33
Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam Kerangka Praperadilan By : Rizka Fakhry Alfiananda 1 Abstract A pretrial construction as it has been regulated in the Indonesian Criminal Procedure Code had instantly changed after the Constitutional Court decision Number : 21/PUU-XII/2014 that being announced on April 28, 2015. The pretrial construction was initially authorized only to examine and decide the validity of arrest and detention, the validity of investigation and prosecution termination, and the demand for compensation or rehabilitation. The authority of the pretrial by a quo decision was then expanded by adding an examination on the validity of inquiry, the validity of confiscation, and the validity of suspect determination. Although a quo decision is reputed to have exceeded the authority of the Constitutional Court because it is judged of creating a new norm, a quo decision remains final and tied so that it should be considered as a complement to the Indonesian Criminal Procedure Code. Abstrak Konstruksi praperadilan sebagaimana diatur di dalam BAB X Bagian Kesatu KUHAP seketika berubah pasca dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUU-XII/2014 pada tanggal 28 April 2015. Praperadilan yang konstruksi awalnya hanya berwenang memeriksa dan memutus sah atau tidaknya suatu penangkapan dan penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi, oleh putusan a quo kewenangannya diperluas dengan menambahkan pengujian mengenai sah tidaknya penggeledahan, sah tidaknya penyitaan, serta sah tidaknya penetapan tersangka. Meskipun putusan a quo dinilai melebihi kewenangan Mahkamah Konstitusi karena dinilai telah membuat norma baru, namun putusan a quo tetap bersifat final dan mengikat sehingga harus dianggap sebagai hukum pelengkap KUHAP. 1 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Email : [email protected]

Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka

Dalam Kerangka Praperadilan

By : Rizka Fakhry Alfiananda1

Abstract

A pretrial construction as it has been regulated in the Indonesian Criminal Procedure Code

had instantly changed after the Constitutional Court decision Number : 21/PUU-XII/2014 that

being announced on April 28, 2015. The pretrial construction was initially authorized only to

examine and decide the validity of arrest and detention, the validity of investigation and prosecution

termination, and the demand for compensation or rehabilitation. The authority of the pretrial by a

quo decision was then expanded by adding an examination on the validity of inquiry, the validity of

confiscation, and the validity of suspect determination. Although a quo decision is reputed to have

exceeded the authority of the Constitutional Court because it is judged of creating a new norm, a quo

decision remains final and tied so that it should be considered as a complement to the Indonesian

Criminal Procedure Code.

Abstrak

Konstruksi praperadilan sebagaimana diatur di dalam BAB X Bagian Kesatu

KUHAP seketika berubah pasca dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor : 21/PUU-XII/2014 pada tanggal 28 April 2015. Praperadilan yang

konstruksi awalnya hanya berwenang memeriksa dan memutus sah atau tidaknya

suatu penangkapan dan penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan

penghentian penuntutan, serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi, oleh

putusan a quo kewenangannya diperluas dengan menambahkan pengujian mengenai

sah tidaknya penggeledahan, sah tidaknya penyitaan, serta sah tidaknya penetapan

tersangka. Meskipun putusan a quo dinilai melebihi kewenangan Mahkamah

Konstitusi karena dinilai telah membuat norma baru, namun putusan a quo tetap

bersifat final dan mengikat sehingga harus dianggap sebagai hukum pelengkap

KUHAP.

1 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Email :

[email protected]

Page 2: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

Kata Kunci : KUHAP, Praperadilan, Penetapan Tersangka

A. Pendahuluan

Diskursus mengenai perlindungan hak asasi manusia dan negara hukum

memang sudah sejak lama diperbincangkan karena keduanya sangat berkaitan

erat. Perlindungan hak asasi manusia merupakan salah satu elemen penting

dalam sebuah negara hukum, termasuk Indonesia. Namun demikian bukan

berarti dalam menjalankan hak asasi manusia yang dihormati, dijunjung tinggi,

dan dilindungi oleh negara hukum tersebut sama sekali tidak diperkenankan

adanya suatu pembatasan. Pembatasan terhadap hak asasi manusia dalam suatu

negara hukum diperkenankan sepanjang berdasarkan undang-undang yang

tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak

dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam

suatu masyarakat demokratis.2

Diskursus mengenai perlindungan hak asasi manusia juga yang pada

akhirnya mempengaruhi sistem peradilan pidana Indonesia, khususnya hukum

acara pidana sebagai pedoman utama dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai

pedoman utama dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana di Indonesia

sangatlah menjunjung tinggi hak asasi manusia sekalipun terhadap seseorang

yang disangka maupun didakwa telah melakukan suatu tindak pidana. Namun

perlu digaris bawahi disini bahwa bukan berarti terhadap mereka yang disangka

maupun didakwa telah melakukan suatu tindak pidana diberikan haknya

sebagaimana halnya seseorang yang tidak tersangkut suatu tindak pidana.3

Terdapat tindakan-tindakan tertentu yang dapat dilakukan terhadap mereka

dimana tindakan tersebut merupakan bentuk perampasan terhadap hak asasi

manusia.

2 Pasal 28J ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3 Loebby Loqman, Pra-Peradilan di Indonesia, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 82.

Page 3: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

Terhadap mereka yang disangka maupun didakwa melakukan tindak pidana

akan dilakukan tindakan-tindakan tertentu yang disebut upaya paksa. Upaya

paksa ini merupakan sebuah bentuk upaya yang dilakukan aparat penegak hukum

berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan

surat dalam rangka melaksanakan proses peradilan. Meskipun upaya paksa ini

merupakan salah satu kewenangan dari aparat penegak hukum dalam rangka

melaksanakan proses peradilan, pelaksanaan dari upaya paksa ini haruslah sesuai

dengan ketentuan yang berlaku sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan.

Karena bagaimanapun juga upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum tersebut akan merampas hak asasi manusia dari seorang tersangka atau

terdakwa.

Untuk melindungi hak asasi manusia khususnya hak dari seorang tersangka

maupun terdakwa, di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. Lembaga

praperadilan ini dimaksudkan sebagai suatu lembaga penguji apakah batasan

yang diberikan undang-undang kepada aparat penegak hukum dalam melakukan

upaya paksa tersebut telah sesuai prosedur atau tidak. Ketentuan mengenai

praperadilan tersebut terdapat pada Pasal 1 angka 10 dan BAB X Bagian Kesatu

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Berdasarkan pengaturan di dalam Undang-Undang tersebut dapat diketahui

bahwa praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan

memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang : a) Sah

atau tidaknya suatu penangkapan; b) Sah atau tidaknya suatu penahanan; c) Sah

atau tidaknya penghentian penyidikan; d) Sah atau tidaknya penghentian

penuntutan; dan d) Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi

seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau

penuntutan.

Berdasarkan pengaturan mengenai praperadilan yang diatur di dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tersebut

dapatlah disimpulkan bahwa pengaturan mengenai praperadilan bersifat limitatif

dan tidak semua upaya paksa dapat diajukan permohonan praperadilan. Namun

karena pengaturan yang sifatnya limitatif tersebutlah yang kemudian

Page 4: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

menimbulkan permasalahan dan pada akhirnya juga menjadi polemik. Tidak

sedikit permohonan yang diajukan ke praperadilan secara obyek tidak sesuai

dengan apa yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana. Permohonan tersebut berkaitan dengan penyitaan,

penggeledahan, pemeriksaan surat, dan juga penetapan tersangka. Tapi beberapa

hakim mengakomodasi permohonan tersebut dengan berbagai macam bentuk

argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan perlindungan hak asasi

manusia.

Atas dasar pertimbangan perlindungan terhadap hak asasi manusia itulah

yang kemudian membuat Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian

permohonan uji materiil yang diajukan Bachtiar Abdul Fatah melalui Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Dalam salah satu

pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa praperadilan tidak

mampu mengikuti perkembangan jaman karena aturan yang ada di dalam Pasal

77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

sangat sempit dan limitatif. Rumusan yang terbatas ini yang bertentangan dengan

prinsip due process of law. 4 Pertimbangan tersebutlah yang pada akhirnya menjadi

legitimasi amar putusan a quo yang memberikan paradigma baru dalam

pelaksanaan praperadilan, yaitu menambahkan pengujian penetapan tersangka,

penggeledahan, dan penyitaan ke dalam kewenangan praperadilan.5

Putusan a quo bersifat final dan mengikat, sehingga salah satu acuan dalam

dalam pelaksanaan praperadilan adalah putusan a quo. Namun demikian,

perluasan kewenangan praperadilan yang diatur melalui putusan a quo ternyata

menimbulkan permasalahan dalam tataran implementasi atau pelaksanaannya.

Hal ini dikarenakan lemahnya aturan yang mengatur perihal praperadilan,

khususnya pengaturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana. Bab X Bagian Kesatu yang hanya terdiri dari 7

pasal tidak mampu memberikan konstruksi pengaturan yang jelas dan

komprehensif terhadap pelaksanaan praperadilan. Tidak adanya guidance yang

jelas dan komprehensif mengenai hal tersebut membuat pelaksanaan pengujian

4 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, hlm. 21. 5 Ibid., hlm. 110.

Page 5: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

sah tidaknya penetapan tersangka sering terjadi chaos. Hal inilah yang kemudian

menimbulkan ketidakpastian hukum di dalam pelaksanaan praperadilan,

khususnya mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka.

