26
73 PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE TRADITIONAL RETAIL STORE IN SARANGAN LAKE TOURIST AREA By: Darisnan Paramu Gading Advisor Lecturer: Dr Aji Dedi Mulawarman, SP., MSA. Abstract This study aims to determine the form of price setting applied by traders in traditional retail stores, factors that affect the price setting, and implementation of Javanese culture that embraced community Sarangan the price setting process. Studies using ethnometodology method for analyzing indexicality and reflexivity in the process pricing of goods sold, mark-up decision-making, and determining the selling price. The study found in the price-setting process, the traditional retail traders to apply the principles of Javanese culture among tepa selira, rame ing gawe sepi ing pamrih, nerima ing pandum, and lumintu. The selling price is formed by the merchants of the components of cost of goods sold plus a mark-up or profit which is desired. Keywords: qualitative, ethnometodology, cost of goods sold, mark up, the selling price PENDAHULUAN Membahas tentang pedagang, di Indonesia masih dapat kita temukan berbagai bentuk cara berdagang mulai dari segmen tradisional seperti pasar tradisional, toko-toko kelontong, pedagang dalam bentuk grosiran, bahkan hingga pedagang asongan. Dari aspek modern kita semua tahu bahwa fenomena ini sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita yaitu menjamurnya minimarket-minimarket modern. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan minimarket-minimarket modern ini cukup membantu dinamika kehidupan masyarakat kita yang semakin bergerak maju dan kompleks. Kini yang menjadi masalah dari keberadaan minimarket-minimarket ini adalah orientasi keuntungan yang semata- mata menjadi prioritas pertama dan utama. Hal ini tentu saja menyalahi aturan baik secara materiil maupun moril. Dalam pasal 4 ayat 1 Perpres Nomor 112 tahun 2007 tentang “Penataan dan Pembinaan pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko modern”, telah dijelaskan bahwa setiap toko-toko modern wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar serta lebih memperhatikan jarak antara toko

PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

73

PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE

TRADITIONAL RETAIL STORE IN SARANGAN LAKE TOURIST AREA

By:

Darisnan Paramu Gading

Advisor Lecturer:

Dr Aji Dedi Mulawarman, SP., MSA.

Abstract

This study aims to determine the form of price setting applied by traders in

traditional retail stores, factors that affect the price setting, and implementation of Javanese culture that

embraced community Sarangan the price setting process. Studies using ethnometodology method for

analyzing indexicality and reflexivity in the process pricing of goods sold, mark-up decision-making, and

determining the selling price. The study found in the price-setting process, the traditional retail traders to

apply the principles of Javanese culture among tepa selira, rame ing gawe sepi ing pamrih, nerima ing

pandum, and lumintu. The selling price is formed by the merchants of the components of cost of goods

sold plus a mark-up or profit which is desired.

Keywords: qualitative, ethnometodology, cost of goods sold, mark up, the selling price

PENDAHULUAN

Membahas tentang pedagang, di

Indonesia masih dapat kita temukan

berbagai bentuk cara berdagang mulai dari

segmen tradisional seperti pasar tradisional,

toko-toko kelontong, pedagang dalam

bentuk grosiran, bahkan hingga pedagang

asongan. Dari aspek modern kita semua tahu

bahwa fenomena ini sedang terjadi di

tengah-tengah masyarakat kita yaitu

menjamurnya minimarket-minimarket

modern. Tidak dapat dipungkiri bahwa

keberadaan minimarket-minimarket modern

ini cukup membantu dinamika kehidupan

masyarakat kita yang semakin bergerak

maju dan kompleks.

Kini yang menjadi masalah dari

keberadaan minimarket-minimarket ini

adalah orientasi keuntungan yang semata-

mata menjadi prioritas pertama dan utama.

Hal ini tentu saja menyalahi aturan baik

secara materiil maupun moril. Dalam pasal 4

ayat 1 Perpres Nomor 112 tahun 2007

tentang “Penataan dan Pembinaan pasar

Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko

modern”, telah dijelaskan bahwa setiap

toko-toko modern wajib memperhitungkan

kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar

serta lebih memperhatikan jarak antara toko

Page 2: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

modern dengan pasar tradisional yang telah

ada.

Faktanya menjamurnya minimarket-

minimarket saat ini seperti tidak

mempedulikan pedagang-pedagang

tradisional disekitarnya. Akhirnya para

konsumen lebih banyak tertarik untuk

membeli dari minimarket-minimarket

dengan fasilitas yang modern dibandingkan

membeli di pasar tradisional maupun di

toko-toko ritel tradisional seperti toko

kelontong, sehingga hal ini telah banyak

membuat para pedagang tradisional akhirnya

gulung tikar karena tidak mampu bersaing

dengan kekuatan yang dimiliki oleh

minimarket-minimarket modern. Dilihat dari

sisi manapun, posisi pedagang tradisional

semakin terpojokkan bahkan tergilas dengan

persaingan bisnis yang tidak seimbang. Ironi

jika kita harus melihat posisi para pedagang

tradisional yang awalnya hanya memiliki

modal sedikit ditambah semangat

berwirausaha saja harus bersanding dengan

minimarket-minimarket modern dengan

modal yang besar, jaringan distribusi barang

yang terorganisir, juga didukung Sistem

Operasional Prosedur dan kecanggihan

teknologi yang maju.

Ternyata tidak semua pedagang

tradisional bisa tergerus oleh pembangunan

minimarket modern. Masih ada daerah-

daerah yang eksis dengan usaha-usaha

perdagangan ritelnya dan belum kalah

dengan minimarket modern salah satunya

yaitu di daerah Kecamatan Plaosan,

Kabupaten Magetan, Jawa Timur, dengan

alasan tersebut penulis tertarik untuk

melakukan penelitian yang membuat toko-

toko ritel atau kelontong di daerah tersebut

masih bisa bertahan di tengah gencarnya

pembangunan minimarket. Penelitian

penulis ini nantinya akan lebih berfokus

kepada strategi penentuan harga (price

setting) yang diterapkan pada toko-toko

kelontong yang ada di daerah tersebut agar

dapat bersaing dengan minimarket-

minimarket modern.

Penentuan harga (price setting)

memang menjadi salah satu persoalan

dimana setiap toko memiliki strateginya

tersendiri dalam penentuan harga, secara

otomatis hal ini juga membuat laba yang

diperoleh tiap toko akan berbeda pula.

Penentuan harga ini bertujuan untuk

menargetkan laba, menarik konsumen dan

juga untuk membandingkan dengan pesaing.

Penentuan harga juga bisa menjadi salah

cara yg efektif dalam menghitung

keuntungan dimana hal ini bisa digunakan

untuk mengetahui komponen HPP, target

laba, dan harga jual setiap barang yang

dijual di toko kelontong.

Page 3: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

Di Kecamatan Plaosan Kabupaten

Magetan merupakan daerah kawasan wisata

yang cukup potensial, yaitu kawasan Wisata

Telaga Sarangan yang disokong dengan

keindahan alam dimana kawasan ini tidak

pernah sepi pengunjung. Selain wisata

berupa telaga masih banyak wisata-wisata

yang ditawarkan di Kawasan Wisata Telaga

Sarangan diantaranya kuliner sate kelinci,

kebun strawberry, wisata outbond, villa-villa

keluarga, dan masih banyak lagi, sehingga

kawasan ini hingga saat ini masih menjadi

andalan untuk keluarga menghabiskan

liburannya. Hal ini bisa dilihat dalam tabel 2

bahwa jumlah kunjungan wisata ke obyek

wisata di Kabupaten Magetan terus

meningkat sejak tahun 2008. Peningkatan

paling tinggi terjadi pada tahun 2009 yang

meningkat 42%. Demikian juga dengan

kontribusi sektor pariwisata terhadap PAD

yang meningkat 82,35% tahun 2008 sebesar

Rp. 1.399.990.000 menjadi Rp.

