24
86 PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN Runggu Prilia Ardes, Cholifah Damayanti, Nessia Marga Leta Pusat Kajian Kebijakan Penerbangan dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional E-mail: [email protected] ABSTRACT The enacment of Act No 21 Year 2013 on Space become a stepping stone in the establishment of space law system in Indonesia. This Act needs to be supported by Government Regulation and other regulations underneath to strengthen its presence. During its drafting, there is a policy to integrate nine Government Regulation mandates of Space Act into one Government Regulation. However, many obstacles encountered during integration, which then initiate the making of this study. The problem in this paper is what are the juridical considerations and the consequences of grouping the Government Regulations as mandated by the Act No 21 Year 2013 on Space Activities into one regulation and its solutions. Through legal hierarchy and legal system theoritical approaches, Space Act has wide coverage, multisectoral, and loaded with technical matters, so it takes caution in its formulation and can not be combined into one regulation, but can be divided into several government regulations, which are: (i) Government Regulation on the Procedures for Controlling and Propagating as well as Protecting Space Technology; (ii) Government Regulation on the Procedures for Constructing and Operating Spaceport; and (iii) Government Regulation on the Procedures for Commercial Space Activities. Keywords: Act, Space, Government Regulation. ABSTRAK Pengesahan UU No 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan menjadi sebuah batu loncatan dalam pembentukan sistem hukum keantariksaan di Indonesia. UU ini perlu ditopang oleh Peraturan Pemerintah dan peraturan lain di bawahnya untuk memperkuat eksistensinya. Dalam proses penyusunan, terdapat kebijakan untuk menggabungkan sembilan amanat RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari ide dilakukannya kajian ini. Permasalahan dalam tulisan ini adalah apa saja pertimbangan yuridis dan konsekuensi pengelompokan RPP sebagai amanat UU Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan ke dalam 1 RPP dan solusinya. Melalui pendekatan teori hierarki norma dan teori sistem hukum, UU Keantariksaan memiliki ruang lingkup luas, multisektoral, dan sarat dengan hal-hal teknis, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam penyusunannya dan tidak dapat digabung ke dalam satu wadah peraturan, melainkan dikelompokkan ke dalam beberapa peraturan pemerintah, yaitu: (i) Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Penguasaan dan Penjalaran Serta Perlindungan Teknologi keantariksaan; (ii) Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara

PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

86

PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN

RPP SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2013

TENTANG KEANTARIKSAAN

Runggu Prilia Ardes, Cholifah Damayanti, Nessia Marga Leta

Pusat Kajian Kebijakan Penerbangan dan Antariksa

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

The enacment of Act No 21 Year 2013 on Space become a stepping stone in the

establishment of space law system in Indonesia. This Act needs to be supported by

Government Regulation and other regulations underneath to strengthen its presence.

During its drafting, there is a policy to integrate nine Government Regulation mandates of

Space Act into one Government Regulation. However, many obstacles encountered during

integration, which then initiate the making of this study. The problem in this paper is what

are the juridical considerations and the consequences of grouping the Government

Regulations as mandated by the Act No 21 Year 2013 on Space Activities into one

regulation and its solutions. Through legal hierarchy and legal system theoritical

approaches, Space Act has wide coverage, multisectoral, and loaded with technical

matters, so it takes caution in its formulation and can not be combined into one

regulation, but can be divided into several government regulations, which are: (i)

Government Regulation on the Procedures for Controlling and Propagating as well as

Protecting Space Technology; (ii) Government Regulation on the Procedures for

Constructing and Operating Spaceport; and (iii) Government Regulation on the

Procedures for Commercial Space Activities.

Keywords: Act, Space, Government Regulation.

ABSTRAK

Pengesahan UU No 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan menjadi sebuah batu loncatan

dalam pembentukan sistem hukum keantariksaan di Indonesia. UU ini perlu ditopang oleh

Peraturan Pemerintah dan peraturan lain di bawahnya untuk memperkuat eksistensinya.

Dalam proses penyusunan, terdapat kebijakan untuk menggabungkan sembilan amanat

RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak

ditemui hambatan yang kemudian mendasari ide dilakukannya kajian ini. Permasalahan

dalam tulisan ini adalah apa saja pertimbangan yuridis dan konsekuensi pengelompokan

RPP sebagai amanat UU Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan ke dalam 1 RPP

dan solusinya. Melalui pendekatan teori hierarki norma dan teori sistem hukum, UU

Keantariksaan memiliki ruang lingkup luas, multisektoral, dan sarat dengan hal-hal teknis,

sehingga diperlukan kehati-hatian dalam penyusunannya dan tidak dapat digabung ke

dalam satu wadah peraturan, melainkan dikelompokkan ke dalam beberapa peraturan

pemerintah, yaitu: (i) Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Penguasaan dan Penjalaran

Serta Perlindungan Teknologi keantariksaan; (ii) Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara

Page 2: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

87

Pembangunan dan Pengoperasian Bandar Antariksa; dan (iii) Peraturan Pemerintah

Tentang Tata Cara Kegiatan Komersial Keantariksaan.

Kata Kunci: Undang-Undang, Keantariksaan, Peraturan Pemerintah.

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebagai negara hukum, Indonesia selalu diidentikkan dengan keberadaan peraturan

Perundang-undangan dalam sistem pemerintahannya. Keberadaan peraturan Perundang-

undangan diperlukan dalam rangka pembentukan sistem hukum nasional, sebab segala

kehidupan, baik kehidupan bernegara, kehidupan berbangsa, maupun kehidupan

bermasyarakat harus didasarkan pada hukum (Trijono, Rachmat, 2014).

Indonesia saat ini telah memiliki undang-undang keantariksaan sendiri yaitu

Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Undang-Undang ini

memberikan landasan hukum dan untuk melindungi kepentingan nasional dalam

penyelenggaraan keantariksaan nasional, serta menjadi landasan awal dalam pembentukan

sistem hukum keantariksaan di Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 21 tahun 2013

tentang Keantariksaan mengamanatkan dibentuknya sepuluh PP yang diharapkan dapat

menopang kerangka sistem hukum keantariksaan nasional dengan lingkup pengaturan

yang terdapat pada pasal 6 Undang-Undang Keantariksaan dan lingkup kegiatan

keantariksaan dalam Penyelenggaraan Keantariksaan pada pasal 7 ayat (1). Kesepuluh

amanat itu meliputi: (i) Tata Cara Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan Jauh (Pasal

23); (ii) Tata Cara dan Mekanisme Penjaminan Keamanan Teknologi Sensitif

Keantariksaan (Pasal 27); (iii) Komersialisasi Keantariksaan (Pasal 37); (iv) Tata cara

Pembangunan dan Pengopersian Bandar Antariksa (Pasal 50); (v) Standar dan Prosedur

Keamanan dan Keselamatan (Pasal 57); (vi) Kriteria dan Persyaratan Penangguhan,

Pembekuan, Pencabutan dan Perubahan Peluncuran (Pasal 69); (vii) Tanggung Jawab dan

Ganti Rugi (Pasal 83); (viii) Asuransi (Pasal 84); (ix) Peran Serta Masyarakat (Pasal 92);

(x) Sanksi Administratif (Pasal 94).

Peraturan Pemerintah tentang Tata Cata Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan

Jauh telah mulai dirancang sejak dua tahun yang lalu dan telah mencapai tahap

Harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM, sehingga kini masih ada sembilan amanat

PP yang masih menjadi tugas LAPAN. Saat ini tengah dilakukan perumusan RPP

Penyelenggaraan Keantariksaan yang mencakup sembilan amanat tersebut. Namun,

mengingat PP merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang, serta nuansa dari

Undang-Undang Keantariksaan memiliki karakteristik yang luas dan kompleks,

diperlukan kehati-hatian dalam merumuskan pengaturannya. Banyak aspek perlu

diperhatikan, berbagai sudut pandang harus dipahami, serta batas ruang lingkup yang akan

diatur harus jelas agar tidak terjadi kekosongan hukum, dan agar PP ini dapat memberikan

kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam kegiatan keantariksaan serta dapat

dilaksanakan dalam berbagai situasi atau dinamis.

