Upload
hoangbao
View
235
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
PROCEEDING KONKERNAS PPHI – PGI – PEGI 2018
in Conjunction with
ACEH GASTROENTEROHEPATOLOGI UPDATE 2018
Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, Indonesia
Thursday-Sunday, July 19-22nd 2018
Theme:
“Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice”
Editor :
Fauzi Yusuf Azzaki Abubakar
Desi Maghfirah M. Suheir Muzakkir Andrie Gunawan
Divisi Gastroenterohepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
2018
2
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
i
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
SAMBUTAN KETUA PANITIA
KONKERNAS PPHI – PGI – PEGI 2018
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Salam Sejahtera
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Shalawat dan Salam
disampaikan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.
Panitia Pelaksana mengucapkan selamat datang di Banda Aceh kepada Ketua
PPHI-PGI dan PEGI, peserta konkernas dari semua utusan cabang, para pembicara,
moderator dan Peserta baik Simposium maupun Workshop pada acara KONKERNAS
PPHI – PGI – PEGI 2018 yang merupakan kegiatan yang ditunggu-tunggu oleh
kalangan klinisi. Acara ini tentunya menghadirkan pendekatan yang komprehensif
dalam manajemen penyakit yang berhubungan dengan hepatologi, gastrointestinal dan
prosedur endoskopi. Kualitas standar dalam manajemen sebaiknya ditingkatkan
sejalan dengan berkembangnya ilmu kedokteran. Menyikapi kondisi ini, kami
berupaya menjembatani klinisi untuk meningkatkan kemampuan dalam manajemen
pasien.
Acara kali ini sedikit berbeda dengan konkernas sebelumnya, selain ada
workshop live demo basic endoscopy di RSUDZA kami juga mengadakan workshop
disaster yang tidak hanya diikuti oleh para dokter namun juga bisa diikuti oleh
paramedis serta utusan dari badan pemerintah maupun organisasi masyarakat yang
bergerak di bidang kelola bencana.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada : Ketua PB
gabungan yang telah mempercayai Aceh sebagai tuan rumah tahun ini. Rektor
Universitas Syiah Kuala, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala,
Direktur RSUD dr. ZainoelAbidin, Kepala Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala atas dukungan yang diberikan, kepada
para pembicara dan moderator baik dalam daerah maupun dari luar daerah, para
peserta symposium dan workshop serta rekan-rekan farmasi, atas segala partisipasinya
sehingga pertemuan ini dapat terselenggara dengan baik. Kepada seluruh panitia, saya
menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya atas segala jerih payah yang telah
dicurahkan untuk terselenggaranya kegiatan ini. Harapan kami, semoga acara ini
dapat memberikan manfaat bagi para klinisi.
Ketua Panitia Pelaksana
KONKERNAS PPHI – PGI – PEGI 2018
DR. Dr. Fauzi Yusuf, SpPD-KGEH, FACG, FINASIM
ii
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Sambutan Ketua PB Gabungan PPHI-PGI-PEGI
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Pertama-tama kami mengucapakan terima kasih kepada panitia Konkernas PPHI-
PGI-PEGI Aceh 2018, atas persiapan yang telah dilakukan sampai terlaksananya kegiatan
Konkernas PPHI-PGI-PEGI 2018 ini.
Berbagai rangkaian acara telah disiapkan oleh panitia selain persiapan untuk kegiatan
rapat-rapat yang akan dilakukan oleh PB dan perwakilan cabang-cabang PPHI-PGI-PEGI
seluruh Indonesia.
Acara ilmiah yang telah disiapkan juga cukup lengkap dan komprehensif dengan
menghadirkan pembicara-pembicara nasional dan internasional. Berbagai acara ilmiah yang
dilakukan meliputi bidang hepatologi, gastrointestinal dan juga endoskopi. Secara khusus
panitia juga mempersiapkan live demonstration yang menghadirkan kasus-kasus untuk
endoskopi dasar. Secara khusus panitia juga melakukan workshop seputar kebencanaan.
Kami juga mengapresiasi bahwa panitia juga mempersiapkan untuk masyarakat awam.
Mudah-mudahan kegiatan Konkernas PPHI-PGI-PEGI ini dapat berjalan lancar, rapat
kerja nasional akan membahas seputar permasalahan organisasi yang ada saat ini dan juga
mempersiapkan untuk mentuntaskan berbagai program yang telah digariskan pada kongres
nasional sebelumnya. Selain itu berbagai permasalahan yang muncul di cabang juga menjadi
bahan pembahasan pada Konkernas kali ini.
Acara ilmiah yang telah disiapkan oleh Panitia juga mudah-mudahan membawa
manfaat untuk seluruh peserta acara ilmiah. Terjadi tukar menukar informasi diantara
pembicara dan peserta serta sesama peserta.
Selamat melakukan konkernas.
Salam,
Ketua PB Gabungan PPHI-PGI-PEGI.
Dr. dr. Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP
iii
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Sambutan Gubernur Provinsi Aceh
Puji Syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, shalawat dan salam
senantiasa kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.
Kami mengucapkan selamat kepada Pengurus Besar Gabungan Perhimpunan Peneliti
Hati Indonesia (PPHI), Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI) dan
Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal Indonesia (PEGI) atas penyelengaraan
Konferensi Kerja Nasional PPHI-PGI-PEGI tahun ini di Banda Aceh. Kami juga
mengucapkan terimakasih kepada pengurus PPHI-PGI-PEGI yang telah menunjuk
kota Banda Aceh sebagai tempat penyelenggaraan konferensi kerja nasional ini.
Semoga terlaksananya konferensi kerja nasional ini di Aceh, akan mendorong
semangat kita untuk lebih berupaya keras dalam diagnosis dan penanganan penyakit-
penyakit hati dan saluran cerna ini.
Penyakit hati merupakan beban penyakit terbesar di Indonesia.Ini berarti,
hepatitis termasuk salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Karena itu
penyebaran virus hepatitis sudah seharusnya dicegah sejak dini. Pemetaan yang
dilakukan kementerian kesehatan tahun 2015 memperkirakan jumlah penduduk yang
terinfeksi virus hepatitis mencapai 2 juta orang. Prevalensi hepatitis di provinsi Aceh
menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Depkes RI terdapat sekitar 0,7-1,4 %. Jika tidak diobati,
infeksi kronis hepatitis B maupun C bisa berkembang menjadi pengerasan hati
maupun kanker hati.
Selain ancaman penyakit pengerasan hati maupun kanker hati, berbagai
penyakit lain yang melibatkan saluran cerna juga sangat membutuhkan perhatian kita
semua. Seperti halnya penyakit maag (gastritis). Dari penelitian dan pengamatan yang
dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI angka kejadian gastritis dibeberapa kota di
Indonesia sangat tinggi, di Provinsi Aceh angka kejadian gastritis mencapai 31%. Pola
makan yang tidak baik dan kurang sehat diperkirakan sebagai penyebab utama yang
mendasari kejadian penyakit tersebut. Oleh karena itu keberadaan endoskopi sebagai
sarana diagnosis sangatlah penting untuk manajemen tatalaksana gangguan sistem
pencernaan tersebut.
Demi untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Aceh, tidak ada
pilihan lain, segala daya upaya harus kita lakukan untuk menekan jumlah penderita
penyakit tersebut. Oleh sebab itu, Pemerintah Aceh sangat membutuhkan kerjasama
dengan berbagai pihak dalam menurunkan angka kejadian penyakit tersebut di Aceh.
Peran PPHI-PGI-PEGI sebagai wadah berkumpulnya para peneliti dan ahli penyakit
hati dan saluran cerna tentu sangat dibutuhkan.
Itu sebabnya keputusan Pengurus Besar PPHI-PGI-PEGI yang mengadakan
Konferensi Kerja Nasional tahunan di Banda Aceh pada tahun 2018 ini, kami sambut
dengan tangan terbuka. Sebagai tuan rumah, Pemerintah Aceh berupaya semaksimal
mungkin untuk mensukseskan kegiatan ini.
Selamat menikmati wisata Aceh, wisata islami, halal food culinary, yang saat
ini Aceh mendapatkan penghargaan world best halal cultural destination.
Mudah-mudahan pelaksanaan Konferensi Kerja Nasional ini mampu mendorong
peningkatan kualitas sumberdaya manusia bidang ilmu kedokteran di Indonesia,
Khususnya di Provinsi Aceh, dalam menangani berbagai penyakit hati dan saluran
cerna.
iv
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Sekali lagi, selamat untuk pelaksanaan Konferensi Kerja Nasional PPHI-PGI-
PEGI di Banda Aceh, semoga Allah SWT meridhai perjuangan kita dalam
peningkatan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.
Banda Aceh, Juli 2018
Plt. Gubernur Provinsi Aceh
Ir. Nova Iriansyah, MT
v
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
DAFTAR KONTRIBUTOR
vi
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN KETUA PANITIA ..................................................................... i
KATA SAMBUTAN KETUA PB .............................................................................. ii
KATA SAMBUTAN GUBERNUR ............................................................................. iii
DAFTAR KONTRIBUTOR ......................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................................. vi
PLENARY LECTURE
Penyelesaian Efek Samping dan Komplikasi Tindakan Medik Dalam Bidang
Gastroenterologi, Hepatologi, dan Endoskopi Gastrointestinal Aspek Etik dan Hukum
Prof. Dr. dr. Daldiyono Hardjodisastro, Sp.PD-KGEH FINASIM ............................... 1
Perkembangan Global Hepatitis B dan C Serta Hubungannya dengan Kebijakan
Nasional dalam Era Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Prof. dr. H. Ali Sulaiman, PhD, SpPD, KGEH, FACG, FINASIM ................................ 6
SIMPOSIUM
Management of Upper GI Bleeding in Daily Practice
Dr. dr. Fauzi Yusuf, SpPD-KGEH, FACG, FINASIM ................................................... 7
How To Choose Appropiate PPI in Patients With Multiple Therapy
Prof. Dr. dr. Murdani Abdullah , SpPD-KGEH, FACG, FINASIM ........................... 14
25 years of Proton Pump Inhibitors : What the Issues
Prof. Dr. dr. Dadang Makmun, SpPD-KGEH, FACG, FINASIM...............................18
The Role of Gut Liver Axis in Non Alcoholic Fatty Liver Disease
dr. Irsan Hasan, SpPD, KGEH, FINASIM ................................................................ 23
The Role of Nutrition of Liver Disease
dr. Putut Bayupurnama, SpPD, KGEH, FINASIM .................................................... 27
How to treat GI bleeding with endoscopic procedure
dr. Dolvy Girawan , SpPD KGEH FINASIM ............................................................ 30
Role of ERCP in treating benign and malignant hepatobiliary system
Dr. dr. H. Muhammad Begawan Bestari M.Kes, SpPD KGEH, FINASIM ................ 34
Peranan Kontras Spesifik Hepatobilier dalam Diagnosis Tumor Hati
dr. Sahat Matondang Sp. Rad ...................................................................................... 38
vii
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Timing of Systemic Treatment in HCC Management
dr. Poernomo Boedi Setiawan, SpPD-KGEH, FINASIM...........................................46
Long Term Treatment Plan in Systemic Treatment of HCC
Dr.dr. Rino Avani Gani Ph.D, SpPD, KGEH FINASIM ............................................. 49
Colitis: Inflammatory Bowel Disease vs Intestinal Tuberculosis, How to differentiate
it
Prof. dr. Marcellus Simadibrata, PhD, SpPD-KGEH, FACG, FASGE, FINASIM .... 53
Gut Microbiota in IBD
Dr. dr. Fauzi Yusuf, SpPD-KGEH, FACG, FINASIM ................................................ 54
Prevalensi dan dampak pasien hepatitis C terhadap gangguan
Dr. dr. Rudi Supriyadi, M.Kes, SpPD-KGH FINASIM ............................................. 57
Role of Elbasvir/Grazoprevir in Treatment Hepatitis C with CKD Patients
Dr. dr. C. Rinaldi Lesmana, SpPD-KGEH, FACG, FACP, FINASIM ........................ 67
Anti-fibrogenic strategies and the regression of fibrosis
Dr. dr. M. Begawan Bestari, SpPD, KGEH, M.Kes, FINASIM FASGE ..................... 69
Acute-on-chronic liver failure: what are the implication ?
dr. Triyanta Yuli Pramana, SpPD- KGEH, FINASIM ................................................ 73
A Hepatologist’s Prespective : Optimizing Diagnosis and Treatment in Drug Induce
Liver Injury.
dr. F. Soemanto PM, MSc, SpPD – KGEH ................................................................. 75
Outcome Management Of Chronic Hepatitis B in Chirhotic Patients
Dr. dr. Irsan Hasan, SpPD-KGEH, FINASIM ............................................................ 88
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia Perhimpunan Peneliti
Hati Indonesia ( PPHI ) 2017
Dr. dr. Hery Djagat Purnomo, SpPD-KGEH, FINASIM ........................................... 91
Pengobatan anti virus Nucleosida Analog pada Hepatitis B Kronis :
dampak jangka panjang supresi virus
dr. Poernomo Boedi Setiawan, SpPD-KGEH, FINASIM ........................................... 96
Strategy approach in hepatitis B infection : Guideline vs Reason Clinical Data
Prof. dr. Laurentius A. Lesmana, PhD, SpPD-KGEH, FACG, FACP, FAASLD,
FINASIM ................................................................................................................... 102
ManagementUpper Gastrointestinal Bleeding : Focus in Variceal Bleeding
Prof. dr. Dadang Makmun SpPG KGEH..................................................................103
viii
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Approach to managing undiagnosed chest pain: Could gastroesofageal reflux diseasae
be a cause?
Dr. dr. Fauzi Yusuf SpPD-KGEH , FACG, FINASIM..............................................109
Optimization of treatment management in ( NSAID related) peptic ulcer disease
Dr. dr. Hery Djagat Purnomo, SpPD-KGEH, FINASIM ......................................... 115
The treatment of Helicobacter pylori: where are we now? / proton pump inhibitor ,
key ingridient in Helicobacter pylory eradication Treatment
Dr. dr. Fardah Akil, SpPD-KGEH, FINASIM ........................................................... 122
Diagnosa dini penyakit refluks gastroesofageal (GERD), bagaimana penggunaan
GERD -Q?
dr. Azzaki Abubakar, SpPD, KGEH FINASIM ........................................................ 125
Comprehensive tretment of GERD: healing, resolve and protect
Prof. dr. Iswan A Nusi, SpPD-KGEH, FINASIM, FACG ......................................... 130
Is PPI recomended for GERD patient
Prof. dr. Marcellus Simadibrata, MD, PhD, SpPD-KGEH, FACG, FASGE, FINASIM134
Peran Probiotic pada pengobatan sindroma kolon iritatif (IBS)
Dr. dr. Chudahman Manan SpPD KGEH FINASIM ................................................ 135
Tatalaksana Infeksi H Pylori dan Peran Probiotik
DR. dr Ari Fahrial Syam, SpPD KGEH FINASIM MMB FACP .............................. 140
POST GRADUATE COURSE
Overview of Molecular biology of Hepatitis B and C : What is the different?
Dr.dr. Rino A.Gani SpPD, KGEH FINASIM ............................................................ 145
How to choose using direct acting antivirals for hepatitis C
Prof. dr. Gontar A.Siregar SpPD KGEH FINASIM .................................................. 151
HCC related hepatitis B Viral Infection from theory to practice including
Radiofrequency Ablation Management
dr. Lianda Siregar SpPD, KGEH FINASIM .............................................................. 153
WORKSHOP LIVE DEMO
Lower Gastrointestinal Endoscopy focus on Polipeptomi and hemoclipping.
Dr. dr. H. Muhammad Begawan Bestari M.kes, SpPD KGEH FINASIM ................. 163
Tehnik biopsi endoskopi saluran cerna bagian atas
dr. Kaka Renaldi, SpPD KGEH FINASIM ............................................................... 166
WORKSHOP KEBENCANAAN
ix
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Konsep Dasar dan Mitigasi Bencana
Ir. Teuku Alvisyahrin, MSc,Phd ................................................................................. 171
Epidemologi Bencana
dr. Agasjtya Wisjnu Wardhana, SpPD, KGEH FINASIM ......................................... 172
Manajemen Nutrisi di Tempat Pengungsian
Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD, MMD, KGEH, FACP FINASIM ........................... 176
GI emergency topic: Management Fulminants colitis
Prof. Dr. dr. Murdani A, SpPD-KGEH FACG FINASIM ......................................... 178
FORUM ILMIAH ORGANISASI
Terapi Berbasis Furazolidone, Rifabutin dan Sitafloxacin sebagai Rejimen Alternatif
Eradikasi Helicobacter pylori di Indonesia
dr. Muhammad Miftahussurur, SpPD, Mkes, PhD .................................................... 185
Perbandingan AST to Platelet Ratio Index(APRI), FIB4, Rasio SGOT/SGPT terhadap
Fibroscan dalam Mendeteksi Fibrosis Lanjut pada Pasien Hepatitis C yang Belum
diterapi
dr. Nikko Darnindro, SpPD ....................................................................................... 187
Accuracy APRI, Fib-4 Score, and Ultrasound Compared with Transient Elastography
for Assessment of Liver Fibrosis in Chronic Hepatitis C Patients Prior DAA Therapy:
A Tertiary Center Report
dr.Eka Surya Nugraha, SpPD .................................................................................... 194
Perbandingan efektifitas pada pemberian laktulosa, probiotik serta kombinasi
laktulosa dan probiotik terhadap ensepalopati hepatik pada pasien sirosis hati
dr. Desi Maghfirah, SpPD.........................................................................................195
Virological Response And Drug Resistance of Telbivudine In 3 Years Evaluation In
Management Chronic Hepatitis B (Preliminary Real Cases Study
dr. Didik Indiarso, SpPD, KGEH .............................................................................. 201
Hubungan antara rokok elektrik dan dispepsia pada populasi urban dewasa
dr. Ahmad Fariz Malvi Zamzam Zein ........................................................................ 202
Gastric Outlet Obstruction: Laporan seri kasus di RSUD dr. Soetoma Surabaya
dr. Tri Asih Imro’ati, SpPD ....................................................................................... 203
Analisa Kesintasan dan Faktor yang Mempengaruhi pada Pasien Penyakit Hati Lanjut
dr.Syifa Mustika, SpPD KGEH FINASIM ................................................................211
Seorang Penderita Lymphoma Non Hodgkin Tipe B Duodenum dengan Manifestasi
Gastric Outlet Obstruction
dr. Budi Widodo, SpPD......................................................................................212
x
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Analisis kadar asam butirat dan komposisi mikrobiota intestinal pada kanker
kolorektal
dr. Salwiyadi .............................................................................................................. 214
Prosedur Endoskopi Dilatasi pada Pasien dengan Stenosis Pilorus
dr. Ridwan Prasetyo ................................................................................................... 215
Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya gastritis
dr. Fathi Ilmawan ...................................................................................................... 216
Prevalensi mutasi regio BCP/PC pada pasien hepatitis B kronis HBeAg negatif
Turyadi ....................................................................................................................... 217
Pengaruh pemberian ekstrak daun ubi jalar ungu (lpomoea batatas) terhadap
gambaran histopatologi gaster pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang
diinduksi Paracetamol
dr.Edward Simon ....................................................................................................... 218
Rasio serum pepsinogen I/II pada penderita ulkus gaster dan non ulkus gaster
dr. M. Indra ................................................................................................................ 219
Kadar serum pepsinogen I pada penderita Dispepsia karena ulkus Gaster dan non
Ulkus gaster..
dr. T. Fahril ................................................................................................................ 220
Hubungan antara konsumsi kopi dengan kejadian Gastroesophageal reflux disease
(GERD) pada Mahasiswa Universitas Syiah Kuala
dr. Andrie Gunawan ................................................................................................... 221
Hubungan Puasa Ramadhan dengan Gejala Klinis Gastroesofageal Reflux Disease di
Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Aceh Tamiang
dr. Anandita Putri ...................................................................................................... 223
Gambaran Ultrasonografi (USG) Gall Bladder dengan pasien Epigastric Pain di
Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Banda Aceh Tahun 2018
Sururi ......................................................................................................................... 229
Pengaruh pemberian ekstrak biji petai (Parkia speciosa)terhadap gambaran
histopatologi mukosa gaster pada tikus putih (Rattus norvegicus)jantan galur wistar
yang diinduksi paracetamol
dr. Eva Pravitasari Nefertiti. Sp.PA ............................................................................... 230
Pengaruh Pemberian Ekstrak Tanaman Krokot (Portulaca oleracea) Terhadap
Gambaran Histopatologi Gaster pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur
Wistar yang Diinduksi Paracetamol
dr. Troef Soemarno MS, SpPA(K) .............................................................................. 231
xi
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Laporan kasus: Progresivitas hepatitis autoimun menjadi sirosis hepatis dekompensata
pada wanita post partus
dr. Marselino Richardo, SpPD .................................................................................. 232
Seorang Perempuan 52 Tahun Menderita Sindrom Budd-Chiari
dr. Gunady WR ........................................................................................................... 241
Seorang Penderita Enteropati Artritis dengan Alarm Symptom Diare Berdarah
dr. Sarah Firdausa, SpPD ........................................................................................... 242
Keberhasilan Terapi pada Abses Hati Amuba dan Piogenik
dr. Zurriaty Safitri ...................................................................................................... 252
Pancreatic Non Hodgkin Lymphoma dengan manifestasi kolangitis akut
dr. Rachmat Hidayat .................................................................................................. 253
Pendekatan diagnostik pasien asites nonsirotik bentuk mucin asites
dr. yunita Hafni .......................................................................................................... 254
Ascites non Sirotic dengan Penyebab TB Peritoneal
dr. Chairunnisa .......................................................................................................... 255
Problem Terapi Penderita Gastropati OAINS dengan Helicobacter pylori Positif
dr. Ridwan Prasetyo ................................................................................................... 257
Analysis Level Of Gastrin -17 Serum in Gastropathy NSAID s Patient
dr. Cut Henna Mariza................................................................................................258
Chronic Hepatitis C Treatment in the Era of Direct Acting Antiviral (DAA): A Update
Report of HCV Elimination Program in West Java Province – Indonesia.
dr.Eka Surya Nugraha, SpPD .................................................................................... 259
xii
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
1
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
PENYELESAIAN EFEK SAMPING DAN KOMPLIKASI TINDAKAN MEDIK
DALAM BIDANG GASTROENTEROLOGI, HEPATOLOGI, DAN ENDOSKOPI
GASTROINTESTINAL ASPEK ETIK DAN HUKUM
Daldiyono Hardjodisastro Pensiunan Guru Besar FKUI
Ketua Komite Etik & Hukum RSCM 2012-2017
A. Pendahuluan
Profesi kedokteran memiliki karakteristik spesifik yaitu amal ilmu pada manusia.
Dengan demikian profesi kedokteran disebut profesi yang luhur. Perkembangan ilmu
menghasilkan prosedur tindakan medik yang canggih, berteknologi tinggi dalam
penyembuhan penyakit maupun penyelamatan hidup.
Perkembangan teknologi dan tindakan medik yang canggih seperti pada bidang
Gastroenterologi, Hepatologi, dan Endoskopi Gastrointestinal berpotensi
menimbulkan efek samping, komplikasi, dan kejadian yang tidak diharapkan dan
sebagian kecil mengalami kegagalan bahkan menimbulkan kematian.
Kegagalan atau komplikasi sebagian besar dapat dimengerti dan diterima oleh
keluarganya, sebagian menimbulkan kekecewaan dan kemarahan yang berpotensi
dan menimbulkan tuntutan hukum.
Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan kajian aspek etik dan hukum bila ada
komplikasi maupun kegagalan tindakan medik. Uraian di bawah ini sudah saya
presentasikan juga pada seminar di Semarang Gastroentero Hepatologi update 27-29
April 2018.
B. Ruang Lingkup Bahasan
Adverse Event, oleh J. Guswandi SH (Sagung Seto, 2007) diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi “Kejadian tak diduga”, yang menurut Joint Commission on
Accreditation of Health Care Organization (JCHO) disamakan atau dirangkaikan
menjadi Adverse Events and Sentinel Event. Kedua istilah ini menunjukkan:
“Terjadinya peristiwa yang berakibat negative terhadap pasien yang sedang
dirawat di rumah sakit, atau juga sehabis dilakukan tindakan medik dan sudah pulang
tetapi harus kembali lagi, atau pasien sesudah kembali ke ruangan tiba-tiba
keadaannya mendadak memburuk atau timbul sesuatu yang bersifat negatif".
Sedangkan “sentinel event” diberikan batasan tersendiri, adalah suatu peristiwa
tidak terduga yang menyangkut kematian, cacat fisik, atau psikologis yang berat, atau
resiko terhadap timbulnya luka yang serius, terutama menyangkut kehilangan
anggota tubuh dan fungsinya.
Ada istilah (terminology) untuk menyebut “adverse event” yaitu “kecelakaan
medik”, yang oleh Guswandi diberikan definisi, yang diambil dari Oxford Illustrated
Dictionary (1975) sebagai berikut: “Suatu peristiwa yang tidak terduga, tindakan
yang tidak disengaja (accident, mishap, misfortune, bad fortune, mischance. Ill lack),
dan peristiwa yang terjadi tak terduga tersebut sesuatu yang tidak enak, tidak
menguntungkan, bahkan mencelakakan, membawa malapetaka.”
Secara umum kecelakaan medik memiliki sifat sebagai berikut, yaitu peristiwa
yang tidak menyenangkan, tidak diharapkan, tidak terduga, dan tidak dapat
diramalkan (undesirable, unexpected, unpredictable, unprevented adverse event).
2
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Adanya pengertian “adverse event” atau “kejadian tidak terduga” atau kecelakaan
mediki ini, maka sifat dasar dalam pelaksanaan profesi harus memiliki
sifat/karakteristik:
1. Sifat hati-hati
2. Sifat disiplin terhadap standard profesi dan standard prosedur operasional tiap
tindakan medic dan terapi.
3. Komunikatif dan memberikan penjelasan yang saksama
4. Sifat rendah hati
5. Tidak menjanjikan hasil karena sekedar amal ilmu.
C. Kajian Teoretis
Terminology “adverse event” tersebut haruslah dibedakan dengan terminology yang
juga bisa timbul yaitu kesalahan medik (medical error), kelalaian medik (medical
negligence). Tentang hal ini dapat dilihat dari urutan proses pelaksanaan profesi
kedokteran, yang dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:
Skema urutan proses pelaksanaan profesi kedokteran
3
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
D. Contoh Berbagai “Adverse Event”
C. 1. Dalam Bidang Gastro hepatologi
1. Perforasi setelah kolonoskopi
2. Pecahnya divertikel
3. Perforasi pasca polipektomi dan biopsy
4. Meninggal dunia selama sklero terapi/ligasi pasien sedang berdarah
5. Serangan infark miocard saat gastroskopi
C. 2. Di luar bidang Gastro enterologi
- Steven Johson Syndrome
- Syok anastesi local dengan xylocain
- Syok setelah pemberian antibiotika menjelang operasi
- Meninggal pasca tonsilektomi.
- Dll banyak sekali.
E. Disclosing of Adverse event to the Patient and Family
Apa yang perlu dilakukan bila timbul “adverse event” kepada pasien?
I. Menjelaskan
II. Menenangkan
III. Mencegah ketidakpuasan
IV. Mencegah konflik (sengketa medik)
V. Mencegah tuntutan hukum
Tehnik dalam menjelaskan kepada pasien dan/atau keluarganya memakai kaidah
yang dipakai dalam “How to Informed the Bad News”, dalam bahasa Indonesia
“Bagaimana menjelaskan berita jelek kepada pasien dan keluarganya”. Dalam hal ini
terdapat perinsip yang baku:
1. Dengarkan dulu baik-baik keluhan keluarga atau pasien.
2. Catat kata-kata kunci atau intisari keluhan.
3. Jelaskan bahwa tindakan dikerjakan berdasarkan urutan standard operasional
prosedur.
4. Jawab berbagai pertanyaan atau ketidakpuasan (complain) secara hati-hati dengan
bahasa yang mudah.
5. Jangan ada kesan menyalahkan pasien atau keluarga.
6. Jelaskan bahwa terdapat kecelakaan medik.
F. Pembahasan Intern Rumah Sakit
Setiap ada peristiwa “adverse event” atau kejadian yang tidak diharapkan maka
perlu bahkan harus ada pembahasan intern rumah sakit. Pembahasan dilakukan oleh
Komite Medik awalnya oleh Sub Komite Mutu dan Keselamatan Pasien.
Pada jaman sekarang ini filosofis yang dipakai adalah menjawab pertanyaan:
“Bagaimana dan dimana letak ketidaktepatan sampai terjadinya adverse event atau
kejadian yang tidak diharapkan (KTD) tersebut”. Hal ini berdasarkan paham yang
menyatakan:
“Tidak ada sebab tunggal dalam suatu peristiwa.”
Pemahaman ini berbeda dengan jaman dulu dimana analisis menjawab pertanyaan:
“Siapa yang salah?”
4
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Suatu paham dimana suatu adverse event (KTD) akibat dari suatu kesalahan yang
disebut “blaming culture” yang harus dihindarkan.
Analisis terhadap adverse event (KTD) mempergunakan teori analogy tulang ikan
(Bone fish theory analysis).
Gambar: Kajian Teoretis Adverse Event
Kesimpulan bahasan bersifat rahasia tidak boleh keluar ke keluarga atau pasien
dan siapapun termasuk ke pengadilan. Kesimpulan ke pengadilan hanya oleh direktur
rumah sakit dengan surat resmi.
Analisis dan kesimpulan pembahasan intern rumah sakit ditujukan pada 3 arah:
1. Memberi bahan bagi dokter penanggung jawab pasien (DPJP) untuk
memberikan penjelasan dan menjawab pertanyaan pada keluarga.
2. Memberikan bahan bagi rumah sakit khususnya bagian hubungan masyarakat
bila berhubungan dengan wartawan.
3. Bahan yang akan disampaikan ke pengadilan.
Dalam hal no. 3, “Bahan yang akan disampaikan haruslah menonjolkan hal-hal
yang positif yang sudah dikerjakan kemudian mencari dan pembenaran apa yang
sudah dikerjakan serta menutupi kekurangan.”
Perlu disebut disini bahwa apabila membahas suatu kejadian masa lalu (post
factum) yang negatif, selalu terdapat berbagai alternatif, dimana keputusan dokter
seolah-olah terdapat ketidaktepatan. Selain itu terdapat doktrin ilmu hukum bahwa
“terdakwa berhak membela diri didepan hukum”.
Hal-hal positif
yang dikerjakan Kriteria
Undang-undang
SPO
Etika
Hal-hal negatif yang
dikerjakan atau
melakukan yang
sepatutnya tidak
dikerjakan (Hukum
Kedokteran) (Hukum
Pidana, Hukum
Perdata)
Perumusan
masalah lalu
rincian sub
masalah
Kronologi
kejadian dan
siapa saja yang
bersangkutan
Tehnik = lima tingkat pertanyaan
5
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
G. Pencegahan “Adverse Event” menjadi masalah Hukum
Berbagai pemahaman ini dapat mencegah suatu adverse event menjadi masalah
hokum:
Pemahaman bahwa, interaksi dokter dan pasien disebut “transaksi terapeutik yang
dilaksanakan dengan konsep kemitraan antara dokter dan pasien dimana dokter
berjanji bekerja semaksimal mungkin (KODEKSI, pasal 2), sedangkan dari pihak
pasien ada unsur percaya dan loyal.
Semua tindakan dan pengobatan harus dijelaskan dengan seksama sampai pasien
setuju.
Semua resiko dan komplikasi yang mungkin timbul perlu dijelaskan pada semua
tindakan medik.
Dokter tidak boleh menjanjikan hasil.
Bahwa ada kemungkinan kejadian yang tidak diinginkan (adverse event) perlu
dikasih tahu.
Tindakan medik invasif perlu persetujuan Tindakan Medik (informed consent)
secara tertulis kecuali penyelamatan pasien.
Hadapi dengan tenang semua adverse event.
Berdasarkan undang-undang Rumah Sakit pasal 46:
“Semua kerugian akibat pelayanan kesehatan di RS menjadi tanggung jawab
rumah sakit.”
Dokter seharusnya di bawah perlindungan asuransi profesi.
H. Simpulan
1. Adverse event bisa terjadi pada tiap terapi atau tindakan medik.
2. Semua dokter wajib bekerja berdasarkan undang-undang dan standard prosedur
operasional.
3. Sengketa medik sebisanya dicegah menjadi proses pengadilan.
4. Budaya mutu dan keselamatan pasien harus senantiasa dikerjakan.
5. Komunikasi yang efektif mampu mencegah ketidakpuasan.
I. Kepustakaan
Daldiyono. Semarang Gastroentero Hepatologi Update. April, 2018.
Daldiyono. Buku Ajar: Pengantar Kedokteran Klinis, Metodologi Klinis. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI, 2014.
J. Guswandi SH. Hukum dan Dokter. Jakarta: Sagung Seto, 2008.
J. Guswandi SH. Dokter dan Rumah Sakit. Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 1991.
Renanto Suryadhimirtha SH, MSc. Hukum Malapraktek Kedokteran. Yogyakarta: Total
Media, 2011
6
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
PERKEMBANGAN GLOBAL HEPATITIS B DAN C SERTA
HUBUNGANNYA DENGAN KEBIJAKAN NASIONAL DALAM ERA
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS)
Ali Sulaiman
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Univeritas Indonesia/
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia
Pendahuluan : World Health Assembly (WHA) ke -63, di Geneva melahirkan resolusi
63.18 yang menyatakan bahwa hepatitis menjadi salah satu agenda prioritas dunia. Dalam
perkembangannya, komitmen dan perkembangan penanganan hepatitis masih tergolong
lambat. Oleh karena itu dibentuk lah Global Health Sector Strategy on Viral Hepatitis 2016
– 2021 (GHSS) sebagai strategi dan target dunia dalam eradikasi hepatitis.
Metode:. Penelusuran literatur dilakukan melalui beragai situs resmi dai organisasi profesi,
ataupun publikasi pemerintah sesuai dengan kata kunci Hepatitis B, Hepatitis C, Global
Health Sector Strategy on Viral Hepatitis 2016 - 2021 , Regional Action for Viral Hepatitis
in South-East Asia: 2016 – 2021, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Hasil dan Diskusi: Indonesia menetapkan 5 aspek strategi untuk mencapai target GHSS.
Beberapa respon Indonesia telah dilakukan namun masih terkait banyak kendala.
Penanggulangan hepatitis pada era BPJS memiliki dinamika tersendiri. Dalam satu si
pegobatan hepatitis telah dapat dijamin seluruhnya. Namun masih banyak kalangan yang
tidak bisa merasakan pengobatan ini menyebabkan masih tingginya angka hepatitis di
Indonesia. Berbagai kendala masih perlu di hadapi seperti, biaya yang bergantung dengan
donator, distribusi yang sulit, serta kesiapan pemerintah beserta ikatan profesi juga menjadi
factor kendala dalam merealisasikan program ini.
Kesimpulan: Global Health Sector Strategy on Viral Hepatitis 2016 – 2021 (GHSS) yang
merupakan target jangka pendek untuk merealisasikan eradikasi virus hepatitis pada tahun
2030. Indonesia telah memiliki semangat dan upaya dalam mengejar target tersebut.
Apabila Indonesia mampu mencapai target pada 2021 dan mencari solusi akan berbagai
kendala yang ada, maka besar harapan Indonesia dapat mengeradikasi hepatitis tahun 2030.
Kata Kunci: Hepatitis B, Hepatitis C, Global Health Sector Strategy on Viral Hepatitis
2016 - 2021 , Regional Action for Viral Hepatitis in South-East Asia: 2016 – 2021, Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
7
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
MANAGEMENT OF UPPER GASTROINTESTINAL BLEEDING IN
DAILY PRACTICE
Fauzi Yusuf
Divisi Gastro Entero Hepatologi Bagian/SMF Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUD dr.Zainoel Abidin Banda Aceh
Abstrak
Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu masalah emergensi di bidang
gastroenterologi. Perdarahan SCBA adalah perdarahan saluran makanan proksimal dari
ligamentum Treitz yang dibedakan menjadi perdarahan varises dan nonvarises. Penyebab
perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) adalah pecahnya varises esofagus,
gastritis erosif, tukak peptik, tukak esofagus, tukak duodenum, gastropati kongestif,
sindroma Mallory-Weiss, esofagitis dan keganansan. Diagnosis dan penatalaksanaan yang
tepat merupakan hal penting dilakukan untuk mengurangi angka mortalitas dan
komplikasi pada pasien PSCBA.
Pendahuluan
Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu masalah emergensi di bidang
gastroenterologi1. Perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) adalah kehilangan
darah dari saluran cerna atas, di mana saja, mulai dari esofagus sampai dengan duodenum
(dengan batas anatomik di ligamentum Treitz), dengan manifestasi klinis berupa
hematemesis, melena, hematoskezia atau kombinasi. Untuk keperluan klinis dibedakan
perdarahan varises esofagus dan non varises1,2. Kejadian PSCBA di Indonesia sekitar 48-
160 kasus per 100.000 penduduk, dengan kejadian lebih tinggi pada pria dan usia lanjut2.
Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) adalah pecahnya varises
esofagus, gastritis erosif, tukak peptik, tukak esofagus, tukak duodenum, gastropati
kongestif, sindroma Mallory-Weiss, esofagitis dan keganansan1,2.
Tabel 1. Klasifikasi PSCBA berdasarkan mekanisme patofisiologi3
Ulceratif Hipertensi porta Tumor
1. Gaster
2. Idiopatik
3. Drug induced
(NSAID)
4. Infeksi ( H. Pylori)
5. Stres Ulcer
6. Zollinger Ellison
7. Esofagus
8. Infeksi (kandida,
CMV)
9. Drug Induced
(alendronate, KCL)
10. Varises esofagus
11. Varises gaster
12. Gastropati hipertensi
13. Malformasi vascular
14. Dieulafoy’s lession
15. Hereditary hemorragic
telangiectasia
16. Traumatic/ surgical
17. Mallory-Weiss syndrome
18. Aortoenteric fistula
19. Post anostomosis or
polypectomy
20. Benign
21. Polip
22. Lieomyoma
23. Keganasan
24. Adenocarsinoma
25. Carcinoid
26. Lymphoma
27. Metastase
karsinoma
Diagnosis
Tanda dan gejala tersering dari perdarahan saluran cerna bagian atas adalah
hematemesis (muntah darah), muntah berwarna coffee ground dan melena (tinja seperti
aspal/tar). Prioritas pertama pada PSCBA adalah menilai dan mengamati gangguan
hemodinamik yang terjadi resusitasi cairan, transfusi dan stabilisasi hemodinamik.
8
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Seiring dengan rencana pemeriksaan penunjang untuk memperoleh sumber perdarahan,
penyebab perdarahan dan tatalaksana menghentikan perdarahan serta terapi defenitifnya2-
4
Anamnesis yang akurat dan teliti dapat memperkirakan lokasi dan penyebab
perdarahan. Penilaian hemodinamik (denyut nadi, tekanan darah), laju pernafasan, status
kesadaran, konjungtiva yang pucat, capillary refill yang melambat, serta tidak
ditemukannya stigmata sirosis hati kronik merupakan tanda-tanda awal yang harus segera
diidentifikasi. Takikardia pada saat istirahat dan hipotensi ortostatik menunjukkan adanya
kehilangan darah yang cukup banyak. Luaran urin rendah, bibir kering dan vena leher
kolaps juga merupakan tanda yang cukup berguna1-3,5.
Pemasangan nasogastric tube (NGT) dan menilai aspiratnya biasanya bermanfaat
untuki penilaian klinis awal. Apabila terdapat darah merah segar, maka pasien
membutuhkan evaluasi endoskopik segera dan perawatan di unit intensif. Penurunan
kadar hemoglobin 1g/dL diasosiasikan dengan kehilangan darah 250mL. Apabila terdapat
warna coffee ground, maka pasien membutuhkan rawat inap dan evaluasi endoskopik
dalam waktu 24 jam. Namun demikian aspirat normal tidak menyingkirkan perdarahan
saluran cerna. Sekitar 15% pasien dengan aspirat normal, tetap mempunyai perdarahan
saluran cerna aktif atau risiko tinggi mengalami perdarahan ulang. Pemeriksaan
endoskopi, tidak hanya mendeteksi ulkus peptikum, namun juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi stigmata yang dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan ulang2,4-5.
Klasifikasi Forrest digunakan untuk mengklasifikasi temuan selama evaluasi
endoskopik, digambarkan sebagai berikut2,3:
1. Ulkus dengan perdarahan aktif menyemprot (Forrest IA);
2. Ulkus dengan perdarahan merembes (Forrest IB);
3. Ulkus dengan pembuluh darah visibel tak berdarah (Forrest IIA);
4. Ulkus dengan bekuan adheren (Forrest IIB);
5. Ulkus dengan bintik pigmentasi datar (Forrest IIC); dan
6. Ulkus berdasar bersih (Forrest III).
Penatalaksanaan
Evaluasi dan resusitasi yang tepat merupakan hal penting dilakukan pada pasien
PSCBA, terutama yang datang dengan keluhan hematemesis, hematoskezia masif, melena
atau anemia progresif. Stratifikasi pasien ke dalam kategori risiko rendah atau tinggi
untuk kejadian pendarahan ulang dan mortalitas dapat digunakan dengan skor Blatchford
dan Rockall (sesuai dengan ada tidaknya fasilitas endoskopi). Pasien-pasien dengan risiko
tinggi untuk terjadinya perdarahan ulang dan risiko kematian, sebaiknya dirawat di unit
rawat intensif2,3.
Tatalaksana PSCBA secara umum terdiri dari1,6:
Penialaian hemodinamik disertai resusitasi cairan dan stabilisasi hemodinamik.
Penialian onset dan derajat perdarahan.
Usaha menghentikan perdarahan secara umum ( stop gap treatment)
Usaha identifikasi lokasi sumber perdarahan dengan modalitas sarana penunjang
yang tersedia.
Mengatasi sumber perdarahan secara definitif.
Minimalisasi komplikasi yang dapat terjadi.
Upaya pencegahan terjadinya perdarahan ulang dalam jangka pendek maupun jnagka
panjang.
9
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Tabel 2. Skor Rockall
Score 0 1 2 3
Age (yr) <60 60-70 ≥80 N/A
Pulse
Systolic blood
pressure
<100
>100
>100
>100
>100
<100
N/A
N/A
Comorbidities None Nil Major Isschemic Heart disease,
cardiac failure, other
major co-morbidity
Renal or
liver failure,
disseminated
malignancy
Diagnosis Mallory-
Weiss or no
lession/path
ology
All other
diagnosis
Malignant lesion N/A
Stigmata of
haemorrhage on
endoscopy
None, or
dark spot
only
None, or
dark spot
only
Blood, adherent clot,
visible/spurting vessel
N/A
Pemasangan nasogastric tube (NGT) dilakukan pada perdarahan yang diduga
masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik. NGT bertujuan untuk
mencegah aspirasi, dekompresi, dan menilai perdarahan sehingga tidak diperlukan pada
semua pasien dengan perdarahan1-3.
Resusitasi yang dilakukan termasuk pemberian cairan intravena dan oksigen
oksigen, koreksi koagulopati berat dan transfusi darah pada saat dibutuhkan. Batasan
transfusi bergantung kepada kondisi medis umum dan tanda vital pasien, biasanya
ditetapkan pada hemoglobin = 7.0 g/dL kecuali bila perdarahan masih terus berlangsung
atau masif serta adanya penyakit jantung koroner, gangguan hemodinamik (hipotensi dan
takikardi) dan usia lanjut. Kadar hemoglobin minimal untuk dilakukan endoskopi adalah
8 mg/dL dan jika akan dilaksanakan endoskopi terapeutik maka kadar hemoglobin
minimal adalah 10 mg/dL dengan catatan pasien juga dalam keadaan hemodinamik
stabil2,3. Pemberian FFP untuk pasien PSCBA diberikan pada kondisi protrombin time
atau activated partial thromboplastine time 1,5 kali lipat dari normal. Transfusi trombosit
diberikan pada pasien dengan kadar trombosit dibawah 50x103 /mm3.3
Pada pasien dengan penyakit hati kronis, pemberian vitamin K diperbolehkan
dengan pertimbangan tidak merugikan. PSCBA akibat varises dapat diberikan
vasopressin, somatostatin dan analognya (octreotide) diketahui menurunkan aliran darah
splanknik. Somatostatin juga dapat diberikan pada perdarhan nonvarises3.
Pemberian PPI sebelum endoskopi dapat digunakan (Rekomendasi 1B) untuk
pasien PSCBA terutama perdarahan nonvarises. Suasana lingkungan asam menyebabkan
penghambatan agregasi trombosit dan koagulasi plasma, juga menyebabkan terjadinya
lisis pada bekuan yang telah terbentuk. Pemberian PPI dapat secara cepat menetralisasi
asam lambung intraluminal, yang menghasilkan stabilisasi bekuan darah. Pada jangka
panjang, terapi antisekretorik juga mendukung penyembuhan mukosa. Bila endoskopi
akan ditunda dan tidak dapat dilaksanakan, PPI intravena direkomendasikan untuk
mengurangi perdarahan lanjut2,3.
Asam Tranexamat tidak direkomendasikan pada PSCBA, namun perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut untuk melihat manfaat pada perdarahan akibat varises. Pemberian
antibiotik seperti golongan sefalosforin generasi ketiga dapat mengurangi infeksi dan
mortalitas pasien PSCBA3.
10
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Endoskopi telah menjadi alat untuk diagnosis dan tatalaksana PSCBA yang utama.
Tindakan ini memungkinkan untuk dilakukan identifikasi sumber pendarahan dan terapi
pada saat yang sama. Waktu optimal endoskopi masih dalam perdebatan. Endoskopi
darurat memungkinkan untuk dilakukan hemostasis dini, namun dapat menyebabkan
terjadinya aspirasi darah dan desaturasi oksigen pada pasien yang belum stabil. Sebagai
tambahan, jumlah darah dan bekuan yang banyak dapat mengganggu terapi target untuk
fokus pendarahan, yang dapat menyebabkan dibutuhkannya prosedur endoskopik
ulangan2.
Tabel 3. Skor Blatchford
Admission risk marker Score component value
Blood urea (mmol litre1)
6.5-8.0 2
8.0-10.0 3
10.0 - 25 4
>25 6
Haemoglobin (g litre-1) for men
12.0 – 13.0 1
10.0 – 12.0 3
<10.0 6
Haemoglobin (g litre-1) for women
10.0 – 12.0 1
<10.0 6
Systolic blood pressure (mmHg)
100-109 1
90-99 2
<90 3
Others markers
Pulse ≥ 100 (min-1) 1
Presentation with melena 1
Presentation with syncope 2
Hepatic disease 2
Cardiac failure 2
Score 0 low risk, consider outpatient management,
Score >5 high risk of needing intervention
Konsensus internasional dan Asia-Pasifik menganjurkan endoskopi dini dalam
waktu 24 jam setelah pasien dirawat, oleh karena tindakan ini secara signifikan
menurunkan lama rawat inap dan memperbaiki luaran klinis. Endoskopi sangat dini (<12
jam) sampai saat ini belum menunjukkan keuntungan tambahan dalam hal menurunkan
risiko pendarahan ulangan, pembedahan dan mortalitas bila dibandingkan dengan waktu
24 jam. Namun demikian, endoskopi darurat harus dipertimbangkan pada pasien dengan
pendarahan berat. Pada pasien dengan gambaran klinis risiko lebih tinggi (misalnya:
takikardi, hipotensi, muntah darah, atau darah segar pada NGT ) endoskopi dalam 12 jam
kemungkinan dapat meningkatkan luaran klinis2.
4.1 Terapi endoskopik untuk perdarahan nonvarises Tujuan terapi endoskopik adalah untuk menghentikan pendarahan aktif dan
mencegah perdarahan ulang. Metode terapinya meliputi 1). Contact thermal (monopolar
atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe) 20. Noncontact thermal (laser) 3).
11
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol, cyanoacrylate, atau
pemakaian klip)2,3,8.
Farmakoterapi berperan penting pada tatalaksana PSCBA nonvarises. Terapi PPI
lebih superior dibandingkan antagonis reseptor histamin-2. PPI dapat diberikan oral atau
intravena bergantung kepada stigmata perdarahan (Kriteria Forrest)2,3. Penggunakaan PPI
mengurangi angka mortalitas3. Pada pasien dengan ulkus idiopatik non H.pylori, non
NSAID), dapat direkomendasikan terapi anti ulkus jangka panjang (PPI harian). Pada
pasien dengan perdarahan ulkus karena aspirin dosis rendah, harus dikaji ulang urgensi
pemberian aspirin tersebut2.
Pemeriksaan H.pylori disarankan untuk semua pasien dengan PSCBA.
Pemeriksaan ini kemudian dilanjutkan dengan terapi eradikasi untuk semua pasien
dengan hasil positif, Eradikasi dengan terapi tiga obat (triple therapy) memiliki tingkat
keberhasilan sampai 80 % bahkan 90% pada pasien ulkus peptikum tanpa disertai dengan
efek samping yang signifikan dan efek minimal dalam resistensi terhadap antibiotik.
Lebih jauh lagi, berkaitan dengan evaluasi penyembuhan ulkus melalui endoskopi,
ditemukan bahwa tingkat keberhasilan terapi PPI selama satu minggu mencapai 80-85%.
Setelah H. Pylori terbukti tereradikasi, terapi PPI rumatan tidak diperlukan kecuali
pasien menggunakan NSAIDs atau antitrombotik2,4-5.
4.1 Terapi endoskopik untuk perdarahan varises Teknik yang dilakukan meliputi endoscopic variceal ligation (EVL) atau
endoscopic sclerotherapy (ES). Tingkat keberhasilan mencapai 90%. Hasil meta analisis
menunjukan EVL lebih baik dalam mencegah perdarahan berulang, striktur dan
mortalitas3. Ballon tamponade sangat efektif untuk mentabilkan hemostasis pada
perdarahan varises akut, namun meningkatkan angka perdarahan kembali dan
komplikasi3,9-14.
Tindakan pembedahan pada perdarahan varises termasuk dekompresi sirkulasi
porta (emergency surgical shunt operation) dan transeksi esofagus. Tindakan ini
berdampak pada hemostasis yang lama dan peningkatan angka mortalitas sebesar 50%
dan semakin meningkat pada pasien sirosis childpugh C3,9-14.
Kesimpulan
Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu masalah emergensi di bidang
gastroenterologi. Perdarahan SCBA adalah perdarahan saluran makanan proksimal dari
ligamentum Treitz yang dibedakan menjadi perdarahan varises dan nonvarises. Diagnosis
dan penatalaksanaan yang tepat merupakan hal penting dilakukan untuk mengurangi
angka mortalitas dan komplikasi pada pasien PSCBA.
12
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Gambar 1. Manajemen PSMBA akut
DAFTAR PUSTAKA
1. Djojoningrat, Dharmika. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas ( Hematemesis Melena )
dalam Buku Ajar Gastroenterologi Edisi 1. Jakarta: Interna Publishing. Hal.33-43.
2. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Perdarahan Saluran Cerna Atas Non varises di Indonesia. Jakarta: 2012.
3. Elsayed, Ingi Adel Salah et al. Management of acute upper GI bleeding. BJA Education,
17 (4):117-123(2017).
13
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
4. Gralnek, Ian M, et al. Diagnosis and management of nonvariceal upper gastrointestinal
hemorrhage: European Society of Gastrointestinal Endoscopy (ESGE) Guideline.
Endoscopy 2015; 47: a1–a46.
5. Laine, Loren and Jensen, Dennis M. Management of Patients With Ulcer Bleeding. Am
J Gastroenterol 2012; 107:345–360.
6. Kim, Bong Sik Matthew et al. Diagnosis of gastrointestinal bleeding: A practical guide
for clinicians. World J Gastrointest Pathophysiol 2014 November 15; 5(4): 467-478
7. Sung, Joseph JY et al. Asia-Pacific working group consensus on non-variceal upper
gastrointestinal bleeding: an update 2018. Gut 2018;0:1–12. doi:10.1136/gutjnl-2018-
316276
8. Fujishiro, Mitsuhiro et al. Guidelines for endoscopic management of non-variceal upper
gastrointestinal bleeding. Digestive Endoscopy 2016; 28:363–378
9. Kim, Young Dae. Management of Acute Variceal Bleeding. Clin Endosc 2014:47: 308-
314
10. Cremers, Isabelle and Ribeiro, S. Management of variceal and nonvariceal upper
gastrointestinal bleeding in patients with cirrhosis. Ther Adv Gastroenterol 2014, Vol.
7(5) 206 –216
11. Haq, Ihteshamul and Tripathi,D. Recent advances in the management of variceal
bleeding. Gastroenterology Report, 5(2), 2017, 113–126
12. Tripathi, D et al. UK guidelines on the management of variceal haemorrhage in
cirrhotic patients. Gut 2015;0:1–25.
13. Mallet, M et al. Variceal bleeding in cirrhotic patients. Gastroenterology Report, 5(3),
2017, 185–192.
14
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
HOW TO CHOOSE APPROPRIATE PROTON PUMP INHIBITOR
IN PATIENTS WITH MULTIPLE THERAPY
Murdani Abdullah
Division of Gastroenterology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of
Indonesia-dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta Pusat, Indonesia
Introduction
Anti-platelet therapy such as aspirin and clopidogrel is commonly prescribed for
acute coronary syndrome and arterial thromboembolism prophylaxis. Unfortunately,
antiplatelet therapy increased risk of gastrointestinal bleeding. Proton pump inhibitors
(PPI) are frequently administered to decrease the risk of upper gastrointestinal bleeding
among patients taking antiplatelet therapy.1 However, pharmacokinetic data and
observational studies have suggested a potential interaction between clopidogrel and PPI.
During the past few years, concerns have been raised about omeprazole can decrease the
efficacy of clopidogrel. This interaction could have a significant effect in clinical events.
Principle of Drug Interaction
Drug interaction remain an important issue in clinical practice and drug
development. Drugs can interact with foods, chemicals from the environment, or with
other drugs consumed. Polypharmacy facilitate the occurrence of drug interactions. Drug
interactions may occur when drugs that are substrates, inducers, and/or inhibitors of the
same metabolizing enzymes are co-administered. Drug interactions are considered
clinically important if they increased toxicity or reduced effectiveness of the drug. This is
mainly occur on drugs with narrow margins of safety. The severity of drug interactions is
influenced by individual variation (certain populations are more sensitive, elderly patients
or with severe illness, differences in metabolic capacity among individuals including
genetic polymorphisms), certain diseases, and other factors.2
In general, drug interaction mechanisms can be divided into three mechanisms:
incompatible interactions, pharmacokinetic interactions, and pharmacodynamic
interactions. Incompatibility occurs outside the body before medication is given. Direct
physical or chemical interactions seen as sediment formation or discoloration.
Pharmacokinetic interactions occur when one drug affects the absorption, distribution,
metabolism, or excretion of another drug so that the plasma drug level of both drugs
increases or decreases.3
A number of clinical drug interactions have been ascribed to the induction and/or
inhibition of cytochrome P450s (CYPs) metabolism enzyme in liver microsomes.2 Each
CYP isoenzyme has its own substrate and inhibitor. Co-administration of one substrate
with one inhibitor of the same enzyme increases the plasma substrate level thus
increasing its effect or toxicity. Induction means an increase in the synthesis of metabolic
enzymes at the level of transcription so that there is an increase in the speed of
metabolism of drugs that become the substrate of the enzyme. As a result, the doctor need
to increase the dose of the drug. Inhibition means a metabolic enzyme synthesis barrier
that causes an increase in the drug content to become the substrate of the inhibited
enzyme. To prevent the occurrence of toxicity, necessary dose reduction of the drug
concerned or even should not be given along with its inhibitor if the result is harmful.
15
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Genetic polymorphisms, which can influence drug metabolism, are found in
CYP2D6, CYP2C9, CYP2C19, and NAT2 enzymes. The population is divided into 2 or
more subpopulations with different enzyme activity. In terms of CYP enzymes, the
population genotype is divided into extensive metabolizers (EM) and poor metabolizers
(PM). The frequency of PM in Southeast Asian descent for CYP2D6 enzyme is only
about 1-2%, for CYP2C19 enzyme around 15-25%, and for NAT2 enzymes 5-10%.4,5
PPI and Clopidogrel Drug Interaction
Clopidogrel is an antiplatelet drug, which works by blocking platelets from
sticking together and prevents them from forming harmful clots in blood vessels. The
active thiol metabolite irreversibly blocks adenosine diphosphate (ADP) from binding to
the P2Y12 receptor on the platelet, ultimately preventing aggregation. Therefore,
clopidogrel is commonly prescribed to prevent heart attack and stroke in person with
heart disease or clotting disorder. Clopidogrel is a prodrug that requires cytochrome P450
(CYP) to form an active metabolite, primarily relying on CYP2C19 but also utilizing
metabolic pathways involving CYP3A4, CYP2C9, CYP1A2, and CYP2B6.6,7
PPI have become first-line treatment for gastroesophageal reflux disease and may
be useful in patients undergoing antiplatelet therapy who are at higher risk of
gastrointestinal bleeding or ulcerations. PPI have been documented to be inhibitors of the
CYP2C19 enzyme and co-substrates for CYP3A4, the major enzymes needed to activate
clopidogrel. PPIs are predominantly metabolized in the liver by CYP2C19 and CYP3A4.
Therefore, concomitant use with clopidogrel poses a potential clinical concern.
Cytochrome P450 (CYP) enzymes are responsible for the conversion of clopidogrel into
its active metabolite and the metabolism of PPI, which may also inhibit CYP enzymes.8
Omeprazole carries a considerable potential for drug interactions because of its high
affinity for CYP2C19 and moderate affinity for CYP3A4. In contrast, pantoprazole-Na
appears to have lower potential for interactions with other medications.9
Clopidogrel is a prodrug that depends on cytochrome P450, or CYP, liver
enzymes to metabolize it into active form. Due to the increased risk of gastrointestinal
(GI) bleeding associated with clopidogrel and dual anti-platelet therapy, many post-acute
coronary syndrome patients are also started on a proton pump inhibitor (PPI) or H2
receptor antagonist. PPI medications (the most frequently prescribed drugs to reduce the
risk of GI bleeding) also interact with the CYP liver enzymes and thus may inhibit the
conversion of clopidogrel to its active metabolite and potentially alter its efficacy. In
November 2009, The Food and Drug Administration include a drug interaction warning
of omeprazole and esomeprazole with clopidogrel due to interference in metabolism via
CYP2C19. Kashour et.al found that more than half of patients who were previously on
concomitant omeprazole and clopidogrel therapy were switched to a different PPI.10
A randomized-controlled study was conducted in France to compare the effect of
omeprazole and pantoprazole on platelet response to clopidogrel after coronary stenting
for non–ST elevation acute coronary syndrome. The study showed that patients receiving
pantoprazole had a significantly better platelet response to clopidogrel (p = 0.007),
assessed with Platelet Reactivity Index Vasoactive Stimulated Phosphoprotein (PRI
VASP).11 A population-based nested case–control study also showed similar results. The
study suggested that the use of PPIs was associated with an increased risk of re-infarction
(adjusted OR1.27, 95% CI 1.03–1.57), but the use of pantoprazole, had no association
with readmission for myocardial infarction (adjusted OR 1.02, 95% CI 0.70–1.47).12
Recent studies in East Asian cohorts also suggests that the potential of PPIs to attenuate
16
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
the efficacy of clopidogrel could be minimized by the use of newer PPIs with weaker
affinity for CYP2C19 isoenzyme, such as pantoprazole, dexlansoprazole and rabeprazole.
A randomized incomplete crossover study in healthy volunteers showed that not
one of the PPIs tested (pantoprazole, omeprazole, rabeprazole, esomeprazole,
lansoprazole, and dexlansoprazole) has a statistically significant interaction with
clopidogrel as measured by whole-blood impedance aggregometry. This study suggested
that any interaction between clopidogrel and PPIs is a weak interaction that might become
relevant only under specific clinical conditions.6
From those studies, it can be concluded that the degree of interaction between
clopidogrel and PPIs is not homogeneous within the class of PPIs and is less marked with
pantoprazole than with omeprazole. Concomitant therapy with PPIs other than
pantoprazole was associated with a loss of the beneficial effects of clopidogrel and an
increased risk of re-infarction.
Conclusion
PPIs are recommended in patients with prior upper GI bleeding and considered
appropriate in patients with multiple other risk factors who require dual anti-platelet
therapy. Not all PPIs have equal affinity for CYP2C19 and consequently, do not attenuate
platelet
inhibition by clopidogrel to the same degree. Some PPIs significantly reduce the
cardioprotective effects of clopidogrel. The use of omeprazole significantly reduced the
antiplatelet activity of clopidogrel. This findings suggest the preferential use of
pantoprazole compared with omeprazole in patients receiving clopidogrel to avoid any
potential negative interaction with CYP2C19.
References
1. Cardoso RN, Benjo AM, DiNicolantonio JJ, et al. Incidence of cardiovascular events and
gastrointestinal bleeding in patients receiving clopidogrel with and without proton pump
inhibitors: An updated meta-analysis. Open Hear. 2015;2(1).
2. Zhou S, Xue CC, Yu X. Clinically Important Drug Interactions Potentially Involving
Mechanism-based Inhibition of Cytochrome P450 3A4 and the Role of Therapeutic Drug
Monitoring. Ther Drug Monit. 2007;29(6):687-710.
3. Tari L, Anwar S, Liang S, Cai J, Baral C. Discovering drug – drug interactions : a text-
mining and reasoning approach based on properties of drug metabolism. Bioinformatics.
2010;26:547-553.
4. Kubica A, Kozinski M, Grzesk G, Fabiszak T, Navarese EP, Goch A. Genetic determinants
of platelet response to clopidogrel. J Thromb Thrombolysis. 2011;32(4):459-466.
5. Zou D, Goh K-L. East Asian perspective on the interaction between proton pump inhibitors
and clopidogrel. J Gastroenterol Hepatol. 2017;32(6):1152-1159.
6. Przespolewski ER, Westphal ES, Rainka M, Smith NM, Bates V, Gengo FM. Evaluating the
Effect of Six Proton Pump Inhibitors on the Antiplatelet Effects of Clopidogrel. J Stroke
Cerebrovasc Dis. 2018:1-8.
7. Mega JL, Close SL, Wiviott SD, et al. Cytochrome P-450 Polymorphisms and Response to
Clopidogrel. N Engl J Med. 2009;360(4):354-362.
8. Juel J, Pareek M, Jensen SE. The Clopidogrel-PPI Interaction : An Updated Mini-Review
Proton Pump Inhibitors Clopidogrel Inactivation Liver Cytochrome P450 system Activation.
Curr Vasc Pharmacol. 2014;12:751-757.
9. Wedemeyer R, Blume H. Pharmacokinetic Drug Interaction Profiles of Proton Pump
Inhibitors : An Update. Drug Saf. 2014.
10. Kashour T, AL-Tannir M, Bahamid R. Changing Prescription Pattern of Omeprazole Among
Patients Receiving Clopidogrel. Int Heart J. 2014;55(2):93-95.
17
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
11. Cuisset T, Frere C, Quilici J, et al. Comparison of Omeprazole and Pantoprazole Influence
on a High 150-mg Clopidogrel Maintenance Dose. The PACA (Proton Pump Inhibitors And
Clopidogrel Association) Prospective Randomized Study. J Am Coll Cardiol.
2009;54(13):1149-1153.
12. Juurlink DN, Gomes T, Ko DT, et al. A population-based study of the drug interaction
between proton pump inhibitors and clopidogrel. Can Med Assoc J. 2009;180(7):713-718.
18
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
25 years of Proton Pump Inhibitors: What are the Issues?
Dadang Makmun
Division of Gastroenterology, Department of Internal Medicine
Faculty of Medicine, Universitas Indonesia /
Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta
Introduction
Proton pump inhibitors (PPIs) were introduced in 1989, targeted the gastric
H+/K+- adenosine triphosphate (ATP)aseand become a breakthrough in the treatment of
acid-related diseases. Until today, PPIs are widely usedin the management of acid-related
diseases such as peptic ulcer disease (PUD), gastroesophageal reflux disease (GERD),
nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) gastropathy, and eradication of H. Pylori
along with antibiotics. PPIs are proven to have greater and longer duration of acid
suppression and healing rates compared to H2 receptor antagonist, synthetic prostaglandin
analogs, and anticholinergics.1,2,3
Pharmacokinetic and pharmacodynamics of PPI
PPI is a substituted benzimidazole sulfoxide drug with a powerful inhibitory effect
of gastric acid secretion. PPIs are membrane permeable, acid-labile weak bases drug. To
prevent premature activation and degradation by gastric acid, PPIs are packed with
gelatin capsules, enteric-coated tablets, or coated granules. The recommendation is to take
PPIs approximately 30-60 minutes before meal to ensure the proton pumps are active
when PPIs reach the highest concentration in the blood. The first drug to be introduced
was omeprazole, today PPIs that also available on the market are pantoprazole,
lansoprazole, rabeprazole, and esomeprazole. All PPIs are administered orally but for
omeprazole, lansoprazole, pantoprazole, and esomeprazole are also available in
intravenous formulation which are more suitable for hospitalized patients.2,4
The half-life of single dose PPI is only 1-2 hours although the time to maximum
plasma concentration (tmax) is ranged from 1 to 5 hours depending on the drug
formulation and the food effect. All PPIs are predominantly metabolized in the liver by
cytochrome P450 (CYP) enzymes especially CYP2C19 and CYP3A4. However,
CYP2C19 and CYP3A4 have genetic polymorphisms properties in each individual
including homozygous extensive metabolizer (homoEM), heterozygous extensive
metabolizer (heteroEM), and poor metabolizer (PM). Individual with PM metabolize the
drug in slower rate with the area under the curve (AUC) of 3-10 times higher than
homoEM, whereas heteroEM only had 2-3 times higher.4
The increased gastric pH and longer duration of higher gastric pH are directly
correlated with higher healing rates and improved symptoms of acid-related diseases and
eradication of H. pylori. It is important to maintain gastric pH >3 for duodenal ulcer, and
pH >4 for GERD and eradication of H. pylori. PPIs have consistently shown longer
duration to maintaingastric pH >4 for between 15 and 21 hours as compared to 8 hours
for histamine type 2 receptor antagonist (H2RA).3 Among all PPIs, rabeprazole 20 mg
showed significantly longer pH holding time on the first day of dosing, followed by
lansoprazole 30 mg, pantoprazole 40 mg, omeprazole 20 mg and omeprazole multiple
unit pellet system (MUPS) 20 mg.The effectiveness of PPIs in treating gastric acid-
19
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
related diseases is also contributable to the rapid onset of action. Study reported that
lansoprazole inhibited gastric H+/K+-ATPase faster than other PPIs with onset of action of
1.0 hour.5
Drug-drug interaction
The long-term use of PPI and concomitant use with other drugs may cause drug-
drug interaction. PPIs is suggested to interact with other medicine by making plasma
concentration of other drugs much higher, increasing side effects, decreasing therapeutic
effects, and altering their metabolisms and elimination.4The mechanism of drug-drug
interaction of PPIs are alteration of other drug absorption due to the increased gastric
pH,alteration of the hepatic metabolism of other drugs, and impairment of renal
elimination.1,2
One example of drug that interact with PPI is clopidogrel because both drugs are
metabolized by the same enzyme (CYP2C19). The antiplatelet effects of clopidogrel may
be attenuated when given concomitantly with PPIs due to the inhibition of the CYP2C19
by PPIs. The reduction of antiplatelet effects of clopidogrel leads to higher level of
platelet reactivity, thus increasing the risk of adverse clinical outcomes. Omeprazole and
esomeprazole are metabolized almost entirely by CYP2C19, thus have the greatest
interaction with clopidogrel. Lansoprazole, pantoprazole, and rabeprazole have less
affinity to CYP2C19 and interaction seems to be less significant with these agents.6,7The
American Heart Association (AHA), American College of Cardiology (ACC), and
American College of Gastroenterology (ACG) recommended that concomitant use with
clopidogrel and PPIs can be given only for patients who are at high-risk for GI bleeding
such as history of prior GI bleeding, H. pylori infection, elderly, and those who are
treated with anticoagulants, corticosteroids, or NSAIDs.8
Clinical uses of PPIs
The use of PPI has been proven to be beneficial for various acid related diseases.
PPI consistently shows rapid healing and symptom resolution of gastroduodenal ulcers,
esophagitis (GERD), nonerosive reflux disease (NERD), functional dyspepsia, and other
acid related diseases compared to H2RA. The summary of clinical uses of PPIs approved
by the US Food and Drug Administration (FDA) are listed below.
20
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Table 1 Indication for PPI approved by FDA3
Clinical trials have reported that PPI has superior healing rates for PUD than
H2RA. The long-term PPI therapy should be considered in patients with persistent
symptoms, when H2RAs have proven ineffective, NSAIDs associated ulcers, H. pylori
negative ulcers, or when ulcer-related complication such as perforation and fibrosis
occurs.3 Other condition that might require long-term use of PPI according to the
recommendation of AGA/ACG include: 9
- Maintenance of symptoms control in GERD
- Maintenance of healing of erosive esophagitis
- Barrett’s esophagus (unrelated to GERD symptoms or reflux esophagitis)
- NSAID users at increased risk
- Antiplatelet agent users with increased risk
- Pathological hypersecretory condition (e.g. Zollinger-Ellison syndrome)
also plays an important part in the management of peptic ulcer related GI bleeding. High
dose intravenous bolus of PPI (80 mg)followed by continuous infusion (8mg/hr) until
endoscopy procedure is conducted was associated with lower number of patients with
high-risk endoscopic stigmata of hemorrhage (active bleeding, visible vessel, or adherent
clot), reduced re-bleeding, and the need for surgery.The inclusion of PPI along with
antibiotics to eradicate H. pylori are shown to be effective. The benefit is accounted to the
increased bioavailability of acid-labile antibiotics and perhaps the direct inhibition of H.
pylori growth. 3
Adverse Effects of PPI
Although PPIs are considered safe, adverse effect may arise from long-term use of
high-dose PPIs. The US FDA release warning for interstitial nephritis and vitamin B12
deficiency in long-term (more than 3 years) use of daily PPI. Long-term use of PPI is
thought to affect the absorption of magnesium and calcium. Clinicians should be aware of
the risk of hypomagnesemia especially in patients who take PPI along with digoxin and
21
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
diuretics. Calcium deficiency which leads to possible risk for hip, wrist, and spine
fractures should also be cautioned when giving high dose (more than once daily) or more
than 1 year of PPI therapy even though it remains controversial. Another adverse effect of
PPIs that remains unclear is the incidence of enteric infection including small intestinal
bacterial overgrowth, Salmonella, Campylobacter jejuni, and Clostridium difficile
infection.3,10
Future PPI
The short half-life and preprandial dosing of PPI are significant problems. Among
patients taking PPIs twice daily, almost 40% of them still experience nocturnal symptoms
due to nocturnal acid breakthrough (NAB).Furthermore, half of patients have poor
compliance of PPI. Several efforts have been made to overcome these problems.
Lansoprazole fast disintegrating tablets (LFDT) is a new and more convenient formula of
lansoprazole which can be taken with or without water. When LFDT is placed on the
tongue and sucked gently, it disintegrates rapidly in the mouth, releasing the enteric-
coated microgranules which then swallowed with the patient’s saliva without water. The
LFDT has the same pharmacological properties as regular lansoprazole and has
comparable efficacy and safety as well. The indication and dosage for LFDT are also the
same to lansoprazole capsule. LFDT may be suitable for patients with dysphagia
associated with GERD, odynophagia, stricture, elderly, and those who are travelling to
improve compliance.11,12
A novel imidazopyridine PPI, tenatoprazole, has been developed with greater
inhibitory effect on H+/K+ ATPase than benzimidazole PPI. Tenatoprazole has longer
half-life of 8 hours after a single dose and 14 hours after multiple doses. The increased
half-life is parallel to the increased AUC by more than 20-fold, thus greater duration of
effect. This drug is still under development and until recently clinical trials on
tenatoprazole are still unavailable. 3
Vonoprazan fumarate, a potassium-competitive acid blocker (P-CAB) is a new
drug that competitively blocks the potassium-binding site of H+/K+ATPase. Vonoprazan
has several advantages over conventional PPIs including fasteronset of action, stronger
and longer duration of acid suppression. The maximum plasma concentration (Cmax) of
vonoprazan is 2 hours but the half-life is 7 hours as compared to 1-2 hours for
conventional PPIs. As vonoprazan does not require acid-catalyzed activation, the acid
suppression action of this drug does not depend on meal. The pH >4 holding time in the
night wasachieved up to 75% with 20 mg single dose, 90% with 40 mg single dose, and
100% with 20 mg twice daily. This drug has been on the market in Japan and Korea since
2015 and now the drug has beenapprovedby Badan Pengawas Obat dan Makanan(BPOM)
to be marketed in Indonesia. It will enhanced the modality in the management of acid
related disease13
Conclusion
PPI has been the major breakthrough in the management of various acid related
diseases for more than 25 years. The broad clinical indication, efficacy, safety and
availability make PPIsto become the most prescribed drug among gastroenterologists.
Efforts to improve their pharmacologic limitations are being explored including alteration
22
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
of drug formulation and development of new class of PPI. Vonoprazan is the latest
modality in acid suppression which has more advantage compared to conventional PPIs in
the management of acid related disease.
Reference
1. Wedemeyer RS, Blume H. Pharmacokinetic drug interaction profiles of proton pump
inhibitors: an update. Drug Saf 2014;37:201-11.
2. Ogawa R, Echizen H. drug-drug interaction profiles of proton pump inhibitors. Clin
Pharmacokinet 2010;49(8):509-33.
3. Strand D, Kim D, Peura D. 25 years of proton pump inhibitors: A comprehensive review.
Gut and Liver. 2017;11(1):27-37.
4. Shin JM, Kim N. Pharmacokinetics and pharmacodynamics of proton pump inhibitor. J
Neurogastroenterol Motil 2013;19(1):25-5.
5. Robinson M. Review article: the pharmacodynamics and pharmacokinetics of proton
pump inhibitors – overview and clinical implications. Aliment Pharmacol Ther
2004;20(6):1-10.
6. Serbin MA, Guzauskas GF, et al. Clopidogrel-proton pump inhibitor drug-drug
interaction and risk of adverse clinical outcomes among PCI-treated ACS patients: a
meta-analysis. J Manag Care Spe Pharm 2016;22(8):939-47.
7. Bundhun PK, Teeluck AR, et al. Is the concomitant use of clopidogrel and proton pump
inhibitors still associated with increased adverse cardiovascular outcomes following
coronary angioplasty?: a systematic review and meta-analysis of recently published
studies (2012-2016). BMC Cardiovascular Disorders 2017;17:3.
8. Bouziana SD, Tziomalos K. Clinical relevance of clopidogrel-proton pump inhibitors
interaction. World J Gastrointest Pharmacol Ther 2015;6(2):17-21.
9. Savarino V, Dulbecco P, De Bortoli N, et al. The appropriate use of proton pump
inhibitors (PPIs): Need for reappraisal. Eur J Intern Med. 2017;37:19-24
10. Yadlapati R, Kahrilas PJ. When is proton pump inhibitor use appropriate? BMC Med.
2017;15:1-4.
11. Baldi F, Malfertheiner P. Lansoprazole fast disintegrating tablet: A new formulation for
an established proton pump inhibitor. Dig. 2003;67:1-5.
12. Marquez-Contreras E, Gil V, Lopez J, et al. Pharmacological compliance and
acceptability of lansoprazole orally disintegrating tablets in primary care. Curr Med Res
Opin. 2008;24:569-576.
13. Sugano K. Vonoprazan fumarate, a novel potassium- competitive acid blocker, in the
management of gastroesophageal reflux disease: safety and clinical evidence to date. Ther
Adv Gastroenterol. 2018;11: 1–14
23
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
THE ROLE OF GUT LIVER AXIS IN NON ALCOHOLIC
FATTY LIVER DISEASES
Irsan Hasan, Steven Zulkifly
Divisi Hepatobilier, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah
Sakit Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia.
Pendahuluan
Di negara Barat, perlemakan hati non alkoholik (PHNA) merupakan kasus yang
cukup sering ditemukan dengan prevalensi sekitar 17-45% pada populasi dewasa.1 Pada
tahun 2016, prevalensi global PHNA diprediksi akan mencapai 25,4%, dengan prevalensi
tertinggi ditemukan di daerah Timur Tengah (31,79%) dan Amerika Serikat (30,45%),
sedangkan prevalensi terendah ditemukan di Benua Afrika (13,48%).2 Studi mengenai
prevalensi dan insidensi PHNA di Indonesia sangat terbatas. Pada penelitian yang
dilakukan di Poliklinik Endokrin Metabolik RS Cipto Mangunkusumo (RSCM),
ditemukan sekitar 45,2% pasien DM tipe 2 mengalami PHNA.3
Mekanisme Disbiosis pada PHNA
Hipotesis serangan kedua (2nd hypothesis) telah lama dikenal sebagai mekanisme
patogenesis PHNA, dimana akumulasi trigliserida di dalam hati yang menyebabkan
steatosis sebagai serangan pertama. Kondisi ini membuat sel hati menjadi lebih rentan
untuk mengalami serangan kedua oleh sitokin-sitokin inflamasi, disfungsi mitokondria
dan stress oksidatif. Proses ini yang kemudian akan berlanjut menyebabkan
steatohepatitis dan/atau fibrosis.4
Hipotesis serangan ketiga (3rd hypothesis) didasari oleh proliferasi hepatosit yang
tidak adekuat, dimana kematian sel merangsang replikasi hepatosit matur untuk
menggantikan sel-sel hati yang mati. Stress oksidatif memegang peranan penting dalam
menghambat proses replikasi, sehingga terjadi akumulasi sel progenitor hati. Sel
progenitor dan intermediate hepatocyte-like cell berkaitan dengan terjadinya fibrosis.4
Mikrobiota usus merupakan kompleks mikroorganisme yang terdapat dalam usus
tiap individu dan ditandai dengan sekumpulan gen dalam jumlah besar yang disebut
mikrobiom. Kolonisasi dalam jumlah besar di usus manusia normal bertujuan untuk
menjaga hubungan sinbiotik dengan host. Peran mikrobiota ini sangat luas, dimulai dari
proses pencernaan, sintesis vitamin dan pencegahan kolonisasi oleh mikroorganisme
patogen. Komposisi mikrobiota sangat bersifat dinamis dan bergantung pada faktor
lingkungan.5
Disbiosis didefinisikan sebagai ketidakseimbangan mikrobiota usus baik dari segi
kuantitatif maupun kualitatif dalam perkembangan sistem imun, proteksi patogen,
regulasi homeostasis intestinal dan fungsi metabolisme. Pada beberapa studi, disbiosis
dihubungkan sebagai faktor predispsosisi perkembangan dari beberapa penyakit kronik
terutama yang berhubungan dengan gangguan metabolik, termasuk PHNA.5
24
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Gambar 1. Mekanisme disbiosis dalam terjadinya steatosis.5
Akumulasi lipid diperantarai oleh produk akhir metabolisme bakteri di usus besar.
Pada umumnya, manusia memiliki kekurangan enzim yang dapat mencerna serat seperti
selulosa, xylan, starch atau inulin. Oleh karena itu, mikroba usus melakukan fermentasi
karbohidrat tersebut menjadi asam lemak rantai pendek/short chain fatty acids (SCFAs).
Asam lemak rantai pendek dapat secara langsung menjadi prekursor lipid di hati.5
SCFAs memiliki efek lainnya melalui interaksi ligand dengan reseptor protein G,
seperti GRP3 dan GRP4. Aktivasi kedua reseptor ini akan menginduksi sekresi peptida
YY dan akan menurunkan motilitas usus. Selain itu, produk bakteri lainnya secara tidak
langsung mempengaruhi metabolisme glukosa melalui regulasi pelepasan inkretin seperti
glucagon-like-peptide-1 (GLP-1). Secara umum, peningkatan kadar SCFAs memiliki
keuntungan dalam mencegah obesitas dikarenakan efek penurunan motilitas usus,
penurunan asupan makanan peningkatan termogenesis, peningkatan energy expenditure,
inhibisi lipogenesis dan inhibisi sintesis kolesterol.6 Selain itu, SCFA berperan sebagai
fungsi pertahanan berpindahnya toksin bakteri ke dalam sirkulasi, penurunan
endotoksemia metabolik, obesitas dan resistensi insulin.5
Terganggunya keseimbangan mikrobiota (disbiosis) menghambat sintesis FIAF
(fasting induced adipocyte factor) atau disebut juga sebagai ANGPTL4 (angiotension-
related protein 4), yang berperan sebagai inhibitor spesifik lipoprotein lipase (LPL). LPL
berperan dalam proses hidrolisis trigliserida dan pelepasan asam lemak bebas dari VLDL.
Oleh karena itu, disbiosis dapat menyebabkan akumulasi trigliserida di hati yang berujung
pada steatosis, melalui penekanan sintesis ANGPTL4.7
Translokasi bakteri atau produk bakteri ke dalam sirkulasi porta merupakan
mekanisme utama disbiosis terhadap terjadinya progresifitas penyakit hati kronik. Toll
like receptors (TLRs) adalah kompleks multiprotein yang mengenali pathogen associated
molecular patterns (PAMPs). Masing-masing TLRs memiliki afinitas yang berbeda
terhadap patogen yang spesifik, seperti contoh TLR4 secara spesifik mengenali LPS
(komponen dinding bakteri gram negatif), TLR5 berikatan dengan flagel bakteri dan
TLR9 secara khusus mengenali bakteri DNA. Setelah aktivasi TLRs spesifik, akan terjadi
aktivasi inflammasome dan kaskade intraselular terjadi disusul dengan pelepasan sitokin
IL-1β dan IL-18 yang berperan dalam inflamasi dan kematian sel.5
25
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Gambar 2. Mekanisme disbiosis pada PHNA melalui peningkatan kadar SCFAs dan PAMPs serta
penurunan ANGPTL4.5
Karakteristik susunan mikrobiota pada pasien PHNA adalah proporsi
Bacteroidetes yang rendah dan proporsi Prevotella dan Porphyromonas yang tinggi bila
dibandingkan dengan individu normal. Peningkatan jumlah bakteri yang memproduksi
etanol di dalam mikrobiota ditemukan pada pasien dengan steatohepatitis non alkoholik
(SHNA). Selain itu, peningkatan kadar etanol dalam darah juga ditemukan pada pasien
SHNA bila dibandingkan dengan individu sehat dan pasien PHNA.5,8
Peran Probiotik Pada Tata Laksana PHNA
Studi mengenai probiotik sebagai salah satu metode terapi PHNA telah banyak
dilakukan, namun memberikan hasil yang bervariasi. Sebuah studi meta-analisis yang
terdiri atas 4 studi uji klinis terandomisasi pada tahun 2013 dilakukan untuk mengevaluasi
efek probiotik pada pasien PHNA. Studi ini menunjukkan adanya perbedaan bermakna
terhadap penurunan kadar SGPT, SGOT, kolesterol total, kadar HDL, TNF-α dan
homeostasis model assessment of insulin resistance (HOMA-IR). Namun, tidak
ditemukan adanya perbaikan pada nilai indeks massa tubuh (IMT), kadar glukosa dan
LDL.9
Meta-analisis terbaru pada tahun 2015 yag terdiri atas 9 uji klinis terandomisasi
dengan jumlah 535 kasus PHNA pada pasien dewasa maupun anak. Studi ini
menunjukkan probiotik dapat memperbaiki kadar kolesterol total, HDL, HOMA dan
TNF-α pada seluruh pasien PHNA. Perbaikan kadar trigliserida hanya ditemukan pada
pasien Italia dan Spanyol. Akan tetapi, tidak ditemukan adanya perbaikan nilai IMT dan
kadar glukosa serta insulin.10
Penelitian terbaru pada tahun 2017 mengevaluasi pemberian kapsul probiotik
selama 12 minggu pada 64 anak obesitas yang terdiagnosis PHNA melalui pemeriksaan
USG. Setelah intervensi selama 12 minggu, terdapat penurunan kadar rerata pada nilai
SGOT, SGPT dan kolesterol, LDL dan trigliserida, serta lingkar pinggang. Namun, pada
26
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
penelitian ini tidak ditemukan adanya perubahan signifikan pada berat badan dan IMT.
Perubahan gambaran USG menjadi normal ditemukan pada 17 pasien (53,1%) di
kelompok intervensi dan 5 pasien (16,5%) di kelompok kontrol.11
Referensi :
1. Vernon G, Baranova A, Younossi ZM. Systematic review : the epidemiology and natural
history of non-alcoholic fatty liver disease and non-alcoholic steatohepatitis in adults.
Aliment Pharmacol Ther. 2011; 34:274-85.
2. Younossi ZM, Koenig AB, Abdelatif D, Fazel Y, Henry L, Wymer M. Global epidemiology
of nonalcoholic fatty liver disease-meta-analytic assessment of prevalence, incidence, and
outcomes. Hepatology. 2016;64(1):73-84.
3. Prasetya IB, Hasan I, Wisnu W, Rumende CM. Prevalence and profile of fibrosis in diabetic
patients with non-alcoholic fatty liver disease and the associated factors. Acta Med Indones.
2017;49(2):91-98.
4. Dowman JK, Tomlinson JW, Newsome PN. Pathogenesis of non-alcoholic fatty liver
disease. Q J Med. 2010;103:71-83.
5. Marra F, Svegliati-Baroni G. Lipotoxicity and the gut-liver axis in NASH pathogenesis. J
Hepatol. 2018.
6. Machado MV, Cortez-Pinto H. Diet, microbiota, obesity and NAFLD: a dangerous quartet.
Int J Mol Sci. 2016;17:481
7. Leung C, Rivera L, Furness JB, Angus PW. The role of the gut microbiota in NAFLD. Nat
Rev Gastroenterol Hepatol. 2016;13:412-25.
8. Zhu L, Baker SS, Gill C, Liu W, Akhouri R, Baker RD, et al. Characterization of gut
microbiomes in nonalcoholic steatohepatitis (NASH) patients: a connection between
endogenous alcohol and NASH. Hepatology. 2013;57:601-09.
9. Ma YY, Li L, Yu CH, Shen Z, Chen LH, Li YM. Effects of probiotic on nonalcoholic fatty
liver disease: a meta-analysis. World J Gastroenterol. 2013;19(40):6911-18.
10. Gao X, Zhu Y, Wen Y, Liu G, Wan C. Efficacy of probiotics in non-alcoholic fatty liver
disease in adult and children: a meta-analysis of randomized controlled trials. Hepatology
Research. 2016.
11. Famouri F, Shariat Z, Hashemipour M, Keikha M, Kelishadi R. Effects of probiotics on
nonalcoholic fatty liver disease in obese children and adolescents. JPGN. 2017;64:413-17.
27
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
THE ROLE OF NUTRITION IN CHRONIC LIVER DISEASE
Putut Bayupurnama
Divisi Gastroenterologi dan Hepatologi, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam RSUP
Dr Sardjito/FKKMK-UGM, Yogyakarta
Malnutrisi merupakan hal yang sering terjadi pada pasien dengan penyakit hati
khronik dan terutama pada kasus sirrhosis hati mencapai 75% pasien dan 21% pasien
sirrhosis hati Child A sudah menunjukkan malnutrisi sedang sampai berat. Kurangnya
intake makanan per oral , sintesis protein oleh liver yang tidak adekwat dan keadaan liver
yang hipermetabolik berperan terhadap keadaan malnutrisi tersebut. Rata- rata intake
harian kalorinya < 50% dari yang dianjurkan. Sehingga ketika dibawa ke rumah sakit
banyak mempunyai status nutrisi yang buruk yang meningkatkan risiko asites,
ensefalopati, sindrom hepatorenal dan mortalitas. Faktor-faktor yang berperan terjadinya
malnutrisi pada penyakit hati khronik adalah: ketidakcukupan nutrisi karena makan
sedikit sudah terasa penuh (early satiety) akibat asites, anoreksia (mual,muntah,distensi
abdomen), dysgeusia (defisiensi zinc), ensefalopati hepatikum, diet yang dibatasi (rendah
protein , rendah natrium, pembatasan cairan), peminum alkohol, hambatan
sosioekonomik; perubahan-perubahan metabolik yaitu kondisi hipermetabolik,
glukoneogenesis yang meningkat, resistensi insulin; malabsorpsi karena portosystemic
shunting (edema dinding usus, stasis vena porta), defisiensi asam empedu, small bowel
bacterial overgrowth.
Asesmen Nutrisi
Asesmen nutrisi pada pasien dengan penyakit hati khronik, khususnya sirrrhosis
hati, tidak bisa hanya mengandalkan data obyektif tetapi juga data subyektif, mengingat
kondisi fisik yang mungkin hipervolumia,seperti adanya edema/asites, terkait berat badan
ideal, dan kimiawi pasien seperti adanya hipoalbuminemia dan lain-lain. Asesmen
obyektif yang dipilih pada
Tabel 1. Subjective Global Assessment
Riwayat
Perubahan berat badan:
a. Dalam 6 bulan terakhir
b. Dalam 2 minggu terakhir
Perubahan terkait makanan:
c. Jika berubah, lama perubahan diet nya
d. Jika masukan berkurang, catat karakter diet: solid suboptimal, cair, hipokalorik,
kondisi kelaparan
Simtom berlangsung > 2 minggu:
e. Asimtomatik, mual,muntah,diare,anoreksia
f. Status fungsional
g. Tanpa disfungsi
h. Jika ada disfungsi, catat lamanya (minggu) dan derajatnya (bekerja suboptimal,
dapat berjalan, hanya terbaring di tempat tidur, cacat spesifik)
i. Diagnosis primer dan adanya stres metabolik
j. Tanpa stress, derajat rendah, moderat, tinggi
Pemeriksaan Fisik:
J. Tentukan, sebagai: normal(0), ringan (1+), moderat(2+), berat (3+)
a. Hilangnya lemak trisep dan sub kutan dada
28
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
b. Berkurangnya massa otot (muscle wasting) quadricep dan deltoid
c. Asites
d. Ankle edema
e. Sacral edema
Subjective Global Assessment Rating:
K. A= tercukupi nutrisinya dengan baik
L. B= malnutrisi sedang
M. C=malnutrisi berat
umumnya adalah ukuran antrophometrik ,seperti triceps skin-fold thickness, midarm
circumference. Handgrip strength test, mungkin menjadi prediktor komplikasi pada
pasien sirrhosis dengan malnutrisi. Untuk asesmen subyektif umumnya menggunakan
Subjective Global Assessment (SGA) yang mendasarkan pada gejala-gejala fisik
malnutrisi dan suatu pengetahuan tentang riwayat nutrisi(Tabel 1).
Rekomendasi Nutrisi
Fokus rekomendasi nutrisi untuk pasien sirrhosis hati secara umum adalah
menekan zat-zat hepatotoksik dan memenuhi mikronutrien secara optimal dalam hal
energi, protein, karbohidrat, dan lipid, bersamaan dengan mikronutrien lain seperti
vitamin dan mineral. Pada pasien dengan penyakit hati khronik, maka pada mereka yang
diketahui mengalami malnutrisi maka diupayakan dulu pemberian nutrisi secara oral dan
enteral. Apabila kebutuhan nutrisi tak dapat tercapai secara oral, maka dianjurkan
pemberian melalui nasogastric tube. Nuitrisi parenteral hanya diberikan apabila
kebutuhan nutrisi tak tercapai melalui per oral maupun nasogastrc tube.
