PERANAN USHUL FIQH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/9/2019 PERANAN USHUL FIQH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM.pdf

    1/16

    Hamzah H asan, Peranan Ushul Fiqh... |216

    PERANAN USHUL FIQH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM(Analisa atas Sumber-sumber Dalil Hukum)

    Hamsah Hasan

    Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palopo

    [email protected]

    Abstract: This article describes the problem in pemnetukan usul Role of Islamic Law.Exposure results can be understood that usul is the formulation of rules that became themain foundation in giving birth to a law, and without discipline Usul Fiqh may not be able toestablish a law. Urgency Usul Fiqh very evident in his discussion of the arguments of the

    discussion-and the sources, methods of extracting the law of the source, as well as absoluteterms is owned by a mujtahid or Islamic law expert. As shown in analogy to khamr

    narcotics. Source proposition of law is the main object of discussion usul, while Usul Fiqh isthe place where the discharge decision or proposition of law that legal origin. Ushuliyyunview that the proposition is something that is used as evidence, taken from the laws of

    Personality 'pulled the absolute human action, both qathi' and zhanni. While that is intendedby the law is the law of Personality', ie khitab Shar'ie relating to an act and deed mukallaf

    whether it be a command, option or provision. Source argument of Islamic law according tothe majority of scholars of usul fiqh is especially al-Book, the Sunnah, al-ijma 'and al-Qiyas,although there is a small portion of the clergy who do not make Ijma and Qiyas as a sourceof legal arguments of Personality', or make Ij'ma 'as a postulate but ruled out Qiyas.

    Abstrak:Artikel ini menguraikan masalah Peranan ushul fiqh dalam pemnetukan Hukum

    Islam. Hasilpemaparan dapat dipahami bahwa ushul fiqh adalah rumusan kaidah-kaidahyang menjadi pondasi utama dalam melahirkan suatu hukum, dan tanpa disiplin ilmu UshulFiqh tidak mungkin dapat membentuk suatu hukum. Urgensi Ushul fiqh sangat tampakdalam bahasan-bahasannya mengenai dalil dan sumber-sumbernya, metode penggalianhukum dari sumbernya, serta syarat-syarat mutlak dimiliki oleh seorang mujtahid atau ahlihukum Islam dalam. Sebagaimana tampak dalam menganalogikan narkotika kepada khamr.Sumber dalil hukum adalah obyek utama bahasan ushul fiqh, sementara Ushul Fiqhmerupakan tempat pengambilan atau tempat keluarnya dalil hukum yaitu asal hukum.Ushuliyyun berpandangan bahwa dalil adalah sesuatu yang dipakai sebagai hujjah, yangdiambil dari hukum syara menge-nai tindakan manusia secara mutlak, baik yang qathimaupun zhanni. Sementara yang dimaksudkan dengan hukum adalah hukum syara, yaitukhitab syari yang berkaitan dengan tidakan dan perbuatan mukallaf apakah itu berupa

    perintah, pilihan atau ketetapan. Sumber dalil hukum Islam menurut mayoritas ulama ushulfiqh adalah terutama al-Kitab, as-Sunnah, al-Ijma dan al-Qiyas, meskipun ada sebagiankecil dari kalangan ulama yang tidak menjadikan Ijma dan Qiyas sebagai sumber dalilhukum syara, atau menjadikan Ij'ma' sebagai dalil tapi mengesampingkan Qiyas.

    Kata Kunci:Ushul Fiqh, Pembentukan Hukum

    I. PENDAHULUAN

    Hadits yang sangat popular di atas

    selanjutnya meninggalkan pesan yang

    paling mendasar bagi dunia ilmu penge-

    tahuan dan peradaban Islam, baik secaraontologis dan aksiologis, maupun episti-

    mologis. Bahwa wahyu, akal dan norma

    atau nilai adalah satu kesatuan yang tidak

    terpisahkan dalam setiap penjelmaan

    kehidupan nyata seorang muslim dalam

    berpikir dan bertindak.

    Hadits di atas juga semakin kuatlandasannya tat kala al-Syahrastani menya-

    takan dalam suatu ungkapan populernya

  • 8/9/2019 PERANAN USHUL FIQH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM.pdf

    2/16

    Hamzah H asan, Peranan Ushul Fiqh... |217

    bahwa nash-nash itu bersifat terbatas

    (telah berakhir), sementara problematika

    dan permasalahan hukum yang memerlukan

    problem solving tidak bersifat terbatas,

    yang oleh karenanya diperlukan ijtihad

    untuk menafsirkan nash yang terbatas ituagar masalah yang tidak dikemukakan

    secara eksplisit dalam suatu nash dapat

    ditemukan solusinya.1 Pandangan ini

    menerangkan bahwa ijtihad adalah sebuah

    keniscayaan bagi ummat Islam dalam

    memecahkan berbagai problematika yang

    dihadapinya, dan inilah semangat rasio-

    nalitas Islam yang selalu aktual disepanjang

    zaman.

    Karena itulah sehingga ilmuan Islam

    kontemporer berpandangan pula bahwalahirnya ilmu dalam Islam didahului oleh

    tradisi intelektual yang tidak dapat dilepas-

    kan dari munculnya worldview (pandangan

    dunia; hidup) Islam itu sendiri, sementara

    itu, kelahiran worldview Islam itu sendiri

    tidak lepas dari kandungan al-Quran dan

    penjelasannya dari Nabi Muhammad Saw.2

    Dengan demikian, ilmu dalam Islam ter-

    bentuk sejak masa awal, dengan tahapan;

    satu, proses turunnya wahyu dan lahirnya

    pandangan hidup, kedua, adanya struktur

    ilmu pengetahuan dalam al-Quran dan al-

    Hadits dan ketiga, lahirnya disiplin ilmu-

    ilmu Islam, termasuk ilmu Ushul al-Fiqh.

    Jika ditelusuri sejarah ilmu Ushul

    Fiqh, maka dapat dikatakan bahwa ia

    berkembang dalam tatanan ilmu fiqh,

    sementara itu ilmu fiqh berkembang dalamtatanan ilmu hadits, dan ilmu hadits sebagai

    akibat dari proses dan tahapan ilmu

    syariah. Oleh karena itu baik ilmu syariah,ilmu fiqh, dan ilmu ushul al-Fiqh dan ilmu-

    ilmu lainnya seperti ilmui hadits dan ilmu

    tafsir adalah disiplin ilmu yang berada

    dalam satu kesatuan paradigma ilmu

    pengetahuan yang digali dari sumber-

    sumber dalil yang bersifat universal yaitu

    al-Quran dan al-Hadits.

    Tentang keutamaan ushul fiqh, oleh

    Ibnu Taymiyah mengatakan dalam kitab

    Muqaddimah-nya, bahwa sesungguhnya

    ilmu ushul fiqh merupakan ilmu syariahyang termulia, tertinggiu nilainya, dan

    terbanyak kaidahnya.3 Tokoh hukum

    modern, seperti Syekh Musthafa Abdul

    Raziq (w. 1947) mengatakan bahwa Ushul

    fiqh merupakan bidang pemikiran Islam

    terpenting yang menjadi bagi dasar

    pemikiran Islam, baik dalam kreatifitas

    maupun kemandirian. Sementara AmarThalaby berpandangan bahwa ilmu Ushul

    al-Fiqh di dalam khazanah peradaban Islam

    merupakan ruang bagi upaya penggalian

    dalil; ia merupakan metode pengkajian dan

    penggalian hukum Islam.4 Sejumlah pan-

    dangan ini merupakan refleksi para ulama

    akan urgensi yang ditemukan dalam per-

    gumulannya dengan disiplin ilmu ushul fiqh

    dalam menggali hukum-hukum Islam.

    Walhasil, ulama-ulama Islam dalam

    sejarah perkembangannya telah meng-hasilkan banyak produk pemikiran yang

    kreatif dan dinamik dari berbagai aspek

    kajian atas kandungan ajaran Islam. Kini

    produk-produk pemikiran tersebut telah

    diklasifikan ke dalam berbagai disiplin ilmu

    seperti ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh5 dan

    sebagainya. Produk-produk pemikiran atau

    hasil ijtihad6 itu, ada yang telah disepakati

    oleh mayoritas ulama-ulama Islam dan ada

    yang masih menjadi perbedaan, atau masih

    belum tuntas seperti produk pemikiran ten-

    tang penggolongan dan pembagian sumber-

    sumber dalil syara terutama menyangkut

    sumber dalil hukum yang didasarkan pada

    akal ijtihadi seperti Qiyas, istishlah,

    istihsan, dan sebagainya.

    Dalam pembahasan mengenai dalil-

    dalil syara, atau dalil-dalil hukum Islam,sejak zaman klasik hingga abad 14 Hijriah

    ini telah dan masih dikaji secara intens dan

    mendalam oleh ulama-ulama Islam, ter-utama para pengkaji ushul fiqh. Dalam

    kerangka kajian tersebut, maka tidak heran

    jika hingga kini bahkan mungkin tidak akan

    berakhir masih terdapat perbedaan-per-

    bedaan dalam memandang kedudukan dalil

    syara, seperti dalam soal mendudukkan

    prioritas sumber dalil, apakah dalil aqliyat

    (nalar) yang berada pada urutan pertama

    atau dalil naqliyatsebagai yang kedua atau

    sebaliknya?.