2.552.850.000,- di tahun 2011. Hal ini lah

yang juga menyokong perekonomian para

penduduk sekitar yaitu dengan menyediakan

kebutuhan-kebutuhan pengunjung dengan

cara berdagang, salah satunya adalah toko

retail tradisional itu sendiri.

BUDAYA BISNIS PENGUSAHA TOKO

KELONTONG TRADISIONAL

DI KAWASAN WISATA TELAGA

SARANGAN

Kawasan Wisata Sarangan Sebagai

Penunjang Ekonomi Masyarakat

Kabupaten Magetan terkenal dengan

lokasi wisatanya yaitu Telaga Sarangan dan

beberapa spot wisata lainnya. Lokasi wisata

tersebut merupakan salah satu pusat

pergerakan perekonomian di Kabupaten

Magetan. Banyaknya wisatawan yang

datang mendorong masyarakat sekitar

menjajakan barang dagangan mulai dari

kebutuhan-kebutuhan pokok selama wisata,

cinderamata, makanan, persewaan hotel atau

villa, dan juga makanan khasnya. Tidak

dapat di pungkiri bahwa dengan adanya

kawasan wisata mampu meningkatkan

perekonomian warga sekitar obyek wisata

tersebut.

Menurut Bappeda Kabupaten Magetan

(2012) pariwisata di Kabupaten Magetan

khususnya Sarangan telah memberikan

lapangan kerja jasa wisata seperti pemandu

wisata, pedagang, tukang kuda atau perahu,

dan pengusaha hotel dan restoran. Sektor

perdagangan bersama dengan hotel dan

restoran menjadi sumber terbesar

pertumbuhan ekonomi di Kabupaten

magetan. Sektor ini menyumbang 27,15%

terhadap total PDRB Kabupaten Magetan.

Page 4: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

Tidak dapat dipungkiri keberadaan

Wisata Telaga Sarangan yang telah

melegenda ini telah banyak menarik minat

para wisatawan baik wisatawan domestik

maupun mancanegara. Menurut Bappeda

Kabupaten Magetan (2012) obyek wisata

andalan Kabupaten Magetan adalah telaga

Sarangan. Namun pemerintah kabupaten

Magetan juga terus mengembangkan obyek

wisata lainnya yang juga masih berada di

sekitar Sarangan antara lain pengembangan

agrowisata perkebunan stroberi dan jeruk

pamelo, selain itu juga wisata budaya yang

mencerminkan rasa syukur terhadap Yang

Maha Kuasa atas kelimpahan rejeki yaitu

Labuh Sesaji di Telaga Sarangan dan Ledug

Suro di alun-alun Kabupaten Magetan.

Jumlah kunjungan wisata ke obyek wisata di

Kabupaten Magetan juga terus menigkat

sejak tahun 2008. Peningkatan yang paling

tinggi terjadi yaitu pada tahun 2009 yang

meningkat 42% yang turut diikuti kontribusi

sektor pariwisata terhadap PAD yang

meningkat 82,35% tahun 2008 sebesar

Rp.1.399.990.000,- menjadi

Rp.2.552.850.000,- di tahun 2011. Obyek

wisata tersebut adalah sumber dari

masyarakat sekitar untuk mendirikan

berbagai usaha termasuk usaha di sektor

perdagangan yang telah menyumbang

27,15% terhadap total PDRB Kabupaten

Magetan termasuk di dalamnya adalah usaha

Toko retail tradisional.

Budaya Bisnis Jawa Sebagai Bagian dari

Masyarakat dalam Berdagang

. Gotong-Royong merupakan ciri khas

kekeluargaan yang dimiliki oleh masyarakat

Jawa. Budaya saling menghormati, tepa

seliro dan keramahan merupakan ciri khas

masyarakat jawa yang sudah ada dan di

turunkan dari generasi ke generasi.

Orang Jawa adalah orang yang hidup dan

berakar dalam kebudayaan Jawa yang

bersifat feodal. Masyarakat Jawa

mempunyai struktur sosial dalam hidup

bersosial, dalam berbahasa dan dalam

bertingkah laku. Hal tersebut berpengaruh

juga dalam memandang dunia bisnis. Dunia

bisnis dianggap pekerjaan yang kurang baik

menurut masyarakat Jawa kuno karena yang

dikejar adalah profit. Masyarakat Jawa lebih

cenderung mengejar pangkat yang tinggi

sehingga status mereka bisa semakin

disegani dan diakui di lingkungan

masyarakat. Dikarenakan pemahaman

tersebut bahwa berbisnis adalah pekerjaan

yang harus dihindari mengakibatkan banyak

orang Jawa yang kurang mempunyai jiwa

bisnis, karena menurut mereka akan lebih

terhormat jika mempunyai pangkat

Page 5: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

(kedudukan) dalam birokrasi pemerintahan.

Sehingga status yang mereka kejar adalah

sebagai priyayi.

Dunia bisnis yang yang mempunyai

nilai profit oriented dianggap tidak cocok

dengan budaya Jawa yang tidak

mengharapkan pamrih (rame ing gawe sepi

ing pamrih). Bahkan banyak pedagang yang

tidak terlalu memperdulikan jumlah

keuntungan mereka, yang penting ada

lebihnya walaupun sedikit. Jadi dari latar

belakang tersebut bisa disimpulkan orang

Jawa kurang mempunyai pengalaman dalam

dunia bisnis dan hal ini membuat

masyarakat Jawa mempunyai pandangan

yang kurang baik terhadap bisnis. Bisnis

dianggap berhubungan dengan motif

mencari untung, bisnis dipenuhi oleh

perilaku kompetitif, manipulatif, dan

antisosial. Hal-hal tersebut yang membuat

masyarakat Jawa menjadi enggan untuk

masuk dalam dunia bisnis.

Melihat fenomena saat ini yang ada

pada para pedagang khususnya di Kawasan

Wisata Sarangan Kabupaten Magetan,

pandangan orang Jawa tentang berbisnis saat

ini mulai bergeser. Hal ini dapat dilihat dari

maraknya toko, warung, pedagang di pasar

sudah mulai dipandang oleh masyarakat

Jawa sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa

perkembangan yang terjadi saat ini banyak

masyarakat Jawa yang mulai berbisnis.

Banyak orang-orang Jawa melihat bahwa

pekerjaan sebagai pebisnis adalah pekerjaan

yang sangat menjanjikan untuk mencapai

kesuksesan hidup dan ketika bisnis mereka

berhasil secara otomatis tingkat status sosial

mereka juga bisa terdongkrak naik. Dapat

dilihat sekarang maraknya orang Jawa yang

berlomba-lomba mengembangkan jiwa

bisnis mereka untuk mencapai keberhasilan

dalam berbisnis dan juga profesional dalam

menjalankan bisnis termasuk para pedagang

di Kawasan Wisata Telaga Sarangan

Kabupaten Magetan yang mayoritas besar

adalah keturunan Jawa. Berbisnis dengan

profesional tentunya membutuhkan suatu

etika yang dijalankan dalam dunia bisnis

sedangkan masyarakat Jawa sendiri

merupakan masyarakat yang kaya akan nilai

etika yang berkembang dalam komunitas

masyarakatnya.

Konsep perdagangan sebenarnya

sudah ada akan tetapi masyarakat Jawa

menganggap sebagai kebutuhan yang

sekunder. Kebutuhan hidup pokok dapat

mereka penuhi dari sektor pertanian dan

peternakan, sedangkan untuk kebutuhan

lainnya atau sekunder barulah di dapatkan di

pasar tradisional. Sistem seperti ini dapat

dilihat melaui pola pasar tradisional yang

hanya buka pada hari-hari tertentu atau hari

Page 6: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

pasaran, seperti hari pasar Legi, pasar

Wage, pasar Paing dan lain sebagainya.

