Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill
7
Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill pada Semester VIII Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah
Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto
Isno a*
aProgram Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto
*Koresponden penulis: [email protected]
Abstract
Prospective 21st century primary education teachers who are effective should have a thorough understanding and knowledge of key concepts that drive all content instruction. These key concepts, connected to other core standards, include candidate knowledge and assessment, the nature of the learner, school governance and culture, learning and development theory, the use of critical technology and an understanding of how art influences and interacts. with all other content areas. In addition, prospective teachers should have the necessary information regarding time management, planning for acquisition, dissemination and management of materials and equipment (NCDPI, 2009). The purpose of this study are: 1) Describe the influence of multiliteracy learning on the ability of academic writing in Semester VIII Islamic Religious Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto. 2) Describe the influence of multiliteracy learning on Teaching skill in Semester VIII Islamic Religious Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto. From the analysis can be summarized as follows: 1) From the analysis known that Multiliteracy Learning to the ability of academic writing in semester VIII Islamic Religious Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto with the value obtained Fhitung 15 641 (significance F = 0,000). So Ft> Ftable (14 660> 1.60) or Sig F <5% (0,000 <0.05). This means that learning with multiliteracy learning has an effect on the ability of academic writing in semester VIII Islamic Religious Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto. then the null hypothesis (H0) is rejected and the Hypothesis of work (H1) is accepted. 2) From the results of the analysis shows that multiliteracy learning on Teaching skill in semester VIII Islamic Religious Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto value obtained Fhitung 2,924 (significance F = 0,007). So F arithmetic> F table (2,924> 1.70) or Sig F <5% (0.009 <0.05). This means learning with multiliteracy learning to influence learning achievement in semester VIII Islamic Religious Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto.
Keywords: Multiliteracy Learning, academic writing, Teaching skill
A. Latar Belakang
Arus global memberi pengaruh kuat
terhadap kebijakan, praktik, dan
kelembagaan pendidikan. Pendidikan
dihadapkan kepada tuntutan seperti
fleksibilitas dan adaptasi, misalnya, untuk
menyahuti tuntutan dan kesempatan dunia
kerja. Dengan demikian kegiatan kelas dan
pembelajaran pun hendaknya memberi
peserta didik bekal yang diperlukan untuk
hidup berdampingan dengan mereka yang
berlatar belakang sosio-kultural, politik,
ideologi, dan agama yang beragam. Pada
sisi lain, pembelajaran juga harus mampu
mengokohkan a sense ofidentity dalam
keragaman afiliasi pandangan, paham, atau
ideologi (Burbules & Torres, 2000; Baedowi,
(2015:3).
Kondisi pendidikan Indonesia dalam
pespektif standar global belum mampu
brought to you by COREView metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
provided by STIT Raden Wijaya: Journal Online of Education
TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 7 No. 2 Nopember 2017
8
bersanding dan bertanding dengan negara
lain (Baedowi, 2015:3), Upaya untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di
Indonesia masih terus dilakukan. Dunia
pendidikan adalah sebuah mega proyek
bersama bagi anak-anak bangsa yang
sedang giat-giatnya membangun agar
bermartabat dan tidak ketinggalam dari
bangsa- bangsa lain di dunia (Indonesia, U.
P., 2007:341). Keikutsertaan Indonesia di
dalam studi International Trends in
International Mathematics and Science
Study (TIMSS) dan Program for
International Student Assessment (PISA)
sejak tahun 1999 juga menunjukkan bahwa
capaian anak-anak Indonesia tidak
menggembirakan dalam beberapa kali
laporan yang dikeluarkan TIMSS dan PISA
(Putra, 2015:109). Dalam survei lain,
Indonesia mendapat nilai rata-rata E dalam
rapor pendidikan dan berada di peringkat
10 di antara 14 negara berkembang di Asia
Pasifik (di bawah Vietnam, India, Kamboja,
dan Bangladesh) (Rizali, 2009:126), untuk
kualitas para guru berada pada level 14 dari
14 negara berkembang (Suraya: 2015;
Hidayatullah, 2017:324)
Sebagai solusi tentang carut marutnya
pendidikan sekarang ini, sudah saatnya kita
tidak memandang pendidikan hanya
menjadi masalah individual lembaga
pendidikan formal semisal sekolah,
melainkan ia juga menjadi masalah
masyarakat keseluruhan (Syaukani,
2002:474). Para pengambil kebijakan harus
bisa melihat secara holistis kondisi
pendidikan dan menyelesaikannya dengan
cara yang holistis pula. Negeri ini butuh
pemimpin yang berpikir outside the box
karena sudah terbukti para pemimpin di
bidang pendidikan yang membangun
pendidikan Indonesia dengan cara by the
book belum mampu melentingkan tingkat
pendidikan bangsa ini (Tim Psikosmart,
2017:73)
Lemahnya para guru dalam menggali
potensi anak menjadi salah satu faktor
rendahnya kualitas pendidikan di
Indonesia. Guru seringkali memaksakan
kehendaknya tanpa pernah memperhatikan
kebutuhan, sehingga membuat anak kurang
nyaman dalam menuntut ilmu. Oleh sebab
itu pembaharuan dalam dunia pendidikan
sangat berpengaruh terhadap peningkatan
kualitas bangsa. Salah satu faktor yang
dapat meningkatkan segi kualitas,
kuantitas, dan mutu pendidikan saat ini
dengan diterapkan model-model
pembelajaran yang dapat dibutuhkan oleh
siswa. Yaitu proses pembelajaran yang
membuat siswa nyaman serta dapat
meningkatkan kreatifitas dan keaktifan
siswa sehingga dapat menggerakkan
seluruh bagian tubuh siswa dalam
mengikuti proses pembelajaran. menurut
Jensen yang diterjemahkan oleh Wati
(2008:40) dimana saat proses pembelajaran
melibatkan seluruh bagian tubuh, otak
bertindak sebagai pos perjalanan untuk
stimuli yang datang (Hidayatullah,
2017:324)
Untuk mengatasi permasalahan-
permasalahan diatas, “…LPTK sebagai
lembaga pendidikan yang berperan dalam
membentuk generasi guru siap guna perlu
mengembangkan strategi khusus agar
mahasiswa calon guru yang dibinanya
memiliki kesiapan serta kemampuan yang
relevan dengan tuntutan kurikulum yang
berlaku saat ini” (Putri, 2014:121). Melalui...
kehidupan nyata di sekitarnya melalui
pembelajaran yang menyenangkan, dengan
begitu, peserta didik tidak akan terasing dari
kondisi nyata dan siap dalam menghadapi
situasi yang bergerak cepat, dalam posisi
seperti ini kemampuan multi literasi
diperlukan untuk bisa membaca
perkembangan yang diakibatkan oleh proses
globalisasi (Pratiwi, 2017:560).
Gerakan literasi sekolah sebenarnya telah
digagas oleh Kemendikbud pada tahun 2015.
Program ini diharapkan dapat meningkatkan
kualitas sumber daya manusia melalui
budaya pemahaman informasi yang kritis,
Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill
9
analitis, dan reflektif (Kemendikbud, 2015).
Gerakan ini diterapkan sebagai upaya untuk
menumbuhkan semangat membaca di
kalangan pelajar, khususnya peserta didik
sekolah menengah. Literasi sendiri dimaknai
sebagai kemampuan mengakses, memahami,
dan menggunakan sesuatu secara cerdas
melalui berbagai aktivitas, antara lain
membaca, melihat, menyimak, menulis, dan
berbicara (Pratiwi, 2017:543).