B. Perluasan Kewenangan Praperadilan Mengenai Pengujian Sah Tidaknya

Penetapan Tersangka

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014,

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa praperadilan haruslah dapat menjadi

sebuah instrumen untuk menguji sah tidaknya penetapan tersangka. Hal ini

dikarenakan bahwa :

Betul bahwa apabila Pasal 1 angka 2 KUHAP dilakukan secara ideal dan benar maka tidak diperlukan pranata praperadilan. Namun permasalahannya adalah bagaimana ketika tidak dilakukan secara ideal dan benar, dimana seseorang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka memperjuangkan haknya dengan ikhtiar hukum bahwa ada yang salah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Padahal oleh UUD 1945 setiap orang dijamin haknya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.6

Berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan a quo

sebagaimana disebutkan di atas, maka diketahui memang ada sebuah urgensi

terhadap pengujian sah tidaknya penetapan tersangka sehingga harus

6 Ibid., hlm. 105 – 106.

Page 6: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

diakomodasi oleh praperadilan mengingat tidak ada mekanisme lain selain

praperadilan di dalam konteks pre trial process di Indonesia.

Semangat yang diusung oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

21/PUU-XII/2014 berkaitan dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia

sebenarnya sudah tepat, mengingat juga esensi dari adanya hukum acara pidana

yaitu sebagai penjamin hak asasi manusia dalam konteks peradilan pidana.

Namun demikian, yang jadi pertanyaan besar adalah apakah pengujian mengenai

sah tidaknya penetapan tersangka memang harus diujikan di dalam konteks

praperadilan ataukah tidak. Ini yang menjadi perdebatan bahkan di kalangan

hakim konstitusi yang memeriksa dan memutus perkara a quo.

Berdasarkan pengaturan dalam Bab X Bagian Kesatu Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dapat disimpulkan bahwa

gagasan awal dibentuknya praperadilan oleh pembentuk undang-undang

memang bukanlah untuk menguji sah tidaknya penetapan tersangka. Ini dapat

dipahami karena pada hakikatnya praperadilan hanya merupakan mekanisme

komplain terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau

penuntut umum pada tahap pre trial. Meskipun demikian dalam konteks

praperadilan upaya paksa yang diujikan terbatas pada penangkapan dan

penahanan yang kemudian oleh Mahkamah Konstitusi diperluas dengan

menambahkan penggeledahan dan penyitaan. Pengujian terhadap upaya paksa

tersebut karena upaya paksa merupakan tindakan perampasan terhadap hak asasi

manusia seseorang. Karena menyangkut perampasan terhadap hak asasi manusia

seseorang, sehingga keabsahannya perlu diuji.

Penetapan tersangka sendiri bukan merupakan upaya paksa. Penetapan

seseorang menjadi tersangka merupakan sebuah bentuk tindakan administratif

dari aparat penegak hukum (administrative justicia) yang dilakukan setelah

ditemukan tersangkanya.7 Penetapan seseorang menjadi tersangka ini merupakan

professional judgement dari penyidik karena dalam menetapkan tersangka didasarkan

atas berbagai informasi, data yang terukur karena tingkat releabilitas, tingkat

7 Anonim, “Saksi Ahli KPK : Penetapan Tersangka Bukan Upaya Paksa”,

http://nasional.kompas.com/read/2015/04/06/13384451/Saksi.Ahli.KPK.Penetapan.Tersangka.Bukan.Upaya.Paksa.html, diakses tanggal 11 Juni 2015.

Page 7: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

validitas baik dalam proses dan cara pengumpulan data dan informasi, proses

olah data dan informasi dan proses evaluasi sampai pada kesimpulan

mengindikasikan seseorang sebagai pelaku telah dikategorikan sebagai tersangka

telah melalui parameter berdasarkan hukum.8 Penetapan tersangka bukan

merupakan sebuah bentuk perampasan terhadap hak asasi manusia. Dalam hal

pasca ditetapkan sebagai tersangka seseorang tersebut tidak dikenakan upaya

paksa sama sekali, maka hal tersebut pada dasarnya belum dimaknai bahwa ada

perampasan terhadap hak asasi manusianya. Meskipun sangat dimungkinkan

dalam penetapan dirinya sebagai seorang tersangka tersebut terdapat bentuk

kesewenang-wenangan (abuse of power) penyidik dan juga ada ancaman untuk

dilakukan upaya paksa.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia terutama hak-hak tersangka,

terdakwa, dan terpidana. Dalam konteks pre trial yang diwujudkan dalam konsep

praperadilan, hukum acara pidana hendak memberikan perlindungan terhadap

hak-hak tersangka atau terdakwa. Hal ini sesuai dengan pedoman pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang

menyebutkan bahwa :

Mengingat bahwa demi kepentingan pemeriksaan perkara diperlukan adanya pengurangan-pengurangan dari hak-hak asasi tersangka, namun bagaimanapun hendaknya selalu berdasar ketentuan yang diatur dalam undang-undang, maka untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak asasi tersangka atau terdakwa diadakan suatu lembaga yang dinamakan praperadilan.9

Perlindungan terhadap hak tersangka tersebut juga sudah sesuai dengan bunyi

Article 9 International Covenant on Civil and Political Rights yang kemudian diratifikasi

oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang

Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights yang menyebutkan

bahwa :

8 Herry F. F. Battileo, “Penetapan Status Tersangka Professional Judgement Penyidik”,

http://www.suryantt.com/suryantt-berita-penetapan-status-tersangka—‘profesional-judgement’-penyidik---.html, diakses tanggal 22 Juni 2015.

9 Maesa Plangiten, “Fungsi Dan Wewenang Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia”, Lex Crimen, Volume II, Nomor 6, Oktober 2013, hlm. 31.

Page 8: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

1. Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be subjected to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprived of his liberty except on such grounds and in accordance with such procedure as are established by law.

2. Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of the reasons for his arrest and shall be promptly informed of any charges against him.

3. Anyone arrested or detained on a criminal charge shall be brought promptly before a judge or other officer authorized by law to exercise judicial power and shall be entitled to trial within a reasonable time or to release. It shall not be the general rule that persons awaiting trial shall be detained in custody, but release may be subject to guarantees to appear for trial, at any other stage of the judicial proceedings, and, should occasion arise, for execution of the judgement.

4. Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall be entitled to take proceedings before a court, in order that that court may decide without delay on the lawfulness of his detention and order his release if the detention is not lawful.

5. Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall have an enforceable right to compensation.

Berdasarkan ketentuan di atas, poin pentingnya terletak pada perlindungan

seseorang khususnya tersangka terhadap perampasan kemerdekaan dirinya yang

berupa penangkapan dan penahanan. Penangkapan dan penahanan harus

dilakukan berdasarkan alasan yang sah dan sesuai prosedur. Inilah yang

kemudian diujikan di dalam praperadilan.

Cita-cita untuk melindungi hak-hak tersangka tersebut yang kemudian

mempengaruhi gagasan pembentukan praperadilan. Karena yang hendak

dilindungi adalah hak-hak tersangka maka titik tumpuannya adalah pasca

seseorang ditetapkan sebagai tersangka, bukan sebelum seseorang ditetapkan

sebagai tersangka. Pasca ditetapkan sebagai tersangka, seseorang dapat dikenakan

upaya paksa yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia

sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. Hal ini jelas berbeda dengan

pengujian terhadap penetapan tersangka, dimana yang menjadi titik tumpuannya

adalah sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Sebelum ditetapkan

sebagai tersangka, seseorang tersebut tidak dapat dikenakan upaya paksa.

Seandainya pun sebelum seseorang tersebut ditetapkan sebagai tersangka

terhadap dirinya sudah terdapat bentuk perampasan hak, secara konseptual itu

bukan kewenangan praperadilan untuk mengujinya.

Bahkan ketika ditarik lebih jauh kepada gagasan dan konsep yang

mempengaruhi lahirnya praperadilan itu sendiri yaitu konsep habeas corpus, maka

juga tidak akan ditemukan mengenai pengujian terhadap sah tidaknya penetapan

Page 9: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

tersangka. Hal ini dikarenakan karena standar yang dipakai oleh habeas corpus

bukanlah penetapan tersangka, melainkan penahanan. Dalam konteks itu berarti

yang hendak dilindungi adalah tersangka, yang secara formal merupakan status

pasca adanya penetapan sebagai tersangka, bukan sebelum adanya penetapan

sebagai tersangka. Hal itu pula yang membuat kewenangan praperadilan di dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebelum

adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 hanya

digunakan untuk menguji upaya paksa penangkapan dan penahanan.

Jika ditinjau dari sisi konsepnya, praperadilan memang tidak dapat

digunakan untuk melakukan pengujian terhadap sah tidaknya penetapan

tersangka. Namun demikian, sebenarnya secara tidak langsung praperadilan

sudah membuka ruang untuk adanya pengujian terhadap sah tidaknya penetapan

tersangka. Hal ini dapat dilihat dari pengujian sah tidaknya penangkapan dan

penahanan. Dalam hal dilakukannya penangkapan dan penahanan, seorang

aparat penegak hukum terikat dengan adanya syarat materiil dan syarat formil

dari penangkapan dan penahanan. Berkaitan dengan syarat materiilnya, baik

penangkapan maupun penahanan mengharuskan adanya bukti permulaan yang

cukup sebagai syarat. Kemudian berkaitan dengan syarat formilnya berkaitan

dengan adanya surat perintah penangkapan dan surat perintah penahanan.

Proses pembuktian dalam praperadilan berkaitan dengan penangkapan dan

penahanan haruslah melihat kedua syarat tersebut, apakah keduanya sudah

terpenuhi ataukah tidak sehingga penangkapan dan penahanan dapat dilakukan.