Walaupun memang secara umum bisa

disimpulkan bahwa perilaku masyarakat

Jawa memang cenderung menghindari

profesi sebagai pebisnis, akan tetapi posisi

pedagang atau pebisnis sebenarnya cukup

mendapat tempat di masyarakat Jawa. Orang

jawa sudah mengenal pasar walau bersifat

tradisional.

Secara sederhana etika Jawa

mengacu kepada dua prinsip pokok atau dua

kaidah pokok bagi orang-orang Jawa yaitu,

prinsip yang pertama adalah prinsip

kerukunan dan prinsip kedua adalah hormat.

Dimana setiap orang Jawa dituntut untuk

bisa hidup dalam kerukunan dan menjaga

kerukunan dengan sesamanya. Begitu pula

juga harus bisa saling menghormati sesuai

dengan kedudukan dalam masyarakat

ataupun dalam keluarga dalam menjalankan

pekerjaan sehari-hari.

Prinsip pertama adalah tentang

kerukunan dimana hal ini bertitik tolak

bahwa masyarakat Jawa tersusun secara

hirarkis, dimana setiap orang mempunyai

kedudukan sesuai dengan derajatnya. Jadi

tiap orang mempunyai tanggung jawab

untuk duduk dengan tepat pada

kedudukannya. Oleh karena dalam berbicara

dan bertingkah laku orang Jawa harus

menyesuaikan dengan derajat dan

kedudukannya agar tercipta kerukunan.

Prinsip kedua adalah hormat

berdasarkan pendapat, bahwa semua

hubungan dalam masyarakat teratur secara

hirarkis. Dimana setiap orang mengenal

tempat dan tugasnya. Mereka yang

mempunyai kedudukan lebih tinggi harus

dihormati, sedangkan yang kedudukan lebih

tinggi harus mempunyai sifat yang

membimbing yang lebih rendah derajatnya.

Maka dengan melakukan prinsip kerukunan

dan prinsip hormat, akan terjadi keselarasan

dalam kehidupan bermasyarakat.

Masih melekatnya adat dan budaya

leluhur yakni budaya Jawa tentang rasa

kebersamaan, tepa seliro, dan gotong

royong mampu meredam rasa persaingan

bisnis antar pedagang di Kawasan Wisata

Telaga Sarangan. Sebenarnya apakah yang

membedakan cara bisnis masyarakat para

pedagang di Sarangan yang notabene adalah

para masyarakat yang berbudaya Jawa

dibandingkan dengan para pebisnis non-

Jawa? Penulis mengambil contoh para

pebisnis Tionghoa untuk membandingkan

dengan etnis Jawa. Setiawan (2001: 32)

mengatakan bahwa terdapat perbedaan

anggapan mengenai etos kerja diantara

kedua sistem budaya Jawa dan budaya

Tionghoa. Umumnya orang Jawa kurang

Page 7: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

mempunyai motivasi yang kuat dalam

bekerja. Mereka sekedar untuk hidup dan

lebih suka mengosongkan hidup untuk

menanti kehidupan di akhirat. Pada orang

Tionghoa, meskipun kehidupan akhirat

pada akhirnya dikejar, mereka mempunyai

orientasi bahwa menimbun keuntungan

materi adalah demi status sosial. Hal yang

sama juga dilontarkan Alam (1998: 9)

apabila dibandingkan etnis Jawa, maka etnis

Tionghoa lebih kompetitif dalam bekerja.

Hal ini tidak lepas dari perbedaan dalam

pola mengasuh anak diantara kedua

kelompok etnis tersebut.

Sebenarnya selain pola asuh anak, hal

yang dikejar demi mendapatkan status sosial

juga berbeda. Etnis Tionghoa mengejar

materi demi mendapatkan status sosial,

sedangkan masyarakat Jawa lebih mengejar

kedudukan atau pangkat demi mendapatkan

status sosial. Hal ini sesuai dengan Seperti

yang terlihat pada praktik bisnis yang

dilakukan oleh masyarakat di Sarangan yang

notabene merupakan orang-orang Jawa,

mereka lebih mengedepankan menjaga

hubungan tetap harmonis diantara para

pedagang dengan menerapkan prinsip-

prinsip luhur Jawa yaitu tepa slira diantara

para pedagang, nerima ing pandum dalam

menjalankan bisnis, rame ing gawe sepi

pamrih dalam mengambil laba yang wajar,

dan lumintu untuk menjaga loyalitas antar

pedagang maupun dengan konsumen

Jadi kebudayaan berdagang yang ada

pada Kawasan Wisata Telaga Sarangan ini

sangat kental sekali dengan nuansa

persaudaraan bahkan kekeluargaan yang

erat. Antara satu pedagang dengan pedagang

lainnya tidak saling berkompetisi tetapi

mencoba berbagi rezeki. Hal itulah yang

menjadi prinsip orang Jawa bahwa

keharmonisan harus tetap dijaga dalam

aktivitas apapun dan tidak saling

menjatuhkan satu dengan yang lainnya

Keberadaan Usaha Minimarket

Modern bagi Pedagang Tradisional

Pasar modern atau yang lebih dikenal

dengan nama minimarket kian hari

jumlahnya semakin bertambah. Bisnis

dengan sistem melayani kini menjadi

primadona di hati masyarakat. Selain

tempatnya yang bagus dan bersih, pembeli

dapat memilih barang yang berjajar rapi dan

urut. Kemudahan-kemudahan seperti inilah

yang menarik minat pembeli untuk akhirnya

memilih pasar modern sebagai tempat

belanja. Ruangan yang tertutup menjadikan

pasar modern tidak memiliki kendala yang

berarti dalam soal cuaca. Walaupun harga

yang ditawarkan relatif lebih mahal, namun

Page 8: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

bisa dikatakan sepadan dengan fasilitas yang

didapatkan.

Beberapa pedagang kecil tentu akan

mengeluhkan adanya minimarket modern

apabila dibangun di dekat lokasi wisata

Telaga Sarangan, namun mereka berharap

hal tersebut tidak terjadi karena pola bisnis

yang mereka jalankan memang masih

tradisional dan dilihat dari segi apapun

mereka kalah saing dengan minimarket

modern. Para pedagang tradisional berharap

ada kebijakan dari pemerintah daerah untuk

tidak memberikan ijin usaha di lokasi

Wisata Sarangan agar tidak merusak tatanan

aktivitas ekonomi yang telah lama

berlangsung di kawasan tersebut dan para

pedagang tradisional masih dapat hidup dari

aktivitas berdagang salah satunya toko

kelontong tradisional yang menjadi salah

satu bisnis yang sentral bagi penduduk di

Kawasan Wisata Telaga Sarangan. Alasan

para pedagang yang berada di kawasan

Wisata Telaga Sarangan menolak

keberadaan minimarket modern di kawasan

mereka adalah lebih kepada harga yang

tidak akan mungkin menyesuaikan dengan

harga yang dibentuk oleh para pedagang

tradisional yang berada di Sarangan.

Banyaknya pedagang musiman dirasa

sebagai alasan yang kuat untuk tidak

didirikannya minimarket modern di

Sarangan karena tentu hal ini akan

mematikan perekonomian mereka. Para

pedagang kecil atau musiman tentu

memanfaatkan peluan dengan ramainya

wisatawan yang berkunjung untuk meraup

untung semaksimal mungkin, apabila

minimarket didirikan di Kawasan Telaga

Sarangan tentu hal ini membuat wisatawan

lebih tertarik untuk membeli di minimarket

modern dengan alasan kenyamanan dan

harga yang lebih murah daripada yang dijual

oleh pedagang-pedagang kecil yang

mencoba meraup keuntungan.

KONSEP HARGA POKOK

PENJUALAN DAN MARK UP

PADA USAHA TOKO RETAIL

TRADISIONAL

Konsep Harga Pokok Penjualan pada

Toko Retail Tradisional

Harga pokok penjualan adalah harga

perolehan dari barang yang dijual atau

seluruh biaya yang dikeluarkan untuk

memperoleh barang yang dijual. Ada dua

manfaat dalam harga pokok penjualan ini,

1. Sebagai patokan untuk

menentukan harga jual.

