Upload
mentari-handayani
View
30
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
infeksi ginjal
Citation preview
Pielonefritis akutDefinisi: reaksi inflamasi akibat infeksi pielum (pelvis) dan parenkim ginjal
Etiologi:
kuman yang ascenden lewat ureter Escherichia coli, Proteus, Klebsiella sp., kokus gram positif (Streptococcus faecalis dan Enterokokus)
Kuman hematogen (Staphylococcus aureus) Refluks vesiko-ureter Cedera Benda asing Instrumentasi
Manifestasi klinis:
Demam tinggi Menggigil Nyeri pinggang Dan sakit keras sampai mungkin toksik dengan syok Nyeri perut yang tidak khas Disuria Kemih keruh dan berbau Hematuria Takikardi Sept isemia
Pemeriksaan:
Fisik: ditemukan nyeri pinggang dan perut. Pada auskultasi didapatkan bising usus melemah (ileus paralitik)
Penunjang:
darah leukositosis, LED ↑ urinalisis bakteriuria dan hematuria Rontgen bayangan otot psoas kabur, bisa ada bayangan radioopak dari batu
saluran kemih IVU bayangan ginjal yang membesar dan keterlambatan fase nefogram
Patogenesis:
Infeksi ascenden bakteri melekat dipermukaan mukosa kolonisasi uretra distal pertumbuhan ekspansif koloni dan bergerak cepat melawan arus urin (saat instrumentasi). Normalnya urin kandung kemih steril karena sifat antimikroba mukosa kandung kemih dan karen efek pembilasan yang ditimbulkan oleh proses berkemih periodik. Jika terjadi obstruksi gangguan pertahanan pengosongan inkomplit dan ↑ volume urin sisa.
Jika terjadi stasis bakteri masuk berkembang biak tanpa gangguan. Dari urin yang tercemar, bakteri naik sepanjang ureter untuk menginfeksi pelvis dan parenkim ginjal, maka ISK sering terjadi pada pasien obstruksi akibat hipertrofi prostat atau prolaps uterus. Selain karen obstruksi, bisa juga karena orifisium vesiko ureter yang inkompeten (seharusnya berfungsi seperti katup satu arah) sehingga refluks urin kandung kemih ke ureter memiliki efek serupa dengan obstruksi.
Terapi:
Suportif
Antibiotika (efek bakterisidal berspektrum luas) IV
Aminoglikosida kombinasi aminoampisilin Aminoampisilin kombinasi asam klavulanat / sulbaktam Karboksipenisilin, sefalosporin, fluoroquinolon
Apabila ada perbaikan klonis lanjut 1minggu parenteral 2mingguperoral. Bila tidak ada perbaikan klinis tidak sensitif
HIDRONEFROSIS
Definisi
Dilatasi piala dan kalik ginjal baik unilateral maupun bilateral
Etiologi
obstruksi
Patofisilogi
Aliran normal urineobstruksiterjadi aliran balik urinetekanan ginjal naekakumulasi urine di
piala ginjalmenyebabkan distensi piala dan kalik ginjalterjadi atrofi ginjalketika salah satu
ginjal mengalami kerusakan yang bertahap maka ginjal satunya mengalami pembesaran secara
bertahapfungsi renal terganggu
Tanda dan gejala
sakit pinggang, disuria, demam, pruria, hematuria
ANTIMIKROBA
Definisi
Antimikroba (AM) adalah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang
merugikan manusia. Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu
mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi
mikroba jenis lain.
Aktivitas Antimikroba
Berdasarkan sifat toksisitas selektif :
1. Aktivitas bakteriostatik : bersifat menghambat pertumbuhan mikroba
2. Aktivitas bakterisid : bersifat membunuh mikroba
Kadar Hambat Minimal (KHM) adalah kadar minimal yang diperlukan untuk
menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuhnya.
Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi
bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM
Spektrum Antimikroba :
1. spektrum sempit
Penisilin G : aktif terutama pada bakteri gram positif
Streptomisin : aktif pada bakteri gram negatif
2. spektrum luas
Tetrasiklin : aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif
Krloramfenikol
Antimikroba berspektrum luas menimbulkan superinfeksi oleh kuman
atau jamur yang resisten. Pada septikemia yang penyebabnya belum diketahui
diperlukan antimikroba yang berspektrum luas sementara menunggu hasil
pemeriksaan mikrobiologi.
Mekanisme Kerja
Antimikroba dibagi 5 kelompok :
I. Antimikroba yang menghambat metabolisme sel mikroba
Contoh : sulfonamid, trimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS), sulfon.
Efek utamanya bersifat bakteriostatik.
Mekanisme :
Sulfonamid atau sulfon bersaing dengan PABA (asam para amino benzoat)
dalam menghasilkan asam folat yang dibutuhkan bagi kelang-sungan hidup
bakteri. Apabila antimikroba ini mampu bersaing dengan PABA untuk
pembentukan asam folat, maka terbentuk analog asam folat yang non-
fungsional. Akibatnya kehidupan mikroba akan terganggu.
Trimetoprim menghambat enzim dehidrofolat reduktase yang mengubah
dihidrofolat menjadi bentuk yang aktif yakni asam tetrahidrofolat
PAS (analog PABA) bekerja dengan menghambat sintesis asam folat pada M.
Tuberculosis
II. Antimikroba yang menghambat sintesis dinding sel mikroba
Sikloserin menghambat reaksi paling dini dalam proses sintesis dinding sel,
diikuti berturut-turut oleh basitrasin, vankomisin, dan diakhiri oleh penisilin
dan seflosporin
Oleh karena tekanan osmotik dalam sel lebih tinggi daripada diluar sel
maka kerusakan dinding sel kuman akan menyebabkan terjadinya lisis.
III. Antimikroba yang mengganggu keutuhan dinding sel
Polimiksin sebagai senyawa amonium kuartener dapat merusak mem-bran sel
setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel mikroba.
Polimiksin tidak efektif pada bakteri gram positif karena jumlah fosfornya
rendah
Gol. Polien bereaksi dengan struktur sterol yang terdapat pada membran sel
fungus sehingga mempengaruhi permeabilitas selektif membran tersebut.
Bakteri tidak sensitif terhadap antibiotik polien, karena tidak memiliki
srtruktur sterol pada membran selnya.
Antiseptik yang mengubah tegangan permukaan (surface active agents), dapat
merusak permeabilitas selektif dari membran sel mikroba. Kerusakan
membran sel menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam
sel mikroba yaitu protein, asam nukleat, nukleotida.
IV. Antimikroba yang menghambat sintesis protein sel mikroba
Contoh : gol. Aminoglikosida, makrolid, linkomisin, tetrasiklin, dan
kloramfenikol.
Dalam hidupnya mikroba mensintesi protein. Sintesis protein terjadi dalam
ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Pada bakteri ribosom terdiri dari
dua subunit yang berdasarkan konstanta sedimentasi dinyatakan sebagai
ribosom 3OS dan 5OS. Untuk berfungsi pada sintesis protein, kedua
komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 7OS.
Streptomisin berikatan dengn komponen ribosom 3OS dan menyebab-kan
kode pada mRNA salah dibaca oleh tRNA, akibatnya akan terbentuk protein
yang abnormal dan nonfungsional bagi sel mikroba. Antibiotik aminoglikosida
lainnya yaitu gentamisin, kanamisin, neomisin.
Eritromisin berikatan dengn ribosom 5OS dan menghambat translokasi
kompleks tRNA-peptida dari lokasi asam amino ke lokasi peptida. Akibatnya
rantai polipeptida tidak dapat diperpanjang karena lokasi asam amino tidak
dapat menerima kompleks tRNA-asam amino yang baru.
Linkomisin beriktan dengan ribosom 5OS dan menghambat sintesi protein.
Tetrasiklin berikatn dengan ribosom 5OS dan menghalangi masuknya
komplek tRNA-asam amino pada lokasi asam amino
Klormfenikol berikatan dengan ribosom 5OS dan menghambat peng-ikatan
asam amino baru pada rantai polipeptida oleh enzim peptidil transferase.
V. Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba
Rifampisin berikatan dengan enzim polimerase-RNA sehingga meng-hambat
sintesis RNA dan DNA oleh enzim tersebut
Gol. Kuinolon menghambat enzim DNA Girase pada kuman yang fungsinya
menata kromosom yang sangat panjang menjadi bentuk spiral sehingga bisa
muat dalam sel kuman yang kecil.
Resistensi
Kuman dapat menjdi resisten dengan antimikroba melalui 7 mekanisme :
1. Obat tidak dapat mencapai tempat kerjanya di dalam sel mikroba, karena:
Porin menghilang atau mengalami mutasi
Kuman mengurangi mekanisme transpot aktif yang memasukkan anti-mikroba
ke dalam sel
Mikroba mengktifkan pompa refluks untuk membung keluar antimikroba yang
ada dalam sel
2. Inaktivasi obat
Mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap golongan aminoglikosida dan
beta-laktam karena mikroba mampu membuat enzim yang merusak kedua
golongan antimikroba tersebut. Stafilokokus yang resisten terhadap penisilin
G menghasilkan beta laktamase, yang merusak obat tersebut. Bakteri gram
negatif yang resisten aminoglikosida (biasanya diperantarai oleh plasmid)
menghasilkan enzim adenililasi, fosforilasi, atau asetilasi yang merusak obat
ini. Bakteri gram negatif mungkin resisten terhadap kloramfenikol jika bakteri
tersebut menghasilkan suatu kloramfenikol asetiltransferase.
3. Mikroba mengubah tempat ikatan (binding site) antimikroba
Mekanisme ini terlihat pada S. Aureus yang resisten terhadap metisilin
(MRSA). Kuman ini mengubah Penicilin Binding Protein-nya (PBP) sehingga
afinitasnya menurun terhadap metasilin dan antibiotik beta laktam yang lain.
4. Mikroba mengubah permeabilitasnya terhadap obat
Contoh : tetrasiklin tertimbun dalam bakteri yang rentan tapi tidak pada
bakteri yang resisten. Resisten terhadap polimiksin kemungkinan dihubung-
kan dengan perubahan permeabilitas terhadap obat. Streptokokus mempunyai
sawar permeabilitas alamiah terhadap aminoglikosida. Sebagian hal ini dapat
diatasi dengan adanya obat, yang aktif pada dinding sel, yang bersamaan
misalnya penisilin. Resistensi terhadap amikasin dan beberapa aminoglikosida
yang lain dapat bergantung pada tidak adanya permeabilitas terhadap obat,
terlihat akibat perubahan membran luar yang mengganggu transport aktif ke
dalam sel.
5. Mikroorganisme mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat.
Contoh : Resistensi kromosom terhadap aminoglikosida berhubungn dengan
hilangnya protein spesifik pada sub unit 30S ribosombakteri yang bertindak
sebagai reseptor pada mikroorganisme yang rentan. Organisme ynag resisten
eritromisin mempunyai tempat reseptor yang telah berubah pada subunit 50S
ribosom bakteri, akibat metilasi RNA ribosom 23S. Resistensi terhadap
beberapa penisilin dan sefalosporin mungkin karena hilangnya fungsi atau
perubahan PBPs.
6. Mikroorganisme mengembangkan perubahan jalur metbolik yang langsung
dihambat oleh obat ini.
Contoh : Beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak mem-
butuhkan PAB ekstraseluler, tetapi seperti sel mamalia dapat menggunakan
asam folat yang telah dibentuk sebelumnya.
7. Mikroorganisme mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat me-
lakukan fungsi metabolismenya tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat dari
pada enzim pada kuman yang rentan.
Contoh : Pada beberapa bakteri yang retan terhadp sulfonamid, dihidropteroat
sintetase mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi terhadap sulfonamid
daripada PABA. Pada mutan yang resisten sulfonamid, terjadi hal yang
sebaliknya.