Perlu disampaikan bahwa peraturan Perundang-undangan nasional beberapa negara

di bidang keantariksaan, seperti Argentina, Brazil, Amerika Serikat, Rusia, dan Spanyol

telah mengatur secara terpisah kegiatan keantariksaannya dalam beberapa peraturan

Perundang-undangan. Contohnya di Brazil, pengaturan dibedakan antara regulasi yang

Page 3: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

88

terkait dengan lembaganya, peluncuran komersil, dan perizinan. Di Amerika Serikat,

kegiatan-kegiatan seperti komersialisasi, penginderaan jauh, perizinan, semua diatur

dalam peraturan terpisah. Sementara itu, Negara-negara yang mengaturnya dalam satu

wadah adalah Australia (Space Activities Act 1998 sebagaimana diubah ke dalam Space

Activities Act 2001), dan Jepang (Basic Space Law). Tetapi, satu hal yang menjadi catatan

adalah, regulasi-regulasi milik ketiga Negara tersebut adalah setingkat dengan Undang-

Undang dan bukan Peraturan Pemerintah. Ketiga peraturan tersebut hanya memuat hal-hal

yang bersifat umum dan tidak komprehensif (misalnya regulasi Swedia) (Hermida, Julian,

2004), dan pengaturan lebih lanjut diatur secara terpisah, tidak dalam satu wadah yang

sama. Contohnya di Jepang, meskipun telah memiliki Basic Space Law, tetapi kini Jepang

tengah menyusun sebuah peraturan tentang kegiatan penginderaan jauh satelit dan

menyusun kembali kegiatan keantariksaan dengan pendekatan komersial (Nagai,

Yuichiro, 2015). Dari penjabaran tersebut, terlihat bahwa Negara-negara yang mengatur

kegiatan keantariksaan secara terpisah memiliki regulasi yang lebih komprehensif

dibandingkan dengan yang digabung ke dalam satu wadah.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, penyusunan RPP saat ini diusulkan untuk

digabung menjadi 1 RPP, namun selama proses 2 tahun yang dilakukan terdapat berbagai

kendala yang perlu dipertimbangkan kembali. Tulisan ini berupaya untuk memberikan

pertimbangan yuridis mengenai alasan pengelompokan ini.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan

yang akan dikaji adalah apa saja pertimbangan yuridis dan konsekuensi pengelompokan

RPP sebagai amanat UU Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan ke dalam 1 RPP

dan solusinya.

1.3. Tujuan

Tujuan kajian ini adalah untuk mengkaji pertimbangan yuridis dan konsekuensi

penyusunan sembilan RPP yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2013 tentang Keantariksaan.

1.4. Metodologi

Metodologi yang digunakan dalam kajian ini dilakukan melalui pendekatan teori

hierarki norma (stufenbau) dari Hans Kelsen dan legal system theory oleh Lawrence M.

Friedman dengan menggunakan data sekunder maupun primer:

a. Teori hierarki norma (stufenbau theory) dilakukan dengan menjabarkan

lapisan/tingkatan/jenjang norma hukum dari yang paling tinggi hingga yang paling

rendah serta ruang lingkupnya sesuai dengan hierarki yang terdapat dalam Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan dalam rangka memberikan gambaran awal mengenai Peraturan

Pemerintah dan materi muatannya (Indrati S, Maria Farida, 2010).

b. Teori sistem hukum (legal system theory) dilakukan dengan menjabarkan struktur

hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum

(legal culture) sehingga amanat-amanat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun

Page 4: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

89

2013 tentang Keantariksaan dapat dikelompokkan menjadi beberapa RPP (Trijono,

Rachmat, 2014).

2. HIERARKI, FUNGSI, ASAS, DAN MATERI MUATAN PERATURAN

PERUNDANG UNDANGAN

2.1. Umum

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal suatu teori jenjang

hukum (stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam teori tersebut Hans

Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dalam suatu

hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan

berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma

yang tidak dapat ditelusuri (norma dasar atau grundnorm). Norma dasar itu ditetapkan

terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan landasan bagi

norma-norma yang berada di bawahnya (Indrati S, Maria Farida, 2010).

Hans Nawiasky, salah seorang murid dari Hans Kelsen mengembangkan teori

gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky

mengatakan suatu norma hukum dari negara manapun selalu berjenjang-jenjang dan

berlapis-lapis. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berjenjang-

jenjang dan berlapis-lapis, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-

kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat

kelompok besar yakni:

a. Kelompok I: Norma Dasar Negara-Pancasila dan Pembukaan UUD-1945

(Staatsfundamentalnorm);

b. Kelompok II: Aturan Dasar Negara - Batang Tubuh UUD-1945, Tap MPR

(Staatsgrundgesetz);

c. Kelompok III: Undang-Undang (Formal) (Formell Gesetz);

d. Kelompok IV: Peraturan Pelaksanaan-PP, Perpres dan Perda (Verordnung &

Autonome Satzung) (Indrati S, Maria Farida, 2010).

Agar suatu peraturan Perundang-undangan dapat berfungsi dengan sempurna, maka

peraturan tersebut harus memenuhi persyaratan kekuatan berlaku. Ada tiga macam

kekuatan berlaku antara lain sebagai berikut:

a. berlakunya secara filosofis bahwa kaidah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita

hukum sebagai nilai positif yang tertinggi misalnya, Pancasila.

b. belakunya secara sosiologi intinya adalah efektivitas kaidah hukum di dalam

kehidupan masyarakat; dan

c. berlakunya secara yuridis artinya apabila penentuannya berdasarkan kaidah yang

lebih tinggi tingkatnya atau terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan

(Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka, 1993).

2.2. Hierarki Peraturan Perundang-undangan

Dalam sistem peraturan Perundang-undangan dikenal adanya hierarki peraturan

Perundang-undangan. Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan Perundang-

undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu: (i) Undang-Undang Dasar Negara

Page 5: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

90

Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD-1945); (ii) Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR); (iii) Undang-Undang (UU) / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perpu); (iv) Peraturan Pemerintah (PP); (v) Peraturan Presiden (Perpres); (vi)

Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi); dan (vii) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

(Perda Kabupaten/Kota).

2.3. Fungsi Peraturan Perundang-undangan

Fungsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 2008 adalah “kegunaan

suatu hal”. Secara umum peraturan perundang-undangan fungsinya adalah “mengatur”

sesuatu substansi untuk memecahkan suatu masalah yang ada dalam masyarakat. Artinya,

peraturan Perundang-undangan adalah sebagai instrumen kebijakan (beleids instrument)

baik berbentuk penetapan, pengesahan, pencabutan, maupun perubahan. (KBBI, 2008).

Secara khusus fungsi Peraturan Pemerintah adalah menyelenggarakan pengaturan lebih

lanjut untuk melaksanakan perintah suatu UU. Landasan formal konstitusinya adalah

Pasal 5 ayat (2) UUD-1945.

Bagir Manan mengemukakan tentang Fungsi peraturan Perundang-undangan yaitu

fungsi internal dan fungsi eksternal (Manan, Bagir, 1994).

a. Fungsi Internal. Lebih berkaitan dengan keberadaan peraturan Perundang-undangan

dimaksud dalam sistem hukum. Secara internal peraturan Perundang-undangan

menjalankan fungsi sebagai berikut: (i) penciptaan hukum (rechts chepping); (ii)

pembaharuan hukum; (iii) integrasi; dan (iv) kepastian hukum.

b. Fungsi Eksternal, terdiri dari: (i) fungsi perubahan; (ii) fungsi stabilitasi; dan (iii)

fungsi kemudahan.

Fungsi peraturan Perundang-undangan sebagaimana dikemukakan oleh Bagir

Manan tersebut di atas, menggambarkan /berkaitan dengan organ yang berwenang

membuat peraturan Perundang-undangan, hukum itu sudah direncanakan, dibutuhkan

untuk mencapai tujuan yang diinginkan, menegaskan lingkungan kuasa berlakunya suatu

aturan hukum Perundang-undangan, berfungsi sebagai instrumen, baik sebagai instrumen

pengawasan maupun sebagai instrumen perubahan (rekayasa) masyarakat.

Aan Seidmen, 2001, melihat fungsi undang-undang sebagai sistem hukum dan

pengaruhnya terhadap pola perilaku. Menurut Aan Seidmen, Fungsi Undang-undang

adalah (Aan Seidmenn et.all, 2001):

a. Sebagai pernyataan efektif dari kebijakan, pada aspek ini disebutkan bahwa

akhirnya Pemerintah hanya akan memiliki suatu pilihan yaitu melaksanakan

kebijakan-kebijakannya melalui undang-undang.

Ada dua alasan pemerintah menterjemahkan kebijakannya dalam undang-undang

yang diharapkan mampu menjawab berbagai perilaku masyarakat serta berbagai

kepentingan yang bukan saja berlaku bagi masyarakat tetapi juga terhadap

pemerintah terutama dalam hal legitimasi. Oleh karena itu undang-undang

dibutuhkan untuk memerintah dan tuntutan legitimasi.

b. Sebagai langkah penting bagi Negara dalam upaya perubahan perilaku. Peraturan-

peraturan dipersiapkan oleh para penyusun rancangan pola perilaku yang

seharusnya dilakukan. Dalam menciptakan suatu lingkungan yang mendukung

proses pembangunan maka tugas undang-undang yang paling penting adalah

memberi petunjuk atau pengarahan pada perilaku kearah yang baru atau tujuan yang

diharapkan.

Page 6: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

91

Mengacu pada pendapat para ahli tentang fungsi peraturan Perundang-undangan,

maka pembentukan peraturan Perundang-undangan harus dibuat sesuai dengan asas-asas

pembentukan peraturan Perundang-undangan yang baik (patut) sehingga peraturan

Perundang-undangan dimaksud dapat memiliki atau mengandung aspek filosofi, aspek

sosial dan aspek yuridis.

