Upload
nguyenkien
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka
Dalam Kerangka Praperadilan
By : Rizka Fakhry Alfiananda1
Abstract
A pretrial construction as it has been regulated in the Indonesian Criminal Procedure Code
had instantly changed after the Constitutional Court decision Number : 21/PUU-XII/2014 that
being announced on April 28, 2015. The pretrial construction was initially authorized only to
examine and decide the validity of arrest and detention, the validity of investigation and prosecution
termination, and the demand for compensation or rehabilitation. The authority of the pretrial by a
quo decision was then expanded by adding an examination on the validity of inquiry, the validity of
confiscation, and the validity of suspect determination. Although a quo decision is reputed to have
exceeded the authority of the Constitutional Court because it is judged of creating a new norm, a quo
decision remains final and tied so that it should be considered as a complement to the Indonesian
Criminal Procedure Code.
Abstrak
Konstruksi praperadilan sebagaimana diatur di dalam BAB X Bagian Kesatu
KUHAP seketika berubah pasca dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor : 21/PUU-XII/2014 pada tanggal 28 April 2015. Praperadilan yang
konstruksi awalnya hanya berwenang memeriksa dan memutus sah atau tidaknya
suatu penangkapan dan penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan
penghentian penuntutan, serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi, oleh
putusan a quo kewenangannya diperluas dengan menambahkan pengujian mengenai
sah tidaknya penggeledahan, sah tidaknya penyitaan, serta sah tidaknya penetapan
tersangka. Meskipun putusan a quo dinilai melebihi kewenangan Mahkamah
Konstitusi karena dinilai telah membuat norma baru, namun putusan a quo tetap
bersifat final dan mengikat sehingga harus dianggap sebagai hukum pelengkap
KUHAP.
1 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Email :
Kata Kunci : KUHAP, Praperadilan, Penetapan Tersangka
A. Pendahuluan
Diskursus mengenai perlindungan hak asasi manusia dan negara hukum
memang sudah sejak lama diperbincangkan karena keduanya sangat berkaitan
erat. Perlindungan hak asasi manusia merupakan salah satu elemen penting
dalam sebuah negara hukum, termasuk Indonesia. Namun demikian bukan
berarti dalam menjalankan hak asasi manusia yang dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara hukum tersebut sama sekali tidak diperkenankan
adanya suatu pembatasan. Pembatasan terhadap hak asasi manusia dalam suatu
negara hukum diperkenankan sepanjang berdasarkan undang-undang yang
tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.2
Diskursus mengenai perlindungan hak asasi manusia juga yang pada
akhirnya mempengaruhi sistem peradilan pidana Indonesia, khususnya hukum
acara pidana sebagai pedoman utama dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai
pedoman utama dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana di Indonesia
sangatlah menjunjung tinggi hak asasi manusia sekalipun terhadap seseorang
yang disangka maupun didakwa telah melakukan suatu tindak pidana. Namun
perlu digaris bawahi disini bahwa bukan berarti terhadap mereka yang disangka
maupun didakwa telah melakukan suatu tindak pidana diberikan haknya
sebagaimana halnya seseorang yang tidak tersangkut suatu tindak pidana.3
Terdapat tindakan-tindakan tertentu yang dapat dilakukan terhadap mereka
dimana tindakan tersebut merupakan bentuk perampasan terhadap hak asasi
manusia.
2 Pasal 28J ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3 Loebby Loqman, Pra-Peradilan di Indonesia, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 82.
Terhadap mereka yang disangka maupun didakwa melakukan tindak pidana
akan dilakukan tindakan-tindakan tertentu yang disebut upaya paksa. Upaya
paksa ini merupakan sebuah bentuk upaya yang dilakukan aparat penegak hukum
berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan
surat dalam rangka melaksanakan proses peradilan. Meskipun upaya paksa ini
merupakan salah satu kewenangan dari aparat penegak hukum dalam rangka
melaksanakan proses peradilan, pelaksanaan dari upaya paksa ini haruslah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan.
Karena bagaimanapun juga upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum tersebut akan merampas hak asasi manusia dari seorang tersangka atau
terdakwa.
Untuk melindungi hak asasi manusia khususnya hak dari seorang tersangka
maupun terdakwa, di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. Lembaga
praperadilan ini dimaksudkan sebagai suatu lembaga penguji apakah batasan
yang diberikan undang-undang kepada aparat penegak hukum dalam melakukan
upaya paksa tersebut telah sesuai prosedur atau tidak. Ketentuan mengenai
praperadilan tersebut terdapat pada Pasal 1 angka 10 dan BAB X Bagian Kesatu
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Berdasarkan pengaturan di dalam Undang-Undang tersebut dapat diketahui
bahwa praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan
memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang : a) Sah
atau tidaknya suatu penangkapan; b) Sah atau tidaknya suatu penahanan; c) Sah
atau tidaknya penghentian penyidikan; d) Sah atau tidaknya penghentian
penuntutan; dan d) Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi
seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan.
Berdasarkan pengaturan mengenai praperadilan yang diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tersebut
dapatlah disimpulkan bahwa pengaturan mengenai praperadilan bersifat limitatif
dan tidak semua upaya paksa dapat diajukan permohonan praperadilan. Namun
karena pengaturan yang sifatnya limitatif tersebutlah yang kemudian
menimbulkan permasalahan dan pada akhirnya juga menjadi polemik. Tidak
sedikit permohonan yang diajukan ke praperadilan secara obyek tidak sesuai
dengan apa yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana. Permohonan tersebut berkaitan dengan penyitaan,
penggeledahan, pemeriksaan surat, dan juga penetapan tersangka. Tapi beberapa
hakim mengakomodasi permohonan tersebut dengan berbagai macam bentuk
argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan perlindungan hak asasi
manusia.
Atas dasar pertimbangan perlindungan terhadap hak asasi manusia itulah
yang kemudian membuat Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian
permohonan uji materiil yang diajukan Bachtiar Abdul Fatah melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Dalam salah satu
pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa praperadilan tidak
mampu mengikuti perkembangan jaman karena aturan yang ada di dalam Pasal
77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
sangat sempit dan limitatif. Rumusan yang terbatas ini yang bertentangan dengan
prinsip due process of law. 4 Pertimbangan tersebutlah yang pada akhirnya menjadi
legitimasi amar putusan a quo yang memberikan paradigma baru dalam
pelaksanaan praperadilan, yaitu menambahkan pengujian penetapan tersangka,
penggeledahan, dan penyitaan ke dalam kewenangan praperadilan.5
Putusan a quo bersifat final dan mengikat, sehingga salah satu acuan dalam
dalam pelaksanaan praperadilan adalah putusan a quo. Namun demikian,
perluasan kewenangan praperadilan yang diatur melalui putusan a quo ternyata
menimbulkan permasalahan dalam tataran implementasi atau pelaksanaannya.
Hal ini dikarenakan lemahnya aturan yang mengatur perihal praperadilan,
khususnya pengaturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana. Bab X Bagian Kesatu yang hanya terdiri dari 7
pasal tidak mampu memberikan konstruksi pengaturan yang jelas dan
komprehensif terhadap pelaksanaan praperadilan. Tidak adanya guidance yang
jelas dan komprehensif mengenai hal tersebut membuat pelaksanaan pengujian
4 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, hlm. 21. 5 Ibid., hlm. 110.
sah tidaknya penetapan tersangka sering terjadi chaos. Hal inilah yang kemudian
menimbulkan ketidakpastian hukum di dalam pelaksanaan praperadilan,
khususnya mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka.
B. Perluasan Kewenangan Praperadilan Mengenai Pengujian Sah Tidaknya
Penetapan Tersangka
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014,
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa praperadilan haruslah dapat menjadi
sebuah instrumen untuk menguji sah tidaknya penetapan tersangka. Hal ini
dikarenakan bahwa :
Betul bahwa apabila Pasal 1 angka 2 KUHAP dilakukan secara ideal dan benar maka tidak diperlukan pranata praperadilan. Namun permasalahannya adalah bagaimana ketika tidak dilakukan secara ideal dan benar, dimana seseorang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka memperjuangkan haknya dengan ikhtiar hukum bahwa ada yang salah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Padahal oleh UUD 1945 setiap orang dijamin haknya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.6
Berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan a quo
sebagaimana disebutkan di atas, maka diketahui memang ada sebuah urgensi
terhadap pengujian sah tidaknya penetapan tersangka sehingga harus
6 Ibid., hlm. 105 – 106.
diakomodasi oleh praperadilan mengingat tidak ada mekanisme lain selain
praperadilan di dalam konteks pre trial process di Indonesia.
Semangat yang diusung oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014 berkaitan dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia
sebenarnya sudah tepat, mengingat juga esensi dari adanya hukum acara pidana
yaitu sebagai penjamin hak asasi manusia dalam konteks peradilan pidana.
Namun demikian, yang jadi pertanyaan besar adalah apakah pengujian mengenai
sah tidaknya penetapan tersangka memang harus diujikan di dalam konteks
praperadilan ataukah tidak. Ini yang menjadi perdebatan bahkan di kalangan
hakim konstitusi yang memeriksa dan memutus perkara a quo.