Faktor -faktor yang Mempernudah Resistensi di Klinik :
1. Penggunaan antimikroba yang sering
2. Penggunaan antimikroba yang irasional
3. Penggunaan antimikroba baru yang berlebihan
4. Penggunban antimikroba untuk jangka waktu yang lama
5. Penggunaan antimikroba untuk ternak
6. Lain-lain : Kemudahan transportasi modern, perilaku seksual, sanitasi buruk,
dan kondisi perumahan yang tidak memenuhi syarat
Efek Samping
I. Reaksi alergi
Reaksi alergi dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik denagan melibatkan
sistem imun tubuh hospes, terjadinya tak bergantung pada besarnya dosis.
Orang yang pernah mengalami reaksi alergi misalnya penisilin tidak selalu
mengalami reaksi itu kembali ketika diberikan obat yang sama. Sebaliknya
orang tanpa riwayat alergi dapat mengalami reaksi alergi pada penggunaan
ulang penisilin. Reksi alergi oleh penisilin dapat menghilang dengan sendiri,
walaupun terpinya diteruskan. Makin berat sifat reaksi pertama makin besar
kemungkinan timbulnya reaksi yang lebih berat pada pemberian ulangan
berupa anafilaksis, dermatitis eksfoliata,angioderma.
II. Reaksi Idiosinkrasi
Merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara genetik terhadap pem-
berian antimikroba tertentu. Contoh : 10% pria berkulit hitam akan mengalami
anemia hemolitik berat bila mendapat primakuin. Ini disebabkan mereka ke-
kurangan enzim G6PD.
III.Reaksi Toksik
Efek toksik pada hospes ditimbulkan oleh semua jenis antimikroba. Yang
mungkin dapat di anggap relatif tidak toksik sampai saat ini adalah golongan
penisilin. Dalam menimbulkan efek toksik masing-masing antimikroba dapat
memiliki predileksi terhadap organ atau sistem tertentu pada tubuh hospes.
Golongan aminoglikosida pada umumnya bersifat toksik terutama terhadap
N.VIII. Golongan tetrasiklin mengganggu pertumbuhan jaringan tulang
termasuk gigi akibat deposisi kompleks tetrasiklin kalsium-ortofosfat. Dalam
dosis besar obat ini bersifat hepatotoksik, terutama pada pasien pielonefritis
dan pada wanita hamil.
IV. Perubahan biologik dan metabolik
Pada tubuh hospes baik yang sehat maupun yang menderita infeksi, terdapat
populasi mikroflora normal. Dengan keseimbangan ekologik, populasi mikro-
flora tersebut biasanya tidak menunjukan sifat patogen. Penggunaan anti
mikroba terutama yang berpektrum luas, dapat mengganggu keseimbangan
ekologi mikroflora sehingga jenis mikroba yang meningkat jumlah populasi-
nya bisa menjadi patogen. Pada beberapa keadan perubahan ini dapat terjadi
superinfeksi yaitu suatu infeksi baru yang terjadi akibat terapi infeksi primer
dengan suatu antimikroba. Mikroba penyebab superinfeksi biasanya ialah jenis
mikroba yang bisanya menjadi dominan pertumbuhannya akibat pem-berian
antimikroba, mislnya kandidiasis sering timbul sebagai akibat peng-gunan
antibiotik berspektrum luas seperti tetrasiklin.
Faktor Pasien yang Mempengaruhi Farmakodinamik dan Farmakokinetik
1. UMUR.
Neonatus umumnya memiliki organ atau sistem tubuh yang belum
berkembang sepenuhnya. Misalnya fungsi glukoronidasi oleh hepar belum
cukup lancar, sehingga memudahkan terjadinya efek toksik oleh kloram-
fenikol. Fungsi ginjal sebagai alat ekskresi juga belum lancar sehingga
memudahkan terjadinya efek toksik oleh obat yang eliminasinya terutama
melalui ginjal.
Orang yang berusia lanjut sering mengalami kemunduran fungsi organ atau
sistem tertentu sehingga reaksi tubuh terhadap pemberian obat berubah .