2.4. Asas-Asas Peraturan Perundang-undangan

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, dalam pembentukan

peraturan perundangan-undangan harus memperhatikan asas-asas peraturan Perundang-

undangan antara lain: (i) UU tidak dapat berlaku surut, (ii) UU tidak dapat diganggu

gugat, (iii) UU yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan yang tinggi

pula, (iv) UU yang bersifat khusus akan mengesampingkan undang-undang yang bersifat

umum (Lex specialis derogat legi generalis), dan (v) UU yang baru mengalahkan undang-

undang yang lama (Lex posteriori derogat legi priori) (Chaidir, Ellydar dan Sudi Fahmi,

2010).

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

menyatakan bahwa asas-asas dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan meliputi:

a. Kejelasan tujuan artinya setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus

mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat artinya setiap jenis Peraturan

Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk

Peraturan Perundang-undangan yang berwenang.

c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan.

d. Dapat dilaksanakan artinya setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di

dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan.

f. Kejelasan rumusan artinya setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi

persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan

kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga

tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya, dan

g. Keterbukaan.

2.5. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan

Materi muatan adalah isi dari setiap jenis peraturan Perundang-undangan yang ada

di Indonesia. Materi muatan ini penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi tumpang

tindih pengaturan. Materi muatan undang-undang misalnya, jelas tidak boleh diatur dalam

suatu Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden karena undang-undang mempunyai

karakteristik tersendiri sebagai suatu peraturan Perundang-undangan tertinggi dibawah

konstitusi yang dibuat bersama antara eksekutif dan legislatif (Hasani, Ismail dan A. Gani

Abdullah, 2006).

Menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 1 angka 13, Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang- undangan

sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Peraturan

Pemerintah (disingkat PP) adalah peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang

Page 7: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

92

ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang.

Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa Peraturan Pemerintah

sebagai aturan "organik" dari pada Undang-Undang menurut hierarkinya tidak boleh

tumpang tindih atau bertolak belakang dengan peraturan Perundang-undangan yang setara

atau diatasnya.

Untuk melaksanakan undang-undang yang dibentuk oleh Presiden dengan DPR,

UUD 1945 memberikan wewenang kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan

Pemerintah guna melaksanakan undang-undang tersebut sebagaimana mestinya.

Keberadaan Peraturan Pemerintah hanya untuk menjalankan Undang-Undang. Hal ini

berarti tidak mungkin bagi Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah sebelum terbentuk

undang-undangnya, sebaliknya suatu undang-undang tidak dapat berlaku efektif tanpa

adanya Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah memiliki beberapa karakteristik sehingga dapat disebut

sebagai sebuah Peraturan Pelaksana suatu ketentuan Undang-Undang. Menurut Prof. Dr.

A. Hamid Attamimi, SH sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Maria Farida Indriati

mengemukakan beberapa karakteristik dari Peraturan Pemerintah, yakni sebagai berikut:

a. Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa terlebih dahulu ada Undang-

Undang yang menjadi “induknya”;

b. Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana apabila Undang-

Undang yang bersangkutan tidak mencantumkan sanksi pidana;

c. Ketentuan Peraturan Pemerintah tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan

Undang-Undang yang bersangkutan;

d. Untuk menjalankan, menjabarkan, atau merinci ketentuan Undang-Undang,

Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meski ketentuan Undang-Undang tersebut

tidak memintanya secara tegas-tegas;

e. Ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah berisi peraturan atau gabungan

peraturan atau penetapan

f. Peraturan Pemerintah tidak berisi penetapan semata-mata.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 materi

muatan peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam peraturan

Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-

undangan (Pasal 1 angka 13), dan Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-

undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang

sebagaimana mestinya (Pasal 12).

3. MATERI MUATAN SEMBILAN RPP AMANAT UNDANG-UNDANG

KEANTARIKSAAN DAN KONSEKUENSI HUKUM PEMBENTUKANNYA

DALAM SATU RPP

3.1. Cakupan Materi Muatan Sembilan RPP

a. Penginderaan Jauh

Pasal perintah mengenai tata cara penyelenggaraan kegiatan penginderaan jauh

terdapat di dalam Pasal 23 yang menyebutkan “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

Page 8: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

93

penyelenggaraan kegiatan penginderaan jauh diatur dalam Peraturan Pemerintah.” RPP

tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan Jauh telah disusun lebih

dahulu dan terpisah dari sembilan materi amanat pembentukan PP lainnya. Lingkup

pengaturan draft RPP tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan Jauh

setelah proses harmonisasi meliputi perolehan data, pengolahan data, penyimpanan dan

pendistribusian data, pemanfaatan data dan diseminasi informasi, pendanaan, dan sanksi.

b. Teknologi Sensitif

Amanat mengenai Teknologi Sensitif terdapat pada Pasal 27 ayat (3) yang

menyebutkan bahwa; “Tata cara dan mekanisme penjaminan keamanan teknologi sensitif

Keantariksaan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.” Teknologi sensitif tersebut

terdiri dari teknologi roket, satelit, dan aeronautika. Di dalam PP ini akan mengatur

mengenai penjaminan keamanan teknologi sensitif Keantariksaan sesuai amanat undang-

undang antara lain tentang:

1) Pengertian dan batasan dengan penguasaan dan pengembangan teknologi;

2) Jaminan keamanan dan keselamatan dari resiko kecelakaan;

3) Ketentuan mekanisme dan standar biaya tertentu untuk subyek hukum lain dan

pedoman tata cara/prosedur keterlibatanya;

4) Susunan list/daftar kebutuhan teknologi sensitif yang akan di impor ke Indonesia;

5) Mekanisme dan tata cara pelaksanaan pengamanan untuk kepentingan

berlangsungnya impor teknologi sensitif.

c. Komersial

Komersial Keantariksaan diperintahkan di dalam Pasal 37 ayat (2) yang

menyebutkan bahwa “Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara kegiatan komersial

Keantariksaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.” Aspek-aspek kegiatan komersial yang

perlu diatur di Indonesia antara lain peluncuran wahana antariksa, stasiun bumi (penerima

data misi dan telemetry, tracking and command (TT&C)), manufaktur satelit dan

komponennya, manufaktur perangkat stasiun bumi, dan Global Navigation Satellite

Systems (GNSS).

d. Bandar Antariksa

Pasal 50 menyebutkan mengenai perintah untuk membuat Peraturan Pemerintah

mengenai pembangunan dan pengoperasian Bandar Antariksa yang menyebutkan bahwa

“Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembangunan dan pengoperasian Bandar

Antariksa diatur dalam Peraturan Pemerintah.” Dalam pembangunan bandar antariksa

perlu dibuat pengaturan antara lain : (i) penetapan lokasi bandar antariksa; (ii) standar

keamanan dan keselamatan; (iii) keserasian dan keseimbangan dengan budaya setempat

dan kegiatan lain terkait di lokasi bandar antariksa; (iv) kelayakan ekonomis, finansial,

sosial, dan pengembangan wilayah; (v) kelayakan lingkungan; (vi) rincian lengkap

fasilitas (design bandar antariksa); (vii) penetapan zona bahaya di kawasan bandar

antariksa; dan (viii) izin mendirikan bangunan bandar antariksa sesuai ketentuan standar

bangunan dan gedung.

Page 9: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

94

Sedangkan peraturan-peraturan yang diperlukan dalam Pengoperasian Bandar

Antariksa antara lain: (i) ijin pengoperasian bandar antariksa; (ii) penetapan otoritas

bandar antariksa; (iii) jaminan keselamatan dan keamanan operasi bandar antariksa; (iv)

jaminan operasi bandar antariksa ramah lingkungan; (v) batasan tentang tanggung jawab

pemberian ganti rugi (liability) atas risiko kegagalan peluncuran dari bandar antariksa.

e. Keamanan dan Keselamatan

Perintah mengenai keamanan dan keselamatan terdapat di Pasal 57 yang

menyebutkan “Ketentuan mengenai standar dan prosedur Keamanan dan Keselamatan

Penyelenggaraan Keantariksaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.” Pengaturan terhadap

standar dan prosedur Keamanan dan Keselamatan Penyelenggaraan Keantariksaan

berdasarkan Undang-Undang Keantariksaan adalah suatu keadaan terpenuhinya

persyaratan keselamatan dalam pemanfaatan wilayah indonesia, wahana antariksa,

kawasan bandar antariksa, transportasi antariksa, navigasi keantariksaan, masyarakat, serta

fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya. Aspek-aspek pengaturannya meliputi: (i)

pemenuhan ketentuan internasional dalam penyelenggaraan keantariksaan; (ii) standar dan

prosedur keamanan dan keselamatan; (iii) manajemen keselamatan dan keamanan; (iv)

kesiapsiagaan dan penanggulangan tanggap darurat; (v) pemeliharaan lingkungan.

f. Izin Peluncuran

Peluncuran berkaitan dengan izin yang diamanatkan di dalam Pasal 69 ayat (5)

yang menyebutkan bahwa “Ketentuan mengenai kriteria dan persyaratan penangguhan,

pembekuan, pencabutan, dan perubahan izin peluncuran diatur dalam Peraturan

Pemerintah.” Pengaturan mengenai izin peluncuran antara lain:

1) Menetapkan ketentuan tentang tata cara peluncuran wahana antariksa;

2) Data dan informasi tentang wahana antariksa yang akan diluncurkan;

3) Tanggung jawab mutlak penyelenggara peluncuran atas masalah dan kerugian yang

timbul pada pihak ketiga;

4) Menetapkan batasan/ukuran, elemen dan kriteria kategori gangguan kesehatan

masyarakat yang disebabkan dari kegiatan penyelenggaraan peluncuran;

5) Mekanisme pengawasan dan kontrol terhadap wahana antariksa.