Berdasarkan pengaturan dalam Bab X Bagian Kesatu Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dapat disimpulkan bahwa
gagasan awal dibentuknya praperadilan oleh pembentuk undang-undang
memang bukanlah untuk menguji sah tidaknya penetapan tersangka. Ini dapat
dipahami karena pada hakikatnya praperadilan hanya merupakan mekanisme
komplain terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau
penuntut umum pada tahap pre trial. Meskipun demikian dalam konteks
praperadilan upaya paksa yang diujikan terbatas pada penangkapan dan
penahanan yang kemudian oleh Mahkamah Konstitusi diperluas dengan
menambahkan penggeledahan dan penyitaan. Pengujian terhadap upaya paksa
tersebut karena upaya paksa merupakan tindakan perampasan terhadap hak asasi
manusia seseorang. Karena menyangkut perampasan terhadap hak asasi manusia
seseorang, sehingga keabsahannya perlu diuji.
Penetapan tersangka sendiri bukan merupakan upaya paksa. Penetapan
seseorang menjadi tersangka merupakan sebuah bentuk tindakan administratif
dari aparat penegak hukum (administrative justicia) yang dilakukan setelah
ditemukan tersangkanya.7 Penetapan seseorang menjadi tersangka ini merupakan
professional judgement dari penyidik karena dalam menetapkan tersangka didasarkan
atas berbagai informasi, data yang terukur karena tingkat releabilitas, tingkat
7 Anonim, “Saksi Ahli KPK : Penetapan Tersangka Bukan Upaya Paksa”,
http://nasional.kompas.com/read/2015/04/06/13384451/Saksi.Ahli.KPK.Penetapan.Tersangka.Bukan.Upaya.Paksa.html, diakses tanggal 11 Juni 2015.
validitas baik dalam proses dan cara pengumpulan data dan informasi, proses
olah data dan informasi dan proses evaluasi sampai pada kesimpulan
mengindikasikan seseorang sebagai pelaku telah dikategorikan sebagai tersangka
telah melalui parameter berdasarkan hukum.8 Penetapan tersangka bukan
merupakan sebuah bentuk perampasan terhadap hak asasi manusia. Dalam hal
pasca ditetapkan sebagai tersangka seseorang tersebut tidak dikenakan upaya
paksa sama sekali, maka hal tersebut pada dasarnya belum dimaknai bahwa ada
perampasan terhadap hak asasi manusianya. Meskipun sangat dimungkinkan
dalam penetapan dirinya sebagai seorang tersangka tersebut terdapat bentuk
kesewenang-wenangan (abuse of power) penyidik dan juga ada ancaman untuk
dilakukan upaya paksa.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia terutama hak-hak tersangka,
terdakwa, dan terpidana. Dalam konteks pre trial yang diwujudkan dalam konsep
praperadilan, hukum acara pidana hendak memberikan perlindungan terhadap
hak-hak tersangka atau terdakwa. Hal ini sesuai dengan pedoman pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
menyebutkan bahwa :
Mengingat bahwa demi kepentingan pemeriksaan perkara diperlukan adanya pengurangan-pengurangan dari hak-hak asasi tersangka, namun bagaimanapun hendaknya selalu berdasar ketentuan yang diatur dalam undang-undang, maka untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak asasi tersangka atau terdakwa diadakan suatu lembaga yang dinamakan praperadilan.9
Perlindungan terhadap hak tersangka tersebut juga sudah sesuai dengan bunyi
Article 9 International Covenant on Civil and Political Rights yang kemudian diratifikasi
oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights yang menyebutkan
bahwa :
8 Herry F. F. Battileo, “Penetapan Status Tersangka Professional Judgement Penyidik”,
http://www.suryantt.com/suryantt-berita-penetapan-status-tersangka—‘profesional-judgement’-penyidik---.html, diakses tanggal 22 Juni 2015.
9 Maesa Plangiten, “Fungsi Dan Wewenang Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia”, Lex Crimen, Volume II, Nomor 6, Oktober 2013, hlm. 31.
1. Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be subjected to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprived of his liberty except on such grounds and in accordance with such procedure as are established by law.
2. Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of the reasons for his arrest and shall be promptly informed of any charges against him.
3. Anyone arrested or detained on a criminal charge shall be brought promptly before a judge or other officer authorized by law to exercise judicial power and shall be entitled to trial within a reasonable time or to release. It shall not be the general rule that persons awaiting trial shall be detained in custody, but release may be subject to guarantees to appear for trial, at any other stage of the judicial proceedings, and, should occasion arise, for execution of the judgement.
4. Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall be entitled to take proceedings before a court, in order that that court may decide without delay on the lawfulness of his detention and order his release if the detention is not lawful.
5. Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall have an enforceable right to compensation.
Berdasarkan ketentuan di atas, poin pentingnya terletak pada perlindungan
seseorang khususnya tersangka terhadap perampasan kemerdekaan dirinya yang
berupa penangkapan dan penahanan. Penangkapan dan penahanan harus
dilakukan berdasarkan alasan yang sah dan sesuai prosedur. Inilah yang
kemudian diujikan di dalam praperadilan.
Cita-cita untuk melindungi hak-hak tersangka tersebut yang kemudian
mempengaruhi gagasan pembentukan praperadilan. Karena yang hendak
dilindungi adalah hak-hak tersangka maka titik tumpuannya adalah pasca
seseorang ditetapkan sebagai tersangka, bukan sebelum seseorang ditetapkan
sebagai tersangka. Pasca ditetapkan sebagai tersangka, seseorang dapat dikenakan
upaya paksa yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia
sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. Hal ini jelas berbeda dengan
pengujian terhadap penetapan tersangka, dimana yang menjadi titik tumpuannya
adalah sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Sebelum ditetapkan
sebagai tersangka, seseorang tersebut tidak dapat dikenakan upaya paksa.
Seandainya pun sebelum seseorang tersebut ditetapkan sebagai tersangka
terhadap dirinya sudah terdapat bentuk perampasan hak, secara konseptual itu
bukan kewenangan praperadilan untuk mengujinya.
Bahkan ketika ditarik lebih jauh kepada gagasan dan konsep yang
mempengaruhi lahirnya praperadilan itu sendiri yaitu konsep habeas corpus, maka
juga tidak akan ditemukan mengenai pengujian terhadap sah tidaknya penetapan
tersangka. Hal ini dikarenakan karena standar yang dipakai oleh habeas corpus
bukanlah penetapan tersangka, melainkan penahanan. Dalam konteks itu berarti
yang hendak dilindungi adalah tersangka, yang secara formal merupakan status
pasca adanya penetapan sebagai tersangka, bukan sebelum adanya penetapan
sebagai tersangka. Hal itu pula yang membuat kewenangan praperadilan di dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebelum
adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 hanya
digunakan untuk menguji upaya paksa penangkapan dan penahanan.
Jika ditinjau dari sisi konsepnya, praperadilan memang tidak dapat
digunakan untuk melakukan pengujian terhadap sah tidaknya penetapan
tersangka. Namun demikian, sebenarnya secara tidak langsung praperadilan
sudah membuka ruang untuk adanya pengujian terhadap sah tidaknya penetapan
tersangka. Hal ini dapat dilihat dari pengujian sah tidaknya penangkapan dan
penahanan. Dalam hal dilakukannya penangkapan dan penahanan, seorang
aparat penegak hukum terikat dengan adanya syarat materiil dan syarat formil
dari penangkapan dan penahanan. Berkaitan dengan syarat materiilnya, baik
penangkapan maupun penahanan mengharuskan adanya bukti permulaan yang
cukup sebagai syarat. Kemudian berkaitan dengan syarat formilnya berkaitan
dengan adanya surat perintah penangkapan dan surat perintah penahanan.
Proses pembuktian dalam praperadilan berkaitan dengan penangkapan dan
penahanan haruslah melihat kedua syarat tersebut, apakah keduanya sudah
terpenuhi ataukah tidak sehingga penangkapan dan penahanan dapat dilakukan.
Dalam hal pembuktian syarat materiil dari penangkapan dan penahanan
itulah sebenarnya dapat membawa konsekuensi pada sah atau tidaknya
penetapan tersangka seseorang. Logikanya adalah dalam hal syarat materiil yang
berupa bukti permulaan yang cukup tersebut tidak terpenuhi atau dinyatakan
tidak sah sehingga membuat penangkapan dan penahanan tidak sah, maka
seharusnya dengan otomatis penetapan tersangka atas seseorang tersebut tidak
sah mengingat syarat penetapan seseorang menjadi tersangka berkaitan dengan
adanya bukti permulaan yang cukup tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa
dalam hal penangkapan dan penahanan yang dinyatakan tidak sah, maka sangat
mungkin sebelumnya diawali oleh adanya penetapan tersangka yang tidak sah
pula atau dengan kata lain penetapan tersangka yang tidak sah dapat membuat
penahanan menjadi tidak sah pula. Namun demikian, penangkapan dan
penahanan yang tidak sah belum tentu diawali dengan penetapan tersangka yang
tidak sah mengingat adanya syarat materiil dan syarat formil tadi.
Dengan melihat logika tersebut, hakim praperadilan pada dasarnya dapat
melakukan pemeriksaan terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka bahkan
sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang memperluas kewenangan
praperadilan. Hal ini dilakukan dengan mengalihkan konsentrasi pemeriksaan
hakim dari pemeriksaan terhadap penangkapan dan penahanan menuju
pemeriksaan terhadap penetapan tersangka setelah diketahui bahwa bukti
permulaan yang cukup guna melakukan penangkapan dan penahanan ternyata
tidak tercukupi atau tidak sah. Namun hal semacam ini belum pernah dilakukan
oleh hakim dalam praktik praperadilan.
