13
Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media oleh Kaum Perempuan Urban Billy K. Sarwono Departemen Ilmu Komunikasi – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Kampus Universitas Indonesia, Depok 16434. Telpon: +6221 788-49018 HP. 0811992786, Email: [email protected] Abstract The media has shown little participation of women in handling the impact of global warming, although women have considerably done significant roles in decreasing the impact of this phenomenon. It is interesting to comprehend how urban women building their meaning toward environment news. This research is aiming to increase awareness raising in women to- ward climate change. The data is collected by using Focus Group Discussion and the result is analyzed by applying critical constructionism paradigm and ecofeminism perspective. The re- sult shows that: (1) there are three kinds of women audience: (a) their jobs are related with environment, (b) their jobs are not related with environment but they are concern with environ- ment preservation (c) their jobs are not related with environment and they are not concern with climate change effects. (2) For second and third groups, preserving environment means keeping environment clean which unrelated with reducing global warming impacts activities. (3) Those two groups develop meanings in parallel with media: for them, women are being responsible for nature conservation, and the socialization process of environment friendly acts should be initi- ated from home/family. Sure enough, pro environment group build different meaning. In short, informants’ meanings were vary and depended on perspectives, traits, and behavior of each group. Abstrak Perempuan dan lingkungan merupakan dua hal yang saling terkait karena dalam kesehariannya selalu bersentuhan, namun media belum menganggap penting peran informan dalam pemberitaan pemanasan global. Riset ini meneliti bagaimana pemaknaan perempuan urban terhadap pembingkaian peran informan dalam isu tersebut? Hal ini mengingat besarnya partisipasi informan dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Pengumpulan data menggunakan Focus Group Discussion (FGD) dan dianalisis menggunakan perspektif social constructionism serta ekofeminis. Hasil penelitian: pertama, terdapat tiga kelompok informan : (a) pekerjaannya terkait dengan lingkungan, (b) pekerjaannya tidak terkait dengan lingkungan namun peduli lingkungan, (c) pekerjaannya tidak terkait lingkungan dan tidak peduli lingkungan. Kedua, mayoritas pemahaman terhadap pelestarian lingkungan sebatas menjaga kebersihan lingkungan. Ketiga, kelompok yang profesinya tidak terkait lingkungan memaknai fenomena tersebut dalam konteks global dan kepedulian terhadap perubahan iklim masih sebatas gaya hidup. Pemaknaan informan searah dengan pemberitaan media yang memposisikan perempuan dalam ranah domestik. Kelompok ini percaya sosialisasi ramah lingkungan merupakan tanggung jawab perempuan berawal dari rumah. Sebaliknya, kelompok berprofesi terkait lingkungan memaknai pemanasan global dalam konteks lokal dan nasional. Informan yakin sosialisasi peduli lingkungan tidak selalu dimulai dari rumah, namun dilakukan secara intensif melalui media, pemerintah, sekolah maupun kegiatan di tempat kerja. Kata kunci: media dan gender, perempuan, pemanasan global dan lingkungan, studi pemaknaan. PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media

178

Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungandi Media oleh Kaum Perempuan Urban

Billy K. SarwonoDepartemen Ilmu Komunikasi – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Kampus Universitas Indonesia, Depok 16434. Telpon: +6221 788-49018HP. 0811992786, Email: [email protected]

Abstract

The media has shown little participation of women in handling the impact of globalwarming, although women have considerably done significant roles in decreasing the impact ofthis phenomenon. It is interesting to comprehend how urban women building their meaningtoward environment news. This research is aiming to increase awareness raising in women to-ward climate change. The data is collected by using Focus Group Discussion and the result isanalyzed by applying critical constructionism paradigm and ecofeminism perspective. The re-sult shows that: (1) there are three kinds of women audience: (a) their jobs are related withenvironment, (b) their jobs are not related with environment but they are concern with environ-ment preservation (c) their jobs are not related with environment and they are not concern withclimate change effects. (2) For second and third groups, preserving environment means keepingenvironment clean which unrelated with reducing global warming impacts activities. (3) Thosetwo groups develop meanings in parallel with media: for them, women are being responsible fornature conservation, and the socialization process of environment friendly acts should be initi-ated from home/family. Sure enough, pro environment group build different meaning. In short,informants’ meanings were vary and depended on perspectives, traits, and behavior of eachgroup.

Abstrak

Perempuan dan lingkungan merupakan dua hal yang saling terkait karena dalam kesehariannyaselalu bersentuhan, namun media belum menganggap penting peran informan dalam pemberitaanpemanasan global. Riset ini meneliti bagaimana pemaknaan perempuan urban terhadap pembingkaianperan informan dalam isu tersebut? Hal ini mengingat besarnya partisipasi informan dalam mengatasidampak perubahan iklim. Pengumpulan data menggunakan Focus Group Discussion (FGD) dandianalisis menggunakan perspektif social constructionism serta ekofeminis. Hasil penelitian: pertama,terdapat tiga kelompok informan : (a) pekerjaannya terkait dengan lingkungan, (b) pekerjaannya tidakterkait dengan lingkungan namun peduli lingkungan, (c) pekerjaannya tidak terkait lingkungan dan tidakpeduli lingkungan. Kedua, mayoritas pemahaman terhadap pelestarian lingkungan sebatas menjagakebersihan lingkungan. Ketiga, kelompok yang profesinya tidak terkait lingkungan memaknai fenomenatersebut dalam konteks global dan kepedulian terhadap perubahan iklim masih sebatas gaya hidup.Pemaknaan informan searah dengan pemberitaan media yang memposisikan perempuan dalam ranahdomestik. Kelompok ini percaya sosialisasi ramah lingkungan merupakan tanggung jawab perempuanberawal dari rumah. Sebaliknya, kelompok berprofesi terkait lingkungan memaknai pemanasan globaldalam konteks lokal dan nasional. Informan yakin sosialisasi peduli lingkungan tidak selalu dimulai darirumah, namun dilakukan secara intensif melalui media, pemerintah, sekolah maupun kegiatan di tempatkerja.

Kata kunci: media dan gender, perempuan, pemanasan global dan lingkungan, studi pemaknaan.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 2: Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media

179

Pendahuluan

Aktivitas perempuan seringkali tidak bisadipisahkan dari lingkungan. Contohnya, usahaperempuan desa dalam mendapatkan air bersihbagi keluarga maupun bagi ternaknya (Mosse,1996: 180); juga pergumulan petani perempuanakibat musim kemarau yang panjang, sertakepedulian mereka terhadap pencemaran karenamereka yang terlebih dulu terkena dampakpencemaran lingkungan yang tidak sehat (Ortnerdalam Corbett 2006, Kirk & Okazawa-Rey,1998:406). Warren (2000:4-5) memberi contohbagaimana perempuan Afrika dan Asia harus ber-jalan lebih jauh untuk mendapatkan kayu bakarketika terjadi penggundulan hutan. Demikian juga,McCracken (Mosse, 1996:186) menceritakanbahwa perempuan dalam gerakan Chipko(pendekapan) di India berusaha mendekappohon-pohon yang akan ditebang oleh suamimereka guna mendapatkan uang tunai. Karenaitu, bagi sebagian perempuan, tidak ada cara lainuntuk mempertahankan hidup mereka kecualiberusaha lebih memahami dan menyelamatkanpohon, tumbuh-tumbuhan sebagai sumbermakanan ternak, bahan bakar, obat-obatan danbahan baku kerajinan tangan.

