18

Click here to load reader

Makala h 16 Rina

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makala h 16 Rina

Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 281

PERKEMBANGAN DIPLOMASI LUAR NEGERI JEPANG DI ASEAN PASCA

PERANG DUNIA II

(Studi Tentang Sejarah Diplomasi Jepang Dari 1970 sampai 1997)

Rina Sukmara dan Yusy Widarahesty

Dosen Muhammadiyah Prof.Dr Hamka dan Dosen Universitas Al Azhar Indonesia

ABSTRACT

This research specifically conducted by Japan’s effort to take place in international

relation specially with South East Asia regions. This research includes qualitative

research with descriptive analysis. It also used diplomacy Theory through economy and

culture. The target of this research are to show the development of Japan’s foreign

policy in ASEAN in post war era from 1970s until 1997s . A study about Japan long

history with South Esat Asia relations can be seen by three basic orientations in

Japanese foreign policy toward the region: first, Japanese policy toward South East

Asia until the mid-1960s, with its emphasis on Japan’s economic diplomacy; second, a

policy shift from economic diplomacy to regional development in South Esat Asia; third

Japan try to use cultural dilomacy as soft power diplomacy in the way to promotes

Japan’s relations with the South Esat Asia regions.

Key words: Development, Diplomacy, Foreign Policy, Japan, ASEAN

PENDAHULUAN

K.J.Holsti dalam Internasional politics (1984:82) menjelaskan bahwa diplomasi adalah

usaha suatu negara-bangsa untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya di kalangan

masyarakat internasional. Semenjak berakhirnya masa feodal di Jepang, perubahan dan

perkembangan dari karakter politik luar negeri Jepang mengalami beberapa perkembangan

yang tujuannya tidak terlepas dari kepentingan yang ingin dicapai dari kelompok

pemerintah Jepang pada khususnya dan untuk memperoleh kesejahteraan rakyat pada

umumnya.

Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, berbagai upaya dilakukan oleh

pemerintah Jepang untuk merubah dan menentukan arah diplomasinya di lingkungan

internasional. sehingga dalam pelaksanaan kebijakan luar negerinya Jepang seringkali

mengalami berbagai macam perubahan dan perkembangan dalam menentukan karakter

diplomasinya agar sesuai dengan perkembangan zaman di lingkungan internasional. Secara

Page 2: Makala h 16 Rina

Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 282

umum arah kebijakan luar negeri yang berubah tersebut tentunya merupakan pengaruh dari

sasaran yang ingin dicapai dari kebijakan dalam negeri Jepang sendiri.

Karena dalam sejarah dunia, Jepang pernah dikenal sebagai salah satu negara

dengan kekuatan militer yang kuat di masa perang Dunia berlangsung, maka bukanlah tugas

yang mudah bagi Jepang untuk merubah citra baru tersebut kepada masyarakat

internasional. Berbagai kecurigaan dan rasa takut dari negara-negara bekas jajahan Jepang

akan kembalinya Jepang bertindak seperti pada masa kejayaan militerismenya di masa

perangpun merupakan faktor penting sebagai penentu keberhasilan diplomasi Jepang di

lingkungan internasional.

Akhirnya berdasarkan perjalanan sejarah, perkembangan diplomasi Jepang

mengalami pasang surut dan ketidakstabilan yang dipengaruhi baik dari faktor internal

Jepang sendiri maupun faktor eksternal. Seperti pada saat memasuki tahun 1970-an ketika

Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang begitu dahsyat. Pada saat itu Jepang secara

cukup konsisten melakukan diplomasi ekonomi dengan cara menjadi mitra dagang dengan

negara-negara maju maupun negara-negara berkembang. Namun kebijakan Jepang ini

dianggap hanya untuk mementingkan kemakmuran Jepang saja dengan mengabaikan

kepentingan negara-negara berkembang yang menjadi mitra dagang Jepang pada saat itu.

Akhirnya pada saat itu Jepang dituduh sebagai negara ‚„„animal economic„„ yaitu hanya

memikirkan bagaimana cara memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, sampai

puncaknya pada tahun 1973-1974 Jepang dilanda protes besar-besaran di beberapa negara

seperti Korea Selatan, Thailand dan juga termasuk diantaranya Indonesia. Di Indonesia

sendiri peristiwa tersebut dikenal dengan ‚„„peristiwa malari„„yaitu malapetaka lima belas

januari. Untuk itu kemudian para elit pemerintah Jepang berpikir keras untuk merubah

haluan kebijakan luar negerinya agar dapat lebih diterima kembali dengan negara-negara di

lingkungan internasional.

Dengan adanya perubahan dan berbagai tantangan yang terjadi baik di dalam negeri

maupun di lingkungan internasional, maka sangat menarik untuk melihat bagaimana upaya

yang dilakukan Jepang dalam menjalankan diplomasi luar negerinya setelah berakhirnya

Perang Dunia II. Penlitian ini sendiri bertujuan untuk menjelaskan perkembangan karakter

diplomasi luar negeri Jepang pasca Perang Dunia II yaitu dari periode 1970 sampai tahun

1997. Di samping itu penelitian ini juga dimaksudkan untuk menganalisa berbagai

perubahan yang terjadi dalam karakter diplomasi Jepang tersebut.

Page 3: Makala h 16 Rina

Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 283

KAJIAN PUSTAKA

1 Sejarah Diplomasi Jepang

Ozawa Ichiro dalam (1993: 113-114), menyatakan bahwa setelah Perang Dunia II

Jepang menetapkan Lima pokok garis besar politik luar negerinya sebagai upaya

menstabilkan hubungan internasional yang berlangsung antar negara-negara di seluruh

kawasan internasional. Lima pokok garis besar tersebut adalah;

1. Memperhatikan kepentingan nasionalnya, yaitu menjadikan tujuan dasar dari

politik luar negeri Jepang adalah untuk kepentingan dalam negeri Jepang sendiri.

