Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
81
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
PERLAKUAN AKUNTANSI KARBON DI INDONESIA
Monika Meliana Taurisianti
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana
Elisabeth Penti Kurniawati
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT
This research aims to understand the implementation of accounting for carbon,
about how it can be measured, recognized, recorded, presentedand disclosed based
on Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) 19, 23, 32 and 57, also the impact toward
the financial ratios. The object of this study is the financial statements of an
integrated timber company in Indonesia. This study has analyzed the enables
account to be used to record accounting for carbon, also analyzed the impact of
implementation of accounting for carbon toward the financial ratios. The results of
this study are support the previous study, which intangible asset can be recognized
based on PSAK 19, whereas asset and contingent liabilities can be recognized based
on PSAK 57. This study also fit out the previous study, which a company can
recognize its expense and other income based on PSAK 19, 23 and 32 as a basis for
forestry accounting in Indonesia.
Keywords: environmental accounting, carbon accounting
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang kaya,
termasuk di dalamnya hutan yang sangat luas. Kementerian Kehutanan (2012)
menyatakan bahwa 52,3 persen luas wilayah Indonesia merupakan hutan. Hutan di
Indonesia dapat menjadi penyerap karbon yang dihasilkan oleh Indonesia sendiri
maupun karbon yang dihasilkan oleh negara lain oleh karena itu Indonesia diakui
sebagai paru-paru dunia. Namun demikian, Ikhsan (2008) menyatakan bahwa dalam
50 tahun terakhir tutupan hutan Indonesia berkurang dari 162 juta hektar menjadi 98
juta hektar. Hal ini disebabkan karena industri pengolahan kayu yang seringkali
terkesan asal dalam melakukan penebangan. Peningkatan kerusakan lingkungan
hutan ini menjadi topik yang krusial karena hutan memiliki potensi untuk menyerap
karbon.
82
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Pada tahun 1997 pemimpin-pemimpin negara di dunia berkumpul dan
menandatangani Protokol Kyoto yang ditindaklanjuti dengan penandatanganan Bali
Roadmap pada tahun 2007 (UNFCCC 2012). Penandatangan Bali Roadmap
menunjukkan kesungguhan berbagai negara dalam menyelesaikan permasalahan
perubahan iklim, di mana salah satu langkah yang diambil adalah penerapan
mekanisme biaya jasa lingkungan, termasuk mekanisme carbon trade di dalamnya.
Dalam mekanisme carbon trade,“pihak yang menghasilkan karbon akan
membayar sejumlah dana sebagai kompensasi kepada pihak yang memiliki potensi
menyerap karbon, sedangkan pada pihak yang memiliki potensi penyerapan karbon
akan melakukan offset atas kemampuan serap karbon yang dimiliki dengan potensi
karbon yang dihasilkan. Selanjutnya apabila hasil offset perusahaan memiliki surplus
potensi serap karbon, maka perusahaan dapat menjual surplus potensi serap karbon
tersebut ke perusahaan lain yang mengalami defisit potensi serap karbon ataupun
perusahaan yang tidak memiliki potensi serap karbon. Sebaliknya, apabila hasil offset
perusahaan mengalami defisit serap karbon, maka perusahaan akan membayar jasa
lingkungan serap karbon kepada perusahaan yang memiliki surplus potensi serap
karbon” (UNFCCC 2007).
Kemunculan kebijakan-kebijakan terkait karbon pada akhirnya berdampak
terhadap akuntansi. Bagaimana pengukuran, pengakuan, pencatatan, penyajian dan
pengungkapan aspek-aspek terkait karbon dilakukan menjadi kerancuan bagi para
akuntan, khususnya di negara yang telah menerapkan kebijakan karbon (KPMG
2008). Pada perusahaan yang memiliki potensi serap karbon, besarnya potensi yang
dimiliki akan dihitung pada awal periode pembukuan perusahaan, sehingga
perusahaan akan melakukan estimasi pada awal periode atas besarnya potensi serap
karbon tersebut. Selanjutnya perusahaan akan mengetahui pada akhir periode
besarnya potensi karbon yang dihasilkan, lalu melakukan offset. Mekanisme
pengukuran, pengakuan, pencatatan dan penyajian terkait karbon ini disebut
Accounting for Carbon (KPMG 2008).
Berdasar penelitian oleh KPMG UK (2008) perusahaan-perusahaan yang
beroperasi di negara yang menerapkan kebijakan carbon tax ataupun carbon trade
mengalami kerancuan dalam pencatatan transaksi terkait karbon, hal ini dikarenakan
sejauh ini belum terdapat standar dalam IFRS yang mengatur transaksi terkait
karbon. Hariyani dan Martini (2012) menyatakan bahwa penerapan carbon
accounting di Indonesia masih sulit, karena Indonesia belum memiliki standar baku
dalam melakukan pengukuran karbon. Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba melihat
kemungkinan-kemungkinan perlakuan akuntansi yang diijinkan oleh PSAK apabila
perusahaan menerapkan akuntansi karbon. PSAK yang digunakan sebagai acuan
dalam penelitian ini adalah Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) yang telah
mengadopsi International Financial Reporting Standards (IFRS) berdasar pada
principle based.
83
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengukuran,
pengakuan, pencatatan, penyajian dan pengungkapan akuntansi karbon berdasarkan
PSAK, serta dampaknya terhadap rasio-rasio keuangan perusahaan. Untuk
menentukan surplus/defisit serap karbon, dalam penghitungan offset atas kemampuan
serap karbon yang dimiliki dengan potensi karbon yang dihasilkan, penelitian ini
membatasi perhitungan kehilangan kemampuan serap karbon hanya didasarkan pada
besarnya potensi serap karbon yang hilang akibat penebangan pohon saja, belum
memperhitungkan kehilangan serap karbon akibat dari emisi karbon lain pada
keseluruhan proses produksi.
LANDASAN TEORI
Akuntansi Lingkungan (Environmental Accounting)
Ikhsan (2008) mendefinisikan bahwa akuntansi lingkungan adalah proses
menggambarkan biaya-biaya lingkungan supaya diperhatikan oleh stakeholders
perusahaan yang mampu mendorong pengidentifikasian cara-cara mengurangi atau
menghindari biaya-biaya ketika pada waktu yang bersamaan sedang memperbaiki
kualitas lingkungan.
“Environmental accounting is the context of national income accounting refers to
natural resource accounting, which can entail statistics about a nation’s or region’s
consumption, extent, quality and value of natural resources, both renewable and
non-renewable. Environmental accounting in the context of financial accounting
usually refers to preparation of financial reports for external audiences using
Generally Accepted Accounting Principles. Environmental accounting as an aspect
of management accounting serves business managers in making capital investment
decisions, costing determinations, process/product design decisions, performance
evaluations and a host of other forward-looking business decisions”(U.S. EPA 1995,
dalam Ikhsan 2009).
Akuntansi berwawasan lingkungan atau akuntansi hijau mencoba
memasukkan nilai-nilai kearifan lingkungan dalam pencatatan akuntansi. Pengakuan
nilai-nilai kearifan lingkungan dalam laporan keuangan didasarkan pada beberapa
konsep berikut ini.