6) Perubahan izin peluncuran aspek pengaturannya meliputi:

a) Kriteria penyebab dan dampak kecelakaan: tidak serius, cukup serius dan

sangat serius;

b) Kriteria dan persyaratan penangguhan dan pembekuan izin peluncuran:

kecelakaan tidak serius, kecelakaan cukup serius dan sangat serius;

c) Kriteria pemberian izin pasca peluncuran.

g. Tanggung Jawab dan Ganti Rugi

Pasal 83 yang mengamanatkan mengenai tanggung jawab dan ganti rugi

menyebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan ganti rugi

diatur dalam Peraturan Pemerintah.” Pengaturan terhadap tanggung jawab dan ganti rugi

antara lain:

Page 10: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

95

1) Menetapkan ketentuan persyaratan bagi pelaksanaan peluncuran dengan adanya

kewajiban dan jaminan asuransi dengan nilai yang proporsional dan rasional untuk

kepentingan wahana antariksa yang diluncurkan;

2) Menetapkan pengertian, batasan dan kriteria yang termasuk dalam kategori

kecelakaan yang menyebabkan gangguan kesehatan masyaakat serta batasan atau

ukuran yang dimaksud kerugian material;

3) Menetapkan aturan mekanisme dan kontrol untuk menjamin peluncuran wahana

antariksa yang dilaksanakan tidak membawa senjata pemusnah masal atau senjata

berbahaya lainnya;

4) Menetapkan ketentuan tentang tanggung jawab bagi pelaksana peluncuran yang

tidak mengindahkan ketentuan keselamatan penerbangan;

5) Menetapkan batasan dan kriteria yang termasuk dalam kategori kecelakaan yang

menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat.

h. Peran Serta Masyarakat

Perintah mengenai Peran Serta Masyarakat diamanatkan di dalam Pasal 92 yang

menyebutkan “Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat diatur dalam

Peraturan Pemerintah.” Dalam hal peran serta masyarakat aspek pengaturannya lebih

lanjut adalah tentang tata cara masyarakat berperan serta dalam bentuk pemberian

masukan/informasi secara langsung dan tidak langsung; tata cara lembaga merespon

dalam bentuk standar operasional prosedur (SOP); peran serta masyarakat diarahkan

kepada yang berkaitan dengan peran serta publik untuk mendukung pengembangan

teknologi keantariksaan berupa opini, kebijakan, dan informasi.

i. Asuransi

Pasal 84 ayat (3) menyebutkan bahwa “Ketentuan mengenai asuransi dan ketentuan

penggantian Kerugian akibat kecelakaan Penyelenggaraan Keantariksaan oleh Instansi

Pemerintah diatur dalam Peraturan Pemerintah.” Dalam RPP ini hanya diwajibkan kepada

penyelenggara keantariksaan untuk membayar premi dalam jumlah maksimum yang

mampu untuk menutup kerugian yang timbul terhadap pihak ketiga dan kerusakan

lingkungan sesuai dengan prinsip tanggung jawab mutlak. Sedangkan terhadap

pembayaran bentuk premi asuransi lainnya, diserahkan sepenuhnya kepada pelaksana

kegiatan apakah akan mengasuransikan atau tidak.

j. Sanksi Administratif

Pasal 94 ayat (3) menyebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif diatur dalam Peraturan

Pemerintah.” Penerapan sanksi administrasi dapat dilakukan apabila pelaku/penyelenggara

keantariksaan melanggar ketentuan dan atau persyaratan yang telah dikeluarkan pihak

yang berwenang.

Page 11: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

96

3.2. Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Hambatan-

Hambatannya

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, secara garis besar telah mengatur

pembentukan peraturan perundang-undangan yang mencakup lima tahapan berupa: (i)

perencanaan, (ii) penyusunan, (iii) pembahasan, (iv) pengesahan atau penetapan, dan (v)

pengundangan. Kemudian Guru Besar Ilmu Perundang-undangan, Maria Farida, juga

mempunyai versi lain dalam proses pembentukan peraturan Perundang-undangan yang

membagi kedalam 3 proses pembentukan, yaitu: (i) Proses Penyiapan (perancangan dan

penyusunan di lingkup Pemerintah dan DPR), (ii) Proses Mendapatkan Persetujuan

(pembahasan di DPR), dan (iii) Proses Pengesahan dan Pengundangan. Proses atau

tahapan tersebut diatas secara keseluruhan berlaku terhadap pembentukan Undang-

Undang. Sedangkan untuk proses pembentukan peraturan Pemerintah dan Peraturan

Presiden tidak memerlukan tahapan ‘pembahasan’ bersama DPR dan juga tidak

diwajibkan untuk membuat dokumen ‘Naskah Akademik’.

a. Proses Pembentukan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden

Perencanaan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) ataupun

Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) yang dilakukan dalam suatu program

Penyusunan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, memuat daftar judul dan

pokok materi muatan yang akan dituangkan kedalam RPP atau RPerpres. Perencanaan

penyusunan ini dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan sesuai dengan

bidang tugasnya.

Dalam proses penyusunan RPP atau RPerpres ini, Pemrakarsa perlu membentuk

Panitia Antar Kementerian atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian. Kemudian

selanjutnya dilakukan Pengharmonisasian, Pembulatan, dan pemantapan Konsepsi

Rancangan Peraturan Pemerintah ataupun Peraturan Presiden yang dikoordinasikan oleh

menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Ketentuan lebih

lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antar kementerian dan/atau antar non-

kementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan

Pemerintah dan Peraturan Presiden di atur dalam Peraturan Presiden.

Setelah melakukan koordinasi dan konsultasi guna menyempurnakan RPP dan

RPerpres, selanjutnya akan dituangkan ke dalam kertas kepresidenan dan diajukan kepada

presiden untuk ditetapkan. Penetapan suatu PP ataupun Perpres ini dilakukan dengan

penandatanganan oleh Presiden dan seterusnya dilakukan pengundangan oleh Menteri

Negara Sekretaris Negara.

Berdasarkan penjelasan diatas terkait dengan pembentukan RPP dan RPerpres, Gambar

3-1 gambaran proses dalam Penyusunan, Penetapan dan Pengundangan RPP dan RPerpres

tersebut:

Page 12: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

97

Gambar 3-1 Alur Penyusunan, Penetapan dan Pengundangan RPP dan Rperpres

Sumber: Kementerian Hukum dan HAM, 2014

b. Hambatan ataupun Kendala dalam Pembentukan Peraturan Perundangan-

undangan

Dalam melakukan pembentukan peraturan perundangan-undangan terkadang

Pemrakarsa akan menghadapi beragam hambatan dan kendala dalam pembentukannya.

Hambatan atau kendala yang sering timbul dalam proses pembentukan peraturan

Perundang-undangan tersebut sering terjadi pada proses tahap penyusunan dan

pembahasan. Berikut penjelasannya dari bebrapa tahapannya.

1) Tahapan Pembuatan Naskah Akademik (NA)

Hambatan dalam pembuatan naskah akademik adalah terkait dengan banyaknya

keperluan alokasi waktu dan daya upaya penyelesaiannya, karena pembuatan NA

tersebut memerlukan suatu proses penelitian hukum dan penelitian lainnya secara

cermat, komprehensif, dan sistematis. Hal ini bertujuan supaya produk hukum yang

dihasilkan sesuai dengan sistem hukum nasional dan kehidupan masyarakat.

2) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan

Hambatan dan Kendala dalam pembuatan Draft Rancangan Peraturan Perundang-

undangan adalah masih terbatas sumber daya manusia yang memiliki spesialisasi

untuk menguasai bidang hukum Perancang Peraturan Perundang-undangan. Sangat

sedikit dari perancang yang memiliki pemahaman yang baik atas teori, metodologi,

dan teknik perancangan peraturan perundang-undangan yang dapat secara jelas

menerjemahkan kebijakan-kebijakan pemerintah menjadi peraturan perundang-

undangan, sehingga dapat dilaksanakan secara efektif.