Dwi (2008:120-121) menjelaskan adaempat alasan yang menyebabkan keterkaitan itu:pertama, secara fisiologis perempuaan terlibatdalam waktu yang lebih lama dengan spesieskehidupan di mana perempuan-lah yang merawatmasa depan manusia. Kedua, posisi perempuandi wilayah domestik merupakan tempat bayi-bayiditransformasikan menjadi makhluk kultural.Ketiga, psikologi perempuan sebagai ibu mem-buahkan cara berpikir yang lebih relasional, kon-krit dibanding dengan laki-laki. Alasan terakhir,kaum perempuan yang bertanggungjawab ter-hadap wilayah domestik punya banyak andil dalammengurangi jumlah sampah dengan melakukanprogram 4R: reduce, reuse, recycle dan restore.Di Indonesia, pelibatan perempuan dalam strategipembangunan belum begitu lama dilakukan. Arivia(2006: 385) menunjukkan bahwa biasanyakegiatan penyuluhan penyediaan air bersih dariPDAM, di Palu, Sulawesi Tengah, hanya diberikan

kepada kaum laki-laki; tetapi sejak tahun 1997kaum perempuan sebagai pengguna dan pengelolaair mulai dilibatkan da-lam kegiatan tersebut dantelah menunjukkan efektivitasnya.

Walaupun aktivitas perempuan sangatdekat dengan lingkungan, namun pemberitaan isulingkungan jarang menggunakan perempuan se-bagai narasumbernya. Kalaupun ada beberapanarasumber perempuan, maka sebagian besaradalah selebritis yang penonjolan pemberitaan-nya lebih ditekankan pada sosok keartisannyadaripada pengetahuan, wawasan dan kepe-duliannya tentang perusakan lingkungan hidup(Sarwono, 2009). Apa yang terjadi ketika dam-pak perubahan iklim sudah tak terbendung lagi,dan diperlukan partisipasi yang lebih besar darikaum perempuan dalam mengurangi dampakpemanasan global, sementara media sebagaisumber informasi mengabaikan peran perempuan?Bagaimana khalayak perempuan perkotaanmemaknai isu perubahan iklim di media?

Perempuan perkotaan menarik untukditeliti mengingat pencemaran udara lebih banyakterjadi di perkotaan, demikian pula jumlahpenduduk kota lebih banyak daripada pendudukdesa, sehingga jumlah sampah di perkotaan jugajauh lebih tinggi daripada di pedesaan. Selainitu, menurut Atmakusumah (1996:55), masalahlingkungan di Indonesia cenderung dikaitkandengan brown problem yang menekankanpencemaran udara atau polusi daripada greenproblem yang menekankan pentingnya penye-lamatan hutan. Bisa jadi pencemaran lingkungandianggap merupakan masalah lingkungan yangdirasakan langsung oleh masyarakat kota, tempatkelompok dominan bermukim, sebaliknya greenproblem lebih banyak terkait dengan masalah nonhuman, terjadi jauh dari kota dan diasumsikanhanya menyangkut sebagian kecil masyarakat.Studi lain (Sarwono, 2010a) menunjukkan bahwapemberitaan tentang isu lingkungan selamaUnited Nations Framework on ClimateChange (UNFCCC) di Bali dan Kopenhagensangat sedikit dan peran perempuan dalamkonferensi tersebut diabaikan, padahal peran kaumperempuan dalam mengatasi dampak pemanasanglobal sangat penting. Berdasarkan pemikiran

Sarwono, Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media oleh Kaum Perempuan Urban

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 3: Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media

180

tersebut, maka penelitian ini bertujuan untukmemahami dan mengkritisi pemaknaan perempuanperkotaan terhadap isu pemanasan global.

Permasalahan di atas didasarkan padabeberapa pemikiran. Pertama, terkait produksi danreproduksi teks; kedua berhubungan dengan re-ception studies dan ketiga, peneliti menggunakanpemikiran ekofeminisme. Pemahaman terhadapteks media dan produksi (teks), secara terpisahtidak mempunyai arti, dengan demikian kedua halitu secara kuat terhubung dalam proses pemak-naan produksi, yang terjadi di semua tingkatan(Sarwono, 2006). Dalam memproduksi teks,terjadi kontradiksi, konflik antara kepentinganorganisasi untuk mendapatkan keuntungan besar,dengan kepentingan professional yang selalumemperhatikan etika dan estetika penyajian hasil.Dengan demikian dalam proses encoding, teksmedia tidak merupakan hasil dari sistem ideologiyang tertutup tetapi mencerminkan kontradiksiproduksi, karena itu teks media membawa bebe-rapa makna dan terbuka untuk diinterpretasi-kan (polysemic). Hasil studi tentang bagaimanajurnalis mengkonstruksi isu lingkungan me-nunjukkan bahwa penekanan isu lingkungan tidakterlepas dari bagaimana jurnalis memahamipentingnya isu lingkungan, apakah isu lingkunganlebih terkait pada persoalan ilmu pengetahuan,ataukah perhitungan untung rugi ataukah sosialpolitik yang dikaitkan dengan komitmen pe-merintah dalam mengurangi dampak pemanasanglobal (Sarwono & Sunarto, 2010).

Struktur pemaknaan encoding yangserupa terjadi dalam proses decoding, di manakhalayak juga tidak harus selalu mempunyai in-terpretasi yang sama dengan produsen, tetapi diaboleh memaknainya secara berbeda. Jadi konseppolysemic mengasumsikan khalayak sebagaiproduser makna juga. Namun pada umumnya,sebagian besar teks dapat dibaca dengan carapreferred atau dominant reading. Hal ini terjadiketika penulis menggunakan kode-kode yang bisaditerima umum, sehingga pembaca akan me-nafsirkan dan membaca pesan itu dengan pesanyang sudah diterima umum. Dalam hal ini dapatdikatakan tidak terjadi perbedaan penafsiran an-tara penulis dan pembaca. Menurut Hall (vanZoonen, 1997:42), penulis bisa jadi mengguna-

kan kode-kode profesional atau kode-kodebudaya, posisi politik yang diyakini dan menjadikepercayaan pembaca, sehingga ketika pesandalam bentuk kode-kode itu sampai di tanganpembaca akan terjadi kesesuaian.