Steven Fraiberg (2010:107) mencatat:
“komposisi untuk abad ke dua puluh satu
membutuhkan pergeseran ke arah
konseptualisasi penulis sebagai “knotworkers”
yang merundingkan susunan rumit bahasa,
teks, alat, objek, simbol, dan kiasan”.
Dengan kemajuan kebutuhan zaman,
kompetensi literasi menjadi sangat penting
dalam menghadapi pembelajaran abad 21.
Dengan berkembangnya zaman, maka
literasi bisa didefinisikan sebagai
kemampuan untuk mengerti berbagai teks
dalam berbagai bentuk yang lebih dari
membaca dan menulis. Termasuk ragam
teks yang dimaksud berbentuk gambar,
grafik, elektronik, termasuk kinestetik.
Bahkan, gerakan tubuh seseorang juga
mengandung banyak teks. Ketika seorang
siswa datang ke dalam kelas dengan
gerakan, ekspresi, dan kata maka mereka
juga membawa ‘teks’ mereka. Sekali lagi,
literasi itu lebih dari membaca dan menulis.
Pada ruang kelas, bagaimana mobil
menghasilkan polusi dalam bentuk gambar
tentu akan akan menjadi bentuk literasi
yang lebih dalam dibandingkan penjelasan
dalam bentuk teks tulis atau cetak.Dengan
kata lain, segala hal yang menyampaikan
arti bisa dinyatakan sebagai ‘teks’.Ragam
literasi jamak disebut multiliterasi. Jika
seseorang mampu berkemampuan seperti
hal tersebut, mampu berliterasi, maka
dikatakanlah individu yang "literat". Literat
dalam segala hal bentuk teks (Mursyid,
2017).
Meneliti tulisan akademisi sebagai
praktik sosial, pendekatan utama yang
menginformasikan proyek adalah
perspektif sosiomaterial dan perspektif
studi keaksaraan. Yang pertama berarti
bahwa kita secara khusus berfokus pada
pemahaman bagaimana sumber daya sosial
dan material terhubung bersama untuk
membangun praktik menulis (Fenwick et
al., 2011), sedangkan yang kedua berarti
bahwa kita tertarik dalam tulisan yang
dibentuk oleh konteks sosial, kehidupan
sejarah, sumber daya dan pengalaman,
semuanya terletak dalam dinamika historis-
ical dan hubungan kekuasaan (Barton, 2007;
Barton dan Hamilton, 2000).
Berdasarkan latar belakang penelitian,
maka penulis tertarik untuk meneliti dalam
suatu karya tulis dengan judul: Pengaruh
pembelajaran multiliteracy terhadap
kemampuan academic writing dan teaching
skill pada semester VIII Program Studi
Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi
Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di
atas, maka dapat di kemukakan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apakah pembelajaran multiliteracy
berpengaruh terhadap Kemampuan
academic writing pada Semester VIII
Program Studi Pendidikan Agama Islam
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden
Wijaya Mojokerto?
2. Apakah pembelajaran multiliteracy
berpengaruh terhadap Teaching skill
pada Semester VIII Program Studi
Pendidikan Agama Islam Sekolah
Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya
Mojokerto?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan pengaruh pembelajaran
multiliteracy terhadap Kemampuan
TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 7 No. 2 Nopember 2017
10
academic writing pada Semester VIII
Program Studi Pendidikan Agama Islam
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden
Wijaya Mojokerto.
2. Mendeskripsikan pengaruh pembelajaran
multiliteracy terhadap Teaching skill
pada Semester VIII Program Studi
Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi
Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto.
D. Kajian pustaka
1. Pembelajaran multiliteracy
'Literasi' adalah istilah yang
menampilkan dirinya sebagai tegas dan
tunggal. Bagian yang tegas menyertai
desakan modern bahwa setiap orang
setidaknya memiliki tingkat kompetensi
dasar dalam membaca dan menulis.
'Literasi' dalam pengertian ini berarti
beberapa hal yang pasti untuk diperoleh:
untuk membaca teks-teks biasa masyarakat
modern — surat kabar, buku informasi,
novel; untuk dapat menulis menggunakan
ejaan dan tata bahasa yang benar; dan
untuk menghargai nilai-nilai budaya tinggi
melalui paparan kanon rasa sastra. Bagian
tunggal muncul ketika keaksaraan disajikan
sebagai bentuk bahasa tunggal, resmi atau
standar, satu cara yang benar untuk
menulis, dan kanon penulis yang ideal yang
secara konvensional dianggap 'hebat' (Cope
& Kalantzis, 2016).
Pada pertengahan 1990-an, konotasi
yang tegas dan tunggal dari istilah 'literasi'
mulai bekerja tidak begitu baik. Media
massa dan kemudian internet melahirkan
seluruh genre teks baru yang berarti bahwa
pemahaman literasi yang sempit secara
konvensional cepat menjadi ketinggalan
zaman. Selain itu, kekuatan globalisasi dan
keragaman lokal yang beraneka-ragamnya
semakin menyederhanakan cara-cara
pembuatan makna yang sangat berbeda
satu sama lain. Tantangan untuk belajar
berkomunikasi dalam lingkungan baru ini
adalah menavigasi perbedaan, daripada
belajar berkomunikasi dengan cara yang
sama. Selain itu, menjadi jelas bahwa
pedagogi literasi tradisional tidak bekerja
untuk mencapai tujuan yang dinyatakannya
dalam menyediakan peluang sosial.
Ketidaksetaraan dalam pendidikan
berkembang, menunjukkan bahwa sesuatu
perlu dilakukan dalam pedagogi literasi
untuk mengatasi hal ini (Cope & Kalantzis,
2016).
Dalam konteks inilah New London
Group bersatu untuk mempertimbangkan
keadaan saat ini dan kemungkinan masa
depan pedagogi literasi. Diselenggarakan
oleh Mary Kalantzis dan Bill Cope,
kelompok itu juga terdiri dari Courtney
Cazden, Norman Fairclough, Jim Gee,
Gunther Kress, Allan Luke, Carmen Luke,
Sarah Michaels, dan Martin Nakata. Diskusi
awal kelompok ini - pertemuan selama
seminggu pada September 1994 -
menghasilkan manifesto artikel-panjang
(New London Group 1996), dan kemudian
sebuah buku yang diedit (Cope dan
Kalantzis 2000) yang termasuk artikel asli.
Pada tahun 2009, dalam konsultasi dengan
anggota lain dari kelompok, Cope dan
Kalantzis menerbitkan sebuah makalah
yang merefleksikan perkembangan
selanjutnya (Cope dan Kalantzis 2009);
kemudian pada tahun 2012 mereka
menghasilkan sebuah buku yang
menguraikan teori dan praktik secara lebih
rinci (Kalantzis dan Cope 2012a; Cope &
Kalantzis, 2016).
Menjelajahi komunikasi multimodal
sebagai pendidikan literasi dari platform
penelitian, Multiliteracies and Diversity in
Education menggabungkan analisis dari
perubahan komunikasi dan praktik
pedagogik dengan kegiatan berbasis
penelitian yang baik untuk multiliteracies
proyek kelas. Buku panduan siswa dalam
mengembangkan pengetahuan mereka
tentang perencanaan produktif dan
pergeseran pedagogik, dan
mengungkapkan cara-cara di mana semua
siswa mampu terlibat dalam merancang
Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill
11
rencana pelajaran dan program yang
melibatkan metode baru dan tradisional
membaca dan konstruksi teks. Ini
menunjukkan bagaimana model pedagogik
multiliteracies memecahkan perbedaan
yang tidak alami antar disiplin, dan
memberikan pandangan baru pada
pendidikan keaksaraan (Healy, 2008).