Kebutuhan kalori penderita penyakit hati khronik khususnya sirrhosis antara 25-
40 kcal/kg/hari (menurut ESPEN). Pembatasan protein untuk mengurangi risiko
ensefalopati hepatikum tidak didukung penelitian dan mungkin justru memperburuk
kondisi malnutrisi pasien. Rekomendasi saat ini untuk kebutuhan protein pasien sirrhosis
hati 1,2-1,5 g/kg/hari.Pasien yang tidak bisa mencapai target proteinnya dari makanan
berprotein sehari-hari dapat menambahkan suplemen branched-chain amino acid
(BCAA). Masukan BCAA juga bermanfaat pada pasien-pasien dengan ensefalopati
hepatikum.
Manajemen cairan dan elektrolit pada penyakit hati khronik meliputi pembatasan
masukan natrium dan cairan. Pada sebagian besar pasien dengan asites karena sirrhosis
hati terjadi gangguan penanganan ginjal terhadap air yang menghasilkan hiponatremia
dilusi, yang tingkat beratnya berhubungan langsung dengan beratnya penyakit hati
nya.Vasodilatasi sistemik merupakan faktor utama penyebab hiponatremia yang memicu
aktivasi yang tidak tepat antidiuretic hormon (ADH) yang mendorong terjadinya retensi
cairan. Pembatasan masukan natrium pada sirrhosis hati dengan asites adalah 4,6-6,9
gram garam/hari. Tidak dianjurkan
Tabel 2. Ringkasan rekomendasi nutrisi,cairan,dan natrium untuk pasien-pasien dengan
penyakit hati khronik
1. Semua pasien dengan pasien penyakit hati khronik harus menjalani asesmen nutrisi
awal, diulang pada interval waktu yang rutin atau saa terjadi perubahan kondisi klinik
2. Pemberian makanan secara enteral melalui nasoenteral tube diindikasikan pada pasien
yang tidak mencapai target masukan kalori dengan suplemen oral; pemberian makan
secara parenteral hanya diberikan pada pasien-pasien yang tidak dapat mencapai target
masukan kalori dengan cara oral atau enteral.
29
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
3. Masukan energi optimal : 25-40 kcal/kg/hari
4. Masukan protein:
Masukan protein harian :1,2-1,5 g/kgBB; 0,6-0,8 g/kg bila ada ensefalopati akut
Makanan-makanan terbagi berporsi kecil sepanjang hari dan snack karbohidrat
kompleks sebelum tidur meminimalkan risiko berkurangnya massa otot
Suplemen branched-chain amino acid (BCAA) mungkin dapat membantu mencapai
target protein harian pada pasien-pasien dengan karakter intoleran terhadap protein
Pembatasan masukan natrium moderat (4,6-6,9 g garam/hari) merupakan terapi utama
pada asites
Pembatasan cairan tidak dianjurkan sampai natrium serum turun hingga <120-125
mmol/L
Pembatasan natrium yang lebih ketat lagi karena mungkin akan berakibat masukan nutrisi
menjadi kurang karena rasa makanan yang tidak membangkitkan rasa ingin makan. Pembatasan
cairan pada asites dengan hiponatremia hipervolumik tidak diperlukan sampai hiponatremia
menjadi berat. Pembatasan cairan mulai dipertimbangkan bila kadar natrium serum < 130mEq/L
dan pembatasan cairan 1-1,5 L cairan /hari diberlakukan bila kadar natrium kurang dari 120-125
mEq/L (Tabel 2).
Ringkasan Pasien penyakit hati khronik pada umumnya mengalami kondisi malnutrisi karena
turunnya masukan makanan, perubahan metabolik dan gangguan malabsorpsi yang terjadi.
Kondisi malnutrisi merupakan penanda prognosis yang buruk, sehingga pengelolaan nutrisi yang
adekwat merupakan hal penting yang harus dilakukan pada pasien penyakit hati khronik.
Daftar Pustaka 1. Lalama MA and Saloum Y. Nutrition,fluid, and electrolytes in chronic liver disease. Clin Liv
Dis 2016;7:18-20.
2. Berneur C and Butterworth R. Nutrition in the management of cirrhosis and its neurological
complications. J Clin Exp Hep. 2014;4:141-150
3. Henkel AS and Buchman AL. Nutritional support in patients with chronic liver disease.
Nature Clin Pract Gastroenterol Hepatol 2006;3:202-209
4. Plauth M, Cabre E, Riggio O et al. ESPEN Guidelines on Enteral Nutrition:Liver disease.
Clin Nutr 2006;25:285-294.
30
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
HOW TO TREAT UPPER GI BLEEDING WITH ENDOSCOPIC
PROCEDURE
Dolvy Girawan
Introduction
Acute upper gastrointestinal bleed (AUGIB) is one of the most common medical
emergencies. Despite advances in therapeutics and endoscopy provision, mortality
following AUGIB over the last two decades has remained high. Defined anatomically as
bleeding in the upper gastrointestinal tract proximal to the ligament of Treitz, AUGIB
should be suspected in patients with haematemesis, coffee-ground vomiting, melaena or
unexplained fall in haemoglobin. In up to 20% of cases, AUGIB may mimic lower
gastrointestinal bleeding. Features that predict AUGIB in cases of haematochezia include
haemodynamic instability, increased serum urea:creatinine ratio, and reduced
haematocrit. The diagnosis is confirmed with endoscopy, which also serves to provide a
therapeutic intervention. Pragmatically, AUGIB can be divided into variceal and
nonvariceal UGIB (NVUGIB) causes, as there are important differences in management
strategies. Peptic ulcer disease (PUD) remains the most common cause of AUGIB,
despite reductions in PUD incidence and mortality over the last three decades. These
reductions are largely attributable to developments in proton pump inhibitors (PPI),
endotherapy, Helicobacter pylori eradication, and reductions in use of non-steroidal anti-
infl ammatory drugs (NSAIDs).
1. Nonvariceal upper gastrointestinal bleeding (NVUGIB)
Endoscopic hemostatic devices
Mechanical devices
The hemoclip system is among the most popular endoscopic mechanical
modalities for achieving hemostasis. Clips have also been applied to the closure of
mucosal defects, fistulas, and perforation holes. Endoscopic clips are deployed over a
bleeding site including visible vessels and commonly fall off within days to weeks. If the
bleeding site is located in the gastric fundus or the posterior wall of the duodenal bulb,
effective hemoclipping is relatively difficult. The deployment of hemoclips on a hard or
fibrotic ulcer base is often challenging. Currently, hemoclip devices are rotatable and can
be adjusted in the optimal direction by endoscopists. Hemoclips also come in various
lengths, and shorter clips appear more effective on hard or fibrotic areas because they
attach to these lesions more firmly than longer clips. Endoscopic band ligation devices,
which have been used commonly for variceal bleeding, are also useful for treating
NVUGIB by producing mechanical compression. The hood-like device of the ligation kit,
which applies suction to varices, is useful for clearly visualizing the bleeding point.
However, the effectiveness of this device depends on whether sufficient suction can be
applied to a given lesion.
Cautery devices Argon plasma coagulation (APC) is a noncontact thermal method whereby ionized
argon gas delivers a monopolar electrical current that effectively coagulates tissues. The
most advantageous aspect of APC is its familiarity to the endoscopy unit in that
endoscopists and nurses are able to employ this equipment in most situations, especially
vascular ectasia and of such scoring systems is to determine whether the patient requires.
31
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
In APC, a flexible catheter passed through the working channel of the scope is placed
against the target area, ideally in a vertical position. The pressing of a foot pedal then
triggers a synchronized flow of argon gas and electrical current from the generator,
producing tissue coagulation.
Injection devices
Epinephrine injection is a common and effective method of achieving endoscopic
hemostasis owing to its low risk, low cost, and simplicity. Epinephrine injection alone is
superior to medical management alone, but is inferior to all other methods and should no
longer be employed as a sole endoscopic treatment when other options are available.
Other injectable agents such as thrombin, fibrin, cyanoacrylate glues, polidocanol, and
ethanolamine are not commonly used in the treatment of NVUGIB.
Haemostatic agents
Recently, topical haemostatic agents such as Hemospray (Cook Medical) have
been released. These agents achieve haemostasis by mechanically adhering to a bleeding
site, resulting in mechanical tamponade, and by activating coagulation factors to promote
thrombus formation. Hemospray is safe, as the powder is not absorbed systemically.
Hemospray is sprayed via an endoscopically directed catheter, and has the ability to cover
large areas with multiple bleeding points, without the need for precise lesion targeting. It
is a suitable choice for bleeding lesions such as haemorrhagic gastritis, portal
hypertensive gastropathy, gastric antral vascular ectasia, radiation-induced mucosal injury
and malignancy-related bleeding.
2. Variceal
Varices occur as a result of portal hypertension, which leads to increases in portal
pressure and development of portosystemic shunts. In the upper gastrointestinal tract,
these occur through the gastro-oesophageal veins, leading to varices in the distal
oesophagus and upper stomach. Endoscopic options for variceal bleeding include band
ligation, sclerotherapy and Sengstaken tube insertion. Management of gastric varices
depend on the anatomical subtype.
Variceal band ligation (VBL)
Although sclerotherapy had historically been the mainstay of treatment for
bleeding varices, this has been superseded by VBL for oesophageal varices. A meta-
analysis of seven randomised trials found VBL to be superior to sclerotherapy in reducing
rebleeding (OR 0.52, 95% CI 0.37–0.74) and mortality (OR 0.67, 95% CI 0.46–0.98).
Cyanoacrylate and thrombin
Cyanoacrylate, also known as ‘glue’, is a strong adhesive with multiple industrial
and domestic applications. For type 2 gastro-oesophageal varices (GOV-2) and isolated
gastric varices (IGV), cyanoacrylate has been shown to be superior to VBL in achieving
haemostasis and reducing rebleeding. Recently, thrombin injection has been accepted as
an alternative to cyanoacrylate for gastric varices, with haemostasis rates of 94% and
rebleeding rates of 18%.
32
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Balloon tamponade
Balloon tamponade is indicated in failure of haemostasis with bleeding
oesophageal varices and most types of gastric varices (GOV-1, GOV-2, and IGV-1). The
SengstakenBlakemore tube (SBT) is the most common device for balloon tamponade. It
achieves haemostasis in 91.5% of cases, with recurrence of bleeding in approximately
50% of cases after balloon defl ation. It is thus useful as a bridge to a more definitive
procedure. Complications of SBT occur in 15–20% of patients, and include pressure
necrosis, misplacement, aspiration pneumonia and oesophageal rupture.
Oesophageal stenting
Lately, there have been data supporting the role of selfexpanding metal stent
placement in cases of refractory bleeding oesophageal varices. Self-expanding metal
stents have been shown to be superior to SBT in this setting, with a recent RCT showing
improved treatment success, defined as survival at day 15 with control of bleeding and
without serious adverse events (66% vs 20%, p = 0.025).
References 1. K Siau, W Chapman, N Sharma, D Tripathi, T Iqbal, N Bhala. Clinical Management of acute
upper gastrointestinal bleeding: an update for the general physician. J R Coll Physicians
Edinb 2017; 47: 218–30
2. Naoki M, Shinji K, Tetsuo K, Hiroshi M, Tetsuji T. Endoscopic Management of Nonvariceal
Upper Gastrointestinal Bleeding: State of the Art. Clin Endosc 2015;48:96-101
3. Bardou M, Benhaberou-Brun D, Le Ray I, Barkun AN. Diagnosis and management of
nonvariceal upper gastrointestinal bleeding. Nat Rev Gastroenterol Hepatol 2012;9:97-104.
4. Barkun A, Bardou M, Marshall JK; Nonvariceal Upper GI Bleeding Consensus Conference
Group. Consensus recommendations for managing patients with nonvariceal upper
gastrointestinal bleeding. Ann Intern Med 2003;139:843-857.
5. Sung JJ, Chan FK, Chen M, et al. Asia-Pacific Working Group consensus on non-variceal
upper gastrointestinal bleeding. Gut 2011;60:11701177.
6. Al Dhahab H, Barkun A. The acute management of nonvariceal upper gastrointestinal
bleeding. Ulcers 2012;2012:1-8.
7. Hwang JH, Fisher DA, Ben-Menachem T, et al. The role of endoscopy in the management of
acute non-variceal upper GI bleeding. Gastrointest Endosc 2012;75:1132-1138.
8. Leung Ki EL, Lau JY. New endoscopic hemostasis methods. Clin Endosc 2012;45:224-229.
9. Hosoe N, Imaeda H, Kashiwagi K, et al. Clinical results of endoscopic hemostasis using a
short transparent hood and short hemoclips for non-variceal upper gastrointestinal bleeding.
Dig Endosc 2009;21:9396.
10. Zepeda-Gómez S, Marcon NE. Endoscopic band ligation for nonvariceal bleeding: a review.
Can J Gastroenterol 2008;22:748-752.
11. Watson JP, Bennett MK, Griffin SM, Matthewson K. The tissue effect of argon plasma
coagulation on esophageal and gastric mucosa. Gastrointest Endosc 2000;52:342-345.
12. Nagata S, Kimura S, Ogoshi H, Hidaka T. Endoscopic hemostasis of gastric ulcer bleeding by
hemostatic forceps coagulation. Dig Endosc 2010;22(Suppl 1):S22-S25.
13. Vergara M, Calvet X, Gisbert JP. Epinephrine injection versus epinephrine injection and a
second endoscopic method in high risk bleeding ulcers. Cochrane Database Syst Rev
2007;(2):CD005584.
14. Kim JI, Kim SS, Park S, et al. Endoscopic hemoclipping using a transparent cap in technically
difficult cases. Endoscopy 2003;35:659-662.
15. Sung J, Luo D, Wu J et al. Early clinical experience of the safety and effectiveness of
Hemospray in achieving hemostasis in patients with acute peptic ulcer bleeding. Endoscopy
2011; 43: 291–5.
33
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
16. Changela K, Papafragkakis H, Ofori E. Hemostatic powder spray: a new method for
managing gastrointestinal bleeding. Therap Adv Gastroenterol 2015; 8: 125–35.
17. Laine L, Cooke D. Endoscopic ligation compared with sclerotherapy for treatment of
esophageal variceal bleeding. Ann Intern Med 1995; 123: 280–7.
34
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
ROLE OF ERCP IN TREATING BENIGN AND MALIGNANT
HEPATOBILIARY SYSTEM
Muhammad Begawan Bestari
Division of Gastroenterohepatology Department of Internal Medicine Faculty of Medicine – University of
Padjadjaran Hasan Sadikin General Hospital [email protected]
Kelainan Saluran Biliaris Jinak
ERCP sangat berguna dalam penanganan pasien dengan obstruksi bilier karena
koledokholithiasis dan penyakit jinak lainnya dari saluran empedu seperti striktur bilier
dan kebocoran biliaris pasca operasi. Keberhasilan kolangiografi endoskopi dalam
mengatasi obstruksi bilier, secara teknis harus dapat dicapai pada lebih dari 90% pasien.
ERCP dengan stenting saluran empedu dan/atau sfingterotomi bilier adalah strategi terapi
yang terpilih untuk kebocoran empedu.
Kholedokholithiasis
Penyebab tersering dari obstruksi bilier adalah kholedokholithiasis. Pasien dapat
datang dengan kolik bilier, ikterus obstruktif, kolangitis, atau pankreatitis. Meskipun
sensitivitas dan spesifitas ERCP untuk mendeteksi batu saluran empedu secara umum
lebih dari 95%, namun batu-batu kecil mungkin terlewatkan. Studi kolangiografi saja
untuk mendeteksi batu telah melaporkan tingkat false negative sebesar 13%. Penyuntikan
kontras dan radiografi dini secara hati-hati dapat membantu mendeteksi batu dan
menghindari pengisian yang berlebihan dari saluran atau mendorong batu ke arah
proksimal ke dalam saluran intrahepatik. Penyuntikkan gelembung udara ke dalam sistem
duktus biliaris oleh kateter injeksi kontras dapat menyebabkan misdiagnosis batu.
Endoskopi sfingterotomi dan ekstraksi batu berhasil pada lebih dari 90% kasus,
dengan tingkat keseluruhan efek samping sekitar 5% dan tingkat kematian kurang dari
1% di tangan ahli. Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan kebanyakan seri bedah.
Dalam kasus gagal kanulasi bilier primer, precut (misalnya, needle knife) sfingterotomi
atau pendekatan perkutan / endoskopi gabungan mungkin diperlukan. Tingkat kejadian
buruk yang terkait dengan teknik ini lebih tinggi daripada teknik ekstraksi standar, yang
mencerminkan kesulitan teknik yang lebih besar. Namun, pelebaran endoskopik papilaris
besar (>12 mm) yang dikombinasikan dengan sfingterotomi dapat menghasilkan tingkat
keberhasilan yang tinggi untuk pembersihan kholedokholitiasis yang besar dan sulit
dengan tingkat pankreatitis pasca-ERCP yang rendah (2,3%).
Pengeluaran batu biasanya dilakukan dengan kateter extractor balon atau basket
extraction. Terkadang, batu besar atau batu impaksi mungkin sulit dikeluarkan.
Fragmentasi batu besar dan penanganan basket yang impaksi dengan batu terperangkap
dapat difasilitasi oleh kinerja lithotripsy mekanik atau cholangioscopy dengan
elektrohidrolik atau laser lithotripsy. Jika pengeluaran batu tidak berhasil, dekompresi
bilier harus dilakukan dengan pemasangan drain stent atau nasobiliary, jika
memungkinkan.
Sphincterotomy endoskopi dan ekstraksi batu tanpa diikuti kolesistektomi
mungkin tepat pada pasien tertentu dengan kondisi komorbid yang meningkatkan risiko
bedah mereka. Namun, gejala biliaris berulang dua kali lebih sering pada pasien yang
kandung empedunya tetap in situ dengan risiko 5 tahun efek samping bilier yang
signifikan yang mengarah ke kolesistektomi sebesar 15%.
35
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Penyakit jinak lainnya dari saluran empedu
ERCP diindikasikan untuk evaluasi dan pengobatan striktur bilier jinak, kelainan
saluran empedu bawaan, dan efek samping pasca operasi seperti striktur anastomotik dan
kebocoran bilier. Biopsi dan brushing dapat membantu menentukan etiologi striktur bilier
jinak dan hasil diagnostik dapat meningkat dengan biopsi yang diarahkan secara
kolangioskopi. Intraductal US dapat membantu membedakan striktur jinak dari striktur
ganas. Pencitraan dengan MRCP atau EUS sebelum ERCP dapat membantu
merencanakan dan mengarahkan intervensi endoskopi. Striktur bilier jinak dapat
didilatasi dengan balon hidrostatik. Stenosis empedu jinak yang baik untuk dilatasi
endoskopi termasuk yang sekunder untuk pankreatitis kronis, penyempitan dominan pada
sclerosing cholangitis, striktur pasca operasi, dan striktur yang disebabkan oleh penyakit
batu. Stent tunggal atau ganda dapat digunakan untuk mempertahankan patensi setelah
dilatasi awal. Pelebaran endoskopi serial dan penempatan stent kaliber maksimal dapat
digunakan untuk mencapai kepatenan duktal yang berkepanjangan pada sebagian besar
striktur postoperatif jinak.
Penyakit Saluran Biliaris Maligna
Pasien dengan neoplasia bilier dapat datang dengan pemeriksaan pencitraan
abnormal atau serum kimia atau dengan gejala seperti sakit kuning, sakit perut, anoreksia,
dan penurunan berat badan. Peningkatan bilirubin dan alkaline fosfatase menunjukkan
obstruksi bilier. Riwayat penyakit radang usus harus dicari dan pemeriksaan fisik lengkap
harus dilakukan. Setelah ada kecurigaan klinis neoplasia bilier, perlu penyelidikan lebih
lanjut dengan studi pencitraan abdomen. Foto rontgen dada atau CT scan mungkin juga
tepat untuk membantu diagnosis, penentuan stadium, dan perencanaan terapeutik.
Mendapatkan penanda serum, seperti CA 19-9 dan CEA (carcino embrionik antigen),
dapat dipertimbangkan, tetapi kegunaannya masih kontroversial.
Adenokarsinoma Ampulari
Adenokarsinoma ampulari biasanya dicurigai berdasarkan pada adanya ikterus
obstruktif, sering disertai pelebaran duktus pankreas dan bilier yang terlihat pada
pencitraan abdomen. Adenokarsinoma ampulari dapat disertai perdarahan dan jika
disertai dengan ikterik, feses berwarna pucat. Tidak seperti keganasan pankreas atau bilier
di mana infeksi jarang, kambuh kolangitis adalah presentasi untuk adenokarsinoma
ampulari. Pasien mungkin tidak mengalami ikterus dan tumor dapat didiagnosis secara
kebetulan pada saat EGD, namun sampel biopsi biasanya lebih mudah diperoleh dengan
menggunakan duodenoskopi.
Transabdominal US (TUS) dapat menunjukkan dilatasi duktus biliaris, tetapi tidak
sensitif untuk mendeteksi tumor ampula. Pencitraan abdomen cross-sectional, seperti CT,
magnetic resonance imaging (MRI), dan magnetic resonance cholangiography (MRC),
berguna untuk mengonfirmasi pelebaran saluran empedu dan/atau pankreas dan pemetaan
penyakit yang lebih lanjut, tetapi inferior terhadap endoskopi melihat sisi dan EUS untuk
mendeteksi lesi ampullary kecil. Duodenoskopi memungkinkan visualisasi langsung
ampula dan biopsy jaringan, dan EUS memungkinkan diagnosis serta menentukan
staging melalui jaringan sampel FNA.EUS dan intraductal US (IDUS) dapat menilai
kedalaman invasi dalam kaitannya dengan propria muskularis serta ekstensi intraduktal
dan keterlibatan nodular periampula, memfasilitasi pemilihan pasien yang dapat
menjalani pembedahan ampulektomi bukan pancreatikoduodenektomi. Meskipun tidak
didukung untuk penanganan klinis rutin, ampulektomi per endoskopik telah dijelaskan
untuk menghilangkan adenokarsinoma ampulari dini. Setelah lesi telah diidentifikasi dan
36
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
ditentukan staging, teknik untuk paliasi atau reseksi bedah untuk penyembuhan mirip
dengan pendekatan yang dijelaskan untuk adenokarsinoma dari kaput pankreas.
Kholangiokarsinoma
Tumor primer duktus biliaris harus dicurigai berdasarkan temuan klinis dan
pencitraan. USG, CT, atau MRC yang menunjukkan pelebaran bilier dengan atau tanpa
striktur atau massa. Diferensiasi tumor hilus versus nonhilar penting karena pendekatan
untuk reseksi bedah dan paliasi endoskopi berbeda bergantung kepada lokasi tumor.
Klasifikasi Bismuth kholangiokarsinoma berguna untuk menentukan reseksi bedah dan
jenis operasi. Meskipun TUS dan CT menunjukkan sugestif kholangiokarsinoma, MRC
lebih menawarkan kelebihan. MRC memiliki sensitivitas 77% hingga 86% dan
spesifisitas 63% hingga 98% untuk diagnosis obstruksi bilier maligna yang disebabkan
oleh kholangiokarsinoma.
ERCP penting dalam diagnosis dan manajemen kholangiokarsinoma karena
konfirmasi jaringan dapat dicapai dengan teknik ini. Penyuntikan untuk sitologi dan
sampel biopsi untuk histologi dapat mengonfirmasi diagnosis kholangiokarsinoma.
Namun, sensitivitas tes ini mengecewakan, berkisar antara 18% hingga 60%.
Jika tingkat obstruksi terletak di bawah tingkat bifurkasi (lesi tipe I Bismut),
reseksi bedah harus dipertimbangkan pada pasien yang stabil secara medis tanpa penyakit
metastasis. Jika pasien merupkan kandidat bedah yang buruk, paliasi dengan stent plastik
atau metal harus dipertimbangkan. Jika tingkat obstruksi pada atau di atas hilus, suntikan
kontras yang luas harus dihindari untuk meminimalkan risiko kolangitis pascabedah
karena seluruh saluran bilier tidak dapat mengalir secukupnya.
MRC dapat membantu dalam mendefinisikan anatomi duktus sebelum ERCP
untuk mengurangi risiko efek samping ini. Penempatan stent bilier endoskopi unilateral
yang diarahkan oleh pencitraan sebelumnya telah terbukti mencapai paliatif ikterus sama
dengan pemasangan stent bilateral, tetapi dengan risiko cholangitis yang lebih rendah dan
biaya yang lebih murah. Dalam 1 percobaan acak, kolangiografi udara ditemukan lebih
aman dan sama efektifnya dengan kolangiografi zat kontras pada penempatan stent
unilateral. Demikian pula, meta-analisis terbaru menunjukkan bahwa kanulasi dipandu
guide-wire sebelum kontras injeksi menghasilkan keberhasilan yang lebih besar dari
kanulasi empedu dan menurunkan risiko pankreatitis pasca-ERCP.
Stent bilier terbuat dari plastik atau logam. Stent plastik lebih murah, tetapi
mereka menyumbat dengan rata-rata 3 sampai 6 bulan karena pengendapan biofilm
bakteri. Stent logam tetap paten lebih lama dari stent plastik. Meskipun telah disarankan
bahwa penggunaan stent logam hanya untuk pasien yang diperkirakan kelangsungan
hidupnya lebih dari 3 sampai 6 bulan, ulasan Cochrane baru-baru ini menyimpulkan
bahwa pilihan jenis stent harus individual. Pada pasien yang gagal ERCP, teknik EUS
intervensional atau kolangiografi transhepatik perkutan dengan penempatan stent dapat
dipertimbangkan jika keahlian tersedia.
Daftar Pustaka
Adler DG, Baron TH, Davila RE, et al. ASGE guideline: the role of ERCP in diseases of the
biliary tract and the pancreas. Gastrointest Endosc 2005;62:1-8.
Anderson MA, Appalaneni V, Ben-Menachem T, et al. The role of endoscopy in the evaluation
and treatment of patients with biliary neoplasia. Gastrointest Endosc 2013;77:167-74.
Attila T, May GR, Kortan P. Nonsurgical management of an impacted mechanical lithotriptor
with fractured traction wires: endoscopic intracorporeal electrohydraulic shock wave
37
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
lithotripsy followed by extra-endoscopic mechanical lithotripsy. Can J Gastroenterol
2008;22:699-702.
Baron TH, Harewood GC. Endoscopic balloon dilation of the biliary sphincter compared to
endoscopic biliary sphincterotomy for removal of common bile duct stones during ERCP: a
metaanalysis of randomized, controlled trials. Am J Gastroenterol 2004;99:1455-60.
Carr-Locke DL. Therapeutic role of ERCP in the management of suspected common bile duct
stones. Gastrointest Endosc 2002;56(6 Suppl):S170-4.
De Palma GD, Galloro G, Siciliano S, et al. Unilateral versus bilateral endoscopic hepatic duct
drainage in patients with malignant hilar biliary obstruction: results of a prospective,
randomized, and controlled study. Gastrointest Endosc 2001;53:547-53
Eisen GM, Dominitz JA, Faigel DO, et al. An annotated algorithm for the evaluation of
choledocholithiasis. Gastrointest Endosc 2001;53:864-6.
Hawes RH. Diagnostic and therapeutic uses of ERCP in pancreatic and biliary tract malignancies.
Gastrointest Endosc 2002;56(6 Suppl): S201-5.
Lee JH, Salem R, Aslanian H, et al. Endoscopic ultrasound and fineneedle aspiration of
unexplained bile duct strictures. Am J Gastroenterol 2004;99:1069-73
Maple JT, Ben-Menachem T, Anderson MA, et al. The role of endoscopy in the evaluation of
suspected choledocholithiasis. Gastrointest Endosc 2010;71:1-9.
Moss AC, Morris E, Mac Mathuna P. Palliative biliary stents for obstructing pancreatic
carcinoma. Update in Cochrane Database Syst Rev 2006;(2):CD004200
Rosch T, Meining A, Fruhmorgen S, et al. A prospective comparison of the diagnostic accuracy
of ERCP, MRCP, CT, and EUS in biliary strictures. Gastrointest Endosc 2002;55:870-6.
Vazquez-Sequeiros E, Baron TH, Clain JE, et al. Evaluation of indeterminate bile duct strictures
by intraductal US. Gastrointest Endosc 2002; 56:372-9.
Weinberg BM, Shindy W, Lo S. Endoscopic balloon sphincter dilation (sphincteroplasty) versus
sphincterotomy for common bile duct stones. Cochrane Database Syst Rev
2006;4:CD004890.
38
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
PERANAN KONTRAS SPESIFIK HEPATOBILIER DALAM DIAGNOSIS
TUMOR HATI
R.Sahat Basana Matondang
Divisi Abdominal dan Intervensi RSCM -FKUI
Abstrak
Terdapat beberapa kontras agent spesifik hepatobilier yang telah melewati uji klinis ,
salah satunya adalah adalah gadoxetic acid (Gd-EOB-DTPA). Kontras ini mempunyai manfaat
ganda yaitu mempunyai kemampuan pencitraan dinamis seperti kontras ekstraselular dan
pencitraan fase hepatobilier. Kontras ini umumnya di pakai dalam menentukan beberapa tumor
hepar yang sulit di diagnosis dengan meggunakan kontras ekstraselular MRI atau diagnosis
hepatocellular carcinoma yang sulit di diagnosis dengan menggunakan CT scan . Kontras ini juga
telihat unggul dalam mendeteksi nodul < 1 cm atau pada kasus kolangiografi
Kata kunci : Peranan kontras spesifik hepatobilier, gadoxetic acid (Gd-EOB-DTPA).
Pendahuluan
Kontras yang saat ini tersedia untuk pencitraan resonansi magnetik (MR) liver
adalah kontras cairan ekstraseluler dan kontras spesifik hepatobilier. Beberapa lesi hati
jinak dan ganas yang memiliki kesamaan pola pencitraan secara morfologis sulit di
dilakukan diagnosis dengan mengunakan kontras cairan ekstraseluler karena sifatnya
yang nonspesifik sepert Focal Nodular Hiperplasia (FNH) dengan Karsinoma
Hepatoseluler Fibrolamelar , Focal Nodular Hiperplasia (FNH) dengan Adenoma
hepatoseluler, atau Hemangioma. Di samping itu pada kasus dengan nodul berukuran
kecil, diagnosis dengan menggunakan kontras spesifik hepatobilier lebih baik
dibandingkan dengan menggunakan kontras ekstraselular
Salah satu kontras spesifik hepatobilier , gadoxetic acetate ( Gd-EOB-DTPA )yang
mempunyai kandungan gadolinium (ekstraselular) mempunyai peranan ganda karena
mempunyai kemampuan pencitraan dinamis seperti kontras ekstraselular dan pencitraan
fase hepatobilier Pada artikel ini akan di paparkan secara singkat peranan diagnosis
kontras spesifik hepatobilier berbasis gadolinium pada kasus diatas
Sifat farmakologis Gd-EOB-DTPA
Setelah persetujuan di Eropa dan Asia pada awal 2005, Gd-EOB-DTPA telah
disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk digunakan di Amerika Serikat
sejak Juli 2008 dan sekarang secara luas tersedia secara komersial. Berbeda dengan agen
kontras ekstraseluler, Gd-EOB-DTPA menunjukkan serapan oleh hepatosit dan kemudian
ekskresi bilier. Setelah injeksi IV, Gd-EOB-DTPA diangkut dari ruang ekstraseluler ke
dalam hepatosit oleh ATP-dependent organic anion transporting polypeptide 1 (OATP1)
dan kemudian diekskresikan ke dalam kanalikuli empedu oleh canalicular multispecific
organic anion transporter (cMOAT). Karena bilirubin juga diekskresikan melalui reseptor
OATP1, maka efektifitas Gd-EOB-DTPA sangat tergantung pada fungsi liver secara
keseluruhan . Pada pasien dengan fungsi liver dan ginjal normal, sekitar 50% dari dosis
yang diberikan akan diekskresikan melalui jalur hepatobilier sehingga masih dapat
digunakan pada gangguan fungsi ginjal moderate
Fase hepatosit kontras hepatobilier biasanya ditempuh dalam waktu 20 menit
setelah dimulainya injeksi kontras pada pasien dengan fungsi hati yang normal dan
berlangsung selama setidaknya 60 menit. Jangka waktu yang panjang ini memungkinkan
39
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
pengguna dapat mengulangi perolehan data selama fase hepatosit terutama pada kasus
dengan kualitas gambar yang suboptimal, dikarenakan oleh artefak gerak.
Beberapa kontras agent spesifik hepatobilier yang telah melewati uji klinis adalah
mangafodipir trisodium (Mn-DPDP), gadobenate dimeglumine (Gd-BOPTA), dan
gadoxetic acid (Gd-EOB-DTPA) (table 1)
Tabel 1
Fitur Farmakologis dan Radiologis dari Agen-Agen Kontras Spesifik Hepatobilier
Fitur Mn-DPDP Gd-BOPTA Gd-EOB-
DTPA
Ambilan Melalui reseptor
vitamin B6 di
hepatosit
Melalui transporter
anion organik di
hepatosit*
Melalui
transporter
anion organik
di hepatosit*
Ekskresi >50% empedu;
sisanya
lewat ginjal
3%–5% empedu,
95% ginjal
50% empedu,
50% gunjal
Metode Pemberian Infus lambat (1-2
menit)
Injeksi Bolus (2
mL/detik)
Injeksi Bolus
(2 mL/detik)
Dosis Anjuran Pabrik 0,5 μmol/kg 0,1 mmol/kg 0,025
mmol/kg
Waktu pencitraan
setelah dimulainya
injeksi agen kontras
Pencitraan Dinamis
(ECF)
Fase Hepatosit
Tidak ada
15 menit s/d
beberapa jam
Ada
1-2 jam
Ada
10 menit s/d
1jam
Efek Samping Ringan (mis.
flushing, mual,
pusing, kenaikan
tekanan darah dan
nadi)
Ringan (mis. mual,
flushing, nyeri pada
tempat suntik, gangguan
rasa pengecap) †
Ringan (mis.
mual, flushing,
sakit kepala,
nyeri pada
tempat suntik,
gangguan rasa
pengecap
paling sering)
Komentar lainnya Serapan di
pankreas, korteks
ginjal, dan kelenjar
adrenal kecil
jumlahnya
Relaksifitas T1 dua kali
lipat dari Gd-DTPA (7)
Relaksifitas T1
lebih tinggi
daripada Gd-
DTPA tetapi
dosis yang
digunakan
jauh lebih
kecil
*Protein transpor yang sama seperti bilirubin.
† Efek samping ringan dilaporkan kurang dari 0,03% setelah 100.000 dosis klinis; kejadian
tak diinginkan yang serius terjadi kurang dari 0,005% (8).
40
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Deteksi dan Karakterisasi Lesi Liver Fokal
Penggunaan Gd-EOB-DTPA untuk MRI hepar telah terbukti pada deteksi lesi-lesi di
hepar seperti pada kasus yang umum ditemukan di hati
Hemangioma
Hemangioma adalah tumor hati jinak yang paling umum dan dapat ditemukan
sampai 20% dari populasi umum. Tumor dapat terjadi pada semua usia, tetapi terlihat
lebih sering pada wanita premenopause .Hemangioma raksasa dapat berukuran sampai 20
cm. Dalam kebanyakan kasus, hemangioma adalah temuan insidentil pada pasien
asimtomatis .
Pada MRI, hemangioma ini akan terlihat hipointens pada image T1 dan sangat
hiperintens dengan image T2. Selama fase dinamis, peningkatan nodular perifer terputus-
putus pada fase arteri dengan pengisian sentripetal yang progresif hingga ke sentral pada
fase berikutnya Hemangioma kapiler flash-filling merupakan hemangioma kecil (1-2
cm) yang ditandai dengan pengisian segera dan lengkap selama fase arterial.
Hemangioma flash-filling ini dapat menimbulkan masalah serius dikarenakan
penampilannya yang serupa pada pencitraan metastasis hipervaskular (misalnya, dari
tumor neuroendokrin) Dalam keadaan ini image DWI akan sangat membantu melalui
perhitungan nilai ADC dimana pada hemangioma nilai ADC lebih tinggi dari nilai
ADC metastasis padat. Dengan Gd-EOBDTPA, hemagioma ini sulit dibedakan dengan
metastasis karena keduanya akan memberikan gambaran hipointens (tidak uptake) pada
fase hepatosit
Focal Nodular Hiperplasia (FNH)
FNH adalah tumor hati jinak kedua yang paling umum dan hadir pada sekitar 3-
5% populasi. Sekitar 80% terjadi pada wanita usia subur.FNH dianggap sebagai
malformasi vaskular kongenital, yang menghasilkan respon hiperplastik terhadap nodul
non neoplastik regeneratif. Lesi biasanya bersifat soliter (80%), dengan diameter rata-rata
sekitar 5 cm . Hubungan dengan penggunaan kontrasepsi oral masih dalam
perdebatan.FNH biasanya merupakan temuan insidental, hanya sekitar sepertiga kasus
yang didiagnosis akibat gejala seperti nyeri epigastrium, massa abdominal, atau
hepatomegaly. Secara histologi, FNH akan ditandani sebagai lesi nodular dengan central
scar stellata yang mengandung struktur malformasi vaskuler dengan septa fibrosa dan
dapat dilihat secara makroskopik pada sekitar 50% kasus .
Pada T1 dan T2 akan terlihat massa homogen isointense T1 dan T2 dan setelah
injeksi agen kontras ekstraseluler atau Gd-EOB-DTPA, akan terlihat penyangatan pada
fase arteri hingga delayed dengan atau tanpa central scar Pada image fase hepatosit
setelah injeksi Gd-EOB-DTPA, FNH biasanya memperlihatkan isointens atau hiperintens
terhadap parenkim hati sekitarnya, dan terkadang menunjukkan pola klasik popcornlike
terutama bila ditemukan adanya central scar . Central scar pada fase ekstraselular akan
memperlihatkan delayed enhancement dan menjadi hipointens pada fase hepatosit . Hal
ini disebabkan karena central scar mengandung struktur malformasi vascular , fibrous dan
kurang baiknya drainase bilier
Adenoma hati
Adenoma hati adalah lesi hati jarang yang terjadi terutama pada wanita yang
memakai kontrasepsi oral [56], dengan rasio wanita-terhadap-pria sebesar 5:1. Beberapa
41
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
adenoma dapat dikaitkan dengan diabetes mellitus, penyakit penimbunan glikogen tipe 1
dan 3, dan konsumsi steroid anabolik atau androgenik , sedangkan adenomatosis liver
didefinisikan sebagai keberadaan lebih dari 10 adenoma dalam hati normal pada pasien
yang tidak memiliki riwayat asupan steroid atau penyakit metabolik Adenoma umumnya
ditemukan bersifat insidentil. Namun adenoma yang besar dapat menyebabkan
ketidaknyamanan perut. Perdarahan merupakan komplikasi utama dari adenoma, dan
pecah spontan dan hemoperitoneum dapat terjadi pada sampai 10% kasus, terutama
selama menstruasi, kehamilan, atau postpartum Transformasi maligna terhadap HCC
diperkirakan terjadi pada sekitar 5% [62, 63]. Dikarenakan risiko pecah dan kemungkinan
transformasi maligna, maka diferensiasi adenoma dengan FNH atau hemangioma adalah
penting
Secara patologis, adenoma hati ditandai dengan proliferasi hepatosit jinak yang
dipisahkan oleh sinusoid yang lebar dan tertutup oleh pseudokapsul. Lemak intratumoral,
nekrosis, perdarahan, dapat terlihat . Adenoma hati juga tidak mengandung saluran
empedu (temuan histologis penting yang membedakan mereka dari FNH), mengakibatkan
diblokirnya ekskresi bilirubin
Dikarenakan adanya komponen perdarahan atau lemak intralesi, adenoma sering
terlihat hiperintens secara heterogen pada image T1. Pada image in and opposed phase,
akan terlihat komponen lemak .Setelah injeksi Gd-EOBDTPA, adenoma hati akan
menyangat pada fase arterial, dan pada beberapat tipe adenoma dapat terlihat wash out
atau masih menyangat pada fase delayed seperti yang ditemukan pada FNH .Pada fase
hepatosit, adenoma biasanya akan terlihat hipointens karena kurangnya kanalikuli
empedu sehingga dapat dibedakan dengan FNH .
Kolangiokarsinoma
Kolangiokarsinoma adalah bentuk keganasan liver primer paling umum kedua. Ini
berasal dari epitel empedu, yang timbul sebagai adenokarsinoma, karsinoma papiler, atau
karsinoma musinosum . Tergantung pada sisi asalnya, kolangiokarsinoma dapat
diklasifikasikan sebagai kolangiokarsinoma intrahepatika atau ekstrahepatika, Faktor
risiko untuk perkembangan kolangiokarsinoma adalah primary sclerosing cholangitis
(PSC), poliposis familial, kista choledochal, papillomatosis biliaris, dan clonorchiasis
Pada pasien PSC, risiko untuk menjadi kolangiokarsinoma adalah sekitar 1,5% per tahun.
Kebanyakan pasien dengan kolangiokarsinoma datang dengan ikterus obstruktif terutama
akibat kolangiokarsinoma intrahetaika. Gejalalain yang dapat terlihat pruritus, sakit perut,
penurunan berat badan, dan demam.
Pada MRI, kolangiokarsinoma terlihat sebagai massa hipointens pada image T1
dan hiperintens ringan sampai sedang pada image T2, sangat tergantung pada jumlah
jaringan fibrosa dan kandungan musin. Penyangatan pada tepinya dan ireguler dapat
terlihat pada fase arterial dan progesive centripetal enhancement pada fase delayed. Pada
fase hepatosit cholagiocarcinoma akan mempelihatkan gambaran hipointens .Penurunan
upatake Gd-EOB-DTPA di parenkim sekitar tumor merupakan indikasi penurunan fungsi
hepatosit
Metastasis
Hati adalah tempat yang paling umum untuk bermetastasis dari saluran
pencernaan, pankreas, payudara, dan paru-paru . Hanya sekitar 20% metastasis bersifat
soliter pada saat diagnosis. Kebanyakan metastasis adalah solid, tetapi beberapa mungkin
memiliki penampilan . Atas dasar tingkat vaskularisasi, maka diferensiasi antara
42
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
metastasis hipervaskular dan hipovaskular adalah dimungkinkan. Tumor primer dengan
metastasis hipervaskular dapat dijumpai pada tumor endokrin; karsinoma sel ginjal,
kanker pankreas, payudara, dan usus besar
Pada MRI non kontras, metastasis terlihat hipointens pada image T1 dan
hiperintens pada image T2. Setelah injeksi kontras akan terlihat penyangatan homogen
atau pada tepi di fase arterial dengan washout pada fase delayed yang ditemukan pada
metastasis hipervaskular . Pada metastasis hipovaskular, tidak ada peningkatan yang
signifikan pada fase arterial dibandingkan dengan parenkim liver di sekitarnya. Pada fase
hepatosit, tidak ada penyerapan agen kontras baik pada metastasis hipervaskular maupun
hipovaskular oleh karena lesi ini tidak mengandung hepatosit, yang kurang mekanisme
transportasi OATP1.
HCC Fibrolamelar
HCC Fibrolamelar adalah subtipe khas HCC primer, umumnya terjadi pada pasien
muda (usia rata-rata, 25 tahun) tanpa penyakit hati kronis atau faktor risiko lain terhadap
kanker liver (HCC). Penyebab pastinya belum diketahui. HCC Fibrolamelar biasanya
berupa lesi soliter dan terdeteksi ketika lesinya besar (5-20 cm). Presentasi klinis
umumnya tidak spesifik, pasien datang dengan gejala seperti mual, ketidaknyamanan
perut, penurunan berat badan, atau penyakit kuning. Secara histologis, HCC fibrolamelar
tersusun atas hepatosit neoplastik membesar yang terdiferensiasi dengan baik, dikelilingi
oleh banyak pita berserat tebal, yang sering tersusun dalam distribusi secara paralel atau
pipih (lamelar)
Tantangan utama pencitraan adalah melakukan diferensiasi FNH dengan
adenoma hepar dan karsinoma fibrolamelar . Penampilan MRI pada HCC fibrolamelar
adalah massa heterogen, dengan tumor yang hipo atau isointense pada image T1 dan
hiperintens moderate pada image T2. Central scar dapat dilihat pada 60% kasus.
Dibandingkan dengan FNH, central sentral umumnya lebih besar, lebih tidak teratur, dan
lebih heterogen dalam intensitas sinyal dan peningkatan kontras. Pada image fase
hepatosit, HCC fibrolamelar terlihat secara dominan hipointens
Sensitivitas kontras ektraselular dalam deteksi HCC adalah 70 sd 100 % namun
sensitivitas ini berkurang untuk deteksi lesi < 1 cm adalah 4-33 % . Pemeriksaan dengan
menggunakan kontras hepatobilier dapat membantu untuk meningkatkan nilai sensitivitas
deteksi lesi < 1 cm Pada studi metaanalisis menunjukan sensitivitas Gd-EOB-DTPA akan
meningkat bila di kombinasi dengan image DWI dalam mendeteksi nodul < 1 cm adalah
80 %.
Peranan kontras spesifik hepatobilier juga sangat membantu dalam diagnosis HCC
terutama pada HCC yang tidak telihat tipikal pada pemeriksaan computer tomografi scan
(CT scan ) . Hal ini umumnya ditemukan pada HCC yang kecil ( < 2 cm) , hipovaskular
HCC atau diagnosis HCC pada nodul sirosis hati. Pada beberapa konsensus algoritme
HCC seperti pada Association for the Study of Liver Diseases (AASLD), Asian-Pacific
Association for the Study of the Liver (APASL), Japan Society of Hepatology (JSH)
,Korean Society of Abdominal Radiology (KSAR), kontras ini dimasukan kedalam
algoritme diagnosis HCC bila dengan pemeriksaan CT scan inderterminate dalam
diagnosis HCC. Peranan kontras spesifik hepatobilier juga sangat berguna terutama pada
lesi < 1-2 cm yang sangat sulit di diagnosis dengan menggunakan biopsy
Peranan kontras hepatobilier pada Magnetic Resonansi (MR)
Kolangiopankreatografi . MR Kolangiopankreatografi konvensional dengan image T2
telah digunakan secara luas, namun tidak cukup untuk mengidentifikasi varian-varian
43
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
anatomis duktus biliaris . Kolangiografi dengan menggunakan kontras hepatobilier telah
terbukti akurat mengidentifikasi varian-varian anatomis dari traktus biliaris intrahepatik .
Selain itu, kolangiografi MR dapat di pakai untuk deteksi lokasi defek biliaris leakage
akibat operasi
Keuntungan pemakaian kontras ini adalah dapat memberikan gambar dengan
resolusi lebih baik dari MR kolangiografi konvensional terutama pada penderita yang
tidak dapat menahan nafas cukup lama karena menggunakan image T1 .Kelemahan
pemakaian kontras ini adalah tidak dapat dipakai pada penderita dengan hiperbilirubin
yang berat dan waktu pemeriksaan yang lebih lama
TABEL 2: Penampilan Pencitraan yang Khas pada Lesi Liver Fokal Sebelum dan
Setelah Injeksi Gadoxetate Dinatrium
Lesi Liver Image T2 Image T1
Sebelum
Injeksi
Fase Arterial Fase Hepatosit
Kista sederhana
Hemangioma
Hemangioma
Flash-filling
Adenoma
Hiperplasia
Nodular Fokal
Kolangiokarsinoma
Karsinoma
hepatoselular
Fibrolamellar
Metastasis
44
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Rangkuman
Agen kontras spesifik hepatobilier seperti Gd-EOB-DTPA telah dikembangkan
untuk meningkatkan deteksi dan karakterisasi lesi hati fokal. Dikarenakan sifatnya yang
khas, penerapan Gd-EOB-DTPA dapat meningkatkan ketajaman diagnosis lesi fokal hati
yang sulit didiagnosis dengan menggunakan kontras MRI ekstraselular maupun CT scan.
Informasi tambahan yang menjadi unggulan pemeriksaan kontras ini terutama untuk
deteksi nodul hati kecil ( < 1 cm) dan penggunaan kolangiografi
Referensi
1. Holzapfel K, Breitwieser C, Prinz C, et al. Contrast-enhanced magnetic resonance
cholangiography using gadolinium-EOB-DTPA: preliminary experience and clinical
applications [in German]. Radiologe 2007; 47:536–544
2. Zizka J, Klzo L, Ferda J, et al. Dynamic and delayed contrast enhancement in upper
abdominal MRI studies: comparison of gadoxetic acid and gadobutrol. Eur J Radiol 2007;
62:186–191
3. van Montfoort JE, Stieger B, Meijer DK, et al. Hepatic uptake of the magnetic resonance
imaging contrast agent gadoxetate by the organic anion transporting polypeptide Oatp1. J
Pharmacol Exp Ther 1999; 290:153–157
4. Takao H, Akai H, Tajima T, et al. MR imaging of the biliary tract with Gd-EOB-DTPA:
effect of liver function on signal intensity. Eur J Radiol [Epub 2009 Aug 31]
5. Rohrer M, Bauer H, Mintorovitch J, et al. Comparison of magnetic properties of MRI contrast
media solutions at different magnetic field strengths. Invest Radiol 2005; 40:715–724
6. Reimer P, Schneider G, Schima W. Hepatobiliary contrast agents for contrast-enhanced MRI
of the liver: properties, clinical development and applications. Eur Radiol 2004;14:559–578.
7. Kirchin MA, Pirovano G, Venetianer C, Spinazzi A. Safety assessment of gadobenate
dimeglumine (MultiHance): extended clinical experience from phase I studies to post-
marketing surveillance. J Magn Reson Imaging 2001;14:281–294.
8. Mergo PJ, Ros PR. Benign lesions of the liver. Radiol Clin North Am 1998; 36:319–331
9. VF, van Heerden JA, Sheedy PF. Cavernous hemangiomas of the liver: resect or observe? Am
J Surg 1983; 145:49–53
10. Huppertz A, Haraida S, Kraus A, et al. Enhancement of focal liver lesions at gadoxetic acid-
enhanced MR imaging: correlation with histopathologic findings and spiral CT—initial
observations. Radiology 2005; 234:468–478
11. Assy N, Nasser G, Djibre A, et al. Characteristics of common solid liver lesions and
recommendations for diagnostic workup. World J Gastroenterol 2009; 15:3217–3227
12. Lizardi-Cervera J, Cuellar-Gamboa L, Motola-Kuba D. Focal nodular hyperplasia and hepatic
adenoma: a review. Ann Hepatol 2006; 5:206–211
13. Nguyen BN, Flejou JF, Terris B, et al. Focal nodular hyperplasia of the liver: a
comprehensive pathologic study of 305 lesions and recognition of new histologic forms. Am J
Surg Pathol 1999; 23:1441–1454
14. Zech CJ, Grazioli L, Breuer J, et al. Diagnostic performance and description of morphological
features of focal nodular hyperplasia in Gd-EOBDTPA-enhanced liver magnetic resonance
imaging: results of a multicenter trial. Invest Radiol 2008; 43:504–511
15. Marin D, Brancatelli G, Federle MP, et al. Focal nodular hyperplasia: typical and atypical
MRI findings with emphasis on the use of contrast media. Clin Radiol 2008; 63:577–585
16. Choi BY, Nguyen MH. The diagnosis and management of benign hepatic tumors. J Clin
Gastroenterol 2005; 39:401–412
17. Kim J, Ahmad SA, Lowy AM, et al. An algorithm for the accurate identification of benign
liver lesions. Am J Surg 2004; 187:274–279
18. Lazaridis KN, Gores GJ. Cholangiocarcinoma. Gastroenterology 2005; 128:1655–1667
45
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
19. Chung YE, Kim MJ, Park YN, et al. Varying appearances of cholangiocarcinoma: radiologic–
pathologic correlation. RadioGraphics 2009; 29:683–700
20. Danet IM, Semelka RC, Leonardou P, et al. Spectrum of MRI appearances of untreated
metastases of the liver. AJR 2003; 181:809–817
21. Stern W, Schick F, Kopp AF, et al. Dynamic MR imaging of liver metastases with Gd-EOB-
DTPA. Acta Radiol 2000; 41:255–262
22. Ba-Ssalamah A, Uffmann M, Saini S, et al. Clinical value of MRI liver-specific contrast
agents: a tailored examination for a confident non-invasive diagnosis of focal liver lesions.
Eur Radiol 2009; 19:342–357
23. Bartolozzi C, Battaglia V, Bozzi E. HCC diagnosis with liver-specific MRI: close to
histopathology. Dig Dis 2009; 27:125–130
24. Bajpai S, Sahani DV. Recent progress in imaging of colorectal cancer liver metastases. Curr
Colorectal Cancer Rep 2009;5:99–107.
25. Kim HJ, Kim KW, Byun JH, et al. Comparison of mangafodipir trisodium and
ferucarbotranenhanced MRI for detection and characterization of hepatic metastases in
colorectal cancer patients. AJR Am J Roentgenol 2006;186:1059–1066
26. Ba-Ssalamah A, Uffmann M, Saini S, et al. Clinical value of MRI liver-specific contrast
agents: a tailored examination for a confident non-invasive diagnosis of focal liver lesions.
Eur Radiol 2009; 19:342–357
27. Bartolozzi C, Battaglia V, Bozzi E. HCC diagnosis with liver-specific MRI: close to
histopathology. Dig Dis 2009; 27:125–130
28. Samir Shah, Akash Shukla, and Bhawan Paunipagar Radiological Features of Hepatocellular
Carcinoma J Clin Exp Hepatol. 2014 Aug; 4(Suppl 3): S63–S66.
29. Yu MH, Kim JH , Yun JH.Small (≤1-cm) Hepatocellular Carcinoma: Diagnostic Performance
and Imaging Features at Gadoxetic Acid–enhanced MR Imaging, Radiology 2014 ;271
(3):749-760
30. Shan Y, Gao J, Su Zeng M,Gadoxetic acid-enhanced magnetic resonance imaging for the
detection of small hepatocellular carcinoma (≤ 2.0 cm) in patients with chronic liver disease:
A meta-analysis World J Meta-Anal.2016; 4(4): 95-104
46
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Timing of Systemic treatment in HCC Management
Poernomo Boedi Setiawan
Departemen – SMF Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya
Pendahuluan
Sampai saat ini Karsinoma Hepatoseluler (KHS) merupakan probem kesehatan
yang oenting. KHS menduduki urutan keenam keganasan dunia, dan merupakan
penyebab kematian terbanyak pada penderita Sirosis Hati. Angka kejadian KHS
meningkat di Eropa dan Amerika Serikat dengan faktor risiko utama Hepatitis C ( dan
diramalkan akan terjadi perubahan faktor risiko utama , dikarenakan adanya obat DAA
untuk hepatitis C kronis).. Di Asia Pasifik dan Afrika faktor risiko utama adalah Hepatitis
B, namun di Jepang Hepatitis C justru merupakan faktor risiko utama. Penderita Hepatitis
B Kronis mempunyai risiko relativ 100 X untuk menjadi KHS , dan angka kejadian
pertahun sekitar 2 – 6 % pada Sirosis Hati .
KHS pada umumnya terdiri dari dua kondisi yaitu : penyakit hati menahun
(utamanya Sirosis hati) dengan tumor primer di hati. Kondisi ini sangat penting difahami
karena akan menentukan strategi penatalaksanaan dan prognosis pasien . Klasifikasi atau
“staging” KHS seharusnya mengevaluasi dua kondisi tersebut sehingga dapat ditentukan
strategi penatalaksanaan dan sekaligus prognosis pasien.
Strategi penatalaksanaan KHS dimulai dari penentuan stdium klinik penyakit dan
kemungkinan modalitas pengobatan yang dapat diberikan pada seorang pasien .
Dengan pemahaman yang lebih baik tentang patogenesis KHS maka pengobatan
dengan “targeting therapy”, telah mapan diterima untuk KHS stadium lanjut.
Indvidualisasi pasien khususnya pada pasien dengan stadium yang lebih dini namuin
tidak mungkin menerima modalitas poengobatan yang lain ataupun hasiol belum optimal
membuka wawasan pemakaian “targeting therapy”, pada stadium KHS selain stadium
lanjut.
Penatalaksanaan Modalitas tatalaksana KHS dapat dikelompokkan menjadi :
(i) Tata laksana bersifat kuratif : reseksi, transplantasi hati dan terapi ablasi
(khususnya RFA: radio frequency ablation ) dan
(ii) Tatalaksana bersifat paliatif seperti embolization/chemoembolization , dan
pengobatan sistemik ( hormonal, kemoterapi sisitemik, imunoterapi dan
novel targeted therapy )
Sorafenib adalah targeted therapy yang telah diterima berdasarkan suatum
penelitian muilticentre dengan disain yang baik. Sorafenib ( = Nexavar) adalah obat
multikinase inhibitor , yang menghambat VEGF receptor 2, PDGF ,dan c Kit receptor
serta menghambat serine /threonin kinases ( b Raf /Ras/MAPKK pathway ) suatu obat
sistemik yang terbukti dapat meningkatkan “overall survival” pada pasien KHS stadium
lanjut .
Penelitian pengobatan KHS stadium lanjut dengan Sorafenib ( SHARP trial =
Sorafenib HCC Assessment Randomized Protocol ) ,yaitu suatu penelitian acak random ,
pada 602 penderita KHS , dengan sorafenib 400 mg 2 x/ hari , ternyata memberikan
beberapa hasil antara lain median 0S yang 44 % lebih besar pada penderita dengan
sorafenib dibanding placebo ( 10,7 bulan vs 7,9 bulan,m p = 0.0006). Sorafenib
merupakan obat dengan target multiple jalur molekular KHS yang pertama kali diterima
47
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
di Eropa . Selanjutnya obat ini juga telah diterima di beberpa Negara Asia Pasifik sebagai
obat sistemik oral untuk KHS .
Sedangkan indikasi modalitas dalam kaitan stadium penyakit dapat dilihat pada
gambar dibawah ini. Pemakaian khemoterapi pada KHS stadium lanjut tidak dapat
diterima ”guideline” dikarenakan :
a. Pada umumnya KHS adalah khemo resistent
b. Efek toksis dari khemoterapi terhadap hati
c. Data yang tersedia pada umumnya belum kuat
BCLC (2010) / AASLD (endorsed) Staging And Treatment Strategy
Portal pressure/
bilirubin
PEI/RFA Sorafenib
Stage 0PST 0, Child–Pugh A
Very early stage (0) 1 HCC < 2 cm
Carcinoma in situ
Early stage (A)1 HCC or 3 nodules
< 3 cm, PST 0
End stage (D)
Liver transplantation TACEResection Symptomatic
treatment (20%)
Survival < 3 monthsCurative treatments (30%)
5-year survival (40–70%)
Palliative treatments (50%)
Median survival 11–20 months
Associated diseases
YesNo
3 nodules ≤ 3 cm
Increased
Normal
1 HCC
Stage D
PST > 2, Child–Pugh C
Intermediate stage (B)Multinodular,
PST 0
Advanced stage (C) Portal invasion, N1, M1, PST 1–2
Stage A–CPST 0–2, Child–Pugh A–B
Adapted from Bruix J, Sherman M. Hepatology. In press 2010.
Available from http://www.aasld.org. Last accessed November 2010.
Llovet JM, et al. J Natl Cancer Inst. 2008;100:698-711.
HCC
Gambar 1. Stadium dan Strategi Penatalaksanaan
Sorafenib targetted therapy
Sorafenib telah diterima secara mapan untuk KHS stadiuum lanjut (KHS BCLC
Stadium C). Pada pasien KHS stadium B dengan modalitas pilihan TACE , namun mengalami
kegagalan maka diteliti pemberian Sorafenib padsa keadaan tersebut , dan bahkan diteliti
penggunaan kombinasi TACE dengan Sorafenib , maupun kondisi lainnya .
Kapan mulai sorafenib diberikan pada pasien pasien tersebut dietliti secara
intens dengan data menunjukkan bahwa pasien pada stadium BCLC B dapat diberikan
Sorafenib bila terdapat keadaan :
a. Terdapat kontra indikasi pemberian TACE
b. Problem teknis untuk pelaksanaan TACE
c. Efek samping yang berat setelah TACE pertama
d. Kegagalan TACE
48
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Definitions of TACE Failure/Refractory
• Patients with no response of treated tumor after ≥2 sessions of TACE
• Patients who experience serious toxicity
EU Consensus Paper, Raoul et al. 20123
Kudo et al.20111
• Intrahepatic lesion
– >2 consecutive incomplete
necrosis
– >2 consecutive
appearances of a new
lesion (recurrence)
• Appearance of vascular
invasion
• Appearance of EHS
• Continuous elevation of
tumor markers even though
right after TACE
Yamanaka et al. 20122
• TACE Failure
– Inability to select the
feeding artery of the HCC
because of arterial
devastation
– Deterioration of liver
function and/or
– Tumor thrombosis of the
portal vein
• TACE Refractory
– Repetitive tumor
recurrence in the liver
– Appearance of vascular
invasion
– Appearance of distant
metastasis
– Continuous increase in
tumor marker levels after
TACE
Predicting TACE RefractoryKim et al. 20124
• Development of PD during
the first 6 months
• 3 TACE during the first
6 months
Gambar 2. Definisi kegagalan / TACE refrakter
Daftar pustaka
1. Bruix J, Sherman M (2011). Management of Hepatocellular carcinoma : an update .
Hepatology 53 : 1020 - 1022
2. Carolina del Pozo A, Lopez P ( 2007). Management of Hepatocellular Carcinoma. Clin
Liv Dis 11 : 305 – 321
3. Kiyosawa K, Tanaka K (2002). Characteristic of HCC in Japan. Oncology .62(s1): 5 – 7
4. Kudo M, Ueshima K (2010). Positioning of a Molecular targeted agent , sorafenib in the
treatment for HCC and clinical implication of many complete remission in Japan.
Oncology 78 (S1) , 154 – 166
5. Kurokawa Y, Matoba R, Takemasa I et al. (2004). Molecular based prediction of early
recurrence in HCC. J Hepatol 41 : 284 - 291
6. Llovet JM, Briux J (2008). Novel advancement in the management of hepatocellular
carcinoma in 2008. J Hepatol 48 : s 20 – s 37
7. Llovet JM Ricci S, Mazzaferro V et al. Sorafenib in advanced hepatocellular carcinoma.
N Eng J Med 359 : 378 – 390
8. Marerro JA, Welling T (2009). Modern diagnosis and management of hepatocellular
carcinoma. Clin Liv Dis 13 : 233 – 247
9. Parkin DM, Barry F, Ferlay J, Pisani P (2005). Global cancer statistic 2002. CA Cancer J
Clin 55 : 74 – 108
10. Rodriguez de Lope C , Tremosini S , Forner A , Reig M , Bruix J (2012) . Management of
HCC . J Hepatol , 56 : S 75 – S 87
11. Thorgeirssson SS, Lee JS, Grisham JW (2006) Functional genomics of Hepatocellular
carcinoma. Hepatology 43 (2) : 145 - 150
49
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
LONG TERM TREATMENT PLAN IN SYSTEMIC TREATMENT OF
HEPATOCELLULAR CARINOMA
Rino Alvani Gani
Division of Hepatobiliary, Department of Internal Medicine,
Faculty of Medicine Universitas Indonesia / Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta
Pendahuluan
Hepatocellular carcinoma atau HCC menempati posisi kedua serta posisi ke-6
penyebab kematian akibat kanker terbanyak pada pria dan wanita.1 Berbagai kemajuan
dalam pemahaman terhadap struktur molecular serta bebeberapa mekanismenya, hal
tersebut tanpaknya belum dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan terutama pada
stadium lanjut.
Pada HCC stadium awal, operasi reseksi, metode ablasi, dan transplantasi hati
dilaporkan dapat meningkatkan angka kesintasasn hidup lebih dari 5 tahun. Akan tetapi,
hanya 50% pasien merupakan kandidatreseksi saat pertama kali berobat dan pada pasien
yang dapat direseksi, 70% diantaranya akan mengalami relaps akibat micrometastases
dan de novo malignant transformation pada sel-selhati yang berdekatan.2,3 Transplantasi
hati disebut memiliki resiko rekurensi yang lebih rendah serta kesintasan jangka yang
lebih baik akibat perbaikan terhadap sirosis. Akan teapi, transplantasi hati memiliki
beberapa keterbatasan seperti waktu tunggu yang lama serta penggunaan obat
imunosupresi jangka pajang.
PerkembanganTerapiSistemik HCC
Hingga saat ini belum ada terapi adjuvant yang efektif untuk HCC dan hanya ada 2
modal itasterapi yang disetujui untuk HCC tingkat lanjut yaitu transcatheter arterial
chemoembolization (TACE) dan inhibitor multi-kinase, sorafenib. TACE dapat
memperpanjang kesintasan selama 2 tahun pada stadium sedang dengan beberapa resiko
seperti angka kegagalan terapi yang tinggi dan resiko kegagalan hati pada sirosis lanjut.4
Sorafenib merupakan inhibitor multi-target tyrosine. Sorafenib bekerja dengan
menghalau aktivitas dari serine-threnoine kinase Raf-1 dan B-Raf, serta reseptor tyrosine
kinase pada reseptor vascular endothelial growth factor. Studi SHARP dan Asia-Pacific
menunjukkan peningkatan kesintasan yang moderat namun signifikan. Study SHARP
menunjukkan median kesintasan kelompok sorafenib adalah 10.7 bulan dibandingkan
dengan 7.9 bulan pada kelompok placebo (HR 0.69; 95%CI 0.55-0.87, P < 0.001).5
Sedangklan pada studi Asia-Pacific, median kesintasan sorafenib vs placebo adalah 6.5 vs
4.2 (HR 0.68; 95%CI 0.50-0.93, P=0.014).6
50
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Gambar 1. Staging BCLC dan pilihan terapi HCC.7
Perkembangan terap isi stemik merupakan era baru pengobatan HCC stadium
lanjut. Akan tetapi studi uji klinik terhadap sunitinib, brivanib, dan linifanib, yang
diharapkan dapat menjadi pilihan terapi ini pertama, memberikan hasil yang tidak
memuaskan. Selain itu studi fase 3 terhadap brivanib, everolimus, dan ramucirumab
sebagai terapil ini kedua juga tidak berhasil. Namun pada juni 2016 serta januari 2017,
beberapa hasil uji klinis menunjukkan adanya harapan baru terhadap regorafenib
sertalevantinib yang menandakan era baru terhadap terapi HCC.8
Sorafenib-Regorafenib Sequential Therapy
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sorafenib merupakan terapipilihan
untuk stadium lanjut HCC (Sesuai dengan klasifikasi Barcelona Clinic Liver Cancer
[BCLC] stadium C). Sorafenib merupakan satu-satunya agen teraputik untuk HCC
stadium lanjut dengan invasivsakular dan atau penyebaran ekstrahepatik. Pada studi
SHARP, HCC stadium intermediate juga diikutsertakan sehingga sorafenib juga dapat
digunakan pada HCC yang tidak dapatdilakukan reseksi. Pada praktik klinik, sorafenib
sering diberikan pada HCC stadium intermediate. 7
Kriteria Kinki mengikutsertakan HCC stadium intermediate kedalam populasi yang
dapat diterapi menggunakan sorafenib. Kinki kriteria membagi kembaliklasifikasi HCC
stadium BCLC B menjadi B1, B2, dan B3.9Kriteria Kinki menjelaskan kelompok
intermediate yang tidak efektif untuk mendapatkan terapi TACE. Pada kelompok ini,
penggantian awal dengan sorafenib menunjukkan kesintasan yang lebih baik. Oleh karena
itu identifikasi pasien yang refrakter terhadap terapi TACE penting dilakukan.7
Studi RESORCE meneliti efikasi dan keamanan regorafenib pada pasien yang
mendapatkan sorafenib namun dengan progresivitas HCC yang terus berlanjut.
Regorafenib memperbaiki overall survival dengan hazard ratio sebesar 0.63 (95%CI
0.50-0.79; P<0.0001), median survival adalah 10.6 bulan (95%CI 9.1-12.1) dibandingkan
dengan plasebosebesar 7.8 bulan.10
Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan untuk dapat melakukan early switch
kepada sorafenib pada pasien dengan intermediate HCC yang referaktier terhadap TACE
51
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
serta pergantian dengan regorafenib pada pasien yang mendapatkan terapi sorafenib
namun dengan progresivitas HCC yang terus berlanjut.7
Gambar 1. Strategi Terapi Menggunakan Terapi Sistemik.7
Pilihan Terapifirst line Baru: Levantinib
Levantinib merupakan inhibitor reseptor multi-tyrosine kinase yang menargetkan
reseptor VEGF 1-3, FGFR 1-4, PDGFRα, dan KIT dan RET proto-oncogenes. Levantinib
telah disetujui sebagai terapikan kertiroid radiocactive iodine-refractory differentiated.
Studifase 2 oleh Ikeda et al menunjukkan levantinib dengan dosis 12 mg per hari selama
28 hari menunjukan aktivitas klinis yang baik dengan karak teristiktoksisitas yang dapat
ditoleransi. Waktu median time to progression (TTP) adalah 7.4 bulan (95%CI 5.5-9.4)
dan median overall survival sebesar 18.7 bulan (95%CI 12.7 – 25.1).11
Publikasi oleh Eisai Co., Ltd. pada Januari 2017 menunjukkan hasil fase III dari
studi REFLECT yang mengikut sertakan 954 psien dengan unresectable HCC. Pada
studiini, overall survival lenvantinib tidak lebih inferior dibandingkan dengan sorafenib
serta terdapat peningkatan yang bermakna terhadap progression free survival (PFS), TTP,
dan objective response rate (ORR).12
Berdasarkan beberapa hasil penelitian ini, penetapaan levantinib sebagai pilihan
terapi linipertama sepertinya akan terwujid. Dengan overall survival yang sebanding
dengan sorafenib meyakinkan bahwa levantinib dapat disetujui sebagai terapilini pertama.
Kesimpulan
Dalam waktu yang cukup lama, sorafenib merupakan satu-satunya era pisistemik
yang dapat digunakan pada HCC. Berbagai studi uji klinis telah dinyatakan gagal dalam
misiuntuk mencari regimen alternative terhadap sorafenib. Namun beberapa uji klinis
terbaru menunjukkan potensi regorafenib dan levantinib yang dapat digunakan sebagai
sequential therapy maupun terapilini pertama pada HCC stadium lanjut. Selainitu,
beberapastudi juga menunjukkan potensi untuk menggunakan terapisistemik lebih awal,
52
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
terutama pada stadium HCC BCLC B dimana beberapa populasi pasien menunjukan
refrakterisasi dengan terapi TACE.
Daftar Pustaka:
1. Torre LA, Bray F, Siegel RL, et al. Global cancer statistics, 2012. CA Cancer J Clin
2015;65:87-108
2. Yeh CN, Chen MF, Lee WC, et al. Prognostic factors of hepatic resection for hepatocellular
carcinoma with cirrhosis: univariate and multivariate analysis. J Surg Oncol 2002;81:195-202
3. Bupathi M, Kaseb A, Meric-Bernstam F, et al. Hepatocellular carcinoma: Where there is
unmet need. Mol Oncol 2015;9:1501-9
4. Lammer J, Malagari K, Vogl T, et al. Prospective randomized study of doxorubicin-eluting-
bead embolization in the treatment of hepatocellular carcinoma: results of the PRECISION V
study. Cardiovasc InterventRadiol2010;33:41-52
5. Llovet JM, Ricci S, Mazzaferro V, et al. Sorafenib in advanced hepatocellular carcinoma. N
Engl J Med 2008;359:378-90
6. Cheng AL, Kang YK, Chen Z, et al. Efficacy and safety of sorafenib in patients in the Asia-
Pacific region with advanced hepatocellular carcinoma: a phase III randomised, double-blind,
placebo-controlled trial. Lancet Oncol 2009;10:25-34
7. Bruix J, Sherman M. Management of Hepatocellular Carcinoma: An Update.
Hepatology.2011;53(3):1020-2
8. Kudo M. A New Era of Systemic Therapy for Hepatocellular Carcinoma with Regorafenib
and Lenvatinib. Liver Cancer 2017;6:177-184
9. Kudo M, Arizumi T, Ueshima K, et al: Subclassification of BCLC B stage hepatocellular
carcinoma and treatmentstrategies: proposal of modified Bolondi’s subclassification (Kinki
criteria). Dig Dis 2015; 33: 751–758.
10. Bruix J, Qin S, Merle P, et al: Regorafenib for patients with hepatocellular carcinoma who
progressed onsorafenib treatment (RESORCE): a randomised, double-blind, placebo-
controlled, phase 3 trial. Lancet 2017;389: 56–66
11. Ikeda K, Kudo M, Kawazoe S, et al: Phase 2 study of lenvatinib in patients with advanced
hepatocellularcarcinoma. J Gastroenterol 2016
12. Eisai Co., Ltd.: Phase III trial of anticancer agent Lenvima ® as first-line treatment for
unresectable hepatocellularcarcinoma meets primary endpoint. News Release No. 17-06,
January 25, 2017
53
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
COLITIS: INFLAMMATORY BOWEL DISEASE VS INTESTINAL TUBERCULOSIS,
HOW TO DIFFERENTIATE IT
Marcellus Simadibrata Kolopaking
Division Gastroenterology Department Internal Medicine Faculty Medicine Universitas Indonesia / Dr.
Cipto Mangunkusumo Hospital
Abstract
Colonic tuberculosis is frequent in Indonesia and Asia Pacific. Inflammtory bowel
disease(IBD) is increasing in Indonesia and Asia Pacific recently. IBD and colonic tuberculosis
are frequently difficult to be differentiated. There is a close resemblance in the clinical,
radiological, endoscopic, surgical, and histological features of Crohns disease and Intestinal
tuberculosis. Inflammatory Bowel Disease(IBD) is defined as a group of idiopathic, chronic,
relapsing, inflammatory conditions of the colon and small intestine, that are immunologically
mediated. Crohn's disease and ulcerative colitis are the main types of inflammatory bowel
disease. Colonic tuberculosis is defined as the tuberculosis infection of the colon. Colonic
tuberculosis is part of intestinal tuberculosis, one of the presentation of extrapulmonary
tuberculosis. Crohn's disease may involve the entire gastrointestinal tract from mouth to perianal
area. Ulcerative colitis involve only colon(left colon to total colon). Symptoms: Intesintal:
Abdominal pain, chronic bloody diarrhea, weight loss, fever, perforation, fistulae, perianal tags;
extra-intestinal: arthralgia, skin disorder(pyoderma gangrenosum, erythema nodosum etc.),
stomatitis, opthalmic(episcleritis, iritis, uveitis etc), hepatobiliary(primary sclerosing cholangitis)
etc. The clinical manifstation of colitis tuberculosis are (1)Systemic symptoms: Fatique, low-
grade fever, night sweats, loss of weight, poor appetite, anemia, (2)Local symptoms: abdominal
distension(ascites, mass), abdominal pain, diarrhea/constipation, complication,(3) Extraintestinal
tuberculosis: pulmonary TBC. Supporting examinations in IBD: Laboratory: ASCA, ANCA,
elevated LED and CRP, elevated fecal calprotectin and fecal M2PK; Conoscopy: Crohn’s
disease(skip lesion, deep ulceration, pseudopolyps, Cobble stone appearance, Granulomatosa,
fistula, stricture, involving ileocecal, colon, small bowel); Ulcerative colitis(ulcerations,
pseudopolps, involving colon only); Histopathology: Crohn’s disease(noncaseating granuloma,
Datia langhans); Ulcerative colitis(acute and chronic inflammation of the mucosa by
polymorphonuclear leukocytes and mononuclear cells, crypt abscesses, distortion of the mucosal
glands, and goblet cell depletion); Barium enema/Barium follow through: thickening bowel wall,
stricture, fistula etc.; Abdominal Ultrasound/CT-scan/MRI : thickening of bowel wall,
stricture/stenosis of bowel lumen, megacolon toxic. The supporting examinations in Colitis
tuberculosis are Laboratory: elevated erythrocyte sedimentation rate(ESR), positive stool occult
blood test, Positive purified protein derivative tuberculin(PPD) skin test, positive Mycobacterium
TBC culture or histological examination of specimen, positive Mycobacaterium TBC on biopsy-
microscopic tissue exame; Radiography: stenosis and 0bstruction, shortening, ulceration,
retraction and pouch formation of the colon/intestine; Colonoscopy: ulceration, polyposis,
stenosis/obstruction of the colon.
Keywords: Inflammatory Bowel Disease (IBD), Colitis tuberculosis, Differentiation.
54
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
GUT MICROBIOTA IN INFLAMMATORY BOWEL DISEASES
Fauzi Yusuf
Divisi Gastroenterohepatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Abstrak
Inflammatory bowel diseases (IBD), termasuk Crohn’s disease (CD) dan ulcerative colitis
(UC), ditandai dengan chronic idiopathic intestinal inflammation, yang terjadi karena interaksi
antara faktor predisposisi genetik, faktor lingkungan dan sistem imun. Terjadi beberapa perubahan
dalam komposisi dan fungsi mikrobiota usus pada kasus IBD. Penurunan keragaman bakteri
ditemukan pada penderita IBD dibandingkan dengan orang normal. Jumlah total spesies mikroba,
yang dikenal dengan alfa diversity dalam istilah ekologi, mengalami penurunan pada pasien
colitis ulcerative dan Crohn’s Disease. Tulisan ini dibuat untuk menggambarkan bagaimana
perubahan mikrobiota usus pada kasus IBD.
Pendahuluan
Inflammatory bowel diseases (IBD), termasuk Crohn’s disease (CD) dan
ulcerative colitis (UC), ditandai dengan chronic idiopathic intestinal inflammation, yang
terjadi karena interaksi antara faktor predisposisi genetik (gen-gen yang mengkode
protein yang relevan pada imunitas alami dan adaptif, fungsi pertahanan dan pertahanan
dengan bantuan. mikroba), faktor lingkungan (antigen yang berasal dari bakteri
komensal) dan sistem imun.1,2
IBD terjadi karena: 1) Ketidakseimbangan respon antara proinflamasi dan sel T
antiinflamasi 2) Penyimpangan respon imun alami akibat defek dari pengenalan bakteri,
autofagi, dan presentasi antigen 3) perubahan fungsi pertahanan epithelial dan/atau 4)
ketidakseimbangan mikrobiota usus dengan perubahan pada hubungan mutualisme antara
sesama mikrobiota dan antara mikrobiota dan pejamu, yang disebut dengan “dysbiosis”,
ditandai dengan perubahan komposisi dan keragaman mikrobiota dan kerusakan
fungsinya. Hipotesis yang paling banyak dianut menyebutkan bahwa dysbiosis usus
merupakan hasil dari kerusakan sistem imun yang dikaitkan dengan terjadinya IBD.
Walapun patogen spesifik belum dapat diidentifikasi sebagai fakto etiopatogenesis dan
menjadi satu penyebab tersendiri, namun secara umum diketahui bahwa ada keterlibatan
mikrobiota usus dalam patogenesis penyakit ini. Secara khusus, beberapa
mikroorganisme yang berasal dari usus dapat menjadi suatu peran patogenik yang secara
genetik mempengaruhi pejamu yang disebabkan faktor lingkungan atau faktor diet dan
menyebabkan dan mencetuskan timbulnya inflamasi usus. 1,3
Perubahan Mikrobita Usus pada Inflammatory Bowel Disease.
Terjadi beberapa perubahan dalam komposisi dan fungsi mikrobiota usus pada
kasus IBD. Penurunan keragaman bakteri ditemukan pada penderita IBD dibandingkan
dengan orang normal. Jumlah total spesies mikroba, yang dikenal dengan alfa diversity
dalam istilah ekologi, mengalami penurunan pada pasien colitis ulcerative dan Crohn’s
Disease. Perubahan jumlah dan komposisi beberapa bakteri dikaitkan dengan perubahan
fungsi mikrobiota usus pada pasien IBD, terutama penurunan metabolisme short chain
fatty acids (SCFAs), terutama asetat, propionat dan butirat, penurunan biosintesis asam
amino dan juga peningkatan auxotrophy, stres oksidatif dan sekresi toksin..4,5
55
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Interaksi antara faktor genetik, mikrobiota dan sistem Imun Varian dari dua gen yang berhubungan dengan autophagy, nucleotide-binding
oligomerization domain-containing protein 2 (NOD2) dan autophagy-related protein 16L1
(ATG16L1), paling jelas terkait dengan IBD. NOD2 mengaktifkan reaksi kekebalan terhadap
muramyl dipeptide, komponen dari peptidoglikan dinding bakteri NOD2 mengenali komponen
dinding sel dari bakteri invasif seperti Shigella flexneri dan Listeria monocytogenes. Varian
polimorfik gen NOD2 telah secara konsisten dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk terjadinya
CD dan juga interaksi antara faktor genetik predisposisi dan toll-like receptors (TLRs).
Sekelompok reseptor yang dinyatakan dalam sel-sel imun yang berbeda merupakan pola pola
dasar pola yang memungkinkan kekebalan bawaan untuk membedakan antara mikroba patogen
yang sangat beragam. Aktivasi jalur TLR / NOD menyebabkan produksi sitokin proinflamasi,
seperti TNF-alpha.4
UC dan CD dianggap sebagai penyakit inflamasi yang terkait dengan respon
limfosit Th2 atau profil limfosit Th1 dan Th17. Limfosit regulasi T (Tregs) yang
mengekspresikan FoxP3 terjadi secara independen dari respons Th1 dan Th2.
Ketidakseimbangan antara Tregs dan Th17 tampaknya memainkan peran sentral dalam
modulasi IBD. Jumlah Foxp3 + Tregs yang diinduksi dalam lamina propria kolon
berkurang secara signifikan tanpa adanya mikrobiota usus dan kolonisasi kembali usus
dengan mikroba segera mengembalikan kadar Tregs yang diinduksi secara normal .
Namun, bukti terbaru telah mempertanyakan peran pro-inflamasi eksklusif sel Th17.
Bahkan, telah ditunjukkan dalam model murine penyakit menular yang sel Th17 juga
dapat melindungi terhadap patogen ekstraseluler dan bahwa kehadiran IL-17, dengan
reseptornya IL-17R, adalah faktor prognostik positif dalam modulasi patogenesis IBD,
dengan mengurangi aktivasi sel T di Th1-sense.2
Peranan Mikrobiota dalam Patogenesis Inflammatory Bowel Diseases.
Mikrobiota memainkan peran penting dalam pengembangan dan fungsi respon
imun fisiologis; sebaliknya, respon imun mengatur komposisi dan fungsi mikrobiota.
Kerusakan mukosa dapat terjadi akibat respons imun yang tidak teratur terhadap
mikrobiota normal atau sebaliknya merupakan konsekuensi dari respon imun normal
terhadap mikrobiota yang berubah. Gangguan perkembangan jaringan limfoid yang
berhubungan dengan usus dan pengurangan peyer patch (dengan jumlah sel IgE + B yang
lebih banyak dan jumlah sel IgA + B yang lebih rendah di dalam), folikel limfoid yang
terisolasi. Pada subyek sehat, sistem kekebalan gastrointestinal dan mikrobiota normal
berinteraksi secara seimbang. Namun, infeksi sementara mengganggu barier mukosa
dapat menginduksi respon imun yang diarahkan tidak hanya terhadap patogen, tetapi juga
terhadap komensal. Infeksi yang berulang, efektor dan memori sentral sel T melawan
akumulasi komensal dan menyebabkan proses untuk melanjutkan dari keadaan
peradangan subklinis ke kondisi IBD yang nyata..1
Mikrobiota usus memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan
fisiologis dan pemeliharaan kekebalan sistemik, tidak hanya dari sistem kekebalan lokal.
Studi terbaru pada model eksperimental telah sangat berkontribusi pada pemahaman
peran patogenik kekebalan dari mikrobiota. Tikus transgenik HLA-B27, yang secara
genetis rentan terhadap kolitis, dibesarkan di lingkungan bebas kuman, tidak mengalami
penyakit radang usus. Dengan demikian, peran mikrobiota, apakah protektif atau
patogenetik, di IBD masih kontroversial. Temuan yang ada sangat mungkin menunjukkan
bahwa mikrobiota normal memainkan peran protektif, sedangkan ketidakseimbangan
mikrobiota dalam komposisinya dapat memicu modifikasi fungsi imun mukosa, fungsi
barrier epitel dan autophagy yang mendukung terjadinya IBD. Temuan klinis pada
manusia memberikan bukti tambahan untuk mendukung pandangan ini. Pasien dengan
56
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
IBD, terutama mereka dengan CD, menghasilkan antibodi terhadap antigen mikroba,
seperti anti-Saccharomyces cerevisiae atau anti-E. coli antibodi membran luar porin C
antibodies. Selain itu, semakin tinggi reaktivitas serum terhadap antigen mikroba dan titer
antibodi, semakin besar frekuensi terjadinya komplikasi klinis.1,6
Kesimpulan
Mikrobiota usus memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan
fisiologis dan pemeliharaan kekebalan sistemik, tidak hanya dari sistem kekebalan lokal.
Penurunan keragaman bakteri ditemukan pada penderita IBD dibandingkan dengan orang
normal. Jumlah total spesies mikroba mengalami penurunan pada pasien colitis
ulcerative dan Crohn’s Disease. Perubahan jumlah dan komposisi beberapa bakteri
dikaitkan dengan perubahan fungsi mikrobiota usus pada pasien IBD.
DAFTAR PUSTAKA
1. Eppinga H, Fuhler GM, Peppelenbosch MP, Hecht GA. Gut Microbiota Developments
With Emphasis on Inflammatory Bowel Disease: Report From the Gut Microbiota for
Health World Summit 2016. Gastroenterology. 2016
2. Kim DH, Cheon JH. Pathogenesis of Inflammatory Bowel Disease and Recent Advances
in Biologic Therapies. Immune Netw . 2017.
3. Cao SS. Review Article Cellular :Stress Responses and Gut Microbiota in Inflammatory
Bowel Disease. 2018.
4. Ohkusa T, Koido S. Intestinal microbiota and ulcerative colitis. J Infection Chemotherapy.
2015.
5. Sheehan D, Shanahan F. The Gut Microbiota in Inflammatory Bowel Disease.
Gastroenterol Clinical North America. 2017.
6. Cammarota G, Ianiro G, Cianci R, Bibbò S, Gasbarrini A, Currò D. The involvement of
gut microbiota in inflammatory bowel disease pathogenesis: Potential for therapy.
Pharmacology Therapy. 2015.
57
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
PREVALENSI DAN DAMPAK PASIEN HEPATITIS C TERHADAP GANGGUAN
GINJAL IMPACT AND PREVALENCE OF HEPATITIS C
PATIENTS WITH KIDNEY DISEASE
Rudi Supriyadi
Nephrology and Hypertension Division
Department of Internal Medicine
Medical Faculty Universitas Padjadjaran
Hasan Sadikin Hospital
Bandung
Abstract
Indonesia is a country with a high incidence and prevalence of Hepatitis C and chronic
kidney disease. The Indonesian Renal Registry of 2017 revealed 3% patients undergoing chronic
hemodialysis infected with hepatitis C virus. Hepatitis C virus (VHC) is closely correlated to the
incidence of chronic kidney disease (PGK) in the general population. This virus will increase the
risk of CKD incidence in the general population through various mechanisms. PGK patients
undergoing HD will also have the risk of contracting VHC through various mechanisms such as
decrease immune system, blood component transfusion, interaction with VHC carriers or people
with VHC although this is difficult to prove. Therefore, eradication of VHC germs in patients with
CKD needs to be done to prevent the incidence of chronic hepatitis in patients with CKD and
transmission. Early detection of PGK incidence in patients with viral hepatitis C should also be
done only with simple proteinuria tests regularly. Effective treatment of VHC will reduce the
incidence of CKD.
Keywords: hepatitis C virus, Chronic kidney disease.
Abstrak
Indonesia merupakan negara dengan insidensi Hepatitis C dan penyakit ginjal kronik
yang tinggi. Laporan Indonesian Renal Registry tahun 2017 mendapatkan sekitar 3% pasien yang
menjalani hemodialisis kronik terinfeksi virus hepatitis C. Virus Hepatitis C (VHC) berkaitan erat
dengan kejadian penyakit ginjal kronik (PGK) pada populasi umum. Virus ini akan meningkatkan
risiko kejadian PGK pada populasi umum melalui berbagai mekanisme. Pasien PGK yang
menjalani HD akan juga memiliki risiko tertular VHC melalui berbagai mekanisme seperti
penurunan sistem imun tubuh, transfusi komponen darah, interaksi dengan carrier VHC atau
pengidap VHC meskipun hal ini sulit untuk dibuktikan. Oleh karena itu, eradikasi kuman VHC
pada penderita PGK perlu dilakukan untuk mencegah kejadian hepatitis kronik pada penderita
PGK dan penularannya. Deteksi dini kejadian PGK pada penderita hepatitis virus C juga harus
dilakukan hanya dengan tes proteinuria sederhana secara berkala. Pengobatan yang efektif
terhadap VHC akan menurunkan insidensi PGK.
Kata kunci: hepatitis C virus, penyakit ginjal kronik
Pendahuluan
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi
yang bervariasi, Penyakit ini menyebabkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan
ireversibel dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal terminal yang memerlukan
terapi pengganti ginjal (TPG) bisa berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Di Malaysia,
dengan jumlah penduduk sekitar 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal
ginjal pertahun. Sedangkan kasus PGK di Indonesia tiap tahunnya cukup tinggi, mencapai
200 – 250/1 juta penduduk bahkan ada yang menyebut angka hingga 400/juta penduduk
58
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
tergantung dari daerah tempat tinggal. Terapi pengganti ginjal salah satunya adalah
hemodialisis yang mempergunakan akses pembuluh darah secara langsung dan dialirkan
ke dalam suatu penyaring darah yang disebut dializer. Akses pembuluh darah langsung
merupakan wahana yang dapat menjadi akses bagi masuknya kuman ke dalam tubuh,
oleh karena itu telah dibuat suatu konsensus dan juga standar oerasional prosedur untuk
menghindari kontak darah dengan sumber infeksi baik bagi pasien maupun bagi petugas
medisnya. Selain faktor akses, faktor pasien PGK yang cenderung mengalami kelemahan
sistem imun (immunocomprimise) menjadi salah satu sebab mudahnya terjadi infeksi
pada pasien PGK terutma yang telah menjalani hemodialisis.
Satu hal yang menarik dan terjadi tidak hanya di Indonesia namun juga di negara
maju sekalipun adalah terdeteksinya virus hepatitis pada sejumlah pasien yang menjalani
hemodialisis terutama virus hepatitis C. virus hepatitis C dapat terdeteksi pada uji tapis
sebelum HD dilakukan berdasarkan protokol konsensus HD untuk melakukan uji tapis
terhadap VHC, VHB dan HIV sebelum HD dilakukan atau terjadi seroknversi dari negatif
menjadi positif VHC setelah berlangsungnya HD sekian lama. Kejadian serokonversi ini
bisa ditemukan pada saat skrining ulang atau penderita telah menunjukkan gejala hepatitis
baik akut maupun kronik.