    Maka itu, fakta di lapangan menun-jukkan bahwa, pada awalnya telah terjadi

    kesepakatan mayoritas ulama bahwa sum-

  • 8/9/2019 PERANAN USHUL FIQH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM.pdf

    3/16

    Hamzah H asan, Peranan Ushul Fiqh... |218

    ber dalil-dalil syara adalah al-Quran dan

    Sunnah. Namun kemudian perkembangan

    selanjutnya, karena ulama menemukan

    suatu fakta bahwa dalam kedua sumber itu,

    masih banyak persoalan-persoalan yang

    dihadapi ummat Islam yang tidak dapatdijawab al-Quran dan Hadits secara detail

    dan terinci dalam menetapkan suatu hukum

    tertentu, maka lahirlah pemikiran ulama

    bahwa diperlukan suatu dalil lain untuk

    menyingkap makna-makna al-Quran

    secara luas. Walhasil, muncullah penjaba-

    ran ijtihad ke dalam beberapa terminology

    penting seperti Ijma, Qiyas, kemudian

    Istihsan, Istishlah, dan sebagainya. Itulah

    sehingga penulis memandang bahwa

    pembahasan ini tetap dan selalu pentingdalam studi pemikiran ushul fiqh, yaitu

    bagaimana cara pandang, teknik dan pen-

    dekatan serta metode berfikir kalangan

    ummat Islam dalam memahami dan

    menyikapi sumber-sumber dalil hukum

    Islam.

    Ushul fiqh adalah suatu ilmu yang

    menyingkap berbagai metode yang diguna-

    kan oleh para ulama mujtahid dalam

    menggali dan menapaki suatu hukum

    syariat dari sumbernya yang telah dinash-

    kan dalam al-Quran dan as-Sunnah.7

    Dalam kaitan ini, penulis akan meng-

    khususkan kajian dalil syara dalam

    tinjauan ushul fiqh, yang memang sumber-

    sumber dalil memiliki peran dan kedudukan

    yang signifikan dalam pembentukan sebuah

    hukum. Dengan kata lain, bahwa pem-bahasan dalil-dali yang merupakan pem-

    berangkatan awal dalam memproses suatu

    persoalan hukum menjadi sebuah rumusanhukum.

    Sampai pada penjelasan di atas dapat

    dipahami bahwa proses pembentukan

    hukum Islam di awali dari pembicaraan

    mengenai sumber-sumber dalil, yang

    merupakan bahasan utama dalam disiplin

    ilmu Ushul al-Fiqh. Ushul Fiqh adalah

    disiplin yang membicarakan mengenai

    metode-metode istimbath hukum dalam

    Islam. Ushul Fiqh adalah kumpulan kaidah-

    kaidah kulli yang dselanjutnya dijabarkanke dalam disiplin ilmu fiqh melalui kaidah-

    kaidah fiqhiyah. Dengan demikian peranan

    Ushul al-Fiqh merupakan keniscayaan

    dalam menentukan titik akhir dari suatu

    proses pembentukan hukum.

    Namun demikian, dalam pembahasan

    dalil-dalil hukum sebagai sebagai titik tolak

    pembentukan suatu hukum, bukan tanpamasalah. Misalnya perbedaan dalam

    pemaknaan dalilterutama dalam pengertian

    secara istilah, selanjutnya akan membawa

    kepada perbedaan lain dalam menggunakan

    makna dalil. Sebab makna terminologilah

    yang memberikan kekhususan makna kata

    tertentu. Jika misalnya dalil yang dimak-

    sudkan adalah dalil yang difahami sebagai

    alat untuk memahami suatu obyek tertentu

    maka tentu saja posisi akal menjadi yang

    pertama, sebab ia menjadi pengantar.Sementara bila dalil yang dimaksud adalah

    obyek yang dipikirkan maka tentulah

    wahyu dan sunnah Nabi atau al-adillat an-

    naqliyat (argumen-argumen tekstual) yang

    menempati posisi pertama.

    Untuk kepentingan pembahasan

    mengenai sumber dalil hukum sebagai

    objek kajian pokok disiplin ilmu ushul fiqh

    dalam kaitannya dengan proses pembentu-

    kan hukum Islam, maka penulisan makalah

    sederhana ini, disusun oleh penulis dengan

    sistematika bahasan sebagai berikut;

    1. Pendahuluan

    2.

    Beberapa Pengertian Dasar

    3. Macam-macam dan pembagian sumber-

    sumber dalil,

    4. Analisa atas perbedaan ulama mengenai

    dalil-dalil syara dalam pembentukanhukum

    5. Kesimpulan.

    II.

    PEMBAHASAN

    A.Beberapa Pengertian Dasar: Ushul,

    Figh, Dalil, Sumber dan Hukum

    Sebelum membahas pengertian-

    pengertian yang dimaksud, penulis perlu

    mengemukakan secara sekilas mengenai

    unsur-unsur ushul fiqh yang dapat ditarik

    dari salah satu pengertiannya mengatakan

    bahwa ushul fiqh adalah ilmu tentang

    kaidah-kaidah dan pembahasan yang dapat

    menghasilkan hukum-hukum syara yang

    praktis dari dalil-dalilnya yang terperinci,

    atau merupakan kumpulan kaidah-kaidah

  • 8/9/2019 PERANAN USHUL FIQH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM.pdf

    4/16

    Hamzah H asan, Peranan Ushul Fiqh... |219

    dan pembahasan yang menghasilkan hukum

    syara yang amaliyah dari dalil-dalil

    tafshili.8Dari pengertian ini dapat diketahui

    bahwa unsur-unsur ushul fiqh adalah

    metode-metode dan kaidah-kaidah, serta

    dalil-dalil dan hukum-hukum yang menjadidasar dan asas pegangan dalam membentuk

    hukum Islam.

    Lalu, apa makna dalil yang sesung-

    guhnya, jika secara khusus dimaksudkan

    untuk kepentingan kajian hukum Islam itu?,

    lalu dari mana berasal dalil itu?, apakah

    semua sumber dapat disebut sebagai dalil?.

    Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian mela-

    hirkan pertanyaan tentang apa makna

    hukum menurut ajaran Islam?.9

    Maka itu, untuk kepentingan per-tanyaan-pertanyaan tersebut penulis akan

    menguraikan secara singkat istilah-istilah

    yang dimaksud. Mudah-mudahan saja kalau

    membahas makna-makna di atas, bukan

    merupakan suatu langkah mundur dalam

    membahas sumber-sumber dalil hukum

    Islam.

    1.

    Ushul Fiqh dan al-Fiqh

    Kata Ushul adalah bentuk Jama

    (plural) dari kata al-Ashl, yang menurutbahasa diartikan sebagai sumber atau dalil

    yang menjadi dasar sesuatu10 atau juga

    berarti yang kuat. Sementara secara

    terminology, oleh al-Gazaly Ushul fiqh

    diartikan seebagai ilmu yang membahas

    tentang dalil-dalil hukum syara dan tentang

    bentuk-bentuk penunjukan dalil-dalil tadi

    terhadap hukum.11 Secara rinci arti al-Ashldiuraikan oleh Wahbah Zuhaily, sebagai-

    mana dikutip oleh Satria Efendi, yang

    memberikan pengertian atau kandungan

    pengertian makna al-Ashlsebagai berikut;

    a.

    Dalil atau al-Dalil (sebagaimana akan

    dibahas selanjutnya), misalnya dapat

    ditemukan dalam ungkapan al-Ashl fi

    wujub al-Shalat al-Kitab wa al-Sunnah

    (hukum asal wajibnya shalat adalah al-

    Quran dan al-Hadits)

    b. Kaidah umum, yaitu suatu ketentuan

    yang bersifat umum yang berlaku pada

    seluruh cakupannya, seperti dalamcontoh ungkapan buniya al-Islam ala

    khamsat ushul (Islam dibangun atas

    lima pondasi)

    c.Al-Rajih, yaitu sesuatu yang lebih kuat

    dari beberapa kemungkinan, seperti

    dalam contoh ungkapan al-Ashl fi al-

    Kalam al-Haqiqat (pengertian yang lebihkuat dari suatu ungkapan adalah

    pengertian hakikatnya)

    d.Asal, yaitu tempat menganalogikan

    sesuatu yang merupakan sesuatu, yang

    merupakan salah satu dari rukun qiyas

    (analogi), misalnya khamr yang

    merupakan asal (tempat mengkiaskan)

    narkotika.

    e.

    Sesuatu yang diyakini bila mana terjadi

    suatu keraguan dalam suatu masalah.

    Misalnya ketika seseorang telahberwudhu, lalu kemudian ia ragua

    apakah wudhunya telah batal atau tidak,

    maka dalam hal ini ketetapan fiqh

    mengatakan bahwa al-Ashl al-

    Thaharah, bahwa yang diyakini adalah

    tetap dalam keadaan berwudhu.

    Semua pengertian di atas akan meng-

    antarkan kita kepada pemaknaan yang lebih

    luas tentang ushul al-Fiqh.

    Adapun pengertian dasar kata Fiqh12

    menurut bahasa berarti pemahaman13.

    Sedangkan sementara fiqh secara teknis

    diartikan sebagai pengetahuan tentang

    hukum syara yang berhubungan dengan

    amal perbuatan, yang digali satu per satu

    dalilnya. Dengan demikian jika fiqh

    memandang dalil sebagai rujukan maka

    Ushul a-Fiqh memandang dalil sebagaigarapannya. Jika dalil hukum dalam fiqh

    masih bersifat zhanny maka ushul Fiqh

    bersifat Qathi (pasti) wurudnya, terutamadari segi dalilnya (wurudnya dalil).

    2. Dalil (al-Dall)

    Istilah dall, yang jamaknya adillat,

    dibahas secara sfesifik dan representatif

    dalam disiplin ilmu ushul fiqh. Kata dall

    berasal dari bahasa arab, yaitu dall yang

    berarti mursyid(penunjuk),14yaitu sesuatu

    yang menunjuki atas sesuatu yang lain.

