Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERBANDINGAN IMPLEMENTASI TRIPS (TRADE RELATED ASPECTS
OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS) AGREEMENT
DI NEGARA ANGGOTA ASEAN
SKRIPSI
Oleh
SARAH RIZKY ARIANI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
i
ABSTRAK
PERBANDINGAN IMPLEMENTASI TRIPS (TRADE RELATED ASPECTS
OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS) AGREEMENT
DI NEGARA ANGGOTA ASEAN
oleh
Sarah Rizky Ariani
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) merupakan sistem di bidang ekonomi terutama
industri, dan perdagangan internasional yang saat ini melekat pada tata kehidupan
modern di setiap negara. Amerika Serikat mengusulkan Proposal for Negotiations
on TRIPs Agreement untuk perlindungan HAKI ke dalam sistem perdagangan
dunia yang disebut General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). HAKI juga
berpengaruh dalam organisasi regional ASEAN yang dimana tiap negara anggota
ASEAN merupakan anggota dari World Trade Organization (WTO). TRIPs
merupakan bagian dari WTO Agreement yang ditandatangani oleh negara-negara
anggotanya yang mewajibkan seluruh anggotanya untuk membuat aturan-aturan
mengenai HAKI di negara masing-masing. Adanya kesepakatan tentang TRIPs ini
akan menimbulkan beberapa persoalan hukum, yakni pemasalahan yang berkaitan
dengan HAKI yang banyak diatur dalam konvensi-konvensi intemasional yang
diadministrasi World Intelectual Property Organization (WIPO). Oleh karena itu,
tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memahami praktik adopsi serta
implementasi TRIPs Agreement yang dilakukan di Negara anggota ASEAN ke
peraturan perundang-undangan nasional masing-masing negara.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan sumber
data sekunder dan terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, tersier serta
menggunakan teknik studi kepustakaaan sebagai metode pengumpulan data.
Pengolahan data dari penelitian ini adalah melalui perbandingan hukum antar
negara-negara untuk mendapatkan proses praktik adopsi serta perbandingan
implementasi TRIPs Agreement pada setiap negara anggota ASEAN.
TRIPs Agreement mengatur tentang perlindungan HAKI sebagai isu-isu yang
terkait di bidang perdagangan. HAKI merujuk pada semua kategori dari kekayaan
intelektual yang diatur dalam isi Pasal TRIPs yaitu: Hak Cipta dan Hak Terkait
(Pasal 9-14), Merek Dagang (Pasal 15-21), Indikasi Geografis (Pasal 22-24),
Desain Industri (Pasal 25-26), Paten (Pasal 27-34), Desain Tata Letak (Topografi)
Sirkuit Terpadu (Pasal 35-38), Perlindungan Informasi yang Dirahasiakan (Pasal
39), dan Perlindungan Praktik Anti Persaingan dalam Lisensi Kontrak (Pasal 40).
Praktik adopsi TRIPs Agreement pada negara-negara anggota ASEAN secara
otomatis meratifikasi perjanjian tersebut karena semua negara ASEAN merupakan
anggota dari WTO. Sedangkan, implementasi TRIPs Agreement sebagaimana
halnya perjanjian multilateral lainnya didasarkan pada ketentuan dan prinsip-
prinsip umum GATT, yaitu: ketentutan Free in Determine, Ketentuan Intellectual
Property Convention, ketentuan National Treatment, ketentuan Most Favoured
National Treatment, dan ketentuan Exhaution. Dari semua ketentuan tersebut
masing-masing negara mempunyai kebijakan nasional dalam proses implementasi
TRIPs ke dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya.
Kata Kunci:HAKI, GATT/WTO, ASEAN, TRIPs Agreement.
ii
ABSTRACT
THE IMPLEMENTATION OF TRIPS (TRADE RELATED ASPECTS OF
INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS) AGREEMENT IN ASEAN
REGIONAL COUNTRIES
by
Sarah Rizky Ariani
Intellectual Property Rights (IPR) is a system in the economic sector particularly
in the international industry and trade which is currently attached towards the
modern lives in each country. The United States proposed the Proposal for
Negotiations on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) as
an IPR protection into the world trading system or known as the General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT). The IPR has also influenced regional
organization of ASEAN where each countries of ASEAN are also state members
of the World Trade Organization (WTO) which is bound by an international
agreement. TRIPs is a part of the WTO Agreement that is signed by its state
members and obligates all of the state members to establish rules regarding to the
IPR in each countries. The existing negotiation on TRIPs will cause law issues,
one of them relates to intellectual property rights that are regulated in numerous
international conventions administrated by the World Intellectual Property
Organization (WIPO). Therefore, the purpose of this research is to understand the
adoption practice and implementation of TRIPs agreement performed in each
ASEAN state countries into their national regulation.
The type of research used is normative-law with secondary data source consisting
of primary, secondary, and tertiary law materials. This research uses literature
study technique to collect data which then proceeds to process the data through
law comparison between countries to achieve a comparison upon TRIPs adoption
and implementation between member states of ASEAN.
TRIPs Agreement regulates on IPR protection as issues relating to the trading
sector. IPR refers to all categories on Intellectual Properties regulated in TRIPS
which are: copyright and related rights (Article 9-14), trademarks (Article 15-21),
geographical indications (Article 22-24), industrial designs (Article 25-26),
patents (Article 27-34), layout-designs (topographies) of integrated circuit (Article
35-38), protection of undisclosed information (Article 39), and control of anti-
competitive practices in contractual licenses (Article 40). The practice of TRIPs
Agreement adoption in the ASEAN state members are automatically ratifications
since all of the member states of ASEAN are also a member states of WTO. In the
other hand, the implementation of TRIPs agreement such as other multilateral
agreements is based on GATT’s general provisions that are: provision free in
determine, provision of intellectual property convention, provision of national
treatment, provision of most favoured national treatment, and provision of
exhaution. Of all these provisions, each country has a national policy in the
process of implementing TRIPs into their national legislation.
Keyword: Intellectual Property Rights, GATT/WTO, ASEAN, TRIPs
Agreement.
PERBANDINGAN IMPLEMENTASI TRIPS (TRADE RELATED ASPECTS
OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS) AGREEMENT
DI NEGARA ANGGOTA ASEAN
Oleh
SARAH RIZKY ARIANI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
vii
RIWAYAT HIDUP
Sarah Rizky Ariani lahir di Bekasi pada 06 Mei 1996 sebagai
anak pertama dari pasangan Bapak Iskandar dan Ibu Yuni
Aqida. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di Taman
Kanak-kanak Islam Terpadu Al-Fajar, Bekasi (1999-2001).
Pada tahun 2002-2004, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri
Bonipoi 2 Kupang, NTT. Ditahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan di
Sekolah Dasar Islam Terpadu Al-Fajar Bekasi yang diselesaikan pada tahun 2008.
Kemudian, penulis melanjutkan sekolah ke jenjang Sekolah Menengah Pertama,
tepatnya di SMPN 222 Ceger, Jakarta Timur dari 2008-2011. Selanjutnya, penulis
melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 42 Halim, Jakarta
Timur dan dinyatakan lulus pada tahun 2014.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung
pada tahun 2014. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif di UKM-U
AIESEC (Association Internationale des Etudiants en Sciences Economiques et
Commerciales) pada tahun 2015 dengan mengikuti AIESEC Volunteer Program
di Eskisehir, Turki selama 2 (dua) bulan serta menjadi anggota AIESEC di bidang
Talent Management periode kepengurusan 2015-2016. Selain itu, penulis pernah
menjabat sebagai sekretaris umum dalam Himpunan Mahasiswa Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Lampung periode kepengurusan 2017-
2018.
viii
MOTTO
“Fiat justitia ruat caelum.”
(Lucius Calpurnius Piso Caesoninus)
“Success is not final, failure is not fatal: it is the courage to continue that counts.”
(Winston Churchill)
”One Child, one teacher, one book, one pen can change the world.”
(Malala Yousafzai)
“Hidup adalah pelajaran tentang kerendahan hati.”
(penulis)
ix
PERSEMBAHAN
Bismillahirrahmannirrahim…
Puji syukur kepada Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, maka
dengan ketulusan dan kerendahan hati serta perjuangan dan jerih payah yang telah
diberikan, penulis mempersembahkan karya ilmiah ini kepada:
Kedua orangtua, Ayah (Iskandar) dan Bunda, (Yuni Aqida) yang senantiasa
memberikan dukungan semangat dan limpahan cinta kasih, nasihat, serta doa yang
selalu dipanjatkan sehingga menjadi kekuatan bagi penulis untuk menyelesaikan
karya ilmiah ini.
Keluarga dan sahabat yang senantiasa memberikan dukungan yang memotivasi
penulisan dan almamaterku tercinta…
Universitas Lampung
x
SANWACANA
Alhamdullillahirabbil’alamin…. Segenap puji dan syukur penuliskan haturkan
atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, karya
ilmiah dengan judul, “Perbandingan Implementasi TRIPs Agreement di
Negara Anggota ASEAN” dapat diselesaikan dengan baik. Karya ilmiah ini
adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Penyelesaian karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan, partisipasi, bimbingan,
kerjasama, dan doa dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak
langsung, sehingga pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung terimakasih telah memberikan arahan yang baik kepada
seluruh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung;
2. Ibu Melly Aida, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Internasional
dan Miss Rehulina, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum
Internasional yang telah memberikan bimbingan dan arahan yang baik selama
saya menjadi mahasiswa Bagian Hukum Internasional di Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
xi
3. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pembimbing Utama,
terimakasih atas dukungan yang diberikan meliputi waktu, saran, dan kritik
dalam proses penyelesaian karya ilmiah ini sehingga dapat diselesaikan
dengan baik;
4. Ibu Ria Wierma Putri, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Kedua, terimakasih
atas dukungan yang diberikan meliputi waktu, saran, dan kritik dalam proses
karya ilmiah ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik;
5. Bapak Abdul Muthalib Tahar, S.H., M.Hum., selaku Penguji Utama,
terimakasih atas keluangan waktu yang diberikan dalam memberikan saran
dan kritik terhadap karya ilmiah ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik;
6. Ibu Desy Churul Aini, S.H., M.H., selaku Pembahas Kedua, terimakasih atas
keluangan waktu yang diberikan dalam memberikan saran dan kritik terhadap
karya ilmiah ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik;
7. Bapak/Ibu Dosen dan seluruh Staf Administrasi Fakultas Hukum khususnya
Bagian Hukum Internasional, terimakasih atas dukungan, arahan, serta
bimbingannya dalam proses penyelesaian karya ilmiah ini dan memberikan
banyak ilmu pengetahun selama menyelesaikan studi;
8. Bapak/Ibu Guru SDIT Al-Fajar, SMPN 222, SMAN 42, terimakasih telah
membimbing dan mengajarkan saya ilmu pengetahuan yang bermanfaat;
9. Ayah dan Bunda yang sangat saya hormati dan sayangi, juga sebagai panutan
saya sejak kecil yang selalu mengajarkan tentang kedisiplinan, kerja keras,
kerendahan hati, dan kemandirian yang insha Allah akan selalu saya terapkan
di diri saya untuk mencapai cita-cita kelak. Terimakasih atas ketegasan dalam
mendidik saya serta do’a dan dukungan terbesar selama menempuh dunia
xii
pendidikan, terutama dalam memberikan motivasi, pengertian, dan kasih
sayang sehingga tanpa semua itu perjuangan saya tidak akan sampai pada
purnanya karya ilmiah ini. Semoga kelak saya menjadi anak yang
membanggakan keluarga;
10. Kakek dan Nenek sebagai orangtua kedua yang selalu menemani selama
menempuh pendidikan di Universitas Lampung. Terimakasih atas kasih
sayang dan do’a serta selalu mengingatkan saya untuk Sholat dan terus
memohon kepada Allah SWT atas segala urusan yang sedang dihadapi;
11. Adik-adik saya Syahrul Arfah dan Syahran Aqila Amor. Terimakasih selalu
mengingatkan hal-hal baik dan menjadi adik yang membanggakan. Semoga
kalian bisa mencapai cita-cita yang diimpikan;
12. Sahabat saya tercinta di Jakarta, Emil dan Echa. Terimakasih atas motivasi
yang diberikan selama ini kepada saya dan selalu menjadi pendengar yang
baik di kala saya sedang butuh motivasi;
13. Himpunan Mahasiswa Hukum Internasional terutama swagers, terimakasih
telah memberikan warna dalam hari-hari selama menyelesaikan studi di
Bagian Hukum Internasional, terimakasih juga untuk dukungan selama
penyusunan karya ilmiah, seminar proposal, seminar hasil, dan ujian skripsi
komprehensif;
14. Teman seperjuangan rantau Bida dan Cindy yang senantiasa berproses selama
menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Terimakasih untuk saling menguatkan selama di Lampung. Semoga ilmu
yang kita dapatkan disini bisa kita terapkan di tempat asal kita, Jakarta;
xiii
15. Terimakasih juga teman-teman terbaik selama perkuliahan Oci, Khoirunnisa,
Vina, Mira, Fika, Chaca, Annti, Ayi, Zulfa, Dea dan semua teman-teman saya
di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kebaikan dan balasan
atas jasa dan budi yang telah diberikan kepada saya;
16. Teman-teman AIESEC terimakasih telah memberikan kesan baik serta
pengalaman dalam hidup saya yang tidak akan pernah dilupakan;
17. Teman-teman KKN Universitas Lampung Billy, Nining, Yola, Robi,
terimakasih atas dukungan kalian di penghujung semester perkuliahan.
