32
Bagian Farmakologi Klinik P- TREATMENT Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman DEMAM TIFOID Dipresentasikan pada tanggal: 21 Oktober 2013 Oleh: Foresta Dipo Nugraha Indah Ria Rezeki M. Pembimbing: dr. Ika Fikriah, M.Kes Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada Lab/SMF Farmakologi Klinik RSUD A. Wahab Sjahranie

P Treatment Typhoid

Embed Size (px)

DESCRIPTION

p treatment typhoid

Citation preview

Bagian Farmakologi KlinikP- TREATMENTFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman

DEMAM TIFOID

Dipresentasikan pada tanggal: 21 Oktober 2013

Oleh:

Foresta Dipo NugrahaIndah Ria Rezeki M.

Pembimbing:dr. Ika Fikriah, M.Kes

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik padaLab/SMF Farmakologi Klinik RSUD A. Wahab Sjahranie

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MULAWARMANSAMARINDA2013BAB ILATAR BELAKANG

Demam tifoid atau tifus abdominalis banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat kita, baik diperkotaan maupun pedesaan. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kualitas yang mendalam dari hygene pribadi dan sanitasi lingkungan seperti, hygene perorangan dan hygiene dan hygiene penjamah makanan yang rendah, lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum yang kurang serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk untuk hidup sehat. Seiring terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan akan menimbulkan peningkatan kasus-kasus penyakit menular, termasuk penyakit tifoid.Di Indonesia penyakit ini bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia, kasus tersangka tifooid menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6-5%.Berdasar kajian diatas, dirasakan sangat perlu suatu upaya dan pemahaman lebih dalam kegiatan pengobatan dan pencegahan penyakit demam tifoid ini.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA1. EPIDEMIOLOGISurveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Di Indonesia, rata-rata angka kesakitan meningkat setiap tahun sekitar 500/100.000 penduduk dengan angka kematian antara 0,6-5%.Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan spenyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari keseluruhan kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Surei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.

2. PATOGENESISMasuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik.Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainya.

3. GAMBARAN KLINISPenegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi, dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meterismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.

4. PEMERIKSAAN LABORATORIUMPemeriksaan RutinWalaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosonopfilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji Widal dan kultur organisme. Sampai sekarang, kultur masih menjadi standar baku dalam penegakkan diagnostik. Selain uji widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari antara lain uji TUBEX, Typhidot, dan dipstik.a. Uji WidalUji Widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S. typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibody yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspense Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laoratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka deam tifoid yaitu: Aglutinin O (dari tubuh kuman), Aglutinin H (flagela kuman), dan Aglutinin Vi (simpai kuman).Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu; pengobatan dini dengan antibiotik, gangguan pembentukan antibodi dan pemberian kortikosteroid, waktu pengambilan darah, daerah endemik atau non-endemik, riwayat vaksinasi, reaksi anamnestik yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna diagnostic untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai labratorium setempat.b. Uji TUBEXUji TUBEX merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeyeksi antibodi anti-S. typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S. typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetic latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S. typhi. Infeksi oleh S. paratyphi akan memberikan hasil negatif.Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat merangsang respons imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji Tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau.Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen, meliputi; tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas, reagen A yang mengandung partikel magnetik berwarna biru yang diselubungi dengan antigen S. typhi O9, reagen B, yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi monoclonal spesifik untuk antigen O9. Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum dicampurkan ke dalam tabung dengan satu tetes reagen A. setelah itu dua tetes reagen B ditambahkan ke dalam tabung. Hal tersebut dilakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tesebut kemudian diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan diputar selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil dillakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor.