2. Mengetahui laba yang ingin

dicapai oleh pemilik usaha.

Apabila harga jual lebih tinggi

Page 9: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

dari harga pokok penjualan maka

akan diperoleh laba, sebaliknya

apabila harga jual lebih rendah

dari harga pokok penjualan maka

akan menyebabkan rugi.

Harga pokok penjualan dalam

kaitannya dengan usaha pertokoan retail

atau toko kelontong yang bersifat tradisional

adalah cara masing-masing toko tersebut

untuk memperoleh persediaan barangnya

untuk siap dijual. Masing-masing toko

memiliki cara masing-masing untuk

mendapatkan barang-barang yang

dibutuhkan konsumen agar persediaan di

tokonya selalu ada dan tidak kehabisan saat

konsumen membutuhkannya. Masing-

masing pengusaha toko retail tersebut juga

mempertimbangkan bagaimana agar

mendapatkan barang-barang untuk

persediaan di tokonya dengan biaya

serendah mungkin agar mendapatkan laba

yang maksimal. Berkaitan dengan harga

pokok penjualan yaitu pengadaan barang

persediaan, toko-toko tersebut melakukan

pengadaan dengan beberapa cara, yaitu:

1. Melalui salesman dari distributor

dan supplier resmi

2. Belanja/kulakan

3. Barang Konsinyasi/titipan.

1. Salesman dari distributor dan

supplier resmi

Pengadaan barang melalui Salesman

dari distributor merupakan cara pemenuhan

kebutuhan pengadaan persediaan barang-

barang di toko dengan cara lebih terorganisir

dengan membayar sejumlah uang kepada

salesman dari distributor atau supplier untuk

mendapatkan barang sesuai dengan

kesepakatan kedua belah pihak. Setelah

transaksi pembelian untuk pengadaan ini

selesai maka hak milik barang tersebut

pindah dari distributor atau supplier ke

pengusaha toko retail. Meskipun pengadaan

barang melalui salesman adalah cara yang

paling umum dan paling mudah

dilaksanakan, namun tetap harus

memperhatikan prinsip-prinsip pembelian

yang baik. Hal ini bertujuan agar pengusaha

toko tidak salah membeli, barang yang

dibeli sesuai dengan apa yang dibutuhkan

dan tidak kemahalan. Prinsip-prinsip

pembelian melalui melalui salesman

mencakup harga, kuantitas, waktu, kualitas,

dan sumber yang tepat.

a. Harga

Harga merupakan nilai suatu barang

yang dinyatakan dalam mata uang yang

berlaku pada saat dalam kondisi pembelian

dilakukan. Pengusaha toko retail

melakukan studi banding atau perbandingan

terhadap harga-harga yang ditawarkan oleh

beberapa salesman dari distributor atau

Page 10: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

supplier untuk mendapatkan harga yang

tepat.

b. Kuantitas

Kuantitas yang tepat dapat dikatakan

sebagai suatu jumlah yang benar-benar

diperlukan oleh toko pada saat tertentu.

Pengusaha tahu berapa kebutuhan barang

yang akan dibeli. Kebutuhan barang

tergantung dengan jumlah yang dibutuhkan

dan sudah diperhitungkan oleh masing-

masing pengusaha toko. Kuantitas untuk

pengadaan barang juga tergantung kas yang

ada dan barang mana yang menurut

pengusaha toko memiliki perputaran cepat.

Biasanya pengusaha akan

mempertimbangkan mengadakan barang-

barang lebih banyak jumlahnya apabila

memiliki tingkat perputaran cepat.

c. Waktu

Waktu merupakan salah satu hal yang

penting dalam proses pengadaan. Pengusaha

tahu kapan waktu yang tepat untuk membeli

barang. Pengusaha tidak ingin saat ada

konsumen yang membutuhkan suatu barang

tetapi barang yang dibutuhkan konsumen

tersebut ternyata sudah habis di tokonya.

Karena itu pengusaha juga

memperhitungkan agar tidak terjadi

keterlambatan pembelian barang yang dapat

mengganggu operasional tokonya. Dalam

memperhitungkan waktu ini, pengusaha juga

menyesuaikan kapan salesman akan datang

ke tokonya. Ada salesman yang datang

setiap beberapa hari sekali, ada yang datang

satu minggu sekali, bahkan yang menarik

ada yang datang pada hari tertentu dalam

penanggalan Jawa misalnya “dina pahing”

(salah satu hari dalam penanggalan Jawa).

d. Kualitas

Mutu barang harus menjadi perhatian

khusus bagi pengusaha retail atau toko

kelontong. Barang-barang yang dibeli dari

salesman harus barang-barang yang

berkualitas, tidak cacat, dan tidak

kadaluarsa. Pengusaha biasanya memilah-

milah mana supplier atau distributor yang

menerima barang yang cacat bahkan yang

kadaluarsa itu bisa di retur ke mereka.

Pengusaha-pengusaha retail jarang

mendapatkan barang yang kadaluarsa dari

supplier resmi atau distributor, tetapi apabila

barang cacat lebih sering.

e. Sumber yang tepat

Barang berasal dari sumber yang tepat.

Masing-masing pengusaha memiliki

langganan distributor atau supplier masing-

masing. Pengusaha telah melakukan proses

yang selektif selama bertahun-tahun mereka

melakukan perdagangan ini sehingga

mereka telah membandingkan dan memilih

mana distributor ata supplier yang layak

untuk mereka jadikan langganan tetap untuk

Page 11: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

mengadakan barang-barang di toko mereka

berdasarkan harga, kuantitas, waktu, dan

kualitas yang tepat.

2. Belanja (Kulakan)

Belanja atau dalam istilah Jawa disebut

kulakan adalah cara pengusaha toko

kelontong ini untuk membeli persediaan

barangnya dari pedagang grosir lain untuk

dijual lagi baik secara grosir maupun eceran.

Belanja atau kulakan ini menjadi pilihan

bagi para pengusaha toko retail tradisional

untuk pengadaan persediaannya apabila

membeli barang dari salesman dirasa para

pengusaha tidak mencukupi karena

banyaknya konsumen yang membutuhkan

untuk membeli suatu barang

3. Konsinyasi (titipan)

Konsinyasi atau titipan adalah cara

penjualan dengan cara pemilik barang

menitipkan barangnya kepada pihak lain

dalam hal ini pengusaha toko retail

tradisional untuk dijualkan dengan harga

dan syarat yang telah diatur dalam perjanjian

baik lisan maupun tertulis. Pengadaan

barang dengan cara konsinyasi sebenarnya

bukanlah prioritas para pengusaha toko

retail tradisional untuk mengadakan

persediaan di tempat usahanya. Berdagang

barang konsinyasi bagi para pengusaha

sebenarnya hanyalah untuk membantu

sesama pengusaha lain dari pengusaha besar

hingga pengusaha kecil seperti pengusaha-

pengusaha kue basah, kue kering, makanan

ringan khas daerah, dan lain-lain yang ingin

memasarkan produknya tapi terkendala

keterbatasan modal maupun tempat usaha.

Dalam konsep harga pokok penjualan

pada toko retail tradisional ini, diketahui

tentang bagaimana para pengusaha tersebut

memperoleh persediaan barang yang

nantinya berpengaruh dalam keputusan para

pedagang untuk membentuk sebuah harga

(price setting) pada masing-masing barang

yang mereka jual.

Konsep Keputusan Pengambilan Mark

Up

1. Harga Maksimum

Kebijakan penetapan harga maksimum

ini bertujuan untuk melindungi konsumen

agar konsumen tidak membeli barang

dengan harga terlalu tinggi. Namun

kebijakan tentang HET ini tidak dapat

diterapkan sepenuhnya oleh para pengusaha

toko retail di Kawasan Wisata Telaga

Sarangan. Para pedagang di sini dapat

menentukan berapa besaran laba yang ingin

mereka dapatkan dari masing-masing

konsumen. Untuk wisatawan yang

berkunjung mereka akan mengambil laba

yang lebih tinggi dibanding dengan

pedagang kecil atau warga sekitar.