Semoga kalian senantiasa dalam lindungan Allah SWT dan dipermudah
segala urusannya dalam menyelesaikan pendidikan di Universitas Lampung;
18. Untuk segenap pembaca, terimakasih atas keluangan waktu untuk membaca
karya ilmiah penulis.
19. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan telah membantu
dalam penyelesaian karya ilmiah ini, terimakasih untuk segalanya;
Karya ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna, namun penulis mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca dan semoga karya ilmiah ini dapat berguna serta
bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Bandar Lampung, Oktober 2018
Penulis
Sarah Rizky Ariani
xiv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................... ii
HALAMAN JUDUL ...................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................ v
PERNYATAAN .............................................................................. vi
RIWAYAT HIDUP ........................................................................ vii
MOTTO .......................................................................................... viii
PERSEMBAHAN ........................................................................... ix
SAN WACANA .............................................................................. x
DAFTAR ISI ................................................................................... xiv DAFTAR TABEL .......................................................................... xvi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................ xvii
I. Pendahuluan A. Latar Belakang...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................. 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.......................................... 8
D. Ruang Lingkup Penelitian.................................................... 9
E. Sistematika Penulisan........................................................... 9
II. Tinjauan Pustaka
A. Sistem Hukum Negara Anggota ASEAN............................. 12
B. Perjanjian Internasional........................................................ 13
1. Pengertian Perjanjian Internasional................................. 13
2. Asas-Asas Perjanjian Internasional................................. 15
3. Jenis-Jenis Perjanjian Internasional................................. 21
4. Validitas Perjanjian Internasional................................... 24
5. Pengesahan Perjanjian Internasional............................... 25
C. WTO.................................................................................... 25
D. TRIPs Agreement................................................................. 32
1. Latar Belakang dan Tujuan dibentuknya TRIPs............. 32
2. Isi Pasal TRIPs................................................................ 34
3. Ketentuan Prinsip-Prinsip Dasar dalam TRIPs............... 35
4. HAKI............................................................................... 37
5. Kedudukan Protokol Tambahan...................................... 39
III. Metode Penelitian
A. Jenis Penelitian.................................................................... 42
B. Pendekatan Masalah............................................................ 43
xv
C. Sumber Data, Pengumpulan Data, Pengolahan Data.......... 43
1. Sumber Data.................................................................... 43
2. Pengumpulan Data........................................................... 44
3. Pengolahan Data.............................................................. 45
D. Analisis Data....................................................................... 45
IV. Pembahasan
A. Pengaturan HAKI dalam TRIPs Agreement...................... 46
1. Hak Cipta dan Hak Terkait............................................. 47
2. Merek Dagang................................................................ 48
3. Indikasi Geografis.......................................................... 51
4. Desain Industri............................................................... 55
5. Paten............................................................................... 57
6. Desain Tata Letak (Topografi) Sirkuit Terpadu............. 60
7. Perlindungan Informasi yang dirahasiakan.................... 60
8. Perlindungan Praktik Anti Persaingan dalam Lisensi
Kontrak........................................................................... 60
B. Praktik Adopsi dan Perbandingan Implementasi TRIPs
Agreement di Negara Anggota ASEAN............................ 61
1. Praktik Adopsi TRIPs Agreement.................................. 61
2. Perbandingan Implementasi TRIPs Agreement di
Negara Anggota ASEAN............................................... 66
a. Brunei Darussalam.................................................... 74
b. Filipina...................................................................... 75
c. Indonesia................................................................... 76
d. Malaysia.................................................................... 76
e. Singapura................................................................... 77
f. Thailand..................................................................... 78
g. Vietnam..................................................................... 78
h. Laos........................................................................... 79
i. Myanmar................................................................... 79
j. Kamboja.................................................................... 79
V. Penutup A. Kesimpulan......................................................................... 83
B. Saran................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Sistem Hukum Negara ASEAN........................................................ 13
Tabel 4.1
Susunan HAKI dalam TRIPs Agreement......................................... 46
Tabel 4.2
Table examples of variation in timing of TRIPS legislative reforms......... 65
Tabel 4.3
The Hanoi Plan of Action on The Implementation of The TRIPs
Agreement.......................................................................................... 73
Tabel 4.4
Perbandingan Susunan HAKI pada Implementasi TRIPs Agreement..... 80
xvii
DAFTAR SINGKATAN
HAKI = Hak Kekayaan Intelektual
WTO = World Trade Organization
GATT = General Agreement on Tariffs and Trade
WIPO = World Intellectual Property Organization
ITO = International Trade Organization
TRIPs = Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak era-tahun delapan puluhan, Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) semakin
berkembang menjadi bahan percaturan yang menarik. Di bidang ekonomi,
terutama industri dan perdagangan internasional, HAKI menjadi sangat
penting.1 HAKI
adalah sistem yang saat ini melekat pada tata kehidupan
modern di setiap negara. Upaya yang dilakukan seseorang untuk
mengkreasikan dan mencurahkan hasil karya pikirannya, tenaga dan dana
serta memiliki manfaat untuk kehidupan manusia mengakibatkan timbulnya
suatu kompensasi berupa hak yang dapat dikomersialkan oleh pemilik
kekayaan intelektual tersebut dan dapat memberinya suatu keuntungan
finansial.2 HAKI biasanya merupakan hak individual dalam jangka waktu
tertentu.
Pemasukan perlindungan HAKI ke dalam sistem perdagangan dunia yang
pada waktu itu disebut General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) tak
lepas dari peran Amerika Serikat yang mengusulkan Proposal for
1 Suyud Margono dan Amir angkasa, 2002, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis,
Jakarta: PT Gramedia Widya Sarana Indonesia, hlm. 6. 2 H. S. Kartadjoemana, 1997, GATT-WTO dan Hasil Uruguay Round, Jakarta: UI Press, hlm. 254.
2
Negotiations on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights.3
Selain itu, European Community juga mengusulkan Proposal of Guidelines
and Objectives. Terhadap usulan dari negara-negara tersebut, India adalah
salah satu negara yang paling keras menentang gagasan untuk memasukkan
perlindungan HAKI,4 tetapi, setelah terjadi perdebatan antara negara-negara
berkembang dengan negara-negara maju, maka pemenangnya adalah yang
paling berkepentingan untuk melindungi karya-karya mereka yaitu negara-
negara maju.
HAKI juga berpengaruh dalam organisasi regional ASEAN sedang
mengalami perubahan ke arah yang lebih terbuka. Deklarasi Bangkok 1967
menyatakan bahwa ASEAN memiliki tujuan untuk mempromosikan
perdamaian dan stabilitas antar hubungan negara dengan menghormati hukum
masing-masing negara. Hal ini diterapkan ke dalam banyak kerjasama yang
dilakukan oleh ASEAN dalam memperluas keanekaragaman jenis produk.
Bentuk kerjasama tersebut adalah dengan memberikan rasa penghargaan
terhadap HAKI tiap-tiap negara ASEAN yaitu Brunei, Myanmar, Kamboja,
Laos, Malaysia, Philippines, Singapore, Thailand, Vietnam, dan Indonesia.
Kesepuluh negara ini merupakan anggota dalam World Trade Organization
(WTO) yang terikat dalam sebuah perjanjian internasional.
Perjanjian Internasional berperan sebagai sarana untuk meningkatkan
kerjasama internasional, peran perjanjian internasional dapat dikatakan
3 Triyana Yohanes, 2015, Hukum Ekonomi Internasional, Yogyakarta: Penerbit Cahaya Atma
Pustaka, hlm 45. 4Ibid.
3
menggantikan hukum kebiasaan internasional.5 Menurut Boer Mauna, dalam
dunia yang ditandai saling ketergantungan pada era global ini, tidak ada satu
negarapun yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak
diatur dalam perjanjian internasional. Hal ini didorong oleh karena semakin
meningkatnya teknologi komunikasi dan informasi yang berdampak pada
percepatan arus globalisasi masyarakat dunia.6
Perjanjian internasional yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia
baik secara khusus maupun umum (universal) merupakan salah satu sarana
yang efektif dan efisien dalam mengatasi persoalan yang timbul sekaligus
guna menjamin kesejahteraan dan kedamaian untuk manusia. Sampai tahun
1969, pembuatan perjanjian-perjanjian internasional hanya diatur dalam
hukum kebiasaan.7
Draft yang disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional diselenggarakan
suatu Konferensi Internasional di Wina dari tanggal 26 Maret s/d 24 Mei
1968 dan dari tanggal 9 April s/d 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan
hukum kebiasaan tersebut, sehingga pada akhirnya Konferensi menghasilkan
Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani pada 23 Mei
1969 yang terdiri dari 85 pasal dan mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari
1980. Konvensi ini telah menjadi hukum internasional positif karena menjadi
sumber hukum bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian internasional
5 Sefriani, 2010, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, hlm.
28. 6 Boer Mauna, 2000, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Bandung: Alumni, hlm. 82. 7 Gerald E. Songko, 2016, “KekuatanMengikat Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina
Tahun 1969”, Lex Privatum, vol. IV, no. 4, hlm. 46.
4
dan bahkan juga dapat menjadi acuan bagi negara dalam menyusun peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian internasional.8
Berdasarkan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional diatur mengenai
perjanjian internasional sebagai salah satu sumber hukum internasional, baik
yang bersifat umum maupun khusus yang mengandung ketentuan hukum
yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa. Hukum
nasional Indonesia, perjanjian internasional telah memiliki dasar
konstitusional yang kuat dalam Pasal 11 UUD 1945.9 Hal ini sesuai dengan
paham monisme terhadap primat hukum internasional yang menyatakan
bahwa hukum internasional kedudukannya lebih tinggi dibandingkan hukum
nasional. Menurut paham monisme, hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua aspek yang sama dari suatu sistem hukum umumnya.10
HAKI secara luas diatur oleh WTO yang menggantikan GATT pada tanggal
1 Januari 1995 sebagai organisasi perdagangan dunia. Sekretariat GATT
dijadikan sebagai sekretariat WTO, dan WTO sebagai organisasi
internasional lebih memenuhi syarat sebagai organisasi internasional dan
lebih luas dari pada GATT. WTO merupakan organisasi internasional dalam
urusan perdagangan bersifat global yang beranggotakan 153 negara pada
tahun 2008.11
Indonesia meratifikasi WTO Agreement dengan pembentukan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement
8 Ibid, hlm. 47.
9 Jimly Asshiddiqie, 2010, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 185-
190. 10
Suyud Margono, 2015, Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Bandung: Pustaka Reka Cipta,
hlm. 53. 11
Revy S. M. Korah, 2016, “Prinsip-Prinsip Eksistensi General Agreement On Tariffs And Trade
(GATT) dan World Trade Organization (WTO) dalam Era Pasar Bebas”, Jurnal Hukum Unsrat,
vol. 22, no. 7, hlm. 44.
5
Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia).
Perkembangan era-global dalam perdagangan dunia telah melahirkan kaedah
dan aturan main (rule of the game) baru yang cenderung dijadikan sarana bagi
negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang menjadi pengikut dari
negara maju dalam berbagai bidang. Begitupun aturan main dalam
perdagangan bebas dunia saat ini yang terwadahi melalui yang juga
melibatkan aktivitas perdagangan dengan perlindungan terhadap aspek
perlindungan HAKI dalam payung TRIPs (Trade Related of Intellectual
Property Rights) Agreement yang lebih sebagai instrumen bagi negara-negara
maju dalam mendominasi dan mendudukan posisi tawar yang lebih tinggi
dari negara-negara berkembang.12
Secara umum TRIPs Agreement berisikan norma-norma yuridis yang harus
dipatuhi dan dilaksanakan di bidang HAKI, di samping pengaturan nengenai
larangan melakukan perdagangan atas barang hasil pelanggaran HAKI
tersebut.13
Hukum nasional tentang HAKI dibuat sesuai dengan standar pada
TRIPs Agreement. Indonesia merupakan salah satu negara yang turut serta
menandatangani Dokumen Akhir Putaran Uruguay (GATT)14
, dimana TRIPs
Agreement termasuk salah satu di dalam kesepakatan tersebut. Sebagai
konsekuensinya, Indonesia harus menyesuaikan peraturan perundang-
undangan dengan ketentuan TRIPs. Penyesuaian-penyesuaian tersebut tidak
12
Suyud Margono, op. cit., hlm. 44. 13
Sunarmi, “Peranan TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) terhadap Hak
Atas Kekayaan Intelektual di Indonesia”, USU digital library, diakses dari
http://library.usu.ac.id/download/fh/fh-sunarmi.pdf pada 20 Februari 2018 pukul 05.19 WIB. 14
Ibid.
6
hanya menyangkut penyempurnaan, tetapi juga pembuatan produk hukum
baru di bidang HAKI, dengan disertai infrastruktur pendukung lainnya.
