58
I PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM PENETAPAN TERSANGKA SKRIPSI Disusun Oleh : Nama : Upik Puspitasari NIM : 017201605006 FAKULTAS HUMANIORA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM CIKARANG JANUARI, 2020

PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

I

PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT

BUKTI DALAM PENETAPAN TERSANGKA

SKRIPSI

Disusun Oleh :

Nama : Upik Puspitasari

NIM : 017201605006

FAKULTAS HUMANIORA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

CIKARANG

JANUARI, 2020

Page 2: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

II

Page 3: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

III

Page 4: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

IV

Page 5: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

V

Page 6: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

VI

THE REVIEW ON THE MINIMUM REQUIREMENTS OF

PROOF IN DETERMINING SUSPECT

Abstract

In revealing crime, evidence is needed as a basis for forming the conviction of law

enforcers that a crime has indeed occurred and it is suspected that there is someone

who committed it. This evidence is collected in inventory, and is referred from the

first time law enforcement will determine simeone as a suspect. Evidence undergo

an interpretation phase. When the investigator wants to establish a person as a

suspect, for example, evidence as a basis for determining a suspect are mentioned

as preliminary evidence or sufficient evidence. Both of these are interpreted as

evidence plus a police report. Dertemination of this kind becomes problematic

becase the determination of suspects sounds very easy. Then came the verdict No.

21/PUU-XII/2014, which gives interpretation that ‘suffcient evidence’ or ‘suffcient

preliminary evidence’ interpreted to be merely constitutional if interpreted as at

least two pieces of evidence. These types of evidence can be found in Article 184 of

the Criminal Procedure Code. In other words, if there are two of the evidence in

Article 184 of the Criminal Procedure Code, that is suffcient evidence. The problem

is, suffcient evidence in a quantity frame like this leaves an interesting gap to be

examined, a gap regarding the qualityof evidence that should also be sought,

considered and tesyed by law enforcement. So, what is called qualitative evidence

will be reviewed an comparison of the Dutch legal system and united states of

America.

Keywords : Evidence, relevan, reliabel, non-modifiable and prosedural.

Page 7: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

VII

PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI

DALAM PENETAPAN TERSANGKA

Abstrak

Dalam mengungkapkan kejahatan dibutuhkan bukti/alat bukti sebagai dasar

pembentuk keyakinan penegak hukum bahwa memang telah terjadi kejahatan dan

dicurigai bahwa ada seseorang tertentu yang melakukannya. Bukti/alat bukti ini

dikumpulkan, diinventarisir, dan dirujuk sejak pertama kali penegak hukum akan

menetapkan seseorang sebagai tersangka. Bukti dan alat bukti mengalami fase

penafsiran. Ketika penyidik hendak menetapkan seseorang menjadi tersangka,

misalnya, bukti dan alat bukti sebagai dasar penetapan tersangka disebutkan sebagai

bukti permulaan atau bukti yang cukup. Kedua hal tersebut ditafsirkan sebagai satu

alat bukti ditambah laporan polisi. Penentuan semacam ini menjadi problematik

karena penetapan tersangka terdengar menjadi sangat mudah. Lantas muncullah

Putusan No. 21/PUU-XII/2014, yang memberi penafsiran bahwa ‘bukti yang

cukup’ atau ‘bukti permulaan yang cukup’ ditafsirkan menjadi semata-mata

konstitusional jika diartikan sebagai minimal dua alat bukti. Jenis-jenis alat bukti

itu dapat ditemukan pada Pasal 184 KUHAP. Dengan kata lain, jika ada dua dari

sejumlah alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP tersebut, maka itu sudah

dikategorikan bukti yang cukup. Yang menjadi persoalan, bukti yang cukup dalam

bingkai kuantitas seperti ini menyisakan celah yang menarik untuk diteliti, celah

mengenai kualitas alat bukti yang seharusnya juga dicari, dipertimbangkan, dan

diuji oleh penegak hukum. Maka, apa yang disebut alat bukti yang kualitatif itu

akan diulas dengan perbandingan terhadap sistem hukum Belanda dan Amerika

Serikat.

Kata kunci : alat bukti, relevan, reliabel, prosedural, non –modifiable

Page 8: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

VIII

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... I

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... II

DEKLARASI SKRIPSI .............................................................................. III

KATA PENGANTAR ................................................................................ IV

ABSTRAK ................................................................................................. VI

DAFTAR ISI .............................................................................................. IX

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 7

1.3 Metodologi Penelitian ........................................................................... 7

1.4 Arti Penting Penelitian ........................................................................ 9

1.5 Kerangka pemikiran ........................................................................... 10

1.6 Sistematika Penulisan ........................................................................ 12

BAB II

ALAT BUKTI DAN PEMBUKTIAN

2.1 Implikasi Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 ............................... 16

2.2 Pembuktian di Amerika Serikat ....................................................... 18

2.3 Pembuktian di Belanda ...................................................................... 22

2.4 Indonesia (Teori dan Putusan Pengadilan) ................................... 24

BAB III

KUALITAS ALAT BUKTI: AMERIKA, BELANDA, INDONESIA

3.1 Kualitas Alat Bukti ............................................................................. 30

3.1.1 Relevan ................................................................................... 30

3.1.2 Prosedural .............................................................................. 33

3.1.3 Non-modifiable ...................................................................... 35

3.2 Alasan Dua Alat Bukti Dipandang Cukup ...................................... 37

3.3 Kelemahan Paradigma Alat Bukti Yang Kuantitatif .................... 38

Page 9: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

IX

BAB IV

ANALISA

4.1 Derajat Kecukupan Dua Alat Bukti Dalam Penetapan Tersangka

..................................................................................................................... 41

4.1.1 Efektivitas antara Syarat Kuantitatif dan Kualitatif Terhadap Dua

Alat Bukti .............................................................................................. 43

BAB V

PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 45

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 46

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................. 49

Page 10: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sebuah peristiwa tindak pidana didorong atas kehendak untuk melakukan

tindakan, apapun tindakan itu, yang menguntungkan bagi dirinya dengan cara

mengabaikan serta melanggar aturan hukum yang berlaku, dan merugikan orang

lain.1 Meski untuk beberapa kejahatan lainnya, seperti pembunuhan karena

dendam, keuntungan bagi diri pelaku tidak terlalu jelas, namun hasrat pembalasan

dendam dapat dipertimbangkan sebagai kelegaan bagi diri pelaku, di sisi lain

penderitaan bagi korban menjadi akibatnya.

Dalam mengungkap kejahatan, penegakan hukum pidana perlu cermat dan

berdasar pada alat bukti atau barang bukti yang nyata,2 mengingat tujuan dari

adanya peradilan pidana itu sendiri yaitu untuk mengungkap suatu kebenaran dari

tuduhan atas telah dilakukannya tindak pidana yang mana pengungkapan ini akan

berlangsung di suatu persidangan. Persidangan berguna untuk membawa titik

terang apakah seseorang yang disangka dan didakwa tersebut benar-benar telah

melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

Berbicara mengenai sistem pembuktian, pada hakekatnya proses

pembuktian bermula sejak diketahui adanya suatu peristiwa tindak pidana. Dimulai

dari penyelidikan, demi memisahkan peristiwa hukum dengan peristiwa sosial

untuk menentukan apakah penyidikan perlu dilakukan.3 Jika penyidikan dirasa

harus dilakukan, maka penegak hukum kepolisian akan menentukan penyidik,

mengolah tempat kejadian perkara, mengumpulkan bukti, dan dapat mengenakan

upaya paksa (penetapan tersangka, penahanan, penyitaan, penggeledahan,

penyadapan).

1 Nugroho, B. Peranan Alat Bukti Dalam Perkara Pidana. Jurnal Yuridika, (Volume 32, 2017). Hlm 19. 2 Sukarna, K. Alat Bukti Petunjuk dalam Proses Peradilan Pidana. Prosiding Seminar Nasional, (2014). Hlm 350. 3 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981, Pasal 1 Butir (4) KUHAP.

Page 11: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

2

Agar proses penegakan hukum demikian dapat kredibel maka dalam suatu

pemeriksaan harus dilakukan secara berkala, tidak ada rekayasa, serta merta bebas

dari paksaan maupun ancaman, mulai dari penangkapan sampai dengan penjatuhan

hukuman. Hal ini menjadi penting dikarenakan akan terdapat asasi manusia (HAM)

seseorang yang dipertaruhkan yakni tersangka/terdakwa.4 Penegakan hukum mulai

dari penyelidikan, penuntutan, proses di muka hakim, hingga pemasyarakatan tidak

dapat dibenarkan jika dijalankan dengan melanggar hukum, karena menindak

pelanggar hukum dengan cara-cara yang juga melanggar hukum hanya akan

menciptakan kejahatan baru.

Mengenai sistem pembuktian, yang mana hal ini bertujuan guna mengetahui

bagaimana cara meletakkan hasil sebuah pembuktian terhadap perkara yang sedang

diperiksa, telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) Bab XVI tentang Pemeriksaan di Sidang Pengadilan. Pasal 183

(KUHAP) dalam sistem pembuktian menggunakan teori pembuktian negatif yang

berbunyi:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

seseorang kecuali apabila dengan sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar

terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya.”

Dari bunyi pasal di atas dapat dipahami apa yang dimaksud dengan

pembuktian negatif. Pembuktian negatif ialah prinsip pembuktian yang membatasi

hakim untuk menilai alat bukti dan barang bukti yang dihadirkan di hadapannya

secara limitatif yakni bahwa alat bukti tersebut minimal dua alat bukti. Pembuktian

negatif mengantarkan hakim kepada keyakinannya terhadap terjadi atau tidak

terjadi suatu tindak pidana dengan mendasarkan pada dua alat bukti. Dengan dua

4 Hamzah, P. D, (2016). Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 249.

Page 12: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

3

alat bukti, secara sederhana, barulah hakim dapat menambahkan keyakinannya

dalam vonis yang hendak diberikan.

Dari pasal di atas juga ditemukan kalimat “dengan sekurang-kurangnya.”

Jadi, pasal tersebut mengatur mengenai “minimum kuantitas alat bukti” yang

dianggap cukup dalam membuktikan kesalahan tersangka.5 Kurang dari dua, maka

hakim tidak dapat menjatuhkan vonis. Lebih dari dua, tidak masalah. Dengan

demikian, pembuktian di sini menjadi kuantitatif.

Lantas, apa saja itu alat bukti? Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan

macam alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,

keterangan terdakwa. Artinya, di luar dari apa yang ditentukan oleh Pasal 184 ayat

1 KUHAP tidak dapat di kategorikan sebagai alat bukti. Sejumlah alat bukti tersebut

di definisikan di dalam KUHAP yakni:

1. Keterangan Saksi

Keterangan saksi adalah keterangan yang didengar, dilihat, dan

dialami sendiri dengan didukung atas dasar pengetahuannya

(Pasal 1 angka 27 KUHAP);

2. Keterangan Ahli

Keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki

keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat

titik terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan

(Pasal 186 KUHAP);

3. Surat

Surat merupakan yang berita acara yang berisikan

penerjemahan suatu isi pikiran (Pasal 187) KUHAP;

4. Petunjuk

Menyatakan bahwa petunjuk adalah perbuatan, atau keadaan

yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang

5 M. Yahya Harahap, S, (2015). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 283.

Page 13: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

4

lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri yang menandakan

bahwa telah terjadi tindak pidana dan adanya pelaku. Dalam

Pasal 188 ayat (2) petunjuk hanya dapat diperoleh dari

keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa (Pasal 188

KUHAP);

5. Keterangan Terdakwa

Menyatakan bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang

terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan

atau yang diketahui sendiri (Pasal 189 KUHAP).

