6
Model RelasiSosial Ekonomi Jagal, Sawi dan Peternak dalam Perdagangan Daging Sapi di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (Model of Economic Social Relationship between Slaughter, Sawi and Cattle Farmerson MeatTrading in Sumbawa District, West Nusa Tenggara) Hermansyah, Soekardono, Muhammad Yasin, Anwar Fachry, Muhammad Prasetyo Nugroho Laboratorium Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas Mataram Jl. Majapahit 62. Mataram 83125 NTB. Telpon (0370) 633603; Fax (0370) 640592 email: [email protected] Diterima: 7 Maret 2016/ Disetujui: 2 Juni2016 ABSTRACT This study aimed to analyze a model of economic social relationships between slaughter, sawi (women meal traders in a traditional market) and cattle farmers in Sumbawa, West Nusa Tenggara. Another objective was to assessthe causative factors for changing of economic social relationship between of these actors in beef trading. Data were analyzed using descriptive approaches. The results of the study show that economic-social relationships between slaughter, sawiand cattle farmers tended to weaken in the last five years. Loosening of social relations was caused by similarity and familial patterns that had been neglected. These actors were more profit-oriented than maintaining of social relationships. The other causative factors were due to the pressure of outside competitors with the increasing number and a lot of financial capability. The competitors of Sumbawa’s slaughter were not only the local actors but also slaughter and cattle traders from Lombok whose had made cattle purchase increased to remote areas in Sumbawa. Key-words: socio-economic relations, slaughter, beef. PENDAHULUAN Penentuan berapa nilai daging sapi pada level harga yang wajar di antaranya ditentukan oleh seberapa panjang mata rantai perdagangan yang tercipta dalam proses perdagangan daging sapi tersebut. Semakin pendek jalur pemasaran yang terbentang maka semakin murah harga daging sapi yang diterima konsumen dan begitu sebaliknya. Pembentukan harga daging sapi pada dasarnya ditentukan oleh seberapa banyak jumlah permin- taan dan penawaran sapi yang hendak dipotong untuk keperluan konsums iharian. Akumulasi jumlah permintaan daging itulah yang kemudian dijadikan dasar oleh pebisnis daging untuk menentukan alokasi jumlah sapi yang rata-rata dipotong per bulan. Informasi harian mengenai jumlah permintaan dan penawaran daging sapi tersebut kemudian digodok dan menjadi perhatian para pemasok daging untuk menentukan seberapa banyak jumlah, ukuran tubuh dana tau beratsapi yang hendak dipotong pada hari itu. Keputusan pemotongan biasanya dibicarakan bersama dan jarang didasar-kan atas spekulasi. Komunikasi yang terjalin antara peternak-jagal dan pedagang daging di pasar tradisional serta pada komoditas lain, saran Syahyuti (2008);harus akurat dan riel guna menghindari kerugian lebih besar. Sebab meskipun daging bias disimpan di lemari pendingin tanpa banyak mengalami degrades imutu, namun kebanyakan warga di Tanah Air lebih menghendaki dagingsegar yang baru dipotong dan sebaliknya kurang menghendaki daging beku. Dampak dari kecenderungan kurang senangnya konsumen terhadap daging beku terutama di pasarlokal di Provinsi Nusa Tenggara Barat, berujung pada relatif lebih rendahnya harga daging beku. Jika hal itu terjadi dalam volume besar dan dalam kurun waktu lama, implikasinya membuat pelaku pemasaran terganggu kelancaran arus kasnya sekaligus potensial merugi. Fenomena serupa dikemukan Hastuti, dkk., 2004 dan Sudiono, A., 2003 karena banyak terjadi dalam komoditas pertanian. Oleh karena itu, demikian Syahyuti, 2008 dan Sukmawati, 2008, peran modal sosial yang membentuk hubungan antara para pihak dalam hal ini hubungan yang terjalin antara peternak, jagal Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Indonesia Volume 2 (1): 104 - 109; Juni 2016 ISSN: 2460-6669 http://jurnal.unram.ac.id/ dan jitpi.fpt.unram,ac,id 104

Model RelasiSosial Ekonomi Jagal, Sawi dan Peternak dalam ... · bekerja aktif menjadi sawi untuk menambah ... yang menyatakan, modal sosial barulah memiliki nilai ekonomi kalau dapat