Adanya kesepakatan tentang TRIPs Agreement ini akan menimbulkan
beberapa persoalan hukum, yakni pemasalahan yang berkaitan dengan hak
milik intelektual yang banyak diatur dalam konvensi-konvensi internasional
yang diadministrasi World Intelectual Property Organization (WIPO). Bagi
negara anggota yang telah menanda-tangani dan meratifikasi konvensi di atas
harus melakukan harmonisasi atau penyesuaian hukum nasionalnya dengan
ketentuan TRIPs yang telah disepakati.
TRIPS Agreement mengadopsi dua konvensi internasional utama di bidang
industrial property dan copyright yaitu Paris Convention for the Protection
of Industrial Property dan Berne Convention for the Protection of Literary
and Artistic Works.15
Konsekuensi dari kemenangan negara-negara maju
dalam perundingan GATT Uruguay Round yang terkait dengan HAKI inilah
yang membawa masuknya konsep negara-negara barat mengenai property
dan ownership ke dalam hukum di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia.16
TRIPS Agreement bukanlah aturan mengenai perlindungan HAKI secara
khusus. TRIPS Agreement lebih kepada perjanjian yang merupakan bagian
dari WTO Agreement yang ditandatangani oleh negara-negara anggotanya
yang mewajibkan seluruh anggotanya untuk membuat aturan-aturan
15
Hukum Online, Peran TRIPs Agreement dalam perlindungan hak kekayaan intelektual, diakses
dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt592407520f6f7/peran-trips-iagreement-i-dalam-
perlindungan-hak-kekayaan-intelektual pada 5 Maret 2018 pukul 21:05. 16
Siti Munawaroh, “Peranan TRIPs terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual di Bidang Teknologi
Informasi di Indonesia”, Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK, vol 11, no. 1, hlm.25.
7
mengenai HAKI di negara masing-masing, serta TRIPS Agreement tidak
melindungi HAKI secara internasional.
Bidang HAKI dalam lingkup internasional, memiliki konvensi internasional
sendiri seperti yang berkembang dari waktu ke waktu. Selain itu, annex di
dalam Marrakesh Agreement yang memaparkan mengenai TRIPs Agreement
yang merupakan salah satu issue dari 15 issues dalam persetujuan GATT
yang mengatur masalah hak milik intelektual secara global.17
Dokumen akhir
Putaran Uruguay (GATT) disetujui pada 15 Desember 1993 dan diratifikasi
pada 15 April 1998 di Marrakesh, Afrika Utara.18
Konsekuensi negara
anggota ASEAN sebagai anggota dari WTO maka setiap negara anggota
harus mengadopsi TRIPs Agreement tersebut dengan proses ratifikasi. Oleh
karena itu, untuk memahami praktik adopsi dan implementasi TRIPs
Agreement yang dilakukan di negara anggota ASEAN ke peraturan
perundang-undangan nasional masing-masing negara. Peneliti akan
melakukan penelitian skripsi dengan judul perbandingan implementasi TRIPs
Agreement di negara anggota ASEAN.
17
Prabodh Malhotra, 2011, Impact of TRIPs in India: an Access to Medicines Perspective, Delhi:
Palgrave Press, hlm. 187. 18
Bambang Kesewo, 1994, “Beberapa Ketentuan dalam Persetujuan TRIPs”, dalam Seminar
sehari: Dampak GATT/Putaran Uruguay Bagi Dunia Usaha, Departemen Perdagangan RI,
Jakarta, hlm. 1.
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, pokok-pokok permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan HAKI dalam TRIPs Agreement?
2. Bagaimana praktik adopsi serta perbandingan implementasi TRIPs
Agreement di negara anggota ASEAN?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, penulisan ini
dilakukan dengan tujuan utama yaitu:
a. Untuk memahami dan mengkaji pengaturan mengenai HAKI dalam
TRIPs Agreement.
b. Untuk memahami dan mengkaji praktik adopsi serta perbandingan
implementasi TRIPs Agreement di Negara Anggota ASEAN.
2. Kegunaan Penelitian
Manfaat dari penelitian ini terdiri dari dua aspek yaitu:
a. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan
ilmu hukum, khususnya dalam lingkup hukum internasional tentang
penyelesaian perbedaan pandangan terkait praktik adopsi perjanjian
internasional dengan menganalisis perbandingan implementasiTRIPs
Agreement di negara anggota ASEAN. Manfaat teoritis dari penelitian
9
ini adalah sebagai sumber atau bahan referensi tentang pengaturan
hukum perjanjian internasional dalam TRIPs Agreement.
b. Manfaat Praktis
Penulisan ini diharapkan memberi manfaat kepada pembaca
khususnya, para akademisi sebagai pengembangan dari hukum
internasional dan dasar penelitian lanjutan sehingga masyarakat dapat
memahami praktik hukum internasional khususnya perjanjian
internasional yang berkaitan dengan praktik adopsi serta implementasi
TRIPs Agreement.
D. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dalam skripsi difokuskan pada perbandingan praktik adopsi serta
implementasi TRIPs Agreement di negara anggota ASEAN, yang dibatasi
pada ketentuan-ketentuan hukum terkait dan praktik negara Brunei
Darussalam, Myanmar, Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura,
Thailand, Vietnam, dan Indonesia.
E. Sistematika Penulisan
Bentuk penyusunan isi skripsi ini, diperlukan adanya kerangka penulisan
yang sistematis. Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab:
I. Pendahuluan
Bab ini merupakan bagian awal dari skripsi untuk mengantarkan pembaca
kepada gambaran umum pokok permasalahan skripsi yang uraiannya
terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan
10
penelitian, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan. Bab ini
adalah bab tentang gambaran isi tulisan secara keseluruhan.
II. Tinjauan Pustaka
Bab ini terdiri dari pengertian yang berlaku sebagai pembahasan pokok
dalam skripsi. Selain itu, bab ini berperan sebagai landasan teori agar
dapat memudahkan pembaca memahami hasil penelitian dan analisis data
skripsi di bab IV. Adapun isi bab ini adalah pengertian dari Sistem Hukum
Negara Anggota ASEAN, Perjanjian Internasional, WTO, dan TRIPs
Agreement.
III. Metode Penelitian
Bab ini akan menjalasan pendekatan yang digunakan dalam penyusunan
skripsi seiring dengan penelitian yang dilakukan. Oleh karena itu, metode
penelitian yang digunakan dikelompokkan menjadi beberapa bagian
yaitu berdasarkan jenis penelitian, pendekatan masalah, sumber data,
metode pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.
IV. Pembahasan
Bab ini merupakan pemaparan dari pemecahan permasalahan skripsi
sebagaimana terdapat dalam rumusan masalah di dalam bab I.
Penyelesaian masalah skripsi dilakukan dengan membahas hasil
penelitian serta analisis data sesuai dengan penulisan. Dalam skripsi ini,
jawaban permasalahan, terdiri dari pengaturan HAKI dalam TRIPs
Agreement serta praktik adopsi dan perbandingan implementasi TRIPs
Agreement di negara anggota ASEAN.
11
V. Penutup
Bab ini merupakan bab penutup dari skripsi ini, isinya terdiri dari adanya
kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan dalam bab ini adalah inti
ataupun pernyataan umum dari keseluruhan pembahasan dan
permasalahan penelitian skripsi. Berdasarkan kesimpulan tersebut,
diajukan saran-saran yang konstruktif untuk diberikan di masa yang akan
datang.
12
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Hukum Negara Anggota ASEAN
Menurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum ada di setiap kehidupan
manusia. Tidak sehari pun tanpa berhubungan dengan hukum. Secara arti yang
luas, hukum mempengaruhi atau mengubah perilaku orang. Ketika norma-
norma (kaidah-kaidah) melarang sesuatu (atau menuntut sesuatu dari
seseorang), biasanya larangan itu ditujukan demi kepentingan orang lain.
Hukum memberikan cara-cara yang mudah untuk mencapai tujuan yang
diharapkan.19
Eric L. Richard, salah seorang pakar hukum dari Indiana University,
mengemukakan bahwa sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat bangsa-
bangsa yang memiliki keragaman akar dan sistem hukum antara satu sama
lain, namun ditemukan adanya sistem hukum utama yang berlaku (The
World’s Major Legal system), sebagai berikut:20
a) Civil Law System;
b) Common Law System;
c) Islamic Law System;
d) Socialist Law System;
e) Sub-Saharan African System;
f) Far East System.
19
Satjipto Rahardjo, 2014, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya, hlm. 73. 20
A.M. Suherman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, hlm. 19
13
Negara-negara anggota ASEAN mayoritas menganut sistem hukum civil law
system, common law system, dan mixed law system penjelasannya sebagai
berikut yaitu :
Tabel 2.1
Sistem Hukum Negara ASEAN
Civil Law Common Law Mixed Law
Lazimnya juga disebut
sistem Eropa
Kontinental, berakar
dari sistem hukum
Romawi (the Roman
law system) yang
umumnya dianut oleh
negara-negara Eropa
Kontinental, Jerman,
Perancis, Belanda dan
bekas wilayah
jajahannya. Sistem
hukum ini didasarkan
atas code civil yang
terkodifikasi.
Disebut sistem Anglo
Saxon, adalah
berdasarkan atas
custom (kebiasaan),
preseden dan judge
made law. Ini
dipraktekkan pada
negara-negara Anglo
Saxon, utamanya
Inggris dan Amerika,
serta negara-negara
bekas jajahan Inggris.
Dikatakan menganut
sistem hukum campuran
(mixed law system) oleh
karena dalam praktik
sistem hukum negara
dimaksud memadukan
unsur-unsur dari
Common Law System
dan Civil Law System.
Baik semula hanya
menganut Civil Law
kemudian
perkembangannya
terinfiltrasi dengan
Common Law, dan
ataupun sebaliknya yang
terjadi. Sumber: Buku Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan (Civil Law System dan Common
Law System), 2010
B. Perjanjian Internasional
1. Pengertian Perjanjian Internasional
Berdasarkan Hukum Internasional secara umum, suatu perjanjian
merupakan consensual bond, express, or tacit, diantara dua atau lebih
subjek Hukum Internasional. Kata “treaty” bersifat tertulis, sedangkan kata
“agreement” bersifat lebih luas, yang mencakup obligasi tidak tertulis.21
21
Robert Kolb, 2016, The Law of Treaties: An Introduction, UK: Edward Elgar Publishing
Limited, hlm. 16.
14
Menurut Konvensi Wina pengertian Perjanjian Internasional adalah Pasal 2
ayat (1a) Konvensi Wina 1969, Perjanjian Internasional adalah perjanjian
yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untuk mengadakan
akibat-akibat hukum tertentu. Pasal 2 ayat (1a) Konvensi Wina 1986,
Perjanjian Internasional sebagai persetujuan internasional yang diatur
menurut hukum internasional dan ditanda tangani dalam bentuk tertulis
antara satu negara atau lebih dan antara satu atau lebih organisasi
internasional, antar organisasi internasional.
Pasal 2 konvensi Wina 1969 mengatakan bahwa treaty merupakan
persetujuan internasional yang diadakan oleh negara-negara dalam bentuk
tertulis dan seterusnya, sehingga perjanjian internasional dalam bentuk lisan
tidak dapat dimasukkan ke dalam jenis treaty, walaupun perjanjian secara
lisan itu melahirkan kewajiban internasional.
Pengertian perjanjian internasional di Indonesia diatur juga dalam Pasal 1
(3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang perjanjian internasional
diatur22
oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah
Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, Organisasi Internasional
atau Subjek Hukum Internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan
kewajiban pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum politik.
Selanjutnya Pasal 1 (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang
perjanjian internasional adalah23
perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu
yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang
22
UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. 23
UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
15
hukum publik. Pasal 1 (10) Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang
Wilayah Negara, perjanjian internasional adalah24
perjanjian dalam bentuk
dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat
secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum
publik. Dengan demikian, perjanjian internasional merupakan semua
perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subyek hukum
internasional yang berisi ketentuan-ketentuan yang menimbulkan akibat
hukum.
2. Asas-asas Perjanjian Internasional
Berdasarkan berbagai pengertian perjanjian internasional baik
berlandaskan pada pengertian teoritis maupun yuridis, dapat dikatakan
bahwa suatu perjanjian merupakan perjanjian internasional apabila dibuat
oleh subjek hukum internasional. Hukum perjanjian internasional
merupkan speckles dan genus yaitu perjanjian pada umumnya. Sehingga
atas isi dan beroperasinya suatu perjanjian internasional juga tunduk pada
asas-asas umum perjanjian internasional, seperti:
a. Asas Pacta Sunt Servanda
Sebelum menguraikan makna yang terkandung pada asas pacta sunt
servanda ada baiknya diuraikan terlebih dahulu pengertian asas dan
arti pentingnya asas dalam hukum. Oleh beberapa sarjana penggunaan
kata asas disamakan artinya dengan prinsip (principle). Arti dari asas
itu sendiri menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia mempunyai tiga
pengertian, yaitu berarti dasar, alas, pedoman; suatu kebenaran yang
24
UU Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
16
menjadi pokok atau tumpuhan berpikir; dan cita-cita yang menjadi
dasar.25
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa asas
merupakan dasar atau tempat berpikir dalam memperoleh kebenaran.
