167
MANAGEMENT OF FRAIL AS A NEW GERIATRIC GIANT: HOW TO DEAL WITH DILEMMATIC HEALTH PROBLEMS IN ELDERLY PATIENT

MANAGEMENT OF FRAILTY AS A NEW GERIATRIC GIANT: …staff.ui.ac.id/system/files/users/lili.legiawati/publication/... · Prosiding Temu Ilrniah Geriatri 2015 Management of frailty as

  • Upload
    doque

  • View
    213

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

MANAGEMENT OF FRAILTY AS A NEW GERIATRIC GIANT: HOW TO DEAL WITH DILEMMATIC HEALTH PROBLEMS IN ELDERLY PATIENT

dr. Lili Legiawati, Sp.KK (K)

SIP. 01.01.0.11.0723156009/07.2022

Management of Frailty as a New Geriatric Giant:

How to Deal with Dilemmatic Health Problems in Elderly Patient

Tim Editor: Purwita Wijaya Laksmi

Frans Liwang Risca Marcelina

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Prosiding Temu Ilrniah Geriatri 2015 Management of frailty as a new Geriatric Giant: How to deal with dilernrnatic health problems in elderly patient

Tim Editor: Purwita Wijaya Laksrni, Frans Liwang, Risca Marcelena © 2015 Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia Cabang Jakarta

vii + 159 halaman 15 x 23 cm

ISBN: 978-979-19931-5-9

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan bentuk apa pun juga tanpa seizin penulis dan penerbit.

Diterbitkan pertama kali oleh Perhirnpunan Gerontologi Medik Indonesia Cabang Jakarta Jakarta, Mei 2015 email: [email protected]

Redaktur pelaksana: Sri Herawati

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Anna Uyainah Z.N.

Asril Bahar

Dewa Putu Pramantara

Edy Rizal Wahyudi

Kuntjoro Harirnurti

Lili Legiawati

Purwita Wijaya Laksmi

R.A. Tuty Kuswardhani

Siti Setiati

Penulis Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusurno Jakarta

Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK Udayana/RS. Sanglah Denpasar

Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalarn FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusurno Jakarta

111

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Kata Pengantar

Peningkatan populasi usia lanjut di belahan dunia hingga saat

ini sayangnya tidak di iringi dengan proses penuaan yang sukses

pada setiap individu usia lanjut tersebut. Berbagai masalah ke­

sehatan terkait juga dengan sindrom geriatri pada populasi terse but

kerap dijumpai. Hal ini dapat menyebabkan suatu keadaan yang

disebut.frai1 (renta/rapuh) . Frailty memiliki dampak yang cukup

besar terhadap penurunan kualitas hidup, peningkatan kejadian

hospitalisasi, dan peningkatan biaya kesehatan.

Buku ini memuat kumpulan tulisan ilmiah para pembicara

terkait Temu Ilmiah Geriatri yang mengusung tema "Management

of Frailty as a New Geriatric Giant: How to Deal with Dilemma tic Health

Problems in Elderly· Patient" . Tulisan tersebut diharapkan dapat

menjadi bekal pengetahuan masyarakat profesi kesehatan dalam

menjawab tantangan pelayanan kesehatan bagi kaum usia lanjut

di Indonesia. Selain itu, abstrak penelitian pada orang usia lanjut

di Indonesia juga ditampilkan agar dapat memberikan wawasan

data lokal terkait penelitian orang usia lanjut dan diharapkan da­

pat menjadi acuan bagi perkembangan penelitian selanjutnya di

Indonesia.

v

Semoga bermanfaat

Jakarta, Mei 2015

Tim Editor

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Daftar Isi

Konsep Kerapuhan (Frailty) pada Usia Lanjut: Definisi, Patobiologi, dan Manajemen Terkini . . . . . . . . ... ... . . . . . . . . .. 1

Manfaat Kendali Tekanan Darah 24-Jam dalam Menurunkan Risiko Komplikasi Hipertensi pada Pasien Usia Lanjut ..................... ........................................... ..... . . . . . . . . . . . . . . . 19

Evaluasi Rasa Nyeri pada Pasien Geriatri yang Renta dan/ atau Demensia . . ....... ... . ... .... ....... . .. ... . ...... ... ... . . . . ... . . . . .... . . . . . . . . 31

Tata laksana Berjenjang Nyeri Akut dan Kronik Pada Usia Lanjut ... .... . .. ... . . . . . . . . . ... ............. . . ..... . ...... .... ....... .... ....... .... . .. ... 50

Terobosan Inovasi Long Acting Muscarinic Antagonist dan Alat Semprotnya. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 61

Panduan Tata Laksana Terkini PPOK dan Sindrom Asma-PPOK . . . . . . .. . : . ... . . ... ... . ... . . . . . ... . . . . ... . . . . . . . . . ... ... . ... ... .. 71

Penuaan dan Permasalahan Kulit pada Usia Lanjut .. ... ....... .. 81

Tatalaksana Kulit Kering pada Usia Lanjut . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 92

Kebutuhan Vaksinasi bagi Populasi Usia Lanjut . . . . ... . . . . . . . ... . .. 97

Vaksinasi Herpes Zoster Pada Usia Lanjut . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 113

Kumpulan Abstrak Penelitian . . . . ... ... . . . . . . . . . . . . .. . . . ....... . ... . ..... ....... 121

Vll

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

KonsepKerapuhan(frai/ty) pada Usia Lanjut:

Pendahuluan

Definisi, Patobiologi, dan Manajemen Terkini

Siti Setiati

Proses menua sering dikaitkan dengan penurunan fungsi organ-organ tubuh secara menyeluruh yang berjalan progresif seiring bertambahnya usia. Penurunan kapasitas faali tubuh pada suatu titik akan bermanifestasi dalam bentuk gejala/ tanda klinis dan penyakit; yang bila terus berlanjut atau terakumulasi akan menyebabkan kecacatan, disabilitas, ketergantungan, hingga kematian. Sebelum mencapai disabilitas, terjadi penurunan kapasitas atau cadangan fisiologis tubuh yang dapat meningkatkan kerentanan seorang usia lanjut untuk mengalami dampak kesehatan yang buruk, suatu kondisi yang dikenal dengan/railty (kerapuhan).

Frailty merupakan suatu sindrom penurunan kapasitas fisiologis tubuh akibat proses menua dan berdampak pada

berkurangnya daya tahan terhadap stres serta kerentanan untuk mengalami luaran kesehatan yang buruk, seperti kejadian jatuh, delirium, disabilitas, hingga mortalitas. Individu frail akan mudah jatuh ke kondisi disabilitas dan ketergantungan meski menghadapi stres ringan. Sebagai contoh, seorang usia lanjut yang sebelumnya sehat dan mampu beraktivitas sehari­hari dapat terbaring lemah dan sulit makan setelah mengalami influenza. Contoh lain, tidak jarang ditemukan pasien usia lanjut yang malah mengalami penurunan kesadaran setelah prosedur operasi tertentu meski sebelumnya tampak sehat dan hemodinamik stabil.

1

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Konsep frailty ini semakin berkembang beberapa tahun terakhir karena banyaknya studi yang secara konsisten membuktikan peran frailty sebagai prediktor independen berbagai luaran kesehatan buruk, termasuk perburukan status fungsional, hospitalisasi, dan penurunan angka kesintasan (survival). Konsep frailty pun dianggap mampu menjawab mengapa seorang berusia 80 tahun dapat sehat dan produktif, sementara seorang berusia 80 lainnya mengalami ketergantungan berat karena kondisi kesehatannya.

Definisi dan Manifestasi

Sesuai dengan namanya, frailty didefinisikan sebagai suatu kerentanan untuk mengalami kegagalan perbaikan homeostasis setelah mengalami stres (insult) tertentu. Frailty kini dianggap sebagai suatu entitas tersendiri, bukan satu atau kumpulan penyakit/ disabilitas, disebabkan oleh kausa tertentu, serta merupakan suatu proses yang independen. Beberapa pakar berani mengatakan bahwa frailty adalah kondisi yang mudah dikenali secara klinis, misalnya perawakan kurus, lemah, lambat, atau tidak mampu menjalankan aktivitas sehari-hari. Adanya stres ringan maupun berat dapat menyebabkan perubahan signifikan terhadap kondisi kesehatan atau status fungsional pasien; dari yang independen menjadi dependen, mobilitas aktif menjadi imobilitas, postur stabil menjadi instabilitas postural yang rentan jatuh, atau bahkan dari kondisi sadar menjadi delirium.

Mengapa Terjadi Frailty?

Hingga kini belum ada penjelasan yang memuaskan tentang patogenesis frailty. Hipotesis saat ini mengemukakan adanya peran disfungsi tingkat organ, seluler, dan molekuler yang saling terkait satu sama lain. Secara alamiah, cadangan fisiologis tubuh memang akan menurun sejalan dengan

2

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

bertambahnya usia. Namun pada individu frail, penurunan cadangan fisiologis itu terjadi lebih cepat sehirigga mekanisme

kompensasi homeostasis pun mulai gagal. Berbagai etiologi, meliputi faktor genetik, epigenetik, dan lingkungan, yang diketahui berperan dalam proses menua (aging) diduga juga turut memainkan peran penting dalam kejadian frailty.

Berdasarkan studi longitudinal Women's Health and Aging Studies-II (WHAS-11) selama 7,5 tahun, diketahui bahwa kelemahan merupakan manifestasi klinis pertama yang sering dijumpai pada frailty. Adanya kelemahan menunjukkan

defisit energi pada individu frail, yang utamanya terjadi

akibat penurunan massa dan kekuatan otot skeletal (disebut juga sarkopenia). Kendati demikian, frailty tidak semata-mata atau tidak selalu disebabkan oleh sarkopenia. Sekitar 10-30%

individu frail juga ditemukan obesitas dengan massa otot yang normal.

Sebuah studi potong lintang pada tahun 2009 yang melibatkan 1.002 perempuan mencoba mengukur 12

parameter pada 6 sistem organ yang berbeda: neuromuskular, hematologik, inflamatorik, hormonal, adipositas, dan mikronutrien. Penelitian tersebut menyimpulkan adanya hubungan nonlinear antara jumlah abnormalitas sistem organ dan kejadianfrailty yang secara statistik bersifat independen terhadap usia kronologis dan komorbiditas. Oleh karena itu, ditarik suatu kesimpulan bahwa faktor inflamasi, hormonal, hematologik (koagulasi) turut berperan pada frailty, disamping faktor nutrisi dan neuromuskular.

Patofisiologi Frailty

Sejak pertama kali diperkenalkan oleh Linda Fried melalui Cardiovascular Health Study (CHS) tahun 2001, frailty telah dikaitkan dengan penurunan fungsi organ tubuh secara menyeluruh, bukan hanya sarkopenia dan disregulasi energi.

3

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Individu frail memiliki kadar kortisol yang lebih

dibandingkan individu non-frail; dan variasi diurnal kortisol

tersebut cenderung lebih datar pada dini hari. Sebagaimana

diketahui, kadar kortisol tubuh akan meningkat tajam pada

subuh hari (saat bangun pagi). Adanya peningkatan kronis

kadar kortisol pada individu frail menunjukkan keterlibatan

penyakit kronis (terutama inflamasi kronis) serta menurunnya

kemampuan umpan balik negatif ke hipotalamus dan

pituitari.

Temuan lain ialah adanya kadar glukosa yang lebih tinggi

pada individu frail setelah uji tolerasi glukosa oral. Dengan

kadar glukosa puasa (baseline) yang sama, kurva kadar glukosa

subjek frail lebih tinggi pada seluruh waktu pengukuran: menit

ke-0, 30, 60, 120, dan 180 setelah diberi beban glukosa oral 75 g

dibandingkan individu pre-frail dan normal. Masing-masing

kategori subjek telah dikondisikan dengan proporsi seimbang

antara grup diabetes, prediabetes, dan normal. Hal tersebut

membuktikan adanya kerentanan dan penurunan mekanisme

kompensasi faali pada individu frail setelah diberi stres, dalam

hal ini beban glukosa oral.

Selain contoh di atas, frailty juga telah dihubungkan sistem

organ lainnya seperti otak dan sistem saraf pusat (the frail brain), penurunan sistem imunitas (the frail immune system), otot

skeletal (the frail skeletal muscle atau sarkopenia), dan sistem

endokrin lainnya (the frail endocrine system). Berdasarkan studi kohort prospektif pada 273 usia lanjut,

didapatkan bahwa frailty berhubungan dengan peningkatan

risiko kejadian delirium (OR 9,5; 95% 4,8-14,9) dan angka

kesintasan yang lebih rendah (median kesintasan 88 hari vs

359 hari). Proses menua pada otak melibatkan sel-sel rnikroglia

sebagai sel imunitas pada sistem saraf pusat. Sel-sel tersebut

akan diaktifkan apabila tetjadi cedera otak atau inflamasi lokal­

sisternik, serta menjadi hiper-responsif terhadap stimulus kecil

sehingga mempercepat proses kematian neuron.

4

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Inflamasi juga berperan penting dalam patofisiologi frailty melalui respon inflamasi kronis derajat rendah (disebut juga

inflammaging), bersifat abnormal, dan hiper-responsif terhadap

stimulus ringan. Beberapa sitokin inflamatorik ditemukan

berhubungan secara independen terhadap frailty, antara lain

IL-6, CRP, TNFa, dan kemokin CXC. Di lain sisi, inflamasi juga

menyebabkan anoreksia dan meningkatkan katabolisme otot

skeletal dan adiposit sehingga memperburuk status nutrisi,

kelemahan otot, dan penurunan berat yang merupakan tanda

dari frailty. Tanda dan gejala frailty erat kaitannya dengan sarkopenia,

suatu penurunan progresif dari otot, kekuatan, dan performa

otot skeletal. Sarkopenia kini dianggap sebagai komponen

kunci kejadian frailty. Dalam ko.ndisi normal, homeostasis otot

skeletal melibatkan proses pembentukan sel-sel otot, hipertrofi,

serta pemecahan protein. Keseimbangan tersebut diatur oleh

otak, sistem endokrin, dan sistem imunitas; serta dipengaruhi

kuat oleh status nutrisi dan tingkat aktivitas fisis. Adanya

masalah pada sistem neurologis, endokrin, dan imunitas

dapat merusak keseimbangan fisiologis otot dan mempercepat

kejadian sarkopenia. Berbagai sitokin inflamatorik seperti

IL-6 dan TNFa juga berperan aktif dalam pemecahan otot

guna menghasilkan sumber energi dan menetralisir peptida antigen.

Model Presentasi Frailty

Saat ini frailty dikenal dalam dua model utama, yaitu

model fenotip dan model akumulasi defisit. Kedua model

tersebut saling melengkapi dan masih terus dikembangkan

dan diperbaiki hingga kini. Model presentasi frailty yang

ideal haruslah mampu memprediksi perjalanan alamiah

serta mengukur respon terhadap intervensi terapi yang akan

diberikan.

5

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Model Fenotip Frailty Model fenotip digagas oleh Linda Fried melalui studi

CHS (2001) yang melibatkan 5210 populasi berusia �65 tahun. Adanya frailty menurut model ini ditentukan oleh 5 variabel:

kehilangan berat badan, kelelahan, aktivitas fisis rendah,

kecepatan berjalan lambat, dan kekuatan genggam tangan

yang lemah (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Model Fenotip Frailty

Fenotip Penurunan berat badan

Kelelahan

Aktivitas fisis rendah

Kecepatan betjalan rendah

Kekuatan genggam tangan rendah

Deskripsi Laporan individual mengenai penurunan berat badan >4,5 kg; atau penurunan berat badan �5% per tahun

Laporan individual mengenai kelelahan minimal 3-4 hari/ minggu a tau dirasakan setiap waktu.

Konsumsi energi <383 kkal/ min-ggu (laki-laki) atau <270 kkal/minggu (perempuan)

Diukur dengan uji betjalan 15 kaki (4,75 meter). Kriteria kecepatan betjalan pada model fenotip sebagai berikut: pada perempuan <5,36 detik dan pada laki-laki 6,92 detik

Diukur dengan dinamometer tangan. Kriteria kekuatan genggam tangan pada model fenotip sebagai berikut: pada perempuan Asia <14,3 kg dan pada laki­laki Asia 22,4 kg.

Keterangan: Disebut frail apabila terdapat �3 kriteria; disebut pre-frail terdapat 1-2 kriteria.

Kelima fenotip tersebut memiliki hubungan kausal dan

saling terkait satu dengan yang lain. Proses menua, penyakit,

dan malnutrisi akan menimbulkan sarkopenia pada usia lanjut.

Massa dan kekuatan otot yang rendah, serta kapasitas V02 yang

juga menurun akan berdampak pada menurunkan kecepatan

6

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

berjalan seseorang. Kecepatan berjalan kini secara evidence­based telah terbukti berkorelasi kuat dengan aktivitas fisis yang

rendah, disabilitas, dan ketergantungan, yang pada ujungnya

menyebabkan seseorang tidak mampu lagi menjalankan

aktivitas sehari-harinya. Di lain sisi, massa otot yang rendah juga menyebabkan penurunan laju metabolik basal, yang

berdampak pada penurunan aktivitas fisis seseorang. Usia

lanjut dengan aktivitas fisis yang rendah akan cenderung

mengalami gizi kurang secara kronis, keseimbangan energi

dan nitrogen menjadi negatif, sehingga kembali memperburuk

sarkopenia. Demikian siklus ini terus berputar.

Berdasarkan model fenotip, angka mortalitas setelah 7

tahun pemantauan untuk individu frail, pre-frail, dan tidak frail adalah 43%, 23%, dan 12%. Nilai hazard-ratio mortalitas dalam

7 tahun untuk kelompok frail ialah 1,63 (95%CI 1,27-2,08).

Kekurangan model ini ialah tidak menyertakan gangguan

kognitif sebagai komponen frailty. Padahal, gangguan kognitif

termasuk instrumen penting yang mempengaruhi status

fungsional usia lanjut. Perlu diketahui bahwa studi CHS pada

dasarnya mengeksklusi individu dengan Parkinson, riwayat

stroke, gangguan kognitif, atau depresi. Kendati demikian,

model fenotip tetap banyak dipakai karena telah divalidasi

secara independen.

Model Akumulasi Defisit pada Frailty Berbeda dengan pain pertama, model akumulasi defisit

mengacu pada konsep bahwa frailty merupakan suatu bentuk

risiko yang bersifat multidimensional pada individu. Sejumlah

patologi atau defisit akan terakumulasi sepanjang waktu;

semakin banyak defisit yang terakumulasi, maka semakin renta

individu tersebut. Konsep ini lebih mengukur frailty sebagai

suatu kuantitas dan spektrum, bukan suatu variabel dikotom

(ada atau tidak).

Defisit yang dimaksud dalam model ini dapat berupa

gejala, tanda, penyakit, disabilitas, maupun kelainan hasil

7

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

laboratoris yang akan terakumulasi seiring penambahan usia,

berkaitan dengan luaran buruk, tidak memiliki titik jenuh

Qumlah maksimal), melibatkan domain yang berbeda, serta

menggunakan parameter yang sama dari waktu ke waktu.

Model akumulasi defisit yang banyak dipakai ialah Frailty Index (Fl), yang dikembangkan melalui studi kohort prospektif

5 tahun bemama Canadian Study of Health and Aging/CSHA

(n=l0.263). Studi CSHA mengevaluasi 92 variabel dasar dari

gejala, tanda, penyakit, parameter laboratoris, dan disabilitas

untuk menyusun model matematis Frailty Index. Apabila

seseorang memiliki 20 defisit, maka diperoleh nilai FI = 20 / 92

= 0,22. Nilai FI telah terbukti berkorelasi kuat dengan angka

kesintasan dan luaran buruk kesehatan. Nilai ambang batas FI

�0,25 lazim dipakai untuk menggambarkan kondisi akumulasi

defisit yang akan berdampak buruk.

Dalam perkembangannya, untuk memudahkan

pemakaiannya dalam praktik sehari-hari model FI-92 items

disederhanakan menjadi FI-40 items (lihat Tabel 2) atau

ada juga yang menjadikannya FI-30 items. Penyederhanaan

tersebut dilakukan dengan mengutamakan variabel biologis

yang sensitif, terakumulasi dengan penambahan usia, dan

tidak mencapai nilai maksimal terlalu dini. Nilai hazard-ratio mortalitas dalam 10 tahun pada individu frail ialah 1,57 (95 % CI

1,41-1,74). Nilai tersebut dianggap tidak jauh berbeda dengan

model fenotip.

Penggunaan Model Fenotip dan Akumulasi Defisit

Munculnya dua model presentasi frailty tak pelak

menimbulkan perdebatan dan kontroversi metode mana yang

akan dipakai. Sejatinya kedua model tersebut memiliki tujuan

yang berbeda dan saling melengkapi satu sama lain. Model

fenotip bermanfaat untuk mengidentifikasi risiko kejadian

buruk pada populasi usia lanjut non-disabilitas; sementara

8

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

frailty index lebih bermanfaat dalam melihat perjalanan

akumulasi defisit yang tetjadi, termasuk pada individu dengan

disabilitas sedang-berat.

Epidemiologi dan Behan Masalah Frailty

Setelah disepakati definisi dan model pengukuran secara

intemasional, maka diperoleh prevalensi frailty sekitar ±10%

pada populasi berusia >60 tahun dan mencapai 25% pada usia

�80 tahun. Namun patut diakui masih terdapat perbedaan

metode pengukuran frailty.

Dalam telaah sistematis yang melibatkan 61.000 usia lanjut,

prevalensi frailty diperkirakan sebesar 9,9% (95%CI 9,6-10,2)

dan 44,2% (95%CI 44,2-44,7) untuk pre-frailty. Kejadian frailty

tersebut akan meningkat secara konsisten seiring penambahan

usia: 65-69 tahun 4%, 70-74 tahun 7%, 75-79 tahun 9%, 80-

84 tahun 16%, dan �85 tahun 26%. Frailty juga lebih sering

dijumpai pada wanita dibandingkan pria (9,6% vs 5,2% ).

Berbagai studi kohort skala besar dan jangka panjang pun

telah menunjukkan dampak frailty terhadap kejadian jatuh,

perburukan disabilitas, hingga mortalitas (lihat Tabel 3). Secara

umum, kelompok frail akan lebih cenderung mengalami luaran

kesehatan yang buruk bila dibandingkan dengan kelompok

non-frail.

Hal menarik lainnya ialah studi CHS menemukan adanya

tumpang tindih antara frailty, komorbiditas, dan disabilitas.

Frailty dan komorbiditas ditemukan pada 46,2% populasi;

sementara frailty dan disabilitas ditemukan pada 5,7%, serta

kombinasi frailty, disabilitas, dan komorbiditas sebesar 21,5 % . Pada studi ini, terdapat pula kelompok hanya mengalami

frailty, yaitu 26,6%, suatu temuan yang membuktikan bahwa

frailty berbeda (independen) terhadap komorbiditas dan

disabilitas (lihat Tabel 2).

9

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Tabel 2. Model Frailty Index-40 items Disebut frail apabila skor FI >=0,25;

disebut pre-frail apabila skor FI 0,08-0,25

No DEFIS IT 0 0,25

SKOR 0,5 0,75 1

1 Gangguan Peng- Tidak Ring an Se dang Berat Sangat lihatan ada berat

2 Gangguan Pen- Tidak Ring an Sedang Berat Sangat dengaran ada berat

3 Bantuan untuk Mandiri Bantu an Tergantung makan minimal total

4 Bantuan untuk Mandiri Bantu an Tergantung berpakaian dan minimal total melepas pakaian

5 Kemampuan un- Mandiri Bantuan Tergantung tuk merawat diri minimal total

6 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung be!jalan minimal total

7 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung tidur dan bangun minimal total dari tidur

8 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung mandi minimal total

9 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung pergi ke kamar minimal total mandi

10 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung menele£on minimal total

11 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung berjalan mencapai minimal total tempat-tempat ke 'atan

12 Bantuan untuk Mandiri Bantu an Tergantung berbelanja minimal total

13 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung mempersiapkan minimal total makanan sendiri

14 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung pekerjaan rumah minimal total tan a

15 Kemampuan un- Mandiri Bantuan Tergantung tuk minum obat minimal total

16 Kemampuan Mandiri Bantuan Tergantung untuk mengurus minimal total keuangan sendiri

10

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

17

18

19 20 21 22

23

24

25

26

27

28 29 30 31 32 33 34

35

36 37

38

39 40

Anggapan mengenai tingkat keseha tan sendiri

Kesulitan untuk melakukan aktivi-tas sehari-hari

Hidup sendiri

Batuk Merasa lelah

Hidung tersum-bat atau bersin Tekanan darah tinggi

Masalah jantung dan peredaran darah

Stroke atau akibat stroke Artritis atau rematik Penyakit Parkin-son

Masalah mata Masalah telinga

Masalah gigi

Masalah paru Masalah lambung

Masalah ginjal Tidak dapat men-gontrol kemih Tidak dapat men-gontrol BAB

Diabetes Masalah dengan kaki atau perge-langan kaki

Masalah dengan saraf Masalah kulit

Fraktur

Sangat Baik Se dang Bu- Sangat baik ruk buruk

Tidak Kesulitan Kesulitan ada ringan berat

Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya

Tidak Ya

Tidak Ya

Tidak Ya

Tidak Ya

Tidak Ya

Tidak Ya Tidak Ya

Tidak Ya

Tidak Ya

Tidak Ya Tidak Ya

Tidak Ya

Tidak Ya

Tidak Ya Tidak Ya

Tidak Ya

Tidak Ya Tidak Ya

Disebut frail apabila skor Fl >=0,25; disebut pre-frail apabila skor Fl 0,08-0,25

11

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Tabel 3. Studi Kohort Mengenai Luaran Buruk Frailty Perbu-

Subjek Lama Pe-

Kejadian Jatuh rukan Mortalitas

STUD! Tahun mantauan Disabilitas (OR (n)

(Tahun) (OR [95%CI])

(OR [95%CI]) [95%CI])

Cardiovas- 2001 5.317 7 1,12 (1,00-1,26) 1,55 (1,38- 1,32 (1,13-cular Health 1,75) 1,55) Study (CHS)

Canadian 2004 9.008 5 T/S T/S 3,69 (2,26-Study of 6,02) Health

and Aging (CSHA)

Women's 2006 1.438 3 0,92 (0,63-1,64) T/S 6,03 (3,00-Health 12,08)

and Aging Study

(WHAS)

Study of 2008 6.701 4,5 HR 1,23 (1,02- HR 1,89 HR 2,75 Osteoporo- 1,48) (1,66-2,14) (2,46-3,07) tic Fractures

(SOF)

OR, odds ratio; HZ, hazard ratio

lntervensifrai/ty

Perlu digarisbawahi, frailty merupakan proses dinamis

yang dapat memburuk ataupun membaik. Laporan adanya perubahan status frailty pertama kali dilakukan oleh Gill et

al, melalui studi longitudinal 4,5 tahun yang melibatkan 754

populasi �70 tahun di komunitas. Selama masa pengamatan,

58 % subyek minimal mengalami 1 kali transisi status frailty,

baik memburuk maupun membaik. Oleh sebab itu, masih

terbuka kemungkinan untuk mengembalikan kondisi frail

ke pre-frail atau dari pre-frail menjadi sehat; atau setidaknya

mencegah dari pre-frail menjadi frail.

Manajemen frailty yang adekuat seyogyanya dimulai dari

identifikasi individu berusia lanjut yang berisiko menjadi

frail, atau dalam kondisi pre-frailty. Dalam ilmu geriatri,

penilaian frailty sebenamya bukan hal yang baru, mengingat

model frailty index yang menitikberatkan pada penggalian

gejala/ tanda, penyakit, dan disabilitas pada pasien secara

12

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

komprehensif-dikeluhkan atau tidak- sama dengan konsep

pengkajian paripurna pasien geriatri (P3G atau comprehensive geriatric assessment/ CGA).

Dalam telaah sistematis beberapa artikel terkini, berbagai

intervensi telah dicoba guna mengembalikan status frailty ke

arah sehat. Modalitas yang telah diteliti, antara lain latihan

fisis, suplementasi nutrisi, kombinasi latihan fisis dan nutrisi,

agen farmakologis, program multi-dimensional, serta layanan

berbasis rumah. Regimen latihan fisis yang banyak diteliti

mencakup latihan resistensi, aerobik, keseimbangan dan

fleksibilitas; baik dalam intensitas rendah maupun tinggi

selama 2-3 kali/ minggu. Suplementasi nutrisi yang paling

banyak diteliti ialah sumber protein dan/ atau asam amino.

Mayoritas agen farmakologis berupa terapi androgen, DHEA,

estrogen, dan rekombinan hormon pertumbuhan. Meski belum

ada modalitas yang dianggap sempurna, regimen latihan

fisis dan suplementasi asam amino menunjukkan hasil yang

prospektif.

Seperti yang banyak diketahui sebelumnya, latihan fisis a tau

olahraga memiliki efek pada otak, sistem hormonal, imunitas,

dan otot skeletal. Hal itulah yang tampaknya sejalan dengan

patobiologi frailty saat ini. Latihan fisis dapat memperbaiki

mobilitas dan kemampuan fungsional (perbedaan rerata 0,18;

95%CI 0,05-0,30). Namun, belum diketahui intensitas (durasi

dan frekuensi) yang tepat.

Sebuah telaah sistematis dari Cochrane dilakukan untuk

melihat manfaat latihan fisis pada usia lanjut yang tinggal di

perawatan jangka panjang, sebuah populasi yang sangat renta

(jrail). Hasil telaah tersebut menunjukkan, latihan kekuatan

dan keseimbangan mampu meningkatkan kekuatan otot dan

kemampuan fungsional. Bahkan, peningkatan sedikit kekuatan

otot telah mampu menghasilkan perbaikan fungsional yang

signifikan.

Di lain sisi, intervensi nutrisi juga ditujukan untuk

memperbaiki status gizi dan penurunan berat badan pada

13

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

frailty. Akan tetapi, hasil penelitian klinis yang ada masih bervariasi. Latar belakang penelitian nutrisi untuk frail ty sebenarnya cukup sederhana dan mudah dimengerti. Mengingat bahwa sarkopenia merupakan kausa utama frailty, maka terapi sarkopenia secara tidak langsung juga diharapkan

akan memperbaiki status frailty. Pada sarkopenia, laju pemecahan otot lebih besar

dibandingkan laju sintesis protein otot. Adanya stres pada berbagai defisit kesehatan juga turut meningatkan kebutuhan metabolik (energi dan protein) . Selain itu pada pasien frailty, respon sintesis protein otot cenderung menjadi tumpul, suatu kondisi yang disebut resistensi anabolik. Dengan demikian, upaya perbaikan sintesis protein otot melalui suplementasi protein atau asam amino diharapkan mampu memperbaiki mekanisme patologis tersebut.

Sebuah survei nutrisi pada populasi usia lanjut di Jepang juga telah mengonfirmasi adanya defisien asam amino pada individu frail. Dibandingkan kelompok non-frail, individu frail memiliki kadar asam amino sistein, metionin, valin, isoleusin, serta protein total yang lebih rendah. Studi observasional Women's Health Initiative (WHI) juga menyimpulkan bahwa peningkatan 20% asupan protein berhubungan dengan penurunan 32% risiko frailty.

Lantas pemyataan berikutnya, apakah dengansuplementasi asam amino saja sudah cukup untuk stimulasi pembentukan protein otot? Sebuah meta-analisis yang diakukan oleh Gweon HS, et al diketahui bahwa asupan asam amino jangka pendek (3-6 jam) mampu meningkatkan laju fraksi sintesis protein otot, baik pada individu sehat maupun usia lanjut. Di samping memicu sintesis protein, asupan asam amino sekaligus akan menghambat pemecahan protein. Hasil temuan tersebut memang sangat tergantung dari dosis protein yang diberikan. Pada suatu dosis tinggi tertentu, suplementasi asam amino tidak mampu lagi memicu sintesis otot.

14

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Konsep tersebut kemudian diterj emahkan dalam beberapa penelitian klinis, namun hasilnya belum sepenuhnya memuaskan. Selain adanya batas maksimal untuk laju sintesis protein otot, peningkatan massa otot tidak serta-merta memperbaiki kekuatan dan performa otot. Padahal, frailty ialah suatu konsep multi-domain yang menitikberatkan pada kapasitas fisiologis dan fungsional seseorang. Perbaikan massa otot tidak menjamin bahwa seorang individu mampu bertahan terhadap stresor ringan tertentu.

Kim CO, et al (2013) melakukan studi klinis acak terkontrol ganda pada individu frail dengan gizi kurang. Luaran yang diukur ialah status fungsional; penelitian ini tidak lagi mengukur kadar protein darah, namun langsung menerapkannya pada kemampuan fungsional. Regimen yang diberikan ialah 200 mL makanan yang terdiri dari 400 kkal energi, 25 g protein, 9,4 g asam amino esensial, dan 400 mL

air mineral. Setelah 12 minggu intervensi, temyata didapatkan hasil yang bervariasi untuk masing-masing luaran fungsional. Terapi nutrisi mampu memperbaiki fungsional fisik, short physical performance battery (SPPB), kecepatan berjalan, timed up and go test (TUGT); namun tidak berbeda bermakna untuk variabel kekuatan genggam tangan dan one-legged stance.

Dari studi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya peningkatan cadangan fisiologis, dalam hal ini suplementasi asam amino dan kalori, mampu menunjukkan peningkatkan performa seorang usia lanjut. Oleh sebab itu, adalah rasional bila individu berusia lanjut mendapatkan jumlah protein harian yang lebih tinggi dibandingkan dewasa muda. Rekomendasi dari Studi PROT-AGE memberikan kisaran 1,0-1,2 g/kg/hari untuk asupan protein usia lanjut.

Beberapa penyebab diduga sebagai penyebab menurunnya laju sintesis protein terhadap asupan protein pada usia lanjut ialah gaya hidup rendah aktivitas fisis (sedentary lifestyle) atau adanya sitokin inflamasi pada penyakit kronis. Oleh karena itu, menggabungkan latihan fisis dalam regimen nutrisi

15

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

dianggap sebagai pilihan terbaik saat ini untuk mencegah

sindrom frailty. Di samping itu, mengingat bahwa frailty juga merupakan akumulasi defisit kesehatan, maka upaya

perbaikan komorbiditas juga penting untuk meminimalisir

dampak inflamasi kronis pada status frailty.

lntervensi Frailty Masa Depan

Saat ini telah berjalan penelitian klinis untuk mencari

pengobatan frailty. Selain modikasi regimen latihan fisis dan

nutrisi, beberapa agen farmakologis seperti ghrelin, analog

vitamin D, serta bimagrumab (BYM338) diharapkan mampu

mencegah kejadian frailty pada individu berisiko. Bimagrumab

ialah antibodi monoklonal yang menghambat reseptor

aktivin tipe 2, reseptor yang berperan dalam pemecahan

otot. Bimagrumab saat ini menjadi opsi untuk terapi rniositis

badan inklusi, suatu penyakit inflamasi otot yang ditandai

dengan kelemahan dan wasting pada otot proksimal dan distal.

Ke depan, bimagrumab diharapkan mampu memperbaiki

sarkopenia dan juga frailty.