  • Upload
    dangnhi

  • View
    214

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Model RelasiSosial Ekonomi Jagal, Sawi dan Peternak dalam ... · bekerja aktif menjadi sawi untuk menambah ... yang menyatakan, modal sosial barulah memiliki nilai ekonomi kalau dapat

Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Indonesia

Hermansyah, Soekardono, Muhammad Yasin, Anwar Fachry, Muhammad Prasetyo Nugroho(Model RelasiSosial …… )

Model RelasiSosial Ekonomi Jagal, Sawi dan Peternak dalam PerdaganganDaging Sapi di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat

(Model of Economic Social Relationship between Slaughter, Sawi and CattleFarmerson MeatTrading in Sumbawa District, West Nusa Tenggara)

Hermansyah, Soekardono, Muhammad Yasin, Anwar Fachry, Muhammad Prasetyo NugrohoLaboratorium Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas Mataram

Jl. Majapahit 62. Mataram 83125 NTB. Telpon (0370) 633603; Fax (0370) 640592email: [email protected]

Diterima: 7 Maret 2016/ Disetujui: 2 Juni2016

ABSTRACT

This study aimed to analyze a model of economic social relationships between slaughter, sawi (women mealtraders in a traditional market) and cattle farmers in Sumbawa, West Nusa Tenggara. Another objective was toassessthe causative factors for changing of economic social relationship between of these actors in beeftrading. Data were analyzed using descriptive approaches. The results of the study show that economic-socialrelationships between slaughter, sawiand cattle farmers tended to weaken in the last five years. Loosening ofsocial relations was caused by similarity and familial patterns that had been neglected. These actors were moreprofit-oriented than maintaining of social relationships. The other causative factors were due to the pressure ofoutside competitors with the increasing number and a lot of financial capability. The competitors ofSumbawa’s slaughter were not only the local actors but also slaughter and cattle traders from Lombok whosehad made cattle purchase increased to remote areas in Sumbawa.Key-words: socio-economic relations, slaughter, beef.

PENDAHULUAN

Penentuan berapa nilai daging sapi pada levelharga yang wajar di antaranya ditentukan olehseberapa panjang mata rantai perdagangan yangtercipta dalam proses perdagangan daging sapitersebut. Semakin pendek jalur pemasaran yangterbentang maka semakin murah harga daging sapiyang diterima konsumen dan begitu sebaliknya.

Pembentukan harga daging sapi pada dasarnyaditentukan oleh seberapa banyak jumlah permin-taan dan penawaran sapi yang hendak dipotonguntuk keperluan konsums iharian. Akumulasijumlah permintaan daging itulah yang kemudiandijadikan dasar oleh pebisnis daging untukmenentukan alokasi jumlah sapi yang rata-ratadipotong per bulan.

Informasi harian mengenai jumlah permintaandan penawaran daging sapi tersebut kemudiandigodok dan menjadi perhatian para pemasokdaging untuk menentukan seberapa banyakjumlah, ukuran tubuh dana tau beratsapi yanghendak dipotong pada hari itu. Keputusanpemotongan biasanya dibicarakan bersama danjarang didasar-kan atas spekulasi.

Komunikasi yang terjalin antara peternak-jagaldan pedagang daging di pasar tradisional sertapada komoditas lain, saran Syahyuti (2008);harusakurat dan riel guna menghindari kerugian lebihbesar. Sebab meskipun daging bias disimpan dilemari pendingin tanpa banyak mengalamidegrades imutu, namun kebanyakan warga diTanah Air lebih menghendaki dagingsegar yangbaru dipotong dan sebaliknya kurang menghendakidaging beku.

Dampak dari kecenderungan kurang senangnyakonsumen terhadap daging beku terutama dipasarlokal di Provinsi Nusa Tenggara Barat,berujung pada relatif lebih rendahnya harga dagingbeku. Jika hal itu terjadi dalam volume besar dandalam kurun waktu lama, implikasinya membuatpelaku pemasaran terganggu kelancaran aruskasnya sekaligus potensial merugi. Fenomenaserupa dikemukan Hastuti, dkk., 2004 danSudiono, A., 2003 karena banyak terjadi dalamkomoditas pertanian.