    Pengertian kebahasaan ini sejalan dengan

    pandangan Wahbah Zuhaili yang mengarti-kan dall sebagai petunjuk (penunjuk)

    kepada sesuatu, baik yang materil atau

  • 8/9/2019 PERANAN USHUL FIQH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM.pdf

    5/16

    Hamzah H asan, Peranan Ushul Fiqh... |220

    hissiy maupun yang non materil atau

    manawi.15 Sementara itu diketahui bahwa

    sesuatu yang memberikan petunjuk dalam

    kaitan dengan hukum syara ada dua

    macam yaitu ada yang bersifat nashdan ada

    yang bersifat akal. Artinya, dalil ada duasumbernya yaitu nash dan akal, yakni yang

    bersifat naqliyat dan aqliyat. Ada juga

    pengertian secara 'urfdikalangan ahli fiqh,

    seperti dikemukakan oleh al-Amidi bahwa

    dall adalah sesuatu yang mengandung

    dalalat (petunjuk) atau irsyad (bombingan,

    arahan).16Pengertian demikian memberikan

    pemahaman kepada kita bahwa dalil adalah

    penunjuk.

    Persoalannya kemudian adalah apa-

    kah dalil itu, baik berupa nash maupunakal ketika dikhususkan kepada suatu

    hukum tertentu yaitu hukum Islam?. Jika

    dalil diposisikan sebagai metode pendeka-

    tan maka tentu berbeda ketika dalil

    diposisikan sebagai obyek. Dalam kerangka

    ini, berarti kita membutuhkan suatu cara

    atau metode ber-istidlal (cara memperoleh

    dalil). Maka itu, perlu disepakati terlebih

    dahulu bahwa makna dalil menurut istilah

    yang masyhur dikalangan ahli ushul fiqh,

    seperti di atas adalah sesuatu yang diambil

    dari hukum syara tentang tindakan

    manusia secara mutlak, baik dengan cara

    qathi maupun secara zhanni.14 Sementara

    itu, keterangan makna dalil yang

    dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili adalah

    sesuatu yang memungkingkan (berpeluang)

    dapat membawa seseorang dengan meng-gunakan pikirannya, untuk menggapai

    obyek informatif yang diinginkan, seperti

    wajibnya shalat dengan memandang kepadapetunjuk nash-nash yang syari.16Tampak-

    nya dari dua pengertian secara istilah yang

    dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf

    dan Wahbah Zuhaily dapat dipahami bahwa

    yang dimaksud dengan dalil adalah

    petunjuk yang dapat digunakan secara

    syari, dan pengertian tersbut nampaknya

    mengarak kepada dalil yang terkait dengan

    hukum syara.

    3.

    Sumber (mashdar)

    Kata mashdar berasal dari kata kerja

    shadara, yang berarti sumber (mashdar),

    yaitu ma yashduru anhu asysyae yaitu

    suatu wadah yang dari padanya diperoleh

    sesuatu.17 Artinya ia dapat berarti tempat

    keluar atau asal sesuatu itu diperoleh.

    Sejauh pelacakan penulis dalam kitab-kitab

    ushul fiqh hampir tidak banyak untuk tidakmengatakan bahwa sangat minim sekali

    yang membahas makna sumber atau

    mashdar atau lebih dikenal mashdir

    (sumber-sumber) secara rinci dalam mem-

    bahas 'sumber-sumber hukum Islam',

    terutama mashdirdalam pengertian istilah.

    Besar kemungkinan ini terjadi karena

    tampaknya mereka telah sepakat bahwa

    makna sumber yang dimaksud baik secara

    lughawimaupun ishthilh adalah semakna

    dengan al-ashl atau asal yaitu sumberhukum asal, lalu kemudian mereka

    bersepakat menunjuk langsung bahasannya

    bahwa sumber dalam hukum Islam adalah

    Al-Qurn, Sunnah, Ijm dan Qiys.

    Adakalanya sumber al-Qur'an dan Hadits

    disatukan sebutannya menjadi sumber nash.

    Demikian halnya dengan Ijma', QIyas dan

    seterusnya, disebut dengan sumber 'aqli.

    Lantas, apakah semua sumber dapat

    disebut sebagai dalil?. Dalam tatataran

    inilah pentingnya sumber-sumber yang

    dimaksud diketahui, sekaligus dalam

    posisinya sebagai dalil atau hujjah. Maka

    itu Muhammad Salam Madkur mengatakan

    bahwa yang dimaksud dengan mashadir al-

    ahkam (sumber-sumber hukum) ketika

    membahas tentang sumber-sumber naqliyat

    dan aqliyat adalah "dalil-dalil global yangmenjadi pegangan dalam pengambilan dalil,

    atau yang menjadi sumber hukum atau yang

    menyingkap hukum, dan bahwa yangdimaksud dengan sumber asal hukum

    adalah Allah, sehiungga tiada hukum selain

    hukum Allah..18 Posisi Rasul sebagai

    penyampai syariat Allah, maka itu disebut

    pula sebagai syari, karena hukum Allah

    tidak dapat difahami kecuali melalui

    Rasulullah. Yang dimaksud dengan al-

    ksyif lihukmillah, mernurut ahli ushul

    adalah al-kitab, as-Sunnah, al-ijma dan al-

    qiyas.19

    4.

    Hukum (al-hukm)

  • 8/9/2019 PERANAN USHUL FIQH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM.pdf

    6/16

    Hamzah H asan, Peranan Ushul Fiqh... |221

    Kata al-hukm dalam kitb al-tarft,

    berarti penyandaran sesuatu atas yang lain,

    baikyang bersifat positif maupun yang

    negatif.20 Sedangkan dalam kamus al-

    Mujam al-Wasith diartikan adalah al-ilmu

    wa at-tafaqquh atau ilmu dan ber-pemahaman.21

    Sedangkan secara istilah, menurut

    ulama atau ahli ushul fiqh, adalah khitab

    syri (Allah) yang berkaitan dengan

    tidakan dan perbuatan mukallafbaik berupa

    thalaban (tuntutan, perintah), atau takhyr

    (pilihan) dan, atau wadhan (ketetapan).22

    Pengertian ini dengan sendirinya meng-

    khususkan kepada hukum Islam yaitu

    hukum-hukum Allah, baik berupa hukum

    yang lahir dari nash secara mutlak maupunyang lahir dari nash secara tafsiran.

    Hukum dalam Ushul fiqh dibahas

    secara terpadu antara hukum, al-hkim

    (pembuat hukum),23 al-mahkm fih (per-

    buatan hukum)24, dan al-mahkm 'alaih

    (obyek hukum)25. Dengan demikian penger-

    tian hukum secara meluas dan jelas dapat

    difahami jika terdapat unsur-unsur al-

    hkim, al-mahkm bih dan al-mahkm

    'alaih. Dalam kaitan ini, perlu ditegaskan

    bahwa pengertian hukum dalam al-hkim

    adalah Allah dan bukan akal.26

    Dengan demikian dapat dimengerti

    bahwa istilah-istilah dasar di atas menjadi

    pengetahuan asasi dalam menjabarkan

    esensi Ushul Fiqh dalam memproses pem-

    bentukan hukum, khususnya dari aspek

    sumber dalil hukum Islam.

    B.

    Macam-macam dan Pembagian

    Sumber Hukum

    Sumber-sumber pengambilan disiplin

    ilmu Ushul al-Fiqh secara umum dapat

    dibagi menjadi tiga disiplin pokok yaitu

    ilmu kalam, bahasa Arab dan Maqashid al-

    Syariyyat (tujuan-tujuan syara). Sumber-

    sumber ini dapat dicermati dari berbagai

    pembahas ushul fiqh yang menyebar dalam

    literature-literatur kajian Ushul Fiqh. Ketiga

    sumber-sumber ini merupakan satu kesa-

    tuan dari dua sumber dalil mutlak yaitu al-

    Quran dan al-Hadits, selain Ijma, Qiyas,mashalih mursalat, dan sebagainya.

    Abdul Wahab Khallaf membagi dalil

    secara ijmal (global), dengan dua pemba-

    gian yaitu dalil yang disepakati oleh jumhur

    yaitu Al-Qurn, as-Sunnat, Ijm dan

    Qiys. Pembagian kedua yaitu dalil yang

    tidak semua jumhur menyepakatinya yaituIstihsn, Istishlh tau mashlih mursalat,

    Istishhab, Urf, Mazhab Shahab dan

    Syaru ma Qablan.27 Pembagian dalil

    Abdul Wahab tersebut cendrung mengarah

    kepada statemen bahwa dalil yang dikenal

    dalam syara adalah yang telah disepakati

    dan yang masih dipersoalkan.

    Sementara itu Abdul Karim Zaedan,

    juga membagi ke dalam dua jenis pem-

    bagian, namun dengan cara yang berbeda,

    yaitu:Pertama, pembagian pertama yaitu

    jenis dari aspek kesepakatan dan per-

    selisihan, maka jenis ini dibagi ke dalam 3

    macam yaitu 1) yang disepakati oleh

    seluruh ummat Islam yaitu Al-Qurn dan

    al-Sunnat2) yang disepakati oleh mayoritas

    umat Islam yaitu Ijm (dan an-Nazzham

    dari Mutazilah menolak ijma, juga

    sebagian al-Khawarij) dan Qiys (yang

    ditolak oleh kalangan Jafariyah dan az-

    Zhahiriyah), dan 3) jenis dalil yang

    diperselisihkan oleh ulama yaitu Istihsn,

    Istishlh ataumashlih mursalat, Istishhb,

    Urf, Mazhab Shahab dan Syaru ma

    Qablan, dan dikalangan ulama yang tidak

    memandang semua ini sebagai dalil.