3) Harmonisasi

Harmonisasi ini dilakukan adalah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih

regulasi kewenangan antar Lembaga Pemerintah yang ada. Adapun beberapa

hambatan atau kendala yang dihadapi dalam proses harmonisasi ini adalah sebagai

berikut:

a) Masih adanya semangat egoisme sektoral dari masing-masing instansi terkait

yang hanya mengutamakan kepentingan masing-masing tanpa memahami

bahwasanya peraturan Perundang-undangan tersebut merupakan suatu sistem.

b) Wakil-wakil yang diutus oleh instansi terkait sering berganti-ganti dan tidak

berwenang untuk mengambil keputusan sehingga pendapat yang diajukan tidak

Page 13: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

98

konsisten, tergantung kepada individu yang ditugasi mewakili, sehingga

menghambat pembahasan.

c) Rancangan peraturan Perundang-undangan yang akan diharmoniskan sering

baru dibagikan pada saat rapat atau baru dipelajari pada saat rapat sehingga

pendapat yang diajukan bersifat spontan dan belum tentu mewakili pendapat

instansi yang diwakili.

d) Pembentukannya dilakukan oleh Lembaga yang berbeda dan sering dalam

kurun waktu yang berbeda

e) Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan Perundang-

undangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin hukum

f) Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan

Perundang-undangan masih terbatas.

g) Belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang

mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan Perundang-

undangan.

3.3. Konsekuensi Hukum yang dapat Timbul Pasca Pengundangan dan

Pemberlakuan suatu Perundang-undangan

Suatu peraturan Perundang-undangan pada dasarnya dibentuk untuk dapat

mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum terhadap suatu kepentingan tertentu yang

diatur. Oleh karenanya dalam proses pembentukannya tingkat upaya harmonisasi antar

instansi terkait atau stakeholders terkait harus dapat menghasilkan kesepakatan yang

optimum, sehingga rumusan norma yang dihasilkan pada akhirnya dapat menjadi aturan

dan pedoman yang baik, aspiratif dan dapat mendukung kelangsungan subyek maupun

obyek pengaturan dan mampu mendorong ketertiban dan kepastian hukum sebagaimana

yang diinginkan oleh peraturan perundang-undangan tersebut. Atau dengan kata lain

adanya kejelasan hak dan kewajiban dari setiap subyek hukum dan konsekuensi hukum

yang jelas pula yang akan diberikan oleh aturan tersebut bila ada pelanggaran dan atau

pengingkaran/penyimpangan (Al Rasyid, Harun, 2001).

Pada dasarnya suatu peraturan perundang-undangan akan berfungsi sebagai kontrol

sosial dalam masyarakat itu sendiri, dan oleh karenanya oleh sistem hukum, subyek

hukum dalam hal ini siapapun yang merasa terugikan “kepentingannya”, dapat melakukan

upaya pengujian materiil maupun formil terhadap peraturan Perundang-undangan tersebut,

dalam hal ini oleh sistem dan mekanisme hukum ketatanegaraan Indonesia peraturan

Perundang-undangan yang dimaksud adalah Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah

(Muchsan, 2003).

Secara singkat pengertian Hak Menguji adalah Hak untuk menilai apakah suatu

peraturan perundangan itu telah sesuai dengan keabsahan proses pembentukannya dan

sesuai dengan dasar serta tujuan pembentukannya. Dari beberapa sumber dapat diketahui

pengertiannya sebagai berikut:

1) Hak Menguji Secara Formil (Formele Toetsingrecht)

Hak Menguji Secara Formil adalah wewenang untuk menilai apakah suatu Undang-

Undang atau Peraturan Perundang-undangan lainnya, cara pembentukan dan cara

pengundanganya sudah sebagaimana mestinya. Pengujian formal biasanya terkait

dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi

yang membuatnya. Contoh: Dalam pembentukan suatu Perda (Peraturan Daerah)

Page 14: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

99

salah satu pihak, baik DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), Bupati atau

Gubernur tidak dilibatkan maka secara formil telah menyalahi aturan. Karena Perda

merupakan produk hukum bentukan DPRD+Bupati/Gubernur.

2) Hak Menguji Secara Materiil (Materiele Toetsingrecht)

Hak Menguji Secara Materiil adalah wewenang untuk menilai apakah suatu Undang-

Undang atau Peraturan Perundang-undangan lainnya isinya bertentangan atau tidak

dengan Undang-Undang atau Peraturan Perundangan yang lebih tinggi

tingkatannya/dasar hukumnya. Penerapan Hak Menguji Secara Materiil ini ialah pada

Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

a) MA memiliki Hak Menguji secara Materiil berupa Judicial Review, yaitu menguji

peraturan dibawah Undang-Undang agar tidak bertentangan dengan Undang-

Undang.

b) MK memiliki Hak Menguji secara Materiil berupa Constitutional Review, yaitu

menguji setiap peraturan perundangan dibawah Undang-Undang Dasar agar tidak

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Hak Uji Materiil dapat

digolongkan menjadi dua macam:

i. Hak Uji Materiil atas Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar,

menjadi wewenang MK (vide Pasal 24-C ayat (1) Undang-undang Dasar 1945

Amandemen ke-3 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi);

ii. Hak Uji Materiil atas peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-undang

(seperti: PP, Keppres, Perda, dsb.) terhadap Undang-undang atau peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi, menjadi wewenang MA (vide Pasal

24-A ayat (1) juncto Pasal 31 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14

Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung juncto Peraturan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1993 sebagaimana

telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 1999, dan terakhir dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2004).

Gambaran umum untuk pelaksanaan atau melakukan pengujian materiil adalah

sebagai berikut:

a) Kelompok masyarakat atau perorangan. Termohon hak uji materiil dalam hal ini

adalah Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan peraturan perundang-

undangan yang dimohonkan hak uji Materiil. Sementara itu, objek hak uji materiil

adalah peraturan perundang-undangan yang mengikat umum (bukan ditujukan

atau bersifat individual)

b) Prosedur Permohonan Hak Uji Materiil

i. Untuk permohonan hak uji Materiil yang ditujukan kepada MK, diajukan

langsung ke MK.

ii. Untuk permohonan hak uji Materiil yang ditujukan kepada MA:

Dapat diajukan langsung kepada Mahkamah Agung;

Dapat diajukan melalui Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha

Negara diwilayah hukum kedudukan Pemohon, untuk selanjutnya akan

diteruskan kepada Mahkamah Agung;

iii. Jika terkait dengan kasus tata usaha negara, maka melalui gugatan tata usaha

negara biasa.

Page 15: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

100

c) Alasan Permohonan Hak Uji Materiil diajukan apabila terdapat materi muatan

ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan dianggap bertentangan

dengan peraturan perundang-undang yang lebih tinggi, serta pembentukannya

tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

d) Jika permohonan hak uji materil dikabulkan, maka peraturan perundang-

undangan yang bersangkutan dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan

mengikat untuk umum, serta diperintahkan kepada instansi yang bersangkutan

untuk segera mencabutnya.Pemberitahuan isi putusan serta salinan putusan MA

dikirimkan dengan surat tercatat kepada para pihak, atau dalam hal permohonan

diajukan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara, maka

penyerahan atau pengiriman salinan putusan dilakukan melalui Pengadilan Negeri

atau Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan.Dalam jangka waktu 90

(sembilan puluh) hari setelah putusan MA dikirimkan kepada Badan/Pejabat Tata

Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan Perundang-undangan tersebut

ternyata tidak dilaksanakan, maka peraturan Perundang-undangan yang

bersangkutan demi hukum tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Terhadap

putusan hak uji materiil tidak dapat diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali

(PK).

4. PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN

SEMBILAN RPP MENJADI BEBERAPA RPP

4.1 Pertimbangan Pengelompokan Sembilan RPP menjadi Beberapa RPP

Berdasarkan teori hierarki norma (stufenbau theory) oleh Hans Kelsen yang

menyatakan norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dalam suatu hierarki (tata

susunan) sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri yang disebut sebagai

Norma Dasar (Grundnorm). Teori ini dikembangkan oleh Hans Nawiasky dengan

berpendapat bahwa selain berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga

berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri

atas empat kelompok besar, yang dalam implementasinya di Indonesia adalah khususnya

kelompok IV yaitu Kelompok Peraturan Pelaksanaan yang terdiri dari PP, Perpres dan

Peraturan Daerah.

Dalam konteks hirarkhi, maka terdapat dua Undang-Undang yang menjadi acuan

dalam penyusunan RPP tentang keantariksaan yaitu UU Nomor 16 Tahun 2002 Tentang

pengesahan Traktat Antariksa 1967 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013. Karena

kedua Undang-undang ini adalah Undang-Undang yang berlaku saat ini yang mengatur

tentang keantariksaan dan memiliki derajat/level yang sama. Sedangkan dalam pengertian

kelompok aturan pelaksanaan, sesuai arahan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2013 terdapat 10 arahan peraturan pelaksanaan yang dibuat dalam bentuk RPP.

Sungguhpun dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, belum ada aturan yang menegaskan

bahwa semua peraturan pelaksanaan RPP harus dibuat dalam satu bentuk aturan masing-

masing sesuai mandat atau digabungkan dalam satu atau beberapa RPP. Dalam prakteknya

di Indonesia pada umumnya peraturan pelaksanaan dari suatu Undang-undang dibuat

dalam berbagai bentuk dan tingkatan sesuai dengan mandat dalam masing-masing

pasalnya, sedangkan yang menggabungkan dalam satu PP dapat diberikan contoh sebagai

berikut:

Page 16: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

101

a. Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2009

Tentang Meteorologi, Klimatologi, Dan Geofisika yang disusun dari 11 PP amanat

UU tersebut dalam satu peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 46 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengamatan Dan

Pengelolaan Data Meteorologi, Klimatologi, Dan Geofisika.

b. Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Informasi Geospasial yang disusun dalam satu peraturan pelaksanaan yaitu PP

Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011.