Oleh karena itu, demikian Syahyuti, 2008 danSukmawati, 2008, peran modal sosial yangmembentuk hubungan antara para pihak dalam halini hubungan yang terjalin antara peternak, jagal

Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Indonesia Volume 2 (1): 104 - 109; Juni 2016ISSN: 2460-6669

http://jurnal.unram.ac.id/ dan jitpi.fpt.unram,ac,id104

Page 2: Model RelasiSosial Ekonomi Jagal, Sawi dan Peternak dalam ... · bekerja aktif menjadi sawi untuk menambah ... yang menyatakan, modal sosial barulah memiliki nilai ekonomi kalau dapat

Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Indonesia

Hermansyah, Soekardono, Muhammad Yasin, Anwar Fachry, Muhammad Prasetyo Nugroho(Model RelasiSosial …… )

dan sawi dalam memastikan besarnya permintaanyang dipadukan dengan ketersediaan sapi potongmerupakan proses yang sangat krusial dalampembentukan hargada ging. Secara keseluruhan,relasi social-ekonomi antara peternak, jagal dansawi menciptakan ketergantungan fungsional. Padaketiga komponen pelaku pemasaran inilah meka-nisme harga daging sesungguhnya terbentuk.

Bagaimanakah bentuk relasi sosial-ekonomipeternak, jagal dan sawi Kabupaten Sumbawa,NTB, sejauh ini belum banyak terkuakkepermukaan. Oleh karena itu penelitian mengenairelasi social ekonomi ketiga komponen pemasarandaging sapi di Kota Sumbawa ini perlu dilakukan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode survei.Penentuan responden jagal dilakukan secarapurposif berdasarkan daftar(list) yang dilansirDinas Peternakan Kabupaten Sumbawa. Jagalterpilih ditentukan atas keaktifan mereka melaku-kan kegiatan pemotongan setidaknya dua tahunterakhir. Di setiap kecamatan dipilih masing-masing tiga orang jagal sehingga terhimpunSembilan sampel jagal.

Responden peternak dipilih dengan metodesnow ball (Wibisono,2003) yakni berdasarkaninformasi dari para jagal berupa keterangantentang di mana para jagal biasanya mendapatkansapi untuk dipotong. Informasi itu kemudiandirunut ke sumber lain. Kisaran jumlah peternakyang dijadikan responden pada penelitian ini 3-5orang per wilayah.

Respondenpe dagang daging (sawi) dipilihsecara acak dengan mendatangi mereka di tempatmenggelar dagangan yakni di pasar-pasartradesional. Jumlah sawi yang dijadikan respondenberkisar antara 2-3 orang di setiap pasar. Analisisdata dilakukan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan relasi sosialekonomi petani-jagal-sawi di tiga wilayah diKabupaten Sumbawa mengalami perubahan dariwaktu ke waktu. Perubahan itu ditandai cenderungmelonggarnya ikatan sosial dan kekerabatan antarapara-pihak yang terlibat dalam rantai perdaganganternak sapi, khususnya dalam perniagaan dagingsapi. Hal sebaliknya menunjukkan kecenderungansemakain ketat dalam kaitan dengan hubungan danperilaku ekonomi. Artinya, ada kecenderunganterjadi hubungan yang saling menekan antarpelaku usaha. Rincian mengenai hasil lengkappenelitian terpotret dalam penjelasan berikut.

Potret respondenResponden penelitian ini terdiri dari 35 orang

personel yang menggeluti berbagai peran yaknisebagai jagal, sawi dan peternak yang kesemuanyaterurai seperti nampak pada Tabel 1. Jumlah jagalyang diwawancarai di Rumah Potong Hewan(RPH) Sebewe, Kecamatan Moyo Hilir hanya duaorang. Beberapa orang diindikasikan berstatussebagai jagal serabutan ataujagal “liar” yang izinoperasionalnya sudah mati. Keberadaan jagal didua kecamatan lain relatif lengkap.

Tabel 1. Responden penelitian

No Wilayah/Kecamatan Petani Jagal Sawi Total

1 Moyo utara 6 2 3 11

2 Labuhan badas 6 3 3 123 Alas 6 3 3 12

Jumlah 18 8 9 35

Relasi sosialRelasi sosial antar-pelaku usaha produksi dan

perdagangan daging di tiga kecamatan diKabupaten Sumbawa dicerminkan oleh polahubungan kekerabatan yang terjalin di antara

mereka. Secara sederhana, ada tiga model yangberkembang di lapangan dalam konteks hubungantripartit peternak-jagal-sawi beberapa dekadeterakhir. Gambar 1 menegaskan pola hubungan