Untuk itu, pedagogi yang harus
dikembangkan menghadapi era persaingan
global sebagaimana dikemukakan di atas
adalah pedagogi kemelekan ganda (pedagogi
multiliteracy). Pedagogi paradigma ini
adalah pedagogi yang dapat
menghantarkan para siswa menjadi orang-
orang dengan kemampuan variatif hasil
dari sebuah proses pembelajaran tunggal.
Setidaknya ada empat aspek kemampuan
siswa yang dapat dihasilkan dari sebuah
proses pembelajaran, sejauh desain
pembelajaran yang dikembangkan guru
sangat ramah dengan berbagai kompetensi
dimaksud. Keempat kompetensi ideal
tersebut adalahkeahlian berfikir (thinking
skill), multiple intelligence, taxonomy Bloom,
habit of mind (Rosyada, 2016).
Kemampuan berfikir (thinking skill).
Kemampuan ini sangat besar kontribusinya
untuk sukses anak dalam profesi seperti
ditemukan dan dirumuskan oleh Edward
de Bonodalam taxonomy of thinking yang
meliputi;
1. Berfikir empirik, yakni kemampuan
berfikir berbasis data, fakta dan
informasi, dianalisis dan disimpulkan.
2. Berfikir intuitif, imaginatif, emosi dan
perasaan, yakni seseorang harus mampu
mengelola imajinasi dan intuisinya untuk
melahirkan sesuatu konsep dan
pemikiran yang dinamis.
3. Berfikir judgement, yakni menetapkan
atau mengingatkan. Bahwa seseorang
setiap siswa yang akan menjadi
profesional harus dilatih bagaimana
menetapkan sesuatu sikap dan tindakan
untuk dilakukan, baik berbasis data
empirik atau imajinasi belaka.
4. Berfikir logis, yakni kemampuan berfikir
rational yang dapat dinalar, sehingga
setiap keputusan yang diambil selalu bisa
mudah difahami oleh orang lain, baik
berbasis rujukan empirik atau imajinatif.
Berfikir logis bisa dikembangkan dengan
cara memberikan jawaban kenapa sebuah
keputusan diambil, untuk apa ? dan apa
keuntungan-keuntungan yang akan
diperoleh dengan keputusan tersebut. Ini
semua berfikir logis yang dikembangkan
dari data atau imajinasi.
5. Berfikir kreatif dan inovatif, yakni
melahirkan sebuah formula untuk bisa
mewujudkan imajinasi. Berfikir kreatif
adalah berfikir tentang langkah, cara dan
teknik bagaimana mewujudkan sebuah
keinginan besar yang sudah
direformulasi, baik hasil analisis empirik
ataupun imajinasi. Sementara berfikir
inovatif adalah berfikir untuk melahirkan
sesuatu yang baru, baik sebagai
kelanjutan dari yang sudah ada ataupun
memang benar-benar baru.
6. Berfikir metakognitif, yakni berfikir
tentang sesuatu yang sedang atau sudah
difikirkan, direformulasikan dan sudah
dikembangkan, untuk melakukan
evaluasi dan perbaikan, dengan
menggunakan imajinasi atau hasil
analisis data empirik (De Bono, 2017:13).
Keenam kemampuan berfikir ini harus
dimiliki setiap siswa atau para mahasiswa
yang akan memasuki pasar kerja, agar
mereka bisa diterima dengan baik dalam
profesi mereka, atau bahkan mungkin bisa
mengembangkan usaha sendiri dengan
kompetensi enterpreneurial mereka. Untuk
keenam kompetensi berfikir ini, tidak ada
mata pelajaran khusus, pelatihan khusus,
dan bahkan mungkin belum banyak
referensi bisa diakses oleh para siswa. Oleh
sebab itu, keenam kompetensi berfikir
tersebut dilatih oleh guru dalam proses
pembelajaran materi apa saja, yang
TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 7 No. 2 Nopember 2017
12
mendorong para siswa untuk berfikir
empirik, intuitif, logis, imajinatif, kreatif dan
bahkan mungkin berfikir metakognitif.
Guru tidak usah menunggu mata pelajaran
yang mengajarkan berbagai kompetensi
tersebut, karena jika diajarkan justru hanya
akan menjadi pengetahuan, padahal yang
dibutuhkan adalah sikap, tindakan dan
rencana-rencana tindakan yang akan
membawa perubahan (Rosyada, 2016).
Pedagogi multiliterasi juga
meniscayakan hasil para siswa dan
mahasiswa yang memiliki kecerdasan
majemuk (multiple intelligence). Menurut
Gardner seperti dikutip Lea Chapuis,
terdapat tujuh kecerdasan majemuk, yaitu:
1. Kecerdasan berfikir logis dan numerik
(Logical mathematical intelligence), yakni
kemampuan berfikir rasional dalam
rangkaian nalar yang panjang, sehingga
bisa difahami oleh logika.
2. Kecerdasan menangkap maknadan
kecerdasan merangkai kata bermakna
(Linguistic intelligence) sehingga mampu
menyampaikan gagasan, kesimpulan,
dan pendapat yang mudah difahami oleh
orang lain.
3. Kecerdasan mempersepsi, melakukan
tata ruang, dan melakukan tranformasi
penataan (spatial intelligence) bertolak dari
suasana ruang yang sudah ada.
Kecerdasan spasial ini kadang disebut
juga dengan kecerdasan visual-spasial,
sehingga kecerdasan ini berkembang
dengan penambahan kemampuan untuk
merepresentasikan sesuatu melalui
gambaran-gambaran visual dan artikulasi
artistik.
4. Kecerdasan apresiasi terhadap musik
(musical intelligence), yakni kecerdasan
untuk menghargai, melatih diri dan
membina keserasian yang berbasis
ekspresi, karena inti musik adalah
keserasian antara tangga nada alat musik
dengan vokal, dan keserasian antar satu
alat musik dengan lainnya. Agar
menonjol pada kecerdasan musik maka
seseorang harus mempunyai
kemampuan auditorial dengan baik,
melalui latihan mendengar, menghayati,
mengapresiasi dan melakukan ekspresi
dalam sebuah keserasian.
5. Kecerdasan gerakan fisik baik dalam
konteks melakukan sesuatu atau
menghindari sesuatu (bodily-kinesthetic
intelligence). Kecerdasan gerakan fisik
juga bisa dilatih dan dikembangkan
dalam merangkai bahasa tubuh yang
mengekspresikan makna.
6. Kecerdasan untuk melihat, merespon dan
mengapresiasi mood (suasana hati),
temperamen, motivasi dan keinginan
orang lain (interpersonal intelligence).