Di samping itu, terkait dengan keantariksaan, mengingat sifat internasionalnya,

maka umumnya dilakukan peraturan perundang-undangan pelaksanaan dibuat dengan

melakukan analogi dalam rezim hukum laut atau hukum udara. Dilihat dari kedua rezim

ini terdapat beberapa bentuk peraturan pelaksanaan, bahkan juga terdapat peraturan

pelaksanaan yang bersifat setara yaitu undang-undang mengingat sifat dan materi dari

peraturan tersebut selaras dengan selaras dengan analogi Indonesia meratifikasi perjanjian

internasional dimana dalam Pasal 10 Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2000 Tentang

Perjanjian Internasional dinyatakan bahwa Pengesahan perjanjian internasional dilakukan

dengan undang-undang apabila berkenaan dengan: (i) masalah politik, perdamaian,

pertahanan, dan keamanan negara; (ii) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah

negara Republik Indonesia; (iii) kedaulatan atau hak berdaulat negara; (iv) hak asasi

manusia dan lingkungan hidup; (v) pembentukan kaidah hukum baru; (vi) pinjaman

dan/atau hibah luar negeri. Hal ini terbukti di bidang hukum laut yang diatur dalam

beberapa Undang-Undang terpisah dan peraturan pelaksanaannya juga beragam. Hal ini

dapat dilihat dari peraturan kedua rezim tersebut:

a. Di bidang hukum laut, diatur dalam beberapa Undang-Undang yang terpisah

diantaranya:

1) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan

United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan

Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut).

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran.

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan

Indonesia.

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan;

5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007

Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.

Sedangkan beberapa contoh peraturan pelaksanaannya juga beragam yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, mencantumkan

dua aturan pelaksanaan berbentuk PP yaitu (i) Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (ii)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Air

Tanah.

2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 Tentang

Kenavigasian, merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2008 tentang Pelayaran.

3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2008 Tentang

Penyelenggaraan Penelitian Dan Pengembangan Perikanan, peraturan pelaksanaan

dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Page 17: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

102

b. Di bidang hukum udara, dengan hanya mengacu pada Undang-Undang Nomor 1

tahun 2009 tentang penerbangan, maka dari 11 mandat yang ditindaklanjuti dengan

PP yang termuat dalam Pasal 9, Pasal 12, Pasal 69, pasal 94-95, Pasal 91, pasal 216,

Pasal 244 ayat (3) butir a, pasal 260, Pasal 365, Pasal 369, dan Pasal 374, dengan

amanat 2 tahun selesai semenjak disahkan maka sampai saat ini baru 2 PP yang

disahkan adalah:

1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2012 Tentang

Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi

Penerbangan Indonesia (digabung dari amanat Undang-Undang lainnya).

2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2012 Tentang

Pembangunan Dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara, amanat Pasal

216 dan Pasal 260 ayat (4).

c. Di bidang Penataan Ruang, dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 tahun

2007 tentang Penataan Ruang, maka dari 14 amanat yang ditindaklanjuti dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan

Ruang adalah 10 Pasal Amanat yaitu Pasal 13 ayat (4), Pasal 16 ayat (4), Pasal 37

ayat (8), Pasal 38 ayat (6), Pasal 40, Pasal 41 ayat (3), Pasal 47 ayat (2), Pasal 48

ayat (5), Pasal 48 ayat (6), dan Pasal 64. Hingga saat ini, sudah terbentuk 4 (empat)

Peraturan Pemerintah.

d. Di bidang Informasi Geospasial, dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial, maka dari 7 amanat yang ditindak lanjuti

dengan Peraturan Pemerintah yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang

Informasi Geospasial adalah 7 Pasal yaitu Pasal 17 ayat (5), Pasal 28 ayat (3), Pasal

31 ayat (3), Pasal 39 ayat (3), Pasal 53 ayat (3), Pasal 57 ayat (5), dan Pasal 63 ayat

(3).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari perspektif hirarkhi perundang-

undangan dan tingkatan pengaturan tidak ada standar baku yang digunakan di Indonesia.

Semua penyusunan RPP lebih dititik beratkan kepada kebutuhan substansi pengaturan dan

materi yang akan diatur.

Selanjutnya berdasarkan teori sistem hukum (legal system theory) dilakukan dengan

menjabarkan struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan

budaya hukum (legal culture) yang menentukan efektif dan berhasil tidaknya penegakan

hukum. (Trijono, Rachmat, 2014). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum,

substansi hukum meliputi perangkat Perundang-undangan dan budaya hukum merupakan

hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat.Tentang struktur

hukum Friedman menjelaskan:

“Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan ukuran

pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang berwenang mereka periksa), dan tata

cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana

badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Presiden, prosedur

ada yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi struktur (legal struktur) terdiri dari

lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada”.

Sehubungan dengan struktur menurut Friedman, sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr.

Maria Farida Indriati, maka dalam konteks penglompokan substansi pengaturan akan

terkait dengan 2 hal yaitu (i) bagaimana peraturan Perundang-undangan diselenggarakan

Page 18: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

103

atau diorganisasikan dan (ii) bagaimana peraturan Perundang-undangan yang memuat

lintas sektor diselesaikan (Indrati S, Maria Farida, 2010).

Dalam konteks yang pertama, UU Nomor 21 Tahun 2013, harus dilaksanakan

dengan mengintegrasikan semua potensi nasional. Hal ini mengingat banyaknya institusi

yang sudah ada, akan ada baik di tingkat nasional maupun internasional yang harus

diberdayakan potensinya untuk mencapai tujuan undang-undangnya. Di samping itu

masing-masing dari 7 jenis kegiatan keantariksaan mempunyai berbagai jenis lembaga

yang terlibat dalam kegiatannya baik pemerintah, perguruan tinggi maupun swasta

nasional dan internasional. Kondisi ini perlu ketelitian dan kecermatan dalam

pengorganisasian agar benar-benar terintegrasi dan terpadu untuk mencapai tujuan yang

sama.

Dalam konteks yang kedua bagaimana masalah lintas sektor diselesaikan, adalah

kelanjutan dari masalah yang pertama, yaitu upaya mengintegrasikan konsepsi pengaturan

dan kelembagaan yang beragam akan memerlukan waktu yang tidak sedikit dan usaha

yang keras, karena kelemahan dalam sistem nasional Indonesia adalah koordinasi,

sedangan terkait masalah yang harus dikoordinasikan dalam kegiatan keantariksaan adalah

materi muatan yang tidak sedikit, baik dalam jumlah maupun keterlibatan lembaganya.

Terkait dengan substansi hukum menurut Friedman, sebagaimana dikutip oleh Prof.

Dr. Maria Farida Indriati, adalah (Indrati S, Maria Farida, 2010):

“Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan

substansinya adalah cara-cara perilaku nyata manusia, aturan, norma, dan pola yang

berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan Perundang-

undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman

bagi aparat penegak hukum, serta pengetahuan perilaku yang ada dalam sebuah sistem

hukum”.

Sehubungan dengan substansi ini, sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2013

terdapat 7 jenis kegiatan yang harus diatur dalam mengimplementasikannya. Dari ketujuh

jenis kegiatan keantariksaan tersebut masih sedikit jumlah negara yang melakukan

kegiatan tersebut secara keseluruhan. Misalnya, peluncuran baru terdapat 11 negara,

pengoperasian persatelitan kurang lebih 40-an negara, sedangkan sains dan penginderaan

jauh terdapat banyak pihak baik organisasi internasional, lembaga pemerintah, institusi

swasta, perguruan tinggi dan perseorangan. Demikian juga dengan bandar antariksa masih

terbatas baik dalam jumlah negara maupun kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing

bandar antariksa yang dibangun.

Melihat posisi tersebut, di Indonesia sendiri, kegiatan peluncuran masih terbatas

untuk melakukan uji coba, sains masih dalam wujud memanfaatkan peralatan asing untuk

melakukan penelitian. Hal yang sudah dianggap mumpuni baru kegiatan penginderaan

jauh, yang sudah memiliki stasiun bumi yang cukup lengkap, sedangkan satelitnya masih

menggunakan satelit asing. Kondisi ini mencerminkan bahwa pemahaman menyeluruh

untuk kegiatan keantariksaan di Indonesia belum bisa dianggap memadai, sedangkan

pengetahuan yang memadai baik saat ini maupun mendatang serta praktek pelaksanaannya

sangat diperlukan dalam merumuskan suatu rancangan peraturan Perundang-undangan

yang dapat berlaku secara efektif.