105

Page 3: Model RelasiSosial Ekonomi Jagal, Sawi dan Peternak dalam ... · bekerja aktif menjadi sawi untuk menambah ... yang menyatakan, modal sosial barulah memiliki nilai ekonomi kalau dapat

Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Indonesia

Hermansyah, Soekardono, Muhammad Yasin, Anwar Fachry, Muhammad Prasetyo Nugroho(Model RelasiSosial …… )

Jagal

Petani

Sawi

Jagal

PedagangPengumpul Petani

Bakso40 %

Sawi55%

RumahTangga5%

Jagal

Ped agangAntar-pulau Petani

Bakso80 %

Sawi15%

RumahTangga5%

Peleleh

Pola 1: tahun 2000-2005Pola 2 tahun 2006-2010 Pola 3: tahun 2011-2015

Gambar 1. Pola hubungan antara petani-jagal sawi dalam perdagangan daging di Kabupaten Sumbawa.

yang terjadi pada fase awal hingga medio tahun2000-an.

Berdasarkan pola hubungan yang terbentukdalam perdagangan sapi hingga menjadi daging diketiga wilayah di Kabupaten Sumbawa nampakbahwa pada awalnya relasi yang terjalin sangatsederhana. Sapi dijual peternak ke jagal dan jagallalu menjual daging sapi yang disembelihnya kesejumlah sawi (ibu-ibu yang menjual daging dipasar tradisional). Mekanisme perdagangan padaPola 1 ini memberi peluang bagi sawi untukmembayar daging dengan cara dibon. Itu terjadikarena adanya saling ketergantungan antara jagal-sawi. Pelaku produksi dan pemasaran daginghanya tiga pemain.

Hal sama terjalin antara petani dengan jagal dimana harga sapi bisa dilunasi beberapa bulankemudian. Pada fase ini peran pedagang baksobelum begitu diperhitungkan karena umumnyamereka membeli daging pada sawi. Jumlahpedagang bakso pada fase pertama hanya beberapaorang.

Relasi sosial perdagangan daging di Sumbawamenonjol pada Pola 1 diikuti Pola 2 serta terakhirPola 3. Hubungan sosial yang dimaksudkan adalahcairnya hubungan antar-pelaku perdagangan dimana para sawi leluasa memilih sendiri dagingyang dikehendaki, membawanya ke pasar untukkemudian daging itu dilunasi beberapa hari/pekankemudian. Pada Pola 1, peluang itu muncul karenapara sawi umumnya adalah kolega dekat dan atautetangga jagal. Hubungan kekerabatan, dalamkonteks itu, masih ketat.

Semakin ke kini, terutama pada Pola 3,hubungan kekerabatan yang sebelumnya mewarnaimekanisme perdagangan daging, tidak begitunampak lagi. Itu ditandai ketatnya pembayarandaging yakni tidak diperkenakan lagi adanyapembelian dengan cara dibon. Beberapa istri jagalbekerja aktif menjadi sawi untuk menambahpendapatan keluarga.

Menarik mengaitkan fenomena tersebut denganpendapat Tonkiss (2000) yang menyatakan, modalsosial barulah memiliki nilai ekonomi kalau dapatmembantu individu atau kelompok misalnya untukmengakses sumber keuangan, mendapatkaninformasi, mendapatkan pekerjaan, merintis usahadan meminimalkan biaya transaksi. Pada dasarnyajaringan sosial sebagai bagian dari modal sosial,tidaklah cukup karena belum mampu menciptakanmodal fisik dan modal finansial yang jugadibutuhkan.

Pada perkembangan berikut (Pola 2) hubunganyang terjalin menjadi lebih kompleks; dancenderung kaku pada Pola 3. Hal itu bisadimaklumi mengingat adanya kesadaran pelakuperdagangan untuk agar berperilaku efisien. Siapayang bisa bekerja paling efisien, dialah yangpotensial memenangkan kompetisi. Pada tahapanini, bentuk “pembinaan” termasuk berupa modalkerja oleh jagal pada keluarganya yang menjadisawi, praktis tidak terjadi lagi.