Kesimpulan

Frailty merupakan sindrom medis yang berdampak luas

bagi individu dan masyarakat. Banyak studi multisentra yang

membuktikan peran frailty sebagai prediktor independen

luaran buruk kesehatan, termasuk mortalitas. Sejumlah model

telah dikembangkan untuk mengukur frailty, namun model

fenotip dan akumulasi defisit adalah yang paling sering

digunakan dalam praktik klinis maupun penelitian. Oleh sebab

itu, stratifikasi pasien usia lanjut berdasarkan status frailty kini menjadi penting karena dapat menentukan intervensi

yang akan diberikan selanjutnya atau memberikan gambaran

16

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

prognosis pasien. Meski belum ada terapi yang optimal untuk

mencegah atau memperbaiki status frailty, latihan fisis dan

suplementasi protein/ asam amino merupakan pilihan terbaik

saat ini. Berbagai pengobatan mutakhir telah dikembangkan

untuk mengatasi sindrom frailty.

Daftar Pustaka

1. Fried LP, Tangen CM, Walston J, et al . Frailty in older adults: evidence for a phenotype. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2001 Mar;56(3) :M146-56.

2. Rockwood K, Howlett SE, MacKnight C, et al. Prevalence, attributes, and outcomes of fi tness and frailty in community­dwelling older adults: report from the Canadian study of health and aging. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2004; 59: 1310-7.

3. Woods NF, LaCroix AZ, Gray SL; Women's Health Initiative. Frailty: emergence and consequences in women aged 65 and older in the Women's Health Initiative Observational Study. J Am Geriatr Soc. 2005 Aug;53(8) :1321-30.

4. Bandeen-Roche K, Xue QL, Ferrucci L, et al. Phenotype of frailty: characterization in the women's health and aging studies. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2006; 61: 262-6.

5. Ensrud KE, Ewing SK, Taylor BC, et al. Comparison of 2 frailty indexes for prediction of falls, disability, fractures, and death fu older women. Arch Intern Med. 2008; 168: 382-9.

6. Varadhan R, Walston J, Cappola AR, et al. Higher levels and blunted diurnal variation of cortisol in frail older women. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2008 Feb;63(2):190-5.

7. Gweon HS, Sung HJ, Lee DH. Short-term protein intake increases fractional synthesis rate of muscle protein in the elderly: meta­analysis. Nutr Res Pract. 2010 Oct;4(5):375-82.

8. Studenski S, Perera S, Patel K, et al. Gait speed and survival in older adults. JAMA. 2011Jan 5;305(1):50-8.

9. Gill TM, Gahbauer EA, Han L, et al. The relationship between intervening hospitalizations and transitions between frailty states. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2011 Nov;66(11):1238-43.

10. Xue QL. The frailty syndrome: definition and natural history. Clin Geriatr Med. 2011 Feb;27(1):1-15.

17

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

11. Clegg A, Young J, Iliffe S, et al. Frailty in elderly people. Lancet. 2013 Mar 2;381(9868):752-62.

12. Kim CO, Lee KR. Preventive effect of protein-energy supplemen­tation on the functional decline of frail older adults with low so­cioeconomic status: a community-based randomized controlled study. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2013 Mar;68(3) :309-16.

13. Rodriguez-Artalejo F, Rodriguez-Mafias L. The frailty syndrome in the public health agenda. J Epidemiol Community Health. 2014 Aug;68(8):703-4.

14. Lahousse L, Maes B, Ziere G, et al. Adverse outcomes of frailty in the elderly: the Rotterdam Study. Eur J Epidemiol. 2014 Jun;29(6):419-27.

15. Armstrong JJ, Mitnitski A, Launer LJ, et al. Frailty in the Hono­lulu-Asia Aging Study: deficit accumulation in a male cohort followed to 90% mortality. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2015 Jan;70(1):125-31.

16. Rodriguez-Mafias L, Fried LP. Frailty in the clinical scenario. Lancet. 2015 Feb 14;385(9968):e7-9.

18

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Manfaat Kendali Tekanan Darah 24-Jam dalam Menurunkan Risiko

Komplikasi Hipertensi pada Pasien Usia Lanjut

Kuntjoro Harimurti

Hipertensi Pada Usia Lanjut: Suatu Tinjauan Singkat

Hipertensi dan komplikasinya merupakan masalah kesehatan utama pada populasi usia lanjut. Prevalensi hipertensi secara global sekitar 40% pada tahun 2008.1 Pada populasi di Amerika Serikat yang berusia di atas 18 tahun prevalensi hipertensi sekitar 27% dan prevalensi ini meningkat secara progresif seiring meningkatnya usia, sehingga mayoritas populasi berusia lanjut mengalami hipertensi. Pada Framingham Heart Study, sekitar 90% subjek berusia 55 tahun dengan tekanan darah yang pada awalnya normal kemudian akan mengalami hipertensi pada suatu saat di kemudian hari.2 Di populasi Asia, prevalensi hipertensi bervariasi antara 30%

di Korea hingga 47% di Mongolia. Di China dengan prevalensi hipertensi secara keseluruhan 39%, pada populasi berusia >60

tahun prevalensinya 59,4 % , dan pada usia 75 tahun 72,8 % . 3 Di Indonesia, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013, prevalensi hipertensi keseluruhan yang didapat melalui pengukuran pada sampel sebesar 25,8%; dengan prevalensi yang meningkat pada kelompok usia 45-54 tahun (35,6% ), 55-64 tahun (45,9% ), 65-74 tahun (57,6% ), dan usia 75

tahun atau lebih (63,8% ) .4 Patofisiologi hipertensi pada kelompok usia lanjut sebagian

besar akibat dari perubahan vaskuler pada proses menua, terutama yang melibatkan perubahan struktural pada tunika media yaitu gangguan elastin, deposisi kola gen, serta kalsifikasi,

19

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

yang pada akhirnya menyebabkan kekakuan serta penebalan lapisan intima-media. Selain itu, kekakuan pembuluh darah pada proses menua juga disebabkan oleh disfungsi endotel dan berkurangnya ketersediaan oksida nitrit (nitrit oxide, NO).

Beberapa mekanisme lain diketahui terjadi pada pembuluh darah besar dan aorta, seperti perubahan kontur denyut arteri akibat kembalinya secara dini gelombang pembuluh darah yang terpantulkan dari perifer ke aorta proksimal. Gelombang yang kembali tersebut ditambah dengan gelombang anterograd menghasilkan tekanan darah sistolik (TDS) yang meningkat diikuti dengan peningkatan tekanan dinding ventrikel kiri. Mekanisme ini secara keseluruhan menyebabkan peningkatan TDS tanpa diikuti peningkatan tekanan darah diastolik (TDD) atau disebut sebagai hipertensi sistolik terisolasi (isolated systolic hypertension, ISH), yang merupakan karakteristik hipertensi pada populasi usia lanjut.5

Selain perubahan struktural pada pembuluh darah, terdapat beberapa mekanisme lain yang berkontribusi pada kejadian hipertensi pada pasien usia lanjut, yaitu peningkatan aktivitas saraf simpatis, peningkatan sensitivitas terhadap garam, berbagai komorbid yang sudah ada pada pasien (seperti penyakit ginjal kronik dan obesitas), serta fenomena white-coat hypertension yang lebih nyata pada mereka yang berusia lanjut. Kesemuanya ini, yang umumnya terjadi secara bersama-sama, menyebabkan prevalensi hipertensi lebih tinggi pada populasi usia lanjut.5

Komplikasi akibat hipertensi pada usia lanjut terjadi sama seperti pada kelompok dewasa muda dengan hipertensi, namun dengan pola yang berbeda. Kejadian penyakit serebrovaskular, baik strok iskemik maupun hemoragik, merupakan salah satu komplikasi utama dan banyak terjadi pada pasien hipertensi usia lanjut. Walaupun dikatakan hubungan antara tekanan darah dengan kejadian strok tidak sekuat seperti pada pasien hipertensi dewasa muda, namun karena morbiditas dan mortalitas terkait-strok meningkat seiring dengan

20

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

meningkatnya usia maka hipertensi masih merupakan fakrot

risiko penting untuk kejadian serebrovaskular. Salah satu

komorbiditas terkait-stroke yang penting adalah penurunan fungsi kognitif, mulai dari gangguan kognitif ringan hingga terjadinya demensia (baik demensia vaskular maupun penyakit Alzheimer) dan ini menjadi penting karena gangguan kognitif

ringan dan demensia juga sering didapatkan pada orang berusia lanjut yang berkaitan dengan proses penuaannya. Komplikasi lain seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung, penyakit ginjal kronik, serta penyakit pembuluh

darah perifer secara umum terjadi sama seperti pada pasien dewasa muda. Sementara beberapa komplikasi lain dikatakan mempunyai karakteristik dan dampak yang berbeda yaitu fibrilasi atrium, aneurisma aorta abdominalis, dan komplikasi di mata (retinopati) . Ketika berbicara mengenai berbagai komplikasi pada pasien hipertensi usia lanjut, issue yang harus selalu diingat dan dijadikan target tata laksana adalah mengenai kualitas hidup.5

Pengkajian terhadap pasien hipertensi usia lanjut harus dimulai dari pemeriksaan tekanan darah yang akurat dan dapat dipercaya menggambarkan tekanan darah sebenarnya dari pasien. Secara teknis tidak ada perbedaan cara pengukuran tekanan darah antara usia dewasa muda dan usia lanjut, namun kemungkinan terdapatnya kondisi pseudohypertension dan white-coat hypertension selalu harus diperhitungkan. W alaupun perneriksaan tekanan darah secara ambulatoar dan pemeriksaan tekanan darah secara mandiri di rumah sangat dianjurkan pada pasien hipertensi termasuk pada usia lanjut, penggunaannya harus mempertirnbangkan adanya penurunan fungsi kognitif yang umumnya terjadi pada orang berusia lanjut. Evaluasi klinis pasien usia lanjut dengan hipertensi dirnulai dari evalusi terhadap faktor risiko/pemberat yang dapat dimodifikasi seperti gaya hidup sedentari, merokok, dan konsumsi alkohol. Evaluasi juga dilakukan terhadap identifikasi kerusakan target organ, meliputi perneriksaan

21

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

laboratorium, radiologi, maupun pemeriksaan penunjang lain

yang relevan. Selain itu pemeriksaan terhadap komorbid lain

yang sering menyertai hipertensi, seperti diabetes melitus dan

dislipidemia, merupakan pemeriksaan rutin awal yang juga

harus dilakukan (Tabel 1) .5

Tabel 1. Evaluasi klinis pasien usia lanjut dengan hipertensi untuk identifikasi kerusakan target organ dan komorbiditas

Kerusakan target organ/ Pemeriksaan yang dianjurkan Komorbiditas

Ginjal (nefropati)

Retinopati

Jan tung

Dislipidemia

Diabetes melitus

Urinalisis, ureum, kreatinin, elektrolit, laju filtrasi glomerulus

Funduskopi

Foto ronsen dada, elektrokardiografi, dan ekokardiografi (pada keadaan khusus)

Profil lipid, yang meliputi: kolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol LDL, dan trigliserida

Gula darah puasa, HbAlc

Seperti pada pasien usia lanjut secara umum, pengkajian

secara paripurna (comprehensive geriatric assessment, CGA)

juga hams dilakukan ketika mengevaluasi pasien usia lanjut

dengan hipertensi. Selain aspek fisik-medik berupa diagnosis

dan derajat beratnya hipertensi serta evaluasi kerusakan target

organ, pengkajian terhadap status fungsional dilakukan untuk

mengetahui dampak hipertensi dan komplikasinya terhadap

mobilitas dan kemandirian pasien. Komplikasi berupa gagal

jantung, penyakit jantung koroner dengan manifestasi angina

yang berat, stroke, retinopati, dan penyakit arteri perifer

dengan klaudikasio dapat sangat mempengaruhi aktivitas

pasien sehari-hari dan menyebabkan ketergantungan akibat

hendaya yang yang ditimbulkannya. Seperti telah disebutkan

di atas, salah satu komplikasi penting hipertensi adalah

kejadian serebrovaskular yang secara langsung menyebabkan

gangguan fungsi kognitif (mulai dari yang ringan hingga

22

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

demensia vaskular dan penyakt Alzheimer), maka penilaian fungsi kognitif harus selalu dilakukan. Selain karena komplikasi akibat hipertensi, evaluasi fungsi kognitif perlu dilakukan sebagai upaya menilai keberlangsungan proses pengobatan jangka panjang yang membutuhkan kepatuhan pengobatan dan pemahaman pasien terhadap hipertensi yang dialaminya. Evaluasi aspek nutrisi dapat menjadi poin penting dalam ta ta laksana hipertensi dan komplikasinya, sebagai dasar modifikasi diet pasien sesuai dengan kondisi hipertensi dan komplikasinya dengan tetap mempertahankan status nutrisi pasien pada keadaan normal. Obesitas merupakan salah satu penyulit hipertensi yang hams diperhatikan dan ditata laksana dengan benar.

Variabilitas Tekanan Darah 24 Jam pada Pasien Hiper·

tensi dan lmplikasi Klinisnya

Variabilitasi tekanan darah dalam periode 24 jam telah diketahui sejak lama, yang pada tahun 1970-an dikonfirmasi melalui pemantauan tekanan darah intra-arterial pada individu normal dan hipertensi. Karakteristik sirkadian tekanan darah ini ditandai dengan peningkatan drastis tekanan darah segera setelah waktu bangun tidur (morning surge) yang mencapai puncaknya pada sekitar jam 10 pagi, dan kemudian menurun secara progresif hingga mencapai nilai terendahnya pada saat malam hari terutama saat tidur (Gambar 1). Pada pasien dengan hipertensi pola sirkadian ini juga dipertahankan, dengan kecenderungan amplitudonya yang lebih meningkat serta terdapat beberapa individu yang tidak menunjukkan penurunan tekanan darah nokturnal yang disebut sebagai "nondippers" . 6

23

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

200

180

00 160 J: E 140 .S QI 1 20 � � 100 -a.

� 80

Diastolic BP , ___ __

................. ___ _ al

60 Morning hours

0 18,00 22,00 02,00 06,00 10,00 1 4,00 18,00

Time of day

Gambar 1 . Pola perubahan tekanan darah dalam periode 24 jam

Variabilitas tekanan darah 24 jam ini mempunyai berbagai implikasi klinik. Pertama, terdapat fenomena meningkatnya kejadian kardiovaskular, berupa infark miokard, stroke dan kematian jantung mendadak, pada pagi hari (sekitar pukul 06 -10 pagi) dibandingkan pada waktu-waktu lainnya (Gambar 2).

Walaupun teori mengenai fenomena ini menjelaskan berbagai faktor berperan seperti faktor neuroendokrin serta peningkatan aktivitas trombosit dan menurwmya aktivitas fibrinolitik pada pagi hari, namun peningkatan tekanan darah masih merupakan faktor yang diduga paling berhubungan dengan peningkatan secara relatif kejadian kardiovaskular pada pagi hari. Kedua, pasien hipertensi yang tergolong "non-dippers" lebih sering mengalami komplikasi akibat hipertensi dibanding pasien hipertensi yang masih dapat mempertahankan pola sirkadian turunnya tekanan darah pada saat ma lam hari ("dippers") . "Non-dippers" yang didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah selama waktu tidur kurang dari 10% bila dibandingkan saat bangun, terjadi karena meningkatnya aktivitas adrenergik dan menurunkan aktivitas vagal saat tidur. Ketiga, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemantauan tekanan darah secara ambulatoar selama 24 jam merupakan prediktor yang lebih baik bila dibandingkan pemeriksaan tekanan darah

24

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

sesaat dalam memprediksi terjadinya berbagai komplikasi kardiovaskular.7

00 N ,., II t: Ql "' 0 � � 41 0 Ill .0 E ::: z

Hourly frequency of the onset of Ml and stroke " " 150

120 200

90 1 50

60 100

30 50

0 ��������������������� 0 18:00 22:00 02:00 06:00

Time of day

10:00 14:00 18:00

Gambar 2. Peningkatan risiko kejadian kardiovaskular pada ke­naikan tekanan darah 24-jam

V ariabilitas tekanan darah 24-jam ini juga menjadi masalah penting dalam evaluasi hipertensi pada pasien usia lanjut. Peningkatan rerata TDS pagi hari (morning surge) diketahui lebih tinggi pada kelompok pasien berusia 65 tahun lebih bila dibandingkan pasien kelompok usia di bawahnya.8 Selain itu, seperti telah disebutkan di atas, fenomena white-coat hypertension merupakan salah satu karakteristik penting pada evaluasi hipertensi pada pasien usia lanjut. Pasien usia lanjut lebih sering mengalami white-coat effect atau white coat hypertension bila dibanding pasien dewasa muda dengan prevalensi antara 15% hingga 25% .5 Oleh sebab itu, pemantauan tekanan darah di luar pemeriksaan rutin di klinik serta pemantauan ambulatoar atau di rumah selama 24 jam menjadi salah satu evaluasi yang penting dilakukan pada pasien hipertensi usia lanjut.

25

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Pentingnya Pengendalian Tekanan Darah 24-Jam

Pada Pasien Hipertensi Usia Lanjut

Walaupun pengendalian tekanan darah hingga mencapai nilai optimalnya merupakan target pada penatalaksanaan hipertensi, namun penelitian-penelitian mengenai pengobatan antihipertensi pada pasien usia lanjut menunjukkan hasil yang masih bervariasi. Target penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi usia lanjut, baik sistolik maupun diastolik, masih menjadi diskusi dan terus diteliti hingga saat ini. Peningkatan risiko kardiovaskular dan komplikasi lain hipertensi jelas terjadi pada peningkatan tekanan darah, namun bukan berarti ketika tekanan darah diturunkan maka akan diiringi penurunan risiko komplikasi. Sudah dikenal pola hubungan tekanan darah dengan risiko komplikasi hipertensi yang berbentuk kurva-J atau kurva-U, yang menunjukkan bahwa ketika tekanan darah diturunkan akan terjadi penurunan risiko komplikasi hipertensi namun pada suatu nilai tekanan darah tertentu maka risiko komplikasi justru meningkat ketika tekanan darah diturunkan lebih lanjut (Gambar 3) .9 Oleh sebab itu, beberapa panduan penatalaksanaan hipertensi terkini menganjurkan target pencapaian tekanan darah yang tidak serendah target pada populasi kelompok usia dewasa muda.10

Selain masalah target tekanan darah, terkait dengan fenomena variabilitas tekanan darah 24-jam, maka upaya pengendalian tekanan darah yang terus menerus sepanjang hari hams menjadi perhatian dalam tata laksana hipertensi pada pasien usia lanjut. Walaupun sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pengukuran tekanan darah selama 24-jam atau pengukuran tekanan darah di luar kunjungan pasien ke dokter merupakan prediktor yang lebih baik bila dibandingkan pengukuran sesaat di klinik,11 •12 namun penelitian khususnya pada populasi pasien hipertensi usia lanjut masih terbatas. The Dublin outcome study menunjukkan pada pasien hipertensi usia lanjut pengukuran tekanan darah 24-jam dan

26

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

A i.46 -.---------------------rn \ ::� \. 1 .36 ... l:� \ t .30 ...

0 1 .28 .... ;; t.26 •. :! rn -.... "E 1 :20

•· •.• "' 1 . 18 • •• :: 1 . 16 • ••

:z:: rn ·· .... 1 10

• •• 1 8:! ··.... .·· .1 .:� ·· ·•· ···.•.•. • • . .... · ······ · · · 1 , ' ' •• • • o , ,,.O Lo • ...,, ••• .., • • •

0.06 O.ll6

. ..... ...... · · · ··· ·········· · · · · · · · · ·· · · · · · · · · · · · · · · ·· · · 0.94 ......... ������������,.,.......���..,......,�,.,....... .......... ..-1

1 10 120 130 140 150 160 170 Systolic blood pressure (mmHg)

B i a�---------------------

0 i ... ,, :15 li! J:

1 7

1 6

1 5

1 4

1 3

1 2

1 1

1 0

·· .. . ........ ·

···... .·· . ..······

·· ··· · · · ··········· _·: :::��;;;:�·:;o:.:.i;.'."i.o...�··.-···..,··�··· ········ ...

.

o g-,,_.,_������-������-�����.......,1 60 70 80 00

Diastolic blood pressure (mmHg) 100

Garnbar 3. Pola hubungan tekanan darah sistolik (A) dan diastolik (B) dengan komplikasi hlpertensi

pengukuran tekanan darah rnalarn hari rnerupakan prediktor yang lebih kuat bila dibandingkan pengukuran tekanan darah di klinik.13 Penelitian Kario pada 519 pasien hipertensi usia lanjut rnenunjukkan bahwa morning surge rnerupakan prediktor yang sensitif terjadinya terjadinya penyakit serebrovaskular

27

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

yang silent maupun bermanifestasi klinis.14 Penelitian lain pada pasien hipertensi usia 60-90 tahun yang tergolong "non­dippers" kejadian stroke secara bermakna meningkat baik pada yang mengalami morning surge dan yang tidak, sementara pada dippers peningkatan kejadian stroke bermakna hanya pada yang mengalami morning surge.15 Perubahan white-matter

hyperintensity (WMH) yang berdampak pada penurunan fungsi kognitif yang terjadi sebagai komplikasi hipertensi yang penting pada pasien usia lanjut, berhubungan lebih kuat dengan pengukuran rerata tekanan darah sepanjang hari bila dibandingkan dengan pengukuran darah di klinik saja.16

Atas dasar bukti-bukti klinis di atas, maka tata laksana yang diberikan untuk pasien hipertensi usia lanjut (baik non-farmakologik dan farmakologis) harus mampu mempertahankan tekanan darah sesuai target secara terus menerus selama 24-jam. Untuk terapi obat, maka obat yang dipilih harus mempunyai masa paruh yang panjang serta mempunyai efek samping yang ringan dan mudah penggunaan ( dosis sekali sehari) agar dapat meningkatkan kepatuhan pasien. Obat golongan angiotensin receptor-blocker

(ARB) seperti telmisartan dan valsartan, golongan antagonis kalsium amlodipin, serta ACE-inhibitor ramipril, merupakan obat-obat yang memiliki karakteristik di atas. Uji klinis obat­obat tersebut, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi, menunjukkan telmisartan mempunyai efek pengendalian tekanan darah 24-jam serta keefektifan yang lebih baik dalam menurunkan kejadian komplikasi akibat hipertensi dibandingkan obat lainnya.17-19

Penutup

Hipertensi dan komplikasinya merupakan masalah kesehatan utama pada populasi usia lanjut, yang memiliki berbagai kekhususan. Evaluasi dan tata laksana pasien hipertensi usia lanjut hams dilakukan secara komprehensif

28

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

dengan upaya mempertahankan serta meningkatkan kualitas hidup sebagai terget utama. Adanya variabilitas tekanan darah dalam 24 jam yang menimbulkan berbagai implikasi klinis menjadi dasar upaya pengendalian tekanan darah yang optimal terns menerus selama 24 jam dengan tujuan menurunkan berbagai komplikasi akibat hipertensi.

Daftar Pustaka

1 . World Health Organization (WHO). Global health observatory (CHO) data: Raised blood pressure. http:/ /www.who.int/ gho/ ncd/ risk_factors/blood_pressure_prevalence_text/ en/ [cited May 25, 2015]

2. Lloyd-Jones D, Adams R, Carnethon M, et al. Heart disease and stroke statistics - 2009 update: a report from the American Heart Association Statistics Committee and Stroke Statistics Subcom­mittee. Circulation. 2009;119:e21-181.

3. Park JB, Kario K, Wang J-G. Systolic hypertension: an increasing cinical cahllange in Asia. Hypertens Res. 2015;38:227-36.

4. Riset Kesehatan Dasar 2013. Pusat Data dan lnformasi. Kemen­terian Kesehatan Republik Indonesia, 2013.

5 . ACCF /AHA 2011 Expert Consensus Document on Hypertension in the Elderly. A Report of the American College of Cardiology Foundation Task Force on Clinical Expert Consensus Documents. Circulation. 2011;123:2434-2506.

6. Mead M, Adgey J, Griffith KE, et al. Controlling blood pres­sure over 24 hours: a review of the evidence. Br J Cardiol. 2008;15:31-4.

7. Weber MA. The 24-hour blood pressure pattern: does it have implications for morbidity and mortality? Am J Cardiol . 2002;89(suppl):27 A-33A.

8. Koylan N, Sever MS, Ilerigelen B, et al., TRAP Study Group. Morning surge of blood pressure in the elderly is more prominent than younger patients in the treatment and ambulatory blood pressures (TRAP) study. Am J Hypertens (2001) 14 (Sl): 52A.

9. Denker MG, Cohen DL. What is an appropriate blood pressure goal for the elderly: review of recent studies and practical recom­mendations. Clini Intervent Aging. 2013:8:1505-17.

29

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

10. James PA, Oparil S, Carter BL, et al. 2014 Evidence-Based Guide­line for the Management of High Blood Pressure in Adults. Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8). JAMA. 2014;311(5):507-520.

11 . Madin K, Iqbal P. Twenty four hour ambulatory blood pressure monitoring: a new tool for determining cardiovascular prognosis. Postgrad Med J. 2006;82:548-551 .

12. Dolan E, Stanton A, Thijs L, et al. Superiority of ambulatory over clinic blood pressure measurement in predicting mortality. The Dublin Outcome Study. Hypertension. 2005;46:156-61 .

13. Burr ML, Dolan E, 0-Brien EW, et al. The value of ambulatory blood pressure in older adults: the Dublin outcome study. Age Ageing. 2008;37:201-6.

14. Korio K, Pickering TG, Umeda Y, et al: Morning surge in blood pressure as a predictor of silent and clinical cerebrovascular dis­ease in elderly hypertensives. A prospective study. Circulation. 2003;107: 1401-6.

15. Pierdomenico SD, Pierdomenico AM, Cuccurullo F. Morning blood pressure surge, dipping, and risk of ischemic stroke in elderly patients treated for hypertension. Am J Hypertens. 2014 Apr;27:564-70.

16. White WB, Wolfson L, Wakefield DB, et al. Average daily blood pressure, not office blood pressure, is associated with progression of cerebrovascular disease and cognitive decline in older people. Circulation. 2011;124:2312-9.

17. Neutel JM, Smith DHG. Evaluation of angiotensin II receptor blockers for 24-hour blood pressure control: Meta-analysis of a clinical database. J Clin Hypertens. 2003;1:58-63.

18. Mancia G, Schumacher H, Redon J, et al. Blood pressure targets recommended by guidelines and incidence of cardiovascular and renal events in the Ongoing Telmisartan Alone and in Com­bination With Ramipril Global Endpoint Trial (ONT ARGET). Circulation. 2011;124:1727-36.

19. Mancia G, Parati G, Bilo G, et al. Ambulatory blood pressure values in the Ongoing Telmisartan Alone and in Combination with Ramipril Global Endpoint Trial (ONTARGET). Hyperten­sion. 2012;60:1400-6.

30

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Evaluasi Rasa Nyeri pada Pasien Geriatri yang Renta dan/

atau Demensia

Pu rwita W. Laksmi

Pendahuluan

Nyeri merupakan keluhan yang lazim dijumpai pada

orang usia lanjut (usila). Prevalensi nyeri pada usila di

komunitas berkisar antara 25-56%, sedangkan di fasilitas

perawatan jangka panjang (panti rawat werdha/ nursing home) jauh lebih tinggi yakni sekitar 45-80% . Sumber nyeri

bervariasi mulai dari kram, klaudikasio, sakit kepala, nyeri

punggung, nyeri sendi, neuralgia (misalnya neuropati diabetes

melitus/DM, neuralgia pasca herpes/pos therpetic neuralgia/ PHN, trauma saraf, dan pasca amputasi), hingga nyeri pada

kanker. Pendekatan diagnosis dan tata laksana nyeri pada usila

berbeda dibandingkan pada dewasa muda sehingga menjadi

suatu tantangan tersendiri bagi tenaga kesehatan.1

Terdapat berbagai mitos seputar nyeri pada usila

sehingga kaum usila tidak melaporkan rasa nyeri yang

dideritanya kepada tenaga kesehatan. Di satu sisi, banyak

usila dan keluarganya yang memiliki pemahaman bahwa

nyeri merupakan sesuatu yang wajar terjadi terkait proses

menua dan keyakinan bahwa nyeri yang dialami tidak

dapat diatasi. Di sisi lain, terdapat pula kekhawatiran pada

usila bahwa rasa nyeri merupakan pertanda adanya kondisi

patologis/penyakit yang berat atau bahkan suatu pertanda

menjelang kematian sehingga bila keluhan nyeri dilaporkan

kepada tenaga kesehatan maka akan dibutuhkan perawatan di

rumah sakit serta dilakukan berbagai pemeriksaan penunjang

dan intervensi medis dengan berbagai efek samping yang

tidak diinginkan, pengeluaran biaya yang tidak sedikit,

31

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

kekhawatiran akan timbul ketergantungan terhadap obat anti­nyeri/ analgesik, dan hilangnya kemandirian a tau otonomi seseorang. Selain itu, sejumlah usila memiliki kesulitan untuk mengkomunikasikan a tau mengkuantifikasikan keluhan nyeri, baik akibat adanya berbagai penyakit yang diderita, perubahan kesadaran/ delirium, gangguan fungsi kognitif, afasia atau disfasia, neuropati sensorik, maupun gangguan penglihatan dan pendengaran.1•2

Berbagai pemahaman yang keliru dan kendala dalam komunikasi tersebut menyebabkan tidak disampaikannya keluhan nyeri kepada tenaga kesehatan. Patut diperhatikan bahwa tidak disampaikannya keluhan nyeri oleh pasien berusia lanjut bukan berarti pasien tersebut tidak memiliki/ menderita nyeri. Dengan tidak dilaporkannya rasa nyeri, membuat kasus nyeri pada usila tidak mendapatkan tata laksana nyeri seperti yang seharusnya. Pihak tenaga kesehatan sendiri merniliki keengganan untuk memberikan terapi obat analgesik pada pasien berusia lanjut karena khawatir terjadi efek samping dan interaksi obat mengingat adanya penurunan fungsi organ terkait proses menua dan polifarmasi pada pasien berusia lanjut.2 Ekspresi/manifestasi klinis nyeri yang merupakan hasil interaksi multifaktor (fisiologis, psikologis, dan sosial) juga berbeda-beda antar-individu bahkan dapat berbeda pada individu yang sama seiring berjalannya waktu sehingga turut memperumit evaluasi dan tata laksana nyeri pada pasien berusia lanjut.3

Rasa nyeri yang berkepanjangan pada usila tersebut lambat laun menjadi nyeri persisten (persistent pain) yang pada giliran selanjutnya berdampak pada terjadinya luaran yang buruk seperti gangguan tidur, jatuh, perlambatan proses rehabilitasi, gangguan untuk melakukan aktivitas hid up sehari­hari (gangguan status fungsional), menurunnya kegiatan/ aktualisasi sosial, ansietas, depresi, gangguan fungsi kognitif, peningkatan pemakaian dan biaya perawatan kesehatan, peningkatan kejadian efek samping obat, serta penurunan kualitas hidup.2•3

32

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Landi dkk.4 melaporkan dari 3.046 pasien berusia lanjut yang mendapatkan asuhan medis di rumah (home care), 44 % menderita nyeri tiap harinya, namun hanya 27% subjek yang mendapat terapi obat analgesik. Lebih jauh lagi, seiring dengan usia yang bertambah lanjut proporsi pasien yang mendapatkan terapi obat analgesik ternyata semakin berkurang, yakni sebesar 33% pada kelompok berusia 65-74 tahun, 26% pada kelompok berusia 75-84 tahun, dan hanya 21 % pada kelompok berusia �85 tahun. Adanya gangguan kognitif juga meningkatkan risiko tidak mendapat terapi obat analgesik (adjusted odds ratio/OR

0,8; 95% interval kepercayaan/95%IK 0,69-0,93).4 Nyeri juga dikaitkan dengan status kerentaan (frailty)

individu. Nyeri persisten ditengarai turut berkontribusi dalam mempresipitasi atau mempercepat terjadinya sindrom frailty pada usila melalui berbagai mekanisme seperti gangguan mobilitas, depresi, penurunan asupan makanan, dan peningkatan beban komorbiditas.5 Berdasarkan analisis potong lintang data the Canadian Study of Healthy and Aging

Wave 2, Shega dkk.5 mendapatkan 35,5% dari 4.968 subjek memiliki keluhan nyeri derajat sedang a tau berat. Subjek yang melaporkan keluhan nyeri derajat sedang atau berat, 49,8% berada dalam kategori renta (jrail) dengan OR 5,52 (95%IK 4,49-6,64), sedangkan pada individu yang tidak renta hanya 16,2%.5

Berpijak pada uraian di atas, deteksi rasa nyeri pada pasien geriatri khususnya pasien geriatri yang renta dan/ a tau memiliki gangguan fungsi kognitif sangat penting dilakukan oleh tenaga kesehatan, namun tidak mudah tanpa pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Tulisan ini akan membahas mengenai evaluasi rasa nyeri pada populasi tersebut sehingga tenaga kesehatan dapat melakukan deteksi dini yang kemudian diikuti dengan intervensi tata laksana nyeri yang adekuat dan evaluasi lanjutan terhadap keberhasilan terapi nyeri yang dilakukan. Kontrol atau terapi nyeri yang tidak adekuat termasuk tindakan yang tidak etis pada pasien. Tata laksana

33

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

nyeri yang tepat akan memberikan luaran yang baik seperti proses pemulihan yang lebih cepat, lama rawat menjadi lebih singkat, angka rehospitalisasi lebih rendah, dan peningkatan kualitas hidup.

Pengertian dan Klasifikasi Nyeri

The In ternational Association for the S tu dy of Pain

mendefinisikan nyeri sebagai "suatu pengalaman sensorium dan emosi yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan."6 Nyeri dapat diklasifikasikan menurut lama/ durasi, penyebab, lokasi, dan intensitas.1

Berdasarkan durasinya, nyeri digolongkan menjadi nyeri akut dan persisten. Awitan dan penyebab nyeri akut bersifat jelas (trauma, Iuka bakar, infark, inflamasi) dengan durasi singkat. Nyeri akut umumnya memberikan tanda klinis aktivasi sistem saraf otonom berupa takikardia, diaforesis dan peningkatan tekanan darah. Intensitas nyeri akut berkesesuaian dengan derajat berat trauma/penyakit.1 The American Geriatric Society (AGS) mendefinisikan nyeri persisten sebagai pengalaman nyeri yang terus berlanjut selama periode waktu yang lama (>3 bulan) dan mungkin berkaitan atau tidak berkaitan dengan proses penyakit yang dapat diketahui.3 Intensitas nyeri persisten tidak sejalan dengan patologi yang dapat diobservasi dan umumnya tidak memberikan tanda klinis aktivasi sistem saraf otonom. Nyeri persisten berhubungan dengan terjadinya gangguan fungsi fisik dan psikologis yang turut berkepanjangan.1

Penyebab nyeri digolongkan menjadi nyeri nosiseptif, neuropatik, campuran nosiseptif dan neuropatik, sindrom nyeri dengan mekanisme yang tidak diketahui, serta nyeri terkait gangguan psikologis (misalnya reaksi konversi, nyeri psikogenik) . Nyeri nosiseptif terjadi akibat stimulasi pada reseptor nyeri oleh jejas/ trauma pada jaringan, inflamasi, atau deformasi mekanik. Nyeri nosiseptif dapat berupa nyeri

34

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

somatik (misalnya nyeri akibat fraktur, trauma insisi, trauma termal) atau viseral (misalnya pada kasus obstruksi usus, konstipasi, endometriosis). Nyeri neuropatik dapat bersifat sentral (misalnya nyeri pasca-strok, nyeri terkait sklerosis multipel) atau perifer (misalnya nyeri pada kasus neuropati DM dan PHN). Nyeri psikogenik juga termasuk dalam nyeri non-nosiseptif .1•3

Lokasi nyeri secara garis besar dapat dibedakan menjadi nyeri pada regio / area tubuh tertentu (kepala, punggung, dan sebagainya) dan nyeri pada sistem tubuh (muskuloskeletal, vaskular, dan lain-lain). Intensitas nyeri dideskripsikan secara subjektif dengan mengacu pada skala nyeri.1

Persepsi Rasa Nyeri pada Usila vs. Dewasa Muda

Salah satu karakteristik pasien geriatri adalah manifestasi klinis yang tidak khas. Seiring bertambahnya usia ditengarai terdapat perubahan pada sistem saraf yang mengubah persepsi rasa nyeri pada usila, antara lain penurunan jumlah reseptor nyeri di kulit dan organ lain, perubahan konduksi saraf, serta beberapa perubahan sistem saraf pusat yang memengaruhi proses sensorik.1 Sebagai contoh, kejadian infark miokard tanpa rasa nyeri (silent myocard infarct) cukup sering terjadi pada pasien berusia lanjut, demikian pula kasus peritonitis tanpa rasa nyeri.7 Penelitian Wroblewski dan Mikulowski seperti dikutip oleh Balducci dkk.7 melaporkan bahwa dari 212 pasien berusia 60-99 tahun dengan peritonitis akut, hanya 55% yang mengeluh nyeri perut. Cheng dkk. seperti dikutip oleh Balducci dkk.7 juga mendapatkan dari 1 .500 pasien dengan kanker yang telah metastasis, 55 % pasien berusia <45 tahun dan 35 % pasien berusia antara 45-55 tahun mengeluhkan nyeri, namun hanya 26% pasien berusia >65 tahun yang mengeluh nyeri.

Walaupun demikian, secara umum hasil penelitian pengaruh proses menua terhadap perubahan persepsi rasa nyeri pada usila masih belum konsisten. Berdasarkan

35

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

bukti ilmiah yang ada, para pakar menyimpulkan bahwa perubahan persepsi rasa nyeri terkait proses menua hanya minimal dan secara klinis tidak bermakna karena penelitian yang ada banyak yang bersifat retrospektif, tidak ada yang menyesuaikan atau memperhitungkan faktor penurunan fungsi kognitif atau hendaya lain pada subjek penelitian yang menyebabkan kesulitan untuk mengkomunikasikan rasa nyeri, serta laporan subjek berusia lanjut dapat bervariasi sesuai dengan skala penilaian rasa nyeri yang dipakai.1•3•7 Selain itu, adanya komorbid yang menimbulkan nyeri persisten dapat menumpulkan persepsi terhadap suatu nyeri baru.7

Pendekatan Klinis Keluhan Nyeri pada Pasien Geriatri

Berikut ini adalah langkah-langkah yang direko­mendasikan oleh AGS terkait pendekatan klinis nyeri persisten pada pasien berusia lanjut:3 1 . Setiap pertama kali pasien berusia lanjut datang berobat

ke tempat layanan kesehatan pada jenjang atau jenis manapun, tenaga kesehatan harus mengevaluasi ada tidaknya nyeri persisten pada pasien tersebut.

2. Setiap nyeri persisten yang telah memberikan dampak pada fungsi fisik, psikologis atau kualitas hidup harus dimaknai sebagai suatu masalah yang serius. Selanjutnya tenaga kesehatan harus melakukan evaluasi nyeri secara komprehensif pada pasien dengan target pengidentifika­sian semua faktor yang berpotensi untuk disembuhkan, penegakkan diagnosis, penyusunan rencana terapi, dan penetapan prognosis.

3. Pada pasien berusia lanjut dengan gangguan kognitif sedang-berat atau tidak memiliki kemampuan berkomu­nikasi secara verbal, tenaga kesehatan harus berupaya mengevaluasi ada tidaknya nyeri dengan melakukan pengamatan/ observasi langsung terhadap pasien (saat istirahat dan saat bergerak/ melakukan aktivitas) atau

36

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

mendapatkan data anamnesis dari pelaku rawat pasien. 4. Pertimbangan risiko dan manfaat berbagai evaluasi dan

pilihan terapi harus didiskusikan dengan pasien dan keluarga dengan memperhatikan keinginan pasien dan keluarga.

5. Evaluasi nyeri pada pasien dengan nyeri persisten harus dilakukan secara berkala untuk mengetahui ada tidaknya perbaikan, perburukan atau komplikasi.

Nyeri merupakan pengalaman yang bersifat subjektif sehingga tidak dapat dinilai secara langsung oleh pihak lain.6 Selain itu, tak ada satupun penanda biologis yang objektif untuk keluhan nyeri. Dengan dernikian bukti paling akurat dan andal terkait nyeri sesungguhnya adalah deskripsi nyeri yang dikemukakan oleh pasien itu sendiri. Oleh karena itu, baik tenaga kesehatan, keluarga maupun pelaku rawat harus mempercayai pasien dan sungguh-sungguh menanggapi keluhan nyeri yang dikemukakan pasien, bahkan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif. Perlu diperhatikan bahwa manifestasi klinis nyeri pada pasien geriatri dapat tidak khas seperti delirium, kebingungan, fatig, menarik diri, dan depresi. Selain itu, pasien berusia lanjut mungkin menggunakan terminologi seperti rasa tidak nyaman, "kemeng", "pegal", atau istilah lainnya untuk mengemukakan nyeri yang dirasakan.1·3,7

Evaluasi nyeri dirnulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat dan menyeluruh sehingga dapat diketahui diagnosis penyebab nyeri dan data dasar/ awal deskripsi nyeri yang dialarni pasien. Setelah penerapan tata laksana nyeri, evaluasi keluhan nyeri perlu dilakukan kembali untuk menetapkan apakah nyeri sudah rnernbaik, rnenetap, atau justru rnernburuk dengan rnernbandingkan dengan deskripsi nyeri yang disarnpaikan oleh pasien saat awal perawatan.1 Allo-anamnesis juga penting dilakukan karena data yang didapatkan dari keluarga dan pelaku rawat dapat

37

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

memberikan informasi yang berharga terkait nyeri pada pasien, terutama pada pasien yang memiliki hambatan dalam mengkomunikasikan rasa nyeri baik karena hendaya kognitif maupun non-kognitif.3

Anamnesis meliputi data kapan nyeri mulai dirasakan, kejadian atau penyakit yang terjadi bersamaan dengan timbulnya rasa nyeri, bagian tubuh tempat nyeri dirasakan (lokasi), karakteristik nyeri, hal-hal yang meredakan dan memperberat rasa nyeri, obat yang rutin dikonsumsi, obat yang telah dikonsumsi untuk mengatasi nyeri dan efeknya terhadap perbaikan nyeri, riwayat alergi, riwayat penyakit dan operasi yang pernah dialami, riwayat trauma/jatuh, serta anamnesis sistem, terutama difokuskan pada sistem muskuloskeletal dan saraf. Penggunaan gambar tubuh/bagian tubuh manusia dapat memudahkan pasien untuk menandai lokasi, distribusi dan penyebaran nyeri. Telusuri pula kemw1gkinan kondisi patologis yang dapat menimbulkan rasa nyeri seperti artritis, nyeri pada tempat fraktur lama, neuropati perifer, serta infeksi (terutama pneumonia, infeksi saluran kemih, infeksi kulit dan jaringan 1W1ak).1•2

Pemeriksaan fisik di lakukan secara menyeluruh dengan perhatian khusus pada sistem muskuloskeletal dan neuromuskular. Lakukan evaluasi ada tidaknya kelainan postur, gangguan cara berjalan/ gait, deformitas sendi, keterbatasan lingkup gerak sendi, nyeri saat dilakukan gerakan atau manuver tertentu, serta kelainan neurologis. Lakukan palpasi untuk menentukan ada tidaknya nyeri tekan pada area dengan inflamasi, spasme otot, dan trigger points.L2

Pengkajian paripurna pasien geriatri (comprehensive

geriatric assessrnent/CGA) sangat penting dilakukan. Status fungsional, psikoafektif, kognitif, nutrisi, sosial-ekonomi termasuk dukungan keluarga dan pelaku rawat (care giver),

serta kualitas hidup mutlak dievaluasi mengingat kondisi nyeri dapat memengaruhi dan/ a tau dipengaruhi kesemua hal tersebut.1

38

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Untuk tujuan penegakkan diagnosis, perlu diketahui apakah nyeri bersifat akut atau persisten, sedangkan untuk tujuan terapi, perlu diketahui apakah nyeri yang terjadi merupakan nyeri nosiseptif atau neuropatik. Bila nyeri yang terjadi adalah nyeri akut, maka perlu segera dicari penyebab yang mendasari terjadinya nyeri tersebut, sedangkan bila nyeri yang terjadi adalah nyeri persisten, maka selain perlu mencari penyebab yang mendasari terjadinya nyeri tersebut juga perlu diketahui dengan jelas sejauh mana nyeri tersebut telah berdampak pada status fungsional, psikoafektif, dan kualitas hidup.1•2 Pada kasus nyeri akut juga perlu ditelusuri apakah nyeri tersebut mengindikasikan adanya penyakit/masalah baru a tau merupakan eksaserbasi dari nyeri persisten.3

Penatalaksanaan nyeri persisten bersifat multidimensi dan membutuhkan pendekatan secara interdisiplin karena lebih sulit untuk diatasi dibandingkan nyeri akut. Penyebab nyeri persisten dapat hanya sebagian atau bahkan tidak dapat diobati sama sekali sehingga strategi tata laksana perlu dirumuskan dengan baik termasuk program edukasi mengenai nyeri secara terstruktur serta mengkombinasikan terapi farmakologik dengan berbagai terapi non-farmakologik seperti latihan jasmani, akupunktur, psikoterapi suportif, tera pi kogni tif (dis traksi, relaksasi, biofeedback, hi pnosis), terapi perilaku, terapi kognitif-perilaku (keterampilan menghadapi dan mengatasi masalah/ coping skills), dan terapi spiritual.1•3

Umumnya nyeri nosiseptif memberikan respons yang baik terhadap berbagai obat analgesik yang lazim, sedangkan nyeri neuropatik sering berlanjut menjadi nyeri persisten yang sulit diatasi. Nyeri neuropatik seringkali justru memberikan respons terhadap obat analgesik non-konvensional seperti golongan anti-depresan dan antikonvulsan.1

39

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Skala Penilaian Nyeri

The Join t Com mission on Accreditation of Healthcare Organization menetapkan nyeri sebagai tanda vital kelima sehingga evaluasi nyeri menjadi salah satu evaluasi rutin di praktik klinik.3 Terdapat berbagai skala untuk menilai rasa nyeri, namun secara garis besar dikategorikan menjadi 2 tipe skala yaitu skala unidimensi dan multidimensi. Skala unidimensi hanya menilai derajat intensitas nyeri sehingga mudah dilakukan dan hanya membutuhkan waktu singkat namun tidak komprehensif dalam menilai nyeri, sedangkan skala multidimensi selain menilai derajat intensitas nyeri juga mendokumentasikan lokasi dan pengaruh nyeri terhadap aktivitas sehingga penilaian nyeri menjadi lebih komprehensif, namun membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan penilaian, tidak praktis untuk diterapkan dalam praktik klinik sehari-hari, dan beberapa skala penilaian mensyaratkan pelatihan khusus bagi penilai.1

Contoh skala nyeri unidimensi yang lazim digunakan antara lain adalah visual analog scale (VAS), numeric rating scale

(NRS), verbal descriptor scale (VDS), faces pain scale (FPS), dan pain thermometer scale (PT) . Contoh skala nyeri multidimensi yang lazim digunakan antara lain adalah McGill Pain

Questionnaire (MPQ) dan short-form MPQ (SF-MPQ). Sampai saat ini tidak ada baku emas skala penilaian nyeri karena setiap skala nyeri terse but memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.1•2•6•7 Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menetapkan kesahihan dan keandalan skala-skala nyeri tersebut, namun kesahihan kriteria (criterion validity) tidak dapat dievaluasi karena tidak ada skala nyeri yang menjadi baku emas.8

Untuk dapat secara akurat menilai rasa nyeri yang diderita oleh dirinya sendiri baik dalam bentuk angka maupun secara deskriptif, maka seseorang harus memahami instruksi cara penilaian, mengingat kejadian nyeri pada periode waktu

40

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

tertentu, menilai derajat nyeri dengan menghubungkannya dengan baku internal yang dipikirkan oleh dirinya sendiri, dan mampu menginterpretasikan suatu pengalaman terpajan pada stimulus tertentu sebagai nyeri. Oleh karena itu, para klinisi dianjurkan untuk memilih skala nyeri yang akan digunakan sesuai tujuan penilaian, kemampulaksanaan, dan kondisi pasien (kemampuan pasien untuk mendengar, melihat, menulis, dan memahami instruksi untuk mengisi/ menyelesaikan skala penilaian) . Setelah satu skala nyeri dipilih dan pasien mampu untuk menggunakannya, maka dianjurkan agar selanjutnya skala nyeri yang sama digunakan untuk melakukan evaluasi ulangan terhadap nyeri pada pasien tersebut secara berkala.2•3•6•7

Skala nyeri VAS Skala nyeri VAS horisontal a tau vertikal tidak dapat

dilakukan secara verbal, melainkan pasien diminta untuk secara mandiri memberi tanda pada garis sepanjang 10 cm dengan skala 0-100 mengenai derajat intensitas nyeri yang dideritanya. Pada angka 0 terdapat deskripsi/tulisan "tidak nyeri" dan pada angka 100 terdapat tulisan "nyeri terburuk/ nyeri yang teramat sangat yang dapat dibayangkan." Penilai selanjutnya mengukur dengan penggaris jarak antara titik 0 ke tanda garis yang dibubuhkan oleh pasien dan hasil yang diperoleh ditetapkan sebagai skor VAS nyeri pasien.8

Untuk dapat mengisi skala nyeri VAS, pasien hams memiliki penglihatan dan fungsi motorik yang baik, tingkat pendidikan yang cukup sehingga dapat memahami angka, serta kemampuan abstraksi yang baik untuk mengasosiasikan antara garis berisi angka dengan derajat intensitas nyeri. Skala nyeri dengan garis vertikal lebih memudahkan proses abstraksi dibandingkan garis horisontal. Skala nyeri VAS memiliki tingkat keandalan tinggi terutama pada pasien yang dapat baca-tulis (test-retest reliability r = 0,94), serta tingkat kesahihan konstruksi (construct validity) yang tinggi dengan skala nyeri NRS (r = 0,62-0,91) dan VDS (r = 0,71-0,78) .8

41

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Skala nyeri NRS Penilaian nyeri dengan skala nyeri NRS dapat dilakukan

secara verbal a tau tertulis. Pasien diminta untuk menyebutkan (bila dilakukan secara verbal) atau menandai (bila dilakukan secara tertulis) angka 0-10 yang paling tepat mencerminkan derajat intensitas nyeri yang dirasakan pasien . Angka 0 mencerminkan " tidak nyeri" sedangkan angka 1 0 mencerminkan "nyeri terburuk/nyeri yang teramat sangat yang dapat dibayangkan."2•8

Sangat mudah untuk melakukan evaluasi nyeri dan kemudian menetapkan skor nyeri dengan skala nyeri NRS. Skala nyeri NRS memiliki tingkat keandalan tinggi, baik pada pasien yang dapat baca-tulis maupun buta huruf (test-retest

reliability r = 0,96 dan 0,95), serta tingkat kesahihan konstruksi (construct validity) yang tinggi dengan skala nyeri VAS (r =

0,86-0,95).8

Skala nyeri VDS Skala nyeri VDS terdiri atas frasa yang menunjukkan

tingkatan intensitas nyeri yang berbeda, yaitu tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang/moderat, nyeri berat, nyeri sangat berat/ ekstrim, dan nyeri yang teramat sangat yang dapat dibayangkan. Untuk dapat menggunakan skala nyeri VDS, pasien hams dapat menginterpretasikan dan mengekspresikan rasa nyeri secara verbal. Skala nyeri ini selain sahih dan andal, juga disukai dan menjadi pilihan bagi banyak usila, termasuk yang memiliki gangguan fungsi kognitif ringan-sedang dengan tingkat pengisian sebesar 73% .2

Skala nyeri FPS Skala nyeri FPS berupa gambar yang disusun berderet

mulai dari ekspresi wajah normal pada sisi paling kiri hingga ekspresi wajah sangat kesakitan pada sisi paling kanan. Pasien diminta untuk memilih gambar yang sesuai dengan derajat intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Skala nyeri ini cukup

42

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

sahih clan anclal, termasuk bagi pasien clengan gangguan kognitif ringan-seclang, tingkat pencliclikan renclah, bu ta huruf atau clisleksia.2

Skala nyeri PT Skala nyeri PT merupakan bentuk variasi clari VDS.

Bentuknya berupa termometer dengan skala vertikal. Terdapat tulisan/ cleskripsi frasa tidak nyeri pada bagian paling bawah hingga cleskripsi nyeri yang teramat sangat yang dapat dibayangkan pacla bagian paling atas dari gambar termometer tersebut. Pasien clitunjukkan gambar termometer nyeri tersebut dan diminta untuk menentukan derajat intensitas nyeri yang paling sesuai dengan yang dirasakan pasien. Skala nyeri PT

menjadi pilihan pacla pasien dengan gangguan kognitif seclang­berat atau pasien yang memiliki kesulitan clalam berpikir abstrak dan mengkomunikasikan nyeri secara verbal.2

Skala nyeri MPQ Selain clerajat intensitas nyeri, skala nyeri MPQ juga

menilai aspek sensorik, afektif, clan evaluatif. Terclapat 78

deskripsi nyeri yang harus cliisi ditambah clengan 1 skala intensitas nyeri sehingga waktu yang cliperlukan untuk menyelesaikan skala nyeri MPQ cukup lama, hingga sekitar 20-25 menit. Oleh karena itu, dikembangkan versi singkat clari skala nyeri MPQ (Short-Form MPQ/SF-MPQ) yang hanya terdiri atas 15 deskripsi nyeri. Skala nyeri SF-MPQ hanya menilai aspek sensorik dan afektif serta clerajat intensitas nyeri sehingga clapat cliselesaikan dalam waktu 2-5 menit. Penilai harus membacakan satu per satu cleskripsi nyeri kepacla pasien dan menjelaskan lebih lanjut kata yang tidak climengerti oleh pasien. Pasien kemudian harus memilih 1 kata yang sesuai clengan konclisi nyeri yang dideritanya.8 Untuk dapat mengisi skala nyeri MPQ, pasien harus memiliki tingkat pendidikan yang cukup clan kemampuan abstraksi yang baik.7

43

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Oleh karena bersifat multidimensi dan memiliki sejumlah pilihan deskripsi nyeri, skala nyeri MPQ dapat mendeteksi nyeri dengan derajat intensitas ringan. Skala nyeri MPQ memiliki tingkat keandalan cukup baik (test-retest reliability r = >0,7), serta tingkat kesahihan konstruksi (construct validity)

yang tinggi dengan skala nyeri VAS (r = 0,86-0,95). Skala nyeri SF-MPQ juga memiliki tingkat keandalan cukup baik.8

Evaluasi Nyeri pada Pasien Geriatri yang Renta dan/

atau Demensia

Seperti yang sudah diuraikan pada bagian Pendahuluan, pasien geriatri dengan perubahan kesadaran/ delirium, gangguan fungsi kognitif (demensia, penyakit Alzheimer), afasia atau disfasia, neuropati sensorik, serta gangguan penglihatan dan pendengaran memiliki kesulitan untuk mengkomunikasikan rasa nyeri yang dialaminya baik kepada pelaku rawat, keluarga, maupun tenaga kesehatan. Walaupun demikian, perlu diperhatikan bahwa pasien dengan gangguan kognitif belum ten tu memiliki gangguan dalam berkomunikasi, sebaliknya pasien dengan gangguan dalam berkomunikasi belum tentu memiliki gangguan kognitif. Oleh karena itu, tenaga kesehatan harus memilih skala nyeri yang tepat untuk digunakan bagi pasien.1•2

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keluhan nyeri yang dikemukakan oleh pasien dengan gangguan kognitif ringan-sedang sama sahihnya dengan keluhan yang dikemukakan oleh pasien yang memiliki fungsi kognitif normal. Dengan demikian keluhan nyeri tetap merupakan bukti paling akurat dan andal adanya nyeri pada kelompok pasien dengan gangguan kognitif ringan-sedang.1·3

Skala nyeri NRS yang ditanyakan secara verbal merupakan pilihan pertama untuk menilai derajat intensitas nyeri pada usila secara umum. Skala nyeri VDS menempati urutan berikutnya. Pada kaum usila yang mulai memiliki kesulitan

44

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

untuk menyampaikan derajat intensitas nyeri secara verbal, dapat digunakan skala nyeri PT dan FPS, a tau skala nyeri NRS yang dinyatakan secara tertulis dengan garis/ grafik batang yang vertikal.2'6'7 Pasien dengan gangguan kognitif ringan­sedang dapat memiliki kesulitan untuk mendeskripsikan nyeri bila menggunakan skala nyeri VAS atau MPQ karena dibutuhkan kemampuan abstraksi yang tinggi.8 Penggunaan skala nyeri FPS juga kurang dapat diandalkan untuk menilai pasien dengan gangguan afek atau kognitif karena pasien tersebut mungkin mengidentifikasi gambar ekspresi wajah yang sesuai dengan alam perasaan yang dirasakan ketimbang rasa nyeri yang dialarni.7

Pada pasien dengan gangguan kognitif berat atau non­verbal, skala nyeri baku seperti VAS, NRS, VDS, FPS, TPS, dan MPQ tidak dapat a tau tidak tepat lagi digunakan. Hal tersebut dikarenakan pada populasi tersebut kemampuan memahami instruksi, berbahasa, abstraksi dapat sudah sangat terganggu.1-3,6 Brummel-Smith dkk.9 melaporkan dari 154 subjek dengan demensia, sekitar 30% tidak dapat menggunakan skala nyeri baik verbal, gambar wajah maupun garis numerik.

Untuk mernfasilitasi kesulitan penggunaan skala nyeri pada populasi pasien dengan gangguan kognitif berat, dikembangkan penilaian nyeri dengan cara observasi atau pengamatan langsung. Menurut panduan yang dikeluarkan oleh ACS, terdapat 6 aspek perilaku yang harus diobservasi dalam evaluasi nyeri pada pasien berusia lanjut dengan gangguan fungsi kognitif, yaitu:3 1 . Ekspresi wajah (tampak sedih, tarnpak takut, menyeringai,

meringis, mengerutkan/ mengernyitkan dahi, menutup mata dengan kuat, berkedip dengan cepat, ekspresi ter­ganggu lainnya)

2. Verbalisasi, vokalisasi (mengerang, mengaduh, berteriak/ memanggil, bernapas dengan menirnbulkan bunyi yang berisik, meminta tolong, mengeluarkan suara/ verbally

abusive)

45

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

3. Gerakan tubuh (postur tubuh kaku/ tegang, meningkatkan pacing, membatasi gerakan, perubahan dalam mobilitas/ cara berjalan)

4. Perubahan interaksi interpersonal (menjadi agresif, meno­lak perawatan, interaksi sosial menurun, menarik diri)

5. Perubahan pola aktivitas atau rutinitas (menolak makan, perubahan nafsu makan, durasi istirahat meningkat, perubahan pola tidur/istirahat, penghentian mendadak aktivitas yang rutin dilakukan, peningkatan perilaku mengembara/ wandering)

6. Perubahan status mental (menangis atau keluar air mata, terlihat semakin bingung, iritabel)

Tidak mudah untuk melakukan evaluasi nyeri berdasarkan observasi langsung pada pasien, sehingga umumnya penilai harus mendapatkan pelatihan khusus terlebih dahulu. Perilaku seperti yang diuraikan pada point no. 1-6 di atas tidak spesifik atau tidak melulu merupakan manifestasi klinis dari nyeri. Rasa lapar, haus, terlalu sedikit atau terlalu banyak stimulus, ansietas, depresi, kesepian, bosan, a tau gelisah pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif berat juga dapat bermanifestasi dalarn bentuk perilaku tersebut. Penilai harus mengobservasi pasien dan mencatat ada tidaknya, intensitas, durasi, atau frekuensi dari perilaku-perilaku tersebut untuk selanjutnya melakukan evaluasi klinis secara komprehensif agar dapat menetapkan apakah perilaku yang diamati tersebut akibat adanya nyeri atau penyebab lain.6

Terdapat berbagai skala nyeri berbasis observasi perilaku yang dapat digunakan untuk mengevaluasi nyeri pada pasien berusia lanjut dengan demensia berat yang non-verbal atau pasien berusia lanjut yang non-verbal, yaitu Abbey Pain Scale

(Abbey), Assessment of Discomfort in Dementia (ADD), Checklist

of Nonverbal Pain Indicators (CNPI), Discomfort in Dementia of

the Alzheimer's Type (DS-DAT), the Doloplus 2, the Face, Legs,

Activity, Cry, and Consolability Pain Assessmen t (the FLACC),

46

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Noncommun icative Pa tien t 's Pain Assessmen t Ins trumen t

(NOPPAIN), Pain Assessment for the Dementing Elderly (PADE), Pain Assessment Checklis t for Seniors with Limited Ability to

Communicate (PACSLAC), dan Pain Assessment in Advanced

Dementia (PAINAD) .10 Berdasarkan telaah yang dilakukan oleh Herr dkk.10 terhadap 10 skala nyeri untuk pasien berusia lanjut dengan demensia yang non-verbal tersebut didapatkan bahwa saat ini belum ada skala nyeri berdasarkan observasi perilaku yang telah baku dan dapat direkomendasikan pemakaiannya secara luas di praktik klinik.

Terdapat variasi antar-pasien demensia dalam hal ekspresi rasa nyeri dalam bentuk perilaku; ada pasien demensia yang menunjukkan rasa nyeri dengan perilaku menarik diri, menolak makan, dan hanya mau berbaring di tempat tidur, namun ada pula yang menunjukkan perilaku sebaliknya misalnya justru menjadi agresif dan verbally abusive. Kedua perilaku tersebut bertolak belakang namun sama-sama mengindikasikan adanya nyeri. Hanya sedikit skala nyeri yang juga memasukkan parameter perubahan interaksi interpersonal, pola aktivitas/ rutinitas, dan status mental seperti yang direkomendasikan oleh AGS. Perubahan status mental tidak hanya disebabkan oleh rasa nyeri, sehingga memasukkan parameter ini dalam suatu skala nyeri dapat meningkatkan risiko terjadinya positif palsu dan menurunkan spesifisitas skala terse but. Kejadian perilaku tertentu seperti verbally abusive cukup rendah, sehingga secara klinis tidak terlalu bermanfaat untuk memasukkan parameter tersebut dalam skala nyeri.10

Evaluasi terhadap kesahihan isi (content validity) bahwa benar skala tersebut mengukur adanya nyeri tidak dapat dilakukan karena subjek yang dinilai memiliki gangguan fungsi kognitif berat yang non-verbal.10 Skala nyeri berdasarkan observasi perilaku pasien tidak memiliki cut-off point yang mengindikasikan nyeri atau meredanya nyeri.6 Kegunaan skala nyeri tersebut lebih pada upaya untuk mengidentifikasi ada tidaknya nyeri pada pasien dengan demensia yang non-

47

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

verbal, sedangkan pengukuran derajat intensitas nyeri sulit untuk dilakukan. Bila telah dapat diidentikasi adanya nyeri pada pasien, selanjutnya perlu dilakukan penilaian nyeri secara komprehensif. Skala nyeri perilaku dengan penilaian yang bersifat komprehensif adalah ADD, yang telah diuji penggunaannya di ruang rawat akut adalah CNPI (selebihnya diuji di fasilitas perawatan jangka panjang), sedangkan yang memiliki bukti kuat bahwa keandalannya baik adalah DS­DAT.10

Pendekatan evaluasi nyeri secara komprehensif yang direkomendasikan untuk dilakukan pada pasien berusia lanjut dengan demensia yang non-verbal adalah sebagai berikut:10

Antisipasi dan asumsikan bahwa terdapat nyeri berdasarkan kondisi patologis yang terjadi (penyakit, trauma, tindakan/prosedur medis, atau pembedahan) .

Observasi perilaku pasien untuk menetapkan data dasar terkait perilaku pasien.

Pantau ada tidaknya nyeri secara berkala dengan menggunakan daftar indikator perilaku yang komprehensif seperti yang direkomendasikan oleh AGS. Observasi harus dilakukan pada saat pasien sedang istirahat dan saat sedang bergerak/ melakukan aktivitas (transfer, ambulasi, menonton, makan, dan sebagainya).

Jika tidak jelas apakah terdapat nyeri atau tidak, uji coba pemberian tempi obat analgesik dapat dilakukan pada pasien. Jika setelah pemberian terapi obat analgesik terjadi perbaikan pada perilaku pasien, dapat disimpulkan bahwa pasien memang mengalami nyeri dan terapi dapat dilanjutkan.

Simpulan

Pendekatan klinis nyeri pada pasien berusia lanjut berbeda dibandingkan dengan dewasa muda. Adanya kesulitan mengkomunikasikan rasa nyeri baik karena hendaya kognitif maupun non-kognitif menyebabkan kasus nyeri

48

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

pada pasien berusia lanjut tidak dideteksi dan diterapi secara optimal. Tenaga kesehatan perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk dapat mengevaluasi nyeri pada pasien geriari yang renta dan/ atau demensia.

Daftar Pustaka

1 Ferrell BA, Charette SL. Pain management. In: Halter J, Ous­lander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S, eds. Hazzard's Geriatric Medicine and Gerontology. 61h ed. New York: Mc Graw Hill; 2009.p.359-71.

2 Herr K a, Garand L. Assessment and measurement of pain in older adults. Clin Geriatr Med. 2001;17(3):457-78.

3 ACS Panel on Persistent Pain in Older Persons. The management of persistent pain in older persons. J Am Geriatr Soc [Internet] . 2002;50(6 Suppl) :S205-24.

4 Landi F, Onder G, Cesari M, Gambassi G, Steel K, Russo a, et al. Pain management in frail, community-living elderly patients. Arch Intern Med. 2015;161(22):2721-4.

5 Shega JW, Dale W, Andrew M, Paice J, Rockwood K, Weiner DK. Persistent pain and frailty: a case for homeostenosis. J Am Geriatr Soc.2012;60:113-7.

6 Buffum MD, Hutt E, Chang VT, Craine MH, Snow a L. Cogni­tive impairment and pain management: review of issues and challenges. J Rehabil Res Dev. 2007;44(2) :315-30.

7 Balducci L. Management of cancer pain in geriatric patients. J Support Oncol. 2003;1 (3) :175-91.

8 Hawker GA, Mian S, Kendzerska T, French M. Measures of adult pain: visual analog scale for pain (VAS pain), numeric rat­ing scale for pain (NRS pain), McGill pain questionnaire (MPQ), short-form McGill pain questionnaire (SF-MPQ), chronic pain grade scale (CPGS), short form-36 bodily pain scale (SF-36 BPS). Arthritis Care Res. 2011;63(suppl 11):240-52.

9 Brummel-Smith K, London MR, Drew N, Krulewitch H, Singer C, Hanson L. Outcomes of pain in frail older adults with demen­tia. J Am Geriatr Soc [Internet]. 2002;50(11):1847-51.

10 Herr K, Bjoro K, Decker S. Tools for assessment of pain in non­verbal older adults with dementia: A state-of-the-science review.

49

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Pengantar

Tata laksana Berjenjang Nyeri Akut dan Kronik

Pada Usia Lanjut

Dewa P. Pra ma ntara . S

Pengalaman nyeri dapat dirasakan oleh setiap orang termasuk usia lanjut, dengan kondisi klinis yang beragam. Nyeri merupakan pengalaman sensorik atau emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial. Nyeri dikatakan kronik atau persisten jika berlangsung lebih dari tiga bulan,1 sedangkan nyeri akut merupakan respons normal terhadap stimulasi a tau proses penyakit yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan nyeri menghilang setelah kerusakan jaringan membaik atau stimulus menghilang.2

Secara urn um, prevalensi nyeri pada usia lanjut diperkirakan berkisar 13-49% dan meningkat menjadi 59-84 % pada fasilitas perawatan kronik.2 Khusus nyeri kronik, prevalensinya di komunitas bervariasi antara 25-76%, sedangkan di fasilitas perawatan kronik meningkat menjadi 83-93% . Lebih banyak wanita mengalami nyeri daripada laki-laki.3 Sering kali nyeri tidak terdiagnosis dan tidak mendapat terapi adekuat. Suatu penelitian membuktikan bahwa sekitar 34 % populasi usia lanjut yang mengalami nyeri kronik tidak terdeteksi oleh dokter.2 Karena nyeri berdampak signifikan terhadap keterbatasan fungsi dan penurunan kualitas hid up usia lanjut, evaluasi nyeri dianggap sebagai tanda vital ke 5 setelah tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu tubuh.4

Walaupun terdapat panduan umum pemakaian obat analgesik secara berjenjang (step-ladder), pendekatan individual harus dilakukan mengingat heterogenitas karakteristik

50

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

populasi usia lanjut, dan faktor lingkungan. Oleh sebab itu, tulisan ini akan membahas aspek nyeri baik akut maupun kronik, tata laksana analgesik berjenjang, serta karakteristik usia lanjut yang memengaruhi pilihan terapi nyeri.

Pembahasan

Nyeri Akut dan Kronik Nyeri akut dan nyeri kronik memiliki perbedaan durasi,

patologi, prognosis, keterlibatan saraf otonom, masalah penyerta, dan terapi. Berhadapan dengan nyeri akut, latar belakang patologi harus diketahui untuk kemudian diatasi sehingga prognosis dapat bisa ditentukan (predictable).2

Tabel 1. Perbedaan antara nyeri akut dan kronik.2

Akut Kronik

Durasi beberapa Jarn-hari Beberapa bulan s/ d ta un

Prognosis Dapat ditentukan Tidak dapat ditentukan

Patologi Ada Biasanya tidak ada

Masalah penyerta Jarang Depresi, Cernas, In-sornnia

Sistem saraf otonorn Ada Tidak ada

Dampak sosial Jarang Sering

Tera pi Analgesik Multimodalitas

Berhadapan dengan pasien usia lanjut yang mengalami nyeri akut, multimodalitas penatalaksanan efektif tergantung pada penilaian nyeri terkait waktu dan derajat nyeri, pilihan obat baik jenis mapun rute pemberian, serta reevaluasi.5

51

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Tabel 2. Kaitan antara derajat nyeri dan pilihan obat pada nyeri akut.5

Pilihan obat -dan pembe­rian

Tidak nyeri Nyeri ringan

Analgesik oral

Nyeri sedang

Analgesik oral

Nyeri berat

Opiat atau NS AID intravena

penilaian aw al

Dalam 20 menit sejak pasien datang

Re evaluasi Dalam 60 Dalam 60 Oalam 60 Dalam 30 menit sejak menit sejak menit se- menit sejak penilaian pemberian jak pem- pemberian awal analgesik berian analgesik

analgesik

Pada usia lanjut, analgesik yang dipilih adalah parasetamol oral atau intravena. Obat antiinflarnasi non steroid atau Non

steroid Anti Inf/amatory Drugs (NSAID), pernakaiannya harus berhati-hati dengan pernberian yang dirnulai dari dosis rendah rnengingat efek sarnping gastrointestinal, renal, dan kardiovaskular, serta interaksi obat.5

penilaian derajat nyeri

Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat

(Skor 1 -3) (skor 4-6) (skor 7-1 0)

.J, Paeasetamol oral Opiat intravena

Parasetamol oral + A tau

A tau NSAID NSAID Rektal

NSAID oral : A tau Suplemen

Ibuprofen kodein fosfat analgesik oral

Garnbar 1 . Penilaian nyeri dan kaitannya dengan pilihan anal­gesik.

52

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Karakteristik usia lanjut Pasien usia lanjut memiliki beberapa sifat khusus: kondisi

multipatologis dengan konsekuensi polifarmasi, perubahan fisiologis terkait umur, manifestasi klinis penyakit, serta penurunan status fungsional .6 Interaksi antara kondisi multipatologis dan perubahan fisiologis terkait umur mengakibatkan penurunan kemampuan merespon stres baik fisiologis maupun patologis. Pasien menjadi rentan terhadap penurunan fungsional, jatuh, fraktur, isolasi sosial, dan hospitalisasi. Kondisi ini disebut sebagai rapuh/ renta (jrailty).7•8

Pada pasien usia lanjut ini, pengaruh perilaku (attitudes) dan kepercayaan (beliefs) terhadap persepsi nyeri perlu diperhatikan dalam penilaian dan tata laksana nyeri. Berdasarkan kajian model biopsikososial serta pendekatan perilaku kognitif pasien, pramurukti (informal caregivers), dan profesi medis, diperoleh kesimpulan : 1. Perilaku dan kepercayaan seseorang berpengaruh terhadap semua pengalaman nyeri; 2. Sikap "stoicism" sangat nyata dan berkontribusi terhadap nyeri yang tidak dilaporkan; 3. Kepercayaan pasangan berpengaruh negatif terhadap perkembangan respons adaptif nyeri kronik; 4. Tenaga kesehatan dapat berbagi pengalaman a tau merespon kepercayaan pasien yang maladaptasi sehingga dapat merekomendasikan perilaku baru, misalnya menghindari aktivitas tertentu.7

53

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Table 3. Perubahan Fisiologis pada usia lanjut yang berpengaruh terhadap pemberian analgesik.3

Fisiologis Perubahan Terkait Dampak Klinik Penuaan Normal

Absorpsi & fungsi Pengosongan lam- Perubahan absorpsi traktus gastrointes- bung melambat obat tidak bermakna tinal -l- Peristal tik

-J, Aliran darah ket- i Risiko efek samping raktus GI obat terkait GI

Distribusi ,!, Cairan tubuh -J, Distribusi obat yang i Lemak tubuh terlarut air -l- Protein plasma j Potensi interaksi

obat i Waktu paruh obat terlarut lemak

Metabolisme hepar -l- Aliran darah hepar -l- Metabolisme lintas -l- Massa dan fungsi �ertama hepar Reaksi oksidasi

Konjugasi tidak berubah Efek obat sulit diprediksi

Ekskresi renal -J, A liran darah ginjal -l- Ekskresi obat di -l- Filtrasi glomeruler ginjal -J, Sekresi tubuler j Akumulasi dan efek

obat

Perubahan farma- -l- Densitas reseptor i Sensitivitas terapeu-kodinamik i Afinitas reseptor tik dan efek samping

Modalitas Nonfarmakologis Modalitas ini merupakan komponen esensial dalam tata

laksana nyeri komprehensif karena dapat membantu pasien mengatasi nyeri lebih baik serta memperbaiki fungsi. Beberapa komponen yang tercakup dalam modalitas ini, antara lain terapi fisis, terapi psikobehavioral, nutrisi, dan penyesuaian lingkungan yang ergonomis.4

54

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Modalitas Farmakologis Sebelum mempergunakan analgesik pada usia lanjut, perlu

diketahui adanya perubahan fisiologis yang memengaruhi obat seperti disebutkan pada tabel 3. Pada tabel 4 berikut ini dipaparkan prinsip umum pemakaian analgesik.4

Tabel 4. Prinsip umum tata laksana farmakologis untuk nyeri

1. Perubahan fisiologis pada usia lanjut mengakibatkan peningka­tan sensitivitas terhadap obat analgesik tertentu.

2. Walaupun ada peningkatan risiko efek samping obat, analgesik masih aman dan efektif.

3. Pilih obat analgesik dengan cara pemberian yang kurang invasif.

4. Waktu pemberian obat sangat penting. Pada nyeri episodik be­rat, dipilih obat dengan aksi cepat dan durasi pendek, sedang­kan pada nyeri kontinyu, dipilih obat lepas lambat.

5. Mulai dengan obat tunggal, dosis rendah, dan dosis dinaikkan sesuai respon.

6. Lebih disarankan memakai kombinasi obat dengan mekanisme komplementer dalam dosis rendah dibandingkan obat tunggal dosis tinggi.

7. Pertimbangkan pemakaian modalitas nonfarmakologis di sam­ping farmakologis.

8. Lakukan pemantauan terapi secara teratur dan penyesuaian untuk meningkatkan efikasi serta mengurangi efek samping jika diperlukan.

Analgesik yang diketahui efektif terhadap nyeri: 1 . Terapi non sistemik; 2. Asetaminofen; 3. NSAID; 4. Obat golongan opioid; 5. Terapi ajuvan; 6. Obat antidepresan.3

1. Terapi nonsistemik Beberapa preparat, seperti capsa1cm, metilsalisilat,

trolamin salisilat, kamfor/fenor, dan agen anestetik. Terapi topikal efektif untuk nyeri lokal pada sendi atau otot.8

55

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

2. Asetaminofen Asetaminofen merupakan analgesik pilihan pertama

yang efektif dan aman untuk mengatasi nyeri kronik muskuloskeletal, seperti osteoartritis dan nyeri punggung bawah. Pemakaian pada usia lanjut tidak melebihi 4 g sehari (2 g sehari untuk berat badan < 50 kg).3

3. NSAID Obat ini lebih poten daripada asetaminofen, tetapi

memiliki risiko efek samping gastrointestinal, renal, dan kardiovaskular yang lebih tinggi pada usia lanjut. Pemakaiannya diperuntukkan bagi nyeri sedang muskuloskeletal, sedangkan pemilihannya didasarkan pada profil keamanan dan tingkat risiko pasien. Obat ini menyebabkan 23,5% pasien perlu perawatan rumah sakit akibat efek negatifnya. Pada usia lanjut, pemakaian NSAID harus berhati-hati dan dikombinasi dengan Proton Pump Inhibitor (PPI) untuk menghindari efek samping gastointestinal. 3

4. Obat Golongan Opioid Obat golongan ini diperuntukkan bagi nyeri sedang-berat

baik pada pasien kanker maupun non-kanker. Efektivitasnya sama antara pasien usia lanjut dengan pasien usia muda namun efek samping seperti konstipasi, mual, dizziness, didapatkan lebih tinggi pada usia lanjut. Untuk pemakaian opioid pada usia lanjut, diberlakukan prinsip "S tart low go slow" serta diperlukan pemantauan keuntungan dan efek samping obat. Selain itu, mungkin diperlukan penyesuaian dosis dan interval dosis pada pasien gangguan hati atau ginjal untuk mencegah efek samping. Perlu diingat bahwa salah satu efek samping serius yang dapat muncul adalah depresi pernapasan. 5

Berdasarkan potensinya, opioid dibedakan menjadi opioid lemah (misalnya kodein dan dihidrokodein yang direkomendasikan untuk nyeri sedang -hal ini berbeda dengan step ladder WHO). Tramadol ( efek ganda sebagai agonis opioid lemah dan menghambat ambilan monoarnin), dan opioid kuat

56

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

(morfin, oksikodon, fentanil, bupremorfin, hidromorfin, dan metadon) . 2

Tabel 5. Analgesik opioid untuk usia �anjut.8

Obat Dosis inisial Interval Ekuivalen dengan Morfin 30 mg Oral

Kodein 15-60 mg 6-S jam 200 mg

Oksikodon 5 mg 6-12 jam 20 mg

Oksikodon SR lO mg 12 jam 20 mg

Hidrokodon 5 mg 6 jam 30 mg

Morfin lO mg 4-6 jam 30 mg P0/10 mg IV

Morfin SR 30 mg 12 jam 30 mg P0/10 mg IV

Morfin ER 20 mg 24 jam 30 mg P0/10 mg IV

Hidromorfin 2 mg 4-6 jam 7,5 mg P0/1,5 mg IV

Metadon 5 mg S jam

Fentanil patch 25 mg/ 200 mg/ 72jam 72 jam

5. Terapi Ajuvan Obat golongan ini dikembangkan di luar indikasi

utamanya, tetapi memiliki efek analgesik, yang terutama dipakai sebagai ajuvan dalam penanganan nyeri neurotik. Antidepresan dan antiepileptik termasuk dalam golongan •

. 3 llli.

WHO 1990 memperkenalkan Analgesic Ladder untuk mengatasi nyeri kanker yang dapat dipergunakan pula untuk nyeri kronik seperti terlihat pada gambar berikut.11

57

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Gambar 2. WHO Analgesic Ladder untuk terapi nyeri.11

Modalitas Terapi Intervensi Walaupun terapi farmakologis umum diberikan, terapi

intervensi berupa blok saraf atau prosedur neuroablatif dapat dilakukan sebelum pemakaian golongan opioid kuat. Terapi nyeri intervensi adalah disiplin kedokteran yang berfokus pada diagnosis dan terapi nyeri serta kelainan terkait dengan aplikasi teknik intervensi dalam tata laksana nyeri persisten atau intractable, baik secara mandiri maupun bersamaan dengan terapi lain.

Terapi ini meliputi injeksi epidural, adesiolisis epidural, facet joint interventions, stimulasi medula spinalis, blok saraf simpatik, infus intratekal, vertebroplasti dan kifoplasti, injeksi intraartikuler perifer, neuralgia pascaherpetik, dan denervasi radiofrekuensi ganglion Gasserian.3

Terapi Komplementer Terdapat bukti yang menyebutkan bahwa beberapa terapi

komplementer telah dipergunakan untuk mengatasi nyeri tipe spesifik pada usia lanjut. Modalitas ini mencakup akupunktur, Transcutaneous/ Percutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS/ PENS), massage (pemijatan), dan refleksologi.3

58

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Tuntunan dalam Mengatasi Nyeri Pada Usia Lanjut Pada tahun 2002, AGS telah mengeluarkan panduan tata

laksana nyeri pada usia lanjut sebagai hasil revisi panduan tahun 1998. Panduan ini berisi tentang penilaian nyeri dan tata laksana farmakologis. akan tetapi, terapi intervensi tidak disebutkan di dalamnya. Kemudian di tahun 2009, AGS merevisi panduannya dengan memasukkan analgesik baru yang belum memiliki banyak bukti klinis pada usia lanjut. Berikut dipaparkan panduan tata laksana nyeri pada usia lanjut yang rapuh/renta (frail elderly). Adapula panduan ASA-Task Force tahun 2010 mengenai tata laksana nyeri kronik yang sebenarnya di desain spesifik bukan untuk usia lanjut, tetapi mungkin dapat dipakai untuk usia lanjut.3

Simpulan

1. Nyeri akut dibedakan dari nyeri kronik atau persisten dalam hal durasi, patologi, prognosis, dan terapinya.

2. Nyeri pada usia lanjut sering kali" underdiagnosis" dan "undertreatment" .

3. Nyeri akut mempunyai patologi yang nyata sehingga upaya mengatasi patologi tersebut akan menyebabkan prognosis nyeri dapat diprediksi.

4. Nyeri kronik mempunyai berbagai aspek yang kompleks sehinga tata laksananya memerlukan modalitas multi­pel.

5. WHO Analgesic Ladder dapat dipakai sebagai panduan mengatasi nyeri dalam berbagai tingkatan dengan mem­perhatikan faktor perubahan farmakokinetik dan farma­kodinamik pada usia lanjut.

59

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Daftar Pustaka

1 . Kaye, A . D., Baluch, A., Scott, J . T . Paint management in the elderly population: A Review The Ochsner Journal. 2010; 10: 179-87.

2. Linda Ly. 2013. Pain management in older adults, ambulatory care clinical pharmacist.

3. Abdulla, A., Adams, N., Bone, M. et al. Guidance on the man­agement of pain in older people. Age and Aging. 2013; 42: i 1-1 57.

4. Barr, J. 0. 2014 Evaluation of pain in older individuals. In: T. L. Kauffman, R. Scott, J. 0. Barr & M.L. Mora (Eds): A Comprehen­sive guide to geriatric rehabilitations 3rd Ed. China: Elsevier.

5 . France, J . , Smith, S. & Smith, L. Management of pain in adults, the college of emergency medicine, London. 2014.

6. WHO 1989 Health in the Elderly, Jeneva.

7. Rastogi, R. & Meek, B. D. Management of chronic pain in elderly, frail patients: finding a suitable, personalized method of control, Clinical Interventions in Aging. 2013; 8: 37-46

8. Khang, P. & Kuo-Wei Lee. 2011 . The frailty syndrome. In: V. Hirth, D. Wieland, M. Dever-Bumba: Case-based Geriatrics: a global approach. New York: Mc Graw Hill. 2011 . p. 481-8.

9. Temporal, Pain control. In: T. Rosenthal, B. Naughton, M. Wil­liams: Office Care Geriatrics. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkin. 2006. p. 48-58.

10. Periyakoil, V. S. Managing persistent pain in older adults. In: B. A. Williams, A. Chang, C. Ahalt, H. Chen, R. Conant, C. S. Landefelt et al (Eds): Current Diagnosis & Treatment Geriatrics 2nd Ed. 2014. p. 410-6.

11 . WHO 1990 Cancer pain relief and palliative care. Tech Rep Ser. 804: 1- 75.

60

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Terobosan lnovasi long Acting Muscarinic Antagonist

dan Alat Semprotnya

Asril Bahar

Pendahuluan

Penyakit paru obstruksif kronik (PPOK) merupakan penyakit kronis pada saluran napas bawah, yang selalu memburuk dengan manifestasi berupa sesak napas, terbatasnya aktivitas fisik, dan sebagainya. Secara klinis terdapat beberapa bukti yang menyatakan bahwa keluhan-keluhan PPOK, kualitas hidup penderita, serangan eksaserbasinya, dan rerata angka hospitalisasi dapat diperbaiki bila diberikan terapi pemeliharaan dengan obat bronkodilator yang baik. Bronkodilator dianjurkan sebagai terapi utama pada PPOK sejak The Global Initiative for

Chronic Obtructive Long Disease (GOLD) menyatakan bahwa definisi PPOK bukanlah inflamasi yang ireversibel, tetapi sebagai obstruksi yang reversibel parsial.

Terdapat beberapa golongan bronkodilator untuk PPOK, yakni � agonis yang kerja cepat (short acting � agonist

= SABA) atau yang kerja lambat (LABA), antikolinergik atau antimuskarinik yang kerja cepat (short acting muscarinic

antagonis = SAMA) atau yang kerja lambat (LAMA), teofilin, dan sebagainya. Di antara semua bronkodilator tersebut yang terbanyak dipakai untuk PPOK dan direkomendasikan oleh GOLD adalah tiotropium bromida yang termasuk golongan LAMA.1

Makalah ini akan menunjukkan efektivitas dan keamanan dari obat tiotropium bromida sebagai salah satu anti kolinergik golongan LAMA yang dipakai pada terapi PPOK dan perbandingannya dengan bronkodilator lainnya serta perkembangan dan efektivitas dari alat semprot (device) .

61

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Farmakologi obat antikolinergik untuk PPOK

Obat antikolinergik mempunyai aktivitas antagonis secara kompetitif terhadap reseptor kolinergik muskarinik, sehingga terjadi hambatan pada bronkokonstriksi dan hipersekresi bronkial yang selama ini dilakukan oleh neurotransmiter parasimpatis asetilkolin. Terdapat 3 reseptor muskarinik M

1, M

2, dan M

3 yang ada di ganglion parasimpatik bronkus paru

manusia yang kerjanya berbeda-beda. M1 dan M3

melakukan neuro-transmisi asetilkolin sehingga terjadi kontraksi otot polos bronkus dan hipersekresi bronkial. M2 bekerja sebaliknya dengan adanya stimulasi pada reseptor terse but, maka terjadi efek negatif dengan berkurangnya penglepasan asetilkolin. Antikolinergik seperti atropin-methonitrat (tidak dipakai lagi pada PPOK karena daerah terapi keamanannya sempit dan pemberiannya secara oral atau parenteral, dianggap kurang efektif), ipratropium bromida, oxitropium bromida dan tiotropium bromida (sediaan dalam bentuk inhalasi) umumnya mempunyai sifat-sifat seperti tersebut di atas.2 Keistimewaan dari tiotropium bromida adalah lebih selektif pada M

3 dengan waktu paruh yang lebih panjang (34,7 jam), sehingga efektivitas antikolinergiknya lebih baik daripada yang lain dan dapat diberikan 1 x sehari, sedangkan ipratropium bromida waktu paruhnya pendek (0,26 jam), sehingga diberikan 4-6 x sehari. Keistimewaan lain dari tiotropium bromida adalah disosiasinya yang lebih lama terhadap reseptor M

3 (34,7 jam)

dibandingkan dengan reseptor M1

(14,6 jam) dan M2 (3,6 jam). Kekuatan tiotropiurrt bromida bisa sampai 10 kali lipat daripada ipratropium bromida, dan lama kerjanya juga lebih panjang.3

Antikolinergik ini mempunyai efek bronkodilatasi yang lebih baik secara bermakna daripada � agonis pada pasien PPOK. Ini terlihat bila p. agonis diberikan pertama kali pada terapi PPOK, kemudian diberikan tambahan antikolinergik, maka efek bronkodilatasinya lebih meningkat. Bila anti

62

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

kolinergik diberikan pertama kali dan pemberian p agonis

berikutnya, maka ia tidak memberikan efek tambahan

bronkodilatasi. Bila 2 obat tersebut diberikan secara bersamaan,

efek bronkodilatasinya relatif sama saja xlengan antikolinergik

yang diberikan secara sendiri. Berdasarkan hal tersebut dapat

dinyatakan bahwa aktivitas parasimpatik adalah komponen yang reversibel (yang masih bisa diobati) pada PPOK.

Antikolinergik seperti ipratropium bromida yang

mempunyai kerja pendek dan tiotropium bromida yang

mempunyai kerja panjang memberikan efek bronkodilatasi

pada saluran napas kecil dengan meningkatkan FEV1, FVC dan

kapasitas inspirasi (IC). Di samping itu, efek antikolinergik juga

mengurangi ruang rugi udara (trapped gas) dan hiperinflasi.

Manifestasinya adalah dalam bentuk berkurangnya sesak

napas dan perbaikan aktivitas fisik. Kondisi ini lebih nyata dan lebih baik secara bermakna pada pemakaian dengan tiotropium

bromida dibandingkan SABA (baik yang kerja pendek atau

kerja panjang) atau SAMA yang kerja pendek. Sebelum adanya tiotropium bromida, terapi PPOK

biasanya memakai SABA atau SAMA, bisa juga dalam bentuk

kombinasi SABA + SAMA yang diberikan secara inhalasi rata­rata 3-4 kali sehari.

Pemakaian obat kombinasi p agonis + anti-kolinergik ini lebih dipilih karena beberapa alasan berikut : 3

1 . Mempunyai mekanisme kerja yang berbeda (simpatis ><

parasimpatis );

2. Berbeda lokasi tempat kerja (saluran napas proksimal ><

distal);

3. Mempunyai efek sinergik/ additive;

4. Lebih kecil dosis obat dan efek sampingnya;

5. Bisa meningkatkan kepatuhan pasien, dibandingkan pem­berian dengan 1 obat saja; serta

6. Lebih hemat biaya.

Dulunya terapi kombinasi SABA + SAMA ini merupakan

lini pertama terapi PPOK, namun karena pemberiannya 3-6

63

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

kali sehari, maka kepatuhan pasien makin berkurang, sehingga diperlukan obat lain yang lebih sederhana pemberiannya.

Sejak tahun 1995 terdapat obat golongan LABA yakni salmeterol dan formeterol yang dipakai untuk terapi pemeliharaan PPOK. Obat ini cukup efektif secara bermakna dibandingkan plasebo dalam gejala mengurangi gejala sesak, meningkatkan PEFR-FEV1-FVC, mengurangi kebutuhan bronkodilator emergensi, dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Efek sampingnya sering ditemukan berupa tremor bila dipakai pada dosis tinggi yakni salmeterol 2 x 100 µg. salmeterol mempunyai keistimewaan lebih lama kerjanya, sedangkan formeterol mempunyai awitan yang lebih cepat seperti SABA. Belakangan terdapat lagi obat LABA yakni indocaterol yang pemberiannya cukup 1 x sehari.

Perbedaan terapi LABA dengan SAMA pada PPOK

Mahler, dkk 4 yang membandingkan LABA salmeterol 2 kali sehari dengan SAMA ipratropium bromida 4 kali sehari selama 12 minggu secara random, double-blind, placebo -controlled

trial dengan jumlah 411 orang penderita PPOK. Studi terse but mendapatkan salmeterol lebih baik secara bermakna dalam mengurangi sesak napas dan memperbaiki fungsi paru daripada ipratropium bromida, serta lebih sedikit dalam pengunaan tambahan albuterol emergensi.4

Hal yang sama j uga diteliti oleh Dahl, dkk5 yang membandingkan LABA formeterol dengan SAMA ipratropium bromida pada 780 penderita PPOK. Formeterol lebih efektif dalam memperbaiki keluhan dan fungsi paru. Sejak itu LABA direkomendasikan sebagai terapi awal (bronkodilator jangka panjang) pada PPOK.5

Kemudian Van Noord, dkk 6 meneliti terapi pemeliharaan PPOK dalam bentuk kombinasi LABA salmeterol + SAMA ipratropium bomida dibandingkan LABA salmeterol sendiri yang digunakan selama 12 minggu. Hasilnya menunjukkan

64

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

bentuk kombinasi LABA + SAMA lebih meningkatkan fungsi paru dan mengurangi terjadinya eksaserbasi akut PPOK dibandingkan Salmeterol sendiri.6Hal yang sama juga terlihat pada bentuk kombinasi LABA formeterol + SAMA ipratropium bromida. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut, pada saat itu disepakati bahwa terapi kombinasi LABA + SAMA merupakan terapi terbaik dalam pemeliharaan PPOK.

Studi jangka panjang pada LAMA Tiotropium

Terdapat penelitian 1 tahun pemakaian tiotropium bromida 18 µg sekali sehari dibandingkan dengan plasebo pada PPOK. Penelitian dilakukan secara random, double-blind, double-dummy.

Penelitian oleh Casaburi, dkk7 terhadap 550 penderita PPOK tersebut yang dikenal sebagai studi USA menunjukkan hasil peningkatan fungsi paru yang diperoleh dari kenaikan selisih (trough) FEV1 yang diukur pada 5 menit sebelum pemberian obat dan 23-24 jam setelah pemberian obat. Selisih FEV1 pada kelompok tiotropium meningkat jadi 12%, dan nilai FEV1 setelah pemberian 3 jam meningkat jadi 22 % dibandingkan nilai awal. Perbaikan nilai ini bertahan sampai 1 tahun dan secara klinis terdapat penurunan gejala sesak napas yang bermakna dan berkurangnya pemakaian SABA emergensi. Nilai positif lain didapat dengan adanya peningkatan kualitas hidup (SGRQ

index) sebesar 49% pada kelompok tiotropium dan 30% pada kelompok plasebo. Eksaserbasi akut dan hospitalisasi dalam 1 tahun juga berkurang menjadi 22 % pada kelompok tiotropium dan 44% pada kelompok plasebo.7

Pada studi perbandingan antara kelompok tiotropium 1 kali sehari dengan kelompok ipratropium 4 kali sehari, dimana nilai awal rata-rata FEV1 nya < 1,2 L, ditemukan nilai selisih FEV1 nya meningkat secara bermakna sebesar 0,12 L setelah 1 tahun penelitian pada kelompok tiotropium, sedangkan pada kelompok Ipratropium nilainya menurun 0,12 L. Terdapat juga perbaikan yang bermakna pada kelompok tiotropium berupa

65

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

penurunan gejala sesak napas, perbaikan kualitas hidup dan makin sedikitnya pemakaian SABA emergensi. Perbaikan sesak napas pada kelompok tiotropium sebesar 31 %, sedangkan pada ipratropium 18%. Perbaikan kualitas hidup pada kelompok tiotropium 52%, sedangkan ipratropium 35%, Kekambuhan eksaserbasi akut dan hospitalisasi pada kelompok tiotropium 24%, sedangkan pada ipratropium 38% .8

Studi perbandingan LAMA tiotropium 1 x sehari dengan LABA salmeterol 2 x sehari oleh Donahue, dkk 9 pada 623 penderita PPOK selarna 6 bulan pengamatan, menunjukkan perbaikan secara bermakna pada FEV1, keluhan sesak napas, perbaikan kualitas hidup pada kelompok tiotropium dibandingkan kelompok salmeterol.9

. Pada studi pemakaian kombinasi LABA + LAMA tiotropium, Van Noord, dkk10 meneliti efektivitas LAMA tiotropium 18 µg 1 x sehari + LABA formeterol 12 µg dibandingkan tiotropium dan formeterol sendiri-sendiri pada 74 orang PPOK selarna 6 minggu. Hasilnya tiotropium lebih superior daripada formeterol dalam efek bronkodilator. Kombinasi tiotropium + forrneterol lebih superior juga dibandingkan titropiurn sendiri atau formeterol sendiri dalarn perbaikan FEV

1 dan FVC serta pengurangan pernakaian

salbutarnol ernergensU10) Sejak itu kornbinasi LAMA + LABA merupakan terapi yang ideal untuk pemeliharan PPOK terutama tingkat sedang sampai sangat berat dan kombinasi terapi ini juga direkomendasikan oleh GOLD.

Terakhir penelitian dengan skala besar melibatkan 6.000 pasien PPOK, multinasional (37 negara), multicenter (450 pusat kesehatan), selama 4 tahun, secara double-blind,

randomized controlled trial yang dikenal dengan studi UPLIFT (Understanding Poten tial Long-term Impact on Function of

tioropium) menunjukkan bahwa tiotropium secara bermakna dapat memperbaiki FEV1, memperbaiki kualitas hidup penderita (SGRQ index), mengurangi eksaserbasi akut 14 % dan hospitalisasi 14%, serta mengurangi risiko kematian sebesar

66

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

13% dibandingkan dengan kelompok kontrol yang diukur sampai hari ke-1440 penelitian.11

Pemakaian alat semprot (device) pada LAMA

Hampir sebagian besar obat-obat yang dipakai untuk terapi PPOK dalam bentuk aerosol (inhalasi). Keuntungan obat inhalasi ini dapat secara langsung diantar ke saluran napas, dosis total lebih rendah, absorbsi dan distribusi sistemik lebih rendah, efek samping minimal. Bentuk alat pengantar (device)

inhalasi terse but dapat berupa Metered Dose Inhaler (MDI), Dry

Powder Inhaler (DPI), dan bisa juga dengan nebulizer. Faktor utama pemilihan alat inhalasi adalah efektivitasnya dan kemudahan bagi pasien dalam menghirupnya. Di samping itu, keamanannya juga diperlukan seperti menghilangkan zat pelarut yang merugikan seperti CFC, dll. Device yang dipakai pada LAMA tiotropium pertama kalinya adalah dalam bentuk DPI yang dinamakan handihaler. Tiotropiumnya sendiri berada dalam kapsul yang dimasukkan dalam handihaler, setelah dipecahkan kapsulnya oleh pisau handihaler, barulah obat diisap dari handihaler.

Dalam studi terhadap pemakaian titropium bromida inhalasi memakai handihaler pada PPOK selama 4 minggu, dengan beberapa dosis yakni 9, 18, 36, 72 µg sekali sehari. Ternyata dosis 18 µg adalah dosis yang terbaik dan teraman pada perbaikan gejala dan peningkatan fungsi paru sampai hari ke-29 penelitian.3 Dosis ini adalah dosis optimal untuk pemeliharaan j angka panjang penderita PPOK dan di rekomendasikan juga pada tata laksana PPOK oleh GOLD. Sekitar 2-3% dari tiotropium bromida ini masuk ke saluran cerna. Ikatan obat dengan protein plasma mencapai 70% . Obat ini tidak dimetabolisme dalam tubuh, tidak bisa melewati sawar darah-otak dan dieksresikan melalui urin. Bila dipakai pada pasien gagal ginjal, maka diperlukan pengaturan dosis. Efek sampingnya kecil sekali dapat berupa air liur yang

67

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

berkurang, sekresi asam lambung menurun, midriasis, retensi urin, dan sebagainya. Kebanyakan pasien dapat menoleransi efek samping ini, antara lain dengan memperkecil dosis.

Belakangan ini dikeluarkan lagi device terbaru berisi tiotropium bromida yang mempunyai banyak keunggulan dibandingkan handihaler, yakni Soft Mist Inhaler (SMI). Dosis tiotropium bromida dalam SMI berisi 2,5 µg per-dosis dan untuk terapi yang optimal cukup diberikan 2 dosis sekali sehari. Dengan penurunan dosis ini maka efek samping obat makin diperkecil, sedangkan efektivitasnya lebih baik dibandingkan handihaler. SMI ini merupakan generasi terbaru dari device

inhaler dengan dosis terukur dalam device, bebas dari propellant, memberikan tekanan hirupan obat yang lebih ringan/lembut dan deposisi obat di jaringan paru yang lebih luas dan merata. SMI ini berisi fraksi partikel yang halus (soft mist) dengan ukuran partikel < 5 µm dan mudah digunakan sehingga dapat dipakai pada semua pasien karena tenaga hirupan tidak perlu terlalu dalam dan hanya sedikit saja koordinasi yang diperlukan dari pasien waktu memakainya. Bagian yang tersangkut di oro-faring a tau tertelan di saluran cema juga lebih sedikit dibandingkan Handihaler. Dibandingkan device MDI,

SMI ini memberikan gerakan tiupan aerosol yang lembut dan lebih lama kerjanya di dalam saluran napas bawah sehingga absorbsinya bisa lebih optimal.

Ringkasan

PPOK dinyatakan pada GOLD sebagai penyakit obstruktif kronis dengan gangguan parsial reversibel, sehingga terapinya dapat diberikan dengan obat bronkodilator sebagai terapi pemeliharaan. Efektivitasnya dapat mengurangi sesak napas, mengurangi hiperinflasi dan memperbaiki kemampuan beraktivitas. Oleh karena aktivitas parasimpatik sangat dominan pada PPOK, maka penggunaan obat antikolinergik sangat dianjurkan dan efektivitas makin membaik bila diberikan

68

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

dikombinasikan dengan � agonis lainnya. Tiotropium bromida 18 µg inhalasi 1 kali sehari adalah salah satu golongan LAMA yang banyak dipakai dan direkomendasikan oleh GOLD untuk kelas II ke atas.

Dalam beberapa studi, antara lain UPLIFT, terlihat bahwa tiotropium bromida yang dipakai dalam jangka panjang, ternyata lebih unggul daripada bronkodilator lainnya baik yang kerja pendek maupun yang kerja panjang, terutama pada perbaikan sesak napas, stabilitas FEV1 dan FVC, perbaikan kualitas hidup, berkurangnya eksaserbasi akut serta hospitalisasi, pemakaian SABA emergensi lainnya, dan sebagainya. Efektivitas LAMA ini akan bertambah baik bila diberikan tambahan LABA lainnya. Belakangan terdapat tiotropium dengan device terbaru dalam bentuk soft mist

inhaler yang lebih efektif dan lebih praktis dibandingkan pendahulunya bentuk handihaler. Dosis SMI ini lebih kecil cukup 1 kali sehari, 2 isapan yang berisi tiotropium bromida 2,5 µg, sehingga efek samping obat bisa diperkecil.

Daftar Pustaka

1. Global initiative for chronic obstructive lung disease. Global strategy for the diagnosis, management and prevention of Chronic obstructive pulmonary disease. Updated 2015. http:// www.goldcopd.org

2. Barnes PJ. Drugs used in the management of COPD. In: Manag­ing chronic obstructive pulmonary disease. London: Scientific Press Ltd. 2000; 35-49.

3. Vincken W. Bronchodilator treatment of stable COPD: long act­ing anticholinergics. Eur Respir Rev. 2005; 14(94):23-31.

4. Mahler DA, Donohue JF, Barbee RA, et al. Efficacy of salmeterol xinafoate in the treatment of COPD. Chest 1999; 115:107-15.

5. Dahl R, Greefhost APM, Nowak D, et al. Inhaled formeterol dry powder versus ipratropium bromide in COPD. AmJ Respir Crit Care Med. 2001;164:778-84.

69

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

6. Van Noord JA, De Munck DR, Bantje TA, et al. Long-term treatment of COPD with salmeterol and the additive effect of ipratropium. Eur Respir J. 2000;15:878-85.

7. Casaburi R, Mahler DA, Jones PW, et al. A long-term evaluation of once-daily tiotropium in COPD. Eur Resir J. 2002;19:217-24.

8. Vincken W, Van Noord JA, Greefhorst APM, et al. Improved health outcomes in patients with COPD during 1 year's treat­ment with tiotropium. Eur Respir J. 2002;19:209-16.

9. Donanue JF, Van Noord JA, Bateman ED, et al. A 6-month placebo-contolled study comparing lung function and health status changes in COPD patients treated with tiotropium or salmeterol. Chest. 2002;122:47-55.

10. Van Noord JA, Aumann J, Janssens E, et al. Tiotropium main­tenance therapy in patients with COPD and the 24-hour spiro­metric benefit of adding once or twice daily formeterol during 2-week treatment periods. ATS 2003, Seattle. Am J Respir Crit Care Med. 2003;167:A320.

11 . Tashkin DP, Celli B, Senn S, et al. A 4 year trial of tiotro­pium in chronic obstructive pulmonary disease. N Engl J Med .2008;359:1616-8.

70

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Panduan Tata Laksana Terkini PPO K dan Sindrom Asma-PPOK

Anno Uyoinoh ZN

Pendahuluan

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit yang sering ditemukan pada usia lanjut, dengan berbagai penyulit seperti gangguan pernapasan berat, peningkatan frekuensi eksaserbasi, serta komorbid. Keadaan terse but dapat menurunkan kualitas hid up serta meningkatkan morbiditas maupun mortalitas.

Saat ini PPOK menduduki peringkat keempat penyebab kematian dan diprediksi akan naik menjadi peringkat ketiga dalam 20 tahun ke depan. Di Indonesia masa mendatang, diperkirakan angka kejadian PPOK akan terus meningkat seiring pertambahan rerata usia hidup dan jumlah perokok baik pria maupun wanita. Data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa 3,7% penduduk Indonesia menderita PPOK.

Sekitar 60-85% penderita PPOK di dunia tidak mengetahui penyakitnya. Begitu pula di Indonesia, masih banyak pasien PPOK yang tidak mengetahui bahwa dirinya menderita PPOK. Hal ini disebabkan penderita PPOK tidak memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan karena menganggap batuk clan sesak yang dialami merupakan hal biasa akibat merokok. Di sisi lain, pada saat penderita PPOK datang ke fasilitas pelayanan kesehatan, petugas medis umumnya mengatasi keadaan akutnya, yang dianggap sebagai penyebab berobatnya, tetapi kemudian pasien tidak melakukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari diagnosis utama yang tepat. Selain itu, belum semua petugas fasilitas pelayanan kesehatan memahami langkah­langkah mendiagnosis PPOK. Fasilitas pemeriksaan spirometri

71

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

pun belum merata di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Saat ini telah dikenal dan dilakukan berbagai penelitian

mengenai Asthma-COPD Overlap Syndrome (ACOS) yang merupakan sindrom gabungan gejala asma dan PPOK. Keadaan ini diperkirakan terdapat pada 15-25% penderita PPOK. Seringkali gejala ACOS lebih berat dibandingkan PPOK atau asma. Pasien ACOS umumnya berusia lebih muda dari pasien PPOK, mempunyai kombinasi faktor risiko merokok atau paparan polusi dan atopi. Eksaserbasi akut yang dialami pasien ACOS biasanya lebih sering dan lebih berat dibandingkan pasien PPOK atau asama.

Definisi

PPOK merupakan penyakit paru kronik yang umumnya dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh adanya keterbatasan aliran udara dalam saluran napas yang persisten dan progresif, terkait dengan peningkatan respons inflamasi kronik pada saluran napas dan parenkim paru karena pajanan partikel atau gas berbahaya. Eksaserbasi dan komorbid pada PPOK berperan dalam memperberat penyakitnya.

Dampak eksaserbasi, seperti perburukan gejala, pengaruh pada aktivitas sehari-hari, dan penurunan status kesehatan, dapat mengakibatkan perawatan RS dan memperlambat kesembuhan. Setelah mengalami eksaserbasi fungsi paru akan menurun dibandingkan dengan kondisi sebelum eksaserbasi. Penurunan ini bersifat persisten dan progresif sehingga semakin sering eksaserbasi, fungsi paru akan menurun semakin cepat dan memengaruhi kualitas hidup pasien. Oleh sebab itu, tata laksana PPOK ditujukan untuk mengobati dan mencegah terjadinya eksaserbasi agar progresivitas dapat diperlambat.

ACOS didefinisikan sebagai obstruksi jalan napas yang tidak reversibel sepenuhnya disertai tanda dan gejala peningkatan reversibilitas obstruksi.

72

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Faktor Risiko dan Komorbiditas

Beberapa faktor risiko yang dapat memicu terjadi dan berkembangnya PPOK, antara lain faktor genetik, pajanan partikel asap rokok, debu organik dan non organik, polusi udara dalam ruangan dan luar ruangan, jenis kelarnin, usia, infeksi saluran napas, serta status ekonomi.Komorbiditas PPOK yang sering ditemui, yaitu penyakit kardiovaskular, osteoporosis, infeksi sistem pernapasan, ansietas dan depresi, diabetes, serta bronkiektasis.

Diagnosis

Saat ini diagnosis PPOK dinilai berdasarkan komponen: 1 . Keterbatasan aliran udara pada jalan napas atau fungsi

paru yang dinilai dengan spirometri 2. Gejala sesak yang dinilai dengan COPD Assesment Test

(CAT) score atau Modified Medical Research Council Ques­

tionaire for Assessing the severity of Breathlessness (mMRC) 3. Eksaserbasi yang dinilai berdasarkan jumlah eksaserbasi

dalam satu tahun terakhir

Diagnosis PPOK dibagi dalam empat kelompok, yaitu kelompok A, B, C dan D.

73

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

-;:-·�

4

� :� ...... 3::

3 ,$1 � -.: ... .... ·� c::> c:a: .�

._

-� 2 � "' ,!l! c..; c::i cs � 1

I

(C) I (0) I

- - + - - -

(A) I (8) I

I CAT < 10 CAT� 10

Symptoms

mMRC 0- 1 mMRC > 2 Breathlessness -

> 2 or > 1 leading to - hospital

admission

1 (not leading to hospital admission)

0

Gambar 1 . Empat kelompok diagnosis PPOK (Sumber: Global

Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease- updated 2014)

Tabel 1. Klasifikasi PPOK berdasarkan gejala, faktor risiko dan riwayat eksaserbasi

Klasifikasi Eksaser-

Pasien Karakteristik Spirometri

basi per CAT mMRC Tahun

A Low Risk Less GOLD l-2 < 1 < 10 0-1 Symtoms

B Low Risk More GOLD l-2 < 1 > 10 > 2 Symtoms

c High Risk Less GOLD 3-4 > 2 < 10 0-1 Symtoms

D High Risk More GOLD 3-4 > 2 > 10 > 2 Symtoms

Sumber: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease- up­

dated 2014

74

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Tabel 2. Klasifikasi PPOK-GOL berdasarkan spirometri Pada pasien dengan Obstruksi, yaitu FEVl % (FEVl/fVC) <0,70

GOLD I Ring an FEVl > 80% predicted

GOLD 2 Sedang 50% < FEVl > 80% predicted

GOLD 3 Berat 30% < FEVl < 50% predicted

GOLD 4 Sangat Berat FEVl < 30% predicted

Asthma COPD overlap syndrome (ACOS)

ACOS bukan merupakan satu penyakit, melainkan gabungan gejala asma dan PPOK yang ditandai oleh keterbatasan aliran napas persisten dengan gambaran klinik asma dan PPOK. Faktor risiko ACOS pun merupakan gabungan faktor risiko dari asma dan PPOK, misalnya mempunyai riwayat asma, kebiasaan merokok dan lainnya.

Gejala-gejala ACOS yang sering ditemukan antara lain batuk kronik dengan produksi sputum, sesak, mengi, infeksi saluran napas bawah berulang, pernah didiagnosis asma, riwayat menggunakan obat inhalasi, serta riwayat terkena pajanan rokok a tau pol utan lainnya seperti polusi udara dalam ruangan dan luar ruangan.

75

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Tabel 3. Nilai spirometri pada asma, PPOK dan ACOS

Spirometric Asthma COPD ACOS variable

Normal FEVl/ Compatible with Not compatible Not compatible un-FVC pre-or post diagnosis with diagnosis less other evidence BD of chronic airflow

limitation

Post-BD FEVl/ Indicates airflow Required for diag- Usually present FVC <0.7 limitation but may nosis (GOLD)

improve span-taneously or on treatment

FEVl >80% Compatible with Compatible with Compatible with predicted diagnosis (good GOLD calssi- diagnosis mild

asthma control or fication of mild ACOS interval between airflow limitation symptoms) (categories A or B)

if post- BD FEV1/ FVC <0.7

FEVl <80% Compatible with An indicator of An indicator of predicted diagnosis. Risk severity of airflow severity of airflow

factor for asthma limitation and risk limitation and risk exacerbations of future events of future events

(e.g. Mortality and (e.g. Mortality and COPD exacerba- exacerbations) lions)

Post-BD increase Usual at some time Common and more Common and more in FEV1 >12% in course of as th- likely when FEV1 likely when FEV1 and 200 ml from ma, but may not is low, but ACOS is low, but ACOS baseline (reversible be present when should also be should also be airflow limitation) well-controlled or considered considered

on con trailers

Post-BD increase. High probability of Unusual in Compatible with in FEV1 >12% asthma COPD. Consider diagnosis of ACOS and 400 ml from ACOS baseline (marked reversibility)

ACOS: asthma-COPD overlap syndrome; BD: bronchodilator, FEV1 : forced

expiratory volume in 1 second; FVC: forced vital capacity; GOLD: Global Initia­

tive for Obstructive Lung Diease.

Sumber: Diagnosis of Diseases of Chronic Airflow Limitation:Asthma, COPD and Asthma-COPD Overlap Syndrome (ACOS)-Updated

2015

76

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Tata laksana PPOK dan ACOS

Penatalaksanaan PPOK terdiri dari beberapa aspek di­antaranya: Berhenti merokok, farmakoterapi, latihan aktivitas kemampuan fisik, terapi oksigen, vaksinasi influenza dan pneumokok, antibiotik untuk mengatasi eksaserbasi, Lung

volume reduction surgery/ bronchoscopy Lung volume reduction surgery, palliative care, end of life care, hospice care.

Terapi pemeliharaan dengan long-acting bronchodilators merupakan terapi utama untuk menstabilkan PPOK, mencegah progresifitas dan mencegah eksaserbasi. Golongan obat bronkhodilator mempunyai beberapa keuntungan diantaranya: Mempertahankan kestabilan fungsi paru, mengurangi gejala, mempertahankan kemampuan aktivitas fisik, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah eksaserbasi.

Tabel 4. Jenis Obat-obatan yang digunakan unruk PPOK

Beta2-agonist

Anticholinergics

Combination short-acting beta2-ago­nists + anticholinergic in one inhaler Methylxanthines Inhaled corticosteroids Combination long-acting beta2-ago­nists + corticosteroids in one inhaler Systemic corticosteroids Phosphodiesterase-4 inhibitors

Short-acting beta2-agonists (SABA) Long-acting beta2-agonists LABA

Short-acting anticholinergics (SAMA) Long-acting anticholinergics (LAMA)

Sumber: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease- up­

dated 2014

77

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Rekomendasi Pilihan pertama sesuai klasifikasi PPOK

c I D

ICS + LABA JCS LABA or and/or

LAMA LAMA

+ - - -

A B

SAMA prn SAMA or or

SABA prn SABA

I Sumber: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease- up­

dated 2014

Alternatif pilihan pengobatan sesuai klasifikasi PPOK

c I D

I JCS + LABA and LAMA LAMA + LABA or

or JCS + LABA and PDE4-inh LAMA and PDE4-inh or LABA and PDE4-inh LAMA and LABA

or LAMA and PDE4-inh

- - I -

A B

LAMA or I · LABA LAMA and LABA

or SABA and SAMA I

I Sumber: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease- up­

dated 2014

78

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Alternatif lain pengobatan sesuai klasifikasi PPOK

c I

SABA and/or SAMA Theophylline

I Carbocysteine

SABA and/or SAMA Theophylline

A - 1 --

Theophylline

I I

SABA and/or SAMA Theophylline

D

B

Sumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease-updated 2014 -

Pengobatan ACOS

Setelah diagnosis ACOS ditegakkan, tata laksana dikerjakan sesuai rekomendasi GINA dan GOLD: 1 . Kortikosteroid inhalasi (inhaled corticosteroid/JCS) den­

gan dosis rendah atau sedang sesuai tingkat gejala 2. Tambahkan LABA dan/ a tau LAMA 3. Jangan hanya memberikan LABA/LAMA tanpa ICS

(terapi tunggal LABA/LAMA) atau ICS tanpa LABA/ LAMA (terapi tunggal ICS)

Selain farmakoterapi, GINA dan GOLD merekomendasikan tata laksana lainnya yang merupakan modifikasi tatalaksana Asma dan PPOK, antara lain berhenti merokok, latihan fisik, rehabilitasi paru, pengobatan komorbid dan vaksinasi.

79

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Daftar Pustaka

1 . Zeki AA, Schivo M, Chan A, Albertson TE, Louie S . The Asthma­COPD overlap syndrome: a common clinical problem in the elderly. J Allergy. 2011;2011:861-926.

2. Global initiative for chronic obstructive pulmonary disease (GOLD). Global strategy for diagnosis, management and preven­tion of COPD-updated 2014.

3. GINA-GOLD. Diagnosis of disease of chronic airflow limitation: asthma, COPD and asthma-COPD overlap syndrome (ACOS). Available from URL http://www.goldcopd.org/ asthma-copd­overlap.htrnl.

4. Dana Saffel, pharmd, CGP, FASCP. Managing COPD in elderly patients. Aging Well. 5(2): 8.

80

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Penuaan dan Permasalahan Kulit pada Usia Lanjut

R.A. Tuty Kuswa rd hani

Pendahuluan

Proses penuaan a tau aging menyebabkan penurunan fungsi kulit manusia. Berbagai faktor dapat memengaruhi fisiologis kulit, yaitu kondisi fisik, penyakit penyerta, penggunaan obat­obatan, serta lingkungan.

Perubahan fisiologis kulit umumnya dipengaruhi faktor intrinsik dan ekstrinsik.1 Faktor intrinsik sangat terkait dengan usia, maka seiring bertambahnya usia terjadi akumulasi jaringan endogen yang mengalami kerusakan akibat reactive oxygen

species (ROS) yang semakin meningkat. Teori pemendekan telomer, yaitu bagian terpendek dari eukariotik kromosom, berpengaruh terhadap proses penuaan pada kulit, di mana telomer bertanggung jawab mengatur pembelahan sel. Tumor supresor gen berperan mengatur sel yang mati (apoptosis sel) atau sel yang tidak berproliferasi (senescence), Sel senescence

dapat menjadi hiperproliferasi seperti pada kanker. Adapun faktor intrinsik yang tidak bisa diabaikan adalah

faktor genetik. Faktor ekstrinsik yang paling sering adalah akibat paparan terhadap polutan dan pajanan kronis sinar matahari.1 Berbagai faktor baik intrisik maupun ekstrinsik dapat saling terkait satu dengan yang lainnya sehingga pencegahan aging hams melibatkan aspek multidimensi.

Epidemiologi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sanjiv 2 di India tahun 2012 (tabel 1) dikemukakan bahwa dari 2000 pasien geriatri, jenis kelainan kulit yang paling banyak adalah tumor jinak kulit (n=547; 74%) .

81

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Tabel 1. Spektrum Kondisi Dermatologi pada Geriatri di India2

Kondisi / Lesi Kulit Jumlah % Prevalensi

Wrinkling 191 95.5 Xerosis 171 85.5 Idiopathic guttate hypomelanosis 153 76.5 Senile lentigines 20 10 Senile comedones 13 6.5 Papulosquamous disorders 34 17 Eczemas 78 39 Infections and infestations 87 43.5 Pigmentary disorders 20 10 Benign tumors of the skin 537 74.5 Collagen vascular disorders 7 3.5 Vascular disorders 20 10 Vesiculobullous disorders 1 0.5 Keratinization disorders 25 12.5 Miscellaneous skin condition 35 17.5

Selain data di atas, studi lain pada tahun 2014 pada pasien berusia lebih dari 70 tahun dengan hiperkeratosis serta xerosis kutis yang mendapatkan terapi pelembab berisi glikoprotein yg yang disintesis dengan pseudoalteromonas didapatkan penurunan secara bermakna derajat keratosis dan kekeringan kulit.3

Kondisi Kulit pada Populasi Usia Lanjut

Penuaan Intrinsik Penuaan intrinsik adalah proses sel yang menua seiring

dengan waktu. Telomer (sekuens asam amino pada akhir rantai DNA) dapat memendek setiap kali proses pembelahan sel. Proses ini dapat menyebabkan aging dan senescence sel. Senescence sel adalah pertumbuhan yang terhenti pada siklus sel mitosis yang bersifat irreversibel. Sel kulit termasuk sel mitosis. Senescence keratinosit dan fibroblas tampak akumulasi pada kulit yang tua. Mutasi pada mitokondria DNA dan produksi ROS dapat mempercepat terjadinya proses menua pada kulit.

82

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Penurunan sistem imun pada proses aging menyebabkan penumpukan sel senescence pada jaringan serta kemunduran fungsi organ tersebut.4

Manifestasi proses menua pada kulit berupa kulit berkerut dan garis/line, serta timbulnya spot (bercak-bercak di kulit). Hal ini disebabkan penurunan produksi kolagen tipe I serta fragmentasi kolagen matriks ekstraseluler yang meningkat. Di samping itu, pada populasi usia lanjut, terjadi kulit kering (xerosis kutis) yang terkait hilangnya jaringan adiposa dan penurunan cairan tubuh.4

Kolagen merupakan protein yang terdiri dari asam amino dan bermanfaat untuk mempertahankan kesehatan dan keremajaan kulit serta melawan proses menua pada kulit. Kolagen berfungsi memperkuat jaringan penyusun kulit sehingga jaringan kulit menjadi kuat dan elastis. Selain itu, kolagen memberi kekuatan untuk struktur tubuh dan melindungi struktur kulit dengan cara mencegah penyebaran zat patogen, zat beracun, rnikroorganisme, dan sel-sel kanker. Penurunan kolagen seiring usia akan berdampak langsung pada kondisi kulit, rnisalnya kulit berkeriput, otot mengecil, kulit kusam hingga kuku rapuh.

Ultraviolet A

Ultraviolet A (UV A) berpengaruh pada terjadinya photo

aging. Pajanan sinar matahari secara langsung mengandung UV A dalam jumlah banyak. Ultraviolet A juga memiliki penetrasi kuat ke lapisan dermis kulit.5

Ultraviolet B Ultraviolet B (UV B) juga berpengaruh pada terjadinya

photo aging. Ultraviolet B seribu kali lebih kuat daripada foton UV A Sementara itu, UV B menyebabkan sunburn, suntanning,

dan fotokarsinogenesis.5

83

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Photoaging Photoaging merupakan gejala penuaan kulit terkait

dengan pajanan kronis sinar matahari pada kulit. Photoaging

ditandai dengan adanya keriput, flek hitam, kering, actinic

keratosis, dan purpura.4•6

Gambar 1. Kulit lansia dengan photo ag­

ing 4,6

Neoplasia Kulit Neoplasia pada kulit orang usia lanjut ditengarai cukup

banyak kasusnya sejalan dengan bertambahnya umur. Kemampuan tubuh untuk memperbaiki organ sel yang rusak akan semakin menurun sehingga meningkatkan risiko terjadinya neoplasia. Gambaran neoplasia berupa lesi benign,

pre malignant, dan malignant.6

1. Lesi Benign Lesi benign dapat berupa skin tag dan keratosis seboroik.6

Skin Tag

Skin tag ditandai dengan fibroepitelial, warna kulit hingga hiperpigmentasi, pendular papul. Lokasi paling sering pada kelopak mata, leher, dan ketiak.

84

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Gambar 2. Skin tags dengan popula-popula pada kulit lansia6

Dermatitis seboroik Ditandai dengan makula coklat, papul, plak, warna putih

hingga hitam. Lokasi tersering pada wajah, leher, dan badan. Dapat timbul rasa gatal ataupun tidak. Bersisik di permukaan kulit.6

Terapi seboroik dapat dilakukan dengan pemberian obat anti-inflamasi, keratolitik, antifungi, dan pengobatan altematif seperti pemberian melaleuca oil.

Gambar 3. Dermatitis seboroik pada kulit orang usia lanjut6

Terapi pada benign neoplasia dapat berupa kemoterapi, kauterisasi, dan eksisi pada kulit.6

2. Pre Malignancy pada Kulit

Actinic keratosis Actinic keratosis adalah prekursor neoplasia yang akan

berkembang menjadi karsinoma sel skuamosa dan ditandai

85

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

dengan papul merah bersisik. Terapi penyakit ini berupa eksisi pembedahan. 6

Gambar 4. Actinic keratosis pada kulit orang usia lanjut 6

Lentigo maligna Lentigo maligna merupakan karsinoma in situ melanoma

akibat pajanan kronis sinar matahari. Lokasinya terdapat pada wajah, makula, berbentuk ireguler, serta pigmentasi bervariasi. Terapi kasus ini berupa laser atau eksisi biopsi kulit.6

Gambar 5. Lentigo maligna pada kulit orang usia lanjut 6

3. Lesi Maligna pada Kulit Lesi maligna pada kulit terdapat 3 jenis, yaitu karsinoma

sel skuamosa, karsinoma sel basal, dan melanoma maligna. Lesi tersebut memerlukan biopsi dalam penegakkan diagnosis, namun dapat dikenali dari tanda dan gejala sesuai kasusnya.6

, Karsinoma sel skuamosa pada kulit

Karsinoma sel skuamosa merupakan lesi non-melanoma neoplasma yang banyak pada dewasa muda hingga usia lanjut

86

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

(30-60 tahun) . Lesinya berupa pap�I merah, seperti bunga kol, dengan respons inflamasi di sekitarnya, rapuh, mudah berdarah, pada wajah atau daerah tubuh yang sering terkena pajanan sinar matahari. Terapi eksisi berupa kemoterapi, radioterapi, krioterapi.6

Garn bar 6. Karsinoma sel skuamosa pada kulit orang usia lanjut 6

Karsinoma sel basal karsinoma sel basal merupakan lesi non-melanoma

neoplasma yang banyak ditemui pada populasi berusia 50 tahun ke atas. Lesi ditandai dengan patch keras atau ulkus, translusen, teleangiektasis, dan bersifat rekurens. Terapi penyakit ini berupa eksisi, kuretase, atau kauter.6

Gambar 7. Karsinoma sel basal pada kulit orang usia lanjut6

Melanoma maligna Melanoma maligna dikenali dengan gejala dan tanda

"ABCD", yaitu Asymetry, Border irregular, Color variation, Diameter > 6 mm. Penegakan diagnosis dengan biopsi kulit.5

87

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Gambar 8. Melanoma maligna pada kulit orang usia lanjut 6

Terapi lesi ini berupa radio partikel I 125, radioterapi, atau kemoterapi.6

Herpes zoster Herpes zoster ditengarai 10 kali lipat pada orang berusia

lanjut. Hal ini dikarenakan penurunan sistem imunitas yang tinggi atau imunosupresif pada populasi usia lanjut. Dari studi di Amerika Serikat didapatkan prevalensi 83% pada usia di atas 45 tahun. Gambarannya berupa bintil kecil merah berisi cairan menggembung pada sekitar kulit yang dilalui virus. Gejala utama lesi ini adalah nyeri saraf. Terapi nyeri misalnya dengan gabapentin, serta antiviral topikal a tau oral. Pencegahan dengan melakukan vaksinasi herpes zoster.8

Psoriasis Psoriasis adalah penyakit kulit kronis yang ditandai dengan

warna kulit memerah tebal, kering, dan bersisik. Menggaruk pada daerah yang terkena psoriasis dapat memperburuk

Gambar 9. Psoriasis pada kulit orang usia lanjut 9

88

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

'

penyakit tersebut. Pengobatan psoriasis biasanya dengan memberikan kortikosteroid, krim vitamin A dan D, pelembab, dan asam salisilat.9

Pencegahan dan perumatan kulit pada orang usia lanjut • Menjaga kebersihan kulit • Gunakan tabir surya • Pelembab • Dilarang menggunakan tanning

• Mengkonsumsi nutrisi yang tepat dan baik, vitamin, mineral clan anti-oksidan

• Olahraga yang cukup • Istirahat selama 7-9 jam 8•9

Peran Nutrisi dan Terapi Hormon pada Skin Aging

Proteksi terhadap kulit baik akibat proses penuaan maupu faktor stres oksidatif merupakan salah satu cara pencegahan penuaan pada kulit. Proteksi dapat berupa nutrisi seperti anti­oksidan dan proteksi topikal pada kulit.

Jenis anti-oksidan terkait dengan penuaan pada kulit, yaitu derifat vitamin E, derivat vitamin C, vitamin A, vitamin B3, koenzim QlO-coQlO, serta komponen polifenolat.9

Tabel 2. Peranan Antioksidan pada Proses Penuaan9

Sistem Pertahanan Anti-oksidan

Enzim

LMW A (Low Molecular Weight Antioxidants)

- Enzim yang bekerja langsung (misalnya SOD, CAT, peroxidase)

- Supporting enzymes (misalnya xanthine oxidase)

- Direct acting LMWA (scavengers) - Disintesis oleh sel - Produk buangan - Sumber dari makanan (misalnya tokoferol,

asam askorbat, karoten, koenzim QlO, polifenol)

- Indirect acting LMWA (chelating agents)

89

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Vitamin E

Vitamin E sebagai antioksidan enzimatik dan non enzimatik. Bentuk biologisnya adalah a-tokoferol. Vitamin E bekerja pada mitokondria, membantu stabilisasi membran dan mencegah pembentukan radikal be bas. Pada kulit, bentuk biologis vitamin E yang berguna sebagai proteksi terhadap UV berupa vitamin E asetat yang bekerja topikal sebagai pelembab. Vitamin E topikal bekerja bila kulit terkena pajanan sinar UV

4QOC.9

Vitamin C Vitamin C a tau asam askorbat merupakan agen hidrofilik.

Kombinasi dari antioksidan memerlukan pertimbangan mengingat efek samping diperkirakan mampu menjadi pro­oksidan.9·10

Vitamin A

Kebutuhan harian vitamin A adalah 600-1300 mg/hari, dengan dosis maksimal 3000 mg/hari. Defisiensi vitamin A menyebabkan sel epitel tertentu memproduksi keratin terlalu banyak. Protein keratin terdapat pada rambut, kuku, dan pada lapisan kulit luar. Kelebihan keratin dapat menyebabkan kulit kasar, yaitu follicular keratinosis. Sebaliknya, hipervitaminosis vitamin A dapat menyebabkan edema serebral, kerusakan hati, hingga koma.9·10

Vitamin B3 Vitamin B3 berfungsi sebagai ko-enzim asam amino.

Vitamin B3 mampu memperbaiki tekstur kulit dengan RDA 4-16 mg/hari. Makanan yang mengandung Vitamin B3 antara lain almon, ikan salmon, dan ayam.9·10

Terapi Sulih Hormon Terapi sulih hormon biasanya dipertimbangkan

pemakaiannya dalam bidang anti-aging. Hormon pada tubuh

90

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

yang diperkirakan mengalami defisiensi seiring dengan lanjutnya usia adalah testoteron, DHEA, hormon tiroid, estradiol, melatonin, hormon pertumbuhan, dan progesteron. Namun, sampai saat ini masih dipertirnbangkan manfaat dan kerugian dari terapi sulih hormon tersebut pada populasi usia lanjut.11

Daftar Pustaka

1. Ivie P. Skin Aging. Acta Dermatoven APA 2008; 17 (2).

2. Grover S. Clinical study of skin changes in geriatric population. Indian Dermatol Venereol. June 2009; 5: 301-305.

3. Aluigil. The diproprev system in treatment of the skin of the elderly preliminary data obtained in patients with dryness and hyperkeratosis. http// dx.doi.org/10.2147 /jvd. Diunduh pada 10 Mei 2015.

4. Dragana Stojiljkovic. Oxidative stress, skin aging and oxidant therapy. Sientific Journal of The Acta Faculty Medicine NIS. 2014; 31 (4); 207-17.

5. Ortiz AA, Yan B, D'Orazio JA. Ultraviolet radiation, aging and the skin: prevention of damage by topical cAMP manipulation. www.mdpi.com/1420-3049/19/5/6202/pdf. Diunduh pada 10 Mei 2015

6. Omar. Common skin in the elderly. SA Fam Pract. 2010;48(5); 29-34.

7. Gary J. Pathophysiology of premature skin aging induce by ultraviolet light. Departement of Dermatology University of Michigan Ann Arbor. N Engl J Med. 2010; 337(2): 1419-23.

8. DeRosa A, Gray K. Managing the challenge of herpes zoster in the long -term care setting. http://

9. Kafi Reza, Kwak H, Schumacher W, et al. Impprovement natu­rally aged skin with vitamin. http:/ /www. http:/ /archderm. jarnanetwork.com/ article.aspx?articleid=412795. Diunduh pada 10 Mei 2015

10. http://www.livestrong.com/ article/ 358733-vitamins-to-help­with-the-thin-skin-of-the-elderly / . Diunduh pada 10 Mei 2015

11. Klentze M. The new science of anti aging hormone replacement therapy. Europian Council of Aging Research.; 2013.

91

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Pendahuluan

Tata Laksana Kulit Kering pada Usia Lanjut

Li l i Legiawati

Xerosis kutis atau kulit kering adalah masalah yang sering ditemukan pada usia lanjut dengan insidens dan keparahan yang meningkat seiring pertambahan usia.1 Prevalensinya pun bervariasi sekitar 29,5-85% . Kulit kering menyebabkan keluhan gatal, rasa terbakar, tersengat, dan kulit seperti tertarik. Keadaan ini merupakan penyebab tersering pruritus generalisata pada usia lanjut.2

Data statistik kunjungan pasien poliklinik rawat jalan Divisi Dermatologi Geriatri Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM tahun 2012-2014 menunjukkan bahwa kulit kering menduduki urutan pertama kunjungan pasien. Jumlah kasus baru tahun 2012-2014 berturut-turut adalah 101, 98 dan 79 kasus.3

Definisi

Kulit kering adalah kondisi kulit yang terjadi apabila kandungan air dalam stratum korneum menurun sampai di bawah 10% . Dalam keadaan normal, hidrasi stratum korneum sebesar 15-45% .2

Etiologi

Perubahan lapisan kulit pada usia lanjut bekontribusi terhadap timbulnya kulit kering. Perubahan penting terjadi pada lapisan epidermis. Pembentukan lipid interseluler stratum korneum menjadi tidak adekuat. Lipid interseluler

92

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

yang terlibat dalam pembentukan lipid dwilapis pada stratum korneum adalah sfingolipid, sterol bebas, dan fosfolipid, berperan penting dalam menahan air dan mencegah kehilangan air. 2

Stratum korneum memiliki struktur menyerupai tembok yang terdiri atas batubata dan semen sebagai satu kesatuan. Keratinosit yang sudah mati (korneosit) dan berisi matriks protein, sebagai batu bata matriks ekstraselular berupa dwilapis lipid sebagai semen.2

Perubahan stratum korneum pada usia lanjut adalah peningkatan ukuran dan akumulasi korneosit lain serta gangguan deskuamasi karena pergantian sel yang lebih lambat. Selain itu, kandungan natural moisturizing factor (NMF) pun menurun.2

Perubahan dermis akibat proses penuaan : 1 . Penurunan jurnlah pembuluh darah. 2. Reduksi ukuran dan fungsi kelenjar keringat dan seba­

sea. 3. Pergerakan air dari dermis ke epidermis sedikit. 2

Kulit kering pada usia lanjut merupakan masalah yang kompleks. Penyebab kulit kering pada kelompok usia ini bersifat multifaktor: 1 . Perubahan intrinsik pada keratinisasi. 2. Perubahan intrinsik pada kandungan lipid. 3. Pemakaian pemanas atau pendingin ruangan yang ber­

lebihan. 4. Penyakit kronik seperti penyakit ginjal kronik, sirosis

hepatis 5. Polifarmasi. Umumnya pasien usia lanjut diharuskan

meminum banyak obat. Diuretik, antiandrogen dan se­bagainya dapat menyebabkan kulit kering.4

93

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Perubahan terkait usia pada kulit yang berkontribusi pada terjadinya xerosis

In aged skin, changes occur in both the epidermis and dermis. The most important changes in the epidermis occur in the stratum comeum, which is made up of corneocytes and the intercellular substance. These age·related changes explain the elderly's susceptibilityto environmental insults,their diminished Natural Moisturizing Factor (NMF) levels, and the appearance of cracking, fine while scales and wrinkling.

I. Reduced water content 2. Decreased number of lipids 3. Increased number and size of corneosyters 4. Decreased sized of sebaceous giand 5. OecrBased s1ied of sweat giand 6. Reduced vasculature

Gambar 1 . Perubahan kulit pada usia lanjut yang memberikan kontribusi kulit kering1

Etiologi pasti kulit kering belum sepenuhnya dipahami. Faktor genetik, riwayat atopi dan lingkungan memberikan kontribusi. Faktor lain yang diketahui, antara lain iklim dingin dan kering serta penggunaan harsh/soap cleanser.4

Diagnosis

Kulit kering sering ditemukan pada tungkai bawah sisi anterolateral, bokong, paha, perut, pinggul dan lengan. Namun dapat juga mengenai aksila, lipat paha, wajah, dan kulit kepala. Pada kulit kering derajat ringan, nampak jala­jala halus berwarna merah muda dengan sisik halus atau retak-retak. Pada kulit kering derajat sedang kemerahan lebih nyata dan retak-retak menyerupai porselen retak. Pada kulit kering derajat berat, tampilan kulit bersisik tebal seperti kulit ikan (iktiosis).4

94

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Perubahan terkait usia pada kulit yang berkontribusi pada terjadinya xerosis

In aged skin, changes occur in both the epidermis and dermis. Themost important changes in the epidermis occur inthe stratum corneum, which is made up of corneocytes and the intercellular substance. These age-related changes explain the elderly's susceptibility to environmental insults, their diminished Natural Moislurizing Factor tNMFl levels, and the appearance of cracking, fine while scales and wrinkling.

I. Reduced water content 1. Decreased number of lipids 3. lncmssed number and size of corneosyters 4. Decreased si1ed of sebaceous gland 5. Decreased sized of sweat gisnd 6. Reduced vssculature

Kulit pada orang usia lanjut

Gambar 1 . Perubahan kulit pada usia lanjut yang memberikan kontribusi kulit kering1

Etiologi pasti kulit kering belum sepenuhnya dipahami. Faktor genetik, riwayat atopi dan lingkungan memberikan kontribusi. Faktor lain yang diketahui, antara lain iklim dingin dan kering serta penggunaan harsh/soap cleanser.4

Diagnosis

Kulit kering sering ditemukan pada tungkai bawah s1s1 anterolateral, bokong, paha, perut, pinggul dan lengan. Namun dapat juga mengenai aksila, lipat paha, wajah, dan kulit kepala. Pada kulit kering derajat ringan, nampak jala­jala halus berwarna merah muda dengan sisik halus atau retak-retak. Pada kulit kering derajat sedang kemerahan lebih nyata dan retak-retak menyerupai porselen retak. Pada kulit kering derajat berat, tampilan kulit bersisik tebal seperti kulit ikan (iktiosis).4

94

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Tata Laksana

Tata laksana kulit kering pada usia lanjut meliputi dua hal penting: 1. Mengontrol faktor lingkungan 2. Mengatasi tanda dan gejala pada pasien.

Tujuan mengobati kulit kering: 1 . Untuk mengembalikan barrier (sawar) epidermis kulit. 2. Untuk mempertahankan kelembaban stratum komeum.

Haroun dkk (2013) mengemukakan enam hal untuk tata laksana kulit kering pada usia lanjut: 1. Kelembaban dijaga sekitar 45-60% . 2. Suhu ruangan dipertahankan rendah yang dapat ditole­

ransi dan nyaman. 3. Mandi dengan air hangat selama 10 menit. 4. Pemakaian bath oils tidak direkomendasikan untuk orang

usia lanjut karena risiko terpeleset di dalam bath tub. 5. Tidak menggunakan harsh soap dan drying agents. 6. Aplikasi pelembab (moisturizer) minimal 2 kali sehari se­

sudah mandi dan sebelum tidur.2

Draelos (2013)5 menjelaskan pelembab (moisturizer) adalah bahan yang diaplikasikan eksternal, dapat bersifat oklusif a tau humektan, yang bertujuan untuk merehidrasi kulit secara optimal. Bahan yang bersifat oklusif bekerja menjaga kelembapan kulit dengan cara menahan evaporasi melalui pembentukan lapisan berminyak di permukaan kulit. Bahan bersifat humektan aktif menarik air dari lapisan kulit yang lebih dalam dan lingkungan luar. Emolien mengisi celah-celah antarkorneosit yang berdeskuamasi sehingga memberikan tekstur yang lembut . Humektan dan emolien ditujukan untuk mempertahankan kelembapan kulit normal. Pelembab terapeutik mengandung ketiga komponen oklusif, humektan

95

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

dan emolien. Pelembab terapetik bekerja memperbaiki sawar kulit, melembutkan dan aktif menarik air dari lingkungan sekitar. Pelembab terapeutik dan oklusif digunakan untuk memperbaiki kulit yang kering.5

Akhir-akhir ini berkembang pelembab generasi baru yang dilengkapi dengan antipruritus, antiinflamasi dan kandungannya menyerupai lipid fisiologik kulit. Komposisi lipid fisiologik adalah seramid, kolesterol, asam lemak. Pemberiannya bertujuan meningkatkan fungsi sawar kulit. Produk ini dapat di berikan untuk menangani kulit kering pada usia lanjut yang terjadi akibat kerusakan sawar kulit.

Penutup

Kulit kering merupakan masalah yang sering ditemukan pada orang usia lanjut. Seiring pertambahan usia, insidens dan keparahannya meningkat . Penyebab pasti keadaan ini belum sepenuhnya diketahui. Tata laksana kulit kering bertujuan untuk memperbaiki sawar kulit yang rusak dan mempertahankan kelembaban stratum korneum.

Daftar Pustaka

1. Norman R. Xerosis and pruritus in the elderly: recognition and management. Dermatologic Therapy. 2003; (6): 254-9.

2. Haroun MT. Dry skin in the elderly. Geriatric and aging. 2013; (6): 40-4.

3. Data statistik kunjungan poliklinik divisi dermatologi geriatrick. 2012-2014.

4. White-Chu EF, Reddy M. Dry skin in the elderly: complexities of a common problem. Clinics in Dermatology. 2011;( 29): 37-42

5. Draelos JD. Modem moisturizer. Myths, misconceptions & truth. Cutis.2013; 91: 308-14

96

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Pendahuluan

Kebutuhan Vaksinasi bagi Populasi Usia Lanjut

Siti Setiati

Seperti halnya sistem organ lain pada tubuh manusia, sistem imun juga mengalami proses penuaan. Kurva imunitas manusia mulai berkembang pada masa kanak-kanak hingga mencapai puncak ketika usia dewasa produktif, lalu setelahnya akan terus menurun hingga tutup usia. Proses ini berlaku umum untuk setiap individu. Perubahan sistem imun terkait proses penuaan (age-related changed) disebut sebagai immunosenescence.

Adanya immunosenescence mengakibatkan individu berusia lanjut rentan terhadap penyakit infeksi, menurunnya respon terhadap vaksinasi, serta meningkatkan risiko keganasan tertentu. Proses immunosenescence adalah mekanisme yang terjadi pada seluruh komponen sistem imunitas, terutama pada imunitas adaptif.

Konsep lain yang perlu dipahami, yaitu immunosenescence berbeda dengan imunodefisiensi. Immunosenescence memang identik dengan penurunan kuantitas maupun kualitas sistem imun, tetapi tidak selalu defisit. Jumlah sel limfosit T CDS+ dan makrofag akan menurun, tetapi elemen imunitas lain seperti sitokin pro-inflamatorik cenderung meningkatkan seiring penambahan usia. Kadar interleukin -6 (IL-6), IL-1, dan TNFa yang lebih tinggi merupakan prediktor terjadinya disabilitas, kerapuhan (frailty), hingga kematian pada usia lanjut. Oleh karena itu, beberapa ahli lebih menyukai istilah " Senescent

Immune Remodelling" daripada immunosenescence, yang lebih tepat untuk menggambarkan plastisitas dari sistem imun yang menua. Namun karena masih sering dipakai, agar tidak

97

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

menimbulkan kekeliruan interpretasi, istilah immunosenescence

tetap digunakan pada tulisan ini.

Immunosenescence pada Usia Lanjut Sistem imunitas pada individu sehat dan normal dapat

dibagi menjadi imunitas non-spesifik (innate immunity) dan imunitas spesifik (adaptive immunity) . Imunitas non-spesifik meliputi sel epitel, fagosit (neutrofil dan makrofag), sel dendritik, sel natural killer (NK), dan komplemen; sementara imunitas adaptif lebih lanjut dibagi menjadi imunitas humoral (sel limfosit B) dan imunitas seluler (sel limfosit T) . Seluruh komponen imunitas tersebut akan mengalami immunosenescence.

Pada usia lanjut, fungsi protektif sel-sel epitel pada kulit, paru, atau saluran cerna akan menurun sehingga patogen lebih mudah menginvasi jaringan mukosa. Selain imunitas non-spesifik, perubahan pada imunitas humoral dan seluler menjadi aspek yang paling signifikan dan banyak diteliti pada immunosenescence. Penyebab utama perubahan sel limfosit T ialah involusi kelenjar timus, yaitu kelenjar yang terletak pada mediastinum anterior superior dan berperan dalam maturasi sel T. Sejalan dengan penambahan usia, kelenjar timus akan mengalami atrofi dan stroma jaringannya digantikan oleh jaringan adiposit. Namun perkembangan imunologi terkini telah membuktikan bahwa proses immunosenescence tidak hanya terjadi pada timus, melainkan pada seluruh proses tahapan pembentukan dan maturasi limfosit T.

Produksi limfosit T berasal pada sumsum tulang dalam bentuk sel punca hematologik a tau hematopoetik stem cells (HSC), lalu mengalami proses maturasi di timus, serta berdiferensiasi lebih lanjut menjadi sel efektor atau memori setelah terpapar antigen tertentu. Proses menua akan menyebabkan penurunan jumlah dan aktivitas HSC; kemampuan perbaikan diri (self­

renewal) dan berdiferensiasi juga berkurang. Di samping itu, lingkungan pendukung hematopoiesis di sumsum tulang

98

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

turut mengalami degenerasi dan digantikan oleh jaringan adiposit.

Terjadinya involusi timus berdampak pada menurunnya produksi sel T naive (sel T yang belum terpapar antigen) . Atrofi timus terjadi berangsur seiring penurunan kadar timosin. Pada usia 50-60 tahun, ukuran kelenjar timus akan sulit terlihat secara anatomis (hanya 15% dari ukuran maksimalnya) . Degenerasi timus ini secara tidak langsung mengubah arah homeostasis tubuh guna menjaga dan mempertahankan sel T yang tersisa.

Pada sel T matur yang telah terpapar antigen, immunosenescence mengakibatkan penurunan kemampuan ekspansi klonal sel, disebut juga ol igoclonal expansion .

Sebagaimana yang diketahui, salah satu fungsi imunitas adaptasi ialah ekspansi klonal, yaitu kemampuan untuk menambah jumlah sel limfosit yang memiliki reseptor identik terhadap suatu antigen guna meningkatkan respon imunitas terhadap antigen tersebut. Oligoclonal expansion mengakibatkan respon sel T matur terhadap antigen atau mikroba menjadi tidak adekuat.

I1nplikasi I111111unosenescence

Berdasarkan konsep immunosenescence di atas, maka jelas bahwa populasi usia lanjut merupakan kelompok yang rentan terhadap penyakit infeksi. Data epidemiologis global mengungkapkan bahwa pneumonia tercatat sebagai salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas pada usia lanjut. Di samping itu, infeksi influenza dilaporkan sebagai pencetus eksaserbasi akut berbagai penyakit kronis pada usia lanjut sehingga turut menyebabkan luaran kesehatan yang buruk. Adanya immunosenescence juga mampu meningkatkan reak­tivasi infeksi laten, seperti tuberkulosis dan herpes zoster.

Konsekuensi logis lain yang diakibatkan oleh immu­

nosenescence ialah menurunkan efikasi terhadap vaksinasi pada usia lanjut. Beberapa vaksin merupakan virus yang

99

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

dilemahkan dan masih bergantung pada respon imunologis seseorang, sehingga respon imunitas yang tidak adekuat akan menurunkan efikasi sebuah vaksin. Pembahasan mengenai efikasi vaksinasi ini akan diuraikan lebih jelas pada sub-bab di bawah.

Selain mempengaruhi mekanisme pertahanan tubuh, immunosenescence juga meningkatkan risiko keganasan. Pada individu usia lanjut, respon profeliferasi dan kemampuan sitotoksik sel NK-salah satu sel imun yang penting dalam mencegah potensi keganasan- akan menurun. Kadar IL-6 yang tinggi juga lazim ditemui pada usia lanjut. Sitokin IL-6 merupakan stimulus metastasis yang bekerja dengan meningkatkan proses adesi molekul dan ekspresi VEGF pada keganasan. Oleh karena itu, beberapa pakar juga menyebut immunosenescence sebagai penurunan imunosurvailans terhadap keganasan.

Urgensi Vaksinasi Bagi Populasi Usia Lanjut Selain balita dan anak-anak, kaum usia lanjut sesungguhnya

kelompok yang memerlukan proteksi khusus terhadap penyakit infeksi. Hal tersebut menjadi lebih relevan pada masa kini mengingat semakin meningkatnya usia harapan hidup (UHH) di berbagai negara termasuk Indonesia, bertambahnya jumlah dan proporsi populasi berusia �60 tahun di tengah masyarakat. Individu berusia �60 tahun masa kini lebih aktif, produktif, dan mandiri, beberapa diantaranya masih memegang posisi penting dalam kehidupan bermasyarakat, dibandingkan 2-3 dekade yang lalu.

Selain urgensi dari segi medis, kebutuhan vaksinasi juga didasarkan pada pertimbangan ekonomis. Individu berusia lanjut yang mengalami influenza seringkali membutuhkan rawat inap dan perawatan khusus lainnya, sehingga menelan biaya yang lebih besar dibandingkan kaum dewasa muda. Kalkulasi efektivitas vaksinasi juga perlu memperhitungkan potensi kerugian tidak langsung (indirect cost) yang diperoleh

100

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

dari hilangnya pendapatan dan berkurangnya produktivitas pada usia lanjut. Di negara-negara Eropa, populasi berusia 2!:65 tahun berkontribusi terhadap 64 % beban ekonomi kesehatan; 46% dari biaya tersebut diakibatkan oleh dana pengobatan langsung dan selebihnya rnerupakan biaya pengeluaran tidak langsung.

Setidaknya ada tiga rnanfaat pernberian vaksinasi bagi usia lanjut. Pertarna, rnernberikan proteksi spesifik terhadap infeksi tertentu. Kedua, pada usia lanjut yang sering rnemiliki rnultipatologi, upaya rnencegah suatu infeksi secara tidak langsung akan rnencegah darnpak sekunder pada kesehatan yang disebabkan oleh infeksi terse but. Sebagai contoh, tindakan vaksinasi juga turut rnenurunkan angka eksaserbasi penyakit kardiopulrnonal yang sering disebabkan oleh influenza. Manfaat terakhir ialah rneningkatkan status kesehatan kelornpok usia lanjut secara urnurn . Beberapa vaksinasi telah terbukti secara evidence-based rnarnpu rneningkatkan kualitas kesehatan seseorang, baik secara langsung rnaupun rnelalui perbaikan fungsional sehari-hari: rnarnpu bekerja, berrnain dengan cucu, kernbali dalarn aktivitas sosial, dan sebagainya. Pada individu yang telah berusia senja, kernarnpuan fungsional dalarn rnenjalankan kehidupan yang berkualitas rnenjadi fokus penting dalarn upaya rnenjaga kesehatan.

Hingga saat ini, terdapat beberapa vaksinasi yang direkornendasi bagi individu berusia 2!:60 tahun. Center

of Disease Con trol and Prevention (CDC) Arnerika Serikat tahun 2015 rnewajibkan vaksinasi influenza, varisela-zoster, pneurnokokus (baik polisakarida rnaupun konjugat), serta dosis booster untuk tetatus, difteri, dan pertusis (Td/Tdap). Kendati dernikian, vaksinasi lain juga perlukan bila terdapat faktor risiko atau hendak bepergian, seperti hepatitis A, hepatitis B, rneningokokus, hernofilus influenza tipe B (HIB), dernarn tifoid, dan dernarn kuning (yellow fever) . Rekornendasi tersebut sejalan dengan rekornendasi lokal yang dikeluarkan oleh Perhirnpunan Spesialis Penyakit Dalarn (P APDI) dan

101

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Perkumpulan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI). Pada tulisan ini akan diuraikan secara ringkas mengenai

profil dan cara pemberian tiga vaksinasi utama pada usia lanjut, yaitu influenza, pneumokokus, dan varisela-zoster. Agar memudahkan pemahaman, konsep patogenesis dasar dari masing-masing penyakit turut dijabarkan dengan singkat.

Vaksinasi Influenza pada Usia Lanjut

Influenza yang maksud dalam konteks ini ialah seasonal influenza, utamanya virus influenza tipe A (HlNl dan H3N2), serta influenza tipe B. Influenza mudah dikenali dengan gejala awitan akut berupa demam, menggigil, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, serta kongesti nasal. Namun, penyakit ini biasanya bersifat asimtomatis sehingga penyebarannya tidak disadari. Influenza bersifat infeksius, tetapi akan membaik dengan sendirinya (self-limiting) selama 1-2 minggu pada individu sehat. Pada usia lanjut dan renta, durasi tersebut dapat lebih panjang serta kejadian komplikasi lebih tinggi, termasuk kematian.

Data global mencatat sekitar 3-5 juta kasus berat per tahun dan 250.000-350.000 kematian yang diakibatkan oleh influenza. Saat terjadi epidemi musiman influenza, angka kematian penyakit paru, jantung iskemik, dan kejadian serebrovaskular pada usia lanjut juga meningkat dengan tajam. Diperkirakan, pengobatan influenza menelan biaya hingga $US 87 miliar per tahun di Amerika Serikat.

Struktur virus dan patogenesis influenza Virus influenza memiliki 8 segmen gen akan mengkode 11

protein. Di antaranya, hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA) yang merupakan antigen yang paling penting. Adapula kanal ion M2 pada selubung virus yang juga bersifat antigenik.

102

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Protein HA merupakan bagian utama yang akan berikatan dengan reseptor sel inang. Oleh sebab itu, ada antibodi terhadap HA akan mencegah ikatan HA dengan reseptor inang atau memblok fusi virus dengan membran sel. Titer antibodi terhadap HA diketahui berkorelasi dengan tingkat proteksi vaksin terhadap infeksi influenza.

Protein NA juga ditemukan pada permukaan virus, tetapi berperan untuk melepaskan virus baru dari sel inang. Oleh sebab itu, antibodi terhadap NA tidak mencegah infeksi secara langsung, melainkan membatasi pelepasan virus dari sel inang. Kadar antibodi terhadap NA ini diketahui berkorelasi dengan derajat penyakit yang dihasilkan.

Kanai ion M2 berperan sebagai jalur masuk proton H+ dan pelepasan gen untuk sintesis virus baru di dalam sel inang. Selain itu, antibodi terhadap M2 juga diketahui mampu membatasi pembentukan virus baru.

V aksin influenza Vaksinasi merupakan strategi utama untuk mencegah

dan mengontrol influenza di masyarakat dibandingkan pemberian obat anti-influenza. Vaksin influenza yang ada saat ini berupa vaksin virus inaktif (inactivated vaccines) dan virus yang dilemahkan (live-attenuated vaccines) . Saat ini, vaksin inaktif lebih banyak tersedia di pasaran dalam bentuk trivalen (trivalent inactivated vaccine/TIV) yang mengandung strain virus tipe A (HlNl dan H3N2) serta tipe B. Vaksin TIV ada yang mencakup seluruh protein virus, tetapi ada juga yang berupa subunit (hanya HA dan NA) . Berdasarkan data epidemiologis, strain H3N2 merupakan tipe yang lebih sering menginfeksi populasi usia lanjut dihandingkan HlNl atau tipe B.

Menurut telaah sistematis Cochrane tahun 2015, vaksinasi influenza dapat mencegah influenza atau flu-like illness (RR 0,38; 95CI 0,33--0,44) . Beberapa manfaat lain yang dikaji ialah mengurangi jumlah kunjungan berobat (RR 0,87; 95%CI

103

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

0,4(}-1,89); mengurangi jumlah hari sakit (Mean Difference -0,12; 95%CI -0,98 - 1,89); mengurangi jumlah izin hari kerja (Mean

Difference -0,04; 95%CI -0,14 - 0,06); serta mengurangi jumlah rawat inap (RR 0,96; 95%CI 0,85 - 1,08).

Tujuan pemberian vaksin TIV ialah meningkatkan respon netralisasi antibodi terhadap virus influenza. Namun karena vaksin ini masih mengandalkan respon imunologis individu resipien, maka efektivitasnya pada usia lanjut terus dikembangkan. Efektivitas vaksin terhadap usia lanjut hanya 39%, sementara pada dewasa muda dapat mencapai 59% . Informasi lain yang perlu diketahui ialah pemberian vaksinasi influenza perlu dilakukan setiap tahun, mengingat profil virus yang sering mengalami perubahan antigen dan vaksin pun harus diperbaharuhi setiap tahun.

Jenis Trivalent inactivated vaccine (influenza tipe A [HlNl dan H3N2] serta influenza B).

Dosis 1 dosis (0,5 mL) intramuskular per tahun.

Indikasi Seluruh dewasa (�19 tahun) direkomendasikan untuk mendapatkan vaksinasi influenza per tahun

Kontraindikasi Reaksi alergi berat (seperti anafilaksis) setelah vaksinasi sebelumnya, terhadap komponen vaksi­nasi termasuk protein telur.

Vaksinasi Pneumokokus pada Usia Lanjut

S treptococcus pneumoniae merupakan patogen utama penyebab pneumonia, sekaligus penyebab bakteremia dan meningitis bakterialis pada usia lanjut. Adanya bakteri S.

pneumoniae pada cairan steril tubuh seperti darah (bakteremia), serebrospinal, sendi, pleura, atau perikardium disebut sebagai invasive pneumococcal diseases (IPD).

Angka kejadian pneumonia pada usia lanjut sekitar 17,5 per 1000 pasien usia 65-74 tahun, dan meningkat menjadi 31,4 per 1000 pasien usia �75 tahun. Sekitar 12-48% kasus pneumonia tersebut disebabkan oleh bakteri pneumokokus.

104

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Sementara itu, angka kejadian IPD diprediksikan 54 per 100.000 populasi berusia �50 tahun. Sekitar 28% dari pneumonia komuniti merupakan IPD, dan mayoritas (80%) kasus IPD disebabkan oleh bakteri pneumokokus.

Struktur bakteri dan patogenesis pneumonia pneu­mokokal

S. pneumokokus dikelilingi oleh kapsul polisakardia yang memiliki variasi antigen yang sangat luas. Diperkirakan terdapat lebih dari 90 serotipe kapsul yang berbeda, baik dalam struktur biokirniawi, imunogenisitas, dan efek klinisnya.

Sebelum menginfeksi jaringan paru, bakteri terlebih dahulu membentuk kolonisasi pada traktus respiratorius atas. S. pneumokokus biasanya berikatan dengan sel epitel mukosa nasofaringeal, lalu menyebar ke sinus atau telinga tengah, aspirasi ke paru, a tau invasi ke peredaran darah. Progresivitas infeksi menjadi pneumonia tidak serta-merta terjadi, karena diperlukan faktor tambahan seperti cedera jaringan paru, penurunan imunitas individu, ko-infeksi virus, dan sebagainya agar mampu secara klinis menimbulkan tanda atau gejala.

Kapsul polisakarida pada S. pneumokokus merupakan faktor patogenik utama terjadinya pneumonia dan penyakit berat lainnya. Kapsul polisakarida berperan dalam mencegah fagositosis. Antibodi terhadap kapsul polisakarida dapat terjadi secara alarniah atau melalui pemberian vaksin, namun hingga saat ini belum cukup untuk memberikan proteksi terhadap seluruh serotipe.

V aksin pneumokokus Pengembangan vaksin pneumokokus telah mengalami

perjalanan panjang pada awalnya ditujukan untuk mencegah pneumonia pada balita. Pengalaman irnplementasi program vaksinasi pneumococcal conjugate vaccine-7 (PCV-7) pada balita telah berhasil menurunkan angka IPD dan kematian anak secara drastis di berbagai belahan dunia. Belakangan,

105

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

program vaksinasi pneumokokus untuk usia lanju t banyak dikembangkan, dan beberapa negara maju sudah mewajibkannya.

Saat ini tersedia dua jenis vaksin pneumokokus untuk dewasa, yaitu pneumococcal polysaccharide vaccine-23 (PPSV-23) dan pneumococcal conjugate vaccine-13 (PCV-13). V aksin PPSV-23 mengandung antigen polisakarida kapsul dari 23 jenis serotipe terbanyak, yang telah mencakup sekitar 90% kasus IPD.

Karena struktur polisakarida bakteri merupakan antigen yang tidak dipengaruhi (independen) terhadap sel T, melainkan menstimulasi limfosit B matur (bukan limfosit T), maka jumlah sel memori menjadi tidak adekuat sehingga membatasi lama waktu proteksi vaksin ini. Titer antibodi pascavaksinasi umumnya akan kembali ke titer sebelum vaksinasi dalam kurun 5-10 tahun. Oleh sebab itu, pemberian PPSV-23 (bila hanya diberikan tunggal tanpa PCV-13) perlu diulang setiap 5 tahun. Keberadaan sel memori merupakan komponen pen ting dalam keberhasilan suatu vaksinasi. Secara fisiologis, sel T naive akan berdiferensiasi menjadi sel T efektor dan memori; beberapa sel T efektor juga akan menjadi sel memori setelah antigen teratasi.

Mengingat keterbatasanPPSV-23 dalamhal durasi proteksi, dikembangkanlah vaksin pneumokokus generasi selanjutnya, yaitu PCV-13. Vaksin PCV-13 mengandung polisakarida yang telah dikonjugasikan dengan protein untuk memicu stimulasi sel T helper. Metode ini efektif untuk menghasilkan respon imunitas yang bertahan sangat lama (seumur hidup). Namun pada vaksin ini hanya dipilih 13 serotipe terbanyak dari 23 serotipe sebelumnya.

Berdasarkan telaah sistematis Cochrane tahun 2013, vaksinasi PPSV-23 mampu mencegah infeksi pneumokokus sesuai serotipe vaksin secara umum (OR 0,26; 95%CI 0,14-0,45) . Manfaat tersebut terlihat lebih besar bagi negara berkembang yang kejadian pneumonia masih sangat tinggi (OR 0,54; 95%CI 0,43-0,67), dibandingkan negara maju (OR 0,54; 95%CI 0,45-

106

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

1,12). Sementara itu, bukti terbaik penggunaan PCV-13 sejauh ini diperoleh dari Studi CAPiTA (n=85,000 dewasa berusia �65 tahun di komunitas. Berdasarkan studi tersebut, PCV13 efektif dalam mencegah 75% kasus IPD (sesuai strain vaksin) dan mencegah 45% kejadian pneumokokus non-bakteremia (sesuai strain vaksin) .

Karena profil kedua vaksin yang saling melengkapi, maka CDC saat ini merekomendasikan pemberian kedua vaksin PPSC-23 dan PCV-13 bagi usia lanjut. Namun, pemberiannya tidak boleh bersamaan dan hams diberi jeda waktu. Bagi individu yang telah mendapatkan 1 atau lebih dosis PPSV-23, maka disarankan untuk jeda 1 tahun sebelum pemberian PCV-13. Apabila individu telah mendapatkan PCV-13 sebelumnya, maka PPSV-23 sebaiknya diberikan 6 bulan setelahnya dan tetap diulang setiap 5 tahun. Bagi pasien yang belum mendapat PCV-13 maupun PPSV-23, direkomendasikan untuk mendapat PCV-13 terlebih dahulu.

Jenis

Dos is

Indikasi

Kontrain­dikasi

Jenis

Dos is

Indikasi

Pneumococcal polysaccharide vaccine-23 (PPSV-23). (Serotipe: 1, 2, 3, 4, 5, 6B, 7F, 8, 9N, 9V, lOA, llA, 12F, 14, 15B, 17F, 18C, 19F, 19A, 20, 22F, 23F, and 33F)

Seluruh dewasa berusia �65 tahun, atau dewasa �19 tahun dengan faktor risiko tertentu. Dosis perlu diu­lang setiap 5 tahun.

Dosis tunggal (0,5 mL) intramuskular atau subkutan.

Reaksi alergi berat (seperti anafilaksis) setelah vaksi­nasi sebelumnya, atau terhadap komponen vaksin.

Pneumococcal conjugate vaccine-13 (PCV-13). (Serotipe: 1, 3, 4, 5, 6A, 6B, 7F, 9V, 14, 18C, 19A, 19F, 23F)

Seluruh dewasa berusia �65 tahun, atau dewasa �19 tahun dengan faktor risiko tertentu.

Dosis tunggal (0,5 mL) intramuskular atau sub­kutan.

Kontraindikasi Reaksi alergi berat (seperti anafilaksis) setelah vaksinasi sebelumnya, atau terhadap komponen vaksin.

107

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Vaksinasi Varisela-Zoster pada Usia Lanjut

Herpes zoster merupakan sekumpulan gejala dan tanda yang terjadi akibat reaktivasi virus varisela-zoster (VVZ) yang laten pada ganglia dorsal atau nervus kranialis. Dengan kata lain, setiap individu yang telah mengalami varisela (cacar air) sewaktu masa kanak atau dewasa muda, memiliki risiko tinggi untuk mengalami reaktivasi virus pada usia lanjut atau imunodefisiensi. Namun, beberapa studi juga melaporkan adanya kasus herpes zoster tanpa didahului vaiisela.

Herpes zoster pada umumnya mudah dikenali dengan lesi vesikopapular yang bersifat unilateral dan dermatomal, tidak melewati batas garis tengah tubuh (midline), disertai dengan rasa nyeri dan terbakar. Selain 1esi kulit, herpes zoster juga menimbulkan gejala neuropati perifer seperti parestesia, disestesia, alodinia, hiperestesia, hingga pruritus.

Walaupun tidak menimbulkan kematian dan bersifat self-limiting, herpes zoster kini menjadi permasalahan penting karena nyeri panas yang dialami, adanya post-herpeutic neuralgia

(PHN) yang dapat berlangsung lama, serta rasa tidak nyaman yang membatasi aktivitas sehari-hari. Beberapa komplikasi sistemik juga dapat terjadi pada herpes zoster, antara lain herpes zoster oftalmikus, sindrom Ramsay Hunt, superinfeksi bakteri, meningitis aspetik, Bell's palsy, neuropati motorik, hingga mielitis dan vaskulopati. Beberapa pakar bahkan menyebut herpes zoster sebagai penyakit sistemik.

Kekhawatiran tersebut cukup rasional mengingat insidens herpes zoster yang meningkat tajam pada populasi usia lanjut. Studi epidemiologi menunjukkan, insidens herpes zoster pada populasi umum sekitar 3-4 per 1000 penduduk, namun angka tersebut meningkat tajam pada usia >SO tahun. Fenomena tersebut tak pelak disebabkan o1eh menurunnya sistem imunitas terhadap VVZ yang menurun seiring proses menua.

108

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Reaktivasi virus varicella-zoster pada usia lanjut Infeksi varisela-zoster diawali dengan penempelan virus

pada ujung saraf regio mukokutaneus. Replikasi virus pada lokasi perifer ini akan menimbulkan lesi-lesi vesikel yang sering terjadi pada masa kanak-kanak atau dewasa muda, yang disebut varisela (cacar air). Meski lesi varisela akan sembuh sendiri, virus akan tetap bermigrasi ke ganglia dorsal atau saraf kranialis, masuk ke nukleus neuron untuk mengalami replikasi atau menjadi laten.

Resolusi varisela akan menghasilkan sel T memori yang spesifik terhadap VZV. Memori imunitas tersebut mampu mencegah infeksi varisela dan reaktivasi ringan (silent reactivation) dari VZV laten. Akan tetapi, jumlah sel T memori ini akan menurunkan seiring pertambahan usia atau pada kondisi imunodefisiensi sehingga reaktivasi VZV akan menimbulkan gejala dan tanda simtomatis.

Selain lesi kulit, reaktivasi VZV ke perifer juga dapat bermanifestasi dalam bentuk komplikasi lain, sesuai dengan distribusi saraf yang terlibat. Penjalaran VZV pada nervus trigeminus akan menyebabkan komplikasi oftalmikus pada beberapa struktur mata, manifestasi pada nervus VII dan VII akan menyebabkan neuropati pada wajah dan gangguan pendengaran yang disebut juga sebagai Sindrom Ramsay Hunt. Masing-masing komplikasi tersebut memerlukan tata laksana khusus dengan derajat kesembuhan yang berbeda-beda.

Salah satu komplikasi herpes zoster yang patut diwaspadai ialah adanya post-herpeu tic neuralgia (PHN), yakni nyeri neuropatik yang menetap lebih dari tiga bulan setelah erupsi akut herpes zoster menghilang. Nyeri masih dapat dirasakan meski erupsi telah membaik dan dapat berlangsung sampai berbulan-bulan/ menahun. Seki tar 9-34 % pasien herpes zoster akan mengalami PHN; angka kejadiannya semakin tinggi pada kelompok usia untuk usia �60 tahun (60-70% ) .

Dengan modalitas terapi saat ini, hanya sedikit pasien yang mengalami perbaikan nyeri; umumnya menggunakan

109

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

kombinasi terapi topikal dan sistemik (gabapentin, pregabalin, atau agen antidepresan trisiklik) .

Vaksinasi herpes-zoster Tersedianya vaksinasi untuk mencegah herpes zoster

merupakan terobosan penting dalam dunia pengobatan. Oleh karena populasi usia lanjut semakin besar, maka kejadian herpes zoster pun diprediksi bertambah sehingga kebutuhan masyarakat terhadap vaksinasi herpes zoster juga semakin tinggi.

Menurut telaah sistematis Cochrane tahun 2013, vaksinasi herpes zoster mampu mencegah insidens herpes-zoster secara efektif (RR 0,50; 95%CI 0,44-0,56) . Manfaat tersebut lebih besar pada kelompok usia �70 tahun (RR 0,63; 95%CI 0,53-0,75) dibandingkan kelompok berusia 60-69 tahun (RR 0,36; 95%CI 0,36-0,45) mengingat kejadian reaktivasi yang cenderung meningkat seiring penambahan usia. Manfaat vaksinasi sejauh ini telah diamati hingga 7 tahun (RR 0,54; 95%CI 0,48-0,61). Di samping itu, vaksinasi herpes-zoster juga mampu mencegah kejadian PHN dalam 3 tahun pengamatan (RR 0,34; 95%CI 0,22-0,52) .

Rekomendasi saat ini menyarankan pemberian vaksin herpes zoster pada seluruh individu �50 tahun dengan atau tanpa kejadian herpes zoster sebelumnya. Individu yang telah mengalami herpes zoster masih berisiko tinggi untuk mengalami rekuensi.

Jenis

Dos is

Indikasi

110

Live-attenuated varicella-zoster virus

Dosis tunggal (0,65 mL) subkutan.

Seluruh dewasa berusia <::60 tahun dengan atau tanpa kejadian herpes zoster sebelumnya. Vak-sin juga dapat diberikan pada individu dengan berbagai penyakit kronis, kecuali yang termasuk dalam kontraindikasi. Food and Drug Administra­tion (FDA) telah menyetujui pemberian vaksin usia populasi berusia <::50 tahun.

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Kontrain­dikasi

Penutup

• Individu imunodefisiensi, termasuk tuberkulosis aktif;

• Memiliki riwayat anafilaktik atau reaksi anafilak­toid terhadap komponen vaksin;

• Telah mendapat antivirus terhadap herpes zoster sebelumnya (dalam 48 dalam), seperti asiklovir dan sebagainya. Obat tersebut harus dihindari selama 10 hari setelah pemberian vaksinasi zoster;

• Beberapa Bank Darah menyarankan untuk menunda donasi darah hingga 30 hari setelah vaksinasi.

Penurunan jumlah dan kualitas sistem imunitas sejatinya dip�ngaruhi oleh faktor usia dan proses penuaan. Respon tubuh terhadap infeksi antara anak-anak, dewasa muda, dan usia lanjut sangat berbeda; kelompok usia lanjut sangat rentan mengalami komplikasi, morbiditas, hingga kematian akibat penyakit infeksi. Penyakit influenza pada usia lanjut dapat memicu eksaserbasi penyakit jantung-paru sehingga tak jarang memerlukan rawat inap serta pengobatan lebih lama. Demikian halnya dengan pneumonia yang masih tercatat sebagai penyebab mortalitas tertinggi pada usia tua, terutama di Indonesia. Contoh terakhir ialah reaktivasi herpes zoster yang kerap terjadi pada dekade 5-6 kehidupan, menyebabkan rasa tidak nyaman (nyeri panas) dan komplikasi neuropati yang sangat menganggu aktivitas sehari-hari.

Oleh sebab itu, seperti halnya balita dan anak-anak, kelom­pok usia lanjut juga memerlukan proteksi khusus terhadap infeksi berupa program vaksinasi. Upaya vaksinasi yang dianjurkan mencakup influenza per tahun, vaksinasi PCV-13 tunggal yang dikombinasikan dengan PPSV-23 setiap lima tahun, pemberian vaksin herpes zoster sekali seumur hid up, serta dosis booster TDP setiap sepuluh tahun bila perlu. Pemberin vaksinasi tersebut sejatinya diharapkan mencegah perburukan atau pengeluaran biaya pengobatan yang tidak perlu.

111

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Daftar Pustaka:

1 . Jefferson T, Di Pietrantonj C, Rivetti A, et al. Vaccines for pre­venting influenza in healthy adults. Cochrane Database Syst Rev. 2014 Mar 13;3:CD001269.

2. Moberley S, Holden J, Tatham DP, et al. Vaccines for preventing pneumococcal infection in adults. Cochrane Database Syst Rev. 2013 Jan 31;1 :CD000422.

3. Gagliardi AM, Gomes Silva BN, Torloni MR, et al. Vaccines for preventing herpes zoster in older adults: Update of 2012 Co­chrane Systematic Review. Report for WHO, December 2013

4. Bonten MJ, Huijts SM, Bolkenbaas M, et al. Polysaccharide con­jugate vaccine against pneumococcal pneumonia in adults. N Engl J Med. 2015 Mar 19;372(12) :1114-25.

5. Krone CL, van de Groep K, Trzciri.ski K, et al. Immunosenescence and pneumococcal disease: an imbalance in host-pathogeninter­actions. Lancet Respir Med. 2014 Feb;2(2) :141-53.

6. Lang PO, Aspinall R. Vaccination in the elderly: what can be recommended? Drugs Aging. 2014 Aug;31(8):581-99.

7. Boraschi D, Italiani P. Immunosenescence and vaccine failure in the elderly: strategies for improving response. Immunol Lett. 2014 Nov;162(1 Pt B):346-53.

8. Kawai K, Preaud E, Baron-Papillon F, et al. Cost-effectiveness of vaccination against herpes zoster and postherpetic neuralgia: a critical review. Vaccine. 2014 Mar 26;32(15):1645-53.

9. Barnett TC, Lim JY, Soderholm AT, et al. Host-pathogen interac­tion during bacterial vaccination. Curr Opin Immunol. 2015 May 7;36:1-7.

112

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Pendahuluan

Vaksinasi Herpes Zoster Pada Usia Lanjut

Edy Riza l Wachyudi, L Johan Ardion

Seseorang yang pernah terkena varisela (chicken pox)

memiliki risiko terkena herpes zoster (HZ) atau shingles di masa yang akan datang. Herpes zoster terjadi akibat reaktivasi dari virus Varisela zoster yang hidup dormant pada neuron ganglia sel saraf kranialis, ganglia dorsalis, dan ganglia saraf otonom.1•2 Herpes zoster memiliki karakteristik berupa lesi di kulit yang unilateral, disertai ruam vesikuler yang nyeri dan muncul pada satu dermatom.1•3

Reaktivasi dari virus varisela zoster ini terjadi karena menurunnya cell-mediated immunity yang spesifik terhadap virus varisela zoster, yang sebagian besar terjadi karena immunosenescence dan berbagai kondisi yang mengakibatkan tertekannya imunitas tubuh.4 Risiko munculnya HZ pada seumur hidup seseorang adalah antara 23,8-30% atau sekitar 1 dari 4 orang.4 Kawai, dkk 5 dalam sebuah systematic review

menemukan hasil yang serupa, yaitu insidens herpes zoster di seluruh dunia pada semua kelompok umur 3-5 per 1000 populasi per tahun. Namun, untuk individu berusia 85 tahun ke atas, risiko ini meningkat menjadi 1 dari 2 orang.4 Telaah sistematik yang dilakukan oleh Pinchiat dkk, 4 mengkonfirmasi temuan tersebut dan mendapatkan insidens HZ tiap tahun pada penduduk Eropa meningkat tajam seiring dengan bertambahnya usia, yaitu 1/1 .000 pada anak-anak di bawah usia 10 tahun menjadi 10/1000 pada orang usia 80 tahun ke atas. Selain itu, disebutkan pula bahwa insidens HZ lebih sering muncul pada perempuan dibanding pada lelaki (perbandingan

113

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

insidens lelaki/ perempuan sekitar 1,4).4 Sementara itu, angka mortalitas karena HZ di seluruh dunia 0,017-0,465 tiap 1000 populasi tiap tahun.5

Salah satu komplikasi dari HZ yang serius dan sering muncut yaitu postherpetic neuralgia (PHN).L2A Di Kanada, terdapat 130.000 kasus HZ tiap tahun dan 17.000 kasus di antaranya mengalami PHN.1•2 Postherpetic neuralgia merupakan nyeri hebat dan terus-menerus yang dirasakan setelah 90 hari atau lebih setelah awal mula ruam.3 Rasa nyeri akan mengganggu aktivitas sehari-hari dan dapat menyebabkan berat badan turun, keletihan, atau depresi.3 Selain itu, pasien dapat mengalami berbagai komplikasi neurologis, seperti Bell's palsy, Ramsay Hunt syndrome, transient ischemic attack, dan stroke.3 Tak hanya itu, HZ yang mengenai nervus trigeminus (Vl) dapat mengakibatkan berbagai komplikasi pada organ penglihatan seperti keratitis, skleritis, uveitis, dan nekrosis retina aku t. 3

Postherpetic neuralgia merupakan komplikasi yang sulit diobati bahkan mustahil walaupun telah menggunakan analgetik kuat seperti opioid. Bukti patologis memperlihatkan vaksin varisela zoster menyebabkan kerusakan permanen pada sistem saraf pusat dan perifer sehingga analgesik tidak dapat bekerja dan pasien mengalami nyeri yang refrakter. Walaupun obat antiviral diberikan pada 72 jam setelah awal mula ruam, hal ini hanya efektif mencegah PHN pada beberapa kasus. 1

Profil Vaksin Herpes Zoster (Zostavax®)

Vaksin HZ berisi virus varisela hidup yang telah di lemahkan dan direkomendasikan untuk diberikan pada pasien usia � 60 tahun di Amerika Serikat dan Kanada.1·2•6 Sementara itu, di Eropa dan Asia vaksin ini telah direkomendasikan bagi pasien usia � 50 tahun.6 Satu dosis tunggal vaksin HZ mengandung 19.400 plaque-forming units

(PFU) virus varisela.6.7 Jumlah tersebut 14 kali lipat lebih tinggi

114

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

dibanding vaksin varisela yang hanya mengandung 1500 PFU / dosis.7 Vaksin ini dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat reaksi anafilaksis/ anafilaktoid terhadap gelatin dan neomicin.6 Selain itu, juga tidak direkomendasikan bagi pasien dengan kondisi imunodefisiensi primer atau didapat termasuk leukemia, limfoma, atau keganasan lain yang menyerang sumsum tulang atau sistem limfe, serta AIDS.6 Vaksin ini juga tidak diperkenankan diberikan pada pasien yang menerima terapi imunosupresan seperti kortikosteroid dosis tinggi atau pasien yang dicurigai hamil.6

Efikasi Vaksin Herpes Zoster

Sebuah penelitian dengan jumlah subjek yang besar telah dimulai sejak tahun 1998 untuk mengetahui efikasi dari vaksin HZ. Penelitian tersebut dikenal dengan nama Shingles

Prevention Study (SPS), sebuah randomized controlled trial (RCT) dengan metode double blind yang melibatkan 38.546 subjek imunokompeten usia 60 tahun ke atas dan dilakukan di 21 pusat penelitian di Amerika Serikat. Hasilnya, didapatkan penurunan insidens munculnya HZ dari 11,12 per 1000 orang per tahun pada kelompok tidak tervaksinasi menjadi 5,42 per 1000 orang per tahun (p<0,001) . Efikasi vaksin dalam menurunkan rekurensi HZ sebesar 65,5% pada subjek usia 60-69 tahun dan menurun menjadi 54,5% pada subjek usia 70 tahun.8

Pada studi tersebut, didapatkan kejadian 107 kasus PHN; 27 kasus pada pasien yang mendapat vaksinasi dan 80 kasus pada pasien yang tidak mendapat vaksinasi (0,46 kasus vs. 1,38 kasus tiap 1000 penduduk per tahun, p<0,001) . Efikasi vaksin untuk hal ini, cenderung konstan pada kelompok usia 60-69 dibanding di atas 70 tahun, yaitu 66 % dan 67% .8

Penelitian lain dengan metode peneli tian serupa mengungkapkan hasil yang tidak jauh berbeda. Schmader dkk. 9 menggunakan subjek imunokompeten usia 50-59 tahun

115

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

sejumlah 22.439 orang yang dibagi rnenjadi dua kelornpok: kelornpok divaksin dan kelornpok plasebo. Efikasi vaksin dalarn rnencegah insidens HZ pada penelitian ini 68,5% (95% CI; 54, 1 -80,6). Insidens munculnya HZ menurun dari 6,57 menjadi 1 ,99 kasus per 1 .000 orang per tahun.9

Menurut SPS, angka surveilans yang diberikan vaksin HZ pada seseorang rnencapai 3,12 tahun. Untuk rnelengkapi hasil penelitian tersebut, dilakukan penelitian kohort bertajuk Short Term Persistence Substudy (STPS) yang rnelakukan follow

up pada subjek yang terlibat pada SPS, terdiri dari 7.320 subjek kelornpok vaksin dan 6.950 subjek kelornpok plasebo. Follow up dilakukan sarnpai tahun ke-7 setelah subjek divaksin HZ atau plasebo. Hasilnya, efikasi vaksin dalarn rnencegah PHN ialah 60,1 % (95%CI : -9,8-86,7) selarna 3,3-7,8 tahun pengarnatan, sedangkan untuk efikasi vaksin untuk insidens HZ sebesar 39,6% (95%CI: 18,2-55,5) hingga rnaksirnal 7,8 tahun pernantauan. Sernentara itu, efikasi vaksin untuk HZ burden of illness (BOI) dalarn pernantauan 3-7 tahun sebesar 50,1 % (95% CI: 14,1-71,0).10

Penelitian kohort STPS ini kernudian dilanjutkan kernbali sarnpai follow up dari tahun ke-7 sarnpai tahun ke-10 melalui penelitian Long Term Persistence Study (LTSP) . Menurut penelitian ini, diketahui perkiraan efikasi vaksin selarna periode LTSP adalah 21 % (95%CI ; 11-30) untuk insidens HZ dan 35% (95%CI: 9-56) untuk insidens PHN. Sernentara untuk HZ BOI, didapatkan perkiraan efikasi vaksin sebesar 37% (95% Clx27-46).6

Keamanan dan Efek Samping Vaksin Herpes Zoster

Menurut SPS, jurnlah subjek yang rneninggal setelah pernberian vaksin HZ, rnerniliki persentase yang sarna pada kedua kelornpok, yaitu sekitar 4% . Persentase subjek yang rnengalarni satu atau lebih efek samping serius pada kedua kelompok pun sarna, sekitar 1,4% . Efek sarnping

116

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

yang sering ditemukan pada subjek adalah efek samping pada lokasi penyuntikan, seperti eritema, nyeri, bengkak,

atau gatal. Kejadian ini dialami 48% subjek pada kelompok yang mendapatkan vaksin HZ dan 16 % pada kelompok plasebo.8•11

Sementara itu, Schamader dkk.9 menemukan 63,9% subjek kelompok vaksin mengalami efek samping pada lokasi penyuntikan, sedangkan pada kelompok plasebo, hanya 14% subjek yang mengalaminya (perbedaan 47,1; 95%CI 48,4-50) Keluhan lain yang dilaporkan Schamader adalah keluhan sistemik (demam dan nyeri kepala), yang dialami 6,7% kelompok vaksin dan 24,7% kelompok plasebo (perbedaan 2; 95%CI 1,4-2,6) .9

Penelitian lain yang dilakukan Vermeulen dkk.12 pun mengungkapkan hal serupa. Dengan melibatkan 210 subjek yang terbagi dalam kelompok vaksin dan kelompok plasebo, dilaporkan adanya efek samping pada lokasi penyuntikan, seperti kemerahan, nyeri, gatal, atau bengkak setelah penyuntikan pertama pada 49% subjek kelompok vaksin dan 10% subjek kelompok plasebo. Setelah penyuntikan kedua, efek samping tersebut dialami oleh 61,2% subjek kelompok vaksin dan 6,9% subjek kelompok plasebo.12

Pemberian Vaksin Herpes Zoster Bersamaan dengan

Vaksin Lain

Pemberian vaksin HZ bersamaan dengan vaksin lain telah

diteliti oleh Macintyre dkk.13 Ia mengumpulkan 471 subjek penelitian yang terbagi dalam dua grup: 1) grup yang diberi

vaksin HZ dan vaksin pneumokok secara bersamaan dan 2) grup yang diberi kedua vaksin tersebut tidak bersamaan (vaksin pneumokok diberikan lebih dahulu, disusul vaksin HZ satu bulan kemudian) . Hasilnya, pemberian kedua vaksin secara bersamaan dapat ditoleransi dengan baik tanpa efek samping yang membahayakan. Namun, respons antibodi

117

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

terhadap virus varisela zoster yang terinduksi oleh vaksin HZ yang diberikan bersamaan dengan vaksin pneumokok lebih rendah dibandingkan dengan vaksin yang tidak diberikan bersamaan. Nilai perbandingan estimated GMT (geometric mean titer) antibodi terhadap virus varisela zoster pada 4 rninggu pascaimunisasi vaksin HZ adalah 0,7 (0,61-0,8; 95% CI) dengan nilai p=0,244. Sementara itu, antibodi terhadap pneumokok serotipe 3, 14, 19A, dan 22F sama pada kedua kelompok (p<0,001) . Penelitian ini juga menemukan bahwa seseorang dengan titer antibodi yang tinggi sebelum vaksinasi akan cenderung memiliki kadar antibodi yang tinggi pula 4 minggu pascavaksinasi (p< 0,001).13

Ada pula Kerzner dkk.14 yang membandingkan pemberian vaksin HZ dan vaksin influenza secara bersamaan dan tidak bersamaan. Hasilnya, tidak didapatkan penurunan imunogenitas yang signifikan pada kedua vaksin tersebut di antara kedua grup (p<0,001) .14

Simpulan

Pemberian vaksin HZ bagi pasien usia lanjut telah lama dianjurkan. Efikasi dan keamanan pemberian vaksin ini telah banyak dibuktikan melalui berbagai penelitian.

Daftar Pustaka

1. Shapiro M, Kvern B, Watson P, et. al . Update on herpes zoster vaccination: a family practitioner's guide. Can Fam Physician. 2011;57:1127-31.

2. Watson CPN. Herpes zoster and postherpetic neuralgia. CMAJ. 2010;182(16):1713-4.

3. Cohen JI. Herpes zoster. N Eng J Med. 2013;369(3) :255-63.

4. Pinchinat S, Cebrian-Cuenca AM, Bricout H, et. al. Similar her­pes zoster incidence across Europe: results from a systemmatic literature review. BMC Infect Dis. 2013, 13:170.

118

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

terhadap virus varisela zoster yang terinduksi oleh vaksin HZ yang diberikan bersamaan dengan vaksin pneumokok lebih rendah dibandingkan dengan vaksin yang tidak diberikan bersamaan. Nilai perbandingan estimated GMT (geometric

mean titer) antibodi terhadap virus varisela zoster pada 4 minggu pascaimunisasi vaksin HZ adalah 0,7 (0,61-0,8; 95% CI) dengan nilai p=0,244. Sementara itu, antibodi terhadap pneumokok serotipe 3, 14, 19A, dan 22F sama pada kedua kelompok (p<0,001) . Penelitian ini juga menemukan bahwa seseorang dengan titer antibodi yang tinggi sebelum vaksinasi akan cenderung merniliki kadar antibodi yang tinggi pula 4 minggu pascavaksinasi (p< 0,001) .13

Ada pula Kerzner dkk.14 yang membandingkan pemberian vaksin HZ dan vaksin influenza secara bersamaan dan tidak bersamaan. Hasilnya, tidak didapatkan penurunan imunogenitas yang signifikan pada kedua vaksin tersebut di antara kedua grup (p<0,001).14

Simpulan

Pemberian vaksin HZ bagi pasien usia lanjut telah lama dianjurkan. Efikasi dan keamanan pemberian vaksin ini telah banyak dibuktikan melalui berbagai penelitian.

Daftar Pustaka

1 . Shapiro M, Kvern B , Watson P, et. al. Update on herpes zoster vaccination: a family practitioner's guide. Can Fam Physician. 2011;57:1127-31.

2 . Watson CPN. Herpes zoster and postherpetic neuralgia. CMAJ. 2010;182(16) :1713-4.

3. Cohen JI. Herpes zoster. N Eng J Med. 2013;369(3):255-63.

4. Pinchinat S, Cebrian-Cuenca AM, Bricout H, et. al. Similar her­pes zoster incidence across Europe: results from a systemmatic literature review. BMC Infect Dis. 2013, 13:170.

118

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

5. Kawai K, Gebremeskel BG, Acosta CJ. Systematic review of incidence and complications of herpes zoster: towards a global perspective. BMJ Open. 2014;4:e004833.

6. SAGE Working Group on Varisela and Herpes Zoster Vaccines. Herpes

zoster vaccines. 2014. Available at http://www.who.int/ immuniza­tion/ sage/ Guidelines development recommendations .pdf (Ac­cessed May 3rd, 2 0 1 5).

7. Sanford M, Keating GM. Zoster Vaccine (Zostavax®): A review of

its preventing herpes zoster and postherpetic neuralgia in older adults. Drugs Aging. 20 1 0;27(2): 1 59-76.

8. Oxman MN, Levin MJ, Johnson GR, et. al. A vaccine to prevent her­

pes zoster and postherpetic neuralgia in older adults. N Engl J Med.

2005;352:227 1-84.

9. Schamader KE, Levin MJ, Gnann Jr JW, et. al. Efficacy, safety, and

tolerability of herpes zoster vaccine in persons aged 50-59 years. Cl in Infect Dis. 20 1 2;54:922-8.

10. Schmader KE, Oxman MN, Levin MJ, et. al. Persistence of the efficacy

ofzoster vaccine in the Shingles Prevention Study and the Short-Term

Persistence Substudy. Clin Infect Dis. 2 0 1 2;55( 1 0): 1 320- 1 328.

1 1 . Simberkoff MS, Arbelt RD, Johnson GR, et. al . Safety of herpes

zoster vaccine in the Shingles Prevention Study. Ann Intern Med.

20 1 O; 1 52(9):545-54.

12. Vermeulen JN, Lange JMA, Tyring SK, et. al. Safety, tolerability, and

immunogenicity after 1 and 2 doses ofzoster vaccine in healthy adults 2'.60 years of age. Vaccine. 2 0 1 2 ;30:904- 1 0 .

1 3 . Macintyre C M , Egerton T, Mccaughey M, et.al. Concomitant admin­

istration ofzoster and pneumococcal vaccines in adults 2'.60 years old.

Human Vaccines. 20 1 0;6( 1 1 ) :894-902.

1 4. Kerzner B, Murray AV, Cheng E, et al. Safety and immunogenicity

profile of the concomitant administration of ZOSTAVAX and inacti­

vated influenza vaccine in adults aged 50 and older. J Am Geriatr Soc.

2007;55( 1 0): 1 499-507.

119

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

umpu la1 Abstrak PenelititA

Tem u l lmiah Geriatri 2015 Hotel le Gra ndeur Jakarta 30-31 Mei 2015

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Hubungan Antara Kadar HbA 1 c dan Mobil itas

Fungsional Pada Pasien Usia Lanjut dengan

Diabetes Melitus Tipe 2

di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Tri Hadi S, Bayu BW, Fatichati B, Sumarmi S

Sub Divisi Geriatri SMF Penyakit Dalam

RSU D Dr.Moewardi Suraka rta/Fa ku ltas Kedokteran UNS

Pendahuluan: Diabetes melitus (OM) adalah salah satu penyebab dari kematian. Pasien usia lanjut yang menderita diabetes cenderung menunjukkan defisit pada mobilitas fungsional, yang mengarah pada resiko besar untuk jatuh dan merupakan salah satu problem utama pada pasien usia lanjut. Mobilitas fungsional sering dihubungkan dengan kontrol glikemik dan kadar HbAlc. Kadar HbAlC yang tinggi diketahui mempunyai konsekuensi negatif pada sistem saraf, kekuatan otot, kontrol motorik dan keseimbangan. Sehingga

tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginvestigasi hubungan antara kadar HbAlc dan mobilitas fungsional pasien OM tipe 2 usia lanjut di RSUO Or.Moewardi Surakarta.

Metodologi : Pada penelit ian c rosssec t ional ini mengikutsertakan 60 pasien usia lanjut yang menderita OM tipe 2 yang kontrol dipoliklinik geriatri RSUD dr. Moewardi

Surakarta. Kriteria inklusi meliputi kadar HbAlc � 6,5 , tidak ada riwayat operasi pada ekstremitas, tidak ada ulkus pada kaki, tidak menggunakan alat bantu untuk berjalan. Mobilitas fungsional dan resiko jatuh dinilai menggunakan Tes Time Up and GO. Pada semua pasien dilakukan pengukuran kadar HbAlc, gula darah puasa dan gula darah 2 jam post prandial. Korelasi Pearson digunakan untuk menentukan hubungan antara kadar HbAlc dan mobilitas fungsional, dengan nilai p :s; 0.05 dianggap signifikan.

122

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Hasil: Pada penelitian ini didapatkan 36 pasien wanita dan 24 pasien pria dengan rata-rata umur 67,65 ± 4,39 tahun. Nilai

mean HbAlc sebesar 9,16 ± 1,54, dengan mean TUG 20,86 ± 5,27 detik. Didapatkan korelasi positif yang sifnifikan antara kadar HbAlc dan nilai tes TUG, dengan nilai r = 0,846 (p < 0,001).

Tabel 1. Karakteristik Awai

Variabel n Rerata Simpang baku

Usia 60 67.65 4.39

IMT 60 22.71 2.89

HbAlC 60 9.16 1.54

FPG 60 169.43 63.87

PPG 60 211.71 75.92

TUG 60 20.86 5.27

Tabel 2. Koefisien korelasi Pearson HbAlC dan TUG

TUG HbAlC

TUG Pearson Correlation 1 .804**

Sig. (2-tailed) .001

N 60 60

HbAlC Pearson Correlation .804** 1

Sig. (2-tailed) .001

N 60 60

123

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Gambar 1. Diagram Tebar HbAlc dan TUG

Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar HbAlc memiliki korelasi yang signifikan dengan mobilitas fungsional pada pasien usia lanjut yang menderita DM tipe 2 yang mengarah pada resiko jatuh yang lebih besar.

Kata kunci: diabetes melitus; HbAlc, TUG, mobilitas fungsional, usia lanjut

124

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Proyek Pemberdayaan Masyarakat:

Penyuluhan H ipertensi, OM tipe I I ,

Disl ipidemia, dan H iperurisemia

pada Kader Posyandu Lansia

Kelurahan Rorotan, Kecamatan Ci l incing,

Jakarta Utara

Zuhri E 1 , Soemawinata A1 , Wismoyo MB2, Anugrah F2,

Maimunah S3

1 Dokter I nternship U niversitas Indonesia

2Dokter I nternship U n iversitas Tri Sakti

3Kepala Puskesmas Kel ura han Rorota n, Kecamatan Ci l incing,

Jakarta Utara

Pendahuluan: Di kelurahan Rorotan, kecarnatan Cilincing, Jakarta Utara saat ini telah berdiri lima posyandu lansia (usia � 60 tahun) di lima RW dengan jumlah kader sebanyak 25

orang. Meskipun sudah berdiri sejak satu tahun lalu, kader­kader posyandu lansia belum pemah mendapat pembekalan pengetahuan mengenai penyakit-penyakit metabolik seperti hipertensi, OM tipe II, dislipidemia, dan hiperurisemia. Selama ini, kegiatan berjalan dengan pengetahuan seadanya. Padahal pengetahuan tentang penyakit-penyakit metabolik tersebut sangat diperlukan untuk melaksanakan kegiatan posyandu lansia. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu upaya untuk memberikan bekal pengetahuan kepada kader posyandu lansia.

Tujuan: Memberikan pengetahuan kepada seluruh kader posyandu lansia di kelurahan Rorotan mengenai hipertensi, OM

tipe II, dislipidemia, dan hiperurisemia melalui penyuluhan. Metode: Dilakukan penyuluhan terhadap seluruh kader

posyandu lansia kelurahan Rorotan (n=25) . Keberhasilan penyuluhan dievaluasi dengan cara membandingkan dan

125

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

menganalisis nilai pre-test dan post-test. Materi penyuluhan, soal pre-test, maupun post-test mencakup definisi, gejala dan tanda, deteksi dini atau diagnosis, pengobatan non­farmakologis (diet dan aktivitas fisik), pengenalan komplikasi, dan persepsi pengobatan jangka panjang hipertensi, DM tipe II, dislipidemia, dan hiperurisemia.

Hasil: Dari 25 kader posyandu lansia, 14 kader bersedia untuk mengikuti penyuluhan, pre-test, dan post-test. Diketahui bahwa kader posyandu lansia mendapatkan tambahan pengetahuan tentang hipertensi sebesar 51,43 poin (p=0.000), DM tipe II sebesar 37,14 poin (p=0.000), dislipidemia sebesar 35 poin (p=0.000), dan huperurisemia sebesar 35,71 poin (p=0.000).

Kesimpulan: Penyuluhan berhasil memberikan tambahan pengetahuan tentang hipertensi, DM tipe II, dislipidemia, dan hiperurisemia kepada kader posyandu lansia di kelurahan Rorotan, kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.

Kata Kunci: Kader posyandu lansia, penyuluhan, hipertensi, DM tipe II, dislipidemia, hiperurisemia.

126

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Hubungan Skor Mini Nutritional Assessment

(MNA) dengan Albumin Serum Pada Pasien

Rawat lnap Usia Lanjut

di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Haryono Y, Bayu BW, Fatichati B, Sumarmi S

Sub Geriatri Bagian l l m u Penyakit Dalam RS Dr. Moewa rdi

Surakarta/Fa ku ltas Kedoktera n U n iversitas Sebelas Maret

Latar Belakang: Penilaian status gizi dengan Mini

Nu tritional Assessmen t (MNA) merupakan multiparameter screening sekaligus assessment terjadinya malnutrisi pada pasien usia lanjut. Kuesioner MNA terdiri atas 18 pertanyaan yang terbagi dalam empat komponen, penilaian antropometri, penilaian asupan makanan, penilaian secara umum mengenai gaya hidup dan penilaian secara subjektif. Skor MNA lebih spesifik mendeteksi risiko terjadinya malnutrisi pada pasien �anjut usia dibanding dengan skor lain. Albumin serum inerupakan parameter yang digunakan untuk melihat status nutrisi seseorang. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan skor MNA dengan albumin serum pasien rawat inap usia lanjut di bangsal RS Dr. Moewardi, Surakarta.

Metode: Penelitian dengan pendekatan Cross-Sectional. Terdapat 44 sampel penelitian diambil dari pasien rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 1 Maret 2015- 12 April 2015, kriteria inklusi berusia lanjut (elderly) > 60 tahun, penyakit gangguan fungsi hepar dieksklusi. Tersedia data laboratorium nilai albumin serum. Skor MNA diperoleh dari wawancara. Analisis uji statistik yang digunakan adalah Pearson product moment untuk mengetahui hubungan skor MNA dan serum albumin. Signifikan p � 0.05 untuk semua uji analitik.

Hasil: Terdapat 24 orang perempuan dan 20 orang laki-laki pada sampel, 11 orang diantaranya memiliki ekonomi yang

127

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

mampu dan 33 orang tidak mampu, 25 % berpendidikan tinggi, 31,8% berpendidikan dasar, 43,18% tidak berpendidikan, 34,09 % memiliki resiko malnutrisi, 65,90 % mengalami malnutrisi. Rata-rata usia 68,79 ± 7,39 tahun, rata-rata albumin 2,5 ± 0,4 mg/ dl. Terdapat hubungan kuat antara skor MNA dengan nilai albumin serum, r = 0.712 (p < 0.01) .

Kesimpulan: Skor MNA dapat menggambarkan kadar albumin serum, peningkatan nilai skor MNA dapat meningkatkan nilai albumin serum pada pasien lanjut usia yang menjalani rawat inap di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Kata Kunci: Lansia, MNA, Albumin

128

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

A 65 Years Old Woman With Po lycystic Kidney

Disease, Chronic Kidney Disease Stage V,

Diabetes Mell itus Type 2 Normoweight,

Hypertension Stage I I, Complicated Urinary

Tract Infection, Anemia In Chronic Kidney

Disease

EstiTantri A, Bayu BW, Fatichati B, Sumarmi S

Sub Division Geriatric of I nternal Med icine

Dr.Moewa rdi Hospital Surakarta/

Med icine Faculty of Sebelas Maret U n iversity

Introduction: Polycystic kdney disease is an inherited disorder in which clusters of numerous cysts filled with fluid develop primarily within the kidneys, the cysts can slowly replace much of the kidney, reducing kidney function and

leading to kidney failure. Polycystic kidney disease can affect other organs besides the kidney like liver, pancreas, spleen, ovaries, and large bowel. Elderly is people aged over 65 years old, where there is a process of aging, where the ability of tissue to repair or replace and maintain function normally is decreased slowly so they could not survive against infection and any damage in the body.

Case: A 65 years old woman came with complaints of dyspneu, stomach that enlarges, urinate feel hot and pain. She has done routine dialysis for 1,5 years. From physical examination we got stomach bigger than chest, liver span Bern, and palpable lump of mass of cysts 10x5 cm in the regio hypocondriaca dextra,umbilicus, inguinalis dextra and sinistra, waist circumference 80cm, hip circumference 85 cm,abdomen circumference 98cm. hb 9.4, leukocytel5,200, thrombocyte 180,000, ureum 87, creatinine 5.9. From thorax rontgen we get pleural effusion and cardiomegaly. From usg abdomen we get

129

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

multiple cysts in the hepar, ren dextra and sinistra, ovariurn dextra and sinistra, ascites,and hepatomegaly. Patient get therapy kidney diet 1700 kkal, with protein 1 gram/kg weight/ day and low salt < 5 gram/ day,injection of amoxicillin lgram/8 hours, injection of mixed insulin12-0-12 iu subcutan, injection of furosemide 40 mg/8 hours, diltiazem p.o. lx200 mg,and dyalisis twice a week

Key words: polycystic kidney disease, chronic kidney disease, elderly

130

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Interrelationships BetweenSerum Uric Acid,

Cl inical Status, Cardiac Function,

Renal Function, MetabolicVariables,

and Leucocyte Profi le

Retty Kharisma Sari 1 , Sa nty Cintiana Dewi2, Sr i Sunarti3

1 Resident of I nternal Med icine, Brawi j jaya U niversity­

Saiful Anwar Hospita l , Malang-l ndonesia

2Resident of cardiovascular Med icine, Brawijaya U niversity­

Saiful Anwar Hospita l , Malang-l ndonesia

3Supervisor of I nternal Medicine Geriatric Division,

Brawijaya University- Saiful Anwar Hospita l , Malang-l ndonesia

Background: Hyperuricemia is frequently present in patients with heart failure. Many pathological conditions, such as tissue ischernia, renal impairment, cardiac impairment, metabolic syndrome, and inflammatory status, may affect uric acid (UA) metabolism. This study was to assess their potential relations to UA metabolism in patient with heart failure.

Aim: To knowtherelationship between UA with clinical status, cardiac function, renal function, metabolic variables, and leucocyte profile.

Methods : W e retrospectively assessed c l inical characteristics, renal, metabolic, and inflammatory variables

selected on the basis of previous evidence of their involvement in cardiovascular disease and UA metabolism in cohort of randomly selected adults with congestive heart failure (n=122). We analyze interrelationship between UA and age, body mass index (BMI), new york heart association (NYHA), fasting blood glucoese (FBG), systolic blood pressure, blood urea nitrogen (BUN), creatinin, total cholesterol, triglycerida, low density lipoprotein (LDL), high density lipoprotein (HDL), and diuretic dose. Statistical analyses were carried out using spearman and mann-whitney analysis.

131

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Results : Based onspearman testshows thaturic acid had significant positive correlation with BMI (r=0.332, p<0.05), BUN (r=0. 238, p<0.05), creatinin (r=0.426, p<0.05) .The correlation between uric acid and creatininrevealed moderate strength of correlation. Correlation between UA and age, FBG, systolic blood pressure, lipid profile, and diuretic dose were not significant(p>0.05) . Mann-whitney analysis shows no significantly differencies of UA level in each group of heart failure (p>0.05).

Conclusions: There were correlation between UA and BMI,creatinin level, and BUN level and no differencies of U A level in each group of heart failure suggests that elevated UA level reflect an impairment of renal function in heart failure.

Keywords: serum uric acid; heart fai lure; renal impairment

132

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Anemia and Cognitive Function in H ospital ized

Elderly Patients in Sanglah Hospita l

IB Putu Putrawa n, Tuty Kuswardhani , I Nyoman Astika,

IGP Suka Arya na, Ro i Purna mi

Divisi Geriatri Bagian/SMF l lmu Penyakit Dalam FK U N U D/

RSUP Sa nglah Denpasar

Background: Anemia is a common problem with serious consequences in elderly patients but the impact of anemia on cognitive function has not been extensively studied. The aim of this study is to evaluate the association between anemia and cognitive impairment in hospitalized elderly patients with medical illness.

Method: This is a hospital-based analytic cross-sectional study. The data were derived from the elderly patients (age �60 years) admitted to Internal Medicine Department of Sanglah General Hospital between February 2013 and May 2014. A total of 80 elderly patients were enrolled in this study and divided into 2 groups: 40 anemic compared to a matched group of 40 non-anemic. Both groups were subjected to MMSE (Mini­mental state examination), ADL (Activities of daily living) and IADL (Instrumental activities of daily living) . Laboratory investigations were done including CBC (complete blood count), iron profile, liver function and kidney functions.

Results: Anemic group performed worse than control group regarding their executive function tests with statistically significant difference (p value=0.01), with worse results among male cases than females and the difference was statistically significant (p value=0.03). Anemic group perform worse on their ADL and IADL than controls with statistically significant difference through their IADL (p value =0.03) .

133

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Conclusion: Anemia could be considered a cause of cognitive impairment among the elderly, and this may contribute to deficits in their AOL and IADL. So we recommend that assessment of executive functions should be a routine

measure when evaluating and follow up anemic elderly. Also early diagnosis and proper management of anemia may postpone or prevent impairment in activities of activities of daily living.

Keywords: anemia, cognitive impairment, elderly

134

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Perbedaan Kesintasan 30-Hari Pasien Usia

Lanjut dengan Pneumonia Komunitas pada

Berbagai Derajat Ketergantungan

di Awai Perawatan

Petry1 , Kuntjoro Harimurti2, Arya Govi nda Roesheroe2

1 Departemen l lmu Penyakit Dalam,

Faku ltas Kedokteron U niversitas I ndonesia,

2Divisi Geriatri, Departemen l l m u Penyakit Dalam,

Faku ltas Kedokteron U n iversitas I ndonesia,

Latar Belakang: Pasien usia lanjut seringkali memerlukan rawat inap karena infeksi pneumonia yang disertai dengan penurunan status fungsional. Hubungan antara penurunan status fungsional pada pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat inap dengan kesintasan belum ban yak diteliti.

Tujuan: Mendapatkan informasi mengenai perbedaan kesintasan 30-hari pasien pneumonia komunitas berusia lanjut dengan berbagai derajat ketergantungan.

Metodologi: Penelitian kohort retrospektif berbasis analisis kesintasan terhadap pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas di ruang rawat akut geriatri RSCM periode Januari 2010-Desember 2013. Dilakukan ekstraksi data dari rekam medik mengenai status fungsional, kondisi klinis dan faktor perancu, kemudian dicari data mortalitasnya dalam 30 hari. Status fungsional awal perawatan dinilai dengan indeks ADL Barthel, kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu mandiri-ketergantungan ringan, ketergantungan sedang­berat dan ketergantungan total. Perbedaan kesintasan antara ketiga kelompok ditampilkan dalam kurva Kaplan Meier. Perbedaan kesintasan antara ketiga kelompok diuji dengan Log­

rank test, dengan batas kemaknaan <0,05. Analisis multivariat dengan Cox's proportional hazard regression untuk menghitung

135

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

adjusted hazard ratio ( dan interval kepercayaan 95%-nya) dengan koreksi terhadap variabel perancu.

Hasil: Dari 392 subjek, sebanyak 79 subjek (20,2%) meninggal dunia dalam waktu 30 hari. Rerata kesintasan seluruh subjek 25 hari (IK95 % 24,66-26,49), kelompok mandiri-ketergantungan ringan 28 hari (IK95% 27,38-29,46), ketergantungan sedang-berat 25 hari (IK95% 23,71-27,25), ketergantungan total 23 hari (IK95% 21,46-24,86). Kesintasan 30-hari pada kelompok mandiri-ketergantungan ringan 92,1 % (SE 0,029), ketergantungan sedang-berat 80,2% (SE 0,046), ketergantungan total 68,0% (SE 0,041). Crude HR pada

ketergantungan sedang-berat 2,68 (p=0,008; IK95% 1,29-5,57), ketergantungan total 4,32 (p<0,001; IK95% 2,24-8,31) dibandingkan dengan mandiri-ketergantungan ringan. Setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu didapatkan fully adjusted HR pada kelompok ketergantungan total 3,82 (IK95% 1,95-7,51), ketergantungan sedang-berat 2,36 (IK 95%

1,13-4,93).

Simpulan: Terdapat perbedaan kesintasan 30-hari pasien

pneumonia komunitas berusia lanjut pada berbagai derajat ketergantungan; semakin berat derajat ketergantungan, semakin buruk kesintasan 30-harinya.

Kata kunci: status fungsional, usia lanjut, pneumonia komunitas, kesintasan.

136

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

H ubungan Antara Leukositosis

dengan Kejadian lnfeksi

Pada Pasien Usia Lanjut:

Suatu Studi Cross-Sectional

Roi Purnami, I B Putrawan, Su ka Aryana, N Astika,

Tuty Kuswardhani

Divisi Geriatri, Bagian/SMF l lmu Penyakit Dalam, FK U nud/

RSU P Sanglah Den pasar

Pendahuluan: Usia harapan hidup dan proporsi pasien usia lanjut pada populasi masyarakat kita semakin meningkat,

dan kecenderungannya akan semakin berkembang pada dekade mendatang. Sebagai konsekuensinya, maka penyakit­penyakit yang berhubungan dengan proses menua dan dipengaruhi usia juga akan semakin banyak. Pada umumnya, teori yang diajarkan pada pusat-pusat pendidikan adalah tentang gambaran umum atau tipikal tentang penyakit. Namun demikian, pada pasien usia lanjut justru sering kita temukan gambaran atipikal penyakit yang sangat berbeda apabila dibandingkan dengan pola umum penyakit yang ditemukan pada populasi dewasa muda. Dikatakan memiliki gambaran atipikal apabila memenuhi satu dari tiga hal berikut:

(a) gambaran yang samar atau tidak jelas dari suatu penyakit, (b) perubahan gambaran penyakit, (c) tidak ditemukan gejala penyakit (mungkin saja tidak dilaporkan) .

Tuj uan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui hubungan antara leukositosis dengan kejadian infeksi pada pasien yang datang ke unit gawat darurat RSUP Sanglah Denpasar pada periode November 2014 sampai April 2015.

Metodologi: Dilakukan studi cross-sectional dengan mempergimakan data sekunder dari catatan medis pada pasien usia lanjut yang datang ke unit perawatan gawat

137

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

darurat RSUP Sanglah dalam periode Januari sampai Maret

2015 . Data rekam medis dikumpulkan secara konsekutif selama 6 bulan sampai didapatkan data yang cukup yaitu 80 pasien, dan semuanya diikutkan dalam studi. Kejadian infeksi ditentukan dengan melihat diagnosis infeksi pada data rekam medis dan leukositosis dicatat berdasarkan data yang ada yaitu peningkatan jumlah leukosit diatas nilai normal (nilai normal: 4,10-11,0 x HP/ul).

Hasil: Pada penelitian ini didapatkan karakteristik pasien geriatri (usia �60 tahun) yang menjalani perawatan di Unit Gawat Darurat RSUP sanglah denpasar dalam waktu 6 bulan (November 2014 sampai April 2015) yaitu: pasien laki-laki sebanyak 52 orang (65%), wanita 28 orang (35%), yang mengalami kejadian infeksi 54 orang (67,5%), tidak ada kejadian infeksi 26 orang (32,5 % ), leukositosis sebanyak 39 orang ( 48,8 % ) dan tidak mengalami leukositosis sebanyak 41 orang (51,2 % ) . Analisis dilakukan dengan mempergunakan test korelasi Lambda, dan ditemukan tidak ada hubungan antara leukositosis dengan kejadian infeksi (p = 0,235), deengan nilai

r: 0,154. Kesimpulan: Tidak ditemukan hubungan antara

leukositosis dengan kejadian infeksi pada pasien usia lanjut.

Kata Kunci: Leukositosis, Infeksi, Usia Lanjut.

138

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Korelasi antara Delirium dengan Kejadian

Jatuh Pada Pasien Geriatri

yang datang ke Unit Rawat Darurat

RSUP Sanglah Denpasar

Peri ode November 20 1 4 - April 20 1 5

I Nyoman Adi Suparta 1 , l . G.P. Suka Arya na2,

Nyoman Astika2, Tuty Kuswardhani2,

l . B . Putrawa n2,Rai Purnami2

1 PPDS 1 -Combined degree Penya kit Dal a m F K U n ud/

RSU P Sa nglah

2Divisi Geriatri SMF Penyakit Dalam F K Unud/RSUP Sanglah

Pendahuluan: Sindrom delirium didefinisikan sebagai gangguan otak akut yang berhubungan dengan disfungsi

otonomik, motorik dan homeostasis. Hal ini cukup kompleks

& multifaktorial, sehingga seringkali tidak terdiagnosis & penanganannya minimal. Jatuh menyebabkan peningkatan morbiditas, kehilangan fungsi fisik, kehilangan kemandirian, penggunaan sarana kesehatan, dan mortalitas. Perlunya mengenali sejak awal faktor resiko yang terdapat pada lansia guna mencegah terjadinya jatuh pada lansia. Kejadian jatuh dan fraktur merupakan salah satu faktor presipitasi yang memicu terjadinya delirium pada pasien lansia.

Tujuan: Mengetahui korelasi antara delirium dengan kejadian jatuh pada lansia yang dating ke UGD RSUP Sanglah

Metodologi : Penelitian dilakukan dengan metode retrospektif observasional analitik pada pasien lansia (usia �60 tahun) pada data kunjungan Unit Rawat Darurat RSUP Sanglah pada periode November 2014 sampai dengan April 2015, sampel diambil secara acak sederhana dari seluruh data kunjungan. Setelah mendapatkan profil umum dari pasien yang datang yang dibagi berdasarkan diagnosis, diagnosis

139

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

sindrom geriatri yang muncul. Data dikumpulkan dan diolah dengan SPSS, kemudian dilakukan pengukuran distribusi sampel dengan Kolmogrov-Smirnov dilanjutkan 'dengan uji korelasi Spearman.

Hasil: Sampel berjumlah 80 pasien, hasil menunjukkan pasien dengan delirium dan kejadian jatuh sebanyak 26%. Dengan jumlah pasien delirium laki-laki (20%) lebih banyak daripada wanita (12%). Kejadian jatuh berhubungan dengan

kejadian sindrom delirium pada pasien usia lanjut yang dating ke unit gawat darurat RSUP Sanglah Denpasar, namun tidak bermakna dengan penyakit penyerta seperti DM (7% ),

hipertensi (56% ), anemia (43,3%) dan pneumonia (40%) tidak berhubungan dengan kejadian sindrom delirium. Dengan uji korelasi Spearman menunjukkan korelasi signifikan antara delirium dengan kejadian jatuh pada pasien lansia yang dating ke Unit Gawat Darurat RSUP Sanglah.

Kesimpulan: Dari data kunjungan pasien lansia pada unit gawat darurat Rumah sakit menunjukan adanya korelasi yang bermakna antara delirium dengan kejadian jatuh pada lansia yang datang ke UGD RSUP Sanglah.

Kata kunci: delirium, pasien lansia, kejadian jatuh

140

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Tingkat Pengetahuan Masyarakat

tentang Aspek Sosial Usia Lanjut dan

Keberadaan Panti Wherda

Achnes Pa ngaribua n 1 , l .G .P.Suka Aryana2, Nyoman Asti ka2,

Tuty Kuswa rd hani2 , l . B . Putrawan2,Rai Purnami2

1 PPDS1-Combined degree Penyakit Dalam FK U n ud/

RSUP Sanglah

2Divisi Geriatri SMF Penyakit Dalam FK U nud/RSU P Sanglah

Pendahuluan: Semakin lanjut usia menyebabkan penurunan fungsi indera. Kegagalan beradaptasi dengan penurunan fungsi indera mengakibatkan kecemasan dan depresi yang berdampak pada penarikan diri pada lingkungan sosialnya.Dukungan lingkungan social dari orang yang akrab dan sebaya dilingkungannya akan memberikan keuntungan

emosional yang berpengaruh pada tingkah laku penerimanya

(Gottlieb). Tujuan: Mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat

terhadap proses penuaan, dampaknya pada dimensi sosial usia lanjut dan minat dan kebutuhan akan Panti Wherda,serta sebagai data dasar untuk dapat melakukan penelitian lebih lanjut, ataupun intervensi lebih lanjut terkait perananpanti wherda di masa rnendatang.

Metodologi: Penelitian descriptive kualitative, dengan sampel berjumlah 62 orang, yang merupakan keluarga atau pasien di poli geriatri RSUP Sanglah-Denpasar pada

periodeapril 2015 . Instrurnen penelitian menggunakan kuisioner dengan teknik pengambilan sampel menggunakan rnetode consecutive sampling. Analisis data menggunakan SPSS 16.0

Hasil: Sebagian besar responden (64 % ) mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang proses penuaan dan pantiwherda. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin

141

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

baik pengetahuannya.Meskipun sebagian besar responden berpengetahuan baik, hanya 7,5 % responden berpengetahuan baik yang mempunyai minat tinggal di panti wherda saat usia lanjut. Meskipun minat terhadap panti Wherdasangatrendah, namun hamper seluruh responden (90%) menginginkan pembiayaan Panti Wherda dari Pemerintah.

Kesimpulan: Meskipun mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan baik (64%), hanya sekitar sebagian kecil (7,5%) responden yang mempunyai minat tinggal di panti

wherda saat usia lanjut.

Kata kunci: dimensi sosial, tingkat pengetahuan, usia

lanjut, panti wherda

142

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Profi le Kunjungan Pasien Geriatri unit Rawat Darurat RSU P Sanglah Denpasar

Periode November 201 4-Apri l 201 5

Eka Dharma 1 , l .G.P.Suka Aryana2, Nyoman Astika2,

Tuty Kuswardhani2 , l . B . Putrawan2, Rai Purnami2

1 PPDS 1 Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah

2Divisi Geriatri SMF Penyakit Dalam FK Unud/

RSUP Sanglah

Pendahuluan: Kondisi emergensi sangat penting terutama pada pasien-pasien geriatri, penyakit akut sangat drastis menurunkan kondisi pasien-pasien lansia terutama kemampuan fungsional serta survival pasien lansia. Prevalensi Acute Confusional State (ACS) adalah tinggi pada pasien geriatri (32 %-67% ), namun sering tidak terdiagnosis dengan baik karena gejala dan tandanya yang tidak khas. ACS sendiri memperpanjang masa rawat, meningkatkan 10

kali lipat bantuan AOL dan mortalitas pada pasien geriatri. Faktor predisposisi ACS antara lain; usia sangat lanjut, dementia, gangguan AOL, lansia rapuh, obat-obatan yang mengganggu neurotransmitter otak, polifarmasi dan komorbid sebelumnya

Tujuan: Mendeskripsikan profil pasien geriatri pada unit rawat darurat Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah

Metodologi: Penelitian retrospektif observasional analitik pada pasien lansia (usia �60 tahun), pada data kunjungan Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Sanglah pada periode November 2014 sampai dengan April 2015. Secara umum profile dibagi sesuai data dasar pasien yaitu menurut keluhan, rentangan umur, dan jenis kelamin. Data dasar secara khusus dikelompokkan sesuai diagnosis masing-masing pasien, diagnosis sindrome geriatri yang muncul serta perbandingan AOL barthel masing-masing pasien sebelum dan pada saat kunjungan ke Unit Gawat Darurat.

143

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Hasil: Sampel berjumlah 80 pasien, yang diambil dari data restropektif rekam medik kunjungan pasien geriatri pada unit gawat darurat rumah sakit sanglah periode November 2014-April 2015, sampel diambil secara acak sederhana dari seluruh data kunjungan, hasil menunjukkan 34 % pasien dengan pneumonia, 16% dengan penyakit kardiovaskular, 10% dengan diabetes melitus, 9% dengan PPOK , dan sisanya adalah malignansi serta penyait peyerta lainnya.

Kesimpulan: Data kunjungan pasien lansia pada unit gawat darurat Rumah Sakit menunjukkan sebagian besar kunjungan pasien geriatri ke unit gawat darurat karena permasalahan infeksi, sindrome geriatri terbanyak adalah innanination dan imobility, disertai dengan perburukan pada AOL barthel dari sebelum kunjungan dan saat kunjungan.

Kata kunci: geriatri, unit rawat darurat

144

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Hubungan Tingkat Pendidikan Masyarakat dengan Tingkat Pemahaman terhadap

Hospice Care

D.A.Kartika Tejawati1 , l.G.P.Suka Aryana2,

Nyoman Astika2, Tuty Kuswardhani2 ,l.B.Putrawan2,

Rai Purnami2

1 PPDS 1 -Combined degree Penyakit Dalam FK Unud/

RSUP Sanglah

2Divisi Geriatri SMF Penyakit Dalam FK Unud/

RSUP Sanglah

Pendahuluan: Hospice care adalah program perawatan dan dukungan kepada mereka yang menderita penyakit terminal untukdapat hidup lebih nyamansertameningkatkan kualitas hid up pasien bersama teman dan keluarga menjelang kematian. Perawatan ini berfokus pada kenyamanan dari pasien tersebut, bukan untuk menyembuhkan. Dengan adanya hospice care, pasien dan keluarganya dapat tinggal bersama dengan nyaman dirumah mereka walaupun pada saat itu pasien memerlukan perawatan dirumah sakit. Sebuah studi yang dilakukan oleh New England Jou nal of Medicine menyatakan bahwa service dan pembayaran yang diberikan pada hospice care semakin tahun, semakin meningkat, namun peningkatan tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan perawatan dan lama perawatan di rumah sakit yang diperlukan oleh pasien terminal pada periode waktu yang sama.

Tujuan: Mengetahui ada atau tidaknya hubungan tingkat pendidikan dengan tingkat pemahaman masyarakat tentang hospice care, dan seberapa besar minat masyarakat terhadap hospice care, serta sebagai data dasar untuk dapat melakukan penelitian lebih lanjut, ataupun intervensi lebih lanjut terkait hospice care

145

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Metodologi: Penelitian deskriptive kualitative, dengan

sampel berjumlah 60 orang yang merupakan penunggu

pasien di Ruang Perawatan Nagasari dan Gandasturi

RSUP Sanglah Alat ukur berupa kuesioner dengan variabel yang dinilai umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pemahaman akan hospice care, dan penerimaan

dan pemanfatan hospice care terhadap diri sendiri dan

keluarga. Pengumpulan data melalui kuesioner dilakukan dari tanggal 1-30 April 2015, Analisis data menggunakan

Nonparametric Correlations Spearman' s rho

Hasil: Sampel berjumlah 60 responden, sebagian besar

responden (5 6,7%) merupakan perempuan, berumur 2 1 -40

tahun (38,3%), dengan tingkat pendidikan (3 1 ,7%) mengenyam

pendidikan di perguruan tinggi. Uji Nonparametric Correlation Spearmn s Rho, menunjukan signifikansi antara tingkat pendidikan dengan pemahaman terhadap hospice care adalah 0. 000. dan 9 5% dari responden menerima keberadaan hospice care.

Kesimpulan: Dari 60 responden, 63,3 % tidak mengetahui

tentang hospice care, 33,3% mengetahui tentang hospice care, dan hanya 3,3 % yang memahami tentang hospice care.

Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan masyarakat

terhadap tingkat pemahaman masyarakat tentang hospice care dengan significansi 0,000. 95% Responden menerima

adanya hospice care, menjalani hospice care, dan menerima

adanya keluarga yang akan menjalani hospice care saat

menghadapi penyakit terminal

Kata kunci: hospice care, tingkat pengetahuan, tingkat

pemahaman.

146

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Korelasi Antara Neutrophil lymphocyte Ratio (NLR) dengan Delirium dan Derajat Beratnya

Community-Acquired Pneumonia (CAP)

Pada Pasien Lanjut Usia

di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

I Putu Eka Krisnha W, RA Tuty Kusward hani , IGP Suka Arya na,

N Asti ka, I B Putrawa n, Roi Purnami

Bagia n/SMF l lmu Penyakit Dalam FK U N U D/RSUP Sa nglah

Pendahuluan: Community-acquired pneumonia (CAP) memiliki dampak kesehatan yang signifikan pada pasien lanjut usia, dimana didapatkan kejadiannya yang lebih sering dan luaran yang lebih berat dibandingkan dengan populasi usia muda. Pada CAP, neutrophil-lymphocyte count ration (NLR) telah diidentifikasi sebagai sebuah penanda prognostik yang akurat dibandingkan dengan penanda infeksi tradisional, untuk memprediksi beratnya dan luaran penyakit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari korelasi antara NLR

dengan delirium dan beratnya CAP pada pasien lanjut usia. Metodologi: Penelitian ini merupakan studi potong

lintang analitik yang terdiri dari pasien berusia .:::_ 60 tahun dengan diagnosis CAP pada kunjungan di Unit Fawat Darurat (UGD) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah dalam periode November 2014 hingga April 2015. Dilakukan suatu evaluasi terhadap karakteristik klinis pasien, hitung darah lengkap, skor beratnya pneumonia (skor CURB-65) dan adanya delirium pada saat masuk rumah sakit.

Basil: Terdapat 50 pasien yang terdiri dari 29 pasien laki-laki (58%), dengan median umur adalah 71 tahun (61-93). Nilai median dari leukosit, hitung absolut neutrofil dan hitung absolut limfosit adalah sebesar 12,5 (4,12-31,0), 10,8 (1,89-29,9), dan 1,02 (0,16-5,10) secara berturut-turut. Delirium

147

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

terdapat pada 15pasien (30% ) . Sebagian besar pasie� memiliki skor CURB-65 sebesar 2 (38 % ). Nilai median dari NLR adalah sebesar 9,61 (0,80-78,68) . Terdapat korelasi positif yang signifikan antara NLR dengan delirium (r = 0,507, p = 0,000) dan skor CURB-65 (r = 0,512, p = 0,000). Terdapat perbedaan yang signifikan dari nilai NLR antara kelompok delirium dan tidak delirium (p = 0,000), dan paling tidak antara 2 kelompok dari skor CURB-65 (p = 0,013).

Kesimpulan: Sebagai kesimpulan, peningkatan nilai NLR berkolerasi dengan delirium dan derajat CAP yang semakin berat. NLR merupakan suatu penanda yang sederhana dan mudah untuk dinilai sejak awal kunjungan di UGO.

Kata kunci: NLR, delirium, skor CURB-65

143

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Korelasi antara Penyakit Kardiovaskular dengan

Kejadian Jatuh Pada Pasien Geriatri yang datang ke Unit Rawat Darurat RSU P Sanglah Denpasar

Putu Hartawa n 1 , l .G. P.Suka Aryana2, Nyoman Astika2,

Tuty Kuswardhani2, l . B. Putrawan2,Rai Purnami2

1 PPDS1 -Combined degree Penyakit Dalam FK U n ud/

RSU P Sanglah

2Divisi Geriatri SMF Penyakit Dalam FK U nud/RSUP Sanglah

Pendahuluan: Jatuh adalah kejadian yang umum terjadi pada lansia dan menyebabkan peningkatan morbiditas, kehilangan fungsi fisik, kehilangan kemandirian, penggunaan sarana kesehatan, dan mortalitas. Sekitar 35-40% orang berusia lebih dari 65 tahun jatuh dalam setiap tahunnya, setengah dari orang tersebut jatuh lebih dari sekali. Insiden jatuh meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Terdapat beberapa faktor resiko yang berperan dalam terjadinya jatuh pada lansia yang diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu faktor intrinsik terdiri faktor lokal dan sistemik serta faktor ekstrinsik yaitu lingkungan. Suatu studi melaporkan bahwa penyakit kardiovaskular menyumbang 77% dari orang yang datang unit gawat darurat dengan jatuh atau jatuh berulang yang tidak dapat dijelaskan dan dengan jatuh yang dikaitkan dengan hilangnya kesadaran yang tak dapat dijelaskan. Dengan demikian perlunya mengenali sejak awal faktor resiko yang terdapat pada lansia guna mencegah terjadinya jatuh pada lansia.

Tujuan: Mengetahui korelasi antara penyakit kardio­vaskular dengan kejadian jatuh pada lansia yang datang ke UGD RSUP Sanglah

Metodologi: Penelitian dilakukan dengan metode retrospektif observasional analitik pada pasien lansia (usia �60 tahun) pada data kunjungan Unit Rawat Darurat RSUP Sanglah pada periode November 2014 sampai dengan April

149

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

2015. Setelah mendapatkan profile umum dari pasien yang datang dibagi berdasarkan diagnosis dan sindrom geriatric yang muncul. Data dikumpulkan dan diolah dengan SPSS,

dilakukan uji normalitas data dengan uji Kolmogorov Srnimov didapatkan hasil data tidak berdistribusi normal, dilanjutkan dengan analisa menggunakan analisa bivariate metode Spearman untuk menilai korelasi antara dua variable.

Hasil: Sampel berjurnlah 80 pasien, yang diambil dari data

retrospektif rekam medis kunjungan pasien geriatri ke unit gawat darurat Rumah Sakit Sanglah. Dari sampel tersebut, terdapat 33 pasien ( 41.2 % ) merniliki masalah kardiovaskular dengan karakteristik sampel pasien ACS 7.5%, CHF 7.5%, HHD 22.5%, Hipertensi 3.8% . Dari 33 pasien tersebut, 19 pasien mengalarni kejadian jatuh. Kemudian dilakukan analisa

untuk menilai adanya korelasi antara penyakit kardiovaskular dengan kejadian jatuh maka didapat hasil adanya korelasi yang bermakna (p 0.037).

Kesimpulan: Didapatkan adanya korelasi yang bermakna antara penyakit kardiovaskular dengan kejadian jatuh pada lansia yang datang ke UGO RSUP Sanglah

Kata kunci: Penyakit kardiovaskular, pasien lansia, kejadian jatuh

150

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Laporan Kasus

Pelajaran Dari Kematian Pasien BPSD

Vera', Ku rnia A**, Supriadi J .***

*Bagian l lmu Penyakit Dalam U niversitas Kristen Maranatha

Bandung

**Bagian Psi kiatri U niversitas Kristen Maranatha

Ba ndung

***Fakultas Kedokteran U niversitas Kristen Maranatha

Ba ndung

Behavioural and psychological symptoms of dementia (BPSD) sering menyebabkan keluarga stress dan frustrasi. Pendekatan nonfarmakologis harus dicoba terlebih dahulu untuk pengobatan BPSD, karena terapi farmakologis berhubungan dengan angka kematian yang tinggi. Wanita

75 tahun dengan BPSD dalam pengobatan datang ke Rumah Sakit Immanuel dengan penurunan kesadaran dan sepsis karena pneumonia. Walaupun pengobatan yang agresif telah dilakukan, pasien meninggal lima hari kemudian. Pengelolaan BPSD berfokus pada bagaimana dokter mempertimbangkan manfaat dan risiko terapi farmakologis. Kerja sama yang baik antara ahli geriatri, psikiater, dan keluarga pasien diperlukan untuk mengelola pasien secara efektif dan aman.

Kata kunci: BPSD, pneumonia, farmakologis Prevalence, Incidence & Underlying Disease

151

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Prevalence, Incidence & Underlying Disease

of Hyponatremia In Elderly Patients

at UKI General Hospital Jakarta

Romaida Marbun, H i ldebra nd Hanoch Victor, Welly Saluton­

dok, Donnie Lu mban Gaol, Nolly Rantung, Eko Priambodo

Departemen Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran U niversitas

Kristen Indonesia/

Rumah Sakit Umum U niversitas Kristen I ndonesia, Jaka rta,

I ndonesia

Latar Belakang: Hiponatremia adalah masalah umum yang sering dijumpai baik di rawat inap dan rawat jalan pada

pasien-pasien geriatri. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit terjadi lebih berat dan lebih sulit untuk dikelola pada orang tua dibandingkan pada pasien yang lebih muda. Peningkatan risiko terjadinya hiponatremia pada orang tua dapat dikaitkan dengan perubahan fisiologis yang berhubungan dengan penuaan, proses penyakit yang lebih sering ditemukan pada orang tua, dan peningkatan jumlah obat yang diresepkan untuk pasien yang lebih tua. Penelitian ini untuk mengetahui prevalensi, insiden dan etiologi hiponatremia pada pasien usia lanjut di Rumah Sakit Umum UKI.

Tujuan: Untuk mengetahui prevalensi, insiden, dan

etiologi hiponatremia pada pasien-pasien geriatri dari Januari samapai Maret 2015 di Rumah Sakit Umum U:KI.

Metode: Studi prospektif observasional yang fokus pada orang dewasa berusia � 61 tahun yang dirawat di rumah sakit umum UKI antara 1 Januari dan 31 Maret 2015. Penelitian ini melaporkan prevalensi hiponatremia pada saat masuk perawatan dan kejadian hiponatremia yang berkembang/ terjadi selama perawatan di rumah sakit. Juga dilaporkan jenis kelamin terbanyak untuk kasus hiponatremia dan jenis-jenis hiponatremianya. Etiologi kasus hiponatremia ditetapkan

152

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

oleh konsensus panel ahli dengan rnenggunakan data yang dikurnpulkan setiap hari.

Basil: Sejak awal Januari sarnpai akhir Maret 2015, terdapat 35 kasus, dimana presentasi wanita 65.7%, lebih tinggi dibandingkan pria. Prevalensi kasus hiponatrernia ketika awal dirawat yaitu 54.3% dan 45.7% adalah kasus hiponatrernia yang diternukan terjadi selarna perawatan. Jenis hiponatrernia hipovolernia didapatkan paling banyak sebesar 80% . Sebanyak 73% kasus hiponatrernia dengan etiologi yang beragarn. Tiga penyakit terbanyak yang rnendasari terjadinya hiponatrernia, yaitu infeksi sebesar31 .4 %, disusul diabetes 25.7%, dan intake sulit 17.2%.

Kesimpulan: Prevalensi kasus hiponatrernia banyak diternukan pada pasien-pasien geriatri sejak awal perawatan, sebesar 54.3% kasus. Infeksi, Diabetes dan Intake Sulit adalah penyakit terbanyak yang rnendasari kejadian hiponatrernia, bukan Gastroenteritis.

Kata kunci: Pasien Geriatri, Hiponatrernia, Rurnah sakit Urnurn UKI

153

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan dan

Waktu Tempuh ke Puskesmas dengan

Kepatuhan Berobat Pasien Hipertensi

di Poli Lansia Puskesmas Ramah Lansia

Kecamatan Cengkareng pada Bulan Maret 20 1 5

Andriani , Blud Puskesmas Kecamatan Cengkareng

Abstrak

Pendahuluan: Menurut data penduduk sasaran Program Pembangunan KesehatanTahun 2011-2014 Pusdatin Kemenkes RI 2011,di Kecamatan Cengkareng j umlah lansia pad atahun 2014 sebanyak 23.715 jiwa dari 542.122 penduduk Cengkareng. Diantara penduduk lansia tersebut terdapat 234 lansia penderita hipertensi yang berkunjung ke Puskesmas se Kecamatan Cengkareng dan 169 diantaranya berobat di Puskesmas Kecamatan Cengkareng (Data register puskesmas Cengkareng Desember 2014) . Karena Puskesmas Kecamatan Cengkareng adalah satu satunya puskesmas yang ramah lansia di Kecamatan Cengkareng maka sebagian besar lansia hipertensi tersebut berobat ke Puskesmas Kecamatan Cengkareng (Laporan Tahunan Puskesmas Kecamatan Cengkareng). Berdasarkan data register kartu kendali berobat, di Puskesmas Kecamatan Cengkareng kepatuhan berobat pada penyakit hipertensi di poli lansia masih dibawah 60% . Pasien biasanya berhenti berobat karena tubuhnya merasa sedikit membaik, sehingga diperlukan kepatuhan pasien yang menjalani pengobatan hipertensi agar didapatkan kualitas hid up yang lebih baik. Sedangkan faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam berobat antara lain: kemudahan menuju fasilitas kesehatan, tingkat pengetahuan pasien, tingkat pendidikan, tingkatpenghasilan, usiapasien, tersedianya asuransi kesehatan yang membayar biaya pengobatan

154

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

(Mutrnainah, 2010). Kepatuhan minum obat pada penderita hipertensi sangat penting karena dengan minum obat secara teratur dapat mengontrol tekanan darah. Sehingga dalam jangka panjang risiko kerusakan organ organ penting tubuh seperti jantung, ginjal, otak dapat dikurangi. Menurut laporan WHO, pada tahun 2003, kepatuhan rata rata pasien pada terapi jangka panjang terhadap penyakit kronis di negara maju hanya sebesar 50 %, sedangkan di negara berkembang bahkan lebih rendah (Mutrnainah, 2010) . Berdasarkan permasalahan diatas, penulis ingin mengetahui faktor yang mempengaruhi kapatuhan pasien hipertensi di poli lansia Puskesmas Kecamatan Cengkareng. Peneliotian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan hipertensi serta waktu tempuh pasien dari rumah ke Puskesmas Kecamatan Cengkareng dengan kepatuhan pasien dalam pengobatan hipertensi di Poli Lansia Puskesmas Kecamatan Cengkareng, sehingga bisa dijadikan pertimbangan dalam pengambilan

kebijakan di dalam Puskesmas Cengkareng. Metodologi: Penelitian ini menggunakan metode penelitian

cross sectional karena pada penelitian ini variabel -variabel yang termasuk faktor resiko dan variabel variabel yang termasuk efek diobservasi sekaligus pada waktu yang sama. Dan untuk lebih lengkapnya penelitian ini menggunakan penelitian cross sectional analitik yaitu melakukan analisis hubungan antar variable dengan pengujian hipotesis (Susila&Suyanto, 2014). Penelitian dilakukan pada tanggal 1 Maret 2015 sampai dengan 31 Maret 2015. Penelitian ini dilaksanakan di Poli Lansia Puskesmas Kecamatan Cengkareng, dimana puskesmas ini merupakan Puskesmas yang ramah lansia. Teknik pengambilan data dengan pemberiari kuesioner pada responden. Responden penelitian adalah pasien lansia dengan hipertensi yang berkunjung ke Puskesmas Kecamatan Cengkareng di Bulan Maret 2015 dan bersedia mengisi kuesioner. Berdasarkan tipe data maka analisis data menggunakan uji statistic koefisien korelasi Eta (17), karena Eta dapat digunakan untuk menguji

155

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

signifikan atau tidaknya hubungan antara variable nominal dengan variable interval ataurasio (Susila&Suyanto, 2014).

Hasil: Dari hasil uji korelasi Eta pada pengetahuan terhadap kepatuhan berobat pasien hipertensi di poli lansia didapatkan nilai koefisien korelasi Eta .848662 . Jika dilihat dari tabel pedoman interpretasi koefisien korelasi maka tingkat hubungan pengetahuan hipertensi dengan kepatuhan berobat pada pasien hipertensi di poli lansia Puskesmas Kecamatan Cengkareng sangat kuat (interval koefisen 0,80-1,000). Dari hasil uji signifikan didapatkan hasil F hitung sebesar 105.5479. Dengan d kpembilang (Vl) =1 dan dk penyebut (V2)= 41 serta taraf significant 5 % didapatkan F-tabel sebesar 4,08 Kemudian hasil F hi tung dibandingkan dengan F-tabel sebesar 4,08. Jadi F hitung (105.5479) > F table (4,08) dengan demikian hubungan antara tingkat pengetahuan pasien hipertensi di poli lansia dengan kepatuhan berobat adalah significant. Dari Uji Korelasi pada waktu tempuh pasien hipertensi dari rumah ke Puskesmas

Kecamatan Cengkareng di poli lansia di dapatkan Besamya koefisien korelasi Eta sebesar 0.0023637, bila dihubungkan dengan tabel pedoman interpretasi korelasi maka tingkat

hubungan waktu tempuh dari rumah pasien ke Puskesmas Kecamatan Cengkareng adalah sangat rendah. Dari hasil uji signifikan didapatkan hasil F hitung sebesar 0.000229613. Dengan dk pembilang (Vl) =l dan dk penyebut (V2)= 41 serta taraf significant 5 % didapatkan F-tabel sebesar 4,08. Kemudian hasil F hitung dibandingkan dengan F-tabel. Jadi F hitung (0.0023637) < F table (4,08) dengan demikian hubungan antara waktu tempuh pasien dari rumah ke Puskesmas Kecamatan Cengkareng adalah tidak signifikan.

Kesimpulan: Dari hasil penelitian dapat ditarik: Ada hubungan yang sangat kuat dan signifikant antara tingkat pengetahuan pada pasien hipertensi dengan kepatuhan berobat di poli lansia Puskesmas Kecamatan Cengkareng pada bulan Maret 2015. Tidak Ada hubungan antara waktu tempuh dari rumah pasien ke Puskesmas Kecamatan Cengkareng dengan

156

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

kepatuhan berobat pasen hipertensi di poli Lansia Puskesmas Kecamatan Cengkareng pada bulan Maret 2015.

157

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Hubungan Antara lndeks Massa Tubuh dan

Rasio Lingkar Pinggang dan Panggul dengan

Kekuatan Genggaman Tangan Pada Lansia di

Kecamatan Dau Kabupaten Malang

Retti N urlai l i , Sr i Sunarti, SpPD-KGer

I nterna l Medicine, Brawij jaya U niversity-Saiful Anwar

Hospita l, Malang-l ndonesia

Latar belakang: Massa dan kekuatan otot berkurang

seiring bertambahnya usia. Test kekuatan genggaman tangan merupakan tes altematif yang akurat dan sederhana untuk mengukur kekuatan otot dan sebagai alat untuk memprediksi angka mortalitas dan morbiditas pada pasien lansia. Faktor­faktor yang berhubungan dengan kekuatan otot termasuk status nutrisi, makronutrien yang dikonsumsi, aktivitas fisik dan pola tidur. Tujuan Penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kekuatan genggaman tangan pada lansia seperti status nutrisi yang bisa diukur melalui Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Rasio Ukuran Pinggang dan Panggul.

Metode: Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode potong lintang. Subyek pada penelitian ini 40 subjek dengan usia 64-78 tahun, dengan prosentase laki-laki

(37.5%) dan wanita(62.5% )yang berasal dari posyandu lansia di Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kekuatan genggaman tangan diukur dengan hand grip dynamometer.

Alat ukur manual digunakan untuk mengukur tinggi badan dan lingkar pinggang dan panggul, yang akan diukur dalam rasio lingkar pinggang dan panggul, serta timbangan digital untuk mengukur berat badan. Hasil: Hubungan antara IMT dan rasio lingkar pinggang dan panggul dianalisa menggunakan Pearson's correlation coefficient. Semua analisis menggunakan SPSS 16.1 dan nilai p<0.05 yang dianggap signifikan. Hasil.

158

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

Sebagian besar dari subyek penelitian memiliki kekautan

genggaman tangan yang rendah, dengan nilai rata-rata 20.5375kg. Nilai rata-rata IMT pada subyek penelitian adalah overweight (25.6234kg/ m2) . Terdapat hubungan yang signifikan dengan korelasi negatif antara kekuatan genggaman tangan dengan IMT (p<0.05, r= -0.535). dan rasio lingkar pinggang dan panggul (p<0.05, r= -0.602).

Kata Kunci: Kekuatan genggaman tangan, Indeks Massa Tubuh (IMT), rasio lingkar pinggang dan panggul

159

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM" for internal-private use, not for commercial purpose