Tabel Interpretasi Hasil Uji Tubex

SkorInterpretasi

6PositifIndikasi kuat infeksi tifoid

Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. ketika diletakkan pada daerah mengandung medan magnet, komponen magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh reagen B. sebagai akibanya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan warna biru pada larutan. Berbagai penelitian (House dkk, 2001; Olsen dkk, 2004; dan Kawano dkk, 2007) menunjukkan uji ini memiliki sensitivitas dan spesivisitas yang baik (berturut-turut 75-80% dan 75-90%). c. Uji TyphidotUji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein embran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidenetifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat 50kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa. Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6% dan efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi secara berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivassi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien.d. Uji IgM DipstickUji ini secara khusus mendekati antibodi IgM spesifik terhadap S. typhi pada specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen lippopolisakarida S. typhoid dan anti IgM, reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan sekama 2 tahun pada suhu 4-25oC di tempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip diilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip. Garis kontro harus terwarna dengan baik. House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 eneliti mengenai penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia dan melaporkan sensitivitas sebesar 65-77% dan spesivisitas sebesar 95-100%. Pemeriksaan ini mudah dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun akurasi hasil didapatkana bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbulnya gejala.e. Kultur DarahHasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal, antara lain; telah mendapatkan terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapatkan antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif volume darah yang kurang (diperlukan sekitar 5cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negative. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman, riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah dapat menjadi negatif. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.

5. PENATALAKSANAANSampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu;Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.Istirahat dan perawatan. Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk menegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, bunag air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.Diet dan terapi penunjang. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasirn. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa penneliti mennjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi degan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoidPemberian antimikroba. Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah sebagai berikut: Kloramfenikol. Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4x500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari. Penulis lain menyebutkan penurunan demam dapat terjadi rata-rata etelah hari ke-5. Pada penelitian yang dilakukan selama 2002 hingga 2008 oleh Moeharjo LH dkk didapatkan 90% kuman masih memiliki kepekaan terhadap antibiotik ini. Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadi anemia aplastik lebih rendah dibandingkan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4x500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6. Kotrimoksasol. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu. Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu. Sefalosporin generasi ke tiga. Hingga saat ini golongan sedalosporin generasi ke-3 yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100cc diberikan selama 30 menit per infuse sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari. Golongan florokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiannya: Norfloksasin 2x400 mg/hari selama 14 hari Siprofloksasin 2x500 mg/hari selama 6 hari Ofloksasin 2x400 mg/hari selama 7 hari Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hariDemam pada umumya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan norfloksasin yang merupakan florokuinolon pertama yang memiliki bioavailibilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian. Azitromisin. Tinjauan yang dilakukan oleh Eeva EW dan Bukirwa H (2008) terhadap 7 penelitian yang membandingkan penggunaan azitromisin (dosis 2x500 mg) menunjukkan bahwa penggunaan obat ini jika dibandingkan dengan fluorokuinolon, azitromisin seecara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap. Jika dibandingkan dengan seftriakson, penggunaan azitromisin dapat mengurangi angka relaps. Azitromisin mampu menghasikan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun konsentrasi dalam darrah cenderung rendah. Antibiotika akan terkonsentrasi dalam sel, sehingga antibiotik ini ideal untuk digunakan dalam pengobatan S. typhi yang merupakan kuman intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan oral maupun suntikan intravena.Kombinasi obat antimikrobaKombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella.Kortikosteroid. Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok septik dengan dosis 3x5 mg.BAB IIIPERSONAL TREATMENT