Dalam praktiknya, hakim praperadilan hanya melakukan administratif review
terhadap dilakukannya penangkapan dan penahanan. Administratif review tersebut
dilakukan berkaitan dengan syarat formil dari penangkapan dan penahanan yang
berupa ada tidaknya surat penangkapan, ada tidaknya surat penahanan, ada
tidaknya tembusan untuk keluarga, dan hal lain yang bersifat formal
administratif. Hakim praperadilan dalam praktiknya sangat jarang memeriksa
syarat materiil dari penangkapan dan penahanan yang salah satunya berupa bukti
permulaan yang cukup.10 Fungsi praperadilan sebagai examinating judge sering
dimaknai hanya sebatas pemeriksaan aspek administratif atau formil dari upaya
paksa.11 Padahal sebenarnya fungsi mengeksaminasi penangkapan dan
penahanan tidak hanya hanya sebatas pada melihat syarat formil namun juga
harus melihat syarat materiil.12 Ini yang kemudian menjadi sebuah kelemahan
besar praperadilan dari sisi praktikal selain kelemahan praperadilan dari sisi
konseptual.13
10 Pemeriksaan tergantung dari masing-masing hakim, ada yang memeriksa ada yang tidak. 11 Adnan Buyung Nasution, “Praperadilan Versus Hakim Komisaris”,
http://jodisantoso.blogspot.com/2008/02/praperadilan-versus-hakim-komisaris.html, diakses pada tanggal 4 Juli 2015.
12 Loebby Loqman, Op. cit., hlm. 60 – 61. 13 Secara konseptual praperadilan memiliki beberapa kelemahan, antara lain : kewenangan
praperadilan hanya bersifat “post factum”, sikap hakim yang cenderung pasif karena menunggu
Meskipun sebenarnya secara tidak langsung praperadilan membuka ruang
untuk adanya pengujian mengenai sah tidaknya penetapan tersangka seseorang
sebagaimana diuraikan di atas, tetap saja secara konseptual hal tersebut tidak
sesuai. Di satu sisi memang ada urgensi untuk memberikan proses hukum yang
adil (fair trial) bagi seseorang yang dalam hal ini terkait penetapan dirinya sebagai
tersangka, namun di satu sisi konsep praperadilan tidak diperuntukkan untuk
melakukan pengujian terhadap penetapan tersangka seseorang tersebut.
Memasukkan pengujian mengenai sah tidaknya penetapan tersangka ke dalam
kerangka kewenangan praperadilan berarti sama saja memasukkan sesuatu yang
sebenarnya bukan pada wadahnya. Bahkan ketika melihat mekanisme pre trial
yang ada di beberapa negara civil law semisal Belanda dengan rechter commisaris,
Perancis dengan judge d’instruction, dan Italia dengan guidice per le indagini prelimari,
tidak satupun yang secara konseptual mengakomodasi penetapan tersangka
sebagai suatu hal yang diujikan. Begitu pula dengan negara common law semisal
Amerika Serikat dengan konsep magistrate yang secara konseptual tidak
mengakomodasi penetapan tersangka sebagai suatu hal yang harus diuji.
Sebenarnya hal yang lebih penting untuk diuji daripada penetapan tersangka
adalah pengujian mengenai alat bukti. Hal ini dikarenakan berdasarkan alat
buktilah semua tindakan aparat penegak hukum pada tahap pre trial seperti
penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan dilakukan. Dalam konteks
praperadilan mengenai penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan yang
sebenarnya harus dibuktikan adalah alat buktinya. Namun pada praktiknya,
pengujian alat bukti tidak pernah dilakukan dan justru pembuktian hanya
berkutat pada hal yang sifatnya administratif.
Jika dibandingkan dengan beberapa seperti Belanda, Perancis, Italia, dan
Amerika Serikat, secara konseptual negara-negara tersebut memang tidak
mengujikan penetapan tersangka di dalam mekanisme pre trial. Namun masing-
masing negara tersebut mempunyai mekanisme masing-masing untuk melakukan
permohonan, gugurnya praperadilan karena berkas perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan untuk dimulai siding pokok perkaranya, dan permohonan praperadilan sangat bergantung pada kehadiran penasihat hokum karena kebanyakan tersangka dan/atau terdakwa sama sekali tidak paham mengenai proses peradilan pidana.
pengawasan terhadap alat bukti yang dijadikan dasar oleh penyidik melakukan
tindakan-tindakan dalam konteks pre trial.
Konsep pengawasan pre trial Belanda dengan rechter commisaris dan Perancis
dengan judge d’instruction pada prinsipnya sama, yaitu merupakan bagian integral
dari keseluruhan sistem pengawasan hirarkis yang dilakukan hakim terhadap
jaksa dan kepolisian. Artinya hakim mengawasi jaksa, dan jaksa mengawasi polisi,
sebagai satu kesatuan sistem pengawasan integral yang harmonis dan serasi.14
Lebih lanjut sebagai konsekuensi atas sistem tersebut, proses pemeriksaan
perkara dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan
pemeriksaan di muka pengadilan secara fungsional merupakan satu rangkaian
hirarki kesatuan fungsi yang berbagi tugas dan wewenang namun saling
melengkapi.15 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada rechter commisaris
dan judge d’instruction hakim mempunyai keterlibatan bahkan sejak dimulainya
penyidikan dan bahkan dalam keadaan tertentu dapat memimpin penyidikan.16
Keterlibatan hakim tersebut pada umumnya bertujuan untuk mengimbangi
kekuasaan yang besar yang dimiliki oleh penyidik.17
Keterlibatan hakim sejak awal dimulainya penyidikan tersebut pada akhirnya
membuat hakim tidak hanya dapat melakukan pengawasan terhadap apa yang
dilakukan oleh penyidik namun juga dapat melakukan beberapa tindakan
terhadap suatu hal semisal memanggil, memeriksa, dan melakukan penahanan
terhadap seseorang,.18 Selain itu juga memeriksa saksi-saksi dan alat-alat bukti
lainnya bahkan membuat berita acara pemeriksaan, melakukan penahanan,
penyitaan, bahkan menentukan apakah cukup alasan untuk dilimpahkan ke
pengadilan.19 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik rechter commisaris
14 Supriyadi Widodo Eddyono dan Erasmus A. T. Napitupulu, Prospek Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Dalam Pengawasan Penahanan Dalam Rancangan KUHAP, (Jakarta, Institute for Criminal Justice Reform, 2014), hlm. 27.
15 Ibid. 16 Sebagaimana dilakukan oleh judge d’instruction yang melakukan penyidikan pada perkara berat (crime)
dan perkara kurang berat (delit). Supriyadi Widodo Eddyono, dkk, Praperadilan di Indonesia : Teori, Sejarah, dan Praktiknya, (Jakarta,
Institute for Ciminal Justice Reform, 2014), hlm. 18. 17 Andi Hamzah dan RM Surachman, Pre Trial Justice & Discretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai
Negara, (Jakarta, Sinar Grafika, 2015), hlm. 73. 18 Loebby Loqman, Op. cit., hlm. 47. 19 Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, (Jakarta, Sinar Grafika, 2002), hlm. 193.
maupun judge d’instruction mempunyai fungsi sebagai examinating judge sekaligus
investigating judge.
Berbeda lagi dengan konsep guidice per le indagini prelimari di Italia. Giudice per
le indagini prelimari muncul untuk menggantikan giudice instructtore yang secara
konsep sama dengan rechter commisaris dan judge d’instruction. Giudice per le indagini
prelimari hanya mengawasi jalannya penyidikan dan penuntutan, tidak terlibat
aktif dalam melakukan penyidikan sebagaimana rechter commisaris dan judge
d’instruction.20 Giudice per le indagini prelimari bertugas menentukan langkah-langkah
pencegahan (misure cautelari) yang perlu diambil, seperti menentukan apakah
terdakwa harus ditahan di dalam penjara, dan memberikan ijin kepada jaksa
dengan meninjau permintaan kejaksaan yang dapat menahan atau merampas
kebebasan sipil dari seseorang, seperti penyadapan.21 Kemudian pada sidang
pendahuluannya, giudice per le indagini prelimari mengevaluasi semua bukti dari
jaksa dan memutuskan apakah akan melanjutkan ke pengadilan, atau
membatalkan tuntutan (rinvio a giudizio) atau mengarsipkan kasus.22
Amerika Serikat konsep sendiri mengenai hakim pemeriksaan pendahuluan
atau magistrate yang terlibat dalam proses pre trial sejak suatu proses penyeledikan
pidana dilakukan atau semenjak seseorang melakukan komplain atas suatu tindak
kejahatan.23 Pemeriksaan pendahuluan ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu
arraignment, preliminary hearing, dan pretrial conference.