    Kedua, yaitu pembagian dalil dari

    tempat pengambilannya dari an-naql atauar-ray atau lebih dikenal yang bersifat

    naqliyat atau aqliyat. Dalil naqliyat adalah

    al-Kitb dan as-Sunnat, dan termasukdalam jenis ini yaitu Ijm, Mazhab

    Shahab dan Syaru ma Qablan, bagi

    mereka yang menjadikan dalil tersebut.

    Dimasukkannya dalil-dalil tersebut kedalam

    kategori naqliyat karena bersifat taabbud

    dengan sesuatu yang datang dari as-Syri

    (Allah), yang didalamnya tidak ada pen-

    dapat dan pandangan.28 Artinya bahwa

    bahwa Ijm, Mazhab Shahab dan Syaru

    ma Qablan merupakan dalil-dalil yang

    tidak lagi membutuhkan kerja keras nalaruntuk memahaminya karena pada prinsip-

  • 8/9/2019 PERANAN USHUL FIQH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM.pdf

    7/16

    Hamzah H asan, Peranan Ushul Fiqh... |222

    nya berasal dan bersumber dari wahyu itu

    sendiri.

    Dua jenis pembagian dalil-dalil

    hukum syari di atas, dapat dipahami

    mengenai pembagian dalil-dalil hukum.

    Selanjutnya, dalil-dalil tersebut akandibahas oleh penulis hanya pada jenis dalil

    al-Kitab dan al-Sunnahsebagai dalilNaqli,

    kemudian Ijm dan Qiys sebagai dalil

    Aqli.29 Berikut ini pembahasan dalil-dalil

    yang disepakati oleh jumhur ulama

    khususnya ulama ushul fiqh dan ulama fiqh.

    1. Al-Kitb30(Al-Quran)31

    Kata al-Kitb32 (al-Quran) menurut

    bahasa adalah sebuah kitab. Sedangkan

    secara istilah adalah al-kitab (Kalam Allah,wahyu) yang diturunkan kepada Rasulullah

    Muhammad Saw, yang tertulis dalam

    mashahif (lembaran-lembaran), yang

    dinukil kepada kita secara mutawatir tanpa

    keraguan.33Sementara menurut ushuliyyun,

    al-Quran (al-Kitab) adalah lafazh Arab

    yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

    yang sampai kepada kita dengan jalan

    mutawatir, yang dimulai dengan surah al-

    Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas,

    yang dikumpulkan dalam lembaran-lembaran.34Al-Kitb atau al-Quran dalam

    pengertian yang luas adalah sumber segala

    sumber hukum dalam Islam,35 dan karena-

    nya ia menjadi dalil yang paling awal

    dijadikan sebagai objek semua ilmu-ilmu

    Islam (secara langsung atau tidak lang-

    sung), khususnya ilmu ushul fiqh.

    Mengapa? Sebab selain al-Quran itusendiri adalah sangat terkait dengan soal

    keimanan, juga secara wurudnya atau

    nuzul-nya dipastikan bahwa semua isi al-

    Quran adalah Qathi, tidak diragukan

    kebenarannya. Akan tetapi, ketika sampai

    pada tatatan maksud dari kata dan kalimat

    yang ada di dalam al-Quran serta kan-

    dungan-kandungan maknanya, maka kemu-

    dian tidak semua isi al-Quran di pandang

    Qathi, tetapi banyak sekali yang bersifat

    zhanni. Hal ini, dikarenakan perbedaan

    pandangan dalam memahaminya baik

    secara lughawi (kebahasaan) maupunmaknawi. Dalam kontek ini yang menjadi

    sentral problematika al-Quran disepanjang

    zaman, yang hingga saat ini, ummat Islam,

    khususnya para ulama dan mujtahid, masih

    terus melakukan kajian-kajian mendalam

    dan metodologis.

    Hal lain, yang sangat substansi dari

    al-Quran adalah aspek kehujjahannya,yaitu dijadikannya sebagai dalil pertama

    dalam mengistinbath hukum, yang hampir

    tidak ada orang yang menolaknya. Sebab

    al-Quran diturunkan Allah secara qathi

    yang kebenarannya tidak diragukan sama

    sekali. Sementara itu, kedudukan al-Kitab

    sebagai sumber dalil dari semua dalil-dalil

    yang ada (mulai dari as-Sunnah dan

    seterusnya) didasarkan pada beberapa ayat-

    ayat al-Kitab itu sendiri seperti dalam surah

    al-Anm ayat 38 Ma farathn fil kitabimin syae dan surah al-Hasyr ayat 7 wa

    nazzaln alaika al-kitba tibynan likulli

    syaein.37 Yang keduanya menunjukkan

    bahwa nama al-Kitabadalah juga al-Quran

    yang dimaksudkan.

    Lantas, hukum-hukum apa yang

    dikandung al-Quran?. Dan berapa banyak

    jumlah ayat-ayat hukum? Abdul Wahhab

    Khallaf membagi kandungan hukum-

    hukum al-Quran ke dalam tiga hal pokok

    yaitu Ahkam Itiqadiyat, Khuluqiyat dan

    Amaliyat. Yang dimaksud dengan

    itiqadiyat adalah hukum akidah yang

    terkait dengan sesuatu yang harus diper-

    cayai dan diimani oleh mukallaf yaitu

    keimanan tentang Allah, malaikat, kitab-

    kitab (wahyu), para Rasul dan hari

    pembalasan. Sedangkan khuluqiyat adalahhukum-hukum akhlak, etika, yang terkait

    dengan sesuatu yang mesti digunakan

    dalam kehidup setiap mukallaf, yaitukeutamaan-keutamaan dan menghindarkan

    diri dari kehinaan. Sementara yang

    dimaksudkan dengan amaliyat adalah

    hukum-hukum amal, yang terkait dengan

    seluruh bentuk tindakan dan perbuatan

    mukallaf baik lisan maupun sikap.38 Dari

    sini akan lebih ringkas jika kandungan

    hukum-hukum al-Quran dibagi ke dalam

    dua bagian dan dalam pengertian yang luas

    yaitu hukum ibadah dan hukum muamalah.

    Selanjutnya, mengenai jumlah ayat-ayat yang menyangkut tentang hukum

    dalam al-Quran, menurut Dede Rosada

  • 8/9/2019 PERANAN USHUL FIQH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM.pdf

    8/16

    Hamzah H asan, Peranan Ushul Fiqh... |223

    bahwa jumlah ayat-ayat hukum dapat

    dklasifikasi menjadi 368 ayat atau sekitar

    5,8 persen dari total ayat keseluruhan 6360.

    Artinya, hukum-hukum yang dibicarakan

    dalam al-Quran (yang terkait dengan

    hukum ibadat) relatif sangat sedikit. Meskidemikian dengan jumlah yang sedikit itu,

    menjadi suatu argumen yang sangat kuat

    akan kedalaman makna hukum-hukum

    yang dikandung, sebab dengan jumlah itu

    telah dipandang mencakup seluruh norma-

    norma hukum Islam yang dimaksudkan.

    Sampai disini kita telah memahami

    bahwa sumber dalil hukum al-Quran yang

    menjadi obyek pembahasan Ushul Fiqh

    adalah dalil-dalil menyangkut amaliyat

    yang meliputi ibadat (ibadah) danmuamalat (muamalah). Dalam kerangka

    ini terdapat dua jenis dalil dari al-Quran

    yaitu yang Qathidan yangzhanni.

    2. As-Sunnah39

    As-Sunnah40 secara bahasa berarti at-

    Tharqat (jalan). Sementara menurut

    ushuliyyunadalah sesuatu yang berasal dari

    Nabi Saw, selain al-Quran, dari perkataan

    dan perbuatan atau taqrir.41 Menurut Adib

    Shaleh seringkali, kata al-Sunnah diper-gunakan sebagai ketetapan-ketetapan

    Rasulullah mengenai Hukum Islam. Namun

    demikian, hemat penulis, tentu saja makna

    dan kedudukan sunnah tidak hanya terbatas

    pada sebagai sumber hukum, akan tetapi

    leih dari itu al-Sunnah dapat menjadi

    sumber inspirasi dalam berpikir tentang

    segala hal yang terkait dengan kehidupanmanusia.

    Abdul Wahhab Khallaf sendiri, men-

    defenisikan as-Sunnah sebagai sesuatu

    yang datang dari Rasulullah, baik ucapan,

    perbuatan atau taqrir (persetujuan).42 Dari

    defenisi ini dapat difahami bahwa apa yang

    menjadi ucapan, perbuatan atau taqrir Nabi

    adalah merupakan sunnah, yang kemudian

    dijadikan sebagai sumber dalil hukum.

    Kehujjahan as-Sunnah sebagai sum-

    ber dalil kedua dalam penetapan hukum

    telah disepakati oleh jumhur ulama. Hal ini

    didasarkan pada beberapa pertimbanganpemikiran yaitu, pertama bahwa di dalam

    al-Quran bahwa terdapat suatu perintah

    untuk taat kepada Rasul,44

    yang dengan

    demikian, taat dan mengikuti perintah

    Rasulullah dan menjauhi larangannya

    merupakan sebuah keniscayaan bagi ummat

    Islam. Bahkan, inilah yang paling esensial

    mengapa al-Sunnah menjadi sumber dalampenetapan hukum. Kedua, ijma para

    sahabat ketika Nabi masih hidup dan

    setelahnya bahwa tentang keharusan taat

    kepada Rasulullah.Ketiga,bahwa dalam al-

    Quran telah diwajibkan untuk melakukan

    ibadah seperti perintah shalat dengan lafazh

    m tanpa penjelasan detail, baik mengenai

    hukum maupun pelaksanaan, sehingga

    dalam kontek inilah peran Rasul atau

    sunnah dalam menjelaskan kewajiban

    (shalat) tersebut.45Dalam kerangka kedudu-kan as-Sunnah inilah dengan sendirinya ia

    menjadi hujjah atau sumber dalil hukum,

    sebab jika as-Sunnah hanya berfungsi

    sebagai penjelas dan tidak merupakan

    hujjah yang harus ditaati, maka tidak

    mungkin menjalankan kewajiaban-kewaji-

    ban yang ada dalam al-Quran, dalam artian

    mentaati hukum-hukum al-Quran.