2. KEHAMILAN
Ibu hamil pada umumnya lebih peka terhadap pengaruh obat tertentu termasuk
antibiotik.
Kemungkinan efek pada fetus tergantung pada daya obat menembus sawar uri
serta usia janin.
Pemberian streptomisin pada ibu hamil tua dapat menimbulkan ketulian pada
bayi.
Pemberian antimikroba pada klehamilan trimester pertama harus diingat
bahaya teratogenesisnya.
3. GENETIK
Perbedaan antar ras dapat menimbulkan perbedaan reaksi terhadap obat.
Misalnya defisiensi enzim G6PD dapat menimbulakn hemolisis akibat
pemberian sulfonamid, kloramfenikol, dapson, atau nitrofurantoin.
4. KEADAAN PATOLOGI TUBUH HOSPES
Keadaan fungsi hati dan ginjal perlu diketahui dalam pemberian obat. Sirosis
hati dapat meningkatkan toksisitas tetrasiklin, memperpanjang waktu paruh
eliminasi linkomisin, menungkatkan kadar kloramfenikol dalam darah se-
hingga menimbulkan bahaya toksik. Antimikroba yang terutama diekskresi
melalui ginjal akan mengalami akumulasi dalam tubuh yang menderita gang-
guan fungsi ginjal. Streptomisin, kanamisin, penisilin dieliminasi dari tubuh
terutama melalui ginjal.
Konsep Farmakokinetik/ Farmakodinamik
I. Concentration-dependent killing
Pada pola ini antimikroba akan menghsilkan daya bunuh maksimal terhadap
kuman apabila kadarnya diusahakan relatif tinggi, tapi tidak perlu memper-
tahankan kadar tinggi ini selma mungkin. Antimikroba golingan ini adalah
aminoglikosida, fluorokuinolon, dan ketolid. Untuk mendapatkan efektivitas
klinis yang maksimal, obat-obat ini diberikan dengan dosis besar dan biasanya
diberikan dalam bentuk bolus yang diinfus.
II. Time-dependent killing
Pada pola ini antimikroba akan menghasilkan daya bunuh maksimal terhadap
kuman bila kadarnya dipertahankan cukup lama di atas kadar hambat minimal
kuman. Kadar yang sangat tinggi tidak meningkatkan efektivitas obat untuk
mematikan kuman. Antimikroba yang termasuk golongan ini adalah penisilin,
sefalosporin, linezolid, dan eritromisin. Untuk mendapatkan efektivitas klinis
yang maksimal, obat-obat ini diberikan dengan infus kontinu atau dengan
infus berkala tetapi dibagi dalam beberapa kali pemberian dalam sehari.
SULFONAMID
Istilah sulfonamida digunakan di sini sebagai nama generik bagi turunan para-
aminobenzensulfonamida (sulfanilamida); rumus bangun beberapa senyawa golongan ini
ditunjukkan pada gambar.
Sebagian besar senyawa tersebut relatif tidak larut air, namun garam natriumnya
mudah larut. Persyaratan struktur minimal bagi kerja antibakteri secara keseluruhan
terletak pada sulfanilamida itu sendiri.
Efek terhadap Mikroba
Sulfonamida memiliki aktivitas antimikroba yang luas baik terhadap bakteri gram-
positif maupun gram negatif. Namun, galur yang resisten menjadi semakin lazim beberapa
tahun terakhir ini, sehingga kegunaan senyawa ini juga turut berkurang. Secara umum,
sulfnamida hanya menghasilkan satu efek bakteriostatik, serta mekanisme pertahanan
selular dan humoral inang penting dalam pemberantasan akhir infeksi.
Mekanisme Kerja
Sulfonamida merupakan analog struktur dan antagonis kompetitif asam para-
aminobenzoat (PABA) sehingga mencegah penggunaan PABA secara normal oleh bakteri
untuk sintesis asam folat (asam pteroilglutamat).
Jadi mekanismenya secara singkat adalah :
Menjadi impermeabel terhadap asam folat, banyak bakteri harus tergantung pada
kemampuannya untuk mensintesis asam folat dari PABA, pteridin dan glutamat.