Provisi (Kewajiban Diestimasi), provission is a liability of uncertain timing
or amount (sometimes referred to as an estimated liability) (Kieso, Weygandt,
Warfield 2011), sedangkan menurut PSAK 57 (2009), provisi merupakan liabilitas
yang waktu dan jumlahnya belum pasti.
Pendapatan, yaitu arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari
aktivitas normal perusahaan apabila arus masuk mengakibatkan kenaikan ekuitas
yang tidak timbul dari kontribusi penanaman modal (PSAK 23, 2009). Dyckman,
Dukes & Davis (2004) menyatakan bahwa berdasar dari sumber pendapatan,
akuntansi mengenal dua jenis pendapatan. Pertama adalaha pendapatan operasional,
yaitu pendapatan yang diperoleh dari usaha pokok perusahaan, yaitu penjualan
84
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
barang dan/atau pemberian jasa yang bersifat rutin, yang kedua adalah pendapatan
non operasional yaitu pendapatan yang diperoleh perusahaan di luar usaha pokok.
Secara spesifik PSAK 23 (2009) mendefinisikan pendapatan operasional pada
perusahaan kehutanan sebagai pendapatan dari penjualan hasil hutan, baik berupa
olahan kayu, hasil tebangan, maupun hasil hutan lainnya.
Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan uang,
yang telah terjadi atau yang mungkin akan terjadi untuk tujuan tertentu, sehingga
biaya dalam arti luas diartikan sebagai pengorbanan sumber ekonomi untuk
memperoleh aktiva (IAI, 2009). Biaya adalah kas atau nilai ekuivalen kas yang
dikorbankan untuk mendapat barang atau jasa yang diharapkan memberikan manfaat
saat ini atau di masa yang akan datang bagi organisasi (Hansen & Mowen 2006).
Beban, oleh Sinamora (1995) sebagai biaya yang terpakai (expired cost),
sedangkan dalam kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan
(PSAK, 2007) beban didefinisikan sebagai penurunan manfaat ekonomi selama suatu
periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya aset atau terjadinya
kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut
pembagian kepada penanam modal. Sementara itu terkait beban-beban pada
perusahaan kehutanan, PSAK 32 (2007) tentang akuntansi kehutanan menyatakan
bahwa: harga pokok produksi kayu tebangan dan hasil hutan lainnya meliputi beban
yang terjadi dalam hubungannya dengan kegiatan-kegiatan seperti perencanaan,
penanaman, pemeliharaan dan pembinaan hutan, pengendalian kebakaran dan
pengamanan hutan, pemungutan hasil hutan, pemenuhan kewajiban terhadap negara,
pemenuhan kewajiban lingkungan dan sosial, serta pembangunan sarana dan
prasarana. Pada Hutan Tanaman Industri (HTI), beban umum dan administrasi yang
tidak berkaitan dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan dan pembinaan hutan
dibukukan sebagai beban umum dan administrasi.
Aset tak berwujud adalah aktiva tak lancar (non current asset) dan tak
berbentuk yang memberikan hak keekonomian dan hukum kepada pemiliknya dan
dalam laporan keuangan tidak dicakup secara terpisah dalam klasifikasi aktiva yang
lain (PSAK 19 2010). Aset kontijensi adalah aset potensial yang timbul dari
peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadi atau tidak
terjadinya satu peristiwa atau lebih pada masa depan yang tidak sepenuhnya berada
dalam kendali perusahaan. (PSAK 57 2009).
Akuntansi Karbon (CarbonAccounting)
Akuntansi karbon merupakan akuntansi yang memasukkan aspek-aspek
terkait karbon ke dalam laporan keuangan perusahaan. Saat ini terdapat satu standar
pengukuran karbon yang diakui oleh The United Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC), yaitu National Carbon Accounting Standards (NCAS)
yang merupakan standar nasional yang dimiliki oleh Australia. Dalam akuntansi
karbon terdapat beberapa teori yang mendasari, yaitu: carbon accounting is the
process by which organizations account for and report on their greenhouse gas
85
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
emissions (Prosser 2013). Sehingga dapat diartikan bahwa carbon accounting adalah
suatu proses pengukuran dan pelaporan terkait emiten (karbon) yang dihasilkan oleh
suatu perusahaan. Exit Price Accounting, Palea (2013) menjelaskan bahwa Exit Price
Acounting adalah gabungan konsep dari Chambers (1966,1975), Sterling (1970) dan
MacNeal (1970) yang mengukur aset dengan nilai realisasi atas penjualan aset
tersebut dengan harga jual yang berlaku pada umumnya. Exit Price Accounting
merupakan salah satu metoda pengukuran yang diungkapkan oleh Edwards dan Bells
(1961) dalam Zeff (2010) yaitu sistem yang menggunakan harga jual pasar khusus
untuk mengukur posisi keuangan perusahaan dan kinerja keuangan. Metoda ini
dipilih karena PSAK 57 menyatakan bahwa provisi ataupun aset kontijensi harus
dapat diestimasi secara andal, oleh karena itu dalam melakukan estimasi digunakan
harga pasar terbaru atas karbon.
Berdasar konsep-konsep di atas, penelitian ini mencoba membuat kerangka
teoritis dalam penghitungan besarnya kemampuan serap karbon atas kepemilikan
pohon, potensi serap karbon yang hilang akibat penebangan pohon, dimana potensi
karbon yang hilang akan diakui sebagai emiten yang muncul akibat kegiatan
operasional perusahaan yang pada akhirnya proses offset atas kepemilikan potensi
serap karbon serta karbon yang dihasilkan (emiten akibat penebangan pohon) diukur,
diakui, dicatat, disajikan dan diungkapkan dengan beberapa alternatif sebagaimana
dimungkinkan dengan berdasar pada PSAK.
Pada penelitian ini perlakuan akuntansi terkait karbon akan dibahas dari sudut
pandang perusahaan yang memiliki kapasitas penyerapan karbon yang akan
melakukan offset pada akhir periode, sehingga terdapat dua kemungkinan pencatatan
yaitu, pada kondisi surplus atau defisit potensi serap karbon. Pada penelitian ini,
harga jual pasar yang digunakan adalah nilai tukar carbon terhadap satuan moneter
(USD) yang berlaku dalam Carbon Trading. Carbon Trading atau sering diartikan
sebagai perdagangan karbon dapat didefinisikan sebagai menjual kemampuan pohon
yang dapat menyerap karbondioksida dalam rangka menekan keberadaan karbon
dioksida itu sendiri di atmosfer untuk mengurangi pemanasan global (Razak 2008).
Nalar konsep penelitian ini dapat digambarkan pada Gambar 1.
Nalar konsep tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Akuntansi
konvensional menekankan pada pencatatan transaksi atas kegiatan operasional
perusahaan. Pada perkembangannya, akuntansi mulai memasukkan unsur-unsur
lingkungan ke dalam pencatatan laporan keuangan. Terkait dengan adanya
perdagangan karbon, akuntansi mulai mencatat transaksi-transaksi terkait karbon
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku di masing-masing negara, yang sering
disebut carbon accounting.