Arraignment merupakan tahap dimana tersangka dihadapkan pada hakim atau
wakilnya yang terjadi setelah seseorang ditahan dimana tuduhan tersangka
dibacakan dan tersangka ditanyakan sikapnya bersalah atau tidak. Dalam
arraignment, tersangka dapat memilih : (1) menolak tuduhan yang dituduhkan
kepadanya dan diteruskannya proses peradilan ke tahap persidangan pengadilan
(not guilty); (2) mengakui tuduhan dan langsung dijatuhi pidana tanpa melalui
proses pengadilan (guilty plea); atau (3) nolo contender, memiliki dampak yang
hampir sama dengan sikap guilty plea, tetapi jika tersangka memilih nolo contendere
20 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2012, hlm. 6. 21 Supriyadi Widodo Eddyono, dkk, Op. cit., hlm. 26. 22 Ibid. 23 Anggara, dkk., Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang Hukum Acara
Praperadilan, (Jakarta, Institute for Criminal Justice Reform, 2014), hlm. 17.
maka proses dilanjutkan ke pengadilan dan di pengadilan terdakwa tidak
menolak tuduhan penuntut umum.24
Jika tersangka mengaku bahwa dirinya tidak bersalah, maka proses akan
dilanjutkan pada tahap preliminary hearing.25 Preliminary hearing merupakan tahap
dimana penyidik dihadapkan kepada hakim guna dinilai apakah telah terdapat
alasan yang kuat (probable cause) bahwa tersangka merupakan pelaku tindak pidana
dan dapat ditahan serta diadili. Jika tidak ditemukan probable cause, maka perkara
dapat dihentikan.26 Dalam tahap ini salah satu yang diujikan adalah terkait alat
bukti. Setelah hakim berkesimpulan bahwa besar kemungkinan tersangka dapat
dipidana, maka tersangka pada hari yang telah ditentukan harus menjalani
persidangan dengan dewan juri.27 Namun sebelum dibawa ke jury untuk
disidangkan, tersangka dihadapkan dulu pada tahap pretrial conference yang
ditujukan untuk perencanaan sidang pengadilan, terutama mengenai pembuktian
dan hak-hak yang berperkara untuk memperoleh pembuktian dari pihak lain
(discovery).28
Begitu pentingnya alat bukti sehingga masing-masing negara mempunyai
mekanisme untuk mengawasinya. Pengujian mengenai alat bukti memang tidak
secara konseptual diakomodasi di dalam kewenangan praperadilan. Namun
secara tidak langung sebenarnya praperadilan sudah mengamanatkan untuk
dilakukannya pengujian terhadap alat bukti dengan disematkan pada
permohonan pengujian penangkapan, penahanan, dan yang paling baru terkait
pengujian penetapan tersangka. Pengujian terhadap alat buktilah yang seharusnya
dikedepankan. Bukan pengujian terhadap hal-hal yang bersifat administratif
belaka.
C. Implikasi Lemahnya Pengaturan Perihal Praperadilan Dalam KUHAP
Terhadap Pelaksanaan Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka
24 Ibid., hlm. 18. 25 Andi Hamzah dan RM Surachman, Op. cit., hlm. 152. 26 Supriyadi Widodo Eddyono, dkk, Op. cit., hlm. 17. 27 Andi Hamzah dan RM Surachman, Loc. cit. 28 Loebby Loqman, Op. cit, hlm. 52.
Sebagai sebuah aturan yang berlaku mendampingi Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 21/PUU-XII/2014 jelas membawa warna baru terhadap pelaksanaan
proses peradilan di Indonesia khusunya praperadilan. Putusan a quo dengan serta
merta mengubah wajah dan paradigma praperadilan. Dengan diperluasnya
kewenangan praperadilan melalui adanya putusan a quo, dengan otomatis
semakin terbuka lebar pintu akses terhadap praperadilan. Permohonan yang
diajukan ke praperadilan menjadi meningkat seiring diperluasnya kewenangan
tersebut, khususnya berkaitan dengan pengujian penetapan tersangka.
Namun demikian, perubahan yang cukup signifikan di dalam konstruksi
praperadilan dikarenakan adanya putusan a quo tidak didukung dengan
konstruksi pengaturan yang jelas dan komprehensif guna menunjang konsep
praperadilan yang sejak awal sudah dinilai lemah oleh beberapa kalangan karena
minimnya aturan. Sebenarnya ini sudah terjadi bahkan sebelum adanya putusan a
quo. Ini yang pada akhirnya berimplikasi pada pelaksanaan praperadilan utamanya
mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka.
Perluasan kewenangan yang diberikan kepada praperadilan melalui putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang tidak diikuti dengan
penguatan konstruksi pengaturan praperadilan justru menimbulkan kekacauan
(chaos) dalam implementasinya. Bab X Bagian Kesatu yang hanya terdiri dari 7
pasal tidak mampu memberikan konstruksi pengaturan yang jelas dan
komprehensif terhadap pelaksanaan praperadilan, khususnya dalam hal
persidangan atau acaranya. Tidak ada satupun aturan baik di dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maupun di luar itu
yang memberikan pengaturan perihal hukum acara praperadilan. Padahal
praperadilan sebagai bagian dari kerangka hukum acara pidana seharusnya
menekankan pada asas legalitas dalam pelaksanaannya, baik berkaitan dengan
Lex Praevia, Lex Scripta, Lex Certa, dan Lex Stricta.
Dalam praktiknya, praperadilan didasarkan pada hukum acara perdata.
perdata. Ini hanya didasarkan pada praktik yang selama ini ada dikarenakan tidak
ada konstruksi pengaturan yang jelas mengenai hal tersebut. Praperadilan
dimaknai sebagai sebuah mekanisme pengujian terkait permasalahan formal,
prosedural, dan administratif dalam sebuah proses perkara pidana. Oleh
karenanya hukum acara perdata yang menekankan pada pencarian kebenaran
formil dipakai sebagai hukum acara praperadilan.
Pemakaian hukum acara perdata sebagai guidance dalam pelaksanaan
praperadilan sebenarnya menimbulkan masalah. Hal ini dikarenakan yang
dibuktikan hakim adalah kebenaran formil. Dalam mencari kebenaran formil,
hakim hanya cukup membuktikan preponderance of evidence saja.29 Kebenaran formil
yang hendak dicari dalam konteks hukum acara perdata inilah yang sebenarnya
membuat praperadilan juga terkungkung di dalamnya. Praperadilan menjadi
sebuah mekanisme yang hanya menguji hal-hal yang bersifat formal prosedural
administratif saja atau dengan kata lain administratif review. Padahal dengan jika
hanya fokus pada membuktikan preponderance of evidence saja, maka tingkat
keterbuktiaannya lemah.30 Jika salah satu pihak baik pemohon maupun
termohon mengajukan bukti-bukti yang menurut undang-undang sah dan
memiliki kekuatan pembuktian, maka hakim dapat mengadili dengan memberi
putusan berdasarkan bukti-bukti yang diajukan itu.31 Examinating judge sering
dimaknai sebagai pengujian terhadap hal-hal yang bersifat administratif. Padahal
dalam konteks praperadilan, baik hal yang bersifat formil terkait administratif
dan hal yang bersifat materiil terkait alat bukti dan lain sebagainya harus secara
berimbang diuji di dalamnya. Ini juga yang kemudian membuat praperadilan
mandul di dalam praktiknya.
Absennya sebuah konstruksi pengaturan yang jelas dan komprehensif
mengenai praperadilan ini yang juga pada akhirnya membuat tidak adanya
kesatuan mengenai mekanisme pemeriksaan di dalam persidangan praperadilan.
Sehingga hakim dengan keyakinannya masing-masing dapat menafsirkan sendiri
mengenai jalannya proses pemeriksaan. Demikian pula dalam tahap
pembuktiannya, hakim mempunyai keyakinan masing-masing mengenai 29 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Liberty, 2002), hlm. 141. 30 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 46. Preponderance of evidence ini mengharuskan hakim untuk menemukan bahwa versi fakta penggugat
lebih probable daripada tidak. Artinya bobot bukti untuk salah satu pihak lebih besar dibandingkan pihak lain. Dengan demikian maka salah satu pihak haruslah menunjukkan atau membuktikan bukti lebih banyak.
31 Sandra Dini Febri Aristya, “Pembuktian Perdata Dalam Kasus Malpraktik Di Yogyakarta”, Mimbar Hukum, Edisi Khusus, November 2011, hlm. 194.
mekanisme pembuktian di dalam praperadilan. Hal semacam itu terjadi di dalam
pengujian mengenai sah tidaknya penetapan tersangka. Tidak ada sebuah
kesatuan dalam pembuktian mengenai sah tidaknya penetepan tersangka. Jika
dilihat dari definisi secara legalistik formal tersangka yang ada di dalam Pasal 1
angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
yang menyebutkan bahwa “tersangka adalah seseorang yang karena
perbuatannya atau keadannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai
pelaku tindak pidana”, maka yang seharusnya menjadi concern di dalam
pembuktiannya adalah berkaitan dengan bukti permulaan yang patut tersebut.
Bukan mengenai hal-hal yang lain.
Namun hal tersebut sangat jauh berbeda dengan praktiknya. Misalnya saja
pada permohonan praperadilan Budi Gunawan yang berdasarkan putusan
praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :
04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel menyatakan bahwa tidak sahnya penetapan
tersangka atas nama Budi Gunawan karena KPK dinilai tidak mempunyai
kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dirinya.