Ini berarti pendapat Tonkiss (2000) bahwamodal sosial dapat tumbuh secara formal melaluipembentukan asosiasi untuk mengurangi dampakdari bisnis yang berbasis kesukuan dan

106

Page 4: Model RelasiSosial Ekonomi Jagal, Sawi dan Peternak dalam ... · bekerja aktif menjadi sawi untuk menambah ... yang menyatakan, modal sosial barulah memiliki nilai ekonomi kalau dapat

Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Indonesia

Hermansyah, Soekardono, Muhammad Yasin, Anwar Fachry, Muhammad Prasetyo Nugroho(Model RelasiSosial …… )

memfasilitasi komunikasi dan informasi yang baik,menjadi kurang relevan. Modal sosial seorangpedagang semakin meningkat sejalan dengansemakin lamanya mereka terlibat dalamperdagang-an. Dibutuhkan kepekaan yangberkembang seiring berjalannya waktu dan usahauntuk membangun hubungan dengan seseorangyang siap membantu jika ditemukan persoalanterutama terkait masalah keuangan.

Relasi ekonomiPeran pedagang bakso yang sebelumnya tidak

terlalu menonjol dalam permintaan daging sapi diSumbawa semakin ke kini, kian menguat. Berbedadengan era awal tahun 2000-an, hal yang terjadipada medio tahun 200-an adalah sekitar 40-50%daging sapi yang dihasilkan jagal diserap olehpedagang bakso. Secara perlahan, peran sawi-punterpangkas tuntutan pembayaran daging yang kianketat, suatu kondisi yang sebelumnya kurangmampu dipenuhi oleh sawi.

Pada fase kedua dan ketiga, sawi semakindibatasi ruang geraknya untuk mengebon dagingyang diproduksi jagal. Hal sama terjadi pada relasipeternak-jagal di mana peternak meminta jagalmembayar sapinya secara tunai, bukan dibonseperti terjadi sebelum itu. Pada fase kedua,terlebih pada fase ketiga, hampir semua jagalmenyatakan mulai merasakan harga daging yangdititip di para sawi semakin seret. Itulah mengapajagal kemudian membatasi banyaknya daging yangdibon karena sadar bahwa akumulasi pembayarandibon pada akhirnya berimplikasi menggangguperputaran modal secara keseluruhan .

Peran peleleh (pedagang perantara/makelar)pada Pola 2, juga semakin menonjol. Jikasebelumnya jagal membeli sapi langsung padapeternak maka pada fase ini sebagian ternak (40%)diperoleh jagal dari tangan peleleh (pedagangperantara). Kejadian ini terutama menonjol diKecamatan Alas. Sebagian besar ternak termasukkerbau yang hendak dipotong diperoleh jagal dariluar Kecamatan Alas. Sapi tersebut umumnyabersumber dari 19 kecamatan lain di bagian timurKabupaten Sumbawa.

Ada dua hal menonjol pada Pola 3. Pertama,peran pedagang bakso yang sangat dominan dalampenentuan jumlah sapi yang dipotong setiap hari.Itu merupakan konsekuensi besarnya permintaandaging oleh pedagang bakso yang mencapaisekitar 90 persen dari total daging yang diproduksidi RPH setiap hari. Pedagang bakso terkesanmendikte jagal. Pedagang bakso memerlukandaging, tulang, usus, urat, kaki dan beberapa

bagian sapi lain. Harga daging dengan demikiandibentuk oleh pedagang bakso.

Bagi jagal, peran pedagang bakso amatmenentukan terkait dengan resiko bisnis. Jika tidakada angka pasti tentang jumlah permintaan daging,maka semua jagal yang diwawancarai menyatakanenggan mengambil resiko dengan berspekulasimemotong sapi sebanyak-banyaknya tanpaberorientasi permintaan pasar. Menghindari resikodaging tidak laku, termasuk menghindari lebihbanyak daging disimpan di lemari pendingin/freezer yang harganya bisa berkurang, makajumlah permintaan daging oleh pedagang baksoselalu jadi acuan jagal. Fenomena tersebut tidakterjadi pada perdagangan sapi pada Pola I.

Hal itu selaras dengan pemikiran Sudiono, 2003yang menyatakan konsep pemasaran berorientasipada konsumen (consumer oriented) sehinggasegala aktivitas pemasaran, termasuk salurandistribusi, harus berorientasi pada konsumen danharus berjalan efisien.