Tuan Raffi, 30 tahun, datang ke praktek umum dengan keluhan demam berkelanjutan selama 8 hari berturut-turut dengan nyeri pada epigastrik, mual, rasa pahit di lidah dan konstipasi sejak 5 hari yang lalu.Dokter memeriksa kondisi umum pada Tuan Raffi. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien terlihat sangat lemah, suhu tubuhnya 390C, denyut nadi 88x/menit, tekanan darah 110/80 mmHg, gerak nafas 18x/menit, ada lapisan pada lidah (coated tongue) dan nyeri pada epigastrik pada saat palpasi. Pasien melakukan tes laboratorium dengan hasil Hb: 12 mg/dl, WBC (White Blood Cells/sel darah putih): 4500/mm3, ESR (Erytrocyt Sedimen Rate/Kadar sedimen Eritrosit): 12 mm/jam, haematokrit 36 mg%, trombosit 210.000/mm3, Widal test Thypii O: 1/320.Diagnosis : Demam typhoida. Problem pasien Keluhan utama : Badan panas Keluhan tambahan : Nyeri pada epigastrium, mual dan konstipasib. Tujuan Terapi Menurunkan panas Menghilangkan penyebab infeksic. Pemilihan Terapi Advice : Menjaga kebersihan makanan Menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal Peningkatan kebersihan sanitasi air di lingkungan Untuk sementara dianjurkan pemberian makanan yang lunak Terapi non-farmakologis: Tirah Baring total Minum yang banyak Bila cairan sulit untuk diminumkan dapat diberikan secara IV Makan makanan yang lunak Makan makanan yang tidak merangsang, tidak mengandung serat dan bahan-bahan yang menimbulkan gas Makanan yang cukup gizi dan meningkatkan daya tahan tubuh. Terapi farmakologis: Menghilangkan penyebab penyakit Menurunkan panasPemberian antimikroba yang merupakan terapi spesifik untuk demam typhoidAntibiotik efektif untuk menangani infeksi Salmonella typhi:AntibiotikEfficacySafetySuitabilityCost

Kloramfenikol+++FK: diserap dengan cepat setelah diberikan secara oral. Kadar puncak dicapai dalam 2 jam, T1/2 3 jam untuk orang dewasa 50%, terikat dengan albumin, terdistribusi dengan baik ke berbagai jaringan termasuk otak, CSS, dan mata, terkonjugasi di hepar, 80-90% kloramfenikol dieksresikan oleh urine++Efek samping:Anemia, retikulositopenia, peningkatan serum iron binding capacity serta vakuolisasi seri eritrosit muda IO: dalam dosis terapi++KI: Hipersensitif, hamil dan laktasiSuitability:Obat telah lama digunakan untuk Tifoid, dapat diberikan PO/IV+++Rp. 300/tablet 250 mg

Amoksisilin++FK: diabsorpsi di saluran cerna dan lebih baik diabsorpsi dari ampisilin. Distribusinya secara garis besar sama dengan ampisilin++ES: reaksi alergi, gangguan GI tract, kegagalan fungsi hati, kerusakan ginjal, anemia, trombositopeni, leukopeni, agranulositosis++KI: hipersensitif terhadap penicillinPeringatan: hamil, penggunaan lama dan dosis tinggi menyebabkan superinfeksiSuitability: aman untuk penderita hamil++Rp. 1000/tablet 500 mg

Kotrimoksazol++Trimetropim cepat di distribusikan ke dalam jaringan dan kira-kira 40% terikat pada protein plasma dengan adanya sulfametoksazol.volume distribusi trimetropim hampir 9x lebih besar daripada sulfametosazol. Obat masuk ke CSS dan saliva dengan mudah. Masing-masing komponen juga di temukan dalam empedu. Kira-kira 65% sulfametoksazol terikat protein plasma. Sampai 60 % trimetropim dan 25-50% sulfametoksazol di ekskresi melalui urine dalam 24 jam setelah pemberian. 2/3 sulfonamid tidak mengalami konjugasi. Metabolit trimetropim di temukan dalam urine. Mikroba yang peka 50-90% strain S. Aureus, E.coli, Enterobacter, Salmonella, Shigella, Klebsiella, dan lain-lain. Berguna untuk infeksi GIT yang telah resisten terhadap ampicilin.