Alat Bukti Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi

Mengenai alat bukti, penting untuk mempelajarinya dari proses penyidikan

yang berujung pada penangkapan dan penetapan tersangka. Dalam penangkapan

seseorang menjadi tersangka sudah diatur dalam KUHAP. Yang mana definisi

penangkapan yaitu diatur Pasal 1 angka 20 KUHAP adalah :

“Suatu tindakan penyidik berupa pengekangan

sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa

apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan

penyidik atau penuntutan dan atau peradilan dalam

hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-

undang ini”

Dikarenakan, pada fase ini, siapa itu tersangka dan berdasarkan apa

seseorang itu ditetapkan menjadi tersangka akan bermula. Pasal 1 angka (14)

KUHAP relevan dengan hal tersebut, yakni berbunyi:

“Tersangka adalah seseorang yang karena

perbuatannya berdasarkan bukti permulaan patut

diduga sebagai pelaku tindak pidana”

Pada frase di atas ditemukan kata ‘bukti permulaan’ yang mana menjadi

dasar untuk menetapkan tersangka. Setelah tersangka telah ditetapkan, lazimnya

diikuti oleh penangkapan. Merujuk Pasal 17 KUHAP, lagi-lagi bukti permulaan

Page 14: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

5

disinggung. Pasal 17 berbunyi: “Perintah penangkapan dilakukan terhadap

seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan

yang cukup.”

Bukti permulaan tidak mendapatkan penjabaran lebih lanjut di dalam

KUHAP. Jabaran lebih lanjut dapat ditemukan pada Peraturan Kapolri No. 14

Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Pasal 1 angka (21)

memaparkan bukti permulaan sebagai dasar atas dugaan seseorang telah melakukan

tindak pidana. Bukti permulaan tersebut berupa laporan polisi ditambah 1 (satu) alat

bukti yang sah yang digunakan sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan.

Bukti permulaan dalam definisi yang diberikan oleh Peraturan Kapolri di

atas dirasa terlalu sederhana karena bentuk bukti laporan polisi sendiri dapat dibuat

oleh siapun pun tidak menutup kemungkinan akan dapat direkayasa. Sementara,

dengan kualifikasi yang sederhana seperti itu seseorang akan ditetapkan sebagai

tersangka dan dapat dikenakan upaya paksa. Upaya paksa niscaya bertabrakan

dengan hak asasi manusia seseorang yang dengan sederhananya tadi telah

ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini akan berdampak pada terganggunya kepastian

hukum bagi warga-negara.6

Oleh karena itu, bukti permulaan harus mendapatkan kejelasan yang lebih

kuat dan memadai.7 Jika laporan polisi dipertimbangkan kedudukannya sama

dengan alat bukti, di sini letak kerawanannya dikarenakan laporan polisi pada

prinsipnya ialah laporan yang dapat dibuat oleh setiap orang. Sementara, bukti

tambahannya, selain laporan polisi, menurut Peraturan Kapolri di atas, cukup hanya

berjumlah satu alat bukti. Hal ini kemudian memunculkan persoalan, yaitu

persoalan yang terjadi pada kualitas alat bukti dalam mempertersangkakan

seseorang sehingga diujikanlah persoalan tersebut ke hadapan Mahkamah

Konstitusi yang diajukan oleh pemohon. Kemudian dituangkan dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014.

6 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Hlm 57. 7 Ibid 58.

Page 15: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

6

Alat Bukti Sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi

Sebelum adanya putusan mahkamah konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-

XII/2014, alat bukti untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka yaitu adanya

bukti permulaan yang cukup. Pada frasa tersebut dianggap sebagai penyebab suatu

perubahan terhadap upaya praperadilan yang ada di Indonesia. Disebut sebagai

bukti permulaan yang diperlukan karena untuk menduga adanya tindak pidana yang

dilakukan oleh seseorang. Kemudian dalam hal tersebut dapat menimbulkan

kesewenang-wenangan oleh penegak hukum hingga bertentangan dengan prinsip

due process of law serta melanggar hak dan kepastian hukum yang adil.8

Putusan MK tersebut mengubah frase mengenai alat bukti menjadi bukti

permulaan yang cukup yaitu dengan 2 (dua) alat bukti. Sejak sudah adanya putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, dalam praktek menjadi

yurisprudensi hakim merujuk pada apa yang disebut bukti permulaan yang cukup

dan bagaimana hakim menjatuhkan putusannya. Sehingga Mahkamah Konstitusi

mendefinisikan bukti permulaan yang cukup dalam penetapan tersangka menjadi

minimal dua alat bukti (menjadi sama dengan alat bukti minimal dalam pengadilan

agar hakim dapat menjatuhkan vonisnya).

Sebuah perkara pidana hakim MK memberikan tafsir bahwa penetapan

tersangka dapat dilakukan sepanjang adanya minimal dua alat bukti dan tidak lagi

menggunakan frasa “bukti permulaan yang cukup”. Alat bukti yang terdapat pada

Pasal 184 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 1 angka 14 dan Pasal 17 KUHAP

mengenai frasa “bukti permulaan yang cukup”. Artinya, dua alat bukti tersebut

harus guna mendasari sangkaan penyidik.9 Sehingga ‘bukti permulaan yang cukup’

tidak lagi digunakan atau setidak-tidaknya harus diartikan minimal dua alat bukti.

Meski begitu, penulis merasa ada yang terlewat dari Putusan MK di atas.

Yang terlewat adalah alat bukti yang menjadi pokok pengujian akhirnya ditafsirkan

secara kuantitatif, tidak kualitatif. Kualitatif di sini penulis di dapat secara

sederhana sampaikan ialah kualitas dari alat bukti: apakah alat bukti tersebut

8 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Hlm 92. 9 Ibid. Hlm 94.

Page 16: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

7

reliabel, apakah prosedur hukum sudah dipatuhi dalam pengumpulan alat bukti,

apakah alat bukti tersebut obyektif dan tidak ada dimasukkan rekayasa sedikit pun.

Oleh karena itu, memang Putusan MK tersebut patut diapresiasi demi

pengembangan penegakan hukum yang lebih protektif terhadap hak asasi manusia,

namun di saat yang bersamaan penulis merasa penting untuk meneliti apakah

kuantifikasi alat bukti sebagaimana berkembang di dalam KUHAP dan Peraturan

Kapolri yang lantas berlanjut hingga Putusan MK tersebut sudah sepatutnya? Atau

sebaiknya turut dipersoalkan juga kualitas alat bukti? Guna membahas hal-hal

tersebut penulis kemudian menyusun penelitian dengan judul Pengkajian Kembali

Syarat Minimal Alat Bukti Dalam Penetapan Tersangka.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah penelitian merupakan suatu pernyataan yang memepersoalkan

keberadaan objek penelitian, atau apa yang menjadi titik fokus suatu penelitian.10

Berdasarkan pada uraian dalam Bab Pendahuluan di atas, maka rumusan

permasalahan yang menjadi pertanyaan penelitian pada skripsi ini adalah:

Sampai derajat mana penetapan kriteria kuantitatif 2 (dua) alat bukti

berdasarkan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 memiliki sifat kecukupan

dalam penetapan tersangka ?

1.3 Metodologi Penelitian

Skripsi ini menggunakan metode yuridis normatif yang artinya adalah suatu

prosedur penelitian ilmiah guna menemukan keberadaan suatu kebenaran

berdasarkan analisa logika hukum dari sisi normatifnya.11 Dengan melakukan

pendekatan studi terhadap aturan hukum yang berlaku utamanya seperti KUHP,

putusan Mahkamah Konstitusi, putusan pengadilan, serta peraturan Kapolri.12

10 Ronny Kountur, (2007) Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta: Buana Printing. Hlm 35. 11 Jhonny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang, 2007). Hlm 57. 12 Rianto Adi, (2005). Metode Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit. Hlm 92.

Page 17: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

8

Untuk menjawab pertanyaan penelitian pada skripsi ini, terkait aturan hukum, maka

aturan yang diteliti ialah aturan yang bersubstansi pengaturan terhadap alat bukti,

di antaranya KUHAP dan peraturan Kapolri.

Mengingat bahwa penulis merasa tidak cukup hanya mempelajari sistem

hukum di Indonesia terkait alat bukti, untuk itu penulis mencoba melakukan

penelitian dengan turut memelajari penerimaan alat bukti di Belanda dan Amerika

Serikat. Perbandingan sistem hukum dimaksudkan untuk melihat secara

menyeluruh dan mendetail aspek-aspek penetapan tersangka dari negara tersebut

dan membandingkannya dengan Indonesia. Serta menjadikan hasil perbandingan

untuk pengembangan hukum acara pidana Indonesia dan mengetahui kategori alat

bukti yang disebut ‘cukup’ pada dua negara tersebut.

Turut juga dipelajari dalam skripsi ini ialah putusan pengadilan, baik

pengadilan umum (peradilan dalam Mahkamah Agung) maupun putusan

Mahkamah Konstitusi. Putusan peradilan diunduh dari situs

www.putusan.mahkamahagung.go.id, yang mana putusan cukup dominan yang

diunduh adalah putusan praperadilan. Putusan praperadilan menjadi penting untuk

diteliti pada skripsi ini karena pada proses peradilan, penetapan tersangka dan alat

bukti menjadi persoalan yang dibawa ke hadapan persidangan.

Selanjutnya ialah putusan Mahkamah Konstitusi. Adapun setidaknya

putusan yang diteliti ialah Putusan No. 21/PUU-XII/2014 di mana putusan ini

sangat penting karena memberikan definisi ekstensi mengenai frase ‘bukti yang

cukup’ atau ‘bukti permulaan yang cukup’. Putusan ini lantas membawa pengaruh

pada penegakan hukum apapun yang membutuhkan alat bukti di dalamnya, baik

pada fase penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.

Dalam penelitian ini analisis yang digunakan adalah analisis kuslitatif yang

merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu dengan

mengumpulkan semua data yang diperoleh dari bahan hukum primer dan

sekunder.13 Data yang digunakan yaitu literatur hukum yang ditulis oleh penulis

hukum dalam negeri. Untuk mendapatkan aspek aturan hukum mengenai alat bukti,

13 Soerjono Soekanto, (2007). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press. Hlm 25

Page 18: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

9

selain menggunakan literatur hukum, penulis juga membaca jurnal-jurnal terkait

bersama dengan hasil penelitian lainnya (tulisan berbentuk tesis) yang mengulas

mengenai alat bukti dan alat bukti elektronik. Sebagai batasan, meski membaca

mengenai alat bukti elektronik yang diulas sepaket dengan alat bukti (alat bukti

biasa), skripsi ini tidak akan membahas alat bukti elektronik sedikit pun.

1.4 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan mengenai latar belakang masalah di atas, maka tujuan penelitian

ini adalah:

a. Tujuan penulis dalam penelitian guna mengkaji pelaksanaan dalam

menetapkan alat bukti yang sebagimana sudah diatur dalam KUHAP

untuk menetapkan tersangka;

b. Mengkaji kembali mengenai kekuatan 2 (dua) alat bukti dianggap cukup

dalam penetapan tersangka;

1.4.2 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari beberapa sudut pandang yaitu kegunaan

dari sudut pandang secara teoritis dan sudut pandang secara praktis, yaitu

sebagai berikut :

a. Kegunaan Teoritis

Penulis mengaharapkan hasil penelitian ini dapat berguna untuk

memperkaya dan memperluas terkait dalam kajian ilmu hukum pidana,

khususnya yang berkaitan dengan alat bukti dalam mempertersangkakan

seseorang.

b. Kegunaan Praktis

Hasil dari penelitian skripsi ini dapat menjadi bahan rujukan seminimal

mungkin bagi diskursus hukum mengenai alat bukti.