2. Partisipasi global, artinya sebagai negara maju Jepang memiliki tanggung jawab

untuk ikut serta membangun kerjasama internasional yang tidak sebatas pada

permasalahan ekonomi saja tetapi juga politik.

3. Tujuan-tujuan diplomatik, yaitu menjadikan Jepang sebagai negara yang kuat yang

memiliki tujuan diplomasi yang mapan dengan cara mengembangkan kemampuan

strategi untuk mencapainya.

4. Aliansi Amerika Serikat-Jepang, yaitu Jepang harus kembali mempertahankan

hubungannya dengan AS sebagai tonggak untuk mewujudkan keamanan dan

kemakmuran negara Jepang.

5. Kawasan Asia-Pasifik, yaitu Jepang harus mengakui arti penting kawasan Asia

Pasifik. Di mana hal ini merupakan bentuk diplomasi “pilar kembar” Jepang

sebagai anggota dalam komunitas Asia-Pasifik dan juga kelompok negara-negara

demokrasi maju.

Menurut Eiji Oguma professor dari Universitas Keio Japan (Contemporary Japan from

the Perspective of Post-War Japanese History, 2008; 1), menjelaskan bahwa Jepang setelah perang

Dunia II mengalami tiga perkembangan periode. Yaitu periode setelah perang Dunia II

pertama (First Post War) dari tahun 1945 sampai tahun 1954, dimana keadaan ekonomi

Jepang pada saat ini mengalami keterpurukan akibat kalah perang yang kondisinya jauh

lebih buruk dari keadaan sebelumnya. Kehidupan pertanian, pekerja, dan populasi telah

mengalami perubahan sejak era Meiji dimulai. Dan pada tahun 1954 jumlah pekerja dari

lulusan Universitas ternama Jepang yaitu seperti Kyoto Uiversity misalnya hanya sebanyak

13% saja. Artinya pada masa ini Jepang sedang tumbuh menjadi negara berkambang di Asia.

Periode yang ke dua yaitu periode setelah perang Dunia II kedua (Second Post War),

yaitu dari tahun 1955 sampai tahun 1991. pada periode ini Jepang dengan sangat cepat

Page 4: Makala h 16 Rina

Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 284

mempromosikan pertumbuhan ekonomi baik untuk kebijakan dalam dan luar negerinya.

Hal ini ditunjukan dengan bergabungnya Jepang menjadi anggota OECD (Organization for

Economic Cooperation and Development) pada tahun 1963, dan Jepang masuknya

kedalam tiga besar negara yang memperoleh GNP (Gross National Product) tertinggi. Pada

masa ini Jepang mengalami perubahan secara drastis dari negara agrikultur menjadi negara

industri, dan dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan. Oguma menjelaskan

bahwa masyarakat Kota Jepang pada periode 1945 hanya berkisar 28%, tetapi pada tahun

1970-an populasi dari masyarakat kota Jepang meningkat menjadi 72%.

Kemudian periode yang ketiga (Third Post War) yaitu dari tahun 1992 sampai

sekarang. Dimana pertumbuhan ekonomi hanya meningkat sekitar 2% saja, dan jumlah

pengangguran meningkat dari 5% menjadi 10%. Sistem jaminan pekerja seumur hidup

Jepang mulai hancur, dan sebagai gantinya pekerja paruh waktu meningkat tajam. Pada

tahun 1965 sampai 1980-an 86% kehidupan masyarakat Jepang rata-rata berada di kelas

menengah, namun saat ini jurang antara kaya dan miskin meningkat

Terkait perubahan kondisi dalam negeri Jepang setelah perang Dunia II yang

dijelaskan di atas tersebut, tentunya akan berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri

Jepang di lingkungan internasional. Kondisi tersebutlah yang menjadi faktor penentu dari

arah kebijakan diplomasi Jepang. William R. Nester. (1992:47), menggambarkan bentuk dari

gaya diplomasi Jepang adalah sebagai berikut.

“The Japanese approach to diplomatic negotiation is dominated by a philosophy of risk

minimalization and confrontation avoidance. And so does in Japanese diplomacy its economic

power is a strategic instrument that must give maximum benefit to Japan interests.”

Diplomasi ekonomi yang dijalankan Jepang semenjak tahun 1980-an merupakan

bentuk usaha pemerintahan Jepang dalam upaya membangkitkan negaranya yang kalah

akibat perang. Jepang meyakini bahwa dalam pencapaian perolehan-perolehan ekonomi

telah memainkan peranan yang penting dalam menjalankan diplomasinya di dunia

internasional. Bagi Jepang memperkuat negaranya dengan meningkatkan kemakmuran

ekonomi akan lebih mempermudah Jepang dalam melakukan proses tawar menawar dalam

upaya memenangkan diplomasi di lingkungan internasional.

Diplomasi ekonomi telah dimulai Jepang pada masa 1980-an sampai 1990, di mana

Jepang mulai mengkonsentrasikan pemberian bantuan untuk program pengembangan di

Page 5: Makala h 16 Rina

Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 285

Asia. Adapun beberapa tujuan dari diplomasi ekonomi yang dilakukan Jepang yaitu sebagai:

1

1) Policy Articulation; yaitu suatu bentuk artikulasi kebijakan yang bertindak sebagai

saluran untuk mengartikulasikan dan menerapkan kebijakan nasional. Hal ini

untuk mengartikulasikan, kebijakan Jepang yang mana telah di mulai untuk

dirumuskan dari pertengahan tahun 1980-an.

2) Legitimization of controversial policies; Untuk legitimasi kebijakan kontroversial yang

terjadi di dalam negeri Jepang, Yaitu kebijakan Jepang dalam upaya menengahi

resiko diplomatik dengan menyalurkan kebijakan sampai organisasi multilateral,

yang dijadikan suatu siasat bermanfaat untuk kedua-duanya baik secara

internasional dan secara domestik.

3) Fulfillment of international responsibilities as a nonmilitary; Untuk pemenuhan

tanggung-jawab internasional Jepang melalui gerakan nonmiliter, kebijakan ini

menggunakan perasaan cinta damai yang kuat di dalam semangat Jepang dan juga

sebagai upaya menghapus ketakutan negara-negara lain terhadap tumbuhnya

peran militer Jepang di daerah kawasan dan sebagai upaya politik global.

4) Enhancement of inadequate national resources; karena perolehan sumber daya nasional

Jepang yang tidak cukup. Jepang mungkin adalah negara kreditur dunia paling

besar, tetapi itu saja masih belum cukup, oleh karenanya Jepang harus berjuang

keras untuk mengatasi defisit anggaran yang besar.

5) Compensation for diplomatic and policymaking shortcomings; Untuk menjalankan

diplomasi strategis politik Jepang sehabis perang, dan memperkecil gap yang

besar dalam hubungannya dengan negara-negara lain.

6) Globalization of diplomacy without sacrificing the priority; untuk menjalankan globalisasi

diplomasi tanpa mengorbankan prioritas. Jepang dapat terlibat dalam beban

global yang dikontribusikannya sampai kepada bank dunia dan bank

pembangunan regional pada waktu yang bersamaan, dan juga tidak meninggalkan

perhatiaannya pada Asia.

7) Greater independence within an American policy framework; untuk memperoleh

kemerdekaan yang lebih besar di dalam suatu Kerangka Kebijakan Amerika.

1 Dennis T. Yasutomo, The New Multilateralism in Japan’s Foreign Policy, St. Martin Press, New York, 1995 hal. 62-63

Page 6: Makala h 16 Rina

Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 286

Jepang harus meninggalkan ketergantungan tradisionalnya pada Amerika Serikat,

yaitu dengan membentuk suatu kepercayaan diri nasional yang baru.

8) Enhancement of national prestige. Untuk Meningkatkan gengsi nasional. Ini adalah

suatu inti dari sasaran kebijakan Jepang dalam semua organisasi internasional,

dengan meningkatkan penilaian yang baik secara objektif di mata seluruh

organisasi internasional, sehingga status internasional Jepang meningkat dan akan

memperkuat posisinya di seluruh organisasi internasional.

Takeshi Inoguchi dalam bukunya Japan’s International Relations (1991: 18)

mengatakan bahwa, setelah Perang Dunia ke-II berakhir, Jepang telah mengalami beberapa

tahap perkembangan pada karakter politik luar negerinya, yaitu terdiri dari empat tahap:

1. Leaders, yaitu dimana Jepang menjalankan kebijakan luar negerinya dengan

berusaha menjadi pemimpin di kawasan Asia, yang bertujuan untuk menjadi

pemimpin dunia

2. Dependency, yaitu masa pendudukan Jepang oleh Amerika Serikat pasca

kekalahannya pada Perang Dunia ke-II yang menghasilkan beberapa kerjasama

dengan AS, sehingga Jepang menjalankan diplomasi aliansi dengan AS khususnya

dalam kemiliteran.

3. Free rider’s, yaitu masa dimana Jepang mulai menjalankan kebijakannya dengan

memberikan perhatian penuh terhadap upaya peningkatan ekonominya untuk

memperbaiki keadaan negaranya yang kalah pada Perang Dunia II, dan Jepang

berupaya seminimal mungkin menghindari resiko yang mengundang pertentangan

baik dari dalam maupun dalam hubungan luar negerinya,

4. Supporter, yaitu dimana Jepang mulai memainkan peranan yang penting dalam

hubungan multilateralnya dan mulai ikut mendukung segala upaya yang dilakukan

PBB, untuk memperkuat perannya di mata internasional.

2 Budaya Diplomasi Jepang

Menurut Micheal Blaker2 Jepang memiliki dua karakter dalam upaya penyelesaian

konflik yang juga mempengaruhi karakter diplomasi Jepang dari dahulu sampai sekarang

yaitu Harmonious Cooperation 和 dan the warrior Ethic 武士道. Blaker juga memaparkan latar

2 Micheal Blaker , Japanese International Negotiating Style, “Who Wins: Bargaining Power and Success”, Columbia University Press, New York, 1977, hal 4

Page 7: Makala h 16 Rina

Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 287

belakang budaya yang mempengaruhi gaya-gaya diplomasi Jepang dalam dunia internasional

adalah sebagai berikut:

Pengaruh budaya domestik yaitu terdiri dari:

1. Harmonies Cooperation. 和 Yaitu adanya sebuah sistem harmoni dengan konsep

“gimu” yaitu kewajiban yang dilakukan karena adanya “on” yang diterima oleh

individu atau masyarakat.

2. The warrior ethic. 武士道 Yaitu adanya etika militer Jepang atau “bushido”; yang

membangun prinsip kesetiaan yang berdasarkan pada sistem feodalisme.

Dalam mengamati pola diplomasi suatu negara tidak terlepas dari latarbelakang

budaya dan sejarah yang dimiliki oleh negara tersebut. Hal ini seperti yang dikatakan oleh

Sawyer dan Guetzkow (1965:18), yang mengatakan bahwa, Perbedaan budaya

menghasilkan Gaya negosiasi yang berbeda.

Robert Jackson dan Sorensen (2005; 37), mengatakan bahwa, “sistem negara

merupakan lambang historis, yang dibentuk oleh masyarakat setempat. Sistem dan nilai-

nilai yang dimiliki oleh suatu negara dalam menjalankan hubungannya dengan negara lain

tidak terlepas dari budaya dan sejarah yang dimiliki oleh negara tersebut.”

Michael Blaker (1977:4-8) dalam bukunya Japanese International Negotiating Style

memaparkan beberapa Gaya diplomasi Jepang sebagai berikut yaitu:

1. Jiyuu kodo (Freedom of action). Yaitu hasrat Jepang dengan kekuatannya untuk

menentukan nasibnya sendiri; diplomasi ini merupakan bentuk diplomasi Jepang

yang ingin menentukan kebijakan pemerintahannya secara independen dan

terlepas dari segala bentuk campur tangan asing.

2. Happo bijinshugi (Looking pretty for everyone). Yaitu upaya untuk terlihat baik atau

indah untuk semua orang; artinya Jepang sangat mempertimbangkan apa yang

menjadi opini publik.

3. Enryo Gaiko (Restrained diplomacy). Yaitu diplomasi yang dikendalikan; dimana ada

kecenderungan pemerintahan Jepang untuk selalu mengendalikan setiap kebijakan

dalam pemerintahannya sehingga cenderung otoriter.

4. Kiken kaihi (Risk avoidance), diplomasi menghindari resiko; yaitu dalam mengambil

kebijakan Jepang selalu mempertimbangkan dampak dan keuntungannya bagi

Jepang

Page 8: Makala h 16 Rina

Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 288

Blaker juga menyebutkan Lima norma-norma yang diberlakukan Jepang dalam

bernegosiasi yaitu: 3

1 Overcoming domestic opposition; yaitu suatu upaya untuk menanggulangi oposisi

domestik (pertentangan dalam negeri), untuk memaksimalkan otonomi dan

memperkecil resiko, setiap Pemerintah Jepang merasa mengalahkan hambatan dari

oposisi asing dan dalam negeri merupakan hal yang penting.

Hal ini dapat terlihat pada pernyataan Kementrian Luar Negeri Jepang Mutsu

Munemitsu yang menyatakan,

“No matter how much we are opposed at home, we are determined to carry through

unhesitantly with resolve, believing as we do in our government's determination and

our true national interest” 4

2. Dispelling western resistance; yaitu suatu bentuk ketidakpercayaan Jepang terhadap

campur tangan Barat, dan ini merupakan suatu bentuk sikap Jepang yang harus

selalu bersikap waspada dan curiga tehadap campur tangan asing.

3. Secrecy; yaitu norma kerahasiaan yang selalu dipegang teguh Jepang dalam

melakukan negosiasi, hal ini dipercayai Jepang sebagai hal yang paling krusial

dalam menentukan keberhasilan negosiasi Jepang

4. Careful deliberation; deliberasi yang hati-hati, artinya Jepang harus mampu

mengatasi kelemahan nasional yang menguasai Jepang, dan mengajak Jepang

untuk lebih waspada, hati-hati dalam melakukan negosiasi untuk kebaikan Jepang

5. Situational adaptation; yaitu merupakan bentuk diplomasi prasyarat yang harus

dilakukan Jepang dalam menjalankan kebijakannya yaitu haruslah dapat

menyesuaikan diri terhadap situasi baru.

Hook, Gilson, Hughes, dan Dobson Dalam Japan‟s International Relations (2005:

25) Menyebutkan beberapa macam Gaya diplomasii Jepang sebagai berikut:

1. Emperor diplomacy (Diplomasi Kaisar, yaitu melalui ajaran nasionalisme dan

kesetiaan untuk mengabdi pada Kaisar dan negara)

3 Michael Blaker, ibid, hal.14-21 4Micheal Blaker, Ibid, hal. 17

Page 9: Makala h 16 Rina

Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 289

2. Resource diplomacy (Diplomasi sumber daya yaitu melalui ekonomi, teknologi,

informasi dan segala sesuatu yang menunjang peningkatan kualitas sumber daya

negara)

3. Gift bearing diplomacy (Diplomasi hadiah, yaitu pemberian penghargaan terhadap

keberhasilan dan pengabdian yang telah dilakukan seseorang)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Diplomasi Jepang

Sebagai negara dengan sumber alam yang minim dan kondisi alam yang rawan

bencana, membuat Jepang harus mencari alternatif lain agar dapat bertahan sebagai sebuah

bangsa yang utuh. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri kebutuhan Jepang terhadap

negara-negara ASEAN akan sumber alam dan sebagai target market ekonomi semakin kuat.

Walaupun hubungan antara Jepang dengan negara-negara ASEAN sudah berlangsung pada

February tahun 1974, tetapi pada prakteknya hubungan tersebut baru dapat terselenggara

dengan baik pada tahun 1977 yaitu pada saat forum Jepang dan ASEAN diselenggarakan.

Pada mulanya Jepang berusaha untuk mencari tempat agar diterima oleh masyarakat

internasional segera setelah Jepang mendapatkan kemerdekaan negaranya pada tahun 1952.

dengan susah payah Jepang mencari cara agar dapat kembali diterima dalam masyarakat

internasional. Barulah kemudian Pada tahun 1970 hasil kerja keras selama 3 dekade melalui

diplomasi ekonomi yang dikenal dengan ”doktrin Yoshida”, menempatkan Jepang sebagai

negara dengan perekonomian terbesar kedua setelah Amerika Serikat.

Keberhasilan ”doktrin Yoshida” yang memformulasikan diplomasi ekonomi

menjadi awal yang baik dalam hubungan Jepang dan negara-negara ASEAN. Kebijakan ini

pun dilanjutkan dengan upaya pembayaran ganti rugi semasa perang kepada negara-negara

bekas jajahan Jepang dimasa perang berlangsung. Kerjasama ekonomi ini menghasilkan

kebergantungan yang sangat tinggi bagi negara-negara ASEAN terhadap peran industri

Jepang. Namun diplomasi ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah Jepang menjadi

senjata yang justru berbalik arah melawan Jepang, yang menuduh Jepang hanya memikirkan

kepentingannya sendiri sehingga Jepang dijuluki sebagai negara ”economic animal”.

Dengan demikian untuk dapat kembali menormalkan hubungan yang sudah dengan

susah payah dibina oleh Jepang dengan negara-negara ASEAN, maka tahun 1977

merupakan tahun penentu bagi Jepang dalam upaya memperbaiki hubungannya dengan

Page 10: Makala h 16 Rina

Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 290

negara-negara ASEAN. Untuk melanjutkan hubungannya dengan negara-negara ASEAN di

masa selanjutnya Jepang mengenal tiga doktrin sebagai kelanjutan dari doktrin Yoshida,

yaitu; doktrin fukuda (1977); doktrin Takashita (1987); doktrin Hashimoto (1997).

Berikut adalah beberapa kutipan dari pernyataan para Pemimpin Jepang mengenai

kebijakannya terhadap negara-negara ASEAN dikutip dari Sueo Sudo (2002;33);

”Today ASEAN is the focus of world attention as a group of most dynamic nations in the Asia

Pacific region. The key to this achievement has been the spirit of cooperation guiding ASEAN,

which I believe has its roots in the spiritual tradition of Asia that values harmony and consensus

in diversity, as an Asian sharing this tradition, I take a particular pride in the accomplishments

of ASEAN.”

(Noboru Takeshita, December 1987)

”My pledge is that the government and people of Japan will never be sceptical bystanders in regard

to ASEAN’s effort to achieve increased resilience and greater regional solidarity, but will always

be with you as good partners, walking hand in hand with ASEAN.”

(Takeo Fukuda, August 1997)

”Japan and ASEAN should address squarely their respective challanges, based upon the

preconditions of the US presence in Asia and China’s further constructive participation in the

international community. In that process, Japan and ASEAN should reform their cooperative

relations, which have so far placed great weight on the economic field, into broader and deeper ones

suitable for the new era.”

(Ryutaro Hashimoto, January 1997)

1.1 Diplomasi Jepang Pada Masa Fukuda (1977)

Pemilihan perdana menteri baru pada bulan Desember 1976, merupakan awal

baru dari diplomasi Jepang di kawasan Asia Tenggara. Sebagai pemimpin yang dikenal

sangat kuat dari kalangan partai LDP atau Liberal Democratic Party yaitu partai

mayoritas di Jepang, perdana menteri Takeo Fukuda merupakan perdana menteri

yang cukup dikenal memiliki diplomasi yang baik dikalangan negara-negara Asia

Tenggara. Hal tersebut ditandai dengan beberapa kebijakannya yang benyak

Page 11: Makala h 16 Rina

Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 291

berkonsentrasi untuk mempromosikan hubungan diplomasinya di kawasan Asia yang

dikenal dengan ”Asia-Centered Diplomacy”.

Kebijakan luar negeri Fukuda menekankan pada tiga prinsip dasar yaitu;

pertama, Jepang akan menjalankan pemerintahannya dengan menggunakan kekuatan

ekonomi tanpa kekuatan militer; kedua, Jepang harus bertanggung jawab dan ikut

ambil bagian untuk membantu negara-negara Asia dari kebergantungan ekonomi;

ketiga, Jepang harus ikut bertanggung jawab dalam upaya menyelesaikan krisis

ekonomi yang dihadapi dunia dan memiliki kemampuan untuk memperbaiki keadaan

ekonomi dengan menyelesaikan permasalahan dari Korea Selatan.5

Aspek penting lain yang dicanangkan oleh perdana menteri Fukuda

adalah ”budaya”. Fukuda memiliki tugas yang cukup berat untuk dapat kembali

membuktikan peranannya di kawasan Asia tenggara setelah masa perdana menteri

sebelumnya yaitu Yoshida Shigeru. Dengan berbagai perasaan curiga yang diarahkan

kepada Jepang akibat dari diplomasi ekonomi yang dicanangkan oleh perdana Menteri

sebelumnya akhirnya masih banyak meninggalkan perasaan curiga dari negara-negara

Asia terhadap kepentingan Jepang di kawasan Asia.

Untuk menjadikan kebijakan luar negeri dari Fukuda ini berjalan dengan

efektif, Fukuda perlu untuk memikirkan cara untuk memberitahukan kebijakan

tersebut dengan cara yang tepat dan waktu yang tepat. Keterlibatan Fukuda dengan

negara-negara Asia tenggara merupakan sesuatu yang penting, hal tersebut

dikarenakan pemimpin dari faksi partai LDP sebelumnya yaitu Nobusuke Kishi telah

membuka jalinan yang substansial dengan negara-negara Asia Tenggara melalui upaya

pembayaran pampasan Perang.

Semenjak tahun 1972 Fukuda sudah menyuarakan untuk menjalin hubungan

baru dengan negara Asia Tenggara melalui hubungan kebudayaan sebagai bentuk

perwujudan dari anti militernya Jepang. Dan perlunya menjalin hubungan dengan

membangun rasa saling percaya berdasarkan rasa kepercayaan dan pengertian yang

lebih baik lagi melalui kebudayaan.

Banyak kalangan yang mengusulkan untuk segera membentuk kebijakan luar

negeri Jepang menjadi sebuah doktrin, dilakukan dengan segera. Hal ini dikarenakan

5 Sueo Sudo, The International Relations of Japan and South East Asia (Forging A New Regionalisme), Routledge London, 2002, hal. 36

Page 12: Makala h 16 Rina

Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 292

para pembuat kebijakan melihat kurangnya minat dan ketertarikan dari negara-negara

Asia tenggara terhadap Jepang, yang diakibatkan dari sebuah peristiwa gerakan anti

Jepang pada tahun 1974. Dimana gerakan tersebut merupakan sebuah reaksi balik

dari diplomasi Jepang sendiri yang pada saat itu berkonsentrasi melalui penguatan

ekonomi atau yang dikenal dengan ”Strhengthening Economic Power”. Yang

mengakibatkan dijulukinya Jepang sebagai negara ”Economic Animal”. Faktor kedua

juga dikarenakan setelah berakhirnya perang Vietnam pada tahun 1975, orientasi dari

kebijakan luar negeri Jepang selalu mengikuti gaya dari kebijakan Amerika Serikat.

Dengan demikian para pembuat kebijakan di era Fukuda berinisiatif untuk menjalin

kembali hubungan dengan negara-negara ASEAN dengan diplomasi yang baru.

Dengan begitu lahirlah sebuah prinsip dasar dari kebijakan luar negeri Jepang

terhadap negara-negara ASEAN yang terdiri dari tiga prinsip yaitu; (1) Jepang

menolak kekuatan militer dan berjanji untuk ikut serta berkontribusi terhadap upaya

menjaga perdamaian di kawasan ASEAN, (2) Jepang akan berupaya melakukan yang

terbaik untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan rasa percaya diri

berdasarkan kepercayaan dari ”hati ke hati”, (3) Jepang akan menjadi partner yang

sejajar bagi negara-negara ASEAN dan bekerja sama secara positif berdasarkan rasa

saling percaya.6

Rasa percaya dari ”hati ke hati” yang coba diupayakan oleh Fukuda

diwujudkan melalui kebudayaan. Melalui pengenalan kebudayaan, Fukuda berharap

akan tercipta rasa saling percaya dan mengenal satu sama lain. Fukuda mengatakan

bahwa melalui promosi kebudayaan akan dapat mendorong kemajuan ekonomi. Hal

ini pun didukung oleh Tsutomu Sugiura Direktur Marubeni Research Intsitute yang

menyatakan;

”Japan is finding a new place in the world, and new benefits, through the worldwide

obession with its culture – especially pop culture.” (Washington Post Foreign Service,

2003: A01)

Melalui doktrin Fukuda tersebutlah Jepang dapat menjalin hubungan yang

lebih dekat lagi dengan negara-negara ASEAN dengan harapan rasa curiga yang

6 Ibid,, 36-37

Page 13: Makala h 16 Rina

Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 293

selama ini dikahawatirkan dikit demi sedikit dapat terhapus dan muncul rasa saling

percaya.Yoel Sano (Asia Times online, 2006), menulis

”One area in which Japan appears to be expanding its global influence is soft

power...during the 1990s, more and more Japanese films, cartoons, computer games,

manga (comics), fashion and food have been exported abroad. Major bookstores in the

West now have large sections devoted to manga, more Japanese novels have been

translated into English and more Western authors are writing novels about Japan. The

number of Japanese-style eateries in the West has risen substantially, to the point where

Japanese no longer staffs them.”

Joseph S. Nye, dosen ahli politik internasional dari Harvard yang menemukan

istilah ”Soft Power” di pertengahan tahun 1980-an membahas mengenai budaya pop

kontemporer Jepang sebagai sumber ”Soft Power” Jepang yang baru. Ia melihat ’soft

power‟ Jepang bukan hanya berasal dari budaya tradisional Jepang seperti Zen, Karate,

tetapi juga manga, anime, dan elemen budaya lainnya. (Joseph S. Nye, ”Nihon no sofuto

pawa: Sono Genkai no Kanosei” (Japan’s Soft Power; Its Limits and Potential, Gaiko Forum,

2004)

1.2 Diplomasi Jepang Pada Masa Takeshita

Akhirnya pada tahun 1989 bisa dikatakan merupakan tahunnya ASEAN,

karena pada saat itu ASEAN telah menjadi fokus dan perhatian dari aktivitas

diplomatik internasional yang ditandai dengan maraknya kunjungan dari para

pemimpin dunia ke berbagai negara-negara ASEAN. Dengan mengikuti dari doktrin

Fukuda pada masa sebelumnya, perdana menteri Zenko Suzuki melakukan kunjungan

ke negara-negara ASEAN pada tahun 1981. sama seperti Fukuda, Suzuki mengatakan

dalam pidatonya di Bangkok yang menekankan pada tiga prinsip sebagai berikut; (1)

Jepang tidak akan memainkan peranan militernya di dalam masyarakat dunia, (2)

Jepang akan memainkan peranan politiknya untuk ikut menjaga upaya perdamaian

dunia, (3) Jepang akan menekankan perbaikan ekonomi dalam tiga 3 hal yaitu

kerjasama ekonomi, pengembangan sumber daya manusia, dan peningkatan ekonomi

mikro.7

7 Ibid, hal. 37

Page 14: Makala h 16 Rina

Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 294

Dua tahun kemudian dari bulan Aril sampai dengan Mei tahun 1983, perdana

menteri Yasuhiro Nakasone mengunjungi ASEAN. Kunjungan tersebut dilakukan

sebagai bentuk promosi yang didalamnya berisi proposal diantaranya yaitu keinginan

Jepang untuk meningkatkan sekitar 50% produk industrinya di negara-negara

ASEAN yang dimulai pada tahun 1984. dan program dukungan serta bantuan kepada

negara-negara ASEAN untuk melakukan perbaikan dan renovasi di berbagai sektor.

Dan yang terakhir yaitu mengundang sekitar 150 pemuda dari negara-negara ASEAN

untuk datang mengunjungi Jepang setiap tahunnya untuk memperkenalkan kerjasama

dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi antara Jepang dengan negara-negara

ASEAN. Namun tidak lama setelah kunjungannya Nakasone segera mendapatkan

tekanan dari negara-negara Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lainnya, yang

menekan Jepang untuk menunjukan citranya yang juga merupakan bagian dari negara-

negara Barat.