Selanjutnya dalam seminar nasional Dua Tahun Undang-Undang Keantariksaan

yang diselenggarakan di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada tanggal

12 November 2015 lalu, Bapak B. Hestu Cipto Handoyo, SH, M.Hum, dosen Hukum Tata

Negara dan staf ahli DPD RI, dalam presentasinya yang berjudul Peraturan Perundang-

Page 19: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

104

undangan Implementasi UU Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan yang

Diprioritaskan untuk Disusun, menegaskan bahwa UU No. 21 Tahun 2013 Tentang

Keantariksaan merupakan UU yang sarat unsur-unsur ilmu pengetahuan dan teknologi

tinggi, maka tentunya berbagai hal yang bersifat teknis akademik dan khas ilmu

pengetahuan menjadi warna seluruh materi muatan UU tentang Keantariksaan ini.

Hal ini sejalan dengan pandangan pakar hukum ilmu peraturan Perundang-

undangan dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Bapak Dr. Sukardi,SH, MH, yang

menyarankan agar pihak teknis harus dilibatkan dalam proses penyusunan RPP ini karena

hanya mereka yang mengetahui aspek-aspek kegiatan ini secara rinci. Namun, selama ini

satuan kerja teknis juga sedikit kesulitan dalam memberikan masukan dikarenakan tingkat

teknologi dan kegiatan yang selama ini mereka lakukan masih dalam skala yang terbatas.

Oleh karena itu, diperlukan waktu yang cukup banyak untuk menetapkan sampai sejauh

mana kegiatan ini akan diatur karena RPP ini lebih banyak mengatur kegiatan yang belum

ada atau nyata hingga saat ini, dan dalam penentuannya diperlukan kehati-hatian.

Selanjutnya, mengenai budaya hukum, sebagaimana dikutip dari Prof. Dr. Maria

Farida Indrati S, Friedman berpendapat (Indrati S, Maria Farida, 2010):

“Komponen ketiga sistem hukum, budaya hukum yaitu cara

orang/pemerintah/masyarakat berperilaku terhadap hukum, sistem hukum yang

digunakan, iklim pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana

hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan”.

Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia

(termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum.

Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan

dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum

oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum

tidak akan berjalan secara efektif.

Dalam konteks pembentukan peraturan Perundang-undangan, budaya hukum di

Indonesia masih mengedepankan ego-sektoral bukan mengedepankan tujuan pembentukan

hukum yaitu hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak

lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu. Untuk menjamin

tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat kearah yang lebih baik, maka

bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan

juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut ke dalam praktek hukum,

atau dengan kata lain, jaminan akan adanya penegakan hukum (law enforcement) yang

baik. Jadi bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi Perundang-undangannya

belaka, melainkan aktifitas birokrasi pelaksananya.

Dengan kondisi yang disebutkan di atas, baik dari struktur, substansi maupun

budaya hukum, jika Indonesia harus menggabung sembilan PP menjadi satu PP akan

mengalami kendala yang tidak sedikit mulai dari perumusan, proses pembahasan,

negosiasi dengan pihak terkait, serta perumusan perannya termasuk konsepsi kelembagaan

dalam penyelenggaraan keantariksaan agar tercapai tujuan penyelenggaraan keantariksaan

sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No 21 Tahun 2013.

4.2 Alternatif Penyusunan

Pada umumnya hukum keantariksaan yang dimiliki oleh Negara-negara yang ada

sampai saat ini dapat dikelompokkan kedalam 3 bagian besar yaitu Negara yang memiliki

Page 20: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

105

hukum keantariksaan (i) berbentuk umum (a general space law), (ii) peraturan

perundangan yang lengkap dengan mendasarkan pada beberapa ketentuan aturan terpisah

(comprehensive legislation on a basis of several separate legislative acts) (iii) yang

memiliki ketentuan tertentu yang mengatur hal-hal yang khusus (selective provisions for

special areas) (Schmidt-Tedd, Benrhard, 2009).

Dengan mendasarkan pada yang praktik negara-negara tersebut, dan sesuai dengan

sistem ketatanegaraan Indonesia serta pembentukan peraturan Perundang-undangan di

Indonesia, maka Indonesia menganut kelompok yang kedua yaitu peraturan perundangan

yang lengkap dengan mendasarkan pada beberapa ketentuan aturan terpisah

(comprehensive legislation on a basis of several separate legislative acts). Hal ini terlihat

dari pengesahan UU No. 21 tahun 2013 yang dipandang sebagai pengaturan yang lengkap

dan bersifat umum, oleh karena itu masih perlu dijabarkan lebih lanjut dalam beberapa

peraturan yang terpisah.

Berdasarkan uraian terdahulu, analisis penerapan teori yang digunakan untuk

implementasi UU nomor 21 Tahun 2013, serta kondisi negara dan sistem ketatanegaraan

Indonesia, maka terdapat dua alternatif cara yang ditempuh dalam penyusunan peraturan

implementasi UU No 21 Tahun 2013 yaitu (i) Pengelompokan berdasarkan Keterkaitan

Substansi Pengaturan (ii) Pengelompokan berdasarkan keterlibatan Indonesia dan

keperluan aturannya. Uraian berikut akan dijelaskan masing-masing kelompok tersebut.

a. Pengelompokan berdasarkan Keterkaitan Substansi Pengaturan

Materi muatan atau substansi merupakan inti dari suatu peraturan Perundang-

undangan, Demikian juga dengan peraturan implementasi UU No 21 Tahun 2013.

Sebagaimana amanat dari UU tersebut ada 10 PP yang harus dibentuk untuk mengatur 7

jenis kegiatan keantariksaan yang dinyatakan sebagai penyelenggaraan kegiatan

keantariksaan. Dengan mendasarkan kedua amanat ini, maka kemungkinan pertama

peraturan implementasi UU Nomor 21 Tahun 2013 adalah 7 PP dengan mendasarkan pada

jenis kegiatan yang diaturnya. Namun demikian 7 PP ini masih bisa disederhanakan sesuai

dengan pandangan pakar dengan mendasarkan pada keterkaitan substansi sebagaimana

termuat dalam Lampiran kajian ini. Dari lampiran tersebut terlihat perlunya diatur dalam

4 PP implementasi yaitu:

1) Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Penyelenggaraan Keantariksaan,

merupakan implementasi dari: Pasal 27 ayat (3), Pasal 37 ayat (2), Pasal 57, Pasal

92, Pasal 94 ayat (3).

2) Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pembangunan dan Pengoperasian Bandar

Antariksa, merupakan implementasi dari: Pasal 50, Pasal 69 ayat (5).

3) Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Tanggung Jawab, Ganti Rugi, dan

Asuransi Kegiatan Keantariksaan, merupakan implementasi dari: Pasal 80 jo Pasal

84 ayat (3), dan Pasal 84.

4) Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Kegiatan Komersial Keantariksaan,

merupakan implementasi dari Pasal 37 ayat (2) jo Pasal 7 ayat (1) huruf e.

b. Pengelompokan berdasarkan Keterlibatan Indonesia dan Keperluan

Aturannya

Page 21: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

106

Sebagaimana diketahui teknologi keantariksaan adalah teknologi tinggi, risiko

tinggi dan biaya yang tinggi. Oleh karena itu, pengembangan dan penguasaan serta

penerapan teknologi tersebut selalu dicapai dalam jangka waktu yang lama. Hal ini

tercermin dari setiap proses tahapan kegiatan pengembangan dan penguasaan teknologi

keantariksaan. Misalnya untuk teknologi roket dicapai dalam 10-20 tahun, membangun

bandar antariksa 5-10 tahun, membangun teknologi satelit 1-5 tahun, termasuk proses

administrasi yang ditempuh, mulai dari pendaftaran, sertifikasi dan lisensi untuk jenis

teknologi dan hak kekayaan intelektualnya, dan koordinasi (Coordination), publikasi

lanjutan (Advance Publication) dan notifikasi (Notification), untuk spektrum frekuensi dan

orbit satelit, masing-masing upaya tersebut memerlukan proses yang cukup lama, bahkan

sekarang untuk orbit satelit dapat dimungkinkan sampai waktu 7 tahun.

Berdasarkan argumentasi tersebut, maka dalam pengelompokkan aturan

pelaksanaan UU Nomor 21 tahun 2013, disamping memfokuskan jenis kegiatan

sebagaimana alternatif pertama di atas, dan sekaligus mempertimbangkan jangka waktu

dalam pengembangan untuk masing-masing tujuan yang dicapai tersebut. Berdasarkan

pandangan maka peraturan pelaksanaan yang hendak disusun adalah sebagai berikut:

a) Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Penguasaan dan Penjalaran Serta

Perlindungan Teknologi keantariksaan, merupakan implementasi dari Pasal 37

ayat (2).

b) Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pembangunan dan Pengoperasian

Bandar Antariksa, merupakan implementasi dari: Pasal 50, Pasal 69 ayat (5).

c) Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Kegiatan Komersial Keantariksaan,

merupakan implementasi dari Pasal 37 ayat (2) jo Pasal 7 ayat (1) huruf e.

Dalam kaitan pilihan untuk alternatif satu dan alternatif dua, secara rasional dan

proporsional dari pengelompokan norma dapat dilakukan baik untuk alternatif satu

maupun alternatif dua.