Page 19: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

10

1.5 Kerangka pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan sebuah keberadaan hukum sebagaimana

merupakan aturan yang sangat dibutuhkan dalam setiap di kehidupan sosial

masyarakat karena hukum dapat mewujudkan dan menjaga tatanan kehidupan yang

tertib. Peraturan-peraturan memang sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat

demikian juga dalam hubungannya dengan negara. Kepastian hukum harus dijaga

demi keharmonisan dan keamanan negara, maka hukum positif harus selalu ditaati,

meskipun isinya kurang memiliki keadilan serta juga kurang sesuai dengan tujuan

hukum. Pada penelitian ini dapat digambarkan ke dalam kerangka berfikir sebagai

berikut :

Perlu Pengkajian

Metode : Perbandingan Hukum

Elemen 1

(Syarat Minimal Alat Bukti)

Elemen 2

(Penetapan Tersangka)

Pra Putusan MK

“Bukti yang

Cukup”

Pasca Putusan MK

“Sekurang-kurangnya 2

alat bukti (bukti

permulaan yang cukup)

Pra Putusan

MK “Bukan

Objek

Praperadilan”

Pasca Putusan

MK “Objek

Praperadilan”

Amerika Serikat Belanda

Analisa karakter tradisi hukum

dan regulasi di AS mengenai alat

bukti dalam penetapan tersangka

dengan mencari kelemahan dan

kelebihannya.

Analisa karakter tradisi hukum dan

regulasi di Belanda mengenai alat

bukti dalam penetapan tersangka

serta mencari kelemahan dan

kelebihannya

Page 20: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

11

Penyelidikan merupakan sebuah tindakan yang dilakukan oleh penyidik

ketika sudah dilakukannya proses penyidikan guna menemukan orang yang diduga

melakukan tindak pidana. Dalam proses inilah penyidik dapat menetapkan status

tersangka kepada orang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti-

bukti yang ditemukan. Dengan kata lain tugas utama penyidik yaitu mencari serta

mengumpulkan bukti permulaan, hal ini ditunjukan untuk membuat titik terang

suatu tindak pidana yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Pada Pasal 1

angka 2 KUHAP menyatakan :

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan dalam hal

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini

untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang

dengan bukti dapat membuat terang tindak pidana

yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”

Bukti permulaan sebagaimana sudah diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat 14

KUHAP, yang menyatakan bahwa:

“Tersangka adalah seseorang yang karena

perbuatannya berdasarkan bukti permulaan patut

diduga sebagai pelaku tindak pidana”

Chandra M. Hamzah memberikan definisi terhadap fungsi bukti permulaan yang

sebagaimana merupakan suatu satu kesatuan dengan fungsi bukti permulaan yang

cukup.14 Yang mana bukti permulaan yang cukup dapat dibagi menjadi 2 (dua)

kategori yang menjadi syarat, yaitu :

1) Dilakukannya proses penyidikan; serta

14 Chandra M. Hamzah, (2014) Penjelasan Hukum Tentang Bukti Permulaan Yang Cukup, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Hlm. 6

Masukan dan kesimpulan yang

dapat ditarik oleh negara Indonesia

Page 21: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

12

2) Dapat menepatkan status tersangka terhadap seseorang diduga

melakukan suatu tindak pidana.

Arti terhadap kedua kategori, yang pertama bukti permulaan yang cukup

merupakan sebagai acauan menduga adanya suatu perkara pidana dan selanjutnya

dapat ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Kemudian terhadap kategori yang kedua,

bukti permulaan yang cukup merupakan sebagai dugaan tindak pidana yang

dilakukan oleh seseorang dan dapat ditetapkan status tersangka.

1.6 Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang jelas serta mempermudah dalam

pembahasan, maka pembahasan secara keseluruhan dalam skripsi ini secara umum

memberikan sistematika pembahasan penulisan ini sebagai berikut:

Bab I - Pendahuluan

Dalam bab ini merupakan bagian pembuka yang berisi latar belakang

masalah, identifikasi masalah, tujuan penulisan, kerangka pemikiran

yang berisi kerangka teori dan kerangka konseptual, metode penelitian

serta sistematika penulisan.

Bab II - Teori dan Data

Dalam bab 2 (dua) penulis membahas mengenai konsep alat bukti dan

pembuktian di Indonsia dan perbandingannya dengan negara Amerika

Serikat dan Belanda.

Bab III - Pembahasan

Dalam bab ini penulis membahas mengenai apa yang menjadi suatu

titik pokok penelitian.

Bab IV - Analisa

Tahap selanjutnya dalam bab 4 (empat) penulis membahas titik pokok

yang diteliti yaitu konsep alat bukti dan pembuktian di Indonesia serta

Page 22: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

13

membandingkannya dengan negara Amerika Serikat dan Belanda yang

akan dijadikan sebagai tolak ukur.

Bab V - Kesimpulan

Dalam bab terakhir penulis memberikan kesimpulan dan saran pada

penulisan serta dalam hasil analisa apakah akan dapat menemukan

jawaban tepat.

Page 23: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

14

BAB II

ALAT BUKTI DAN PEMBUKTIAN

AMERIKA SERIKAT, BELANDA, INDONESIA

Untuk memahami persoalan alat bukti dari sudut kuantitatif dan kualitatif,

dengan mempelajari putusan praperadilan menjadi keniscayaan. Pada praperadilan

atas obyek penetapan tersangka, penetapan tersangka akan menjadi fokus

perdebatan. Tidak semata-mata mengenai mengapa seseorang ditetapkan sebagai

tersangka, tetapi juga pada praperadilan berobyek penetapan tersangka ini juga akan

diperbantahkan alat bukti yang mendasari seseorang itu ditetapkan sebagai

tersangka. Penelitian terhadap putusan praperadilan dalam Bab ini akan dimulai

dari kasus Bactiar Abdul Fatah, di bawah ini.

Adapun Putusan praperadilan dimaksud di atas ialah Putusan No.

38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel di mana Bachtiar Abdul Fatah duduk sebagai

pemohon. Bachtiar ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan telah melakukan

korupsi yang memenuhi unsur di dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31

Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Dari putusan ini jaksa ialah pihak termohon yang telah menetapkan

pemohon sebagai tersangka.

Yang menjadi dalil pokok Pemohon dalam praperadilan ini ialah terkait

relevansi dua alat bukti yang sah yang digunakan termohon untuk menetapkan

pemohon sebagai tersangka. Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999

mengklasifikan perbuatan yang dianggap korupsi yakni memperkaya diri sendiri

atau korporasi yang merugikan keuangan negara. Akan tetapi, menurut dalil

Pemohon, dua alat bukti yang sah tersebut belum memiliki nilai ketepatan, sebab

belum ada unsur terpenuhinya skala perhitungan kerugian negara yang nyata dan

pasti jumlahnya yang haruslah dilakukan oleh ahli.15

15 Putusan Mahkamah Agung Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel. Hlm 53.

Page 24: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

15

Bagi Pemohon, alat bukti yang dikumpulkan jaksa merupakan alat bukti

hasil dari pemeriksaan yang bersifat formalitas atau dianggap semata-mata sebagai

pemanis.16 Sebab mengenai dua alat bukti yang sah secara kuantitas sudah

terpenuhi, akan tetapi dua alat bukti tersebut menjadi permasalahan karena

dianggap belum berkualitas, sebagaimana telah dikemukakan di atas, karena tidak

berhasil menunjukan perbuatan Pemohon apakah nyata-nyata memang telah

merugikan keuangan negara.

Dalam putusan nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel menyatakan

menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan Pemohon untuk sebagian.

Gugatan terhadap praperadilan yang pokok permohonannya mengenai sah tidaknya

penetapan tersangka menyatakan hakim telah melakukan tindakan yang tidak

profesional karena telah melakukan penafsiran memperluas objek kewenangan

praperadilan. Dengan kata lain, demi penyidikan satu kejahatan, alat bukti tidak

cukup hanya kuantitatif, tetapi yang lebih penting dari itu harus substansial.

Selanjutnya adalah Putusan No. 5/Pid.Prap/2015/PN Kfm. Putusan No.

5/Pid.Prap/2015/PN Kfm ini tidak jauh berbeda dengan perkara Bachtiar Abdul

Fatah mengenai dugaan tindak pidana korupsi. Drs. Edmundus Fallo, M.M sebagai

pemohon melakukan penyimpangan dalam pengelolaan dana alokasi khusus bidang

pendidikan.Kemudian Kejaksaan Tinggi Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai

Termohon yang sudah menetapkan Pemohon sebagai tersangka.

Dalam perkara ini berdasarkan alasan termohon mengenai serangkaian

tindakan terkait alat bukti tersangka sudah memenuhi syarat minimal dua alat bukti

sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP.17 Namun, dalil ini ahli

yang dihadirkan pemohon menyatakan penetapan status tersangka dilakukan tanpa

pernah terlebih dulu dilakukan pemerikasaan, dalam hal ini penyelidikan dan

penyidikan.18 Maka dengan hal ini, Pemohon memandang penetapan dirinya

sebagai tersangka bertentangan dengan putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 di mana

16 Ibid. Hlm 81. 17 Putusan Mahkamah Agung Nomor 5/Pid.Prap/2015/PN Kfm. Hlm 14. 18 Ibid. Hlm 22.

Page 25: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

16

sudah lebih dulu dilakukan penyelidikan dan penyidikan dengan kemudian

menghasilkan dua alat bukti sebagai dasar.

2.1 Implikasi Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014

Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam kewenangan

praperadilan hanya membahas mengenai penangkapan, penahanan, penyitaan dan

penggeledahan. Kemudian sejak sudah adanya putusan MK Nomor 21/PUU-

XII/2014 adanya perluasan kewenangan di praperadilan yaitu memperluas

penafsiran hukum dalam pengujian penetapan status tersangka.

Sebelum putusan MK di atas, penyidikan ditujukan untuk mengumpulkan

bukti demi menjadi dasar penetapan tersangka. Namun, bukti macam apa yang

dijadikan dasar dalam penetapan tersangka dapat ditemukan dalam pasal yang

mengatur mengenai definisi tersangka, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat

(14) KUHAP yakni:

“Tersangka merupakan seorang yang karena

perbuatannya serta berdasarkan butki permulaan

patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”

Bukti permulaan tidak mendapatkan definisi lebih lanjut dan hanya berhenti

di sana, hingga Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 dijatuhkan.

Perubahan pun terjadi, yakni dapat dilihat pada poin Pertimbangan dalam putusan,

yang menyatakan:

“Frasa “bukti permulaan” “bukti permulaan yang

cukup” dan “bukti yang cukup” yang sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 1 KUHAP juga harus

ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang

terdapat pada Pasal 184 KUHAP dan disertai

dengan pemeriksaan calon tersangkanya”.

Dengan demikian berdasarkan kedua Pasal tersebut dan diimbangi dengan

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 dapat disimpulkan menjadi

Page 26: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

17

beberapa nilai yang dapat dikandung dalam suatu penetapan tersangka, diantaranya

yaitu:

1. Mengenai norma kewenangan penegak hukum dalam melakukan

tindakan penyelidikan, penyidikan, hingga penetapan tersangka

berdasarkan peraturan hukum yang berlaku;

2. Membahas mengenai prosedural dalam menetapkan seorang sebagai

status tersangka urutan utamanya yaitu dilakukannya penyelidikan,

penyidikan serta mengumpulkan dua alat bukti yang sah sesuai

dalam Pasal 184 KUHAP;

3. Terakhir menyinggung terkait nilai syarat formal yang artinya syarat

terpenuhinya dua alat bukti yang sah sesuai dalam Pasal 184

KUHAP dan disertai pemerikasaan calon tersangka;

Adapun maksud dari Putusan MK untuk menafsirkan ‘bukti yang cukup’

‘bukti permulaan yang cukup’ dan ‘bukti yang cukup’ tersebut adalah untuk

menciptakan penegakan hukum yang tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip

(due process of law).19 Due process of law sendiri dapat dipahami secara sederhana

sebagai proses penerapan hukum yang berjalan proporsional dan reliabel dengan

mengutamakan perlindungan hak asasi manusia hingga ada putusan dari pengadilan

yang menyatakan seseorang tersebut bersalah atau tidak.

Meski demikian, Mahkamah Konstitusi dengan putusan tersebut tidak sama

sekali menghilangkan frasa “bukti permulaan yang cukup.” Frasa ini masih

memiliki validitas sepanjang dimaknai sebagai adanya 2 (dua) alat bukti yang

berasal dari daftar alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.

