Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA, DAN BELANJA MODAL
TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH
PERIODE 2007-2013
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (S.E)
Oleh :
Vinnie Aulya
NIM: 1112084000048
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/ 2016 M
iv
ABSTARCT
The aim of this study is to look at the influence of Economic Growth, Unemployment Rate, Capital Expenditure for Income Inequality between Regency/City in Central Java Province 2007-2013. Gini Ratio is used to analyze Income Inequality while panel data is analyzed by using Fixed Effect Model (FEM).
Panel data analysis results showed that the Economic Growth and Capital Expenditure have positive influence and significant related to Income Inequality. While the Unmployment Rate has negative influence and significant related to Income Inequality.
Keywords: Gini Ratio, Economic Growth, Unemployment Rate, Capital Expenditure, Fixed Effet Model
v
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari Petumbuhan Ekonomi, Tingkat Penggangguran Terbuka, Belanja Modal terhadap Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007-2013. Ketimpangan Pendapatan dalam penelitian ini menggunakan rasio gini dan penelitian ini menggunakan analisis data panel dengan model Fixed Effect Model (FEM).
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa Pertumbuhan Ekonomi dan Belanja Modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Ketimpangan Pendapatan. Kemudian Tingkat Pengangguran Terbuka berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Ketimpangan Pendapatan.
Kata Kunci : Rasio Gini, Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, Belanja Modal, Model Efek Tetap
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan segala
rahmat, karunia, rezeki, dan hidayahNya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat
Pengangguran Terbuka, dan Belanja Modal Terhadap Ketimpangan Pendapatan
antar Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah 2007-2013”.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Terselesaikannya skripsi ini tentu dengan dukungan, bantuan, bimbingan,
semangat, dan doa dari orang-orang terbaik yang ada di sekeliling penulis selama
proses penyelesaian skripsi ini. Maka dari itu penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada :
1. Allah SWT, tanpa kehendak dan pertolonganNya penulis tidak mungkin
dapat menyelesaikan skripsi ini .Terimakasih atas segala nikmat yang
telah Engkau berikan, Alhamdulillahirobbil’alamiin.
2. Orang tua, terimakasih untuk Ibu Sri Murni yang sudah membesarkan
anakmu ini dengan kasih sayang yang sangat tulus dan memberikan
doa,nasihat,motivasi untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Ayah Sapiih
yang sudah bekerja keras mencari nafkah untuk membawa anakmu ini ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi tidak lupa dengan doa, nasihat, dan
vii
motivasi yang selalu diberikan saat anakmu mulai lelah saat proses
pembuatan skripsi.
3. Adikku, Muhammad Ziddan Fahlevi yang menjadi penghibur, pemberi
semangat, pemberi senyuman, teman suka dan duka di saat penulis sedang
mengalami kesulitan selama proses penyelesaiaan skripsi ini.
4. Bapak Dr. M. Arief Mufraini, Lc., Msi selaku dekan Fakultas Ekonomi
dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga dapat menjadikan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis menjadi lebih baik lagi.
5. Bapak Arief Fitrijanto S.Si., M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi
dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jakarta yang telah
meluangkan waktu dan arahan-arahan yang baik selama penulis
berkonsultasi.
6. Bapak Rizkon Halal Syah Aji, M. Si selaku Sekretaris Jurusan Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jakarta
yang telah bersedia meluangkan waktu dan arahan-arahan yang baik
selama penulis berkonsultasi.
7. Bapak Pheni Chalid, SF., MA., Ph.D selaku Dosen Pembimbing I yang
telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan, ilmu
yang berharga serta bimbingan yang berarti selama penyelesaian skripsi.
Sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Semoga Allah SWT
membalas segala kebaikan atas ilmu-ilmu yang telah Bapak berikan.
8. Bapak Zaenal Muttaqin, MPP selaku Dosen Pembimbing II yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan, ilmu yang
viii
berharga serta bimbingan yang berarti selama penyelesaian skripsi.
Sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Semoga Allah SWT
membalas segala kebaikan atas ilmu-ilmu yang telah Bapak berikan.
9. Seluruh jajaran dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah
memberikan ilmu yang sangat berguna dan berharga bagi saya. Semoga
Allah selalu memberikan rahmat dan pahala yang sebesar-besarnya atas
kebaikan para dosen FEB UIN Jakarta.
10. Seluruh jajaran karyawan dan staf UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah melayani dan membantu saya selama proses perkuliahan hingga
selesainya skripsi ini.
11. Dua-dua(22) angkatan paskibra yang sudah penulis anggap sebagai
saudara sendiri, terimakasih sudah menjadi sahabat sekaligus saudara
yang selalu perhatian, jadi apa adanya, dan sahabat yang pernah menjadi
satu kelompok yang bisa melawan semuanya tanpa rasa takut. Makan
bareng, tidur bareng, susah bareng. Sayang kalian Maryadi, Nurul Ulfa,
Alqrom Nifatul Mizania, Dyas Wijayanti.
12. Sahabat-sahabat terbaik yang bersedia menjadi tempat curhat, selalu ada
disaat suka maupun duka, pemberi nasihat, tempat pelampiasan disaat
penulis merasa putus asa dengan skripsi, tempat motivasi, terimakasih
sudah membuat hidup ini penuh dengan warna. Resty, Cees, Hilda, Nita,
Cia, Dwi,Reza,Fitri, Saroh. Sukses untuk kita.
13. Sahabat dari awal kuliah sampe sekarang . Yayang Sarasnailyn dan
Sandra Destiawati, terimakasih sudah menjadi bagian hidup penulis
ix
selama di bangku kuliah. Semoga persahabatan kita tidak hanya sebatas di
bangku kuliah namun sampai maut memisahkan.
14. Decontion atau teman-teman satu konsentrasi pembangunan. Tempat
ngobrol bareng, belajar bareng, diskusi bareng. Terimakasih Lia, Febri,
Evia, Puty, Wiwi, Farid ,Bimo, Ipil, Erul, Pijar, Fadil.
15. Cherrybelle, Siti alias yuli, Mia, Bibah, Dian, Yayang, Lia, Febri, Nurul,
terimakasih chibi sudah menjadi geng yang luar biasa walaupun hubungan
kita agak renggang semenjak konsentrasi kalian tetap istimewa.
16. Anak-anak kostan Yayang, Sandra, Fahmi, Adul, Waldi, Irfan, Hilda,
Wiwi , Vedra yang bersedia menyediakan kostannya untuk tempat
berteduh penulis dan tempat berbagi cerita, keluh dan kesah tentang
penelitian ini.
17. Teman-teman satu angkatan IESP 2012 yang tidak bisa disebutkan satu-
persatu. Terimakasih atas kebersamaannya, kekompakannya, tawa
candanya. Semoga kita semua menjadi generasi yang berguna untuk
agama dan negara.
18. Terimakasih untuk kakak-kakak senior atas arahan, pengalaman, motivasi,
dan saran yang diberikan selama kuliah sampai penulis menyelesaikan
skripsi ini. Kak Vina, Kak Mirna, Kak Julia, Kak Indri, Kak Riri, Kak Isti,
Kak Oon, Kak Geo, Kak Windi, Kak Adi dll.
19. KKN Cakrawala Respati, Daruni, Rafida, Safira, Aas, Oci, Dayu, Robi,
Mbe, Imam, Mas Jos, Rizki, Rizal, Suhendra, Jipao dan warga Desa
Jambe. Terimakasih atas pengalaman dan suka dukanya selama sebulan.
x
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan
karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman yang dimiliki oleh penulis.
Oleh sebab itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran dan masukan, baik
kritik yang membangun dari berbagai pihak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Tangerang Selatan, Juli 2016
Vinnie Aulya
xi
DAFTAR ISI
Cover
Lembar Pengesahan Pembimbing
Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif
Lembar Pengesahan Ujian Skripsi
Lembar Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah
Daftar Riwayat Hidup ................................................................................ i
Abstract ....................................................................................................... iv
Abstrak ........................................................................................................ v
Kata Pengantar ........................................................................................... vi
Daftar Isi ..................................................................................................... xi
Daftar Tabel ................................................................................................ xv
Daftar Grafik .............................................................................................. xvi
Daftar Gambar ........................................................................................... xvii
Daftar Lampiran ......................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 12
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 16
D. Manfaat Penelitian............................................................................. 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 18
A. Pembangunan Ekonomi ..................................................................... 18
B. Ketimpangan Pendapatan .................................................................. 21
xii
C. Pertumbuhan Ekonomi ...................................................................... 26
D. Produk Domestik Regional Bruto ...................................................... 29
E. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Ketimpangan Pendapatan
.......................................................................................................... 31
F. Pengangguran .................................................................................... 33
G. Hubungan Pengangguran Terbuka terhadap Ketimpangan Pendapatan
.......................................................................................................... 36
H. Belanja Modal ................................................................................... 37
I. Hubungan Belanja Modal terhadap Ketimpangan Pendapatan ........... 40
J. Penelitian Terdahulu.......................................................................... 42
K. Kerangka Berpikir ............................................................................. 51
L. Hipotesis Penelitian ........................................................................... 53
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 56
A. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................. 56
B. Metode Penentuan Sampel ................................................................ 56
C. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 57
D. Metode Analisis ................................................................................ 57
1. Metode Data Panel ...................................................................... 57
2. Permodelan Data Panel ................................................................ 59
a. Pendekatan Pooled Least Square ............................................ 59
b. Pendekatan Fixed Effect Model ............................................. 59
c. Pendekatan Random Effect Model ......................................... 60
3. Pemilihan Model Data Panel ........................................................ 60
xiii
a. PLS vs REM .......................................................................... 61
b. FEM vs REM......................................................................... 61
4. Model Empiris ............................................................................. 62
5. Uji Asumsi Klasik ....................................................................... 63
a. Uji Normalitas ....................................................................... 63
b. Uji Multikolinieritas .............................................................. 64
c. Uji Heteroskedastisits ............................................................ 65
d. Uji Autokorelasi ................................................................... 67
6. Uji Hipotesis................................................................................ 68
a. Uji F ...................................................................................... 68
b. Uji t ....................................................................................... 69
c. Koefisien Determinasi ........................................................... 71
E. Operasional Variabel Penelitian......................................................... 71
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ............................................... 74
A. Gambaran Umum Objek Penelitian ................................................... 74
B. Analisis dan Pembahasan .................................................................. 76
1. Analisa Deskriptif ........................................................................ 76
a. Ketimpangan Pendapatan ....................................................... 76
b. Pertumbuhan Ekonomi ........................................................... 80
c. Tingkat Pengangguran Terbuka ............................................. 83
d. Belanja Modal ....................................................................... 87
2. Estimasi Model Data Panel .......................................................... 89
a. PLS vs REM .......................................................................... 89
xiv
b. FEM vs REM......................................................................... 90
3. Uji Asumsi Klasik
4. .................................................................................................... 92
a. Uji Normalitas ....................................................................... 92
b. Uji Multikolinieritas .............................................................. 93
c. Uji Heteroskedastisits ............................................................ 95
d. Uji Autokorelasi ................................................................... 95
5. Model Fixed Effect Model ........................................................... 97
6. Uji Hipotesis................................................................................ 97
a. Uji F ...................................................................................... 97
b. Uji t ....................................................................................... 98
c. Koefisien Determinasi ........................................................... 100
C. Analisis Ekonomi .............................................................................. 100
a. Pertumbuhan Ekonomi ........................................................... 112
b. Tingkat Pengangguran Terbuka ............................................. 114
c. Belanja Modal ....................................................................... 116
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 120
A. Kesimpulan............................................................................ 120
B. Saran ..................................................................................... 121
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 122
xv
DAFTAR TABEL
Nomor Keterangan Halaman
1.1 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Tengah dengan provinsi lainnya di Pulau Jawa 2009-2013 (%) ............................................... 2
1.2 Rasio Gini Jawa Tengah dengan provinsi lainnya di
Pulau Jawa 2009-2013 (%) ............................................................... 5
1.3 Perubahan Jumlah Orang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan 2010-2014 ......................................................................... 9
2.1 Penelitian Terdahulu ....................................................................... 48 3.1 Uji Durbin-Watson .......................................................................... 67 3.2 Operasional Variabel Penelitian ....................................................... 73
4.1 Hasil Uji Chow………………………………………………………90
4.2 Hasil Uji Hausman .......................................................................... 91
4.3 Hasil Uji Multikolinieritas ............................................................... 94
4.4 Hasil Uji Park .................................................................................. 95
4.5 Hasil Uji Autokorelasi .................................................................... 96
4.6 Hasil Uji Durbin-Watson ................................................................. 96
4.7 Hasil Uji F-Statistik ......................................................................... 98
4.8 Hasil Uji t-Statistik .......................................................................... 99
4.9 Hasil Uji Koefisien Determinasi ..................................................... 100 4.10 Interpretasi Fixed Effect Model ...................................................... 100
xvi
DAFTAR GRAFIK
Nomor Keterangan Halaman
1.1 Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Tengah dengan Nasional tahun 2007-2013 (%) ........................... 4
1.2 PDRB Per Kapita ADHB Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2013 (000/jiwa) .................................................... 6
1.3 Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi Jawa Tengah
tahun 2009-2013 (%) ........................................................................... 8 1.4 Komposisi Belanja Pemerintah Indonesia tahun 2013 ......................... 10 1.5 Realisasi Belanja Modal Provinsi Jawa Tengah tahun
2010-2013 .......................................................................................... 11 4.1 Rata-rata Ketimpangan Pendapatan antar
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Dalam Persen) ................. 77 4.2 Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi antar
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Dalam Persen) ................ 81 4.3 Rata-rata Tingkat Pengangguran Terbuka antar
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah 2007-2014 (Dalam Persen) ................................................................................... 85
4.4 Rata-rata Belanja Modal antar Kabupaten/Kota
di Provinsi Jawa Tengah 2007-2014 (Dalam Rupiah) ......................... 88 4.5 Uji Normalitas .................................................................................... 93
xvii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Keterangan Halaman
2.1 Memperkirakan Koefisien Gini .......................................................... 23 2.2 Kurva Kuznet “U-Terbalik”................................................................ 32 2.3 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 52
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Keterangan Halaman
1. Data Dari Variabel-Variabel Yang Digunakan......................................... 126
2. Hasil Uji Chow ....................................................................................... 133
3. Hasil Uji Hausman .................................................................................. 134
4. Hasil Uji Normalitas ............................................................................... 135
5. Uji Multikolinieritas ................................................................................ 135
6. Hasil Uji Park ......................................................................................... 136
7. Hasil Fixed Effect Model ........................................................................ 137
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pembangunan sebagai suatu proses multidimensional meningkatkan
taraf hidup suatu bangsa yang melibatkan perubahan-perubahan besar
dalam struktur sosial, sikap, mental yang sudah terbiasa dan kelembagaan,
termasuk pula percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan
ketimpangan dan pemberantasan kemiskinan yang absolut (Todaro,
2011:18).
Menurut Lincoln Arsyad (dalam Kuncoro, 2004:127) mendefinisikan
pembangunan ekonomi daerah sebagai suatu proses dimana pemerintah
daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber daya yang ada dan
membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor
wisata untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan merangsang
perkembangan kegiatan ekonomi didalam wilayah tersebut.
Pembangunan dalam lingkup negara tidak selalu merata,
kesenjangan antar daerah sering kali menjadi permasalahan serius.
Beberapa daerah mencapai pertumbuhan cepat, sementara beberapa daerah
lain mengalami pertumbuhan yang lambat. Hal ini dikarenakan daerah-
daerah tersebut tidak mengalami kemajuan yang sama karena sumber-
sumber yang dimiliki pun berbeda, adanya peranan investor yang lebih
2
cenderung memilih daerah perkotaan, dan ketimpangan redistribusi
pendapatan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang tidak
terlepas dari masalah ketimpangan pendapatan, dengan total 35
kabupaten/kota tentunya disetiap kabupaten/kota memiliki potensi dan
permasalahan yang berbeda-beda yang dapat menyebabkan ketimpangan
ekonomi di setiap daerah. Bertolak belakang dengan ketimpangan
ekonomi dengan adanya trade-off pertumbuhan ekonomi di provinsi Jawa
Tengah menunjukkan proporsi pertumbuhan ekonomi yang cukup besar,
hal ini dapat dilihat pada tabel 1.1.
Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Tengah
dengan Provinsi Lainnya di Pulau Jawa 2009-2013 (%)
SSumber: Badan Pusat Statistik , (data diolah)
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa laju pertumbuhan
ekonomi provinsi Jawa Tengah pada tahun 2013 mengalami penurunan
sebesar 5,81 % dari tahun 2012 sebesar 6,34.% Meskipun angka tersebut
masih berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,78 %.
2009 2010 2011 2012 2013 DKI Jakarta 5,02 6,50 6,73 6,53 6,24 Jawa Barat 4,19 6,20 6,51 6,28 6,05 Jawa Tengah 5,14 5,84 6,03 6,34 5,81 DI. Y 4,43 4,88 5,17 5,32 5,40 Jawa Timur 5,01 6,68 7,22 7,27 6,59 Banten 4,71 6,11 6,38 6,15 5,86
JAWA 4,81 6,33 6,66 6,59 6,19 INDONESIA 4,63 6,22 6,49 6,26 5,78
3
Penurunan ini dikarenakan melambatnya kinerja faktor eksternal dengan
berkurangnya ekspor sementara impor yang melonjak tinggi. Selain itu
dampak dari kenaikan bbm bersubsidi menyebabkan konsumsi masyarakat
berkurang.
Untuk mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan tidak
terlepas dari pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan sebagai
pondasi dasar. Trade off atau pertukaran antara pertumbuhan ekonomi dan
ketimpangan pendapatan selalu terjadi dalam proses pembangunan.
Tingginya pertumbuhan ekonomi suatu daerah tidak menjamin
kesejahteraan masyarakat secara riil, dimana pertumbuhan ekonomi
menjadi tidak berarti lagi oleh kaum miskin jika tidak diiringi dengan
penurunan dari kesenjangan pendapatan.
Seperti yang dikemukakan oleh Kuznets bahwa pada tahap-tahap
awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung menurun,
dengan kata lain terjadinya ketimpangan yang tinggi. Namun dalam jangka
panjang kondisi tersebut akan membaik. Hipotesis ini dikenal dengan
hipotesis “U-Terbalik” Kuznet. Menurut Kuznet distribusi pendapatan
akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2011:277)
Perbedaan tingkat pembangunan akan membawa dampak perbedaan
tingkat kesejahteraan antar daerah yang pada akhirnya menyebabkan
ketimpangan regional antar daerah semakin besar (Kuncoro, 2004: 128).
4
Grafik 1.1 Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Tengah
dengan Nasional 2007-2013 (%)
Sumber : Badan Pusat Statistik, publikasi tinjauan PDRB Jawa Tengah , 2013
Namun demikian besarnya laju pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah
tidak dapat dijadikan tolak ukur kesejahteraan masyakarat secara riil.
Dimana salah satu kriteria utama dari keterbelakangan dan kemiskinan
yang umum digunakan dan diterima secara luas adalah rendahnya
pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita mencerminkan standar
hidup riil masyarakat. Standar hidup riil masyarakat menunjukkan tingkat
kesejahteraan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa pendapatan per
kapita merupakan kriteria tingkat kesejahteraan masyarakat (Kuncoro,
2004: 98).
Pertumbuhan ekonomi dapat dihitung dengan menggunakan PDRB
riil (harga konstan) atau nominal (harga berlaku). Tetapi pertumbuhan
ekonomi yang dihitung berdasarkan PDRB riil akan memberikan
gambaran pertumbuhan output secara nyata, karena PDRB riil tidak
memasukkan inflasi (Kuncoro, 2004:84).
5
Tabel 1.2 Rasio Gini Jawa Tengah
dengan Provinsi Lainnya di Pulau Jawa 2009-2013 (%)
2009 2010 2011 2012 2013 DKI Jakarta 0.36 0.36 0.44 0.42 0.43
Jawa Barat 0.36 0.36 0.41 0.41 0.41
Jawa Tengah 0.32 0.34 0.38 0.38 0.38
DIY 0.38 0.41 0.40 0.43 0.43
Jawa Timur 0.33 0.34 0.37 0.36 0.36
Banten 0.37 0.42 0.40 0.39 0.39
INDONESIA 0.37 0.38 0.41 0.41 0.41
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013 (di olah)
Keterangan: G < 0,3 = Ketimpangan Rendah
0,3≤ G≤0,5 =Ketimpangan Sedang
G>0,5 =Ketimpangan Tinggi
Sedangkan rasio gini di Provinsi Jawa Tengah mengalami
peningkatan setiap tahunnya, walaupun laju peningkatannya tidak terlalu
besar. Rasio gini provinsi Jawa Tengah memiliki ketimpangan yang lebih
rendah dibandingkan dengan empat provinsi lainnya di Pulau Jawa.
Sedangkan Provinsi DI.Yogyakarta memiliki ketimpangan yang paling
tinggi yaitu sebesar 0,439.
Berdasarkan kriteria indeks gini, Provinsi Jawa Tengah termasuk
dalam kategori ketimpangan sedang. Dengan nilai koefisien gini sebesar
0,39 pada tahun 2013. Namun apakah kategori ketimpangan rendah ini
menunjukkan kesejahteraan masyarakat secara riil. Berdasarkan grafik 1.2
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tidak
sebanding dengan tingkat pemerataan pendapatan di Provinsi Jawa
6
0
10,000,000
20,000,000
30,000,000
40,000,000
50,000,000
Cila
cap
Bany
umas
Purb
alin
gga
Banj
arne
gara
Kebu
men
Purw
orej
oW
onos
obo
Mag
elan
gBo
yola
liKl
aten
Suko
harjo
Won
ogiri
Kara
ngan
yar
Srag
enG
robo
gan
Blor
aRe
mba
ng Pati
Kudu
sJe
para
Dem
akSe
mar
ang
Tem
angg
ung
Kend
alBa
tang
Peka
long
anPe
mal
ang
Tega
lBr
ebes
Kota
Mag
elan
gKo
ta S
urak
arta
Kota
Sal
atig
aKo
ta S
emar
ang
Kota
Pek
alon
gan
Kota
Teg
al
2013
Tengah, tingkat ketimpangan pendapatan provinsi Jawa Tengah cukup
tinggi.