7. Kecerdasan memahami berbagai
perasaan yang ada dalam diri sendiri dan
mampu membedakan satu sama lain
(intrapersonal intelligence), sehingga
mampu memberikan bimbingan
terhadap diri sendiri untuk bersikap dan
bertindak berdasarkan pengetahuan,
serta memiliki kesadaran akan kekuatan
yang ada pada diri sendiri, kelemhan-
kelemahannya, keinginannya serta
kecerdasannya (Gardner and Hatch,
1989:6)
Sebagaimana kemampuan berfikir
dengan lima kategorinya, tujuh kecerdasan
ini diakui oleh hampir semua ilmuwan
pendidikan di duniasangat mempengaruhi
setiap orang dalam profesinya, apakah
mereka sukses, gagal atau tidak ada
kemajuan, sangat dipengaruhi oleh
kematangan dalam berbagai kecerdasan
tersebut. Mematangkan berbagai
kecerdasan akan sangat bermanfaat bagi
para siswa dan mahasiswa yang akan
menjadi sarjana untuk bisa menentukan
profesi yang akan ditekuni dan
dikembangkannya, atau setidaknya ketujuh
kecerdasan tersebut akan sangat membantu
profesionalisasi mereka dalam bidang yang
akan ditekuninya. Dan ketujuh kecerdasan
Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill
13
ini tidak ada mata pelajarannya, dan tidak
selalu menjadi materi bahan ajar yang ada
di sekolah atau perguruan tinggi. Oleh
sebab itu, latihan tujuh kecerdasan ini
dimandatkan pada proses pedagogi yang
harus dilakukan dengan rancangan yang
baik, akurat dan menyentuh seluruh
kecerdasan ini, serta implementasi proses
pembelajaran degan berbagai strategi dan
teknik yang secara instan melatih
kecerdasan-kecerdasan tersebut (Rosyada,
2016).
Bersamaan dengan itu, proses
pembelajaran bukan sedang membentuk
ilmuwan. Pembelajaran hanya untuk
menghantarkan setiap pembelajar menjadi
profesional dalam bidangnya, dan profesi
selalu lekat dengan pengetahuan, skil,
keterampilan dan keahlian untuk mengukur
tingkat pembayaran, upah, pendapatan atau
takehome fee seseorang. Ilmuwan hanya
dibentuk dengan penelitiandan diharapkan
justru dari level pendidikan magister dan
doktor. Oleh sebab itu, hasil belajar tidak
boleh hanya diukur dengan tahu, faham,
tapi dalam kognitif saja sudah menargetkan
pengalaman aplikasi ilmu, dan berakhir
dengan perubahan seseorang sesuai dengan
ilmu dan keterampilannya, dan ilmu serta
skil dan keahliannya itu teradaptasi dengan
baik dalam sikap dan perbuatan mereka.
Oleh sebab itu, proses pedagogi juga
memiliki mandat untuk mampu
mewujudkan taksonomi hasil belajar yang
di Indonesia masih diukur dengan
parameter Taksonomi Bloom (Rosyada,
2016).
Bloom membagi taksonomi hasil belajar
itu menjadi tiga ranah secara eskalatif, yakni
kognitif, efektif dan psiko-motorik.
Kemampuan kognitif akan menjadi dasar
berkembangnya kemampuan afektif, dan
kompetensi psikomotorik akan lahir setelah
seorang siswa atau mahasiswa memiliki
kemampuan afektif dalam pokok bahasan
atau cabang keilmuan yang mereka pelajari.
Kenneth D. More, sebagaimana dikutip oleh
Rosyada, menjelaskan, ada 15 level hasil
belajar yang bergerak secara eskalatif, yakni
sebagai berikut:
1. Ranah Kognitif, yakni ranah
pengetahuan, terdiri dari enam (6) level
sebagai berikut.
a. Knowledge, yakni kemampuan siswa
mengetahui sesuatu ilmu
pengetahuan, pola implementasi
pengetahuan baru tersebut.
b. Comprehension, yakni pemahaman
terhadap ilmu baru melalui kajian
tentang defoinisi, ruang lingkup dan
pola pelaksanaanya.
c.Application, yakni pengetahuan
bagaimana ilmu baru itu diaplikasikan
dalam sebuah karya profesi,
kehidupan sosial atau lainnya, serta
keterampilan mengaplikasikan
tersebut, sehingga pengethaun dan
keterampilannya sudah berubah
dengan bertambah pengetahuan barun
serta keterampilan baru.
d. Analysis, yakni kemampuan
menguraikan ilmu pengetahuan yang
baru dikuasainya, sehingga bisa
mengenal dan memahami detail dari
ilmu pengetahuan dan teknologi baru
tersebut.
e. Sintesis, yakni kemampuan untuk
melakukan unifikasi, atau
membulatkan kembali konsep yang
sudah dielaborasikan secara detal, dan
disatukan kembali menjadi satu
rumusan umum. Atau kalau dalam
bentuk teknologi, seluruh unsurnya
diurai satu persatu, lalu disatukan
kembali sehingga menjadi sebuah alat
utuh.
f. Evaluasi, dan terkadang juga disebut
dengan justifikasi, yakni kemampuan
menilai apakah ilmu pengetahuan dan
keterampilan barunya itu sesuatu yang
baik bermanfaat untuk dirinya atau
tidak (Rosyada, 2013:127).
TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 7 No. 2 Nopember 2017
14
2. Ranah Afektif, yakni ranah sikap, terdiri
dari lima level sebagai berikut:
a. Receiving, yakni sikap jiwa untuk
menerima ilmu pengetahuan,
teknologi yang baru dinilai oleh
pengetahuannya sebagai sesuatu yang
baik dan bermanfaat untuk dirinya.
b. Responding, yakni kemampuan para
para pembelajar untuk memberi
respon dalam bentuk sikap jiwa untuk
mengkonfirmasi kebenaran atau
kesalahan ilmu pengetahuan dan
teknologi baru yang sudah dinilai baik
bermanfaat atau tidaknya bagi
kehidupan dia.
c.Valuing, yakni kemampuan para
pembelajar menanamkan nilai-nilai
baru yang sudah disimpulkan oleh
kecerdasan berfikir dan diterima serta
diresponi oleh jiwa mereka, dalam
level ini, mereka harus dilatih
bagaimana menanamkan nilai-nilai
tersebut menjadi nilai dirinya.
d. Organising, yakni kemampuan untuk
mengorganisasikan nilai-nilai yang
sudah diterima sebagai hasil proses
penjang belajar dengan menambah
pengetahuan dan keterampilan baru,
dari berbagai mata pelajaran yang
akan mampu mebentuk mereka
menjadi insan kamil, dengan berbagai
pengathaun dan keterampilan baru.
e. Characterization, yakni kemampuan
untuk menggunakan nilai-nilai yang
sudah dimiliki menjadi pandangan
hidup, dan mempertahankannya
sebagai nilai-nilai pribadi yang sudah
dimiliki sebagai karakter pribadi yang
kuat.
3. Ranah Psikomotorik, yakni ranah
implementasi nilai-nilai yang sudah
dimiliki. Pada ranah ini terdapat empat
level kompetensi yang harus dibina lewat
proses pembelajaran, yakni:
a. Observing, yakni para siswa dibawa
pada situasi implementasi nilai-nilai
yang sudah diajarkan, difahami dan
sudah menjadi karakter diri mereka.
Atau dibawa untuk meyakinkan
praktik, proses kerja dan penggunaan
alat teknologi pada sebuah latar yang
sebenarnnya atau pada laboratorium
yang memvisualisasi tindakan, praktik
dan penggunaan alat tersebut,
sehingga mereka bisa memahami
bagaimana mereplikasikannya pada
diri mereka.
b. Imitation, yakni kemampuan siswa
untuk meniru tindakan, penggunaan
alat teknologi atau perbuatan yang
sedang mereka pelajari, dan berusaha
melakukannya sesuai dengan yang
mereka lihat, dan mereka amati dalam
kenyataan empirik atau kenyataan
artifisial.
c.Practicing, yakni kemampuan para
siswa untuk mempraktikan apa yang
sudah dia yakini dan sudah dia amati
opelaksanaannya, bahkan sudah
mencoba menirukannya, baik dalam
bentuk tindakan ataupun penggunaan
alat-alat teknologi tertentu.
d. Adapting, yakni kemampuan untuk
menjadikan semua yang sudah
diyakininya itu, sudah dipraktikan
dalam proses pembelajaran, atau
dilatih di sekolah, sehingga sudah
cakap melaksanakannya atau
menggunakannya, menjadi bagian dari
tradisi, kebiasaan, kepribadian atau
keterampilan para siswa (Rosyada,
2013:127).