++ES: Ruam kulit, leukopenia, neutropeni, trombositopeni, sindrom steven johnson++KI: Kerusakan hati, payah ginjal berat, diskrasia darah berat, hamil, laktasi.+++Rp. 500/ tablet

Seftriakson+++FD: Flouroquinolon yang menginhibisi enzim DNA gyrase pada bakteri, mempengruhi replikasi sel bakteriFK: diabsorbsi secara IVD: ikatan prtein 20-40%, didistribusi luas termasuk CSF, M: di hepar menjadi metabolit aktif, E: melalui urine, T 4-6 jam+ES: Anafilaksis, kolitis pseudomembran, trombofeblitis, anemia multiformis++KI: Hipersensitif pada quinolon gangguan ginjal, tidak dianjurkan pada pasien anakP: Usia tua, gangguan ginjal, epilepsy, gangguan SSPSuitability: Cepat menurunkan suhu, lama pemberian pendek

+Vial: 1g Rp. 154.000

ciprofloksasin+++FD: Flouroquinolon yang menginhibisi enzim DNA gyrase pada bakteri, mempengruhi replikasi sel bakteri FK: A: diabsorbsi baik di GIT (makanan memperlambat absorbsi)D: ikatan prtein 20-40%, didistribusi luas termasuk CSF, M: di hepar menjadi metabolit aktif, E: melalui urine, T 4-6 jam+ES: Mual, diare, dyspepsia, muntah, konstipasi, flatulen, nyeri perut, sakit kepal, rash, rasa panas di mata++KI: Hipersensitif pada quinolon gangguan ginjal, ibu hamilP: Usia tua, gangguan ginjal, epilepsy, gangguan SSP, kehamilan dan laktasiSuitability : Efektif mencegah relaps dan karier, tidak dianjurkan pada ana

+Tab salut selaput 250 mg x2x10 (Rp.79.200), 500 mg x3x10 (Rp. 224.950)

Antibiotik yang dipilih yaitu Kloramfenicol 500 mg tab pemberian 4x1

Antipiretik ObatEfficacySafetySuitabilityCost

Acetaminophen+++FD: menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Menurunkan suhu tubuh secara sentral. Antiinflamasi sangat lemahFK: diabsorbsi cepat dan sempurna melalui GIT, konsentrasi tertinggi plasma dalam jam, T1/2 1-3 jam. Didistribusi ke seluruh cairan tubuh. Metabolisme oleh enzim mikrosom hati, ekskresi melalui urine++ES: kerusakan hati (dosis tinggi, penggunaan jangka panjang), hipersensitivitas+++KI: gangguan fungsi hati berat, hipersensitivitas terhadap parasetamolSP: penyakit ginjal, alkoholik meningkatkan resiko kerusakan hati+++Tab 500 mgx1000 (Rp. 49.500)Sir 120 mg/5 mlx60 ml (Rp. 2.159)

Ibupropen+++FD: Menghambat siklooksigenase scr reversible (menghambat sintesa PG), scr nonselektif pemb. PG &tromboksan A2, efek bervariasi pd sintesis lipoksigenase & produksi leukotrien, antiinflamasi, antipiretik, aktivitas analgetik, menghambat agregasi platelet.

FK: jam, puncak 1-2 jam, M: hepar metab.inaktif dlm 24 jam, E:T1/2 2-4 jamTdk dieksresi ke ASI

++ES: CNS:ansietas, bingung, depresi, dizziness, mengantuk, lemah, insomnia, tremorCV: CHF, disritmia, HT, edema perifer, takikardiGI: anoreksia, hepatitis kolestasis, konstipasi, keram, diare, mulut kering, flatulens, perdarahan GI, jaundice, mual, ulkus peptik, muntah++

KI :Px riwayat pyk sal. Cerna bag atas, ulkus peptikum, kegagalan f/I ginjal, ggl jantung, HT & keadaan lain yg berhub dgn retensi cairan & ggn koagulasi intrinsic. Jgn digunakan pd kehamilan trimester 3++

Febris : susp 100 mg/5ml x 60 ml (Rp.9.500)