4.3 Konsekuensi Hukum

Konsekuensi hukum dalam penyusunan RPP implementasi UU Nomor 21 tahun

2013, dapat dilihat dari dua aspek negatif dan aspek positif yaitu (i) dalam proses

penyusunan dan (ii) proses setelah pengesahan. Beberapa konsekuensi hukum tersebut

adalah:

a. Aspek Negatif

1) Dalam Proses Penyusunan

Sebagaimana disebutkan dalam uraian bab terdahulu, proses penyusunan RPP

menempuh beberapa tahap mulai dari penyiapan draft awal, pembahasan,

harmonisasi, penandatangan atau pengesahan. Setiap tahap tersebut memiliki

konsekuensi masing-masing.

a) Proses penyusunan draft awal akan mengalami kesulitan karena harus

menyusun rancangan yang dalam kenyataan terdapat beberapa masalah teknis

yang belum dipahami secara rinci baik dari kalangan teknisnya, praktisi serta

perancangan.

b) Proses pembahasan, mengingat bahwa pada umumnya satu RPP lazimnya

terdiri dari antara 40-60 Pasal maka sekiranya digabung dari sembilan amanat

Page 22: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

107

RPP, kemunginan akan menjadi 350-an Pasal, dan pembahasan dalam jumlah

pasal yang demikian akan memerlukan waktu yang tidak sedikit.

c) Proses harmonisasi dan pembulatan, pada umumnya akan memakan waktu

yang lebih banyak karena akan membahas jumlah pasal dan konsepsi yang

dibahas juga menjadi banyak. Adanya pertentangan yang signifikan terhadap

isu tertentu akan memperlambat proses ini.

d) Proses pengesahan, setiap proses pengesahan sesuai dengan sistem yang

sekarang berlaku harus mendapatkan paraf dari instansi terkait, dalam proses

ini juga akan menimbulkan hambatan yang tidak mudah.

2) Dalam Proses Setelah Pengesahan

Bahwa sesuai dengan sistem ketatanegaraan RI, setiap peraturan yang disahkan,

apabila terdapat pihak-pihak yang terkait, memandang bahwa materi tersebut

bertentangan dengan Undang-undang di atasnya dan yang setara, maka

dimungkinkan untuk dilakukannya yudisial reviu. Konsekuensi dari yudisial reviu

adalah apabila ada satu pasal yang dicabut karena pengujian tersebut, maka aturan

secara keseluruhan dinyatakan tidak berlaku. Hal ini menyebabkan semua aturan

yang disatukan tersebut menjadi tidak berlaku.

b. Aspek Positif

1) Aspek positif proses penyusunan, bahwa dengan digabung menjadi satu akan

mempermudah dalam membangun kepastian hukum penyelenggaraan keantariksaan

di Indonesia, serta menghemat biaya walaupun dari sisi waktu belum bisa dikatakan

hemat.

2) Aspek positif setelah pengesahan, mengupayakan dan mewujudkan sembilan

Peraturan Pemerintah menjadi satu aturan memerlukan usaha yang luar biasa, baik

dari sisi waktu maupun dari sisi penanganan prosesnya. Namun setelah selesai

tidak ada RPP lagi yang dibuat.

Di samping hal tersebut, perlu diketahui bahwa sesuai dengan pandangan Prof. Dr.

A. Hamid Attamimi, SH di Bab 2, dinyatakan bahwa “untuk menjalankan, menjabarkan,

atau merinci ketentuan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meski

ketentuan Undang-Undang tersebut tidak memintanya secara tegas-tegas”. Berlandaskan

pada pandangan ini, sungguhpun dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang

Keantariksaan mengamanatkan hanya sepuluh RPP, namun apabila terdapat materi pasal

yang perlu ditindaklanjuti dengan aturan dibawahnya tetap dimungkinkan untuk membuat

aturan tersebut. Dengan demikian, arahan sembilan RPP tidak berarti mutlak.

5. PENUTUP

Dengan mendasarkan pada analisis tersebut di atas, pada akhirnya dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

a. Secara ilmu peraturan perundang-undangan dan sistem ketatanegaraan yang berlaku

di Indonesia, tidak ada ketentuan yang mewajibkan bahwa amanat dalam satu

Undang-Undang ditindaklanjuti dalam satu PP.

Page 23: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

108

b. Cakupan dan isi masing–masing materi muatan sembilan amanat PP UU

Keantariksaan, bersifat kompleks, beragam dan luas serta masing-masing kegiatan

keantariksaan tersebut memiliki kekhususan sendiri-sendiri. Oleh karenanya,

proses penggabungan sulit dilakukan.

c. Apabila kesembilan RPP tetap digabung, salah satu kendala yang dihadapi adalah

proses pengharmonisasian dengan Kementerian/Lembaga/stakeholders. Karena

semakin luas ruang lingkupnya, semakin banyak pula sektor yang terlibat di

dalamnya (ego-sektoral).

d. Peraturan perundang-undangan yang memiliki sifat dan karakteristik yang terlalu

luas tidak dapat memberikan kepastian hukum, sehingga akan rawan untuk digugat

oleh masyarakat ataupun pihak terkait lain (di uji materiil). Akibatnya tujuan

kepastian hukum tidak terpenuhi.

e. Dengan mengacu pada teori–teori hukum serta memperhatikan pandangan pakar

dan memperhatikan kelaziman yang berlangsung dalam proses pembentukan suatu

peraturan perundang-undangan, sembilan Perintah Pembentukan Peraturan

Pemerintah (PP) yang diamanatkan Undang-Undang Keantariksaan, dapat saja

dilakukan penggabungan upaya pengaturannya, tetapi tidak dalam satu PP,

melainkan menjadi beberapa PP.

f. Alternatif penggabungan dapat dilakukan berdasarkan kedekatan substansi dan

berdasarkan kebutuhan Indonesia.

6. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih ini kami sampaikan pada para peneliti Poklit 2, khususnya

kepada Bapak Anjar Supriadhie, SH, MH, Dr. Mardianis, SH, MH, dan Bapak Soegiyono,

SH, atas bimbingan dan masukannya, serta kepada Kepala Pusat Kajian Kebijakan

Penerbangan dan Antariksa yang telah memberi fasilitas dalam pelaksanaan kajian ini dan

mengijinkannya untuk dipublikasikan.

DAFTAR ACUAN

Al Rasyid, Harun, 2001, Negara Hukum Indonesia, Rajawali, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safaat, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly, 2005, Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan

Hukum Nasional, Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta.

Attamimi, A. Hamid S, 1992, Perbedaan antara Peraturan Perundang-undangan dan

Peraturan Kebijakan, Pidato Dies Natalis PTIK ke-46, 17 Juni 1992, Jakarta.

Attamimi, A. Hamid S, 1993, Hukum tentang Peraturan Perundang-undangan dan

Peraturan Kebijaksanaan, Pidato Purna Bakti, Fakultas Hukum UI, 20 September

1993, Jakarta.

Attamimi, A. Hamid S, 1997, Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, Majalah

Hukum dan Pembangunan, Jakarta.

Chaidir, Ellydar dan Sudi Fahmi, 2010, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media,

Yogyakarta.

Page 24: PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN RPP … · RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak ditemui hambatan yang kemudian mendasari

109

Dahlan Thaib, Jaiz Hamidi dan N’imatul Huda, 2003, Teori dan Hukum Konstitusi,

Rajawali Pers, Jakarta.

Hasani, Ismail dan A. Gani Abdullah, 2006, Pengantar Ilmu Perundang-undangan,

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Hermida, Julian, 2004, Legal Basis for a National Space Legislation, Kluwer Academic

Publishers, New York.

Indrati S, Maria Farida, 2010, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi

Muatan, Kanisius, Yogyakarta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Departemen Diknas, Edisi Keempat, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta.

Kementerian Hukum dan HAM, 2011, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12

Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, 12 Agustus

2011, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Jakarta.

Kementerian Hukum dan HAM, 2014, Proses Pembentukan Undang-Undang,

http://peraturan.go.id/welcome/index/prolegnas_pengantar.html, 15 Februari 2016.

Manan, Bagir, 1994, Pemahaman Mengenai Sistem Hukum Rasional, Makalah, Jakarta.

Muchsan, 2003, Ketetapan Keputusan dan Kebijakan Pemerintah, Liberty Press,

Yogyakarta.

Nagai, Yuichiro, 2015, Space Policy in Japan, APRSAF-22 Side Events: The Future of

Space Activities in the Asia Pacific Region, 2 December 2015, Bali.

Schmidt-Tedd, Benrhard, 2009, 4th Session: Regulatory Aspect, 7th IAA Sysmposium on

Small Satellite for Earth Observation, 4-8 May 2009, Berlin.

Seidmenn, Aan et.all, 2001, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan

Masyarakat yang demokratis: Sebuah Panduan untuk Pembuat Rancangan

Undang-Undang, ELIPS, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka, 1993, Perihal Kaidah Hukum, Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Trijono, Rachmat, 2014, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Penerbit

Papas Sinar Sinanti, Jakarta.