86
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Gambar 1
Nalar Konsep Penelitian
Offset
Aktivitas Operasional + Lingkungan
Akuntansi
Karbon
Perdagangan karbon
Pengukuran
Potensi serap
karbon
Potensi emiten
karbon
Akuntansi
Lingkungan
Surplus Defisit
Pendapatan di Luar
Usaha dicatat pada posisi
(K), danPiutang Jasa atau
Kas pada posisi (D)
Beban di Luar Usaha dicatat pada posisi (D),
sedangkan Provisi atau
Kas dicatat pada posisi (K)
Penyajian dan
Pengungkapan
Laporan. Laba/Rugi: - Pendapatan di Luar
Usaha
- Beban di Luar Usaha
- Beban Amortisasi
Laporan Posisi
Keuangan: - Kas, Piutang Jasa
- Aset Tak Berwujud
- Provisi
- Modal
Laporan arus kas: - Pengeluaran Kas atas
Beban di Luar Usaha
- Penerimaan Kas atas
Pendapatan di Luar Usaha
Jual sisa potensi serap karbon
Bayar jasa lingkungan serap
karbon
Pengakuan dan
Pencatatan
Surplus atau
Defisit?
87
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Dalam mengukur nilai aspek-aspek terkait karbon, terlebih dahulu dihitung
nilai surplus atau defisit karbon, dengan melakukan offset antara potensi serap karbon
dengan emiten karbon yang dihasilkan. Proses offset adalah proses saling hapus
(PSAK 55) yang biasa digunakan dalam penghitungan aset derivatif dan tanggungan.
Dalam hal ini kewajiban yang dimiliki akan dikurangi aset yang dimiliki. Untuk
mengakui dan mencatat transaksi-transaksi terkait karbon, digunakan akun-akun
pendapatan di luar usaha, beban di luar usaha, aset tak berwujud dan provisi.
Selanjutnya akun-akun yang telah diakui akan disajikan dalam laporan keuangan
perusahaan. Akun pendapatan di luar usaha dan beban di luar usaha akan disajikan
pada laporan Laba/Rugi, sedangkan akun aset tak berwujud dan provisi akan
disajikan pada laporan posisi keuangan perusahaan.
METODA PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus yang digunakan untuk
membantu pemahaman perlakuan akuntansi karbon dalam sebuah perusahaan,
khususnya pada perusahaan sektor kehutanan di Indonesia. Objek penelitian ini
adalah Laporan Keuangan Konsolidasian PT Dharma Satya Nusantara, Tbk Tahun
2013. Perusahaan ini resmi beroperasi secara komersial sejak April 1985 dan
bergerak di bidang industri perkayuan terpadu, tanaman perkebunan dan agro. Pada
tahun 2012, perseroan mengadakan kerjasama guna memperoleh hak guna atas areal
lahan seluas 1.770 hektar (Laporan Keuangan Konsolidasian 2013 PT Dharma Satya
Nusantara, Tbk).
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu:
data kandungan karbon hutan jati (Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan
2010), data nilai tukar pasar karbon pada program carbon trading (Siikamäki,
Sanchirico & Jardinec 2012), data nilai kurs tengah Bank Indonesia (www.bi.go.id
per 21 Januari 2014) dan laporan keuangan PT Dharma Satya Nusantara, Tbk tahun
2013 (http://dsn.co.id). Keuangan PT DSN digunakan sebagai dasar ilustrasi
perhitungan rasio jika perusahaan tersebut menerapkan akuntansi karbon.
Langkah-langkah analisis dalam penelitian ini dilakukan sebagai berikut,
pertama melakukan pengukuran akuntansi karbon dengan dua skenario, yaitu surplus
dan defisit; kedua, menganalisis kemungkinan-kemungkinan pengakuan, pencatatan,
penyajian dan pengungkapan akuntansi karbon dengan mengacu pada PSAK
19,23,32,57. Setelah itu menganalisis dampak akuntansi karbon terhadap rasio
keuangan perusahaan.
88
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
PEMBAHASAN
Pengukuran
Pengukuran akuntansi karbon dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama,
mengukur kandungan karbon pertegakan pohon berdasar kelompok usia. Dalam
melakukan pengukuran besarnya aspek-aspek karbon, besarnya kemampuan pohon
yang dimiliki perusahaan dalam menyerap karbon perlu diketahui. Kemampuan
pohon dalam menyerap karbon ini selanjutnya akan digunakan sebagai dasar untuk
mengakui besarnya kemampuan penyerapan karbon yang hilang saat pohon tersebut
ditebang. Perhitungan akuntansi karbon sebaiknya disesuaikan dengan karakteristik
tanaman yang dikelola perusahaan dengan mengaitkannya dengan data cadangan
karbon pada berbagai tipe hutan dan jenis tanaman, yang dalam penelitian ini
menggunakan hasil riset Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan. Pengakuan
dan pencatatan aset tak berwujud untuk tanaman yang bertumbuh dari tahun ke tahun
dapat disesuaikan perhitungan potensi serap karbonnya sesuai usia tanaman. Dengan
asumsi seluruh lahan perusahaan ditanami pohon jati, data yang digunakan sebagai
acuan berdasarkan data cadangan karbon pada berbagai tipe hutan dan jenis tanaman
di Indonesia hasil riset Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan yang tersaji
dalam Tabel 1.
Tabel 1
Kandungan Karbon Hutan Jati (Kg/Ha)
Umur pohon
(Tahun)
Jumlah pohon/Ha
(Batang)
Kandungan karbon/Ha
(Kg C/Ha)
1 3.818 5.408,50
10 913 41.137,10
20 482 61.533,80
30 324 76.066,30
40 243 87.897,50
50 195 98.631,20
60 164 109.092,50
70 142 119.077,10
80 127 130.160,20
Sumber: Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan, Desember 2010, Carbon Stocks on
Various Type of Forest and Vegetation in Indonesia, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Bogor.
Kedua, menetapkan asumsi mengenai harga pasar perdagangan emisi. Setelah
mengetahui besarnya kemampuan penyerapan karbon yang hilang akibat penebangan
pohon jati, maka langkah berikutnya adalah menetapkan asumsi harga pasar
perdagangan emisi. Langkah ini dilakukan karena harga pasar perdagangan emisi
akan digunakan untuk mengonversi besarnya potensi penyerapan karbon yang hilang
ke dalam satuan moneter. Dalam penelitian ini harga yang digunakan adalah harga
pasar hak emisi pada perdagangan emisi sebesar USD10/ton (Walhi 2007).
Ketiga, menetapkan asumsi kurs yang digunakan. Setelah mendapatkan nilai
karbon yang telah dikonversi dalam satuan moneter pada langkah kedua, maka
89
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
langkah selanjutnya adalah menetapkan asumsi kurs rupiah terhadap USD yang akan
digunakan. Hal ini dilakukan, mengingat nilai moneter yang didapat pada langkah
kedua masih dalam satuan moneter USD, karena itu perlu untuk dikonversi ke dalam
satuan moneter rupiah. Dalam menetapkan asumsi kurs rupiah terhadap USD, kurs
yang digunakan pada penelitian ini adalah kurs tengah Bank Indonesia dengan
nominal Rp12.122,00 (www.bi.go.id, per 21 Januari 2014).
Keempat, menetapkan usulan formula penghitungan akuntansi karbon.