Selanjutnya, pedagogi yang baik dalam
mempersiapkan para siswa menjadi siswa
yang cerdas berdaya saingadalah mereka
harus dibelajarkan untukmembina habit of
minddengan sejumlah besar kebiasaan
positif yang perlu dikembangkan sebagai
berikut:
a. Persisting, yakni kemampuan memilih,
menganalisis dan memutuskan untuk
Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill
15
bekerja dalam wilayah keahlian dan
kewenangannya. Tidak mudah
menyerah dan mampu menyelesaikan
masalah dalam wilayah profesinya.
b. Managing impulsivity, yakni mengelola
sikap jiwa yang terkadang meledak-
ledak, memiliki strategi untuk
menyelesaikan masalah, dan memiliki
kemampuan untuk mengeksplorasi
berbagai cara dalam menghadapi
berbagai masalah, serta memiliki
kemampuan untuk mengantisipasi
konsekwensi dari setiap pilihan.
c. Listening to others, yakni kebiasaan
mendengar pendapat orang lain, dan
mampu memahami pendapat orang lain
yang diikuti kemudian dengan sikap
empati.
d. Think flexibility, yakni berfikir fleksibel,
bersikap terbuka, dan selalu memiliki
keinginan untuk mengubah pemikiran,
dan dengan cara meyakinkan dapat
menjelaskan pemikirannya itu pada
orang lain.
e. Thinking about thinking, yakni membina
kompetensi untuk bersikap kritis untuk
memikirkan pemikiran sendiri. Inilah
kompetensi metakognitif yang
merupakan hasil paling ideal dari
sebuah proses pembelajaran.
f. Striving for accuracy and persisting, selalu
berusaha untuk bisa melakukan sesuatu
dengan akurat dan sesuai dengan
prototipe yang dirancang atau
melakukan sesuatu sesuai rencana.
g. Quetioning and posing problems, yakni
kemampuan mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan yang baik sesuai
dengan tema pembelajaran yang mereka
sedang kerjakan, dan mampu menyusun
pertanyaan yang bisa difahami orang
lain atau gurunya.
h. Applying past knowledge to the new
situation, menggunakan ilmu yang sudah
dikuasai untuk situasi baru.
i. Thinking and Communicating with clarity
and precision, yakni kemampuan untuk
berfikir akurat dan berkomunikasi secara
efektif, baik komunikasi tertulis maupun
lisan, dan selalu berusaha menggunakan
bahasa yang tepat menggambarkan ide
dan pemikirannya.
j. Gathering data through all sense,
mengumpulkan data dengan
menggunakan semua indra, dengan
cicipan, penciuman, atau dengan cara-
cara lain yang dimiliki fisik setaip siswa
atau mahasiswa.
k. Creating, Imaging and innovating, yakni
bahwa setiap siswa harus dilatih agar
memiliki kemampuan berimajinasi,
melaksanakan imajinasinya sehingga
menjadi kenyataan dan bahkan setiap
siswa harus dilatih untuk bisa
mengembangkan inovation, lewat
imajinasi dan mempelajari karya-karya
yang sudah ada untuk dimodifikasi.
l. Responding with wonderment and awe,
yakni kemampuan siswa/mahasiswa
untuk merespon sesuatu dengan
kekaguman.
m. Taking Responsible risks, yakni memiliki
kompetensi tanggung jawab terhadap
apa yang sudah dia putuskan, dan siap
menghadapi risiko yang akan muncul
dari keputusannya.
n. Finding humours, yakni memiliki
kompetensi jiwa yang humoris, periang,
antusias, dan mampu menjaga untuk
selalu gembira dalam melaksanakan
tugas.
o. Thinking interdependently, yakni
kompetensi untuk berfikir komprehensif,
bahwa satu tindakan akan menghasilkan
sesuatu yang baik jika didukung oleh
banyak kompetensi yang saling
ketergantungan satu sama lain.
p. Learning Continuously, memiliki
kompetensi menjadi pembelajar
sepanjang hayat.
TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 7 No. 2 Nopember 2017
16
2. Kemampuan academic writing
Menulis adalah salah satu kegiatan yang
paling kompleks. Melibatkan instruksi tata
bahasa dan semantik. Menurut (Munoz-
Luna, 2015; Alameddine & Mirza, 2016),
pendidik selalu menganggap menulis sulit
untuk mengukur, menilai, menganalisa dan
menilai. Bahkan di abad 21, menulis masih
dianggap sebagai tugas yang menuntut
melibatkan berbagai keterampilan dan
subskills (Mazandarani, 2010; Alameddine
& Mirza, 2016). Penulis biasanya tidak sadar
akan semua strategi penulisan yang terlibat
saat menulis dalam kelas L2 bahasa Inggris.
Oleh karena itu, guru harus hati-hati
merencanakan strategi menulis yang dapat
dilakukan siswa secara sadar bekerja pada
teks-teks mereka dari perspektif ganda,
yang meliputi: level gramatikal, tingkat
diskursif tingkat leksikal, tingkat
metadiscursive, spesifikasi genre, dan
kompilasi konten (Lillis & Curry, 2006;
Alameddine & Mirza, 2016).
Ketika para siswa tidak akrab dengan
berbagai tahap penulisan dan strategi,
adalah tugas para guru untuk memberi
mereka cukup kesempatan untuk
mempraktikkan keterampilan menulis
mereka menggunakan bahasa Inggris
akademik (Alameddine & Mirza, 2016).
Menggunakan strategi menulis
membuat peserta didik lebih otonom dan
mengatur sendiri ketika menulis dalam
bahasa Inggris, bahasa kedua mereka.
Strategi menulis sangat penting bagi para
penulis untuk menyaring gagasan mereka
dalam produksi yang ditulis secara
akademis. Strategi penulisan dalam
penulisan akademik L2 (Nacera, 2010;
Mitchell & Myles, 2004; Alameddine &
Mirza, 2016) melibatkan 1. strategi
metakognitif (perencanaan, pemantauan,
peninjauan, evaluasi, melaporkan temuan,
mengenali struktur esai), 2. Strategi kognitif
(pengulangan, organisasi, meringkas, citra
menggunakan, menyimpulkan, menyim-
pang, menulis catatan, parafrase), 3. Strategi
pemahaman (membaca ulang), dan 4.
strategi sosio-afektif (perencanaan
kooperatif).
Karena menulis adalah proses siklus,
penulis perlu terus merevisi skrip mereka
dan menyesuaikan strategi mereka sesuai
kebutuhan (Roca de Larios, Manchon,
Murphy, & Marin, 2008). Akibatnya, siswa
yang biasanya membaca dan merevisi
tulisan mereka cenderung tampil lebih baik
(Munoz-Luna, 2015).