Epidemiologi Hepatitis C Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik
Sekitar 300.000 orang meninggal setiap tahun di dunia karena hepatitis C.
Prevalensi hepatitis C di dunia sekitar 130-170 juta orang dengan angka infeksi baru 2,3-
4,7 juta/tahun. Dari angka tersebut, 25% nya simtomatik dan berakhir menjadi infeksi
kronik sekitar 70%, yang kemudian 25% menjadi sirosis dan HCC 1-5%, sedangkan 30%
mengalami remisi dari infeksi VHC. Riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2013
melaporkan angka prevalensi di Indonesia sekitar 2,5% namun terjadi penurunan di
riskesdas 2014 menjadi 0,8-1%.
Sementara itu, pasien PGK juga memiliki prevalensi hepatitis C yang tinggi
dibandingkan populasi normal, terutama pasien PGK yang menjalani prosedur
hemodialisis. Hal tersebut disebabkan oleh prosedur dialisis, penurunan imunitas tubuh,
dan pajanan terhadap produk darah dalam waktu yang lama. Prevalensi infeksi VHC pada
pusat hemodialisis berkisar 3-68% di seluruh dunia, jauh lebih tinggi dibandingkan
populasi normal (1,6%). Kisaran tersebut bervariasi karena terdapat perbedaan kepatuhan
terhadap penerapan protokol pengendalian infeksi di tiap negara.
Telah dilakukan penelitian mengenai prevalensi hepatitis C di unit hemodialisis
RSCM pada tahun 1997, 2011 dengan hasil sebesar 72% dan 38%. Pada tahun 2017, telah
dilakukan penelitian prevalensi hepatitis C pada pasien hemodialisis di 3 unit HD di RS di
Jakarta ditemukan sebesar 38%. Hasil ini masih lebih rendah jika dibandingkan penelitian
yang dilakukan di unit hemodialisis lain di Indonesia, seperti penelitian di Yogyakarta
dan Surabaya dimana prevalensi hepatitis C berturut-turut adalah 76,3% (tahun 1996),
dan 88% (tahun 1996). (draft konsensus hepatitis C-PGK)
VHC seperti telah diketahui dapat menyebabkan PGK melalui berbagai mekanisme
sehingga perlu dilakukan pencarian etiologi PGK yang lebih tepat termasuk kemungkinan
VHC sebagai penyebab. Sekitar 100.000 orang di Indonesia menjalanai hemodialisis
rutin. Risiko dan etiologi untuk VHC menjadi semakin tinggi. Indonesia telah memiliki
sistem pencatatan penyakit ginjal terintegrasi dan sudah diakui secara internasional salah
satunya telah disitasi oleh USRDS (United states renal data system). Pencatatan ginjal
tersebut adalah Indonesian Renal Registry (IRR) atau Registrasi Ginjal Indonesia. Selain
dunia internasional, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah sering memakai
data IRR sebagai baseline data untuk layanan kesehatan di bidang ginjal khususnya.
59
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Data berikut ini merupakan laporan mengenai kejadian VHC dan VHB pada pasien
hemodialisi di Indonesia yang didapat dari IRR tahun 2017, sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah Penderita GGK dengan hepatitis B dan C (IRR 2017)
Data di atas menggambarkan jumlah infeksi hepatitis yang diukur melalui
pemeriksaan serologi tes cepat hepatitis. Hepatitis C pada penderita yang menjalani HD
secara rutin adalah 831 orang sedangkan yang tidak menjalani HD rutin tapi insidental
saja yaitu 156 orang dengan AKI (acute kidney injury) dan juga 7 orang positif VHC
pada kejadian HD AKI on CKD. Data didapatkan dari unit HD yang melaporkan ke IRR,
tidak dari seluruh unit HD yang ada di Indonesia. Berdasarkan data di atas maka
didapatkan 994 penderita positif VHC yang menjalani HD.
Tabel 2. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik
60
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Berdasarkan data di atas didapatkan etiologi GGK tertinggi berasal dari penyakit
ginjal hipertensi (47,4%) dan diikuti oleh nefropati diabetika (24,4%). Hal ini merupakan
suatu fenomena yang menarik karena di dunia nefropati diabetik menduduki urutan
pertama (data USRDS). Jika melihat data riskesdas Indonesia terakhir yang mendapatkan
data prevalensi hipertensi sekitar 25% maka data penyebab PGK di atas tidaklah
mengherankan meskipun peru diteliti lebih lanjut.
Tabel 3. Penderita GGK dalam HD berdasarkan kelompok umur
Berdasarkan jenis kelamin didapatkan jumlah laki-laki yang menjalani HD adalah
18.616 sedangkan jumlah wanita 14.226 dan didapatkan jumlah penderita HD total
32.842. Kelompok umur terbanyak yang menjalani HD adalah kelompok umur 55-64
tahun pada laki-laki maupun wanita diikuti kelompok umur 45-54 tahun pada kedua
kelompok umur. Berdasarkan data yang didapatkan maka penderita GGK dengan HD
yang positif VHC didapatkan sekitar 3%.
Hepatitis C dan Penyakit Ginjal Kronik
Patogenesis Gangguan Ginjal Akibat Hepatitis C
Virus Hepatitis C (HCV) pertama kali di isolasi pada tahun 1989, virus ini
menyebabkan infeksi kronik di liver. Mesikipun HCV terutama menyebabkan hepatitis,
diperkirakan sekitar 40% penderita infeksi HCV mengalami manifestasi kelainan
ektrahepatik selama perjalanan penyakitnya. Hepatitis C penting untuk menjadi perhatian
klinisi agar bisa mengenali, mendiagnosis dan mengobati sindroma ekstrahepatik akibat
hepatitis C karena infeksi HCV bisa menimbulkan manifestasi ekstra hepatik tanpa
menunjukkan manifestasi penyakit hati kronik.(Latt et al., 2012)
Pasien yang terinfeksi HCV menunjukkan peningkatan risiko menderita penyakit
ginjal kronik (PGK). Berbagai penelitian tentang PGK pada penderita hepatitis C
memberikan hasil yang berbeda. Sebuah systematic review dari berbagai publikasi medis
yang melakukan penelitian tentang apakah status serologis anti-HCV positif berhubungan
dengan peningkatan frekuensi PGK pada orang dewasa di populasi umum yang dilakukan
pada 40 penelitian dengan jumlah sampel 4.072.867 pasien, serta dilakukan meta-analisis
pada outcome pada penelitian-penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan antara
61
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
infeksi HCV dan peningkatan risiko PGK pada populasi umum.(Fabrizi et al., 2018)
Suatu retrospektif kohort yang dilakukan pada 56.448 pasien hepatitis C di Amerika
menunjukkan bahwa hubungan antara hepatitis C dan risiko terjadinya PGK
dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi. Penderita hepatitis C memiliki 27% risiko
lebih tinggi mengalami PGK dan terapi hepatitis C yang efektif menurunkan insiden
terjadinya PGK (Park et al., 2018)
Penyakit ginjal kronik (PGK) terkait HCV terjadi melalui mekanisme yang
berhubungan dengan cryoglobulinemia, komplek antigen-antibodi virus dan efek sitopatik
virus secara langsung.
Gambar 1. Mekanisme terjadinya PGK pada penderita Hepatitis C(Barsoum et al., 2017)
Cryoglobunemia
Cryoglobulinemia mengacu pada adanya satu (monoklonal) atau lebih (mixed atau
poliklonal) imunoglobulin dalam serum, yang secara reversibel mengendap pada suhu
rendah (<37 °C). Immunoglobulin ini akan larut kembali saat serum dipanaskan.
Cryoglobulinemia secara klasik dikelompokkan menjadi 3 jenis menurut sistem
klasifikasi Brouet. Cryoglobulinemia tipe 1 terdiri dari imunoglobulin (Ig) M monoklonal
terisolasi dan paling sering dikaitkan dengan gangguan limfoproliferatif.
Cryoglobulinemia tipe I hanya terdapat pada 10-15% kasus. Cryoglobulinemia tipe II
terdiri dari kompleks imun campuran yang dibentuk oleh IgM monoklonal dan IgG
poliklonal. Hal ini terlihat pada infeksi virus diantaranya HCV, virus hepatitis B (HBV),
dan cytomegalo-virus, juga pada peradangan kronik seperti lupus eritematosus sistemik,
rheumatoid arthritis, dan sindrom Sjogren. Cryoglobulinemia tipe II didapatkan pada 50-
60% kasus yang dilaporkan. Cryoglobulinemia tipe III mengandung kompleks imun
campuran yang biasanya dibentuk oleh IgM poliklonal, tipe ini didapatkan pada 25-30%
kasus.(Latt et al., 2012)
Cryoglobulinemia campuran (tipe II dan III) paling sering dikaitkan dengan
MPGN dan berhubungan kuat dengan infeksi HCV kronik pada 80% hingga 90% pasien
dengan vaskulitis cryoglobulinemic.(Schena and Alper, 2015) Manifestasi klinis
Cryoglobulin glomerulonefritis bisa didapatkan mulai dari asimtomatik proteinuria atau
62
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
hematuria sampai terjadi sindrom nefrotik maupun nefritik, yang selanjutnya berkembang
menjadi PGK.
Patogenesis Cryoglobulinemia Nephritis
Limfosit B adalah target infeksi HCV karena ekspresi sel reseptor CD81, yang
juga memungkinkan infeksi hepatosit. Sel B menghasilkan autoantibodi yang beredar luas
sehubungan dengan penurunan ambang aktivasi sel akibat infeksi HCV. Translokasi gen
HCV-dependent yang mampu melindungi sel terhadap apoptosis menopang
limfoproliferasi oligoclonal monotypic yang terjadi pada cryoglobulinemia campuran.
IgM-k yang memiliki aktivitas rheumatoid terhadap anti-HCV IgG membentuk mega-
kompleks yang tidak mengikat sistem transport eritrosit, tetap bebas bersirkulasi dan
banyak berikatan dengan fagosit sehingga menurunkan kemampuan fagosit untuk
menghilangkan immune-complex (IC) dari darah. Blokade terhadapt sel fagosit ini
menguntungkan infeksi HCV, yang membuat sel-sel tidak dapat mencerna cryoglobulin
setelah fagositosis. Karena afinitas terhadap matriks mesangial dari komponen IgM
monoklonal, terjadi deposit IC di glomeruli, di mana produksi sitokin memudahkan
diapedesis leukosit dan kerusakan endotel.(Roccatello et al., 2004)
Gambar 2. Mekanisme terjadinya Cryoglobulinemia Nephritis pada infeksi HCV(Roccatello et al.,
2004)
63
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Gambar 3. Ilustrasi dinding kapiler glomerular normal dan Membranoproliferatif
Immune-Complex-Mediated Glomerulonefritis (MPGN).
Panel A gambar di atas adalah model skematis glomerulus normal dinding kapiler,
dengan regulator komplemen pada permukaan sel-sel endotel dan glomerular basement
membran. Panel B adalah model skematis MPGN dengan deposisi kompleks imun dan
aktivasi jalur klasik komplemen. Ikatan antigen-antibodi komplek mengaktivasi C1, yang
kemudian memotong C4 dan C2 untuk menghasilkan C4b dan C2a. Protein ini
selanjutnya membentuk C4b2a yang merupakan classical pathway convertase, yang
mengaktivasi C3 convertase dan terminal komplemen yang kompleks. Hasil akhir dari
proses kaskade komplemen ini adalah sMAC (soluble membrane attack complex). Fase
injury terjadi karena pengendapan kompleks imun dan komplemen dari jalur klasik
maupun jalur terminal komplemen. Fase injury diikuti dengan peran leukosit, yang
selanjutnya mengarah ke fase proliferasi, dengan kerusakan pada dinding kapiler akibat
pelepasan sitokin dan berbagai protease (berlabel P) yang kemudian diikuti dengan
hematuria dan proteinuria. Sel-sel endotel mengalami kerusakan dengan hilangnya celah
endotel, rusaknya membran basal glomerulus, dan penipisan foot processes podosit.
Selanjutnya perubahan reparatif terjadi dengan pembentukan membran basal baru serta
kompleks imun, komplemen, elemen seluler, dan materi matriks yang terperangkap
diantara membran basal yang rusak dan membran basal baru sehingga menghasilkan
kontur ganda sepanjang dinding kapiler. Struktur oval kuning menunjukkan faktor
pelengkap.(Sethi and Fervenza, 2012)
64
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Gambar 4. Dengan pewarnaan Masson trichrome menunjukkan typical HCV-cryoglobulinemic
deposits, mesangial expansion and amyloid deposits
Gambar 5. Mikroskop elektron : tampak deposit amyloid fibril yang tersebar secara acak
Gambaran klinis glomerulonefritis cryoglobulinemic adalah kombinasi dari triad
Meltzer yang terdiri dari vaskulitis kulit, arthralgia dan mialgia, bersama dengan
manifestasi PGK. Manifestasi PGK bervariasi dari hematuria tanpa gejala dan / atau
proteinuria, hingga gagal ginjal progresif. Sindrom nefrotik terjadi pada seperlima kasus
dan sindrom nefritik pada seperenam kasus. Hipertensi terjadi pada sekitar 70% pasien.
Diagnosis ditegakkan dengan Complement-4 (C4) consumption (penurunan C4
complement??) dan reaksi reumatoid faktor (RF) serum yang kuat, dan dikonfirmasi oleh
65
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
deteksi cryoglobulin yang bersirkulasi, dan HCV dengan pemeriksaan polymerase chain
reaction (PCR).
Efek sitopatik virus secara langsung
Antigen HCV dapat ditemukan dalam glomerulus tanpa antibodi yang dapat
dideteksi oleh enzim-linked sorbent assay (ELISA), atau replikasi virus dalam darah
perifer dengan PCRC konvensional. Hal ini mungkin sebagian karena ketidakpekaan dari
teknik yang tersedia saat ini. Namun, mungkin juga menunjukkan mekanisme patogenesis
alternatif yang melibatkan sitotoksisitas glomerulus langsung oleh virus langsung jika
dianalogikan dengan terjadinya poliarteritis nodosa pada infeksi HBV tanpa deposisi
kompleks imun yang terdeteksi. Bisa diperkirakan efek sitostatik endotel langsung dapat
menjelaskan aterosklerosis yang “dipercepat” yang diamati pada pasien terinfeksi HCV.
Faktor aterosklerosis yang cepat ini sebagian dikarenakan perkembangan CKD yang
relatif cepat pada pasien HCV terlepas dari etiologi.(Barsoum et al., 2017)
Glomerulopati lain terkait virus Hepatitis C Virus
Meskipun MPGN paling sering dikaitkan dengan infeksi HCV, juga dilaporkan
adanya glomerulonephritis lain terkait dengan HCV, termasuk membranous nephropathy,
focal segmental glomerulosclerosis, post-infectious gromerulonephritis, thrombotic
microangiopathies, IgA nephropathy, dan fibrillary atau immunotactoid glomerulopathy.
Infeksi HCV terkait dialisis
Penyakit hati yang disebabkan karena HCV sangat mempengaruhi mortalitas dan
morbiditas pada penderita PGK yang menjalani hemodialisis (HD). Pasien yang
menjalani hemodialisis rutin berisiko tinggi untuk terinfeksi HCV. Di negara
berkembang, prevalensi penderita PGK dengan HD rutin yang anti-HCV seropositif
bervariasi antara 5 – 60%. Penyebaran HCV di unit HD makin menurun namun
prevalensi HCV pada pasien HD masih relatif tinggi.(Ozer Etik et al., 2015)
Sebelum tahun 1990, jalur utama transmisi HCV melalui transfusi produk darah,
penyalahgunaan obat dengan injeksi intravena, prosedur medis yang tidak aman. Sejak
diberlakukan proses penyaringan sistematis pada produk darah untuk transfusi, dan
penggunan erythropoiesis-stimulating agents risiko infeksi dari transfusi produk darah
pada pasien yang menjalani HD jauh berkurang. Namun pasien dengan HD reguler masih
dikategorikan kelompok risiko tinggi terinfeksi HCV. Beberapa penelitian menunjukkan
prevalensi infeksi HCV berhubungan kuat dengan lamanya HD, tidak tergantung pada
transfusi yang diberikan. Prevalensi transmisi HCV di pusat-pusat HD lebih tinggi
dibandingkan pada peritoneal dialisis atau pasien HD dirumah. Data ini menunjukkan
bahwa transmisi nosokomial merupakan faktor yang penting. Hal ini yang mendasari
Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO) work group untuk melakukan
pencegahan transmisi HCV pada pasien HD dengan fokus pada implementasi Higiene
yang memadai, terutama menyangkut staff unit HD dan tingkat sterilitas mesin HD.
(Marinaki et al., 2015) Laporan dari CDC amerika mengemukankan lebih dari 50% dari
semua kejadian luar biasa infeksi HCV terkait tenaga kesehatan dari tahun 2008 sampai
2015 terjadi di tempat yang berhubungan dengan HD Hal lain yang perlu menjadi
perhatian adalah fakta bahwa mengisolasi pasien yang terinfeksi HCV tidak menunjukkan
efek proteksi terhadap penyebaran HCV di unit HD, sehingga hal ini tidak dianjurkan
untuk dilakukan.(Marinaki et al., 2015)
66
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Kesimpulan
Kejadian hepatitis C di Indonesia cukup tinggi. Hepatitis C merupakan penyakit infeksi
yang dapat bermanifestasi di luar hati yaitu salah satunya penyakit ginjal kronik.
Hepatitis C pada PGK yang menjalani HD di Indonesia sekitar 3%. Deteksi dini PGK
pada pasien dengan VHC sangat penting dan mudah dilakukan dengan menguji secara
berkala proteinuria. Pasien PGK dengan HD sangat rentan infeksi salah satunya adalah
VHC sehingga skrining terhadap VHC perlu rutin dilakukan.
Daftar Pustaka
1. Barsoum, R.S., William, E.A., Khalil, S.S., 2017. Hepatitis C and kidney disease: A
narrative review. J. Adv. Res. 8, 113–130. https://doi.org/10/gdpcv2
2. Cacoub P, Desbois AC, Isnard-Bagnis C, Rocatello D, Ferri C. Hepatitis C vrus
infection and chronic kidney disease: time for reappraisal. Journal of Hepatology.
2016; vol 65:S82-S94. 3. Fabrizi, F., Donato, F.M., Messa, P., 2018. Association Between Hepatitis C Virus and
Chronic Kidney Disease: A Systematic Review and Meta-Analysis. Ann. Hepatol. 17,
364–391. https://doi.org/10/gdhd7p
4. Hasan I, Gani RA, Sulaiman AS, Lesmana CAR, Kurniawan J, Jasirwan COM et al.
Konsensus nasional penatalaksanaan hepatitis C di Indonesia 2017. Jakarta: PPHI. 2017
5. Indonesian Society of Nephrology. Indonesian Renal Registry Annual Report. 2017
6. Latt, N., Alachkar, N., Gurakar, A., 2012. Hepatitis C Virus and Its Renal Manifestations:
A Review and Update. Gastroenterol. Hepatol. 8, 434–445.
7. Marinaki, S., Boletis, J.N., Sakellariou, S., Delladetsima, I.K., 2015. Hepatitis C in
hemodialysis patients. World J. Hepatol. 7, 548–558. https://doi.org/10/gdpcxb
8. Ozer Etik, D., Ocal, S., Boyacioglu, A.S., 2015. Hepatitis C infection in hemodialysis
patients: A review. World J. Hepatol. 7, 885–895. https://doi.org/10.4254/wjh.v7.i6.885
9. Park, H., Chen, C., Wang, W., Henry, L., Cook, R.L., Nelson, D.R., 2018. Chronic
hepatitis C virus (HCV) increases the risk of chronic kidney disease (CKD) while
effective HCV treatment decreases the incidence of CKD: Park et al. Hepatology 67,
492–504. https://doi.org/10/gdpcv3
10. Pernefri-PPHI. Draft Konsensus Nasional hepatitis c – penyakit ginjal kronik di Indonesia
2018
11. Roccatello, D., Baldovino, S., Rossi, D., Mansouri, M., Naretto, C., Gennaro, M.,
Cavallo, R., Alpa, M., Costanzo, P., Giachino, O., Mazzucco, G., Sena, L.M., 2004.
Long-term effects of anti-CD20 monoclonal antibody treatment of cryoglobulinaemic
glomerulonephritis. Nephrol. Dial. Transplant. 19, 3054–3061. https://doi.org/10/cqvh7k
12. Schena, F.P., Alper, C.E., 2015. Membranoproliferative Glomerulonephritis and
Cryoglobulinemic Glomerulonephritis, in: Johnson, R.J., Feehally, J., Flöge, J. (Eds.),
Comprehensive Clinical Nephrology. Elsevier, Saunders, Philadelphia, Pa.
13. Sethi, S., Fervenza, F.C., 2012. Membranoproliferative Glomerulonephritis — A New
Look at an Old Entity. N. Engl. J. Med. 366, 1119–1131.
https://doi.org/10.1056/NEJMra1108178
14. Widhani A, Lydia A, Gani RA, Setiati S. Serokonversi hepatitis C pada pasien
hemodialisis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia. 2015;2(1): 15-22.
67
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Role of Elbasvir/Grazoprevir in Treatment Hepatitis C with
Chronic Kidney Disease (CKD) Patients C. Rinaldi A. Lesmana
Department of Internal Medicine, Hepatobiliary Division,
Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Universitas Indonesia
Digestive Disease & GI Oncology Center, Medistra Hospital, Jakarta
Introduction
Chronic hepatitis C (CHC) infection is still a problem in causing advanced chronic
liver disease in the world, where it can lead to liver cirrhosis and liver cancer. In the past,
most of risk factor for hepatitis C infection is blood transfusion, however, there is an
increasing prevalence in Indonesia due to drug abuser. Hepatitis C infection eradication
has become the main target as it is a curable disease, but as the disease is a silent disease,
it is required a good screening so the treatment can be started as soon as possible to
prevent liver disease progression.
Hepatitis C treatment evolution
In the past, interferon therapy has been the main player in hepatitis C infection
eradication. The development of pegylated interferon (Peg-IFN) has shown a remarkable
result when combined with ribavirin therapy, however, the side effects, cost, and injection
type have made big avoidance for most of the patients. The limitation of this type of
therapy is when facing CHC patients with chronic kidney disease (CKD) as it would need
the adjustment dose with regards to the side effects, and also in jaundice patients as well
as decompensated liver disease patients.
In 2013, the direct antiviral agent (DAA) was born and it shows a very high
curable results, but the price is very expensive.Sofosbuvir is the key player in DAA
treatment. In the beginning, Sofosbuvir needs to be combined with Peg-IFN and ribavirin
especially in genotype 1 patients, however, in liver cirrhosis patients, sofosbuvir-ribavirin
without interferon can become an alternative therapy. The next combination without
interferon, sofosbuvir plus ledipasvir, has shown a high sustained virological response
(SVR) in genotype 1 patients. Recently, sofosbuvir combined with daclatasvir has
become a drug of choice due to its ability in pan-genotype therapy. In some countries it
also has been subsidized by the government to reduce the price. This treatment evolution
has given a wide opportunity even for decompensated liver patients to be treated, even
though the complications still need to be followed up.
Hepatitis C infection in Chronic Kidney Disease (CKD) Patients
Chronic kidney disease (CKD) patients is one of the group needs a careful
evaluation before deciding and starting DAA therapy. Sofosbuvir has been warned to be
avoided in advanced CKD patients (eGFR<30 or stage 4-5). It has been hypothesized that
its metabolite can be accumulated and increase its toxicity in end stage renal disease
(ESRD).
Elbasvir/Grazoprevir (EBR/GZR) is the current drug of choice (DAA agents) for
hepatitis C patients with CKD. Studies have shown high SVR (>90%) with renal safety
68
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
by using this drugs in CHC patients. This drugs also can be a drug of choice in CKD
patients on routine hemodialysis.
Conclusions
Hepatitis C infection in CKD patients is a challenging situation with regards to the
choice of therapy, kidney transplantation candidate, and routine hemodialysis. EBR/GZR
currently is the drug of choice in CKD patients.
References:
1. Etik DO, Ocal S, Boyacioglu AS. Hepatitis C infection in hemodialysis patients: A
review. World J Hepatol (2015);7(6):885-895.
2. Roth D, Nelson DR, Bruchfeld A, Liapakis A, Silva M, Monsour H, et al. Grazoprevir
plus elbasvir in treatment-naïve and treatment-experienced patients with hepatitis C virus
genotype 1 infection and stage 4-5 chronic kidney disease (the C-SURFER study): a
combination phase 3 study. The Lancet (2015). Available at:
http://dx.doi.org/10.1016/s0140-6736(15)00349-9.
3. Reddy KR, Roth D, Bruchfeld A, Hwang P, Harber B, Robertson MN, et al.
Elbasvir/grazoprevir does not worsen renal function in patients with hepatitis C virus
infection and pre-existing renal disease. Hepatol Res (2017);47:1340-1345.
69
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
ANTI-FIBROGENIC STRATEGIES AND THE REGRESSION OF FIBROSIS Dr.dr. M. Begawan Bestari, SpPD-KGEH, MKes, FASGE
Division of Gastroenterohepatology
Department of Internal Medicine
Hasan Sadikin General Hospital
Faculty of Medicine – Universitas Padjadjaran
Abstrak
Fibrosis hati adalah hasil dari banyak penyakit kronis, dan sering menyebabkan sirosis,
gagal hati, dan hipertensi portal. Transplantasi hati adalah satu-satunya pengobatan yang tersedia
untuk pasien dengan stadium lanjut fibrosis. Oleh karena itu, metode alternatif diperlukan untuk
mengembangkan strategi baru untuk terapi anti-fibrotik. Perawatan yang tersedia dirancang untuk
menggantikan transplantasi hati atau menjembatani pasien, mereka termasuk inhibitor sitokin
fibrogenik seperti TGF-β1 dan EGF, inhibitor sistem rennin angiotensin, dan blocker dari
pensinyalan TLR4. Pengembangan fibrosis hati diatur oleh banyak jenis sel. Namun,
myofibroblast yang diaktifkan tetap menjadi target utama untuk terapi anti-fibrotik. Sel-sel
stellata hati dan fibroblas portal dianggap memainkan peran utama dalam pengembangan fibrosis
hati. Artikel ini membahas asal mula myofibroblast yang diaktifkan dan berbagai aspek aktivasi,
diferensiasi dan potensi inaktivasi selama regresi fibrosis hati.
Kata kunci: anti fibrosis, regresi fibrosis, myofibroblast
Pendahuluan
Fibrosis hati adalah hasil dari banyak penyakit hati kronis, termasuk virus
hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), penyakit hati alkoholik dan steatohepatitis
non-alkohol (NASH). Fibrosis hati terdiri dari fibrous scar yang terbentuk oleh banyak
matriks matriks ekstraseluler (ECMs) termasuk kolagen tipe I. Dalam semua fibrosis hati
klinis dan eksperimental, myofibroblasts adalah sumber ECM yang merupakan fibrous
scar. Myofibroblast mengekspresikan aktin otot polos (α-SMA) dan kolagen tipe I dan
hanya ditemukan di bagian yang hati yang cedera. Dengan demikian, aktivasi dan
proliferasi miofibroblas hati merupakan mekanisme utama dalam perkembangan sirosis
hati.
Beberapa peristiwa berikutnya yang dipicu cedera diidentifikasi menjadi penting
untuk patogenesis fibrosis iver dan resolusinya. Hal tersebut termasuk: 1) kerusakan
langsung pada penghalang epitel / endotel; 2) pelepasan TGF-β1, sitokin fibrogenik
mayor; 3) meningkatkan permeabilitas usus; 4) rekrutmen sel-sel inflamasi; 5) induksi
spesies oksigen reaktif (ROS); 6) aktivasi sel penghasil kolagen; 7) aktivasi
myofibroblasts yang diinduksi oleh matriks.
Myofibroblast adalah target utama terapi anti-fibrotik
Miofibroblas hati merupakan target utama untuk terapi antifibrotik. Asal usul sel
fibrogenik (miofibroblas) telah dibahas dan dipelajari secara intensif, dan beberapa
sumber myofibroblast telah diidentifikasi. Pada hati fibrotik, sel-sel stellata hati (HSC)
telah dilaporkan berkontribusi> 80% kolagen memproduksi sel. Oleh karena itu, HSC
saat ini dianggap sebagai sumber utama, tetapi bukan satu-satunya, sumber myofibroblast
di hati yang terluka. Myofibroblas hati juga dapat berasal dari fibroblast portal, sel-sel
mesenchymal dan sumsum tulang belakang (BM) Dua mekanisme lain yang baru-baru ini
terlibat dalam fibrogenesis adalah transisi epitelial ke mesenkhimal (epithelial-to-
mesenchymal transition/EMT), ketika sel-sel epitel mendapatkan fitur dari sel
70
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
mesenchymal dan dapat menyebabkan myofibroblasts dan endotelial-ke-mesenkimal
transisi yang sepenuhnya terdiferensiasi (endothelial-to-mesenchymal transition/EndMT),
ketika sel-sel endothelial mengalami perubahan fenotipik yang sama.
Myofibroblast dicirikan oleh bentuk bintang, ekspresi matriks pericellular yang
melimpah dan gen fibrotik (α-smooth muscle actin/α-SMA), non-otot myosin,
fibronektin, vimentin,). Ultrastruktur, myofibroblasts didefinisikan oleh retikulum
endoplasma kasar yang menonjol. (RER), alat Golgi yang memproduksi kolagen,
miofilamen perifer, fibronexus (tanpa lamina) dan gap junction. Myofibroblast terlibat
dalam penyembuhan luka dan gangguan fibroproliferatif. Studi fibrogenesis dilakukan di
banyak organ dengan kuat menunjukkan bahwa myofibroblasts adalah sumber utama
ECM. Menanggapi rangsangan fibrogenik, seperti TGF-β1, myofibroblasts di semua
jaringan mengekspresikan α-SMA, mengeluarkan ECM (fibronektin, kolagen tipe I dan
III), memperoleh kontraktilitas tinggi dan mengubah fenotipe (produksi serat stres).
Myofibroblast klasik membedakan dari garis keturunan mesenkimal dan, oleh karena itu,
kurangnya ekspresi penanda limfoid seperti CD45 atau CD34. Cedera berkelanjutan dapat
memicu diferensiasi myofibroblasts dari beberapa sumber seluler, termasuk HSC.
Kemajuan dalam perkembangan terapi fibrosis hati
Beberapa molekul telah berhasil diidentifikasi sebagai target untuk terapi anti-fibrotik.
TGF-β1 memainkan peran penting dalam aktivasi myofibroblasts. Meskipun inhibitor
TGF-β1 efektif dalam model hewan jangka pendek, mereka tidak cocok untuk terapi
jangka panjang karena peran signifikan TGF-β1 dalam homeostasis dan perbaikan. Faktor
pertumbuhan hepatosit (HGF) adalah sitokin pleiotropik yang diproduksi oleh sel stellata
hati dan terlibat dalam regenerasi hati dan fibrosis. Demikian pula, pengobatan dengan
inhibitor HGF menghasilkan efek antifibrogenik, tetapi juga meningkatkan risiko
tumorigenesis pada tikus.
Mekanisme regresi fibrosis hati
Sampai saat ini, diyakini bahwa fibrosis hati tidak dapat diubah kembali. Namun,
biopsi hati berurutan telah mendokumentasikan bahwa menghilangkan agen etiologi yang
mendasari dapat membalikkan fibrosis hati pada pasien dengan fibrosis bilier sekunder,
Hepatitis C, Hepatitis B, NASH, dan autoimun hepatitis. Selanjutnya, dalam model
eksperimental CCl4, dan BDL menginduksi fibrosis hati, pengangkatan agen etiologi
menghasilkan pembalikan fibrosis. Penarikan sumber etiologi dari cedera kronis
(misalnya HBV, HCV) menghasilkan penurunan sitokin proinflamasi dan fibrogenik
(TGFβ1), penurunan produksi ECM, peningkatan aktivitas kolagenase dan hilangnya
myofibroblast yang teraktivasi. Mekanisme yang diterima saat ini untuk penghapusan
myofibroblast yang diaktifkan adalah bahwa sel-sel ini menurun dengan cepat karena
apoptosis HSC aktif.
Beberapa mekanisme terlibat dalam apoptosis HSC yang diaktifkan: 1). Aktivasi
jalur mediasi reseptor kematian (reseptor Fas atau TNFR-1) dan caspase 8 dan 3; 2)
peningkatan regulasi protein pro-apoptosis (misalnya p53, Bax, caspase 9); dan 3)
penurunan gen prosurvival (mis. Bcl-2) 111. Populasi sel natural killer (NK) hati dan γδT
(NKT) sel menstimulasi apoptosis HSC teraktivasi. Obat-obatan yang menginduksi
apoptosis pada HSC yang diaktifkan (glyotoxin, sulfasalazine, inhibitor IKK, dan
antibodi anti-TIMP) menyebabkan fibrosis hati untuk mundur. Peningkatan aktivitas
kolagenase adalah jalur utama fibrosis resolusi. Pada tahap ini, sel makrofag/Kupffer
yang diaktifkan mensekresikan matriks metalloproteinase, misal MMP-13 interstisial
kolagenase, bertanggung jawab untuk degradasi matriks. Selain itu, peningkatan aktivitas
71
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
kolagen menurunkan enzim berkorelasi dengan penurunan TIMPs, inhibitor jaringan
matriks metalloproteinasesis. Apakah akhiran sirosis dapat membalikkan ke arsitektur
hati yang normal tetap kontroversial.
Namun, perbaikan yang signifikan dalam struktur dan fungsi hati memberikan bukti
regresi fibrosis hati. Mungkin remodeling ECM terbatas pada sirosis oleh formasi dari
kolagen cross-linked yang tidak dapat direduksi dan ECM yang kaya dengan serat elastin
mencegah degradasi. Keadaan patofisiologis ini dapat mengarah pada point of no return
untuk fibrosis hati.
Peran myofibroblast dalam pembalikan fibrosis hati
HSC merupakan sumber utama sel-sel yang memproduksi kolagen di hati fibrotik.
Meskipun kematian HSC oleh apoptosis dan senescence selama regresi fibrosis hati
didokumentasikan dengan baik, kontribusi kuantitatifnya tidak diketahui. Secara teoritis,
HSC teraktivasi / myofibroblasts dapat bertransferferasi menjadi fenotipe lain atau
kembali ke HSC diam.
Meskipun populasi seluler HSC diam dipulihkan pada tikus yang pulih dari
fibrosis, sumber HSC diam ini tidak diketahui. Dalam konkordansi, studi dalam budaya
menunjukkan bahwa HSC, setidaknya sebagian, dapat membalikkan fenotipe diam. Oleh
karena itu, hilangnya diaktifkan α-SMA + Col + diaktifkan HSC / myofibroblasts dalam
perjalanan pembalikan fibrosis dapat menunjukkan bahwa HSC yang diaktifkan kembali
ke keadaan diam.
Fenotipe diam dari HSC dikaitkan dengan ekspresi gen lipogenik dan
penyimpanan vitamin A dalam tetesan lipid. Deplesi proliferator peroksisom aktif
reseptor gamma (PPAR-γ) merupakan peristiwa molekuler kunci untuk aktivasi HSC, dan
ekspresi ektopik dari reseptor nuklir ini menghasilkan pembalikan fenotipik aktif HSC ke
sel diam dalam budaya. Pengobatan HSC teraktivasi dengan koktail diferensiasi adiposit
atau ekspresi berlebih dari SREBP-1c menghasilkan up-regulasi faktor transkripsi
adipogenik dan menyebabkan pembalikan morfologis dan biokimia dari HSC teraktivasi
menjadi sel diam. Selain itu, quiescence HSCs sangat bergantung pada lingkungan ECM,
dan komposisi matriks penting untuk mempertahankan fenotip HSC yang diam. Dengan
demikian, aktivasi spontan HSC diam dilemahkan ketika dibiakkan pada basement
membrane-like ECM, dan plastic activated HSC membalikkan fenotipe mereka dan
menurunkan penanda fibroblast jika ditransfer ke basal membrane-like ECM. Meskipun
data ini menunjukkan bahwa HSC yang diaktifkan dapat berbalik ke keadaan diam,
temuan ini hanya didokumentasikan dalam sel kultur.
Fibrosis hati reversibel pada pasien dan dalam model eksperimental dengan
penurunan parut fibrosa dan hilangnya populasi myofibroblast. Namun, nasib para
myofibroblasts tidak diketahui. Meskipun beberapa myofibroblast mengalami kematian
sel, sebuah hipotesis alternatif yang belum teruji adalah bahwa myofibroblast kembali ke
asal mereka yang diam. fenotipe atau memperoleh fenotipe baru. Memahami asal usul
dan biologi miofibroblas fibrogenik akan memberikan target baru untuk terapi anti-
fibrotik.
Kesimpulan
Inaktivasi myofibroblast selama pembalikan fibrosis membuka prospek baru
untuk terapi.
Fibrosis hati reversibel pada pasien dan dalam model eksperimental dengan penurunan
parut fibrosa dan hilangnya populasi myofibroblast. Namun, nasib para myofibroblasts
tidak diketahui. Meskipun beberapa myofibroblast mengalami kematian sel, sebuah
72
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
hipotesis alternatif yang belum teruji adalah bahwa myofibroblast kembali ke asal mereka
yang diam. fenotipe atau memperoleh fenotipe baru. Memahami asal usul dan biologi
miofibroblas fibrogenik akan memberikan target baru untuk terapi anti-fibrotik.
Daftar Pustaka
1. Bataller R, Brenner DA. Liver fibrosis. J Clin Invest. 2005; 115:209–218.
2. Choi SS, Diehl AM. Epithelial-to-mesenchymal transitions in the liver. Hepatology. 2009
3. Friedman SL, Bansal MB. Reversal of hepatic fibrosis -- fact or fantasy? Hepatology.
2006;
43:S82–S88.
4. Geerts A. History, heterogeneity, developmental biology, and functions of quiescent
hepatic
stellate cells. Semin Liver Dis. 2001; 21:311–335.
5. Iredale JP. Hepatic stellate cell behavior during resolution of liver injury. Semin Liver
Dis. 2001;
21:427–436.
6. Kalluri R, Neilson EG. Epithelial-mesenchymal transition and its implications for
fibrosis. J Clin
Invest. 2003; 112:1776–1784.
7. Kisseleva T, Brenner DA. Hepatic stellate cells and the reversal of fibrosis. J
Gastroenterol Hepatol.
2006; 21 Suppl 3:S84–S87.
8. Kisseleva T, Brenner DA. Fibrogenesis of parenchymal organs. Proc Am Thorac Soc.
2008; 5:338–342.
9. Kisseleva T, Brenner DA. Mechanisms of fibrogenesis. Exp Biol Med (Maywood). 2008;
233:109–122.
10. Ramachandran P, Iredale JP. Reversibility of liver fibrosis. Ann Hepatol. 2009; 8:283–
291.
11. Subeq YM, Ke CY, Lin NT, Lee CJ, Chiu YH, Hsu BG. Valsartan decreases TGF-beta1
production and protects against chlorhexidine digluconate-induced liver peritoneal
fibrosis in rats. Cytokine. 53:223–230.
73
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
ACUTE-ON-CHRONIC LIVER FAILURE: WHAT ARE THE IMPLICATIONS?
TriyantaYuliPramana
Definition.The term “ACLF” was first used in 1995 to describe a condition in
which two insults to liver are operating simultaneously, one of them being ongoing and
chronic and the other acute. AASLD and EASL (2014) defined ACLF as an acute
deterioration of a pre-existing chronic liver disease (compensated or decompensated
cirrhosis), usually related to a precipitating event (including bacterial infections) and
associated with increased mortality at 3 months due to multiorgan failure. And APASL
makes definition “The ACLF is an acute hepatic insult manifesting as jaundice (serum
bilirubin >5 mg/dl (85micromol/l) and coagulopathy (INR >1.5 or prothrombin activity <
40%) complicated within 4 weeks by clinical ascites and/or encephalopathy in a patient
with previously diagnosed or undiagnosed chronic liver disease/cirrhosis, and is
associated with a high 28-day mortality.” – (APASL, 2014). The EASL-AASLD
consortium had initially kept the assessment of outcomes at 3 months , but subsequently
revised it to 28 days in the recent CANONIC study.
Pathogenesis.ACLF occurs in the context of an intense systemic inflammatory
response. There were the behaviour of a large number of cytokines in patients with
ACLF, compared to patients with decompensated cirrhosis and healthy patients. Patients
with ACLF there is a significant increase in various pro-inflammatory cytokines and
chemokines (IL-6, IL-8, TNF-, MCP-1, etc.), compared to patients with decompensated
liver cirrhosis without ACLF .Acute insult can be varied, such as alcohol, virus, drug, or
cryptogenic. And act as an inducers of this inflammation could be indogenouse or
exogenouse. Elevated inflammatory cytokines leads to persistens injury, immune
paralysis, with systemic inflammatory response syndromes (SIRS) and high probabitlity
of sepsis. Hepatic injury and sepsis leads to multyorgans dysfunctions ( MODS) and
eventually organ failure, more severe encephalopathy, increased incidence of bacterial
infections, renal failure and poor survival. The persistence of SIRS for up to 7 days or
new onset of SIRS within the first week of hospitalization, correlated with progressive
liver failure, ( 82% with SIRS vs 48.7% without SIRS; p<0.05) (Choudhury, 2017).The
first week of hospitalization in ACLF patients should be considered as the ‘golden
window’period.
Diagnosis& Management.The first week of diagnosis is the crucial period. Early
detection of SIRS and consideration of appropriate strategies like escalation of antibiotics,
prioritization for definite therapy i.e liver transplant prior to onset of sepsis and multi
organ failure is needed. Multiple strategies in the management of ACLF is needed, i.e
general measures, specific therapies, bridging and definitive treatments and emerging
therapies. Treatment the acute insult or pathogen very important, i.e HBV treatment,
treatment for alcohol-related injuries, autoimmune hepatitis treatment. Using
corticosteroid, pentoxyfiline, N-acetyl cysteine, Glycirrhizin; acting as antiinflammation.
Artificial liver support system (ALSS) leads to removal vasoactive substances, improves
74
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
systemic and splanchnic circulation, liver regeneration and serves as a ‘bridge’ to liver
transplantation. There are two main devices providing. i.e MARS (Molecular Adsorbent
Recirculating System) and FPSA (Fractionated plasma separation and adsorption).
Implication.The ACLF is a distinct entity with high short term mortality due to
sepsis and MOF. The first week of presentation, detection of new onset, persistence or
resolution of SIRS should guide therapeutic decisions. Using golden windows of one
week, may improve outcome to ACLF.
Reference
1. Arroyo V, Jalan R. Acute-on-Chronic Liver Failure: Definition, Diagnosis, and Clinical
Characteristics. Semin Liver Dis 2016;36:109–116.
2. Jalan R, Gines P. Acute on chronic liver failure. Journal of Hepatology 2012 vol. 57 j 1336–
1348
3. Sarin SK, Choudhury A. Acute‑on‑chronic liver failure: terminology, mechanisms and
management. NATURE REVIEWS/ GASTROENTEROLOGY & HEPATOLOGY. 2016.
doi:10.1038/nrgastro.2015.219.
4. Sarin SK, Kedarisetty CK, et al. Acute-on-chronic liver failure: consensus recommendations
of the Asian Pacific Association for the Study of the Liver (APASL) 2014. HepatolInt (2014)
8:453–471. DOI 10.1007/s12072-014-9580-2.
5. Moreau R. The Pathogenesis of ACLF: The Inflammatory Response and Immune Function.
Semin Liver Dis 2016;36:133–140.
6. Solé C, Solà E. Update on acute-on-chronic liver failure. GastroenterolHepatol.
2018;41(1):43---53.
7. Choudhury A, et al. Systemic inflammatory response syndrome in acute on chronic liver
failurerelevance of ‘golden window’- a prospective study. doi: 10.1111/jgh.13799.
75
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
A HEPATOLOGIST’ PERSPECTIVE: OPTIMIZING DIAGNOSIS AND
TREATMENT IN DRUG INDUCED LIVER INJURY
(OPTIMALISASI DIAGNOSIS DAN TERAPI HEPATITIS IMBAS OBAT) 1
F Soemanto Padmomartono
Subbag. Gastroentero-hepatologi, Bag./ SMF Penyakit Dalam
Fak. Kedokteran Universitas Diponegoro / RSUP Dr. Kariadi, Semarang
Abstract
Klinisi perlu waspada dan proaktif mendeteksi Hepatitis Imbas Obat (HIO) dalam setiap
pengelolaan penderita. Diagnosis klinik HIO sulit dan kompleks, karena tidak ada tes diagnosis
patognomik, dan harus secara per-eksklusi (menyingkirkan sebab penyakit/gangguan hati lain).
Pengelolaan HIO meliputi: stop obat terduga, atau kalau perlu tetap diberikan dengan
pertimbangan rasio manfaat dan risiko HIO, dan monitor ketat. Perawatan, pengelolaan suportif,
terapi simtomatik dan suportif, disesuaikan dengan kondisi klinis, penyebab HIO, pola klinik HIO
dan derajat HIO. Obat khusus yang brasa dipakai: acetylsistein untuk acetaminophen;
kortikosteroid untuk tipe hipersensitifitas; hepatoprotektor, UDCA, glycyrrhizin dan Neo-SNMC
untuk tipe hepatoseluler; dan UDCA, prednisolone dan phenobarbital untuk tipe kholestasis.
Disamping itu penting dilakukan usaha pencegahan HIO olles klinisi dan edukasi penderita agar
melaporkan ke dokter bila ada keluhan/ gejala setelah konsumsi OHS. Karena kasus TBC di
Indonesia banyak, dan kadang dijumpai HIO derajat sedang/ berat yang perlu pengelolaan serius,
maka akan dibahas khusus HIO akibat OAT (HIO-OAT). Sebagai ilustrasi dilaporkan
pengalaman pribadi penulis dalam mengelola 2 kasus HIO-OAT derajat sedang dengan Neo-
SNMC infus. Obat ini yang terbukti mempercepat penyembuhan HIO-OAT dan mempercepat re-
introduksi OAT.
Pendahuluan
Hepatitis imbas obat (HIO) atau ‘Drug-Induced Liver Injury’ (DILI) adalah
kondisi klinik kerusakan/ peradangan hati akibat konsumsi obat, herbal dan suplemen
(OHS). Manifestasi klinik HIO sangat beragam, dari kelainan biokimia hati, kerusakan
hati (serupa berbagai penyakit hati), gagal hati akut, dan kadang fatal. Walaupun sebagian
besar kasus HIO adalah ringan dan cepat membaik, tetapi ada HIO klinik sedang dan
berat yang serius, gagal hati akut yang kadang perlu transplantasi hati atau meninggal.
HIO klinik merupakan tantangan klinisi, karena diagnosis dan pengelolaannya sulit dan
kompleks. Dalam praktek HIO sering tidak disadari atau terabaikan oleh klinisi. Klinisi
perlu waspada kemungkinan HIO pada penderita dengan kelainan laborat / gangguan hati.
Kecepatan diagnosis HIO dan segera stop OHS terduga, sangat penting dalam
pengelolaan dan prognosis penderita. Para klinisi perlu meningkatkan pengetahuan
tentang HIO klinik, deteksi dini, diagnosis dan pengelolaan penderita HIO. Disamping itu
akan dibahas HIO akibat obat TBC (HIO-OAT), karena kasus TBC di Indonesia banyak,
dan kadang dijumpai HIO-OAT sedang/ berat yang perlu pengelolaan serius. Sebagai
ilustrasi dilaporkan pengalaman pribadi mengelola 2 kasus HIO-OAT derajat sedang
dengan obat khusus Neo-SNMC infus.
Epidemiologi Klinik
Diperkirakan ada >1000 sediaan OHS yang berpotensi menyebabkan HIO.
Insidensi HIO diperkirakan 1-20 kasus/100.000 orang yang terpapar OHS.4. Studi di
France dan Iceland didapatkan insidensi 14-19 kasus/100.000 penduduk/tahun.3. Dari
1 Dipresentasikan dalam ‘Konkernas PPHI-PGI-PEGI 2018 bersama Aceh Gastroenterohepatologi
Update 2018, di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, 27-29 Juli 2018
76
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
seluruh penderita HIO, sekitar 13-30% merupakan hepatitis akuta fulminan (HAF).1,2,3,4.
Survai retrospektif di Japan selama 10 tahun (1997-2006) didapatkan 1674 kasus HIO,
terdiri atas 53% pola hepatoseluler, 21% kholestatis dan 20% campuran. Waktu
timbulnya HIO 59% kasus dalam 30 hari dan 80% dalam 90 hari setelah konsumsi obat.5.
HIO klinik adalah ‘fenomena puncak gunung es’ dari berbagai bentuk reaksi hati
seseorang terhadap OHS. Reaksi hati seseorang terhadap obat dibedakan sebagai: a.
Tolerator: hati menerima baik paparan OHS tanpa/ tidak terjadi reaksi biokimia hati atau
kerusakan hati. b. Adaptor: pada awal paparan OHS terjadi peningkatan biokimia
hati/kerusakan hati ringan ringan dan sementara sebagai adaptasi hati, kemudian terjadi
perbaikan spontan. c. Non-adaptor: secara klinik bermakna terjadi kerusakan hati derajat
ringan tanpa/ dengan gejala, derajat sedang dan berat, kerusakan hati sangat berat, terjadi
gagal hati akut dan bisa fatal.4.
Diseluruh dunia banyak OHS yang dikonsumsi masyarakat, baik sebagai obat
resep dan bebas, herbal/ jamu dan supplemen makanan/ minuman yang dijual bebas.
Daftar obat yang telah diketahui berpotensial menyebabkan HIO dapat dilihat pada
website Liver Tox (www.livertox.nih.gov).1. Jenis obat yang sering menyebabkan HIO di
negara Barat dan Timur berbeda. Di negara Barat kasus HIO yang sering adalah:
NSAID’s (diclofenac), obat anti-infektif (amoxyllin/calvulanate, isoniazid), herbal dan
suplemen, dan acetaminophen 2,3. Di negara Timur adalah: herbal dan suplemen (HS),
anti-infektif (anti-TBC/isoniazid), anti-kanker, hormonal, NSAID’s.4,5. Di Asia, HS
merupakan penyebab terbanyak HIO, di Singapore 80% dan Korea 42%.5.
Metabolisme obat di hati, patogenesis HIO, dan faktor risiko HIO
Sebagian besar obat melewati hati sebelum beredar diseluruh tubuh. Di hati obat
melalui 3 jalur metabolisme: a). 2 fase, fase I (oxidation, reduction, hydrolisis) dan fase II
(conjugation); b). langsung dimetabolisir di fase II; c). melewati hati tanpa dimetabilisir.
Hepatotoksisitas dapat sebagai: akibat primer senyawa OHS, dari hasil metabolit OHS,
atau respons imunologik hati. Kerusakan/ peradangan dapat di sel hepatosit, sel epitel
bilier, dan atau vaskularisasi hati. Ada 2 bentuk hepatotoksisitas, yaitu: A. Hepatotoksik
intrinsik/langsung. Umumnya berkaitan dengan dosis, cepat terjadi nekrosis sel-sel
hepatosit yang jauh dari arteriol hati. Sangat jarang dijumpai dalam klinik. B.
Hepatotoksik idiosinkrasi/ tidak langsung. Sering dijumpai dalam klinik, tidak
berkaitan dengan dosis, relatif jarang terjadi pada setiap jenis obat, umumnya
menyebabkan kerusakan hepatoseluler dan atau peradangan portal dengan kholestasis.1,4.
HIO idiosinkrasi dibedakan sebagai: immune-mediated (hypersensitivity), drug-induced
immune injury, dan genetically-mediated injury.
Diketahui beberapa faktor risiko HIO, yang berasal dari 3 faktor: faktor
penjamu/host, faktor agent/OHS dan faktor lingkungan/ enviroment. Faktor penjamu:
genetik, rasial/etnik, usia (lanjut), kelamin (wanita), malnutrisi, penyakit hati (hepatitis B,
C), HIV, dan penyakit lain (autoimun, NAFLD, DM, malignansi, kardio-vaskuler). Faktor
OHS: profil senyawa khemikal, dosis harian, lama konsumsi, interaksi antar obat, antar
obat-OHS dan antar OHS. Faktor lingkungan: alkohol, toksin, zat khemical, polusi,
rokok, diet, dll. 1, 2, 3,4.
Manifestasi Klinik HIO
Manifestasi klinik HIO sangat beragam, dari kelainan biokimia hati, berbagai
kerusakan/ peradangan hati yang serupa dengan berbagai penyakit hati, hepatitis akut
fulminan, gagal hati akut, dan fatal. Masa inkubasi dari paparan OHS sampai timbul
gejala sangat beragam, dari satu/ beberapa hari sampai beberapa bulan. Manifestasi klinik
77
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
HIO akut dapat berupa: a). peningkatan laborat biokimia hati (ALT, AST, ALP,
Bilirubin, dll) tanpa/ dengan keluhan ringan; b). HIO klinik dengan gejala serupa
hepatitis akut seperti rasa mual, lemah, rasa tak enak/nyeri di uluhati/ perut kanan atas
(tipe hepatoseluler), dan dengan ikterus dan pruritus (tipe kholestasis)
Dari HIO akuta dapat berkembang menjadi HIO kronik. HIO kronik terjadi sekitar
42% kasus dalam 3 bulan dan 17% kasus dalam 1 tahun.3. Batasan HIO kronik bila gejala
dan tanda HIO menetap atau laborat hati tidak kembali normal/ kadar sebelum konsumsi
obat, selama > 6 bulan,. Manifestasi klinik HIO kronik dapat berupa hepatitis kronik,
fibrosis hati, sirosis hati kompensata/ dekompensata, hepatitis autoimun (AIH-like DILI),
chronic intrahepatic cholestatic, dll.4.
Berdasarkan manifestasi klinik, HIO dibagi dalam 3 tipe/ pola klinik:
hepatoseluler, kholestasis, dan campuran hepatoseluler dan kholestasis. (tabel 1). Sebagai
tambahan, HIO juga dikaterogikan dalam 12 ‘clinical phenotype’, yaitu: hepatitis nekrosis
akut, hepatitis akut, hepatitis tipe kholestasis, hepatitis campuran, transaminase naik tanpa
ikterus, ‘bland cholestasis’, perlemakan hati akut dengan asidosis laktat, perlemakan hati
non-alkoholik, hepatitis kronik, sindroma obstruksi sinusoidal, hiperplasia regenerativa
noduler, adenoma hati dan kanker hepatoseluler. Berdasarkan derajat keparahannya, HIO
klinik dibagi dalam 5 tingkat (tabel 2). Pembagian derajat ini penting dalam pengelolaan
penderita dan prognosis.
Tabel 1. Tipe / Pola Hepatitis Imbas Obat 1.4.
Tipe / Pola Kerusakan/
Patologi Hati
Kelainan laborat Batasan Contoh Obat
Penyebab
Hepatoselul
er
peradangan dan
nekrosis sel hati
dominan, dan
stasis empedu
biasanya ringan.
ALT dan AST
meningkat tinggi,
ALP dan GGT sedikit
tinggi.
ALT > 3x
BAN, Rasio
R > 5.
isoniazid,
nitrofurantion,
methyldopa, green
tea,
Kholestatis peradangan
portal, kerusakan
dan proliferasi sel
kanalikuli
intrahepatal, dan
stasis empedu,
ALP dan GGT
meningkat tinggi,
ALT dan AST
meningkat ringan
ALP > 2x
BAN, Rasio
R < 2
amoxicillin/clavul
anate,
ciprofloxacine dan
sulfonylurea
Campuran
Hepatoselul
er-
Kholestatis
nekrosis dan
peradangan sel
hati, disertai stasis
empedu
ALT dan AST
meningkat,
ALP, GGT meningkat
ringan
ALT > 3
BAN,
ALP > 2
BAN Rasio
2< R <5
sulfonamide,
phenytoin dan
enalopril.
Catatan: ALT/ SGPT, AST/ SGOT, BAN= batas atas normal, Rasio R: hasil perhitungan dari (ALT/
BAN) dibagi (ALP/BAN).
Berdasarkan derajat keparahannya, HIO klinik dibagi dalam 5 tingkat (tabel 2).
Pembagian derajat ini penting dalam pengelolaan penderita dan prognosis.
78
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Tabel 2. Derajat keparahan Hepatitis Imbas Obat 1,2,.
Derajat Laborat Laborat dan Klinik
1 +, Ringan - ALT tinggi, atau AP tinggi, atau
kedua tinggi
- Bilirubin < 2.5 mg/dL
Tanpa koagulasi
2 +, Sedang - ALT tinggi, atau AP tinggi, atau
kedua tinggi
- Bilirubin < 2.5 mg/dL
Dengan koagulopati (N > 1.5) tanpa
hiperbilirubinemia
3+, Sedang
ke
Berat
- ALT tinggi, atau AP tinggi, atau
kedua tinggi
- Bilirubin > 2.5 mg/dL
Rawat inap RS, atau rawat inap
sebelumnya
4 +, Berat - ALT tinggi, atau AP tinggi, atau
kedua tinggi
- Bilirubin > 2.5 mg/dL
Dan minimal ada satu gejala/ tanda:
- Ikterus lama atau gejala > 3 bulan,
- Tanda Dekompensasi Hati (INR > 1.5,
asistes, ensefalopati), atau
- Gagal organ lain yang berhubungan
HIO
5+, Fatal Meninggal atau transplantasi hati —-
Deteksi dini dan diagnosis Klinik HIO
Deteksi dini HIO
Kewaspadaan para klinisi untuk deteksi dini HIO sangat penting. Bila diagnosis
terlambat dan penyebab OHS tidak segera dihentikan, maka HIO bisa makin berat dan
berisiko fatal. Sebagai lengkah untuk deteksi dini HIO adalah: (1) Klinisi harus waspada
akan timbulnya HIO pada semua penderita baru dengan penyakit hati dan atau kelainan
biokimia hati. (2) Perlu anamnesis teliti semua OHS yang dikonsumsi penderita baik baru
atau lama (3 bulan, ada yang menganjurkan 1 tahun). Bila klinisi tidak menanyakan atau
meneliti kemungkinan HIO pada penderita tersebut, maka klinisi tidak akan menemukan
HIO. (3) Perlu diperiksa/ diteliti timbulnya gejala/tanda penyakit hati dan pemeriksaan
laborat hati (ALT, ALP, Bilirubin), dan kalau perlu biokimia hati lainnya. (4)
Pertimbangkan salah satu atau beberapa OHS yang diduga sebagai penyebab HIO,
terutama yang telah diketahui sebagai penyebab HIO.(www.livertox.nih.gov.1. (5)
Penting segera menghentikan OHS yang diduga HIO, karena berhubungan erat dengan
perbaikan klinik, laborat dan prognosis baik.
Diagnosis klinik HIO
Dlam diagnosis HIO tidak ada uji diagnosis HIO yang patognomik. Diagnosis
HIO adalah secara ‘per exclusionem’ dengan menyingkirkan penyebab lain gangguan/
penyakit hati. Ketepatan diagnosis klinik HIO adalah berdasarkan pengetahuan dan
pertimbangan para klinisi yang merawatnya. Ada 6 hal penting yang perlu
dipertimbangkan/ diperhitungkan dalam diagnosis HIO.1.
1. ’Waktu untuk terjadi HIO/inkubasi/laten’ : waktu antara mulai konsumsi obat
terduga sampai timbul kerusakan hati. Biasanya berkisar 5 hari s/d 3 bulan. Bisa
sangat cepat 24 - 72 jam (‘reaksi hipersensitif’, misal antibiotik). Sebagian timbul
HIO setelah 3-12 bulan (isoniazid), kadang HIO klinik bermakna terjadi >1 tahun
setelah konsumsi obat (amiodarone).
79
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
2. ’Waktu penyembuhan’: waktu antara stop obat terduga HIO sampai sembuh
sempurna (klinik dan laborat hati). Lama penyembuhan tergantung: jenis obat
penyebab, lama konsumsi obat, pola klinik HIO, cepatnya diagnosis dan stop obat,
dan pengelolaan HIO. Umumnya HIO sembuh dalam beberapa hari s/d minggu. Pada
HIO yang khas, perbaikan terjadi dalam 1-2 minggu. Sebagian besar cepat sembuh
(misal acetaminophen, niacin), sebagian sembuh tidak sempurna atau laborat belum
normal dalam beberapa minggu/ bulan, dan ada yang berlangsung kronik. Dalam
klinik sehari-hari, tepatnya waktu penyembuhan sulit diketahui, karena gejala dan
laborat tidak selalu dimonitor serial atau didokumentasi.
3. ‘Pola klinik’. Dikenal 3 pola klinik HIO dan 12 macam fenotipe. Hal ini penting
untuk menentukan OHS sebagai penyebab penyebab HIO dan pengelolaan penderita,
akan tetapi juga sulit ditentukan karena banyak penyebab OHS dengan pola klinik
sama.
4. ‘Menyingkirkan sebab lain kerusakan hati’. Sangat penting untuk menyingkirkan
penyebab penyakit hati lainnya. Dengan cara anamnesis cermat: riwayat penyakit
penting (hepatitis virus, alkohol, penyakit autoimun, gagal jantung, syok, sepsis);
riwayat konsumsi semua obat (resep, bebas/ OTC, herbal supplement) dalam 3 bulan,
dan kapan dimulai dan stop obat. Perlu tes laborat penyakit hati, a.l.: petanda virus
hepatitis (IgM-antiHAV, HBsAg/IgM-antiHBc, Anti-HCV/HCV-RNA), HIV. ANA
dan kadar gamaglobulin, Kadang perlu pemeriksaan penunjang USG, radiologi
sistema biler dan fibroscan.
5. ‘Obat yang telah diketahui dapat menyebabkan HIO’: Diagnosis HIO biasanya
mudah kalau agen penyebab HIO telah diketahui. (cari di Liver Tox
www.livertox.nih.gov) Diagnosis sulit bila obat yang dikonsumsi penderita banyak,
dan obat baru yang belum diketahui efek ke hati.
6. ‘Respon terhadap uji ulang obat’ : Pemberian obat ulang (rechallenge) obat
penyebab HIO sekarang tidak dianjurkan, karena risiko bahaya: timbul rekurensi
HIO cepat, makin parah, prognosis jelek. Pada situasi klinik tertentu, rechallenge
obat terduga HIO dapat diberikan dengan syarat: obat memang perlu (penyelamat
hidup, untuk penyembuhan penyakit, tidak ada obat alternatif), terjadinya HIO awal
ringan, cepat sembuh setelah obat distop.. Rechallenge harus diberikan secara hati-2,
bertahap, dan monitoring ketat.
7. Kompleksitas untuk membuat diagnosis HIO. Diagnosis HIO sering kompleks dan
sulit untuk memastikan agen penyebab HIO. Hal ini a.l. karena obat/ OHS yang
dikonsumsi penderita banyak (multi-drugs), waktu mulai konsumsi obat dan waktu
terjadi HIO sering tidak diketahui, dan penderita mempunyai penyakit hati lain atau
penyakit penyerta lain.
Sebagai contoh algoritma evaluasi penderita terduga HIO dapat dilihat pada
lampiran.2.
Pengelolaan penderita HIO, Pencegahan dan Prognosis HIO
Pengelolaan penderita ‘terduga HIO’ perlu dilakukan pada semua penderita
gangguan faal hati, walaupun telah diketahui sedang menderita penyakit hati lainnya. Bila
hanya kenaikan laborat hati ringan dan tanpa/ keluhan ringan, maka dipikirkan
kemungkinan fase adaptasi hati terhadap obat. Dimana berlangsung sementara dan
kemudian kembali normal sendiri. Pada kondisi ini sementara obat diteruskan dengan
monitor serial. Bila laborat membaik, maka obat dapat diteruskan. Bila memburuk dan
timbul keluhan HIO maka obat harus stop.1 - 4, 6.
80
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
FDA (2009) menganjurkan stop obat yang terduga penyebab HIO bila terjadi
kondisi dimana: a). ALT lebih 8x BAN, b). ALT > 5x BAN dalam 3 minggu, c). ALT >
3x BAN dengan Bilirubin > 2x N, d). PPT/ INR > 1.5x, dan e). timbul gejala dan tanda
klinik kerusakan hati.6.
Prinsip Umum Pengelolaan HIO
1- Segera stop semua obat/ OHS yang diduga HIO. Bila obat tersebut penting dan
perlu untuk penyembuhan penyakit, tidak ada obat alternatif lain, maka obat
terduga HIO dapat diteruskan dengan mempertimbangan rasio antara manfaat obat
dengan risiko progresifitas HIO. Juga harus dengan monitor ketat gejala dan
laborat hati. Bila HIO memburuk, maka obat harus distop. Obat yang sejenis obat
terduga HIO, obat yang tidak penting, dan herbal dan suplemen (manfaat dan efek
samping tidak jelas) juga harus dihentikan.
2- Perawatan dan pengelolaan suportif tergantung kondisi klinik, pola klinik HIO,
derajat keparahan HIO, dan penyakit penyerta. Perawatan penderita bisa secara
rawat jalan, rawat inap di bangsal, HND atau ICU.
3- Terapi suportif, simtomatik dan terapi khusus diberikan secara individual
(tailored).
4- ‘Work-up’ dan monitor gejala, tanda dan laborat hati secara serial dan
berkelanjutan sampai tahap penyembuhan, kemudian dilanjutkan pada rawat jalan
sampai biokimia hati normal
Beberapa terapi khusus HIO.
Dalam klinik dipakai beberapa pilihan obat sesuai penyebab dan kondisi klinik
HIO, seperti:
1. ‘Overdosis’ acetaminophen: N-acetylsistein perinfus
2. Gagal hati akut fulminan: perawatan intensif di ICU, haemodiafiltrasi dan
transplantasi hati.
3. HIO karena hipersensitif obat atau immune-mediated: kortikosteroid
4. HIO tipe hepatoseluler: sylimarin, ursodeoxycholic acid (UDCA), glycyrrhizin
dan Neo-SNMC perinfus. Pada tipe hepatoseluler sedang-berat, pada umumnya
diberikan Neo-SNMC infus.
5. HIO tipe kholestasis: UDCA, prednisolone, phenobarbital
Di Japan, pada 1764 penderita HIO diberikan terapi UDCA pada 25% kasus,
kortikosteroid pada 13% kasus dan glycyrhizin intravena/ Neo-SNMC pada 37% kasus.
Dimana 87% kasus HIO sembuh 3.4% meningar dan 0.4% transplantasi hati.5. Di China
pada HIO sedang dan berat biasanya diberi obat hepatoprotektor, glycyrizzin dan Neo-
SNMC infus.5.
Pencegahan HIO
Usaha pencegahan terjadinya HIO dalam pengobatan penderita adalah: 4,6.
1. Terapi obat berdasarkan indikasi medik, dosis minimal efektif, jangka waktu yang
sesuai dengan pedoman/ guideline terapi penyakit terkait.
2. Memilih obat/ OHS yang diketahui aman/ risiko rendah terjadinya HIO. Dan
waspada HIO pada semua penderita yang konsumsi OHS, terutama yang berpotensi
menyebabkan HIO.
3. Identifikasi faktor risiko HIO pada a.l. penderita penyakit hati, penyakit penyerta,
alkohol, dll.
81
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
4. Tes biokimia hati sebelum pemberian obat, terutama yang diketahui obat berpotensi
HIO
5. Monitoring ALT (dengan/ tanpa tes laborat lainnya) secara serial pada OHS yang
diketahui berpotensi menyebabkan HIO (misal obat anti-TBC, AB tertentu, dll.)
6. ‘Edukasi penderita’ yang konsumsi obat/ OHS akan timbulnya gejala/ tanda HIO
(a.l. mual, muntah, nafsu makan menurun, nyeri uluhati/ perut kanan atas, dan
ikterus), dan bila ada agar segera konsultasi/ periksa ke dokter.
Prognosis HIO
Prognosis penderita HIO pada umumnya baik bila obat penyebab segera diketahui
dan segera dihentiksn. Prognosis penderita HIO tergantung pada derajat keparahan hati,
cepat tidaknya menemukan dan menghentikan obat terduga penyebab HIO. Pada HIO tipe
hepatoseluler ringan dan sedang, bila obat dihentikan, maka prognosisnya baik, dan
penyembuhan biasanya terjadi sekitar 3.3 + 3.1 setelah obat penyebab distop. Pada
penderita HIO hepatoseluler berat dengan ikterus, dengan ALT > 3x BAN dan bilirubin
> 2.5 mg/dL (disebut ‘Hay’s law’ ), prognosis kurang baik dan mortalitas dapat sampai
10%.2. Pada HIO tipe kholestasis penyembuhan biasanya sekitar 6.6 + 4.2 minggu.
Hepatitis akut fulminan (HAF) karena HIO prognosisnya jelek. HAF akibat ‘overdosis’
acetaminophen mortalitas + 30%. Pada HAF karena HIO idiosinkrasi mortalitas sekitar
75%.3.
HIO akibat obat Anti-TBC (HIO-OAT)
Komplikasi HIO dalam program pengobatan TBC terjadi pada sekitar 5-33%
kasus., hal ini tergantung dari batasan diagnosis HIO, populasi studi, dan regimen OAT.
Mortalitas HIO-OAT dilaporkan sampai 27%. Obat TBC lini pertama yang berkaitan
dengan hepatotoksisitas adalah isoniazid (INH), rifampicin (RIF) dan pyrazinamide
(PZA). Program terapi TBC adalah kombinasi regimen HRZE atau HRE, diawali dosis
penuh 2-3 bulan, kemudian dosis lanjutan (HR, HE) selama 6-9 bulan. Pada studi di
China, insidens HIO-OAT secara bermakna lebih tinggi pada penderita yang diterapi
HRZ/E yakni 13.2% (139/1050) dibandingkan yang diterapi HRE 9.1 % (128/1407)
dengan p<0.05).7. Survey di Japan selama 10 tahun (1997-2006) terdapat 1676 kasus
HIO-OAT, terdiri: 59% pola hepatoseluler, 21% kholestasis, dan 20% campuran. Onset
mulai minum obat dan timbul HIO-OAT adalah 59% dalam 30 hari dan 80% dalam 90
hari.5. Studi di China pada penderita TB rawat inap selama 5 tahun (2005-2009), terdapat
10.9% (267/2457) kasus HIO-OAT.7. Studi di RS sentra besar TB di England (2010-
2014), terdapat 6.9% (105/1529) kasus HIO-OAT, dan mortalistas 4.8%. HIO-OAT 53%
terjadi dalam 2 minggu, dan 87% dalam 2 bulan.8. Program terapi OAT dianjurkan untuk
monitor laborat hati secara serial mulai 2 minggu terapi sampai 2 bulan pertama.7,8.
Manifestasi klinik pada 267 penderita HIO-OAT adalah: 5.2% tanpa gejala, 92.1%
dengan keluhan lemah, anoreksia, nausea, distensi abdomen, diare dan gejala
gastrointestinal lain, 21.3% ikterik, 17.6% kemerahan kulit, 12.7% demam, 3.7% asites,
dan 1.1% ensefalopati hepatik. Pengamatan di China, pemberian tambahan obat
hepatoprotektor pada terapi OAT penderita TBC dengan penyakit hati dibanding tanpa
hepatoprotektor, secara bermakna menurunkan risiko HIO-OAT, yaitu 10% (187/1876)
vs 13.8% (80/187) dengan p<0.05. 7.
82
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Batasan HIO-OAT, kapan stop OAT, kapan mulai terapi ulang OAT, dan regimen
OAT Ringkasan batasan klinik dan laborat HIO, kapan stop OAT, kapan re-introduksi/
terapi ulang OAT, regimen yang dipilih, monitor laborat dan anjuran bila HIO-OAT
timbul lagi, dari berbagai asosiasi (ATS, BTS, WHO, dll.) dapat dilihat pada tabel 3.
(dirangkum dari Jong, et al, 2013).8. Ada perbedaan batasan dari masing-2 asosiasi. Di
South Afrika bila ALT >120 IU/L dengan gejala mual, muntah, njeri abdomen atau
ikterik; atau ALT >200 IU/L degnan gejala, atau bilirubin >40 umol/L. 9. Belum banyak
laporan penelitian tentang rekurensi HIO-OAT pada re-introduksi OAT setelah penderita
sembuh HIO-OAT. Studi re-introduksi OAT di India membandingkan pemberian 3
regimen OAT berdasarkan rekomendasi WHO, ATS dan BTS. Dari 175 penderita,
rekurensi HIO-OAT terjadi pada 19 orang (10.9%). Insidensi rekurensi pada 3 perlakuan
tersebut tidak berbeda bermakna (p=0.69). Peneliti menganjurkan pada penderita TBC
paru berat/ ekstensif sebaiknya tetap diberikan OAT lini pertama HRZ/E dosis penuh
mulai hari pertama untuk mempercepat penyembuhan TBC dan menghindari penularan. 10.
Tabel 4. Pengelolaan HIO-OAT dari berbagai pedoman Asosiasi. 9.
Asosi- asi
/ Organi-
sasi
Batasan
(cutt-off
level
HIO-OAT
dan Stop
OAT
Terapi
ulang
OAT
Regimen OAT
Awal terapi ulang
Anjuran
Monitor
Bila HIO
timbul
lagi
ATS ALT >200
IU/L, atau
ALT >120
IU/ L
dengan
gejala
ALT <80
IU/L - RIF +/- EMB dosis
penuh,
- Setelah 3-7 hari + INH
dosis penuh
- Tambah PZA bila HIO
ringan
Periksa ALT
3-7 hari
setelah
terapi ulang
INH
Stop obat
yang
ditambaha
n terakhir
BTS ALT atau
AST >
200 IU/ L
dengan
Bilirubin
naik
ALT
normal - STR + EMB (sakit +
sputum BTA (+) dalam
2 minggu terapi)
- INH dosis titrasi tiap 2-
3 hari
- RIF dosis titrasi tiap 2-3
hari
- PZA dosis titrasi tiap 2-
3 hari
Tiap hari
monitor faal
hati
Stop obat
yg dipakai,
ganti
regimen
alternatif
(ahli
terlatih)
ERS,
WHO,
IUATLD
ALT atau
AST >
200 IU/ L
dengan
Ikterus
Tes faal
hati
normal
- Mulai semua OAT dosis
penuh
Monitor tes
faal hati
(tidak ada
anjuran
waktu)
Stop
semua
obat, mulai
obat lain
satu
persatu
Catatan: ATS= American Thoracic Society; BTS= British Thoracic Society; ERS= European Respiratory
Society; WHO= World Health Organization; IUATLD= International Union Against Tuberculosis and
83
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Lung Disease; ALT=alanine transaminase, INH= isoniazid, RIF=rifampicin, EMB=ethambutol,
PZA_pyrazinamid, STR=streptomycin
Efek terapi hepatoprotektor pada insidensi HIO-OAT
Pada studi di China, pemberian hepatoprotektor pada terapi OAT penderita TBC
dengan penyakit hati (Hepatitis B kronik, perlemakan hati, hepatitis alkoholik, riwayat
penyakit hati) secara bermakna menurunkan risiko HIO-OAT. Insidensi HIO-OAT pada
penderita plus hepatoprotektor 10% (187/1876) dibanding penderita tanpa
hepatoprotektor 13.8% (80/187) dengan p<0.05. 7.
Pengobatan HIO-OAT
Pengobatan HIO-OAT di China adalah berdasarkan derajat HIO-OAT. Pada
derajat ringan: OAT tetap diberikan dengan tambahan hepatoprotektor. Pada derajat
sedang: OAT stop dan diberi terapi a.l.: hepatoprotektor oral, dan infus diammonum
glycyrhhizinate, reduced glutathione. Pada derajat berat: OAT stop, dan diberi terapi a.l.:
ursodeoxycholid acid (UDCA), infus diammonum glycyrhhizinate, reduced glutathione,
S-adenine methionine, Neo-SNMC, dan infus brand-chain amino acids (BCAA), albumin,
vitamin dan terapi simtomatik. Hasil pengobatan pada HIO-OAT ringan dan sedang
semuanya sembuh. Pada HIO-OAT berat, 91% (42 /46) kasus sembuh, 1 tidak membaik
dan 3 meninggal karena gagal hati.7. Pengobatan HIO-OAT yang dilaporkan di Japan
adalah dengan UDCA pada 25% kasus, kortikosteroid pada 13% kasus, dan Neo-SNMC
pada 37% kasus. Keberhasilan terapi adalah 87% sembuh, 3.4% meninggal dan 0.4%
transpantasi hati.5.
Sejauh mana peranan obat hepatoprotektor dalam pencegahan dan atau
pengelolaan penderita HIO belum jelas. Pada studi retrospektif di China, terapi tambahan
hepatoprotektor pada terapi OAT penderita TBC dengan penyakit hati secara bermakna
menurunkan risiko HIO-OAT. Insidensi HIO-OAT pada penderita plus hepatoprotektor
10% (187/1876) dibanding penderita tanpa hepatoprotektor 13.8% (80/187) dengan
p<0.05.7.
Pengalaman Klinik Terapi HIO-OAT dengan Neo-SNMC
Sebagai ilustrasi dilaporkan pengalaman klinik penulis dalam pengelolaan 2
penderita HIO-OAT derajat berat yang rawat inap di RS Swasta di Semarang
Kasus 1. Ny MG, 55 th, rawat inap tg 15.4.13 s/d 20.4.13. Keluhan: 4 hari muntah, badan
lemah, 2 minggu mual, nafsu makan turun, berat badan turun. Sebelumnya penderita
berobat ke dr SpP, D/ TBC lama aktif dan diterapi OAT (HRZA, Rimstar R/ 4 tb/hr)
selama 1 bulan. Karena keluhan tersebut penderita tes laborat (13.4.13), hasil ALT 1960,
AST 1730, kemudian OAT distop. Kelainan fisik: gizi kurang, lemah, dehidrasi ringan,
sklera ikterik, nyeri tekan uluhati. Lain-2 dalam batas normal (dbn). Laborat hati:
ALT,AST, Bil. total (TB) lihat tabel 5, Albumin 3.1, PPT/PPTK (N). Petanda Hep B, C,
HIV negatif, Anti-HAV (+), AFP (-). Laborat lain dbn. ECG (N), USG fatty liver. X-foto
thorax: TB lama, tidak aktif (konsul/ konfirmasi SpJP). Diagnosa: HIO-OAT derajat
berat, TB lama, Fatty liver, gizi kurang. Terapi: OAT distop, infus elektrolit dan
amiofuschin hepar, anti-muntah, hepatoprotektor, UDCA, dan infus Neo-SNMCR/ 4 amp/
hari. Monitor laborat hati dan terapi lihat tabel 5. Hari ke-5 hari keluhan hilang, perbaikan
klinik dan faal hati. Tgl 20.4.13 penderita minta pulang, rawat jalan, terapi
hepatoprotektor, UDCA dan vitamin. Kontrol tgl 30.5.13 penderita sembuh sempurna
klinik & laborat normal. (47 hari setelah OAT distop).
84
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Kasus 2.
Tn SW, 34 th, rawat inap tg 29.3.18 s/d 9.4.18, rujukan RS Yogja. D/ HIO akibat
OAT, TB Paru aktif, Efusi pleura duplex, (+). Keluhan: 1 hari mual, muntah, nyeri
uluhati, lemah, 3 hari demam, setelah penderita diterapi OAT (HRZA/ RifastarR/ 4tb/hr
selama 5 hari). OAT distop dan pindah rawat di RS Smg. Kelainan fisik: lemah, ikterik,
demam 37.6 C. Hati membesar 2 cm, lambung nyeri tekan, Laborat hati: ALT, AST, TB
lihat tabel 5, Albumin 2.9 g/dL, petanda Hep B, C dan HIV negatif, Anti-HAV (+), IgM-
antiHAV (+) titer tinggi. AFP (-), IgE 131 (n= < 120), Esosinofil absolut 150 (N). Laborat
lain dbn. X-foto toraks: TB Paru lama+aktif, efusi pleura dupleks. ECG (N), USG
hepatomegali,. Diagnosa: HIO-OAT derajat berat, TB Paru aktif + efusi pleura, Febris/
ISK, dan Gastritis. Terapi: infus elektrolit, aminofuschin hepar, ceftriazon, anti-muntah,
PPI, hepatoprotektor, UDCA, dan Neo-SNMC infus 4 amp/hari. Program monitor laborat
dan terapi lihat tabel 5. Konsul rawat dr SpP dan advis terapi: Prednison tab tappering-of
tiap 5 hari, dan setelah membaik re-introduksi OAT dengan: suntik Streptomycin
750mg/hr (STR), Ethambutol 3x500 mg/hr (E), Cyprofloxacin 2x500 mg/hr. Tg 20.4.18
klinik dan laborat membaik, penderita rawat jalan, terapi regimen OAT, hepatoprotektor
UDCA, dan vitamin. Kontrol tg 24.4.18, klinis baik, keluhan negatif, ALT, AST, Bi
normal. (27 hari setelah stop OAT). Pengelolaan TB selanjutnya oleh dr SpJP
(cyprofloxacin stop, STR, E, plus H & R bertahap) dan kontrol tiap bulan.
Tabel 5. Hasil monitor laborat hati dan terapi yang diberikan pada 2 penderita HIO-OAT
Kasus
Tgl
ALT
Awal
Tera
piOA
T
(hari)
Stop
OAT
(hari)
ALT
U/L
AST
U/L
ALP Bilirubi
n
Terapi/ Keterangsn
Ny MG
15.4.13
Nor-
mal
30 3 1856 1234 120 1.74 Suportif, Simptomatik,
Hepatoprotektor,
UDCA 3x1 tb, Neo-SNMC
4 amp/hari
17.4.13 4 578 1578 120 2.09 Idem
18.4.13 5 333 1296 98 (N) 2.08 Idem
19.4.13 6 192 968 95 (N) 2.24 idem
20.4.13 7 134 787 N 2.11 Rawat jalan,
Hepatoprotektor, UDCA,
vitamin
30.4.13 47 N N N N Obat hepatoprotektor &
UDCA distop
Tn SW.
29.3.18
82
(2x)
5 1 4579 2793 128 5.01 Suportif, Simptomatik,
Hepatoprotektor, UDCA
3x1 tb, Neo-SNMC 4
amp/hari
31.3.18 3 1371 154 87 6.26 Idem
85
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Kasus
Tgl
ALT
Awal
Tera
piOA
T
(hari)
Stop
OAT
(hari)
ALT
U/L
AST
U/L
ALP Bilirubi
n
Terapi/ Keterangsn
2.4.18 5 1371 153 87 6.26 Idem
5.3.18 8 551 61 153 4.29 Neo-SNMC stop, UDCA &
Hezzandra terus
Streptomycin,
Ethambutol,Cyprofloxacin.
8.3.18 11 260 41 116 1.81 Terapi idem. Pend. pulang
dan rawat jalan
24.4.18 N N N N N Hapatoprotektor, UDCA
stop, OAT terus
Daftar Pustaka
1. Liver Tox. Clinical and Research Information on Drug-Induced Liver Injury.
www.livertox.nih.gov.
2. Chalasani NP, et al. ACG Clinical Guideline: The diagnosis and management of
Idoocyncratic Drug-Induced Liver Injury. 2014, DOI:10.1038/ajg.2014.131.
3. Marrone G, et al. Drug-induced liver injury 2017. The diagnosis is not easy but always to
keep in mind. Eur Rev Ned Pharmacol Sci. 2017; 21 (1 Suppl):122-134
4. Yu YC, et al. CSH guidelines for the diagnosis and treatment of drug-induced liver injury.
Hepatol Int. 2017;11:221-241
5. Takikawa H, et al. Drug-induced liver injury in Japan: an analysis of 1676 cases between
1997 and 2006. Hepatol Res 2009;39:427-431.
6. Tajiri K, Shimizu Y. Practical guidelines for diagnosis and early management of drug-
induced liver injury. WJG 2008;14(44):6774-6785. DOI: 10.3748/wjg.14.6774.
7. An H, et al. The clinical characteristics of anti-tuberculosis drug-induced liver injury in 2457
hospitalised patients with tuberculosis in China. Afr J Pharm Pharmacol. 2013;7(3):710-714.
DOI:10.5897/ AJPP 2013.2963
8. Abbara A, et al. Drug-induced liver injury from antituberculosis treatment: a retrospective
study form a large TB centre in UK. BMC Inf Dis. 2017;17:231. doi: 10.1186/s12879-017-
2330-z
9. Jong E, et all. Consensus statement: Management of drug-induced liver injury in HIV-
patients treated for TB. SAHHIVMED. 2013;14 (3): 113-119
10. Sharma KS, et al. Safety of 3 different Reintroduction Regimen of Antituberculosis Drugs
after Development of Antituberculosis Treatment-induced Hepatotoxic. CID 2010; 50: 833-
839. DOI: 10.1086/650576
86
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Lampiran
Lampiran 1: Most common or well-described DILI agents and the patterns of their liver injury
87
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Lampiran 2: An algorithm to evaluate suspected idiosyncratic DILI 2.
88
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
OUTCOME MANAGEMENT OF CHRONIC HEPATITIS B
IN CIRRHOTIC PATIENTS
Irsan Hasan, Steven Zulkifly
Divisi Hepatobilier, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Rumah Sakit Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia.
Pendahuluan
Berdasarkan data Konsensus Amerika Serikat, prevalensi sirosis hati diperkirakan
mencapai 0,27% dari seluruh populasi dewasa dengan puncak usia pada dekade keempat
dan kelima.1 CDC melaporkan penyakit hati kronik dan sirosis merupakan penyebab ke-
12 tertinggi mortalitas di Amerika.2 Prevalensi infeksi virus hepatitis B (VHB) kronik di
Indonesia sebesar 7,1% dengan insidensi kumulatif sirosis dalam 5 tahun akibat infeksi
VHB yang tidak ditatalaksana sebesar 8-20%.3 Sepanjang tahun 2014-2016, tercatat 310
ribu kasus sirosis dan hepatitis dengan biaya mencapai 640 miliar rupiah, sehingga
menempatkan sirosis dan hepatitis sebagai urutan keenam tertinggi dalam pembiayaan
Jaminan Kesehatan Nasional.4
Indikasi Terapi Hepatitis B pada Pasien Sirosis
Indikasi dimulai terapi pada sirosis kompensata bila DNA-VHB terdeteksi dengan kadar
ALT meningkat atau DNA-VHB > 2000 IU/mL dengan kadar ALT normal. Terapi sirosis
dekompensata dapat segera dimulai terlepas dari kadar DNA-VHB, status HBeAg, atau
kadar ALT dengan tujuan mencegah perburukan progresifitas penyakit. Indikasi segera
terapi juga dapat dilakukan pada pasien sirosis dengan reaktivasi berat infeksi VHB
kronik.3
Gambar 1. Indikasi terapi infeksi VHB kronik pada pasien sirosis.3
Tata Laksana Hepatitis B pada Pasien Sirosis Kompensata
Sebuah studi pada tahun 2007 melakukan evaluasi pemberian pegylated
interferon-α-2b 100 μg/minggu, baik dengan ataupun tanpa kombinasi dengan
lamivudine, terhadap 239 pasien dengan infeksi VHB kronik, dengan karakteristik 70
pasien fibrosis lanjut (29%) dan 24 pasien sirosis (10%). Respons virologis didefinisikan
sebagai serokonversi HBeAg dan DNA VHB < 10.000 kopi/mL.5
Respons virologis ini didapatkan lebih signifikan pada pasien fibrosis lanjut
(p=0,02). Serokonversi HbsAg ditemukan dua kali lebih tinggi pada pasien dengan
89
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
fibrosis lanjut, walaupun tidak bermakna secara statistik. Respons virologis pada pasien
sirosis didapatkan hampir serupa pada pasien dengan fibrosis lanjut. Sekitar 35% pasien
sirosis menunjukkan respons virologis dibandingkan dengan 14% pada pasien tanpa
sirosis. Laju serokonversi HBsAg pada pasien sirosis sebesar 13%, sedangkan pada tanpa
sirosis sebesar 5% (p=0,13).5
Dalam hal efek samping, penggunaan terapi berbasis interferon pada pasien
sirosis tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam hal efek samping dan risiko
dekompensasi daripada kelompok non-sirosis.6 Pada pasien yang memiliki kontraindikasi
atau tidak berespons terhadap pemberian terapi berbasis interferon, maka pemberian
analog nukleos(t)ida dapat direkomendasikan sebagai terapi jangka panjang.3
Tenofovir atau entecavir direkomendasikan sebagai monoterapi pada pasien
infeksi VHB kronik dengan sirosis.7 Sebuah studi pada tahun 2008 dilakukan untuk
membandingkan antara 81 pasien dalam tenofovir dengan 42 pasein dalam adefovir.
Tenofovir memiliki efikasi yang lebih baik pada pasien sirosis, dengan perbaikan respons
histologi pada 79%, supresi DNA-VHB < 400 kopi/mL pada 85% dan ALT normal pada
69%, dibandingkan dengan adefovir (p<0,001).8
Sebuah studi dilakukan pada 245 pasien dengan fibrosis berat/sirosis yang
mendapatkan terapi entecavir (120 pasien) dan lamivudine (125 orang). Pada pasien yang
diterapi menggunakan entecavir yang belum pernah mendapatkan terapi sebelumnya,
perbaikan derajat fibrosis didapatkan pada 57% pasien dengan HBeAg positif dan 59%
pasien dengan HBeAg negatif. Perbaikan kadar DNA-VHB < 300 kopi/mL, kadar ALT,
serokonversi HBeAg dan HBsAg didapatkan pada 80%, 91%, 63%, 33%, dan 33%,
secara berurutan. Efek samping berat hanya ditemukan pada 9% kasus.9
Tata Laksana Hepatitis B pada Pasien Sirosis Dekompensata
Pegylated interferon dikontraindikasikan pada pasien dengan sirosis
dekompensata karena dapat menyebabkan dekompensasi lebih lanjut dan meningkatkan
risiko infeksi bakteri. Oleh karena hanya analog nukleos(t)ida yang direkomendasikan
sebagai terapi infeksi VHB kronik dengan sirosis dekompensata. Adefovir juga tidak
direkomendasikan karena terdapat risiko sindroma hepatorenal pada pasien sirosis
dekompensata.3
Sebuah studi meta-analisis di China mengenai penggunaan entecavir sebagai
terapi hepatitis B pada pasien sirosis dekompensata menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan kejadian hilangnya DNA-VHB (RR 1,85; IK95% 1,41-2,43, p< 0,0001 pada
48 minggu), normalisasi kadar ALT (p=0,003 pada 24 minggu dan p=0,02 pada 48
minggu), dan penurunan risiko mortalitas pada 24 minggu (p=0,003). Namun, tidak
ditemukan adanya perbedaan bermakna pada angka mortalitas total (p=0,06) dan
serokonversi HBeAg (p=0,14) antara entecavir dan kelompok kontrol (penggunaan
analog nukleosida lainnya).10 Kondisi sirosis dekompensata sendiri memiliki risiko tinggi
terjadinya asidosis laktat, oleh karena itu pemantauan risiko asidosis laktat harus
dilakukan secara ketat pada pasien ini.11
Sebuah penelitian mengevaluasi pemberian tenofovir 300 mg/hari pada 57 pasien
sirosis dekompensata dengan infeksi VHB kronik. Respons virologi komplit dalam 1
tahun ditemukan pada 70,2% kasus dan serokonversi HBeAg didapatkan pada 14,2%
kasus, walaupun kedua hasil tersebut didapatkan lebih tinggi pada kasus sirosis
kompensata. Penurunan skor Child-Turcotte-Pugh (CTP) dan Model for End-Stage Liver
Disease (MELD) didapatkan pada kelompok sirosis dekompensata (p< 0,001), dimana
68,4% mencapai CTP kelas A dan 49,1% perbaikan nilai CTP sebesar 2 poin setelah 12
90
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
bulan pengobatan tenofovir. Peningkatan kadar kreatinin serum lebih tinggi didapatkan
pada kasus sirosis dekompensata (7,0%) dibanding kompensata (2,5%).12
Referensi :
1. Scaglione S, Kliethermes S, Cao G, Shohan D, Durazo R, Luke A, et al. The epidemiology of
cirrhosis in the United States A Population-based study. J Clin Gastroenterol. 2015;49:690-
96.