Menurut Paton, asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara
luas dan mendasari adanya seseuatu norma hukum.26
Berdasarkan
pendapat Paton demikian dapat dikatakan bahwa adanya norma hukum
itu berlandaskan pada suatu asas. Sehingga setiap norma hukum harus
dapat dikembalikan pada asas.
Pendapat lain tentang asas hukum sebagaimana dikemukakan oleh Ron
Jue bahwa asas hukum merupakan nilai-nilai yang melandasi kaidah-
kaidah hukum.27
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa asas hukum
merupakan suatu alam pikiran atau cita-cita ideal yang
melatarbelakangi pembentukan kaidah hukum, bersifat umum maupun
universal28
dan abstrak, tidak bersifat konkrit. Bahkan oleh Scholten
dikatakan bahwa asas hukum itu berada baik dalam sistem hukum
maupun dibelakang atau di luar sistem hukum. Sejauh nilai asas
hukum itu diwujudkan dalam kaidah hukum dari sistem hukum positif,
maka asas hukum itu berada di dalam sistem. Demikian sebaliknya,
sejauh nilai asas hukum itu tidak diwujudkan dalam kaidah hukum dari
25
Sam Suhaedi At-mawiria, 1968, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni, hlm. 58. 26
Chainur Arrasjid, 2000, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 36. 27
J.J. H. Bruggink, ahli bahasa Arief Sidharta, 1999, Refleksi tentang Hukum, Bandung: Citra
Aditya, hlm. 121. 28
Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum, Yogyakarta: Liberty, hlm. 6.
17
sistem hukum positif, maka asas hukum itu berada di belakang sistem
hukum.29
Pacta sunt servanda berasal dari bahasa latin yang berarti “janji harus
ditepati”. Pacta sunt servanda merupakan asas atau prinsip dasar
dalam sistem hukum civil law, yang dalam perkembangannya
diadopsi ke dalam hukum internasional. Pada dasarnya asas ini
berkaitan dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan diantara para
individu, yang mengandung makna bahwa:
1) perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya;
2) mengisaratkan bahwa pengingkaran terhadap kewajiban yang ada
pada perjanjian merupakan tindakan melanggar janji atau
wanprestasi.30
Aziz T. Saliba menyatakan bahwa asas Pacta Sunt Servanda
merupakan sakralisasi atas suatu perjanjian (sanctity of contracts).
Titik fokus dari hukum perjanjian adalah kebebasan berkontrak atau
yang dikenal dengan prinsip otonomi, yang berarti bahwa dengan
memperhatikan batas hukum yang tepat orang dapat mengadakan
perjanjian apa saja sesuai dengan kehendaknya, dan apabila mereka
29
Ibid., hlm. 122. 30
Harry Purwanto, “Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional”,
Mimbar Hukum, vol. 21 no. 1, hlm. 162.
18
telah memutuskan untuk membuat perjanjian, mereka terikat dengan
perjanjian tersebut.31
Asas pacta sunt servanda merupakan salah satu norma dasar
(grundnorm; basic norm) dalam hukum, dan erat kaitannya dengan
asas itikad baik untuk menghormati atau mentaati perjanjian.32
Sejauh mana para pihak akan mentaati isi perjanjian akan terlihat
dalam praktik pelaksanaannya yang tentu saja harus didasarkan atas
itikad baik dari para pihak. Kedua asas ini nampak sebagai asas yang
tidak terpisahkan satu sama lain dalam pelaksanaan perjanjian. Suatu
perjanjian yang lahir sebagai hasil kesepakatan dan merupakan suatu
pertemuan antara kemauan para pihak, tidak akan dapat tercapai
kemauan para pihak apabila di dalam pelaksanannya tidak di landasi
oleh adanya itikad baik dari para pihak untuk melaksanakan perjanjian
sebagaimana yang dituju. Aktualisasi pelaksanaan asas itikad baik dari
suatu janji antara lain dapat diilustrasikan sebagai berikut:
1) para pihak harus melaksanakan ketentuan perjanjian sesuai dengan
isi, jiwa, maksud, dam tujuan perjanjian itu sendiri;
2) menghormati hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari masing-
masing pihak maupun pihak ketiga yang mungkin diberikan hak
dan/atau dibebani kewajiban (kalau ada);
31
Aziz T Saliba, 2001, “Universidade de Itauna dan Faculdades de Direito do Oeste de Minas,
Brazil menulis komentarnya berjudul Comparative Law Europe”, Contracts Law and Legislation,
vol. 8 no. 3, dalam http://pihilawyers.com/blog/?p=16 32 Sam Suhaedi At-mawiria, loc. cit.
19
3) tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menghambat
usaha-usaha mencapai maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri,
baik sebelum perjanjian itu mulai berlaku maupun setelah
perjanjian itu mulai berlaku.33
Sebagaimana di singgung di atas, bahwa asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang sudah tua yang berasal dari ajaran hukum alam
atau hukum kodrat Beberapa sarjana yang kemudian mengembangkan
asas tersebut seperti Cicero.
Seorang sarjana terkemuka dari Mazab Vienna bernama Vadross
mengatakan bahwa asas pacta sunt servanda sebagai asas itikad baik
atau taat kepada perjanjian yaitu suatu prinsip penting dalam asas
hukum yang mengatur hukum perjanjian. Bagi Vadross keberadaan
asas pacta sunt servanda merupakan suatu asas hukum umum
(general principle of law). Dalam memberi makna asas pacta sunt
servanda. Vedross khusus mengkaitkan pada hukum perjanjian
internasional (hukum internasional konvensional), dan tidak
mengkaitkannya dengan hukum internasional kebiasaan.34
b. Asas Rebuc Sis Stantibus
Keberadaan asas rebus sic stantibus telah lama dikenal dalam
masyarakat, baik oleh para ahli hukum maupun oleh lembaga
33
Wayan Partiana, 2005, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2, Bandung: Mandar Maju, hlm.
263. 34 Sam Suhaedi At-mawiria, loc. cit.
20
pengadilan35
, dan bahkan dewasa ini telah menjadi bagian dari hukum
positif baik dalam sistem hukum nasional maupun dalam sistem
hukum internasional. Diterimanya asas rebus sic stantibus tersebut
pada awalnya untuk melunakan sifat ketat hukum privat Roma.36
Melalui ungkapan dari para ahli hukum kaum kanonik dapat dipahami
bahwa perjanjian akan dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan
janjinya, sepanjang lingkungan dan keadaan pada saat dibuatnya
perjanjian tidak berubah untuk masa yang akan datang. Sehingga
dengan adanya perubahan keadaan dan ternyata perubahan tersebut
mempengaruhi kemampuan para pihak untuk melaksanakan
perjanjian, maka pihak yang tidak mampu lagi melaksanakan
perjanjian dapat menyatakan untuk tidak terikat lagi pada atau keluar
dari perjanjian tersebut. Sehingga perjanjian tidak lagi mengikat
baginya.
Asas rebus sic stantibus pertama kali diterapkan oleh peradilan
kegamaan. Diterpakannya asas rebus sic stantibus oleh peradilan
keagamaan karena situasi yang terjadi pada waktu itu adanya
pemisahan antara urusan gereja dengan urusan negara, dan ini
merupakan salah satu karakteristik penting dari Kode Napoleon.
Untuk selanjutnya asas rebus sic stantibus diadopsi oleh pengadilan
lain dan para ahli hukum. Asas ini kemudian telah diterima secara luas
35
R.C. Hengorani, 1982, Modern International Law, Second Edition, Oxford: IBH Publishing Co,
hlm. 232. 36
Arthur Nussbaum dan Sam Suhaedi Admawiria, 1969, Sejarah Hukum Internasional I,
Bandung: Binacipta, hlm. 90 dan 123.
21
pada akhir abad XIII. Dalam perkembangannya keberadaan asas rebus
sic stantibus mendapat dukungan dari beberapa ahli dan pendapat para
ahli telah membantu eksistensi asas rebus sic stantibus dalam
masyarakat.37
3. Jenis-Jenis Perjanjian Internasional
Ditinjau dari berbagai segi, Perjanjian Internasional dapat digolongkan ke
dalam 4 (empat) segi, yaitu:
a. Perjanjian Internasional ditinjau dari jumlah pesertanya
1) Perjanjian Internasional Bilateral, yaitu Perjanjian Internasional
yang jumlah peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalamnya
terdiri atas dua subjek hukum internasional saja (negara dan/atau
organisasi internasional, dan sebagainya).38
2) Perjanjian Internasional Multilateral, yaitu Perjanjian
Internasional yang peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalam
perjanjian itu lebih dari dua subjek hukum internasional. Sifat
kaidah hukum yang dilahirkan perjanjian multilateral bisa bersifat
khusus dan ada pula yang bersifat umum, bergantung pada
karakter perjanjian multilateral itu sendiri. 39
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian bilateral dan
multilateral dibedakan pada jumlah pihak (subjek hukum internasional)
yang terikat dalam suatu perjanjian tersebut. Maka dari itu, apabila
37
Ibid. 38
Pristika Handayani, 2014, “Perjanjian Bilateral Indonesia dengan Malaysia tehadap Tenaga
Kerja Indonesia (TKI)”, Lex Jurnalica, vol. 11 no. 1, hlm. 1. 39
I Wayan Partiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional – Bagian I, Bandung: Mandar Maju,
hlm. 35.
22
dikatikan dengan uraian di atas, TRIPs Agreement merupakan perjanjian
multilateral.
b. Perjanjian Internasional ditinjau dari kaidah hukum yang
dilahirkannya
1) Treaty Contract. Traktat adalah bentuk perjanjian internasional
yang mengatur hal-hal yang sangat penting yang mengikat negara
secara menyeluruh yang pada umumnya bersifat multilateral.
Meskipun demikian, kebiasaan negara- negara di masa lampau
cenderung menggunakan istilah ini untuk perjanjian bilateral.40
2) Law Making Treaty. Sebagai perjanjian umum atau perjanjian
terbuka, merupakan perjanjian- perjanjian yang ditinjau dari isi
atau kaidah hukum yang dilahirkannya dapat diikuti oleh subjek
hukum internasional lain yang semula tidak ikut serta dalam
proses pembuatan perjanjian tersebut. 41
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa perbedaannya adalah
Treaty Contract hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian, sedangkan Law Making Treaty merupakan perjanjian yang
membentuk hukum dengan meletakan ketentuan atau kaidah-kaidah
hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan.
c. Perjanjian Internasional ditinjau dari prosedur atau tahap
pembentukannya
1) Perjanjian Internasional yang melalui dua tahap. Perjanjian
40
Eddy Pratomo, op. cit., hlm. 58. 41
Sefriani, op.cit., hlm. 29.
23
melalui dua tahap ini hanyalah sesuai untuk masalah-masalah
yang menuntut pelaksanaannya sesegera mungkin diselesaikan.
Kedua tahap tersebut meliputi tahap perundingan (negotiation)
dan tahap penandatanganan (signature). 42
2) Perjanjian Internasional yang melalui tiga tahap. Pada Perjanjian
Internasional yang melalui tiga tahap, sama dengan proses
Perjanjian Internasionl yang melalui dua tahap, namun pada tahap
ketiga ada proses pengesahan (ratification). Pada perjanjian ini
penandatangan itu bukanlah merupakan pengikatan diri negara
penandatangan pada perjanjian, melainkan hanya berarti bahwa
wakil-wakil para pihak yang bersangkutan telah berhasil
mencapai kata sepakat mengenai masalah yang dibahas dalam
perundingan yang telah dituangkan dalam bentuk naskah
perjanjian.
Dapat disimpulkan bahwa perjanjian internasional yang melalui dua tahap
merupakan perjanjian yang menangani masalah ringan dan cepat
diselesaikan karena hanya melalui proses negosiasi dan penandatanganan,
sedangkan perjanjian internasional yang melalui tiga tahap menanganani
masalah yang nantinya perjanjian tersebut akan sangat berpengaruh pada
pihak-pihak nya, maka dari itu perlu adanya proses ratifikasi (pengesahan).
42
I Wayan Partiana, op. cit., hlm. 38.
24
4. Validitas Perjanjian Internasional
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
mengadopsi model yang terdapat pada Konvensi Wina 1969 tentang
Perjanjian Internasional perihal pemberlakuan perjanjian. Pasal 3
menyebutkan bahwa berlakunya perjanjian terhadap Indonesia dapat
dilakukan melalui:43
1) Penandatanganan;
2) Pengesahan;
3) Pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
4) Cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian
internasional.
Dinamika praktik diplomasi telah memperkaya modal pemberlakuan
perjanjian khususnya tentang cara-cara lain yang disepakati oleh para
pihak. Praktik Indonesia dewasa ini menunjukkan bahwa cara lain
dimaksud dapat berupa:44
1) Pada tanggal yang disepakati melalui Pertukaran Nota (Exchange of
Notes). Beberapa perjanjian misalnya memuat klausul sebagai berikut:
“This MoU shall enter into force on a date to be mutually agreed
upon by the parties, which shall be notified through the exchange
of diplomatic notes.”
2) Penyampaian notifikasi bahwa prosedur internal telah dipenuhi.
Beberapa perjanjian misalnya memuat klausul sebagai berikut:
“This Agreement shall enter into force on the latter of the date on
which the respective Governments may notify each other in writing
that formalities constitutionally required in their respective State
have been complied with.”