Kedua, pada kasus perdagangan daging sapi diKabupaten Sumbawa jagal tidak lagi sepenuhnyabisa memonopoli pengadaan sapi untuk diolahmenjadi daging. Ia dipaksa melakukan bisnis yangefisien. Hal itu disebabkan karena bekerjanyamekanisme lain dalam sistem pemasaran sapi diSumbawa. Dalam lima-enam tahun terakhir, bukanhanya jagal yang dominan membeli sapi daripeternak, tetapi juga pedagang antar-pulau yangmelakukan hal sama dengan intensitas jauh lebihgencar. Bahkan pedagang antar-pulau sapi dariPulau Lombok juga kian sering menggarap pasarternak di Sumbawa.

Perang harga antara jagal versus pengusahaternak berlangsung secara terbuka. Implikasinyaadalah jagal tidak sepenuhnya bisa mendapatkansapi dengan harga murah, seperti terjadi pada awaltahun 2000-an (Pola 1).

Mengantisipasi kondisi tersebut, jagal dipaksakeadaan untuk memiliki buffer stock sebagai upayaberjaga-jaga dari adanya permintaan daging dalamjumlah relatif besar secara mendadak, sepertipermintaan menghadapi warga yang membutuhkandaging untuk sesuatu kegiatan hajatan keluarga.Para jagal memiliki belasan ekor sapi yangdipelihara sendiri dan atau dititipkan pada peternakdi mana sapi yang disebutkan terakhir sewaktu-waktu siap dipotong. Kondisi tersebut dinyatakansemua responden jagal yang beroperasi diBangkong, Labuhan Badas dan Moyo Utara. Olehkarena memiliki keterbatasan modal, respondenjagal di Kecamatan Alas hanya seorang yangmelakukan langkah ini.

107

Page 5: Model RelasiSosial Ekonomi Jagal, Sawi dan Peternak dalam ... · bekerja aktif menjadi sawi untuk menambah ... yang menyatakan, modal sosial barulah memiliki nilai ekonomi kalau dapat

Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Indonesia

Hermansyah, Soekardono, Muhammad Yasin, Anwar Fachry, Muhammad Prasetyo Nugroho(Model RelasiSosial …… )

Jumlah sapi yang dipotong jagal di tiga RPH diKabupaten Sumbawa tersaji pada Gambar 2. RPHMoyo Utara memotong 2-3 ekor sapi per hari,sedang RPH Kecamatan Alas menyembelih 4-6

ekor. Adapun RPH Bangkong memotong 8-12ekor per hari. Jumlah itu merupakan alokasi rata-rata

Gambar 2. Jumlah sapi yang dipotong jagal di Kabupaten Sumbawa

pemotongan sapi pada hari biasa. Namun padamomentum Bulan Puasa, Lebaran dan Tahun Barujumlah pemotongan naik hingga dua kali lipat.

Meskipun Moyo Utara merupakan kecamatanyang baru beberapa tahun terbentuk sebagai hasilpecahan dengan Kecamatan Moyo Hilir, namunjumlah pemotongan di tempat itu relatif stabil.Penyebabnya adalah karena posisi RPH yangberbatasan dengan Sumbawa Besar, ibukota kotaKabupaten Sumbawa, membuat permintaan dagingrelatif tejaga.

Adapun RPH Bangkong yang sebelumnyaadalah bagian dari Kecamatan Sumbawa danbelakangan mekar menjadi bagian dari KecamatanLabuhan Badas, merupakan RPH terbesar/induk

untuk Kabupaten Sumbawa. Fasilitas yang tersediadi RPH Bangkong kini relatif lengkap danterstandar karena perangkatnya baru selesaidibenahi tahun 2015.

Untuk lebih mempertegas bentuk relasipemasaran daging sapi di tiga kecamatan diKabupaten Sumbawa, hal itu tersajikan pada Tabel2.Data yang tersaji pada Tabel 2 menunjukkanbahwa RPH Bangkong menyembelih ternakterbanyak dibandingkan dua RPH lain di Sumbawadisebabkan karena konsentrasi terbesar pendudukKabupaten Sumbawa berada dekat dengan RPHBangkong. Selain itu RPH Bangkong jugamerupakan satu-satunya rumah potong hewanyang telah terstandarisasi di Kabupaten Sumbawa.