Berdasar penjelasan-penjelasan di atas, maka dalam menghitung aspek-aspek terkait
karbon, dilakukan penghitungan dengan usulan formula sebagai berikut:
𝑌 = (∑(n𝑥1 × 𝛼𝑥1) + (𝑛𝑥𝑖 × 𝛼𝑥𝑖)) × 𝑝 × 𝑏 ………………………………….. (1)
Keterangan: Y = Provisi
n𝑥𝑖 = Jumlah pohon kategori usia
𝛼𝑥𝑖 = Nilai kemampuan serap karbon pohon kategori usia
p = Harga pasar karbon
b = Kurs terkini
Langkah-langkah yang telah dilakukan di atas pada akhirnya akan
menghasilkan suatu nilai dengan satuan moneter rupiah yang selanjutnya akan diakui
dan disajikan dalam laporan keuangan perusahaan.
Agar lebih jelas dalam pengaplikasian langkah-langkah yang telah dijelaskan
di atas, maka akan diilustrasikan sebuah studi kasus pengukuran estimasi potensi
serap karbon menggunakan data lahan milik PT Dharma Satya Nusantara, Tbk seluas
1.770 Ha (Lampiran 1), dengan asumsi seluruh lahan ditanami pohon jati dengan dua
kategori usia rata-rata umur tegakan pohon 10 tahun seluas 1.000 hektar dan 770
hektar dengan perkiraan rata-rata umur tegakan pohon 30 tahun. Pada pengukuran
ini, terdapat dua skenario.
Pada skenario pertama (surplus), apabila bulan ini perusahaan sudah
mengelola hutan dengan menebang pohon seluas 200 hektar untuk kategori tegakan
berusia sepuluh tahun dan 300 hektar untuk kategori tegakan berusia 30 tahun. Maka
untuk dapat menentukan besarnya biaya lingkungan akan digunakan model
penghitungan: (jumlah hektar yang sudah dikelola x jumlah cadangan karbon) x
harga pasar emisi x nilai kurs USD-IDR. Menghitung nilai kepemilikan potensi serap
karbon
𝑌 = (∑(n𝑥1 × 𝛼𝑥1) + (𝑛𝑥𝑖 × 𝛼𝑥𝑖)) × 𝑝 × 𝑏 ………………………………...… (2)
Y= ((1000Ha x 41.137,1 KgC/Ha) + (770Ha x 76.066,3 KgC/Ha)) x 0,01USD x Rp12.122,00
Y = 99.708.151KgC x 0,01USD x Rp12.122,00
Y = Rp12.086.622.060,00
Total nilai kepemilikan potensi serap karbon = Rp12.086.622.060,00
Mengitung nilai emiten karbon yang dihasilkan karena penebangan pohon
𝑌 = (∑(n𝑥1 × 𝛼𝑥1) + (𝑛𝑥𝑖 × 𝛼𝑥𝑖)) × 𝑝 × 𝑏 …………………………….….….. (3)
Y= ((200Ha x 41.137,1 KgC/Ha) + (300Ha x 76.066,3 KgC/Ha)) x 0,01USD x Rp12.122,00
90
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Y = 31.047.310KgC x 0,01USD x Rp12.122,00
Y = Rp3.763.554.918,00
Total nilai emiten karbon = Rp3.763.554.918,00
Menghitung offset potensi serap karbon dengan emiten karbon
Surplus potensi serap karbon = potensi serap karbon – emiten karbon
dihasilkan
Surplus potensi serap karbon = Rp12.086.622.060,00 - Rp3.763.554.918,00
Surplus potensi serap karbon = Rp8.325.067.148,00
Pada skenario kedua (defisit), diasumsikan perusahaan telah melakukan
pengelolaan dengan menebang pohon pada seluruh lahan yang dimiliki dan
perusahaan telah menghitung emiten karbon yang muncul akibat proses penebangan
sebesar Rp2.000.000.000,00. Maka perusahaan akan melakukan penghitungan aspek-
aspek karbon sebagai berikut. Menghitung nilai kepemilikan potensi serap karbon
𝑌 = (∑(n𝑥1 × 𝛼𝑥1) + (𝑛𝑥𝑖 × 𝛼𝑥𝑖)) × 𝑝 × 𝑏 ………………………....………… (4)
Y= ((1000Ha x 41.137,1 KgC/Ha) + (770Ha x 76.066,3 KgC/Ha)) x 0,01USD x Rp12.122,00
Y = 99.708.151KgC x 0,01USD x Rp12.122,00
Y = Rp12.086.622.060,00
Total nilai kepemilikan potensi serap karbon = Rp12.086.622.060,00
Mengitung nilai emiten karbon yang dihasilkan karena penebangan pohon
𝑌 = (∑(n𝑥1 × 𝛼𝑥1) + (𝑛𝑥𝑖 × 𝛼𝑥𝑖)) × 𝑝 × 𝑏 …………………………………… (5)
Y= ((1000Ha x 41.137,1 KgC/Ha) + (770Ha x 76.066,3 KgC/Ha)) x 0,01 USD x Rp12.122,00
Y = 99.708.151KgC x 0,01USD x Rp12.122,00
Y = Rp12.086.622.060,00
Total nilai emiten karbon = Rp12.086.622.060,00 + Rp2.000.000.000,00
Total nilai emiten karbon = Rp14.086.622.060,00
Menghitung offset potensi serap karbon dengan emiten karbon
Defisit potensi serap karbon = potensi serap karbon – emiten karnon
dihasilkan
Defisit potensi serap karbon = Rp12.086.622.060,00 - Rp14.086.622.060,00
Defisit potensi serap karbon = (Rp2.000.000.000,00)
Metoda penghitungan konversi nilai karbon ke nilai moneter yang diajukan
dalam penelitian ini menggunakan dasar nilai pasar karbon yang berlaku saat
pengukuran dilakukan, prinsip ini terdapat dalam metoda pengukuran Current Cost
Accounting, khususnya dengan model pengukuran Current Purchase Exchange.
Current Cost Accounting Method adalah konsep akuntansi yang menyatakan pos-pos
laporan keuangan dinilai dengan harga perolehan sekarang, yaitu dengan harga
perolehan yang mempunyai umur dan kapasitas yang sama (Edwards & Bell 1961
dalam Zeff 2010). Sedangkan Current Purchase Exchange adalah model pengukuran
menggunakan harga pertukaran pembelian sekarang. Dengan menggunakan metoda
91
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
pengukuran Current Cost Accounting, maka nilai yang dihasilkan akan lebih relevan,
karena selalu disesuaikan dengan harga pasar terkini dari emisi karbon. Sehingga,
nilai kewajiban lingkungan yang dihitung besarnya cukup memadai untuk mewakili
kewajiban yang terjadi saat itu.
Pengakuan dan Pencatatan
Potensi penyerapan karbon yang dimiliki oleh perusahaan dapat diakui
sebagai aset tak berwujud, sesuai kriteria aset tak berwujud dalam PSAK 19 (2010),
lebih spesifik lagi dapat dikategorikan dalam indefinitive intangible asset. Pengakuan
ini didasari oleh kriteria definitive intangible asset dalam PSAK 19 (2010), yang
harus diamortisasi sesuai masa manfaatnya, diuji penurunan nilai apabila terdapat
indikasi penurunan nilai. Kriteria-kriteria tersebut dapat terpenuhi oleh daya serap
pohon atas karbon, dimana daya serap pohon memiliki umur yang sama dengan lama
pohon ditanam sebelum mencapai masa tebang dan nilai daya serap pohon harus
diuji setiap tahun karena ada pohon yang ditebang selama proses produksi.