Page 12: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

2. Demi Kelangsungan Usaha

a. Beban Transportasi

Para pengusaha tersebut menutup

biaya transportasi saat melakukan

pembelian persediaan saat mereka

melakukan belanja atau kulakan

melalui keuntungan yang mereka

ambil. Kulakan ini adalah langkah

yang diambil oleh para pedagang

apabila barang yang ada di toko

mereka akan habis karena persediaan

yang mereka beli dari salesman tidak

mencukupi.

b. Gaji Karyawan dan Menambah

Barang Persediaan

Masing-masing toko memiliki paling

tidak satu karyawan, akan tetapi

karyawan bisa saja bertambah saat-

saat ramai. Saat toko ramai adalah

ketika hari libur dimana banyak

wisatawan berkunjung sehingga

pembeli baik dari wisatawan maupun

dari pedagang-pedagang kecil lain di

sekitar akan bertambah. Selain gaji,

tujuan para pengusaha toko retail

untuk mengambil laba adalah untuk

menambah jumlah barang persediaan

mereka

3. Harga Minimum

Harga minimum ini dibentuk oleh para

pedagang sendiri agar para pedagang

memiliki kesepakatan harga untuk dijual ke

konsumen khususnya pelangan-pelanggan

yaitu para pedagang-pedagang kecil atau

musiman, sehingga tidak akan ada pedagang

yang akan dapat menjual barang-barangnya

dengan lebih murah yang dapat membuat

pedagang lain kehilangan pelanggan. Cara

para pedagang membentuk harga minimum

yaitu dengan saling mengkomunikasikan

dengan para pedagang. Para pedagang di

Kawasan Wisata Telaga Sarangan sangat

menjaga kerukunan antara satu dengan yang

lainnya. Cara para pedagang membentuk

harga minimum ini diharapkan dapat

membuat pemerataan diantara para

pedagang dan tidak saling bersaing dengan

tidak sehat agar keharmonisan tercipta

diantara pedagang. Para pedagang

sebenarnya juga memiliki perkumpulan

dahulu, tetapi perkumpulan antar pedagang

tersebut sudah lama tidak aktif. Walaupun

perkumpulan antar pedagang tersebut sudah

tidak aktif, mereka tetap mengusahakan

bagaimana agar kerukunan tetap terjaga

dengan salah satunya menerapkan

persaingan yang sehat yaitu membentuk

harga minimum.

PRICE SETTING TOKO RETAIL

TRADISIONAL DI KAWASAN

WISATA TELAGA SARANGAN

Page 13: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

1. Strategi Price setting

Para pedagang retail tradisional di

Kawasan Telaga Sarangan menerapkan

harga yang rendah untuk pembeli-

pembeli utama mereka yaitu para

pedagang-pedagang kecil maupun

pedagang musiman dan juga menetapkan

harga tinggi untuk pembeli-pembeli

yang berkunjung untuk berwisata di

Telaga Sarangan. Para pedagang

menerapkan harga rendah di bawah

harga normal kepada para pedagang

kecil atau musiman dengan mengambil

keuntungan yang sedikit dan lebih

mengutamakan volume penjualan secara

kontinuitas. Para pedagang pun

menerapkan harga tinggi yaitu diatas

harga normal untuk pembeli wisatawan

dengan harapan dapat memaksimalkan

keuntungan dari pembeli-pembeli yang

hanya berkunjung secara tidak terus

menerus di Telaga Sarangan.

Metode penetapan harga yang

diterapkan oleh para pedagang ini lebih

berorientasi pada persaingan. Metode

yang mereka terapkan ini didasarkan

pada harga pesaing dimana harga yang

mereka tetapkan sama dengan pesaing

guna membangun perekonomian secara

merata, harmonis dan meminimalisir

persaingan yang dapat menimbulkan

konflik.

2. Harga Jual

a. Harga Pembelian atau Harga Pokok

Penjualan

Harga pembelian merupakan harga

saat para pedagang melakukan

persediaan dengan membeli barang

melalui salesmanship, kulakan,

maupun konsinyasi. Harga

pembelian dari salesmanship tentu

lebih murah dari kulakan karena

harga tersebut merupakan harga dari

supplier dan distributor resmi. Harga

dari kulakan lebih tinggi karena

harga barang dari kulakan

merupakan harga yang sudah

ditambah mark up dari toko dimana

para informan melakukan belanja.

Berbeda dengan salesmanship dan

kulakan, konsinyasi atau titipan tidak

membutuhkan biaya untuk

memperolehnya karena barang

diantar sendiri oleh consignor dan

para pedagang atau consigne hanya

membantu menjualkan saja.

b. Overhead

Page 14: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

Biaya overhead pada toko retail

tradisional ini merupakan biaya yang

secara tidak langsung juga

merupakan komponen untuk

menentukan harga jual. Biaya

overhead pada toko retail tradisional

ini hanya untuk biaya beban listrik,

air, telepon, dan bensin. Toko-toko

para informan letaknya menjadi satu

dengan rumah pribadi masing-

masing sehingga tidak membutuhkan

biaya sewa. begitupun dengan biaya

listrik, air, dan telepon juga tidak

untuk hanya usaha mereka tetapi

juga untuk kehidupan sehari-hari

para informan beserta keluarganya.

Selain itu biaya bensin juga dapat

menjadi biaya overhead untuk

menentukan harga jual. Namun pada

penelitian kali ini penulis

menemukan fenomena bahwa biaya-

biaya overhead tersebut tidak

dimasukan oleh para pedagang

sebagai komponen untuk

menambahkan harga pokok

penjualan. Para pedagang menutupi

biaya-biaya tersebut dari laba yang

mereka dapatkan.

c. Tenaga Kerja

Biaya untuk tenaga kerja merupakan

biaya yang dikeluarkan untuk

memberikan gaji kepada karyawan.

Sistem yang digunakan oleh para

informan untuk menggaji para

karyawan menggunakan sistem flate

rate yaitu sistem penggajian dimana

gaji yang diberikan tetap setiap

periodenya berapapun hasil

pendapatan toko pada periode itu.

Periode gaji yang diberikan oleh para

informan kepada karyawannya

adalah harian. Kecuali saat toko

sedang ramai saat hari raya,

karyawan akan diberikan bonus.

Sama seperti biaya overhead, gaji

karyawan tersebut ternyata tidak

menjadi komponen untuk

memperoleh harga pokok penjualan,

karena gaji dibayarkan oleh para

pedagang kepada karyawannya

diambil dari laba yang didapat oleh

para pedagang sendiri.

d. Mark Up

keunikan dari mark up yang

diterapkan oleh pengusaha toko

retail tradisional ini adalah mark up

tidak dapat dilakukan sendiri sesuai

keinginan individu dari masing-

masing pengusaha. Mereka juga

mempertimbangkan kondisi pasar

yang ada di sekitar kawasan dimana

Page 15: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

mereka melakukan usaha. Para

pedagang di kawasan tersebut sudah

menetapkan harga maksimum

maupun harga minimum. Para

pedagang sepakat menentukan harga

yang sama untuk para wisatawan

yaitu melebihi harga eceran tertinggi

tiap produk yang ditetapkan oleh

produsen produk itu sendiri.

Sedangkan harga minimum

diterapkan oleh para pedagang ini

untuk para pedagang-pedagang kecil

dan musiman dimana harga tersebut

boleh diberikan oleh para pedagang

kepada pelanggannya di bawah harga

normal tetapi masih dalam batas

wajar. Hal ini bertujuan agar

menghindari konflik antar pelanggan

karena perang harga yang membuat

para pedagang tidak akan memiliki

pelanggan tetap dan pendapatan yang

merata.