2. Murphy SL, Xu J, Kochanek KD, Curtin SC, Arias E. Deaths: Final Data for 2015. National
Vital Statistics Reports. 2017;66(6).
3. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B.
Jakarta: Perhimpunan Peneliti Indonesia. 2017.
4. Permatasari ME. Pembiayaan Diagnostik PAK dan Pelayanan Penyakit Kronis Pasca
Pensiun. Disampaikan pada The 11th Indonesian Occupational Medicine Update 2017
Jakarta.
5. Buster EHCJ, Hansen BE, Buti M, Delwaide J, Niederau C, Michielsen PP, et al.
Peginterferon alpha-2b is safe and effective in HBeAg-positive chronic hepatitis B patients
with advanced fibrosis. Hepatology. 2007;46:388-94.
6. Janssen A, Schalm S. Treatment of HBeAg positive chronic hepatitis B with conventional or
pegylated interferon. In: Marcellin P. Management of patients with chronic hepatitis B.
France: APMAHV; 2004.
7. Sarin SK, Kumar M, Lau GK, Abbas Z, Chan HLY, Chen CJ, et al. Asian-Pacific clinical
practice guidelines on the management of hepatitis B: a 2015 update. Hepatol Int. 2016;10:1-
98.
8. Buti M, Hadziyannis S, Mithurin P, Urbanek P, Sherman M, Strasser S, et al. Tenofovir
disoproxil fumarate (TDF) is highly active for treatment of chronic hepatitis B in subjects
with cirrhosis. Hepatology. 2008;48:33.
9. Schiff E, Simsek H, Lee WM, Chao YC, Sette H, Janssen HLA, et al. Efficacy and safety of
entecavir in patients with chronic hepatitis B and advanced hepatic fibrosis or cirrhosis. Am J
Gastroenterol. 2008;103:2776-83.
10. Wang FY, Li B, Li Y, Liu H, Qu WD, Xu HW, et al. Entecavir for patients with hepatitis B
decompensated cirrhosis in China: a meta-analysis. Sci Rep. 2016;6:32722.
11. Lange CM, Bojunga J, Hofmann WP, Wunder K, Mihm U, Zeuzem S, et al. Severe lactic
acidosis during treatment of chronic hepatitis B with entecavir in patients with impaired liver
function . Hepatology. 2009;50(6):2001-6.
12. Lee SK, Song MJ, Kim SH, Lee BS, Lee TH, Wang YW, et al. Safety and efficacy of
tenofovir in chronic hepatitis B-related decompensated cirrhosis. World J Gastroenterol.
2017;23(13):2396-2403.
91
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
KONSENSUS NASIONAL PENATALAKSANAAAN HEPATITIS B DI
INDONESIA PERHIMPUNAN PENELITI HATI INDONESIA (PPHI) 2017
Hery Djagat Purnomo
Divisi Gastroenterohepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Dr Kariadi Universitas Diponegoro
I. Pendahuluan
Di Indonesia, angka pengidap hepatitis B pada populasi sehat diperkirakan
mencapai 4.0-20.3%, dengan proporsi pengidap di luar Pulau Jawa lebih tinggi daripada
di Pulau Jawa. Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013 menunjukkan proporsi HBsAg
positif sebesar 7,1%. Secara genotip, virus hepatitis B di Indonesia kebanyakan
merupakan virus dengan genotip B (66%), diikuti oleh C (26%), D (7%) dan A (0.8%).
Insidens kumulatif 5 tahun sirosis pada pasien dengan hepatitis B yang tidak
diterapi menunjukkan angka 8-20%, dengan 20% dari jumlah ini akan berkembang
menjadi sirosis dekompensata dalam 5 tahun berikutnya.Insidensi kumulatif KHS pada
pasien dengan hepatitis B yang sudah mengalami sirosis mencapai 21% pada pemantauan
6 tahun
Makalah ini seluruhnya disalin dan dirangkum dari Buku Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Hepatitis B Di Indonesia yang diterbitkan oleh PPHI sebagai bagian dari
sosisalisasi hasil konsensus tersebut.
II. Perjalanan penyakit hepatitis B
Keluaran infeksi virus hepatitis B bisa akut sebagian besar sembuh spontan
maupun kronik jika lebih 6 bulan (HbsAg > 6 bula). Hepatitis kronik mempunyai 4 fase
yaitu : immune toleran, immune aktif , pengidap inaktif , dan reaktivasi hepatitis B.
Perlu diketahui daftar istilah dan definisi yang ada pada konsensus ini dalam
pengelolaan hepatitis B di Indonesia sesuai dengan rumusan dan kriteria diagnostik.
III. Rekomensasi.
Rekomendasi 1. Evaluasi menyeluruh dan konseling adalah wajib sebelum merencanakan
terapi hepatitis B kronik (A1)
Rekomendasi 2. Tujuan dan target terapi hepatitis B kronik.
Tujuan terapi hepatitis B secara umum adalah eradikasi infeksi virus hepatitis B melalui
vaksinasi, terapi, dan pencegahan transmisi.(A1)
Rekomendasi 3. Indikasi terapi pada pasien hepatitis B kronik
Pasien yang menunjukkan replikasi virus dengan ALT normal atau meningkat
sedikit secara persisten tanpa adanya bukti fibrosis signifikan atau sirosis tidak termasuk
dalam indikasi terapi. Pada kelompok ini perlu dilakukan penilaian fibrosis non invasif
dan monitoring setiap 3 bulan. (B1)
Pilihan Terapi
Terdapat 2 jenis obat hepatitis B yaitu golongan interferon (pegylated interferon
α-2a 90-180 μg 1 kali per minggu, maupun pegylated interferon α-2b 1-1,5 μg/kg 1 kali
per minggu) dan golongan analog nukleos(t)ida. Golongan analog nukleos(t)ida ini lebih
jauh lagi terdiri atas lamivudin 100 mg, adefovir 10 mg, entecavir 0,5 mg, telbivudin 600
mg, dan tenofovir 300 mg. Semua jenis obat tersebut telah tersedia dan beredar di
92
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Indonesia. Baik interferon maupun analog nukleos(t)ida memiliki kekurangan dan
kelebihan masing-masing.
Rekomendasi 4. Terapi hepatitis B kronik dengan analog nukleosida.
Tenofovir 300 mg per hari atau entecavir 0,5 mg per hari merupakan pilihan lini
pertama untuk terapi dengan analog nukleosida (A1).
Pilihan terapi lini kedua hepatitis B dapat dipertimbangkan sesuai dengan
ketersediaan obat atau kepentingan pengobatan segera pada pasien naif atau yang tidak
diketahui profil resistensinya, mencakup lamivudin 100 mg per hari (A2), adefovir 10 mg
per hari (A2), atau telbivudin 600 mg per hari (A2)
Rekomendasi 5. Strategi pemantauan terapi hepatitis B dengan analog nukleosida.
Selama terapi, pemeriksaan DNA VHB, HBeAg, anti HBe, dan ALT dilakukan
setiap 3-6 bulan. (A1)
Rekomendasi 6. Kriteria penghentian terapi analog nukleos(t)ida
Kriteria penghentian terapi analog nukleos(t)ida pada pasien dengan HBeAg
positif tanpa sirosis adalah serokonversi HBeAg dengan DNA VHB tidak terdeteksi yang
dipertahankan paling tidak 12 bulan.(A1)
Pada pasien HBeAg positif dengan sirosis yang sudah mencapai serokonversi
HBeAg, terapi direkomendasikan untuk dilanjutkan seumur hidup.(C2)
Pada pasien dengan HBeAg negatif tanpa sirosis, terapi bisa dihentikan bila
tercapai hilangnya HBsAg.
Pada pasien HBeAg negatif dengan sirosis, terapi direkomendasikan untuk
dilanjutkan seumur hidup. (B1)
Rekomendasi 7. Kegagalan terapi analog nukleosida.
Pada pasien yang mengalami kegagalan terapi primer atau respon virologis
parsial, masalah kepatuhan minum obat yang baik merupakan hal pertama yang harus
dievaluasi dan diperbaiki. Setelah itu penggantian ke strategi lain sesuai kecurigaan
resistensi dan pemeriksaan resistensi virus bisa dilakukan.
Pasien yang mengalami virologic breakthrough, harus selalu dicurigai adanya
resistensi. (A1)
Resistensi terhadap lamivudin, strategi digunakan adalah penambahan adefovir,
atau penggantian terapi ke tenofovir. (A1)
Resistensi terhadap adefovir, strategi yang bisa digunakan adalah penggantian
terapi ke entecavir, atau tenofovir. (A1)
Resistensi terhadap lamivudin dan adefovir, penggantian ke tenofovir.(B1)
Resistensi terhadap telbivudin, dilakukan penambahan adefovir, atau penggantian
ke tenofovir. (A1)
Resistensi terhadap entecavir, strategi yang bisa digunakan adalah penambahan
adefovir, atau penggantian ke tenofovir. (B1)
Resistensi terhadap beberapa jenis obat, strategi yang bisa digunakan adalah
kombinasi entecavir dan tenofovir. (C2)
Rekomendasi 8. Terapi hepatitis B kronik dengan Peg-IFN.
Peg-IFN merupakan terapi pilihan pada pasien yang menginginkan terapi untuk
jangka waktu tertentu (B2).
Durasi terapi Peg-IFN diberikan sekurang-kurangnya selama 1 tahun. (A1)
Peg-IFN tidak boleh diberikan pada kondisi sirosis dekompensata. (A1)
93
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Rekomendasi 9. Pada terapi berbasis interferon, apabila diperlukan dapat
dipertimbangkan penggunaan Baseline Guided Therapy (BGT). (B2)
Rekomendasi 10. Strategi pemantauan terapi hepatitis B dengan Peg-interferon.
Pada pasien yang mendapat terapi berbasis interferon, pemeriksaan darah tepi dan
pemantauan efek samping lain harus dilakukan secara rutin selama pengobatan sekurang-
kurangnya setiap 1 bulan. (A1)
Pemeriksaan HBsAg dilakukan pada akhir terapi dilanjutkan dengan pemeriksaan
anti-HBs dilakukan bila hasilnya negatif. (A1)
Pemeriksaan HBeAg, ALT dan DNA VHB dilakukan tiap bulan pada 3 bulan
pertama terapi dihentikan. Kemudian dilanjutkan tiap 3 bulan selama satu tahun. Bila
tidak ada relaps, pemeriksaan dilakukan tiap 3 bulan pada pasien sirosis dan tiap 6 bulan
pada non- sirosis. (A2)
Rekomendasi 11. Kriteria penghentian terapi peg-interferon
Pada terapi berbasis interferon, apabila diperlukan dapat dipertimbangkan
penggunaan Response Guided Therapy (RGT). (B2)
Pada pasien HBeAg positif, terapi dihentikan apabila pada minggu ke 12 gagal
dicapai kadar HBsAg < 20.000 IU/mL atau penurunan HBV DNA > 2 log, atau apabila
pada minggu ke 24 gagal dicapai kadar HBsAg < 20.000 IU/mL.(B2)
Pada pasien HBeAg negatif, terapi dihentikan apabila pada minggu ke 12 gagal
dicapai penurunan kadar HBsAg atau penurunan HBV DNA > 2 log, atau apabila pada
minggu ke 24 gagal dicapai penurunan kadar HBsAg.(B2)
Rekomendasi 12.Terapi pertukaran atau penambahan Peg-interferon pada analog
nukleosida dapat dipertimbangkan pada kelompok pasien tertentu yang
menginginkan hasil terapi lebih optimal.(B2) Terapi ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.
Rekomendasi 13. Terapi pada pasien hepatitis B dengan sirosis.
Terapi pada pasien dengan sirosis kompensata dapat dimulai apabila kadar HBV
DNA > 2.000 IU/mL meskipun dengan ALT normal.(A1)
Terapi sirosis dekompensata dapat dimulai terlepas dari kadar HBV DNA, ALT,
dan status HBeAg. (B1)
Rekomendasi 14. Surveilans KHS dilakukan dengan pemeriksaan USG dan AFP tiap 6
bulan pada pasien infeksi VHB kronik risiko tinggi. (B2)
Rekomendasi 15. Terapi hepatitis B pada pasien koinfeksi VHB-VHC.
Terapi VHC dengan DAA pada pasien koinfeksi VHB-VHC dapat menyebabkan reaktiasi
VHB. Pasien yang memenuhi kriteria untuk terapi VHB perlu diterapi dengan analog nukleosida.
(B1)
Pasien koinfeksi VHB-VHC dengan HBsAg positif yang menjalani terapi DAA perlu
dipertimbangkan untuk diberikan profilaksis analog nukleosida hingga 12 minggu setelah terapi
DAA. (B2)
Pasien koinfeksi VHB-VHC dengan HBsAg negatif dan anti HBc positif perlu dimonitor
dan dilakukan pemeriksaan reaktivasi VHB apabila ditemukan peningkatan kadar ALT. (B1)
Rekomendasi 16. Terapi hepatitis B pada pasien koinfeksi VHB-HIV.
Tenofovir dan lamivudin adalah terapi pilihan pada ko- infeksi VHB/HIV. (A1)
94
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Pada pasien CD4 > 500 yang tidak sedang mengonsumsi ARV, terapi pilihan
adalah Peg-IFN atau adefovir. (B1)
Rekomendasi 17. Terapi hepatitis B pada pasien wanita hamil. Pada pasien usia
subur, konseling kontrasepsi dan keluarga berencana penting untuk didiskusikan. (A1)
Pada pasien hamil dengan DNA VHB > 2 x 106 IU/mL dan atau HBeAg positif,
terapi untuk mengurangi transmisi perinatal dapat dimulai pada trimester 3 sampai
dengan 3 bulan setelah melahirkan, kecuali bila ada indikasi terapi hepatitis B kronis.
(A1)
Tenofovir dapat digunakan pada pasien hamil dengan infeksi VHB, dan telbivudin
dapat digunakan sebagai alternatif. (B1)
Rekomendasi 18. Terapi hepatitis B pada pasien dengan terapi imunosupresi.
HBsAg dan anti HBc perlu diperiksa pada seluruh pasien yang akan menjalani
kemoterapi. (A1)
Bila status HBsAg positif, profilaksis dengan analog nukleosida diberikan 1
minggu sebelum sampai 12 bulan setelah kemoterapi. (A1)
Bila status HBsAg negatif namun anti HBc positif, dilakukan pemeriksaan DNA
VHB. Pasien dengan DNA VHB positif perlu diberikan terapi profilaksis. (C1)
Rekomendasi 19. Terapi hepatitis B pada petugas kesehatan.
Infeksi VHB kronik tidak boleh dijadikan larangan bagi petugas kesehatan untuk
melakukan praktik atau melanjutkan studi. Kelompok pasien ini tidak boleh diisolasi atau
didiskriminasikan, melainkan didorong untuk diperiksa dan diterapi. (A1)
Seluruh petugas kesehatan perlu diskrining untuk infeksi VHB dengan
pemeriksaan HBsAg, anti HBs, dan anti HBc total. (A1)
Seluruh petugas kesehatan yang tidak terinfeksi perlu diberikan vaksin hepatitis B
dengan status imunisasi didokumentasikan. (A1)
Kewaspadaan standar perlu diberlakukan secara ketat untuk petugas kesehatan dan
pasien. (A1)
Petugas kesehatan yang rentan terhadap pajanan perlu diberikan pelatihan oleh
komite ahli terkait prosedur yang akan dikerjakan. (A1)
Petugas kesehatan yang terinfeksi VHB dapat mengerjakan prosedur yang rentan
menularkan virus apabila memiliki kadar DNA VHB rendah (< 1000 IU/mL) atau tidak
terdeteksi, dibuktikan dengan pemeriksaan setiap 6 bulan. (B1)
Rekomendasi 20. Terapi hepatitis B pada pasien transplantasi hati.
Terapi dengan analog nukleos(t)ida dan HBIg harus diberikan pada semua pasien
hepatitis B dengan DNA VHB terdeteksi yang akan menjalani transplantasi hati. (B1)
Analog nukleos(t)ida harus tetap diberikan seumur hidup pasca transplantasi hati.
(A1)
Rekomendasi 21. Terapi hepatitis B pada pasien dialisis dan kandidat transplantasi
ginjal.
Seluruh pasien dialisis dan resipien transplantasi ginjal perlu diskrining untuk
VHB. (B1)
Pasien dialisis dengan HBsAg positif perlu diterapi dengan entecavir. (B1)
Pasien resipien transplantasi ginjal perlu diterapi dengan entecavir untuk profilaksis atau
terapi. (B1)
Pasien HBsAg negatif dan anti HBc positif perlu diperiksakan untuk infeksi VHB
pasca transplantasi gijal. (C1)
95
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Referensi :
Rinaldi A. Lesmana, Irsan Hasan, Rino Alvani Gani, Andri Sanityoso, Ali Djumhana, Poernomo
Boedi Setiawan. Rinaldi A. Lesmana (editor), Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B di
Indonesia. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI). 2017
96
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Pengobatan anti virus Nucleosida Analog pada Hepatitis B Kronis :
dampak jangka panjang supresi virus
Poernomo Boedi Setiawan
Departemen – SMF Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya
Pendahuluan
Pada saat ini penatalaksanaan Hepatitis B kronis berpedoman pada “guideline”
baik yang berlaku lokal , regional maupun internasional. Pemilihan obat adalah sangat
penting sehingga perlu diperhatikan berbagai hal antara lain : ketersediaan obat ,
farmakokinetik , dampak jangka panjang pengobatan yang disesuaikan dengan tujuan
pengobatan , efek samping , resistensi obat dan data yang tersedia dari berbagai obat
tersebut. Pada saat ini terdapat 2 golongan obnat yang diteruma secara luas oleh berbagai
“guideline” yaitu golongan “nucleosida analog (NA)” dan immunomodulator
(Interferon alfa). Diperlukan strategi (mungkin individual) dengan melibatkan pasien
dalam menentukan obat yang akan dipilih untuk diberikan .
Dengan memperhatikan siklus hidup virus hepatitis B (VHB) , maka parameter
utama untuk menilai keberhasilan pengobatan adalah penurunan kadar HBV DNA sampai
dengan nilai yang paling rendah (supresi kadar HBV DNA) , untuk kemudian
dipertahankan dalam jangka panjang. Dampak jangka panjang supresi HBV DNA ini
kemudian dievaluasi pula dengan pemeriksaan histology untuk membuktikan adanya
perbaikan jaringan hati. Dampak lain adalah terjadinya resistensi obat , yang dapat
diketahui dengan pemburukan klinis , peningkatan kadar ALT , dan atau kadar HBV
DNA yang kembali meningkat.
Memperhatikan hal tersebut maka didalam pemilihan obat, khususnya gol NA
karena pemakaiannya yang berjangka panjang , maka stategi penting adalah bagaimana
memilih obat yang mempunyai potensi penurunan HBV DNA kuat , dengan kejadian
resistensi obat yang minimal , efek samping yang terkendali dan buki adanya perbaikan
klinis.
Strategi pemakaian NA
Pemilihan pengobatan NA untuk hasil yang lebih optimal dengan memperhatikan
hal sbb:
a. Kondisi penyakit hati , NA pada umumnya dapat diberikan pada semua kondisi
penyakit hati termasuk sirosis hati
b. Usia penderita , NA pada umumnya digunakan untuk jangka panjang , maka
pertimbangan usia sangat penting khususnya pada wanita muda yang masih
produktif atau berkehendak menikah/ hamil.
c. Ketersediaan obat (dalam jangka panjang) sangatlah penting utntuk menjamin
tidak terjadi putus obat, yang akan menyebabkan kondisi “flare up” atau resistensi
d. Muatan virus , sangat penting untuk melihat data muatan virus pada pemakaian
NA tertentu
e. Keamanan obat , khususnya akibat permakaian jangka panjang semisal fungsi
ginjal
f. Data strategi cara mengatasi terjadinya resistensi atau kondisi “flare up”
Dengan pemberian obat NA maka perlu difahami hal sbb :
a. “Primary non response” yaitu suatu keadaan penurunan kadar HBV DNA
97
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
kurang dari 1 log10 pada minggu ke 12 pengobatan NA .
b. “Partial virological response” yaitu suatu keadaan dimana kadar HBV DNA
tetap terdeteksi selama pengobatan dengan NA diberikan.
Pada keadaan ini sangat penting mengecek kepatuhan pasien meminum obat.
Bila terjaadi keadaan ini khususnya pada minggu ke 24 pengobatan maka dapat
dipakai strategi menambah (= add on ) obat ( dengan catatan tidak ada
resistensi silang) atau mengganti (= switch to) dengan obat yang lebih potent.
Pada umumnya, metoda menambah obat lebih dapat diterima oleh para pakar.
c. “Virological breakthrough”, biasanya terjadi pada pasien yang patuh minum
obat , dan terjadi peningkatan kembali kadar HBV DNA , berhubungan dengan
terjadinya resistensi dan umumnya berhubungan dengan lama pengobatan.
- resistensi umumnya berhubungan dengan pemakaian NA sebelumnya,
- kadar HBV DNA awal yang sangat tinggi,
- penurunan HBV DNA yang lambat dan
- “partial virological response”.
Resistensi ini seharusnya dapat diketahui seawal mungkin sebelum terjadinya “clinical
breakthrough” ( peningkatan ALT), yang berarti memonitor kadar HBV DNA pada
pengobatan dengan NA harus dilakukan seoptimal mungkin .
Data potensi dan resistensi Nucleosida Analog
Pada saat ini NA yang telah tersedia dan diterima di sebagian besar negara adalah
golongan : Lamivudine (LAM) , Adefovir (ADV) , Entecavir (ETV) , Telbivudine (LDT)
dan Tenovofior (TDF) . Secara umum potensi NA ditentukan dari kemampuan untuk
menurunnya kadar HBV DNA setelah 6 bulan dan 12 bulan pengobatan dengan NA .
Studi (resmi – company profile) obat2an NA adalah dengan LAM , dan tidak studi “head
to head”. Data berikut dapat dipakai sebagai perbadingan potensi NA :
HBV DNA Reduction With Oral Agents in HBeAg+ Chronic Hepatitis B*
*Data from individual reports, not direct comparisons (different populations, baseline values, HBV DNA assays).
-7
-6
-5
-4
-3
-2
-1
0
Log 10
Dec
reas
e H
BV
DN
A a
t 1
Year
-3.5
-4.8-5.5
-6.2 -6.5-6.9
-5.1
ETV[6]LdT[4]TDF[5]
ADV[1]
10 mg
1. Hepsera [package insert]. 2. Marcellin P, et al. N Engl J Med. 2003;348:808-816. 3. Yoo BC, et al. AASLD 2005. Abstract 186. 4. Tyzeka [package insert]. 5. Heathcote E, et al. AASLD 2007. Abstract LB6. 6. Baraclude [package insert].
ADV[2]
30 mg L-FMAU[3] LAM[4]
98
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Tabel 1. Regresi fibrosis pada pengobatan jangka panjang dengan NUC (dikutip : Liaw YF , Clin Liv
Dis 2013 : 17 : 3 : 412 – 421)
Nuc Analog HBe Ag Duration (y) Fibrosis
regression (%)
LAM (+) 3 y 33
ETV (+) or (-) 3y 57
ADV (-) 5y 71
ADV (+) 5y 60
ETV (+) or (-) 6y ( 3 – 7 ) 88
TDF (+) or (-) 5 y 51/74 (fib score 5
or 6 at baseline
99
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
* Up to 7 years
Range: 3–7 years)
Median time: 280 weeks1†
Adapted from Chang T-T, et al. Hepatology 2010;52:886–93. Bristol-Myers Squibb. Baraclude® (entecavir) Summary of Product Characteristics. May 2011.
Long-term viral suppression leads to fibrosis reversal:
Improvement in Ishak fibrosis score with ETV
Ishak fibrosis score
Missing
1
2
3
4
5
6
0
n=57
Pat
ien
ts, n
10
20
30
40
50
60
Baseline Week 48 Long term*0
† In the randomized controlled studies, patients received 0.5 mg ETV. In the 901 rollover study, patients received 1 mg ETV.
Locarnini S. Hepatol Int. 2008;2:147-51. 2. Lai CL, et al. N Engl J Med, 2007;357:2576-8; 3. Liaw YF, et al. Gastroenterology 2009;136:486-95. 4. Snow-Lampart A, et al. AASLD Oct 31–Nov 4, 2008, San Francisco, USA. Oral Presentation 977 Hepatology 2008;48:745A. 5. Baraclude EU SmPC, February 2009. 6. Tenney et al. EASL April 22–26, 2009, Copenhagen,Denmark, Oral Presentation 1761.
Dari data tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa ETV memiliki data
jangka panjang profil obat yang baik . Strategi mencegah terjadinya resistensi obat
dengan hasil pengobatan yang baik dapat digunakan dengan pemilihan obat ETV.
100
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Daftar pustaka:
1. Buti M, Hadziyannis S, Mthurin P, et al. Tenofovir disoproxil fumarate (TDF) is highly
active for treatment of chronic hepatitis B in subjects with cirrhosis (abstract). Hepatology
3008;48:33.
2. Chang TT, Gish RG, de Man R, Gadano A, Sollano J, Chao YC, et al. A comparison of
entecavir and lamivudine for HBeAg-positive chronic hepatitis B. N Engl J Med 2006; 354
(10): 1001-1010.
3. Chang TT, Lai CL, Kew Yoon S, Lee SS, Coelho HS, Carrilho FJ, et al. Entecavir
treatment for up to 5 years in patients with hepatitis B e antigen-positive chronic hepatitis
B. Hepatology. 2010 ;51(2):422-30.
4. Chen CJ, Yang HI, Su J, Jen CL, You SL, Lu SN, et al; REVEAL-VHB Study Group. Risk
of hepatocellular carcinoma across a biological gradient of serum hepatitis B virus DNA
level. JAMA. 2006 ;4;295(1):65-73.
5. Dienstag JL. Hepatitis B virus infection. New England Journal of Medicine. 2008 ; 359
(14):1486-1500
6. Dienstag JD, Schiff ER, Wright TL, Perrillo RP, Hann HWL, Goodman Z, et al.
Lamivudine as initial treatment for chronic hepatitis B in the united states. N Engl J Med
1999 ;341:1256-1263.
7. European Association for the Study of the Liver. EASL Clinical Practice Guidelines:
Management of chronic hepatitis B virus infection. J Hepatol 2012 ; 57 : 167 -185
8. Fung S, Lok A. Management of patients with hepatitis b virus-induced cirrhosis. J Hepatol
2005;42:54-64.
9. Gish RG, Chang TT, Lai CL, de Man R, Gadano A, Poordad F, et al. Loss of HBsAg
antigen during treatment with entecavir or lamivudine in nucleoside-naïve HBeAg-positive
patients with chronic hepatitis B. J Viral Hepat. 2010 ;17(1):16-22.
10. Iloeje UH, Yang HI, Su J, Jen CL, You SL, Chen CJ; Risk Evaluation of Viral Load
Elevation and Associated Liver Disease/Cancer-In VHB (the REVEAL-VHB) Study
Group. Predicting cirrhosis risk based on the level of circulating hepatitis B viral load.
Gastroenterology. 2006 ;130(3):678-86.
11. Lai CL, Gane E, Liaw YF, Hsu CW, Thongsawat S, Wang Y, et al. Telbivudine versus
lamivudine in patients with chronic hepatitis B. N Engl J Med 2007; 357 (25) :2576-2588.
12. Liaw YF, Kao JH, Piratvisuth T, Gane E, et al. Asian-Pacific consensus statement on the
management of chronic hepatitis B: a 2012 update. Hepatol Int. 2012 ; 6 : 531-561
13. Liaw Y, et al. Lamivudine for patients with chronic hepatitis B and advanced liver disease.
N Eng J Med 2004;351:1521-31.
14. Liaw YF, Gane E, Leung N, Zeuzem S, Wang Y, Lai CL, et al. 2-Year GLOBE trial
results: telbivudine is superior to lamivudine in patients with chronic hepatitis B.
15. Lok ASF, McMahon BJ. AASLD Practice Guideline, Chronic Hepatitis B: Update 2009.
Hepatol. 2009 ; 50 : 661 - 662
16. Marcellin P, Chang TT, Lim SG, Tong MJ, Sievert W, Shiffman ML, et al. Adefovir
dipivoxil for the treatment of hepatitis B e antigen–positive chronic hepatitis B. N Engl J
Med 2003 Feb; 348:808-816.
17. Marcellin P, Heathcote EJ, Buti M, Gane E, de Man RA, Krastev Z, et al. Tenofovir
Disoproxil Fumarate versus Adefovir Dipivoxil for Chronic Hepatitis B. N Engl J
Medicine. 2008 ; 359 (23) :2442-2455.
18. PPHI (2012). Konsensus prenatalaksanaan hepatitis B di Indonesia
19. Reynaud L, Carleo M, Talamo M, Borgia G. Tenofovir and its potential in the treatment of
hepatitis B virus. Ther Clin Risk Manag. 2009;5:177-85
20. Yuen MF, Seto WK, Fung J, Wong DK, Yuen JC, Lai CL. Three years of continuous
entecavir therapy in treatment-naïve chronic hepatitis B patients: VIRAL suppression, viral
resistance, and clinical safety. Am J Gastroenterol. 2011;106(7):1264-71.
101
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
21. Yuen MF, Sablon E, Hui CK, Yuan HJ, Decraemer H, Lai CL. Factors associated with
hepatitis B virus DNA breakthrough in patients receiving prolonged lamivudine therapy.
Hepatology 2001;34:785–791.
102
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
STRATEGI APPROACH IN HEPATITIS B INFECTION : GUIDELINE VS REASON
CLINICAL DATA
L.A.Lesmana
Divisi Hepatobilier, Bagan Penyakit Dalam FKUI,RS. Ciptomangukusumo, Jakarta.
Perkembangan terbaru dalam menangani hepatitis B kronik adalah mengenai adanya
wacana apakah pasien pada stadium immuno- tolerant ( IT) hepatitis kronik B perlu mendapat
terapi berdasarkan data penelitian imunologi terkini . Seperti diketahui dalam berbagai panduan
pengobatan. Hepatitis kronik B dari APASL 2015, AASLD 2016 pasien dengan stadium IT tidak
perlu diobati. Tetapi pada panduan EASL 2017 memakai fase pertama HBEG-positive chronic
infection dan tidak memakai lagi istilah IT. Pada fase ini ditandai dengan kadar HBV DNA yang
sangat tinggi , HbEAG positif dan ALT normal dan umumnya terjadi dari pasien yang mendapat
infeksi perinatal .Pada fase ini pasien sangat infeksius dan hilangnya spontan HbEG sangat
jarang.
Sementara beberapa panduan tidak menganjurkan terapi pada IT hepatitis kronik B
sejumlah penelitian terakhir terapi pada IT hepatitis kronik B dapat mengurangi risiko fibrosis
dan karsinoma hepatoseluler.Kita di Indonesia sudah saatnya melakukan penelitian bersama
apakah ada sejumlah pasien IT hepatitis kronik B yang mempunyai fibrosis pada fibroscan tanpa
perlemakan hati dan pada biopsi didapatkan fibrosis .
103
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Management of Upper GI Bleeding: Focused on Variceal Bleeding
Dadang Makmun
Division of Gastroenterology, Department of Internal Medicine
Faculty of Medicine, Universitas Indonesia /
Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta
Pathogenesis of Portal Hypertension and Variceal Bleeding
Cirrhosis is classified into two classes, which are compensated and
decompensated. Compensated cirrhosis is the longest stage and is asymptomatic. This
stage is divided into two stages; mild portal hypertension and clinically significant portal
hypertension in which has greater risk of varices, ascites, venous hypertension,
encephalopathy, and hepatocellular carcinoma. The clinically significant portal
hypertension is further substaged depending on the presence and absence of
gastroesophageal varices. Decompensated cirrhosis is marked by the presence of ascites,
venous hypertension, and encephalopathy. The Child-Turcotte-Pugh (CTP) classification
has been used to stratify patients with cirrhosis. Patients with cirrhosis belonging to the
CTP-A class are compensated, whereas those in the CTP-B/C class are mostly
decompensated. Gastroesophageal varices are present in up to 85% of decompensated
cirrhosis patients.1,2
Portal hypertension is the first and main consequence of cirrhosis. It occurs as a
result of anincreased portal pressure due to a rise in the intrahepatic resistance to portal
flow. Changes in liver structure or called mechanical component such as fibrous tissue,
vascular distortion, and microthrombi explains 70% of the increased intrahepatic
resistance, while the rest is attributed to the increased intrahepatic vascular tone or called
functional component. One of the initial consequences of portal hypertension is the
formation of portosystemic collaterals. Concomitantly, splanchnic vasodilatation occurs,
leading to increased the flow into the gut and into the portal venous system. Vasodilation
leads to activation of neurohumoral and vasoconstrictive systems, sodium and water
retention, increased blood volume, and increased cardiac output which further increases
portal venous inflow and portal pressure. The cardinal symptoms of decompensated
cirrhosis such as ascites and hepato-renal syndrome are explained by the sodium and
water retention by the kidneys.1,2 Moreover, activated vasoconstrictive systems further
contribute to intrahepatic vasoconstriction. The more detail pathogenesis of portal
hypertension and varices is explained in figure 1.
104
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Figure 1 Pathogenesis of portal hypertension and sites of action of current recommended
therapy to reduce portal pressure.1
Acute variceal bleeding is an emergency condition that requires prompt treatment.
Variceal bleeding happens due to a rupture of the variceal wall because of increased wall
tension. The risk factors for variceal bleeding include large size of varicose veins, severity
of liver disease, previous history of varicose bleeding as well as alcohol. The amount of
blood is related to portal pressure, to the rupture area in the vessel wall, and to blood
viscosity and/or changes in hemostasis.2In chronic liver disease, varicose veins are often
formed on the distal esophagus, stomach, and rectum, but esophageal varices are the most
common site of bleeding due to the thinness of the wall at the gastroesophageal junction.
Esophageal varices are found in more than 50% of patients with hepatic cirrhosis,
depending on the severity of liver disease.3 Bleeding of gastric varicose veins is less
common but is more difficult to control and has higher mortality rate than esophageal
varices. Patients with a history of variceal bleeding would have a 60% risk of recurrent
bleeding within 1-2 years with mortality rate of 33% if not treated correctly.4
Prevention of Variceal bleeding
VI. The American Association for the Study of Liver Diseases
(AASLD)recommendsnon-specific beta blockers (NSBBs) for primary prophylaxis of
variceal bleeding in patients with cirrhosis who have high-risk varices and combination of
NSBB with endoscopic variceal ligation (EVL) for secondary prophylaxis to prevent re-
bleeding. Propranolol, nadolol, and carvedilolreduce portal pressure by decreasing cardiac
output and through splanchnic vasoconstriction bythe unopposed effect of -1 adrenergic
activity. In patients with progressive hypotension (systolic blood pressure <90 mmHg), or
in patients who develop bleeding, sepsis, spontaneous bacterial peritonitis (SBP) or acute
kidney injury (AKI), NSBBs should be discontinued.2
Treatment of Variceal Bleeding
Acute variceal bleeding must be suspected in any cirrhotic patient presenting with
acute upper gastrointestinal bleeding. Prompt treatment as soon as bleeding is clinically
confirmed in essential, regardless confirmation by diagnostic endoscopy.2The initial goal
of therapy of acute variceal bleeding include rapid hemostasis, prevention of early re-
bleeding within 5 days, and prevention of 6-week mortality.1,5During the acute bleeding,
105
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
beta-blockers and vasodilators should be avoided. The algorithm for the management of
variceal bleeding is explained in Figure 2.2
Figure 2 Algorithm for the management of acute variceal bleeding. TIPS: transjugular intrahepatic
portosystemic shunts. 2
I. Early Resuscitation
Management of variceal bleeding should start from the management of airway,
breathing, and circulation. If possible, patients with massive bleeding is monitored in
intensive care unit for hemodynamic monitoring. Infusion with two large bore needle for
fluid and blood transfusion may be required as well. Fluid resuscitation is performed by
administering sodium chloride or Ringer Lactate solution.6,7Administration of fluid in
patients with variceal bleeding should be carefully observed because too much fluid may
worsen the bleeding due to the increased portal venous pressure from the increased
intravascular volume. Transfusion with packed red cell (PRC) is recommendedwhen the
hemoglobin level falls below 7g/dl and should be maintained between7 and 9 g/dL.1,2The
systolic pressure should be maintained at about 90 to 100 mmHg, heart rate <100/min,
and central venous pressure from 1 to 5 mm Hg.Transfusion of fresh frozen plasma (FFP)
or platelet concentrate (PC) have often been used to correct coagulopathy,
howeverAASDLand Asia Pacific Association for Study of the Liver (APASL) reported
that platelet transfusion does not adequately correct the coagulopathy in patients with
variceal bleeding. Correction of coagulopathy with recombinant factor VIIa does not
show significant benefit. International normalized ratio (INR) is not a reliable indicator of
106
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
coagulation status in cirrhosis, thus correcting the INR with FFP or factor VIIa is not
recommended.1,8
II. Pharmacological Treatment
a. Vasoactive Drugs
Vasoactive drugs should be given immediately together with antibiotics and
before diagnostic endoscopy, until hemostasis has been achieved or 2-5 days after
endoscopic treatment. Vasoactive drugs include vasopressin or its analog terlipressin
(triglycyllysine vasopressin), and somatostatin or its analog octreotide. Vasoactive drugs
contract the vessel of the gastrointestinal tract, decreasing the vascular inflow to the portal
vein and decreasing the pressure of portal vein. Vasopressin is a potent splanchnic
vasoconstrictor. However, today the use of vasopressin is restricted because it works as a
potent systemic vasoconstrictor and causes ischemia in coronary, cerebral, intestinal, and
limb vessels. Terlipressin has a dual effect including systemic vasoconstriction and direct
splanchnic vasoconstriction. Compared to vasopressin, terlipressin has greater effect with
lower cardiovascular complication. Terlipressin is administered intravenously with dose
of 1-2 mg initially, and continue with 1-2 mg every 4-6 hours.5,8
Somatostatin and somatostatin analogues (octreotide and vapreotide) have
selective vasoconstriction effects on the splanchnic. This agent has fewer effect on
systemic vasoconstriction with less systemic adverse effect. Somatostatin and its analog
are more effective than placebo or vasopressin, and when used as a bridging therapy until
endoscopic variceal ligation (EVL), it has similar hemostatic effects as balloon
tamponade. Somatostatin is given at dose of 250 micrograms bolus initially and can be
repeated in the first hour if there is still ongoing bleeding, followed by continuous
infusion drip 250-500 microgram/h. Octreotide acts similar to somatostatin but has longer
half-life (1-2 minutes vs 1-2 hours). Octreotide is administered at 50 microgram bolus and
can be repeated in the first hour if there is still ongoing bleeding, followed by continuous
infusion droplet 50 microgram/h for 5 days.1,3,4,9
b. Antibiotics
Bacterial infection such as spontaneous bacterial peritonitis can occur in 35-66%
of patients with bleeding due to rupture of esophageal or stomach varicose veins. To
prevent the occurrence of secondary infections,prophylactic antibiotic is recommended to
be given to increase the survival rate. The first choice antibiotic for cirrhotic patients is 1
g of ceftriaxone once daily, particularly for advanced decompensated cirrhosis, those who
already on quinolone prophylaxis, and in hospital settings. An oral 400 mg of norfloxacin
twice dailymay be given to the remaining patients.Prophylactic antibiotics is administered
for amaximum of 7 days.1-4
III. Non Pharmacological Therapy
a. Endoscopy
Endoscopy procedure plays a role in the variceal bleeding to achieve hemostatis.
Endoscopy should be performed during the first 12 hours of variceal bleeding.1,2,8
Whenconducted after more than 12 hours, the mortality rate significantly increased.
Endoscopic hemostasis reduces the rate of recurrent bleeding, the need for surgery, and
107
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
mortality. Endoscopy may be conducted as monotherapy or in combination with other
medical measures. Several therapeutic endoscopy procedures that can be performed for
patients with variceal bleeding are:
1. Endoscopic variceal ligation (EVL)
This procedure is performed by placing the head of the endoscope with a rubber
band ligation device over the varix, suctioning the mucosa into the cap, and tying the
varix. For active variceal bleeding, it is better to perform prophylactic ligation on the
varices within 5 to 10 mm to 5 cm from the esophagogastric junction. EVL has better
effectivity and lower risk of bleeding and complications than endoscopic sclerotherapy.
Complications of rubber band ligation include ulcers, esophageal strictures, and delayed
bleeding.4
2. Sclerotherapy
Sclerotherapy is performed by injecting sclerosant into the varix to induce
thrombosis. The sclerosing agents are 5% ethoxysclerol. This procedure has greater
adverse events and complication than EVL with no better outcome, thus sclerotherapy is
not recommended as the first-line therapy for the endoscopic management of esophageal
varices. Sclerotherapy may be an alternative to ligation if EVL fails of impossible to
perform.4
3. Histoacryl injection
N-butyl-2-cyanoacrylate (Histoacryl “glue”) injection is of proven to be effective
for the treatment of bleeding gastric varices to make a thrombus inside the varix, but its
utility in the bleeding of esophageal varices remains still unproven. Some complication
could be occurred including pulmonary and systemic arterial embolisation, portal and
mesenteric vein thrombosis, persistent sepsis, fistulisation and mucosal erosion due to
extravascular injection. 10
b. Other Modalities
Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunts (TIPS) is recommended as a
rescue therapy of persistent bleeding despite treatment with vasoactive agents, antibiotics,
and EVL.By creating a shunt from the portal vein to the hepatic vein, it allows the blood
to drain into the systemic circulation and reducing the portal resistance.
Balloon tamponade (Sengstaken Blakemore Tube) allows temporary control of
bleeding by direct compression of varices. This procedure has high rates of complication
and rebleeding, thus it should not be used as a routine variceal bleeding treatment.
Instead, balloon tamponade may be useful in cases of massive and uncontrolled bleeding
and as a temporary “bridge” therapy until the definitive treatment is available and for a
maximum of 24 hours.
Removable, covered, self-expandable esophageal metallic stents (SEMS) can
be used as an alternative to balloon tamponade.2,8
Conclusion
Acute variceal bleeding should be suspected in any cirrhotic patient presenting
with acute upper gastrointestinal bleeding. The initial goal of therapy of acute variceal
bleeding include rapid hemostasis, prevention of early re-bleeding, and prevention of 6-
108
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
week mortality. Early resuscitation with crystalloid and/or colloid solution should be
initiated to achieve hemostasis. Vasoactive drugs with vasopressin and its analog or
somatostatin and its analog should be given immediately together with antibiotics and
before diagnostic endoscopy. Endoscopy should be performed during the first 12 hours of
variceal bleeding, but it depends on the available treatment modality in every hospital.In
cases of massive and persistent bleeding, TIPS or balloon tamponade may help to
temporarily control the bleeding.
Reference
1. Garcia-Tsao G, Abraldes J, Berzigotti A, et al. Portal hypertensive bleeding in cirrhosis:
Risk stratification, diagnosis, and management: 2016 Practice guidance by the American
Association for the Study of Liver Diseases. Hepatol. 2017;65:310-335
2. European Association for the Study of the Liver. EASL clinical practice guidelines for the
management of patients with decompensated cirrhosis. J Hepatol. 2018.
https://doi.org/10.1016/j.jhep.2018.03.024
3. Kim J. Management and prevention of upper GI bleeding. Gastroenterol Nutr 2013: 7-26
4. Cremers I, Ribeiro S. Management of variceal and nonvariceal upper gastrointestinal
bleeding in patients with cirrhosis. Ther Adv Gastroenterol 2014;7(5): 206-16
5. Kim YD. Management of acute variceal bleeding. Clin Endosc. 2014;47:308-314
6. Elsayed IA, Battu PK, Irving S. Management of acute upper GI bleeding. BJA Education
2017;17(4):117-23
7. Al Dhahab H, Barkun A. The acute management of nonvariceal upper gastrointestinal
bleeding. Ulcers 2012:1-8
8. Sarin SK, Kumar A, Angus PW, et al. Diagnosis and management of acute variceal
bleeding: Asian Pacific Association for Study of the Liver recommendations. Hepatol Int.
2011;5:607-624
9. Haq I, Tripathi D. Recent advances in the management of variceal bleeding. Gastroenterol
Rep. 2017;5(2):113-126
10. Al-Hillawi L, Wong T, Tritto G, et al. Pitfalls in histoacryl glue injection therapy for
oesophageal, gastric and ectopic varices: A review. World J Gastrointest Surg.
2016;8(11): 729–734.
109
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
APPROACH TO MANAGING UNDIAGNOSED CHEST PAIN:
COULD GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE BE A CAUSE?
Fauzi Yusuf
Divisi Gastroenterolohepatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh
Abstak
Nyeri dada merupakan keluhan umum yang sering menyebabkan pasien datang ke dokter atau
instalasi gawat darurat. Seringnya penyebab dari nyeri dada ini tidak ditemukan, sehingga
pengobatan yang diberikan tidak efektif dan menyebabkan keluhan berulang. GERD merupakan
salah satu penyebab nyeri dada tersering. Dapat dipikirkan suatu nyeri dada akibat GERD setelah
menyingkirkan kemungkinan penyebab nyeri dada lain seperti nyeri dada cardiac, emboli paru,
pneumonia, gangguan psikologis dan psikiatri, ataupun kelainan setempat pada dinding dada.
Kata kunci: Nyeri dada, NCCP, GERD
1. Pendahuluan
Nyeri dada merupakan salah satu keluhan paling umum yang menyebabkan pasien
berobat ke dokter atau instalasi gawat darurat rumah sakit, prevalensi 10% - 30%, namun
hanya sekitar 2% yang mengkonsultasikan ke perawatan primer.(1, 2) Nyeri dada dapat
disebabkan oleh kondisi ringan yang terbatas pada lokasi tertentu seperti nyeri dinding
dada hingga serius atau mengancam jiwa seperti angina tidak stabil, diseksi aorta dan
emboli paru. Identifikasi yang cepat dan tepat akan memberikan prognosis yang lebih
baik. Langkah pertama dalam diagnosis klinis identifikasi berbagai penyebab nyeri
dada.(3)
2. Penyebab Nyeri Dada
Sebagian besar kasus nyeri dada berasal dari kelainan jantung, baik penyakit
jantung iskemik atau penyakit jantung non-iskemik, yang disebut dengan cardiac chest
pain (CCP). Sebagian lainnya disebabkan oleh penyebab noncardiac chest pain (NCCP),
terutama gangguan esofagus. Nyeri yang berasal dari keduanya mungkin dapat terjadi
pada pasien secara bersamaan. Selain itu, faktor psikologis dan psikiatri memainkan
peran penting dalam persepsi dan keparahan nyeri dada, terlepas dari penyebabnya.(1)
110
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Gambar 1. Algoritma untuk diagnosis rawat jalan penyebab nyeri dada EKG= elektrokardiografi; CT =
computed tomography. (4)
111
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Angina stabil mungkin merupakan awal penyakit jantung iskemik, oleh karena itu
penting untuk memastikan diagnosis yang benar.(1) Ketika pasien datang dengan
keluhan nyeri dada, prioritas pertama adalah untuk menyingkirkan kemungkinan kondisi
kardiovaskular yang mengancam jiwa akut, termasuk infark miokard akut, angina tidak
stabil, diseksi aorta, tromboemboli paru, dan tamponade perikardial. Ketika seorang
pasien datang dengan nyeri dada kasus baru khas angina, ada penjalaran nyeri, faktor
risiko jantung, atau perubahan EKG iskemik, pengukuran serial troponin harus
dipertimbangkan.(4, 5)
Jika kelainan jantung akut telah disingkirkan, maka evaluasi untuk penyakit
jantung iskemik kronis atau penyakit perikardial harus dicari. Berbagai tes dapat
membantu menentukan keberadaan dan keparahan iskemia, fungsi ventrikel kiri,
penilaian arteri koroner dan kapasitas fungsional.(5)
Jika probabilitas emboli paru berdasarkan skor Wells rendah, hasil D-dimer
negatif menghilangkan kebutuhan untuk pengujian lebih lanjut. Sedangkan bila D-dimer
abnormal atau kemungkinan emboli paru sedang – tinggi, harus segera dilakukan
pemeriksaan CT dan ultrasonografi vena untuk memandu penatalaksanaan lebih lanjut.(4)
Demam, egophony, atau perkusi yang redup harus segera dievaluasi untuk
pneumonia dengan pemeriksaan rontgen dada. Jika penyebab nyeri dada yang
mengancam jiwa tersingkir, maka riwayat kecemasan spontan, palpitasi, pingsan, atau
sesak napas menunjukkan gangguan panik. Riwayat sesak napas saat aktivitas harus
dipikirkan untuk gagal jantung.(4)
Faktor yang mempersulit penilaian klinis pasien dengan nyeri dada baik cardiac
maupun noncardiac adalah kondisi psikologis dan psikiatri seperti depresi atau gangguan
panik. Faktor-faktor ini telah ditemukan menyebabkan atau memperburuk nyeri dada,
tetapi mungkin tidak mudah dideteksi.(1)
3. Nyeri Dada Noncardiac (NCCP)
Nyeri dada noncardiac (NCCP) mewakili separuh dari semua kasus nyeri dada.
Nyeri dada noncardiac didefinisikan sebagai nyeri dada berulang yang tidak dapat
dibedakan dari nyeri jantung iskemik setelah pemeriksaan yang sederhana telah
menyingkirkan penyebab kelainan jantung. Meskipun ada sejumlah penyebab, gangguan
gastroesophageal sejauh ini yang paling umum terutama penyakit gastroesophageal
reflux.(1, 6)
112
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Gambar 2. Algoritma pasien dengan nyeri dada non-cardiac.(7)
Pasien dengan NCCP mengeluhkan nyeri dada seperti tertindih atau terbakar,
yang dapat menyebar ke punggung, leher, lengan dan rahang, dan tidak dapat dibedakan
dari nyeri dada terkait jantung. Ini diperparah oleh fakta bahwa pasien dengan riwayat
penyakit arteri koroner (CAD) juga dapat mengalami NCCP. Akibatnya, semua pasien
NCCP pertama-tama harus menjalani evaluasi oleh ahli jantung untuk menyingkirkan
nyeri dada cardiac. Membedakan secara klinis hanya antara nyeri dada cardiac dan
NCCP telah terbukti menjadi tugas yang sangat sulit. Lebih lanjut, pasien NCCP
cenderung melaporkan tingkat kejadian nyeri dada yang lebih tinggi dan intensitas nyeri
yang lebih besar.(5)
Nyeri dada noncardiac merupakan gangguan umum yang mengakibatkan
pemanfaatan sumber daya kesehatan yang tinggi dan absensi kerja yang signifikan.(5)
Prevalensi NCCP diperkirakan sekitar 14-33%. Pasien dengan NCCP memiliki gangguan
kualitas hidup (QOL) dan sejumlah kunjungan dokter yang mirip dengan pasien dengan
nyeri jantung. Gastroesophageal reflux disease (GERD), gangguan motilitas esofagus
dan nyeri dada fungsional adalah mekanisme utama yang mendasari NCCP.
Komorbiditas psikologis umum terjadi pada pasien dengan NCCP, terutama mereka
dengan nyeri dada fungsional.(7)
Nyeri dada esofagus yang menyerupai nyeri jantung disebut nyeri dada
noncardiac atau nyeri dada atipikal. Rasa sakit seperti ini berbeda dari rasa dada terbakar
atau odinofagia, dan mungkin terjadi pada GERD atau gangguan motilitas esofagus
seperti spasme esofagus difus (DES). Nyeri dada karena keterlibatan periesofageal
dengan karsinoma atau ulkus peptikum mungkin konstan dan menyiksa.(6)
113
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Tabel 1. Penyebab umum dari nyeri dada noncardiac – nonesophageal(5)
Musculoskeletal
Tietze’s syndrome
Costochondritis
Fibromyalgia
Precordial catch syndrome
Slipping rib syndrome
Gastrointestinal
Gastric
Saluran empedu
Pancreatic
Intra-abdominal masses (benign and malignant)
Paru-paru
Pneumonia
Emboli paru
Kanker paru
Sarcoidosis
Pneumothorax and pneumomediastinum
Efusi pleura
Massa Intrathorakal (jinak dan ganas)
Lain – lain
Kelainan Aorta
Pericarditis and myocarditis
Hipertensi pulmonal
Herpes zoster
Nyeri akibat obat
Krisis sel sabit
Kelainan psikologik
Kadang berbagai jenis nyeri esofagus ada bersamaan pada pasien yang sama, dan
sering pasien tidak mampu menggambarkan rasa sakit cukup akurat untuk memungkinkan
klasifikasi tersebut.(6) Untungnya penyakit ini dapat didiagnosis dan diobati secara
efektif oleh inhibitor pompa proton. Jenis lain penyakit refluks non-gastroesophageal
terkait nyeri dada non-cardiac lebih sulit didiagnosis dan diobati. (1)
4. Gastroesophageal reflux disease (GERD)
GERD adalah penyebab NCCP paling umum pada esofagus, dengan perkiraan
tingkat prevalensi 30 – 60 %.(7) Diagnosis GERD pada banyak kasus dapat dilakukan
dari anamnesis saja. Uji coba terapeutik dengan PPI seperti omeprazole, 40 mg dua kali
sehari selama 1 minggu memperkuat untuk diagnosis GERD. Studi diagnostik
diindikasikan pada pasien dengan gejala menetap setelah terapi atau dengan komplikasi.
Pendekatan diagnostik untuk GERD dapat dibagi menjadi tiga kategori: (1) dokumentasi
cedera mukosa, (2) dokumentasi dan kuantisasi refluks, dan (3) berdasarkan
patofisiologi.(6)
Mekanisme di mana GERD menyebabkan nyeri dada masih kurang dipahami.
Masih belum jelas mengapa paparan kandungan lambung pada esofagus pada beberapa
pasien menyebabkan nyeri ulu hati dan nyeri dada lainnya. Kondisi ini diperparah oleh
fakta bahwa beberapa pasien mungkin mengalami nyeri dada pada satu waktu dan nyeri
ulu hati di lain waktu.(5)
114
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Mekanisme berbeda yang mendasari telah diusulkan untuk hipersensitivitas
esofagus pada pasien NCCP. Ini termasuk sensitisasi perifer dari sensoris aferen esofagus
yang mengarah ke respons yang meningkat terhadap rangsangan fisiologis dan patologis
dan modulasi fungsi saraf aferen pada tingkat serabut saraf dorsal spinal atau sistem saraf
pusat. Hipersensitivitas nyeri visceral dan somatik bersamaan kemungkinan besar
disebabkan oleh sensitisasi sentral (peningkatan rangsangan neuron sumsum tulang
belakang yang disebabkan oleh aktivasi nociceptive C-fibers di daerah jaringan yang
cedera).(5)
Penjelasan lain bagaimana GERD dapat menyebabkan nyeri dada diberikan oleh
penelitian menggunakan ultrasonografi intraluminal frekuensi tinggi yang menunjukkan
korelasi antara kontraksi berkelanjutan dari otot longitudinal esofagus dan nyeri dada.
Durasi kontraksi esofagus berkelanjutan menentukan jenis gejala yang dirasakan oleh
pasien. Heartburn dikaitkan dengan kontraksi durasi yang lebih pendek, sedangkan nyeri
dada dikaitkan dengan kontraksi durasi yang lebih lama.(5)
Pengobatan untuk NCCP terkait GERD telah termasuk terapi penekanan asam
terutama dalam bentuk antagonis reseptor histamin H2 dan penghambat pompa proton
(PPI), dengan tingkat keberhasilan variabel. Selain itu, pemberian jangka pendek PPI
dosis tinggi (tes PPI) telah digunakan sebagai alat diagnostik non-invasif, tetapi cukup
sensitif dan spesifik untuk mengidentifikasi NCCP terkait GERD.(7) Dalam 3 studi yang
berbeda yang mengevaluasi peran tes PPI pada pasien dengan NCCP, penulis menemukan
gejala terkait GERD pada 68% -90% pasien. Dalam sebuah penelitian dari Asia, 34,3%
pasien NCCP memiliki setidaknya 1 parameter pH abnormal. Bahkan pada pasien dengan
CAD yang terus memiliki gejala nyeri dada atipikal, hingga 67% memiliki beberapa
episode sakit terkait dengan refluks asam.(5)
Evaluasi terbaru dari tes PPI menggunakan rabeprazole 20 mg dua kali sehari
selama 14 hari mengungkapkan sensitivitas dan spesifisitas masing – masing 81 dan 62 %
pada akhir perawatan.(7)
Referensi
1. Lenfant C. Chest pain of cardiac and noncardiac origin. Metabolism-Clinical and
Experimental. 2010;59:S41-S6.
2. Flook N, Unge P, Agréus L, Karlson BW, Nilsson S. Approach to managing undiagnosed
chest pain: Could gastroesophageal reflux disease be the cause? Canadian family physician.
2007;53(2):261-6.
3. Ebell MH. Evaluation of chest pain in primary care patients. Am Fam Physician.
2011;83(5):603-5.
4. Cayley Jr WE. Diagnosing the cause of chest pain. Am Fam Physician. 2005;72(10):2012-21.
5. Fass R, Achem SR. Noncardiac chest pain: epidemiology, natural course and pathogenesis.
Journal of neurogastroenterology and motility. 2011;17(2):110.
6. Gojal RK. Disease of Esophagus. In: Fauci AS, Kasper DS, Longo DL, Braunwald E, Hauser
SL, Jameson JL, et al., editors. Harrison's Gastroenterology and Hepatology. New York:
McGraw Hill; 2010. p. 112 - 24.
7. Yamasaki T, Fass R. Noncardiac chest pain: diagnosis and management. Current opinion in
gastroenterology. 2017;33(4):293-300.
115
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
OPTIMIZATION OF TREATMENT MANAGEMENT IN NSAID RELATED
PEPTIC ULCER DISEASE
Hery Djagat Purnomo
Division of Gastroentero-Hepatology Departement Of Internal Medicine Dr Kariadi Hospital
Medical Faculty Diponegoro University Semarang
A. Pendahuluan
Terapi anti-inflamasi nonsteroid yang tidak tepat (NSAID) merupakan penyebab
umum dari efek samping yang sebenarnya dan potensial, seperti perdarahan dan ulserasi g
astrointestinal, yang memperburuk kondisi medis pasien dan bahkan mungkin
mengancam nyawa.
Studi di Iran oleh Zeinali (2017) menunjukkan lebih dari 9 juta resep, 19,3%
mengandung setidaknya satu NSAID. Diklofenak adalah NSAID yang paling sering
diresepkan (49,21%). Setidaknya 7 % resep mengandung dua NSAID secara bersamaan.
Dokter umum lebih sering meresepkan OAINS (67%) dibandingkan spesialis lain. Ahli
bedah ortopedi dan internis lebih sering meresepkan NSAID dibandingkan dengan dokter
lain (masing-masing 6% dan 4%). Dan hanya 7,62% dari resep yang diberikan
mengandung obat gastroprotektif.
Frekuensi peresepan obat golongan NSAID semakin meningkat di berbagai
negara. Peningkatan ini dikaitkan juga peresepan irasional pemberian NSAID, kombinasi
NSAID dan agent gastroprotektif drug. Strategi harus dikembangkan dan diterapkan
untuk meresepkan dan menggunakan obat secara rasional, misalnya, edukasi medik
mengenai potensi risiko NSAID, pentingnya penggunaan yang tepat dan rasional, dan
perlunya penulisan resep yang tepat terkait konten dan indikasi. Pada makalah ini akan
diuraikan bagaimana melakukan optimasi pengelolaan penyakit ulkus peptik terkait
OAINS.
B. Klasifikasi NSAID
OAINS yang tersedia saat ini dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan utama:
OAINS non-selektif dan inhibitor COX-2 selektif (coxibs). Risiko penyakit peptik dan
kejadian kardiovaskular sangat berbeda antara OAINS yang berbeda.
NSAID Non-selektif
NsNSAID ini dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok; ibuprofen, diklofenak
dengan waktu paruh pendek (<6 jam) dan setengah panjang seperti; naproxen. OAINS
memiliki usia paruh lebih lama juga meningkatkan risiko kerusakan GI.
OAINS bekerja dengan menghambat enzim cyclooxygenase (COX), yang
mensintesis prostaglandin dan tromboksan. COX-1 mengatur sintesis prostaglandin yang
terlibat dalam perlindungan gastrointestinal, tahap awal pembekuan, pengaturan kontraksi
vaskular dan relaksasi serta hemodinamik ginjal. COX-2 terlibat dalam efek peradangan,
nyeri dan demam; sekresinya meningkat sebagai respons terhadap sitokin dan
menentukan sintesis faktor pertumbuhan dan mitogen.
Toksisitas GI tergantung pada jenis kimia, dosis, paruh dan pelepasan misalnya,
ibuprofen dan aceclofenac memiliki risiko rendah untuk kejadian GI serius (RR <2),
nimesulide, diklofenak, meloxicam dan ketoprofen memiliki risiko menengah (RR 2- 4)
dan naproxen dan indometasin memiliki risiko tinggi (RR> 4).
116
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Penghambat selektif cox-2 (coxibs)
Coxib adalah sekelompok obat yang secara selektif bertindak pada isoenzim cox-
2, mempertahankan sifat anti-inflamasi OAINS tradisional tanpa bertindak pada isoenzim
COX-Dalam meta-analisis terbaru, coxib dikaitkan dengan peningkatan risiko cedera GI
dibandingkan dengan plasebo (RR: 1,8-CI: 95%: 1,17-2,81).
C. Faktor risiko penyakit ulkus peptik terkait OAINS
Beberapa faktor meningkatkan risiko komplikasi gastrointestinal yang serius.
Pengetahuan tentang faktor-faktor ini sangat penting untuk memastikan penggunaan
yang benar penggunaan gastroprotektif ketika meresepkan NSAID.
Faktor risiko yang sudah terbukti adalah: Riwayat komplikasi penyakit ulkus
peptik sebelumnya (6-13,5 kali) atau ulkus gastrointestinal non kompilkasi, usia (> 65
tahun, RR; 2-3,5), adanya ko-morbiditas tunggal / ganda (diabetes, sirosis, penyakit
jantung iskemik, tumor dan serebrovaskular, gagal ginjal chronis dan hemodalisis), terapi
bersamaan dengan ; obat antikoagulan, obat antiplatelet, glukokotikoid / steroid, dan obat
SSRI, pola penggunaan OAINS secara individu, dan infeksi helicobacter pylori.
Risiko perdarahan gastrointestinal meningkat pada pasien dengan gagal ginjal
kronis: 3%-7% dari semua kematian di antara pasien dengan penyakit ginjal stadium
akhir adalah karena PSCBA.
Di antara pasien pada hemodialisis, pengguna OAINS memiliki risiko lebih tinggi
mengalami perdarahan gastrointestinal daripada non-pengguna (OR disesuaikan = 5,8;
95% CI, 1,3-26,9; p = 0,024) [43]. Diperkirakan bahwa 20% pasien yang diobati dengan
OAINS mengonsumsi obat antiplatelet seperti aspirin dosis rendah atau clopidogrel.
Kombinasi obat antiplatelet dan OAINS menginduksi peningkatan dua hingga tiga kali
lipat lebih lanjut dalam risiko perdarahan ulkus dibandingkan dengan aspirin dosis
rendah.
Risiko Relatif untuk perdarahan gastrointestinal atas pada pengguna antikoagulan
adalah 2.2. Penggunaan bersamaan dari nsNSAID dan terapi antikoagulan meningkatkan
risiko perdarahan gastrointestinal atas dengan faktor 2 sampai 4. Penggunaan bersamaan
obat antiinflamasi nonsteroid dan antikoagulan oral menempatkan orang lanjut usia
berisiko tinggi untuk penyakit ulkus peptikum hemoragik.
Hubungan antara antikoagulan oral baru dan OAINS belum diteliti secara
mendalam. Pada pasien yang diobati OAINS plus rivaroxaban, perdarahan yang relevan
secara klinis terjadi dengan tingkat kejadian 37,6 per 100 pasien-tahun (95% CI: 29,0-48).
Kejadian ini lebih tinggi (HR, 1,90; 95% CI, 1,45-2,49) dibandingkan pada pasien yang
menerima rivaroxaban sendiri (15,8 per 100 pasien-tahun, 95% CI: 14,1-17,6).
Meskipun penelitian observasional melaporkan risiko ulkus GI lebih tinggi hingga
12 kali pada pasien yang memakai NSAID dan kortikosteroid, penelitian eksperimental
baru-baru ini menunjukkan bahwa glukokortikoid mungkin memiliki aksi ganda pada
mukosa lambung, dan dapat menjadi gastroprotektif dan ulserogenik.
Sebuah meta-analisis oleh Loke termasuk 153.000 pasien menunjukkan bahwa
penggunaan SSRI dikaitkan dengan perdarahan gastrointestinal atas (PSCBA), dengan
odds ratio (OR) 2,36 (95% CI: 1,44-3,85; p = 0,0006). OR meningkat menjadi 6,33 (95%
CI: 3,40–11,8; p <0,00001) pada pasien dengan penggunaan OAINS secara bersamaan.
Pengobatan jangka panjang juga meningkatkan risiko penyakit ulkus peptik terkait
OAINS. Tinjauan sistematis oleh Hernández-Díaz dkk menunjukkan bahwa risiko
gastropati OAINS meningkat pada bulan pertama (RR 5,7, 95% CI: 4,96-6,6)
dibandingkan dengan dua bulan berikutnya (RR: 3,7, 95% CI: 3,2 - 4.2). Namun,
117
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
penelitian lain menunjukkan bahwa kejadiannya linear seiring waktu. Formulasi OAINS
yang dilepaskan dengan pelepasan lambat, tidak mengurangi cedera GI bagian atas, tetapi
diduga dapat meningkatkan insidensi cedera GI bawah.
Pada tahun 2005 oleh Vergara dkk, dalam meta-analisis dari lima penelitian terdiri
939 pasien, dievaluasi apakah pemberantasan H.pylori mencegah ulkus peptik yang
terkait dengan OAINS . Pemberantasan secara signifikan mengurangi risiko
pengembangan lesi peptik (OR: 0,43; 95% CI 0,20-0,93) dan pendarahan ulkus (OR:
0,13; 95% CI: 0,02-0,92). Efeknya lebih kuat pada pasien tanpa penyakit ulkus
sebelumnya (OR 0,36; 95% CI: 0,19-0,70) dan manfaatnya serupa untuk ulkus lambung
dan duodenum.
D.Pengelolaan
I. Pencegahan Primer
D.1 Terapi dengan gastroprotektif
D1.1. Antagonist resptor H2.
Studi RCT mengkonfirmasi penurunan yang signifikan dalam kejadian ulkus
lambung dan duodenum pada pasien dengan pengobatan kronis (24 minggu) dengan
kombinasi tablet tunggal dosis ganda famotidine dibandingkan dengan NSAID saja (RR
0,46, 95% CI: 0,34-0,61). Sub analisis terbatas pada subjek di atas 65 tahun atau dengan
riwayat penyakit ulkus peptikum menunjukkan, bagaimanapun, bahwa H2RA dosis ganda
tidak secara signifikan menurunkan kejadian ulkus lambung dan duodenum pada pasien
berisiko tinggi ini. Dosis standar H2RA tidak secara signifikan mengurangi risiko ulkus
lambung (RR 0,73; 95% CI: 0,5-1,08), tetapi efektif dalam mengurangi ulkus duodenum
(RR 0,36; 95% CI: 0,18-0,74).
D1.2. Proton pump inhibitors
Proton pump inhibitors (PPIs) bekerja dengan menghambat H-K-ATPase. Karena
enzim ini bertanggung jawab untuk fase akhir sekresi asam oleh sel parietal, obat ini
sangat efektif dalam mengurangi sekresi asam.
Dibandingkan dengan plasebo, PPI secara signifikan mengurangi risiko tukak
peptik terkait NSAID (RR 0,23; 95% CI: 0,18-0,31). Hasilnya sama untuk lambung (RR:
0,29; 95% CI: 0,21-0,40) dan ulkus duodenum (RR: 0,18; 95% CI: 0,10-0,34); dalam
penelitian secara acak, efek samping seperti sakit perut, diare atau perut kembung mirip di
kedua kelompok pengobatan.
Sejumlah perbedaan telah dilaporkan antara PPI, tetapi dampak klinis dari
perbedaan ini pada pencegahan ulkus terkait OAINS tidak jelas. Lansoprazole dan
pantoprazole memiliki bioavailabilitas yang lebih baik, dan mencapai tingkat plasma
tertinggi. Rabeprazole memiliki onset aksi yang sedikit lebih cepat, aktivitas antisekresi
yang lebih kuat dibandingkan dengan omeprazol dan lanzoprazol dan sedikit efek
CYP2C19 pada metabolismenya. Supresi asam lebih kuat dengan esomeprazole atau
rabeprazole. Sebuah studi memperkirakan kemungkinan bebas ulkus yang tersisa setelah
enam bulan pengobatan OAINS melaporkan angka 90% dengan pantoprazole 20 mg,
93% dengan pantoprazole 40 mg, dan 89% dengan omeprazole 20 mg. Berbagai studi
membuktikan efikasi rabeprazole dalam mencegah dispesia dan injuri gastrointestinal dan
mengobati kerusakan mukosa terkait NSAID. Para penulis menyimpulkan bahwa semua
118
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
obat ini (PPI) memberikan profilaksis setara dan efektif terhadap tukak peptik yang
terkait dengan OAINS.
D.1.3 Misoprostol
Misoprostol adalah analog sintetis dari prostaglandin E1. Ini Obat ini
mempunyai efek gastroprotektif dengan merangsang sekresi lendir lambung dan
bikarbonat dan mendukung aliran darah mukosa dan empromosikan penyembuhan
ulkus lambung.
Misoprostol efektif dalam mencegah penyakit ulkus peptikum terkait OAINS
akut, mengurangi risiko tukak lambung dan duodenum pada pengguna OAINS, juga
mengurangi risiko komplikasi yang signifikan secara klinis (perforasi, obstruksi atau
perdarahan). Risiko penyakit ulkus peptikum terkait OAINS menurun secara signifikan
ketika misoprostol diberikan pada dosis tinggi, meningkatkan dosis prostaglandin
mungkin dibenarkan pada pasien berisiko tinggi.
Tingkat efek samping yang tinggi (diare, sakit perut, mual dan peningkatan risiko
aborsi) telah membatasi penggunaan misoprostol dalam praktek klinis.
D.2. Memilih Coxib-OAINS
Pengguna nsNSAID (2.4%) lebih banyak secara bermakna dari pada pengguna
celecoxib (1.3%) sehingga menunjukkan frekuensi kejadian GI atas dan / atau bawah
yang signifikan secara klinis (OR: 1.82, 95% CI: 1.31- 2.55). Laju perdarahan
gastrointestinal pada pengguna coxib juga lebih rendah daripada pengguna OAINS.
Selain itu, coxib secara signifikan mengurangi risiko efek samping GI berat bila
dibandingkan dengan nsOAINS plus PPI pada pasien yang berisiko tinggi komplikasi GI
terkait OAINS dan pengguna jangka panjang.
D.3.Pengelolaan perdarahan saluran cerna atas akut
Karakteristik pasien dengan perdarahan gastrointestinal atas telah berubah dalam
beberapa tahun terakhir: lebih tua, cenderung terkait penyakit kardiovaskular dan
cenderung menerima terapi antikoagulan atau antiplatelet. Dalam semua kasus, risiko
tromboemboli harus ditimbang terhadap risiko perdarahan ulang.
Terapi PPI sebelum endoskopi belum mencapai penurunan yang signifikan dalam
mortalitas atau risiko perdarahan ulang. Namun, PPI mulai sebelum endoskopi
mengurangi baik persyaratan untuk terapi endoskopi dan lamanya masuk. Namun,
pemberian PPI seharusnya tidak menunda gastroskopi.
Pertanyaan yang paling penting adalah apakah akan menghentikan OAINS atau
pengobatan LDA dan, jika dihentikan, untuk berapa lama perawatan ini harus dihentikan.
Selama episode perdarahan akut mungkin disarankan untuk menghentikan terapi OAINS .
Jika perlu, kemungkinan untuk memperkenalkan kembali coxib plus PPI harus
dipertimbangkan, karena kombinasi ini adalah satu-satunya pendekatan yang telah
terbukti mengurangi risiko perdarahan berulang.
Pasien yang menggunakan terapi antiplatelet ganda berisiko tinggi mengalami
tromboemboli dan perdarahan. Pemberian kembali LDA lebih awal pada hari ke-3 setelah
perdarahan dianjurkan jika terapi antiplatelet diperlukan. Jika antikoagulan belum bisa
diberikan , heparin berat molekul rendah harus dimulai sesegera mungkin setelah
perdarahan berhenti, dan terapi antikoagulan oral dapat diperkenalkan kembali setelah 7-
15 hari. Pendekatan ini telah terbukti mengurangi risiko trombosis dan kematian tanpa
secara signifikan meningkatkan risiko perdarahan ulang.
119
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
II. Profilaksis sekunder
Ketika seorang pasien mengalami komplikasi karena penggunaan OAINS,
tindakan harus diambil untuk mencegah kekambuhan. Langkah-langkah kunci adalah: a)
Identifikasi adanya infeksi dan terapi infeksi H. pylori sesuai standar, b) evaluasi indikasi
penggunaan OAINS dengan saksama. Jika tidak diindikasikan, harus dihentikan, c) Jika
OAINS diindikasikan, pasien harus diobati dengan celecoxib plus PPI. Eradikasi infeksi
H. pylori secara signifikan menurunkan tingkat perdarahan ulang.
Penggunaan nsOAINS dan PPI atau celecoxib sendiri mengurangi risiko
perdarahan ulkus terkait OAINS namun tidak sepenuhnya menghilangkannya. Sambil
menunggu perkembangan baru, PPI tetap menjadi obat pilihan untuk gastroproteksi.
Penggunaan OAINS yang rasional juga dapat membantu mengurangi tingkat komplikasi
yang terkait. Langkah-langkah ini termasuk penggunaan dosis OAINS serendah mungkin
dan untuk waktu sesingkat mungkin, menggunakan pengobatan topikal jika mungkin, dan
mempertimbangkan kembali indikasi obat dan / atau kebutuhan untuk gastroproteksi.
Selain itu, pemberantasan H. pylori juga dianjurkan, lebih baik sebelummemulai
pengobatan OAINS dan terutama jika pengobatan kemungkinan akan diperpanjang.
III. Penilaian sebelum peresepan dan meningkatkan hasil keamanan OAINS
Sebelum memutuskan untuk meresepkan NSAID, baik risiko kardiovaskular
maupun risiko gastrointestinal harus dinilai. Tergantung pada hasil penilaian ini, pasien
dapat diklasifikasikan dalam kelompok risiko.
Penggunaan nsNSAID harus dihindari karena pasien ini memiliki risiko tinggi
baik komplikasi perdarahan dan vaskular; penggunaan gabungan celecoxib pada dosis
rendah (200 mg setiap hari) dan PPI tampaknya pilihan yang paling tidak merusak.
Penggunaan coxib atau formulasi gabungan dosis tetap dari OAINS plus PPI memiliki
keuntungan untuk menghindari risiko ketidakpatuhan, karena pil yang sama memberikan
efek antiinflamasi dan gastroprotektif.
Pada pasien dengan risiko GI rendah dan risiko CV tinggi, pengobatan pilihan
adalah naproxen plus PPI karena naproxen adalah NSAID dengan risiko kardiovaskular
terendah. Akhirnya, pada pasien dengan CV rendah dan risiko GI tinggi, pilihan yang
paling sesuai adalah celecoxib plus PPI.
Perlakuan terhadap risiko GI tinggi dan kelompok risiko CV tinggi dengan
indikasi LDA adalah yang paling kontroversial.
IV Pengembangan obat/agent baru
Mengenai persyaratan analgesia, alternatif di masa mendatang mungkin adalah
penggunaan analgesik non-OAINS, misalnya, kombinasi acetaminophen dan tramadol
dosis rendah - atau penggunaan OAINS baru. prodrugs seperti oksida nitrat (NO) dan
hidrogen sulfida (H2S) agen dalam hubungan dengan OAINS.
Obat-obatan OAINS ini adalah agen potensial untuk meningkatkan pelepasan aktivitas
antioksidan dari nitrit oksida atau hidrogen sulfida. Nitric oxide (NO) meningkatkan
aliran darah, produksi lendir dan sekresi bikarbonat di mukosa lambung. Studi pada tikus
menunjukkan bahwa OAINS pelepas-NO tidak menyebabkan kerusakan gastrointestinal
yang signifikan.
Penghambatan COX oleh OAINS meningkatkan konsentrasi LT, yang memiliki
efek besar pada mukosa lambung. Saat ini, obat baru sedang dikembangkan untuk
bertindak sebagai inhibitor ganda COX dan 5-LOX dengan penurunan prostaglandin dan
leukotrien. Licofelone adalah salah satu dari obat-obatan ini. Ini telah menunjukkan efek
120
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
analgesik dan anti-inflamasi yang signifikan pada model hewan tanpa efek samping
gastrointestinal.
Di sisi lain, peningkatan penggunaan obat gastroprotektif yang benar dan
pengobatan sistematis infeksi H. pylori telah menyebabkan penurunan bertahap dalam
penerimaan rumah sakit untuk PSCBA dan peningkatan tingkat perdarahan
gastrointestinal yang lebih rendah. Seiring berjalannya waktu, komplikasi saluran
pencernaan yang lebih rendah cenderung menjadi lebih relevan.
E. Kesimpulan
Terapi anti-inflamasi nonsteroid yang tidak tepat (OAINS) merupakan penyebab
umum dari efek samping yang nyata dan potensial, seperti perdarahan dan ulserasi
gastrointestinal, yang memperburuk kondisi medis pasien dan bahkan mungkin
mengancam nyawa.
nsOAINS dan penghambat COX-2 memiliki efek analgesik dan anti-
inflamasiyang serupa; Penghambat COX-2 secara signifikan mengurangi risiko efek
samping GI yang berat. Adanya gejala seperti dispepsia atau nyeri ulu hati merupakan
prediktor penyakit lambung yang buruk. Manfaat GI inhibitor COX-2 selektif terhadap
nsOAINS dapat dikurangi dengan pemberian bersama aspirin dosis rendah.
Usia lanjut, riwayat ulkus peptikum, komorbiditas, infeksi H. pylori, dan penggunaan
antikoagulan atau agen antiplatelet meningkatkan risiko komplikasi gastrointestinal yang
serius pada pengguna OAINS.
PPI termasuk secara signifikan mengurangi risiko penyakit ulkus peptikum terkait
NSAID. PPI lebih unggul dari dosis standar H2RA untuk pencegahan lesi lambung.
Kapasitas PPI untuk mencegah ulkus peptik terkait NSAID mirip dengan misoprostol,
tetapi PPI lebih dapat ditoleransi.
Optimasi pengelolaan penyakit ulkus peptik terkait OAINS dapat dilakukan
dengan cara dan langkah langkah diatas untuk mendapatkan hasil yang optimal.
References
1. Melcarne Luigi, Garcia-Iglesias Pilar & Calvet Xavier. Management of NSAID-
associated peptic ulcer disease. Expert Review of Gastroenterology & Hepatology, DOI:
10.1586/17474124.2016.1142872
2. Majid Zeinali,Jamshid Tabeshpour,Seyed Vahid Maziar, Zhila Taherzadeh, et al
Prescription Pattern Analysis of Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs in the
Northeastern Iranian Population. J Res Pharm Pract. 2017 Oct-Dec; 6(4): 206–210.
3. Oraluck Pattanaprateep
, Mark McEvoy, John Attia
and Ammarin Thakkinstian.
Evaluation of rational nonsteroidal anti- inflammatory drugs and gastro-protective agents
use; association rule data mining using outpatient prescription patterns. BMC Medical
Informatics and Decision Making (2017) 17:96
4. Carla J. Gargallo,
Carlos Sostres,Angel Lanas,Prevention and Treatment of NSAID
Gastropathy. Current Treatment Options in Gastroenterology (2014) 12:398–413.
5. Fransiscus Ari, Dadang Makmun. Current prevention and management NSAID associated
gastroenteropathy. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology and
Digestive Endoscopy. 2014 Volume 15, Number 3, 161-168.
6. Maher Mbarki, Helen Sklyarova, Krystyna Aksentiychuk, Natalia Kharchenko
and
Eugene Sklyarov. Rebamipide and Pantoprazole Combination in NSAIDs-Gastropathy
Treatment. Journal of Pharmacy and Pharmacology 5 (2017) 153-157
121
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
7. Veronica Fassio, Sherrie L. Aspinall, Xinhua Zhao, Donald R. Trends in Opioid and
Nonsteroidal Anti-Inflammatory Use and Adverse Events. Am J Manag Care.
2018;24(3):e61e72.
8. Guillermo García-Rayado, Carlos sostres, Angel Lanas. Aspirin and omeprazole for
secondary prevention of cardiovascular disease in patients at risk for aspirin-associated
gastric ulcers. Expert Review of Clinical Pharmacology, 2017, vol 10, issue 8.
9. Michele Hummel, Terri Knappenberger, Meghan Reilly, Garth T Whiteside
Pharmacological evaluation of NSAID-induced gastropathy as a "Translatable" model of
referred visceral hypersensitivity. World J Gastroenterol 2017 September 7; 23(33):
6065-6076.
10. J. Q. Yuan, M. Yang, D. E. Threapleton, X. S. Qi, D. Q. Ye, C. Mao, J. L. Tang, J. P. T.
Higgins. Systematic review with meta-analysis: the gastrointestinal benefits of COX-2
selective inhibitors with concomitant use of low-dose aspirin. Aliment Pharmacol Ther
2016; 44: 785–795
122
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
THE TREATMENT OF HELICOBACTER PYLORI: WHERE ARE WE
NOW? / PROTON PUMP INHIBITOR, KEY INGREDIENT IN H.PYLORI
ERADICATION TREATMENT
Fardah Akil
Division of Gastroenterology-Hepatology
Department of Internal Medicine, Hasanuddin University Makassar
Helicobacter pylori are spiral-shaped gram-negative bacteria with polar flagella
that live near the surface of the human gastric mucosa. H pylori infection is the strongest
known risk factor for the development of gastroduodenal ulcers, with infection being
present in 60%–80% of gastric and 95% of duodenal ulcers. H pylori is also the first
bacterium to be classified as a definite carcinogen by the World Health Organization’s
International Agency for Research on Cancer because of its epidemiologic relationship to
gastric adenocarcinoma and gastric mucosa-associated lymphoid tissue lymphoma.
Eradication therapy for H pylori is recommended in a number of clinical
conditions. Choosing a treatment for H. pylori eradication in a definite geographic area
relies on different factors, such as the local availability of antimicrobial agents, the
pattern of primary antibiotic resistance, and the therapeutic cost. In a specific patient, the
probability of successful therapy is affected by several host and bacterial factors, but
patient compliance and bacterial resistance to antibiotics play a major role. Compliance
with an eradication therapy, in turn, depends on regimen complexity, tolerability, and the
incidence of related side-effects. Good compliance, defined as a concordance of more
than 90% between the prescribed and the ingested drugs, significantly increases the
eradication rate [3]. The presence of H. pylori strains resistant towards a certain antibiotic
is associated with its consumption in the general population, or its previous use in the
same patient to treat other infections [4,5]. A high prevalence of resistance to primary
clarithromycin (>15%) or metronidazole (>30%) in H. pylori isolates reduces the efficacy
of standard first-line therapies that include these drugs. Study from Miftahussunur M
(2016) found that Indonesian strains had the high prevalence of metronidazole and
levofloxacin resistance with low prevalence of clarithromycin, amoxicillin, and
tetracycline resistance. This suggests that efforts in assessing local, regional, and national
patterns of antimicrobial resistance should be performed to allow an appropriate selection
of H. pylori therapies. However, following standard therapies, bacterial eradication may
be achieved in a definite number (up to 38.5%) of patients despite the presence of
clarithromycin and/or metronidazole resistance. Indeed, the combination of different
synergic antibiotics may allow the resistance towards a specific molecule to be overcome.
On the other hand, the infection is not cured in a distinct portion (19.6%) of patients even
when susceptible H. pylori strains are present, as several other factors apart from the
bacterial susceptibility status are involved. These findings suggest a significant
discordance between the expected eradication rate based on antimicrobial resistance
assessment in vitro and the actual performance in vivo for each therapy regimen.
Therefore, monitoring the efficacy of standard therapies in a particular area, irrespective
of the prevalence of antibiotic resistance, is of paramount relevance before a still
potentially successful therapy is abandoned.
Regimens for eradication of H pylori infection are typically chosen empirically,
on the basis of regional bacterial resistance patterns, local recommendations, and drug
availability. The following regimens are Triple therapy, Nonbismuth quadruple therapy,
123
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Bismuth-based therapy, Levofloxacin-containing therapy, Second-line therapy, Rescue or
third-line therapy. Triple therapy for H pylori infection remains an option for first-line
therapy in areas of low clarithromycin resistance (<15%) and consists of the following:
Proton pump inhibitor (PPI) plus Clarithromycin 500 mg BID (first-line) or
metronidazole 500 mg BID (when clarithromycin resistance is increasing) plus
Amoxicillin 1000 mg BID or metronidazole (if not already selected). A Cochrane meta-
analysis of 55 studies concluded that 14 days is the optimal duration of triple therapy,
achieving an H pylori eradication rate of 81.9%, whereas 7 days attains an eradication
rate of only 72.9%. In more recent studies, however, the eradication rate with 14-day
triple therapy is not significantly different from that with 10-day sequential therapy
(amoxicillin and a PPI for 5 days followed by a PPI, clarithromycin and metronidazole
for another 5 days) or 10-day concomitant nonbismuth quadruple therapy.
Acid inhibition is a key component of H. pylori treatment. In addition to a
possible antibacterial effect of the PPIs, acid inhibition increases luminal concentrations
of antibiotics by decreasing their acid-related degradation. Moreover, it is believed that H.
pylori needs an acidic environment to live due to its production of NH3 creating a basic
milieu which needs to be neutralized by acid. High gastric pH may, furthermore, allow H.
pylori to enter a replicative state, thus becoming susceptible to amoxicillin and
clarithromycin. Sugimoto and colleagues, analyzed 24-h gastric pH during triple therapy
with lansoprazole, clarithromycin and amoxicillin. Cure rates were closely related to acid
inhibition: mean gastric pH was 6.4 in patients who were cured and 5.2 in those who were
not. The infection was cured in all patients who attained a pH above 4 for more than 90%
of the time, even in the presence of clarithromycin-resistant strains. Many meta-analyses
have shown that increasing acid inhibition raises cure rates with H. pylori triple therapy.
PPIs that used for eradication eg, omeprazole 20 mg BID, lansoprazole 30 mg BID,
esomeprazole 40 mg QD, pantoprazole 40 mg QD, rabeprazole 20 mg BID. Beside, acid
inhibition in response to PPI is determined by the capacity of the individuals to
metabolize the drug, which is determined by the cytochrome 2P19 polymorphisms.
Extensive metabolizers, including most of the White population, require higher PPI doses
to adequately control gastric pH.
Recently, vonoprazan, a novel potassium-competitive acid blocker, has been used
in H. pylori treatment. Like PPIs, vonoprazan inhibits the gastric proton pump, although it
has a more potent, rapid and sustained acid-inhibitory effect. A recent meta-analysis
suggests that this potent acid inhibition may increase the efficacy of clarithromycin-
including triple therapy, mainly by increasing cure rates in patients infected with
clarithromycin-resistant strains. Although further evidence is needed, this new drug
combined with quadruple therapies or long treatments may increase cure rates to nearly
100%, even in western populations. It may also allow the reduction of the number of
drugs or the length of treatment, although this hypothesis has still to be tested.
A safe and effective vaccine against H. pylori for a prophylactic or even
therapeutic use is needed. Clinical studies have failed to succeed for different reasons.
Most of the protective H. pylori-derived antigens have already been administered to
humans and have proven their safety and immunogenicity. This suggests that H.
pylori vaccination is feasible and Phase II and III trials with candidate vaccines are
awaited.
124
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
References
1. Malfertheiner P, Megraud F, O'Morain CA, Gisbert JP, Kuipers EJ, Axon AT et. al.
Management of Helicobacter pylori infection-the Maastricht V/Florence Consensus
Report. Gut. 2017 Jan. 66 (1):6-30. [Medline].
2. Chey WD, Leontiadis GI, Howden CW, Moss SF. ACG Clinical Guideline: Treatment of
Helicobacter pylori Infection. Am J Gastroenterol. 2017 Feb. 112 (2):212-239. [Medline].
3. Yuan Y, Ford AC, Khan KJ, Gisbert JP, Forman D, Leontiadis GI, et al. Optimum
duration of regimens for Helicobacter pylori eradication. Cochrane Database Syst Rev.
2013 Dec 11. CD008337. [Medline].
4. Jung, YS, Kim, EH, Park, CH. Systematic review with meta-analysis: the efficacy of
vonoprazan-based triple therapy on Helicobacter pylori eradication. Aliment Pharmacol
Ther 2017; 46: 106–114. Google Scholar, Crossref, Medline.
5. Kirchheiner, J, Glatt, S, Fuhr, U. Relative potency of proton pump inhibitors: comparison
of effects on intragastric pH. Eur J Clin Pharmacol 2009; 65: 19–31.
6. Labenz, J. Current role of acid suppressants in Helicobacter pylori eradication therapy.
Best Pract Res Clin Gastroenterol 2001; 15: 413–431.
7. Miftahussurur M, Syam AF, Nusi IA, Makmun D, Waskito LA, Zein LH, et al. (2016)
Surveillance of Helicobacter pylori Antibiotic Susceptibility in Indonesia: Different
Resistance Types among Regions and with Novel Genetic Mutations. PLoS ONE 11(12):
e0166199.
8. doi:10.1371/journal.pone.0166199Sugimoto, M, Furuta, T, Shirai, N. Evidence that the
degree and duration of acid suppression are related to Helicobacter pylori eradication by
triple therapy. Helicobacter 2007; 12: 317–323.
125
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
DIAGNOSIS DINI PENYAKIT REFLAKS GASTROESOFAGEAL (GERD),
BAGAIMANA PENGGUNAAN GERD-Q?