Karena asam folat dibutuhkan oleh bakteri untuk membentuk DNA dan RNA bakteri
Sebaliknya, manusia tidak dapat mensintesis asam folat dan folat didapat dari
vitamin dan makanannya.
Karena strukturnya mirip PABA, sulfonamida berkompetisi dengan substrat ini untuk
sintetase enzim dihidropteroat.
Hal ini menghilangkan kofaktor esensial sel terhadap purin, pirimidin dan sintesis
asam amino.
Kombinasi sulfonamida : trisulfa (sulfadiazin, sulfamerazin dan sulfamezatin dengan
perbandingan sama), Kotrimoksazol (sulfametoksazol + trimetoprim dengan perbandingan
5:1), Sulfadoksin + pirimetamin.
Spektrum Bakteri
• Golongan sulfa termasuk kotrimoksasol (sulfametoksasol plus trimetoprim) bersifat
bakteriostatik.
• Obat-obat ini aktif terhadap enterobakteria, klamidia, pneumocytis dan nokardia.
Resistensi
Resistensi secara umum bersifat irreversibel dan mungkin disebabkan oleh tiga
kemungkinan.
1. Perubahan enzim : Dihidropteroat sintetasi bakteri dapat mengalami mutasi atau
ditransfer melalui plasmid yang menimbulkan penurunan afinitas sulfa.
2. Penurunan masukan : Permeabilitas terhadap sulfa mungkin menurun pada
beberapa starin yang resisten.
3. Meningkatnya sintesis PABA
Farmakokinetik
1. Pemberian: Kebanyakan obat sulfa diabsorpsi secara baik setelah pemberian oral.
Karena resiko sensitasi sulfa biasanya tidak diberikan secara topikal.
2. Distribusi: Golongan Sulfa didistribusikan ke seluruh cairan tubuh dan penetrasinya
baik ke dalam cairan serebrospinal. Obat ini juga dapat melewati sawar plasenta dan
masuk ke dalam ASI. Sulfa berikatan dengan albumin serum dalam sirkulasi.
3. Metabolisme: Sulfa diasetilasi pada N4, terutama di hati. Produknya tanpa aktivitas
antimikroba, tetapi masih bersifat potensial toksik pada pH netral atau asam yang
menyebabkan kristaluria dan karena itu, dapat menimbulkan kerusakan ginjal.
4. Ekskresi: Eliminasi sulfa yaitu melalui filtrasi glomerulus.
Efek Samping
Kristaluria: Nefrotoksisitas berkembang karena adanya kristaluria. Hidrasi dan
alkalinasi urin yang adekuat mencegah masalah tersebut dengan menurunkan
konsentrasi obat dan menimbulkan ionisasinya.
Sulfisoksazol dan sulfametoksazol larut pada pH urin dibandingkan sulfa yang
lama (mis:sulfadiazin) sehingga menyebabkan kristaluria.
Hipersensitifitas: Reaksi hipersensitifitas seperti kulit kemerahan, angioedema, dan
Sindrom Steven-Johnson sering terjadi. Sindrom Steven-Johnson terjadi lebih sering
pada penggunaan obat yang masa kerjanya lama.
Sebaiknya tidak digunakan pada kehamilan teruama trimeseter akhir karena dapat
menyebabkan icterus, hiperbilirubinemia.
Penggunaan Sulfonamida pada Infeksi Saluran Urin (ISK)
Karena presentase signifikan infeksi saluran urin di berbagai belahan dunia
disebabkan oleh mikroorganisme yang resisten terhadap sulfonamida, obat ini kini tidak lagi
menjadi pilihan utama dalam terapi. Trimetoprim-sulfametoksazol, suatu kuinolon, atau
ampisilin merupakan senyawa yang lebih terpilih. Namun sulfisoksazol dapat digunakan
secara efektif pada daerah yang prevalensi resistennya tidak tinggi atau jika organisme
tersebut diketahui peka. Dosis lazim oral mula-mula adalah 2 sampai 4 g diikuti dengan 1
sampai 2 g empat kali sehari selama 5 sampai 10 hari. Pasien pielonefritis akut yang disertai
demam tinggi dan manifestasi parah lainnya memiliki risiko bakterimia dan syok dan
sebaiknya tidak diobati dengan sulfonamida.
