompok.

Page 212: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

198

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Tabel 1. Karakteristik dasar subjek penelitian

Variabel

Kelompok

P Laktulosa (n=17)

Probiotik

(n=17)

Laktulosa +

Probiotik (n=15)

Umur (tahun) 53,11±12,81 56,41±12,97 57,86±17,42 p >0,05

Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

10(29,4%)

7(46,7%)

12(35,3%)

5(33,3%)

12(35,3%)

3(20,0%)

Etiologi sirosis hati

HBV

HCV

Non B dan C

7(25,0%)

1(25,0%)

9(52,9%)

12(42,9%)

1(25,0%)

4(23,5%)

9(32,1%)

2(50,0%)

4(23,5%)

p >0,05

Derajat EH n (%)

Ringan

Berat

12(30,8%)

5(50,0%)

14(35,9%)

3(30,0%)

13(33,3%)

2(20,0%)

p >0,05

Endoskopi (%)

VE

GHP

VE/GHP

12(42,9%)

3(50,0%)

2(13,3%)

6(21,4%)

3(50,0%)

8(53,3%)

10(35,7%)

-

5(33,3%)

p >0,05

Albumin (g/dl) 2,50±0,43 2,55±0,61 2,46±0,43 p >0,05

Bilirubin (mg/dl) 6,15±8,23 3,21±2,39 4,16±6,18 p >0,05

SGOT (U/1) 146,35±97,99 133,94±87,71 113,33±68,41 p >0,05

SGPT (U/1) 92,94±66,21 94,82±73,87 91,80±63,77 p >0,05

Amonia (ug/dl) 198,29±21,44 197,35±22,20 188,53±26,04 p >0,05

HBV = Hepatitis B Virus, HCV = Hepatitis C Virus, EH = Ensefalopati Hepatik, VE = Varises

Esofagus, GHP = Gastropati Hipertensi Portal, SGOT = Serum Glutamic Oxaloacetic

Transaminase, SGPT = Serum Glutamic Piruvic Transaminase

Terjadi penurunan kadar amonia rata-rata pada ketiga kelompok sebesar

194,97±16,05 ug/dl. Penurunan kadar amonia pada tiap kelompok signifikan secara

statistik, namun jika dibandingkan selisih perbedaan kadar amonia pada ketiga kelompok

sebesar 8,59 ug/dl, dimana tidak bermakna secara statistik (p >0,05).

Tabel 2. Kadar Amonia ketiga kelompok sebelum terapi dan 2 minggu setelah terapi

Kelompok Amonia (ug/dl)

sebelum terapi

Amonia (ug/dl)

setelah 2 minggu

terapi

P

Laktulosa

Probiotik

Laktulosa+Probiotik

198,29±21,44

197,35±22,20

188,53±26,04

136,11±19,99

143,76±29,73

129,93±22,4

p < 0,05

p < 0,05

p < 0,05

Terjadi perbaikan derajat EH berat menjadi EH ringan pada kelompok A 2 orang

(40%) dan kelompok C 1 orang (50%) , perubahan derajat EH ini tidak bermakna secara

statistik ( p > 0,05).

Page 213: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

199

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Gambar 1. Perubahan derajat ensefalopati hepatik sebelum dan sesudah 2 minggu terapi pada

ketiga kelompok.

Pembahasan

Dari penelitian ini setelah terapi selama 2 minggu pada ketiga kelompok

didapatkan penurunan kadar amonia yang bermakna. Laktulosa dapat menurunkan kadar

amonia dalam darah dan memperbaiki hasil tes psikometri serta mempengaruhi kualitas

hidup dari penderita sirosis hati yang mengalami EH. Hasil penelitian ini sesuai dengan

penelitian Nie dkk tahun 2003 yang melakukan penelitian pemberian laktulosa selama 8

sampai 28 minggu pada pasien sirosis hati yang mengalami ensefalopati hepatik, terjadi

perbaikan kadar amonia dalam darah, perbaikan tes psikometri dan mencegah terjadinya

ensefalopati berulang.10

Saji S dkk tahun 2011 melakukan penelitian dengan pemberian probiotik pada 21

pasien sirosis hati yang mengalami minimal ensefalopati hepatik selama 6 bulan.

Hasilnya menunjukkan kadar amonia menurun dari 140,29±7,28 menjadi 122,38±10,69,

dan terjadi penurunan secara signifikan pada hari kedua dan ketiga dibandingkan dengan

hari pertama.11 Probiotik dapat menurunkan kadar amonia darah dengan meningkatkan

konsentrasi bakteri non urease dan sebagai agen yang menguntungkan bagi keseimbangan

flora usus.8

Dhiman dkk tahun 2000 meneliti pemberian laktulosa selama 3 bulan pada pasien

subklinis ensefalopati hepatik, dilakukan pemeriksaan NCT, FCT, block design, picture

assembly dijumpai perbaikan tes psikometri dan minimal ensefalopati hepatik.12

Shavakhi dkk tahun 2014 melihat pemberian probiotik dan laktulosa pada pasien

sirosis hati dengan minimal ensefalopati hepatik, diberikan selama 2 minggu dan lama

follow up 8 minggu, mendapatkan bahwa laktulosa dan probiotik efektif untuk perbaikan

minimal ensefalopati hepatik, jika dibandingkan keduanya probiotik lebih unggul dari

pada laktulosa dalam perbaikan minimal ensefalopati hepatik.13

Page 214: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

200

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan. Jumlah sampel relatif kecil

sehingga bisa terjadi bias dalam pengolahannya. Pemeriksaan derajat ensefalopati hepatik

hanya menggunakan kriteria West Haven, sehingga tidak dapat menilai perubahan derajat

ensefalopati hepatik ringan menjadi tanpa adanya ensefalopati hepatik yang dapat

dikonfirmasi dengan pemeriksaan Critical Flicker Frequency (CFF) yang lebih akurat.

Waktu penelitian singkat sehingga tidak dapat melihat lebih lama efek pemberian

laktulosa dan probiotik

Kesimpulan

Pemberian laktulosa, probiotik serta kombinasi probiotik dan laktulosa memiliki

efektifas yang sama dalam menurunkan kadar amonia dalam darah, serta penurunan

darajat EH dari derajat berat menjadi derajat ringan.

Daftar Pustaka 1. Nurjanah S. Sirosis hati.dalam : Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi kelima, jilid I. editor:

Sudoyo AW. Jakarta.Interna publishing.2009:p:668-72.

2. PPHI-INA ASL. Sirosis Hati. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Cited Februari 2013.

Availabel :Pphi-online.org/alpha.

3. Zubir N. Koma hepatik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi V, Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2009: 677-80.

4. Nielsen B, Gluud LL, Gluud C. Non-absorbable disaccharides for hepatic encephalopathy:

systematic review of randomised trials. BMJ. 2004;328:1046.

5. Luo M, Li L, Lu CZ, Cao WK. Clinical efficacy and safety of lactulose for minimal hepatic

encephalopathy: a meta-analysis. Eur J Gastroenterol Hepatol, 2011;23:1250-57

6. Sharma P, Agrawal A, Sharma BC, Sarin SK. Prophylaxis of hepatic encephalopathy in acute

variceal bleed: A randomized controlled trial of lactulosa versus no lactulosa. Journal of

Gastroenterology and Hepatology.2011;26:996-1003

7. Watanabe A, Sakai T, Sato S, Imai F, Ohto M, Arakawa Y, et al. Clinical efficacy of lactulose

in cirrhotic patients with and without subclinical hepatic encephalopathy. Hepatology.

1997;26:1410-14

8. Saji S, Kumar S, Thomas V. A randomized double blind placebo controlled trial of probiotics

in minimal hepatic encephalopathy. Tropical Gastroenterology 2011;32(2):128-32.

9. Bousvaros A, Guandalini S, Baldassano RN, Botelho C, Evans J, Ferry GD et al. A

randomized, double blind trial of Lactobacillus GG versus placebo in addition to standard

maintenance therapy for children with Crohn’s disease. Inflamm Bowel Dis 2005; 11:833-9.

10. Nie YQ, zeng Z, Li YY, Sha WH, Ping L, Dai SJ. Long term efficacy of lactulose in patients

with subclinical hepatic encephalopathy. Zhonghua. Nei. Ke. Za. Zhi. 2003; 42 (4):261-3.

11. Pawar RR, Pardeshi ML, Ghongane BB. Study of effects probiotic Lactobacilli in preventing

major complication in patients of liver cirrhosis. International Journal of Research in

Pharmaceutical and Biomedical Sciences 2012. Vol.3 (1) Jan-Mar, p.206-11.

12. Dhiman RK, Sawhney MS, Chawla YK, Das G, Ram S, Dilawari JB. Efficacy of lactulose in

cirrhotic patients with subclinical hepatic encephalopathy. Dig. Dis. Sci.2000;45:1549-52.

13. Shavakhi A, Hashemi H, Tabesh E, Derakhshan Z, Farzammia S, et al. Multistrain probiotic

and lactulose in the treatment of minimal hepatic encephalopathy. Journal of Research in

Medical Sciences. 2014;19:703-8.

Page 215: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

201

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

VIROLOGICAL RESPONSE AND DRUG RESISTANCE OF TELBIVUDINE

IN 3 YEARS EVALUATION IN MANAGEMENT CHRONIC HEPATITIS B

(PRELIMINARY REAL CASES STUDY) Hery Djagat Purnomo*, Nur Alaydrus**, Didik Indiarso*, Agung Prasetyo*

*Gastroentero-Hepatologi Division, Departement of Internal Medicine, Faculty of Medicine Diponegoro

University-Dr. Kariadi Hospital Semarang ** Departement of Internal Medicine, Faculty of Medicine Diponegoro University-Dr.Kariadi Hospital

Semarang

Background The primary goal of Chronic Hepatitis B (CHB) therapy is to persistently suppress Hepatitis B B

Virus (HBV) replication, thus preventing the progression of liver disease. Telbivudine is a potent

anti viral agent that can suppress serum HBV DNA level but associated with low barrier againts

HBV resistance.

Methods This was an observational study of 46 patients with CHB receiving Telbivudine at Kariadi

Hospital Semarang. Outcomes were assassed based on virological response and incident of

resistance.

Result : Baseline charateristics: 58,6% were males, median age was 44.3 (25-70 years old), 71.7% were

HbeAg negative, 30.4% had elevated ALT (14/46), median baseline of viral load was 105 IU/cc.

Virological response at twelfth week was achieved in 21.7% patients. Fivety four percents,

79.9%, 75% and 90.6% patients achieved a virological response at 48th, 52nd, 104th and 156th

week consecutively. Incident of drugs resistance appears in 4.3% Patients at fifty two week, while

2.2% and 4.6% had drug resistance at 104th and 156th week respectively . The longest pasient at

Dr. kariadi hospital who received telbivudine without resistance was 7 years.

Conclusion Telbivudine in therapy of CHB had good outcomes in virological response and incidence of drugs

resistance in 3 years therapy was small.

Page 216: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

202

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

HUBUNGAN ANTARA ROKOK ELEKTRIK DAN DISPEPSIA

PADA POPULASI URBAN DEWASA Ahmad Fariz Malvi Zamzam Zein1, Catur Setiya Sulistiyana2

1Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat 2Departemen Pendidikan Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat

Abstrak

Pendahuluan. Dispepsia berkaitan erat dengan gaya hidup. Rokok elektrik merupakan tren gaya

hidup terkini. Walaupun begitu, hubungan antara rokok elektrik dan dispepsia belum diketahui.

Studi ini bertujuan menginvestigasi hubungan antara rokok elektrik dan dispepsia pada populasi

urban dewasa.

Metode. Studi potong-lintang dilakukan terhadap 267 orang dewasa di Cirebon, Jawa Barat.

Kuesioner, yang berisi karakteristik demografik, kebiasaan konsumsi rokok elektrik, dan gejala

terkait dispepsia, diberikan kepada subjek. Dilakukan analisis data dengan menggunakan statistik

deskriptif dan uji chi-square. Studi ini telah mendapatkan ethical clearance oleh Komisi Etik.

Hasil. Median usia subjek adalah 24,0 tahun. Konsumsi rokok elektrik sering didapatkan pada

subjek (74.2%), dengan median durasi konsumsi 2,0 tahun. Median dosis konsumsi rokok elektrik

adalah 30,0 ml setiap minggu. Konsumsi rokok elektrik berhubungan positif dengan mual (PR=

3,016, 95% IK: 1,024-8,882; p=0,037), muntah (PR= 1,388, 95% IK: 1,284-1,500; p=0,006),

kembung (PR= 4,889, 95% IK: 1,455-16,429; p=0,005), dan nyeri epigastrik (PR= 5,982, 95%

IK: 1,391-25,736; p=0,007).

Diskusi. Pengguna rokok elektrik meningkat secara bermakna dalam beberapa tahun terakhir.

Prevalensi pengguna rokok elektrik di Amerika Serikat 15%, di Inggris 10%, di Kanada 4%, dan

di Australia 2%.1-2 Pada studi ini menunjukkan banyaknya pengguna rokok elektrik di Cirebon,

Jawa Barat adalah 74.2%. Perbedaan ini terkait dengan perbedaan definisi yang digunakan pada

studi-studi tersebut.

Rokok elektrik merupakan isu yang kontroversial belakangan ini. Dilaporkan rokok elektrik lebih

aman bila dibandingkan dengan rokok konvensional namun belum disepakati peran rokok elektrik

dalam penurunan risiko terhadap dampak akibat rokok konvensional. Belum ada studi yang

menilai hubungan antara rokok elektrik dan dispepsia. Laporan pasca pemasaran awal menandai

bahwa rokok elektrik dapat menyebabkan mual dan muntah. Studi ini menunjukkan bahwa rokok

elektrik berhubungan dengan gejala terkait dispepsia. Hal ini diasumsikan sebagai akibat paparan

nikotin melalui inhalasi.3

Simpulan. Terdapat hubungan positif antara rokok elektrik dengan mual, muntah, perut kembung,

dan nyeri epigastrik. Dibutuhkan studi lanjut untuk mengevaluasi lebih lanjut hubungan antara

rokok elektrik dan dispepsia.

Kata kunci: rokok elektrik, dispepsia, populasi urban dewasa

Daftar Pustaka

1. Glantz S, Bareham D. E-cigarettes: use, effects on smoking, risks, and policy implications. Annu Rev

Public Health. 2018;39:215-35.

2. Bao W, Xu G, Lu J, Snetselaar L, Wallace R. Changes in electronic cigarette use among adults in the

United States, 2014-2016. JAMA. 2018;319(19):2039-41.

3. Meo S, Al Asiri S. Effects of electronic cigarette smoking on human health. Eur Rev Med Pharmacol

Sci. 2014;18:3315-9.

Page 217: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

203

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

GASTRIC OUTLET OBSTRUCTION:

LAPORAN SERI KASUS DI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

Tri Asih Imro’ati*, Titong Sugihartono**, Iswan A. Nusi***

*PPDS-2 Gastroenterohepatologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo

Surabaya

**Staff Pengajar PPDS-2 Gastroenterohepatologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr.

Soetomo Surabaya

***KepalaDivisi Gastroenterohepatologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya

PENDAHULUAN

Gastric outlet obstruction(GOO)merupakan spektrum penyakit yang menyebabkan

impedansi pengosongan gaster. Patofisiologi tersering adalah obstruksi instrinsik atau

ekstrinsik duodenum atau kanal pilorus, tetapi mekanisme obstruksi tergantung pada

etiologi yang mendasari[1].

Penyebab terbanyak tahun 1970-an adalah penyakit jinak (91%), sedang penelitian

terbaru menunjukkan 60% kasus disebabkan keganasan (15-20% penyebab tersering

adalah keganasan peripankreatik). Penyebab terbanyak obstruksi jinak adalah penyakit

ulkus peptik dan penelanan bahan korosif, terapi NSAID, polip gaster, stenosis pilorik,

dan pseudokista pankreas juga berperan. Komplikasi obstruksi karena penyakit ulkus

peptik terjadi sekitar 5%, sedangkan karena kaustik kuat sebanyak 36-44% akan

mengalami GOO[1].

Salah satu prosedur diagnostik untuk memastikan adanya GOO adalah dengan

endoskopi atas. Endoskopi atas dapat membantu melihat gastric outletdan mendapatkan

diagnosis jaringan bila obstruksinya intraluminal [2].

Berikut ini akan kita bahas 4 kasus yang menunjukkan manifestasi endoskopi

GOO pada pasien yang datang ke ruang endoskopi RSUD Dr. Soetomo pada periode 1

Januari-31 Mei 2018.

KASUS 1

Seorang pasien wanita 71 tahundirujuk dari rumah sakit daerah dengan keluhan

muntah sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Muntah terjadi setiap makan, berupa

makanan. Muntah darah warna hitam sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.

Sebelumnya tidak pernah muntah seperti ini, namun pernah buang air besar hitam seperti

petis. Pasien juga mengeluh nyeri perut bagian ulu hati. Riwayat pasien sering

mengkonsumsi ibuprofen, parasetamol, dan jamu bubuk dikarenakan nyeri sendi.

Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan epigastrium.

Pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan kimia klinik dalam batas normal,

hanya didapatkan hipoglikemi (gula darah acak 48 mg/dl).

Pemeriksaan endoskopi atas tampak sisa makanan di esofagus dan gaster,

didapatkan esofagitis, gastritis erosif, ulkus antrum Forrest klas III, dan GOO (endoskop

tidak dapat melalui pirolus) seperti terlihat pada gambar 1.

Pada pasien ini diberikan nutrisi perenteral parsial, PPI, prokinetik, dan sukralfat.

Page 218: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

204

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Gambar 1. Pemeriksaan endoskopi atas tampak lumen pilorus menyempit (A), mukosa antrum

tampak edematous dengan multipel erosi dan ulkus Forrest III (B)

KASUS 2

Seorang wanita48 tahun datang dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 2 tahun

sebelum masuk rumah sakit. Nyeri tidak membaik dengan minum obat maag yang dijual

bebas. Pasien sering berobat ke poli gastro RSUD Dr. Soetomo Surabaya, terakhir

diberikan obat Amoxicillin 2 x 1000 mg, Clarithromycin 2 x 500 mg, omeprazole 2 x 40

mg, dan sukralfat sirup. Keluhan dirasakan memberat sejak 2 hari sebelum masuk rumah

sakit dengan muntah semakin sering terutama setelah makan dan pernah mengeluarkan

muntah hitam sebanyak 3 kali.

Riwayat pasien pernah menjalani endoskopi 3 kali di RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Pemeriksaan fisik didapatkan kondisi umum lemah, konjungtiva anemis, nyeri

tekan epigastrium, dan akral hangat, kering, pucat.

Pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 5,3 g/dl.

Pemeriksaan endoskopi terbaru (gambar 2) tampak sisa makanan padat dan cair

pada gaster, didapatkan giant ulcer Forrest klas III di duodenum pars bulbosa dengan

obstruksi total duodenum pars desendens. Histopatologi anatomi menunjukkan

gastroduodenitis kronik inaktif nonspesifik dan jaringan fibrotik radang kronik aktif.

Pada pasien ini diberikan transfusi darah, total parenteral nutrition, PPI, dilakukan

prosedur laparatomi eksploratif oleh bedah, kemudian dilakukan gastrojejunostomi.

Pasien kemudian menjalani rawat jalan.

Gambar 2. Pemeriksaan endoskopi atas tampak

sisa makanan di gaster (A) dan duodenum (B), terlihat

giant ulcer Forrest klas III pada pars bulbosa duodenum

(C), dan obstruksi total duodenum pars desendens (D)

dimana endoskop tidak dapat masuk ke dalam pars

desenden dan lumen tidak dapat terbuka dengan

insufflasi udara.

KASUS 3

A A A B B

A

B

C

D C

C pilorus

Page 219: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

205

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Seorang wanita 58 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 2

bulan sebelum masuk rumah sakit, hilang timbul, makin memberat, nyeri terasa

menembus punggung. Pasien juga mengeluh mual dan muntah setiap 30 menit sampai

dengan 1 jam setelah makan. Muntah berisi makanan. Benjolan di perut kanan atas terasa

sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengalami penurunan berat badan

sekitar 10 kg dalam 2 bulan. Nafsu makan menurun, buang air besar normal, kadang

hitam dan cair.

Riwayat penyakit dahulu, pasien sering mual dan muntah sejak 1 tahun yang lalu,

selalu didiagnosis sebagai dispepsia. Pasien sering minum obat herbal dan obat anti nyeri

sejak beberapa tahun yang lalu.

Pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis dan teraba massa padat sekitar 5

x 7 cm pada kuadran kanan atas.

Pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia (HB 9,5 g/dL), leukositosis

(11.820/µL), transaminitis (SGOT 159 U/L, SGPT 125 U/L), hipoalbuminemia (2,8

g/dL), dan hipokalemia (3,3 mmol/L).

Ultrasonografi abdomen atas didapatkan curiga massa pada kuadran kanan atas,

bersebelahan dengan hepar, diduga karsinoma kolon transversum DD massa duodenal

(gambar 3).

Pemeriksaan MSCT abdomen dengan kontras didapatkan massa yang diduga dari

duodenum dengan ukuran 7,1 x 5,5 x 8,3 cm, kemungkinan menginfiltrasi kaput

pankreas, dimana massa kaput pankreas belum dapat disingkirkan karena batas pankreas

tidak jelas, duktus Wirsungi sedikit melebar, tidak ada infiltrasi dinding abdomen

(gambar 4).

Pemeriksaan endoskopi atas tampak desakan massa di daerah kurvatura mayor,

pilorus kesan eksentrik, endoskope tidak dapat masuk duodenum pars desendens, kesan

gastric outlet obstruction, curiga infiltrasi massa ke duodenum (gambar 5).

Pemeriksaan ultrasonografi endoskopi didapatkan massa abdomen atas dengan

proyeksi di daerah kurvatura mayor, dengan ukuran 5,59 x 5,4 cm, massa menekan gaster,

endoskope tidak dapat dimasukkan lebih lanjut karena lumen menyempit (gambar 6).

Pemeriksaan upper GI study didapatkan penyempitan C-loop dengan permukaan

irreguler, pasase cairan kontras masih normal, dapat disebabkan DD penebalan dinding

duodenum, atau ekspansi massa kaput pankreas (gambar 7).

Pasien ini kemudian dilakukan prosedur Whipple oleh bedah, dan dilakukan

pemeriksaan histopatologi jaringan tumor didapatkan suatu lymphoma Non Hodgkin di

duodenum.

Page 220: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

206

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Gambar 3. USG tampak massa ukuran 9,08 x 4,18 cm di kuadran

kanan atas abdomen bersebelahan dengan hepar.

Gambar 4. MSCT tampak massa

yangdiduga dari duodenum dengan

ukuran 7,1 x 5,5 x 8,3 cm,

kemungkinan menginfiltrasi kaput

pankreas.

Gambar 5. Endoskopi atas.Tampak desakan massa di daerah kurvatura mayor (A), pilorus kesan

eksentrik (B), endoskope tidak dapat masuk duodenum pars desendens (C), kesan

gastric outlet obstruction, curiga infiltrasi massa ke duodenum (D).

Gambar 6. EUS.Tampak massa abdomen atas dengan proyeksi di daerah

kurvatura mayor, dengan ukuran 5,59 x 5,4 cm, massa menekan gaster,

endoskope tidak dapat dimasukkan lebih lanjut karena lumen menyempit.

Gambar 7. Upper GI study tampak

penyempitan C-loop dengan permukaan

irreguler, pasase cairan kontras masih

normal, dapat disebabkan DD penebalan

dinding duodenum, atau ekspansi massa

kaput pankreas.

KASUS 4

Seorang laki-laki usia 53 tahun datang dengan keluhan muntah-muntah beberapa

menit setelah makan disertai nyeri dada dan ulu hati sejak 1 bulan sebelum masuk rumah

sakit, makin lama makin memberat. Muntah berisi makanan dan cairan, muntah hitam

disangkal.

Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan ulu hati.

Pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan kimia klinik dalam batas normal.

A B

C

D

Page 221: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

207

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Pemeriksaan endoskopi atas didapatkan ulkus esofagus 1/3 proksimal yang

menyebabkan penyempitan sfingter esofagus proksimal, didapatkan ulkus pre pilorikum

Forrest klas III yang menyebabkan obstruksi pilorus. Lumen pilorus masih dapat dilalui

oleh guide wire (gambar 8).

Pemeriksaan MSCT didapatkan tidak tampak gambaran discrete massa di cavum

abdomen maupun cavum pelvis, tampak penebalan dinding corpus, antrum, dan pilorik

gaster mengarah gambaran inflammatory disease yang menyebabkan penyempitan lumen

di antrum dan pilorus dengan diameter tersempit kurang lebih 0,20 cm; tampak

perlengketan bowel di inferior gaster regio lumbal kiri (gambar 9).

Pasien ini diberikan nutrisi parenteral total dengan antibiotik intravena karenan

Pasien menolak dipasang nasojejunal tube.

Gambar 8. Endoskopi atas tampak sisa cairan makanan di

esofagus (A) dan gaster (C); tampak tanda-tanda peradangan di

sekitar pilorus (B); pilorus tampak menyempit tidak dapat

terbuka dengan insufflasi dengan ulkus dasar bersih di sekitarnya

(C); lumen pilorus dicoba dilalui guide wire (D dan E). Rencana

pemasangan nasojejunostomi, pasien menolak.

DISKUSI

Etiologi penyebab GOOsangat bervariasi, terdiri dari penyebab jinak dan penyebab

keganasan. Penyebab yang jinak antara lain: penyakit ulkus peptik, stenosis pilorik,

penyakit inflamasi, pankreatitis, penyakit Crohn, kolesistitis, penelanan bahan kaustik,

striktur/web, tumor, polip, lipoma, adenoma, iatrogenik, obstruksi paska operasi,

pseudokista pankreas, sindroma Bouveret, dan infeksi. Penyebab keganasan tersering

adalah kanker pankreas (10-20%), sedangkan penyebab yang lain adalah

kanker duodenum, kanker ampulla, kolangiokarsinoma, kanker gaster, maupun akibat

metastasis ke gastric outlet[1].

Penelitian Kumar et al. di Kakinada tahun 2017 menunjukkan dari 55 kasus yang

diteliti, 35 karena keganasan (28 keganasan lambung, 7 keganasan lain) dan 20 karena

ulkus duodenal yang mengalami sikatriks. Sebagian besar kasus terjadi pada usia dekade

5 dan 6. Rasio laki-laki lebih banyak daripada perempuan baik pada keganasan maupun

ulkus duodenum kronik[3]. Hasil penelitian tersebut juga mirip dengan penelitian Essoun

et al. di Ghana tahun 2014, dan penelitian Jaka et al. di Tanzania pada tahun 2013[4][5].

Beberapa laporan kasus menunjukkan etiologi GOO yang bervariasi bahkan tidak

biasa, antara lain:

1. Ulkus petik dengan stenosis pilorik [6][7]

2. Benda asing yang tertelan dan impaksi pada pilorus stenosis [8]

3. Tuberkulosis gaster [9][10]

4. Kanker pankreas [11][12]

5. Penyakit Crohn [13]

A

B C D E

Page 222: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

208

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

6. Penelanan benda asing yang sangat besar (dildo) pada dewasa [14]

7. Pankreas annular [15]

8. Bungkus hashish sepanjang 10 cm yang tertelan[16]

9. Sindroma Bouveret [17]

10. Stenosis pilorik hipertropik [18]

Gastric outlet obstruction merupakan komplikasi yang jarang dari penyakit ulkus

peptik, akibat dari inflamasi akut maupun kronik. Penelitian prospektif 3 tahun oleh

Kortisso di Ethiopia pada tahun 90-an menunjukkan bahwa 81% kasus GOO disebabkan

oleh komplikasi ulkus pilorik atau duodenum, dan 11% karena tuberkulosis

pilorik[19].Pasien dapat asimptomatik atau hanya mengalami gejala gastrointestinal yang

ringan. Komplikasi dari gangguan ini dapat berupa gangguan sistemik seperti gangguan

cairan, asam basa, dan elektrolit, yang dapat menjadi fatal [7].

Pada kasus serial di atas, 3 pasien disebabkan oleh ulkus pilorik dan duodenum, 1

kasus akibat keganasan duodenum.

Keluhan terbanyak pada kasus GOO adalah muntah dan nyeri epigastrium.

Dehidrasi terlihat pada 54% kasus, anemia 53% kasus, percikan cairan lambung terdengar

pada 36% kasus, teraba massa 25% kasus, dan ascites 15% kasus. Setiap keluhan berikut

dapat digunakan untuk diagnosis GOO[3]:

1. Muntah proyektil makanan yang tidak dapat dicerna beberapa hari sebelumnya

2. Lambung hipertrofi teraba

3. Peristaltik lambung terlihat

4. Percikan cairan lambung 3-4 jam setelah makan terakhir

5. Keterlambatan pengosongan lambung pada pemeriksaan barium meal study

6. Residu gaster lebih dari 500 cc pada dewasa

7. Aspirat lebih dari 400 ml pada tes saline load

8. Tampak saat operasi penyempitan jalan keluar lambung.

Pada kasus serial di atas, keluhan pasien terbanyak adalah muntah dan nyeri

epigastrium.

Manajemen GOO terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium

penunjang, pemeriksaan imaging, dan prosedur diagnostik[20][21]. Pemeriksaan endoskopi

atas dapat membantu menunjukkan kondisi jalan keluar gaster dan mendapatkan jaringan

untuk diagnosis jika obstruksi terjadi intraluminal dan membedakan antara massa ulkus

atau tumor intrinsik. Biopsi dengan penunjuk CT-scan dapat membantu pada kasus

keganasan peripankreatik dan menegakkan adanya penyakit metastatik [2]. Manifestasi

yang tampak pada endoskopi atas sesuai dengan etiologi dari GOO tersebut.

Tatalaksana GOO tergantung penyebab. Tatalaksana akut meliputi dekompresi

lambung, koreksi cairan dan elektrolit, penggunaan obat-obat supresan asam lambung

untuk mengurangi spasme dan edema. Setelah pasien stabil, tindakan definitif seperti

dilatasi endoskopi atau pembedahan dapat dilakukan [7][22]. Pada penelitian Kumar et al.

didapatkan vagotomi trunkal dan gastrojejunostomi dikerjakan pada 34% kasus,

gastrojejunostomi paliatif 25%, total gastrektomi pada 1 kasus, jejunostomi pada 1

kasus[3]. Penelitian Geraghty et al. pada tahun 1991 melaporkan keberhasilan penggunaan

NSAID dan terapi medis saja pada pasien usia lanjut dengan GOO[23]. Ui et al.

melaporkan kasus keberhasilan pemberian pancrelipase sebagai pre-terapi GOO untuk

memudahkan pengeluaran isi lambung[24].

Page 223: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

209

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

KESIMPULAN

Kasus serial ini menunjukkan bahwa manifestasi endoskopi GOO sangat bervariasi.

Pemeriksaan endoskopi atas dengan biopsi jaringan merupakan salah satu modalitas

untuk memastikan penyebab GOO. Modalitas pemeriksaan tambahan lain kadang

diperlukan untuk memastikan penyebabnya. Beberapa penyebab dapat diatasi dengan

terapi supportif nutrisi dan medika mentosa, beberapa dengan tindakan endoskopi, sedang

yang lain harus melibatkan tindakan bedah untuk menjamin patensi jalan keluar makanan

dari gaster.

Dari empat kasus gastric outlet obstruction, kasus terbanyak disebabkan 3 ulkus di

daerah antrum-pylorus-duodenum, dan 1 kasus limfoma non-Hodgkins duodenum.

Prosedur pembedahan pintas (by-pass) dilakukan pada 2 kasus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Miller A, Schwaitzberg S (2014). Surgical and endoscopic options for benign and malignant

gastric outlet obstruction. Curr Surg Rep. 2:48. DOI 10.1007/s40137-014-0048-z

2. Castellanos AE (2017). Gastric Outlet Obstruction. Available at:

https://emedicine.medscape.com/article/190621-overview, citated at 11 June 2018

3. Kumar PN, Lakshmi RM, Karthik GSRS (2017). A clinicopathological study on gastric

outlet obstruction in adults. J Evolution Med. Dent. Sci. 6(5):382-386. DOI

10.14260/Jemds/2017/86

4. Essoun S, Dakubo JCB (2014). Update of aetiological patterns of adult gastric outlet

obstruction in Accra, Ghana. International Journal of Clinical Medicine.5:1059-64. DOI

10.4236/ijcm.2014.517136

5. Jaka H, Mchembe MD, Rambau PF, Chalya PL (2013). Gastric outlet obstruction at Bugando

Medical Centre in Northwestern Tanzania: a prospective review of 184 cases. BMC

Surgery.13:41. Available at: www.biomedcentral.com/1471-2482/13/41, citated at 29 May

2018

6. Noomene R (2014). Parkinsonism revealing peptic ulcer and gastric outlet obstruction: was it

more than an association?. Austin A J Parkinsons Dis.1(2): 1-2

7. Sejati A, Fauzi A (2011). Gastric outlet obstruction due to peptic ulcer disease. The

Indonesia Journal of Gastroenterology Hepatology and Digestive Endoscopy. 12(2):123-126

8. Amoako J, Obaka H, Affram N, Theodore W, Asumda FZ (2018). An unusual case of gastric

outlet obstruction in a Ghanaian Woman. Available at: www.avidscience.com, citated at 29

May 2018

9. Saha M, Dasgupta S, Chakrabarti S, Chakraborty J (2017). Gastric outlet obstruction: report

of an exceptional case. J Med Sci.37(2):76-79. DOI 10.4103/jmedsci.jmedsci_27_16

10. Arabi NA, Musaad AM, Ahmed EE, Ibnouf MMAM, Abdelaziz MSE (2015). Primary

gastric tuberculosis presenting as gastric outlet obstruction: a case report and review of the

literature. Journal of Medical Case Reports.9:265. DOI 10.1186/s13256-015-0748-8

11. McGrath C, Tsang A, Nithianandan H, Nguyen E, Bauer P, Dennis K (2017). Malignant

gastric outlet obstruction from pancreatic cancer. Case Rep Gastroenterol.11:522-515. DOI

10.1159/000480070

12. Kwong WT, Fehmi SM, Lowy AM, Savides TJ (2014). Ebteral stenting for gastric outlet

obstruction and afferent limb syndrome following pancreaticoduodectomy. Annals of

Gastroenterology.27(4):1-5

13. Scheck SM, Loveday B, Bhagvan S, Beban G(2014). Crohn’s disease presenting as gastric

outlet obstruction. Journal of Surgical Case Reports. 12:1-3. DOI 10.1093/jscr/rju128

14. O’Carroll R, Kennedy R (2007). Gastric outlet obstruction. Can J Surg.50(6): E29-30

15. Bolster F, Lawler LP, McEntee G (2018). An unusual cause of gastric outlet obstruction-

incomplete annular pancreas. Available at http://hdl.handle.net/10147/270457, citated at 29

May 2018

Page 224: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

210

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

16. Magalhaes RK, Moreira T, Pimentel R, Caetano C, Pedroto I(2012). Drug package as a cause

of gastric outlet obstruction. Endoscopy.44: E421. DOI 10.1055/s-0031-1291696

17. O’Neil C, Colquhoun P, Schlachta CM, Rezai RE, Jayaraman S(2009). Gastric outlet

obstruction secondary to biliary calculi: 2 cases of Bouveret syndrome. J Can Chir.52(1):

E16-18

18. Franco LM, Dryden NJ(2007). Gastric outlet obstruction. N Engl J Med.356(9): 942

19. Kotisso B (1996). Gastric outlet obstruction in Northwestern Ethiopia. East and Central

African Journal of Surgery.5(2): 25-29

20. Tentugal CN, Silva L, Brito J, Soares C, Castro MOE, Alexio F(2013). The way to “GOO”:

mechanism leading to gastric outlet obstruction and corresponding imaging findings.

European Society of Radiology. 1-78. DOI 10.1594/ecr2013/C-2422

21. Godadevi R, Reddy RA (2016). A clinical study and management of gastric outlet

obstruction in adults. International Journal of Scientific Study.4(6): 104-108. DOI

10.17354/ijss/2016/495

22. Kochhar R, Kochhar S(2010). Endoscopic balloon dilatation for benign gastric outlet

obstruction in adults. World J Gastrointest Endosc.2(1): 29-35. DOI 10.4253/wjge.v2.i1.29

23. Geraghty RJ, Black D, Bruce SA (1991). The succesful medical management of gastric

outflow obstruction associated with the use of non-steroidal anti-inflammatory drugs in the

elderly. Postgrad Med J.67:1004-1007. DOI 10.1136/pgmj.67.793.1004

24. Ui T, Shibusawa H, Tsukui H, Sakuma K, Takahashi S, Lefor AK, et al.(2015). Pretreatment

of gastric outlet obstruction with pancrelipase: report of a case. International J of Surg Case

Reports.12: 87-89. DOI 10.1016/j.ijscr.2015.05.023

Page 225: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

211

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

ANALISA KESINTASAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PADA

PASIEN PENYAKIT HATI LANJUT Syifa Mustika*, Supriono*, Bogi Pratomo Wibowo*

*Divisi Gastroentero-hepatologi, Department Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas

Brawijaya, RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang

Abstrak

Latar Belakang: Angka kejadian Karsinoma hepatoseluler (KHS) di Asia mencapai 30 kasus per

100.000 orang per tahun dan di Indonesia pada 2013 mencapai 17 kasus kematian dari 96 kasus

baru, sehingga termasuk dalam 10 besar kanker pembunuh. Tingginya insiden KHS ini terkait

dengan kejadian infeksi virus hepatitis B dan C kronis. Sulitnya mengenali gejala pada stadium

awal dan progresifitas KHS menyebabkan kebanyakan pasien datang dalam stadium lanjut yang

berujung pada kematian.

Tujuan : Untuk mengetahui kesintasan pasien penyakit hati hepatitis kronis (HK), sirosis hepatis

(SH) dan karsinoma hepatoseluler (KHS) pada pengamatan selama 6 bulan serta factor yang

mempengaruhinya.

Metode : Penelitian kohort pada 41 pasien penyakit hati kronis yang diikuti pada bulan ke 0

hingga bulan ke 6. Subyek terbagi menjadi 3 kelompok yaitu 16 pasien HK, 15 pasien SH dan 10

pasien KHS di poli rawat jalan atau rawat inap di RSUD dr. Saiful Anwar Malang. Data dasar

berupa data demografis dan klinis dicatat dan dianalisis kesintasan menggunakan Kaplan Meier

dengan end point kematian.

Hasil: Usia rata-rata saat pasien saat didiagnosis [HK 42.5 tahun; SH 50 tahun; KHS 60.5 tahun

(p=0,003)]; Jenis kelamin [dominasi laki-laki; HK 62.5%, SH 93.33%, KHS 90%]; Terapi

antiviral hepatitis [HK 87.5%, SH 33.33%, KHS 0%]; Status merokok [HK 62.5%, SH 46.67%,

KHS 40% (p = 0.253)]; Indeks Masa Tubuh (IMT) [HK dominasi normal, SH dominasi normal,

KHS dominasi kurus (0.003)]; Infeksi virus hepatitis B lebih dominan di semua kelompok . Pada

pengamatan hingga bulan ke 6, terdapat 5 subyek meninggal dunia dari kelompok KHS, 1 subyek

HK mengalami progresivitas menjadi sirosis. Hasil Analisa Kaplan Meier, kelompok KHS

memiliki waktu kematian lebih cepat dibandingkan kelompok HK dan SH,dan peluang kesintasan

turun hingga 0.6 mulai bulan ke 2.

Kesimpulan: Progresifitas penyakit hati lanjut dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, IMT dan

infeksi virus hepatitis B kronik. Karsinoma sel hati memiliki kesintasan hidup lebih rendah

daripada hepatitis kronis dan sirosis hepatis dan dalam 6 bulan 50% pasien KHS meninggal.

Kata Kunci: kesintasan, hepatitis kronis, sirosis hepatis, karsinoma hepatoseluler.

Page 226: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

212

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

SEORANG PENDERITA LYMPHOMA NON HODGKIN TIPE SEL B

DUODENUM DENGAN MANIFESTASI GASTRIC OUTLET OBSTRUCTION Budi Widodo, Nadya Meilinar S, Iswan A Nusi, Poernomo B Setiawan, Ummi Maimunah, Titong

Sugihartono, Herry Purbayu, Ulfa Kholili, Husin Thamrin, Amie Vidyani, Muhammad M

Divisi Gastroentero-hepatologi, Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga –

RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Pendahuluan

Gastric outlet obstruction (GOO) merupakan konsekuensi klinis dan patofisiologis yang

mengakibatkan hambatan dalam pengosongan lambung. Penyebab GOO umumnya dikategorikan

ke dalam dua kelompok yaitu jinak dan ganas. Kejadian Limfoma sekitar 20% dari semua tumor

usus halus dengan terbanyak pada Ileum distal karena terdapat sejumlah besar jaringan limfoid di

ileum distal. Berikut ini kami laporkan kasus penderita limfoma non hodgkin duodenum dengan

manifestasi gastric outlet obstruction

Kasus

Pasien wanita 58 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas yang memberat

sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Nyeri perut terasa tembus ke punggung, tidak menjalar

ke langan maupun leher. Nyeri hilang timbul. Terdapat benjolan di perut kanan atas yang semakin

membesar sejak 2 bulan yang lalu, tidak nyeri bila ditekan. Pasien mengeluh mual dan muntah,

muntah terjadi 30 menit sampai 1 jam setelah makan, berupa makanan yang dimakan tidak ada

darah maupun warna kehitaman. Keluhan ini dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Kadang disertai

panas badan. Nafsu makan menurun dan berat badan menurun 10 kilogram dalam 2 bulan

terakhir. Karena keluhannya pasien berobat ke dokter dan dikatakan sakit lambung. Mata dan

badan kuning disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat penyakit dahulu tidak

didapatkan riwayat diabetes maupun hipertensi.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesan sakit sedang, kesadaran compos mentis,

tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 104x/menit regular, kuat angkat, frekuensi napas 22x/menit,

suhu aksiler 38 °C. Pada pemeriksaan kepala/leher didapatkan konjungtiva anemis, tidak ikterus,

tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening, jugular venous pressure tidak meningkat.

Pada pemeriksaan toraks tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan abdomen tampak flat,

bising usus normal, soepel, teraba massa di regio kuadran kanan atas, ukuran 7x5 cm, padat keras,

tidak ada nyeri tekan, mobile, Murphy’s sign tidak didapatkan, hepar dan lien tidak teraba.

Pemeriksaan ekstrimitas tidak didapatkan kelainan.

Pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 9,5 g/dL, Lekosit 11,820/mm³, granulosit 85,7

%, trombosit 459.000/mm³, gula darah acak 103 mg/dL, SGOT 159 U/L, SGPT 125 U/L,

Albumin 2,82 g/dL, Bil Direk 1,7 mg/dL, Bil Total 2,5 mg/dL, BUN 5 mg/dL, Serum kreatinin

0,47 mg/dL, Natrium 138 mmol/L, Kalium 3,3 mmol/L, Cl 104 mmol/L. CEA 0,17 ng/ml, Ca19-9

38,25 U/ml. Urine lengkap pH 5,5, glukosa negatif, bilirubin negatif, keton negatif, nitrit negatif,

protein negatif, leukosit negatif, eritrosit negatif, bakteri negatif.

Foto Polos abdomen: bayangan radioopak yang mengisi hemikolon sinistra dan rongga

pelvis sinistra. Pemeriksaan USG abdomen kesan massa intra luminer di abdomen kanan atas,

dekat hepar, sepanjang 9 cm mengesankan Ca colon transversum dd mass duodenum.

Pemeriksaan Endoskopi kesan gastric outlet obstruction dengan massa pada D2

duodenum curiga ganas. Dilakukan biopsi pada massa duodenum

Endoscopic Ultrasonography (EUS): Didapatkan gambaran massa dengan ukuran

5,59x5,40 cm dengan vaskularisasi pada curvatura major yang menekan lambung.

Hasil Upper GI Study dengan kontras: kesan Penyempitan disepanjang C-loop dengan

permukaan yang ireguler, pasase kontras cair masih tampak normal. Pemeriksaan CT scan

abdomen kesan massa yang berasal dari duodenum, ukuran 7,1x5,5x8,3 cm kemungkinan

infiltrasi ke kaput pankreas masih bisa karena batas dengan kaput pankreas sulit ditentukan,

duktus pankreatikus Wirsung melebar ringan. Tak tampak infiltrasi ke dinding abdomen.

Page 227: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

213

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Pasien didiagnosis Tumor duodenum DD/ GITS, Adeno Ca, tumor karsinoid / NET,

Limfoma.

Pasien dikonsulkan ke bedah digestive didapatkan Ca duodenum T4aN1M0 dan

dilakukan laparotomi eksplorasi whipple procedure pancreaticojejunostomy hepaticoje junostomy

gastrojejunostomy reseksi jejunum end to end anastomosis.

Hasil biopsi endoskopi dan biopsi saat pembedahan didapatkan Limfoma non Hodgkin

duodenum, hasil imunohistokimia didapatkan CD 20 positif

Diskusi

GOO bermanifestasi mual dan muntah. Muntah bersifat non-bilious, dan secara

karakteristik berisi makanan yang tidak dicerna. Pasien dengan GOO yang disebabkan oleh ulkus

duodenum atau obstruksi inkomplit biasanya memiliki gejala seperti retensi lambung, kenyang

awal, kembung atau rasa penuh pada epigastrium, gangguan pencernaan, anoreksia, mual,

muntah, nyeri epigastrium, dan penurunan berat badan

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk mendiagnosis GOO seperti USG

abdomen, Upper GI study, CT scan abdomen. Pemeriksaan lain seperti endoskopi dan endoskopi

ultrasound memiliki keunggulan dapat dilakukan biopsi pada saat yang bersamaan.

Keganasan pada duodenum paling sering terjadi ada 4 yaitu adenokarsinoma, limfoma,

karsinoid, dan gastrointestinal stromal tumor (GIST)

Terapi GOO untuk mengurangi obstruksi dan penyulit yang lain, terapi definitif

diberikan setelah diagnosis pasti tegak. Diagnosis pasti dengan melakukan pemeriksaan

histopatologi dan imunohistokimia bila diperlukan

Kata kunci: Gastric outlet obstruction, Limfoma Non Hodgkin, CD 20

Page 228: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

214

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

ANALISIS KADAR ASAM BUTIRAT DAN KOMPOSISI MIKROBIOTA

INTESTINAL PADA KANKER KOLOREKTAL Salwiyadi1, Siti Adewiyah2, Azzaki Abubakar3, Fauzi Yusuf3

1PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK Unsyiah / RSUDZA Banda Aceh 2RSUD. dr. Fauziah Bireun3

Staf Divisi Gastroenterohepatologi Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unsyiah / RSUDZA

Banda Aceh

Abstrak LatarBelakang

Kankerkolorektal (KKR) adalah penyebab utama kematian diseluruh dunia yang berhubungan

dengan kanker. Mikrobiota usus berperan sebagai organisme yang nyata danp erubahan

komposisinya telah dilaporkan pada kejadian kanker kolorektal. Short chain fatty acids atau asam

lemak rantai pendek terutama dihasilkan dari metabolit mikroba yang terdiri dari asamasetat,

propionat dan butirat. Butirat berasal dari usus besar yang dihasilkan oleh bakteri tertentu dan

fungsinya berperan dalam pemeliharaan host. Beberapa bukti menunjukkan peran penting butirat

dalam pencegahan /penghambatan proses karsinogen kolon.Selain itu, terdapat hubungan yang

berkebalikan antara kadar asambutirat dengan kejadian KKR. Penelitian ini bertujuan untuk

mengevaluasi hubungan antara kadar asambutirat dan strukturmikrobiota pada pasien kanker

kolorektal dan non kanker kolorektal.

Metode

Penelitian ini merupakancase-controlstudi yang terdiri dari 14 subjek kankerkolorektal dan non

kanker kolorektal. Analisa SCFA dengan menggunakan gas kromatografi yang diambil dari

sampel feses subjek penelitian dan eksploirasi keragaman bakteri diperiksa dengan menggunakan

rRNA 16S gene denaturing gradient gel electrophoresis (DDGE)

Hasil

Kadar asam butirat pada kanker kolorektal menunjukkan hasil yang lebih rendah dibanding non

kanker kolorektal dengan rata-rata 3.79 ± 2.04 µg/mL versus 6.81 ± 2.59 µg/mL (p<0,05).

Analisis PCR-DGGE pada subjek kanker kolorektal menunjukkan gambaran yang berbeda yaitu

dijumpai penurunan Bifidobacterium dibandingkan subjek non kankerkolorektal. Dari ketiga

komponen SCFA, kadar asambutirat menunjukkan hasil diagnostic terbaik dengan area under

receiver operating characteristic (ROC) curve 0.84 lebih tinggi daripada asamasetat (0.71) dan

propionat (0.75)

Kesimpulan

Kadar asam butirat secara signifikan menurun pada kanker kolorektal dibanding non kanker

kolorektal. Hal yang menarik terdapat juga perbedaan keragaman Bifido bacterium dari subjek

kanker kolorektal dan non kanker kolorektal.

Kata Kunci :Asambutirat, Mikrobiotausus, Kankerkolorektal

Page 229: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

215

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

PROSEDUR ENDOSKOPI DILATASI PADA PASIEN DENGAN STENOSIS PILORUS

Ridwan Prasetyo, Budi Widodo, Iswan Abbas Nusi, Poernomo Boedi Setiawan, Herry Purbayu, Titong Sugihartono,

Ummi Maimunah, Ulfa Kholili, Husin Thamrin, Muhammad Miftahussurur, Amie Vidyani

Divisi Gastroenterologi-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

RSUD Dr Soetomo, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya

Abstrak

Pendahuluan Stenosis pilorus pada orang dewasa adalah kondisi yang langka dan umumnya sebagai komplikasi lanjut

pada kasus tertelan zat asam. Kasus stenosis pilorus pada orang dewasa sebagian besar karena zat erosif,

kondisi bawaan atau tukak lambung. Manajemen stenosis pilorus dapat berupa endoskopi dilatasi balon atau

pembedahan. Kami melaporkan seorang pasien dengan stenosis pilorus yang dilakukan tindakan endoskopi

dilatasi balon.

Kasus

Seorang wanita 31 tahun, suku Jawa, tidak bekerja, tinggal di rumah sakit jiwa di Malang. Pasien datang ke

RSU Dr. Soetomo Surabaya dengan keluhan mual dan muntah ketika makan dalam jumlah besar sejak 4

bulan lalu setelah secara tidak sengaja menelan cairan pembersih lantai asam kuat. Dari pemeriksaan fisik

dalam batas normal, tanda vital stabil, dan kehilangan berat badan 10 kg dalam 4 bulan. Pasien menjalani

pemeriksaan endoskopi dan esofagoduodenogram awal dengan hasil stenosis pilorus. Pasien disarankan

untuk tindakan operasi piloromiotomi namun pasien menolak. Pasien dirujuk ke RSU Dr. Soetomo untuk

prosedur lanjutan. Hasil endoskopi ulang dengan back up anestesi didapatkan diagnosis stenosis pilorus.

Pasien dilakukan tindakan endoskopi dilatasi balon dengan CRE 18 mm, tekanan 3 atmosfer selama 3 menit

dan injeksi triamsinolon pada 8 titik. Paska tindakan dilakukan evaluasi endoskopi ulang dua kali dengan

hasil fibrosis pilorus diameter 17 mm. Enam bulan paska endoskopi dilatasi pasien dapat makan dan minum

dengan normal, berat badan pasien bertambah dan bisa melakukan aktivitas harian dengan normal.

Diskusi

Stenosis pilorus banyak terjadi pada kasus tertelan asam dibanding basa. Endoskopi merupakan pilihan

utama untuk diagnosis dan sebaiknya dilakukan dalam 48 jam awal. Tindakan endoskopi dilatasi balon

pada kasus stenosis pilorus menunjukkan keberhasilan hingga 68 persen. Komplikasi yang terjadi dapat

berupa perdarahan dan perforasi.

Kesimpulan Endoskopi balon dilatasi dapat menjadi salah satu pilihan untuk stenosis pilorus.

Kata kunci: stenosis pilorus, asam kuat, endoskopi, dilatasi balon

Page 230: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

216

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG BERPENGARUH TERHADAP

TERJADINYA GASTRITIS

Fathi Ilmawan, Hary Bagijo, Raditya Rahma

Bagian / Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UHT / RSAL Dr. Ramelan Surabaya

ABSTRAK

Pendahuluan: Gastritis merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi di masyarakat. Di

Indonesia insiden gastritis mencapai 115/150.000 penduduk. Ketidakseimbangan faktor agresif

dan defensif lambung dapat menyebabkan terjadinya gastritis. Faktor ini dapat dipengaruhi antara

lain oleh kebiasaan merokok, makanan pedas, konsumsi obat anti inflamasi non steroid (OAINS),

konsumsi alkohol dan infeksi Helicobacter pylori. Tujuan penelitian ini adalah untuk

menganalisis faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya gastritis.

Metode : Penelitian dilaksanakan dengan rancangan cross sectional. Subyek didapatkan dari

populasi pasien gastritis dengan cara simple random sampling. Besar sampel pada penelitian ini

adalah 62 pasien. Pasien-pasien tersebut menjalani pemeriksaan endoskopi dan biopsi di Poli

Endoskopi Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) Dr. Ramelan Surabaya. Endoskopi dilakukan

untuk memastikan adanya gastritis, sedangkan biopsi dilakukan untuk mencari adanya infeksi

helicobacter pylori. Selanjutnya dilakukan anamnesis tentang kebiasaan merokok, makanan

pedas, konsumsi OAINS, dan konsumsi alcohol.

Hasil : Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien terbanyak berumur < 60 tahun (69,4%), dan

laki-laki (59,7%) lebih banyak daripada perempuan. Di antara 62 pasien, yang mempunyai

kebiasaan merokok 25 orang (40,3%), riwayat konsumsi makanan pedas 38 orang (61.3%),

riwayat konsumsi NSAID 33 orang (53,2%), kebiasaan menkonsumsi alcohol 6 orang (9,7%), dan

yang terbukti positif terinfeksi H. Pylori 26 orang (41,9%).

Diskusi : Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa faktor risiko yang paling kuat

berhubungan dengan terjadinya gastritis adalah infeksi Helicobacter pylori (p < 0,001; OR =

1,030). Sementara faktor risiko kebiasaan merokok (p=0,894), makanan pedas (p=0,092),

konsumsi OAINS (p=0,274), dan konsumsi alkohol (p=0,115) secara tunggal belum bermakna

untuk menyebabkan gastritis. Namun gabungan dari faktor risiko tersebut dapat meningkatkan

terjadinya gastritis (p=0,001).

Kesimpulan : Faktor risiko yang paling kuat berhubungan dengan terjadinya gastritis adalah

infeksi Helicobacter pylori. Semakin banyak faktor risiko yang dimiliki pasien, maka

kemungkinan untuk terjadinya gastritis akan lebih besar.

Kata kunci : Gastritis, faktor risiko, endoskopi, biopsi.

Page 231: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

217

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

PREVALENSI MUTASI REGIO BCP/PC PADA PASIEN HEPATITIS B

KRONIS HBEAG NEGATIF

Turyadi1,2, Nu’man As Daud3, Susan Irawati1, Luthfi Parewangi3, Meta D Thedja1,Ilhamjaya Patellongi3

Muh. Nasrum Massi3, David H Muljono1,3,4

1Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Indonesia 2Program Pascasarjana,Universitas

Hasanuddin, Makassar, Indonesia 3Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia 4Sydney Medical School, University of Sydney, Sydney, Australia E-mail: [email protected]

Latar Belakang. Hepatitis B yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (VHB) mempunyai

manifestasi dengan spektrum luas, dari tanpa gejala hingga gejala berat, mulai dari infeksi akut

hingga kronis. Replikasi VHB melibatkan enzim reverse transcriptase yang tidak mempunyai

kapasitas koreksi sehingga VHB mempunyai laju mutasi tinggi. Setiap mutasi mempunyai

implikasi yang berkaitan dengan fungsi gen yang mengalami mutasi tersebut. Mutasi pada basal

core promoter (BCP) dan precore (PC) tidak hanya berkorelasi dengan produksi HBeAg, namun

juga mempengaruhi keparahan penyakit, serta risiko terjadinya sirosis dan kanker hati. Studi ini

bertujuan untuk memetakan mutasi BCP dan PC pada pasien hepatitis B kronis dengan HBeAg

negatif.

Metodologi. Studi ini melibatkan 264 pasien dengan hepatitis B kronis yang telah menyetujui

keikutsertaannya dengan mengisi lembar persetujuan setelah penjelasan. Protokol penelitian ini

mendapat persetujuan etik dari Komisi Etik Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Status HBsAg

dan HBeAg ditentukan secara serologi, sementara kadar VHB diperiksa dengan real-time

polymerase chain reaction (rt-PCR). Mutasi BCP dan PC didapat dengan teknik PCR dilanjutkan

dengan sekuensing DNA sepanjang nukleotida 1719 sampai 1913 yang terdiri dari regio BCP

(1742 - 1813), PC (1814 – 1900), non BCP/PC (1719 – 1741 dan 1901 – 1913).

Hasil dan Diskusi Dari semua subjek yang terdiri dari 185(72%) pria dan 79(29.9%) wanita,

sebanyak 161(61.0%) merupakan HBeAg negatif dengan rerata usia 48.2±11.97 tahun dan

sisanya 103(39.0%) HBeAg positif dengan rerata usia 39.1±14.50 tahun, dimana usia kelompok

HBeAg negatif lebih tinggi (p<0.001). Prevalensi mutasi T1753V, A1846T, G1896A secara

signifikan lebih tinggi pada kelompok HBeAg negatif (p=0.029, p=0.016 dan p<0.001). Dilihat

dari mutasi pada semua yang tercakup dalam studi ini, secara kolektif frekuensi mutasi pada regio

BCP dan PC lebih tinggi pada HBeAg negatif didapat pada region BCP/PC (p=0.002), namun

perbedaan tersebut tidak ditemukan pada daerah di luar region BCP/PC. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa mutasi-mutasi pada BCP/PC mempengaruhi serokonversi HBeAg baik

secara bersama-sama maupun berdiri sendiri. Yang menarik pada studi ini bahwa mutasi ganda

A1762T/G1764A BCP yang banyak dihubungkan dengan manifestasi penyakit yang lebih parah

dan meningkatnya risiko terjadinya sirosis dan kanker hati hampir mendominasi pada kedua

kelompok (41.8%) dan tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok HbeAg tersebut. Hal ini

perlu mendapat perhatian khusus terhadap risiko yang menyertai mutasi ganda tersebut terlepas

dari status HBeAg. Interpretasi HBeAg negatif perlu dilakukan dengan hati-hati karena tidak

selalu merupakan serokonversi tetapi mungkin juga akibat adanya mutasi pada regio BCP/PC

yang berkaitan dengan prognosis penderita hepatitis B.

Kesimpulan. Mutasi pada HBeAg negatif lebih tinggi ditemukan pada region BCP/PC dan tidak

pada daerah lainnya. Mutasi BCP/PC mempengaruhi serokonversi HBeAg baik secara sendiri

maupun bersama-sama. Mutasi ganda A1762T/G1764A BCP dengan risiko keparahan penyakit,

sirosis dan kanker hati tinggi pada semua kelompok, sehingga kewaspadaan dan monitoring ketat

diperlukan pada pembawa mutasi tersebut tanpa memandang status HBeAg.

Kata kunci: Hepatitis B kronis, HBeAg negatif, mutasi, basal core promoter, precore

Page 232: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

218

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN UBI JALAR UNGU (lpomoea

batatas) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GASTER PADA TIKUS

(Rattus norvegicus) JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI

PARACETAMOL Andre Mas Akbar, Edward Simon, Eva Pravitasari Nefertiti, Troef Soemarno

Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah, Surabaya, Indonesia

Latar belakang : Ubi jalar ungu adalah bahan makanan yang banyak ditemukan di Indonesia dan

Didalam ekstrak ubi jalar ungu memiliki kandungan antosianin, fenolik total,dan terdapat kolin

yang dapat membantu mempertahankan struktur membran sel,dan mengurangi inflamasi.

Paracetamol merupakan salah satu obat analgesik dan antipiretik yang umum digunakan

masyarakat luas, namun induksi paracetamol pada dosis tinggi dapat menimbulkan iritasi mukosa,

erosi, ulkus, dan pendarahan pada lambung.

Tujuan : Untuk mengetahuipengaruhekstrak daun ubi jalar ungu (Ipomoema batatas l) terhadap

gambaran histopatologis lambung tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang

diinduksi paracetamol dosis tinggi.

Metode : Penelitian eksperimental laboratoris dengan desain post-test only control group. Hewan

coba yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang dibagi dalam 3

kelompok. Kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif dan kelompok perlakuan.Kontrol

negatif diberikan pakan standar selama 14 hari.Kontrol positif diberi paracetamol 2g/kg BB

selama 14 hari.Kelompok perlakuan diberi ekstrak Daun Ubi Jalar Ungu (lpomoea batatas), 45

menit kemudian diberikan paracetamol 2 g/kgBB selama 14 hari.Pada hari ke 15, hewan coba

dikorbankan dan dilakukan pemeriksaan histopatologi pada gaster. Selanjutnya data dianalisa

menggunakan IBM SPSS versi 23 dengan metode Kruskal-Wallis.

Hasil : Uji Kruskal-Wallis menunjukkan hasil yang signifikan, uji Mann Whitney menunjukkan

pasangan yang memiliki pengaruh, hal ini bisa dilihat dari nilai signifikansi p < α (0,05). Namun

juga terdapat perbandingan yang menunjukkan tidak adanya pengaruh, hal ini didapat dari nilai

signifikansi p > α (0,05).

Kesimpulan : Pemberian ekstrak daunubijalarungu(Ipomoema batatas l)berpengaruh menurunkan

kerusakan gaster pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang diinduksi paracetamol.

Kata kunci : Daunubijalarungu(Ipomoema batatas l), Paracetamol, Gambaran Histopatologi

Gaster

Page 233: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

219

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

RASIO SERUM PEPSINOGEN I/II PADA PENDERITA ULKUS GASTER

DAN NON ULKUS GASTER

M Indra Syahputra*, Mohd Irfan*, Azzaki Abubakar**, Fauzi Yusuf**

*Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam

** Divisi Gastroenterohepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Abstrak

Latar Belakang

Ulkus gaster merupakan suatu defek mukosa atau submukosa yang berbatas tegas yang dapat

menembus lapisan muskularis mukosa sampai lapisan serosa sehingga terjadi perforasi. Non ulkus

gaster adalah temuan Esophago gastro duodenoscopy selain ulkus gaster, baik temuan normal,

gastritis ataupun esofagitis. Pepsinogen manusia merupakan pro-enzim yang inaktif dari enzim-

enzim pencernaan asal dari pepsin yang berasal dari mukosa gaster dan dapat diklasifikasikan

kedalam dua tipe yang berbeda yaitu Pepsinogen (PG) I dan PG II. Rasio Pepsinogen I/II

berkorelasi dengan abnormalitas histologi pada mukosa gaster. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui rasio Pepsinogen I/II pada penderita ulkus gaster dan non ulkus gaster

Metode

Penelitian ini bersifat analitik observasional pada pada 28 subyek penelitian, metode pengambilan

sampel bersifat consecutive sampling pada pasien yang dilakukan pemeriksaan Upper endoscopy

pada periode November 2016 – Januari 2017 di Rumah sakit umum dr. Zainoel Abidin Banda

Aceh, dilakukan pemeriksaan kadar Pepsinogen I dan Pepsinogen II dan rasio Pepsnogen I/II pada

pasien ulkus test.

Hasil

Rasio Pepsinogen I/II pada kasus ulkus gaster, nilai minimum dan maksimum rasio Pepsinogen

I/II adalah 3,00 dan 7,00 dengan nilai rata-rata sebesar 4,69 ± 1,16. Rasio Pepsinogen I/II pada

kasus non ulkus gaster, nilai minimum dan maksimum rasio Pepsinogen I/II adalah 3,20 dan 6,70

dengan nilai rata-rata 4,93 ± 0,92. Nilai kolgorov-smirnov test sebesar 0.614 (p-value 0.872) pada

pasien ulkus gaster, dan 0.594 (p-value 0.872) pada pasien non ulkus gaster.

Kesimpulan

Rasio Pepsingen I/II pada pasien ulkus gaster memiliki nilai minimum dan rerata yang lebih

rendah daripada pasien non ulkus gaster. Namun, berdasarkan independent T-test tidak

didapatkan perbedaan secara statistik rasio serum Pepsinogen I/II pada pasien ulukus gaster dan

non ulkus gaster. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan

observasi jangka panjang untuk menentukan hubungan antara rasio Pepsinogen I/II dengan pasien

ulkus gaster.

Kata Kunci : ulkus gaster, non ulkus gaster, rasio Pepsinogen I/II

Page 234: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

220

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

KADAR SERUM PEPSINOGEN I PADA PENDERITA DISPEPSIA KARENA ULKUS

GASTER DAN NON ULKUS GASTER

T. Fahril

*Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam

**Divisi Ginjal Hipertensi dan Departement Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Abstrak

Pendahuluan Ulkus gaster merupakan suatu dispepsia organik yang sering dialami oleh masyarakat dan sering

terdiagnosis pada saat pasien menjalani pemeriksaan Esofagogastroduoduneskopi. Pepsinogen I

merupakan proenzim aktif, diproduksi oleh sel chief dan sel-sel mukus dari kelenjar oxyntic gaster

dan biomarker non invasif yang menggambarkan status fungsional dan struktural dari mukosa

gaster. Ada hubungan erat antara tingkat sekresi asam lambung, pepsinogen dan jenis penyakit

yang mempengaruhi saluran pencernaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan

kadar serum Pepsinogen I pada pasien Dispepsia dengan ulkus gaster dan non ulkus gaster.

Metode

Penelitian ini merupakan suatu penelitian analitik yang menggunakan desain potong Lintang pada

28 orang subjek penelitian yang dipilih secara consentive sampling pada periode November

sampai Desember 2016 di Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin Banda Aceh. Parameter

yang diperiksa adalah kadar serum pepsinogen I. Hasil penelitian dianalisa menggunakan uji T

Independen.

Hasil penelitian

Kadar serum pepsinogen I pada penderita dispepsia karena ulkus gaster dan non ulkus gaster

memiliki nilai statistik yang berbeda-beda. Untuk kasus ulkus gaster, nilai minimum dan

maksimum kadar serum pepsinogen I adalah sebesar 14,70 dan 56,10 ug/l dengan nilai rata-rata

sebesar 34,47 ug/l dan SD sebesar 11,72 ug/l. Sedangkan nilai mediannya adalah sebesar 33,50

ug/l. Hal ini berarti bahwa 50% pasien dengan ulkus gaster memiliki kadar serum pepsinogen I

dibawah 33,50 ug/l dan 50% sisanya memiliki kadar serum pepsinogen I diatas 33,50 ug/l.

Sedangkan, untuk kasus non ulkus gaster, nilai minimum dan maksimum kadar serum pepsinogen

I adalah sebesar 17,40 dan 39,50ug/l dengan nilai rata-rata sebesar 30,19 ug/l dan SD sebesar 7,60

ug/l. Sedangkan nilai mediannya adalah sebesar 29,60 ug/l. Hal ini berarti bahwa 50% pasien

dengan non ulkus gaster memiliki kadar serum pepsinogen I dibawah 29,60 ug/l dan 50% sisanya

memiliki kadar serum pepsinogen I diatas 29,60ug/l

Keterbatasan Penelitian

Tidak dilakukan observasi jangka panjang untuk melihat pengaruh peningkatan kadar serum

pepsinogen I dengan resiko terjadinya ulkus gaster dan keterbatasan jumlah sampel dengan

koinsiden infeksi H.pylori yg sedikit.

Kesimpulan

Pada penelitian ini Kadar serum pepsinogen I pada penderita Dispepsia karena ulkus gaster

dan non ulkus gaster memiliki nilai statistik yang berbeda-beda.

Kata Kunci : ulkus gaster, pepsinogen 1.

Page 235: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

221

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

HUBUNGAN ANTARA KONSUMSI KOPI DENGAN KEJADIAN

GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD) PADA

MAHASISWA UNIVERSITAS SYIAH KUALA

Andrie Gunawan1, Iswan Ramdhana2 , Azzaki Abubakar3 1Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam

2Mahasiswa Pendidikan Dokter 3Divisi Gastroenterohepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUD dr Zainoel Abidin Banda Aceh

ABSTRAK

Pendahuluan

Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah keadaan dimana refluxnya isi lambung ke

esofagus yang dapat menyebabkan trauma ataupun kerusakan pada mukosa esofagus dan

dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah konsumsi kopi. Kandungan kafein didalam

kopi yang diduga dapat melemahkan tonus Lower Esophageal Sphincter (LEs), Sehingga

memungkinkan terjadinya refluks isi lambung menuju esofagus. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui Hubungan antara Konsumsi Kopi dengan Kejadian GERD pada Mahasiswa

Universitas Syiah Kuala.

Metode

Desain penelitian analitik dengan metode korelasional. Sampel pada penelitian adalah mahasiswa

Asrama Universitas Syiah Kuala dengan total sampel 1016 mahasiswa, teknik pengambilan

sampel dilakukan secara total sampling dan yang memenuhi kriteria inklusi diambil sebagai

responden. Pengambilan data menggunakan kuesioner GERDQ dan Kuesioner konsumsi kopi

dilakukan pada tanggal 10,18, dan 21 oktober 2017 di asrama Universitas Syiah Kuala. Analisis

data dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square (p<0,05).

Hasil

Terdapat 805 responden menjadi subjek penelitian dimana 88 responden (11%) diantaranya

mengalami GERD. Subjek penelitian laki-laki 124 (15,4%) dan wanita 681 (84,5%) dengan

rentang usia antara 17 hingga 25 tahun. Berdasarkan IMT normal 469 (58,5%) responden, IMT

Kurang 213 (26,5%), IMT Overweight 66 (8,2%), IMT obesitas grade I 45 (5,6%) dan Obesitas

grade II sebanyak 12 (1,5%). Berdasarkan jenis kelamin, persentase GERD pada perempuan lebih

tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan berdasarkan IMT, persentase terbesar obesitas

grade II dengan 4 (33,3%) responden.

Hasil analisa data mengenai hubungan antara konsumsi kopi dengan kejadian GERD didapatkan

nilai p=0,000 menunjukkan hubungan antara konsumsi kopi dengan kejadian GERD pada

mahasiswa Universitas Syiah Kuala.

Diskusi

Pada penelitian ini didapatkan 88 responden (11%) mengalami GERD dimana perempuan sedikit

lebih tinggi dibandingkan laki-laki , perbedaan ini bisa disebabkan faktor hormonal dimana

hormon progesteron dan estrogen pada perempuan secara signifikan menganggu kinerja tonus

LES, sehingga mengakibatkan tonus LES melemah dan memungkinkan terjadinya mekanisme

refluks dari lambung dan terjadinya GERD.

Dari 50 (28,9) responden yang mengalami GERD ternyata mengkonsumsi kopi setiap harinya,

berdasarkan uji chi square pada penelitian ini diperoleh nilai p-value 0,000 (p<0,05),

menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi kopi dengan kejadian GERD, sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Pehl et al dan saadi et al dimana pada pengkonsumsi kopi

didapatkan peningkatan pH asam lambung, selain itu juga ditemukan melemahnya tonus LES.

Kesimpulan

Page 236: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

222

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Prevalensi GERD pada mahasiswa Universitas Syiah Kuala sedikit lebih tinggi pada perempuan

dibandingkan laki-laki. Terdapat hubungan antara konsumsi kopi dengan kejadian GERD pada

mahasiswa Universitas Syiah Kuala

Kata kunci : Konsumsi kopi, Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

Daftar Pustaka :

1. Fass R. Epidemiology and pathophysiology of symptomatic gastroesophageal reflux disease.

American Journal Gastroenterology. 2003;98(3 SUPPL.):2–7.

2. Kim J, Oh SW, Myung SK, Kwon H, Lee C, Yun JM, et al. Association between coffee

intake and gastroesophageal reflux disease: A meta-analysis. Dis Esophagus. 2014;27(4):311–

7.

Page 237: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

223

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

HUBUNGAN PUASA RAMADHAN DENGAN GEJALA KLINIS GASTROESOFAGEAL

REFLUX DISEASE DI POLIKLINIK PENYAKIT

DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

ACEH TAMIANG

Anandita Putri1, Wahyuddin2

1 Dokter Umum, Rumah Sakit Cut Meutia Langsa 2 Spesialis Penyakit Dalam, Rumah Sakit Umum Aceh Tamiang

Abstrak

Pendahuluan

Gastroesofageal Reflux Disease (GERD) adalah kelainan yang menyebabkan cairan

lambung mengalami refluks ke dalam esofagus dan menimbulkan gejala. Kuesioner tervalidasi

untuk diagnosis dan respon terapi GERD adalah Gastroesophageal Reflux Disease Questionnaire

(Gerd-Q).

Faktor resiko GERD dapat berubah saat puasa Ramadhan. Berdasarkan penelitian

mardiah dkk, keluhan GERD dirasakan lebih ringan saat puasa Ramadhan dibandingkan tidak

puasa Ramadhan. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan puasa Ramadhan terhadap

gejala klinis pasien GERD.

Metode

Penelitiaan ini merupakan penelitian logituginal dengan total sampling. Subjek penelitian

dikelompokkan menjadi kelompok puasa Ramadhan (n=24) dan kelompok tidak puasa

Ramadhan (n=20). Evaluasi dilakukan diantara kedua kelompok tersebut dan pada kelompok

puasa Ramadhan dilakukan evaluasi 14 hari setelah melakukan puasa. Evaluasi dilakukan

dengan menggunakan kuesioner GERD-Q dalam bahasa Indonesia.

Hasil

Pada kelompok yang berpuasa Ramadhan terdapat perbedaan median nilai GERD-Q yang

bermakna secara statistik (nilai p<0,05 yakni p=0,000) antara sebelum puasa dengan nilai median

10 dan 14 hari setelah puasa dengan nilai median yang menurun menjadi 5. Sementara itu, bila

dilakukan analisis untuk membandingkan median nilai GERD-Q antara kelompok yang puasa

Ramadhan dan tidak juga didapatkan perbedaan yang signifikan (nilai p<0,05 yakni p=0,000).

Diskusi

Ketika membatalkan puasa (ifthar), tekanan sfingter (lower esophageal sphincter/LES)

menurun terjadi refluks dan muncul gejala. Jenis nutrisi yang dikonsumsi saat berbuka sebaiknya

makanan dengan kandungan rendah lemak dan dalam porsi kecil secara bertahap. Penelitian yang

dilakukan oleh Iraki dkk, terdapat penurunan rata-rata pH lambung saat berpuasa dibandingkan

dengan tidak puasa pada pasien yang telah melakukan puasa Ramadhan lebih dari 10 hari.

Kesimpulan

Pada subjek yang menjalani puasa Ramadhan keluhan GERD dirasakan lebih ringan saat

menjalani puasa Ramadhan dibandingkan sebelum puasa Ramadhan. Di bulan Ramadhan,

keluhan GERD lebih ringan dirasakan oleh subjek yang menjalani puasa Ramadhan dibandingkan

subjek yang tidak menjalani puasa Ramadhan.

Kata Kunci: Gastroesofageal Reflux Disease (GERD), puasa Ramadhan

Page 238: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

224

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Pendahuluan

Gastroesofageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu kelainan yang

menyebabkan cairan lambung mengalami refluks ke dalam esofagus dan menimbulkan

gejala khas seperti heartburn (rasa terbakar di dada yang kadang disertai rasa nyeri dan

pedih) serta gejala lain seperti regurgitasi (rasa asam dan pahit di lidah), nyeri

epigastrium, disfagia dan odinofagia.1

Prevalensi GERD antara 18,1% -27,8% di Amerika Utara, 8,8% -25,9% di Eropa,

2,5%-7,8% di Asia Timur, 8,7%-33,1% di Timur Tengah, 11,6% di Australia dan 23,0%

di Amerika Selatan. 2 sedangkan data GERD di Indonesia belum ada, penelitian yang

dilakukan oleh Lelosutan SAR dkk di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia,

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta (FKUI / RSCM-Jakarta) menunjukkan dari

127 subyek penelitian yang menjalani endoskopi gastrointestinal atas, 22,8% (30 subjek)

mengalami esophagitis.3

Kuesioner tervalidasi yang paling umum digunakan untuk diagnosis GERD

adalah Kuesioner Penyakit Reflux Gastroesophageal (GerdQ),4 selain untuk menegakkan

diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan untuk menentukan respon terapi. 5

Faktor resiko GERD di Asia-Pasifik, antara lain berat badan, nutrisi, konsumsi

alkohol, merokok, penggunaan non steroidal anti inflamatory drugs (NSAID) dan posisi

tidur. 6 ,7,8, 9 Faktor resiko tersebut dapat berubah saat puasa Ramadhan. Puasa

diartikan sebagai menahan diri dari makan, minum dan segala hal yang membatalkannya,

dimulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Ramadhan adalah bulan umat islam

berpuasa selama 30 hari. 10

Berdasarkan penelitian Mardhiyah dkk, subjek yang menjalani puasa Ramadhan

keluhan GERD dirasakan lebih ringan saat menjalani puasa Ramadhan dibandingkan

sebelum puasa Ramadhan. Dibulan Ramadhan, keluhan GERD lebih ringan dirasakan

oleh subjek yang menjalani puasa Ramadhan dibandingkan subjek yang tidak menjalani

puasa Ramadhan.11 Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Iraki dkk., didapatkan

penurunan rata-rata pH lambung dalam periode puasa dibandingkan dengan tidak puasa

pada pasien yang telah melakukan puasa Ramadhan lebih dari 10 hari.12

Metode Penelitian

Penelitiaan ini merupakan penelitian logituginal dengan total sampling. Populasi

dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang didiagnosa GERD pada tanggal 1 Mei

2018 – 16 Mei 2018 di Poliklinik Penyakit Dalam di RSUD Aceh Tamiang. Besar

sampel didapatkan dari seluruh pasien penderita GERD yang melakukan kunjungan ke

Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Aceh Tamiang, terdapat sebanyak 44 orang dari

seluruh penderita GERD dengan 24 orang yang menjalankan puasa Ramadhan dan 20

orang yang tidak menjalankan puasa Ramadhan. Kriteria inklusi adalah laki-laki dan

perempuan diatas 18 tahun dan kriteria eksklusi adalah pasien yang tidak bersedia

menjadi sampel penelitian.

Definisi Operasional

Variabel dalam penelitian ini ada 2, yaitu variabel dependen adalah gejala klinis

GERD dan independen adalah puasa Ramadhan.

Gejala GERD yaitu keluhan GERD dievaluasi menggunakan GERD-Q, terdiri

dari 6 pertanyaan dan 4 pilihan jawaban, tiap jawaban memiliki nilai 0-3. Skala ukur yang

digunakan adalah numerik.

Page 239: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

225

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Puasa Ramadhan yaitu pasien yang melakukan puasa selama 14 hari dilakukan

dan dilakukan evaluasi sebelum puasa dan setelah puasa, sebagai pembanding adalah

pasien yang tidak melakukan puasa. Skala ukur yang digunakan adalah nominal.

Analisa Data

Hasil Penelitian dikelola secara elektronik menggunakan perangkat lunak SPSS

(Statistical Product for Sosial Science) © versi 23. Data yang berpasangan dilakukan

dengan analisis menggunakan uji Wilcoxon, sedangkan data yang tidak berpasangan

menggunakan uji Mann-Whitney.

Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 1 Mei 2018 – 16 Mei

2018 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Aceh Tamiang diperoleh jumlah pasien yang

memenuhi kriteria inklusi dan eklusi adalah sebanyak 44 orang. Setelah 14 hari

memasuki bulan Ramadhan maka pasien dievaluasi melalui telpon dan didapatkan 24

orang pasien GERD yang puasa dan 20 orang pasien GERD yang tidak puasa.

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Indeks

Masa Tubuh (IMT) dan Kebiasaan Merokok

NO KARAKTERISTIK

RESPONDEN

KELOMPOK

PUASA RAMADHAN

(N=24)

KELOMPOK TIDAK

PUASA RAMADHAN

(N=20)

1 Jenis Kelamin, n (%)

Laki-Laki 6 (25) 4 (20)

Perempuan 18 (75) 16 (80)

2 Usia, rerata 38 (34-53) 34(34-42)

(minimal-maksimal )

3 Indeks Masa Tubuh, n

(%)

Normoweight 15 (62) 11(55)

Overweight 7 (29) 6 (30)

Obese 2 (9) 3 (15)

4 Kebiasaan Merokok

Sebelum Ramadhan, n

(%)

Merokok 4 (16) 1 (5)

Tidak Merokok 20 (84) 19 (95)

5 Kebiasaan Merokok

Saaat Ramadhan, n (%)

Merokok 4 (16) 1 (5)

Tidak Merokok 20 (84) 19 (95)

Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan dari 44 orang yang menjadi sampel

penelitian, sebanyak 24 orang yang melakukan puasa ramadhan dan 20 orang tidak

berpuasa. Kedua kelompok menunjukkan jenis kelamin perempuan lebih banyak

menderita GERD dibandingkan laki-laki. Usia rerata pada kelompok puasa Ramadhan

adalah 38 tahun sedangkan pada kelompok tidak puasa Ramdhan adalah 34 tahun. Indeks

masa tubuh (IMT) pada kedua kelompok cenderung normal di bandingkan yang

mengalami obesitas. Kebiasaan merokok pada kedua kelompok adalah sama baik saat

puasa Ramadhan dan tidak.

Page 240: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

226

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Tabel 2 Nilai GERD-Q Kelompok Puasa Ramadhan

N MEAN

STD.

DEVIATION MINIMUM MAXIMUM

nilai GERD-Q

sebelum puasa

Ramadhan

24 10.29 1.654 8 14

Nilai GERD-Q saat

puasa Ramadhan 24 4.71 1.853 2 9

Tabel diatas menunjukkan nilai GERD-Q sebelum puasa Ramadhan memiliki

rerata 10,29 dengan nilai minimum-maksimum (8-14) sedangkan saat puasa Ramadhan

menurun dengan rerata 4,71 dengan nilai minimum-maksimum (2-9).

Tabel 3 Hasil Uji Wilcoxon Nilai GERD-Q Sebelum dan Saat Puasa Ramadhan

NILAI GERD-Q SEBELUM RAMADHAN - NILAI GERD-Q

SAAT RAMADHAN

Z -4.036-b

Asymp. Sig.

(2-tailed) .000

Analisa nilai GERD-Q yang menunjukkan gejala klinis GERD sebelum

melakukan dan saat menjalani puasa Ramadhan dengan uji Wilcoxon menunjukkan nilai

p-value <0,05 yakni p-value =0,000 maka didapatkan adanya pengaruh signifikan puasa

Ramadhan dengan gejala klinis pada pasien GERD.

Tabel 4 Hasil Uji Mann-Whitney Kelompok Puasa Ramadhan dan Tidak Puasa Ramadhan

NILAI GERD-Q

Mann-Whitney U 30.500

Wilcoxon W 330.500

Z -4.985-

Asymp. Sig. (2-

tailed) .000

Berdasarkan hasil analisa nilai GERD-Q yang menunjukkan gejala klinis GERD

pada pasien yang menjalankan puasa Ramadhan dengan uji Mann-Whitney menunjukkan

adanya hubungan signifikan antara puasa Ramadhan dengan gejala klinis ditandai dengan

p-value <0,05 yakni p-value =0,000.

Page 241: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

227

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Gambar 1 Perubahan Gejala Klinis Pasien Puasa Ramadhan dan Tidak Puasa Ramadhan

Pada pasien yang menjalani puasa Ramadhan, sebanyak 87, 5% (21 orang)

membaik, 12,5% (3 orang) menetap dan tidak ada yang memburukan. Pada kelompok

yang tidak menjalani puasa maka didapatkan 10% (1 orang) membaik, 90% (18 orang)

menetap dan 10% (1 orang) memburukan.

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD

Aceh Tamiang yang masuk dalam kriteria inklusi dan eklusi adalah 44 orang, 24 orang

menjalani puasa Ramadhan dan 20 orang yang tidak. Evaluasi keluhan dengan

menggunakan kuesioner GERD-Q didapatkan hasil adanya hubungan signifikan antara

puasa Ramadhan dengan gejala klinis ditandai dengan p-value <0,05 yakni p-value

=0,000.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mardhiya dkk, yang

meneliti effek puasa Ramadhan terhadap gejala GERD di RSCM,

subjek penelitian dikelompokan menjadi kelompok berpuasa Ramadhan (n=66)

dan kelompok tidak berpuasa Ramadhan (n=64). Evaluasi dilakukan antara kedua

kelompok tesebut, dan antara bulan Ramadhan dengan di luar bulan Ramadhan pada

kelompok berpuasa. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan kuesioner GERD-Q dalam

bahasa Indonesia. Hal ini berikatan dengan kebiasaan pola hidup yang berkaitan dengan

merokok, makan yang tidak teratur dan lainnya. 11 Hal yang sama juga dibuktikan pada

penelitian yang dilakukan Iraki, keluhan GERD berkurang pada orang yang melakukan

puasa setelah 10 hari, didapatkan Ph asam lambung relatif menurun.12

Pada literatur lainnya juga disebutkan bahwa GERD terjadi jika sfingter esofagus

bawah (lower esophageal sphincter/LES) melemah, sehingga mengakibatkan asam

lambung kembali ke esofagus yang dapat menyebabkan iritasi. Saat seseorang

membatalkan puasanya (ifthar), tekanan sfingter esofagus bawah (LES) menurun

mengakibatkan refluks sehingga muncul gejala. Tidak ada kontraindikasi berpuasa akan

tetapi jenis nutrisi yang dikonsumsi saat berbuka, sebaiknya berupa makanan yang

mengandung rendah lemak dalam porsi kecil secara bertahap 10

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Song, didapatkan keluhan GERD berkaitan

dengan mengkonsumsi mie instan, makanan pedas, makanan berlemak, permen, alkohol,

roti, minuman berkarbonasi dan minuman berkafein. 6 Selama puasa Ramadhan pasien

makan lebih teratur karena hanya dua kali dengan waktu yang sama setiap harinya, yaitu

saat sahur dan berbuka. Selama berpuasa, kebiasaan makan cemilan selama pagi, siang

maupun sore hari karena sedang berpuasa. Menurut Khdamoradi dkk, terdapat hubungan

GERD terhadap stres.9 Umumnya orang yang berpuasa akan lebih banyak bersabar dan

Page 242: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

228

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

mengendalikan stres. Hal-hal inilah yang menyebabkan pasien dengan gangguan

fungsional tersebut dapat berpuasa dengan baik dan keluhan GERD akan berkurang.

Kesimpulan

Pada kelompok puasa Ramadhan keluhan GERD lebih ringan dibandingkan

kelompok tidak puasa Ramadhan. Pada kelompok puasa Ramadhan keluhan GERD

dirasakan lebih ringan saat berpuasa dibandingkan sebelum puasa.

Daftar Pustaka

1. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Revisi konsensus nasional penatalaksanaan

penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease/ GERD) di Indonesia.

Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. 2013

2. El-Serag HB, Sweet S, Winchester CC, Dent J. Update on the epidemiology of gastro-

oesophageal refluxdisease: a systematic review. Gut. 2014;63(6):871-80

3. The Indonesian Society of Gastroenterology. National Consensus on the Management of

Gastroesophageal Reflux Disease in Indonesia. Acta Med Indones J Intern Med.

2014;46(3):263-71

4. Revesp ER. Questionnaires for the diagnosis of gastroesophageal refluxdisease:are they

really useful for a diagnostic goal?.Madrid: Hospital Universitario.Department of

Digestive Diseases 2016;108(4):171-173

5. Saaputra,MD and Budianto,W.Diagnosis dan Tatalaksana GERD di Pusat Pelayanan

Primer. CDK-252.2017;44(5)

6. Song JH, Chung SJ, Lee JH, et al. Relationship between gastroesophageal reflux

symptoms and dietary factors in Korea. J Neurogastroenterol Motil. 2011;17(1):54-60

7. Minatsuki C, Yamamichi N, Shimamoto T, et al. Background factors of Reflux

Esophagitis and NonErosive Reflux Disease: A cross-sectional study of 10,837 subjects

in Japan. PLoS One. 2013;8(7):e69891

8. Kang JHE, Kang JY. Lifestyle measures in the management of gastrooesophageal reflux

disease: clinical and pathophysiological considerations. Ther Adv Chronic Dis.

2015;6(2):51-64.

9. Khodamoradi Z, Gamdomkar A, Paustchi H, et al. Prevalence and correlates of GERD in

Southern Iran: Parst Cohort Study.Middle East Journal of Digestive

Diseases.2017;9(3):129-138

10. Firmansyah, Muhammad.2016. Pengaruh puasa Ramadhan terhadap beberapa kondisi

kesehatan: CDK-230.2015;42 (7)

11. Mardhiyah dkk. The Effects of Ramadhan Fasting on Clinical Symptoms

in Patients with Gastroesophageal Reflux Disease. Acta Med Indones-Indones J Intern

Med. 2016:169-174

12. Iraki L, Bogdan A, Hakkou F, Amrani N, Abkari A, Touitou Y. Ramadan diet restrictions

modify the circadian time structure in humans. A study on plasma gastrin, insulin,

glucose, and calcium and on gastric pH. J Clin Endocrin Metabolism. 1997;82(4):1261-

73.

Page 243: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

229

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

GAMBARAN ULTRASONOGRAFI (USG) GALL BLADDER DENGAN PASIEN

EPIGASTRIC PAIN DI INSTALASI RADIOLOGI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

MEURAXA BANDA ACEH TAHUN 2018

Sururi *1, Fuziati*2, Said Aandy Saida*3 1Mahasiswa Kedokteran Umum Universitas Abulyatama Aceh

2 Departemen Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Banda Aceh 3 Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Abulyatama Aceh

ABSTRAK

Latar Belakang : Epigastric pain merupakan nyeri terbakar yang dirasakan seseorang pada

daerah tengah atas perut di bawah prosessus shiphoideus.Keluhan epigastric paindapat

disebabkan oleh kelainan organ abdomen salah satunya adalah gall bladder.Ultrasonography

(USG) dapat menegakan diagnosis penyakit gall bladder. Gall bladder adalah sebuah kandung

berbentuk buah pir, yang terletak di lobus quadratus dengan panjang 7-10 cm.

Tujuan Penelitian : untuk mengetahui gambaran USG gall bladder pada pasien yang datang

dengan keluhan epigastric pain di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa

Banda Aceh Tahun 2018.

Metode Penelitian :Jenis penelitian ini kuantitatif, bersifat deskriptif dengan pendekatan

prospektif. Pengambilan sampel dengan teknik total sampling. Analisa data yang digunakan

adalah analisa univariat.

Hasil Penelitian : keseluruhan USG gall bladder dengan epigastric pain di Instalasi Radiologi

Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Banda Aceh Tahun 2018 ditemukan jumlah sampel 37

orang yang telah memenuhi kriteria inklusi. Berdasarkan jenis kelamin, terbanyak ditemukan pada

perempuan dengan 23 orang (62,2%) dan sisanya terdapat 14 orang (37,8%) dengan jenis kelamin

laki-laki. Berdasarkan kelompok usia, frekuensi paling banyak pada kelompok umur 40-59tahun

(37,8%). Berdasarkan hasil ekspertise, didapatkan normal sebanyak 15 orang (40,5%),

cholecystitis 11 orang (29,7%), dan cholelitiasis 7 orang (18,9%), serta cholecystitis dan

cholelitiasis 4 orang (10,8%).

Kesimpulan: Pasien epigastric pain yang mengalami cholecystitis, cholelitiasis, cholecystitis

dan cholelitiasis sebanyak 22 orang (59,5%) berdasarkan gambaran hasil USG gall bladder.

Kata kunci : epigastric pain, ultrasonography, gall bladder

Page 244: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

230

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI PETAI (Parkia speciosa) TERHADAP

GAMBARAN HISTOPATOLOGI MUKOSA GASTER PADA TIKUS PUTIH

(Rattus norvegicus) JANTAN GALUR WISTAR YANG

DIINDUKSI PARACETAMOL Eva Pravitasari Nefertiti,

Universitas Hang Tuah Surabaya

ABSTRAK

Latar Belakang : Paracetamol, yang merupakan salah satu analgesik dan antipiretik banyak

digunakan oleh masyarakat luas sebagai terapi penurun panas dan peredam nyeri. Namun

beberapa peneliti lain menyatakan pada dosis yang tinggi, paracetamol dapat menimbulkan iritasi,

erosi, ulkus, dan pendarahan lambung.

Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak biji petai (Parkia speciosa)

terhadap gambaran histopatologi mukosa gaster tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar

yang diinduksi paracetamol.

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris dengan desain post-test

only control group menggunakan 24 ekor tikus yang dibagi menjadi 3 kelompok . Kelompok

kontrol positif yang diberi diet pakan standart, aquades dan paracetamol 9 mg/ ekor/ hari secara

sonde per oral; kelompok perlakuan 1 yang diberi ektrak biji petai; dan kelompok perlakuan 2

yang diberi ekstrak biji petai (Parkia speciosa ) 7,2 mg/ ekor/ hari dengan paracetamol 9 mg/ ekor/

hari 45 menit setelahnya. Penelitian dilakukan selama 14 hari, kemudian gaster diambil pada hari

ke 15 dan dilakukan pemeriksaan secara mikroskopik. Selanjutnya data dianalisa menggunakan

IBM SPSS versi 23 dengan metode Kruskal-Wallis.

Hasil : Uji Kruskal-Wallis menunjukkan hasil yang signifikan, uji Mann

Whitney menunjukkan pasangan yang memiliki pengaruh, hal ini bisa dilihat dari nilai signifikansi

p < α (0,05). Namun juga terdapat perbandingan yang menunjukkan tidak adanya pengaruh, hal ini

didapat dari nilai signifikansi p > α (0,05).

Kesimpulan : Pemberian ekstrak biji petai (Parkia speciosa) berpengaruh menurunkan kerusakan

gaster pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang diinduksi paracetamol.

Kata kunci : Biji Petai (Parkia speciosa), Paracetamol, Gambaran Histopatologi Gaster

Page 245: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

231

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TANAMAN KROKOT (Portulaca

oleracea) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GASTER PADA TIKUS

PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI

PARACETAMOL

Desy Rahmawati, Duti Duti Sriwati Aziz, Troef Soemarno, Edward Simon, Iswan A Nusi**, Poernomo Boedi

Setiawan**, Herry Purbayu**, Titong Sugihartono**, Ummi Maimunah**, Ulfa Kholili**, Budi Widodo**, IGM

Sanies Ermawan* **

*Fakultas Kedokteran Universitas Hangtuah, Surabaya, Indonesia

**Departemen Penyakit Dalam-Divisi Gastroentero-Hepatologi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – Rumah

Sakit Dr.Soetomo, Surabaya, Imdonesia

***Rumah Sakit Mataram, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Indonesia

Latar Belakang: Paracetamol merupakan obat analgesik dan antipiretik yang aman untuk

lambung. Paracetamol merupakan obat Non Steroid Anti Inflamasi Drug (NSAID). Paracetamol

diabsorbsi dengan baik oleh saluran gastrointestinal pada manusia. Paracetamol dosis tinggi dapat

menimbulkan iritasi / deskuamasi epitel, erosi, ulkus, dan perdarahan lambung. Ekstrak aquos dari

tanaman krokot (Portulaca oleracea) menunjukkan reaksi positif flavonoid yang fungsinya

sebagai gastroprotective yaitu mencegah kerusakan oxidative mukosa gaster dengan cara

memblok lipid peroksida, menurunkan superoksida dismutase dan meningkatkan aktivitas

katalase.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak Aqous tanaman Krokot

(Portulaca oleracea) terhadap gambaran histopatologi gaster tikus putih (Rattus Norvegicus)

jantan galur Wistar yang diinduksi paracetamol.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian Eksperimental Laboratoris dengan desain post-test

only control group menggunakan 24 ekor tikus yang dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok

control negatif yang diberi pakan standard; kelompok perlakuan positif 1 yang diberi paracetamol

1000mg/ekor/hari secara sonde per oral; dan kelompok perlakuan positif 2 yang diberi Ekstrak

Aquos Krokot (Portulaca oleracea) 150mg/KgBB/ekor/hari dengan diberi paracetamol

1000mg/ekor/hari 45 menit setelahnya secara sonde per oral. Penelitian dilakukan selama 14 hari,

kemudian diambil gaster pada hari ke 15 dan dilakukan pemeriksaan secara mikroskopik.

Selanjutnya data dianalisis menggunakan IBM SPSS versi 23 dengan metode Kruskal Wallis.

Hasil: Uji Kruskal Wallis menunjukkan hasil yang signifikan. Uji Mann Withney menunjukkan

perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan positif 1

p= 0,000 (p<0,05). Juga kelompok perlakuan positif 1 dengan kelompok perlakuan positif 2

p=0,003 (p<0,05). Namun tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok control negatif

dan kelompok perlakuan positif 2 p= 0,143 (p>0,05).

Kesimpulan: Pemberian Ekstrak Aquos Krokot (Portulaca oleracea) berpengaruh terhadap

gambaran histopatologi gaster pada tikus putih (Rattus Norvegicus) jantan galur wistar yang

diinduksi paracetamol.

Kata Kunci: Tanaman Krokot (Portulaca oleracea), Paracetamol, Gambaran Histopatologi

Gaster

Page 246: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

232

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

LAPORAN KASUS: PROGRESIVITAS HEPATITIS AUTOIMUN MENJADI SIROSIS

HEPATIS DEKOMPENSATA PADA WANITA POST PARTUS.

Marselino Richardo, Neneng Ratnasari, Fahmi Indarti, Catharina Triwikatmani, Putut

Bayupurnama, Sutanto Maduseno, Siti Nurdjanah.

Sub divisi Gastroentero-hepatologi, Departemen ilmu penyakit dalam RSUP dr. Sardjito,

Yogyakarta, Indonesia.

Abstrak

Pendahuluan: Sirosis hati merupakan perjalanan patologi akhir dari berbagai macam penyakit

hati. Sirosis hepati terbagi atas sirosis hepatis kompensata dan sirosis hepati dekompensata.

Hepatitis autoimun adalah inflamasi pada hati yang terjadi akibat sistem imun dari tubuh pasien

menyerang sel hati pasien itu sendiri.

Metode: Merupakan suatu laporan kasus pengamatan selama 3 bulan.

Diskusi dan hasil: Wanita 30 tahun post partum dengan cara seksio sesarea menderita hepatitis

autoimun yang mengalami progresivitas perubahan klinis yang progresif berupa asites dan

hipoalbumin serta perubahan gambaran ultrasonografi dan magnetic resonance imaging (MRI)

menjadi sirosis hepatis dalam waktu 3 bulan.

Kesimpulan: Penyakit hepatitis autoimun dapat dengan cepat berkembang menjadi sirosis hati

bila tidak segera ditegakkan diagnosanya dan diterapi secara agresif untuk meredakan proses

inflamasi dan cedera sel hati dengan obat imunosupresif. Terdapat faktor resiko yang

mempercepat hepatitis autoimun menjadi sirosis pada pasien ini adalah usia diantara 21 samapi 60

tahun, kadar albumin yang rendah terus menerus, tidak melanjutkan terapi imunosupresif, kadar

ALT, AST, bilirubin yang tetapi tinggi diatas nilai normal.

Kata kunci: Hepatitis autoimun, sirosis hepatis.

Pendahuluan

Hepatitis autoimun adalah suatu penyakit hati kronis dengan sebab yang belum

diketahui, ditandai denga peradangan dan nekrosis hepatoselule, biasanya disertai dengan

fibrosis yang cenderung progresif kearah sirosis dan gagal hati. Hepatitis autoimun terdiri

atas dua tipe, yaitu tipe 1 dan tipe 21. Perbedaan mendasar dari kedua tipe tersebut adalah

asal penyebab dan cara pengobatan. Hepatitis autoimun tipe 1 meerupakan bentuk yang

paling banyak ditemukan meliputi 80% kasus dengan rasio pasien perempuan disbanding

laki-laki adalah 4:1 dan dapat menyerang pada sejala jenis usia. Hepatitits atutoimun tipe

2 pada umumnua menyerang anak-anak usia 2 sampai 14 tahun2.

Etiologi dari penyakit hati autoimun ini masih tidak diketahui sampai saat ini.

Penyakit hati autoimun ini paling banyak diderita oleh perempuan yang dicirikan dengan

adanya peningkatan serum enzim transaminase, adanya, peningkatan kadar

immunoglobulin G, adanya autoantibodi yang positif, dan gambaran histologi yang

berupa hepatitis3. Pada umumnya penyakit hati autoimun ini memiliki respon yang baik

terhadap terapi imunosupresif namun bila paien tidak dapat mencapai remisi komplit

makan penyakit ini dapat berkembang menjadi sirosis hepatis, gagal hati akut, dan

kematian4.

Presentasi kasus

Pasien wanita 30 tahun dengan riwayat perjalanan penyakit sebagai berikut: tiga

tahun sebelum masuk Rumah sakit Umum Pusat dr. Sardjito Yogyakarta, pasien pernah

Page 247: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

233

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

menderita riwayat hepatitis A dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih , dengan kadar serum

alanin aminotransferase (ALT) dan serum aspartate aminotransferase (AST) yang tinggi

dan terus meningkat. Pada saat itu pasien mendapatkan terapi berupa: stronger neo-

minophagen C, cefadroxil, dan paracetamol. Pasiean mengalami alergi hingga terjadi

Steven Johnson Syndrome,kemudian dirawat selama satu bulan hingga Steven Johnson

sydromen sembuh.

Empat bulan sebelum masuk RSUP dr. Sardjito Yogyakarta, pasien saat itu

sedang hamil usia 3 bulan di ultrasonogram obstetri di RS Panti Rini dikatakan ada cairan

didalam perut namun diluar rahim, kemudian dilakukan ultrasonografi abdomen dengan

hasil ada cairan ascites dan organ intraabdomen dalam batas normal. Pasien mendapat

terapi furosemide dan spironolactone, kemudian dilakukan ultrasonografi abdomen ulang

dikatakan cairan ascites sudah tidak terlihat. Pasien tidak memiliki riwayat sakit gondok

selama ini.

Pasien kemudian datang ke rumah sakit umum pusat (RSUP) dr. Sardjito ,

Yogyakarta dengan keluhan perut terasa sakit dan membesar, pasien adalah pasien post

partum secara sectio cesarea 7 hari yang lalu di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta atas

iindikasi riwayat sectio cesarea sebelumnya 7 tahun yang lalu , pre term in partu P2 A0.

Berat badan bayi waktu lahir adalah 1900 gram.

Pasien mengatakan merasakan perut sebah dan terasa penuh serta nyeri sejak 1

hari post section cesarea, dan terasa terus membesar sampai dengan 4 hari

kemudian.Pada hari masuk RSUP dr. Sardjito Yogyakarta pasien merasa perut makin

nyeri dan membesar, belum bab selama 4 hari susah kentut tanpa ada rasa mual, muntah,

demam, nafsu makan menurun.

Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum compos mentis, gizi cukup,

takikardi 108 kali per menit, dan suhu 38.50 Celsius, tanda vital lain normal, konjunktiva

pucat, sklera ikterik, abdomen: distended, tampak bekas luka operasi yang ditutupi kasa,

peristaltik usus 8 kali per menit, shifting dullness, Nyeri tekan abdomen diarea sekitar

luka operasi.

Pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar haemoglobin 9.3 g/dl, leukosit 27.

190/uL, dominasi segmen neutrofil 83.3%, kadar ALT 64 U/L, AST 126 U/L, total

bilirubin 5.65 mg/dL, direct bilirubin 4.46 mg/dL, albumin 1.79 g/dL, PPT memanjang 1

detik dari nilai kontrol, kesimpulan analisa cairan ascites adalah radang supuratif dan

mesothel reaktif serta tidak didapatkan sel ganas. Pasien juga sudah mendapatkan

pemeriksaan ADA tes yang hasilnya normal, IGRA tes juga normal. Pasien kemudian

dilakukan pemeriksaan ANA tes dengan hasil positif 1/100, anti ds-DNA positif ≥ 25,

anti Smooth Muscle Antibody non reaktif, Liver kidney Microsomal type 1 non reaktif,

Anti AMA tes non reaktif . Dilakukan penilaian skor International Autoimmune Hepatitis

Group (IAIHG) didapatkan skor 11. Pasien dilakukan pemeriksaan ultrasonografi

abdomen dengan kesimpulan hepatitis kronik dan ascites. Pasien didiagnosa sebagai

peritonitis bakterialis dan hepatitis autoimun dengan mendapatkan terapi obat antibiotika

ciprofloxacin dan metronidazole, methylprednisolone, ursodeoxycholic acid. Keadaan

pasien membaik setelah diterapi namun kadar serum ALT,AST, total bilirubin dan direct

bilirubin tidak pernah turun ke nilai normal. Pasien kemudian pulang dari rumah sakit

dengan terapi metylprednisolon 8mg per 12 jam dan azathioprine 25mg per 12 jam.

Page 248: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

234

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Gambar 1.Gambaran hepatitis kronik

Tiga bulan kemudian pasien kembali masuk dirawat di RSUP dr. Sardjito

Yogyakarta, setelah tidak kontrol ke poli rawat jalan dan tidak melanjutkan minum obat

imunosupresif selama 2 bulan. Pasien datang dengan keadaan umum lemah, compos

mentis tanda vital baik, ikterik, atrofi muskular temporalis, perut membesar dengan

shifting dullnes positif, edema pada kedua kaki. Kemudian dilakukan pemeriksaan

Magnetic Resonance Imaging (MRI) abdomen dan ultrasonografi pada pasien tersebut

dengan kesimpulan sirosis hepatis dengan asites tidak tampak sirosis bilier, tidak tampak

pelebaran duktus bilier intrahepatik dan duktus bilier ekstrahepatik. Kadar serum ALT,

AST, total bilirubin, direct bilirubin berfluktuasi namun tidak pernah mencapai nilai

normal. Kadar serum albumin selalu rendah dan tidak pernah normal. Penilaian derajat

sirosis hepatis didapatkah Child-Pugh C.

Gambar 2. Gambaran ultrasonografi sirosis hati.

Page 249: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

235

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Tabel 1. Hasil laboratorium AST, ALT, total bilirubin, direct bilirubin, albumin pasien

selama perawatan

Hari

ke- AST ALT Total bilirubin

Direct

bilirubin

Kadar

albumin

1 126 64 5.65 4.46 1.79

7

1.83

8

2.23

14

1.91

15

9.35 7.63

17

2.32

18 162 36

2.86

22 256 68 6.94 6.13 2.62

28 213 118 5.74 4.92

41 86 118 6.6 5.76

104 114 137 3.45 1.35

107

2.82

109 41 58 8.11 6.73 2.58

Pembahasan

Penyakit autoimun pada hati terdiri atas primary biliary cirrhosis, primary

Sclerosing cholangitis, dan hepatitis autoimun yang pada kenyataanya masih mungkin

terjadi overlap syndrome diantara ketiga penyakit tersebut5. Hepatitis autoimun dapat

menyerang segala jenis suku bangsa dan usia dengan puncak insiden pada wanita

preadolescence, dengan perbandingan perempuan dan laki-laki adalah 4:1.

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya hepatitis autoimun, yaitu: faktor

predisposes genetik yang dominan dalam mempengaruhi terjadinya hepatitis autoimun

adalah gen HLA.hepatitits autoimun tipe 1 berhubungan denga serotype HLA-DR3 dan

HLA-DR4. Sedangnkan hepatitis autoimun tipe 2 berhubungan dengan HLA_DQB1.

Faktor pencetus yang didiuga dapat menuyebabkan hepatitis autoimun adalah infeksi

virus,oba-obatan dan toksin. Beberapa infeksi virus yang menjadi pencetus yaitu virus

campak, hepatitis A, B, C, cytomegalovirus dan virus Ebstein-Barr. Obat seperti

metildopa, nitrofuranion, diklofenak, oksifenasetin, interferon, minosiklin dan

atorvastatin dapat memicu keurasakan hati yang mirip dengan hepatitis autoimun1.

Penyakit hepatitis autoimun terdiri atas dua tipe, yaitu hepatits autoimun tipe 1

bila pada pemeriksaan serologi didapatkan tes ANA positif dan atau anti-smooth muscle

autoantibody (SMA) seropositive. Hepatitis autoimun tipe 2 bila pada pemeriksaan

serologi didapatkan hasil tes anti-liver kidney type-1 autoantibody (anti-LKM-1) atau

anti -liver cytosol type-1 (anti-LC-1) positif6. Pada pasien ini didapatkan faktor resiko dan

pencetus hepatitis autoimun yaitu wanita berupa infeksi virus hepatitis A dan

penggunaan obat yang mencetus alergi berupa kemungkinan cefadroxil.

Penyakit hepatitis autoimun dapat ditegakkan bila terdapat gejala kelelahan, sakit

kuning, ketidaknyamanan perut bagian kanan atas, pruritus, anoreksia, myalgia, diare,

cushingoid, demam ≤ 400 Celsius. Temuan fisik adanya hepatomegaly, penyakit kuning,

spiden angiomata, penyakit kekebalan lainnya, splenomegaly, ascites, ensefalopati.

Temuan laboratorium meningkatnya kadar AST, hypergammaglobulinemia,

Page 250: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

236

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

meningkatnya immunoglobulin level G, hiperbilirubinemia, tingkat alkali fosfatase ≥ 2

kali lipat nilai normal1. Pemerikasaan dengan menggunakan system skor yaitu skor

International Autoimmune Hepatitis Group (IAIHG)7. Pada pasien ini didapatkan gejala

sakit kuning, nyeri perut, ascites, kadar AST yang meningkat, hiperbilirubinemia, dengan

Skor IAIHG adalah sebelas.

Sirosis hati adalah perjalanan akhir dari suatu fibrosis di hati yang dapat

disebabkan oleh banyak keadaan seperti misalnya hepatitis, alkoholisme kronik. Sirosis

terjadi sebagai respon dari kerusakan hati sebagai akibat dari adanya cedera hati yang

terus menerus. Sirosis hati dapat ditegakkan diagnosis Pembengkakan atau penumpukan

cairan pada kaki (edema) dan pada perut (ascites). Hipogonadisme, dengan gejala seperti

impotensi, infertilitas, hilangnya dorongan seksual, dan atrofi testis (mengecilnya buah

zakar). Gynecomastia, proliferasi (pembesaran) jaringan kelenjar payudara pada pria,

terlihat seperti karet atau padat yang meluas secara konsentris dari puting. Hal ini

disebabkan oleh peningkatan estradiol sebagai akibat sekunder dari sirosis. Spider

angiomata atau spider nevi, lesi vaskular terdiri dari arteriola pusat yang dikelilingi oleh

pembuluh yang lebih kecil (seperti laba – laba) biasanya pada daerah dada dan punggung.

Jaundice, yaitu menguningnya kulit, mata, dan selaput lendir karena bilirubin yang

meningkat. Urin juga terlihat menjadi lebih gelap seperti air teh. Gejala lain seperti:

Kebingungan atau keterlambatan dalam berpikir, lemah, warna tinja pucat atau tinja

menjadi hitam, kehilangan nafsu makan, mual & muntah darah, mimisan & gusi berdarah,

kehilangan berat badan8.

Pemeriksaan laboratorium pada sirosis hati akan didapatkan perubahan enzim

transaminase (AST dan ALT) yang menjadi salah satu penanda adanya peradangan atau

kerusakan hati akibat berbagai penyebab, termasuk sirosis. Selain itu juga dapat diketahui

kadar albumin, faktor-faktor pembekuan darah, jumlah zat besi, dan autoantibodi yang

juga perubahannya dapat menjurus ke sirosis. Pemeriksaan pencitraan menggunakan alat,

salah satunya ultrasonografi, CT (computerized tomography), MRI (magnetic resonance

imaging) dan transien elastography (FibroScan®). Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan

hepatomegali, nodul dalam hati, splenomegali, dan cairan dalam abdomen, yang dapat

menunjukkan sirosis hati1.

Biopsi yaitu pengambilan sampel kecil dari sel-sel hati yang diambil dan diperiksa

dengan menggunakan mikroskop. Pengambilan sampel hati dengan cara memasukkan

jarum halus di antara tulang rusuk kemudian ke hati. Biopsi tidak hanya dapat

memastikan adanya sirosis, tetapi juga dapat mengungkapkan penyebabnya. Endoskopi

(gastroscopy), yaitu dengan memasukkan kamera video ke tubuh pasien melalui

kerongkongan kemudian turun ke lambung & usus kecil. Dokter akan melihat bagian

dalam perut pada layar, untuk melihat adakah pembuluh darah yang membesar disebut

varises di kerongkongan, lambung dan usus kecil, yang merupakan tanda – tanda dari

sirosis9. Pada pasien ini didapatkan jaundice, ascites, perubahan nilai AST dan ALT,

kadar albumin yang rendah, pemeriksaan MRI berupa sirosis hati .

Pada penyakit hati kronik termasuk hepatitis automiun, terjadinya cedera yang

terus-menerus atau bersifat kronik akan menyebabkan inflamasi kronik. Inflamasi kronik

ini akan menyebabkan proliferasi sel dan deposisi protein matriks ekstraselular. Jika

inflamasi ini tidak diterapi segera maka proses inflamasi ini akan menyebabkan

regenerasi nodular yang dikelilingi oleh septa fibrotik sehingga menyebabkan distorsi dari

bentuk vascular hati sampai pada akhirnya hati kehilangan fungsi hati dan terjadilah

Page 251: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

237

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

sirosis hepatis. Peningkatan asam empedu sebagai akibat dari keadaan kolestasis juga

dapat menyebabkan proses fibrogenesis secara tidak langsung dengan menghancurkan

sel-sel hati atau melalui secara langsung mempengaruhi myofibroblast4.

Pada suatu penelitian kohort didapatkan bahwa 10 persen pasien hepatitis

autoimun dalam median 7.2 tahun. Pada penelitian lain didapatkan 20 persen pasien

hepatitis autoimun akan berkembang menjadi sirosis hati dalam waktu 52 bulan4.

Permasalahan pada kasus ini adalah bagaimana dalam waktu tiga bulan pasien penderita

hepatitis autoimun yang hamil kemudian menjalan post partum secara sectio cesarea bias

begitu cepat dan progresif mengalami perubahan perjalanan penyakit menjadi sirosis hati.

Faktor apa saja yang mungkin menyebabkan perjalanan penyakit hepatitis

autoimun menjadi sangat progresif menjadi sirosis hepatis4. Menurut suatu peneltian oleh

Ngu JH et al, 2013 bahwa usia mulai terkena penyakit hepatitis autoimun antara 21

sampai 60 tahun, laki-laki, kadar serum albumin yang rendah terus menerus, kadar

trombosit yang rendah, pemanjangan INR ternyata berhubungan dengan keadaat

percepatan mengalami sirosis hati10.

Diduga juga ada kemungkinan kadar ALT ,AST, bilirubin yang tidak pernah

turun ke nilai normal ini juga menandakan adanya cedera pada sel hati yang terus

menerus dan adanya kolestasis yang berkepanjangan yang dapat memicu asam empedu

menyebabkan terjadinya fibrosis dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya sirosis hati.

Proses ini terjadi karena inflamasi di hati tidak diterapi dengan baik karena pasien sempat

tidak datang berobat dan minum obat imunosupresi selama 2 bulan.

Kesimpulan

Penyakit hepatitis autoimun dapat dengan cepat berkembang menjadi sirosis hati

bila tidak segera ditegakkan diagnosanya dan diterapi secara agresif untuk meredakan

proses inflamasi dan cedera sel hati dengan obat imunosupresif. Terdapat faktor resiko

yang mempercepat hepatitis autoimun menjadi sirosis pada pasien ini adalah usia diantara

21 samapi 60 tahun, kadar albumin yang rendah terus menerus, tidak melanjutkan terapi

imunosupresif, kadar ALT, AST, bilirubin yang tetapi tinggi diatas nilai normal.

Daftar pustaka

1. Sulaiman, Akbar, Lesmana dan Noer. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta:

Jayabadi.

2. Feldman, Friedman, dan Brandit .2010. Sleisenger dan Fordtrans’s. Gastrointestinal and

Liver Disease. Pathophysiology/ Diagnosis/ Manajemen. Ninth Edition. Canada:

Saunders Elsevier

3. Zolfino R, Haneghan MA, Norris S, Harrison PM, Portman BC, McFarlane IG.

Characteristic of autoimmune hepatitis in patients who are not of European Caucasoid

ethnic origin. Gut. 2002; 50:713-717 [DOI: 10.1136/gut.50.5.713]

4. Zhang H, Guo L, Wei W, Wang B, Zhou L. Treat-to-Target in Autoimmune Hepatitis:

How Far To GO?. J AIDS Clin Res. 2017; 8:11 [DOI: 10.4172/2155-6113.1000743.

5. Liberal R, Grant CR. Cirrhosis and autoimmune liver disease: current understanding.

World Journal Hepatology. 2016; 8(28): 1157-1168 [DOI : 10.4254/wjh.v8.i28.1157]

6. Baretta-Piccoli BT, Mieli-Vergani G, Vergani D. Autoimmune hepatitis: Standard

treatment and systematic review of alternatif treatments. World J Gastroenterol.

2017;23(33): 6030-6048 [DOI: 10.3748/wjg.v23.i33.6030]

7. Aizawa Y, Hokari A. Autoimmune hepatitis: current challenges and future prospects.

Clinical and Experimental Gastroenterology. 2017; 10: 9-18.

Page 252: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

238

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

8. PubMed Health, “Cirrhosis” http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001301/

diakses pada tanggal 28 Juni 2018.

9. MNT, “What Is Cirrhosis? What Causes Cirrhosis?”,

http://www.medicalnewstoday.com/articles/172295.php diakses pada tanggal 28 Juni

2018.

10. Ngu JH, Gearry RB, Frampton CM, Stedman CA. Predictors of poor outcome in patients

w ith autoimmune hepatitis: a populationbased study. Hepatology 2013; 57:

2399­2406 [PMID: 23359353 DOI: 10.1002/hep.26290]

SEORANG PENDERITA ENTEROPATI ARTRITIS DENGAN

ALARM SYMPTOM DIARE BERDARAH

Page 253: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

239

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Sarah Firdausa1, Yuliasih2, Zurriyani3

1. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2.Universitas Airlangga, Surabaya 3. RSU Meuraxa,

Banda Aceh

ABSTRAK

Pendahuluan: Enteropatik artritis adalah bentuk artritis yang terkait irritable bowel disease

(IBD) dengan manifestasi tersering berupa kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Penyakit ini

merupakan salah satu manifestasi klinis dari spondiloartritis seronegatif. Diare dan artritis

merupakan dua hal yang sering muncul sebagai gejala klinis pada enteropatik artritis. Salah satu

alarm symptom pasien enteropatik artritis adalah buang air besar (BAB) cair dan berdarah.

Kasus: Seorang laki-laki, usia 56 tahun datang dengan keluhan BAB cair berdarah dan berlendir,

frekuesi 7-10x/ hari. Terdapat mual dan muntah yang berisi sisa makanan, namun tidak terdapat

darah. Keluhan disertai dengan nyeri sendi lutut kiri. Selain itu didapatkan juga nyeri pinggang,

terasa kaku saat bangun pagi dan memberat saat istirahat (inflamatory back pain). Riwayat

sariawan sejak usia belasan tahun, hilang timbul. Saat ini tidak ada sariawan yang muncul.

Pemeriksaan fisik didapatkan anemia, artritis genu kiri (bengkak, merah dan hangat pada

perabaan) dan schober test positif. Pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosa enteropatik

artritis adalah LED dan CRP yang meningkat, gambaran sacroiliitis kiri dan hasil kolonoskopi

berupa kolitis ulseratif. Penderita mendapat terapi Sulfasalazin 2 x 500 mg pada minggu pertama,

kemudian ditingkatkan menjadi 2 x 1000 mg pada minggu kedua dan seterusnya; COX 2 inhibitor

2 x 50 mg. Pasien mengalami perbaikan secara klinis.

Diskusi: Diare berdarah merupakan alarm symptom dari IBD yang terdiri dari dua tipe utama

yaitu kolitis ulseratif dan penyakit Chrohn’s. Secara klinis, manifestasi IBD yang terkait dengan

artritis disebut Enteropati Artritis. Artritis perifer yang terkait dengan IBD biasanya bersifat

oligoartikular, migrasi, asimetris dan sering mengenai tungkai bawah. Pemeriksaan radiologi

untuk membuktikan keterlibatan sendi akan memudahkan klinisi menuju diagnosis yang tepat.

Gambaran yang sering didapatkan adalah sacroiliitis.

Kesimpulan: Alarm symptom dari IBD berupa BAB cair dan berdarah yang disertai dengan

inflammatory back pain, gambaran sacroiliitis pada imaging, artritis perifer, entesitis atau

dactylitis merupakan manifestasi dari enteropati artritis. Diperlukan kerja sama antara ahli

gastroenterologi dan ahli reumatologi untuk penegakan diagnosis, terapi dan monitoring yang

komprehensif.

Kata kunci: Enteropati artritis, diare berdarah, artritis

Page 254: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

240

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Page 255: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

241

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

SEORANG PEREMPUAN 52 TAHUN MENDERITA SINDROM BUDD-CHIARI

Gunady WR1, Fransisca Yustika Dewi Siahaan2, Agung Prasetyo3, Hirlan3

1Residen Sp2 Penyakit Dalam FK-UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi Semarang 2Residen Penyakit Dalam FK-UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi Semarang

3Sub Divisi Gastroenterohepatologi FK-UNDIP/ RSUP Dr.Kariadi Semarang

ABSTRAK

LatarBelakang :SindromBudd - Chiari (BCS) merupakan salah satu penyakit yang jarang terjadi yang

disebabkanolehobstruksioutflow venahepatika. Obstruksi dapatterjadipadasemuatitikaliran

v.hepatikamulaidarivena kecilsampaipada ostium vena cava inferior (VCI) di atrium kanan,

tanpamempersoalkanpenyebabnya.Penatalaksanaan BCS terdiri dari pemberian antikoagulan, tindakan

stenting, hingga transplantasi hati.

Laporan Kasus :Perempuan usia 52 tahun 1 bulan mengeluh perut membesar, sehingga pasien sulit

bernapas diikuti bengkak kedua tungkai bawah. Riwayat penggunaan pil KB selama 20 tahun. Selama 1

bulan pasien diterapi dengan Rivaroxaban 1x20 mg karena DVT. Pemeriksaanfisik didapatkan ascites grade

3 (lingkar perut 102 cm), lingkar paha kanan18cm, Lingkar paha kiri22cm.Skor Well’s 4,. Hasil

laboratorium : Hb 9,94gr% , leukosit 22,2 ribu/mmk, trombosit 293 ribu/mmk, SGOT :19u/L,SGPT

13u/L,ALP 105u/L,GGT 86u/l, Bil. Total 0,36,Bil direk 0,16, Albumin 3,7g/dl,globulin 3,7g/dl,

ppt/k:12,0/10,9, pttk/k:54,4/32,1,HBsAg (-),Anti HCV (-),D-dimer 5780,fibrinogen 237,7,LDH 860u/L.

Pemeriksaan cairan asites : transudat, CT-Scan abdomen 4 fase dengan kontras didapatkan Hepatomegali

disertai penyempitan vena hepatika.Venografi vena hepatika disimpulkan stenosis luas VCI dan stenosis

sedang v.hepatika kanan. Dalam perawatan ke 2 ( selama 42 hari), pasien diterapi enoxaparin 60mg/12 jam

selama 15 hari dilanjutkan dengan warfarin 2mg/hari, spironolakton1x200mg, Furosemid 1x80mg, diet

rendah garam maksimal 2 gr/hari.Pasien pulang dengan KU baik,lingkar perut (84 cm), DVT (-).

Diskusi :Penggantian Faktor Xa inhibitor (Rivaroxaban) dengan LMWH dan kombinasi dengan Vitamin K

antagonis, diuretik dan diet rendah garam memberikan outcome yang baik pada pasien BCS ini.

Kesimpulan :Diagnosis BCS diperlukan pemeriksaanlaboratoris dan radiologis, sehingga dapat

terdiagnosis secara dini dan dengan manajemen terapi yang tepat dapat memberikan hasil yang lebih baik.

Kata Kunci :Sindrom Budd Chiari, asites, venografi

Page 256: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

242

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

SEORANG PENDERITA ENTEROPATI ARTRITIS DENGAN ALARM

SIMPTOM DIARE BERDARAH Sarah Firdausa1, Yuliasih2,Zurriyani3

1. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2.Universitas Airlangga, Surabaya 3. RSU Meuraxa, Banda

Aceh

ABSTRAK

Pendahuluan:Enteropatik artritis adalah bentuk artritis yang terkait irritable bowel disease (IBD)

dengan manifestasi tersering berupa kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Penyakit ini merupakan

salah satu manifestasi klinis dari spondiloartritis seronegatif. Diare dan artritis merupakan dua hal

yang sering muncul sebagai gejala klinis pada enteropatik artritis. Salah satu alarm symptom

pasien enteropatik artritis adalah buang air besar (BAB) cair dan berdarah.

Kasus:Seorang laki-laki, usia 56 tahun datang dengan keluhan BAB cair berdarah dan berlendir,

frekuesi 7-10x/ hari. Terdapat mual dan muntah yang berisi sisa makanan, namun tidak terdapat

darah. Keluhan disertai dengan nyeri sendi lutut kiri. Selain itu didapatkan juga nyeri pinggang,

terasa kaku saat bangun pagi dan memberat saat istirahat (inflamatory back pain). Riwayat

sariawan sejak usia belasan tahun, hilang timbul.Saat ini tidak ada sariawan yang muncul.

Pemeriksaan fisik didapatkan anemia, artritis genu kiri (bengkak, merah dan hangat pada

perabaan)dan schober test positif. Pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosa enteropatik

artritis adalah LED dan CRP yang meningkat, gambaran sacroiliitis kiri dan hasil kolonoskopi

berupa kolitis ulseratif.Penderita mendapat terapi Sulfasalazin 2x500mg pada minggu pertama,

kemudian ditingkatkan menjadi 2x1000mg pada minggu kedua dan seterusnya; COX 2 inhibitor

2x50mg. Pasien mengalami perbaikan secara klinis.

Diskusi:Diare berdarah merupakan alarm symptom dari IBD yang terdiri dari dua tipe utama yaitu

kolitis ulseratif dan penyakit Chrohn’s. Secara klinis, manifestasi IBDyang terkait dengan artritis

disebut Enteropati Artritis. Artritis perifer yang terkait dengan IBD biasanya bersifat

oligoartikular, migrasi, asimetris dan sering mengenai tungkai bawah. Pemeriksaan radiologi

untuk membuktikan keterlibatan sendi akan memudahkan klinisi menuju diagnosis yang tepat.

Gambaran yang sering didapatkan adalah sacroiliitis.

Kesimpulan:Alarm symptom dari IBD berupa BAB cair dan berdarah yang disertai dengan

inflammatory back pain, gambaran sacroiliitis pada imaging, artritis perifer, entesitis atau

dactylitis merupakan manifestasi dari enteropati artritis. Diperlukan kerja sama antara ahli

gastroenterologidan ahli reumatologi untuk penegakan diagnosis, terapi dan monitoring yang

komprehensif.

PENDAHULUAN

Enteropatik artritis adalah bentuk artritis yang terkait dengan penyakit peradangan

usus kronis /irritable bowel disease (IBD) dengan manifestasi tersering berupa kolitis

ulseratif, dan penyakit Crohn. Ini merupakan salah satu manifestasi klinis dari

spondiloartritis seronegatif (Holden, 2003).

Spondiloartritis merupakan kumpulan sekelompok kondisi artritis yang

melibatkan vertebra dan sendi perifer dengan HLA-B27 sebagai faktor predisposisi

genetik. Spektrum klinis spondiloartritis terdiri dari ankilosing spondilitis, artritis

psoriatik, enteropatik artritis, reactive juvenile chronic arthritis dan undifferentiated

spondyloarthritis(Kahl, 2012; Soeroso, 2012).

Enteropatik artritis terjadi pada sekitar 10-15% pasien dengan kolitis ulseratif dan

penyakit Crohn dengan IBD (Burroughs & Westaby, 2009). Insidennya meningkat dalam

beberapa dekade terakhir. Artritis perifer dilaporkan berkaitan dengan kolitis ulseratif dan

dengan penyakit Crohn’s dengan angka kejadian artritis 10-50% pada pasien dengan IBD

(Friedman & Blumberg, 2008).

Page 257: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

243

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Diare dan artritis merupakan dua hal yang sering muncul sebagai manifestasi

klinis pada enteropatik artritis. Artritis yang muncul biasanya asimetris dan lebih sering

mengenai persendian tungkai bawah. Gejala di persendian dapat mendahului munculnya

penyakit usus dan petunjuk yang dapat mengarah pada diagnosis. Selain itu, dapat juga

ditemukan nyeri punggung dan gambaran sakroiliitis pada foto pelvis (Burroughs &

Westaby, 2009; Taurog, 2008).

Salah satu alarm symptom pasien enteropatik artritis adalah buang air besar

(BAB) cair dan berdarah. Berikut dilaporkan seorang pasien dengan keluhan BAB

berdarah yang disebabkan enteropatik artritis.

KASUS

Seorang laki-laki, Tn. K, usia 56 tahun, menikah, suku Jawa, agama Islam, pekerjaan

swasta, berdomisili di kota Jember, dirawat di ruang Interna 1 pada tanggal 3 Februari

2013) dengan

keluhan utama buang air besar berdarah yang dialami sejak 1 bulan sebelumnya, dengan

frekuensi 7-10x/hari. BAB berisi feces warna kuning yang bercampur lendir dan darah.

Volume BAB sedikit-sedikit sekitar 2-3 sendok makan disertai darah yang keluar sedikit-

sedikit. Tidak ada riwayat BAB hitam. Tidak terdapat riwayat wasir. Terdapat mual dan

muntah yang berisi sisa makanan, namun tidak terdapat darah.

Selain diare, pasien juga mengeluh nyeri sendi terutama sendi pinggang dan lutut

kiri yang disertai dengan bengkak disekitar lutut sehingga pasien sulit menggerakkan

kakinya. Keluhan ini dialami hilang timbul sejak 1 bulan SMRS, berkurang dengan anti

nyeri, namun makin lama makin memberat ditandai dengan ketidakmampuan pasien

untuk berjalan secara mandiri dalam 2 minggu terakhir. Pasien harus dipapah untuk

berjalan ke kamar mandi.

Keluhan yang sama pernah dialami pendertita sekitar 8 tahun yang lalu dan

dilakukan kolonoskopi. Pasien dikatakan menderita radang usus besar dan diberi tablet

sulcolon dan budenofalk yang diminum rutin selama 1 tahun namun obat ini dihentikan

oleh penderita karena merasa keluhan membaik.

Penderita sering mengalami sariawan sejak usia belasan tahun, hilang timbul.

Pasien tidak mengkonsumsi obat khusus untuk sariawannya. Saat ini tidak ada sariawan

yang muncul. Tidak didapatkan riwayat diabetes mellitus, hipertensi dan trauma fisik.

Tidak ada keluarga pasien yang menderita sakit seperti ini.

Perjalanan Penyakit Pada hari pertama perawatan, keadaaan umum pasien lemah, kesadaran kompos

mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi96x/menit, frekuensi nafas 20x/menit dan

temperatur axiler 36,8oC. Pasien tampak normoweight (tinggi badan 157 cm, berat badan

54 kg, (indeks massa tubuh 21). Pada pemeriksaan kepala dan leher didapatkan

konjungtiva anemis, tidak didapatkan ikterus, sianosis dan dipsneu. Bentuk dada simetris,

tidak ada retraksi. Suara jantung 1 dan 2 tunggal, tidak ditemukan murmur maupun

gallop. Suara nafas vesikuler, tidak didapatkan ronkhi maupun wheezing dengan hasil

pemeriksaan foto thoraks dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan

abdomen yang soepel, bising usus meningkat, namun tidak ada nyeri tekan, tidak teraba

hepar, lien dan tidak didapatkan massa di abdomen. Pada pemeriksaan extremitas

didapatkan akral hangat, bengkak dan nyeri di lutut kiri, serta terdapat efusi di

pergelangan kaki kiri.Terdapat pula nyeri di pinggang terutama bila pasien membungkuk.

Pada pemeriksaan rectal toucher didapatkan spincter ani yang ketat, tidak teraba benjolan

atau massa, mukosa licin, pada handscoen terdapat sedikit feses warna kuning, namun

tidak ada darah.

Page 258: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

244

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 8,2 g/dl, hematokrit 22,5 %,

leukosit 6.900 /mm3, trombosit 367.000 /mm3, GDA 90 mg/dl, BUN 8,6 mg/dl, SK 0,69

mg/dl, alb 2,63 mg/dl, protein total 5,26 mg/dl, SGOT 19 U/L, SGPT 6 U/L, bilirubin

direk 0,23 mg/dl, bilirubin total 0,42 mg/dl, Na 136 mg/dl, K 2,7 mg/dl, Cl 98 mg/dl,

CRP 177,6mg/dl. Pemeriksaan USG abdomen didapatkan kesan normal.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien dirawat dengan

diagnosis sementara Hematoschezia ec suspek enteropatik artritis, hipoalbumin, dan

hipokalemi.

Selama perawatan, sambil menunggu pemeriksaan penunjang lainnya, pasien

mendapat terapi diet lunak tinggi kalori tinggi protein 2100 kkal/hari, infus cairan Normal

Salin 0,9% 1000cc/24 jam untuk memenuhi asupan cairannya, tranfusi PRC 2 kolf/hari

dengan target Hb 10 mg/dl, drip KCl 25 meq/500cc RL untuk koreksi kehilangan kalium

karena muntah terus menerus dan injeksi ondacetron 2x8 mg serta injeksi omeprazole

2x40 mg untuk mengatasi keluhan muntah dan rasa tidak nyaman di lambungnya.

Pada hari ketiga perawatan, keluhan BAB berdarah masih didapatkan, vital sign

stabil. Setelah ditranfusi dan koreksi kalium didapatkan Hb 10,3 mg/dl, K 3,5 mg/dl,

asam urat 3,7 mg/dl, C3 118 mg/dl (85-185), C4 25 mg/dl (10-50), ANA test negatif.

Direncanakan pemeriksaan endoskopi dan colonoskopi.

Pada hari kelima perawatan, keluhan nyeri di lutut dan pergelangan kaki semakin

bertambah, disertai dengan lutut kiri yang makin membengkak, merah dan nyeri. BAB

berdarah, 3-5x/hari. Vital sign stabil, pada pemeriksaan fisik didapatkan efusi pada lutut

kiri, kemerahan, perabaan hangat, dan nyeri. Pemeriksaan endoskopi didapatkan

esofagus, gaster dan duodenum dalam keadaan normal.

Pasien dikonsulkan ke divisi Rheumatologi dengan kecurigaan suatu enteropati

artritis karena adanya artritis genu dan berak darah serta schober test positif. Disarankan

untuk pemeriksaan foto lumbosacral AP/lateral, pelvis AP dan genuAP/lateral dan saran

terapi berupa Sulfasalazine 2x500mg (1 minggu pertama dan ditingkatkan menjadi

2x1000mg pada minggu kedua dan seterusnya) dan COX-2 inhibitor 2x100 mg.

Dari foto pelvis didapatkan gambaran sakroiliitis joint kiri; foto lumbosakral

didapatkan curve lumbal yang melurus dan paralumbal muscle spasm, dan pada foto genu

terdapat entesophyte di kondilus medialis os tibia kiri yang mengesankan osteoartritis

femurotibial joint kiri. Diagnosissaat ini menjadi Enteropatik artritis. Pasien mendapat

terapi Sulfasalazine 2x500mg untuk minggu pertama dan kemudian ditingkatkan menjadi

2x1000 pada minggu kedua dan seterusnya, COX-2 Inhibitor 2x100mg.

Pada hari kesepuluh perawatan, BAB berdarah berkurang menjadi 1-2x/hari, nyeri

dan bengkak di lutut juga berkurang. Pada pemeriksaan kolonoskopi didapatkan mukosa

yang hiperemi dengan multipel ulkus yang letak dan bentuknya tidak teratur pada rektum,

sigmoid dan kolon descenden dan tidak ada mukosa normal di antara lesi (skip area

negatif), terdapat pula bentukan polip bertangkai yang multipel pada daerah sigmoid.

Disimpulkan suatu kolitis dengan dd kolitis ulseratif dan penyakit Crohn’s. Dilakukan

biopsi pada jaringan rektum dan sigmoid. Hasil patologi anatomi menunjukkan radang

granulomatous non spesifik, yang dapat merupakan gambaran mikroskopik dari penyakit

Crohn’s.

Terapi dilanjutkan dan pasien KRS dengan anjuran untuk kontrol ke poli

rheumato dan gastro. Saat KRS, penderita mendapat terapi sulfasalazine 2x1000mg dan

COX-2 Inhibitor 1x100mg. Pasien kontrol ke poli 1 minggu setelah KRS. Keluhan BAB

berdarah tidak dialami lagi, nyeri di pinggang dan lutut juga sudah banyak berkurang.

DISKUSI

Page 259: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

245

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Definisi enteropatik artritis secara pragmatis diartikan sebagai suatu kelainan pada

traktus gastrointestinal dengan manifestasi diare yang disertai dengan artritis pada sendi

(Wollheim, 2005). Secara klinis, enteropatik artritis adalah bentuk artritis yang terkait

dengan penyakit inflamasi usus kronis, irritable bowel disease (IBD), yang merupakan

salah satu dari spektrum klinis spondiloartropati (SpA) seronegatif. Ada lima manifestasi

dari SpA yaitu ankilosing spondilitis, artritis psoriatik, enteropatik artritis, reactive

juvenile chronic arthritis dan undifferentiated spondyloarthritis(Holden, 2003; Kahl,

2012; Soeroso, 2012; Van Damme, 2001).

IBD merupakan penyakit auto-inflamasi kronik (Turkcapar, 2006) yang ditandai

dengan reaksi peradangan tanpa munculnya titer antibodi yang tinggi atau antigen-

spesifik sel T. Pada penyakit auto-inflamasi, respon kekebalan adaptif relatif rendah dan

sistem kekebalan tubuh alami/ bawaan yang mendominasi patogenesis penyakit ini. Hal

ini berbeda dengan penyakit auto-imun klasik seperti SLE, dimana sistem imun adaptif

berperan dominan yang diperantarai oleh limfosit dengan reseptor antigen (Aksentijevich,

2009; Kastner, 2010; Masters, 2009).

Diare dan artritis merupakan dua kondisi yang dapat muncul secara bersamaan

karena berbagai sebab. Secara etiopatologi, IBD terkait artritis merupakan penyebab

utama yang paling banyak dilaporkan. Penyebab lain yang jarang adalah celiac disease

dan Whipple’s disease(Taurog, 2008).

Kolitis ulseratif dan penyakit Chrohn’s merupakan dua tipe utama dari IBD

(Friedman & Blumberg, 2008) yang sering dijumpai dengan artritis. Manifestasi utama

penyakit ini adalah keluhan berak darah dan adanya keterkaitan dengan artritis sendi.

Organ target lain yang bisa terlibat meliputi usus, mata, kerangka aksial, enthesis, saluran

urogenital, dan kulit. Keterlibatan artritis perifer, enthesitis, sakroiliitis, dan aksial

merupakan manifestasi ekstra-intestinal paling sering terjadi pada sekitar 40 persen dari

pasien. Onset biasanya bertahap selama beberapa minggu (Butcher & Britton, 2003;

Isenberg, 2004; Van den Bosch, Kruithof, Vos, , 2000).

Insiden tertinggi didapatkan pada rentang usia 20-40 tahun diikuti pada usia

pertengahan akhir, namun kondisi ini dapat terjadi pada semua usia, laki-laki lebih sering

dari wanita. Kejadian berkisar 3-15:100 000. Faktor genetik diperkirakan juga

berpengaruh terhadap kejadian ini, sering ditemukan pada manusia yang mempunyai gen

human leukocyte antigen (HLA) B27 (Butcher & Britton, 2003).

Pada kasus ini, penderita seorang laki-laki, usia 56 tahun, datang dengan keluhan

BAB berdarah yang dialami 7-10x/hari selama 1 bulan. Tidak didapatkan melena/ BAB

hitam. Selain BAB berdarah, penderita juga mengalami bengkak dan nyeri di sendi.

Keluhan yang sama pernah dialami penderita 8 tahun yang lalu.

Enteropatik artritis terjadi akibat kombinasi dari faktor pemicu berupa lingkungan

yang didukung oleh faktor genetik yang sesuai. Satu hipotesis menghubungkan

peradangan usus kronis terhadap hilangnya toleransi patogen usus dan munculnya

arthritis (Kahl, 2012). Faktor utama risiko genetik adalah HLA-B27, molekul MHC kelas

I (Dougados & Baeten, 2011). Terdapat 9 subtipe HLA-B27 yang telah dikenal, mulai

B*2701 hingga B*2709, yang dibedakan berdasarkan jumlah residu asam

aminonya. B*2705 merupakan suptipe terbanyak yang ditemukan pada populasi. B*2702

hanya ditemukan pada orang kulit putih dan merupakan jenis yang dominan pada

populasi Yahudi, sedangkan suptipe yang dominan ditemukan di populasi orang Asia

adalah B*2704 (Meuwissen, 1997).

Beberapa kandidat gen untuk IBD telah diteliti sehubungan dengan kejadian SpA,

diantaranya adalah HLA-B27 pada tikus transgenik dan β2-mikroglobulin pada manusia

berhubungan dengan sakroiliitis, arthritis perifer, dan lesi psoriasis di kulit. Reseptor

Page 260: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

246

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

polimorfisme spesifik untuk interleukin (IL-23) telah terbukti menjadi gen yang rentan

terhadap resiko kolitis ulseratif, ankilosing spondilitis dan psoriasis. Selain itu, gen

nukleotida domain oligomerization domain containing 2 (NOD 2) juga dikenal sebagai

caspase recruitment domain family member 15 (CARD15)jugamerupakangen

polimorfisme yang berhasil diidentifikasi terkait dengan penyakit Crohn’s yang kemudian

juga diketahui mempunyai lokus yang sama dengan colitis ulseratif. Peran CARD15

dalam patogenesa penyakit ini diekspresikan oleh monosit, granulocytes, sel dendritik dan

sel epitel. NOD2mengkodekan reseptor intraseluler yang diekspresikan terutama di

monosit dan sel Paneth yang kemudian merangsang respon imun bawaan terhadap

muramyldipeptide (MDP), suatu komponen peptidoglikan di dinding sel bakteri yang

berperan sebagai tanda pengenal bakteri. Gen NOD2 secara signifikan mengurangi respon

imun terhadap MDP. Secara in vitro, pada saat terpapar MDP, oligomerized-NOD2

mengaktifkan faktor transkripsi (faktor-κB) yang menyebabkan produksi sitokin dan

cryptidins / defensins untuk menghilangkan bakteri. Modulasi ekspresi genetik CARD15

mengakibatkan pembersihan produk bakteri terganggu, dan selanjutnya menghambat

eliminasi bakteri. Walaupun tidak ditemukan hubungan antara langsung antara CARD 15

dan SpA, namun pasien-pasien SpA dengan gen CARD15 polimorfisme mempunyai

peningkatan risiko terhadap peradangan usus kronis. Penelitian genetik lain menunjukkan

bahwa terdapat kerentanan pada lokus genetik lain yang berhubungan dengan IBD, SpA,

dan peradangan usus kronis (Colombo, 2009; De Vos, 2004; Kahl, 2012).

Interaksi antara mikroorganisme dan membran reseptor kuman, seperti toll-like

reseptor, pada sel epitel mukosa, monosit, makrofag dan sel dendritik menginduksi

sekresi berbagai mediator dan memicu aktivasi limfosit. Pengikatan reseptor sel-T pada

MHC kelas II peptida kompleks pada permukaan antigen-presenting cell (APC)

menghasilkan produksi sitokin dan regulasi dari respon imun berupa sekresi interleukin-

12 (IL12), IL23 dan IL18 untuk menginduksi diferensiasi T-helper-1; sekresi IL4 dan

1L10 untuk menginduksi diferensiasi T-helper-2; dan secara bersamaan, menginduksi sel

T regulator (De Vos, 2004).

Sel T dalam lamina propria pada pasien penyakit Crohn dan pasien

spondiloartropati menghasilkan interferon-γ, yang selanjutnya menginduksi produksi

sitokin pro-inflamasi (TNF-α, IL6 dan IL1). Sel T efektor kemudian bermigrasi dari

tempat induksinya ke sel efektor. Ekspresi molekul adhesi mengatur perpindahan sel.

Limfosit yang terlibat dalam enteropati artritis yang bermanifestasi sebagai infiltrasi

limfosit, telah diamati pada lesi inflamasi di cairan sinovial pasien spondiloartropati. Sel

T yang diaktifkan pada saluran cerna dapat masuk ke sinovium, ini dibuktikan dengan

adanya penemuan identik ekspansi sel-T pada usus mukosa, sinovium dan darah, yang

mendukung konsep ini (De Vos, 2004).

Diagnosis untuk enteropatik artritis didasarkan pada anamnesis yang mengarah

pada IBD, presentasi klinis dan pemeriksaan penunjang. Tidak ada kriteria diagnosa

khusus untuk enteropatik artritis. Namun kriteria diagnosis untuk spondiloartropati

berdasarkan Assessment of Spondiloarthritis International Society (ASAS) dapat

membantu menegakkan diagnosis (Bagan 1). Beberapa kondisi yang termasuk dalam

kriteria spondiloartritis adalah usia dibawah 45 tahun saat pertama kali serangan,

inflammatory back pain lebih dari 3 bulan(termasuk sakroiliitis), artritis perifer,

entesopati (inflamasi pada tendon dan ligament tempat insersi ke tulang), riwayat

keluarga dengan spondiloartritis, dan riwayat penyakit yang berhubungan dengan

psoriasis, IBD, uretritis, servicitis dan diare lebih dari 1 bulan. Kriteria ini mempunyai

sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari kriteria European Spondyloarthropathy Study

Page 261: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

247

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Group (ESSG) dan kriteria Amor dengan nilai prediksi sebesar 79,5% dan 83,3 % (Kahl,

2012; Rudwaleit, 2011).

Manifestasi klinis yang umumnya terjadi adalah gangguan usus yang biasanya

muncul sebelum manifestasi ekstra intestinal timbul, namun kadang artritis dapat muncul

sebagai bagian dari IBD. Artritis perifer terkait dengan IBD biasanya bersifat

oligoartikular, migrasi, asimetris dan sering mengenai tungkai bawah. Kondisi lain yang

terkait IBD termasuk uveitis, regurgitasi aorta dan manifestasi kulit; seperti eritema

nodosum dan pyoderma gangrenosum yang sering didapatkan pada KU dan CD

(Burroughs & Westaby, 2009; Kahl, 2012; Taurog, 2008).

Ada 3 klasifikasi artritis yang terkait dengan IBD. Tipe 1 adalah artritis perifer,

bersifat asimetris, sering aktif ketika gejala intestinal muncul. Tipe 2 adalah artritis

perifer, poliartikular yang umumnya muncul secara independen walau tanpa gejala

intestinal. Tipe 3 merupakan kelainan axial, muncul secara independen, tidak tergantung

manifestasi intestinal, sering menyerupai gejala ankilosung spondylitis. Selain itu,

arthralgia (nyeri sendi non-inflamasi) sering muncul pada pasien IBD, namun ia bukan

merupakan spektrum klinis dari enteropatik artritis (Kahl, 2012).

Penderita ini mengalami nyeri pinggang yang dirasakan terutama bila

membungkuk. Terdapat pula pembengkakan pada sendi lutut dan pergelangan kaki,

disertai kemerahan, nyeri dan hangat pada perabaan.

Pemeriksaan penunjang awal seperti complete blood count, LED dan CRP, tes

biokimia dan fungsi hati. Peningkatan leukosit, trombosit, LED atau CRP,

Bagan 1 ASAS Classification Criteria For Axial and Peripheral Spondyloarthritis (Kahl, 2012; Rudwaleit, 2011)

Axial Spondyloarthritis Peripheral Spondyloarthritis

In patients with > 3 months back pain (with/ without peripheral manifestation) and age

at onset < 45 years

In patients with peripheral

manifestationONLY :

Sacroiliitis on imaging plus > 1

SpA feature

HLA-B27 plus> other SpA features

Artritis or entesitis or dactylitis plus

SpA Feature - Inflammatory back pain (IBP)

- Arthritis

- Enthesitis (heel)

- Uveitis

- Dactylitis

- Psoriasis

- Crohn’s/ Ulcerative chronis

- Good response to NSAID

- Family history of SpA

- HLA B-27

- Elevated CRP

> 1 SpA Feature - Uveitis

- Psoriasis

- Crohn’s/ Ulcerative chronis

- Preceding infection

- HLA B-27

- Sacroiliitis on imaging

> 2 SpA Feature - Arthritis

- Enthesitis (heel)

- Dactylitis

- IBP ever

- Family history of SpA

OR

OR

Page 262: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

248

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

menggambarkan keadaan penyakit yang berat. Kenaikan non-spesifik pada tes fungsi hati

dapat terjadi saat serangan yang parah dan tidak berarti adanya penyakit hati yang

menyertai (Butcher & Britton, 2003). Pemeriksaan lanjut seperti HLA-B27 dilaporkan

positif pada sekitar 30% pasien enteropatik artritis, oleh karenanya tidak bermakna

signifikan secara klinis (Kahl, 2012; Meuwissen, 1997).

LED dan CRP yang meningkat, didapatkan pada penderita ini, mendukung suatu

keadaan penyakit yang sedang aktif. Gejala sistemik yang menyertai adalah takikardi,

penurunan berat badan, anemi, dan hipoalbumin. Namun tidak terjadi peningkatan tes

fungsi hati. Pemeriksaan HLA-B27 tidak dilakukan karena faktor biaya.

Pemeriksaan radiologis untuk membuktikan keterlibatan sendi akan memudahkan

klinisi menuju diagnosis yang tepat. Gambaran yang sering didapatkan pada foto sendi

sacroiliaca dan vertebra adalah sacroiliitis, syndesmophytes, atau ankilosis. Foto rontgen

BOF perlu dilakukan untuk mengeksklusi dilatasi kolon. MRI tulang belakang dapat

menunjukkan gambaran inflamasi awal berupa edema sum-sum tulang dan infiltrasi

lemak. Pada sendi perifer, bisa didapatkan entesitis dan reaksi perioesteum. MRI dan

USG sendi juga dapat membantu mengidentifikasi perubahan inflamasi pada sendi perifer

dan struktur disekitarnya. (Burroughs & Westaby, 2009; Kahl, 2012; Taurog, 2008).

Penderita ini mengalami artritis perifer di lutut kiri dan pinggang kiri.

Pemeriksaan radiologis yang menyokong pada penderita ini adalah adanya gambaran

sacroiliitis joint kiri; curve lumbal yang melurus dan paralumbal muscle spasme pada

foto lumbosacral AP, dan terdapat entesophyte di condyles medialis os tibia kiri yang

mengesankan osteoartritis femurotibial joint kiri. USG dan MRI sendi tidak dilakukan

karena faktor biaya.

Pasien yang datang dengan diare berdarah dapat di diagnosa banding dengan

kolitis infeksi akut, atau penyakit inflamasi usus kronis seperti penyakit Crohn’s,

keganasan kolorektal dan penyakit diverticular. Merujuk pasien pada ahli gastroenterologi

sangat diperlukan untuk mengetahui kelainan yang terjadi pada saluran pencernaan

dengan pemeriksaan colonoscopi dan biopsi sehingga dapat membantu membedakan

penyebab diare berdarah karena infeksi atau karena peradangan kronis, dengan ditemukan

adanya gambaran histologis kronisitas pada kolitis ulserativ (Butcher & Britton, 2003;

Kahl, 2012). Gambaran kolonoskopi pada colitis ulseratif adalah peradangan mukosa usus

yang difus dan memanjang proksimal dari rektum, sedangkan pada penyakit Crohn’s,

setiap segmen dari usus bisa terkena yang ditandai dengan peradangan transmural secara

segmental dan terdapat skip area yang positif (Colombo, 2009).

Hasil colonoskopi pada penderita ini menunjukkan mukosa yang hiperemi dengan

multiple ulkus yang letak dan bentuknya tidak teratur pada rectum, sigmoid dan colon

descenden tanpa skip area, terdapat pula bentukan polip bertangkai yang multiple pada

daerah sigmoid. Disimpulkan suatu colitis dengan dd colitis ulseratif dan penyakit

Crohn’s.

Pengobatan enteropatik artritis terdiri dari 2 pilar utama yaitu non farmakologi

dan farmakologi. Managemen non farmakologi terdiri dari edukasi pasien, aktivitas fisik

dan exercise. Terapi farmakologis meliputi Non-Steroid Antiinflammatory (NSAIDs), oral

Disease Modifying Antirheumatic Drugs (DMARDs) dan agen anti TNF. NSAIDs

merupakan first-line terapi yang terdiri dari cyclooxygenase (COX)-2 inhibitor selama 2

minggu yang berguna untuk mengurangi nyeri dan kekakuan sendi. DMARDs merupakan

second-line terapi berupa sulfasalazine, methotrexate dan azatrioprin. Sulfasalazin

merupakan oral DMARDs yang sering diberikan pada IBD karena secara klinis sering

memberikan respon baik (Isenberg, 2004; Kahl, 2012). Pengobatan lain dengan agen anti-

TNF-α (infliximab dan adalimumab) bisa digunakan untuk terapi induksi dan

Page 263: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

249

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

maintenance untuk remisi klinis (Taurog, 2008) dan telah memberikan hasil yang cepat

dan sangat baik (De Vos, 2004). Remisi dari gejala gastrointestinal biasanya akan

menyebabkan remisi pada artritisnya (Burroughs & Westaby, 2009).

Infliximab adalah chimeric anti-TNF-α monoklonal IgG1 antibodi yang bekerja

menetralkan sitokin terlarut dan menghalangi ikatan sitokin dengan membran sel.

Penggunaannya telah disetujui oleh otoritas kesehatan di Amerika Serikat (FDA) dan

Eropa (EMEA) sebagai obat untuk pengobatan tahan lanjut untuk penyakit Crohn yang

berat (Van den Bosch, Kruithof, Baeten, 2000).

Penderita mendapat terapi Sulfasalazin 2x500 mg pada 1 minggu pertama yang

kemudian ditingkatkan menjadi 2x1000mg pada minggu kedua dan seterusnya; COX 2

inhibitor diberikan 2x50mg. Setelah menjalani terapi medika mentosa selama 2 minggu,

penderita mengatakan bahwa diare berdarahnya sudah berhenti dan nyeri pada

persendian jauh berkurang.

Terapi untuk penyakit golongan spondiloartritis harus terus dilanjutkan walaupun

secara klinis aktivitas penyakitnya telah remisi. Terdapat hubungan yang kuat antara

radang usus dan radang sendi, dimana remisi dari inflamasi sendi juga disertai dengan

membaiknya peradangan sendi. Namun, eksaserbasi dapat terjadi kembali beberapa

minggu setelah terapi dihentikan. Oleh karena itu, edukasi pada pasien harus diberikan

secara lengkap untuk menghindari terjadinya episode berulang. Penelitian untuk

menemukan dosis jangka panjang yang optimal untuk mempertahankan remisi pada

pasien dengan spondiloartritis masih terus dilakukan (Baeten & Keyser, 2004; Khan,

2002; Van Damme, 2001).

Komplikasi dari spondiloartropati tergantung dari tipe artritis yang dialami pasien.

Artritis tipe 1 biasanya tidak menimbulkan deformitas. Artritis tipe 2 dapat terjadi erosi

persendian dan/atau ankylosis pada sendi yang terkena, sedangkan pada artritis tipe 3

dapat menyebabkan kelainan tulang belakang, seperti pada ankilosing spondilitis (Kahl,

2012).

Pesan yang dapat dipelajari pada kasus di atas terutama bagi klinisi agar dapat

mengenali gejala IBD dan merujuk pada ahli gastroenterology untuk pemeriksaan traktus

intestinal lebih lanjut dan merujuk pada ahli reumatologi bila mendapati pasien IBD yang

disertai dengan inflammatory back pain, gambaran sacroiliitis pada imaging dan artritis

perifer, entesitis atau dactilitis.

KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus seorang penderita laki-laki, usia 56 tahun dengan keluhan BAB

berdarah, nyeri sendi lutut dan pinggang. Dari pemeriksaan fisik didapatkan anemia,

artritis genu dan schober test positif. Pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosa

enteropatik artritis adalah LED yang meningkat, gambaran sakroiliitis kiri dan hasil

colonoskopi berupa kolitis ulseratif. Penderita mendapat terapi Sulfasalazin 2x500mg

pada minggu pertama yang kemudian ditingkatkan menjadi 2x1000mg pada minggu

kedua dan seterusnya; COX 2 inhibitor 2x50mg dan didapatkan perbaikan secara klinis.

Penderita di-KRS-kan setelah sebelumnya di KIE tentang penyakit yang dideritanya,

management non farmakologi yang bisa dilakukan dan kemungkinan komplikasi yang

bisa muncul.

DAFTAR PUSTAKA

1.Aksentijevich, I., Masters, S. L., Ferguson, P. J., Dancey, P., Frenkel, J., van Royen-Kerkhoff,

A., Laxer, R., Tedgård, U., Cowen, E. W., & Pham, T.-H. (2009). An autoinflammatory disease

Page 264: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

250

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

with deficiency of the interleukin-1–receptor antagonist. New England Journal of Medicine,

360(23), 2426-2437.

2. Baeten, D., & Keyser, F. (2004). The histopathology of spondyloarthropathy. Current

molecular medicine, 4(1), 1-12.

3. Burroughs, A., & Westaby, D. (2009). Kumar & Clark's Clinical Medicine (7 ed.).

London: Saunders Elsevier,535-540.

4. Butcher, G. P., & Britton, R. (2003). Gastroenterology: an illustrated colour text:

Churchill Livingstone,46-52.

5. Colombo, E., Latiano, A., Palmieri, O., Bossa, F., Andriulli, A., & Annese, V. (2009).

Enteropathic spondyloarthropathy: A common genetic background with inflammatory

bowel disease? World journal of gastroenterology: WJG, 15(20), 2456.

6. De Vos, M. (2004). Joint involvement in inflammatory bowel disease. Alimentary

pharmacology & therapeutics, 20(s4), 36-42.

7. Dougados, M., & Baeten, D. (2011). Spondyloarthritis. The Lancet, 377(9783), 2127-

2137.

8. Friedman, S., & Blumberg, R. S. (2008). Inflammatory Bowel Disease. In D. L. Longo,

A. S. Fauci, D. L. Kasper, S. L. Hauser, J. L. Jameson & J. Loscalzo (Eds.), Harrison's

principles of internal medicine (18 ed., Vol. 2). New York: McGraw-Hill Medical, 2477-

2495.

9. Holden, W., Orchard, T., & Wordsworth, P. (2003). Enteropathic arthritis. Rheumatic

diseases clinics of North America, 29(3), 513-530.

10. Isenberg, D. A., Maddison, P. J., Woo, P., Glass, D. N., & Breedveld, F. (2004). Oxford

Textbook of Rheumatology (3rd ed.). London: Oxford University Press,738-785.

11. Kahl, L. (2012). The Washington Manual of Rheumatology Subspecialty Consult (2nd

ed.). Washington: Lippincott Williams & Wilkins,161-193.

12. Kastner, D. L., Aksentijevich, I., & Goldbach-Mansky, R. (2010). Autoinflammatory

disease reloaded: a clinical perspective. Cell, 140(6), 784-790.

13. Khan, M. A. (2002). Update on spondyloarthropathies. Annals of Internal Medicine,

136(12), 896-907.

14. Masters, S. L., Simon, A., Aksentijevich, I., & Kastner, D. L. (2009). Horror

autoinflammaticus: the molecular pathophysiology of autoinflammatory disease. Annual

review of immunology, 27, 621.

15. Meuwissen, S. G., Crusius, J. B. A., Peña, A. S., Dekker-Saeys, A. J., & Dijkmans, B. A.

(1997). Spondyloarthropathy and idiopathic inflammatory bowel diseases. Inflammatory

bowel diseases, 3(1), 25-37.

16. Rudwaleit, M., van der Heijde, D., Landewé, R., Akkoc, N., Brandt, J., Chou, C. T.,

Dougados, M., Huang, F., Gu, J., Kirazli, Y., Van den Bosch, F., Olivieri, I., Roussou, E.,

Scarpato, S., Sørensen, I. J., Valle-Oñate, R., Weber, U., Wei, J., & Sieper, J. (2011). The

Assessment of SpondyloArthritis international Society classification criteria for

peripheral spondyloarthritis and for spondyloarthritis in general. Annals of the Rheumatic

Diseases, 70(1), 25-31.

17. Soeroso, J. (2012). The Spectrum of Spondiloartrhitis. Surabaya: Departemen - SMF

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,563-566.

18. Taurog, J. D. (2008). Spondyloarthitides. In D. L. Longo, A. S. Fauci, D. L. Kasper, S. L.

Hauser, J. L. Jameson & J. Loscalzo (Eds.), Harrison's principles of internal medicine (18

ed., Vol. 2). New York: McGraw-Hill Medical 2774-2785.

19. Turkcapar, N., Toruner, M., Soykan, I., Aydintug, O. T., Cetinkaya, H., Duzgun, N.,

Ozden, A., & Duman, M. (2006). The prevalence of extraintestinal manifestations and

HLA association in patients with inflammatory bowel disease. Rheumatology

international, 26(7), 663-668.

20. Van Damme, N., De Vos, M., Baeten, D., Demetter, P., Mielants, H., Verbruggen, G.,

Cuvelier, C., Veys, E., & De Keyser, F. (2001). Flow cytometric analysis of gut mucosal

Page 265: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

251

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

lymphocytes supports an impaired Th1 cytokine profile in spondyloarthropathy. Annals of

the Rheumatic Diseases, 60(5), 495-499.