3) Pada tanggal di mana perjanjian lainnya (induknya) mulai sudah
berlaku. Beberapa perjanjian misalnya memuat klausul sebagai berikut:
“This Agreement shall shall enter into force on the date of which
the Umbrella Agreement enters into force…………….”
43
Damos Dumoli Agusman, op. cit., hlm. 57. 44
Ibid., hlm. 58.
25
5. Pengesahan Perjanjian Internasional
Istilah “pengesahan” yang dipergunakan dalam praktik hukum
perjanjian internasional di Indonesia khususnya Undang-Undang No.
24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional diadopsi dan
diterjemahkan dari istilah “ratifikasi”. Menurut Pasal 2 ayat (1b)
Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi
adalah:45
“Ratification”, “acceptance”, “approval” and “accession” mean in
each case the international act so named whereby a State establishes
on the international plane its consent to be bound by a treaty;”
Selanjutnya menurut Pasal 14 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian
Internasional, ratifikasi adalah salah satu cara untuk mengikatkan diri
pada suatu perjanjian dan lazimnya selalu didahului dengan adanya
penandatanganan.
C. WTO
Pada tanggal 15 April 1994 lebih dari 100 Menteri Perdagangan dunia bertemu
di Maroko untuk menandatangani Putaran Uruguay sebagai kesepakatan
perdagangan multilateral. Pada saat yang sama mereka juga mengesahkan
suatu rencana masa depan untuk mengusulkan suatu Organisasi Perdagangan
Dunia yang didalamnya meliputi suatu kerangka kerja (framework) umum
untuk melakukan pendekatan terhadap isu-isu perdagangan dan lingkungan.46
45
Ibid, hlm 69. 46
Nevin Shaw and Aaron Cosbey, 2000, GATT, the WTO and Sustainable Development, USA:
International Institute for Sustainable Development, hlm. 2.
26
Setelah melalu proses serangkaian perundingan yang panjang dan berbagai
konsultasi serta lobi-lobi pendekatan yang dilakukan atas sejumlah draft-draft
usulan, akhirnya pada Pertemuan Tingkat Menteri Contracting Parties GATT
di Marrakesh, Maroko 12-15 April 1994 disahkan Final Act 15 April 1994
tentang pembentukan dan tanggal berlakunya World Trade Organization
(Agreement Establishing the World Trade Organization) dan terbuka bagi
ratifikasi oleh negara-negara dan direncanakan mulai berlaku efektif 1 Januari
1995. WTO pada kenyataannya merupakan kelanjutan dan pengembangan dari
GATT.
WTO adalah organisasi perdagangan dunia yang berfungsi untuk mengatur dan
memfasilitasi perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk
menciptakan persaingan sehat di bidang perdagangan internasional bagi para
anggotanya. Sedangkan secara filosofis, tujuan WTO adalah untuk
meningkatkan taraf hidup dan pendapatan, menjamin terciptanya lapangan
pekerjaan, meningkatkan produksi dan perdagangan, serta mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya dunia.47
Tujuan penting lainnya adalah untuk
penyelesaian sengketa.
Mekanisme penyelesaian sengketa WTO dipicu dengan adanya keberatan
negara anggota yang mana manfaat yang diharapkan dalam persetujuan GATT
terhapus atau terganggu karena: 48
1. Kegagalan negara anggota lainnya melaksanakan kewajiban sejalan
dengan GATT;
47
Departemen Perindustrian dan Perdagangan, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia,
http://www.dprin.go.id/Ind/publikasi/djkipi/wto.htm 48
C. O’Neal Taylor, 1997, “The Limits of Economic Power: Section 301and The World Trade
Organization Dispute Settlement System”, Vanderbilt Journal of Transnational Law, hlm. 45.
27
2. Penerapan oleh negara anggota lainnya terhadap segala tindakan yang
bertentangan dengan GATT; atau
3. Timbulnya situasi lain.
Pasca perang dunia kedua negara-negara mencoba membangun suatu sistem
perdagangan internasional melalui sekumpulan peraturan internasional yang
cukup rumit yang ketentuan-ketentuan pokoknya diatur dalam GATT yang
ditandatangani pada tahun 1947. Namun, dengan tidak mengecilkan arti yang
telah dicapai GATT, masih terdapat suatu masalah besar yang senantiasa
mengancam kelancaran dan ketertiban perdagangan internasional yang tidak
hanya efisiensi dan efektif, tetapi juga adil, yaitu karena masih terjadi
ketidakpatuhan negara-negara terutama negara ekonomi kuat (negara
superpower) terhadap ketentuan-ketentuan GATT. Salah satu alasan yang
menimbulkan ketidakpatuhan ini adalah kurang berfungsinya mekanisme
penyelesaian sengketa.49
GATT semula merupakan kodifikasi sementara mengenai peraturan hubungan
perdagangan antar Negara penandantangan 23 negara sambil menunggu
berlakunya Piagam Havana dan ketentuan-ketentuan GATT tersebut akan
dimasukkan ke dalam Piagam Havana sebagai bagian dari peraturan
perdagangan berdasar Piagam Havana, karena Piagam Havana gagal untuk
diberlakukan disebabkan karena Amerika Serikat, pelaku utama dalam
perdagangan dunia, pada tahun 1958, menyatakan bahwa negaranya tidak akan
meratifikasi piagam tersebut. Sejak itu pulalah International Trade
49
Christhophorus Barutu, 2015, Seni bersengketa di WTO, Bandung: PT. Citra Adiya Bakti, hlm.
1.
28
Organization (ITO) secara efektif menjadi tidak berfungsi sama sekali, maka
GATT akhirnya menjadi instrument hukum yang berdiri sendiri.50
Piagam Havana gagal berlaku, maka dari itu untuk mengisi kekosongan hukum
di bidang perdagangan internasional, melalui sebuah Protocol of Provisional
Application GATT diberlakukan mulai 1948. Semula GATT dimaksudkan
berlaku sementara waktu sambil menunggu dibentuknya perjanjian
internasional yang permanen yang mengatur perdagangan internasional.
Namun dalam praktik, hingga terbentuknya persetujuan WTO, GATT berlaku
sebagai peraturan perdagangan internasional yang terpenting dan juga berperan
sebagai organisasi perdagangan internasional.51
Rencana pembentukan ITO, yang merupakan satu dari 3 (tiga) kerangka
Bretton Woods Institution. Kedua organisasi lainnya adalah International
Monetary Fund (IMF) dan International Bank for Reconstruction and
Development (IBRD) yang sering dikenal dengan World Bank. GATT
sebenarnya hanya salah satu dari IX Chapters yang direncanakan menjadi isi
dari Havana Charter mengenai pembentukan ITO pada tahun 1947, yaitu
Chapter IV: Commercial Policy. NamunInternational Trade Organization
(ITO) tidak berhasil didirikan, walaupun Havana Charter sudah disepakati dan
ditandatangani oleh 53 negara pada Maret 1948.Hal tersebut dikarenakan
Amerika Serikat menolak untuk meratifikasinya di mana Kongres Amerika
50
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Bandung: PT Rajawali Press, hlm. 8. 51
Triyana Yohanes, 2015, Hukum Ekonomi Internasional, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,
hlm 45.
29
Serikat khawatir wewenangnya dalam menentukan kebijakan Amerika Serikat
semakin berkurang.52
Konferensi internasional yang diselenggarakan setelah peran dunia II,
perdagangan internasional semula akan diatur berdasar perjanjian internasional
multilateral di bawah ITO yang akan dijadikan sebagai salah satu organ khusus
dari PBB. Melalui konferensi internasional yang diselenggarakan dari tahun
1946 hingga 1948 dihasilkan Piagam Havana yang merupakan peraturan dasar
dari ITO, tetapi, Piagam Havana tersebut ternyata gagal untuk diberlakukan
karena tidak diratifikasi mayoritas negara-negara peserta perundingan,
termasuk Amerika Serikat. Oleh karena itu, Piagam Havana tidak dapat
diberlakukan dan ITO juga gagal terbentuknya sebagai organisasi perdagangan
internasional di bawah PBB.53
WTO merupakan suatu fenomena menarik dalam hukum internasional. Ada
sementara pengamat yang menyatakan bahwa WTO merupakan satu bentuk
hukum internasional yang memiliki daya paksa sangat kuat yang antara lain
ditunjukkan oleh jauh lebih efektifnya mekanisme penyelesaian perselisihan di
antara sesama Negara anggotanya dibandingkan yang pernah dimiliki GATT
1947. Sebagai pengganti dari GATT 1947 dalam kurun waktu 10 (sepuluh
tahun) WTO telah memperhatikan efektivitas dan effisiensi lebih besar
52
Orinton Purba, Fungsi Dan Peranan WTO dalam Era Perdagangan Bebas, diakses dari
https://hukuminvestasi.wordpress.com/2010/09/16/fungsi-dan-peranan-wto.html pada 13
september 2018 pukul 05:30. 53
Triyana Yohanes, Op.Cit, hlm 44.
30
dibandingkan dengan GATT 1947 selama hampir setengah abad
keberadaannya.54
WTO merupakan salah satu organisasi internasional publik terbesar di bidang
perdagangan pada saat ini. Sebagai sebuah organisasi negara di seluruh
wilayah dunia, organisasi internasional dan kesatuan ekonomi yang memiliki
otonomi penuh dalam melakukan perdagangan internasionalnya Pasal XXI
ayat (1) dan Pasal XXII ayat (1) WTO Agreement. WTO dibentuk melalui
persetujuan tentang pembentukan WTO, yang mulai berlaku secara efektif di
bidang perdagangan, dapat dikatakan WTO merupakan penerus dan perluasan
dari organisasi perdagangan dunia sebelumnya yakni GATT.55
Perundingan Uruguay dianggap salah satu perundingan yang paling
menentukan perkembangan GATT di masa yang akan datang. Putaran Uruguay
merupakan putaran perundingan yang berlangsung lama dan mencangkup segi-
segi pengaturan yang lebih luas. Di sana tidak hanya dibicarakan mengenai
masalah tarif dan non tarif saja tetapi juga masalah-masalah lain yang di
golongkan sebagai aspek non trade seperti, hak atas kekayaan intelektual, dan
kepentingan negara-negara miskin yang harus diperhatikan. Kemudian pada
putaran terakhir ini pula disahkan persetujuan untuk membentuk sebuah
organisasi perdagangan yang di sebut WTO.56
54
Hata, 2012, Hukum Internasional: Sejarah dan Perkembangan Hingga pasca Peran Dingin,
Malang: Setara Press, hlm. 143. 55
Triyana Yohanes, op.cit, hlm. 70. 56
Anthony Alfonso, 1989, Japanese Language Patterns, Tokyo : Shopia University Centre of
Aplied Linguistics, hlm. 18-28.
31
Pada tahun 1954-1955, teks GATT mengalami perubahan. Ada dua perubahan
penting yang terjadi. Pertama, dikeluarkannya protokol yang merubah bagian I
dan Pasal XXIX dan Pasal XXX dan protokol yang merubah preambule dan
bagian 2 dan 3. Protokol pertama mensyaratkan penerimaan oleh semua negara
peserta. Namun karena Uruguay Round tidak meratifikasinya, protocol ini
menjadi tidak berlaku sejak tanggal 1 Januari 1968. Sedangkan protokol kedua
mulai berlaku sejak tanggal 28 November 1957. Pada tahun 1965, GATT
mendapat tambahan bagian baru, yaitu bagian keempat. Bagian ini berlaku
secara de facto tanggal 8 Februari 1965 dan mulai berlaku efektif tanggal 27
Juni 1965. Bagian ini khusus mengatur kepentingan perluasan ekspor bagi
negara-negara berkembangan (Pasal XXXVI – Pasal XXXVIII).57
Pembentukan GATT dinyatakan bahwa perdagangan dan hubungan ekonomi
internasional harus bertujuan untuk meningkatkan standar-standar kehidupan
global, yang mengusahakan tercapainya suatu tingkat penyerapan tenaga kerja
sepenuhnya (full employment) menjamin pertumbuhan pendapatan riil yang
tinggi dan terusmenerus, mengamankan permintaan efektif, mengeksploitasi
sepenuhnya sumbersumber daya dunia, dan barnag-barang dan berhasrat untuk
mendukung pelaksanaan tujuan-tujuan ini sebagai akibat dari penandatanganan
persetujuan untuk menghilangkan tarif dan hambatan-hambatan perdagangan
lainnya di dalam perdagangan internasional.58
Perjanjian pembentukan WTO merupakan perjanjian terpenting yang
dihasilkan Putaran Uruguay. Dengan terbentuknya WTO, maka mulai 1 Januari
57
Hata, op.cit, hlm. 145. 58
Apridar, 2009, Ekonomi Internasional: Sejarah, Teori, Konsep dan Permasalahan dalam
Aplikasinya, Yogyakarta: Graha Ilmu, hlm. 123.
32
1995 persoalan tentang apakah GATT sebuah organisasi internasional atau
bukan sudah terjawab. GATT 1947 kini diintegrasikan ke dalam salah satu
perjanjian yang merupakan annex dari WTO Agreement yakni Multilateral
Agreement on GATT 1994.59
D. TRIPs Agreement
1. Latar Belakang dan Tujuan dibentuknya TRIPs
Lahirnya TRIPs Agreementdalam Putaran Uruguay (GATT) pada dasarnya
merupakan dampak dari kondisi perdagangan dan ekonomi intemasional
yang dirasa semakin meluas yang tidak lagi mengenal batas-batas negara.