REFLEKSI KEBUDAYAAN JAWA

PADA MASYARAKAT DALAM PRICE

SETTING

1. Budaya Jawa Sebagai Acuan

Tatanan Kegiatan Ekonomi

Masyarakat

Sepi ing pamrih rame ing gawe

merupakan salah satu prinsip luhur Jawa

yang berarti tidak mementingkan diri

sendiri. Prinsip luhur ini telah tergambar

dengan jelas diantara pa pedagang di

Sarangan. Mulder (2001) mengungkapkan

bahwa sepi ing pamrih tidak dikendalikan

oleh hasrat atau ego demi keuntungan

pribadi. Prinsip tidak mementingkan diri

sendiri ini telah diterapkan antar pedagang

saat membentuk harga. Para pedagang

bersama-sama membentuk harga agar tidak

ada yang menjual barang-barangnya terlalu

mahal atau terlalu murah. Apabila pedagang

ada yang menjual dibawah harga minimum

yang disepakati bersama, tentu sanksi sosial

menjadi hal yang lumrah diberikan kepada

pedagang tersebut. Apabila ada yang

menjual harga terlalu mahal para pedagang

juga saling mengingatkan atas dasar rasa

kepedulian.

Salah satu upaya para pedagang di

Kawasan Wisata Telaga Sarangan untuk

menjaga keharmonisan dan menghindari

konflik adalah prinsip nerima ing pandum.

Prinsip nerima ing pandum berarti tidak

jumawa, para pedagang menganggap bahwa

rejeki sudah ada yang mengatur. Hal ini

tentu dapat menghindarkan persaingan yang

tidak sehat diantara pedagang. Para

pedagang telah mengupayakan bagaimana

rejeki bisa dibagi secara merata. Price

setting merupakan sarana yang efektif

Page 16: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

dimana para pedagang menetapkan harga

secara bersama sehingga tidak ada yang

saling merugikan hingga saling menjatuhkan

diantara persaingan para pedagang. Sikap

para pedagang ini telah sesuai dengan sikap

yang dimiki oleh orang Jawa menurut

Magnis dan Suseno (1992) bahwa sikap

orang Jawa apabila sedang berinteraksi

cenderung untuk menghindari konflik.

Dengan demikian, dalam hidup orang Jawa

cara mereka untuk menjaga keselarasan

dalam kehidupan sosial adalah dengan cara

bersikap sopan santun, menyesuaikan diri,

dan mewujudkan kerja sama serta saling

menghormati.

Jadi dapat disimpulkan, prinsip budaya

Jawa yang telah dipraktikan oleh para

pedagang yaitu sepi ing pamrih rame ing

gawe atau tidak mementingkan diri sendiri

dan juga prinsip nerima ing pandum sebagai

salah satu prinsip luhur Jawa untuk menjaga

keharmonisan dan menghindari konflik

didasarkan atas sikap masyarakat Jawa yang

memiliki tenggang rasa antar sesame atau

dalam bahasa Jawa disebut tepa selira. Tepa

selira merupakan sikap yang telah tertanam

masyarakat sejak dini yaitu sikap untuk

menjaga keharmonisan dalam hidup

bersama, saling berbagi dengan saudara,

tidak menang sendiri, tidak mengambil hak

orang lain, saling menghormati dan

menghargai demi terciptanya kerukunan

khususnya kerukunan diantara para

pedagang itu sendiri.

2. Metode Penentuan Harga Jual

Berbeda dengan kenyataan di

lapangannya, banyak faktor yang membuat

price setting ini berbeda apabila diterapkan

untuk pedagang retail tradisional. Mulai dari

faktor yang mempengaruhi harga jual, harga

jual untuk para pedagang retail tradisional

ini tidak begitu memperhitungkan

permintaan atau selera konsumen, karena

usaha retail ini tidak fokus terhadap

produksi barang, tetapi fokus terhadap

mambeli barang untuk dijual kembali.

Jumlah pesaing tidak pula diperhitungkan

bagi para pedagang karena meskipun ada

pesaing baik pedagang baru maupun yang

sudah lama bersaing, terjadi kesepakatan

yang terbentuk secara bersama-sama

khususnya masalah price setting dan hal ini

telah berlangsung lama demi pemerataan

pendapatan tanpa saling menjatuhkan

sehingga itu pula harga jual pun sangat kecil

kemungkinan ditentukan oleh pesaing.

Kenyataan yang ada di lapangan harga jual

ternyata juga sangat dipengaruhi oleh

keunggulan geografis dimana potensi alam

sehingga kawasan tersebut memiliki citra

sebagai daerah wisata bisa menjadi nilai

tambah bagi para pedagang untuk

Page 17: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

mengambil keuntungan secara maksimal

dengan menjual barang-barang yang

dibutuhkan oleh wisatawan.

Metode penentuan harga jual yang

diterapkan oleh pedagang retail tradisional

yang ada di Sarangan adalah dengan

menghitung Harga pokok penjualan. Biaya

pembelian ditentukan darimana persediaan

tersebut didapatkan, apakah melalui

salesmanship, belanja, atau konsinyasi

dimana masing-masing memiliki harga

perolehan yang berbeda-beda bagi para

pedagang. Setelah diketahui berapa harga

penjualan, barulah para pedagang

menentukan harga jualnya dengan

menambah mark up atau laba yang

diinginkan. Biaya angkut dan gaji tidak

menjadi komponen dalam biaya tenaga kerja

dan overhead yang menjadi perhitungan

untuk menentukan harga jual karena biaya

bensin dan gaji dibayarkan oleh para

pengusaha toko retail tradisional ini diambil

dari hasil laba yang mereka dapatkan dari

mark up.

Perbedaan Penentuan Harga atau Price

Setting yang diterapkan secara konvensional

berbeda dengan yang diterapkan oleh para

pedagang retail tradisional di Sarangan..

Dalam bisnis kebanyakan, Harga Pokok

Penjualan dibentuk melalui komponen

Harga pembelian ditambah dengan biaya

overhead dan biaya tenaga kerja. Akan

tetapi para pedagang tidak menambahkan

biaya overhead dan biaya tenaga kerja

dengan tujuan hal tersebut dirasa akan

membuat harga jual menjadi lebih mahal.

Harga pembelian dari salesmanship dan

melalui kulakan tentu akan mendapatkan

harga pembelian yang berbeda dimana harga

pembelian melalui kulakan akan lebih mahal

dibandingkan dengan melalui salesmanship.

Harga pembelian melalui kulakan lebih

mahal dikarenakan barang persediaan yang

mereka beli dari grosir pasti adalah harga

yang sudah di mark up oleh pedagang grosir

tempat para pedagang melakukan kulakan.

Selain itu, kulakan tentu juga membutuhkan

biaya transport atau angkut sehingga hal

itulah yang menyebabkan harga pembelian

melalui kulakan akan menjadi lebih tinggi.

Para pedagang memilih biaya overhead atau

biaya angkut tersebut dan biaya tenaga kerja

diambil dari mark up atau keuntungan yang

mereka ingin dapatkan dalam bisnis mereka.

Para pedagang tersebut lebih memilih

mempertahankan harga dan mengambil

resiko mendapatkan keuntungan yang lebih

sedikit dibandingkan dengan harus

menaikan harga. Hal tersebut bertujuan

untuk mempertahankan kesetiaan para

pelanggan khususnya para pedagang kecil

atau pedagang musiman agar terus

Page 18: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

berbelanja atau melakukan kulakan di

tempat mereka. Apabila dikaitkan dengan

prinsip budaya Jawa, para pedagang tersebut

telah menerapkan prinsip luhur budaya Jawa

yaitu lumintu. Arti dari lumintu adalah terus

menerus, lestari, atau berkesinambungan.

Usaha para pedagang retail tradisional untuk

menjaga kesetiaan para pelanggannya adalah

agar usaha mereka berjalan secara terus

menerus atau lumintu.