Dalam hal pembuktian syarat materiil dari penangkapan dan penahanan

itulah sebenarnya dapat membawa konsekuensi pada sah atau tidaknya

penetapan tersangka seseorang. Logikanya adalah dalam hal syarat materiil yang

berupa bukti permulaan yang cukup tersebut tidak terpenuhi atau dinyatakan

tidak sah sehingga membuat penangkapan dan penahanan tidak sah, maka

seharusnya dengan otomatis penetapan tersangka atas seseorang tersebut tidak

sah mengingat syarat penetapan seseorang menjadi tersangka berkaitan dengan

adanya bukti permulaan yang cukup tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa

dalam hal penangkapan dan penahanan yang dinyatakan tidak sah, maka sangat

mungkin sebelumnya diawali oleh adanya penetapan tersangka yang tidak sah

Page 10: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

pula atau dengan kata lain penetapan tersangka yang tidak sah dapat membuat

penahanan menjadi tidak sah pula. Namun demikian, penangkapan dan

penahanan yang tidak sah belum tentu diawali dengan penetapan tersangka yang

tidak sah mengingat adanya syarat materiil dan syarat formil tadi.

Dengan melihat logika tersebut, hakim praperadilan pada dasarnya dapat

melakukan pemeriksaan terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka bahkan

sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang memperluas kewenangan

praperadilan. Hal ini dilakukan dengan mengalihkan konsentrasi pemeriksaan

hakim dari pemeriksaan terhadap penangkapan dan penahanan menuju

pemeriksaan terhadap penetapan tersangka setelah diketahui bahwa bukti

permulaan yang cukup guna melakukan penangkapan dan penahanan ternyata

tidak tercukupi atau tidak sah. Namun hal semacam ini belum pernah dilakukan

oleh hakim dalam praktik praperadilan.

Dalam praktiknya, hakim praperadilan hanya melakukan administratif review

terhadap dilakukannya penangkapan dan penahanan. Administratif review tersebut

dilakukan berkaitan dengan syarat formil dari penangkapan dan penahanan yang

berupa ada tidaknya surat penangkapan, ada tidaknya surat penahanan, ada

tidaknya tembusan untuk keluarga, dan hal lain yang bersifat formal

administratif. Hakim praperadilan dalam praktiknya sangat jarang memeriksa

syarat materiil dari penangkapan dan penahanan yang salah satunya berupa bukti

permulaan yang cukup.10 Fungsi praperadilan sebagai examinating judge sering

dimaknai hanya sebatas pemeriksaan aspek administratif atau formil dari upaya

paksa.11 Padahal sebenarnya fungsi mengeksaminasi penangkapan dan

penahanan tidak hanya hanya sebatas pada melihat syarat formil namun juga

harus melihat syarat materiil.12 Ini yang kemudian menjadi sebuah kelemahan

besar praperadilan dari sisi praktikal selain kelemahan praperadilan dari sisi

konseptual.13

10 Pemeriksaan tergantung dari masing-masing hakim, ada yang memeriksa ada yang tidak. 11 Adnan Buyung Nasution, “Praperadilan Versus Hakim Komisaris”,

http://jodisantoso.blogspot.com/2008/02/praperadilan-versus-hakim-komisaris.html, diakses pada tanggal 4 Juli 2015.

12 Loebby Loqman, Op. cit., hlm. 60 – 61. 13 Secara konseptual praperadilan memiliki beberapa kelemahan, antara lain : kewenangan

praperadilan hanya bersifat “post factum”, sikap hakim yang cenderung pasif karena menunggu

Page 11: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

Meskipun sebenarnya secara tidak langsung praperadilan membuka ruang

untuk adanya pengujian mengenai sah tidaknya penetapan tersangka seseorang

sebagaimana diuraikan di atas, tetap saja secara konseptual hal tersebut tidak

sesuai. Di satu sisi memang ada urgensi untuk memberikan proses hukum yang

adil (fair trial) bagi seseorang yang dalam hal ini terkait penetapan dirinya sebagai

tersangka, namun di satu sisi konsep praperadilan tidak diperuntukkan untuk

melakukan pengujian terhadap penetapan tersangka seseorang tersebut.

Memasukkan pengujian mengenai sah tidaknya penetapan tersangka ke dalam

kerangka kewenangan praperadilan berarti sama saja memasukkan sesuatu yang

sebenarnya bukan pada wadahnya. Bahkan ketika melihat mekanisme pre trial

yang ada di beberapa negara civil law semisal Belanda dengan rechter commisaris,

Perancis dengan judge d’instruction, dan Italia dengan guidice per le indagini prelimari,

tidak satupun yang secara konseptual mengakomodasi penetapan tersangka

sebagai suatu hal yang diujikan. Begitu pula dengan negara common law semisal

Amerika Serikat dengan konsep magistrate yang secara konseptual tidak

mengakomodasi penetapan tersangka sebagai suatu hal yang harus diuji.

Sebenarnya hal yang lebih penting untuk diuji daripada penetapan tersangka

adalah pengujian mengenai alat bukti. Hal ini dikarenakan berdasarkan alat

buktilah semua tindakan aparat penegak hukum pada tahap pre trial seperti

penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan dilakukan. Dalam konteks

praperadilan mengenai penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan yang

sebenarnya harus dibuktikan adalah alat buktinya. Namun pada praktiknya,

pengujian alat bukti tidak pernah dilakukan dan justru pembuktian hanya

berkutat pada hal yang sifatnya administratif.

Jika dibandingkan dengan beberapa seperti Belanda, Perancis, Italia, dan

Amerika Serikat, secara konseptual negara-negara tersebut memang tidak

mengujikan penetapan tersangka di dalam mekanisme pre trial. Namun masing-

masing negara tersebut mempunyai mekanisme masing-masing untuk melakukan

permohonan, gugurnya praperadilan karena berkas perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan untuk dimulai siding pokok perkaranya, dan permohonan praperadilan sangat bergantung pada kehadiran penasihat hokum karena kebanyakan tersangka dan/atau terdakwa sama sekali tidak paham mengenai proses peradilan pidana.

Page 12: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

pengawasan terhadap alat bukti yang dijadikan dasar oleh penyidik melakukan

tindakan-tindakan dalam konteks pre trial.

Konsep pengawasan pre trial Belanda dengan rechter commisaris dan Perancis

dengan judge d’instruction pada prinsipnya sama, yaitu merupakan bagian integral

dari keseluruhan sistem pengawasan hirarkis yang dilakukan hakim terhadap

jaksa dan kepolisian. Artinya hakim mengawasi jaksa, dan jaksa mengawasi polisi,

sebagai satu kesatuan sistem pengawasan integral yang harmonis dan serasi.14

Lebih lanjut sebagai konsekuensi atas sistem tersebut, proses pemeriksaan

perkara dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan

pemeriksaan di muka pengadilan secara fungsional merupakan satu rangkaian

hirarki kesatuan fungsi yang berbagi tugas dan wewenang namun saling

melengkapi.15 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada rechter commisaris

dan judge d’instruction hakim mempunyai keterlibatan bahkan sejak dimulainya

penyidikan dan bahkan dalam keadaan tertentu dapat memimpin penyidikan.16

Keterlibatan hakim tersebut pada umumnya bertujuan untuk mengimbangi

kekuasaan yang besar yang dimiliki oleh penyidik.17

Keterlibatan hakim sejak awal dimulainya penyidikan tersebut pada akhirnya

membuat hakim tidak hanya dapat melakukan pengawasan terhadap apa yang

dilakukan oleh penyidik namun juga dapat melakukan beberapa tindakan

terhadap suatu hal semisal memanggil, memeriksa, dan melakukan penahanan

terhadap seseorang,.18 Selain itu juga memeriksa saksi-saksi dan alat-alat bukti

lainnya bahkan membuat berita acara pemeriksaan, melakukan penahanan,

penyitaan, bahkan menentukan apakah cukup alasan untuk dilimpahkan ke

pengadilan.19 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik rechter commisaris

14 Supriyadi Widodo Eddyono dan Erasmus A. T. Napitupulu, Prospek Hakim Pemeriksa Pendahuluan

Dalam Pengawasan Penahanan Dalam Rancangan KUHAP, (Jakarta, Institute for Criminal Justice Reform, 2014), hlm. 27.

15 Ibid. 16 Sebagaimana dilakukan oleh judge d’instruction yang melakukan penyidikan pada perkara berat (crime)

dan perkara kurang berat (delit). Supriyadi Widodo Eddyono, dkk, Praperadilan di Indonesia : Teori, Sejarah, dan Praktiknya, (Jakarta,

Institute for Ciminal Justice Reform, 2014), hlm. 18. 17 Andi Hamzah dan RM Surachman, Pre Trial Justice & Discretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai

Negara, (Jakarta, Sinar Grafika, 2015), hlm. 73. 18 Loebby Loqman, Op. cit., hlm. 47. 19 Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, (Jakarta, Sinar Grafika, 2002), hlm. 193.

Page 13: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

maupun judge d’instruction mempunyai fungsi sebagai examinating judge sekaligus

investigating judge.

Berbeda lagi dengan konsep guidice per le indagini prelimari di Italia. Giudice per

le indagini prelimari muncul untuk menggantikan giudice instructtore yang secara

konsep sama dengan rechter commisaris dan judge d’instruction. Giudice per le indagini

prelimari hanya mengawasi jalannya penyidikan dan penuntutan, tidak terlibat

aktif dalam melakukan penyidikan sebagaimana rechter commisaris dan judge

d’instruction.20 Giudice per le indagini prelimari bertugas menentukan langkah-langkah

pencegahan (misure cautelari) yang perlu diambil, seperti menentukan apakah

terdakwa harus ditahan di dalam penjara, dan memberikan ijin kepada jaksa

dengan meninjau permintaan kejaksaan yang dapat menahan atau merampas

kebebasan sipil dari seseorang, seperti penyadapan.21 Kemudian pada sidang

pendahuluannya, giudice per le indagini prelimari mengevaluasi semua bukti dari

jaksa dan memutuskan apakah akan melanjutkan ke pengadilan, atau

membatalkan tuntutan (rinvio a giudizio) atau mengarsipkan kasus.22

Amerika Serikat konsep sendiri mengenai hakim pemeriksaan pendahuluan

atau magistrate yang terlibat dalam proses pre trial sejak suatu proses penyeledikan

pidana dilakukan atau semenjak seseorang melakukan komplain atas suatu tindak

kejahatan.23 Pemeriksaan pendahuluan ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu

arraignment, preliminary hearing, dan pretrial conference.