Kemudian pergantian perdana menteri pada tahun 1987 melalui Noboru

Takeshita diharapkan dapat mengembalikan keadaan seperti semula. Dengan

menghadiri pertemuan ASEAN ke tiga di Manila, Takeshita menyatakan dalam judul

pidatonya ”Japan and ASEAN a new partnership toward peace and prosperity”.8 Melalui

pertemuannya di Manila Jepang berkonsentrasi untuk menjalin hubungan yang lebih

baik lagi melalui pengertian dari hati ke hati ”heart to heart. Yang tetap berkonsentrasi

pada tiga prinsip dasar yaitu; untuk memperkuat kerjasama ekonomi dengan negara-

negara ASEAN, kerjasama politik dengan negara-negara ASEAN, dan

mempromosikan pertukaran budaya.

Pada bulan April 1989, dalam kunjungannya ke Jakarta Takeshita menyatakan

dalam pidatonya pentingnya negara-negara ASEAN bagi kerjasama ekonomi Jepang,

berikut adalah kutipan dari isi pidatonya di Jakarta;

”soon after becoming Prime Minister of Japan, I have set forth an international

cooperation initiative premised on the following three pillar is the strengthening of

cooperation to achieve peace. Second is the expansion of Japan’s Official Development

Assistance (ODA). And third is the strenghtening of international cultural exchange. I

believe that South East Asia is one of the most important areas for this international

cooperation initiative, and I intend to promote actively the initiative in this region.”

8 Ibid, hal. 38

Page 15: Makala h 16 Rina

Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 295

1.3 Diplomasi Jepang Pada Masa Hashimoto

Upaya diplomasi Jepang dengan negara-negara ASEAN berlanjut pada masa

setelah Perang Dingin berakhir yaitu pada bulan Desember 1989. Hubungan Jepang-

ASEAN ini ditegaskan melalui pidato dari Perdana Menteri Toshiki Kaifu dalam

kunjungannya ke negara-negara ASEAN pada tahun 1991 di Singapura, di mana

dalam pernyataannya Kaifu menggarisbawahi pentingnya menjalin hubungan antara

Jepang dengan negara-negara ASEAN, berikut adalah kutipan dari pernyataannya;

”I believe that Japan and ASEAN are becoming mature partners able to look seriously at what

we can do for Asia-Pacific peace and prosperity and to think and act together for our shared goals.

building upon the long years of dialogue between Japan and ASEAN, we are now able to speak

frankly to each other in both of economic and political spheres. Along with continuing to work to

create a climate conducive to candid dialogue in all areas, I intend to make a concreted effort for

greater cooperation in all fields.”9

Pada saat Jepang menekankan bahwa Jepang tidak akan lagi memainkan peranan

militer, Kaifu juga menekankan bahwa yang menjadi bagian penting dari kebijakan luar

negeri Jepang saat ini adalah Jepang akan selalu berupaya untuk memainkan peranannya

untuk ikut serta dalam menjaga perdamaian dan perkembangan ekonomi. Sebagai bentuk

bukti bahwa Jepang benar-benar meninggalkan kekuatan militer dalam menjalin hubungan

internasionalnya, Perdana Menteri Kaifu mengutarakan permintaan maafnya atas perilaku

Jepang di masa Perang Dunia II. Berikut adalah pernyataan Kaifu;

”I express sincere contrition for past Japanese actions which inflicted unbearable suffering and

sorrow upon a great many people of the Asia-Pacific region.” 10

Segera setelah kunjungan dari Perdana Menteri Kaifu, kaisar Akihito melakukan

kinjungan diplomatiknya secara hati-hati ke negara-negara ASEAN yang dipilih secara

selektif yaitu ke Thailand, Malaysia dan Indonesia. Yang dalam kunjungannya kaisar

menegaskan bahwa Jepang adalah negara ”cinta damai” yang tidak akan pernah mengulang

kembali cerita horor seperti pada masa Perang Dunia berlangsung. Pada akhirnya

kunjungan tersebut merupakan sebuah momentum awal terjalinnya rasa kepercayaan dari

9 Ibid, hal 39 10

Ibid, hal 40

Page 16: Makala h 16 Rina

Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 296

negara-negara ASEAN untuk menjalin hubungan yang erat sebagai mitra dalam berbagai

bidang dengan Jepang.

Kemudian Perdana Menteri Kiichi Miyazawa (1991), juga berupaya untuk menjaga

hubungan internasional Jepang dengan negara-negara ASEAN, dengan melakukan

kunjungan kenegaraan pada tahun 1993 ke Bankok, yang dalam kunjungannya pidato Kiichi

menegaskan bahwa Jepang akan terus berkomitmen untuk terus menjaga stabilitas

keamanan dan ekonomi di kawasan Asia – Pasifik;

”Japan will attach particular importance to the very process of talking with the ASEAN

countries. This means that Japan will think and act together with ASEAN. I am quite confident

that the wisdom and vigor of the ASEAN countries become an important pillar which supports

the future of the international community, at a time when the world is searching for a new

international order.”11

Sueo sudo (2002; 40) Dalam kebijakan luar negerinya Miyazawa menekankan 4

point penting yaitu;

1. Mempromosikan dialog politik dan keamanan antara negara-negara Kawasan

ASEAN sebagai upaya memperkuat stabilitas keamanan dan perdamaian di

Asia Pasifik, dan untuk memikirkan secara serius mengenai visi dari masa

depan keamanan di kawasan Asia-Pasifik.

2. Melanjutkan upaya untuk meningkatkan perekonomian negara-negara kawasan

Asia Pasifik, dan mempromosikan perkembangan ekonomi yang dinamik.

3. Berupaya secara aktif untuk terus memperjuangkan hak-hak kemanusiaan

sebagai bentuk demokrasi.

4. Kerjasama Jepang-ASEAN untuk mengupayakan keamanan dan kemakmuran

di kawasan Asia Pasifik, dengan terus mengupayakan pengembangan strategi.

Selanjutnya pada tahun 1994, yaitu masa dari Perdana Menteri Tomiichi Murayama

ketika melakukan kunjungannya ke Malaysia, Singapura, Philipina dan Vietnam sebagai

Perdana Menteri pertama dari partai oposisi Jepang, Murayama juga mengulangi

permintaan maaf Jepang mengenai perilakunya di masa Perang Dunia berlangsung.

11

Ibid, hal.40

Page 17: Makala h 16 Rina

Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 297

Puncaknya yaitu pada tahun 1997, pada masa Perdana Menteri Ryutaro Hashimoto

mengajukan bentuk baru dari hubungan antara Jepang dengan negara-negara ASEAN.

Lebih jauh dalam pidatonya di Singapura Hashimoto mengungkapkan, ”perlunya

perubahan dan reformasi dalam menjalin hubungan yang lebih luas dan lebih dalam lagi

antara Jepang dan ASEAN, Hashimoto juga mengingatkan ketika dahulu pendahulunya

pernah mencanangkan ”doktrin Fukuda”, yang kemudian dilanjutkan dengan ”doktrin

Takeshita”, maka kini saatnya saya akan menawarakan hal yang baru untuk kelangsungan

hubungan Jepang dan ASEAN.”12

Kelangsungan hubungan Jepang dan ASEAN. Yang pertama yaitu; untuk menjalin

perasaan saling pengertian yang lebih dalam lagi antara masing-masing negara; kedua,

pertukaran budaya sebagai wadah dan sarana untuk saling mengenal satu sama lain; saling

bekerjasama dalam upaya menyelesaikan konflik wilayah agar tercipta perdamaian dan

keamanan. Lebih jelasnya Hashimoto menawarkan tiga hal penting dalam menjaga

KESIMPULAN

Perkembangan diplomasi luar negeri Jepang setelah Perang Dunia II, mengalami

banyak perubahan citra. Upaya Jepang mencari jati diri dan mendapatkan tempat di

lingkungan internasional dilakukan dengan berbagai cara agar sesuai dengan perubahan

zaman. Ketika masa Perang berlangsung Jepang mengusung semangat kepenjuru negerinya

agar Jepang bersiap untuk menjadi pemimpin di Asia, hal ini tercermin dalam slogan

pemerintah Jepang yaitu ”Jepang cahaya Asia, Jepang pelindung Asia dan Jepang pemimpin

Asia”. Selanjutnya Kemakmuran ekonomi dan kebutuhan akan sumber alam yang

mendorong Jepang memutuskan untuk melakukan ekspansi dicerminkan kembali dalam

slogan ”negara kaya militer kuat”.

Tentunya di era modern setelah berakhirnya masa Perang Dunia II, menjadi hal

yang tidak mudah bagi Jepang untuk kembali mengangkat citranya sebagai bangsa yang

tidak lagi mengancam kedaulatan negara lain. Hal ini dibuktikan oleh Pedana Menteri

Jepang Yoshida Shigeru yang kemudian mengusung citra Jepang sebagai negara ”cinta

damai” dengan menjalankan kebijakan ekonomi. Hal itupun berhasil sebagai momentum

awal dalam upaya perbaikan hubungan Jepang di lingkungan internasional khususnya

dengan negara-negara ASEAN.

12

Ibid. Sueo Sudo, hal.41

Page 18: Makala h 16 Rina

Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 298

DAFTAR PUSTAKA

Berridge G, R, Diplomacy Theory and Practice, Palgrave Macmillan, 2005

Blaker, Michael. Japanese International Negotiating Style, “Who Wins: Bargaining

Power and Success”, Columbia University Press, New York, 1977.

Hill, Chrsitoper. The Changing Politics of Foreign Policy, Pelgrave Macmillan, New

York, 2003.

Hook, Glenn D, et al., eds. Japan’s international Relation, „Politics, Economics and

Security’, Routledge Taylor and Francis Group, New York and London, 2005.

Inoguchi, Takeshi. Japan’s International Relations, London, Pinter Publisher, London,

1991.

Jackson, Robert. & George Sorensen. Introduction to International Relations,

(terjemahan oleh Dadan Suryadipura), Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2005.

Joseph S. Nye, ”Nihon no sofuto pawa: Sono Genkai no Kanosei” (Japan‟s Soft Power;

Its Limits and Potential, Gaiko Forum, 2004

Mas‟oed, Mochtar. Perbandingan Sistem Politik, , Gadjah Mada University Press,

Bulaksumur, Jogjakarta, 2006

Mohtar Mas‟oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta:

LP3ES, 1990

Nester, William R. “Japan and The Third World”, London, Macmillan Press, 1992.

Oguma Eiji Universitas Keio Japan, Contemporary Japan From The Perspective of

Post-War Japanese History, 2008

Ozawa, Ichiro. Blue Print Jepang Masa Depan, Jogjakarta, PT. Tiara Wacana

Yogyakarta, 1995

Roy, S.L. Diplomasi, Jakarta, Rajawali Press, 1991

Satow Earnest, A Guide to Diplomatic Practice”, 1957

Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002

Sueo Sudo, The International Relations of Japan and South East Asia (Forging A New

Regionalisme), Routledge London, 2002

Yasutomo, Dennis T. The New Multilateralism in Japan’s Foreign Policy, St. Martin

Press, New York, 1995.

Yoel Sano Asia Times online, 2006