Negara yang pertama sekali mengemukakan lahimya TRIPs adalah
Amerika, sebagai antisipasi yang menilai bahwa WIPO yang bernaung di
bawah PBB, tidak mampu melindungai HAKI mereka di pasar intemasional
yang mengakibatkan neraca perdagangan mereka menjadi negatif.60
Argumentasi mereka mengenai kelemahan-kelemahan WIPO adalah61
:
a. WIPO merupakan suatu organisasi dimana anggotanya terbatas (tidak
banyak), sehingga ketentuan-ketetuannya tidak dapat diberlakukan
terhadap non anggota.
b. WIPO tidak memiliki mekanisme untuk menyelesaikan dan menghukum
setiap pelanggaran HAKI.
59
Hatta, op.cit, hlm. 164. 60
Sunarmi, op. cit., hlm. 2 61
Siti Munawaroh, 2006, “Peranan Trips (Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights)
terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual di Bidang Teknologi Informasi di Indonesia”, Jurnal
Teknologi Informasi DINAMIK, vol. XI, no. 1, hlm. 24.
33
Di samping itu WIPO dianggap juga tidak mampu mengadaptasi perubahan
struktur perdagangan intemasional dan perubahan tingkat invasi teknologi.
Sejak tahun 1982, Amerika berusaha memasukkan permasalahan HAKI ke
forum perdangan GATT. Dimasukannya HAKI ini pada mulanya ditentang
oleh negara-negara berkembang dengan alasan bahwa pembicaraan HAKI
dalam GATT tidaklah tepat (kompeten). GATT merupakan forum
perdagangan multilateral, sedangkan HAKI tidak ada kaitannya dengan
perdagangan.Namun akhirnya mereka bisa menerimanya setelah negara
argumentasi bahwa kemajuan perdagangan (intemasional) suatu negara
bergantung pada kemajuan/keunggulan teknologinya termasuk perlindungan
HAKI.62
Ada beberapa hal khusus yang terdapat dalam TRIPsAgreement, yaitu63
:
a. memperkenalkan prinsip the most favoured nation treatment sebagai
tambahan dari prinsip national treatment;
b. mengatur tentang perlindungan paten dan hak cipta secara menyeluruh,
dan mengatur jangka waktu perlindungan minimum yang harus
diterapkan oleh negaraanggota;
c. mengatur tentang ketentuan upaya hukum administratif dan hukum
acara bagi penegakan hukum;
d. mengatur penyelesaian sengketa di antara para anggotanyadengan cara
konsultasi atau rekomendasi tentang perkembangan pelanggaran dari
konvensi tersebut;
TRIPs Agreement diharapkan memainkan peranan yang efektif dalam
mencegah sanksi sepihak seperti Pasal 301 Hukum Dagang Amerika
Serikat.
62
Ibid, hlm 25. 63
Bambang Kesowo, 1997, “Implementasi Persetujuan TRIP’s dalam Hukum Hak Atas Kekayaan
Intelektual Nasional”, Makalah Disampaikan dalam Seminar Nasional Perlindungan Konsumen
dalam Era Pasar Bebas, Surakarta: Fakultas Hukum UNS, hlm. 12.
34
TRIPs bertujuan64 untuk melindungi dan menegakkan hukum hak milik
intelektual guna mendorong timbulnya inovasi, pengalihan, serta
penyebaran teknologi, diperolehnya manfaat bersama pembuat dan pemakai
pengetahuan teknologi, dengan cara yang menciptakan kesejahteraan sosial
dan ekonomi serta berkeseimbangan antara hak dan kewajiban (Pasal 7
TRIPs). Untuk itu perlu dikurangi gangguan dan hambatan dalam
perdagangan internasional dengan mengingat kebutuhan untuk
meningkatkan perlindungan yang efektif dan memadai terhadap hak milik
intelektual, serta untuk menjamin agar tindakan dan prosedur untuk
menegakkan hak milik intelektual tidak menjadi penghalang bagi
perdagangan yang sah.
2. Isi Pasal TRIPs
TRIPs berisi65
:
Bagian I : Ketentuan Umum dan Prinsip Dasar;
Bagian II : Standar Ketersediaan, Lingkup dan Penggunaan Hak Milik
Intelektual;
a. Hak Cipta dan Hak-hak yang Terkait;
b. Merek Dagang;
c. Indikasi Geografis;
d. Desain Industri;
e. Paten;
f. Desain Tata Letak (Topografi) Sirkit Terpadu;
64
Sunarmi, op. cit., hlm. 3 65
Siti Munawaroh, op. cit., hlm 25.
35
g. Perlindungan Informasi yang Dirahasiakan;
h. Perlindungan Praktek Anti Persaingan dalam Lisensi Kontrak.
Bagian III : Penegakan Hak Milik Intelektual;
a. Kewajiban Umum;
b. Prosedur dan Penyelesaian Perdata Serta Administratif;
c. Tindakan Sementara;
d. Persyaratan khusus yang Berkaitan Dengan Tindakan yang Sifatnya
Tumpang Tindih;
e. Prosedur Pidana
Bagian IV :Pemerolehan dan Pemeliharaan Hak Milik Intelektual dan
Prosedur Antar Para Pihak;
Bagian V: Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan;
Bagian VI : Pengaturan Peralihan;
Dari ketentuan yang termasuk dalam lingkup hak milik intelektual pada
bagian II di dalam persetujuan TRIPs ternyata lebih luas pengaturannya
dibanding peraturan perundang-undangan nasional maupun konvensi-
konvensi internasional sebelumnya.
3. Ketentuan Prinsip-Prinsip Dasar dalam TRIPs
Sejak tahun 1982 Amerika berusaha memasukkan permasalahan HAKI ini ke
forum perdagangan GATT. Dengan masuknya masalah HAKI ini (juga
beberapa masalah lainnya). GATT yang semula hanya mengatur 12
permasalahan, kini telah ada 15 permasalahan, tiga diantaranya merupakan
kelompok news issue, yaitu: TRIPs (masalah HAKI), TRIMs (masalah
36
investasi), dan Trade in Service (masalah perdagangan yang berkaitan dengan
sektor jasa). Sebagaimana halnya perjanjian multilateral lainnya, TRIPs
memiliki ketentuan dan prinsip-prinsip dasar bagi para anggotanya yang
tertuang dalam Bab I (Pasal 1-8). Ketentuan dan prinsip-prinsip dasar
tersebut, antara lain yang terpenting yaitu66
:
a. Ketentuan Free in Determine
Ketentuan yang memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk
menentukan cara-cara yang dianggap sesuai untuk menerapkan
ketentuanketentuan dalam TRIPs ke dalam sistem dan praktik hukum
mereka.Mereka dapat menerapkan sistem perlindungan yang lebih luas
dari yang diwajibkan oleh TRIPs, sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam persetujuan tersebut (Pasal 1
TRIPs).
b. Ketentuan Intellectual Property Convention
Berkenaan dengan ketentuan yang mengharuskan para anggotanya
menyesuiakan peraturan perundang-undangan dengan berbagai konvensi
internasional di bidang HAKI, khususnya Konvensi Paris, Konvensi Bern,
Konvensi Roma dan Treaty on Intellectual Property in Respect of
Integrated Circuit (Pasal 2 ayat (2). Ketentuan ini berkaitan erat dengan
ketentuan yang terdapat dalam butir 1 di atas, di mana pengaturan
selanjutnya yang telah disebutkan, disesuaikan dengan konvensi-konvensi
internasional yang telah ada diakui.
c. Ketentuan National Treatment
Merupakan sisi dan ketentuan yang mengharuskan para anggotanya
memberikan perlindungan HAKI yang sama antara negaranya sendiri
dengan warga negara anggota lainnya (Pasal 3 ayat 1). Prinsip perlakuan
sama ini tidak hanya berlaku untuk warga negara perseorangan, tetapi
juga untuk badan-badan hukum. Ketentuan ini merupakan kelanjutan dari
apa yang tercantum dalam Pasal 2 Konvensi Paris mengenai hal yang
sama.
d. Ketentuan Most Favoured National Treatment
Sesungguhnya merupakan ketentuan yang mengharuskan para anggotanya
memberikan perlindungan HAKI yang sama terhadap seluruh anggotanya
(Pasal 4). Ketentuan ini bertujuan untuk menghindarkan terjadinya
perlakuan istimewa yang berbeda (diskriminasi) suatu negara terhadap
negara lain dalam memberikan perlindungan HAKI.
66
H. OK. Saidin, 2003,Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta : RajaGrafindo Persada,
hlm. 209.
37
e. Ketentuan Exhaution
Merupakan suatu ketentuan yang mengharuskan para anggotanya, dalam
menyelesaikan sengketa, untuk tidak menggunakan suatu ketentuan
apapun di dalam persetujuan TRIPs sebagai alasan tidak optimalnya
pengaturan HAKI di dalam negeri mereka.Ketentuan ini berkaitan dengan
masalah sengketa yang mungkin timbul di antara para anggotanya. Dalam
hal menyangkut masalah prosedur penyesuaian sengketa, maka hal
tersebut akan diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa
yang berada di bawah Multilateral Trade Organization (MTO), organisasi
yang persetujuan pembentukan disepakati dalam paket persetujuan GATT
dengan tugas sebagai pengelola TRIPs sedangkan untuk mengawasi
pelaksanaan Persetujuan TRIPs dibentuk dewan yang secara struktural
merupakan bagian dari MTO.
4. HAKI
a. Pengertian HAKI
HAKI adalah hak yang timbul atas hasil olah pikir otak manusia yang
menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia.
HAKI dapat diartikan sebagai seperangkat hukum yang digunakan untuk
melindungi serta mengapresiasi penemu atau pencipta dari sebuah ilmu
pengetahuan baru. Berbeda dengan barang, ilmu pengetahuan dapat
digunakan oleh sejumlah pihak tanpa dibatasi. Oleh karena itu, penemu
sangat bergantung pada perlindungan hukum untuk mencegah
plagiarisme atau penggunaan produk yang diciptakan tanpa kompensasi
atau pembayaran.67
b. Pengaruh Civil Law System dan Common Law System terhadap HAKI
Pada dasarnya negara-negara penganut common law system dan civil law
system menggunakan prinsip-prinsip dasar sama dalam pemberian
perlindungan hukum hak cipta. Hanya saja, perbedaannya bahwa negara-
67
Kauser Abdulla Malik, 2005, “Intellectual Property Rights in Plant Biotechnology : A
Contribution to Crop Biosecurity”, Asian Biotechnology and Development Review, vol. 8, no. 1,
hlm. 8.
38
negara penganut common law system menggunakan akal melalui
emperisme, sedangkan negara-negara penganut civil law system
menggunakan akal melalui perundang-undangan. Ini berarti ciri common
law system, terletak pada kaidah-kaidahnya yang bersifat konkret, yang
sudah mengarah penyelesaiannya suatu kasus tertentu, dimana
pengadilan memegang peranan yang utama (judge made law). Lain
halnya, dengan negara-negara civil law system yang membentuk kaidah-
kaidah hukumnya secara sistematis doktrinal dan berdasarkan
perundang-undangan yang merupakan produk badan legislatif negara.68
Budaya hak kekayaan intelektual Eropa69
yang condong menganut civil
law system, “Pencipta” menjadi titik pusat perhatian agar mendapat hak
penuh untuk mengontrol setiap penggunaan karya cipta atau invensi yang
mungkin dapat merugikan kepentingan pencipta atau inventor. Para
Pemikir bidang hak kekayaan intelektual selalu menunjuk pada doktrin
“hak moral” pencipta, yang ditolak oleh Amerika Serikat, perbedaan
yang dalam dan tajam antara kedua budaya hak kekayaan intelektual itu.
Peraturan yang melindungi di berbagai negara Eropa, karya sastra dan
seni tidak dinamakan undang-undang “hak cipta”, tetapi undang-undang
“hak pencipta”70
, sebaliknya, di Amerika Serikat undang-undang hak
cipta terpusat pada pertimbangan kegunaan yang mencoba
68
W Friedman, 1953, Legal Theory, London: Stevans&Sons, hlm. 368. 69
Budaya hak cipta Perancis, dapat dijumpai pula di negara-negara lain yang menganut tradisi
hukum sipil benua Eropa, dan budaya hak cipta Amerika, yang dijumpai di negara-negara yang
mengikuti tradisi hukum kebiasaan Inggris. 70
Droit d’auteur di Perancis, Urheberrecht di Jerman, diritto d’autore di Italia. Dengan melihat
pada Paul Goldstein., terjemahan Masri Maris, Hak Cipta: Dahulu, Kini dan Esok, 1996, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, hlm. 184, dengan judul asli: Copyright’s Highway, From Gutenberg to
Celestial Jukebox, (Hill and Wang, 1994).
39
menyeimbangkan kepentingan produsen yang berhak atas ciptaan dengan
alasan memproteksi kepentingan konsumen, tanpa memperhitungkan
kepentingan pencipta.