Penulisan akademik harus difokuskan
pada hal-hal berikut (seperti yang
tercantum dalam del Olmo, 2015):
a. Audiensi dan tujuan
b. Menulis ringkas dan cair
c. Kosakata formal
d. Lindung nilai (kesadaran penulis tentang
pembacanya di samping kehadiran penulis
dalam teks)
e. Nominalisasi
f. Tulisan yang tidak ambigu
g. Konvensi penulisan: singkatan, akronim
dan label majemuk
h. Grammar dan tanda baca
Penulis akademis yang mahir biasanya
menggunakan bentuk pasif dari kata kerja,
kata ganti dan kata ganti, kata dan frasa
yang memenuhi syarat, struktur kalimat
yang rumit, dan kosakata khusus
(Alameddine & Mirza, 2016).
Hedging adalah salah satu ciri utama
penulisan akademik. Mampu menggunakan
lindung nilai secara tepat memungkinkan
penulis untuk berfungsi di dunia akademis
berbahasa Inggris. Hedges juga dapat
membantu penulis menganggap
pembacanya sebagai peserta dalam teks
(Hyland, 2005). Perangkat lindung nilai
mencakup contoh-contoh seperti yang
berikut: alih-alih mengatakan "saya tahu",
penulis akademis lebih baik
Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill
17
mengasumsikan atau menyarankan ketika
berbicara kepada orang lain. Oleh karena
itu, pentingnya perangkat lindung nilai
terletak pada kemampuan mereka untuk
membantu penulis untuk memperkenalkan
klaim mereka dengan lebih hati-hati agar
lebih diterima secara luas oleh rekan-rekan
mereka dan, pada akhirnya meningkatkan
interaksi positif dan debat intelektual
(Alameddine & Mirza, 2016).
3. Teaching skill
Kualitas dan prestasi dalam pendidikan
merupakan cerminan dari kualitas dan
pencapaian guru (Bastürk, 2009). Kualitas
guru menyangkut masukan yang dibawa
guru ke sekolah, termasuk demografi,
bakat, persiapan profesional, dan
pengalaman kerja profesional sebelumnya.
Kualitas mengajar mengacu pada apa yang
guru lakukan untuk mempromosikan
pembelajaran siswa di dalam kelas. Kualitas
pengajaran termasuk menciptakan iklim
pembelajaran yang positif, memilih tujuan
dan penilaian instruksional yang sesuai,
menggunakan kurikulum secara efektif, dan
menggunakan berbagai perilaku
instruksional yang membantu semua siswa
belajar pada tingkat yang lebih tinggi.
Kualifikasi guru dapat memainkan peran
penting dalam berapa banyak siswa belajar
(Darling-Hammond 2000; Ferguson 1991;
Haycock 1998, 2000; Wenglinsky 2000;
dikutip dalam Kaplan & Owings, 2001; Tok,
Ş. 2010).
Praktik mengajar memainkan peran
penting dalam penguasaan keterampilan
mengajar oleh guru. Pengalaman mengajar
siswa berfungsi sebagai puncak dari proses
pendidikan guru. Ini adalah waktu bagi
individu yang mempersiapkan karir dalam
pendidikan untuk menerapkan teori dan
metode yang telah mereka pelajari selama
program persiapan guru mereka (Norris,
Larke, & Briers, 1990). Praktik mengajar
adalah kesempatan pertama bagi guru
siswa untuk berpartisipasi dalam kegiatan
yang terlibat dalam pengajaran dalam
situasi aktual (Tok, Ş. 2010). Hal ini juga
diakui sebagai pengalaman pengajaran
terpandu di mana guru siswa mengambil
tanggung jawab yang meningkat untuk
mengarahkan pembelajaran sekelompok
murid selama periode waktu tertentu.
Praktik mengajar juga merupakan periode
membantu guru siswa untuk mencoba dan
membuat lebih bermakna penggunaan
prinsip-prinsip yang telah dia pelajari
selama di perguruan tinggi atau universitas
(Tok, Ş. 2010). Praktik mengajar dirancang
untuk memberikan kesempatan dan
bimbingan dalam pengaturan sekolah bagi
guru siswa untuk mengembangkan
kompetensi profesional mereka sendiri, dan
karakteristik pribadi, pemahaman,
pengetahuan, dan keterampilan seorang
guru (Olaitan & Agusiobo, 1981; Tok, Ş.
2010).
E. Kerangka Konseptual
Kerangka ini dibangun berdasarkan teori
multiliteracies New London Group (1996)
dengan integrasi wawasan dan ide dari
komposisi beberapa bidang studi, seperti
media dan studi media baru, komunikasi
antarbudaya, dan studi literatur. Bidang-
bidang ini tidak terpisah, domain
pengetahuan terisolasi, karena mungkin
muncul ke beberapa di permukaan, tetapi
sangat bersinggungan, tumpang tindih, dan
langsung berbicara satu sama lain sejauh
kita dapat menarik ide dan wawasan dari
mereka, menggabungkan, memadukan,
mensintesis atau menyesuaikan dan
menggunakannya sebagai sumber daya
untuk membangun kerangka kerja yang
lebih luas yang memungkinkan kita untuk
mengajar berbagai literasi, termasuk
antarbudaya dan multimodal, ke kelas
menulis - baik homogen dan/atau yang
dicirikan oleh keragaman bahasa dan
budaya. Misalnya, dimensi inti media baru
— agensi inilah Henry Jenkins (2006)
menggarisbawahi pembahasannya tentang
budaya konvergensi dalam kajian media,
TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 7 No. 2 Nopember 2017
18
dan fitur baru media lain — divergensi
sangat selaras dengan gagasan kompetensi
antar budaya, di mana menghargai dan
menegosiasikan keberagaman dan
perbedaan dalam perilaku komunikasi
sangat dihargai. Tidak mengherankan, baik
agensi, dan divergensi adalah dua konsep
yang paling disukai dalam komposisi
pedagogi.
Dalam studinya, Munoz-Luna (2015)
menganalisis esai dari 200 mahasiswa
sarjana Spanyol yang ditulis menggunakan
bahasa Inggris akademik. Temuan
menunjukkan bahwa peserta yang
menggunakan berbagai strategi menulis
sebelum dan selama menulis mampu
menghasilkan kalimat kompleks dan teks
yang lebih koheren. Para penulis tingkat
lanjut ini mahir dalam penggunaan transisi
kompleks untuk koherensi dan kohesi
tekstual. Selain itu, mereka menggunakan
strategi penulisan yang umum digunakan
yang membantu mereka merencanakan
tulisan mereka selain menguraikan,
menyusun, dan mengoreksi (Alameddine &
Mirza, 2016).
Penting untuk membantu pembelajar
membangun kepercayaan diri mereka
dalam penulisan akademik menggunakan
bahasa Inggris sebagai media (AWE). Guru
harus bekerja untuk membangun
kepercayaan peserta didik mereka,
membuat mereka menyadari bahwa
penulisan akademis dapat berhasil
diperoleh ketika mengikuti strategi
prapenulisan sistematis (Panourgia & Zafiri,
2012; Alameddine & Mirza, 2016). Akuisisi
AWE sangat penting bagi keberhasilan
akademik peserta didik (Baily et al. 2010).
Guru AWE perlu berkolaborasi dengan
pendidik dari bidang subjek lain seperti
ilmu pengetahuan, matematika dan studi
sosial, dalam upaya mereka untuk
meningkatkan keterampilan peserta didik
mereka (DiCerbo et al., 2014). Penting untuk
dicatat bahwa banyak pelajar di sekolah
Lebanon tidak tahu bagaimana menulis
secara akademis dan perlu pelatihan lebih
lanjut dalam membangun keterampilan
menulis mereka. Teknik untuk
melakukannya adalah mengajar peserta
didik untuk mengikuti pendekatan proses
yang dapat mengubahnya menjadi penulis
fleksibel (Silva, 1990 seperti dikutip oleh
Caldwell, 2011). Melalui proses penulisan,
guru dapat mengembangkan strategi
penemuan (Coffin et al., 2003) untuk
membantu pembelajar mereka menjadi
penulis yang mahir (Alameddine & Mirza,
2016).