Aspirin++Analgetik, antipiretik dan inflamasiJarang digunakan untuk demam ringan-sedang+Efek samping: Pada saluran cerna: iritasi lambung, muntah SSP: tinitus, penurunan pendengaran dan vertigo, penigkatan ventilasi Menurunkan laju filtrasi glomerulus Kardiovaskuler: menekan fungsi jantung, vasodilator perifer Reaksi hipersensitivitas++Kontraindikasi: Hemofilia, wanita hamil Hati-hati pada penderita asma dan polip hidung Anak dibawah usia 12 tahun Hipersensitif+++Rp.250

Antipiretik yang dipilih yaitu Acetaminophen 500 mg tab pemberian 3x1

d. Pemberian Terapia) Terapi Non Farmakologis Banyak minum air putih Kompres air hangat untuk menurunkan suhu tubuh Tirah baring sampai pasien bebas demam Konsumsi makanan bergizi Pemberian makanan yang lunakb) Terapi Farmakologi Kloramfenikol 500 mg Acetaminophen 500 mg

Penulisan Resep

dr. Yuni SharaJl. Perjuangan, No 6 SamarindaSIP 02/34886/00079/13Samarinda, 18 Oktober 2013R/ Kloramfenikol 500 mg tab. no. XXS 4 dd tab I R/ Acetaminophen 5000 mg tab No. XS 3 dd tab I (prn panas) Pro: Tn. RaffiUsia : 30 tahun

e. Komunikasi TerapiInformasi PenyakitDemam tifoid banyak ditemukan di masyarakat baik di desa maupun di kota. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang bersifat basil gram negatif. Jalur penularan dari penyakit ini ialah melalui jalur fecal-oral. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kualitas mendalam dari higiene pribadi dan lingkungan. Ketika kuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan kemudian menyebar ke semua sistem tubuh sehingga menimbulkan demam, sakit perut, diare, sembelit, muntah bahkan dapat mengalami gangguan kesadaran.Informasi tujuan terapi Pengobatan yang diberikan bertujuan untuk menghilangkan bakteri penyebab melalui antibiotik,menurunkan panas dengan obat penurun panas (antipiretik) Pemberian nasehat kepada pasien untuk mempercepat proses penyembuhan kepada pasien seperti: Istirahat total (Bed Rest) Minum yang banyak Makanan yang cukup gizi dan meningkatkan daya tahan tubuh. Makan makanan yang lunak Makan makanan yang tidak merangsang, tidak mengandung serat dan bahan-bahan yang menimbulkan gasInformasi obat dan penggunaan Antibiotik kloramfenicol diminum tiap 6 jam setiap hari sampai obat habis Acetaminophen diminum 3 kali sehari bila demamf. Monitoring dan EvaluasiEfek antibiotik dinilai, kurang lebih 3-5 hari setelah pemberianMenilai efek : Penurunan suhu Nafsu makan Dll.Setelah 2-3 hari bebas panas dapat diberikan program mobilisasi dan perubahan diet.

BAB IVKESIMPULAN DAN PENUTUP

Kesimpulan dari kasus pasien di atas antara lain:1. Pasien menderita demam tifoid 2. Pasien memulai terapi dengan terapi pemberian antibiotik dan kontrol dalam waktu 3-5 hari untuk melihat kondisi infeksi.3. Terapi antipiretik hanya diberikan bila pasien daam kondisi demam.4. Pengobatan yang diberikan kepada pasien ini adalah golongan resin yaitu kloramfenicol yang merupakan obat pilihan pertama untuk terapi demam tifoid di Indonesia.5. Setelah kondisi pasien membaik pasien harus mengubah pola hidup terutama kebersihan sanitari di sekitar lingkungan tempat tinggal pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Adam John F. 2009. Pada Aru. W, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (5 ed.). Jakarta: Interna Publishing.Howland Richard D. 2006., Pharmacology (3 ed.). Baltimore: Lippincott Williams & WilkinsKementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2006, Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. (2012/2013). Edisi 12. Jakarta: PT. Infomaster Lisensi dari CMP Medica.Suyatna F D.. 2008. Pada Mahar d. Mardjono, Farmakologi dan Terapi (5 ed.). Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

20