    3.Al-Ijm(konsensus)

    Secara bahasa Ijm46berarti kesepa-katan. Secara istilah, menurut ulama ushul

    fiqh adalah kesepakatan para imam

    mujtahid diantara ummat Islam terhadap

    suatu hukum sayara, pada suatu masa,

    setelah wafatnya Rasulullah Saw. Penger-

    tian ini menjadi pilihan Abdul Karim

    Zaedan, yang menurutnya banyak makna

    istilah yang dikemukakan para ulamaushul.47 Dari pengertian ini, kemudian

    ulama ushul menjadikan ijm sebagai

    hujjah atau dalil, dan merupakan sumber

    dalam penetapan hukum Islam dengan

    sejumlah pertimbangan. Diantara pertim-

    bangan itu, Pertama bahwa dalam al-

    Quran terdapat perintah untuk mentaati

    para ulil amr, dimana ibnu Abbas menaf-

    sirkannya sebagai ulama.

    Kedua, bahwa setiap hukum yang

    telah disepakati para mujtahid ummat Islam

    pada dasarnya adalah hukum ummat Islam

    yang diproduksi oleh para mujtahid, yangdalam kontek ini dikaitkan dengan hadits

    Nabi bahwa ummatku tidak akan

  • 8/9/2019 PERANAN USHUL FIQH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM.pdf

    9/16

    Hamzah H asan, Peranan Ushul Fiqh... |224

    berkumpul melakukan kesesatan. Ketiga,

    bahwa ijma atas hukum syara itu harus

    diadakan pada landasan hukum syara,

    sebab mujtahid memiliki batas-batas yang

    tidak boleh dilanggar.48 Dengan demikian,

    pada dasarnya ijma adalah sesuatu kese-pakatan para mujtahidin yang didasarkan

    pada nash atau wahyu dan as-Sunnah.

    4.

    Al-Qiys(analogi)

    Qiyas menjadi simbol nalar dalam

    Islam yang disebut sebagai hasil ijtihad atau

    produk pemikiran ulama-ulama Muslim.

    Mungkin, sekiranya tidak ada konsep Qiyas

    yang ditemukan oleh ulama Muslim, maka

    Islam akan disebut sebagai agama yang

    tidak rasional oleh kalangan non Islam. IssaBoullata, yang mengutip dari pemikiran

    Hasan Sya'b, seorang sarjana Libanon,

    bahwa "Ijtihad terkait dengan semangat

    Islam dan adaptasinya dengan kondisi dan

    kebutuhan manusia yang senantiasa

    berubah, dan itu dimulai dari "dinamisme

    kreatif Tuhan" dalam Al-Qur'an".49Dengan

    demikian, mungkin saja asumsi ini mem-

    bawa kita kepada asumsi selanjutnya,

    bahwa ijtihad juga dapat dimulai dan

    diteruskan dari dan oleh "dinamisme kreatifMuhammad", sang Rasul Allah, para

    Sahabat, Tabi'n, Tabi' tabi'n dan seterus-

    nya, selama memenuhi kriteria untuk

    berkreasi secara ilmiah, dinamis dan

    proporsional serta bertanggung jawab.

    Meski demikian, perlu pula diimbangi

    dengan suatu kesadaran berimbang bahwa

    nalar bukanlah segalanya, dan dibalik nalarada hal lain yang mengungguli nalar.

    Dalam kaitan ini menarik pula dikutip dari

    apa yang dikemukan oleh Abdul Majd

    Muhammad as-Ssuh, ketika menulis

    makalah ilmiyahnya berjudul al-alqat

    baina hkimiyat al-wahy wa ijtihd al-

    aql,bahwa ijtihad nalar dalam tasyri al-

    Islamiy bukan semata filsafat nalar, akan

    tetapi merupakan kesungguhan dan kerja

    keras nalar yang terkait dengan nash-nash

    wahyu, yang senantiasa berada dalam

    cakupan wahyu dan tidak melampauinya,

    dan bahwa hubungan ijtihad nalar dan nash-nash wahyu senantiasa dalam posisi

    hkimiyat al-wahy dan mahkmiyat al-

    aql.50

    Dua pandangan tersebut, sebetulnya

    secara tidak langsung menunjuk kepada

    bagaimana pola pikir ummat Islam dalam

    menggunakan nalarnya, termasuk dalam

    kaitan dengan sumber-sumber dalil hukum

    Islam yaitu al-Qiyas(analogi). Selanjutnya,muncul pertanyaan sejauh mana dalil Qiyas

    digunakan oleh ulama-ulama Islam, khusus-

    nya kalangan ushuliyyun?.

    Sebagaimana telah dikemukakan

    sebelumnya bahwa ternyata Qiyas oleh

    sebagian kalangan Islam tidak mengguna-

    kannya sebagai sumber dalil atau hujjah

    yaitu al-Jafariyah dan az-Zhahiriyah.

    Namun, tentang soal ini penulis tidak akan

    menguraiakannya sebab kita terfokus pada

    pembahasan yang telah disepakati olehjumhur bahwa qiyas sebagai sumber dalil

    hukum Islam. Adapun petimbangan logis51

    dijadikannya Qiyas sebagai hujjah atau

    sumber dalil dalam mengistinbath suatu

    hukum adalah;

    1.bahwa Allah tidak mensyariatkan hukum

    melainkan dengan kemaslahatan, dan

    karena itu jika suatu masalah atau

    peristiwa yang nashnya ada illat hukum

    maka akan tampak kenyataan dan

    adanya hikmah keadilan. Sebagai contoh

    dalam pengharaman khamar, yang

    illatnya adalah memabukkan, dan

    menghindari hal-hal memabukkan

    adalah memelihara akal, maka sesuatu

    yang memabukkan dengan sendirinya

    menjadi haram, dan proses inilah proses

    inilah yang disebut dengan Qiyas2.

    bahwa nash-nash, baik al-Quran mau-

    pun as-Sunnah, sudah tidak mungkin

    bertambah, sedangkan kejadian danproblema senantiasa berkembang. Dan

    dalam kontek ini, diperlukan Qiyas

    untuk dijadikan sebagai sumber pem-

    bentukan hukum yang sejalan dengan

    peristiwa-peristiwa baru.

    3.bahwa Qiyas adalah dalil yang dikuatkan

    oleh naluri dan logika yang shahih.

    Maka jika ada pelarangan meminum

    racun, maka itu dikarenakan racunnya

    dikiaskan dengan seluruh minuman

    racun.52

    Dengan demikian diketahui bahwa

    rukun yang paling asasi selain al-ashl

  • 8/9/2019 PERANAN USHUL FIQH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM.pdf

    10/16

    Hamzah H asan, Peranan Ushul Fiqh... |225

    (asal), al-faru (cabang) dan hukm al-ashl

    (hukum asal)53adalah al-illat(sebab) yaitu

    illat atau sebab yang menyambungkan

    pokok dengan cabang. Karenanya, dari

    sejumlah dalil aqliyat yang ada, didapati

    banyak ulama ushul fiqh yang memfokus-kan perhatiannya pada pembahasan illat

    yang menjadi rukun dari Qiyas.

    C.Anbalisis Tentang Sumber Dalil

    Sebagai Titik Utama dalam Proses

    Pembentukan Hukum

    Al-Quran dan al-Hadits yang sampai

    saat ini di hadapan ummat Islam tentu saja

    dipastikan otentik dan orisinil. Menurut

    juhaya S. Praja, orisinalitas dan otentitas ini

    didukung oleh penggunaan bahasa aslinyayaitu bahasa Arab, karena al-Quran dan

    hadits merupakan dua dalil hukum, yaitu

    petunjuk-petunjuk adanya hukum. Semen-

    tara itu, untuk mengetahui hukum-hukum

    tidak cukup hanya dengan adanya petunjuk,

    melainkan perlu cara khusus untuk

    mengetahui atau memahaminya dari

    petunjuk-petunjuk itu. Cara khusus itulah

    yang kita sebut dengan metode. Ilmu untuk

    mengetahui cara itu kemudian disebut

    metodologi, dan metodologi itu sendiriuntuk memahmi hukum dari petunjuk-

    petunjuknya kemudian disebut ushul fiqh.54

    Kendati demikian, oleh karena

    disiplin ilmu ushul al-Fiqh adalah produk

    pemikiran maka sebagai konsekuensi logis

    dari sesuatu yang dihasilkan dari produk

    pemikiran manusia adalah bahwa semua

    bentuk pemikirannya terbuka ruang untukdikritisi. Sebab, merupakan hal mustahil

    bagi manusia untuk mengetahui segala jenis

    ilmu pengetahuan. Lagi pula, kebenaran

    mutlak tampaknya tidak akan pernah

    dicapai oleh manusia, dikarenakan unsur

    kediriannya adalah kebaikan dan keburu-

    kan, nafsu dan akal sehat.

    Dalam kerangka inilah nalar dan akal

    manusia harus tunduk pada nash, sebab

    nash tidak akan pernah salah di sisi Allah.

    Akal dan nalar lah yang dapat mengalami

    kekeliruan dan kesalahan. Pemberangkatan

    ini menjadi pijakan penulis dalam meng-analisa produk pemikiran para ulama Ushul

    Fiqh dalam membahas dan mengkaji

    mengenai sumber-sumber dalil hukum

    Islam, yang hingga kini terbukti belum

    ditemukan kesepakatan secara total dika-

    langan ummat Islam.