Perusahaan dapat mengakui kepemilikan potensi serap karbon sebagai aset
tak berwujud, dengan melakukan pencatatan sebagai berikut:
Aset Tak Berwujud Rp12.086.622.060,00
Modal Rp12.086.622.060,00
Selain itu, perusahaan juga dapat mengakui kepemilikan potensi serap karbon
sebagai aset diestimasi. Sebagaimana terdapat pada PSAK 57 (2009), aset diestimasi
tidak dicantumkan dalam laporan keuangan, maka perusahaan tidak melakukan
pencatatan apapun pada laporan keuangan perusahaan. Jika kemudian perusahaan
melakukan penebangan pohon sehingga mengakibatkan potensi serap karbon
berkurang, maka perusahaan akan melakukan penyesuaian atas nilai aset tak
berwujud sesuai dengan besarnya surplus atau defisit potensi serap karbon yang
dimilikinya.
Pada kasus penghitungan skenario pertama, di mana perusahaan mengalami
surplus potensi serap karbon, perusahaan akan melakukan penyesuaian atas nilai aset
tak berwujud sesuai dengan besarnya surplus potensi serap karbon yang dimilikinya
sebagai berikut:
Pengurangan Emiten Rp3.763.554.918,00
Aset Tak Berwujud Rp3.763.554.918,00
Dengan demikian, saat ini Aset Tak Berwujud perusahaan senilai
Rp8.325.067.148,00. Dalam kondisi surplus potensi serap karbon, perusahaan dapat
menjual potensi serap karbon tersebut kepada pihak lain, sehingga perusahaan dapat
mengakui pendapatan di luar usaha (PSAK 23, 2010). Perusahaan dapat melakukan
pencatatan sebagai berikut:
92
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Piutang Jasa Lingkungan atau Kas Rp8.325.067.148,00
Pendapatan Jasa Lingkungan (di Luar Usaha) Rp8.325.067.148,00
Sedangkan pada skenario kedua, dimana perusahaan mengalami defisit
potensi serap karbon, perusahaan akan melakukan penyesuaian atas nilai aset tak
berwujud sesuai dengan besarnya defisit potensi serap karbon yang dimilikinya
sebagai berikut:
Pengurangan Emiten Rp14.086.622.060,00
Aset Tak Berwujud Rp14.086.622.060,00
Dengan demikian, saat ini Aset Tak Berwujud perusahaan senilai
(Rp2.000.000.000,00), sehingga dapat dikatakan perusahaan sudah tidak memiliki
Aset Tak Berwujud lagi. Dalam kondisi defisit potensi serap karbon, perusahaan
harus membayar biaya jasa lingkungan. Perusahaan dapat mengakui beban diluar
usaha (PSAK 23 2010) atau beban lingkungan dan sosial (PSAK 32 2007) atas
pembayaran jasa lingkungan tersebut dan dicatat pada sisi debit, sedangkan pada sisi
kredit perusahaan dapat mengakui kewajiban diestimasi apabila pada awal periode
perusahaan sudah melakukan estimasi defisit potensi serap karbon, atau kas apabila
penghitungan dilakukan pada awal periode dan kekurangan dibayar tunai.
Akuntansi mengenal dua macam kewajiban, yaitu kewajiban lancar dan
kewajiban tidak lancar. Di dalam masing-masing kewajiban lancar dan kewajiban
tidak lancar, apabila dibagi berdasarkan kepastian keterjadian maka dapat dibagi
menjadi kewajiban pasti dan kewajiban tidak pasti. Kewajiban tidak pasti terdiri dari
provisi dan kontijensi. Aspek-aspek terkait karbon yang dihitung sebelumnya, tidak
dikategorikan sebagai kewajiban pasti karena kewajiban pasti biasanya berhubungan
dengan kewajiban kepada pihak perbankan, vendor, ataupun pihak lain yang
berhubungan langsung dengan operasional perusahaan di mana nilai serta waktu
jatuh tempo pembayaran kewajiban tersebut sudah jelas. Sedangkan kewajiban
karbon yang diestimasi, waktu jatuh tempo pembayaran belum jelas, meskipun
besarnya nilai yang menjadi kewajiban perusahaan sudah dapat diestimasi. Oleh
karena itu, pencatatan tersebut dapat dilakukan sebagai berikut:
Biaya Jasa Lingkungan (Di Luar Usaha) Rp2.000.000.000,00
Provisi (Kewajiban Diestimasi) atau Kas Rp2.000.000.000,00
Pada dasarnya akuntansi membagi kewajiban tidak pasti menjadi dua. Yang
pertama adalah provisi. Provission is a liability of uncertain timing or amount
(sometimes referred to as an estimated liability) (Kieso, Weygandt, Warfield 2011),
menurut PSAK 57, provisi merupakan liabilitas yang waktu dan jumlahnya belum
pasti. Kedua adalah Kewajiban Kontijensi. Menurut PSAK 57 Revisi 2009:
kewajiban potensial yang timbul dari masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti
dengan terjadi atau tidak terjadinya satu peristiwa atau lebih pada masa datang yang
93
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
tidak sepenuhnya berada dalam kendali entitas, atau kewajiban kini yang timbul
sebagai akibat peristiwa masa lalu, tetapi tidak diakui karena: tidak terdapat
kemungkinan entitas mengeluarkan sumber daya yang mengandung manfaat
ekonomi untuk menyelesaikan kewajibannya atau jumlah kewajiban tersebut tidak
dapat diukur secara andal.
Berdasar kriteria-kriteria yang ada di atas, maka aspek-aspek karbon lebih
tepat diakui sebagai provisi karena waktu keterjadian atau waktu jatuh tempo
pembayaran belum pasti, meskipun jumlah kewajiban dapat diestimasi secara andal.
Sedangkan untuk mengkategorikan kewajiban ini termasuk kewajiban lancar atau
kewajiban tidak lancar, lebih tepat untuk diakui sebagai kewajiban lancar. Karena
kewajiban ini dihitung per tahun, yang nantinya pada akhir periode akan di-offset
dengan kepemilikan perusahaan atas potensi serap karbon.
Potensi serap karbon akan ada selama tanaman belum ditebang. Oleh karena
itu, penurunan nilai atas aset tak berwujud terjadi apabila terdapat indikasi penurunan
kemampuan serap karbon akibat penebangan pohon maupun kerusakan hutan
lainnya. Daya serap pohon atas karbon memiliki umur yang sama dengan lama
pohon ditanam sebelum mencapai masa tebang. Oleh karena itu, dalam perhitungan
amortisasi, dapat menggunakan masa manfaat dengan asumsi lamanya pohon akan di
tanam. Karena kemampuan serap karbon berbeda-beda sesuai jenis dan usia pohon,
maka cost driver dalam perhitungan beban amortisasi dapat menggunakan jumlah
pohon yang ditebang dengan memperhatikan jenis dan usia pohon.