Grafik 1.2 PDRB Per Kapita ADHB Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah
tahun 2013 (000/jiwa)
Sumber: Badan Pusat Statistik, Publikasi Tinjauan PDRB Kabupaten/Kota Jawa Tengah,2013 (diolah)
Dengan tingkat kesenjangan antara PDRB Per Kapita terendah dan
tertinggi yaitu kabupaten Kudus dengan nilai PDRB Per Kapita sebesar
50.084/jiwa dan daerah terendah kabupaten Grobogan dengan nilai PDRB
sebesar 6.686/jiwa. Ketimpangan ini disebabkan karena daerah Cilacap
dan Kudus merupakan daerah perindustrian sehingga dapat meningkatkan
pendapatan per kapita masyarakat daerah sekitar dan meningkatkan
perekonomian, sedangkan kabupaten demak yang tertinggal jauh
merupakan daerah pedesaan yang mengandalkan perekonomian dari sektor
pertanian atau sektor primer.
7
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan
daerah adalah terkonsentrasinya kegiatan ekonomi wilayah, alokasi
investasi, tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antar daerah,
perbedaan sumber daya alam antar wilayah, perbedaan kondisi demografi
wilayah dan proses distribusi pasar yang kurang lancar (Syafrizal,
2008:117).
Kondisi demografis ini akan dapat mempengaruhi ketimpangan
pembangunan antar wilayah karena hal ini akan berpengaruh terhadap
produktivitas kerja masyarakat. Daerah dengan kondisi demografis yang
baik akan cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi
sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya
akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi
daerah yang bersangkutan.
Berdasarkan grafik 1.4 Tingkat Pengangguran terbuka bergerak
fluktuatif dimana pada tahun 2009-2013 tingkat pengangguran mengalami
penurunan sebesar 1,32 % yaitu sebesar 7,03% pada tahun 2009 dan 6,01
% pada tahun 2013. Kriteria utama pembangunan adalah kenaikan
pendapatan per kapita yang sebagian besar disebabkan karena adanya
industrialisasi. Pertumbuhan ekonomi tanpa dibarengi dengan penambahan
kesempatan kerja akan mengakibatkan ketimpangan dalam pembagian dari
penambahan pendapatan tersebut.
8
2009 2010 2011 2012 2013PROVINSI JAWA
TENGAH 7.33 6.21 7.07 5.61 6.01
012345678
PERS
ENTA
SE
Grafik 1.3 Tingkat Pengangguran Terbuka
Provinsi Jawa Tengah tahun 2009-2013 (%)
Sumber: Badan Pusat Statistik, Profil Ketenagakerjaan Jawa Tengah (diolah)
Tabel 1.3 menunjukkan bahwa sektor industry pengolahan menjadi
sektor utama yang menyerap tenaga kerja di Provinsi Jawa Tengah,
dimana pada tahun 2010 sebesar 2.675.679 dan mengalami kenaikan pada
tahun 2014 sebesar 3.313.028 jiwa. Pada sektor pertanian terlihat bahwa
Jawa Tengah masih bertumpu pada sektor pertanian, dengan kata lain
sektor primer masih menjadi tumpuan dalam penyerapan tenaga kerja.
Kemudian diikuti sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan jumlah
orang bekerja sebesar 3.472.748 jiwa. Meskipun sektor pertanian menjadi
sektor utama yang menyerap tenaga kerja sebesar 5.190.613 jiwa pada
tahun 2014.
9
Tabel 1.3 Perubahan Jumlah Orang Bekerja
Menurut Lapangan Pekerjaan 2010-2014
Lapangan pekerjaan 2010 2014 Perubahan %
Pertanian 6,031,398
5,190,613 840,785 -13.94
Pertambangan
88,982
124,306 35,324 39.70
Industri Pengolahan 2,765,679
3,313,038 547,349 1.99 Listrik, Gas, Air
20,487
39,144 18,657 91.07
Bangunan 768,236
1,310,327 542,091 70.56
Perdagangan, Hotel, Restoran
3,472,748
3,722,886 250,138
7.20 Angkutan & Telekomunikasi
683,765
547,294 (136,471)
-19.96
Keuangan 152,041
357,966 205,925 135.44
Jasa-jasa 1,972,698
2,145,411 172,713 8.76
Total 15,956,034 16,750,975 794,941 4.98 Sumber : Badan Pusat Statistik, Profil Ketenagakerjaan Jawa Tengah
Pengangguran terbuka terjadi dikarenakan laju pertumbuhan
ekonomi lebih lambat dibandingkan laju pertambahan penduduk, sehingga
penawaran tenaga kerja tidak sesuai dengan kesempatan kerja. Kenaikan
industry pengolahan dan penurunan pada sektor pertanian menunjukkan
adanya perubahan structural ekonomi ditandai dengan perubahan sektor
primer ke sektor sekunder.
Pembangunan ekonomi tidak terlepas dari anggaran daerah, semakin
tinggi anggaran daerah yang dikeluarkan maka akan semakin tinggi
pencapaian ekonomi pembangunan. Tentunya anggaran daerah yang besar
harus di imbangi dengan penggunaan anggaran daerah secara efisien dan
10
efektif. Agar pembangunan ekonomi tepat sasaran dan dapat tercapai
sasaran utaman dalam pembangunan ekonomi yaitu mengurangi angka
pengangguran, kemiskinan, maupun ketimpangan pendapatan. Anggaran
daerah dalam penelitian ini menggunakan belanja modal. Belanja modal
merupakan belanja yang digunakan untuk penambahan asset tetap.
Grafik 1.4 Komposisi Belanja Pemerintah Indonesia tahun 2013
Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Keuangan Indonesia, 2013
Dalam kasus ketimpangan pendapatan, peran pemerintah sangat
penting khususnya dalam anggaran keuangan daerah. Dimana semakin
besar anggaran daerah yang dikeluarkan maka pemerintah akan semakin
mudah untuk membiayai dan memenuhi kebutuhan publik. Disini peran
pemerintah dalam hal investasi swasta di daerah tertinggal sangat
dibutuhkan. Pada daerah ini diharapkan pemerintah dapat meningkatkan
daya tarik investor untuk membangun infrastruktur seperti jalan raya, tol,
irigasi, dan listrik. Sehingga dengan adanya pembangunan tersebut dapat
mempermudah kegiatan perekonomian dengan pendistribusian yang
11
lancar. Hal ini dapat menyebabkan daerah-daerah tertinggal dapat lebih
maju lagi dan dapat bersaing dengan daerah lain yang sudah maju dan
tentunya akan berdampak kepada penurunan ketimpangan.
Berdasarkan grafik diatas pemerintah masih banyak melakukan
pengeluaran belanja pegawai dibandingkan belanja modal dengan rasio
belanja modal terhadap belanja daerah sebesar 7,82 % sedangkan belanja
pegawai sebesar 15,19 %. Tentunya hal ini harus di perbaiki mengingat
belanja modal memberikan dampak langsung terhadap perekonomian,
dengan pembangunan infrastruktur seperti listrik maupun jalan raya,
tentunya hal ini menjadi pembuka jalan bagi daerah yang tertinggal untuk
mengejar ketertinggalan dari daerah lainnya.
Grafik 1.5 Realisasi Belanja Modal
Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2013
Sumber :DJPK (Kementerian Keuangan), Realisasi Anggaran (diolah)
Berdasarkan grafik 1.7 menjelaskan bahwa adanya peningkatan
sebesar 58 persen belanja modal setiap tahunnya , pada tahun 2010 sebesar
419.476 miliar rupiah dan pada tahun 2013 sebesar 994.741 miliar rupiah.
-200,000 400,000 600,000 800,000
1,000,000 1,200,000
2010 2011 2012 2013
Prov. Jawa Tengah
12
Peningkatan ini menjadi prospek yang bagus untuk pembangunan Jawa
Tengah ke depannya. Diharapkan peningkatan belanja modal provinsi
Jawa Tengah di iringi dengan proses pendistribusian merata disetiap
daerah. Dimana belanja modal ini dapat diprioritaskan untuk daerah yang
tertinggal dan pendistribusian dapat dilakukan secara efisien dan efektif
sehingga pencapaian dalam memenuhi pelayanan publik untuk masyarakat
dapat tercapai sesuai dengan sasaran.
B. Rumusan Masalah
Pembangunan merupakan proses yang mencakup aspek secara
multidimensional yang diikuti dengan perubahan struktural untuk
meningkatkan taraf hidup bangsa dan mencapai kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan berawal dari pertumbuhan
ekonomi yang terus meningkat dan tingkat pemerataan pendapatan yang
baik. Menurut Kuznets bahwa pada tahap-tahap awal pertumbuhan
ekonomi, distribusi pendapatan cenderung menurun, dengan kata lain
terjadinya ketimpangan yang tinggi. Dimana terjadi trade off antara
pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan. Semakin tinggi
pertumbuhan ekonomi maka disribusi pendapatan semakin menurun..
Namun dalam jangka panjang kondisi tersebut akan membaik. Hipotesis
ini dikenal dengan hipotesis “U-Terbalik” Kuznet.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar
wilayah salah satunya karena perbedaan demografis khususnya tingkat
13
ketenagakerjaan yang dapat diukur melalui tingkat pengangguran terbuka.
Semakin tinggi tingkat pengangguran terbuka maka akan semakin tinggi
tingkat ketimpangan terjadi, hal ini dikarenakan tidak adanya penghasilan
yang dapat memenuhi biaya kehidupan dalam perekonomian.Dalam hal ini
produktivitas tenaga kerja menjadi faktor penting untuk mengurangi
ketimpangan, dimana daerah yang memiliki produktivitas yang tinggi akan
mendorong investor untuk berinvestasi yang menyebabkan terbukanya
lapangan pekerjaan dan dapat mengurang tingkat pengangguran terbuka.
Dalam kasus ketimpangan pendapatan, peran pemerintah sangat
penting khususnya dalam anggaran keuangan daerah. Dimana semakin
besar anggaran daerah yang dikeluarkan maka pemerintah akan semakin
mudah untuk membiayai dan memenuhi kebutuhan publik. Disini peran
pemerintah dalam hal investasi swasta di daerah tertinggal sangat
dibutuhkan. Pada daerah ini diharapkan pemerintah dapat meningkatkan
daya tarik investor untuk membangun infrastruktur seperti jalan raya, tol,
irigasi, dan listrik. Sehingga dengan adanya pembangunan tersebut dapat
mempermudah kegiatan perekonomian dengan pendistribusian yang
lancar.
Ketimpangan pendapatan yang terjadi di Jawa Tengah dikarenakan
terdapat daerah yang mendominasi cukup tinggi dari daerah lainnya yaitu
daerah Cilacap, Semarang, dan Kudus. Dimana nilai Produk Domestik
Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku menunjukkan bahwa terjadinya
ketimpangan pendapatan yang sangat signifikan antara ketiga daerah
14
tersebut dengan daerah lainnya. Pada tahun 2013 Kota Semarang
menyumbang sebesar 12,89 % terhadap total Produk Domestik Regional
Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Provinsi Jawa Tengah dengan nilai
sebesar 61, 093 triliun rupiah diikuti oleh kabupaten Cilacap sebesar
56,098 triliun rupiah dan posisi ketiga kabupaten Kudus sebesar 41,193
triliun rupiah. Angka ini sangat jauh dibandingkan dengan Produk
Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku kota Magelang
dengan nilai sebesar 2,911 triliun rupiah.
Adanya dominasi sektor sekunder seperti yang terdiri dari industri
pengolahan, listrik dan air bersih serta sektor bangunan membuat kota
Semarang menjadi pusat perekonomian provinsi Jawa Tengah. Selain itu
kabupaten/kota dengan nilai PDRB yang menempati peringkat tertinggi
tidak selalu memiliki PDRB per kapita yang tinggi, begitu pula sebaliknya.
Kota Magelang memiliki PDRB yang rendah sebesar 2,91 memiliki nilai
PDRB per kapita yang tinggi yaitu sebesar 24,27 juta rupiah. Adapun
daerah lainnya yang memiliki PDRB rendah dengan PDRB Per Kapita
tertinggi adalah kota Pekalongan, kota Tegal, kota Salatiga, dan kabupaten
Purworejo.
Kemudian kabupaten Tegal, walau bukan daerah dengan PDRB
terkecil namun memiliki PDRB perkapita yang rendah yaitu sebesar 7,76
juta rupiah. Adapun daerah lainnya yang memiliki PDRB yang cukup
besar namun memiliki PDRB per kapita yang cukup rendah yaitu
kabupaten Pemalang, kabupaten Magelang, dan kabupaten Banyumas.
15
Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak
dapat mencerminkan kesejahteraan masyarakat secara nyata dan tidak
semua masyarakat provinsi Jawa Tengah dapat menikmati pertumbuhan
ekonomi tersebut, artinya di Provinsi Jawa Tengah masih menunjukkan
ketimpangan pendapatan yang cukup tinggi. Berdasarkan pada rumusan
masalah tersebut, maka dalam penelitian ini dapat ditarik beberapa
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Sejauh mana pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap
Ketimpangan Pendapatan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
tahun 2007-2013?
2. Sejauh mana pengaruh Tingkat Pengangguran Terbuka terhadap
Ketimpangan Pendapatan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
tahun 2007-2013?
3. Sejauh mana pengaruh Belanja Modal terhadap Ketimpangan
Pendapatan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2007-
2013?
4. Sejauh mana pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat
Pengangguran Terbuka, dan Belanja Modal terhadap Ketimpangan
Pendapatan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2007-
2013?
16
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap
Ketimpangan Pendapatan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
tahun 2007-2013.
2. Mengetahui pengaruh Tingkat Pengangguran Terbuka terhadap
Ketimpangan Pendapatan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
tahun 2007-2013.
3. Mengetahui pengaruh Belanja Modal terhadap Ketimpangan
Pendapatan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2007-
2013.
4. Mengetahui pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat
Pengangguran Terbuka, dan Belanja Modal terhadap Ketimpangan
Pendapatan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2007-
2013.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan
informasi dan kontribusi bagi para kalangan investor, praktisi,
akademisi, institusi, dan masyarakat pada umumnya yang ingin
mengetahui lebih lanjut mengenai pengaruh pertumbuhan ekonomi,
pengangguran, partisipasi angkatan kerja dan belanja modal terhadap
ketimpangan pendapatan antar Kabupaten/Kota provinsi Jawa Tengah.
17
2. Praktis
Penelitian ini diharapkan sebagai kontribusi sederhana terhadap
pemerintah dan kalangan ekonom di Indonesia mengenai besarnya
pengaruh pertumbuhan ekonomi, pengangguran, partisipasi angkatan
kerja, dan belanja modal terhadap ketimpangan pendapatan antar
Kabupaten/Kota provinsi Jawa Tengah.
3. Kebijakan
Menjadi bahan pertimbangan serta masukan bagi pemerintah
daerah atau dinas-dinas yang terkait dalam merumuskan kebijakan
ekonomi yang terkait dengan ketimpangan pendapatan yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembangunan Ekonomi
Pembangunan sebagai suatu proses multidimensional meningkatkan
taraf hidup suatu bangsa yang melibatkan perubahan-perubahan besar
dalam struktur sosial, sikap, mental yang sudah terbiasa dan kelembagaan,
termasuk pula percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan
ketimpangan dan pemberantasan kemiskinan yang absolut (Todaro,
2011:18).
Istilah pembangunan ekonomi biasanya dikaitkan dengan
perkembangan ekonomi di negara – negara berkembang. Sebagian ahli
ekonomi mengartikan istilah ini sebagai berikut : economic development is
growth plus change, yaitu pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan
ekonomi yang diikuti oleh perubahan – perubahan dalam struktur dan
corak kegiatan ekonomi. Dengan kata lain, dalam mengartikan istilah
pembangunan ekonomi, ahli ekonomi bukan saja tertarik kepada masalah
perkembangan pendapatan nasional riil, tetapi juga kepada modernisasi
kegiatan ekonomi, misalnya kepada usaha merombak sektor
pertanian yang tradisional, masalah mempercepat pertumbuhan ekonomi
dan masalah pemerataan pendapatan (Sadono Sukirno, 2011 : 423).
Suatu proses pembangunan tidak terlepas dari tujuan yang ingin
dicapai. Menurut Todaro (2011:27) proses pembangunan memiliki tiga
tujuan inti yaitu:
19
1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang
kebutuhan hidup yang pokok;
2. Peningkatan standar hidup; dan
3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial.
Menurut Case dan Fair (2007:434-436) terdapat tiga sumber
pembangunan ekonomi yaitu pembentukan modal, kemampuan
kewirausahaan dan sumber daya manusia serta modal biaya hidup sosial.
Menurut Myrdal (dalam Jhingan , 2014 : 211), penyebab terjadinya
ketimpangan antara pembangunan di negara miskin dan negara maju
dimana jika dilakukan pembangunan ekonomi disuatu negara akan muncul
dua faktor yaitu memperburuk keadaan ekonomi bagi daerah miskin atau
negara miskin yang disebut dengan backwash effect dan yang dapat
mendorong daerah miskin atau negara miskin menjadi lebih maju yang
disebut dengan spread effects. Berikut merupakan faktor-faktor backwash
effect :
1. Terjadinya penarikan tenaga kerja, terutama yang memiliki keahlian
dan produktif dari daerah yang tidak maju ke daerah yang sangat maju.
2. Penarikan atau pemusatan atau faktor produksi modal dari daerah yang
tidak maju ke daerah yang sangat maju.
3. Terjadinya pemusatan pola perdagangan yang lebih lengkap di daerah
yang lebih maju dibandingkan daerah yang tidak maju.
20
4. Keadaan sarana dan prasarana transportasi lebih lengkap dan lebih
cepat di daerah yang sangat maju dibandingan daerah tidak maju.
Faktor-faktor spread effect terdiri atas adanya :
1. Permintaan barang-barang pertanian dari daerah maju ke daerah tidak
maju
2. Permintaan hasil industry rumah tangga dan barang konsumsi dari
daerah maju ke daerah tidak maju.
Menurut (Kuncoro, 2004:62-63) definisi pembangunan ekonomi
yang lebih menekankan pada peningkatan income per kapita (pendapatan
per kapita). Definsi ini menekankan pada kemampuan suatu negara untuk
meningkatkan output yang dapat melebihi tingkat pertambahan
penduduk. Selain itu, beberapa ekonomi modern mulai mengedepankan
dethroment of GNP(penurunan tahta pertumbuhan ekonomi),pengentasan
kemiskinan, pengurangan ketimpangan distribusi pendapatan, dan
penurunan tingkat pengangguran yang ada.
Dengan kata lain, pembangunan ekonomi tidak lagi memuja GNP
sebagai sasaran pembangunan, namun lebih memusatkan pada kualitas
dari proses pembangunan. Pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan
ekonomi ditambah dengan perubahan (Sukirno, 2006:10).
21
B. Ketimpangan Pendapatan
Ketimpangan pendapatan merupakan distribusi yang tidak
proporsional dari pendapatan nasional total di antara berbagai rumah
tangga dalam suatu negara (Todaro, 2011:254).
Teori disparitas pendapatan wilayah dikemukakan oleh Jeffrey G.
Williamson yang meneliti hubungan antara disparitas regional dan tingkat
pembangunan ekonomi dengan menggunakan data ekonomi negara yang
sudah maju dan yang sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap
awal pembangunan, disparitas, regional menjadi lebih besar dan
pembangunan ekonomi terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada
tahap yang lebih “matang”, dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak
adanya keseimbangan antardaerah dan disparitas berkurang dengan
signifikan (Kuncoro, 2004:133).
Williamson mengemukakan empat faktor yang mendasari disparitas
pendapatan antar wilayah, yaitu (a) sumber daya alam yang di miliki, (b)
perpindahan tenaga kerja, (c) perpindahan modal, dan (d) kebijakan
pemerintah. Kesenjangan pertumbuhan dan disparitas pendapatan antar
wilayah merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari, karena potensi,
kondisi, dan karakteristik wilayah itu bervariasi atau berbeda-beda satu
sama lain (Adisasmita,2013:76).
Dalam mengukur distribusi pendapatan di setiap wilayah, kita dapat
menggunakan alat ukur :
1. Indeks williamson
22
Indeks Williamson adalah suatu indeks yang didasarkan pada
ukuran penyimpangan pendapatan per kapita penduduk tiap wilayah dan
pendapatan per kapita nasional. Jadi, Indeks Williamson ini merupakan
suatu modifikasi dari standard deviasi. Dengan demikian, makin tinggi
Indeks Williamson berarti kesenjangan wilayah semakin besar, dan
sebaliknya. Selanjutnya Williamson menganalisis hubungan antara
kesenjangan wilayah dengan tingkat perkembangan ekonomi.
Rumus Indeks Williamson
Keterangan :
CVw = Indeks Williamson
Yi = PDRB per kapita (dalam kabupaten/kota)
푦 = PDRB per kapita (propinsi)
fi = Jumlah penduduk (dalam kabupaten/kota)
n = Jumlah penduduk (propinsi)
Nilai Indeks Williamson berkisar antara 0 – 1 (positif). Semakin
besar nilai indeksnya, maka semakin besar juga tingkat kesenjangan
pendapatan antar wilayah. Sebaliknya, semakin kecil nilai indeksnya,
maka semakin kecil pula tingkat kesenjangan yang terjadi di wilayah
tersebut. Ketidakmerataan tinggi terjadi pada nilai indeks diatas 0,50.
Sedangkan ketidakmerataan dikatakan rendah apabila nilai indeksnya
dibawah 0,50 (Syafrizal, 2008:108).
23
2. Koefisien Gini
Koefisien gini merupakan ukuran kuantitatif agregat ketimpangan
pendapatan yang berkisar dari 0 (kemerataan kesempurnaan) sampai
dengan 1 (ketimpangan sempurna). Koefisien gini di ukur secara grafis
dengan membagi bidang yang terletak diantara garis pemerataan
sempurna dan kurva Lorenz dengan bidang yang terletak dibagian kanan
garis pemerataan dalam diagram Lorenz seperti pada gambar 2.1.
Semakin tinggi nilai koefisien, semakin tinggi pula tingkat ketimpangan
distribusi pendapatan. Sebaliknya semakin rendah nilai koefisien,
semakin merata pula distribusi pendapatan (Todaro, 2011: 257).