Arraignment merupakan tahap dimana tersangka dihadapkan pada hakim atau

wakilnya yang terjadi setelah seseorang ditahan dimana tuduhan tersangka

dibacakan dan tersangka ditanyakan sikapnya bersalah atau tidak. Dalam

arraignment, tersangka dapat memilih : (1) menolak tuduhan yang dituduhkan

kepadanya dan diteruskannya proses peradilan ke tahap persidangan pengadilan

(not guilty); (2) mengakui tuduhan dan langsung dijatuhi pidana tanpa melalui

proses pengadilan (guilty plea); atau (3) nolo contender, memiliki dampak yang

hampir sama dengan sikap guilty plea, tetapi jika tersangka memilih nolo contendere

20 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2012, hlm. 6. 21 Supriyadi Widodo Eddyono, dkk, Op. cit., hlm. 26. 22 Ibid. 23 Anggara, dkk., Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang Hukum Acara

Praperadilan, (Jakarta, Institute for Criminal Justice Reform, 2014), hlm. 17.

Page 14: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

maka proses dilanjutkan ke pengadilan dan di pengadilan terdakwa tidak

menolak tuduhan penuntut umum.24

Jika tersangka mengaku bahwa dirinya tidak bersalah, maka proses akan

dilanjutkan pada tahap preliminary hearing.25 Preliminary hearing merupakan tahap

dimana penyidik dihadapkan kepada hakim guna dinilai apakah telah terdapat

alasan yang kuat (probable cause) bahwa tersangka merupakan pelaku tindak pidana

dan dapat ditahan serta diadili. Jika tidak ditemukan probable cause, maka perkara

dapat dihentikan.26 Dalam tahap ini salah satu yang diujikan adalah terkait alat

bukti. Setelah hakim berkesimpulan bahwa besar kemungkinan tersangka dapat

dipidana, maka tersangka pada hari yang telah ditentukan harus menjalani

persidangan dengan dewan juri.27 Namun sebelum dibawa ke jury untuk

disidangkan, tersangka dihadapkan dulu pada tahap pretrial conference yang

ditujukan untuk perencanaan sidang pengadilan, terutama mengenai pembuktian

dan hak-hak yang berperkara untuk memperoleh pembuktian dari pihak lain

(discovery).28

Begitu pentingnya alat bukti sehingga masing-masing negara mempunyai

mekanisme untuk mengawasinya. Pengujian mengenai alat bukti memang tidak

secara konseptual diakomodasi di dalam kewenangan praperadilan. Namun

secara tidak langung sebenarnya praperadilan sudah mengamanatkan untuk

dilakukannya pengujian terhadap alat bukti dengan disematkan pada

permohonan pengujian penangkapan, penahanan, dan yang paling baru terkait

pengujian penetapan tersangka. Pengujian terhadap alat buktilah yang seharusnya

dikedepankan. Bukan pengujian terhadap hal-hal yang bersifat administratif

belaka.

C. Implikasi Lemahnya Pengaturan Perihal Praperadilan Dalam KUHAP

Terhadap Pelaksanaan Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka

24 Ibid., hlm. 18. 25 Andi Hamzah dan RM Surachman, Op. cit., hlm. 152. 26 Supriyadi Widodo Eddyono, dkk, Op. cit., hlm. 17. 27 Andi Hamzah dan RM Surachman, Loc. cit. 28 Loebby Loqman, Op. cit, hlm. 52.

Page 15: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

Sebagai sebuah aturan yang berlaku mendampingi Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 21/PUU-XII/2014 jelas membawa warna baru terhadap pelaksanaan

proses peradilan di Indonesia khusunya praperadilan. Putusan a quo dengan serta

merta mengubah wajah dan paradigma praperadilan. Dengan diperluasnya

kewenangan praperadilan melalui adanya putusan a quo, dengan otomatis

semakin terbuka lebar pintu akses terhadap praperadilan. Permohonan yang

diajukan ke praperadilan menjadi meningkat seiring diperluasnya kewenangan

tersebut, khususnya berkaitan dengan pengujian penetapan tersangka.

Namun demikian, perubahan yang cukup signifikan di dalam konstruksi

praperadilan dikarenakan adanya putusan a quo tidak didukung dengan

konstruksi pengaturan yang jelas dan komprehensif guna menunjang konsep

praperadilan yang sejak awal sudah dinilai lemah oleh beberapa kalangan karena

minimnya aturan. Sebenarnya ini sudah terjadi bahkan sebelum adanya putusan a

quo. Ini yang pada akhirnya berimplikasi pada pelaksanaan praperadilan utamanya

mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka.

Perluasan kewenangan yang diberikan kepada praperadilan melalui putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang tidak diikuti dengan

penguatan konstruksi pengaturan praperadilan justru menimbulkan kekacauan

(chaos) dalam implementasinya. Bab X Bagian Kesatu yang hanya terdiri dari 7

pasal tidak mampu memberikan konstruksi pengaturan yang jelas dan

komprehensif terhadap pelaksanaan praperadilan, khususnya dalam hal

persidangan atau acaranya. Tidak ada satupun aturan baik di dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maupun di luar itu

yang memberikan pengaturan perihal hukum acara praperadilan. Padahal

praperadilan sebagai bagian dari kerangka hukum acara pidana seharusnya

menekankan pada asas legalitas dalam pelaksanaannya, baik berkaitan dengan

Lex Praevia, Lex Scripta, Lex Certa, dan Lex Stricta.

Dalam praktiknya, praperadilan didasarkan pada hukum acara perdata.

perdata. Ini hanya didasarkan pada praktik yang selama ini ada dikarenakan tidak

ada konstruksi pengaturan yang jelas mengenai hal tersebut. Praperadilan

dimaknai sebagai sebuah mekanisme pengujian terkait permasalahan formal,

Page 16: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

prosedural, dan administratif dalam sebuah proses perkara pidana. Oleh

karenanya hukum acara perdata yang menekankan pada pencarian kebenaran

formil dipakai sebagai hukum acara praperadilan.

Pemakaian hukum acara perdata sebagai guidance dalam pelaksanaan

praperadilan sebenarnya menimbulkan masalah. Hal ini dikarenakan yang

dibuktikan hakim adalah kebenaran formil. Dalam mencari kebenaran formil,

hakim hanya cukup membuktikan preponderance of evidence saja.29 Kebenaran formil

yang hendak dicari dalam konteks hukum acara perdata inilah yang sebenarnya

membuat praperadilan juga terkungkung di dalamnya. Praperadilan menjadi

sebuah mekanisme yang hanya menguji hal-hal yang bersifat formal prosedural

administratif saja atau dengan kata lain administratif review. Padahal dengan jika

hanya fokus pada membuktikan preponderance of evidence saja, maka tingkat

keterbuktiaannya lemah.30 Jika salah satu pihak baik pemohon maupun

termohon mengajukan bukti-bukti yang menurut undang-undang sah dan

memiliki kekuatan pembuktian, maka hakim dapat mengadili dengan memberi

putusan berdasarkan bukti-bukti yang diajukan itu.31 Examinating judge sering

dimaknai sebagai pengujian terhadap hal-hal yang bersifat administratif. Padahal

dalam konteks praperadilan, baik hal yang bersifat formil terkait administratif

dan hal yang bersifat materiil terkait alat bukti dan lain sebagainya harus secara

berimbang diuji di dalamnya. Ini juga yang kemudian membuat praperadilan

mandul di dalam praktiknya.

Absennya sebuah konstruksi pengaturan yang jelas dan komprehensif

mengenai praperadilan ini yang juga pada akhirnya membuat tidak adanya

kesatuan mengenai mekanisme pemeriksaan di dalam persidangan praperadilan.

Sehingga hakim dengan keyakinannya masing-masing dapat menafsirkan sendiri

mengenai jalannya proses pemeriksaan. Demikian pula dalam tahap

pembuktiannya, hakim mempunyai keyakinan masing-masing mengenai 29 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Liberty, 2002), hlm. 141. 30 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 46. Preponderance of evidence ini mengharuskan hakim untuk menemukan bahwa versi fakta penggugat

lebih probable daripada tidak. Artinya bobot bukti untuk salah satu pihak lebih besar dibandingkan pihak lain. Dengan demikian maka salah satu pihak haruslah menunjukkan atau membuktikan bukti lebih banyak.

31 Sandra Dini Febri Aristya, “Pembuktian Perdata Dalam Kasus Malpraktik Di Yogyakarta”, Mimbar Hukum, Edisi Khusus, November 2011, hlm. 194.

Page 17: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

mekanisme pembuktian di dalam praperadilan. Hal semacam itu terjadi di dalam

pengujian mengenai sah tidaknya penetapan tersangka. Tidak ada sebuah

kesatuan dalam pembuktian mengenai sah tidaknya penetepan tersangka. Jika

dilihat dari definisi secara legalistik formal tersangka yang ada di dalam Pasal 1

angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

yang menyebutkan bahwa “tersangka adalah seseorang yang karena

perbuatannya atau keadannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai

pelaku tindak pidana”, maka yang seharusnya menjadi concern di dalam

pembuktiannya adalah berkaitan dengan bukti permulaan yang patut tersebut.

Bukan mengenai hal-hal yang lain.

Namun hal tersebut sangat jauh berbeda dengan praktiknya. Misalnya saja

pada permohonan praperadilan Budi Gunawan yang berdasarkan putusan

praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :

04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel menyatakan bahwa tidak sahnya penetapan

tersangka atas nama Budi Gunawan karena KPK dinilai tidak mempunyai

kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dirinya.