5. Kedudukan Protokol Tambahan (Madrid Protocol)
Madrid Protocol adalah bagian dari Madrid Agreement tentang pendaftaran
merek secara internasional yang diadministrasi oleh WIPO. Upaya ini
dilakukan oleh masyarakat merek Eropa European Community Trademark
yang mengusulkan untuk lebih mengembangkan Madrid Agreement supaya
dapat diikuti oleh negara negara yang belum menjadi anggota tersebut. Oleh
karena itu, kemudian WIPO membuat usulan draf protokol sebagai bentuk
pepgembangan dari Madrid Agreement yang secara tidak langsung
melahirkan Madrid Protocol pada 27 Juni 1989 di kota Madrid Spanyol.
Konsep dasar Madrid Protocol adalah satu aplikasi merek untuk
mendapatkan perlindungan hukum di banyak negara sehingga secara tidak
langsung Madrid Protocol menawarkan pemilik merek untuk memperoleh
perlindungan merek dagangnya di beberapa negara sekaligus melalui
pendaftaran permohonan langsung di kantor pendaftaran merek dagang di
Negaranya atau pada tingkat regional.71
Secara tidak langsung baik barang maupun jasa yang merupakan produk
intelektual manusia telah memainkan peran yang sangat menentukan dalam
perdagangan internasional dewasa ini dan akan terus meningkat pada masa
mendatang.Seiring dengan itu, nilai ekonomi yang terdapat pada karya
71
Syafrinaldi, 2009,“Urgensi dan Permasalahan Harmonisasi Un dang Undang Merek Terhadap
Protokol Madrid”, Jurnal Hukum Bisnis, vol. 28, no. 2, hlm 5.
40
karya intelektual manusia, khususnya dalam bidang HKI telah menjadi
faktor penentu dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lokal,
nasional, dan juga global. Oleh karenanya, hal ini telah menimbulkan
kebutuhan yang sama pada tataran masyarakat internasional untuk
memberikan perlindungan hukum yang sama di setiap negara dengan
mengacu pada ketentuan TRIPS Agreement.
Berbagai ketentuan hukum internasional di dalam bidang hukum merek,
telah dibentuk oleh masyarakat internasional dengan tujuan untuk
memberikan perlindungan hukum yang lebih efektifnamun dengan cara
yang lebih sederhana, seperti yang ditawarkan oleh Madrid Protocol.
Madrid Protocol merupakan suatu perangkat hukum internasional dalam
bidang merek yang memberikan kemudahan bagi pemilik merek dalam
upaya pendaftaran mereknya secara internasional untuk mendapatkan
perlindungan secara internasional pula. Lebih lanjut pendaftaran merek
dengan cara ini dirasakan dapat memangkas biaya mahal. Selain itu,
prosedur yang dilakukan tidak lagi merepotkan karena pengusaha hanya
cukup mengajukan aplikasi dan menunjuk negara mana saja (yang
merupakan anggota Madrid Protocol) di kantor merek setempat.
Proses tersebut dirasakan dapat mempermudah pendaftaran merek di
sejumlah negara anggota karena hanya melalui satu aplikasi, satu bahasa,
satu pemeriksaan formal, dan juga satu kali pengumuman yang pastinya
akan menghemat biaya pendaftaran merek. Sejauh ini Madrid Protocol telah
41
diterapkan di negara maju seperti Jerman, Swiss, dan Jepang.72
Sementara
itu, Negara ASEAN yang telah memulai sistem ini seperti Singapura dan
Vietnam, dapat dijadikan acuan untuk pendaftaran e-register bagi negara
ASEAN yang pada dasarnya sudah mengetahui konsep Madrid Protocol.
Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa eksistensi Madrid
Protocol mulai mendapatkan pengakuan dari Negara-negara di dunia.
Pendaftaran Madrid Protocol menjadi lebih efisien untuk membantu para
pelaku usaha dalam negeri mendaftarkan merek mereka secara internasional
dengan biaya yang murah dan lebih terjangkau sehingga Madrid Protocol
dirasakan sangat penting untuk diratifikasi oleh Indonesia. Bila dilihat dari
sisi pengusaha, jelas Madrid Protocolakan menguntungkan mereka karena
memberikan kemudahan bagi mereka untuk pendaftaran merek secara
internasional.Sementara dari sisi pemilik merek, konvensi tersebut secara
tidak langsung dapat memberikan perlindungan hukum.
Selain itu, jika dipandang dari sudut pemerintah bergabung dalam Madrid
Protocol bersifat menguntungkan, mengingat dapat memasukkan devisa kas
Negara, dan dari segi peningkatan aplikasi merek asing akan memacu
pertumbuhan aplikasi merek dari dalam negeri, sekaligus sebagai suatu
tindakan preventif untuk melindungi HAKI.
72
The Madrid Protocol, 2010, diakses dari http://laizgkahkecilkaki.blogspot.com/2010/02 madrid-
protocol.html pada 27 September 2018.
42
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penyusunan skripsi yang berjudul “Perbandingan Implementasi TRIPs
Agreement di Negara Anggota ASEAN” dilakukan dengan menggunakan
metode ataupun pendekatan tertentu sehingga hasil penelitian menjadi terarah,
terstruktur, dan sistematis.
Penelitian dapat ditinjau dari berbagai macam sudut. Jenis penelitian dalam
skripsi ini akan dikategorikan dalam beberapa aspek:73
1. Sifat, skripsi ini menggunakan penelitian deskriptif yang berarti bahwa data
yang ada dijelaskan secara detail atau seteliti mungkin yang diharapkan
memperkuat teori lama ataupun mendukung sebuah teori baru yang sedang
disusun.
2. Bentuk, skripsi ini menggunakan penelitian preskriptif. Hal ini
menunjukkan bahwa penelitian diharapkan membawa sebuah saran yang
dapat mengatasi suatu permasalahan.
3. Tujuannya, skripsi ini menggunakan penelitian fact finding (menemukan
fakta belaka), dilanjutkan dengan problem identification (identifikasi
masalah), dan yang terakhir yaitu problem solution, secara jelas skripsi ini
memiliki tujuan untuk mengatasi masalah yang telah diidentifikasi.
4. Penerapannya, skripsi ini menggunakan penelitian yang berfokuskan
masalah (problem focused research).
Keempat jenis penelitian yang digunakan untuk menganalisis masalah-masalah
yang telah diidentifikasi, perlu diperhatikan bahwa jenis penelitian hukum
yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang mencakup penelitian
73
Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
hlm. 50.
43
terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum,
sejarah hukum, dan perbandingan hukum.
B. Pendekatan Masalah
Pengertian sebuah masalah adalah kesenjangan antara fakta yang ada dengan
yang seharusnya terjadi. Adapun pendekatan masalah adalah proses
penyelesaian masalah melalui tahap yang telah ditentukan. Skripsi ini
menggunakan penelitian hukum secara normatif. Tahap-tahap pendekatan
masalah yang ditentukan adalah:74
1. Penentuan pendekatan yang sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan
penelitian;
2. Identifikasi pokok pembahasan (topical subject) melalui rumusan masalah;
3. Adanya rincian subpokok bahasan (subtopical subject) berdasarkan setiap
pokok bahasan hasil identifikasi;
4. Pengumpulan, pengolahan, penganalisisan data, dan kesimpulan;
5. Hasil penelitian.
C. Sumber Data, Pengumpulan Data, Pengolahan Data
1. Sumber Data
Pada umumnya dalam melaksanakan sebuah penelitian, sumber data
dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat
(mengenai perilakunya; data empiris) dan dari kepustakaan.Mengingat jenis
penelitian dan pendekatan masalah skripsi dilakukan secara normatif, maka
sumber data yang digunakan adalah data sekunder.75
Di dalam penelitian
hukum, data sekunder yang dikategorikan dari kekuatan mengikatnya terdiri
74
Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
hlm. 112. 75
Soerjono Soekanto, 2012, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm.
37.
44
dari bahan primer, bahan sekunder, dan bahan tersier. Adapapun bahan-
bahan data sekunder yang digunakan dalam skripsi adalah sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang
merupakan Hukum Nasional Indonesia yang terdiri dari UU, PP,
Hukum nasional Negara ASEAN, dan Hukum Internasional yang terdiri
dari .76
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer seperti misalnya buku, jurnal, skripsi makalah, artikel,
surat kabar, internet, pendapat para ahli, hasil karya dari kalangan
umum, dan sebagainya.77
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus,
ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.78
2. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penulisan ini menggunakan studi
kepustakaan. Fungsi dari studi kepustakaan adalah sebagai acuan umum,
yang berisi informasi umum seperti buku, indeks, dan ensiklopedi serta
acuan khusus yang berisi hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian seperti jurnal, laporan, tesis, disertasi, dan
76
Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, loc.cit. 77
Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, op. cit, hlm. 52 78
Ibid.
45
sebagainya.79
Kegiatan studi pustaka dalam skripsi ini mengikuti tahap-
tahap berikut:80
1. Penentuan sumber data sekunder berupa perundang-undangan, putusan
pengadilan, dokumen hukum, catatan hukum, dan literatur bidang ilmu
pengetahuan hukum.
2. Identifikasi data sekunder yang diperlukan, yaitu proses mencari dan
mengenal bahan hukum.
3. Inventarisasi data yang relevan dengan rumumsan masalah. Pengkajian
data yang sudah terkumpul untuk menentukan relevansinya dengan
kebutuhan dan rumusan masalah. Dikumpulkan dengan cara membaca,
mencatat, dan menghubungkan data satu dengan yang lain.
3. Pengolahan Data
Setelah semua data berhasil dikumpulkan, selanjutnya pengolahan data
skripsi dilakukan melalui perbandingan hukum. Pengolahan data bertujuan
agar saat analisis dilakukan, penelitian dapat menemukan tema dan
merumuskan hipotesa.81
D. Analisis Data
Pengolahan data dilanjutkan dengan analisis data yang diakukan dengan cara
kulaitatif deskripsitf, menganalisis sejauh mana suatu peraturan peraturan
perundang-undangan yang mengatur berbagai bidang yang mempunyai
hubungan fungsionil tetap konsisten.82
79
Bambang Sunggono, 2012, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 80
Abdulkadir Muhamad, op.cit, hlm. 124. 81
Burhan Ashshofa, 2010, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 66. 82
Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, op. cit, hlm. 256.
83
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada bagian akhir skripsi ini, penulis akan memaparkan beberapa
kesimpulan yang dapat diambil yang didasarkan pada temuan hasil
penelitian. Secara umum penulis menyimpulkan bahwa:
1. Konsekuensi negara anggota ASEAN sebagai anggota dari WTO maka
setiap negara anggota harus mengadopsi TRIPs Agreement tersebut
dengan proses ratifikasi. Pada dasarnya kata ratifikasi tidak
sesederhana sebagai sekedar pengesahan atau penandatanganan oleh
kepala negara setelah persetujuan parlemen, yang paling penting
adalah pengaruh dari perjanjian (dalam hal ini TRIPs) tersebut;
2. TRIPs Agreement mengatur mengenai HAKI, dan semua negara
anggota ASEAN mengimplementasi peraturan tentang HAKI ke dalam
undang-undang nasionalnya kecuali Myanmar. Brunei, Filipina, dan
Thailand mengamandemenkan peraturan HAKI yang dimana ketiga
negara tersebut sudah membuat peraturan terkait HAKI sebelum
mengadopsi TRIPs Agreement, sedangkan Indonesia, Malaysia,
84
Singapura, Vietnam, Laos, dan Kamboja baru membuat peraturan
HAKI setelah mengadopsi TRIPs Agreement.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan yang didasarkan pada temuan hasil penelitian
di atas, yaitu :
1. WTO diharapkan menerbitkan panduan atau prinsip-prinsip mengenai
implementasi TRIPs Agreement kepada negara-negara agar terbentuk
suatu standar minimal dalam proses penerapannya.
2. Pemerintah Indonesia diharapkan menanamkan kesadaran (sosialisasi)
bahwa peraturan perundang-undangan mengenai HAKI merupakan
hasil adopsi dari TRIPs Agreement.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Adolf, Huala. 2006. Hukum Perdagangan Internasional, Bandung: PT
Rajawali Press.
Agusman, Damos Dumoli. 2010. Hukum Perjanjian Internasional:
Kajian Teori dan Praktik Indonesia, Bandung: Refika
Aditama.
Alfonso, Anthony. 1989. Japanese Language Patterns, Tokyo: Shopia
University Centre of Aplied Linguistics.
Apidar. 2009. Ekonomi Internasional: Sejarah, Teori, Konsep dan
Permasalahan dalam Aplikasinya, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Arrasjid, Chainur. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar
Grafika.
Ashshofa, Burhan. 2010. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT
RINEKA CIPTA.
Asshiddiqie, Jimly. 2010. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,
Jakarta: Rajawali Pers.
At-mawiria, Sam Suhaedi. Pengantar Hukum Internasional, Bandung:
Alumni.
Ayu, Miranda Risang. 2006. Memperbincangkan Hak Kekayaan
Intelektual, Bandung: Alumni.
Barutu, Christhoporus. 2015. Seni bersengketa di WTO, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Bernas, Joaquin G.. 2009. The 1987 Constitution of the Republic of
the Philippines: A Commentary. Quezon City: Rex Printing
Company Inc.
Blakeslee, Merritt R. Hollis, Duncan B. 2005. National Treaty Law
and Practices: Dedicated to the Memory of Monroe Leigh.