Kemudian yang terbaru pada permohonan praperadilan Hadi Poernomo yang
berdasarkan putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :
36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel menyatakan bahwa tidak sahnya penetapan
tersangka atas nama Hadi Poernomo karena penyelidik dan penyidik independen
yang dipakai KPK dalam mengusut kasus Hadi Poernomo tidak sah
keberadaannya sehingga penyelidikan dan penyidikan termasuk penetapan
tersangka yang tidak sah.32 Berdasarkan dua putusan tersebut dapat disimpulkan
bahwa sebenarnya yang diperiksa oleh hakim di dalam praperadilan mengenai
pengujian sah tidaknya penetapan tersangka bukanlah penetapan tersangka itu
32 Putusan ini menjadi semacam anomali mengingat sudah banyak putusan pengadilan dalam perkara
korupsi yang secara jelas dalam pertimbangannya menerima keberadaan penyelidik dan penyidik independen dari KPK. Padahal tepat 1 bulan 10 hari diputus sebelum adanya putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel., Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberikan putusan terhadap obyek yang sama melalui putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 18/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. atas nama Suroso Atmomartoyo. Dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa keberadaan penyelidik dan penyidik independen KPK sah menurut hukum. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomot 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan ketentuan dalam Pasal 39 ayat (3) hanya berlaku untuk penyelidik dan penyidik yang berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan.
sendiri, namun mengenai sah tidaknya penyelidikan dan penyidikan.33 Padahal
ketika berbicara pengujian mengenai sah tidaknya penetapan tersangka,
seharusnya yang diuji adalah alat bukti yang dipakai oleh penyidik dalam
menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Kalaupun pengujian mengenai sah tidaknya penetapan tersangka hanya
difokuskan pada alat bukti yang dipakai oleh penyidik dalam menetapkan
seseorang sebagai tersangka, ini juga menimbulkan masalah tersendiri.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, alat
bukti yang dimaksud adalah minimal dua alat bukti dari Pasal 184 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu :
keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa. Di
satu sisi penafsiran dua alat bukti menurut Mahkamah Konstitusi tersebut
membawa sebuah kepastian hukum di dalam hukum acara pidana. Namun di
satu sisi, pengujian dua alat bukti di dalam praperadilan sangat memungkinkan
mengancam pembuktian di dalam persidangan pokok perkara, apalagi dengan
tidak adanya konstruksi pengaturan yang jelas dan komprehensif serta
diperparah juga dengan inkonsistensi hakim praperadilan di dalam memeriksa
permohonan praperadilan. Hal ini dikarenakan pengujian terhadap alat bukti ini
masih menjadi subjektifitas hakim. Sampai tahap apa pengujian terhadap alat
bukti, semua tergantung pada hakim.
Dalam pengujian alat bukti, hakim seharusnya berpegang pada beberapa
parameter pembuktian yang sudah ada. Paling tidak ada enam hal yang menjadi
parameter di dalam pembuktian, antara lain :34
1. Bewijstheorie, adalah teori pembuktian yang dipakai sebagai dasar pembuktian
oleh hakim di pengadilan. Dalam konteks perkara perdata di Indonesia,
teori pembuktian yang dipakai adalah positief wettelijk bewijstheorie dimana
hakim terikat secara positif kepada alat bukti menurut undang-undang.
Artinya, jika dalam pertimbangan, hakim telah menganggap suatu perbuatan
terbukti sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut dalam undang-undang
33 Muhammad Tanziel Aziezi, “Pra Peradilan Penetapan Tersangka : Perjudian Hukum Yang
Terbiarkan”, https://www.selasar.com/politik/pra-peradilan-penetapan-tersangka-perjudian-hukum-yang-terbiarkan, diakses pada tanggal 4 Juli 2015.
34 Eddy O. S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta, Erlangga, 2012), hlm. 15 – 26.
tanpa diperlukan keyakinan, hakim dapat menjatuhkan putusan. Sedangkan
dalam konteks perkara pidana di Indonesia, teori pembuktian yang dipakai
adalah negatief wettelijk bewijstheorie dimana dasar pembuktian itu menurut
pada keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang
secara negatif.
2. Bewijsmiddelen, adalah alat-alat bukti yang digunakan untuk membuktikan
telah terjadi suatu peristiwa hukum. Apa saja yang merupakan alat bukti
yang sah di pengadilan, semuanya diatur dalam hukum acara yang dalam
konteks perkara pidana diatur di dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
3. Bewijsvoering, yaitu penguraian cara bagaimana alat-alat bukti diperoleh,
dikumpulkan, dan disampaikan di depan sidang pengadilan. Apakah
perolehan, pengumpulan, dan penyampaian alat bukti tersebut dilakukan
dengan sah atau tidak.
4. Bewijslast atau burden of proof, adalah pembagian beban pembuktian yang
diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan suatu peristiwa
hukum. Dalam perkara perdata, yang diembani kewajiban untuk
membuktikan adalah pihak yang mendalihkan bahwa ia mempunyai sesuatu
hak atau untuk mengukuhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak
orang lain yang menunjuk pada suatu peristiwa. Hal ini berdasarkan asas
actori incumbit probatio yang berarti siapa yang menggugat dialah yang wajib
membuktikan. Demikian pula dalam perkara pidana berlaku asas actori
incumbit onus probandi yang berarti siapa yang menuntut dialah yang wajib
membuktikan sehingga jaksa penuntut umumlah yang diwajibkan
membuktikan kesalahan terdakwa.
5. Bewijskracht, adalah kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.
Penilaian tersebut merupakan otoritas hakim yang menilai dan menentukan
kesesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.
6. Bewijsminimmum, adalah alat bukti minimum yang diperlukan dalam
pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim.
Parameter di atas sebenarnya berkaitan dengan pembuktian di persidangan
pokok perkara. Namun pada dasarnya parameter tersebut juga dapat digunakan
di dalam pembuktian di persidangan praperadilan, khususnya terkait pengujian
mengenai sah tidaknya penetapan tersangka yang pada pokoknya menguji alat
bukti yang dijadikan dasar seorang penyidik menetapkan seseorang menjadi
tersangka. Setidaknya ada empat parameter dari enam parameter di atas yang
dapat digunakan di dalam pembuktian di persidangan praperadilan mengenai
pengujian sah tidaknya penetapan tersangka, yaitu bewijslast atau burden of proof,
bewijsmiddelen, bewijsminimmum, dan bewijsvoering.
Berkaitan dengan bewijslast atau burden of proof, pada dasarnya di dalam
persidangan praperadilan menganut asas yang sama dengan asas yang ada di
dalam hukum acara perdata yaitu asas actori incumbit probatio yang menyebutkan
bahwa barang siapa yang mengaku mempunyai suatu hak atau mendasarkan pada
suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang
lain.35 Berdasarkan pasal tersebut, kedua belah pihak dapat dibebani beban
pembuktian. Terutama pemohon yang wajib membuktikan, sedangkan termohon
wajib membuktikan bantahannya. Pemohon tidak diwajibkan membuktikan
bantahan termohon, begitu pula termohon yang tidak diwajibkan membuktikan
bantahan pemohon. Jika pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalil dalam
permohonannya, maka dirinya harus dikalahkan. Sementara itu, jika termohon
tidak dapat membuktikan bantahannya, ia harus dikalahkan.36
Dalam konteks ini sebenarnya ada masalah, karena logika pembuktian
semacam itu dinilai membebani tersangka. Sebagai sebuah mekanisme komplain,
seharusnya praperadilan memberikan beban pembuktian pada pihak yang
memiliki kualifikasi lebih besar daripada tersangka yaitu penyidik. Penyidik yang
seharusnya membuktikan bahwa penetapan tersangka yang dilakukan olehnya
terhadap seseorang benar-benar sah. Dalam konteks pengujian terhadap
penetapan tersangka, seharusnya asas actori incumbit probatio tidak digunakan.
Harus ada semacam pembalikan beban pembuktian dari tersangka yang
diarahkan kepada penyidik sebagai pejabat yang berwenang.37 Hal ini mengingat
penguasaan alat bukti (possession of evidence) yang digunakan untuk menetapkan
35 Pasal 163 Herzine Indische Reglement, Pasal 283 Rechtsreglement Buitengewesten, dan Pasal 1865 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. 36 Op. cit., hlm. 23. 37 Anggara, dkk., Op. cit., hlm. 80.
seseorang sebagai tersangka ada pada penyidik bukan pada tersangka. Sehingga
tersangka sangat terbatas jika harus membuktikan terkait alat bukti tersebut.
Sudah seharusnya penyidik mempunyai kedudukan yang lebih baik untuk tampil
ke depan persidangan dengan membawa alat bukti yang ada.38 Posisi penyidik
dinilai lebih superior untuk membuktikan dibandingkan tersangka. Konsep inilah
yang seharusnya dipakai, tidak hanya dalam melakukan pengujian terhadap
penetapan tersangka namun juga dalam hal melakukan pengujian terhadap upaya
paksa baik itu penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
Kalaupun logika beban pembuktian semacam itu tetap digunakan, maka
konsekuensinya hakim harus lebih aktif. Aktifnya hakim disini dimaknai sebagai
hakim yang secara aktif meminta termohon yang dalam hal ini penyidik untuk
membuktikan adanya alat bukti yang dipakai dalam menetapkan tersangka. Hal
ini dilakukan bilamana pemohon merasa butuh bantuan hakim untuk
menunjukkan alat bukti yang ada di dalam penguasaan termohon. Namun semua
itu tergantung dari hakim pemeriksa praperadilan pada masing-masing
permohonan. Ada hakim yang aktif, namun ada juga hakim yang benar-benar
pasif.
Sesuai dengan bewijsmiddelen, maka alat bukti yang dipakai untuk menetapkan
seseorang sebagai tersangka haruslah alat bukti yang sebagaimana diatur di dalam
Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa. Terhadap alat bukti tersebut harus dinilai secara kuantitatif
dan kualitatif. Secara kuantitatif, sesuai dengan bewijsminimmum maka harus ada
minimal dua alat bukti. Kemudian secara kualitatif, sesuai dengan bewijsvoering
dimana perolehan minimal dua alat bukti tersebut haruslah melalui cara yang
legal atau sah. Jadi pembuktian mengenai alat bukti di dalam persidangan
praperadilan tidak hanya terkait menunjukkan adanya dua alat bukti saja, namun
juga harus diuji mengenai apakah kedua alat bukti tersebut didapatkan dengan
cara yang sah atau tidak.