Kemudian yang terbaru pada permohonan praperadilan Hadi Poernomo yang

berdasarkan putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :

36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel menyatakan bahwa tidak sahnya penetapan

tersangka atas nama Hadi Poernomo karena penyelidik dan penyidik independen

yang dipakai KPK dalam mengusut kasus Hadi Poernomo tidak sah

keberadaannya sehingga penyelidikan dan penyidikan termasuk penetapan

tersangka yang tidak sah.32 Berdasarkan dua putusan tersebut dapat disimpulkan

bahwa sebenarnya yang diperiksa oleh hakim di dalam praperadilan mengenai

pengujian sah tidaknya penetapan tersangka bukanlah penetapan tersangka itu

32 Putusan ini menjadi semacam anomali mengingat sudah banyak putusan pengadilan dalam perkara

korupsi yang secara jelas dalam pertimbangannya menerima keberadaan penyelidik dan penyidik independen dari KPK. Padahal tepat 1 bulan 10 hari diputus sebelum adanya putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel., Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberikan putusan terhadap obyek yang sama melalui putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 18/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. atas nama Suroso Atmomartoyo. Dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa keberadaan penyelidik dan penyidik independen KPK sah menurut hukum. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomot 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan ketentuan dalam Pasal 39 ayat (3) hanya berlaku untuk penyelidik dan penyidik yang berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan.

Page 18: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

sendiri, namun mengenai sah tidaknya penyelidikan dan penyidikan.33 Padahal

ketika berbicara pengujian mengenai sah tidaknya penetapan tersangka,

seharusnya yang diuji adalah alat bukti yang dipakai oleh penyidik dalam

menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Kalaupun pengujian mengenai sah tidaknya penetapan tersangka hanya

difokuskan pada alat bukti yang dipakai oleh penyidik dalam menetapkan

seseorang sebagai tersangka, ini juga menimbulkan masalah tersendiri.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, alat

bukti yang dimaksud adalah minimal dua alat bukti dari Pasal 184 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu :

keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa. Di

satu sisi penafsiran dua alat bukti menurut Mahkamah Konstitusi tersebut

membawa sebuah kepastian hukum di dalam hukum acara pidana. Namun di

satu sisi, pengujian dua alat bukti di dalam praperadilan sangat memungkinkan

mengancam pembuktian di dalam persidangan pokok perkara, apalagi dengan

tidak adanya konstruksi pengaturan yang jelas dan komprehensif serta

diperparah juga dengan inkonsistensi hakim praperadilan di dalam memeriksa

permohonan praperadilan. Hal ini dikarenakan pengujian terhadap alat bukti ini

masih menjadi subjektifitas hakim. Sampai tahap apa pengujian terhadap alat

bukti, semua tergantung pada hakim.

Dalam pengujian alat bukti, hakim seharusnya berpegang pada beberapa

parameter pembuktian yang sudah ada. Paling tidak ada enam hal yang menjadi

parameter di dalam pembuktian, antara lain :34

1. Bewijstheorie, adalah teori pembuktian yang dipakai sebagai dasar pembuktian

oleh hakim di pengadilan. Dalam konteks perkara perdata di Indonesia,

teori pembuktian yang dipakai adalah positief wettelijk bewijstheorie dimana

hakim terikat secara positif kepada alat bukti menurut undang-undang.

Artinya, jika dalam pertimbangan, hakim telah menganggap suatu perbuatan

terbukti sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut dalam undang-undang

33 Muhammad Tanziel Aziezi, “Pra Peradilan Penetapan Tersangka : Perjudian Hukum Yang

Terbiarkan”, https://www.selasar.com/politik/pra-peradilan-penetapan-tersangka-perjudian-hukum-yang-terbiarkan, diakses pada tanggal 4 Juli 2015.

34 Eddy O. S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta, Erlangga, 2012), hlm. 15 – 26.

Page 19: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

tanpa diperlukan keyakinan, hakim dapat menjatuhkan putusan. Sedangkan

dalam konteks perkara pidana di Indonesia, teori pembuktian yang dipakai

adalah negatief wettelijk bewijstheorie dimana dasar pembuktian itu menurut

pada keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang

secara negatif.

2. Bewijsmiddelen, adalah alat-alat bukti yang digunakan untuk membuktikan

telah terjadi suatu peristiwa hukum. Apa saja yang merupakan alat bukti

yang sah di pengadilan, semuanya diatur dalam hukum acara yang dalam

konteks perkara pidana diatur di dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

3. Bewijsvoering, yaitu penguraian cara bagaimana alat-alat bukti diperoleh,

dikumpulkan, dan disampaikan di depan sidang pengadilan. Apakah

perolehan, pengumpulan, dan penyampaian alat bukti tersebut dilakukan

dengan sah atau tidak.

4. Bewijslast atau burden of proof, adalah pembagian beban pembuktian yang

diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan suatu peristiwa

hukum. Dalam perkara perdata, yang diembani kewajiban untuk

membuktikan adalah pihak yang mendalihkan bahwa ia mempunyai sesuatu

hak atau untuk mengukuhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak

orang lain yang menunjuk pada suatu peristiwa. Hal ini berdasarkan asas

actori incumbit probatio yang berarti siapa yang menggugat dialah yang wajib

membuktikan. Demikian pula dalam perkara pidana berlaku asas actori

incumbit onus probandi yang berarti siapa yang menuntut dialah yang wajib

membuktikan sehingga jaksa penuntut umumlah yang diwajibkan

membuktikan kesalahan terdakwa.

5. Bewijskracht, adalah kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.

Penilaian tersebut merupakan otoritas hakim yang menilai dan menentukan

kesesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.

6. Bewijsminimmum, adalah alat bukti minimum yang diperlukan dalam

pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim.

Parameter di atas sebenarnya berkaitan dengan pembuktian di persidangan

pokok perkara. Namun pada dasarnya parameter tersebut juga dapat digunakan

Page 20: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

di dalam pembuktian di persidangan praperadilan, khususnya terkait pengujian

mengenai sah tidaknya penetapan tersangka yang pada pokoknya menguji alat

bukti yang dijadikan dasar seorang penyidik menetapkan seseorang menjadi

tersangka. Setidaknya ada empat parameter dari enam parameter di atas yang

dapat digunakan di dalam pembuktian di persidangan praperadilan mengenai

pengujian sah tidaknya penetapan tersangka, yaitu bewijslast atau burden of proof,

bewijsmiddelen, bewijsminimmum, dan bewijsvoering.

Berkaitan dengan bewijslast atau burden of proof, pada dasarnya di dalam

persidangan praperadilan menganut asas yang sama dengan asas yang ada di

dalam hukum acara perdata yaitu asas actori incumbit probatio yang menyebutkan

bahwa barang siapa yang mengaku mempunyai suatu hak atau mendasarkan pada

suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang

lain.35 Berdasarkan pasal tersebut, kedua belah pihak dapat dibebani beban

pembuktian. Terutama pemohon yang wajib membuktikan, sedangkan termohon

wajib membuktikan bantahannya. Pemohon tidak diwajibkan membuktikan

bantahan termohon, begitu pula termohon yang tidak diwajibkan membuktikan

bantahan pemohon. Jika pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalil dalam

permohonannya, maka dirinya harus dikalahkan. Sementara itu, jika termohon

tidak dapat membuktikan bantahannya, ia harus dikalahkan.36

Dalam konteks ini sebenarnya ada masalah, karena logika pembuktian

semacam itu dinilai membebani tersangka. Sebagai sebuah mekanisme komplain,

seharusnya praperadilan memberikan beban pembuktian pada pihak yang

memiliki kualifikasi lebih besar daripada tersangka yaitu penyidik. Penyidik yang

seharusnya membuktikan bahwa penetapan tersangka yang dilakukan olehnya

terhadap seseorang benar-benar sah. Dalam konteks pengujian terhadap

penetapan tersangka, seharusnya asas actori incumbit probatio tidak digunakan.

Harus ada semacam pembalikan beban pembuktian dari tersangka yang

diarahkan kepada penyidik sebagai pejabat yang berwenang.37 Hal ini mengingat

penguasaan alat bukti (possession of evidence) yang digunakan untuk menetapkan

35 Pasal 163 Herzine Indische Reglement, Pasal 283 Rechtsreglement Buitengewesten, dan Pasal 1865 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata. 36 Op. cit., hlm. 23. 37 Anggara, dkk., Op. cit., hlm. 80.

Page 21: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

seseorang sebagai tersangka ada pada penyidik bukan pada tersangka. Sehingga

tersangka sangat terbatas jika harus membuktikan terkait alat bukti tersebut.

Sudah seharusnya penyidik mempunyai kedudukan yang lebih baik untuk tampil

ke depan persidangan dengan membawa alat bukti yang ada.38 Posisi penyidik

dinilai lebih superior untuk membuktikan dibandingkan tersangka. Konsep inilah

yang seharusnya dipakai, tidak hanya dalam melakukan pengujian terhadap

penetapan tersangka namun juga dalam hal melakukan pengujian terhadap upaya

paksa baik itu penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.

Kalaupun logika beban pembuktian semacam itu tetap digunakan, maka

konsekuensinya hakim harus lebih aktif. Aktifnya hakim disini dimaknai sebagai

hakim yang secara aktif meminta termohon yang dalam hal ini penyidik untuk

membuktikan adanya alat bukti yang dipakai dalam menetapkan tersangka. Hal

ini dilakukan bilamana pemohon merasa butuh bantuan hakim untuk

menunjukkan alat bukti yang ada di dalam penguasaan termohon. Namun semua

itu tergantung dari hakim pemeriksa praperadilan pada masing-masing

permohonan. Ada hakim yang aktif, namun ada juga hakim yang benar-benar

pasif.