Gambar 2.1 Memperkirakan Koefisien Gini
Sumber : Todaro, 2007
Rumus statistik menghitung Koefisien Gini Rasio:
GR = 1 –∑푓푖(푌*푖 + 푌*푖 − 1)
24
Keterangan :
GR : koefisien gini rasio
i : jumlah kelas/golongan/ kelompok pendapatan
Y*i : jumlah relative kumulatif pendapatan pada kelas/ golongan ke
i
Y*i-1 : Y*i kelas/ golongan sebelum ke-i
Fi : jumlah frekuensi relative pendapatan yang digolongkan
Indeks Gini memiliki beberapa kelebihan untuk dijadikan acuan
mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan, kelebihan tersebut
antara lain (Bappeda Kota Semarang, 2012: 7-8):
1. Tidak tergantung pada nilai rata-rata (mean independence). Ini
berarti bahwa jika semua pendapatan bertambah dua kali lipat, ukuran
ketimpangan tidak akan berubah.
2. Tidak tergantung pada jumlah penduduk (population size
independence). Jika penduduk berubah, ukuran ketimpangan
seharusnya tidak berubah, jika kondisi lain tetap (ceteris
paribus).
3. Simetris. Jika antar penduduk bertukar tempat tingkat
pendapatannya, seharusnya tidak akan ada perubahan dalam ukuran
ketimpangan.
4. Sensitivitas Transfer Pigou-Dalton. Dalam kriteria ini, transfer
pandapatan dari si kaya ke si miskin akan menurunkan ketimpangan.
25
Menurut Todaro (2011:253-259) membedakan dua ukuran
utama dari distribusi pendapatan baik untuk tujuan analisis maupun
kuantitatif, yaitu:
1. Distribusi pendapatan perorangan (personal distribution of income).
Distribusi pendapatan perorangan memberikan gambaran
tentang distribusi pendapatan yang diterima oleh individu
atau perorangan termasuk pula rumah tangga. Dalam konsep ini,
yang diperhatikan adalah seberapa banyak pendapatan yang
diterima oleh seseorang tidak dipersoalkan cara yang
dilakukan oleh individu atau rumah tangga yang mencari
penghasilan tersebut berasal dari bekerja atau sumber lainnya
seperti bunga, hadiah, keuntungan maupun warisan. Demikian
pula tempat dan sektor sumber pendapatan pun turut diabaikan.
2. Distribusi pendapatan fungsional
Distribusi pendapatan fungsional mencoba menerangkan
bagian dari pendapatan yang diterima oleh tiap faktor produksi.
Faktor produksi tersebut terdiri dari tanah atau sumber daya alam,
tenaga kerja, dan modal. Pendapatan didistribusikan sesuai dengan
fungsinya seperti buruh menerima upah, pemilik tanah memerima
sewa dan pemilik modal memerima bunga serta laba. Jadi
setiap faktor produksi memperoleh imbalan sesuai dengan
kontribusinya pada produksi nasional.
26
C. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai: perkembangan
kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang di
produksikan dalam masyarakat bertambah. Kemampuan yang meningkat
ini disebabkan karena faktor-faktor produksi akan selalu mengalami
pertambahan dalam jumlah dan kualitasnya. Investasi akan menambah
jumlah barang modal. Teknologi yang digunakan berkembang. Disamping
itu tenaga kerja bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk,
pengalaman kerja, dan pendidikan menambah keterampilan mereka
(Sadono Sukirno, 2011: 9-10).
Pertumbuhan ekonomi menurut Kuznets (dalam Jhingan, 2014:57)
adalah kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk
menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada
penduduknya. Definisi ini mempunyai tiga komponen utama yaitu :
1. Pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya
persediaan barang secara terus-menerus.
2. Teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang
menentukan derajat.
3. Pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan berbagai macam barang
kepada penduduk.
27
4. Penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya
penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideology sehingga inovasi
yang dihasilkan dapat dimanfaatkan secara tepat.
Menurut Sadono Sukirno (2007:429-432) terdapat beberapa faktor
yang menentukan pertumbuhan ekonomi diantaranya:
1. Tanah dan kekayaan alam lainnya, kekayaan alam akan dapat
mempermudah usaha untuk mengembangkan perekonomian suatu
negara, terutama pada masa-masa permulaan dari proses pertumbuhan
ekonomi.
2. Jumlah dan mutu dari penduduk dan tenaga kerja, penduduk yang
bertambah akan memperbesar jumlah tenaga kerja, dan penambahan
tersebut memungkinkan negara itu menambah produksi diikuti dengan
pendidikan, latihan, pengalaman kerja, dan keterampilan penduduk
yang semakin tinggi.
3. Barang-barang modal dan tingkat teknologi, barang modal penting
artinya dalam mempertinggi keefisienan pertumbuhan ekonomi,
namun tanpa adanya perkembangan teknologi produktifitas barang
modal tidak akan mengalami perubahan dan tetap berada pada tingkat
yang sangat rendah.
4. Sistem sosial dan sikap masyarakat, adat istiadat yang tradisional dapat
menghambat masyarakat untuk menggunakan cara memproduksi yang
modern dan produktivitas yang tinggi.
28
Menurut pandangan ekonom klasik, Adam Smith, David Ricardo,
Thomas Robert Malthus dan John Straurt Mill, maupun ekonom neo
klasik seperti Robert Solow dan Trevor Swan, mengemukakan bahwa
pada dasarnya ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi yaitu (1) jumlah penduduk, (2) jumlah stok barang modal, (3)
luas tanah dan kekayaan alam, dan (4) tingkat teknologi yang digunakan
(Kuncoro, 2004:129).
Menurut Boediono (dalam Kuncoro, 2004:129) mengartikan
pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam
jangka panjang. Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi secara nasional
dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan untuk tingkat
provinsi atau daerah maka indikator yang digunakan adalah Produk
Domesti Regional Bruto (PDRB).
PDB atau PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang
dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu, atau
merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh
unit ekonomi.Case dan Fair (2007:21) mengartikan GDP sebagai nilai
pasar dan jasa akhir yang dihasilkan dalam suatu periode waktu tertentu
oleh faktor-faktor produksi yang berlokasi dalam suatu Negara. Faktor-
faktor produksi tersebut adalah tanah, tenaga kerja, dan modal.
29
D. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh
unit usaha dalam suatu wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai
barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi.
PDRB atas harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang
dan jasa yang di hitung menggunakan harga pada setiap tahun, sedangkan
PDRB atas harga konstan menunujukan nilai tambah barang dan jasa
yang di hitung menggunakan harga pada tahun tertentu.
PDRB atas harga berlaku digunakan untuk melihat pergeseran
dan struktur ekonomi, sedang harga konstan digunakan untuk mengetahui
pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun (BPS, publikasi tinjauan
PDRB, 2013:4). Menurut Sadono Sukirno (2007 : 37-45) untuk
menghitung angka PDRB ada tiga pendekatan yang dapat digunakan,
yaitu:
1. PDRB Pendekatan Produksi
PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang
dihasilkan oleh berbagai unit produksi barang dan jasa akhir yang
dihasilkan oleh berbagai unit produksi yang berada di suatu
wilayah /provinsi dalam periode tertentu (biasanya satu tahun).
Unit-unit tersebut dikelompokan menjadi 9 lapangan usaha yaitu:
a. Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan,
b. Pertambangan dan penggalian
c. Industry pengelolaan
30
d. Listrik, gas, dan Air bersih
e. Konstruksi
f. Perdagangan, hotel,dan restoran
g. Pengangkutan dan komunikasi
h. Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan,
i. Jasa-jasa termasuk jasa pelayanan pemerintah.
2. PDRB Pendekatan Pendapatan
PDRB menurut pendapatan merupakan jumlah balas jasa yang
diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam prose
produksi di suatu region dalam jangka waktu tertentu yaitu satu tahun.
Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan
gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan semuanya sebelum
dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung dan lainnya.
Dalam definisi ini, PDRB mencakup juga penyusutan dan pajak tak
langsung neto sedangkan jumlah semua komponen pendapatan ini
pers sektor disebut sebagai nilai tambah bruto sektoral. Oleh karena
itu, PDRB merupakan jumlah dari nilai tambah bruto seluruh sektor
(lapangan usaha).
3. PDRB Pendekatan Pengeluaran
Salah satu cara/pendekatan untuk mengetahui nilai PDRB
dengan melihat sisi pengeluaran. Pos pendapatan nasional membagi
GDP menjadi 4 kelompok pengeluaran yaitu : Konsumsi, investasi,
pengeluaran pemerintah , ekspor bersih (NX).
31
E. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Ketimpangan Pendapatan
Pertumbuhan ekonomi bersumber dari tersedianya modal. Modal
disediakan oleh penduduk berpendapatan tinggi (kapitalis). Kapitalis
menanamkan modalnya di sektor industri, karena sektor industry memiliki
produktivitas yang tinggi. Tingkat produktivitas yang tinggi merupakan
pertimbangan yang penting bagi pemilik modal dalam menanamkan
modalnya, agar diperoleh keuntungan yang tinggi.
Maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan harus memiliki
produktivitas yang tinggi, produktivitas yang tinggi dapat diwujudkan
karena modal yang besar , modal yang besar diakumulasikan oleh investasi
, investasi yang besar disediakan oleh penduduk yang berpendapatan
tinggi. Distribusi pendapatan dapat dikatakan sebagai kekuatan dan
pertumbuhan ekonomi sebagai produk atau hasilnya (Kuncoro, 2004:76).
Menurut Simon Kuznets (Todaro, 2007:277-278) mengatakan
bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan
cenderung memburuk, namun pada tahap selanjutnya, distribusi
pendapatannya akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal
sebagai kurva Kuznets “U-terbalik”, karena perubahan longitudinal (time-
series) dalam distribusi pendapatan. Kurva Kuznets dapat dihasilkan
oleh proses pertumbuhan berkesinambungan yang berasal dari
perluasan sektor modern. Koefisien Gini tampak seperti kurva
berbentuk “U Terbalik”, seiring dengan naiknya PDRB, seperti terlihat
pada gambar 2.2.
32
Gambar 2.2 Kurva Kuznets “U-Terbalik”
Sumber : Todaro, 2007
Nicholas Kaldor (1960) (dalam Jhingan, 2014:246), menyatakan
bahwa semakin tidak merata pola distribusi pendapatan antara
masyarakat miskin dengan masyarakat kaya atau masyrakat pedesaan
dengan masyarakat perkotaan, semakin tinggi pula laju
pertumbuhan . Hal ini disebabkan karena t ingkat tabungan
masyarakat kaya lebih besar dari tingkat tabungan
masyrakat dapat meningkatkan aggregate saving rate yang
diikuti oleh peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi. .
Dengan demikian, model Kuznets dan Kaldor menunjukkan adanya
trade off atau pilihan antara pertumbuhan PDRB yang lambat tetapi
dengan distribusi pendapatan yang lebih merata atau pertumbuhan
ekonomi yang cepat dan tinggi dengan distribusi pendapatan yang
tidak merata.
33
F. Penggangguran
Pengangguran adalah seseorang yang sudah digolongkan dalam
angkatan kerja yang secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu
tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan yang
diinginkannya. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka merupakan
jumlah orang yang menanggur sebagai persentase angkatan kerja
(Todaro, 2007:220).
Sedangkan menurut BPS (publikasi profil ketenagakerjaan, 2013 : 5-
6) pengangguran meliputi penduduk yang sedang mencari pekerjaan, atau
mempersiapkan suatu usaha, atau merasa tidak mungkin mendapatkan
pekerjaan, atau sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
Tingkat pengangguran terbuka adalah ukuran yang menunjukkan
besarnya penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok
penangguran. Di hitung dari perbandingan antara jumlah pencari kerja
dengan jumlah angkatan kerja, dan dinyatakan dalam persen.
Case dan Fair (2007:54-55) membagi pengangguran menjadi tiga
jenis, yaitu:
1. Pengangguran Friksional
Pengangguran ini merupakan pengangguran yang terjadi karena
mekanisme normal pasar tenaga kerja. Tingkat pengangguran ini tidak
pernah sama dengan nol, dan mungkin berubah dari waktu ke waktu.
Pengangguran ini menunjukkan masalah penyesuaian kerja atau
keahlian jangka pendek.
34
2. Pengangguran Struktrural
Pengangguran struktural terjadi karena perubahan struktur
perekonomian yang disebabkan oleh hilangnya pekerjaan secara
signifikan dalam industri tertentu.
3. Pengangguran Siklis
Pengangguran siklis terjadi selama adanya resesi dan
depresi. Hal ini dikarenakan perusahaan berproduksi lebih
sedikit.
Menurut (Sukirno, 2011:328) pengangguran biasanya
dibedakan atas 4 jenis berdasarkan , antara lain:
1. Pengangguran friksional, yaitu pengangguran yang disebabkan
oleh tindakan seseorang pekerja untuk meninggalkan kerjanya dan
mencari kerja yang lebih baik atau sesuai dengan keinginannya.
2. Pengangguran struktural, yaitu pengangguran yang disebabkan
oleh adanya perubahan struktur dalam perekonomian ditandai dengan
adanya kemerosotan industry.
3. Pengangguran siklikal, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh
kelebihan pengangguran alamiah dan berlaku sebagai akibat
pengurangan dalam permintaan agregat.
4. Pengangguran teknologi, yaitu pengangguran yang disebabkan karena
adanya pergantian tenaga manusia oleh mesin-mesin dan bahan kimia.
Menurut (Sukirno, 2011:328) pengangguran biasanya dibedakan
atas 4 jenis berdasarkan cirinya, antara lain:
35
1. Pengangguran Terbuka (Open Unemployment).
Pengangguran terbuka adalah tenaga kerja yang betul-betul
tidak mempunyai pekerjaan. Pengangguran ini terjadi ada yang
karena belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara
maksimal dan ada juga yang karena malas mencari pekerjaan atau
malas bekerja.
2. Pengangguran Terselubung (Disguessed Unemployment).
Pengangguran terselubung yaitu pengangguran yang terjadi
karena terlalu banyaknya tenaga kerja untuk satu unit pekerjaan padahal
dengan mengurangi tenaga kerja tersebut sampai jumlah tertentu tetap
tidak mengurangi jumlah produksi. Pengangguran terselubung bisa
juga terjadi karena seseorang yang bekerja tidak sesuai dengan bakat
dan kemampuannya, akhirnya bekerja tidak optimal.
3. Setengah Menganggur (Under Unemployment)
Setengah menganggur ialah tenaga kerja yang tidak bekerja
secara optimal karena tidak ada pekerjaan untuk sementara
waktu. Ada yang mengatakan bahwa tenaga kerja setengah
menganggur ini adalah tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam
dalam seminggu atau kurang dari 7 jam sehari. Misalnya seorang
buruh bangunan yang telahmenyelesaikan pekerjaan di suatu proyek,
untuk sementara menganggur sambil menunggu proyek berikutnya.
4. Pengangguran Musiman (Seasonal)
36
Pengangguran ini terdapat di sektor pertanian dan perikanan,
pada musim hujan penyadap karet dan nelayan tidak dapat melakukan
pekerjaan mereka dan terpaksa mengganggur.
G. Hubungan Pengangguran Terbuka terhadap Ketimpangan
Pendapatan
Menurut Sjafrizal (Syafrizal, 2008:117) faktor-faktor yang
mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah salah satunya
adalah karena perbedaan kondisi demografis. Demografis disini
meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan,
perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, dan perbedaan kondisi
ketenagakerjaan termasuk didalamnya adalah tingkat pengangguran.
Daerah dengan kondisi demografisnya baik akan mempunyai produktivitas
kerja yang lebih tinggi sehingga akan mendorong peningkatan investasi ke
daerah yang bersangkutan.
Kondisi demografis ini akan dapat mempengaruhi ketimpangan
pembangunan antar wilayah karena hal ini akan berpengaruh terhadap
produktivitas kerja masyarakat. Daerah dengan kondisi demografis yang
baik akan cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi
sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya
akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi
daerah yang bersangkutan.
37
Tingkat pengangguran yang tinggi mengindikasikan tingkat
kesejahteraan masyarakatnya masih rendah, demikian pula sebaliknya.
Indikator ini sangat penting bagi Indonesia sebagai negara dengan
penduduk dengan jumlah yang besar sehingga penyediaan lapangan
kerja yang lebih banyak merupakan sasaran utama pembangunan daerah
yang bersifat strategis
H. BELANJA MODAL
Belanja modal merupakan salah satu komponen belanja langsung
yang digunakan untuk membiayai kebutuhan investasi. Belanja modal
yaitu pengeluaran yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan
dapat menambah aset pemerintah yang selanjutnya meningkatkan
biaya pemeliharaan (Mardiasmo, 2009:67).
Menurut Halim (2004:73), “Belanja Modal merupakan belanja
pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan
akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan
menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada
Kelompok Belanja Administrasi Umum”.
Berdasarkan Permendagri No 13 Tahun 2006 yang
diubah menjadi Permendagri No 59 Tahun 2007 pasal 53 ayat
(1), Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan
dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai
manfaat lebih dan 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam
kegiatan pemerintahan. (2) Nilai aset tetap berwujud yang dianggarkan
38
dalam belanja modal sebesar harga beli/bangun aset ditambah seluruh
belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset
tersebut siap digunakan. (4) Kepala daerah menetapkan batas minimal
kapitalisasi (capitalization threshold) sebagai dasar pembebanan
belanja modal.
Menurut Syaiful (dalam Firstanto, 2015:21), Belanja Modal dapat
dikategorikan dalam 5(lima) kategori utama:
1. Belanja Modal Tanah
Belanja Modal Tanah adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk pengadaan/ pembelian/ pembebasan,
penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan,
pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat dan
pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah
dimaksud dalam kondisi siap pakai.
2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah
pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/
penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta
inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua
belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam
kondisi siap pakai.
3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan
39
Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran/
biaya yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/
penggantian, termasuk pengeluaran untuk perencanaan,
pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan
yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan
dimaksud dalam kondisi siap pakai.
4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah
pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/
penambahan/ penggantian/ peningkatan, pembangunan/
pembuatan serta perawatan dan termasuk pengeluaran
untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan
jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan
jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
5. Belanja Modal Fisik Lainnya
Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan
pembangunan/pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainya yang
tidak dapat dikategorikan dalam kriteria belanja modal tanah,
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi
dan jaringan termasuk dalam belanja ini adalah belanja kontrak sewa
beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang
40
untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku dan jurnal
ilmiah.
Menurut Wagner dalam suatu hukum bahwa dalam suatu
perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat maka secara
relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat,hal itu disebabkan
karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam
masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya.
Pengeluaran pemerintah menurut teori Wagner yaitu meningkatnya
peran pemerintah dalam kegiatan ekonomi sebagai suatu keseluruhan.
Teori Wagner mendasarkan pandangannya pada suatu teori yang disebut
organic theory of state yaitu teori organis yang menganggap pemerintah
sebagai individu yang bertindak bebas. (Mangkoesoebroto, 1993:172).
I. Hubungan Belanja Modal dengan Ketimpangan Pendapatan
Menurut Sjafrizal (2008:121), bahwa dalam mengatasi ketimpangan
wilayah dapat dilakukan dengan pembangunan sarana dan prasarana
perhubungan, mendorong transmigrasi dan migrasi spontan,
pembangunan pusat-pusat pertumbuhan yang baru di daerah berskala
kecil, dan kebijakan fiskal wilayah yang mendukung penyelesaian
masalah ketimpangan. Maka dalam upaya penyelesaian masalah
ketimpangan tersebut, diperlukan pengeluaran pemerintah daerah yang
sudah terkordinir yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di
daerah berskala kecil.
41
Menurut Wagner dalam suatu hukum bahwa dalam suatu
perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat maka secara
relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Dimana semakin
besar anggaran daerah yang dikeluarkan maka pemerintah akan semakin
mudah untuk membiayai dan memenuhi kebutuhan publik. Disini peran
pemerintah dalam hal investasi swasta di daerah tertinggal sangat
dibutuhkan.
Investasi dibutuhkan untuk mendorong lebih besar daya produksi di
daerah. Melalui modal yang ditanamkan oleh investor di daerah, akan
mendorong diversifikasi produksi dan bentuk-bentuk kegiatan ekonomi.
Implikasi lanjutan dari hal itu secara teoritis akan membuka banyak
alternatif lapangan pekerjaan dan kesempatan kerja, sehingga akan
meningkatkan kurva pendapatan daerah serta kesejahteraan masyarakat
(Pheni Chalid, 2005;126).
Menurut Majidi (dalam Kuncoro, 2004:133) strategi alokasi
anggaran itu harus mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi
nasional sekaligus menjadi alat mengurangi kesenjangan/ketimpangan
regional.
Pada daerah ini diharapkan pemerintah dapat meningkatkan daya
tarik investor untuk membangun infrastruktur seperti jalan raya, tol,
irigasi, dan listrik. Sehingga dengan adanya pembangunan tersebut dapat
mempermudah kegiatan perekonomian dengan pendistribusian yang
lancar. Hal ini dapat menyebabkan daerah-daerah tertinggal dapat lebih
42
maju lagi dan dapat bersaing dengan daerah lain yang sudah maju dan
tentunya akan berdampak kepada penurunan ketimpangan.
J. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, tingkat
pengangguran terbuka, dan belanja modal terhadap ketimpangan
pendapatan telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.
Diantaranya sebagai berikut:
1. Tesis yang berjudul “Pembangunan Ekonomi dan Ketimpangan
Pendapatan Antar Provinsi di Koridor Ekonomi Indonesia” oleh
Susianti. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data
sekunder runtut waktu dari tahun 2005 – 2013. Analisis ini
menggunakan analisis data panel pada 33 provinsi dengan
menganalisis koridor ekonomi di Indonesia meliputi, Koridor
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan
Papua-Kep.Maluku. Berdasarkan Uji-Lagrange memilih Random
Effect Model untuk menentukan model estimasi yang tepat dan
terbaik digunakan untuk mengetahui PDRB Per Kapita, Keterbukaan
ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia, dan Tingkat Pengangguran
Terbuka terhadap Ketimpangan Pendapatan di Indonesia periode
2005-2013. Hasil analisis regresi data panel menunjukkan
keterbukaan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap
ketimpangan pendapatan , Indeks Pembangunan Manusia dan
43
Tingkat Pengangguran Terbuka berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap Ketimpangan.
2. Skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kesenjangan Pendapatan di Jawa Tengah” oleh Annis Ganis
Darmajati selama lima tahun (2004-2008). Model yang digunakan
dalam penelitian ini didasarkan pada Hipotesis Kuznets. Variabelnya
adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat Pengangguran, angka
partisipasi kasar , aglomerasi dan kesenjangan. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah panel data dengan pendekatan
PLS (Panel Least Squares).
Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh variabel independen
berpengaruh signifikan terhadap kesenjangan pendapatan di Jawa
Tengah. Dapat disimpulkan bahwa Hipotesis Kuznets berlaku dalam
penelitian ini. Hal ini dapat dilihat dari hubungan positif antara
pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan pendapatan.
3. Skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Pulau Jawa “ oleh Ani
Nurlaili. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Data
yang digunakan berupa cross section 6 provinsi se Jawa dan time
series selama 2007-2013. Data diolah dengan analisis data panel
dengan regresi fixed effect model.
Seluruh variabel penelitian berpengaruh secara simultan terhadap
ketimpangan distribusi pendapatan. Secara parsial variabel PDRB per
44
kapita, populasi penduduk, dan tingkat pengangguran terbuka (TPT)
berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan distribusi
pendapatan, sementara derajat desentralisasi fiskal tidak
berpengaruh terhadap ketimpangan distribusi pendapatan.
4. Skripsi yang berjudul “ Pengaruh Laju GDP Per Kapita,Tingkat
Pengangguran dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Wanita
terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Provinsi Jawa Timur”
oleh Bayu Permana Putra. Penelitian ini dilakukan pada semester
genap tahun pelajaran 2009/2010 dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat
provinsi Jawa Timur. Analisis data yang digunakan dengan model
analisis regresi linier berganda dan di olah dengan menggunakan
SPSS. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
tingkat pengangguran, tingkat partisipasi angkatan kerja wanita dan
laju GDP per kapita berpengaruh terhadap distribusi pendapatan di
provinsi Jawa Timur.
5. Jurnal yang berjudul “Analisis Ketimpangan Pembangunan Provinsi
Banten Pasca Pemekaran” oleh Ketut Wahyu Dhyatmika, Penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan 1) Indeks Williamson untuk
mengukur ketimpangan pembangunan antar daerah, 2) Tipologi
Klassen untuk mengkelompokan tiap-tiap daerah berdasarkan
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita, 3) Analisis panel
data dengan metode Fixed Effect Model (FEM) dengan waktu
45
penelitian tahun 2001-2011. Penelitian ini menggunakan software
Eviews 6.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan
pembangunan di Provinsi Banten cenderung meningkat.
Berdasarkan tipologi klassen, Kota Tangerang dan Cilegon berada
pada kelompok daerah maju dan cepat berkembang, Kabupaten
Tangerang pada kelompok daerah berkembang cepat dan daerah
lainnya berada pada kategori daerah tertinggal. Hasil analisis data
panel dengan metode FEM, penanaman modal asing (PMA)
berpengaruh positif dan pengeluaran pemerintah (GE) berpengaruh
negatif terhadap ketimpangan, sedangkan variabel tingkat
pengangguran (UE) tidak berpengaruh terhadap ketimpangan
pembangunan di Provinsi Banten pasca pemekaran wilayah.
6. Skripsi yang berjudul “ Dana Perimbangan dan Alokasi Belanja
Modal serta Implikasinya terhadap Ketimpangan Daerah di Provinsi
Sulawesi Selatan tahun 2009-2013” oleh Mirah Midadan. Metode
penelitian yang digunakan adalah analisis panel data dengan
menggunakan program eviews 8. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa variabel dana perimbangan tidak berpengaruh terhadap
ketimpangan daerah secara langsung dan variabel belanja modal
berpengaruh negatif terhadap ketimpangan daerah secara langsung.
Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap ketimpangan
46
daerah secara langsung. Di lain sisi, variabel dana perimbangan dan
belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
7. Skripsi yang berjudul “ Pengaruh Pendidikan, Penanaman Modal
Asing, Penanaman Modal Dalam Negeri, dan Tingkat Pendapatan
terhadap Kesenjangan Ekonomi antar Kabupaten/Kota di Provinisi
Istimewa Yogyakarta tahun 2003-2013” oleh Vina Refriana.
Penelitian ini menggunakan rasio gini dan menggunakan analisis data
panel dengan Fixed Effect Model (FEM).
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan dan penanaman
modal asing berhubungan negatif dan signifikan terhadap kesenjangan
pendapatan.Namun, penanaman modal dalam negeri dan PDRB per
Kapita memiliki pengaruh yang negatif dan tidak signifikan.
8. Jurnal yang berjudul “ Income Inequility and Economic Growth:
Enhancing or Retarding Impact?” oleh Kamila Mekenbayeva dan
Semih Baris Karakus. Variable yang digunakan adalah koefisien gini
dan pertumbuhan ekonomi 9 negara tahun1980-2009. Metode yang
digunakan adalah analisis data panel unit root test dan panel
cointegration test serta menggunakan alat analisis random effect
model. Hasil penelitian tersebut dalam panel cointegration test
hubungan jangka panjang antara pertumbuhan ekonomi dan gini.
9. Jurnal yang berjudul “Fiscal Decentralization, Commitment, and
Regional Inequality”. Evience from State-level Cross-sectional Data
for the United States oleh Akai dan Sakata. Variabel yang digunakan
47
dalam penelitian ini adalah Koefisien Gini Desentralisasi, GDP per
kapita, panjang jalan, tingkat metropolitan, tingkat pendidikan,
manufaktur, efek politik, investasi, tingkat pengangguran, dan
populasi. Dengan hasil analisis variabel desentralisasi, GDP
perkapita, tingkat pengangguran signifikan dan berhubungan negatif
dengan ketimpangan, sedangkan variabel panjang jalan,
tingkat metropolitan,pendidikan,manufaktur, dan investasi signifikan
dan berhubungan negatif terhadap ketimpangan.
10. Disertasi yang berjudul “Pengaruh Alokasi Belanja Modal terhadap
Pertumbuhan Ekonomi , Ketimpangan Pendapatan, Penyerapan
Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten/Kota di
Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2008-2013” oleh Sabir.
Penelitian ini menggunakan data panel. Variabel yang digunakan
adalah Belanja Modal, Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Entropi Theil,
Penyerapan Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Mayarakat (Indeks
Pembangunan Manusia) Hasil penelitian ini adalah Alokasi Belanja
Modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi daerah , ketimpangan pendapatan. Alokasi Belanja Modal
dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan
terhadap daerah penyerapan tenaga kerja. Alokasi Belanja Modal
dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan tidak signifikan
terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.
48
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Judul dan
Nama
Peneliti
Variable
Penelitian
Alat
Analisis
Hasil
Penelitian
Susianti Variable Y : Ketimpangan Pendapatan Variable X : PDRB per Kapita, Keterbukaan Ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia, Tingkat Pengangguran Terbuka
Regresi Panel
Keterbukaan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan pendapatan, IPM dan pengangguran terbuka berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan.
Annisa Ganis Darmajati
Variable Y : Ketimpangan Pendapatan Variable X: Tingkat pengangguran, Angka Partisipasi Kasar, Aglomerasi
Data Panel
Seluruh variabel independen berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendapatan.
Ani Nurlaili
Variable Y : Ketimpangan Pendapatan Variable X: PDRB Per Kapita, Populasi Penduduk, Tingkat Pengangguran Terbuka, Derajat Desentralisasi Fiskal
Data Panel, Fixed Effect Model
PDRB Per Kapita, Populasi Penduduk, Tingkat Pengangguran Terbuka berpengaruh positif signifikan terhadap ketimpangan pendapatan.
49
Derajat Desentralisasi Fiskal tidak berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendapatan.
Bayu Permana Putra
Variable Y : Ketimpangan Pendapatan Variable X: GDP Per Kapita, , Tingkat Pengangguran, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Wanita
Analisis Regresi Linier
Berganda
GDP Per Kapita, , Tingkat Pengangguran, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Wanita berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendapatan.
Ketut Wahyu Dhyatmika
Variable Y : Ketimpangan Pembangunan Variable X: Penanaman Modal Asing. Pengeluaran Pemerintah, Tingkat Pengangguran
Data Panel, Fixed Effect Model
Penanaman Modal Asing berpengaruh positif dan Pengeluaran Pemerintah berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pendapatan dan Tingkat Pengangguran tidak berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendapatan.
Mirah Midadan
Variable Y : Ketimpangan Daerah Variable X: Dana perimbangan,
Data Panel
Dana perimbangan tidak berpengaruh secara langsung dan belanja modal berpengaruh
50
belanja modal negative terhadap ketimpangan daerah.
Vina Refrina
Variable Y : Kesenjangan Ekonomi Variable X: Pendidikan, PMA(Penanaman Modal Asing, Penanman Modal dalam Negeri, Pendapatan( PDB per kapita)
Koefisien Gini,Data
Panel, Fixed Effect Model
Pendidikan dan PMA(Penanaman Modal Asing berpengaruh negatif signifikan terhadap ksenjangan pendapatan Penanman Modal dalam Negeri dan PDRB per Kapita memiliki pengaruh yang negatife dan tidak signifikan.
Kamila Mekenbayeva dan Semih Baris Karakus
Variable Y : Koefisien Gini Variable X: Pertumbuhan Ekonomi
Data Panel, Random Effect Model
Terdapat hubungan jangka panjang antara pertumbuhan ekonomi dan koefisien gini.
Nobuo Akai dan Masayo
Sakata
Variable Y : Koefisien Gini Variable X: Desentralisasi, GDP per kapita, panjang jalan, tingkat metropolitan, tingkat pendidikan, manufaktur, efek politik, investasi, tingkat pengangguran, populasi
Regresi Data Panel
Variabel desentralisasi, GDP per kapita, tingkat pengangguran signifikan dan berhubungan negatif dengan ketimpangan, sedangkan variabel panjang jalan, tingkat metropolitan, pendidikan, manufaktur, dan investasi signifikan dan berhubungan negatif terhadap ketimpangan
Sabir Variabel Y: Model Alokasi Belanja
51
Indeks Entropi Theil Variable X: Pertumbuhan Ekonomi , Ketimpangan Pendapatan, Penyerapan Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat
Panel. Pooled data
Modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah , ketimpangan pendapatan.
K. Kerangka Berpikir
Ketimpangan Pendapatan merupakan permasalahan ekonomi yang
kompleks dan harus segera di selesaikan.Penelitian ini menggunakan rasio
gini sebagai alat ukur dari ketimpangan pendapatan.
Dalam penelitian ini terdapat beberapa variabel independent yaitu (X1)
pertumbuhan ekonomi yang menggambarkan tingkat kesejahteraan
masyarakat , (X2)tingkat pengangguran terbuka yang menggambarkan
seberapa besar tenaga kerja yang terserap , dan (X3) belanja modal yang
dapat mempengaruhi tersedianya lapangan pekerjaan dengan
pembangunan infrastruktur yang produktif yang dapat menyerap tenaga
kerja.
52
Berikut adalah kerangka pemikiran dari penelitian ini :
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
Hipotesis :
1. Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
ketimpangan pendapatan. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka
ketimpangan pendapatan akan berkurang.
2. Pengangguran terbuka berpengaruh positif dan signifikan terhadap
ketimpangan pendapatan. Semakin tinggi pengangguran terbuka maka
akan semakin tinggi ketimpangan pendapatan.
3. Belanja Modal berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
ketimpangan pendapatan. Semakin besar belanja modal yang
dikeluarkan maka ketimpangan pendapatan akan semakin berkurang.
Pertumbuhan Ekonomi
(X1)
Rasio Gini
(Y)
Tingkat Pengangguran Terbuka
(X2)
Belanja Modal
(X3)
53
L. Hipotesis Penelitian
Penelitian ini menganalisis ketimpangan pendapatan antar
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Dengan menggunakan variabel
Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), dan
Belanja Modal dan juga Ketimpangan Pendapatan yang digambarkan
dengan rasio gini.
Dalam Skripsi yang berjudul “ Pengaruh Laju GDP Per
Kapita,Tingkat Pengangguran dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Wanita terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Provinsi Jawa
Timur” oleh Bayu Permana Putra. Penelitian ini dilakukan pada semester
genap tahun pelajaran 2009/2010 dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat
provinsi Jawa Timur. Analisis data yang digunakan dengan model analisis
regresi linier berganda dan di olah dengan menggunakan SPSS.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat
pengangguran, tingkat partisipasi angkatan kerja wanita dan laju GDP per
kapita berpengaruh terhadap distribusi pendapatan di provinsi Jawa Timur.
Dalam Skripsi yang berjudul “ Dana Perimbangan dan Alokasi
Belanja Modal serta Implikasinya terhadap Ketimpangan Daerah di
Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009-2013” oleh Mirah Midadan.
Metode penelitian yang digunakan adalah analisis panel data dengan
menggunakan program eviews 8. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
variabel dana perimbangan tidak berpengaruh terhadap ketimpangan
54
daerah secara langsung dan variabel belanja modal berpengaruh negatif
terhadap ketimpangan daerah secara langsung. Pertumbuhan ekonomi
berpengaruh positif terhadap ketimpangan daerah secara langsung. Di lain
sisi, variabel dana perimbangan dan belanja modal berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan penelitian terdahulu di atas dan rumusan masalah pada
bab sebelumnya , maka peneliti akan menjelaskan hubungan antara
variabel-variabel terkait untuk dilakukan pengujian ada atau tidaknya
pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil dari
hipotesis sementara dalam penelitian ini meliputi :
1. H1 : Terdapat pengaruh secara bersama-sama antara variabel
independen Pertumbuhan Ekonomi (X1), Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) (X2), dan Belanja Modal (X3), terhadap variabel
dependen Rasio Gini (Y).
H0 : Diduga tidak terdapat pengaruh secara bersama- antara
variabel independen Pertumbuhan Ekonomi (X1), Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) (X2), dan Belanja Modal (X3), terhadap
variabel dependen Rasio Gini (Y).
2. H1 : Terdapat pengaruh antara variabel independen Pertumbuhan
Ekonomi (X1) terhadap variabel dependen Rasio Gini (Y).
H0 : Diduga tidak terdapat pengaruh antara variabel independen
Pertumbuhan Ekonomi (X1) terhadap variabel dependen Rasio Gini
(Y).
55
3. H1 : Terdapat pengaruh antara variabel independen Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) (X2) terhadap variabel dependen Rasio
Gini (Y).
H0 : Diduga tidak terdapat pengaruh antara variabel independen ,
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) (X2) terhadap variabel
dependen Rasio Gini (Y).
4. H1 : Terdapat pengaruh antara variabel independen Belanja Modal
(X3) terhadap variabel dependen Rasio Gini (Y).
H0 : Diduga tidak terdapat pengaruh antara variabel independen
Belanja Modal (X3) terhadap variabel dependen Rasio Gini (Y).
56
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan satu variabel dependen yaitu
ketimpangan pendapatan dan dan tiga variabel independen yaitu
independen Pertumbuhan Ekonomi (X1), Tingkat Pengangguran Terbuka
(TPT) (X2), dan Belanja Modal (X3). Data yang digunakan adalah data
sekunder, yaitu data yang diperoleh berdasarkan informasi yang telah
disusun dan dipublikasikan oleh instansi tertentu. Dalam penelitian ini
menggunakan Analisis Regresi Data Panel, yaitu analisis yang
menggabungkan data time series dan cross section. Adapun data time
series yang digunakan adalah tahun 2007-2013, selain itu data cross
section yaitu 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.
B. Metode Penentuan Sampel
Sampel adalah kelompok kecil yang diamati dan merupakan bagian
dari populasi sehingga sifat dan karakteristik poupulasi juga dimiliki
sampel (Syarifudin, 2011:124). Sampel merupakan hal yang penting
dalam penelitian kuantitatif dan harus sesuai dengan variabel yang diteliti
agar mendapatkan hasil yang diharapkan atau tidak mengalami kekeliruan.
Dalam menentukan jumlah sampel yang akan di ambil , penelitian ini
menggunakan purposive sampling yaitu penarikan sampel yang dilakukan
karena tujuan penelitian dan hanya dimaksudkan untuk mengungkap
variabel sebatas itu saja. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini
57
adalah 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah yang meliputi 29
daerah Kabupaten dan 6 daerah Kota.
C. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari
BPS Jawa Tengah , data yang diperoleh meliputi : Rasio Gini, PDRB Atas
Dasar Harga Konstan, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Direktorat
Jendral Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, data yang
diperoleh meliputi : Belanja Modal. Secara keseluruhan data menurut
Kabupaten/Kota tahun 2007-2013.
D. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kuantitatif, yaitu pendekatan yang menekankan pada angka-
angka dalam penelitiannya dengan model ekonometrik untuk
mendapatkan gambaran hubungan antara variabel-variabel yang
digunakan dalam penelitian ini. Dan alat pengolah data dalam penelitian
ini menggunakan Software Microsoft Excel dan Eviews 8.
a. Metode Data Panel
Menurut (Kusrini,2010:180) bahwa data panel merupakan
gabungan antara data berkala (time series) dan data individual (cross
section). Data time series adalah data yang dikumpulkan dari waktu
ke waktu terhadap suatu individu. Sedangkan data cross section
merupakan data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap
banyak individu.
58
Model dengan data cross section :
Yi = α + βXi + ei ; i = 1,2,…,N
N = Banyaknya data cross section
Model dengan data time series :
Yt = α + βXt + et ; t = 1,2,….,T
T = Banyaknya data time series
Model dengan data panel :
Yit = α + βXit + eit ; i = 1,2,…,N; t= 1,2,….,T
N = Banyaknya data cross section
T = Banyaknya data time series
N*T = Banyaknya data panel
Menurut (Kusrini,2010:181), menjelaskan bahwa estimasi data
panel memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut:
a. Apabila data panel berhubungan dengan data berbagai individu,
negara bagian (propinsi), negara dan lainnya antar waktu,
maka heterogenitas antar unit dapat dikendalikan.
b. Dengan mengkombinasikan observasi berdasarkan deret
waktu dan kerat lintang, maka data panel memberikan
informasi yang relatif lebih lengkap, bervariasi, kolineritas antar
variabel menjadi berkurang, serta meningkatkan derajat
kebebasan.
c. Dengan meneliti data kerat lintang antar waktu, data panel
dapat digunakan untuk meneliti dinamika perubahan data kerat
59
lintang, seperti mendeteksi tingkat pengangguran, dan mobilitas
pekerja.
d. Data panel dapat digunakan dalam membangun dan menguji
model perilaku yang lebih kompleks.
e. Data panel dapat digunakan untuk mempelajari model-model
perilaku misalnya fenomena perubahan skala ekonomi.
b. Pemodelan Data Panel
Metode estimasi dengan menggunakan data panel dapat
dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
a. Pooled Least Square
Metode ini dilakukan dengan menggabungkan/mengkombinasikan
data time series dan cross section dengan metode OLS. Metode ini
tidak memperhatikan adanya perbedaan individu maupun waktu,
dimana intersep dan slope dianggap sama untuk setiap individu.
Menurut Winarno (2007:9.14), metode Pooled Least Square
merupakan teknik yang paling sederhana mengasumsikan bahwa
data gabungan yang ada, menunjukkan kondisi yang
sesungguhnya. Hasil analisis regresi dianggap berlaku pada semua
obyek pada semua waktu.
b. Metode Efek Tetap (Fixed Effect)
Metode efek tetap mengasumsikan adanya perbedaan intersep,
dimana intersep hanya bervariasi terhadap individu sedangkan
terhadap waktu adalah konstan. Disamping itu, metode ini
mengasumsikan bahwa slope antar individu dan waktu adalah
60
konstan. Adapun yang dimaksud dengan efek tetap adalah setiap
individu memiliki konstanta yang tetap untuk berbagai
periode/waktu, demikian juga slope yang tetap untuk setiap
waktu. Dengan metode ini, perbedaan antar individu dapat
diketahui melalui perbedaan nilai intersep.
c. Metode Efek Acak (Random Effect)
Metode efek acak memperhitungkan residual yang diduga
memiliki hubungan antar individu dan antar waktu. Model panel
data yang di dalamnya melibatkan korelasi antar error term karena
berubahnya waktu dan berbeda observasi dapat diatasi dengan
pendekatan model komponen error atau disebut juga model
random effect.
Metode ini digunakan untuk mengatasi kelemahan metode efek
tetap yang menggunakan variabel semu, sehingga model
mengalami ketidakpastian. Syarat untuk menganalisis efek
random yaitu objek data silang harus lebih besar daripada
banyaknya koefisien
3. Pemilihan Model Data Panel
Untuk menguji permodelan regresi data panel ketiga estimasi
model regresi dengan melakukan Uji Chow dan Uji Hausman yang
ditujukan untuk menentukan apakah model data panel dapat
diregresi dengan metode Pooled Least Square, metode Fixed
Effect, atau metode Random Effect. (Widarjono,2007:258).
61
a. PLS vs FEM ( Uji Chow)
Uji Chow digunakan untuk menentukan apakah model
data panel diregresi dengan metode Pooled Least Square atau
dengan metode Fixed Effect, apabila dari hasil uji tersebut
ditentukan bahwa metode Pooled Least Square yang digunakan,
maka tidak perlu diuji kembali dengan Uji Hausman, namun
apabila dari hasil Uji Chow tersebut ditentukan bahwa metode
Fixed Effect yang digunakan, maka harus ada uji lanjutan dengan
uji Hausman. Pengujian yang dilakukan menggunakan Chow-test
atau Likelihood ratio test, dengan asumsi yaitu:
H0: model mengikuti Pool,
H1: model mengikuti Fixed effect dan lanjut tes Hausman
Pedoman yang akan digunakan dalam pengambilan kesimpulan uji
Chow adalah sebagai berikut :
1) Jika nilai p-value F > 0,05 artinya Ho terima : maka model
Pooled Least Square
2) Jika nilai p-value F < 0,05 artinya Ho ditolak: maka model
fixed effect dan dilanjutkan uji Hausman untuk memilih
apakah menggunakan model fixed effect atau random effect.
b. FEM vs REM (Uji Hausman)
Uji Hausman untuk memilih antara metode Fixed Effect atau
metode Random Effect yang akan digunakan untuk mengestimasi
62
regresi data panel. Pengujian yang dilakukan menggunakan
Hausman test dengan asumsi, yaitu:
H0: model mengikuti Random Effect.
H1: model mengikuti Fixed Effect.
Pedoman yang akan digunakan dalam pengambilan
kesimpulan uji Hausman adalah sebagai berikut :
1) Jika nilai p-value F > 0,05 artinya Ho terima : maka model
Random Effect
2) Jika nilai p-value F < 0,05 artinya Ho ditolak: maka model
Fixed Effect .