    Sejak masa klasik, terjadinya dialog

    dan perdebatan mengenai sumber-sumberdalil antara kalangan Mutazilah dan

    Asyariyah di satu sisi, dan antara Sunni

    dan Syiah serta antara kalangan Hanafiyah

    dan ghaer Hanafiyah atau mutakallimun

    disisi lain, menjadi fakta sejarah dalam

    khazanah pemikiran Islam, termasuk ketika

    membahas tentang sumber-sumber dalil

    hukum Islam dalam kajian ushul fiqh.

    Bahkan, ketika muncul kelompok yang

    ingin menggabungkan (al-jamu wa al-

    taufiq) dari kedua bentuk perseteruan yang sering disebut sebagai jalan alternatif

    atau thariqat al-jamu tersebut, tampaknya

    setidaknya hingga saat ini juga belum

    mampu menunjukkan suatu titik temu yang

    melahirkan suatu konsensus yang terbaik

    bagi dunia Islam dalam menetapkan suatu

    sitem dan metode penetapan hukum menuju

    kebenaran hukum.

    Sebagai contoh, dalam pemaparan

    bahasan sumber-sumber dalil dalam kajian

    ushul fiqh, baik dari pembagian dalil dari

    aspek kehujjahan, hingga kepada persoalan

    mana yang didahulukan apakah akal

    didahulukan atau nash yang didahulukan

    harus menguras otak para ulama untuk

    menunjukkan kebenaran yang diyakini-

    nya melalui disiplin ilmu dan metode

    berpikir yang ditekuni. Hal ini terjadidiperkirakan karena ada kesan bahwa

    dikuatirkan pintu ijtihad dan berpikir

    rasional dikalangan ummat Islam akancendrung tertutup, sehingga perlu menguras

    otak untuk melakukan revolusi atau

    dobrakan baru dalam pemikiran Islam.

    Persoalannya kemudian adalah ben-

    tuk pembaharuan mana dalam ushul fiqh

    yang mesti menjadi pijakan yang paling

    aman dari kesalahan berfikir yang ditemu-

    kan melalui metode atau pendekatan

    tertentu? Inilah yang menjadi pekerjaan

    para pengkaji yang berminat dalam

    mengembangkan dan mendalami ilmu-ilmuIslam.

  • 8/9/2019 PERANAN USHUL FIQH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM.pdf

    11/16

    Hamzah H asan, Peranan Ushul Fiqh... |226

    Sebagai bahan analisis penulis dalam

    upaya memahami perbedaan mengenai

    sumber-sumber dalil syara' atau dalil

    hukum dikalangan ulama terutama dari

    ushuliyyun ada baiknya diketengahkan

    model pandangan yang dianut oleh AbdulJabbar bin Ahmad sebagai variabel untuk

    memposisikan titik-titik perbedaan yang

    ada, sekaligus untuk menemukan titik temu

    dalam perbedaannya.

    Abdul Jabbar bin Ahmad membahas

    macam-macam dalil dengan membagi

    kedalam empat jenis dalil yaitu hujjatul al-

    aql, al-Kitab, as-Sunnah dan al-Ijma'.

    Abdul Jabbar menjawab kemungkinan

    pertanyaan yang diajukan kepadanya,

    tentang mengapa ia membatasai pada empatjenis dalil saja? Menurutnya, karena dalil

    adalah sesuatu yang jika diamati oleh

    seorang pengamat, maka akan sampai

    kepada suatu ilmu (pengetahuan), dan ini

    semua tidak keluar dari empat jenis dalil

    tersebut.

    Demikian halnya jika dipertanyakan

    Qiyas danKhabar al-Wahidtidak dimasuk-

    kan sebagai dilalatterhadap hukum-hukum

    syara'? Abdul Jabbar menjawab, bahwa

    Qiyas dan Khabar al-wahid termasuk atau

    dikategorikan kedalam cakupan Ijma' atau

    al-Kitab atau as-Sunnah, maka tidak mesti

    disebutkan secara berdiri sendiri.55

    Abdul Jabbar menjadikan akal seba-

    gai hujjah pertama sebelum al-Qur'an,

    Sunnah dan Ijma' dengan dasar pemikiran

    bahwa ma'rifat Allah tidak akan dicapaitanpa menggunakan akal. Ia berdalih bahwa

    pembicaraan bahwa ma'rifat Allah tidak

    akan dicapai kecuali dengan akal, karenaselain dari akal adalah cabang dalam upaya

    mengetahui ke-Esa-an dan keadilan Allah,

    sehingga jika kita menggunakan sesuatu

    dalil darinya tentang Allah, maka itu berarti

    menggunakan dalil cabang dari sesuatu

    kepada asalnya, dan itu tidak boleh.56 Ini

    menunjukkan bahwa Abdul Jabbar

    memberikan pengertian lain dari kedudukan

    nash sebagai sesuatu yang bersifat

    konfirmasi.

    Lebih jauh ia menjelaskan bahwa al-Kitab (al-Qur'an) hanya dapat dijadikan

    hujjah apabila dapat dibuktikan bahwa al-

    kitab adalah kalam yang Maha Adil dan

    Maha Bijak, tidak berdusta dan tidak

    mungkin terjadi padanya kebohongan atau

    terdapat kekurangan padanya. Demikian

    halnya dengan Sunnah dapat menjadi hujjah

    bila diketahui atau dapat dibuktikan iaadalah sustu sunnah yang tidak mengalami

    kebohongan atau diketahui adil, begitu pula

    dalam kaitannya dengan Ijma', karena ijma'

    adalah sesuatu hujjah yang bersandar

    kepada al-kitab atau as-Sunnah, yang kedua

    sumber ini merupakan cabang (bukan asal)

    untuk ma'rifat Allah.57 Dengan demikian

    pandangan Abdul Jabbar memberikan

    pemahaman kepada kita, bahwa secara

    praktis nash-nash (Allah) tidak akan

    dimengerti tanpa menggunakan akal, danbahwa dasar pemikiran inilah yang

    menjadikan Abdul Jabbar memposisikan

    akal sebagai dalil yang pertama sebelum al-

    Qur'an, as-Sunnah dan al-Ijma'.

    Dalam pola pemikiran Abdul Jabbar,

    dapat pula diketahui bahwa tampaknya

    ulama-ulama ushul fiqh dalam membahas

    persoalan sumber-sumber dalil hukum

    syara, baik dari jenis-jenis dan pembagian

    sumber dalil hingga pada dalil yang mana

    lebih didahulukan, semakin memberikan

    kearah yang relative lebih terang bahwa

    perbedaan mereka cendrung sangat diten-

    tukan pada bagaimana suatu dalil (al-Qur'an

    dan Sunnah serta ijma') yang mencakupi

    dalil dalil yang lain seperti Qiyas, istihsan

    dan sebagainya.

    Keadaan di atas, perlu dicermatikembali sehingga ummat Islam tidak ter-

    bawa arus dengan rasionalisasi zaman an

    sich. Sebab, dalam kehidupan studi-studikeislaman memang terdapat sesuatu yang

    bisa saja tidak rasional menurut mayoritas

    manusia namun rasional di sisi Allah. Yang

    menjadi pelik memang adalah lagi-lagi

    bagaimana mengetahui bahwa yang rasional

    menurut Allah adalah ini atau itu. Misalnya

    saja, apakah jumlah rakaat shalat fardhu

    akan mampu dirasionalkan oleh mereka

    yang semata menggunakan rasional dalam

    menemukan hukum-hukum agama?. Per-

    tanyaan semacam inilah yang tidak mung-kin dirasionalkan.

  • 8/9/2019 PERANAN USHUL FIQH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM.pdf

    12/16

    Hamzah H asan, Peranan Ushul Fiqh... |227

    Untuk itu, dalam mencermati pem-

    bahasan mengenai sumber-sumber dalil

    hukum syara, diperlukan suatu pemahaman

    yang komprehensif, dengan cara mem-

    proporsionalkan kedudukan masing-masing

    dalil, sumber dan hukum. Kalaulah akaldijadikan sebagai dalil pertama dari nash,

    maka konsekuensinya adalah harus dapat

    menjamin tidak akan bertentangan dengan

    kebenaran yang dikehendaki oleh nash atau

    al-Syri (Allah), sementara diketahui

    bahwa akal manusia kerapkali bahkan

    seringkali dipengaruhi oleh nafsu baik itu

    nafsu intelektual maupun nafsu egoistik

    atau taasshub (fanatik). Sebaliknya,

    apabila menjadikan nash sebagai sumber

    dalil yang pertama maka tidak berartibahwa nash akan dapat difahami tanpa akal,

    termasuk suatu hukum yang telah qathi'y

    al-dilalat (petunjuknya jelas dan pasti),

    apalagi yang bersifat dhanniy al-dilalat

    (petunjuknya meragukan) .

    Yang lebih penting lagi, bahwa

    metode atau pendekatan apapun yang

    digunakan dalam berpikir untuk meman-

    dang baik buruknya suatu hukum dalam

    Islam yang akan dan telah ditetapkan, jika

    tanpa nash yang melagilisirnya maka

    niscaya pendekatan itu tidak akan pernah

    berguna bagi kepentingan implementasi

    hukum-hukum Allah. Sebab memang nash

    itulah yang menjadi hukum asal dari segala

    bentuk hukum yang dilahirkan oleh

    manusia atau akal manusia

    III. KESIMPULAN

    Dari pemaparan makalah diatas

    penulis mengambil beberapa kesimpulan

    sebagai berikut:

    1. Bahwa Ushul Fiqh adalah rumusan

    kaidah-kaidah yang menjadi pondasi

    utama dalam melahirkan suatu hukum,

    dan tanpa disiplin ilmu Ushul Fiqh tidak

    mungkin dapat membentuk suatu

    hukum. Urgensi Ushul fiqh sangat tam-

    pak dalam bahasan-bahasannya menge-

    nai dalil dan sumber-sumbernya, metode

    penggalian hukum dari sum-bernya,

    serta syarat-syarat mutlak dimiliki olehseorang mujtahid atau ahli hukum Islam

    dalam. Sebagaimana tampak dalam

    menganalogikan narkotika kepada

    khamr.