38 Letezia Tobing, “Tentang Sistem Pembalikan Beban Pembuktian”,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt513ff99d6eedf/tentang-sistem-pembalikan-beban-pembuktian.html, diakses tanggal 3 Juli 2015.
Dalam hal di dalam persidangan praperadilan masing-masing pihak
khususnya termohon tidak mendalilkan adanya alat bukti yang digunakan untuk
menetapkan tersangka terhadap seseorang dan justru menyasar hal yang lain,
sudah seharusnya hakim dalam hal ini lebih aktif untuk meminta termohon
untuk menunjukkan alat bukti yang digunakan untuk menetapkan pemohon
sebagai tersangka. Kalaupun yang ditunjukkan oleh termohon misalnya
merupakan salinan atau fotokopi, sedangkan hakim menginginkan
ditunjukkannya bukti yang asli, maka hakim dapat meminta termohon
menunjukkannya di dalam persidangan. Setelah alat bukti tersebut ditunjukkan,
maka tahap selanjutnya adalah pembuktian terkait perolehan alat bukti tersebut.
Jadi tidak ada alasan bahwa termohon tidak menunjukkan alat bukti sehingga
penetapan tersangka harus dinyatakan tidak sah. Hakimlah yang harus aktif
dalam meminta hal tersebut kepada termohon.
Bewijsvoering menjadi sangat penting di dalam pembuktian di dalam
persidangan praperadilan, khususnya penetapan tersangka. Menurut Paul
Roberts dan Adrian Zuckerman, ada tiga prinsip yang mendasari perlunya
mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti, yaitu :39
Pertama, rights protection by the state. Terkadang upaya dari penyelidik atau
penyidik dalam upaya menemukan alat bukti terkadang dilakukan dengan
melanggar hak asasi calon tersangka atau tersangka. Dalam rangka
mengembalikan atau mempertahankan hak yang sudah dilanggar maka
diperlukan suatu mekanisme pengujian perolehan alat bukti untuk mengetahui
dan memastikan apakah alat bukti tersebut sudah benar-benar diambil secara
sah. Kedua, deterrence (disciplining the police). Pengesampingan atau pengecualian
alat bukti yang diambil atau diperoleh secara tidak sah, akan
mencegah/menghalangi para penyidik maupun penuntut umum mengulangi
kembali kesalahan mereka di masa mendatang. Apabila hakim secara rutin
mengecualikan/mengesampingkan alat bukti yang didapat secara tidak sah
tersebut, maka hal itu menjadi pesan yang sangat jelas kepada aparat penegak
39 Reda Mathovani, “Praperadilan Bukan Forum Koreksi Penetapan Tersangka?”,
http://budisansblog.blogspot.com/2015/02/praperadilan-bukan-forum-koreksi.html, diakses tanggal 4 Juli 2015.
hukum bahwa tidak ada manfaatnya yang bisa diambil dari melanggar hukum,
kemudian motivasi dari aparat untuk melanggar hukum akan menurun drastis.
Ketiga, the legitimacy of the verdict. Dalam proses acara pidana diperlukan suatu
sistem yang dapat dipercaya sehingga masyarakat yakin terhadap sistem hukum
atau sistem peradilannya. Apabila hakim sudah terbiasa memaklumi aparat
penyidik dan penuntut umum menyajikan alat bukti yang di dapat secara tidak
sah, maka sistem hukum tersebut akan diragukan legitimasinya dan masyarakat
akan segera mengurangi rasa hormatnya. Poin dari bewijsvoering sendiri sebenarnya
berkaitan dengan pengesampingan alat bukti yang diperoleh secara tidak sah
(unlawful legal evidence). Ini yang kemudian nanti akan berimplikasi pada tidak
diakuinya alat bukti tersebut karena diperoleh dengan cara yang tidak sah
(exclusionary rules).
Pembuktian terkait alat bukti di dalam praperadilan harus dibatasi hanya
pada sisi kuantitas alat bukti yang berkaitan dengan bewijsminimmum dan sisi
kualitas alat bukti yang berkaitan dengan bewijsvoering. Namun hal ini tidak
berlaku pada penetapan tersangka karena tertangkap tangan. Hakim praperadilan
tidak diperkenankan sampai membuktikan kualitas alat bukti yang terkait dengan
nilai pembuktiannya (bewijskracht), karena terkait nilai pembuktian suatu alat bukti
diperiksa di persidangan pokok perkara bukan dalam forum praperadilan. Selain
itu, pembuktian di dalam praperadilan mengenai pengujian penetapan tersangka
juga harus memperhatikan kebenaran materiil dari surat-surat yang dikeluarkan
penyidik dalam konteks penetapan tersangka, semisal surat perintah
penyelidikan, surat perintah penyidikan, dan lain sebagainya. Jadi pemeriksaan
terhadap hal yang bersifat formil yang berupa surat dan hal yang bersifat materiil
seperti alat bukti menjadi seimbang. Seharusnya konteks examinating judge
dimaknai demikian, tidak timpang dalam arti hanya hal yang bersifat formil saja
yang diperiksa.
Namun demikian, selama belum ada konstruksi pengaturan yang jelas dan
komprehensif mengenai praperadilan, selama itu juga tidak akan ada
keseragaman di dalam praktik praperadilan khususnya di dalam pemeriksaan
persidangan. Semua dikembalikan kepada para pihak yang saling mendalilkan
baik pemohon maupun termohon. Sebenarnya tidak masalah ketika hakim aktif
menentukan apa yang menjadi concern di dalam pembuktian. Namun hakim harus
memiliki pola pembuktian tersendiri yang dalam konteks pengujian sah tidaknya
penetapan tersangka fokus pada pengujian dua alat bukti. Hakim tidak boleh
mengikuti alur pembuktian dari pemohon seperti dalam beberapa kasus. Karena
jika keadaannya terus seperti itu, maka tidak akan pernah ada sebuah kepastian
hukum di dalam praktik praperadilan. Dengan demikian apa yang seharusnya
menjadi concern di dalam pembuktian praperadilan terkait penetapan tersangka
akan selalu menjadi hal yang bias.
Pembuktian yang bias karena tidak adanya persamaan persepsi dan
keyakinan dari masing-masing hakim praperadilan ini yang berpengaruh pada
output dari persidangan praperadilan yaitu putusan utamanya putusan yang
berwujud mengabulkan permohonan pemohon yang dalam hal ini menyatakan
penetapan tersangka yang dilakukan oleh penyidik tidak sah. Tidak adanya
konstruksi pengaturan yang jelas dan komprehensif mengenai praperadilan
terutama dalam hukum acaranya membuat pertimbangan hakim dalam
memberikan putusan terhadap tidak sahnya penetapan tersangka yang dilakukan
oleh penyidik menjadi bias. Pertimbangan hakim sangat dipengaruhi oleh dalil-
dalil yang diajukan oleh pemohon. Dengan demikian tidak ada sebuah bentuk
kesatuan hukum pada pertimbangan hakim dalam memutuskan tidak sahnya
penetapan tersangka karena masing-masing hakim akan berbeda pertimbangan di
dalam putusannya. Ini yang kemudian menyebabkan tingkat disparitas putusan
praperadilan sangat tinggi.
Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, Putusan praperadilan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel atas
nama Budi Gunawan dan putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor : 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel atas nama Hadi Poernomo inilah
contoh putusan praperadilan yang bias. Hal ini dikarenakan dasar yang dipakai
hakim dalam memberikan putusan terhadap tidak sahnya penetapan tersangka
terhadap masing-masing orang tersebut bukanlah berdasarkan alat bukti. Ini
yang kemudian menjadi sebuah masalah tersendiri bagi Komisi Pemberantasan
Korupsi sebagai penyidik dalam pelaksanaan putusan praperadilan tersebut. Hal
ini juga dikarenakan putusan tersebut tidak menyebutkan tindakan apa yang
harus dilakukan oleh penyidik ketika penetapan tersangka dinyatakan tidak sah
oleh hakim pemeriksa praperadilan. Tidak disebutkannya tindakan penyidik
pasca penetapan tersangka dinyatakan tidak sah oleh hakim pemeriksa
praperadilan ini juga dikarenakan tidak adanya pengaturan yang jelas perihal hal
tersebut.40
Adanya disparitas putusan yang sangat tidak menguntungkan penyidik
dalam melaksanakan kerja-kerjanya ini yang kemudian membuat penyidik
menempuh upaya hukum meskipun secara yuridis formal terhadap putusan
praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik itu upaya hukum biasa
berupa banding dan kasasi maupun upaya hukum luar biasa yaitu kasasi demi
kepentingan hukum atau peninjauan kembali sebagaimana sudah dijelaskan di
dalam BAB II tentang Tinjauan Pustaka penulisan hukum ini.
Meskipun pada dasarnya terhadap putusan praperadilan tidak dapat
dilakukan upaya hukum apapun, namun semua itu diserahkan sepenuhnya oleh
pihak yang ingin mengajukan. Hal ini didasarkan pada filosofi upaya hukum itu
sendiri yang merupakan hak dari pihak yang merasa keberatan terhadap adanya
suatu putusan pengadilan. Karena merupakan hak, maka pada dasarnya semua
putusan pengadilan dapat dimintakan upaya hukum. Hanya saja nanti
pertimbangan hakim yang memeriksa dalam konteks upaya hukum itulah yang
akan menentukan, apakah terhadap upaya hukum suatu putusan tersebut tidak
dapat diterima, dikabulkan, ataupun ditolak. Hal tersebut yang kemudian
membuat diterobosnya aturan hukum oleh pihak yang ingin mengajukan upaya
40 Ini menjadi salah satu hal yang mendesak untuk diatur karena di dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak diatur mengenai hal tersebut. Jelas berbeda dengan pengujian sah tidaknya penangkapan dan penahanan, serta pengujian sah tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan yang di dalam Pasal 83 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sudah diatur implikasinya jika dinyatakan tidak sah.