Penyajian
Dalam laporan posisi keuangan, aset akan disajikan pada sisi debit dan
kewajiban akan muncul pada posisi kredit. Sesuai PSAK 57 (2009), pengakuan atas
aset kontijensi tidak disajikan pada laporan keuangan, sedangkan aset tak berwujud
akan dicatat pada posisi debit laporan posisi keuangan. Penyajian aset pada laporan
posisi keuangan akan dibedakan menjadi aset lancar dan tidak lancar. Aset tak
berwujud akan disajikan dalam aset tidak lancar, penyajian atas aset tak berwujud
yang diakui perusahaan, diatur oleh PSAK 19 (2010). Aset tak berwujud ini
selanjutnya akan diamortisasi, hingga habis masa manfaatnya.
Penyajian kewajiban akan dibedakan dengan kriteria jangka waktu jatuh
tempo menjadi kewajiban lancar dan kewajiban tidak lancar. Apabila melihat
kepastian keterjadian, sebagaimana diatur oleh PSAK 57 (2009) maka ada perbedaan
penyajian dalam laporan keuangan. Kewajiban yang besar kemungkinan
keterjadiannya diatas 50 persen atau biasa kita sebut dengan istilah provisi, harus
disajikan dalam neraca seperti kewajiban pada umumnya. Sedangkan untuk
kewajiban yang kemungkinan keterjadiannya rendah dan nilainya sulit diestimasi
dengan andal yang sering kita kenal sebagai kewajiban kontijensi dalam
penyajiannya tidak perlu ditampilkan dalam neraca, cukup hanya diberikan catatan
kaki dalam Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK).
94
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Aspek-aspek terkait karbon yang selanjutnya diakui sebagai kewajiban
provisi jangka pendek, akan disajikan dalam akun kewajiban lancar. Kewajiban
provinsi ini harus dicatat dan dilaporkan penuh sebesar nilai jatuh tempo yang telah
diestimasi (PSAK 57 2009) dan karena jangka waktu jatuh tempo yang tergolong
singkat (kurang dari 12 bulan) maka perbedaan nilai estimasi sekarang dan nilai jatuh
temponya biasanya tidak akan terlalu besar.
Akun kewajiban lancar biasanya disajikan sebagai klasifikasi pertama dalam
kelompok kewajiban dan ekuitas pemegang saham di neraca (sisi kredit dalam
neraca). Dalam penyajiannya, akun-akun kewajiban lancar dapat disajikan urut
menurut waktu jatuh temponya, nomor akunnya, atau besar nilai kewajiban tersebut.
Pengungkapan
PSAK mengatur pengungkapan kewajiban diestimasi dan aset diestimasi
serta asset tak berwujud sebagai berikut. Pertama adalah kewajiban diestimasi dan
aset diestimasi. PSAK 57 (2009) mewajibkan untuk setiap jenis kewajiban
diestimasi, termasuk provisi, entitas harus mengungkapkan: “Nilai tercatat pada awal
dan akhir periode, kewajiban diestimasi tambahan yang dibuat dalam periode
bersangkutan, termasuk peningkatan jumlah pada kewajiban diestimasi yang ada,
jumlah yang digunakan, yaitu jumlah yang terjadi dan dibebankan pada kewajiban
diestimasi selama periode bersangkutan, jumlah yang belum digunakan atau
dibatalkan selama periode yang bersangkutan, peningkatan, selama periode yang
bersangkutan, dalam nilai kini yang timbul karena berlalunya waktu dan dampak dari
setiap perubahan tingkat diskonto tidak diharuskan. Selain hal-hal di atas, perusahaan
harus mengungkapkan pula: uraian singkat mengenai karakteristik kewajiban dan
perkiraan saat arus keluar sumber daya terjadi, indikasi mengenai ketidakpastian saat
atau jumlah arus keluar tersebut jika diperlukan dalam rangka menyediakan
informasi yang memadai, perusahaan harus mengungkapkan asumsi utama yang
mendasari prakiraan peristiwa masa depan sebagaimana diatur dalam paragraf 50 dan
jumlah estimasi penggantian yang akan diterima dengan menyebutkan jumlah aset
yang telah diakui untuk estimasi penggantian tersebut.” Sedangkan untuk aset
diestimasi, PSAK 57 tidak mengatur mengenai pengungkapannya.
Kedua adalah aset tak berwujud, PSAK 19 (2010) mengharuskan entitas
mengungkapkan hal-hal berikut untuk setiap kelas aset tak berwujud, dipisahkan
antara aset tak berwujud yang dihasilkan secara internal dan aset tak berwujud
lainnya. Berdasarkan uraian di atas, alternatif-alternatif pengakuan, pencatatan,
penyajian dan pengungkapan transaksi terkait karbon beserta dasar acuannya secara
singkat disajikan dalam Tabel 2.
95
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tabel 2
Perlakuan Pengukuran, Pengakuan, Pencatatan, Penyajian dan PengungkapanTransaksi
Karbon
Perlakuan Acuan
Pengukuran Menggunakan formula:
𝑌 = (∑(n𝑥1 × 𝛼𝑥1) + (𝑛𝑥𝑖 × 𝛼𝑥𝑖)) × 𝑝 × 𝑏
Keterangan:
Y = Biaya Karbon yang diestimasi
nx = Jumlah tegakan pohon pada kategori usia x
ax = Nilai daya serap karbon tegakan pohon pada
kategori usia x
p = harga pasar karbon (dalam USD)
b = nilai kurs USD terhadap IDR
-Metoda Exit Price Accounting
(Edwards & Bells 1961 dalam Zeff
2010)
-Kandungan Karbon Hutan Jati (Tim
Perubahan Iklim Badan Litbang
Kehutanan 2010)
-Nilai tukar pasar karbon pada
program carbon trading (Siikamäki,
Sanchirico & Jardinec 2012)
-Nilai kurs USD terhadap IDR
(www.BI.go.id)
Pengakuan Aset Tak Berwujud
Provisi, Aset Kontijensi
Pendapatan
Biaya dan Beban
PSAK 19
PSAK 57
PSAK 23
PSAK 32
Pencatatan:
Estimasi potensi
serap karbon
Pendapatan atas
surplus potensi
serap karbon
Estimasi potensi
penghasil emiten
karbon
Beban atas
defisit potensi
serap karbon
-Dapat diakui dan dicatat sebagai aset tak
berwujud atau aset kontijensi
-Dapat diakui dan dicatat sebagai pendapatan non
operasional
-Dapat diakui dan dicatat sebagai provisi atau
kewajiban diestimasi
-Dapat diakui dan dicatat sebagai beban non
operasional
PSAK 19, PSAK 57
PSAK 23
PSAK 57
PSAK 32
Penyajian dan
Pengungkapan
Provisi, disajikan pada sisi kredit laporan posisi
keuangan
Aset kontijensi, tidak disajikan dalam laporan
keuangan
Aset tak berwujud, disajikan pada posisi debit
laporan posisi keuangan perusahaan
Pendapatan, disajikan sebagai pendapatan non
operasional pada penghitungan laba rugi bersih
tahun berjalan
Beban, disajikan sebagai beban non operasional
pada penghitungan laba rugi bersih tahun
berjalan
PSAK 57
PSAK 57
PSAK 19
PSAK 23
PSAK 32
Dampak terhadap Rasio Keuangan
Dengan adanya perlakuan akuntansi terkait karbon tersebut tentunya akan
berdampak terhadap performa laporan keuangan serta rasio keuangan perusahaan.
Laporan posisi keuangan mencerminkan persamaan akuntansi: aset = liabilitas +
ekuitas, di mana jumlah pada sisi aset (debit), harus sama dengan jumlah pada sisi
liabilitas + ekuitas (kredit). Sehingga apabila dalam laporan posisi keuangan ada
96
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
tambahan komponen provisi pada sisi kredit (liabilitas), maka akan terjadi perubahan
nilai atas ekuitas pada sisi kredit karena jumlah liabilitas ditambah ekuitas harus
seimbang dengan jumlah aset. Penurunan ekuitas sendiri terjadi karena akuntansi
menganut matching principle dimana beban akan diakui pada saat produk secara
aktual memberikan kontribusi terhadap pendapatan. Sehingga beban karbon akan
dimasukkan ke dalam komponen penyusun laporan laba/rugi. Tambahan beban ini,
tentunya akan berdampak terhadap penurunan laba perusahaan, yang mana laba ini
nanti akan mempengaruhi besarnya nilai ekuitas akhir yang tercantum pada laporan
posisi keuangan perusahaan. Karena laba yang dihasilkan turun, maka nilai ekuitas
akan turun.
Adanya tambahan akun provisi lancar, mengakibatkan nilai liabilitas lancar
meningkat sehingga berdampak pada turunnya nilai rasio likuiditas. Hal ini
dikarenakan dalam menghitung current ratio, quick ratio maupun cash ratio, besar
nilai liabilitas lancar akan digunakan sebagai pembagi sehingga apabila nilai
pembagi meningkat, maka nilai rasio akan turun.
Selain berdampak terhadap rasio likuiditas, perubahan nilai liabilitas pada
laporan posisi keuangan juga akan berdampak terhadap nilai rasio solvabilitas. Rasio
solvabilitas dapat dihitung dengan membagi total liabilitas dengan total aset,
sehingga apabila terjadi peningkatan nilai total liabilitas yang tertera pada sisi kredit
laporan posisi keuangan, maka hasil penghitungan rasio solvabilitas akan meningkat.
Namun di sisi lain, karena aset tak berwujud meningkat maka apabila jumlah
penghitungan aset lebih besar dari biaya emiten karbon maka ratio solvabilitas akan
turun.
Selain dua rasio yang sudah dibahas di atas, kita juga mengenal rasio
rentabilitas. Rasio ini dihitung dengan membagi laba perusahaan dengan penjualan.
Pembebanan biaya lingkungan dalam laporan laba/rugi perusahaan akan
menghasilkan laba yang lebih kecil, sehingga rasio rentabilitas mengalami
penurunan.
Hasil analisis akuntansi karbon beserta pembuktian penghitungan rasio-rasio
keuangan secara singkat dapat dilihat pada Tabel 3.
97
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tabel 3
Analisa Dampak Akuntansi Karbon terhadap Rasio Keuangan
Rasio Rumus (Widayanti et al., 2009) Dampak Penjelasan
Likuiditas:
Current ratio
Rasio awal
Rasio akhir
Quick ratio
Rasio awal
Rasio akhir
Cash ratio
Rasio awal
Rasio akhir
𝐴𝑠𝑒𝑡 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟
𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟
1.519.650
1.724.960
= 0,88 1.519.650
1.724.960 + 2.000
= 0,87 𝐴𝑠𝑒𝑡 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟 − 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛
𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟
1.519.650 − 622.262
1.724.960
= 0,52 1.519.650 − 622.262
1.724.960 + 2.000
= 0,51 𝐾𝑎𝑠 + 𝐸𝑓𝑒𝑘
𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟
337.623
1.724.960
= 0,1957 337.623
1.724.960 + 2.000
= 0,1955
Rasio
likuiditas
akan turun
Karena provisi termasuk
liabilitas lancar (jatuh tempo
kurang dari 12 bulan), maka
pembagi meningkat sehingga
hasil penghitungan akan turun.
Solvabilitas:
Debt ratio
Rasio awal
Rasio akhir
(tanpa
memperhitungk
an aset tak
berwujud)
Rasio akhir
(dengan
memperhitungk
an aset tak
berwujud)
Debt to equity
ratio
Rasio awal
Rasio akhir
3.735.033
5.141.003
= 0,7265 3.735.033 + 2.000
5.141.003
= 0,7269
3.735.033 + 2.000
5.141.003 + 12.086.622
= 0,725
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠
𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑥 100%
3.735.033
1.405.970𝑥100%
= 265,6% 3.735.033 + 2.000
1.405.970𝑥100%
= 265,79%
Rasio
solvabilitas
dapat naik
atau turun
Karena provisi termasuk
liabilitas lancar (jatuh tempo
kurang dari 12 bulan), maka
total liabilitas meningkat
sehingga hasil penghitungan
akan naik.
Namun, karena aset tak
berwujud meningkat maka
apabila jumlah penghitungan
aset lebih besar dari biaya
emiten karbon maka ratio
solvabilitas akan turun.
Total Liabilitas Total Aset
98
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tabel 3 (Lanjutan)
Analisa Dampak Akuntansi Karbon terhadap Rasio Keuangan
Rasio Rumus (Widayanti et al., 2009) Dampak Penjelasan
Rentabilitas:
Profit margin
Rasio awal
Rasio akhir
738.176
2.564.592
= 0,2878 738.176 − 2.000
2.564.592
= 0,287
Rasio
rentabilitas
akan turun
Karena terdapat pengakuan
beban di luar usaha pada periode
berjalan maka saldo laba pada
laporan laba rugi mengalami
penurunan, sehingga nilai laba
kotor turun dan nilai rasio
rentabilitas juga turun.
SIMPULAN DAN IMPLIKASI
Penerapan akuntansi karbon dapat dilakukan dengan mengestimasi besar
kewajiban yang menjadi tanggung jawab perusahaan atas kerusakan lingkungan
akibat kegiatan operasional perusahaan, khususnya karbon. Estimasi kewajiban ini
dapat dilakukan dengan menggunakan metoda exit price accounting, sehingga nilai
kewajiban yang menjadi tanggung jawab perusahaan akan terus mengikuti
perkembangan nilai karbon yang ada di pasar.
Pengakuan kepemilikan potensi serap karbon dapat diakui sebagai akun aset
tak berwujud atau aset kontijensi, yang pencatatan dan pengungkapannya masing-
masing diatur dalam PSAK 19 (2010) dan PSAK 57 (2009). Pengakuan terkait
pembayaran biaya jasa lingkungan dapat diakui sebagai beban di luar usaha, atau
beban lingkungan dan sosial, yang pencatatan dan pengungkapannya diatur dalam
PSAK 23 (2010) dan PSAK 32 (2007). Pengakuan pendapatan atas surplus potensi
serap karbon dapat diakui sebagai pendapatan di luar usaha, yang pencatatan dan
pengungkapannya diatur dalam PSAK 23 (2010) atau PSAK 32 (2007). Sedangkan
untuk perusahaan yang melakukan estimasi biaya jasa lingkungan sejak awal periode
dapat mengakui sebagai provisi, yang pencatatan dan pengungkapannya diatur dalam
PSAK 57 (2009). Pengakuan akun-akun tersebut pada akhirnya akan berdampak
pada kinerja laporan keuangan yang tercermin pada rasio-rasio keuangan, seperti
rasio solvabilitas, likuiditas dan rentabilitas. Pada penelitian ini rasio likuiditas dan
rentabilitas perusahaan mengalami penurunan, sedangkan rasio solvabilitas dapat
mengalami peningkatan atau penurunan.