Dasar berpikir kedua yang digunakandalam penelitian ini terkait dengan perkembanganstudi komunikasi tentang pengaruh media yangmenunjukkan ada pergeseran pemikiran dari see-ing is believing menjadi believing is seeing;dalam arti khalayak memaknai sesuatu bukandiawali dari program yang dilihatnya tetapi diawalidengan konteks sosial atau karakter sosial yangsudah ada sebelumnya pada diri mereka (Curran2002:117). Demikian pula Coleman (2002:13)menjelaskan bahwa berbagai variasi pemaknaankhalayak itu bukan merupakan efek media, me-lainkan karena perbedaan latar belakang penga-laman dan kultural khalayak. Dengan demikian,pemaknaan itu sejalan dengan persepsi awal se-seorang dan media berpengaruh ketika searahdengan anggapan awal individu; dalam hal inijuga individu bukan sekedar aktif melakukanseleksi terhadap program (Hagen & Wasko, 2000:1; Curran, 2002:127-139) namun aktif meng-konstruksi makna. Selain itu, aktif di sini tidakmempunyai arti yang sama dengan pengertianbahwa khalayak itu powerful, karena khalayakmempunyai keterbatasan (the range of readings)yang menentukan, ketika makna dipahami terkaitdengan posisi wacana dan posisi sosial khalayak.

Perkembangan reception studies di atasdiawali oleh Morley (Croteau, 2003:274) yangmemfokuskan studinya pada khalayak denganberbagai perbedaan kelas (sosial ekonomi, posisi,latar belakang) dan peranan sosialnya yang manasemua faktor itu merupakan mediator utama dalamproses pemaknaan, bukan sebagai faktor yangmempengaruhi pemaknaan tetapi sebagai key pro-vider untuk memaknai pesan. Namun dia jugamenambahkan bahwa hasil penelitian ini tidak bisadigeneralisir dan kelas sosial tidak bisa secarakonstan memprediksi interpretasi seseorang. Disamping berbagai faktor itu, maka hal lain yangperlu diperhatikan adalah umur, ras, etnis dan gen-der dari khalayak yang ditelitinya (Croteau2003:277). Keberagaman identitas sosial tersebutdianggap sebagai alat kultural bagi pemaknaan

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 2, Mei - Agustus 2010, halaman 178 - 190

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 4: Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media

181

khalayak, dan salah satunya yang berhubungandengan media adalah discursive resources, sepertiberbagai konsep, asumsi, bahasa yang dikaitkandengan subkultur dan perspektif politik tertentu.Misalnya, perspektif feminis yang dimiliki seorangindividu bisa melengkapinya dalam membuatpemaknaan yang berbeda daripada orang yangtidak memiliki sensitivas gender.

Khusus perkembangan reception studiesyang terkait dengan khalayak perempuan, Press(Croteau, 2003:278) menjelaskan bahwa perem-puan kelas menengah cenderung mempunyailatar belakang yang sama dengan produser mediakelas menengah, dan mengabaikan kejanggalangambaran yang menyimpang serta mengganggapbahwa penyimpangan itu merupakan hal yangnormal karena sesuai dengan perspektif mereka.Selanjutnya, penelitian reception studies berkem-bang dari fokus terhadap ideologi menjadi per-tanyaan yang terkait kenikmatan menggunakanmedia, khususnya genre yang bernuansa femininseperti novel-novel percintaan, yang dilakukanoleh Radway. Studi yang dilakukan Bobo (Croteau& Hoyness, 1997: 236-255) dan McRobbie(Croteau & Hoyness 2003:292-293) melihat ada-nya hubungan antara penggunaan media danidentitas gender; studi itu juga mengidentifikasikanbahwa komunikasi massa merupakan sumberpenting dalam praktek atau kegiatan kulturalsehari-hari. Dalam studi tentang penggunaan TVoleh kelompok perempuan, Press (Hagen &Wasko 2000:42) melihat pentingnya pengalamanhidup dari perempuan itu yang mendorongnyamenggunakan media (televisi), dan bagaimanapengalaman tersebut menolong khalayaknyamenginterpretasikan hubungan sosial aktivitasmedia.

Kerangka berpikir lain dalam penelitian iniadalah ekofeminisme. Menurut Salleh (Tong, 2005:

361) ekofeminisme adalah pengembanganpemikiran feminis yang menyatakan bahwa krisislingkungan global diasumsikan merupakan hasildari kebudayaan patriarki. Ekofeminisme padadasarnya merupakan analisis yang menghubungkaninstitusi sosial yang maskulin dan perusakanterhadap lingkungan fisik. Pemikiran ini didasarkanpada pemikiran barat yang memfemininkan bumikarena bumi dianggap seperti perempuan yangmemproduksi kehidupan. Sehingga muncul ber-bagai istilah seperti hutan yang masih perawan,kandungan yang terdapat dalam bumi, perkosaanterhadap bumi dan lainnya. Lebih lanjut, inti dariperspektif ini meliputi konsep dualism yangbertentangan namun dilihat sebagai pasangan: cul-ture/nature, mind/body, male/female, civilized/primitive, sacred/profane, subject/object, self/other. Menurut Plumwood (Kirk & Osakawa-Rey 1998: 409) cara berfikir ini merupakan logikadari sistem hirarki seperti kolonialisme, rasisme,seksime dan militarisme yang tergantung pada ideotherness, musuh dan subordinat untuk me-nunjukkan superioritas dan dominasi.

Pemahaman mengenai ekologi feminislebih diperkuat melalui pemahaman paradigmalingkungan (Corbett 2006:282) yang menekankanbahwa manusia merupakan satu dari begitu ba-nyak makhluk di dunia dan setiap makhluk(tumbuhan, binatang dan lainnya) mempunyaihak yang sama untuk hidup karena ada inter-dependensi di antara mereka. Dengan demikian,kita perlu memperhatikan keragaman, komplek-sitas, integritas, harmoni dan stabilisasi di antarasemua makhluk tersebut sehingga keberlanjutandan konservasi alam lebih penting daripadakemajuan pembangunan bagi manusia semata.

Dari berbagai theoretical frameworkdi atas maka asumsi teoritis dari penelitian iniadalah: pemaknaan seseorang terhadap isu

Tabel 1. Terpaan Isu Perubahan Iklim

Konsep Kelompok yang Profesinya Terkait Lingkungan

Kelompok Peduli lingkungan

Kelompok Belum Peduli Lingkungan

Terpaan Media

Media cetak: Kompas, Media Indonesia, Tempo, Green Magazine, TV: M etroTV, DAI, National Geography,

Online: facebook, internet.

Media cetak: Tabloid, Radio: Elshinta, Hard Rock, Life FM, TV, DVD Al Gore,

Billboard: iklan DKI.

Komunikasi tatap muka: RT , charity bazaar, penyuluh.

Sarwono, Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media oleh Kaum Perempuan Urban

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 5: Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media

182

lingkungan tidak terlepas dari konteks sosial,latar belakang, karakter khalayak, terpaan me-dia dan juga perspektif mereka. Mereka yangmempunyai perspektif ekofeminis dan ataumempunyai sensivitas gender cenderung mem-pedulikan pemeliharaan dan pelestarian ling-kungan dan akan melakukan resistensi terhadapdomestifikasi perempuan dibandingkan denganmereka yang belum memiliki sensivitas gender.