Refleksivitas Harga Jual di Sarangan

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

Sumber: Data Olahan Penulis (2015)

Persediaan awal Rp.xxxxx

Pembelian Rp.xxxxx

Retur Pembelian Rp.xxxxx

Potongan Pembelian Rp.xxxxx +

Rp.xxxxx -

Pembelian Bersih Rp.xxxxx +

Barang tersedia untuk dijual Rp.xxxxx

Persediaan Akhir Rp.xxxxx -

Harga Pokok Penjualan Rp.xxxxx

Harga Jual= Harga Pokok Penjualan+ Mark Up*)

Keterangan: Biaya angkut diambil dari laba.

*): Keputusan pengambilan mark up ditentukan antar pedagang dengan

mempertimbangkan prinsip tepa selira, lumintu, sepi ing pamrih rame ing gawe, dan

nerima ing pandum.

Page 19: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

Matriks Analisis Indeksikalitas-Refleksivitas Price Setting

Pedagang Retail Tradisional

Indeksikalitas Prinsip Luhur

Budaya Jawa Refleksivitas

Harga Pembelian:

1. Sales

(salesmanship)

2. Kulakan (belanja)

3. Titipan

(konsinyasi)

Mark Up:

1. Harga Maksimum

2. Bensin(biaya

overhead)

3. Gaji

4. Harga minimum

1. Tepa Selira

2. Nerima ing pandum

3. Rame ing gawe sepi

ing pamrih

4. Lumintu

HJ = HPP + Mark Up

Harga Pokok Penjualan:

Perbedaan harga pembelian

melalui sales dan kulakan tidak

berpengaruh terhadap harga

jual demi menjaga kesetiaan

pelanggan dan

keberlangsungan usaha

(lumintu). Titipan atau

konsinyasi bertujuan untuk

membantu antar pengusaha

lain yang juga tetangga sekitar

demi tenggang rasa untuk

membangun ekonomi bersama

(tepa selira).

Mark Up:

Laba yang diinginkan

pengusaha tidak ditentukan

sendiri, tetapi secara bersama-

sama sehingga antara satu toko

dengan toko lainnya

menimbulkan persamaan

penetapan harga untuk

Page 20: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

meredam persaingan dan

menjaga keharmonisan dan

tidak mementingkan diri

sendiri (Rame ing gawe sepi

ing pamrih dan nerima ing

pandum ).

Sumber: Data olahan penulis (2015)

SIMPULAN

Keharmonisan sangat terlihat dengan

jelas diantara para pedagang yang berada di

Sarangan ini. Bagaimana cara mereka

bersama-sama membentuk harga, baik harga

maksimum maupun harga minimum

merupakan salah satu cara para pedagang

tetap menjaga kerukunan agar terhindar dari

kompetisi yang manipulatif, saling

menjatuhkan, dan merusak tatanan sosial

yang berada dalam masyarakat. Keadaan

ideal dalam masyarakat di Sarangan inilah

yang harus tetap dipertahankan.

Hasil studi ini menemukan bahwa

harga jual dibentuk oleh para pedagang dari

komponen harga pokok penjualan ditambah

mark up atau laba yang diinginkan.

Harga pokok penjualan atau harga

perolehan dari barang yang dijual atau

seluruh biaya yang dikeluarkan untuk

memperoleh barang yang dijual hanya

terkait dengan cara masing-masing toko

tersebut untuk memperoleh persediaan

barangnya untuk siap dijual. Cara

memperoleh persediaan dari masing-masing

pedagang adalah dengan salesmanship,

belanja atau kulakan, dan konsinyasi atau

titipan. Salesmanship dinilai para pedagang

adalah cara memperoleh persediaan barang

yang lebih murah, tetapi apabila toko sedang

musim ramai mengandalkan stock barang

dari salesmanship dirasa tidak cukup

sehingga para pedagang tetap mengusahakan

ketersediaan barang dengan cara belanja

atau kulakan. Bagi para pedagang, kulakan

tentu akan membuat harga perolehan

menjadi lebih mahal dan membuat

keuntungan lebih sedikit, tetapi para

pedagang lebih mementingkan ketersediaan

barang tetap ada di tokonya apabila

konsumen membutuhkannya sewaktu-

waktu. Perolehan persediaan yang terakhir

adalah konsinyasi atau titipan, konsinyasi

dinilai para pedagang sifatnya untuk

membantu antar sesame pengusaha.

Pengusaha-pengusaha yang dimaksud

Page 21: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

adalah pengusaha industri makanan-

makanan ringan yang kebanyakan adalah

usaha warga sekitar lainnya yang meminta

bantuan untuk menjualkan produknya dan

pedagang boleh mengambil untung dari

produk yang dapat dijualkan.

Mark up yang diterapkan oleh

pengusaha toko retail tradisional ini adalah

mark up tidak dapat dilakukan sendiri sesuai

keinginan individu dari masing-masing

pengusaha. Mereka juga mempertimbangkan

kondisi pasar yang ada di sekitar kawasan

dimana mereka melakukan usaha. Para

pedagang di kawasan tersebut sudah

menetapkan harga maksimum maupun harga

minimum. Para pedagang sepakat

menentukan harga yang sama untuk para

wisatawan yaitu melebihi harga eceran

tertinggi tiap produk yang ditetapkan oleh

produsen produk itu sendiri. Sedangkan

harga minimum diterapkan oleh para

pedagang ini untuk para pedagang-pedagang

kecil dan musiman dimana harga tersebut

boleh diberikan oleh para pedagang kepada

pelanggannya di bawah harga normal tetapi

masih dalam batas wajar.

Dalam studi ini ditemukan bahwa

pedagang tidak membebankan biaya bensin

sebagai biaya overhead dan tidak

membebankan biaya tenga kerja atau gaji ke

dalam harga pokok penjualan. Para

pedagang lebih memilih mempertahankan

harga sama baik barang dari salesmanship

maupun dari kulakan sendiri. Hal ini

bertujuan untuk menjaga pelanggan agar

tetap bertahan untuk terus membeli di

tokonya meskipun juga turut mengurangi

laba (lumintu).

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dirasa penulis perlu

untuk meneliti apa pengaruh price setting

yang dilakukan para pedagang ini kepada

konsumen khususnya pedagang kecil atau

musiman yang berbelanja di toko para

pedagang yang menjadi informan penulis

dengan menanyakannya langsung kepada

konsumen. Penelitian ini juga memiliki

kendala tidak dapat membahas lebih

mendalam mengenai dampak keberadaan

minimarket modern apakah berpengaruh

terhadap harga yang ditetapkan para

pedagang tradisional dikarenakan sudah

tidak adanya asosiasi yang menaungi atau

menyatukan para pedagang.

Saran

1. Bagi Pemerintah

Hendaknya pemerintah lebih peka

terhadap keberadaan para pengusaha-

pengusaha lokal dan lebih memberi

ketegasan terhadap proteksi dari keberadaan

pengusaha-pengusaha besar yang lebih

Page 22: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

mementingkan profit tanpa melihat

keberadaan usaha kecil sekitarnya.

Pemerintah pun dirasa perlu untuk membuat

kebijakan bahwa minimarket-minimarket

modern hendaknya tidak didirikan di daerah

wisata dan pemukiman warga pedesaan

maupun perumahan agar masyarakat sekitar

dapat berkembang dengan membuka usaha

semacam toko retail ini.

2. Bagi Para Pedagang Retail

Tradisional

Sebaiknya para pedagang membuat

catatan tentang rincian barang

persediaan agar diketahui barang mana

yang habis dan memiliki tingkat

perputaran yang cepat. Saat penulis

melakukan penelitian, informan lebih

sering untuk mengira-ngira saat

melakukan pembelian barang persediaan

toko.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Disarankan bagi penulis selanjutnya

untuk meneliti lebih mendalam tentang

dampak minimarket modern terhadap harga

yang dibentuk oleh para pedagang

tradisional. Selain itu juga diharapkan

penulis selanjutnya untuk menilai pengaruh

price setting yang ditetapkan pedagang

retail tradisional apakah berpengaruh

terhadap tingkat keloyalitasan dan kepuasan

pelanggan.