Azzaki Abubakar, T.Irfan
Divisi Gastroenterolohepatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh
Abstrak
GERD merupakan salah satu penyakit yang paling umum dan memiliki prevalensi yang
terus meningkat. Pasien yang menderita GERD memiliki kualitas hidup yang buruk dan
menyebabkan gangguan terhadap aktifitas sehari – hari. Ada banyak metode dalam mendiagnosis
GERD, mulai dari yang non-invasif sampai yang invasif. Saat ini telah dikembangkan banyak alat
diagnosis berupa kuesioner yang dianggap cukup sensitif dalam mendiagnosa GERD yang
bergejala, dan dapat digunakan pada tingkat pelayanan primer.
Pendahuluan
Penyakit reflaks gastroesofageal (GERD) adalah suatu kondisi gangguan berupa
isi lambung yang mengalami refluks berulang ke dalam esofagus, menyebabkan gejala
dan/atau komplikasi yang mengganggu.(1, 2) Gejala "mengganggu" yang dimaksud jika
menyebabkan dampak buruk pada kesejahteraan individu. (2)
GERD merupakan salah satu gangguan gastrointestinal yang paling umum. Studi
berbasis populasi menunjukkan bahwa hingga 15% individu mengalami rasa terbakar di
dada (heartburn) dan / atau rasa naiknya isi lambung ke tenggorokan (regurgitasi)
setidaknya sekali seminggu, dan 7% memiliki gejala setiap hari. Gejala ini disebabkan
oleh aliran balik asam lambung dan isi lambung lainnya ke kerongkongan karena
hambatan yang tidak kompeten di persimpangan gastroesofageal.(3)
Prevalensi GERD dan komplikasi di negara-negara Asia, termasuk Indonesia,
umumnya lebih rendah daripada negara-negara barat, namun data terbaru menunjukkan
bahwa prevalensinya meningkat. Hal ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup yang
dapat meningkatkan risiko GERD, seperti merokok dan obesitas. Data epidemiologis di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa satu dari lima orang dewasa memiliki gejala refluks
esofagus dan / atau regurgitasi sekali dalam seminggu dan lebih dari 40% memiliki gejala
setidaknya sekali dalam sebulan. Prevalensi esophagitis di negara-negara barat
menunjukkan nilai rata-rata berkisar antara 10-20%; sementara di Asia, prevalensinya
berkisar antara 3-5% dengan pengecualian di Jepang dan Taiwan dengan kisaran antara
13-15% dan 15%. Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki data epidemiologi lengkap
mengenai kondisi ini. Data yang tersedia adalah laporan dari studi yang dilakukan oleh
Lelosutan SAR dkk di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta (FKUI / RSCM-Jakarta), yang menunjukkan bahwa dari 127
subjek penelitian yang menjalani endoskopi saluran cerna bagian atas, 22,8% (30 subjek
dari mereka) mengalami esophagitis. Studi lain yang dilakukan oleh Syam AF et al yang
juga dari RSCM / FKUI-Jakarta, menunjukkan bahwa dari 1.718 pasien yang menjalani
endoskopi gastrointestinal atas indikasi dispepsia selama 5 tahun (1997-2002), ada
peningkatan prevalensi esophagitis, dari 5,7% pada tahun 1997 menjadi 25,18% pada
tahun 2002 (nilai rata-rata 13,13% per tahun).(1)
Mekanisme normal antirefluks terdiri dari LES (lower esophageal spincter),
diafragma crural, dan lokasi anatomis dari gastroesophageal junction di bawah hiatus
diafragmatika. Reaksi hanya terjadi ketika gradien tekanan antara LES dan lambung
hilang. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan tekanan LES yang sementara atau
126
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
berkelanjutan. Hipotensi berkelanjutan dari LES mungkin karena kelemahan otot yang
sering tanpa penyebab yang jelas. Penyebab sekunder inkompetensi LES berkelanjutan
termasuk penyakit skleroderma, miopati yang terkait dengan pseudo-obstruksi usus
kronik, kehamilan, merokok, obat antikolinergik, relaksan otot polos (agen adrenergik,
aminofilin, nitrat, calcium channel blocker, dan inhibitor phosphodiesterase) , kerusakan
akibat pembedahan pada LES, dan esophagitis.(3)
Rasa dada terbakar dan regurgitasi asam lambung ke dalam mulut adalah gejala
karakteristik GERD. Rasa dada terbakar diinduksi oleh kontak bahan yang direfleksikan
dengan mukosa esofagus yang mengalami sensitisasi atau ulserasi. Nyeri dada seperti
angina atau atipikal terjadi pada beberapa pasien. Disfagia persisten menunjukkan
perkembangan striktur peptikum. Sebagian besar pasien dengan striktur peptik memiliki
riwayat beberapa tahun mengalami disfagia pada rasa dada terbakar sebelumnya. Disfagia
yang cepat dan penurunan berat badan dapat mengindikasikan perkembangan
adenokarsinoma pada Barrett’s esophagus. Pendarahan terjadi karena erosi mukosa atau
ulkus Barrett. Banyak pasien dengan GERD tetap asimtomatik, sementara banyak pasien
bergejala mengobati diri mereka sendiri dan tidak mencari pertolongan medis sampai
gejala berat atau komplikasi terjadi. Manifestasi ekstraesofageal dari GERD terjadi karena
refluks isi lambung ke dalam faring, laring, trakeobronkial, hidung, dan mulut. Dapat
menyebabkan batuk kronis, laringitis, dan faringitis. Suara serak pagi hari mungkin
terjadi. Aspirasi paru berulang dapat menyebabkan atau memperburuk bronkitis kronis,
asma, fibrosis paru, penyakit paru obstruktif kronik, atau pneumonia. Sinusitis kronis dan
gigi berlubang juga dianggap dapat berasal dari GERD.(3)
Diagnosis GERD
Metode diagnostik saat ini telah dikembangkan yang dapat diklasifikasikan
menjadi: noninvasif (perhatian klinis, kuesioner, respon tes PPI) dan invasif (endoskopi,
barium esophagogram, studi pH 24 jam, studi impedansi intraluminal multichannel,
biopsi ketika dicurigai sebagai esofagitis eosinofilik atau Barrett esofagus). Beberapa
metode invasif dapat mahal dan seringkali tidak tersedia, dan tidak ada satupun yang
dianggap 'standard emas'.(4) Oleh karena itu dianjurkan penggunaan awal metode non-
invasif dalam perawatan primer, terutama aplikasi kuesioner yang sensitif sebagai alat
bantu diagnostik.(5)
Diagnosis dapat dilakukan dari anamnesis saja dalam banyak kasus. Uji coba
terapeutik dengan PPI seperti omeprazole, 40 mg dua kali sehari selama 1 minggu,
memberikan dukungan untuk diagnosis GERD. Studi diagnostik diindikasikan pada
pasien dengan gejala atau gejala persisten saat terapi, atau pada mereka dengan
komplikasi. Pendekatan diagnostik untuk GERD dapat dibagi menjadi tiga kategori: (1)
dokumentasi cedera mukosa, (2) dokumentasi dan kuantisasi refluks, dan (3) berdasarkan
patofisiologi.
Kerusakan mukosa didokumentasikan oleh penggunaan barium swallow,
esophagoscopy, dan biopsi mukosa. Pemeriksaan barium swallow biasanya normal tetapi
mungkin menunjukkan adanya ulkus atau striktur. Sebuah striktur peptikum esofagus
letak tinggi, ulkus yang dalam, atau adenokarsinoma menunjukkan Barrett’s esophagus.
Esofagoskopi dapat mengungkapkan adanya erosi, ulkus, striktur peptik, atau metaplasia
Barrett dengan atau tanpa ulkus, striktur peptik, atau adenokarsinoma. Berbagai teknik
pencitraan in vivo yang memfasilitasi identifikasi mukosa, displasia, atau karsinoma
Barrett selama endoskopi sedang dikembangkan.(3)
Esofagoskopi bukan diagnostik GERD; karena hasilnya normal pada NERD (non
erosif reflux disease), yang merupakan sepertiga hingga setengah dari semua kasus
127
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
GERD. Biopsi mukosal dan tes Bernstein mungkin membantu dalam diagnosis NERD.
Biopsi mukosa mungkin menunjukkan perubahan awal esofagitis, termasuk pelebaran
ruang intraseluler. Biopsi mukosa harus dilakukan setidaknya 5 cm di atas LES, karena
perubahan mukosa esofagus pada esofagitis kronis cukup sering terjadi pada esophagus
paling distal pada individu normal.(3)
Tes Bernstein menggunakan infus larutan 0,1 N HCl atau saline normal ke dalam
esofagus. Pada pasien-pasien dengan gejala esophagitis, infus yang bersifat asam,
menyebabkan munculnya gejala rasa terbakar pada dada, sedangkan pada individu normal
biasanya tidak menghasilkan gejala.(3) Manifestasi supraesophageal didokumentasikan
dengan pemeriksaan otolaryngologic dan pemeriksaan paru - paru yang hati – hati.(3)
Dokumentasi dan kuantisasi refluks, bila perlu dapat dilakukan dengan perekaman
pH esofagus dalam jangka panjang (24-48 h). Pencatatan pH jangka panjang dapat
dilakukan dengan menggunakan kapsul pH-sensitif (BRAVO) yang diletakkan pada
mukosa esofagus melalui endoskopi, bukan probe pH tradisional yang ditempatkan di
hidung. Untuk evaluasi refluks faring, sistem perekaman secara simultan dari lokasi
faring dan esofagus dapat bermanfaat. Rekaman pH hanya membantu dalam evaluasi
refluks asam. Hasil endoskopi esofagitis tidak berkorelasi dengan refluks gastroesofageal.
Dokumentasi refluks diperlukan hanya ketika peranan kompleks gejala refluks tidak jelas,
terutama dalam evaluasi gejala supraesophageal, pada kasus dengan NERD, dan pada
kasus dengan nyeri dada noncardiac.(3)
Banyak metode untuk mendiagnosis GERD dan penggunaan kuesioner yang
bertujuan untuk mendeteksi pasien dengan gejala positif, terutama digunakan di pusat
perawatan primer dan sensitifitas sebagai instrumen tambahan telah dibuktikan. Saat ini
kuesioner Carlsson-Dent (CDQ) dan kuesioner GERD-Q (GQQ) paling banyak
digunakan dan telah divalidasi dan memiliki sebagian besar karakteristik yang
dibutuhkan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh R. Contreras-Omana dkk yang
membandingkan antara CDQ dan GQQ melaporkan bahwa GQQ lebih sensitif
dibandingkan CDQ pada pasien yang memiliki kelebihan berat badan / obesitas. GQQ
mendeteksi lebih banyak gejala GERD pada pasien dengan kelebihan berat badan,tetapi
CDQ dinilai lebih mudah untuk dipahami dan dijawab oleh pasien.(5)
GERD-Q
GERD-Q (Gastroesophageal reflux disease questionnaire) adalah alat yang
divalidasi yang dapat digunakan untuk manajemen GERD dalam praktek klinis. Dapat
digunakan untuk membuat diagnosis dan mengetahui dampak penyakit. The GERD-Q
diciptakan dari 3 kuesioner validasi berbeda yang dievaluasi dalam studi DIAMOND.
The GERD-Q adalah alat komunikasi sederhana yang dikembangkan untuk dokter untuk
mengidentifikasi dan mengelola pasien dengan GERD. Beberapa pusat menggunakan
GERD-Q untuk mempelajari prevalensi GERD dalam perawatan primer. GERD-Q dapat
digunakan untuk survei online. Beberapa penelitian menemukan bahwa lebih dari
setengah pencari informasi kesehatan online mencari gejala mereka di internet tanpa
konsultasi medis sebelumnya dengan dokter.(6)
GERD-Q telah divalidasi di Indonesia oleh Simadibrata et al. Pada penelitian
tersebut menunjukkan bahwa versi Bahasa Indonesia valid. Validasi ini konsisten dengan
penelitian lain yang menunjukkan bahwa semua pertanyaan GERD-Q yang aslinya ditulis
dalam bahasa Inggris valid ketika diterjemahkan ke dalam bahasa yang relevan dan dapat
digunakan di negara lain.(7)
Kuesioner GERD-Q adalah kuesioner yang sederhana, penilaian mandiri dan
berfokus pada pasien yang terdiri dari enam item. Kuesioner dikembangkan sebagai
128
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
bagian eksplorasi dari penelitian Diamond dan enam item berasal dari tiga kuesioner
(Skala Gejala Gastrointestinal Rating (GSRS), Kuesioner Penyakit Reflux (RDQ) dan
Skala Dampak GERD (GIS).(8)
Tabel 1. Kuesioner GERD-Q dan sistem penilaian.(8)
No
Pertanyaan
Frekuensi skor untuk gejala (per 1
minggu)
0 hari 1 hari 2-3 hari 4-7 hari
1. Seberapa sering Anda mengalami perasaan dada
terbakar (heartburn)? 0 1 2 3
2. Seberapa sering Anda mengalami perasaan naiknya
isi lambung ke tenggorokan (regurgitasi)? 0 1 2 3
3. Seberapa sering Anda mengalami rasa nyeri ulu hati? 3 2 1 0
4. Seberapa sering Anda mengalami mual? 3 2 1 0
5.
Seberapa sering Anda mengalami kesulitan tidur
malam oleh karena rasa terbakar di dada dan/ atau
naiknya isi lambung ke tenggorokan?
0 1 2 3
6.
Seberapa sering Anda meminum obat tambahan
untuk rasa terbakar di dada dan/ atau naiknya isi
lambung ke tenggorokan, selain yang diberikan oleh
dokter Anda?
0 1 2 3
Kuesioner GERD-Q meminta pasien untuk menghitung jumlah hari dengan gejala dan penggunaan
obat selama 7 hari sebelumnya. Total skor skor GERD-Q 0 – 18. Bila hasil skor GERD-Q ≤ 7,
kemungkinan tidak menderita GERD. Bila hasil skor > 7, kemungkinan menderita GERD.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh R Jones dkk, dalam pengembangan
kuisioner yang berfokus pada kemandirian pasien dalam melakukan penilaian dan
evaluasi secara mandiri, hasilnya menunjukkan bahwa kuesioner GerdQ memiliki tiga
kegunaan potensial dalam praktik klinis:(9)
1) GerdQ dapat digunakan untuk mendiagnosis GERD dengan akurasi yang serupa
dengan gastroenterolog.
2) GerdQ dapat digunakan untuk menilai dampak relatif penyakit terhadap kehidupan
pasien dan untuk membantu dalam memilih perawatan.
3) GerdQ dapat digunakan untuk mengukur respons terhadap pengobatan dari waktu ke
waktu.
GERD-Q dapat mewakili pendekatan non-invasif dan biaya efektif untuk
mencegah penyalahgunaan PPI dan untuk mengidentifikasi siapa pasien yang tepat untuk
uji coba PPI. Ada hubungan yang kuat antara skor GERD-Q dan respon terhadap terapi
PPI. Namun, diagnosis GERD oleh GERD-Q lebih rumit ketika gejala kurang jelas,
terutama ketika pasien mengeluh nyeri dada yang bukan seperti rasa dada terbakar yang
khas. (6)
Simpulan
GERD-Q merupakan pendekatan diagnostik GERD yang mudah dan non-invasif
serta efektif.
Referensi
129
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
1. PGI. Revisi konsensus nasional penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofageal
(gastroesophageal reflux disease/GERD) di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia. 2013.
2. Kahrilas PJ, Shaheen NJ, Vaezi MF. American Gastroenterological Association Medical
Position Statement on the management of gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology.
2008;135(4):1383-91. e5.
3. Gojal RK. Disease of Esophagus. In: Fauci AS, Kasper DS, Longo DL, Braunwald E, Hauser
SL, Jameson JL, et al., editors. Harrison's Gastroenterology and Hepatology. New York:
McGraw Hill; 2010. p. 112 - 24.
4. Dent J, Vakil N, Jones R, Bytzer P, Schöning U, Halling K, et al. Accuracy of the diagnosis
of GORD by questionnaire, physicians and a trial of proton pump inhibitor treatment: the
Diamond Study. Gut. 2010;59(6):714-21.
5. Contreras-Omana R, Sanchez-Reyes O, Angeles-Granados E. Comparison of the Carlsson-
Dent and GERD-Q questionnaires for gastroesophageal reflux disease symptom detection in a
general population. Revista de Gastroenterología de México (English Edition).
2017;82(1):19-25.
6. Syam AF. Gastroesophageal Reflux Disease Questionnaire (GerdQ) is an Easy and Useful
Tool for Assessing GERD. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology, and
Digestive Endoscopy. 2015;16(3):141-2.
7. Simadibrata M, Rani A, Adi P, Djumhana A, Abdullah M. The gastro-esophageal reflux
disease questionnaire using Indonesian language: a language validation survey. Medical
Journal of Indonesia. 2011;20(2):125.
8. onasson C, Wernersson B, Hoff D, Hatlebakk J. Validation of the GerdQ questionnaire for the
diagnosis of gastro‐oesophageal reflux disease. Alimentary pharmacology & therapeutics.
2013;37(5):564-72.
9. Jones R, Junghard O, Dent J, Vakil N, Halling K, Wernersson B, et al. Development of the
GerdQ, a tool for the diagnosis and management of gastro‐oesophageal reflux disease in
primary care. Alimentary pharmacology & therapeutics. 2009;30(10):1030-8.
130
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
COMPREHENSIVE TREATMENT OF GERD :
HEALING,RESOLVE AND PROTECT. Iswan A.Nusi.
SubDept. Division of Gastroentero-Hepatology
Dept.SMF of Internal Medicine, Faculty of Medicine Airlangga University-
Dr Soetomo General Teaching Hospital
SURABAYA.
Introduction
Definition of GERD : Montreal Consensus , “a condition which develops reflux of
stomach contents causes troublesome symptoms and/or complications” (Vakil N, et al.
Am J Gastroenterol 2006;101:1900). GERD (gastroesophageal reflux disease ) is a
common diagnosis for all age groups and both sexes, with estimated prevalence rates of
8% to 33% worldwide. The economic burden is $9 to $10 billion per year in direct costs
in the United States alone, mainly related to use of proton pump inhibitors (PPIs). PPIs
are prescribed empirically as a pragmatic initial diagnostic approach for patients with
typical symptoms of GERD, as well as atypical symptoms (noncardiac chest pain, chronic
cough, hoarseness, throat clearing, wheezing). Sometimes, patients are given double the
standard dose; overprescription and inappropriate us probleme of PPIs is a wide spread
problem.
Treatment of gastroesophageal reflux disease (GERD) involves a stepwise
approach. The goals are to control symptoms, to heal esophagitis, and to prevent recurrent
esophagitis or other complications. The treatment is based on (1) lifestyle modification
and (2) control of gastric acid secretion through medical therapy with antacids or PPIs or
surgical treatment with corrective antireflux surgery. Approximately 80% of patients
have a recurrent but nonprogressive form of GERD that is controlled with medications.
Identifying the 20% of patients who have a progressive form of the disease is important,
because they may develop severe complications, such as strictures or Barrett esophagus.
For patients who develop complications, surgical treatment should be considered at an
earlier stage to avoid the sequelae of the disease that can have serious consequences.
Use of a patient management tool such as the self-administered GERD
Questionnaire (GerdQ) to stratify patients may improve the management of GERD
patients in primary care settings.
Management
I. Lifestyle Modifications
Lifestyle modifications include the following:
Losing weight (if overweight)Avoiding alcohol, chocolate, citrus juice, and
tomato-based products (2005 guidelines from the American College of Gastroenterology
[ACG] also suggest avoiding peppermint, coffee, and possibly the onion family. The
association between weight gain and GERD symp- toms is well established in population
studies; weight gain has also been associated with increased risk of erosive esophagitis
and Barrett’s esophagus (BE).
Avoiding large mealsWaiting 3 hours after a meal before lying down Elevating
the head of the bed 8 inches .
According to the ACG 2005 guidelines, studies have shown decreased distal
esophageal acid exposure after these changes are made, but few data are available to
confirm these findings.
131
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Lifestyle modifications are the first line of management in pregnant women with GERD.
Advise patients to elevate the head of the bed; avoid bending or stooping positions; eat
small, frequent meals; and refrain from ingesting food (except liquids) within 3 hours of
bedtime.
II. Pharmacologic Therapy.
Antacids
Antacids were the standard treatment in the 1970s and are still effective in controlling
mild symptoms of GERD. Antacids should be taken after each meal and at bedtime.
H2 receptor antagonists and H2 blocker therapy
H2 receptor antagonists are the first-line agents for patients with mild to moderate
symptoms and grades I-II esophagitis. Options include ranitidine (Zantac), cimetidine
(Tagamet), famotidine (Pepcid), and nizatidine (Axid).
H2 receptor antagonists are effective for healing only mild esophagitis in 70-80% of
patients with GERD and for providing maintenance therapy to prevent relapse.
Tachyphylaxis has been observed, suggesting that pharmacologic tolerance can reduce the
long-term efficacy of these drugs. Additional H2 blocker therapy has been reported to be
useful in patients with severe disease (particularly those with Barrett esophagus) who
have nocturnal acid breakthrough.
H2RAs block acid secretion by competing for histamine receptors in the gastric
parietal cell. H2RAs lead to healing in 41% of patients with esophagitis, compared with
18% to 20% on placebo; heartburn resolves in 48% to 56% of patients after 4 to 12 weeks
of H2RA treatment. There is a relationship between H2RA dose and degree of esophageal
healing; higher doses are more effective than lower doses. However, doses higher than
twice-daily H2RA do not provide better healing or symptom control. In general, H2RAs
are less effective than PPI therapy.
Reflux-Reducing Agents
Baclofen, a gamma-amino butyric acid B receptor agonist, reduces transient
lower esophageal sphincter (LES) relaxations (TLESRs), and reduces reflux events in
healthy volunteers as well as patients with GERD. However, baclofen is associated with
central side effects (somnolence, dizziness) that may limit its usefulness. Attempts to
develop analogues with fewer central side effects have been limited by lack of efficacy
and liver toxicity. Nevertheless, when tolerated, baclofen is an option for patients whose
symptoms persist despite PPI therapy.
Proton pump inhibitors
PPIs are the most powerful medications available for treating GERD. These
agents should be used only when this condition has been objectively documented. They
have few adverse effects and are well tolerated for long-term use. However, data have
shown that PPIs can interfere with calcium homeostasis and aggravate cardiac conduction
defects. These agents have also been responsible for hip fracture in postmenopausal
women.
Available PPIs include omeprazole (Prilosec), lansoprazole (Prevacid),
rabeprazole (Aciphex), and esomeprazole (Nexium). In November 2013, the FDA
approved the first generic versions of rabeprazole sodium delayed-release tablets for the
treatment of GERD in adults and adolescents ages 12 and up. In clinical trials, the most
commonly reported adverse reactions to a few of PPIs were sore throat, flatulence,
infection, and constipation in adults, and abdominal pain, diarrhea, and headache in
adolescents. For optimal efficacy, PPIs should be taken 30 to 45 minutes before meals. A
meta-analysis of studies evaluating various formulations of PPIs found negligible
132
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
differences in efficacy between PPIs in healing erosive esophagitis or in symptom
relief.38 There is no clear benefit to escalating the dose beyond twice daily.
A research review by the Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ)
concluded, on the basis of grade A evidence, that PPIs were superior to H2 receptor
antagonists for the resolution of GERD symptoms at 4 weeks and healing of esophagitis
at 8 weeks. In addition, the AHRQ found no difference between individual PPIs
(omeprazole, lansoprazole, pantoprazole, and rabeprazole) for relief of symptoms at 8
weeks. For symptom relief at 4 weeks, esomeprazole 20 mg was equivalent, but
esomeprazole 40 mg superior, to omeprazole 20 mg.
Prokinetic medications and reflux inhibitors
Prokinetic agents are somewhat effective but only in patients with mild
symptoms; other patients usually require additional acid-suppressing medications, such as
PPIs. The usual regimen in adults is metoclopramide, 10 mg/day orally. Long-term use of
prokinetic agents may have serious, even potentially fatal, complications and should be
discouraged.
III. Surgical Treatment
Indications for Surgical Treatment
As in many other fields, surgical therapy for gastroesophageal reflux has evolved
a great deal. A few historical procedures of note include the Allison crural repair, the
Boerema anterior gastropexy, and the Angelchik prosthesis. Both the Allison and the
Boerema repairs have high failure rates and are rarely, if ever, used. The Angelchik
prosthesis is a silicone ring that is positioned at the gastroesophageal junction and
prevents reflux. The Angelchik prosthesis was rarely used in children and has been
largely abandoned because of a high rate of complications.
Today, both transthoracic and transabdominal fundoplications are performed,
including partial (anterior or posterior) and circumferential wraps. The most commonly
performed operation today in both children and adults is the Nissen fundoplication, which
is a 360° transabdominal fundoplication (see the image below).First reported in 1991,
laparoscopic fundoplication is well studied in adult populations. Laparoscopic
fundoplication has also quickly gained acceptance for use in children.
Several randomized clinical trials have challenged the benefits of surgery in
controlling GERD. Lundell followed up his cohort of patients for 5 years and did not find
surgery to be superior to PPI therapy. Spechler found that, at 10 years after surgery, 62%
of patients were back on antireflux medications. A very rigorous, randomized study by
Anvari et al reestablished surgery as the criterion standard in treating GERD. The
investigators showed that, at 1 year, the outcome and the symptom control in the surgical
group was better than that in the medical group.
References
1. El-Serag HB, Sweet S, Winchester CC, et al. Update on the epidemiology of gastro
oesophageal reflux disease: a systematic review. Gut 2014;63:871–880.
2. Shaheen NJ, Hansen RA, Morgan DR, et al. The burden of gastrointestinal and liver
diseases, 2006. Am J Gastroenterol 2006;101:2128–2138.
3. Fass R, Ofman JJ, Sampliner RE, et al. The omeprazole test is as sensitive as 24-h
oesophageal pH monitoring in diagnosing gastro-oesophageal reflux disease in symp-
tomatic patients with erosive oesophagitis. Aliment Pharmacol Ther 2000;14:389–
396.
133
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
4. Katz PO, Gerson LB, Vela MF. Guidelines for the diagnosis and management of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol 2013;108:308–328; quiz 329.
5. Giannini EG, Zentilin P, Dulbecco P, Vigneri S, Scarlata P, Savarino V. Management
strategy for patients with gastroesophageal reflux disease: a comparison between
empirical treatment with esomeprazole and endoscopy-oriented treatment. Am J
Gastroenterol. Feb 2008;103(2):267-75. [Medline].
6. Katz PO. Medical therapy for gastroesophageal reflux disease in 2007. Rev
Gastroenterol Disord. Fall 2007;7(4):193-203. [Medline].
7. Marco G Patti, MD. Gastroesophageal Reflux Disease Treatment & Management.
Chief Editor: Julian Katz, MD. Updated: Apr 16, 2014.
8. Prakash Gyawali , ,C, Fass , R. Management of Gastroesophageal Reflux Diseas .
Gastroenterology 2018;154:302–318
9. Fass R, Sifrim D. Management of heartburn not responding to proton pump inhibitors.
Gut. Feb 2009;58(2):295-309. [Medline].
134
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
IS PPI RECOMMENDED FOR GASTROESOPHAGEAL REFLUX
DISEASE(GERD) PATIENT?
Marcellus Simadibrata Kolopaking
Division Gastroenterology Department Internal Medicine Faculty of Medicine Universitas Indonesia
Abstract
The drug of choice of GERD is Proton Pump inhibitor(PPI). The recent problems in the
treatment of GERD are refractory, complications, PPI not effective etc. GERD is defined as a
disorder in which the stomach contents refluxing into the esophagus, which causes the occurrence
of symptoms and / or complications. Refractory GERD is defined if the patient do not respond to
treatment with proton pump inhibitors (PPI) twice daily for 4-8 weeks. The principal therapy of
GERD are cure the esophageal lesion, stop the symptoms, avoid recurrences/relaps, improve the
quality of lifeand prevent complications. PPI include omeprazole, pantoprazole, lansoprazole,
esomeprazole, rabeprazole. The refractory GERD is caused due to nocturnal acid breakthrough,
acid overexposure, genetic polymorphism, non acid reflux, gases reflux, stress etc . These PPIs
are still effective and safe and still recommended although, some reported side effects in long
term therapy and complications. Different studies reported the efficacy of different PPI in
controling the gastricf acid on PH > 4.
Keywords: Proton pump Inhibitor, GERD, Acid.
135
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
PERAN PROBIOTIC PADA PENGOBATAN SINDROMA KOLON IRITATIF
(IBS)
Chudahman Manan
Pendahuluan.
Sindroma kolon iritatif (IBS) adalah gangguan fungsional yang sering ditemukan.
Prevalensi di negara industri pada populasi dewasa didapatkan 11-20% , sedangkan di
Indonesia dari data Rumah Sakit berkisar 12 % sampai dengan 50%. Pada wanita
didapatkan 1,5-2 kali dibandingkan laki-laki.. Berdasarkan kriteria Roma III (2006)
gejala klinik IBS adalah nyeri perut dan gangguan pola defekasi, tanpa kelainan struktural
atau biokimia. Beberapa hipotesis tentang patofisiologi IBS, etiologi masih belum
diketahui secara jelas, disebabkan bersifat multifaktorial. Abnormalitas pada mikroflora
pada traktus gastro intestinal seperti pertumbuhan bakteri usus halus yang berlebihan
(SIBO), dengan penurunan yang signifikan dalam jumlah Bifidobacteria intraluminal atau
Lactobacilli, dengan akibat gangguan produksi gas dalam kolon, dan gangguan motilitas
atau sensitivitas. pada saluran cerna.
Etiologi.
Penyebab IBS tidak diketahui dengan jelas dan bersifat multifaktorial. Faktor-
faktor yang berperan seperti: Kontraksi otot usus, dinding usus terdiridari lapisan otot
yang berkontraksi dalam mendorong makanan dari proksimal ke distal. Kontraksi yang
lebih kuat dan berlangsung lebih lama dari biasanya dapat menyebabkan kembung dan
diare. Kontraksi usus yang lemah dapat memperlambat jalan makanan dan menyebabkan
obstipasi. Kelainan pada saraf sistem pencernaan menyebabkan rasa tidak nyaman.
Sinyal yang kurang terkoordinasi antara otak dan usus dapat menyebabkan reaksi
berlebihan terhadap perubahan yang terjadi dalam proses cerna, seperti rasa nyeri , diare
atau obstipasi. Peradangan di saluran cerna akan berakibat peningkatan jumlah sel sistem
imun, dan berhubungan dengan rasa sakit dan diare.
Pasca Infeksi berat. IBS dapat terjadi yang disebabkan oleh bakteri atau virus. IBS
mungkin juga terkait dengan surplus bakteri di usus (pertumbuhan berlebih bakteri).
Perubahan bakteri di usus (mikroflora) adalah bakteri "baik" yang berada di usus dan
memainkan peran kunci dalam kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa mikroflora
pada IBS mungkin berbeda dari mikroflora pada orang sehat.
Penelitian terbaru membuktikan bahwa gangguan mikrobiota usus terjadi pada
pasien dengan IBS, dan kelainan ini dapat berkontribusi terhadap gejala IBS. Studi di
negara-negara Skandinavia dalam sepuluh tahun terakhir menekankan peran probiotik
dalam modulasi mikrobiota usus, dan sebagai konsekuensi dalam pengaturan motilitas
dan hipersensitivitas saluran cerna.
Gejala klinik.
Gejala klinik IBS ditandai dengan sakit perut atau ketidaknyamanan, yang hilang
setelah buang air besar atau flatus, dan terjadi perubahan frekuensi defekasi dan / atau
konsistensi. Kadang-kadang ada sensasi defekasi yang tidak lengkap, rasa sakit terbakar
saat buang air besar, urgensi untuk buang air besar, tenesmus rekti dan mukorea.
Menurut kriteria Roma III ada beberapa jenis IBS: a) IBS diare-dominan; b) IBS
konstipasi-dominan; c) intermiten IBS (kadang-kadang diare, kadang-kadang sembelit);
dan d) IBS yang tidak spesifik.
136
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Tabel 1. Multifactorial and different according to subtype of IBS:
– Post-infectious IBS (20-30% of cases)
– Inflammatory IBS (15-20% of cases)
– Intestinal bacterial overgrowth (less than 10% of cases)
– Alteration of serotonin (5HT) regulation produced in ECL cells
– Primary dysfunction of the CNS
– Primary psychosomatic, psychosocial or psychiatric disorder
– Genetic factors
Patofisiologi IBS.
Patofisiologi IBS terdiri dari beberapa hal, yang dapat diklasifikasikan dalam beberapa
sub grup.
Tabel 2. Klasifikasi etiologi IBS.
– Motor dysfunction?
– Visceral hypersensitivity?
– Excess production of intestinal gas or intolerance, when production is normal?
– Alteration of intestinal microbiota?
• Qualitative: imbalance of the intestinal microbiota (lack of Lactobacilli and Bifidobacteria;
increase of Clostridia and Enterobacteriaceae)
– Altered production and/or release of intestinal serotonin or other neurotransmitters?
• Some IBS patients diarrhea predominant or constipation-predominant IBS
– Alterations in the management of information received by the CNS?
Konsep probiotik telah ada sejak 100 tahun yang lalu, sejak Elie Metchnikoff
tahun 1907. Pada tahun 1998 F Guarner mendefinisikan probiotik sebagai
mikroorganisme hidup yang memiliki manfaat untuk saluran cerna dan fungsi kekebalan
tubuh. Pada tahun 2003 konsep "immunobiotic" diperkenalkan, termasuk yang
memodulasi respon imun di seluruh sistem MALT. Gagasan ini menyatakan bahwa
mukosa usus dan mikroflora usus merupakan unit anatomis fungsional yang mengatur
baik respon imun yang berasal dari sel dan humoral dan produksi lokal sitokin.
Mikroflora usus adalah kompleks ekosistim yang berfungsi fisiologis. Distribusi
bakteri di saluran cerna berbeda, jumlah terbesar berada di rongga bukal dan usus besar.
Gaster mengandung kurang dari 103 mikroorganisme per ml, sementara duodenum dan
jejunum mengandung sekitar 105 / ml, dengan golongan bakteri yang utama adalah
Clostridium perfringens dan Bacteroides fragilis; faktor mendasar yang mengontrol
mikroflora usus adalah aktifitas peristaltik.
Mikroflora intralumial, bekerja sebagai prebiotik seperti serat makanan yang tidak
tercerna, mukoprotein yang terkandung dalam sekresi usus, sel dari mukosa kolon, dan
bakteri atau ragi yang terdegradasi, menghasilkan asam lemak rantai pendek; senyawa
seperti hidrogen peroksida, asam laktat, asam amino, vitamin (grup B, asam folat dan K),
antioksidan, dan faktor pertumbuhan. Studi in vitro dan in vivo pada hewan laboratorium
menunjukkan bahwa terdapat potensi terapeutik: a) Mengatur proliferasi, diferensiasi,
ekspresi gen, dan fungsi kekebalan pada mukosa kolon; b) Membantu peyembuhan lesi
kolon superfisial. c) Dapat mengurangi risiko kanker usus besar, karena menurunkan
produksi dan meningkatkan degradasi zat prokarsinogenik atau mutagenik.
137
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Fermentasi probiotik menghasilkan gas intraluminal (H2, CO2 dan CH4). Jika itu
berlebihan akan berakibat nyeri perut atau ketidaknyamanan, perut kembung. Sejumlah
bakteri komensal memiliki sifat metanogenik: Veillonella spp. (terutama V alcalescens)
dan Clostridia spp.
Table 3. Primary functions of intestinal microflora
1. Planktonic microflora → metabolic:
a. To ferment indigestible substrates (fiber, extruded cells and endogenous mucus)
b. To favor the growth of beneficial intestinal microflora:
i. Improves lactose digestion
ii. Modulates intestinal gas production
iii. Increases genesis of short-chain fatty acids→ intraluminal acidification→ increases
intestinal transit
iv. Increases the absorption of Ca, Fe and Mg
v. Synthesizes vitamins: K, folic acid, biotin, B12
2. Mucosa-associated microbiota (MAM):
a. Protective:
i. Barrier effect + bacteriocin synthesis→ prevention of invasion by exogenous pathogens
ii. Maintenance of intestinal permeability→ prevents bacterial translocation and systemic
infection
b. Trophic:
i. Controls epithelial cell proliferation and differentiation of the intestinal mucosa
ii. Maintains new cell growth in intestinal epithelial crypts
iii. Of the intestinal immune system: cells and serum (immunoglobulins)
Table 4. Problems caused by imbalance in the intestinal microflora
1. The following factors alter the balance of normal intestinal microflora:
a. Change of diet → causes more intestinal fermentation
b. Reduction in prebiotic substrates → reduction in the number of Bifidobacteria
c. Administration of antibiotics → alteration of the intestinal ecosystem
d. Infection by pathogenic Cl. difficile or E. coli → alteration of the natural population of
i. Lactobacilli and bifidobacteria
e. Ageing → decrease in the population of anaerobic bacteria, especially Bifidobacteria;
increase
in Enterobacteriaceae and Clostridia
2. Related functional problems:
a. Change in bowel habit (constipation or diarrhoea)
b. Exaggerated flatulence/meteorism
c. Abdominal bloating and distension
d. Abdominal pain/discomfort
e. Lactose intolerance
f. Development of IBS (at least in cases following bacterial gastroenteritis )
138
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Table 5. Various action of probiotics.
a. Physical barrier effect;
b. Competition for nutrients;
c. Metabolic interactions;Bacteriocin production;
d. Reinforcement of the intestinal mucosal barrier;
e. Reduction of intestinal permeability and bacterial translocation; and particularly,
f. Regulation of the intestinal inflammatory response by modulating the secretion (local and
systemic) of cytokines and the immune response (local and general).
Probiotic yang efektif harus mempunyai 5 kondisi diatas.
Probiotik yang paling dikenal dan paling banyak digunakan adalah Lactobacillus
plantarum, Lactobacillus rhamnosus LGG, Lactobacillus reuteri, Lactobacillus
acidophilus, Lactobacillus casei dan Bifidobacterium infantis, lactis atau brevis.
Table 6. Effect of probiotic
1. It must have a proven beneficial effect on the host;
2. It must not be toxic or pathogenic
3. It must contain a sufficiently large number of viable microorganisms per unit;
4. It must be capable of surviving in the intestine, reproducing, maintaining itself, and having
intraluminal metabolic activity
5. It must remain viable during storage and use
Table 7. General benefits of using probiotics
1. Regulation of the intraluminal environment:
a. Fermentation of non-degradable dietary fiber and intraluminal mucoproteins
b. Regulation of the planktonic intestinal microflora, anti-pathogen barrier (Listeria,
Salmonella,
c. coli, Campylobacter)
d. Favors lactose digestion
e. Modulation of intraluminal gas production, reducing the bacteria that produce it (E. coli,
Veillonella) and increasing the bacteria that do not (Lactobacilli, Bifidobacteria)
2. Adjustment of the immune and inflammatory response:
a. Cellular: B and T lymphocytes
b. Humoral: secretion of immunoglobulins A and G
3. Increase in trophic responses:
a. Control of epithelial cell proliferation and differentiation
b. Maintenance of the normal growth of new cells in intestinal mucosa crypts → prevents
atrophy of villi
4. Regulation of intestinal motility (fasting and postprandial):
a. Improvement of colonic transit through the production of short-chain fatty acids (acetic,
propionic, butyric) → intraluminal acidification
b. Modulation of the motor response to intraluminal distension
Pengobatan IBS dengan probiotik
Probiotik memperkuat factor defensi mukosa usus, menghambat adhesi bakteri
patogen dan mengubah respon inflamasi usus, menormalkan motilitas saluran pencernaan
139
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
dan kepekaan visceral. Ekek lain adalah dapat mengatur fermentasi intraluminal dan
menstabilkan mikroflora usus.
“Sebelum tahun 2008 dapat disimpulkan bahwa probiotik sangat aman tetapi tidak efektif
dalam pengobatan IBS. Setelah tahun 2008, dibuktikan tentang manfaat simptomatik
untuk nyeri, kebiasaan buang air besar, dan rasa kembung kembung dan distensi pada
pasien IBS. Meskipun demikian peranan pasien IBS yang heterogen dan keunikan yang
dimiliki oleh setiap probiotik.
Penutup.
Pemakaian probiotik sebagai komponen terapi IBS adalah untuk menjaga kondisi
keseimbangan pada sel2 mukosa saluran cerna.
Daftar Pustaka
1. Jimenez MB. Treatment of irritable bowel syndrome with probiotics. An etiopathogenic
approach at last? Rev Esp Enferm Dig 2009; Vol. 101.: 553-564, 2009
2. Vahedi1 RHA, Mir-Nasseri
3. MM, Jafari1 E. Irritable Bowel Syndrome: A Review Article. Middle East Journal of
Digestive Diseases 2010; Vol.2 /2: 925-931
4. Niva E, Naftalib T, Hallaka R, Vaismanc N. The efficacy of Lactobacillus reuteri ATCC
55730 in the treatment of patients with irritable bowel syndrome—a double blind,
placebo-controlled, randomized study. Clin. Nutr. 2005, 24: 925–931
5. Ojetti V, Petruzziello C, Migneco A etal. Effect of Lactobacillus reuteri (DSM 17938) on
methane production in patients affected by functional constipation: a retrospective study.
Eur Rev Med Pharmacol Sci 2017; 21: 1702-1708
6. Ojetti V, Ianiro G, Tortora A etal. A. The effect of Lactobacillus reuteri supplementation
in adults with chronic functional constipation: a randomized, double-blind, placebo-
controlled trial. J Gastrointest Liver Dis 2014; 23: 387-391.
140
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
TATALAKSANA INFEKSI H PYLORI DAN PERAN PROBIOTIK. Ari Fahrial Syam
Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI RSCM
Email [email protected] Twitter/Instagram @dokterari
Infeksi Helicobacter pylori (H pylori) merupakan infeksi oleh kuman yang
menyebabkan permasalahan pada saluran cerna atas khususnya lambung dan
duodenum.1 Sampai sejauh ini penyakit ini masih mengenai hampir setengah penduduk
dunia. Walaupun beberapa laporan dari berbagai pusat penelitian termasuk juga dari
senter-senter pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa insidens infeksi H pylori ini
sudah menurun. Tetapi kita tetap harus waspada bahwa infeksi ini sebenarnya masih ada
di tengah-tengah kita. Mengingat dampak klinis yang terjadi akibat infeksi ini begitu luas
dari hanya dispepsia fungsional, gastritis kronis, ulkus peptikum sampai terjadinya kanker
lambung. Penelitian yang dilakukan oleh Saragih et al.2 yang melakukan evaluasi
terhadap hasil pemeriksaan endoskopi dan hasil pemeriksaan histopatologi selama 8
tahun menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah pasien dengan dengan infeksi H.
pylori walau ternyata insidens penurunan H. pylori ini tidak diikuti dengan
penurunan metaplasia dan kejadian kanker lambung.
Di tingkat organisasi profesi saat inipun kita sudah mempunyai Konsensus
Nasional mengenai Penatalaksanaan Infeksi Helicobacter pylori yang telah
mengalami revisi dan revisi terakhir pada tahun 2014 ini mejadi Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Dispesia dan Infeksi Helicobcater pylori.3
Sebagaimana kita ketahui bahwa Penyakit infeksi H pylori telah mengantarkan
penemunya Prof Barry Marshall dan Dr. Robin Warren mendapat hadiah Nobel Kedokteran
pada tahun 2005. Penemuan kuman ini telah mengubah cara tatalaksana pasien dengan
gastritis atau ulkus peptikum yang sebelumnya hanya memberikan anti asam tetapi saat
ini juga harus dengan antibiotik jika ditemukan pula kuman sebagai penyebab
terjadinya ulkus peptikum. Jadi, jika ditemukan lesi di gastroduodenum kemudian
ditemukan pula kuman H. pylori maka harus dilakukan eradikasi yaitu dengan
memberikan kombinasi 2 buah antibiotik dikombinasi dengan pemberian penghambat
pompa proton dosis ganda. Dengan melakukan eradikasi kuman tersebut kita telah
memutus kelanjutan perjalanan infeksi ini sebagai penyebab terjadinya kanker lambung di
masa datang. Sampai sejauh ini sebagai terapi lini pertama dapat digunakan 2 antibiotika
yaitu Amoksisilin 2x1 gram, Klaritromisin 2x500 mg dan penghambat pompa proton 2x1
tablet/capsul (double dose) dan diberikan selama 10-14 hari
Indonesia wide study of Helicobacter pylori
Sampai sejauh ini kami telah melakukan berbagai penelitian infeksi H. pylori
baik dalam hal diagnosis maupun tatalaksana. Deteksi kuman H. pylori tentu
disesuaikan dengan kondisi sarana dan prasarana yang ada di lapangan. Saat ini
pemeriksaan non invasif untuk mendeteksi adanya kuman H. pylori yang tersedia di
pasaran kita di Indonesia adalah pemeriksaan Urea Breath Test (UBT) dan test serologi
H. pylori. Pemeriksaan UBT sendiri sudah merupakan gold standard dan juga bisa
digunakan untuk evaluasi paska eradikasi.
Penelitian kami beberapa tahun lalu dengan HpSA mendapatkan angka sensitivitas
66,7% dan spesifisitas 78,9%.4
Pemeriksaan HpSA bukan saja untuk diagnosis tapi
juga digunakan sebagai follow up paska eradikasi.
141
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Penelitian seputar H pylori di Indonesia yang dilakukan secara multicentre sudah
dipublikasi pada salah satu jurnal ternama kedokteran Plos One pada edisi 23
November 2015. Penelitian tentang infeksi Helicobacter pylori ini merupakan update
terbaru mengenai angka kejadian infeksi Helicobacter di Indonesia yang meliputi 5
pulau besar di Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada 267 pasien dengan sakit maag
atau dispepsia. Penilitian berlangsung selama 1 tahun sejak Januari 2014 sampai dengan
Februari 2015. Pasien terdiri dari 143 wanita dan 124 laki-laki, umur rata-rata pasien
47,5 +/- 14,6 tahun dengan pasien termuda 17 tahun dan paling tua 80 tahun. Penelitian
ini dilakukan di Medan, Jakarta, Surabaya, Makasar, Pontianak dan Papua. Semua
pasien dilakukan endoskopi dan dilakukan biopsi untuk diperiksa adanya kuman pada
pasien tersebut. Pemeriksaan biopsi meliputi pemeriksaan langsung adanya kuman
dengan rapid urease test (CLO test), pemeriksaan histopatologi untuk melihat secara
langsung adanya kuman serta pemeriksaan kultur kuman. Dari 267 pasien tersebut 70
bersuku Batak, 54 etnik Tionghoa, 42 suku Jawa, 30 suku Bugis, 40 suku Dayak, 21
suku Papua, 3 Madura, 2 Aceh, 2 sunda, 1 suku Banjar, 1 Bali dan 1 Ambon.
Hasil pemeriksaan kuman pada pasien-pasien ini mendapatkan pada bahwa 59
dari 267 (22,1 %)pasien tersebut positif kuman H pylori didalam lambung artinya lebih
kurang 1 dari 5 pasien yang diperiksa mengandung kuman H pylori di dalam
lambungnya. Ini tetap harus menjadi perhatian untuk para klinisi yang bekerja di
Indonesia. 5
Sampai sejauh ini pemeriksaan invasif untuk mendeteksi H. pylori masih menjadi
pilihan terutama pada kasus dispepsia dengan adanya tanda alarm seperti riwayat
hematemeses melena, berat badan turun, adanya anemia yang tidak diketahui sebabnya dan
pasien dengan dispepsia pada umur >45 tahun. Pemeriksaan endoskopi tentu untuk
mengevaluasi penyebab dari dispepsia dengan tanda alarm dan dilanjutkan dengan
biopsi untuk mendeteksi adanya kuman H. pylori baik secara histopatologi maupun
dengan cara pemeriksaan rapid urease test dari jaringan biopsi tersebut. Selain itu
jaringan biopsi juga digunakan untuk mendeteksi adanya kuman H. pylori secara kultur.
Evaluasi kami dari beberapa senter di Indonesia mendapatkan bahwa pemeriksaan
rapid urease test dengan pronto dry menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas
masing 69,7% dan 95,7% dengan accurate rate mencapai 92,7%. Yang menarik dari
penelitian yang kami lakukan bahwa kami mendapatkan sekitar 10% dengan ulkus
peptikum, 15,5% dengan esofagitis dan 1 kasus dengan kanker lambung pada pasien
yang mengeluh dispepsia.6 Oleh karena itu tetap bahwa endoskopi menjadi pilihan
pertama pada kasus-kasus dispepsia dengan adanya tanda alarm untuk mengevaluasi
adanya kelainan organik sebagai penyebab dari sindrom dispepsia tersebut.7,8
Test and Treat untuk pasien Dispepsia
Saat ini salah satu strategi dalam menatalaksana infeksi H pylori dengan
menggunakan metode “ Test and Treat”. Pasien dengan keluhan dispepsia setelah
terapi empirik selama 2-4 minggu dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi adanya
kuman H pylori.
Melalui metode dari hasil pemeriksaan dalam hal ini dengan menggunakan UBT, jika
ternyata hasil pemeriksaan UBT positif pada pasien tersebut maka dilakukan eradikasi
untuk kuman H pylori tersebut.3 (lihat gambar 1) Dalam mentatalaksana infeksi H
pylori dibutuhkan minimal 2 jenis antibiotik dan satu jenis penghambat pompa proton.
Hal tersebut didasarkan pada bukti klinis bahwa eradikasi dari kuman tercapai jika
diberikan 2 macam antibiotik sekaligus. (lihat tabel 1) Beberapa hal yang harus
142
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Gambar 1. Alur Diagnosis Dispepsia sebelum diinvestigasi 3
diperhatikan dalam memberikan eradikasi ini yaitu eradikasi ini sangat dianjurkan jika
pada pasien dengan H. pylori tersebut ditemukan adanya ulkus duodenum, ulkus
gaster, MALT lymphoma gaster derajat keganasan rendah, riwayat kanker, gastritis
kronik aktif (sesuai gambaran pemeriksaan histopatologi), pasca reseksi kanker lambung
dini dan gastritis atrofik. Dalam tata laksana ini dikenal 3 macam rejimen terapi yaitu
terapi lini pertama atau disebut terapi tripel dengan menggunakan 2 macam antibotik,
terapi lini kedua atau terapi kuadripel dengan menggunakan 3 macam antibiotik serta
lini ketiga dimana terapi diusahakan dengan menggunakan hasil kultur MO Resistensi.
(lihat tabel 1).3 Penelitian di Jepang dengan menggunakan 2 macam antibiotik yaitu
Amoksilin 750 mg/Klaritromisin 400mg/ Lansoprazole 30 mg 2 kali/hari selama 1 minggu
mencapai angka eradikasi 85,8%.9 Penelitian kami mengenai eradikasi H. pylori yang
telah dipublikasi di Medical Journal Indonesia bahwa eradikasi dengan
menggunakan antribiotik Amoksilin 1000 g/Klaritromisin 500 mg/Rabeprazole 20 mg 2 kali
/hari selama 2 minggu masih mencapai angka eradikasi di atas 90%.10 Sesuai anjuran pakar
eradikasi dunia Prof. Graham yang dipublikasi pada Gut (2010) menyampaikan bahwa
eradikasi kuman H. pylori harus mencapai >90-95% dan mengenai jenis rejimen yang
digunakan tentu disesuaikan dengan bukti klinis yang ada di pusat penelitian yang ada di
tingkat lokal. 11
Sejak beberapa waktu lalu probiotik juga sudah digunakan sebagai terapi tambahan
untuk terapi eradikasi infeksi H pylori. Pada konsensus Maastricht IV tentang
tatalaksana infeksi H pylori, peran probiotik sudah disebut. Pada probiotik dan
prebiotik tertentu terdapat hasil yang cukup menjanjikan untuk mengurangi efek
samping yang terjadi pada pemberian secara ajuvan terapi. Pada Maastrciht V,
pernyataan ini lebih tegas lagi, bahwa pemberian eradikasi dengan beberapa antibiotika
sekaligus dapat mengganggu mikrobiota sehat usus dan ini juga akan berdampak buat
kesehatan. 12 Pemberian probiotik dapat mengurangi efek samping yang terjadi. Diare
yang berhubungan dengan antibiotika dalam masa pemberian eradikasi dapat
menyebabkan terputusnya terapi dan hal ini akan berdampak pada kegagalam terapi
infeksi H pylori tersebut. Selain untuk mengurangi efek samping probiotik tertentu
juga dapat memperbaiki eradikasi. Fokus penelitian untuk kedua hal ini terutama pada
kelompok strain lactobacillus.
Tabel 1 Regimen terapi kuman Helicobacter pylori3
143
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Tabel 1 Regimen terapi kuman Helicobacter pylori3
Daftar Pustaka
1. Syam AF, Simadibrata M, Rani AA. Helicobcater pylori: diagnosis and treatment. Med
Progress. 2001;16-8.
2. Saragih JB, Akbar N, Syam AF, Sirait S, Himawan S, Soetjahyo.
3. E.Incidence of helicobacter pylori infection and gastric cancer: an 8-year hospital based
study. Acta Med Indones. 2007;39(2):79- 81.
4. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Dispesia dan infeksi Helicobacter pylory. Simadibrata M. Makmun D, Abdullah M,
Syam AF, Fauzi A, Renaldi K, Mauleha H, Utara AP. Editors. PGI 2014
5. Syam AF, Rani AA, Abdullah M, Manan C, Makmun D, Simadibrata M, Djojoningrat D,
Sato T. Accuracy of Helicobacter pylori stool antigen for the detection of Helicobacter
pylori infection in dyspeptic patients. World J Gastroenterol. 2009;11(3):386-8.
6. Syam AF, Miftahussurur M, Makmun D, Nusi IS, Zain LH, Zulkhairi et al. Risk factors and
prevalence of Helicobcater pylori in five largest islands of Indonesia: a preliminary study.
PLoS ONE;10(11):e0140186.
7. Syam AF, Abdullah M, Rani AA, Nurdjanah S, Adi P, Djumhana A, Tarigan P, Wibawa ID.
Evaluation of the use of rapid urease test: Pronto Dry to detect H pylori in patients
144
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
with dyspepsia in several cities in Indonesia. World J Gastroenterol. 2006;
12(38):6216-8.
8. Syam AF, Abdullah M, Makmun D, et al. Kelainan saluran cerna bagian atas per
endoskopi di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Kumpulan abstrak KONAS PGI-PEGI X.
Medan; 2001.
9. Syam AF. Uninvestigated dyspepsia versus investigated dyspepsia. Acta Med Indones.
2005;37(2):113-5.
10. Mamori S, Higashida A, Kawara F, Ohnishi K, Takeda A, Senda E et al. Age-dependent
eradication of Helicobacter pylori in Japa- nese patients. World J Gastroenterol
2010;16(33):4176-9.
11. Syam AF., Abdullah M., Rani AA., Nurdjannah S., Adi P., Djumhana A., P. Tarigan P.,
Wibawa I. A Comparison of 5 or 7 days of rabeprazole triple therapy for eradication of
Helicobacter pylori. Med J Indon. 2010;19(2):113-7.
12. Graham DY, Fischbach L. Helicobacter pylori treatment in the era of increasing
antibiotic resistance. Gut. 2010;59(8):1143- 53.
13. Mafertheiner O., Megraud F., O’Morain CA, et al. Management of Helicobacter pylori
infection-Maastricht V/Florence Consensus Report. Gut 2017;66: 6-30.
14. Zheng X, Lyu L, Mei Z. Lactobacillus-containing probiotic supplementation increases
Helicobacter pylori eradication rate: evidence from a meta-analysis. Rev Esp Enferm Dig
2013;105:445-53.
145
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
OVERVIEW OF MOLECULAR BIOLOGY OF HEPATITIS B AND C: WHAT IS
THE DIFFERENT?
Rino Alvani Gani
Hepatobiliary Division, Department of Internal Medicine
Faculty of Medicine Universitas Indonesia / Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital
Biologi Molekuler Virus Hepatitis B
Pada tahun 1940an, MacCallum menjabarkan kemungkinan kontaminasi virus pada
produk darah dan plasma yang menyebabkan hepatitis kronik dan disebut dengan
hepatitis post-transfusion. Pada tahun 1950, hubungan antara virus ini dengan kanker hati
mulai ditemukan dan pada tahun 1968, HBsAg pertama kali ditemukan.1
Virus hepatitis B (VHB) mengandung genom double-straded DNA dengan Panjang
sekitar 3 kbp yang termasuk kedalam family dari Hepadnaviridae. Hepadnaviridae
merupakan kelompok kecil dari virus DNA hepatotropic yang kemudian terbagi kembali
menjadi 2 genera yang berbeda: Avihepadnaviruses seperti duck HBV (DHBV) maupun
heron HBV, keduanya menginfeksi burung, sedangkan orthohepadnaviruses menginfeksi
mamalia terutama VHB pada manusia maupun woodchuck. 2Masing-masing dari anggota
keluarga Hepadnaviridae menginfeksi spesies yang spesifik. Hanya chimpanzee dan
treeshrew yang dapat ditularkan VHB melalui uji coba laboratorium.
Keluarga hepadnaviridae memiliki genom DNA yang kecil (3.0-3.3 kb) dan
kompak. Kelompok ini membiliki genom DNA yang melakukan encode secara
overlapping padaopen reading frames atau ORF. Kelompok ini bereplikasi melalui proses
reverse transcription pada RNA intermediate oleh enzyme polymerase virus. Diantara
semua kelompok virus yang menggunakan Teknik reverse transcription, hepadnaviruses
memiliki ciri khas tersendiri yaitu envelopment dari genom DNA dan bukan dari RNA
serta integrasi dari genom DNA hepadnaviruses terhadap genom sel penjamu tidak
dibutuhkan untuk dapat melakukan replikasi.2
Penelitian telah menunjukkan terdapat minimal 8 genotipe VHB (A hingga H).
Terdapat kemungkinan 2 genotipe baru yaiu genotype I dan genotype J. terdapat
perbedaan persebaran genotype sesuai dengan faktor populasi serta geografi. Genotipe
dikatakan lebih umum pada populasi Asia dengankan genotype A dan D paling banyak
ditemukan pada penduduk Amerika.2
Struktur Genome VHB
VHB memiliki genome DNA yang berukuran kecil (3.2 kb), partially double-
stranded, relaxed-circular yang membaca 4 ORF yang saling tumpang tindih. ORF
terbesar mengkode polymerase viral yang juga memiliki aktivitas reverse transcription
(RT) untuk membuat untingan genom DNA pertama yang berasal dari RNA intermediate.
ORF terbesar kedua mengkode 3 protein pembungkus virus yaitu Large (L-), middle (M-
), and small (S-) atau yang dikenal dengan HBsAg. ORF lainnya menkode protein
precure atau yang dikenal dengan HBV E antigen atau HBeAg serta protein inti yang
membuat kapsid virus. Kemudian, ORF yang paling kecil mengkode protein HBV X atau
HBx yaitu merupakan protein regulator terhadap replikasi VHB baik secara in vitro
maupun in vivo.2
ORF virus dibaca dalam beberapa bagian dengan beberapa polyadenylated RNA
sehingga kita bisa membagi kembali menjadi transkripsi genomic maupun subgenomik.
Subgenomik transkripsi bertindak sebagai cetakan protein VHB HBx dan HBsAg
146
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
sedangkan genomic transkripsi bertindak sebagai mRNA untuk precore, core, dan
polymerase. Terdapat genomic transprisi yang mengkode baik protein core dan
polymerase, genom ini dikenal dengan pregenomc RNA atau pgRNA. pgRNA merupakan
cetakan dari replikasi VHB yang kemudian akan dilakukan RT untuk membentuk genom
VHB baru.2
Gambar 1. Struktur Virion dan Genom VHB3
Siklus Hidup VHB
Sifat virus yang species specific dan sifat hepaototropik yang dimiliki oleh VHB
disebabkan oleh 2 faktor selular. Faktor pertama adalah ekspresi spesifik terhadap
hepatosit dari reseptor VHB human sodium taurocholate cotransporting peptide atau
hNTCP yang hanya diekspresikan pada hepatosit manusia. Faktor kedua adalah beberapa
faktor transkripsi yang mengontrol infeksi VHB seperti HNF1α dan HNF4α yang masing-
masing mengatur fase post-entry dan downstream dari skiklus VHB. Telah diketahui
bahwa sekuens preS1 dan hNTCP mempengaruhi perlekata VHB terhadap hNTCP akan
tetapi belum diketahui pasti mengenai mekanisme masuknya VHB kedalam sel setelah
terjadinya perlekatan dengan hNTCP. Diduga komplek HBV-hNTCP masuk kedalam sel
melalui endositosis yang dimediasi oleh clathrin. 2
Setelah berada di dalam sel, DNA VHB dihantarkan kedalam nucleus melalui
mekanisme yang belum jelas. Salah satu kemungkinan mekanisme adalah melalui
transport aktif pada pori-pori pada nuclear. Setelah sampai pada nucleus, celah pada
untaian tunggal rcDNA diperbaiki baik melalui (+)-strand extension oleh polymerase
VHB atau melalui aktivitas repair protein penjamu. cccDNA kemudian terbentuk sebagai
nucleosome-bound minichromosome di dalam nucleus.
Pembentukan dan Pemeliharaan cccDNA
cccDNA merupakan bentuk covalently closed circular (ccc) dari kromosom viral
dan merupakan komponen yang esensial terhadap siklus hidup virus dan pemeliharan
infeksi. Beberapa fungsi viral dan fungsi sel penjamu diperlukan untuk membuat cccDNA
dari DNA yang terinfeksi. Setelah berada di dalam sel, DNA VHB dihantarkan kedalam
nucleus melalui mekanisme yang belum jelas. Salah satu kemungkinan mekanisme adalah
melalui transport aktif pada pori-pori pada nuclear. Setelah sampai pada nucleus, celah
pada untaian tunggal rcDNA diperbaiki baik melalui (+)-strand extension oleh
147
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
polymerase VHB atau melalui aktivitas repair protein penjamu. cccDNA kemudian
terbentuk sebagai nucleosome-bound minichromosome di dalam nucleus.3
Konversi viral rcDNA menjadi ccccDNA membutuhkan sintesis rantai (+) DNA
yang sempurna, dilanjutkan dengan pembuangan modifikasi terminal dan ligase kovalen
pada ujung masing-masing rantai DNA. Berbeda dengan retrovirus lainnya, tidak
diperlukan integrasi DNA VHB kedalam kromosom sel penjamu untuk dapat melakukan
replikasi. cccDNA hidup pada nucleus yang terinfeksi sebagai episomal minikromosom.
Genom VHB dapat pula terintegrasi kedalam genom penjamu. cccDNA kemudian akan
terus berada pada nucleus hepatosit yang terinfeksi selama masa hidup hepatosit tersebut.3
Perakitan Partikel Virus dan Pelepasan
Salah satu karakteristik khas dari replikasi VHB adalah replikasi DNA virus terjadi
di dalam nukleokapsid yang masih imatur oleh protein-primed reverse transcription.
DNA polymerase mengikat pgRNA pada epsilon 5’ stem-loop untuk menginisiasi
perakitan nukleokapsid dan sintesis rantai-minus DNA virus sebanyak 3 nukleosida.
Ketika rc DNA telah terbentuk, nukleokapsid telah matur dan siap untuk dibungkus dan
dikeluarkan dari sel penjamu.2
Gambar 2. Siklus replikasi VHB3
Biologi Molekuler Virus Hepatitis C
Virion virus hepatitis C (VHC) memiliki densitas yang bervariasi dengan fraksi
densitas infeksius berkisar 1.15 – 1.17 g/ml. Di dalam pembungkus terluar, ternadap inner
core (30-35 nm) yang membungkus sebuah rantai RNA tunggal dengan ukuran sekitar
9.6 kb. Genom VHC tidak masuk kedalam nucleus sel penjamu. Replikasi RNA VHC
terjadi pada sitoplasma hepatosit. Genom VHC memiliki beberapa struktur. Genom RNA
virus memiliki sebuah ORF yang ditandai dengan 5’ dan 3’ non translated RNA segment
148
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
atau NTR. Elemen cis-acting replication elements atau CRE terletak pada kedua 5’ dan 3’
NTR pada daerah pengkodean sekuens NS5B.4
Gambar 3. Struktur Partikel VHCError! Bookmark not defined.4
Molekul RNA yang tidak mengalami pengkodean disebut dengan microRNA atau
miR. miR memiliki peran yang penting terhadap ekspresi genetic dan regulasi. Baik
microRNA maupun miR banyak ditemukan pada sel hepatosit manusia. VHC mengkode
sebua rangkaian protein atau polyprotein yang terdiri dari 3010 asam amino. Struktural
protein virus adalah protein core, E1, dan E2. Protein structural serta protein p7
dilepaskan dari struktur polyprotein setelah pemecahan oleh sinyal peptidase reticulum
endoplasma (ER). Struktur non-struktural VHC antara lain NS2, NS3, NS4A, NS4B,
NS5A, dan NS5B kemudian akan dipecah oleh protease virus NS2-3 dan NS3-4A. Proteis
proteolitik terhadap polyprotein genom oleh protease virus akan menghasilkan setidaknya
10 protein virus yang matur.4
Gambar 4. Struktural Genom VHC4
Berdasarkan variasi nukleosida, VHC dibagi menjadi 6 genotipe mayor dan lebih
hari 80 subtipe. Bagian genome pengkode E1 dan E2 glikoprotein merupakan sekuens
dengan variasi yang paling tinggi. Tingginya variabilitas dari genom VHC diakibatkan
oleh laju replikasi yang tinggi serta kurangnya aktivitas proofreading pada RNA-
149
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
dependeng RNA polymerase. Rata-rata kesalahan korporasi dari genom VHC adalah
sebesar 10-3 virion per hari.4
Proses masuknya VHC kedalam sel digambarka sebagai sebuah proses yang
perlahan-lahan dan kompleks dengan berbagai tahapan. Beberapa molekul permukaan sel
penjamu seperti glycosaminoglycan, CD81, scavenger receptor class B type I (SR-BI),
anggota dari keluarga claudin (CLDN1, 6, dan 9), serta mannose-binding lectins DC-
SIGN dan L-SIGN telah diidentifikasi sebagai putative baik reseptor maupun ko-reseptor
VHC. GAGs dan LDL-R dapat memfasilitasi perlekatan awal pada sel penjamu. Setelah
perlekatan awal, partikel virus kemudian berinteraksi dengan SR-BI dan CD81 serta
CLDN1 pada proses akhir. VHC E2 akan melekat kuat pada large external loop dari
CD81 dan kemudian CLDN1 saat proses akhir. Kedua reseptor ini memegang peranan
penting dalam proses masuknya VHC kedalam virus.4
Setelah melekat pada kompleks reseptor, nukleokapsid kemudian akan dilepaskan
kedalams sito plasma. Virus kemudian dilebur dan RNA VHC menjalani proses translasi
dan replikasi di dalam sitoplasma. Viral RNA bertindak sebagai mRNA sehingga
langsung mengalami translasi. Translasi pada VHC RNA tidak bergantung dengan cap
dan diinisiasi dengan perlekan pada 5’-IRES ribosomal. Translasi VHC RNA terjadi pada
retikulum endoplasma dan menghasilkan sebuah poli protein tunggal yang kemudian akan
dipecah oleh protease viral. Pemecahan polyprotein tunggal ini akan menghasilkan
protein structural dan non-struktural. NS5B RNA-dependent RNA polymerase
mereplikasi genom dengan mensinteses rantai negatif RNA. Rantaian ini bertindak
sebagai cetakan untuk mensintesis rantai positif RNA. Proses replikasi post-translational
berlangsung pada jarring-jaring membrane yang terbentuk dari protein non-struktural dan
protein sel penjamu yang disebut denga replication complex. Penyematan cap pada
genom berlangsung di retikulum endoplasma dan pembungkusan nukleokapsid
berlangsung pada apparatus golgi. Partikel virus baru yang terbentuk kemudian
dilepaskan pada ruang antara sel melalui eksositosis.4
Gambar 4. Resptor pada proses enry VHC4
150
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Kesimpulan
Baik virus hepatitis B dan C memiliki struktur virus serta siklus hidup yang
memiliki karakteristik masing-masing. Saat ini, pengetahuan mengenai protein non-
struktural VHC telah menghasilkan pengobatan direct-acting antiviral atau DAA dengan
hasil yang sangat memuaskan. Secara struktur genomik, VHB memiliki ukuran genom
yang lebih kecil namun lebih kompak. Dibandingkan dengan VHC yang memiliki satu
ORF, VHB memiliki 4 ORF berbeda yang saling tumpeng tindih. Selain itu, VHC
melakukan translasi dan replikasi diluar dari nucleus sel penjamu. Lain halnya dengan
VHB yang masuk kedalam nucleus dan membentuk sebuah struktur plasmid yang disebut
dengan cccDNA. Adanya cccDNA menyebabkan infeksi yang stabil dan sulit untuk
dieradikasi.
Daftar Pustaka
1- Seeger C, Mason WS. Molecular Biology of Hepatitis B Virus Infection. Virology 479-480
(2015) 672–686
2- Lamontagne RJ, Bagga S, Bouchard M. Hepatitis B virus molecular biology and
pathogenesis. Hepatoma Res. 2016; 2: 163–186
3- Block TM, Gue H, Guo Jt. Molecular Virology of Hepatotos B Virus for Clinicians. Clin
Liver Dis. 2007 November; 11(4): 685–706.
4- Sharma SD. Hepatitis C Virus: molecular biology & current therapeutic options. Indian J Med
Res 131, January 2010, pp 17-34
151
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
HOW TO CHOOSE USING DIRECT ACTING ANTIVIRALS FOR HEPATITIS
C Gontar Alamsyah Siregar
Division of Gastroentero-Hepatology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, Universitas
Sumatera Utara/ H. Adam Malik General Hospital Medan, Indonesia
Abstract The goal of antiviral treatment for chronic Hepatitis C is to prevent liver-related
complications, including HCC, by achievement of sustained virologic response (SVR). Recently,
interferon-free treatment plays an important role in the eradication of Hepatitis C virus (HCV).
New direct-acting antivirals (DAAs) therapies for HCV infection have come to the market over
the past few years. Treatment with DAAs improves the success of achieving SVR, lower side
effects, as well as being the ideal HCV therapy. The ideal HCV treatment would fulfill the
following requirements: safe and tolerable – safe for use including pregnant women, children,
HIV/HCV coinfected persons and patients with cirrhosis; pan-genotypic–effective across all six
major HCV genotypes, eliminating the need to test for the HCV genotype; effective and durable –
with high potency and a high genetic barrier to resistance, and associated with SVR rates of at
least 90% in all genotypes; simple – having a short duration, ideally a once-daily fixed-dose
combination (FDC); affordable–to the people who need HCV treatment; and stable–at both high
and low temperatures.
DAAs are molecules that target specific nonstructural proteins of the virus and results in
disruption of viral replication and infection. There are four classes of DAAs, which are defined by
their mechanism of action and therapeutic target. The four classes are nonstructural proteins 3/4A
(NS3/4A) protease inhibitors (PIs), NS5B nucleoside polymerase inhibitors (NPIs), NS5B non-
nucleoside polymerase inhibitors (NNPIs), and NS5A inhibitors. The main targets of the DAAs
are the HCV-encoded proteins that are vital to the replication of the virus. NS3/4A protease
inhibitors works by preventing the release of protein that are essential to viral replication, such as
glecaprevir, grazoprevir, paritaprevir, simeprevir, voxilaprevir. Nucleoside/tide NS5B polymerase
inhibitors serve to stop HCV replication by inserting themselves into the virus as it is being
assembled such as sofosbuvir. Non-nucleoside NS5B polymerase inhibitors play a role to change
the shape and inhibit the function of the HCV polymerase enzyme, such as dasabuvir. NS5A
inhibitors impede HCV replication through multiple mechanisms, blocking both viral synthesis
inside infected cells as well as the assembly and release of HCV virions, such as daclatasvir,
elbasvir, ledispavir, ombitasvir, pibrentasvir, velpatasvir.
Sofosbuvir/ daclatasvir, sofosbuvir/ velpatasvir, sofosbuvir / velpatasvir / voxilaprevir,
glecaprevir / pibrentasvir were included as pan-genotypic DAAs and potentially pan-genotypic
regimens. Pan-genotypic regimens will simplify delivery of HCV treatment, especially when the
duration of treatment does not vary by genotype or stage of liver disease. Safe and efficacious
pan-genotypic regimens will also simplify the complex diagnostic algorithm by avoiding the need
for pre-treatment genotyping. Non-pan-genotypic DAAs such as grazoprevir / elbasvir (for
genotypes 1 and 4); ombitasvir / paritaprevir / ritonavir + dasabuvir (high SVR rates have been
reported in genotypes 1 and 4; sofosbuvir / ledipasvir (safe, effective, one-pill, once-daily
treatment for genotypes 1, 4, 5 and 6); sofosbuvir + simeprevir (approved for the treatment of
genotype 1 (USFDA) and for treatment of genotype 1 and 4 (EMA)).
DAA-based regimens are the most suitable options for patients with decompensated
(Child-Pugh B or C) liver disease Treatment-naive and treatment-experienced patients without
cirrhosis or with compensated (Child-Pugh A) cirrhosis can be treated with either the fixed-dose
combination of sofosbuvir and velpatasvir for 12 weeks, or the fixed-dose combination of
glecaprevir and pibrentasvir for 12 weeks without testing genotype. If cirrhosis can be reliably
excluded in treatment-naive patients, the combination of glecaprevir and pibrentasvir can be
administered for 8 weeks only.
Patients with decompensated cirrhosis not on the waiting list for liver transplantation
should be treated with sofosbuvir and ledipasvir (genotypes 1, 4, 5 or 6) or with sofosbuvir and
152
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
velpatasvir (all genotypes) for 12 weeks with ribavirin. Patients with contraindications for
ribavirin, or with poor tolerance to ribavirin on treatment, can receive the fixed-dose combination
of sofosbuvir and ledipasvir (genotypes 1, 4, 5 or 6), or the fixed-dose combination of sofosbuvir
and velpatasvir (all genotypes) for 24 weeks without ribavirin.
Patients with HCV infection and mild to moderate renal impairment (eGFR ≥30
ml/min/1.73 m2) should be treated according to the general recommendations. No dose
adjustments of HCV DAAs are needed, but these patients should be carefully monitored.
Patients with acute Hepatitis C should be treated with a combination of sofosbuvir and
ledipasvir (genotypes 1, 4, 5 and 6) or a combination of ritonavir-boosted paritaprevir, ombitasvir
and dasabuvir (genotype 1b) for 8 weeks. Based on similarities to chronic Hepatitis C, patients
with acute Hepatitis C may be treated with a combination of sofosbuvir and velpatasvir (all
genotypes), a combination of glecaprevir and pibrentasvir (all genotypes), or a combination of
grazoprevir and elbasvir (genotypes 1b and 4) for 8 weeks. Hepatitis C treatment is changing
quickly and treatment guidelines need to be updated frequently.
Keywords. Hepatitis C, direct acting antivirals, SVR, genotype
153
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
HCC RELATED TO HEPATITIS B VIRAL INFECTION FROM THEORY TO
PRACTICE INCLUDING RADIOFREQUENCY ABLATION MANAGEMENT
Lianda Siregar , Dharmais Cancer Centre Hospital
An estimated 257 million individuals are living with chronic hepatitis B (CHB)
worldwide, resulting in 884,000 deaths per year. Liver-related complications of CHB are
on the rise. Up to 40% of CHB cases will progress to cirrhosis, liver failure, and
hepatocellular carcinoma (HCC), leading to death in 25% of infected individuals. Despite
the establishment of HBV vaccine programs since the early 90s, the decreased incidence
of HBV new infections in many countries and the availability of potent antiviral and new
drugs treatments that lead to long-term inhibition of HBV replication, remain at risk of
developing liver cirrhosis and HCC.
Hepatocellular carcinoma is the most common type of primary liver cancer. 54
percent of primary liver cancer worldwide is attributable to CHB,80 percent of case with
cirrhosis background and which is geographic area dominantly in Asia- Africa region
HBV is a non-cytopathic DNA virus, which belongs to the Hepadnaviridae
family. HBV enters hepatocyte through the ntcp (na taurocholate co transporting
polypeptide) followed by uncoating and nuclear transport of the rc DNA.the rc DNA is
converted to ccc DNA,which serves as the template for transcription of the 3,5kb pre C
RNA and pg RNA2,4kb and 2,1kb preS/Sm RNAs and 0.7kb HBx m RNA.These RNAs
are exported to cytoplasma for protein translation,pgRNA is selectively packaged inside
the core particles,followed by P protein-mediated(-) strand DNA ssynthesis (reverse
transcription),pg RNA degradation,and (+) strand DNA synthesis to generate rc
DNA,such mature core particles can be enveloped for release as viroins,or transported to
nucleas to generate more cccDNA is an aberrant replication product of pg RNA and the
preferred template for integration into host chromosomal DNA. The pathobiology of the
infection mainly involves host immune responses required to control viral replication.
154
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
HBV has evolve mechanisms to evade both innate and adaptive immune
responses in order to establish persistent infections.New antiviral targets for innovative
treatment concepts for hepatitis B virus
Hepatitis B virus (HBV) contributes to hepatocellular carcinoma (HCC) development
through direct and indirect mechanism.
155
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Interactions between virus, host genetic predisposition and environmental factors
in HBV-related HCCdevelopment and progression. HBV contributes to HCC by: a)
insertional mutagenesis due to integration of the viral DNA into host chromosomes; b)
increased genomic instability caused by both viral integration and the activity of the viral
proteinHBx; c) reactivation of telomerase activity, d) modifications of the epigenome
promoted by HBx and HBc; e) modulation of celldeath and proliferation pathways by the
prolonged expression of viral proteins (wild type and mutant HBx, LHB envelope
proteins, truncated MHB proteins, HBc).
Hepatocellular carcinoma (HCC) may still develop in chronic hepatitis B (CHB)
patients treated with oral antiviral agents. In CHB patients treated with the currently
recommended.first-line antivirals entecavir or tenofovir, the observed HCC risk ranges
from 0.01 to 1.4% in Asian patients without cirrhosis and from 0.1% to 1.0% in
predominantly Caucasian populations.HCC range risk from 0.9 to 5.4% in Asian patient
those with cirrhosis and from 1.5% to 5.2% in Caucasian populations.
Caucasian patients with chronic hepatitis B with or without compensated cirrhosis
who receive long-term entecavir or tenofovir therapy have excellent overall eight-year
survival, which is similar to that of the general population. Hepatocellular carcinoma is
the main factor affect in their overall mortality, and is the only factor affecting liver-
related mortality in this setting.
156
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Staging systems of HCC and treatment recommendation
The current European Association for the Study of the Liver Clinical Practice
Guidelines endorse the BCLC classification for several reasons. It includes prognostic
variables related to tumour status, liver function and health performance status along with
treatment-dependent variables obtained from cohort studies and randomised trials.
157
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
However, BCLC staging often draws criticism because of conservative treatment
recommendations in patients for whom aggressive treatment approaches have become
commonplace due to technical safety and effectiveness.Although widely quoted in the
scientific literature, efforts have been underway to modify and update the BCLC
staging.The recently developed Hong Kong Liver Cancer (HKLC) staging system has
garnered international attention because of its comprehensive nature, based on the largest
patient cohort to date for HCC staging, and tied to treatment recommendations that
addresses the aforementioned limitations of the BCLC system. Regrettably, this proposal
has some limitations: survival among different stages overlaps, there is no external
validation in Western countries evaluating its performance in a population including all
stages of the disease,and the population used for developing the HKLC staging was
already treated and the outcome retrospectively analysed, introducing an unintentional
selection bias against transarterial chemoembolisation (TACE) in comparison to
resection.
Modified BCLC staging system and treatment strategy
158
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Percutaneous treatment of hepatocellular carcinoma focus on RadioFrequency
Ablation (RFA), Recommendations
Thermal ablation with radiofrequency is the standard of care for patients with
BCLC 0 and A tumours not suitablefor surgery (evidence high; recommendation
strong).Thermal ablation in single tumours 2 to 3 cm in size is an alternative to surgical
resection based on technical factors (location of the tumour), hepatic and extrahepatic
patient conditions.
In patients with very early stage HCC (BCLC-0) radiofrequency ablation in
favourable locations can be adopted as first-line therapy even in surgical patients
(evidence moderate; recommendation strong).
159
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
RFA has now replaced percutaneous ethanol injection as the most frequently used
percutaneous treatment of HCC; indeed, five randomised controlled trials have shown the
superiority of percutaneous RFA in local control, with fewer sessions needed to achieve
tumour necrosis, and less frequent local tumour recurrence compared to percutaneous
ethanol injection
Randomised controlled trials comparing RFA and percutaneous ethanol injection
160
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Meta-analysis Long-term results of RFA for HCC on cirrhosis.
Randomised controlled trials comparing RFA and surgical resection.
Three randomised controlled trials have been performed in an Asian population
mainly composed of patients with HBV; they showed either no differences (two RCTs) or
the superiority of liver resection (one RCT). However, those studies were criticised for
their methodology: lack of power in showing differences and equivalences,mixing
cirrhotic and non-cirrhotic patients, highrate of loss to follow-up or consent withdrawal,
and a high percentage of HCC of over 3 cm.
161
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Currently, RFA and liver resection can be performed for a small HCC of less than
2–3 cm, and the choice between these two techniques should be based on tumour size,
number,liver function, portal hypertension, local technical skills and/or localisation of the
lesion. Classically, central HCC is a good candidate for ablation,whereas peripheral
lesions are candidates for liver resection.
Complication of RFA
Morbidity complication after RFA 1%- 5 %,with mortality estimated at around
0%-0,3%.Morbidity and mortality is clearly lower than that observed following live
resection for HCC in patients with cirrhosis.
Post Ablation syndrome,pleural effusion,pneumothorax,liver haematoma or
haemopertineum,haemobilia ascites,liver failure,liver abcess,gall bladder injury, bile duct
stricture, colon or stomach perforation, diaphragm injury and tumour seeding (0,5%-3
%).However, the rate of complications increased with more aggressive treatment,
performed to ablate larger tumours, and severity of underlying liver disease.
How to manage at-risk localisation and at-risk patients.
Role of combined treatment
162
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Percutaneous treatment is associated with a highrisk of local (up to 30%) and
distant (up to 80%) tumour recurrence at five years; different combinations of treatments
have been tested to increase local control and decrease distant recurrence.The
combination of TACE with percutaneous RFA has been proposed to increase local
control. Several retrospective series showed that this combination is feasible and safe.
The main target of the combination of TACE and RFA is HCC over 3 cm, where tumour
ablation using monopolar RFA is frequently incomplete and is associated with a higher
rate of local recurrence.Several retrospective studies have suggested that a combination of
TACE and RFA in HCC between 3 to 5 cm increased local control compared to
monopolarRFA alone.In contrast, in small HCC of less than 3 cm, combination therapy
seems ineffective, mainly due to the high rate of complete necrosis after RFA alone.
Randomised controlled trials showed better recurrence-free survival and overall survival
for RFA + TACE compared to RFAalone, mainly in large HCC.
References 1. World Health Organization. Global Hepatitis Report, 2017. Geneva, Switzerland: World
Health Organization; 2017.
2. Viral hepatitis statistics and surveillance. 2016 May 19, 2016 March 19, 2018]. Centers for
Disease Control and Prevention website. https://www.cdc.gov/hepatitis/
hbv/statisticshbv.htm. Accessed April 8, 2017.
3. Abara WE, Qaseem A, Schillie S, et al. Hepatitis B vaccination, screening, and linkage to
care: best practice advice fromthe American College of Physicians and the Centers for
Disease Control and Prevention. Ann Intern Med. 2017;167:794-804.
4. Tong S,Revill P.Overview of hepatitis B viral replication and genetic variability.J hepatol
2016;64:S4-S16
5. Levrero M,Rossi JZ.Mechanisms of HBV induced Hepatocellular carcinoma.J hepatol
2016;64:S84 – S101
6. Durantel D,Zoulim F. New antiviral targets for innovative treatment concepts for hepatitis B
virus and hepatitis delta virus.J hepatol 2016;64:S 117- S 131
7. European Association for the Study of the Liver, EASL 2017 clinical practice guidelines on
the management of hepatocellular carcinoma. J Hepatol 2018 ; 69 :182–236
8. Marrero JA et al. Prognosis of Hepatocellular Carcinoma: Comparison of 7 Staging Systems
in an American Cohort. HEPATOLOGY 2005;41:707–716.
9. Papatheodoridis GV,Chan HLY, Hansen BE , Janssen HLA, Lampertico P. Risk of
hepatocellular carcinoma in chronic hepatitis B: Assessment and modification with current
antiviral therapy. J hepatol 2015;62:956-967
10. Papatheodoridis GV et al. Eight-year survival in chronic hepatitis B patients underlong-term
entecavir or tenofovir therapy is similar to the general population.J hepatol 2018;68:1129 –
1136
11. Sohn JH et al. Validation of the Hong Kong Liver Cancer Staging System in Determining
Prognosis of the North American Patients Following Intra-arterial Therapy. Clin
Gastroenterol Hepatol. 2017;15 (5): 746–755.
12. Nault JC, Sutter O, Nahon P,Carrié NG, Seror O. Percutaneous treatment of hepatocellular
carcinoma: State of the art and innovations. J hepatol 2018;68:783-797
163
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
LOWER GASTROINTESTINAL ENDOSCOPY FOCUS ON
POLIPECTOMY AND HEMOCLIPPING Muhammad Begawan Bestari
Division of Gastroenterohepatology Department of Internal Medicine Faculty of Medicine – University of
Padjadjaran Hasan Sadikin General Hospital [email protected]
Pendahuluan
Kanker kolorektal (colorectal cancer/CRC) adalah kanker ketiga paling umum
dan penyebab paling umum keempat kematian terkait kanker di seluruh dunia. CRC
memiliki insiden tertinggi di populasi barat, dan, saat ini insidennya meningkat pesat di
negara-negara Asia. Meskipun demikian, CRC merupakan salah satu penyebab kematian
kanker yang dapat dicegah. Sebagian besar kasus CRC berkembang dari polip
adenomatous melalui urutan adenoma-karsinoma, dan, dengan demikian, pengangkatan
lesi prekursor efektif dalam mengurangi mortalitas terkait CRC, serta kejadian CRC.
Meskipun sebagian besar polip kolorektal dapat ditangani dengan reseksi
endoskopik, efek samping termasuk pendarahan, perforasi, dan infeksi dapat terjadi
setelah polipektomi kolonoskopik. Perdarahan adalah efek samping terkait pasca
polipektomi yang paling umum dengan kejadian mulai dari 0,3 hingga 6,1%. Selain itu,
perdarahan adalah efek samping yang berpotensi mengancam jiwa dan dengan demikian
menjadi perhatian bagi dokter dan pasien. Oleh karena itu, banyak ahli telah berusaha
mengembangkan terapi endoskopi profilaksis untuk perdarahan pasca polipektomi,
termasuk terapi injeksi seperti injeksi epinephrine-saline, terapi ablatif seperti koagulasi
plasma argon, terapi mekanik seperti endoklip, snare atau endoloop, dan kombinasi dari
terapi ini. Namun, belum ada konsensus tentang terapi profilaksis yang optimal untuk
perdarahan pasca polipektomi. Meskipun dua meta-analisis studi tentang terapi profilaksis
menunjukkan bahwa terapi endoskopi profilaksis efektif untuk mengurangi perdarahan
pasca polipektomi awal, belum sepenuhnya diklarifikasi terapi mana yang terbaik karena
meta-analisis sebelumnya melakukan perbandingan berpasangan hanya berdasarkan bukti
langsung. Meta-analisis berpasangan tradisional hanya dapat menjawab pertanyaan
tentang pasangan-pasangan perawatan, dan, karenanya, mereka hanya menyediakan
sebagian informasi dan tidak dapat menunjukkan keunggulan satu dari yang lain untuk
perdarahan pasca polipektomi.
Definisi, klasifikasi, pengangkatan, dan pengambilan polip
Morfologi polip harus dijelaskan menggunakan sistem klasifikasi Paris dan
berukuran dalam milimeter. Polip datar dan sessile (Paris II dan Is) ≥ 10 mm, disebut lesi
yang menyebar secara lateral (laterally spreading lesion/LSL) atau tumor yang menyebar
secara lateral (laterally spreading tumors/LSTs), morfologi permukaan juga harus
dideskripsikan sebagai granular atau nongranular. Semua polip perlu direseksi kecuali
untuk polip rektal dan rektosigmoid yang kecil (≤ 5 mm) yang diprediksi dengan
keyakinan tinggi untuk menjadi hiperplastik.
Pengambilan semua polip yang direseksi dikirim untuk pemeriksaan histopatologi.
Di pusat-pusat endoskopi, di mana diagnosis optik dapat dilakukan dengan tingkat
kepercayaan yang tinggi, strategi "reseksi dan buang" dapat dipertimbangkan untuk polip
kecil.
Reseksi polip kecil (≤ 5 mm)
Cold snare polypectomy (CSP) sebagai teknik yang disukai untuk menghilangkan
polip kecil (ukuran ≤ 5 mm). Teknik ini memiliki tingkat reseksi lengkap yang tinggi,
164
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
pengambilan sampel jaringan yang memadai untuk histologi, dan tingkat komplikasi yang
rendah.
Tidak dianjurkan untuk penggunaan eksisi cold biopsy forceps (CBF) karena
tingginya tingkat reseksi yang tidak tuntas. Dalam kasus polip berukuran 1 - 3 mm
dimana CSP secara teknis sulit atau tidak mungkin, CBF dapat digunakan.
Tidak direkomendasikan penggunaan hot biopsy forceps (HBF) karena tingginya
tingkat reseksi yang tidak tuntas, pengambilan sampel jaringan yang tidak adekuat untuk
pemeriksaan histopatologi, dan tingginya dibandingkan dengan eksisi snare (cedera panas
dalam dan perdarahan yang tertunda).
Reseksi polip kecil (6 - 9 mm)
Dapat digunakan snare polypectomy untuk polip sessile berukuran 6 - 9 mm.
Tidak direkomendasikan penggunaan penggunaan forsep biopsi untuk reseksi polip
seperti itu karena tingginya tingkat reseksi yang tidak tuntas.
CSP untuk polip sessile berukuran 6 - 9 mm karena profil keamanannya yang superior,
meskipun bukti yang membandingkan efikasi dengan HSP kurang.
Polipektomi polip sessile (10 - 19 mm)
Disarankan menggunakan Hot snare polypectomy (HSP) (dengan atau tanpa
injeksi submukosa) untuk menghilangkan polip sessile 10 - 19 mm. Dalam kebanyakan
kasus cedera panas dalam adalah risiko potensial dan dengan demikian injeksi submukosa
sebelum HSP harus dipertimbangkan.
Dalam situasi tertentu, mungkin ada peran untuk piecemeal CSP untuk
mengurangi risiko cedera mural dalam, tetapi penelitian lebih lanjut masih diperlukan.
Polipektomi lesi bertangkai
Dapat digunakan HSP untuk polip bertangkai. Untuk mencegah perdarahan, polip
kolorektal bertangkai dengan kepala ≥ 20 mm atau tangkai berdiameter ≥10 mm, sebelum
polipektomi direkomendasikan untuk memberi suntikan adrenalin encer dan/atau
hemostasis mekanik pada tangkai polip.