Namun, dengan adanya, katakanlah, pengetatan terhadap jumlah alat bukti

dalam mendasari penetapan tersangka, menurut hemat penulis, tidak berarti

persoalan menjadi selesai. Penulis memandang bahwa jumlah minimal alat bukti

dalam penetapan tersangka membuat upaya pengungkapan suatu tindak pidana

19 Ibid. Hlm 92.

Page 27: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

18

menjadi kuantitatif. Yang implikasinya ialah substansi dan kualitas alat bukti

menjadi persoalan kedua sejauh penyidik telah mengantongi dua alat bukti.

Lantas, bagaimana pembuktian di negara lain? Penulis melakukan

penelitian dokumen hukum dan literatur terhadap dua negara yakni Belanda dan

Amerika Serikat. Belanda dipandang relevan dikarenakan negara ini memiliki

hubungan sejarah sistem hukum dengan sistem hukum Indonesia. Sementara,

Amerika Serikat dipilih untuk turut dipelajari dikarenakan negara ini memiliki

riwayat perkembangan diskursus hukum terkait pembuktian yang relatif panjang

dan menarik, dimulai dari adanya hak untuk diam (dalam Miranda Rules) hingga

berkembangnya proses pembuktian menggunakan tes DNA. Sebagai batasan

penelitian, dalam skripsi ini tidak akan disinggung mengenai Miranda Rules dan tes

DNA tersebut, namun penulis lebih berfokus pada bagaimana pembuktian di

Amerika Serikat menempatkan posisi alat bukti.

Alat Bukti Reliable atau Admissible di Beberapa Negara

2.2 Pembuktian di Amerika Serikat

Negara Amerika Serikat merupakan negara yang menganut sistem Common

Law yang artinya sistem hukum berdasarkan pada penilaian orang awam (laymen)

dalam sistem juri dan menganut model ketaatan pada yurisprudensi.20 Dengan

model yurisprudensial ini maka sumber hukum di negara ini selain aturan hukum

ialah berasal dari putusan hakim atau pengadilan.

Arti Juri sendiri merupakan orang-orang sipil yang terdapat pada negara

tersebut yang sifatnya netral atau tidak memiliki hubungan dengan seorang

Terdakwa. Selain itu, Juri bukanlah orang-orang yang mengerti hukum, melainkan

berasal dari golongan awam atau masyarakat biasa.21 Sebelum menjadi Juri, para

calon Juri tersebut akan mengikuti beberapa tes dan wawancara oleh Hakim, Jaksa,

dan Pengacara. Pemilihan Juri ini dilakukan dengan alasan karena adanya harapan

20 Nevrina Hastuti, “Eksistensi Sistem Juri dalam Sistem Peradilan Pidana Amerika Serikat” https://jabar.kemenkumham.go.id. Diakses Pada 7 Januari 2020. 21 Wildya Utama, “Perbedaan Sistem Peradilan di Indonesia Dengan Negara Lain” https://www.slideshare.net. Diakses pada 14 Januari 2020

Page 28: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

19

bahwa para Juri dapat memandang suatu perkara dengan seadil-adilnya.

Selanjutnya Juri memiliki wewenang untuk melihat alat bukti yang diajukan serta

menentukan salah atau tidaknya seorang Terdakwa.22

Kemudian, di Amerika Serikat, peranan seorang Hakim hanya sebagai

pemimpin suatu perkara yang disidangkan serta kemudian menjatuhkan berat-

ringannya hukuman kepada Terdakwa. Peranan Juri dalam menilai salah atau

tidaknya Terdakwa menjadi benang merah seorang Hakim untuk mengambil

keputusan. Hakim di Amerika Serikat dituntut untuk menerapkan sikap aktifnya

dalam mengumpulkan alat-alat bukti kemudian memberi komentar atas bukti

tersebut. Akan tetapi keyakinan seorang Hakim tidak bisa menjadi tolak ukur dalam

proses pemeriksaan Terdakwa. Sebab proses pembuktian di Amerika tidak terbatas

hanya kepada Undang-Undang, melainkan biasanya menggunakan hukum yang

berlaku umum dan menjadi kebiasaan di tengah-tengah masyarakat.

Membahas mengenai pembuktian yang ada di negara Amerika Serikat baik

negara bagian maupun pusatnya secara subtansi dalam pembuktian tidak boleh

bertentangan satu sama lain.23 Dengan kata lain maka keduanya harus

mencerminkan nilai yang sama serta seimbang, yang memberi akses yang seimbang

pula kepada para pihak (penuntut maupun tersangka, dalam hal ini pengacara).

Adapun yang dipertimbangkan sebagai alat bukti (evidence) di Amerika

Serikat yaitu di antaranya: 24

Bukti nyata yang artinya bukti alat bukti yang paling bernilai;

Bukti digital atau dokumenter;

Bukti kesaksian, dan

Pengamatan juri.

22 Syafruddin, SH, MH. “Signifikasi Perbandingan Hukum Pidana Dalam Proses Pembaharuan Hukum Pidana”. Hlm. 6. Diakses Pada 14 Januari 2020 23 Ariehta Eleison Sembiring, “Cloud Computing Acquired Digital Evidence: Evidence Integrity and Criminal Proceedings”, (Graduate Thesis of Tilburg University 2018). Hlm 13. 24 Nurul Wahida, “Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian” https://www.academia.edu. Diakses pada 7 Januari 2020.

Page 29: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

20

Berbicara mengenai pembuktian, tak terlepas dari pembahasan alat bukti,

salah satunya adalah alat bukti elektronik. Di Amerika Serikat, alat bukti yang

berbasis eletronik dikategorikan sebagai bukti yang nyata atau alat bukti yang

paling bernilai. Alasan Pengadilan di Amerika Serikat menerapkan adanya bukti

digital adalah dikarenakan bukti digital sulit untuk dihancurkan, dapat

diduplikasikan, serta mudah untuk didapat. Dalam pembuktiannya pun, bukti

digital memerlukan perhatian lebih dalam melihat unsur-unsurnya. Unsur-unsur

tersebut antara lain:25

o Relevansi

Informasi yang dimuat menjadi alat bukti harus ada keterkaitan

atau kecocokan dengan adanya suatu tindak pidana yang harus

dibuktikan;

o Autentik

Bukti infomasi yang nyata serta memiliki nilai kesamaan saat

direpresentasikan oleh saksi maupun ahli.

Selain terkait unsur tersebut dengan mengacu pada Federal Rules of

Evidence mengenai keaslian pembuktian yang disimpan secara eletronik menjadi

pandangan utama Pengadilan.26 Menurut Peraturan Nomor 1001, terkait keaslian

konten eletronik adalah apabila sudah dijadikan print-out atau jenis out-put dengan

tujuan supaya dapat dibaca dengan jelas.

Poin utamanya adalah untuk menunjukkan data secara akurat (asli).27

Terkadang bukti digital yang digunakan di Pengadilan seringkali dianggap tidak

dapat diterima jika diperoleh tanpa izin. Untuk itu, dalam mendapatkannya, bukti

digital harus dihadirkan sebagai bukti dengan surat perintah untuk penyelidikan dan

Penyidikan.

25 Ariehta Eleison Sembiring, Op. Cit. Hlm 16 26 Ariehta Eleison Sembiring, Op, Cit. Hlm 17 27 Ariehta Eleison Sembiring, Op, Cit. Hlm 17

Page 30: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

21

Dalam suatu perkara di mana seseorang yang akan dilakukan penyelidikan

jika apabila merasa tidak puas dengan tindakan proses tersebut boleh menentang

tanpa surat perintah.28 Sehingga secara tidak langsung dari hal tersebut akan

memungkinkan adanya suatu penyebab, yang mana hasilnya akan dapat dilihat dari

penyelidikan apakah tanpa surat sebanding atau tidak. Yang kemudian Hakim

memeriksa dari kedua belah pihak, jika apabila Hakim memutuskan bahwa

penyelidikan tidak memiliki bukti yang cukup, maka hal tersebut tidak diterima.

Di negara ini sendiri tidak ada penjelasan mengenai pembeda antara barang

bukti dan alat bukti, secara tidak langsung maka kedua hal tersebut menjadi satu

kesatuan dan menjadi benang merah guna mengetahui adanya tindak pidana.

Selanjutnya alat bukti yang dapat diterima ketika alat bukti tersebut sudah relevan

dengan kasus atau perkara yang terjadi.29

Amerika Serikat juga memiliki aturan hukum yang berperan sebagai

rujukan utama dalam pengaturan mengenai alat bukti, yakni Federal Rules of

Evidence, khususnya pada Pasal 403.30 Pasal ini dapat dibaca bahwa alat bukti-alat

bukti apapun dapat saja dihadirkan dan diterima di pengadilan (admissible) sejauh

relevan dan tidak menyesatkan atau membingungkan hakim.

Alat bukti sendiri dapat digolongkan menjadi dua yakni alat bukti langsung

dan alat bukti tidak langsung.31 Penjelasan mengenai alat bukti langsung yaitu bukti

yang memiliki potensi besar dalam proses penyidikan untuk menunjukan kebenaran

yang nyata pada suatu kejadian tindak pidana, contonya seperti CCTV dan saksi.

Kemudian, alat bukti tidak langsung merupakan bukti yang bergantung pada proses

yang gunanya untuk menghubungkan membentuk kesimpulan berupa fakta.

Contoh, sidik jari di tempat terjadinya tindak pidana.

Baik alat bukti langsung dan juga alat bukti tidak langsung, kedua-duanya

memiliki sifat admisibilitas (dapat diterima) sejauh alat bukti tersebut juga

menggambarkan senyatanya substansi alat bukti (tidak diubah), selain dari relevan

28 Ariehta Eleison Sembiring, Op, Cit. Hlm 17 29 Ariehta Eleison Sembiring, Op, Cit. Hlm 13. 30 Washington. Federal Rules of Evidence. Desember 1, 2017. Article IV. 31 Ariehta Eleison Sembiring. Op, Cit. Hlm 14.

Page 31: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

22

dan tidak membingungkan hakim sebagaimana telah dikemukan di atas.32 Dengan

demikian, secara garis besar, posisi alat bukti di negara Amerika Serikat dinilai dari

kualitasnya, bukan kuantitasnya. Penulis tidak menemukan semacam syarat

minimal dua alat bukti yang ada di Indonesia tersebut ada disyaratkan di Amerika

Serikat.

2.3 Pembuktian di Belanda

Negara Belanda dalam sistem hukumnya menganut sistem kodifikasi, arti

kodifikasi itu sendiri adalah proses pengumpulan aturan-aturan hukum yang

tersebar di sana-sini menjadi satu bundel aturan hukum. Belanda merupakan negara

bersistem Civil Law yang lebih menekankan pada peraturan perundang-undangan

sebagai sumber hukumnya. Meski demikian, putusan pengadilan terdahulu

(yurisprudensi) dan hukum kebiasaan yang sering tidak tertulis juga turut memiliki

nilai mengikat sebagai hukum yang sah.

Membahas mengenai pembuktian, Belanda menganut teori pembuktian

dengan sistem Negatief Wettelijk Stelsel.33 Arti dari sistem tersebut yaitu

penggabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif

dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim. Dari penjabaran tersebut

memiliki rumusan yang berbunyi “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh

keyakinan hakim serta diimbangi dengan terkumpulnya alat bukti yang sah sesuai

undang-undang.”34

Terkait penjelasan tersebut di Belanda memiliki aturan tertulis yaitu Pasal

338 Criminal Code Procedure/CCP (sejenis dengan KUHAP) yang berisikan

“seorang pelanggar dapat didakwa di pengadilan jika apabila sudah memperoleh

alat bukti yang sah sesuai dengan undang-undang.35 Kemudian dalam Pasal 339

32 Ariehta Eleison Sembiring, Op, Cit. Hlm 18. 33 M Yahya Harahap, S.H, Op, Cit. Hlm. 278. 34 M Yahya Harahap, S.H, Op, Cit. hlm. 279. 35 Peter J.P. Tak, The Dutch Criminal Justice System, (Boom Juridische uitgevers, 2003). Hlm. 65.