Sesuai dengan bewijsmiddelen, maka alat bukti yang dipakai untuk menetapkan

seseorang sebagai tersangka haruslah alat bukti yang sebagaimana diatur di dalam

Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan

keterangan terdakwa. Terhadap alat bukti tersebut harus dinilai secara kuantitatif

dan kualitatif. Secara kuantitatif, sesuai dengan bewijsminimmum maka harus ada

minimal dua alat bukti. Kemudian secara kualitatif, sesuai dengan bewijsvoering

dimana perolehan minimal dua alat bukti tersebut haruslah melalui cara yang

legal atau sah. Jadi pembuktian mengenai alat bukti di dalam persidangan

praperadilan tidak hanya terkait menunjukkan adanya dua alat bukti saja, namun

juga harus diuji mengenai apakah kedua alat bukti tersebut didapatkan dengan

cara yang sah atau tidak.

38 Letezia Tobing, “Tentang Sistem Pembalikan Beban Pembuktian”,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt513ff99d6eedf/tentang-sistem-pembalikan-beban-pembuktian.html, diakses tanggal 3 Juli 2015.

Page 22: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

Dalam hal di dalam persidangan praperadilan masing-masing pihak

khususnya termohon tidak mendalilkan adanya alat bukti yang digunakan untuk

menetapkan tersangka terhadap seseorang dan justru menyasar hal yang lain,

sudah seharusnya hakim dalam hal ini lebih aktif untuk meminta termohon

untuk menunjukkan alat bukti yang digunakan untuk menetapkan pemohon

sebagai tersangka. Kalaupun yang ditunjukkan oleh termohon misalnya

merupakan salinan atau fotokopi, sedangkan hakim menginginkan

ditunjukkannya bukti yang asli, maka hakim dapat meminta termohon

menunjukkannya di dalam persidangan. Setelah alat bukti tersebut ditunjukkan,

maka tahap selanjutnya adalah pembuktian terkait perolehan alat bukti tersebut.

Jadi tidak ada alasan bahwa termohon tidak menunjukkan alat bukti sehingga

penetapan tersangka harus dinyatakan tidak sah. Hakimlah yang harus aktif

dalam meminta hal tersebut kepada termohon.

Bewijsvoering menjadi sangat penting di dalam pembuktian di dalam

persidangan praperadilan, khususnya penetapan tersangka. Menurut Paul

Roberts dan Adrian Zuckerman, ada tiga prinsip yang mendasari perlunya

mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti, yaitu :39

Pertama, rights protection by the state. Terkadang upaya dari penyelidik atau

penyidik dalam upaya menemukan alat bukti terkadang dilakukan dengan

melanggar hak asasi calon tersangka atau tersangka. Dalam rangka

mengembalikan atau mempertahankan hak yang sudah dilanggar maka

diperlukan suatu mekanisme pengujian perolehan alat bukti untuk mengetahui

dan memastikan apakah alat bukti tersebut sudah benar-benar diambil secara

sah. Kedua, deterrence (disciplining the police). Pengesampingan atau pengecualian

alat bukti yang diambil atau diperoleh secara tidak sah, akan

mencegah/menghalangi para penyidik maupun penuntut umum mengulangi

kembali kesalahan mereka di masa mendatang. Apabila hakim secara rutin

mengecualikan/mengesampingkan alat bukti yang didapat secara tidak sah

tersebut, maka hal itu menjadi pesan yang sangat jelas kepada aparat penegak

39 Reda Mathovani, “Praperadilan Bukan Forum Koreksi Penetapan Tersangka?”,

http://budisansblog.blogspot.com/2015/02/praperadilan-bukan-forum-koreksi.html, diakses tanggal 4 Juli 2015.

Page 23: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

hukum bahwa tidak ada manfaatnya yang bisa diambil dari melanggar hukum,

kemudian motivasi dari aparat untuk melanggar hukum akan menurun drastis.

Ketiga, the legitimacy of the verdict. Dalam proses acara pidana diperlukan suatu

sistem yang dapat dipercaya sehingga masyarakat yakin terhadap sistem hukum

atau sistem peradilannya. Apabila hakim sudah terbiasa memaklumi aparat

penyidik dan penuntut umum menyajikan alat bukti yang di dapat secara tidak

sah, maka sistem hukum tersebut akan diragukan legitimasinya dan masyarakat

akan segera mengurangi rasa hormatnya. Poin dari bewijsvoering sendiri sebenarnya

berkaitan dengan pengesampingan alat bukti yang diperoleh secara tidak sah

(unlawful legal evidence). Ini yang kemudian nanti akan berimplikasi pada tidak

diakuinya alat bukti tersebut karena diperoleh dengan cara yang tidak sah

(exclusionary rules).

Pembuktian terkait alat bukti di dalam praperadilan harus dibatasi hanya

pada sisi kuantitas alat bukti yang berkaitan dengan bewijsminimmum dan sisi

kualitas alat bukti yang berkaitan dengan bewijsvoering. Namun hal ini tidak

berlaku pada penetapan tersangka karena tertangkap tangan. Hakim praperadilan

tidak diperkenankan sampai membuktikan kualitas alat bukti yang terkait dengan

nilai pembuktiannya (bewijskracht), karena terkait nilai pembuktian suatu alat bukti

diperiksa di persidangan pokok perkara bukan dalam forum praperadilan. Selain

itu, pembuktian di dalam praperadilan mengenai pengujian penetapan tersangka

juga harus memperhatikan kebenaran materiil dari surat-surat yang dikeluarkan

penyidik dalam konteks penetapan tersangka, semisal surat perintah

penyelidikan, surat perintah penyidikan, dan lain sebagainya. Jadi pemeriksaan

terhadap hal yang bersifat formil yang berupa surat dan hal yang bersifat materiil

seperti alat bukti menjadi seimbang. Seharusnya konteks examinating judge

dimaknai demikian, tidak timpang dalam arti hanya hal yang bersifat formil saja

yang diperiksa.

Namun demikian, selama belum ada konstruksi pengaturan yang jelas dan

komprehensif mengenai praperadilan, selama itu juga tidak akan ada

keseragaman di dalam praktik praperadilan khususnya di dalam pemeriksaan

persidangan. Semua dikembalikan kepada para pihak yang saling mendalilkan

baik pemohon maupun termohon. Sebenarnya tidak masalah ketika hakim aktif

Page 24: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

menentukan apa yang menjadi concern di dalam pembuktian. Namun hakim harus

memiliki pola pembuktian tersendiri yang dalam konteks pengujian sah tidaknya

penetapan tersangka fokus pada pengujian dua alat bukti. Hakim tidak boleh

mengikuti alur pembuktian dari pemohon seperti dalam beberapa kasus. Karena

jika keadaannya terus seperti itu, maka tidak akan pernah ada sebuah kepastian

hukum di dalam praktik praperadilan. Dengan demikian apa yang seharusnya

menjadi concern di dalam pembuktian praperadilan terkait penetapan tersangka

akan selalu menjadi hal yang bias.

Pembuktian yang bias karena tidak adanya persamaan persepsi dan

keyakinan dari masing-masing hakim praperadilan ini yang berpengaruh pada

output dari persidangan praperadilan yaitu putusan utamanya putusan yang

berwujud mengabulkan permohonan pemohon yang dalam hal ini menyatakan

penetapan tersangka yang dilakukan oleh penyidik tidak sah. Tidak adanya

konstruksi pengaturan yang jelas dan komprehensif mengenai praperadilan

terutama dalam hukum acaranya membuat pertimbangan hakim dalam

memberikan putusan terhadap tidak sahnya penetapan tersangka yang dilakukan

oleh penyidik menjadi bias. Pertimbangan hakim sangat dipengaruhi oleh dalil-

dalil yang diajukan oleh pemohon. Dengan demikian tidak ada sebuah bentuk

kesatuan hukum pada pertimbangan hakim dalam memutuskan tidak sahnya

penetapan tersangka karena masing-masing hakim akan berbeda pertimbangan di

dalam putusannya. Ini yang kemudian menyebabkan tingkat disparitas putusan

praperadilan sangat tinggi.

Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, Putusan praperadilan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel atas

nama Budi Gunawan dan putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan Nomor : 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel atas nama Hadi Poernomo inilah

contoh putusan praperadilan yang bias. Hal ini dikarenakan dasar yang dipakai

hakim dalam memberikan putusan terhadap tidak sahnya penetapan tersangka

terhadap masing-masing orang tersebut bukanlah berdasarkan alat bukti. Ini

yang kemudian menjadi sebuah masalah tersendiri bagi Komisi Pemberantasan

Korupsi sebagai penyidik dalam pelaksanaan putusan praperadilan tersebut. Hal

ini juga dikarenakan putusan tersebut tidak menyebutkan tindakan apa yang

Page 25: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

harus dilakukan oleh penyidik ketika penetapan tersangka dinyatakan tidak sah

oleh hakim pemeriksa praperadilan. Tidak disebutkannya tindakan penyidik

pasca penetapan tersangka dinyatakan tidak sah oleh hakim pemeriksa

praperadilan ini juga dikarenakan tidak adanya pengaturan yang jelas perihal hal

tersebut.40

Adanya disparitas putusan yang sangat tidak menguntungkan penyidik

dalam melaksanakan kerja-kerjanya ini yang kemudian membuat penyidik

menempuh upaya hukum meskipun secara yuridis formal terhadap putusan

praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik itu upaya hukum biasa

berupa banding dan kasasi maupun upaya hukum luar biasa yaitu kasasi demi

kepentingan hukum atau peninjauan kembali sebagaimana sudah dijelaskan di

dalam BAB II tentang Tinjauan Pustaka penulisan hukum ini.