4. Model Empiris
Model persamaan dasar data panel yaitu :
Yit = β0 + β1 X1it + β2 X2it + β3 X3it + β4 X4it + 휇it ……….
Model persamaan yang akan diestimasi pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:
RGit = β0 + β1 PEit + β2 TPTit + β3 BMit + 휇it ………….
Adanya perbedaan satuan dan besaran variabel bebas dalam
persamaan menyebabkan persamaan regresi harus dibuat dengan
model logaritma natural. Sehingga persamaan menjadi sebagai
berikut :
RGit = β0 + β1 LNPEit + β2 TPTit + β3 LNBMit +
휇it…………………………………………...
63
Dimana :
RGit : Rasio Gini
PEit : Pertumbuhan Ekonomi di daerah i pada
periode t
TPTit : Tingkat Pengangguran Terbuka di daerah i
pada periode t
BMit : Belanja Modal di daerah i pada periode t
β0…. βn : Koefisien Regresi atau Konstan
휇it : Error Term
LN : Logaritma Linier
5. Uji Asumsi klasik
Suatu model dikatakan baik untuk alat prediksi apabila
mempunyai sifat- sifat tidak bias linier terbaik suatu penaksir.
Disamping itu suatu model dikatakan cukup apabila sudah lolos dari
serangkaian uji asumsi klasik yang melandasinya. Uji asumssi klasik
terdiri dari :
a. Uji Normalitas
Uji asumsi Klasik yang pertama adalah uji normalitas,
dilakukan untuk melihat bahwa suatu data terdistribusi dengan
normal atau tidak. Uji normalitas residual metode OLS secara
formal dapat dideteksi dari metode yang dikembangkan oleh
Jarque-Bera (J-B). Deteksi dengan melihat Jarque-Bera test yang
64
merupakan asimtotis (sampel besar dan didasarkan atas residual
OLS).
Hipotesis :
H0 : Data terdistribusi normal
H1 : Data tidak terdistribusi normal
1) Jika probability JBtest lebih besar α 5% = data
berdistribusi normal (tolak H1, terima Ho)
2) Jika probability JBtest lebih kecil α 5% = data tidak
berdistribusi normal (terima H1, tolak Ho)
b. Multikolinearitas
Multikolinearitas artinya terdapat korelasi yang signifikan di
antara dua atau lebih variabel bebas dalam suatu model
regresi.Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas
dalam model persamaan penelitian ini, penulis menggunakan
matriks korelasi (Correlation Matriks).
Indikasi awal adanya masalah multikolinearitas dalam model
adalah mempuyai standard error besar dan nilai statistik t
yang rendah. (Widarjono, 2007:113).
Cara menghilangkan multikolinearitas yaitu dengan cara
menghilangkan salah satu variabel independen yang mempunyai
hubungan linear kuat, mentransformasi variabel dan
menambahkan jumlah data. (Widarjono, 2007:120)
65
Apabila pengujian multikolinearitas dilakukan dengan
menggunakan correlation matrix, jika hasilnya ada yang melebihi
dari 0,8, itu menandakan bahwa terjadi multikolinearitas yang
serius. Jika terjadi multikolinearitas yang serius, maka akan
berakibat buruk, karena hal tersebut akan mengakibatkan pada
kesalahan standar estimator yang besar. (Gujarati, 2006:68&71)
Hipotesis :
H0 : tidak ada multikolinieritas
H1 : ada multikolinieritas
1) Pada Correlation Matrix, jika nilai korelasi yang dihasilkan <
0,8 = Tidak terdapat multikolineritas (tolak H1 terima Ho)
2) Pada Correlation Matrix, jika nilai korelasi yang dihasilkan
sangat tinggi (umumnya > 0,8) = Terdapat multikolineritas.(
tolak Ho,terima H1)
c. Uji Heterokedastisitas
Salah satu asumsi yang penting dari model regresi linier
klasik adalah varian residual bersifat homoskedastik atau bersifat
konstan. -Pada umumnya heteroskedastisitias sering terjadi pada
model-model yng menggunakan data silang cross section daripada
data runtut waktu time series. Adapun penyebab dari
heteroskedastisitas sebagai berikut :
66
1) Database dari satu atau lebih varian mengandung nilai-nilai
dengan suatu jarak (range) yang lebar, yaitu jarak antara nilai
yang paling kecil dengan nilai paling besar adalah lebar.
2) Perbedaan laju pertumbuhan antara variabel-variabel
dependen dan independen adalah signifikan dalam periode
pengamatan untuk data runtut waktu.
3) Di dalam data itu sendiri memang terdapat heteroskedastisitas,
terutama pada data silang.
Apabila kondisi-kondisi tersebut di atas dipenuhi, maka
varian pada nilai rresidu akan berkorelasi dengan suatu varian
independen berubah naik atau turun, varian nilai residu itu akan
berubah naik atau turun. Inilah yang disebut persoalan
heteroskedastisitas (Yahya, 2004:74-76.)
Ada beberapa cara untuk mendeteksi adanya
heteroskedastisitas, diantaranya dapat menggunakan uji Park,
dimana jika nilai probabilitas seluruh variabel independen lebih
besar dari α= 5% maka dapat disimpulkan data terbebas dari
heteroskedastisitas.
Persoalan heteroskedastisitas seringkali ditangani dengan
dua cara pertama mentransformasi data dengan suatu faktor yang
tepat, kemudian baru menggunakan prosedur OLS terhadap data
yang telah ditransformasikan itu. Prosedur yang meliputi dua
67
langkah ini sering di kenal dengan nama General Least Square
(GLS) (Yahya, 2004: 82)
d. Uji Autokorelasi
Autokorelasi merupakan pelonggaran asumsi klasik yang
menyatakan bahwa dalam pengamatan- pengamatan yang berbeda
tidak terdapat korelasi error term. Intisari autokorelasi adalah
bahwa error term pada satu periode waktu secara sistematik
tergantung kepada satu error term pada periode-periode waktu
yang lain (Yahya, 2004;58)
Pada umumnya ada beberapa cara untuk mendeteksi adanya
autokorelasi, namun seringkali mendeteksi autokorelasi dengan
menggunakan Uji Durbin-Watson.
Tabel 3.1 Uji Durbin-Watson
Ada autokorelasi positif
Tidak dapat diputuskan
Tidak ada autokorelasi
Tidak dapat diputuskan
Ada autokorelasi negative
Apabila D-W berada diantara 1,54 hingga 2,46 maka model
tersebut tidak terdapat autokorelasi. Sebaliknya, jika DW tidak
berada diantara 1,54 hingga 2,46 maka model tersebut terdapat
autokorelasi. (Wing Wahyu, 2007:5.26).
0 dL du 4-du 4-dL
1,10 1,54 2,46 2,90
68
Cara lain adalah Data terbebas autokorelasi jika nilai Durbin-
Watson berada di antara du dan 4-du atau du < DW < 4-du.
6. Uji Hipotesis
Pengujian ini digunakan untuk mengetahui apakah variabel-
variabel independen secara individu dan bersama-sama
mempengaruhi signifikan terhadap variabel dependen.Uji statistik
meliputi Uji F, Uji t, dan Koefesien Determinasi.
a. Uji Signifikansi Simultan ( uji-F)
Pengujian ini dilakukan untuk menguji pengaruh semua
variabel independen terhadap variabel dependen secara
bersamaan. Pengujian ini bertujuan mendeteksi apakah semua
variabel independen secara serentak berpengaruh secara
signifikan terhadap variabel dependen. Untuk uji signifikansi F
dapat dilakukan dua cara, sebagai berikut:
1) Cara pertama dilakukan dengan membandingkan nilai F
hitung dengan F tabel dengan ketentuan sebagai berikut:
H1 ; β = berarti ada pengaruh yang signifikan dari
variabel independen terhadap variabel dependen secara
simultan.
Ho ; β = berarti tidak ada pengaruh yang signifikan dari
variabel independen terhadap variabel dependen secara
simultan.
69
Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 % atau taraf
signifikan 5% (α=0,05) dengan kriteria penilaian sebagai
berikut:
(a) Jika F hitung > F tabel maka H1 diterima dan Ho
ditolak berarti terdapat pengaruh yang signifikan dari
variabel independen terhadap variabel dependen secara
simultan.
(b) Jika F hitung < F tabel maka Ho diterima dan H1
ditolak berarti tidak terdapat pengaruh yang signifikan
dari variabel independen terhadap variabel dependen
secara simultan
2) Cara kedua dilakukan dengan pengujian hipotesis yang
dilakukan dengan melihat p-value atau nilai probabilitas dari
F-Statistik. Konsep ini membandingkan α=5% dengan nilai
probabilitas. Jika p-value lebih kecil dari α=5% .
Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan dari variabel independen terhadap variabel
dependen secara simultan. Namun jika p-value lebih besar
dari α=5% maka tidak terdapat pengaruh yang signifikan
dari variabel independen terhadap variabel dependen secara
simultan.
b. Uji Parsial (uji-t)
Pengujian ini dilakukan untuk menguji pengaruh semua
variabel independen terhadap variabel dependen secara
70
parsial atau individu. Pengujian ini bertujuan mendeteksi
apakah semua variabel independen secara parsial berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel dependen. Untuk uji
signifikansi t dapat dilakukan dua cara, sebagai berikut:
1) Cara pertama dilakukan dengan membandingkan nilai t hitung
dengan t tabel dengan ketentuan sebagai berikut :
(a) H1 ; β = berarti terdapat pengaruh yang signifikan dari
variabel independen terhadap variabel dependen secara
parsial.
(b) Ho ; β = berarti tidak terdapat pengaruh yang signifikan
dari variabel independen terhadap variabel dependen
secara parsial.
Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 % atau
taraf signifikan 5% (α=0,05) dengan kriteria penilaian sebagai
berikut :
(a) Jika t hitung > t tabel maka H1 diterima dan Ho ditolak
berarti terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel
independen terhadap variabel dependen secara parsial.
(b) Jika t hitung < t tabel maka Ho diterima dan H1 ditolak
berarti tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel
independen terhadap variabel dependen secara parsial.
2) Cara kedua dilakukan dengan pengujian hipotesis yang
dilakukan dengan melihat p-value atau nilai probabilitas dari t-
Statistik. Konsep ini membandingkan α=5% dengan nilai
71
probabilitas. Jika p-value lebih kecil dari α=5% maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari
variabel independen terhadap variabel dependen secara parsial.
Namun jika p-value lebih besar dari α=5% maka tidak terdapat
pengaruh yang signifikan dari variabel independen terhadap
variabel dependen secara parsial (Nachrowi dan Usman,
2008:24-25).
c. Koefisien Determinasi (R2)
Koefesien determinasi mengukur seberapa jauh kemampuan
model dalam menerangkan variasi variabel depedennya. Nilai
koefesien determinasi adalah antara nol dan satu nilai R2yang
kecil berati kemampuan variabel-variabel indenpenden dalam
menjelaskan variasi variabel dependen sangat terbatas dan nilai
yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen
memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk
memprediksi variasi variabel dependennya (Supranto, 2005:75).
E. Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel Dependen
Variabel dependen merupakan variabel yang nilainya
dipengaruhi oleh variabel independen. Variabel dependen ditulis dalam
Y. Berdasarkan uraian pada tinjauan pustaka dan hasil penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
ketimpangan pendapatan antar wilayah, maka penelitian ini
72
menspesifikasikan variabel dependen dan definisi operasional sebagai
“Y” (RG) sebagai berikut :
Koefisien Gini adalah : Ukuran kuantitatif agregat ketimpangan
pendapatan yang berkisar dari 0 (kemerataan kesempurnaan) sampai
dengan 1 (ketimpangan sempurna).
2. Variabel Independen
Variabel independen merupakan variabel yang mempengaruhi
variabel dependen. Variabel independen ditulis dalam X. Berdasarkan
uraian pada tinjauan pustaka dan hasil penelitian terdahulu yang
berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan
pendapatan antar wilayah, maka penelitian ini menspesifikasikan
variabel dependen dan definisi operasional sebagai berikut.
a. Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan jangka panjang dalam
kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis
barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Pada penelitian ini
pertumbuhan ekonomi menggunakan laju pertumbuhan PDRB Atas
Dasar Harga Konstan 2000.
b. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) merupakan persentase
jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja. Angka Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) mengindikasikan besarnya persentase
angkatan kerja yang termasuk dalam pengangguran. Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) diperoleh dari jumlah pengangguran
dibagi jumlah angkatan kerja dikalikan seratus persen.
73
c. Belanja Modal yaitu pengeluaran yang manfaatnya melebihi
satu tahun anggaran dan dapat menambah aset pemerintah yang
selanjutnya meningkatkan biaya pemeliharaan.
Tabel 3.2 Operasional Variabel Penelitian
Jenis
Variabel
Variabel Definisi
variabel
Ukuran
Dependen Ketimpangan Pendapatan
Rasio Gini menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
Rasio
Independen Pertumbuhan Ekonomi
Laju PDRB Atas Dasar Harga Konstan menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
Rasio
Independen Tingkat Pengangguran Terbuka
Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
Rasio
Independen Belanja Modal
Belanja Modal menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
Rasio
74
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Jawa yang letaknya
berada di antara dua provinsi yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur.
Letaknya antara 5o40’ dan 8o30’ Lintang Selatan dan antara antara 5o40’
dan 108o30’ dan 111o30’ Bujur Timur (termasuk Pulau Karimunjawa).
Secara Administratif, letak wilayah Provinisi Jawa Tengah berbatasan
dengan Samudera Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah
Selatan; Provinsi Jawa Barat di sebelah Barat; Provinsi Jawa Timur di
sebelah Timur, dan Laut Jawa di sebelah Utara. Provinsi Jawa Tengah
terbagi menjadi 29 Kabupaten dan 6 Kota. Dimana luas wilayah Jawa
Tengah sebesar 3,25 juta hektar atau sekitar 25,04 % dari pulau Jawa dan
1,70 persen dari luas Indonesia. Berdasarkan Angka Sementara Proyeksi
Sensus Penduduk (SP) 2010, jumlah penduduk Jawa Tengah pada tahun
2014 tercatat sebesar 33,52 juta jiwa atau sekitar 13,29 persen dari
jumlah penduduk di Indonesia. Hal ini menempatkan sebagai provinsi
yang memiliki jumlah penduduk terbanyak ketiga setelah Jawa Barat dan
Jawa Timur.
Kondisi fisiografis Jawa Tengah terbagi menjadi 7 (tujuh)
klasifikasi fisiografis yaiu Perbukitan Rembang, Zone Randublatung,
Pegunungan Kendeng, Pegunungan Selatan Jawa Tengah bagian Timur,
75
Pegunungan Serayu Utara, Pegunungan Serayu Selatan, dan Pegunungan
Progo Barat.
Selain fisiografis, Jawa Tengah juga memiliki kondisi topografi
yang beraneka ragam, meliputi daerah pegunungan dan dataran tinggi
yang membujur sejajar dengan panjang pulau Jawa di bagian Tengah;
dataran rendah yang yang hampir tersebar di seluruh Jawa Tengah; dan
pantai yaitu pantai Utara dan Selatan. Kondisi fisiografis dan topografi
yang beraneka ragam menyebabkan ketimpangan di Jawa Tengah cukup
tinggi dikarenakan setiap daerah memiliki sumber daya alam, persebaran
penduduk, ketersediaan sarana dan prasarana, dan kegiatan sosial
ekonomi yang berbeda. Selain ketimpangan, hal ini menyebabkan
provinsi Jawa Tengah memiliki kawasan rawan bencana yang dapat
menganggu perekonomian Jawa Tengah. Kejadian bencana yang paling
menonjol diantaranya adalah kejadian bencana erupsi Gunung Merapi
pada tanggal 26 Oktober 2010 dan diikuti dengan aliran lahar hujan yang
merusakkan areal persawahan dan permukmiman dikawasan puncak dan
sekitar sungai yang berada di Kabupaten Magelang, Klaten, dan
Boyolali.
Selama periode 2007-2013 kinerja perekonomian di Provinsi Jawa
Tengah cukup baik, terlihat dari pertumbuhan Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 yang tumbuh
dengan laju rata-rata 5,71 % per tahun. Namun demikian laju
pertumbuhan tersebut belum cukup untuk mengurangi kesenjangan
76
pendapatan per kapita Provinsi Jawa Tengah dari angka rata-rata
nasional. Rasio PDRB per kapita antara Provinsi Jawa Tengah dan
nasional menurun dari 56,4 persen menjadi 49,3 persen. Dengan
kenyataan bahwa laju pertumbuhan penduduk Jawa Tengah selama 2000-
2010 relatif rendah, yaitu sebesar 0,37 persen per tahun.
B. Analisis dan Pembahasan
1. Analisa Deskriptif
a. Ketimpangan Pendapatan (Rasio Gini)
Ketimpangan merupakan masalah yang seringkali terjadi
dalam proses pembangungan ekonomi. Dimana ketimpangan ini
telah menimbulkan ketidakpuasan terhadap usaha-usaha
pembangunan di beberapa negara berkembang, karena dianggap
usaha tersebut hanya menguntungkan sebagian kecil
masyarakatnya. Pembangunan ekonomi bukanlah bertujuan untuk
menciptakan modernisasi dalam suatu masyarakat, tetapi yang
lebih penting adalah menciptakan kehidupan yang lebih baik
kepada seluruh masyarakat.
Dimana tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan
ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya,
harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan,
ketimpangan pendapatan, dan tingkat pengangguran. Kesempatan
kerja bagi penduduk atau masyarakat akan memberikan pendapatan
77
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
Jawa Tengah
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya . Todaro,2002 (dalam
Kuncoro, 2004:127).
Untuk mengetahui seberapa besar ketimpangan di Provinsi
Jawa Tengah, maka penelitian ini menggunakan koefisien gini atau
rasio gini. Koefisien gini merupakan ukuran kuantitatif agregat
ketimpangan pendapatan yang berkisar dari 0 (kemerataan
kesempurnaan) sampai dengan 1 (ketimpangan sempurna).
Semakin tinggi nilai koefisien gini yang mendekati 1 maka
semakin timpang distribusi pendapatannya dan sebaliknya, jika
semakin rendah nilai koefisien gini maka semakin merata distribusi
pendapatannya. Berikut merupakan gambaran dari ketimpangan
pendapatan antar Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah.
Grafik 4.1 Rata-rata Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Tengah (Dalam Persen)
Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah, (data diolah)lampiran 1
Berdasarkan grafik 4.1 ketimpangan pendapatan dari tahun
2007-2014 mengalami tren yang meningkat dan berfluktuatif. Hal
ini menunjukkan bahwa pendistribusian pendapatan dari tahun ke
78
tahun semakin memburuk atau timpang. Berdasarkan hasil Susenas
pada tahun 2013, Kabupaten Pemalang memiliki nilai Koefisien
Gini terendah sebesar 0,24 dan tertinggi sebesar 0,41 yaitu
Kabupaten Blora. Angka koefisien gini tertinggi setelah
Kabupaten Blora secara berturut-turut meliputi wilayah Kabupaten
Boyolali (0,40), Kabupaten Banjarnegara (0,39), Kabupaten
Cilacap (0,37), Kota Salatiga (0,37) dan Kabupaten Banyumas
(0,36). Angka ini menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan di
Provinsi Jawa Tengah termasuk ketimpangan sedang. Adapun
penyebab ketimpangan yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah yaitu
struktur perekonomian di Kabupaten/Kota yang berbeda dimana
beberapa daerah merupakan industri dan perkotaan yang cukup
maju sedangkan daerah lain merupakan perdesaan yang masih di
dominasi oleh sektor pertanian atau sektor primer.
Dapat dilihat bahwa pada tahun 2008 mengalami kenaikan
dengan nilai koefisien gini sebesar 0.27 dari tahun sebelumnya
sebesar 0,23. Hal ini disebabkan karena terjadinya krisis keuangan
global dan bencana gunung merapi . Krisis keuangan global
menyebabkan daerah- daerah yang memiliki banyak kelompok
pekerja yang masuk ke dalam kategori tidak berpendidikan seperti
pekerja kontrak atau borongan industri yang berorientasi ekspor
dan padat karya seperti tekstil, pakaian jadi, makanan dan
minuman, barang-barang kulit dan barang kayu rentan akan
79
kemiskinan yang menyebabkan tingkat pendapatan akan menurun
sehingga ketimpangan semakin tinggi. Biasanya kebanyakan
pekerja seperti ini berada di daerah perindustrian dan perkotaan.
Hal ini dapat dibuktikan dengan nilai koefisien gini tertinggi di
daerah Kabupaten Banyumas yang di dominasi oleh industry
pengolahan dan perdagangan sebesar 0,3450 dan daerah perkotaan
seperti kota Salatiga sebesar 0,3220.
Kemudian pada tahun 2010-2012 nilai koefisien gini juga
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan
karena terjadi bencana yaitu gunung Merapi yang meletus pada 26
Oktober 2010. Dimana lereng sisi selatan berada dalam
administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan
sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu
Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara
dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara.
Gunung Merapi terletak di tengah provinsi Jawa Tengah
menyebabkan ketimpangan yang cukup signifikan akibat bencana
tersebut, karena berhentinya aktivitas mata pencaharian ,
berhentinya pembangunan infrastruktur, dan gagal panen. Dimana
pada tahun 2012 menjadi tahun yang memiliki nilai koefisien gini
paling tinggi yaitu sebesar 3,4. Dimana nilai koefisien gini
tertinggi yaitu Kabupaten Karanganyar (0,39) dan terendah yaitu
Kabupaten Pemalang (0,24).
80
b. Pertumbuhan Ekonomi
Untuk mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan
tidak terlepas dari pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
pendapatan sebagai pondasi dasar. Trade off atau pertukaran antara
pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan selalu terjadi
dalam proses pembangunan. Tingginya pertumbuhan ekonomi
suatu daerah tidak menjamin kesejahteraan masyarakat secara riil,
dimana pertumbuhan ekonomi menjadi tidak berarti lagi oleh kaum
miskin jika tidak diiringi dengan penurunan dari kesenjangan
pendapatan.
Seperti yang dikemukakan oleh Kuznets bahwa pada tahap-
tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung
menurun, dengan kata lain terjadinya ketimpangan yang tinggi.
Namun dalam jangka panjang kondisi tersebut akan membaik.
Hipotesis ini dikenal dengan hipotesis “U-Terbalik” Kuznet.
Menurut Kuznet distribusi pendapatan akan meningkat sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2011:277).
Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan jangka panjang
dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin
banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Tolak
ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan
ekonomi, struktur ekonomi, dan semakin kecilnya ketimpangan
pendapatan antarpenduduk, antar daerah, dan antar sektor
81
(Kuncoro, 2004: 127). Berikut merupakan laju pertumbuhan
ekonomi antar Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah :
Grafik 4.2 Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi antar Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Tengah (Dalam Persen)
Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah, (data diolah) Lampiran 1
Berdasarkan grafik 4.2 laju pertumbuhan ekonomi antar
Kabupaten/Kota provinsi jawa tengah memiliki tren yang
meningkat dan berfluktuatif. Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah
tahun 2013 yang ditunjukkan laju pertumbuhan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 mengalami
penurunan dari tahun sebelumnya, yaitu 4,79 % pada tahun 2008
dan 4,71 % pada tahun 2009, penurunan ini disebabkan karena
krisis keuangan global yang berpengaruh terhadap perekonomian
daerah akibat kinerja ekspor yang berdampak langsung pada
penurunan output nasional dan daerah.
Penurunan juga terjadi pada tahun 2013 dengan laju
pertumbuhan ekonomi sebesar 5,81 % dimana pada tahun 2012
sebesar 6,34 % . Rendahnya peningkatan investasi menjadi salah
4.00
4.50
5.00
5.50
6.00
Jawa Tengah
82
satu penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi tahun 2013
dibanding tahun 2012. Dimana nilai investasi menurut lapangan
usaha terjadi penurunan yang cukup besar pada sektor sekunder
yaitu industri mineral non logam dengan total penurunan hampir
42 %.
Pertumbuhan riil sektoral tertinggi pada tahun 2013
dicapai oleh sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
sebesar 10,56 % dan sektor pertumbuhan yang paling rendah pada
tahun 2013 yaitu sektor pertanian yaitu sebesar 2,18 %. Jika dilihat
dari besaran Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga
Berlaku tanpa migas tahun 2013 dari masing-masing
Kabupaten/Kota di Jawa Tengah nilainya sangat beragam.
Kabupaten/Kota dengan Produk Domestik Regional Bruto
Terendah adalah Kota Salatiga dan yang tertinggi adalah Kota
Semarang.
Dari sebaran data Produk Domestik Regional Bruto Atas
Dasar Harga Berlaku, tiga Kabupaten/Kota yaitu Kota Semarang,
Cilacap dan Kudus nilainya sangat mencolok jauh di atas
Kabupaten/Kota lainnya. Kabupaten Kudus dengan potensi
industry rokok menghasilkan Produk Domestik Bruto Regional
sebesar 41,193 triliun rupiah, menempati posisi ketiga terbesar
setelah Kota Semarang dan Kabupaten Cilacap dengan nilai
Produk Domestik Regional Bruto masing-masing sebesar 61,093
83
triliun rupiah dan 56,098 triliun rupiah. Sedangkan Kota Salatiga
menempati posisi terendah dengan nilai Produk Domestik Regional
Bruto sebesar 2,282 triliun rupiah.
Kenaikan Produk Domestik Bruto Regional atas dasar harga
konstan juga mengalami kenaikan pada tahun 2010 mencapai Rp.
444,4 triliun. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2009
sebesar Rp. 397,9 triliun. (Publikasi BPS, 2010-2011)
Laju pertumbuhan ekonomi meningkat secara signifikan pada
tahun 2011 sebesar 4,99 % ke 5,51% pada tahun 2012 dikarenakan
adanya kenaikan investasi baik dari dalam negeri maupun asing
dari sektor pengolahan dimana sektor industri pengolahan masih
memberikan sumbangan sektor tertinggi terhadap perekonomian
Jawa Tengah yaitu sebesar 32,73 %. Dimana pada tahun 2012
kenaikan tertinggi terjadi pada industri tekstil yaitu pada sebesar
498 juta rupiah dari 251 juta rupiah pada tahun 2011 dengan laju
kenaikan sekitar 50 %. Sektor industri lain yang mengalami
kenaikan adalah sektor industri karet dimana pada tahun 2012
sebesar 159 juta rupiah dan mengalami kenaikan sekitar 60 % dari
65 juta rupiah (Publikasi BPS, 2012-2013).
c. Tingkat Pengangguran Terbuka
Menurut Sjafrizal (Syafrizal, 2008:117) faktor-faktor
yang mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah
salah satunya adalah karena perbedaan kondisi demografis.
84
Kondisi demografis ini akan dapat mempengaruhi
ketimpangan pembangunan antar wilayah karena hal ini akan
berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat. Daerah
dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai
produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan
mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan
meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan
ekonomi daerah yang bersangkutan.
Pengangguran meliputi penduduk yang sedang mencari
pekerjaan, atau mempersiapkan suatu usaha, atau merasa tidak
mungkin mendapatkan pekerjaan, atau sudah punya pekerjaan
tetapi belum mulai bekerja. Tingkat pengangguran terbuka adalah
ukuran yang menunjukkan besarnya penduduk usia kerja yang
termasuk dalam kelompok penangguran. Di hitung dari
perbandingan antara jumlah pencari kerja dengan jumlah angkatan
kerja, dan dinyatakan dalam persen.
85
0.002.004.006.008.00
10.00
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Jawa Tengah
Grafik 4.3 Rata-rata Tingkat Pengangguran Terbuka antar
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah 2007-2014 (Dalam Persen)
Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah, (data diolah) Lampiran 1
Berdasarkan grafik 4.3 tingkat pengangguran terbuka
menunjukkan bahwa tingkat penangguran terbuka antar
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah memiliki tren yang
menurun dengan angka tingkat penangguran yang cukup rendah
yaitu dari 2007-2014 rata-rata tingkat penangguran terbuka
sebesar 6,92 % yang berarti bahwa dari 100 orang angkatan kerja
terdapat sekitar 6 orang yang menganggur. Hal ini menunjukkan
bahwa penyerapan tenaga kerja di Provinsi Jawa Tengah cukup
baik.
Berdasarkan tipe daerah terlihat bahwa tingkat pengangguran
terbuka untuk daerah perkotaan sekitar 6,54 % lebih besar
dibandingkan dengan daerah pedesaan yang tercatat sebesar 5,60
persen. Hal ini terjadi karena pasar tenaga kerja tidak mampu
dalam menyerap tenaga kerja yang ada yang biasanya terjadi di
daerah perkotaan dimana antara permintaan dan penawaran tenaga
kerja tidak seimbang.
86
Dimana tingkat pengangguran terbuka tertinggi berada di
daerah Kabupaten Brebes sebesar 9,54 % dan terendah berada di
Kabupaten Kebumen. Namun rendahnya tingkat penangguran di
provinsi Jawa Tengah diikuti dengan rendahnya relative PDRB
per Kapita dibandingkan nasional dimana nilai PDRB per Kapita
provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012 sebesar 17.140 rupiah
sedangkan nasional sebesar 33.748 rupiah. Hal ini menunjukkan
bahwa rendahnya tingkat pengangguran di tengah rendahnya
pendapatan per kapita mengindikasikan bahwa tingkat
produktivitas pekerja rendah di tingkat daerah.
Kemudian peningkatan penganggguran terbuka hanya
terjadi pada tahun 2008 dan 2010 dimana pada tahun 2008 adanya
krisis keuangan global yang menyebabkan gejolak perekonomian
dan beberapa perusahaan mengalami kebangkrutan akibat
menurunnya ekspor Indonesia yang mencapai 20-30% dan
terpaksa melakukan PHK terhadap pegawainya. Dimana di
provinsi Jawa Tengah terdapat banyak daerah yang merupakan
daerah industrialisasi yang menyerap banyak tenaga kerja.
Begitu juga halnya dengan bencana gunung Merapi yang
menyebabkan banyak industri mengalami kerugian dan berhenti
melakukan kegiatan produksi. Kedua hal ini dapat dijadikan
alasan mengapa tingkat penangguran terbuka mengalami kenaikan
pada tahun 2008 dan 2010.
87
d. Belanja Modal
Proses mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah merupakan
salah satu bagian penting dari tanggung jawab pemerintah daerah,
salah satunya diwujudkan melalui peningkatan belanja modal
setiap tahunnya. Pemerintah daerah berusaha secara langsung
menciptakan lapangan pekerjaan untuk masyarakat melalui
implementasi kegiatan pembangunan seperti pembangunan
infrastruktur yang bersifat padat karya.
Selain itu dengan pembangunan infrastruktur ekonomi, akan
mendorong aktivitas ekonomi secara luas yang diharapkan dapat
mendatangkan investasi swasta, sehingga dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi serta terbukanya kesempatan kerja dan
pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(Sabir, 2015:94).
Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi berawal dari
investasi, investasi meningkatkan kapasitas produksi, kapasitas
produksi mendorong terbukanya kesempatan lapangan kerja dan
berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat.
88
0.00
50,000,000,000.00
100,000,000,000.00
150,000,000,000.00
200,000,000,000.00
250,000,000,000.00
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Jawa Tengah
Grafik 4.4 Rata-rata Belanja Modal antar Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Tengah 2007-2014 (Dalam Rupiah)
Sumber :DJPK (Kementerian Keuangan), (diolah) Lampiran 1
Berdasarkan grafik 4.4 dari tahun 2007-2013 tingkat belanja
modal antar Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah sangat
berfluktuatif dimana pada tahun 2008-2010 mengalami penurunan
yang signifikan, hal ini mungkin disebabkan karena krisis global
yang berdampak pada APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
Namun pada tahun 2010-2013 belanja modal mengalami
kenaikan yang signifikan, hal ini menandakan bahwa pemerintah
daerah mampu bangkit dari keadaan yang buruk akibat krisis
global. Dengan melakukan kebijakan fiscal yaitu meningkatkan
belanja daerah khususnya belanja modal , untuk memperbaiki
perekonomian dengan belanja yang berkaitan dengan infrastruktur
untuk mendorong investasi daerah.
Kenaikan belanja modal ini akibat dari usaha meningkatkan
pertumbuhan ekonomi provinsi yang menunjukan kenaikan yang
89
signifikan pada tahun 2009-2012. Hasil ini sesuai teori wagner
yang mengemukakan bahwa apabila pertumbuhan ekonomi
semakin maju akan semakin besar pula pengeluaran pemerintah
(dalam Ketut Wahyu, 2013:47).
Pada tahun 2013 belanja modal tertinggi berada di kota
Semarang dengan nilai belanja modal sebesar 591.011 miliar
rupiah. Dan terendah berada di Kota Salatiga dengan nilai belanja
modal sebesar 69.203 miliar rupiah. Kota Semarang memiliki
nilai belanja modal yang tinggi karena merupakan pusat
pertumbuhan ekonomi dan dijadikan daerah tujuan untuk
berwisata. Sehingga pembangunan di Kota Semarang sangat
dibutuhkan untuk menunjang perekonomian yang semakin maju
yang akan berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi provinsi
Jawa Tengah.
2. Estimasi Model Data Panel
a. PLS vs FEM (Uji Chow)
Untuk mengetahui model panel yang digunakan maka
pengujian yang dilakukan menggunakan Chow-test atau Likelihood
ratio test, dengan asumsi yaitu:
H0: model mengikuti Pool,
H1: model mengikuti Fixed effect dan lanjut tes Hausman
Pedoman yang akan digunakan dalam pengambilan kesimpulan uji
Chow adalah sebagai berikut :
90
1) Jika nilai p-value F > 0,05 artinya Ho: maka model Pooled
Least Square.
2) Jika nilai p-value F < 0,05 artinya H1: maka model fixed
effect dan dilanjutkan uji Hausman untuk memilih apakah
menggunakan model fixed effect atau random effect.
Dari hasil berdasarkan metode Fixed Effect Model (FEM) vs
Pool Least Square (PLS) diperoleh nilai probabilitas F-statistik
sebagai berikut:
Tabel 4.1 Hasil Uji Chow
Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 1.910645 (34,207) 0.0032
Cross-section Chi-square 66.871117 34 0.0006 Sumber : data diolah. Lampiran 2
Dari tabel 4.1 diatas diperoleh F-Statistik 1.910645
dengan d.f (34,207) dan nilai p-value F-Statistik sebesar 0,0032
yang berarti nilai p-value F-Statistik lebih kecil dari tingkat
signifikansi α=5% (0,0032 < 0,05). Maka Ho ditolak, sehingga
model panel yang digunakan fixed effect dan dilanjutkan uji
Hausman untuk memilih apakah menggunakan model fixed
effect atau random effect.
b. FEM vs REM (Uji Hausman)
Uji Hausman untuk memilih antara metode Fixed Effect
atau metode Random Effect yang akan digunakan untuk
91
mengestimasi regresi data panel. Pengujian yang dilakukan
menggunakan Hausman test dengan asumsi, yaitu:
H0: model mengikuti Random Effect.
H1: model mengikuti Fixed Effect.
Pedoman yang akan digunakan dalam pengambilan
kesimpulan uji Hausman adalah sebagai berikut :
1) Jika nilai p-value F > 0,05 artinya Ho : maka model Random
Effect
2) Jika nilai p-value F < 0,05 artinya H1: maka model Fixed
Effect .
Dari pengolahan uji Hausman diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.2 Hasil Uji Hausman
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 10.158372 3 0.0173 Sumber : data diolah. Lampiran 3
Dari tabel 4.1 diatas diperoleh nilai p-value F-Statistik
sebesar 0,0173, yang berarti nilai p-value F-Statistik lebih kecil
dari tingkat signifikansi α=5% (0,0173 < 0,05). Maka Ho
ditolak, sehingga model panel yang digunakan fixed effect.
Jadi berdasarkan uji Chow dan uji Hausman, dapat disimpulkan
bahwa model terbaik yang dapat digunakan dalam penelitian
ini adalah Fixed Effect Model.
92
3. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Normalitas
uji normalitas, dilakukan untuk melihat bahwa suatu data
terdistribusi dengan normal atau tidak. Uji normalitas residual
metode OLS secara formal dapat dideteksi dari metode yang
dikembangkan oleh Jarque-Bera (J-B). Deteksi dengan melihat
Jarque-Bera test yang merupakan asimtotis (sampel besar dan
didasarkan atas residual OLS).
Hipotesis :
H0 : Data terdistribusi normal
H1 : Data tidak terdistribusi normal
1) Jika probability JBtest lebih besar α 5% = data
berdistribusi normal probability JBtest lebih besar α 5% =
data berdistribusi normal (tolak H1, terima Ho)
2) Jika probability JBtest lebih kecil α 5% = data tidak
berdistribusi normal (terima H1, tolak Ho)
Hasil pengolahan uji Normalitas dapat di lihat pada grafik
4.6 berikut
93
Grafik 4.5 Uji Normalitas
Sumber : data diolah. Lampiran 4
Dari grafik diatas diperoleh nilai Jarque-Bera sebesar
3.807834 dan nilai probabilitasnya sebesar 0,148984 yang berarti
nilai probability JBtest lebih besar dari α=5%, m a k a t o l a k
H 1 , t e r i m a H o y a n g b e r a r t i data berdistribusi
normal .
b. Multikolinearitas
Multikolinearitas artinya terdapat korelasi yang signifikan di
antara dua atau lebih variabel bebas dalam suatu model
regresi.Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas
dalam model persamaan penelitian ini, penulis menggunakan
matriks korelasi (Correlation Matriks).
Apabila pengujian multikolinearitas dilakukan dengan
menggunakan correlation matrix, jika hasilnya ada yang melebihi
dari 0,8, itu menandakan bahwa terjadi multikolinearitas yang
serius. Jika terjadi multikolinearitas yang serius, maka akan
0
4
8
12
16
20
24
-0.10 -0.05 0.00 0.05
Series: Standardized ResidualsSample 2007 2013Observations 245
Mean 2.27e-19Median 0.000636Maximum 0.083893Minimum -0.139541Std. Dev. 0.040192Skewness -0.304199Kurtosis 3.053517
Jarque-Bera 3.807834Probability 0.148984
94
berakibat buruk, karena hal tersebut akan mengakibatkan pada
kesalahan standar estimator yang besar. (Gujarati, 2006:68&71)
Hipotesis :
H0 : tidak ada multikolinieritas
H1 : ada multikolinieritas
1) Pada Correlation Matrix, jika nilai korelasi yang
dihasilkan < 0,8) = Tidak terdapat multikolineritas
(tolak H1,terima Ho)
2) Pada Correlation Matrix, jika nilai korelasi yang dihasilkan
sangat tinggi (umumnya > 0,8) = Terdapat multikolineritas.(
tolak Ho, terima H1)
Hasil dari uji Multikolinieritas dengan menggunakan
correlation matrix adalah sebagai berikut :
Tabel 4.3 Hasil Uji Multikolinieritas
Sumber : data diolah. Lampiran 5
Dari tabel 4.3 dapat dilihat bahwa tidak terdapat
multikolinieritas dimana nilai korelasi setiap variabel
independen yang dihasilkan kurang dari 0,8 (<0,8) yang
berarti tidak terdapat multikolineritas (tolak H1,terima Ho).
PE TPT BM PE 1.000000 0.031865 0.128333 TPT 0.031865 1.000000 -0.088236 BM 0.128333 -0.088236 1.000000
95
c. Uji Heterokedastisitas
Ada beberapa cara untuk mendeteksi adanya
heteroskedastisitas, diantaranya dapat menggunakan uji Park,
dimana jika nilai probabilitas seluruh variabel independen lebih
besar dari α= 5% maka dapat disimpulkan data terbebas dari
heteroskedastisitas. Berikut ini uji heterokedastisitas dengan uji
Park :
Tabel 4.4 Hasil Uji Park
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -13.29445 8.721665 -1.524302 0.1287 PE -0.080706 0.187293 -0.430909 0.6669
TPT -0.103934 0.064710 -1.606157 0.1095 BM 0.262190 0.341468 0.767831 0.4433
Sumber : data diolah. Lampiran 6
Dari tabel diatas diketahui bahwa nilai probabilitas seluruh
variabel independen Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat
Pengangguran Terbuka dan Belanja Modal lebih besar dari α= 5%
maka dapat disimpulkan data terbebas dari heteroskedastisitas.
d. Uji Autokorelasi
Pada umumnya ada beberapa cara untuk mendeteksi adanya
autokorelasi, namun seringkali mendeteksi autokorelasi dengan
menggunakan Uji Durbin-Watson.
Berikut adalah nilai durbin Watson pada model penelitian:
96
Tabel 4.5 Uji Autokorelasi
R-squared 0.400636 Mean dependent var 0.289469 Adjusted R-squared 0.293503 S.D. dependent var 0.051915 S.E. of regression 0.043637 Akaike info criterion -3.284174 Sum squared resid 0.394161 Schwarz criterion -2.741122 Log likelihood 440.3113 Hannan-Quinn criter. -3.065487 F-statistic 3.739618 Durbin-Watson stat 1.821805 Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber : data diolah. Lampiran 7
Tabel 4.6 Uji Durbin-Watson
Ada autokorelasi positif
Tidak dapat diputuskan
Tidak ada autokorelasi
Tidak dapat diputuskan
Ada autokorelasi negative
Data terbebas autokorelasi jika nilai Durbin-Watson
berada di antara du dan 4-du atau du < DW < 4-du.
Berdasarkan tabel diatas dapat di lihat bahwa nilai durbin
Watson statistic sebesar 1.821805. Dengan n (jumlah
observasi)=245 dan k (jumlah variabel independen)=3 di peroleh
nilai dL= 1,775, nilai dU= 1,807 dan nilai 4-du(1,807)=2,193.
Maka 1,807 < 1.821< 2.193. Berarti pada model ini data terbebas
dari autokorelasi.
0 dL du 4-du 4-dL
97
4. Model Fixed Effect Model (FEM)
Model data panel dengan menggunakan Fixed Effect Model dapat
dijelaskan melalui persamaan sebagai berikut :
RG = -0.76321 + 0.019678*PE - 0.00599*TPT + 0.038884*BM + 휇
RG : Rasio Gini
PE : Pertumbuhan Ekonomi
TPT : Tingkat Pengangguran Terbuka
BM : Belanja Modal
휇 : Error Term
5. Pengujian Hipotesis a. Uji F dan Interpretasi Hasil Analisis
Pengujian ini dilakukan untuk menguji pengaruh semua
variabel independen terhadap variabel dependen secara
bersamaan. Pengujian ini bertujuan mendeteksi apakah semua
variabel independen secara serentak berpengaruh secara
signifikan terhadap variabel dependen. Untuk uji signifikansi F
dapat dilakukan dengan pengujian hipotesis yang dilakukan
dengan melihat p-value atau nilai probabilitas dari F-Statistik.
Konsep ini membandingkan α=5% dengan nilai probabilitas.
Jika p-value lebih kecil dari α=5% .
98
Tabel 4.7 Uji F
Sumber : data diolah. Lampiran 7
Berdasarkan tabel diatas nilai F-Statistik sebesar 3.739618
dengan nilai probabilitas sebesar 0,0000, dapat disimpulkan
bahwa p-value F-statistik < α= 5% yang berarti terdapat
pengaruh yang signifikan dari variabel independen terhadap
variabel rasio gini secara simultan.
b. Uji Parsial (uji-t)
Pengujian ini dilakukan untuk menguji pengaruh semua
variabel independen terhadap variabel dependen secara
parsial atau individu. Pengujian ini bertujuan mendeteksi
apakah semua variabel independen secara parsial berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel dependen. Untuk uji
signifikansi t dapat dilakukan dengan pengujian hipotesis yang
dilakukan dengan melihat p-value atau nilai probabilitas dari t-
Statistik.
R-squared 0.400636 Mean dependent var 0.289469
Adjusted R-squared 0.293503 S.D. dependent var 0.051915 S.E. of regression 0.043637 Akaike info criterion -3.284174 Sum squared resid 0.394161 Schwarz criterion -2.741122 Log likelihood 440.3113 Hannan-Quinn criter. -3.065487 F-statistic 3.739618 Durbin-Watson stat 1.821805 Prob(F-statistic) 0.000000
99
Tabel 4.8 Uji t
S Sumber : data diolah. Lampiran 7
Berdasarkan hasil regresi yang diperoleh pada tabel 4.8
maka dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Variabel PE memiliki nilai probabilitas sebesar 0,0000
dimana p-value < dari α= 0,05. Maka variabel PE
berpengaruh signifikan terhadap Ketimpangan
Pendapatan (Rasio Gini).