Pangsa dagingKab. Sumbawa

108

Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Indonesia

Hermansyah, Soekardono, Muhammad Yasin, Anwar Fachry, Muhammad Prasetyo Nugroho(Model RelasiSosial …… )

Jumlah sapi yang dipotong jagal di tiga RPH diKabupaten Sumbawa tersaji pada Gambar 2. RPHMoyo Utara memotong 2-3 ekor sapi per hari,sedang RPH Kecamatan Alas menyembelih 4-6

ekor. Adapun RPH Bangkong memotong 8-12ekor per hari. Jumlah itu merupakan alokasi rata-rata

Gambar 2. Jumlah sapi yang dipotong jagal di Kabupaten Sumbawa

pemotongan sapi pada hari biasa. Namun padamomentum Bulan Puasa, Lebaran dan Tahun Barujumlah pemotongan naik hingga dua kali lipat.

Meskipun Moyo Utara merupakan kecamatanyang baru beberapa tahun terbentuk sebagai hasilpecahan dengan Kecamatan Moyo Hilir, namunjumlah pemotongan di tempat itu relatif stabil.Penyebabnya adalah karena posisi RPH yangberbatasan dengan Sumbawa Besar, ibukota kotaKabupaten Sumbawa, membuat permintaan dagingrelatif tejaga.

Adapun RPH Bangkong yang sebelumnyaadalah bagian dari Kecamatan Sumbawa danbelakangan mekar menjadi bagian dari KecamatanLabuhan Badas, merupakan RPH terbesar/induk

untuk Kabupaten Sumbawa. Fasilitas yang tersediadi RPH Bangkong kini relatif lengkap danterstandar karena perangkatnya baru selesaidibenahi tahun 2015.

Untuk lebih mempertegas bentuk relasipemasaran daging sapi di tiga kecamatan diKabupaten Sumbawa, hal itu tersajikan pada Tabel2.Data yang tersaji pada Tabel 2 menunjukkanbahwa RPH Bangkong menyembelih ternakterbanyak dibandingkan dua RPH lain di Sumbawadisebabkan karena konsentrasi terbesar pendudukKabupaten Sumbawa berada dekat dengan RPHBangkong. Selain itu RPH Bangkong jugamerupakan satu-satunya rumah potong hewanyang telah terstandarisasi di Kabupaten Sumbawa.

Bangkong,Lab. Badas

8-12 ekor/hari

Alas4-6 ek/hr

Pangsa dagingKab. Sumbawa

108

Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Indonesia

Hermansyah, Soekardono, Muhammad Yasin, Anwar Fachry, Muhammad Prasetyo Nugroho(Model RelasiSosial …… )

Jumlah sapi yang dipotong jagal di tiga RPH diKabupaten Sumbawa tersaji pada Gambar 2. RPHMoyo Utara memotong 2-3 ekor sapi per hari,sedang RPH Kecamatan Alas menyembelih 4-6

ekor. Adapun RPH Bangkong memotong 8-12ekor per hari. Jumlah itu merupakan alokasi rata-rata

Gambar 2. Jumlah sapi yang dipotong jagal di Kabupaten Sumbawa

pemotongan sapi pada hari biasa. Namun padamomentum Bulan Puasa, Lebaran dan Tahun Barujumlah pemotongan naik hingga dua kali lipat.

Meskipun Moyo Utara merupakan kecamatanyang baru beberapa tahun terbentuk sebagai hasilpecahan dengan Kecamatan Moyo Hilir, namunjumlah pemotongan di tempat itu relatif stabil.Penyebabnya adalah karena posisi RPH yangberbatasan dengan Sumbawa Besar, ibukota kotaKabupaten Sumbawa, membuat permintaan dagingrelatif tejaga.

Adapun RPH Bangkong yang sebelumnyaadalah bagian dari Kecamatan Sumbawa danbelakangan mekar menjadi bagian dari KecamatanLabuhan Badas, merupakan RPH terbesar/induk

untuk Kabupaten Sumbawa. Fasilitas yang tersediadi RPH Bangkong kini relatif lengkap danterstandar karena perangkatnya baru selesaidibenahi tahun 2015.

Untuk lebih mempertegas bentuk relasipemasaran daging sapi di tiga kecamatan diKabupaten Sumbawa, hal itu tersajikan pada Tabel2.Data yang tersaji pada Tabel 2 menunjukkanbahwa RPH Bangkong menyembelih ternakterbanyak dibandingkan dua RPH lain di Sumbawadisebabkan karena konsentrasi terbesar pendudukKabupaten Sumbawa berada dekat dengan RPHBangkong. Selain itu RPH Bangkong jugamerupakan satu-satunya rumah potong hewanyang telah terstandarisasi di Kabupaten Sumbawa.