Sebagai implikasi dari pengakuan aspek-aspek karbon tersebut maka
perusahaan dapat mengakui kewajiban tersebut sebagai provisi, beban di luar usaha,
pendapatan di luar usaha, aset tak berwujud, ataupun aset kontijensi. Pengakuan ini
berdasar pada PSAK 19, 23, 32, 57. Pengakuan-pengakuan atas aset kontijensi, aset
tak berwujud dan provisi mendukung hasil penelitian KPMG (2008) yang
menyatakan kemungkinan pencatatan sebagai akun-akun tersebut berdasarkan IAS
37 dan 38.
Laba Kotor
Penjualan
99
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
KETERBATASAN PENELITIAN DAN PENELITIAN MENDATANG
Penelitian ini terbatas pada perlakuan akuntansi karbon pada perusahaan di
bidang kehutanan. Selain itu, hasil penelitian ini masih sebatas pada pemahaman
bagaimana mengestimasi biaya karbon serta bagaimana pengakuan dan dampaknya
terhadap rasio keuangan apabila perusahaan hendak menerapkan pencadangan dana
perbaikan lingkungan akibat karbon. Penelitian ini belum menghitung besar potensi
beban karbon lain secara keseluruhan dan kemungkinan-kemungkinan kecurangan
(fraud) yang dapat terjadi apabila kebijakan akuntansi karbon diterapkan.
Besarnya kerugian/beban potensial yang ditanggung oleh perusahaan
sebenarnya dapat menjadi penanding penghitungan biaya karbon dalam penelitian
ini, yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan manajemen untuk
menentukan kebijakan mana yang sebaiknya diambil, apakah hendak mencadangkan
provisi atau tidak. Apabila keduanya dapat diestimasi dengan baik, maka manajemen
dapat mengetahui kemungkinan arus kas keluar di masa mendatang dan
membandingkannya dengan arus kas keluar pada provisi. Oleh karena itu, hasil
penelitian ini belum dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan manajemen dalam
pengambilan keputusan tersebut, namun sekadar memberikan gambaran tentang cara
mengestimasi perhitungan dalam akuntansi karbon.
Oleh karena itu, penelitian mendatang dapat menggunakan objek perusahaan
kehutanan dan non kehutanan, menghitung besar potensi beban karbon lain secara
keseluruhan, menentukan alternatif metoda amortisasi yang tepat atas pengakuan aset
tak berwujud dan menganalisis kemungkinan-kemungkinan kecurangan (fraud) yang
dapat terjadi apabila kebijakan akuntansi karbon diterapkan di Indonesia.
100
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Lampiran 1
Catatan Atas Laporan Keuangan PT Dharma Satya Nusantara TBK
(http://dsn.co.id/uploads)
101
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Lampiran 2
Laporan Laba/Rugi PT Dharma Satya Nusantara
(http://dsn.co.id/uploads)
102
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Lampiran 3
Laporan Posisi Keuangan PT Dharma Satya Nusantara
(http://dsn.co.id/uploads)
103
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
104
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
DAFTAR PUSTAKA
Dyckman, T. R., R. E. Dukes, dan C. J. Davis. 2004. Intermediate Accounting. New
York: The Mc Graw Hill Companies Inc. Available at http://ebookily.net.
Hansen, D. R., dan M. M. Mowen. 2006. Managerial Accounting. Ohio:
International Thompson Publishing Co. Available at
http://books.google.co.id.
Hariyani, R., dan Martini. 2012. Implementasi carbon accounting di indonesia dan
kendala, permasalahan, solusi (PT Indocement, Tbk). Fakultas Ekonomi,
Universitas Budi Luhur Jakarta. Available at http://portal.kopertis3.or.id.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. PSAK 2007. Jakarta: Salemba Empat.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. PSAK No.19 Revisi 2010. DSAK Jakarta: Salemba
Empat.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. PSAK No.23 Revisi 2010. DSAK Jakarta: Salemba
Empat.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. PSAK No.32 Revisi 2010. DSAK Jakarta: Salemba
Empat.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. PSAK No.57 Revisi 2009. DSAK Jakarta: Salemba
Empat.
Ikhsan, A. 2008. Akuntansi Lingkungan dan Pengungkapannya. Jakarta: Graha Ilmu.
Ikhsan, A. 2009. Akuntansi Manajemen Lingkungan. Jakarta: Graha Ilmu.
Kementerian Kehutanan. 2012. Buku Statistik Kehutanan Indonesia Kementerian
Kehutanan 2011. Available at http://wwf.indonesia.go.id.
Kieso, D. E., J. J. Weygandt, dan T. D. Warfield. 2011. Intermediate Accounting:
IFRS Edition. United States: John Wiley & Sons, Inc. Available at
http://www.google.co.id/books.
KPMG. 2008. Accounting for carbon, the impact of carbon trading on finanial
statements. United Kingdom, KPMG. Available at http://www.kpmg.no.
Palea, V. 2013. Fair value accounting and it’s usefulness to financial statement users.
Department of Economics and Statistics COGNETTI DE MARTIIS Italy.
Available at http://www.unito.it.
Prosser, A. 2013. Carbon accounting and reporting the disclosure and reporting of
carbon emissions in a growing trend for both investors and customers. UK,
Verco. Available at http://www.vercoglobal.com.
Razak, A. 2008. Kajian yuridis carbon trade dalam penyelesaian efek rumah kaca.
Program Studi Manajemen Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan,
UGM Yogyakarta. Available at http://heterometrus.files.wordpress.com.
105
ISSN 1979 -6471 Volume XVII No. 2, Agustus 2014
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Siikamäki, J., J. N. Sanchirico, dan S. L. Jardinec. 2012. Global economic potential
for reducing carbon dioxide emissions from mangrove loss. Proceedings of
the National Academy of Sciences 109: 14369–14374.
Sinamora, H. 1995. Akuntansi Manajemen. Jakarta: Salemba Empat.
Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan. 2010. Carbon stocks on various
type of forest and vegetation in indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Bogor. Available at
http://www.forda_mof.org.
UNFCCC. 2012. Kyoto protocol. Available at http://UNFCCC.int/kyoto_protocol.
UNFCCC. 2007. The kyoto protocol mechanism international emissions trading
clean development menchanism joint implementation. UNFCCC Germany.
Available at http://UNFCCC.int/resource/docs/publications/mechanisms.
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). 2007. Perdagangan karbon, bali. Available at
http://walhibali.blogspot.com.
Widayanti, R. 2009. Manajemen Keuangan. Fakultas Ekonomi UKSW Salatiga.
Zeff, S. A. 2010. Insights from Accounting History. New York: Sage Publication.
Available at http://books.google.co.id/book.