Jikalau penyidik diperkenankan kembali menetapkan seseorang sebagai tersangka padahal sebelumnya sudah ada putusan mengenai tidak sahnya penetapan tersangka, hal tersebut termasuk nebis in idem ataukah tidak. Karena pada praktiknya ada pemohon atau tersangka yang mendalilkan hal semacam ini dalam praperadilan keduanya untuk penetapan tersangka keduanya. Lihat putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 32/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel dan putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 55/Pid.Prap/ 2015 /PN.Jkt.Sel atas nama Ilham Arief Sirajuddin.
Dalam hemat Penulis, penetapan tersangka yang kedua kalinya oleh penyidik terhadap seseorang yang sama bukanlah termasuk dalam nebis in idem. Karena jika ditarik dari istilahnya, nebis in idem berarti seseorang tidak dapat dituntut dua kali dengan perkara yang sama. Jadi istilah nebis in idem merujuk pada putusan pokok perkara, bukan putusan praperadilan.
hukum, termasuk dalam konteks pengajuan upaya hukum terhadap putusan
praperadilan mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka.
Jika berbicara praktik di lapangan, menurut data dari Lembaga Kajian Untuk
Independensi Peradilan (LeIP) diketahui bahwa dalam kurun waktu 2009 sampai
2011 terdapat 130 putusan praperadilan yang diajukan kasasi dan sekitar 80
persen dari putusan tersebut diproses sampai pada putusan dikabulkan atau
ditolak.41 Sisanya 20 persen dinyatakan tidak dapat diterima karena hakim
beracuan pada Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.42 Salah satu permohonan kasasi yang diterima adalah
terhadap putusan praperadilan pada kasus PT Newmont dimana sebelumnya
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan status tahanan kota dan
wajib lapor terhadap enam orang petinggi PT Newmont tidak sah dengan
pertimbangan bahwa Polri dinilai tidak berwenang melakukan penyidikan karena
melanggar ketentuan dalam Surat Keputusan Bersama Penegakan Hukum
Lingkungan Satu Atap (SKB). Padahal ketentuan ini dinilai bertentangan dengan
KUHAP.43
Selain upaya hukum kasasi, dalam praktiknya upaya hukum peninjauan
kembali juga pernah diajukan oleh pihak yang merasa keberatan. Sebagai contoh
pada penghentian penuntutan oleh Kejaksaan terhadap Bibit Samad Riyanto dan
Chandra M. Hamzah. Putusan kasasi Nomor 152 PK/Pid/2010 menyatakan
permohonan peninjauan kembali yang diajukan pemohon terhadap putusan
praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
14/Pid.Prap/2010/PN.Jak.Sel tidak dapat diterima dengan alasan karena
terhadap putusan praperadilan tidak dapat diajukan upaya hukum biasa berupa
banding dan kasasi, maka terhadap putusan tersebut juga tidak dapat diajukan
upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali. Namun demikian, terhadap
41 Anonim, “LeIP : Ada 130 Kasus Yang Diterima Kasusnya Oleh MA”,
http://nasional.kompas.com/read/2015/02/22/17174431/LeIP.Ada.130.Kasus.Praperadilan.yang.Diterima.Kasasinya.oleh.MA.html, diakses tanggal 6 Juli 2015.
42 Ibid. 43 Anonim, “Permohonan Kasasi Terhadap Praperadilan Newmont Diterima Pengadilan”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol11962/permohonan-kasasi-terhadap-praperadilan-newmont-diterima-pengadilan.html, diakses tanggal 6 Juli 2015.
peninjauan kembali suatu putusan praperadilan pernah dikabulkan yaitu dalam
penghentian penyidikan Toh Keng Siong. Putusan kasasi nomor 87
PK/Pid/2013 menyatakan permohonan peninjauan kembali yang diajukan
pemohon terhadap putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor 33/Pid.Prap/2012/PN.Jak.Sel diterima dengan alasan karena telah
terjadi penyelundupan hukum yaitu praperadilan yang melampaui kewenangan
Pasal 77 KUHAP.
Putusan peninjauan kembali nomor 87 PK/Pid/2013 tersebut pada
akhirnya menjadi salah satu hasil Rapat Pleno Kamar Pidana Mahkamah Agung,
yang dilakukan pada tanggal 19-20 Desember 2013 di Pusdiklat Mahkamah
Agung RI yang diwujudkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4
Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Pengadilan. Berdasarkan surat edaran tersebut, peninjauan kembali terhadap
putusan praperadilan tidak diperbolehkan kecuali dalam hal ditemukan indikasi
penyelundupan hukum.44 Ini yang kemudian mengikat hakim di bawah naungan
Mahkamah Agung.
Berdasarkan fakta tersebut, terlihat jelas bahwa ada ketidakkonsistenan
terhadap pelaksanaan upaya hukum praperadilan. Meskipun hal tersebut bukan
berkaitan dengan upaya hukum terhadap putusan praperadilan pengujian sah
tidaknya penetapan tersangka, namun bukan tidak mungkin hal tersebut juga
akan terjadi pada konteks upaya hukum terhadap putusan praperadilan pengujian
sah tidaknya penetapan tersangka. Sudah ada aturan yang mengatur mengenai
tidak diperbolehkannya upaya hukum terhadap putusan praperadilan kecuali
peninjauan kembali dalam hal terjadi penyelundupan hukum. Namun demikian
para pihak akan tetap mengajukan upaya hukum terhadap putusan tersebut
karena pada dasarnya ini merupakan hak. Pengajuan upaya hukum bagaikan
sebuah perjudian karena bisa saja tidak dapat diterima, dikabulkan, atau ditolak.
Semua bergantung hakim yang memeriksa upaya hukum tersebut. Ini yang
44 Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan
Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (Rumusan Hukum), hlm. 7.
kemudian membuat masyarakat ada pada kondisi kebingungan karena tidak
adanya kepastian hukum terkait upaya hukum tersebut.
Dengan melihat inkonsistensinya praktik praperadilan yang terjadi, sudah
selayaknya pelaksanaan praperadilan tidak dibiarkan menjadi semacam bola liar
dimana hakim seolah-olah bertindak semaunya sendiri tanpa batasan yang jelas
dan tegas. Ketiadaan batasan yang jelas di dalam pelaksanaan praperadilan
tersebut dapat dimanfaatkan oleh hakim untuk berlindung di balik kemandirian
hakim untuk memutus berdasarkan kepentingan pihak tertentu.45 Hal ini yang
kemudian menjadi celah bagi mafia hukum untuk menghentikan suatu perkara
pidana. Padahal penghentian perkara sebagai modus mafia hukum telah lama
menjadi catatan kelam bagi penegak hukum konvensional.46 Oleh karena itu,
sudah menjadi suatu hal yang mendesak untuk membuat sebuah batasan
terhadap pelaksanaan praktik praperadilan khususnya mengenai pengujian
penetapan tersangka.
Mahkamah Agung disini sudah seharusnya mengambil inisiatif peran dalam
rangka mewujudkan sebuah kesatuan hukum. Sebenarnya pelaksanaan fungsi
Mahkamah Agung sebagai penjaga kesatuan hukum sudah melekat pada fungsi
Judex Juris yang dimiliki pada tahap kasasi.47 Dalam konteks tersebut, jika hakim
praperadilan mengadili melampaui kewenangan atau mengadili tidak berdasarkan
aturan hukum yang berlaku maka akan dikoreksi oleh Mahkamah Agung.48 Inilah
yang kemudian dapat dipakai oleh hakim lain sebagai pedoman dalam melakukan
pemeriksaan praperadilan selanjutnya. Namun berdasarkan Pasal 45A ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung putusan praperadilan
tidak dapat diajukan kasasi, sehingga Mahkamah Agung tidak dapat menjalankan
fungsi penjaga kesatuan hukum melalui Judex Juris meskipun pada praktiknya ada
juga perkara praperadilan yang diterima kasasinya oleh Mahkamah Agung.
Sebenarnya Mahkamah Agung dalam fungsinya menjaga kesatuan hukum
dapat mengeluarkan semacam peraturan Mahkamah Agung atau surat edaran
45 Reza Syawawi, “Diktator Yudisial”, Kompas, Sabtu 22 Julil 2015, hlm. 6. 46 Ibid. 47 Muhammad Tanziel Aziezi, Loc. cit. 48 Eddy O. S. Hiariej, “Hal Ikhwal Praperadilan”, Kompas, Rabu 8 April 2015, hlm. 7.
Mahkamah Agung guna memberikan pedoman dan panduan yang dapat
digunakan para hakim di bawah naungannya dalam melaksanakan praperadilan.
Karena selama ini, praktik praperadilan hanya diserahkan kepada masing-masing
hakim tanpa pernah dibuatkan sebuah pengaturan yang jelas dan komprehensif
sebagai guidance dalam pelaksanaan praperadilan. Hal ini bertujuan untuk
mewujudkan sebuah kesatuan hukum dalam melaksanakan pemeriksaan
praperadilan, khususnya mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka.