DAFTAR PUSTAKA

Adiasih, Priskila dan Indra Wijaya Kusuma.

(2011). Manajemen Laba Pada Saat

Pergantian CEO (Dirut) Di Indonesia.

Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol.

13 No. 2, November, 2011.

Angipora., M. P. 1999. Dasar-Dasar

Pemasaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Antlov, Hans, dan Cederroth, Sven. 2001.

Kepemimpinan Jawa. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia.

Aryani, Dwinita. (2011). Efek Pendapatan

Pedagang Tradisional dari Ramainya

Kemunculan Minimarket di Kota

Malang. Jurnal Dinamika Manajemen

vol 2, No.2, 2011.

Buku Hasil Pembangunan Tahun 2008-2012

Badan Perencanaan Pembangunan

Daerah Pemerintah Kabupaten

Magetan.

Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat.

Jakarta: Gramedia.

Berman, B dan Evans J. R. 2001. Retail

Management: A Strategic Approach.

Upper Saddle River: Prentice Hall

Int.Inc.

Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis.

Yogyakarta: Kanisius.

Page 23: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

Catharina, R.R.S. 2007. Analisis

Perhitungan Harga Pokok Produksi

dan Penentuan Harga Jual pada PT.

Coca-Cola Bottling Indonesia Unit

Medan. Medan.

Coulon, A. 2004. Etnometodologi. (Jimmy

Ph. PAAT, Penerjemah) Mataram: Yayasan

Legge

Daryono. 2006. Etos Dagang Jawa Studi

terhadap Pemikiran Sri Mangkunegara

IV. Thesis. Semarang: Program

Pascasarjana Institut Agama Islam

Negeri Walisongo.

Dr. Nur Indriantoro, M.Sc., Akuntan, Drs.

Bambang Supomo, M.Si. Akuntan,

2002. Metedologi Penelitian Bisnis.

Yogyakarta : Edisi Pertama, Penerbit

BPFE.

Soliha, E. (2008). Analisis Industri Ritel di

Indonesia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi.

Vol. 15, no. 2

Hansen, D.R dan Mowen. 2004.

Management Accounting. Edisi

Ketujuh. Jakarta: Salemba Empat.

Hansen, D.R dan Mowen. 2005. Manajemen

Biaya. (Benyamin Molan, Penerjemah).

Jakarta: Salemba Empat

Hansen, D.R. dan Mowen 2009. Manajerial

Accounting: Akuntansi Management.

Edisi Kedelapan. Jakarta: Salemba

Empat.

Hendrarso, Emy Susanti. 2005. Penelitian

Kualitatif: Sebuah Pengantar, dalam

Bagong Suyanto dan Sutinah (Ed):

Metode Penelitian Sosial. Jakarta:

Kencana.

Karyono, Hari. 1997. Kepariwisataan.

Jakarta: Grasindo.

Kodiran. 1976. Kebudayaan Jawa, dalam

Prof. Dr. Koentjaraningrat. Manusia

dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:

Djambatan

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa.

Jakarta: PN Balai Pustaka.

Kotler, P. 1996. Marketing.Herujati

Purwoto, Penerjemah. Jilid 1. Jakarta:

Penerbit Erlangga.

Kotler, P. 2001. Manajemen Pemasaran:

Analisis,

Perencanaan,Implementasi,dan

Kontrol. Jakarta: PT. Prehallindo.

Kotler, P. dan Amstrong G. 2001. Prinsip-

Prinsip Pemasaran. Terjemahan. Edisi

Kedelapan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kotler, P. dan Keller, K.L. 2007.

Manajemen Pemasaran, Jilid II. Edisi

Duabelas. Jakarta: PT. Indeks.

Kotler, Philip. 2002. Manajemen

Pemasaran, Jilid I, Edisi Milenium. Jakarta:

PT. Prebalindo.

Kotler, Philip. 2005. Manajemen

Pemasaran. Jakarta: PT. Indeks.

Page 24: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

Kotler, Phillip dan Gary Amstrong. 2001.

Prinsip-Prinsip Pemasaran, Jilid II.

Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga.

Kurniawan, R. 2012. Valuasi Aset Biologis:

Kajian Kritis atas IAS 41 Mengenai

Akuntansi Pertanian. Skripsi. Malang:

Program Sarjana Universitas Brawijaya.

Kuswarno, Engkus. 2008. Etnografi

Komunikasi. Bandung: Widya

Pajajaran.

Lamb, H dan McDaniel. 2001. Dasar-Dasar

Pemasaran. (David Octaveria,

Penerjemah). Edisi Kesembilan.

Jakarta: PT. Indeks.

Magnis, F. dan Suseno. 1991. Etika Jawa.

Jakarta: Gramedia.

Moleong, L. 1998. Metode Penelitian

Kualitatif. Bandung: CV. Remaja Rosdakrya

Moleong, L. 2007. Metode Penelitian

Kualitatif. Bandung: Remaja Indra Grafika.

Muhadjir, N. 1998. Metode Penelitian

Kualitatif. Edisi Kedelapan.

Yogyakarta: PT. Bayu Indra Grafika.

Mulder,N. 2001 Misistisme Jawa. Ideologi

di Indonesia. Yogyakarta: LkiS.

Mulyadi. 1993. Akuntansi Biaya. Edisi

Kelima. Yogyakarta: Salemba Empat.

Mulyadi. 2001. Sistem Akuntansi. Edisi

Ketiga. Yogyakarta: Salemba Empat.

Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi

Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda.

Neuman, W. L. 1997. Social Research

Methods: Qualitative and Quantitative

Approaches in Social Works. New

York: Columbia University.

Noeng, Muhadjir. 1998. Metodologi

Penelitian Kualitatif. Edisi ke III

cetakan ke 8. Yogyakarta : Penerbit

Rake Sarasin.

Payne, A. 2000. Service Marketing

Pemasaran Jasa. Yogyakarta: Andi.

Perpres no. 112 tahun 2007 tentang

“Penataan dan Pembinaan Pasar

Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan

Toko Modern” pasal 4 ayat 1.

Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi

Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Safitri, Ahmad Reza. 2010. Dampak Retail

Modern terhadap Kesesjahteraan

Pedagang Pasar Tradisional Ciputat,

Tangerang Selatan. Skripsi. Jakarta:

Program Sarjana Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah.

Sarjono, Agus R. 1999. Pembebasan

Budaya-Budaya Kita. Jakarta: Gramedia.

Setiawan, J.,Zid, M., & Hardi, O.S. (2012).

Pengaruh Keberadaan Minimarket

terhadap Pendapatan Pedagang

Kelontong di Kelurahan Klender

Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur.

SPATIAL Wahana Komunikasi dan

Page 25: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …

Informasi Geografi Vol. 10 No. 1,

Maret 2012.

Sopiah, 2008, Perilaku Organisasional,

Yogyakarta : C.V Andi Offset

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi.

Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya

Sudjana, A.S.T. 2005. Paradigma Baru

Manajemen Ritel Modern. Yogyakarta:

Graha Ilmu

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian

Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian

Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Sunarto. 2003. Akuntansi Biaya. Edisi

Revisi. Yogyakarta: AMUS.

Suseno, Franz Magnis. 1991. Wayang dan

Panggilan Manusia. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Susilo, agus, taufik. (2010). Dampak

Keberadaan Pasar Modern Terhadap

Usaha Ritel Koperasi/Waserda dan

Pasar Tradisional. Tesis Program

Pascasarjana Magister Manajemen

Universitas Muria Kudus.

Suwardjono. 2008. Teori Akuntansi

Perekayasaan Pelaporan Keuangan.

Yogyakarta : BPFE

Swasta, B. 2005. Manajemen Penjualan.

Cetakan Kedua Belas. Yogyakarta: BFSE.

Utami, Christina W. 2006. Manajemen Ritel.

Jakarta: Salemba Empat.

Page 26: PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE …