30
POKOK-POKOK PIKIRAN TENTANG SOPAN SANTUN BERBAHASA BAGI GENERASI MUDA DALAM ERA GLOBALISASI Maryono Dwiraharjo Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Abstract Politeness in using Javanese language is something very important in Javanese speech community. In the era of globalization, politeness in using Javanese language among the young generation has changed because of the influence of the other language and cultures. For the reason, there should be some alternatives of the application of politeness in using Javanese language. Key-words: Speech Community, Globalisation, Young Generation, Politeness. 1. PENDAHULUAN Sopan santun merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Jawa, termasuk generasi mudanya. Berhubung peran pentingnya maka sopan santun dapat digolongkan sebagai nilai Kejawen, di samping nilai Kejawen yang lain misalnya “Rukun”. Hal tersebut dapat dikatakan pula bahwa sopan santun mendapat tempat yang utama dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya bagi mereka yang mengutamakan kebaikan, kerukunan dan sejenisnya. Dalam segala bidang kehidupan masyarakat, sopan santun kita temukan bentuknya. Oleh karena itu, sopan santun sangatlah luas jangkauannya seluas bidang kehidupan yang dihadapi dan berhadapan dengan masyarakatnya. ‘Dihadapi’ dan ‘berhadapan’ secara mental maupun secara faktual (rohani/jasmani). Secara mental dapat berupa gagasan, penemuan, ide, niat dan sebagainya. Secara faktual dapat berupa peristiwa kehidupan

Materi Pki Bab 9

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Materi Pki Bab 9

POKOK-POKOK PIKIRAN TENTANG SOPAN SANTUN BERBAHASA BAGI GENERASI MUDA DALAM ERA GLOBALISASI

Maryono Dwiraharjo Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni RupaUniversitas Sebelas Maret

 Abstract

 Politeness in using Javanese language is something very important in Javanese speech community. In the era of globalization, politeness in using Javanese language among the young generation has changed because of the influence of the other language and cultures. For the reason, there should be some alternatives of the application of politeness in using Javanese language.

 Key-words: Speech Community, Globalisation, Young Generation, Politeness.

 1. PENDAHULUAN

 Sopan santun merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Jawa, termasuk generasi mudanya. Berhubung peran pentingnya maka sopan santun dapat digolongkan sebagai nilai Kejawen, di samping nilai Kejawen yang lain misalnya “Rukun”. Hal tersebut dapat dikatakan pula bahwa sopan santun mendapat tempat yang utama dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya bagi mereka yang mengutamakan kebaikan, kerukunan dan sejenisnya.

 Dalam segala bidang kehidupan masyarakat, sopan santun kita temukan bentuknya. Oleh karena itu, sopan santun sangatlah luas jangkauannya seluas bidang kehidupan yang dihadapi dan berhadapan dengan masyarakatnya. ‘Dihadapi’ dan ‘berhadapan’ secara mental maupun secara faktual (rohani/jasmani). Secara mental dapat berupa gagasan, penemuan, ide, niat dan sebagainya. Secara faktual dapat berupa peristiwa kehidupan nyata sehari-hari yang tentu saja tidak lepas dari masalah sopan santun.

 Dalam segala lapisan masyarakat, tua-muda, kaya-miskin, terpelajar-tidak terpelajar dapat ditemukan suatu bentuk sopan santun. Di samping itu, dari segala jaman dapat pula ditemukan bentuk-bentuk sopan santun. Sopan santun selalu bersama dengan lapisan masyarakat dan jamannya.

 Betapa luas jangkauan pembicaraan sopan santun, apabila kesemuanya dibicarakan. Dalam kesempatan ini, terutama akan dikhususkan pada pembicaraan mengenai sopan santun dari segi bahasa. Namun apabila pembicaraan menyinggung hal-hal di luar bahasa, hanyalah suatu cara untuk memperjelas uraian. Hal ini berhubungan dengan kenyataan adanya factor bahasa dan factor di luar bahasa ada kaitannya. Keduanya dapat dipilah-pilahkan akan tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan.

Page 2: Materi Pki Bab 9

 Sehubungan dengan topik pembicaraannya, maka berikut ini akan dibicarakan (1) pengertian sopan santun berbahasa Jawa, (2) generasi muda antara harapan dan kenyataan, (3) era globalisasi dan sopan santun berbahasa Jawa generasi muda dan (4) catatan penutup.

 

 2. PENGERTIAN SOPAN SANTUN

 Secara etimologis sopan santun berasal dari dua buah kata, yaitu kata sopan dan santun. Keduanya telah bergabung menjadi sebuah kata majemuk. Di dalam Baoesastra Djawa (1939) dijelaskan sebagai berikut.1) Sopan : weruh ing tatakrama (halaman 579).‘mengetahui tatakrama’2) Santun: salin (halaman 543)‘berganti’

 Berdasarkan pengertian di atas, sopan santun dapat mencerminkan dua hal, yaitu mengetahui tatakrama dan berganti tatakrama. Mengetahui sebagai cerminan kognitif (pengetahuan), sedangkan berganti cerminan psikhomotorik (penerapan suatu pengetahuan ke dalam suatu tindakan).

 Sehubungan dengan sopan santun berbahasa, ada dua faktor yang tidak dapat dipisahkan, yaitu patrap ‘tindakan’ dan pangucap ‘ucapan’. Patrap dalam tindak tutur dapat berupa anggukan kepala, lirikan mata, gerakan mulut, lambaian tangan dan sebagainya. Pangucap merupakan bentuk kebahasaan yang diucapkan oleh penuturnya. Dalam bahasa Jawa bentuk kebahasaan itu tercermin dalam unggah-ungguhing basa / undha-usuk atau speech levels.

 Sopan santun berbahasa Jawa oleh Suwadji (1985: 14-15) menyatakan sebagai berikut.1) Ajaran sopan santun berbahasa Jawa merupakan salah satu warisan budaya Jawa yang masih hidup dan bertahan sampai sekarang.2) Sopan santun berbahasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa.3) Sopan santun berbahasa Jawa mengajarkan supaya penutur menghormati lawan tuturnya.4) Sopan santun berbahasa Jawa lebih menjamin kelancaran komunikasi dalam masyarakat tutur Jawa.

 Keempat pernyataan tersebut menunjukkan adanya hakikat dan fungsi sopan santun berbahasa dalam masyarakat tutur Jawa. Hakikat dan fungsi menunjukkan adanya suatu prinsip kesopansantunan (politeness principle).

 Prinsip kesopansantunan (kesopanan) menurut Leech (1993: 206-207) ada 6 maksim. Keenam maksim dan submaksim-submaksimnya adalah sebagai berikut.

Page 3: Materi Pki Bab 9

 1) Maksim kearifan/kebijaksanaan    (1) Minimalkan kerugian terhadap orang lain, atau    (2) Maksimalkan keuntungan terhadap orang lain

 2) Maksim kedermawanan/kemurahan    (1) Minimalkan keuntungan terhadap diri sendiri, atau    (2) Maksimalkan kerugian terhadap diri sendiri

 3) Maksim pujian    (1) Maksimalkan ketidakhormatan terhadap diri sendiri, atau    (2) Maksimalkan rasa hormat terhadap diri sendiri

 4) Maksim kesepakatan    (1) Maksimalkan kesepakatan antara diri sendiri dengan orang lain, atau    (2) Minimalkan ketidaksepakatan antara diri sendiri dengan orang lain

 5) Maksim kerendahan hati    (1) Maksimalkan ketidakhormatan terhadap diri sendiri, atau    (2) Minimalkan rasa hormat terhadap diri sendiri

 6) Maksim simpati    (1) Maksimalkan rasa simpati antara diri sendiri dengan orang lain, atau    (2) Minimalkan rasa antipati antara diri sendiri dengan orang lain.

 Sehubungan dengan prinsip kesopanan tersebut dalam bahasa Jawa dikenal adanya istilah atau ungkapan-ungkapan yang dapat dipandang sebagai ajaran sopan santun, yaitu sebagai berikut.1) Pamicara puniku weh resepe ingkang miyarsi (KGPAA. Mangkunegara IV dalam Serat Nayakawara)    ‘Pembicara itu memberikan rasa nyaman bagi yang mendengarkan’.2) Tatakrama punika, ngedohken panyendhu (KGPAA. Mangkunegara IV dalam Serat Nayakawara)    ‘Sopan santun itu dapat menjauhkan kemarahan’.3) Amemangun karyenak tyasing sasama (KGPAA Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama)    ‘Berusaha membuat nyaman hati sesama’.4) Andhap asor atau Anor Raga ‘Merendahkan diri’.5) Empan papan ‘Menyesuaikan tempat’.6) Undha-usuk atau Unggah-ungguhing basa ‘Tingkat tutur’.

 Hal yang khusus ditemukan dalam bahasa Jawa yaitu undha-usuk ‘Tingkat tutur’. Geerzt (1981) dalam Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa menyatakan bahwa undha-usuk mencerminkan perbedaan sopan santun berbahasa. Yang pada pokoknya dinyatakan

Page 4: Materi Pki Bab 9

sebagai berikut.1) Tingkat tutur ngoko mengatakan rasa sopan santun yang rendah (low honorifics).2) Tingkat tutur madya mengatakan sopan santun yang sedang (middle honorifics).3) Tingkat tutur krama mengatakan sopan santun yang tingi (high honorifics).

 Pernyataan tersebut haruslah tidak dipandang dari segi kebahasaan saja, namun juga harus dilihat segi-segi nonkebahasaan yang menyertainya. Hal ini berdasarkan pendapat bahwa dalam berbahasa ada dua faktor yang menentukan yaitu faktor lingual dan faktor nonlingual. Keduanya sangat berkaitan dan dapat menentukan tingkat kesopansantunan seseorang.

 

 3 GENERASI MUDA ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

 Masa depan bangsa dan negara menjadi tanggung jawab generasi muda, remaja dan pemuda (termasuk juga pemudi). Jika mereka berkembang dengan peningkatan kualitas yang semakin membaik besar harapan kebaikan dan kebahagiaan kehidupan bangsa dapat diharapkan. Namuh jika terjadi sebaliknya, maka keadaan saling menuding dan menyalahkan tidak dapat dihindarkan sedang permasalahannya semakin nyata dan semakin parah (Hasan Basri, 1995: 3).

 Pernyataan tersebut mengisyaratkan ada dua pernyataan yang menyangkut generasi muda. Pernyataan yang pertama, yaitu adanya harapan yang positif bagi generasi muda, seperti pemuda harapan bangsa, pemuda pemimpin masa depan, pemuda generasi penerus bangsa, dan sebagian harapan positif ini dapat terwujud apabila generasi muda memiliki kualitas. Pernyataan kedua, merupakan kebalikan dari pernyataan pertama, yaitu adanya permasalahan generasi muda yang tidak menyadari atau tidak mengerti mengenai peran pentingnya. Keadaan generasi muda yang demikian yaitu adanya generasi muda yang terlibat pada kenakalan, seperti kenakalan remaja, atau kenakalan pemuda.

 Bagi generasi muda yang berkualitas dapat diharapkan dapat mengemban fungsinya. Akan tetapi bagi generasi muda yang terlibat pada kenakalan remaja fungsi yang mulia sulit untuk dimengerti. Dua klasifikasi generasi muda yang demikian itu, dapat tercermin dalam wujud kebahasaannya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan didapatkannya, sementara pemuda yang tampaknya lemah lembut menunjukkan sopan santun namun pada hakekatnya hanya untuk menutupi kenakalannya. Hal semacam ini dalam bahasa Jawa dikenal adanya istilah apus krama “menipu secara halus”.

 Bagi generasi muda yang dapat diharapkan secara positif untuk kemajuan bangsa, peranan sopan santun, termasuk sopan santun berbahasa, mendapat tempat yang utama. Generasi muda yang mengutamakan sopan santun dapat dijadikan motivator dan dinamisator lingkungannya. Hal yang demikian menunjukkan akan pentingnya bagi pembinaan generasi muda. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Serat Wulang Reh Yasan Dalem Sri Susuhunan Pakoeboewana IV disebutkan sebagai berikut:

Page 5: Materi Pki Bab 9

 Tembang Kinanthi

 1) Yen wong anom pan wus tamtu,    manut marang kang ngadhepi    yen kang ngadhep keh durjana,    tan wurung bisa anjuti,    yen kang ngadhep akeh bangsat,    nora wurung dadi maling

 2) Sanadyan nora amelu,    pasti wruh lakuning maling,   kaya mangkono sabarang,    panggawe ala puniki,    sok weruhagelis bisa    yeku panuntuning iblis.

 Terjemahan

 1) Orang muda memang sudah tentu,    menurut yang dihadapi,    bila yang menghadapi banyak penjahat,    tidak urung (tentu) bisa berjudi,    bila yang menghadapi bangsat,    tidak urung menjadi pencuri.

 2) Walaupun tidak mengikuti,    pasti tahu perilaku pencuri,    seperti itulah sesuatu,    perbuatan jelek itu,    pernah tahu cepat bisa,    yaitu penuntun iblis.

 Berdasarkan isi tembang tersebut jelaslah bahwa lingkungan memegang peranan penting dalam pembentukan pribadi pemuda. Lingkungan yang tidak baik dapat mempengaruhi diri pemuda. Pengaruh yang buruk lebih mudah tertanam apabila dibandingkan dengan pengaruh yang baik. Generasi muda yang demikian sulit untuk menerima prinsip-prinsip sopan santun berbahasa yang telah dijelaskan pada sub pembahasan nomor 2. Hal semacam ini akan lebih kompleks lagi masalahnya kalau dikaitkan dengan era globalisasi pada masa sekarang ini.

 4. ERA GLOBALISASI DAN SOPAN SANTUN BERBAHASA JAWA GENERASI MUDA

 

Page 6: Materi Pki Bab 9

Dalam rubrik Ature Redaksi yang dimuat dalam Jaya Baya nomor 10 tanggal 5 November 1995 dinyatakas sebagai berikut.

 “Taun gilir gumantine abad wis saya cedhak, mung kari 4 tahunan. Ing abad 21 mengko, manut grambyangan kita bakal ngadhepi tantangan kang luwih hebat. Jalaran kang disebut globalisasi saya.... dadi. Pasar bebas saya bablas. Ing jaman mau sapa kang siap lan kuwat, bakal ngrasakake urip nikmat, ora perduli karo kiwa tengen kang padha urip megap-megap kesrakat. Mula, taun iki sarta taun kang bakal teka, ora keladuk yen ana kang duwe panganggep mujudake taun kang banget strategis kanggo wiwit tali-tali ngadhepi abad kang kebak tantangan kang ora entheng mau”.

 Dalam kutipan tersebut digambarkan mengenai era globalisasi, yang dalam salah satu sisinya ada segi-segi yang negatif. Hal ini tercermin dalam pernyataan: ora perduli karo kiwa tengen ‘tidak peduli dengan lingkungan’. Di samping itu, juga dinyatakan bahwa era globalisasi merupakan tantangan yang berat. Untuk menangkal pengaruh negatif dari era globalisasi dapat ditempuh adanya satu usaha pendidikan yaitu pendidikan budi pekerti. Dalam pendidikan budi pekerti ini satu unsurnya adalah pendidikan sopan santun berbahasa.

 Dalam era globalisasi yang ditandai adanya transportasi dan kecanggihan informasi dapat berpengaruh dalam sistem kebahasaan, dalam hal ini bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa didapatkan adanya istilah interferensi dari bahasa lain menunjukkan adanya pengaruh yang dimaksud. Adanya interferensi dari bahasa lain ke dalam bahasa Jawa, dapat mengganggu kelancaran komunikasi. Hal semacam ini dapat mengakibatkan adanya bentuk bahasa Jawa yang tidak memenuhi prinsip bahasa yang baik dan benar (basa ingkang laras saha leres).

 Jelaslah, bahwa dalam era globalisasi kita termasuk generasi muda, diharapkan pada banyak pilihan. Pilihan dari segala aspek kehidupan, dan yang menjadi pokok pembicaraan, tentunya pada pilihan kebahasaan. Tiap-tiap bahasa menawarkan atau memiliki prinsip sopan santun yang berbeda. Oleh karena itu, generasi muda harus memiliki kemampuan untuk memilah kemudian memilih. Memilah dalam arti berhadapan dengan banyak alternatif, sedangkan memilih dalam arti dapat menentukan alternatif yang dapat digunakan yang mendasari tindakan.

 Sehubungan dengan masalah memilah dan memilih ini kiranya diperlukan adanya acuan. Acuan yang dimaksud salah satunya dari segi kebahasaan, yaitu sopan santun berbahasa Jawa yang dapat menandai jati diri suatu bangsa. Oleh karena itulah, maka prinsi-prinsip kesopansantunan dalam berbahasa, khususnya bahasa Jawa, memiliki peran penting dalam membentuk pribadi generasi muda (generasi muda Jawa). Dalam era globalisasi, pemanfaatan nilai tradisi yang agung masih memiliki relevansi.

 

 5. SIMPULAN

 

Page 7: Materi Pki Bab 9

Apa yang telah disajikan merupakan pokok-pokok pikiran, yang tentu saja dalam bentuk garis besar. Pokok-pokok pikiran itu masih perlu dikembangkan dan ditelaah secara mendalam agar dapat ditemukan manfaatnya.

 Sebagai bagian akhir pembicaraan, penulis tampilkan tembang Kinanthi dari Serat Wulang Reh. Tembang tadi merupakan wasiat dari leluhur kita, yang dapat dijadikan bahan renungan yang dapat berbentuk introspeksi, retrospeksi, dan komparasi. Pada akhirnya dapat diharapkan menghasilkan konklusi mengenai sopan santun, termasuk berbahasa Jawa, yang dapat diterapkan dalam era globalisasi yang serba canggih ini. Adapun kutipan tembangnya adalah sebagai berikut.

 1) Panggawe becik puniku,    gampang yen wus dilakoni,    angel yen durung linakwan,    aras-arasen nglakoni,    tur iku den lakonana,    munfa’ati badanneki.

 2) Mulane wong anom iku,    abecik ingkang taberi,    jejagongan lan wong tuwa,    ingkang sugih kojah ugi,    kojah iku warna-warni,    ana ala ana becik.

 3) Ingkang becik kojahipun,    sira anggowa kang remit,    ingkang ala singgahana,    aja niyat anglakoni,    lan den awas wong kang kojah,    ing lair masa puniki.  Terjemahan

 1) Perbuatan baik itu,    mudah apabila sudah dilakukan,    sukar apabila belum dilakukan,    enggan melakukan,    lagipula itu harap dilaksanakan,    bermanfaat (terhadap) badan ini.

 2) Maka orang muda itu,    sebaiknya yang rajin,    bertandang (berbicara) dengan orang tua,    yang kaya pembicaraan,

Page 8: Materi Pki Bab 9

    pembicaraan itu bermacam-macam,    ada yang buruk ada yang baik.

 3) Yang baik pembicaraannya,    kau pakai yang hati-hati/teliti,    yang buruk kau simpan saja,    jangan berniat menjalankan,    dan waspadailah orang yang berbicara,    yang terungkap masa kini.

 Demikianlah kutipan tembang Kinanthi yang dapat penulis sajikan. Dengan harapan pembaca, generasi muda, dapat memetik sari ajaran dari leluhur pendahulu kita. Akhirnya, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, saran dari pembaca akan dipertimbangkan sebaik-baiknya.

 DAFTAR PUSTAKA

1. Geertz, C. 1981. Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Terjemahan. Jakarta: Pustaka Jaya.

2. Hasan Basri. 1995. Remaja Berkualitas: Problematika Remaja dan Solusinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

3. Leech, G. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Terjemahan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

4. Majalah Jaya Baya nomor 10 tanggal 5 November 1995.5. Maryono Dwirahardjo. 1990. “Sopan Santun Masyarakat Jawa.” Pengabdian pada

masyarakat di Kecamatan Karanggedhe, 13 November 1990.6. Suwadji, 1985. “Sopan Santun Berbahasa Jawa”. Yogyakarta: Balai Penelitian

Bahasa.7. Tanaya, R. tanpa tahun. Wulang Reh. Sala: Penerbit TB. Pelajar.

Diposting oleh Masnur Muslich di 3/06/2010 04:55:00 PM http://muslich-m.blogspot.com/2010/03/pokok-pokok-pikiran-tentang-sopan.html

Norma sopan santunDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum DiperiksaLangsung ke: navigasi, cari

Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar WikipediaMerapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.

Norma sopan-santun adalah peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan sekelompok itu. Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan, atau waktu. Contoh-contoh norma kesopanan ialah:

Page 9: Materi Pki Bab 9

1. Menghormati orang yang lebih tua.2. Menerima sesuatu selalu dengan tangan kanan.3. Tidak berkata-kata kotor, kasar, dan sombong.4. Tidak meludah di sembarang tempat.

Norma kesopanan sangat penting kia terapkan, terutama dalam bermasyarakat karna norma ini sanga erat kaitanna terhadap masyarakat sekali saja kita melanggar terhadap norma kesopan kita pasti akan mendapat sanki dari masyarakat semisal "cemoohan" atau yang lainnya

Berikut ini contoh Norma Kesopanan

Sanksi bagi pelanggar norma kesopanan adalah tidak tegas, tetapi dapat diberikan oleh masyarakat berupa cemoohan, celaan, hinaan, atau dikucilkan dan diasingkan dari pergaulan serta di permalukan.

http://id.wikipedia.org/wiki/Norma_sopan_santun

Sopan santun dan etika menulis email

Dalam menulis email kepada teman akrab kita, mungkin kita tidak memerlukan sopan santun dan etika yang terlalu kaku. Namun terkadang, etika dan sopan santun dalam menulis email diperlukan dalam beberapa hal. Misalnya dalam menulis email kepada dosen, kita tidak bisa sembarangan menyamakannya seperti menulis email kepada teman. Contoh lain adalah surat bisnis. Tanpa etika dan sopan santun kepada rekan bisnis yang kita hormati, bisa-bisa goodwill atau nama kita yang menjadi taruhan.

Berikut ini beberapa tips dalam menulis email yang cukup beretika.

1. Kenali dengan siapa anda bicara

Salah satu siasat perang Tzun Zu (atau Shin Zui ya? ) yang sering kangmoes dengar adalah “kenali dirimu dan kenali lawanmu maka kau akan selamat dalam pertempuran”. Mengenali lawan bicara kita akan membuat kita lebih berhati-hati dalam menulis. Jika belum mengenali siapa lawan bicara (atau lebih tepatnya lawan menulis ya?), gunakan bahasa yang umum. Tidak gaul dan sedikit resmi tidak masalah yang penting tidak menimbulkan masalah.

2. Jangan gunakan huruf kapital semua

Di dunia internet, komunikasi yang paling umum digunakan adalah menggunakan teks. Jadi tidak ada intonasi yang bisa membedakan orang itu sedang bercanda, santai, marah,  atau jengkel. Jadi kita harus hati-hati dalam menggunakan tanda baca seperti tanda seru, titik-titik, dan yang lainnya. Salah satu hal yang patut kita hindari dalam menulis email yang sopan dan beretika adalah menggunakan huruf kapital semua. Secara pribadi, kangmoes sendiri

Page 10: Materi Pki Bab 9

pernah ditegur oleh seorang rekan bisnis kangmoes karena menulis dengan huruf kapital semua. Tapi Alhamdulillah rekan bisnis kangmoes tersebut berjiwa besar. Tidak langsung marah-marah. Tapi menasehati dengan bijaksana. Kangmoes berdoa agar mendapat ketenangan hati seperti rekan kangmoes itu dalam menyikapi masalah.

3. Jangan lebay (berlebihan)

Lebay adalah bahasa gaul yang saat ini sedang ngetrend. Jadi tidak perlu kangmoes sebutkan pun, kangmoes yakin anda pasti sudah tahu bahwa arti kata lebay adalah berlebihan . (Loh kok malah disebutin kang?)Berlebihan dalam memakai tanda baca dan huruf. Biasanya anak2 remaja yang menggunakan “teknik” ini. Entah biar gaul atau apa namanya. Yang mereka lakukan adalah mengkombinasi huruf dengan angka dan tanda baca sulit seperti ini:k4p4n l@g! m@3n c3 Z06za? (kapan lagi maen ke jogja?)7@m b12apa? (jam berapa?)bagi sebagain orang mungkin menganggap paduan huruf dan simbol diatas membuat tulisan menjadi lebih menarik. Tapi dari pengalaman kangmoes, tak sedikit pula orang yang uring-uringan mendapat SMS seperti diatas. Bisa rumit kalau urusan bisnis menggunakan teknik seperti di atas. Misalnya jika SMS berkaitan dengan nomor rekening dan jumlah uang yang perlu ditransfer.

4. Jangan gunakan alamat email yang sulit

Andaikan pertama kali anda membeli nomor HP disodori 2 pilihan nomor dengan harga yang sama, anda pilih mana:A. 0812 1000 000B. 0897 3095 1282Kangmoes yakin akan banyak yang memilih opsi A. Mengapa? Karena mudah di hapal. Dan mudah di ucapkan.Tapi kenyataan sepertinya tidak berlaku bagi para pembuat email terutama anak muda. Misalkan namanya: Agus Santoso, alih-alih menggunakan [email protected] yang lebih mudah di hapal dan diucapkan. Atas nama kreatifitas dan mengekspresikan diri, anak-anak muda terkadang lebih suka menggunakan [email protected] yang notabene sering membuat orang salah ketik. Padahal seperti nomor HP, salah satu huruf saja dalam menulis alamat email, jangan harap email yang dikirim akan sampai.Dari segi etika dan sopan santun dalam menulis email, memang poin nomor 4 diatas tidak begitu besar urgensinya dibandingkan dengan poin-poin sebelumnya. Namun kangmoes merasa bahwa jika digunakan untuk tujuan bisnis, lebih sopan jika kita menggunakan alamat email dengan format yang pertama. Jadi untuk tujuan bisnis dan komunikasi denagn orang penting (dosen, misalnya) tidak ada ruginya jika kita membuat alamat email yang mudah diingat, sekedar untuk menunjukkan sedikit sopan santun dan etika dalam menulis email.

http://kangmoes.com/artikel-tips-trik-ide-menarik-kreatif.tips/sopan-santun-dan-etika-menulis-email.html

Jenis Bahasa Menurut Tinjauan Urutan Pemerolehan

Dari proses pemerolehannya, bahasa bisa dipilah menjadi bahasa ibu atau bahasa pertama, bahasa kedua, dan bahasa asing. Penamaan bahasa ibu dan bahasa pertama mengacu

Page 11: Materi Pki Bab 9

pada sistem linguistik yang sama. Yang disebut bahasa ibu adalah adalah bahasa yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibunya atau dari keluarga yang memeliharanya. Biasanya bahasa ibu sama dengan bahasa daerah orang tuanya. Akan tetapi pada masa sekarang, banyak orang tua yang berbicara dengan anaknya menggunakan bahasa Indonesia tidak menggunakan bahsa daerah asal kedua orang tuanya sehingga bahasa Indonesia itulah yang dikuasai anak , maka bahasa Indonesia itu walaupun bukan bahasa daerah ibu atau bapaknya, adalah bahasa ibu anak tersebut.

Bahasa ibu lazim disebut bahasa pertama, karena bahasa itulah yang pertama dipelajari anak. Meskipun tidak selalu bahasa pertama yang dikuasai anak sama dengan bahasa pertama yang dikuasai ibunya. Atau, si anak belajar bahasa pertama tidak dari ibunya tetapi dari orang tua asuhnya.

Jika kemudian hari anak tersebut mempelajari bahasa lain, maka bahasa lain tersebut disebut bahasa kedua. Tidak jarang seorang anak mempelajari bahasa lainnya lagi sehingga ia bisa menguasai bahasa ketiga, maka bahasa tersebut disebut bahasa ketiga. Begitu seterusnya.

Yang disebut bahasa asing akan selalu merupakan bahasa kedua bagi seorang anak. Istilah bahasa asing ini sebenarnya lebih bersifat politis mengingat namanya diambil dari negara atau bangsa lain pemilik bahasa tersebut. Dari sisi urutan pemerolehan, bahasa Inggris bisa saja adalah bahasa kedua, bahasa ketiga, atau bahasa ke sekian. Akan tetapi karena bahasa Inggris berasal dari negara asing menurut orang Indonesia, maka istilah bahasa asing lebih populer digunakan untuk mengklasifikasikan bahasa Inggris dibanding disebut bahasa kedua.

Ragam Bahasa

Selain pengklasifikasikan berdasarkan jenis bahasa di atas, pada kenyataannya suatu bahasa dalam pemakaiannya bisa beragam. Meskipun dilihat dari sistem dan kosakata ragam tersebut tidak bisa disebut sebagai bahasa yang berbeda, tetapi perbedaan ragam itu cukup jelas terlihat. Kridalaksana (1989: 2-5) membagi ragam suatu bahasa dilihat dari sisi pemakai, medium, dan pokok pembicaraannya. Pembagian yang dilakukan Kridalaksana tersebut sejalan dengan pendapat Hartman dan Stork (1972).

Ahli lain, seperti Preston dan Shuy (1979) memilahnya menurut penutur, interakasi, kode, dan realisasi. Haliday (1990) membedakan variasi bahasa berdasarkan pemakaian yang disebut dialek dan pemakaian menurut bidangnya yaitu register. Ahli lain, Mc David (1969) membagi variasi bahasa berdasarkan dimensi regional, sosial, dan temporal.

Page 12: Materi Pki Bab 9

Menurut Tinjauan Keformalan

Pembagian ragam bahasa yang cukup populer adalah ragam bahasa yang dikemukakan oleh Martin Joos (1967). Joos membagi ragam bahasa dilihat dari sisi keformalan. Dari tinjauan keformalan, suatu bahasa bisa dipilah menjadi ragam beku (frozen), ragam resmi ( formal), ragam usaha (konsultatif), ragam santai (casual), dan ragam akrab (intimate).

Contoh ragam beku adalah bahasa-bahasa yang digunakan dalam situasi formal yang khidmat, seperti pada upacara-upacara resmi, upacara kenegaraan, khotbah di mesjid, bahasa undang-undang dan sejenisnya.

Contoh ragam formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sejenisnya.

Ragam usaha adalah variasi bahasa yang biasa digunakan dalam pembicaraan sehari-hari di sekolah, rapat-rapat yang berorientasi pada hasil. Ragam ini ragam bahasa yang oprasional.

Ragam santai atau ragam kasusal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi. Contohnya adalah bahasa yang banyak digunakan antar teman sejawat, sahabat, atau teman dalam situasi kekeluargaan. Bentuk bahasa ini umumnya pendek-pendek, beberapa kata yang tidak begitu penting dalam menentukan makna sering dilesapkan sehingga secara gramatikal, ragam bahasa ini tidak selengkap struktur bahasa ragam formal atau ragam beku.

Ragam yang paling tidak formal adalah ragam akrab atau ragam intim. Komunikasi antar suami-istri atau sahabat yang hubungannya sangat dekat seringkali hanya menggunakan satu atau dua kata, bahkan hanya isyarat saja

Abdul Chaer dan Leonie Agustina (1995:94) memberikan contoh pembedaan yang lebih konkret dalam pilihan struktur kalimat bahasa Indonesia sebagai berikut:

(a) Saudara boleh mengambil buku-buku yang Saudara sukai.

(b) Ambillah yang Kamu sukai !

Page 13: Materi Pki Bab 9

(c) Kalau mau ambil saja !

 Kalimat (a) lebih formal dibanding (b). dan kalimat (b) lebih formal dibanding (c). Kalimat (a) termasuk ragam formal atau usaha. Kalimat (b) termasuk kategori ragam santai, dan kalimat (c) termasuk ragam akrab.

Dalam bahasa Inggris, Joss (Fishman: 1972:190) memberikan perbandingan sebagai berikut:

Casual (ragam santai) Consultative (ragam Usaha) Formal (ragam resmi)

C’n I help You?               Can I help You?                       Can/May I help You?

I c’n help You.                  I c’n help You.                          I can help You.

Menurut Tinjauan Pemakainya

Dari tinjauan pemakainya, ragam suatu bahasa biasa disebut dengan dialek dan idiolek. Istilah dialek melingkupi suatu kelompok penutur, sedangkan idiolek merujuk pada ciri khas individu atau perseorangan. Istilah dialek bisa digunakan untuk ragam yang disebabkan karena wilayah (dialek regional), strata sosial (dialek sosial), dan kurun waktu (dialek temporal).

Dialek regional adalah variasi penggunaan bahasa yang ditunjukkan oleh kenyataan bahwa pemakaian suatu bahasa pada wilayah yang berbeda memiliki ciri khas yang berbeda. Bahasa yang digunakan masyarakat yang tinggal di Bandung dengan sebagian Cirebon adalah bahasa Sunda. Akan tetapi, meskipun bahasanya sama, tampak terasa perbedaannya, baik pada intonasi maupun kosakata tertentu. Variasi tersebut disebut dialek. Demikian pula bahasa Melayu, ada dialek Betawi, Ambon, maupun Medan.

Dari sisi tingkat sosial, suatu bahasa ternyata memiliki keunikan tersendiri jika dilihat dari tingkat status sosial penuturnya. Bahasa yang digunakan oleh para pedagang berbeda dengan bahasa para guru. Lain pula penggunaannya di kalangan Supir.

Dari sisi waktu, kita bisa melihat perbedaan bahasa Indonesia yang digunakan pada tahun 40-an dengan bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang. Dialek Melayu pada jaman Sriwijaya berbeda dengan Dialek Melayu jaman Abdulah bin Abdul Kadir Munsyi.

Istilah idiolek adalah istilah yang digunakan untuk menandai ragam suatu bahasa yang

Page 14: Materi Pki Bab 9

menjadi ciri khas seseorang. Sebagai contoh, Soeharto (Presiden RI kedua) memiliki ciri khas dalam berbicara, demikian pula Habibie, Abdurahman Wahid, dan Megawati. Tanpa melihat orangnya, dari pola intonasi dan pilihan katanya, kita bisa menebak siapa orangnya. Tentu saja jika kita cukup mengenal orang tersebut dengan baik.

Faktor-faktor Penentu Timbulnya Variasi Bahasa

Variasi bahasa muncul karena berbagai faktor. Hudson (80:116-119) -dengan mengutip penelitian Peter Gardener (1966), James Fox (1974), Karl Reisman (1974), dan Elinor Keenan (1977) - menyebutkan norma sosial yang berlaku dikalangan masyarakat mempengaruhi bentuk komunikasi dan akhirnya berpengaruh pula terhadap bentuk bahasa. Ada norma yang mengatur kuantitas ujaran yang dihasilkan oleh individu-individu, ada norma yang mengatur giliran bicara, ada pula yang mengatur isi pembicaraan. Peter Gardener dan Jemes Fox menunjukkan kenyataan bahwa dari sisi kuantitas ujaran anggota suku Puliya di India Selatan sangat sedikit berbicara. Sedangkan masyarakat Pulau Roti sangat senang banyak bicara.

Dari sisi giliran bicara, selain norma bergiliran, Karl Reisman menunjukkan bahwa masyarakat di Antigua membolehkan seorang individu berbicara tatkala orang lain masih berbicara, bahkan dengan topik yang berbeda sekalipun. Elinor Keenan menunjukkan norma yang mengatur isi pembicaraan di Mandagaskar, bahwa karena pertimbangan keselamatan dan ingin menyimpan rahasia tertentu seseorang bisa berbicara dengan bahasa yang tidak mengandung informasi.

Menurut Breen dan Cadlin, Morrow, dan Widodwwson (dalam Tarigan, 1989:16), hakikat komunikasi berlangsung dan dipengaruhi oleh konteks wacana dan sosiokultural pemakainya. Aspek konteks dan sosiokultural inilah yang memberikan kendali pada pemakaian bahasa yang tepat serta menjadi petunjuk bagi interpretasi ucapan dengan benar.

A. Tallei P. (1999), ketika menjelaskan kendala budaya dalam pengajaran bahasa, menunjukkan bahwa tiap bangsa dengan latar belakang sosio-kurtural yang berbeda mempunyai norma berbahasa yang berbeda pula. Orang yang berbeda bahasa dan latar belakang, ketika berkomunikasi satu sama lain, akan mengalami kendala komunikasi yang terkait dengan budaya asal itu. Betapa kuatnya pengaruh budaya dalam kegiatan berkomunikasi antar pemakai bahasa yang berbeda dapat menimbulkan peristiwa yang lucu, menggelikan, bahkan menimbulkan kesalahpahaman, goncangan psikis, dan stres.

Dari sisi kebutuhan penutur dalam kontak sosial Suwito (1989:8) menjelaskan bahwa sebagai alat komunikasi, bahasa berwujud varian-varian bahasa yang pemakaiannya

Page 15: Materi Pki Bab 9

diselaraskan dengan kebutuhan penutur dalam kontak sosialnya. Kepada siapa ia berbabahasa, bahasa apa yang digunakan, kapan dan dimana bahasa itu dipakai, merupakan gambaran tentang pemakaian bahasa dalam kontak sosial penutur yang masing-masing memerlukan pemilihan varian bahasa tertentu dalam pengungkapannya. Karena pertimbangan-pertimbangan di ataslah maka jenis suatu bahasa dan ragam suatu bahasa tertentu menjadi bervariasi.

Rangkuman

Fungsi Bahasa bahasa yang utama adalah sebagai alat komunikasi. Jika fungsi itu dikaitkan dengan budaya maka bahasa berfungsi sebagai sebagai sarana perkembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri kebudayaan. Jika dikaitkan dengan kehidupan sosial, maka bahasa berfungsi sebagai bahasa nasional, yaitu lambang kebanggaan kebangsaan, lambang identitas bangsa, alat pemersatu, dan alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Sebagai bahasa kelompok, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dan interaksi sehari-hari dalam kelompok itu. Dari sisi perorangan, bahasa memiliki fungsi instrumental, menyuruh (regulatory), kepribadian, pemecahan masalah, dan khayal.

Dari sudut pandang pendidikan, bahasa memiliki fungsi integratif, fungsi instrumental, fungsi kultural, dan fungsi penalaran.

Istilah jenis bahasa merujuk pada pengklasifikasian bahasa-bahasa yang berbeda, sedangkan istilah ragam digunakan untuk menggambarkan adanya variasi pada satu bahasa yang sama.

Menurut Tinjauan Sosiologis Jenis Bahasa bisa dikatagorikan bahasa standar , bahasa klasik, bahasa artifisial, bahasa vernakular, dan bahasa kreol. Bahasa standar adalah bahasa yang memiliki ciri standardisasi, otonomi, historisitas, dan vitalitas. Bahasa berjenis klasik hanya memiliki kriteria standardisasi, otonomi, dan historisitas. Bahasa artifisial adalah bahasa yang memiliki ciri standardisasi dan otonomi. Jenis bahasa vernakular adalah jenis bahasa yang memiliki pemakai (vitalitas), otonomi, dan historisitas, tetapi tidak memenuhi kriteria standardisasi. Jenis dialek adalah bahasa yang memiliki ciri vitalitas dan hitorisitas tetapi tidak mempunyai otonomi dan standardisasi. Bahasa jenis kreol adalah bahasa yang hanya memiliki ciri vitalitas saja.

Jenis bahasa jika dikaitkan dengan kepentingan sosial politik atau kebangsaan, bisa dibedakan menjadi jenis bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa negara, dan bahasa persatuan.

Page 16: Materi Pki Bab 9

Dilihat dari proses pemerolehannya, bahasa bisa dipilah menjadi bahasa ibu atau bahasa pertama, bahasa kedua, dan bahasa asing.

Ragam bahassa menurut tinjauan keformalannya, suatu bahasa bisa dipilah menjadi ragam beku (frozen), ragam resmi ( formal), ragam usaha (konsultatif), ragam santai (casual), dan ragam akrab (intimate). Dari tinjauan pemakainya, ragam suatu bahasa biasa disebut dengan dialek dan idiolek. Istilah dialek bisa digunakan untuk ragam yang disebabkan karena wilayah (dialek regional), strata sosial (dialek sosial), dan kurun waktu (dialek temporal).

Ada beberapa faktor yang menimbulkan variasi dalam penggunaan bahasa. Faktor-faktor tersebut adalah norma sosial, konteks wacana, sosiokultural pemakainya, dan faktor-faktor penentu dalam berkomunikasi seperti kepada siapa berbabahasa, kapan dan dimana bahasa itu dipakai, dengan media dan saluran apa .

Tugas Mandiri

1. Jelaskan perbedaan fungsi bahasa dari sudut pandang berbagai sudut pandang budaya dengan fungsi budaya untuk perorangan ? Apa kaitan fungsi bahasa dalam budaya dengan fungsi bahasa untuk perorangan ?

2. Alasan apakah yang menjadi dasar penentuan bahasa Internasional yang digunakan dalam organisasi PBB ? Apa fungsi bahasa dalam kegiatan organisasi tersebut ?

3. Carilah contoh-contoh nyata penggunaan ragam bahasa yang berbeda dilihat dari sisi keformalannya. Simpulkan ciri-ciri pembeda antar ragam bahasa tersebut !

4. Apa yang menyebabkan suatu sistem bahasa yang sama menjadi berbeda dalam penggunaannya ?

Diposting oleh Masnur Muslich di 3/04/2010 06:42:00 PM http://muslich-m.blogspot.com/2010/03/jenis-bahasa-menurut-tinjauan-urutan.html

TV Lokal dan Glokalisasi Bahasa

Oleh: MOHAMMAD AFIFUDDIN Kita tentu pernah menyaksikan bahwa JTV menayangkan secara live program ”Pantun Suroboyoan” (parikan). Dalam acara itu pemirsa dilibatkan dengan mengirim parikan yang tidak bernuansa diskriminasi SARA dan menyakitkan hati pendengar. Selanjutnya parikan pemirsa itu akan dibahas

Page 17: Materi Pki Bab 9

oleh para nara sumber yang dihadirkan di studio.

Kelihatannya cukup sederhana. Namun langkah itu seolah menjadi oase bagi kebudayaan Jawa yang kini tidak lagi mendapat tempat (justru) di rumah sendiri.

Tereduksi

Hampir tidak dapat disangkal, eksistensi bahasa Jawa di tengah dinamika sosial-budaya masyarakat Surabaya dan sekitarnya (pada khususnya), maupun Jatim pada umumnya telah sampai pada titik nadir. Sebab jangankan di kehidupan sehari-hari, dalam sebuah domain tertentu yang mensyaratkan keterlibatan spesifik bahasa Jawa, keberadaanya juga mulai pudar. Sebut saja dunia sastra. Posisi sastra Jawa hingga saat ini telah mengalami degradasi kualitas secara signifikan. Akibatnya produk sastra Jawa tidak lagi bisa dibanggakan sebagai trade mark budaya Jawa, atau bahkan diharapkan mampu bersaing dalam konstelasi jagad kesusastraan yang berbasis rumpun Melayu. Menyitir ungkapan penyair asal Gresik, H.U Mardi Luhung, ”sastra Jawa telah mati.”

Kegelisahan akan kian memudarnya bahasa Jawa, terutama dalam penggunaan keseharian sangat kental terasa sekalipun di daerah yang mayoritas warganya berkebangsaan Jawa. Kalangan muda, termasuk dari keluarga Jawa, sudah cenderung kurang tertarik mempelajari dan bergulat dengan bahasa Jawa. Padahal jika bahasa Jawa tersisih, -di sisi lain bahasa adalah bagian dari kebudayaan- maka otomatis budaya Jawa pun akan termarginalkan.

Konteks itulah yang mendasari Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV di semarang, 15 September 2006 lalu, membuat rekomendasi agar pemerintah Provinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur segera membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang pengajaran bahasa Jawa di sekolah dan kewajiban penggunaan bahasa Jawa. Walaupun pada akhirnya gagasan itu tidak disikapi senada.

Dari ketiga daerah yang ketiban rekomendasi, masing-masing tidak menerima begitu saja usulan itu. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim, Rasiyo, menganggap jika langkah tersebut jadi dilaksanakan akan menimbulkan bias dan efek disriminatif. Sebab Jatim tidak hanya memiliki masyarakat berbasis kebudayaan Jawa saja. Paling tidak di Jatim ada tiga arus besar kebudayaan, yakni Osing, Madura, dan Jawa. Pewajiban pengajaran salah satu bahasa dari tiga arus besar itu dikhawatirkan menimbulkan kecemburuan masyarakat dari basis kebudayaan lain (Kompas Jatim, 21/9/06).

Surabaya, sebagai kota metropolitan; ruang bertemunya beragam kultur, etnis, dan tentu saja bahasa, juga akan merasakan dampak yang sama. Berlebihan terhadap satu budaya tertentu jelas berimlikasi pada integrasi sosial yang telah terbangun cukup kondusif.

Walau dengan argumen demi melestarikan bahasa Jawa, tapi bila pilihan itu dianggap bisa menggoyahkan konstruksi pluralisme dalam kultur masyarakat Jatim, maka langkah tersebut patut kita amini. Artinya perspektif yang dilandasi semangat menghargai ”liyan” harus tetap diusahakan menjadi tawaran penyelesaian. Memang tertangkap kesan kekhawatiran mendalam, sehingga reaksi tersebut dapat ”dimaklumi” sebagai upaya preventif untuk menyelamatkan bahasa Jawa.

Page 18: Materi Pki Bab 9

Namun apakah juga dapat dimaklumi bila biang dari keresahan para ”pandega” bahasa dan sastrawan bahasa Jawa itu hanya dibebankan pada acuhnya dunia pendidikan formal?

Rasanya tidak. Asumsi dasarnya mengacu pada medium (baca: sarana) sosialisasi nilai, berikut norma-norma dan segala produk kultur di masyarakat yang tidak dilakukan semata lewat instrumen lembaga pendidikan resmi. Melainkan juga lewat pranata-pranata di luar institusi pendidikan. Seperti komunitas (masyarakat/lingkungan), dan juga keluarga, yang telah melembagakan dengan sendirinya sebuah struktur pengatur nilai, norma dan budaya.

Faktor Keluarga Lazim dipahami secara sosiologis, keluarga merupakan unit sosial terkecil yang mempunyai peran dan fungsi sosialisasi dan interaksi yang tak kalah hebatnya dengan institusi-intitusi lain. Semisal lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, atau bahkan negara. Hal itu disebabkan kuota waktu yang diberikan institusi keluarga terhadap proses pembentukan karakter dan mindset anggota keluarganya lebih besar dari institusi-institusi tersebut. Pun demikian dengan lingkungan sekitar keluarga.

Artinya, selain sekolah, faktor lingkungan dan keluarga juga mendorong anak-anak Jawa semakin jauh dari bahasa Jawa. Karena lingkungan mereka di luar sekolah pun sudah tidak lagi ”peduli” pada bahasa Jawa.

Dalam hal ini misalnya, pihak keluarga justru lebih tertarik mengenalkan bahasa asing, yang lebih ”mengglobal” daripada bahasa Jawa. Karena konteks globalisasi ”mengharuskan” kita bertarung dalam kancah global. Apalagi muncul anggapan, penggunaan bahasa Jawa dalam konteks keluarga justru menciptakan hirarki dalam komunikasi, karena dalam kultur (bahasa) Jawa terdapat aturan (tingkatan) penggunaan yang harus disesuaikan dengan konteks saat dia bicara. Seperti kromo inggil, ngoko, madya, dsb.

Akibatnya, generasi muda Jawa seolah mengalami keterputusan budaya. Dari situ muncul prinsip, ”bahasa Jawa tidak usah lagi dipelajari, toh sudah kuno dan tidak prospektif bagi pengembangan diri di masa depan. Lebih baik mempelajari bahasa Inggris, Mandarin, Prancis, Jerman, atau bahkan Arab.”

Ekses globalisasi itulah yang telah ditanggapi serius oleh Robertson, dalam ”Global Modernity” (1995:28). Dengan mengajukan semacam ”counter hegemoni” berupa gerakan ”glocalization” (glokalisasi) sebagai antitesa dari globalisasi, yaitu: ”think globally act locally” (ide/pemikiran boleh global tapi tindakan tetap lokal).

Dalam konteks itulah, peran TV daerah (lokal), seperti JTV patut kita apresiasi bila perannya sigifikan dalam menunjang kebudayaan lokal, dan pembawa spirit glokalisasi. Sehingga televisi tidak saja menjadi produk teknologi yang merugikan, (M. Yusuf Suseno, JP 5/4/07). Atau justru menjelma sebagai agen-agen ”de-glokalisasi”. Melainkan mentransformasikan dirinya menjadi sahabat baik bagi pemuda dan keluarga.

Oleh: MOHAMMAD AFIFUDDINDiposting oleh Masnur Muslich di 3/06/2010 04:37:00 PM

Page 19: Materi Pki Bab 9

http://muslich-m.blogspot.com/2010/03/tv-lokal-dan-glokalisasi-bahasa.html

Salah Kaprah Penggunaan Bahasa Indonesia

Bergandengan dan Saling Pukul

"Ia berjalan bergandengan tangan." Mengapa tidak ditulis: "Mereka berjalan bergandengan tangan?" Benar, jika ditulis, "Ia bergandengan tangan dengan pacarnya." "Saling pukul-memukul." Tidakkah yang lebih cermat dan padat adalah pukul-memukul atau saling pukul?

Aktifitas atau Aktivitas?

Dua cara penulisan ini sering kita temukan. Mana yang benar? Kata itu diserap dari bahasa Inggris "activity" atau, dulu, kata Belanda, "activiteit". Kita perlu mengganti huruf jika bunyi yang dilambangkannya membedakan makna dalam bahasa Indonesia. Huruf c pada kata asingnya ditukar dengan k karena melambangkan bunyi yang berbeda. Bagaimana dengan v? Tidak perlu karena bunyi yang dilambangkannya dalam bahasa Indonesia tidak membedakan makna. Jadi, yang benar aktivitas. (Catatan: akhiran -(i)tas dari bahasa Latin dipilih karena pada waktu itu orang tidak menghendaki penyesuaian akhiran Inggris atau Belanda.) Mengapa kita menulis aktif, bukan aktiv? Karena, huruf v tidak kita gunakan di akhir kata umum dalam bahasa Indonesia. Jadi, "active" kita serap menjadi aktif. Huruf v di tengah kata tidak diubah. Contoh lain, produktif-produktivitas, agresif-agresivitas, positif-positivisme, dan motif-motivasi.

Standarisasi Atau Standardisasi?

Kasus ini mirip dengan aktifitas dan aktivitas. Kata asing "standard" kita serap dengan menghilangkan huruf d karena bunyi yang dilambangkan cenderung tidak diucapkan dalam bahasa Indonesia. Jadi, yang benar adalah standar. Kata "standardisation" (Inggris) atau "standardisatie" (Belanda) kita serap menjadi standardisasi. Mengapa huruf d dipertahankan? Bunyi d dapat kita lafalkan sehingga secara keseluruhan lafal dan tulisan standardisasi lebih dekat dengan lafal dan tulisan kata asingnya walau di sana-sini sudah ada penyesuaian. Baik dicatat, dalam hal menyesuaikan tulisan dan lafal kata serapan, apa yang bisa dipertahankan sebaiknya tidak diubah sehingga dapat lebih dekat dengan bentuk aslinya. Hal itu memudahkan penelusuran asal-usul kata.

Ganti Untung

Baru-baru ini ada berita tentang lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Sebuah stasiun televisi mengatakan bahwa korban lumpur Lapindo menuntut agar ganti untung segera dicairkan. Apa itu ganti untung? Istilah yang lazim kita dengar dan juga kita gunakan adalah ganti rugi. Dalam tata bahasa, ganti rugi

Page 20: Materi Pki Bab 9

disebut kata majemuk. Ada bentuk-bentuk kata majemuk serupa itu, misalnya meja tulis. Yang dimaksud meja tulis adalah meja untuk menulis. Buku gambar adalah buku untuk menggambar. Anak angkat artinya orang (biasanya berusia muda) yang tidak bertalian darah, yang diangkat menjadi anak sendiri. Contoh lain adalah cetak ulang, yang artinya pencetakan ulang. Pada contoh-contoh itu terlihat ada pemendekan bentuk. Menulis menjadi tulis, menggambar menjadi gambar, diangkat menjadi angkat, dan pencetakan menjadi cetak. Hal yang sama sebenarnya juga terjadi pada kata ganti rugi, hasil pemendekan dari penggantian kerugian atau sekurang-kurangnya dari ganti kerugian. Jadi, apa yang dimaksud dengan ganti untung pada berita itu? Dengan analogi tersebut, ganti untung dapat ditafsirkan sebagai penggantian keuntungan atau ganti keuntungan. Hal ini tentu saja tidak masuk akal. ("Keuntungan kok diganti!"). Konon yang menciptakan istilah itu bermaksud agar korban seperti warga Porong itu mendapat penggantian yang menguntungkan, bukan yang merugikan. Dengan mengubah ungkapan ganti rugi menjadi ganti untung diharapkan kompensasi yang dimaksudkan menguntungkan pihak korban. Terlepas dari niat baik penulis berita, pengubahan istilah itu jelas mengacaukan makna. Di samping itu, kalau korban manjadi untung, bukankah lalu ada pihak yang merugi? Nah, kalau pihak yang merugi itu adalah pihak yang harus menyediakan dana penggantian, pantas saja kalau mereka menunda-nunda atau enggan melaksanakan. Singkat kata, meniru gaya Tukul, kembali ke ganti rugi!

Akibat yang Mengakibatkan

Coba perhatikan kutipan ini. "Akibat kebakaran itu mengakibatkan pedagang kehilangan tempat usaha." Hah! Hati-hati menyusun kalimat yang mengandung hubungan kausalitas.

Sebetulnya ada cara yang sederhana. Gunakan saja kata hubungan, seperti sebab, karena, akibat, sehingga, dan boleh juga maka, misalnya begini: 1. Persidangan itu ditunda sebab hakimnya sakit; 2. Pertandingan terpaksa dihentikan karena hujan deras; 3. Akibat perbuatannya itu, ia dihukum dua tahun penjara; atau 4. Kasus itu sudah diputuskan secara adil, maka demo tidak perlu lagi.

Kata sebab dan akibat juga bisa menjadi dasar kata kerja mengakibatkan dan menyebabkan. Keduanya kurang lebih berarti sama. Contohnya seperti ini. 1. Angin puting beliung itu mengakibatkan kerusakan di desa Sukoharjo, Sleman, Yogyakarta. 2. Kebijakan pemerintah menyebabkan pelaksanaan pemerintahan terus-menerus dipantau dan dikritik rakyat.

Lalu bagaimana dengan kalimat yang dikutip tadi? Kacau alias rancu! Sebaiknya kalimat itu berbunyi: "Akibat kebakaran itu para pedagang kehilangan tempat usaha," atau, "Kebakaran itu menyebabkan pedagang kehilangan tempat usaha."

Menurut Siapa Mengatakan Apa

Ditemukan kalimat seperti ini. "Menurut seorang pakar sosiologi Universitas Indonesia mengatakan

Page 21: Materi Pki Bab 9

bahwa harga demokrasi memang dapat dianggap mahal." Kalau kita analisis, mana subjek kalimat itu? Seorang pakar sosiologi Universitas Indonesia? Memang, bagian itulah yang menjadi pokok untuk kata kerja mengatakan. Namun, kalau itu subjeknya, mengapa didahului kata menurut? Apakah kita dapat mengatakan kalimat yang lebih sederhana ini: "Menurut dia mengatakan begitu?" Aneh, bukan? Pemecahan sederhana: buang saja kata menurut sehingga kalimat itu menjadi: "Seorang pakar sosiologi Universitas Indonesia mengatakan bahwa harga demokrasi memang dapat dianggap mahal."

Bagaimana jika kita ingin menggunakan kata menurut? Karena kata itu mengawali bagian yang disebut keterangan, jangan lupakan kalimat induknya. Inilah perbaikannya: "Menurut seorang pakar sosiologi Universitas Indonesia, harga demokrasi memang dapat dianggap mahal."

Jumlah Korban Yang Meninggal Berjumlah Enam Orang

Menyusun kalimat perlu cermat. Biasanya, kalimat yang ringkas lebih mudah dipahami informasinya.

Kalimat yang jelas informasinya adalah kalimat yang efektif. Itulah sebabnya, para penulis ulung sering memberi nasihat para pemula untuk membuat tulisan dengan kalimat-kalimat pendek. Kalimat yang singkat dan padat tidak memuat kata yang tidak diperlukan. Kata yang berlebihan dapat mengaburkan pokok masalah. Oleh sebab itu, hindari unsur kalimat yang memiliki fungsi yang sama.

Mari kita simak kutipan yang menjadi judul tulisan ini. Mungkin dengan mudah masalahnya kita temukan, yakni pemakaian kata jumlah dan berjumlah. Aneh sekali jika kita mengatakan bahwa jumlah anu berjumlah sekian. Kalimat aslinya sebenarnya jauh lebih panjang sehingga kejanggalan itu tidak disadari pembuatnya: jumlah korban yang ditemukan meninggal dalam kecelakaan kapal penumpang itu berjumlah 356 orang. Jika memang perlu membuat kalimat panjang, jangan lupakan kecermatan. Kalimat tadi dapat diperbaiki dengan mengubahnya sebagai berikut. - Korban yang ditemukan meninggal dalam kecelakaan kapal penumpang itu berjumlah 356 orang. - Dapat juga dipertimbangkan pengubahannya menjadi seperti kalimat di bawah ini. - Jumlah korban yang ditemukan meninggal dalam kecelakaan kapal penumpang itu mencapai 356 orang.

Dikutip dari: BIDARA Program Budaya 93,4 FM RRI DenpasarRabu (13/6) Pukul 18.15 Wita

Topik: "Sopan Santun Berbahasa"

Narasumber: Drs. I Nengah Sukartha, S.U.

Diposting olhttp://muslich-m.blogspot.com/2010/03/salah-kaprah-penggunaan-bahasa.htmleh Masnur Muslich di 3/06/2010 05:13:00 PM

Page 22: Materi Pki Bab 9