Belanda: Brill Nijhoff.
Brownlie, 1979. Principle of Public International Law, London:
Oxford Univeristy.
Bruggink, J.J. H. 1999. Refleksi tentang Hukum, Bandung: Citra
Aditya.
Eddy Damian, 1999. Hukum Hak Cipta, Bandung: PT Alumni.
Deere, Carolyn. 2008. The Implementation Game of the TRIPs: The
TRIPS Agreement and the Global Politics of Intellectual
Property Reform in Developing Countries, Oxford: University
Press.
Friedman, W. 1953. Legal Theory, London: Stevans&Sons.
Giao, Vu Cong., Jayangakula, Kitti., Ling Cheah Wui., Ng, Joel.
Reyes-Kong, Faith Suzzette Delos., Sharom, Azmi., Susanti,
Bivitri. Vidjia, Phun. 2010. Rule of Law untuk Hak Asasi
Manusia di Kawasan ASEAN: Studi Data Awal, Depok:
Human Rights Resource Centre-Universitas Indonesia.
Hasan, Ir. Madjed. MPE, M.H. 2005. Pacta Sunt Servanda,
Penerapan Asas “Janji Itu Mengikat” dalam Kontrak Bagi
Hasil di Bidang Minyak dan Gas Bumi. Jakarta: PT Fikahati
Aneska.
Hatta. 2012. Hukum Internasional: Sejarah dan Perkembangan
Hingga Pasca Peran Dingin, Malang: Setara Press.
Hengorani, R. C. 1982, Modern International Law, Second Edition,
Oxford: IBH Publishing Co.
Kartadjoemana, H. S. 1997. GATT/WTO dan Hasil Uruguay Round,
Jakarta: UI Press.
Kolb, Robert. 2016. The Law of Treaties: An Introduction, UK:
Edward Elgar Publishing Limited.
Malhotra, Parbodh. 2011. Impact of TRIPs in India: An Access to
Medicines Perspective, Delhi: Palgrave Press.
Margono, Suyud., Angkasa, amir. 2002. Komersialisasi Aset
Intelektual Aspek Hukum Bisnis, Jakarta: PT Gramedia Widya
Sarana Indonesia.
Margono, Suyud. 2015. Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI),
Bandung: Pustaka Reka Cipta.
Maris, Masri. 1996. Hak Cipta: Dahulu, Kini, dan Esok, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Mauna, Boer. 2000. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan
Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni.
Mckeough, Jill., Stewart, Andrew. 2004. Intellectual Property in
Australia-Edisi ke 3, Sydney: Butterworths.
Mertokusumo, Sudikno. 2001, Penemuan Hukum, Yogyakarta:
Liberty.
Muhammad, Abdul Kadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Munzir, Ibnu., Kadarudin. 2014. Perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual Terhadap Produk Indikasi Asal. Makassar: Pustaka
Pena Press.
Nusbaum, Arthur., Admawiria, Sam Suhaedi. 1969. Sejarah Hukum
Internasional I, Bandung: Binacipta.
Partiana, I Wayan. 2001. Hukum Perjanjian Internasional: Bagian I,
Bandung: Mandar Maju.
Pramoto, Eddy. 2016. Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: PT
Gramedia.
Pratap, Dharma. 1972. Interpretation of Treaties, yang dikutip oleh
S.K., Agrawalla. Essays on the Law of Treaties, Orient
Longman, New Delhi.
Priapantja, Citra Citrawinda. 2003. Hak Kekayaan Intelektual
Tantangan Masa Depan, Jakarta: Gitama Jaya.
Qamar, Nurul. 2010, Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan:
Civil Law System dan Common Law System, Makassar:
Refleksi Arts.
Rahardjo, Satjipto. 2014. Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya.
Rudy, T. May. 2002. Hukum Internasional 2, Bandung: Refika
Aditama.
Saidin, H. OK. 2003. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,
Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Sasongko, Wahyu. 2012. Indikasi Geografis: Studi tentang Kesiapan
Indonesia Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Produk
Nasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Sefriani. 2010. Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta:
Rajawali Pers.
Shaw, Nevin., Cosbey, Aaron. 2000. GATT, the WTO and Sustainable
Development, USA: International Institute for Sustainable
Development.
Suherman, A. M.. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 2012. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Soekanto, Soerjono. 2012. Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Soemantri, Sri. 1976. Sistem-Sistem Pemerintahan Negara ASEAN,
Bandung: Tarsito.
Utomo, Tomi Suryo. 2010. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era
Global Sebuah Kajian Kontemporer, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Yohanes, Triyana. 2015. Hukum Ekonomi Internasional, Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka.
B. Jurnal, Skripsi, Makalah, Artikel
Aling, Daniel F. 2009. Sistem Perlindungan Indikasi Geografis
Sebagai Bagian dari Hak Kekayaan Intelektual di
Indonesia, Manado: Universitas Sam Ratulangi.
Aruan, Thommy. 2016. “Perlindungan Hukum Paten”, Makalah pada
program pascasarjana di Universitas Samratulangi.
Bahriansyah, Juldin. 2007. “Informasi Paten Sebagai Perangkat
Bisnis”, Media HKI Jakarta, vol. IV, no. 2.
Budi, Henry Soelistyo. 2002. “Hak Atas Kekayaan Intelektual, Materi
Pelatihan HAKI.
Darong, Tep. 2009. Cambodia and The Rule of Law dalam Konrad
Adenauer Stiftung, 5 Democratic Development: Occasional
Paper 21.
Dharmawan, Ni Ketut Supasti., Aryani, Nyoman Mas. 2003.
“Keberadaan Regulasi Desain Industri Berkaitan dengan
Perlindungan Hukum Atas Karya Desain di Bali”, Makalah
Seminar HAKI Udayana.
Djulaeka. 2012. “Negative Protection System dalam Perlindungan
Indikasi Geografis”, Makalah Seminar HKI Unpad.
Drahos, Peter. 2001, “Developing countries and international
intellectual property standard setting”, Study paper 8 of
commission on intellectual property rights.
Gaffar, Janedjri M. 2013. “Sikap kritis Negara berkembang terhadap
hukum internasional”, Jurnal konstitusi,vol 10, no. 2
Handayani, Pristika. 2014. “Perjanjian Bilateral Indonesia dengan
Malaysia tehadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI)”, Lex
Jurnalica, vol. 11 no. 1.
Keo, Puth. 2009. The Rule of Law in Cambodia in The 21st Century
dalam Konrad Adenauer Stiftung, 5 Democratic Development:
Occasional Paper 13.
Kesewo, Bambang. 1994. Beberapa Ketentuan dalam Persetujuan
TRIPs. Departemen Perdagangan RI.
Korah, Revy S. M. 2016. Prinsip-prinsip Eksistensi General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade
Organization (WTO) dalam Era Pasar Bebas, Jurnal Hukum
Unsrat, vol. 22, no. 7.
Malik, Kauser Abdulla. 2005. Intellectual Property Rights in Plant
Biotechnology: A Contribution to Crop Biosecurity, Asian
biotechnology and Development Review, vol. 8, no. 1.
Maulana, Insan Budi. 2000. “Merek Terkenal Menurut TRIPs
Agreement dan Penerapan dalam Sistem Merek Indonesia”,
Jurnal Hukum, vol. 7, no. 13.
Munawaroh, Siti. 2006. Peranan TRIPs (Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights) terhadap Hak Atas Kekayaan
Intelektual di bidang Teknologi Informasi di Indonesia. Jurnal
Teknologi Informasi DINAMIK. vol. XI, no. 1.
Muhammad, A. Aziz. 2017. Konvensi Internasional tentang Hak Cipta
dan Pengaturan Hak Cipta di Indonesia, Social Justitia, Vol. 1
No. 1.
Prasetyo Hadi Purwandoko. 2006. Implementasi Agreement on Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights oleh
Pemerintah Indonesia, Yustisia, 68.
Purwandoko, Prasetyo Hadi. 2006. “Implementasi Agreement on
Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights oleh
Pemerintah Indonesia”, Yustisia, 68.
Purwanto, Harry. “Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam
Perjanjian Internasional”, Mimbar Hukum, vol. 21 no. 1.
Saliba, Aziz T. “Universidade de Itauna dan Faculdades de Direito do
Oeste de Minas, Brazil menulis komentarnya berjudul
Comparative Law Europe”, Contracts Law and Legislation,
vol. 8 no. 3
Sen, Hun. 2009. Rule of Law in Cambodia dalam Konrad Adenauer
Stiftung, 5 Democratic Development: Occasional Paper 9.
Songko, Gerald E.. 2016. Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional
Menurut Konvensi Wina Tahun 1969. Lex Privatum. vol, IV
no. 4.
Sourbert, Son. The Rule of Law in Cambodia in The 21st Century
dalam Konrad Adenauer Stiftung, 5 Democratic Development:
Occasional Paper 15.
Sunarmi. 2003. Peranan TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights) terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual di
Indonesia. USU Digital Library.
Syafrinaldi. 2009. Urgensi dan Permasalahan Harmonisasi Undang
Undang Merek Terhadap Protokol Madrid, Jurnal Hukum
Bisnis, vol. 28, no. 2.
Taylor, C. O’Neal. 1997. “The Limits of Economic Power: Section
301and The World Trade Organization Dispute Settlement
System”, Vanderbilt Journal of Transnational Law
C. Surat Kabar, Majalah, Internet
Cordillera Autonomy: Looking Around and Farther Back, Regional
Development Council Cordillera,
http://www.cordillera.gov.ph/index.php/option=com_content&
view=article&id=349&Itemid=78&limitstart=2
Departemen Perindustrian dan Perdagangan, WTO dan Sistem
Perdagangan Dunia, http://www.dprin.go.id/Ind/publikasi/djkipi/wto.htm
GATT, 1979. The Tokyo Round of Multilateral Trade Negotiations:
Report by the Director-General of GATT, Geneva.
Hukum Online, Peran TRIPs Agreement dalam perlindungan hak
kekayaan intelektual, diakses dari
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt592407520f6f7/p
eran-trips-iagreement-i-dalam-perlindungan-hak-kekayaan-
intelektual
Indeks Transformasi Berterlsmann - Laporan Negara Laos
http://www.bertelsmann-transformation-
index.de/fileadmin/pdf/Gutachten_BTI2010/ASO/Laos.pdf
Judiciary of Brunei Darussalam, http://www.judicial.gov.bn
Orinton Purba, Fungsi Dan Peranan WTO dalam Era Perdagangan
Bebas,
https://hukuminvestasi.wordpress.com/2010/09/16/fungsi-dan-
peranan-wto.html
The Madrid Protocol, http://laizgkahkecilkaki.blogspot.com/2010/02
madrid-protocol.html
WIPO (World Intellectual Property Organization), diakses dari
http://www.wipo.int/portal/en/index.html
D. Dokumen
1. Instrumen Hukum Nasional a. Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan
Luar Negeri.
b. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional.
c. Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan
Varietas Tanaman.
d. Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia
Dagang.
e. Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain
Industri.
f. Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu.
g. Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah
Negara.
h. Undang-undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis.
2. Instrumen Hukum Nasional Negara-Negara ASEAN
a. Brunei Darussalam
1) Chapter 98 – Trademarks (Revised edition 2000)
2) Chapter 92 – Business Names (1984)
3) Chapter 94 – Emblems and Names (Prevention of
Improper Use) (1968)
4) Chapter 96 – Merchandise Marks (1953)
5) Industrial Designs (international Registration) Rules,
2014
6) Patents Rules, 2012
7) Trademark (Importation of Infringing Goods)
Regulations, 2000
8) Trademarks Rules, 2000
b. Filipina
1) Republict Act 10372-An Act Amending Certain
Provisions of Republic Art No. 8293
2) Philipine Technology Transfer Act of 2009 (Republic
Act No. 10055) (2010)
3) Philipine Plant Variety Protection Act 2002 (Republic
Act No. 9168) (2002)
4) An Act of The Protection of Layout Designs
(Topographies) of Integrated Circuits Amending for the
Purpose Certain Sections od Republic Art No. 8293)
(2001)
5) Intellectual Property Code of the Philippines (Republic
Act No. 8293) (1997)
c. Malaysia
1) Layout-Designs of Integrated Circuits Act 2000 (Act
601)
2) Geographical Indications Act 2000 (UU 602)
3) Intellectual Property Corporation of Malaysia Act 2002
(Act 617)
d. Thailand
1) Patent Act B.E. 2522 diamandemen oleh Patent Act
(No. 2) B.E. 2535
2) Trademark Act B.E. 2534 (1991)
3) Copyright Act B.E. 2537 (1994)
4) Trade Secret Act B.E.2545 (2002)
5) Geographical Indications Protection Act B.E. 2546
(2003)
6) Layout Designs of Integrated Circuits Act B.E. 2543
(2000)
7) ) Optical Disk Production (OD Product) Act B.E. 2548
(2005)
e. Laos
1) Intellectual Property Laws (2007)
2) Law No. 08/NA on National Heritage
3. Instrumen Hukum Internasional
a. Agreement Establishing the World Trade Organization
1994.
b. Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual
Property Rights.
c. Vienna Convention on The Law of Treaties 1969.
d. Vienna Convention on The Law of Treaties 1986.