Adapun hal yang mendesak untuk diatur di dalam konteks praperadilan
mengenai pengujian terhadap sah tidaknya penetapan tersangka yaitu : Pertama,
teknis pemeriksaan praperadilan yang berkaitan dengan beban pembuktian
(bewijslast atau burden of proof). Apakah pemohon yang dibebankan beban
pembuktian ataukah termohon yang dibebankan beban pembuktian. Kedua,
teknis pemeriksaan praperadilan yang berkaitan dengan pembuktian. Apakah
pembuktian di dalam praperadilan hanya sebatas pengujian terhadap hal-hal yang
bersifat formil semisal surat-surat atau juga dapat menguji hal-hal yang bersifat
materiil seperti alat bukti ataukah dapat melebar ke hal-hal yang lain semisal
keabsahan lembaga atau aparat yang melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Ketiga, kalaupun yang diujikan berkaitan dengan alat bukti maka harus ada
parameter yang digunakan yaitu bewijsmiddelen, bewijsminimmum, dan bewijsvoering.
Pengujian alat bukti di dalam praperadilan hanya berkutat pada alat bukti yang
diatur di dalam undang-undang yang terhadapnya minimal ada dua alat bukti
yang didapatkan dengan cara yang legal atau sah. Keempat, mengenai implikasi
atau tindakan yang harus dilakukan oleh penyidik bilamana penetapan tersangka
yang telah dilakukan dinyatakan tidak sah oleh hakim pemeriksa praperadilan.
Kalaupun penetapan tersangka dilakukan kembali terhadap seseorang yang sama,
maka hal itu bukan merupakan nebis in idem. Kelima, upaya hukum terhadap
putusan praperadilan. Meskipun pemeriksaan praperadilan harus dilaksanakan
secara cepat yaitu 7 hari, namun pintu upaya hukum harus tetap dibuka. Hal ini
bertujuan agar Mahkamah Agung selalu dapat melakukan koreksi terhadap aspek
hukum putusan yang dinilai menyimpang. Dengan ini Mahkamah Agung akan
dapat menjaga kesatuan hukum terhadap hakim-hakim di bawahnya.
Dengan adanya aturan yang jelas dan komprehensif diharapkan pelaksanaan
praperadilan menjadi lebih terarah. Masing-masing hakim akan terikat dan tidak
atas inisiatifnya sendiri menafsirkan proses pemeriksaan praperadilan sehingga
tidak memutus suatu perkara praperadilan secara serampangan. Dengan
demikian diharapkan adanya kesatuan hukum dalam pelaksanaan praperadilan
sehingga memberikan kepastian hukum bagi pihak yang terlibat di dalam
praperadilan yaitu tersangka dan penyidik.
D. Penutup
Perluasan kewenangan praperadilan berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dimana salah satunya mengakomodasi
pengujian mengenai sah tidaknya penetapan tersangka memang dapat dipahami
dari sudut pandang perlindungan terhadap hak asasi manusia. Namun demikian,
perluasan kewenangan praperadilan yang berkaitan dengan pengujian sah
tidaknya penetapan tersangka ini tidak dapat dipahami berdasarkan gagasan awal
pembentukan praperadilan. Pada hakikatnya, praperadilan digunakan sebagai
suatu forum bagi tersangka untuk komplain terkait upaya paksa yang dilakukan
aparat penegak hukum (baik penyidik maupun penuntut umum) terhadap
dirinya. Konsep praperadilan yang semacam itu sesuai dengan konsep habeas
corpus yang menginspirasi lahirnya praperadilan, karena standar habeas corpus
adalah penahanan yang merupakan salah satu bentuk upaya paksa bukan
penetapan tersangka.
Meski demikian, putusan a quo tetap menjadi hukum pelengkap KUHAP
dalam pelaksanaan praperadilan. Oleh karenanya yang perlu dilakukan adalah
membentuk suatu aturan yang jelas dan komprehensif guna mendukung
pelaksanaan praperadilan. Hal ini dikarenakan praktek yang ada selama ini
berlangsung sangatlah kacau sehingga tidak mencerminkan nilai-nilai kepastian
hukum. Mahkamah Agung dapat mengambil peran ini, mengingat Mahkamah
Agung merupakan lembaga yang menaungi hakim-hakim di Pengadilan Negeri.
Sembari menunggu aturan itu dikeluarkan, aparat penegak hukum khususnya
sudah selayaknya lebih berhati-hati dalam melakukan penyidikan dan penetapan
tersangka. Prosedur pelaksanaan penyidikan sampai penetapan tersangka harus
benar-benar diperhatikan. Selain itu, Hakim pemeriksa permohonan
praperadilan juga seharusnya menghindari pemeriksaan yang sifatnya kurang
substansial. Hal ini menjadi penting dikarenakan seringnya tersangka maupun
penasihat hukum tersangka mendalilkan hal-hal yang sifatnya kurang subtansial
untuk diperiksa guna meloloskan dirinya dari dari jeratan penetapan tersangka.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Fuady, Munir, Teori Hukum Pembuktian, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006.
Hamzah, Andi, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Jakarta, Sinar
Grafika, 2002.
Hamzah dan RM Surachman, Andi, Pre Trial Justice & Discretionary Justice Dalam
KUHAP Berbagai Negara, Jakarta, Sinar Grafika, 2015.
Hiariej, Eddy O. S., Teori dan Hukum Pembuktian, Jakarta, Erlangga, 2012.
Loqman, Loebby, Pra-Peradilan di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1984.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty,
2002.
B. Hasil Penelitian
Anggara, dkk., Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang
Hukum Acara Praperadilan, Jakarta, Institute for Criminal Justice Reform, 2014.
Eddyono, Supriyadi Widodo dan Erasmus A. T. Napitupulu, Prospek Hakim
Pemeriksa Pendahuluan Dalam Pengawasan Penahanan Dalam Rancangan
KUHAP, Jakarta, Institute for Criminal Justice Reform, 2014.
Eddyono, Supriyadi Widodo ,dkk, Praperadilan di Indonesia : Teori, Sejarah, dan
Praktiknya, Jakarta, Institute for Ciminal Justice Reform, 2014.
C. Jurnal
Maesa Plangiten, “Fungsi Dan Wewenang Lembaga Praperadilan Dalam Sistem
Peradilan Di Indonesia”, Lex Crimen, Volume II, Nomor 6, Oktober
2013.
Sandra Dini Febri Aristya, “Pembuktian Perdata Dalam Kasus Malpraktik Di
Yogyakarta”, Mimbar Hukum, Edisi Khusus, November 2011.
D. Peraturan Perundang-Undangan dan Rancangan Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Herzine Indische Reglement atau Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui.
Rechtsreglement Buitengewesten atau Reglemen Untuk Daerah Seberang.
Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 137 dan Penjelasan dalam Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250.
Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung
Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan
(Rumusan Hukum).
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun
2012.
E. Putusan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April
2015.
Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :
18/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :
32/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel
Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :
36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :
55/Pid.Prap/2015 /PN.Jkt.Sel.
F. Surat Kabar dan Internet
Reza Syawawi, “Diktator Yudisial”, Kompas, Sabtu 22 Julil 2015.
Eddy O. S. Hiariej, “Hal Ikhwal Praperadilan”, Kompas, Rabu 8 April 2015.
Adnan Buyung Nasution, “Praperadilan Versus Hakim Komisaris”,
http://jodisantoso.blogspot.com/2008/02/praperadilan-versus-hakim-
komisaris.html, diakses pada tanggal 4 Juli 2015.
Anonim, “LeIP : Ada 130 Kasus Yang Diterima Kasusnya Oleh MA”,
http://nasional.kompas.com/read/2015/02/22/17174431/LeIP.Ada.13
0.Kasus.Praperadilan.yang.Diterima.Kasasinya.oleh.MA.html, diakses
tanggal 6 Juli 2015.
Anonim, “Permohonan Kasasi Terhadap Praperadilan Newmont Diterima
Pengadilan”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol11962/permohonan-
kasasi-terhadap-praperadilan-newmont-diterima-pengadilan.html, diakses
tanggal 6 Juli 2015.
Anonim, “Saksi Ahli KPK : Penetapan Tersangka Bukan Upaya Paksa”,
http://nasional.kompas.com/read/2015/04/06/13384451/Saksi.Ahli.K
PK.Penetapan.Tersangka.Bukan.Upaya.Paksa.html, diakses tanggal 11
Juni 2015.
Herry F. F. Battileo, “Penetapan Status Tersangka Professional Judgement
Penyidik”, http://www.suryantt.com/suryantt-berita-penetapan-status-
tersangka—‘profesional-judgement’-penyidik---.html, diakses tanggal 22
Juni 2015.
Letezia Tobing, “Tentang Sistem Pembalikan Beban Pembuktian”,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt513ff99d6eedf/tentang-
sistem-pembalikan-beban-pembuktian.html, diakses tanggal 3 Juli 2015.
Muhammad Tanziel Aziezi, “Pra Peradilan Penetapan Tersangka : Perjudian
Hukum Yang Terbiarkan”, https://www.selasar.com/politik/pra-
peradilan-penetapan-tersangka-perjudian-hukum-yang-terbiarkan, diakses
pada tanggal 4 Juli 2015.
Reda Mathovani, “Praperadilan Bukan Forum Koreksi Penetapan Tersangka?”,
http://budisansblog.blogspot.com/2015/02/praperadilan-bukan-forum-
koreksi.html, diakses tanggal 4 Juli 2015.