Page 32: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

23

CCP menjelasakan mengenai apa saja yang menjadi alat bukti yang sesuai undang-

undang, di antaranya:36

Pengamatan hakim, misalnya (foto maupun rekaman);

Keterangan terdakwa;

Keterangan saksi;

Keterangan ahli; dan

Surat (bahan tertulis)

Di Belanda sendiri dalam aturan pembuktian yang mana sebagai contoh “….

pengadilan bebas dalam menilai kelayakan dan kebenarannya dari bukti dan

kualitas bukti” Dengan begitu dapat dilihat aturan hukum di Belanda admisibilitas

alat bukti lebih ditekankan pada nilai bukti dan kualitas bukti.

Selanjutnya, di Belanda terkait dengan aturan pengumpulan alat bukti

terutama berkaitan dengan introgasi terdakwa atau saksi-saksi dapat dilakukan

secara paksa guna untuk mengumpulkan bukti.37 Tindakan secara paksa ini juga

memiliki batasan dalam pelaksanaannya, seperti tidak boleh menggunakan tekanan

dan tidak boleh menggunakan kekerasan fisik maupun psikolog. Sedangkan

maksud dari tindakan secara paksa ini dapat dilakukan dengan bantuan seorang ahli

di ruang interogasi dan secara intensif dengan waktu lama dan juga mensugesti

dengan menggunakan foto keluarga atau foto korban.38

Akan tetapi dengan langkah ini (tindakan secara paksa) hanya dapat

digunakan dalam kasus kejahatan yang vonis hukumannya selama empat tahun atau

lebih.39 Serta tindakan seperti ini harus memiliki izin dari hakim yang memeriksa

perkara yang sedang terjadi. Kemudian jika alat bukti yang diperoleh selama proses

36 Peter J.P. Tak. Ibid. Hlm. 65. 37 Peter J.P. Tak. Ibid. Hlm. 66. 38 MJ. Borgers & L. Stevens, “The Use of Illegaly Gathered Evidence in the Dutch Criminal Trail” Nederlandse Vereniging Voor Rechtsvergelijking,” Eletronic Journal of Comparative Law (Volume 14.3, December 2010). Hlm. 13. 39 Peter J.P. Tak, Op, Cit. Hlm. 66.

Page 33: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

24

pencaharian secara tidak sah maka dengan begitu akan menimbulakan konsekuensi,

hal ini sudah terdapat dalam Pasal 359a CCP, diantarnya: 40

Pengadilan dapat mengurangi hukuman apabila tidak adanya

keteraturan hukum;

Alat bukti dapat dibuang (tidak dipertimbangkan);

Kasus atau perkara tidak di tindak lanjuti.

Sehingga dapat disimpulkan mengenai aturan pembuktian di Belanda tidak

berbicara terkait jumlah alat bukti yang dapat menjadikan seseorang menjadi

tersangka. Dengan kata lain di Belanda sendiri mengenai alat bukti lebih condong

pada sisi kualitas serta diimbangi dengan keyakinan seorang hakim terhadap

penetapan tersangka.

2.4 Indonesia (Teori dan Putusan Pengadilan)

Mengenai alat bukti yang reliable atau admissible di Indonesia sendiri

diartikan dengan mengalisa penerapan hukum dari Putusan Mahkamah Agung

(MA). Penulis menganalisa dalam 2 (dua) Putusan MA dengan karakteristik yang

berbeda yaitu Putusan Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010 dan Putusan Nomor 574

K/Pid.Sus/2018. Dengan menganalisa Putusan yang terkait penulis berharap hasil

analisis dua kasus tersebut dapat menggambarkan mengenai fenomena dalam

pembuktian alat bukti perkara pidana.

Putusan Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010

Dalam Putusan Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010 Jaksa Penuntut Umum (JPU)

mendakwakan Terdakwa dengan Pasal 59 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dengan terdakwa atas nama Ket San. Hakim

pada Pengadilan Negeri Sambas Nomor 201/Pid.B/2009PN.SBS memutus

40 Peter J.P. Tak, Op, Cit. Hlm. 66.

Page 34: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

25

Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana secara tanpa hak memiliki

serta membawa Psikotropika Golongan I. Dalam dakwaannya Jaksa Penuntut

Umum menuntut Terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun serta denda Rp.

150.000.000 subsidair 1 bulan kurungan.

Alat bukti yang dituduhkan kepada terdakwa tidak ditemukan secara jelas

siapa pemiliknya. Akan tetapi dalam kasus tersebut alat bukti berada saat di mana

Terdakwa berdiri dekat barang psikotropika tersebut.41 Sehingga untuk mencari

kepastian siapa pemilik barang tersebut, Terdakwa dipaksa mengaku oleh polisi

dengan cara memukulinya. Selanjutnya ada alasan keberatan Terdakwa dalam

dakwaannya, bahwa ada keterangan saksi tidak memiliki nilai kebenaran alias

diragukan. Kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium guna mendapatkan

kebenaran. Ternyata hasil pemeriksaan laboratorium menyatakan tidak ada hasil

urine Terdakwa yang mengandung atau memakai barang psikotropika.42

Tidak jarang dalam hal kepemilikan psikotropika atau narkotika merupakan

hasil rekayasa dari polisi, yang kemudian dengan berbagai trik atau cara

menyatakan bahwa barang tersebut milik Terdakwa. Sehingga polisi mampu untuk

membuat perekayasaan bukti tersebut dengan ditemukannya di kantong atau di

tempat Terdakwa berada dekat dengan barang tersebut.43 Hal tersebut dapat

menunjukkan tentang adanya potensi kesewenang-wenangan dan pelanggaran atas

Hak Asasi Manusia jika ternyata alat bukti (terutama bukti permulaan yang cukup)

yang didapat tersebut dari proses yang tidak tepat secara hukum.

Mahkamah Agung memutus dengan menyatakan bahwa terdakwa Ket San

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan

sebagaimana yang didakwakan.44 Sehingga, apabila perolehan alat bukti yang

dilakukan dengan proses tidak benar atau tidak sesuai dengan peraturan yang

berlaku, maka Tersangka sepatutnya dilepaskan dari seluruh jerat hukum.

41 Putusan Mahkamah Agung Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010. Hlm 20 42 Ibid. Hlm 20 43 Ibid. Hlm 21 44 Ibid. Hlm 22

Page 35: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

26

Tentunya, ada sanksi bagi oknum aparat yang mengatasnamakan penegak hukum

untuk melakukan penyimpangan dalam menjalankan tugasnya.

Dalam Putusan ini jelas bahwa alat bukti harus memiliki kualitas sebelum

menjadikan seseorang Tersangka. Alat bukti yang berkualitaslah yang dapat

mencegah adanya rekayasa dalam pembuktian kasus. Hal tersebut juga penting

dalam hal untuk menjamin hak-hak warga negara, terutama hak atas perlindungan

dan kepastian hukum (Lihat Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945).

Putusan Nomor 574 K/Pid.Sus/2018

Kasus ini adalah kasus yang terbilang fenomenal di Indonesia. Baiq Nuril,

seorang bawahan dari seorang Kepala Sekolah mesum yang terpaksa terkena

hukum yang cenderung sembrono.45 Dalam penuntutannya, Jaksa Penuntut Umum

Kejaksaan Mataram mengutarakan bahwa Baiq Nuril dijatuhkan hukuman dengan

6 (enam) bulan penjara serta membayar denda sebanyak Rp. 500.000.000,00 (lima

ratus juta). Baiq nuril didakwa melanggar kententuan pidana Pasal 27 Ayat 1 Juncto

Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (“UU ITE”) dengan mendistribusikan informasi yang

bermuatan melanggar kesusilaan.

Dalam kasus Baiq Nuril yang dinyatakan melanggar Pasal 27 Ayat (1)

Juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, dapat dilihat adanya beberapa unsur yaitu:

a. Unsur Dengan Sengaja dan Tanpa Hak.

Dalam kasus ini memang benar adanya kesengajaan untuk

melakukan perekaman mengenai pembicaraan dirinya dengan Hj.

Muslim.46 Akan tetapi hal ini dilakukan semata-mata hanya untuk

pelindungan diri dan dijadikan sebagai bukti bahwa dirinya tidak

memiliki hubungan apapun dengan Hj. Muslim. Baiq Nuril pun

menjelaskan fakta terkait alas konten tersebut disimpannya

45 Mochamad Januar Rizki, “Hikmah Kasus Baiq Nuril” https://m.hukumonline.com. Diakses pada 15 Januari 2020 46 Putusan Mahkamah Agung Nomor 574 K/Pid.Sus/2018. Hlm 6

Page 36: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

27

selama 1 (satu) tahun. Ia juga mengungkapkan bahwa tidak ada

niatan untuk menyebarkan perekaman yang berisi konten

kesesusilaan tersebut.

Sengaja dan Tanpa Hak di sini seharusnya diartikan juga dalam

konteks perbuatan yang memiliki niat jahat (mens rea). Hal

pertama yang seharusnya dibuktikan oleh JPU dan Hakim adalah

motif di balik dari perekaman yang sengaja dilakukan Nuril

tersebut. Alih-alih mempertanyakan motif, Penegak Hukum

berlaku lebih kaku dalam halnya hanya membuktikan

terpenuhinya unsur-unsur dalam Pasal 27 Ayat (1) UU ITE

tersebut.

b. Unsur Mendistribusikan dan/atau Membuat Dapat Diaksesnya.

Terdapat 2 perbuatan dalam unsur ini. Pertama adalah perbuatan

“Mendistribusikan”. Kedua adalah “Membuat dapat Diaksesnya).

Hanya saja, penghubung dua frasa tersebut adalah kata dan/atau.

Kata “dan” dalam hukum, terutama dalam ketentuan perundang-

undangan, memiliki makna kumulatif. Sedangkan kata “atau”

bermakna alternatif. Maka jika kedua kata tersebut (dan/atau)

disatukan maka akan bermakna kumulatif-alternatif.47 Artinya,

perbuatan kedua, dalam hal ini “Membuat dapat Diaksesnya”,

dalam unsur tersebut bersifat pilihan. Penegak Hukum akan

menentukannya.

c. Unsur “Mendistribusikan” sendiri, dalam kasus Nuril, terdapat

dua perbuatan yang berbeda, yaitu: memindahkan data dari

handphone ke laptop dan penyebaran data yang terdapat di laptop

Hj. Imam Mudawin. Pada dasarnya perbuatan Baiq Nuril terhenti

saat pemindahan rekaman tersebut dari handphone miliknya ke

laptop milik Hj. Imam Mudawin. Hal ini sebagai maksud untuk

dijadikan bahan laporan ke DPRD Mataram serta ada besar

47 Angka 262, 263, 264 Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Page 37: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

28

kemungkinan Hj. Imam Mudawin menistribusikan rekaman

tersebut.48

Mengenai kasus ini jelas bahwa Baiq Nuri merupakan korban dari tindakan

asusila yang tidak pantas dilakukan oleh Hj. Muslim. Dalam konteks pembuktian,

hal pertama yang harus dilihat adalah apakah tindakan-tindakan Baiq Nuril tersebut

sudah memenuhi unsur Pasal 27 Ayat (1) UU ITE yang kemudian dihubungkan

dengan niat jahat (mens rea) juga asas-asas hukum pidana lainnya.

Putusan No 574 K/Pid.Sus/2018 merupakan suatu bentuk kesembronoan

Penegak Hukum serta menunjukkan lemahnya interpretasi hukum oleh Penegak

Hukum. Baiq Nuril yang seharusnya adalah potensial korban, jika tidak ingin

menyebutnya korban, malah dihukum dengan laporan dari pelaku pengirim pesan

singkat mesum tersebut.

Jika membaca dengan teliti kasus tersebut, dapat dilihat bahwa Baiq Nuril

hanya merekam. Kemudian rekaman tersebut diberikan kepada Imam Mudawin.