    2. Bahwa sumber dalil hukum adalah

    obyek utama bahasan Ushul Fiqh,

    sementara Ushul Fiqh merupakan tempat

    pengambilan atau tempat keluarnya dalilhukum yaitu asal hukum. Ushuliyyun

    berpandangan bahwa dalil adalah

    sesuatu yang dipakai sebagai hujjah,

    yang diambil dari hukum syara menge-

    nai tindakan manusia secara mutlak, baik

    yang qathi maupun zhanni. Sementara

    yang dimaksudkan dengan hukum

    adalah hukum syara, yaitu khitab syari

    yang berkaitan dengan tidakan dan

    perbuatan mukallaf apakah itu berupa

    perintah, pilihan atau ketetapan.3. Bahwa sumber dalil hukum Islam

    menurut mayoritas ulama ushul fiqh

    adalah terutama al-Kitab, as-Sunnah, al-

    Ijma dan al-Qiyas, meskipun ada

    sebagian kecil dari kalangan ulama yang

    tidak menjadikan Ijma dan Qiyas

    sebagai sumber dalil hukum syara, atau

    menjadikan Ij'ma' sebagai dalil tapi

    mengesampingkan Qiyas.

    4. Bahwa perbedaan ulama dalam meng-

    gunakan dalil selain al-Kitab dan al-

    Sunnah sebagai sumber dalil hukum

    syara lebih disebabkan pada perbedaan

    pandangan dalam mencermati makna

    dalil yang dimaksudkan. Juga, bahwa

    perbedaan ulama dalam mendahulukan

    mana yang menjadi urutan pertama

    dalam berhujjah apakah akal atau nash,ini juga terjadi sebagai konsekuensi logis

    dari akal manusia yang cendrung

    dipengaruhi oleh hawa nafsu, ketimbangwahyu yang sudah dipastikan kebenaran-

    nya.

    Catatan Akhir:

    1Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmizi, Ahmad

    dan Abu Daud dalam matan yang berbeda. Namun

    Matan Hadits di atas diperoleh penulis dari Sunan

    Abi Daud, dalam bab 11, kitab Ijtihad al-Ray li al-

    Qadha. Sementara Sanad (transmisi) hadits inisebagaimana di dalam kitab Sunan Abi Daud, secara

    runtut diriwayatkan oleh Abi daud, dari Hafsh bin

    Umar, dari Syubah, dari Abi Aun, dari Harits bin

    Amru ibnu akh al-Mughirah bin Syubah, ia adalahpenduduk Humsh (Syria sekarang), dan Harits ini

    adalah sahabat Muaz bin Jabal sendiri. Lebih

    jelasnya dapat dirujuk ke dalam kitab Sunan Abi

  • 8/9/2019 PERANAN USHUL FIQH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM.pdf

    13/16

    Hamzah H asan, Peranan Ushul Fiqh... |228

    Daud, Jilid 2, h.22, dengan no. Hadits 3592, juga

    dalam kitab Musnad Ahmad jilid. 5, hlm. 230.

    2Al-Syahrasytni, al-Milal wa al-Nihl,

    Kairo, Bab al-Halaby, 1967, hlm.199.

    3Hamid Fahmi Syarkazy, Worldview sebagai

    Epistemologi Islam (Makalah), Majalah, Islamia,Jakarta, Vol. II, no 5, 2005, h.15

    4Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo,

    Maktabah dar al-Salam, tth. h.452

    5Abdul Halim Uwais, Fiqh Statis dan

    Dinamis (terjemah), Bandung, Pustaka Hidayah,

    1998, h 149

    6Thaha Jabir Al-Wani mengatakan, bahwa

    adalah sulit melakukan studi mengenai sejarah atauasal usul dari ilmu ushul fiqh tanpa mengetahui asal

    ushul imu fiqh, sebab jika fiqh diartikan sebagai

    sesuatu yang dibangun darinya atas yang lain, maka

    fiqh adalah sesuatu yang telah dibangun pada

    ushulnya yang berupa dalil dan cabang-cabangnya,

    dan karena itu untuk memahami ilmu fiqh dan ushulfiqh diperlukan suatu paradigma global tentang

    sejarah tasyri. Menurutnya, yang mengutip dari al-

    Mustashfa, bahwa Ushul fiqh adalah metode bagi

    seorang ahli fiqh. Ushul fiqh ibarat ilmu mantiq

    (logika) dalam filsafat. Thaha Jabir Alwani, Ushul

    al-Fiqh al-Islami, Source Methodology in Islamic

    Jurisprudence (The International Institute of Islamic

    Thought, IIIT, Virginia, 1990) p. 4 and p. 63.

    7Terkait dengan ijtihad ini, menarik dicermati

    uraian Issa Boullata, yang mengutip dari pemikiranHasan Sya'b, seorang sarjana Libanon, bahwa

    "ijtihad terkait dengan semangat Islam dan

    adaptasinya dengan kondisi dan kebutuhan manusia

    yang senantiasa berubah, dan itu dimulai dari

    "dinamisme kreatif Tuhan dalam Al-Qur'an". Lebih

    jelasnya dapat dirujuk kedalam Issa Bollutta,

    Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab

    Modern, LKIS, Yokyakarta, 2001, cet. Ke-1, hlm.

    101

    8Jazuli, A dan Aen, Nurol, Ushul Fiqh (

    Gilang Aditya Press, 1996) Cet. 1, h. pengantar.

    9Jazuli dan Norul Ain, op.cit. h.2, pengertianini dikutip dari Abdul Wahhab Khallaf.

    10Pertanyaan-pertanyaan tentang apa itu

    sumber, dalil dan hukum bisa tidak berkesudahan

    apabila tidak menggunakan pandangan tentangnya

    dari yang telah diterima oleh mayoritas ulama,

    setidaknya untuk ukuran 9: 1 orang ulama yangkeseluruhannya diakui secara akademis maupun

    secara teologis. Sebagai contoh, ada sebagian

    kalangan yang berpandangan bahwa mereka boleh

    melakukan ijtihad mutlakdimana ini sangat terkait

    dengan sumber-sumber dalil yang digunakan

    untuk kepentingan ummat Islam keseluruhan,padahal hal ini merupakan sesuatu yang sangat sulit

    diterima akal pikiran atau mungkin bisa pada

    kondisi tertentu dimana tidak ada ulama selain

    dirinya di suatu tempat - setidaknya karena pada

    dasarnya manusia berfikir karena ada buah pikiranorang lain, dan mereka tidak akan memandang

    dirinya sebagai orang yang berpikir apabila tidak ada

    orang lain yang memberikan masukan pemikiran.

    Jadi lagi-lagi istilah ijtihad mutlak menjadi hal yang

    hampir mendekati mustahil terjadi bagi manusia.Dan disini, lagi lagi keterbatasan akal manusiamenuntut seorang ilmuwan, dalam bidang apapun,

    harus berlaku bijak dengan ilmu pengetahuan dan

    sekaligus dalam implementasinya.

    11Muhammad Maruf al-Dawaliby, al-

    Madkhal ila ilm Ushul al-Fiqh, Damaskus, Dar al-

    ilm li al-Malayin,1965, cet.5, h.2

    12 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad

    al-Gazaly, al-Mustashfa min Ilm al-Ushul, Kairo,

    Syirkah Thibaa Fanniyah, 1971, h.11.

    13 Kata fiqh dalam al-Quran

    keseluruhannya berbentuk fiil atau kata kerja

    disebutkan setidaknya sebanyak 20 kali, inimenunjukkan bahwa kata fiqh adalah bersifat aktif

    dan progresif, selalu dinamik dalam setiap peristiwa

    atau perbuatan yang menjadi pembacaannya atau

    kajiannya. Untuk lebih jelasnya dapat dirujuk ke

    dalam beberapa surah antara lain ; Qs. al-Isra; 17;44

    dan Qs. Hud; 11;91 yang keduanya bermakna

    mengerti. Juga dalam Qs.Thaha; 20; 28, Qs. al-

    Anam; 6; 65 dan 98

    14 Musthafa Said al-Khan, Dirasat

    Tarikhiyyat li al-Fiqh wa Ushulih wa al-Ittijahat

    allatii zhaharat fiihima,Kairo, Muassasat al-Risalat,2001, cet.1, Dirasat H.7

    15Ibrahim Anis dkk, al-Mujam al-Wasith. h.