Hascher, Cocard, dan Moser (2004)
meminta guru-guru siswa dan guru yang
bekerja sama untuk mengevaluasi
pengembangan profesi guru pra-jabatan
dalam kelas praktik. Evaluasi mereka
menunjukkan bahwa pembelajaran guru
siswa meningkat dan meningkat dalam
kelas praktik. Selain itu, ketika sikap guru
siswa terhadap siswa sebelum dan sesudah
kursus latihan diukur, diamati bahwa
mereka menunjukkan sikap yang lebih
positif setelah latihan. Namun, menurut
Calderhead dan Shorrock (1997), guru siswa
tampaknya tidak puas dengan kesenjangan
antara teori dan praktik. Beberapa
penelitian yang dilakukan di area ini
memeriksa masalah yang dialami
pengalaman guru siswa dalam
menghubungkan teori dan praktik.
Karamustafaoglu dan Akdeniz (2002)
mempelajari sejauh mana siswa guru di
departemen pengajaran fisika mampu
mentransfer perilaku yang mereka
butuhkan untuk memperoleh dalam
program pra-layanan untuk perilaku
mereka di sekolah praktek (Tok, Ş. 2010).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa
guru gagal menemukan kesempatan untuk
mentransfer perilaku tertentu, seperti
menggunakan metafora, memanfaatkan
laboratorium, mengembangkan alat dan
peralatan sederhana, dan memilih dan
mengevaluasi dokumen instruksional untuk
situasi mengajar (dikutip dalam Ozkiliç,
Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill
19
Bilgin, Kartal, 2008). Dalam penelitian
mereka, Ozkiliç, Bilgin, dan Kartal (2008)
menemukan bahwa calon guru
menganggap diri mereka tidak cukup
dalam menangani perbedaan individu di
antara siswa dan menggunakan bahasa ibu
secara efektif (Tok, Ş. 2010).
Sejumlah penelitian telah menunjukkan
bahwa guru siswa dan guru sains di tahun-
tahun pertama mereka dalam masalah
pengalaman profesi dalam mengubah
pengetahuan subjek mereka ke bentuk yang
dapat dipahami siswa (Canbazoglu, 2008;
Simmons et al., 1999; Veal, Tippins & Bell,
1998; Tok, Ş. 2010)
Penelitian ini dimaksudkan sebagai alat
untuk menemukan ada atau tidaknya
Pengaruh pembelajaran multiliteracy
terhadap kemampuan academic writing dan
teaching skill pada semester VIII Program
Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah
Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya
Mojokerto. Adapun kerangka konseptual
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Y1 =
kemampuan
academic
writing
X = pembelajaran
multiliteracy
Y2 = prestasi
belajar
Gambar. 1.2 Kerangka Konsep Penelitian
F. Populasi dan Sampel
Pada penelitian ini obyeknya adalah
Siswa semester VIII Program Studi
Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi
Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto
sebanyak 318 siswa. dari anggota populasi
yang diambil sebagai sampel adalah
sebanyak 77 orang responden.
G. Kesimpulan
Selesainya pembahasan skripsi yang
berjudul Pengaruh pembelajaran
multiliteracy terhadap kemampuan academic
writing dan prestasi belajar di Program
Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah
Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya
Mojokerto, maka penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut :
1. Dari hasil analisis diketahui bahwa
pembelajaran multiliteracy berpengaruh
terhadap kemampuan academic writing
pada semester VIII Program Studi
Pendidikan Agama Islam Sekolah
Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya
Mojokerto.
2. Dari hasil analisis diketahui bahwa
pembelajaran multiliteracy berpengaruh
terhadap Teaching skill pada semester
VIII Program Studi Pendidikan Agama
Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah
Raden Wijaya Mojokerto.
H. Daftar Pustaka
Alameddine, M. M., & Mirza, H. S. (2016).
Teaching Academic Writing for Advanced
Level Grade 10 English. Procedia-Social and
Behavioral Sciences, 232, 209-216.
Ba§turk, §. (2009). Investigating teaching
practice course according to student
teachers’ opinions, Elementary Education
Online, 8, 439-456.
Baedowi, A. (2015). Potret pendidikan kita. PT
Pustaka Alvabet.
Barton, D., (2007). Literacy: An Introduction to the
Ecology of Written Language. Second ed.
Blackwell, Oxford.
Barton, D., Hamilton, M., (2000). Literacy
practices. In: Barton, D., Hamilton, M., Ivanic,
R. (Eds.), Situated Literacies. Routledge,
London and New York. pp. 7-15.
Barton, D., Lee, C., (2013). Language online:
Investigating digital texts and practices.
Routledge, London.
TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 7 No. 2 Nopember 2017
20
Calderhead, J. & Shorrock, S. B.(1997).
Understanding teacher education, Bristol: The
Falmer Press.
Caldwell, E. (2011). The Teaching Of Academic
Writing By Practicing ESL Teachers In
Intensive English Program. (MA thesis).
Hamline University, Minnesota, USA.
Retrieved from
www.hamline.edu/WorkArea/DownloadA
sset.aspx?id=4294977890
Canbazoğlu, S. (2008). Fen bilgisi öğretmen
adaylarının maddenin tanecikli yapısı
ünitesine ilişkin pedagojik alan bilgilerinin
değerlendirilmesi. Yüksek Lisans Tezi, Gazi
Üniversitesi, Ankara.
Coffin, C., Curry, M.J., Goodman, S., Hewings,
A., Lillis, T.M., and Swann, J. (2003).
Teaching Academic Writing: A Toolkit for
Higher Education. London: Routledge.
Cope, B., & Kalantzis, M. (2000). Designs for
social futures. Multiliteracies: Literacy learning
and the design of social futures, 203-234.
Cope, B., & Kalantzis, M. (2009).
“Multiliteracies”: New literacies, new
learning. Pedagogies: An international journal,
4(3), 164-195.
Cope, B., & Kalantzis, M. (Eds.). (2016). A
pedagogy of multiliteracies: Learning by design.
Springer.
Darling-Hammond, L. (2000). Teacher quality
and student achievement. Education policy
analysis archives, 8, 1.
De Bono, E. (2017). Six thinking hats. Penguin
UK.
Del Olmo, S. (2015). English As A Lingua
Franca In Public Health Care Services The
Spanish Challenge. Journal Of Intercultural
Communication, 39. Retrieved from
http://www.immi.se/intercultural/nr39/o
liver.html
DiCerbo, P. A., Anstrom, K. A., Baker, L. L. &
Rivera, C. (2014). A Review Of The
Literature On Teaching Academic English
To English Language Learners. Review of
Educational Research, 84(3), 446-482. doi:
10.3102/0034654314532695
DPI, N. Division of School Business,“Ranking
of 2008-2009 Final Average Daily
Membership Per Pupil Expenditures, and
Capital Outlay,” 2008-09 Selected Financial
Data, September 2009.
Fenwick, T., Edwards, R., Sawchuk, P., (2011).
Emerging Approaches to Educational Research:
Tracing the Sociomaterial. Routledge,
London.