2) Variabel TPT memiliki nilai probabilitas sebesar 0,0033
dimana p-value < dari α= 0,05. Maka variabel TPT
berpengaruh signifikan terhadap Ketimpangan
Pendapatan (Rasio Gini).
3) Variabel BM memiliki nilai probabilitas sebesar 0,0000
dimana p-value < dari α= 0,05. Maka variabel BM
berpengaruh signifikan terhadap Ketimpangan
Pendapatan (Rasio Gini).
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -0.763216 0.202391 -3.770991 0.0002
PE 0.019678 0.004570 4.305643 0.0000 TPT -0.005991 0.002014 -2.974555 0.0033 BM 0.038885 0.007864 4.944606 0.0000
100
d. Koefisien Determinasi (R2)
Tabel 4.9 Uji Koefisien Detrminasi
Sumber : data diolah. Lampiran 7
Berdasarkan tabel 4.9 didapatkan nilai koefisien
determinasi sebesar 0,400636 atau sebesar 40,06. Berarti 40,06
% ketimpangan pendapatan di 35 Kabupaten/Kota dapat
dijelaskan oleh variabel Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat
Pengangguran Terbuka, dan Belanja Modal. Sedangkan sisanya
59.94 % dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam
penelitian ini.
C. Analisis Ekonomi
Tabel 4.10 Interpretasi Fixed Effect Model
1 -0.75164 2 -0.77882 3 -0.73801 4 -0.76562 5 -0.74225 6 -0.76016 7 -0.77291 8 -0.76812 9 -0.7683
10 -0.78168
R-squared 0.400636 Mean dependent var 0.289469
Adjusted R-squared 0.293503 S.D. dependent var 0.051915 S.E. of regression 0.043637 Akaike info criterion -3.284174 Sum squared resid 0.394161 Schwarz criterion -2.741122 Log likelihood 440.3113 Hannan-Quinn criter. -3.065487 F-statistic 3.739618 Durbin-Watson stat 1.821805 Prob(F-statistic) 0.000000
101
11 -0.76845 12 -0.7703 13 -0.77507 14 -0.75323 15 -0.74558 16 -0.79536 17 -0.7396 18 -0.74701 19 -0.76864 20 -0.72777 21 -0.74435 22 -0.75169 23 -0.78462 24 -0.75146 25 -0.76394 26 -0.72705 27 -0.71313 28 -0.74176 29 -0.74546 30 -0.81654 31 -0.77008 32 -0.82731 33 -0.76902 34 -0.78541 35 -0.80226
Sumber : data diolah. Lampiran 7
Dapat kita lihat pada tabel 4.10 bahwa 35
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah memiliki pengaruh
individu yang berbeda-beda untuk setiap perubahan pada
Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan
Belanja Modal.
Kabupaten Cilacap
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
102
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
kabupaten Cilacap akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar – 0.75164.
Kabupaten Banyumas
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Banyumas akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0.77882.
Kabupaten Purbalingga
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Purbalingga akan mendapatkan pengaruh
individu terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -
0.73801.
Kabupaten Banjarnegara
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Banjarnegara akan mendapatkan pengaruh
individu terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -
0.76562.
103
Kabupaten Kebumen
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Kebumen akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0,74225.
Kabupaten Purworejo
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Purworejo akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0,76016.
Kabupaten Wonosobo
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Wonosobo akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0,77291.
Kabupaten Magelang
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
104
Kabupaten Magelang akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0,76812.
Kabupaten Boyolali
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Boyolali akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0.7683.
Kabupaten Klaten
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Klaten akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0.78168.
Kabupaten Sukoharjo
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Sukoharjo akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0,76845.
Kabupaten Wonogiri
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
105
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Wonogiri akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0,7703.
Kabupaten Karanganyar
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Karanganyar akan mendapatkan pengaruh
individu terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -
0,77507.
Kabupaten Sragen
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Sragen akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0.75323.
Kabupaten Grobogan
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Grobogan akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0.74558.
Kabupaten Blora
106
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Blora akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0.79536.
Kabupaten Rembang
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Rembang akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0.7396.
Kabupaten Pati
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Pati akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0.74701.
Kabupaten Kudus
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Kudus akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar – 0,76864.
107
Kabupaten Jepara
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Jepara akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0.72777.
Kabupaten Demak
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Demak akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0.74435.
Kabupaten Semarang
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Semarang akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0,75169.
Kabupaten Temanggung
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Temanggung akan mendapatkan pengaruh
108
individu terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -
0,78642.
Kabupaten Kendal
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Kendal akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0.75146.
Kabupaten Batang
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Batang akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0,76394.
Kabupaten Pekalongan
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Pekalongan akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0.72705
Kabupaten Pemalang
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
109
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Pemalang akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0.71313.
Kabupaten Tegal
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Tegal akan mendapatkan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0.74176.
Kabupaten Brebes
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
Kabupaten Brebes akan mendapaakan pengaruh individu
terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -0.74546.
Kota Magelang
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka
kabupaten Kota Magelang akan mendapatkan pengaruh
individu terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar -
0.81654.
Kota Surakarta
110
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka Kota
Surakarta akan mendapatkan pengaruh individu terhadap
Ketimpangan Pendapatan sebesar -0.7708.
Kota Salatiga
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka Kota
Salatiga akan mendapatkan pengaruh individu terhadap
Ketimpangan Pendapatan sebesar -0,82731.
Kota Semarang
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka Kota
Semarang akan mendapatkan pengaruh individu terhadap
Ketimpangan Pendapatan sebesar -0,76902.
Kota Pekalongan
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal baik antar daerah maupun antar waktu, maka Kota
Pekalongan akan mendapatkan pengaruh individu terhadap
Ketimpangan Pendapatan sebesar -0,78541.
111
Kota Tegal
Apabila terjadi perubahan sebesar 1 % pada PDRB, Tingkat
Pengangguran Terbuka, dan Belanja Modal baik antar daerah
maupun antar waktu, maka Kota Tegal akan mendapatkan
pengaruh individu terhadap Ketimpangan Pendapatan sebesar
-0,80226.
Adapun yang menyebabkan ketimpangan pendapatan meningkat
dari tahun 2010 ke 2011 dari 0,27 ke 0,33 adalah adanya kenaikan
pengeluaran per kapita dari 394,50 ribu rupiah ke 452,84 ribu rupiah.
Kenaikan ini dimungkinkan karena naiknya harga berbagai kebutuhan
pokok dan kenaikan pendapatan penduduk secara signifikan. Kota
Salatiga memiliki pengeluaran per kapita tertinggi sebesar 799, 42 ribu
rupiah dan terendah adalah kabupaten Pemalang sebesar 304,99
(Publikasi BPS, 2011:13) .
Kemudian dari persentase pendapatan yang relative baik adalah
kabupaten Pemalang dengan nilai 23 persen ke atas sedangkan kurang
dari 19 persen yaitu kota Salatiga. .(Publikasi BPS, 2011:15) . Dimana
dalam penelitian ini kota Salatiga memiliki pengaruh terbesar terhadap
ketimpangan pendapatan yaitu sebesar -0,82 %.
Pada tahun 2010 pengeluaran perkapita kota Salatiga sekitar 661
ribu rupiah dan pada tahun 2011 sekitar 799 ribu rupiah mengalami
kenaikan sebesar 15 %. Melihat fenomena dengan tingkat pengeluaran
per kapita yang tinggi namun tingkat pemerataan pendapatan yang
112
rendah dimana 40 persen penduduk berpendapatan rendah hanya
menerima 17 persen dri total pendapatan dapat menyebabkan kota
Salatiga menjadi kota yang memiliki ketimpangan yang tinggi selama
periode penelitian, selain itu data juga menunjukkan bahwa tingkat
ketimpangan tertinggi selama tahun penelitian terjadi di daerah kota
Salatiga sebesar 0,33375 dan terendah kabupaten Pemalang sebesar
0,235.
Selain itu ketimpangan tinggi di kota Salatiga dikarenakan
perkotaan lebih heterogen dari pekerjaan formal dengan pendapatan
tetap hingga mencapai puluhan juta rupiah sampai pekerjaan non formal
dengan pendapatan kurang dari lima ratus ribu rupiah per bulan dengan
tiga sector dominan adalah jasa-jasa, perdagangan hotel dan restoran,
dan industry pengolahan. Dibandingkan dengan kabupaten Pemalang
yang umumnya pekerjaan bersifat homogen dengan sektor dominan
yaitu pertanian sehingga kesenjangan tidak terlalu lebar.
Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa kabupaten/kota yang
paling timpang adalah kota Salatiga dengan nilai koefisien sebesar -
0,82 % dan terendah adalah kabupaten Pemalang sebesar - 0,71 %.
a. Pertumbuhan Ekonomi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan
pendapatan yang dilihat dari rasio gini dengan tingkat signifikansi
5%. Nilai koefisien yang diperoleh sebesar 0,019678 yang
113
berarti bahwa apabila pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 1
% maka akan meningkatkan kesenjangan ekonomi sebesar
0,019678 %. Hal tersebut tidak sesuai dengan hipotesis awal
bahwa hubungan pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan
pendapatan berpengaruh negatif.
Hal ini dikarenakan laju pertumbuhan ekonomi yang
digambarkan pada grafik 4.2 dan rasio gini pada grafik 4.1 yang
masing-masing menggambarkan tren yang cenderung meningkat.
Sehingga hipotesis kuznet pada penelitian ini berlaku. Dimana
adanya trade off antara pertumbuhan ekonomi dengan
ketimpangan pendapatan yaitu ketika pertumbuhan ekonomi
tinggi maka ketimpangan juga akan meningkat. Selain itu
kenaikan laju pertumbuhan ekonomi juga tidak menggambarkan
kesejahteraan masyarakat secara riil dimana jika dilihat dari
Grafik 1.3 menggambarkan pdrb per kapita dengan ketimpangan
yang mencolok antar Kabupaten/Kota.
Penelitian ini juga sejalan dengan yang dilakukan oleh
Annis Ganis Darmajati selama lima tahun (2004-2008). Model
yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada Hipotesis
Kuznets. Variabelnya adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat
Pengangguran, angka partisipasi kasar , aglomerasi dan
kesenjangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
panel data dengan pendekatan PLS (Panel Least Squares).
114
Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh variabel
independen berpengaruh signifikan terhadap kesenjangan
pendapatan di Jawa Tengah. Dapat disimpulkan bahwa Hipotesis
Kuznets berlaku dalam penelitian ini. Hal ini dapat dilihat dari
hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan
pendapatan.
b. Tingkat Pengangguran Terbuka
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat
pengangguran terbuka negatif dan signifikan terhadap
ketimpangan pendapatan dengan tingkat signifikansi 5%. Nilai
koefisien yang diperoleh sebesar –0,005991 . Hal tersebut tidak
sesuai dengan hipotesis awal bahwa hubungan tingkat
pengangguran terbuka dengan ketimpangan pendapatan
berpengaruh positif .
Selain itu hal ini dikarenakan nilai tingkat pengangguran
terbuka yang di gambarkan pada grafik 4.3 menunjukkan tren
yang relatif menurun setiap tahunnya dan proporsi nilai yang
cukup rendah dengan nilai rata-rata tingkat pengangguran selama
periode penelitian sebesar 6, 92 %. Yang artinya berarti bahwa
dari 100 orang angkatan kerja terdapat sekitar 6 orang yang
menganggur.
Berdasarkan tipe daerah terlihat bahwa pada tahun 2013 tingkat
pengangguran terbuka untuk daerah perkotaan sekitar 6,54 persen
115
lebih besar dibandingkan dengan daerah pedesaan yang tercatat
sebesar 5,60 persen (profil ketenagakerjaan, 2013:22). Dimana
tingkat pengangguran terbuka tertinggi berada di daerah
Kabupaten Brebes sebesar 9,54 % dan terendah berada di
Kabupaten Kebumen 3,25 persen. Namun rendahnya tingkat
penangguran di provinsi Jawa Tengah diikuti dengan rendahnya
relative PDRB per Kapita dibandingkan nasional dimana nilai
PDRB per Kapita provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012 sebesar
17.140 rupiah sedangkan nasional sebesar 33.748 rupiah.
Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pengangguran
di tengah rendahnya pendapatan per kapita mengindikasikan
bahwa tingkat produktivitas pekerja rendah di tingkat daerah.
Teori Lewis menjelaskan bahwa adanya surplus tenaga kerja di
daerah perdesaan dan ditransfer ke perkotaan yang memiliki
lapangan banyak lapangan kerja sehingga terjadinya pertumbuhan
berkesinambungan yang diasumsikan akan terus berlanjut sampai
semua surplus tenaga kerja terserap ke dalam sektor industri baru.
Namun terdapat kritik terhadap model Lewis dimana menurut
(Todaro, 2011:144) bahwa model Lewis mengandung cacat serius
jika kita memperhitungkan bias penghematan tenaga kerja,adanya
pelarian modal yang cukup besar, meluasnya ketiadaan surplus
tenaga kerja pedesaan, meluasnya surplus tenaga kerja di
perkotaan. sehingga pasar tenaga kerja tidak mampu dalam
116
menyerap tenaga kerja yang ada yang biasanya terjadi di daerah
perkotaan dimana antara permintaan dan penawaran tenaga kerja
tidak seimbang.
Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Susiant i
dan Akoi & Sukata bahwa pengangguran berpengaruh
negat if dan signifikan terhadap ket impangan pendapatan.
c. Belanja Modal
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa belanja modal
berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan
pendapatan yang dilihat dari rasio gini dengan tingkat signifikansi
5%. Nilai koefisien yang diperoleh sebesar 0,038885 yang berarti
bahwa apabila pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 1 %
maka akan meningkatkan kesenjangan ekonomi sebesar 0,038885
%. Hal tersebut tidak sesuai dengan hipotesis awal bahwa
hubungan belanja modal dengan ketimpangan pendapatan
berpengaruh negatif.
Menurut Musgrave dan Wagner (dalam Ketut Wahyu,
2013:47) perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-
tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah,
dan tahap lanjut. Dimana pada tahap awal perkembangan ekonomi
persentese pengeluaran pemerintah dalam bentuk investasi sangat
besar, kemudian pada tahap menengah persentase investasi
pemerintah sangat besar namun diikuti dengan persentase
117
investasi swasta yang besar pula. Dan pada tahap lanjut persentase
pengeluaran pemerintah lebih kecil dibandingkan investasi swasta
karena pemerintah hanya melakukan pengeluaran yang bersifat
aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan
pelayanan kesehatan masyarakat.
Kemudian berdasarkan hukum Wagner yang
mengemukakan teori mengenai perkembangan persentase
pengeluaran pemerintah terhadap PDB yang semakin membesar,
yaitu dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita
meningkat maka secara relative pengeluaran pemerintah pun
meningkat.
Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa semakin
maju perkembangan suatu daerah maka pengeluaran yang
dikeluarkan akan semakin besar. Ketimpangan yang terjadi
diakibatkan karena jumlah realisasi belanja modal lebih besar di
daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang maju sedangkan
daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah memiliki
jumlah realisasi belanja modal yang rendah. Sehingga daerah
yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi semakin
membaik sedangkan daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi
yang rendah semakin tertinggal. Hal ini yang menyebabkan
ketimpangan semakin tinggi walaupun pengeluaran pemerintah
meningkat.
118
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Sabir. Dimana Hasil penelitian ini adalah Alokasi Belanja
Modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi daerah dan ketimpangan pendapatan.
Selain itu hal ini mungkin dikarenakan peningkatan belanja
modal tidak di ikuti dengan belanja modal yang bersifat padat
karya yang bisa mendorong produktivitas dan terbukanya
lapangan pekerjaan dan berorientasi kepada pembangunan
infrastruktur yang bertujuan untuk mendorong investasi.
Adanya perubahan struktur belanja APBD provinsi Jawa
Tengah terdiri dari Belanja Aparatur dan Belanja Pelayanan
Publik pada struktur anggaran 2003-2006 ( Kepmendagri 29 tahun
2002), sedangkan pada tahun anggaran 2007-2008 struktur
belanja berubah menjadi Belanja Tidak Langsung dan Belanja
Langsung (Permendagri 13 tahun 2006) .
Dimana proporsi Belanja Aparatur lebih sedikit dari Belanja
Pelayanan publik, sedangkan pada tahun anggaran 2007-2008
proporsi Belanja Tidak Langsung lebih besar daripada Belanja
Langsung. Hal ini bisa menjadi alasan mengapa belanja modal
berpengaruh positif terhadap ketimpangan pendapatan karena
walaupun mengalami kenaikan proporsi kenaikan belanja modal
masih lebih sedikit dibandingkan belanja tidak langsung. Dapat
dibuktikan pada grafik 1.7 dimana Berdasarkan grafik diatas
119
pemerintah masih banyak melakukan pengeluaran belanja
pegawai dibandingkan belanja modal dengan rasio belanja modal
terhadap belanja daerah sebesar 7,82 % sedangkan belanja
pegawai sebesar 15,19 %. Tentunya proporsi seperti ini dapat
menyebabkan efisiensi terhadap penggunaan belanja modal
menjadi tidak maksimal.
120
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah di paparkan
sebelumnya, penulis memperoleh kesimpulan yang dapat diambil dari
penelitian pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran
Terbuka, dan Belanja Modal terhadap Ketimpangan Pendapatan di
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah periode 2007-2013 adalah
sebagai berikut :
1. Berdasarkan Fixed Effect Model terdapat hasil bahwa secara simultan
Pertumbuhan Ekonomi,Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Belanja
Modal berpengaruh signifikan terhadap Ketimpangan Pendapatan.
2. Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Ketimpangan Pendapatan.
3. Tingkat Pengangguran Terbuka berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap Ketimpangan Pendapatan.
4. Belanja Modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Ketimpangan Pendapatan.
121
B. Saran
1. Dalam upaya pengurangan ketimpangan pendapatan akibat
pembangunan ekonomi, pemerintah daerah harus bisa mengurangi
tingkat ketimpangan paling minimum atau batas yang dapat
ditoleransi dengan cara fokus dalam pemungutan pajak progresif dan
subsidi bbm yang tepat sasaran. Adanya ketegasan dalam
perencanaan pembangunan daerah terkait dengan struktur alokasi
belanja modal sesuai dengan tujuan dan program yang sudah
ditetapkan agar tepat sasaran.
2. Belanja modal dialokasikan dalam bentuk investasi yang bersifat
padat karya seperti pembangunan kawasan industri dan pembangunan
infrastruktur sehingga mendorong para investor untuk berinvestasi
dan membuka lapangan pekerjaan.
3. Perencanaan pembangunan di fokuskan kepada daerah-daerah yang
relatif tertinggal agar ketimpangan tidak semakin tinggi .
4. Pemerintah harus mengetahui potensi sumber daya alam yang tersedia
di setiap daerah, sehingga adanya komoditas unggulan yang dapat
dijadikan tumpuan perekonomian daerah dan kemandirian fiskal yang
berdampak kepada peningkatan pendapatan masyarakat dan
kesejahteraan masyarakat. Hal ini tentunya harus diikuti dengan
peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan
keterampilan, pendidikan, kesehatan dan gizi masyarakat.
122
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Halim. “Akuntansi Keuangan Daerah”, Salemba Empat: Jakarta, 2004
Adisasmita, Rahardjo. “Pertumbuhan Wilayah dan Wilayah Pertumbuhan”, Graha
Ilmu: Yogyakarta,2013
Adisasmita, Rahardjo. “Teori-teori Pembangunan Ekonomi ”, Graha Ilmu:
Yogyakarta,2013
Akai dan Masayo. “Fiscal Decentralization, Commitment and Regional
Disparity: Evidence from State Level Cross-Sectional Data for the
United States”,University of Hyogo dan Osaka International University:
2005
Badan Pusat Statistik. “Publikasi Tinjauan PDRB antar Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Tengah 2007-2014”. BPS: 2014
Badan Pusat Statistik. “Statistik Keuangan Indonesia”. BPS: 2013
Badan Pusat Statistik.“Profil Ketenagakerjaan Jawa Tengah 2007-2014”. BPS:
2014
Case, Karl E. dan Ray C. Fair. “Prinsip-prinsip Ekonomi”, Erlangga:Jakarta, 2007
Chalid, Pheni. “Keuangan Daerah, Investasi, dan Desentralisasi”. Kemitraan
untuk Tata Pemerintahan yang Baik: Jakarta, 2005
123
Darmajati, Annis Ganis. “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kesenjangan Pendapatan di Jawa Tengah”. FE:Universitas
Diponegoro, 2010
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, “Realisasi
Anggaran APBD 2007-2013”. DJPK: 2013
Djalal, Nachrowi.. “Penggunaan Teknik Ekonometri”, PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta,2008
Firstanto. “Analisis Pengaruh Pertumbuhan PAD, PDRB, dan Belanja Modal
Terhadap Fiscal Stress Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Tengah”.FE:Universitas Diponegoro, 2015
Gujarati, Damodar. “Dasar-dasar Ekonometrika” ”, Edisi Ketiga, Jilid Satu,
Erlangga: Jakarta, 2007
Hamid, Abdul. “ Pedoman Penulisan Skripsi FEB”, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009
Hamja, Yahya. “Ekonometri”, Global Future Institute: Jakarta,2014
Jhingan, M.L. “Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan ”, Rajawali Pers:
Jakarta,2014
Kuncoro, Mudrajad. “ Otonomi dan Pembangunan Daerah”, Erlangga:
Jakarta,2004
Mangkoesoebroto.M. “Ekonomi Pembangunan”, STIE-YKPN: Yogyakarta, 1993
124
Mardiasmo. “Akuntansi Sektor Publik”, ANDI: Yogyakarta, 2009
Refrina, Vina.“Pengaruh Pendidikan, Penanaman Modal Asing, Penanaman
Modal Dalam Negeri, dan Tingkat Pendapatan terhadap Kesenjangan
Ekonomi antar Kabupaten/Kota di Provinisi Istimewa Yogyakarta tahun
2003-2013”. FEB: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015
Sabir. “Pengaruh Alokasi Belanja Modal terhadap Pertumbuhan Ekonomi ,
Ketimpangan Pendapatan, Penyerapan Tenaga Kerja, dan
Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi
Selatan tahun 2008-2013”.FEB: Universitas Brawijaya , 2015.