KLOTRIMOKSAZOL (TRIMETOPRIM-SULFAMETOKSAZOL)
Klotrimoksazol merupakan kombinasi dari trimetoprim dan sulfa metoksazol.
Kombinasi yang dihasilkan menunjukkan aktivitas antimikroba yang lebih besar
dibandingkan bila obat ini diberikan secara tunggal. Kombinasi ini dipilih karena kemiripan
farmakokinetik dari kedua obat.
Mekanisme Kerja
Aktivitas kotrimoksazol sinergistik disebabkan oleh inhibisi dua angkah berurutan
pada sintesis asam tetrahidrofolat; sulfametoksazol menghambat penggabungan PABA ke
dalam asam folat; dan trimetoprim mencegah reduksi dehidrofolat menjadi tetrahidrofolat.
Kotrimoksazol menunjukkan aktivitas yang lebih poten dibandingkan sulfametoksazol atau
trimetoprim tunggal.
Spektrum antibakterial
Kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol mempunyai spektrum kerja yang lebih luas
dibandingkan sulfa.
Resistensi
Resistensi terhadap kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol lebih jarang
dibandingkan terhadap obat secara tunggal karena memerlukan resistensi simultan
terhadap kedua obat.
Farmakokinetik
Pemberian dan metabolisme: trimetoprim bersifat lebih larut dalam lemak
dibandingkan sulfametoksazol dan mempunyai volume distribusi yang lebih besar.
Kotrimoksazol biasanya diberikan peroral. Pengecualian pemberian intravena pada
pasien pneumonia berat yang disebabkan Pneumocystis carinii atau pada pasien
yang tidak dapat menelan obat.
Nasib Obat: Kedua obat didistribusikan ke seluruh tubuh. Trimetoprim relatif
terpusat dalam prostat suasana asam dan cairan vagina dan memberikan hasil
kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol yang memuaskan terhadap infeksi di daerah
tersebut. Kedua obat ini dan metabolit-metabolitnya dieksresikan dalam urin.
Efek samping
Kulit: reaksi pada kulit paling sering dijumpai dan mungkin parah pada orang tua.
Saluran cerna: Mual, muntah serta glositis dan stomatitis jarang terjadi.
Darah: Anemia megaloblastik, leukopenia,. Dan trombositopenia dapat terjadi;
semua efek ini dapat segera diperbaiki dengan pemberian aam folinat bersamaan,
yang melindungi pasien dan tidak menembus mikroorganisme. Anemia hemolitik
dapat terjadi pada pasien G6PD yang disebabkan sufametoksazol.
Pasien HIV: Pasien dengan tanggap imun yang lemah dengan pneumonia.
Pneumocytis lebih sering mengalami demam karena induksi obat, kulit kemerahan,
diare dan atau pansitopenia.
Interaksi obat: waktu protrombin memanjang pada pasien yang menerima warfarin
pernah dilaporkan. Waktu paruh plasma fenitoin dapat meningkat akibat hambatan
terhadap metabolismenya. Kadar metotreksat mungkin meningkat karena
pemindahan dari tempat ikatan albumin dari sulfametoksazol.
Penggunaan Terapi pada Infeksi Saluran Urin (ISK)
Pengobatan infeksi saluran urin bagian bawah tanpa komplikasi dengan
menggunakan trimetropim-sulfametoksazol seringkali sangat efektif untuk bakteri yang
peka. Sediaan ini terbukti menghasilkan efek terapi yang lebih baik daripada pemberian
masing-masing komponennya secara terpisah jika mikroorganisme penginfeksinya
merupakan famili Enterobacteriaceae. Terapi dosis tunggal (320 mg trimetroprim ditambah
1600 mg sulfametoksazol pada orang dewasa) efektif pada beberapa kasus pengobatan
infeksi saluran urin akut tanpa komplikasi, namun terapi minimal 3 hari kemungkinan akan
lebih efektif.