Ferguson, R. F. (1991). Paying for public
education: New evidence on how and why
money matters. Harv. J. on Legis., 28, 465.
Hanifah, Nurdinah, (2014). Meningkatkan
Kemampuan Multiliterasi melalui
Pembelajaran multiliteracy, Prosiding
Seminar Nasional Pendidikan Dasar
"Membedah Anatomi Kurikulum 2013 untuk
Membangun Masa Depan Pendidikan yang
Lebih Baik" UPI Sumedang Press.
Hasher, T., Cocard, Y., & Moser, P. (2004).
Forget about theory-practice is all? Student
teachers’ learning in practicum. Teachers and
Teaching: Theory and Practice, 10, 623-637.
Haycock, K. (1998). Good teaching matters:
How well-qualified teachers can close the
gap. Thinking k-16, 3(2), n2.
Haycock, K. (2000). No more settling for less.
Thinking K-16: A Publication of the Education
Trust, 4(1), 3-12.
Healy, Annah. (Ed.). (2008). Multiliteracies and
diversity in education: New pedagogies for
expanding landscapes. United Campus
Bookshops.
Pengaruh Pembelajaran multiliteracy terhadap Kemampuan academic writing dan Teaching skill
21
Hidayatullah, H. (2017). Hubungan Model
Pembelajaran Cooperative Script dengan
Model Pembelajaran Cooperative SQ3R
TERHADAP Hasil Belajar Matematika Siswa
Sekolah Dasar. Terampil: Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran Dasar, 3(2), 323-342.
Howard Gardner and Thomas Hatch, Multiple
Intelligences Go to School Educational
Implications of the Theory of Multiple
Intelligences, American Educational Research
Association, Journal of Educational Researcher,
Vol. 18, No. 8 (Nov., 1989)
Hyland, K. (2005). Praise And Criticism:
Interactions In Book Reviews. Disciplinary
Discourses. Social Interactions in Academic
Writing. Harlow: Longman, pp. 41-62.
Indonesia, U. P. (2007). Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan: Bagian 1 Ilmu Pendidikan Teoretis.
Bandung: PT Imperial Bhakti Utama
Jenkins, Henry. (2006). Convergence culture:
Where old and new media collide. New York:
New York U P.
Jensen, E. Model pembelajaran Brain based
learning. (online); 2008.
http.//idarianawaty.blogspot.com/2011/02
/teori-neurosains.html.
Kalantzis, M., & Cope, B. (2012). New learning:
Elements of a science of education. Cambridge
University Press.
Kaplan, L. S. and William A. Owings (2001).
Teacher quality and student achievement:
recommendations for principals. NASSP
Bulletin,85, 64-73.
Kemendikbud. (2015). Panduan Gerakan Literasi
Sekolah di SMA. Jakarta: Kemendikbud
Lillis, T., & Curry, M. (2006). Professional
Academic Writing By Multilingual Scholars:
Interactions With Literacy Brokers In The
Production Of English-Medium Texts.
Written Communication, 23(1), 3-35.
Mazandarani, O. (2010). Teacher’s Effectiveness
In Eflers’ Writing Tasks: Utilizing Corrective
Feedback. Annual Staff Student Research
Conference, University Of Exeter, Graduate
School Of Education.
Mitchell, R., & Myles, F. (2004). Second Language
Learning Theories. London: Hodder.
Munoz-Luna, R. (2015). Main Ingredients For
Success In L2 Academic Writing: Outlining,
Drafting And Proofreading. PLoS ONE 10(6),
0128309. doi:10.1371/journal.pone.0128309
Mursyid (2017) Memahami Kompetensi
Multiliterasi, (Online)
http://mursyid.gurusiana.id/article/mema
hami-kompetensi-multiliterasi-1259885
Nacera, A. (2010). Languages Learning
Strategies And The Vocabulary Size.
Procedia Social and Behavioural Sciences, 2(2),
4021-4025.
Norris, R. J., Larke, A., & Briers, G. E. (1990).
Selection of student teaching centers and
cooperating teachers in agriculture and
expectations of teacher educators regarding
these components of a teacher education
program: a national study. Journal of
Agricultural Education, 31, 58¬63.
Olaitan, S.O. & Agusiobo, O.N. (1981).
Prenciples of practice teaching. Newyork: John
Wiley& Sons.
Ozkili9, R., Bilgin, A., & Kartal, H. (2008).
Evaluation of teaching practice course
according to opinions of teacher candidates.
Elementary Education Online, 7, 726-737.
Panourgia, E. & Zafiri, M. (2012). Probing Into
Academic Writing: Building Students’
Confidence To Write. The Public
Administration And Social Policies Review,
1(8). Pp 137-147.
Pratiwi, D. R. (2017). Implementasi Pengajaran
Karakter melalui Integrasi Multiliterasi
TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 7 No. 2 Nopember 2017
22
Digital pada Pembelajaran Bahasa Indonesia.
The 1st International Conference on Language,
Literature and Teaching.
publikasiilmiah.ums.ac.id
Putra, N, (2015) Renungan Jalanan, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Putri, S. U. (2014). Pengembangan Desain
Blended Learning untuk Program Pelatihan
Pendalaman Materi IPA Berbasis Kebutuhan
Mahasiswa PGSD. Mimbar Sekolah Dasar, 1(2),
153-160.
Rizali, A. (2009). Dari guru konvensional menuju
guru profesional. Jakarta: Grasindo.
Roca de Larios, J., Manchon, R., Murphy, L., &
Marin, J. (2008). The Foreign Language
Writer’s Strategic Behavior In The
Allocation Of Time To Writing Processes.
Journal of Second Language Writing, 17(1), pp.
30-47.
Rosyada, Dede, (2013). Paradigma Pendidikan
Demokratis, Sebuah Model pelibatan Masyarakat
dalam Pendidikan, Jakarta Prenada Media,.
Rosyada, Dede, (2016). Kompetensi Pedagogik
Guru, 7 Dec 2016 | Kolom Rektor (Online)
http://www.uinjkt.ac.id/id/kompetensi-
pedagogik-guru/
Simmons, P. E., Emory, A., Carter, T., Coker, T.,
Finnegan, B., Crockett, D., ... & Brunkhorst,
H. (1999). Beginning teachers: Beliefs and
classroom actions. Journal of research in
science teaching, 36(8), 930-954.
Suraya, Indah Masalah Pendidikan di Indonesia
(online); 2015.
http.//www.kompasiana.com/indahsuraya
/masalah-pendidikan-di-
indonesia_54f5f384a333117a028b46b6
Syaukani H. R., (2002) Kapita selekta otonomi
daerah, Nuansa Madani
The New London Group. (1996). A pedagogy of
multiliteracies: Designing social futures.
Harvard educational review, 66(1), 60-93.
Tim Psikosmart, (2017), All Fresh Big Babon
Psikotes -cet. 1-Jakarta: Visimedia Pustaka
Tok, Ş. (2010). The problems of teacher
candidate's about teaching skills during
teaching practice. Procedia-Social and
Behavioral Sciences, 2(2), 4142-4146.
Wenglinsky, H. (2000). How teaching matters:
Bringing the classroom back into discussions of
teacher quality.
Yuniasih, N., Ladamay, I., & Wahyuningtyas,
D. T. (2014). Analisis Pembelajaran Tematik
pada Kurikulum 2013 di SDN Tanjungrejo 1
Malang. Mimbar Sekolah Dasar, 1.
https://doi.org/10.17509/MIMBAR-
SD.V1I2.876