Metode Penelitian

Studi ini menggunakan paradigmapenelitian critical constructionism (Heiner, 2006: 9-11) untuk mengetahui bagaimana problemsosial dikonstruksikan, digambarkan dan di-suguhkan kepada publik tentunya akan mere-fleksikan kepentingan kelompok masyarakat elitdan sekaligus mengorbankan kepentingan merekayang tidak memiliki kekuasaan. Adapun teknikpengumpulan data dilakukan melalui dua cara,yaitu melalui Focus Group Discussion atau FGD(Wimmer & Dominick, 2006:128-129), dansebagai data pendukung menggunakan analisisframing terhadap artikel pemanasan global(Sarwono, Sunarto & Asteria, 2009: 43-63).

Pemilihan anggota kelompok FGDdilakukan melalui tiga tahap: pertama denganmenseleksi calon peserta perempuan yangmengetahui adanya perubahan iklim dan pe-manasan global. Tahap berikutnya meminta me-reka untuk mengisi kuesioner yang antara lain

berisi pengetahuan tentang isu pemanasan glo-bal, kepedulian terhadap pemeliharaan alam,penggunaan kosmetik ataupun alat pembersihrumah tangga yang mengandung aerosol, danaktivitas yang terkait dengan 4 R. Berdasarkanjawaban informan dalam kuesioner, penelitimembagi mereka dalam tiga kelompok, yaitu: per-tama, mereka yang profesi atau pekerjaannyabanyak terkait dengan lingkungan, seperti ang-gota LSM, staf Kementerian Lingkungan Hidup,dosen Lingkungan. Kelompok kedua adalahmereka yang pekerjaannya tidak terkait denganlingkungan namun mempunyai kepedulian ter-hadap lingkungan dan kelompok ketiga adalahmereka yang belum peduli lingkungan. Jumlahinforman dalam FGD sebanyak 17 orang perem-puan dan pelaksanaannya dilakukan pada per-tengahan Agustus 2008 di kampus Fakultas IlmuSosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,Depok.

Pengorganisasian data dilakukan denganmenggunakan analytical framework approach,yaitu dengan melakukan pemisahan data ber-dasarkan pembedaan konsep (Patton 2002:431-534). Tahap analisis data penelitian ini denganmenggunakan thematic coding (Jensen 2002:251), yaitu dengan membuat identifikasi, per-bandingan dan mempertentangkan makna elemen,ketika sebuah konsep tertentu itu muncul danmuncul kembali dalam konteks yang berbeda. Jadisebuah konsep yang sama akan mempunyai pe-maknaan yang berbeda karena penekanan kon-

Tabel 2. Isu Perubahan Iklim di Media

Konsep Kelompok yang Profesinya

Terkait Lingkungan

Kelompok Peduli lingkungan

Kelompok Belum Peduli Lingkungan

Frekuensi:

Tidak banyak atau jarang.

Sangat kurang.

Tidak tahupersisnya.

Isu ling-kungan dan perubahan iklim

Masalah hutan, kebakaran hutan, buah-buahan mengandung pestisida, gaya hidup – go green, pemanasan global, kekeringan, nasib petani & nelayan akibat pemanasan global, asap akibat kebakaran hutan, species

hutan,

Gempa bumi, kebakaran hutan, pencurian kayu.

Penanaman pohon, polusi, Car free day, penggunaan aerosol.

Tidak ada jawaban.

Isi & cara penulisanmedia

Terlalu serius, bahasanya kurang populer, penjelasan terlalu ilmiah dan abstract, tidak langsung

mengenai sasaran, kemasan

harus menarik dan bermutu , isunya tidak seksi.

Kemasan

tak menarik, tidak bisa menggugah

bahaya

pemanasan

pemanasan

global

Tidak ada jawaban.

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 2, Mei - Agustus 2010, halaman 178 - 190

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 6: Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media

183

teks yang berbeda. Adapun uji kualitas data atau(goodness criteria) yang digunakan dalam pe-nelitian mengikuti pemikiran Guba & Lincoln(Denzin & Lincoln 1994: 393–402), bahwaketerandalan data dilihat dalam: (a) kontekshistoris (historical situatedness), di mana per-soalan pelestarian lingkungan hidup dan pema-nasan global di Indonesia dikaitkan denganperkembangan kapitalisme global dalammengeksploitasi sumberdaya alam untukkepentingan peningkatan modal. (b) Erosian ofignorance and misapprehension, di mana hasilpenelitian ini dapat memberikan penyadaran

kepada kaum perempuan akan arti pentingketerlibatan mereka dalam mengatasi dampakpemanasan global dan pemeliharaan lingkunganhidup. (c). Action stimulus yang mana hasilpenelitian ini untuk merangsang tindakan terkaitlingkungan hidup merupakan aspek keterandalanyang lainnya.

Analisis singkat tentang hasil framingmedia terkait isu lingkungan (Sarwono, Sunarto,Asteria, 2009: 43-63) menunjukkan ada per-bedaan pemberitaan yang dilakukan oleh jurnalislaki-laki dan perempuan. Hasil framing yangdilakukan jurnalis perempuan adalah sebagai

Tabel 3. Pemahaman Terhadap Lingkungan dan Pemanasan Global

Konsep Kelompok yang Profesinya

Terkait Lingkungan

Kelompok Peduli lingkungan

Kelompok Belum Peduli Lingkungan

Pemahaman konsep lingkungan

Manusia, hewan, tumbuhan, air dan oksigen.

Jumlah sampah, perilaku tidak membuang sampah, kebersihan, tanaman rumah, pertambahan penduduk, daerah resapan, kerusakan lingkungan.

Kerja bakti, kebersihan, berbagai aktivitas terkait sampah: mobil sampah, buang sampah, pembakaran sampah.

Latar belakang peduli lingkungan

-

Melalui pendidikan di sekolah, kampus;

-

Ajaran ibu sejak kecil.

-

Menyukai tanaman

-

Menyukai alam

-

Memanfaatkan barang bekas secara regular.

-

Menjaga kebersihan lingkungan demi kesehatan.

Lokasi terjadinya pemanasan global

Di desa:

- Sumber mata air berkurang

- Kerusakan lingkungan karena eksploitasi lingkungan

Di Kota - Polusi udara menye-

babkan muncul berbagai penyakit

-

Kenaikan jumlah sampah organik & non organik.

Terjadi di New York dan kutub (gunung es mencair. -

Gempa di Sumba

Perilaku mengurangi dampak pemanasan global

-

Kesadaran memilah sampah;

-

Mengurangi penggunaan kantong plastik saat berbelanja;

-

Mengajarkan dan mengajak orang lain peduli lingkungan (seperti

kurangi penggunaan tas plastik, membuat kampung percontohan, melakukan penelitian.

-

Belum memilah sampah secara konsisten;

-

Melakukan 4R karena pertimbangan ekonomis;

-

Kesadaran lingkungan

dimulai dari diri sendiri, namun aktivitas peduli lingkungan

harus dilakukan oleh semua masyarakat secara bersamaan.

-

Melakukan 4Rkarena pertimbangan ekonomis

-

Memilah sampah ketika ada anjuran RT saja.

-

Tahu ada polusi udara namun tidak peduli.

Sarwono, Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media oleh Kaum Perempuan Urban

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 7: Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media

184

berikut: pertama, reporter tidak menempatkanperempuan sebagai aktor penting dalam pem-beritaan lingkungan. Kedua, hanya beberapanarasumber perempuan yang dipakai oleh jur-nalis perempuan. Ketiga, penulis perempuanmempunyai kepedulian terhadap hak dan ke-langsungan hidup masyarakat lokal, dan terakhir,penulis masih menempatkan peran perempuanyang belum sejajar dengan laki-laki.

Sementara itu, framing yang dilakukanjurnalis laki-laki menggambarkan beberapa hal.Pertama, etika ramah lingkungan harus mulaidibangun dari kebiasaan-kebiasaan di rumah.Kedua, sosok ibu digambarkan tidak lagimempedulikan kebersihan, pertumbuhan dankesehatan anak-anaknya; namun, perempuandianggap pihak yang paling bersalah danbertanggungjawab atas kelangsungan hidup dankesehatan anak-anak. Terakhir, para selebriti dansocialite memiliki lebih banyak nilai tambah untukdimanfaatkan sebagai role model terhadap usahamengatasi kerusakan lingkungan.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Penyajian hasil penelitian dimulai dari latarbelakang informan, terpaan media terhadap isupemanasan global, kemudian dilanjutkan denganpemahaman terhadap kelestarian lingkungan danperilaku mengurangi dampak pemanasan global;dan diakhiri dengan pemaknaan khalayak terhadapisu perubahan iklim.

Pendidikan informan berkisar dari tingkatdiploma sampai dengan pascasarjana. Sebagianbesar informan berstatus menikah dan tiga orang

belum menikah. Informan yang tergabung dalamkelompok pertama aktif dalam mensosialisasikanpola hidup ramah lingkungan dan juga mendapatinfo perubahan iklim dari media cetak dan TV.Kelompok kedua tidak pernah melakukansosialisasi green life style namun secara individumempunyai hobi memelihara tanaman di rumahnya;bahkan di antara mereka ada yang bergabungdalam kelompok pencinta alam, dan mayoritas darimereka cukup konsisten melaksanakan konsep4R. Kelompok ketiga mempunyai sikap danperilaku belum peduli lingkungan, hampir tidakpernah terterpa berita tentang pemanasan globaldan hanya sedikit memahami fenomena tersebut.

Terpaan media para informan yang ter-kait dengan perubahan iklim adalah sebagaiberikut: kelompok pertama lebih banyak menggu-nakan koran dan internet, sedangkan kelompokdua banyak menggunakan tabloid dan radio. Ba-gi kelompok ketiga, sumber informasi tentangdampak pemanasan global dan pelestarian ling-kungan adalah kepala keluarga dan teman. Un-tuk lebih jelasnya lagi bisa dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel di atas menunjukkan kalau kelompokpertama bisa menjelaskan dengan gamblangbanyaknya isu pemanasan global dan dampaknyadalam pemberitaan di media, walaupun menurutmereka jumlah dan frekuensi itu belum segencarinfotainment. Kelompok kedua merasa info peru-bahan iklim sangat kurang, dan bila ada, maka infoitu tentang bencana alam, ataupun peristiwa yangmenghebohkan seperti pencurian kayu ataugerakan penananam pohon. Kelompok ketigatidak tahu pasti berapa banyak isu lingkungan

Tabel 4. Pemaknaan Khalayak Terhadap Peran Perempuan Dalam Isu Pemanasan Global dan Isu Lingkungan

Pembingkaian Posisi Perempuan dalam isu lingkungan di media

Kelompok Pertama

Kelompok Kedua

Kelompok Ketiga

Peran Perempuan di media tidak penting Resistensi Resistensi ResistensiStatus seorang selebriti perempuan punya nilai tambah sebagai role model dibanding dengan status lain.

Negosiasi Dominan -

Ibu berperan membentuk kebiasaan ramah lingkungan

yang di mulai dari rumah.

Negosiasi Dominan Dominan

Perempuan adalah sosok yang bertang-gungjawab atas pemeliharaan lingkungan.

Negosiasi

Dominan Dominan

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 2, Mei - Agustus 2010, halaman 178 - 190

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 8: Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media

185

dalam media, dan mayoritas anggota kelompoktidak bisa mengingat isu apa yang disajikan danditayangkan dalam program atau rubrik apa.

Menurut kelompok pertama, belum ba-nyaknya informasi perubahan iklim di media ka-rena isu lingkungan dianggap tidak “seksi”, in-formasi yang disajikan terlalu serius dan topiknyatidak populer. Sehingga isu pemanasan globalhanya populer bila itu merupakan sebuah benca-na, dan kalau pun bukan bencana maka media cen-derung mengemasnya sebagai gaya hidup, paketwisata atau hiburan, atau pun isu yang terkaitdengan kesehatan dan sebagai trend gaya hidup.

Data dalam tabel memperlihatkan bahwamayoritas informan kelompok pertama mema-hami lingkungan sebagai jagat yang terdiri darikelompok manusia dan non manusia seperti bina-tang, tumbuhan, udara, air dan lain sebagainya yangbiasanya dianggap sebagai kelompok yang ter-pinggirkan dan lebih mudah untuk dieksploitasi.Kelompok kedua memahami masalah lingkungansebatas pada keseharian mereka, seperti banyak-nya sampah yang ada, menjaga kebersihan, me-melihara tanaman, membuat resapan dan lainnya.Kelompok ketiga memahami lingkungan lebihsempit lagi, sebatas pada menjaga kebersihan danpersoalan sampah.

Ketika ditanyakan, dimana lokasi ter-jadinya pemanasan global? Maka kelompok duadan menganggap fenomena itu terjadi di kotalain, bahkan di pulau atau negara lain, seperti feno-mena gunung es mencair yang terjadi di kutubutara, kebakaran hutan terjadi di luar P. Jawa,sebagaimana dikemukakan kelompok kedua.Sebaliknya kelompok pertama menjawab bahwahal itu terjadi di kota tempat tinggalnya dan bukandi tempat lain. Temuan-temuan tersebut sejalandengan hasil studi Sarwono (2010b) yangmenjelaskan bahwa masyarakat Indonesia belummemberi perhatian pada masalah non human,akibatnya isu lingkungan dan perubahan iklim belumdianggap penting.

Bagaimana seseorang memahami pen-tingnya lingkungan tidak terlepas dari latar bela-kang mereka. Kelompok pertama memperolehpendidikan sejak kecil dalam keluarga dan pendi-dikan formal di sekolah, sedangkan kelompokkedua mempunyai kepedulian setelah beranjak

dewasa yang diperoleh dari lingkungan sepertiorganisasi Mapala atau setelah menikah denganmemelihara tanaman; dan kelompok ketigamempunyai kepedulian yang berbeda karenamenjaga lingkungan diartikan sebagai menjagakebersihan demi kesehatan. Karena pemaham-an yang berbeda itu, maka kepedulian terhadaplingkungan pun berbeda. Kelompok pertamamengajarkan pengetahuan peduli lingkungankepada keluarga, teman sekerja dan tetangga.Kelompok kedua menjaga lingkungan secara in-dividual dan konsistensi perilaku ramah lingkungantergantung dari peer group dan keluarganya.Akan Kelompok ketiga, walaupun mereka belummemahami pentingnya lingkungan tapi merekaadakalanya melaksanakan konsep 4R sepertimenghemat penggunaan air & listrik sertamenggunakan kertas bekas untuk mencetak draftsecara bolak balik; namun motivasi penghematanitu lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomis.

Framing isu pertama: Peran perempuandalam isu global warming dan pemeliharaanlingkungan di media tidak penting. Mayoritaspeserta FGD melakukan pemaknaan resistensiterhadap ‘posisi perempuan yang dianggap tidakpenting dalam isu lingkungan’. Peserta lain darikelompok pertama berpendapat bahwa media biasgender dalam media. Sedangkan kelompok keduamenegaskan bahwa posisi perempuan dalam isulingkungan tidak eye-catching, walaupunperempuan berperan penting dalam mengurus danrumah tangga yang selalu bersentuhan denganlingkungan; seperti membersihkan rumah,memelihara tanaman. Bahkan kelompok ketigamenyadari bahwa sebetulnya sudah banyak yangdilakukan oleh kaum perempuan dalam me-manfaatkan barang bekas dan mengolahnyakembali menjadi kerajinan tangan, namunupaya itu jarang disajikan oleh media.

Framing Isu 2: Bila perempuan munculdalam pemberitaan isu global warming danpelestarian lingkungan, maka pada umumnyamereka adalah artis. Kelompok pertama mela-kukan pemaknaan negosiasi terhadap framing isukedua, kelompok kedua melakukan pemaknaandominan dan kelompok ketiga tidak memberikanpemaknaan, karena mereka tidak memperhatikannarasumber yang menjadi acuan bagi isu ling-

Sarwono, Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media oleh Kaum Perempuan Urban

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 9: Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media

186

kungan, apakah mereka adalah artis atau bukan.Pemaknaan negosiasi pada kelompok pertamaterlihat dari sebagian informan yang mempunyaipemahaman serupa dengan media bahwa artisperempuan merupakan role model dalam peri-laku ramah lingkungan, sementara itu ada jugainforman yang mempunyai pemaknaan yangtidak sejalan dengan media, namun sosialisasibisa dilakukan lewat pendidikan, hukum, danadanya role model.

Framing isu 3: Sosialisasi kepedulianterhadap lingkungan dimulai dari rumah dan ibubertanggungjawab melakukan sosialisasi. Ke-lompok pertama yang melakukan pemaknaannegosiasi berpendapat bahwa sosialisasi tidakselalu dimulai oleh ibu dari rumah bahkan bisa sajadilakukan melalui pendidikan atau programpemerintah; namun beberapa anggota lainnyadalam kelompok yang sama berpendapat bah-wa mestinya ibu punya peran penting dalammensosialisasi perilaku ramah lingkungan. Pe-maknaan kelompok 2 berbeda dengan kelompokpertama.

Framing isu 4: Perempuan adalah sosokyang bertanggungjawab atas pemeliharaanlingkungan. Hasil pemaknaan informan terha-dap isu keempat ini serupa dengan pemaknaanterhadap isu ketiga. Hal ini bisa dimengerti karenabagi kelompok pertama, yang memiliki sensi-tivitas gender lebih tinggi daripada kelompoklain, baik laki-laki maupun perempuan, kedua-nya mempunyai tanggung jawab melestarikanlingkungan. Sebaliknya, kedua kelompok lainnyamempunyai pemaknaan yang berbeda. Singkatkata, hasil penelitian menunjukkan bahwa latarbelakang, pengetahuan dan pengalaman informanketika berinteraksi dengan lingkungan akanmenyebabkan perbedaan dalam memahamirealitas dan aktivitas peduli lingkungan. Kelom-pok pertama merasa mempunyai tanggung jawabserta termotivasi untuk mengajarkan pengetahuandan sikap peduli lingkungan kepada orang lain.Kelompok kedua memiliki kesadaran dan motivasinamun kepedulian tersebut hanya terbatas bagikepentingan diri sendiri dan belum disosialisasi-kan kepada orang lain. Kelompok ini memahamimasalah lingkungan dalam area yang masih berada“di luar” dirinya dan belum menyatu di dalam

dirinya. Sense of belonging kelompok ketiga masihminim karena pengetahuan akan masalahlingkungan dianggap berada “jauh” dari dirinya danhanya terkait pada bencana alam semata.

Perbedaan reaksi setiap kelompok ter-sebut di atas bisa dijelaskan dengan mengguna-kan teori psikologi ekologi (ecological psycho-logy) (Barker dalam Sarwono, 1995:127). Per-bedaan cara berpikir menyebabkan pemahamanmengenai masalah lingkungan menjadi berbedapula. Pada kelompok pertama yang telahmengetahui adanya beragam jenis lingkunganalamiah seperti biotik & abiotik, dan dimodifikasiatau buatan dan sosial) maka pengetahuan dankepedulian terhadap lingkungannya lebih holistik.Dalam hal ini, individu tersebut mengetahui jikasalah satu unit dalam sistem lingkungan terganggumaka keseluruhan akan terpengaruh. Sementarapada kelompok kedua, mereka baru mengetahuijenis lingkungan dimodifikasi dan sosial, seba-gaimana teori kekurangan beban dalam kajianpsikologi lingkungan yang mana aktivitas mena-nam tanaman di depan rumah masih terbatassebagai kebutuhan maupun hobi. Sedangkanpada kelompok ketiga, mereka baru memilikipengetahuan lingkungan secara umum dari jenislingkungan dimodifikasi dan mereka baru mulaimempedulikan lingkungan jika sudah ada peristiwabesar.

Dengan demikian, pemahaman terha-dap dampak pemanasan global dan pelestarianlingkungan yang didasarkan pada pengetahuan,kepercayaan dan norma atau nilai-lah yangmenentukan seorang individu dalam membuatkeputusan untuk perlu atau tidak melakukanaktivitas peduli lingkungan. Walaupun padadasarnya, secara alamiah, perempuan dalamkesehariannya telah bersentuhan dengan ling-kungan, namun perbedaan gaya hidup, keakrabandengan kondisi lingkungan, keakraban sosial, dankelas sosial melatarbelakangi perempuan mem-pengaruhi respon yang berbeda terhadap peles-tarian lingkungan.

Tampak bahwa dalam kelompok 3 sikappeduli lingkungan didasarkan pada pertimbanganekonomi yang menekankan unsur keuntungan ataubenefit dari setiap tindakannya dianggap sebagaibagian dari rutinitas sebagaimana dalam etika

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 2, Mei - Agustus 2010, halaman 178 - 190

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 10: Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media

187

lingkungan yang disebut androposentris atauegoisme. Perilaku atau pertimbangan ini dikritikoleh ekofeminisme yang mengharap agar manusiadapat menjaga dan merawat lingkungan dengancara berempati terhadap sekitarnya demi ke-berlanjutan dan kehidupan yang lebih harmonis.Sebagai makhluk sosial, para informan tersebutdi atas cendrung mempertimbangkan danmemperhatikan dukungan sistem dan orientasi padaorang lain ketika memutuskan aktivitas pedulilingkungan yang dipicu oleh adanya keinginankonformistis. Itulah sebabnya, aktivitas lingkung-an dalam kelompok kedua dan ketiga hanyadilakukan selama ada program pemerintah ataujika memang orang lain juga melakukan. Dengankata lain, masih diperlukan kontrol eksternal untukpeduli lingkungan karena sense of belongingsecara internal dari diri pribadi individu tersebutbelum tumbuh. Data menunjukkan bahwa hanyaada satu pemaknaan resistensi yang dilakukan parainforman terhadap isu ‘posisi perempuan yangdianggap tidak penting dalam berita lingkungan’.Walaupun ketiga kelompok punya pemaknaanresistensi, namun alasan mereka berbeda.Kelompok pertama melakukan resistensi karenamedia dianggap bias gender, sementara ituresistensi kelompok kedua lebih disebabkankarena peran perempuan tidak cukup menarikperhatian khalayak dan kelompok ketiga lebihmenitikberatkan pada aktivitas perempuan di luarpemberitaan media.

Mengapa hanya satu pemaknaan resis-tensi dan yang lain merupakan pemakanaannegosiasi atau dominan? Hal ini bisa dikaitkandengan latarbelakang mayoritas informan yangdibesarkan pada masa Orde Baru (Orba).Menurut pemerintah Orba, perempuan Indonesiaseharusnya bertanggung jawab terhadap tugasdomestik di samnping bekerja. Selain itu, walaupunpemerintah mengakui hak dan kewajiban merekasama, namun perempuan punya peranan yang khasyang berbeda dari laki-laki karena kodrat merekapada dasarnya berbeda. Jadi peranan perempuanyang paling mendasar adalah berada di keluargadengan anak-anak dan suami. Peranan itu diang-gap penting dalam pembangunan karena tanpakeluarga yang sehat dan kuat, tujuan pembangunanakan sulit sekali dicapai. Jadi perempuan boleh

bekerja asalkan tidak melalaikan tugasnya seba-gai ibu rumah tangga. Filosofi tersebut jelas ter-tuang dalam GBHN 1978 (Binny Buchori dan IfaSoenarto dalam Mayling Oey-Gardiner, 1996:173-176). Ideologi tersebut menunjukkan bahwadi Indonesia telah terjadi sebuah proses “house-wifization (perempuan yang di-ibu-rumah-tangga-kan)”, di mana perempuan boleh bekerja, tapipekerjaannya tetap dianggap sebagai pekerjaansampingan sehingga mereka digaji lebih rendahkarena mereka telah mendapatkan gaji utama darisuami, dan gaji yang diperoleh perempuan terse-but dianggap sebagai tambahan penghasilan saja.

Mengapa para informan tidak bisa me-lepaskan diri dari kultur patriarki? Sebagaimanadipaparkan informan dari kelompok dua: “bu-dayanya sudah begitu”, hal ini berarti apa yangsudah menjadi nilai dan norma sulit diubah.Mengapa? Karena sosialisasi posisi perempuansudah begitu tertanam, dan mengakar pada dirimereka; dan hal ini bukan saja diwarnai olehiklim politik ketika mereka dibesarkan, tetapijuga norma-norma agama dan budaya patriarkiyang diwariskan oleh orang tua mereka. Bisajadi, perempuan yang sudah terbiasa mematuhinilai-nilai moral secara ketat jarang berniatmembebaskan diri dari nilai-nilai moral yangmengungkungnya. Alhasil, hampir semua infor-man memaknai bahwa tugas memelihara ling-kungan memang merupakan tanggung jawabmereka dan secara naluriah mereka merasakanbahwa ibu-lah yang mendidik anak-anak, ibu pulayang akan mengajarkan perilaku ramah ling-kungan. Dengan kata lain, perspektif informanatau discursive resources terhadap domestifikasiperempuan mempunyai peranan besar dalampemaknaan. Temuan ini sejalan dengan pemikirankelompok revisionis bahwa pemaknaan khalayakakan sama dengan pemberitaan media bila searahdengan anggapan awal individu. Hasil ini jugamemperkuat asumsi bahwa resistensi perempuanperkotaan terhadap ideologi dominan masih lemah(Sarwono, 2004:1).

Dilihat dari perspektif ekofeminis, masalahsubordinasi, eksploitasi dan penindasan yangdilakukan terhadap perempuan mempunyai artiyang sama dengan perlakuan terhadap alam.Karena ekofeminis mempersoalkan kesetaraan

Sarwono, Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media oleh Kaum Perempuan Urban

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 11: Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media

188

di antara laki-laki dan perempuan, kesetaraanantara human dan non human. Temuan pene-litian mengindikasikan bahwa baik institusi me-dia maupun sebagian khalayak informan belummemiliki perspektif ekofeminis ataupun sensi-tivitas gender. Bila awak media masih didominasilaki-laki yang cenderung menggunakan konsephousewifization dan media belum mejadi saranabagi kelompok perempuan untuk berkiprah didunia publik, maka kesetaraan ini hanya bisatercapai bila konsep pembagian kerja menurutgender berubah. Selama konsep itu tidak berubahmaka kesetaraan tidak pernah tercapai. Demikianpula konsep human dan non human tidak akanberubah selama masih ada arogansi terhadapbahwa sewajarnya alam dieksploitasi demi ke-nikmatan hidup manusia. Cara berpikir demikianperlu diubah dengan menekankan tanggungjawabmanusia untuk menjaga, merawat lingkungan dandengan berempati terhadap alam sekitarnya de-mi keberlanjutan dan kehidupan yang lebih har-monis.

Simpulan

Dilihat dari konsep multiple readingssebagai yang dikemukakan oleh Hall, maka dalamkasus penelitian ini tidak ditemukan oppositionalreading yang berarti. Karena nilai-nilai patriarkimasih dilanggengkan oleh budaya, media massadan pemerintah. Dengan kata lain pemaknaanberagam tidak banyak terjadi karena lingkunganatau sistem tidak mendukung seseorang untukmelakukan pemaknaan yang berbeda. Adapunkonsep power yang diberikan pada khalayak un-tuk memberikan pemaknaan yang beragam hanyaberlaku apabila budaya, media dan pemerintah dankegiatan individu khalayak itu memungkinkan diamelakukan hal itu.

Sebagian kaum perempuan masih belummenyadari adanya bias gender dan melek ling-kungan yang mulai menggugah kesadaran merekaakan dampak pemanasan global, akibatnyamereka hanya memproduksi nilai-nilai kelompokdominan yang melihat lingkungan sebagai berkahyang bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya olehmanusia tanpa mempertimbangkan dampakeksploitasi tersebut bagi kelestarian alam di masa

mendatang. Padahal dalam kultur yang masihmenekankan perempuan sebagai pemelihara ke-lestarian lingkungan, maka kaum ini pula-lah yangharus menyelamatkannya.

Dampak pemanasan global sudah tidakdapat dihindari, kegiatan penyuluhan bagi kaumperempuan untuk mengantisipasi dampakperubahan iklim harus terus dilakukan dan tidakbisa mengandalkan sosialisasi lewat media sema-ta. Karena media merupakan organisasi yangkompeks yang mempunyai standard berita,kepentingan ekonomi, politik dan sosial. Karenaitu pendidikan ramah lingkungan harus dimulaisejak dini yang didukung oleh regulasi dan ko-mitmen pemerintah dalam usaha mengurangidampak pemanasan global yang terwujud dalammeningkatkan kesejahteraan masyarakat dankelompok yang terpinggirkan. Singkat kata,mengubah perilaku untuk menjadi sadar lingkunganhanya bisa dilakukan melalui berbagai lintas tataran:individu, masyarakat, kultural.

Ucapan Terimakasih

Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Dirjen Dikti Diknas RI yang telahmemungkinkan dilakukannya penelitian ini melaluiskema Penelitian Hibah Strategis Nasional Tahun2008 yang menjadi dasar bagi penulisan artikelini. Terimakasih kepada forum konferensi AMIC(Asian Media Information and CommunicationCenter), Singapore, yang telah memberkesempatan seminar tentang tema ini pada bulanJuni 2010.

Daftar Pustaka

Arivia, Gadis, 2006, Feminisme: Sebuah KataHati, Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Atmakusumah, 1996, Mengangkat MasalahLingkungan ke Media Massa, : YayasanObor, Jakarta.

Coleman, Robin R. Means, 2002, Say It Loud,Routledge, New York.

Corbert, Julia B., 2006, Comunicating Nature:How We Create and Understand Envi-ronmental Message, Island Press,Wahington D.C.

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 2, Mei - Agustus 2010, halaman 178 - 190

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 12: Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media

189

Cox, Robert, 2006, Environmental Communi-cation and the Public Sphere, Sage Pub-lication, Thousand Oaks, CA.

Croteau, David & William Hoyness, 1997, Me-dia/Society: Industries, Image and Au-diences, Second Edition, Pine ForgePress, Thousand Oaks, CA.

Croteau, David & William Hoyness, 2003, Me-dia/Society: Industries, Image and Au-diences, Third Edition. Pine Forge Press,Thousand Oaks, CA.

Curran, James, 2002, Media and Power, Lon-don: Routledge.

Denzin, Norman & Yvonna S. Lincoln (Eds.),1994, Handbook of Qualitative Re-search, Sage Publications, ThousandOaks, CA.

Dwi Susilo, Rachmat, 2008, Sosiologi Ling-kungan, Penerbit Raja Grafindo Persada,Jakarta.

Gardiner, Mayling Oey, 1996, (eds), PerempuanIndonesia: Dulu dan Kini, GramediaPustaka Utama, Jakarta.

Hagen, Ingunn & Janet Wasko, 2000, Consum-ing Audience? Production and Recep-tion in Media Research, Cresskill, NewJersey: Hampton Press.

Heiner, Robert, 2006, Social Problems: An In-troduction to Critical Constructionism.Oxford University Press, New York.

Jensen, Klaus Bruhn & Nicholas W. Jankowski,2002, A Handbook of Qualitative Meth-odologies for Mass CommunicationResearch, Routledge, New York.

Kirk, Gwyn & Margo Okazawa-Rey, 1998,Women’s Lives: Multicultural Perspec-tives, Mayfield Publishing Co. MountainView, CA.

Mosse, Julia Cleves, 1996, Gender & Pemba-ngunan (Terjemahan), Pustaka Pelajar,Jakarta.

Patton, Michael Quinn, 2002, Qualitatve Re-search & Evaluation Methods, ThirdEdition, Sage Publications, ThousandOaks, CA.

Sarwono, Billy K., 2004, Pemaknaan Karir PolitikPresiden Perempuan dalam MasyarakatPatriarki, Jurnal Thesis Volume III no-

mor 2 Mei-Agustus, 2004, DepartemenIlmu Komunikasi, Universitas Indonesia,Depok.

Sarwono, Billy K., 2006, Conflict ConcerningWorking Women Existence in Media In-dustry (A Study on Cultural Production onA Female Radio in East Java) Media –Asia Research Group 2006 Conference— Miri, Sarawak Malaysia Februari,2006.

Sarwono, Billy K., 2009, Media Coverage of Cli-mate Change: A Content Analysis ofUNFCCC Coverage by IndonesianNewpapers, Media Climate Workshop,Maret 2009, Istanbul, Turkey.

Sarwono, Billy K; Sunarto & Donna Asteria,2009, Perempuan dan Ekologi: SuatuStudi Resepsi terhadap Perempuan Ja-karta, Hasil Penelitian Hibah StrategisNasional 2008, Universitas Indonesia,Depok.

Sarwono, Billy K., 2010a, Media Coverage ofClimate Change: A Content Analysis ofUNFCCC Coverage by IndonesianNewspapers, Media Climate Workshop,February, Tampere – Finland.

Sarwono, Billy K., 2010b, Indonesia: TheMarginalised Motherland, Makalah akandipresentasikan dalam Media ClimateWorkshop, November, 2010 Bergen-Norway.

Sarwono, Billy K. & Sunarto, 2010, Journalists’Construction on Reporting ClimateChange: A Study of an Elite IndonesianNewspaper Coverage on UNFCCC inBali 2007 and Copenhagen 2009, Inter-national Association Media Communi-cation Research Conference, Braga, Por-tugal 2010.

Sarwono, Sarlito Wirawan, 1995, PsikologiLingkungan, Penerbit PT Grasindo,Jakarta.

Tong, Rosemarie, 2005, Feminist Thought – AComprehensive Introduction, Mackaysof Chatahm PLC, Kent.

Van Zoonen, Liesbet, 1994, Feminist MediaStudies, Sage Publications, ThousandOaks, CA.

Sarwono, Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media oleh Kaum Perempuan Urban

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 13: Pemaknaan Isu Pemanasan Global dan Lingkungan di Media

190

Warren, Karen J., 2000, Ecofeminist Philoso-phy: A Western Perspective on What Itis Why It Matters, Rowman & LittlefieldPublisher, New York.

Wimmer, Roger D. & Joseph R. Dominick, 2006,Mass Media Research: An Introduction.Thomas Wadsworth, Belmont, CA.

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 2, Mei - Agustus 2010, halaman 178 - 190

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com