MoyoUtara

2-3 ek/hari

108

Page 6: Model RelasiSosial Ekonomi Jagal, Sawi dan Peternak dalam ... · bekerja aktif menjadi sawi untuk menambah ... yang menyatakan, modal sosial barulah memiliki nilai ekonomi kalau dapat

Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Indonesia

Hermansyah, Soekardono, Muhammad Yasin, Anwar Fachry, Muhammad Prasetyo Nugroho(Model RelasiSosial …… )

Tabel 2. Jumlah ternak yang dipotong dan cakupan wilayah pemasaran daging tiga RPH di KabupatenSumbawa

Nama RPHJarak (Km) dariKota Sumbawa

Jumlah sapi ygdipotong/ hari

(ekor)

Cakupan wilayahpemasaran

Keterangan

Moyo Utara 10 2-3 Moyo Utara, Moyo,Sumbawa

Bangkong, Lab. Badas 8 8-12 Sumbawa, Lab Badas,Unter Iwis

Alas 72 4-6 Alas, Rhee, Alas Barat,Utan

Kota kedua terbesardi Sumbawa

SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

a. Model relasi sosial ekonomi perdagangandaging sapi antara peternak sapi, jagaldansawi (pedagang perempuan yangberjualan dipasar tradisional) di tiga wilayahdi Kabupaten Sumbawa cenderung semakinlonggar. Relasi sosial menjadi lemah karenapola kekerabatan dan kekeluargaan semakinditinggalkan. Ketiga pelaku usaha, terutamadalam lima tahun terakhir, lebih berorientasimelakukan pemupukan laba sebanyak-banyaknya dan mengabaikan relasi sosialyang terbentuk di antara mereka.

b. Faktor penyebab relasi social ekonomipeternak sapi, jagal dan sawi berubah danmelemah adalah karena tekanan pesaingyang jumlahnya semakin banyak dengankemampuan finansial yang kuat. Pesaingbukan hanya terdiri dari jagal yang berasaldari Kabupaten Sumbawa namun jugadiramaikan oleh keikutsertaan pedagangsapi dari Pulau Lombok yang beroperasimembeli sapi hingga kepelosok Sumbawa.

2. Sarana. Relasisosial ekonomi peternak-jagal-sawi

perlu lebih diperkuat dengan caramelakukan aliansi strategis antar-para pihak.Hal itu mungkin terjadi karena hubunganemosional mereka sebetulnya terjalin kuat.Memperkuat relasi sosial-ekonomi memilikimakna lebih mendalam dalam konteksmenjaga stabilitas harga daging.

b. Perlu kiranya perhitungan yang cermatterhadap jumlah populasi sapi yang diantar-pulaukan dan yang dipotong di Sumbawa. Halitu perlu diperhatikan karena adakecenderungan, sapi betina betina produktifpun dipotong dan dijadikan obyek utamapemotongan oleh jagal.

DAFTAR PUSTAKA

Hastuti;Sulaksono, Bambang.; Perwira, Daniel.;Suryadarma, Daniel; Toyamah, Nina.; Arta,Rima Prama; Filaili, Rizki Budiyati, Sri;Munawar Wawan., Widyanti,danWenefrida;2004.Evaluasi dampak sosial-ekonomi proyekpengembangan wilayah berbasis pertanianSulawesi (SAADP): Pelajaran dari ProgramKredit Mikro di Indonesia. Lembaga PenelitianSMERU. Jakarta.

Syahyuti, 2008. Peran modal sosial dalamperdagangan hasil pertanian. Jurnal ForumPenelitian Agro Ekonomi. 26 (1) : 32-43.

Sudiono, A.2003. Pemasaran Pertanian.Universitas Muhammadiyah, Malang

Sukmawati, D. 2008. Struktur dan pola hubungansosial ekonomi juragan dengan Buruh. JurnalKependudukan Padjadjaran. 10 (1):50 – 63.

Tonkiss, S., 2000. Trust, social capital andeconomy dalam F. Tonkiss dan A. Pasey (eds).Trust and Civil Society. New York: St. Martins.

Wibisono, D. 2003. Riset Bisnis: Panduan bagiAkademisi dan Praktisi. PT Gramedia PustakaUtama, Jakarta.

109