21. Van den Bosch, F., Kruithof, E., Baeten, D., De Keyser, F., Mielants, H., & Veys, E. M.

(2000). Effects of a loading dose regimen of three infusions of chimeric monoclonal

antibody to tumour necrosis factor α (infliximab) in spondyloarthropathy: an open pilot

study. Annals of the Rheumatic Diseases, 59(6), 428-433.

22. Van den Bosch, F., Kruithof, E., Vos, M. D., Keyser, F. D., & Mielants, H. (2000).

Crohn's disease associated with spondyloarthropathy: effect of TNF-α blockade with

infliximab on articular symptoms. The Lancet, 356(9244), 1821-1822.

23. Wollheim, F. A. (2005). Enteropathic Arthritis. In W. N. Kelley, E. D. Harris, R. C.

Budd, G. S. Firestein, M. C. Genoseve, J. S. Sergent, S. Ruddy & C. B. Sledge (Eds.),

Kelley's Textbook of rheumatology (7 ed., Vol. 2). Pennsylvania: Saunders Philadelphia,

1165-1173.

Page 266: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

252

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

KEBERHASILAN TERAPI PADA ABSES HATI AMUBA DAN PIOGENIK

Zurriaty Savitri *Malahayati*, Fauzi Yusuf**, Azzaki Abubakar**

*Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam

**Divisi Gastro Entero Hepatologi

Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam

Universitas Syiah Kuala, RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh

Abstrak

Abses hati adalah lesi yang infeksius pada hati. Terdapat 2 jenis abses hati yang paling banyak

adalah abses piogenik dan amuba. Abses hati piogenik kasusnya jarang namun berpotensi

kematian, dengan insiden yang dilaporkan 20 per 100.000 populasi, sering terjadi pada usia

paruh baya . Abses hati amuba paling banyak ditemukan di daerah tropis terutama ”Entamoeba

histolytica” prevalensinya 50 juta infeksi pertahun, paling banyak pada individu ( laki-laki

muda) dengan penurunan atau penekanan sistem kekebalan tubuh.

Laporan Kasus I

Pasien laki-laki ,52 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 1 bulan.

Demam , BAB cair selama 1 bulan terakhir. Pasien seorang penyuluh pertanian dengan kegiatan

sehari-hari turun ke lahan pertanian. Hepar teraba 5 cm BAC, 6 cm BPX, nyerti tekan (+),

permukaan rata, konsistensi kenyal, tepi tumpul, USG abdomen multiple lesi mixed echoic di

lobus kanan kiri hepar kesan abses hepar. CT scan abdomen abses hepar ukuran 16, 5 cm.

Drainase abses cairan berwarna merah tua sebanyak 250 cc, kultur cairan menunjukkan

Entamoeba Hystolitica, terapi antibiotik dilanjutkan sampai hari ke 20, selama rawatan

mengalami perbaikan klinis serta tidak dijumpai komplikasi

Laporan Kasus II

Pasien laki-laki ,41 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 3 bulan.

Demam ,penurunan BB, BAB tidak dikeluhkan . Pasien seorang pedagang yang juga seorang

pekebun. Sudah didiagnosa dengan abses hati piogenik berukuran 6 cm. CT Scan abdomen non

kontras dan kontras abses multipel lobus kanan ukuran terbesar 8,44 x 6,42 cm, kultur cairan

abses hasilnya Entamoeba Colli, selama rawatan mengalami perbaikan klinis serta tidak dijumpai

komplikasi.

Kata kunci: Abses hepar piogenik dan amuba, Entamoeba histolytica, Entamoeba Colli , demam,

BAB cair.

Page 267: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

253

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

PANCREATIC NON HODGKIN LYMPHOMA DENGAN MANIFESTASI

KOLANGITIS AKUT

Rachmat Hidayat1, Azzaki Abubakar2, Fauzy Yusuf2

1PPDS Penyakit Dalam 2Divisi Gastroentero-hepatology, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Syiah Kuala, Rumah Sakit Umum Dr Zainoel Abidin, Banda Aceh Indonesia.

Abstrak

Latar Belakang: Limfoma pankreas primer merupakan kasus yang jarang, hanya 0,2-4,9% dari

semua keganasan pankreas dan kurang dari 1% limfoma non-Hodgkin. Pengobatan dan prognosis

tumor ini berbeda. Namun, diagnosis limfoma pankreas primer sangat sulit, karena gejala dan

tanda klinisnya mirip dengan adenokarsinoma pankreas. NHL sering terjadi di ekstranodus

terutama saluran cerna dan jarang di pankreas. Kami melaporkan satu pasien dengan massa di

caput pankreas dengan manifestasi klinis suatu kolangitis akut disertai dengan pembesaran

kelenjar getah bening leher dengan gambaran suatu limfoma non Hodgkin.

Laporan Kasus: Laki-laki usia 61 tahun dirujuk dengan keluhan rasa tidak nyaman di perut,

massa di epigastrik, penurunan berat badan, demam, dan ikterus sejak 8 hari sebelum masuk

rumah sakit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan massa di regio epigastrik, sklera ikterik,

pembesaran tonsil unilateral dan pembesaran kelenjar getah bening leher. Data laboratorium darah

rutin dalam batas normal dengan SGPT 95 U / L dan SGPT 81 U/L. Alkali fosfatase 500U/L.

Bilirubin total 27,62 mg/dL dengan bilirubin indirek 5,27 mg/dL. HbSAg negatif dengan anti

HCV negatif. Antigen karbohidrat serum (CA19-9) 4,69 U/ml. USG abdomen menunjukkan

dilatasi duktus bilier dan hidrops gall bladder. Biopsi aspirasi kelenjar getah bening leher

menunjukkan gambaran limfoma non Hodgkin. CT scan abdomen menunjukkan massa di caput

pankreas dengan dilatasi duktus bilier. MRCP menunjukkan dilatasi duktus bilier intrahepatik dan

ekstrahepatik dengan gambaran massa pada caput pankreas. Pasien direncanakan untuk dilakukan

drainase bilier transhepatik perkutan untuk terapi kolangitis akut. Kemoterapi dengan rejimen

CHOP dipersiapkan untuk mendapatkan remisi total pada kasus ini.

Diskusi: NHL sering terjadi di ekstranodus terutama di saluran cerna dan jarang di pankreas.

Limfoma harus dicurigai pada kasus dengan adanya massa pankreas yang besar dan tumbuh

cepat. Limfoma bukan merupakan penyebab utama ikterus obstruktif dan diagnosis kolangitis

akut dapat dipertimbangkan jika dijumpai Charcot Triad. Pengobatan limfoma pankreas dengan

dekompresi operatif, percutaneos drainase bilier transhepatik dan kemoterapi menunjukkan remisi

lengkap pada 70% kasus.

Kesimpulan: Kami melaporkan satu kasus pancreatic non hodgkin limfoma. Kasus NHL yang

jarang terjadi yang memerlukan drainase bilier segera dan kemoterapi untuk mencapai hasil

maksimal pada tatalaksana penyakit ini.

Kata kunci: Pancreatic Non Hodgkin Limfoma, Drainase Bilier, Kemoterapi.

Page 268: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

254

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

PENDEKATAN DIAGNOSTIK PADA PASIEN DENGAN MUCIN ASCITES

Yunita Hafni*, Desi Salwani**, Azzaki Abubakar***, Fauzi Yusuf***

*Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam

**DPJP Ruang Penyakit Dalam Wanita

***Divisi Gastroenterohepatologi

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam

Universitas Syiah Kuala, RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh

Abstrak

Pendahuluan

Ascites adalah penumpukan cairan pada rongga peritoneum, bisa disebabkan oleh berbagai

penyakit yang berasal dari peritoneum (infeksi, malignansi), atau penyakit diluar peritoneum

(penyakit liver, gagal jantung, hipoproteinemia). Mucin ascites adalah ascites yang berbentuk

seperti gelatin dan mengandung banyak glikoprotein

Kasus

Pasien perempuan 31 tahun dengan keluhan perut membesar sejak 6 bulan SMRS. Kecurigaan

awal adalah ascites ec.dd TB peritoneal. Dalam perjalanan klinis setelah di punksi cairan ascites

berwarna kuning dan lengket seperti gelatin dengan SAAG <1,1gr/dl. Colonoskopi menunjukkan

massa ekstralumen menekan colon. USG ginekologi neoplasma kistik multilokuler intra abdomen.

CT Scan ditemukan massa pelvis sampai abdomen diduga berasal dari ovarium, hasil CA 125

meningkat. Pasien dikonsulkan ke bagian obgin dan dilakukan penatalaksanaan operatif berupa

salphingooofarektomi didapatkan kista mucin ovarium kanan seberat 21 kg, dimana tumor juga

lengket ke omentum dan appendik sehingga dikonsulkan ke bedah digestif dilakukan

omentektomi dan appendektomi. Kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologi didapatkan

dinding tumor terdiri dari jaringan ikat dengan perdarahan lama, epitel silindris yang

menghasilkan mucin dan pembuluh darah dilatasi, tampak dinding kista dengan sel-sel epitel

squamous berlapis. Post operatif setelah dilakukan penatalaksanaan operatif pasien mengalami

perbaikan.

Diskusi Kriteria untuk diganosis pasien dengan mucin ascites,ditemukannya ascites dan kista yang

mengandung adanya gelatin atau mucin dengan SAAG <1,1gr/dl , kadar ca 125 yang bisa saja

tinggi karena mengandung glikoprotein tinggi karena masifnya mucin, gambaran histopatologi

ditemukan dinding tumor terdiri dari jaringan ikat dengan perdarahan lama, epitel silindris yang

menghasilkan mucin dan pembuluh darah dilatasi, tampak dinding kista dengan sel-sel epitel

squamous berlapis.

Kesimpulan

Telah dilaporkan seorang perempuan 31 tahun dengan Cystoma Ovarii Mucinosum Multiloculare.

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis,laboratorium berupa CA 125, Analisa cairan

Ascites, pemeriksaan penunjang berupa USG, CT Scan, tindakan salphingooofarektomi, dan

pemeriksaan histopatologi.

Kata kunci : Ascites, Mucinous, Cyst

Page 269: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

255

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

ASCITES NON SIROTIC DENGAN PENYEBAB TB PERITONEAL

Chairunnisa*, Afrizal*, Azzaki Abubakar***, Fauzi Yusuf***

*PPDS Ilmu Penyakit Dalam

*Divisi Gastroenterohepatologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala /

RSUD dr.Zainoel Abidin Banda Aceh

Abstrak

Pendahuluan

TB peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau visceral yang disebabkan

oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. TB peritoneal memiliki angka kejadian 0,1 % sampai

0,7% dari seluruh total kasus TB di Dunia. Kejadian tuberkulosis meningkat di negara

berkembang maupun di negara maju dan TB peritoneal sering didiagnosis terlambat sehingga

meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pasien. Insidensi tuberkulosis peritoneal lebih

sering dijumpai pada wanita dibanding pria dengan perbandingan 1,5:1.

Kasus

Pasien seorang laki-laki umur 39 tahun datang dengan keluhan perut yang membesar sejak 4

bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan demam sejak 3 minggu terakhir,

sering berkeringat di malam hari dan penurunan berat badan 10 kg dalam 4 bulan terakhir. Pada

pemeriksaan fisik dijumpai perut yang membesar dan tegang, shifting dullness dan fenomena

papan catur dijumpai. Dilakukan Pemeriksaan cairan asites didapat kan rivalta eksudat,

(Adenosine deaminase) ADA test 96 U/L, LED yang meningkat 76 mm/jam. Serum asites

albumin gradien (SAAG) < 1,1 g/dl dan nilai (mononuklear) MN yang dominan, pasien

didiagnosa dengan TB peritoneal. Pasien diberikan OAT sesuai berat badan selama 9 bulan

dengan fixed dose combination 4 tablet 4FDC selama 2 bulan fase awal dan dosis lanjutan 4 tablet

2 FDC selama 7 bulan, Dari hasil USG menunjukkan adanya asites

Diskusi TB peritoneal dijumpai 2% dari seluruh tuberkulosis dan 59,8 % dari tuberkulosis abdominal.

Insidensi yang lebih tinggi pada wanita berhubungan dengan meningkatnya faktor resiko pada

wanita, yaitu kemungkinan penyebaran bakteri dari organ tuba fallopii pada wanita ke organ yang

ada di abdomen, salah satunya peritoneum. Insidensi tuberculosis peritoneal lebih sering dijumpai

pada wanita dibandingkan pria dengan perbandingan 1,5 : 1 dan lebih sering pada decade ke-3

dan ke-4. TB peritoneal merupakan kasus yang jarang dijumpai. Laporan kasus ini bertujuan

pembelajaran pendekatan diagnostic dan terapi pada pasien ini. Gejala klinis perut membesar,

sakit perut, demam, keringat malam, anoreksia, berat badan turun, mencret. Laboratorium

dijumpai anemia penyakit kronis, leukopenia, trombositosis, gangguan faal hati dan (LED)

meningkat, Hasil (Adenosine deaminase) ADA test menunjukkan peningkatan 3x lipat dari nilai

normal, USG pada TB Peritoneal mendeteksi keberadaan asites, keterlibatan lapisan peritoneal,

mesenterium dan omentum. CT Scan dan MRI tidak banyak direkomendasikan karena mahal.

Asites dikenali anechoic jika ada cairan bebas tanpa debris. Pengobatan OAT selama 9 bulan

sampai 12 bulan mencapai keberhasilan terapi sekitar 99%, dengan regimen 2(RHZE) / 7 (HR).

Kunci menghentikan TB dimasyarakat adalah mulai mengobati pasien TB sesegera mungkin,

untuk pengobatan yang efektif sangat penting dalam pemilihan obat yang benar dan diberikan

periode yang tepat TB pulmonal dan TB extra pulmonal diterapi dengan cara yang sama.

Page 270: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

256

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Kesimpulan Telah dilaporkan seorang laki-laki 39 tahun dengan keluhan perut yang membesar sejak 4 bulan

sebelum masuk rumah sakit, berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang yaitu LED yang meningkat, Analisa menunjukkan Mononuklear (MN) lebih dominan

menunjukkan proses radang kronik, hasil kultur menunjukkan kuman fastidious rivalta positif dan

peningkatan nilai ADA test, pasien didiagnosa dengan TB Peritoneal, pasien mendapat

pengobatan OAT selama 9 bulan sesuai berat badan, 2 bulan fase awal dan 7 bulan fase lanjutan,

dengan terapi OAT hasilnya membaik.

Keyword : Diagnosis, Tatalaksana, TB Peritoneal

Page 271: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

257

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

PROBLEM TERAPI PENDERITA GASTROPATI OAINS DENGAN

HELICOBACTER PYLORI POSITIF Edward Muliawan Putera, Ridwan Prasetyo, Budi Widodo, Iswan Abbas Nusi,

Poernomo Boedi Setiawan, Herry Purbayu, Titong Sugihartono, Ummi Maimunah,

Ulfa Kholili, Husin Thamrin, Muhammad Miftahussurur, Amie Vidyani

Divisi Gastroenterologi-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

RSUD Dr Soetomo, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya

Abstrak

Pendahuluan

Penggunaan OAINS semakin meningkat dengan meningkatnya angka penyakit degeratif,

kardiovaskular, inflamasi dan autoimun. Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas bergeser

dari varises esofagus menjadi gastritis erosiva kOAINS. Resiko perdarahan semakin meningkat

pada pasien dengan infeksi Helicobacter pylori yarena ang positif.

Kasus

Seorang pria 52 tahun, suku Jawa, tinggal di Surabaya. Pasien datang ke RSU Dr. Soetomo

Surabaya dengan keluhan buang air besar berwarna hitam dan perdarahan pada luka operasi sejak

2 hari. Pasien rutin minum obat aspirin 100 mg dan clopidogrel 75 mg sejak 18 bulan terakhir.

Riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi dan paska operasi coronary artery bypass graft atas

indikasi penyakit jantung koroner. Dari pemeriksaan fisik awal didapatkan syok hipovolemik

dengan tekanan darah 85/60 dengan nadi 120 kali per menit, paska resusitasi vital sign normal.

Terapi anti platelet dihentikan dan diberikan drip lansoprazole. Setelah 5 hari melena sudah

berhenti kemudian pasien menjalani pemeriksaan endoskopi dan biopsi dengan hasil gastritis

erosiva dengan hasil patologi Helicobacter pylori positf. Terapi eradikasi diberikan dengan

lansoprazole 2 x 30 mg per oral, klaritromisin 2 x 500 mg per oral, dan amoksisilin 2 x 1000 mg

per oral selama 14 hari. Paska eradikasi Helicobacter pylori dilakukan endoskopi ulang dan

didapatkan perbaikan secara endoskopi dengan biopsi Helicobacter pylori negatif. Setelah

perdarahan berhenti terapi antiplatelet dilanjutkan dengan profilaksis lansoprazole 1x30 mg.

Diskusi

Perdarahan saluran cerna bagian atas karena OAINS sering pada pasien penyakit jantung koroner

yang memerlukan antiplatelet ganda. Pedoman pasien gastropati OAINS dilakukan penghentian

antiplatelet sementara, dilanjutkan dengan tindakan endoskopi dan biopsi. Eradikasi H pylori

diberikan dengan pemberian triple therapy PPI 2x1, Amoksisilin 2x1000 mg, Klaritomisin 2x500

mg selama 7-14 hari. Pemberian antiplatelet disertai golongan PPI harus segera dilakukan paska

perdarahan berhenti untuk mencegah mortalitas.

Kesimpulan Pemeriksaan Helicobacter pylori harus dilakukan pada terapi antiplatelet ganda untuk pencegahan

gastropati OAINS.

Kata kunci: gastropati OAINS, anti platelet, Helicobacter pylori

Page 272: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

258

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

ANALYSIS LEVEL OFGASTRIN-17 SERUM IN GASTROPATHY NSAIDs

PATIENT Cut Henna Meriza,1 Cut Meina2, Azzaki Abubakar3, Fauzi Yusuf3

1PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK Unsyiah / RSUDZA Banda Aceh 2RSUD. Cut Meutia Lhokseumawe3 Staf

Divisi Gastroenterohepatologi Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unsyiah / RSUDZA Banda Aceh

Abstract

Background :Gastropathy NSAIDs is a condition that shows a complication of upper

gastrointestinal tract associated with long term use of non steroid anti inflammation drugs

(NSAIDs). NSAIDs cause gastric mucosal damage resulting in outcomes ranging from

nonspecific dyspepsia to ulceration and upper gastrointestinal (GI) bleeding. Gastrin-17 is a

peptide hormone produced by gastric parietal cell which is a non invasive biomarker examination

describes functional and structural status of gastric mucosa. The aims of this study is to determine

level of gastrin-17 serum and stage of gastropathy in gastropathy NSAIDs patients.

Methode : The design of this research is a cross sectional analytic observational study on 30

subjects who met the inclusion and exclusion criteria with quota sampling techniques from

October until December 2016 in dr.Zainoel Abidin Hospital Banda Aceh. The parameters

examined is gastrin-17 serum. Result is analyzed using chi square and Fisher Exact Test.

Result : The mean of gastrin-17 serum level based on stage of gastropathy shows as follow : 17

patients (23,4%) with gastritishave mean level 5,29, 11 patients (36,7%) with gastric ulcer have

mean level 3,02, and 2 patients (6,7%) do not have gastropathy with mean level 1,39. Crosstab

shows gastropathy patients with gastrin level> 5 pmol/l are 5 patients (16,7%), gastrin level < 5

pmol/l are 23 patients (76,7%). Patients who do not have gastropathy with gastrin level > 5

pmol/l are 2 patients (6,7%), and gastrin level < 5 pmol/l is zero (0,0%).

Conclusion : There is an opposite relationship between the level of gastrin-17 serum and

gastropathy NSAIDs. There is a tendency if the patient has gastropathy, there is a decrease in

gastrin-17 serum. Conversely, if there is no gastropathy, then there is a tendency of increasing the

levels of gastrin-17 serum.

Keywords :gastropathy, NSAIDs, Gastrin-17

Page 273: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

259

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice

Chronic Hepatitis C Treatment in the Era of Direct Acting Antiviral (DAA): AUpdate

Report of HCV Elimination Program inWest Java Province–Indonesia

Eka Surya Nugraha1, Muhammad Begawan Bestari1, Nenny Agustanti1, Dolvy Girawan1, Yudi Wahyudi1,

EnungCahya Nurul2, M. Arzan Al Farish3, Yeti Hariyati4, SitiAminah Abdurachman1

1Division of Gastroenterohepatology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of

Padjadjaran, Hasan Sadikin General Hospital, Bandung. 2Department of Internal Medicine, GunungJati

Hospital, Cirebon.3Department of Internal Medicine, Syamsudin Hospital, Sukabumi.4Department of

Internal Medicine, Bogor District Hospital, Bogor

Background

Hepatitis Cvirus(HCV) remaina cause of chronic liver failure globally. Approximately 0,8 – 1%

of population are infected in Indonesia. Since the introducing of direct acting antiviral (DAA),

HCV have significantly reduced. However, the availability of DAA in Indonesia were delayed

due to limited access. The DAA were obtainable in several centers through special access scheme

from 2017.

Method

This wasa multi-centers, descriptive-retrospective study to obtain data from chronic Hepatitis C

virus (HCV) patients who were treated with DAA in 4 centers in West Java province, Indonesia.

All patients with HCV mono-infection naïve treatments, HCV/HIV coinfection, and previously

treated were included. The exclusioncriteria was HCV/HBV co-infected, and chronic kidney

disease. There were 3 DAAs provided, Sofosbuvir, Simeprevir, andDaclatasvir; along with

Ribavirin. Patients received DAA combination with or without Ribavirin based on Indonesian

consensus ofHCV treatment.

Result

A total 264 HCV patients admitted from August 2017 to April 2018were included, most patients

were male (68,2%), median age 41 years old, with range 21to 88 years old. HIV co-infected was

detected in 92 patients (34,8%) who were not assessed HCV genotype. Cirrhosis status was

noticed in 88(33,3%) HCV mono-infectedpatients andin 23 (8,74%) HCV/HIV co-infected

patients.Only 48 of 264 (18,2%) patients underwent HCV genotype assessment. There were 7

(14,6%) patients with genotype 1a, 20 (41,7%) genotype 1b, 7 (14.6%) genotype 2, 3 (6.3%)

genotype 3, 5 (10.4%) genotype 4, and 6 (12.5%) undetermined genotype.This study

demonstrated that HCV genotype finding in HCV mono-infectedwithout cirrhotic and those with

cirrhotic patients was mostly genotype 1b (44,4%)and 41,7% respectively. HCV/HIV co-infected,

undeterminedgenotype, or patientswho were unable to afford genotype assessment, were treated

with combination Sofosbuvir – Daclatasvir. The outcome of DAA treatment had not completely

finished yet, however 44 of 264 patients showed good result shown by achievement sustained

virologic response after 12 weeks of end therapy (SVR12).

Conclusion

Observation on HCV treatment in West Java province demonstratedthat HCV monoinfection were

dominatedby genotype 1b. Although most patienthad not finished therapy, promising outcome

was expected with these DAAs.

Keyword :

Hepatitis C Virus (HCV), Direct Acting Antiviral (DAA), Sustained Virologic Response (SVR)

Page 274: PROCEEDING - acehgastro.org · Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018 ... Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih

260

Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018

Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice