Upload
sarah-rachmatia
View
243
Download
0
Tags:
Embed Size (px)
DESCRIPTION
mkko
Citation preview
Skenario I
Mr. Bawor’s Family
A 50 years old man called Mr. Bawor came to the hospital complaining of
red pustule emerging on the skin of his hand, stomach, inguinal, genetalia, and
buttock. As time goes by the amount of pustule has doubled the initial amount and
he also feels very itchy especially at night since 3 month ago. Mr. Bawor has just
came out of jail 2 month ago. Mr. Bawor never seek any medical help. His wife,
45 years old and his son 15 years old also have the same complaint as him since 1
month ago
1
I. Klarifikasi Istilah
1. Pustula
Lesi menonjol berbatas tegas mengandung eksudat seperti leukosit, debris
seluler, bakteri. (Dorland, 2011)
2. Gatal
Sebuah sensasi tidak nyaman pada kulit yang terasa seolah-olah ada
sesuatu yang merayap di kulit, dan membuat orang ingin menggaruk
daerah yang terkena. (Ramali, 2005)
II. Identifikasi Masalah
1. Tn. Bawor 50 tahun mengeluh muncul bintik-bintik merah pada kulit di
sekitar tangan, perut, inguinal, genetal, dan pantat.
2. Bintik merah tersebut jumlahnya meningkat dua kali lipat dan lebih terasa
gatal pada malam hari sejak 3 bulan yang lalu
3. Keluhan tersebut belum ditangani dengan tindakan medis
4. Tn. Bawor telah keluar dari penjara sejak 2 bulan yang lalu
5. Istri dan anaknya juga mengalami keluhan yang sama sejak 1 bulan lalu
III. Analisis Masalah
1. Bagaimana Anatomi, Fisiologi, dan Histologi dari organ yang terkait?
1.1 Anatomi
a. Vaskularisasi Kulit
Pembuluh darah kulit terdiri 2 anyaman pembuluh darah nadi
yaitu:
- Anyaman pembuluh nadi kulit atas atau luar.
Anyaman ini terdapat antara stratum papilaris dan stratum
retikularis, dari anyaman ini berjalan arteriole pada tiap –
tiap papila kori.
- Anyaman pembuluh darah nadi kulit bawah atau dalam.
2
Anyaman ini terdapat antara korium dan subkutis, anyaman
ini memberikan cabang – cabang pembuluh nadi ke alat –
alat tambahan yang terdapat di korium.
Dalam hal ini percabangan juga juga membentuk
anyaman pembuluh nadi yang terdapat pada lapisan
subkutis. Cabang - cabang ini kemudian akan menjadi
pembuluh darah baik balik/vena yang juga akan
membentuk anyaman, yaitu anyaman pembuluh darah balik
yang ke dalam.
Peredaran darah dalam kulit adalah penting sekali
oleh karena di perkirakan 1/5 dari darah yang beredar
melalui kulit. Disamping itu pembuluh darah pada kulit
sangat cepat menyempit/melebar oleh pengaruh atau
rangsangan panas, dingin, tekanan sakit, nyeri, dan emosi,
penyempitan dan pelebaran ini terjadi secra refleks.
Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk
pleksus terletak antara lapisan papiler dan retikuler dermis
dan selain itu antara dermis dan jaringan subkutis. Cabang
kecil meninggalkan pleksus ini memperdarahi papilla
dermis, tiap papilla dermis punya satu arteri asenden dan
satu cabang vena. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh
darah tapi mendapat nutrient dari dermis melalui membran
epidermis. Vaskularisasi dikulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu
pleksus superfisialis dan pleksus profunda. (Djuanda, 2008)
b. Invervasi kulit
Kulit juga seperti organ lain terdapat cabang – cabang saraf
apinal dan permukaan yang terdiri dari saraf – saraf motorik
dan saraf sensorik. Ujung saraf motorik berguna untuk
menggerakkan sel – sel otot yang terdapat pada kulit,
sedangkan saraf sensorik berguna untuk menerima rangsangan
yang terdapat dari luar atau kulit. Pada kulit ujung – ujung saraf
sensorik ini membentuk bermacam – macam kegiatan untuk
3
menerima rangsangan. Ujung – ujung saraf yang bebas untuk
menerima rangsangan sakit/nyeri banyak terdapat di epidermis,
disini ujung – ujung sarafnya mempunyai bentuk yang khas
yang sudah merupakan suatu organ.
1.2 Fisiologi
Fungsi kulit
a. Fungsi proteksi
Kulit menyediakan proteksi terhadap tubuh dalam berbagai
cara, sebagai berikut:
1. Keratin, melindungi kulit dari mikroba, abrasi (gesekan),
panas, dan zat kimia. Keratin merupakan struktur kulit
yang keras, kaku, dan tersusun rapid an erat seperti batu
bata di permukaan kulit.
2. Lipid, yang dilepaskan mencegah evaporasi air dari
permukaan kulit dan dehidrasi, selain itu juga mencegah
masuknya air dari lingkungan luar tubuh melalui kulit.
3. Sebum, yang berminyak dari kelenjar sebasea mencegah
kulit dan rambut dari kekeringan serta mengandung zat
bakterisid yang berfungsi membunuh bakteri di
permukaan kulit. Adanya sebum ini, bersamaan dengan
ekskresi keringat, akan menghasilkan mantel asam
dengan kadar pH 5-6,5 yang mampu menghambat
pertumbuhan mikroba.
4. Pigmen melanin, melindungi dari efek sinar UV yang
berbahaya. Pada stratum basal sel melanosit melepaskan
pigmen melanin ke sel-sel disekitarnya. Pigmen ini
bertugas untuk melindungi materi genetik dari sinar
matahari, sehingga materi genetik dapat tersimpan
dengan baik.
4
b. Fungsi absorpsi
Kulit tidak bisa menyerap air, tapi bisa menyerap
material latur-lipid seperti vitamin A, D, E dan K, dan obat-
obatan tertentu, oksigen dan karbondioksida. Kemampuan
absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi,
kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum. Penyerapan
dapat berlangsung melalui celah antarsel atau melalui muara
saluran kelenjar, tetapi lebih banyak yang melalui sel-sel
epidermis daripada yang melalui muara kelenjar.
c. Fungsi eksresi
Kulit berfungsi dalam eksresi dengan perantaraan
dua kelenjar eksokrinnya, yaitu kelenjar sebasea dan
kelenjar sudorifera.
d. Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di
dermis dan subkutis. Terhadap rangsangan panas
diperankan oleh badan-badan Ruffini di dermis dan
subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan-badan
Krause di dermis, badan taktil Meissner terletak di papilla
dermis berperan terhadap rabaan, demikian pula badan
Merkel Ranvier yang terletak di epidermis. Sedangkan
terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di
epidermis.
e. Fungsi termoregulasi
Kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh
melalui dua cara, yaitu dengan menyesuaikan aliran darah
di pembuluh kapiler dan dengan pengeluaran keringat. Pada
saat suhu tubuh tinggi, maka pembuluh darah akan
vasodilatasi dan tubuh akan mengeluarkan keringat dalam
jumlah yang banyak, begitu sebaliknya.
5
f. Fungsi sintesis vitamin D
Dengan mengaktivasi precursor 7 dihidroksi
kolesterol dengan bantuan sinar UV. Prekursor ini
dimodifikasi oleh enzim hati dan di ginjal yang nantinya
akan menghasilkan calcitriol yang merupakan bentuk aktif
dari vitamin D. Calcitriol ini merupakan hormon yang
berperan dalam mengabsorpsi kalsium makanan dari traktus
gastrointestinal ke dalam pembuluh darah. (Sherwood,
2011)
Sistem Keratinisasi
1. Mitosis Stratum basalis
2. Diferensiasi Stratum spinosum
3. Apoptosis Stratum Lucidum
4. Eksfoliasi Stratum Korneum
Sistem Pigmentasi
Faktor:
1. Pigmen melanin dan karotin
Perlindungan dengan barasi radikal bebas yang
mempengaruhi warna kulit, bukan jumlah melanositnya
melainkan:
a. Kecepatan sintesa melanin
Yang dipengaruhi oleh:
- Paparan UV
- Hormon MSH, Esterogen, ACTH
- Post-Inflamasi
b. Kecepatan akumulasi
c. Kecepatan degradasi
Sistem Penuaan
1. Penuaan Intrinsik
Dipengaruhi oleh:
- Waktu/umur
- Genetik
6
- Kerusakan endogen oleh ROS (Reactive Oxygen
Species)
2. Penuaan Ekstrinsik
Dipengaruhi oleh:
- Sinar UV
- Kurang gizi
- Radiasi Ion (Djuanda, 2007)
1.3 Histologi
a. Epidermis
Lapisan ini bergenerasi dan berespon terhadap rangsangan
luar atau dalam tubuh. Tebalnya antara 0,4-1,5 mm. Penyusun
terbesarnya adalah keratinosit, antara keratinosit ada sel
langerhanz dan melanosit. Keratinosit berada pula pada lapisan
stratum basalis, stratum spinosum, dan stratum granulosum.
1. Stratum basalis
Keratinositnya bentuk thorax, ada bagian yang
bernama hemidesmosom, jika ada kelainan kulit tidak bisa
menahan trauma mekanik. Ada 3 subpopulasi karatiosit di
stratum basalis yaitu sel punca, transient amplifying cell,
dan sel pascamitosis. Awalnya sel punda akan lambat
membelah diri, akan aktif membelah jika ada kerusakan
luas di epidermis.
2. Stratum spinosum
Keratinositnya bentuk polygonal.
3. Stratum granulosum
Keratinositnya mengandung keratohyaline granules.
4. Stratum korneum (Minulwih, 2015)
Epidermis merupakan lapisan teratas pada kulit manusia
dan memiliki tebal yang berbeda-beda: 400-600 μm untuk kulit
tebal (kulit pada telapak tangan dan kaki) dan 75-150 μm
7
untuk kulit tipis (kulit selain telapak tangan dan kaki, memiliki
rambut). Selain sel-sel epitel, epidermis juga tersusun atas
lapisan:
- Melanosit, yaitu sel yang menghasilkan melanin melalui
proses melanogenesis.
- Sel Langerhans, yaitu sel yang merupakan makrofag
turunan sumsum tulang, yang merangsang sel Limfosit T,
mengikat, mengolah, dan merepresentasikan antigen
kepada sel Limfosit T. Dengan demikian, sel Langerhans
berperan penting dalam imunologi kulit.
- Sel Merkel, yaitu sel yang berfungsi sebagai
mekanoreseptor sensoris dan berhubungan fungsi dengan
sistem neuroendokrin difus. (Wolff K, 2008)
b. Dermis
Dermis, yaitu lapisan kulit di bawah epidermis, memiliki
ketebalan yang bervariasi bergantung pada daerah tubuh dan
mencapai maksimum 4 mm di daerah punggung. Dermis
terdiri atas dua lapisan dengan batas yang tidak nyata, yaitu
stratum papilare dan stratum reticular
1. Pars papilare
Bagian dari lapisan dermis yang tipis dan menonjol
ke epidermis. Pada pars papilare ini berisi ujung serabut
saraf dan pembuluh darah.
2. Pars retikulare
Bagian dari lapisan dermis yang tebal dan menonjol
ke arah subkutan. Pada pars retikulare ini berisi serabut
kolagen, elastin dan retikulin (Djuanda, 2003).
Selain kedua stratum di atas, dermis juga mengandung
beberapa turunan epidermis, yaitu folikel rambut, kelenjar
keringat, dan kelenjar sebacea.
- Rambut, merupakan struktur berkeratin panjang yang
berasal dari invaginasi epitel epidermis, yaitu folikel
8
rambut. Pada folikel ini terdapat pelebaran terminal yang
berbentuk benjolan pada sebuah papilla dermis. Papila
dermis tersebut mengandung kapiler dan ditutupi oleh sel-
sel yang akan membentuk korteks rambut, kutikula
rambut, dan sarung akar rambut.
- Kelenjar keringat, yang terdiri atas kelenjar keringat
merokrin dan kelenjar keringat apokrin
a. Kelenjar keringat merokrin, berupa kelenjar tubular
sipleks bergelung dengan saluran bermuara di
permukaan kulit. Salurannya tidak bercabang dan
memiliki diameter lebih kecil dari bagian sekresinya
0,4 mm. Terdapat dua macam sel mioepitel yang
mengelilingi bagian sekresinya, yaitu sel gelap yang
mengandung granula sekretoris dan sel terang yang
tidak mengandung granula sekretoris.
b. Kelenjar keringat apokrin, memiliki ukuran lebih
besar (3-5 mm) dari kelenjar keringat merokrin.
Kelenjar ini terbenam di bagian dermis dan
hipodermis, dan duktusnya bermuara ke dalam folikel
rambut. Terdapat di daerah ketiak dan anus.
c. Kelenjar sebacea, yang merupakan kelenjar holokrin,
terbenam di bagian dermis dengan jumlah bervariasi
mulai dari seratus hingga sembilan ratus per
centimeter persegi. Sekret dari kelenjar sebacea
adalah sebum, yang tersusun atas campuran lipid
meliputi trigliserida, lilin, squalene, dan kolesterol
beserta esternya. (Wolff K, 2008)
c. Subkutis/Hipodermis
Pada lapisan subkutis berisi jaringan lemak, pembuluh
darah, limfe dan serabut saraf. Lapisan ini mempunyai fungsi
sebagai bantalan atau penyangga benturan bagi organ-organ
tubuh bagian dalam (Djuanda, 2003).
9
2. Mengapa muncul bintik-bintik merah pada kulit di sekitar tangan, perut,
inguinal, genetal, dan pantat?
Bintil merah atau yang sering disebut pustule muncul akibat
adanya penumpukan eksudat purulent yang teridri dari pus, leukosit dan
debris. Kumpulan eksudat ini dimungkinkan terbentuk akibat adanya
infeksi oleh bakteri/ virus/ jamur/ parasit. Untuk dapat mencari tahu
etiologi pastinya, dapat dilihat dari gejala yang dirasakan pasien.
a. Infeksi Virus
Contoh penyakit: Herpes
Biasanya disertai dengan gejala sistemik karena penyebaran infeksi
dilakukan melalui pembuluh darah dan saluran getah bening
b. Infeksi Bakteri
Contoh penyakit: Selulitis, dan Impetigo
Biasanya disertai dengan gejala sistemik karena penyebaran infeksi
dilakukan melalui pembuluh darah dan saluran getah bening
c. Infeksi Jamur
Contoh penakit: Mikosis superficialis, Pitrosporum folikulitis
Biasanya kelainan kulit terjadi disuperficial dan tidak berbentuk
pustule
d. Infeksi Parasit
Contoh penyakit: Pediculosis, Scabies
Biasanya kelainan terjadi karena tungau dan membentuk pustule
Berdasarkan ciri khas yang ditimbulkan masing-masing
mikroorganisme, dapat disimpulkan hipotesa kasus ini etiologinya
disebabkan karena tungau (parasite). (Djuanda, 2007)
Bintil merah muncul dari lapisan epidermis, terutama pada stratum
korneum. Sebagai akibat adanya infestasi Sarcoptes scabiei akan dibuat
terowongan untuk meletakkan telur, hal tersebut dapat menimbulkan
akantolisis yaitu hilangnya daya kohesi antar sel-sel epidermis yang
nantinya akan timbul vesikel di epidermis (Djuanda, 2003).
10
Sarcoptes scabiei yang awalnya berbentuk larva, telur akan dapat
berperan sebagai antigen, selanjutnya akan mensensitisasi sel T sehingga
sel T yang sudah tersensitisasi akan menegluarkan limfosit dan timbul
tanda inflamasi.
Kelainan kulit berupa munculnya pustule dapat di sebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain :
1. Lingkungan yang padat penduduk
2. Lingkungan yang kumuh
3. Lingkungan dengan tingkat kebersihan yang kurang. (Minulwih,
2015)
3. Mengapa bintik merah tersebut makin bertambah?
Berdasarkan anamnesis, Tn. Bawor sudah mengalami penyakit
skabies sejak 3 bulan yang lalu, selama 3 bulan tersebut tungau betina
terus menerus bertelur, dalam 1 bulan saja tungau betina mampu
menghasilkan 40-50 sehingga jumlah tungau pun bertambah banyak.
Banyaknya jumlah tungau inilah yang mengakibat bintil kemerahan
semakin banyak pula akibat reaksi hipersensitivitas dari sekret yang
dihasilkan tungau.
Tempat predileksi penyakit skabies ini biasanya tempat dengan
startum korneum yang tipis seperti sela jari tangan, pergelangan tangan,
ketiak bagian depan, areola mame (wanita), genitalia eksterna (pria).
(Djuanda,2007)
4. Mengapa bintik merah yang diderita pasien terasa lebih gatal pada malam
hari?
Gatal pada malam hari disebabkan karena aktivitas tungau lebih
tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas. Dari segi psikologis juga,
pada malam hari, kita cenderung lebih memberikan perhatian pada tubuh
karena berkurangnya aktivitas jika dibandingkan dengan siang hari
11
sehingga rasa gatal cenderung lebih terasa pada malam hari.
(Djuanda,2007)
5. Apa hubungan keluhan pasien dengan riwayat sosial pasien yang pernah
dipenjara?
Ketika dalam penjara secara otomatis hygenisasi lingkungan
kurang, kelembaban dan juga faktor dari lingkungan yang kotor membuat
banyak bakteri, kuman, virus dan parasite yang ada di dalam ruangan
tersebut. Sebagai contoh sprey dalam penjara, ketika tidur secara otomatis
dalam ruangan penjara bersamaan dengan yang yang lain, ketika tempat
tidur ada mengandung bekas keringat selanjutnya ruangan yang tidak
cukup untuk paparan sinar matahari menjadikan ruangan tersebut lembab,
ketika ruangan lembab dapat mengakibatkan tungau atau Sarcoptes scabiei
menempel pada kulit, ketika menepel pada kulit, tungau jantan yang sudah
membuahi tungau betika akan mati, setelah tungau betina dibuahi, tungau
tersebut akan membuat terowongan pada kulit, biasanya pada lapisan
stratum korneum, lapisan yang tipis pada kulit, setelah itu tungau betina
akan menempelkan telurnya di lapisan tersebut sekitar 50 telur yang dapat
di produksi, setelah 3-10 hari telur tersebut akan berubah menjadi larva
yang mempunyai 3 pasang laki-laki, larva ini dapat berada di dalam
terowongan dan dapat juga keluar dari terowongan tersebut. Setelah larva
akan berubah menjadi nimfa sekita 2-3 hari yang memiliki 2 bentuk yaitu
4 pasang laki-laki dan betina. Ketika sudah menjadi nimfa proses dari
siklus hidup akan terus berlangsung dan akan menyebabkan rasa gatal,
ketika penderita menggaruk gatal tersebut keadaan penderita akan makin
parah karena kulit yang terkena garukan akan mati dan akan memproteksi
tungau Sarcoptes scabiei. (Minulwih, 2015)
12
6. Apa hubungan keluhan yang diderita keluarga pasien dengan keluhan yang
juga dirasakan oleh anggota keluarganya?
Berarti pada kasus ini, anggota keluarga Tn. Bawor sudah tertular
tungau Sarcoptes sacabei dari Tn. Bawor.
Cara penularannya bisa melalui 2 cara:
1. Kontak langsung (kontak kulit dengan kulit), misalnya berjabat tangan,
tidur bersama dan hubungan seksual.
2. Kontak tidak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk,
sprei, bantal dan lain-lain.
Penularan biasanya dilakukan oleh tungau betina yang sudah dibuahi
atau kadang-kadang oleh bentuk larva. (Djuanda,2007)
7. Bagaimana penegakkan diagnosis kasus ini?
Diagnosis dapat ditegakkan apabila sudah melakukan ketiga hal berikut,
a. Anamnesis
Dari skenario yang telah dibahas, dapat ditemukan gejala yang
mengarah ke diagnosis yaitu timbulnya gatal yang sangat dimalam hari
di daerah kulit tangan, perut, selangkangan, genital dan pantat. Selain
itu riwayat pasien baru keluar dari penjara juga dapat mengarah ke
diagnosis hal ini berkaitan dengan lingkungan penjara yang kumuh,
lembab, padat manusia dan kurangnya sanitasi yang kemungkinan
kurang. Keluarga pasien (istri dan anaknya) juga mengeluhkan hal
yang sama dengan pasien, dimana kemungkinan penyakit ini
menyerang sekelompok manusia yang tinggal berdekatan dengan
pasien.
b. Pemeriksaan Fisik
Ditemukan pustule berwarna merah dalam jumlah banyak di daerah
kulit tangan, perut, selangkangan, genital dan pantat.
13
c. Pemeriksaan Penunjang
Usulan pemeriksaan penunjang yang mungkin bisa dilakukan untuk
menegakkan diagnosis yaitu kerokan kulit. Kerokan kulit ini dilakukan
pada daerah yang berwarna kemerahan dan terasa gatal. (Tanto, 2014)
8. Apa saja Diagnosis Banding dari kasus ini?
a. Scabies
b. Dermatitis Kontak Alergi
c. Prurigo
d. Cutaneus Larva Mirgan
14
IV. Sistematika Masalah
15
Reaksi hipersensitivitas timbul setelah 10-30 hari setelah infeksi
Membentuk pustule merah
Terapi
Scabies
Px. Fisik dan Px.penunjangMenggaruk-garuk
Sensasi gatal malam hari
Cortex cerebri
Histamin
Allergen
Mengeluarkan sekret
Bertelur 1 bulan 40-50 telur
Aktif saat malam hari
Tungau Sarcoptes scabiei
Paha, genital, bokong, sela-sela tangan dan kaki,
Terowongan di subcutis tipis
Tungau memproduksi substansi proteolitik di
kulit
ParasitJamur
VirusBakteri
Kontak langsung dan tidak langsung
Pustule merah, gatal
Infeksi ?Faktor resiko
Padat manusiaPenjaraKotor dan hygiene <<
Laki-laki 50 tahun
V. Learning Objective
1. Mahasiswa mampu mengetahui dan menyingkirkan diagnosis banding
kasus tersebut
2. Mahasiswa mampu mengetahui diagnosis utama kasus tersebut
3. Mahasiswa mampu mengetahui tatalaksana, komplikasi dan prognosis
kasus tersebut
VI. Belajar Mandiri
VII.Bertukar Informasi
1. Diagnosis Banding
1.1 Scabies
a. Definisi
Scabies adalah infeksi ektoparasit pada manusia yang
menular, disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap
Sarcoptes scabiei var hominis dan produknya (Currie, 2010).
b. Epidemiologi
Scabies dapat menyerang semua ras dan semua kelas sosial
di seluruh dunia, tetapi gambaran yang akurat mengenai
prevalensinya sulit didapatkan. Banyak faktor yang menunjang
perkembangan penyakit ini, antara lain: kebersihan yang buruk,
kesalahan diagnosis, dan perkembangan dermografik serta
ekologi. Penyakit ini dapat dimasukkan dalam PHS (Penyakit
akibat Hubungan Seksual) (Djuanda, 2003).
c. Etiologi
Scabies disebabkan oleh parasit kutu Sarcoptes scabiei var
hominis. Kutu scabies memiliki 4 pasang kaki dan berukuran 0,3
mm, yang tidak dapat dilihat dengan menggunakan mata
telanjang. Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk
oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini
16
translusen, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Ukurannya
yang betina berkisar antara 330 – 450 mikron x 250 – 350 mikron,
sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200 – 240 mikron x 150
– 200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang
didepan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada
betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada jantan pasangan
kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat dengan alat
perekat.
Tungau ini tidak bisa terbang ataupun melompat, tinggal di
lapisan epidermis kulit. Setelah kopulasi yang terjadi di atas kulit,
yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup
beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh tungau betina
(Djuanda, 2003).
Gambar 1. Gambaran Morfologi Sarcoptes scabiei (Chosidow, 2006)
d. Patogenesis
Kutu scabies betina menggali terowongan pada stratum
corneum dengan kecepatan 2 mm per hari, dan meletakkan 2 atau
3 telur-telurnya setiap harinya. Telur-telur ini akan menetas
setelah 3 hari dan menjadi larva, yang akan membentuk kantung
dangkal di stratum corneum dimana larva-larva ini akan
bertrasnformasi dan menjadi dewasa dalam waktu 2 minggu. Kutu
ini kawin di dalam kantongnya, dimana kutu jantan akan mati
tetapi kutu betina yang telah dibuahi menggali terowongan dan
melanjutkan siklus hidupnya. Setelah invasi pertama dari kutu ini,
17
diperlukan 4 hingga 6 minggu untuk timbul reaksi
hipersensitivitas dan rasa gatal akibat kutu ini (Djuanda, 2003).
Gambar 2. Siklus Hidup Sarcoptes Scabiei (Currie, 2010)
Siklus hidup ini menjelaskan mengapa pasien mengalami
gejala selama bulan pertama setelah kontak dengan individu yang
terinfeksi. Setelah sejumlah kutu (biasanya kurang dari 20) telah
dewasa dan telah menyebar dengan cara bermigrasi atau karena
garukan pasien, hal ini akan berkembang dari rasa gatal awal yang
terlokalisir menjadi pruritus generalisata.
Reaksi hipersensitivitas akibat adanya benda asing mungkin
menjadi penyebab lesi. peningkatan titer IgE dapat terjadi pada
beberapa pasien scabies, bersama dengan eosinofilia, dan reaksi
hipersensitivitas tipe langsung akibat reaksi dari kutu betina ini.
Kadar IgE menurun dalam satu tahun setelah terinfeksi. Eosinofil
kembali normal segera setelah dilakukannya perawatan. Fakta
bahwa gejala yang timbul jauh lebih cepat ketika terjadi reinfeksi
mendukung pendapat bahwa gejala dan lesi scabies adalah hasil
dari reaksi hipersensitivitas (Djuanda, 2003).
18
e. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis akan ditemukan beberapa hal sebagai berikut
(Greer, 2015):
- Pruritus nocturna
- Terdapat keluhan yang sama di lingkungan sekitar
- Lesi terdapat di flexor dari pergelangan tangan, sela jari,
punggung kaki, axilla, elbow, pinggang, pantat dan
genitalia
- Untuk infants dan anak-anak, lesi akan muncul lebih luas,
seperti pada wajah, scalp, leher dan telapak.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan primary lesions dan
atau secondary lesions (Greer, 2015).
a. Primary Lesions
1. Burrows
Merupakan garis yang terbentuk akibat terowongan
pada intraepidermal yang di bentuk oleh tungau
betina. Ukurannya sekitar 2-10 mm. Pada anak anak
burrows terletak di telapak kaki.
2. 1-3mm papul erimatosa dan vesikel. Biasanya vesikel berisi cairan bening.
19
Gambar 4. Terowongan pada Telapak Kaki Anak-Anak (Greer,
2015)
Gambar 3. Terowongan pada Penderita Scabies
(Greer, 2015)
Gambar 5. Papul Erimatosa dan Vesikel (Greer, 2015)
3. Nodular scabies
Gambar 6. Nodular Scabies (Greer, 2015)
4. Krusta scabies
Gambar 7. Krusta Scabies (Greer, 2015)
b. Secondary Lesions
Pada secondary lesions dapat ditemukan :
1. Excoriations
2. Widespread eczema
3. Honey-colored crusting
4. Postinflammatory hyperpigmentation
5. Erythroderma
6. Prurigo nodules
7. Frank pyoderma
3. Pemeriksaan Penunjang
20
Ditemukannya Sarcoptes scabiei pada pemeriksaan
histopatologi. Cara menemukan tungau (Djuanda, 2003):
- Carilah mula-mula terowongan, kemudian pada ujung
yang terlihat papul atau vesikel dicongkel dengan jarum
dan diletakkan di atas sebuah kaca obyek, lalu ditutup
dengan kaca penutup dan dilihat dengan mikroskop
cahaya.
- Dengan cara menyikat dengan sikat dan ditampung di ats
selembar kertas putih dan dilihat dengan kaca pembesar.
- Dengan membuat biopsi irisan. Caranya : lesi dijepit
dengan 2 jari kemudian dibuat irisan tipis dengan pisau
dan diperiksa dengan mikroskop cahaya.
- Dengan biopsi eksisional dan diperiksa dengan pewarnaan
H.E.
1.2 Dermatitis Kontak Alergi
a. Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis yang timbul
setelah kontak dengan alergen melalui suatu proses sensitisasi
(Siregar, 2004)
b. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergi adalah alergen, berupa bahan
kimia dengan berat molekul 500-1000 Da yang di sebut dengan
bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul di pengaruhi oleh:
1. Potensi sensitisasi
2. Derajat pajanan
3. Luasnya penetrasi kulit.
c. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor berpengaruh dalam dermatitis kontak alergi:
1. Faktor Eksternal
a. Potensi sensitisasi alergen
21
b. Dosis per unit area
c. Luas daerah yang terkena
d. Lama pajanan
e. Oklusi
f. Suhu dan kelembaban lingkungan
g. PH
2. Faktor internal
a. Keadaan kulit pada lokasi kontak
b. Status imunologik
c. Genetik
d. Status higiene dan status gizi
d. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak
alergi adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel
(cell-mediated immune respons) atau reaksi tipe IV. Reaksi
hipersensititas di kullit timbulnya lambat (delayed
hipersensivitas), umumnya dlam waktu 24 jam setelah terpajan
dengan alergen.
Sebelum seseorang pertama kali menderita dermatitis
kontak alergik, terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik
reaktivitas pada kulitnya. Perubahan ini terjadi karena adanya
kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten yang
terikat dengan protein, membentuk antigen lengkap. Antigen ini
ditangkap dan diproses oleh makrofag dan sel langerhans,
selanjutnya dipresentasekan oleh sel T. Setelah kontak dengan
ntigten yang telh diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah
bening regional untuk berdiferensisi dan berploriferasi
memebneetuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan
sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke
seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga menyebabkab
keadaan sensivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase saat
kontak pertama sampai kulit menjdi sensitif disebut fase induksi
22
tau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3
minggu. Pada umumnya reaksi sensitisasi ini dipengaruhi oleh
derajat kepekaan individu, sifat sensitisasi alergen (sensitizer),
jumlah alergen, dan konsentrasi. Sensitizer kuat mempunyai fase
yang lebih pendek, sebaliknya sensitizer lemah seperti bahan-
bahan yang dijumpai pada kehidupan sehari-hari pada umumnya
kelainan kulit pertama muncul setelah lama kontak dengan bahan
tersebut, bisa bulanan atau tahunan. Sedangkan periode saat
terjadinya pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa
sampai timbulnya gejala klinis disebut fase elisitasi umumnya
berlangsung antara 24-48 jam (Djuanda, 2004)
e. Penegakan Diagnosis
- Hasil anamnesis
- Pemeriksaan fisik
- Pertanyaan mengenao kontaktan yang di curigai berdasarkan
pada kelainan kulit berukuran sedang atau besar sekitar
umbilicus, beberapa ada yang hiperpigmentasi, likenifikasi
dengan papul dan erosi, tanya apakah pasien pakai kancing
celaka yang terbuat dari logam nikel.
Data dari anamnesis berdarkan dari riwayat pekerjaan, hobby,
obat topikal yang pernah digunakan, kosmetika dll.
Pemeriksaan fisis yang penting karena berdasarkan lokasi
kita dapat menentikan akibatnya, misalnya di ketiak karena
deodoran, di tangan karena jam tangan, di kaki karena sepatu,
dll.
f. Diagnosis Banding
- Dermatitis atopik
- Dermatitis numularis
- Dermatitis seboroik
g. Penatalaksanaan
- Pencegahan pajanan ulang dengan penyebab
23
- Kortikosteroid diberikan dalam jangka pendek, ex:
prednisolon 30mg/hr
- Untuk topikal cukup dikompres dengan larutan garam faal
atau larutan asam salisilat 1:1000 atau pemberian
kortikosteroid atau makrolaktam (pimecrolimus/ tacrolimus)
secara topikal.
h. Prognosis
Umumnya prognosis DKA baik sejauh dapat menghindari
bahan penyebab. Prognosis kurang baik dan menjadi kronik
apabila terjadi bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen
(Dermatitis atopik, dermatitis numularis) atau sulit menghindari
agen penyebab, misal berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau
yang terdapat di lingkungan pasien.
i. Komplikasi
Durasi dari DKA pada tiap individu beda-beda, kebanyakan
membaik dalam jangka waktu satu sampai dua minggu. DKA
berlanjut menjadi lebih buruk apabila alergen terus mengalami
kontak dengan kulit. Pada fase akut dapat terjadi perburukan
berupa timbulnya eritema papul, vesikel, erosi, krusta, serta
skuama. Pada fase kronik dapat berakibat pada timbulnya kulit
yang menebal, fisura, skuama, dan krusta. Psoriasis, exfoliatif
dermatitis, pioderma. (Minulwih, 2015)
1.3 Prurigo
Prurigo adalah erupsi papular kronik dan rekurens. Prurigo dibagi
menjadi 2 yaitu:
1. Prurigo simpleks
Tempat yang sering terkena ialah badan dan bagian ekstensor
ekstremitas. Muka dan bagian kepala yang berambut juga dapat
terkena (Djuanda, 2011).
24
2. Dermatosis pruriginosa
a. Strofulus
Penyakit ini dikenal sebagai urtikaria papular, liken
urtikatus dan strofulus pruriginosis. Sering dijumpai pada bayi
dan anak-anak. Papul-papul kecil yang gatal tersebar di lengan
dan tungkai terutama bagian ekstensor. Lesi mula-mula berupa
urticated papules yang kecil, akibat garukan menjadi ekskoriasi
dan mengalami infeksi sekunder. Lesi muncul kembali pada
malam hari dan dapat bertahan hingga 12 hari. Biasanya tidak
disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening (Djuanda,
2011).
Penyebab dari penyakit ini adalah gigitan fleas (kutu
berkaki 6 dapat melompat), gnats (sejenis nyamuk kecil hitam),
dan tersering adalah kepinding. Manifestasi klinis dari penyakit
ini adalah gatal, terdapat papul-papul kecil, terdapat sebukan
infiltrat perivaskuler yang superfisial dan dalam yang terdiri
dari limfosit, histiosit dan eosinofil. Pengobatannya dengan
memberantas serangga dengan insektisida pada lemari, sela-sela
rumah, permadani dan perkakas rumah 2 kali seminggu. Secara
topikal dapat diberikan losio antipruritus. Krim kortikosteroid
juga dapat diberikan. Dan antihistamin per oral untuk
mengurangi gatalnya (Djuanda, 2011).
b. Prurigo kronik multiformia
Kelainan kulit berupa papul prurigo disertai likenfikasi dan
eksematisasi. Biasanya mengalami pembesaran kelenjar getah
bening (limfadenitis dermatopatik) dan eosinofilia. Pengobatan
berupa simptomatik (Djuanda, 2011).
c. Prurigo hebra
1. Definisi
Penyakit kulit kronik dimulai sejak bayi dan anak
(Djuanda, 2011).
25
2. Epidemiologi
Sering terdapat pada keadaan sosial ekonomi dan
higiene yang rendah dan lebih sering terjadi pada
perempuan (Djuanda, 2011).
3. Etiologi dan pathogenesis
Penyebab pasti belum diketahui tetapi biasanya teradi
akibat gigitan serangga. Kulit penderita peka terhadap
gigitan serangga dan antigen atau toksin pada serangga
menyebabkan alergi. Selain itu terdapat beberapa faktor
yang berperan antara lain suhu, investasi parasit
(Ascaris atau Oxyruris), infeksi lokal (tonsil atau
saluran cerna) (Djuanda, 201).
4. Gejala klinis
- Sering pada anak umur diatas satu tahun.
- Papul miliar tidak berwarna, berbentuk kubah,
mudah diraba.
- Garukan yang terus menerus menimbulkan erosi,
ekskoriasi, krusta, hiperpigmentasi dan likenifikasi.
- Sering terjadi infeksi sekunder.
- Jika sudah kronik tampak kulit yang sakit lebih gelap
kecoklatan dan likenifikasi.
- Bagian yang terkena adalah ekstremitas bagian
ekstensor dan simetrik, meluas ke bokong dan perut.
- Pembesaran kelenjar getah bening dengan perabaan
lunak namun tidak nyeri dan tidak supurasi.
- Pemurung atau pemarah akibat kurang tidur.
- Anemia dan malnutrisi akibat tidak nafsu makan.
- Gambaran histopatologi ditemukan akantosis,
hiperkeratosis, edema pada bagian epidermis bagian
bawah dan dermis bagian atas. Pada papul yang
masih baru terdapat pelebaran pembuluh darah,
infiltrasi ringan sel radang (Djuanda, 2011).
26
5. Pengobatan
- Mengindari gigitan nyamuk dan serangga.
- Memperbaiki higiene perseorangan maupun
lingkungan.
- Pengobatan topikal sulfur 5-10% dalam bentuk
bedak atau salep.
- Mentol 0,25-1% untuk mengurangi gatalnya
(Djuanda, 2011).
6. Prognosis
Sembuh spontan pada usia akil balik (Djuanda, 2011).
d. Prurigo nodularis
1. Definisi
Penyakit kronik pada orang dewasa (Djuanda, 2011).
2. Gejala klinis
- Sering mengenai wanita.
- Lesi berupa nodus dapat tunggal atau multiple.
- Mengenai ekstremitas (anterior paha dan tungkai
bawah).
- Lesi sebesar kacang polong.
- Gambaran histopatologi terdapat penebalan
epidermis sehingga tampak hiperkeratosis,
hipergranulosis, akantosis. Penebalan stratum
papilaris dermis. Sebukan sel radang (limfosit dan
histiosit) disekitar pembuluh darah yang melebar
didermis bagian atas (Djuanda, 2011).
3. Pengobatan
- Triamsinolon asetonid 2,5-12,5 mg/ml dosis 0,5-1
ml/cm2 .
- Talidomid 2X100 mg/hari dan dilanjutkan sampai 3
bulan (Djuanda, 2011)
27
4. Prognosis
Bersifat kronis dan setelah sembuh dengan pengobatan
biasanya residif (Djuanda, 2011).
1.4 Cutaneus Larva Mirgran
a. Definisi
Cutaneous larva migrans (CLM) merupakan kelainan kulit
yang merupakan peradangan yang berbentuk linear atau berkelok-
kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi cacing
tambang yang berasal dari kucing dan anjing, yaitu Ancylostoma
braziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma ceylanicum
(Aisah, 2010)
b. Epidemiologi
- Distribusi Geografik di Jakarta : kucing = 72% A.braziliense
anjing = 18% A.braziliense,68% A.caninum
- Sering daerah iklim hangat dan lembab (Sub tropis & Tropis)
- Larvanya banyak ditemukan di pantai berpasir
- Di berbagai daerah di Indonesia, prevalensi infeksi cacing
tambang berkisar 30-50%
- Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan
- Tingginya prevalensi juga dipengaruhi oleh jenis pekerjaan.
Sebagai contoh kelompok karyawan yang mengolah tanah di
perkebunan teh, karet akan terus menerus terpapar sumber
kontaminasi
c. Etiologi
Penyebab utama adalah larva yang berasal dari cacing
tambang yang hidup di usus anjing atau kucing, yaitu
Ancylostoma caninum dan Ancylostoma braziliense serta
Ancylostoma caninum yang dapat ditemukan di daerah tropis
dan subtropics juga ditemukan di Indonesia.
28
d. Morfologi
Ancylostoma caninum mempunyai tiga pasang. Panjang
cacing jantan dewasa Ancylostoma caninum berukuran 11-13
mm dengan bursa kopulatriks dan cacing betina dewasa
berukuran 14-21 mm. Cacing betina meletakkan rata-rata 16.000
telur setiap harinya. Morfologi Ancylostoma braziliense mirip
dengan Ancylostoma caninum, tetapi kapsul bukalnya
memanjang dan berisi dua pasang gigi sentral. Gigi sebelah
lateral lebih besar, sedangkan gigi sebelah medial sangat kecil.
Selain itu, pada Ancylostoma braziliense juga terdapat sepasang
gigi segitiga di dasar bukal kapsul. Cacing betina berukuran 6-9
mm dan cacing jantan berukuran 5-8 mm. Cacing betina dapat
mengeluarkan telur 4.000 butir setiap. Morfologi Ancylostoma
ceylanicum juga hampir sama dengan A. braziliense dan A.
caninum, hanya saja pada rongga mulut A. ceylanicum terdapat
terdapat dua pasang gigi yang tidak sama besarnya
Gambar 8. Bagian kepala Ancylostoma caninum
(Natadisastra, 2005)
29
Gambar 9. Larva filariform (larva stadium tiga) cacing
tambang (Natadisastra, 2005)
e. Siklus Hidup
Telur keluar bersama tinja pada kondisi yang
menguntungkan (lembab, hangat, dan tempat yang teduh).
Setelah itu, larva menetas dalam 1-2 hari. Larva rabditiform
tumbuh di tinja dan/atau tanah, dan menjadi larva filariform
(larva stadium tiga) yang infektif setelah 5 sampai 10 hari.
Larva infektif ini dapat bertahan selama 3 sampai 4 minggu di
kondisi lingkungan yang sesuai. Pada kontak dengan pejamu
hewan (anjing dan kucing), larva menembus kulit dan dibawa
melalui pembuluh darah menuju jantung dan paru-paru. Larva
kemudian 10 menembus alveoli, naik ke bronkiolus menuju ke
faring dan tertelan. Larva mencapai usus kecil, kemudian tinggal
dan tumbuh menjadi dewasa. Cacing dewasa hidup dalam lumen
usus kecil dan menempel di dinding usus. Beberapa larva
ditemukan di jaringan dan menjadi sumber infeksi bagi anak
anjing melalui trans mammary atau transplasenta. Manusia juga
dapat terinfeksi dengan cara larva filariform menembus kulit.
Pada sebagian besar spesies, larva tidak dapat berkembang lebih
lanjut di tubuh manusia dan bermigrasi tanpa tujuan di
epidermis. Beberapa larva dapat bertahan pada jaringan yang
lebih dalam setelah bermigrasi di kulit.
30
Gambar 10. Siklus Hidup Cacing Tambang
(Natadisastra, 2005)
f. Faktor Resiko
1. Faktor perilaku
Adapun faktor perilaku yang mempengaruhi kejadian CLM
antara lain:
a. Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki Adanya bagian
tubuh yang berkontak langsung dengan tanah yang
terkontaminasi akan mengakibatkan larva dapat
melakukan penetrasi ke kulit sehingga menyebabkan
CLM
b. Pengobatan teratur terhadap anjing dan kucing
Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang
yang berasal dari anjing dan kucing. Perawatan rutin
anjing dan kucing, termasuk de-worming secara teratur
dapat mengurangi pencemaran lingkungan oleh telur
dan larva cacing tambang
c. Berlibur ke daerah tropis atau pesisir pantai Kondisi
biogeografis yang hangat dan lembab menyebabkan
31
banyak terdapat larva penyebab penyakit ini di daerah
tropis. Selain itu, kebiasaan wisatawan untuk berjalan
di pesisir pantai tanpa menggunakan sandal dan
berjemur di pasir tanpa menggunakan alas
menyebabkan banyaknya laporan kejadian CLM dari
wisatawan yang baru berlibur ke pantai. Sebuah
penelitian pada wisatawan international yang baru
meninggalkan Brazil bagian Timur Laut di bandara
menunjukkan bahwa semua wisatawan yang menderita
CLM telah mengunjungi pantai selama liburannya.
4. Faktor lingkungan
Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian
CLM antara lain:
a. Keberadaan anjing dan kucing Anjing dan kucing
merupakan hospes definitif dari cacing Ancylostoma
braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma
caninum. Tinja anjing dan kucing yang terinfeksi dapat
mengandung telur cacing Ancylostoma braziliense,
Ancylostoma ceylanicum dan Ancylostoma caninum.
Telur tersebut dapat berkembang menjadi stadium larva
yang infektif (filariform) pada tanah dan pasir yang
terkontaminasi. Larva filariform dari cacing tersebut
apabila kontak dengan kulit manusia, dapat menembus
kulit dan menyebabkan CLM
b. Cuaca atau iklim lingkungan Ada variasi musiman
yang berbeda pada kejadian CLM, dengan puncak
kejadian selama musim hujan. Telur dan larva bertahan
lebih lama di tanah yang basah dibandingkan di tanah
yang kering dan dapat tersebar secara luas oleh hujan
yang deras. Selain itu, iklim yang lembab juga
mengakibatkan peningkatan infeksi cacing tambang di
anjing dan kucing sehingga pada akhirnya
32
meningkatkan jumlah tinja yang terkontaminasi dan
risiko infeksi pada manusia
c. Tinggal di daerah dengan keadaan pasir atau tanah yang
lembab Telur Ancylostoma braziliense, Ancylostoma
ceylanicum, dan Ancylostoma caninum dikeluarkan
bersama tinja anjing dan kucing. Pada keadaan
lingkungan yang lembab dan hangat, telur akan
menetas menjadi larva rabditiform dan kemudian
menjadi larva filariform yang infektif. Larva filariform
inilah yang akan melakukan penetrasi ke kulit dan
menyebabkan CLM
5. Faktor demografis
Adapun faktor demografis yang mempengaruhi kejadian
CLM antara lain:
a. Usia CLM paling sering terkena pada anak berusia ≤4
tahun. Hal ini disebabkan karena anak pada usia
tersebut masih jarang menggunakan alas kaki saat
keluar rumah. Pada penelitian tersebut juga didapatkan
bahwa usia merupakan faktor demografis yang
hubungannya paling signifikan dengan kejadian CLM
(p<0,0001)
b. Pekerjaan Larva infektif penyebab CLM terdapat pada
tanah atau pasir yang lembab. Orang yang pekerjaannya
sering kontak dengan tanah atau pasir tersebut dapat
meningkatkan risiko terinfeksi larva CLM. Pekerjaan
yang memiliki risiko teinfeksi larva penyebab CLM
diantaranya petani, nelayan, tukang kebun, pemburu,
penambang pasir dan pekerjaan lain yang sering kontak
dengan tanah atau pasir
c. Tingkat pendidikan Suatu penelitian tentang prevalensi
dan faktor risiko CLM di Brazil menunjukkan, dari
1114 penduduk pedesaan, didapati 23 dari 354 (6,5%)
33
penduduk dengan tingkat pendidikan rendah menderita
CLM, sedangkan pada penduduk dengan tingkat
pendidikan tinggi, didapati 34 dari 760 (4,5%) orang
menderita CLM
g. Gejala Klinis
Pada saat larva masuk ke kulit biasanya disertai rasa gatal
dan panas di tempat larva melakukan penetrasi. Rasa gatal yang
timbul terutama terasa pada malam hari, jika digaruk dapat
menimbulkan infeksi sekunder (Natadisastra, 2005).
Mula-mula akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk
yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok,
menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan.
Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa
larva tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau
hari. Perkembangan selanjutnya, papul merah ini menjalar
seperti benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa,
menimbul, dan membentuk terowongan (burrow), mencapai
panjang beberapa sentimeter (Aisah, 2008).
Pada stadium yang lebih lanjut, lesi-lesi ini akan lebih sulit
untuk diidentifikasi, hanya ditandai dengan rasa gatal dan nodul-
nodul. Lesi tidak hanya berada di tempat penetrasi. Hal ini
disebabkan larva dapat bergerak secara bebas sepanjang waktu.
Umumnya, lesi berpindah ataupun bertambah beberapa
milimeter perhari dengan lebar sekitar 3 milimeter. Pada CLM,
dapat dijumpai lesi tunggal atau lesi multipel, tergantung pada
tingkat keparahan infeksi.
Pada infeksi percobaan dengan 50 larva, didapati gejala
mulai muncul beberapa menit setelah tusukan, diikuti dengan
munculnya papul-papul setelah 10 menit. Beberapa jam
kemudian, bercak awal mulai digantikan oleh papul kemerahan.
Papul-papul kemudian bergabung membentuk erupsi
eritematopapular, yang kemudian akan menjadi vesikel yang
34
sangat gatal setelah 24 jam. Lesi berbentuk linear atau berkelok-
kelok mulai muncul 5 hari setelah infeksi. CLM biasanya
ditemukan pada bagian tubuh yang berkontak langsung dengan
tanah atau pasir. Tempat predileksi antara lain di tungkai,
plantar, tangan, anus, bokong, dan paha (Aisah, 2008). Pada
kondisi sistemik, gejala yang muncul antara lain eosinofilia
perifer (sindroma Loeffler), infiltrat pulmonar migratori, dan
peningkatan kadar imunoglobulin E, namun kondisi ini jarang
ditemui.
Gambar 11. Gambaran Klinis CLM
2. Diagnosis Utama
No Penyakit Gejala dan Tanda Predileksi Faktor
predisposisi
1. Skabies Gatal malam hari,
papul dan vesikel
miliar sampai
lentikular,
ekskoriasi, kusta,
terowongan dengan
panjang 1-10 mm
Sela-sela jari
tangan dan
kaki,
pergelangan
tangan, ketiak,
sekitar pusat,
paha bagian
Kurang
kebersihan, di
daerah padat
penduduk dan
menyerang
semua
anggota.
35
dan berjumlah
banyak.
dalam,
genitalia pria,
dan bokong.
Menemukan
Sarcoptes
scabiei pada
pemeriksaan
mikroskopis.
2. Dermatitis
Kontak
Alergi
Gatal, eritema
numular hingga
plakat, papul, vesikel
berkelompok.
Semua bagian
tubuh
Zat alergen
3. Prurigo Gatal, nodul
lentikuler dikelilingi
daerah
hiperpigmentasi.
Ekstremitas
bagian
ekstensor
Idiopatik,
dicurigai
karena
pengaruh
sinar
matahari,
gigitan
serangga,
udara dingin,
dan penyakit
infeksi kronik
4. Cutaneus
Larva
Migrans
Gatal malam hari,
papul, vesikel,
terowongan linear
atau berkelok-kelok
panjang.
Punggung
tangan, kaki,
anus, bokong,
paha, dan
telapak kaki.
Disebabkan
oleh cacing
tambang dan
mudah
menulari
orang-orang
yang sering
berkontak
langsung
dengan tanah.
Tabel.1 Diagnosis Banding Skenario
36
Berdasarkan tabel diatas, jika dilihat dari gejala, lokasi, dan factor
predisposisi yang ada, diagnosis utama yang sesuai dengan kasus di
scenario adalah Scabies.
3. Tatalaksana, Komplikasi dan Prognosis kasus pada skenario
3.1 Tatalaksana
a. Penatalaksanaan secara umum
Edukasi pada pasien skabies:
1. Mandi dengan air hangat dan keringkan badan.
2. Pengobatan meliputi seluruh bagian dari kulit tanpa terkecuali
baik yang yang terkena oleh skabies ataupun bagian kulit yang
tidak terkena.
3. Pengobatan yang diberikan dioleskan di kulit dan sebaiknya
dilakukan pada malam hari sebelum tidur.
4. Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan.
5. Ganti pakaian, handuk, sprei, yang digunakan, selalu cuci dengan
teratur dan bila perlu direndam dengan air panas
6. Jangan ulangi penggunaan skabisid yang berlebihan dalam
seminggu walaupun rasa gatal yang mungkin masih timbul
selama beberapa hari.
7. Setiap orang di yang tinggal dalam satu rumah sebaiknya
mendapatkan penanganan di waktu yang sama.
8. Melapor ke dokter anda setelah satu minggu
b. Penatalaksanaan secara khusus
Ada banyak cara pengobatan secara khusus pada pengobatan skabies
dapat berupa topikal maupun oral antara lain :
1. Permethrin
Permethrin merupakan sintesa dari pyrethtoid, sifat
skabisidnya sangat baik. obat ini merupakan pilihan pertama
dalam pengobatan skabies karena efek toksisitasnya terhadap
mamalia sangat rendah dan kecenderungan keracunan akibat salah
37
dalam penggunaannya sangat kecil. Hal ini disebabkan karena
hanya sedikit yang terabsorbsi dan cepat dimetabolisme di kulit
dan deksresikan di urin. Tersedia dalam bentuk krim 5 % dosis
tunggal digunakan selama 8-12 jam, digunakan malam hari sekali
dalam 1 minggu selama 2 minggu, apabila belum sembuh bisa
dilanjutkan dengan pemberian kedua setelah 1 minggu.
Permethrin tidak dapat diberikan pada bayi yang kurang
dari 2 bulan, wanita hamil, dan ibu menyusui. Efek samping
jarang ditemukan berupa rasa terbakar, perih, dan gatal. Beberapa
studi menunjukkan tingkat keberhasilan permetrin lebih tinggi
dari lindane dan crotamiton. Kelemahannya merupakan obat
topikal yang mahal.
2. Presipitat Sulfur 2-10%
Presipitat sulfur adalah antiskabietik tertua yang telah lama
digunakan, sejak 25 M. Preparat sulfur yang tersedia dalam
bentuk salep (2% -10%) dan umumnya salep konsentrasi 6%
lebih disukai. Cara aplikasi salep sangat sederhana, yakni
mengoleskan salep setelah mandi ke seluruh kulit tubuh selama
24 jam tiga hari berturut-turut. Keuntungan penggunaan obat ini
adalah harganya yang murah dan mungkin merupakan satu-
satunya pilihan di negara yang membutuhkan terapi massal.
Bila kontak dengan jaringan hidup, preparat ini akan
membentuk hidrogen sulfida dan pentathionic acid (CH2S5O6)
yang bersifat germisid dan fungisid. Secara umum sulfur bersifat
aman bila digunakan oleh anak-anak, wanita hamil dan menyusui
serta efektif dalam konsentrasi 2,5% pada bayi. Kerugian
pemakaian obat ini adalah bau tidak enak, mewarnai pakaian dan
kadang-kadang menimbulkan iritasi.
3. Benzyl benzoate
Benzyl benzoate adalah ester asam benzoat dan alkohol
benzil yang merupakan bahan sintesis balsam peru. Benzyl
benzoate bersifat neurotoksik pada tungau skabies. Digunakan
38
sebagai 25% emulsi dengan periode kontak 24 jam dan pada usia
dewasa muda atau anak-anak, dosis dapat dikurangi menjadi
12,5%. Benzyl benzoate sangat efektif bila digunakan dengan
baik dan teratur dan secara kosmetik bisa diterima. Efek samping
dari benzyl benzoate dapat menyebabkan dermatitis iritan pada
wajah dan skrotum, karena itu penderita harus diingatkan untuk
tidak menggunakan secara berlebihan. Penggunaan berulang
dapat menyebabkan dermatitis alergi. Terapi ini
dikontraindikasikan pada wanita hamil dan menyusui, bayi, dan
anak-anak kurang dari 2 tahun. Tapi benzyl benzoate lebih efektif
dalam pengelolaan resistant crusted scabies. Di negara-negara
berkembang dimana sumber daya yang terbatas, benzyl benzoate
digunakan dalam pengelolaan skabies sebagai alternatif yang
lebih murah.
4. Lindane (Gamma benzene heksaklorida)
Lindane juga dikenal sebagai hexaklorida gamma benzena,
adalah sebuah insektisida yang bekerja pada sistem saraf pusat
tungau. Lindane diserap masuk ke mukosa paru-paru, mukosa
usus, dan selaput lendir kemudian keseluruh bagian tubuh tungau
dengan konsentrasi tinggi pada jaringan yang kaya lipid dan kulit
yang menyebabkan eksitasi, konvulsi, dan kematian tungau,
lindane dimetabolisme dan diekskresikan melalui urin dan feses.
Lindane tersedia dalam bentuk krim, losion, gel, tidak
berbau dan tidak berwarna. Pemakaian secara tunggal dengan
mengoleskan ke seluruh tubuh dari leher ke bawah selama 12-24
jam dalam bentuk 1% krim atau losion. Setelah pemakaian dicuci
bersih dan dapat diaplikasikan lagi setelah 1 minggu. Hal ini
untuk memusnahkan larva-larva yang menetas dan tidak musnah
oleh pengobatan sebelumnya. Beberapa penelitian menunjukkan
penggunaan lindane selama 6 jam sudah efektif. Dianjurkan untuk
tidak mengulangi pengobatan dalam 7 hari, serta tidak
menggunakan konsentrasi lain selain 1%.
39
Efek samping lindane antara lain menyebabkan toksisitas
sistem saraf pusat, kejang, dan bahkan kematian pada anak atau
bayi walaupun jarang terjadi. Tanda-tanda klinis toksisitas SSP
setelah keracunan lindane yaitu sakit kepala, mual, pusing,
muntah, gelisah, tremor, disorientasi, kelemahan, berkedut dari
kelopak mata, kejang, kegagalan pernapasan, koma, dan
kematian. Beberapa bukti menunjukkan lindane dapat
mempengaruhi perjalanan fisiologis kelainan darah seperti anemia
aplastik, trombositopenia, dan pansitopenia.
5. Crotamiton krim (Crotonyl-N-Ethyl-O-Toluidine)
Crotamion (crotonyl-N-etil-o-toluidin) digunakan sebagai
krim 10% atau losion. Tingkat keberhasilan bervariasi antara 50%
dan 70%. Hasil terbaik telah diperoleh bila diaplikasikan dua kali
sehari selama lima hari berturut-turut setelah mandi dan
mengganti pakaian dari leher ke bawah selama 2 malam,
kemudian dicuci setelah aplikasi kedua. Efek samping yang
ditimbulkan berupa iritasi bila digunakan jangka panjang.
Beberapa ahli beranggapan bahwa krim ini tidak
direkomendasikan terhadap skabies karena kurangnya efikasi dan
data penunjang tentang tingkat keracunan terhadap obat tersebut.
Crotamiton 10% dalam krim atau losion, tidak mempunyai efek
sistemik dan aman digunakan pada wanita hamil, bayi dan anak
kecil.
6. Ivermectin
Ivermectin adalah bahan semisintetik yang dihasilkan oleh
Streptomyces avermitilis, anti parasit yang strukturnya mirip
antibiotik makrolid, namun tidak mempunyai aktifitas sebagai
antibiotik, diketahui aktif melawan ekto dan endo parasit.
Digunakan secara meluas pada pengobatan hewan, pada mamalia,
pada manusia digunakan untuk pengobatan penyakit filaria
terutama oncocerciasis. Diberikan secara oral, dosis tunggal, 200
ug/kgBB dan dilaporkan efektif untuk skabies. Digunakan pada
40
umur lebih dari 5 tahun. Juga dilaporkan secara khusus tentang
formulasi ivermectin topikal efektif untuk mengobati skabies.
Efek samping yang sering adalah kontak dermatitis dan
toxicepidermal necrolysis.
7. Monosulfiran
Tersedia dalam bentuk lotion 25% sebelum digunakan
harus ditambahkan 2-3 bagian air dan digunakan setiap hari
selama 2-3 hari.
8. Malathion
Malathion 0,5% adalah dengan dasar air digunakan selama
24 jam, pemberian berikutnya beberapa hari kemudian.(10) Namun
saat ini tidak lagi direkomendasikan karena berpotensi
memberikan efek samping yang sangat tinggi.
c. Penatalaksanaan skabies berkrusta
Terapi skabies ini mirip dengan bentuk umum lainnya,
meskipun skabies berkrusta berespon lebih lambat dan umumnya
membutuhkan beberapa pengobatan dengan skabisid. Kulit yang
diobati meliputi kepala, wajah, kecuali sekitar mata, hidung, mulut
dan khusus dibawah kuku jari tangan dan jari kaki diikuti dengan
penggunaan sikat di bagian bawah ujung kuku. Pengobatan diawali
dengan krim permethrin dan jika dibutuhkan diikuti dengan lindane
dan sulfur. Mungkin sangat membantu bila sebelum terapi dengan
skabisid diobati dengan keratolitik.
d. Penatalaksanaan skabies nodular
Skabies nodular merupakan salah satu karakteristik skabies
yang kronik mengenai beberapa bagian tubuh seperti genitalia pria
dan aksilla. Skabies seperti ini ditangani dengan anti skabitik
disertai dengan pemberian steroid.
e. Pengobatan terhadap komplikasi
Pada infeksi bakteri sekunder dapat digunakan antibiotik
oral khususnya eritromisin.
41
f. Pengobatan simptomatik
Obat antipruritus seperti obat anti histamin mungkin
mengurangi gatal yang secara karakeristik menetap selama
beberapa minggu setelah terapi dengan anti skabies yang adekuat.
Pada bayi, aplikasi hidrokortison 1% pada lesi kulit yang sangat
aktif dan aplikasi pelumas atau emolien pada lesi yang kurang aktif
mungkin sangat membantu, dan pada orang dewasa dapat
digunakan triamsinolon 0,1% untuk mengurangi keluhan.
Tabel 2. Pengobatan Skabies
Jenis Obat Dosis Keterangan
Krim
Permethrin
5%
Dioleskan selama 8-14
jam, diulangi selama 7
hari.
Terapi lini pertama
di Amerika Serikat
dan kehamilan
kategori B.
Losion
Lindane 1%
Dioleskan selama 8 jam
setelah itu dibersihkan,
olesan kedua diberikan 1
minggu kemudian.
Tidak dapat
diberikan pada anak
umur 2 tahun
kebawah, wanita
selama masa
kehamilan dan
laktasi.
Krim
Crotamiton
10%
Dioleskan selama 2 hari
berturut-turut, lalu
diulangi dalam 5 hari.
Memiliki efek anti
pruritus tetapi
efektifitasnya tidak
sebaik topikal
lainnya.
42
Sulfur
presipitat 5-
10%
Dioleskan selama 3 hari
lalu dibersihkan.
Aman untuk anak
kurang dari 2 bulan
dan wanita dalam
masa kehamilan
dan laktasi, tetapi
tampak kotor dalam
pemakaiannya dan
data efisiensi obat
ini masih kurang.
Losion
Benzyl
Benzoat
10%
Dioleskan selama 24 jam
lalu dibersihkan
Efektif namun
dapat menyebabkan
dermatitis pada
wajah
Ivermectin
200 υg/kg
Dosis tunggal oral, bisa
diulangi selama 10-14 hari
Memiliki efektifitas
yang tinggi dan
aman. Dapat
digunakan bersama
bahan topikal
lainnya. Digunakan
pada kasus-kasus
skabies berkrusta dan
skabies resisten.
Setelah pengobatan berhasil untuk mematikan tungau, rasa
gatal dapat bertahan dan dirasakan selama 6 minggu sebagai reaksi
eksematous. Pasien dapat diobati dengan pengobatan eksema biasa
dengan emolien dan kortikosteroid topikal dengan atau tanpa
antibiotik topikal tergantung adanya infeksi sekunder
Staphylocccus aureus. Antipruritus topikal crotamiton sering
43
membantu jika kulit gatal dengan hanya sedikit reaksi peradangan.
Pasien harus disarankan bahwa erupsi dari skabies membutuhkan
waktu untuk proses penyembuhan dan sebaiknya berhati-hati
dengan penggunaan skabisid yang berlebihan. (Oaklay, 2012)
3.2 Pencegahan
Dalam upaya preventif, perlu dilakukan edukasi pada pasien tentang
penyakit skabies, perjalanan penyakit, penularan, cara eradikasi
tungau skabies, menjaga higene pribadi, dan tata cara pengolesan
obat. Rasa gatal terkadang tetap berlangsung walaupun kulit sudah
bersih. Pengobatan dilakukan pada orang serumah dan sekitar
pasien. (Oaklay, 2012)
3.3 Prognosis
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakain obat, serta
syarat pengobatan dapat menghilangkan faktor predisposisi (antara
lain hiegene), maka penyakit ini memberikan prognosis yang baik.
(Oaklay, 2012)
3.4 Komplikasi
- Infeksi sekunder oleh bakteri akibat garukan (tanda infeksi
sekunder: muncul krusta).
- Acarophobia yaitu takut terhadap infeksi yang persisten selepas
pengobatan. Ini boleh menyebabkan efek psikis yang serius pada
pasien
- Crusted Scabies, terjadi pada pasien yang immunocompromised,
di mana ratusan tungau dapat menempati kulit menyebabkan
pengerasan kulit yang parah dan hyperkeratosis. (Oaklay, 2012)
44
KESIMPULAN DAN SARAN
I. Kesimpulan
Berdasarkan skenario “Mr.Bawor’s Family” dapat disimpulkan bahwa
Mr.Bawor didiagnosis menderita penyakit Scabies. Scabies adalah kelainan
kulit yang disebabkan karena tungau Sarcoptes scabei. Gejala utamanya
adalah gatal pada malam hari, biasanya menyerang kelompok orang yang
hygenitasnya rendah. Jika dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan
gambaran terowongan dikulit, bahkan dapat ditemukan tungau didalamnya.
Penyakit ini dapat diobati dengan obat oral dan topikal. Prinsip
pengobatannya adalah mematikan tungau dan mengobati keluhan pasien.
Maka, jika penyakit ini sudah menular ke anggota keluarga yang lain semua
anggota keluarga harus ditatalaksana juga.
II. Saran
Mahasiswa dalam diskusi tersebut kurang kritis dalam menganalisa
masalah, disini mahasiswa perlu meningkatkan pemikiran kritisnya dalam
berdiskusi. Selain itu, mahasiswa juga kurang pandai dalam merangkai kata-
kata dalam membuat informasi yang didapat ataupun karena kurang
persiapan, dalam hal ini mahasiswa seharusnya lebih memaksimalkan dalam
persiapan bahan diskusi.
45
DAFTAR PUSTAKA
Aisah, Siti. 2008. Creeping Eruption. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke
5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Hal 125 –126
Chosidow, Olivier. 2006. Scabies. N Engl J Med. Vol 354.
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMcp052784, 23 September 2015
Currie, Bart J. 2010. Permethrin and Ivermectin for Scabies. N Engl J Med. Vol
362. http://www.dbenginesystem.net/public/sc_pediatria/scabbia.pdf, 23
Sept 2015
Djuanda. 2003. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FK UI
Djuanda. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FK UI
Djuanda. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FK UI
Djuanda. 2008. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FK UI
Djuanda. 2011. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FK UI
Dorland, W.A Newman. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland Ed.28 (Alih
Bahasa: AlbertusAgung Mahode). Jakarta: EGC
Greer, Kenneth E. 2015. Scabies. Medscape
Minulwih, Sri. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Natadisastra, Djaenudin. 2005. Parasitologi Kedokteran (ditinjau dari organ yang
diserang). Jakarta: EGC
Oakley A. 2012. Scabies: Diagnosis and Management. BPJ journals 19: p. 12-16.
Ramali, Ahmad. 2005. Kamus Kedokteran: Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta:
EGC.
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia; Dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC
46
Siregar RS. 2004. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC
Tanto, Chris. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Wolff K, Johnson RA. 2008. Fitspatricks: Color Atlas and Synopsis of Clinically
Dermatology. New York: McGrawHill
47