    318

    16Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy

    (Dar al-Fikr, Baerut, 1998) h. 417. namun jika dalam

    bukunya yang lain, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh,

    Wahbah mengartikan dalil secara kebahasaan

    dengan penunjuk (petunjuk) kepada sesuatu, baik

    yang materil atau hissiy maupun yang non materil

    atau manawi, khaer (baik) atau syarr(buruk). Lihat

    Wahabah Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh(Dar-al-

    Fikr, Baerut, 1995) cet.2 h. 2117

    Al-Amidi,Al-Ihkam fi ushul al-Ahkam(Dar

    al-Fikri, Baerut, 1996) Juz I, h. 13

    18Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh

    (Maktabah ad-Dawah al-Islamiyat, Kairo, 1956)

    cet. 2, h 20-1

    19Wahbah Zuhaili op.cit.h 21

    20al-Mujam al-Wasith op.cith. 535

    21Muhammad Salam Madkur, Manahid al-

    Ijtihad fil Islam (Mathbaah al-Ashriyat al-Kuwait,

    Jamiat al-Kuwaet, Kuwaet, 1974) h. 18722Ibid

  • 8/9/2019 PERANAN USHUL FIQH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM.pdf

    14/16

    Hamzah H asan, Peranan Ushul Fiqh... |229

    23Ali Ibn Muhammad as-Syayyid as-Syarif

    al-Jurjani, Kitab al-Tarifat, mujam falsafiy,manthiqiy, shufiy, fiqhiy, lughawiy nahwiy, (Dar ar-

    Rasyad, Kairo, 1991) h. 102

    24Mujam al-Wasith, op.cit, h. 212

    25

    Abdul Wahab Khallaf,op.cit. h. 10026

    yang dimaksud dengan al-Hakim dalam

    Fiqqh Islam adalah Allah SWT. Muhammad AbuZahrah, Ushul al-Fiqh (Dar al-Fikr, Baerut, tth) h.

    69

    27Al-mahkum fih 'alaih adalah tempat

    bergantung perbuatan.Ibid,h.315

    28Al-mahkum 'alaih adalah mukallaf. Ibid,

    h.315

    29Dalam kontek al-hakim di kalangan ulama

    Islam berbeda pendapat. Jumhur Fuqaha, yang

    notabene dengan sendirnya memahami ushul fiqh,berpendapat bahwa akal tidak dijadikan sebagai

    hakim, akan tetapi dapat menelaah apa-apa yang

    tidak ada nasnya menjadi sesuatu yang memilikinash dengan menggunakan berbagai cara., apakah

    itu Qiyas, istihsan atau istishklah yang diakui oleh

    syara', meskipun tidak ada dalil khusus. Sementara

    kalangan Syi'ah yang sealur dengan pendapat

    Mu'tazilah dapat menjadikan akal sebagai sumber.Ibid69-71

    30Abdul Wahab Khallaf,op.cit, h. 21

    31Abdul Karim Zaedan,,Al-Wajiz fi Ushul al-

    Fiqh (Dar al-Tauzi wa an-Nasyr al-Islamiyah,Kairo, 1993) cet 1, h .149-50. Jenis pembagian yang

    ditempuh oleh Abdul Karim Zaidan ini, juga

    dikemukakan oleh Syekh Muhammad al-Khudr Bek,

    dalam Syekh Muhammad al-Khudr Bek, Ushul al-

    Fiqh(Dar al-Fikr, Baerut, 1998) h. 205.

    32Berkaitan dengan pembagian dalil, bagi

    penulis sendiri cendrung membagi dalil kedalam tiga

    sumber yaitu al-Kitab (al-Quran), al-Sunnah (al-Hadits) dan al-Ijtihad (nalar yang tidak menyalahi

    al-Quran dan al-Hadits, seperti Ijma', Qiyas, dan

    sebagainya).

    33Dari sejumlah ulama yang mengkaji ushulfiqh, ketika menguraikan tentang dalil-dalil hukumsyari, penulis menemukan bahwa banyak yang

    menggunakan kata al-Kitab meskipun yang

    dimaksudkan dapat dipastikan adalah al-Quran

    itu sendiri.

    34Menarik dicermati sebuah sumber yangmengatakan bahwa Imam Syafii dalam sebuahnaskah risalahnya, edisi Rabi, menggunakan kata - (tanpa mad) dan bukan kata (dengan

    mad). Syafii menggunakan al-Quran sebagai nama

    bagi kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi

    Muhammad, sebagaimana Injil (Isa), Taurat (Musa)dan Zabur (Daud). Menurut Syafii, kata al-Quran

    bukan kata jadian dari Qa-ra-a, sebab sesuatu yang

    dibaca adalah al-Quran, yang berarti bacaan.

    Dengan demikian untuk membedakan dari bacaan-

    bacaan yang lain, Syafii mempergunakan kata al-Quran, disamping memang sebagai bacaan. Ini

    sangat terkait dengan bacaan Syafii yang

    menggunakan bacaan atyau qiraat Mekah,

    sebagaimana halnya qiraatIbnu Katsir. Di sisi lain,

    Syafii telah menerangkan mengenai hal ini, dari segibahasa berdasar logika dan transmisi, dirayat danriwayat. Lebih jelasnya menurut sumber yang

    penulis kutip dari ar-Risalat Imam Syafii terjemahan

    Muhammad Thaha yang dipengantari Nrkholis

    Majid, halaman 6-7, catatan kaki nomor 18, bahwa

    diskursus ini dapat disimak lebih lanjut dan rinci

    dalam kitab Tarikh Baghdad, karya al-Khatib, jilid 1

    (hal.166) dan jilid 2 (hal. 62), serta kitab Thabaqat

    al-Qurra, karya Al-Hafizd Ibnu al-Jazari.

    35Kata al-Kitab dapat dilihat dalam QS (2 :

    2) sedangkan kata al-Quran dapat dilihat dalam QS

    (16 ; 97) dan (17 ; 45).

    36Abdul Karim Zaidan, op.cit, h 155.

    37Muhammad Salam Madkur. Op.cit, h. 190

    38Pandangan penulis ini, disari dari

    pandangan Syekh Sanhuri, yang dikutip oleh

    Muhammad Salam Madkur bahwa dalil yang hakiki

    dan sumber tunggal syariat Islam dan fiqh Islamkeseluruhannya adalah wahyu ilahiy. Lihat Ibid h.

    187

    39Abdul Jalil al-Qarnasyawi dkk,Al-Maujiz fi

    Ushul al-Fiqh(Al-Ikhwat al-Asyiqqa, Kairo, 1965)

    cet 2. h.

    40Abdul Wahab Khallaf.op.cit. h 32

    41Sebagaimana halnya penggunaan kata al-

    Kitab untuk menunjuk al-Quran, penulis juga

    mendapati para ulama ushul fiqh lebih cendrung

    (bahkan mayoritas) menggunakan istilah as-

    Sunnah ketimbang al-Hadits.

    42Kata Sunnah yang bermakna jalan

    dapat dilihat dalam QS. 33 : 62 walan tajida

    lisunnatillah tabdiilan, kata yang sama juga dapat

    ditemukan dalam QS (8 ; 38), (15 ; 13), (18 ; 55),

    (35 ; 43), (17 ; 77), (33 ; 38), (62 ; 40), (40 ; 85), (48

    ; 23) dan sebagainya sementara dalam hadits seperti: Man Sanna Sunnatan Hasanatan fa lahu

    ajruhadan seterusnya.

    42Abdul Karim Zaedan, op,cit, h. 165, yang

    juga dikutip dari kitab Hasyiyat, al-Izmiiriydan al-

    Amidiy.

    44Abdul Wahab Khallaf, h. 36, pengertian

    sunnah tersebut sama dengan pengertian yang

    dikemukakan Syaekh Muhammad al-Khudr Bek,

    dalam ushul fiqhinya, h. 213

    45Al- Quran : QS. 3 : 32, 4 : 59, 65 dan 80,

    33 : 36, 59 : 7 dan sebagainya46

    Abdul Wahab Khallaf, op.cit. h. 37-9

  • 8/9/2019 PERANAN USHUL FIQH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM.pdf

    15/16

  • 8/9/2019 PERANAN USHUL FIQH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM.pdf

    16/16

    Hamzah H asan, Peranan Ushul Fiqh... |231

    Muhammad as-Ssuh, Abdul Majd al-

    Alqat Baina Hkimiyat al-Wahy

    wa Ijtihd al-Aql, Dirasat

    Ushliyat, Majallah, (Majlis an-

    Nasyr al-Ilmiy, jamiat al-Kuwait,

    edisi 39, 1999)Madkr, Muhammad Salm, Manhij al-

    Ijtihd fil Islm (Mathbaah al-

    Ashriyat al-Kuwait, Jamiat al-

    Kuwaet, Kuwaet, 1974)

    Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fi Ushl al-Fiqh

    (Dar-al-Fikr, Baerut, 1995) cet.2

    -------------Ushl al-Fiqh al-Islmy (Dar al-

    Fikr, Baerut, 1998) Juz 1

    Juhaya S. Praja, Memahami KehendakAllah dan Rasul (kata sambutan),

    dalam buku Rahmat Syafii, Ilmu

    Ushul al-Fiqh, Bandung, Pustaka

    Setia, 1999

    Syarkazy, Hamid Fahmi, Worldview

    sebagai Epistemologi Islam

    (Makalah), Majalah, Islamia,

    Jakarta, Vol. II, no 5, 2005

    Syafii, Imam, ar-Risalat, Nurkholis Majid

    (pengantar), Masdar F. Masudi

    (Penyunting), Terjemahan Ahmadie

    Thaha, Pustaka Firdaus, Jakarta,1986

    Uwais, Abdul Halim, Fiqh Statis dan

    Dinamis (terjemah), Bandung,

    Pustaka Hidayah, 1998.

    Zaedn, Abdul Karm,Al-Wajz f Ushl al-

    Fiqh (Dar al-Tauzi wa an-Nasyr al-

    Islamiyah, Kairo, 1993) cet 1

    Hamsah Hasan Lc., M. Ag, Lahir di

    Jeneponto, 10 Juni 1970, Sejak 2008menjadi Dosen PNS di Fakultas

    Syariah dalam mata kuliah Fiqh

    dan Ushul Fiqh, IAIN Palopo, dan

    kini sedang menyelesaikan studi s3-

    nya di UIN Syarif Hidayatullah,

    Ciputat, Jakarta, jurusan syariah