Polip berukuran besar (≥ 20 mm) sessile dan lateral atau polip kompleks, harus
dilakukan polipektomi oleh ahli endoskopi yang terlatih dan berpengalaman, di pusat
endoskopi dengan sumber daya yang tepat.
Perdarahan pasca polipektomi
Perdarahan adalah efek samping pasca polipektomi yang paling umum, dengan
demikian, berbagai terapi endoskopi profilaksis secara konvensional digunakan untuk
mencegahnya. Sampai saat ini, dua meta-analisis menilai efek terapi endoskopi
profilaksis pada perdarahan pasca polipektomi melalui perbandingan antara terapi apa
pun dan tanpa terapi, atau terapi tunggal dan terapi gabungan. Penelitian tersebut
mengidentifikasi bahwa terapi profilaksis efektif dalam mengurangi perdarahan pasca
polipektomi dini. Namun, meta-analisis sebelumnya tidak sepenuhnya menjelaskan terapi
mana yang lebih unggul di antara berbagai terapi profilaksis, karena penelitian tersebut
melakukan perbandingan berpasangan berdasarkan hanya bukti langsung.
Faktor risiko yang signifikan untuk perdarahan pasca polipektomi telah dilaporkan
sebagai ukuran polip lebih besar dari 1-2 cm, lesi yang menampilkan polip bertangkai
dengan batang tebal atau tumor yang menyebar secara lateral, lesi kolon sisi kanan,
penggunaan antikoagulan, dan komorbiditas pasien seperti kardiovaskular atau penyakit
165
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
ginjal kronis. Ukuran polip yang lebih besar merupakan faktor risiko utama untuk
perdarahan pasca polipektomi.
Pedoman terbaru untuk komplikasi kolonoskopi oleh American Society for
Gastrointestinal Endoscopy memperkenalkan beberapa terapi profilaksis untuk
perdarahan pasca polipektomi, termasuk penempatan snare yang dapat dilepas atau klip
endoskopi, dan injeksi larutan epinefrin. Namun, dalam panduan ini belum ditetapkan
kapan atau terapi profilaksis apa yang harus diterapkan. Dalam satu meta-analisis tidak
ditemukan perbedaan yang signifikan dalam efek pencegahan untuk perdarahan pasca
polipektomi di antara terapi profilaksis. Analisis probabilitas peringkat menunjukkan
bahwa terapi kombinasi, mekanik, dan injeksi memiliki probabilitas tertinggi untuk
menempati peringkat terbaik, kedua, dan ketiga, masing-masing, untuk mencegah
perdarahan pasca polipektomi awal. Namun, hasil dari analisis probabilitas peringkat
harus dianggap sebagai data tambahan daripada kesimpulan definitif.
Pendarahan setelah polipektomi adalah masalah umum yang terkait dengan
kolonoskopi. Untuk membantu mencegah perdarahan pasca polipektomi, banyak
endoskopi memasang klip di tempat polipektomi. Namun, praktik ini masih kontroversial.
Oleh karena itu, kami melakukan meta-analisis terhadap kemanjuran klippenempatan
dalam pencegahan perdarahan post-polypectomy. Dari hasil meta analisis penggunaan
kliping profilaksis untuk semua polipektomi tampaknya tidak mencegah perdarahan pasca
polipektomi dan seharusnya tidak menjadi praktek rutin. Namun, untuk polip besar (> 2
cm), kliping profilaksis dapat bermanfaat dalam mencegah perdarahan pasca polipektomi.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk sepenuhnya mengevaluasi hal ini.
Daftar Pustaka
1. Boumitri C, Mir FA, Ashraf I, Matteson-Kome ML, Nguyen DL, Puli SR, Bechtold ML.
Prophylactic clipping and post-polypectomy bleeding: a meta-analysis and systematic
review. Ann Gastroenterol. 2016 Oct-Dec;29(4):502-508.
2. Corte CJ, Burger DC, Horgan G et al. Postpolypectomy haemorrhage following removal
of large polyps using mechanical haemostasis or epinephrine: a meta-analysis. United
European Gastroenterol J 2014; 2: 123 – 30.
3. Endoscopic Classification Review Group. Update on the Paris classification of superficial
neoplastic lesions in the digestive tract. Endoscopy 2005; 37: 570 – 578
4. Ferlitsch M, Moss A, Hassan C, Bhandari P, Dumonceau JM et al. Colorectal
polypectomy and endoscopic mucosal resection (EMR): European Society of
Gastrointestinal Endoscopy (ESGE) Clinical Guideline. Endoscopy. 2017 Mar;49(3):270-
297.
5. Fisher DA, Maple JT, Ben-Menachem T et al. Complications of colonoscopy.
Gastrointest Endosc 2011; 74: 745 – 52.
6. Hui AJ, Wong RM, Ching JY et al. Risk of colonoscopic polypectomy bleeding with
anticoagulants and antiplatelet agents: analysis of 1657 cases. Gastrointest Endosc 2004;
59: 44 – 8.
7. Levin TR, Zhao W, Conell C et al. Complications of colonoscopy in an integrated health
care delivery system . Ann Intern Med 2006; 145: 880 – 6.
8. Li LY, Liu QS, Li L et al. A meta-analysis and systematic review of prophylactic
endoscopic treatments for postpolypectomy bleeding. Int J Colorectal Dis 2011; 26: 709 –
19.
9. Park CH, Jung YS, Nam E, Eun CS, Park DI, Han DS. Comparison of Efficacy of
Prophylactic Endoscopic Therapies for Postpolypectomy Bleeding in the Colorectum: A
Systematic Review and Network Meta-Analysis. Am J Gastroenterol. 2016
Sep;111(9):1230-4
166
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
TEHNIK BIOPSI ENDOSKOPI SALURAN CERNA BAGIAN ATAS
Kaka Renaldi
Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Pusat CiptoMangunkusumo
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Kerongkongan
Gerd
Tidak ada protokol biopsi khusus untuk GERD pada kondisi tidak adanya
metaplasia Barrett atau esofagitis eosinophilic (EoE). Biopsi mukosa esofagus distal yang
tampak normal pada pasien dengan gejala GERD dapat mengungkapkan perubahan
nonspesifik, yang dikenal sebagai esofagitis perubahan minimal, didefinisikan sebagai
perpanjangan papilari, hiperplasia sel basal, dan pelebaran ruang interseluler.1,2 Implikasi
klinis histologis esofagus kelainan mukosa dengan tidak adanya perubahan yang terlihat
secara endoskopi tidak pasti, dan biopsi mukosa normal endoskopi di GERD, ketika
diagnosis lain tidak dicurigai, tidak dianjurkan.
Esofagitis eosinofilik
Variabel kriteria diagnostik dan distribusi mikroskopis dan makroskopis yang
tersebar tidak merata membuat standarisasi protokol biopsi untuk EoE sulit.3,4 Sebuah
panel ahli interdisipliner dari 33 dokter menyarankan mengambil 2 hingga 4 sampel
biopsi masing-masing dari esofagus proksimal dan distal, bahkan jika mukosa esofagus
tampak normal. Biopsi sampel juga harus diambil dari antrum lambung dan duodenum
ketika ada kecurigaan gastroenteritis eosinofilik.5 Sampel biopsi tidak boleh ditempatkan
di pengawet Bouin, yang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk
mengidentifikasi eosinofil.6 Membedakan perubahan patologis EoE dari mereka yang
GERD kadang-kadang sangatlah sulit.
Esofagitis infeksiosa
Virus cytomegalovirus dan herpes simplex. Cytomegalovirus (CMV) menginfeksi
sel mesenkimal dan kolumnar dan secara makroskopis sebagai lesi ulseratif. Dua buah
biopsi untuk CMV harus dikonsentrasikan pada dasar ulkus untuk mengoptimalkan
sampling dan akurasi diagnostik. Dalam penelitian pasien terinfeksi HIV dengan ulkus
esofagus, 3 sampel forceps dari basis ulkus diagnostik pada 80% pasien dengan
esophagitis CMV, dengan maksimum 10 sampel biopsi diperlukan untuk mengkonfirmasi
diagnosis pada pasien yang tersisa. Sampel biopsi diperiksa dengan menggunakan metode
histopatologi standar, dengan hibridisasi in situ atau noda imunohistokimia sesuai
kebutuhan.7 Reaksi rantai polimerisasi CMV kualitatif dari sampel biopsi lebih sensitif
167
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
daripada histopatologi standar, tetapi kemungkinan mendeteksi laten serta penyakit klinis.
Manfaat kultur virus dalam evaluasi esophagitis CMV tidak konsisten.8,9
Virus herpes simplex menginfeksi sel epitel skuamosa, terdapat pada margin
lateral ulkus dan erosi, sehingga sampel biopsi mukosa dari tepi ulkus memiliki hasil
diagnostik tertinggi.10 Kultur virus dan reaksi rantai polimerase dapat membantu
mendiagnosis herpes simplex virus esophagitis. 10-12
Candida.
Ada data terbatas pada teknik diagnostik optimal untuk kandidiasis esofagus.
Sikatan sitologi mungkin lebih sensitif daripada histologi untuk diagnosisnya. 8,13
LAMBUNG
Helicobacter pylori gastritis.
Tes diagnostik digunakan untuk deteksi H pylori tergantung pada situasi klinis,
pertimbangan biaya, dan keahlian lokal. Tes endoskopi termasuk aktivitas urease
jaringan, pemeriksaan histologis, dan kultur mikroba. Sensitivitas tes-tes ini dapat
dikurangi oleh inhibitor pompa proton, senyawa bismut, antibiotik, dan perdarahan GI
akut.14,15 Dalam situasi di mana sensitivitas tes berkurang, hasil tes urease negatif harus
dikonfirmasi dengan tes yang berbeda untuk Infeksi H pylori, dengan histologi menjadi
alternatif yang nyaman.16 H pylori kultur memungkinkan identifikasi strain bakteri dan
pola resistensi antimikroba, tetapi sulit untuk diperoleh dan dilakukan hanya pada
beberapa pusat.
Ada data terbatas pada protokol biopsi yang optimal untuk diagnosis H pylori. El-
Zimaity dkk melaporkan bahwa protokol 3-biopsi dibandingkan dengan protokol 5-biopsi
yang diperbarui di Sydney dalam diagnosis infeksi H. pylori melalui pemeriksaan
histologis, keduanya mengidentifikasi 100% infeksi dalam penelitian retrospektif dari 46
orang.17 Tujuh puluh delapan persen pasien ini juga memiliki metaplasia usus lambung,
tetapi tidak diketahui apakah mereka sudah pernah terpapar obat yang dapat menurunkan
sensitivitas diagnostik dari tes H pylori. Pewarna yang berbeda dapat digunakan untuk
menyorot organisme H. pylori pada pemeriksaan histopatologi. Sebagian besar institusi
akademik lebih memilih H pylori immunohis- tochemistry, yang cepat (semalam) dan
relatif murah dan menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk deteksi
bakteri. Untuk tes urease H pylori, 1 hingga 2 sampel biopsi digunakan.18 Infeksi pylori
H mungkin dikaitkan dengan gastritis atrofi metaplastik lingkungan, menggarisbawahi
pentingnya identifikasi organisme serta tingkat metaplasia usus lambung dan atrofi.
Metaplastik (kronis) gastritis atrofi Gastritis atrofi metaplastik lingkungan.
Jaringan pengambilan sampel di lingkungan atrofi gastropik metaplastik (EMAG)
dilakukan untuk menetapkan diagnosis, untuk menentukan asal dan distribusi geografis
penyakit, dan untuk mengevaluasi untuk kehadiran dan tingkat perubahan displastik atau
neoplastik. Tidak ada protokol biopsi standar untuk diagnosis dan pengawasan EMAG.
Dalam penelitian prospektif dan multisenter terhadap 112 pasien dengan metaplasia
intestinal atau dysplasia lambung, rejimen yang terdiri dari setidaknya 12 sampel biopsi
memiliki sensitivitas 100% untuk diagnosis EMAG, displasia, dan kanker, sedangkan 1
rejimen yang terdiri dari 7 biopsi nontargeted mampu mendiagnosis metaplasia usus pada
97% kasus dan semua kasus displasia atau kanker. Sebaliknya, protokol Sydney yang
diperbarui mendeteksi 90% kasus EMAG yang diketahui, tetapi juga gagal
mengidentifikasi 50% pasien dengan displasia atau kanker lambung.17
168
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Gastritis metaplastik atrofi atrofi (AMAG).
AMAG mempengaruhi korpus lambung dan biasanya melapisi antrum lambung.
AMAG predisposisi anemia pernisiosa dan menyebabkan peningkatan risiko
adenokarsinoma lambung dan tumor karsinoid. Tidak ada protokol biopsi mukosa standar
untuk AMAG. Biopsi harus diarahkan pada bisul, nodul, polip, dan massa untuk
menyingkirkan neoplasia.18-19
Polip epitel lambung
Polip epitel lambung termasuk polip kelenjar dana, polip hiperplastik, dan
adenoma. Polip lambung sering secara tidak sengaja terdeteksi pada endoskopi. Histologi
polip tidak dapat dibedakan secara jelas oleh penampilan endoskopi. Biopsi forcep
lengkap tidak adekuat untuk menyingkirkan displasia dan karsinoma untuk polip lebih
besar dari 0,5 cm hingga 1 cm.20-22 Polip kelenjar fundus yang berkembang secara
sporadis atau dalam hubungan dengan penggunaan proton pump inhibitor jangka panjang
memiliki sangat rendah hingga tidak ada potensi keganasan.23 Ini harus disadari, namun
displasia dapat ditemukan dalam polip kelenjar fundus yang terkait dengan poliposis
adenomatosa familial. 24
Unsur-unsur dysplastic dapat ditemukan pada sebanyak 20% polip hiperplastik.
Polip lambung adenomatosa juga memiliki potensi maligna. Polip hiperplastik dan
adenomatosa dapat terjadi dengan adanya infeksi H. pylori dan EMAG, dan pengambilan
sampel dari entitas ini harus dilakukan. Ketika hiperplastik dan adenomatous polip
diidentifikasi atau dicurigai berdasarkan tampilan endoskopi, sampel biopsi juga harus
diambil dari mukosa nonpolypoid sekitarnya untuk mengecualikan displasia yang timbul
dari latar belakang gastritis atrofi metaplastik.
USUS HALUS
Penyakit celiac
Rekomendasi mengenai pengambilan jaringan mukosa untuk diagnosis penyakit
celiac telah didasarkan pada opini ahli serta literatur yang muncul. Sampel biopsi multipel
yang diambil dari berbagai lokasi dianggap membantu untuk menghindari pengambilan
sampel yang tidak memadai yang disebabkan oleh sifat penyakit yang tidak merata dan
artefak biopsi dan memungkinkan orientasi spesimen yang tepat.25-27 Penyakit celiac
dapat terlokalisasi pada bulbus duodenum.28 Pasien dengan penyakit celiac yang
dicurigai, kami merekomendasikan 4-6 sampel biopsi diperoleh dengan forsep standar
dari bulbus duodenum dan duodenum yang lebih distal. Meskipun mukosa abnormal
endoskopi harus ditargetkan secara khusus untuk pengambilan sampel, penting untuk
menyadari bahwa penyakit histologis dapat mendasari mukosa yang tampak normal.
Secara historis, diperkirakan bahwa sampel biopsi yang baik mempermudah ahli
patologi untuk mengidentifikasi ciri khas penyakit celiac. Data terbaru, bagaimanapun,
menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit celiac hanya dapat menunjukkan
peningkatan limfositosis intraepitelial (sebagai lawan atrofi vilous) sebagai temuan
diagnostik kunci. Peningkatan limfositosis intraepitel adalah fitur yang tidak sangat
bergantung pada temuan spesimen.
Daftar Pustaka
1. Dent J. Microscopic esophageal mucosal injury in nonerosive reflux disease. Clin
Gastroenterol Hepatol 2007;5:4-16.
169
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
2. Hershcovici T, Fass R. Nonerosive reflux disease (NERD)-an update. J Neurogastroenterol
Motil 2010;16:8-21.
3. Dellon ES, Aderoju A, Woosley JT, et al. Variability in diagnostic crite- ria for eosinophilic
esophagitis: a systematic review. Am J Gastroen- terol 2007;102:2300-13.
4. Odze RD. Pathology of eosinophilic esophagitis: what the clinician needs to know. Am J
Gastroenterol 2009;104:485-90.
5. Liacouras CA, Furuta GT, Hirano I, et al. Eosinophilic esophagitis: up- dated consensus
recommendations for children and adults. J Allergy Clin Immunol 2011;128:3-20.e6; quiz
21–2.
6. Yantiss RK, Odze RD. Optimal approach to obtaining mucosal biopsies for assessment of
inflammatory disorders of the gastrointestinal tract. Am J Gastroenterol 2009;104:774-83.
7. Wilcox C, Straub R, Schwartz D. Prospective evaluation of biopsy number for the
diagnosis of viral esophagitis in patients with HIV infection and esophageal ulcer.
Gastrointest Endosc 1996;44: 587-93.
8. Bonacini M, Young T, Laine L. The causes of esophageal symptoms in human
immunodeficiency virus infection. A prospective study of 110 patients. Arch Intern Med
1991;151:1567-72.
9. Wilcox CM, Rodgers W, Lazenby A. Prospective comparison of brush cytology, viral
culture, and histology for the diagnosis of ulcerative esophagitis in AIDS. Clin
Gastroenterol Hepatol 2004;2:564-7.
10. Lavery EA, Coyle WJ. Herpes simplex virus and the alimentary tract. Curr Gastroenterol
Rep 2008;10:417-23.
11. Nahass GT, Goldstein BA, Zhu WY, et al. Comparison of Tzanck smear, viral culture, and
DNA diagnostic methods in detection of herpes simplex and varicella-zoster infection.
JAMA 1992;268:2541-4.
12. Ramanathan J, Rammouni M, Baran J, et al. Herpes simplex virus esophagitis in the
immunocompetent host: an overview. Am J Gastroenterol 2000;95:2171-6.
13. Geisinger KR. Endoscopic biopsies and cytologic brushings of the esophagus are
diagnostically complementary. Am J Clin Pathol 1995;103:295-9.
14. Gisbert JP, de la Morena F, Abraira V. Accuracy of monoclonal stool antigen test for the
diagnosis of H. pylori infection: a systematic review and meta-analysis. Am J Gastroenterol
2006;101:1921-30.
15. McColl KEL. Helicobacter pylori infection. N Engl J Med 2010;362: 1597-604.
16. Takahashi S, Fukuda Y, Sugiyama T, et al. Guidelines for the manage- ment of
Helicobacter pylori infection in Japan: 2009 revised edition. Helicobacter 2010;15:1-20.
17. El-Zimaity HM, Graham DY. Evaluation of gastric mucosal biopsy site and number for
identification of Helicobacter pylori or intestinal metaplasia: role of the Sydney System.
Hum Pathol 1999;30:72-7.
18. Midolo P, Marshall BJ. Accurate diagnosis of Helicobacter pylori. Urease tests.
Gastroenterol Clin North Am 2000;29:871-8.
19. De Vries AC, Haringsma J, de Vries RA, et al. Biopsy strategies for endoscopic
surveillance of pre-malignant gastric lesions. Helicobacter 2010;15:259-64.
20. Ginsberg G, Al-Kawas F, Fleischer D, et al. Gastric polyps: relationship of size and
histology to cancer risk. Am J Gastroenterol 1996;91: 714-7.
21. Han A-R, Sung CO, Kim KM, Park C-K, et al. The clinicopathological fea- tures of gastric
hyperplastic polyps with neoplastic transformations: a suggestion of indication for
endoscopic polypectomy. Gut Liver 2009;3:271-5.
22. Muehldorfer SM, Stolte M, Martus P, et al. Diagnostic accuracy of forceps biopsy versus
polypectomy for gastric polyps: a prospective multicentre study. Gut 2002;50:465-70.
23. Genta RM, Schuler CM, Robiou CI, et al. No association between gastric fundic gland
polyps and gastrointestinal neoplasia in a study of over 100,000 patients. Clin Gastroenterol
Hepatol 2009;7: 849-54.
170
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
24. Bianchi LK, Burke CA, Bennett AE, et al. Fundic gland polyp dysplasia is common in
familial adenomatous polyposis. Clin Gastroenterol Hepatol 2008;6:180-5.
25. Green PHR. Celiac disease: how many biopsies for diagnosis? Gastro- intest Endosc
2008;67:1088-90.
26. Green PHR, Cellier C. Celiac disease. N Engl J Med 2007;357:1731-43.
27. Walker MM, Talley NJ. Clinical value of duodenal biopsies - Beyond the diagnosis of
coeliac disease. Pathol Res Pract 2011;207:538-44.
28. Evans KE, Aziz I, Cross SS, et al. A prospective study of duodenal bulb biopsy in newly
diagnosed and established adult celiac disease. Am J Gastroenterol 2011;106:1837–742.
171
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
KONSEP DASAR DAN MITIGASI BENCANA
Teuku Alvisyahrin
Tsunami and Disaster Mitigation Research Center Universitas Syiah Kuala [email protected]
ABSTRAK Bencana berpotensi menyebabkan kemunduran (set-back) pembangunan suatu negara
secara signifikan. Kemunduran ini berkaitan langsung dengan kehilangan sumberdaya manusia,
harta- benda, aset aset pembangunan: infrastruktur, ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan.
Bencana gempa dan tsunami regional Samudra Hindia 2004 yang berpusat di Provinsi Aceh
mengakibatkan dampak massif multi-sektoral dengan tingkat kerugian mencapai sekitar US $5
Milyar yang dapat dikaitkan dengan belum berjalannya penanggulangan bencana di Indonesia
secara komprehensif dan efektif pada saat itu. Penanggulangan bencana secara konvensional
bersifat reaktif-responsif dan menitikberatkan pada aktivitas tanggap dan bantuan darurat
(emergency response and relief) yang diikuti oleh tahapan rekonstruksi/ pemulihan pasca
bencana. Dalam manajemen bencana dengan paradigma baru, beberapa aktivitas penting
sebelum bencana terjadi (mitigasi dan kesiapsiagaan), harus dilakukan secara pro-aktif dan
konsisten, sehingga dampak/ risiko bencana dapat diperkecil dan penanggulangan bencana pada
fase tanggap darurat dan pemulihan (recovery) pasca bencana dapat dilaksanakan secara efisien
dengan dampak positif yang berkelanjutan.
Kata kunci: Penanggulangan Bencana, Mitigasi, tanggap darurat, pemulihan
172
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
EPIDEMIOLOGI BENCANA
dr Agasjtya Wisjnu Wardhana SpPD KGEH FINASIM
PAPDI Medical Relieve
Epidemiologi Bencana didefinisikan sebagai penggunaan epidemiologi untuk menilai
dampak kesehatan jangka pendek dan panjang yang merugikan dari bencana dan untuk
memprediksi konsekuensi dari bencana di masa depan. Ini menyatukan berbagai bidang
topik :
epidemiologi termasuk penyakit akut dan menular,
kesehatan lingkungan,
kesehatan kerja,
penyakit kronis,
cedera,
kesehatan mental,
dan kesehatan perilaku.
Epidemiologi bencana menyediakan kesadaran situasional; artinya, ia menyediakan
informasi yang membantu kita memahami apa yang dibutuhkan, merencanakan
tanggapan, dan mengumpulkan sumber daya yang tepat.
Tujuan utama epidemiologi bencana :
1. mencegah atau mengurangi jumlah kematian, penyakit, dan cedera yang
disebabkan oleh bencana,
2. memberikan informasi kesehatan yang tepat waktu dan akurat untuk para pembuat
keputusan,
3. meningkatkan strategi pencegahan dan mitigasi bencana di masa depan dengan
mengumpulkan informasi untuk persiapan tanggapan di masa mendatang
Ini menyatukan berbagai bidang topik epidemiologi termasuk:
penyakit akut dan menular
kesehatan lingkungan
kesehatan kerja
penyakit kronis
cedera
kesehatan mental
kesehatan perilaku
Epidemiologi bencana menyediakan kesadaran situasional artinya, ia menyediakan
informasi yang membantu kita memahami:
1. apa kebutuhannya
2. rencanakan responnya
3. kumpulkan sumber daya yang tepat
Bencana adalah situasi yang kompleks di mana konsekuensi dari suatu peristiwa berada di
luar kemampuan yurisdiksi yang terkena dampak untuk merespons secara efektif,
umumnya dari 2 jenis:
173
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Alam: hidrometeorologis (mis., Banjir, tornado, angin topan, badai es); geologis
(misalnya, gempa bumi, letusan gunung berapi); atau biologis (misalnya, pandemi
influenza)
Buatan manusia: tidak disengaja atau disengaja (mis., Serangan teroris termasuk
bioterorisme, tumpahan bahan kimia, pelepasan radiasi, kebakaran hutan, kegagalan
teknis, konflik sipil
Keberhasilan penerapan epidemiologi dalam pengaturan bencana sebagian besar
bergantung pada pengakuan peluang untuk:
Kumpulkan informasi yang dapat ditindaklanjuti untuk:
1. mengembangkan atau
2. mengevaluasi intervensi
3. untuk menjaga kesehatan dan menyelamatkan nyawa.
BENCANA DAN KESEHATAN:
- Cedera saat bencana
- Kerusakan lingkungan saat sesudah bencana
- Kondisi malnutrisi setelah bencana
- Gangguan kesehatan mental pasca bencana
- Wabah penyakit menular
- Peningkatan kematian penyakit tidak menular
Wabah Penyakit Menular :
Bukti yang terbatas mengenai risiko kerusakan berat pasca bencana mengenai wabah,
tetapi ditemukan adanya :
Perubahan ekologis
Perubahan kepadatan penduduk
Perpindahan populasi
Pelayanan kesehatan yang terganggu
Tidak terlayaninya pasien akibat infra struktur kesehatan rusak
Bukti angin topan di Amerika Serikat
174
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Tampak pengaruh kepesisir pantai serta sarana infra struktur yg terganggu akibat mulai
adanya kerusakan. Juga masalah kebutuhan pasokan listrik , pembuangan air limbah
rumah tangga , sampah serta fasilitas air bersih yang tidak mencukupi.
Kerangka kerja aplikasi epidemiologi bencana membutuhkan kesiapan informasi kegawat
daruratan yang cepat serta kesiap siagaan petugas kesehatan sewaktu-waktu.
Diformulasikan pada 3 kegiatan :
A. Penguatan kapasitas negara dalam menghadapi bencana
(BNPB – BASARNAS-LINMAS-TNI/POLRI- PRAMUKA-RAPI-ORARI-RATIH
(Menwa – TAGANA – Pecinta Alam – Klub Offroader)
B. Kepemimpinan dalam memahami situasi bencana memberikan edukasi serta
memberikan komando penanganan
C. Identifikasi kapabilitas kebutuhan pendukung dalam epidemiologi bencana serta
memberikan respons cepat
Sejalan dengan tujuan diatas ada 6 tujuan:
1. Identifikasi personel epidemiologi bencana, peran mereka, dan rentang tanggung
jawab dalam siklus manajemen bencana
2. Identifikasi contoh kegiatan epidemiologi bencana yang saat ini sedang
dilaksanakan di tingkat negara bagian, suku, lokal, teritorial, dan federal.
3. Identifikasi cara untuk mengaktifkan dan mengimplementasikan kegiatan
epidemiologi bencana selama fase tertentu dari siklus manajemen bencana.
4. Mengidentifikasi cara-cara untuk memberi informasi lebih baik kepada mitra
kesehatan masyarakat (misalnya, lembaga tanggap darurat, penyedia layanan
sosial, sektor swasta termasuk industri konstruksi dan perumahan) dari manfaat
kemampuan epidemiologi bencana di departemen kesehatan masyarakat sehingga
mereka dapat digunakan dalam kesiapsiagaan secara keseluruhan, respons , dan
upaya pemulihan.
5. Mengidentifikasi kebutuhan informasi tanggap darurat umum, yang berpotensi
terstandarisasi selama siklus manajemen bencana yang dapat dipenuhi oleh
keterampilan dan aktivitas epidemiologi bencana.
6. Mengidentifikasi dan membakukan ketrampilan epidemiologi, kemampuan
umum, dan alat yang dapat diterapkan untuk tanggap darurat.
175
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Kesimpulan:
Kegiatan berbasis epidemiologi dapat meningkatkan kesadaran situasional selama
keadaan darurat dan berkontribusi untuk pemahaman yang lebih baik, alokasi sumber
daya, dan pesan selama dan setelah bencana.
Kegiatan epidemiologi bencana - penilaian kebutuhan cepat, pengawasan,
pendaftaran, investigasi, dan penelitian - dapat diterapkan secara rutin di seluruh
siklus manajemen bencana untuk memberikan informasi yang dapat ditindaklanjuti
tentang status kesehatan dan kebutuhan sumber daya di antara masyarakat dan pekerja
kepada manajer insiden dan pemangku kepentingan lainnya.
Kegiatan epidemiologi bencana - penilaian kebutuhan cepat, pengawasan,
pendaftaran, investigasi, dan penelitian - dapat diterapkan secara rutin di seluruh
siklus manajemen bencana untuk memberikan informasi yang dapat ditindaklanjuti
tentang status kesehatan dan kebutuhan sumber daya di antara masyarakat dan pekerja
kepada manajer insiden dan pemangku kepentingan lainnya.
Informasi epidemiologis yang disediakan secara real time selama peristiwa bencana
pada akhirnya memberikan kontribusi untuk menyelamatkan nyawa dan mengurangi
morbiditas dan mortalitas.
176
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
MANAJEMEN NUTRISI DI TEMPAT PENGUNGSIAN Ari Fahrial Syam
Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
@dokterari www.dokterari.com [email protected]
Nutrisi memegang peranan penting dalam penanganan korban di pengungsian.
Sebelum dilakukan pemberian nutrisi perlu dievaluasi apakah ada malnurisi pada
seseorang korban di pengungsian. Jika ada malnutrisi pada korban pengungsian terutama
anak2, maka intervensi nutrisi harus diberikan. Karena di dalam tempat pengungsian
risiko terjadinya perburukan malnutrisi dapat terjadi.
Kondisi di tempat pemngungsian merupakan faktor penting yang bisa
memperburuk kondisi kesehatan pengungsi. Faktor stress, depresi yang terjadi pada
korban pengungsian akan mempengaruhi daya tahan tubuh. Pada saat terjadi pengungsian
besar-besaran kondisi kebersihan baik lingkungan maupun makanan dan minuman yang
dikonsumsi oleh para pengungsi sangat tidak memadai. Umumnya para pengungsi tidur
dengan alas ala kadarnya.
Disisi lain cuaca tetap belum bersahabat mengingat hujan dan angin kencang bisa
saja muncul sehingga memperburuk kondisi para pengungsi saat itu. Kondisi tempat
berteduh dan istirahat yang buruk ini memang sangat berdampak pada korban
pengungsian terutama pada bayi, anak-anak dan orang tua. Lingkungan di tempat
pengungsian juga harus menjadi perhatian seperti kotoran menumpuk dimana-mana,
banyak lalat dan tikus berkeliaran. Bakteri tumbuh subur dimana-mana serta air bersih
yang tercemar.
Penilaian Nutrisi
Sebelum melakukan nutrisi penilaian status nutrisi merupakan hal yang penting
saat ini berbagai alat digunakan untuk melakukan penilaian status nutrisi. Perlu
dilakukan untuk dilakukan penilaian untuk mendeteksi adanya malnutrisi.
Malnutrisi yang dimaksud disini adalah undernutrisi. Malnutrisi sendiri secara
definisi adalah apabila terjadi penurunan berat badan lebih dari 10 % dari berat badan
sebelumnya dalam 3 bulan terakhir atau apabila pada saat pengukuran berat badan kurang
dari 90 % berat badan ideal perdasarkan tinggi badan Jika Indeks massa tubuh (IMT)
kurang dari 18,5 kg/M2. Pengukuran antropometri juga penting untuk pengungsi bayi
dan anak-anak.
Untuk penelitian status nutrisi terdapat berbagai tool yang dapat digunakan.
Nutritional Risk Screening (NRS), salah satu tool yang dapat digunakan untuk melakukan
panapisan apakah korban pengungsian perlu mendapat intervensi atau makanan
tambahan. Penapisan didasarkan pada berat badan dengan IMT < 20.5, terjadi penurunan
berat badan dalam 3 bulan terakhir dan ada tidaknya penyakit yang berat. 1
Metode yang sering digunakan dan mudah untuk diterapkan dalam praktek
sehari-hari adalah Subjective Global Assessment (SGA). Penilaian status nutrisi dengan
SGA didasarkan pada perubahan berat badan, perubahan asupan diit, gejala-gejala
gastrointestinal seperti mual,muntah, diare serta anoreksia. Pada SGA juga dinilai
kapasitas fungsional, apakah pasien masih ambulatoar atau sudah bedridden, selain itu
juga ditanyakan berapa lama hal ini sudah terjadi. Selain itu pada SGA juga dinilai
hubungan antara penyakit dan kebutuhan gizi serta pemeriksaan fisik fokus pada gejala-
gejala defisiensi nutrisi. Pemeriksaan fisik standar akan melengkapi SGA. Kehilangan
lemak, dan masa otot serta adanya edema merupakan penanda malnutrisi. Tanda-tanda
fisik tersebut harus dikategorikan sebagai ringan, sedang, atau berat. Melalui SGA akan
177
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
diambil kesimpulan bagaimana status nutrisi korban di tempat pengungsian tersebut dan
dibagi menjadi tidak ada malnutrisi (SGA derajat A), malnutrisi sedang (SGA derajat B)
dan malnutiris berat (SGA derajat C).
Intervensi Nutrisi Secara umum konsep nutrisi yang dipopulerkan oleh Prof Daldiyono adalah orang
sehat perlu makan apalagi orang sakit. Untuk korban pengungsian yang mengalami
undernutri harus menjadi prioritas untuk mendapat makanan tambahan.
Secara umum kebutuhan gizi sesuai kebutuhan yang dianjurkan. Kebutuhan gizi
meliputi kalori, protein, karbohidrat, lemak, cairan, elektrolit mikronutrien lain. Bentuk
nutrisi yang diberikan tentu disesuaikan dengan kondisi korban pengungsian. Prinsip
utama tetap bahwa apabila masih bisa makan maka sebaiknya nutrisi diberikan normal.
Kebutuhan nutrisi secara kasar dapat menggunakan rule of thumb. 2 Pada pasien
yang non obesitas dapat menggunakan actual body weight dengan perhitungan jika
pasiennya ambulatoar dengan menggunakan perhitungan 30-35 kkal/kg BB/hari, jika
pasiennya bedridden dapat menggunakan perhitungan kalori 25-30 kkal/kg BB/hari.
Pemilihan Bahan makanan disesuaikan dengan ketersediaan bahan makanan yang
ada. Umumnya memang makanan yang tersedia terbatas tetapi diusahakan tetap
mengandung gizi yang seimbang. Kandungan gizi diusahakan mengandung karbohidrat,
lemak, protein, vitamin, mineral serat dan juga cukup air bersih untuk dikonsumsi. Selain
faktor ketersediaan makan faktor tenaga juga penting. Pemeberian suplemen harus
disesuaikan dengan kebutuhan. Tetapi dengan kondisi tempat pengungsian yang minum
memang dianjurkan tersedianya suplemen vitamin dan mineral. Secara umum untuk
orang dewasa disediakan ransum makanan yang mengandung kalori minimal 2100, 50
gram protein dan 40 gram per orang per hari sessuai anjuran yang telah ditetapkan oleh
Kemenkes RI. 3
Pada akhirnya penangan nutrisi korban pengungsian merupakan rangkainan
kegiatan yang seharusnya dimulai sejak kondisi aman tanpa bencana. Perlu data yang
lengkap mengenai kondisi masyarakat setempat. Proses berikutnya adalah dalam situasi
bencana yang meliputi tahap tanggap darurat awal, tahap tanggal darurat lanjut dan pasca
bencana. Kegiatan bantuan nutrisi juga tentunya disesuaikan kondisi pada tahap2 tersebut.
Saat fase akut tentu yang penting dan terutama selalu ada makanan yang dapat
dikonsumsi oleh para pengungsi. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya malnutrisi.
Baru setelah pasca bencana perlu ada penanganan khusus untuk korban bencana yang
mengalami masalah nutrisi.4
Kepustakaan
1. Syam AF, Nelwan EJ, Rasyid H, Sukrisman L. Konsensus nutrisi enteral dan parenteral pada
bidang Ilmu Penyakit Dalam. PAPDI 2012.
2. Arends J,�Bodoky G, Bozzetti F, Fearon K, Muscaritoli M, Selga G et al. ESPEN Guidelines
on Enteral Nutrition: Non-surgical oncology. Clinical Nutrition 2006:25, 245–59.
3. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.
Pedoman kegiatan gizi dalam penaggulan bencana. Jakarta. Kemenkes RI 2012.
4. Tsuboyama-Kasaoka N. Purba MB. Nutrition and earthquakes: experience and
recommendations. Asia Pac J Clin Nutr 2014;23:505-13.
178
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
GI EMERGENCY TOPIC: MANAGEMENT OF FULMINANT COLITIS Murdani Abdullah
Division of Gastroenterology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of
Indonesia-dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta Pusat, Indonesia
Introduction
Fulminant colitis is a potentially life-threatening disorder that requires expert
management to achieve optimal outcomes. Fulminant colitis is associated with very high
mortality. Therefore, optimal management necessitates coordination between medical and
surgical therapy. Moreover, multidisciplinary strategies are required.
Definition
The term ‘fulminant colitis’ is not well defined. Several definitions exist. In 1950,
Rice-Oxley classified ulcerative colitis patients in ‘acute fulminating’subgroup if they had
a single attack going on to death in less than 1 year. From this definition, it implies that
fulminant colitis is an acute severe inflammation of the colon associated with systemic
toxicity. ‘Fulminant colitis’ is often used to describe the severity of inflammatory bowel
disease, especially ulcerative colitis. Truelove and Witts classified the severity of
ulcerative colitis as mild, moderately severe, and severe with severe colitis defined as >6
bloody stools/ day, fever, tachycardia (>90x/minute), anemia, and elevation in ESR (>30
mm in 1 hour). However, Hanauer added another classification with ‘fulminant colitis’
defined as >10 bloody stools/day, tachycardia (>90x/minute), fever, anemia which
required transfusion, ESR >30 mm/h, presence of abdominal distention and tenderness on
physical exam, and dilated colon in imaging.
Other etiology frequently associated with fulminant colitis is Clostridium Difficile colitis
(CDC). Dallal also classified the severity of CDC as shown in Table 1 below:1
179
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Table 1. Classification of Clostridium Difficile Colitis1
Heart Rate Percent
Band Forms
Respiratory
Status
Oliguria Hypotension
Mild disease Normal Normal Normal None Not present
Moderate
disease
>90 >10% bands Mild
tachypnea
Responds to
volume
>100 systolic
Fulminant
Disease
>120 >30% bands Requiring
mechanical
intubation
Severe Requires
vasopressors
Etiology
The two most common etiologies associated with fulminant colitis are ulcerative colitis
and infectious colitis, especially Clostridium difficile colitis (CDC). However, there are
also other less common etiologies, which are shown in Table 2.
Table 2. Etiology of Fulminant Colitis2
Classification Etiology
Inflammatory 1. Ulcerative colitis
2. Crohn’s disease
Infectious 1. Bacterial: pseudomembranous colitis due to Clostridium difficile,
Salmonella, Shigella, Yersinia, Campylobacter, etc.
2. Viral: Cytomegalovirus
3. Parasites: Entamoeba histolytica, Cryptosporidium
Other 1. Ischemia
2. Drugs
3. Radiotherapy
This current review will focus on fulminant colitis associated with ulcerative
colitis and CDC. Intestinal superinfection is postulated to play a role in ulcerative colitis
‘flare’. The most commonly studied is the role of Clostridium difficile infection (CDI) in
ulcerative colitis patients. An inception cohort study involving 1754 patients with
ulcerative colitis found that within 5 years of diagnosis, the risk of C. difficile infection in
ulcerative colitis patients was 3.4% (95% CI 2.5%-4.6%). Moreover, the risk of
colectomy was higher in group with C. difficile infection (sub-hazard ratio (sHR) = 2.36;
95% CI 1.47-3.80), and they also had higher postoperative complications (OR = 4.84;
95% CI 1.28-18.35) and mortality rate (sHR = 2.56 times; 95% CI 1.28-5.10).3 Other
study analyzing data from electronic medical records found that hypoalbuminemia (serum
albumin <3 g/dL) as an independent predictor of severe outcomes in patients with
inflammatory bowel disease complicated with CDI.4
Other infections commonly associated with ulcerative colitis is cytomegalovirus
(CMV), because these patients are commonly treated with immunosuppressive drugs. The
estimated prevalence of CMV infection in patients with steroid-refractory ulcerative
colitis was 33-36% and 21-34% in patients with severe ulcerative colitis. Recent
systematic review reported that CMV infection was associated with higher rate of
colectomy (RR 2.13; 95% CI 1.03-4.40; p = 0.042) and increased incidence of severe
colitis (RR 1.32; 95% CI 1.04-1.67; p = 0.022).5
180
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Diagnosis First, the diagnosis of fulminant colitis should be established by applying the
previously discussed criteria. Then, the primary goal is to differentiate patients with
ulcerative colitis exacerbation or infectious colitis, because the treatments are very
different. The diagnosis must be systematic, beginning with anamnesis and additional
examinations. Anamnesis must obtain data regarding personal and family history of
inflammatory bowel disease, recent overseas travel, contact with other people with
diarrhea, antibiotic use, immunosuppression, use of other drugs which can cause colitis
(NSAID, chemotherapeutic agents, cocaine, amphetamines), and causes of ischemic
colitis (vascular disease, vasculitis). Careful physical examination of the abdomen,
rectum, and other systemic region should be performed.2,6
Laboratory studies should be requested and include full blood count (to detect
anemia, leukocytosis, neutrophilia, or leukopenia in sepsis), inflammatory markers
(elevation of ESR and CRP), electrolytes (dehydration can cause imbalance, and
hypokalemia is often encountered due to increased secretion by the inflamed colon), and
liver function test (including albumin to detect hypoalbuminemia).2,6 Fecal analysis is
essential to diagnose CDC. Current guidelines from ACG and IDSA recommended a
multistep algorithm approach. The tests can be performed with glutamate dehydrogenase
immunoassay with or without toxin test or nucleic acid amplification test (NAAT) using
PCR.7 Fecal calprotectin can also be tested because it is an accurate marker of
inflammation of the colon.8
Imaging study should include plain abdominal radiograph to detect dilatation of
colon, determine the extent of the lesion, presence of mucosal islands, and gas-filled
small bowel loops. CT scan of the abdomen could be taken to detect nonspecific signs
such as wall thickening, dilatation of colon, accordion sign (thickened edematous wall
due to pseudomembranous colitis), target sign, ascites, and other complications. CT can
also be used to classify the severity of CDC patients when correlated with the clinical
history. CT is especially essential in seriously ill patients who do not have diarrhea or
presenting with unexplained acute abdomen with high leukocytosis.2,6
Colonoscopy is useful to determine the etiology of fulminant colitis. However, the
safety in this setting is still debated. Complete colonoscopy is especially contraindicated.
Instead, flexible sigmoidoscopy with biopsy is enough for histopathologic and
microbiologic examinations and presents with less risk. Endoscopic criteria of severe
colitis include hemorrhagic mucosa with deep ulcerations, well-like ulceration, and
mucosal detachment on the edge of the ulcerations.2,6,8
Treatment
Collaboration between gastroenterologists and colorectal surgeons is essential for
the treatment of fulminant colitis. Delayed surgery can cause complications and mortality.
The goals of the treatments are to prevent perforation, correct dehydration and electrolyte
imbalance, nutritional support, and the precipitating factors.2,6 The 2017 European
Crohn’s and Colitis Organization (ECCO) recommended IV fluid and potassium
supplementation of at least 60 mmol/day because hypokalemia and hypomagnesemia can
induce toxic megacolon. Blood transfusion should be given to maintain hemoglobin
levels above 8-10 g/dL. Nil per os is not recommended, enteral nutrition is most
appropriate and has fewer complications than parenteral route. Antibiotics are given only
if there are suspicions of infections such as first attack of short duration, after recent
admission in hospital, after travelling from an area where ameba is endemic, or they may
be given just prior to surgery. The choice of antibiotics depends on the local pattern of
181
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
resistance, with regime such as cefotaxime and metronidazole, ciprofloxacin and
metronidazole, imipenem, meropenem, or piperacillin-tazobactam can be given. Presence
of CMV infection from biopsy is an indication to give antivirals such as ganciclovir. In
addition, subcutaneous prophylactic low-molecular weight heparin should be given to
reduce the risk of thromboembolism which is increased during ulcerative colitis ‘flares’.
Opioid drugs, anticholinergic, anti-diarrheal, and NSAID should be avoided because they
predispose to colonic dilatation.9
Patients should also be monitored daily, such as physical examination to detect
abdominal and rebound tenderness, vital signs 4 times daily, stool chart recording the
number and characteristics of bowel movements, laboratory tests such as complete blood
count, CRP, electrolytes, albumin, liver function test, glucose every 24 hours, and daily
abdominal radiographs.2
Specific Treatments of Fulminant Colitis Associated with Ulcerative Colitis
The first line therapy is IV corticosteroids, using methylprednisolone 60 mg in 24
hours or hydrocortisone 100 mg 4 times daily. Bolus or continuous administration
showed similar efficacy. Treatment duration should be no more than 7 to 10 days, as
prolonged treatment showed no additional benefits. Topical therapy such as
corticosteroids or 5-ASA can be given if they are tolerated, although studies proving their
efficacies have been lacking. The response to steroid therapy should be assessed at the
third day of therapy.9 Improvements can be decided based on clinical, biochemical, and
radiological markers. The simplest criterion was Oxford criteria, which found that 85% of
patients with >8 stools on that day or >3 stools and CRP >45 mg/l would eventually
require colectomy. Other criteria such as Ho-index is a scoring system utilizing mean
stool frequency, colonic dilatation, and hypoalbuminemia to calculate the scores. There
are also two endoscopic criteria, the Ulcerative Colitis Endoscopic Index of Severity
(UCEIS) and the Mayo Endoscopic Score (MES). Recent study reported that with UCEIS
score ≥7, 80% of patients will require colectomy and it has better predictive value than
MES.10
In case of the lack of response to steroid on the third day, salvage therapy can be
initiated. The most commonly used second-line drugs are cyclosporine, infliximab, or
tacrolimus.9 The first open-label randomized trial comparing infliximab versus
cyclosporine, CYSIF, involved 58 patients who received cyclosporine and 57 patients
who received infliximab after a failure to respond to steroid therapy on day 5. The results
showed that the rate of treatment failure between the two groups were not significantly
different (60% in cyclosporine group, 54% in infliximab group, absolute risk difference
6%; 95% CI -7 to 19; p = 0.52).11 The more recent CONSTRUCT trial is also an open-
label randomized trial involving 135 patients receiving infliximab (5 mg/kg IV infusion
given over 2 hours at baseline and repeat administration at 2 weeks and 6 weeks after the
first infusion) and 135 patients receiving cyclosporine (2 mg/kg per day continuous
infusion up to 7 days, followed by 5.5 mg/kg tablets twice daily for 2 weeks). Again,
there were no significant differences in quality-adjusted survival, deaths, or adverse
events.12 These results showed that the decision to choose between cyclosporine or
infliximab must be individualized. However, in patients who have failed with
azathioprine, infliximab is more preferred than cyclosporine.6
Response to infliximab or cyclosporine should be assessed daily. For patients who
failed to response on day 5-7, surgery should be initiated. A staged procedure, initially
with subtotal colectomy and ileostomy, followed by proctectomy and construction of
182
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
ileal-pouch anal anastomosis (IPAA) is recommended.9 The diagram below showed the
treatment algorithm.
Diagram 1. Treatment Algorithm of Acute Severe Ulcerative Colitis6
183
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Specific Treatments of Fulminant Colitis Associated with Clostridium Difficile Colitis
(CDC)
The ACG guideline and the more recent IDSA 2017 guideline stated that
vancomycin and IV metronidazole are the treatments of choice for severe CDC. The dose
of vancomycin according to ACG 2013 guideline was 125 mg 4 times daily, while the
IDSA recommended that the initial dose was 500 mg orally 4 times per day plus 500 mg
in 100 ml normal saline per rectum every 6 hours as a retention enema.7,13 The dose of IV
metronidazole is 500 mg every 8 hours. The ACG guideline also stated that surgery
should be considered for patients who had the following criteria: hypotension requiring
vasopressor therapy, clinical signs of sepsis and organ dysfunction, mental status changes,
WBC count ≥50,000 cells/μl, lactate ≥5 mmol/l, or complicated CDC with failure to
respond to medication after 5 days. The recommended procedure is subtotal colectomy
with preservation of rectum.13 The diagram below showed the treatment algorithm of
fulminant colitis associated with CDC.
Diagram
2.
Treatment Algorithm of Fulminant Colitis Associated with C. difficile Infection6
184
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Conclusion
Fulminant colitis is an important condition to be recognized early. The most common
etiologies are ulcerative colitis and C. difficile colitis (CDC). Diagnosis should be
systematic, taking the appropriate history, physical examination, laboratory studies,
imaging, and flexible sigmoidoscopy. Early collaboration between gastroenterologist and
colorectal surgeon is essential. General management should stabilize the patients and
correct any fluid-electrolyte abnormalities. Physician should also recognize the treatment
algorithm of fulminant colitis associated with ulcerative colitis and C. difficile infection.
Further studies are needed to compare treatments and to discover new approach.
References
1. Dallal RM, Harbrecht BG, Boujoukas AJ, et al. Fulminant Clostridium difficile: An
underappreciated and increasing cause of death and complications. Ann Surg.
2002;235(3):363-372.
2. Marquez M, Martinez A, Duarte A, Cobian R. Current Status of the Treatment of Fulminant.
Cir Esp. 2015;93(5):276-282.
3. Negrón ME, Rezaie A, Barkema HW, et al. Ulcerative Colitis Patients With Clostridium
difficile are at Increased Risk of Death, Colectomy, and Postoperative Complications: A
Population-Based Inception Cohort Study. Am J Gastroenterol. 2016;111(5):691-704.
4. Ananthakrishnan AN, Guzman-Perez R, Gainer V, et al. Predictors of severe outcomes
associated with C lostridium difficile infection in patients with inflammatory bowel disease.
Aliment Pharmacol Ther. 2012;35(7):789-795.
5. Zhang W-X, Ma C-Y, Zhang J-G, et al. Effects of cytomegalovirus infection on the
prognosis of inflammatory bowel disease patients. Exp Ther Med. 2016;12(5):3287-3293.
6. Portela F, Lago P. Fulminant colitis. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2013;27(5):771-782.
7. McDonald LC, Gerding DN, Johnson S, et al. Clinical Practice Guidelines for Clostridium
difficile Infection in Adults and Children: 2017 Update by the Infectious Diseases Society of
America (IDSA) and Society for Healthcare Epidemiology of America (SHEA). Clin Infect
Dis. 2018;31(5):431-455.
8. Magro F, Gionchetti P, Eliakim R, et al. Third European evidence-based consensus on
diagnosis and management of ulcerative colitis. Part 1: Definitions, diagnosis, extra-intestinal
manifestations, pregnancy, cancer surveillance, surgery, and ileo-anal pouch disorders. J
Crohn’s Colitis. 2017;11(6):649-670.
9. Harbord M, Eliakim R, Bettenworth D, et al. Third European evidence-based consensus on
diagnosis and management of ulcerative colitis. Part 2: Current management. J Crohn’s
Colitis. 2017;11(7):769-784.
10. Xie T, Zhang T, Ding C, et al. Ulcerative Colitis Endoscopic Index of Severity (UCEIS)
versus Mayo Endoscopic Score (MES) in guiding the need for colectomy in patients with
acute severe colitis. Gastroenterol Rep. 2018;6(1):38-44.
11. Laharie D, Bourreille A, Branche J, et al. Ciclosporin versus infliximab in patients with
severe ulcerative colitis refractory to intravenous steroids: A parallel, open-label randomised
controlled trial. Lancet. 2012;380(9857):1909-1915.
12. Williams JG, Alam MF, Alrubaiy L, et al. Infliximab versus ciclosporin for steroid-resistant
acute severe ulcerative colitis (CONSTRUCT): a mixed methods, open-label, pragmatic
randomised trial. Lancet Gastroenterol Hepatol. 2016;1(1):15-24.
13. Surawicz CM, Brandt LJ, Binion DG, et al. Guidelines for diagnosis, treatment, and
prevention of clostridium difficile infections. Am J Gastroenterol. 2013;108(4):478-498.
185
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
TERAPI BERBASIS FURAZOLIDONE, RIFABUTIN DAN SITAFLOXACIN
SEBAGAI REJIMEN ALTERNATIF ERADIKASI HELICOBACTER
PYLORI DI INDONESIA
Muhammad Miftahussurur1.2, Langgeng Agung Waskito2.3, Ari Fahrial Syam4, Maria Inge Lusida2, Kartika
Afrida Fauzia2.3, Iswan Abbas Nusi1, Gontar Siregar5, OK Yulizal5, Marcellino Ricardo6, Abdul Rahman7,
Achmad Fuad Bakry8, Kanserina Esthera Dachi9, Phawinee Subsomwong10, Yudith Annisa Ayu Rezkitha2,
Fardah Akil11, Willi Brodus Uswan12, David Simanjuntak13, I Dewa Nyoman Wibawa14, Jimmy Bradley
Waleleng15, Alexander Michael Joseph Saudale16, Fauzi yusuf17, Syifa Mustika18, Pangestu Adi2, Hasan
Maulahela4, Junko Akada3, Yoshio Yamaoka3.19
1Division of Gastroentero-Hepatology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine-Dr.
Soetomo Teaching Hospital, Universitas Airlangga, Surabaya 60131, Indonesia, 2Institute of
Tropical Disease, Universitas Airlangga, Surabaya 60115, Indonesia, 3Department of
Environmental and Preventive Medicine, Oita University Faculty of Medicine, Yufu 879-5593,
Japan, 4Division of Gastroenterology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine,
University of Indonesia, Jakarta 10430, Indonesia, 5Division of Gastroentero-Hepatology,
Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara, Medan
20136, Indonesia, 6Department of Internal Medicine, Merauke City General Hospital, Merauke
99656, Indonesia, 7Department of Internal Medicine, Kolaka City General Hospital, Kolaka, 8Division of Gastroentero-Hepatology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine
Sriwijaya University, Palembang 30126, Indonesia, 9Department of Internal Medicine,
Gunungsitoli General Hospital, Nias 22813, Indonesia, 10Division of Infectious Disease,
Department of Infection Microbiology, Research Institute for Microbial Diseases, Osaka
University, Suita, Osaka 5620031, Japan, 11Center of Gastroentero-Hepatology, Department of
Internal Medicine, Faculty of Medicine, Hasanuddin University, Makassar 90245, Indonesia, 12Department of Internal Medicine, Santo Antonius Hospital, Pontianak 78115, Indonesia, 13Department of Internal Medicine, Yowari Hospital, Jayapura 99352, Indonesia, 14Division of
Gastroentero-hepatology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine University of
Udayana, Denpasar 80232, Indonesia, 15Division of Gastroentero-hepatology, Department of
Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of Sam Ratulangi, Prof. Dr. RD Kandou
Hospital, Manado, 95115, Indonesia, 16Department of Internal Medicine, Prof. Dr. W. Z. Johannes
General Hospital, Kupang 85111, Indonesia, 17Division of Gastroentero-hepatology, Department
of Internal Medicine, Dr. Zainoel Abidin General Hospital, Banda Aceh 23126, Indonesia, 18Division of Gastroentero-hepatology, Department of Internal Medicine, Dr. Saiful Anwar
General Hospital, Malang 65122, Indonesia, 19Department of Medicine, Gastroenterology and
Hepatology Section, Baylor College of Medicine, Houston, Texas 77030, USA
Abstrak
Pendahuluan: Populasi Indonesia mempunyai prevalensi tinggi Helicobacter pylori yang resisten
terhadap metronidazole dan klaritromisin, sehingga kedua obat tersebut harus diberikan dengan
pertimbangan di beberapa wilayah Indonesia. Selain itu, peningkatan resistensi terhadap
levofloxacin tanpa ketersediaan bismuth memberikan konsekuensi kebutuhan antibiotik lain
sebagai rejimen lini kedua dan ketiga.
Metode: Konsentrasi hambatan minimal H. pylori diukur dengan metode agar dilusi terhadap
lima jenis antibiotik, yaitu furazolidone, rifabutin, rifaximin, garenoxacin dan sitafloxacin. Data
mutasi pada gen rpoB, gyrA, gyrB, dan faktor virulensi didapat menggunakan Next Generation
Sequencing.
Hasil dan Diskusi: Kami mengisolasi 105 strain dan 58,1% diantaranya sensitif terhadap kelima
antibiotik. Tidak didapatkan strain yang resisten terhadap furazolidone. Semua strain juga sensitif
terhadap rifabutin dan sitafloxacin. Sebaliknya, didapatkan tingkat resistensi yang tinggi terhadap
186
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
rifaximin (40/105, 38,9%) dan garenoxacin (7/105, 6.7%). Terdapat 4 strain yang resisten
terhadap rifaximin dan garenoxacin. Strain yang diisolasi dari pulau Jawa mempunyai resistensi
tertinggi terhadap garenoxacin dibandingkan dengan wilayah lain. Lebih dari setengah strain yang
di isolasi dari pulau Kalimantan, Sulawesi and Bali mempunyai resistensi terhadap rifaximin dan
tidak ada satupun wilayah Indonesia yang mempunyai resistensi terhadap rifaximin kurang dari
20%. Strain resisten terhadap garenoxacin terkait dengan substitusi asam amino rpoB terutama
pada I66V, K321R dan V657I. Berbeda dengan publikasi sebelumnya, strain resisten garenoxacin
tidak terkait dengan mutasi di gyrA dan gyrB. Tidak ada hubungan antara cagA, vacA, iceA,
jhp0562, dupA dan oipA dengan jenis resistensi antibiotik.
Kesimpulan: Terapi berbasis furazolidone, rifabutin, dan sitafloxacin dapat menjadi rejimen
alternatif untuk eradikasi H. pylori di Indonesia termasuk di daerah dengan resisten metronidazol
dan klaritromisin yang tinggi. Sitafloxacin tetapi bukan garenoxacin memiliki kemampuan untuk
membasmi strain yang resisten terhadap levofloxacin.
Kata Kunci: furazolidone, rifabutin, sitafloxacin, Helicobacter pylori
187
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
PERBANDINGAN AST TO PLATELET RATIO INDEX (APRI), FIB4, RASIO
SGOT/SGPT TERHADAP FIBROSCAN DALAM MENDETEKSI FIBROSIS
LANJUT PADA PASIEN HEPATITIS C YANG BELUM DITERAPI
Nikko Darnindro, Edi Mulyana, Annela Manurung, Arnold Harahap
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RSUP Fatmawati, Jakarta, Indonesia
Abstrak
Pendahuluan: Hepatitis C kronis merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan
nekroinflamasi dan fibrosis pada hati. Biopsi hati dan Elastografi Transien adalah metode baku
untuk evaluasi fibrosis hati, namun tidak tersedia luas. APRI, FIB4 dan rasio SGPT/SGPT adalah
metode non invasif untuk evaluasi fibrosis menggunakan model matematis dan dapat digunakan
di daerah dengan sumber daya yang terbatas terbatas. Studi ini dilakukan untuk menilai akurasi
dan kemampuan diagnosis APRI, FIB4 dan rasio SGOT/SGPT dalam mendiagnosis fibrosis
lanjut.
Metode: Peneltiian ini menggunakan desain potong lintang pada 78 pasien hepatitis C yang
berobat di poli gastrohepato RSUP Fatmawati, Jakarta dari Bulan Agustus 2017-Maret 2018
Hasil: Median usia pasien 42 tahun (32-80 tahun) dengan jumlah pasien laki laki sebanyak
73.1%. Median hasil fibroscan pada pasien adalah 9.8 kPa (3.3-66.4 kPa). Fibrosis lanjut
terdeteksi pada 52.6% pasien. Hasil analisis menggunakan kurva ROC didapatkan AUCROC
FIB4 sebesar 83.5% (74.7-92.4%) p 0.000; AUCROC APRI sebesar 83.8% (74.8-92.8%) p 0,000.
Rasio SGOT/SGPT sebesar 66.9% (54.8%-79%) p 0.01. Sedangkan mFIB4 sebesar 77% (66.3%-
87.7%). Berdasarkan kurva nilai titik potong yang dipiih untuk APRI, FIB4 dan rasio
SGOT/SGPT adalah 0.63; 1,36; 1,0. Dengan titik potong ini,nilai sensitifitas, spesifitas, nilai duga
positif, nilai duga negatif dan akurasi diagnostik adalah 80.5%, 75.7%, 78.6%, 77.7%, 78.2%;
75.6%, 83.7%, 83.7%, 75.6%, 79,4%; 0.6%, 0.62%, 0.64%, 0.58%, dan 61.5%.
Diskusi: APRI dan FIB4 berdasarkan studi ini mempunyai nilai yang sebanding dalam
mendiagnosis fibrosis lanjut pada hepatitis C kronik. Penelitian serupa di Mesir juga mendapatkan
hal yang sama. APRI dan FIB4 mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang lebih baik dari rasio
SGOT/SGPT karena mempertimbangkan unsur trombosit dan usia dalam perhitungannya. Oleh
karena pentingnya menilai adanya fibrosis lanjut pada hati pada praktik klinis sehari hari, dimana
ketersediaan alat fibroscan belum merata maka pemeriksaan non invasif dengan menggunakan
model matematika ini akan mendapat peranan yang cukup besar. Penilaian derajat fibrosis secara
dini dapat membantu pasien mendapatkan pengobatan yanga dekuat dan mencegah timbulnya
sirosis dan kanker hati pada pasien hepatitis C
Kesimpulan: Kesimpulan: Fibrosis lanjut yang terdeteksi pada pasien Hepatitis C yang belum
diterapi cukup tingi. APRI dan FIB4 memiliki nilai diagnostik yang sebanding dalam
menegakkan fibrosis lanjut pada pasien dengan hepatitis C kronis yang belum mendapatkan
terapi.
Kata Kunci: APRI, FIB4, Rasio SGOT/SGPT, Fibrosis lanjut
188
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Pendahuluan Hepatitis C merupakan salah satu infeksi pada hati yang perlu mendapat perhatian
khusus. Menurut WHO diperkirakan jumlah penderita infeksi akut hepatitis C sebesar 3
% dan 80 % diantaranya akan menjadi kronik serta 5-20% dari mereka dapat berkembang
menjadi sirosis.(1)
Berdasarkan data riskesdas 2007, prevalensi hepatitis klinis di Indonesia
bervariasi antara 0,2-0,9% dengan rerata 0,6%. Secara umum prevalensi hepatitis C yang
didasarkan pada pemeriksaan anti-HCV di Pulau jawa lebih tinggi dibandingkan dengan
di luar pulau jawa, berkebalikan dengan prevalensi Hepatitis B. (2)
Perkembangan hepatitis C dari kronik menjadi fibrosis hingga sirosis
membutuhkan perhatian dan pemantauan. Namun sayangnya belum ada cara pemantauan
yang sangat akurat menentukan derajat fibrosis. Saat ini biopsi hati masih menjadi standar
baku dalam menentukan derajat fibrosis. Meskipun menjadi standar baku namun
penerapannya di praktik sehari hari tidak mudah karena selain invasif, terdapat bias baik
akibat kesalahan pengambilan, dan interpretasi. (3)
Oleh karena itu dikembangkan beberapa tehnik pemeriksaan non invasif yang
dapat digunakan sebagai pengganti biopsi hati. Pemeriksaan Transient elastography
merupakan salah satu pemeriksaan non invasif yang banyak digunakan sebagai pengganti
biopsi hati karena memiliki keakuratan yang tinggi, dengan keuntungan dapat dilakukan
dengan cepat, mudah, dan tanpa rasa sakit.(4) Namun pemeriksaan ini juga tidak banyak
dijumpai selain di RS rujukan. Oleh karena keterbatasan ini dibutuhkan jenis pemeriksaan
lain yang dapat digunaan dengan luas, mudah dan tidak invasif.
Aspartate Aminotransferase to Platelet Ratio (APRI) merupakan salah satu
pemeriksaan non-invasif menggunakan model matematika untuk menilai derajat fibrosis.
penelitian oleh Sunil Taneja dkk menyatakan bahwa akurasi APRI cukup bagus dan tidak
inferior dibandingkan dengan fibroscan(5). Pemeriksaan non invasif lain yaitu FIB4 juga
menggunakan suatu model matematika untuk menilai derajat fibrosis. Yosry dkk pada
penelitiannya di Mesir juga mendaatkan sensitifitas dan spesifitas diatas 80% untuk
mendiagnosis fibrosis lanjut.(6) pemeriksaan lain yaitu rasio SGOT/SGPT dimana ratio
yang meingkat menunjukkan adanya gangguan hati kronik. Namun penggunaan ketiga
parameter tersebut belum luas oleh karena belum banyak data akurasi dan diagnostik dari
ketiga pemeriksaan diatas pada populasi indonesia terutama pada pasien dengan Hepatitis
C yang belum diterapi.
Pada studi ini, peneliti ingin mengetahui kemampuan diagnostik dan akurasi dari
pemeriksaan diatas dibandingkan dengan pemeriksaan transient elastography dalam
mendiagnosis fibrosis lanjut pada pasien hepatitis C yang belum diterapi.
Metode
Peneltiian ini menggunakan desain potong lintang pada 78 pasien hepatitis C yang
berobat di poli gastrohepato RSUP Fatmawati, Jakarta dari Bulan Agustus 2017-Maret
2018. Kriteria inklusi adalah pasien hepatitis C yang belum diterapi berusia ≥ 18 tahun.
Data diambil secara retrospektif dari Rekam Medis.
Fibroscan dilakukan pada pasien menggunakan Probe M. Probe diarahkan ke
lobus kanan hati melalui intercostae. Pemeriksaan dilakukan sebanyak 10 kali
pemeriksaan berhasil dengan tingkat keberhasilan diatas 65%. Derajat Fibrosis hati dibagi
atas: F0: tidak ada fibrosis; F1 fibrosis minimal 0-7.1 kPa; F2 fibrosis sedang > 7.2-
9.3kPa; F3 fibrosis berat >9.3-14.5 kPa; F4 >14.5 kpA. Fibrosis dikatakan lanjut bila
derajat > F2.
189
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
APRI dihitung menggunakan rumus matematika yaitu {(SGOT/batas atas normal SGOT)/
Trombosit x 109/L}. FIB 4 dihitung menggunakan rumus matematika yaitu {usia(tahun) x
SGOT}/{trombosit 109/L x SGPT}. Ratio SGOT/SGPT merupakan pembagian antara
kadar SGOT dan SGPT dalam sutu waktu.
Secara statistik data akan ditampilkan dalam karakteristik dasar, dan dilakukan
analisis AUC menggunakan SPSS 16. Dan dilakukan juga penghitungan nilai sensitifitas,
spesifitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif serta akurasi diagnostik masing masing
pemeriksaan.
Hasil
Penelitian diikuti oleh 78 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Median usia pasien 42
tahun (32-80 tahun) dengan jumlah pasien laki laki sebanyak 73.1%. Median hasil
fibroscan pada pasien adalah 9.8 kPa (3.3-66.4 kPa). Fibrosis lanjut terdeteksi pada
52.6% pasien.
Tabel 1. Karakteristik Dasar
Karakteristik Dasar
Usia 42 (32-80) tahun
Jenis Kelamin
Laki Laki
Perempuan
57 (73.1%)
21 (25.9%)
Troombosit 197.53 x103 ± 95)3.597
APRI 0.68 (0.1-10.4
SGOT/SGPT Rasio 1.07 ±0.46
FIB4 1.28 (0.36 – 18.65)
Fibroscan 9.8 kPa (3.3-66.4 kPa)
Fibroscan
F0-1
F2
F3
F4
25 (32.1%)
12 (15.4%)
14 (17.9%)
27 (34.6%)
Hasil analisis menggunakan kurva ROC didapatkan AUCROC FIB4 sebesar
83.5% (74.7-92.4%) p 0.000; AUCROC APRI sebesar 83.8% (74.8-92.8%) p 0,000.
Rasio SGOT/SGPT sebesar 66.9% (54.8%-79%) p 0.01. Sedangkan mFIB4 sebesar 77%
(66.3%-87.7%)
190
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Gambar 1. Kurva AUROC perbandingan parameter pemeriksaan
Berdasarkan kurva sensitifitas dan spesifitas APRI, titik potong yang dipilih
adalah 0.63. Dengan titik potong ini maka nilai sensitifitas, spesifitas, nilai duga positif,
nilai duga negatif dan akurasi diagnostik adalah 80.5%, 75.7%, 78.6%, 77.7%, 78.2%
Gambar 2. Kurva sensitifitas dan spesifitas APRI
Berdasarkan kurva sensitifitas dan spesifitas FIB4, titik potong yang dipilih adalah 1.36. Dengan
titik potong ini maka nilai sensitifitas, spesifitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan akurasi
diagnostik adalah 75.6%, 83.7%, 83.7%, 75.6%, dan 79,4%
191
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Gambar 3. Kurva sensitifitas dan spesifitas FIB4
Berdasarkan kurva sensitifitas dan spesifitas Rasio SGOT/SGPT, titik potong yang dipilih
adalah 1. Dengan titik potong ini maka nilai sensitifitas, spesifitas, nilai duga positif, nilai
duga negatif dan akurasi diagnostik adalah 0.6%, 0.62%, 0.64%, 0.58%, dan 61.5%
Gambar 4. Kurva sensitifitas dan spesifitas Rasio SGOT/SGPT
Diskusi
Banyak studi dilakukan untuk mencari pemeriksaan diagnosis fibrosis hati non
invasif yang paling baik. Beberapa model pemeriksaan diagnostik antara lain rasio
SGOT/SGPT, APRI maupun FIB4. Belum banyak data perbandingan yang dilakukan
pada pasien hepatitis C di Indonesia yang belum diterapi.
Pemeriksaan diagnostik fibrosis non invasif mempunyai keuntungan yaitu
terhindar dari komplikasi biopsi sperti nyeri, perdarahan, pneumotoraks, hemotoraks,
peritonitis hingga infeksi. Fibroscan telah banyak divalidasi dan menunjukkan akurasi
yang sangat baik dalam membantu diagnosis fibrosis hati. Banyak studi telah dilakukan
yang menunjukkan efektifitas fibrosan dalam menentukan derajat F.(7) Bahkan Takemoto
etal melaporkan bahwa fibroscan memiliki tingkat akurasi hingga 100%. Oleh karena itu
kini fibroscan banyak digunakan sebagai pengganti Biopsi hati untuk menentukan derajat
fibrosis.
Dari studi ini didapatkan pemeriksaan non invasif yang paling baik adalah APRI
dan FIB4. Menggunakan titik potong 0,63 dan 1.36. masing masing memeiliki sensitifitas
192
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
dan spesifitas yang cukup baik dengan nilai akurasi diatas 75% dalam menegakkan
diagosis fibrosis lanjut (>F2). Dalam penelitian di Mesir juga didapatkan hasil serupa
dimana nilai AUC APRI dan FIB4 setara dan dapat digunakan untuk diagnosis fibrosis
lanjut.(8) Penelitian di Spanyol didapatkan hasil yang berbeda, dengan nilai potong FIB4
1.4, sensitifitas untuk menilai fibrosis hati ≥ F2 sebesar 59%. Sedangkan untuk APRI
dengan nilai potong 0.6 untuk menilai fibrosis hati ≥ F2 didapatkan sensitifitas 54%.(9)
Pada studi di Mesir, FIB4 terbukti sensitifitas dan spesifitasnya dalam membedakan F0-1
dan F2-3-4 dengan AUC 91,6% menggunakan titik potong 1.6 didapatkan sensitifitas
69,5% dan spesifitas 100%. Nilai duga positif mencapai 100% untuk mendeteksi pasien
tanpa atau dengan fibrosis ringan. FIB4 juga terbukti memiliki nilai diagnostik yang baik
dalam membedakan sirosis hati dengan AUC 90,5% dan menggunakan titik potong 1.88
mempunyai sensitifitas 84,6% dan spesifitas 88,2%. (10)
APRI dan FIB4 memiliki keunggulan dibandingkan rasio SGOT/SGPT oleh
karena pada model perhitungan APRI dan FIB4 dimasukkan komponen trombosit. Seperti
yang telah diketahui pada pasien dengan fibrosis hati sering ditemukan kondisi
trombositopenia yang dapat terjadi akibat sekuestrasi dan destruksi trombosit didalam
limpa ataupun terjadi akibat penurunan pembentukan trombopoetin.(4)
Oleh karena pentingnya menilai adanya fibrosis lanjut pada hati pada praktik
klinis sehari hari, dimana ketersediaan alat fibroscan belum merata maka pemeriksaan
non invasif dengan menggunakan model matematika ini akan mendapat peranan yang
cukup besar. Penilaian derajat fibrosis secara dini dapat membantu pasien mendapatkan
pengobatan yanga dekuat dan mencegah timbulnya sirosis dan kanker hati pada pasien
hepatitis C.
Berdasarkan studi ini pemeriksaan non invasif yang dianjurkan digunakan pada
praktik klinis sehari hari adalah APRI dan FIB4 menggunakan titik potong yang telah
ditentukan.
Kesimpulan
Fibrosis lanjut yang terdeteksi pada pasien Hepatitis C yang belum diterapi cukup tingi.
APRI dan FIB4 memiliki nilai diagnostik yang sebanding dalam menegakkan fibrosis
lanjut pada pasien dengan hepatitis C kronis yang belum mendapatkan terapi.
Daftar Pustaka 1. Strader DB, Wright T, Thomas DL, Seeff LB. Diagnosis, Management, and Treatment of
Hepatitis C. Hepatology. 2004;39(4):1147–71.
2. Mulyanto. Viral hepatitis in Indonesia past present and future. Eur J Hepatol Gastroenterol.
2016;6(June):43–4.
3. Usluer G, Erben N, Aykin N, Dagli O, Aydogdu O, Barut S, et al. Comparison of non-
invasive fibrosis markers and classical liver biopsy in chronic hepatitis C. Eur J Clin
Microbiol Infect Dis. 2012;31(8):1873–8.
4. Science E. Diagnostic accuracy of liver fibrosis based on red cell distribution width ( RDW )
to platelet ratio with fibroscan in chronic hepatitis B Diagnostic accuracy of liver fibrosis
based on red cell distribution width ( RDW ) to platelet ratio with fibroscan . 2016;0–6.
5. Taneja S, Tohra S, Duseja A, Dhiman RK, Chawla YK. Noninvasive Assessment of Liver
Fibrosis By Transient Elastography and FIB4/APRI for Prediction of Treatment Response in
Chronic Hepatitis C—An Experience from a Tertiary Care Hospital. J Clin Exp Hepatol
[Internet]. INASL; 2016;6(4):282–90. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jceh.2016.08.001
6. Yosry A, Fouad R, Alem S a., Elsharkawy A, El-Sayed M, Asem N, et al. FibroScan, APRI,
FIB4, and GUCI: Role in prediction of fibrosis and response to therapy in Egyptian patients
193
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
with HCV infection. Arab J Gastroenterol [Internet]. 2016;17(2):78–83. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ajg.2016.05.002
7. Orasan OH, Iancu M, Sava M, Saplontai-Pop A, Cozma A, Sarlea ST, et al. Non-invasive
assessment of liver fibrosis in chronic viral hepatitis. Eur J Clin Invest. 2015;45(12):1243–
51.
8. Bonnard P, Elsharkawy a., Zalata K, Delarocque-Astagneau E, Biard L, Le Fouler L, et al.
Comparison of liver biopsy and noninvasive techniques for liver fibrosis assessment in
patients infected with HCV-genotype 4 in Egypt. J Viral Hepat. 2015;22(3):245–53.
9. González Guilabert MI, Mena-Bernal CH, del Pozo González J, del Pozo Pérez MA. Estudio
retrospectivo de la capacidad de evaluación de fibrosis hepática del FibroScan®, APRI, FIB-
4 y FORNS con referencia a la biopsia hepática de pacientes con hepatitis crónica C, mono y
coinfectados con VIH. Gastroenterol Hepatol. 2010;33(6):425–32.
10. Nakeeb N a El, Helmy A, Saleh S a, Abdellah HM, Aleem MHA, Elshennawy D.
Comparison between FIB-4 Index and Fibroscan as Marker of Fibrosis in Chronic HCV
Infection in Egyptian Patients. Open J Gastroenterlogy. 2014;(December):383–91.
194
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
ACCURACY APRI, FIB-4 SCORE, AND ULTRASOUND COMPARED WITH
TRANSIENT ELASTOGRAPHY FOR ASSESSMENT OF LIVER FIBROSIS IN
CHRONIC HEPATITIS C PATIENTS PRIOR DAA THERAPY: A TERTIARY
CENTER REPORT
Eka Surya Nugraha, Muhammad Begawan Bestari, Nenny Agustanti, Dolvy Girawan, Yudi Wahyudi, Siti
Aminah Abdurachman
Division of Gastroenterohepatology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of
Padjadjaran, Hasan Sadikin General Hospital, Bandung
Background
Non-invasive liver fibrosis assessments are preference in condition where liver biopsy unable to
be performed. Transient Elastography (TE) is an excellent choice to assess liver fibrosis non-
invasively with great sensitivity and specificity compared to liver biopsy. However, the
availability of TE are very limited in Indonesia. This study compared the accuracy of ultrasound,
APRI, and Fib-4 Score as an option non-invasive assessments with TE in detecting liver fibrosis.
Method
This was a retrospective study on secondary data of chronic Hepatitis C Virus (HCV) patients
prior taking Direct Anti Virals (DAA) in Hasan Sadikin General Hospital Bandung. Subject with
complete blood examination, ultrasound, and TE were included. The age, AST, ALT, and
thrombocyte count take into account to APRI and Fib-4 score, alongside the ultrasound and TE
results. A 2x2 table was performed to obtain sensitivity and specificity from each score and
ultrasound results suggested liver fibrosis, then compared with TE findings.
Result and Discussions
Of 264 patients, 24 patients included in this study. The cut-off score of possibly liver fibrosis in
APRI was > 1.0 and Fib-4 was > 3.25. The TE metavir score > 10 kPa (F2 – F4) was considered
fibrosis. The sensitivity of APRI, Fib-4, and Ultrasound to TE were 52,6%, 47,4%, and 36,8%
respectively. Whereas, the specificity was 100%, 100%, and 80% respectively. Both APRI and
Fib-4 had the highest positive predictive value (100%), while APRI had the highest negative
predictive value (35,7%). However, potential bias could occur due to small subjects, study design,
and inter-observer discrepancies in ultrasound and TE interpretations.
Conclusion
APRI and Fib-4 score could help to assess liver fibrosis more accurate than ultrasound in the
settings where TE inaccessible.
Keywords:
APRI, Fibrosis-4 (Fib-4) score, Transient Elastography (TE)
195
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
PERBANDINGAN EFEKTIFTAS PADA PEMBERIAN LAKTULOSA,
PROBIOTIK SERTA KOMBINASI LAKTULOSA DAN PROBIOTIK
TERHADAP ENSEFALOPATI HEPATIK PADA PASIEN SIROSIS HATI
Desi Maghfirah1, Wahyuni2, Azzaki Abubakar3, Fauzi Yusuf3
1Staff Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unsyiah / RSUDZA Banda Aceh 2RSUD.Cut Mutia
Lhokseumawe 3 Staf Divisi Gastroenterohepatologi Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK
Unsyiah / RSUDZA Banda Aceh
Abstrak
Pendahuluan Ensefalopati hepatik (EH) merupakan salah satu komplikasi utama pada sirosis hati stadium
dekompensata dimana merupakan suatu sindroma neuropsikiatrik yang dapat dijumpai pada
pasien gagal fungsi hati baik yang akut maupun kronik, gambaran klinis berupa kelainan mental,
kelainan neurologis, terdapatnya kelainan parenkim hati serta kelainan laboratorium. Pada
penyakit hati kronis akan terjadi gangguan metabolisme amonia sehingga terjadi peningkatan
kadar amonia 5-10 kali lipat yang akan mengganggu faal otak dan metabolisme otak. Tujuan
penelitian ini adalah melihat perbandingan efektifitas antara pemberian laktulosa, probiotik serta
kombinasi laktulosa dan probiotik terhadap EH.
Metode
Uji klinik dengan desain penelitian analitik kategorik berpasangan terhadap 49 orang pasien
sirosis hati stadium dekompensata dengan berbagai derajat EH menurut kriteria West Haven.
Penelitian dilakukan di ruang rawat inap penyakit dalam RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh. Subjek penelitian dibagi atas 3 kelompok yaitu kelompok A 17 orang mendapatkan
laktulosa 30-60ml/hari, kelompok B mendapatkan probiotik, 1 kapsul 3 kali perhari setiap kapsul
berisi Lactobacillus acidophilus Rosell-52 2 milyar, Lactobacillus rhamnosus Rosell-11 2 milyar,
Maltodextrin 211 mg, Magnesium stearat 8 mg, asam askorbat 1 mg) dan kelompok C laktulosa +
probiotik mendapatkan keduanya. Terapi dilakukan selama 2 minggu. Parameter yang dinilai
kadar amonia darah dan derajat EH.
Hasil
Terjadi Penurunan kadar amonia darah pada 3 kelompok, dimana kelompok A kadar amonia
sebelum terapi 198,29±21,44 ug/dl dan 2 minggu setelah terapi menjadi 136,11±19,99 ug/dl (p
<0,05), kelompok B kadar amonia sebelum terapi 197,35±22,20 ug/dl, 2 minggu setelah terapi
menjadi 143,76±29,73 ug/dl (p <0,05) dan kelompok C kadar amonia sebelum terapi
188,53±26,04 ug/dl, 2 minggu setelah terapi menjadi 129,93±22,4 ug/dl (p <0,05). Terjadi
perbaikan derajat EH berat menjadi EH ringan pada kelompok A 2 orang (40%) dan kelompok C
1 orang (50%) (p>0,05)
Diskusi
Laktulosa dapat menurunkan kadar amonia dalam darah dan memperbaiki hasil tes psikometri
serta mempengaruhi kualitas hidup dari penderita sirosis hati yang mengalami EH. Probiotik
dapat menurunkan kadar amonia darah dengan meningkatkan konsentrasi bakteri non urease dan
sebagai agen yang menguntungkan bagi keseimbangan flora usus.
Kesimpulan
Pemberian laktulosa, probiotik serta kombinasi probiotik dan laktulosa memiliki efektifas yang
sama dalam menurunkan kadar amonia dalam darah, serta penurunan derajat EH dari derajat berat
ke derajat ringan.
Kata kunci: ensefalopati hepatik, laktulosa, probiotik, sirosis
196
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Pendahuluan
Sirosis hati merupakan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif
yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif.1
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) menyatakan bahwa prevalensi penderita
sirosis hati adalah 3,5% dari seluruh pasien yang di rawat di bangsal penyakit dalam, atau
rata-rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang di rawat.2
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan salah satu komplikasi utama pada sirosis
hati stadium dekompensata dimana merupakan suatu sindroma neuropsikiatrik yang dapat
dijumpai pada pasien gagal fungsi hati baik yang akut maupun kronik, gambaran klinis
berupa kelainan mental, kelainan neurologis, terdapatnya kelainan parenkim hati serta
kelainan laboratorium. Penyebabnya adalah kegagalan fungsi hepatoseluler, penurunan
kapasitas detoksifikasi hati terhadap amonia dan toksin lainnya disertai adanya pintasan
porto sistemik sehingga bahan toksik tanpa pembersihan hati langsung masuk ke darah
sistemik dan otak dan menimbulkan ensefalopati.3
Laktulosa mempunyai sifat yang sangat laksatif, menyebabkan penurunan sintesis
dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake glutamin.
Laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang digunakan sebagai
sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan menekan bakteri lain
yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion
hidrogen pada amonia sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia (NH3) dan
menjadi ion amonium (NH4+). Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju
lumen.4,5 Sharma dkk (2011) dan Watanabe dkk (1997)menemukan laktulosa efektif
untuk mencegah terjadinya EH pada pasien dengan sirosis hati dan perdarahan saluran
cerna bagian atas.6,7 Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup non-patogenik, yang jika
dikonsumsi dalam jumlah tertentu akan memberikan efek menguntungkan bagi pejamu
(host). Amonia juga dihasilkan oleh flora dalam usus sehingga manipulasi flora usus
menjadi salah satu strategi terapi EH. Probiotik pada EH mempunyai efek menurunkan
amonia total dalam darah portal melalui penurunan aktifitas urease bakteri, penurunan
absorbsi amonia dengan menurunkan pH, penurunan permeabilitas intestinal dan
peningkatan status nutrisi dari epitel usus serta menurunkan inflamasi dari stress oksidatif
di hepatosit sehingga menyebabkan peningkatan klirens hepatik terhadap amonia dan
toksin serta menurunkan uptake toksin.8,9
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laktulosa dan probiotik memiliki
kemampuan yang baik dalam mencegah berulangnya ensefalopati hepatik dan secara
sifnifikan menunjukkan perbaikan tes psikometri pada pasien dengan minimal
ensefalopati hepatik. Kondisi ini yang melatarbelakangi timbulnya keinginan untuk
meneliti tentang perbandingan efektifitas antara pemberian laktulosa, probiotik serta
kombinasi laktulosa dan probiotik terhadap ensefalopati hepatik pada pasien sirosis hati.
Metode Penelitian
Penelitian uji klinik dengan desain penelitian analitik katagorik berpasangan
dilakukan di ruang rawat inap penyakit dalam RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Sampel penelitian seluruh penderita sirosis hati stadium dekompensata yang mengalami
ensefalopati hepatik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (diare,
menggunakan alkohol ≥ 20 g/hari, penurunan kesadaran bukan karena EH, Peritonitis
bakterialis spontan selama 6 minggu terakhir, penggunaan antibiotik Neomycin,
Metronidazole dan Rifaximin).
197
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Diagnosis sirosis hati stadium dekompensata berdasarkan anamnesa, pemeriksaan
fisik, laboratorium dan ultrasonografi abdomen. Subjek penelitian diambil secara
consecutive sampling, kemudian seluruh subjek penelitian dilakukan simple
randomization dengan sistem tabel random dan subjek dialokasikan menjadi 3 kelompok,
A, B, dan C. Untuk kelompok A, laktulosa diberikan 30-60 ml perhari, sampai terjadi
buang air besar lunak 2-3 kali perhari. Kelompok B probiotik diberikan 1 kapsul 3 kali
perhari (setiap kapsul berisi Lactobacillus acidophilus Rosell-52 2 milyar, Lactobacillus
rhamnosus Rosell-11 2 milyar, Maltodextrin 211 mg, Magnesium stearat 8 mg dan asam
askorbat 1 mg). Kelompok C kombinasi keduanya, setiap kelompok dilakukan selama 2
minggu.
Pemeriksaan amonia dengan menggunakan alat amonia test kit dilakukan dengan
cara mengambil darah kapiler dari ujung jari pasien sebanyak 20 µ1, diteteskan pada
reagen yang telah tersedia kemudian dimasukkan ke alat, hasilnya dibaca setelah 3 menit
dan hasil dibaca dalam µg/dl.
Ethical Clearance diperoleh dari Panitia Kelaikan Etik Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala
Definisi Operasional
Sirosis hati ditegakkan berdasarkan anamnesis, Pemeriksaan fisik, laboratorium
serta ultrasonografi abdomen atas. Ensefalopati hepatik adalah adanya gangguan fungsi
kognitif pada pasien penyakit hati yang tidak dapat diidentifikasikan atau dengan riwayat
klinis dan pemeriksaan neurologis komplit termasuk wawancara anggota keluarga,
dapat dideteksi dengan ditemukan abnormalitas dari tes neuropsikometrik atau
neurofisiologi menggunakan NCT A/B serta kriteria West Haven. Pada penelitian ini
derajat EH diukur menggunakan kriteria West Haven. Amonia merupakan faktor utama
patogenesis terjadinya ensefalopati hepatik. Peningkatan kadar amonia akibat asupan
protein yang tinggi, konstipasi,perdarahan saluran cerna, infeksi, azotemia, hipokalemia.
Kadar normal amonia darah 0-150 µg/dl.
Analisa Data
Analisa statistik dilakukan secara komputerisasi, dengan tingkat kemaknaan p <
0,05. Sebaran data normal dilakukan uji repeated anova dan dilanjutkan dengan analisis
post-hoc Bonferroni untuk mengetahui kelompok mana yang bermakna.
Hasil Penelitian
Subjek penelitian dibagi atas 3 kelompok yaitu kelompok laktulosa 17 orang,
kelompok probiotik 17 orang dan kelompok laktulosa + probiotik 17 orang, namun 2
orang dari kelompok laktulosa + probiotik mengundurkan diri maka sampel yang
memenuhi kriteria sebanyak 49 sampel. Kelompok laktulosa mendapat terapi standar
sirosis ditambah laktulosa 30-60 ml/hari, kelompok probiotik mendapat terapi standar
sirosis ditambah probiotik 1 kapsul 3 kali perhari (setiap kapsul berisi Lactobacillus
acidophilus Rosell-52 2 milyar, Lactobacillus rhamnosus Rosell-11 2 milyar,
Maltodextrin 211 mg, Magnesium stearat 8 mg, asam askorbat 1 mg), sedangkan
kelompok laktulosa + probiotik mendapat keduanya. Penelitian ini dilakukan selama 2
minggu, parameter yang dinilai adalah kadar amonia dan derajat ensefalopati hepatik.
Sebelum dilakukan penelitian, semua subjek diperiksa penanda hepatitis B dan C,
endoskopi, pemeriksaan kadar albumin, bilirubin, dan fungsi hati, ditemukan semua
karakteristik dasar pada subjek sama pada 3 kelompok.
198
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Tabel 1. Karakteristik dasar subjek penelitian
Variabel
Kelompok
P Laktulosa (n=17)
Probiotik
(n=17)
Laktulosa +
Probiotik (n=15)
Umur (tahun) 53,11±12,81 56,41±12,97 57,86±17,42 p >0,05
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
10(29,4%)
7(46,7%)
12(35,3%)
5(33,3%)
12(35,3%)
3(20,0%)
Etiologi sirosis hati
HBV
HCV
Non B dan C
7(25,0%)
1(25,0%)
9(52,9%)
12(42,9%)
1(25,0%)
4(23,5%)
9(32,1%)
2(50,0%)
4(23,5%)
p >0,05
Derajat EH n (%)
Ringan
Berat
12(30,8%)
5(50,0%)
14(35,9%)
3(30,0%)
13(33,3%)
2(20,0%)
p >0,05
Endoskopi (%)
VE
GHP
VE/GHP
12(42,9%)
3(50,0%)
2(13,3%)
6(21,4%)
3(50,0%)
8(53,3%)
10(35,7%)
-
5(33,3%)
p >0,05
Albumin (g/dl) 2,50±0,43 2,55±0,61 2,46±0,43 p >0,05
Bilirubin (mg/dl) 6,15±8,23 3,21±2,39 4,16±6,18 p >0,05
SGOT (U/1) 146,35±97,99 133,94±87,71 113,33±68,41 p >0,05
SGPT (U/1) 92,94±66,21 94,82±73,87 91,80±63,77 p >0,05
Amonia (ug/dl) 198,29±21,44 197,35±22,20 188,53±26,04 p >0,05
HBV = Hepatitis B Virus, HCV = Hepatitis C Virus, EH = Ensefalopati Hepatik, VE = Varises
Esofagus, GHP = Gastropati Hipertensi Portal, SGOT = Serum Glutamic Oxaloacetic
Transaminase, SGPT = Serum Glutamic Piruvic Transaminase
Terjadi penurunan kadar amonia rata-rata pada ketiga kelompok sebesar
194,97±16,05 ug/dl. Penurunan kadar amonia pada tiap kelompok signifikan secara
statistik, namun jika dibandingkan selisih perbedaan kadar amonia pada ketiga kelompok
sebesar 8,59 ug/dl, dimana tidak bermakna secara statistik (p >0,05).
Tabel 2. Kadar Amonia ketiga kelompok sebelum terapi dan 2 minggu setelah terapi
Kelompok Amonia (ug/dl)
sebelum terapi
Amonia (ug/dl)
setelah 2 minggu
terapi
P
Laktulosa
Probiotik
Laktulosa+Probiotik
198,29±21,44
197,35±22,20
188,53±26,04
136,11±19,99
143,76±29,73
129,93±22,4
p < 0,05
p < 0,05
p < 0,05
Terjadi perbaikan derajat EH berat menjadi EH ringan pada kelompok A 2 orang
(40%) dan kelompok C 1 orang (50%) , perubahan derajat EH ini tidak bermakna secara
statistik ( p > 0,05).
199
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Gambar 1. Perubahan derajat ensefalopati hepatik sebelum dan sesudah 2 minggu terapi pada
ketiga kelompok.
Pembahasan
Dari penelitian ini setelah terapi selama 2 minggu pada ketiga kelompok
didapatkan penurunan kadar amonia yang bermakna. Laktulosa dapat menurunkan kadar
amonia dalam darah dan memperbaiki hasil tes psikometri serta mempengaruhi kualitas
hidup dari penderita sirosis hati yang mengalami EH. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian Nie dkk tahun 2003 yang melakukan penelitian pemberian laktulosa selama 8
sampai 28 minggu pada pasien sirosis hati yang mengalami ensefalopati hepatik, terjadi
perbaikan kadar amonia dalam darah, perbaikan tes psikometri dan mencegah terjadinya
ensefalopati berulang.10
Saji S dkk tahun 2011 melakukan penelitian dengan pemberian probiotik pada 21
pasien sirosis hati yang mengalami minimal ensefalopati hepatik selama 6 bulan.
Hasilnya menunjukkan kadar amonia menurun dari 140,29±7,28 menjadi 122,38±10,69,
dan terjadi penurunan secara signifikan pada hari kedua dan ketiga dibandingkan dengan
hari pertama.11 Probiotik dapat menurunkan kadar amonia darah dengan meningkatkan
konsentrasi bakteri non urease dan sebagai agen yang menguntungkan bagi keseimbangan
flora usus.8
Dhiman dkk tahun 2000 meneliti pemberian laktulosa selama 3 bulan pada pasien
subklinis ensefalopati hepatik, dilakukan pemeriksaan NCT, FCT, block design, picture
assembly dijumpai perbaikan tes psikometri dan minimal ensefalopati hepatik.12
Shavakhi dkk tahun 2014 melihat pemberian probiotik dan laktulosa pada pasien
sirosis hati dengan minimal ensefalopati hepatik, diberikan selama 2 minggu dan lama
follow up 8 minggu, mendapatkan bahwa laktulosa dan probiotik efektif untuk perbaikan
minimal ensefalopati hepatik, jika dibandingkan keduanya probiotik lebih unggul dari
pada laktulosa dalam perbaikan minimal ensefalopati hepatik.13
200
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan. Jumlah sampel relatif kecil
sehingga bisa terjadi bias dalam pengolahannya. Pemeriksaan derajat ensefalopati hepatik
hanya menggunakan kriteria West Haven, sehingga tidak dapat menilai perubahan derajat
ensefalopati hepatik ringan menjadi tanpa adanya ensefalopati hepatik yang dapat
dikonfirmasi dengan pemeriksaan Critical Flicker Frequency (CFF) yang lebih akurat.
Waktu penelitian singkat sehingga tidak dapat melihat lebih lama efek pemberian
laktulosa dan probiotik
Kesimpulan
Pemberian laktulosa, probiotik serta kombinasi probiotik dan laktulosa memiliki
efektifas yang sama dalam menurunkan kadar amonia dalam darah, serta penurunan
darajat EH dari derajat berat menjadi derajat ringan.
Daftar Pustaka 1. Nurjanah S. Sirosis hati.dalam : Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi kelima, jilid I. editor:
Sudoyo AW. Jakarta.Interna publishing.2009:p:668-72.
2. PPHI-INA ASL. Sirosis Hati. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Cited Februari 2013.
Availabel :Pphi-online.org/alpha.
3. Zubir N. Koma hepatik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi V, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2009: 677-80.
4. Nielsen B, Gluud LL, Gluud C. Non-absorbable disaccharides for hepatic encephalopathy:
systematic review of randomised trials. BMJ. 2004;328:1046.
5. Luo M, Li L, Lu CZ, Cao WK. Clinical efficacy and safety of lactulose for minimal hepatic
encephalopathy: a meta-analysis. Eur J Gastroenterol Hepatol, 2011;23:1250-57
6. Sharma P, Agrawal A, Sharma BC, Sarin SK. Prophylaxis of hepatic encephalopathy in acute
variceal bleed: A randomized controlled trial of lactulosa versus no lactulosa. Journal of
Gastroenterology and Hepatology.2011;26:996-1003
7. Watanabe A, Sakai T, Sato S, Imai F, Ohto M, Arakawa Y, et al. Clinical efficacy of lactulose
in cirrhotic patients with and without subclinical hepatic encephalopathy. Hepatology.
1997;26:1410-14
8. Saji S, Kumar S, Thomas V. A randomized double blind placebo controlled trial of probiotics
in minimal hepatic encephalopathy. Tropical Gastroenterology 2011;32(2):128-32.
9. Bousvaros A, Guandalini S, Baldassano RN, Botelho C, Evans J, Ferry GD et al. A
randomized, double blind trial of Lactobacillus GG versus placebo in addition to standard
maintenance therapy for children with Crohn’s disease. Inflamm Bowel Dis 2005; 11:833-9.
10. Nie YQ, zeng Z, Li YY, Sha WH, Ping L, Dai SJ. Long term efficacy of lactulose in patients
with subclinical hepatic encephalopathy. Zhonghua. Nei. Ke. Za. Zhi. 2003; 42 (4):261-3.
11. Pawar RR, Pardeshi ML, Ghongane BB. Study of effects probiotic Lactobacilli in preventing
major complication in patients of liver cirrhosis. International Journal of Research in
Pharmaceutical and Biomedical Sciences 2012. Vol.3 (1) Jan-Mar, p.206-11.
12. Dhiman RK, Sawhney MS, Chawla YK, Das G, Ram S, Dilawari JB. Efficacy of lactulose in
cirrhotic patients with subclinical hepatic encephalopathy. Dig. Dis. Sci.2000;45:1549-52.
13. Shavakhi A, Hashemi H, Tabesh E, Derakhshan Z, Farzammia S, et al. Multistrain probiotic
and lactulose in the treatment of minimal hepatic encephalopathy. Journal of Research in
Medical Sciences. 2014;19:703-8.
201
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
VIROLOGICAL RESPONSE AND DRUG RESISTANCE OF TELBIVUDINE
IN 3 YEARS EVALUATION IN MANAGEMENT CHRONIC HEPATITIS B
(PRELIMINARY REAL CASES STUDY) Hery Djagat Purnomo*, Nur Alaydrus**, Didik Indiarso*, Agung Prasetyo*
*Gastroentero-Hepatologi Division, Departement of Internal Medicine, Faculty of Medicine Diponegoro
University-Dr. Kariadi Hospital Semarang ** Departement of Internal Medicine, Faculty of Medicine Diponegoro University-Dr.Kariadi Hospital
Semarang
Background The primary goal of Chronic Hepatitis B (CHB) therapy is to persistently suppress Hepatitis B B
Virus (HBV) replication, thus preventing the progression of liver disease. Telbivudine is a potent
anti viral agent that can suppress serum HBV DNA level but associated with low barrier againts
HBV resistance.
Methods This was an observational study of 46 patients with CHB receiving Telbivudine at Kariadi
Hospital Semarang. Outcomes were assassed based on virological response and incident of
resistance.
Result : Baseline charateristics: 58,6% were males, median age was 44.3 (25-70 years old), 71.7% were
HbeAg negative, 30.4% had elevated ALT (14/46), median baseline of viral load was 105 IU/cc.
Virological response at twelfth week was achieved in 21.7% patients. Fivety four percents,
79.9%, 75% and 90.6% patients achieved a virological response at 48th, 52nd, 104th and 156th
week consecutively. Incident of drugs resistance appears in 4.3% Patients at fifty two week, while
2.2% and 4.6% had drug resistance at 104th and 156th week respectively . The longest pasient at
Dr. kariadi hospital who received telbivudine without resistance was 7 years.
Conclusion Telbivudine in therapy of CHB had good outcomes in virological response and incidence of drugs
resistance in 3 years therapy was small.
202
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
HUBUNGAN ANTARA ROKOK ELEKTRIK DAN DISPEPSIA
PADA POPULASI URBAN DEWASA Ahmad Fariz Malvi Zamzam Zein1, Catur Setiya Sulistiyana2
1Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat 2Departemen Pendidikan Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat
Abstrak
Pendahuluan. Dispepsia berkaitan erat dengan gaya hidup. Rokok elektrik merupakan tren gaya
hidup terkini. Walaupun begitu, hubungan antara rokok elektrik dan dispepsia belum diketahui.
Studi ini bertujuan menginvestigasi hubungan antara rokok elektrik dan dispepsia pada populasi
urban dewasa.
Metode. Studi potong-lintang dilakukan terhadap 267 orang dewasa di Cirebon, Jawa Barat.
Kuesioner, yang berisi karakteristik demografik, kebiasaan konsumsi rokok elektrik, dan gejala
terkait dispepsia, diberikan kepada subjek. Dilakukan analisis data dengan menggunakan statistik
deskriptif dan uji chi-square. Studi ini telah mendapatkan ethical clearance oleh Komisi Etik.
Hasil. Median usia subjek adalah 24,0 tahun. Konsumsi rokok elektrik sering didapatkan pada
subjek (74.2%), dengan median durasi konsumsi 2,0 tahun. Median dosis konsumsi rokok elektrik
adalah 30,0 ml setiap minggu. Konsumsi rokok elektrik berhubungan positif dengan mual (PR=
3,016, 95% IK: 1,024-8,882; p=0,037), muntah (PR= 1,388, 95% IK: 1,284-1,500; p=0,006),
kembung (PR= 4,889, 95% IK: 1,455-16,429; p=0,005), dan nyeri epigastrik (PR= 5,982, 95%
IK: 1,391-25,736; p=0,007).
Diskusi. Pengguna rokok elektrik meningkat secara bermakna dalam beberapa tahun terakhir.
Prevalensi pengguna rokok elektrik di Amerika Serikat 15%, di Inggris 10%, di Kanada 4%, dan
di Australia 2%.1-2 Pada studi ini menunjukkan banyaknya pengguna rokok elektrik di Cirebon,
Jawa Barat adalah 74.2%. Perbedaan ini terkait dengan perbedaan definisi yang digunakan pada
studi-studi tersebut.
Rokok elektrik merupakan isu yang kontroversial belakangan ini. Dilaporkan rokok elektrik lebih
aman bila dibandingkan dengan rokok konvensional namun belum disepakati peran rokok elektrik
dalam penurunan risiko terhadap dampak akibat rokok konvensional. Belum ada studi yang
menilai hubungan antara rokok elektrik dan dispepsia. Laporan pasca pemasaran awal menandai
bahwa rokok elektrik dapat menyebabkan mual dan muntah. Studi ini menunjukkan bahwa rokok
elektrik berhubungan dengan gejala terkait dispepsia. Hal ini diasumsikan sebagai akibat paparan
nikotin melalui inhalasi.3
Simpulan. Terdapat hubungan positif antara rokok elektrik dengan mual, muntah, perut kembung,
dan nyeri epigastrik. Dibutuhkan studi lanjut untuk mengevaluasi lebih lanjut hubungan antara
rokok elektrik dan dispepsia.
Kata kunci: rokok elektrik, dispepsia, populasi urban dewasa
Daftar Pustaka
1. Glantz S, Bareham D. E-cigarettes: use, effects on smoking, risks, and policy implications. Annu Rev
Public Health. 2018;39:215-35.
2. Bao W, Xu G, Lu J, Snetselaar L, Wallace R. Changes in electronic cigarette use among adults in the
United States, 2014-2016. JAMA. 2018;319(19):2039-41.
3. Meo S, Al Asiri S. Effects of electronic cigarette smoking on human health. Eur Rev Med Pharmacol
Sci. 2014;18:3315-9.
203
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
GASTRIC OUTLET OBSTRUCTION:
LAPORAN SERI KASUS DI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
Tri Asih Imro’ati*, Titong Sugihartono**, Iswan A. Nusi***
*PPDS-2 Gastroenterohepatologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo
Surabaya
**Staff Pengajar PPDS-2 Gastroenterohepatologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr.
Soetomo Surabaya
***KepalaDivisi Gastroenterohepatologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya
PENDAHULUAN
Gastric outlet obstruction(GOO)merupakan spektrum penyakit yang menyebabkan
impedansi pengosongan gaster. Patofisiologi tersering adalah obstruksi instrinsik atau
ekstrinsik duodenum atau kanal pilorus, tetapi mekanisme obstruksi tergantung pada
etiologi yang mendasari[1].
Penyebab terbanyak tahun 1970-an adalah penyakit jinak (91%), sedang penelitian
terbaru menunjukkan 60% kasus disebabkan keganasan (15-20% penyebab tersering
adalah keganasan peripankreatik). Penyebab terbanyak obstruksi jinak adalah penyakit
ulkus peptik dan penelanan bahan korosif, terapi NSAID, polip gaster, stenosis pilorik,
dan pseudokista pankreas juga berperan. Komplikasi obstruksi karena penyakit ulkus
peptik terjadi sekitar 5%, sedangkan karena kaustik kuat sebanyak 36-44% akan
mengalami GOO[1].
Salah satu prosedur diagnostik untuk memastikan adanya GOO adalah dengan
endoskopi atas. Endoskopi atas dapat membantu melihat gastric outletdan mendapatkan
diagnosis jaringan bila obstruksinya intraluminal [2].
Berikut ini akan kita bahas 4 kasus yang menunjukkan manifestasi endoskopi
GOO pada pasien yang datang ke ruang endoskopi RSUD Dr. Soetomo pada periode 1
Januari-31 Mei 2018.
KASUS 1
Seorang pasien wanita 71 tahundirujuk dari rumah sakit daerah dengan keluhan
muntah sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Muntah terjadi setiap makan, berupa
makanan. Muntah darah warna hitam sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Sebelumnya tidak pernah muntah seperti ini, namun pernah buang air besar hitam seperti
petis. Pasien juga mengeluh nyeri perut bagian ulu hati. Riwayat pasien sering
mengkonsumsi ibuprofen, parasetamol, dan jamu bubuk dikarenakan nyeri sendi.
Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan epigastrium.
Pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan kimia klinik dalam batas normal,
hanya didapatkan hipoglikemi (gula darah acak 48 mg/dl).
Pemeriksaan endoskopi atas tampak sisa makanan di esofagus dan gaster,
didapatkan esofagitis, gastritis erosif, ulkus antrum Forrest klas III, dan GOO (endoskop
tidak dapat melalui pirolus) seperti terlihat pada gambar 1.
Pada pasien ini diberikan nutrisi perenteral parsial, PPI, prokinetik, dan sukralfat.
204
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Gambar 1. Pemeriksaan endoskopi atas tampak lumen pilorus menyempit (A), mukosa antrum
tampak edematous dengan multipel erosi dan ulkus Forrest III (B)
KASUS 2
Seorang wanita48 tahun datang dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 2 tahun
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri tidak membaik dengan minum obat maag yang dijual
bebas. Pasien sering berobat ke poli gastro RSUD Dr. Soetomo Surabaya, terakhir
diberikan obat Amoxicillin 2 x 1000 mg, Clarithromycin 2 x 500 mg, omeprazole 2 x 40
mg, dan sukralfat sirup. Keluhan dirasakan memberat sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit dengan muntah semakin sering terutama setelah makan dan pernah mengeluarkan
muntah hitam sebanyak 3 kali.
Riwayat pasien pernah menjalani endoskopi 3 kali di RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Pemeriksaan fisik didapatkan kondisi umum lemah, konjungtiva anemis, nyeri
tekan epigastrium, dan akral hangat, kering, pucat.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 5,3 g/dl.
Pemeriksaan endoskopi terbaru (gambar 2) tampak sisa makanan padat dan cair
pada gaster, didapatkan giant ulcer Forrest klas III di duodenum pars bulbosa dengan
obstruksi total duodenum pars desendens. Histopatologi anatomi menunjukkan
gastroduodenitis kronik inaktif nonspesifik dan jaringan fibrotik radang kronik aktif.
Pada pasien ini diberikan transfusi darah, total parenteral nutrition, PPI, dilakukan
prosedur laparatomi eksploratif oleh bedah, kemudian dilakukan gastrojejunostomi.
Pasien kemudian menjalani rawat jalan.
Gambar 2. Pemeriksaan endoskopi atas tampak
sisa makanan di gaster (A) dan duodenum (B), terlihat
giant ulcer Forrest klas III pada pars bulbosa duodenum
(C), dan obstruksi total duodenum pars desendens (D)
dimana endoskop tidak dapat masuk ke dalam pars
desenden dan lumen tidak dapat terbuka dengan
insufflasi udara.
KASUS 3
A A A B B
A
B
C
D C
C pilorus
205
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Seorang wanita 58 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 2
bulan sebelum masuk rumah sakit, hilang timbul, makin memberat, nyeri terasa
menembus punggung. Pasien juga mengeluh mual dan muntah setiap 30 menit sampai
dengan 1 jam setelah makan. Muntah berisi makanan. Benjolan di perut kanan atas terasa
sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengalami penurunan berat badan
sekitar 10 kg dalam 2 bulan. Nafsu makan menurun, buang air besar normal, kadang
hitam dan cair.
Riwayat penyakit dahulu, pasien sering mual dan muntah sejak 1 tahun yang lalu,
selalu didiagnosis sebagai dispepsia. Pasien sering minum obat herbal dan obat anti nyeri
sejak beberapa tahun yang lalu.
Pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis dan teraba massa padat sekitar 5
x 7 cm pada kuadran kanan atas.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia (HB 9,5 g/dL), leukositosis
(11.820/µL), transaminitis (SGOT 159 U/L, SGPT 125 U/L), hipoalbuminemia (2,8
g/dL), dan hipokalemia (3,3 mmol/L).
Ultrasonografi abdomen atas didapatkan curiga massa pada kuadran kanan atas,
bersebelahan dengan hepar, diduga karsinoma kolon transversum DD massa duodenal
(gambar 3).
Pemeriksaan MSCT abdomen dengan kontras didapatkan massa yang diduga dari
duodenum dengan ukuran 7,1 x 5,5 x 8,3 cm, kemungkinan menginfiltrasi kaput
pankreas, dimana massa kaput pankreas belum dapat disingkirkan karena batas pankreas
tidak jelas, duktus Wirsungi sedikit melebar, tidak ada infiltrasi dinding abdomen
(gambar 4).
Pemeriksaan endoskopi atas tampak desakan massa di daerah kurvatura mayor,
pilorus kesan eksentrik, endoskope tidak dapat masuk duodenum pars desendens, kesan
gastric outlet obstruction, curiga infiltrasi massa ke duodenum (gambar 5).
Pemeriksaan ultrasonografi endoskopi didapatkan massa abdomen atas dengan
proyeksi di daerah kurvatura mayor, dengan ukuran 5,59 x 5,4 cm, massa menekan gaster,
endoskope tidak dapat dimasukkan lebih lanjut karena lumen menyempit (gambar 6).
Pemeriksaan upper GI study didapatkan penyempitan C-loop dengan permukaan
irreguler, pasase cairan kontras masih normal, dapat disebabkan DD penebalan dinding
duodenum, atau ekspansi massa kaput pankreas (gambar 7).
Pasien ini kemudian dilakukan prosedur Whipple oleh bedah, dan dilakukan
pemeriksaan histopatologi jaringan tumor didapatkan suatu lymphoma Non Hodgkin di
duodenum.
206
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Gambar 3. USG tampak massa ukuran 9,08 x 4,18 cm di kuadran
kanan atas abdomen bersebelahan dengan hepar.
Gambar 4. MSCT tampak massa
yangdiduga dari duodenum dengan
ukuran 7,1 x 5,5 x 8,3 cm,
kemungkinan menginfiltrasi kaput
pankreas.
Gambar 5. Endoskopi atas.Tampak desakan massa di daerah kurvatura mayor (A), pilorus kesan
eksentrik (B), endoskope tidak dapat masuk duodenum pars desendens (C), kesan
gastric outlet obstruction, curiga infiltrasi massa ke duodenum (D).
Gambar 6. EUS.Tampak massa abdomen atas dengan proyeksi di daerah
kurvatura mayor, dengan ukuran 5,59 x 5,4 cm, massa menekan gaster,
endoskope tidak dapat dimasukkan lebih lanjut karena lumen menyempit.
Gambar 7. Upper GI study tampak
penyempitan C-loop dengan permukaan
irreguler, pasase cairan kontras masih
normal, dapat disebabkan DD penebalan
dinding duodenum, atau ekspansi massa
kaput pankreas.
KASUS 4
Seorang laki-laki usia 53 tahun datang dengan keluhan muntah-muntah beberapa
menit setelah makan disertai nyeri dada dan ulu hati sejak 1 bulan sebelum masuk rumah
sakit, makin lama makin memberat. Muntah berisi makanan dan cairan, muntah hitam
disangkal.
Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan ulu hati.
Pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan kimia klinik dalam batas normal.
A B
C
D
207
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Pemeriksaan endoskopi atas didapatkan ulkus esofagus 1/3 proksimal yang
menyebabkan penyempitan sfingter esofagus proksimal, didapatkan ulkus pre pilorikum
Forrest klas III yang menyebabkan obstruksi pilorus. Lumen pilorus masih dapat dilalui
oleh guide wire (gambar 8).
Pemeriksaan MSCT didapatkan tidak tampak gambaran discrete massa di cavum
abdomen maupun cavum pelvis, tampak penebalan dinding corpus, antrum, dan pilorik
gaster mengarah gambaran inflammatory disease yang menyebabkan penyempitan lumen
di antrum dan pilorus dengan diameter tersempit kurang lebih 0,20 cm; tampak
perlengketan bowel di inferior gaster regio lumbal kiri (gambar 9).
Pasien ini diberikan nutrisi parenteral total dengan antibiotik intravena karenan
Pasien menolak dipasang nasojejunal tube.
Gambar 8. Endoskopi atas tampak sisa cairan makanan di
esofagus (A) dan gaster (C); tampak tanda-tanda peradangan di
sekitar pilorus (B); pilorus tampak menyempit tidak dapat
terbuka dengan insufflasi dengan ulkus dasar bersih di sekitarnya
(C); lumen pilorus dicoba dilalui guide wire (D dan E). Rencana
pemasangan nasojejunostomi, pasien menolak.
DISKUSI
Etiologi penyebab GOOsangat bervariasi, terdiri dari penyebab jinak dan penyebab
keganasan. Penyebab yang jinak antara lain: penyakit ulkus peptik, stenosis pilorik,
penyakit inflamasi, pankreatitis, penyakit Crohn, kolesistitis, penelanan bahan kaustik,
striktur/web, tumor, polip, lipoma, adenoma, iatrogenik, obstruksi paska operasi,
pseudokista pankreas, sindroma Bouveret, dan infeksi. Penyebab keganasan tersering
adalah kanker pankreas (10-20%), sedangkan penyebab yang lain adalah
kanker duodenum, kanker ampulla, kolangiokarsinoma, kanker gaster, maupun akibat
metastasis ke gastric outlet[1].
Penelitian Kumar et al. di Kakinada tahun 2017 menunjukkan dari 55 kasus yang
diteliti, 35 karena keganasan (28 keganasan lambung, 7 keganasan lain) dan 20 karena
ulkus duodenal yang mengalami sikatriks. Sebagian besar kasus terjadi pada usia dekade
5 dan 6. Rasio laki-laki lebih banyak daripada perempuan baik pada keganasan maupun
ulkus duodenum kronik[3]. Hasil penelitian tersebut juga mirip dengan penelitian Essoun
et al. di Ghana tahun 2014, dan penelitian Jaka et al. di Tanzania pada tahun 2013[4][5].
Beberapa laporan kasus menunjukkan etiologi GOO yang bervariasi bahkan tidak
biasa, antara lain:
1. Ulkus petik dengan stenosis pilorik [6][7]
2. Benda asing yang tertelan dan impaksi pada pilorus stenosis [8]
3. Tuberkulosis gaster [9][10]
4. Kanker pankreas [11][12]
5. Penyakit Crohn [13]
A
B C D E
208
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
6. Penelanan benda asing yang sangat besar (dildo) pada dewasa [14]
7. Pankreas annular [15]
8. Bungkus hashish sepanjang 10 cm yang tertelan[16]
9. Sindroma Bouveret [17]
10. Stenosis pilorik hipertropik [18]
Gastric outlet obstruction merupakan komplikasi yang jarang dari penyakit ulkus
peptik, akibat dari inflamasi akut maupun kronik. Penelitian prospektif 3 tahun oleh
Kortisso di Ethiopia pada tahun 90-an menunjukkan bahwa 81% kasus GOO disebabkan
oleh komplikasi ulkus pilorik atau duodenum, dan 11% karena tuberkulosis
pilorik[19].Pasien dapat asimptomatik atau hanya mengalami gejala gastrointestinal yang
ringan. Komplikasi dari gangguan ini dapat berupa gangguan sistemik seperti gangguan
cairan, asam basa, dan elektrolit, yang dapat menjadi fatal [7].
Pada kasus serial di atas, 3 pasien disebabkan oleh ulkus pilorik dan duodenum, 1
kasus akibat keganasan duodenum.
Keluhan terbanyak pada kasus GOO adalah muntah dan nyeri epigastrium.
Dehidrasi terlihat pada 54% kasus, anemia 53% kasus, percikan cairan lambung terdengar
pada 36% kasus, teraba massa 25% kasus, dan ascites 15% kasus. Setiap keluhan berikut
dapat digunakan untuk diagnosis GOO[3]:
1. Muntah proyektil makanan yang tidak dapat dicerna beberapa hari sebelumnya
2. Lambung hipertrofi teraba
3. Peristaltik lambung terlihat
4. Percikan cairan lambung 3-4 jam setelah makan terakhir
5. Keterlambatan pengosongan lambung pada pemeriksaan barium meal study
6. Residu gaster lebih dari 500 cc pada dewasa
7. Aspirat lebih dari 400 ml pada tes saline load
8. Tampak saat operasi penyempitan jalan keluar lambung.
Pada kasus serial di atas, keluhan pasien terbanyak adalah muntah dan nyeri
epigastrium.
Manajemen GOO terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium
penunjang, pemeriksaan imaging, dan prosedur diagnostik[20][21]. Pemeriksaan endoskopi
atas dapat membantu menunjukkan kondisi jalan keluar gaster dan mendapatkan jaringan
untuk diagnosis jika obstruksi terjadi intraluminal dan membedakan antara massa ulkus
atau tumor intrinsik. Biopsi dengan penunjuk CT-scan dapat membantu pada kasus
keganasan peripankreatik dan menegakkan adanya penyakit metastatik [2]. Manifestasi
yang tampak pada endoskopi atas sesuai dengan etiologi dari GOO tersebut.
Tatalaksana GOO tergantung penyebab. Tatalaksana akut meliputi dekompresi
lambung, koreksi cairan dan elektrolit, penggunaan obat-obat supresan asam lambung
untuk mengurangi spasme dan edema. Setelah pasien stabil, tindakan definitif seperti
dilatasi endoskopi atau pembedahan dapat dilakukan [7][22]. Pada penelitian Kumar et al.
didapatkan vagotomi trunkal dan gastrojejunostomi dikerjakan pada 34% kasus,
gastrojejunostomi paliatif 25%, total gastrektomi pada 1 kasus, jejunostomi pada 1
kasus[3]. Penelitian Geraghty et al. pada tahun 1991 melaporkan keberhasilan penggunaan
NSAID dan terapi medis saja pada pasien usia lanjut dengan GOO[23]. Ui et al.
melaporkan kasus keberhasilan pemberian pancrelipase sebagai pre-terapi GOO untuk
memudahkan pengeluaran isi lambung[24].
209
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
KESIMPULAN
Kasus serial ini menunjukkan bahwa manifestasi endoskopi GOO sangat bervariasi.
Pemeriksaan endoskopi atas dengan biopsi jaringan merupakan salah satu modalitas
untuk memastikan penyebab GOO. Modalitas pemeriksaan tambahan lain kadang
diperlukan untuk memastikan penyebabnya. Beberapa penyebab dapat diatasi dengan
terapi supportif nutrisi dan medika mentosa, beberapa dengan tindakan endoskopi, sedang
yang lain harus melibatkan tindakan bedah untuk menjamin patensi jalan keluar makanan
dari gaster.
Dari empat kasus gastric outlet obstruction, kasus terbanyak disebabkan 3 ulkus di
daerah antrum-pylorus-duodenum, dan 1 kasus limfoma non-Hodgkins duodenum.
Prosedur pembedahan pintas (by-pass) dilakukan pada 2 kasus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Miller A, Schwaitzberg S (2014). Surgical and endoscopic options for benign and malignant
gastric outlet obstruction. Curr Surg Rep. 2:48. DOI 10.1007/s40137-014-0048-z
2. Castellanos AE (2017). Gastric Outlet Obstruction. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/190621-overview, citated at 11 June 2018
3. Kumar PN, Lakshmi RM, Karthik GSRS (2017). A clinicopathological study on gastric
outlet obstruction in adults. J Evolution Med. Dent. Sci. 6(5):382-386. DOI
10.14260/Jemds/2017/86
4. Essoun S, Dakubo JCB (2014). Update of aetiological patterns of adult gastric outlet
obstruction in Accra, Ghana. International Journal of Clinical Medicine.5:1059-64. DOI
10.4236/ijcm.2014.517136
5. Jaka H, Mchembe MD, Rambau PF, Chalya PL (2013). Gastric outlet obstruction at Bugando
Medical Centre in Northwestern Tanzania: a prospective review of 184 cases. BMC
Surgery.13:41. Available at: www.biomedcentral.com/1471-2482/13/41, citated at 29 May
2018
6. Noomene R (2014). Parkinsonism revealing peptic ulcer and gastric outlet obstruction: was it
more than an association?. Austin A J Parkinsons Dis.1(2): 1-2
7. Sejati A, Fauzi A (2011). Gastric outlet obstruction due to peptic ulcer disease. The
Indonesia Journal of Gastroenterology Hepatology and Digestive Endoscopy. 12(2):123-126
8. Amoako J, Obaka H, Affram N, Theodore W, Asumda FZ (2018). An unusual case of gastric
outlet obstruction in a Ghanaian Woman. Available at: www.avidscience.com, citated at 29
May 2018
9. Saha M, Dasgupta S, Chakrabarti S, Chakraborty J (2017). Gastric outlet obstruction: report
of an exceptional case. J Med Sci.37(2):76-79. DOI 10.4103/jmedsci.jmedsci_27_16
10. Arabi NA, Musaad AM, Ahmed EE, Ibnouf MMAM, Abdelaziz MSE (2015). Primary
gastric tuberculosis presenting as gastric outlet obstruction: a case report and review of the
literature. Journal of Medical Case Reports.9:265. DOI 10.1186/s13256-015-0748-8
11. McGrath C, Tsang A, Nithianandan H, Nguyen E, Bauer P, Dennis K (2017). Malignant
gastric outlet obstruction from pancreatic cancer. Case Rep Gastroenterol.11:522-515. DOI
10.1159/000480070
12. Kwong WT, Fehmi SM, Lowy AM, Savides TJ (2014). Ebteral stenting for gastric outlet
obstruction and afferent limb syndrome following pancreaticoduodectomy. Annals of
Gastroenterology.27(4):1-5
13. Scheck SM, Loveday B, Bhagvan S, Beban G(2014). Crohn’s disease presenting as gastric
outlet obstruction. Journal of Surgical Case Reports. 12:1-3. DOI 10.1093/jscr/rju128
14. O’Carroll R, Kennedy R (2007). Gastric outlet obstruction. Can J Surg.50(6): E29-30
15. Bolster F, Lawler LP, McEntee G (2018). An unusual cause of gastric outlet obstruction-
incomplete annular pancreas. Available at http://hdl.handle.net/10147/270457, citated at 29
May 2018
210
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
16. Magalhaes RK, Moreira T, Pimentel R, Caetano C, Pedroto I(2012). Drug package as a cause
of gastric outlet obstruction. Endoscopy.44: E421. DOI 10.1055/s-0031-1291696
17. O’Neil C, Colquhoun P, Schlachta CM, Rezai RE, Jayaraman S(2009). Gastric outlet
obstruction secondary to biliary calculi: 2 cases of Bouveret syndrome. J Can Chir.52(1):
E16-18
18. Franco LM, Dryden NJ(2007). Gastric outlet obstruction. N Engl J Med.356(9): 942
19. Kotisso B (1996). Gastric outlet obstruction in Northwestern Ethiopia. East and Central
African Journal of Surgery.5(2): 25-29
20. Tentugal CN, Silva L, Brito J, Soares C, Castro MOE, Alexio F(2013). The way to “GOO”:
mechanism leading to gastric outlet obstruction and corresponding imaging findings.
European Society of Radiology. 1-78. DOI 10.1594/ecr2013/C-2422
21. Godadevi R, Reddy RA (2016). A clinical study and management of gastric outlet
obstruction in adults. International Journal of Scientific Study.4(6): 104-108. DOI
10.17354/ijss/2016/495
22. Kochhar R, Kochhar S(2010). Endoscopic balloon dilatation for benign gastric outlet
obstruction in adults. World J Gastrointest Endosc.2(1): 29-35. DOI 10.4253/wjge.v2.i1.29
23. Geraghty RJ, Black D, Bruce SA (1991). The succesful medical management of gastric
outflow obstruction associated with the use of non-steroidal anti-inflammatory drugs in the
elderly. Postgrad Med J.67:1004-1007. DOI 10.1136/pgmj.67.793.1004
24. Ui T, Shibusawa H, Tsukui H, Sakuma K, Takahashi S, Lefor AK, et al.(2015). Pretreatment
of gastric outlet obstruction with pancrelipase: report of a case. International J of Surg Case
Reports.12: 87-89. DOI 10.1016/j.ijscr.2015.05.023
211
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
ANALISA KESINTASAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PADA
PASIEN PENYAKIT HATI LANJUT Syifa Mustika*, Supriono*, Bogi Pratomo Wibowo*
*Divisi Gastroentero-hepatologi, Department Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya, RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang
Abstrak
Latar Belakang: Angka kejadian Karsinoma hepatoseluler (KHS) di Asia mencapai 30 kasus per
100.000 orang per tahun dan di Indonesia pada 2013 mencapai 17 kasus kematian dari 96 kasus
baru, sehingga termasuk dalam 10 besar kanker pembunuh. Tingginya insiden KHS ini terkait
dengan kejadian infeksi virus hepatitis B dan C kronis. Sulitnya mengenali gejala pada stadium
awal dan progresifitas KHS menyebabkan kebanyakan pasien datang dalam stadium lanjut yang
berujung pada kematian.
Tujuan : Untuk mengetahui kesintasan pasien penyakit hati hepatitis kronis (HK), sirosis hepatis
(SH) dan karsinoma hepatoseluler (KHS) pada pengamatan selama 6 bulan serta factor yang
mempengaruhinya.
Metode : Penelitian kohort pada 41 pasien penyakit hati kronis yang diikuti pada bulan ke 0
hingga bulan ke 6. Subyek terbagi menjadi 3 kelompok yaitu 16 pasien HK, 15 pasien SH dan 10
pasien KHS di poli rawat jalan atau rawat inap di RSUD dr. Saiful Anwar Malang. Data dasar
berupa data demografis dan klinis dicatat dan dianalisis kesintasan menggunakan Kaplan Meier
dengan end point kematian.
Hasil: Usia rata-rata saat pasien saat didiagnosis [HK 42.5 tahun; SH 50 tahun; KHS 60.5 tahun
(p=0,003)]; Jenis kelamin [dominasi laki-laki; HK 62.5%, SH 93.33%, KHS 90%]; Terapi
antiviral hepatitis [HK 87.5%, SH 33.33%, KHS 0%]; Status merokok [HK 62.5%, SH 46.67%,
KHS 40% (p = 0.253)]; Indeks Masa Tubuh (IMT) [HK dominasi normal, SH dominasi normal,
KHS dominasi kurus (0.003)]; Infeksi virus hepatitis B lebih dominan di semua kelompok . Pada
pengamatan hingga bulan ke 6, terdapat 5 subyek meninggal dunia dari kelompok KHS, 1 subyek
HK mengalami progresivitas menjadi sirosis. Hasil Analisa Kaplan Meier, kelompok KHS
memiliki waktu kematian lebih cepat dibandingkan kelompok HK dan SH,dan peluang kesintasan
turun hingga 0.6 mulai bulan ke 2.
Kesimpulan: Progresifitas penyakit hati lanjut dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, IMT dan
infeksi virus hepatitis B kronik. Karsinoma sel hati memiliki kesintasan hidup lebih rendah
daripada hepatitis kronis dan sirosis hepatis dan dalam 6 bulan 50% pasien KHS meninggal.
Kata Kunci: kesintasan, hepatitis kronis, sirosis hepatis, karsinoma hepatoseluler.
212
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
SEORANG PENDERITA LYMPHOMA NON HODGKIN TIPE SEL B
DUODENUM DENGAN MANIFESTASI GASTRIC OUTLET OBSTRUCTION Budi Widodo, Nadya Meilinar S, Iswan A Nusi, Poernomo B Setiawan, Ummi Maimunah, Titong
Sugihartono, Herry Purbayu, Ulfa Kholili, Husin Thamrin, Amie Vidyani, Muhammad M
Divisi Gastroentero-hepatologi, Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga –
RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Pendahuluan
Gastric outlet obstruction (GOO) merupakan konsekuensi klinis dan patofisiologis yang
mengakibatkan hambatan dalam pengosongan lambung. Penyebab GOO umumnya dikategorikan
ke dalam dua kelompok yaitu jinak dan ganas. Kejadian Limfoma sekitar 20% dari semua tumor
usus halus dengan terbanyak pada Ileum distal karena terdapat sejumlah besar jaringan limfoid di
ileum distal. Berikut ini kami laporkan kasus penderita limfoma non hodgkin duodenum dengan
manifestasi gastric outlet obstruction
Kasus
Pasien wanita 58 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas yang memberat
sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Nyeri perut terasa tembus ke punggung, tidak menjalar
ke langan maupun leher. Nyeri hilang timbul. Terdapat benjolan di perut kanan atas yang semakin
membesar sejak 2 bulan yang lalu, tidak nyeri bila ditekan. Pasien mengeluh mual dan muntah,
muntah terjadi 30 menit sampai 1 jam setelah makan, berupa makanan yang dimakan tidak ada
darah maupun warna kehitaman. Keluhan ini dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Kadang disertai
panas badan. Nafsu makan menurun dan berat badan menurun 10 kilogram dalam 2 bulan
terakhir. Karena keluhannya pasien berobat ke dokter dan dikatakan sakit lambung. Mata dan
badan kuning disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat penyakit dahulu tidak
didapatkan riwayat diabetes maupun hipertensi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesan sakit sedang, kesadaran compos mentis,
tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 104x/menit regular, kuat angkat, frekuensi napas 22x/menit,
suhu aksiler 38 °C. Pada pemeriksaan kepala/leher didapatkan konjungtiva anemis, tidak ikterus,
tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening, jugular venous pressure tidak meningkat.
Pada pemeriksaan toraks tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan abdomen tampak flat,
bising usus normal, soepel, teraba massa di regio kuadran kanan atas, ukuran 7x5 cm, padat keras,
tidak ada nyeri tekan, mobile, Murphy’s sign tidak didapatkan, hepar dan lien tidak teraba.
Pemeriksaan ekstrimitas tidak didapatkan kelainan.
Pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 9,5 g/dL, Lekosit 11,820/mm³, granulosit 85,7
%, trombosit 459.000/mm³, gula darah acak 103 mg/dL, SGOT 159 U/L, SGPT 125 U/L,
Albumin 2,82 g/dL, Bil Direk 1,7 mg/dL, Bil Total 2,5 mg/dL, BUN 5 mg/dL, Serum kreatinin
0,47 mg/dL, Natrium 138 mmol/L, Kalium 3,3 mmol/L, Cl 104 mmol/L. CEA 0,17 ng/ml, Ca19-9
38,25 U/ml. Urine lengkap pH 5,5, glukosa negatif, bilirubin negatif, keton negatif, nitrit negatif,
protein negatif, leukosit negatif, eritrosit negatif, bakteri negatif.
Foto Polos abdomen: bayangan radioopak yang mengisi hemikolon sinistra dan rongga
pelvis sinistra. Pemeriksaan USG abdomen kesan massa intra luminer di abdomen kanan atas,
dekat hepar, sepanjang 9 cm mengesankan Ca colon transversum dd mass duodenum.
Pemeriksaan Endoskopi kesan gastric outlet obstruction dengan massa pada D2
duodenum curiga ganas. Dilakukan biopsi pada massa duodenum
Endoscopic Ultrasonography (EUS): Didapatkan gambaran massa dengan ukuran
5,59x5,40 cm dengan vaskularisasi pada curvatura major yang menekan lambung.
Hasil Upper GI Study dengan kontras: kesan Penyempitan disepanjang C-loop dengan
permukaan yang ireguler, pasase kontras cair masih tampak normal. Pemeriksaan CT scan
abdomen kesan massa yang berasal dari duodenum, ukuran 7,1x5,5x8,3 cm kemungkinan
infiltrasi ke kaput pankreas masih bisa karena batas dengan kaput pankreas sulit ditentukan,
duktus pankreatikus Wirsung melebar ringan. Tak tampak infiltrasi ke dinding abdomen.
213
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Pasien didiagnosis Tumor duodenum DD/ GITS, Adeno Ca, tumor karsinoid / NET,
Limfoma.
Pasien dikonsulkan ke bedah digestive didapatkan Ca duodenum T4aN1M0 dan
dilakukan laparotomi eksplorasi whipple procedure pancreaticojejunostomy hepaticoje junostomy
gastrojejunostomy reseksi jejunum end to end anastomosis.
Hasil biopsi endoskopi dan biopsi saat pembedahan didapatkan Limfoma non Hodgkin
duodenum, hasil imunohistokimia didapatkan CD 20 positif
Diskusi
GOO bermanifestasi mual dan muntah. Muntah bersifat non-bilious, dan secara
karakteristik berisi makanan yang tidak dicerna. Pasien dengan GOO yang disebabkan oleh ulkus
duodenum atau obstruksi inkomplit biasanya memiliki gejala seperti retensi lambung, kenyang
awal, kembung atau rasa penuh pada epigastrium, gangguan pencernaan, anoreksia, mual,
muntah, nyeri epigastrium, dan penurunan berat badan
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk mendiagnosis GOO seperti USG
abdomen, Upper GI study, CT scan abdomen. Pemeriksaan lain seperti endoskopi dan endoskopi
ultrasound memiliki keunggulan dapat dilakukan biopsi pada saat yang bersamaan.
Keganasan pada duodenum paling sering terjadi ada 4 yaitu adenokarsinoma, limfoma,
karsinoid, dan gastrointestinal stromal tumor (GIST)
Terapi GOO untuk mengurangi obstruksi dan penyulit yang lain, terapi definitif
diberikan setelah diagnosis pasti tegak. Diagnosis pasti dengan melakukan pemeriksaan
histopatologi dan imunohistokimia bila diperlukan
Kata kunci: Gastric outlet obstruction, Limfoma Non Hodgkin, CD 20
214
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
ANALISIS KADAR ASAM BUTIRAT DAN KOMPOSISI MIKROBIOTA
INTESTINAL PADA KANKER KOLOREKTAL Salwiyadi1, Siti Adewiyah2, Azzaki Abubakar3, Fauzi Yusuf3
1PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK Unsyiah / RSUDZA Banda Aceh 2RSUD. dr. Fauziah Bireun3
Staf Divisi Gastroenterohepatologi Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unsyiah / RSUDZA
Banda Aceh
Abstrak LatarBelakang
Kankerkolorektal (KKR) adalah penyebab utama kematian diseluruh dunia yang berhubungan
dengan kanker. Mikrobiota usus berperan sebagai organisme yang nyata danp erubahan
komposisinya telah dilaporkan pada kejadian kanker kolorektal. Short chain fatty acids atau asam
lemak rantai pendek terutama dihasilkan dari metabolit mikroba yang terdiri dari asamasetat,
propionat dan butirat. Butirat berasal dari usus besar yang dihasilkan oleh bakteri tertentu dan
fungsinya berperan dalam pemeliharaan host. Beberapa bukti menunjukkan peran penting butirat
dalam pencegahan /penghambatan proses karsinogen kolon.Selain itu, terdapat hubungan yang
berkebalikan antara kadar asambutirat dengan kejadian KKR. Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi hubungan antara kadar asambutirat dan strukturmikrobiota pada pasien kanker
kolorektal dan non kanker kolorektal.
Metode
Penelitian ini merupakancase-controlstudi yang terdiri dari 14 subjek kankerkolorektal dan non
kanker kolorektal. Analisa SCFA dengan menggunakan gas kromatografi yang diambil dari
sampel feses subjek penelitian dan eksploirasi keragaman bakteri diperiksa dengan menggunakan
rRNA 16S gene denaturing gradient gel electrophoresis (DDGE)
Hasil
Kadar asam butirat pada kanker kolorektal menunjukkan hasil yang lebih rendah dibanding non
kanker kolorektal dengan rata-rata 3.79 ± 2.04 µg/mL versus 6.81 ± 2.59 µg/mL (p<0,05).
Analisis PCR-DGGE pada subjek kanker kolorektal menunjukkan gambaran yang berbeda yaitu
dijumpai penurunan Bifidobacterium dibandingkan subjek non kankerkolorektal. Dari ketiga
komponen SCFA, kadar asambutirat menunjukkan hasil diagnostic terbaik dengan area under
receiver operating characteristic (ROC) curve 0.84 lebih tinggi daripada asamasetat (0.71) dan
propionat (0.75)
Kesimpulan
Kadar asam butirat secara signifikan menurun pada kanker kolorektal dibanding non kanker
kolorektal. Hal yang menarik terdapat juga perbedaan keragaman Bifido bacterium dari subjek
kanker kolorektal dan non kanker kolorektal.
Kata Kunci :Asambutirat, Mikrobiotausus, Kankerkolorektal
215
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
PROSEDUR ENDOSKOPI DILATASI PADA PASIEN DENGAN STENOSIS PILORUS
Ridwan Prasetyo, Budi Widodo, Iswan Abbas Nusi, Poernomo Boedi Setiawan, Herry Purbayu, Titong Sugihartono,
Ummi Maimunah, Ulfa Kholili, Husin Thamrin, Muhammad Miftahussurur, Amie Vidyani
Divisi Gastroenterologi-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr Soetomo, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya
Abstrak
Pendahuluan Stenosis pilorus pada orang dewasa adalah kondisi yang langka dan umumnya sebagai komplikasi lanjut
pada kasus tertelan zat asam. Kasus stenosis pilorus pada orang dewasa sebagian besar karena zat erosif,
kondisi bawaan atau tukak lambung. Manajemen stenosis pilorus dapat berupa endoskopi dilatasi balon atau
pembedahan. Kami melaporkan seorang pasien dengan stenosis pilorus yang dilakukan tindakan endoskopi
dilatasi balon.
Kasus
Seorang wanita 31 tahun, suku Jawa, tidak bekerja, tinggal di rumah sakit jiwa di Malang. Pasien datang ke
RSU Dr. Soetomo Surabaya dengan keluhan mual dan muntah ketika makan dalam jumlah besar sejak 4
bulan lalu setelah secara tidak sengaja menelan cairan pembersih lantai asam kuat. Dari pemeriksaan fisik
dalam batas normal, tanda vital stabil, dan kehilangan berat badan 10 kg dalam 4 bulan. Pasien menjalani
pemeriksaan endoskopi dan esofagoduodenogram awal dengan hasil stenosis pilorus. Pasien disarankan
untuk tindakan operasi piloromiotomi namun pasien menolak. Pasien dirujuk ke RSU Dr. Soetomo untuk
prosedur lanjutan. Hasil endoskopi ulang dengan back up anestesi didapatkan diagnosis stenosis pilorus.
Pasien dilakukan tindakan endoskopi dilatasi balon dengan CRE 18 mm, tekanan 3 atmosfer selama 3 menit
dan injeksi triamsinolon pada 8 titik. Paska tindakan dilakukan evaluasi endoskopi ulang dua kali dengan
hasil fibrosis pilorus diameter 17 mm. Enam bulan paska endoskopi dilatasi pasien dapat makan dan minum
dengan normal, berat badan pasien bertambah dan bisa melakukan aktivitas harian dengan normal.
Diskusi
Stenosis pilorus banyak terjadi pada kasus tertelan asam dibanding basa. Endoskopi merupakan pilihan
utama untuk diagnosis dan sebaiknya dilakukan dalam 48 jam awal. Tindakan endoskopi dilatasi balon
pada kasus stenosis pilorus menunjukkan keberhasilan hingga 68 persen. Komplikasi yang terjadi dapat
berupa perdarahan dan perforasi.
Kesimpulan Endoskopi balon dilatasi dapat menjadi salah satu pilihan untuk stenosis pilorus.
Kata kunci: stenosis pilorus, asam kuat, endoskopi, dilatasi balon
216
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG BERPENGARUH TERHADAP
TERJADINYA GASTRITIS
Fathi Ilmawan, Hary Bagijo, Raditya Rahma
Bagian / Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UHT / RSAL Dr. Ramelan Surabaya
ABSTRAK
Pendahuluan: Gastritis merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi di masyarakat. Di
Indonesia insiden gastritis mencapai 115/150.000 penduduk. Ketidakseimbangan faktor agresif
dan defensif lambung dapat menyebabkan terjadinya gastritis. Faktor ini dapat dipengaruhi antara
lain oleh kebiasaan merokok, makanan pedas, konsumsi obat anti inflamasi non steroid (OAINS),
konsumsi alkohol dan infeksi Helicobacter pylori. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya gastritis.
Metode : Penelitian dilaksanakan dengan rancangan cross sectional. Subyek didapatkan dari
populasi pasien gastritis dengan cara simple random sampling. Besar sampel pada penelitian ini
adalah 62 pasien. Pasien-pasien tersebut menjalani pemeriksaan endoskopi dan biopsi di Poli
Endoskopi Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) Dr. Ramelan Surabaya. Endoskopi dilakukan
untuk memastikan adanya gastritis, sedangkan biopsi dilakukan untuk mencari adanya infeksi
helicobacter pylori. Selanjutnya dilakukan anamnesis tentang kebiasaan merokok, makanan
pedas, konsumsi OAINS, dan konsumsi alcohol.
Hasil : Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien terbanyak berumur < 60 tahun (69,4%), dan
laki-laki (59,7%) lebih banyak daripada perempuan. Di antara 62 pasien, yang mempunyai
kebiasaan merokok 25 orang (40,3%), riwayat konsumsi makanan pedas 38 orang (61.3%),
riwayat konsumsi NSAID 33 orang (53,2%), kebiasaan menkonsumsi alcohol 6 orang (9,7%), dan
yang terbukti positif terinfeksi H. Pylori 26 orang (41,9%).
Diskusi : Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa faktor risiko yang paling kuat
berhubungan dengan terjadinya gastritis adalah infeksi Helicobacter pylori (p < 0,001; OR =
1,030). Sementara faktor risiko kebiasaan merokok (p=0,894), makanan pedas (p=0,092),
konsumsi OAINS (p=0,274), dan konsumsi alkohol (p=0,115) secara tunggal belum bermakna
untuk menyebabkan gastritis. Namun gabungan dari faktor risiko tersebut dapat meningkatkan
terjadinya gastritis (p=0,001).
Kesimpulan : Faktor risiko yang paling kuat berhubungan dengan terjadinya gastritis adalah
infeksi Helicobacter pylori. Semakin banyak faktor risiko yang dimiliki pasien, maka
kemungkinan untuk terjadinya gastritis akan lebih besar.
Kata kunci : Gastritis, faktor risiko, endoskopi, biopsi.
217
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
PREVALENSI MUTASI REGIO BCP/PC PADA PASIEN HEPATITIS B
KRONIS HBEAG NEGATIF
Turyadi1,2, Nu’man As Daud3, Susan Irawati1, Luthfi Parewangi3, Meta D Thedja1,Ilhamjaya Patellongi3
Muh. Nasrum Massi3, David H Muljono1,3,4
1Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Indonesia 2Program Pascasarjana,Universitas
Hasanuddin, Makassar, Indonesia 3Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia 4Sydney Medical School, University of Sydney, Sydney, Australia E-mail: [email protected]
Latar Belakang. Hepatitis B yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (VHB) mempunyai
manifestasi dengan spektrum luas, dari tanpa gejala hingga gejala berat, mulai dari infeksi akut
hingga kronis. Replikasi VHB melibatkan enzim reverse transcriptase yang tidak mempunyai
kapasitas koreksi sehingga VHB mempunyai laju mutasi tinggi. Setiap mutasi mempunyai
implikasi yang berkaitan dengan fungsi gen yang mengalami mutasi tersebut. Mutasi pada basal
core promoter (BCP) dan precore (PC) tidak hanya berkorelasi dengan produksi HBeAg, namun
juga mempengaruhi keparahan penyakit, serta risiko terjadinya sirosis dan kanker hati. Studi ini
bertujuan untuk memetakan mutasi BCP dan PC pada pasien hepatitis B kronis dengan HBeAg
negatif.
Metodologi. Studi ini melibatkan 264 pasien dengan hepatitis B kronis yang telah menyetujui
keikutsertaannya dengan mengisi lembar persetujuan setelah penjelasan. Protokol penelitian ini
mendapat persetujuan etik dari Komisi Etik Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Status HBsAg
dan HBeAg ditentukan secara serologi, sementara kadar VHB diperiksa dengan real-time
polymerase chain reaction (rt-PCR). Mutasi BCP dan PC didapat dengan teknik PCR dilanjutkan
dengan sekuensing DNA sepanjang nukleotida 1719 sampai 1913 yang terdiri dari regio BCP
(1742 - 1813), PC (1814 – 1900), non BCP/PC (1719 – 1741 dan 1901 – 1913).
Hasil dan Diskusi Dari semua subjek yang terdiri dari 185(72%) pria dan 79(29.9%) wanita,
sebanyak 161(61.0%) merupakan HBeAg negatif dengan rerata usia 48.2±11.97 tahun dan
sisanya 103(39.0%) HBeAg positif dengan rerata usia 39.1±14.50 tahun, dimana usia kelompok
HBeAg negatif lebih tinggi (p<0.001). Prevalensi mutasi T1753V, A1846T, G1896A secara
signifikan lebih tinggi pada kelompok HBeAg negatif (p=0.029, p=0.016 dan p<0.001). Dilihat
dari mutasi pada semua yang tercakup dalam studi ini, secara kolektif frekuensi mutasi pada regio
BCP dan PC lebih tinggi pada HBeAg negatif didapat pada region BCP/PC (p=0.002), namun
perbedaan tersebut tidak ditemukan pada daerah di luar region BCP/PC. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa mutasi-mutasi pada BCP/PC mempengaruhi serokonversi HBeAg baik
secara bersama-sama maupun berdiri sendiri. Yang menarik pada studi ini bahwa mutasi ganda
A1762T/G1764A BCP yang banyak dihubungkan dengan manifestasi penyakit yang lebih parah
dan meningkatnya risiko terjadinya sirosis dan kanker hati hampir mendominasi pada kedua
kelompok (41.8%) dan tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok HbeAg tersebut. Hal ini
perlu mendapat perhatian khusus terhadap risiko yang menyertai mutasi ganda tersebut terlepas
dari status HBeAg. Interpretasi HBeAg negatif perlu dilakukan dengan hati-hati karena tidak
selalu merupakan serokonversi tetapi mungkin juga akibat adanya mutasi pada regio BCP/PC
yang berkaitan dengan prognosis penderita hepatitis B.
Kesimpulan. Mutasi pada HBeAg negatif lebih tinggi ditemukan pada region BCP/PC dan tidak
pada daerah lainnya. Mutasi BCP/PC mempengaruhi serokonversi HBeAg baik secara sendiri
maupun bersama-sama. Mutasi ganda A1762T/G1764A BCP dengan risiko keparahan penyakit,
sirosis dan kanker hati tinggi pada semua kelompok, sehingga kewaspadaan dan monitoring ketat
diperlukan pada pembawa mutasi tersebut tanpa memandang status HBeAg.
Kata kunci: Hepatitis B kronis, HBeAg negatif, mutasi, basal core promoter, precore
218
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN UBI JALAR UNGU (lpomoea
batatas) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GASTER PADA TIKUS
(Rattus norvegicus) JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI
PARACETAMOL Andre Mas Akbar, Edward Simon, Eva Pravitasari Nefertiti, Troef Soemarno
Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah, Surabaya, Indonesia
Latar belakang : Ubi jalar ungu adalah bahan makanan yang banyak ditemukan di Indonesia dan
Didalam ekstrak ubi jalar ungu memiliki kandungan antosianin, fenolik total,dan terdapat kolin
yang dapat membantu mempertahankan struktur membran sel,dan mengurangi inflamasi.
Paracetamol merupakan salah satu obat analgesik dan antipiretik yang umum digunakan
masyarakat luas, namun induksi paracetamol pada dosis tinggi dapat menimbulkan iritasi mukosa,
erosi, ulkus, dan pendarahan pada lambung.
Tujuan : Untuk mengetahuipengaruhekstrak daun ubi jalar ungu (Ipomoema batatas l) terhadap
gambaran histopatologis lambung tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang
diinduksi paracetamol dosis tinggi.
Metode : Penelitian eksperimental laboratoris dengan desain post-test only control group. Hewan
coba yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang dibagi dalam 3
kelompok. Kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif dan kelompok perlakuan.Kontrol
negatif diberikan pakan standar selama 14 hari.Kontrol positif diberi paracetamol 2g/kg BB
selama 14 hari.Kelompok perlakuan diberi ekstrak Daun Ubi Jalar Ungu (lpomoea batatas), 45
menit kemudian diberikan paracetamol 2 g/kgBB selama 14 hari.Pada hari ke 15, hewan coba
dikorbankan dan dilakukan pemeriksaan histopatologi pada gaster. Selanjutnya data dianalisa
menggunakan IBM SPSS versi 23 dengan metode Kruskal-Wallis.
Hasil : Uji Kruskal-Wallis menunjukkan hasil yang signifikan, uji Mann Whitney menunjukkan
pasangan yang memiliki pengaruh, hal ini bisa dilihat dari nilai signifikansi p < α (0,05). Namun
juga terdapat perbandingan yang menunjukkan tidak adanya pengaruh, hal ini didapat dari nilai
signifikansi p > α (0,05).
Kesimpulan : Pemberian ekstrak daunubijalarungu(Ipomoema batatas l)berpengaruh menurunkan
kerusakan gaster pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang diinduksi paracetamol.
Kata kunci : Daunubijalarungu(Ipomoema batatas l), Paracetamol, Gambaran Histopatologi
Gaster
219
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
RASIO SERUM PEPSINOGEN I/II PADA PENDERITA ULKUS GASTER
DAN NON ULKUS GASTER
M Indra Syahputra*, Mohd Irfan*, Azzaki Abubakar**, Fauzi Yusuf**
*Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
** Divisi Gastroenterohepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Abstrak
Latar Belakang
Ulkus gaster merupakan suatu defek mukosa atau submukosa yang berbatas tegas yang dapat
menembus lapisan muskularis mukosa sampai lapisan serosa sehingga terjadi perforasi. Non ulkus
gaster adalah temuan Esophago gastro duodenoscopy selain ulkus gaster, baik temuan normal,
gastritis ataupun esofagitis. Pepsinogen manusia merupakan pro-enzim yang inaktif dari enzim-
enzim pencernaan asal dari pepsin yang berasal dari mukosa gaster dan dapat diklasifikasikan
kedalam dua tipe yang berbeda yaitu Pepsinogen (PG) I dan PG II. Rasio Pepsinogen I/II
berkorelasi dengan abnormalitas histologi pada mukosa gaster. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui rasio Pepsinogen I/II pada penderita ulkus gaster dan non ulkus gaster
Metode
Penelitian ini bersifat analitik observasional pada pada 28 subyek penelitian, metode pengambilan
sampel bersifat consecutive sampling pada pasien yang dilakukan pemeriksaan Upper endoscopy
pada periode November 2016 – Januari 2017 di Rumah sakit umum dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh, dilakukan pemeriksaan kadar Pepsinogen I dan Pepsinogen II dan rasio Pepsnogen I/II pada
pasien ulkus test.
Hasil
Rasio Pepsinogen I/II pada kasus ulkus gaster, nilai minimum dan maksimum rasio Pepsinogen
I/II adalah 3,00 dan 7,00 dengan nilai rata-rata sebesar 4,69 ± 1,16. Rasio Pepsinogen I/II pada
kasus non ulkus gaster, nilai minimum dan maksimum rasio Pepsinogen I/II adalah 3,20 dan 6,70
dengan nilai rata-rata 4,93 ± 0,92. Nilai kolgorov-smirnov test sebesar 0.614 (p-value 0.872) pada
pasien ulkus gaster, dan 0.594 (p-value 0.872) pada pasien non ulkus gaster.
Kesimpulan
Rasio Pepsingen I/II pada pasien ulkus gaster memiliki nilai minimum dan rerata yang lebih
rendah daripada pasien non ulkus gaster. Namun, berdasarkan independent T-test tidak
didapatkan perbedaan secara statistik rasio serum Pepsinogen I/II pada pasien ulukus gaster dan
non ulkus gaster. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan
observasi jangka panjang untuk menentukan hubungan antara rasio Pepsinogen I/II dengan pasien
ulkus gaster.
Kata Kunci : ulkus gaster, non ulkus gaster, rasio Pepsinogen I/II
220
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
KADAR SERUM PEPSINOGEN I PADA PENDERITA DISPEPSIA KARENA ULKUS
GASTER DAN NON ULKUS GASTER
T. Fahril
*Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
**Divisi Ginjal Hipertensi dan Departement Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Abstrak
Pendahuluan Ulkus gaster merupakan suatu dispepsia organik yang sering dialami oleh masyarakat dan sering
terdiagnosis pada saat pasien menjalani pemeriksaan Esofagogastroduoduneskopi. Pepsinogen I
merupakan proenzim aktif, diproduksi oleh sel chief dan sel-sel mukus dari kelenjar oxyntic gaster
dan biomarker non invasif yang menggambarkan status fungsional dan struktural dari mukosa
gaster. Ada hubungan erat antara tingkat sekresi asam lambung, pepsinogen dan jenis penyakit
yang mempengaruhi saluran pencernaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
kadar serum Pepsinogen I pada pasien Dispepsia dengan ulkus gaster dan non ulkus gaster.
Metode
Penelitian ini merupakan suatu penelitian analitik yang menggunakan desain potong Lintang pada
28 orang subjek penelitian yang dipilih secara consentive sampling pada periode November
sampai Desember 2016 di Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin Banda Aceh. Parameter
yang diperiksa adalah kadar serum pepsinogen I. Hasil penelitian dianalisa menggunakan uji T
Independen.
Hasil penelitian
Kadar serum pepsinogen I pada penderita dispepsia karena ulkus gaster dan non ulkus gaster
memiliki nilai statistik yang berbeda-beda. Untuk kasus ulkus gaster, nilai minimum dan
maksimum kadar serum pepsinogen I adalah sebesar 14,70 dan 56,10 ug/l dengan nilai rata-rata
sebesar 34,47 ug/l dan SD sebesar 11,72 ug/l. Sedangkan nilai mediannya adalah sebesar 33,50
ug/l. Hal ini berarti bahwa 50% pasien dengan ulkus gaster memiliki kadar serum pepsinogen I
dibawah 33,50 ug/l dan 50% sisanya memiliki kadar serum pepsinogen I diatas 33,50 ug/l.
Sedangkan, untuk kasus non ulkus gaster, nilai minimum dan maksimum kadar serum pepsinogen
I adalah sebesar 17,40 dan 39,50ug/l dengan nilai rata-rata sebesar 30,19 ug/l dan SD sebesar 7,60
ug/l. Sedangkan nilai mediannya adalah sebesar 29,60 ug/l. Hal ini berarti bahwa 50% pasien
dengan non ulkus gaster memiliki kadar serum pepsinogen I dibawah 29,60 ug/l dan 50% sisanya
memiliki kadar serum pepsinogen I diatas 29,60ug/l
Keterbatasan Penelitian
Tidak dilakukan observasi jangka panjang untuk melihat pengaruh peningkatan kadar serum
pepsinogen I dengan resiko terjadinya ulkus gaster dan keterbatasan jumlah sampel dengan
koinsiden infeksi H.pylori yg sedikit.
Kesimpulan
Pada penelitian ini Kadar serum pepsinogen I pada penderita Dispepsia karena ulkus gaster
dan non ulkus gaster memiliki nilai statistik yang berbeda-beda.
Kata Kunci : ulkus gaster, pepsinogen 1.
221
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
HUBUNGAN ANTARA KONSUMSI KOPI DENGAN KEJADIAN
GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD) PADA
MAHASISWA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
Andrie Gunawan1, Iswan Ramdhana2 , Azzaki Abubakar3 1Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
2Mahasiswa Pendidikan Dokter 3Divisi Gastroenterohepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUD dr Zainoel Abidin Banda Aceh
ABSTRAK
Pendahuluan
Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah keadaan dimana refluxnya isi lambung ke
esofagus yang dapat menyebabkan trauma ataupun kerusakan pada mukosa esofagus dan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah konsumsi kopi. Kandungan kafein didalam
kopi yang diduga dapat melemahkan tonus Lower Esophageal Sphincter (LEs), Sehingga
memungkinkan terjadinya refluks isi lambung menuju esofagus. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui Hubungan antara Konsumsi Kopi dengan Kejadian GERD pada Mahasiswa
Universitas Syiah Kuala.
Metode
Desain penelitian analitik dengan metode korelasional. Sampel pada penelitian adalah mahasiswa
Asrama Universitas Syiah Kuala dengan total sampel 1016 mahasiswa, teknik pengambilan
sampel dilakukan secara total sampling dan yang memenuhi kriteria inklusi diambil sebagai
responden. Pengambilan data menggunakan kuesioner GERDQ dan Kuesioner konsumsi kopi
dilakukan pada tanggal 10,18, dan 21 oktober 2017 di asrama Universitas Syiah Kuala. Analisis
data dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square (p<0,05).
Hasil
Terdapat 805 responden menjadi subjek penelitian dimana 88 responden (11%) diantaranya
mengalami GERD. Subjek penelitian laki-laki 124 (15,4%) dan wanita 681 (84,5%) dengan
rentang usia antara 17 hingga 25 tahun. Berdasarkan IMT normal 469 (58,5%) responden, IMT
Kurang 213 (26,5%), IMT Overweight 66 (8,2%), IMT obesitas grade I 45 (5,6%) dan Obesitas
grade II sebanyak 12 (1,5%). Berdasarkan jenis kelamin, persentase GERD pada perempuan lebih
tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan berdasarkan IMT, persentase terbesar obesitas
grade II dengan 4 (33,3%) responden.
Hasil analisa data mengenai hubungan antara konsumsi kopi dengan kejadian GERD didapatkan
nilai p=0,000 menunjukkan hubungan antara konsumsi kopi dengan kejadian GERD pada
mahasiswa Universitas Syiah Kuala.
Diskusi
Pada penelitian ini didapatkan 88 responden (11%) mengalami GERD dimana perempuan sedikit
lebih tinggi dibandingkan laki-laki , perbedaan ini bisa disebabkan faktor hormonal dimana
hormon progesteron dan estrogen pada perempuan secara signifikan menganggu kinerja tonus
LES, sehingga mengakibatkan tonus LES melemah dan memungkinkan terjadinya mekanisme
refluks dari lambung dan terjadinya GERD.
Dari 50 (28,9) responden yang mengalami GERD ternyata mengkonsumsi kopi setiap harinya,
berdasarkan uji chi square pada penelitian ini diperoleh nilai p-value 0,000 (p<0,05),
menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi kopi dengan kejadian GERD, sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Pehl et al dan saadi et al dimana pada pengkonsumsi kopi
didapatkan peningkatan pH asam lambung, selain itu juga ditemukan melemahnya tonus LES.
Kesimpulan
222
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Prevalensi GERD pada mahasiswa Universitas Syiah Kuala sedikit lebih tinggi pada perempuan
dibandingkan laki-laki. Terdapat hubungan antara konsumsi kopi dengan kejadian GERD pada
mahasiswa Universitas Syiah Kuala
Kata kunci : Konsumsi kopi, Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
Daftar Pustaka :
1. Fass R. Epidemiology and pathophysiology of symptomatic gastroesophageal reflux disease.
American Journal Gastroenterology. 2003;98(3 SUPPL.):2–7.
2. Kim J, Oh SW, Myung SK, Kwon H, Lee C, Yun JM, et al. Association between coffee
intake and gastroesophageal reflux disease: A meta-analysis. Dis Esophagus. 2014;27(4):311–
7.
223
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
HUBUNGAN PUASA RAMADHAN DENGAN GEJALA KLINIS GASTROESOFAGEAL
REFLUX DISEASE DI POLIKLINIK PENYAKIT
DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
ACEH TAMIANG
Anandita Putri1, Wahyuddin2
1 Dokter Umum, Rumah Sakit Cut Meutia Langsa 2 Spesialis Penyakit Dalam, Rumah Sakit Umum Aceh Tamiang
Abstrak
Pendahuluan
Gastroesofageal Reflux Disease (GERD) adalah kelainan yang menyebabkan cairan
lambung mengalami refluks ke dalam esofagus dan menimbulkan gejala. Kuesioner tervalidasi
untuk diagnosis dan respon terapi GERD adalah Gastroesophageal Reflux Disease Questionnaire
(Gerd-Q).
Faktor resiko GERD dapat berubah saat puasa Ramadhan. Berdasarkan penelitian
mardiah dkk, keluhan GERD dirasakan lebih ringan saat puasa Ramadhan dibandingkan tidak
puasa Ramadhan. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan puasa Ramadhan terhadap
gejala klinis pasien GERD.
Metode
Penelitiaan ini merupakan penelitian logituginal dengan total sampling. Subjek penelitian
dikelompokkan menjadi kelompok puasa Ramadhan (n=24) dan kelompok tidak puasa
Ramadhan (n=20). Evaluasi dilakukan diantara kedua kelompok tersebut dan pada kelompok
puasa Ramadhan dilakukan evaluasi 14 hari setelah melakukan puasa. Evaluasi dilakukan
dengan menggunakan kuesioner GERD-Q dalam bahasa Indonesia.
Hasil
Pada kelompok yang berpuasa Ramadhan terdapat perbedaan median nilai GERD-Q yang
bermakna secara statistik (nilai p<0,05 yakni p=0,000) antara sebelum puasa dengan nilai median
10 dan 14 hari setelah puasa dengan nilai median yang menurun menjadi 5. Sementara itu, bila
dilakukan analisis untuk membandingkan median nilai GERD-Q antara kelompok yang puasa
Ramadhan dan tidak juga didapatkan perbedaan yang signifikan (nilai p<0,05 yakni p=0,000).
Diskusi
Ketika membatalkan puasa (ifthar), tekanan sfingter (lower esophageal sphincter/LES)
menurun terjadi refluks dan muncul gejala. Jenis nutrisi yang dikonsumsi saat berbuka sebaiknya
makanan dengan kandungan rendah lemak dan dalam porsi kecil secara bertahap. Penelitian yang
dilakukan oleh Iraki dkk, terdapat penurunan rata-rata pH lambung saat berpuasa dibandingkan
dengan tidak puasa pada pasien yang telah melakukan puasa Ramadhan lebih dari 10 hari.
Kesimpulan
Pada subjek yang menjalani puasa Ramadhan keluhan GERD dirasakan lebih ringan saat
menjalani puasa Ramadhan dibandingkan sebelum puasa Ramadhan. Di bulan Ramadhan,
keluhan GERD lebih ringan dirasakan oleh subjek yang menjalani puasa Ramadhan dibandingkan
subjek yang tidak menjalani puasa Ramadhan.
Kata Kunci: Gastroesofageal Reflux Disease (GERD), puasa Ramadhan
224
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Pendahuluan
Gastroesofageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu kelainan yang
menyebabkan cairan lambung mengalami refluks ke dalam esofagus dan menimbulkan
gejala khas seperti heartburn (rasa terbakar di dada yang kadang disertai rasa nyeri dan
pedih) serta gejala lain seperti regurgitasi (rasa asam dan pahit di lidah), nyeri
epigastrium, disfagia dan odinofagia.1
Prevalensi GERD antara 18,1% -27,8% di Amerika Utara, 8,8% -25,9% di Eropa,
2,5%-7,8% di Asia Timur, 8,7%-33,1% di Timur Tengah, 11,6% di Australia dan 23,0%
di Amerika Selatan. 2 sedangkan data GERD di Indonesia belum ada, penelitian yang
dilakukan oleh Lelosutan SAR dkk di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia,
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta (FKUI / RSCM-Jakarta) menunjukkan dari
127 subyek penelitian yang menjalani endoskopi gastrointestinal atas, 22,8% (30 subjek)
mengalami esophagitis.3
Kuesioner tervalidasi yang paling umum digunakan untuk diagnosis GERD
adalah Kuesioner Penyakit Reflux Gastroesophageal (GerdQ),4 selain untuk menegakkan
diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan untuk menentukan respon terapi. 5
Faktor resiko GERD di Asia-Pasifik, antara lain berat badan, nutrisi, konsumsi
alkohol, merokok, penggunaan non steroidal anti inflamatory drugs (NSAID) dan posisi
tidur. 6 ,7,8, 9 Faktor resiko tersebut dapat berubah saat puasa Ramadhan. Puasa
diartikan sebagai menahan diri dari makan, minum dan segala hal yang membatalkannya,
dimulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Ramadhan adalah bulan umat islam
berpuasa selama 30 hari. 10
Berdasarkan penelitian Mardhiyah dkk, subjek yang menjalani puasa Ramadhan
keluhan GERD dirasakan lebih ringan saat menjalani puasa Ramadhan dibandingkan
sebelum puasa Ramadhan. Dibulan Ramadhan, keluhan GERD lebih ringan dirasakan
oleh subjek yang menjalani puasa Ramadhan dibandingkan subjek yang tidak menjalani
puasa Ramadhan.11 Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Iraki dkk., didapatkan
penurunan rata-rata pH lambung dalam periode puasa dibandingkan dengan tidak puasa
pada pasien yang telah melakukan puasa Ramadhan lebih dari 10 hari.12
Metode Penelitian
Penelitiaan ini merupakan penelitian logituginal dengan total sampling. Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang didiagnosa GERD pada tanggal 1 Mei
2018 – 16 Mei 2018 di Poliklinik Penyakit Dalam di RSUD Aceh Tamiang. Besar
sampel didapatkan dari seluruh pasien penderita GERD yang melakukan kunjungan ke
Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Aceh Tamiang, terdapat sebanyak 44 orang dari
seluruh penderita GERD dengan 24 orang yang menjalankan puasa Ramadhan dan 20
orang yang tidak menjalankan puasa Ramadhan. Kriteria inklusi adalah laki-laki dan
perempuan diatas 18 tahun dan kriteria eksklusi adalah pasien yang tidak bersedia
menjadi sampel penelitian.
Definisi Operasional
Variabel dalam penelitian ini ada 2, yaitu variabel dependen adalah gejala klinis
GERD dan independen adalah puasa Ramadhan.
Gejala GERD yaitu keluhan GERD dievaluasi menggunakan GERD-Q, terdiri
dari 6 pertanyaan dan 4 pilihan jawaban, tiap jawaban memiliki nilai 0-3. Skala ukur yang
digunakan adalah numerik.
225
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Puasa Ramadhan yaitu pasien yang melakukan puasa selama 14 hari dilakukan
dan dilakukan evaluasi sebelum puasa dan setelah puasa, sebagai pembanding adalah
pasien yang tidak melakukan puasa. Skala ukur yang digunakan adalah nominal.
Analisa Data
Hasil Penelitian dikelola secara elektronik menggunakan perangkat lunak SPSS
(Statistical Product for Sosial Science) © versi 23. Data yang berpasangan dilakukan
dengan analisis menggunakan uji Wilcoxon, sedangkan data yang tidak berpasangan
menggunakan uji Mann-Whitney.
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 1 Mei 2018 – 16 Mei
2018 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Aceh Tamiang diperoleh jumlah pasien yang
memenuhi kriteria inklusi dan eklusi adalah sebanyak 44 orang. Setelah 14 hari
memasuki bulan Ramadhan maka pasien dievaluasi melalui telpon dan didapatkan 24
orang pasien GERD yang puasa dan 20 orang pasien GERD yang tidak puasa.
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Indeks
Masa Tubuh (IMT) dan Kebiasaan Merokok
NO KARAKTERISTIK
RESPONDEN
KELOMPOK
PUASA RAMADHAN
(N=24)
KELOMPOK TIDAK
PUASA RAMADHAN
(N=20)
1 Jenis Kelamin, n (%)
Laki-Laki 6 (25) 4 (20)
Perempuan 18 (75) 16 (80)
2 Usia, rerata 38 (34-53) 34(34-42)
(minimal-maksimal )
3 Indeks Masa Tubuh, n
(%)
Normoweight 15 (62) 11(55)
Overweight 7 (29) 6 (30)
Obese 2 (9) 3 (15)
4 Kebiasaan Merokok
Sebelum Ramadhan, n
(%)
Merokok 4 (16) 1 (5)
Tidak Merokok 20 (84) 19 (95)
5 Kebiasaan Merokok
Saaat Ramadhan, n (%)
Merokok 4 (16) 1 (5)
Tidak Merokok 20 (84) 19 (95)
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan dari 44 orang yang menjadi sampel
penelitian, sebanyak 24 orang yang melakukan puasa ramadhan dan 20 orang tidak
berpuasa. Kedua kelompok menunjukkan jenis kelamin perempuan lebih banyak
menderita GERD dibandingkan laki-laki. Usia rerata pada kelompok puasa Ramadhan
adalah 38 tahun sedangkan pada kelompok tidak puasa Ramdhan adalah 34 tahun. Indeks
masa tubuh (IMT) pada kedua kelompok cenderung normal di bandingkan yang
mengalami obesitas. Kebiasaan merokok pada kedua kelompok adalah sama baik saat
puasa Ramadhan dan tidak.
226
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Tabel 2 Nilai GERD-Q Kelompok Puasa Ramadhan
N MEAN
STD.
DEVIATION MINIMUM MAXIMUM
nilai GERD-Q
sebelum puasa
Ramadhan
24 10.29 1.654 8 14
Nilai GERD-Q saat
puasa Ramadhan 24 4.71 1.853 2 9
Tabel diatas menunjukkan nilai GERD-Q sebelum puasa Ramadhan memiliki
rerata 10,29 dengan nilai minimum-maksimum (8-14) sedangkan saat puasa Ramadhan
menurun dengan rerata 4,71 dengan nilai minimum-maksimum (2-9).
Tabel 3 Hasil Uji Wilcoxon Nilai GERD-Q Sebelum dan Saat Puasa Ramadhan
NILAI GERD-Q SEBELUM RAMADHAN - NILAI GERD-Q
SAAT RAMADHAN
Z -4.036-b
Asymp. Sig.
(2-tailed) .000
Analisa nilai GERD-Q yang menunjukkan gejala klinis GERD sebelum
melakukan dan saat menjalani puasa Ramadhan dengan uji Wilcoxon menunjukkan nilai
p-value <0,05 yakni p-value =0,000 maka didapatkan adanya pengaruh signifikan puasa
Ramadhan dengan gejala klinis pada pasien GERD.
Tabel 4 Hasil Uji Mann-Whitney Kelompok Puasa Ramadhan dan Tidak Puasa Ramadhan
NILAI GERD-Q
Mann-Whitney U 30.500
Wilcoxon W 330.500
Z -4.985-
Asymp. Sig. (2-
tailed) .000
Berdasarkan hasil analisa nilai GERD-Q yang menunjukkan gejala klinis GERD
pada pasien yang menjalankan puasa Ramadhan dengan uji Mann-Whitney menunjukkan
adanya hubungan signifikan antara puasa Ramadhan dengan gejala klinis ditandai dengan
p-value <0,05 yakni p-value =0,000.
227
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Gambar 1 Perubahan Gejala Klinis Pasien Puasa Ramadhan dan Tidak Puasa Ramadhan
Pada pasien yang menjalani puasa Ramadhan, sebanyak 87, 5% (21 orang)
membaik, 12,5% (3 orang) menetap dan tidak ada yang memburukan. Pada kelompok
yang tidak menjalani puasa maka didapatkan 10% (1 orang) membaik, 90% (18 orang)
menetap dan 10% (1 orang) memburukan.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD
Aceh Tamiang yang masuk dalam kriteria inklusi dan eklusi adalah 44 orang, 24 orang
menjalani puasa Ramadhan dan 20 orang yang tidak. Evaluasi keluhan dengan
menggunakan kuesioner GERD-Q didapatkan hasil adanya hubungan signifikan antara
puasa Ramadhan dengan gejala klinis ditandai dengan p-value <0,05 yakni p-value
=0,000.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mardhiya dkk, yang
meneliti effek puasa Ramadhan terhadap gejala GERD di RSCM,
subjek penelitian dikelompokan menjadi kelompok berpuasa Ramadhan (n=66)
dan kelompok tidak berpuasa Ramadhan (n=64). Evaluasi dilakukan antara kedua
kelompok tesebut, dan antara bulan Ramadhan dengan di luar bulan Ramadhan pada
kelompok berpuasa. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan kuesioner GERD-Q dalam
bahasa Indonesia. Hal ini berikatan dengan kebiasaan pola hidup yang berkaitan dengan
merokok, makan yang tidak teratur dan lainnya. 11 Hal yang sama juga dibuktikan pada
penelitian yang dilakukan Iraki, keluhan GERD berkurang pada orang yang melakukan
puasa setelah 10 hari, didapatkan Ph asam lambung relatif menurun.12
Pada literatur lainnya juga disebutkan bahwa GERD terjadi jika sfingter esofagus
bawah (lower esophageal sphincter/LES) melemah, sehingga mengakibatkan asam
lambung kembali ke esofagus yang dapat menyebabkan iritasi. Saat seseorang
membatalkan puasanya (ifthar), tekanan sfingter esofagus bawah (LES) menurun
mengakibatkan refluks sehingga muncul gejala. Tidak ada kontraindikasi berpuasa akan
tetapi jenis nutrisi yang dikonsumsi saat berbuka, sebaiknya berupa makanan yang
mengandung rendah lemak dalam porsi kecil secara bertahap 10
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Song, didapatkan keluhan GERD berkaitan
dengan mengkonsumsi mie instan, makanan pedas, makanan berlemak, permen, alkohol,
roti, minuman berkarbonasi dan minuman berkafein. 6 Selama puasa Ramadhan pasien
makan lebih teratur karena hanya dua kali dengan waktu yang sama setiap harinya, yaitu
saat sahur dan berbuka. Selama berpuasa, kebiasaan makan cemilan selama pagi, siang
maupun sore hari karena sedang berpuasa. Menurut Khdamoradi dkk, terdapat hubungan
GERD terhadap stres.9 Umumnya orang yang berpuasa akan lebih banyak bersabar dan
228
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
mengendalikan stres. Hal-hal inilah yang menyebabkan pasien dengan gangguan
fungsional tersebut dapat berpuasa dengan baik dan keluhan GERD akan berkurang.
Kesimpulan
Pada kelompok puasa Ramadhan keluhan GERD lebih ringan dibandingkan
kelompok tidak puasa Ramadhan. Pada kelompok puasa Ramadhan keluhan GERD
dirasakan lebih ringan saat berpuasa dibandingkan sebelum puasa.
Daftar Pustaka
1. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Revisi konsensus nasional penatalaksanaan
penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease/ GERD) di Indonesia.
Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. 2013
2. El-Serag HB, Sweet S, Winchester CC, Dent J. Update on the epidemiology of gastro-
oesophageal refluxdisease: a systematic review. Gut. 2014;63(6):871-80
3. The Indonesian Society of Gastroenterology. National Consensus on the Management of
Gastroesophageal Reflux Disease in Indonesia. Acta Med Indones J Intern Med.
2014;46(3):263-71
4. Revesp ER. Questionnaires for the diagnosis of gastroesophageal refluxdisease:are they
really useful for a diagnostic goal?.Madrid: Hospital Universitario.Department of
Digestive Diseases 2016;108(4):171-173
5. Saaputra,MD and Budianto,W.Diagnosis dan Tatalaksana GERD di Pusat Pelayanan
Primer. CDK-252.2017;44(5)
6. Song JH, Chung SJ, Lee JH, et al. Relationship between gastroesophageal reflux
symptoms and dietary factors in Korea. J Neurogastroenterol Motil. 2011;17(1):54-60
7. Minatsuki C, Yamamichi N, Shimamoto T, et al. Background factors of Reflux
Esophagitis and NonErosive Reflux Disease: A cross-sectional study of 10,837 subjects
in Japan. PLoS One. 2013;8(7):e69891
8. Kang JHE, Kang JY. Lifestyle measures in the management of gastrooesophageal reflux
disease: clinical and pathophysiological considerations. Ther Adv Chronic Dis.
2015;6(2):51-64.
9. Khodamoradi Z, Gamdomkar A, Paustchi H, et al. Prevalence and correlates of GERD in
Southern Iran: Parst Cohort Study.Middle East Journal of Digestive
Diseases.2017;9(3):129-138
10. Firmansyah, Muhammad.2016. Pengaruh puasa Ramadhan terhadap beberapa kondisi
kesehatan: CDK-230.2015;42 (7)
11. Mardhiyah dkk. The Effects of Ramadhan Fasting on Clinical Symptoms
in Patients with Gastroesophageal Reflux Disease. Acta Med Indones-Indones J Intern
Med. 2016:169-174
12. Iraki L, Bogdan A, Hakkou F, Amrani N, Abkari A, Touitou Y. Ramadan diet restrictions
modify the circadian time structure in humans. A study on plasma gastrin, insulin,
glucose, and calcium and on gastric pH. J Clin Endocrin Metabolism. 1997;82(4):1261-
73.
229
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
GAMBARAN ULTRASONOGRAFI (USG) GALL BLADDER DENGAN PASIEN
EPIGASTRIC PAIN DI INSTALASI RADIOLOGI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
MEURAXA BANDA ACEH TAHUN 2018
Sururi *1, Fuziati*2, Said Aandy Saida*3 1Mahasiswa Kedokteran Umum Universitas Abulyatama Aceh
2 Departemen Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Banda Aceh 3 Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Abulyatama Aceh
ABSTRAK
Latar Belakang : Epigastric pain merupakan nyeri terbakar yang dirasakan seseorang pada
daerah tengah atas perut di bawah prosessus shiphoideus.Keluhan epigastric paindapat
disebabkan oleh kelainan organ abdomen salah satunya adalah gall bladder.Ultrasonography
(USG) dapat menegakan diagnosis penyakit gall bladder. Gall bladder adalah sebuah kandung
berbentuk buah pir, yang terletak di lobus quadratus dengan panjang 7-10 cm.
Tujuan Penelitian : untuk mengetahui gambaran USG gall bladder pada pasien yang datang
dengan keluhan epigastric pain di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa
Banda Aceh Tahun 2018.
Metode Penelitian :Jenis penelitian ini kuantitatif, bersifat deskriptif dengan pendekatan
prospektif. Pengambilan sampel dengan teknik total sampling. Analisa data yang digunakan
adalah analisa univariat.
Hasil Penelitian : keseluruhan USG gall bladder dengan epigastric pain di Instalasi Radiologi
Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Banda Aceh Tahun 2018 ditemukan jumlah sampel 37
orang yang telah memenuhi kriteria inklusi. Berdasarkan jenis kelamin, terbanyak ditemukan pada
perempuan dengan 23 orang (62,2%) dan sisanya terdapat 14 orang (37,8%) dengan jenis kelamin
laki-laki. Berdasarkan kelompok usia, frekuensi paling banyak pada kelompok umur 40-59tahun
(37,8%). Berdasarkan hasil ekspertise, didapatkan normal sebanyak 15 orang (40,5%),
cholecystitis 11 orang (29,7%), dan cholelitiasis 7 orang (18,9%), serta cholecystitis dan
cholelitiasis 4 orang (10,8%).
Kesimpulan: Pasien epigastric pain yang mengalami cholecystitis, cholelitiasis, cholecystitis
dan cholelitiasis sebanyak 22 orang (59,5%) berdasarkan gambaran hasil USG gall bladder.
Kata kunci : epigastric pain, ultrasonography, gall bladder
230
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI PETAI (Parkia speciosa) TERHADAP
GAMBARAN HISTOPATOLOGI MUKOSA GASTER PADA TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus) JANTAN GALUR WISTAR YANG
DIINDUKSI PARACETAMOL Eva Pravitasari Nefertiti,
Universitas Hang Tuah Surabaya
ABSTRAK
Latar Belakang : Paracetamol, yang merupakan salah satu analgesik dan antipiretik banyak
digunakan oleh masyarakat luas sebagai terapi penurun panas dan peredam nyeri. Namun
beberapa peneliti lain menyatakan pada dosis yang tinggi, paracetamol dapat menimbulkan iritasi,
erosi, ulkus, dan pendarahan lambung.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak biji petai (Parkia speciosa)
terhadap gambaran histopatologi mukosa gaster tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar
yang diinduksi paracetamol.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris dengan desain post-test
only control group menggunakan 24 ekor tikus yang dibagi menjadi 3 kelompok . Kelompok
kontrol positif yang diberi diet pakan standart, aquades dan paracetamol 9 mg/ ekor/ hari secara
sonde per oral; kelompok perlakuan 1 yang diberi ektrak biji petai; dan kelompok perlakuan 2
yang diberi ekstrak biji petai (Parkia speciosa ) 7,2 mg/ ekor/ hari dengan paracetamol 9 mg/ ekor/
hari 45 menit setelahnya. Penelitian dilakukan selama 14 hari, kemudian gaster diambil pada hari
ke 15 dan dilakukan pemeriksaan secara mikroskopik. Selanjutnya data dianalisa menggunakan
IBM SPSS versi 23 dengan metode Kruskal-Wallis.
Hasil : Uji Kruskal-Wallis menunjukkan hasil yang signifikan, uji Mann
Whitney menunjukkan pasangan yang memiliki pengaruh, hal ini bisa dilihat dari nilai signifikansi
p < α (0,05). Namun juga terdapat perbandingan yang menunjukkan tidak adanya pengaruh, hal ini
didapat dari nilai signifikansi p > α (0,05).
Kesimpulan : Pemberian ekstrak biji petai (Parkia speciosa) berpengaruh menurunkan kerusakan
gaster pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang diinduksi paracetamol.
Kata kunci : Biji Petai (Parkia speciosa), Paracetamol, Gambaran Histopatologi Gaster
231
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TANAMAN KROKOT (Portulaca
oleracea) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GASTER PADA TIKUS
PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI
PARACETAMOL
Desy Rahmawati, Duti Duti Sriwati Aziz, Troef Soemarno, Edward Simon, Iswan A Nusi**, Poernomo Boedi
Setiawan**, Herry Purbayu**, Titong Sugihartono**, Ummi Maimunah**, Ulfa Kholili**, Budi Widodo**, IGM
Sanies Ermawan* **
*Fakultas Kedokteran Universitas Hangtuah, Surabaya, Indonesia
**Departemen Penyakit Dalam-Divisi Gastroentero-Hepatologi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – Rumah
Sakit Dr.Soetomo, Surabaya, Imdonesia
***Rumah Sakit Mataram, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Indonesia
Latar Belakang: Paracetamol merupakan obat analgesik dan antipiretik yang aman untuk
lambung. Paracetamol merupakan obat Non Steroid Anti Inflamasi Drug (NSAID). Paracetamol
diabsorbsi dengan baik oleh saluran gastrointestinal pada manusia. Paracetamol dosis tinggi dapat
menimbulkan iritasi / deskuamasi epitel, erosi, ulkus, dan perdarahan lambung. Ekstrak aquos dari
tanaman krokot (Portulaca oleracea) menunjukkan reaksi positif flavonoid yang fungsinya
sebagai gastroprotective yaitu mencegah kerusakan oxidative mukosa gaster dengan cara
memblok lipid peroksida, menurunkan superoksida dismutase dan meningkatkan aktivitas
katalase.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak Aqous tanaman Krokot
(Portulaca oleracea) terhadap gambaran histopatologi gaster tikus putih (Rattus Norvegicus)
jantan galur Wistar yang diinduksi paracetamol.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian Eksperimental Laboratoris dengan desain post-test
only control group menggunakan 24 ekor tikus yang dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok
control negatif yang diberi pakan standard; kelompok perlakuan positif 1 yang diberi paracetamol
1000mg/ekor/hari secara sonde per oral; dan kelompok perlakuan positif 2 yang diberi Ekstrak
Aquos Krokot (Portulaca oleracea) 150mg/KgBB/ekor/hari dengan diberi paracetamol
1000mg/ekor/hari 45 menit setelahnya secara sonde per oral. Penelitian dilakukan selama 14 hari,
kemudian diambil gaster pada hari ke 15 dan dilakukan pemeriksaan secara mikroskopik.
Selanjutnya data dianalisis menggunakan IBM SPSS versi 23 dengan metode Kruskal Wallis.
Hasil: Uji Kruskal Wallis menunjukkan hasil yang signifikan. Uji Mann Withney menunjukkan
perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan positif 1
p= 0,000 (p<0,05). Juga kelompok perlakuan positif 1 dengan kelompok perlakuan positif 2
p=0,003 (p<0,05). Namun tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok control negatif
dan kelompok perlakuan positif 2 p= 0,143 (p>0,05).
Kesimpulan: Pemberian Ekstrak Aquos Krokot (Portulaca oleracea) berpengaruh terhadap
gambaran histopatologi gaster pada tikus putih (Rattus Norvegicus) jantan galur wistar yang
diinduksi paracetamol.
Kata Kunci: Tanaman Krokot (Portulaca oleracea), Paracetamol, Gambaran Histopatologi
Gaster
232
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
LAPORAN KASUS: PROGRESIVITAS HEPATITIS AUTOIMUN MENJADI SIROSIS
HEPATIS DEKOMPENSATA PADA WANITA POST PARTUS.
Marselino Richardo, Neneng Ratnasari, Fahmi Indarti, Catharina Triwikatmani, Putut
Bayupurnama, Sutanto Maduseno, Siti Nurdjanah.
Sub divisi Gastroentero-hepatologi, Departemen ilmu penyakit dalam RSUP dr. Sardjito,
Yogyakarta, Indonesia.
Abstrak
Pendahuluan: Sirosis hati merupakan perjalanan patologi akhir dari berbagai macam penyakit
hati. Sirosis hepati terbagi atas sirosis hepatis kompensata dan sirosis hepati dekompensata.
Hepatitis autoimun adalah inflamasi pada hati yang terjadi akibat sistem imun dari tubuh pasien
menyerang sel hati pasien itu sendiri.
Metode: Merupakan suatu laporan kasus pengamatan selama 3 bulan.
Diskusi dan hasil: Wanita 30 tahun post partum dengan cara seksio sesarea menderita hepatitis
autoimun yang mengalami progresivitas perubahan klinis yang progresif berupa asites dan
hipoalbumin serta perubahan gambaran ultrasonografi dan magnetic resonance imaging (MRI)
menjadi sirosis hepatis dalam waktu 3 bulan.
Kesimpulan: Penyakit hepatitis autoimun dapat dengan cepat berkembang menjadi sirosis hati
bila tidak segera ditegakkan diagnosanya dan diterapi secara agresif untuk meredakan proses
inflamasi dan cedera sel hati dengan obat imunosupresif. Terdapat faktor resiko yang
mempercepat hepatitis autoimun menjadi sirosis pada pasien ini adalah usia diantara 21 samapi 60
tahun, kadar albumin yang rendah terus menerus, tidak melanjutkan terapi imunosupresif, kadar
ALT, AST, bilirubin yang tetapi tinggi diatas nilai normal.
Kata kunci: Hepatitis autoimun, sirosis hepatis.
Pendahuluan
Hepatitis autoimun adalah suatu penyakit hati kronis dengan sebab yang belum
diketahui, ditandai denga peradangan dan nekrosis hepatoselule, biasanya disertai dengan
fibrosis yang cenderung progresif kearah sirosis dan gagal hati. Hepatitis autoimun terdiri
atas dua tipe, yaitu tipe 1 dan tipe 21. Perbedaan mendasar dari kedua tipe tersebut adalah
asal penyebab dan cara pengobatan. Hepatitis autoimun tipe 1 meerupakan bentuk yang
paling banyak ditemukan meliputi 80% kasus dengan rasio pasien perempuan disbanding
laki-laki adalah 4:1 dan dapat menyerang pada sejala jenis usia. Hepatitits atutoimun tipe
2 pada umumnua menyerang anak-anak usia 2 sampai 14 tahun2.
Etiologi dari penyakit hati autoimun ini masih tidak diketahui sampai saat ini.
Penyakit hati autoimun ini paling banyak diderita oleh perempuan yang dicirikan dengan
adanya peningkatan serum enzim transaminase, adanya, peningkatan kadar
immunoglobulin G, adanya autoantibodi yang positif, dan gambaran histologi yang
berupa hepatitis3. Pada umumnya penyakit hati autoimun ini memiliki respon yang baik
terhadap terapi imunosupresif namun bila paien tidak dapat mencapai remisi komplit
makan penyakit ini dapat berkembang menjadi sirosis hepatis, gagal hati akut, dan
kematian4.
Presentasi kasus
Pasien wanita 30 tahun dengan riwayat perjalanan penyakit sebagai berikut: tiga
tahun sebelum masuk Rumah sakit Umum Pusat dr. Sardjito Yogyakarta, pasien pernah
233
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
menderita riwayat hepatitis A dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih , dengan kadar serum
alanin aminotransferase (ALT) dan serum aspartate aminotransferase (AST) yang tinggi
dan terus meningkat. Pada saat itu pasien mendapatkan terapi berupa: stronger neo-
minophagen C, cefadroxil, dan paracetamol. Pasiean mengalami alergi hingga terjadi
Steven Johnson Syndrome,kemudian dirawat selama satu bulan hingga Steven Johnson
sydromen sembuh.
Empat bulan sebelum masuk RSUP dr. Sardjito Yogyakarta, pasien saat itu
sedang hamil usia 3 bulan di ultrasonogram obstetri di RS Panti Rini dikatakan ada cairan
didalam perut namun diluar rahim, kemudian dilakukan ultrasonografi abdomen dengan
hasil ada cairan ascites dan organ intraabdomen dalam batas normal. Pasien mendapat
terapi furosemide dan spironolactone, kemudian dilakukan ultrasonografi abdomen ulang
dikatakan cairan ascites sudah tidak terlihat. Pasien tidak memiliki riwayat sakit gondok
selama ini.
Pasien kemudian datang ke rumah sakit umum pusat (RSUP) dr. Sardjito ,
Yogyakarta dengan keluhan perut terasa sakit dan membesar, pasien adalah pasien post
partum secara sectio cesarea 7 hari yang lalu di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta atas
iindikasi riwayat sectio cesarea sebelumnya 7 tahun yang lalu , pre term in partu P2 A0.
Berat badan bayi waktu lahir adalah 1900 gram.
Pasien mengatakan merasakan perut sebah dan terasa penuh serta nyeri sejak 1
hari post section cesarea, dan terasa terus membesar sampai dengan 4 hari
kemudian.Pada hari masuk RSUP dr. Sardjito Yogyakarta pasien merasa perut makin
nyeri dan membesar, belum bab selama 4 hari susah kentut tanpa ada rasa mual, muntah,
demam, nafsu makan menurun.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum compos mentis, gizi cukup,
takikardi 108 kali per menit, dan suhu 38.50 Celsius, tanda vital lain normal, konjunktiva
pucat, sklera ikterik, abdomen: distended, tampak bekas luka operasi yang ditutupi kasa,
peristaltik usus 8 kali per menit, shifting dullness, Nyeri tekan abdomen diarea sekitar
luka operasi.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar haemoglobin 9.3 g/dl, leukosit 27.
190/uL, dominasi segmen neutrofil 83.3%, kadar ALT 64 U/L, AST 126 U/L, total
bilirubin 5.65 mg/dL, direct bilirubin 4.46 mg/dL, albumin 1.79 g/dL, PPT memanjang 1
detik dari nilai kontrol, kesimpulan analisa cairan ascites adalah radang supuratif dan
mesothel reaktif serta tidak didapatkan sel ganas. Pasien juga sudah mendapatkan
pemeriksaan ADA tes yang hasilnya normal, IGRA tes juga normal. Pasien kemudian
dilakukan pemeriksaan ANA tes dengan hasil positif 1/100, anti ds-DNA positif ≥ 25,
anti Smooth Muscle Antibody non reaktif, Liver kidney Microsomal type 1 non reaktif,
Anti AMA tes non reaktif . Dilakukan penilaian skor International Autoimmune Hepatitis
Group (IAIHG) didapatkan skor 11. Pasien dilakukan pemeriksaan ultrasonografi
abdomen dengan kesimpulan hepatitis kronik dan ascites. Pasien didiagnosa sebagai
peritonitis bakterialis dan hepatitis autoimun dengan mendapatkan terapi obat antibiotika
ciprofloxacin dan metronidazole, methylprednisolone, ursodeoxycholic acid. Keadaan
pasien membaik setelah diterapi namun kadar serum ALT,AST, total bilirubin dan direct
bilirubin tidak pernah turun ke nilai normal. Pasien kemudian pulang dari rumah sakit
dengan terapi metylprednisolon 8mg per 12 jam dan azathioprine 25mg per 12 jam.
234
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Gambar 1.Gambaran hepatitis kronik
Tiga bulan kemudian pasien kembali masuk dirawat di RSUP dr. Sardjito
Yogyakarta, setelah tidak kontrol ke poli rawat jalan dan tidak melanjutkan minum obat
imunosupresif selama 2 bulan. Pasien datang dengan keadaan umum lemah, compos
mentis tanda vital baik, ikterik, atrofi muskular temporalis, perut membesar dengan
shifting dullnes positif, edema pada kedua kaki. Kemudian dilakukan pemeriksaan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) abdomen dan ultrasonografi pada pasien tersebut
dengan kesimpulan sirosis hepatis dengan asites tidak tampak sirosis bilier, tidak tampak
pelebaran duktus bilier intrahepatik dan duktus bilier ekstrahepatik. Kadar serum ALT,
AST, total bilirubin, direct bilirubin berfluktuasi namun tidak pernah mencapai nilai
normal. Kadar serum albumin selalu rendah dan tidak pernah normal. Penilaian derajat
sirosis hepatis didapatkah Child-Pugh C.
Gambar 2. Gambaran ultrasonografi sirosis hati.
235
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Tabel 1. Hasil laboratorium AST, ALT, total bilirubin, direct bilirubin, albumin pasien
selama perawatan
Hari
ke- AST ALT Total bilirubin
Direct
bilirubin
Kadar
albumin
1 126 64 5.65 4.46 1.79
7
1.83
8
2.23
14
1.91
15
9.35 7.63
17
2.32
18 162 36
2.86
22 256 68 6.94 6.13 2.62
28 213 118 5.74 4.92
41 86 118 6.6 5.76
104 114 137 3.45 1.35
107
2.82
109 41 58 8.11 6.73 2.58
Pembahasan
Penyakit autoimun pada hati terdiri atas primary biliary cirrhosis, primary
Sclerosing cholangitis, dan hepatitis autoimun yang pada kenyataanya masih mungkin
terjadi overlap syndrome diantara ketiga penyakit tersebut5. Hepatitis autoimun dapat
menyerang segala jenis suku bangsa dan usia dengan puncak insiden pada wanita
preadolescence, dengan perbandingan perempuan dan laki-laki adalah 4:1.
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya hepatitis autoimun, yaitu: faktor
predisposes genetik yang dominan dalam mempengaruhi terjadinya hepatitis autoimun
adalah gen HLA.hepatitits autoimun tipe 1 berhubungan denga serotype HLA-DR3 dan
HLA-DR4. Sedangnkan hepatitis autoimun tipe 2 berhubungan dengan HLA_DQB1.
Faktor pencetus yang didiuga dapat menuyebabkan hepatitis autoimun adalah infeksi
virus,oba-obatan dan toksin. Beberapa infeksi virus yang menjadi pencetus yaitu virus
campak, hepatitis A, B, C, cytomegalovirus dan virus Ebstein-Barr. Obat seperti
metildopa, nitrofuranion, diklofenak, oksifenasetin, interferon, minosiklin dan
atorvastatin dapat memicu keurasakan hati yang mirip dengan hepatitis autoimun1.
Penyakit hepatitis autoimun terdiri atas dua tipe, yaitu hepatits autoimun tipe 1
bila pada pemeriksaan serologi didapatkan tes ANA positif dan atau anti-smooth muscle
autoantibody (SMA) seropositive. Hepatitis autoimun tipe 2 bila pada pemeriksaan
serologi didapatkan hasil tes anti-liver kidney type-1 autoantibody (anti-LKM-1) atau
anti -liver cytosol type-1 (anti-LC-1) positif6. Pada pasien ini didapatkan faktor resiko dan
pencetus hepatitis autoimun yaitu wanita berupa infeksi virus hepatitis A dan
penggunaan obat yang mencetus alergi berupa kemungkinan cefadroxil.
Penyakit hepatitis autoimun dapat ditegakkan bila terdapat gejala kelelahan, sakit
kuning, ketidaknyamanan perut bagian kanan atas, pruritus, anoreksia, myalgia, diare,
cushingoid, demam ≤ 400 Celsius. Temuan fisik adanya hepatomegaly, penyakit kuning,
spiden angiomata, penyakit kekebalan lainnya, splenomegaly, ascites, ensefalopati.
Temuan laboratorium meningkatnya kadar AST, hypergammaglobulinemia,
236
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
meningkatnya immunoglobulin level G, hiperbilirubinemia, tingkat alkali fosfatase ≥ 2
kali lipat nilai normal1. Pemerikasaan dengan menggunakan system skor yaitu skor
International Autoimmune Hepatitis Group (IAIHG)7. Pada pasien ini didapatkan gejala
sakit kuning, nyeri perut, ascites, kadar AST yang meningkat, hiperbilirubinemia, dengan
Skor IAIHG adalah sebelas.
Sirosis hati adalah perjalanan akhir dari suatu fibrosis di hati yang dapat
disebabkan oleh banyak keadaan seperti misalnya hepatitis, alkoholisme kronik. Sirosis
terjadi sebagai respon dari kerusakan hati sebagai akibat dari adanya cedera hati yang
terus menerus. Sirosis hati dapat ditegakkan diagnosis Pembengkakan atau penumpukan
cairan pada kaki (edema) dan pada perut (ascites). Hipogonadisme, dengan gejala seperti
impotensi, infertilitas, hilangnya dorongan seksual, dan atrofi testis (mengecilnya buah
zakar). Gynecomastia, proliferasi (pembesaran) jaringan kelenjar payudara pada pria,
terlihat seperti karet atau padat yang meluas secara konsentris dari puting. Hal ini
disebabkan oleh peningkatan estradiol sebagai akibat sekunder dari sirosis. Spider
angiomata atau spider nevi, lesi vaskular terdiri dari arteriola pusat yang dikelilingi oleh
pembuluh yang lebih kecil (seperti laba – laba) biasanya pada daerah dada dan punggung.
Jaundice, yaitu menguningnya kulit, mata, dan selaput lendir karena bilirubin yang
meningkat. Urin juga terlihat menjadi lebih gelap seperti air teh. Gejala lain seperti:
Kebingungan atau keterlambatan dalam berpikir, lemah, warna tinja pucat atau tinja
menjadi hitam, kehilangan nafsu makan, mual & muntah darah, mimisan & gusi berdarah,
kehilangan berat badan8.
Pemeriksaan laboratorium pada sirosis hati akan didapatkan perubahan enzim
transaminase (AST dan ALT) yang menjadi salah satu penanda adanya peradangan atau
kerusakan hati akibat berbagai penyebab, termasuk sirosis. Selain itu juga dapat diketahui
kadar albumin, faktor-faktor pembekuan darah, jumlah zat besi, dan autoantibodi yang
juga perubahannya dapat menjurus ke sirosis. Pemeriksaan pencitraan menggunakan alat,
salah satunya ultrasonografi, CT (computerized tomography), MRI (magnetic resonance
imaging) dan transien elastography (FibroScan®). Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan
hepatomegali, nodul dalam hati, splenomegali, dan cairan dalam abdomen, yang dapat
menunjukkan sirosis hati1.
Biopsi yaitu pengambilan sampel kecil dari sel-sel hati yang diambil dan diperiksa
dengan menggunakan mikroskop. Pengambilan sampel hati dengan cara memasukkan
jarum halus di antara tulang rusuk kemudian ke hati. Biopsi tidak hanya dapat
memastikan adanya sirosis, tetapi juga dapat mengungkapkan penyebabnya. Endoskopi
(gastroscopy), yaitu dengan memasukkan kamera video ke tubuh pasien melalui
kerongkongan kemudian turun ke lambung & usus kecil. Dokter akan melihat bagian
dalam perut pada layar, untuk melihat adakah pembuluh darah yang membesar disebut
varises di kerongkongan, lambung dan usus kecil, yang merupakan tanda – tanda dari
sirosis9. Pada pasien ini didapatkan jaundice, ascites, perubahan nilai AST dan ALT,
kadar albumin yang rendah, pemeriksaan MRI berupa sirosis hati .
Pada penyakit hati kronik termasuk hepatitis automiun, terjadinya cedera yang
terus-menerus atau bersifat kronik akan menyebabkan inflamasi kronik. Inflamasi kronik
ini akan menyebabkan proliferasi sel dan deposisi protein matriks ekstraselular. Jika
inflamasi ini tidak diterapi segera maka proses inflamasi ini akan menyebabkan
regenerasi nodular yang dikelilingi oleh septa fibrotik sehingga menyebabkan distorsi dari
bentuk vascular hati sampai pada akhirnya hati kehilangan fungsi hati dan terjadilah
237
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
sirosis hepatis. Peningkatan asam empedu sebagai akibat dari keadaan kolestasis juga
dapat menyebabkan proses fibrogenesis secara tidak langsung dengan menghancurkan
sel-sel hati atau melalui secara langsung mempengaruhi myofibroblast4.
Pada suatu penelitian kohort didapatkan bahwa 10 persen pasien hepatitis
autoimun dalam median 7.2 tahun. Pada penelitian lain didapatkan 20 persen pasien
hepatitis autoimun akan berkembang menjadi sirosis hati dalam waktu 52 bulan4.
Permasalahan pada kasus ini adalah bagaimana dalam waktu tiga bulan pasien penderita
hepatitis autoimun yang hamil kemudian menjalan post partum secara sectio cesarea bias
begitu cepat dan progresif mengalami perubahan perjalanan penyakit menjadi sirosis hati.
Faktor apa saja yang mungkin menyebabkan perjalanan penyakit hepatitis
autoimun menjadi sangat progresif menjadi sirosis hepatis4. Menurut suatu peneltian oleh
Ngu JH et al, 2013 bahwa usia mulai terkena penyakit hepatitis autoimun antara 21
sampai 60 tahun, laki-laki, kadar serum albumin yang rendah terus menerus, kadar
trombosit yang rendah, pemanjangan INR ternyata berhubungan dengan keadaat
percepatan mengalami sirosis hati10.
Diduga juga ada kemungkinan kadar ALT ,AST, bilirubin yang tidak pernah
turun ke nilai normal ini juga menandakan adanya cedera pada sel hati yang terus
menerus dan adanya kolestasis yang berkepanjangan yang dapat memicu asam empedu
menyebabkan terjadinya fibrosis dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya sirosis hati.
Proses ini terjadi karena inflamasi di hati tidak diterapi dengan baik karena pasien sempat
tidak datang berobat dan minum obat imunosupresi selama 2 bulan.
Kesimpulan
Penyakit hepatitis autoimun dapat dengan cepat berkembang menjadi sirosis hati
bila tidak segera ditegakkan diagnosanya dan diterapi secara agresif untuk meredakan
proses inflamasi dan cedera sel hati dengan obat imunosupresif. Terdapat faktor resiko
yang mempercepat hepatitis autoimun menjadi sirosis pada pasien ini adalah usia diantara
21 samapi 60 tahun, kadar albumin yang rendah terus menerus, tidak melanjutkan terapi
imunosupresif, kadar ALT, AST, bilirubin yang tetapi tinggi diatas nilai normal.
Daftar pustaka
1. Sulaiman, Akbar, Lesmana dan Noer. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta:
Jayabadi.
2. Feldman, Friedman, dan Brandit .2010. Sleisenger dan Fordtrans’s. Gastrointestinal and
Liver Disease. Pathophysiology/ Diagnosis/ Manajemen. Ninth Edition. Canada:
Saunders Elsevier
3. Zolfino R, Haneghan MA, Norris S, Harrison PM, Portman BC, McFarlane IG.
Characteristic of autoimmune hepatitis in patients who are not of European Caucasoid
ethnic origin. Gut. 2002; 50:713-717 [DOI: 10.1136/gut.50.5.713]
4. Zhang H, Guo L, Wei W, Wang B, Zhou L. Treat-to-Target in Autoimmune Hepatitis:
How Far To GO?. J AIDS Clin Res. 2017; 8:11 [DOI: 10.4172/2155-6113.1000743.
5. Liberal R, Grant CR. Cirrhosis and autoimmune liver disease: current understanding.
World Journal Hepatology. 2016; 8(28): 1157-1168 [DOI : 10.4254/wjh.v8.i28.1157]
6. Baretta-Piccoli BT, Mieli-Vergani G, Vergani D. Autoimmune hepatitis: Standard
treatment and systematic review of alternatif treatments. World J Gastroenterol.
2017;23(33): 6030-6048 [DOI: 10.3748/wjg.v23.i33.6030]
7. Aizawa Y, Hokari A. Autoimmune hepatitis: current challenges and future prospects.
Clinical and Experimental Gastroenterology. 2017; 10: 9-18.
238
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
8. PubMed Health, “Cirrhosis” http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001301/
diakses pada tanggal 28 Juni 2018.
9. MNT, “What Is Cirrhosis? What Causes Cirrhosis?”,
http://www.medicalnewstoday.com/articles/172295.php diakses pada tanggal 28 Juni
2018.
10. Ngu JH, Gearry RB, Frampton CM, Stedman CA. Predictors of poor outcome in patients
w ith autoimmune hepatitis: a populationbased study. Hepatology 2013; 57:
23992406 [PMID: 23359353 DOI: 10.1002/hep.26290]
SEORANG PENDERITA ENTEROPATI ARTRITIS DENGAN
ALARM SYMPTOM DIARE BERDARAH
239
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Sarah Firdausa1, Yuliasih2, Zurriyani3
1. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2.Universitas Airlangga, Surabaya 3. RSU Meuraxa,
Banda Aceh
ABSTRAK
Pendahuluan: Enteropatik artritis adalah bentuk artritis yang terkait irritable bowel disease
(IBD) dengan manifestasi tersering berupa kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Penyakit ini
merupakan salah satu manifestasi klinis dari spondiloartritis seronegatif. Diare dan artritis
merupakan dua hal yang sering muncul sebagai gejala klinis pada enteropatik artritis. Salah satu
alarm symptom pasien enteropatik artritis adalah buang air besar (BAB) cair dan berdarah.
Kasus: Seorang laki-laki, usia 56 tahun datang dengan keluhan BAB cair berdarah dan berlendir,
frekuesi 7-10x/ hari. Terdapat mual dan muntah yang berisi sisa makanan, namun tidak terdapat
darah. Keluhan disertai dengan nyeri sendi lutut kiri. Selain itu didapatkan juga nyeri pinggang,
terasa kaku saat bangun pagi dan memberat saat istirahat (inflamatory back pain). Riwayat
sariawan sejak usia belasan tahun, hilang timbul. Saat ini tidak ada sariawan yang muncul.
Pemeriksaan fisik didapatkan anemia, artritis genu kiri (bengkak, merah dan hangat pada
perabaan) dan schober test positif. Pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosa enteropatik
artritis adalah LED dan CRP yang meningkat, gambaran sacroiliitis kiri dan hasil kolonoskopi
berupa kolitis ulseratif. Penderita mendapat terapi Sulfasalazin 2 x 500 mg pada minggu pertama,
kemudian ditingkatkan menjadi 2 x 1000 mg pada minggu kedua dan seterusnya; COX 2 inhibitor
2 x 50 mg. Pasien mengalami perbaikan secara klinis.
Diskusi: Diare berdarah merupakan alarm symptom dari IBD yang terdiri dari dua tipe utama
yaitu kolitis ulseratif dan penyakit Chrohn’s. Secara klinis, manifestasi IBD yang terkait dengan
artritis disebut Enteropati Artritis. Artritis perifer yang terkait dengan IBD biasanya bersifat
oligoartikular, migrasi, asimetris dan sering mengenai tungkai bawah. Pemeriksaan radiologi
untuk membuktikan keterlibatan sendi akan memudahkan klinisi menuju diagnosis yang tepat.
Gambaran yang sering didapatkan adalah sacroiliitis.
Kesimpulan: Alarm symptom dari IBD berupa BAB cair dan berdarah yang disertai dengan
inflammatory back pain, gambaran sacroiliitis pada imaging, artritis perifer, entesitis atau
dactylitis merupakan manifestasi dari enteropati artritis. Diperlukan kerja sama antara ahli
gastroenterologi dan ahli reumatologi untuk penegakan diagnosis, terapi dan monitoring yang
komprehensif.
Kata kunci: Enteropati artritis, diare berdarah, artritis
240
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
241
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
SEORANG PEREMPUAN 52 TAHUN MENDERITA SINDROM BUDD-CHIARI
Gunady WR1, Fransisca Yustika Dewi Siahaan2, Agung Prasetyo3, Hirlan3
1Residen Sp2 Penyakit Dalam FK-UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi Semarang 2Residen Penyakit Dalam FK-UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi Semarang
3Sub Divisi Gastroenterohepatologi FK-UNDIP/ RSUP Dr.Kariadi Semarang
ABSTRAK
LatarBelakang :SindromBudd - Chiari (BCS) merupakan salah satu penyakit yang jarang terjadi yang
disebabkanolehobstruksioutflow venahepatika. Obstruksi dapatterjadipadasemuatitikaliran
v.hepatikamulaidarivena kecilsampaipada ostium vena cava inferior (VCI) di atrium kanan,
tanpamempersoalkanpenyebabnya.Penatalaksanaan BCS terdiri dari pemberian antikoagulan, tindakan
stenting, hingga transplantasi hati.
Laporan Kasus :Perempuan usia 52 tahun 1 bulan mengeluh perut membesar, sehingga pasien sulit
bernapas diikuti bengkak kedua tungkai bawah. Riwayat penggunaan pil KB selama 20 tahun. Selama 1
bulan pasien diterapi dengan Rivaroxaban 1x20 mg karena DVT. Pemeriksaanfisik didapatkan ascites grade
3 (lingkar perut 102 cm), lingkar paha kanan18cm, Lingkar paha kiri22cm.Skor Well’s 4,. Hasil
laboratorium : Hb 9,94gr% , leukosit 22,2 ribu/mmk, trombosit 293 ribu/mmk, SGOT :19u/L,SGPT
13u/L,ALP 105u/L,GGT 86u/l, Bil. Total 0,36,Bil direk 0,16, Albumin 3,7g/dl,globulin 3,7g/dl,
ppt/k:12,0/10,9, pttk/k:54,4/32,1,HBsAg (-),Anti HCV (-),D-dimer 5780,fibrinogen 237,7,LDH 860u/L.
Pemeriksaan cairan asites : transudat, CT-Scan abdomen 4 fase dengan kontras didapatkan Hepatomegali
disertai penyempitan vena hepatika.Venografi vena hepatika disimpulkan stenosis luas VCI dan stenosis
sedang v.hepatika kanan. Dalam perawatan ke 2 ( selama 42 hari), pasien diterapi enoxaparin 60mg/12 jam
selama 15 hari dilanjutkan dengan warfarin 2mg/hari, spironolakton1x200mg, Furosemid 1x80mg, diet
rendah garam maksimal 2 gr/hari.Pasien pulang dengan KU baik,lingkar perut (84 cm), DVT (-).
Diskusi :Penggantian Faktor Xa inhibitor (Rivaroxaban) dengan LMWH dan kombinasi dengan Vitamin K
antagonis, diuretik dan diet rendah garam memberikan outcome yang baik pada pasien BCS ini.
Kesimpulan :Diagnosis BCS diperlukan pemeriksaanlaboratoris dan radiologis, sehingga dapat
terdiagnosis secara dini dan dengan manajemen terapi yang tepat dapat memberikan hasil yang lebih baik.
Kata Kunci :Sindrom Budd Chiari, asites, venografi
242
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
SEORANG PENDERITA ENTEROPATI ARTRITIS DENGAN ALARM
SIMPTOM DIARE BERDARAH Sarah Firdausa1, Yuliasih2,Zurriyani3
1. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2.Universitas Airlangga, Surabaya 3. RSU Meuraxa, Banda
Aceh
ABSTRAK
Pendahuluan:Enteropatik artritis adalah bentuk artritis yang terkait irritable bowel disease (IBD)
dengan manifestasi tersering berupa kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Penyakit ini merupakan
salah satu manifestasi klinis dari spondiloartritis seronegatif. Diare dan artritis merupakan dua hal
yang sering muncul sebagai gejala klinis pada enteropatik artritis. Salah satu alarm symptom
pasien enteropatik artritis adalah buang air besar (BAB) cair dan berdarah.
Kasus:Seorang laki-laki, usia 56 tahun datang dengan keluhan BAB cair berdarah dan berlendir,
frekuesi 7-10x/ hari. Terdapat mual dan muntah yang berisi sisa makanan, namun tidak terdapat
darah. Keluhan disertai dengan nyeri sendi lutut kiri. Selain itu didapatkan juga nyeri pinggang,
terasa kaku saat bangun pagi dan memberat saat istirahat (inflamatory back pain). Riwayat
sariawan sejak usia belasan tahun, hilang timbul.Saat ini tidak ada sariawan yang muncul.
Pemeriksaan fisik didapatkan anemia, artritis genu kiri (bengkak, merah dan hangat pada
perabaan)dan schober test positif. Pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosa enteropatik
artritis adalah LED dan CRP yang meningkat, gambaran sacroiliitis kiri dan hasil kolonoskopi
berupa kolitis ulseratif.Penderita mendapat terapi Sulfasalazin 2x500mg pada minggu pertama,
kemudian ditingkatkan menjadi 2x1000mg pada minggu kedua dan seterusnya; COX 2 inhibitor
2x50mg. Pasien mengalami perbaikan secara klinis.
Diskusi:Diare berdarah merupakan alarm symptom dari IBD yang terdiri dari dua tipe utama yaitu
kolitis ulseratif dan penyakit Chrohn’s. Secara klinis, manifestasi IBDyang terkait dengan artritis
disebut Enteropati Artritis. Artritis perifer yang terkait dengan IBD biasanya bersifat
oligoartikular, migrasi, asimetris dan sering mengenai tungkai bawah. Pemeriksaan radiologi
untuk membuktikan keterlibatan sendi akan memudahkan klinisi menuju diagnosis yang tepat.
Gambaran yang sering didapatkan adalah sacroiliitis.
Kesimpulan:Alarm symptom dari IBD berupa BAB cair dan berdarah yang disertai dengan
inflammatory back pain, gambaran sacroiliitis pada imaging, artritis perifer, entesitis atau
dactylitis merupakan manifestasi dari enteropati artritis. Diperlukan kerja sama antara ahli
gastroenterologidan ahli reumatologi untuk penegakan diagnosis, terapi dan monitoring yang
komprehensif.
PENDAHULUAN
Enteropatik artritis adalah bentuk artritis yang terkait dengan penyakit peradangan
usus kronis /irritable bowel disease (IBD) dengan manifestasi tersering berupa kolitis
ulseratif, dan penyakit Crohn. Ini merupakan salah satu manifestasi klinis dari
spondiloartritis seronegatif (Holden, 2003).
Spondiloartritis merupakan kumpulan sekelompok kondisi artritis yang
melibatkan vertebra dan sendi perifer dengan HLA-B27 sebagai faktor predisposisi
genetik. Spektrum klinis spondiloartritis terdiri dari ankilosing spondilitis, artritis
psoriatik, enteropatik artritis, reactive juvenile chronic arthritis dan undifferentiated
spondyloarthritis(Kahl, 2012; Soeroso, 2012).
Enteropatik artritis terjadi pada sekitar 10-15% pasien dengan kolitis ulseratif dan
penyakit Crohn dengan IBD (Burroughs & Westaby, 2009). Insidennya meningkat dalam
beberapa dekade terakhir. Artritis perifer dilaporkan berkaitan dengan kolitis ulseratif dan
dengan penyakit Crohn’s dengan angka kejadian artritis 10-50% pada pasien dengan IBD
(Friedman & Blumberg, 2008).
243
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Diare dan artritis merupakan dua hal yang sering muncul sebagai manifestasi
klinis pada enteropatik artritis. Artritis yang muncul biasanya asimetris dan lebih sering
mengenai persendian tungkai bawah. Gejala di persendian dapat mendahului munculnya
penyakit usus dan petunjuk yang dapat mengarah pada diagnosis. Selain itu, dapat juga
ditemukan nyeri punggung dan gambaran sakroiliitis pada foto pelvis (Burroughs &
Westaby, 2009; Taurog, 2008).
Salah satu alarm symptom pasien enteropatik artritis adalah buang air besar
(BAB) cair dan berdarah. Berikut dilaporkan seorang pasien dengan keluhan BAB
berdarah yang disebabkan enteropatik artritis.
KASUS
Seorang laki-laki, Tn. K, usia 56 tahun, menikah, suku Jawa, agama Islam, pekerjaan
swasta, berdomisili di kota Jember, dirawat di ruang Interna 1 pada tanggal 3 Februari
2013) dengan
keluhan utama buang air besar berdarah yang dialami sejak 1 bulan sebelumnya, dengan
frekuensi 7-10x/hari. BAB berisi feces warna kuning yang bercampur lendir dan darah.
Volume BAB sedikit-sedikit sekitar 2-3 sendok makan disertai darah yang keluar sedikit-
sedikit. Tidak ada riwayat BAB hitam. Tidak terdapat riwayat wasir. Terdapat mual dan
muntah yang berisi sisa makanan, namun tidak terdapat darah.
Selain diare, pasien juga mengeluh nyeri sendi terutama sendi pinggang dan lutut
kiri yang disertai dengan bengkak disekitar lutut sehingga pasien sulit menggerakkan
kakinya. Keluhan ini dialami hilang timbul sejak 1 bulan SMRS, berkurang dengan anti
nyeri, namun makin lama makin memberat ditandai dengan ketidakmampuan pasien
untuk berjalan secara mandiri dalam 2 minggu terakhir. Pasien harus dipapah untuk
berjalan ke kamar mandi.
Keluhan yang sama pernah dialami pendertita sekitar 8 tahun yang lalu dan
dilakukan kolonoskopi. Pasien dikatakan menderita radang usus besar dan diberi tablet
sulcolon dan budenofalk yang diminum rutin selama 1 tahun namun obat ini dihentikan
oleh penderita karena merasa keluhan membaik.
Penderita sering mengalami sariawan sejak usia belasan tahun, hilang timbul.
Pasien tidak mengkonsumsi obat khusus untuk sariawannya. Saat ini tidak ada sariawan
yang muncul. Tidak didapatkan riwayat diabetes mellitus, hipertensi dan trauma fisik.
Tidak ada keluarga pasien yang menderita sakit seperti ini.
Perjalanan Penyakit Pada hari pertama perawatan, keadaaan umum pasien lemah, kesadaran kompos
mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi96x/menit, frekuensi nafas 20x/menit dan
temperatur axiler 36,8oC. Pasien tampak normoweight (tinggi badan 157 cm, berat badan
54 kg, (indeks massa tubuh 21). Pada pemeriksaan kepala dan leher didapatkan
konjungtiva anemis, tidak didapatkan ikterus, sianosis dan dipsneu. Bentuk dada simetris,
tidak ada retraksi. Suara jantung 1 dan 2 tunggal, tidak ditemukan murmur maupun
gallop. Suara nafas vesikuler, tidak didapatkan ronkhi maupun wheezing dengan hasil
pemeriksaan foto thoraks dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan
abdomen yang soepel, bising usus meningkat, namun tidak ada nyeri tekan, tidak teraba
hepar, lien dan tidak didapatkan massa di abdomen. Pada pemeriksaan extremitas
didapatkan akral hangat, bengkak dan nyeri di lutut kiri, serta terdapat efusi di
pergelangan kaki kiri.Terdapat pula nyeri di pinggang terutama bila pasien membungkuk.
Pada pemeriksaan rectal toucher didapatkan spincter ani yang ketat, tidak teraba benjolan
atau massa, mukosa licin, pada handscoen terdapat sedikit feses warna kuning, namun
tidak ada darah.
244
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 8,2 g/dl, hematokrit 22,5 %,
leukosit 6.900 /mm3, trombosit 367.000 /mm3, GDA 90 mg/dl, BUN 8,6 mg/dl, SK 0,69
mg/dl, alb 2,63 mg/dl, protein total 5,26 mg/dl, SGOT 19 U/L, SGPT 6 U/L, bilirubin
direk 0,23 mg/dl, bilirubin total 0,42 mg/dl, Na 136 mg/dl, K 2,7 mg/dl, Cl 98 mg/dl,
CRP 177,6mg/dl. Pemeriksaan USG abdomen didapatkan kesan normal.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien dirawat dengan
diagnosis sementara Hematoschezia ec suspek enteropatik artritis, hipoalbumin, dan
hipokalemi.
Selama perawatan, sambil menunggu pemeriksaan penunjang lainnya, pasien
mendapat terapi diet lunak tinggi kalori tinggi protein 2100 kkal/hari, infus cairan Normal
Salin 0,9% 1000cc/24 jam untuk memenuhi asupan cairannya, tranfusi PRC 2 kolf/hari
dengan target Hb 10 mg/dl, drip KCl 25 meq/500cc RL untuk koreksi kehilangan kalium
karena muntah terus menerus dan injeksi ondacetron 2x8 mg serta injeksi omeprazole
2x40 mg untuk mengatasi keluhan muntah dan rasa tidak nyaman di lambungnya.
Pada hari ketiga perawatan, keluhan BAB berdarah masih didapatkan, vital sign
stabil. Setelah ditranfusi dan koreksi kalium didapatkan Hb 10,3 mg/dl, K 3,5 mg/dl,
asam urat 3,7 mg/dl, C3 118 mg/dl (85-185), C4 25 mg/dl (10-50), ANA test negatif.
Direncanakan pemeriksaan endoskopi dan colonoskopi.
Pada hari kelima perawatan, keluhan nyeri di lutut dan pergelangan kaki semakin
bertambah, disertai dengan lutut kiri yang makin membengkak, merah dan nyeri. BAB
berdarah, 3-5x/hari. Vital sign stabil, pada pemeriksaan fisik didapatkan efusi pada lutut
kiri, kemerahan, perabaan hangat, dan nyeri. Pemeriksaan endoskopi didapatkan
esofagus, gaster dan duodenum dalam keadaan normal.
Pasien dikonsulkan ke divisi Rheumatologi dengan kecurigaan suatu enteropati
artritis karena adanya artritis genu dan berak darah serta schober test positif. Disarankan
untuk pemeriksaan foto lumbosacral AP/lateral, pelvis AP dan genuAP/lateral dan saran
terapi berupa Sulfasalazine 2x500mg (1 minggu pertama dan ditingkatkan menjadi
2x1000mg pada minggu kedua dan seterusnya) dan COX-2 inhibitor 2x100 mg.
Dari foto pelvis didapatkan gambaran sakroiliitis joint kiri; foto lumbosakral
didapatkan curve lumbal yang melurus dan paralumbal muscle spasm, dan pada foto genu
terdapat entesophyte di kondilus medialis os tibia kiri yang mengesankan osteoartritis
femurotibial joint kiri. Diagnosissaat ini menjadi Enteropatik artritis. Pasien mendapat
terapi Sulfasalazine 2x500mg untuk minggu pertama dan kemudian ditingkatkan menjadi
2x1000 pada minggu kedua dan seterusnya, COX-2 Inhibitor 2x100mg.
Pada hari kesepuluh perawatan, BAB berdarah berkurang menjadi 1-2x/hari, nyeri
dan bengkak di lutut juga berkurang. Pada pemeriksaan kolonoskopi didapatkan mukosa
yang hiperemi dengan multipel ulkus yang letak dan bentuknya tidak teratur pada rektum,
sigmoid dan kolon descenden dan tidak ada mukosa normal di antara lesi (skip area
negatif), terdapat pula bentukan polip bertangkai yang multipel pada daerah sigmoid.
Disimpulkan suatu kolitis dengan dd kolitis ulseratif dan penyakit Crohn’s. Dilakukan
biopsi pada jaringan rektum dan sigmoid. Hasil patologi anatomi menunjukkan radang
granulomatous non spesifik, yang dapat merupakan gambaran mikroskopik dari penyakit
Crohn’s.
Terapi dilanjutkan dan pasien KRS dengan anjuran untuk kontrol ke poli
rheumato dan gastro. Saat KRS, penderita mendapat terapi sulfasalazine 2x1000mg dan
COX-2 Inhibitor 1x100mg. Pasien kontrol ke poli 1 minggu setelah KRS. Keluhan BAB
berdarah tidak dialami lagi, nyeri di pinggang dan lutut juga sudah banyak berkurang.
DISKUSI
245
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Definisi enteropatik artritis secara pragmatis diartikan sebagai suatu kelainan pada
traktus gastrointestinal dengan manifestasi diare yang disertai dengan artritis pada sendi
(Wollheim, 2005). Secara klinis, enteropatik artritis adalah bentuk artritis yang terkait
dengan penyakit inflamasi usus kronis, irritable bowel disease (IBD), yang merupakan
salah satu dari spektrum klinis spondiloartropati (SpA) seronegatif. Ada lima manifestasi
dari SpA yaitu ankilosing spondilitis, artritis psoriatik, enteropatik artritis, reactive
juvenile chronic arthritis dan undifferentiated spondyloarthritis(Holden, 2003; Kahl,
2012; Soeroso, 2012; Van Damme, 2001).
IBD merupakan penyakit auto-inflamasi kronik (Turkcapar, 2006) yang ditandai
dengan reaksi peradangan tanpa munculnya titer antibodi yang tinggi atau antigen-
spesifik sel T. Pada penyakit auto-inflamasi, respon kekebalan adaptif relatif rendah dan
sistem kekebalan tubuh alami/ bawaan yang mendominasi patogenesis penyakit ini. Hal
ini berbeda dengan penyakit auto-imun klasik seperti SLE, dimana sistem imun adaptif
berperan dominan yang diperantarai oleh limfosit dengan reseptor antigen (Aksentijevich,
2009; Kastner, 2010; Masters, 2009).
Diare dan artritis merupakan dua kondisi yang dapat muncul secara bersamaan
karena berbagai sebab. Secara etiopatologi, IBD terkait artritis merupakan penyebab
utama yang paling banyak dilaporkan. Penyebab lain yang jarang adalah celiac disease
dan Whipple’s disease(Taurog, 2008).
Kolitis ulseratif dan penyakit Chrohn’s merupakan dua tipe utama dari IBD
(Friedman & Blumberg, 2008) yang sering dijumpai dengan artritis. Manifestasi utama
penyakit ini adalah keluhan berak darah dan adanya keterkaitan dengan artritis sendi.
Organ target lain yang bisa terlibat meliputi usus, mata, kerangka aksial, enthesis, saluran
urogenital, dan kulit. Keterlibatan artritis perifer, enthesitis, sakroiliitis, dan aksial
merupakan manifestasi ekstra-intestinal paling sering terjadi pada sekitar 40 persen dari
pasien. Onset biasanya bertahap selama beberapa minggu (Butcher & Britton, 2003;
Isenberg, 2004; Van den Bosch, Kruithof, Vos, , 2000).
Insiden tertinggi didapatkan pada rentang usia 20-40 tahun diikuti pada usia
pertengahan akhir, namun kondisi ini dapat terjadi pada semua usia, laki-laki lebih sering
dari wanita. Kejadian berkisar 3-15:100 000. Faktor genetik diperkirakan juga
berpengaruh terhadap kejadian ini, sering ditemukan pada manusia yang mempunyai gen
human leukocyte antigen (HLA) B27 (Butcher & Britton, 2003).
Pada kasus ini, penderita seorang laki-laki, usia 56 tahun, datang dengan keluhan
BAB berdarah yang dialami 7-10x/hari selama 1 bulan. Tidak didapatkan melena/ BAB
hitam. Selain BAB berdarah, penderita juga mengalami bengkak dan nyeri di sendi.
Keluhan yang sama pernah dialami penderita 8 tahun yang lalu.
Enteropatik artritis terjadi akibat kombinasi dari faktor pemicu berupa lingkungan
yang didukung oleh faktor genetik yang sesuai. Satu hipotesis menghubungkan
peradangan usus kronis terhadap hilangnya toleransi patogen usus dan munculnya
arthritis (Kahl, 2012). Faktor utama risiko genetik adalah HLA-B27, molekul MHC kelas
I (Dougados & Baeten, 2011). Terdapat 9 subtipe HLA-B27 yang telah dikenal, mulai
B*2701 hingga B*2709, yang dibedakan berdasarkan jumlah residu asam
aminonya. B*2705 merupakan suptipe terbanyak yang ditemukan pada populasi. B*2702
hanya ditemukan pada orang kulit putih dan merupakan jenis yang dominan pada
populasi Yahudi, sedangkan suptipe yang dominan ditemukan di populasi orang Asia
adalah B*2704 (Meuwissen, 1997).
Beberapa kandidat gen untuk IBD telah diteliti sehubungan dengan kejadian SpA,
diantaranya adalah HLA-B27 pada tikus transgenik dan β2-mikroglobulin pada manusia
berhubungan dengan sakroiliitis, arthritis perifer, dan lesi psoriasis di kulit. Reseptor
246
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
polimorfisme spesifik untuk interleukin (IL-23) telah terbukti menjadi gen yang rentan
terhadap resiko kolitis ulseratif, ankilosing spondilitis dan psoriasis. Selain itu, gen
nukleotida domain oligomerization domain containing 2 (NOD 2) juga dikenal sebagai
caspase recruitment domain family member 15 (CARD15)jugamerupakangen
polimorfisme yang berhasil diidentifikasi terkait dengan penyakit Crohn’s yang kemudian
juga diketahui mempunyai lokus yang sama dengan colitis ulseratif. Peran CARD15
dalam patogenesa penyakit ini diekspresikan oleh monosit, granulocytes, sel dendritik dan
sel epitel. NOD2mengkodekan reseptor intraseluler yang diekspresikan terutama di
monosit dan sel Paneth yang kemudian merangsang respon imun bawaan terhadap
muramyldipeptide (MDP), suatu komponen peptidoglikan di dinding sel bakteri yang
berperan sebagai tanda pengenal bakteri. Gen NOD2 secara signifikan mengurangi respon
imun terhadap MDP. Secara in vitro, pada saat terpapar MDP, oligomerized-NOD2
mengaktifkan faktor transkripsi (faktor-κB) yang menyebabkan produksi sitokin dan
cryptidins / defensins untuk menghilangkan bakteri. Modulasi ekspresi genetik CARD15
mengakibatkan pembersihan produk bakteri terganggu, dan selanjutnya menghambat
eliminasi bakteri. Walaupun tidak ditemukan hubungan antara langsung antara CARD 15
dan SpA, namun pasien-pasien SpA dengan gen CARD15 polimorfisme mempunyai
peningkatan risiko terhadap peradangan usus kronis. Penelitian genetik lain menunjukkan
bahwa terdapat kerentanan pada lokus genetik lain yang berhubungan dengan IBD, SpA,
dan peradangan usus kronis (Colombo, 2009; De Vos, 2004; Kahl, 2012).
Interaksi antara mikroorganisme dan membran reseptor kuman, seperti toll-like
reseptor, pada sel epitel mukosa, monosit, makrofag dan sel dendritik menginduksi
sekresi berbagai mediator dan memicu aktivasi limfosit. Pengikatan reseptor sel-T pada
MHC kelas II peptida kompleks pada permukaan antigen-presenting cell (APC)
menghasilkan produksi sitokin dan regulasi dari respon imun berupa sekresi interleukin-
12 (IL12), IL23 dan IL18 untuk menginduksi diferensiasi T-helper-1; sekresi IL4 dan
1L10 untuk menginduksi diferensiasi T-helper-2; dan secara bersamaan, menginduksi sel
T regulator (De Vos, 2004).
Sel T dalam lamina propria pada pasien penyakit Crohn dan pasien
spondiloartropati menghasilkan interferon-γ, yang selanjutnya menginduksi produksi
sitokin pro-inflamasi (TNF-α, IL6 dan IL1). Sel T efektor kemudian bermigrasi dari
tempat induksinya ke sel efektor. Ekspresi molekul adhesi mengatur perpindahan sel.
Limfosit yang terlibat dalam enteropati artritis yang bermanifestasi sebagai infiltrasi
limfosit, telah diamati pada lesi inflamasi di cairan sinovial pasien spondiloartropati. Sel
T yang diaktifkan pada saluran cerna dapat masuk ke sinovium, ini dibuktikan dengan
adanya penemuan identik ekspansi sel-T pada usus mukosa, sinovium dan darah, yang
mendukung konsep ini (De Vos, 2004).
Diagnosis untuk enteropatik artritis didasarkan pada anamnesis yang mengarah
pada IBD, presentasi klinis dan pemeriksaan penunjang. Tidak ada kriteria diagnosa
khusus untuk enteropatik artritis. Namun kriteria diagnosis untuk spondiloartropati
berdasarkan Assessment of Spondiloarthritis International Society (ASAS) dapat
membantu menegakkan diagnosis (Bagan 1). Beberapa kondisi yang termasuk dalam
kriteria spondiloartritis adalah usia dibawah 45 tahun saat pertama kali serangan,
inflammatory back pain lebih dari 3 bulan(termasuk sakroiliitis), artritis perifer,
entesopati (inflamasi pada tendon dan ligament tempat insersi ke tulang), riwayat
keluarga dengan spondiloartritis, dan riwayat penyakit yang berhubungan dengan
psoriasis, IBD, uretritis, servicitis dan diare lebih dari 1 bulan. Kriteria ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari kriteria European Spondyloarthropathy Study
247
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Group (ESSG) dan kriteria Amor dengan nilai prediksi sebesar 79,5% dan 83,3 % (Kahl,
2012; Rudwaleit, 2011).
Manifestasi klinis yang umumnya terjadi adalah gangguan usus yang biasanya
muncul sebelum manifestasi ekstra intestinal timbul, namun kadang artritis dapat muncul
sebagai bagian dari IBD. Artritis perifer terkait dengan IBD biasanya bersifat
oligoartikular, migrasi, asimetris dan sering mengenai tungkai bawah. Kondisi lain yang
terkait IBD termasuk uveitis, regurgitasi aorta dan manifestasi kulit; seperti eritema
nodosum dan pyoderma gangrenosum yang sering didapatkan pada KU dan CD
(Burroughs & Westaby, 2009; Kahl, 2012; Taurog, 2008).
Ada 3 klasifikasi artritis yang terkait dengan IBD. Tipe 1 adalah artritis perifer,
bersifat asimetris, sering aktif ketika gejala intestinal muncul. Tipe 2 adalah artritis
perifer, poliartikular yang umumnya muncul secara independen walau tanpa gejala
intestinal. Tipe 3 merupakan kelainan axial, muncul secara independen, tidak tergantung
manifestasi intestinal, sering menyerupai gejala ankilosung spondylitis. Selain itu,
arthralgia (nyeri sendi non-inflamasi) sering muncul pada pasien IBD, namun ia bukan
merupakan spektrum klinis dari enteropatik artritis (Kahl, 2012).
Penderita ini mengalami nyeri pinggang yang dirasakan terutama bila
membungkuk. Terdapat pula pembengkakan pada sendi lutut dan pergelangan kaki,
disertai kemerahan, nyeri dan hangat pada perabaan.
Pemeriksaan penunjang awal seperti complete blood count, LED dan CRP, tes
biokimia dan fungsi hati. Peningkatan leukosit, trombosit, LED atau CRP,
Bagan 1 ASAS Classification Criteria For Axial and Peripheral Spondyloarthritis (Kahl, 2012; Rudwaleit, 2011)
Axial Spondyloarthritis Peripheral Spondyloarthritis
In patients with > 3 months back pain (with/ without peripheral manifestation) and age
at onset < 45 years
In patients with peripheral
manifestationONLY :
Sacroiliitis on imaging plus > 1
SpA feature
HLA-B27 plus> other SpA features
Artritis or entesitis or dactylitis plus
SpA Feature - Inflammatory back pain (IBP)
- Arthritis
- Enthesitis (heel)
- Uveitis
- Dactylitis
- Psoriasis
- Crohn’s/ Ulcerative chronis
- Good response to NSAID
- Family history of SpA
- HLA B-27
- Elevated CRP
> 1 SpA Feature - Uveitis
- Psoriasis
- Crohn’s/ Ulcerative chronis
- Preceding infection
- HLA B-27
- Sacroiliitis on imaging
> 2 SpA Feature - Arthritis
- Enthesitis (heel)
- Dactylitis
- IBP ever
- Family history of SpA
OR
OR
248
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
menggambarkan keadaan penyakit yang berat. Kenaikan non-spesifik pada tes fungsi hati
dapat terjadi saat serangan yang parah dan tidak berarti adanya penyakit hati yang
menyertai (Butcher & Britton, 2003). Pemeriksaan lanjut seperti HLA-B27 dilaporkan
positif pada sekitar 30% pasien enteropatik artritis, oleh karenanya tidak bermakna
signifikan secara klinis (Kahl, 2012; Meuwissen, 1997).
LED dan CRP yang meningkat, didapatkan pada penderita ini, mendukung suatu
keadaan penyakit yang sedang aktif. Gejala sistemik yang menyertai adalah takikardi,
penurunan berat badan, anemi, dan hipoalbumin. Namun tidak terjadi peningkatan tes
fungsi hati. Pemeriksaan HLA-B27 tidak dilakukan karena faktor biaya.
Pemeriksaan radiologis untuk membuktikan keterlibatan sendi akan memudahkan
klinisi menuju diagnosis yang tepat. Gambaran yang sering didapatkan pada foto sendi
sacroiliaca dan vertebra adalah sacroiliitis, syndesmophytes, atau ankilosis. Foto rontgen
BOF perlu dilakukan untuk mengeksklusi dilatasi kolon. MRI tulang belakang dapat
menunjukkan gambaran inflamasi awal berupa edema sum-sum tulang dan infiltrasi
lemak. Pada sendi perifer, bisa didapatkan entesitis dan reaksi perioesteum. MRI dan
USG sendi juga dapat membantu mengidentifikasi perubahan inflamasi pada sendi perifer
dan struktur disekitarnya. (Burroughs & Westaby, 2009; Kahl, 2012; Taurog, 2008).
Penderita ini mengalami artritis perifer di lutut kiri dan pinggang kiri.
Pemeriksaan radiologis yang menyokong pada penderita ini adalah adanya gambaran
sacroiliitis joint kiri; curve lumbal yang melurus dan paralumbal muscle spasme pada
foto lumbosacral AP, dan terdapat entesophyte di condyles medialis os tibia kiri yang
mengesankan osteoartritis femurotibial joint kiri. USG dan MRI sendi tidak dilakukan
karena faktor biaya.
Pasien yang datang dengan diare berdarah dapat di diagnosa banding dengan
kolitis infeksi akut, atau penyakit inflamasi usus kronis seperti penyakit Crohn’s,
keganasan kolorektal dan penyakit diverticular. Merujuk pasien pada ahli gastroenterologi
sangat diperlukan untuk mengetahui kelainan yang terjadi pada saluran pencernaan
dengan pemeriksaan colonoscopi dan biopsi sehingga dapat membantu membedakan
penyebab diare berdarah karena infeksi atau karena peradangan kronis, dengan ditemukan
adanya gambaran histologis kronisitas pada kolitis ulserativ (Butcher & Britton, 2003;
Kahl, 2012). Gambaran kolonoskopi pada colitis ulseratif adalah peradangan mukosa usus
yang difus dan memanjang proksimal dari rektum, sedangkan pada penyakit Crohn’s,
setiap segmen dari usus bisa terkena yang ditandai dengan peradangan transmural secara
segmental dan terdapat skip area yang positif (Colombo, 2009).
Hasil colonoskopi pada penderita ini menunjukkan mukosa yang hiperemi dengan
multiple ulkus yang letak dan bentuknya tidak teratur pada rectum, sigmoid dan colon
descenden tanpa skip area, terdapat pula bentukan polip bertangkai yang multiple pada
daerah sigmoid. Disimpulkan suatu colitis dengan dd colitis ulseratif dan penyakit
Crohn’s.
Pengobatan enteropatik artritis terdiri dari 2 pilar utama yaitu non farmakologi
dan farmakologi. Managemen non farmakologi terdiri dari edukasi pasien, aktivitas fisik
dan exercise. Terapi farmakologis meliputi Non-Steroid Antiinflammatory (NSAIDs), oral
Disease Modifying Antirheumatic Drugs (DMARDs) dan agen anti TNF. NSAIDs
merupakan first-line terapi yang terdiri dari cyclooxygenase (COX)-2 inhibitor selama 2
minggu yang berguna untuk mengurangi nyeri dan kekakuan sendi. DMARDs merupakan
second-line terapi berupa sulfasalazine, methotrexate dan azatrioprin. Sulfasalazin
merupakan oral DMARDs yang sering diberikan pada IBD karena secara klinis sering
memberikan respon baik (Isenberg, 2004; Kahl, 2012). Pengobatan lain dengan agen anti-
TNF-α (infliximab dan adalimumab) bisa digunakan untuk terapi induksi dan
249
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
maintenance untuk remisi klinis (Taurog, 2008) dan telah memberikan hasil yang cepat
dan sangat baik (De Vos, 2004). Remisi dari gejala gastrointestinal biasanya akan
menyebabkan remisi pada artritisnya (Burroughs & Westaby, 2009).
Infliximab adalah chimeric anti-TNF-α monoklonal IgG1 antibodi yang bekerja
menetralkan sitokin terlarut dan menghalangi ikatan sitokin dengan membran sel.
Penggunaannya telah disetujui oleh otoritas kesehatan di Amerika Serikat (FDA) dan
Eropa (EMEA) sebagai obat untuk pengobatan tahan lanjut untuk penyakit Crohn yang
berat (Van den Bosch, Kruithof, Baeten, 2000).
Penderita mendapat terapi Sulfasalazin 2x500 mg pada 1 minggu pertama yang
kemudian ditingkatkan menjadi 2x1000mg pada minggu kedua dan seterusnya; COX 2
inhibitor diberikan 2x50mg. Setelah menjalani terapi medika mentosa selama 2 minggu,
penderita mengatakan bahwa diare berdarahnya sudah berhenti dan nyeri pada
persendian jauh berkurang.
Terapi untuk penyakit golongan spondiloartritis harus terus dilanjutkan walaupun
secara klinis aktivitas penyakitnya telah remisi. Terdapat hubungan yang kuat antara
radang usus dan radang sendi, dimana remisi dari inflamasi sendi juga disertai dengan
membaiknya peradangan sendi. Namun, eksaserbasi dapat terjadi kembali beberapa
minggu setelah terapi dihentikan. Oleh karena itu, edukasi pada pasien harus diberikan
secara lengkap untuk menghindari terjadinya episode berulang. Penelitian untuk
menemukan dosis jangka panjang yang optimal untuk mempertahankan remisi pada
pasien dengan spondiloartritis masih terus dilakukan (Baeten & Keyser, 2004; Khan,
2002; Van Damme, 2001).
Komplikasi dari spondiloartropati tergantung dari tipe artritis yang dialami pasien.
Artritis tipe 1 biasanya tidak menimbulkan deformitas. Artritis tipe 2 dapat terjadi erosi
persendian dan/atau ankylosis pada sendi yang terkena, sedangkan pada artritis tipe 3
dapat menyebabkan kelainan tulang belakang, seperti pada ankilosing spondilitis (Kahl,
2012).
Pesan yang dapat dipelajari pada kasus di atas terutama bagi klinisi agar dapat
mengenali gejala IBD dan merujuk pada ahli gastroenterology untuk pemeriksaan traktus
intestinal lebih lanjut dan merujuk pada ahli reumatologi bila mendapati pasien IBD yang
disertai dengan inflammatory back pain, gambaran sacroiliitis pada imaging dan artritis
perifer, entesitis atau dactilitis.
KESIMPULAN
Telah dilaporkan kasus seorang penderita laki-laki, usia 56 tahun dengan keluhan BAB
berdarah, nyeri sendi lutut dan pinggang. Dari pemeriksaan fisik didapatkan anemia,
artritis genu dan schober test positif. Pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosa
enteropatik artritis adalah LED yang meningkat, gambaran sakroiliitis kiri dan hasil
colonoskopi berupa kolitis ulseratif. Penderita mendapat terapi Sulfasalazin 2x500mg
pada minggu pertama yang kemudian ditingkatkan menjadi 2x1000mg pada minggu
kedua dan seterusnya; COX 2 inhibitor 2x50mg dan didapatkan perbaikan secara klinis.
Penderita di-KRS-kan setelah sebelumnya di KIE tentang penyakit yang dideritanya,
management non farmakologi yang bisa dilakukan dan kemungkinan komplikasi yang
bisa muncul.
DAFTAR PUSTAKA
1.Aksentijevich, I., Masters, S. L., Ferguson, P. J., Dancey, P., Frenkel, J., van Royen-Kerkhoff,
A., Laxer, R., Tedgård, U., Cowen, E. W., & Pham, T.-H. (2009). An autoinflammatory disease
250
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
with deficiency of the interleukin-1–receptor antagonist. New England Journal of Medicine,
360(23), 2426-2437.
2. Baeten, D., & Keyser, F. (2004). The histopathology of spondyloarthropathy. Current
molecular medicine, 4(1), 1-12.
3. Burroughs, A., & Westaby, D. (2009). Kumar & Clark's Clinical Medicine (7 ed.).
London: Saunders Elsevier,535-540.
4. Butcher, G. P., & Britton, R. (2003). Gastroenterology: an illustrated colour text:
Churchill Livingstone,46-52.
5. Colombo, E., Latiano, A., Palmieri, O., Bossa, F., Andriulli, A., & Annese, V. (2009).
Enteropathic spondyloarthropathy: A common genetic background with inflammatory
bowel disease? World journal of gastroenterology: WJG, 15(20), 2456.
6. De Vos, M. (2004). Joint involvement in inflammatory bowel disease. Alimentary
pharmacology & therapeutics, 20(s4), 36-42.
7. Dougados, M., & Baeten, D. (2011). Spondyloarthritis. The Lancet, 377(9783), 2127-
2137.
8. Friedman, S., & Blumberg, R. S. (2008). Inflammatory Bowel Disease. In D. L. Longo,
A. S. Fauci, D. L. Kasper, S. L. Hauser, J. L. Jameson & J. Loscalzo (Eds.), Harrison's
principles of internal medicine (18 ed., Vol. 2). New York: McGraw-Hill Medical, 2477-
2495.
9. Holden, W., Orchard, T., & Wordsworth, P. (2003). Enteropathic arthritis. Rheumatic
diseases clinics of North America, 29(3), 513-530.
10. Isenberg, D. A., Maddison, P. J., Woo, P., Glass, D. N., & Breedveld, F. (2004). Oxford
Textbook of Rheumatology (3rd ed.). London: Oxford University Press,738-785.
11. Kahl, L. (2012). The Washington Manual of Rheumatology Subspecialty Consult (2nd
ed.). Washington: Lippincott Williams & Wilkins,161-193.
12. Kastner, D. L., Aksentijevich, I., & Goldbach-Mansky, R. (2010). Autoinflammatory
disease reloaded: a clinical perspective. Cell, 140(6), 784-790.
13. Khan, M. A. (2002). Update on spondyloarthropathies. Annals of Internal Medicine,
136(12), 896-907.
14. Masters, S. L., Simon, A., Aksentijevich, I., & Kastner, D. L. (2009). Horror
autoinflammaticus: the molecular pathophysiology of autoinflammatory disease. Annual
review of immunology, 27, 621.
15. Meuwissen, S. G., Crusius, J. B. A., Peña, A. S., Dekker-Saeys, A. J., & Dijkmans, B. A.
(1997). Spondyloarthropathy and idiopathic inflammatory bowel diseases. Inflammatory
bowel diseases, 3(1), 25-37.
16. Rudwaleit, M., van der Heijde, D., Landewé, R., Akkoc, N., Brandt, J., Chou, C. T.,
Dougados, M., Huang, F., Gu, J., Kirazli, Y., Van den Bosch, F., Olivieri, I., Roussou, E.,
Scarpato, S., Sørensen, I. J., Valle-Oñate, R., Weber, U., Wei, J., & Sieper, J. (2011). The
Assessment of SpondyloArthritis international Society classification criteria for
peripheral spondyloarthritis and for spondyloarthritis in general. Annals of the Rheumatic
Diseases, 70(1), 25-31.
17. Soeroso, J. (2012). The Spectrum of Spondiloartrhitis. Surabaya: Departemen - SMF
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,563-566.
18. Taurog, J. D. (2008). Spondyloarthitides. In D. L. Longo, A. S. Fauci, D. L. Kasper, S. L.
Hauser, J. L. Jameson & J. Loscalzo (Eds.), Harrison's principles of internal medicine (18
ed., Vol. 2). New York: McGraw-Hill Medical 2774-2785.
19. Turkcapar, N., Toruner, M., Soykan, I., Aydintug, O. T., Cetinkaya, H., Duzgun, N.,
Ozden, A., & Duman, M. (2006). The prevalence of extraintestinal manifestations and
HLA association in patients with inflammatory bowel disease. Rheumatology
international, 26(7), 663-668.
20. Van Damme, N., De Vos, M., Baeten, D., Demetter, P., Mielants, H., Verbruggen, G.,
Cuvelier, C., Veys, E., & De Keyser, F. (2001). Flow cytometric analysis of gut mucosal
251
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
lymphocytes supports an impaired Th1 cytokine profile in spondyloarthropathy. Annals of
the Rheumatic Diseases, 60(5), 495-499.
21. Van den Bosch, F., Kruithof, E., Baeten, D., De Keyser, F., Mielants, H., & Veys, E. M.
(2000). Effects of a loading dose regimen of three infusions of chimeric monoclonal
antibody to tumour necrosis factor α (infliximab) in spondyloarthropathy: an open pilot
study. Annals of the Rheumatic Diseases, 59(6), 428-433.
22. Van den Bosch, F., Kruithof, E., Vos, M. D., Keyser, F. D., & Mielants, H. (2000).
Crohn's disease associated with spondyloarthropathy: effect of TNF-α blockade with
infliximab on articular symptoms. The Lancet, 356(9244), 1821-1822.
23. Wollheim, F. A. (2005). Enteropathic Arthritis. In W. N. Kelley, E. D. Harris, R. C.
Budd, G. S. Firestein, M. C. Genoseve, J. S. Sergent, S. Ruddy & C. B. Sledge (Eds.),
Kelley's Textbook of rheumatology (7 ed., Vol. 2). Pennsylvania: Saunders Philadelphia,
1165-1173.
252
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
KEBERHASILAN TERAPI PADA ABSES HATI AMUBA DAN PIOGENIK
Zurriaty Savitri *Malahayati*, Fauzi Yusuf**, Azzaki Abubakar**
*Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
**Divisi Gastro Entero Hepatologi
Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Syiah Kuala, RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh
Abstrak
Abses hati adalah lesi yang infeksius pada hati. Terdapat 2 jenis abses hati yang paling banyak
adalah abses piogenik dan amuba. Abses hati piogenik kasusnya jarang namun berpotensi
kematian, dengan insiden yang dilaporkan 20 per 100.000 populasi, sering terjadi pada usia
paruh baya . Abses hati amuba paling banyak ditemukan di daerah tropis terutama ”Entamoeba
histolytica” prevalensinya 50 juta infeksi pertahun, paling banyak pada individu ( laki-laki
muda) dengan penurunan atau penekanan sistem kekebalan tubuh.
Laporan Kasus I
Pasien laki-laki ,52 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 1 bulan.
Demam , BAB cair selama 1 bulan terakhir. Pasien seorang penyuluh pertanian dengan kegiatan
sehari-hari turun ke lahan pertanian. Hepar teraba 5 cm BAC, 6 cm BPX, nyerti tekan (+),
permukaan rata, konsistensi kenyal, tepi tumpul, USG abdomen multiple lesi mixed echoic di
lobus kanan kiri hepar kesan abses hepar. CT scan abdomen abses hepar ukuran 16, 5 cm.
Drainase abses cairan berwarna merah tua sebanyak 250 cc, kultur cairan menunjukkan
Entamoeba Hystolitica, terapi antibiotik dilanjutkan sampai hari ke 20, selama rawatan
mengalami perbaikan klinis serta tidak dijumpai komplikasi
Laporan Kasus II
Pasien laki-laki ,41 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 3 bulan.
Demam ,penurunan BB, BAB tidak dikeluhkan . Pasien seorang pedagang yang juga seorang
pekebun. Sudah didiagnosa dengan abses hati piogenik berukuran 6 cm. CT Scan abdomen non
kontras dan kontras abses multipel lobus kanan ukuran terbesar 8,44 x 6,42 cm, kultur cairan
abses hasilnya Entamoeba Colli, selama rawatan mengalami perbaikan klinis serta tidak dijumpai
komplikasi.
Kata kunci: Abses hepar piogenik dan amuba, Entamoeba histolytica, Entamoeba Colli , demam,
BAB cair.
253
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
PANCREATIC NON HODGKIN LYMPHOMA DENGAN MANIFESTASI
KOLANGITIS AKUT
Rachmat Hidayat1, Azzaki Abubakar2, Fauzy Yusuf2
1PPDS Penyakit Dalam 2Divisi Gastroentero-hepatology, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala, Rumah Sakit Umum Dr Zainoel Abidin, Banda Aceh Indonesia.
Abstrak
Latar Belakang: Limfoma pankreas primer merupakan kasus yang jarang, hanya 0,2-4,9% dari
semua keganasan pankreas dan kurang dari 1% limfoma non-Hodgkin. Pengobatan dan prognosis
tumor ini berbeda. Namun, diagnosis limfoma pankreas primer sangat sulit, karena gejala dan
tanda klinisnya mirip dengan adenokarsinoma pankreas. NHL sering terjadi di ekstranodus
terutama saluran cerna dan jarang di pankreas. Kami melaporkan satu pasien dengan massa di
caput pankreas dengan manifestasi klinis suatu kolangitis akut disertai dengan pembesaran
kelenjar getah bening leher dengan gambaran suatu limfoma non Hodgkin.
Laporan Kasus: Laki-laki usia 61 tahun dirujuk dengan keluhan rasa tidak nyaman di perut,
massa di epigastrik, penurunan berat badan, demam, dan ikterus sejak 8 hari sebelum masuk
rumah sakit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan massa di regio epigastrik, sklera ikterik,
pembesaran tonsil unilateral dan pembesaran kelenjar getah bening leher. Data laboratorium darah
rutin dalam batas normal dengan SGPT 95 U / L dan SGPT 81 U/L. Alkali fosfatase 500U/L.
Bilirubin total 27,62 mg/dL dengan bilirubin indirek 5,27 mg/dL. HbSAg negatif dengan anti
HCV negatif. Antigen karbohidrat serum (CA19-9) 4,69 U/ml. USG abdomen menunjukkan
dilatasi duktus bilier dan hidrops gall bladder. Biopsi aspirasi kelenjar getah bening leher
menunjukkan gambaran limfoma non Hodgkin. CT scan abdomen menunjukkan massa di caput
pankreas dengan dilatasi duktus bilier. MRCP menunjukkan dilatasi duktus bilier intrahepatik dan
ekstrahepatik dengan gambaran massa pada caput pankreas. Pasien direncanakan untuk dilakukan
drainase bilier transhepatik perkutan untuk terapi kolangitis akut. Kemoterapi dengan rejimen
CHOP dipersiapkan untuk mendapatkan remisi total pada kasus ini.
Diskusi: NHL sering terjadi di ekstranodus terutama di saluran cerna dan jarang di pankreas.
Limfoma harus dicurigai pada kasus dengan adanya massa pankreas yang besar dan tumbuh
cepat. Limfoma bukan merupakan penyebab utama ikterus obstruktif dan diagnosis kolangitis
akut dapat dipertimbangkan jika dijumpai Charcot Triad. Pengobatan limfoma pankreas dengan
dekompresi operatif, percutaneos drainase bilier transhepatik dan kemoterapi menunjukkan remisi
lengkap pada 70% kasus.
Kesimpulan: Kami melaporkan satu kasus pancreatic non hodgkin limfoma. Kasus NHL yang
jarang terjadi yang memerlukan drainase bilier segera dan kemoterapi untuk mencapai hasil
maksimal pada tatalaksana penyakit ini.
Kata kunci: Pancreatic Non Hodgkin Limfoma, Drainase Bilier, Kemoterapi.
254
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
PENDEKATAN DIAGNOSTIK PADA PASIEN DENGAN MUCIN ASCITES
Yunita Hafni*, Desi Salwani**, Azzaki Abubakar***, Fauzi Yusuf***
*Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
**DPJP Ruang Penyakit Dalam Wanita
***Divisi Gastroenterohepatologi
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Syiah Kuala, RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh
Abstrak
Pendahuluan
Ascites adalah penumpukan cairan pada rongga peritoneum, bisa disebabkan oleh berbagai
penyakit yang berasal dari peritoneum (infeksi, malignansi), atau penyakit diluar peritoneum
(penyakit liver, gagal jantung, hipoproteinemia). Mucin ascites adalah ascites yang berbentuk
seperti gelatin dan mengandung banyak glikoprotein
Kasus
Pasien perempuan 31 tahun dengan keluhan perut membesar sejak 6 bulan SMRS. Kecurigaan
awal adalah ascites ec.dd TB peritoneal. Dalam perjalanan klinis setelah di punksi cairan ascites
berwarna kuning dan lengket seperti gelatin dengan SAAG <1,1gr/dl. Colonoskopi menunjukkan
massa ekstralumen menekan colon. USG ginekologi neoplasma kistik multilokuler intra abdomen.
CT Scan ditemukan massa pelvis sampai abdomen diduga berasal dari ovarium, hasil CA 125
meningkat. Pasien dikonsulkan ke bagian obgin dan dilakukan penatalaksanaan operatif berupa
salphingooofarektomi didapatkan kista mucin ovarium kanan seberat 21 kg, dimana tumor juga
lengket ke omentum dan appendik sehingga dikonsulkan ke bedah digestif dilakukan
omentektomi dan appendektomi. Kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologi didapatkan
dinding tumor terdiri dari jaringan ikat dengan perdarahan lama, epitel silindris yang
menghasilkan mucin dan pembuluh darah dilatasi, tampak dinding kista dengan sel-sel epitel
squamous berlapis. Post operatif setelah dilakukan penatalaksanaan operatif pasien mengalami
perbaikan.
Diskusi Kriteria untuk diganosis pasien dengan mucin ascites,ditemukannya ascites dan kista yang
mengandung adanya gelatin atau mucin dengan SAAG <1,1gr/dl , kadar ca 125 yang bisa saja
tinggi karena mengandung glikoprotein tinggi karena masifnya mucin, gambaran histopatologi
ditemukan dinding tumor terdiri dari jaringan ikat dengan perdarahan lama, epitel silindris yang
menghasilkan mucin dan pembuluh darah dilatasi, tampak dinding kista dengan sel-sel epitel
squamous berlapis.
Kesimpulan
Telah dilaporkan seorang perempuan 31 tahun dengan Cystoma Ovarii Mucinosum Multiloculare.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis,laboratorium berupa CA 125, Analisa cairan
Ascites, pemeriksaan penunjang berupa USG, CT Scan, tindakan salphingooofarektomi, dan
pemeriksaan histopatologi.
Kata kunci : Ascites, Mucinous, Cyst
255
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
ASCITES NON SIROTIC DENGAN PENYEBAB TB PERITONEAL
Chairunnisa*, Afrizal*, Azzaki Abubakar***, Fauzi Yusuf***
*PPDS Ilmu Penyakit Dalam
*Divisi Gastroenterohepatologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala /
RSUD dr.Zainoel Abidin Banda Aceh
Abstrak
Pendahuluan
TB peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau visceral yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. TB peritoneal memiliki angka kejadian 0,1 % sampai
0,7% dari seluruh total kasus TB di Dunia. Kejadian tuberkulosis meningkat di negara
berkembang maupun di negara maju dan TB peritoneal sering didiagnosis terlambat sehingga
meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pasien. Insidensi tuberkulosis peritoneal lebih
sering dijumpai pada wanita dibanding pria dengan perbandingan 1,5:1.
Kasus
Pasien seorang laki-laki umur 39 tahun datang dengan keluhan perut yang membesar sejak 4
bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan demam sejak 3 minggu terakhir,
sering berkeringat di malam hari dan penurunan berat badan 10 kg dalam 4 bulan terakhir. Pada
pemeriksaan fisik dijumpai perut yang membesar dan tegang, shifting dullness dan fenomena
papan catur dijumpai. Dilakukan Pemeriksaan cairan asites didapat kan rivalta eksudat,
(Adenosine deaminase) ADA test 96 U/L, LED yang meningkat 76 mm/jam. Serum asites
albumin gradien (SAAG) < 1,1 g/dl dan nilai (mononuklear) MN yang dominan, pasien
didiagnosa dengan TB peritoneal. Pasien diberikan OAT sesuai berat badan selama 9 bulan
dengan fixed dose combination 4 tablet 4FDC selama 2 bulan fase awal dan dosis lanjutan 4 tablet
2 FDC selama 7 bulan, Dari hasil USG menunjukkan adanya asites
Diskusi TB peritoneal dijumpai 2% dari seluruh tuberkulosis dan 59,8 % dari tuberkulosis abdominal.
Insidensi yang lebih tinggi pada wanita berhubungan dengan meningkatnya faktor resiko pada
wanita, yaitu kemungkinan penyebaran bakteri dari organ tuba fallopii pada wanita ke organ yang
ada di abdomen, salah satunya peritoneum. Insidensi tuberculosis peritoneal lebih sering dijumpai
pada wanita dibandingkan pria dengan perbandingan 1,5 : 1 dan lebih sering pada decade ke-3
dan ke-4. TB peritoneal merupakan kasus yang jarang dijumpai. Laporan kasus ini bertujuan
pembelajaran pendekatan diagnostic dan terapi pada pasien ini. Gejala klinis perut membesar,
sakit perut, demam, keringat malam, anoreksia, berat badan turun, mencret. Laboratorium
dijumpai anemia penyakit kronis, leukopenia, trombositosis, gangguan faal hati dan (LED)
meningkat, Hasil (Adenosine deaminase) ADA test menunjukkan peningkatan 3x lipat dari nilai
normal, USG pada TB Peritoneal mendeteksi keberadaan asites, keterlibatan lapisan peritoneal,
mesenterium dan omentum. CT Scan dan MRI tidak banyak direkomendasikan karena mahal.
Asites dikenali anechoic jika ada cairan bebas tanpa debris. Pengobatan OAT selama 9 bulan
sampai 12 bulan mencapai keberhasilan terapi sekitar 99%, dengan regimen 2(RHZE) / 7 (HR).
Kunci menghentikan TB dimasyarakat adalah mulai mengobati pasien TB sesegera mungkin,
untuk pengobatan yang efektif sangat penting dalam pemilihan obat yang benar dan diberikan
periode yang tepat TB pulmonal dan TB extra pulmonal diterapi dengan cara yang sama.
256
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Kesimpulan Telah dilaporkan seorang laki-laki 39 tahun dengan keluhan perut yang membesar sejak 4 bulan
sebelum masuk rumah sakit, berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yaitu LED yang meningkat, Analisa menunjukkan Mononuklear (MN) lebih dominan
menunjukkan proses radang kronik, hasil kultur menunjukkan kuman fastidious rivalta positif dan
peningkatan nilai ADA test, pasien didiagnosa dengan TB Peritoneal, pasien mendapat
pengobatan OAT selama 9 bulan sesuai berat badan, 2 bulan fase awal dan 7 bulan fase lanjutan,
dengan terapi OAT hasilnya membaik.
Keyword : Diagnosis, Tatalaksana, TB Peritoneal
257
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
PROBLEM TERAPI PENDERITA GASTROPATI OAINS DENGAN
HELICOBACTER PYLORI POSITIF Edward Muliawan Putera, Ridwan Prasetyo, Budi Widodo, Iswan Abbas Nusi,
Poernomo Boedi Setiawan, Herry Purbayu, Titong Sugihartono, Ummi Maimunah,
Ulfa Kholili, Husin Thamrin, Muhammad Miftahussurur, Amie Vidyani
Divisi Gastroenterologi-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr Soetomo, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya
Abstrak
Pendahuluan
Penggunaan OAINS semakin meningkat dengan meningkatnya angka penyakit degeratif,
kardiovaskular, inflamasi dan autoimun. Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas bergeser
dari varises esofagus menjadi gastritis erosiva kOAINS. Resiko perdarahan semakin meningkat
pada pasien dengan infeksi Helicobacter pylori yarena ang positif.
Kasus
Seorang pria 52 tahun, suku Jawa, tinggal di Surabaya. Pasien datang ke RSU Dr. Soetomo
Surabaya dengan keluhan buang air besar berwarna hitam dan perdarahan pada luka operasi sejak
2 hari. Pasien rutin minum obat aspirin 100 mg dan clopidogrel 75 mg sejak 18 bulan terakhir.
Riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi dan paska operasi coronary artery bypass graft atas
indikasi penyakit jantung koroner. Dari pemeriksaan fisik awal didapatkan syok hipovolemik
dengan tekanan darah 85/60 dengan nadi 120 kali per menit, paska resusitasi vital sign normal.
Terapi anti platelet dihentikan dan diberikan drip lansoprazole. Setelah 5 hari melena sudah
berhenti kemudian pasien menjalani pemeriksaan endoskopi dan biopsi dengan hasil gastritis
erosiva dengan hasil patologi Helicobacter pylori positf. Terapi eradikasi diberikan dengan
lansoprazole 2 x 30 mg per oral, klaritromisin 2 x 500 mg per oral, dan amoksisilin 2 x 1000 mg
per oral selama 14 hari. Paska eradikasi Helicobacter pylori dilakukan endoskopi ulang dan
didapatkan perbaikan secara endoskopi dengan biopsi Helicobacter pylori negatif. Setelah
perdarahan berhenti terapi antiplatelet dilanjutkan dengan profilaksis lansoprazole 1x30 mg.
Diskusi
Perdarahan saluran cerna bagian atas karena OAINS sering pada pasien penyakit jantung koroner
yang memerlukan antiplatelet ganda. Pedoman pasien gastropati OAINS dilakukan penghentian
antiplatelet sementara, dilanjutkan dengan tindakan endoskopi dan biopsi. Eradikasi H pylori
diberikan dengan pemberian triple therapy PPI 2x1, Amoksisilin 2x1000 mg, Klaritomisin 2x500
mg selama 7-14 hari. Pemberian antiplatelet disertai golongan PPI harus segera dilakukan paska
perdarahan berhenti untuk mencegah mortalitas.
Kesimpulan Pemeriksaan Helicobacter pylori harus dilakukan pada terapi antiplatelet ganda untuk pencegahan
gastropati OAINS.
Kata kunci: gastropati OAINS, anti platelet, Helicobacter pylori
258
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
ANALYSIS LEVEL OFGASTRIN-17 SERUM IN GASTROPATHY NSAIDs
PATIENT Cut Henna Meriza,1 Cut Meina2, Azzaki Abubakar3, Fauzi Yusuf3
1PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK Unsyiah / RSUDZA Banda Aceh 2RSUD. Cut Meutia Lhokseumawe3 Staf
Divisi Gastroenterohepatologi Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unsyiah / RSUDZA Banda Aceh
Abstract
Background :Gastropathy NSAIDs is a condition that shows a complication of upper
gastrointestinal tract associated with long term use of non steroid anti inflammation drugs
(NSAIDs). NSAIDs cause gastric mucosal damage resulting in outcomes ranging from
nonspecific dyspepsia to ulceration and upper gastrointestinal (GI) bleeding. Gastrin-17 is a
peptide hormone produced by gastric parietal cell which is a non invasive biomarker examination
describes functional and structural status of gastric mucosa. The aims of this study is to determine
level of gastrin-17 serum and stage of gastropathy in gastropathy NSAIDs patients.
Methode : The design of this research is a cross sectional analytic observational study on 30
subjects who met the inclusion and exclusion criteria with quota sampling techniques from
October until December 2016 in dr.Zainoel Abidin Hospital Banda Aceh. The parameters
examined is gastrin-17 serum. Result is analyzed using chi square and Fisher Exact Test.
Result : The mean of gastrin-17 serum level based on stage of gastropathy shows as follow : 17
patients (23,4%) with gastritishave mean level 5,29, 11 patients (36,7%) with gastric ulcer have
mean level 3,02, and 2 patients (6,7%) do not have gastropathy with mean level 1,39. Crosstab
shows gastropathy patients with gastrin level> 5 pmol/l are 5 patients (16,7%), gastrin level < 5
pmol/l are 23 patients (76,7%). Patients who do not have gastropathy with gastrin level > 5
pmol/l are 2 patients (6,7%), and gastrin level < 5 pmol/l is zero (0,0%).
Conclusion : There is an opposite relationship between the level of gastrin-17 serum and
gastropathy NSAIDs. There is a tendency if the patient has gastropathy, there is a decrease in
gastrin-17 serum. Conversely, if there is no gastropathy, then there is a tendency of increasing the
levels of gastrin-17 serum.
Keywords :gastropathy, NSAIDs, Gastrin-17
259
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice
Chronic Hepatitis C Treatment in the Era of Direct Acting Antiviral (DAA): AUpdate
Report of HCV Elimination Program inWest Java Province–Indonesia
Eka Surya Nugraha1, Muhammad Begawan Bestari1, Nenny Agustanti1, Dolvy Girawan1, Yudi Wahyudi1,
EnungCahya Nurul2, M. Arzan Al Farish3, Yeti Hariyati4, SitiAminah Abdurachman1
1Division of Gastroenterohepatology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of
Padjadjaran, Hasan Sadikin General Hospital, Bandung. 2Department of Internal Medicine, GunungJati
Hospital, Cirebon.3Department of Internal Medicine, Syamsudin Hospital, Sukabumi.4Department of
Internal Medicine, Bogor District Hospital, Bogor
Background
Hepatitis Cvirus(HCV) remaina cause of chronic liver failure globally. Approximately 0,8 – 1%
of population are infected in Indonesia. Since the introducing of direct acting antiviral (DAA),
HCV have significantly reduced. However, the availability of DAA in Indonesia were delayed
due to limited access. The DAA were obtainable in several centers through special access scheme
from 2017.
Method
This wasa multi-centers, descriptive-retrospective study to obtain data from chronic Hepatitis C
virus (HCV) patients who were treated with DAA in 4 centers in West Java province, Indonesia.
All patients with HCV mono-infection naïve treatments, HCV/HIV coinfection, and previously
treated were included. The exclusioncriteria was HCV/HBV co-infected, and chronic kidney
disease. There were 3 DAAs provided, Sofosbuvir, Simeprevir, andDaclatasvir; along with
Ribavirin. Patients received DAA combination with or without Ribavirin based on Indonesian
consensus ofHCV treatment.
Result
A total 264 HCV patients admitted from August 2017 to April 2018were included, most patients
were male (68,2%), median age 41 years old, with range 21to 88 years old. HIV co-infected was
detected in 92 patients (34,8%) who were not assessed HCV genotype. Cirrhosis status was
noticed in 88(33,3%) HCV mono-infectedpatients andin 23 (8,74%) HCV/HIV co-infected
patients.Only 48 of 264 (18,2%) patients underwent HCV genotype assessment. There were 7
(14,6%) patients with genotype 1a, 20 (41,7%) genotype 1b, 7 (14.6%) genotype 2, 3 (6.3%)
genotype 3, 5 (10.4%) genotype 4, and 6 (12.5%) undetermined genotype.This study
demonstrated that HCV genotype finding in HCV mono-infectedwithout cirrhotic and those with
cirrhotic patients was mostly genotype 1b (44,4%)and 41,7% respectively. HCV/HIV co-infected,
undeterminedgenotype, or patientswho were unable to afford genotype assessment, were treated
with combination Sofosbuvir – Daclatasvir. The outcome of DAA treatment had not completely
finished yet, however 44 of 264 patients showed good result shown by achievement sustained
virologic response after 12 weeks of end therapy (SVR12).
Conclusion
Observation on HCV treatment in West Java province demonstratedthat HCV monoinfection were
dominatedby genotype 1b. Although most patienthad not finished therapy, promising outcome
was expected with these DAAs.
Keyword :
Hepatitis C Virus (HCV), Direct Acting Antiviral (DAA), Sustained Virologic Response (SVR)
260
Konkernas PPHI – PGI – PEGI 2018 In Conjunction with Aceh Gastroenterohepatologi Update 2018
Gastroenterohepatologi Problem, From Basic Science to Clinical Practice