Kombinasi ini tampak memiliki efikasi khusus pada infeksi saluran urin kronis dan
kambuhan. Dosis kecil (200 mg sulfametoksazol ditambah 40 mg trimetoprim setiap hari,
atau dua hingga empat kali jumlah tersebut, satu atau dua kali perminggu) tampaknya
efektif dalam menurunkan jumlah kekambuhan infeksi saluran urin pada wanita dewasa.
Efek ini kemungkinan berkaitan dengan tercapainya konsentrasi terapeutik trimetoprim
dalam sekreta vagina. Enterobactericeae yang berada di sekeliling lubang uretra akan
tereliminasi atau banyak berkurang jumlahnya, sehingga akan mengurangi kesempatan
terjadinya reinfeksi ke bagian atas. Trimetoprim juga ditemukan dalam konsentrasi
terapeutik pada sekresi prostat, dan trimetoprim-sulfametoksazol sering kali efektif untuk
pengobatan prostatitis akibat bakteri.
EPIDIDIMITIS
Epididimitis adalah peradangan pada epididimis
Epididimis adalah sebuah struktur yang terletak di atas dan di sekeliling testis (buah zakar).
Fungsinya adalah sebagai pengangkut, tempat penyimpanan dan tempat pematangan sel sperma
yang berasal dari testis
Epididimis akut bisanya lebih berat daripada epididimis kronis. Epididimis kronis berlangsung selama
lebih dari 6 minggu.
Penyebab
Epididimitis biasanya disebabkan oleh bakteri yang berhubungan dengan:
Infeksi saluran kemih
Penyakit menular seksual (misalnya klamidia dan gonore)
Prostatitis (infeksi prostat).
Epididimitis juga bisa merupakan komplikasi dari:
Pemasangan kateter
Prostatektomi (pengangkatan prostat).
Resiko yang lebih besar ditemukan pada pria yang berganti-ganti pasangan
seksual dan tidak menggunakan kondom.
Gejala
Gejalanya berupa nyeri dan pembengkakan skrotum (kantung zakar), yang sifatnya bisa ringan
atau berat. Peradangan yang sangat hebat bisa menyebabkan penderita tidak dapat berjalan karena
sangat nyeri.
Infeksi juga bisa menjadi sangat berat dan menyebar ke testis yang berdekatan. Infeksi hebat bisa
menyebabkan demam dan kadang pembentukan abses (pernanahan).
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan adalah:
Benjolan di testis
Pembengkakan testis pada sisi epididimis yang terkena
Pembengkakan selangkangan pada sisi yang terkena
Nyeri testis ketika buang air besar
Demam
Keluar nanah dari uretra (lubang di ujung penis)
Nyeri ketika berkemih
Nyeri ketika berhubungan seksual atau ejakulasi
Darah di dalam semen
Nyeri selangkangan.
Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Testis pada sisi yang terkena
kadang membengkak. Nyeri tekan biasanya terbatas pada daerah tertentu (tempat melekatnya
epididimis). Bisa ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah bening di selangkangan.
Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan:
Analisa dan pembiakan air kemih
Tes penyaringan untuk klamidia dan gonore
Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan kimia darah.
Pengobatan
Untuk mengatasi infeksi, diberikan antibiotik. Selain itu juga diberikan obat pereda nyeri dan anti
peradangan. Penderita sebaiknya menjalani tirah baring dengan skrotum diangkat dan dikormpres
dingin.
Pencegahan
Pada saat menjalani pembedahan, seringkali diberikan antibiotik profilaktik (sebagai tindakan
pencegahan) kepada orang-orang yang memiliki resiko menderita epididimitis.
Epididimitis akibat penyakit menular seksual bisa dicegah dengan cara melakukan hubungan
seksual yang aman dan terlindungi (misalnya tidak berganti-ganti pasangan dan menggunakan
kondom).