Tindakan pendistribusian sejatinya dilakukan oleh Imam Mudawin. Jika tidak ingin

mengatakan bahwa Imam Mudawin lah yang bersalah dalam tindakan

pendistribusian, maka setidaknya laporan polisi tersebut adalah salah alamat,

ditujukan pada orang yang tidak tepat.

Ada dampak dari Putusan Mahkamah Agung terhadap Baiq Nuril yaitu

tidak terpenuhinya rasa aman dan keadilan serta tidak adanya kepastian hukum bagi

Baiq Nuril. Preseden buruk tersebut sebenarnya juga (mungkin) berdampak pada

masyarakat Indonesia. Bahwa dalam kasus-kasus serupa, Hakim ingin mengatakan

bahwa masyarakat Indonesia yang terkena tindakan asusila melalui media

elektronik, tidak sekali-sekali boleh merekamnya. Ada jerat hukum pidana yang

menanti jika hal tersebut dilakukan.

Dapat disimpulkan bahwa Hakim yang menjatuhkan hukuman pidana

terhadap Baiq Nuril terkesan menyederhanakan ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 27 Ayat 1 UU ITE. Sehingga Hakim belum mampu melihat kasus terhadap

48 Putusan Mahkamah Agung Nomor 574 K/Pid.Sus/2018. Ibid. Hlm 7

Page 38: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

29

perbuatan yang sebenarnya secara utuh yang dimulai dari motif atau sebuah

dorongan niat bahkan sampai dengan tujuan dari perbuatan yang dilakukan oleh

Baiq Nuril. Serta menganggap masih adanya kekosongan dalam ruang lingkup

hukum. Artinya, dalam kasus ini pengak hukum belum mampu menyediakan

tempat bagi korban dalam memberikan pembuktian serta melaporkan kepada

penegak hukum dalam tindak pidana yang sedang terjadi.

Page 39: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

30

BAB III

KUALITAS ALAT BUKTI

3.1 Kualitas Alat Bukti

3.1.1 Relevan

Dalam suatu perkara tindak pidana, hal utama yang harus terpenuhi yaitu

unsur pembuktian guna dapat membuktikan seseorang telah melakukan tindak

pidana dan dapat dijadikan status Tersangka. Pembuktian terkait benar tidaknya

seorang Tersangka melakukan perbuatan tindak pidana merupakan hal terpenting,

dimana dalam pembuktian, hak asasi manusia dipertaruhkan. Ada beberapa konsep

yang mendasar terkait dengan suatu pembuktian, di antarnya yaitu:49

Suatu alat bukti harus memiliki relevansi atau berkaitan dengan

fakta perkara yang sedang di proses;

Mengenai alat bukti haruslah adanya nilai diterima ataupun tidak

diterima. Secara garis besarnya primafacie dari alat bukti yang

diterima adalah alat bukti memiliki nilai yang relevan;

Adanya prinsip hukum yang mensyaratkan tidak diterima atau

tidak diakuinya suatu bukti yang diperoleh dengan cara melawan

hukum;

Dalam konteks Pengadilan, terdapat unsur dimana setiap bukti

yang dianggap relevan dan diterima terlebih dahulu dievaluasi

oleh Hakim.

Relevansi alat bukti menjadi suatu hal yang penting dalam perkara pidana.

Berkaca pada negara Amerika Serikat dalam peraturan Federal Rules of Evidence,

alat bukti yang dapat dikatakan bukti yang relevan jika: 50

49 Josua Sitompul, S.H., IMM. “Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Eletronik” https://m.hukumonline.com. Diakses pada 15 Januari 2020 50 Washington. Federal Rules of Evidence. Desember 1, 2017. Article IV

Page 40: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

31

Memiliki adanya kecendrungan untuk memunculkan fakta

dengan banyak atau minimnya alat bukti;

Adanya fakta yang merupakan konsekuensi dalam menentukan

tindakan.

Garis besarnya pembuktian yang relevan sendiri tidak memandang terkait

jumlah kuantitas terkumpulnya alat bukti. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa

bukti yang relevan memiliki pengecualian, yaitu:51

Adanya masalah atau perkara yang membingungkan;

Adanya keputusan yang tidak adil;

Menyajikan alat bukti yang tidak diperlukan;

Menyesatkan atau membingungkan Hakim.

Mengenai beban pembuktian yang mewajibkan Jaksa Penuntut Umum

untuk membuktikan kesalahan Terdakwa, seperti yang tercantum dalam Pasal 66

KUHAP bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Hal

ini yang juga disampaikan oleh M. Yahya Harahap, bahwa penuntut umum diberi

wewenang untuk mengajukan segala upaya dalam membuktikan kesalahan

terdakwa.52 Untuk itu, bukti tersebut harus berdasarkan pada asas terbukti secara

sah dan meyakinkan (Beyond a Reasonable Doubt). Yang mana tanpa bukti yang

cukup 10%, 20%, 30% membuktikan kesalahan, paling tidak 90% mampu

membuktikan.53 Kemudian ada beberapa patokan mengenai penerapan standar

terbukti secara sah dan menyakinkan, antara lain:54

Memahami definisi terbukti secara sah dan menyakinkan, hal ini

menjadi tujuan pokok guna mencari dan mewujudkan kebenaran

yang sejati (ultimate truth, dan absolute truth). Jangan sampai

51 Ibid. Hlm 14 52 M Yahya Harahap, S.H. (2015). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 274. 53 Ibid. Hlm 338. 54 Ibid. Hlm 339

Page 41: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

32

menghukum orang yang tidak bersalah, dan jangan sampai

membebaskan orang yang bersalah;

Tidak mewajibkannya dalam membuktikan terkait adanya

keraguan dalam suatu perkara. Artinya, tidak berarti semua

keadaan yang meragukan mesti dibuktikan dalam satu perkara,

maka yang paling utama yang harus dibuktikan adalah perbuatan

(actus rea), dan kesengajaan (mens rea);

Harus berpedoman pada sistem pembuktian yang memenuhi

standar terbukti secara sah dan menyakinkan berdasarkan dengan

alat bukti yang limitaif sesuai dengan Pasal 184 KUHAP.

Kemudian dianggap alat bukti yang sah menurut hukum adalah

sudah memenihi syarat formal dan materil, sehingga dapat

digaris bawahi bahwa kekuatan pembuktian bukan tergantung

pada kuantitas melainkan kualitas;

Adanya kekuatan pembuktian yang bersifat bebas, artinya

meskipun kesalahan sudah terbukti berdasar alat bukti yang sah

dan memenuhi syarat formal dan materil maka penerimaan atas

suatu kebenaran harus berdasarkan pertimbangan hukum dan

etika;

Memiliki acuan dalam penerapan tingkat standar kesalahan

Terdakwa berdasarkan bukti yang tidak meragukan. Artinya,

pembuktian memiliki nilai kekuatan 90%, dan keraguan hanya

10%. Dalam hal ini kesalahan Terdakwa sudah dianggap pasti

dan diyakini.

Dapat dilihat bahwa pembuktian bertitik tolak pada alat bukti Bahwa alat

bukti tersebut harus ada relevansinya dengan perkara yang terjadi. Tentu saja hal

yang tidak kalah pentingnya adalah dapat diterima atau tidaknya alat bukti tersebut.

Lalu sebagai unsur penentuan keabsahan alat bukti, cara memperoleh alat bukti

tersebut harus dengan cara-cara yang diperbolehkan oleh Undang-Undang.

Terakhir, harus adanya pengevaluasian oleh Hakim terkait alat bukti yang diperoleh

Page 42: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

33

sebelum menjatuhkan Putusan. Terpenuhinya unsur-unsur tersebut kiranya dapat

mengurangi potensi kesewenang-wenangan, yang tentu saja melawan hukum, yang

mungkin akan diterima oleh Terdakwa/Tersangka.

3.1.2 Prosedural

Dalam penetapan Tersangka harus sesuai dengan prosedur atau tata cara

yang berlaku dalam perundang-undangan, dalam hal ini KUHAP. Pasal 1 angka 14

KUHAP menjelaskan:

“Tersangka adalah seseorang yang karena

perbuatannya berdasarkan bukti permulaan patut

diduga sebagai pelaku tindak pidana”.

Pasal 184 KUHAP tentang alat bukti yang sah dijadikan sebagai tolak ukur

dalam menentukan bukti permulaan yang cukup, yang tentu saja sudah dibahas

harus berdasarkan pada 2 alat bukti. Hal tersebut pulalah yang membuat Pasal 1

angka 14 KUHAP tersebut terkesan multi tafsir. Sebab, untuk menentukan sesuatu

sebagai bukti permulaan sangat tergantung pada kualitas.

Selanjutnya mengenai prosedur penyelesaian perkara termasuk Penyidikan

dan Penetapan Tersangka harus dilakukan secara profesional, proporsional dan

transparan. Alasan tersebut agar tidak ada penyalahgunaan wewenang dan tidak

semata-mata hanya menjadikan seorang Tersangka.

Pada frasa “alat bukti yang sah” dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) mengandung dua arti penting. Yang pertama terkait

jenisnya yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, dan yang kedua mengenai

bagaimana perolehan alat bukti tersebut. Dalam KUHAP dikenal beberapa tahapan,

yaitu: Tahap Penyidikan, Tahap Penuntutan, dan Tahap Pemeriksaan.

Hal utama sebelum menetapkan status Tersangka yaitu dilakukan kegiatan

Penyidikan guna mencari dan mengumpulkan bukti-bukti guna membuat titik

terang dalam menemukan Tersangkanya. Kegiatan Penyidikan yang dilakukan oleh

Penyidik harus diberitahukan kepada penuntut umum dalam bentuk Surat

Page 43: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

34

Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).55 Guna surat tersebut adalah untuk

memantau perkembangan Penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Kepolisian.

Begitu pula dalam cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian

yang melekat di setiap alat bukti yang diperoleh harus dengan cara-cara yang

dibenarkan oleh Undang-Undang. Tujuannya tentu saja agar dapat mewujudkan

kebenaran yang hendak akan dijatuhkan. Ada beberapa butir pokok yang menjadi

alat ukur pembuktian, diantaranya:56

Adanya dasar pembuktian yang dipergunakan dalam

pertimbangan keputusan Pengadilan guna memperoleh fakta-

fakta yang benar;

Alat-alat bukti yang digunakan oleh Hakim harus dapat

menggambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana;

Cara penguraian pembuktian memiliki peran penting dalam

pemeriksaan di Pengadilan, sebab berdasarkan alat bukti yang

terkumplah Hakim dapat menetapkan keyakinannya;

Kekuatan pembuktian pada masing-masing alat bukti yang sudah

terkumpul;

Beban suatu pembuktian harus berdasar pada Undang-Undang

untuk membuktikan suatu perkara yang didakwakan;

Mengenai bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian

untuk mengikat keabsahan.

Hal utama dalam pembuktian yang berkualitas itu tentu saja pada alat bukti

yang terpenting yang didapat dari proses hukum yang benar. Untuk mendapatkan

alat bukti dalam suatu perkara pidana harus dilakukannya proses Penyelidikan dan

55 Norman Edwin Elnizar. “SPDP Terbit Tak Berarti Sudah Ada Tersangka” https://m.hukumonline.com. Diakses pada 16 Januari 2020 56 Unknown. “Mengatur Alat Bukti Yang Dibenarkan Undang-Undang”. https://www.coursehero.com. Diakses pada 16 Januari 2020

Page 44: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

35

Penyidikan barulah seseorang dapat ditetapkan menjadi Tersangka. Dalam hal

tersebut harus berkesesuaian dengan peraturan hukum yang berlaku.

3.1.3 Non-modifiable

Pasal 184 KUHAP menjelaskan mengenai apa saja yang termasuk ke dalam

alat bukti yang sah, yaitu diantarnya:

Keterangan saksi;

Keterangan ahli

Surat;

Petunjuk;

Keterangan Terdakwa.

Sehingga mengenai alat bukti yang sah tersebut dapat diandalkan sebagai

penyederhana guna menemukan jawaban dari suatu perkara pidana. Dalam

pembuktian yang dilakukan oleh Penyidik mulai dari tahap Penyelidikan,

Penyidikan hingga seseorang dapat ditetapkan menjadi Tersangka dengan

perolehan alat bukti yang sudah didapat. Maka alat bukti tersebut tidak boleh diubah

maupun direkayasa.57

Merekasaya atau mengubah suatu alat bukti yang sudah terkumpul

merupakan suatu perbuatan bohong. Dalam ajaran agama sendiri melarang untuk

melakukan perbuatan berbohong. Akan tetapi di Indonesia berbohong di dalam

ranah persidangan merupakan suatu tindak pidana dan memiliki sisi ancaman

pidana yang berat.58 Dalam perbuatan tersebut, pada suatu perkara pidana,

pengrekayasaan atau pengubahan mengenai alat bukti dapat menyebabkan alat

57 Togar S.M. Sijabat, S.H., M.H. “Akibat Hukum Jika Merekayasa Alat Bukti di Persidangan”. https://m.hukumonline.com. Diakses pada 16 Januari 2020 58 Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. “Hukuman Bagi Saksi Palsu di Persidangan”. https://m.hukumonline.com. Diakses pada 16 Januari 2020

Page 45: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

36

bukti tersebut dibuat-buat oleh pelaku itu sendiri atau dibuat-buat oleh penegak

hukum atau pihak lain yang memiliki kepentingan.59

Ada aturan mengenai hal tersebut, pada Pasal 242 Ayat (1) KUHAP

menegaskan:

“Barang siapa dengan sengaja memberi keterangan

palsu di atas sumpah, baik secara lisan maupun

tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang

khusus untuk itu, diancam dengan pidana penjara

paling lam tuju tahun”

Kemudian pada Pasal 242 Ayat (2) KUHAP berisikan acaman hukuman

lebih berat, Pasal tersebut berisikan:

“Jika keterangan palsu yang diberikan dalam

perkara pidana dan ternyata merugikan Terdakwa

atau Tersangka maka diancam pidana penjara paling

lama sembilan tahun”.

Sehingga dalam hal ini berbohong atau tidaknya seseorang terkait alat bukti

di persidangan maka sepenuhnya ditentukan Hakim. Hakim berwenang

menentukan dan menilai setiap keterangan yang diberikan dalam persidangan.

Biasanya keyakinan Hakim yang arif dan bijaksana dalam menangani perkara

tentunya dapat melihat itu semua untuk mencari kebenaran yang hakiki.

Jika memberikan keterangan tidak benar atau palsu bahkan ada intensi

mengubah atau merekayasa alat bukti, dan tidak ada kesinambungan alat bukti lain

dalam membuktikan kesalahan Terdakwa maka akibat hukumnya adalah Terdakwa

harus dibebaskan. Dengan kata lain unsur perbuatan (actus reus) maupun

kesengajaan (mens rea) dalam suatu perkara pidana harus dapat dibuktikan dengan

sebenar-benarnya. Sehingga harus dipastikan terkait alat bukti yang sedari awal

59 Roy Riady. “Belajar Hukum: Upaya Rekayasa Saksi vs Kearifan Hakim”. https://kumparan.com. Diakses pada 16 Januari 2020

Page 46: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

37

diambil hingga dihadirkan dalam persidangan, secara hukum, tidaklah bisa atau

tidak boleh diubah dalam keadaan apapun.

3.2 Alasan Dua Alat Bukti Dipandang Cukup

Mengenai bukti permulaan yang cukup, ada aturan mengenai pernyataan

tersebut di antaranya:

Pasal 1 angka 14 KUHAP:

“Tersangka adalah seseorang yang karena

perbuatannya berdasarkan bukti permulaan patut

diduga sebagai pelaku tindak pidana”.

Pasal 17 KUHAP:

“Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang

yang diduga keras melakukan tindak pidana

berdasarkan bukti permulaan yang cukup”.

Pasal 21 Ayat (1) KUHAP:

“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan

dilakukan terhadap seorang Tersangka yang diduga

kerasa melakukan tindak pidana berdasarkan bukti

yang cukup, dalam hal ini maka timbul adanya

keadaan kekhawatiran bahwa Tersangka melarikan

diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau

bahkan mengulangi tindak pidana”

Pengertian bukti yang cukup adalah salah satu syarat terkait dilakukannya

upaya penahanan seseorang untuk mengetahui suatu perkara tindak pidana. Dalam

Pasal tersebut mengenai bukti permulaan yang cukup tidak ada ketentuan yang jelas

menyebutkan apa saja bukti permulaan yang cukup itu. Dirasa, KUHAP tidak

memberikan secara jelas mengenai bukti permulaan yang cukup. Kemudian

Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan bernomor 21/PUU-XII/2014. Dalam

Putusan tersebut menyatakan frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang

Page 47: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

38

cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21

Ayat 1 KUHAP harus dimaknai minimal dua alat bukti sesuai dengan Pasal 184

KUHAP.60

Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa syarat minimum dua alat bukti

harus transparan dan merupakan perlindungan terhadap hak asasi seseorang agar

sebelum seseorang ditetapkan sebagai Tersangka telah memberikan keterangan

yang seimbang.61 Sehingga tanpa “bukti permulaan yang cukup” Penyidik tidak

dapat melakukan penangkapan. Mengenai dengan pelaksanaan sistem peradilan

pidana di Indonesia terkait “bukti permulaan yang cukup” atau “bukti yang cukup”

merupakan hasil dari Penyidikan yang diterima oleh Jaksa Penuntut Umum yang

menjadikan dasar untuk memberikan dakwaan seseorang.62

Dengan kata lain, pernyataan tersebut adalah untuk menentukan dapat atau

tidaknya seseorang dijadikan Tersangka. Hal ini bertujuan untuk menghindari

adanya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Penyidik, terutama dalam

menentukan bukti permulaan yang cukup. Sebab, apabila tanpa adanya penafsiran

dua alat bukti yang cukup tersebut, tidak ada koridor dan batasan untuk Penuntut

Umum dalam menentukan hal-hal yang memang tepat dan benar untuk Terdakwa.63

Pemaknaan atau penafsiran yang Mahkamah Konstitusi mengenai dua bukti

yang cukup tersebut memang memiliki implikasi terhadap upaya praperadilan di

indonesia. Munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menambah kepastian

hukum bagi masyarakat Indonesia, terutama terhadap hak Tersangka.

3.3 Kelemahan Paradigma Alat Bukti Yang Kuantitatif

60 Agus Sahbani. “MK ‘Rombak’ Bukti Permulaan dan Objek Praperadilan https://hukumonline.com. Diakses pada 16 Januari 2020 61 Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. “Arti ‘Bukti Permulaan yang Cukup’ dalam Hukum Acara Pidana” https://m.hukumonline.com. Diakses pada 16 Januari 2020 62 Chandra M Hamzah. (2014). Penjelasan Hukum (Restatement) Bukti Permulaan Yang Cukup. Jakarta: PSHK. Hlm 23 63 Hery Shietra. “Dijadikan Tersangka dengan Kurang dari Dua Jenis Alat Bukti, dapat Diajukan Praperadilan” https://www.hukum-hukum.com. Diakses pada 17 Januari 2020

Page 48: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

39

Salah satu bentuk penetapan Tersangka merupakan bagian dari suatu proses

Penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik. Untuk melakukan penangkapan kepada

seseorang yang diduga melakukan tindak pidana menurut hukum di Indonesia harus

ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Kemudian dengan diimbangi

dengan adanya keyakinan Hakim yang harus kooperatif dalam melihat alat bukti

yang dihadapkan di Pengadilan.

Dua alat bukti yang cukup dapat dikategorikan dengan alat bukti yang

bersifat kuantitatif. Arti dari paradigma kuantitatif adalah sebuah pencatatan dalam

bentuk jumlah atau nominal. Jadi paradigma dalam alat bukti yaitu alat bukti yang

berdasarkan dengan nominalnya “dua”. Dari perolehan dua alat bukti terhadap

seseorang yang diduga melakukan perkara pidana yang sedang terjadi maka dapat

dilakukan penangkapan.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang

memberikan penafsiran dua alat bukti, MK menganggap syarat minimum dua alat

bukti guna menetapkan seserang menjadi Tersangka merupakan bentuk dari

menghindari adanya tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh

Penyidik, terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup. Paradigma ini

sendiri memberikan penjelasan mengenai alat bukti yang mengutamakan pada

proses dan persepsi saja. Hal ini pun menjadi sorotan tersendiri, memiliki

pendekatan khas yang patut untuk lebih diperhatikan.

Dalam paradigma terhadap alat bukti yang kuantitatif memiliki asumsi yang

penting yaitu harus memiliki nilai yang realitas. Artinya, dalam mengidentifikasi

suatu alat bukti perkara pidana yang sedang terjadi harus memiliki fragmen dan

kecendrungan yang bersifat konstan terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan.

Akan tetapi dalam paradigma alat bukti yang kuantitatif sendiri memiliki adanya

kelemahan, yaitu di antaranya:

Perolehan alat buktinya akan cenderung berasal dari nilai yang

condong terhadap satu sisi;

Pengambilan alat bukti yang hanya dari sisi subyektif;

Orientasi terhadap alat bukti hanya terbatas karena terpaku pada

jumlah;

Page 49: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

40

Adanya pembatasan peluang dalam menggali kualitas alat bukti

yang di dapat.

Dengan kata lain paradigma terhadap alat bukti yang kuantitatif hanya

memfokuskan pada makna subjektif, pendefinisian, dan dianggap jarang dalam

melihat dari sisi kualitatif.

Page 50: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

41

BAB IV

ANALISA

4.1 Derajat Kecukupan Dua Alat Bukti Dalam Penetapan

Tersangka Berdasarkan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014

Membahas kembali mengenai pembuktian dalam penetapan Tersangka

sudah diatur dalam Pasal 1 angka 14 , Pasal 1, Pasal 21 Ayat (1) KUHAP. Dalam

KUHAP tidak menjelaskan berapa jumlah alat bukti untuk menetapkan seorang

menjadi Tersangka. Kemudian Mahkamah Konstitusi memperluas frasa “bukti

permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” menjadi

kuantitatif yaitu 2 (dua) alat bukti. Mahkamah Konstitusi dalam perluasan frasa

tersebut, dapat dikatakan, memiliki alasan agar penegak hukum tidak menjadikan

seseorang sebagai Tersangka tanpa adanya alasan yang jelas.64

Dua alat bukti yang dipandang cukup untuk menetapkan seseorang sebagai

Tersangka, sebenarnya tidak cukup. Sebab belum mencakup standar pembuktian

secara sah (beyond a reasonable doubt). Hal ini beralasan karena masih banyak

penegak hukum dalam mengumpulkan alat bukti tidak dilakukan dengan cara-cara

yang sah apalagi benar. Proses yang tidak sah atau tidak benar tersebut seperti:

Perolehan alat bukti kurang;

Pengambilan alat bukti yang dilakukan secara tidak sesuai

(kekerasan, intimidasi, tidak adanya surat);

Alat bukti yang tidak sesuai realita kejadian atau perkara

(direkasaya atau dimodifikasi).

Salah satu contohnya, dalam Putusan Nomor 5/Pid.Prap/2015/PN Kfm ini

penetapan Tersangkanya sudah ditetapkan akan tetapi dalam penetapan tersebut

tanpa lebih dulu dilakukan acara pemeriksaan.65 Sehingga hal tersebut dianggap ada

proses hukum yang dilakukan secara tidak benar dan tidak sesuai dengan proses

64 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Hlm 112 65 Putusan Mahkamah Agung Nomor 5/Pid.Prap/2015/PN Kfm. Hlm 22

Page 51: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

42

hukum yang sah. Dalam hal proses penetapan Tersangka yang dilakukan secara

tidak sah atau tidak benar, dapat dilakukan upaya keberatan di Praperadilan.

Berbicara mengenai cukupnya dua alat bukti dalam penetapan status

Tersangka, kualitas terhadap alat bukti belum tentu terpenuhi. Kualitas yang tidak

hanya berbicara mengenai jumlah, tetapi juga cara mendapatkan. Serta terkait dua

alat bukti akan lebih tepat jika diketegorikan setidaknya sebagai batas minimal

untuk memperoleh alat bukti.

Membahas mengenai kualitas yang merupakan sebuah tolak ukur atau nilai

terhadap sesuatu hal. Dalam kualitas pembuktian terhadap penetapan Tersangka

kepada seseorang itu sendiri menyangkut pada prosesnya pengambilan alat bukti.

Sehingga alat bukti yang memiliki kualitas tersebut harus memenuhi unsur yang

sebagaimana disebutkan dalam Bab 3, antara lain:

Relevan

Mengenai perolehan alat bukti untuk menetapkan seseorang

menjadi Tersangka harus sesuai dengan perkara pidana yang

sedang terjadi. Sehingga alat bukti yang relevan itu bagaimana

cara memperoleh alat bukti dan pengevaluasian oleh Hakim

terkait alat bukti yang diperoleh sebelum menjatuhkan Putusan.

Prosedural

Dalam pembuktian yang berkualitas itu bahwa alat bukti yang

terpenting adalah didapat dari proses hukum yang benar. Untuk

mendapatkan alat bukti dalam suatu perkara pidana harus

dilakukannya proses Penyelidikan dan Penyidikan, hingga

seseorang dapat ditetapkan menjadi Tersangka, dalam hal

tersebut harus berkesesuaian dengan peraturan hukum yang

berlaku.

Non-modifiable

Alat bukti yang sudah diperoleh tidak boleh diubah maupun

direkayasa. Sehingga harus dipastikan terkait alat bukti yang

Page 52: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

43

sedari awal diambil hingga dihadirkan dalam persidangan, secara

hukum, tidaklah bisa atau tidak boleh diubah dalam keadaan

apapun.

Sehingga dalam pembuktian guna menetapkan seseorang menjadi

Tersangka tidak dapat dikategorikan cukup dengan adanya dua alat bukti. Dua alat

bukti tidak bisa dijadikan acuan dalam menetapkan seseorang menjadi Tersangka.

Sebab pada dasarnya selain berbicara pada jumlah alat buktinya, maka harus

disertakan pula dengan sisi kualitas alat bukti tersebut.

4.1.1 Efektivitas antara Syarat Kuantitatif dan Kualitatif

Terhadap Dua Alat Bukti

Dalam pengkajian terhadap syarat minimal dua alat bukti untuk menetapkan

seseorang menjadi Tersangka, yang menjadi pokok persoalan yaitu dua alat bukti

tersebut apakah dapat dinyatakan memiliki efektivitas yang baik atau sebaliknya.

Sudah dibahas sebelumnya mengenai derajat kecukupan dua alat bukti dalam

penetapan Tersangka yang ternyata dua alat bukti tersebut belum cukup sebagai

acuan untuk menjadikan seseorang Tersangka.

Kuantitas dua alat bukti tidak bisa dikategorikan sebagai acuan dalam

penetapan Tersangka, sebab hal tersebut dianggap menjadi jalan pintas penegak

hukum untuk mendapat alat bukti yang dilakukan dengan cara tidak sah. Artinya,

ia hanya memikirkan bahwa jika sudah ada dua alat bukti maka seseorang dapat

dijadikan Tersangka tanpa memikirkan kualiatas alat bukti tersebut. Akan lebih

tepatnya jika apabila dalam menjadikan seseorang Tersangka setidaknya dua alat

bukti diubah menjadi batas minimal untuk memperoleh alat bukti. Hal ini bertujuan

supaya tidak ada kesewang-wenangan penegak hukum dalam menjadikan

seseorang Tersangka.

Sehingga kuantitas batas minimal dua alat bukti dalam penetapan Tersangka

seseorang dapat menjadi tolak ukur keakuratan terhadap tindak pidana yang sedang

terjadi. Yang mana dalam kuantitas batas minimal dua alat bukti juga harus

Page 53: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

44

diimbangi dengan sisi kualitas. Dengan kata lain keduanya memiliki satu

keterkaitan dan menjadi benang merah di antara keduanya.

Ada sebuah pernyataan yang mendefinisikan dalam perumpamaan barang

atau layanan bahkan jasa yang memiliki nilai tinggi akan menghasilkan suatu hasil

sepadan dan memiliki nilai pakai yang lebih serta berkualiatas. Kemudian jika

apabila hal tersebut diterapkan pada pembuktian tindak pidana maka hal tersebut

akan menghasilkan keakuratan terhadap penetapan Tersangka. Yang mana jika

semakin banyak pencaharian untuk alat bukti maka semakin berkualitas juga

keakuratan alat bukti dalam menetapkan Tersangka.

Untuk menetapkan seseorang menjadi Tersangka, tidak tepat jika

menggunakan frasa dua alat bukti yang dianggap cukup, melainkan harus berdasar

pada kualitas. Kualitas itu sendiri menyangkut pada unsur relevan, prosedural dan

non-modifiable terhadap alat bukti. Maka akan lebih menjadi efektif jika syarat

kualitas yang lebih diutamakan dan dua alat bukti menjadi batas minimal dalam

menjadi seseorang Tersangka dalam suatu perkara pidana.

Page 54: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

45

BAB V

PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN

Berkembangnya peraturan pembuktian dalam tindak pidana di Indonesia

sudah banyak mengalami perkembangan mulai dari ilmu pengatahuan hingga

teknologi. Pengaturan alat bukti di Indonesia sendiri umumnya bersifat terbatas

(limitasi). Artinya, dalam KUHAP tidak menjelaskan berapa jumlah dari frasa bukti

permulaan yang cukup, sehingga kemudian Mahkamah Konstitusi sendiri

memberikan perluasan mengenai frasa tersebut menjadi dua alat bukti. Mahkamah

Konstitusi melakukan perluasan dengan alasan agar tidak ada penyalahgunaan

wewenang dalam menjadikan seseorang tersangka tanpa adanya alasan yang jelas.

Berbicara mengenai perluasan frasa dua alat bukti dianggap cukup yang

sebenarnya adalah tidak cukup untuk menjadikan seseorang tersangka. Dengan

asalan karena belum dapat dikatakan berkualitas jika hanya dua alat bukti sebagai

acuan sehingga sehingga akan sulit mencari kualitas terhadap alat bukti karana

jumlahnya yang terbatas. Kualitas dalam alat bukti itu sendiri harus mengandung

pada 3 (tiga) unsur yaitu relevan, prosedural, dan non-modifiable. Serta kemudian

frasa dua alat bukti untuk mempertersangakakan seseorang akan lebih tepatnya jika

diubah menjadi batas minimal. Sehingga hal ini akan adanya dampak kekuatan dan

keakuratan terhadap alat bukti yang dapat membuktikan dakwaan di pengadilan.

Dianggap juga untuk meminimalisir terjadinya kesalahan hakim dalam memutus

perkara pidana yang dijadikan dasar untuk membuat putusan.

Dengan kata lain menrut hemat penulis dalam menetapkan seseorang

menjadi tersangka harus sesuai dengan proses yang benar dan memiliki unsur

kualitatif guna dapat mengakuratkan pembuktian terhadap tindak pidana yang

terjadi. Serta perlu adanya re-konsep peraturan baru mengenai syarat cukupnya 2

(dua) alat bukti yang sebagaimana menjadi acuan dalam menetapkan seseorang

menjadi tersangka lebih tepat jika diubah menjadi batas minimal.

Page 55: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

46

DAFTAR PUSTAKA

“BUKU dan JURNAL”

M. Yahya Harahap, S. (2015). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali.

Jakarta: Sinar Grafika

Soerjono Soekanto, (2007). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press

Hamzah, P. D. (2016). Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika

Rianto Adi. (2005). Metode Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit

Peter J.P. Tak (2003). The Dutch Criminal Justice System. Boom Juridische

Uitgevers Chandra M Hamzah. (2014). Penjelasan Hukum (Restatement) Bukti

Permulaan Yang Cukup. Jakarta: PSHK.

Ronny Kountur. (2007) Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta:

Buana Printing.

Chandra M. Hamzah, (2014) Penjelasan Hukum Tentang Bukti Permulaan Yang

Cukup, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)

Nugroho, B. Peranan Alat Bukti Dalam Perkara Pidana. Jurnal Yuridika. Vol 32,

2017

MJ. Borgers & L. Stevens. “The Use of Illegaly Gathered Evidence in the Dutch

Criminal Trail” Nederlandse Vereniging Voor Rechtsvergelijking

Jhonny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang,

2007).

Sukarna, K, (2014) “Alat Bukti Petunjuk dalam Proses Peradilan Pidana”.

Prosiding Seminar Nasional

“PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana

Washington. Federal Rules of Evidence. Desember 1, 2017

Perturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak

Pidana

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014

Page 56: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

47

Putusan Praperadilan Mahkamah Agung Nomor 5/Pid.Prap/2015/PN Kfm

Putusan Praperadilan Mahkamah Agung Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010

Putusan Praperadilan Mahkamah Agung Nomor 574 K/Pid.Sus/2018

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan

“SKRIPSI”

Ariehta Eleison Sembiring. “Cloud Computing Acquired Digital Evidence:

Evidence Integrity and Criminal Proceedings”. Graduate Thesis of Tilburg

University 2018

“INTERNET”

Nurul Wahida. “Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian” https://www.academia.edu

Wildya Utama. “Perbedaan Sistem Peradilan di Indonesia Dengan Negara Lain”.

https://www.slideshare.net

Syafruddin, SH, MH. “Signifikasi Perbandingan Hukum Pidana Dalam Proses

Pembaharuan Hukum Pidana”.

Nevrina Hastuti. “Eksistensi Sistem Juri dalam Sistem Peradilan Pidana Amerika

Serikat”. https://jabar.kemenkumham.go.id

Norman Edwin Elnizar. “SPDP Terbit Tak Berarti Sudah Ada Tersangka”.

https://m.hukumonline.com

Unknown. “Mengatur Alat Bukti Yang Dibenarkan Undang-Undang”.

https://www.coursehero.com

Sidiq. “Metode Penelitian Kuantitatif”. https://sosiologis.com

Unknown. “Karakter Hukum Pembuktian”.

https://Pengadilanmiliterindonesia.blogspot.com

Togar S.M. Sijabat, S.H., M.H. “Akibat Hukum Jika Merekayasa Alat Bukti di

Persidangan”. https://m.hukumonline.com

Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. “Hukuman Bagi Saksi Palsu di Persidangan”.

https://m.hukumonline.com

Hery Shietra. “Dijadikan Tersangka dengan Kurang dari Dua Jenis Alat Bukti,

dapat Diajukan Praperadilan”. https://www.hukum-hukum.com

Page 57: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

48

Agus Sahbani. “MK ‘Rombak’ Bukti Permulaan dan Objek Praperadilan.

https://hukumonline.com

Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. “Arti ‘Bukti Permulaan yang Cukup’ dalam Hukum

Acara Pidana”.https://m.hukumonline.com

Page 58: PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI DALAM

49

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

KETERANGAN DIRI

1. Nama : Upik Puspitasari

2. Tempat/ : Boyolali, 15 Mei 1998

Tanggal Lahir

3. NIM : 017201605006

4. Jurusan : Hukum

5. Semester : Akhir

6. Tahun Ajaran : 2016

7. Jenis Kelamin : Perempuan

8. Agama : Islam

9. Status : Belum Menikah

Perkawinan

10. Pekerjaan : Mahasiswa

11. Alamat : Kp. Pegaulan Rt. 010/002, Kecamatan Cikarang

Selatan, Kelurahan Sukaresmi, Kabupaten Bekasi

12. Riwayat : SD Negeri Sukaresmi 06 (2004-2010)

Pendidikan SMP Karya Iman Lippo Cikarang (2010-2013)

SMA Karya Iman Lippo Cikarang (2013-2016)