Sedarmayanti dan Hidayat, Syarifudin. “ Metodologi Penelitian”, CV. Mandar
Maju:Bandung, 2011
Setiawan dan Endah Kusrini. “Ekonometrika”, ANDI:Yogyakarta,2010
Sukirno, Sadono. “Ekonomi Pembangunan”, KENCANA: Jakarta,2006
Sukirno, Sadono. “Makro Ekonomi Teori Pengantar”, PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta,2011
Supranto. “Ekonometri”, Ghalia Indonesia: Bogor, 2005
Susianti.” Pembangunan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan AntarProvinsi
di Koridor Ekonomi Indonesia 2005-2013”. Fakultas Ekonomika dan
Bisnis :Universitas Gajah Mada, 2015
Syafrizal. “ Ekonomi Regional”, BADUOSE MEDIA: Padang,2008
125
Tambunan, Tulus. “Perekonomian Indonesia”, Ghalia Indonesia: Bogor,2009
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. “Pembangunan Ekonomi”, Edisi
Kesebelas, Jilid Satu, Erlangga: Jakarta, 2011
Widarjono, Agus. “Ekonometrik Teori dan Aplikasi”, Ekonosia FE
UII:Yogyakarta, 2007
Winaryo, Wing Wahyu. “Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews”,
Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN: Yogyakarta, 2007
126
Lampiran
Lampiran 1
TAHUN KABKOT RG PE TPT BM
2007 Kab. Cilacap 0.27 2.64 11.48 26.50 2008 Kab. Cilacap 0.24 4.92 10.16 26.35 2009 Kab. Cilacap 0.27 5.25 11.45 25.90 2010 Kab. Cilacap 0.25 5.65 9.75 25.82 2011 Kab. Cilacap 0.30 5.78 10.82 26.04 2012 Kab. Cilacap 0.32 5.59 7.29 26.46 2013 Kab. Cilacap 0.37 5.75 6.68 26.77
2007 Kab. Banyumas 0.25 5.30 8.07 25.68 2008 Kab. Banyumas 0.35 5.38 8.05 25.76 2009 Kab. Banyumas 0.32 5.49 8.05 25.70 2010 Kab. Banyumas 0.34 5.77 7.37 25.36 2011 Kab. Banyumas 0.35 5.86 6.61 25.86 2012 Kab. Banyumas 0.34 5.97 5.11 26.18 2013 Kab. Banyumas 0.36 6.71 5.45 26.47
2007 Kab. Purbalingga 0.27 6.19 7.56 25.51 2008 Kab. Purbalingga 0.24 5.30 7.08 25.92 2009 Kab. Purbalingga 0.27 5.61 4.66 25.47
2010 Kab. Purbalingga 0.24 5.95 3.82 24.49 2011 Kab. Purbalingga 0.28 6.07 5.10 24.92 2012 Kab. Purbalingga 0.33 6.22 5.02 25.56 2013 Kab. Purbalingga 0.32 5.66 5.63 25.45
2007 Kab. Banjarnegara 0.27 5.01 6.39 25.58
2008 Kab. Banjarnegara 0.29 4.98 4.91 25.65
2009 Kab. Banjarnegara 0.26 5.11 5.07 25.07
2010 Kab. Banjarnegara 0.26 4.89 3.10 25.77
2011 Kab. Banjarnegara 0.36 4.92 4.97 25.80
2012 Kab. Banjarnegara 0.33 5.25 3.69 25.79
2013 Kab. Banjarnegara 0.39 5.28 4.16 25.89
2007 Kab. Kebumen 0.24 4.52 7.18 26.20
2008 Kab. Kebumen 0.27 5.80 6.12 25.80 2009 Kab. Kebumen 0.24 3.94 8.12 25.79 2010 Kab. Kebumen 0.23 4.15 8.02 25.50
127
2011 Kab. Kebumen 0.34 4.88 4.73 25.96
2012 Kab. Kebumen 0.35 4.81 3.58 26.41 2013 Kab. Kebumen 0.31 4.32 3.52 26.38 2007 Kab. Purworejo 0.23 6.08 5.43 25.49
2008 Kab. Purworejo 0.27 5.62 4.32 25.39 2009 Kab. Purworejo 0.29 4.96 4.94 25.42 2010 Kab. Purworejo 0.29 5.01 3.40 24.85 2011 Kab. Purworejo 0.36 5.02 5.30 25.20
2012 Kab. Purworejo 0.31 5.04 3.20 25.73 2013 Kab. Purworejo 0.34 4.99 5.15 25.92 2007 Kab. Wonosobo 0.22 3.58 5.68 25.65
2008 Kab. Wonosobo 0.29 3.69 5.50 25.80 2009 Kab. Wonosobo 0.24 3.85 3.62 26.00 2010 Kab. Wonosobo 0.25 4.46 4.04 24.39 2011 Kab. Wonosobo 0.35 4.52 4.92 25.51
2012 Kab. Wonosobo 0.38 5.14 5.21 25.95 2013 Kab. Wonosobo 0.34 4.98 5.82 25.65 2007 Kab. Magelang 0.27 5.21 6.26 25.58
2008 Kab. Magelang 0.30 4.99 5.60 25.53 2009 Kab. Magelang 0.26 4.72 4.95 25.41 2010 Kab. Magelang 0.25 4.51 2.97 25.31 2011 Kab. Magelang 0.32 4.27 6.83 25.16 2012 Kab. Magelang 0.33 5.84 4.38 25.28 2013 Kab. Magelang 0.34 5.60 6.13 25.41 2007 Kab. Boyolali 0.16 4.08 7.25 25.79
2008 Kab. Boyolali 0.28 4.05 5.90 25.55 2009 Kab. Boyolali 0.26 5.16 5.51 25.18 2010 Kab. Boyolali 0.27 3.60 3.90 25.33
2011 Kab. Boyolali 0.36 5.28 5.81 25.65 2012 Kab. Boyolali 0.38 5.66 4.43 26.06 2013 Kab. Boyolali 0.40 5.43 5.44 26.24 2007 Kab. Klaten 0.20 3.31 8.19 25.66
2008 Kab. Klaten 0.31 3.93 7.26 25.70 2009 Kab. Klaten 0.23 4.24 6.36 24.95 2010 Kab. Klaten 0.25 1.73 4.50 24.42
2011 Kab. Klaten 0.32 1.96 7.63 25.59 2012 Kab. Klaten 0.33 5.54 3.70 25.93 2013 Kab. Klaten 0.34 5.79 5.34 25.95 2007 Kab. Sukoharjo 0.17 5.11 9.45 25.54
128
2008 Kab. Sukoharjo 0.24 4.84 8.12 25.45
2009 Kab. Sukoharjo 0.25 4.76 8.28 24.73 2010 Kab. Sukoharjo 0.30 4.65 7.40 24.85 2011 Kab. Sukoharjo 0.33 4.59 6.27 25.30
2012 Kab. Sukoharjo 0.35 5.03 6.10 26.18 2013 Kab. Sukoharjo 0.34 5.01 5.98 26.07 2007 Kab. Wonogiri 0.25 5.07 5.20 25.25 2008 Kab. Wonogiri 0.27 4.27 5.73 25.70
2009 Kab. Wonogiri 0.29 4.73 5.03 25.17 2010 Kab. Wonogiri 0.29 3.14 4.70 25.36 2011 Kab. Wonogiri 0.35 4.72 3.82 25.44
2012 Kab. Wonogiri 0.32 6.12 3.46 25.95 2013 Kab. Wonogiri 0.34 4.34 3.61 25.98
2007 Kab. Karanganyar 0.17 5.74 6.63 25.40
2008 Kab. Karanganyar 0.29 5.30 5.70 25.73
2009 Kab. Karanganyar 0.31 3.59 8.26 24.84
2010 Kab. Karanganyar 0.29 7.40 6.62 25.38
2011 Kab. Karanganyar 0.37 5.50 5.78 25.18
2012 Kab. Karanganyar 0.40 5.82 5.82 25.53
2013 Kab. Karanganyar 0.33 5.38 3.84 25.72
2007 Kab. Sragen 0.27 5.73 6.21 25.88 2008 Kab. Sragen 0.27 5.69 5.64 25.86 2009 Kab. Sragen 0.24 6.01 5.78 25.35
2010 Kab. Sragen 0.28 6.06 4.09 25.18 2011 Kab. Sragen 0.35 6.56 8.43 24.98 2012 Kab. Sragen 0.37 6.60 5.88 25.56
2013 Kab. Sragen 0.35 6.64 5.63 25.67 2007 Kab. Grobogan 0.22 4.37 5.83 25.80 2008 Kab. Grobogan 0.26 5.33 6.19 25.93 2009 Kab. Grobogan 0.23 5.03 6.07 25.30
2010 Kab. Grobogan 0.28 5.05 4.60 25.24 2011 Kab. Grobogan 0.32 3.59 5.33 25.81 2012 Kab. Grobogan 0.35 6.16 4.20 25.97
2013 Kab. Grobogan 0.34 4.59 6.10 26.59 2007 Kab. Blora 0.27 3.77 3.92 25.44 2008 Kab. Blora 0.32 5.62 5.71 25.68
129
2009 Kab. Blora 0.25 5.08 6.99 24.97
2010 Kab. Blora 0.26 5.19 5.49 24.70 2011 Kab. Blora 0.33 2.59 6.90 25.39 2012 Kab. Blora 0.38 4.99 4.75 26.11
2013 Kab. Blora 0.41 4.93 6.23 26.29 2007 Kab. Rembang 0.20 3.81 5.70 25.83 2008 Kab. Rembang 0.31 4.67 5.89 25.54 2009 Kab. Rembang 0.21 4.46 5.64 24.76
2010 Kab. Rembang 0.19 4.45 4.89 25.25 2011 Kab. Rembang 0.27 4.40 7.22 25.96 2012 Kab. Rembang 0.33 4.88 5.75 26.02
2013 Kab. Rembang 0.32 5.03 5.97 25.63 2007 Kab. Pati 0.21 5.19 8.38 25.79 2008 Kab. Pati 0.29 4.94 9.36 25.81 2009 Kab. Pati 0.26 4.69 7.68 25.81
2010 Kab. Pati 0.24 5.11 6.22 24.95 2011 Kab. Pati 0.29 5.43 11.17 25.22 2012 Kab. Pati 0.29 5.92 11.98 25.88
2013 Kab. Pati 0.30 5.72 7.29 26.04 2007 Kab. Kudus 0.24 3.33 7.03 25.53 2008 Kab. Kudus 0.22 3.73 6.15 25.83 2009 Kab. Kudus 0.25 3.78 7.36 26.25 2010 Kab. Kudus 0.24 4.33 6.22 25.83 2011 Kab. Kudus 0.35 4.22 8.32 25.56 2012 Kab. Kudus 0.34 4.33 5.89 25.91
2013 Kab. Kudus 0.34 4.68 8.07 25.61 2007 Kab. Jepara 0.23 4.74 5.78 25.88 2008 Kab. Jepara 0.27 4.49 5.76 25.78
2009 Kab. Jepara 0.22 5.02 4.40 25.23 2010 Kab. Jepara 0.20 4.52 4.56 25.51 2011 Kab. Jepara 0.32 5.49 5.48 26.08 2012 Kab. Jepara 0.35 5.74 4.29 26.42
2013 Kab. Jepara 0.33 5.77 6.34 25.79 2007 Kab. Demak 0.24 4.15 7.04 25.82 2008 Kab. Demak 0.24 4.11 6.64 25.45
2009 Kab. Demak 0.22 4.08 5.72 25.75 2010 Kab. Demak 0.24 4.12 5.69 25.57 2011 Kab. Demak 0.31 4.48 5.03 26.18 2012 Kab. Demak 0.34 4.64 8.40 26.55
130
2013 Kab. Demak 0.33 4.62 7.08 26.59
2007 Kab. Semarang 0.19 4.72 9.36 25.66 2008 Kab. Semarang 0.27 4.26 7.39 25.82 2009 Kab. Semarang 0.26 4.37 7.88 25.24
2010 Kab. Semarang 0.28 4.90 6.25 25.05 2011 Kab. Semarang 0.33 5.69 6.16 25.80 2012 Kab. Semarang 0.36 5.89 4.87 26.30 2013 Kab. Semarang 0.31 5.62 3.90 26.15
2007 Kab. Temanggung 0.24 4.03 6.77 25.35
2008 Kab. Temanggung 0.25 3.54 4.90 25.50
2009 Kab. Temanggung 0.27 4.09 4.24 25.28
2010 Kab. Temanggung 0.28 4.31 3.60 24.53
2011 Kab. Temanggung 0.38 4.65 3.54 25.26
2012 Kab. Temanggung 0.35 5.04 3.39 25.81
2013 Kab. Temanggung 0.34 5.02 4.87 25.37
2007 Kab. Kendal 0.19 4.31 5.42 25.50
2008 Kab. Kendal 0.25 4.30 6.39 25.48 2009 Kab. Kendal 0.28 4.10 5.64 25.43 2010 Kab. Kendal 0.27 7.43 5.57 25.62 2011 Kab. Kendal 0.37 6.02 6.54 26.02 2012 Kab. Kendal 0.36 5.53 6.31 25.98 2013 Kab. Kendal 0.32 5.24 6.43 25.77 2007 Kab. Batang 0.16 3.49 8.13 25.41
2008 Kab. Batang 0.25 3.67 8.77 25.50 2009 Kab. Batang 0.27 3.72 7.11 25.30 2010 Kab. Batang 0.28 4.97 6.48 23.96
2011 Kab. Batang 0.28 5.26 6.66 25.20 2012 Kab. Batang 0.31 5.02 5.88 25.62 2013 Kab. Batang 0.30 5.17 7.02 25.72 2007 Kab. Pekalongan 0.22 4.59 7.93 25.21
2008 Kab. Pekalongan 0.25 4.78 7.38 25.29 2009 Kab. Pekalongan 0.20 4.30 4.18 25.35 2010 Kab. Pekalongan 0.23 4.27 4.04 25.02
2011 Kab. Pekalongan 0.28 4.77 6.91 25.30 2012 Kab. Pekalongan 0.28 5.32 5.08 25.55 2013 Kab. Pekalongan 0.27 5.45 4.78 25.94
131
2007 Kab. Pemalang 0.22 4.47 8.53 25.72
2008 Kab. Pemalang 0.21 4.99 9.97 25.63 2009 Kab. Pemalang 0.22 4.78 12.26 25.56 2010 Kab. Pemalang 0.20 4.94 11.45 25.07
2011 Kab. Pemalang 0.26 4.83 7.37 25.58 2012 Kab. Pemalang 0.25 5.28 4.85 25.58 2013 Kab. Pemalang 0.24 5.41 6.48 26.24 2007 Kab. Tegal 0.19 5.59 9.38 25.80
2008 Kab. Tegal 0.25 5.39 9.56 25.98 2009 Kab. Tegal 0.27 5.49 9.24 25.68 2010 Kab. Tegal 0.30 4.63 7.48 25.60
2011 Kab. Tegal 0.28 4.81 10.59 25.71 2012 Kab. Tegal 0.32 5.25 6.12 26.44 2013 Kab. Tegal 0.32 5.81 6.89 26.10 2007 Kab. Brebes 0.21 4.79 9.01 26.00
2008 Kab. Brebes 0.26 4.81 7.92 26.00 2009 Kab. Brebes 0.23 4.99 9.42 25.60 2010 Kab. Brebes 0.23 4.94 8.21 25.60
2011 Kab. Brebes 0.33 4.97 11.08 25.68 2012 Kab. Brebes 0.32 5.21 8.22 25.99 2013 Kab. Brebes 0.31 5.06 9.61 26.51 2007 Kota Magelang 0.27 5.17 12.37 25.04 2008 Kota Magelang 0.26 5.05 12.28 25.01 2009 Kota Magelang 0.28 5.11 14.95 25.26 2010 Kota Magelang 0.31 6.12 13.28 24.59
2011 Kota Magelang 0.34 5.48 11.51 25.12 2012 Kota Magelang 0.37 6.48 8.99 25.09 2013 Kota Magelang 0.33 5.91 6.75 25.68
2007 Kota Surakarta 0.21 5.82 9.31 25.57 2008 Kota Surakarta 0.27 5.69 9.57 25.82 2009 Kota Surakarta 0.27 5.90 10.44 25.13 2010 Kota Surakarta 0.34 5.94 8.73 25.10
2011 Kota Surakarta 0.33 6.04 7.70 25.58 2012 Kota Surakarta 0.37 6.12 6.29 25.95 2013 Kota Surakarta 0.35 5.89 7.22 26.22
2007 Kota Salatiga 0.30 5.39 11.35 24.74 2008 Kota Salatiga 0.32 4.98 11.27 25.56 2009 Kota Salatiga 0.29 4.48 10.95 25.74 2010 Kota Salatiga 0.35 5.01 10.22 25.22
132
2011 Kota Salatiga 0.34 5.52 9.02 25.07
2012 Kota Salatiga 0.35 5.46 6.84 25.55 2013 Kota Salatiga 0.37 6.36 6.21 24.96 2007 Kota Semarang 0.30 5.98 11.39 25.80
2008 Kota Semarang 0.26 5.59 11.51 25.77 2009 Kota Semarang 0.37 4.70 10.66 26.10 2010 Kota Semarang 0.32 6.52 8.98 26.10 2011 Kota Semarang 0.35 6.41 7.65 26.45
2012 Kota Semarang 0.35 6.42 6.01 26.59 2013 Kota Semarang 0.35 6.20 6.02 27.11 2007 Kota Pekalongan 0.28 3.80 9.64 25.08
2008 Kota Pekalongan 0.25 3.73 9.75 25.37 2009 Kota Pekalongan 0.25 4.18 8.61 25.08 2010 Kota Pekalongan 0.28 6.12 7.00 24.76 2011 Kota Pekalongan 0.31 5.45 8.06 25.13
2012 Kota Pekalongan 0.33 5.60 7.67 25.36 2013 Kota Pekalongan 0.32 5.89 5.28 25.60 2007 Kota Tegal 0.23 5.21 14.75 25.17
2008 Kota Tegal 0.28 5.15 13.32 25.27 2009 Kota Tegal 0.24 5.04 15.74 25.53 2010 Kota Tegal 0.24 4.58 14.22 24.91 2011 Kota Tegal 0.32 4.58 9.77 25.27 2012 Kota Tegal 0.33 5.07 8.75 25.02 2013 Kota Tegal 0.32 4.93 9.32 25.34
133
Lampiran 2
Uji Chow
Redundant Fixed Effects Tests Equation: FIXED Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 1.910645 (34,207) 0.0032
Cross-section Chi-square 66.871117 34 0.0006
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: RG Method: Panel Least Squares Date: 06/27/16 Time: 21:59 Sample: 2007 2013 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -0.416120 0.166016 -2.506501 0.0129
PE 0.020734 0.003565 5.815774 0.0000 TPT -0.003745 0.001232 -3.040119 0.0026 BM 0.024514 0.006500 3.771416 0.0002
R-squared 0.212540 Mean dependent var 0.289469
Adjusted R-squared 0.202737 S.D. dependent var 0.051915 S.E. of regression 0.046355 Akaike info criterion -3.288782 Sum squared resid 0.517858 Schwarz criterion -3.231618 Log likelihood 406.8757 Hannan-Quinn criter. -3.265762 F-statistic 21.68239 Durbin-Watson stat 1.453380 Prob(F-statistic) 0.000000
134
Lamipran 3
Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: FIXED Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 10.158372 3 0.0173
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. PE 0.019678 0.020827 0.000007 0.6721
TPT -0.005991 -0.004173 0.000002 0.2264 BM 0.038885 0.028743 0.000018 0.0158
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: RG Method: Panel Least Squares Date: 06/27/16 Time: 22:00 Sample: 2007 2013 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -0.763216 0.202391 -3.770991 0.0002
PE 0.019678 0.004570 4.305643 0.0000 TPT -0.005991 0.002014 -2.974555 0.0033 BM 0.038885 0.007864 4.944606 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.400636 Mean dependent var 0.289469
Adjusted R-squared 0.293503 S.D. dependent var 0.051915 S.E. of regression 0.043637 Akaike info criterion -3.284174 Sum squared resid 0.394161 Schwarz criterion -2.741122 Log likelihood 440.3113 Hannan-Quinn criter. -3.065487 F-statistic 3.739618 Durbin-Watson stat 1.821805 Prob(F-statistic) 0.000000
135
Lampiran 4
Uji Normalitas
0
4
8
12
16
20
24
-0.10 -0.05 0.00 0.05
Series: Standardized ResidualsSample 2007 2013Observations 245
Mean 2.27e-19Median 0.000636Maximum 0.083893Minimum -0.139541Std. Dev. 0.040192Skewness -0.304199Kurtosis 3.053517
Jarque-Bera 3.807834Probability 0.148984
Lampiran 5
Uji Multikolinieritas
PE TPT BM
PE 1.000000 0.031865 0.128333
TPT 0.031865 1.000000 -0.088236
BM 0.128333 -0.088236 1.000000
136
Lampiran 6
Uji Park
Dependent Variable: LOG(RES2) Method: Panel Least Squares Date: 06/27/16 Time: 20:53 Sample: 2007 2013 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -13.29445 8.721665 -1.524302 0.1287
PE -0.080706 0.187293 -0.430909 0.6669 TPT -0.103934 0.064710 -1.606157 0.1095 BM 0.262190 0.341468 0.767831 0.4433
R-squared 0.014630 Mean dependent var -7.705920
Adjusted R-squared 0.002364 S.D. dependent var 2.438145 S.E. of regression 2.435261 Akaike info criterion 4.634177 Sum squared resid 1429.250 Schwarz criterion 4.691341 Log likelihood -563.6867 Hannan-Quinn criter. 4.657197 F-statistic 1.192737 Durbin-Watson stat 2.212526 Prob(F-statistic) 0.313158
137
Lampiran 7
Fixed Effect Model
Dependent Variable: RG Method: Panel Least Squares Date: 06/27/16 Time: 22:05 Sample: 2007 2013 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -0.763216 0.202391 -3.770991 0.0002
PE 0.019678 0.004570 4.305643 0.0000 TPT -0.005991 0.002014 -2.974555 0.0033 BM 0.038885 0.007864 4.944606 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.400636 Mean dependent var 0.289469
Adjusted R-squared 0.293503 S.D. dependent var 0.051915 S.E. of regression 0.043637 Akaike info criterion -3.284174 Sum squared resid 0.394161 Schwarz criterion -2.741122 Log likelihood 440.3113 Hannan-Quinn criter. -3.065487 F-statistic 3.739618 Durbin-Watson stat 1.821805 Prob(F-statistic) 0.000000