Meskipun pada dasarnya terhadap putusan praperadilan tidak dapat

dilakukan upaya hukum apapun, namun semua itu diserahkan sepenuhnya oleh

pihak yang ingin mengajukan. Hal ini didasarkan pada filosofi upaya hukum itu

sendiri yang merupakan hak dari pihak yang merasa keberatan terhadap adanya

suatu putusan pengadilan. Karena merupakan hak, maka pada dasarnya semua

putusan pengadilan dapat dimintakan upaya hukum. Hanya saja nanti

pertimbangan hakim yang memeriksa dalam konteks upaya hukum itulah yang

akan menentukan, apakah terhadap upaya hukum suatu putusan tersebut tidak

dapat diterima, dikabulkan, ataupun ditolak. Hal tersebut yang kemudian

membuat diterobosnya aturan hukum oleh pihak yang ingin mengajukan upaya

40 Ini menjadi salah satu hal yang mendesak untuk diatur karena di dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak diatur mengenai hal tersebut. Jelas berbeda dengan pengujian sah tidaknya penangkapan dan penahanan, serta pengujian sah tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan yang di dalam Pasal 83 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sudah diatur implikasinya jika dinyatakan tidak sah.

Jikalau penyidik diperkenankan kembali menetapkan seseorang sebagai tersangka padahal sebelumnya sudah ada putusan mengenai tidak sahnya penetapan tersangka, hal tersebut termasuk nebis in idem ataukah tidak. Karena pada praktiknya ada pemohon atau tersangka yang mendalilkan hal semacam ini dalam praperadilan keduanya untuk penetapan tersangka keduanya. Lihat putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 32/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel dan putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 55/Pid.Prap/ 2015 /PN.Jkt.Sel atas nama Ilham Arief Sirajuddin.

Dalam hemat Penulis, penetapan tersangka yang kedua kalinya oleh penyidik terhadap seseorang yang sama bukanlah termasuk dalam nebis in idem. Karena jika ditarik dari istilahnya, nebis in idem berarti seseorang tidak dapat dituntut dua kali dengan perkara yang sama. Jadi istilah nebis in idem merujuk pada putusan pokok perkara, bukan putusan praperadilan.

Page 26: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

hukum, termasuk dalam konteks pengajuan upaya hukum terhadap putusan

praperadilan mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka.

Jika berbicara praktik di lapangan, menurut data dari Lembaga Kajian Untuk

Independensi Peradilan (LeIP) diketahui bahwa dalam kurun waktu 2009 sampai

2011 terdapat 130 putusan praperadilan yang diajukan kasasi dan sekitar 80

persen dari putusan tersebut diproses sampai pada putusan dikabulkan atau

ditolak.41 Sisanya 20 persen dinyatakan tidak dapat diterima karena hakim

beracuan pada Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung.42 Salah satu permohonan kasasi yang diterima adalah

terhadap putusan praperadilan pada kasus PT Newmont dimana sebelumnya

hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan status tahanan kota dan

wajib lapor terhadap enam orang petinggi PT Newmont tidak sah dengan

pertimbangan bahwa Polri dinilai tidak berwenang melakukan penyidikan karena

melanggar ketentuan dalam Surat Keputusan Bersama Penegakan Hukum

Lingkungan Satu Atap (SKB). Padahal ketentuan ini dinilai bertentangan dengan

KUHAP.43

Selain upaya hukum kasasi, dalam praktiknya upaya hukum peninjauan

kembali juga pernah diajukan oleh pihak yang merasa keberatan. Sebagai contoh

pada penghentian penuntutan oleh Kejaksaan terhadap Bibit Samad Riyanto dan

Chandra M. Hamzah. Putusan kasasi Nomor 152 PK/Pid/2010 menyatakan

permohonan peninjauan kembali yang diajukan pemohon terhadap putusan

praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

14/Pid.Prap/2010/PN.Jak.Sel tidak dapat diterima dengan alasan karena

terhadap putusan praperadilan tidak dapat diajukan upaya hukum biasa berupa

banding dan kasasi, maka terhadap putusan tersebut juga tidak dapat diajukan

upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali. Namun demikian, terhadap

41 Anonim, “LeIP : Ada 130 Kasus Yang Diterima Kasusnya Oleh MA”,

http://nasional.kompas.com/read/2015/02/22/17174431/LeIP.Ada.130.Kasus.Praperadilan.yang.Diterima.Kasasinya.oleh.MA.html, diakses tanggal 6 Juli 2015.

42 Ibid. 43 Anonim, “Permohonan Kasasi Terhadap Praperadilan Newmont Diterima Pengadilan”,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol11962/permohonan-kasasi-terhadap-praperadilan-newmont-diterima-pengadilan.html, diakses tanggal 6 Juli 2015.

Page 27: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

peninjauan kembali suatu putusan praperadilan pernah dikabulkan yaitu dalam

penghentian penyidikan Toh Keng Siong. Putusan kasasi nomor 87

PK/Pid/2013 menyatakan permohonan peninjauan kembali yang diajukan

pemohon terhadap putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Nomor 33/Pid.Prap/2012/PN.Jak.Sel diterima dengan alasan karena telah

terjadi penyelundupan hukum yaitu praperadilan yang melampaui kewenangan

Pasal 77 KUHAP.

Putusan peninjauan kembali nomor 87 PK/Pid/2013 tersebut pada

akhirnya menjadi salah satu hasil Rapat Pleno Kamar Pidana Mahkamah Agung,

yang dilakukan pada tanggal 19-20 Desember 2013 di Pusdiklat Mahkamah

Agung RI yang diwujudkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4

Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar

Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi

Pengadilan. Berdasarkan surat edaran tersebut, peninjauan kembali terhadap

putusan praperadilan tidak diperbolehkan kecuali dalam hal ditemukan indikasi

penyelundupan hukum.44 Ini yang kemudian mengikat hakim di bawah naungan

Mahkamah Agung.

Berdasarkan fakta tersebut, terlihat jelas bahwa ada ketidakkonsistenan

terhadap pelaksanaan upaya hukum praperadilan. Meskipun hal tersebut bukan

berkaitan dengan upaya hukum terhadap putusan praperadilan pengujian sah

tidaknya penetapan tersangka, namun bukan tidak mungkin hal tersebut juga

akan terjadi pada konteks upaya hukum terhadap putusan praperadilan pengujian

sah tidaknya penetapan tersangka. Sudah ada aturan yang mengatur mengenai

tidak diperbolehkannya upaya hukum terhadap putusan praperadilan kecuali

peninjauan kembali dalam hal terjadi penyelundupan hukum. Namun demikian

para pihak akan tetap mengajukan upaya hukum terhadap putusan tersebut

karena pada dasarnya ini merupakan hak. Pengajuan upaya hukum bagaikan

sebuah perjudian karena bisa saja tidak dapat diterima, dikabulkan, atau ditolak.

Semua bergantung hakim yang memeriksa upaya hukum tersebut. Ini yang

44 Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan

Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (Rumusan Hukum), hlm. 7.

Page 28: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

kemudian membuat masyarakat ada pada kondisi kebingungan karena tidak

adanya kepastian hukum terkait upaya hukum tersebut.

Dengan melihat inkonsistensinya praktik praperadilan yang terjadi, sudah

selayaknya pelaksanaan praperadilan tidak dibiarkan menjadi semacam bola liar

dimana hakim seolah-olah bertindak semaunya sendiri tanpa batasan yang jelas

dan tegas. Ketiadaan batasan yang jelas di dalam pelaksanaan praperadilan

tersebut dapat dimanfaatkan oleh hakim untuk berlindung di balik kemandirian

hakim untuk memutus berdasarkan kepentingan pihak tertentu.45 Hal ini yang

kemudian menjadi celah bagi mafia hukum untuk menghentikan suatu perkara

pidana. Padahal penghentian perkara sebagai modus mafia hukum telah lama

menjadi catatan kelam bagi penegak hukum konvensional.46 Oleh karena itu,

sudah menjadi suatu hal yang mendesak untuk membuat sebuah batasan

terhadap pelaksanaan praktik praperadilan khususnya mengenai pengujian

penetapan tersangka.

Mahkamah Agung disini sudah seharusnya mengambil inisiatif peran dalam

rangka mewujudkan sebuah kesatuan hukum. Sebenarnya pelaksanaan fungsi

Mahkamah Agung sebagai penjaga kesatuan hukum sudah melekat pada fungsi

Judex Juris yang dimiliki pada tahap kasasi.47 Dalam konteks tersebut, jika hakim

praperadilan mengadili melampaui kewenangan atau mengadili tidak berdasarkan

aturan hukum yang berlaku maka akan dikoreksi oleh Mahkamah Agung.48 Inilah

yang kemudian dapat dipakai oleh hakim lain sebagai pedoman dalam melakukan

pemeriksaan praperadilan selanjutnya. Namun berdasarkan Pasal 45A ayat (2)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung putusan praperadilan

tidak dapat diajukan kasasi, sehingga Mahkamah Agung tidak dapat menjalankan

fungsi penjaga kesatuan hukum melalui Judex Juris meskipun pada praktiknya ada

juga perkara praperadilan yang diterima kasasinya oleh Mahkamah Agung.

Sebenarnya Mahkamah Agung dalam fungsinya menjaga kesatuan hukum

dapat mengeluarkan semacam peraturan Mahkamah Agung atau surat edaran

45 Reza Syawawi, “Diktator Yudisial”, Kompas, Sabtu 22 Julil 2015, hlm. 6. 46 Ibid. 47 Muhammad Tanziel Aziezi, Loc. cit. 48 Eddy O. S. Hiariej, “Hal Ikhwal Praperadilan”, Kompas, Rabu 8 April 2015, hlm. 7.

Page 29: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

Mahkamah Agung guna memberikan pedoman dan panduan yang dapat

digunakan para hakim di bawah naungannya dalam melaksanakan praperadilan.

Karena selama ini, praktik praperadilan hanya diserahkan kepada masing-masing

hakim tanpa pernah dibuatkan sebuah pengaturan yang jelas dan komprehensif

sebagai guidance dalam pelaksanaan praperadilan. Hal ini bertujuan untuk

mewujudkan sebuah kesatuan hukum dalam melaksanakan pemeriksaan

praperadilan, khususnya mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka.

Adapun hal yang mendesak untuk diatur di dalam konteks praperadilan

mengenai pengujian terhadap sah tidaknya penetapan tersangka yaitu : Pertama,

teknis pemeriksaan praperadilan yang berkaitan dengan beban pembuktian

(bewijslast atau burden of proof). Apakah pemohon yang dibebankan beban

pembuktian ataukah termohon yang dibebankan beban pembuktian. Kedua,

teknis pemeriksaan praperadilan yang berkaitan dengan pembuktian. Apakah

pembuktian di dalam praperadilan hanya sebatas pengujian terhadap hal-hal yang

bersifat formil semisal surat-surat atau juga dapat menguji hal-hal yang bersifat

materiil seperti alat bukti ataukah dapat melebar ke hal-hal yang lain semisal

keabsahan lembaga atau aparat yang melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Ketiga, kalaupun yang diujikan berkaitan dengan alat bukti maka harus ada

parameter yang digunakan yaitu bewijsmiddelen, bewijsminimmum, dan bewijsvoering.

Pengujian alat bukti di dalam praperadilan hanya berkutat pada alat bukti yang

diatur di dalam undang-undang yang terhadapnya minimal ada dua alat bukti

yang didapatkan dengan cara yang legal atau sah. Keempat, mengenai implikasi

atau tindakan yang harus dilakukan oleh penyidik bilamana penetapan tersangka

yang telah dilakukan dinyatakan tidak sah oleh hakim pemeriksa praperadilan.

Kalaupun penetapan tersangka dilakukan kembali terhadap seseorang yang sama,

maka hal itu bukan merupakan nebis in idem. Kelima, upaya hukum terhadap

putusan praperadilan. Meskipun pemeriksaan praperadilan harus dilaksanakan

secara cepat yaitu 7 hari, namun pintu upaya hukum harus tetap dibuka. Hal ini

bertujuan agar Mahkamah Agung selalu dapat melakukan koreksi terhadap aspek

hukum putusan yang dinilai menyimpang. Dengan ini Mahkamah Agung akan

dapat menjaga kesatuan hukum terhadap hakim-hakim di bawahnya.

Page 30: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

Dengan adanya aturan yang jelas dan komprehensif diharapkan pelaksanaan

praperadilan menjadi lebih terarah. Masing-masing hakim akan terikat dan tidak

atas inisiatifnya sendiri menafsirkan proses pemeriksaan praperadilan sehingga

tidak memutus suatu perkara praperadilan secara serampangan. Dengan

demikian diharapkan adanya kesatuan hukum dalam pelaksanaan praperadilan

sehingga memberikan kepastian hukum bagi pihak yang terlibat di dalam

praperadilan yaitu tersangka dan penyidik.

D. Penutup

Perluasan kewenangan praperadilan berdasarkan putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dimana salah satunya mengakomodasi

pengujian mengenai sah tidaknya penetapan tersangka memang dapat dipahami

dari sudut pandang perlindungan terhadap hak asasi manusia. Namun demikian,

perluasan kewenangan praperadilan yang berkaitan dengan pengujian sah

tidaknya penetapan tersangka ini tidak dapat dipahami berdasarkan gagasan awal

pembentukan praperadilan. Pada hakikatnya, praperadilan digunakan sebagai

suatu forum bagi tersangka untuk komplain terkait upaya paksa yang dilakukan

aparat penegak hukum (baik penyidik maupun penuntut umum) terhadap

dirinya. Konsep praperadilan yang semacam itu sesuai dengan konsep habeas

corpus yang menginspirasi lahirnya praperadilan, karena standar habeas corpus

adalah penahanan yang merupakan salah satu bentuk upaya paksa bukan

penetapan tersangka.

Meski demikian, putusan a quo tetap menjadi hukum pelengkap KUHAP

dalam pelaksanaan praperadilan. Oleh karenanya yang perlu dilakukan adalah

membentuk suatu aturan yang jelas dan komprehensif guna mendukung

pelaksanaan praperadilan. Hal ini dikarenakan praktek yang ada selama ini

berlangsung sangatlah kacau sehingga tidak mencerminkan nilai-nilai kepastian

hukum. Mahkamah Agung dapat mengambil peran ini, mengingat Mahkamah

Agung merupakan lembaga yang menaungi hakim-hakim di Pengadilan Negeri.

Sembari menunggu aturan itu dikeluarkan, aparat penegak hukum khususnya

sudah selayaknya lebih berhati-hati dalam melakukan penyidikan dan penetapan

tersangka. Prosedur pelaksanaan penyidikan sampai penetapan tersangka harus

Page 31: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

benar-benar diperhatikan. Selain itu, Hakim pemeriksa permohonan

praperadilan juga seharusnya menghindari pemeriksaan yang sifatnya kurang

substansial. Hal ini menjadi penting dikarenakan seringnya tersangka maupun

penasihat hukum tersangka mendalilkan hal-hal yang sifatnya kurang subtansial

untuk diperiksa guna meloloskan dirinya dari dari jeratan penetapan tersangka.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Fuady, Munir, Teori Hukum Pembuktian, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006.

Hamzah, Andi, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Jakarta, Sinar

Grafika, 2002.

Hamzah dan RM Surachman, Andi, Pre Trial Justice & Discretionary Justice Dalam

KUHAP Berbagai Negara, Jakarta, Sinar Grafika, 2015.

Hiariej, Eddy O. S., Teori dan Hukum Pembuktian, Jakarta, Erlangga, 2012.

Loqman, Loebby, Pra-Peradilan di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1984.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty,

2002.

B. Hasil Penelitian

Anggara, dkk., Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang

Hukum Acara Praperadilan, Jakarta, Institute for Criminal Justice Reform, 2014.

Eddyono, Supriyadi Widodo dan Erasmus A. T. Napitupulu, Prospek Hakim

Pemeriksa Pendahuluan Dalam Pengawasan Penahanan Dalam Rancangan

KUHAP, Jakarta, Institute for Criminal Justice Reform, 2014.

Eddyono, Supriyadi Widodo ,dkk, Praperadilan di Indonesia : Teori, Sejarah, dan

Praktiknya, Jakarta, Institute for Ciminal Justice Reform, 2014.

C. Jurnal

Maesa Plangiten, “Fungsi Dan Wewenang Lembaga Praperadilan Dalam Sistem

Peradilan Di Indonesia”, Lex Crimen, Volume II, Nomor 6, Oktober

2013.

Sandra Dini Febri Aristya, “Pembuktian Perdata Dalam Kasus Malpraktik Di

Yogyakarta”, Mimbar Hukum, Edisi Khusus, November 2011.

Page 32: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

D. Peraturan Perundang-Undangan dan Rancangan Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Herzine Indische Reglement atau Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui.

Rechtsreglement Buitengewesten atau Reglemen Untuk Daerah Seberang.

Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2002 Nomor 137 dan Penjelasan dalam Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250.

Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang

Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung

Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan

(Rumusan Hukum).

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun

2012.

E. Putusan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April

2015.

Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :

18/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :

32/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel

Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :

36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :

55/Pid.Prap/2015 /PN.Jkt.Sel.

F. Surat Kabar dan Internet

Reza Syawawi, “Diktator Yudisial”, Kompas, Sabtu 22 Julil 2015.

Eddy O. S. Hiariej, “Hal Ikhwal Praperadilan”, Kompas, Rabu 8 April 2015.

Adnan Buyung Nasution, “Praperadilan Versus Hakim Komisaris”,

http://jodisantoso.blogspot.com/2008/02/praperadilan-versus-hakim-

komisaris.html, diakses pada tanggal 4 Juli 2015.

Page 33: Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Dalam · PDF fileHukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. ... argumentasi yang secara garis besar berkaitan dengan

Anonim, “LeIP : Ada 130 Kasus Yang Diterima Kasusnya Oleh MA”,

http://nasional.kompas.com/read/2015/02/22/17174431/LeIP.Ada.13

0.Kasus.Praperadilan.yang.Diterima.Kasasinya.oleh.MA.html, diakses

tanggal 6 Juli 2015.

Anonim, “Permohonan Kasasi Terhadap Praperadilan Newmont Diterima

Pengadilan”,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol11962/permohonan-

kasasi-terhadap-praperadilan-newmont-diterima-pengadilan.html, diakses

tanggal 6 Juli 2015.

Anonim, “Saksi Ahli KPK : Penetapan Tersangka Bukan Upaya Paksa”,

http://nasional.kompas.com/read/2015/04/06/13384451/Saksi.Ahli.K

PK.Penetapan.Tersangka.Bukan.Upaya.Paksa.html, diakses tanggal 11

Juni 2015.

Herry F. F. Battileo, “Penetapan Status Tersangka Professional Judgement

Penyidik”, http://www.suryantt.com/suryantt-berita-penetapan-status-

tersangka—‘profesional-judgement’-penyidik---.html, diakses tanggal 22

Juni 2015.

Letezia Tobing, “Tentang Sistem Pembalikan Beban Pembuktian”,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt513ff99d6eedf/tentang-

sistem-pembalikan-beban-pembuktian.html, diakses tanggal 3 Juli 2015.

Muhammad Tanziel Aziezi, “Pra Peradilan Penetapan Tersangka : Perjudian

Hukum Yang Terbiarkan”, https://www.selasar.com/politik/pra-

peradilan-penetapan-tersangka-perjudian-hukum-yang-terbiarkan, diakses

pada tanggal 4 Juli 2015.

Reda Mathovani, “Praperadilan Bukan Forum Koreksi Penetapan Tersangka?”,

http://budisansblog.blogspot.com/2015/02/praperadilan-bukan-forum-

koreksi.html, diakses tanggal 4 Juli 2015.